ANALISIS BIAS BETA SAHAM-SAHAM PEMBENTUK PORTOFOLIO OPTIMAL Ferikawita Magdalena Sembiring 1) , Nunung Aini Rahmah 2) 1
Program Studi Manajemen, FE, Unjani Email:
[email protected] 2 Program Studi Akuntansi, FE, Unjani Email:
[email protected]
Abstrak - Penelitian ini bertujuan untuk mengoreksi bias beta saham yang akan digunakan untuk membentuk portofolio optimal berdasarkan single index model. Ukuran sampel penelitian yang diperoleh secara purposive adalah 221 saham efektif di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama periode 2009-2011, yang terdiri dari 40 saham unggulan Indeks LQ-45 dan 181 saham di luar kelompok saham unggulan tersebut, berdasarkan return harian. Model koreksi yang digunakan adalah model Fowler dan Rorke yang dikembangkan dari single index model. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) Untuk mengoreksi bias beta saham-saham yang tidak termasuk ke dalam kelompok saham unggulan, umumnya diperlukan lebih dari satu periode lag dan lead, mengingat karakteristik saham-saham ini yang relatif jarang diperjualbelikan sehingga potensi biasnya lebih besar dibandingkan dengan saham-saham yang relatif sering diperjualbelikan, sedangkan (2) Untuk saham-saham yang masuk ke dalam kelompok saham unggulan Indeks LQ-45, sebagian besar beta saham-saham tersebut ternyata tidak bias, atau jika pun harus dikoreksi, periode yang dibutuhkan umumnya hanya satu periode lag dan lead saja. Namun diketahui juga bahwa pada beberapa saham unggulan, ada juga yang memerlukan periode koreksi sampai dengan 4 periode lag dan lead. Hal ini berarti bahwa walaupun relatif likuid, saham-saham unggulan juga tetap berpotensi terimbas masalah non synchronous trading di bursa sehingga pengujian untuk mendapatkan nilai beta yang tidak bias tetap perlu dilakukan. Kata Kunci : beta bias, model fowler dan rorke, synchronous trading
Proceedings SNEB 2014: Hal. 1
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Setelah sempat mengalami bearish yang ditandai dengan keterpurukan IHSG di posisi minus 50,64% pada tahun 2008, pasar modal mengalami bullish pada tahun 2009 yang ditandai dengan kenaikan IHSG sebesar 86,98%, atau di posisi positif 36,34. Kemudian pada tahun 2010 dan 2011, IHSG mengalami meningkat masing-masing sebesar 46,13% dan 3,20%, (BPS, BEI, dalam Investor, Januari 2012). Sedangkan pada tahun 2012, IHSG mengalami kenaikan sebesar 12,94%, dan menempati posisi tertinggi keempat di antara bursa di Asia, setelah Hongkong (22,96%), Tokyo (22,90%), dan Singapura (20,50%). (BEI, dalam Investor, Januari 2013). Kondisi tersebut di atas menunjukkan bahwa pasca krisis keuangan tahun 2008, pasar modal di Indonesia masih menjadi sarana berinvestasi yang cukup layak bagi para investor yang ingin berinvestasi ke dalam aset jenis saham. Mengingat karakteristik saham yang sangat rentan terhadap risiko fluktuasi nilai, maka banyak investor di Indonesia yang lebih tertarik untuk menginvestasikan dananya ke dalam bentuk portofolio saham, dimana risiko berkurangnya nilai suatu saham diharapkan dapat dikompensasi oleh meningkatnya nilai saham lain di dalam portofolio tersebut. Portofolio optimal merupakan portofolio yang dipilih investor dari sekian banyak pilihan atas portofolio saham yang ada, yang dapat memberikan kombinasi tingkat return dan risiko terbaik. Model yang sering digunakan dalam membentuk portofolio optimal adalah model indeks tunggal (single index model) yang berasumsi bahwa return saham berkorelasi dengan perubahan pasar, dan cara untuk mengukur korelasi tersebut adalah dengan menghubungkan return suatu saham dengan return indeks pasar (Elton dan Gruber, 2007 : 133). Pada tahap awal pembentukan portofolio optimal berdasarkan model indeks tunggal, akan diperoleh koefisien beta (β) sebagai ukuran relatif dari risiko sistematik (systematic risk), yaitu risiko yang relevan dengan pengambilan keputusan investasi. Beta menunjukkan ukuran sensitivitas return suatu saham terhadap return pasar. Semakin sensitif return suatu saham terhadap perubahan pasar, maka akan semakin besar nilai beta saham tersebut. Sebaliknya, semakin kecil sensitivitas return saham terhadap perubahan pasar, maka semakin kecil beta saham tersebut. Pada praktiknya, nilai beta yang diperoleh dari model indeks tunggal mengandung bias karena masalah non synchronous trading di pasar modal
yang perdagangannya tipis (thin market). Namun secara empirik bias beta tersebut dapat dikurangi melalui model koreksi Fowler dan Rorke yang dikembangkan dari model indeks tunggal. Nilai beta yang tidak bias (unbiased beta) ini selanjutnya dapat digunakan untuk meramalkan expected return. Beta yang stabil dan predictable merupakan komponen penting dalam penentuan return investasi (Nassir dan Shamser, 1996). Perkembangan pasar modal yang cukup pesat pada periode pasca krisis keuangan tahun 2008, telah menimbulkan banyak fenomena yang kiranya menarik untuk diteliti lebih lanjut. Garis besar penelitian ini adalah menemukan nilai beta untuk setiap saham emiten yang menjadi sampel dalam penelitian berdasarkan model indeks tunggal, kemudian mengoreksi nilai beta tersebut dengan menggunakan model Fowler dan Rorke yang dikembangkan dari model indeks tunggal. 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk : a. Menghitung nilai beta setiap saham yang diperoleh dengan mengoperasikan model indeks tunggal (single index model). b. Mengoreksi nilai beta yang diperoleh berdasarkan model Fowler dan Rorke sehingga diperoleh unbiased beta yang dapat digunakan untuk meramalkan expected return. II. TINJAUAN LITERATUR 2.1. Kajian Teori Model Indeks Tunggal (Single Index Model) Menurut Elton and Gruber (2007 : 133), model indeks tunggal didasarkan pada pengamatan bahwa harga saham berfluktuasi searah dengan indeks harga pasar. Hal ini menunjukkan bahwa return suatu saham berkorelasi dengan return indeks pasar yang dapat dinyatakan sebagai : Ri = ai + i . Rm, .............................. (2.1) dimana Ri return saham ke i, ai adalah suatu variabel acak yang menunjukkan komponen dari saham ke i yang tidak dipengaruhi oleh perubahan pasar, i adalah beta yang merupakan koefisien yang mengukur perubahan Ri akibat dari perubahan Rm, dan Rm adalah tingkat return dari indeks pasar yang merupakan variabel acak. Parameter ai menunjukkan komponen return yang tidak dipengaruhi oleh return pasar. Parameter ini dapat dipecah menjadi dua yaitu i menunjukkan nilai pengharapan dari ai, dan ei yang menunjukkan kesalahan residu sehingga persamaan model indeks tunggal menjadi : Ri = i + i . Rm + ei …………......... (2.2) Proceedings SNEB 2014: Hal. 2
Persamaan tersebut membagi return saham dalam 2 komponen yaitu komponen return yang unik dinyatakan dalam i yang independen terhadap return pasar dan komponen return yang berhubungan dengan return pasar yaitu i . Rm. Menurut Elton and Gruber (2007 : 134), asumsi model indeks tunggal adalah : 1. Indeks pasar tidak berhubungan dengan kesalahan residu : Eei. (Rm – E(Rm)). 2. Return saham hanya dipengaruhi oleh pasar : E(ei.ej) = 0 yaitu kesalahan residu dari saham ke i tidak berkorelasi dengan kesalahan residu saham ke j untuk semua nilai dari i dan j. Asumsi-asumsi dalam model indeks tunggal mempunyai implikasi bahwa saham-saham bergerak bersama-sama bukan karena efek di luar pasar melainkan karena bereaksi terhadap indeks pasar. Penggunaan model indeks tunggal menghasilkan expected return, varian return, dan kovarian return sebagai berikut (Elton and Gruber, 2007 : 134-138) : 1. Expected return yang dirumuskan sebagai : E(Ri) = i + i.E(Rm) ................................. (2.3) Expected return terdiri dari dua komponen yaitu bagian yang unik (i) dan bagian yang berhubungan dengan pasar yaitu i . E(Rm). 2.
Varian return yang dirumuskan sebagai : i2 = i2m2 + ei2 ................................ (2.4) Variance return terdiri dari dua komponen yaitu risiko unik atau risiko tidak sistematis (ei2) dan risiko yang berhubungan dengan pasar atau risiko sistematis (i2m2). Varian return pasar yang menunjukkan risiko indeks pasar adalah m2. 3. Kovarian return yang dirumuskan sebagai : ij = ijm2 ............................................. (2.5) Kovarian return hanya tergantung pada risiko pasar, ini berarti model indeks tunggal menunjukkan bahwa satu-satunya alasan saham-saham bergerak bersama adalah bereaksi terhadap gerakan pasar. 2.2 Kajian Teori dan Studi Empirik tentang Model Fowler dan Rorke untuk Mengoreksi Bias Beta Saham atau Portofolio Risiko yang relevan dalam pengambilan keputusan investasi, khususnya pada saham, adalah risiko sistematik (systematic risk) yang diukur dengan koefisien beta, dan dapat diperoleh dari model indeks tunggal (single index model). Asumsi model indeks tunggal adalah bahwa return
saham berkorelasi dengan perubahan pasar, dan untuk mengukur korelasi tersebut adalah dengan cara menghubungkan return suatu saham dengan return indeks pasar (Elton dan Gruber, 2007 : 133). Nilai beta akan menunjukkan sensitivitas return suatu saham terhadap return pasar. Semakin sensitif return suatu saham terhadap perubahan pasar, maka akan semakin besar nilai beta saham tersebut. Sebaliknya, semakin kecil sensitivitas return saham terhadap perubahan pasar, maka semakin kecil beta saham tersebut. Dalam manajemen portofolio, pada dasarnya peran beta terbagi tiga, yaitu meramalkan risiko sistematik, meramalkan ukuran risiko sistematik yang terjadi, dan meramalkan return yang diharapkan (Barra, dalam Tandelilin dan Lantara, 2001). Estimasi nilai beta yang akurat sangat dibutuhkan oleh para investor agar mereka dapat membuat keputusan investasi yang tepat. Jika estimasi terhadap beta mengandung bias, maka investor dapat membuat keputusan yang salah. Menurut Klekomsky dan Martin (1975), Arif dan Johnson (1990), serta Hartono dan Surianto (1999), salah satu penyebab terjadinya beta bias adalah karena masalah non–synchronous trading (perdagangan yang tidak sinkron) di pasar modal yang perdagangannya jarang terjadi (thin market). Menurut Farrel (1974, dalam Lantara, 2000), estimasi beta dalam pasar yang tergolong sebagai pasar yang tipis (thin market) akan menimbulkan kesalahan pengukuran (measurement error). Penyebab hal tersebut adalah karena indeks pasar yang dipakai untuk menghitung beta saham– saham individual pada dasarnya hanya merupakan rata–rata dari sekitar 25% dari total saham yang ada di pasar. Sebagai konsekuensinya, mungkin akan terjadi estimasi yang terlalu tinggi (over estimation) terhadap beta saham–saham yang relatif sering diperdagangkan (frequently trading stocks), atau akan terjadi estimasi yang terlalu rendah (under estimation) terhadap beta saham–saham yang tergolong jarang diperdagangkan (infrequently trading stocks). Permasalahan non–synchronous trading terjadi ketika indeks pasar pada waktu t, disusun dari harga penutupan (closing price) saham yang tidak sinkron pada saat t tersebut. Semakin besar tingkat ketipisan suatu pasar (degree of thinly market), semakin besar tingkat bias beta saham (Arif dan Johnson, 1990 ; Dimson dan Marsh, 1983). Masalah bias beta ini pada akhirnya mendorong dikembangkannya model-model koreksi bias beta, antara lain model Fowler dan Rorke. Berdasarkan model Fowler dan Rorke, koreksi bias beta dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut (Jogiyanto, 2009 : 414) :
Proceedings SNEB 2014: Hal. 3
1.
Mengoperasikan persamaan regresi berganda yang diadopsi dari single index model sebagai berikut (asumsi menggunakan 1 periode lag 1 periode lead) : Rit = i + i –1. RMt–1 + i 0. RMt + i +1. RMt+1 + it ............................................................. (2.6)
2.
Mengoperasikan persamaan regresi untuk mendapatkan korelasi serial return indeks pasar dengan return indeks pasar periode sebelumnya sebagai berikut : RMt = i + 1. RMt–1 + it …………..... (2.7)
3.
Menghitung bobot yang digunakan sebesar : W1 = 1 + 1 1 + 2 .1
……..……
(2.8) 4.
Menghitung beta dikoreksi sekuritas ke-i yang merupakan penjumlahan koefisien regresi berganda dengan bobot : i = W1. i -1 + i 0 + W1. i +1 …… (2.9)
Scott dan Brown (1980) meneliti instabilitas dari beta saham yang disebabkan oleh estimasi beta yang bias. Beta saham yang akan diuji stabilitasnya dihitung terlebih dahulu dengan menggunakan metode regresi ordinary least square (OLS) dan selanjutnya dilakukan identifikasi terhadap kesalahan pengukuran beta (error measurement). Pengujian stabilitas beta saham dilakukan dengan metode korelasi intertemporal untuk melihat korelasi beta saham–saham dari satu periode ke periode berikutnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beta saham cenderung tidak stabil selama periode berurutan, yang disebabkan oleh adanya kesalahan ekonometris dalam estimasi beta. Kesalahan estimasi beta tersebut akan mengakibatkan instabilitas beta walaupun dalam kenyataannya beta tersebut stabil. Oleh karena itu disarankan untuk melakukan koreksi terhadap bias beta sebelum dilakukan uji stabilitas beta. Selanjutnya berdasarkan data bulanan, Ariff dan Johnson (1990) menggunakan metode Fowler dan Rorke untuk mengoreksi bias beta di
Pasar Modal Singapura. Nassir dan Shamser (1996) menggunakannya di pasar modal Malaysia, sedangkan Hartono dan Surianto (1999) serta Tandelilin dan Lantara (2001) menggunakannya di pasar modal Indonesia. Adapun Ferikawita (2011) menggunakan model koreksi Fowler dan Rorke untuk portofolio reksadana saham di Indonesia. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa rata-rata periode yang diperlukan untuk mengoreksi bias beta saham di pasar modal Indonesia adalah 4 lag dan 4 lead. Namun untuk saham-saham unggulan seperti saham-saham Indeks LQ-45, Ferikawita dan Nunung AR (2013), menemukan bahwa beta pada sebagian besar saham-saham unggulan tersebut tidak bias atau jika pun dikoreksi cukup menggunakan 1 (satu) periode lag dan lead, hal ini kemungkinan disebabkan oleh karakteristik dari saham-saham Indeks LQ-45 tersebut yang relatif likuid dan tidak terlalu dipengaruhi oleh masalah non synchronous trading. Blume (1975) menyajikan bukti bahwa estimasi beta cenderung mengarah ke nilai 1 (satu) dari satu periode ke periode yang lain. Ini berarti bahwa nilai beta yang kurang dari 1 akan mengarah ke nilai 1 untuk periode berikutnya. Sebaliknya, estimasi beta yang lebih besar dari 1, untuk periode selanjutnya akan cenderung turun mengarah ke nilai 1. Beta stabil jika mempunyai kecenderungan ke arah satu, artinya, jika beta saham pada suatu periode >1, maka pada tahun berikutnya beta tersebut akan turun mendekati 1, dan sebaliknya. Fabozzi dan Francis (1977) melakukan penelitian untuk menguji apakah stabilitas alpha dan beta saham dipengaruhi oleh kondisi pasar yang sedang bullish atau bearish. Dengan indikator nilai F–test dan t–test yang tidak signifikan, maka diketahui bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara stabilitas alpha dan beta saham pada kedua kondisi pasar tersebut. Artinya bahwa stabilitas beta saham tidak dipengaruhi oleh kondisi pasar yang sedang berada dalam keadaan bullish maupun bearish. Dimson dan Marsh (1983), juga pernah melakukan penelitian terhadap stabilitas beta saham individual maupun beta portofolio saham di pasar modal Inggris. Mereka menekankan perlunya dilakukan koreksi terhadap bias beta yang disebabkan oleh masalah thin trading. Koreksi terhadap bias beta ini harus dilakukan sebelum dilakukan pengujian terhadap stabilitas beta saham, agar kualitas hasil penelitian yang diperoleh juga tidak mengalami bias. Hasil penelitian menunjukkan adanya stabilitas beta saham di pasar modal Inggris, terutama untuk beta portofolio saham. Gombola dan Kahl (1990), menyatakan bahwa pengujian terhadap stabilitas beta saham Proceedings SNEB 2014: Hal. 4
yang sebelumnya telah diestimasi dengan metode OLS, membutuhkan asumsi adanya hubungan antara return saham dan return pasar yang bersifat stabil selama periode estimasi. Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka estimasi beta saham yang akan diuji stabilitasnya perlu dikoreksi terlebih dahulu dengan metode estimasi alternatif yang dapat mengurangi bias yang terjadi dalam estimasi beta.
IHSGt
IHSGt-1 = IHSG periode sebelumnya Pada tahap ini, periode penelitian (2009– 2012) mulai dikelompokkan ke dalam sub periode. Berdasarkan pengelompokan atas periode penelitian yang berjumlah 3 tahun (2009– 2011), maka ditentukan jumlah sub periode per tahun adalah sebanyak 8 sub, sehingga total sub periode adalah : 3 tahun x 8 sub periode = 24 sub periode dengan masingmasing sub periode rata-rata terdiri atas 30 hari. Membentuk model koreksi berdasarkan Fowler dan Rorke method untuk mengoreksi bias pada beta setiap saham sehingga diperoleh unbiased beta, dengan langkahlangkah sebagaimana telah dibahas dalam bab sebelumnya.
3. METODE PENELITIAN 3.1 Operasionalisasi Variabel Berdasarkan model indeks tunggal (single index model) serta model Fowler dan Rorke, variabel-variabel penelitian yang akan dioperasionalisasikan adalah return indeks pasar (Indeks Harga Saham Gabungan-IHSG) sebagai independent variable dan return setiap saham di bursa sebagai dependent variable.
3.2 Sampel Penelitian Penarikan sampel dilakukan secara purposive, yaitu berdasarkan kinerja harian (diukur dengan return) seluruh saham yang memiliki data lengkap dan efektif beroperasi per periode 2009– 2012. Total ukuran sampel adalah 221 saham emiten yang terdiri dari 40 saham unggulan Indeks LQ-45 dan 181 saham di luar kelompok saham unggulan tersebut.
3.3 Metode Analisis Data Metode analisis data yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1.
2.
Mengumpulkan dan menganalisis data harga seluruh saham di Bursa Efek Indonesia, data Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG,) dan data tingkat bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) selama periode 2009– 2012, berdasarkan kinerja harian. Menghitung nilai beta setiap saham yang diperoleh dengan mengoperasikan model indeks tunggal (single index model), sebagai berikut : Ri = i + i . Rm + ei Dimana : Ri
= Pt – Pt-1 / Pt – 1
Rm
= IHSGt – IHSGt-1 / IHSGt-1
= IHSG periode ini
3.
4.
PEMBAHASAN Berdasarkan model indeks tunggal (single index model), diperoleh nilai beta awal untuk setiap saham emiten selama periode 2009-2011. Oleh karena nilai beta saham secara empirik terbukti bias akibat masalah perdagangan yang tidak sinkron di pasar modal, maka nilai beta tersebut harus dikoreksi dengan menggunakan model koreksi Fowler dan Rorke. Berdasarkan model Fowler dan Rorke maka dapat dibentuk model koreksi dengan menggunakan periode lag dan lead yang relevan untuk mengoreksi bias beta yang terjadi. Mengingat jumlah emiten yang cukup banyak (121 saham emiten), maka dalam pembahasan ini hanya ditampikan 2 contoh saham saja untuk mengetahui proses dan format yang digunakan untuk mengetahui pada periode berapa bias beta tersebut dikoreksi. SMDR
BETA AWAL
LAG LEAD 1
LAG LEAD 2
LAG LEAD 3
LAG LEAD 4
1
0.166
0.053
2.120
-1.052
5.054
2
-0.193
0.834
-2.893
-0.118
-1.037
3
1.151
0.519
-0.121
-0.572
-2.168
4
0.494
0.273
-0.440
0.983
0.667
0.029
-0.773
SUB PERIODE 2009
5
-0.507
2.436
7.495
Keterangan : Pt = Harga saham periode ini
6
-0.193
0.067
0.434
5.860
1.384
7
-0.251
0.993
0.210
-0.662
-3.283
Pt-1
8
0.348
1.166
1.147
1.453
-2.252
0.166
0.591
-0.265
0.161
0.204
= Harga saham periode sebelumnya
2010 1
Proceedings SNEB 2014: Hal. 5
BVIC
2
-0.193
-0.154
-1.614
0.819
0.844
3
1.151
0.033
0.987
280.932
-3.118
4
0.494
0.038
0.040
-0.076
-0.522
5
-0.507
0.339
-1.676
-7.738
-1.333
SUB PERIODE
6
-0.193
-0.994
0.264
0.677
2.897
2009
7
-0.251
-0.533
0.607
0.609
0.492 0.252
8
0.348
0.013
0.300
1.094
2011
BETA AWAL
LAG LEAD 1
LAG LEAD 2
LAG LEAD 3
1
1.613
2
0.507
3
LAG LEAD 4
-0.180
0.347
-0.041
0.560
0.174
-0.008
0.174
-0.464
0.725
0.610
1.124
2.333
3.815
1
0.152
0.531
0.799
1.100
2.045
4
0.31
0.271
0.017
-0.595
1.158
2
0.121
-10.748
-16.227
-11.819
13.791
5
0.263
-1.023
-6.194
0.409
0.456
3
0.119
-3.350
45.756
-27.714
-2.671
6
0.528
0.489
-0.166
3.824
-0.013
4
-0.090
-0.398
-0.604
-1.860
0.460
7
-0.619
1.959
2.437
6.189
5
-0.111
0.596
2.251
4.904
6.791
8
0.584
0.781
-4.020
2.880 14.606
6
-0.349
1.560
2.500
3.146
0.969
2010
7
-0.273
-0.649
0.549
0.719
1.525
1
0.970
0.540
0.804
0.167
-0.304
8
-0.242
-1.103
0.809
6.347
0.926
2
0.047
0.441
2.260
0.720
3
0.966
1.268
2.112
0.147 38.311
4
0.459
1.142
0.773
2.419
3.091
5
0.572
0.176
-1.430
1.546
0.771
6
0.256
0.721
0.462
1.571
7
1.205
0.948
-1.593
0.864 22.758
8
-0.321
-0.270
-0.656
-1.122
0.734
1
0.731
0.721
1.837
2.569
1.891
2
-3.937
-0.215
1.521
1.989
0.396
3
0.573
3.248
8.701
2.316
4.295
4
1.273
1.050
1.436
16.489
6.985
5
0.247
1.647
0.873
-0.909
-2.535
6
1.199
0.981
1.489
1.150
0.525
7
1.229
0.972
0.882
0.609
-0.085
8
0.469
0.424
0.898
-2.029
0.554
Ket. : arsiran menunjukkan beta yang telah dikoreksi
Format dari tabel di atas menunjukkan bagaimana proses penentuan nilai beta yang telah dikoreksi sehingga menjadi tidak bias (unbiased beta), diperoleh dari model koreksi Fowler dan Rorke pada periode lag dan lead 1, 2, 3, dan 4. Penggunaan sampai dengan 4 periode lag dan lead ini mengacu pada hasil empirik sebelumnya yang menyatakan bahwa untuk mengoreksi bias beta saham di Indonesia dibutuhkan 4 (empat) periode lag dan lead (Tandelilin dan Lantara, 2001). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa ada beberapa bukti yang mendukung dan menolak hasil penelitian Tandelilin dan Lantara. Untuk saham-saham unggulan, telah diketahui bahwa pada umumnya koreksi cukup menggunakan 1 periode lag dan lead, atau bahkan pada beberapa saham, beta yang diperoleh ternyata tidak bias (Ferikawita dan Nunung AR (2013).
0.015
2.566
5.759
2011
Ket. : arsiran menunjukkan beta yang telah dikoreksi
Sedangkan pada saham-saham di luar saham unggulan, diketahui bahwa sebagian besar beta umumnya membutuhkan koreksi lebih dari satu periode lag dan lead atau relatif relevan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Tandelilin dan Lantara (2001). 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa : 1.
Untuk mengoreksi bias beta saham-saham yang tidak termasuk ke dalam saham-saham unggulan Indeks LQ-45 selama periode 20092011 berdasarkan model koreksi Fowler dan Proceedings SNEB 2014: Hal. 6
Rorke, umumnya diperlukan lebih dari satu periode lag dan lead (lebih variatif) mengingat karakteristik saham-saham ini yang relatif jarang diperjualbelikan sehingga potensi biasnya lebih besar dibandingkan dengan saham-saham yang relatif sering diperjualbelikan. 2. Untuk saham-saham yang masuk ke dalam kelompok saham unggulan Indeks LQ-45 selama periode 2009-2011, diketahui bahwa sebagian besar dari beta saham-saham tersebut ternyata sudah merupakan unbiased beta atau beta tidak bias. Jika pun harus dikoreksi, periode yang dibutuhkan untuk mengoreksinya cukup satu periode lag dan lead saja. Adapun hal ini dapat disebabkan oleh karakteristik dari saham-saham unggulan yang likuid sehingga tidak terlalu dipengaruhi oleh masalah non synchronous trading yang dapat menyebabkan perhitungan beta menjadi bias. 5.2 Saran Saran bagi peneliti selanjutnya adalah : 1.
2.
3.
Menambah periode penelitian, misalnya 5 (lima) tahun namun data yang digunakan adalah data mingguan atau bulanan untuk mengurangi fluktuasi data yang akan diolah. Menggunakan saham-saham yang memiliki return selama periode analisis karena hal ini dapat berpengaruh pada hasil pengolahan dan analisis data, juga untuk mengurangi penggunaan asumsi-asumsi. Mencoba alat pengolah data lain untuk mengetahui konsistensi hasil perhitungan.
Fabozzi, Frank J. and Jack Clark Francis (1977), Stability Tests for Alphas and Betas Over Bull and Bear Market Conditions, The Journal of Finance, Vol. XXXII No. 4 Ferikawita MS (2011), Analisis Stabilitas dan Prediktabilitas Beta Sebagai Komponen Penting dalam Pengambilan Keputusan Investasi pada Portofolio Reksadana Saham, Prosiding Seminar Nasional SNAP 2011, Volume 2 No.1, Universitas Islam Bandung ------------------ dan Nunung Aini Rahmah (2013), Analisis Bias Beta Saham-saham Unggulan, Prodising Seminar Nasional Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Gombola, MJ, and Kahl, DR (1990), Time Series Processes of Utility Betas : Implications for Forecasting Systematic Risk, Financial Management Hartono J, dan Surianto (1999), Bias di Beta Sekuritas dan Koreksinya untuk Pasar Modal yang Sedang Berkembang : Bukti Empiris di BEJ, Makalah Seminar, pada Seminar Nasional Hasil-hasil Penelitian, Forum Komunikasi Penelitian Manajemen dan Bisnis, UNDIP Semarang Jogiyanto (2009), Teori Portofolio dan Analisis Investasi, Edisi Pertama, PT. BPFE, Yogyakarta Klemkosky, R.C and J.D Martin (1975), The Adjusment of Beta Forecast, The Journal of Finance, Vol. XXX No. 4
REFERENSI Ariff, M, and L. W Johnson (1990), Securities Markets and Stock Pricing : Evidence From a Developing Capital Market in Asia, Logman Singapore Publisher Ltd, Singapore
Lantara, I Wayan Nuka (2000), Analisis Stabilitas dan Prediktabilitas Beta Saham : Studi Empiris di BEJ, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Blume, Marshall E. (1971), On the Assessment of Risk, The Journal of Finance, Vol. XXVI No. 1
Nassir, A. Md, and Shamsher, M. (1996), Stock Pricing in Malaysia, Logman Singapore Publisher Ltd, Singapore
----------------------, Betas and Their Regression Tendencies (1975), The Journal of Finance, Vol. XXX No. 3 Dimson and Marsh, P (1983), The Stability of UK Risk Measuresand the Problem of Thin Trading, Journal of Finance Elton, Edwin J. and Martin J, Gruber (2007), Modern Portfolio Theory and Investment Analysis, Sixth Edition, John Wiley & Sons, New York
Scott, Elton and Stewart Brown, (1980), Biased Estimators and Unstable Betas, The Journal of Finance, Vol. XXXV No. 1 Tandelilin, Eduardus (2010), Teori Portofolio dan Analisis Investasi : Teori dan Aplikasi, Edisi Pertama ; Penerbit Kanisius Jogjakarta ------------------------ dan I Wayan Nuka Lantara (2001), Stabilitas dan Prediktabilitas Beta Saham : Studi Empiris di Bursa Efek Jakarta, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 16, No. 2, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Proceedings SNEB 2014: Hal. 7
Sumber Lain : Investor : Edisi Desember 2012
........... ........... ...........
: Edisi Januari 2013 : Edisi April 2013 : Edisi Mei 2013
Proceedings SNEB 2014: Hal. 8