ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK GANTI RUGI DALAM JUAL BELI TEBASAN (Studi Kasus Ganti Rugi Pada Jual Beli Padi Tebasan di Desa Brangsong Kec. Brangsong Kab. Kendal)
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 Dalam Ilmu Syari`ah
Disusun Oleh: DINI WIDYA MULYANINGSIH 052311108
JURUSAN MU’AMALAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2011
Drs. H. Nur Khoirin, M.Ag Jl. Tugu Lapangan Rt. 8/1 Tambakaji Ngaliyan Semarang Dra. Hj.Ma’rifatul Fadhilah, M.Ed Jl. Bringin Timur Rt.1/8 Tambakaji Ngaliyan Semarang
PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp
: 4 (eksemplar)
Hal
: Naskah Skripsi an. (Dini Widya Mulyaningsih) Kepada Yth. Bapak Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang di Semarang
Assalamu'alaikum Wr. Wb. Setelah membaca, mengadakan koreksi dan perbaikan sebagaimana mestinya, maka kami menyatakan bahwa skripsi saudara: Nama
: Dini Widya Mulyaningsih
NIM
: 052311108
Jurusan
: Mu’amalah
Judul Skripsi
: “ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK GANTI RUGI DALAM JAUL BELI TEBASAN(Studi Kasus Ganti Rugi Pada Jual Beli Padi Tebasan di Desa Brangsong, Kendal)” Dengan ini telah kami setujui dan mohon kiranya skripsi saudara tersebut
dapat segera dimunaqosyahkan. Demikian atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih. Wassalamu'alaikum Wr. Wb. Semarang, 30 November 2011 Pembimbing I,
Pembimbing II,
Drs. H. Nur Khoirin, M.Ag NIP. 19630801 199203 1 001
Dra. Hj.Ma’rifatul Fadhilah, M.Ed NIP. 19620803 198903 2 003 ii
KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG FAKULTAS SYARI’AH Jl. Prof. Dr. Hamka KM 02 Ngaliyan Telp. (024) 7601291 Semarang
PENGESAHAN Skripsi Saudara
: DINI WIDYA MULYANINGSIH
NIM
:052311108
Jurusan
: MU’AMALAH
Judul
: ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK GANTI RUGI DALAM JAUL BELI TEBASAN (Studi Kasus Ganti Rugi Pada Jual Beli Padi Tebasan di Desa Brangsong Kec. Brangsong Kab. Kendal)
Telah dimunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari'ah IAIN Walisongo Semarang dan dinyatakan lulus pada tanggal: 27 Desember 2011 Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) tahun akademik 2010/2011 Semarang, 27 Desember 2011 Mengetahui
Ketua Sidang
Sekretaris Sidang
Rustam DKAH, M. Ag NIP. 19690723 199803 1 005
Drs. H. Nur Khoirin, M.Ag. NIP. 19630801 199203 1 001
Penguji I
Penguji II
Anthin Lathifah, M.Ag NIP. 19751107 200112 2 002
Muhammad Shoim, S. Ag, MH NIP. 19711101 200604 1 003
Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. H. Nur Khoirin, M.Ag NIP. 19630801 199203 1 001
Dra. Hj. Ma’rifatul F, M.Ed NIP. 19620803 198903 2 003 iii
MOTTO
% '& ( ) !" #!$ ! 829* +,-( . / 0 1 23 4 6 5 7 Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka samasuka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (Q. S. An-Nisa 29)1
1
Al- Quranul Karim, Kudus: Menara Kudus, 2005, hlm. 84
iv
PERSEMBAHAN
Buah karya ini aku persembahkan untuk Allah SWT Rasulullah SAW Kedua Orang Tuaku Mbak-mbak dan adik-adikku Keponakan-keponakanku yang lucu Orang-orang yang telah memberikan banyak dukungan dalam hidupku Teman-teman seperjuangan Generasi penerus bangsa
v
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satu pun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 30 November 2011 Deklarator
DINI WIDYA MULYANINGSIH NIM. 0 5 2 3 1 1 1 0 8
vi
ABSTRAK Skripsi ini berjudul “ Analisis Hukum Islam Terhadap Praktek Ganti Rugi dalam Jual Beli Tebasan (Studi kasus ganti rugi pada jual beli padi tebasan di Desa Brangsong Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal)”. Adapun praktek jual beli tebasan ini adalah petani menjual padinya ketika belum layak panen kepada penebas, yang mana penebas membayar maksimal setengah dari harga yang telah disepakati. Adapun kekuranganya dibayarkan ketika padi sudah dipanen atau dituai. Dengan adanya praktek seperti ini timbul suatu permasalahan yaitu ketika dari pihak penebas mengalami kerugian, penebas akan meminta ganti rugi kepada petani. Dalam perhitungan ganti rugi tersebut dengan cara membagi jumlah kerugian tebasan sama besar dan ditanggung bersama dengan cara memotong dari sisa pembayaran yang belum dibayarkan, walaupun kerugian tersebut adalah kelalaian dari penebas. Akan tetapi ketika penebas meraih keuntungan, penebas tidak membagi keuntungan yang diraihnya kepada petani. Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas timbul beberapa pokok permasalahan yaitu bagaimana sistem pemberian ganti rugi dalam jual beli padi tebasan dan apa saja faktor yang melatar belakangi masyarakat berkenan dalam memberikan ganti rugi serta bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pemberian ganti rugi dalam jual beli padi tebasan tersebut. Berdasarkan pada permasalahan diatas, penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian lapangan (field research) yaitu kegiatan penelitian yang dilakukan di lingkungan masyarakat tertentu baik di lembaga-lembaga, organisasi masyarakat, maupun lembaga pemerintahan. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data primer, sumber data yang diperoleh langsung dari masyarakat Desa Brangsong dan sumber data sekunder, sumber data yang diperoleh dari dokumen-dokumen atau laporan yang tersedia. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode observasi, wawancara dan dokumentasi. Dari penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil sebagai berikut: bahwa transaksi jual beli dan ganti rugi padi tebasan yang terjadi di Desa Brangsong tersebut tidak sesuai hukum Islam karena banyak terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan hukum Islam seperti adanya unsur keterpaksaan, tidak enak karena bertetangga dan juga menghindari keributan antara petani dan penebas, sehingga tidak terdapat unsur kerelaan antara kedua belah pihak. Selain itu dalam transaksi ini juga terjadi pemotongan harga secara sepihak yang tidak ada kesepakatan sebelumnya, sehingga menyebabkan kerugian disalah satu pihak maka jual beli dan ganti rugi tidak sah karena ada unsur kebatilan didalamnya.
vii
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Segala puji kehadirat Ilahi Rabby yang telah melimpahkan rahmat dan hidayat-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Sholawat diiringi salam selalu tercurahkan kepada pahlawan revolusioner Baginda Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa pencerahan dalam kehidupan seluruh ummat manusia. Penulis menyadari bahwa dalam proses penyusunan skripsi ini tidak akan berhasil tanpa dukungan dari semua pihak dengan berbagai bentuk kontribusi yang diberikan, baik secara moril ataupun materiil. Dengan kerendahan dan ketulusan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dekan Fakultas Syari`ah IAIN Walisongo Semarang, Dr. H. Imam Yahya, M.Ag beserta seluruh stafnya yang telah memberikan berbagai kebijakan untuk memanfaatkan segala fasilitas di Fakultas Syari’ah 2. Bapak Drs. H. Nur Khoirin, M.Ag selaku pembimbing I penulisan skripsi ini. Dra Hj. Ma’rifatul Fadhilah, M.Ed selaku dosen pembimbing II yang telah mencurahkan waktu, pikiran, dan perhatian serta dengan penuh kesabaran membimbing dalam proses penulisan skripsi. 3. Seluruh dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo yang telah memberikan pelajaran dan pengajaran kepada penulis sehingga dapat mencapai akhir perjalanan di kampus IAIN Walisongo Semarang. 4. Kepala Desa Brangsong Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal beserta stafnya yang telah mengizinkan penulis untuk melakukan penelitian. Terimakasih atas izin dan waktu yang diberikan. 5. Bapak dan Ibuku (Samiyo Puspito dan Mudji Hasanah) yang selalu memberikan support, terimakasih atas segala pengorbanan yang telah dilakukan. Do`a restu kalian menjadi kekuatan untukku. 6. Mbak Wiwit beserta suami, mbak Dian berserta suami, Adik-ku Mia, keponakan-keponakanku yang lucu dik Khaila, dik Azam dan dik Syarif yang
viii
selalu menjadi motivasi bagi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas cinta kasih kalian. 7. Sahabat – sahabatku jreng mania imut, milla, halim, dan tia (almh). yang telah menemani penulis dalam suka dan duka dalam mengarungi dinamika kehidupan kampus. Terima kasih atas segala warna yang kalian berikan. 8. Kawan-kawan sekelas MUB `05 dan seluruh teman seangkatan. Terima kasih atas pertemanan yang penuh kehangatan. 9. Teman-teman KKN Kebonsari Kendal, meski kebersamaan kita hanya sebentar tapi selalu membekas di hati. 10. Serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih atas segala bentuk kontribusi yang diberikan kepada penulis. Semoga amal baik kalian mendapat balasan dari Yang Maha Sempurna. Pada akhirnya penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Untuk itu penulis sangat mengharapkan masukan baik berupa saran maupun kritik demi kelengkapan dan sempurnanya skripsi ini. Harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca yang budiman pada umumnya.
Semarang, 30 November 2011 Penulis,
DINI WIDYA MULYANINGSIH NIM. 0 5 2 3 1 1 1 0 8
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................
iii
HALAMAN MOTTO ................................................................ ...............
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................
v
HALAMAN DEKLARASI........................................................................
vi
HALAMAN ABSTRAK............................................................................
vii
HALAMAN KATA PENGANTAR ..........................................................
viii
DAFTAR ISI..............................................................................................
x
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...................................................................
1
B. Rumusan Masalah ..............................................................
7
C. Tujuan Penulisan................................................................
7
D. Telaah Pustaka ...................................................................
7
E. Metode Penelitian...............................................................
10
F. Sistematika Penulisan ........................................................
14
TINJAUAN UMUM TENTANG JUAL BELI A. Pengertian Jual Beli............................................................
17
B. Dasar Hukum Jual Beli ......................................................
21
C. Rukun dan Syarat Jual Beli ................................................
26
D. Macam-Macam Jual Beli ...................................................
28
E. Resiko Dalam Jual Beli......................................................
31
x
BAB III
PRAKTEK GANTI RUGI DALAM JUAL BELI PADI TEBASAN DI DESA BRANGSONG KECAMATAN BRANGSONG KABUPATEN KENDAL A. Keadaan Umum Desa Brangsong Kecamatan Brangsong, Kabupaten Kendal...............................................................
34
B. Proses Jual Beli Padi Tebasan Di Desa Brangsong Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal.........................
40
C. Praktek Ganti Rugi Dalam Jual Beli Padi Tebasan Di Desa Brangsong..................................................................
BAB IV
42
ANALISIS A. Analisis Terhadap Pemberian Ganti Rugi Dalam Jual Beli Padi
Tebasan
Dan
Faktor
Yang
Melarbelakangi
Masyarakat Untuk Memberikan Ganti Rugi di Desa Brangsong Kec. Brangsong Kab. kendal ...........................
49
B. Analisis Hukum Islam terhadap jual beli padi tebasan di Desa Brangsong, Kec. Brangsong, Kab. Kendal ...............
BAB V
56
PENUTUP A. Kesimpulan .........................................................................
64
B. Saran-Saran..........................................................................
66
C. Penutup................................................................................
67
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xi
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Islam adalah agama universal yang menawarkan sistem sosial yang adil
dan
bermartabat,
Islam
adalah
agama
revolusioner
yang
memperjuangkan nilai-nilai humanisme. Islam datang sebagai agama yang membebaskan manusia dari tindakan-tindakan diskriminatif. Islam datang untuk membebaskan golongan lemah dari aniaya golongan kuat, dari eksploitasi si kaya terhadap si miskin, bahkan membebaskan manusia dari superioritas rasial.2 Sebagai seorang muslim kehidupan sehari-hari harus mencerminkan dan mengaplikasikan syariat Islam. Baik dalam kehidupan berbangsa, bernegara, bermasyarakat dan beragama. Firman Allah. SWT. dalam QS. al-Baqarah: 2083 …絯ΡÎ) 4 Ç≈sÜø‹¤±9$# ÅV≡uθäÜäz (#θãèÎ6®Ks? Ÿωuρ Zπ©ù!$Ÿ2 ÉΟù=Åb¡9$# ’Îû (#θè=äz÷Š$# (#θãΖtΒ#u šÏ%©!$# $y㕃r'¯≈tƒ ∩⊄⊃∇∪ ×Î7•Β Aρ߉tã öΝà6s9 Artinya: ” Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”
2
Eggi Sudjana, Bayarlah Upah Sebelum Keringatnya Mengering, Yogyakarta: CV. Adipura, 2000, hal. 65. 3 Departemen Agama RI, Al-quran dan Terjemahannya, Jakarta: Pena Ilmu dan Amal, 2006, hal : 33
1
2
Dari ayat di atas sudah jelas, sudah menjadi sunatullah bahwa manusia harus bermasyarakat, tunjang-menunjang, topang-menopang antara satu dengan yang lainnya. Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri, lebih jelasnya diterangkan dalam pengetahuan sosiologi.4 Tidak ada alternatif lain bagi manusia normal kecuali menyesuaikan diri dengan peraturan Allah (sunnatullah) tersebut dan bagi siapa yang menentangnya dengan jalan memencilkan diri, niscaya akan terkena sanksi berupa kemunduran, penderitaan,kemelaratan dan malapetaka dalam hidup ini. Firman Allah. SWT. QS. Ali Imran:112 .5 Ĩ$¨Ψ9$# zÏiΒ 9≅ö6ymuρ «!$# zÏiΒ 9≅ö6pt¿2 ωÎ) (#þθàÉ)èO $tΒ tør& èπ©9Ïe%!$# ãΝÍκö"n=tã ôMt/ÎàÑ Artinya: ”Mereka di liputi kehinaan dimana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang pada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia” Banyak interaksi yang dapat dilakukan agar apa yang menjadi kebutuhannya dapat terpenuhi. Disinilah peranan Islam sebagai agama yang sempurna mengatur segala bentuk kehidupan, salah satunya adalah mu’amalah.6 Salah satu bentuk mu’amalah yang dapat kita lihat dan itu merupakan kegiatan rutin yang dilakukan masyarakat yaitu dagang. 4
Sosiologi adalah illmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial misal gejala ekonomi, gejala keluarga, dan gejala moral. Dengan gejala non sosiol serta mempelajari ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial lain. (baca: definisi sosiologi pitirim sorokin wikipedia bahsa indonesia, ensiklopedia bebas sosiologi) 5 Departemen Agama RI, Op. Cit , hal : 126 6 Mu’amalah secara harfiah berarti “pergaulan” atau hubungan antar manusia. Dalam pengertian harfiah yang bersifat umum, mu’amalah berarti perbuatan atau pergaulan manusia di luar ibadah. Mu’amalah merupakan perbuatan manusia dalam menjalin hubungan atau pergaulan antar sesama manusia. (Baca: Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Mu’amalah Kontekstual, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hal. 1)
3
Perdagangan atau yang lebih akrab disebut jual beli merupakan bentuk mu’amalah yang memiliki syarat serta rukun dalam pelaksanaannya. Perdagangan atau jual beli menurut bahasa berarti al-Ba’i yakni menukar sesuatu dengan sesuatu.7 Sedangkan menurut istilah yang dimaksud dengan jual beli berarti menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan. Jual beli dalam arti umum ialah suatu perikatan tukar menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan kenikmatan. Perikatan adalah akad yang mengikat kedua belah pihak. Tukar menukar yaitu salah satu pihak menukarkan ganti penukaran atas sesuatu yang ditukarkan oleh pihak lain. Dan sesuatu yang bukan manfaat ialah bahwa benda yang ditukarkan adalah dzat (bentuk) ia berfungsi sebagai objek penjualan, bukan manfaatnya atau hasilnya. Sedangkan jual beli dalam arti khusus ialah ikatan tukar menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan bukan pula kelezatan yang mempunyai daya tarik, penukarannya bukan emas dan bukan pula perak, bendanya dapat direalisir dan ada seketika (tidak ditangguhkan), tidak merupakan utang baik benda itu ada dihadapan pembeli maupun tidak, barang yang sudah diketahui sifat-sifatnya atau sudah diketahui terlebih dahulu.8 Untuk itu tidak bisa kita pungkiri sebagai masyarakat sosial kita tidak bisa lepas dari aktifitas jual beli, karena hal ini sudah merupakan kebutuhan primer layaknya makanan setiap hari. 7 8
Aliy asa’ad, Fathul Mu’in, Jilid 2, Kudus: Menara Kudus, hal: 158 Hendi Suhendi, Fiqh Mu’amalah, Jakarta: Rajawali Perss, 2002, hal: 67-69
4
Jual beli dan perdagangan memiliki permasalahan dan lika-liku yang jika dilaksanakan tanpa aturan dan norma-norma yang tepat akan menimbulkan bencana dan kerusakan dalam masyarakat. Nafsu mendorong manusia untuk mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya melalui cara apa saja, misalnya berlaku curang dalam ukuran dan takaran serta manipulasi dalam kwalitas barang dagangan yang jika hal itu diperturutkan, niscaya rusaklah sel – sel perekonomian masyarakat.9 Sesungguhnya Allah SWT. sudah memberikan aturannya dalam QS. an-Nisa’ ayat: 2910 ¸οt≈pgÏB šχθä3s? βr& HωÎ) È≅ÏÜ≈t6ø9$$Î/ Μà6oΨ÷(t/ Νä3s9≡uθøΒr& (#þθè=à2ù's? Ÿω (#θãΨtΒ#u šÏ%©!$# $y㕃r'¯≈tƒ ∩⊄∪ $VϑŠÏmu‘ öΝä3Î/ tβ%x. ©!$# ¨βÎ) 4 öΝä3|¡àΡr& (#þθè=çFø)s? Ÿωuρ 4 öΝä3ΖÏiΒ <Ú#ts? tã Artinya:
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu11 Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
Dari ayat di atas udah jelas bahwa dalam melaksanakan proses pemindahan hak milik suatu barang dari seorang kepada orang lain harus menggunakan jalan yang terbaik yaitu dengan jual beli, bukan dengan mencuri, menjambret, merampok, dan menipu. Dan dalam surat an-Nisa’ ayat 29 juga menjelaskan bahwa transaksi jual beli harus berdasarkan atas dasar suka sama suka. tidak ada unsur 9
14-16
Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam, Bandung: Diponegoro, 1992, hal:
10
Departemen Agama RI, Loc. Cit, Hal: 83 larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan. 11
5
pemaksaan, penipuan, dan pemalsuan yang berdampak pada dirugikannya salah satu pihak baik dari penjual maupun dari pembeli yang berupa kerugian materiil maupun kerugian non materii. Walupun demikian, realitanya masih banyak praktek jual beli yang masih ada unsur penipuan dan pemaksaan yang mana salah satu dari mereka ada yang dirugikan. Umumnya sebagian dari mereka tidak mengetahui apa yang mereka lakukan selama ini merupakan bentuk mu’amalah yang tidak sesuai dengan syariat. Demikian pula yang terjadi di Desa Brangsong Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal, di daerah tersebut ada sebuah praktek jual beli padi yang mana pembeli berani membeli padi yang belum layak panen, karena kurang kemampuan seorang petani sehingga petani mau menerima jual beli tersebut, dengan kata sepakat dan harga yang sudah disepakati pula. Dalam hal ini seorang petani masih dibayar kira – kira sepuluh sampai lima puluh persen dari harga yang disepakati, yang setengahnya dibayarkan ketika padi sudah layak panen. Padahal dalam jual beli tebasan seharusnya, resiko untung dan rugi di tanggung oleh masing pihak, yang mana penjual harus menerima apabila hasil panen jauh lebih baik dari yang dibayangkan, begitu pula dengan pembeli harus mau menerima apabila hasil panennya tidak baik (buruk). Akan tetapi kenyatannya yang terjadi di Desa Brangsong Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal, apabila pembeli untung pembeli diam saja tapi sebaliknya apabila pembeli rugi, kerugian tersebut dibagi sama penjual
6
dengan cara memotong pembayaran yang belum di bayarkan. walaupun itu adalah kelailan dari pembeli sendiri, sehingga menjadikan jual beli tersebut diasumsikan dengan jual beli yang terlarang. Setelah jelas bahwa pada prinsipnya berusaha dan berikhtiar mencari rizqi itu adalah wajib, namun agama tidaklah mewajibkan memilih suatu bidang usaha dan pekerjaan. Setiap orang dapat memilih usaha dan pekerjaan sesuai dengan bakat, keterampilan dan faktor-faktor lingkungan masing-masing. Salah satu bidang pekerjaan yang boleh dipilih berdagang sesuai tuntutan syari’at Allah SWT. dan Rasul-Nya. Pada prinsipnya hukum jual beli atau dagang dalam Islam adalah halal. Firman Allah SWT dalam Q.S. al-Baqarah 27512 … 4 (#4θt/Ìh9$# tΠ§ymuρ yìø‹t7ø9$# ª!$# ¨≅ymr&uρ 3… Artinya:”…
Padahal
Allah
telah
menghalalkan
jual
beli
dan
mengharamkan riba…” Berangkat dari uraian di atas, maka yang menjadi pertanyaan penulis, apakah sistem pemberian ganti rugi dalam jual beli tebasan sudah sesuai dengan syari’at Islam?. Dalam hal ini, penulis mencoba menulisnya sebagai karya skripsi dengan judul: ”Analisis Hukum Islam Terhadap Praktek Ganti Rugi Dalam Jaul Beli Tebasan (Studi Kasus Ganti Rugi Pada Jual Beli Padi Tebasan di Desa Brangsong Kec. Brangsong Kab. Kendal)”.
12
Departemen Agama RI, Ibid, hal :35
7
B.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka penulis akan merumuskan beberapa pokok masalah yang akan menjadi pembahasan dalam skripsi ini. Adapun pokok permasalahan tersebut adalah: 1. Bagaimana sistem pemberian ganti rugi dalam jaul beli padi tebasan dan faktor yang melatar belakangi masyarakat untuk memberikan ganti rugi di Desa Brangsong, Kec. Brangsong, Kab. Kendal? 2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap sistem pemberian ganti rugi dalam jual beli padi tebasan di Desa Brangsong, Kec. Brangsong, Kab. Kendal?
C.
Tujuan Penulisan Skripsi Berdasarkan pada permasalahan yang dirumuskan diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui sistem pemberian ganti rugi dalam jaul beli padi tebasan dan faktor yang melatar belakangi masyarakat untuk memberikan ganti rugi. 2. Untuk mengetahui dan mengkaji pandangan hukum Islam terhadap pemberian ganti rugi dalam jual beli padi tebasan
D.
Telaah Pustaka Permasalahan jual beli bukanlah hal yang baru untuk diangkat dalam sebuah penulisan skripsi maupun literatur lainnya. Sebelumnya telah banyak
8
buku-buku atau karya ilmiah lainnya yang membehas tentang jaul beli, diantaranya yaitu: Dalam buku “Kode Etik Dagang Menurut Islam” membahas tentang: Pola pembinaan hidup dalam berekonomi mulai hukum berusaha dan berdagang, hikmah berdagang dan berusaha, faktor-faktor keberhasilan dan keberkahan dagang, prinsip-prinsip dagang, barang-barang yang terlarang diperjual belikan, serta usaha dan hal-hal yang terlarang dalam perdagangan.13 Skripsi yang berjudul “ Studi Analisis Hukum Islam Terhadap Jual Beli Padi Yang Ditangguhkan Pada Tingkat Harga Tertinggi (Studi Kasus Di Desa Ringinkidul, Gubug, Grobogan)”. Yang disusun oleh Milatul Habibah, dalam skripsi ini membahas tentang praktek jual beli yang ditangguhkan pada tingkat harga yang tertinggi walaupun harganya turun. Akan tetapi apabila harga padi mengalami kenaikan harga yang digunakan adalah harga yang naik saat itu. Dan hasil penelitiannya menyebutkan bahwa dalam hal pembayaran yang harus ditangguhkan pada tingkat harga tertinggi, yang belum diketahui besarannya. Jual beli semacam itu menimbulkan kerugian pada pihak pembeli, serta mengandung unsur gharar, yaitu tidak adanya kepastian dan berakibat pada resiko penipuan. Dalam bermu’amalah, hukum Islam tidak memperbolehkan jual beli yang mengandung gharar, karena hal itu berarti merugikan salah satu pihak..14
13
Hamzah ya’qub, Loc. Cit., cetakan 2. Milatul habibah, Skripsi dengan judul, “ Studi Analisis Hukum Islam Terhadap Jual Beli Padi Yang Ditangguhkan Pada Tingkat Harga Tertinggi (Studi Kasus Di Desa Ringinkidul, 14
9
Skripsi Umi Tukhfah Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang. “Analisis Pendapat Ibnu Hazm Tentang Saksi Dalam Jual Beli”. Dijelaskan bahwa dalam jual beli saksi merupakan suatu pemberitaan dari orang yang dipercaya tentang terjadinya suatu peristiwa atau tentang tetapnya suatu hak bagi seseorang atas seseorang dalam hal jual beli dengan tujuan untuk berhati-hati menghindari salah paham dan menjauhkan dari pertikaian.15 Skripsi
yang
berjudul
“Tinjauan
Hukum
Islam
Terhadap
Ketidakjelasan Waktu Penangguhan Pembayaran Dalam Perjanjian Jual Beli Mebel (Studi Kasus Perjanjian Jual Beli Mebel Antara Pengrajin Visa Jati di Jepara Dengan PT HM furniture di Semarang). Yang disusun oleh Ana Nuryani Latifah, dalam skripsi ini dijelaskan bahwa ketidakjelasan waktu penangguhan pembayaran dalam perjanjian jual beli mebel dikarenakan
pihak
perusahaan
penerima
barang
harus
menunggu
pembayaran dari pihak asing, baru setelah nantinya pihak eksportir membayar kepada perusahaan penerima barang jadi akan membayar barang yang sudah dibuat oleh pengrajin. Akan tetapi pihak perusahaan penerima barang jadi tidak menyebutkan waktu pembayaran dalam perjanjian jual beli kepada
pengrajin,
sehingga
pengrajin
terkatung-katung
menunggu
pembayaran yang ditangguhkan dan tidak diketahui secara jelas waktunya. Dan pada akhirnya berakibat pada resiko penipuan terhadap pihak pengrajin,
Gubug, Grobogan)”dalam Perspektif Hukum Islam, Perpustakaan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, 2010 15
Umi Tukhfah, “Analisis Pendapat Ibnu Hazm Tentang Saksi Jual Beli”. Skripsi Fakultas Syari’ah Jurusan Mu’amalah, Semarang: Perpustakaan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, 2004
10
yang sangat merugikan pengrajin. Ketidakjelasan waktu penangguhan pembayaran dalam perjanjian jual beli tidak diperbolehkan dalam hukum Islam, karena hal itu merupakan suatu kedzaliman, dan cacatnya suatu perjanjian karena salah satu rukunnya tidak dapat terpenuhi.16 Meskipun telah banyak skripsi dan literatur yang membahas tentang jual beli namun tidak menutup kemungkinan bagi penulis untuk menyusun skripsi tentang jual beli menurut sudut pandang yang berbeda. Dan skripsi yang akan penulis susun juga berbeda dengan skripsi yang telah ada. Jika skripsi yang telah ada membahas tentang pelaksanaan jual beli dengan sistem penangguhan pembayaran dikarenakan pemilik harus menunngu pembayaran dari pihak pemesan, namun tidak demikian halnya dengan skripsi yang akan penulis bahas. Penulis akan membahas praktek pemberian ganti rugi dalam jual beli tebasan. Selain itu permasalahan yang akan dibahas juga berbeda. Disini penulis akan membahas ketidak jelasan dalam pemberian ganti rugi dalam jual beli tebasan dalam sektor formal yakni di Desa Brangsong, Kec. Brangsong, Kab. Kendal.
E.
Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) yaitu kegiatan penelitian yang 16
Ana Nuryani Latifah, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Ketidakjelasan Waktu Penangguhan Pembayaran Dalam Perjanjian Jual Beli Mebel (Studi Kasus Perjanjian Jual Beli Mebel Antara Pengrajin Visa Jati di Jepara Dengan PT HMfurniture di Semarang), (Skripsi IAIN Walisongo, 2009).
11
dilakukan di lingkungan masyarakat tertentu baik di lembaga-lembaga, organisasi masyarakat (sosial) maupun lembaga pemerintahan.17 Jenis penelitian ini digunakan untuk meneliti pemberian ganti rugi pada jual beli padi tebasan di Desa Brangsong Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal. 2. Populasi dan Sampel a. Populasi Populasi adalah keseluruhan objek penelitian.18 Setiap orang yang akan melakukan penelitian sudah barang tentu memiliki objek yang akan menjadi sasarannya, maka dalam penelitian ini yang menjadi populasinya adalah seluruh komponen yang merupakan subyek yang terlibat secara langsung dalam pemberian ganti rugi di Desa Brangsong Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal yaitu dalam pemberian ganti pada jual beli padi tebasan. b. Sample Karena tidak mungkin seluruh populasi diteliti, maka cukup digunakan sample untuk menggeneralisasikan atau mengambil kesimpulan dari populasi.19 Pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive sample (sampel keterwakilan). Adapun purposive sampel disini adalah pelaku jual beli yang melibatkan penjual dan pembeli untuk memperoleh informasi 17
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo, Cet. Ke-2, 1998, hal: 22 18 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta:Rineka Cipta, 1998, hal: 130 19 Ibid, hal: 131
12
yang tidak hanya sepihak. Untuk pengambilan sampel ini hanya diambil 12 orang yang terdiri dari 6 pembeli dan 6 penjual. 3. Sumber Data Ada dua macam sumber data dalam penelitian skripsi ini untuk mendukung informasi atau data yang akan digunakan dalam penelitian, dua sumber data tersebut adalah: a. Sumber Data Primer Sumber data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian dengan mengenakan alat pengukuran atau alat pengambilan data langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang dicari.20 Data ini diperoleh langsung dari masyarakat Desa. Brangsong, Kec. Brangsong, Kab. Kendal. b. Sumber Data Skunder Sumber data skunder adalah data yang diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subyek penelitiannya.21 Data ini diperoleh dari dokumen-dokumen atau laporan yang telah tersedia. 4. Metode Pengumpulan Data Untuk menjawab masalah penelitian, diperlukan data yang akurat di lapangan. Metode yang digunakan harus sesuai dengan obyek yang akan diteliti. Dalam penelitian lapangan ini, penulis menggunakan beberapa metode: 20 21
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, hal: 91 Ibid, hal : 92
13
a. Metode Observasi Metode observasi ini dilakukan dengan cara pengamatan, yakni mengamati gejala yang diteliti. Dalam hal ini panca indra manusia
(penglihatan
dan
pendengaran)
diperlukan
untuk
menangkap gejala yang diamati. Kemudian dilakukan pencatatan untuk selanjutnya dianalisis.22 Dalam hal ini, penulis mengadakan pengamatan terhadap kondisi wilayah penelitian secara langsung serta mencatat peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek penelitian. Observasi dilakukan di lingkungan Desa Bangsong dan di balai desa untuk mencari data yang berkaitan dengan demografi dan monografi kependudukan. b. Metode Wawancara (Interview) Metode interview yaitu suatu upaya untuk mendapatkan informasi atau data berupa jawaban pertanyaan (wawancara) dari para sumber.23 Interview perlu dilakukan sebagai upaya penggalian data dari nara sumber untuk mendapatkan informasi atau data secara langsung dan lebih akurat dari orang-orang yang berkompeten (berkaitan atau berkepentingan) terhadap prosesi pemberian ganti rugi dalam jual-beli tebasan di Desa Brangsong, Kec. Brangsong, Kab. Kendal.
22 23
46
Rianto Adi, Metodologi Penelitian sosial dan Hukum, Jakarta: Granit, 2004, hal: 70. Sutrisno Hadi, Metodologi Penelitian Research, Yogyakarta: Andi Offset, 1989, hal:
14
c. Metode Dokumentasi Dalam melaksanakan metode dokumentasi maka peneliti mencari dalam dokumen atau bahan pustaka. Data yang diperlukan sudah tertulis atau diolah oleh orang lain atau suatu lembaga, dengan kata lain datanya sudah “mateng” (jadi), dan disebut data sekunder. Misalnya surat-surat, catatan harian, laporan, dan sebagainya yang merupakan data yang berbentuk tulisan.24 Dokumentasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari balai desa yaitu data demografi dan monografi Desa Brangsong. 5. Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode diskriptif analisis, yakni prosedur atau cara memecahkan masalah penelitian dengan memaparkan keadaan obyek yang diselidiki (seseorang, lembaga, masyarakat, pabrik, dll) sebagaimana adanya berdasarkan fakta-fakta yang aktual pada saat sekarang.25 Setelah data terkumpul maka penulis akan menganalisisnya.
F.
Sistematika Penulisan Untuk dapat
memahami
dengan mudah isi
skripsi
secara
keseluruhan, maka penulis akan menguraikannya dengan sistematika sebagai berikut: Bab I 24
: Pendahuluan
Rianto Adi, Op. Cit, hal: 61. Hadari Nawawi dan Martini Hadari, Instrumen Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995, hal: 67. 25
15
Dalam bab ini penulis akan menguraikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan skripsi, telaah pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan skripsi. Bab II
: Tinjauan Umum Tentang Jual beli Bab ini merupakan landasan teori yang akan digunakan untuk membahas bab-bab selanjutnya. Bab ini meliputi: pengertian Jual beli, dasar hukum Jual beli, rukun dan syarat Jual beli, dan macam-macam jual beli.
Bab III : Praktek Ganti Rugi dalam Jual Beli Tebasan di Desa Brangsong Kabupaten Kendal . Bab ini meliputi keadaan monografi dan demografi Desa Brangsong Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal, sistem pemberian ganti rugi pada jual beli padi tebasan, juga akan menjelaskan tentang faktor yang melatar belakangi masyarakat memberikan ganti rugi di Desa Brangsong Kec. Brangsong Kab. Kendal. Bab IV : Analisis Hukum Islam Terhadap Praktek Ganti Rugi Dalam Jual Beli Tebasan di Desa Brangsong Kecamatan
Brangsong
Kabupaten Kendal. Dalam bab ini, penulis akan menganalisa pemberian ganti rugi pada jual beli padi tebasan menurut hukum Islam, dan menganalisa faktor-faktor yang melatar belakangi masyarakat
16
memberikan
ganti
rugi
di
Desa
Brangsong
Kecamatan
Brangsong Kabupaten Kendal menurut hukum Islam. Bab V
: Penutup Merupakan bab akhir dari penulisan skripsi ini. Berisi kesimpulan yang merupakan hasil pemahaman, penelitian, dan pengkajian terhadap pokok masalah, saran-saran, dan penutup.
TINJAUAN UMUM TENTANG JUAL BELI
A.
Pengertian Jual Beli Manusia merupakan mahluk sosial, artinya dia tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhanya. Untuk memenuhi kebutuhannya tersebut maka dia harus berinteraksi dan bekerjasama dengan orang lain, salah satunya dengan melakukan jual beli.26 Perkataan jual beli sebenarnya terdiri dari dua suku kata yaitu ”jual dan beli”. yang mana kedua kata tersebut mempunyai arti yang bertolak belakang, yaitu kata jual menunjukkan bahwa adanya perbuatan menjual, sedangkan beli adalah adanya perbuatan membeli. Dengan demikian perkataan jual beli menunjukkan adanya dua perbuatan dalam satu peristiwa, yaitu satu pihak menjual dan di pihak yang lain membeli, maka dalam hal ini terjadilah peristiwa hukum jual beli.27 Sedangkan jual beli menurut B.W adalah suatu perjanjian timbal balik dalam mana pihak satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.28
26
N. Gregory Mankiw, Pengantar Ekonomi Jilid 1, Terj. Haris Munandar, Jakarta: Erlangga, 2000, hal: 5. 27 Suhrawadi k lubis choiruman pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar garfika. 1996, hal: 33 28 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bakti. 1995, hal:1
17
18
Jual beli dalam istilah fiqh disebut dengan al-bai’ Sedanngkan al-bai’ adalah jual beli antara benda dengan benda, atau pertukaran benda dengan uang.29 Sedang menurut kitab Fath al-Muin kata al-Bai’ didefinisikan sebagai:
= 5 > ? . @ 4 A % B5 , B5 9 3 +%7 C 4 D5EF G E5 F C 9 3 : 9: ; Artinya: “al-bai’ menurut istilah bahasa:” menukar sesuatu dengan sesuatu (yang lain) “.Sedangkan menurut istilah syara’ ialah menukar sejumlah harta dengan harta (yang lain) dengan cara yang khusus.30 Sedang pengertian al-Bai’ secara istilah di sampaikan para Fuqaha secara berbeda-beda. Diantaranya yang disampaikan oleh Imam Nawawi dalam al -Majmu’ menyampaikan definisi sebagai berikut:
V[NRST لVW XRﺏVZW :MNOPا Artinya: “mempertukarkan harta dengan harta dengan tujuan pemilikan”31 Secara terminologi, terdapat beberapa definisi jual beli yang dikemukakan Ulama Fiqh, sekalipun substansi dan tujuan masing-masing definisi adalah sama. Ulama Hanafiah mendefinisikannya dengan:
ص ِ ْ_a ُ ْbWَ dِ ْe َوgَRh َ ل ِ VَSل ِﺏ ٍ VW Xُ Pَ َدVَOWُ Artinya: “saling menukar harta dengan harta dengan cara tertentu, atau
ص ِ ْ_a ُ ْbWَ kٍ NlZَ Wُ dِ ْe َوgَRh َ m ِ ْnSِ ِﺏdِ ْNoِ ب ٍ ْ_q ُ ْ_r َ s ٍ ْNt َ Xُ Pَ َدVَOWُ 29
Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, Bandung: Fokusmedia, 2008, hal:192 30 Zainudin Bib Abdul Aziz al Malibari –al fanani, Fath- al Muin, Terj. K.H. Moch. Anwar, Bandung: Sinar Baru Algasindo, 1994, hal:763. 31 Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Konstektual, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hal : 120
19
Artinya: ”Tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat”.32 Dalam definisi ini terkandung pengertian bahwa cara yang khusus yang dimaksudkan Ulama Hanafiah adalah melalui Ijab (ungkapan membeli dari pembeli) dan Qabul (pernyataan menjual dari penjual), atau juga boleh melalui saling memberikan barang dan harga dari penjual dan pembeli. Disamping itu, harta yang diperjualbelikan harus bermanfaat bagi manusia, sehingga bangkai, minuman keras, dan darah, tidak termasuk sesuatu yang boleh diperjualbelikan, karena benda-benda itu tidak bermanfaat bagi muslim. Apabila jenis-jenis barang seperti itu tetap diperjualbelikan, menurut ulama hanafiah, jual belinya tidak sah. Definisi lain dikemukakan Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Menurut mereka, jual beli adalah
Vً[RwْSTَ َوVً [ْNRِْSTَ ل ِ VَSْPVِل ﺏ ِ VَSْP اXُ Pَ َدVَOWُ Artinya: “saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan”.33 Dalam hal ini mereka tekankan kepada kata “milik dan pemilikan” karena ada juga tukar menukar harta yang sifatnya tidak harus dimiliki, seperti sewa-menyewa (al-ijarah).
Perdagangan atau perniagaan pada umumnya adalah pekerjaan membeli barang dari satu tempat atau pada suatu waktu dan menjual barang itu 32 33
Nasrun Harun, Fiqh Mu’amalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007, hal: 111 Ibid, hal: 112
20
ditempat lain atau pada waktu yang berikut dengan maksud memperoleh keuntungan. Dalam zaman yang modern ini perdagangan adalah pemberian peralatan kepada produsen dan konsumen untuk membelikan dan menjualkan barang-barang yang memudahkan dan memajukan pembelian dan penjualan itu.34 Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa jual beli adalah suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak yang satu menerima bendabenda dan pihak lain menerima sesuai perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati. Jual beli dalam arti umum ialah suatu perikatan tukar menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan kenikmatan. Perikatan adalah akad yang mengikat kedua belah pihak tukar menukar yaitu salah satu pihak menukarkan ganti penukaran atas sesuatu yang dutukarkan oleh pihak lain. Dan sesuatu yang bukan manfaat ialah bahwa benda yang ditukarkan adalah dzat (bentuk) ia berfungsi sebagai objek penjualan, bukan mafaatnya atau hasilnya.35 Sedangkan jual beli dalam arti khusus ialah ikatan tukar menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan bukan pula kelezatan yang mempunyai 34
Drs. C. S. T. Kansil, S.H, Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 1992, hal: 1 35
Hendi suhendi, Loc. Cit, hal: 69.
21
daya tarik, penukarannya bukan emas dan bukan pula perak, bendanya dapat direalisir dan ada seketika (tidak ditangguhkan), tidak merupakan utang baik benda itu ada dihadapan pembeli maupun tidak, barang yang sudah diketahui sifat-sifatnya atau sudah diketahui terlebih dahulu.36
B.
Dasar Hukum Jual Beli Al-bai’ atau jual beli merupakan akad yang diperbolehkan, hal ini berdasarkan atas dalil-dalil yang terdapat dalam al-Qur’an, al-Hadits, maupun Ijma’ Ulama. Adapun Sumber-Sumber Hukum Dagang dalam Islam diantaranya adalah: 1. Al – Qur’an Al-Qur’an (himpunan-himpunan firman illahi) yang diturunkan kepada Nabi Muhamad SAW. adalah konstitusi dasar yang abadi, mengemukakan kaidah-kaidah kuliah dan mendasar, mempunyai daya tahan sepanjang masa dan dapat diterapkan dalam setiap suasana dan lingkungan masyarakat. Sifatnya universal dan komperhenship. Dan sebagai sumber hukum yang tertinggi, al-Qur’an telah memberikan patokan-patokan dasar mengenai masalah jual beli dan perniagaan, sementara perinciaannya dibentangkan dalam hadits.37 Dalam firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah ayat 275 berbunyi:
36 37
Ibid, hal: 70 Hamzah Ya’qub, Loc. cit, hal: 23-24
22
zÏΒ ß≈sÜø‹¤±9$# çµäܬ6y‚tFtƒ ”Ï%©!$# ãΠθà)tƒ $yϑx. ωÎ) tβθãΒθà)tƒ Ÿω (#4θt/Ìh9$# tβθè=à2ù'tƒ šÏ%©!$# 4 (#4θt/Ìh9$# tΠ§ymuρ yìø‹t7ø9$# ª!$# ¨≅ymr&uρ 3 (#4θt/Ìh9$# ã≅÷WÏΒ ßìø‹t7ø9$# $yϑ¯ΡÎ) (#þθä9$s% öΝßγ¯Ρr'Î/ y7Ï9≡sŒ 4 Äb§yϑø9$# yŠ$tã ï∅tΒuρ ( «!$# ’n<Î) ÿ…çνãøΒr&uρ y#n=y™ $tΒ …ã&s#sù 4‘yγtFΡ$$sù ϵÎn/§‘ ÏiΒ ×πsàÏãöθtΒ …çνu!%y` yϑsù šχρà$Î#≈yz $pκ"Ïù öΝèδ ( Í‘$¨Ζ9$# Ü=≈ysô¹r& y7Íׯ≈s9'ρé'sù Artinya: ”Orang-orang yang Makan (mengambil) riba38 tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.39 Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu40 (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. Ayat ini menolak argument kaum musyrikin yang menentang disyari’atkannya jual beli dalam al-Qur’an. Kaum musyrikin tidak mengakui konsep jual beli yang telah disyari’atkan Allah dalam alQur’an, dan menganggapnya identik dan sama dengan sistem ribawi. Untuk itu, dalam ayat ini, Allah SWT. mempertegas legalitas dan keabsahan jual beli secara umum, serta menolak dan melarang konsep ribawi.41
38
Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah. 39 Maksudnya: orang yang mengambil Riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan. 40 Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan 41 Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Mu’amalah, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008, hal:71
23
Kemudian ditegaskan kembali dalam surah an-Nisaa’ ayat (29) yang berbunyi: šχθä3s? βr& HωÎ) È≅ÏÜ≈t6ø9$$Î/ Μà6oΨ÷(t/ Νä3s9≡uθøΒr& (#þθè=à2ù's? Ÿω (#θãΨtΒ#u šÏ%©!$# $y㕃r'¯≈tƒ … 4 öΝä3ΖÏiΒ <Ú#ts? tã ¸οt≈pgÏB Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka samasuka di antara kamu”... Ayat ini merujuk pada perniagaan atau transaksi-transaksi dalam mu’amalah yang dilakukan secara batil. Ayat ini mengindikasikan bahwa Allah SWT. melarang kaum muslimin untuk memakan harta orang lain secara batil. Secara batil dalam konteks ini mempunyai arti yang sangat luas, diantaranya melakukan transaksi ekonomi yang bertentangan dengan syara’, seperti halnya melakukan transaksi berbasis riba (bunga), transaksi yang bersifat spekulatif (maisir, judi), ataupun transaksi yang mengandung unsur gharar (adanya uncertainty, risiko dalam transaksi) serta hal-hal lain yang bisa dipersamakan dengan itu.42
2. Hadis Hukum jual beli juga dijelaskan dalam sunah Rosulullah SAW. Diantaranya adalah: m ِ eّP اm ُ Sh:لV ً؟NPْ ا ِ
[Pْى ا w أmr zRr وdNRh { اgّR ﺹg l Oّ~Pن ا l أl ,Mٍ o راx ِ ﺏXَ hVo رxh (zآVP اdّّار وﺹOPو ٍر)روا اOW Mٍ N ﺏm w وآ,ِ kNﺏ
42
Ibid, hal: 72
24
Artinya: Dari Rifa’ah bin Rofiq, Nabi pernah ditanya?apakah profesi yang paling baik? Rasulullah menjawab: Usaha yang paling utama (afdal) adalah hasil usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan hasil jual beli yang mabrur43(H.R. Bazar dan Shohih Al-Khakim)44 zRr وdNRh { اgR ﺹO~P اxh x
ْP اxh ةS أﺏ ﺡxh ن َ VNْr ْxhV~ﺙkﺡXaNOV~ﺙkﺡ:دVّ~هV~ّﺙkﺡ اءkُP واxْNZﻱkaP واxِNNO~P اMW,xNWوق اkaPاeVP ا:لV Artinya: menceritakan kepada kita Hanad: menceritakan kepada kita Kobisoh, menceritakan kepada kita dari Sufyan, dari Abu Hamzah dari Hasan, dari Nabi SAW bersabda: pedagang yang jujur dan terpercaya sejajar (tempatnya di surga) dengan para Nabi, siddiqin dan syuhada’.45 x اﺏxh لV~SP اﺏ اxh Nn آx ا{ ﺏkOh xh N ﻥx اﺏVﻥO اﺥX~NNh x اﺏVﻥO اﺥXk ﺹV~ﺙkﺡ xN~
P اSnPV_ن ﺏR
ﻱz وهX~ﻱkSP اzRr وdNRh { اgR ﺹO~Pم اk :لV VS~h {س ر اVOh _مR¤W me اgP اzR¤W _م ووزنR¤W mN آgo ¦
NRo S ﺙgo ¦Rr اxW :لVZo ،ث£nPوا Artinya “Diceritakan oleh Sadaqah dikabarkan dari ibnu Uyaiynah dikabarkan dari Ibnu Najih mengabarkan kepada kita dari Abdillah Ibnu Katsir dari Abi Minhal dari Ibnu Abbas ra. Berkata: Nabi SAW datang ke Madinah dan melihat penduduk di sana melakuklan jual beli salaf pada buah-buahan dengan dua atau tiga tahun, maka nabi berkata: barang siapa melakukan jual beli salaf, hendaknya ia melakukannya dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui. (HR. Bukhari)46 3. Ijma’ Ulama’ muslim sepakat (ijma’) atas kebolehan akad jual beli. Ijma’ ini memberikan hikmah bahwa, kebutuhan manusia berhubungan dengan sesuatu yang ada dalam kepemilikan orang lain, dan kepemilikan sesuatu 43
Maksud mabrur dalam hadis diatas adalah jual-beli yang terhindar dari usaha tipu menipu dan merugikan orang lain. 44 Sayyid al-Imam Muhammad ibn Ismail al-Kahlani al-Sun’ani, Subul Al-Salam Sarh Bulugh Al-Maram Minjami’ Adilati Al Ahkam, Kairo: Juz 3, Dar Ikhya’ al-Turas al-Islami, 1960, hal: 4 45 Al Imam Khafid Abal Ulam Muhamad Abdurahman Ibnu Abdurarahim Mubarikafuri , Tuhfatul Adfal Syarih Jami Tirmidzi, Bairut Libanon: Jus 4, Dari Kitab Alamiah. 1983, hal: 335. 46 Imam Abi Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardzabah Bukhari Ju’fi, Shahih Bukhari, Beirut: Dar al Fikr, 1992, hal: 61.
25
itu tidak akan diberikan dengan begitu saja, namun terdapat kompensasi yang harus diberikan. Dengan disyari’atkannya jual beli merupakan salah satu cara untuk merealisasikan keinginan dan kebutuhan manusia, karena pada dasarnya, manusia tidak bias hidup tanpa hubungan dan bantuan orang lain.47 Dari kandungan ayat-ayat Allah dan sabda-sabda Rasul diatas, para ulama fiqh mengatakan bahwa hukum asal dari jual beli adalah mubah (boleh). Akan tetapi, pada situasi-situasi tertentu, menurut imam AsySyatibi (w. 790 H), pakar fiqh maliki, hukumnya boleh berubah menjadi wajib. Imam asy-syatibi memberikan contoh ketika terjadi praktik ihtikar (penimbunan barang sehingga stok hilang dari pasar dan harga melonjak naik). Apabila seseorang melakukan ihtikar dan mengakibatkan melonjaknya harga barang yang ditimbun dan disimpan itu, maka, menurutnya, pedagang itu wajib menjual barangnya sesuai dengan harga sebelum terjadinya pelonjakan harga. Dalam hal ini, menurutnya, pedagang itu wajib menjual barangnya sesuai dengan ketentuan pemerintah. Hal ini sesuai dengan prinsip asy-syatibi bahwa yang mubah itu apabila sekelompok pedagang besar melakukan boikot tidak mau menjual beras lagi, pihak pemerintah boleh memaksa mereka untuk berdagang beras dan para pedagang ini wajib melaksanakannya. Demikian pula dalam komoditi-komoditi lainnya.48
47 48
Dimyauddin djuwaini, Loc. Cit, hal: 73 Nasrun haroen, Loc. Cit, hal: 114
26
4. Ar – Ra’yu (Fikiran) Ketika Muadz bin Jabal diutus oleh Rasulullah SAW ke negeri Yaman, terlebih dahului dia ditanyai, tentang prinsip apa yang dipergunakan dalam memutuskan perkara. Muadz akan menghukumi berdasarkan prinsip al-Qur’an atau sunnah rasul. Jika hal itu tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan sunnah Rasul, dia akan melakukan ijtihad dengan fikirannya. Prinsip itu dibenarkan oleh Nabi SAW. Dengan demikian ijtihad termasuk sumber hukum yang diakui dalam islam. Qiyas dimasukkan sebagai sumber hukum yang berdasar akal menurut Imam – Imam Mujtahiddin yang empat (Malik, Syafi’i, Hanafi, dan Ahmad bin Hambal) sedang Imam Dawud adh-Dhahiri menolak
qiyyas
sama
sekali.
Sementara
itu
Imam
Hanafi
mengemukakan prinsip istihsan sebagai sumber hukum. Istihsan adalah meninggalkan qiyas dan mementingkan kebaikan mutlak.49
C.
Rukun dan Syarat Jual Beli Dalam melaksanakan suatu perikatan (jual beli) terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Secara bahasa rukun adalah “yang harus dipenuhi untuk syahnya suatu pekerjaan”50. Sedang syarat adalah “ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan”.51
49
Hamyah Ya’qub, Loc. Cit, hal: 24 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, hal: 966 51 Ibid, hal: 1114 50
27
Dalam menentukan rukun jual beli, terdapat perbedaan ulama hanafiah dengan jumhur fuqoha. Rukun jual beli menurut ulama hanafiah hanya satu, yaitu ijab (ungkapan membeli dari pembeli) dan qobul (ungkapan menjual dari penjual). Jual beli dinyatakan sah apabila disertai dengan ijab dan qabul. Akan tetapi jumhur fuqoha menyatakan bahwa rukun jual beli ada empat52, yaitu: a. Ada Penjual b. Ada Pembeli c. Shiqhot (Akad) Jual Beli d. Obyek Jual Beli Disebutkan pula rukun jual beli ada tiga, yaitu akad (ijab Kabul), orang-orang yang berakad (penjual dan pembeli), dan adanya uang dan benda.53 Agar suatu jual beli yang dilakukan oleh pihak penjual dan pembeli sah, haruslah di penuhi syarat – syarat tersebut yaitu: a. Tentang Subyeknya Bahwa kedua belah pihak yang melakukan perjanjian jual beli tersebut haruslah : berakal, dengan kehendaknya sendiri (bukan di paksa), keduanya tidak mubadir, baliq.
52 53
Ghufron A. Mas’adi, Loc. Cit, hal:120 - 121 Suhrawadi k lubis Choiruman Pasaribu, Loc. Cit, hal: 34
28
b. Tentang Obyeknya Yang dimaksud dengan obyek jual beli adalah benda yang menjadi sebab terjadinya jual beli. Adapun benda yang menjadi obyek jual beli haruslah memenuhi syarat sebagai berikut : 1. Bersih barangnya 2. Dapat dimanfaatkan 3. Milik orang yang berakad 4. Mampu menyerahkannya 5. Mengetahui 6. barang yang diakadkannya ada di tangan. 54 c. Tentang shighot. Dalam menentukan syarat shighot jual beli, terdapat perbedaan ulama hanafiah dengan ulama malikiyah. Namun mereka sepakat bahwa shighot akad jual beli harus dilaksanakan dalam satu majelis, antara keduanya terdapat persesuaian dan tidak terputus, tidak digantungkan dengan sesuatu yang lain dan tidak di batasi dengan periode waktutertentu.55
D.
Macam – Macam Jual Beli Dari aspek objek transaksinya jual beli dibedakan menjadi empat macam:
54 55
Ibid, hal: 35 - 37 Ghufron A. Mas’adi, Op. Cit, hal: 123
29
1.
Bai’ Al-muqayadlah atau Bai’ Al’ain bil’ain, yakni jual beli barang dengan barang yang lezim disebut jual beli barter, seperti menjual hewan dengan gandum
2.
Al-Bai’ Al-Muthlaq atau Bai’ Al’ain bil’dain, yakni jual beli barang dengan barang lain secara tangguh atau menjual berang dengan tsaman secara mutlak, seperti dirham rupiah atau dolar
3.
Ash-Sharf atau Bai’ Al’dain bil’dain yakni menjualbelikan tsaman (alat pembayaran ) dengan tsaman lainnya,seperti dinar, dirham, dolar atau alat – alat pembayaran lainnya yang berlaku secara umum
4.
As-Salam atau Bai’ Al’dain bil’ain. Dalam hal ini barang yang diakadkan bukan berfungsi sebagai mabi’ melainkan berupa dain ( tanggungan ) sedangkan uang yang dibayarkan sebagai tsaman, bisa ’ain dan bisa jadi berupa dain namun harus diserahkan sebelum keduannya berpisah. Oleh karena itu tsaman dalam akad salam berlaku sebagai ain.56 Sedangkan jika dilihat dari penentuan harganya, akad jual beli
dapat dikategorikan menjadi empat macam, yakni: 1. Bai’al Murabahah yakni jual beli mabikdengan ra’s al mal ( harga pokok ) ditambah sejumlah keuntungan tertentu yang disepakati dalam akad 2. Bai’al Tauliyah yakni jual beli mabik dengan harga asal ( ra’s al mal ) tanpa ada opemanbahan harga atau pengurangan.
56
Ibid, hal: 141
30
3. Bai’al Wadhi’ah yakni jual beli barang dengan harga asal dengan pengurangan sejumlah harga atau diskon. 4. Bai’al Musawamah yakni jual beli barang dengan tasman yang disepakati kedua pihak, kerena pihak penjual cenderung merahasiakan harga asalnya.57 Selain itu juga terdapat macam- macam jual beli lainnya, diantaranya: 1. Jual beli Istishna’adalah akad jual beli antara pemesan ( mustashni’ ) dengan penerima pesanan ( shani’ ) atas sejuah barang dngan spesifikasi tertentu ( mashnu’), untuk barang – barang industri ataupun properti. Spesifikasi dan harga barang pesanan haruslah sudah disepakati pada awal akad, sedangkan pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan. Apakah
pembayaran
dilakukan
dimuka,
melalui
cicilan,
atau
ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.58 2. Jual beli jizaf yaitu jual beli sesuatu tanpa harus ditimbang, dikakar ataupun dihitung. Akan tetapi jual beli dilakukan dengan cara menaksir jumlah obyek transaksi setelah melihat dan menyaksikannya secara cermat,59
57
Ibid, hal: 142 Dimyauddin Djuwaini, Loc. Cit, hal: 136 59 Ibid, hal: 147 58
31
E.
Risiko Dalam Jual Beli Adapun yang dimaksud risiko dalam hukum perjanjian adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu kejadian (peristiwa) diluar kesalahan salah satu pihak. 60 Dari rumusan di atas dapat dikemukakan bahwa risiko dalam perjanjian jual beli adalah suatu peristiwa yang mengakibatkan barang tesebut (yang dijadikan obyek perjanjian jual beli ) mengalami kerusakan, dan peristiwa tersebut tidak dikehendaki kedua belah pihak, berarti terjadinya suatu keadaan yang memaksa diluar jangkauan para pihak.61 Dalam ajaran islam, hal ini merupakan suatu yang wajar, sebab segala suatu itu dapat terjadi sesuai kehendak Allah SWT dan tidak ada daya serta upaya bagi umat manusia jika Allah SWT menghendaki. Dalam menanggung suatu akibat yang tidak dikehendaki itu kita harus melihat kapan kerusakan barabg itu terjadi. Tentag terjadinya kerusakan dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu: 1. Kerusakan sebelum serah terima Tentang kerusakan barang sebelum serah terima dilakukan antara penjual dan pembeli. Sayitd sabit mengelompokkan kausnya kepada halhal sebagai berikut : a. Jika barang rusak semua atau sebagian sebelum diserahterimakan akibat perbuatan si pembeli maka jual beli tidak batal. Akad
60 61
R. Subekti, Loc. Cit, hal: 24 Suhrawadi k lubis choiruman pasaribu, Loc. Cit, hal: 41
32
berlangsung seperti sedia kala dan si pembeli berkewajiban membayar seluruh bayaran. b. Jika kerusakan desebabkan orang lain maka pembeli boleh menentukan pilihan antara kembali kepada siorang lain atau membatalkan akad. c. Jual beli menjadi fasakh jika barang rusak sebelum serah terima akibat perbuatan penjual atau perbuatan barang itu sendiri lantaran bencana dari Allah. d. Jika sebagian yang rusak lantaran perbuatan si penjual, pembeli tidak berkewajiban membayar terhadap kerusakan tersebut, sedangkan untuk yang lainnya ( yang masih utuh ) dia boleh menentukan pilihan mengambilnnya dengan memotong hraga. e. Jika kerusakan terjadi akibat bencana dan Tuhan membuat kurangnya kadar barang sehingga kadar barang berkurang sesui dengan yang rusak, dalam keadaan seperti ini pembeli boleh menentukan pilihan antara membatalkan akad dengan mengambil sisa dengan pengurangan pembayakan. 2. Kerusakan barang sesudah serah terima Menyangkut risiko kerusakan barang yang terjadi sesudah dilaksanakannya serah terima barang antara penjual dan pembeli, sepenuhnya risiko menjadi tanggung jawab si pembeli. Dan si pembeli
33
berkewajiban membayar seluruh harga sesuai dengan yang telah di perjanjikan.62
62
Ibid, hal: 41 - 43
BAB III PRAKTEK GANTI RUGI DALAM JUAL BELI PADI TEBASAN DI DESA BRANGSONG KECAMATAN BRANGSONG KABUPATEN KENDAL
B. Gambaran Umum Desa Brangsong Kec. Brangsong Kab. Kendal 1. Keadaan Geografis dan Susunan Penerintah a. Keadaan Geografis Desa Brangsong adalah salah satu dari 11 ( Sebelas ) Desa yang ada di wilayah Kecamatan Brangsong Kabupaten kendal. Adapun luas wilayah Desa Brangsong adalah 937,6 Ha.63 Dengan batas – batas sebagai berikut: Sebelah Utara
: Berbatasan dengan Desa Purwokerto
Sebelah Selatan
: Berbatasan dengan Desa Kebonadem
Sebelah Barat
: Berbatasan dengan Desa Sidorejo
Sebelah Timur
: Berbatasan dengan Desa Sidorejo
Berdasarkan letak ketinggian, Desa Brangsong Berada pada ± 6 M dari permukaan air laut dengan suhu rata – rata 32 derajat. Sedangkan Desa Brangsong berada di sebelah barat kecamatan dan memiliki jarak tempuh 0,1 KM dari ibu kota kecamatan, serta 4 KM dari ibu kota kabupaten.64
63 64
Daftar Isian Potensi desa, hal : 1 Ibit, hal: 2
34
35
b. Susunan Pemerintah Sebagai lembaga pemerintahan terkecil dalam struktur pemerintahan, baik pemerintahan desa maupun kelurahan yang mempunyai fungsi strategis yakni sebagai ujung tombak dalam membangun nasional dalam sektor pertanian, perkebunan dan peternakan. Oleh karena itu pemerintah desa atau kelurahan diharapkan dapat lebih memberdayakan segala potensi yang ada di wilayah masing-masing. Pemerintahan Desa Brangsong dipimpin oleh kepala desa ( Kades ) yaitu Bapak Muzamil, dan di bantu oleh sekretaris desa ( Sekdes ) yaitu Bapak H. Samiyo Puspito, SE beserta perangkat – perangkatnya yang terdiri atas 2 kepala urusan ( Kaur ) yaitu Kaur Umum Bapak Asnawi dan Kaur Keuangan Ibu Hj. Rufidahniah, 3 kepala dusun ( Kadus ) yaitu Kadus 1 Bapak Sugiri, kadus 2 Bapak M. Nur Fuat Dan Kadus 3 Bapak H. Suratnan dan 6 staf lainnya yaitu Bapak Maskon sebagai bekel, Bapak Zaeni Sebagai bayan tani, Bapak Royani dan Purnomo sebagai modim, Bapak Jazuri sebagai Kebayan dan pak Zazet sebagai jogo boyo.65
65
2011
Hasil wawancara dengan Bapak Samiyo ( sekdes Desa Brangsong ) Tanggal 21 April
36
2. Keadaan Penduduk Desa Brangsong memiliki 8 RW. Dan 24 RT.66 Dan jumlah penduduk Desa Brangsong secara keseluruhan adalah 5.813 jiwa dengan jumlah Kepala Keluarga sebanyak 1.715 KK.67 Dengan rincian sebagai berikut: TABEL I Jumlah Penduduk Desa Brangsong
NO
JENIS KELAMIN
JUMLAH
1.
Laki - laki
2.853
2.
Perempuan
2.960
Total
5.813
Sumber : Daftar isian potensi desa Brangsong Tahun 2010
3. Keadaan Sosial Ekonomi Pemenuhan kebutuhan masyarakat sering kali diidentikan dengan penghasilan yang diperoleh sebagai tolak ukur kesejahteraan warga, Sebagai desa pertanian dengan ditunjang lahan persawahan yang cukup luas, maka sebagian besar mata pencaharian penduduk Desa Brangsong adalah bertani. Walaupun demikian bukan berarti semua penduduk Desa Brangsong bermata pencaharian sama yaitu sebagai petani. Selain bertani, penduduk Desa Brangsong juga berfariasi dalam pekerjaannya. Adapun datanya adalah sebagai berikut:
66 67
Daftar isian potensi desa, OpCit, hal: 10-11 Ibid, hal: 8
37
TABEL II Mata Pencaharian Masyarakat Desa Brangsong Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal No.
Mata Pencaharian
Jumlah
1.
Buruh / Swasta
1.015 Orang
2.
Wiraswsta/Pedagang
3.
Tani
4.
Pertukangan
11 Orang
5.
Buruh Tani
764 Orang
6.
Pegawai Negri
185 Orang
7.
Nelayan
27 Orang
8.
Montir
7 Orang
85 Orang 748 Orang
Sumber : Daftar isian potensi desa Brangsong Tahun 2010 Dari data diatas menunjukan jumlah masyarakat yang melakukan pekerjaan tani ada 748 orang dan yang menjadi buruh tani (dengan menggarap sawah / ladang orang lain) ada 764 orang, hal ini menunjukan bahwa rata-rata jumlah masyarakat desa Brangsong, Kec. Brangsong Kab. Kendal 80 % melakukan pekerjaan di ladang atau mencari kehidupannya di sawah / bercocok tanam. Sedangkan luas lahan pertanian yang ada di desa Brangsong kecamatan Brangsong Kab. Kendal adalah : -
Dalam bidang pertanian yang berupa tanaman pangan 1.
Luas tanam menurut komuditas tahun ini padi ladang yaitu 210 ha.
2.
Pemilikan lahan pertanian tanaman pangan ; Jumlah rumah tangga yang memiliki tanah pertanian 914 RTP, yang tidak memiliki 1109 RTP, memiliki kurang 0,5 ha 437 RTP, memiliki 0,5 – 1,0 ha 361 RTP, memiliki lebih dari 1,0 ha 109 RTP jumlah total rumah tangga petani sebanyak 911 RTP.
38
Jumlah petani yang mejual padi tebasan pada saat panen sebanyak 75 % dari petani yang ada di Desa Brangsong, karena 25 % sisanya merupakan penebas atau petani yang tidak menebaskan hasil tanaman padinya karena mereka mampu untuk menjual atau menebas padinya ketempat lain tanpa harus menggantungkan kepada penebas lain, dan juga mereka tidak terpaksa untuk menjualnya. Tetapi sebagian besar masyarakat petani lebih banyak yang melakukan penebasan padinya kepada penebas di desa itu, karena hanya dengan cara itu mereka mudah mendapatkan pembeli dan sudah menjadi kebiasaan dalam setiap hasil panen padi yang ada di Desa Brangsong.
4. Keadaan Sosial Pendidikan Sedang
dalam
bidang
pendidikan
yang
berfungsi
untuk
mencerdaskan bangsa, maka pemerintah senantiasa memperhatikan lembaga pendidikan, karena pendidikan merupakan hal penting dalam kehidupan, dengan adanya pendidikan kita dapat melihat tingkat kecerdasan penduduk. Berikut ini tabel tingkat pendidikan penduduk desa Brangsong (dari umur 5 tahun keatas)68 TABEL III Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Brangsong LULUSAN JUMLAH
NO
68
1
Tamatan akademi
2
Tamatan SLTA
1.495 Orang
3
Tamatan SLTP
2.501 Orang
4
Tamatan SD
2.995 Orang
Ibid, hal: 9
284 Orang
39
5
Tidak tamat SD
19 Orang
6
Belum tamat SD
15 Orang
7
Belum Sekolah
570 Orang
Sumber : Daftar isian potensi desa Brangsong Tahun 2010
5. Keadaan Sosial Keagamaan Dari segi keagamaan seluruh penduduk Desa Brangsong beragama dan tidak seorangpun yang menganut kepercayaan. Sebagian besar penduduknya beragama Islam. Dengan bukti terdapatnya 2 Buah masjid, 20 mushola dan terdapat beberapa sekolah yang bernuangsa keislaman seperti TPQ, MDA dan MDW.69 Walaupun mayoritas agama mereka islam masyarakat desa Brangsong bukannya masyarakat yang agamis, justru masih cenderung kepada hal – hal yang bersifat kemaksiatan, walaupun demikian kegiatan – kegiatan keagamaan masih rutin dilaksanakan dikalangan tertentu saja.70
C. Proses Jual Beli Padi Tebasan Di Desa Brangsong Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal 1. Cara Menghubungi Pembeli Seperti yang kita ketahui bahwa hasil jual beli yang dilakukan oleh masyarakat Desa Brangsong, adalah harapan satu-satunya yang menjadi dambaan untuk memperbaiki hidup mereka. 69
Ibid, hal: 16 Hasil wawancara dengan Bapak Rifa’i ( Sebagai tokoh agama desa Brangsong ) pada tanggal 21 April 2011 70
40
Hasil wawancara dengan beberapa petani,71 Cara yang sering para petani lakukan untuk menghubungi pembeli adalah pada saat padi mulai mengkuning biasanya para penjual melalukan beberapakali penawaran kepada calon pembeli untuk menjual hasil panennya.
Itu juga terjadi
sebaliknya pada saat musim panen tiba biasanya para pembeli ( tengkulak ) sudah melakukan survai ke sawah – sawah untuk membeli hasil panen mereka. Sehingga para petani tidak merasa kesulitan dalam menghubungi atau mencari calon pembeli. 2. Cara Melaksanakan Perjanjian Dalam praktek jual beli tebasan yang terjadi di Desa Brangsong ini tidak ada perjanjian secara tertulis hannya menggunakan akad saling percaya antara penjual dan pembeli. Di sini penjual (petani sawah) dan pembeli menyatakan sebuah kesepakatan yang sudah biasa dilakukan oleh masyarakat pada umumnya. Misalnya penjual sebagai petani menyatakan, Saya jual padi tersebut, dan pembeli menjawab, Saya beli padi dari anda. Maka dalam hal ini sudah terjadilah kesepakatan atau perjanjian yang bisa diterima oleh kedua belah pihak. Setelah terjadinya kesepakatan kemudian pembeli memberikan uang panjer untuk tanda jadi. 3. Cara Menetapkan Harga Dalam penetapan harga padi, tergantung pada kesepakatan orang yang melakukan transaksi jual beli tebasan. Antara penjual dan pembeli terjadi tawar menawar. Untuk mengetahui standar harga tersebut, biasanya 71
Para petani tersebut adalah Bapak Maskon, Bapak Purnomo, Bapak Rondhi dan Bapak Asnawi.
41
penjual melakukan beberapa kali pemawaran kepada pembeli. Dalam menetapkan harga biasanya penjual dan pembeli sudah memperkirakan hasil padi yang yang akan diperoleh dikalikan dengan harga gabah basah dan dikurangi biaya operasional. Kemudian penjual mengajukan kepada pembeli dan apabila pembeli setuju maka terjadilah kesepakat harga yang telah ditentukan kedua belah pihak. 4. Cara Melakukan Penyerahan Padi Adapun kebiasaan yang terjadi di masyarakat Desa Brangsong menurut Bapak Maskon, Setelah terjadinya kesepakatan jual beli, padi yang belum dituai ( dipetik ) sudah menjadi milik pembeli. Dengan penyerahan barang tersebut, maka perjanjian yang ia adakan sudah berakhir. Dengan demikian masing-masing pihak sudah tidak ada ikatan lagi dengan penyerahan barang tersebut maka berakhir pula semuanya. Dan biasanya mereka akan membuat perjanjian atau transaksi baru pada waktu yang lain. 5. Cara Melakukan Pembayaran Seperti yang dijelaskan olek Bapak Asnawi bahwa sistem pembayaran dalam jual beli tebasan adalah dengan sistem kepercayaan, yaitu pembayaran yang dilakukan dengan cara memberi DP atau panjer. Dan pelunasan akan dilakukan setelah padi di tuai atau dipetik. Penebas menawarkan pembelian hasil panen padi kepada petani dengan cara menaksir harga tanaman padi ketika nanti pada saat panen akan dilunasi seluruh pembayarannya, tapi pada saat akad terjadi dan padi juga
42
belum siap panen petani hanya mendapatkan DP nya saja atau pembayaran uang muka saja banyaknya pembayaran DP tergantung kesepakatan petani dan penebas, dalam transaksi seperti ini termasuk transaksi jual beli Ijon.
D. Praktek Ganti Rugi Dalam Jual Beli Padi Tebasan Di Desa Brangsong Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal 1. Praktek ganti rugi dalam jual beli padi tebasan di Desa Brangsong Desa Brangsong adalah desa petani, yang mayoritas penduduknya mengantungkan hidup pada pertanian, terutama tanaman padi. Karena tanaman tersebut cenderung mendatangkan hasil yang lumayan besar dibandingkan dengan tanaman yang lainnya, maka hal ini berpengaruh juga pada tradisi jual beli yang ada. Ini dapat dilihat dengan maraknya berbagai macam praktek jual beli yang terjadi. Seperti halnya yang terjadi pada petani di Desa Brangsong, apabila musim panen tiba kebanyakan para petani menjual hasil panennya dalam keadaan belum dituai atau dipetik, dengan kata lain menjual dengan sistim tebasan.72 Seperti halnya penjelasan dari Bapak Purnomo, praktek jual beli semacam ini sering dilakukan oleh masyarakat desa Brangsong. Karena mereka merasa jual beli tebasan ini menguntungkan bagi kedua belah pihak, yang mana pihak penjual diuntungkan dengan langsung
72
Hasil wawancara dengan Bapak Maskon dan Bapak Asnawi (sebagai petani di desa Brangsong) pada tanggal 22 Apil 2011
43
mendapatkan hasil panennya tanpa harus memetik dan menjualnya kepasar. Sedangkan pihak penebas diuntungkan dari hasil tebasannya.73 Akan tetapi, selain menguntungkan praktek jual beli ini juga merugikan kedua belah pihak yang mana pihak petani akan rugi jika hasil panennya jauh lebih banyak dari yang di perkirakan. Begitu juga dari pihak pembeli akan rugi jika hasil panennya tidak sesuai dengan yang diperkirakan. Seperti yang dijelaskan oleh bapak Maskon “Tetapi dalam prakteknya yang lebih sering dirugikan adalah pihak petani, karena bilamana hasil panennya baik pembeli diam saja tetapi bilamana hasil panennya buruk pembeli minta ganti rugi kepada penjual ”74 Seperti halnya praktek ganti rugi yang terjadi antara Ibu Pariyah dengan
Bapak Sarpani. Pada awal perjanjian jual beli tebasan telah
disepakati bersama bahwa padi milik ibu Pariyah seluas 5.000 M2 ( lima ribu meter persegi ) seharga Rp. 8.000.000,- ( delapan juta rupiah ), sebagai tanda jadi Bp. Sarpani memberi uang muka kepada Ibu Pariyah sebesar Rp. 500.000,- (liama ratus ribu rupiah) dan sisanya sebesar Rp. 7.500.000,- ( tujuh juta lima ratus ribu rupiah ) akan diberikan setelah padi dituai atau di petik. Setelah padi dituai atau di petik dan ditambah biaya operasional, hasil yang didapat Bp. Sarpani ternyata kurang dari perkiraan. Dengan kata lain Bp. Sarpani mengalami kerugian, setelah dihitung – hitung kerugian yang
73
Hasil wawancara dengan Bapak Purnomo (sebagai petani di desa Brangsong) pada tanggal 23 April 2011 74 Hasil wawancara dengan Bapak Maskon (sebagai petani di desa Brangsong) pada tanggal 22 April 2011
44
di alami Bp. Sarpani sebesar Rp. 600.000,- ( enam ratus ribu rupiah ). Untuk mengurangi beban kerugian tersebut Bp. Sarpani minta kepada Ibu Pariyah setengah dari kerugian tersebut ( Rp. 300.000,- ) dengan cara mengurangi sisa pembayaran yang telah disepakati bersama. Yang menjadi beban atau yang memberatkan Ibu Pariyah adalah pengurangan harga tersebut dilakukan secara sepihak ( tanpa musyawarah ), dan hal ini sudah menjadi tradisi atau kebiasan dalam transaksi jual beli tebasan dimasyarakat Desa Brangsong.75 Lain halnya yang terjadi antara Bapak Sarpani dengan Bapak Purnomo, Pada awal perjanjian jual beli tebasan telah disepakati bersama bahwa padi milik Bp. Purnomo seluas 5.000 M2 ( lima ribu meter persegi ) seharga Rp. 8.200.000,- ( delapan juta dua ratus ribu rupiah ), sebagai tanda jadi Bp. Sarpani memberi uang muka kepada Bapak Purnomo sebesar Rp. 500.000,- (liama ratus ribu rupiah) dan sisanya sebesar Rp. 7.700.000,- ( tujuh juta tujuh ratus ribu rupiah ) akan diberikan setelah padi dituai atau di petik. Setelah padi dituai atau di petik dan ditambah biaya operasional, hasil yang didapat Bp. Sarpani lebih banyak dari yang diperkiraan, dengan kata lain Bp. Sarpani mengalami keuntungan yang luar biasa, akan tetapi keuntungan tersebut tidak dibagi sama penjual. Penjual hanya diberikan pelunasan harga dari perjanjian awal.76
75
Hasil wawancara dengan Ibu Pariyah (sebagai petani di desa Brangsong) pada tanggal 24 April 2011 76 Hasil wawancara dengan Bapak Purnomo (sebagai petani di desa Brangsong) pada tanggal 23 April 2011
45
Selain dari dari Ibu Pariah dan Bapak Purnomo, terjadi pula partek ganti rugi yang terjadi antara Bapak Asnawi dengan Bapak Mu’adi. Mulanya Bapak Asnawi menawarkan hasil panennya yang belum dituai kepada Bapak Mu’adi, tanah seluas satu bakon ( 4000M2 ) seharga Rp. 8.200.000,-. Kemudian Bapak Mu’adi menawar seharga Rp. 7.800.000,kemudian Bapak Asnawi menerima tawaran harga dari Bapak Mu’adi, setelah harga disetujui keduabelah pihak Bapak Asnawi diberi panjer ( Dp) sebagai tanda jadi kira – kira antara 10 – 50 % dari harga yang telah disepakati dan sisanya diberikan ketika padi sudah dituai. Setelah padi dituai, ternyata padi yang dihasilkan dari sawah Bapak Asnawi tidak sesuai yang diperkirakan oleh Bapak Mu’adi dengan kata lain Bapak Mu’adi mengalami kerugian. Setelah dihitung – hitung, kerugian yang dialami Bapak Mu’adi sebesar Rp. 400.000,- untuk mengurangi kerugiannya Bapak Mu’adi meminta ganti rugi kepada Bapak Asnawi setengah dari jumlah kerugian yang dialami dengan cara menotong sisa pembayaran yang akan dibayarkan Bapak Mu’adi kepada Bapak Asnawi. Karena kerugian yang dialami Bapak Mu’adi sebesar Rp. 400.000 sehingga Bapak Mu’adi meminta ganti sebanyak Rp. 200.000 kepada Bapak Asnawi, yang seharusnya Bapak Asnawi menerina hasil tebasannya sebesar Rp. 7.800.000,- gara – gara hasil panennya rugi Bapak Asnawi hannya menerima hasil tebasannya sebesar Rp. 7.600.000,-.
46
Menurut Bapak Muadi selaku penebas dibandingkan untungnya, perjanjian jual beli tebasan ini sering mengalami kerugian, karena dalam jual beli tebasan semacam ini hanya menggunakan ilmu perkiraan.77 Untuk mensiasati terjadinya kecurangan – kecurangan yang dilakukan pembeli, biasanya penjual melakukan beberapa kali penawaran kepada beberapa penebas.78
2. Alasan – alasan penyebab terjadinya ganti rugi dalam jual beli tebasan di desa brangsong. Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi terjadinya praktek ganti rugi dalam jual beli tebasan. Alasan ini penulis dapatkan dari hasil wawancara dengan beberapa petani dan Penebas di Desa Brangsong, Kecamatan Brangsong, Kabupaten Kendal. Inilah alasan – alasan yang melatarbelakangi terjadinya praktek ganti rugi dalam jual beli tebasan: a. Alasan penjual meminta ganti rugi kepada pembeli Banyak padi yang rebah, karena pada saat melakukan perjanjian padi belum rebah, tetapi pada waktu akan dituai atau dipanen padi banyak yang rebah sehingga memerlukan tambahan tenaga untuk memetik. Dengan tambahnya tenaga maka bertambah pula biaya yang akan dikeluarkan oleh pembeli. Padi yang dihasilkan tidak sesuai yang diperkirakan, karena bannyak yang rebah sehingga padi yang dihasilkan tidak sesuai yang 77
Hasil wawancara dengan Bapak Muadi (sebagai penebas) pada tanggal 29 April 2011 Hasil wawancara dengan Bapak Asnawi (sebagai petani di desa Brangsong) pada tanggal 22 April 2011 78
47
diperkirakan. Biasanya lahan seluas setengah hektar atau 5000 M3 bisa menghasilkan minimal 3,5 ton padi, tetapi setelah dipanen padi yang dihasilkan kurang dari 3,5 ton. Harga pasaran gabah mengalami penurunan, biasanya semakin bannyak yang panen harga pasanan gabah akan menurun. Misalnya pada saat transaksi jual beli harga pasaran gabah pek kgnya Rp. 2700,tetapi pada saat panen tiba harganya menjadi turun
Rp. 2500,- per
kgnya. b. Alasan – alasan pembeli berkenan memberikan ganti rugi kepada pembeli Terpaksa, karena bilamana penjual tidak memberikan ganti rugi penjual akan tambah dirugikan, sebab sisa pembayaran tidak segera diberikan. Seandainya dilusani dengan jangka waktu yang cukup lama, padahal penjual sangat membutuhkan uang tersebut.79 Sungkan atau merasa tidak enak, karena masih tetangga satu desa dan apabila penjual membutuhkan sesuatu ( uang untuk biaya penggarapan sawah ) terkadang minta bantuan kepada pembeli atau penebas. Karena mayoritas petani di desa Brangsong menggarap sawah bukan milik sendiri melainkan milik orang lain.80 Tidak ingin adanya keributan, sehingga penjual memberikan ganti rugi pada pembeli, walaupun dalam hati kecilnya kurang
79
Hasil wawancara dengan ibu Pariyah (sebagai petani di desa Brangsong) pada tanggal 24 April 2011 80 Hasil wawancara dengan Bapak purnomo dan Bapak Ngadiran (sebagai petani di desa Brangsong) pada tanggal 23 – 24 April 2011
48
berkenan. Seandainya transaksi jual beli dibatalkan penjual tetap akan dibebani biaya operasional yang telah dikeluarkan oleh pembeli.81
81
Hasil wawancara dengan Bapak Asnawi (sebagai petani di desa Brangsong) pada tanggal 22 April 2011
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK GANTI RUGI DALAM JUAL BELI TEBASAN DI DESA BRANGSONG KECAMATAN BRANGSONG KABUPATEN KENDAL
A. Analisis Terhadap Pemberian Ganti Rugi Dalam Jual Beli Padi Tebasan Dan Faktor Yang Melatar Belakangi Masyarakat Untuk Memberikan Ganti Rugi Di Desa Brangsong Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal Dalam praktek jual beli memiliki tata cara atau sistem yang berlaku berdasarkan hukum-hukum dan norma-norma yang telah diterapkan baik hukum Islam maupun hukum dalam dalam masyarakat (hukum adat). Apabila aturan dan norma-norma yang telah diterapkan tidak dilaksanakan maka dapat menimbulkan bencana dan kerusakan dalam suatu hubungan di masyarakat. Nafsu mendorong manusia untuk mengambil keuntungan sebanyakbanyaknya melalui cara apa saja, misalnya berlaku curang dalam ukuran dan takaran serta manipulasi dalam kualitas barang dan jika hal itu dilakukan maka rusaklah sel-sel perekonomian di masyakraat.82 Ulama’ sepakat (ijma’) atas kebolehan akad jual beli. Ijma’ ini memberikan hikmah bahwa kebutuhan manusia berhubungan dengan sesuatu yang ada dalam kepemilikan orang lain, dan kepemilikan sesuatu itu tidak akan diberikan dengan begitu saja, namun terdapat kompensasi yang harus diberikan dengan diisyaratkannya jual beli merupakan salah satu cara untuk
82
Hamzah Ya’kub, Loc. Cit, hal: 14
49
50 merealisasikan keinginan dan kebutuhan manusia, karena pada dasarnya manusia tidak bisa hidup tanpa berhubungan dan bantuan orang lain. Ini berarti bahwa praktik akad/kontrak jual beli mendapatkan pengakuan dan legalitas dari syara’, dan sah untuk dilaksanakan dan bahkan dioperasionalkan dalam kehidupan manusia. Dalam kaitannya syarat-syarat dan rukun jual beli para ulama fiqh juga telah mengemukakan beberapa syarat lain yaitu: 1. Syarat sah jual beli dianggap sah apabila jual beli itu terhindar dari cacat, seperti kriteria barang yang diperjualbelikan itu tidak diketahui baik jenis, kualitas, kuantitas, jumlah harga tidak jelas, jual beli itu mengandung unsur paksaan, unsur tipuan, mudharat, serta adanya syarat-syarat lain yang membuat jual beli itu rusak. 2. Syarat yang terkait dengan pelaksanaan jual beli maksudnya adalah jual beli baru boleh dilaksanakan apabila yang berakad mempunyai kekuasaan untuk melakukan jual beli, misalnya barang itu milik sendiri. Akad jual beli tidak boleh dilaksanakan apabila orang yang melakukan akad tidak memiliki kekuasaan untuk melakukan akad. 3. Syarat yang terkait dengan kekuatan hukum akad jual beli. Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa suatu jual beli baru bersifat mengikat apabila jual beli itu terbebas dari segala macam khiyar (hak pilih untuk meneruskan atau membatalkan jual beli). Apabila jual beli itu masih memiliki hak khiyar, maka jua beli itu belum mengikat dan masih boleh dibatalkan.
51 Dalam akad jual beli harus disempurnakan 4 macam syarat, yaitu: syarat in’iqad, syarat sah, syarat nafadz, dan syarat luzum. Tujuan adanya syarat-syarat ini adalah untuk mencegah terjadinya pertentangan dan perselisihan diantara pihak yang bertransaksi, menjaga hak dan kemaslahatan kedua belah pihak, serta menghilangkan segala bentuk ketidakpastian dan resiko. Jika salah satu syarat dalam syarat in’iqad tidak terpenuhi, maka akad akan menjadi bathil, jika dalam syarat sah tidak lengkap, maka akad akan menjadi fasid, jika dalam salah satu syarat nafadz tidak terpenuhi, maka akad menjadi mauquf, dan jika salah satu syarat luzum tidak dipenuhi, maka pihak yang bertransaksi memiliki hak khiyar, meneruskan atau membatalkan akad. Apabila semua syarat jual beli tersebut di atas terpenuhi, barulah secara hukum transaksi jual beli itu dianggap sah dan mengikat dan karenanya pihak penjual dan pembeli tidak boleh lagi membatalkan jual beli itu.83 Di dalam transaksi jual beli harus berdasarkan atas dasar suka sama suka, tidak ada unsur keterpaksaaan, penipuan, dan pemalsuan yang berdampak pada kerugian salah satu pihak baik dari penjual maupun dari pembeli yang berupa kerugian materiil maupun kerugian non materiil. Seperti halnya yang terjadi di Desa Brangsong Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal. Di daerah tersebut ada sebuah praktek jual beli padi yang mana pembeli berani membeli padi yang belum layak panen, karena kurang kemampuan seorang petani sehingga petani mau menerima jual beli tersebut, dalam hal ini seorang petani masih dibayar setengah harga yang telah
83
Nasrun Harun, Loc. Cit, hal: 120
52 disepakati dan setengahnya lagi dibayarkan ketika padi sudah layak panen padahal dalam jual-beli tebasan seharusnya resiko untung dan rugi ditanggung oleh masing-masing pihak yang mana penjual harus menerima apabila hasil panen jauh lebih baik dari yang dibayangkan begitu pula dengan pembeli harus mau menerima apabila hasil panennya kurang baik. Pada kenyataannya masih banyak praktek jual beli yang masih ada unsur penipuan dan pemaksaan yang mana salah satu dari mereka ada yang dirugikan. Penjelasan dari Bapak Purnomo, praktek jual beli semacam ini sering dilakukan oleh masyarakat desa Brangsong. Karena mereka merasa jual beli tebasan ini menguntungkan bagi kedua belah pihak, yang mana pihak penjual diuntungkan dengan langsung mendapatkan hasil panennya tanpa harus memetik dan menjualnya ke pasar. Sedangkan pihak penebas diuntungkan dari hasil tebasannya. Akan tetapi, selain menguntungkan praktek jual beli ini juga merugikan kedua belah pihak yang mana pihak petani akan rugi jika hasil panennya jauh lebih banyak dari yang di perkirakan. Begitu juga dari pihak pembeli akan rugi jika hasil panennya tidak sesuai dengan yang diperkirakan. Seperti yang dijelaskan oleh bapak Maskon “Tetapi dalam prakteknya yang lebih sering dirugikan adalah pihak petani, karena bilamana hasil panennya baik pembeli diam saja tetapi bilamana hasil panennya buruk pembeli minta ganti rugi kepada penjual ” Ada beberapa alasan penjual berkenan memberikan ganti rugi kepada pembeli diantaranya:
53 a. Terpaksa Apabila penjual tidak memberikan ganti rugi penjual akan tambah dirugikan sebab sisa pembayaran tidak segera dibayarkan, seandainya dilunasi dengan jangka waktu yang cukup lama padahal penjual sudah membutuhkan uang tersebut. b. Sungkan Yaitu sikap merasa tidak enak karena masih tetangga satu desa karena mayoritas petani mengganti rugi dalam jual beli padi tebasan di Desa Brangsong Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal menggarap sawah bukan milik sendiri melainkan milik orang lain. c. Tidak ingin adanya keributan Penjual memberikan ganti rugi kepada pembeli walaupun dalam hati kecilnya kurang berkenan dan seandainya transaksi jual beli dibatalkan penjual tetap akan dibebani biaya operasiponal yang telah dikeluarkan oleh pembeli. Kasus seperti ini banyak terjadi di masyarakat wilayah Brangsong, Kendal. Seperti halnya praktek ganti rugi yang terjadi antara Ibu Pariyah dengan
Bapak Sarpani. Pada awal perjanjian jual beli tebasan telah
disepakati bersama bahwa padi milik Ibu Pariyah seluas 5.000 M2 (lima ribu meter persegi) seharga Rp. 8.000.000,- (delapan juta rupiah), sebagai tanda jadi Bapak Sarpani memberi uang muka kepada Ibu Pariyah sebesar Rp. 500.000,- (liama ratus ribu rupiah) dan sisanya sebesar Rp.
54 7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) akan diberikan setelah padi dituai atau di petik. Setelah padi dituai atau di petik dan ditambah biaya operasional, hasil yang didapat Bapak Sarpani ternyata kurang dari perkiraan. Dengan kata lain
Bapak Sarpani mengalami kerugian, setelah dihitung-hitung
kerugian yang di alami Bapak Sarpani sebesar Rp. 600.000,- ( enam ratus ribu rupiah ). Untuk mengurangi beban kerugian tersebut Bapak Sarpani minta kepada Ibu Pariyah setengah dari kerugian tersebut sebesar Rp. 300.000,- dengan cara mengurangi sisa pembayaran yang telah disepakati bersama. Yang menjadi beban atau yang memberatkan Ibu Pariyah adalah pengurangan harga tersebut dilakukan secara sepihak (tanpa musyawarah), dan hal ini sudah menjadi tradisi atau kebiasaan dalam transaksi jual beli tebasan dimasyarakat Desa Brangsong.84 Dalam setiaap hukum perjanjian termasuk perjanjian jual beli kaitannya dengan penebasan jual beli padi, diawali dengan sebuah perjanjian antara petani dengan penebas padi seperti ketika musim panen tiba ternyata hasilnya tidak bagus bagi penebas maka petani harus dikenai ganti rugi atau pemotongan harga yang telah disepakati diawal akad, padahal dalam hukum perjanjian yang dimaksud dengan resiko adalah kewajiban memikul kewajiban yang disebabkan karena suatu kejadian di luar kesalahan salah satua pihak. artinya bahwa resiko dalam perjanjian jual beli adalah suatu peristiwa yang mengakibatkan barang tersebut (yang dijadikan sebagai obyek perjanjian jual 84
Hasil wawancara dengan Ibu Pariyah ( Sebagai Petani di Desa Brangsong ) pada tanggal 24 April 2011
55 beli) mengalami kerusakan, dan peristiwa itu tidak dikehendaki oleh kedua belah pihak, berarti terjadinya suatu keadaaan yang memaksa diluar jangkauan para pihak. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Subekti, ”bahwa persoalan resiko itu berlandaskan pada terjadinya suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang mangadakan perjanjian. Dengan kata lain berpokok pangkal pada kejadian yang dalam hukum perjanjian dinamakan; kedaan memaksa”. Dalam ajaran agama Islam hal ini merupakan sesauatu yang wajar sebab segala sesuatunya itu dapat saja terjadi sesuai dengan kehendak Allah SWT., dan tidak daya serta upaya bagi umat manusia jika Allah SWT. menghendakinya.85 Umumnya sebagian dari mereka tidak mengetahui bahwa apa yang mereka lakukan merupakan bentuk mu’amalah yang tidak sesuai dengan syari’at Islam seperti halnya apabila pembeli untung pembeli diam saja tetapi sebaliknya apabila pembeli rugi, kerugian itu dibagi sama penjual dengan cara memotong pembayaran yang belum dibayarkan. Walaupun itu adalah kelalaian dari pihak pembeli sendiri sehingga menjadikan jual beli tersebut terlarang. Berarti masalah ganti rugi dalam jual beli padi tebasan yang dialami oleh masyarakat di Desa Brangsong Kecamatan Brangsong, seharusnya akad antara penjual dengan pembeli harus mengandung unsur-unsur kerelaan atau
85
Khairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Loc. Cit. hal: 41
56 tanpa paksaan dari kedua belah pihak dan apabila ada kerugian maka harus ditanggung bersama sesuai dengan perjanjian atau kesepakatan ketika akad terjadi agar dalam transaksi jual beli kaitannya dengan tebasan padi baik petani maupun penebas bisa melakukan transaksinya dengan syari’at Islam karena dalam ajaran Islampun mengatur dengan sebaik-baiknya dalam masalah jual beli demi kemaslahatan umat manusia.
B. Analisis Tinjauan Hukum Islam Terhadap Jual Beli Padi Tebasan Di Desa Brangsong Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal Dalam analisis hukum Islam terhadap transaksi jual beli padi tebasan itu termasuk kategori bai’ musyawaroh, akan tetapi ada unsur didalamnya bathil, karena ada unsur keterpaksaan disamping ada keuntungan juga, dalam transaksi ini juga, dapat diqiyaskan pada illat yaitu perbuatan jual beli ijon, sebab barangnya (objeknya) sama-sama belum jelas pada saat terjadinya transaksi akad jual beli. Imam Syafi’i berpendapat secara asal jual beli dibolehkan, ketika dilakukan dengan cara kerelaan kedua belah pihak,atas transaksi yg dilakukan dalam sepanjang tidak bertentangan dengan syariat. Ibnu Qoyyim al Jauziyah penganut madzab Hambali mengatakan bahwa jual beli yang barangnya belum jelas (ijon) atau seperti kasus ganti rugi dalam jual beli padi tebasan diqiyaskan dalam masalah ijon sebab illatnya belum jelas yaitu jual beli semacam itu jika barangnya tidak ada waktu terjadinya akad tetapi diyakini akan ada dimasa yang akan datang sesuai
57 dengan kebiasaan masyarakat setempat maka dihukumi boleh dan hukumnya sah. Dalam Islam sendiri tidak dibenarkan seseorang mencabut hak milik orang lain tanpa adanya kerelaan dari pemiliknya. Karena hak milik peribadi dalam Islam benar-benar dihargai dan dihormati, sehingga cara memperoleh hak milik dalam Islam diatur sedemikian rupa. Bila seseorang menginginkan hak milik setidaknya sesuai dengan hukum syara’, seperti contoh jual beli, atau tawar-menawar suatu harga haruslah disesuaikan dengan harga yang sepadan dengan barang (obyek). Dalam hukum Islam itu sendiri seseorang dapat memiliki status hak milik dengan beberapa sebab antara lain: ihrazul mubahat (mengelola bendabenda mubah), al-Uqud (akad) seperti hibah, wakaf dan jual beli, alKhalafiyah (pewarisan), at-Tawaludu Munal Mamluk (beranak pinak).86 Allah SWT. melarang kaum muslimin untuk melarang memakan harta orang lain secara bathil, secara bathil dalam kontek ini memiliki arti yang sangat luas, diantaranya melakukan transaksi ekonomi yang bertentangan dengan syara’ seperti halnya melakukan transaksi berbasis riba (bunga), transaksi yang bersifat spekulatif (maisir/judi), ataupun transaksi yang mengandung unsur gharar (adanya resiko dalam transaksi) serta hal-hal lain yang bisa dipersamakan dengan itu. Untuk mendapatkan harta harus dilakukan dengan adanya kerelaan semua pihak dalam transaksi seperti dalam transaksi jual beli harus ada
86
Mustafa Ahmad Zarqa’, al-Madhal Fii al-Fiqh al-‘Amm, Juz I, hal: 242
58 kerelaan antara penjual dan pembeli dan jauh dari unsur gharar dan juga harus memperhatikan unsur kerelaan bagi semua pihak. Orang-orang
Islam
dalam
melakukan
perjalanan
usaha
untuk
mendapatkan anugerah Allah SWT. Dilakukan dengan cara-cara yang benar yang telah digariskan oleh Allah SWT. Imam Syafi’i menyatakan secara asal jual beli diperbolehkan ketika dilaksanakan dengan adanya kerelaan atau keridhaan kedua belah pihak atas transaksi yang dilakukan dan sepanjang tidak bertentangan dengan apa yang dilarang oleh syari’ah. Segala ketentuan yang terdapat dalam jual beli harus terdapat persetujuan dan kerelaan antara pihak penjual dan pembeli, karena kesepakatan tidak bisa ditentukan secara sepihak.87 Para ulama fiqh juga sepakat menyatakan ada beberapa jenis jual beli yang bathil adalah: 1. Jual beli sesuatu yang tidak ada Misalnya memperjual belikan buah-buahan yang putiknya belum muncul di pohonnya atau anak sapi yang belum ada, sekalipun ibunya telah ada. Akan tetapi Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah pakar Fiqh Hambali, mengatakan bahwa jual beli yang barangmnya tidak ada waktu berlangsungnya akad, tetapi diyakini akan ada dimasa yang akan datang sesuai dengan kebiasaannya, boleh diperjualbelikan dan hukumnya sah. Alasannya adalah karena tidak dijumpai dalam al-Qur’an dan as-Sunnah larangan terhadap jual beli seperti ini. Yang ada dan dilarang dalam sunnah
87
Dim yauddin, Loc. Cit, hal: 72
59 Rasulullah SAW., menurutnya adalah jual beli tipuan (Ba’i al-Gharar) yaitu memperjualbelikan sesuatu yang diyakini ada pada masa yang akan datang, menurutnya tidak termasuk jual beli tipuan. 2. Menjual barang yang tidak boleh diserahkan pada pembeli, seperti menjual barang yang hilang atau burung piaraan yang lepas dan terbang di udara, hukum ini disepakati oleh seluruh ulama’ dan termasuk kategori ba’i alGharar (jual beli tipuan). 3. Jual beli yang mengandung unsur penipuan, yang pada lahirnya baik tetapi ternyata dibalik itu terdapat unsur-unsur tipuan, sebagaimana terdapat dalam
jual
beli
kategori
Ba’i
al-Gharar.
Contohnya
seperti
memperjualbelikan kurma yang ditumpuk, di atasnya bagus-bagus dan manis-manis tetapi ternyata di dalam tumpukan itu banyak terdapat yang busuk. 4. Jual beli benda najis Seperti babi, khomr, bangkai, dan darah. Karena semuanya itu dalam pandangan Islam adalah najis dan tidak mengandung makna harta. 5. Jual beli al-’Arbun Yaitu jual beli yang bentuknya dilakukan melalui perjanjian, pembeli membeli sebuah barang dan uangnya seharga barang diserahkan kepada penjual dengan syarat apabila pembeli tertarik dan setuju, maka jual beli sah. Tetapi jika pembeli tidak setuju dan barang dikembalikan, maka uang yang telah dikembalikan kepada penjual menjadi hibah bagi penjual.
60 6. Jual beli air sungai, air danau, air laut, dan air yang tidak boleh dimiliki seseorang karena air yang tidak dimiliki seseorang hak bersama umat manusia dan tidak boleh diperjual belikan.88 Sedangkan menurut Prof. Dr. TM. Hasby asy-Shiddiqi mengenai masalah akad, sebab kepemilikan suatu barang dapat dibagi menjadi 2 yaitu: 1. Uqud Jabariyah, yaitu akad yang dilakukan berdasarkan pada putusan hakim, seperti menjual harta orang yang berhutang secara paksa. Akad ini disebut Tamalluk Jabary; 2. Istimlak untuk maslahat umum, umpamanya tanah-tanah yang ada disamping masjid, kalau diperlukan untuk masjid harus dapat dimiliki oleh masjid dan harus menjualnya, ini dinamakan tamalluk bil jabari.89 Masalah ganti rugi sudah diatur dengan jelas di dalam Islam, dengan tidak melupakan prinsip bahwa apabila seseorang melakukan transaksi jual beli atau menawar harga, harus ada kerelaan diantara kedua belah pihak, seperti dalam konsep hak milik itu sendiri bahwa seseorang tidak boleh memiliki hak orang lain tanpa adanya kerelaan atau izin dari pemiliknya. Dalam praktek ganti rugi dalam jual beli padi tebasan di Desa Brangsong Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal sering dilakukan oleh masyarakat Desa Brangsong. Karena mereka merasa jual beli tebasan ini menguntungkan bagi kedua belah pihak, yang mana pihak penjual diuntungkan dengan langsung mendapatkan hasil panennya tanpa harus memetik dan menjualnya ke pasar, sedangkan pihak penebas diuntungkan dari 88 89
hal:11
Nasrun harun, Loc. Cit, hal: 124 TM. Hasby as-Shiddiqi, Pengantar Fiqh Muamalah, Jakarta: Bulan Bintang, 1974,
61 hasil tebasannya. Akan tatapi, selain menguntungkan juga merugikan kedua belah pihak yang mana pihak petani akan rugi jika hasil panennnya jauh lebih banyak dari yang diperkirakan. Begitu juga dari pihak pembeli akan rugi jika hasil penenya tidak sesuai dengan yang diperkirakan, tetapi dalam prakteknya yang lebih sering dirugikan adalah pihak petani karena bila hasil panennya baik pembeli diam saja tetapi bila hasil panennya buruk pembeli minta ganti rugi kepada penjual karena dalam jual beli tebasan semacam ini hanya menggunakan ilmu perkiraan. Ganti rugi dalam Islam adalah harga rugi yang diberikan itu harus sesuai dengan harga yang dijual dalam konsep jual beli juga terdapat hak suf’ah yaitu hak untuk membatalkan perjanjian itu, tetapi dalam praktek ganti rugi dalam jual beli tebasan penjual tidak diperbolehkan membatalkan transaksi yang telah disepakati dengan pembeli dan jika terjadi pembatalan maka yang akan dirugikan pihak penjual karena akan dibebani biaya operasional yang dikeluarkan oleh pembeli dan dengan beberapa alasan-alasan yang disebutkan di atas, sehingga penjual berkenan melakukan transaksi tersebut. Padahal dalam Islam seseorang tidak boleh memaksa atau menganiaya orang lain karena dianggap telah melakukan perbuatan ghasab karena terdapat paksaan dalam proses untuk memperoleh hak milik, berarti masalah ganti rugi harus disepakati diawal perjanjian dan apabila ada keuntungan dan kerugian harus dirasakan bersama antara penjual dan pembeli dengan unsur kerelaan atau keikhlasan kedua belah pihak.
62 Menurut penulis, bahwa apa yang terjadi di Desa Brangsong Kecamatan Brangsong
Kabupaten Kendal tidak sesuai dengan hukum Islam karena
banyak terjadi hal-hal yang tidak sesuai dalam hukum Islam seperti adanya unsur paksaan tidak enak karena bertetangga atau sudah mengenalnya dan juga menghindari keributan antara penjual dan pembeli. Padahal dalam Islam sendiri setiap transaksi jual beli harus ada unsur keridhaan sedangkan yang terjadi di Desa Brangsong Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal, hal ini menunjukkan adanya pihak yang lemah dari petani sehingga dalam melaksanakan jual beli padi tebasan lebih banyak berdasarkan pada keterpaksaan dan kelemahan. Dalam transaksi ganti rugi dengan cara memotong harga sehingga menyebabkan ada kerugian disalah satu pihak maka tidak sah karena ada unsur kebathilan didalamnya, jual beli yang fasid berlangsung dengan qimah (harga standart) atau yang sepadan dengannya, tidak dengan tsaman (harga yang disepakati dsalam akad) misalnya jual beli dengan tsaman berupa jual beli ganti rugi dengan potongan harga atau digantungkan dengan persyaratan fasid, atau karena tsamannya tidak jelas menunjukan kesepakatan terhadap mabi’ (barang yang dijual belikan) oleh karena itu berlangsunglah jual beli tersebut dengan qimah mabi’ kefasidan akan akad sesungguhnya berada dipihak pembeli, karenanya pihak pembeli harus membayar dengan al-mist (pembayaran yang sepadan) atau dengan qimah (harga standar). Para fuqoha hanafiah berpendapat bahwa jual beli fasid tidak menimbulkan peralihan hak milik sebelum terjadi serah terima sedangkan
63 menurut Jumhur ulama jual beli fasid dipandang tidak perlu dan sama sekali tidak menimbulkan peralihan hak milik meskipun pihak pembeli telah menguasai barang yang diperjual belikan. Praktek ganti rugi dengan memotong harga juga termasuk kategori ”bai’ al-wadi’ah” yaitu jual beli barang dengan harga asal dengan pengurangan sejumlah harga atau diskon hal seperti ini, jika ada unsur keterpaksaan maka tidak diperbolehkan sebab akan merugikan salah satu pihak. Bahkan Allah SWT memerintahkan untuk menyempurnakan takaran dan timbangan dalam jual beli. Dalam surat Al-An’am ayat 152 dijelaskan ” dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil”. Dalam masalah pemberian ganti rugi harusnya sesuai dengan kelayakan seperti yang sudah dipaparkan di atas dimana sekiranya kedua belah pihak terjadi kerelaan. Dalam Islam ganti rugi dengan nilai tertinggi dari nilai jualnya dan ganti rugi juga harus dilihat dari subyek dan obyek tersebut dan alasan-alasan yang dapat dibenarkan dalam hukum Islam maupun hukum adat. Karena agar tidak dianggap sebagai perbuatan gharar atau gashab, dan juga menganiaya kepada hak-hak orang lain.
64
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari beberapa uraian yang telah dipaparkan dalam skripsi ini, penulis menyimpulkan sebagai berikut: 1. Praktek ganti rugi dalam jual beli padi tebasan adalah: apabila musim panen tiba kebanyakan para petani menjual hasil panennya dalam keadaan belum tuai atau dipetik dengan kata lain dijual dengan tebasan, seperti yang terjadi dengan Bapak Sarpani dengan Ibu Pariyah, pada awal perjanjian jual beli tebasan telah di sepakati bersama bahwa padi milik Ibu Pariyah seluas 5000 m2 seharga Rp.8.000.000,- sebagai tanda jadi Bapak Sarpani memberikan uang muka sebesar Rp. 500.000,- dan sisanya akan dibayar setelah padi dituai atau dipanen. Setelah waktu panen serta ditambah biaya operasional hasil yang di dapat dari Bapak Sarpani (penebas) ternyata kurang dari perkiraan, dengan kata lain Bapak Sarpani mengalami kerugian dan setelah dihitung kerugian penebas sebesar Rp. 600.000,- untuk mengurangi beban kerugian tersebut penebas minta kepada pentani atau penjual yaitu Ibu Pariyah minta setengah dari kerugian tersebut yaitu sebesar Rp. 300.000,- dengan cara mengurangi dari sisa pembayaran yang telah disepakati bersama. 2. Dalam transaksi jual beli padi tebasan menurut hukum Islam yaitu harus berdasarkan atas dasar suka sama suka, tidak ada unsur keterpaksaaan,
64
65
penipuan, dan pemalsuan yang berdampak pada kerugian salah satu pihak baik dari penjual maupun dari pembeli yang berupa kerugian materiil maupun kerugian non materiil. Seperti halnya yang terjadi di Desa Brangsong, di daerah tersebut ada sebuah praktek jual beli padi yang mana pembeli berani membeli padi yang belum layak panen, karena kurang kemampuan seorang petani sehingga petani mau menerima jual beli tersebut, dalam hal ini seorang petani masih dibayar kira – kira 10 samapai 50% dari harga yang telah disepakati dan setengahnya lagi dibayarkan ketika padi sudah layak panen padahal dalam jual-beli tebasan seharusnya resiko untung dan rugi ditanggung oleh masing-masing pihak yakni penjual dan pembeli. Transaksi jual beli padi yang terjadi di Desa Brangsong Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal tidak sesuai dengan hukum Islam karena banyak terjadi hal-hal yang tidak sesuai dalam hukum Islam seperti adanya unsur paksaan, gharar, tidak enak karena bertetangga atau sudah mengenalnya dan juga menghindari keributan antara penjual dan pembeli. Padahal dalam Islam sendiri setiap transaksi jual beli harus ada unsur keridhaan sedangkan yang terjadi di Desa Brangsong Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal, hal ini menunjukkan adanya pihak yang lemah dari petani sehingga dalam melaksanakan jual beli padi tebasan lebih banyak berdasarkan pada keterpaksaan dan kelemahan. Dalam transaksi ini juga terjadi pemotongan harga sepihak yang tidak ada
66
kesepakatan sebelumnya,sehingga menyebabkan kerugian disalah satu pihak maka tidak sah karena ada unsur kebatilan didalamnya.
B. Saran-saran Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis berusaha memberikan saransaran sebagai berikut: 1. Seharusnya perjanjian jual beli antara penjual dan pembeli tersebut dilakukan secara tertulis dan jelas sehingga akan mempunyai kekuatan hukum yang pasti (formil) sehingga bisa dipertanggungjawabkan di kemudian hari ketika terjadi sengketa atau konflik. 2. Untuk kepentingan umum pemerintah perlu mengadakan pengawasan dan penertiban terhadap praktik transaksi jual beli ini, agar tidak teradi hal-hal yang tidak merugikan baik penjual maupun pembeli, misalnya pemerintah dalam hal ini aparatur desa turut andil dalam pembuatan penjanjian tersebut dan sebagainya. 3. Seharusnya antara penjual dengan pembeli harus melakukan akad perjanjian kontrak terlebih dahulu antara pihak
penjual dan pembeli
mengandung unsur-unsur kerelaan atau tanpa paksaan dari kedua belah pihak dan apabila ada kerugian maka harus ditanggung bersama sesuai dengan perjanjian atau kesepakatan ketika akad terjadi agar dalam transaksi jual beli kaitannya dengan tebasan padi baik petani maupun penebas bisa melakukan transaksinya sesuai dengan syari’at Islam.
67
C. Penutup Demikian pembahasan tentang ”Analisis Hukum Islam Terhadap Praktek Ganti Rugi Dalam Jaul Beli Tebasan (studi kasus ganti rugi pada jual beli padi tebasan di Desa Brangsong Kec. Brangsong Kab. Kendal)”, dan penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan, mengingat kemampuan penulis yang masih terbatas. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif senantiasa penulis harapkan dari pembaca yang budiman demi kesempurnaan karya ini. Semoga karya ini bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya, Amin.
68
DAFTAR PUSTAKA Adi, Rianto, Metodologi Penelitian sosial dan Hukum, Jakarta: Granit, 2004 Adjuwaini, Dimyaudin, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2008 Aliy asa’ad, Fathul Mu’in, Jilid 2, Kudus: Menara Kudus Al Imam Khafid Abal Ulam Muhamad Abdurahman Ibnu Abdurarahim Mubarikafuri , Tuhfatul Adfal Syarih Jami Tirmidzi, Bairut Libanon: Jus 4, Dari Kitab Alamiah, 1983 Ana nuryani latifah, “Analisis hukum islam terhadap ketidak jelasan waktu penangguhan pembayaran dalam perjanjian jual beli mebel ( studi kasus perjanjian jual beli mebel Antara pengrajin visa jati di jepara dengan pt HM furniture di semarang)”. Skripsi fakultas syari’ah jurusan mu’amalah, semarang: perpustakaan fakultas syari’ah IAIN Walisongo semarang, 2009 Arikunto, Suharsimi, Prosedur Jakarta:Rineka Cipta, 1998
Penelitian
Suatu
Pendekatan
Praktek,
Bin Abdul, Zainudin Aziz al Malibari –al fanani, Fath- al Muin, Terj. K.H. Moch. Anwar, Bandung: Sinar Baru Algasindo, 1994 Choiruman pasaribu, Suharwadi k. Lubis, Hukum perjanjian dalam islam, Jakarta: Sinar grafika, 1996 Departemen Agama RI, Al-quran dan Terjemahannya, Jakarta Pena Ilmu dan Amal,2006 Departemen pendidikan nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002 Daftar Isian Potensi desa, 2010 Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam, Bandung: Dipponegoro, 1992 Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000 Hendi Suhendi, Fiqh Mu’amalah, Jakarta: Rajawali Perss 2002 Imam Abi Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardzabah Bukhari Ju’fi, Shahih Bukhari, Beirut: Dar al Fikr, 1992
69
Kansil C. S. T., Drs. S.H, Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 1992 Mas’adi, Ghufron, M. Ag. Fiqh Muamalah Konstektual, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002 Militul habibah, ”Studi analisis hukum islam terhadap jual beli yang ditangguhkan pada tingkat harga tertinggi (studi kasus di desa ringin kidul, gubuk, Grobokan) Skripsi Fakultas Syari’ah Jurusan Mu’amalah, Semarang: Perpustakaan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, 2010 Mustafa Ahmad Zarqa’, al-Madhal Fii al-Fiqh al-‘Amm, Juz I, Nawawi, Hadari dan Martini Hadari, Instrumen Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995 N. Gregory mankiw, pengantar ekonomi jilid 1, terjemahan hasim munandar, jakarta: Erlangga, 2000 Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997 Sayyid al-Imam Muhammad ibn Ismail al-Kahlani al-Sun’ani, Subul Al-Salam Sarh Bulugh Al-Maram Minjami’ Adilati Al Ahkam, Kairo: Juz 3, Dar Ikhya’ al-Turas al-Islami, 1960 Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1995 Sudjana, Eggi Bayarlah Upah Sebelum Keringatnya Mengering, Yogyakarta: CV. Adipura, 2000 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo, Cet. Ke-2, 1998 Sutrisno Hadi, Metodologi Penelitian Research, Yogyakarta: Andi Offset, 1989 Tim Redaksi Fokus Media, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Bandung: Fokus Media, 2008 TM. Hasby as-Shiddiqi, Pengantar Fiqh Muamalah, Jakarta: Bulan Bintang, 1974 Umi Tukhfah, “Analisis Pendapat Ibnu Hazm Tentang Saksi Jual Beli”. Skripsi Fakultas Syari’ah Jurusan Mu’amalah, Semarang: Perpustakaan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, 2004
70
Wawancara dengan Bapak Asnawi (selaku petani Desa Brangsong) pada tanggal 22 April 2011 Wawancara dengan Bapak Maskon (selaku petani Desa Brangsong) pada tanggal 22 April 2011 Wawancara dengan Bapak Muadi (selaku Penebas di Desa Brangsong) pada tanggal 29 Apil 2011 Wawancara dengan Bapak Ngadiran (selaku petani Desa Brangsong) pada tanggal 24 April 2011 Wawancara dengan Ibu Pariyah (selaku petani Desa Brangsong) pada tanggal 24 April 2011 Wawancara dengan Bapak Purnomo (selaku petani Desa Brangsong) pada tanggal 23 April 2011 Wawancara dengan Bapak Rondhi (selaku petani Desa Brangsong) pada tanggal 24 April 2011 Wawancara dengan Bapak Samiyo (selaku sekretaris Desa Brangsong) pada tanggal 21 April 2011 Wawancara dengan Bapak Sarpani (selaku penebas di Desa Brangsong) pada tanggal 28 Apil 2011
71
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Biodata Diri : Nama
: Dini Widya Mulyaningsih
Nim
: 052311108
Fakultas
: Syari’ah
Jenis kelamin
: Perempuan
Tempat/tanggal lahir : Kendal/ 20Juli 1987 Agama
: Islam
Alamat
: Desa Brangsong RT 06/RW 02 Kec. Brangsong Kab. Kendal
Pendidikan: 1. SD Negeri 01 Brangsong Kendal Lulus tahun 1999 2. SMP MTA Gemolong Lulus tahun 2002 3. MAN Kendal Lulus tahun 2005 4. Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang
Semarang, 13 Desember 2011
Dini Widya Mulyaningsih
72
LAMPIRAN-LAMPIRAN