Alam dan Lingkungan dalam perspektif al-qur’an dan tasawuf Andi Eka Putra IAIN Raden Intan Lampung
Abstrak Kontribusi utama tasawuf dalam hubungannya dengan alam dan lingkungan hidup adalah bahwa masalah alam dan lingkungan hidup adalah masalah kosmos, dan masalah kosmos juga adalah permasalahan manusia. Alam dalam bahasa Arab adalah ‘Alam, artinya “alamat” atau tanda akan Tuhan (the sign of God), sementara lingkungan adalah al-bi’ah. Al-Qur’an menegaskan bahwa segala sesuatu adalah “tanda-tanda” (ayat) Allah, dalam artian bahwa segala sesuatu mengabarkan hakikat dan Realitas Mutlak (Absolut Reality). Para sufi berusaha menguatkan pandangan al-Qur’an tentang alam dan lingkungan melalui kacamata batin. Kepekaan terhadap lingkungan (alam) dan berbagai bidang kehidupan, adalah bagian yang menjadi ukuran bahwa tasawuf tidak sekedar pemenuhan spiritual belaka, akan tetapi lebih dari itu yaitu mampu membuahkan hasil (pragmatis) bagi penyelamatan dan perlindungan terhadap alam dan lingkungan hidup. Pandangan tentang alam dan lingkungan model ini memiliki akibat penghayatan yang begitu intim terhadap masalah ekologi yang kini menjadi masalah besar di berbagai belahan dunia. Pendekatan tasawuf atas ekologi adalah solusi yang ditawarkan Islam atas problema kerusakan alam dan krisis lingkungan di zaman modern. Kata kunci: Alam, Lingkungan Hidup, Tasawuf
Andi Eka Putra
A. Pendahuluan
Ketika membicarakan alam dan lingkungan, tentu saja tidak cukup jika tidak juga menyinggung manusia sebagai makhluk dan Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Ketiga tema itu (alam, manusia dan Tuhan) sudah sering didiskusikan dan menjadi perdebatan sangat dinamis dalam kajian keilmuan Islam klasik hingga kontemporer. Ketiga persoalan ini menjadi tema sentral yang lazim disebut sebagai trilogi metafisika. Hubungan Allah dan manusia sebagai khalifah, serta alam, adalah merupakan hubungan segi tiga dimana Allah merupakan puncaknya. Dalam kedudukan yang seperti itu maka pengelolaan alam oleh manusia tidak akan bersifat antroposentris; artinya bila ia mempertahankan, memelihara, mengembangkan dan meningkatkan kualitas hidupnya tidak akan mengarah pada diri sendiri, tetapi bersama dengan alam dan Tuhan. Dari ketiga tema itu, masalah ketuhanan menempati poros pertama. Adapun tema yang menyangkut manusia dan alam menempati porsi yang sedikit, dan yang sedikit inipun lebih banyak dibicarakan dalam konteks ketuhanan dan cenderung bersifat metafisik (abstrak). Sebagai respons dari kenyataan ini, belakangan gencar dikumandangkan oleh pemikir Muslim kontemporer gagasan untuk menggeser wacana teologis yang metafisis dan abstrak ke persoalan yang lebih konkret. Salah satu tokoh kontemporer yang bersemangat dan telah menulis buku yang cukup memadai dalam tema teologi, adalah Hassan Hanafi. Dalam serial bukunya yang berjudul At Turats wa Al Tajdid: minal aqidah ila tsaurah, Hanafi menyatakan bahwa konsen utama teologi atau keilmuan akidah klasik lebih kepada urusan bagaimana membela Tuhan. Ini, kata dia relevan dengan semangat zaman dahulu, tetapi tidak untuk sekarang. Sebagai tawaran, Hanafi mengusulkan bagaimana teologi atau akidah itu dibangun atas semangat membela manusia. Apabila kita mencermati pola pemikiran teologis, tampaknya dari ketiga hal tersebut, yang paling didiskrimanisikan adalah wacana kealaman atau lingkungan. 1 1
2
Hasan Hanafi, Dari Akidah ke Revolusi: Sikap Kita terhadap Tradisi Lama, terj. Asep Usman Ismail, Sudi Putro, Abdul Rouf, Paramadina, Jakarta, 2003, h.xix. Dalam artikel lain Hassan Hanafi juga menulis tentang “teologi tanah”. Menurut Hanafi, pandangan agama tentang tanah dalam arti modern merupakan pokok Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Alam dan Lingkungan Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Tasawuf
B. Alam dan Lingkungan dalam Al-Qur’an Kitab Suci al-Qur’an jauh-jauh hari telah memperingati tentang kecenderungan umat manusia akan membuat kerusakan di muka bumi, termasuk merusak alam dan lingkungan. Dalam surat yang terkenal dan sering dikutip tentang manusia sebagai khalifah, disebutkan dalam al-Bagarah ayat 30, dimana Allah berfirman:
ﭽ ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ
ﭮ ﭯﭼ
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
Pokok pikiran ayat itu terdapat pada kalimat yang artinya: “Sesungguhnya Aku akan menjadikan khalifah di bumi”. Selanjutnya kata kunci kalimat ini terdapat pada kata “khalifah”. Menurut M. Quraish Shihab, term “khalifah” yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 30 ini adalah berkonotasi politis. Sebab diungkapkan dalam bentuk tunggal, khalifah, dan subyeknya berupa orang pertama tunggal, ya’ mutakalim: Inni (Sungguh Aku). Pengangkatan Adam sebagai khalifah dalam bentuk tunggal ini wajar sebab ketika peristiwa tersebut terjadi memang tidak ada pihak lain yang terlibat dalam pengangkatan tersebut.2 Tema alam dan lingkungan hidup cukup banyak terdapat dalam al-Qur’an. Ini menandakan bahwa dalam Kitab Suci agama Islam, masalah alam dan lingkungan merupakan masalah yang menjadi
baru dalam Islam. Tidak ada presedennya dalam teologi, filsafat, mistik ataupun syariah klasik. Karena pada masa klasik tanah belum menjadi masalah sebagaimana saat ini. Lihat Hassan Hanafi, “Pandangan Agama tentang Tanah: Suatu Pendekatan Islam”, terj. Tim redaksi majalah Prisma, Prisma No.4 tahun 1984, h. 39-49 2 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (bandung: Mizan, 1993), h. 156-159 Vol. 8 No. 1 Januari - Juni Tahun 2014
3
Andi Eka Putra
perhatian yang serius Dalam surat Ali Imran ayat 190-191 Allah berfirman:
ﭽﮉ ﮊ ﮋ ﮌ ﮍ ﮎ ﮏ ﮐ ﮑ ﮒ ﮓ ﮔ
ﮕﮖﮗﮘﮙ ﮚﮛﮜﮝ ﮞﮟﮠ
ﮡﮢﮣﮤﮥﮦﮧﮨﮩ ﮪ ﭼ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orangorang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka”.
Di sini Islam memandang bahwa alam adalah ayat atau tandatanda bagi mereka yang menggunakan akal-pikirannya. Ini berarti alam dalam Islam dapat dimanfaatkan sebagai rumah tangga manusia, dapat dimanfaatkan dan dikelola bagi kemaslahatan umat manusia. Di penghujung ayat itu dikatakan, Rabbana ma khalaqta hadza bathilan. Di sini ada semacam kesimpulan yang diharapkan dari deretan firman itu. Kesimpulan itu tidak menuunjukkan bahwa gejala alam tertentu bisa dieksploitir secara teknologis untuk pemanfaatan kehidupan manusia. Dapat dibayangkan ketika al-Qur’an diwahyukan kepada Nabi Muhammad 14 abad yang lalu, dia sudah berbicara tentang daur ulang lingkungan hidup yang sehat lewat angin, gumpalan awan, air, hewan, tumbuh-tumbuhan, proses penyerbukan bunga, buah-buahan yang saling terkait dalam satu kesatuan ekosistem. Di antara ayat-ayat tersebut terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 22:
ﭽﮨ ﮩ ﮪ ﮫ ﮬ ﮭ ﮮ ﮯ ﮰ ﮱ ﯓ ﯔ ﯕ ﯖ
ﯗ ﯘ ﯙﯚ ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠ ﯡ ﭼ
“Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap. Dia menurunkan air hujan dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu janganlah engkau mengadakan sekutu bagi Allah padahal kamu mengetahui”.
4
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Alam dan Lingkungan Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Tasawuf
Selain itu, Allah juga berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 164 yang artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih berganti malam dan siang, kapal yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia menghidupkan bumi sesudah mati (keringnya) dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh (terdapatlah) tanda (kekuasaan dan kebenaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”. Juga dalam surat al-Mu’minum ayat 18: “Dan Kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran, lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan sesungguhnya Kami berkuasa pula menghilangkannya. Lalu dengan air itu kami tumbuhkan untuk kamu kebun-kebun kurma dan anggur. Di dalam kebun-kebun itu kamu peroleh buah-buahan yang banyak dan dari kebun-kebun itu kamu mendapatkan makanan”. Demikian pandangan al-Qur’an mengenai alam dan lingkungan dalam maknanya yang seluas-luasnya. Masih banyak ayat lain yang berhubungan dengan konteks alam dan lingkungan, baik dalam konteks kerusakan alam maupun upaya memperbaikinya. Namun ayat-ayat di atas sudah cukup sebagai contoh bahwa al-Qur’an mengandung visi kearifan ekologis. C. Perspektif Tasawuf tentang Alam dan Lingkungan
Tasawuf adalah satu kaedah untuk membangun hubungan ideal antar manusia dengan Tuhan, juga dengan lingkungan sekelilingnya. Para sufi berusaha menguatkan pandangan al-Qur’an tentang alam dan lingkungan melalui kacamata batin. Kepekaan terhadap lingkungan (alam) dan berbagai bidang kehidupan, adalah bagian yang menjadi ukuran bahwa tasawuf tidak sekedar pemenuhan spiritual belaka, akan tetapi lebih dari itu yaitu mampu membuahkan hasil (pragmatis) bagi penyelamatan dan perlindungan terhadap alam dan lingkungan hidup. Dalam kajian mutakhir, ada dua istilah yang berhubungan dengan masalah ini, yaitu “homo Islamicus” dan makhluk lingkungan (homo ecologius).3 3
Majalah Islamika mengenalkan tema alam dan lingkungan hidup serta hubungannya dengan masalah spiritualitas dalam suatu acara dialog yang dihadiri oleh para cendekiawan Muslim Indonesia yang kemudian hasil dialog terseVol. 8 No. 1 Januari - Juni Tahun 2014
5
Andi Eka Putra
Adanya krisis ekologi saat ini tidak terlepas dari krisis spiritual. Masalah lingkungan hidup kini tak dapat diatasi hanya melalui reposisi hubungan manusia dengan lingkungan alamnya, tetapi juga harus melalui reorientasi nilai, etika dan norma-norma kehidupan yang kemudian tersimpul dalam tindakan kolektif, serta restrukturisasi hubungan sosial antar individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan kelompok, dan antara kelompok dengan organisasi yang lebih besar (misal negara, lembaga internasional). Dalam konsep teosofi Islam, secara hirarki lahiriyah kosmis, alam memang telah dipersiapkankan untuk manusia, yaitu untuk kemaslahatan hidupnya di dunia. Dan secara hirarki batiniyah kosmis, alam dan manusia samasama ciptaan Allah, makhluk Allah, hamba Allah, dan sama-sama menghamba dan berdimensi spiritual. Oleh karena itu, manusia dalam memanfaatkan alam tidak boleh mengabaikan spiritualitasnya apalagi berusaha untuk mereduksinya secara ektrim seperti yang dilakukan oleh Barat yang materialistis. Munculnya pertanyaan misalnya tentang mengapa tasawuf sebagai ajaran yang mengedepankan persoalan bathin harus diintegrasikan dengan persoalan lingkungan, adalah lantaran pola pikir (mindset) kebanyakan kita yang dualistis; memisahkan kehidupan rohani dengan kehidupan materi, surgawi dengan duniawi, iman dengan kerja dan seterusnya.4 Cara berpikir polaritatif ini cenderung menghapuskan relasi yang ada. Kesatuan antara esoteris dan eksoteris disekat menjadi dua ruang yang saling berseberangan. Menyandingkan tasawuf dengan lingkungan sesungguhnya menyadarkan kita akan pentingnya kesinambungan alam ini dengan keanekaragaman hayatinya, didasarkan pada paham kesucian alam. Dan manusia harus meninjau kembali pandangan sekularnya terhadap alam sembari menengok kembali ke ruangruang spiritual di dalam hati. Hati yang dipenuhi getargetar spiritual akan mengokohkan sifat sifat keTuhan
6
but disunting oleh Saiful Muzani dan dimuat dalam Majalah Islamika Edisi No. 3 Januari-Maret 1994 h. 23-33 dengan judul “Homo Islamicus: Menuju Spiritualitas Lingkungan”. Dalam konteks spiritualitas Islam, ada istilah yang sering dilansir, yaitu homo ecologius (makhluk lingkungan. Untuk yang terakhir ini, lihat Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan: Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 1 4 Zaim Saidi, “Islam Tradisional dan Krisis Lingkungan: Pandangan S orang Aktivis”, Majalah Islamika Edisi No. 3 Januari-Maret 1994, h. 19 Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Alam dan Lingkungan Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Tasawuf
an yang ada dalam jiwa untuk senantiasa arif pada Tuhan, manusia, dan alam. Hubungan personal antara manusia dan Tuhan yang sangat intim diharapkan bisa berimplikasi positif secara lebih luas dalam tatanan kolektif masyarakat umat manusia. 5 Logikanya, hubungan personal dengan Tuhan itu tidak hanya berhenti pada titik personal saja, juga tidak hanya dipenuhi oleh kebernikmatan hidup secara spiritual individual. Melainkan, berujung dan ditujukan untuk meraih implikasi sosial dan lingkungan yang luas. Bencana-bencana yang terus menimpa belakangan ini dan kian memburuk menandai adanya krisis kearifan menuju ke arah Tuhan, manusia, dan alam semesta yang ketiga-tiganya menjadi pusat episentrum ekosistem dalam Islam. Bila ditelusuri lebih jauh ke belakang, kerangka spiritualitas ekologi sebetulnya bukanlah sesuatu yang sama sekali baru, tetapi telah terumuskan secara berulang-ulang sepanjang sejarah perjalanan hidup umat manusia. Tradisi klasik Islam misalnya, menawarkan ungkapan-ungkapan yang bermakna karifan ekologis yang begitu indah. Salah satunya dalam matsnawinya Jalaluddin Rumi, dalam salah satu pusinya ia mengungkapkan: “engkau wahai alam adalah mikrokosmos, namun pada hakikatnya engkau adalah makrokosmos. Tampaknya ranting itu tempat tumbuhnya buah, padahal ranting itu justru tumbuh demi buah ”.6 Seyyed Hosein Nasr, misalnya, ketika menafsirkan Surat Ali Imran yang sudah dikutip atas sebagai ayat yang memperkarakan kesatuan (transendensi) antara alam dan manusia. Alam dengan segala fenomenanya, menurut Nasr, adalah tanda atau simbol. Alam adalah ayat-ayat kebesaran Tuhan yang lain, yang tak tertulis dan unik (ayat kauniyah) dan melengkapi ayat-ayat lain yang tertulis dalam alQur’an.7 Menurut Nasr, krisis lingkungan maupun ketidakseimbangan 5
Seyyed Hosein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, terj. Abdul Hadi WM., (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985), h. 195. Penafsiran Nasr tentang masalah alam dan lingkungan melalui tafsiran sufistik dibahas dalam artikel berjudul “ Problem Lingkungan dalam Cahaya Tasawuf: Penaklukan Alam dan Ajaran Islam Pengetahuan Timur”, 6 Reshad Field, Tabir Terakhir: Petualangan Ruhani Jalaluddin Rumi, terj. Syarifah Levi, (Jakarta: Serambi, 2004), h. 187 7 Seyyed Hosein Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Modern, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1983), h. 19 Vol. 8 No. 1 Januari - Juni Tahun 2014
7
Andi Eka Putra
psikologis yang dialami oleh sedemikian banyaknya manusia, keburukan lingkungan kota, dan lain -lain yang semacamnya, adalah akibat dari usaha manusia untuk hidup dengan roti semata-mata, untuk “membunuh semua tuhan”, dan untuk menyatakan kemerdekaannya dari kekuatan surgawi. 8 Secara substansial, ajaran tasawuf mempunyai nilai positif jika diterapkan pada masyarakat modern karena ajaran tasawuf ini tidak mengharuskan seseorang untuk meninggalkan kepentingankepentinagn duniawi. Cara -cara yang kontemplatif dan yang aktif tidak pernah terpisah mutlak baik secara lahiriah maupun secara batiniah di dalam tasawuf. Seorang sufi yang batinnya sama sekali telah meninggalkan keduniawian, tetapi secara lahiriah ia masih berpartisipasi di dalam kehidupan masyarakat dan memikul berbagai tanggung jawab yang dibeba nkan kepadanya. Kehidupan-kehidupan kontemplatif dan aktif di dalam semua spiritualitas Islam tidak saling bertentangan, tetapi saling melengkapi. 9 Menurut Nasr, kesadaran psikis memang diakui dapat memberikan penyadaran humanis. Tetapi sesungguhnya ia tidak mampu melahirkan nilai etika dan estetika yang luhur, sebagaimana yang dicetuskan oleh penghayatan keilahian. Keindahan dan kemudian budi yang muncul dari kesadaran psikis, bukan spiritual, hanyalah bersifat terbagi-bagi dan sementara. Dan ini sering menipu dirinya dan orang lain. Keindahan dan kebaikan tidak dapat diraih tanpa seseorang membuka lebar-lebar mata hatinya, lalu senantiasa mengadakan pendakian rohani, meski dalam dimensi lahirnya seseorang hidup dalam kepingan ruang dan waktu serta berkarya dengan disiplin ilmunya. Dengan disiplin ilmu dan teknologi yang dikuasainya, seseorang dapat memahami rahasia watak alam sehingga dapat mengelolanya, sementara mata hatinya menyadarkan bahwa alam yang dikelolanya adalah sesama makhluk Tuhan yang mengisyaratkan Sang Penciptanya, Yang Rahman dan Rahim. Dalam perspektif sufi, alam tidak akan pernah menjadi semata objek yang mati untuk mengabdi manusia. Alam adalah sebuah wujud hidup yang mampu mencinta dan dicinta, dan antara keduanya (manusia dan alam) dapat muncul cinta dan pemahaman timbal 8
8
Ibid., h. 21 Ibid., h. 98
9
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Alam dan Lingkungan Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Tasawuf
balik. Dari sini kita dapat mempelajari hubungan yang terjalin antara manusia dan alam ; apapun yang manusia lakukan akan merefleksi pada alam. Kini, tergantung pada manusia apakah manusia akan terus melakukan kerusakan terhadap alam atau menciptakan persahabatan dengannya, kedamaian serta keserasian antara keduanya. Tuhan telah menunjuk manusia sebagai khalifah, untuk mengelola alam, dengan cara yang bertanggungjawab karena manusia, pada waktu yang sama, adalah tuan dan sekaligus pelindung alam. Bila ditelusuri lebih jauh ke belakang, kerangka spiritual ekologi sebetulnya bukanlah sesuatu yang sama sekali baru, tetapi telah terumuskan secara berulangulang sepanjang sejarah perjalanan hidup umat manusia. Empat puluh tahun yang lampau, sebelum istilah ekologi sepopuler sekarang ini, Seyyed Hossein Nasr menegaskan tentang perlunya merengkuh kembali tasawuf bagi manusia modern untuk mengatasi krisis lingkungan. Nasr mengatakan bahwa krisis ekologis dan pelbagai jenis kerusakan bumi yang telah berlangsung sejak dua abad yang lalu berakar pada krisis spiritual dan eksistensial manusia modern.10 Nasr senantiasa menjelaskan sebab-sebab utama munculnya krisis lingkungan pada peradaban modern seraya menekankan pentingnya perumusan kembali hubungan manusia, alam dan Tuhan yang harmonis berdasarkan spritualitas dan kearipan perenial. Dalam pandangan modernisme, kosmos atau alam hanyalah kumpulan benda mati, materi yang tidak bernyawa, tidak berperasaan dan tak bernilai apaapa, kecuali hanya nilai kegunaan ekonomis. Alam telah diperlakukan oleh manusia layaknya pelacur yang dieksploitasi tanpa rasa kewajiban bertanggung jawab terhadapnya.11 Ia juga menjelaskan bahwa bumi kita sedang berdarahdarah oleh luka-luka yang dideritanya akibat ulah manusia yang sudah tidak lagi ramah padanya. Pandangan sekuler dan ilmu pengetahuan serta teknologi yang tercerabut dari akarakar spiritualitas dan agama, membuat bumi kian mengalami kritis dan terus menghampiri titik kehancurannya. Karena itu, peran agama untuk membantu mengatasinya merupakan sesuatu yang krusial. 10
Seyyed Hosein Nasr, “Islam dan Krisis Lingkungan”, terj. Abas Al-Ja hari dan Ihsan Ali Fauzi”, majalah Islamika No. 3 Januari-Maret 1994, h. 18 11 Ibid., h. 14-15 Vol. 8 No. 1 Januari - Juni Tahun 2014
9
Andi Eka Putra
10
Menurutnya nilai-nilai agama dan kearifan-kearifan moral sangat diperlukan untuk merawat keseimbangan alam dari situasi krisis dan kehancuran. Ajakannya mengisyaratkan agar umat Islam juga memberikan kontribusi pemikirannya dalam masalah pelestarian lingkungan. Ini berarti umat Islam ditantang untuk menggali rumusan konsep-konsep utama tentang pelestarian alam dalam bentuk karyakarya dan selanjutnya dipraktikkan sebagai pegangan moral dalam kehidupan. Dengan argumentasi di atas kita perlu membangun kosmologi baru yang berbasis tradisi spiritualitas agama yang sarat makna dan kaya kearifan. Dan tasawuf dapat memberi visi, inspirasi dan motivasi bagi pemerhati lingkungan untuk mengkonstruksi etika lingkungan sebagaimana juga programprogram konservasi alam lainnya. Membangun etika lingkungan tanpa wawasan tasawuf atau keruhanian terhadap kosmos, adalah tidak mungkin sekaligus tidak berdayaguna. Krisis ekologis dan pelbagai jenis kerusakan di bumi yang telah berlangsung sejak beberapa abad yang lalu berakar pada krisis spiritual dan eksistensial manusia modern. Manusia modern telah mendesakralisasi alam, sehingga alam menjadi sesuatu tanpa makna. Jika umat Islam kembali menghayati nilai-nilai tasawuf tentang alam dan lingkungan, niscaya dapat memberikan kontribusi bagi upaya memecahkan krisis lingkungan yang kini terjadi di berbagai belahan dunia. Dalam prinsip metafisika Islam dikenal istilah realitas kosmik terdiri dari gabungan teofani (tajalliyâ� t) dari berbagai sifat dan namanama Tuhan yang memiliki akar dan sandaran semua realitas atau fenomena di dunia ini. Dalam bahasanya ibn Â� rabi, tidak ada satu pun kepemilikan di dalam kosmos tanpa sandaran dan atribut ketuhanan. Artinya, bahwa namanama Tuhan merupakan prinsipprinsip pola dasar yang tetap (al-a’yân al-tsâbitah ), yang merupakan “Ideide” terhadap semua manifestasi kosmik yang berada dalam intellek Tuhan. Tuhan “meniupkan” ruh kepada pola dasar tersebut, dan selanjutnya alam semesta tercipta. Menurut Ibnu ‘Arabi, Tuhan bertajalli melalui dua tipe utama: “emanasi paling suci” (al-fayd al-aqdas) dan “emanasi suci” (al-fayd al-muqaddas). “Emanasi paling suci” disebut pula dengan “penampakan diri essensial” (at-tajalli al-dzati) dan “penampakn diri ghaib” (al-tajalli al-ghaibi). Pada taraf ini al-Haq tidak menempakkan diri-Nya kepada sesuatu yang lain tetapi kepada diri-Nya sendiri, ia Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Alam dan Lingkungan Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Tasawuf
baru semata-mata penerima wujud yang disebut juga “entitas-entitas permanen” (al-a’yan al-tsabitah). Emanasi tipe ke dua, yaitu “emanasi suci” (al-fayd al-muqaddas ), biasanya disebut dengan “penampakan diri eksistensial” (al-tajalli al-wjudi) dan “penampakan diri inderawi” (al-tajalli al-syuhudi). “Emanasi suci” adalah penampakan diri dari Yang Esa dalam bentuk-bentuk keanekaan eksistensial. Emanasi ini adalah penampakan “entitas-entitas permanen” dari alam yang ada hanya dalam pikiran kepada alam yang dapat diindera, atau penampakan apa yang potensial dalam bentuk apa yang aktual, dan munculnya segala yang ada secara eksternal sesuai dengan apa yang ada dalam kepermanenan azalinya. Tidak satupun wujud penampakannya menyalahi apa yang ada kepermanenannya sejak azali.12 Al-Qur’an menegaskan bahwa segala sesuatu adalah “tandatanda” (ayat) Allah, dalam artian bahwa segala sesuatu mengabarkan hakikat dan Realitas Mutlak (Absolut Reality). Para sufi bahkan melihat segala sesuatu di alam semesta ini tak lain sebagai refleksi namanama dan sifat-sifat Allah. Terlebih kemudian ia menyandarkan pada sebuah Hadits Qudsi : “Aku adalah khasanah yang tersembunyi dan aku ingin dikenali. Karena itu aku menciptakan makhluk agar Aku bisa dikenali”. Dunia lewat Hadits Qudsi ini adalah lokus dimana Khazanah Tersembunyi diketahui oleh makhluk, melalui alam semesta. Dan karena di alam semesta ini yang ada hanyalah ciptaan, maka ciptaan-ciptaan itu sendiri yang memberitahu ihwal adanya Khazanah Tersembunyi. Istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan hubungan dunia dan Allah dalam bahasa sufi adalah tajalli, pengungkapan diri, yaitu dengan cara memanifestasikan nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada alam. Tanpa adanya alam ini, nama-nama dan sifat-sifat-Nya akan kehilangan makna dan akan senantiasa berubah dalam bentuk potensialitasnya pada zat Tuhan. Demikian pula zat, Yang Mutlak itu sendiri akan tetap di dalam kesendiriannya-Nya, tanpa dapat dikenali oleh siapa pun. Dalam pandangan Ibn ‘Arabi, Allah sebagai esensi (tanpa sifat dan nama) tidak mungkin dikenali, bahkan ia tak dapat dikatakan. Tuhan hanya bisa dikenal melalui tajalli-Nya pada alam empiris yang serba ganda dan terbatas ini, tetapi wujud-Nya yang hakiki tetaplah transenden.13 12
Kautsar Azhari Noer, Wahdat al-Wujud Ibn Arabi, (Jakarta: Param dina, 1995), h. 62-63 13 Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil Vol. 8 No. 1 Januari - Juni Tahun 2014
11
Andi Eka Putra
Akan tetapi, alam empiris yang jamak dan terbatas berada dalam partikularitas yang terpecah-pecah. Alam tidak bisa mewadahi seluruh nama dan sifat Allah. Manusia memiliki kemungkinan untuk dapat mewadahi nama dan sifat Allah. Kemungkinan menjadi wadah tajalli ini menjadi kepastian pada Insan Kamil, yang disebut Ibn ‘Arabi sebagai al-‘alam al shaghîr (mikrokosmos). Jadi manusia dalam kacamata kaum sufi adalah miniaturnya alam raya, karena dalam diri manusia sempurna terdapat nama-nama dan sifat-sifat Allah. yang tersebar pada bagian-bagian alam raya. Insan Kamil ini digambarkan Ibn ‘Arabi sebagai perwujudan dari atau diaktualkan oleh Hakikah Muhammadiyah mengidentifikasikan dirinya secara sempurna adalah jasad Adam, sebagai manusia pertama yang diciptakan Allah.14 Al-Junayd berbeda dengan Ibn Arabi. Ia mendekati alam dan lingkungan dari perspektif mahabbah. Baginya, cinta (al-mahabbah) berarti merasuknya sifat-sifat Sang Kekasih (Khalik) mengambil alih sifat-sifat pecinta (salik); dimana seseorang itu mestilah berakhlak dengan Akhlak Allah. Wujud konkret dari cinta adalah terbangunnya hubungan sejati, yakni sebuah keikhlasan untuk memandang siapapun dan apapun lebih pantas dihormati dan jauh dari sifat menyombongkan diri sendiri. 15 Cinta yang bersemayam dalam hati setiap sufi menutup kemungkinan munculnya sifat rakus, tamak, dan akan menjauhkan dirinya mengekspoitasi alam semaunya. Cinta adalah penghubung atau pengikat antara seorang sufi dengan Tuhannya. Jadi cinta adalah pengikat, penghubung, tangga naik menuju Allah. Cinta merupakan metode untuk menuju Allah. Cinta menjelaskan sekaligus mengarahkan para sufi untuk mencapai satu tujuan yaitu Tuhan. Cinta mistikal merupakan kecenderungan yang tumbuh dalam jiwa manusia terhadap sesuatu yang lebih tinggi dan lebih sempurna terhadap dirinya, baik keindahan, kebenaran maupun kebaikan yang dikandungnya. D. Penutup
Demikianlah, hidup para sufi di atas rajutan-rajutan kesatuan
12
Ibn Arabi oleh Al-Jilli, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 54 14 Ibid., h. 55-56 15 Fatimah Osman, Wahdat al Adyan; Dialog Pluralisme Agama, (Yogy karta: Yogyakarta, 2004), h. 25 Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Alam dan Lingkungan Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Tasawuf
manusia dengan alam serta bagaimana mencintai alam karena alam merupakan bagian eksistensi manusia yang hakiki dan tak dapat ditolak. Melalui jalan tasawuf alam dan lingkungan dilihat sebagai rumah tangga manusia yang tak boleh dirusak dan dihancurkan. Alam adalah pelindung kehidupan, tanpa alam manusia tak mungkin hidup. Manusia sebagai salah satu makhluk memiliki keterkaitan dan ketergantungan terhadap alam dan lingkungannya. Alangkah indahnya kalau jalinan hubungan antara manusia dan alam lingkungannya dibangun atas dasar mahabbah (cinta). Jika cinta sudah tumbuh, langkahlangkah yang merusak, atau menghancurkan lingkungan hidup tidak akan pernah terjadi. Tetapi jika cinnta itu hilang dari diri manusia yang timbul kemudian adalah kerusakan alam yang timbul pada sumber air.
Daftar Pustaka Fatimah Osman, Wahdat al Adyan; Dialog Pluralisme Agama, (Yogyakarta: LKiS, 2004) Hasan Hanafi, Dari Akidah ke Revolusi: Sikap Kita terhadap Tradisi Lama, terj. Asep Usman Ismail, Sudi Putro, Abdul Rouf, (Jakarta: Paramadina, 2003)
Kautsar Azhari Noer, Wahdat al-Wujud Ibn Arabi, (Jakarta: Paramadina, 1995
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1993 Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan: Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2001) Reshad Field, Tabir Terakhir: Petualangan Ruhani Jalaluddin Rumi, terj. Syarifah Levi, (Jakarta: Serambi, 2004)
Seyyed Hosein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, terj. Abdul Hadi WM., (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985) ----------, Islam dan Nestapa Manusia Modern, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1983)
----------,“Islam dan Krisis Lingkungan”, terj. Abas Al-Jauhari dan Vol. 8 No. 1 Januari - Juni Tahun 2014
13
Andi Eka Putra
Ihsan Ali Fauzi”, majalah Islamika No. 3 Januari-Maret 1994
Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn Arabi oleh Al-Jilli, (Jakarta: Paramadina, 1997)
Zaim Saidi, “Islam Tradisional dan Krisis Lingkungan: Pandangan Seorang Aktivis”, Majalah Islamika Edisi No. 3 Januari-Maret 1994
14
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits