ANALISIS AYAT POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM Syarifuddin Abstrak Alqur’an sebagai tuntunan manusia membutuhkan metode kajian yang tidak mengeluarkan alqur’an dari ciri karakteristiknya yang khas sangat berguna bagi masyarakat khususnya ayat tentang poligami yang jauh dari tema pokoknya yaitu masalah ekonomi anak yatim dan janda-janda dan menjadikan poligami sebagai dominasi bagi laki-laki. Sehingga konsep keadilan terhadap istri adalah suatu konsep keadilan bidang ekonomi terhadap anak-anak mereka yang menjadi yatim. Merupakan kesalahan besar jika membenarkan seorang lelaki untuk menikahi lebih dari seorang istri dengan alasan seksual yang terkadang zalim. Bagaimana jika yang tidak mampu melaksanakan tugasnya adalah suami, apakah seorang perempuan diperbolehkan untuk berpoliandri. Perdebatan inilah yang menjadi kajian untuk merepleksikan pemikiran poligami dalam membangun ekonomi anak yatim dan janda-janda sehingga kemaslahatan terjadi dalam kehidupan sosial. Kata kunci : Poligami, Ekonomi. Pendahuluan Penciptaan manusia merupakan skanario besar Allah swt, sebagai wujud terjadinya penataan dan pemeliharaan bumi. Eksistensi manusia di atas bumi telah digariskan Allah untuk menjadi khalifah dan diberikan alqur’an untuk menjadi aturan main dalam mengarungi kehidupan. Manusia dalam melakoni ranah kehidupan tentu hidup dalam kominitas masyarakat yang memiliki karakteristik gaya hidup yang berbeda. Islam bertujuan untuk membentuk masyarakat dengan tatanam sosial yang solid. Dalam tatanan itu, setiap individu diikat oleh persaudaraan dan kasih sayang bagai satu keluarga. Sebuah persaudaraan yang universal dan tak diikat batas geografis. Syariah Islam sebuah syariah yang dibawah oleh rasul terakhir, mempunyai keunikan tersendiri. Syariah ini tidak saja menyeluruh atau komprehensif, tetapi juga universal. Karakter istemawa ini diperlukan karena tidak ada syariah lain yang datang untuk menyempurnakannya. Namun dalam kesempurnaannya perlu ada kajian-kajian yang membawa kepada pemahaman yang lebih baru. Islam sebagai agama tentu memiliki pedoman untuk mendapatkan hayatan tayyibah dan pedoman itu adalah alqur’an. Allah menurunkan alqur’an kepada nabi Muhammad saw, dengan jumlah surah 114 dan salah satu surah yang ada di dalamnya adalah surah al nisa (perempuan).
Surah ini dinamakan surah al-Nisa, karena ayat-ayatnya banyak sekali membicarakan tentang hukum-hukum yang berkenaan dengan perempuan, dibandingkan surat-surat lain. Dalam pembukaan saja sudah mengingatkan manusia akan asal usul kejadiannya, yaitu dijadikan dari jiwa yang satu. Ini satu pembukaan yang indah sekali dalam rangka membicarakan masalah perkawinan, warisan, hak-hak suami, istri, dan nasab. Namun secara khusus dalam tulisan ini, membicarakan tentang poligami dalam perspektif ekonomi Islam. Poligami sebenarnya merupakan masalah lama, namun akhi-akhir ini kembali mencuat akibat dari santernya issu tentang kesetaraan gender. Masalah poligami tercantum dalam alqur’an surah al nisa ayat 3, para ulama klasik dan pertengahan telah melakukan pemahaman dan penafisiran, namun penafsiran tidak menggunakan pendekatan nadhariyah al hudud. Bahkan tidak menyadari akan adanya teori itu.1 Akibat penafsiran ayat tentang poligami yang jauh dari teori nadhariyah al hudud menimbulkan hasil tafsiran yang kurang humanis dan lebih cendrung kepada pembelaan terhadap dominasi pria. Jikalau berbicara masalah poligami, tentu banyak kalangan menentang namun kesemua itu terjadi, akibat pengkrakteran pemikiran bahwa poligami suatu jelek. Namun pemikiran yang terbangun dari positif akan mengarah kepada apa hikmah dibalik surah al nisa ayat 3 yang membahas tentang piligami. Pemikiran yang terkontruksi dari konsep yang demikian tidak akan terjebak pada padangan boleh atau tidak poligami. Sehingga penulis ingin menelitik pemikiran kita tentang poligami dari sudut pandang ekonomi Islam. Dimana bila berbicara masalah ekonomi berarti kita akan berbicara tentang kemampuan seorang suami dalam memenej rumah tangga yang dibinannya. Hal ini sangat relevan dengan konsep alqur’an pada surah al nisa tentang berbuat adil.
Pembahasan Penafsiran Ayat Tentang Poligami Secara Umum Penafsiran alqur’an yang tidak berdasarkan pada kondisi riil yang melatarbelakangi turunnya, atau memakai pola objetifikasi telah menghasilkan tafsiran yang subjektif, dan menjadikan alqur’an tersekat dalam sekatan yang terkadang sulit disatukan dalam suatu ikatan
1
Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, Terj. E. Kusnadiningrat, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2000., h. 374
utuh dan menyeluruh. Akibat penafsiran yang demikian ini, umat islam merasa asing dengan tuntunan hidupnya yang kemudian mendorong mereka berpaling dan mengabaikan alqur’an. Padahal dasar-dasar pembentukan masyarakat ideal secara rinci dijelaskan oleh alqur’an dalam surah al nisa. Surah an nisa merupakan salah satu surat madaniyah yang diturnkan di Madinah. Di dalamnya menjelaskan dasar-dasar pembentukan masyarakat yang idieal, yaitu sebuath masyarakat yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum alam (sunnatullah), proses penegakan keadilan, memelihara persamaan, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Ditempatkannya wanita sebagai tema sentral di dalam surat ini (sehingga menjadi nama dari surat ini), bukanlah pertanda bahwa surat ini hanya membahas tentang wanita semata. Namun terkait dengan eksistensi wanita itu sendiri dalam komunitas suatu masyarakat waktu itu. Dimana wanita posisikan sebagai elemen masyarakat yang hina dan tidak berarti. Eksistensi wanita dikala itu sangat lemah, dan menjadi komunitas masyarakat yang dimarginalkan. Akibat dari semua itu, adalah hilangnya sebagian hak-haknya seperti hak kewarisan dan bahkan ironis wanita dijadikan harta pusaka yang bias diwariskan. Penempatan wanita sebagai inti pokok dalam surat al nisa, semata-mata ingin menegaskan bahwa sebagai komponen masyarakat wanita memiliki peranan yang cukup penting. Eksistesinya memiliki kedudukan yang sama dan setara dengan masyarakat lain dan tidak bisa dipandang remeh dalam pembentukan sebuah masyarakat. Islam pada dasarnya memperbolehkan seorang pria beristri lebih dari satu (poligami). Dalam antropologi sosial, poligami merupakan praktek pernikahan yang lebih dari satu suami atau istri sekaligus pada suatu saat. Terdapat tiga bentuk poligami, yaitu poligini (seorang pria memiliki beberapa istri sekaligus), poliandri yaitu seorang wanita memiliki beberapa suami sekaligus) dan pernikahan kelompok yaitu kombinasi poligini dan poliandri. Perdebatan seputar poligami bermula dari penafsiran terhadap alqur’an surah An-Nisaa ayat 3 yang berbunyi :
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Prinsip dasar Islam tentang pernikahan adalah monogami, meskipun membolehkan poligami yang tidak menimbulkan mafsada baik yang berpoligami maupun terhadap perempuan dengan sejumlah syarat yang ketat. Poligami dalam ayat tersebut di atas hanya sebatas sebagai irsyad (petunjuk) dan bukan al I’lam (anjuran).2 Sebagaimana alqur’an tidak memutlakannya. Tapi membatasinya menjadi empat dengan syarat adil yang membedakannya dengan syariat lain tanpa pembatasan.3 Apabila syarat ini tidak terpenuhi, kebolehan tersebut menjadi hilang. Karena persyaratan yang ketat inilah mendorong kalangan modernis untuk merekomendasikan perkawinan ideal menurut alqur’an adalah monogami.4 Pada dasarnya poligami adalah faktor yang paling menonjol dalam melindungi monogami. Jika poligami karena jumlah kaum perempuan yang memerlukan perkawinan melebihi jumlah kaum laki-laki usia kawin dan hak perempuan untuk kawin tidak diakui secara resmidan pada saat yang sama laki-laki yang memenuhi syarat moral, financial dan fisik untuk mengawini lebih dari seorang istri tidak diperkenankan untuk kawin lagi, maka hubungan gelap dengan kekasih dan teman perempuan akan mematikan akar monogami yang sejati.5 Al Razi menjelaskan bahwa kalimat ( وان خفتم االتقسطواjika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil) sebagai syarat, dan ( فا نكحوا ما طا ب لكم من النساءmaka nikahilah perempuanperempuan yang kamu senangi) sebagai suatu kebolehan. Oleh karena itu, harus ada keterangan yang jelas tentang bagaimana sebenarnya hubungan antara kebolehan menikahi perempuan yang disukai (beristri sampai empat atau poligami) dengan syarat tersebut di atas.6 Menurut Muhammad Ali ash Shabuni berpendapat bahwa poligami adalah suatu tuntutan hidup, dan ini bukan undang-undang baru yang hanya di bawah Islam. Islam datang dengan
2 3
Hasan Syalqani, Qadayah al Mar’ah, (Kairo: Dar al Salam t. th), h. 158. Amir Abdul Aziz, Huquq al Insan fi al Islam, Cet. I (Kairo; Dar al Salam, 1417 H / 1997 M), h. 107-
112. 4
Annemarie Schimmel, Jiwaku adalah Wanita, Penerjemah Rahmani Astuti, Cet.II, (Bandung; Mizan 1998 M), h. 93. 5 Murtadha Muthahhari, Hak-hak wanita dalam Islam, Penerjemah M. Hasem, Cet. VII, (Jakarta; Lentera, 2004 M), h. 240. 6 Al Razi, Abu Abdullah Muhammad bin al Husain al Tabrastani, Tafsir al Razi, Jilid IX, (Kairo; Buloq, 1309 H), h. 178.
menjumpai kebiasaan tersebut tanpa batas dan tidak berperikemanusiaan, lalu diatur dan dijadikan sebagai obat untuk beberapa hal yang terpaksa selalu dihadapi masyarakat.7 Islam datang sedang ketika itu, banyak laki-laki yang beristrikan 10 orang lebih. Begitulah, lalu Islam datang seraya berbicara dengan orang laki-laki bahwa di sana ada batas yang tidak boleh di lalui, yaitu empat orang. Dan di sana ada pula ikatan dan syara, yaitu adil terhadap semua istrinya. Apabila adil ini tidak dapat dilaksnakan,8 maka dia hanya diperkenankan, maka ia hanya diperkenankan kawin seorang, atau terhadap hamba sahayanya.9 Masyarakat dalam pandangan Islam tak ubahnya sebuah neraca yang kedua daunya itu harus seimbang. Maka untuk menjaga keseimbangan neraca itu, perimbangan jumlah pria dan wanita seharusnya sama. Penafsiran Ayat Tentang Poligami Persepektif Ekonomi Sebelum lebih jauh mengkaji ayat tentang poligami, maka perlu terlebih dahulu menganalisa beberpa pengertian konsep ekonomi Islam. Ekonomi Islam dapat didefinisikan sebagai cabang ilmu yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumberdaya yang langka, yang sejalan dengan ajaran Islam, tanpa membatasi kebebasan individu ataupun menciptakan keseimbangan mikro dan ekologis.10 Ekonomi Islam dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari prilaku manusia muslim (yang beriman) dalam suatu masyarakat Islam yang mengikuti alqur’an dan hadis rasulullah.11 Alqur’an sebagai aturan, dimaksudkan untuk menjamin keselamatan manusia sepanjang hidupnya, baik yang menyangkut keselamatan agama, keselamatan diri (jiwa dan raga), keselamatan akal, keselamatan harta benda maupun keselamatan keturunan. Kesemua hal tersebut merupakan kebutuhan primer atau al hajah dharuriyaat.
Muhammad Ali ash Shabuni, Rawaiul bayan tafsir ayat al ahkam minal qur’an, diterjemahkan Mu’ammal Hamidi, Cet.I (Surabaya; PT Bina Ilmu Offset Surabaya 1985), h. 364. 8 Agama pra Islam dan bangsa selain Jazirah arabiyah terlebih dahulu telah menjadikan poligami sebagai ajaran agama dan tradisi mereka. Lebih lanjut dapat dilihat dalam Abdullah Nasih Ulwa, Ta’addud Zaujat fi al islam, Cet. Ix, (Kairo Dar al Salam, 1427 H / 2006 M), h. 93. 9 Dipahami bahwa keadilan tidak mungkin terwujud. Penegasan ini hamper-hampir menjadi indikasi larangan poligami. Hanya saja larangan tersebut khusus untuk keadilan yang berhubungan dengan cinta kasih antara setiap istri. Lihat dalam Muhammad Ulwan, Tahrir al Mar’ah baina al Islam wa al gharab, Iftiraat Gharbiyah wa Haqaiq Islamiyah, Cet.I, (Kairo; Syirkat al Amal li al Tajhizat al Fanniyah, 1423 H / 2002 M), h. 160. 10 Umar Chapra, Toward a just Monetary System, (Leicester UK; Islamic Fundation, 1986), h. 33. 11 Ely Masykuroh, SE, MSI, Pengantar Teori Ekonomi : Pendekatan Pada Teori Ekonomi Mikro Islam, Cet.I (Ponorogo; Nadi Offset Yogyakarta, 2008), h. 15. 7
وان خفتم اال تقسطوا يف اليتامي فانكحوا ماطاب لكم من النساء مثين وثال ث ورابع فان خفتم اال تعدلوا فواحدة أو ماملكت أميانكم ذالك أدين أال تعولوا Ayat tersebut di atas merupakan satu-satunya ayat yang berbicara tentang poligami. Kebanyakan ahli tafsir dan ahli fiqh ketika mengkaji masalah poligami mereka hanya membahas konteks ayat secara khusus dan mengabaikan penafsiran ayat dalam konteks umum, sehingga mereka melupakan bahwa sebenarnya masalah poligami memiliki kaitan yang sangat erat dengan perekonomian para janda-janda yang memiliki anak-anak yatim.12 Hal yang demikian ini, dapat dilihat dari refleksi perkawinan poligami yang dilakukan oleh rasulullah. Dinama Rasulullah melakukan poligami setelah istri pertamanya Khadijah meninggal. Dengan memeperhatikan beberapa ayat yang sebelum dan sesudahnya, Shahrur menyimpulkan bahwa konteks umum ayat tersebut sebagai berikut: Allah swt mengawali surah al nisa dengan ajakan kepada manusia untuk bertakwa dan mempererat hubungan persaudaraan dalam lingkungan luas, bukan hanya lingkup keluarga atau suku yang sempit, mengingatkan bahwa asal penciptaan manusia dari satu jiwa hal ini dapat dilihat pada ayat …يا يهاالناس انا خلقناكم من النفس واحدة Selanjutnya Allah swt berbicara tentang anak-anak yatim. Allah swt memerintahkan kepada kita untuk mengurus harta mereka dan tidak boleh mengkonsumsi sendiri. Pada ayat selanjutnya Allah swt masih berbicara tentang anak yatim. Jika khawtir (takut) tidak bisa bersikap adil antara anak-anaknya dan anak-anak yatim dari istri kedua, ketiga dan keempat maka cukuplah menikah dengan satu orang saja. Permasalahan lain sering dipertanyakan adalah fungsi huruf wau dalam ayat tersebut. Ada yang menganggap bahwa huruf wau itu dapat dipahami menjadi penjumlahan dan kata mastna, tsulasa, ruba diartikan dua dua, tiga tiga, empat empat sehingga hasilnya 4+6+8=18. Sebenarnya wau pada ayat ini berfungsi sebagai badal. Inilah yang membedakan antara kata penghubung (‘ataf) wau dengan au. Kalau menggunakan au, maka orang yeng berpoligami 3 tidak dapat menambah 1 menjadi 4, karena au menunjukkan pemilihan salah satu dari sekian
Muhammad Shahrur, Nahw Usul Jadidah fi Fiqh al Islamy: Fiqh al Mar’ah, ( Damaskus: al Ahali li al Taba’ah wa al Nash wa al Tawzi, 2000 M), h. 301 12
pilihan. Sementara, jika atahfnya wau menunjukkan bahwa orang yang beristri 1 dapat menambah 1 menjadi 2 dan seterusnya.13 Dari konteks umum ayat tentang poligami di atas dapat dipahami bahwa kita dihadapkan pada permasalahan ekonomi anak-anak yatim. Allah memerintahkan kepada kita untuk berbuat baik bersikap adil dan melaksnakan menajemen pengelolaan harta. Konsep keadilan dapat menciptakan keseimbangan dalam perekonomian dengan meniadakan kesenjangan antara pihak yang membutuhkan atau berkekurangan. Namun dengan demikian, Islam tidak menganjurkan adanya kesamarataan secara ekonomi dan tetap mengakui adanya ketidaksamarataan ekonomi antara orang perorangan.14 Al-Razi menjelaskan bahwa paling tidak ada empat penjelasan mufassir berkenaan hubungan antara kalimat ( وان خفتم اال تقسطواjika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil) sebagai syarat dengan ( فانكحوا ماطاب لكم من النساءnikahilah perempuan-perempuan yang kamu senangi) seperti ayat tersebut di atas: a. Urwah bin Zubair bertanya kepada Aisyah tentang maksud firman Allah ان خفتم اال تقسطواAisyah menjawab” wahai kemanakanku! Ayat ini mengenai anak yatim perempuan yang ada dalam asuhan walinya, si wali tertarik pada harta dan kecantikan anak itu. Ia bermaksud menikahi dengan member mahar yang paling rendah, kemudian dia memperlakukannya dengan cara yang tidak baik. Oleh karena itu, Allah berfirman, jika kamu kawatir akan penganiayaan terhadap anak yatim ketika kamu nikahi mereka, maka nikahilah perempuan-perempuan lain yang kamu suka”.15 b. Dalam menafsirkan ayat ini perlu milihat ayat sebelum karena dalam memahami suatu konteks ayat perlu menelitik kembali ayat terdahulu karena memiliki keterkaitan atau bahkan bisa terjadi tafsir ayat dengan ayat. Anak yatim dan memakan harta mereka sebagian dari dosa besar. Olehnya itu ketakutan akan dosa besar akan menimpa disebabkan ketidakmampuan berlaku adil terhadap hak-hak anak yatim. Maka konsep ayat sebenarnya menganjurkan untuk beristri satu.16 c. Dalam penafsiran ayat di atas, seakan akan mereka menjauhi untuk menjadi wali bagi anak yatim, lalu dikatakan “jika kamu takut terhadap hak-hak anak yatim, sementara 13 Muhammad Baltaji, Makanah al Mar’ah fi al Qur’an wa al Sunnah al Sahihah, (Kairo; Dar’ al Salam, 2000), h. 172 14 Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam suatu Pengantar, (Yogyakarta; Ekonisia, 2003), h. 107. 15 Al Razi, Tafsir al Razi, loc. cit. 16 Ibid., 179.
kamu takut juga dari perbuatan zina, maka hendaklah kamu menikahi saja perempuan yang telah dihalalkan bagimu dan janganlah kamu mendekati di sekitar yang haramharam. d. Diriwayatkan dari Ikrimah bahwa ia berkata: Ada seorang laki-laki yang memiliki banyak istri, dan ia mempunyai anak-anak yatim, ketika ia menafkahkan harta pribadinya untuk istri-istrinya dan tidaklah cukup harta tersebut, karena ia banyak kebutuhan, maka diambilah harta anak yatim untuk menafkahi mereka. Allah seakan akan berfirman, jika kamu takut tidak mampu berlaku adil terhadap harta anak-anak yatim, karena kamu memiliki banyak istri, dilarang kamu untuk tidak menikahi lebih dari empat orang istri, supaya kaum bebas dari ketakutan itu. Jika kamu masih takut dengan beristri empat orang , nikahilah seorang saja. Ingatlah batas maksimal (paling banyak) adalah empat orang, dan batas minimal adalah satu orang dan diperingatkan antara keduanya. Seakan-akan Allah juga mengatakan “jika kamu kawatir dengan empat orang, maka nikahilah tiga orang, jika kamu kewatir dengan tiga orang, maka nikahilah dua orang saja, jika kamu masih kewatir dengan dua orang, maka nikahilah dua orang saja, jika kamu masih kewatir dengan dua orang, maka nikahilah satu orang saja. Penafsiran ini lebih dekat, seolah-olah Allah mengkawatirkan orang yang memiliki banyak istri, boleh jadi ia akan terjerumus seperti wali yang mengambil harta anak yatim yang ada dalam asuhannya untuk menutupi kebutuhan nafkah yang banyak disebakan ia memiliki istri banyak.17 Sementara ulama lain mengatakan bahwa ayat 129 surah al-Nisa yang berbunyi:
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
17
Ibid., h. 179.
Sebagai penjelasan larangan poligami. Karena poligami disyariatkan suami dapat berlaku adil, sementara alqur’an menegaskan bahwa mustahi bagi seseorang dapat berlaku adil dalam poligami. Dalam konteks penafsiran al Tabari terlihat kaitan erat antara poligami dengan persoalan anak yatim dalam surah al nisa tersebut. Hal ini memberikan petunjuk bahwa langkah yang paling efektif dalam berbuat baik untuk anak yatim adalah dengan mengawini ibunya. Karena dengan mengawini janda-janda berariti kehidupan ekonomi anak-anak mereka telah menjadi tanggungan suaminya (bapak tiri mereka). Tindakan ini mendapat dua keutamaan sekaligus, yaitu memelihara anak yatim dan mengentaskan kemiskinan.18 Dalam kerangka inilah poligami yang dibolehkan adalah poligami dengan mengawini anak yatim atau janda dalam kondisi perang dengan syarat adil. Secara argumentatif, alqur’an tidak mengaitkan poligami dengan fungsi seksual baik laiki-laki maupun perempuan, juga tidak merujuk pada keistimewaan laki-laki, karena alqur’an hanya membatasi jumlah istri yang boleh dinikahi dan menggantungkan kebolehan praktik tersebut pada rangkaian persyaratan yang ketat dan terperinci. Alqur’an hanya mengaitkan poligam dengan keharusan menjamin keadilan sosial bagi anak-anak yatim perempuan. Hal yang sama juga diungkapkan Didin dalam tafsir al Hijri, menurutnya poligami merupakan aturan (syariah). Dalam konteks pensyariatan poligami ada tiga hikmah yang dirumuskan: a.
Mendidik umat untuk bisa berbagi rasa dan merealisasikan nilai-nilai solidaritas dalam kehidupan berumah tangga dan bermasyarakat.
b.
Mewujudkan sikap ta’awun dalam kebaikan. Seorang istri salehah yang mempunyai suami saleh dan bertanggungjawab, memiliki kemampuan fisik dan materi yang baik, kemudian mendorong dan mengikhlaskan suaminya untuk menyelamatkan seorang janda muslimah dan anak-anak yatim yang perlu perlindungan, hal yang emikian merupakan suatu kemuliaan yang besar dan diridhai Allah swt,
c.
Menghindari penyimpangan seksual dan menghindari efek psikologi yang berat bagi perempuan yang belum menikah dalam kondisi timpangnya rasio populasi umat antara laki-laki dan perempuan.19
18
Ahmad Hasan Al Baquri, Ma’ad al Qur’an, (Kairo; Maktabat al Adab wa Matbaatuha, 1970), h., 219-
19
Didin Hafiduddin, Tafsir al Hijri Kajian Tafsir Surah Al Nisa, (Jakarta; Logos Wacana Ilmu, 2000), h. 8
220.
Pada kajian tafsir yang dilakukan Quraish Shihab, memberikan anailisis yang berbeda dari Didin. Dia tidak melihat ayat 3 surah al nisa sebagai pengaturan poligami. Argumentasinya ialah karena sebelum Islam datang telah ada praktik poligami. Juga ayat ini tidak berbicara tentang anjuran poligami apalagi mewajibkannya, tapi hanya sebatas kebolehan poligami. Itupun, merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh yang amat membutuhkan dengan syarat yang amat berat. Dari arah ini, Quraish memandang poligami bukan dari segi ideal atau baik buruknya, tetapi dari sudut penetapan hukum dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi.20 Disamping itu, Quraish menolak orang yang berpoligami dengan alasan mengikuti sunnah rasul. Menurutnya, tidak semua sunnah rasul perlu diteladani, sebagaimana tidak semua yang wajib atau terlarang bagi beliau, wajib atau terlarang pula bagi umatnya.
Bukankah
rasulullah antara lain wajib bagun salat malam dan tidak boleh menerima zakat? bukankah ada hak-hak bagi seorang pemimpin guna menyukseskan misinya.21 Sementara Nurjannah dalam Perempuan dalam Pasungan, mengikuti alur pemikiran Syahrur bahwa pada dasarnya spirit alqur’an tidaklah terletak pada poligami sebagai satu bentuk sistem pernikahan, tetapi bagaimana mengatasi problem kemanusiaan, yang dalam hal ini berupa problem anak-anak yatim dan janda-janda yang perlu penanganan. Seandainya pelaksanaan poligami itu tidak berfungsi memecahkan problem-problem social kemanusian atau bahkan justru menimbulkan masalah-masalah social, maka praktik poligami telah keluar dari spirit alqur’an.22 Syariat poligami yang dijelaskan alqur’an adalah berasas pada jalb al masalih (menciptakan kemaslahatan). Jika praktik poligami bahkan bisa menimbulkan kemafsadatan atau kerusakan, maka hal itu, harus ditinggalkan. Karena dalam kaidah usul dikatakan dar’u al mafasid muqaddam ala jalbu al masalih (menolak kemafsadatan harus diutamakan ketimbang menciptakan kemaslahatan).23 Pada kajian lain Syahrur mengkaji ayat poligami di atas dengan analisis teori al-hudud, menurut beliau bahwa ayat tersebut mengisyaratkan dua macam had yaitu: 1. Had al Kam (batas kuantitatif) 20 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al Qur’an, Jilid II (Jakarta; Lentera Hati, 2000), h.324-325. 21 Muhammad Quraish Shihab, Perempuan, (Jakarta; Lentera Hati, 2005), h. 169. 22 Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan; Bias Laki-laki dalam Penafsiran, (Yokyakarta; LkiS, 2003), h. 230. 23 Ibid.
Adapun maksud had al kam disini adalah batas jumlah wanita yang boleh dinikahi. Ayat poligami di atas memiliki dua batas kuantitatif yaitu batas minmal (had al adna). Batas minmal wanita yang boleh dinikahi adalah satu, karena tidak mungkin seseorang menikahi dirinya sendiri atau beristri setengah. Adapun batas maksimalnya (had al a’la) adalah empat, karena hitungan pada ayat tersebut terhenti pada angka empat. Ketika seseorang tidak melakukan poligami, maka ia tidak melanggar batas-batas yang telah ditetapkan Allah. 2. Had al Kasyf (batas kualitatif) Pemahaman yang dapat diambil adalah bagaimana status calon istri kedua, ketiga dan keempat yang boleh dinikahi ? gadiskan atau janda ? ayat poligami di atas menggunakan shighat al shart. Shartnya berbunyi وان خفتم اال تقسطوا في اليتميsementara jawab shart-nya berbunya فا قدرواله. Agar bisa terjadi korelasi dan dapat dimengerti secara sempurna maka antara shart dan jawab shart harus selaras. Karena shartnya berbicara tentang anak yatim maka dapat disimpulkan bahwa calon istri kedua, ketiga, dan keempat yang boleh dinikahi adalah berstatus janda. Dengan demikian orang yang menghendaki poligami maka akan menanggung anak-anak yatim dari istri-istri yang dinikahinya. Pemahaman poligami seperti ini menurut Shahrur sesuai dengan hadis nabi yang artinya Saya dan pengasuh anak-anak yatim di surge seperti dua jari yang berdampingan). Boleh jadi hadis ini merupakan penjelas ayat di atas sekaligus stimulus bagi lakilaki untuk memperistri janda dan mengasuh anak-anaknya.24 Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Allah swt telah mengizinkan berpoligami dengan batas minimal satu orang istri dan batas maksimal empat orang istri. Allah tidak mengizinkan poligami begitu saja, akan tetapi harus memenuhi dua syarat yaitu pertama calon istri yang boleh dinikahi harus berstatus janda dan memiliki anak yatim. Kedua, terealisasinya kekhawatiran tidak bisa mengurus anak yatim secara adil. Kedua syarat terdsebut harus dipenuhi. Jika salah satunya tidak terpenuhi maka gugurlah izin berpoligami. Dengan kata lain, walaupun calon istri janda, namun jika ia bisa mengurus anak-anaknya yang yatim dengan adil maka gugurlah izin poligami.25 24 25
Muhammad Shahrur, Nahw Usul Jadidah fi Fiqh al Islamy: Fiqh al Mar’ah, Op., Cit, h. 599-600 Ibid., h.303.
Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa konteks umumnya ayat 3 surah al nisa berbicara masalah anak yatim, sehingga poligami diperintahkan merupakan solusi bagi problematika sosial kemanusiaan. Sehingga dapat dirumuskan hikmah sebagai berikut : a. Adanya seorang lelaki di samping seorang janda yang mampu menjaganya dari perbuatan keji. b. Terjaminya tempat perlindungan yang aman bagi pertumbuhan anak yatim c. Tetap terjaganya kebersamaan antara seorang ibu dengan anaknya. Dengan pemahaman kompleks tentang ayat poligami, maka akan membikan kesegaran pemikiran dimana poligami sebagai suatu instrumen untuk meningkatkan ekonomi masyarakat terutama bagi janda-janda dan anak yatim. Inilah konsep ajaran universal dan komprehensip yang ingin memposisikan tugas kekhalifaan manusia untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan dalam hidup dan kehidupan disamping tugas pengabdian atau ibadah dalam arti luas. Untuk mewujudkan tugas tersebut Allah member manusia dua anugrah nikmat yaitu manhaj alhayat (system kehidupan) dan wasilah al hayat (sarana kehidupan). Manhaj al hayat adalah seluruh atuan kehidupan manusia yang bersumber pada alqur’an dan hadis. Aturan tersebut berbentuk keharusan atau sebaliknya melakukan sesuatu juga dalam bentuk larangan melakukan atau me ninggalkan sesuatu. Aturan tersebut dikenal sebagai ahkamul khamzah. Aturan-aturan tersebut dimaksudkan untuk menjamin keselamatan manusia sepanjang hidupnya, baik yang menyangkut keselamatan agama, maupun keselamatan jiwa, akal, harta benda, maupun keselamatan keturunan. Hal tersebut merupakan kebutuhan pokok atau al haajat adh dharuriyyah. Pelaksanaan Islam sebagai konsep way of life secara konsisten dalam semua kegiatan kehidupan, akan melahikan sebuah tatanam kehidupan yang baik yang disebut hayatan tayyibah.
Sebaliknya
menolak
aturan
atau
sama
sekali
tidak
memiliki
keinginan
mengaplikasikannya dalam kehidupan akan melahirkan kekacauan kehidupan yang disebut maisyatan dhanka. Karena ajaran Islam memang dirancang sebagai rahmat untuk umat manusia, dan menjadikan manusia lebih sejahtera dan lebih bernilai, tidak miskin dan tidak menderita. Adapun salah satu instrument yang dijadikan Allah untuk menjaga nilai kemanusian dan tetap pada posisi sejahtera adalah melalui konsep poligami.
Kesimpulan
Bertitik tolak dari keterangan di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan: 1. Penafsiran ayat tentang poligami yang mengatakan bahwa laki-laki boleh berpoligami jika sang istri mandul atau berkenaan dengan seksual adalah suatu kajian yang perlu untuk dirivew, karena hal itu bisa dibalikkan fakta bahwa jika seorang suami inpoten maka mungkinkah seorang istri berpoliandri. 2. Jadi penafsiran penulis dalam kajian ekonomi mengatakan bahwa pada dasarnya Islam ingin membangun suatu tatanam masyarakat yang sejahtera sebagaimana posisi rasulullah diutus menjadi rahmat. Sehingga untuk membangun rahmat dalam hidup dan kehidupan salah satu instrument yang terdapat dalam surah al nisa ayat tiga adalah dalam bentuk poligami. Karena poligami dalam kajian ekonomi adalah untuk membangkitkan kesejahteraan anakanak yatim para janda-janda.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah Nasih Ulwa, Ta’addud Zaujat fi al Islam, Cet. IX, (Kairo Dar al Salam, 1427 H/2006 M) Ahmad Hasan Al Baquri, Ma’ad al Qur’an, (Kairo; Maktabat al Adab wa Matbaatuha, 1970) Amir Abdul Aziz, Huquq al Insan fi al Islam, Cet. I (Kairo; Dar al Salam, 1417 H / 1997 M) Annemarie Schimmel, Jiwaku adalah Wanita, Penerjemah Rahmani Astuti, Cet.II, (Bandung; Mizan 1998 M) Al Razi, Abu Abdullah Muhammad bin al Husain al Tabrastani, Tafsir al Razi, Jilid IX, (Kairo; Buloq, 1309 H) Didin Hafiduddin, Tafsir al Hijri Kajian Tafsir Surah Al Nisa, (Jakarta; Logos Wacana Ilmu, 2000) Ely Masykuroh, SE, MSI, Pengantar Teori Ekonomi: Pendekatan Pada Teori Ekonomi Mikro Islam, Cet.I (Ponorogo; Nadi Offset Yogyakarta, 2008) Hasan Syalqani, Qadayah al Mar’ah, (Kairo: Dar al Salam t. th) Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam suatu Pengantar, (Yogyakarta; Ekonisia, 2003) Muhammad Ali ash Shabuni, Rawaiul bayan tafsir ayat al ahkam minal qur’an, diterjemahkan Mu’ammal Hamidi, Cet.I (Surabaya; PT Bina Ilmu Offset Surabaya 1985) Muhammad Baltaji, Makanah al Mar’ah fi al Qur’an wa al Sunnah al Sahihah, (Kairo; Dar’ al Salam, 2000) Murtadha Muthahhari, Hak-hak Wanita dalam Islam, Penerjemah M. Hasem, Cet. VII, (Jakarta; Lentera, 2004 M) Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al Qur’an, Jilid II (Jakarta; Lentera Hati, 2000) Muhammad Quraish Shihab, Perempuan, (Jakarta; Lentera Hati, 2005) Muhammad Shahrur, Nahw Usul Jadidah fi Fiqh al Islamy: Fiqh al Mar’ah, ( Damaskus: al Ahali li al Taba’ah wa al Nash wa al Tawzi, 2000 M) Muhammad Ulwan, Tahrir al Mar’ah baina al Islam wa al gharab, Iftiraat Gharbiyah wa Haqaiq Islamiyah, Cet.I, (Kairo; Syirkat al Amal li al Tajhizat al Fanniyah, 1423 H / 2002 M)
Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan; Bias Laki-laki dalam Penafsiran, (Yokyakarta; LkiS, 2003), Umar Chapra, Toward a just Monetary System, (Leicester UK; Islamic Fundation, 1986) Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, Terj. E. Kusnadiningrat, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2000.