AL-INSAN AL-KAMIL DALAM TASAWUF IBN ‘ARABI Oleh: Ah.Haris Fahrudi, M.Th.I, M.Fil.I Abstrak : Ibn ‘Arabi>>, sebagaimana umumnya para sufi, menaruh perhatian besar terhadap manusia. Hampir seluruh karya Ibn ‘Arabi> dipenuhi istilah-istilah yang semuanya berkaitan dengan manusia, baik dalam kaitan yang dekat maupun jauh, dengan jelas maupun samar. Perhatian besar kaum sufi terhadap manusia adalah karena dalam pandangan mereka realitas (al-h}aqi>qah) adalah satu dan tidak terpisah dari diri manusia. Dalam hal ini kaum sufi mendasarkan diri pada hadith Nabi SAW. yang masyhur di kalangan mereka yaitu ‚‛مه عرف وفسه عرف ربه (Barang siapa mengenal dirinya maka ia mengenal Tuhannya). Pengetahuan mengenai realitas (al-h}aqi>qah) bagi sufi berpusat pada diri manusia sendiri. Pengetahuan mengenai realitas yang hakiki (al-h}aqi>qah) diperoleh manusia melalui (sarana) diri mereka, dan dalam diri manusia. Oleh sebab itu mereka menjadikan diri mereka sebagai pusat eksperimentasi, media dan tujuannya sekaligus. Ibn ‘Arabi> mengatakan ‚Segala sesuatu adalah di dalam dirimu dan dari dirimu, sehingga tidak ada sesuatu yang baru yang datang kepadamu (t}ara’a ‘alayka), suatu perkara yang asing yang dia tidak ada pada Dirimu. Karena itu, tidaklah disingkapkan untukmu kecuali darimu sendiri‛. Pendahuluan Penyingkapan mengenai hakekat manusia dalam ‘irfa>n Ibn ‘Arabi> terungkap melalui definisi manusia ketika ia mendefinisikan Adam (manusia) sebagai al-H{aqq al-Khalq.1 Definisi ini mengisyaratkan bahwa manusia memiliki dua dimensi salinan ( nuskhatayn) yaitu dimensi eksoteris (nuskhah z}a>hirah) dan dimensi esoteris (nuskhah ba>t}inah), dimensi yang tampak (z}a>hir) dan dimensi yang tersebunyi (ba>t}in), dimensi rendah kemanusiaan (na>su>t) dan dimensi tinggi ketuhanan (la>hu>t). Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh al-Qus}ayri> bahwa manusia adalah al-ru>h wa al-jasad.2 Dimensi eksoteris yang tampak merupakan representasi dari hakekat-hakekat alam secara keseluruhan sedangkan dimensi esoteris merupakan kehadiran ilahi. Ia adalah dua sisi (wajhayn) bagi hakekat yang satu. Pandangan mengenai manusia yang mencerminkan dua dimensi kemanusiaan ini tidak dapat dilepaskan dari doktrin utama irfa>n Ibn ‘Arabi> yang dikenal dengan wah}dah al-
wuju>d. Dalam pandangan Ibn ‘Arab>i hekekat wuju>d (al-h}aqi>qah al-wuju>diyyah) adalah satu pada tingkat jawhar (substansi) dan dha>t (esensi). Ia (al-h}aqi>qah al-wuju>diyyah) tampak banyak melalui sifat-sifat dan asma>’-Nya. Tidak ada keberbilangan (ta’addudiyyah) padaNya kecuali ditinjau dari segi nisab (relasi-relasi) dan id}af> ah (penyandaran).3 Al-h}aqi>qah al1
Ibn ‘Arabi>>, Fus}u>s} al-H{ikam, Tah}qi>q Abu> ‘Ala> al-‘Afi>fi>, (Bairut: Da>r al-Kita>b al-’Arabi>>, 1980), Cet. Ke-2, Vol. I, 56. 2 Al-Qus}airi>, al-Risa>lah al-Qushayriyyah fi> ‘Ilm al-Tas}awwuf, (Bairut: Da>r al-Kita>b al-’Arabi>>, t.th.), 45. 3 Abu> al-‘Ala> Afi>fi> dalam muqadimah Fus}u>s} al-H{ikam (Beirut: Da>r al-Kitab al-‘Arabi>, t.th.), 24.
11
MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015
wuju>diyah itu adalah al-H{aqq (Realitas Mutlak sebelum munculnya relasi apapun) sekaligus al-khalq (makhluk yang tercipta sebab al-H{aqq). Dengan demikian, Ia satu dan sekaligus banyak, qadi>m (ada tanpa permulaan) dan h}ad> i>th (ada setelah sebelumnya tidak ada).
Al-H{aqq mempunyai wuju>d hakiki dan wuju>d hakiki ini adalah Dha>t-Nya dan mempunyai wuju>d id}af> i> yaitu wuju>d-Nya dalam substansi segala wuju>d yang mungkin (al-
a’ya>n al-mumkina>t), yakni substansi yang ada dan tidaknya bergantung pada yang lain. AlH{aqq merupakan hakekat azali dan wujud mutlak yang tidak bisa tidak ada ( al-wuju>d almut}laq al-wa>jib) yang mana merupakan asal segala yang ada, dulu, sekarang dan yang akan datang.4 Sifat al-H{aqq yang hanya dimiliki-Nya (yang membedakan dari selain-Nya) adalah sifat al-wuju>b al-dha>ty yang tidak dapat dimiliki oleh makhluk (al-khalq).5 Manusia Dalam Stuktur Wah}dah al-Wuju>d Ibn ‘Arabi> Dalam doktrin wah}dah al-wuju>d, wujud segala sesuatu yang ada bukanlah wujud yang hakiki karena mereka diadakan dari ketiadakan melalui wujud Allah SWT., bukan dengan sendirinya. Eksistensi mereka terjaga dalam setiap saat sebab wujud Allah SWT., bukan diri mereka sendiri. Karena itu wujud mereka, yang ada karena wujud Allah, dalam setiap saat adalah wujud Allah SWT.. Adapun dha>t dan bentuk mereka dari segi dha>tnya maka secara asal tidak ada wujud bagi entitas mereka.6Dengan demikian segala sesuatu yang ada (al-ka>ina>t) hanyalah wujud khaya>li>
7
atau hanyalah bayangan dari al-Wuju>d al-H{aqq.8
Dalam hal ini Ibn ‘Arabi> mengatakan: 9
مسمى العالم هو بالنسبة إلى الحق كالظل لمشخص فهو ظل اهلل َّ المقول عميه سوى الحق أو Apa yang disebut sebagai ‚al-siwa>‛ (selain al-H{aqq) atau yang disebut alam jika dinisbatkan kepada al-H{aqq adalah bagaikan bayangan bagi seseorang sehingga selain al-H{aqq atau alam adalah bayangan Allah. Dengan penjelasan ini, maka alam dari segi keeasaan dha>t yang mengadakannya yaitu Allah SWT., maka dikatakan dia adalah al-H{aqq, yang satu dan esa dan apabila kita melihat alam dari segi pluralitas s}u>rah (form) dan keberbilangannya yang mucul kemudian padanya 4
Ibid., 25. Ibid., 27. 6 Abd al-Ghani> al Na>buli>si>, I>d}a>h} al-Maqsu>d min Wah}dat al-Wuju>d, (Kairo: Da>r al-A
q al-’Arabi>yyah, 2003), 59-60. 7 Ibn ‘Arabi>>, Fus}us al-H{ikam, sunt. Dr. Abu> al-‘Ala> ‘Afi>fi>, Ibid., Vol. 1, 104. 8 Ibid., Vol. IV, 279. 9 Ibid. 5
12
MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015
secara relatif, maka dikatakan dia alam atau nama ‚ al-siwa> ‛ dan ‚al-ghayr (selain Allah)‛. Apa yang kita tangkap menurut Ibn ‘Arabi> adalah wujudnya al-H{aqq dalam entitas-entitas hal-hal yang bersifat mungkin (wuju>d al-h}aqq fi> a’ya>n al-mumkina>t) yang dari segi hakekat realitasnya adalah wujudnya al-H{aqq dan dari segi bermacam-macam s}u>rah-nya adalah entitas-entitas yang mungkin.10
Dia yang tersembunyi menampakkan diri-Nya melalui s}u>rah (form) segala yang ada (alam). Dilihat dari dha>t-nya, hakekat wuju>d yang tampak tersebut dapat disebut sebagai Al-
H}aqq dan jika dilihat dari sifat-sifat dan asma>’-Nya yakni dari segi penampakannya dalam entitas-entitas hal-hal yang mungkin (a’ya>n al-mumkina>t), maka ia disebut ciptaan (al-
khalq) atau alam dari segi bahwa al-Khalq tidak mempunyai hakekat wuju>d, karena wuju>dnya hanyalah manifestasi dari al-H{aqq. Karenanya tidak ada yang disifati dengan wuju>d kecuali Allah.11 Dengan demikian, pembedaan antara keduanya (al-H{aqq dan al-khalq) tidak lain hanya pada tingkat pengandaian (al-i’tiba
al-Kha>liq dan al-Kha>liq adalah al-khalq karena esensinya (‘ayn) adalah satu. Di sisi yang lain al-khalq bukanlah al-H{aqq dan al-H{aqq bukanlah al-khalq, jika kita melihat pada s}ura>h dari al-khalq tanpa melihat hakekat esensial (‘ayn) dan substansi (jawhar)-nya. Karena itu Ibn ‘Arabi> mengatakan ‚Dengan demikian kamu adalah Dia dan sekaligus bukan Dia ( anta huwa
la> huwa) dan Dia adalah kamu dan sekaligus bukan kamu (huwa anta la> anta)‛. Artinya kamu adalah Dia pada tingkat hakekat dan esensi dan bukan Dia dari sisi s}u>rah-mu dan penampakanmu. Al-H{aqq dalam pandangan Ibn ‘Arabi> adalah ru>h} al-wuju>d dan wuju>d itu adalah s}u>rah-Nya yang tampak.12
Doktrin wah}dah al-wuju>d Ibn ‘Arabi> jauh dari konsep h}ulu>l (merasuknya Tuhan dalam diri hamba) dan ittih}ad> (bersatunya hamba dengan Tuhan), karena dua konsep ini mengandaikan adanya dualitas. Ibn ‘Arabi> sendiri menyatakan bahwa ‚tidaklah berkata mengenai al-ittiha}d kecuali golongan mulh}id (atheis) dan tidaklah berkata mengenai al-
10
Ibid., 141. Karam Ami>n Abu> Karam, H{aqi>qah al-‘Iba>dah ‘Inda Muhyi al-Di>n Ibn ‘Arabi>, (Kairo: Da>r al-Ami>n, 1997), 48. 12 Ibid., 29. 11
13
MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015
h}ulu>l kecuali golongan orang bodoh dan ahl al-fud}u>l.13 Ibn ‘Arabi> dengan tegas mengatakan bahwa: ‚Jika ittih}a>d (penyatuan Tuhan dengan lain-Nya) berarti menjadikan dua dha>t menjadi satu dha>t maka hal itu mustahil karena jika entitas masing-masing dari keduanya ada pada kondisi penyatuan (ittih}ad> ) maka keduanya adalah dua dha>t dan jika salah satu entitas ditiadakan dan entitas yang lain tetap maka tidak ada ruang bagi yang pertama.‛ Dalam pandangan Ibn ‘Arabi> tidak ada dua dha>t, pada hakekatnya, sehingga memungkinkan terjadinya ittih}ad> , karena tidak ada di sana selain Allah SWT. dan sifat-sifat serta asma>’-Nya. Adapun penggunaan istilah ittih}ad> oleh kaum sufi menunjuk pada maknamakna lain yang khusus dalam pengertian mereka yang tidaklah berarti penyatuan dua dha>t. Ibn ‘Arabi> menyatakan bahwa mereka yang yang mengusung konsep ittih}ad> dan h{ulu>>l dalam arti berkumpulnya dua dha>t sebagai orang yang menyimpang dan sesat. Ia mengatakan: ‚Dari sini tergelincirlah sebagian golongan dari jalan tah}qi>q. Mereka mengatakan tidak ada di sana sesuatupun kecuali apa yang kamu lihat, sehingga mereka menjadikan alam adalah Allah dan Allah adalah alam itu sendiri. Sebab timbulnya pandangan ini adalah karena mereka tidaklah mencapai pengetahuan yang sebenarnya (tah{qi>q) mengenai Allah sebagaimana ahlinya.14 Pernyataan ini tegas menafikan kemungkinan memaknai konsep wah}dah al-wuju>dnya Ibn ‘Arabi> sebagai konsep panteisme dalam tradisi Barat dan menafikan masuknya konsep h}ulu>l dan ittih}ad> dalam wah}dah al-wuju>d Ibn ‘Arabi>.
Manusia Sebagai Mikrokosmos Proses terjadinya alam berawal dari kehendak Dha>t ketuhanan untuk melihat diri-Nya dalam bentuk selain Dha>t-Nya atau dengan kata lain Dha>t ila>hiyyah menghendaki untuk dikenal di luar batas ke-Dha>t-an-Nya. Dia yang Esa cinta (rindu) untuk melihat diri-Nya dalam bentuk lain, yang padanya Ia menampakkan diri dan melihat diri-Nya dari selasalanya.
15
Jadi alam lahir dari kehendak al-H{aqq agar dapat melihat diri-Nya dan
memperlihatkan diri-Nya. Dia mengenal diri-Nya dan memperkenalkan diri-Nya melalui alam. Alam adalah cermin Tuhan. Tuhan dari sisi Dha>t-Nya adalah harta tersimpan, 13 14
Ahl al-fud}u>l ialah orang yang banyak melakukan perbuatan yang sia-sia. Ibn ‘Arabi>>, Kita>b al-Masa>il, dalam Rasa>il Ibn ‘Arabi>>, (Hederabad: Mat}ba’ah Jam’iyyah Dairah al-Ma’a>rif al-
‚Uthma>niyyah, 1948), 19. Nas}r H}a>mid Abu> Zaid, H{a>kadha> Takallam Ibn ‘Araby (Kairo: Al-Hai’ah al-Mis}riyyah al-‘Ammah li al-Kita>b, 2002), 192. 15
14
MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015
tersembunyi yang tidak dapat dikenal kecuali melalui alam. Alam tercipta berkat kehendak
Al-H}aq, dari sisi asma>’-Nya yang tak terhitung jumlahnya, untuk melihat substansi diri-Nya dalam jagad (kaun) yang menghimpun segalanya karena Ia bersifat ada, dan dengannya Dia menampakkan rahasia-Nya ke padanya.16
Manakala ilmu-Nya mengenai alam tiada lain adalah ilmu-Nya mengenai Diri-Nya sendiri karena tidak ada yang wuju>d kecuali Dia, maka tidak ada yang tampak di dalam alam jagad (kaun) kecuali apa yang ada pada Diri-Nya, maka tidak bisa tidak alam menurut citraNya dan citra alam menurut kadar Asma>’ Tuhan yang tidak hitung jumlahnya dan tidak ada dalam Tuhan kecuali Nama Tuhan (ism ila>hy) kecuali menurut kadar pengaruhnya pada kemunculan alam tanpa bertambah dan berkurang. Maka Dia menciptakan alam secara sempurna (fi gha>yah al-ih}ka>m wa al-itqa>n), sehingga alam bersesuaian dengan asma>’ Tuhan dan seakan Tuhan yang asalnya tersembunyi (ba>t}in) dengan adanya alam menjadi tampak, sehingga Dia menyaksikan Diri-Nya dengan yang tampak itu. Mana kala Dia menampakkan alam dalam substansi-Nya maka ia menjadi tempat penampakan-Nya (majla>hu), sehingga Dia tidak melihat padanya kecuali keindahan-Nya.
Ibn ‘Arabi> dalam Fus}us} al-H{ikam mengatakan: ‚Sesungguhnya Allah ta’a>la dari segi Asma>’-Nya yang tidak terhitung jumlahnya, untuk melihat sumbstansi-sumtansi asma>’ tersebut atau melihat subtansi-Nya dalam jagad yang menghimpun dan mengumpulkan segala hal seluruhnya karena ia berrsifat ada (wuju>d), dan menampakkan rahasia-Nya melalui jagad itu kepadanya, karena penglihatan sesuatu terhadap diri melalui dirinya sendiri tidaklah seperti penglihatannya terhadap dirinya pada sesuatu yang lain yang berfungsi sebagai cermin, sehingga ia tampaklah baginya dirinya dalam suatu bentuk yang ia berikan kepada tempat penglihatan itu, dimana hal itu tidak tampak baginya tanpa adanya tempat ini, dan tampa penampakannya (tally) pada tempat itu. Manakala al-H{aqq telah mengadakan alam seluruhnya dalam sosok penampakan (shabh}) tanpa ruh sehingga ia bagaikan cermin yang tidak mengkilap (ghayr majluw), sedangkan hukum ilahi mempunyai sifat bahwa tidaklah ia mengadakan ( sawwa>) suatu tempat (mahal) kecuali ia menerima ruh ila>hi. Yang diungkapkan dengan nafakha fi>hi (tiupan padanya)….. Oleh karenanya menuntut pengkilapan cermin alam tersebut, maka Adam merupakan subtansi kilapnya cermin tersebut dan menjadi ruhnya s}u>rah tersebut (alam), dan malaikat termasuk bagian dari potensi (quwa>) s>rah tersebut yang mana adalah s}u>rah alam yang diisilahkan oleh kaum (sufi) dengan al-insa>n al-kabi>r (manusia besar)……dan dinamakanlah ia (ruh alam) sebagai insa>n (manusia) dan khali>fah), adapun kemanusiaan-nya adalah karena keumuman pertumbuhannya (nash’atih) dan karena ia meringkas hakekat-hakekat seluruhnya. Kedudukannya bagi al-H{aqq adalah dalam posisi pupil mata (insa>n al-‘ayn) 16
Muh}yi al-Di>n Ibn ‘Arabi, Fus}us} al-H{ikam, (Bairut: Da>r al-Kita>b al-‘Araby,t.th), 49.
15
MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015
dengan mata (al-‘ayn) yang dengannya (al’ayn) ini dapatlah terjadi penglihatan, yang diistilahkan dengan pandangan (al-bas}ar), karenanya ia disebut insa>n, kerena denganya al-H{aqq melihat kepada hambanya sehingga Dia menyanyangi mereka…‛17
Pernyataan Ibn ‘Arabi> ini dijelaskan oleh ‘Afifi dengan mengatakan bahwa yang ia maksudkan adalah bahwa Allah ta’a>la> mengadakan di dalam alam untuk seluruh sifat dari sifat-sifat Tuhan secara mandiri, satu persatu (fura>da>), dengan demikian maka al-h}ad}rah al-
ila>hiyyah al-asma>iyyah wa al-s}ifa>tinyyah tidak ber-tajalli (memanifstasi) secara sempurna, demikian juga al-wah}dah al-wuju>diyah. Sehingga alam ini bagaikan cermin yang tidak mengkilap atau bagaikan jism tanpa ruh. Karenanya Allah menciptakan manusia (adam) menurut s}u>rah-Nya, agar ia menjadi pengkilap bagi cermin tersebut dan menjadi ruh bagi
jism tersebut, karena ia saja yang padanya dha>t ila>hiyah dengan seluruh sifat-sifat-Nya dapat menampakkan diri secara konkrit (muta’ayyinah). Ini adalah penasiran baru yang diberikan Ibnu ‘Arabi> terhadap ‚khalaqa Alla>h A s}u>ratihi.
Manusia, dalam sistem pemikiran Ibn ‘Arabi> (wah}dah al-wuju>d), merupakan martabat terakhir dari rangkaian martabat wuju>d. Manusia merupakan puncak tertinggi segala yang diadakan (al-mawju>da>t) dari segi bahwa ia merupakan tempat penampakan seluruh hakekat
al-mawju>da>t (alam) dan tingkatan-tingkatannya, disamping ia juga tempat penampakan hakekat ketuhanan (majla> al-ila>hiyyah). Ia merupakan akhir al-mawju>da>t dan juga awal al-
mawju>da>t dari segi dia adalah tujuan Tuhan.18Berbeda dengan alam yang tercipta dari tiada, manusia tercipta dari yang ada.
Sebagaimana dijelaskan bahwa alam seluruhnya marupakan tempat tajally Tuhan. Namun setiap entitas alam memiliki kesiapan yang berbeda dalam menerima tajally namanama Tuhan. Intensitas penampakan nama-nama Tuhan berfariasi sesuai kesiapan (isti’da>d) masing-masing makhluk untuk menerima penampakan itu. Benda-benda mineral memiliki kesiapan yang paling kecil untuk menerima penampakan nama-nama Tuhan. Tumbuhan memiliki kesiapan yang lebih besar dari yang dimiliki benda mineral. Binatang memiliki kesiapan yang lebih besar dari yang dimiliki tumbuhan dan manusia memiliki kesiapan yang lebih besar dari dari yang dimiliki binatang. Manusia menduduki hirarki tertinggi dari 17 18
Ibid., 49-50. Nas}r H}a>mid Abu> Zaid, H{a>kadha> takallama Ibn ‘Araby, Ibid., 192
16
MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015
makhluk-makhluk Tuhan bahkan dari jin dan malaikat dan dalam kesiapan ini. Hal itu karena selain manusia hanya menerima penampakan sebagian nama Tuhan sedang manusia bisa menerima penampakan semua nama Tuhan.19
Kesempurnaan manusia terletak pada apa yang disebut perpaduan, pencakupan, atau sintesa (jam’iyyah) atau paduan, cakupan dan totalitas (majmu>’), dimana al-H{aqq memanggil seluruh hakekat yang tercerai berai dalam alam dan menghimpunnya dalam manusia.20 Perpaduan berarti bahwa manusia memadukan atau mencakup dalam dirinya semua nama dan sifat Tuhan dan semua realitas alam. Kerpaduan itu diperoleh dari hasil ‚perkawinan‛ antara ruh-ruh yang suci dan superior (‘uluwy) sebagai ‚bapak‛ (yang memberi pengaruh atau al-mu’aththir) dan unsur-unsur alam yang inferior (sufly) yang menerima perubahan yaitu al-t}abi>’ah (berupa empat unsur alam yang dikenal: tanah, air, udara api) sebagai ‚ibu (yang ditempati pengaruh atau mu’aththar fi>h).21 Perkawinan ini melahirkan (anak) berupa benda tambang, tumbuhan, hewan dan jin (al-Ja>n) dan manusialah yang paling sempurna dari semuanya.22
Dengan demikian manusia terdiri dari dua sisi (nuskhatain) yaitu sisi eksoteris (nuskhah z}a>hirah) dan sisi esoteris (nuskhah ba>t}inah). Sisi yang tampak dapat disamakan dengan alam secara keseluruhannya sedang sisi esoteris dapat disamakan dengan kehadiran ilahi. Dari aspek bentuk badaniyahnya ia baharu (ha>dith) sedang dari sisi aspek ilahinya ia
azali. Jadi ia memiliki dua dimensi yaitu dimensi luarnya ( al-s}u>rah al-kha>rijiyyah) yang disebut sebagai na>sut dan dimensi esoterik (ba>t}in) atau hakekatnya yang disebut la>hut. Namun, tidak seperti pandangan al-H{allaj yang menganggap keduanya sebagai suatu tabi’at yang terpisah, bagi Ibn ‘Arabi> ia adalah dua sisi (wajhayn) bagi hakekat yang satu. Keduanya merupakan dua sifat yang teraktualisasi ( muh}aqqaqatain) tidak hanya pada manusia saja juga pada setiap yang mauju>d. Keduanya sinonim dengan sifat al-Ba>t}in dan Z{a>hir, atau sama dengan substansi (jawhar) dan sifat aksidental (‘arad}) dalam filsafat atau ilmu kalam.
19
Kautsar Azhari Noer, Ibn al-‘Arabi, Wah}dah al-Wuju>d Dalam Perdebatan, (Jakarta: Para Madinah, 1995), 128. 20 Mahmu>d Mah}mu>d al-Gharra>b, Al-Insa>n al-Ka>mil wa al-Qut}b al-Ghauth al-fard min Kala>m al-Syeikh alAkbar Muh}yi al-Di>n Ibn ‘Araby, www. Al-mostofa.com, cet ke-2, 1990), 7. 21 Muh}yi al-Di>n Ibn ‘Araby, Al-Futu>h}at al-Makkiyah Ibid., Vol. 2, 309. 22 Ibid., Vol. 2, 124.
17
MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015
Al-H{aqq yang ber-tajally dalam seluruh bentuk wuju>d ber-tajally pada manusia dalam betuk wuju>d yang paling tinggi dan sempurna, karena kedua sifat ini tampak pada manusia dengan jelas yang tidak tertandingi oleh mauju>d yang lain. Ia adalah kata yang memisahkan atau pembeda antara Tuhan dan alam.23 Karena itulah manusia disebut sebagai alam mikro (a>lam s}aghi>r), sedangkan alam merupakan merupakan manusia makro (insa>n kabi>r). Alam dan manusia sama-sama menceminkan dimensi eksoteris Tuhan (z}a>hir al-ulu>hiyah). Alam mencerminkan dimensi eksoteris Tuhan itu dari segi pluralitas asma>’ dan sifa>t, sedangkan manusia mencerminkan dimensi eksoteris Tuhan itu dengan menghimpun asma>’ dan sifa>t Tuhan sebagaimana asma>’ dan sifa>t itu terhimpun dalam nama ‚Alla>h‛.24
Jika alam dengan pluralitasnya tidak dapat dicakup seluruhnya oleh manusia, karena begitu besaarnya, manusia dapat dicakup (diketahui) baik dengan penglihatan maupun pemahaman, dari segi bentuk dan penjelasannya, karena apa yang dikandungnya berupa potensi ruhani. Manusia merupakan jirm s}aghi>r (benda kecil) yang padanyalah tampak jelas
al-‘a>lam al-akbar (makrokosmos).25 Manusia dengan demikian adalah totalitas alam (majmu>’ ‘a>lam) dan karenanya ia disebut miniatur alam (mukhtas}ar ‘a>lam) atau alam kecil atau mikrokosmos (al-‘a>lam al-shaghi>r). Karenanya Allah menyusun padanya segala sesuatu selain Allah sehingga hakekat ism Allah berhubungan dengan setiap bagian darinya yang mana bagian-bagian manusia ini tampak dan muncul karena hakekat ism Tuhan, sehingga seluruh asma>’ Allah berhubungan dengan manusia dan tak satupun dari asma> tersebut lepas darinya.26
Allah menurut Ibn ‘Arabi> menampakkan alam dalam sifat genap (al-Shafa’iyyah) agar Dia sendiri yang bersifat ganjil (witriyyah) sehingga Ia berhak atas nama al-Wa>h}id al-
Fard (Esa nan Tunggal) dan jadi berbedalah antara tuan dan hamba. 27
23
Kautsar Azhari Noer, Kautsar Azhari Noer, Ibn al-‘Arabi, Ibid., 129. Nas}r H}a>mid Abu> Zaid, H{a>kadha> takallama Ibn ‘Araby, Ibid., 192. 25 Ibid. 26 Ibid., 193. 27 Ibn ‘Arabi, al-Tadbi>ra>t al-Ila>hiyyah fi> Is}la>h} al-Mamlakah al-Isa>niyyah, dalam Rasa>il Ibn ‘Arabi, www. Pdffactory.com, 296. 24
18
MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015
Suatu ketika Ibn ‘Arabi> merenungkan QS. al-Ra’d:3 Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasangpasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.
Menurutnya, manusia termasuk dari kelompok tanaman berbuah (thamara>t), tumbuh dan berkembang sepertinya, makan sebagaimana tanaman makan, dan berakhir seperti akhirnya tumbuhan. Dari manusia diambil faedah-faedah sebagaimana diambil dari tanaman kemudian berkurang seperti berkurangnya dan menjadi tua seperti tuanya tanaman, kemudia mati sepertinya juga. Ia ia melahirkan sebagaimana tanaman melahirkan, kemudian diambil benih darinya kemudian ditanam, kemudian menjadi tanaman muda hingga seperti keadaan asalnya. Terkadang diambil dari manusia sebagaimana diambil dari tanaman dan terkadang ditinggalkan darinya sehingga terputus keturunan dari tanaman tertentu itu. Demikian juga manusia dalam regenerasinya (tawa>lud). Jika ini adalah pohon maka mana saudaranya yang dengannya maka dia menjadi genap? Ibn ‘Arabi> menjawab bahwa buah yang satu adalah alam besar (makrokosmos) yang meliputi sedangkan buah yang lain adalah manusia yang merupakan al-‘a>lam al as}ghar. Pemahaman ini menurutnya bersesuaian dengan QS. alDha>riya>t 21: Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka Apakah kamu tidak memperhatikan? Qs. Fus}s}ilat: 53
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu. 19
MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015
Menurut Ibn ‘Arab>i, jika diperhatikan apa yang terpisah-pisah dalam alam besar maka akan didapati semuanya ada dalam alam manusia. Ia memberi contoh jika di alam ada pertumbuhan maka pada manusia didapati seperti rambut dan kuku dan yang sepertinya. Sebagaimana di dalam alam ada air asin, tawar dan pahit dan asin (zu’a>q) semua itu juga ada pada manusia, yang asin ada pada matanya, yang pait ada di lubang hidungnya dan yang pahit ada di telinganya dan yang tawar di mulutnya. Sebagaimana di alam ada tanah, air, udaara, api maka di dalam manusia semua itu merupakan substansinya dan dari semua itu tubuhnya diciptakan sebagaimana di jelaskan dalam banyak ayat al-Qur’an dimana dijelaskan manusia diciptakan dari tanah (tura>b) dan diciptakan dari t}in yaitu percampuran air denga tanah, dan dari h}amain masnu>n yaitu yang berubah dengan udara yang merupakan unsur udara padanya dan dari s}als}a>l yang meerupakan unsur api. Demikian juga jika di alam ada empat angin yaitu utara, selatan, angin timur dan angin barat, maka dalam manusia ada empat petensi kekuatan yaitu menarik, menahan, menyerang dan menolak. Sebagimana di alam ada binatang-binatang buas, syetan-syetan dan binatang ternak, di dalam manausia ada sifat memburu, mencari kekuasaan, kemenagan dan kemarahan, dengki, iri dan penyimpagan (fuju>r), makan, minum, kawin dan bersenag-senang. Sebagaiman di dalam alam ada malaikat yang baik yang bolak-balik, maka dalam manusia ada ketaatan, istiqamah dan sebagaiman di alam ada yang tampak dengan kasat mata dan yang tak tampak, maka pada manusia ada yang tampak (z}a>hir) dan yang tak tampak (ba>t}in), alam indrawi dan alam hati. Dhahirnya adalah kerajaan (malak) dan batinnya adalah penguasa (malaku>t). Sebagaimana di alam ada yang tinggi dan yang rendah di dalam manusia ada yang tinggi dan rendah.28
Demikian juga menurut Ibn ‘Arabi>, manusia didapati sebagai yang makhluk yang dibebani (mukallaf) dan ditundukkan antara janji dan ancaman, hal ini jika ditimbang dengan alam besar maka didapati, sebagaimana dalam system hirarki wuju>d Ibn ’Arabi, berbanding dengan had}rah al-amr, al-nahy dan had}rah ima>mah., dan kedudukan khila>fah, dan khali>fah benar-benar ada. Padanya muncullah hikmah dan efek asma> ada padanya. Manakala diteliti dengan seksama bagian manusia dalam had}rah al-imamiyah (kepemimpinan), maka hal itu didapati pada manusia adanya khalifah, wakil (wazi>r), hakim (qa>d}i>), sekretaris, pemungut pajak, tentara pembantu-pembantu (a’wa>n), pasukan infanteri, yang membunuh dan menahan, dan seterusnya yang sesuai dengan kedudukan khila>fah yang mana merupakan 28
Ibn ‘Arabi, al-Tadbi>ra>t al-Ila>hiyyah, Ibid., 297.
20
MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015
tempat pewarisan, dimana pada para Nabilah terkibar panji dan bendera kekhalifan ini dan menundukkan semuanya untuk kekuasaannya kemudian setelah para nabi kekhalifahan ini samar dan tidak ampak hingga hari Kiyamat secara umuum, akan tetapi terkadang tampak secara khusus pada Qutub yaitu khalifah zaman dan tempat pandagan dan tajallu dan darinya muncul atah> pengaruh di atas z}ahir-nya alam dan batinnya. Dengannya Ia mengasihi yang ia kasihi dan mengadha>b yang ia adha>b. Ia mempunyai sifat-sifat yang apabila berkumpul dalam khalifah masa maka dia Qutub dan padanya tempat peredaran perintah Tuhan (al-amr
al-ila>hi) dan jika tidak terkumpul maka ia selainnya dan darinya materi kekuasan zaman itu. Ini semua menurut Ibn ‘Arabi> juga ada dalam manusi.29
Kesebandingan manusia dan alam tidak menafikan kenyaataan bahwa manusia adalah bagian dari alam. Ia merupakan bagian pokok alam yang menduduki kedudukan ruh bagi jasad. Manusia adalah ruhnya alam, tanpa manusia, alam tidak pararel bagi hakekat ketuhanan sedangkan manusia pararel (muwa>zin) bagi hakekat-hakekat ketuhanan atau ia ada menurut s}u>rah (form) Allah, sebaliknya alam tidak pararel dengan ketuhanan kecuali dengan manusia, maka alam tanpa manusia tidak menunjukkan kesempurnaan s}u>rah Al-
H{aq.30
Karena itu tujuan (penciptaan) alam adalah manusia. Kalau bukan karena insa>n ka>mil maka alam tidak akan terwujud.31 Namun yang dimaksud di sini adalah manusia sempurna (insa>n ka>mil),32 karena di dalam alam juga ada manusia hewan (al-insa>n al-Hayawa>n) yang menyerupai insa>n ka>mil dalam pertumbuhan bentuknya fisiknya saja. Dengan demikian
Insa>n ka>mil adalah cermin Tuhan. Ia adalah ‘illah (sebab) penciptaan dan klimaks (al-gha>yah al-qas{wa>) dari wuju>d, karena dengan wuju>d-nya maka terealisasilah ira>dah Tuhan dengan menciptakan makhluk yang dapat mengenal (ma’rifah) Allah dengan sebenar-benar pengenalan dan menampakkan. Kalau bukan karena manusia ini maka ira>dah ini tidak akan terealisir dan al-H{aqq tidak akan dikenal. Ia adalah penjaga bagi alam dan yang melestarikan keteraturannya (nidha>muh).33 Dialah yang dimaksudkan oleh al-H{aqq ketika memulyakan
29
Ibid., 299. Ibid., 194. 31 Mahmu>d Mah}mu>d al-Gharra>b, Al-Insa>n al-Ka>mil, Ibid., 8 32 ibid., 7. 33 Ibn ‘Arabi, Fus}u>s} al-H{ikam, Ibid., 50. 30
21
MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015
manusia dan mengagungkan kadarnya, karena kemunculan manusia beserta kesempurnaan ruh, jiwa dan jisim-nya adalah s}u>rah Allah yang tidak patut bagi selainnya untuk mengambil alih (yatawalla>) hiasan niz}a>m s{urah al-H{aq tersebut.34
Manusia Sebagai Khalifah Allah Di Alam Manusia dalam pandangan Ibn ‘Arabi> terutama dilihat dari sisi fungsi penting yang diembankan kepadanya dan sifat yang dimilikinya ketika kehendak Tuhan menghendaki keberadaannya. Kemanusian manusia karena keumuman kemunculannya dan karena ia merangkum seluruh hakekat. Dia dinamakan insa>n karena denganyalah Allah melihat ciptaan-Nya dan kemudian mengasihinya.35 Ia adalah manusia yang baru (h}ad> ith) dan yang
azaly yang muncul terus menerus (al-da>im al-abady), dan kalimah yang memisahkan dan menghimpun, tegaknya alam adalah sebab adanya manusia (ka>mil) ini. 36
Hubungan manusia dengan alam adalah seperti hubungan perekat batu cincin dengan cincin. Ia tempat ukiran dan tanda stempel yang dengannya raja menyetempel gudang perbendaharaan-Nya. Karena itulah ia menamainya khali>fah.37 Karena dengannyalah Al-H}aq menjaga perbendaharaan-Nya sebagaimana khatam menjaga khiza>nah. Selama khatam ini ada maka tidak akan ada yang berani membukanya kecuali atas seizin-Nya, maka Al-H}aq menjadikannya khali>fah untuk menjaga kerajaan dan alam akan senantiasa terjaga selama
insa>n ka>mil ini ada di dalamnya dan sebaliknya jika ia hilang dan terpisahkan dari gudang dunia maka tidak akan tetap apa yang disimpan Al-H{aqq di dunia ini dan keluarlah apa yang ada di dalamnya dan sebagiannya akan saling berbenturan dan berpindahlah ia ke Akhirat dan menjadi khatam bagi perpendaharaan Akhirat selama-lamanya.38 Maka tampaklah seluruh apa yang ada dalam citra Tuhan berupa asma>’ dalam kemunculan manusia dan ia (asma>’) ini memperoleh tingkat peliputan dan integrasi dengan wuju>d ini Namun yang dimaksud manusia di sini adalah manusia dalam arti universal. Pada tataran individual diantara manusia sendiri ada hirarkhi, dan puncaknya adalah insa>n ka>mil, karena ia menyerap
34
Ibid., 76. Ibid., 50. 36 Ibid., 50 35
37 38
Ibid. Ibn ‘Arabi, Ibid., 50.
22
MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015
semua nama dan sifat Tuhan secara sempurna dan seimbang sesuai kesiapannya. 39 Hal mana tidak dimiliki oleh manusia dan makhluk lain termasuk Malaikat dan Iblis yang menurut ibnu ‘Arabi tidak meliputi seluruh asma’ Allah dan tidak menyadari hakekat asalnya. Dengan demikian manusia adalah tempat tajalli al-H{aqq yang paling sempurna, karena ia adalah al-mukhtas}ar al-shari>f dan al-kaun al-ja>mi’ bagi seluruh hekekat wuju>d dan martabatmartabat mereka. Ia adalah microkosmos (al-‘a>lam al-as}ghar) yang mana seluruh kesempurnaan makrokosmos (al-‘a>lam al-akbar) atau kesempurnan ketuhanan yang berupa nama-nama dan sifat-sifat (kama>la>t al-H{ad}rah al-ila>hiyyah al-asma>iyyah wa al-s}ifa>tiyyah) terpantul atau terefleksi dalam cermin wuju>dnya.
Ibn ‘Arabi> mengatakan Manusia adalah kata yang memisahkan atau pembeda antara Tuhan dan alam.40 Manusia adalah baharu (ha>dith) dari aspek bentuk badaniyahnya dan azali dari aspek ilahinya. Kesempurnaan manusia terletak pada apa yang disebut perpaduan, pencakupan, atau sintesis (jam’iyyah) atau paduan, cakupan dan totalitas (majmu>’). Perpaduan berarti bahwa manusia memadukan atau mencakup dalam dirinya semua nama dan sifat Tuhan dan semua realitas alam. Manusia menurut Ibn ‘Arabi> terdiri dari dua salinan (nuskhatayn) yaitu salinan yang tampak (nuskhah z}a>hirah) dan salinan yang tersembunyi (nuskhah ba>t}inah). Salinan yang tampak dapat disamakan dengan alam secara keseluruhannya sedang salinan yang tersembunyi dapat disamakan dengan kehadiran ila>hi.
Dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa Ibn ‘Arabi> membedakan antara Manusia Sempurna pada tingkat universal atau kosmik dan Manusia Sempurna pada tingkat partikular atau individual. Manusia Sempurna pada tingkat universal adalah hakekat Manusia Sempurna, yaitu model asli yang abadi dan permanen dari manusia individual. Sedangkan manusia sempurna pada tingkat partikular adalah perwujudan Manusia Sempurna, yaitu para nabi dan para wali Allah.
Menurut Ibn ‘Arabi> manusia terbagi dalam dua bagian yaitu al-Ka>mil, al-H{ayawa>n,.
Al-Insa>n al-Ka>mil adalah manusia yang mana hakekat-hakekat ketuhanan, atau kahekathakekat al-H{aqq bertajalli padanya. Dialah yang dituju dalam penciptaan alam. Karena 39 40
Kautsar Azhari Noer, Ibn ‘Arabi, Ibid., 127. Ibid., 129.
23
MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015
ketika Allah rindu (cinta) untuk dikenal, maka ia tidak mungkin dikenal kecuali oleh yang mempunyai suruh sepertinya (‘ala> s{u>ratihi) dan Allah tidak menciptakan seseorangpun mnenurut s}u>rah-Nya kecuali insa>ne ka>mil. Nabi saw. Bersabda: ‚ كمم مه انرجال كثيرون ونم يكمم ( ‛مه انىساء اال مريم وآسيتbanyak dari kalangan laki-laki yang semurna,dan tidak ada yang sempurna dari kalangan perempuan kecuali Maryam dan Asiyah). Menurut Ibn ‘Arabi> kesempurnaan yang dimaksud adalah pengenalan mereka akan diri mereka dan pengenalan mereka atas diri mereka adalah hakekat (‘ain) pengenalan mereka atas Tuhan mereka..41 Barang siapa yang sampai pada hekekat-hakekat secara kashf dan ma’rifah (ta’ri>f) yang bersifat ketuhanan maka dia adalah al-Ka>mil al-Akma>l (insa>n ka>mil yang paling sempurna), dan siapa yang derajatya dibawah ini maka dia adalah al-ka>mil (manusia sempurna), dan selain keduanya maka adakalanya ia seorang mukmin atau yang memiliki penalaran rasional dan tidak massuk dalam derajat al-kama>l (kesempurnaan) apalagi al-akmal (yang paling sempurna).
Dengan demikian tidak setiap manusia mempunyai derajat kesempurnaan (al-kama>l) yang dituntut dalam kemanusiaan. Meskipun sebagian lebih utama dari sebagian yang lain dan derajat yang paling rendah adalah derajat hewani yang hanya bentuknya saja yang menyerupai manusia. Sedang derajat yang tertinggi adalah bayang—bayang Allah (z}ill
Alla>h). Ia adalah insa>n ka>mil yang menggantikan Allah (na>ib al-H{aqq) di mana al-H{aqq adalah lisannya dan sekaligus kekuatannya (quwa>hu) dan antar dua derajat ini terdapat banyak tingkatan. Pada zaman Rasul al-Ka>mil adalah Rasul dan pada zaman terputusnya risalah al-Ka>mil adalah Si pewaris Rasul (al-wa>rith). Tidak ada wari>th pada saat wuju>d-nya Rasul. S}u>rah ila>hiyah dengan demikian tidak terdapat dalam setiap jiwa akan tetapi hanya pada jiwa yang sempurna (al-Ka>mil) seperti para Nabi dan manusia sempurna lainnya. Karena adanya kesempurnaan inilah sehingga patut menjadi khali>fah Allah. Mengenai insa>n ka>mil ini Ibn ‘Arabi> mengatakan dalam al-Futu>h}at> : 42 فيظهر باألسماء اإلنهيت فيكىن حقًا ويظهر بحقيقت اإلمكان فيكىن،"اإلوسان انكامم أقامه انحق برز ًخا بيه انحق وانعانم " خهقًا Insa>n ka>mil diposiskan al-H{aqq dalam posisi tengah (yang memisah dan menghubungkan) antara al-H{aqq dan alam, sehingga ia menampakkan nama-nama 41
Mahmu>d Mah}mu>d al-Gharra>b, Insa>n Kamil, Ibid., 8
42
Ibn ‘Arabi, Al-Futu>h}at al-Makkiyah, Ibid., juz 3, 391 Ibid.
43
24
MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015
Tuhan sehingga ia adalah al-H{aqq dan ia menampakkan hakekat hal yang mungkin (ada dan tidaknya bergantung pada yang lain, yaitu al-H{aqq), maka ia adalah makhluk.
Insa>n ka>mil mencerminkan asma>’-asma>’ Tuhan seluruhnya tanpa pengecualian sebagaimana dikatakan dalam H}illiyah al-Abda>l: إن اإلوسان انكامم ال يبقى نه في انحضرة اإلنهيت اسم إال وهى حامم نه Ia juga menyatakan bahwa al-Insa>n al-Ka>mil adalah yang menghimpun hakekat Alam dan citra al-H{aqq.45 Dalam pandangannya segala sesuatu selain manusia adalah ciptaan ( al-
khalq), kecuali manusia karena sesungguhnya ia adalah ciptaan (khalq) dan Tuhan (H{aq). Jadi al-Insa>n al-ka>mil pada hakekatnya adalah Al-H}aq yang diciptakan dengan-Nya (al-
Makhlu>q bih) yang mana alam tercipta karenanya.46 Insa>n ka>mil adalah ruhnya alam dan alam baik alam tinggi mapupun alam rendah seluruhnya ditundukkan untuknya47 dan manusia hewan (al-insa>n al-h}ayawa>n juga termasuk yang ditundukkan untuknya.48 Adapun manusia hewan (al-insa>n al-h}ayawa>n) didefinisakan oleh Ibnu ‘Arabi> dengan pernyataannya: 49
""اإلوسان انحيىان هى انصىرة انظاهرة انتي بها جمع حقائق انعانم فقط دون حقائق انحق Insa>n h}ayawa>n adalah dia yang bentuk lahirnya merupakan himpunan hakekat alam saja tidak (menghimpun) hakekat-hakekat al-H{aqq. Ia menjelaskan ‚Kau katakan Zaid adalah manusia dan Umar juga manusia, meskipun pada Zaid telah tampak adanya hakekat-hakekat ketuhanan sedang pada Umar tidak, maka Umar pada hakekatnya adalah hewan dalam rupa manusia.50 Dasar pembedaan antara keduanya (yakni insa>n ka>mil dan insa>n h}ayawa>n) adalah dari fungsi kekhalifahan. Insa>n
h}ayawa>n memiliki kesamaan dengan insa>ne ka>mil hanya pada tingkat potensi. Insa>n ka>mil dan insa>n h}ayawa>n juga berbeda dari sisi hukum rizki bagi keduanya. Insa>n h}ayawa>n diberi rizki sebagaimana rizki hewan, sedangkan insa>n ka>mil diberi rizki yang demikian dan rizki tambahan yaitu makanan ilmu-ilmu berfikir, baik berupa al-kashf, al44
Ibn Arabi, H{illiyyah al-Abda>l, Ibid., 9. Ibn ‘Arabi, Al-Futu>h}at al-Makkiyah, Ibid., Vol. 3, 447. 46 Ibid., Vol. 2, 396. 47 Ibid., Vol. 3, 266. 48 Mahmu>d Mah}mu>d al-Gharra>b, Al-Insa>n al-Ka>mil, Ibid., 8. 49 Ibn ‘Arabi, Al-Futu>h}at al-Makkiyah, Ibid., Vol. 3, 437. 50 Ibid., 396. 45
25
MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015
dhawq maupun pemikiran yang sehat. Kedudukan insa>n hayawan dibanding kedudukan insa>n ka>mil adalah bagaikan kedudukan kera dibanding insa>n hayawan.51 Insa>n ka>mil merupakan miniatur dan realitas ketuhanan dalam tajally-Nya pada jagad raya. Esensi insa>n ka>mil merupakan cermin dari esensi Tuhan. Jiwanya sebagai gambaran dari al-nafs al-kulliyah (jiwa universal); tubuhnya mencerminkan ‘Arsh; pengetahuannya mecerminkan
pengetauan
Tuhan;
hatinya
berhubungan
dengan
Bait al-Ma’mu>r,;
kemampuannya mental spiritaulnya terkait dengan Malaikat; daya ingatnya dengan Zuhal (Saturnus); daya inteleknya dengan al-Musytary (Jupiter dan lain-lain. Kesempurnaan insa>n ka>mil itu pada dasarnya karena pada dirinya Tuhan bertajally secara sempurna melalui hakekat Muhammad (al-H{aqqi>qah al-Muhammadiyyah) Hakekat Muhammad (nur Muhammad) merupakan wadah tajally Tuhan yang paripurna dan merupakan makhluk yang paling pertama diciptaka Tuhan. Ia ada sebelum penciptaan Adam. Oleh karena itu Ibn ‘Arabi> juga menyebutnya sebagai akal pertama atau pena yang tinggi (al-Qalam al-a’la>). Dialah yang menjadi sebab penciptaan alam semesta dn sebab terpeliharanya. Alam ini terpelihara karena adanya insa>n ka>mil. ini merupakan akibat logis dari kedudukannya sebagai sebab terciptanya alam dan sebagai wadah tajally Tuhan. Seandainya sebab hilang maka akibatnya pun tentu hilang.52 Ibn ‘Arabi> mengatakan Ruh wuju>d yang besar (makrokosmos) ialah wuju>d yang kecil (mikrokosmos) ini. Jika bukan kerenanya (wuju>d yang kecil) tidaklah ia (wuju>d yang besar) berkata sesungguhnya saya besar lagi perkasa.Karenanya manusia dan bukan makhluk yang lain berhak atas status khila>fah dari Allah. Manusia yang sempurna (al-insa>n al-ka>mil) dengan demikian -yang disimbolkan dengan Adam- adalah genus manusia (al-jins al-bashary) pada tingkat yang tertinggi yang mana tidaklah berkumpul kesempurnan-kesempurnaan wuju>d yang rasional, spiritual dan material kecuali padanya.
Insa>n ka>mil meskipun sinonim dengan jenis manusia (al-jins al-bashary) pada dasarnya tidak menemukan aktualisasinya kecuali pada derajat kemanusiaan tertinggi yaitu pada martabat kenabian dan kewalian dan yang paling sempurna dari mereka secara mutlak adalah Nabi Muhammad s}allalla>u ‘alihi wa sallam. Yang dimaksud di sini bukanlah 51
Ibid., 457. Yunasir Ali, Manusia Citra Ilahi, Pengembangan konsep insa>n Kamil Ibn ‘Arabi oleh al-Jili, (Jakarta: Paramadina, 1997), 57. 52
26
MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015
Muhammad yang menjadi Nabi yang diutus, tapi al-H{aqqi>qah al-Muhammadiyyah atau al-
ru>h} al-Muh}ammady. Karena ia merupakan tempat penampakan yang sempurna (al-maz}har alka>mil) bagi Dh>at Tuhan dan bagi Nama-nama dan sifat-sifat (Tuhan). Insa>n ka>mil adalah bagian dari alam. Ia baginya merupakan ruh bagi hewan. Ia (insa>n ka>mil) adalah al-‘a>lam al-shagh>ir (microcosmos). Ia dinamakan micro karena ia hasil sari pati (infa’ala) dari yang makro. Ia (insa>n ka>mil) adalah ringkasan (mukhtas}}ar) dari alam seluruhnya (al-mut}awwal). Manusia adalah mawju>d terakhir dari alam, karena ringkasan tidak teringkas kecuali dari yang luas (mut}awwal). Alam adalah mukhtas}ar-nya al-H{aqq sedang manusia adalah mukhtas}ar-nya alam dan Al-H}aqq. Dengan demikia ia adalah sari terbaik dari mukhtas}ar. Manakala alam adalah menurut s}urah al-H{aqq dan insa>n ka>mil adalah menurut s}u>rah-nya alam dan s}u>rah-nya al-H{aqq. Maka tidak mungkin ada yang lebih indah dan sempurna dari alam ini, karena kalau ada maka ada yang lebih sempurna dari Allah. Sehingga seluruh hakekat dalam alam ada dalam manusia, sehingga ia merupakan al-kalimah
al-ja>mi’ah. Allah tidak menciptakan manusia sia-sia tapi menciptakannya agar dia, bukan yang lain, yang menurut s}u>rah-Nya. Dengan demikian seluruh yang ada di alam tidak mengetahui (ja>hil) terhadap totalitas (al-kull) dan hanya mengetahui sebagian (al-ba’d}) saja, kecuali insa>n ka>mil saja, karena Allah telah mengajarkan seluruh asma>’ dan memberinya
jawa>mi’ al-kalim sehingga sempurnalah s}u>rah-nya. Ia menghimpun s}u>rah-nya al-H{aqq dan s}u>rah-nya alam sekaligus. Ia menjadi penengah (barzakh) antara al-H{{aqq dan alam.53 Al-H{aqq melihat s}u>rah-Nya pada cermin manusai dan makhluk juga melihat s}u>rahnya pada nya. Makna melihat s}u>rah al-Haqq padanya adalah memutlakkan seluruh asma>’ Tuhan padanya sebagimana dalam hadith ‚fa bihim tuns}aru>n (sebab merekalah kalian diitolong), sedang Allahlah sang Penolong, ‚wa bihim turzaqu>n (sebab merekalah kalian diberi rizki) sedang Allahlah yang memberi rizki, ‚ wa bihim turh}amu>n ‚(sebab merekalah kalian dirahmati), sedang Allah lah yang merahmati.
Insa>n ka>mil memiliki kemulyaan atas seluruh yang ada di langit dan bumi. Manusia memiliki sifat yang disebut yang hidup, yang mengetahui, yang menghendaki, yang mendengar, yang melihat, yang bicara, yang kuasa, dan seluruh asma>’ Tuhan dari asma’
tanzi>h dan af’al.54 Ia adalah esensi ang dimaksudkan oleh al-H{aqq dari sekian yang ada karena ia yang dijadikan Allah sebagai tempat tajally, karena ia tidak sempurna kecuali 53
Al-Jilli, Sharh} Al-Futu>hat Al-Makkiyah, (Kairo: Daru al-Amin, 1998)
54
Mah}mu> Mamu>d al-Gharra>b, Sharh Fus}u>s al-Hikam min Kala>m al-Shaikh Muh}yi al-Di>n Ibn ‘Araby (Damaskus: Mat}ba’ah Zaid Ibn Tha>bit, 2000), 26.
27
MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015
dengan s}u>rah al-H{aqq sebagaimana cermin meskipun sempurna kejadiannya tapi ia tidak sempurna kecuali dengan ber-tajally-nya s}urah orang yang melihat. Sesungguuhna martabat
insa>n ka>mil dari alam adalah martabat jiwa yang berfikir (al-nafs al-Na>t}iqah) dari manusia. Ia adalah yang sempurna yang tidak ada yang lebih sempurna darinya. Ia adalah Muhammad
s}alla> Allah ‘alaih wa sallam. Ia adalah insa>n ka>mil yang menggiring alam di dalam kesempurnaan. Penghulu manusia pada Yawm al-Qiya>mah dan derajat kesempurnaan dari manusia yang turun dari derajat kesempurnaan ini yang merupakan klimaks ( gha>yah) dari alam adalah kedudukan daya ruhaniyah dari manusia. Mereka adalah para nabi. Sedang kedudukan dibawahnya adalah kedudukan daya inderawi dari manusia. Mereka adalah al-
warathah (yang mewarisi para Nabi). Sedang sisanya dari mereka yang menurut s}urah manusia dalam bentuknya (shakl) ia termasuk golongan hewan. Maka mereka kedudukannya seperti kedudukan ruh hewani pada manusia. 55
Insa>n ka>mil adalah khalifah Allah dan khalifah tidak bisa tidak harus menampakkan seluruh s}u>rah yang dengannya tampaklah yang memberinya khila>fah, karenanya tidak bisa tidak khalifah harus meliputi seluruh asma’ dan sifat-sifat Tuhan yang dituntut alam yang mana al-H{aqq memberinya kekuasaan atasnya. Maka Allah menjadikan Insa>n Ka>mil di dunia sebagai ima>m dan khali>fah dan memberinya ilmu al-asma’ yang menunjukkan makna-makna padanya dan menundukkan untuk manusia ini dan keturunannya seluruh yang ada di langit dan bumi maka insa>n ka>mil tidaklah menghasilkan ima>mah sampai ia benar-benar mengetahui (‘allamah).56
Ruh Sebagai Khalifah Pada Jasad Pada tingkat al-‘a>lam al-as}ghar (manusia) kekhalifahan adalah kekhalifahan ruh dalam bumi badan.57Untuk menjelaskan keparelannya dengan alam besar Ibn ‘Arabi> menjelaskan bahwa eksistensi pertama yang diciptakan Allah ta’a>la> adalah materi sederhana yang bersifat ruhani (jauhar basi>t} ru>h}an> i). Ia tunggal tidak menempati tempat58 yang diistilahkan oleh para sufi dengan berbagai istilah seperti: al-ima>m al-Mubi>n, al-‘Arsh,
55
Ibid., 27. Ibid. 57 Ibn ‘Arabi, al-Tadbi>ra>t, Ibid., 310. 58 Kalangan sufi berbeda pendatap mengenai hal ini, ada yang bependapat ia menempati tempat dan ada yang berpendapat ia tidak menempati tempat. 56
28
MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015
Mir’a>t al-H{aq dan al-H{aqi>qah, al-Mufi>d}, Markaz Da>irah, dan lain sebagainya.59 Ini adalah khalifah dalam alam besar. Ketika Allah mengadakan Khalifah ini pada alam kecil (manusia) maka Allah membangun kota yang ditinggali oleh rakyatnya dan tokoh-tokoh negaranya yang dinamakan had}rah jism atau badan dan menentukan untuknya suatu tempat baik dia mendiaminya atau tidak sesuai perbedaan pandangan berbagai kalangan mengenainya atau tempat tertentu itu hanya sebagai tempat perintah dan khitabnya saja. Ia di posisikan dalam kota jism pada empat tiang yaitu istiqsa>t dan unsur-unsur yaitu air, tanah, udara dan api dalam pandangan orang Yunani. Tempat khusus bagi khalifah ini dinamakan Qalb dan dijadikan tempat tinggalnya atau tempat perintahnya dan ada yang mengatakan di dalam otak (dima>gh) akan tetapi Ibn ‘Arabi> lebih condong pada Qalb. Akan tetapi yang dimaksud bukanlah Qalb naba>ti> yang juga dimiliki hewan-hewan akan tetapi sirr yang ditinggalkan padanya yaitu khalifah sedang Qalb naba>ti> hanyalah kulitnya.
Qalb naba>ti ini tidak berfaedah kecuali sebagai tempat sir ini yang dituntut yang menjadi obyek khitab dan yang menjawab ababila ditanya dan yang kekal ketika jisim dan
Qalb naba>ti rusak. Demikianlah, kata Ibn ‘Arabi> jika imam bagus maka rakyat bagus dan jika rusak maka rakyat rusak sebagaimana dalam hadi>th. Kemudian Allah membangunkan untuknya tempat rekreasi (muntahiz) yang menakjubkan yang tinggi dan mulya di tempat tertinggi di dalam kota ini yang dinamakan otak (dima>gh) dan membukakan untuk ruh di dalam otak ini kemampuan-kemampuan (t}a>qa>t) dan pintu-pintu (khaukha>t) yang darinya ia membimbing kerajaannya yaitu dua telinga, dua mata hidung dan mulut. Dan mebangunkan untuknya (Qalb) gudang perbendaharaan (khiza>nah) yang dinamakan Khizanah al-Khaya>l) dan menjadikannya sebagai tempat tinggal hasil pemungutan pajak ( jaba>ya>t) yang diperoleh oleh indera berupa informasi tentang yang dirasa, yang dilihat, yang didengar, yang dicium yang dimakan dan yag diraba dan yang berhubungan dengan indra. Dan dari gudang ini lahir citra-citra yang dilihat orang yang mimpi sebagaiman dalam pajak ada yang halal dan yang haram demikian juga dalam hal yang dilihata ada yang dilihat langsung dan ada yang berupa mimpi (ad}gha>th ah}la>m). dan dibangunkan juga ditengah empat pelesir ini (al-muntazah) gudang pemikiran yang kepadanya diajukan hal-hal yang dikhayalakan untuk diterima yang baik dan ditolak yang rusah. Dan dibangunkan pula di akhir al-Muntazah ini gudang penjagaan (hafalan). Pada otak ini dijadikan seorang wakil (wazi>r) yaitu akal.
59
Ibn ‘Arabi, al-Tadbi>ra>t, Ibid., 310.
29
MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015
Kemudian juga diadakan untuk Qalb ini nafsu yang merupakan tempat perubahan dan tempat diamnya perintah dan larangan. Bagiannya dalam alam tinggi adalah al-Kursy sebagaimana ruh kedudukannya adalah ‘Arsh dalam alam tinggi. Nafsu merupakan pasangan ruh. Dari pernikahan keduanya lahir al-jism. Kemudian Allah sebagai kesempurnaan nikmat bagi manusia, mengadakan untuknya gubernur (ami>r) yang sangat kuat dan diataati dan banyak tentaranya yang menentag khalifah ini yang dinamakan dengan al-hawa> dan wazi>rnya yang dinamakan al-shahwah. Dialektika antara khalifah dan pembantunya dengan musuhnya mempengaruhi nafsu yang berubah-ubah. Karenanya nafsu menjadi tempat penyucian dan perubahan. Jika ia mengijabahi al-hawa> maka terjadilah perubahan dan jadilah ia dengan nama al-Ammarah bi al-su>’ dan jika ia menyalahi akal maka terjadilah penyucian dan ia menjadi al-nafsu al-Mut}ma’innah dalam syara’ tidak dalam tauhid. Dalam kecamuk kerajaan ini, ruh pada dasarnya tidak berdaya dan butuh kepada Allah dan tidak punya kekuatan kecuali dengan pertolongan tuannya Allah ta’la> dan mendapat pertolongan manakala ia mengadukan kepada-Nya.60
Manusia dan Teori Pengetahuan Seluruh pengetahuan terpendam dalam manusia dan bahkan dalam alam seluruhnya. Allah telah menyediakan pada manusia pengetahuan mengenai segala sesuatu kemudian Allah mengahalang-halangi (h}a>la) antara dirinya dan penangkapan atas apa yang ada pada dirinya dari apa yang telah Allah sediakan pada dirinya. Ini tidak hanya khusus bagi manuisa saja, bahkan alam seluruhnya. Karena masing-masing substansi (jauhar) dalam alam ini meghimpun seluruh hakekat di dalam alam sebagaimana setiap nama Tuhan merupakan
musamma> bagi seluruh asma’ Tuhan. Ia adalah rahasia dari rahasia-rahasia Tuhan yang diingkari oleh akal. Kemudian Allah melupakan akan hal itu sebagaimana Allah melupakan mereka kesaksian mereka atas ketuhanan-Nya saat pengambilan janji (al-mitha>q) padahal telah terjadi pada mereka. Dan kita mengetahuinya melalui pemberitahuan tuhan. Sehingga pengetahuan manusia tiada lain adalah pengingatan. Dan tidak ada yang mengetahuinya kecuali orang yang telah Allah terangi mata hatinya (bas}i>rah) dan ini terkhusus bagi orang yang diliputi al-Khashyah ma’a al-anfa>s dan ini adalah maqa>m yang mulya karena tidak
60
Ibid., 322-323.
30
MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015
terdapat kecuali bagi orang yang disertai tajally terus menerus.61 Jadi ia adalah al-‘A
ja>hil. Menurut Ibn ‘Arabi> penerima tajally, termasuk manusia, tidak dapat melihat selain bentuknya sendiri dalam cermin al-H{aqq. Ia tidak melihat al-H{aqq dan tidak mungkin melihat-Nya meskipun ia mengetahui bahwa ia tidak mungkin melihat bentuknya yang sebenarnya kecuali pada-Nya. Sebagaimana alam adalah cermin bagi al-H{aq di satu sisi, di sisi lain Al-H{aqq adalah cermin bagi alam maka mereka tidak akan melihat dalam cermin itu selain bentuk-bentuk mereka sendiri. Dan mereka itu dalam bentuk-bentuk mereka bertingkat-tingkat, maka Dia (al-H{aqq) adalah cermin bagi anda ketika anda melihat diri anda yang sebenarnya dan anda adalah cermin bagi-Nya ketika dia melihat Nama-namanya dan menampakkan sifat-sifat dan nama-nama itu yang tidak lain dari diri-Nya sendiri. Ibn ‘Arabi> mempertalikan pengetahuan tentang Tuhan dengan pengetahuan tentang diri manusia. Pengetauan mengenai Tuhan maupun alam menurut Ibn ‘Arabi> tidak bisa dipahami kecuali sebagai kesatuan antara kontradiksi-kontradiksi yang merupakan satu kesatuan ontologism yang saling melengkapi. Ia adalah satu realitas dengan aspek yang berbeda. Karena itu barangsiapa yang menyatukan tanzi>h dan tashbi>h dalam pengetahuan tentang Tuhan niscaya ia akan mengatahui Tuhan sebagaimana mengetahui dirinya. Dalam konteks ini Ibn ‘Arabi> membuat pertalian bahwa manusia adalah s}u>rah Tuhan dan Dia adalah ruh manusia. Manusia sebagai s}u>rah tuhan, di sini Tuhan adalah yang tampak (Z{a>hir), sisi kedua Tuhan sebagai ruh manusia, Tuhan adalah yang tidak Tampak (ba>t}in) Karena itulah menurutnya pengetahuan yang diperoleh oleh akal tidak sempurna karena hanya pampu menjangkau pada tataran tanzi>h tidak sampai pada pengetahuan yang menunjukkan tashbi>h. Pengetahuan teentang Tuhan yang dapat dicapai oleh akal adalah pengetahuan negative yang menegasikan pengungkapan apapun yang mendeskripsikan Tuhan. Karena itu menurut Ibn ‘Arabi> akal harus dilengkapi dengan dengan daya estimasi al-
wahm, daya yang mampu mencapai pengetahuan tentang tashbi>h. Dengan demikian pengetahuan yang sempurna mengenai Tuhan adalah dicapai oleh gabungan akal dan daya
wahm (ketika Tuhan memberi akal pengetahuan tentang tajally), sehingga didapat pengetahuan yang memadukan tanzi>h dan tashbi>h. Bahkan menurut Ibn ‘Arabi> daya wahm ini adalah kekuatan yang terbesar (al-sult}a>n al-a’z}am) dalam bentuk sempurna dari manusia.
61
Mahmu>d Mah}mu>d al-Gharra>b, Sharh} Fus}u>s al-H{ikam, Ibid., 60.
31
MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015
Melaluinyalah syari’at-syari’at yang diwahyukan datang, yang menyatakan tashbi>h dan
tanzi>h.62
62
Ibn ‘Arabi, Fus}u>s} al-H{ikam, Ibid., 181.
32
MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015
Penutup Karena itu dalam pandangan Ibn ‘Arabi> untuk sampai pada pengetahuan mengenai Tuhan manusia dapat mengenalinya melalui alam dan dirinya sendiri sebagai ayat-ayat (tanda-tanda) tuhan, namun tampaknya kecenderungan Ibn ‘Arabi> sebagaimana sufi lain cenderung pada yang kedua karena itu dalam al-Futu>h}at al-Makkiyyah Ibn ‘Arabi> menjelaskan enam puluh maqa>ma>t. Dalam menempuh Maqa>ma>t ini sufi senantiasa melakukan bermacam ibadah, muja>hadah dan kontemplasi, yang sesuai dengan aturan agama sehingga satu demi satu maqa>ma>t ini dapat di laluinya. Melalui maqa>ma>t ini tidak mudah dan memerlukan ketekunan dan kesabaran. Tahap puncak perjalanan spiritual ini ketika ia sampai pada maqam ma’rifah dan mahabbah. Makrifat dimulai dengan mengenal dan menyadari jati diri. Dengan mengenal dan menyadari jati diri ini niscaya sufi akan kenal dan sadar terhadap tuhannya. Sebagaimana hadith rasul barang siapa mengenal dirinya niscaya
dia mengenal tuhannya. Kesempurnaan makrifat ini ialah dengan mengeahui tujuh obyek pengetahuan, yaitu: mengetahui asma>’ ilahi, mengetahui tajally ilahi, mengetahui takli>f Tuhan terhadap hambanya, mengetahui kesempurnaan dan kekurangan wujud alam semesta, mengetahui diri sendiri, mengetahui alam akherat. Dengan makrifat maka timbul mah}abbah (cinta) cinta merupakan puncak maqa>ma>t yang ditempuh sufi. Disini bertemu antara kehendak Tuhan dan kehendak insan. Kehendak Tuhan ialah kerinduan-Nya untuk ber-tajalli pada alam, sedang kehendak insan ialah kembali kepada esensinya yang sebenarnya yakni wujud mutlak.63 Dengan demikian diketahui bahwa ‚sumber pengetahuan itu sebenarnya berada dalam diri manusia tapi untuk mencapainya diperlukan kesadaran terhadap jati diri.
63
Yunasir Ali, Manusia Citra Ilahi, Ibid, 72.
33
MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jilli. Sharh} Al-Futu>h}a>t Al-Makkiyah. Kairo: Da>r al-Amin, 1998. Al-‘Ajalu>ni>, Isma>’il, Kashf al-Khafa>’ wa muzi>l al-Ilba>s. Bairut: Mu’assasah al-Risa>lah, 1985. Cet. ke 4, Vol. 2. Al-Qus}airi>, al-Risa>lah al-Qushayriyyah fi> ‘Ilm al-Tas}awwuf. Bairut: Da>r al-Kita>b al-’Arabi>>, t.th. al-Na>buli>si>, ‘Abd al-Ghani.> I>d}a>h} al-Maqsu>d min Wah}dat al-Wuju>d, Kairo: Da>r al-Aq al’Arabi>yyah, 2003. Abu> Karam, Karam Ami>n. H{aqi>qah al-‘Iba>dah ‘Inda Muhyi al-Di>n Ibn ‘Arabi>. Kairo: Da>r alAmi>n, 1997. Azhari Noer, Kautsar. Ibn al-‘Arabi, Wah}dah al-Wuju>d Dalam Perdebatan. Jakarta: Para Madinah, 1995. al-Gharra>b, Mah}mu>d Mahmu>d. Sharh Fus}u>s al-Hikam min Kala>m al-Shaikh Muh}yi al-Di>n Ibn ‘Araby . Damaskus: Mat}ba’ah Zaid Ibn Tha>bit. 2000. ………., Al-Insa>n al-Ka>mil wa al-Qut}b al-Ghawth al-fard min Kala>m al-Syeikh al-Akbar Muh}yi al-Di>n Ibn ‘Araby. www. Al-mostofa.com, Cet ke-2, 1990. Ibn ‘Arabi>, Muh}yi al-Di>n. al-Tadbi>ra>t al-Ila>hiyyah fi> Is}la>h} al-Mamlakah al-Isa>niyyah, dalam Rasa>il Ibn ‘Arabi. www. Pdffactory.com ………., H{illiyyah al-Abda>l. Hidrabad, t.th. ………., Fus}us} al-H{ikam. Bairut: Da>r al-Kita>b al-‘Araby,t.th. ………., Al-Futu>h}at al-Makkiyah. Mesir: Da>r al-Kutub al-‘Arabiyah al-Kubra>, 1329 H ………., Kita>b al-Masa>il, dalam Rasa>il Ibn ‘Arabi.>, Hederabad: Mat}ba’ah Jam’iyyah Dairah al-Ma’a>rif al-‚Uthma>niyyah. 1948. Abu> Zaid, Nas}r H}a>mid. H{a>kadha> Takallama Ibn ‘Araby, Kairo: Al-Hai’ah al-Mis}riyyah al‘Ammah li al-Kita>b. 2002. Ali, Yunasir, Manusia Citra Ilahi, Pengembangan konsep insa>n Kamil Ibn ‘Arabi> oleh al-Jili. Jakarta: Paramadina, 1997.
34