AKTIVITAS KITINASE, PEROKSIDASE DAN ANTICENDAWAN IN VITRO DARI EKSTRAK PROTEIN TANAMAN TRICHOSANTHES (CUCURBITACEAE)
DEWI SUKMA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
SURAT PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa segala pernyataan dalam disertasi yang berjudul : AKTIVITAS KITINASE, PEROKSIDASE DAN ANTICENDAWAN IN VITRO DARI EKSTRAK PROTEIN TANAMAN TRICHOSANTHES (CUCURBITACEAE) adalah benar-benar karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing, bukan hasil jiplakan atau tiruan serta belum pernah diajukan dalam bentuk apapun untuk memperoleh gelar program sejenis di perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
Bogor, Juli 2008
Dewi Sukma NIM A361030031
ii
ABSTRACT DEWI SUKMA. Chitinase, Peroxidase and In Vitro Antifungal Activities of Protein Extract of Trichosanthes (Cucurbitaceae). Supervised by : ROEDHY POERWANTO as the chairman, SUDARSONO, NURUL KHUMAIDA, I MADE ARTIKA and SURYO WIYONO as the member of advisory commitee.
Trichosanthes is a genus of Cucurbitaceae. Some species of this genus were reported containing bioactive protein such as Ribosome Inactivating Protein and chitinase. Studies on peroxidase were not much reported on these plants. The research was carried out to : 1) study morphology, growth, development, pest and disease of 3 Trichosanthes species 2) analyze chitinase and peroxidase activities from T. tricuspidata dan T. cucumerina var. anguina, 3) analyzed the effect of salicylic acid (SA) and etefon (ETF) on the chitinase and peroxidase activities, 4) evaluate in vitro antifungal activity of crude protein extract of Trichosanthes. The first part of the research showed the differences of morphological characters and growth habit of T. cucumerina var. anguina, T. tricuspidata and T. quinquangulata. T. cucumerina live as annual while the two others species lived as perennial plants. T. cucumerina var. anguina had more problem of pest and disease than T. tricuspidata and T. quinquangulata. The second part of the research described the biochemical characters for chitinase and peroxidase activities from some tissues of T. tricuspidata and T. cucumerina var. anguina. T. tricuspidata had the highest chitinase activity in crude protein extract of in vitro shoots, calli and plant roots and peroxidase activity in plant roots grown in field. T. cucumerina var. anguina had the highest chitinase and peroxidase activities in crude protein extract of plant roots grown in field and calli. Roots of T. cucumerina var. anguina showed the highest chitinase activity in seedling, young and mature plants follow by stem and leaves. The fourth part of the research showed that chitinase and peroxidase activities of calli crude protein extract of T. tricuspidata could be increased by SA. Adversely, ETF decreased the peroxidase activity of calli crude protein exract of T. tricuspidata. In T. cucumerina var. anguina, SA could not increase the chitinase activity but increase the peroxidase activity in crude protein exract of calli and plant roots grown in field. The fifth part of the research showed that in spore germination assay, the crude protein from in vitro shoots of T. tricuspidata could inhibited the spore germination of Fusarium sp. from T. cucumerina var. anguina, Fusarium oxysporum from shallot, Puccinia arachidis from peanut and Pseudoperonospora cubensis from cucumber. The protein could not inhibit spore germination of Curvularia eragrostidis. The leaves and roots crude protein extract of T. tricuspidata and the leaves, stem and roots protein extract from T. cucumerina var. anguina inhibited the hypha growth of Helmithosporium tursicum in radial growth inhibition assay. Crude root protein extract of T. tricuspidata showed greater inhibition on hypa growth than leaves. In T. cucumerina var. anguina, crude protein extract from stem resulted greater inhibition on hypha growth of Helminthosporium tursicum than crude protein extract from root or leaves.
iii
RINGKASAN
DEWI SUKMA. Aktivitas Kitinase, Peroksidase dan Anticendawan In Vitro dari Ekstrak Protein Tanaman Trichosanthes (Cucurbitaceae). Komisi Pembimbing : ROEDHY POERWANTO (Ketua), SUDARSONO, NURUL KHUMAIDA, I MADE ARTIKA, SURYO WIYONO (Anggota). Trichosanthes merupakan salah satu genus dari famili Cucurbitaceae. Beberapa spesies dari genus ini menghasilkan protein bioaktif seperti Ribosome Inactivating Protein dan kitinase. Studi tentang peroksidase belum banyak di laporkan pada tanaman ini. Penelitian ini bertujuan untuk : 1) mempelajari morfologi, pertumbuhan, perkembangan, hama dan penyakit dari 3 spesies Trichosanthes, 2) menganalisis aktivitas enzim kitinase dan peroksidase dalam ekstrak kasar protein dari jaringan tanaman T. tricuspidata dan T. cucumerina var. anguina, 3) menganalisis pengaruh perlakuan senyawa induser salicylic acid (SA) dan etefon (ETF) terhadap aktivitas enzim kitinase dan peroksidase dalam ekstrak kasar protein dalam jaringan tanaman T. tricuspidata dan T. cucumerina var. anguina serta 4) mengevaluasi aktivitas anticendawan secara in vitro dari ekstrak kasar protein dari jaringan tanaman T. tricuspidata dan T. cucumerina var. anguina. Bagian pertama dari hasil penelitian menunjukkan perbedaan morfologi dari T.cucumerina var. anguina, T. tricuspidata, dan T. quinquangulata. Perbedaan lain juga terlihat pada kebiasaan hidup (annual/perenial) dan gejala kerusakan karena serangan hama dan penyakit. T. cucumerina var. anguina menghadapi lebih banyak masalah hama dan penyakit dibanding T. tricuspidata dan T. quinquangulata. Bagian kedua dari penelitian menunjukkan karakter biokimia berupa aktivitas kitinase dan peroksidase pada ekstrak kasar protein dari beberapa jaringan tanaman Trichosanthes. Ekstrak kasar protein dari tunas in vitro T. tricuspidata, kalus dan akar tanaman dari lapang memiliki aktivitas kitinase lebih tinggi dibanding daun. Aktivitas peroksidase paling tinggi ditemukan pada ekstrak kasar protein akar tanaman dari lapang. Pada T. cucumerina var. anguina aktivitas kitinase dan peroksidase paling tinggi ditemukan pada ekstrak kasar protein dari akar tanaman dari lapang dan kalus in vitro. Uji aktivitas kitinase dan peroksidase juga dilakukan pada ekstrak kasar protein dari akar, batang dan daun tanaman T. cucumerina var. anguina dari lapang yang berumur 3 Minggu Setelah Berkecambah (MSB), tanaman berumur 1 bulan setelah penanaman (1 BST) dan tanaman berumur 2 bulan setelah penanaman di polibag (2 BST). Hasil pengujian menunjukkan bahwa aktivitas kitinase dan peroksidase pada T. cucumerina var. anguina paling tinggi pada ekstrak kasar protein akar, diikuti oleh batang dan daun dan cenderung meningkat dengan bertambahnya umur tanaman. Akar juga menunjukkan aktivitas kitinase dan peroksidase yang tinggi pada bibit, tanaman muda dan tanaman dewasa. Pada bagian ketiga dari penelitian ditemukan bahwa pada tanaman T. tricuspidata di lapang SA tidak meningkatkan aktivitas kitinase namun dapat meningkatkan aktivitas peroksidase. SA dapat meningkatkan aktivitas kitinase
iv
dan peroksidase pada ekstrak kasar protein dari kalus in vitro. Sementara perlakuan ETF dapat meningkatkan aktivitas kitinase dari ekstrak kasar protein kalus T. tricuspidata namun menekan aktivitas peroksidase. Pada T. cucumerina var. anguina, SA tidak dapat meningkatkan aktivitas kitinase pada tanaman di lapang maupun pada kalus in vitro. Sebaliknya SA dapat meningkatkan aktivitas peroksidase pada akar tanaman T. cucumerina var. anguina di lapangan dan juga pada kalus in vitro. Pada bagian ke empat dari penelitian ditemukan bahwa pada pengujian aktivitas anticendawan dengan uji perkecambahan spora, ekstrak kasar protein dari tunas in vitro T. tricuspidata dapat menghambat perkecambahan spora beberapa cendawan patogen tanaman yaitu Fusarium sp. dari tanaman T. cucumerina, Fusarium oxysporum dari bawang merah, Puccinia arachidis dari kacang tanah dan Pseudoperonospora cubensis dari ketimun. Namun protein tersebut tidak dapat menghambat perkecambahan spora Curvularia eragrostidis dari anggrek Dendrobium. Pada uji penghambatan pertumbuhan hifa, esktrak kasar protein dari daun dan akar tanaman T. tricuspidata menunjukkan penghambatan terhadap pertumbuhan hifa cendawan Helminthosporium turcicum.. Ekstrak protein dari akar menunjukkan efek penghambatan yang lebih besar terhadap pertumbuhan hifa cendawan dibanding protein daun. Pada T. cucumerina var. anguina, ekstrak protein dari batang menunjukkan penghambatan yang lebih besar terhadap pertumbuhan hifa cendawan Helminthosporium turcicum dibanding ekstrak protein dari akar atau daun.
v
©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
vi
AKTIVITAS KITINASE, PEROKSIDASE DAN ANTICENDAWAN IN VITRO DARI EKSTRAK PROTEIN TANAMAN TRICHOSANTHES (CUCURBITACEAE)
DEWI SUKMA
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Agronomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
vii
Judul Disertasi
:
Nama Nomor Pokok Program Studi
: : :
Aktivitas Kitinase, Peroksidase dan Anticendawan In Vitro dari Ekstrak Protein Tanaman Trichosanthes (Cucurbitaceae) Dewi Sukma A361030031 Agronomi
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. H. Roedhy Poerwanto, MSc. Ketua
Prof. Dr. Ir. H.Sudarsono, MSc. Anggota
Dr. Ir. I Made Artika, MApp.Sc. Anggota
Dr. Ir. Nurul Khumaida, MS. Anggota
Dr. Ir. Suryo Wiyono, MSc.Agr Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi Agronomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. H. Munif Ghulamahdi, MS.
Prof. Dr. Ir. Khairil A.Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 21 Juli 2008
Tanggal Lulus:
viii
PRAKATA Bismillaahirrahmanirrahiim. Puji dan syukur penulis sampaikan ke hadirat ALLAH SWT atas segala karunia dan petunjuk-NYA, sehingga penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan. Salawat dan Salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW. pembawa cahaya dan petunjuk bagi kehidupan umat manusia hingga akhir zaman. Disertasi
dengan
judul
”Aktivitas
Kitinase,
Peroksidase
dan
Anticendawan In Vitro dari Ekstrak Protein Tanaman Trichosanthes (Cucurbitaceae)” disusun berdasarkan percobaan-percobaan yang dilakukan di lapangan, di laboratorium Bioteknologi Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura, dan di Laboratorium Klinik Tanaman Departemen Proteksi Tanaman, IPB. Disertasi ini dapat diselesaikan atas kerjasama dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penghargaan dan ungkapan terimakasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada ketua komisi pembimbing Prof. Dr. Ir. H. Roedhy Poerwanto, MSc., yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi. Ungkapan penghargaan dan terimakasih juga penulis sampaikan kepada anggota komisi pembimbing : Prof. Dr. Ir. H. Sudarsono, MSc., Dr. Ir. Nurul Khumaida, MS., Dr. Ir. I Made Artika, Mapp.Sc., dan Dr. Ir. Suryo Wiyono, MSc.Agr., yang telah banyak membimbing, mengarahkan dan memberi masukan dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi ini. Terimakasih yang sebesar-besar-besarnya penulis sampaikan kepada Dr.Ir. Sandra A. Azis, MS dan Dr.Ir. Rugayah yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi pada sidang terbuka. Berbagai pihak juga telah banyak berperan sehingga penelitian dan penulisan disertasi dapat diselesaikan. Karena itu ungkapan terimakasih penulis sampaikan kepada : 1. Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa BPPS dan biaya penelitian melalui Program Hibah Bersaing, sehingga penulis dapat menyelesaikan Program S3 di Institut Pertanian Bogor dan melakukan penelitian yang menjadi bagian dari disertasi ini.
ix
2. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Pertanian, Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB, Kepala Bagian Bioteknologi Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura atas ijin dan dukungan yang diberikan sehingga penulis dapat menjalankan penelitian dan menyelesaikan penulisan disertasi ini dengan baik. 3. Staf Pengajar Program Studi Agronomi, Sekolah Pascasarjana, IPB yang telah memberikan ilmu selama penulis mengambil kuliah untuk program S3 di IPB. 4. Dr. Ir. Widodo, MSc. Yang telah mengijinkan penulis melaksanakan pengujian aktivitas anticendawan di Klinik Tanaman, Departemen Proteksi Tanaman IPB. 5. Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. dan Dr. Ir. Satriyas Ilyas, MSc. yang telah menguji penulis pada ujian Prakualifikasi Program Doktor. 6. Dr. Ir. Darda Efendi, MS selaku dosen penguji luar komisi pada sidang ujian tertutup. 7. Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura yang telah banyak memberikan bantuan, kerjasama dan dukungan dalam pelaksanaan tugas penulis sebagai staf pengajar dan juga pengertian selama penulis menyelesaikan disertasi. 8. Bapak/Ibu dan Rekan-Rekan yang selalu memberikan dukungan, semangat dan bantuan bagi penulis selama pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi, yaitu : Prof. Dr. Ir. Sri Setyati Harjadi, Dr. Sandra A. Azis, Dr. Trikoesoemaningtyas, Dr. Darda Efendi, Dr. Winarso D. Widodo, Dr. Adiwirman, Dr. Syarifah Iis Aisyah, Dr. M. Syukur, Dr. Rahmi Yunianti, Dr. Desta Wirnas, Ir. Ketty Suketi, MS., Ir. Supijatno, MS., Ir. Diny Dinarti, MS., Ir. Ani Kurniawati, MS., Evi T. Tondok, SP, MSc., Juang Gema Kartika, SP., dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu dalam tulisan ini. 9. Rekan-rekan di Laboratorium dan pegawai Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB : Mbak Juju, Mbak Iip, Bu Ika, Mbak Pepi, Mbak Emi, Susi, Mas Agus, Bu Jun, Saiful, Pak Kohar, Pak Khaerudin dan berbagai pihak yang telah banyak membantu terlaksananya penelitian ini.
x
10. Terimakasih yang khusus dan mendalam penulis sampaikan kepada kedua orang tua penulis : Bapak Mukhtar Syarif Dt. Mudo Nan Panjang, Ibu Rasima Ali atas kasih sayang, perjuangan dan doanya dalam membesarkan dan mendidik penulis. 11. Terimakasih kepada Bapak dan Ibu Mertua (Bapak Abdul Samad [alm] dan Ibu Soeparti, yang telah mendidik dan memberikan suami yang baik bagi penulis. 12. Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada suami tercinta Ir. Susilan Hidayat serta ananda M. Imam Adi Wicaksana dan M. Fajar Ash Shiddieqy yang telah melengkapi dan memberikan kebahagian bagi kehidupan penulis dan atas segala pengertian, pengorbanan dan kesabarannya selama penulis menyelesaikan studi S3 ini. 13. Rasa terimakasih juga penulis sampaikan kepada kakak-kakak Penulis Deswita dan Holdani, Mas Budi, Mas Damar, Mas Pras, Mas Guntur, Mbak Sri, adek-adek Elda dan Yat, beserta keluarga, mamanda Sofyan Ali Dt. Reno Bijayo nan Panjang, serta kepada Umi Sartini dan Mamanda Ratius, Umi Harnelis dan Pak Etek Unin serta sanak famili lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu dalam tulisan ini. 14. Terimakasih kepada berbagai pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian disertasi Penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam tulisan ini. Semoga bimbingan, bantuan, dukungan dan doa dari berbagai pihak akan menjadi amal baik dan mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat bagi pengembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan bagi kehidupan kita bersama. Amin
Bogor, Juli 2008
Penulis
xi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Payakumbuh, Sumatera Barat pada tanggal 4 April 1970 dari pasangan Mukhtar Syarif Dt. Mudo nan Panjang dan Ibu Rasima Ali, sebagai anak ketiga dari 5 bersaudara. Pada tahun 1997 penulis menikah dengan Ir. Susilan Hidayat dan dikaruniai dua orang anak Muhammad Imam Adi Wicaksana (10 tahun) dan Muhammad Fajar Ash Shiddieqy (5 tahun). Pendidikan dasar diselesaikan tahun 1983 di SDN 1 Andalas. Pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 1986 di SMPN 2 Payakumbuh dan menengah atas di SMAN 3 Payakumbuh pada tahun 1989. Pada tahun 1989 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Pendidikan Sarjana diselesaikan pada tahun 1994 di Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian IPB. Tahun 2001 penulis menyelesaikan Program S2 di Program Studi Agronomi, Sekolah Pasca Sarjana IPB. Sejak tahun 1997 sampai sekarang penulis aktif sebagai Staf Pengajar di Jurusan Budidaya Pertanian (sekarang Departemen Agronomi dan Hortikultura) Fakultas Pertanian IPB.
xii
DAFTAR ISI
Hal DAFTAR TABEL .................................................................................... DAFTAR GAMBAR ................................................................................ BAB I.
BAB II.
BAB III.
xx 1
PENDAHULUAN ............................................................. Latar Belakang ....................................................................
1
Tujuan Penelitian .................................................................
4
Kerangka Berpikir dan Garis Besar Disertasi .....................
4
TINJAUAN PUSTAKA ....................................................
10
Trichosanthes ......................................................................
10
Cendawan .............................................................................
11
Protein Anticendawan...........................................................
13
Kitinase.... ............................................................................
17
Peroksidase ...........................................................................
20
Asam Salisilat .......................................................................
21
Etilen ...... .............................................................................
23
MORFOLOGI, PERTUMBUHAN, PERKEMBANGAN, HAMA DAN PENYAKIT 3 SPESIES TRICHOSANTHES ..........................................................
26
Abstrak .................................................................................
BAB IV.
xvi
26
Abstract ................................................................................
27
Pendahuluan.... .....................................................................
28
Bahan dan Metode. ...............................................................
29
Hasil ........................ ............................................................
30
Pembahasan ..........................................................................
43
Simpulan ...............................................................................
44
AKTIVITAS KITINASE DAN PEROKSIDASE DARI EKSTRAK PROTEIN ASAL KALUS, TUNAS IN VITRO, DAUN DAN AKAR TANAMAN T. tricuspidata Lour. .........................................................
46
Abstrak .................................................................................
46
xiii
Abstract ............................................................................... Pendahuluan.... .....................................................................
BAB V.
49
Hasil ........................ ..............................................................
52
Pembahasan ..........................................................................
58
Simpulan ...............................................................................
60
AKTIVITAS KITINASE DAN PEROKSIDASE DARI BERBAGAI JARINGAN DAN TINGKAT PERKEMBANGAN TANAMAN T. cucumerina var. anguina ....
61
Abstract ................................................................................ Pendahuluan.... .....................................................................
61 62 63
Bahan dan Metode. .............................................................
64
Hasil ....................................................................................
66
Pembahasan ..........................................................................
76
Simpulan ..............................................................................
79
INDUKSI AKTIVITAS KITINASE DAN PEROKSIDASE PADA 2 SPESIES TRICHOSANTHES ............
81
Abstrak .................................................................................. Abstract ................................................................................ Pendahuluan.... .....................................................................
BAB VII.
48
Bahan dan Metode. ...............................................................
Abstrak ..................................................................................
BAB VI.
47
81 82 83
Bahan dan Metode. ...............................................................
84
Hasil ........................ ............................................................
89
Pembahasan ..........................................................................
106
Simpulan ...............................................................................
112
AKTIVITAS ANTICENDAWAN IN VITRO DARI EKSTRAK KASAR PROTEIN TANAMAN TRICHOSANTHES .......................................................
114
Abstrak .................................................................................. Abstract ................................................................................ Pendahuluan.... .....................................................................
114 115 116
xiv
Bahan dan Metode. ..............................................................
118
Hasil .....................................................................................
122
Pembahasan ..........................................................................
135
Simpulan ...............................................................................
138
BAB VIII.
PEMBAHASAN UMUM.................................................
139
BAB IX.
SIMPULAN UMUM DAN SARAN ...............................
145
Simpulan Umum ................................................................
145
Saran ..................................................................................
147
DAFTAR PUSTAKA .........................................................
148
GLOSSARY ..............................................................................................
164
BAB X.
xv
DAFTAR TABEL
No
Judul
Halaman
1
Rataan ukuran buah dan benih T. cucumerina var. anguina, T. tricuspidata dan T. quinquangulata .................
32
2.
Ringkasan karakter morfologi buah T. cucumerina var. anguina, T. quinquangulata, T. tricuspidata ……………..
32
3.
Pertumbuhan tanaman Trichosanthes hingga 3 minggu setelah tanam di lapang…………………………………..
39
4.
Keberhasilan menginduksi pembentukan kalus dalam berbagai media MS dengan penambahan berbagai konsentrasi NAA dan BA ...................................................
53
5.
Rataan bobot kalus pada 4 MST dari berbagai komposisi media MS dengan penambahan berbagai konsentrasi NAA dan BA ……………………………………………..
53
6.
Nilai total protein terlarut dan kadar protein pada ekstrak kasar protein dari berbagai jaringan tanaman T. tricuspidata .....................................................................
55
7.
Aktivitas kitinase pada ekstrak kasar protein dari berbagai jaringan tanaman T. tricuspidata ........................................
56
8.
Aktivitas peroksidase pada ekstrak kasar protein dari berbagai jaringan tanaman T. tricuspidata .........................
57
9.
Rataan bobot kalus T. cucumerina var. anguina pada 4 MST dari berbagai komposisi media MS dengan penambahan berbagai konsentrasi NAA dan BA .............
66
10.
Rataan total protein terlarut dan kadar protein dari kalus in vitro, daun dan akar tanaman dari lapang tanaman T. cucumerina var. anguina ……………………………...
68
11.
Rataan aktivitas kitinase per mg protein dan per gram bobot segar berbagai jaringan tanaman T. cucumerina var. anguina ........................................................................
69
12.
Rataan aktivitas peroksidase per mg protein dan per gram bobot segar berbagai jaringan tanaman T. cucumerina var. anguina ........................................................................
70
xvi
No
Judul
Halaman
13.
Rataan total protein terlarut dan kadar protein jaringan pada daun, akar dan batang tanaman T. cucumerina var. anguina dari berbagai umur………………………………
72
14.
Rataan aktivitas kitinase pada ekstrak protein daun, akar dan batang tanaman T. cucumerina var. anguina dari berbagai umur……………………………………………..
73
15.
Rataan aktivitas enzim peroksidase dari ekstrak kasar protein total dari akar, batang dan daun tanaman T. cucumerina var. anguina pada berbagai umur tanaman ……….
75
16.
Rataan total protein terlarut dan kadar protein jaringan pada ekstrak kasar protein dari akar tanaman T. tricuspidata yang diberi perlakuan SA.........................................
89
17.
Rataan total protein terlarut dan kadar protein jaringan pada ekstrak kasar protein dari akar tanaman T. tricuspidata yang diberi perlakuan SA............................
90
18.
Rataan total protein terlarut dan kadar protein jaringan pada ekstrak kasar protein dari akar tanaman T. tricuspidata pada 2 dan 9 HSP SA ……………………………...
90
19.
Rataan aktivitas kitinase dan peroksidase pada ekstrak kasar protein dari akar tanaman T. tricuspidata yang diberi perlakuan SA........................................................................
91
20.
Rataan aktivitas peroksidase pada ekstrak kasar protein dari akar tanaman T. tricuspidata yang diberi perlakuan SA pada 2 dan 9 HSP...........................................................
92
21.
Rataan total protein terlarut (TPT) pada ekstrak kasar protein dari tanaman T. cucumerina yang diberi perlakuan SA.........................................................................................
93
22.
Rataan kadar protein jaringan (KPJ) pada ekstrak kasar protein dari tanaman T. cucumerina yang diberi perlakuan SA.........................................................................................
94
23.
Rataan aktivitas kitinase per mg protein pada ekstrak kasar protein dari tanaman T. cucumerina yang diberi perlakuan SA........................................................................
95
24.
Rataan aktivitas kitinase per g BS jaringan tanaman T. cucumerina var. anguina yang diberi perlakuan SA.......
96
xvii
No
Judul
Halaman
25.
Rataan aktivitas kitinase per g BS jaringan pada pengaruh interaksi antara waktu dan jenis jaringan T. cucumerina var. anguina yang diberi perlakuan SA...............................
97
26.
Rataan aktivitas peroksidase per mg protein pada ekstrak kasar protein dari tanaman T. cucumerina var. anguina yang diberi perlakuan SA.....................................................
98
27.
Rataan aktivitas peroksidase per g BS jaringan tanaman dari T. cucumerina var. anguina yang diberi perlakuan SA.........................................................................................
99
28.
Rataan TPT dan aktivitas kitinase pada ekstrak kasar protein dari tunas in vitro T. tricuspidata yang diberi perlakuan SA 0.00 dan 0.05 mM ........................................
100
29.
Rataan TPT, aktivitas kitinase dan peroksidase pada ekstrak kasar protein tunas in vitro T. tricuspidata dengan SA 0.00 dan 0.025 mM........................................................
100
30.
Rataan TPT, aktivitas kitinase dan peroksidase pada ekstrak kasar protein dari kalus in vitro T. tricuspidata yang diberi perlakuan SA.....................................................
101
30.
Rataan TPT, aktivitas kitinase dan peroksidase pada ekstrak kasar protein dari kalus in vitro T. cucumerina yang diberi perlakuan SA.....................................................
102
31.
Rataan TPT, aktivitas kitinase dan peroksidase pada ekstrak kasar protein dari kalus in vitro T. tricuspidata yang diberi perlakuan etefon ...............................................
104
32.
Rataan TPT, aktivitas kitinase dan peroksidase pada ekstrak kasar protein dari kalus in vitro T. tricuspidata yang diberi perlakuan ETF...................................................
105
33.
Presentase perkecambahan spora dan pertumbuhan tabung kecambah pada uji perkecambahan spora Fusarium asal T. cucumerina var. anguina dengan protein asal tunas in vitro T. tricuspidata..............................................................
122
34.
Presentase perkecambahan spora dan skor panjang tabung kecambah pada uji perkecambahan spora cendawan dengan protein asal tunas in vitro T. tricuspidata................
131
xviii
No
Judul
35.
Hasil pengujian kualitatif aktivitas ekstrak kasar protein dari T. tricuspidata dan T. cucumerina var. anguina terhadap pertumbuhan hifa cendawan Helminthosporium turcicum...............................................................................
Halaman 132
xix
DAFTAR GAMBAR
No
Judul
Halaman
1.
Kerangka Disertasi .....................................................................
8
2.
Skema dinding sel cendawan struktur kimia kitin ......................
12
3.
Proses dan enzim yang terlibat dalam degradasi senyawa kitin
18
4.
Lintasan biosintesis asam salisilat (Metraux 2002) ....................
22
5.
Pengaruh etilen terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman : (searah jarum jam dari atas) mendorong pematangan buah, penghambatan dalam ekspansi sel, menyebabkan triple response(pembelokan ujung apikal, pembengkokan radial dari hipokotil dan pemendekan akar pada perkecambahan benih, mendorong ketahanan terhadap layu dan nekrosis setelah mengalami infeksi patogen, mendorong pembentukan rambut akar, mempercepat senesen bunga dan mendorong absisi petal (Johnson dan Ecker 1998). …………………………………….
24
6.
Bentuk buah : (a). T. cucumerina var. anguina (buni, silindris panjang), (b). T. tricuspidata (buni silindris, oval). (c). T. quinquangulata (buni silindris, bulat)………………………………
31
7.
Bentuk bagian dalam buah dan biji Trichosanthes : (a). isi buah dan (b) biji T. cucumerina var. anguina, (c) isi buah dan (d) biji T. tricuspi-data, (e) isi buah dan (f) biji T. quinquangulata……………………………………………...
33
8.
Bentuk permukaan daun Trichosanthes (a) bagian atas daun dan (b) bagian bawah daun T. cucumerina var. anguina, (c) bagian atas daun dan (d) bagian bawah daun T. tricuspidata, (e) bagian atas daun dan (f) bagian bawah daun T. quinquangulata……………………………………………...
34
9.
Morfologi bunga Trichosanthes (a) bunga jantan pada tandan bunga, (b) bunga jantan dilihat dari arah atas dan (c) bunga betina dari T. cucumerina var. anguina, (d) tandan bunga jantan, (e) bunga dilihat dari arah atas dan (f) satu bunga jantan dari T. tricuspidata……………………………………………..
36
xx
No
Judul
Halaman
10.
Morfologi akar tanaman Trichosanthes sp : (a) akar tanaman Morfologi bibit dan tanaman muda Trichosanthes sp. (a) bibit dan (b) tanaman umur 1 bulan setelah tanam (BST) T. cucumerina var. anguina, (c) bibit dan tanaman umur 1 BST T. tricuspidata, (e) bibit dan (f) tanaman muda 1 BST T. quinquangulata ………………………………………………………..
38
11.
Hama dan gejala kerusakan tanaman Trichosanthes sp : (a) gejala Liriomyza pada bibit T. cucumerina, (b) Liriomyza pada bibit T. tricuspidata, (c) Liriomyza pada T. quinquangulata; (d) dan (e) ulat yang menyerang daun T. cucumerina var. anguina, (f) Epilachna pada T. cucumerina var. anguina (g) telur hama pada tangkai bunga, (h) larva Epilachna dan gejala serangannya pada daun, (i ) hama serangga (Hemiptera, Coreidae, n = nimpa, m = imago) penghisap cairan buah T. cucumerina var. anguina, (j) gejala keriting pada daun T. quinquangulatan, (k) bekas tusukan hama pada bagian bawah daun T. quinquangulata, dan (l) hama kumbang daun (spot cucumber beetle) yang menghisap cairan daun T. quinquangulata……………………………………………...
41
12.
Gejala penyakit dan patogen yang ditemukan pada Trichosanthes sp. T. cucumerina var. anguina : (a) busuk batang oleh cendawan, (b) cendawan Oidium sp. diatas permukaan daun, (c) gejala embun bulu (Pseudoperonospora cubensis), (d) busuk dari pinggir daun, (e) busuk ujung buah pada T. cucumerina var. anguina, (f) gejala penyakit keriting daun pada T. quinquangulata, (g) spora cendawan Oidium sp. (h) isolat Fusarium sp, dan (i) spora cendawan Fusarium sp. dari T. cucumerina var. anguina………………………………..
42
13.
Morfologi bahan tanaman dalam penelitian : kalus in vitro pada media : (a) N1B1 (1 µM NAA + 1 µM BA), (b) N2B2 (2 µM NAA + 2 µM BA), (c) N3B3 (3 µM NAA + 3 µM BA), (d) N4B4 (4 µM NAA + 4 µM BA). (e) tunas in vitro (TIV) dalam media MS + BA 1 mg/l, serta (f) daun tanaman dari lapang (DLP) dan (g) akar tanaman dari lapang (ALP).......
54
14.
Representasi jaringan yang dianalisis dalam percobaan 1: (a)eksplan untuk induksi kalus, (b, c, d) kalus pada media N1B1, N3B3 dan N4B4, (e) daun dan (f) akar tanaman dari lapang..........................................................................................
67
xxi
No
Judul
Halaman
15.
Representasi bahan tanaman yang dianalisis dalam percobaan 2 : (a) bibit umur 3 MSB, (b) akar bibit, (c) daun tanaman umur 1 BST, (d) akar tanaman umur 1 BST, (e) daun dan buah tanaman umur 2 BST, (f) akar tanaman umur 2 BST.................
71
16.
Representasi bahan tanaman T. tricuspidata yang digunakan pada percobaan : (a). Tanaman dilapang umur 9 BST, (b). akar primer, (c). akar sekunder, (d). tunas in vitro (e). kalus in vitro
87
17.
Representasi bahan tanaman T. cucumerina var. anguina yang digunakan dalam percobaan : (a) tajuk tanaman dan (b) akar tanaman berumur 2 MST, serta (c) kalus in vitro………………
86
18.
Penghambatan perkecambahan spora cendawan Fusarium sp. oleh protein asal tunas in vitro pada 24 jam setelah perlakuan : (a) isolat Fusarium sp. sumber spora, (b) spora awal sebelum perlakuan (c) K1 (kontrol bufer, tumbuh), (d) K2 (kontrol benlate, tidak tumbuh), (e) P1 [(protein 0.77 mg/ml), (f) P2 [(protein 0.031 mg/l), (g) P3 [(protein 0.015 mg/ml), dan (d) P4 [(protein 0.0077 mg/ml)…………………………………….
123
19.
Penghambatan perkecambahan spora cendawan Fusarium oxysporum asal bawang merah oleh protein asal tunas in vitro pada 24 jam setelah perlakuan : (a) dan (b) K0 (kontrol bufer, tumbuh), (c) E0 (protein asal tunas in vitro), (d) E1 (protein asal tunas yang diberi perlakuan etefon 0.7 mM)………………
124
20.
Perkecambahan spora (a-f) cendawan (Puccinia arachidis) asal kacang tanah pada 24 jam setelah dikecambahkan dalam kontrol larutan bufer fosfat 50 mM pH 6, (g-i) kontrol benlate 1 mg/ml), (j-l) E0 (protein asal tunas in vitro), (m-o) E1 (protein asal tunas yang diberi perlakuan etefon 0.7 mM)…….
126
21.
Peronospora cubensis pada ketimun : a. Gejala bercak pada daun, b. Bercak sumber spora untuk pengujian, c. Spora diujung sporangiofor di atas permukaan daun dilihat dengan mikroskop stereo, d. Bentuk spora cendawan………………….
127
22.
Penghambatan perkecambahan spora cendawan Pseudoperonopora cubensis asal ketimun oleh protein asal tunas in vitro pada 24 jam setelah perlakuan : (a) K0 (kontrol bufer, tumbuh), (b) K1 (kontrol benlate 1 mg/ml), (c) E0 (protein asal tunas in Vitro), (d) E1 (protein asal tunas yang diberi perlakuan etefon 0.7 mM)……………………………….
128
xxii
23.
Cendawan Curvularia eragrostidis : (a) gejala serangan pada bunga anggrek Dendrobium, (b) kultur cendawan berumur 12 HST, (c). bentuk spora cendawan……………………………
129
24.
Perkecambahan spora cendawan Curvularia eragrostidis tanaman anggrek pada berbagai pada 24 jam setelah perlakuan : (a) K0 (kontrol bufer, tumbuh), (b) K1 (kontrol benlate 1 mg/ml), (c) E0 (protein asal tunas in Vitro), (d) E1 (protein asal tunas yang diberi perlakuan etefon 0.7 mM)………………
130
25.
Morfologi cendawan Helminthosporium turcicum yang diberi perlakuan ekstrak kasar protein akar dan daun T. tricuspidata pada 5 hari setelah perlakuan protein : (a) kontrol tampak atas , (b) kontrol tampak bawah, (c) Protein akar tampak atas, (d) protein akar tampak bawah, (e) protein daun tampak atas, (f) protein daun tampak bawah…………………………………….
133
26.
Morfologi cendawan Helminthosporium turcicum yang diberi Perlakuan ekstrak protein akar, batang dan daun T. cucumerina 5 HSP : (a) kontrol tampak atas , (b) kontrol tampak bawah, (c) Protein akar tampak atas, (d) protein akar tampak bawah, (e) protein batang tampak atas, (f) protein batang tampak bawah, (g) protein daun tampak atas, (h) protein daun tampak bawah
134
xxiii
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya dengan berbagai plasmanutfah tanaman yang belum banyak diteliti secara ilmiah manfaatnya. Salah satunya adalah genus Trichosanthes dari famili Cucurbitaceae. Backer dan Van Den Brink (1963) melaporkan 8 spesies Trichosanthes yang terdapat di Pulau Jawa yaitu T. coriacea, T. cucumerina, T. anguina, T. globosa, T. ovigera,, T. villosa, T. trifoliata dan T. bracteata.
Rugayah (1999) menambahkan identifikasi
morfologi, anatomi dan isozim dari 39 spesies (termasuk 2 varietas) yang terdapat di Malesia. Daerah Malesia tersebut meliputi Malesia bagian barat (Malay Peninsula, Sumatera, Borneo, Palawan dan Jawa), Malesia Tengah (Filipina, Sulawesi, Moluccas, Kepulauan Sunda Kecil), dan Malesia bagian Timur (Irian). Sebagian besar spesies Trichosanthes dimanfaatkan sebagai bahan obat kecuali T. cucumerina var anguina atau dikenal dengan nama lokal paria belut, buah mudanya dapat dimakan sebagai sayuran. Berbagai spesies dari famili Cucurbitaceae dilaporkan menghasilkan protein bioaktif yang disebut Ribosome Inactivating Protein (RIPs). RIPs merupakan protein yang dapat merusak ribosom dengan aktivitas N-glicosidase melalui depurinasi rRNA sehingga menghambat proses sintesis protein (Barbieri et al. 1993). RIP dari tanaman dapat menghambat sintesis protein pada mamalia, bakteri, cendawan dan tanaman dalam kondisi in vitro dan in vivo (Iglesias et al. 1993). RIPs yang dijumpai pada jaringan tanaman Cucurbitaceae antara lain momordin pada paria (Momordica charantia) (Dong et al. 1994), luffin pada blestru (Luffa cyllindrica L.) (di Toppi et al.1996), trichosanthin pada T. kirilowii var. japonicum Kitam.(Savary dan Flores 1994), karasurin dari Trichosanthes kirilowii var. japonica (Kondo et al. 2002), trichoanguina pada T. anguina (Chow et al. 1996) dan RIP dari Cucurbita moschata (Barbieri et al. 2006). RIPs
berfungsi sebagai salah satu mekanisme defensif bagi tanaman disebabkan RIP memiliki aktivitas anticendawan, antibakteri bahkan antivirus (Roberts dan Seletrennikof, 1986). Overekspresi RIPs yang berasal dari biji barley pada tanaman tembakau meningkatkan ketahanan tanaman terhadap cendawan (Logeman et al. 1992). Protein lain yang berhubungan dengan respon ketahanan tanaman terhadap patogen adalah kitinase dan peroksidase. Kitinase dapat mendegradasi senyawa kitin yang merupakan komponen utama penyusun dinding sel cendawan. Sebagian besar cendawan filamentus mengandung senyawa kitin pada dinding sel hifanya. Kitinase berfungsi menghidrolisis ikatan β-1,4-glycoside pada biopolymer Nacetylglucosamine dalam senyawa kitin (Kasprzewska 2003). Kitinase juga termasuk dalam famili protein yang berhubungan dengan proses patogenesis pada tanaman (pathogenesis related (PR) protein) yaitu termasuk ke dalam PR-3, 4, 8 dan 11 (Lagrimini et al. 1997). Karasuda et al. (2003) melaporkan bahwa kitinase asal tanaman yam (Dioscorea opposita Thunb) dapat menghambat perkembangan penyakit embun tepung pada buah dan daun strawberi. Dengan demikian kitinase mempunyai potensi yang strategis untuk pengembangan metode pengendalian patogen cendawan pada tanaman. Sekuen asam amino dari enzim kitinase klas III dari Trichosanthes kirilowii telah dipublikasikan oleh Savary dan Flores (1997). Peroksidase merupakan enzim yang terlibat dalam respon tanaman terhadap patogen dan termasuk ke dalam PR-9 (Lagrimini et al. 1997). Oku (1994) menyatakan bahwa peroksidase berperan dalam proses oksidasi dan polimerisasi prekursor untuk biosintesis lignin sementara lignin sendiri berfungsi sebagai barier fisik yang dapat menghambat infeksi patogen pada tanaman. Peroksidase juga menunjukkan penghambatan terhadap pertumbuhan cendawan dalam pengujian in vitro (Saikia et al. 2006). Aktivitas peroksidase yang tinggi pada tanaman terkait dengan ketahanan tanaman yang lebih tinggi terhadap patogen seperti yang pernah dilaporkan pada kacang tanah (Pujihartati et al.2006b). Peroksidase banyak digunakan dalam industri dan aplikasi analitik, antara lain sebagai reagen dalam diagnosis klinik dan enzim immunoassay (Agostini et al. 2002). Peroksidase juga dapat digunakan untuk perlakuan limbah air yang
2
mengandung fenol dan amina aromatik (Klibanov et al. dan Wu et al. dalam Agostini et al. 2002), dalam proses biobleaching, dalam proses degradasi lignin, produksi bahan kimia dan bahan bakar dari pulp kayu, produksi alkaloid dimerik, dan dalam oksidasi dan biotransformasi senyawa organik (Ryan et al. dalam Agostini et al. 2002). Peroksidase sudah diproduksi secara komersial dari tanaman horseradish (Armoracia sp.) (Krell et al. dalam Agostini et al. 2002) dan belum pernah diproduksi dari tanaman Trichosanthes. Melihat luasnya potensi pemanfaatan peroksidase, maka perlu diteliti potensi tanaman lain termasuk Trichosanthes dalam menghasilkan peroksidase. Protein atau enzim-enzim yang ada dalam tanaman dihasilkan dari proses biosintesis sebagai hasil langsung dari ekspresi gen penyandi protein atau enzim yang bersangkutan. Ekspresi suatu gen yang menyandi protein/enzim terjadi melalui serangkaian proses yang dimulai dari transkripsi untuk menghasilkan mesenger RNA dan translasi untuk menghasilkan protein. Ekspresi gen yang sifatnya konstitutif berarti proses transkripsi dan translasi terjadi di semua tahapan pertumbuhan dan perkembangan tanaman, sedangkan ekspresi yang sifatnya regulated berarti transkripsi dan translasi hanya terjadi pada jaringan tertentu, pada waktu tertentu, atau pada tingkat perkembangan tanaman tertentu. Sebagian besar protein atau enzim yang berkaitan dengan respon ketahanan tanaman terhadap patogen, biosintesisnya terinduksi atau meningkat ketika tanaman terinfeksi patogen. Sejumlah senyawa tertentu seperti asam salisilat (SA), metil jasmonat (MJ), dan etephon (ETF) atau etilen (ETL) juga diketahui dapat meningkatkan ekspresi gen atau biosintesis dari protein atau enzim yang terkait dengan respon tanaman terhadap patogen. Senyawa-senyawa tersebut meningkat pada peristiwa Local Acquired Resistance (LAR) pada tanaman (Dang et al. 2001) dan Systemic Acquired Resistance (SAR) (Sticher et al. 1997). Asam salisilat merupakan regulator penting dalam induksi ketahanan tanaman terhadap patogen. Penyemprotan senyawa-senyawa tersebut secara eksogen dapat meningkatkan ekspresi gen-gen ketahanan pada tanaman Hal tersebut juga diperkuat dengan kenyataan bahwa tanaman mutan untuk biosintesis asam salisilat mengalami penurunan ketahanan terhadap penyakit (Sticher et al. 1997).
3
Eksplorasi enzim kitinase dan peroksidase dari berbagai spesies tanaman Trichosanthes ada di Indonesia belum banyak di lakukan. Identifikasi jenis spesies dan bagian tanaman yang menghasilkan enzim tersebut dalam jumlah yang besar dapat menjadi dasar untuk eksplorasi gen penyandi kitinase dan peroksidase maupun untuk produksi peroksidase secara komersial. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap aktivitas kitinase dan peroksidase pada jaringan tanaman Trichosanthes masih perlu dipelajari sehingga dapat meningkatkan biosintesis ataupun aktivitas kedua enzim tersebut.
Tujuan Penelitian: Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui performan di lapangan (morfologi, pertumbuhan, perkembangan, hama dan penyakit) 3 spesies Trichosanthes (T. cucumerina var. anguina, T. tricuspidata dan T. quinquangulata). 2. Menganalisis aktivitas enzim kitinase dan peroksidase pada ekstrak kasar protein dari jaringan tanaman T. tricuspidata dan T. cucumerina var. anguina dari lapangan dan kultur in vitro. 3. Menganalisis pengaruh perlakuan senyawa induser asam salisilat (SA) dan etefon (ETF) terhadap aktivitas enzim kitinase dan peroksidase pada ekstrak kasar protein dari jaringan tanaman T. tricuspidata dan T. cucumerina var. anguina. 4. Menguji aktivitas anticendawan dari ekstrak kasar protein tanaman T. tricuspidata dan T. cucumerina var. anguina.
Kerangka Berpikir dan Garis Besar Disertasi Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dipublikasikan sebelumnya, genus Trichosanthes berpotensi sebagai sumber protein bioaktif. Penelitian yang paling banyak dilakukan adalah spesies yang ada di China yaitu T. kirilowii.
4
T. kirilowii ini sudah lama digunakan sebagai bahan obat ataupun sebagai sumber protein bioaktif yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri, cendawan, virus, bersifat antikanker dan anti-HIV. Sementara itu, di Indonesia tidak ditemukan spesies T. kirilowii. Akan tetapi, di Indonesia telah dikarakterisasi sekitar 39 spesies yang tumbuh di beberapa daerah seperti Jawa, Sumatera, Borneo dan Irian. Khusus di daerah Bogor, ditemukan spesies T. tricuspidata dan T. quinquangulata. Spesies yang dibudidayakan untuk dimanfaatkan sebagai sayuran T. cucumerina var. anguina, ditemukan dibeberapa daerah di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Spesies-spesies yang ada di Indonesia kemungkinan besar juga mengandung potensi sebagai sumber protein bioaktif seperti yang terdapat pada T. kirilowii. Karena itu penelitian-penelitian untuk menggali potensi protein bioaktif dari tanaman Trichosanthes sp. yang ada di Indonesia perlu dilakukan. Sebelum analisa pada level biokimia dan molekuler dalam studi protein bioaktif dari tanaman, maka terlebih dahulu perlu dikenali morfologi dan keragaan tanaman di lapangan. Dalam hal ini, diduga bahwa tanaman-tanaman yang memiliki potensi sebagai sumber protein bioaktif akan memiliki karakter-karakter yang diduga berhubungan dengan sifat ketahanan tanaman terhadap patogen. Untuk itu dalam Bab III dari disertasi dipelajari performan di lapangan (morfologi, pertumbuhan dan perkembangan) dari 3 spesies Trichosanthes yaitu T. cucumerina var. anguina, T. tricuspidata, dan T. quinquangulata. Hasil penelitian pada Bab III menunjukkan bahwa terdapat perbedaan keragaan dari ketiga spesies yang diteliti. T. cucumerina var. anguina mengalami serangan hama dan penyakit yang cukup banyak, diikuti oleh T. quinquangulata dan T. tricuspidata.
Berdasarkan keragaan ketiga spesies di lapangan terhadap
kejadian hama dan penyakit, maka diduga T. cucumerina var. anguina dan T. tricuspidata memiliki sifat yang kontras, dimana T. cucumerina var. anguina diduga rentan terhadap hama dan penyakit dan T. tricuspidata diduga sebagai spesies yang tahan terhadap hama dan penyakit. Berdasarkan hasil penelitian pada Bab III seperti tersebut di atas, selanjutnya pada Bab IV diteliti 1 spesies yaitu T. tricuspidata dan pada Bab V diteliti spesies T. cucumerina var. anguina. Analisis dilakukan secara terpisah
5
pada masing-masing spesies untuk mengetahui karakter biokimia berupa aktivitas kitinase dan peroksidase dari masing-masing spesies. Analisis aktivitas kitinase dan peroksidase bertujuan untuk mengetahui apakah berbagai bagian tanaman, tingkat organisasi sel yang berbeda, maupun tingkat perkembangan tanaman menghasilkan aktivitas kitinase dan peroksidase yang sama besarnya atau berbeda. Analisis dilakukan pada bagian tanaman seperti akar, batang dan daun dan juga dari bahan yang dikulturkan secara in vitro seperti tunas dan kalus. Berdasarkan hasil penelitian pada Bab IV ditemukan bahwa beberapa bagian tanaman T. tricuspidata menghasilkan aktivitas kitinase yang berbeda, dimana aktivitas kitinase yang tinggi ditemukan pada ekstrak kasar protein dari tunas in vitro diikuti kalus dari media N4B4 (MS yang diberi NAA dan BA masingmasing 4 μM), dan akar tanaman dari lapangan. Sedangkan aktivitas peroksidase yang paling tinggi ditemukan pada ekstrak kasar protein dari akar tanaman di lapangan diikuti oleh tunas in vitro dan kalus dari media N4B4. Pada hasil penelitian Bab V dari T. cucumerina var. anguina, ditemukan bahwa aktivitas kitinase dan peroksidase yang paling tinggi adalah pada ekstrak kasar protein asal akar tanaman dari lapangan diikuti oleh kalus dari media N4B4. Kitinase
dan
peroksidase
termasuk
ke
dalam
PR-protein
yang
biosintesisnya pada tanaman meningkat ketika terjadi serangan patogen (seperti cendawan, bakteri atau virus) maupun kondisi yang menyerupai adanya serangan patogen. Salah satu kondisi yang menyerupai terjadinya serangan patogen adalah peningkatan senyawa asam salisilat (SA) atau etilen (ETL). Kondisi tersebut dapat ditiru dengan memberikan senyawa SA atau ETL secara eksogen pada tanaman. Pada Bab IV dan V telah ditemukan bagian tanaman yang menunjukkan aktivitas kitinase dan peroksidase tinggi, karena itu pada Bab VI dilakukan penelitian untuk mengetahui apakah perlakuan senyawa induser SA dan ETL (diberikan dalam bentuk etefon [ETF]) dapat meningkatkan aktivitas kitinase dan peroksidase dari ekstrak kasar protein tanaman. Pada T. tricuspidata, perlakuan senyawa induser SA diberikan pada akar tanaman di lapangan dan juga pada tunas dan kalus in vitro dan perlakuan senyawa ETF diberikan pada kalus in vitro. Sementara itu pada T. cucumerina var. anguina perlakuan senyawa SA diberikan pada akar tanaman di lapangan dan pada kalus in vitro. Hasil penelitian pada Bab VI
6
tersebut menunjukkan bahwa aktivitas kitinase dari ekstrak kasar protein tanaman T. tricuspidata dapat ditingkatkan dengan perlakuan SA atau ETF pada kalus in vitro dan aktivitas peroksidase dapat ditingkatkan dengan perlakuan SA pada akar tanaman di lapang dan kalus in vitro. Sedangkan pada T. cucumerina var. anguina perlakuan SA baik pada akar tanaman di lapangan maupun pada kalus in vitro tidak dapat meningkatkan aktivitas kitinase namun dapat meningkatkan aktivitas peroksidase dari ekstrak kasar protein. Potensi kandungan protein bioaktif dari tanaman dapat dievaluasi dari analisa aktivitas enzim seperti enzim kitinase dan peroksidase yang dilakukan pada Bab IV, V dan VI ataupun dengan cara menguji langsung aktivitas protein terhadap patogen tanaman misalnya cendawan. Cendawan merupakan patogen penyebab penyakit yang banyak menyerang tanaman, hewan maupun manusia. Pengendalian patogen cendawan pada tanaman dengan fungisida menimbulkan masalah-masalah
baru
seperti
munculnya
resistensi
cendawan
terhadap
fungidisida, munculnya ras-ras patogen baru dan juga masalah keseimbangan ekosistem dan masalah kesehatan pada manusia karena adanya residu pestisida pada produk pangan, buah dan sayuran. Pencarian Cucurbitaceae,
sumber-sumber termasuk
ketahanan
Trichosanthes
sp.
dari
plasmanutfah
merupakan
tanaman
alternatif
untuk
mengurangi masalah-masalah yang ditimbulkan karena penggunaan fungisida. Sifat ketahanan yang kemungkinan dimiliki oleh spesies-spesies dalam genus Trichosanthes berpotensi untuk dipindahkan ke spesies lainnya dalam famili Cucurbiatceae
melalui
pendekatan
persilangan
konvensional
maupun
bioteknologi dengan transformasi genetik tanaman. Dengan landasan pemikiran seperti tersebut di atas maka dilakukan penelitian pada Bab VII yaitu pengujian bioaktivitas ekstrak kasar protein dari jaringan tanaman Trichosanthes terhadap cendawan. Pengujian dilakukan pada 5 cendawan patogen tanaman dari kelas yang berbeda. Ekstrak protein tanaman yang diuji adalah yang ekstrak kasar protein dari tunas in vitro T. tricuspidata (yang dari penelitian pada Bab IV menghasilkan aktivitas kitinase cukup tinggi) untuk pengujian penghambatan perkecambahan spora dan ekstrak kasar protein dari bagian tanaman dari lapang untuk penghambatan pertumbuhan hifa. Hasil
7
pengujian tersebut menunjukkan bahwa ekstrak kasar protein dari tunas in vitro T. tricuspidata menghambat perkecambahan spora 4 jenis cendawan patogen tanaman. Sementara dari uji penghambatan pertumbuhan hifa, ekstrak kasar protein tanaman T. tricuspidata dan T. cucumerina var. anguina secara kualitatif terlihat menghambat pertumbuhan koloni hifa cendawan Helminthosporium tursicum. Secara garis besarnya kerangka penelitian yang dilakukan seperti terlihat pada Gambar 1.
8
LANDASAN BERPIKIR
PROSES
LUARAN Diketahui karakter morfologi dan spesies yang rentan (T. cucumerina dan dan tahan (T. tricuspidata)terhadap hama dan penyakit di lapangan
Keberagaman spesies Trichosanthes (T. cucumerina var. anguina, T. tricuspidata T. quinquangulata
Perbedaan morfologi dan keragaan ketahanan terhadap hama dan penyakit di lapangan
BAB III. Studi Morfologi dan Evaluasi Hama dan Penyakit Tanaman di Lapangan
Perbedaan keragaan ketahanan terhadap hama dan penyakit di lapangan
Perbedaan karakter biokimia yang berhubungan dengan aktivitas KTN & PRX
BAB IV & V. Studi Aktivitas KTN & PRX dari T. tricuspidata & T. cucumerina var. anguina
Diketahui karakter biokimia aktivitas KTN & PRX tinggi yaitu tunas in vitro (T. tricuspidata) dan akar (T. cucumerina var. anguina)
KTN dan PRX merupakan PR-Protein
Biosintesis Kitinase dan Peroksidase oleh Induser PRProtein seperti Salycilyc Acid (SA) dan Etilen (ETL)
BAB VI. Studi Induksi Aktivitas KTN dan PRX dari Bagian Tanaman T. tricuspidata & T. cucumerina var. anguina
T.tricuspidata : SA dapat meningkatkan aktivitas KTN dan PRX pada kalus. ETF meningkatkan KTN menekan PRX. T. cucumerina var. anguina : SA tidak meningkatkan aktivitas KTN namun meningkatkan aktivitas PRX.
KTN & PRX terdapat dalam Ekstrak Kasar Protein Tanaman Trichosanthes
Kemungkinan Ekstrak Kasar Protein dapat menghambat pertumbuhan cendawan yang memiliki kitin pada dinding selnya
BAB VII. Uji Aktivitas Anticendawan dari Ekstrak Kasar Protein Tanaman
Gambar 1. Kerangka Disertasi
Ekstrak kasar protein dari tunas in vitro T. tricuspidata menghambat perkecambahan spora Fusarium sp. Fusarium oxysporum, Puccinia arachidis & Pseudoperonospora cubensis dan tidak menghambat Curvularia eragrostidis. Ekstrak kasar protein tanaman dari lapang menghambat pertimbuhan hifa Helminthosporium tursicum
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Trichosanthes Trichosanthes merupakan genus terbesar dalam famili Cucurbitaceae yang terdiri dari sekitar 100 spesies yang tersebar di daerah tropik dan sub tropik Asia Timur, Malesia, Australia Tropik dan Fiji (Jeffrey, 1990 dalam Rugayah 1999). Trichosanthes untuk pertama kalinya diterangkan oleh Linnaeus dalam Genera Plantarum tahun 1737 dengan menyampaikan 4 spesies yaitu T. anguina, T. nervifolia, T. cucumerina, T. amara. Untuk pulau Jawa, Blume dalam Rugayah (1999) mengemukakan 13 spesies dari genus Trichosanthes yang terbagi ke dalam 3 genera. Rugayah (1999) mengidentifikasi morfologi dan anatomi 39 spesies Trichosanthes di Malesia antara lain T. borneesis (Kalimantan), T. cucumerina var. anguina (Labuan, Jakarta, Bogor, Madiun, Madura), T. globosa (Gunung Bunder), T. montana (Situ Gunung), T. ovigera (Situ Gunung, Gunung Bunder, Gunung Halimun), T. pubera (Cianten), T. quinquangulata (Gunung Halimun, Bengkulu, Irian Jaya), T. tricuspidata (Gunung Bunder, Cibodas, Sukabumi, Banten, Gunung Salak, Siberut Sumatera), T. villosa (Cianten, Batu Malang), dan T. wawrae (Gunung Halimun). Ciri utama dari spesies-spesies Trichosanthes, sebagaimana tanaman Cucurbitaceae lainnya, yaitu tumbuh merambat atau memanjat. Bentuk buah bervariasi, ada yang bulat atau bulat lonjong (oblong). T. cucumerina var anguina buahnya berbentuk silinder bulat dengan warna hijau berbelang-belang putih, sehingga di beberapa daerah di pulau Jawa dinamakan dengan paria ular atau paria belut. T. tricuspidata memiliki daun menjari seperti paria (Momordica charantia) buah berbentuk oval dan berwarna merah menyala ketika matang. T. quinquangulata memiliki daun yang lebih lebar bersegi lima, bentuk buah bulat dengan warna merah seperti T. tricuspidata. Spesies yang sudah dibudidayakan adalah T. cucumerina var. anguina. Buah muda paria ular dimanfaatkan untuk sayuran. Setiap 100 g buah muda
T. cucumerina var. anguina mengandung air 94 g, protein 0.6 g, lemak 0.3 g, karbohidrat 4 g, serat 0.8 g, Ca 26 mg, Fe 0.3 mg, P 20 mg, vitamin A 235 IU, vitamin B1 0.02 mg, B2 0.03 mg, niacin 0.3 mg dan vitamin C 12 mg). T. cucumerina var. anguina juga menghasilkan glukosida elaterin, minyak biji dan pucinic acid (Gildemacher et al. dalam Siemonsma dan Piluek, 1994).
Cendawan Cendawan merupakan protista eukariotik, heterotrofik yang dapat hidup sebagai saprofit maupun parasit (Hadioetomo et al. 1986). Selitrennikof (2001) menyatakan bahwa cendawan merupakan kelompok yang sangat besar karena terdapat lebih dari 250.000 spesies cendawan di dunia. Cendawan saprofit hidup dari bahan-bahan organik yang sudah mati sebaliknya parasit hidup pada makhluk hidup dan mengambil nutrisi dari inangnya. Cendawan yang bersifat parasit disebut juga sebagai patogen yang dapat menimbulkan gejala penyakit pada hewan, tumbuhan ataupun manusia yang menjadi inangnya. Cendawan dikelompokkan ke dalam 4 kelas yaitu Phycomycetes, Ascomycetes,
Basidiomycetes
dan
Deuteromycetes
(fungi
imperfecti).
Pengelompokan tersebut terutama didasarkan pada tipe miselium, bentuk spora aseksual, spora seksual dan habitat alamiahnya. Phycomycetes sering disebut sebagai cendawan tingkat rendah yang tidak memiliki sekat (aseptat) pada hifanya, sementara 3 kelas lainnya memiliki hifa yang bersekat (septat). Phycomycetes menghasilkan spora aseksual berupa sporangiospora atau kadangkadang konidia, sementara 3 kelas lainnya menghasilkan konidia. Spora seksual pada Phycomycetes berupa zigospora atau oospora. Pada Ascomycetes spora seksualnya berupa ascospora dan pada Basidiomycetes berupa basidiospora, sementara pada Deuteromycetes belum diketahui bentuk spora seksualnya. Spora merupakan propagul untuk pembiakan dan penyebaran cendawan. Spora bervariasi dalam bentuk, warna dan ukurannya, ada yang berupa satu sel (uniseluler) atau terdiri dari beberapa sel (multiseluler). Spora pada cendawan tertentu kadang-kadang memiliki tekstur permukaan yang tidak rata (ada ornamen
11
khusus) seperti uredospora dari cendawan karat (Melampsora epita) dari pohon Wilow. Sebagian besar spora memiliki dinding sel yang kaku, lebih tebal dibanding dinding sel pada hifa, karena terdiri dari beberapa lapis sel. Dinding sel tersebut ada yang mengandung pigmen seperti melanin dan juga mengandung lemak. Kadar air pada spora relatif rendah dan spora juga menyimpan nutrisi cadangan berupa lemak, glikogen dan trehalosa (http://www. fungionline. org.uk/2spores/1spore_char.html).
a
b Gambar 2. a. Skema dinding sel cendawan (Selitrennikof, 2001) b. Struktur kimia kitin http://www.ocean.udel.edu/horseshoecrab/ Research/chitin.html )
12
Spora yang viabel biasanya akan segera berkecambah jika berada pada kondisi lingkungan yang sesuai untuk perkecambahannya. Proses perkecambahan diawali oleh proses hidrasi, pembengkakan sel setelah proses hidrasi, peningkatan metabolisme, lalu pertumbuhan satu atau lebih tabung kecambah. Perkecambahan spora memerlukan air atau kelembaban yang relatif tinggi serta nutrisi. Untuk berkecambah, spora membutuhkan suplai nutrisi dari lingkungannya atau dengan menggunakan cadangan nutrisi yang ada di dalam sel spora tersebut. Dinding sel cendawan disusun oleh senyawa β-glukan, kitin, lipid dan peptida (Selitrennikof 2001). β-glukan merupakan polimer dari sub unit glucan yang membentuk ikatan β-1,3/1,6-glucan, sedangkan kitin terbentuk dari ikatan 1,4-glicosidic dari sub unit 2-acetamido-2-deoxy-β-D-glucan (N-acetylglucosaminide (GlcNac)) (Gooday, 1994, Ubhayasekera, 2005). Senyawa kitin ditemukan oleh Henry Braconnot tahun 1811 dan dinamakan sebagai “kitin” oleh A. Odier tahun 1823. Chitosan (hasil deasetilasi senyawa kitin) ditemukan oleh C. Rouget tahun 1859.
Protein Anticendawan Selitrennikof (2001) menyatakan ada beberapa kelompok senyawa anticendawan antara lain PR-Protein, defensin, cyclophilin like-protein, glycine/histidin rich protein, RIPs, LTPs, killer proteins/killer toxin dan protease inhibitor. PR-protein merupakan protein yang terinduksi sintesisnya ketika terjadi proses patogenesis atau serangan patogen pada tanaman (Ubhayasekera, 2005). Sejumlah PR-protein juga dapat terinduksi sintesisnya oleh berbagai faktor antara lain stress kekeringan, salinitas, pelukaan, logam berat, oleh perlakuan elisitor endogen maupun eksogen; dan oleh perlakuan zat pengatur tumbuh tanaman (Karprezewska, 2003). PR-protein dikelompokkan ke dalam 5 kelas protein yaitu PR-1, PR-2, PR-3, PR-4 dan PR-5. PR-1 protein terakumulasi pada tingkat yang tinggi setelah terjadinya infeksi patogen pada tanaman. PR-1 protein bersifat anticendawan yang diekspresikan pada tanaman transgenik dan juga pada uji aktivitas anticendawan secara in vitro dari ekstrak PR-1 protein (Tahiri-Alaoui et al. 1993;
13
Niderman et al. 1995). PR-1 telah ditemukan terekspresi antara lain pada padi, gandum, jagung, tembakau, Arabidopsis thaliana, dan barley (Agrawal et al. 2000; Bryngelsson et al. 1994; Molina et al. 1999; Muradov et al. 1993; Rauscher et al.1999). PR-1 protein memiliki aktivitas anticendawan pada konsentrasi rendah terhadap sejumlah Uromyces fabae, Phytophthora infestans, and Erysiphe graminis (Niderman et al. 1995). PR-2 Protein (β-glucanase) memiliki aktivitas β-endoglucanase yang mampu menghidrolisis ikatan 1,3 β-glucan yang ada pada dinding sel cendawan, terutama pada ujung hifa cendawan sehingga menyebabkan ujung hifa menjadi lemah, lisis dan mati. PR-2 protein dikelompokkan ke dalam 3 kelas berdasarkan runutan residu asam aminonya (Agrawal et al. 2000; Cote et al. 1991; Leah et al. 1991). Glukanase Klas I merupakan protein yang bersifat basic yang ditemukan pada vakuola tanaman dengan berat molekul sekitar 33 kDa. Sedangkan glukanase kelas II dan III merupakan protein yang bersifat acidic dan ditemukan ekstraseluler dengan berat molekul sekitar 36 kDa, serta aktif pada konsentrasi sekitar 50 µg/ml. PR-2 protein menghambat cendawan Rhizoctonia solani yang menyerang tanaman dan Candida albicans serta Aspergillus fumigatus yang menginfeksi manusia. Aktivitas anticendawan PR-2 diketahui berdasarkan hasil uji in vitro dan hasil uji overekspresi overekspresi pada tanaman transgenik (Jach et al. 1995). PR-3 proteins (chitinase) memiliki berat molekul antara 26-43 kDa (Nielsen et al. 1997). Kitinase dikelompokkan menjadi 5-6 klas (Fukamizo et al. 2003). Kitinase Klas I memiliki domain N terminal yang kaya residu sistein. Kitinase klas II memiliki sekuen yang sama dengan klas I tetapi tidak memiliki domain Nterminal yang kaya residu sistein. Kitinase klas III tidak memiliki kesamaan runutan asam amino dengan klas lainnya dan mempunyai berat molekul 28-30 kDa. Kitinase klas IV menyerupai kitinase klas I tetapi mempunyai ukuran yang lebih kecil karena delesi. Kitinase klas V menunjukkan kesamaan sekuen dengan eksokitinase bakteri dan memiliki berat molekul 41-43 kDa. Kitinase sudah diisolasi dari bakteri, cendawan, dan tanaman (tembakau, timun,
kacang-kacangan
dan
biji-bijian)
(Selitrennikof
2001).
Kitinase
mempunyai aktivitas anticendawan terhadap Trichoderma reesei, Alternaria
14
solani,
Alternaria
radicina,
Fusarium
oxysporum,
Rhizoctonia.
Guignardia bidwellii, Botrytis cinerea, and Coprinus comatus.
solani,
Cara kerja
kitinase dalam menghambat pertumbuhan cendawan adalah dengan mendegradasi polimer kitin sehingga melemahkan dinding sel cendawan. Kitinase dan glukanase dapat bekerja secara sinergis untuk menghambat pertumbuhan cendawan berdasarkan hasil uji secara in vitro dan uji overekspresi dalam tanaman transgenik ( Jach et al. 1995). PR-4 (chitin-binding) protein merupakan protein yang mengikat kitin, memiliki berat molekul 13-14.5 kDa, dan terdiri atas 2 klas (Friedrich et al. 1991; Hejgaard et al. 1992; Ponstein et al. 1994; Van Damme et al. 1999). PR-4 protein klas 1 menyerupai hevein dan termasuk ke dalam superfamili chitin-binding lectin. Sedangkan PR-4 protein klas II tidak memiliki domain chitin-binding. PR4 protein telah berhasil diisolasi dari tanaman kentang, tembakau, barley dan tomat. Mekanisme penghambatan pertumbuhan cendawan oleh PR-4 protein diduga dihasilkan dari proses ikatan PR-4 protein terhadap senyawa β-chitin melalui mekanisme yang belum sepenuhnya dapat dijelaskan, sehingga mengakibatkan terganggunya polaritas sel dan terhambatnya pertumbuhan cendawan (Bormann et al. 1999). Sementara mekanisme penghambatan pertumbuhan cendawan oleh PR-4 protein klas II belum sepenuhnya dapat dijelaskan. PR-5 protein tidak termasuk enzim tetapi merupakan protein yang bersifat anticendawan dengan merusak membran fungi. PR-5 protein telah berhasil diisolasi dari jagung dan disebut sebagai zeamatin serta dari tembakau dan disebut sebagai osmotin. Osmotin mempunyai bobot molekul 24 kD, terakumulasi dalam vakuola selama adaptasi sel tembakau (Nicotiana tabacum var. Wisconsin 38) terhadap cekaman osmotik (Singh. et al, dalam Cheong et al, 1997). PR-5 protein juga telah berhasil dimurnikan dan dikarakterisasi dari daun labu (pumpkin). PR-5 protein dari labu tersebut mempunyai bobot molekul 28 kD dan dapat menghambat pertumbuhan hifa Fusarium oxysporum dan Neurospora crassa dalam uji in vitro. (Cheong et al. 1997). RIPs (Ribosome Inactivating Proteins) merupakan senyawa RNA N-glikosidase yang melepaskan purin dari rRNA sehingga menahan atau
15
menghambat sintesis protein karena rusaknya ribosom (Barbieri et al. 1993; Ferreras et al. 1995; Langer et al. 1996; Pu et al. 1996; Taylor et al. 1990). RIPs dari tanaman dapat menghambat sintesis protein pada mamalia, bakteri, cendawan dalam kondisi in vitro dan in vivo. Tanaman penghasil RIP melindungi ribosomnya sendiri dari kerusakan oleh RIPs yang dihasilkannya dengan menempatkan RIPs dalam vakuola atau terintegrasi dalam dinding sel (Kataoka et al. 1991). RIPs dikelompokkan menjadi 3 tipe. RIP tipe 1 merupakan Nglicosidase rantai tunggal dengan bobot molekul antara 11-30 kDa. RIP tipe 2 memiliki rantai ganda yaitu N-glycosidase (rantai A) dan rantai B (cell-binding lectin) dengan bobot molekul hingga 60 kDa (Zhang et al. dalam Selitrennikof, 2001). RIP tipe 2 ada yang toksik seperti ricin and nontoksik seperti ebulin 1 dan nigrin b. RIP tipe 3 memiliki 4 rantai yang disusun membentuk dua dimmer dari 2 tipe RIP. RIP telah diisolasi dari berbagai jenis tanaman antara lain Mirabilis expansa, Pisum sativum, Momordica charantia, Ricinus communis, Viscum album, dan Tricosanthes kirilowii (Selitrennikof, 2001). RIP berpotensi digunakan dalam bidang pertanian sebagai antivirus, antibakteri dan anticendawan untuk proteksi tanaman (Vivanco et al. 1997). Logeman (1993) melaporkan aktivitas anticendawan in vitro dari RIP asal biji barley dan peningkatan ketahanan terhadap patogen cendawan pada tanaman tembakau transgenik yang mengekspresikan RIP biji barley (Logeman et al., 1992). Banyak peneliti yang telah melaporkan tentang hasil pengujian aktivitas antimikroba dari protein bioaktif atau peptida antimikroba secara in vitro. Beberapa metoda yang digunakan untuk pengujian aktivitas anticendawan dari peptida antimikroba secara in vitro adalah dengan radial growth inhibiton assay (Schlumbaum et al. 1986), germinated spores antifungal bioassays, microplate antifungal bioassays, dan spore germination assays (Rajasekaran 2001). Pada radial growth inhibition assay aktivitas penghambatan pertumbuhan cendawan dilihat berdasarkan penghambatan pertumbuhan hifa cendawan. Potongan cendawan ditempatkan ditengah media PDA pada petridish dan senyawa yang akan diuji diteteskan ke potongan kertas saring pada beberapa tempat di sekitar
16
cendawan. Germinated spore antifungal bioassays menggunakan konidia yang sudah dikecambahkan. Daya penghambatan senyawa bioaktif dilihat berdasarkan jumlah pembentukan koloni cendawan setelah konidia yang berkecambah diinkubasi dengan senyawa bioaktif. Microplate antifungal bioassay dilakukan dengan menggunakan miselia cendawan yang diblender. Konsentrasi fragmen miselia dihitung dengan haemacytometer. Pengujian aktivitas protein dilakukan dengan menginkubasi miselia dengan protein bioaktif dalam sumur-sumur pada plat mikro. Spore germination assay dilakukan dengan melihat pengaruh senyawa bioaktif terhadap perkecambahan konidia cendawan. Morfologi tabung perkecambahan dilihat secara mikroskopik.
Kitinase Kitinase (E.C. 3.2.1.14) merupakan poly(1,4-(N-acetyl-β-D-glucosamini de)-glycanohydrolase. Kitinase terdistribusi luas di berbagai organisme yang memiliki kapasitas kitinolitik di alam meliputi tanaman, mikroorganisme bakteri dan cendawan, artropoda, dan beberapa hewan tingkat tinggi seperti amfibi, ikan dan mamalia (Ubhayasekera, 2005). Kitinase termasuk famili 18 dan 19 dari glycoside hydrolase (GH). Kitinase bekerja memotong secara acak ikatan glikosida dari GlcNac untuk menghasilkan oligosakarida terlarut, terutama kitobiosa yang selanjutnya akan dihidrolisis oleh β-N-acetylglucosaminidase menjadi GlcNac (Orikoshi et al. 2005). Enzim yang terlibat dan produk yang dihasilkan dari degradasi polimer kitin dapat dilihat pada Gambar 3. Kitinase pada tanaman tergolong sebagai endokitinase, yang merupakan protein dengan berat molekul 25 – 40 kDa, isoeletric point (3-10), dan yang mengalami modifikasi pasca translasi seperti glikosilasi dan prolil-hidroksilasi (Sticher et al. 1992; Colinge et al. 1993; Nielsen et al. 1994). pH 4-9 merupakan rentang pH optimum untuk aktivitas kitinase (Khan, 2002). Beberapa kitinase
17
seperti kitinase klas III dari yam memiliki pH optimum yang berbeda tergantung pada substratnya (Tsukamoto et al. 1984).
Gambar 3. Proses dan enzim yang terlibat dalam degradasi senyawa kitin (Sumber : Ubhayasekera, 2005)
Kitinase pada cendawan misalnya kitinase klas 5 yang dikode oleh gen ChiB dari Aspergilus nidulan (Yamazaki et al. 2006). ChiB yang diekspresikan di E. coli menunjukkan aktivitas hidrolisis kitin. Delesi pada ChiB tidak mempengaruhi perkecambahan dan pertumbuhan hifa tapi menurunkan aktivitas kitinase intraseluler dan ekstraseluler. Ekspresi ChiB meningkat ketika cendawan mengalami starvasi karbon (suatu kondisi yang menginduksi autolisis hifa),
18
sehingga ChiB diduga kuat berperan penting dalam autolisis cendawan A. nidulans. Berdasarkan review oleh Kasprezewska (2003) yang dirangkum dari berbagai penelitian tentang kitinase, ditemukan bahwa pada tanaman sehat, beberapa bentuk kitinase yang diakumulasikan vakuola dan apoplastik disintesis secara konstitutif. Kitinase Klas I diekspresikan secara konstitutif dan terakumulasi dalam jumlah banyak pada bunga dan akar beberapa tanaman. Kitinase Klas III diekspresikan secara konstitutif pada jaringan vaskular, hidatoda dan sel penjaga Cucumis sativus dan Arabidopsis thaliana. Ekspresi konstitutif meningkat dengan bertambahnya umur tanaman dan aktivitas kitinolitik lebih tinggi pada daun tua dibandingkan daun muda. Pada Cucumis sativus, ekspresi gen penyandi kitinase Klas III meningkat secara gradual selama pertumbuhan tanaman dan akumulasi transkrip gen menurun dari bagian jaringan tanaman yang tua ke bagian tanaman yang muda. Tanaman Arabidopsis thaliana menunjukkan ekspresi gen penyandi kitinase (gen chi) yang tinggi akibat perlakuan etilen. Pola ekspresi kitinase ada yang diregulasi mengikuti perkembangan tanaman (developmentally) dan diregulasi spesifik jaringan atau organ (tissue or organspecific regulation). Stimulasi atau induksi ekspresi gen kitinase karena adanya serangan patogen sering ditemukan (Collinge et al. 1993; Bishop et al. 2000), dengan karakter ekspresi sistemik atau lokal (de A Gerhardt et al. 1997; Meier et al. 1993). Pada Arabidopsis thaliana, infeksi dengan patogen yang imkompatibel menyebabkan akumulasi cepat dari mRNA kitinase Klas IV (Gerhardt et al. 1997). Pada Cucumis sativus, induksi sistemik dari Kitinase Klas III berkorelasi dengan Systemic Acquired Resistance (SAR). Induksi yang sama terjadi ketika tanaman diperlakukan dengan salicylic acid (Lawton et al. 1994). Induksi kitinase pada kondisi in vitro menunjukkan hasil yang sangat kompleks. Pada kultur in vitro Nicotiana sp., adanya auksin dan sitokinin menekan ekspresi gen kitinase Klas I. Pada kalus dan suspensi sel Cucurbita sp., gen kitinase diekspresikan dalam media dengan atau tanpa penambahan 2,4D (Arie et al. 2000). Perlakuan etilen eksogenus meningkatkan aktivitas kitinase pada kultur kalus Dioscorea japonica (Buttner et al. 1997). Faktor lain yang juga
19
dapat meningkatkan aktivitas kitinase adalah cekaman kekeringan, suhu rendah dan salinitas yang tinggi (Fumikazo et al. 2003).
Peroksidase Peroksidase (PRX) merupakan enzim yang berfungsi mereduksi senyawa peroksida (H2O2) sehingga dihasilkan air dan produk yang teroksidasi. Peroksida (H2O2) merupakan produk akhir yang umumnya terbentuk dari metabolisme oksidatif pada tanaman dan merupakan oksidan yang kuat serta bersifat toksik terhadap sel tanaman jika terakumulasi dalam jumlah besar. Untuk mencegah hal tersebut, sel-sel eukariotik mengisolir enzim penghasil senyawa peroksida dalam organel bermembran yang disebut peroksisom. Dalam peroksisom tersebut juga terdapat enzim peroksidase yang berfungsi untuk mereduksi H2O2 menjadi air, sehingga menjadi tidak berbahaya. Dalam proses reduksi tersebut digunakan donor elektron dari amina aromatik, fenol, enediol (seperti ascorbic acid). Zat pewarna (dye) seperti o-dianisidine dapat digunakan sebagai donor elektron, karena sesudah reaksi zat tersebut akan menjadi berwarna (http://employes. oneonta.edu/helsert1/enzyme.html).
H2O2+ Colorless Dye(reduced) peroxidase > H2O + Colored Dye(oxidized)
Beberapa isoform baru peroksidase dapat diinduksi produksinya ketika terjadi interaksi inang dan patogen (Svalheim dan Robertson, 1990; Kerby dan Somerville 1989 dalam Harrison et al. 1995). Peroksidase (EC 1.11.1.7 donor:hydrogen peroxide oxidoreductase) berperan dalam lignifikasi dinding sel (Walter 1992, Lopez-Serrano et al. 2004), cross lingking komponen dinding sel (Bradley 1992), penyembuhan luka (Sherf et al. 1993) dan oksidasi auksin (Grambow dan Langenbeck-Schwich 1983). Induksi ekspresi isoform peroksidase oleh patogen juga berasosiasi dengan respon Systemic Acquired Resistance (Ye et al. 1990; Irving dan Kuc, 1990).
20
Peroksidase termasuk dalam famili PR-9 dan telah berhasil dikarakterisasi dari sejumlah tanaman tingkat tinggi antara lain tembakau (Lagrimini et al. 1987), kentang (Espelie et al. 1986), barley (Kristensen et al. 1999), ovul kapas (Mellon, 1991), xylem poplar (Christensen et al. 1998), selada (Bestwick, et al. 1998), dan biji radish (Kim dan Lee, 2005). Keterlibatan peroksidase dalam tahapan polimerisasi lignin diduga secara langsung berkaitan dengan meningkatnya ketahanan fisik tanaman terhadap infeksi patogen maupun kerusakan fisik (Chitoor et al. 1999).
Asam Salisilat Asam salisilat (SA) merupakan senyawa yang umum terdapat dalam jaringan tanaman dan dikenal sebagai regulator berbagai proses fisiologis yang berkaitan dengan termogenesis atau dalam respon tanaman terhadap patogen. Asam salisilat disintesis dari lintasan shikimat-phenilpropanoid (Sticher et al. 1997). Asam salisilat disintesis dari fenilalanin melalui dua jalur setelah diubah terlebih dahulu menjadi asam sinamat. Asam sinamat kemudian bisa diubah menjadi benzyl glucosa atau o-coumaric acid sebelum diubah menjadi asam salisilat. Lintasan biosintesis asam salisilat seperti terlihat pada Gambar 4. Kaitan asam salisilat dengan reaksi ketahanan tanaman terhadap patogen sudah banyak dilaporkan. Pada Arabidopsis thaliana, asam salisilat dihasilkan secara lokal maupun sistemik setelah infeksi patogen dan mendorong terbentuknya Salicylic acid-dependent (SAR) (Summermatter et al. 1995). Tanaman mutan yang tidak dapat mengakumulasi asam salisilat setelah infeksi patogen terlihat lebih rentan terhadap cendawan maupun bakteri dan tidak dapat menginduksi biosintesis Pathogenesis-Related Protein-1 (PR1), sebagai marker untuk SAR yang terinduksi oleh asam salisilat (Nawrath dan Metraux, 1999; Dewdney et al. 2000; Dong, 2001). Perlakuan SA eksogen pada berbagai spesies tanaman dapat menginduksi PR protein pada lokasi perlakuan dan juga pada bagian tanaman lainnya menunjukkan bahwa SA berperan sebagai signal untuk SAR, suatu bentuk
21
ketahanan tanaman yang terinduksi untuk meningkatkan ketahanan tanaman terhadap infeksi dan serangan patogen berikutnya (Ward, et al. 1991; Delaney et al. 1994; Kessman et al. 1994; Pieterse et al. 1998; Redman et al. 1999; Audenaert et al. 2002; Ferrari et al. 2003). Induksi biosintesis protein yang berhubungan dengan ketahanan pada tomat yang dikode oleh Intracelllular Pathogenesis-Related Gene yang dinamakan TSI-1 (Tomato Stress Induced-1) dapat terjadi dengan perlakuan asam salisilat secara eksogen. Ekspresi maksimal dari TSI-1 diperoleh pada perlakuan SA 10 mM pada 48 jam setelah perlakuan (Vidya et al. 1999).
Gambar 4. Lintasan biosintesis asam salisilat (Metraux, 2002).
22
Etilen Etilen (ETL) merupakan hormon tanaman yang memiliki rumus kimia yang paling sederhana dalam bentuk gas alkana (CH2=CH2). Menurut Johnson dan Ecker (1998), etilen mempunyai peranan yang besar dalam perubahan morfologi tanaman sepanjang pertumbuhan dan perkembangan tanaman seperti terlihat pada Gambar 5. Pada fase perkecambahan etilen menyebabkan triple responses berupa penghambatan pemanjangan sel, pembengkokan batang (epikotil) dan menekan pertumbuhan apikal (Goeschl et al. dalam Johnson dan Ecker 1998). Ketika tanaman dewasa, etilen mempengaruhi determinasi seks dan mendorong pematangan buah (Abeles et al. 1992). Etilen juga melindungi tanaman dari tekanan lingkungan seperti memperkuat batang terhadap terpaan angin, membantu tanaman yang tergenang air untuk bertahan hidup dan mendorong ketahanan tanaman terhadap patogen (Dolan, 1997). Peranan penting etilen lainnya adalah dalam senesen bunga dan daun tanaman (Bleecker dan Patterson 1997). Biosintesis etilen dalam tanaman pertama kali ditemukan pada akhir tahun 1970-an
oleh Shang Fa Yang dan koleganya dari University of California,
sehingga siklus dalam biosintesis etilen dikenal sebagai siklus Yang (Srivastava, 2002). Secara ringkas lintasan biosintesis diawali dari perubahan metionin menjadi S-adenosil-L-metionin (Adomet atau SAM). SAM kemudian dapat melalui dua jalur yaitu diubah menjadi 1-Aminocyclopropan-1-carboxylic acid (ACC) dan diubah selanjutnya menjadi etilen (C2H4) atau diubah menjadi Metiltioadenosin (MTA) yang selanjutnya diubah menjadi metiltioribosa dan berikutnya kembali menjadi metionin. Disamping lintasan biosintesis yang umum seperti tersebut di atas, etilen pada tanaman tingkat tinggi dapat dihasilkan dari oksidasi berbagai jenis molekul organik khususnya asam lemak rantai panjang yang tidak terproteksi. Beberapa enzim
seperti
lipoxigenase
dan
peroksidase
dapat
secara
nonspesifik
mengkatalisis oksidasi dan menghasilkan sejumlah etilen.
23
Gambar 5.Pengaruh etilen terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman : (searah jarum jam dari atas ) mendorong pematangan buah, penghambatan dalam ekspansi sel, menyebabkan triple response (pembelokan ujung apikal, pembengkokan radial dari hipokotil dan pemendekan akar pada perkecambahan benih, mendorong ketahanan terhadap layu dan nekrosis setelah mengalami infeksi patogen, mendorong pembentukan rambut akar, mempercepat senesen bunga dan mendorong absisi petal (Sumber : Johnson dan Ecker 1998)
Etilen
disintesis
tanaman
dalam
level
yang
rendah
sepanjang
perkembangan tanaman, namun produksinya dapat meningkat secara tajam pada fase perkembangan tertentu seperti pada saat perkecambahan benih, pematangan buah klimakterik, dan senesen dari tipe bunga tertentu seperti anyelir. Berbagai
24
jenis cekaman seperti suhu dingin, panas, kekeringan, genangan, radiasi, pelukaan, perlakuan dengan logam berat seperti perak, litium atau ketika terjadi serangan patogen
juga dapat menginduksi peningkatan etilen sehingga
menciptakan kondisi ”cekaman etilen”. Perlakuan hormon auksin dan sitokinin juga dapat mendorong produksi etilen. Etilen dapat menginduksi sintesisnya sendiri atau disebut sebagai ”autoinduction” tapi juga dapat menghambat sintesisnya sendiri dan disebut sebagai ”autoinhibition”. Etilen dapat dihasilkan dari senyawa sintetis antara lain berupa etefon (2cloroetil posponic acid) dan ethrel. Etefon disimpan dalam pH rendah, namun dapat terdekomposisi dan melepaskan etilen pada pH fisiologis. Prekurser etilen berupa ACC dapat juga diberikan kepada tanaman dalam media cair dan akan diambil tanaman dan dilepaskan dalam bentuk etilen tanpa gangguan dari pH saat perlakuannya. Seperti sudah disebutkan sebelumnya etilen dapat meningkat sintesisnya ketika tanaman diserang patogen. Namun peran etilen dalam respon patogenik menunjukkan hasil yang bervariasi. Beberapa protein yang berhubungan dengan ketahanan (PR-protein) membutuhkan signal salicylic acid (SA) untuk ekspresinya untuk menghasilkan respon Systemic Acquired Resistance (SAR) penuh dan tidak membutuhkan signal etilen (Lawton et al. 1994), namun beberapa PR-protein lainnya membutuhkan signal etilen untuk ekspresinya dalam menghasilkan SAR (Johnson dan Ecker 1998). Cabello et al. (1994) melaporkan bahwa perlakuan etefon meningkatkan aktivitas β-1,3-glucanase dan
kitinase pada batang tanaman chickpea (Cicer
arietinum L.). Hughes dan Dickerson (1991) menemukan bahwa perlakuan IAA dan etilen dapat menyebabkan peningkatan aktivitas kitinase dan glukanase pada kultivar tanaman Phaseolus vulgaris yang tahan maupun yang rentan terhadap Colletotrichum lindemutianum.
25
BAB III
MORFOLOGI, PERTUMBUHAN, PERKEMBANGAN, HAMA DAN PENYAKIT 3 SPESIES TRICHOSANTHES
Abstrak
Penelitian dilakukan bertujuan untuk (1) mendapatkan gambaran ringkas tentang morfologi, pertumbuhan dan perkembangan Trichosanthes cucumerina var. anguina, Trichosanthes tricuspidata Lour. dan T. quinquangulata (2) mengetahui keragaan tanaman terhadap hama dan penyakit di lapangan. Benih dari ketiga spesies dikecambahkan dan setelah bibit memiliki 2-3 daun, bibit dipindahkan ke media tanam campuran tanah dan pupuk kandang (1:1 v/v) di
polibag.
Pengamatan dilakukan terhadap morfologi daun, bunga, buah, benih dan fenologi pertumbuhan seperti waktu untuk berkecambah, waktu berbunga dan berbuah serta hama dan penyakit yang menyerang tanaman. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan karakter yang diamati dari tiga spesies yaitu dalam bentuk daun, bentuk bunga, bentuk buah dan bentuk benih. T. cucumerina var. anguina tumbuh terbatas sehingga bersifat sebagai tanaman semusim. Sebaliknya T. tricuspidata dan T. quinquangulata tumbuh tak terbatas dan bersifat sebagai tanaman tahunan. Waktu berbunga T. cucumerina terjadi sejak tanaman berumur 1 – 1.5 bulan setelah tanam. T. tricuspidata dan T. quinquangulata membentuk bunga jantan pada umur 5-6 bulan sesudah tanam. Hama dan penyakit banyak ditemukan pada T. cucumerina var. anguina antara lain embun bulu (Pseudoperonospora cubensis), bercak/busuk daun oleh cendawan Oidium sp. dan busuk batang oleh Fusarium sp. Hama yang ditemukan adalah Lyriomiza pada fase bibit, ulat Epilachna, kumbang daun dan kumbang yang menyerang buah. T. tricuspidata hanya diserang penggerek daun (Lyriomiza) pada fase bibit sedangkan T. quinquangulata diserang Lyriomiza pada fase bibit dan penyakit keriting daun pada daun tanaman dewasa.
Kata kunci : morfologi tanaman, pertumbuhan, perkembangan, hama, penyakit.
MORPHOLOGY , GROWTH, DEVELOMPMENT, PEST AND DISEASE OF 3 TRICHOSANTHES SPECIES
Abstract
The research was done to (1) get brief picture
of morphology, growth and
development of Trichosanthes cucumerina var. anguina, Trichosanthes tricuspidata Lour. and
Trichosanthes quinquangulata and (2) to know the
performance of Trichosanthes to pest and disease in field. Seeds of the species were germinated and seedling with 2-3 leaves were transferred to soil-manure mix medium (1:1 v/v) in polybag. Plants were observed for their morphology such as leaves, flower, fruit and seed. Growth and development was evaluated based on growth habit such as germination time, flowering time and fruitset. Observation was done on pest and disease attacking the plants. The results of the research showed the differences of three species in their leaves, flower, fruit and seed shape and growth habit. T. cucumerina had determinate growth as annual plant, while T. tricuspidata and T. quinquangulata had indeterminate growth as perennials. T. cucumerina started to form male flower about 1 – 1.5 month after planting while T. tricuspidata and T. quinquangulata formed male flower about 56 month after planting. Most of diseases were found on T. cucumerina var. anguina such as downy mildew (Pseudoperonospora cubensis), stem rot, and leaves spot caused by Oidium sp.. T. cucumerina var. anguina was also attacked by Epilachna and leaf beetle. T. tricuspidata dan T. quinquangulata was attacked by leafminers on seedling and T. quinquangulata suffered by leafminers on seedling and curly leaves disease on mature plants.
Key Word : plant morphology, growth, development, pest, disease.
27
Pendahuluan
Trichosanthes termasuk tanaman yang belum populer di Indonesia. Sebagian besar masyarakat Indonesia belum mengenal tanaman ini kecuali untuk spesies yang dibudidayakan T. cucumerina var. anguina. Kalangan peneliti dari ilmu tumbuhan juga belum banyak meneliti tanaman ini sehingga informasi tentang berbagai spesies Trichosanthes yang ada di Indonesia belum begitu banyak. Rugayah (1999) mempelajari tentang taksonomi Trichosanthes yang ditemukan di Malaysia dan Indonesia berdasarkan morfologi, sitologi, pola isozim serta analisis hasil Scanning Electron Microscope (SEM) dari kulit benih. Informasi yang umum tentang pertumbuhan dan perkembangan tanaman di lapang serta hama penyakit yang menyerang tanaman T. cucumerina pernah dilaporkan Gildemacher et al. (1993). Hama dan penyakit yang menyerang Trichosanthes khususnya untuk spesies yang ada di Indonesia belum banyak dipublikasikan, karena tanaman ini belum menjadi komoditi yang penting bagi masyarakat atau petani. Pertumbuhan, perkembangan tanaman di lapang serta identifikasi hama dan penyakit yang menyerang tanaman merupakan informasi penting yang diperlukan antara lain untuk mengetahui spesies yang tidak banyak mengalami serangan hama dan penyakit. Berdasarkan asumsi bahwa hama dan penyakit tanaman tertentu dapat menyerang beberapa spesies dalam satu genus tanaman bahkan dalam satu famili tanaman, maka jika beberapa spesies dalam satu genus ditanam di lokasi yang sama secara bersamaan, kemungkinanan semua spesies akan terserang oleh hama dan penyakit yang sama kecuali spesies tersebut memiliki ketahanan terhadap hama dan penyakit atau escape dari proses infeksi patogen. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendapatkan gambaran ringkas tentang morfologi, pertumbuhan dan perkembangan Trichosanthes cucumerina var. anguina, Trichosanthes tricuspidata Lour. dan T. quinquangulata (2) mengetahui keragaan tanaman terhadap hama dan penyakit di lapangan.
28
Bahan dan Metode
Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai Desember 2007. Lokasi penelitian adalah lahan masyarakat di Desa Sinar Sari, Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor.
Bahan Tanaman Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data primer berdasarkan pengamatan terhadap tanaman yang ditemui atau ditanam di lapang dan data sekunder berdasarkan hasil studi pustaka. Bahan tanaman yang digunakan terdiri atas benih T. cucumerina var. anguina, T. quinquangulata dan T. tricuspidata. Benih T. cucumerina diperoleh dari Magelang,
Jawa Tengah. Benih
T. quinquangulata dan T. tricuspidata diperoleh dari hutan penelitian Balai Penelitian Tanaman Kehutanan Dramaga.
Penanaman Benih diambil dari buah yang sudah masak dari ketiga spesies, dibersihkan dari selaput yang membalut benih, lalu dikeringkan dengan sinar matahari selama 2-3 hari. Benih yang sudah kering disimpan di kulkas sebelum disemai. Sebelum penyemaian, benih direndam dalam air semalaman. Benih disemai dalam bak semai dengan media sekam yang dicampur dengan kompos dengan perbandingan 1:1 (v/v). Bibit berumur 2 – 3 minggu setelah perkecambahan dipindah ke polibag dengan media tanah yang dicampur dengan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1 (v/v). Polibag tanaman ditempatkan di lapangan dengan bangunan para-para untuk perambatan tanaman.
Pengamatan Pengamatan morfologi tanaman dilakukan terhadap peubah-peubah berikut : bentuk buah, warna buah muda, warna buah masak, ukuran buah (panjang dan diameter), warna selaput benih pada buah yang sudah masak, bentuk benih, bentuk daun muda, bentuk daun dewasa, morfologi bunga (jantan dan
29
betina). Pengamatan pertumbuhan dan perkembangan tanaman meliputi waktu perkecambahan, pertumbuhan vegetatif, waktu berbunga. Pengamatan terhadap gejala serangan hama dan penyakit dan identifikasi jenis hama dan penyakit berdasarkan literatur yang tersedia maupun konsultasi dengan ahli hama dan penyakit tanaman.
Hasil
Morfologi Tanaman Morfologi tanaman untuk berbagai peubah yang diamati dapat dilihat pada Gambar 6-14. Perbedaan yang mencolok dari ketiga spesies adalah dalam bentuk buah antara T. cucumerina var. anguina dengan dua spesies lainnya (Gambar 6). T. cucumerina var. anguina memiliki bentuk buah yang panjang (cyllindrical) seperti ular. Sebaliknya T. tricuspidata memiliki bentuk buah bulat lonjong (ovoid atau elipsoid) dan T. quinquangulata memiliki bentuk buah bulat (globose). T. cucumerina var. anguina memiliki kulit buah yang berwarna hijau bergaris-garis putih tidak beraturan. Makin tua umur buah, warna putih makin dominan dan buah berubah menjadi kuning-oranye ketika sudah masak. T. tricuspidata dan T. quinquangulata berwarna hijau muda ketika buah masih muda, selanjutnya buah akan berwarna merah ketika sudah tua. Ukuran buah dan benih ketiga spesies Trichosanthes yang diteliti disajikan pada Tabel 1. Beberapa karakter morfologi buah dari ketiga spesies yang diteliti disajikan pada Tabel 2. Bagian dalam buah masak seperti terlihat pada Gambar 7. Pada T. cucumerina var. anguina yang sudah masak, selaput benih berubah menjadi merah. Tekstur buah T. cucumerina var. anguina menjadi lebih lunak ketika buah sudah masak. Sementara pada T. tricuspidata dan T. quinquangulata, ketika buah telah masak, buah tetap keras, daging buah berwarna kuning, dan warna selaput benih menjadi berwarna hitam. T. cucumerina var. anguina memiliki buah dengan ukuran panjang berkisar antara 40 hingga 150 cm dan diameter buah antara 3 – 5 cm.. Untuk membentuk buah panjang dan lurus, pada ujung buah dapat diberi pemberat.
30
T. tricuspidata memiliki buah dengan mencapai 1.5 cm, dengan diameter buah sekitar 3-4 cm. Buah T. tricuspitada memiliki panjang buah antara 7 – 9 cm dan diameter buah sekitar 5 – 7 cm. T. quinquangulata memiliki buah dengan ukuran panjang 4.5 – 6.5 cm dan diameter 5.5 – 6.5 cm. Ukuran buah dan benih dari ketiga spesies dalam penelitian disajikan pada Tabel 1 dan bentuk bagian dalam buah dan benih seperti terlihat pada Gambar 7.
a
b
c
Gambar 6. Bentuk buah : (a). T. cucumerina var. anguina (buni, silindris anjang), (b). T. tricuspidata (buni silindris, oval). (c). T. quinquangulata (buni silindris, bulat).
Benih Trichosanthes berwarna coklat tua dengan ukuran bervariasi antar spesies. Benih T. cucumerina berukuran lebih besar dari T. tricsupidata dan T. quinquangulata seperti terlihat pada Tabel 1. Benih T. cucumerina berbentuk agak pipih (flat) dan elliptic oblong dengan pinggiran benih bergerigi. Benih T. tricuspidata menghasilkan benih yang pipih berbentuk obovate-oblong dengan
31
bentuk pinggir benih rata. Sementara T. quinquangulata memiliki benih yang pipih berbentuk elliptic-oblong dengan pinggir benih agak bersegi. Ukuran benih paling yang paling besar adalah dari T. cucumerina var. anguina, sedangkan T. tricuspidata dan T. quinquangulata memiliki ukuran panjang, lebar dan tebal benih yang hampir sama. Ringkasan karakter morfologi ketiga spesies disajikan pada Tabel 2.
Tabel 1. Rataan ukuran buah dan benih T. cucumerina var. anguina, T. tricuspidata dan T. quinquangulata. Spesies
T. cucumerina var. anguina T. tricuspidata T. quinquangulata
Panjang buah (cm) 40 – 150
Lebar buah (cm) 3.5 – 5.5
Panjang Lebar benih benih (cm) (cm) 1.4 – 1.8 0.6 – 0.9
Tebal benih (cm)
7.0 – 9.0 5.5 – 8.5
5.5 – 7.5 6.5 – 6.5
1.1- 1.2 0.5 – 0.7 1.1 – 1.3 0.4 – 0.5
0.9 -1.1 0.9 – 1.1
0.3 – 0.4
Tabel 2. Ringkasan karakter morfologi buah T. cucumerina var. anguina, T. tricuspidata dan T. quinquangulata. Karakter
T. cucumerina var. anguina Warna buah muda hijau belangbelang putih Warna buah masak kuning-oranyemerah Warna kulit benih coklat kehitaman Bentuk pinggir benih bergerigi Warna selaput benih merah Panjang daun 10.2 – 20.3 membujur (cm) Panjang daun 8.4 – 18.5 melintang Permukaan daun Berbulu halus
T. tricuspidata
T. quinquangulata
hijau
hijau
merah
merah
coklat
coklat
licin hitam 7.5 – 15.3
licin hitam 9.1 – 15.2
5.2 – 15.5
8.2 – 20.3
Berbulu kasar
Berbulu kasar
32
e
a
b
c
d
e
f
Gambar 7. Bentuk bagian dalam buah dan benih Trichosanthes : (a). isi buah dan (b) benih T. cucumerina var. anguina, (c) isi buah dan (d) benih T. tricuspidata, (e) isi buah dan (f) benih T. quinquangulata.
Daun Trichosanthes merupakan daun sederhana yang memiliki pola dasar segi lima hingga segi delapan (Gambar 8) atau memiliki kerangka ovate atau orbicular (Rugayah 1999). Daun memiliki lekukan yang kedalamannya bervariasi antar spesies. Warna daun T. cucumerina var. anguina hijau muda, daun T. tricuspidata berwarna hijau tua dan daun T. quinquangulata berwarna hijau keperakan. Tulang daun memiliki pola menjari muncul dari ujung petiol dengan 5 tulang daun utama.
Daun T. tricuspidata pada awal pertumbuhan berbentuk
menjari dengan lekukan yang dalam, namun setelah tanaman dewasa, bentuk daun
33
tanaman berubah dimana lekukan pada daun menjadi tidak begitu dalam. Perbedaan morfologi daun muda dan daun dewasa pada T. tricuspidata disebut dengan dimorfisme daun (Rugayah 1999).
a
b
c
d
e
f
Gambar 8. Bentuk permukaan daun Trichosanthes : (a) bagian atas daun dan (b) bagian bawah daun T. cucumerina var. anguina, (c) bagian atas daun dan (d) bagian bawah daun T. tricuspidata, (e) bagian atas daun dan (f) bagian bawah daun T. quinquangulata.
34
Daun T. cucumerina var. anguina lebih tipis dan lemas sedangkan daun 2 spesies lainnya lebih kaku dan tebal. Tekstur permukaan daun T. cucumerina var. anguina berbulu halus dan lembut, sementara permukaan daun T. tricuspidata dan T. cucumerina var. anguina terasa kasar ketika digosok dengan tangan. Daun T. cucumerina var. anguina mengeluarkan bau khas yang tidak dihasilkan oleh T. tricuspidata dan T. quinquangulata. Daun tanaman Trichosanthes memiliki kelenjar daun berukuran 0.5 hingga 5 mm yang terdapat pada dasar daun atau menyebar secara acak (Rugayah 1999). Pada 3 spesies yang diteliti dalam penelitian ini, kelenjar daun juga ditemukan namun kadang-kadang sulit dibedakan dari bekas tusukan stilet serangga. Morfologi bunga Trichosanthes seperti terlihat pada Gambar 9. Bunga berwarna putih bersih memiliki 5 buah kelopak dan 5 mahkota. Bunga terdiri dari bunga jantan dan bunga betina. Bunga jantan keluar dalam bentuk tandan bunga seperti terlihat pada Gambar 9a dan 9d. Satu tandan bunga jantan terdiri dari sekitar 6 individu bunga. Individu bunga yang paling bawah akan mekar lebih dulu diikuti oleh individu bunga diatasnya. Sebagian besar spesies Trichosanthes merupakan tanaman dioecious (Rugayah 1999). Hal ini berarti bahwa satu individu tanaman hanya menghasilkan bunga jantan saja atau sebaliknya hanya bunga betina atau bunga jantan dan betina dihasilkan dari individu tanaman yang berbeda. Bunga jantan biasanya terbentuk dalam suatu tandan bunga yang terdiri dari beberapa individu bunga yang mekar berurutan dari bunga yang terbawah ke bunga yang paling atas. Sebaliknya bunga betina terbentuk secara individual pada buku tanaman, namun pada tanaman monoecious, bunga betina dapat terbentuk dalam jumlah yang sangat terbatas pada buku disamping tandan bunga jantan (Rugayah 1999). Untuk mengetahui apakah suatu individu tanaman bersifat monoecious (jantan/betina) atau dioecious jantan harus menunggu sampai tanaman berbunga. Belum ditemukan laporan penelitian yang dapat membedakan antara individu tanaman dioecious dengan monoecious ataupun membedakan tanaman antara tanaman jantan dan betina pada stadia bibit. Namun pada T. dioica, Singh et al. (2002) melaporkan adanya penanda molekuler RAPD yang berasosiasi dengan sifat sex tanaman betina.
35
a
b
c
d
e
f
Gambar 9. Morfologi bunga Trichosanthes : (a) bunga jantan pada tandan bunga, (b) bunga jantan dilihat dari arah atas dan (c) bunga betina dari T. cucumerina var. anguina, (d) tandan bunga jantan, (e) bunga dilihat dari arah atas dan (f) satu bunga jantan dari T. tricuspidata
Bunga betina ditandai dengan adanya bakal buah yang muncul pada bagian dasar bunga (Gambar 9c). Pada T. cucumerina var. anguina bunga jantan dan bunga betina terlihat keluar dari buku yang berbeda, sehingga setiap buku tanaman yang sudah dewasa hanya menghasilkan bunga jantan atau bunga betina. Ukuran bunga pada T. tricuspidata lebih besar dibandingkan T. cucumerina var. anguina. Bunga dari T. quinquangulata belum diperoleh sehingga foto bunga T. quinquangulata belum dapat disajikan daam tulisan ini. Bunga jantan pada T. cucumerina var. anguina dan T. tricuspidata akan segera gugur pada 1-2 hari sesudah mekar. Sebaliknya bunga betina akan berkembang membentuk buah. Sampai saat ini belum diketahui apakah buah dapat berkembang jika tidak terjadi penyerbukan dan pembuahan. Namun dari
36
bentuk bunga dan putik yang terbuka, kemungkinan tidak ada masalah dalam penyerbukan tanaman sehingga sebagian besar bunga betina akan berkembang menghasilkan buah.
Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman Benih tanaman T. cucumerina var anguina yang diperoleh dari toko pertanian di daerah Magelang, Jawa Tengah tidak menunjukkan pertumbuhan sama sekali. Hal tersebut kemungkinan umur benih yang sudah lama dan juga sifat benih yang cenderung rekalsitran sehingga daya perkecambahan benih sangat cepat menurun. Benih T. cucumerina var. anguina yang diperoleh dari daerah lain seperti Brebes, Subang masih menunjukkan pertumbuhan dengan perkecambahan sekitar 50%. Benih T. tricuspidata dan T. quinquangulata yang diambil langsung dari buah yang dipetik dari pohon tanaman yang tumbuh liar di hutan milik Balai Penelitian
Tanaman
Kehutanan,
Situgede
Bogor,
menunjukkan
tingkat
perkecambahan di lapang sekitar 75%. Kecambah T. tricuspidata muncul setelah 8-10 hari setelah semai (HSS), sedangkan pada T. quinquangulata kecambah muncul pada 14 hingga 18 HSS. Waktu muncul kecambah untuk T. tricuspidata lebih cepat sekitar 4 hari dibandingkan T. quinquangulata. Kecambah T. cucumerina var. anguina muncul setelah 10-14 HSS. Penampilan bibit T. cucumerina var. anguina, T. tricuspidata dan T. quinquangulata seperti terlihat pada Gambar 10.
37
a
b
c
d
e
f
Gambar 10. Morfologi bibit dan tanaman muda Trichosanthes : (a) bibit dan (b) tanaman umur 1 bulan setelah tanam (BST) T. cucumerina var. anguina, (c) bibit dan tanaman umur 1 BST T. tricuspidata, (e) bibit dan (f) tanaman muda 1 BST T. quinquangulata
Selama di pembibitan tidak ada serangan hama dan penyakit kecuali beberapa daun tanaman menunjukkan gejala serangan Lyriomiza. Setelah bibit dipindah ke polybag, beberapa tanaman T. quinquangulata mengalami gejala penyakit karena Lyriomiza, kemudian daun menguning dan busuk. T. tricuspidata
38
hanya mengalami serangan Lyriomiza dan dapat pulih kembali ketika tanaman bertambah besar.
Tabel 3. Pertumbuhan tanaman Trichosanthes hingga 3 minggu setelah tanam di lapang. Peubah Tinggi tanaman (cm) Jumlah daun Jumlah cabang
T. cucumerina 2 MST 3 MST 60.5 116.2 6.0 0.0
T. tricuspidata 2 MST 3 MST 64.4 125.2
11.8 2.4
15.9 0.0
T. quinquangulata 2 MST 3 MST 51.3 118.9
29.8 8.5
10.4 2.0
15 5.6
Trichosanthes merupakan tanaman yang tumbuh merambat/memanjat seperti spesies dari famili Cucurbitaceae. Pada setiap buku tanaman muncul struktur khusus seperti sulur sebagai alat untuk menempel atau merambat tanaman sehingga tanaman dapat ”berpegang” atau menempel pada tempat rambatannya. Pertumbuhan tanaman relatif cepat, dimana dalam 1 bulan tinggi tanaman sudah mencapai 2 meter sehingga sulit dilakukan pengukuran tinggi tanaman, apalagi tipe pertumbuhan tanaman bersifat merambat. Pertumbuhan vegetatif T. tricuspidata dan T. quinquangulata berlangsung cukup lama. Pembungaan pada T. tricuspidata baru terjadi pada umur tanaman sekitar 5 bulan setelah tanam. Bunga yang pertama muncul adalah bunga jantan. Tidak
semua
tanaman
menghasilkan
bunga
pada
saat
yang
sama.
T. quinquangulata belum membentuk bunga meskipun usia tanaman sudah mencapai 7 bulan setelah tanam. Sebaliknya, T. cucumerina var anguina telah berbunga pada 6-8 MST. Pada awal pembungaan jenis bunga yang muncul adalah bunga jantan. Namun pada buku-buku yang lebih atas muncul bunga betina. Tanaman T. cucumerina var. anguina merupakan tanaman semusim (annual), sehingga dari mulai berkecambah sampai tanaman menyelesaikan siklus hidupnya lalu mati berkisar antara 6-7 bulan. Sebaliknya T. tricuspidata dan T. quinquangulata bersifat tahunan (perenial), sehingga siklus hidup dapat berlangsung lebih dari satu musim atau satu tahun.
39
Hama dan Penyakit Tanaman Pada
fase
bibit,
ketiga
spesies
(T.
cucumerina
var.
anguina,
T. tricuspidata, T. quinquangulata) terserang oleh Lyriomiza (Gambar 11a, b, c). Sementara T. tricuspidata hampir tidak mengalami gejala serangan hama maupun penyakit kecuali pada fase bibit. Berdasarkan penampilan tanaman di lapang menunjukkan bahwa gejala serangan hama dan penyakit paling banyak ditemukan pada T. cucumerina var. anguina. Hama Epilachna banyak menyerang daun dewasa dari T. cucumerina var. anguina, sementara buah banyak diserang oleh hama dari jenis Hemiptera (Coreidae) seperti terlihat pada Gambar 11. T. cucumerina var. anguina juga diserang oleh hama ulat daun seperti terlihat pada Gambar 11d dan 11e. T. quinquangulata terlihat mengalami penyakit yang menyebabkan daun mengeriting yang diduga karena adanya hama kepik yang menghisap cairan daun. Pada bagian bawah permukaan daun T. quinquangulata, terlihat dari adanya bekas tusukan stilet serangga kepik seperti pada Gambar 11k. Hama kepik daun yang ditemukan pada tanaman T. tricuspidata seperti terlihat pada Gambar 11l. Beberapa gejala penyakit yang menyerang T. cucumerina var. anguina adalah busuk batang, gejala bercak daun, busuk daun, embun bulu dan busuk ujung buah. Bercak daun dapat menyebar di hampir seluruh permukaan daun sehingga daun menjadi berlobang-lobang dan robek.
40
a
b
d
e
c
f n m
g
h
i
j
k
l
Gambar 11. Hama dan gejala kerusakan tanaman Trichosanthes sp : (a) gejala Liriomyza pada bibit T. cucumerina, (b) Liriomyza pada bibit T. tricuspidata, (c) Liriomyza pada T. quinquangulata; (d) dan (e) ulat daun yang menyerang daun T. cucumerina, (f) Epilachna pada T. cucumerina (g) telur hama pada tangkai bunga, (h) larva Epilachna dan gejala serangannya pada daun, (i ) hama serangga (Hemiptera, Coreidae, n = nimpa, m = imago) penghisap cairan buah T. cucumerina var. anguina, (j) gejala keriting pada daun T. quinquangulatan, (k) bekas tusukan hama pada bagian bawah daun T. quinquangulata, dan (l) hama kumbang daun (spot cucumber beetle) yang menghisap cairan daun T. quinquangulata
41
a
b
c
d
e
g
h
f
i
Gambar 12. Gejala penyakit dan patogen yang ditemukan pada Trichosanthes sp. T. cucumerina var. anguina : (a) busuk batang oleh cendawan, (b) cendawan Oidium sp. diatas permukaan daun, (c) gejala embun bulu (Pseudoperonospora cubensis), (d) busuk dari pinggir daun, (e) busuk ujung buah pada T. cucumerina var. anguina, (f) gejala penyakit keriting daun pada T. quinquangulata, (g) spora cendawan Oidium sp. (h) isolat Fusarium sp, dan (i) spora cendawan Fusarium sp. dari T. cucumerina var. anguina.
Trichosanthes cucumerina var. anguina mengalami serangan berbagai hama dan penyakit yang tidak ditemukan pada spesies T. tricuspidata dan T. quinquangulata. Serangan penyakit embun bulu makin meningkat dengan bertambahnya umur tanaman. Bagian tanaman yang banyak diserang penyakit adalah daun dan buah. Batang dan akar tidak begitu banyak diserang hama dan penyakit, terlihat dari tidak adanya tanaman yang layu atau mati karena penyakit pada akar atau batang.
42
Pembahasan
Perbandingan morfologi tanaman 3 spesies Trichosanthes menunjukkan perbedaan yang utama antara T. cucumerina var. anguina dengan 2 spesies lainnya yaitu T. tricuspidata dan T. quinquangulata, terutama dalam bentuk dan warna buah. Perbedaan tersebut menunjukkan perbedaan kekerabatan yang lebih jauh antara T. cucumerina var. anguina dengan T. tricuspidata dan T. quinquangulata. Rugayah (1999) menyatakan bahwa berdasarkan karakter anatomi dan morfologi, T. tricuspidata dan T. quinquangulata merupakan jenis Trichosanthes yang sangat berkerabat dekat. Trichosanthes sp. termasuk tanaman dikotil dengan tipe perkecambahan epigeal. Keberhasilan perkecambahan benih dipengaruhi sifat fisik benih yang memiliki kulit benih (eksokarp) yang cukup keras. Mukhopadhyay dan Chattopadhyay (1976) menyatakan bahwa ekstraksi benih Trichosanthes dengan menggunakan asam khlorida (HCl) dapat mendorong perkecambahan. HCl dapat melunakkan
kulit
benih
sehingga
mengurangi
hambatan
fisik
dalam
perkecambahan. Perlakuan benih dengan thiurea 0.25% selama 24 jam sebelum perkecambahan atau dengan GA3 50 ppm juga dapat mendorong perkecambahan benih yang sudah diekstraksi dari buah dengan HCl seperti tersebut di atas. Pertumbuhan dan perkembangan 3 spesies yang diteliti menunjukkan bahwa T. cucumerina var. anguina sebagai tanaman semusim dan T. tricuspidata dan T. quinquangulata sebagai tanaman tahunan (perenial). T. cucumerina yang bersifat semusim akan membentuk bunga lebih cepat yaitu sekitar 4 – 6 MST. Gildemacher et al. (1993) menyatakan bahwa dari tanam sampai dihasilkan buah muda pada T. cucumerina memerlukan waktu sekitar 7 minggu. T. tricuspidata dan T. quinquangulata yang bersifat perenial membutuhkan waktu yang lebih lama untuk membentuk bunga atau memasuki fase pembungaan. Bunga Trichosanthes disebut sebagai bunga uniseksual, karena hanya memiliki satu jenis kelamin jantan atau betina. Dengan demikian penyerbukan terjadi dengan polen dari bunga jantan dari tanaman yang sama atau dari tanaman yang berbeda. Hal ini juga berhubungan dengan sifat tanaman Trichosanthes, dimana ada yang bersifat monoecious dan ada yang bersifat dioecieus. Tanaman
43
monoecious menghasilkan bunga jantan dan bunga betina dalam satu tanaman yang sama. Sebaliknya tanaman dioecious menghasilkan hanya satu jenis bunga yaitu bunga jantan atau bunga betina saja dalam satu tanaman. Penampilan tanaman di lapang menunjukkan banyaknya hama dan patogen yang menyerang T. cucumerina var. anguina. Hal ini menjadi indikasi bahwa spesies budidaya tersebut lebih rentan terhadap hama dan penyakit dibanding T. tricuspidata dan T. quinquangulata yang merupakan spesies liar. Gildemacher et al. (1993) menginventarisasi beberapa hama dan penyakit yang menyerang T. cucumerina meliputi embun bulu (Pseudoperonospora cubensis), antraknosa (Colletotrichum lagenarium), kumbang daun (Aulacophora vinula, Copa occidentalis dan Lagria villosa), dan nematoda bengkak akar (Meloidogyne spp.). Keragaan yang berbeda dari ketiga spesies dalam ketahanan terhadap hama dan penyakit yang terjadi di lapangan berkaitan dengan dengan sifat fisik dan kimia yang ada pada masing-masing spesies. Morfologi daun T. cucumerina var. anguina yang teksturnya lebih halus dan lembut diduga menyebabkan tanaman tersebut menjadi lebih rentan terhadap hama dan penyakit. Sebaliknya pada T. tricuspidata dan T. quinquangulata, tekstur permukaan daun yang tebal dan berlilin kemungkinan menjadi salah satu hambatan dalam invasi patogen pada tanaman. Namun hal ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut dengan menganalisis faktor fisik dan biokimia tanaman dan melakukan uji ketahanan tanaman terhadap beberapa patogen yang sudah ditemukan pada T. cucumerina var. anguina.
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diketahui gambaran ringkas tentang perbedaan morfologi, pertumbuhan, perkembangan, hama dan penyakit dari 3 spesies Trichosanthes yang diteliti. Perbedaan morfologi terlihat pada beberapa karakter yang diamati yaitu bentuk daun, bentuk bunga, bentuk buah dan bentuk benih. T. cucumerina var. anguina tumbuh terbatas sehingga bersifat sebagai tanaman semusim. T. tricuspidata dan T. quinquangulata tumbuh tak terbatas
44
sehingga bersifat sebagai tanaman tahunan. Waktu berbunga T. cucumerina terjadi sejak tanaman berumur 1 – 1.5 bulan setelah tanam dengan bunga jantan keluar lebih dulu. T. tricuspidata dan T. quinquangulata membentuk bunga jantan pada umur 5-6 bulan sesudah tanam. Hama dan penyakit banyak ditemukan pada T. cucumerina var. anguina antara lain embun bulu, bercak daun, busuk daun dan busuk batang serta hama Lyriomiza pada fase bibit, ulat Epilachna, kumbang daun dan serangga yang menyerang buah. T. tricuspidata hanya diserang Lyriomiza pada fase bibit sedangkan T. quinquangulata diserang Lyriomiza pada fase bibit dan penyakit keriting pada daun yang belum diidentifikasi.
45
BAB IV
AKTIVITAS KITINASE DAN PEROKSIDASE DARI EKSTRAK PROTEIN ASAL KALUS, TUNAS IN VITRO, DAUN DAN AKAR TANAMAN Trichosanthes tricuspidata Lour. 1
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menginduksi pembentukan kalus dari tunas in vitro dan menganalisis aktivitas kitinase dan peroksidase pada ekstrak kasar protein dari beberapa jaringan tanaman T. tricuspidata. Media untuk induksi kalus adalah media Murashige dan Skoog (MS) dengan perlakuan Naphthalene Acetic Acid (NAA) dan Benzyladenine (BA) yaitu N1B1 (1 µM NAA + 1 µM BA), N2B2 (2 µM NAA + 2 µM BA), N3B3 (3 µM NAA + 3 µM BA) dan N4B4 (4 µM NAA + 4 µM BA). Eksplan awal untuk induksi kalus adalah tunas in vitro hasil perbanyakan dalam media MS yang ditambahkan 1 mg/l BA. Untuk pengujian aktivitas kitinase dan peroksidase, ekstrak kasar protein diisolasi dari kalus hasil kultur in vitro, tunas in vitro hasil perbanyakan dalam media MS + BA 1 mg/l, daun dan akar tanaman asal stek berumur 6 bulan setelah tanam di lapangan. Hasil percobaan menunjukkan bahwa tunas in vitro dapat membentuk kalus dalam 4 komposisi media yang digunakan (N1B1-N4B4) dengan bobot kalus yang dihasilkan pada keempat komposisi media tidak berbeda nyata (0.19 0.31 g/eksplan/4 minggu). Hasil pengujian aktivitas kitinase menunjukkan bahwa aktivitas kitinase paling tinggi ditemukan pada ekstrak kasar protein asal tunas in vitro diikuti oleh ekstrak kasar protein asal akar tanaman dari lapangan dan kalus dari media N4B4. Aktivitas peroksidase paling tinggi ditemukan pada ekstrak kasar protein asal akar tanaman dari lapang tetapi tidak berbeda nyata dengan aktivitas peroksidase dari ekstrak protein asal kalus dari media N4B4 dan tunas in vitro. Kata kunci : T. tricuspidata, kalus, tunas in vitro, daun, akar, aktivitas kitinase, aktivitas peroksidase 1
Sebagian disertasi ini telah diterbitkan dalam Buletin Agronomi dengan judul yang sama.
CHITINASE AND PEROXIDASE ACTIVITY OF PROTEIN EXTRACT FROM CALLI, IN VITRO SHOOTS, LEAVES AND ROOTS OF Trichosanthes tricuspidata Lour.
Abstract
The aims of the research were to find the medium for calli induction from in vitro shoots and to analyze the chitinase and peroxidase activities of crude protein extract from many kinds of T. tricuspidata tissues. Murashige and Skoog (MS) medium was used to induce calli with four treatment of Naphthalene Acetic Acid (NAA) and Benzyladenine (BA). The four medium treatment were N1B1 (1 µM NAA + 1 µM BA), N2B2 (2 µM NAA + 2 µM BA), N3B3 (3 µM NAA + 3 µM BA) and N4B4 (4 µM NAA + 4 µM BA). The experiment used in vitro shoots which were propagated in MS medium + 1 mg/l BA. Crude protein extract was isolated from calli resulted from four medium treatments, in vitro shoots which were propagated on MS medium + 1 mg/l BA, leaves and roots were harvested from six months old plant in the field. The results of the experiments showed that calli could be formed in N1B1-N4B4 medium. Calli weight from all kinds of medium were not significantly different (0.19 -0.31 g/explant/four weeks). The results of chitinase activity assay showed that the highest of chitinase activity was found in crude protein extract from in vitro shoots followed by plant roots and calli form N4B4-medium. The highest of peroxidase activity was found in crude protein extract from plant roots which were not significantly different with peroxidase activity in crude protein extract from in vitro shoots and calli from N4B4-medium
Kata kunci : T. tricuspidata, calli, in vitro shoots, leaves, roots, chitinase activity, peroxidase activity
47
Pendahuluan T. tricuspidata merupakan salah satu spesies liar dari genus Trichosanthes. Berdasarkan pengamatan secara visual pada tanaman yang ditanam di lapang yang telah dituliskan pada bab sebelumnya (Bab III), tanaman ini tidak banyak diserang hama dan penyakit, meskipun ditanam secara berdekatan dengan T. cucumerina var. anguina yang banyak diserang hama dan penyakit. Hal tersebut menunjukkan kemungkinan bahwa T. tricuspidata memiliki ketahanan terhadap hama dan penyakit yang menyerang spesies Trichosanthes budidaya seperti T. cucumerina var. anguina. Beberapa karakter biokimia seperti aktivitas enzim kitinase dan peroksidase dapat menjadi sumber ketahanan bagi tanaman terhadap patogen. Kitinase dan peroksidase merupakan dua enzim yang banyak berkaitan dengan respon ketahanan penyakit pada tanaman. Kitinase dapat mendegradasi senyawa kitin yang merupakan komponen utama dari dinding sel berbagai patogen cendawan melalui proses hidrolisis ikatan glikosida 1,4-β. Sementara peroksidase merupakan enzim yang berfungsi dalam proses oksidasi dan polimerisasi prekursor pada proses biosintesis lignin. Lignin sendiri merupakan pembatas fisik yang berperan dalam menghambat infeksi patogen pada tanaman (Oku, 1994). Peroksidase juga bersifat anticendawan berdasarkan uji aktivitas anticendawan in vitro (Saikia et al. 2006). Kasprzewska (2003) menyatakan bahwa kitinase diekspresikan oleh berbagai gen chi secara konstitutif pada semua jaringan atau secara spesifik pada jaringan tanaman tertentu. Aktivitas enzim kitinase dan peroksidase pada tanaman dalam kultur in vitro juga menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Dengan demikian aktivitas kitinase kemungkinan tidak sama antar berbagai jaringan tanaman atau pada kondisi lapang dan in vitro. Identifikasi jaringan tanaman yang memiliki aktivitas kitinase dan peroksidase tinggi akan memudahkan penelitianpenelitian ke arah isolasi enzim maupun isolasi gen penyandi enzim tersebut. Potensi kultur kalus/suspensi sel untuk menghasilkan protein antimikroba seperti peroksidase, kitinase dan RIP telah dilakukan sejak awal tahun 1990-an (Parkinson et al. 1990; Kurosaki et al. 1990; Stoner et al. 1997). Vivanco dan Flores (2000) melaporkan bahwa kultur kalus dan suspensi sel dari Mirabilis
48
expansa dapat menghasilkan RIP. Kondisi in vitro yang steril dan terkontrol memudahkan peneliti untuk mempelajari faktor-faktor yang dapat meningkatkan biosintesis senyawa yang diinginkan. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk (i) menginduksi pembentukan kalus in vitro dari eksplan tunas serta (ii) menganalisis aktivitas enzim kitinase dan peroksidase dari ekstrak kasar protein dari kalus dan tunas in vitro serta dari daun dan akar tanaman T. tricuspidata dari lapang. Hasil analisis diharapkan dapat menjawab pertanyaan keberadaan aktivitas kitinase dan peroksidase pada jaringan tanaman T. tricuspidata asal Indonesia.
Bahan dan Metode
Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April – Juli 2007. Lokasi penelitian untuk pembuatan kultur kalus dan tunas in vitro adalah di Laboratorium Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB dan untuk penyiapan bahan tanaman dari lapang tanaman di tanam di lahan masyarakat di Desa Sinar Sari, Kecamatan Dramaga. Bogor
Induksi Kalus Induksi kalus dilakukan dalam satu percobaan dengan faktor tunggal komposisi media. Untuk menginduksi pembentukan kalus, potongan tunas in vitro dua buku ditanam ke dalam botol kultur dengan volume 200 ml yang berisi media induksi kalus sebanyak 25 ml. Media induksi kalus terdiri atas media MS dengan penambahan NAA dan BA sehingga terdapat empat perlakuan media sebagai berikut : N1B1 (1 µM NAA + 1 µM BA), N2B2 (2 µM NAA + 2 µM BA), N3B3 (3 µM NAA + 3 µM BA) dan N4B4 (4 µM NAA + 4 µM BA). Percobaan disusun dengan rancangan lingkungan acak lengkap. Satu unit percobaan terdiri atas satu botol kultur yang ditanami dengan empat eksplan tunas. Kalus dipelihara dalam ruang kultur gelap dengan suhu 22-24oC. Pengamatan dilakukan terhadap waktu mulai terbentuk kalus, diameter kalus dan bobot segar kalus.
49
Ekstraksi Protein Bahan tanaman yang digunakan untuk ekstraksi protein dan diukur aktivitas kitinase dan peroksidasenya meliputi kalus, tunas in vitro (TIV), daun (DLP) dan akar tanaman dari lapang (ALP). Kalus in vitro dihasilkan dari 4 komposisi media seperti yang disebutkan pada bagian induksi kalus yang dipanen pada 4 minggu setelah tanam (MST). Sementara itu, tunas in vitro dihasilkan dari perbanyakan tunas asal benih yang dikecambahkan secara in vitro dan diperbanyak dalam media MS dengan penambahan BA 1 mg/l. Kultur tunas tersebut telah berumur 6 bulan sejak inisiasi awal dan dipelihara dengan memindahkan tunas ke media yang sama setiap 4 minggu sekali. Kultur tunas dipelihara dalam ruang dengan suhu 22-24oC dan pencahayaan selama 24 jam sehari. Untuk keperluan analisis, tunas dipanen pada usia 4 minggu setelah sub kultur. Daun dan akar T. tricuspidata diambil dari tanaman asal stek berumur 6 bulan sesudah tanam dengan diameter batang utama ± 0.5 cm. Tanaman ditanam dalam polibag berukuran 40 cm x 40 cm dengan media tanah dan pupuk kandang (2:1) dengan bobot media sekitar 5 kg. Contoh daun yang diambil adalah daun yang sehat dan berkembang sempurna berukuran sekitar 7.5 cm x 10 cm (arah garis melintang dan membujur pada daun), sedangkan contoh akar adalah akar serabut. Daun dan akar yang dipanen segera disimpan dalam cool box dan dibawa ke laboratorium untuk dianalisis. Total protein diekstrak dari kalus dan tunas in vitro serta dari daun dan akar tanaman dari lapang. Setiap jenis jaringan terdiri dari 3 sampel (3 ulangan). Jaringan tanaman sebanyak 0.5 g basah, digerus dalam larutan penyangga fosfat (50 mM, pH 7) dingin dengan perbandingan 1:4 (b/v). Ekstraksi protein dari semua jaringan T. tricuspidata dilakukan dalam kondisi lingkungan yang bersuhu sekitar 4oC. Gerusan tanaman disentrifus pada kecepatan 5000 rpm dan suhu 4oC selama 10 menit. Supernatan diambil dan ditentukan total protein terlarutnya (TPT) menggunakan metode Lowry et al. (1951).
50
Analisis Total Protein Terlarut (TPT) Untuk penetapan total protein terlarut digunakan bahan-bahan pereaksi A (Na2CO3 dalam NaOH 0.1 M), B (CuSO4.5H2O 0,5% dalam Na-K-tartarat 1%), C ( 50 ml pereaksi A ditambah 1 ml pereaksi B yang dibuat segar), dan D (foline ciocalteau yang dilarutkan dalam H2O dengan perbandingan 1:1). Penetapan TPT dengan metode Lowry secara ringkas sebagai berikut : sebanyak 1 ml supernatan hasil ekstraksi protein ditambahkan 5 ml pereaksi C, divorteks, lalu didiamkan pada suhu ruang selama 10 menit. Larutan tersebut kemudian ditambahkan pereaksi D dan diinkubasi pada suhu ruang selama 30 menit. Setelah inkubasi, absorbansi larutan dibaca pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 500 nm. Total protein terlarut diketahui dengan menggunakan kurva standar dari Bovin Serum Albumin (BSA). Kadar protein jaringan ditentukan dengan membagi nilai TPT dengan bobot contoh yang digunakan dan memperhitungkan volume bufer pengekstraksi..
Analisis Aktivitas Kitinase Aktivitas kitinase dalam ekstrak kasar protein dari jaringan tanaman yang dianalisis ditentukan berdasarkan kemampuannya untuk mendegradasi substrat dimer p-nitrophenil N-asetil β-D glucosaminide (pNP-NacGluc) mengikuti metode yang digunakan oleh Pujihartati et al. (2006a). Sebanyak 100 μl supernatan hasil ekstrak kasar protein dicampur dengan 10 μl substrat pNPNacGluc 5 mM, divorteks, lalu diinkubasi selama 0 dan 3 jam. Setelah inkubasi, reaksi dihentikan dengan penambahan Trichlorocetic Acid (TCA) 20% sebanyak 125 µl, divorteks lalu disentrifus pada 5000 rpm selama 5 menit. Supernatan hasil sentrifus diambil sebanyak 0.3 ml dan ditambahkan 0.7 ml NaOH 0.5 mM. Larutan diinkubasi selama 30 menit dan nilai absorbansi larutan sesudah reaksi diukur dengan mengunakan spektrofotometer pada panjang gelombang λ 405 nm. Aktivitas kitinase dihitung sebagai banyaknya pNP NacGluc (mM) yang dibebaskan per jam per mg protein (mM pNP/jam/mg protein).
51
Analisis Aktivitas Peroksidase Aktivitas enzim peroksidase dari ekstrak kasar protein dari bagian tanaman yang dianalisis ditentukan dengan metode yang digunakan sebelumnya (Kar & Mishra 1976; Pudjihartati et al. 2006b). Sebanyak 100 µl ekstrak kasar protein dari jaringan yang diuji ditambahkan ke dalam larutan 2.5 ml pirogalol 0.2 M. Ke dalam campuran ditambahkan 250 µl H2O2 (1%). Nilai absorbansi larutan sesudah reaksi diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang λ 420 nm setiap 30 detik dalam periode 0 – 150 detik, dengan menggunakan blanko campuran larutan yang sama tetapi tanpa ekstrak kasar protein. Sebagai ganti ekstrak kasar protein, ke dalam larutan blanko ditambahkan larutan penyangga fosfat. Aktivitas peroksidase dihitung sebagai peningkatan nilai absorbansi per satuan waktu per bobot protein (∆A420/menit/mg protein) pada kondisi analisis.
Hasil
Pertumbuhan Kalus T. tricuspidata Kalus T. tricuspidata dapat terbentuk dari eksplan tunas yang ditanam pada empat komposisi media yang diuji (Tabel 4). Kalus mulai terbentuk pada 1 MST terutama pada media N1B1 dan N2B2 serta pada 2 MST pada media N3B3 dan N4B4. Diameter kalus diukur pada 3 dan 4 MST karena pada 1 dan 2 MST diameter kalus masih terlalu kecil (kurang 5 mm). Pada umur 3 dan 4 MST, diameter kalus yang dihasilkan pada empat komposisi media yang diuji tidak berbeda nyata. Pada media N1B1, kalus yang dihasilkan juga membentuk akar mulai 3 MST, sedangkan pada 3 media lainnya tidak terbentuk akar. Jumlah akar yang terbentuk pada kalus yang tumbuh dalam media N1B1 cukup banyak (lebih dari 20 akar) dan berukuran kecil sehingga sulit untuk dihitung. Morfologi kalus yang dihasilkan seperti terlihat pada Gambar 13.
52
Tabel 4. Keberhasilan menginduksi pembentukan kalus dalam berbagai media MS dengan penambahan berbagai konsentrasi NAA dan BA Eksplan berkalus (%),
Diameter kalus (cm)
Perlakuan N1B1 N2B2 N3B3 N4B4
1 25 10 5 0
2 67 65 100 100
3 MST 100 100 100 100
3 0.73 0.89 0.92 0.84
4 MST 0.75 1.03 1.01 0.95
Akar (3 MST) % Jumlah 100 a 10a 0b 0b 0b 0b 0b 0b
Keterangan : Kalus diinduksi dalam media N1B1 (1 µM NAA + 1 µM BA), N2B2 (2 µM NAA + 2 µM BA), N3B3 (3 µM NAA + 3 µM BA) dan N4B4 (4 µM NAA + 4 µM BA). Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan pada α=0.05.
Tabel 5. Rataan bobot kalus pada 4 MST dari berbagai komposisi media MS dengan penambahan berbagai konsentrasi NAA dan BA Perlakuan N1B1 N2B2 N3B3 N4B4
Kalus per eksplan (g) 0.19 0.31 0.30 0.31
Rataan bobot basah kalus Kalus per botol (g) Biomasa per botol kultur (g) 0.76 1.16 1.24 1.38 1.20 1.29 1.24 1.27
Keterangan : Kalus diinduksi dalam media N1B1 (1 µM NAA + 1 µM BA), N2B2 (2 µM NAA + 2 µM BA), N3B3 (3 µM NAA + 3 µM BA) dan N4B4 (4 µM NAA + 4 µM BA).
Rataan bobot kalus per eksplan yang diperoleh masih kurang dari 0.5 g seperti terlihat pada Tabel 5. Karena dalam setiap botol terdapat 4 eksplan maka total bobot kalus per botol yang dihasilkan sekitar 1.2 g. Namun, pada kalus masih terdapat sisa tunas dari eksplan awal yang tumbuh lambat dan terdesak oleh pertumbuhan kalus. Bobot biomassa per botol merupakan bobot kalus dan tunas dari setiap eksplan dengan bobot total sekitar 1.16 – 1.38 g per botol kultur. Kalus yang dihasilkan dari empat komposisi media yang diuji menunjukkan perbedaan dalam warna kalus seperti terlihat pada Gambar 13. Kalus yang dihasilkan pada media N1B1 dan N2B2 berwarna kuning kecoklatan sedangkan kalus pada media N3B3 dan N4B4 terlihat berwarna kuning muda.
53
a
c
b
d
g
f
e
Gambar 13. Morfologi bahan tanaman dalam penelitian : kalus in vitro pada media : (a) N1B1 (1 µM NAA + 1 µM BA), (b) N2B2 (2 µM NAA + 2 µM BA), (c) N3B3 (3 µM NAA + 3 µM BA), (d) N4B4 (4 µM NAA + 4 µM BA). (e) tunas in vitro (TIV) dalam media MS + BA 1 mg/l, serta (f) daun tanaman dari lapang (DLP) dan (g) akar tanaman dari lapang (ALP).
Total Protein Terlarut dan Kadar Protein Jaringan Nilai total protein terlarut (TPT) dan kadar protein jaringan (KPJ) dari bahan tanaman yang dianalisis seperti terlihat pada Tabel 6. Jenis jaringan yang dianalisis meliputi kalus dari media N1B1, N2B2, N3B3 dan N4B4, tunas in vitro (TIV), serta daun (DLP) dan akar tanaman dari lapang (ALP) berpengaruh nyata terhadap total protein terlarut dan kadar protein dari jaringan. TPT dan KPJ tertinggi dihasilkan dari jaringan kalus yang ditumbuhkan pada media N1B1 (NAA 1 µM + BA 1 µM) yaitu sebesar 3.24 mg/l dan yang terendah dari jaringan tunas in vitro dan jaringan akar dari lapangan sebesar 0.74 dan 0.86 mg/l. Nilai KPJ memiliki pola yang sama dengan nilai TPT dari semua jaringan yang dianalisa. KPJ paling tinggi mencapai 12 mg/g BS dihasilkan pada ekstrak kasar protein kalus dari media N1B1, diikuti oleh kalus asal media N2B2, N3B3
dan
N4B4.
Nilai
KPJ
nyata
menurun
dengan
bertambahnya
54
konsentrasi auksin NAA dan BA dalam media kalus. Nilai KPJ pada tunas in vitro, akar dan daun tanaman dari lapang secara statistik tidak berbeda nyata.
Tabel 6. Nilai total protein terlarut dan kadar protein pada ekstrak kasar protein dari berbagai jaringan tanaman T. tricuspidata Jaringan tanaman Kalus N1B1 Kalus N2B2 Kalus N3B3 Kalus N4B4 Tunas In Vitro (TIV) Daun Lapang (DLP) Akar Lapang (ALP)
Total protein terlarut (mg/ml) 3.24 a 2.68 ab 2.21 bc 1.62 cd 0.74 d 1.54 cd 0.86 d
Kadar protein (mg/g bahan segar) 12.95 a 10.73 ab 8.83 bc 6.50 cd 2.95 d 6.17 cd 3.46 d
Keterangan : Kalus diinduksi dalam media N1B1 (1 µM NAA + 1 µM BA), N2B2 (2 µM NAA + 2 µM BA), N3B3 (3 µM NAA + 3 µM BA) dan N4B4 (4 µM NAA + 4 µM BA). Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan pada α=0.05.
Aktivitas Kitinase Jenis jaringan yang diuji berpengaruh nyata terhadap aktivitas kitinase per mg protein dari ekstrak kasar protein tanaman (Tabel 7). Aktivitas enzim kitinase per mg protein tertinggi ditemukan pada ekstrak kasar protein dari tunas in vitro berbeda nyata dengan aktivitas kitinase pada ekstrak kasar protein dari jaringan kalus in vitro, daun dan akar tanaman T. tricuspidata dari lapangan. Aktivitas kitinase pada ekstrak kasar protein dari akar tidak berbeda nyata dengan aktivitas kitinase dari kalus yang ditumbuhkan dalam media N2B2, N3B3 dan N4B4, tetapi nyata lebih tinggi dibandingkan dari kalus yang ditumbuhkan dalam media N1B1. Aktivitas kitinase pada ekstrak kasar protein dari kalus yang ditumbuhkan dalam empat media yang diuji tidak berbeda nyata. Meskipun berdasarkan Tabel 6, terdapat perbedaan yang nyata pada total protein dan kadar protein antara kalus dari media N1B1 dan N2B2 dengan kalus dari media N3B3 dan N4B4, perbedaan tersebut tidak menyebabkan berbedanya aktivitas kitinase dari ekstrak kasar protein kalus.
55
Tabel 7. Aktivitas kitinase pada ekstrak kasar protein dari berbagai jaringan tanaman T. tricuspidata Jaringan tanaman Kalus N1B1 Kalus N2B2 Kalus N3B3 Kalus N4B4 Tunas In Vitro (TIV) Daun Lapang (DLP) Akar Lapang (ALP)
Aktivitas kitinase (mM pNP/jam/mg protein) 1.22 c 1.72 bc 1.89 bc 2.98 bc 6.51 a 1.26 c 3.35 b
Aktivitas kitinase (mM pNP/jam /g bobot segar jaringan tanaman) 15.57 ab 16.23 ab 16.13 ab 18.70 a 17.63 a 7.95 c 10.35 bc
Keterangan : Kalus diinduksi dalam media N1B1 (1 µM NAA + 1 µM BA), N2B2 (2 µM NAA + 2 µM BA), N3B3 (3 µM NAA + 3 µM BA) dan N4B4 (4 µM NAA + 4 µM BA). Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan pada α=0.05.
Aktivitas kitinase per gram (g) bobot segar jaringan diperoleh dari perkalian antara aktivitas kitinase per mg protein dengan kadar protein (mg) per g bobot segar jaringan. Perbedaan kadar protein per gram jaringan segar menyebabkan perbedaan aktivitas kitinase dari ekstrak kasar protein per gram jaringan segar. Pada Tabel 7 terlihat bahwa aktivitas kitinase dari ekstrak kasar protein per gram jaringan segar tidak berbeda nyata antara kalus dari ke empat komposisi media yang diuji dengan tunas in vitro. Aktivitas kitinase per gram bobot segar akar tidak berbeda nyata dengan kalus N1B1, N2B2 dan N3B3, namun nyata lebih rendah dari aktivitas kitinase per gram jaringan segar dari kalus N4B4 dan tunas in vitro. Aktivitas kitinase per gram jaringan segar daun tanaman nyata lebih rendah dari semua jaringan yang diuji kecuali jika dibandingkan dengan akar tanaman dari lapang.
Aktivitas Peroksidase Jenis jaringan nyata mempengaruhi aktivitas peroksidase per mg protein dari ekstrak kasar protein tanaman (Tabel 8). Aktivitas peroksidase tertinggi (0.25 [∆420/menit/mg protein]) ditemukan pada ekstrak kasar protein dari akar tanaman dari lapangan, tetapi nilainya hanya berbeda nyata dengan aktivitas peroksidase pada ekstrak kasar protein dari kalus yang ditumbuhkan pada media N1B1, N2B2 dan N3B3.
56
Aktivitas peroksidase per mg protein dari ekstrak kasar protein asal kalus pada keempat komposisi media tidak berbeda nyata. Aktivitas peroksidase berbeda nyata antara ekstrak kasar protein dari tunas in vitro dengan kalus dari media N1B1, dan antara daun lapang dengan akar lapang. Pada media N4B4, aktivitas peroksidase mencapai hampir 2 kali lipat aktivitas peroksidase pada ekstrak kasar protein kalus dari media N1B1, namun secara statistik tidak berbeda nyata.
Tabel 8. Aktivitas peroksidase pada ekstrak kasar protein dari berbagai jaringan tanaman T. tricuspidata Jaringan tanaman
Aktivitas peroksidase (∆420/menit/mg protein)
Kalus N1B1 Kalus N2B2 Kalus N3B3 Kalus N4B4 Tunas In Vitro (TIV) Daun Lapang (DLP) Akar Lapang (ALP)
0.07 c 0.09 bc 0.09 bc 0.14 abc 0.21 ab 0.10 bc 0.25 a
Aktivitas peroksidase (∆420/menit/g bobot segar jaringan tanaman) 0.92 a 0.89 a 0.72 a 0.81 a 0.57 a 0.61 a 0.90 a
Keterangan : Kalus diinduksi dalam media N1B1 (1 µM NAA + 1 µM BA), N2B2 (2 µM NAA + 2 µM BA), N3B3 (3 µM NAA + 3 µM BA) dan N4B4 (4 µM NAA + 4 µM BA). Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan pada α=0.05.
Seperti pada kitinase, aktivitas peroksidase per gram bobot segar jaringan diperoleh dari perkalian antara aktivitas peroksidase per mg protein dengan kadar protein (mg) per g bobot segar jaringan. Aktivitas peroksidase per mg ekstrak kasar protein ada yang berbeda nyata dari beberapa jaringan yang di uji (Tabel 8). Sebaliknya aktivitas peroksidase per gram
bobot segar jaringan segar tidak
berbeda nyata dari beberapa jaringan yang diuji. Hal tersebut disebabkan perbedaan kadar protein antar jaringan yang diuji. Seperti terlihat pada Tabel 8, meskipun aktivitas peroksidase per mg protein dari kalus rendah, tetapi karena kadar protein pada kalus tinggi maka aktivitas peroksidase per g bobot segar kalus juga menjadi tinggi.
57
Pembahasan Kemampuan induksi kalus khususnya untuk bobot kalus yang dihasilkan dari eksplan tunas in vitro T. tricuspidata belum menunjukkan perbedaan di antara komposisi media yang diuji. Perimbangan auksin dan sitokinin (1:1) dalam media induksi kalus kemungkinan kurang sesuai untuk menghasilkan bobot kalus yang lebih banyak. Zheng et al. (2001) melaporkan bahwa kalus T. kirilowii dapat diinduksi dalam media MS yang ditambahkan BA 4 mg/l (10.3 µM) dan IAA 0.2 mg/l (1.141 µM), namun tidak diperoleh informasi biomassa kalus yang diperoleh dari media tersebut. Pengujian aktivitas kitinase pada ekstrak kasar protein dalam penelitian ini menggunakan substrat p-nitrophenol N-acetyl-β-D-glucosaminide (pNP-Nac). Aktivitas
eksokitinase
(N-acetyl-β-glucosaminidase)
dihitung
berdasarkan
pelepasan p-nitrophenol dari p-nitrophenol N-acetyl glucosaminide (Severgnini, 2006). Eksokitinase merupakan enzim yang melepaskan unit monomer dan biasa disebut sebagai N-acetyl-β-glucosaminidase atau glucosaminidase. Sebaliknya endokitinase merupakan enzim kitinase yang memotong polimer kitin secara acak. Untuk enzim yang memotong polimer kitin dan menghasilkan unit dimer disebut sebagai chitin 1,4-β-chitobiosidase atau chitobiosidase (Harman et al. 1993). Dalam penelitian ini tidak dibedakan apakah enzim kitinase yang diuji bersifat eksokitinase maupun endokitinase. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak kasar protein dari semua jaringan tanaman yang diuji baik massa sel yang belum terorganisir berupa kalus maupun sel-sel yang sudah terdiferensiasi membentuk organ batang dan daun (tunas in vitro), daun dan akar tanaman dari lapang menunjukkan aktivitas kitinase dan peroksidase. Menurut Collinge et al (1993) dan Regalado et al. (2000), enzim kitinase ada yang terakumulasi secara vakuolar atau apoplastik dan disintesis secara konstitutif (constitutive expression). Sebaliknya Kasprezewska (2003) menyatakan ada enzim kitinase yang ekpresinya bersifat spesifik jaringan/organ atau tergantung pada perkembangan tanaman (developmentally regulated). Hal tersebut didukung dengan ditemukannya aktivitas kitinase yang
58
hanya terjadi pada jaringan hidatoda, antera, tangkai putik, buah, mikropil biji, dan embrio (Regalado et al. 2000, Derckell et al. 1996, Hodge et al.1996). Nilai absolut aktivitas kitinase dan peroksidase berbeda antar jaringan tanaman. Hal ini kemungkinan disebabkan perbedaan tingkat diferensiasi sel/jaringan dan juga faktor lingkungan. Pada kalus dan tunas in vitro, lingkungan dalam kondisi steril sehingga faktor yang berpengaruh terhadap ekspresi gen kitinase dan peroksidase kemungkinan adalah faktor abiotik seperti media dan lingkungan. Pada kalus dari empat komposisi media MS + 1 µM NAA + 1 µM BA (N1B1), MS + 2 µM NAA + 2 µM BA (N2B2), MS + 3 µM NAA + 3 µM BA (N3B3), atau MS + 4 µM NAA + 4 µM BA (N4B4)] terlihat bahwa peningkatan konsentrasi auksin dan sitokinin dalam media, tidak meningkatkan aktivitas kitinase pada ekstrak kasar protein kalus.
Beberapa peneliti seperti
Barwe et al. (2001) melaporkan bahwa BA dapat menginduksi peningkatan aktivitas kitinase pada kotiledon kecambah ketimun. Hughes dan Dickerson (1991) melaporkan terjadinya peningkatan aktivitas kitinase dan glukanase oleh perlakuan auksin IAA pada Phaseolus vulgaris. Namun hasil yang sama tidak diperoleh pada kalus T. tricuspidata dalam penelitian ini. Pada daun dan akar tanaman dari lapang, faktor biotik dan abiotik dapat mempengaruhi ekspresi gen kitinase dan peroksidase. Kitinase termasuk dalam Pathogenesis Related Protein (PRP) yang ekspresinya meningkat karena adanya invasi patogen maupun kondisi yang berhubungan dengan proses invasi patogen (Collinge et al. 1993; Stintzi, 1993; van Loon et al., 1994; Bishop et al. 2000). Kitinase termasuk dalam famili PR-3, 4, 8 dan 11 sedangkan peroksidase ada yang termasuk ke dalam PR-9 (Lagrimini et al. 1997). Stress biotik dan abiotik dari lingkungan dapat mendorong akumulasi PR-protein pada tanaman (van Loon dan Strien, 1999). Tingginya aktivitas kitinase dan peroksidase pada akar tanaman dari lapang kemungkinan diinduksi oleh interaksi tanaman dengan faktor biotik dan abiotik pada media tanam dengan akar tanaman. Tunas in vitro menunjukkan aktivitas kitinase dan peroksidase yang cukup tinggi dibanding akar, kalus dan daun tanaman dari lapang. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya faktor yang menginduksi ekspresi gen kitinase pada tunas tersebut. Kultur tanaman dalam botol yang tertutup menyebabkan akumulasi
59
etilen (Mele dalam Pierrik 1987), sementara etilen merupakan salah satu senyawa signal yang berperan dalam induksi ekspresi gen ketahanan ketika terjadi serangan patogen pada tanaman (Kitajima dan Sato, 1999). Tingginya aktivitas kitinase pada tunas in vitro diduga diinduksi oleh akumulasi etilen yang ada dalam botol. Akumulasi etilen pada kultur tunas in vitro kemungkinan lebih besar dari kultur kalus, karena biomassa tanaman dalam kultur tunas yang lebih banyak dibanding kultur kalus atau kemungkinan karena perbedaan tingkat diferensiasi sel. Huxter dalam Pierrik (1987) menemukan bahwa pada kalus tembakau, biosintesis etilen meningkat ketika kalus berdiferensiasi membentuk tunas adventif. Hughes dan Dickerson (1991) juga melaporkan adanya peningkatan aktivitas kitinase pada Phaseolus vulgaris setelah perlakuan etefon (penghasil etilen).
Simpulan Dari penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: (i) media N1B1 N1B1 (MS + 1 µM NAA + 1 µM BA), N2B2 ( MS + 2 µM NAA + 2 µM BA), N3B3 (MS + 3 µM NAA + 3 µM BA) dan N4B4 (MS + 4 µM NAA + 4 µM BA) dapat digunakan untuk menginduksi dan menumbuhkan kalus dari eksplan tunas in vitro T. tricuspidata, namun media N1B1 menghasilkan kalus yang berakar, (ii) peningkatan konsentrasi BA dan NAA tidak meningkatkan aktivitas kitinase dan peroksidase pada kalus dan (iii) kalus, tunas in vitro dan akar tanaman dari lapangan memiliki aktivitas kitinase dan peroksidase relatif tinggi dibanding daun.
60
BAB V
AKTIVITAS KITINASE DAN PEROKSIDASE DARI BERBAGAI JARINGAN DAN TINGKAT PERKEMBANGAN TANAMAN Trichosanthes cucumerina var. anguina
Abstrak Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk (1) menginduksi kalus dan menganalisis aktivitas kitinase dan peroksidase pada ekstrak kasar protein dari kalus in vitro serta dari daun dan akar tanaman T. cucumerina var. anguina dari lapangan dan (2) menganalisis aktivitas kitinase dan peroksidase pada ekstrak kasar protein dari akar, batang dan daun T. cucumerina var. anguina
dari
berbagai umur tanaman. Penelitian dibagi dalam dua percobaan. Pada percobaan 1, kalus diinduksi dalam media Murashige & Skoog (MS) yang ditambahkan zat pengatur tumbuh Naphtalene Acetic Acid (NAA) dan Benzyladenine (BA), sedangkan daun dan akar diambil dari tanaman berumur 2 bulan di lapangan. Media induksi kalus dinotasikan sebagai N1B1 (1 µM NAA + 1 µM BA), N2B2 (2 µM NAA + 2 µM BA), N3B3 (3 µM NAA + 3 µM BA), dan N4B4 (4 µM NAA + 4 µM BA). Aktivitas kitinase dan peroksidase dianalisis dari ekstrak kasar protein kalus, daun dan akar tanaman dari lapangan. Pada percobaan 2, dilakukan analisis aktivitas kitinase dan peroksidase dari akar, batang dan daun yang berasal dari bibit berumur 3 minggu setelah berkecambah (3 MSB), tanaman berumur 2 dan 3 bulan setelah tanam (BST) di lapangan. Hasil Percobaan 1 menunjukkan bahwa bobot kalus yang dihasilkan pada komposisi media yang diuji tidak berbeda nyata. Aktivitas kitinase dan peroksidase yang tinggi ditemukan pada akar tanaman dari lapangan dan kalus. Hasil percobaan 2 menunjukkan bahwa aktivitas kitinase pada akar dan batang lebih tinggi dari daun dan relatif stabil sampai tanaman berumur 2 BST. Aktivitas peroksidase paling tinggi ditemukan pada akar tanaman dan meningkat dengan bertambahnya umur tanaman.
Kata kunci : Trichosanthes cucumerina var. anguina, kalus in vitro, akar, batang, daun, umur tanaman, aktivitas kitinase, aktivitas peroksidase.
CHITINASE AND PEROXIDASE ACTIVITIES OF CRUDE PROTEIN EXTRACT FROM MANY KINDS OF TISSUES AND STAGE OF DEVELOPMENT OF Trichosanthes cucumerina var. anguina
Abstract The aims of the research were (1) to induce in vitro calli and analyze of chitinase and peroxidase activities of crude protein extract from in vitro calli, leaves and root of plant from the field, and (ii) to analyze the chitinase and peroxidase activities of crude protein extract of roots, stems and leaves from different age of Trichosanthes cucumerina var. anguina in field. The research was divided in two experiments. In the first experiment, calli was induced in Murashige and Skoog (MS) medium that contained Naphtalene Acetic Acid (NAA) dan Benzyladenine (BA) and the leaves and roots were taken from 2 months old plants in field. The medium for calli induction was noted as N1B1 (1 µM NAA + 1 µM BA), N2B2 (2 µM NAA + 2 µM BA), N3B3 (3 µM NAA + 3 µM BA), dan N4B4 (4 µM NAA + 4 µM BA). The chitinase and peroxidase activities of crude protein extract of calli, leaves and roots of plant from field. In the second experiment, the chitinase and peroxidase activities were analyzed in crude protein extract of roots, stems and leaves which were taken from 3 weeks old seedling ( less than one month), one month and two month old of plants after planting in field. The first experiment results showed that the weight of calli produced in three kinds of medium was not significantly different. The crude protein extract of plant roots from field and in vitro calli had the highest chitinase and peroxidase activities. The second experiment showed that roots crude protein extract had the highest chitinase activity until two month after planting in field. Crude protein extract of roots also had the highest peroxidase activity and increased by the increasing of plant age.
Key words : Trichosanthes cucumerina var. anguina,in vitro calli, roots, stem, leaves, plant age, chitinase activity, peroxidase activity
62
Pendahuluan T. cucumerina var. anguina dibeberapa daerah di Indonesia dikenal dengan nama lokal ‘pare belut/pare ular’. T. cucumerina var. anguina merupakan satu-satunya spesies Trichosanthes yang dibudidayakan untuk diambil buahnya sebagai sayuran. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya (Bab III) tanaman T. cucumerina var. anguina yang ditanam di lapangan mengalami banyak gejala serangan hama dan penyakit terutama pada daun tanaman. Serangan hama dan penyakit pada daun tanaman makin meningkat ketika tanaman bertambah tua. Banyaknya gejala serangan hama dan penyakit pada tanaman menunjukkan rendahnya ketahanan tanaman terhadap hama dan penyakit. Ketahanan yang rendah dapat disebabkan lemahnya permukaan sel tanaman karena kurangnya lignifikasi sel sehingga memudahkan penetrasi patogen atau rendahnya ekspresi gen-gen yang berhubungan ketahanan seperti kitinase. Lignifikasi sel merupakan proses terbentuknya lignin pada dinding sel dan proses tersebut melibatkan enzim peroksidase. Biosintesis protein atau enzim merupakan hasil dari suatu proses ekspresi gen. Demikian juga dengan proses biosintesis enzim kitinase dan peroksidase merupakan hasil dari ekspresi gen pengkode enzim tersebut. Ekspresi beberapa gen yang berhubungan dengan ketahanan terhadap hama dan penyakit pada tanaman dapat bersifat konstitutif maupun inducible atau bersifat spesifik pada jaringan dan tingkat perkembangan tanaman tertentu seperti dilaporkan pada tanaman strawberri oleh Khan (2002). Jika gen penyandi enzim kitinase atau peroksidase pada tanaman diekspresikan secara konstitutif, maka biosintesis enzim tersebut terjadi secara terus menerus pada jaringan tertentu atau pada seluruh bagian tanaman sepanjang waktu tanaman hidup. Sebaliknya jika ekspresi gen bersifat inducible, maka ekspresi gen terjadi atau meningkat ketika terdapat faktor yang dapat menginduksi ekspresinya. Hal ini berarti bahwa biosintesis enzim yang dikode oleh gen tersebut juga bersifat inducible, Ekspresi spesifik jaringan atau organ akan menghasilkan perbedaan jumlah enzim yang dihasilkan pada jaringan atau organ yang berbeda dan akan menimbulkan perbedaan aktivitas enzim pada jaringan atau organ tersebut.
63
Aktivitas kitinase dan peroksidase pada berbagai jaringan tanaman T. cucumerina var. anguina belum pernah diteliti. Banyaknya hama dan penyakit yang menyerang tanaman dapat bersumber dari lemahnya ketahanan tanaman yang salah satunya bersumber dari rendahnya aktivitas enzim kitinase dan peroksidase pada jaringan tanaman. Dengan demikian perlu dipelajari pola aktivitas enzim kitinase dan peroksidase pada tanaman sehingga dapat diketahui bagian tanaman yang memiliki aktivitas tinggi dari kedua enzim tersebut. Percobaan yang dilakukan bertujuan untuk (1) menginduksi kalus dan menganalisis aktivitas kitinase dan peroksidase dari ekstrak kasar protein kalus, akar dan daun T. cucumerina var. anguina dan (2) membandingkan aktivitas kitinase dari ekstrak kasar protein akar, batang dan daun dari umur tanaman yang berbeda. Hasil percobaan diharapkan dapat memberikan informasi bagian tanaman yang memiliki aktivitas kitinase dan peroksidase paling tinggi serta pola aktivitas kitinase dan peroksidase pada bibit hingga tanaman dewasa.
Bahan dan Metode
Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli – Oktober 2007. Lokasi penelitian untuk pembuatan kultur kalus in vitro adalah di Laboratorium Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB dan untuk penyiapan bahan tanaman dari lapang tanaman di tanam di lahan masyarakat di Desa Sinar Sari, Kecamatan Dramaga, Bogor.
Percobaan 1.
Induksi Kalus dan Analisis Aktivitas Enzim Kitinase dan Peroksidase dari Ekstrak Kasar Protein Asal Kalus In Vitro, Daun dan Akar Tanaman T. cucumerina var. anguina
Kalus in vitro diinduksi dalam media MS dengan perlakuan 4 taraf NAA dan BAP yaitu 1 µM NAA + 1 µM BA (N1B1), N2B2 (2 µM NAA + 2 µM BA), 3 µM NAA + 3 µM BA (N3B3), atau 4 µM NAA + 4 µM BA (N4B4). Eksplan yang digunakan dalam induksi kalus adalah potongan batang bibit T. cucumerina
64
var. anguina hasil pengecambahan benih dalam media MS tanpa penambahan zat pengatur tumbuh secara in vitro. Bibit in vitro untuk sumber eksplan dalam induksi kalus berumur ± 2 minggu setelah perkecambahan. Potongan eksplan berukuran sekitar 1 cm ditanam dalam media perlakuan induksi kalus, dan kultur dipelihara dalam ruangan bersuhu 22 – 24oC dalam kondisi gelap 24 jam sehari. Kalus yang sudah terbentuk pada umur 4 minggu setelah tanam (MST) di panen, ditimbang bobot segarnya dan dilakukan ekstraksi kasar protein. Daun (DLP) dan akar tanaman dari lapang (ALP) diambil dari tanaman yang sudah berbuah berumur 2 bulan setelah tanam. Tanaman tersebut berasal dari benih yang ditanam dalam polibag berukuran 40 x 40 cm2 dengan media campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1 (v/v). Daun yang diambil adalah daun yang sehat tidak ada gejala serangan penyakit dan sudah berkembang sempurna (daun dewasa). Sedangkan akar yang digunakan untuk analisis adalah akar primer, sekunder maupun tertier (akar serabut). Ekstrak kasar protein diisolasi dari kalus in vitro, daun dan akar tanaman dari lapang. Metode ekstraksi protein, penentuan aktivitas kitinase dan peroksidase dilakukan dengan metode seperti pada Bab IV.
Percobaan 2.
Analisis Aktivitas Kitinase dan Peroksidase pada Ekstrak Kasar Protein Akar, Batang dan Daun Tanaman T. cucumerina var. anguina dari Lapang pada Berbagai Umur Tanaman
Bahan tanaman yang digunakan terdiri dari tanaman T1 (berumur 3 minggu setelah berkecambah (3 MSB), T2 (tanaman berumur 1 bulan setelah tanam (1 BST) dan tanaman berumur 2 bulan setelah tanam (2 BST) di polibag. Benih ditanam di bak pembibitan dan dipanen pada umur 3 minggu setelah perkecambahan untuk tanaman 3 MSB. Untuk tanaman 1 dan 2 BST, bibit di pindah ke polibag berukuran 40 x 40 cm dengan media campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1 (v/v) dan tanaman dipanen akar batang dan daunnya pada umur 1 dan 2 BST. Ekstrak kasar protein diisolasi dari dari akar, batang dan daun tanaman yang diuji. Metode ekstraksi protein, penentuan aktivitas kitinase dan peroksidase dilakukan dengan metode seperti pada Bab IV.
65
Hasil
Percobaan 1.
Induksi Kalus dan Analisis Aktivitas Enzim Kitinase dan Peroksidase dari Ekstrak Kasar Protein Asal Kalus In Vitro, Daun dan Akar tanaman T. cucumerina var. anguina.
Pertumbuhan kalus in vitro Kalus dapat dihasilkan pada empat komposisi media yang diuji N1B1 (1 µM NAA + 1 µM BA ), N2B2 (2 µM NAA + 2 µM BA ), N3B3 (3 µM NAA + 3 µM BA) dan N4B4 (4 µM NAA + 4 µM BA). Namun sebagian besar kalus pada media N2B2 terkontaminasi pada minggu ke-2 sehingga pengamatan tidak dapat dilanjutkan. Selanjutnya kalus yang dianalisis adalah dari media N1B1, N3B3 dan N4B4. Ketiga komposisi media tersebut memiliki rasio auksin dan sitokinin yang sama namun dengan konsentrasi yang berbeda. Bobot kalus yang dihasilkan pada ketiga komposisi media tidak berbeda nyata (Tabel 9). Morfologi kalus pada 3 komposisi media yang diuji terlihat agak berbeda antara kalus pada media N1B1 dengan kalus pada media N3B3 dan N4B4 seperti terlihat pada Gambar 14. Kalus pada media N1B1 berwarna kecoklatan sementara pada media N3B3 dan N4B4 berwarna putih dan kecoklatan pada beberapa bagiannya.
Tabel 9.
Perlakuan N1B1 N2B2 N3B3 N4B4
Rataan bobot kalus T. cucumerina var. anguina pada 4 MST dari berbagai komposisi media MS dengan penambahan berbagai konsentrasi NAA dan BA Persentase eksplan berkalus 100% 100% 100% 100%
Jumlah akar pada kalus 0 0 0 0
Bobot kalus per eksplan (g) 0.75 -* 0.64 1.14
Bobot kalus per botol (g) 2.25 2.06 2.37
Keterangan : *Kalus terkontaminasi bakteri sehingga tidak didapatkan data bobot akhir
66
a
c
b
d
e
f
Gambar 14. Representasi jaringan yang dianalisis dalam percobaan 1: (a) eksplan untuk induksi kalus, (b, c, d) kalus pada media N1B1, N3B3 dan N4B4, (e) daun dan (f) akar tanaman dari lapang.
Total Protein Terlarut dan Kadar Protein Jaringan Jenis bahan tanaman nyata berpengaruh terhadap rataan total protein terlarut (TPT) dari ekstrak kasar protein (Tabel 10). TPT dari ekstrak kasar protein daun nyata lebih tinggi dibandingkan pada akar maupun kalus. TPT pada ekstrak kasar protein kalus dari ke tiga media yang digunakan tidak berbeda nyata. TPT pada akar tidak berbeda nyata dengan TPT pada kalus, kecuali pada kalus dari media N3B3. Kadar protein jaringan menunjukkan jumlah protein yang terdapat dalam setiap gram bobot jaringan segar. Rataan nilai kadar protein jaringan (KPJ) dari berbagai jaringan yang diuji seperti terlihat pada Tabel 10. KPJ pada berbagai jaringan tersebut mengikuti pola TPT. KPJ tertinggi ditemukan pada ekstrak kasar protein daun tanaman yaitu mencapai 20.69 mg protein per gram bobot segar daun atau sekitar 2%. KPJ paling rendah adalah pada akar tanaman dari lapang namun tidak berbeda nyata dengan KPJ yang diperoleh dari kalus yang dihasilkan dari tiga komposisi media yang diuji dalam percobaan.
67
Tabel 10. Rataan total protein terlarut dan kadar protein dari kalus in vitro, daun dan akar tanaman dari lapang tanaman T. cucumerina var. anguina Bahan Tanaman Kalus N1B1 Kalus N2B2 Kalus N3B3 Kalus N4B4 Daun Lapang (DLP) Akar Lapang (ALP)
Total protein terlarut (mg/ml) 0.010 b 1.76 b 0.99 bc 5.17 a 0.44 c
Kadar Protein Jaringan (mg/g BS) 5.18 bc 7.07 b 3.96 bc 20.69 a 1.78 b
Keterangan : Kalus diinduksi dalam media N1B1 (1 µM NAA + 1 µM BA), N2B2 (2 µM NAA + 2 µM BA), N3B3 (3 µM NAA + 3 µM BA) dan N4B4 (4 µM NAA + 4 µM BA). BS = bobot segar. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan pada α=0.05.
Aktivitas Kitinase Hasil uji aktivitas kitinase dari ekstrak kasar protein kalus, daun dan akar tanaman disajikan pada Tabel 11. Aktivitas kitinase paling tinggi ditemukan pada ekstrak kasar protein dari akar tanaman dari lapang dengan nilai yang nyata lebih tinggi dibanding aktivitas kitinase dari ekstrak kasar protein daun, namun tidak berbeda nyata dengan aktivitas kitinase dari ekstrak kasar protein kalus. Aktivitas kitinase dari ekstrak kasar protein kalus dari ketiga komposisi media yang diuji tidak berbeda nyata. Aktivitas kitinase dari ekstrak kasar protein akar mencapai hampir 39 kali lipat aktivitas kitinase pada ekstrak kasar protein daun, sementara aktivitas kitinase dari ekstrak kasar protein kalus antara 13 – 30 kali lipat aktivitas kitinase pada ekstrak kasar protein daun. Aktivitas kitinase dari ekstrak protein kasar tanaman per gram bobot segar jaringan tanaman nyata dipengaruhi oleh jenis jaringan tanaman seperti terlihat pada Tabel 11. Aktivitas kitinase per gram jaringan segar sangat tergantung pada kadar protein jaringan. Makin tinggi kadar protein jaringan maka makin besar nilai aktivitas kitinase per gram bobot segar jaringan tanaman. Aktivitas kitinase per gram bobot segar paling tinggi pada kalus dari media N4B4, dengan nilai yang tidak berbeda nyata dengan aktivitas kitinase pada ekstrak kasar protein kalus dari media N1B1 namun berbeda nyata dengan kalus dari media N3B3.
68
Tabel 11. Rataan aktivitas kitinase per mg protein dan per gram bobot segar berbagai jaringan tanaman T. cucumerina var. anguina
Bahan Tanaman Kalus N1B1 Kalus N2B2 Kalus N3B3 Kalus N4B4 Daun Lapang (DLP) Akar Lapang (ALP)
Aktivitas kitinase (mM pNp/jam/mg protein) 4.03 a 2.66 ab 6.03 a 0.21 b 7.70 a
Aktivitas kitinase (mM pNp/jam/g BS) 22.37 ab 17.03 bc 23.64 a 4.67 d 11.17 c
Keterangan : Kalus diinduksi dalam media N1B1 (1 µM NAA + 1 µM BA), N2B2 (2 µM NAA + 2 µM BA), N3B3 (3 µM NAA + 3 µM BA) dan N4B4 (4 µM NAA + 4 µM BA). Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan pada α=0.05.
Aktivitas kitinase per mg protein paling tinggi ditemukan pada ekstrak kasar protein akar. Akan tetapi, karena rendahnya kadar protein akar, aktivitas kitinase per gram bobot segar akar menjadi lebih kecil dibandingkan kalus. Sementara pada daun, aktivitas kitinase per mg protein jauh lebih kecil dibanding akar dan kadar protein daun yang tinggi tidak dapat meningkatkan aktivitas kitinase per gram bobot segar daun menjadi lebih tinggi dibanding akar.
Aktivitas Peroksidase Aktivitas peroksidase per mg protein dari ekstrak kasar protein kalus, daun dan akar tanaman dari lapang disajikan pada Tabel 12. Aktivitas peroksidase per mg protein nyata paling tinggi pada ekstrak kasar protein akar tanaman dari lapang dan paling rendah pada ekstrak kasar protein daun tanaman. Ekstrak kasar protein akar mencapai 19 kali lipat aktivitas peroksidase dari ekstrak kasar protein daun. Aktivitas peroksidase per mg protein dari ekstrak kasar protein kalus dari ketiga komposisi media yang diuji tidak berbeda nyata satu sama lainnya. Sementara ekstrak kasar protein dari daun memiliki aktivitas peroksidase yang tidak berbeda nyata dengan aktivitas peroksidase dari ekstrak kasar protein kalus dari ketiga komposisi media.
69
Tabel 12. Rataan aktivitas peroksidase per mg protein dan per gram bobot segar berbagai jaringan tanaman T. cucumerina var. anguina
Bahan Tanaman Kalus N1B1 Kalus N2B2 Kalus N3B3 Kalus N4B4 Daun Lapang (DLP) Akar Lapang (ALP)
Aktivitas peroksidase (∆420/menit/mg protein) 0.10 b 0.10 b 0.16 b 0.05 b 0.96 a
Aktivitas peroksidase (∆420/menit/g BS) 0.50 b 0.63 b 0.62 b 0.97 ab 1.58 a
Keterangan : Kalus diinduksi dalam media N1B1 (1 µM NAA + 1 µM BA), N2B2 (2 µM NAA + 2 µM BA), N3B3 (3 µM NAA + 3 µM BA) dan N4B4 (4 µM NAA + 4 µM BA). Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan pada α=0.05.
Aktivitas peroksidase per gram bobot segar jaringan tanaman seperti terlihat pada Tabel 12. Aktivitas peroksidase per gram bobot segar nyata dipengaruhi oleh jenis jaringan karena antar jaringan terdapat perbedaaan kadar protein seperti disajikan pada Tabel 10. Namun pola aktivitas peroksidase per gram bobot segar jaringan memiliki pola yang sama dengan aktivitas peroksidase per mg protein. Aktivitas peroksidase per gram bobot segar jaringan paling tinggi adalah pada akar, nyata lebih tinggi dari kalus namun tidak berbeda nyata dengan daun.
Percobaan 2. Aktivitas Kitinase dan Peroksidase pada Ekstrak Kasar Protein Akar, Batang dan Daun Tanaman T. cucumerina dari Lapang pada Berbagai Umur Tanaman Morfologi bahan tanaman yang digunakan seperti terlihat pada Gambar 15. Sebagian besar akar pada bibit berumur 3 MSB masih berukuran kecil atau merupakan akar serabut. Pada tanaman berumur 1 BST, akar primer sudah mulai sedikit membesar dengan diameter sekitar 0.25 cm. Pada tanaman berumur 2 BST, akar primer sudah membesar dengan diameter sekitar 0.5 – 1 cm. Tanaman berumur 1 BST sudah mulai membentuk bakal bunga pada ketiak daunnya dan tanaman berumur 2 BST sudah menghasilkan buah muda.
70
a
b
c
d
e
f
Gambar 15. Representasi bahan tanaman yang dianalisis dalam percobaan 2 : (a) bibit umur 3 MSB, (b) akar bibit, (c) daun tanaman umur 1 BST, (d) akar tanaman umur 1 BST, (e) daun dan buah tanaman umur 2 BST, (f) akar tanaman umur 2 BST.
71
Total Protein Terlarut dan Kadar Protein Jaringan Rataan nilai TPT dan KPJ (Tabel 13) nyata dipengaruhi oleh umur tanaman, jaringan tanaman dan interaksi antara umur dan jenis jaringan tanaman. Jika dibandingkan antar jaringan tanaman yang dianalisis, maka TPT paling tinggi adalah pada ekstrak kasar protein daun, berbeda nyata dengan TPT pada ekstrak kasar protein dari batang dan akar. TPT pada ekstrak kasar protein dari batang dan akar tidak berbeda nyata satu sama lainnya. Pengaruh umur tanaman terhadap rataan nilai TPT menunjukkan bahwa TPT pada ekstrak kasar protein tanaman berumur 1 BST nyata lebih tinggi dari tanaman berumur 0 MSB, namun tidak berbeda nyata dengan tanaman berumur 2 BST. Sebaliknya TPT pada ekstrak kasar protein tanaman umur 3 MSB dan 2 BST tidak berbeda nyata. Berdasarkan nilai rataan total protein yang disajikan pada Tabel 13 terlihat interaksi antara jenis organ dan umur tanaman terhadap TPT dari ekstrak protein jaringan tanaman. Pada daun terlihat secara nyata adanya peningkatan nilai TPT dari ekstrak kasar protein dengan bertambahnya umur tanaman, sedangkan pada akar dan batang belum terlihat peningkatan yang nyata dari TPT seiring dengan bertambahnya umur tanaman.
Tabel 13.
Rataan TPT dan KPJ pada daun, akar dan batang tanaman T. cucumerina var. anguina dari berbagai umur.
Jenis Jaringan Akar Batang Daun Rata-Rata Akar Batang Daun Rata-Rata
3 MSB
1 BST 2 BST Rataan Total Protein Terlarut (mg/ml) 0.65 c* 0.23 c 0.20 c 0.36 B** 0.48 c 0.37 c 0.48 c 0.44 B 3.99 b 7.06 a 8.03 a 6.15 A 2.03 B 3.19 A 2.55 AB Kadar Protein Jaringan (mg/g bobot segar) 2.59 c 0.91 c 0.82 c 1.44 B 1.93 c 1.46 c 1.90 c 1.78 B 15.98 b 28.20 a 32.11 a 24.60 A 8.14 B** 12.76 A 10.22 AB
Keterangan : MSB = Minggu Setelah Berkecambah, BST = Bulan Setelah Tanam. *Angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada baris dan kolom dari masing-masing peubah tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5%. **Angka yang diikuti huruf besar yang sama pada baris atau kolom dari masing-masing peubah tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5%.
72
KPJ menunjukkan pola yang sama dengan nilai TPT. Kadar protein paling tinggi adalah pada jaringan daun, yang meningkat dengan bertambahnya umur tanaman. Sebaliknya pada akar dan batang nilai KPJ relatif stabil pada semua umur tanaman yang diuji dan menunjukkan belum adanya peningkatan yang nyata dari kadar protein jaringan akar dan batang hingga tanaman berumur 2 BST.
Aktivitas Kitinase Aktivitas kitinase per mg protein dari ekstrak kasar protein nyata dipengaruhi oleh jenis jaringan dan umur tanaman (Tabel 14). Aktivitas kitinase per mg protein paling tinggi adalah pada ekstrak kasar protein akar diikuti oleh ekstrak kasar protein batang dan yang paling rendah pada daun. Aktivitas kitinase pada ekstrak kasar protein akar dan batang tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan aktivitas kitinase pada ekstrak kasar protein daun.
Tabel 14. Rataan aktivitas kitinase pada ekstrak protein daun, akar dan batang tanaman T. cucumerina var. anguina dari berbagai umur. Jenis Jaringan Akar Batang Daun Rataan Akar Batang Daun Rataan
3 MSB 1 BST 2 BST Rataan Aktivitas kitinase (mM pNp/jam/mg protein) 2.82 b* 5.36 a 6.16 a 4.77 A** 2.89 b 4.44 ab 3.87 ab 3.76 A 0.37 c 0.16 c 0.12 c 0.23 B 1.79 B** 2.87 AB 3.45 A Aktivitas kitinase (mM pNp/jam/g BS) 7.04 a 4.25 ab 4.92 ab 5.40 AB 5.60 ab 6.49 ab 7.02 a 6.47 A 5.95 ab 4.34 ab 3.90 b 4.83 B 6.16 4.92 5.53
Keterangan : MSB = Minggu Setelah Berkecambah, BST = Bulan Setelah Tanam * Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris dan kolom pada masing-masing peubah tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5%, ** Angka yang diikuti huruf besar yang sama pada baris atau kolom pada masing-masing peubah tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5%,
Umur tanaman menyebabkan perbedaan yang nyata dari nilai rataan aktivitas kitinase per mg protein pada ekstrak kasar protein tanaman seperti terlihat pada Tabel 14. Aktivitas kitinase per mg ekstrak kasar protein pada akar
73
tanaman nyata meningkat pada tanaman berumur 1 BST. Pada batang dan daun, aktivitas kitinase per mg protein tidak meningkat nyata dengan bertambahnya umur tanaman. Aktivitas kitinase per g bobot segar jaringan tanaman seperti terlihat pada Tabel 14. Aktivitas kitinase per g bobot segar jaringan tanaman nyata dipengaruhi oleh jenis jaringan dan interaksi antara jenis jaringan dan umur tanaman. Meskipun demikian aktivitas kitinase per g bobot segar jaringan tanaman yang berbeda nyata hanya antara akar tanaman berumur 3 MSB dan batang tanaman berumur 2 BST dengan daun tanaman berumur 2 BST.
Aktivitas Peroksidase Aktivitas
peroksidase
pada
ekstrak
kasar
protein
dari
tanaman
T. cucumerina var. anguina nyata dipengaruhi oleh jenis jaringan, umur tanaman dan oleh interaksi antara jenis jaringan dan umur tanaman. Rata-rata aktivitas peroksidase pada ekstrak kasar protein tanaman yang diuji seperti tercantum pada Tabel 15. Pengaruh jenis jaringan terhadap aktivitas peroksidase pada ekstrak kasar protein menunjukkan bahwa ekstrak kasar protein akar memiliki aktivitas peroksidase paling tinggi dan berbeda nyata dengan aktivitas peroksidase pada ekstrak kasar protein batang dan daun. Aktivitas peroksidase pada ekstrak kasar protein batang dan daun tidak berbeda nyata. Aktivitas peroksidase pada akar mencapai hampir 54 kali lipat aktivitas peroksidase pada ekstrak kasar protein daun dan sekitar 6 kali lipat aktivitas peroksidase pada ekstrak kasar protein batang. Pengaruh umur tanaman terhadap aktivitas peroksidase per mg protein menunjukkan bahwa aktivitas peroksidase meningkat dengan bertambahnya umur tanaman. Aktivitas peroksidase paling tinggi pada tanaman berumur 1 BST, dan paling rendah adalah pada tanaman berumur 3 MSB.
74
Tabel 15. Rataan aktivitas enzim peroksidase dari ekstrak kasar protein total dari akar, batang dan daun tanaman T. cucumerina var. anguina pada berbagai umur tanaman Jenis Jaringan
3 MSB 1 BST 2 BST Rataan Aktivitas peroksidase (∆420/menit/mg protein)
Akar Batang Daun Rataan
0.26 b 0.17 b 0.02 b 0.13 B
Akar Batang Daun Rataan
4.19 a 2.16 a 0.26 b 0.24 b 0.05 b 0.05 b 1.29 A 0.91 A Aktivitas peroksidase (∆420/menit/g BS) 1.34 bc 1.14 bc 3.04 b 0.80 c 0.73 c 0.94 c 1.96 bc 5.98 a 7.72 a 1.45 B** 3.01 A 3.42 A
2.19 A** 0.23 B 0.04 B 1.92 B 0.84 B 4.90 A
Keterangan : MSB = Minggu Setelah Berkecambah, BST = Bulan Setelah Tanam * Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris atau kolom pada masing-masing peubah tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5%, ** Angka yang diikuti huruf besar yang sama pada baris pada masing-masing peubah tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5%,
Interaksi antara jenis jaringan dan umur tanaman menunjukkan bahwa pada akar, aktivitas peroksidase per mg ekstrak protein kasar nyata meningkat dengan bertambahnya umur tanaman. Akan tetapi pada batang dan daun belum ditemukan peningkatan yang signifikan dari aktivitas peroksidase per mg ekstrak kasar protein seiring dengan bertambahnya umur tanaman. Aktivitas peroksidase per g bobot segar jaringan tanaman seperti tercantum pada Tabel 15. Aktivitas peroksidase per g bobot segar jaringan tanaman nyata meningkat dengan bertambahnya umur tanaman. Peningkatan nyata mulai terlihat pada tanaman 1 BST, namun pada 2 BST tidak berbeda nyata dengan tanaman 1 BST. Jenis jaringan mempengaruhi aktivitas peroksidase per g bobot segar, dengan aktivitas peroksidase per g bobot segar paling tinggi pada daun. Tingginya aktivitas peroksidase per g jaringan daun disebabkan oleh tingginya kadar protein pada daun seperti terlihat pada Tabel 13.
Meskipun
aktivitas peroksidase per mg protein dari daun rendah, namun dengan kadar protein yang tinggi, maka aktivitas peroksidase per g bobot segar daun juga menjadi tinggi bahkan melebihi aktivitas peroksidase per g bobot segar akar.
75
Pembahasan Berdasarkan hasil percobaan 1 dan 2, ditemukan bahwa total protein terlarut dan kadar protein paling tinggi adalah pada daun tanaman. Total protein yang tinggi pada daun kemungkinan disebabkan peran utama daun untuk proses fotosintesis, proses sintesis dan metabolisme senyawa-senyawa penting lainnya yang melibatkan banyak protein atau enzim-enzim. Berdasarkan penelitian pada Bab IV ditemukan bahwa media MS dengan penambahan 1 – 4 1 µM NAA dan BA, dapat menginduksi pembentukan kalus pada T. tricuspidata dari eksplan tunas in vitro. Pada T. cucumerina juga ditemukan bahwa kalus dari T. cucumerina dapat diinduksi pembentukannya pada media yang sama. Namun kisaran NAA dan BA yang digunakan belum menimbulkan perbedaan bobot kalus yang dihasilkan. Pada kedua spesies yaitu T. tricuspidata (hasil pada Bab IV) dan T. cucumerina var. anguina pada Bab V ini, ditemukan kecenderungan yang sama dimana kalus pada konsentrasi NAA dan BA yang rendah (1 -2 µM) memiliki warna kecoklatan. Warna kecoklatan pada kalus menunjukkan kemungkinan sel-sel pada kalus sudah mulai mengalami penuaan atau mendekati senesen. Konsentrasi auksin dan sitokinin dalam media N1B1 dan N2B2, kemungkinan sudah menurun ketersediaan maupun aktivitasnya pada 4 Minggu Setelah Penanaman sehingga tidak dapat mempertahankan multiplikasi sel ataupun sifat meristematik sel kalus dibanding media N3B3 dan N4B4 dengan konsentrasi NAA dan BA yang lebih tinggi. Aktivitas kitinase dari ekstrak kasar protein kalus dari media N1B1, N2B2 dan N4B4 tidak berbeda nyata satu sama lain menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi NAA dan BAP dalam media tidak mempengaruhi aktivitas kitinase dari kalus T. cucumerina var. anguina. Beberapa peneliti melaporkan bahwa auksin atau sitokinin dapat menginduksi biosintesis enzim kitinase dalam tanaman namun hal tersebut tidak ditemukan dalam hasil percobaan ini. Hughes dan Dickerson (1991), yang melaporkan tentang terjadinya peningkatan aktivitas kitinase dan glukanase oleh perlakuan auksin IAA pada Phaseolus vulgaris. Sementara Barwe et al. (2001) menunjukkan bahwa BA dapat menginduksi peningkatan aktivitas kitinase pada kotiledon kecambah ketimun. Jayabaskaran et
76
al. (2005) telah melaporkan mekanisme molekuler dari sitokinin dalam menginduksi ekspresi PR-protein. Mekanisme induksi ekspresi gen penyandi enzim kitinase dan glukanase pada kotiledon melibatkan serangkaian proses fosforilasi protein dan transduksi signal yang melibatkan ion Ca2+ sebagai second messenger. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa aktivitas kitinase dan peroksidase paling tinggi ditemukan pada ekstrak kasar protein akar tanaman dari lapangan. Meskipun demikian pada percobaan 1 terlihat bahwa ekstrak kasar protein dari kalus pada media N4B4 memiliki aktivitas kitinase yang hampir sama dengan ekstrak kasar protein akar. Hasil ini menunjukkan aktivitas kitinase pada T, cucumerina var. anguina dapat ditemui pada tingkat organisasi sel yang paling rendah yaitu kalus, maupun pada organ tanaman berupa akar. Perbedaan aktivitas kitinase dari organ atau jaringan yang berbeda menunjukkan bahwa aktivitas kitinase bersifat organ-dependent. Hal ini juga pernah dilaporkan oleh Samac et al. (1990) pada tanaman Arabidopsis thaliana, dimana ekspresi gen basic chitinase pada akar mencapai 10 kali lipat dari ekspresi pada daun, menunjukkan adanya perbedaan tingkat ekspresi gen pada jaringan tanaman yang berbeda. Sebagian
besar tanaman
menghasilkan sejumlah isozim kitinase
(EC.3.2.1.14) yang dikode oleh famili multigen (Broglie et al. Kombrik et al., Legrand et al., dalam Samac et al. 1990). Isozim tersebut kadang-kadang diregulasi secara berbeda sepanjang pertumbuhan dan perkembangan tanaman, sehingga ada yang ekspresinya tergantung organ maupun umur tanaman. Khan (2002) menyatakan sebagian besar isoform kitinase diekspresikan secara konstitutif pada level rendah.
Pada Arabidopsis thaliana ekspresi isozim basic
chitinase bersifat age and organ-dependent. Ekspresi famili gen tersebut paling tinggi pada akar dan makin meningkat pada tanaman tua (tanaman umur 36 hari memiliki ekspresi gen yang lebih tinggi dari tanaman berumur 26 hari) (Samac et al. 1990). Ekstrak kasar protein akar tanaman T. cucumerina var. anguina dari lapangan memiliki aktivitas kitinase paling tinggi, yaitu mencapai sekitar 36 kali lipat dibanding aktivitas kitinase pada daun. Pada penelitian Bab III ditemukan banyak hama dan penyakit yang disebabkan cendawan yang menyerang daun,
77
maka kemungkinan hal tersebut disebabkan rendahnya ketahanan pada daun dan kemungkinan juga berhubungan dengan rendahnya aktvitas kitinase pada daun. Umur tanaman T. cucumerina var anguina memiliki pengaruh yang berbeda terhadap aktivitas kitinase dari ekstrak kasar protein asal akar, batang dan daun. Aktivitas kitinase pada ekstrak kasar protein dari akar bibit tetap tinggi sampai tanaman berumur 1 BST maupun 2 BST dan sebaliknya pada ekstrak kasar protein asal daun relatif stabil tetap rendah sampai pengamatan 2 BST. Aktivitas kitinase pada ekstrak protein batang berbeda dengan aktivitas kitinase pada akar dan daun. Pada batang, ekstrak kasar protein mencapai puncaknya pada tanaman berumur 1 BST dan menurun kembali pada tanaman berumur 2 BST. Meningkatnya aktivitas kitinase pada batang pada fase tersebut dapat dipengaruhi oleh tingkat perkembangan tanaman yang sedang memasuki masa pembungaan sehingga diduga aktivitas kitinase pada batang bersifat age-dependent. Aktivitas peroksidase pada T. cucumerina var. anguina diduga bersifat age and organ dependent yang berarti bahwa pada jaringan tertentu aktivitas peroksidase lebih tinggi dibanding jaringan lainnya dan aktivitas peroksidase tersebut dapat berubah dengan bertambahnya umur tanaman. Hal tersebut terlihat pada akar dengan aktivitas peroksidase yang lebih tinggi dibanding daun dan batang dan juga meningkat dengan bertambahnya umur tanaman. Perbedaan aktivitas peroksidase dari organ yang berbeda dari satu tanaman juga pernah dilaporkan Tyson dan Jui (1967), yaitu pada batang dan daun Linum utitatissimum. Tingginya aktivitas peroksidase pada akar salah satunya kemungkinan karena peroksidase berperanan penting dalam proses inisiasi akar (Hartman et al. 1990). Dengan diketahuinya bagian tanaman yang menunjukkan aktivitas peroksidase yang tinggi maka bagian tanaman tersebut digunakan untuk penelitian lanjutan seperti untuk purifikasi enzim maupun isolasi gen. Dalam penelitian ini, aktivitas peroksidase pada akar T. cucumerina var. anguina terlihat konsisten paling tinggi pada akar. Pada percobaan 1, aktivitas peroksidase pada akar mencapai 6 – 10 kali lipat aktivitas peroksidase dari ekstrak kasar protein kalus dan 20 kali lipat dari aktivitas peroksidase dari ekstrak kasar protein daun. Sementara pada percobaan 2,
aktivitas peroksidase pada akar
78
mencapai 48 kali aktivitas peroksidase pada daun dan 6 kali aktivitas peroksidase pada batang. Aktivitas peroksidase pada daun T. cucumerina var. anguina memiliki pola yang berbeda dengan akar dan batang, karena terlihat dipengaruhi oleh umur tanaman. Aktivitas peroksidase pada daun tanaman paling tinggi ketika tanaman berumur 1 BST dan kembali menurun pada tanaman berumur 2 BST. Pada pengamatan di lapang, tanaman dari daun dewasa paling banyak mengalami serangan penyakit berupa penyakit bercak daun dan embun tepung. Untuk selanjutnya diperlukan penelitian bagaimana hubungan tingkat serangan penyakit pada daun dengan rendahnya aktivitas peroksidase pada daun tersebut. Selain faktor age and organ dependent, berbagai faktor lain dapat mempengaruhi aktivitas peroksidase seperti adanya cekaman dari lingkungan (biotik maupun abiotik, bahkan cekaman fisik seperti adanya angin (Cippolini, 1998). Aktivitas peroksidase sering digunakan sebagai marker untuk respon tanaman terhadap cekaman (Evers et al. 1997). Pengaruh faktor lingkungan yang bervariasi seperti intensitas cahaya yang tinggi, ozon, kekeringan, logam berat, cekaman garam tinggi, dapat mendorong munculnya spesies oksigen aktif (AOS) seperti O2●-, H2O2, dan ●OH (Meneguzzo et al. 1998). Karena itu tanaman mengembangkan sistem antioksidan untuk memperbaiki kerusakan karena AOS, diantaranya dengan induksi beberapa enzim seperti superoksida dismutase, katalase dan peroksidase (Ascher et al. 1991). Aktivitas kitinase yang tinggi pada ekstrak protein akar T. cucumerina var. anguina berbeda dengan yang pernah dilaporkan Hou et al. (1998) pada berbagai bagian tanaman ubi jalar. Pada ubi jalar tersebut aktivitas kitinase yang tinggi justru ditemukan pada daun dengan urutan aktivitas kitinase dari yang tertinggi ke yang terendah adalah daun>sprout>kulit akar simpan>akar simpan tanpa kulit.
Simpulan Berdasarkan hasil percobaan 1 diketahui bahwa kalus dari eksplan potongan batang T. cucumerina var. anguina dapat dihasilkan dalam media N1B1
79
(MS + 1 µM NAA + 1 µM BA), N3B3 ( MS + 3 µM NAA + 3 µM BA), dan N4B4 (MS + 4 µM NAA + 4 µM BA) dengan bobot kalus yang dihasilkan hampir sama pada semua media. Akar tanaman T. cucumerina var. anguina dari lapangan dan kalus in vitro memiliki aktivitas kitinase yang lebih tinggi dari daun. Aktivitas peroksidase yang paling tinggi adalah pada akar tanaman. Berdasarkan hasil percobaan 2 dapat disimpulkan bahwa total protein pada tanaman T.cucumerina var. anguina di lapangan paling tinggi pada daun dan meningkat dengan bertambahnya umur tanaman. Total protein pada akar dan batang cenderung stabil sepanjang umur tanaman. Aktivitas kitinase paling tinggi pada akar dan batang, dengan kecenderungan menurun pada batang seiring meningkatnya umur tanaman, sebaliknya pada akar cenderung meningkat dengan bertambahnya umur tanaman, Aktivitas kitinase pada daun cenderung stabil sepanjang umur tanaman. Aktivitas peroksidase paling tinggi pada akar diikuti oleh batang dan daun. Aktivitas peroksidase pada akar meningkat dengan bertambahnya umur tanaman.
80
BAB VI INDUKSI AKTIVITAS KITINASE DAN PEROKSIDASE PADA 2 SPESIES TRICHOSANTHES
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh asam salisilat (SA) atau etefon (ETF) terhadap aktivitas kitinase dan peroksidase pada ekstrak kasar protein dari berbagai jaringan tanaman T. tricuspidata dan T. cucumerina var. anguina. Rangkaian pengujian pengaruh SA atau ETF dan waktu pengamatan aktivitas kitinase dan peroksidase pada ekstrak kasar proteinnya adalah sebagai berikut : (a) SA (0, 0.1, 0.2 dan 2.0 mM) pada tanaman T. tricuspidata berumur 9 bulan di lapangan dan diamati pada 2 dan 9 hari setelah perlakuan (HSP), (b) SA (6.25 mM dan 12.5 mM ) pada T. cucumerina var. anguina berumur 2 minggu setelah tanam (MST) di lapangan dan diamati pada 0-2 HSP, (c) SA (0.0 dan 0.05 mM) pada tunas in vitro T. tricuspidata dengan pengamatan 0 – 24 jam setelah perlakuan (JSP) serta 0.00 dan 0.025 mM dengan pengamatan 1-3 HSP, (d) SA (0.0 - 0.10 mM) pada kalus T. tricuspidata in vitro dan diamati pada 1-3 HSP, (e) SA (0.0 - 1.0 mM ) pada kalus T. cucumerina var. anguina dan diamati pada 1-3 HSP, (f) perlakuan ETF (0.0 – 0.10 mM) pada kalus T. tricuspidata dan diamati pada 0-26 JSP. Hasil percobaan menunjukkan bahwa pada konsentrasi SA atau ETF yang diuji : (a) SA tidak dapat meningkatkan aktivitas kitinase tetapi dapat meningkatkan aktivitas peroksidase pada akar T. tricuspidata di lapangan, (b) SA tidak meningkatkan aktivitas kitinase namun meningkatkan aktivitas peroksidase pada T. cucumerina var. anguina di lapangan (c) SA tidak dapat meningkatkan aktivitas kitinase dan peroksidase pada tunas in vitro T. tricuspidata, (d) SA dapat meningkatkan
aktivitas
kitinase
dan
peroksidase
pada
kalus
in
vitro
T. tricuspidata, (e) SA tidak dapat meningkatkan aktivitas kitinase pada kalus in vitro T. cucumerina namun dapat meningkatkan aktivitas peroksidase, (f) ETF dapat meningkatkan aktivitas kitinase pada kalus T. tricuspidata namun menekan aktivitas peroksidase. Kata kunci : T. tricuspidata, T. cucumerina var.anguina, kalus, tunas in vitro, asam salisilat, etefon, aktivitas kitinase, peroksidase
INDUCTION OF CHITINASE AND PEROXIDASE ACTIVITIES IN 2 SPESIES OF TRICHOSANTHES Abstract The aim of the research was to analyze the effect of salycilic acid (SA) or ethephon (ETF) on chitinase and peroxidase activities of crude protein extract of plant roots, in vitro shoots and calli from T. tricuspidata and T. cucumerina var. anguina. The summaries of SA or ETF treatment were (a) SA (0, 0.1, 0.2 and 2.0 mM) on 9 month old of T. tricuspidata in field and be observed at 2 and 9 days after treatment (DAT), (b) SA (6.25 mM dan 12.5 mM ) on 2 weeks old of T. cucumerina var. anguina in field and be observed at 0-2 DAT, (c) SA (0.0 and 0.05 mM) on in vitro shoots of T. tricuspidata and be observed at 0 – 24 hour after treatment (HAT), 0.0 and 0.025 mM and be observed at 1-3 DAT, (d) SA (0.0, 0.025, 0.05 dan 1.0 mM) on calli of T. tricuspidata and be observed at 1-3 DAT, (e) SA (0.0, 0.025, 0.05 dan 1.0 mM ) on calli of T. cucumerina var. anguina and be observed at 1-3 DAT, (f) ETF (0.0, 0.025, 0.05 dan 1.0 mM ) on calli of T. tricuspidata and be observed at 0-26 HAT. The results of the experiment showed that on each SA or ETF treatment : (a) SA could not increase th chitinase but increase the peroxidase activity of T. tricuspidata roots in field, (b) SA could not increase the chitinase but increased the peroxidase activity of T. cucumerina var. anguina in field, (c) SA could not increase the chitinase and peroxidase activity of in vitro shoots of T. tricuspidata, (d) SA could increase the chitinase and peroxidase activity on calli of T. tricuspidata, (e) SA could not increase the chitinase but increase the peroxidase activity of calli of T. cucumerina var. anguina, (f) ETF could increase the chitinase but decrease the peroxidase activity of calli of T. tricuspidata.
Key Words : T. tricuspidata, T. cucumerina var.anguina, calli, in vitro shoots, salycilic acid, ethephon, chitinase activity, peroxidase activity
82
Pendahuluan Kitinase termasuk dalam famili PR-3, 4, 8 dan 11 sedangkan peroksidase termasuk ke dalam PR-9 (Lagrimini et al. 1997; Chittor et al. dalam Datta dan Mutukrishnan 1999). Kitinase pada tanaman umumnya diekspresikan secara konstitutif pada level yang rendah namun ekspresinya meningkat ketika terjadi infeksi virus, bakteri dan cendawan (Neuhauss, 1999). Disamping infeksi patogen, beberapa senyawa kimia seperti poliacrilic acid, benzoic acid, asam salisilat, aspirin dan etilen dapat menginduksi ketahanan atau menginduksi ekspresi PRprotein pada tanaman (Kessman et al. 1994). Asam salisilat (SA) dalam tanaman disintesis dari fenilalanin dan asam benzoat dalam lintasan asam sikimat-phenilpropanoid (Sticher et al. 1997). Metraux (2002) menyatakan bahwa asam salisilat merupakan regulator penting dalam induksi resistensi tanaman terhadap patogen. Ketika tanaman terinfeksi patogen, terjadi perubahan ion fluks dan produksi spesies oksigen reaktif yang akan menginduksi serangkaian proses signal untuk aktivasi faktor transkripsi yang terlibat dalam aktivasi gen-gen yang berhubungan dengan ketahanan. Gen-gen tersebut berfungsi dalam sintesis regulator seperti SA atau etilen, penguatan dinding sel, produksi metabolit antibiotik, atau dalam perkembangan reaksi hipersensitif. Pada Arabidopsis thaliana, SA berperan dalam respon hipersensitif sehingga disebut sebagai asam salisilat dependent-SAR (Summermatter et al. 1995). Studi pada tingkat molekuler menunjukkan bahwa tanaman mutan Arabidopsis thaliana yang tidak dapat mensintesis SA terlihat lebih rentan terhadap patogen bakteri dan cendawan dan tidak dapat menginduksi PR-1 (marker untuk SAR yang diinduksi SA). Hormon etilen (ETL) juga dapat menginduksi ekspresi gen-gen yang berhubungan dengan ketahanan. Hughes dan Dickerson (1991) melaporkan bahwa etilen dapat menginduksi kitinase dan glukanase pada Phaseolus vulgaris. Regulasi ekspresi kedua enzim tersebut terutama ditentukan oleh etilen. Pada Festuca arundinaceae, perlakuan elisitor kimia berupa etefon (ETF) yang merupakan senyawa penghasil etilen dapat meningkatkan aktivitas kitinase
83
meskipun tidak sebesar peningkatan yang dihasilkan oleh elisitor biologi (Marek et al. 2000). Hasil penelitian pada Bab IV menunjukkan bahwa akar tanaman, tunas in vitro, dan kalus T. tricuspidata memiliki aktivitas kitinase dan peroksidase yang lebih tinggi dibanding daun sedangkan hasil penelitian pada Bab V menunjukkan bahwa akar dan kalus T. cucumerina var. anguina memiliki aktivitas kitinase yang lebih tinggi dari daun dan aktivitas peroksidase yang tinggi adalah pada akar. Hal selanjutnya yang perlu diteliti metode yang dapat lebih meningkatkan aktivitas kitinase dan peroksidase pada masing-masing jaringan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis mengetahui pengaruh asam salisilat (SA) dan etilen terhadap aktivitas kitinase dan peroksidase pada T. tricuspidata dan T. cucumerina var. anguina baik pada tanaman di lapang maupun dalam kultur in vitro.
Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2007 – Januari 2008. Lokasi penelitian untuk pembuatan kultur in vitro dan analisis protein adalah di Laboratorium Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB dan untuk penyiapan bahan tanaman dari lapang, tanaman di tanam di lahan masyarakat di Desa Sinar Sari, Kecamatan Dramaga Bogor.
Bahan Tanaman Bahan tanaman yang digunakan dalam percobaan ini meliputi tanaman T. tricuspidata berumur 9 bulan setelah tanam (BST) dan tanaman T. cucumerina var. anguina berumur 2 minggu setelah tanam (MST). Penggunaan umur tanaman yang berbeda didasarkan pada ketersediaan bahan tanaman di lapangan. Masingmasing tanaman tersebut ditanam di polibag dengan media campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1 (v/v). Bahan tanaman dalam kultur in vitro yang digunakan adalah tunas in vitro T. tricuspidata yang diperbanyak dalam media Murashige-Skoog (MS) dengan penambahan BA 1 mg/l dan kalus in
84
vitro T. tricuspidata dan T. cucumerina var. anguina yang diinduksi dalam media MS dengan penambahan 4 µM NAA dan 4 µM BA. Kalus T. tricuspidata diinduksi dalam media tersebut dari eksplan awal tunas in vitro. Sementara kalus T. cucumerina var. anguina diinduksi dari eksplan awal batang dari bibit hasil pengecambahan benih secara in vitro. Tunas dan kalus in vitro diberi perlakuan SA pada umur 4 Minggu Setelah Tanam (MST). Representasi bahan tanaman T. tricuspidata yang digunakan dalam penelitian seperti terlihat pada Gambar 16 dan untuk T. cucumerina var. anguina seperti terlihat pada Gambar 17. Perlakuan SA atau ETF Perlakuan SA diberikan pada tanaman T. tricuspidata dan T. cucumerina var. anguina yang ditanam di lapangan, pada tunas in vitro T. tricuspidata, kalus T. tricuspidata dan kalus T. cucumerina var. anguina. Perlakuan SA pada tanaman di lapang diberikan dengan cara menyiramkan 300 ml larutan SA sesuai konsentrasi perlakuan ke daerah perakaran. Untuk tunas dan kalus in vitro, perlakuan SA atau ETF diberikan dengan merendam tunas atau kalus selama 15 menit dalam larutan SA atau ETF sesuai konsentrasi perlakuan, lalu ditiriskan dan ditanam kembali ke media tunas atau kalus untuk kemudian diamati pada waktu tertentu setelah perlakuan. Rincian perlakuan SA dan waktu pengamatan total protein, aktivitas kitinase dan peroksidase dari ekstrak kasar protein setelah perlakuan untuk masing-masing bahan tanaman adalah sebagai berikut: (a) SA (0, 0.1, 0.2 dan 2.0 mM) pada tanaman T. tricuspidata di lapangan menggunakan tanaman berumur 9 bulan. Tanaman diambil akarnya pada 2 dan 9 hari setelah perlakuan (HSP) untuk diekstraksi protein serta dianalisis aktivitas kitinase dan peroksidasenya. (b) SA (6.25 mM dan 12.5 mM ) pada T. cucumerina var. anguina berumur 2 minggu setelah tanam (MST) di lapangan. Akar, batang dan daun tanaman di panen pada 0 HSP (setengah jam setelah perlakuan SA), 1 dan 2 HSP, kemudian dilakukan ekstraksi protein dan dianalisis aktivitas kitinase dan peroksidase dari ekstrak kasar protein. (c) SA (0.0 dan 0.05 mM) pada tunas in vitro T. tricuspidata dan ekstraksi protein serta analisis total protein, aktivitas kitinase dan peroksidase dilakukan pada 0,
85
4, 8 dan 24 jam setelah perlakuan (JSP). Disamping itu diuji konsentrasi yang lebih rendah yaitu 0.0 dan 0.025 mM dengan analisis total protein, aktivitas kitinase dan peroksidase pada 1, 2, dan 3 HSP. (d) SA (0.0, 0.025, 0.05 dan 1.0 mM) pada kalus T. tricuspidata in vitro dan analisis total protein aktivitas kitinase dan peroksidase dari ekstrak protein kasar diamati pada 1, 2, 3 HSP. (e) SA (0.0, 0.025, 0.05 dan 1.0 mM ) pada kalus T. cucumerina var. anguina dan analisis total protein, aktivitas kitinase dan peroksidase dari ekstrak kasar protein diamati pada 1, 2, 3 HSP. (f) perlakuan ETF (0.0, 0.025, 0.05 dan 1.0 mM ) pada kalus T. tricuspidata dan analisis total protein, aktivitas kitinase dan peroksidase dari ekstrak kasar protein diamati pada 1, 2, 3 HSP.
Analisis Total Protein Terlarut, Aktivitas Kitinase dan Peroksidase Analisis total protein terlarut, aktivitas kitinase dan peroksidase dilakukan pada bahan tanaman hasil perlakuan dengan metode seperti dituliskan pada Bab IV.
Analisis Data Analisis data untuk masing-masing bahan tanaman yang mendapat perlakuan SA maupun ETF dilakukan secara terpisah. Jika perlakuan SA dan waktu pengamatan berpengaruh nyata terhadap peubah yang diamati maka dilakukan uji lanjut jarak berganda Duncan dengan α = 0,05.
86
a
b
c
a
d
e
Gambar 16. Representasi bahan tanaman T. tricuspidata yang digunakan pada percobaan : (a). Tanaman dilapang umur 9 BST, (b). akar primer, (c). akar sekunder, (d). tunas in vitro (e). kalus in vitro
87
a
b
c Gambar 17. Representasi bahan tanaman T. cucumerina var. anguina yang digunakan dalam percobaan : (a) tajuk tanaman dan (b) akar tanaman berumur 2 MST, serta (c) kalus in vitro.
88
Hasil a. Induksi Aktivitas Kitinase dan Peroksidase pada Ekstrak Kasar Protein Akar Tanaman T. tricuspidata dengan Perlakuan SA di Lapangan Total Protein Terlarut dan Kadar Protein Jaringan Total protein terlarut (TPT) dan kadar protein jaringan (KPJ) tidak nyata dipengaruhi oleh perlakuan SA, jenis akar, interaksi antara SA dan jenis akar, maupun interaksi SA dengan waktu, serta interaksi SA, waktu dan jenis akar. Sebaliknya TPT dan KPJ pada akar nyata dipengaruhi oleh waktu pengamatan, dan interaksi antara waktu pengamatan dan jenis akar dan interaksi antara SA dan jenis akar. Rataan nilai TPT pada berbagai konsentrasi SA, waktu pengamatan dan jenis akar seperti terlihat pada Tabel 16. Pada Tabel 16 terlihat bahwa TPT dan KPJ pada 2 HSP lebih tinggi dari TPT dan KPJ pada 9 HSP.
Tabel 16. Rataan total protein terlarut dan kadar protein jaringan pada ekstrak kasar protein dari akar tanaman T. tricuspidata yang diberi perlakuan SA. SA (mM)
2 HSP Akar primer
0.0 0.2 1.0 2.0 Rataan waktu 0.0 0.2 1.0 2.0 Rataan waktu
3.96 2.67 1.93 3.11
9 HSP
Akar Akar Akar sekunder primer sekunder Total protein terlarut (mg/ml) 1.43 0.97 1.76 1.07 2.57 1.32 1.94 0.94 1.91 1.52 1.09 0.95 2.20 A*
8.81 A
1.89 1.91 1.63 1.54
1.44 B Kadar protein jaringan (mg/g BS) 5.72 3.86 7.05 4.27 10.26 5.30 7.76 3.75 7.64 6.08 4.37 3.79
15.84 10.67 7.71 12.46
Rataan SA
7.59 7.66 6.51 6.15
5.75 B
Keterangan: HSP = Hari Setelah Perlakuan. BS = Bobot Segar * Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris atau kolom pada masing-masing peubah tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5%,
89
Tabel 17. Rataan total protein terlarut dan kadar protein jaringan pada ekstrak kasar protein dari akar tanaman T. tricuspidata yang diberi perlakuan SA. SA (mM)
Akar primer Akar sekunder Total Protein Terlarut (mg/ml) 2.16 ab 1.63 ab 2.60 a 1.22 ab 1.33 ab 1.92 ab 1.90 ab 1.17 b Kadar Protein Jaringan (mg/g BS) 8.65 ab 6.52 b 10.43 a 4.88 ab 5.33 ab 7.68 ab 7.60 ab 4.70 b
0.0 0.2 1.0 2.0 0.0 0.2 1.0 2.0
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris dan kolom untuk masing-masing peubah tidak berbeda nyata tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=8%.
Tabel 18. Rataan total protein terlarut dan kadar protein jaringan pada ekstrak kasar protein dari akar tanaman T. tricuspidata pada 2 dan 9 HSP SA Waktu Pengamatan (HSP) 2 9 2 9
Akar primer Akar sekunder Total Protein Terlarut (mg/ml) 2.90 a 1.48 b 1.39 b 1.48 b Kadar Protein Jaringan (mg/g BS) 11.66 a 5.96 b 5.56 b 5.95 b
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris dan kolom untuk masing-masing peubah tidak berbeda nyata tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=1%,
Tabel 17 menunjukkan pengaruh interaksi antara konsentrasi SA dan jenis akar terhadap rataan TPT dan KPJ dari akar. Pada tabel tersebut terlihat bahwa perbedaan yang nyata nilai TPT dan KPJ ditemukan pada akar primer dari perlakuan SA 0.2 mM dengan akar sekunder dengan perlakuan SA 2 mM, dimana TPT dan KPJ pada akar sekunder yang mendapat perlakuan SA 2.0 mM lebih rendah dari akar primer dengan perlakuan SA 0.2 mM. Pengaruh interaksi waktu dan jenis akar terhadap nilai TPT dan KPJ dari ekstrak kasar protein akar seperti terlihat pada Tabel 18. Pada tabel tersebut terlihat bahwa pada akar primer, TPT dan KPJ pada 2 HSP setelah perlakuan SA
90
cukup tinggi namun menurun pada 9 HSP. Sebaliknya pada akar sekunder nilai TPT dan KPJ pada 2 dan 9 HSP tidak berbeda nyata. Secara umum hasil percobaan ini menunjukkan bahwa nilai TPT dan KPJ dari akar tanaman lebih banyak ditentukan oleh jenis akar dan waktu setelah perlakuan. Hal ini dapat diartikan bahwa perbedaan jenis akar menunjukkan perbedaan tingkat perkembangan akar dan dengan bertambahnya waktu maka masing-masing akar primer dan akar sekunder juga mengalami perkembangan yang kemungkinan juga menyebabkan perubahan kadar protein akar.
Aktivitas kitinase dan peroksidase Perlakuan SA tidak berpengaruh nyata terhadap aktivitas kitinase pada ekstrak kasar protein dari akar tanaman. Demikian juga interaksi berbagai faktor berupa SA dan jenis akar, SA dan waktu pengamatan maupun SA, waktu pengamatan dan jenis akar, seperti terlihat pada Tabel 19.
Tabel 19. Rataan aktivitas kitinase dan peroksidase pada ekstrak kasar protein dari akar tanaman T. tricuspidata yang diberi perlakuan SA.
SA (mM)
2 HSP Akar primer
0.0 0.2 1.0 2.0 Rataan waktu 0.0 0.2 1.0 2.0 Rataan waktu
0.59 0.83 1.83 0.94
0.05 0.14 0.11 0.07
9 HSP
Rataan perlakuan SA
Akar Akar Akar sekunder primer sekunder Aktivitas kitinase (mM pNp/jam/mg protein) 1.72 2.76 1.68 2.07 3.87 2.31 1.09 2.35 1.10 1.63 2.03 3.47 1.33 2.45 Aktivitas peroksidase (∆420/menit/mg protein) 0.15 0.28 0.14 0.14 0.29 0.21 0.11 0.13 0.14 0.15 0.45 0.50 0.11 B* 0.26 A
1.79 2.44 1.62 2.17
0.17 B* 0.21 AB 0.12 B 0.33 A
Keterangan: HSP = Hari Setelah Perlakuan. * Angka yang diikuti oleh huruf besar yang sama pada baris atau kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT dengan α=5%.
91
Berbeda dengan aktivitas kitinase yang tidak dipengaruhi oleh perlakuan SA, aktivitas peroksidase pada ekstrak kasar protein dari akar nyata dipengaruhi oleh SA, waktu pengamatan dan interaksi antara SA dan waktu pengamatan setelah perlakuan SA. Pengaruh SA atau waktu pengamatan seperti terlihat pada Tabel 19. Pada tabel tersebut terlihat bahwa aktivitas peroksidase dari ekstrak kasar protein akar nyata meningkat pada SA 2 mM. Sementara pengaruh waktu pengamatan menunjukkan bahwa aktivitas peroksidase nyata lebih tinggi pada 9 HSP.
Tabel 20. Rataan aktivitas peroksidase pada ekstrak kasar protein dari akar tanaman T. tricuspidata yang diberi perlakuan SA pada 2 dan 9 HSP SA (mM) 0.0 0.2 1.0 2.0
2 HSP 9 HSP Aktivitas peroksidase (∆420/menit/mg protein) 0.10 c 0.21 bc 0.14 c 0.25 bc 0.11 c 0.13 c 0.11 c 0.48 ab
Keteranga.n: HSP = Hari Setelah Perlakuan. Angka yang diikuti huruf yang sama yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=1%.
Pengaruh interaksi SA dan waktu pengamatan terhadap aktivitas peroksidase pada ekstrak kasar protein tanaman seperti terlihat pada Tabel 20. Pada SA 0.0 dan 0.2 mM, aktivitas peroksidase pada 2 dan 9 HSP tidak berbeda nyata. Sebaliknya pada SA 1.0 mM, aktivitas peroksidase pada 2 HSP nyata lebih tinggi dari 9 HSP. Sementara pada SA 2.0 mM, aktivitas peroksidase pada 9 HSP nyata lebih tinggi dari 2 HSP.
b. Induksi Aktivitas Kitinase dan Peroksidase pada Ekstrak Kasar Protein dari Tanaman T. cucumerina var. anguina dengan Perlakuan SA di Lapangan Total Protein Terlarut TPT nyata dipengaruhi oleh konsentrasi SA, jenis jaringan, waktu pengamatan dan interaksi antara ketiga faktor tersebut. TPT pada tanaman yang
92
diberi perlakuan SA pada 0, 1 dan 2 HSP seperti terlihat pada pada Tabel 21. Perlakuan SA menyebabkan penurunan rata-rata TPT dari ekstrak protein tanaman dengan penurunan nyata terjadi pada SA paling tinggi (12.5 mM). Pengaruh jenis jaringan menunjukkan bahwa TPT paling tinggi pada daun berbeda nyata dengan TPT pada akar dan batang. Sementara TPT pada akar dan batang tidak berbeda nyata. Pengaruh waktu pengamatan menunjukkan bahwa TPT nyata menurun pada 1 dan 2 HSP. Hasil pengaruh interaksi faktor perlakuan SA, waktu pengamatan dan jenis jaringan yang dianalisis (Tabel 21) menunjukkan bahwa pada semua konsentrasi perlakuan SA (0.00, 6.25, 12.50 mM), TPT pada akar dan batang tidak berbeda nyata pada 0, 1 dan 2 HSP. Sementara pada daun, TPT nyata lebih rendah pada 1 dan 2 HSP dibanding 0 HSP.
Tabel 21. Rataan total protein terlarut (TPT) pada ekstrak kasar protein dari tanaman T. cucumerina yang diberi perlakuan SA. SA (mM) 0.00 6.25 12.50 Akar Batang Daun Rataan waktu
Jenis Jaringan
0 HSP
Akar Batang Daun Akar Batang Daun Akar Batang Daun
0.28 f* 0.71 f 8.94 a 0.33 f 0.65 f 8.59 a 0.61 f 0.54 f 6.58 b
3.02 A**
1 HSP
2 HSP
Rataan SA Rataan Jaringan Total Protein Terlarut (mg/ml) 0.24 f 0.38 f 2.34 A** 0.35 f 0.52 f 3.86 de 5.74 bc 0.32 f 0.55 f 2.30 A 0.51 f 0.66 f 3.70 e 5.44 c 0.59 f 0.42 f 1.76 B 0.55 f 0.29 f 4.90 cd 1.33 f 0.41 B** 0.53 B 5.45 A 1.67 B 1.70 B
Keterangan: HSP = Hari Setelah Perlakuan * Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris atau kolom pada masing-masing peubah tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5%, ** Angka yang diikuti huruf besar yang sama pada baris atau kolom pada masing-masing peubah tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5%,
93
KPJ memiliki pola yang sama dengan TPT dimana KPJ nyata dipengaruhi oleh perlakuan SA, jenis jaringan, waktu pengamatan maupun interaksi antara ketiga faktor tersebut. Rataan KPJ dari berbagai jaringan tanaman pada perlakuan SA dan waktu pengamatan seperti terlihat pada Tabel 22. Pada akar dan batang, KPJ tidak berbeda nyata pada semua konsentrasi SA pada semua waktu pengamatan. Sebaliknya pada daun, pada SA 0.00 mM, KPJ menurun pada 1 HSP dan kembali meningkat pada 2 HSP, sementara pada SA 6.25 mM dan 12.5 mM, KPJ daun menurun pada 1 dan 2 HSP.
Tabel 22. Rataan kadar protein jaringan (KPJ) pada ekstrak kasar protein dari tanaman T. cucumerina yang diberi perlakuan SA. SA (mM)
Jenis Jaringan
0.00
Akar Batang Daun Akar Batang Daun Akar Batang Daun
6.25 12.50 Akar Batang Daun Rataan waktu
0 HSP 1.12 f* 2.85 f 35.75 a 1.30 f 2.58 f 34.37 a 2.41 f 2.15 f 26.30 b
12.09 A**
1 HSP
2 HSP
Rataan Rataan SA Jaringan Kadar protein jaringan (mg/g BS) 0.96 f 1.52 f 9.34 A** 1.43 f 2.07 f 15.46 de 22.93 bc 1.29 f 2.18 f 9.21 A 2.01 f 2.64 f 14.81 e 21.75 c 2.34 f 1.67 f 7.02 B 2.22 f 1.14 f 19.62 cd 5.34 f 1.64 B** 2.11 B 21.81 A 6.80 B 6.80 B
Keterangan: HSP = Hari Setelah Perlakuan * Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris atau kolom pada masing-masing peubah tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5%, ** Angka yang diikuti huruf besar yang sama pada baris atau kolom pada masing-masing peubah tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5%,
Aktivitas kitinase Perlakuan SA dalam selang konsentrasi yang diberikan tidak berpengaruh nyata terhadap aktivitas kitinase per mg protein dari ekstrak kasar protein tanaman. Aktivitas kitinase secara nyata dipengaruhi oleh waktu setelah perlakuan
94
SA dan jenis jaringan serta interaksi antara waktu dan jenis jaringan. Interaksi 3 faktor (SA, waktu dan jenis jaringan) tidak berpengaruh nyata terhadap aktivitas kitinase pada ekstrak kasar protein tanaman. Tabel 23 menunjukkan rataan aktivitas kitinase pada ekstrak kasar protein tanaman. Pengaruh nyata dari jenis jaringan menunjukkan bahwa rataan aktivitas kitinase per mg protein pada akar lebih tinggi dari batang dan daun. Demikian juga aktivitas kitinase per mg protein dari ekstrak kasar protein batang nyata lebih tinggi dari daun. Pengaruh waktu setelah perlakuan menunjukkan bahwa aktivitas kitinase per mg protein tidak berbeda nyata pada 0, 1 dan 2 HSP.
Tabel 23. Rataan aktivitas kitinase per mg protein pada ekstrak kasar protein dari tanaman T. cucumerina yang diberi perlakuan SA. SA (mM)
Jenis Jaringan
0.00
Akar Batang Daun Akar Batang Daun Akar Batang Daun
6.25 12.50 Akar Batang Daun Rataan waktu
0 HSP
1 HSP
2 HSP
Rataan Rataan SA Jaringan Aktivitas kitinase (mM pNp/jam/mg protein) 23.63 ab 29.64 a 15.64 bc 10.42 7.44 bc 6.80 cd 7.44 bc 0.89 de 1.66 de 0.64 de 18.33 ab 19.39 ab 11.30 bc 8.22 8.59 bc 4.27 cd 9.19 bc 0.89 de 1.26 cde 0.79 de 8.93 bc 13.13 bc 17.08 ab 7.74 6.72 cd 4.20 cd 11.26 bc 1.04 cde 0.68 de 6.65 cd 17.45 A* 7.32 B 1.61 C 8.50 9.00 8.88
Keterangan: HSP = Hari Setelah Perlakuan *Angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada baris atau kolom sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5%. ** Angka yang diikuti huruf besar yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5%.
Aktivitas kitinase per g BS jaringan tanaman nyata dipengaruhi oleh jenis jaringan, waktu pengamatan dan interaksi antara waktu pengamatan dan jenis jaringan. Aktivitas kitinase per g BS jaringan tanaman tidak dipengaruhi oleh perlakuan SA maupun interaksi antara SA dengan waktu pengamatan serta
95
interaksi SA, waktu pengamatan dan jenis jaringan tanaman. Rataan aktivitas kitinase per g BS jaringan tanaman seperti terlihat pada Tabel 24. Aktivitas kitinase per g BS jaringan (Tabel 24) menunjukkan pola yang agak berbeda dengan aktivitas kitinase per mg protein (Tabel 23). Pada Tabel 24 terlihat bahwa aktivitas kitinase per g BS jaringan tanaman nyata lebih tinggi pada akar dan daun di banding batang. Demikian juga dengan pengaruh waktu, aktivitas kitinase per mg protein dari ekstrak kasar protein tidak nyata dipengaruhi waktu. Sebaliknya aktivitas kitinase per g BS jaringan tanaman nyata lebih tinggi pada 0 HSP dibanding 1 dan 2 HSP.
Tabel 24. Rataan aktivitas kitinase per g BS jaringan tanaman T. cucumerina var. anguina yang diberi perlakuan SA. SA (mM) 0.00 6.25 12.5 Akar Batang Daun Rataan waktu
Jenis Jaringan Akar Batang Daun Akar Batang Daun Akar Batang Daun
0 HSP
1 HSP
2 HSP
Rataan Rataan SA Jaringan Aktivitas kitinase (mM pNp/jam/g BS) 23.24 25.21 23.75 21.23 21.22 9.65 15.36 32.15 25.85 14.65 23.18 25.01 24.58 21.40 22.09 8.70 24.59 28.68 18.79 17.08 21.37 29.00 23.34 18.58 14.48 9.34 12.76 27.19 13.44 16.32 24.30 A** 15.35 B 21.57 A 23.73 A* 18.33 B 19.16 B
Keterangan: HSP = Hari Setelah Perlakuan. *Angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5%. ** Angka yang diikuti huruf besar yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5%.
Tabel 25 menunjukkan pengaruh interaksi antara waktu dan jenis jaringan tanaman terhadap aktivitas kitinase per g BS jaringan tanaman. Pada Tabel 25 tersebut terlihat bahwa pada akar, aktivitas kitinase tidak berbeda nyata pada 0, 1 dan 2 HSP. Sementara pada batang, aktivitas kitinase per g BS jaringan batang
96
nyata menurun pada 1 HSP namun kembali meningkat pada 2 HSP. Sebaliknya pada daun aktivitas kitinase per g BS daun nyata menurun pada 1 dan 2 HSP.
Tabel 25. Rataan aktivitas kitinase per g BS jaringan pada pengaruh interaksi antara waktu dan jenis jaringan T. cucumerina var. anguina yang diberi perlakuan SA. Jenis Jaringan Akar Batang Daun
0 HSP
1 HSP
2 HSP
Aktivitas kitinase (mM pNp/jam/g BS) 22.60 bc 26.40 ab 23.88 abc 19.26 cd 9.23 e 17.57 cd 29.34 a 19.36 cd 16.02 d
Keterangan: HSP = Hari Setelah Perlakuan. Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris atau kolom tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=1%.
Aktivitas peroksidase Aktivitas peroksidase per mg protein pada ekstrak kasar protein tanaman nyata dipengaruhi oleh perlakuan SA, jenis jaringan, interaksi waktu pengamatan dengan SA, waktu pengamatan dan jenis jaringan serta interaksi SA, waktu pengamatan dan jenis jaringan tanaman. Rataan aktivitas peroksidase per mg protein seperti terlihat pada Tabel 26. Pada tabel tersebut terlihat bahwa aktivitas peroksidase per mg protein nyata meningkat pada perlakuan SA 12.50 mM. Sementara pengaruh jenis jaringan menunjukkan bahwa akar memiliki aktivitas peroksidase per mg protein yang nyata lebih tinggi dibanding batang dan daun. Aktivitas peroksidase per mg protein dari batang juga nyata lebih tinggi dibanding aktivitas peroksidase per mg protein daun. Aktivitas peroksidase per mg protein pada 0, 1 maupun 2 HSP tidak berbedanyata satu sama lainnya. Pada Tabel 26 terlihat bahwa aktivitas peroksidase per mg protein paling tinggi pada masing-masing konsentrasi perlakuan SA adalah pada akar tanaman. Peningkatan aktivitas peroksidase yang signifikan ditemukan pada akar tanaman yang diberi perlakuan SA 12.50 mM pada 2 HSP. Aktivitas peroksidase pada batang dan daun cenderung terlihat stabil pada ketiga waktu pengamatan. Akan tetapi pada batang terlihat kecenderungan peningkatan aktivitas peroksidase pada
97
0 HSP dengan perlakuan SA 12.50 mM. Perlakuan konsentrasi SA tidak mempengaruhi aktivitas peroksidase per mg protein dari daun, akibatnya aktivitas peroksidase pada daun hampir pada semua konsentrasi SA.
Tabel 26. Rataan aktivitas peroksidase per mg protein pada ekstrak kasar protein dari tanaman T. cucumerina var. anguina yang diberi perlakuan SA. SA (mM) 0.00 6.25 12.50 Akar Batang Daun Rataan waktu
Jenis Jaringan Akar Batang Daun Akar Batang Daun Akar Batang Daun
0 HSP
1 HSP
2 HSP
Rataan Rataan SA Jaringan Aktivitas peroksidase (∆420/menit/mg protein) 0.44 de* 1.02 bc 0.58 cde 0.29 B** 0.12 e 0.06 e 0.16 de 0.10 e 0.04 e 0.10 e 0.27 de 0.74 cd 0.45 de 0.28 B 0.31 de 0.14 e 0.46 cde 0.02 e 0.11 e 0.05 e 0.59 cde 0.48 cde 1.60 a 0.51 A 1.29 ab 0.19 de 0.17 de 0.03 e 0.08 e 0.15 de 0.68 A 0.32 B 0.07 C 0.34 0.31 0.41
Keterangan: HSP = Hari Setelah Perlakuan * Angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada baris atau kolom pada tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5%, ** Angka yang diikuti huruf besar yang sama pada baris atau kolom tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5%,
Aktivitas peroksidase per g BS jaringan tanaman nyata dipengaruhi oleh perlakuan SA dan interaksi antara SA, waktu pengamatan dan jenis jaringan tanaman seperti terlihat pada Tabel 27. Aktivitas peroksidase per g BS jaringan tanaman meningkat nyata dengan perlakuan SA 12.50 mM, dibanding SA 0.00 ataupun SA 6.25 mM. Sementara pengaruh interaksi SA, waktu pengamatan dan jenis jaringan tidak menunjukkan pola yang teratur terhadap aktivitas peroksidase per g BS jaringan tanaman.
98
Tabel 27. Rataan aktivitas peroksidase per g BS jaringan tanaman dari T. cucumerina var. anguina yang diberi perlakuan SA. SA (mM)
Jenis Jaringan
0.00
Akar Batang Daun Akar Batang Daun Akar Batang Daun
6.25 12.50 Akar Batang Daun Rataan waktu
0 HSP
1 HSP
2 HSP
Rataan SA Rataan Jaringan Aktivitas peroksidase (∆420/menit/g BS) 0.75 de* 0.87 b 0.86 cde 0.83 B** 0.36 de 0.17 e 0.65 de 2.55 ab 0.53 de 0.85 cde 0.47 de 1.38 abcde 1.08 bcde 1.01 B 0.89 cde 0.63 de 1.35 abcde 0.61 de 1.65 abcde 1.04 bcde 1.93 abcd 1.53 abcde 2.40 abc 1.47 A 2.73 a 0.52 de 0.52 de 0.71 de 1.44 abcde 1.43 abcde 1.24 0.87 1.20 1.22 0.96 1.13
Keterangan: HSP = Hari Setelah Perlakuan * Angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada baris atau kolom pada tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5%, ** Angka yang diikuti huruf besar yang sama pada baris atau kolom tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5%,
c. Induksi Aktivitas Kitinase dan Peroksidase dengan SA pada Tunas In Vitro T. tricuspidata Total protein terlarut dan aktivitas kitinase Perlakuan SA (0.00 dan 0.05 mM) tidak berpengaruh nyata terhadap TPT dari ekstrak kasar protein tunas in vitro T. tricuspidata seperti terlihat pada Tabel 28. Sebaliknya waktu pengamatan nyata mempengaruhi TPT dari ekstrak kasar protein tunas in vitro. Pada Tabel 28 terlihat bahwa TPT cenderung meningkat dalam jangka waktu pengamatan yang dilakukan (0, 4, 8 dan 24 jam). TPT pada 24 jam setelah perlakuan (JSP) nyata lebih tinggi dari TPT pada 0 JSP. Perlakuan
SA 0.05 mM tidak berpengaruh nyata terhadap aktivitas
kitinase dari ekstrak kasar protein asal tunas in vitro seperti terlihat pada Tabel 28. Sebaliknya waktu pengamatan nyata menurunkan aktivitas kitinase dari ekstrak kasar protein tunas in vitro. Aktivitas kitinase paling tinggi pada 0 JSP, berbeda nyata dengan aktivitas kitinase pada 8 dan 24 JSP.
99
Tabel 28. Rataan TPT dan aktivitas kitinase pada ekstrak kasar protein dari tunas in vitro T. tricuspidata yang diberi perlakuan SA 0.00 dan 0.05 mM SA (mM)
0 JSP
4 JSP 8 JSP 24 JSP Rataan SA Total protein terlarut (mg/ml) 0.00 1.20 1.19 1.39 1.64 1.35 0.05 1.27 1.62 1.38 1.59 1.47 Rataan waktu 1.23 B 1.41 AB 1.39 AB 1.61 A Aktivitas kitinase (mM pNp/jam/mg protein) 0.00 4.75 4.20 3.47 2.19 3.66 0.05 5.03 3.20 2.61 2.90 3.44 Rataan waktu 4.89 A 3.70 AB 3.04 B 2.55 B Keterangan: JSP = Jam Setelah Perlakuan Angka yang diikuti huruf besar yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5%,
Pengujian konsentrasi SA yang lebih rendah (0.025 mM) dengan jangka waktu pengamatan 1, 2 dan 3 HSP menunjukkan hasil yang hampir sama dengan perlakuan SA 0.05 mM. Seperti terlihat pada Tabel 29, perlakuan SA 0.025 mM tidak mempengaruhi TPT dan aktivitas kitinase dari ekstrak kasar protein tunas in vitro. Sebaliknya waktu pengamatan nyata mempengaruhi TPT dan aktivitas kitinase. TPT paling tinggi pada 1 dan 2 HSP lalu nyata menurun pada 3 HSP, sementara aktivitas kitinase dari ekstrak kasar protein paling tinggi pada 3 HSP.
Tabel 29. Rataan TPT, aktivitas kitinase dan peroksidase pada ekstrak kasar protein tunas in vitro T. tricuspidata dengan SA 0.00 dan 0.025 mM SA (mM) 0.00 0.025 Rataan waktu 0.00 0.025 Rataan waktu 0.00 0.025 Rataan waktu
1 HSP
2 HSP 3 HSP Rataan SA Total Protein Terlarut (mg/ml) 0.74 1.19 0.49 0.79 0.70 0.75 0.25 0.58 0.72 A 0.97 A 0.36 B Aktivitas kitinase (mM pNp/jam/mg protein) 6.51 2.93 8.17 5.96 7.00 3.74 13.95 8.05 6.75 B 3.33 C 11.06 A Aktivitas peroksidase (∆420/menit/mg protein) 0.21 0.12 0.33 0.22 0.20 0.16 0.35 0.23 0.21 AB 0.14 B 0.34 A
Keterangan: HSP = Hari Setelah Perlakuan. Angka yang diikuti huruf besar yang sama pada baris sama pada masing-masing peubah tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5%
100
Aktivitas peroksidase dari ekstrak kasar protein tunas in vitro yang diberi perlakuan SA (0.025 mM) tidak berbeda nyata dengan aktivitas peroksidase pada kontrol (SA 0.00 mM) seperti terlihat pada Tabel 29. Akan tetapi waktu pengamatan nyata mempengaruhi aktivitas peroksidase dari ekstrak kasar protein. Aktivitas peroksidase pada 3 HSP nyata lebih tinggi dibanding aktivitas peroksidase pada 1 dan 2 HSP.
d. Induksi Aktivitas Kitinase dan Peroksidase dengan SA pada Kalus In Vitro T. tricuspidata Total Protein Terlarut Pada bagian ini, perlakuan SA diberikan pada kalus dengan konsentrasi 0.00, 0.05 dan 0.10 mM. Pengamatan TPT, aktivitas kitinase dan peroksidase dari ekstrak kasar protein dilakukan pada 1, 2 dan 3 hari setelah perlakuan.
Tabel 30. Rataan TPT, aktivitas kitinase dan peroksidase pada ekstrak kasar protein dari kalus in vitro T. tricuspidata yang diberi perlakuan SA SA (mM) 0.00 0.05 0.10 Rataan waktu 0.00 0.05 0.10 Rataan waktu 0.00 0.05 0.10 Rataan waktu
1 HSP
2 HSP 3 HSP Rataan SA Total Protein Terlarut (mg/ml) 2.88 2.85 1.13 2.37 A** 2.19 2.52 0.46 1.78 AB 1.93 1.85 0.61 1.46 B 2.38 A 2.40 A 0.73 B Aktivitas kitinase (mM pNp/jam/mg protein) 1.47 b* 1.18 b 2.55 b 1.69 B 1.91 b 1.09 b 7.78 a 3.36 A 2.31 b 1.92 b 6.40 a 3.54 A 1.39 B 1.85 B 5.58 A Aktivitas peroksidase (∆420/menit/mg protein) 0.03 b 0.04 b 0.09 b 0.05 B 0.03 b 0.05 b 0.35 a 0.13 A 0.04 b 0.05 b 0.31 a 0.13 A 0.03 B 0.05 B 0.25 A
Keterangan: *Angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada baris dan kolom dari peubah yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5%. **Angka yang diikuti huruf besar yang sama pada baris atau kolom dari peubah sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5%.
101
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan SA atau waktu pengamatan setelah perlakuan berpengaruh nyata terhadap TPT. Akan tetapi interaksi antara konsentrasi SA dan waktu setelah perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap TPT seperti terlihat pada Tabel 30. TPT menurun dengan bertambahnya konsentrasi SA atau bertambahnya waktu setelah perlakuan. TPT pada SA 0.00 mM (kontrol) nyata lebih tinggi dari TPT pada perlakuan SA 0.10 mM, namun tidak berbeda nyata dengan TPT pada perlakuan SA 0.05 mM. TPT pada 1 dan 2 HSP nyata lebih tinggi dari TPT pada 3 HSP.
Aktivitas kitinase Aktivitas kitinase pada esktrak kasar protein nyata dipengaruhi oleh perlakuan SA, waktu pengamatan dan interaksi antara perlakuan SA dan waktu pengamatan seperti terlihat pada Tabel 30. Aktivitas kitinase dari ekstrak kasar protein kalus meningkat dengan perlakuan SA atau dengan bertambahnya waktu Setelah perlakuan. Pada SA 0.00 mM, aktivitas kitinase pada ekstrak kasar protein kalus tidak berbeda nyata pada 1, 2 dan 3 HSP. Sebaliknya pada perlakuan SA 0.05 dan 0.10 mM, aktivitas kitinase nyata meningkat pada 3 HSP dan lebih tinggi dari pada aktivitas kitinase dari ekstrak kasar protein kalus pada 1 dan 2 HSP.
Aktivitas peroksidase Pengaruh perlakuan SA dan waktu pengamatan terhadap aktivitas peroksidase dari ekstrak kasar protein kalus menyerupai pengaruh perlakuan SA dan waktu pengamatan terhadap aktivitas kitinase. Pada Tabel 30 terlihat bahwa aktivitas peroksidase nyata dipengaruhi oleh perlakuan SA, waktu pengamatan serta interaksi SA dan waktu pengamatan. Aktivitas peroksidase pada perlakuan SA 0.00 mM (kontrol) tidak berbeda nyata pada 1, 2 dan 3 HSP. Sebaliknya pada perlakuan SA 0.05 dan 0.10 mM, aktivitas peroksidase meningkat nyata pada 3 HSP. Peningkatan aktivitas peroksidase pada perlakuan SA 0.05 dan 0.10 mM pada 3 HSP mencapai 6-7 kali lipat dibandingkan aktivitas peroksidase pada 2 HSP. Aktivitas peroksidase tersebut juga mencapai lebih dari 3 kali lipat aktivitas peroksidase pada kontrol (SA 0.00 mM).
102
e. Induksi Aktivitas Kitinase dan Peroksidase pada Ekstrak Protein Kalus In Vitro T. cucumerina var. anguina Total Protein Terlarut Percobaan menggunakan empat konsentrasi asam salisilat pada kalus T. cucumerina var. anguina yaitu SA 0.00, 0.025, 0.05 dan 0.10 mM. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi asam salisilat tidak nyata mempengaruhi TPT dari ekstrak kasar protein kalus. Sebaliknya waktu setelah perlakuan SA nyata mempengaruhi TPT, dimana pada 2 hari setelah perlakuan TPT pada kalus menurun, nyata lebih rendah dibanding TPT pada 1 dan 3 HSP seperti terlihat pada Tabel 31.
Aktivitas kitinase Aktivitas kitinase dari ekstrak kasar protein kalus tidak dipengaruhi secara nyata oleh perlakuan SA namun nyata dipengaruhi oleh waktu setelah perlakuan asam salisilat. Interaksi perlakuan SA dan waktu juga tidak berpengaruh nyata terhadap aktivitas kitinase pada ekstrak kasar protein kalus. Rataan nilai aktivitas kitinase pada berbagai waktu pengamatan setelah perlakuan seperti terlihat pada Tabel 31. Pada tabel tersebut terlihat bahwa pada 2 HSP, aktivitas kitinase pada ekstrak kasar protein kalus nyata lebih tinggi dibanding aktivitas kitinase pada 1 dan 3 HSP.
Aktivitas peroksidase Aktivitas peroksidase pada ekstrak kasar protein kalus dipengaruhi secara nyata oleh konsentrasi SA, waktu pengamatan dan interaksi antara konsentrasi SA dan waktu setelah perlakuan SA. Rata-rata aktivitas peroksidase pada berbagai konsentrasi SA dan waktu setelah perlakuan seperti terlihat pada Tabel 31. Tabel tersebut menunjukkan bahwa perlakuan SA dapat meningkatkan aktivitas peroksidase pada ekstrak kasar protein kalus. Peningkatan juga terlihat dengan bertambahnya waktu setelah perlakuan seperti terlihat pada perlakuan SA 0.025 dan 0.10 mM. Namun pada SA 0.05 mM peningkatan secara cepat terjadi pada 2 HSP dan menurun kembali pada 3 HSP SA.
103
Tabel 31. Rataan TPT, aktivitas kitinase dan peroksidase pada ekstrak kasar protein dari kalus in vitro T. cucumerina yang diberi perlakuan SA SA (mM) 0.00 0.025 0.05 0.10 Rataan waktu 0.00 0.025 0.05 0.10 Rataan waktu 0.00 0.025 0.05 0.10 Rataan waktu
1 HSP
2 HSP 3 HSP Rataan SA Total Protein Terlarut (mg/ml) 1.35 0.67 1.27 1.09 1.29 0.88 1.13 1.10 0.90 0.95 1.32 1.07 1.19 0.89 0.98 1.02 1.18 a 0.79 b 1.18 a Aktivitas kitinase (mM pNp/jam/mg protein) 3.65 7.95 2.38 4.66 3.63 4.89 3.36 4.57 5.48 5.35 3.16 3.96 4.76 5.17 3.06 4.33 4.38 b 5.88 a 2.99 b Aktivitas peroksidase (∆420/menit/mg protein) 0.04 c* 0.05 c 0.10 bc 0.06 B** 0.04 c 0.09 bc 0.14 b 0.09 AB 0.05 c 0.17 ab 0.13 b 0.11 A 0.05 c 0.10 bc 0.22 a 0.12 A 0.04 C 0.10 B 0.15 A
Keterangan: *Angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada baris dan kolom dari peubah yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5%. Angka yang diikuti huruf besar yang sama pada baris atau kolom dari peubah yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5%.
f. Induksi Aktivitas Kitinase dan Peroksidase dengan Etefon (ETF) pada Kalus T. tricuspidata In Vitro Total Protein Terlarut Total protein terlarut tidak dipengaruhi oleh konsentrasi ETF, namun nyata dipengaruhi oleh waktu pengamatan setelah perlakuan ETF. Interaksi antara ETF dan waktu pengamatan juga tidak berpengaruh nyata terhadap total protein terlarut. Total protein terlarut pada berbagai konsentrasi ETF seperti terlihat pada Tabel 32. Total protein terlarut meningkat dalam jangka waktu pengamatan 1, 18 dan 26 jam setelah perlakuan.
104
Tabel 32. Rataan TPT, aktivitas kitinase dan peroksidase pada ekstrak kasar protein dari kalus in vitro T. tricuspidata yang diberi perlakuan ETF ETF (mM) 0.00 0.025 0.05 0.10 Rataan waktu 0.00 0.025 0.05 0.10 Rataan waktu 0.00 0.025 0.05 0.10 Rataan waktu
0 JSP
18 JSP 26 JSP Rataan SA Total Protein Terlarut (mg/ml) 0.24 0.26 0.31 0.68 0.28 0.25 0.33 0.70 0.28 0.39 0.42 0.91 0.30 0.34 0.46 0.92 0.69 B 0.77 AB 0.96 A Aktivitas kitinase (mM pNp/jam/mg protein) 0.13 b* 4.63 a 6.75 a 3.49 B** 0.13 b 7.20 a 5.12 a 4.59 AB 5.65 a 5.02 a 0.20 b 3.62 B 6.56 a 4.36 a 4.97 a 5.25 A 3.07 B 5.43 A 4.01 B Aktivitas peroksidase (∆420/menit/mg protein) 5.20 a 6.65 a 1.98 bc 4.61 A 7.20 a 4.26 ab 3.92 abc 5.13 A 5.00 a 1.41 c 3.39 abc 3.26 AB 4.39 ab 1.94 bc 1.44 c 2.67 B 5.44 A 3.71 B 2.68 B
Keterangan: JSP = Jam Setelah Perlakuan. *Angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada baris atau kolom dari peubah yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5%. Angka yang diikuti huruf besar yang sama pada baris atau kolom sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5%.
Aktivitas kitinase Aktivitas kitinase sangat nyata dipengaruhi oleh konsentrasi ETF, waktu pengamatan dan interaksi antara ETF dan waktu pengamatan seperti terlihat pada Tabel 32. Perlakuan ETF 0.025 - 0.10 mM dapat meningkatkan aktivitas kitinase pada ekstrak kasar protein. Aktivitas kitinase pada 18 JSP nyata lebih tinggi dari 1 maupun 26 JSP. Peningkatan aktivitas kitinase terjadi dengan cepat (1 JSP) setelah perlakuan ETF terutama pada 0.05 dan 0.10 mM. Pada ETF 0.025 mM peningkatan aktivitas terlihat lebih lambat, dengan aktivitas tertinggi pada 18 JSP. Sementara pada perlakuan ETF 0.00 mM (kontrol) juga terjadi peningkatan aktivitas kitinase seiring dengan bertambahnya waktu setelah perlakuan, namun dengan laju peningkatan yang lebih lambat dan masih terus meningkat sampai 26 JSP.
105
Aktivitas peroksidase Aktivitas peroksidase dari ekstrak kasar protein asal kalus menurun pada jangka waktu 1 jam dan 26 jam setelah perlakuan kecuali pada ETF 0.00 mM (kontrol) seperti terlihat pada Tabel 32. Peningkatan konsentrasi ETF cenderung menekan aktivitas peroksidase dalam jangka waktu pengamatan 1, 18 dan 26 JSP. Rataan aktivitas peroksidase dari ekstrak protein kalus pada kontrol dan perlakuan ETF 0.025 mM terlihat lebih tinggi dari ETF 0.05 mM dan ETF 0.10 mM.
Pembahasan Perlakuan SA dan ETF yang diuji dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah SA dan ETF dapat meningkatkan aktivitas kitinase dan peroksidase dari berbagai jaringan tanaman T. tricuspidata dan T. cucumerina var. anguina. SA terlibat dalam berbagai proses fisiologi seperti penutupan stomata, induksi bunga, produksi panas, dan peran utama dalam ketahanan tanaman terhadap patogen melalui induksi ekspresi gen-gen ketahanan (Raskin et al.i 1989; Raskin et al. 1992). SA merupakan salah satu aktivator Systemic Aquired Resistance (SAR) komersial. Respon SAR berasosiasi dengan terinduksinya berbagai PR-protein (diantaranya kitinase dan peroksidase) yang berperan dalam pembentukan ketahanan sistemik dari tanaman. Enzim kitinase khususnya acidic chitinase diklasifikasikan sebagai marker respon SAR. Ekspresi yang tinggi dari PR-protein berkorelasi erat dengan tingkat ketahanan terhadap patogen tanaman (Burtekova et al. 2003) Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan SA pada tanaman T. tricuspidata dan T. cucumerina var. anguina di lapangan belum dapat meningkatkan aktivitas kitinase pada ekstrak kasar protein akar. Hal ini menunjukkan bahwa selang konsentrasi SA yang diberikan tidak dapat meningkatkan biosintesis enzim kitinase dalam jaringan akar T. tricuspidata maupun pada jaringan akar, batang dan daun dari T. cucumerina var. anguina. Peningkatan aktivitas kitinase pada ekstrak kasar protein akar dari T. tricuspidata terjadi dengan bertambahnya waktu setelah perlakuan SA. Peningkatan tersebut
106
dapat terjadi karena pertumbuhan dan perkembangan jaringan tanaman maupun karena kemungkinan adanya pengaruh faktor lingkungan. Pada T. cucumerina var. anguina di lapangan, perlakuan SA 6.25 dan 12.5 mM juga tidak meningkatkan aktivitas kitinase dari ekstrak kasar protein. Perbedaan aktivitas kitinase hanya disebabkan karena perbedaan jenis jaringan yang dianalisis. Daun tanaman T. cucumerina var. anguina memiliki aktivitas kitinase per mg protein yang paling rendah dibanding batang dan daun tanaman. Meskipun pada T. cucumerina var. anguina di lapang, konsentrasi SA yang diberikan jauh lebih tinggi dari pada yang diberikan pada T. tricuspidata, ternyata tidak dapat menginduksi peningkatan aktivitas kitinase pada akar, batang maupun daun tanaman. Ketidakberhasilan induksi aktivitas kitinase dapat disebabkan berbagai faktor diantaranya konsentrasi SA yang diuji pada T. tricuspidata kemungkinan terlalu rendah atau distribusi SA ke sel tanaman yang kurang optimal karena kemungkinan diabsorbsi oleh tanah. Peningkatan aktivitas kitinase pada jaringan tanaman T. tricuspidata dan T. cucumerina di lapangan dengan bertambahnya waktu setelah perlakuan menunjukkan adanya pengaruh fisiologi perkembangan tanaman maupun kondisi lingkungan lainnya yang mempengaruhi tanaman. Bertambahnya waktu setelah perlakuan juga berarti bertambahnya umur jaringan tanaman dan dapat mempengaruhi aktivitas kitinase pada ekstrak protein jaringan. Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi aktivitas kitinase tanaman dapat berupa faktor biotik maupun abiotik. Interaksi tanaman dengan faktor lingkungan setelah tanaman diberi perlakuan SA juga dapat meningkatkan aktivitas kitinase pada ekstrak protein tanaman. Berbeda dengan aktivitas kitinase, aktivitas peroksidase pada kedua spesies tanaman di lapang
nyata dipengaruhi oleh perlakuan SA. Pada
T. tricuspidata, peningkatan aktivitas peroksidase terjadi perlakuan SA 2 mM dan 9 HSP SA. Peningkatan aktivitas peroksidase pada T. tricuspidata terjadi baik pada akar primer maupun akar sekunder. Sementara pada T. cucumerina var. anguina, peningkatan aktivitas peroksidase akibat perlakuan SA terjadi pada akar dan batang, dan tidak terjadi pada daun. Makin tinggi konsentrasi SA, makin besar aktivitas peroksidase pada ekstrak protein akar dan batang, dan tidak
107
berubah pada daun. Tidak terinduksinya aktivitas peroksidase pada daun dapat disebabkan distribusi SA yang belum mencapai daun sehingga tidak mempengaruhi biosintesis enzim peroksidase pada daun. Pada perlakuan induksi aktivitas kitinase dan peroksidase dalam kultur tanaman T. tricuspidata in vitro dihasilkan hal yang berbeda pada pengujian menggunakan bahan tanaman yang berbeda. Pada tunas in vitro, SA (0 – 0.05 mM) tidak dapat meningkatkan aktivitas kitinase, sebaliknya pada kalus, SA 0.050.10 mM dapat secara nyata meningkatkan aktivitas kitinase dari ekstrak protein kalus. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat organisasi sel yang berbeda memiliki respon aktivitas kitinase yang berbeda terhadap perlakuan SA. Perbedaan tersebut dapat juga disebabkan perbedaan jenis kitinase yang terdapat atau yang diekspresikan pada tunas in vitro dan pada kalus. Induksi
aktivitas
peroksidase
dengan
SA
pada
kalus
in
vitro
T. tricuspidata menunjukkan hasil yang konsisten dengan hasil perlakuan pada tanaman di lapangan, dimana aktivitas peroksidase sama-sama meningkat dengan perlakuan SA. Peningkatan SA juga disebabkan oleh bertambahnya waktu setelah perlakuan, sehingga makin besar konsentrasi SA dan makin lama waktu setelah perlakuan SA (dalam rentang SA dan waktu perlakuan yang diuji), maka makin besar peningkatan aktivitas peroksidase pada ekstrak protein akar di lapang dan ekstrak protein kalus in vitro. Induksi aktivitas kitinase dengan SA pada kalus in vitro T. cucumerina var. anguina menunjukkan hasil yang konsisten dengan hasil pengujian perlakuan SA pada tanaman di lapang. Perlakuan SA (0.025 – 0.10 mM) pada kalus juga tidak dapat meningkatkan aktivitas kitinase pada ekstrak protein kalus, seperti SA (6.25 – 12.5 mM) yang tidak dapat meningkatkan aktivitas kitinase pada ekstrak protein akar, batang maupun daun tanaman di lapang. Peningkatan aktivitas kitinase lebih banyak dipengaruhi oleh pertambahan waktu setelah perlakuan (baik pada tanaman di lapang maupun kultur kalus in vitro) yang menunjukkan bahwa ada faktor fisiologi perkembangan jaringan atau faktor lain yang mempengaruhi biosintesis enzim kitinase atau ekspresi gen kitinase pada tanaman, bukan karena adanya perlakuan SA pada jaringan tanaman.
108
Respon aktivitas peroksidase terhadap perlakuan SA pada tanaman T. cucumerina var. anguina dilapang dan kalus in vitro juga menunjukkan hasil yang konsisten. Aktivitas peroksidase pada ekstrak protein akar dan batang tanaman di lapang dan kalus in vitro sama-sama meningkat dengan adanya perlakuan SA. Terjadi atau tidaknya induksi aktivitas enzim kitinase dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya klas enzimnya sendiri, konsentrasi elisitor, lama perlakuan dan faktor lain yang kemungkinan mempengaruhi ekspresi gen tanaman. Buuren et al. (1992), Fukuda et al. (1991), Fukuda et al. (1994) dan Grosset et al. (1990) melaporkan bahwa endokitinase klas 1 yang dinamakan CHN 50 ekspresinya di atur/diregulasi oleh infeksi patogen, elisitor, salisilat, etilen dan pelukaan. Pada kultur sel anggur, SA 20 µM dapat menginduksi ekspresi gen basic chitinase klas I (VCHIT1b) hanya pada 4 jam setelah perlakuan dan klas III (VCH3) pada 4 dan 24 jam setelah perlakuan dan ekspresinya rendah pada 0 dan 8 jam setelah perlakuan (Busam et al. 1997). Etefon merupakan senyawa berbentuk padat (bubuk) yang ketika dilarutkan akan menghasilkan gas etilen (ETL). Aktivitas kitinase pada kalus T. tricuspidata yang diberi perlakuan etefon (ETF) terlihat sangat terpengaruh dengan konsentrasi etefon yang diberikan dan juga lama waktu setelah perlakuan. Makin tinggi konsentrasi ETF, maka makin cepat terjadinya peningkatan aktivitas kitinase. Respon aktivitas kitinase tersebut berbeda dengan respon yang lebih peningkatan yang lebih lambat pada perlakuan SA. Perbedaan respon tersebut dapat disebabkan karena gen penyandi enzim kitinase tertentu memiliki respon yang berbeda terhadap SA atau ETF atau terdapat lebih dari satu gen penyandi enzim kitinase pada tanaman yang memiliki respon berbeda terhadap SA atau ETF. Akibatnya total aktivitas kitinase dari ekstrak kasar protein tanaman akan berbeda jika diperlakukan dengan SA atau ETF. Kellman et al. (1996) menemukan bahwa ekspresi 2 gen kitinase klas II dari kultur suspensi sel kacang tanah menunjukkan respon yang berbeda terhadap perlakuan asam salisilat dan etilen. Gen A.h. Chi2:2 meningkat ekspresinya dengan perlakuan etilen, salisilat dan konidia cendawan Botrytis cinerea. Sebaliknya gen A.h. Chi2:1 hanya meningkat ekspresinya setelah perlakuan spora cendawan dan tidak meningkat
109
oleh perlakuan etilen dan salisilat. Tanaman kacang tanah transgenik dengan gen A.h.Chi2:1 juga menunjukkan ekspresi gen yang sama dengan yang ditemukan di kultur suspensi sel. Samac et al. (1990) menemukan bahwa etilen meningkatkan ekspresi gen chitinase basic pada akar Arabidopsis thaliana hingga dua kali lipat, sedangkan pada daun peningkatan ekspresinya dapat mencapai 30 kali lipat. Sementara itu ekspresi gen acidic chitinase tidak ditemukan pada tanaman baik yang tidak diberi perlakuan SA atau etilen maupun yang mendapatkan perlakuan SA/Etilen. Hasil ini menunjukkan bahwa acidic chitinase tidak dapat diinduksi oleh perlakuan SA maupun etilen. Kitinase dapat diinduksi oleh etilen dan serangan patogen (Schlumbaun et al. 1986) dan sebagian besar kitinase dalam tanaman terinduksi oleh etilen (Graham et al.1994; Boller et al. 1983; Shinshi et al. 1995). Etilen mengatur berbagai proses perkembangan dan juga memperantarai berbagai respon terhadap cekaman biotik dan abiotik pada tanaman tingkat tinggi (Bleecker dan Kende, 2000; Ciardi dan Klee, 2001). Davis et al. (1987) menyatakan bahwa perlakuan etilen secara eksogen dapat menginduksi beberapa PR-protein. Pada kalus Allium cepa, aktivitas kitinase meningkat jika kalus dikulturkan dalam media dengan penambahan 1 mM SA atau 0.05 mM etrel pada media selama 72 jam (William dan Heung 1993) Sementara Siefert et al. (1997) melaporkan perlakuan ETL eksogen pada suspensi sel bunga matahari tidak meningkatkan aktivitas kitinase. Bittner et al. (1997) menyatakan bahwa induksi kitinase oleh ETL dalam kondisi in vitro tidak terjadi pada semua tipe kultur. SA sudah banyak dilaporkan dapat menginduksi ekspresi kitinase maupun PR-Protein lainnya (Zhang et al. 2003). Namun dalam penelitian ini tidak terlihat adanya peningkatan aktivitas SA pada T. cucumerina di lapang maupun pada kalus. Hal ini bisa terjadi jika tipe kitinase yang ada pada tanaman ini bukan kitinase yang diregulasi oleh SA. Perlakuan salisilat yang tidak menginduksi aktivitas kitinase Chi9 juga ditemukan oleh Wu dan Bradford (2003) pada mikropil benih tomat, sebaliknya dapat diinduksi oleh pelukaan, metil jasmonat, etilen dan GA. Zhao dan Chye (1999) juga melaporkan bahwa acidic chitinase (BjCHI) yang ditemukan pad Brassica juncea dapat diinduksi ekspresinya dengan
110
perlakuan metil jasmonat, namun tidak terinduksi oleh perlakuan SA, etilen dan asam absisik (ABA). Nakamura (2008) juga melaporkan bahwa BiCHT1 terinduksi ekspresinya dengan perlakuan suhu rendah (10 dan 4oC) dan ekspos ke suhu 35oC, namun tidak terinduksi oleh cekaman osmotik, asam absisik, etefon, metil jasmonat dan SA. Konsentrasi SA atau ETF yang diberikan juga menentukan kemampuan induksi aktivitas kitinase, peroksidase dan PR-protein lainnya. Buchter et al. (1993) melaporkan bahwa pada tanaman kentang kitinase acidic terinduksi kuat oleh perlakuan SA dengan konsentrasi optimum 0.4 – 0.8 mM namun SA 0.1 mM juga cukup signifikan, sementara konsentrasi 1.0 mM sudah merupakan konsentrasi sub optimal. Ekspresi gen pada perlakuan SA mencapai level maksimum pada 12 jam setelah perlakuan. Sebaliknya perlakuan SA tidak menginduksi kitinase basic. Kitinase basic justru terinduksi oleh perlakuan etilen pada 24 sampai 48 jam setelah perlakuan. Pada induksi aktivitas dengan perlakuan etefon, peningkatan aktivitas kitinase juga terjadi pada kontrol, namun dengan laju yang lebih lambat. Hal ini bisa terjadi karena kalus ditempatkan dalam botol tertutup dan memungkinkan terjadinya akumulasi etilen yang dihasilkan jaringan tanaman yang dapat menginduksi gen kitinase. Hal yang sama juga ditemukan Mitter et al. (1998) pada induksi gen penghasil protein antimikroba yang disebut defensin pada tanaman tembakau transgenik. Perlakuan tanaman dengan gas etilen 100 ppm meningkatkan ekspresi GUS pada tanaman transgenik dua kali lipat dibanding kontrol. Namun pada kontrol juga terjadi peningkatan disebabkan tanaman ditempatkan dalam botol kultur yang tertutup sehingga etilen endogen yang disintesis tanaman kemungkinan terakumulasi dan menginduksi ekspresi gen defensin. Tanaman menghasilkan senyawa pertahanan sebagai respon terhadap mikroba, cendawan, serangan herbivora atau ketika mendapatkan perlakuan dari senyawa kimia yang menyerupai pengaruh infeksi patogen (Van Loon dan Van Strien 1999), seperti senyawa asam salisilat (Vernooij et al. 1994), 2,6dichloronicotinic acid dan benzo-1,2,3-thiadiazole-7-carbothioic acid S-methyl ester (Gorlach et al. 1996; Morris et al. 1998). Martinez et al. (2000) menemukan
111
bahwa infiltrasi SA pada kotiledon dan daun kapas sebesar 2 mM dapat meningkatkan aktivitas peroksidase lokal dalam waktu 3 jam setelah infiltrasi, sedangkan aktivitas peroksidase sistemik meningkat dalam 12 jam setelah perlakuan. Sementara Faravardeh dan Rabbani (2005) menemukan bahwa pada suspensi sel kentang aktivitas peroksidase tergantung pada dosis SA dan mencapai nilai maksimal pada 6 jam setelah perlakuan SA dengan konsentrasi kritis SA sebesar 2.5 mM. Penghambatan aktivitas isoperoksidase pernah dilaporkan terjadi pada sel tembakau yang diberi perlakuan SA 5 mM (Eonsion et al. 2004). Respon aktivitas peroksidase terhadap perlakuan ETF pada kalus T. tricuspidata terlihat berbeda dengan respon kitinase. Konsentrasi ETF yang tinggi (0.050 dan 0.10 mM) tidak meningkatkan aktivitas peroksidase. Aktivitas peroksidase justru meningkat cepat pada kontrol dan sedikit meningkat pada konsentrasi 0.025 mM. Dari hasil ini diduga sedikit saja jumlah etilen disekitar jaringan akan dapat meningkatkan aktivitas peroksidase jaringan tanaman. Hal ini juga mungkin terjadi pada konsentrasi ETF yang terlalu tinggi, justru menekan aktivitas peroksidase. Penelitian tentang keterlibatan SA terhadap induksi PR-protein sudah banyak dilaporkan. Fernandez et al. (2006) melaporkan bahwa total aktivitas peroksidase pada daun kopi dapat diinduksi dengan perlakuan SA 10 mM yang disemprotkan pada daun. SA, metal jasmonat dan etefon dikenal induser PRgenes, meskipun gen peroksidase pada tembakau yang dapat terinduksi oleh proses hipersensitif respon ternyata tidak terinduksi oleh ketiga senyawa tersebut di atas .(Hiraga et al. 2000). Curtis et al. (1997) juga menemukan bahwa SA tidak dapat menginduksi ekspresi 2 gen peroksidase (Shpx6a dan Spx6b) pada tanaman Stylosanthes humilis.
Simpulan Dari percobaan ini dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Aktivitas kitinase pada ekstrak kasar protein tanaman T. tricuspidata di lapangan tidak dapat diinduksi dengan perlakuan SA (0.02 – 0.2 mM).
112
2. SA (0.05 - 0.10 mM) dapat meningkatkan aktivitas kitinase dan peroksidase pada ekstrak kasar protein kalus T. tricuspidata pada 3 HSP. 3. Aktivitas kitinase pada T. cucumerina var. anguina tidak dapat diinduksi dengan perlakuan SA (6.25 – 12.5 mM) pada tanaman di lapang maupun dengan perlakuan SA (0.025 – 0.10 mM) dalam kultur kalus in vitro. SA dapat meningkatkan aktivitas peroksidase pada pada akar tanaman di lapangan dan kalus in vitro. 4. Aktivitas kitinase meningkat dengan cepat (1 JSP) pada perlakuan ETF 0.05 – 0.10 mM pada ekstrak protein kalus in vitro T. tricuspidata. 5. Aktivitas peroksidase pada ekstrak protein kalus T. tricuspidata tertekan oleh adanya perlakuan ETF.
113
BAB VII
AKTIVITAS ANTICENDAWAN IN VITRO DARI EKSTRAK KASAR PROTEIN TANAMAN TRICHOSANTHES
Abstrak Penelitian dilakukan untuk mengetahui aktivitas anticendawan in vitro dari ekstrak kasar protein dari tanaman Trichosanthes. Uji aktivitas menggunakan uji perkecambahan spora in vitro dan uji penghambatan pertumbuhan hifa. Ekstrak protein kasar diisolasi dari tunas in vitro T. tricuspidata untuk uji perkecambahan spora dan dari akar dan daun T. cucumerina var. anguina dan T. tricuspidata digunakan untuk uji penghambatan pertumbuhan hifa. Hasil pengujian penghambatan spora menunjukkan bahwa ekstrak kasar protein dari tunas in vitro tanaman T. tricuspidata dapat menghambat perkecambahan spora cendawan Fusarium sp. yang berasal dari T. cucumerina var. anguina pada konsentrasi 0.0077 - 0.77 mg/ml. Ekstrak kasar protein juga dapat menghambat perkecambahan spora Fusarium oxysporum dari bawang merah, cendawan karat kacang tanah (Puccinia arachidis), cendawan embun bulu pada ketimun (Pseudoperonospora cubensis), namun tidak dapat menghambat perkecambahan spora cendawan Curvularia eragrostidis dari anggrek. Penghambatan pada ekstrak protein dari tunas in vitro hasil perlakuan dengan etilen ditemukan lebih besar dari tunas in vitro kontrol pada uji penghambatan pertumbuhan spora Fusarium sp. Hasil uji penghambatan pertumbuhan hifa menunjukkan bahwa ekstrak protein dari akar T. cucumerina dan T. tricuspidata dapat menghambat pertumbuhan hifa cendawan Helminthosporium turcicum. Efek penghambatan dari ekstrak protein akar dari T. tricuspidata terhadap Helminthosporium turcicum lebih besar dibanding ekstrak protein daun. Efek penghambatan dari ekstrak protein batang dari T. cucumerina var. anguina terhadap Helminthosporium turcicum lebih besar dibanding ekstrak protein akar dan daun. Kata kunci : aktivitas anticendawan, ekstrak kasar protein, perkecambahan spora, pertumbuhan hifa
IN VITRO ANTIFUNGAL ACTIVITY OF CRUDE PROTEIN EXTRACT FROM TRICHOSANTHES
Abstract The research was done to evaluate the antifungal activity of crude protein extract from Trichosanthes sp. The antifungal activity of crude protein was examined through fungal spore germination and hypha growth inhibiton assays. The crude protein extract was isolated from in vitro shoots of T. tricuspidata (treated or not treated with ethephon) for fungal spore germination assay and from leaves and roots of field plants for hypha growth inhibition assays. The results of the experiments showed that the protein inhibited the spore germination of Fusarium sp. from T. cucumerina var. anguina in concentration of 0.77 – 0.0077 mg/ml. Crude protein extract of in vitro shoot of T. tricuspidata also inhibited spore germination of
Fusarium oxysporum from shallot, Puccinia arachidis from
peanut, Pseudoperonospora cubensis from cucumber and did not inhibit spore germination of Curvularia eragrostidis from Dendrobium orchid. Crude protein extract from in vitro shoots which were treated with ethephon exhibited more inhibition than control on Fusarium oxysporum. Protein extract from roots of T.
tricuspidata
and
T.
cucumerina
inhibited
the
hypha
growth
of
Helminthosporium turcicum. Inhibition effect of root protein of T. tricuspidata on Helminthosporium turcicum was bigger than leaves protein. Inhibition effect of stem protein of T. cucumerina var. anguina on Helminthosporium turcicum was bigger than root and leaves protein.
\
Key words : antifungal activity, crude protein extract, spore germination, hypha growth
115
Pendahuluan Kerusakan dan kehilangan hasil karena patogen cendawan merupakan masalah utama pada berbagai jenis tanaman pangan dan hortikultura. Pada kacang tanah misalnya, kerusakan hasil karena cendawan Sclerotium rolfsii dapat mencapai 80% (Hardaningsih, 1993). Pada cabe, kerusakan dan kehilangan hasil karena antraknosa dapat mencapai 70% (Syukur, 2007). Metode utama yang umum digunakan dalam pengendalian patogen cendawan pada tanaman adalah dengan menggunakan varietas tahan/toleran patogen cendawan atau dengan fungisida. Pengembangan varietas tahan kadangkadang terhambat oleh terbatasnya sumber gen ketahanan dalam spesies atau genus ataupun karena mudahnya ketahanan yang terbentuk dipatahkan oleh munculnya ras-ras patogen baru. Pencarian sumber-sumber gen ketahanan pengkode kitinase, glukanase, peptida antimikroba maupun PR-protein lainnya sudah sudah banyak dilakukan. Spesies-spesies Trichosanthes merupakan sumber protein bioaktif yang dapat dimanfaatkan dalam pengendalian penyakit tanaman yang disebabkan oleh bakteri, cendawan, virus maupun untuk pengendalian hama nematoda. Protein bioaktif dari Trichosanthes antara lain Ribosome Inactivating Protein (RIP) yang dinamakan trikosantin, enzim kitinase, ataupun berupa defensin. Fraksi protein dari T. kirilowii menunjukkan aktivitas penghambatan cendawan in vitro (Savary dan Flores, 1994). Defensin dari T. kirilowii juga menunjukkan aktivitas penghambatan terhadap pertumbuhan cendawan Fusarium oxysporum (Hui et al. 2007) Pengujian aktivitas anticendawan in vitro terhadap berbagai bahan bioaktif dari tanaman sudah banyak dilakukan. Pengujian aktivitas dapat dilakukan menggunakan ekstrak kasar jaringan tanaman, protein, metabolit sekunder maupun senyawa hasil purifikasi. Pengujian ekstrak kasar tanaman dapat menjadi informasi awal terdapatnya bahan bioaktif dari suatu tanaman. Pengujian dari hasil purifikasi dapat memberikan informasi apakah senyawa yang sudah diketahui indentitasnya benar-benar memiliki aktivitas anticendawan maupun antibakteri in vitro.
116
Berbagai metode pengujian aktivitas anticendawan dari senyawa bioaktif tanaman sudah banyak dikembangkan. Banyak peneliti yang telah melaporkan tentang hasil pengujian aktivitas antimikroba dari protein bioaktif atau peptida antimikroba secara in vitro. Beberapa metoda yang digunakan untuk pengujian aktivitas anticendawan dari protein/peptida antimikroba secara in vitro adalah dengan radial growth inhibiton assay (Schlumbaum et al. 1986), Germinated Spores
Antifungal
Bioassays,
Microplate
Antifungal
Bioassays,
Spore
Germination Assays (Rajasekaran 2001). Pada radial growth inhibition assay aktivitas
penghambatan
pertumbuhan
cendawan
dilihat
berdasarkan
penghambatan pertumbuhan hifa cendawan. Potongan cendawan ditempatkan ditengah media PDA pada cawan petri dan senyawa yang akan diuji diteteskan ke potongan kertas saring pada beberapa tempat di sekitar cendawan. Germinated Spore Antifungal Bioassays menggunakan spora yang sudah dikecambahkan. Daya penghambatan senyawa bioaktif dilihat berdasarkan pembentukan koloni cendawan setelah konidia yang berkecambah diinkubasi dengan
senyawa
bioaktif. Microplate Antifungal Bioassay dilakukan dengan menggunakan miselia cendawan yang diblender. Konsentrasi fragmen miselia dihitung dengan haemacytometer. Pengujian aktivitas protein dilakukan dengan menginkubasi miselia dengan protein bioaktif dalam sumur-sumur pada plat mikro. Spore Germination Assay dilakukan dengan melihat pengaruh senyawa bioaktif terhadap perkecambahan konidia cendawan. Morfologi tabung kecambah dilihat secara mikroskopik. Bentuk penghambatan pertumbuhan cendawan oleh senyawa bioaktif dapat
terjadi
melalui
beberapa
cara,
diantaranya
dengan
menghambat
perkecambahan spora, gangguan pertumbuhan hifa atau mekanisme lainnya. Cheong et al. (1997) menemukan aktivitas anticendawan dari protein PR-5 dari daun labu terjadi dalam bentuk penghambatan pertumbuhan hifa atau degradasi dinding sel hifa atau kerusakan membran sehingga sitoplasma sel keluar. Gangguan pertumbuhan tersebut terutama terjadi pada ujung hifa. Berdasarkan hasil percobaan pada Bab IV, V, dan VI ditemukan bahwa aktivitas kitinase paling tinggi pada T. tricuspidata adalah pada ekstrak kasar protein tunas in vitro. Sedangkan pada T. cucumerina var. anguina, aktivitas
117
kitinase yang tinggi ditemukan pada ekstrak kasar protein akar. Hasil induksi aktivitas kitinase menunjukkan bahwa etefon dapat meningkatkan aktivitas kitinase pada kalus T. tricuspidata dan kemungkinan juga dapat meningkatkan aktivitas kitinase pada tunas in vitro. Berdasarkan hal tersebut dilakukan serangkaian pengujian aktivitas anticendawan dari ekstrak protein tunas in vitro dan tunas in vitro yang diberi perlakuan etefon, disamping pengujian aktivitas anticendawan dari esktrak protein tanaman dari lapang. Penelitian
yang
dilakukan
bertujuan
untuk
mengetahui
aktivitas
anticendawan in vitro dari ekstrak kasar protein dari tanaman Trichosanthes sp.
Bahan dan Metode
Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2007 sampai Maret 2008. Lokasi penelitian untuk pembuatan kultur in vitro dan analisis protein adalah di Laboratorium Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB. Pengujian aktivitas anticendawan dilakukan di Laboratorium Klinik Tanaman, Departemen Proteksi Tanaman, Faperta IPB.
Penyiapan Ekstrak Kasar Protein Untuk uji perkecambahan spora digunakan esktrak kasar protein dari tunas in vitro T. tricuspidata. Tunas diperbanyak dalam media Murashige-Skoog (MS) yang ditambah 1 mg/l BA dan dipanen pada 4 MST. Tunas in vitro dibedakan menjadi tunas tunas kontrol (E0, tanpa perlakuan etefon) dan tunas yang diberi perlakuan etefon (E1, perlakuan etefon 0.7 mM). Perlakuan etefon diberikan dengan cara merendam tunas selama 15 menit dalam larutan etefon, kemudian tunas ditiriskan dan dikembalikan ke media kultur selama 1 jam, kemudian baru diekstraksi proteinnya. Untuk tunas in vitro kontrol, tunas direndam dengan air aquadest steril selama 15 menit dan ditiriskan seperti pada perlakuan E1. Pengukuran aktivitas kitinase dan peroksidase pada ekstrak kasar protein dilakukan dengan metode seperti yang dijelaskan pada Bab IV.
118
Untuk pengujian penghambatan pertumbuhan hifa cendawan, protein yang digunakan adalah : P1 (protein akar tanaman T. tricuspidata)¸ P2 (protein daun T. tricuspidata), P3 (protein akar T. cucumerina var. anguina), P4 (protein batang T. cucumerina var. anguina), P5 (protein daun T. cucumerina var. anguina). Ekstrak kasar protein akar dan daun tanaman T. tricuspidata diisolasi dari akar tanaman yang berumur 6 bulan setelah tanam di lapangan, sedangkan ekstrak protein akar, batang dan daun T. cucumerina var. anguina diisolasi dari tanaman berumur 2 bulan setelah tanam di lapangan. Ekstraksi protein dilakukan seperti metode yang dilakukan pada Bab IV.
Penyiapan cendawan patogen tanaman Untuk uji perkecambahan spora digunakan cendawan Fusarium sp. asal tanaman T. cucumerina var. anguina , Fusarium oxysporum asal tanaman bawang merah diperoleh dari Dr. Suryo Wiyono, cendawan karat (Puccinia arachidis) dari tanaman kacang tanah di kebun percobaan Cikabayan, cendawan embun bulu (Pseudoperonospora cubensis) asal tanaman ketimun di desa Sinarsari Cibeureum, dan Curvularia eragrostidis dari tanaman anggrek Dendrobium diperoleh dari Dr. Suryo Wiyono (Klinik Tanaman IPB). Penyiapan
spora
cendawan
dilakukan
dengan
menanam
atau
mengkulturkan cendawan dalam media PDA (Potato Dekstrose Agar) selama 4 hari (untuk Fusarium dari tanaman Trichosanthes dan Fusarium oxysporum dari bawang merah) dan 10-12 hari untuk Curvularia eragrostidis. Spora diambil dari kultur cendawan dengan menambahkan air steril sebanyak 10 ml. Suspensi spora tersebut diencerkan 20 kali dan digunakan untuk pengujian perkecambahan. Untuk cendawan karat Puccinia arachidis dan cendawan embun bulu (Pseudoperonospora cubensis) spora diambil dari daun tanaman yang menunjukkan gejala penyakit di lapangan. Permukaan daun yang bergejala digerus dengan scalpel, hasil gerusan dimasukkan ke dalam 10 ml akuades steril hingga diperoleh sekitar 20 – 40 spora per bidang pandang pada perbesaran 100x. Spora yang diperoleh langsung digunakan untuk uji perkecambahan spora. Untuk uji penghambatan pertumbuhan hifa cendawan Helminthosporium turcicum, isolat cendawan diperoleh dari Dr. Suryo Wiyono (Klinik Tanaman
119
IPB). Isolat dikulturkan dalam media PDA selama 3-5 hari. Kemudian dari koloni cendawan tersebut diambil potongan hifa pada daerah ujung koloni dengan cork borer, kemudian potongan hifa tersebut ditanam di media baru dan pada umur 2 – 3 hari setelah tanam digunakan untuk pengujian aktivitas protein.
Pengujian aktivitas penghambatan perkecambahan spora Sebanyak 50 µl suspensi spora dari cendawan yang diuji diteteskan di atas gelas objek, kemudian diberi protein asal tunas in vitro T. tricuspidata (E0 dan E1) sebanyak 50 µl, lalu diaduk pelan-pelan dengan pipet tip. Untuk kontrol positif spora diberi perlakuan benlate 1 mg/ml sedangkan kontrol negatif menggunakan bufer fosfat 50 mM. Gelas objek tanpa penutup ditempatkan dalam cawan petri yang diberi dialas tissue lembab dan diberi pipa sedotan untuk penyangga gelas objek. Cawan petri ditutup dan ditempatkan dalam bak plastik lalu disimpan pada ruang inkubator bersuhu 28oC. Khusus untuk cendawan Fusarium sp. dari T. cucumerina var. anguina, uji perkecambahan spora hanya menggunakan protein tunas in vitro tanpa perlakuan etefon (E0) dengan beberapa perlakuan konsentrasi protein sebagai berikut : K0 = Kontrol bufer fosfat 50 mM K1 = Kontrol benlate 1 mg/ml P1 = Protein 0.77 mg/ml P2 = Protein 0.31 mg/ml P3 = Protein (0.015 mg/ml) P4 = Protein 0.0077 mg/ml (P4). Spora yang berkecambah diamati di bawah mikroskop pada waktu sekitar 24 jam setelah perlakuan dengan perbesaran maksimal 400X. Pengamatan meliputi jumlah spora yang berkecambah (untuk menghitung persentase perkecambahan) dan skor tingkat pertumbuhan spora sebagai berikut : +
: panjang tabung kecambah ± dari 2 kali diameter spora
++
: panjang tabung kecambah antara 2 – 4 kali ukuran diameter spora
+++ : untuk panjang tabung kecambah > 4 kali ukuran diameter spora.
120
Pengujian aktivitas penghambatan pertumbuhan hifa Uji aktivitas anticendawan mengikuti metode Schlumbaum et al. (1986) dengan cara radial-growth inhibition assay yang dimodifikasi. Potongan cendawan (mycelial plug) diambil dengan borer dari cendawan yang ditumbuhkan pada media Potato Dekstrose Agar (PDA) berumur 2 – 3 hari. Potongan cendawan tersebut ditempatkan pada cawan petri yang berisi media PDA. Kemudian setelah cendawan tumbuh dengan diameter sekitar 1.5 cm, pada jarak 1 cm dari pinggir miselia dibuat sumur berukuran diameter 5 mm sebanyak masingmasing 5 buah pada dua sisi yang berbeda. Larutan protein sebanyak 30 – 50 µl dimasukkan ke dalam sumur tersebut. Untuk kontrol digunakan larutan buffer ekstraksi. Perlakuan pengujian terdiri dari : K0 = kontrol buffer P1 = protein akar T. tricuspidata P2 = protein daun T. tricuspidata P3 = protein akar T. cucumerina var. anguina P4 = protein batang T. cucumerina var. anguina P5 = protein daun T. cucumerina var. anguina Percobaan dilakukan dalam kondisi steril dalam Laminar Air Flow Cabinet. Setelah perlakuan protein kultur cendawan diinkubasi pada suhu 23oC. Aktivitas anticendawan diamati berdasarkan penghambatan zona pertumbuhan miselia disekitar daerah yang diberi protein.
121
Hasil a. Perkecambahan spora Fusarium sp. asal tanaman T. cucumerina var. anguina. Spora cendawan Fusarium sudah terbentuk ketika cendawan berumur 3 hari sesudah dikulturkan dalam media PDA. Hifa cendawan berwarna putih seperti kapas. Spora berbentuk sabit terdiri dari 3 – 5 sel. Perkecambahan terlihat dari munculnya hifa dari salah satu atau kedua ujung spora atau dari sel-sel pada bagian tengah spora. Hasil percobaan menunjukkan bahwa ekstrak kasar dari protein asal tunas in vitro T. tricuspidata dapat menghambat perkecambahan spora Fusarium. Presentase perkecambahan spora disajikan pada Tabel 33. Pada konsentrasi protein 0.77 mg/ml, perkecambahan spora hanya 24%, dan makin meningkat menjadi 45% ketika protein diencerkan menjadi 1/25 dari konsentrasi awal 0.77 mg/ml menjadi 0.031 mg/ml. Persentase perkecambahan spora meningkat menjadi 54% pada konsentrasi protein 0.015 mg/ml yang merupakan hasil pengenceran 1/50 konsentrasi awal. Efek penghambatan perkecambahan spora bahkan masih terjadi ketika protein diencerkan menjadi 1/100 konsentrasi awal dengan persentase perkecambahan spora sekitar 65%.
Tabel 33. Presentase perkecambahan spora dan pertumbuhan tabung kecambah pada uji perkecambahan spora Fusarium asal T. cucumerina var. anguina dengan protein asal tunas in vitro T. tricuspidata. Perlakuan K0 (kontrol bufer fosfat) K1 (kontrol benlate) P1 (protein 0.77 mg/ml) P2 (protein 0.031 mg/ml) P3 (protein 0.015 mg/ml) P4 (protein 0.0077 mg/ml)
Perkecambahan spora (%) 100 a 2 e 24 d 45 c 54 bc 65 b
Pertumbuhan tabung kecambah* +++ + + ++ ++
Keterangan : * pertumbuhan tabung kecambah : + panjang tabung kecambah < 2 kali diameter spora ++ panjang tabung kecambah 2 – 4 kali diameter spora +++ panjang tabung kecambah >4 kali diameter spora
122
a
b
c
d
e
f
g
h
Gambar 18. Penghambatan perkecambahan spora cendawan Fusarium sp. oleh protein asal tunas in vitro pada 24 jam setelah perlakuan : (a) isolat Fusarium sp. sumber spora, (b) spora awal sebelum perlakuan (c) K1 (kontrol bufer, tumbuh), (d) K2 (kontrol benlate, tidak tumbuh), (e) P1 [(protein 0.77 mg/ml), (f) P2 [(protein 0.031 mg/l), (g) P3 [(protein 0.015 mg/ml), dan (d) P4 [(protein 0.0077 mg/ml). Ekstrak kasar protein dari tunas in vitro T. tricuspidata juga menekan pertumbuhan hifa cendawan. Hal ini terlihat dari ukuran hifa yang jauh lebih panjang pada kontrol bufer dibandingkan perlakuan protein. Morfologi spora yang
123
berkecambah pada masing-masing perlakuan seperti terlihat pada Gambar 18. Disamping itu, makin rendah konsentrasi protein, makin kecil pengaruhnya terhadap pertumbuhan spora yang terlihat dari makin bertambahnya panjang tabung kecambah.
b. Perkecambahan spora Fusarium oxysporum asal tanaman bawang merah Spora cendawan Fusarium oxysporum asal tanaman bawang merah agak berbeda dari cendawan Fusarium asal T. cucumerina var. anguina. Spora cendawan berbentuk tabung dengan ukuran yang lebih kecil. Perkecambahan terjadi dengan tumbuhnya hifa dari salah satu
ujung spora. Morfologi
perkecambahan spora seperti terlihat pada Gambar 19.
a
c
b
d
Gambar 19. Penghambatan perkecambahan spora cendawan Fusarium oxysporum asal bawang merah oleh protein asal tunas in vitro pada 24 jam setelah perlakuan : (a) dan (b) K0 (kontrol bufer, tumbuh), (c) E0 (protein asal tunas in vitro), (d) E1 (protein asal tunas yang diberi perlakuan etefon 0.7 mM)
124
Perkecambahan spora Fusarium oxysporum dari tanaman bawang merah dapat terhambat oleh perlakuan protein dari tunas in vitro tanaman T. tricuspidata (Tabel 34). Persentase spora yang berkecambah pada kontrol bufer sekitar 70%, 3% pada perlakuan fungisida benlate, 19% pada perlakuan protein asal tunas in vitro dan sekitar 25% pada protein dari tunas in vitro yang diberi perlakuan etefon. Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa protein dari tunas in vitro tanaman T. tricuspidata dapat menekan perkecambahan spora Fusarium oxysporum tanaman bawang merah lebih dari 50% dari perkecambahan spora yang terjadi pada kontrol bufer. Pengaruh penghambatan pertumbuhan spora tidak begitu terlihat dari panjang tabung kecambah karena pada perlakuan protein ada spora yang berkecambah dengan panjang tabung kecambah lebih dari 4 kali panjang spora.
c.
Perkecambahan spora cendawan karat (Puccinia arachidis) dari kacang tanah Cendawan karat (Puccinia arachidis) merupakan parasit obligat sehingga
tidak dapat dikulturkan dalam media buatan. Karena itu spora langsung diisolasi dari bagian tanaman yang bergejala penyakit dari lapang. Secara umum, tingkat perkecambahan spora rendah. Pada kontrol bufer, spora yang berkecambah hanya sekitar 14%. Meskipun demikian, perlakuan protein tetap dapat menekan perkecamabahan spora lebih dari 50%. Perkecambahan spora pada perlakuan protein dari tunas in vitro sekitar 3%, sedangkan pada protein dari tunas in vitro yang diberi perlakuan etefon sekitar 2%. Persentase perkecambahan spora tercantum pada Tabel 34. Morfologi perkecambahan spora seperti terlihat pada Gambar 20. Berdasarkan morfologi pertumbuhan tabung kecambah, pada kontrol bufer, tabung kecambah dapat tumbuh sangat panjang (lebih dari 10 kali diameter spora). Pada kontrol bufer, spora yang berkecambah dapat tumbuh normal. Sebaliknya pada perlakuan protein, spora yang berhasil berkecambah tidak dapat tumbuh normal, ditandai oleh terhambatnya pertumbuhan tabung kecambah. Hal ini terlihat dari panjang tabung kecambah yang hanya berkisar antara 2 – 4 kali diameter spora.
125
a
b
c
d
e
f
g
j
m
h
i
k
n
l
o
Gambar 20. Perkecambahan spora (a-f) cendawan (Puccinia arachidis) asal kacang tanah pada 24 jam setelah dikecambahkan dalam kontrol larutan bufer fosfat 50 mM pH 6, (g-i) kontrol benlate 1 mg/ml), (j-l) E0 (protein asal tunas in vitro), (m-o) E1 (protein asal tunas yang diberi perlakuan etefon 0.7 mM).
126
d. Perkecambahan spora cendawan embun bulu (Pseudoperonospora cubensis) Spora cendawan embun bulu diisolasi dari daun tanaman ketimun yang sakit. Permukaan daun seperti terlihat pada Gambar 21a. Terdapat banyak bercak yang merupakan indikasi infeksi cendawan tersebut. Namun bercak yang paling banyak menghasilkan spora adalah yang terlihat berwarna keabu-abuan seperti terlihat pada Gambar 21b.
a
b
c
d
Gambar 21. Peronospora cubensis pada ketimun : a. Gejala bercak pada daun, b. Bercak sumber spora untuk pengujian, c. Spora diujung sporangiofor di atas permukaan daun dilihat dengan mikroskop stereo, d. Bentuk spora cendawan
127
a
b
c
d
Gambar 22. Penghambatan perkecambahan spora cendawan Pseudoperonopora cubensis asal ketimun oleh protein asal tunas in vitro pada 24 jam setelah perlakuan : (a) K0 (kontrol bufer, tumbuh), (b) K1 (kontrol benlate 1 mg/ml), (c) E0 (protein asal tunas in Vitro), (d) E1 (protein asal tunas yang diberi perlakuan etefon 0.7 mM) Bagian bercak yang disebabkan cendawan Pseudoperonospora cubensis yang sudah berwarna coklat kekuningan pada daun sudah tidak begitu banyak mengandung spora. Bagian bercak yang berwarna keabu-abuan ketika dilihat di bawah mikroskop stereo menunjukkan banyak spora yang terbentuk pada ujung sporangiofor seperti terlihat pada Gambar 21c. Bagian bercak yang berwarna keabu-abuan tersebut digerus untuk melepaskan spora dari sporangiofor, lalu hasil gerusan dari daun dimasukkan ke dalam aquades. Ketika dilihat di bawah mikroskop, terlihat spora yang berbentuk bulat lonjong seperti pada Gambar 21d. Seperti halnya cendawan karat kacang tanah (Puccinia arachidis), cendawan embun bulu (Pseudoperonospora cubensis) juga merupakan parasit obligat. Hasil pengujian perkecambahan spora menunjukkan bahwa tingkat perkecambahan spora sangat rendah. Morfologi perkecambahan seperti terlihat pada Gambar 22.
128
Persentase perkecambahan spora dari hasil pengujian seperti terlihat pada Tabel 34. Persentase perkecambahan spora Pseudoperonospora cubensis sangat rendah yaitu hanya sekitar 9% pada perlakuan kontrol bufer. Namun tingkat perkecambahan pada perlakuan protein terlihat lebih rendah hampir 50% lebih rendah dari kontrol (untuk perlakuan E0) dan 75% lebih rendah dari kontrol (untuk perlakuan E1). Perkecambahan spora pada perlakuan E1 sekitar 50% lebih rendah dibanding perlakuan E0.
e. Perkecambahan spora cendawan Curvularia eragrostidis asal tanaman anggrek Dendrobium Cendawan Curvularia eragrostidis merupakan salah satu patogen yang menyerang bunga anggrek. Cendawan ini menyebabkan pembusukan dan kematian pada pucuk bunga anggrek seperti terlihat pada Gambar 23a. Pucuk bunga yang terinfeksi tanaman ini akan berwarna hitam dan tidak bisa berkembang.
a
b
c
Gambar 23. Cendawan Curvularia eragrostidis : (a) gejala serangan pada bunga anggrek Dendrobium, (b) kultur cendawan berumur 12 HST, (c). bentuk spora cendawan
Cendawan Curvularia eragrostidis dikulturkan dalam media PDA dan diinkubasi dibawah sinar NUV. Spora baru banyak terbentuk pada 11-12 hari
129
setelah kultur. Kultur berumur 12 hari seperti terlihat pada Gambar 23b. Hifa cendawan berwarna putih hingga abu-abu. Spora cendawan Curvularia eragrostidis sangat menarik karena ukurannya yang besar-besar berbentuk seperti tongkat agak melengkung dengan ukuran besar pada bagian tengah dan mengecil ke bagian ujung-ujung spora. Spora terdiri dari 4-5 sel yang dibatasi oleh septum (Gambar 23c). Hasil pengujian aktivitas penghambatan perkecambahan spora Curvularia eragrostidis dengan protein asal tunas in vitro tanaman T. triuspidata tidak menunjukkan hasil yang positif. Protein tidak dapat menghambat perkecambahan spora bahkan cenderung mendorong perkecambahan spora. Data hasil pengamatan perkecambahan spora seperti terlihat pada Tabel 33. Spora yang berkecambah pada kontrol bufer dan perlakuan protein mencapai 100% dan sebagaimana diharapkan kontrol benlate dapat menghambat perkecambahan spora.
a
c
b
d
Gambar 24. Perkecambahan spora cendawan Curvularia eragrostidis dari tanaman anggrek pada berbagai pada 24 jam setelah perlakuan : (a) K0 (kontrol bufer, tumbuh), (b) K1 (kontrol benlate 1 mg/ml), (c) E0 (protein asal tunas in vitro), (d) E1 (protein asal tunas yang diberi perlakuan etefon 0.7 mM)
130
Morfologi spora yang berkecambah seperti terlihat pada Gambar 24. Spora pada perlakuan protein pada 24 jam setelah perlakuan sudah tumbuh membentuk hifa yang sudah sangat panjang dan bercabang-cabang. Sebaliknya pada bufer fosfat, perkecambahan spora cenderung terhambat dibanding perlakuan protein.
Tabel 34. Presentase perkecambahan spora dan skor panjang tabung kecambah pada uji perkecambahan spora cendawan dengan protein asal tunas in vitro T. tricuspidata. Perlakuan
K0 K1 Protein E0 Protein E1 K0 K1 Protein E0 Protein E1 K0 K1 Protein E0 Protein E1 K0 K1 Protein E0 Protein E1
Aktivitas Aktivitas Perkecambahan Pertumbuhan Kitinase (mM Peroksidase spora (%) tabung pNp/jam/mg (∆420/menit/mg kecambah* protein) protein) Fusarium oxysporum dari bawang merah 70 +++ 3 ++ 3.80 0.185 19 ++ 13.47 0.325 25 ++ Puccinia arachidis dari kacang tanah 14 +++ 0 3.80 0.185 3 ++ 13.47 0.325 2 ++ Pseudoperonospora cubensis dari mentimun 9 + 0 3.80 0.185 3.9 + 13.47 0.325 1.6 + Curvularia eragrostidis dari anggrek Dendrobium 100 + 0 3.80 0.185 100 +++ 13.47 0.325 100 +++
Keterangan : K0 = perlakuan bufer fosfat 50 mM, pH 6, K1 = perlakuan fungisida benlate 1 mg/ml, Protein E0 = ekstrak kasar protein asal tunas in vitro T. tricuspidata, Protein E1 = ekstrak kasar protein asal tunas in vitro T. tricuspidata yang diberi perlakuan etefon 0.7 mM. * Pertumbuhan tabung kecambah : + panjang tabung kecambah < 2 kali diameter spora ++ panjang tabung kecambah 2 – 4 kali diameter spora +++ panjang tabung kecambah >4 kali diameter spora
131
f.
Uji penghambatan pertumbuhan hifa dengan perlakuan protein asal T. tricuspidata dan T. cucumerin var. anguina Pengujian aktivitas antimikroba dari ekstrak kasar protein asal akar dan
daun tanaman Trichosanthes cucumerina var. anguina dan T. tricuspidata telah dilakukan terhadap patogen cendawan Helminthosporium turcicum. Metode pengujian protein dilakukan dengan cara mengamati penghambatan pertumbuhan hifa cendawan setelah perlakuan protein, sebagaimana dijelaskan pada bagian metode penelitian.
Tabel 35. Hasil pengujian kualitatif aktivitas ekstrak kasar protein dari T. tricuspidata dan T. cucumerina var. anguina terhadap pertumbuhan hifa cendawan Helminthosporium turcicum Sumber Protein Kontrol (buffer) Akar T.tricuspidata Daun T. tricuspidata Akar T. cucumerina Batang T.cucumerina Daun T.cucumerina
Total Protein Terlarut (mg/ml) 1.23 2.61 1.30 0.82 5.28
Jumlah protein* (mg) 0.62 1.31 0.65 0.41 2.64
Penghambatan 2 HSP 5 HSP +++ ++ ++ +++ ++
Keterangan : *Jumlah protein yang diuji = konsentrasi protein X volume aplikasi. Volume aplikasi 40 µl per lubang pada hari pertama dan 10 µl per lubang pada hari kedua, sehingga total = 50 µl/lubang x 10 lubang = 500 µl.
Hasil pengujian aktivitas penghambatan pertumbuhan cendawan seperti terlihat pada Tabel 35. Pengaruh penghambatan ekstrak protein kasar terhadap pertumbuhan cendawan belum terlihat sampai pada hari ke-3. Pada hari ke- 4 dan 5 setelah perlakuan, adanya gangguan terhadap pertumbuhan hifa cendawan terlihat dengan jelas. Akan tetapi zona hambatan tidak begitu teratur yang kemungkinan disebabkan konsentrasi dan jumlah protein yang diaplikasikan rendah, sedangkan pertumbuhan hifa cendawannya sangat cepat. Morfologi pertumbuhan hifa seperti terlihat pada Gambar 25 dan 26.
132
a
b
c
d
e
f
Gambar 25. Morfologi cendawan Helminthosporium turcicum yang diberi perlakuan ekstrak kasar protein akar dan daun T. tricuspidata pada 5 hari setelah perlakuan protein : (a) kontrol tampak atas , (b) kontrol tampak bawah, (c) Protein akar tampak atas, (d) protein akar tampak bawah, (e) protein daun tampak atas, (f) protein daun tampak bawah.
133
a
b
c
d
e
f
g
h
Gambar 26. Morfologi cendawan Helminthosporium turcicum yang diberi perlakuan ekstrak protein dari T. cucumerina var. anguina pada 5 HSP : (a) kontrol tampak atas , (b) kontrol tampak bawah, (c) protein akar tampak atas, (d) protein akar tampak bawah, (e) protein batang tampak atas, (f) protein batang tampak bawah, (g) protein daun tampak atas, (h) protein daun tampak bawah
134
Berdasarkan Tabel 35 dan Gambar 25 diperoleh gambaran bahwa efek penghambatan pertumbuhan cendawan Helminthosporium turcicum oleh ekstrak kasar protein asal akar T. tricuspidata cenderung lebih besar dibanding efek penghambatan oleh ekstrak kasar protein daun. Hal ini ditunjukkan oleh jumlah protein asal akar yang diaplikasikan lebih rendah (0.62 mg) namun menghasilkan skor penghambatan lebih besar (+++). Sementara pada ekstrak kasar protein daun, jumlah protein yang diaplikasikan 1.31 mg dan menghasilkan efek penghambatan lebih rendah (++). Pada T. cucumerina var. anguina, efek penghambatan pertumbuhan cendawan Helminthosporium turcicum paling tinggi oleh ekstrak kasar protein batang diikuti oleh akar dan daun. Jumlah protein dari akar 0.41 mg menghasilkan skor penghambatan +++, diikuti oleh jumlah protein dari akar 0.61 mg dengan skor penghambatan ++, dan paling kecil pada daun dengan jumlah protein 2.64 menghasilkan skor penghambatan ++.
Pembahasan Pengujian aktivitas anticendawan dari ekstrak protein dilakukan untuk melihat ada tidaknya aktivitas penghambatan pertumbuhan cendawan oleh ekstrak protein tanaman yang diuji. Pengujian diharapkan dapat menambahkan informasi bahwa tanaman yang diteliti memiliki potensi sebagai sumber protein anticendawan sekaligus sebagai sumber gen untuk ketahanan terhadap patogen cendawan. Pengujian aktivitas perkecambahan spora telah diuji pada beberapa jenis cendawan dari kelas yang berbeda. Puccinia arachidis termasuk dalam kelas Basidiomycetes, Fusarium dan Curvularia eragrostidis dan dari kelompok Deuteromycetes serta Pseudoperonospora cubensis dari klas Oomycetes. Cendawan Fusarium yang diuji terdiri dari Fusarium yang diisolasi dari T. cucumerina var. anguina dan Fusarium oxysporum yang berasal dari bawang merah. Aktivitas terhadap gangguan hifa telah diuji pada Helminthosporium turcicum dari klas Deuteromycetes
135
Hasil
penelitian
menunjukkan
adanya
aktivitas
penghambatan
perkecambahan spora dari ekstrak protein dari tunas in vitro T. tricuspidata pada cendawan Fusarium sp. dari T. cucumerina var. anguina, Fusarium oxysporum dari bawang merah, cendawan karat Puccinia arachidis dari kacang tanah, dan cendawan penyebab embun bulu Pseudoperonospora cubensis dari tanaman ketimun. Perkecambahan spora merupakan proses perubahan dari dari struktur yang dorman menjadi sel vegetatif berupa miselia dan spora dikatakan berkecambah jika panjang tabung kecambah kira-kira 2/3 panjang spora. Beberapa tahapan dalam proses perkecambahan spora meliputi aktivasi supaya spora siap untuk berkecambah, swelling (pembengkakan) yang menyebabkan spora bertambah ukurannya dan munculnya tabung kecambah. Efek penghambatan dari ekstrak protein dapat terjadi pada setiap tahapan tersebut seperti terhambatnya aktivasi spora
untuk
berkecambah,
terhambatnya
imbibisi
air
sehingga
proses
pembengkakan spora jadi lambat atau memperlambat munculnya tabung kecambah. Pengujian untuk aktivitas anticendawan dapat dilakukan dengan microtiter broth assay, agar diffusion assays, broth microdilution assays dan planta assays (determinasi ketahanan tanaman transgenik yang mengoverekspresikan protein anticendawan) (Selitrennikof et al. 2001). Kebanyakan pengujian antimikroba menggunakan radial growth inhibition assays. Pada pengujian tersebut, aktivitas kitinase jelas terlihat dari kerusakan pada hifa cendawan jika dilihat di bawah mikroskop. Penghambatan yang cukup kuat akan terlihat dari zona pertumbuhan hifa yang tidak rata. Yang et al. (2007) melaporkan bahwa protein antimikroba dari benih Leonurus japonicus menghambat pertumbuhan cendawan R. serealis. Cendawan terhambat pertumbuhannya karena terjadi pembengkakan pada ujung hifa dan terbentuknya benjolan-benjolan yang ekstensif. Protein tersebut juga menghambat perkecambahan spora Bipolaris maydis dan Alternaria brassicae pada konsentrasi 15 µM. Mekanisme lain dari aktivitas senyawa anticendawan adalah dengan mengganggu stabilitas membran cendawan. Batalia et al. (1996) menyatakan bahwa PR-5 protein secara tidak langsung mengatur permeabilitas membran sel
136
dengan interaksi elektrostatik dengan membran ion channel atau reseptor osmotik, yang mengakibatkan dinding sel kehilangan keseimbangan osmotik sehingga mengakibatkan lisis dari plasmamembran. Peroksidase termasuk dalam PR-protein dengan mekanisme aktivitas anticendawan secara tidak langsung melalui katalisis cross-linking dari makromolekul dari dinding sel (Stintzi et al. 1993). Beberapa protein anticendawan terlibat dalam penghambatan sintesis dinding sel cendawan atau merusak struktur dan atau fungsi dinding sel, merusak struktur membran sehingga terjadi lisis, merusak ribosom, menghambat sintesis DNA dan menghambat siklus sel (Selitrennikoff, 2001). Protein atau enzim yang berperan menghambat pertumbuhan cendawan dalam penelitian ini tidak dapat diketahui jenisnya karena protein yang diuji masih berupa ekstrak kasar. Sumber penghambatan dapat berasal dari kitinase, glukanase maupun PR-protein lainnya. Namun karena pada percobaan dalam Bab IV – Bab VI ditemukan adanya aktivitas kitinase pada ekstrak kasar protein tanaman, maka penghambatan perkecambahan spora ataupun pertumbuhan hifa dapat berasal dari kitinase yang ada dalam ekstrak protein tanaman. Hal ini juga didukung dengan informasi bahwa penyusun dinding sel dari sebagian besar cendawan yang diuji adalah kitin. Beberapa protein antimikroba yang sudah ditemukan pada Trichosanthes antara lain RIP-trikosantin dan kitinase klas III pada T. kirilowii (Savary dan Flores, 1994) dan T. kirilowii defensin (TDEF1) (Hui et al. 2007). RIP (trikosantin) dari spesies Trichosanthes kirilowii yang telah transformasikan ke tanaman padi ternyata dapat menekan penyakit blast yang disebabkan oleh cendawan Pyricularia oryzae (Yuan et al. 2002). Defensin merupakan famili peptida kaya sistein yang memiliki aktivitas antimikroba. Untuk selanjutnya perlu diidentifikasi apakah protein-protein antimikroba tersebut terdapat dalam ekstrak protein tanaman T. tricuspidata dan T. cucumerina. Pengujian dengan metode radial growth inhibition assay terlihat kurang sensitif dibandingkan spore germination assays. Apalagi dengan konsentrasi protein yang diuji sangat rendah dan masih merupakan protein kasar sehingga penghambatan pada massa koloni cendawan tidak begitu jelas. Dalam percobaan
137
ini, metode spore germination assays lebih sesuai dibandingkan radial growth inhibition assays. Untuk mendapatkan pengaruh penghambatan yang lebih baik pada uji radial growth inhibition assays, sebaiknya menggunakan protein yang sudah dimurnikan.
Simpulan Ekstrak kasar protein dari tunas in vitro tanaman T. tricuspidata dapat menghambat perkecambahan spora cendawan Fusarium sp. dari T. cucumerina var. anguina, Fusarium oxysporum dari bawang merah, cendawan karat kacang tanah
(Puccinia
arachidis),
cendawan
embun
bulu
pada
ketimun
(Pseudoperonospora cubensis), namun tidak dapat menghambat perkecambahan spora cendawan Curvularia eragrostidis asal anggrek. Ekstrak protein dari akar T. cucumerina dan T. tricuspidata dapat menghambat pertumbuhan hifa cendawan Helminthosporium turcicum. Efek penghambatan dari ekstrak protein akar tanaman T. tricuspidata lebih besar dibanding ekstrak protein daun, sementara pada T. cucumerina var. anguina, efek penghambatan paling tinggi dihasilkan oleh ekstrak protein batang diikuti oleh akar dan daun.
138
BAB VIII PEMBAHASAN UMUM Secara keseluruhan hasil utama dari penelitian menunjukan potensi spesies Trichosanthes yang ada di Indonesia sebagai sumber enzim kitinase dan peroksidase yang dapat dimanfaatkan lebih lanjut untuk berbagai keperluan. Kandungan enzim kitinase dan peroksidase pada tanaman T. tricuspidata dan T. cucumerina var. anguina yang direpresentasikan dalam bentuk aktivitas kedua enzim tersebut tidak sama pada berbagai jaringan tanaman yang diuji. Oleh karena itu hasil penelitian ini dapat mengarahkan penelitian selanjutnya untuk lebih fokus meneliti kandungan enzim maupun eksloprasi molekuler yang lebih lanjut pada jaringan tertentu saja. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa biosintesis kedua enzim tersebut dapat diinduksi dengan perlakuan bahan kimia berupa SA atau ETF, terutama pada T. tricuspidata. Hasil lain yang sangat penting adalah adanya aktivitas aktivitas anticendawan dari ekstrak protein kasar dari jaringan tanaman Trichosanthes yang diteliti terhadap berbagai cendawan patogen tanaman dari beberapa kelas cendawan yang menunjukkan kemungkinan luasnya potensi pemanfaatan protein tersebut untuk pengendalian penyakit tanaman khususnya yang disebabkan oleh cendawan. Penelitian pertumbuhan,
ini
juga
perkembangan,
memberikan hama
dan
informasi
tentang
penyakit
tanaman
morfologi, 3
spesies
Trichosanthes di lapangan. Hasil pengamatan hama dan penyakit menunjukkan bahwa T. cucumerina var. anguina yang merupakan spesies yang sudah lama dibudidayakan menghadapi lebih banyak serangan hama dan penyakit di banding T. tricuspidata dan T. quinquangulata yang merupakan spesies liar. T. quinquangulata mengalami gejala penyakit daun keriting dan tidak dapat pulih kembali. Dari tingkat serangan hama dan penyakit di lapangan, terdapat dua spesies yang sifatnya cukup kontras khususnya dalam kaitan dengan tingkat kerusakan hama dan penyakit, yaitu T. cucumerina var. anguina merupakan spesies yang rentan dan T. tricuspidata sebagai spesies yang lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit. Hasil analisis aktivitas kitinase dan peroksidase pada 2 spesies yang diteliti menunjukkan bahwa kitinase dan peroksidase diekspresikan pada level yang
berbeda dari berbagai jaringan yang diuji. Pada T. tricuspidata aktivitas kitinase paling tinggi ditemukan pada tunas in vitro, diikuti oleh akar, kalus dan paling rendah pada daun. Aktivitas kitinase yang tinggi pada tunas in vitro kemungkinan berhubungan dengan kondisi botol yang tertutup rapat yang memungkinkan terjadinya akumulasi etilen yang berperan sebagai induser untuk ekspresi kitinase. Sementara itu, aktivitas peroksidase ditemukan paling tinggi pada akar, tidak pada tunas in vitro seperti kitinase. Hal ini kemungkinan disebabkan akar menghadapi berbagai faktor lingkungan yang bervariasi berupa faktor biotik seperti mikroba dalam tanah maupun faktor abiotik seperti fluktuasi kadar air atau kelembaban media yang tidak tetap dari waktu ke waktu. Peroksidase sebagai enzim yang umum terdapat dalam jaringan tanaman dapat terinduksi oleh beragam kondisi lingkungan seperti cekaman biotik, abiotik dan bahkan oleh rangsangan mekanik karena gesekan angin (Cippolini, 1998). Aktivitas total kitinase dan peroksidase pada T. cucumerina var. anguina terlihat tinggi pada akar. Perbedaan aktivitas antar organ dapat terjadi karena perbedaan tipe kitinase yang diproduksi pada organ-organ tersebut atau karena tipe kitinase tertentu dihasilkan secara spesifik pada jaringan tertentu. Taira et al. (2005) menemukan adanya perbedaan tipe kitinase yang berbeda yang ditemukan pada nanas, dimana kitinase tipe A (acidic chitinase klas III) ada disemua jaringan, sementara tipe B (weakly basic chitinase klas I, yang memiliki aktivitas anticendawan yang kuat) dan tipe C (acidic class I) terlokalisasi terutama pada daun dan batang. Pada kentang yang sehat, mRNA kitinase acidic terakumulasi pada organ, tipe sel atau tingkat perkembangan tertentu dari jaringan tanaman. Ekspresi yang tinggi dari kitinase acidic tersebut ditemukan pada daun tua, ruas muda dan juga pada jaringan vaskular, sel penyusun kompleks stomata dan petiol. Ekspresi gen tersebut pada akar dan berbagai bagian bunga terlihat lebih rendah (Buchter et al. 1997). Kitinase diduga berkaitan dengan proses-proses fisiologi lainnya dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Kombrink et al. dalam Buchter et al. (1997) menyatakan bahwa ekspresi gen yang berkaitan dengan ketahanan tanaman terhadap patogen dapat bersifat sebagai ekspresi spasial ataupun temporal. Ada gen-gen kitinase tertentu yang hanya diekspresikan pada fase
140
pertumbuhan atau perkembangan tanaman tertentu. Hal ini juga dilaporkan Taira et al. (2005) pada nanas, dimana kitinase tipe A dideteksi pada semua fase perkembangan buah, sementara kitinase tipe B dideteksi hanya pada awal pembentukan tunas bunga dan tipe C dideteksi pada stadia pertunasan hingga pembungaan. SA dan ETL merupakan dua senyawa yang terlibat dalam induksi ekspresi gen-gen yang berhubungan dengan ketahanan. Infeksi patogen seringkali berasosiasi dengan meningkatnya SA dan etilen pada tanaman. SA atau etilen secara eksogen dapat menginduksi gen-gen yang berhubungan dengan ketahanan tanaman atau menginduksi PR-Protein (Boller et al. 1983; Mauch dan Staehelin, 1989; Buchter et al.1997; Mitter et al. 1998). Peranan SA dalam aktivasi gen-gen PR dan transduksi sinyal SAR telah terbukti pada berbagai spesies tanaman (Delaney et al. 1994; Dempsey et al. 1999). Aplikasi SA secara eksogen terlihat secara langsung mengaktifkan gen-gen PR sehingga menghasilkan akumulasi PRprotein dalam jaringan tanaman (Antoniw dan White, 1980; Delaney et al. 1994).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa SA dalam selang konsentrasi yang diuji tidak dapat meningkatkan aktivitas kitinase pada ekstrak protein akar tanaman T. tricuspidata di lapangan dan ekstrak protein tunas in vitro, namun dapat menginduksi aktivitas kitinase pada ekstrak protein kalus. Pada kalus in vitro SA 0.05 dan SA 0.10 mM dapat meningkatkan aktivitas kitinase pada kalus pada 3 HSP. Hasil-hasil percobaan tersebut menunjukkan bahwa kemampuan SA untuk menginduksi aktivitas kitinase pada T. tricuspidata dipengaruhi oleh jenis jaringan
yang
diberi
perlakuan.
Jaringan
yang
berbeda
kemungkinan
mengekspresikan enzim kitinase yang berbeda dan perbedaan tipe kitinase dan tipe yang berbeda dapat berbeda responnya terhadap senyawa inducer yang diberikan. Burtekova et al. (2003) melaporkan perbedaan jenis kitinase yang dapat diinduksi ekspresinya oleh SA. SA 20 mM efektif dalam menginduksi ekspresi kitinase basic klas 2 (Ch2) pada daun tanaman bit gula, sedangkan kitinase basic klas IV (Ch4) pada daun diinduksi secara efektif oleh benthothidiazole (BTH). Sementara itu, kitinase acidic klas III (SE2) lebih intensif terinduksi oleh SA dan betain.
141
Efektivitas SA juga ditentukan oleh kemampuan penyerapan dan distribusi SA dalam jaringan tanaman. Pemberian SA melalui akar tanaman kemungkinan mengalami kendala dalam jumlah SA yang dapat diserap tanaman dan adanya kemungkinan SA dijerap oleh tanah. Karena itu penyediaan bahan dalam kultur in vitro yang steril akan lebih dapat mengontrol perlakuan SA sehingga dapat diserap dengan baik oleh jaringan tanaman. Aktivitas kitinase pada T. cucumerina var. anguina paling tinggi pada akar tanaman di lapang. Perlakuan SA pada tanaman di lapang maupun pada kalus in vitro tidak dapat meningkatkan aktivitas kitinase dari ekstrak protein akar, batang, daun ataupun kalus in vitro. Dari hasil ini diduga bahwa biosintesis enzim kitinase pada T. cucumerina var. anguina tidak berespon terhadap adanya induser SA. Sementara pada T. tricuspidata, aktivitas kitinase dapat ditingkatkan pada ekstrak protein kalus in vitro, menunjukkan bahwa biosintesis enzim kitinase meningkat dengan adanya perlakuan SA. Peningkatan biosintesis akan meningkatkan jumlah enzim tersebut dalam sel atau jaringan tanaman dan kemungkinan akan meningkatkan aktivitas enzim kitinase dari jaringan tanaman tersebut. Aktivitas kitinase pada kalus T. tricuspidata terlihat meningkat cepat sekitar 1 jam sesudah perlakuan etefon. Sementara tunas in vitro yang memiliki aktivitas
kitinase
tinggi
diduga
terinduksi
oleh
kondisi
kultur
yang
mengakumulasikan etilen karena botol kultur yang tertutup rapat. Hasil ini menunjukkan bahwa biosintesis enzim kitinase atau ekspresi gen penyandi enzim kitinase pada T. tricuspidata sangat responsif terhadap induser etefon/etilen. Namun diperlukan analisa tentang akumulasi etilen dalam botol kultur untuk memperkuat dugaan ini, walaupun sudah banyak yang melaporkan adanya akumulasi etilen dalam botol kultur jaringan tanaman. Pada kedua spesies yang diteliti terlihat kesamaan bahwa aktivitas peroksidase paling tinggi adalah pada akar. Demikian juga respon aktivitas peroksidase terhadap perlakuan SA. SA sama-sama dapat meningkatkan aktivitas peroksidase pada ekstrak protein tanaman baik ekstrak protein dari akar maupun dari kalus. Pada T. cucumerina di lapangan peroksidase bahkan juga dapat meningkat pada batang akibat perlakuan SA di daerah perakaran. Hal ini bisa terjadi karena signal SA dapat didistribusikan ke semua jaringan
tanaman.
142
Burtekova (2003) menyatakan bahwa induksi ekspresi gen PR pada lokasi yang jauh dari daerah aplikasi senyawa inducer menunjukkan adanya pengaruh sistemik dari induser yang diberikan. Namun induksi aktivitas peroksidase tidak terjadi pada daun T. cucumerina var. anguina dengan adanya perlakuan SA pada daerah perakaran. Hal ini menunjukkan efektivitas distribusi signal SA dipengaruhi oleh jarak jaringan dari lokasi perlakuan SA. SA eksogen dapat meningkatkan aktivitas peroksidase pada Vicia faba (Mori et al. 2001). SA (1, 5, 10 dan 20 mM) diuji pada tanaman kopi oleh Fernandes et al. (2006). SA diberikan dengan cara mengusapkan larutan SA sesuai konsentrasi perlakuan pada bagian bawah daun. SA 10 mM dapat meningkatkan aktivitas peroksidase tanaman tanaman kopi oleh Fernandes et al. (2006). Respon aktivitas peroksidase dari T. tricuspidata terhadap ETF berbeda dengan respon terhadap perlakuan SA. Peroksidase pada kalus dapat meningkat pada 3 HSP dengan perlakuan SA 0.05 atau 0.10 mM. Sebaliknya perlakuan ETF justru menekan aktivitas peroksidase kalus yang mengindikasikan bahwa peroksidase berespon negatif terhadap ETF. Respon negatif tersebut kemungkinan disebabkan konsentrasi ETF yang terlalu tinggi dan akumulasi yang tinggi dari ETF dalam botol kultur. Indikasi tersebut terlihat pada control, dimana pada awal perlakuan aktivitas peroksidase rendah, meningkat pada pengamatan 18 jam setelah perlakuan dan kembali turun pada pengamatan 26 jam setelah perlakuan. Keberhasilan induksi aktivitas ataupun induksi ekspresi gen kitinase dan peroksidase dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya adalah tipe kitinase atau peroksidase yang ada pada tanaman. Pada kentang misalnya, Buchter et al. (1997) melaporkan bahwa mRNA dari kitinase acidic dapat diinduksi secara kuat oleh SA, sementara kitinase basic diinduksi oleh etilen dan pelukaan. Aktivitas anticendawan dari ekstrak kasar protein tanaman T. tricuspidata terlihat pada terhambatnya perkecambahan spora cendawan Fusarium sp. asal T. cucumerina, Fusarium oxsporum asal bawang merah, Puccinia arachidis asal kacang tanah dan Pseudoperonospora cubensis asal ketimun. Efek penghambatan bertambah besar dengan perlakuan protein dari tunas in vitro yang diberi perlakuan etefon. Hasil ini menunjukkan bahwa kemungkinan peningkatan kitinase dan peroksidase yang terjadi dengan adanya perlakuan etefon akan makin
143
memperbesar efek penghambatan perkecambahan dan pertumbuhan spora cendawan. Beberapa hal yang dapat dikemukakan sebagai informasi yang baru dari penelitian ini adalah adanya perbedaan aktivitas kitinase dari jaringan tanaman yang berbeda dari T. tricuspidata dan T. cucumerina var. anguina. Pada T. tricuspidata aktivitas kitinase yang tinggi pada tunas in vitro membuka peluang untuk menggunakan tunas in vitro sebagai bahan yang dapat digunakan untuk penelitian-penelitian yang lebih mendalam tentang enzim kitinase. Penelitianpenelitian seperti purifikasi dan karakterisasi enzim maupun analisis ekspresi gen dapat menggunakan bahan tersebut karena kondisi yang steril. Peranan etefon atau etilen dalam ekspresi kitinase dari tunas in vitro dapat diteliti lebih lanjut. Pada T. cucumerina var. anguina, akar merupakan sumber enzim kitinase yang tinggi. Penelitian untuk enzim kitinase selanjutnya dapat difokuskan pada akar tanaman. Purifikasi dan karakterisasi enzim kitinase selanjutnya lebih baik dilakukan dari akar tanaman. Pengembangan sistem kultur akar transgenik dapat menjadi alternatif untuk menganalisis lebih mendalam tentang faktor-faktor yang dapat meningkatkan biosintesis enzim kitinase dan peroksidase pada akar tanaman. Meskipun pada bagian tajuk tanaman ditemui indikasi bahwa tanaman tersebut tidak memiliki ketahanan yang baik terhadap hama dan penyakit, diduga pada akar terdapat enzim kitinase yang spesifik yang tidak dapat diinduksi atau ditingkatkan aktivitasnya dengan perlakuan SA. Potensi antimikroba ekstrak protein tanaman T. tricuspidata cukup luas yang terbukti dari efek penghambatan terhadap beberapa cendawan patogen tanaman dari berbagai kelas. Meskipun protein yang diuji masih merupakan protein kasar, namun berdasarkan hasil penelitian pada bab-bab sebelumnya yang menunjukkan adanya aktivitas kitinase pada ekstrak kasar protein tanaman, maka kemungkinan besar salah satu penyebab terhambatnya pertumbuhan spora dan hifa cendawan adalah kitinase. Protein dari tanaman tersebut dapat dipurifikasi dan dikarakterisasi lebih lanjut atau dilakukan isolasi gen pengkode enzim kitinase yang dapat menjadi bahan untuk transformasi genetik.
144
BAB IX SIMPULAN UMUM DAN SARAN Simpulan Umum Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Morfologi tanaman Trichosanthes berbeda dalam beberapa hal seperti bentuk daun, bentuk bunga, bentuk buah dan bentuk biji. Sifat tumbuh tanaman T. cucumerina var. anguina adalah annual, sedangkan T. tricuspidata dan T. quinquangulata bersifat perennial. Tanaman T. cucumerina var. anguina lebih banyak diserang hama dan penyakit dibanding T. tricuspidata dan T. quinquangulata mengindikasikan bahwa T. cucumerina var. anguina adalah spesies yang rentan terhadap hama dan penyakit dan T. tricuspidata sebagai spesies yang tahan. Sedangkan T. quinquangulata terlihat rentan terhadap penyakit daun keriting yang perlu diidentifikasi lebih lanjut. 2. Pada T. tricuspidata, aktivitas kitinase yang tinggi ditemukan pada tunas in vitro, kalus dan akar tanaman dari lapang dan paling rendah pada daun. Pada T. cucumerina var. anguina, aktivitas kitinase dan peroksidase yang tinggi ditemukan pada akar tanaman dari lapang dan kalus in vitro dan paling rendah pada daun. Aktivitas kitinase dari T. cucumerina pada berbagai umur tanaman (bibit 3 MSP, tanaman muda 1 BST dan tanaman dewasa 2 BST) menunjukkan bahwa aktivitas kitinase paling tinggi pada akar dan cenderung meningkat dengan bertambahnya umur tanaman. Aktivitas peroksidase paling tinggi juga ditemukan pada akar dengan pola yang berfluktuasi dalam rentang umur tanaman yang diamati. 3. Salicylic acid (SA) A 0.2 – 2 mM tidak dapat meningkatkan aktivitas kitinase pada akar tanaman T. tricuspidata berumur 9 bulan di lapang namun dapat meningkatkan aktivitas peroksidase pada 9 HSP sedangkan dalam percobaan in vitro SA 0.05 – 0.10 mM dapat meningkatkan aktivitas kitinase peroksidase dari kalus in vitro pada 3 HSP. SA 6.25 dan 12.5 mM pada T. cucumerina var. anguina tidak dapat meningkatkan
aktivitas kitinase pada tanaman di lapangan, namun dapat meningkatkan aktivitas peroksidase pada akar dan batang dan tidak mempengaruhi peroksidase daun. SA 0.025 – 0.10 mM pada kalus in vitro T. cucumerina var.
anguina
tidak
dapat
meningkatkan
aktivitas
namun
dapat
meningkatkan aktivitas peroksidase. ETF (0.025- 0.10 mM) dapat meningkatkan aktivitas kitinase pada kalus in vitro T. tricuspidata, makin tinggi konsentrasi ETF makin cepat terjadinya peningkatan aktivitas kitinase.
Sebaliknya ETF pada rentang konsentrasi tersebut menekan
aktivitas peroksidase pada kalus. 4. Ekstrak kasar protein dari tunas in vitro T. tricuspidata menunjukkan aktivitas anticendawan in vitro berdasarkan uji perkecambahan spora pada Fusarim sp. asal T. cucumerina var. anguina, Fusarium oxysporum asal bawang merah,
Puccinia arachidis asal tanaman kacang tanah, dan
Pseudoperonospora cubensis asal tanaman ketimun dan tidak dapat menghambat perkecambahan spora Curvularia eragrostidis asal anggrek Dendrobium. Ekstrak kasar protein dari akar dan daun T. tricuspidata dan protein dari akar, batang dan daun T. cucumerina var. anguina dapat menghambat pertumbuhan hifa cendawan Helminthosporium tursicum dalam uji penghambatan pertumbuhan hifa. Ekstrak protein akar T. tricuspidata menunjukkan efek pengambatan lebih tinggi dari ekstrak kasar protein daun. Ekstrak kasar protein batang T. cucumerina var. anguina menghasilkan efek penghambatan lebih tinggi dibanding ekstrak kasar protein batang dan daun.
Saran
1. Indikasi ketahanan spesies T. tricuspidata terhadap berbagai hama dan penyakit masih berdasarkan kejadian alami di lapangan. Untuk itu diperlukan pengujian ketahanan dari ketiga spesies tersebut terhadap hama dan penyakit dan korelasinya dengan beberapa karakter yang berhubungan
146
dengan ketahanan seperti ketebalan daun, kandungan lignin pada jaringan tanaman, aktivitas peroksidase dan kitinase dari jaringan. 2. Pengujian berbagai faktor yang diduga berpengaruh terhadap aktivitas kitinase dan peroksidase dari ekstrak protein tanaman T. tricuspidata sebaiknya menggunakan kultur kalus atau tunas in vitro. Sementara pada T. cucumerina var. anguina pengujian lebih baik difokuskan pada akar tanaman di lapang atau dengan mengembangkan kultur akar transgenik (hairy root). 3. Pengujian aktivitas kitinase dan peroksidase pada ekstrak kasar protein dari berbagai jaringan tanaman dilakukan pada pH bufer fosfat 6.0. Untuk mengetahui kisaran pH optimal yang menghasilkan aktivitas kitinase atau peroksidase yang tinggi perlu dilakukan pengujian pada rentang pH yang lebih luas. 4. Perlu dilakukan purifikasi protein secara bertahap untuk mendapatkan aktivitas kitinase atau peroksidase yang lebih tinggi dan dilanjutkan dengan karakterisasi protein. 5. Pengujian aktivitas anticendawan dengan penghambatan pertumbuhan hifa sebaiknya tidak menggunakan ekstrak kasar protein untuk mendapatkan efek penghambatan yang lebih baik. 6. Perlu diuji kemampuan ekstrak kasar protein dari daun dan akar tanaman Trichosanthes dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman di lapangan untuk mengetahui potensi sebagai pestisida/fungisida/bakterisida botani.
147
BAB X DAFTAR PUSTAKA
Abeles F, Morgan P, Saltveit M. 1992. Ethylene in Plant Biology. San Diego: Academic Press. Agostini E, Hernandez-Ruiz, J, Arnao MB, Milrad SR, Tigier HA, Acosta M. 2002. A peroxidase isoenzyme secreted by turnip (Brassica napus) hairy-root cultures : inactivation by hydrogen peroxide and application in diagnostic kits. Biotechnol. Appl. Biochem. 35:1-7 Agrawal GK, Jwa NS, Rakwal R. 2000. A novel rice (Oryza sativa L.) acidic PR1 gene highly responsive to cut, phytohormones, and protein phosphatase inhibitors. Biochem. Biophys. Res. Commun. 274:157–165. Antoniw J, White RF. 1980.The effect of aspirin and polyacrylic acid on soluble leaf proteins and resistance to virus infection in five cultivars of tobacco. Phytopathol. Z. 98:331-341. Audenaert K, Pattery T, Cornelis P, Hofte M. 2002. Induction of systemic resistance to Botrytis cinerea in tomato by Pseudomonas aeruginosa 7NSK2: role of salicylic acid, pyochelin and pyocyanin. Mol PlantMicrobe Interact. 15:1147–56. Backer CA, Van Den Brink BRC.Jr. 1963. Flora of Java. I. Noordhoof. Groningen.302-304. Barbieri L, Batelli MG, Stirpe F. 1993. Ribosome-inactivating proteins from plants. Biochim. Biophys. Acta 1154:237–282. Barbieri L, Polito L, Bolognesi A, Ciani M, Pelosi E, Farini V, Jha AK, Sharma N, Vivanco JM, Chambery A, Parente A, Stirpe F. 2006. Ribosomeinactivating proteins in edible plants and purification and characterization of a new ribosome-inactivating protein from Cucurbita moschata. Biochem. Biophys. Acta. 1760 : 783-792 Barwe SP, Sathiyabama M, Jayabaskaran, C.. 2001. Induction of chitinase activity by exogenous cytokinins in excised dark-grown cucumber cotyledones:involvement of staurosporine-sensitive protein kinase (s) in cytokinin signalling. J. Plant Physiol. 158(1):1-7. Batalia MA, Monzingo AF, Ernst S, Roberts W, Robertus JD. 1996. The crystal structure of the antifungal protein zeamatin, a member of the thaumatinlike, PR-5 protein family. Nat. Struct. Biol. 3, 19-23.
Bestwick CS, Brown IR, Mansfield W. 1998. Peroxidase activity accompany hydrogen peroxide generation during the development of a non host hypersensitive reaction in lettuce. Plant Physiol. 118:1067-1078. Bishop JG, Dean AM, Mitchell-Olds T. 2000. Rapid evolution in plant chitinases: molecular targets of selection in plant-pathogen coevolution. Proc. Natl. Acad. Sci. (USA) 97:5322-532. Bleecker AB, Patterson SE. 1997. Last exit: senescence, abscission, and meristem arrest in Arabidopsis. Plant Cell 9:1169–79 Bleecker AB, Kende H. 2000. Ethylene : a gaseous signal molecule in plants. Annu. Rev. Cell. Dev. Biol. 16:13-18. Boller T, Gehri A., Mauch F., Vogeli U. 1983. Chitinase in bean leaves:induction by ethylene, purification, properties, and possible function. Planta 157:22-31. Boller T, Vogeli U. 1984. Vacuolar localization of ethylene-induced chitinase in bean leaves. Plant Physiol. 74(2):442-444. Bormann C, Baier D, Horr I, Raps C, Berger J, Jung G, Schwartz H. 1999. Characterization of a novel, antifungal, chitin-binding protein Streptomyces tendae Tu901 that interferes with growth polarity. J. Bacteriol. 181:7421–7429. Bradford, MM. 1976. A rapid and sensitive method for the quantitation of microgram quantities of protein utilizing the principle of protein-dye binding. Anal. Biochem. 72:248–254. Bradley DJ, Kjelborn P, Lamb CJ. 1992. Elicitor- and wound-induced oxidative cross-lingking of praline-rich plant cell wall protein: a novel, rapid defense response. Cell. 70:21-30. Bryngelsson T, Sommer-Knudsen J, Gregersen PL, Collinge DB, Ek B, ThordalChristensen H. 1994. Purification, characterization, and molecular cloning of basic PR-1-type pathogenesis-related proteins from barley. Mol. Plant Microbe Interact. 7:267–275. Buchter R, Stromberg A, Schmelzer E, Kombrink E. 1997. Primary structure and expression of acidic (Class I) chitinase in potato. Plant Mol. Biol. 35:749-761. Burtekova L, Stillerova K, Feltlova M, Sindelarova M. 2003. Immunohistological analysis of chemically induced proteins in suggarbeet. Biol. Plantaraum 47(2): 243-251.
149
Busam G, Kassemeyer HH, Matern U. 1997. Differential expression of chitinase in Vitis vinifera L. responding to systemic acquired resistance activators or fungal challenge. Plant Physiol. 115:1029-1038. Cabello F, Jorrín JV, Tena M. 1994. Chitinase and β-1,3-glucanase activities in chickpea (Cicer arietinum). Induction of different isoenzymes in response to wounding and ethephon. Physiol. Plantarum 92 (4): 654– 660. Casal JJ, Mella RA, Ballare CL, Maldonado S. 1994. Phytochrome mediated effects on extracellular peroxidase activity, lignin content and bending resistance in etiolated Vicia faba epicotyls. Physiol. Plantarum. 98:909916. Cheong NE, Choi YO, Kim WY, Bae IS, Cho MJ, Hwang I, Kim JW, Lee SY. 1997. Purification and characterization of an antifungal PR-5 protein from pumpkin leaves. Moll. Cells. 7:214-219 Chittor JM, Leach JE, White FF. 1999. Induction of peroxidase during defense agains pathogens in Datta and Muthukrishnan (eds.). Pathogenesis Related Protein in Plants. p171-188. Science. Chow L.P, Kamo M, Lin JY, Wang SH, Ueno Y, Tsugita A. 1996. Amino acid sequence of Trichoanguina, a ribosomal inactivating protein from Trichosanthes anguina seeds. J. Biomed. Sci. 3:178-186. Christensen JH, Bauw G, Welinder KG, Montagu MV, Boerjan W. 1998. Purification and characterization of peroxidase correlated with lignification in poplar xylem. Plant Physiol. 118:125-135. Churiah. 2006. Protein Bioaktif dari Bagian Tanaman dan Akar Transgenik Cucurbitaceae serta Aktivitas Antiproliferasi Galur Sel Kanker In Vitro. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Ciardi J, Klee H. 2001. Regulation of ethylene-mediated responses at the level of the receptor. Ann. Bot. 88: 813-822 Cipolini DF. 1998. The induction of soluble peroxidase activity in bean leaves by wind-inducedmechanical perturbation. Amer. J. Bot. 85(11): 1586-1591. Cohen-Kupiec R, Broglie K, Friesen D, Broglie R, Chet I. 1999. Molecular characterization of a novel β-1,3-exoglucanase related to mycoparasitism of Trichoderma harzianum. Gene 226:147-154. Collinge DB, Kragh KM, Mikkelsen JD, Nielsen KK, Rasmussen U, Vad K. 1993. Plant chitinases. Plant J. 3: 31-40
150
Cote F, Cutt JR, Asselin A, Klessig DF. 1991. Pathogenesisrelated acidic b-1,3glucanase genes of tobacco are regulated by both stress and developmental signals. Mol. Plant Microbe Interact. 4:173–181. Curtis MD, Rae AL, Rusu AG, Harrison SG, Manners JM. 1997. A peroxidase gene promoter induced by phytopatogenes and methyl jasmonate in transgenic plants. Mol. Plant Microbe Interact. 10 (3); 326-328. Dang JL, Jones JDG. 2001. Plant pathogens and integrated defence responses to infection. Nature 411:626-833. Delaney TP, Uknes S, Vernooij B, Friedrich L, Weymann K, Negrotto D, Gaffney T, Gutrella M, Kessman H, Ward E, Ryals J. 1994. A central role of salycilic acid in plant disease resistance. Science 266:1247-1250. Dempsey DA, Shah J, Klessig DF. 1999. Salicylic acid and disease resistance in plants. Crit. Rev. Plant Sci. 18:547-575. Derckel JP, Legendre L, Audran JC, Haye B. 1996. Chitinase of grapevine (Vitis vinifera L.): five isoforms induced in leaves by salicylic acid are constitutively expressed in other tissues. Plant Sci. 119:31-37. Dewdney et al. 2000. Three unique mutants of Arabidopsis identify eds loci required for limiting growth of a biotrophic fungal pathogenen. Plant J. 24: 205-218. di Toppi LS, Gorini G,. Properzi L, Barbieri L. 1996. Production of ribosome inactivating protein from hairy-root cultures of Luffa cyllindrica (L.) Roem. Plant Cell Reports 15 : 910-913. Dolan L. 1997. The role of ethylene in the development of plant form. J. Exp. Bot. 48:201–10 Dong TX, Ng TB, Yeung HW, Wong RNS. 1994. Isolation and characterization of a novel ribosome-activating protein, β-kirilowin, from the seed of Trichosanthes kirilowii. Biochem.and Biophys Res. Com. 199 (1). Dong X. 2001. Genetic dissection of systemic acquired resistance. Curr. Opin. Plant Bio. 4:309-314. Ecker JR, Davis RW. 1987. Plant defense genes are regulated by ethylene. Proc. Natl. Acad.Sci. U. S. A. 84:5202–5206. Espelie KE, Franceschi VR, Kolattukudy PE. 1986. Immunocytochemical localization and time course of appearance of an anionic peroxidase associated with suberization in wound-healing potato tuber tissue. Plant Physiol 81:487–92.
151
Evers D, Schmit C, Mailliet Y, Hausman J F. 1997. Growth characteristics and biochemical changes of poplar shoots in vitro under sodium chloride stress. J. Plant Physiol. 151:748–753 Ferrari S, Plotnikova JM, De Lorenzo G, Ausubel FM. 2003. Arabidopsis local resistance to Botrytis cinerea involves salicylic acid and camalexin and requires EDS4 and PAD2, but not SID2, EDS5 or PAD4. Plant J 35: 193–205. Ferreras JM, Iglesias R, Barbieri L, Alegre C, Bolognesi A, Rojo MA, Carbajales ML, Escarmis C, Girbes T. 1995. Effects and molecular action of ribosome-inactivating proteins on ribosomes from Streptomyces lividans. Biochim. Biophys. Acta 1243:85–93. Fernandes CF, Moraes VCP, Vasconcelos IM, Silveira JAG, Oliveira JTA. 2006. J. Plant Physiol. 163(10): 1040-1048. Flocco CG, Alvarez MA, Giuletti AM. 1998. Peroxidase production in vitro by Armoracia lapathifolia (horseradish)-transformed root cultures: effect of elicitation on level and profile of isoenzymes. Biotechnol.Appl. Biochem. 28:33–38 Friedrich L, Moyer M, Ward E, Ryals J. 1991. Pathogenesis-related protein 4 is structurally homologous to the carboxy-terminal domains of hevein, Win-1 and Win-2. Mol. Gen. Genet. 230:113–119. Fukamizo T, Sasaki C, Tamoi M. 2003. Plant chitinases : structure-function relationships and their physiology. Foods Food Ingredient J. Jpn. 208 (8) Fukuda Y, Ohme M, Shinshi H. 1991. Gene structure and expression of a tobacco endochitinase gene in suspension cultured tobacco cells. Plant Mol. Biol. 16:1-10. Fukuda Y, Shinshi H. 1994. Characterization of a novel cis acting element that is responsive to a fungal elicitor in the promoter of a tobacco class I chitinase genes. Plant Mol. Biol. 24: 485-493. Galgiani J, Bartlett M, Ghannoum M, Espinel-Ingroff A, Lancaster A, Odds F. 1995. Reference method for broth dilution antifungal susceptibility testing of yeasts: tentative standard. NCCLS document M27-T. National Committee for Clinical Laboratory Standards, Villanova, Pa. Gerhardt LBA, Sachetto-Martins G, Contarini MG, Sandroni M, Ferreira R.P, de Lima VM, Cordeiro MC, de Oliveira DE, Margis-Pinheir M. (1997). Arabidopsis thaliana class IV chitinase is early induced during the interaction with Xanthomonas compestris. Febs Lett. 419: 69-75.
152
Gildemacher BH, Jansen GJ, Chayamarti K. 1993. Trichosanthes cucumerina L. In: Siemonsma, J.S; Piluek, K. (eds.). Plant Resources of South-East Asia. No. 8. Vegetables. Pudoc Scientific Publishers, Wageningen, The Netherlands. Pp. 271-274. Girbes T, Citores L, Iglesias R, Ferreras JM, Munoz R, Rojo MA, Arias F J, Garcia JR, Mendez E, Calonge M. 1993. Ebulin 1, a nontoxic novel type 2 ribosome-inactivating protein from Sambucus ebulus L. leaves. J. Biol. Chem. 268:18195–18199. Gorlach J, Volrath S, Knauf-Beiter G, Hengy G, Beckhove U, Kogel KH, Oostendorp M, Staub T, Ward E, Kessman H, Ryals J. 1996. Benzothiadiazole, a novel class of inducers of systemic acquired resistance, activates gene expression and disease resistance in wheat. Plant Cell 8:629–43. Gooday GW. 1994. Physiology of microbial degradation of chitin and chitosan. P 279-312. In C. Ratledge (Ed.) Biochemistry of microbial degradation. Kluwer Acad. Publ. Doordrecht, The Netherlands. Grambow HJ, Langenbeck-Schwich B. 1983. The raltionship between oxidase activity, peroxidase activity, hydrogen peroxidase, and phenolic compounds in the degradation of indole-3-acetic acid in vitro. Planta 157:131-137. Grosset J, Marty I, Chartier Y, Meyer Y. 1990. mRNAs newly synthesized by tobacco mesophyl protoplast are wound-inducible. Plat Mol. Biol. 15:485-496. Goeschl J, Rappaport L, Pratt H. 1966. Ethylene as a factor regulating the growth of pea epicotyls subjected to physical stress. Plant Physiol. 41:877–84 Graham LS, Stickelen MB. 1994. Plant chitinases. Can. J. Bot. 72. 1057-1083. Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi (Terjemahan dari Elements of Microbiology ; Pelczar, M.J. dan Chan, E.C.S. UI Press. Hammerrschmidt R, Nuckles EM, Kuc J. 1982. Association of enhanced peroxidase activity with induced systemic resistance of cucumber to Colletotrichum lagenarum Physiol. Plant Pathol. 20:73-82. Harman GE, Hayes CK, Broadway RM, Di Pietro A, Peterbauer C, Tronsmo A. 1993. Chitinolytic enzymes of Trichoderma harzianum : purification of chitobiosidase and endochitinase. Phytopatology 83:313-318.
153
Harrison SJ, Curtis MD, Mcintyre CL, Maclean DJ, Manners JM. 1995. Differential expression of peroxidase isogenes during the early stages of infection of the tropical forage legume Stylosanthes humilis by Colletotrichum gloeosporioides. Mol. Plant Microbe Interact. 8:398-406. Hartmann HT, Kester DE, Davies Jr FT. 1990. Plant propagation. Prentice-Hall Hejgaard J, Jacobsen S, Bjorn SE, Kragh KM. 1992. Antifungal activity of chitinbinding PR-4 type proteins from barley grain and stressed leaf. FEBS Lett. 307:389–392. Hiraga S, Ito H, Yamakawa H, Obtsubo N, Seo S, Mitsuhara I, Matsui H, Honma M, Ohashi Y. 2000. An HR-induced tobacco peroxidase gene is responsive to spermine, not to salicylate, methyl jasmonate, and ethephon. Mol. Plant Microbe Interac. 13(2): 210-216. Hodge A, Alexander IJ, Gooday GW. 1996. Measurement in situ of chitinase and β-N-acetylglucosaminidase activities in germinating seeds of Pinus sylvestris and Eucalyptus pilularis. Plant Physiol. Biochem. 34: 301-306. Hughes RK, Dickerson AG. 1991. Modulation of elicitor induced chitinase and β1,3-glucanase activity by hormones in Phaseolus vulgaris. Plant Cell Physiol. 32(6):853-861. Hwu L, Huang CC, Chen DT, Lin A. 2000. The action mode of the ribosome-inactivating protein a-sarcin. J. Biomed. Sci. 7:420–428. Iglesias R, Arias FJ, Rojo MA, Escarmis C, Ferreras JM, Girbes T. 1993. Molecular action of the type 1 ribosome-inactivating protein saporin 5 on Vicia sativa ribosomes. FEBS Lett. 325:291–294. Irving HR, Kuc JA. 1990. Local and systemic induction of peroxidase, chitinase and resistance in cucumber plants by K2HPO4. Physiol. Mol. Plant Pathol. 37:355-366. Jach G, Gornhardt B, Mundy J, Logemann J, Pinsdorf E, Leah R, Schell J, Maas C. 1995. Enhanced quantitative resistance against fungal disease by combinatorial expression of different barley antifungal proteins in transgenic tobacco. Plant J. 8:97–109. Jayabaskaran C, Barwe SP, Sonali P. 1995. Studies On The Molecular Mechanism Of Cytokinin Action: Involvement Of Ca2+, Protein Kinase And Concurrent Protein Synthesis In Signaling Of Cytokinin-Induced Expression Of Pathogenesis-Related Enzymes In Cucumber. http://handle.net/2005/178. 18 Januari 2008. Johnson PR, Ecker JR. 1998. The ethylene gas signal:transduction pathway: a molecular perspective. Annu. Rev. Genet. 32:227-254
154
Kar M, Mishra D. 1976. Catalase, peroxidase and polyphenol oxidase activities during rice leaf senescence. Plant Physiol 57:315-319. Karasuda SS, Tanaka H, Kajihar Y, Yamamoto Y, Koga D.. 2003. Plant chitinase as a possible biocontrol agent for use instead of chemical fungicides. Biosci. Biotechnol. Biochem. 67 (1) 221-224 Kasprezewska A. 2003. Plant chitinases-regulation and function. Cell. Mol. Biol. Lett. 8(3):809-834. Kataoka J, Habunaka N, Furubo M, Miyano M, Takanami Y, Koiwai A. 1991. DNA sequqnce of Mirabilis antiviral protein (MAP), a ribosomeinactivating protein with an antiviral property, from Mirabilis jalapa L. and its expression in Escerchia coli. J.Biol. Chem. 266 (13):8426-8430. Katz VA, Thulke OU, Conrath U. 1998. A benthodiazole primes parsley cells for augmented elicitation of defense responses. Plant Physiol. 117: 13331339. Khan AA. 2002. Charactrization of Chitinase Activities, and Cloning, Analysis, and Expression of Gene Encoding Pathogenesis-Related Proteins in Strawberry. Dissertation.Lousiana State University. Lousiana.154p Kellmann JW, Kleinow T, Engelhardt K, Philipp C, Wegener D, Schell J, Schreier H. 1996. Characterization of two chitinase genes from peanut and expression studies in transgenic tobacco plants. Plant Mol. Biol. 30:351358. Kessmann H, Staub T, Hofmann C, Maetzke T, Herzog J. 1994. Induction of systemic acquired disease resistance in plants by chemicals. Annu. Rev. Phytophatol. 32: 439–59. Kirubakaran SI, Sakthivel N. 2007. Cloning and overexpression of antifungal barley chitinase gene in Escherichia coli. Protein Expression Purification. 52:159-166 Kitajima S, Sato F. 1999. Plant pathogenesis-related proteins;Molecular mechanisms of gene expression and protein function. J. Biochem 125:18. Koga D, Mitsutomi M, Kono M, Matsumiya M. 1999. Biochemistry of chitinases. In Severgnini, S.M.E. 2006. Isolation and characterization of two chitinase and one novel glucanase for engineering plant defence against fungal pathogens. Thesis of Doctor Philosophy. Murdoch University. Perth Australia.
155
Kondo T, Inoue M, Mizukami H, Ogihara Y. 1995. Cytotoxic activity of bryonolic acid isolated from transformed hairy roots of Trichosanthes kirilowii var. japonica. Biol. Pharm. Bull. 18 (5) : 726-729. Kondo T, Yoshikawa T, Ogihara Y, Mizukami H. 2002. Fusion with maltosebinding protein (MBP) affects neither RNA N-glycosidase activity nor immunogenicity of karasurin-A, a ribosome-inactivating protein from Trichosanthes kirilowii var. japonica. Biotechnol. Lett. 24:1117-1124. Kristensen BK, Bloch H, Rasmussen SK. 1999. Barley coleoptile peroxidases. Purification, molecular cloning and induction by pathogens. Plant Physiol. 120: 501–12. Kurosaki FN, Tashiro A, Nishi. 1990. Chitinase induction in carrot cell cultures treated with various fungal components. Biochem Int. 20:99-106. Lagrimini LM, Burkhart W, Moyer M, Rothstein S. 1997. Molecular cloning of complementary DNA encoding the lignin-forming peroxidase from tobacco: molecular analysis and tissue-specific expression. Proc Natl Acad Sci USA 84:7542–6. Lagrimini LM, Joly RJ, Dunlap JR, Liu T-TY. 1997. The consequence of peroxidase overexpression in transgenic plants on root growth and development. Plant Mol. Biol. 33:887-895. Langer M, Rothe M, Eck J, Mockel B, Zinke H. 1996. A nonradioactive assay for ribosome-inactivating proteins. Anal. Biochem. 243:150–153. Latunde-Dada AO, Lucas J, 2001. The plant defence activator acibenzolar-Smethyl primes cowpea (Vigna unguiculata) (L.) Walp.] seedlings for rapid induction of disease resistance. Physiol. Mol. Plant Pathol. 58: 199-208. Lawton KA, Potter SL, Uknes S, Ryals J. 1994. Acquired resistance signal transduction in Arabidopsis is ethylene independent. Plant Cell 6:581– 88. Leah R, Tommerup H, Svendsen I, Mundy J. 1991. Biochemical and molecular characterization of three barley seed proteins with antifungal properties. J. Biol. Chem. 266:1564–1573. Li Da-Hui, Jian Gui-Liang, Zhang Ying-Tao, Ai Tie-Min. 2007. Bacterial expression of Trichosanthes kirilowii defensin ((TDEF1) and its antifungal activity on Fusarium oxysporum. Appl. Microbiol. Biotechnol. 74:146–151
156
Logeman J., G. Jach, H. Tommerup, J. Mundy, and J. Schell. 1992. Expression of barley ribosome-inactivating protein leads to increased fungal protection in transgenic tobacco plants. Bio/Technology 10:305-308 Lopez-Serrano M, Fernandez MD, Pomar F, Pedreno MA, Barcelo AR. 2004. J. Experimental Bot. 55 (396) : 423-431, Lowry OH, Rosebrough NJ, Farr AL, Randall RJ. 1951. Protein measurement with the folin phenol reagent. J. Biol. Chem. 193:265-275, Download from www.jbs.org.by on April 23,2007 Marek, SM, Roberts CA, Karr AL, Sleeper DA. 2000. Chitinase activity in tall fescue seedling as affected by cultivar, seedling development and cultivar. Crop Sci. 40:713-716. Mauch F, Staehelin LA. 1989. Functional implications of the sub-cellular localization of ethylene-induced chitinase and β-1,3-glucanase in bean leaves. Plant Cell 1:447-457. Mellon JE. 1991. Purification and characterization of isoperoxidase elicited by Aspergillus flavus in cotton ovule cultures. Plant Physiol. 95: 14-20. Metraux JP. 2002. Recent breakthroughs in the study of salicylic acid biosynthesis. Trends Plant Sci. 7(8):332-334. Meneguzzo S, Sgherri CL, Navari-Izzo F, Izzo R. 1998. Stromal and thylakoidbound peroxidases in NaCl treated wheat. Physiol. Plant. 104:735–740; Mitter N, Kazan K, Way HM, Broekaert WF, Manners JM. 1998. Systemic induction of an Arabidopsis plant defensin gene promoter by tobacco mosaic virus and jasmonic acid in transgenic tobacco. Plant Science 136:169-180. Molina A, Segura A, Garcia-Olmedo, F. 1993. Lipid transfer proteins (nsLTPs) from barley and maize leaves are potent inhibitors of bacterial and fungal plant pathogens. FEBS Lett. 16:119–122. Morri IC, Pinontoan R, Kawano T, Muto S. 2001. Involevement of superoxidae generation in salicylic acid-induced stomatal closure in Vicia faba. Plant Cell Physiol 42:1383-1388. Morris SW, Vernooij B, Titatarn S, Starrett M, Thomas S, Wiltse CC, Frederiksen RA, Bhandhufalck A, Hulbert S, Uknes S. 1998. Induced resistance responses in maize. Mol. Plant-Microbe Interact. 11:643–58. Mukhopadhyay GK, Chattopadhyay TK. (1976). Studies in propagation of pointed gourd (T. dioica, Rox.) - II. Progressive Horticulture, 7: 65-68 in http://www.bioversityinternational.org/publications/Web_version/52/ch18 .htm
157
Muradov A, Petrasovits L, Davidson A, Scott KJ. 1993. A cDNA clone for a pathogenesis-related protein 1 from barley. Plant Mol. Biol. 23:439–442. Murashige T, Skoog F. 1962. A revised medium for rapid growth and bioassays with tobacco tissue cultures. Physiol. Plant. 15:473-497. Nakamura T, Ishikawa M, Nakatami H, Oda A. 2008. Characterization of cold responsive extracellular chitinase in bromegrass cell cultures and its relationship to antifreeze activity. Plant Physiol. 147:391-401. Nawrath C, Metraux JP. 1999. Salicylic acid induction-deficient mutants of Arabidopsis express PR-2 and PR-5 and accumulated high levels of camalexin after pathogen inoculation. Plant Cell 11: 1393-1404. Neuhaus JM. 1999. Plant chitinases (PR-3, PR-4, PR-8, PR-11). In Pathogenesis related proteins in plants, eds. Datta, S.K. and Muthukrishnan, S., CRC Press, Boca Raton, pp. 77-105 Niderman T, Genetet I, Buryere T, Gees R, Stintzi A, Legrand M, Fritig B, Mosinger E. 1995. Pathogenesis-related PR-1 proteins are antifungal. Isolation and characterization of three 14-kilodaltons proteins of tomato and of a basic PR-1 of tobacco with inhibitory activity against Phytophthora infestans. Plant Physiol. 108:17-27. Nielsen KK, Bojsen K, Roepstorff P, Mikkelsen JD. 1994. A hydroxyproline containing class IV chitinase of sugar beet is glycosylated with xylose. Plant Mol. Biol. 25: 241-257 Nielsen K, Nielsen JE, Madrid SM, Mikkelsen JD. 1997. Characterization of a new antifungal chitin-binding peptide from sugar beet leaves. Plant Physiol. 113:83–91. Oku H. 1994. Plant Pathogenesis and Disease Control. Lewis Pub.-CRC Press. Tokyo.119p. Orikoshi H, Nakayama S, Miyamoto K, Hanato C, Yasuda M, Inamori Y, Tsujibo H. 2005. Roles of four chitinases (ChiA, ChiB, ChiC, and Chi D) in chitin degradation system of marine bacterium Alteromonas sp. Strain O-7. Applied Env. Microbiol. 71(4):1811 - 1815 Parkinson M, Cotter T, Dix PJ. 1990. Peroxidase production by cell suspension cultures and hairy roots of horseradish (Armoracia rusticana). Plant Sci. 66:271-277. Pierik RLM. 1987. In Vitro Culture of Higher Plants. Martinus Nijjhoff Publ. Netherlands. 344 p.
158
Pieterse CMJ, Van Wees SCM, Van Pelt JA, Knoester M, Laan R, Gerrits H, Weisbeek PJ, Van Loon LC. 1998. A novel signalling pathway controlling induced systemic resistance in Arabidopsis. Plant Cell 10:1571–80. Ponstein AS, Bres-Vloemans SA, Sela-Buurlage MB, van den Elzen PJ, Meichers LS, Cornelissen BJ. 1994. A novel pathogen-and wound-inducible tobacco (Nicotiana tabacum) protein with antifungal activity. Plant Physiol. 104:109–118. Pu Z, Lu BY, Liu WY, Jin W. 1996. Characterization of the enzymatic mechanism of g-momorcharin, a novel ribosome-inactivating protein with lower molecular weight of 11,500 purified from the seeds of bitter gourd (Momordica charantia). Biochem. Biophys. Res. Commun. 229:287–294. Pujihartati E, Siswanto, Ilyas S, Sudarsono. 2006a. Aktivitas Kitinase pada Kacang Tanah yang Sehat dan yang Terinfeksi Sclerotium rolfsii. Hayati 13(2):73-78. Pujihartati E, Ilyas S, Sudarsono. 2006b. Aktivitas pembentukan secara cepat spesies oksigen aktif, peroksidase, dan kandungan lignin kacang tanah terifeksi Sclerotium rolfsii. Hayati 13 (4): 166-172 Rajasekaran K, Stromberg KD, Cary JW, Cleveland TE. 2001. Broad-spectrum antimicrobial activity of the synthetic peptide D4E1. J. Agric. Food. Chem. 49:2799-2803 Rauscher M, Adam AL, Wirtz S, Guggenheim R, Mendgen K, Deising HB. 1999. PR-1 protein inhibits the differentiation of rust infection hyphae in leaves of acquired resistant broad bean. Plant J. 19:625–633. Redman RS, Freeman,S, Clifton DR, Morrel J, Brown G, Rodriguez RJ. 1999. Biochemical analysis of plant protection afforded by a nonpathogenic endophytic mutant of Colletotrichum magna. Plant Physiol;119: 795– 804. Regalado AP, Pinheiro C, Vidal S, Chaves I, Ricardo CPP, Rodrigues-Posada C. 2000. The Lupinus albus Class III chitinase gene IF3, is constitutively expressed in vegetative organ and developing seed. Planta 210:543-550. Roberts W, Selitrennikoff CP. 1986. Isolation and characterization of two antifungal proteins from barley. Biochem. Biophys. Acta 880:161-170. Rugayah. 1999. Trichosanthes (Cucurbitaceae) in Malesia. Disertasi. Program Pasca Sarjana IPB. 239 hal.
159
Samac DA, Hironaka CM, Yallaly PE, Shah DM. 1990. Isolation and characterization of the genes encoding basic and acidic chitinase in Arabidopsis thaliana. Plant Physiol. 93:907-914. Saikia R, Kumar R, Arora DK, Gogoi DK, Azad P. 2006. Pesudomonas aeruginosa inducing rice resistance against Rhizoctonia solani Folia : production of salicylic acid and peroxidase. Microbiol 51(5):375-380 Savary BJ, Flores HE. 1994. Biosynthesis of defense-related protein in transformed root cultures of Trichosanthes kirilowii Maxim. Var. japonicum (Kitam). Plant Physiol. 106:1195-1204. Savary BJ, Flores HE, Hill JJ. 1997. Isolation of a class III chitinase produced in root cultures of Trichosanthes kirilowii and assessment of accumulation patterns and antifungal activity. Plant Physiol. Biochem. 35: 543-551 Schlumbaum A, Mauch F, Vogeli U, Boller T. 1986. Plant chitinases are potent inhibitors of fungal growth. Nature 324:365-367. Selitrennikoff P. 2001. Antifungal proteins. Appl. Env. Mirobiol. July : 28832894 Severgnini SME. 2006. Isolation and characterization of two chitinase and one novel glucanase genes for engineering plant defence against fungal pathogens. Thesis. Murdoch University. Perth. Sherf BA, Bajar AM, Kolattukudy PE. 1993. Abolition of an inducible highly anionic peroxidase activity in transgenic tomato. Plant Physiol. 101: 201–208 Shinshi H, Usami S, Ohme-Takagi M. 1995. Identification of an ethyleneresponsive region in the promoter of a tobacco class I chitinase gene. Plant. Mol. Biol. 27:923-932. Siefert F, Grossmann K. 1997. Induction of chitinase and β-1,3-glucanase activity in sunflower suspension cells in response to an elicitor from Phytopthora megasperma f. sp. glycinea (Pmg). Evidence for regulation by ethylene and 1-aminocyclopropane -1-carboxylic acid (ACC). J. Exp. Bot. 48 (317):2023 – 2029. Singh M, Kumar S, Singh AK, Ram D, Kalloo G. 2002. Female sex-associated RAPD marker in pointed gourd (Trichosanthes dioica Roxb.). Curr. Sci. 82(2):131-132. Srivastava LM. 2002. Plant Growth and Development : Hormone and Environment. Academic Press.
160
Sticher L, Mauch-Mani B, Metraux, J.P (1997). Systemic acquired resistance. Annu. Rev. Phytopathol. 35: 235-270 Stintzi A, Heitz T, Prasad V, Wiedemann-Merdinoglu, Kauffman, S., Geoffroy, P., Legrand, M., Fritig, B. 1993. Plant’pathogenesis-related proteins and their role in defense against pathogens. Biochimie 75(8): 687-706 Stoner MR, Humprey CA, Coutts DJ, Remi Shih NJ, McDonald KA, Jackman AP. 1997. Kinetics of growth and ribosome in activating protein production from Trichosanthes kirilowii plant cell cultures in 5-L bioreactor. Biotechnol.Prog 13:799-804 Sukma D, Sudiatso S, Harran S, Sudarsono. 2003. Pengaruh jumlah eksplan, umur kultur dan kasein hydrolisate terhadap biomassa dan total protein kultur akar rambut paria belut (Trichosanthes cucumerina var. anguina L. Haines). Hayati Vol. 10 (2):48-54. Sukma D, Artika IM, Tondok ET. 2006. Eksplorasi Protein Antimikroba dari Trichosanthes sp. Melalui Sistem Kultur Akar Normal dan Akar Transgenik In Vitro. Laporan Penelitian Hibah Bersaing XIV. Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Summermatter KL, Sticher L, Metraux JP. 1995. Systemic responses in Arabidopsis thaliana infected and challenge with Pseudomonas syringae pv syringae. Plant Physiol. 108, 1379-1385. Syukur, M. 2007. Analisis Genetik dan Studi Pewarisan Sifat Ketahanan Cabai (Capsicum annum L.) terhadap Antraknosa yang Disebabkan oleh Colletotrichum acutatum. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tahiri-Aloui A, Dumas-Gaudot E, Gianinazzi S. 1993. Immunocytochemical localization of pathogenesis-related PR-1 proteins in tobacco root tissues infected in vitro by the black root rot fungus Chalara elegans. Physol. Mol. Plant Pathol. 42:69-82. Taylor BE, Irvin JD. 1990. Depurination of plant ribosomes by pokeweed antiviral protein. FEBS Lett. 273:144–146. Tsukamoto T, Koga D, Ide A, Ishibashi T, Horino-Matsushige M, Yagshita K, Imoto T. (1984) Purification and some properties of chitinases from yam, Dioscorea posita THUMB. Agric. Biol. Chem. 48: 931-939 Tyson H, Juy PY. 1967. Peroxidase activity in Linum usitatissimum L. Annals Bot. 31:489-495.
161
Ubhayasekera W. 2005. Structural Studies of Cellulose and Chitin Active Enzyme. Doctoral Thesis. Swedish of Agricultural Science. Uppsala. 53p. Van Buuren M, Neuhauss JM, Shinshi H, Ryals J, Meins F. 1992. The structure and regulation of homeologous tobacco endochitinases genes of Nicotiana sylvestris and N. tomentosiformis origin. Mol. Gen. Genet. 232:460-469. Van Damme EJ, Charels D, Roy S, Tierens K, Barre A, Martins JC, Rouge P, Van Leuven F, Does M, Peumans W.J. 1999. A gene encoding a hevein-like protein from elderberry fruits is homologous to PR-4 and class V chitinase genes. Plant Physiol. 119:1547–1556. Van Loon LC, Pierpoint WS, Boller T, Conejero V. 1994. Recommendations for naming plant pathogenesis-realted proteins. Plant Mol. Biol. Rep. 12:245-264. Van Loon LC, van Strien EA. 1999. The families of pathogenesis related proteins, their activities, and comparative analysis of PR-1 type proteins. Physiol.Mol.Plant Pathol. 55:85-97. Van Loon LC. Occurence and properties of plant pathogenesis-related proteins. In: Datta SK, Muthukrishnan S, editors. Pathogenesis related proteins in plants. Boca Raton, FL: CRC Press; 1999. p. 1–19. Vidya CSS, Manoharsan M, Sita GL. 1999. Cloning and characterization of salicylic acid-induced, intracellular pathogenesis related gene from tomato (Lycopersicon esculentum). J. of Biosci... 24(3): 287-93 Vivanco JM, Flores HE. 2000. Biosynthesis of ribosome inactivating protein from callus and cell suspension cultures of Mirabilis expansa (Ruiz & Pavon). Plant Cell Reports 19:1033-1039 Ward ER, Uknes SJ, Williams SC, Dincher SS, Wiederhold DL, Alexander DC, Ahl-Goy P, Me´traux JP, Ryals JA. 1991. Coordinate gene activity in response to agents that induce systemic acquired resistance. Plant Cell 3:1085–94. Hou WC, Chen YC, Lien YH. 1998. Chitinase activity of sweet potato (Ipomea batatas).[L] Lam. Var. Tainong 57. Bot. Bull.Acad. Sin. 39:93-97. Wu Chun-Ta., Bradford KJ. 2003. Class I chitinase and β-1,3-glucanase are differentially regulated by wounding, methyl jasmonate, ethylene and gibberellin in tomato seeds and leaves. Plant Physiol 133:263-273. Yang X, Xiao Y, Wang X, Pei Y. 2007. Expression of a Novel Small Antimicrobial Protein from the Seeds of Motherwort (Leonurus
162
japonicus) Confers Disease Resistance in Tobacco. Appl Environ Microbiol. 73(3): 939–946. Yang S, Hoffman N. 1984. Ethylene biosynthesis and its regulation in higher plants. Annu. Rev. Plant Physiol. 35:155–89. Yamazaki H, Yamazaki D, Takaya N, Takagi M, Ohta A, Horiuchi H. 2007. A chitinase gene, chi B, involved in the autolytic process of Aspergillus nidulans. Curr. Genet. 2: 89-98. Ying-Zhang L, Xiao-Hua Z, Hai-Lin T, Jian-Wei-Z, Jing-Ming Yang. 2003. Increase of β-1,3-glicanase and chitinase activities in cottong callus cells treated by salicylic acid and toxin of Verticillium dahliae. Acta Bot. Sin. 45(7):802-808. Yuan H, Ming X, Wang L, Hu P, An C, Che Z.. 2002. Expression of a gene encoding trichosanthin in transgenic rice plants enhances resistance to fungus blast disease. Plant Cell Report 20 (10). Zhang GP, Shi YL, Wang WP, Liu WY. 1999. Cation channel formed at lipid bilayer by Cinnamomin, a new type II ribosome-inactivating protein. Toxicon 37:1313–1322. Zhao, Kai-Jun,. Chye, Mee-Len. 1999. Methyl jasmonate induces expression of a novel Brassica juncea chitinase in two chitin-binding domains. Plant Mol. Biol. 40 (6):1009-1018. Zheng SS, Yuan HY, Wang LJ, An CC, Chen ZL. 2001. The tissue culture of medicinal plant Trichosanthes kirilowii and its protein analysis. Sheng Wu Gong Cheng Xue Bao 17 (4):420-422
163
GLOSSARY
Benzyladenine (BA) : salah satu jenis hormone atau zat pengatur tumbuh dari golongan sitokinin yang biasa digunakan dalam kultur jaringan tanaman
Elisitor : komponen dinding sel cendawan ataupun senyawa kimia alami atau sintetik yang dapat menginduksi biosintesis protein atau metabolit sekunder tertentu pada tanaman.
Etefon (2-chloroethyl phosphoric acid) disingkat dengan ETF : merupakan senyawa kimia berbentuk padat yang disimpan pada pH acidic dan akan terdekomposisi pada pH fisiologi untuk melepaskan etilen tanpa efek gangguan dari perubahan pH yang terjadi bersamaan dengan penggunaan etefon.
Etilen:hormon atau zat pengatur tumbuh dengan rumus kimia CH2=CH2 berbentuk gas yang banyak berperan dalam proses berbagai proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman seperti mendorong pematangan buah, penghambatan dalam ekspansi sel, menyebabkan triple response(pembelokan ujung apikal, pembengkokan radial dari hipokotil dan pemendekan akar pada perkecambahan benih, mendorong ketahanan terhadap layu dan nekrosis setelah mengalami infeksi patogen, mendorong pembentukan rambut akar, mempercepat senesen bunga dan mendorong absisi petal
In Vitro : kondisi pertumbuhan dalam ruang gelas kaca tertutup atau dalam botol tertutup dengan media buatan yang aseptic..
Kalus : kumpulan massa sel hidup dan belum terdiferensiasi membentuk organorgan tanaman seperti daun, akar, batang ataupun embrio.
Kitinase (KTN) : enzim yang dapat mendegradasi polimer kitin pada dinding sel makhluk hidup yang memiliki kitin seperti cendawan dan artropoda.
164
Naphthalene Acetic Acid (NAA):salah satu jenis auksin yang umum digunakan dalam kultur jaringan tanaman yang berperan dalam pembesaran sel, pembentukan akar, kalus maupun proses embriogenesis somatic.
Peroksidase (PRX) : enzim yang umum terdapat dalam tanaman berperan dalam biosintesis lignin, cross-lingking antar komponen-komponen penyusun dinding sel dan hidrolisis senyawa peroksida.
Tunas in vitro : tunas yang dihasilkan dalam proses kultur jaringan tanaman dalam media buatan dalam botol kultur yang aseptik.
165