Air merupakan sumber dari kehidupan alam semesta. Ketidaktersediaan air akan sangat mengganggu keseluruh makhluk hidup.
Setelah Tuhan
menurunkan hujan, maka mulailah kehidupan di dunia. Jika intensitas curah hujan lebih besar dari kecepatan infiltrasi maka akan terjadi aliran permukaan. Aliran permukaan berfungsi mencuci pencemar yang menempel dipermukaan bumi dan mengalir ke laut. Air infiltrasi mengisi ruang antar partikel tanah sampai mencapai kapasitas lapang. Kapasitas lapang terjadi jika gaya tarik partikel tanah terhadap air sama dengan gaya tarik bumi. Jika infiltrasi terus berlangsung maka gaya tarik bumi menjadi lebih besar dari pada gaya tarik partikel tanah terhadap air sehingga akan terjadi gerakan air ke bawah atau perkolasi untuk mengisi air bumi yang berfungsi sebagai cadangan air pada musim kemarau. Evaporasi air laut merupakan proses penjernihan air secara besar-besaran sehingga menjadi air bersih kembali.
Pengelolaan air adalah
bidang ilmu yang mempelajari pemeliharaan ketersediaan sumber air berdasarkan keseimbangan neraca air dalam siklus hidrologi tersebut untuk kelangsungan kehidupan. Berdasarkan siklus hidrologi tersebut dapat diketahui sumber air yang potensial adalah air bumi, air laut, air hujan dan air tanah. Pengelolaan air untuk irigasi meliputi pengembangan sumberdaya air sehingga sumber air dapat dimanfaatkan menjadi sumberdaya air, pemanfaatan air yang efisien meliputi pendugaan kebutuhan air tanaman, perencanaan sistem irigasi dan drainase, sehingga tanaman dapat berproduksi maksimal dengan kualitas maksimal.
Fungsi air bagi tanaman adalah penyusun protoplasma
karena antara 50% sampai 90% dari bobot tanaman adalah air, sebagai pelarut yang menyebabkan gas, mineral dan senyawa lain masuk ke dalam sel tanaman dan bergerak dari sel ke sel serta dari jaringan ke jaringan tanaman, sebagai bahan reaksi dan media reaksi meliputi fotosintesis dan proses hidrolitik seperti hidrolisis pati menjadi gula, penjaga turgor sel sehingga tanaman dapat tumbuh dan mempertahankan bentuknya (Salisbury dan Ross, 1992). Dari permasalahan hubungan pengelolaan air dengan tanaman yang luas tersebut, maka penelitian ini membatasi hanya pada hubungan pengelolaan air
dengan kandungan gula dan nikotin pada tembakau yang meliputi (1) hubungan tingkat irigasi dan waktu irigasi dengan produksi, kandungan gula dan nikotin, (2) hubungan sistem irigasi dengan produksi, kandungan gula dan nikotin dan (3) hubungan transpirasi dengan kandungan gula dan nikotin. Tingkat irigasi dan waktu irigasi merupakan jadwal irigasi yang mempengaruhi produksi, kandungan gula dan nikotin. Tingkat irigasi maksimum dilakukan mulai dari tanam sampai umur berbunga untuk menghasilkan jumlah daun yang maksimal, sedangkan setelah fase berbunga tingkat irigasi diatur untuk menghasilkan ukuran daun, kandungan gula dan nikotin sehingga diperoleh kuali-tas yang maksimal. Irigasi tetes merupakan sistem irigasi yang paling efisien karena air diberikan dengan debit yang kecil disekitar tanaman (Haman et al., 2004). Pada sistem tersebut, kehilangan air dari sumber sampai lahan tidak ada sehingga effisiensi irigasi tetes dapat mencapai 90% sampai 95% (Haman dan Yeager, 2004), sehingga sangat bermanfaat untuk daerah dengan ketersediaan sumber daya air yang terbatas. Irigasi dapat digunakan untuk pengaturan transpirasi, karena transpirasi berbanding lurus dengan beda potensial air tanah dan potensial air sekitar tajuk. Bukti adanya hubungan antara transpirasi dengan kandungan gula dan nikotin
adalah
penyemprotan
daun
tembakau
dengan
antitranspiran
menghasilkan tembakau dengan kandungan nikotin yang rendah dan kualitas yang baik. Transpirasi yang rendah menyebabkan absorsi nitrogen berkurang, sehingga dapat menurunkan sintesis nikotin (Weidner et al., 2005)). Penghentian irigasi menje-lang panen tembakau menyebabkan transpirasi menurun sehingga kandungan gula terlarut meningkat (Naidu, 2001). Dewasa ini pengelolaan air untuk pengaturan kandungan gula dan nikotin belum dapat dilakukan dengan tepat, karena belum dibuat hubungan dalam bentuk persamaan matematik antara transpirasi dengan kandungan gula dan nikotin. Jika hubungan transpirasi dengan kandungan gula dan nikotin dapat diperoleh, maka pengaturan kandungan gula dan nikotin dapat dilakukan dengan cara pengaturan besarnya transpirasi. Transpirasi dapat ditingkatkan
dengan meningkatkan poten-sial air tanah dengan cara memberikan irigasi, sebaliknya transpirasi dapat diturunkan dengan menurunkan potensial air tanah dengan cara menghentikan irigasi atau mengurangi tingkat irigasi. Tujuan Penelitian 1. Mendapatkan metode pengelolaan air meliputi tingkat dan waktu irigasi serta sistem irigasi untuk menghasilkan tembakau dengan kandungan gula tinggi dan nikotin rendah. 2. Mempelajari pengaruh metode pengelolaan air terhadap produksi tembakau 3. Mengetahui hubungan transpirasi dengan kandungan gula dan nikotin
Hipotesis 1. Tingkat dan waktu irigasi mempengaruhi produksi, kandungan gula dan niko-tin 2. Sistem irigasi drip memberikan produksi dan efisiensi pemakaian air yang le-bih tinggi dari pada sistem irigasi konvensional 3. Hubungan kadar gula dengan transpirasi adalah semakin rendah transpirasi menyebabkan kandungan gula semakin tinggi. 4. Hubungan kadar nikotin dengan transpirasi adalah semakin rendah transpirasi menyebabkan kandungan nikotin semakin rendah.
TINJAUAN PUSTAKA Faktor lingkungan mempengaruhi produktivitas dan kualitas tembakau. Secara umum faktor lingkungan meliputi tanah dan atmosfir. Faktor tanah meli-
puti sifat fisik, kimia tanah dan organisme di dalam tanah, sedangkan faktor atmosfir meliputi radiasi matahari, curah hujan, kelembaban dan suhu udara. Fokus penelitian ini dibatasi hanya untuk faktor pengelolaan air untuk mendapat-kan efisiensi pemakaian air. Pengelolaan air pada tanaman tembakau diarahkan untuk memaksimalkan bobot dan ukuran daun sampai awal fase berbunga.
Setelah fase berbunga, pengelolaan air diarahkan untuk
meningkatkan kandungan gula dan menurunkan kandungan nikotin sehingga nisbah gula dengan nikotin meningkat (Naidu, 2001). Hubungan pengelolaan air dengan kandungan gula dan nikotin meliputi: pengaruh waktu dan tingkat irigasi, sistem irigasi dan hubungan transpirasi dengan kandungan gula dan kandungan nikotin. Faktor Lingkungan Penentu Sintesis Gula dan Nikotin Faktor lingkungan yang mempengaruhi sintesis gula dan nikotin adalah radiasi, suhu udara, panjang siang, serta kandungan N, P, K, Ca dan pH dalam tanah.
Radiasi matahari merupakan sumber energi utama dunia yang oleh
tanaman akan diubah menjadi sumber bahan sandang, pangan, papan, energi dan berbagai produk metabolit sekunder. Selain itu radiasi matahari merupakan sumber variasi iklim mikro. Unsur-unsur cuaca lainnya seperti suhu udara, kelembaban udara dan panjang hari sangat dipengaruhi oleh radiasi matahari (Handoko, 1994). Pengelolaan tanaman bertujuan untuk memaksimalkan efisiensi penggunaan radiasi matahari. Pengelolaan tanaman dan pemilihan varietas yang memungkinkan intersepsi radiasi tertinggi dapat menghasilkan produksi yang maksi-mal.
Konsep efisiensi penggunaan energi merupakan biomassa yang
dihasilkan setiap satuan energi yang diintersepsi tanaman (Handoko, 1994). Jadi produk bio-massa tanaman merupakan fungsi dari energi radiasi. Produk biomasa atau fotosintat juga dapat diturunkan dari ketersediaan air tanaman. Konsep efisiensi pemakaian air merupakan nisbah antara biomassa tanaman dengan transpirasi. Karena transpirasi dipengaruhi oleh defisit uap air
antara tanaman dan atmosfir, maka dapat diturunkan persamaan biomassa terhadap defisit tekanan uap air. Kelembaban udara mempengaruhi pertukaran gas pada daun (Sheriff dan Mattay, 1995), sehingga mempengaruhi kecepatan fotosintesis. Zhang et al. (1996) menduga bahwa terdapat korelasi yang linear positif antara nisbah tekanan partial CO2 dalam sel dan ruangan (ci/ca) dengan defisit tekanan uap air (D). Berbagai penelitian hubungan antara intersepsi cahaya dengan tanaman telah banyak dilakukan. Andrade et al. (1993) melaporkan bahwa terdapat korelasi positif antara intersepsi radiasi dengan jumlah biji jagung/m2. Setiap mega joule menghasilkan 5.39 biji. Tanaman tebu yang ditanam dengan irigasi mengintersepsi radiasi sebesar 60% selama 167 - 445 hari setelah tanam. Koefisien extenction radiasi sebesar 0.38 dapat diduga dari hubungan antara indeks luas daun dengan fraksi intersepsi cahaya (Muchow et al., 1994). Biomasa dapat diprediksi berdasarkan intersepsi radiasi kumulatif dan koefisien efisiensi pemakaian radiasi (Williams et al., 1996). Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara intersepsi radiasi dengan biomassa tanaman (Monteith, 1994; Demetriades et al., 1994; Wheeler et al., 1993). Intersepsi radiasi dipengaruhi oleh teknik budidaya tanaman. Setelah berbunga, tanaman rape dengan jarak barisan 15 cm mengintersepsi radiasi lebih tinggi dari pada jarak barisan 30 cm. Peningkatan populasi tanam dari 1.5 menjadi 12.0 kg benih/ha menyebabkan peningkatan intersepsi radiasi (Morrison dan Stewart, 1995). Kelembaban udara di atas tajuk tidak berbeda nyata antara ketiga sistem irigasi. Ini diduga terjadi aliran udara dari daerah yang lebih kering ke daerah lebih lembab sehingga tercapai keseimbangan. Perbedaan kelembaban udara terjadi di bawah kanopi antara sistem irigasi konvensional dengan sistem irigasi drip. Kelembaban udara di bawah tajuk pada irigasi konvensional lebih tinggi, ini diduga transmisi radiasi yang lebih tinggi digunakan untuk evaporasi, sehingga kandungan uap air di bawah kanopi lebih tinggi. Perambatan panas secara horisontal dari permukaan kering ke permukaan basah menyebabkan
perubahan evapotranspirasi dan neraca air pada daerah beririgasi (Prueger et al., 1996). Kelembaban udara mempengaruhi status air tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengkabutan pada tanaman tomat dapat mengurangi penurunan potensial air daun harian sampai 0.5 Mpa (Stirzaker et al. , 1997), sehingga dapat mengurangi kecepatan defisit air tanaman.
Pada tanaman
gandum yang ditanam pada RH 80 % dan 40 % akan mengalami kecepatan defisit air sebesar 0.10 dan 0.18 Mpa/hari selama 6 hari setelah berbunga sampai 19 hari setelah berbunga (Palta, et al., 1994). Kelembaban udara
mempengaruhi potensial air dalam batang,
kandungan ABA dan tahanan stomata. Padi yang ditanam pada RH tinggi (75/90 % pada siang/malam) menyebabkan peningkatan potensial air batang, kandungan ABA xylem dan tahanan stomata dibandingkan RH rendah (40/55 % siang/malam) (Asch et al., 1995). Respon stomata serupa juga terjadi pada spesies rumput-rumputan lainnya. Hantaran stomata dari rumput tahan kering akan menurun dengan meningkatnya perbedaan tekanan uap air antara daun dan atmosfir (Maroco et al., 1997). Kelembaban udara mempengaruhi pertukaran gas pada daun (Sheriff dan Mattay, 1995), sehingga akan mempengaruhi kecepatan fotosintesis. Variasi musiman curah hujan dan defisit uap air atmosfir menyebabkan pertumbuhan kanopi pohon yang sangat berbeda (Duff et al., 1997). Zhang et al. (1996) menduga bahwa terdapat korelasi yang linear positif antara nisbah tekanan partial CO2 dalam sel dan ruangan (ci/ca) dengan defisit tekanan uap air (D). Suhu udara mempengaruhi produksi dan kualitas produksi. Suhu yang terlalu tinggi yang terjadi pada 15-20 hari setelah berbunga dapat menurunkan bobot biji barley sebesar 35 % (Savin, 1997). Suhu 40 oC selama 3 hari yang terjadi 10 atau 30 hari setelah berbunga akan mempengaruhi jumlah biji, kandungan N, komposisi protein dan amilosa gandum (Stone dan Nicolas, 1995). Hara makro untuk tanaman tembakau adalah nitrogen, fosfor, kalium dan kalsium. Nitrogen merupakan unsur hara yang paling penting yang mempe-
ngaruhi pertumbuhan tembakau dan kualitas daun tembakau. Tipe tembakau yang berbeda memerlukan jumlah nitrogen yang berbeda untuk menghasilkan kualitas yang dikehendaki. Pada tembakau asapan, konsentrasi nitrogen dalam jaringan berkorelasi positif dengan nikotin dan berkorelasi negatif dengan kandungan gula daun. Fosfor memperbaiki warna tembakau asapan, berkorelasi positif dengan kandungan gula. Warna daun, tekstur dan daya bakar dapat diperbaiki dengan kalium. Kalsium merupakan unsur utama penyusun dinding sel, kandungan abu dan meningkatkan kandungan gula (Tso, 1972). Jadwal Irigasi Evapotranspirasi dapat dikontrol dengan cara pengaturan jadwal irigasi. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi irigasi mempengaruhi evapotranspirasi. Selain itu jadwal irigasi juga dapat dilakukan dengan cara mempertahankan kelembaban tanah sampai ketersediaan air tertentu. Perubahan kadar air tanah akan menyebabkan perubahan evapotranspirasi. Irigasi diberikan jika nilai presipitasi dikurangi nilai evapotranspirasi bernilai negatif. Jumlah air irigasi yang diberikan berdasarkan persentase air tersedia pada kondisi optimum. Nilai kadar air tanah optimum untuk setiap tanaman dan setiap fase pertumbuhan
berbeda.
Jadwal irigasi didasarkan
kepada kadar air tanah saat titik kritis. Titik kritis kadar air tanah adalah suatu nilai kadar air tanah jika lebih kecil dari nilai tersebut tanaman akan mengalami stres dan menyebabkan terjadinya penurunan pertumbuhan dan hasil secara nyata. Penelitian berbagai jadwal irigasi telah dilakukan dengan sistem irigasi tetes, jarak antar lateral 70 cm dan jarak antar emiter 17.5 cm, 35 cm, dan 52.5 cm masing-masing untuk irigasi penuh, 2/3 bagian dan 1/3 bagian. Irigasi diberikan pada saat yang sama ketika daerah perakaran dari irigasi penuh telah kehilangan 50 % air tersedia. Jumlah air yang diberikan pada irigasi penuh dihitung untuk mengisi kembali daerah perakaran sampai kapasitas lapang. Kedalaman daerah perakaran selama musim pertumbuhan diperkirakan
berdasarkan pola pengosongan air tanah yang ditentukan dengan netron probe (Oweis et al., 2000). Jadwal irigasi dapat ditentukan berdasarkan potensial air tanah. Irigasi dimulai jika potensial air tanah pada kedalaman 60 cm mencapai - 40 kPa. Kebutuhan air didasarkan pada evaporasi Panci Klas A.
Produksi dengan
ukuran yang baik akan menurun jika potensial air tanah menurun.
Pada
potensial air tanah - 52 kPa dan -49 kPa tidak diperoleh buah dengan ukuran baik (Noor, 2001). Jadwal irigasi untuk tanaman tahunan sangat dipengaruhi oleh fase pertumbuhan tanaman. Jadwal irigasi pada awal fase pertumbuhan kapas ditentukan berdasarkan potenaial air daun. Potensial air daun diukur pada siang hari pukul 13.00 - 15.00. Setelah fase awal pertumbuhan, irigasi didasarkan pada kadar air tanah dan presipitasi.
Irigasi diberikan pada saat 50 % air
tersedia (Steger et al., 1998). Perencanaan jadwal irigasi penting untuk penghematan air, terutama untuk daerah dengan sumber air terbatas.
Untuk tanaman tahunan yang
memerlukan periode tertentu dengan kadar air tanah rendah untuk merangsang pembungaan, jadwal irigasi berperan penting. Selain itu jadwal irigasi yang baik dapat menghindari dari serangan penyakit yang dirangsang oleh kelembaban yang terlalu tinggi. Jadwal irigasi dapat menyesuaikan ketersediaan air dengan kebutuhan air tanaman, penyebaran tenaga kerja menjadi baik dan meningkatkan indeks pertanaman.
Jadwal irigasi dapat dibuat berdasarkan
neraca air. Pada tanaman semusim, analisis neraca air dilakukan pada skala waktu yang lebih detail yaitu harian atau mingguan. Tanaman semusim dengan siklus hidup antara 3 - 6 bulan sangat peka terhadap kekeringan, maka interval irigasi biasa dilakukan dalam skala hari. Analisis neraca air untuk tanaman tahunan dilakukan pada skala waktu yang lebih panjang yaitu 2 mingguan atau bulanan. Karakter presipitasi yang berbeda menyebabkan dinamika neraca air yang berbeda.
Kalau diperhatikan setiap kejadian hujan, maka hujan yang
cukup besar (P) akan mengisi air tanah (M), ditahan di tajuk dan batang
tanaman atau intersepsi (Ei), perkolasi dalam (Dp), aliran permukaan (Ro), dan aliran bawah permukaan (Sp). Air tanah akan dievaporasikan lewat permukaan tanah (E), dan transpirasi (T), yang sebagian besar terjadi pada periode antar kejadian hujan. Neraca air untuk hujan yang cukup besar sampai kejadian hujan berikutnya pada lahan pertanaman adalah (Opena dan Patter, 1999):
P = Ei + E + T + Dp + Ro + Sp + M . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2.1) Untuk intensitas hujan yang tidak terlalu besar dengan lama hujan yang singkat sehingga tidak melebihi kecepatan infiltrasi, maka tidak terjadi aliran permukaan, aliran bawah permukaan dan perkolasi dalam, sehingga neraca airnya adalah (Opena dan Patter, 1999):
P = Ei + E + T + M . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.2) Berdasarkan urutan proses tersebut maka irigasi berfungsi untuk mengem-balikan kadar air tanah ke kondisi yang optimum bagi pertumbuhan dan hasil tanaman. Pendugaan kadar air tanah berdasarkan neraca air harian akan lebih baik jika memperhatikan setiap kejadian hujan ( Porthoghese et al., 2005). Kadar air tanah dipengaruhi oleh kedalaman perakaran dan infiltrasi. Komponen tersebut saling berinteraksi. Infiltrasi yang meningkat akan menambah kedalaman perakaran dan kerapatan perakaran (Opena dan Patter, 1999). Maraux dan Lafolie (1998) mengembangkan model neraca air tanah dengan memperhatikan interaksi antara tanaman dan atmosfer.
Perkembangan
perakaran dimasukan dalam memodelkan neraca air tanah tersebut. Model intersepsi yang memperhatikan setiap periode hujan adalah model analitik. Model Gash ini menghitung kehilangan oleh intersepsi pada setiap kejadian hujan. Asumsi model (Ward dan Robinson, 1990) adalah (1) memungkinkan dilakukan memisahkan kejadian hujan menjadi beberapa periode hujan, setiap periode hujan mempunyai intensitas hujan yang sama, (2) kondisi meteorologi selama pembasahan kanopi sama dengan selama periode hujan, (3) selama pembasahan tidak ada tetesan air tajuk, setelah selesai kejadian hujan
simpanan kanopi berkurang dalam 30 menit untuk mencapai nilai kejenuhan. Secara sederhana model tersebut adalah (Ward dan Robinson, 1990): Σ I = (1 - p - pt)ΣP’g + (Ex/Rx)Σ(Pg - P’g) + (1-p-pt)ΣPg + qSt + ptΣPg . . . .(2.3) Keterangan: I : Intersepsi p : porositas tajuk pt : porositas batang Pg : presipitasi bruto P’g : presipitasi sampai terjapai kejenuhan tajuk Ex : kecepatan evaporasi Rx : intensitas curah hujan Q : jumlah periode hujan yang mengisi simpanan batang St : kapasitas simpan batang. Evapotranspirasi dipengaruhi oleh irigasi, musim tanam dan pupuk N. Pemupukan, irigasi penuh meningkatkan evapotranspirasi. Evapotranspirasi terendah terjadi pada tadah hujan tanpa pemupukan N. Peningkatan evapotranspirasi akibat irigasi penuh dibanding tadah hujan mencapai lebih dari 50 %. Evapotranspirasi ditentukan dari saat tanam sampai panen menggunakan persamaan neraca air sebagai berikut ( Oweis et al., 2000):
ET = ∆S + P + I – D . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2.4) ET evapotranspirasi, ∆S perubahan simpanan air tanah diukur dengan netron probe, P presipitasi, I irigasi, D drainase di bawah perakaran dengan kedalaman 1.8 m. Semua satuan dalam mm. Tidak ada aliran permukaan selama musim tanam ( Oweis et al., 2000). Aliran permukaan dipengaruhi oleh karácter permukaan lahan dan karakter hujan (Jonson et al., 2005 ; Cay dan Cattle, 2005) .
Transpirasi juga dipengaruhi oleh struktur tanah. Ini disebabkan oleh
perbedaan pergerakan horisontal air menuju akar yang terjadi pada tekstur tanah yang berbeda. Peningkatan ukuran agregat akan menurunkan transpirasi karena lebih banyak air akan mengalir dari dalam agregat tanpa akar ke luar agregat. Transpirasi dipengaruhi oleh struktur tanah. Transpirasi terbesar terjadi pada tipe tanah padang rumput permanen, kemudian diikuti oleh padang rumput tidak
permanen dan padang rumput biodinamik (Drooger, Van Der Meer dan Bouma,1997) Transpirasi dipengaruhi oleh perkembangan perakaran tanaman. Model yang menduga transpirasi dari perkembangan perakaran adalah (Van Noordwijk dan Vande Geijn, 1996):
Ara = E/Fw = E/{Lp(Pr-Pp-I)} . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.5) Ara : indek luas akar, luas permukaan akar per luas satuan pertanaman (m2m-2) E
: transpirasi (Lm-2 hari-1)
Fw : volume aliran air per satuan luas permukaan akar (L m-2 hari-1) Lp : konduktifitas hidrolik akar (Lm-2 Mpa-1 hari-1) Pp : tekanan air dalam tanaman (Mpa) Pr : tekanan air pada permukaan akar (Mpa) I
: suatu faktor (Mpa) yang tergantung pada nilai osmotik lingkungan akar. Infiltrasi penting dalam pengisian air tanah dan air bumi. Kecepatan
infiltrasi akan menurun dengan waktu.
Jika debit air konstan, kecepatan
infiltrasi (I) dapat diduga sebagai berikut (Sawatsky dan Li, 1997):
I t = S/(2√t) + A . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.6) atau infiltrasi kumulatif adalah
I = S√t + At . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.7) A adalah konstanta yang hampir sama dengan konduktivitas hidrolik jenuh untuk waktu lama, t. (Sawatsky dan Li, 1997). Definisi perkolasi dalam (deep percolation) adalah kehilangan air akibat perkolasi lebih dalam dari daerah perakaran.
Neraca air untuk menduga
perkolasi dalam yang digunakan oleh Roman et al. (1999) adalah:
ET + Dz = (R+I) - ∆S . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.8) ET : evapotranspirasi R : curah hujan I : irigasi Dz : perkolasi dalam dengan kedalaman perakaran z
∆S : perubahan simpanan air tanah pada kedalaman z. Irigasi yang diperbaiki dapat mengurangi kehilangan oleh perkolasi dalam (Romain et al., 1999) Tiga jadwal irigasi meliputi tadah hujan (tanpa irigasi), irigasi rendah yaitu mengurangi jumlah irigasi 50 % dari irigasi sedang, dan irigasi sedang yaitu mempertahankan kelembaban tanah lebih besar atau sama dengan 65 % air tersedia dari awal pembentukan umbi sampai akhir musim pertumbuhan. Jadwal irigasi berdasarkan hasil pengukuran kelembaban tanah dengan tensionmeter dan grafimetri. Jadwal irigasi juga dapat berdasarkan pengukuran kelembaban tanah dengan Boyoucos Soil Moisture Meter (Porter, et. al. 1999). . Tujuan utama pengaturan jadwal irigasi untuk penghematan air dan produksi maksimum. Produksi kentang dengan metode tadah hujan tidak berbeda dengan irigasi secara terjadwal. Ini diduga disebabkan oleh input air sudah cukup dari curah hujan yaitu 268 mm/musim. Irigasi rendah menghasilkan produksi lebih tinggi dari pada tadah hujan dan sama dengan irigasi sedang. Ini berarti irigasi rendah merupakan jadwal irigasi yang baik karena dapat menghemat air (Porter, et. al. 1999).. Jadwal irigasi dengan sistem irigasi tetes dengan jarak antar lateral 70 cm dan jarak antar emiter 17.5; 35; dan 52.5 cm masing-masing untuk irigasi penuh, 2/3 bagian dan 1/3 bagian. Irigasi diberikan pada saat yang sama ketika daerah perakaran dari irigasi penuh telah kehilangan 50 % air tersedia. Jumlah air yang diberikan pada irigasi penuh dihitung untuk mengisi kembali daerah perakaran sampai kapasitas lapang. Kedalaman daerah perakaran selama musim pertum-buhan diperkirakan berdasarkan pola pengosongan air tanah yang ditentukan de-ngan netron probe (Oweis et al., 2000). Sistem Irigasi Tetes Sistem irigasi tetes adalah proses pemberian air sekitar tanaman dengan cara meneteskan atau menyemprotkan air melalui emiter. Irigasi tetes memberi-
kan air sampai kedalaman 30 - 60 cm pada tanah berpasir (Haman et al., 2004). Keuntungan irigasi tetes tidak terjadi kehilangan hara dari pupuk, efisiensi distri-busi air tinggi, perataan lahan tidak perlu, hanya daerah perakaran yang terbasahi, tidak terjadi erosi, biaya tenaga kerja rendah, suplai air dapat diatur dengan baik dan pemupukan dapat dilakukan bersamaan dengan irigasi. Sistem irigasi tetes yang didesain dan dikelola dengan baik mempunyai efisiensi 90-95 %, berarti hanya 5% air yang hilang (Haman dan Yeager, 2004). Perangkat dasar irigasi tetes terdiri atas pompa , pengatur tekanan, pipa utama , pipa lateral dan emiter. Emiter merupakan pembagi air yang mengatur discharge dari pipa lateral. Point source emiter mengeluarkan air dari satu titik dan berjarak lebar (lebih dari 1 meter). multiple-outlets emiter memberikan air pada dua atau lebih titik penyalur. Line source emitter memberikan air melalui pipa berlubang sepanjang lateral (American Society of Agriculture Engineers, 1990). Berbagai tipe emiter telah dikembangkan yang bertujuan untuk meningkat-kan efisiensi irigasi. Pada irigasi tetes tidak ada kehilangan air dari sumber sampai emiter maka efisiensi irigasi dari sistem irigasi tetes hanya terdiri atas efisiensi penampungan dan efisiensi pemakaian. Efisiensi penampungan adalah nisbah antara air irigasi yang tertahan di daerah perakaran dengan volume irigasi.
Efisiensi pemakaian adalah nisbah antara air irigasi yang tertahan
didaerah perakaran dan defisit air tanah di daerah perakaran (American Society of Agriculture Engineers, 1990) Terdapat 4 tipe sistem irigasi tetes:
drip, subsurface, bubbler, dan
spray. Perbedaan dari keempat tipe tersebut adalah tipe emitter yang digunakan. Tipe drip memberikan air kepermukaan tanah dalam bentuk tetesan-tetesan terputus-putus atau kontinyu melalui emitter. Untuk tanaman dengan jarak tanam lebar (buah-buahan), pipa lateral tunggal ditempatkan di atas permukaan tanah di bawah pohon. Sebanyak 1 sampai 6 emitter dipasang pada pipa lateral tunggal untuk setiap pohon. Jumlah emitter dipengaruhi oleh karakter tanah (Su dan Midmore, 2005; Onder et al., 2005).
Untuk tanaman dengan jarak tanam rapat (tanaman dalam barisan) biasanya diirigasi dengan line-source emitter yaitu pipa berlubang atau porous. Pipa diletakan di atas permukaan sepanjang setiap baris tanaman. Debit untuk singleoutlet emitter kurang dari 12 l/jam, line-source kurang dari 12 l/jam/meter lateral (Wienfield, 2004). Tipe subsurface mirip dengan drip, bedanya lateral dan emitter ditempat-kan di bawah permukaan tanah. Air bergerak dari emitter ke daerah perakaran dengan gerakan kapiler. Tipe bubler memberikan air ke permukaan tanah dalam bentuk aliran atau pancaran kecil. Debitnya lebih besar dari pada drip atau subsurface yaitu lebih besar dari 240 l/jam. Debit emitter lebih besar dari pada kecepatan infiltrasi,
maka dari itu basin kecil diperlukan untuk
mengisi air sekeliling tanaman yang diirigasi. Tipe spray memberikan air dengan pancaran kecil atau kabut ke permukaan tanah, sehingga udara juga berperan dalam penyebaran air, dengan debit kurang dari 120 l/jam (El-Hafedh et al., 2001), Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan sistem irigasi tetes adalah sumber air, kemiringan lahan, karakter tanah dan jenis tanaman. Penyumbatan emitter
merupakan masalah yang sulit dalam sistem irigasi tetes. Semua air
yang masuk sistem perlu disaring. Jenis penyaring tergantung tipe emitter, jumlah dan sifat kontaminan dalam air (Al-Jamal et al., 2001). Pada kemiringan kurang dari 5 %, semua tipe irigasi tetes dapat digunakan. Pada kemiringan 5% atau lebih, tipe subsurface dan bubler tidak dapat digu-nakan, tetapi dapat digunakan tipe drip dan spray. Kecepatan absorbsi air oleh tanah menentukan jumlah, discharge dan jarak emitter. Pada tanah dengan kece-patan absorbsi rendah perlu dipilih emitter dengan discharge kecil (Wiedenfeld, 2004). Kecepatan absorbsi yang rendah biasanya terjadi pada tanah dengan tekstur berat, dan air dapat bergerak lebih jauh dari pada tanah tekstur ringan, maka jumlah emitter per tanaman dapat dikurangi. Pada kecepatan absorbsi ting-gi perlu dipilih emitter dengan discharge besar, sehingga perlu emitter lebih ba-nyak setiap tanaman. Jika tanah berpasir, tipe subirigasi tidak cocok.
Pada kondisi tersebut gerakan air secara kapiler tidak dapat membasahi tanah sesuai dengan kebutuhan air tanaman (Harmanto et al., 2005). Tanaman dalam barisan hanya cocok dengan tipe drip atau subsurface dengan line-source emitter. Tanaman berbentuk pohon, semak, merambat lebih cocok dengan tipe drip, bubler atau spray. Emitter pada drip dapat single atau multiple outlet point source.
Persemaian atau padang rumput tidak cocok
dengan sistem irigasi tetes (Al-Jamal et al., 2001). Evapotranspirasi Secara umum air bergerak dari potensial air tinggi ke potensial air rendah. Potensial air menunjukkan tingkat energi yang dimiliki oleh air. Air bergerak secara kontinyu dari sistem tanah ke tanaman dan ke atmosfir (transpirasi) atau dari sistem tanah ke permukaan tanah dan ke atmosfir (evaporasi). Evapotranspi-rasi merupakan jumlah dari evaporasi dan transpirasi. Dalam tahap perencanaan kebutuhan air tanaman telah dikembangkan berbagai persamaan evapotranspirasi.
Evapotranspirasi aktual yang terjadi pada
kelembaban tanah kurang dari kapasitas lapang dan tingkat pengelolaan tertentu dapat diukur dengan prinsip neraca air. Secara umum evapotranspirasi aktual (E) dapat dirumuskan sebagai berikut (Sperry et al., 2003):
E = [ ψ tanah - ψ atmosfir] / R . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2.9) ψ tanah, potensial air tanah, ψ atmosfir, potensial air di atmosfir, R, resultan tahanan tanaman dan permukaan tanah. Tahanan permukaan tanah dipengaruhi antara lain oleh penggunaan mulsa. Tahanan tanaman merupakan resultan dari tahanan akar, batang dan stomata. Perubahan tahanan tanaman ditentukan oleh perubahan tahanan stomata. Tanah dan xylem adalah sama secara hidrolik. Kurva konduktivitas tidak jenuh untuk tanah vulnerability curve untuk xylem, tetapi dasar secara fisika antara tanah dan xylem adalah sama. Semua model transport yang berlaku pada konduktivitas tanah tidak jenuh akan berlaku atau analog dengan kurva vulnera-
bilitas dari xylem. Ini terutama pada tanaman yang memiliki xylem yang relatif peka. Walapun mekanisme kohesi-tekanan untuk transpor dalam xylem telah berlawanan dengan pendapat dewasa ini, perbedaan masih ada dalam memahami hidrolika dalam xylem. Ini meliputi besarnya dan mekanisme dari cavitation reversal dan hysteresis dalam kurva vulnerabilitas, dasar struktur untuk perbeda-an dalam air entry pressure (=cavitation pressure) untuk tipe xylem yang berbe-da, model quantitatif dari konduktivitas xylem, dan pemahaman secara mekanistik tentang bagaimana stomata mengatur status air tanaman. Perbaikan gambaran tentang hidrolika xylem dalam model penggunaan air oleh tanaman (evapotrans-pirasi) perlu untuk mendapatkan hubungan mekanistik antara keterse-diaan air tanah dan penggunaan air oleh kanopi. Perhatian utama tertuju pada hidrolika jaringan hidup dari akar yang melakukan absorbsi dan daun yang bertranspirasi, yang lebih kompleks dari pada dalam xylem dan dewasa ini kurang dapat dilaku-kan pemodelan secara mekanistik (Sperry et al., 2003). Pemahaman tahanan hidrolik dalam tanah dan tanaman adalah sangat mendasar untuk semua perlakuan dari soil-plant-atmosphere continum (SPAC). Tanpa mengetahui tahanan tersebut dan bagaimana tahanan berubah dengan kandungan air tanaman dan tanah, maka respon dari penggunaan air oleh tanaman terhadap lingkungan tidak dapat diduga . Perlakuan dari tahanan tanah dalam model transport sudah lebih mekanistik dan lengkap dibandingkan hidrolika tanaman pada sistem tanaman. Walaupun komplek, sifat fisik dari aliran melalui tanah menyebabkan lebih peka terhadap perlakuan secara kuantiatif dari pada aliran melalui tanaman. Tahanan tanaman mendominasi tahanan hidrolik total dari SPAC pada kondisi tanah lembab. Pada kondisi kering ketika tahanan tanah meningkat, tahanan tanaman juga meningkat yang berpengaruh terhadap gerakan air selama kekeringan (Jury et al., 1991). Dasar-dasar untuk perubahan dalam tahanan hidrolik tanaman selama siklus kekeringan belum ditangani dengan cara mekanistik dalam beberapa model dari SPAC Disamping kelebihan tersebut, terdapat beberapa masalah yang belum terpecahkan mengenai transpor dalam xylem. Validitas dari mekanisme te-
kanan-kohesi dengan prediksinya dari tekanan air yang negatif terjadi pada penelitian yang tahunan. Xylem cavitation dan kebalikannya dapat didokumentasi, tetapi dalam beberapa hal, mekanisme yang mendasari dan keterkaitannya dengan struktur xylem belum banyak diketahui. Respon stomata terhadap perubahan dalam tahanan xylem dan tanaman sudah dikarakterisasi, tetapi mekanismenya belum jelas. Akhirnya, pemahaman tentang hidrolika dari transport air melintasi jaringan hidup yaitu akar dan daun masih terbatas (Steudle and Peterson, 1998). Pada setiap satuan panjang dan luas, konduktivitas hidrolik xylem (volume kecepatan aliran setiap gradien tekanan per luas penampang melintang) bernilai kurang lebih delapan kali lebih besar dari pada konduktifitas kortek akar dan endodermis (Sperry et al., 2002b). Ini menunjukkan bahwa aliran radial melintasi jaringan akar merupakan tahanan pembatas utama dalam tanaman, tetapi jika konduktifitas diubah menjadi konduktans (volume kecepatan aliran setiap perbedaan tekanan) dengan mengkaitkan panjang relatif dan luas penampang melintang, perbedaan menjadi tidak ada. Xylem berperan hanya sekitar 1 mm dari panjang total aliran transpirasi dalam tanaman. Total aliran transpirasi besarnya adalah 99.99% dari lintasan aliran dalam pohon setinggi 10m, atau 99.99% dari jagung yang tingginya 1 meter.
Lebih jauh, luas penampang
melintang dari lintasan aliran xylem mencapai empat kali lebih kecil dibanding luas permukaan akar (Ewers et al., 2000). Jika diperhatikan seluruh bagian tanaman, konduktans xylem maupun nonxylem adalah sama dalam tanaman yang diairi dengan baik (Tyree, 1999). Konduktifitas xylem paling kecil terjadi pada batang dan terutama daun (Nardini and Pitt, 1999; Tyree and Ewers, 1991). Penurunan tekanan gesekan total dalam xylem batang dapat melebihi 1 Mpa pada kondisi transpirasional (Tyree et al., 1991). Peningkatan lintasan aliran xylem dengan meningkatnya ukuran tanaman merupakan penyebab utama dari penurunan konduktas hidrolik spesifik daun dengan meningkatnya ukuran (Mencuccini et al., 1997; Schafer et al., 2000; Yoder et al., 1994). Hal yang penting dari konduktans xylem adalah nilainya menurun dengan menurunnya potensial air (Ø). Konduktans xylem dapat diprediksi
berdasarkan penurunan potensial air. Penurunan potensial air menyebabkan konduktans hidro-lik seluruh bagian tanaman menurun.. Dasar untuk penurunan yang tergantung potensial air dalam konduktans xylem adalah sama dengan dalam konduktans hidrolik tanah: pemasukan udara kedalam ruang pori berisi air menyebabkan tekanan air menjadi semakin negatif (Jarbeau et al., 1995). Perbedaannya ruang pori dalam xylem lebih komplek dari pada dalam tanah. Tabung (the xylem conduits) yang panjang (mm sampai meter) dan relatif lebar (10 - 200 µm)
berguna untuk memaksimalkan konduktans hidrolik. Pori
penghubung yang pendek dan sempit berguna untuk meminimalkan pemasukan udara. Jika terjadi kerusakan xylem (xylem senescen atau kerusakan mekanis), maka udara masuk kedalam pori yang lebar dan berhenti di pori yang sempit. Struktur pori tersebut dapat menahan interface air-udara melawan perbedaan tekanan sebesar 1 sampai 10 Mpa, tergantung tipe xylem dan spesies (Sperry et al., 1996). Hubungan konduktifitas xylem dengan tekanan air xylem disebut kurva vulnerability.. Tanaman mengalami peronggaan (cavitation) pada selang fisiologis dari tekanan xylem. Padi (Oryza sativa L.)akan mengalami peronggaan xylem sebesar 50% pada kondisi irigasi yang baik. Peronggaan xylem menyebabkan penurunan konduktans hidrolik spesifik dalam daun (Stiller et al., 2003). Model yang dibentuk untuk peubah konduktans xylem telah berhasil mem-prediksi pengaturan transpirasi dalam responnya terhadap kelembaban tanah, pemupukan dan tipe tanah tingkat spesies (Ewers et al., 2000; Hacke et al., 2000); perbedaan penggunaan air antara spesies dan ekotipe (Kolb and Sperry, 1999a, 1999b; Sperry et al., 1998, 2002a); dan untuk tegakan hutan berupa campuran spesies (Williams et al., 2001, 1996). Kombinasi dari kecepatan transpirasi dan kelembaban tanah yang menginduksi cavitasi dapat diprediksi. Beberapa studi menunjukkan bahwa kerusakan total atau sebagian selama kekeringan berkaitan dengan total cavitasi. Kerusakan tersebut terjadi biasanya pada cabang kecil yang memi-liki tekanan xylem terkecil dan akar
kecil yang memiliki xylem yang peka (Sperry and Hacke, 2002; Davis et al., 2002; Sparks and Black, 1999). Seluruh studi dilakukan pada tanaman berkayu pada kondisi alami atau semi alami, pentingnya kavitasi untuk mempengaruhi penggunaan air tanaman herba belum banyak dikarakterisasi. Adanya analogi yang kuat antara hidrolika dalam xylem dan tanah maka model SPAC untuk semua tanaman berdasarkan dua fenomena yang identik secara fisik yaitu (1) sifat konduktivitas dalam tanah yang tidak jenuh dan (2) kurva vulnerable dalam xylem. Teori tekanan kohesi dari transport xylem terjadi pada tanaman tahunan disebabkan oleh ketidakpercayaan adanya tekanan air yang negatif dalam ruang pori xylem (Canny, 1998a, 1998b). (Mungkin teori pergerakan air dalam tanah mengabaikan sifat tersebut karena tekanan negatif dalam ruang pori tanah tidak disebut tekanan tetapi dimasukkan dalam komponen potensial matrik) Terobosan terbaru terhadap teori tersebut berusaha untuk mengukur tekanan xylem dengan alat probe tekanan sel yang dimodifikasi. Tekanan di bawah – 0.3 Mpa (relatif terhadap atmosfir) dapat diukur berdasarkan teori kohesi dan pengukuran bomb pressure (Zimmermann et al., 1994). Pengukuran dibawah - 0.3 mPa tidak dapat dilakukan karena pemasukan alat kedalam xylem menyebabkan cavitasi (Steudle, 2001; Wei et al., 1999a, 1999b, 2000). Teori tekanan kohesi telah lama tidak dikembangkan . Keuntungan dari mulainya penelitian lagi tentang teori tersebut adalah telah dikembangkannya teknik-teknik baru untuk mempelajari hidrolika xylem antara lain probe tekanan xylem, metode gaya centrifugal untuk mengukur curva vulnerabilitas (Pockman et al., 1995), freezing-stage scanning electron microscopy (cryo-SEM), dan magnetic resonance imaging (MRI) (Canny, 1997a, 1997b; Cochard et al., 2000; Holbrook et al., 2001), pressure chamber yang sensitif dan metode psychrometric (Holbrook et al., 1995; Tyree, 1997). Pemahaman dari histeresis dalam sifat kelembaban tanah dengan pengeringan dan pembasahan merupakan hal yang kritis dalam pemahaman hidrolika tanah, demikian juga pemahaman histeresis dalam kurva vulnerabilitas xylem. Jika cavitasi yang diinduksi oleh kekeringan bersifat permanen, maka konduk-
tans hidrolik dalam SPAC akan turun secara permanen oleh kekeringan sampai xylem baru dibentuk. Berdasarkan fisika dari pelarutan gelembung, diduga tidak ada pengisian kembali pori xylem sampai tekanan xylem melebihi paling tidak Pwv - 2T/r, Pwv adalah tekanan uap jenuh , T adalah tekanan permukaan air dan r adalah jari-jari uap air dalam pori xylem (
radiun pori xylem; Yang and
Tyree, 1992). Jika embolisme adalah gelembung udara, maka tekanan meningkat menjadi Pa - 2T/r, Pa adalah tekanan atmosfir. Tekanan xylem harus meningkat sebesar 0.1 MPa atau Pa sebelum cairan xylem dapat didorong masuk ke dalam pori dan melarutkan gelembung gas. Ini merupakan proses histeresis dalam kurva vulnerabilitas. Banyak tanaman budidaya menunjukkan tekanan akar dan gutasi pada kondisi pengairan baik. Tekanan osmotik tersebut digunakan dalam pengisian kembali rongga xylem yang terkavitasi (xylem yang berongga, xylem rusak) pada tebu (Neufeld et al., 1992) dan padi (Stiller et al., 2003), demikian juga pada tanaman bukan budidaya (Cochard et al., 1994; Hacke dan Sauter, 1996; Sperry, 1993). Pengamatan tersebut menunjukkan peranan penting dari tekanan akar dalam memelihara konduktans hidrolik dan pertukaran gas. Tanpa tekanan tersebut xylem yang sensitif dari tanaman budidaya dapat rusak permanen, akibatnya menurunkan kemampuan pertukaran gas, bahkan pada kondisi pengairan baik. Perubahan transpirasi akibat penurunan kadar air tanah atau potensial air sudah dikuantifikasi oleh banyak peneliti terdahulu. Kekurangan air merupakan faktor pembatas yang penting untuk produksi pertanian di daerah semi arid. Penu-runan potenasial air tanah dapat menurunkan absorbsi air oleh akar. Pada lahan beririgasi, terutama di daerah arid dan semi arid, tanaman dihadapkan pada keadaan cekaman air dengan intensitas yang berbeda. Selama interval irigasi, evapotranspirasi mengurangi potensial osmotik dan matrik dari larutan dalam tanah, akibatnya akan menurunkan absorbsi air oleh akar (Shalhevet, 1994). Cardon dan Letey (1992) menunjukkan bahwa dalam penghitungan absorbsi air oleh akar, model umumnya tidak konsisten dengan sifat tanaman.
Ketidak sensitifan dari model disebabkan oleh cara mengkombinasikan pengaruh salinitas dengan nilai absorbsi S. Nilai S didominasi oleh perubahan yang tidak linear dari h dan K (konduktivitas hidrolik tidak jenuh) dengan kadar air ( ). Nilai ho sebaliknya menurun secara linear dengan
(simple concentration-
dilution). Jika terjadi peningkatan salinitas air irigasi, dan kadar air dipertahankan tinggi, maka hasilnya adalah nilai K( ) relatif tinggi dan ektraksi air oleh tanaman berlangsung pada tingkat maksimum. Pendekatan makroskopik menunjukkan perbedaan dengan cekaman gabungan. Konsep umumnya mengasumsikan bahwa absorbsi air pada kondisi tidak terjadi cekaman sama dengan transpirasi potensial. Segera setelah potensial air tanah mencapai nilai kritis, transpirasi aktual menurun secara linear sampai absorbsi air berhenti total (titik layu). Penurunan tersebut dikuantifikasi dengan apa yang disebut fungsi reduksi. Secara mendasar, model makroskopik tidak menghitung untuk kondisi salin. Dirksen et al. (1993), Homaee (1999), dan Homaee dan Feddes (1999) melaporkan fungsi reduksi yang tergantung tekanan osmotik secara nonlinear. berdasarkan
dengan
apa
yang
Sebagian besar dari model tersebut disebut
konsep
multiplikativitas
yang
menggunakan produk dari fungsi reduksi yang terpisah untuk tekanan osmotik dan potensial air tanah. Konsep multiplikativitas pertama kali diajukan oleh van Genuchten (1987) dan telah digunakan secara ekstensif dalam banyak model simulasi numerik tentang absorbsi air oleh akar. Fungsi reduksi multiplicative yang diajukan oleh Dirksen et al. (1993), van Dam et al. (1997), dan Homaee (1999) yaitu:
............. (2.10) Dirksen et al. (1993) mengalikan fungsi reduksi untuk cekaman air dan cekaman garam, masing-masing dengan nilainya untuk titik kritik h*, h*o, dan nilai 50% h50 dan ho50:
....
.(2.11)
Van Dam et al. (1997) menyederhanakan perkalian fungsi reduksi menjadi:
. . . . . . . . . . (2.12) Peubah h3 adalah tinggi tekanan air tanah pada saat absorbsi air mulai cenderung berkurang dan h4 adalah tinggi tekanan air tanah pada saat absorbsi air berhenti. Untuk cekaman salinitas dan cekaman air Homaee (1999) mengajukan dua fungsi non-linear titik kritis secara terpisah dengan tingkat kesesuaian yang baik.. Kesulitan mendapatkan h50 dan ho50 diganti dengan hmax dan homax. Dan menentukan exponen tanpa nilai parameter ekstra. Titik kritis kedua ialah penurunan potensial osmotik dan potensial matrik tidak mempengaruhi absorbsi air oleh akar. Untuk stres gabungan diusulkan persamaan (Homaee, 1999):
. . . . . . . . . . (2.13) Peubah hmax dan homax (nilai titik kritis kedua) adalah tinggi tekanan air tanah dan tinggi tekanan osmotik pada saat perubahan potensial air (h) dan tekanan osmotik (ho) tidak mempengaruhi transpirasi, dan
01
dan
02
adalah transpirasi
relatif masing-masing pada hmax dan homax. Persamaan 2.13 menunjukkan bahwa penu-runan absorbsi air oleh akar dipengaruhi oleh besarnya potensial air, tekanan osmotik tanah dan karakter tanaman. Eksponen tidak berdimensi p1 dan p2 dapat diperoleh dari (Homaee, 1999): . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.14) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.15)
Persamaan (ho, h) termasuk kategori multiplicatif karena secara prinsip tidak memiliki dasar fisika dan tidak dapat memisahkan antara komponenkomponennya. Reduksi yang berbeda karena tinggi tekanan air tanah dan tekanan osmotic menghasilkan hasil yang sama. Sebagai contoh, reduksi bersama (ho, h) disebabkan oleh (ho) = 0.25, dan (h) = 0.50 adalah persis sama seperti yang disebabkan oleh
(ho) = 0.50 dan (h) = 0.25. Dari hasil tersebut, multi-
plicativity dapat dianggap sebagai pendekatan yang identik. Tidak terdapat bukti untuk mendukung bahwa reduksi yang terpisah dari 0.25 dan 0.50 karena tinggi tekanan air dan tekanan osmotic menyebabkan reduksi absorbsi air sebesar 0.875. Evapotranspirasi dapat diuraikan menjadi evaporasi dan transpirasi dengan metode dual crop coefficient (Allen et.al., 1998), metode Rosenthal (Handoko, 1995). Koefisien tanaman merupakan jumlah dari koefisien crop basal dan koefisien evaporasi. Koefisien evaporasi dipengaruhi oleh teknik budidaya.
Koefisien evaporasi pada irigasi drip sebesar 0.3 kali koefisien
evaporasi irigasi konvensional (Allen et.al., 1998). Koefisien evaporasi pada mulsa jerami sebesar 0.67 kali koefisien evaporasi tanpa mulsa (Zaongo et. al., 1997). Allen et al. (1998) memperkenalkan konsep evapotranspirasi reference (Eto), evapotranspirasi crop standar (Etc) dan evapotranspirasi crop nonstandar. Evapotranspirasi reference merupakan evapotranspirasi dari rumput standar dengan irigasi baik, sehingga hanya tergantung dari faktor-faktor iklim. Evapo-transpirasi crop standar merupakan evapotranspirasi dari lahan pertanaman dengan pengelolaan agronomi yang optimal dan irigasi yang baik. Evapotranspi-rasi
crop
non-standar
merupakan
evapotranspirasi
lahan
pertanaman dengan ting-kat pengelolaan agronomi sub-optimal dan mengalami kendala lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dan membatasi evapotranspirasi. Berbagai persamaan yang berkaitan dengan evapotranspirasi, status air dalam sistem tanah, tanaman dan atmosfir telah dikembangkan.
Semua
pemben-tukan persamaan-persamaan tersebut bermanfaat untuk pendugaan
ketersediaan air bagi tanaman dan kebutuhan air irigasi.
Sistem air tanah
digunakan untuk pembentukan persamaan Indeks Potensial Air (Karamanos dan Papatheohari, 1999),. Untuk pembentukan persamaan FAO-56 (Allen, 2000) digunakan input dari sistem atmosfir, tanah dan tanaman. Dalam penelitian ini evapotranspirasi diukur dengan prinsip neraca air.
Hubungan Evapotranspirasi dengan Produksi Ketersediaan air tanah akan mempengaruhi besarnya evapotranspirasi. Berbagai persamaan hubungan evapotranspirasi dengan produksi telah dikembangkan. Semakin besar evapotranspirasi akan menyebabkan semakin besar produksi (Aranjuelo et al., 2005, Tao et al., 2005). Hubungan evapotranspirasi dengan produksi ( Howell, 2001) adalah:
EPA = Produksi ekonomis/ET . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.16) EPA adalah efisiensi pemakaian air, produksi ekonomis merupakan bahan tanaman yang dapat dijual. ET adalah evapotranspirasi selama pertumbuhan tanaman dari tanam sampai panen. Hubungan evapotranspirasi dengan produksi dapat ditelaah berdasarkan atas proses sintesis bahan kering tanaman. Sintesis bahan kering tanaman dan fotosintesis diawali dari reaksi cahaya dengan input utama adalah H2O dan energi, kemudian diikuti oleh fiksasi CO2 dan metabolisme karbon (Salisbury dan Ross, 1992).
Peubah utama dalam hubungan evapotranspirasi dengan
produksi adalah H2O, CO2, dan energi radiasi cahaya. Pada kondisi CO2 dan energi radiasi cahaya diasumsikan tidak menjadi kendala, maka peubah dalam persamaan adalah air. Modifikasi radiasi cahaya dapat mempengaruhi efisiensi pemakaian air (Alarcon et al., 2005). Hubungan evapotranspirasi dengan produksi dapat dijelaskan secara fisiologi maupun morfologi.
Pola distribusi air pada lapisan tanah
mempengaruhi pola pertumbuhan akar.
Pergerakan air lateral yang tidak
seragam akan menyebabkan pertumbuhan akar ke arah lateral yang tidak sama. Perkembangan akar mempengaruhi absorpsi air dan hara, dengan kata lain mempengarhi evapotranspirasi dan produksi (Oliveira, et al., 1998). Pengurangan jumlah daun dengan cara pemangkasan dapat meningkatkan efisiensi pemakaian air (D’Ales sadro et al., 2005) Gambar 1 menunjukkan hubungan antara air dengan produk metabolit primer maupun sekunder dalam lintasan biosintesis tanaman. Hubungan antara evapotranspirasi dan produksi secara kuantitatif dinyata-kan dalam efisiensi pemakaian air (Kim et al., 2000) sebagai berikut:
Efisiensi Pemakaian Air = BKB/E . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.17) BKB adalah bobot kering biomasa (mg)dan E adalah evapotranspirasi (g). Perbedaan produksi biomasa pada kondisi defisit air dapat disebabkan oleh perbedaan evapotranspirasi
(Kim et. al, 2000). Evapotranspirasi
dipengaruhi oleh perbedaan ketersediaan air akibat perbedaan frekuensi irigasi (Sulistyono, 2003). Efisiensi pemakaian air dapat diduga dari sifat pertukaran gas dalam daun berdasarkan gradien konsentrasi CO2 dari atmosfir (Ca) terhadap konsentrasinya dalam daun (Ci) dibagi dengan gradien tekanan uap air dari dalam daun (ei) dan atmosfir (ea) (Ehleringer et al., 1991, Ismail dan Hall, 1993). Hubungan tersebut dapat dituliskan dalam persamaan:
Efisiensi Pemakaian Air = [Ca . ( 1 - Ci/Ca)] / [1.6. (ei - ea)] . .(2.18) Konstanta 1.6 menunjukkan perbedaan difusifitas uap air dan CO2. Sintesis Gula dan Hubungannya dengan Transpirasi Gula termasuk dalam karbohidrat yaitu golongan monosakarida dan oligosakarida. Golongan karbohidrat lainnya adalah polisakarida yaitu pati dan selulosa. Pati sebagai produk simpanan tanaman, sedangkan selulosa sebagai penyusun dinding sel.
Perbedaan gula dan polisakarida terletak pada sifat
kelarutannya dalam air dan rasa kemanisannya.
Gula meliputi glukosa,
fruktosa, sukrosa, pentosa dan trigliserida. Selain fungsinya sebagai simpanan energi dan penyusun jaringan tanaman, karbohidrat berfungsi sebagai sumber kerangka karbon bagi sintesis senyawa metabolit lainnya.
CO2 + H2O Glukosa
Polisakarida, glikosida Siklus pentosa fosfat
Glikolisis Erythrosa -4-Fosfat
Asam nukleat
Phosphoenol pyruvate Sikimate
Asam sinamik, senyawa aromatic, lignan
Asam amino aromatik
Pyruvate
Asam amino alipatik
Peptida, protein,penisil in, peptide siklik,
Alkaloid
Asetyl Co-A Siklus Asam Sitrat
Mevalonat
Poliketida
Isoprenoid (terpen,steroid, carotenoid)
Poliphenol
Asam lemak Poliasetilen. Prostaglandin, Antibiotic
Gambar 1. Lintasan Biosintesis dalam Tanaman (Mann, 2001). Kondisi lingkungan mempengaruhi arah dari metabolisme ini. Pada kondisi kekurangan air, atau transpirasi rendah, karbohidrat lebih banyak dalam bentuk gula dari pada bentuk pati (Salisbury dan Ross, 1992). Biosintesis sukrosa dan pati disajikan pada Gambar 2 (Taiz dan Zeiger, 1991).
Kecepatan sintesis pati dalam kloroplas berkoordinasi dengan sintesis
sukrosa dalam sitosol. Triosa fosfat yang dihasilkan dalam kloroplas oleh siklus Calvin dapat digunakan untuk sintesis pati ataupun sintesis sukrosa. Bila bagian tanaman memerlukan sukrosa lebih tinggi dari bagian lain maka lebih sedikit karbon yang disimpan dalam bentuk pati.
Perimbangan sintesis pati atau
sukrosa dipengaruhi oleh faktor lingkungan antara lain ketersediaan air tanah. Ketersediaan air tanah yang rendah menyebabkan potensial air tanah rendah.
Agar akar dapat mengabsorbsi air maka akar harus menurunkan
potensial air selnya menjadi lebih rendah dari potensial air tanah (Martin dan Stephens, 2005) dengan cara meningkatkan kecepatan sintesis sukrosa lebih cepat dari sintesis pati, sehingga pada ketersedi-aan air rendah atau transpirasi rendah kandungan gula meningkat.
Berdasarkan mekanisme perimbangan
sintesa gula terlarut dengan pati tersebut, maka dapat dibuat hipotesis bahwa hubungan antara transpirasi dengan kandungan gula adalah:
Kandungan gula = Ks/transpirasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.19) Ks adalah efisiensi sintesis gula terhadap transpirasi. Sintesis Nikotin dan Hubungannya dengan Transpirasi Nikotin merupakan hasil metabolisme sekunder yang tergolong dalam alkaloid sejati.
Alkaloid sejati dicirikan oleh senyawa nitrogen yang
membentuk bagian dari sistem cincin heterosiklik dan disentesis dari prekursor
asam amino. Alkaloid semu mengandung cincin hiterosiklik nitrogen yang disintesis dari prekursor selain asam amino. Alkaloid tembakau; nikotin, anabasin, dan anatabin disintesis dari asam nikotinik. Sintesis cincin pirolidin dari nikotin melibatkan putrescin bebas.
Stroma kloroplast
Sitosol
membran dalam kloroplas
CO2 Siklus Calvin
Triosa fosfat
Triosa fosfat
P Fruktosa 1,6 bifosfat P Adenosin difosfat glukosa
Fruktosa 6 fosfat
Pati
Sukrosa fosfat P Sukrosa
Simpan
Transpor
Simpan
Gambar 2. Sintesis Pati dan Sukrosa (Taiz dan Zeiger, 1991) Keterangan: P (fosfat).
Enzim yang berperan dalam sintesis pirolidin
adalah ornitin
dekarboksila-se, pu-trescine N-methyltransferase dan N-methyl putrescine oksidase (Mann, 2001). Biosintesis alkaloid pada tembakau disajikan pada Gambar 3. Sintesis nikotin dipengaruhi oleh ketersediaan nitrogen karena merupakan unsur utamanya. Semakin rendah absorbsi nitrogen maka semakin rendah sintesis nikotin. Absorbsi nitrogen antara lain dipengaruhi oleh besarnya transpirasi, semakin kecil traspirasi semakin rendah kandungan nitrogen dalam tanaman karena nitrogen diabsorsi bersama aliran transpirasi (Weidner et al., 2005). Berdasarkan hubungan transpirasi dengan kandungan nikotin tersebut, maka dapat dibuat hipo-tesis bahwa hubungan transpirasi dengan kandungan nikotin adalah:
Kandungan nikotin = Kn . transpirasi Kn adalah efisiensi sintesis nikotin terhadap transpirasi. Tembakau Kandungan nikotin dan gula bervariasi dari setiap grup daun. Berdasarkan posisi daun dalam tanaman, terdapat 6 grup daun dari paling bawah sampai pucuk yaitu priming, lug, cutter, smoking leaf, leaf dan tip. Priming merupakan daun bagian paling bawah merupakan 12 % total bobot tanaman dengan kandungan nikotin paling rendah. Lug merupakan daun di atas priming dengan kandungan nikotin antara 2.5 % dan gula 12 - 20 %. Cutter merupakan daun dengan ukuran paling besar yaitu paling panjang dan paling lebar. Daun berikutnya adalah smoking leaf dengan kandungan nikotin 3 % dan gula 1220%. Leaf terletak pada 1/3 bagian atas tanaman. Tip merupakan bagian teratas
daun kurang lebih 19 % total bobot tanaman dengan kandungan nikotin tertinggi. Kualitas tembakau dipengaruhi oleh cara pengolahan, tipe tembakau dan kegunaannya seperti pada Tabel 1 (U.S. Dept of Agriculture, 2003). Kualitas ditulis dalam tiga simbul yang menunjukkan grup, kualitas dan warna misalnya B3F artinya grup daun leaf dengan tingkat kualitas tiga dan warna kuning kemerahan. Simbul untuk grup adalah B (leaf), H (smoking leaf), C (cutter), X (lugs), P (priming), M (mix group), N (Nondescript), S (scrap). Tingkat kualitas adalah 1 (pilihan), 2 (sangat baik), 3 (baik), 4 (kurang baik), 5 (rendah), 6 (jelek).
Tabel 2 menunjukkan komponen-komponen yang
menentukan kualitas visual tembakau asapan.
Ornitin
Putrescine Ornitin dekarboksilase
putrescin N-methyltransferase
+ S adenosyl-L-methionin
N-methyl putrescine oksidase N-methylputrescine
Garam N-
methylpyrrolinium
C5H4NCOOH
C5H4NCOO-
Asam nikotinat
C5H4N-C5H9N Anabasin
C5H4N-C5H7NH Anatabin
C5H4N-C4H9NCH3 Nikotin
C5H4N-C4H9NH (Nornikotin)
C5H4N-C4H8N ( Miosinin)
Gambar 3. Biosintesis Alkaloid pada Tembakau (Mann, 2001).. Tabel 1. Metode Pengolahan, Tipe Tembakau dan Penggunaannya. Metode pengolahan
Tipe
Penggunaan
Udara
Virginian Burley Amarelo Cigar Lokal Oriental Lokal Virginian Virginian Amarelo
Pipa, chewing (susur), cigarret, snuff
Matahari Api Asap
Cigar (cerutu) Semua penggunaan Cigaret, pipa Semua penggunaan Pipa, cigaret, chewing Cigaret, pipa
Sifat organoleptik ditentukan oleh nisbah antara gula terlarut dengan nikotin (Tabel 3).
Kekuatan rasa tembakau dipengaruhi oleh kandungan
senyawa nitrogen yaitu N total, N protein dan nikotin. Aroma dipengaruhi oleh kandungan tannin dan resin. Kehalusan (mildness) dipengaruhi oleh gula, pati asam oxalic.
Tabel 2. Unsur-unsur Kualitas Fisual Tembakau Asapan Unsur Kualitas Kematangan Struktur daun Body Minyak Intensitas warna
Tingkat Kualitas tidak matang, tidak membuka, dewasa, masak, millow rapat, menutup, kaku, terbuka bobot, berdaging, sedang, tipis kering, berminyak, sangat berminyak pucat, lemah, sedang, kuat, sangat kuat
Lebar sangat sempit, sempit, normal, bulat Panjang cm Keseragaman % Ketahanan kerusakan % Ketahanan buangan % Sumber: (U.S. Dept of Agriculture, 2003) Penelitian aspek ekofisiologi di Indonesia, yang telah dilakukan, berkaitan dengan kualitas tembakau adalah pengaruh pemakaian atau residu KCl (Murdiyati dan Rakhman, 1995), pemupukan nitrogen (Rakhman, 1995; Djajadi dan Murdiyati, 1991; Rakhman et al., 1990; Djajadi et al., 1992), serta pupuk organik dan hayati (Djajadi, 1999). Pemakaian khlor yang berlebihan akan menyebabkan penurunan mutu tembakau yaitu warna, aroma, rasa dan daya bakar. Batas kandungan khlor daun 0.5 %. Pupuk nitrogen yang terlalu tinggi akan menurunkan kualitas karena kandungan klorofil tinggi, sehingga proses pengu-ningan sulit berlangsung. Tabel 3. Nisbah Gula dan Nikotin dan Kaitannya dengan Sifat Organoleptik. Gula terlarut Nikotin % % 25.2 1.57
Nisbah
21.3 19.5
2.07 3.60
10.3 5.4
15.6
2.94
5.3
15.8
Sifat organoleptik halus (tidak keras), aroma kurang, kurang gatal halus sampai sedang, tidak gatal keras, sangat kuat, aroma sangat pahit, sangat gatal. keras, kuat, beraroma, sangat gatal
Kebutuhan air untuk untuk mencapai produktivitas
maksimum
bervariasi dengan iklim dan lamanya periode tumbuh yaitu antara 400 sampai 600 mm selama periode tumbuh.
Irigasi yang dilakukan mulai saat tanam
sampai berbunga bertujuan untuk memaksimalkan jumlah daun. Bunga dan cabang dipangkas bertujuan untuk memaksimalkan ukuran daun. Kebutuhan air irigasi setelah berbunga sampai panen semakin berkurang untuk meningkatkan kualitas tembakau (Naidu, 2001).
BAHAN DAN METODE Percobaan I: Pengaruh Tingkat dan Waktu Irigasi terhadap Produksi, Kandungan Gula dan Kandungan Nikotin Waktu dan Tempat
Percobaan dilaksanakan di Rumah Kaca Kebun Percobaan Institut Pertanian Bogor (IPB), Cikabayan, Darmaga, Bogor dari Februari sampai Juni 2004. Analisis nikotin dan gula dilakukan di Laboratorium Ekofisiologi Tanaman, Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian dan di Laboratorium Terpadu, IPB. Metode Percobaan faktorial disusun dalam Rancangan Acak Kelompok dengan empat ulangan. Perlakuan percobaan adalah jadwal irigasi yang merupakan kombinasi antara tingkat irigasi dan waktu irigasi. Faktor I adalah tingkat irigasi terdiri atas tujuh taraf yaitu : M1: irigasi setiap 1 hari sampai kapasitas lapang M2: irigasi 2 hari sekali sampai kapasitas lapang M3: irigasi 4 hari sekali sampai kapasitas lapang M4: irigasi 6 hari sekali sampai kapasitas lapang M5: irigasi setiap hari sampai 75% air tersedia (75 % AT) M6: irigasi setiap hari sampai 50% air tersedia (50 % AT) M7: irigasi setiap hari sampai 25% air tersedia (25 % AT) Faktor II adalah waktu irigasi terdiri atas lima taraf yaitu : F1: dari 2 minggu setelah tanam sampai panen (T-P) F2: mulai 2 minggu sebelum panen daun (2 MSP) F3: mulai 4 minggu sebelum panen daun (4 MSP) F4: mulai 6 minggu sebelum panen daun (6 MSP) F5: mulai 8 minggu sebelum panen daun (8 MSP). Masing-masing satuan percobaan diulang empat kali sehingga terdapat 7 x 5 x 4 = 140 satuan percobaan.
Volume air irigasi yang diberikan sesuai dengan
perlakuan disajikan pada Lampiran 1. Tingkat irigasi sebelum waktu irigasi F1, F2, F3, F4 dan F5 masing-masing adalah irigasi setiap hari sampai kapasitas lapang.
Pengamatan. Peubah yang diamati adalah: 1. Jumlah daun, tinggi tanaman pada saat berbunga, panjang dan lebar daun cutter, bobot kering setiap grup daun (Gambar Lampiran 1) dan bobot kering akar. 2. Kandungan gula dan nikotin, contoh daun diambil dari daun cutter pada setiap satuan percobaan saat panen. Analisis kandungan gula dan nikotin dilakukan dengan metode ekstraksi dan titrimetri (Lampiran 2). 3. Evapotranspirasi, pengukuran evapotranspirasi harian dilakukan pada setiap satuan percobaan dengan prinsip neraca air. Neraca air pada polibag dalam rumah kaca adalah I = E + Pk + ∆M, I adalah irigasi, E, evapotranspirasi, Pk, perkolasi dan ∆M, perubahan kadar air tanah. Semua unsur neraca air dinyatakan dalam satuan mm. Kadar air tanah diukur setiap hari sebelum irigasi dengan Tensionmeter dan Boyoucos Soil Mois-ture Meter 4. Transpirasi, transpirasi dihitung dengan metode Rosenthal et al. (1977) dalam Handoko (1995) seperti pada Lampiran 3. Kalibrasi. Proses sintesis gula dan sintesis nikotin yang komplek menunjukkan bahwa dalam pembentukan persamaan sintesis nikotin dan sintesis gula digunakan beberapa prinsip seperti koefisiensi partisi gula yaitu nisbah antara gula dan karbohidrat, efisiensi sintesis nikotin yaitu nisbah antara kandungan nikotin dengan absorbsi nitrogen oleh akar,
efisiensi penggunaan air yaitu
nisbah antara bahan kering tanaman dengan transpirasi, koefisien partisi daun yaitu nisbah antara bahan kering daun dengan bahan kering total. Pembentukan persamaan sintesis gula dan sintesis nikotin diuraikan sebagai berikut.
1. Kandungan gula
Sintesis gula terlarut meningkat dengan menurunnya transpirasi ( Taiz dan Zeiger, 1991), sehingga dapat diduga bahwa kandungan gula berbanding terbalik dengan transpirasi yang dapat dinyatakan dalam persamaan:
Kandungan Gula = Ks/Tr . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3.1) Ks adalah efisiensi sintesis gula dan Tr adalah transpirasi. 2. Kandungan nikotin Nikotin disusun sebagian besar oleh nitrogen (Vickery and Vickery, 1981). Absorbsi nitrogen meningkat dengan meningkatnya transpirasi (Nye and Tinker, 1977 ), sehingga kandungan nikotin meningkat dengan meningkatnya transpirasi yang dapat ditulis dalam persamaan:
Kandungan nikotin = Kn . Tr . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3.2) Kn adalah efisiensi sintesis nikotin. Tahap pembentukan dan pengujian hubungan transpirasi dengan kandung-an gula dan nikotin disajikan pada Gambar 4.
Analisis ragam
digunakan untuk menguji pengaruh perlakuan percobaan terhadap peubah yang diamati. Uji korelasi dilakukan antara peubah transpirasi, kandungan gula dan nikotin. Anali-sis regresi untuk menguji hubungan kandungan gula dengan transpirasi serta hu-bungan kandungan nikotin dengan transpirasi (Mattjik dan Sumertajaya, 2002). Analisis korelasi dan analisis regresi dilakukan terhadap data dari percoba-an rumah kaca.
Jika analisis regresi menghasilkan persamaan
kandungan gula atau nikotin yang nyata, maka dilakukan uji Khi Kuadrat dan uji F.
Uji
Khi Kuadrat dan uji F dilakukan dengan menggunakan data
transpirasi, kandungan gula atau nikotin dari percobaan II. Pelaksanaan Penelitian Benih tembakau disemaikan pada media pasir ditambah vermikompos dengan perbandingan volume 2 : 1. Pemeliharaan bibit meliputi penyiraman setiap hari, pengendalian hama dan penyakit dan pemupukan daun. Pemindahan
bibit ke polibag dilakukan 45 hari setelah penyemaian, pada umur tersebut bibit sudah memiliki 3 helai daun.. Varietas tembakau yang digunakan adalah varietas Japlak, tanaman tersebut merupakan jenis tembakau rajangan. Media tanah latosol digunakan untuk penanaman dalam polibag berukuran 40 cm x 50 cm. Bobot kering tanah Analisis ragam Data Percobaan Rumah kaca
Nyata
Interaksi tingkat irigasi dengan waktu tanam
Kalibrasi dengan uji korelasi dan analisis regresi Nyata Persamaan kandungan gula atau kandungan nikotin Data Percobaan Lapang
Validasi : Uji F dan khi kuadrat Tidak nyata Persamaan kandungan gula atau kandungan nikotin yang valid
Gambar 4. Alur Pembentukan dan Pengujian Hubungan Transpirasi dengan Kandungan Gula dan Nikotin
setiap pot 9.415 kg dengan kondisi kapasitas lapang pada kadar air 57% bobot kering, dan titik layu permanen pada kadar air 30%. Dosis pupuk yang digunakan adalah 30 kg N/ha dalam bentuk urea, 30 kg N/ha dalam bentuk ZA (amonium sulfat), 30 kg K/ha diberikan 2 kali yaitu setengah dosis pada tujuh hari setelah tanam dan setengah dosis pada 28 hari setelah tanam, sedangkan P2O5 sebanyak 45 kg/ha diberikan pada saat tanam. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan satu minggu sekali dengan menggunakan insektisida, fungisida dan bakterisida. Panen dilakukan satu bulan setelah berbunga secara bertahap mulai dari daun priming, kemudian diikuti oleh panen daun lug, cutter, smoking leaf, leaf dan tip. Umur tanaman adalah 12 minggu setelah tanam, sehingga 2 MSP sama dengan 10 MST, 4 MSP sama dengan 8 MST, 6 MSP sama dengan 6 MST dan 8 MSP sama dengan 4 MST.
Percobaan II: Pengaruh Sistem Irigasi terhadap Produksi, Kandungan Gula dan Kandungan Nikotin Waktu dan Tempat Percobaan dilaksanakan di lahan petani tembakau yang berlokasi di Selo-pamioro, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul,Yogjakarta, dari bulan Mei sampai dengan Agustus 2003. Lokasi penelitian terletak pada ketinggian tempat 350 meter di atas permukaan laut, 110o25’ BT dan 7 o55’ LS . Jenis tanah di lokasi penelitian adalah Andosol dengan bobot jenis tanah 1.19 g/cm3, kapasitas lapang pada kadar air 27% bobot kering, dan titik layu permanen pada kadar air 15%. Metode Percobaan faktor tunggal disusun dalam Rancangan Kelompok dengan tiga ulangan. Perlakuan dalam penelitian ini adalah sistem irigasi terdiri atas :
I1 : Irigasi konvensional I2 : Irigasi drip ditambah mulsa I3 : Irigasi drip tanpa mulsa Pengamatan. Peubah vegetatif, produksi, unsur iklim dan kandungan senyawa dalam daun yang diamati adalah: 1. Jumlah daun, panjang daun kaki-1, lebar daun kaki-1 dan
tinggi
tanaman diamati dari 10 tanaman setiap satuan percobaan pada saat berbunga. 2. Bobot kering setiap grup daun diamati pada saat panen. 3. Evapotranspirasi harian diamati berdasarkan neraca air seperti pada Lampiran 4. 4. Radiasi matahari diukur dengan menggunakan iluminance meter dengan satuan lux (1 klux = 1.5 x 10-5 cal/cm2/menit). Intersepsi cahaya diukur dengan cara menempatkan iluminance meter di atas canopi dan di bawah kanopi. 5. Kelembaban udara diukur dengan psikrometer bola basah-bola kering. Pengukuran dilakukan pada waktu yang sama dengan pengukuran radiasi. 6. Suhu udara diukur dengan termometer bola kering. 7. Transpirasi dihitung dengan metode
Rosenthal et al. (1977) dalam
Handoko (1995). 8. Kandungan gula dan nikotin, pengamatan dilakukan pada setiap satuan percobaan dari 10 tanaman contoh secara komposit dari daun kaki-1. Analisis kandungan gula dan nikotin dilakukan dengan metode ekstraksi dan titrimetri (Lampiran 2). Validasi.
Validasi hubungan transpirasi dengan kandungan gula dan
nikotin dilakukan dengan Uji F dan X2. Nilai F (Nush dan Sutclife dalam Irianto, 2000) yaitu:
F = 1 - [ 1Σ N (Qs - Qp) 2 / 1Σ N(Qs - qp) 2 ] . . . . . . . . . . . . . (3.3)
Qs: Hasil pendugaan Qp: Hasil pengukuran qp : Hasil rata-rata pengukuran N : banyaknya pengamatan Nilai maksimal untuk F adalah 1 yang berarti hasil validasi sempurna dibandingkan dengan hasil pengukuran. Nilai χ
2
dalam Uji Khi Kuadrat (Clymer, 1990) adalah:
χ 2 = 1Σ
N
{(Qp - Qs)2 / Qs} . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3.4)
Jika Uji Khi Kuadrat tidak nyata berarti hasil pendugaan dengan persamaan kandungan gula atau kandungan nikotin sama dengan hasil pengukurannya.
Pelaksanaan Penelitian Persiapan lahan yang dilakukan meliputi pengolahan tanah dan pembuatan bedengan dengan lebar 80 cm, panjang 9 m dan jarak antar bedengan 20 cm. Pemasangan perangkat irigasi drip dilakukan setelah pengolahan tanah. Perangkat irigasi drip meliputi emiter tipe line source emitter dengan jumlah lubang sebanyak 4 lubang/meter, pipa utama, saringan, drum penampung air, dan pompa.
Perangkat utama irigasi konvensional adalah pipa plastik dan
pompa. Bibit tembakau umur 45 hari ditanam dengan jarak tanam 25 cm x 50 cm sebanyak dua baris tanaman setiap bedengan. Jenis tembakau yang digunakan dalam penelitian adalah tembakau voor oogst varietas Japlak, yaitu suatu jenis tembakau yang dipanen pada musim kemarau dan digunakan untuk bahan baku rokok. Irigasi diberikan setiap hari sampai tanaman berumur 14 hari, kemudian irigasi diberikan dua hari sekali untuk irigasi drip, dan dua kali seminggu untuk irigasi konvensional. Debit rata-rata dari irigasi drip 0.01417 liter/menit dengan diameter pembasahan 20 cm dan kedalaman pembasahan 20 cm. Debit rata-rata dari irigasi konvensional 29.289 liter/menit.
Pemeliharaan yang dilakukan meliputi penyiangan gulma, pengendalian hama dan penyakit. Dosis pupuk yang digunakan adalah 30 kg N/ha dalam bentuk urea, 30 kg N/ha dalam bentuk ZA (amonium sulfat), 30 kg K/ha diberikan 2 kali yaitu setengah dosis pada tujuh hari setelah tanam dan setengah dosis pada 28 hari setelah tanam, sedangkan P2O5 sebanyak 45 kg/ha diberikan pada saat tanam.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil dari percobaan di Rumah Kaca digunakan untuk mendapatkan jadwal irigasi yang memberikan produksi tinggi dengan kandungan gula tinggi dan nikotin rendah. Hasil percobaan lapang untuk mendapatkan metode irigasi yang memberi-kan produksi tinggi dengan kandungan gula tinggi dan nikotin rendah. Kalibrasi hubungan transpirasi dengan kandungan gula dan kandungan nikotin dilakukan dengan menggunakan data dari percobaan di rumah kaca, sedangkan validasinya dilakukan dengan menggunakan data dari percobaan lapang.
Analisis ragam peubah yang diamati disajikan pada Lampiran 5 dan
Lampiran 6.
Percobaan I:Pengaruh Tingkat Irigasi dan Waktu irigasi terhadap Produksi, Kandungan Gula dan Nikotin Hasil Percobaan Rumah Kaca merupakan percobaan faktorial disusun dalam Rancangan Acak Kelompok dengan 4 ulangan. Perlakuannya adalah jadwal irigasi yang merupakan interaksi antara 7 tingkat irigasi dan 5 waktu irigasi tanaman dengan 4 ulangan. Interaksi tingkat irigasi dengan waktu irigasi berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah daun, tinggi tanaman, panjang dan lebar daun kaki-1, bobot kering setiap grup daun, bobot kering akar, evapotranspirasi. Tingkat irigasi berpengaruh sangat nyata terhadap kandungan gula, nikotin dan nisbah gula dengan nikotin. Jumlah Daun. Jumlah daun dipengaruhi oleh interaksi tingkat irigasi dengan waktu irigasi. Interaksi tingkat irigasi 50 % AT dengan waktu irigasi TP ( 2 minggu setelah tanam sampai panen) menghasilkan jumlah daun lebih tinggi dari pada interaksi tingkat irigasi setiap hari dengan waktu irigasi T-P. Perlakuan tersebut dapat meningkatkan jumlah daun sebesar 50%. Jumlah daun berkisar antara 18.3 ± 4.28 sampai 27 ± 4.28 lembar/tanaman (Tabel 4). Tinggi Tanaman. Tinggi tanaman dipengaruhi oleh interaksi antara tingkat irigasi dan waktu irigasi.
Interaksi tiingkat irigasi 50% AT dengan
waktu irigasi T-P (2 MST sampai panen) menghasilkan tanaman lebih tinggi dari pada interaksi tingkat irigasi 2 hari sekali irigasi dengan waktu irigasi 4 MSP. Tidak terdapat perbedaan tinggi tanaman pada berbagai tingkat irigasi untuk masing-masing waktu irigasi (Tabel 5). Tabel. 4. Jumlah Daun pada Berbagai Tingkat Irigasi dan Waktu Irigasi Tembakau Tingkat Irigasi
2 MSP
Setiap hari 2 hari sekali 4 hari sekali 6 hari sekali
26.3 ab 20.3 ab 24.0 ab 26.5 ab
Waktu irigasi 4 MSP 6 MSP 8 MSP . . . . . . . . . . . lembar/tanaman . . . . . . . . . . 19.5 ab 23.0 ab 21.0 ab 18.7 ab 22.3 ab 22.8 ab 25.5 ab 22.3 ab 23.5 ab 18.8 ab 24.5 ab 26.3 ab
T-P 18.3 b 18.5 b 19.8 ab 26.3 ab
75 % AT 20.8 ab 19.8 ab 22.3 ab 18.3 b 19.8 ab 50 % AT 20.5 ab 24.3 ab 21.5 ab 21.8 ab 27.0 a 25 % AT 22.3 ab 23.8 ab 22.3 ab 26.0 ab 26.0 ab Keterangan:Data yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan Pembeda Nyata Terkecil uji Tukey (0.05) untuk interaksi adalah 8.55 lembar/tanaman. MSP (minggu sebelum panen), T-P (2 minggu setelah tanam sampai panen). Tabel 5. Tinggi Tanaman pada Berbagai Tingkat Irigasi dan Waktu Irigasi Tembakau Tingkat Irigasi
Waktu irigasi 2 MSP 4 MSP 6 MSP 8 MSP T-P . . . . . . . . . . . cm . . . . . . . . . . Setiap hari 91.3ab 57.8ab 84.3ab 79.8ab 60.8ab 2 hari sekali 73.8ab 56.5 b 88.0ab 86.5ab 59.3ab 4 hari sekali 87.3ab 83.5ab 85.3ab 71.3ab 58.3ab 6 hari sekali 96.5ab 58.3ab 93.5ab 86.5ab 80.5ab 75 % AT 65.5ab 63.3ab 84.0ab 68.8ab 64.0ab 50 % AT 68.3ab 77.0ab 75.3ab 72.8ab 96.8a 25 % AT 67.5ab 74.3ab 87.5ab 90.0ab 91.8ab Keterangan: Data yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasar-kan Pembeda Nyata Terkecil uji Tukey (0.05) untuk interaksi sebesar 40.0 cm. MSP (minggu sebelum panen). Panjang dan Lebar Daun. Panjang dan lebar daun dipengaruhi oleh interaksi antara tingkat irigasi dan waktu irigasi. Interaksi tingkat irigasi 6 hari sekali dengan waktu irigasi 6 MSP dapat meningkatkan panjang daun sebesar 45% dibandingkan interaksi tingkat irigasi 75% AT dengan waktu irigasi T-P (Tabel 6). Pada umumnya untuk semua waktu irigasi diketahui bahwa irigasi 6 hari sekali menghasilkan panjang daun kaki-1 nyata lebih tinggi dari pada irigasi 2 hari sekali dan 75 % AT, tetapi tidak berbeda nyata dengan tingkat irigasi yang lain. Tabel 6. Panjang Daun Kaki-1 pada Berbagai Tingkat Irigasi dan Waktu Irigasi Tembakau. Tingkat Irigasi
2 MSP
Setiap hari
33.9 abc
Waktu irigasi 4 MSP 6 MSP 8 MSP . . . . . . . . . . . . . cm . . . . . . . . . . . . . . . 31.8 abcd 32.7 abcd 34.9 ab
T-P 34.4 abc
2 hari sekali 30.4 abcd 29.0 bcd 29.4 bcd 32.6 abcd 26.9 cd 4 hari sekali 35.3 ab 32.5 abcd 30.2 bcd 29.9 bcd 32.8 abc 6 hari sekali 35.7 ab 30.9 abcd 37.9 a 32.5 abcd 31.9 abc 75 % AT 31.0 abcd 30.6 abcd 35.3 ab 29.8 bcd 26.1 d 50 % AT 30.5 abcd 34.0 abc 30.9 abcd 29.3 bcd 31.7 abcd 25 % AT 31.9 abcd 33.7 abc 31.3 abcd 33.1 abcd 32.3 abcd Keterangan:Data yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan Pembeda Nyata Terkecil uji Tukey (0.05) untuk interaksi sebesar 7.4 cm. Interaksi tingkat irigasi 6 hari sekali dengan waktu irigasi 6 MSP atau 2 MSP menghasilkan lebar daun lebih lebar dari pada interaksi tingkat irigasi 75 % AT dengan waktu irigasi T-P dan 8 MSP, tingkat irigasi 2 hari sekali dengan waktu irigasi T-P. Perbedaan lebar daun oleh perlakuan tersebut adalah 48.9%. Rata-rata untuk seluruh waktu irigasi menunjukkan bahwa irigasi sampai 25 % AT mengha-silkan lebar daun nyata lebih besar dari pada irigasi sampai 75 % AT. Lebar daun antara irigasi 25 % AT, 6 hari sekali, 4 hari sekali dan 1 hari sekali tidak berbeda nyata (Tabel 7). Pemangkasan dilakukan terhadap setiap cabang yang baru setelah fase berbunga, sehingga selama fase setelah berbunga, fotosintat hanya digunakan untuk menambah ukuran daun. grup daun lainnya.
Ukuran daun kaki-1 adalah tertinggi diantara
Daun kaki-1 memiliki kualitas terbaik diantara grup daun
lainnya (Naidu, 2001) Tabel 7. Lebar Daun Kaki-1 pada Berbagai Tingkat Irigasi dan Waktu Irigasi Tembakau. Tingkat Irigasi
Waktu irigasi 4 MSP 6 MSP 8 MSP T-P . . . . . . . . . . . cm . . . . . . . . . . . . Setiap hari 16.5 abc 16.1 abc 16.0 abc 16.3 abc 16.4 abc 2 hari sekali 14.9 abc 14.3 abc 13.8 bc 15.8 abc 13.1 c 4 hari sekali 17.3 abc 16.0 abc 14.6 abc 16.7 abc 16.0 abc 6 hari sekali 18.6 a 16.0 abc 18.6 a 16.7 abc 16.1 abc 75 % AT 14.8 abc 13.5 bc 16.8 abc 13.3 bc 12.5 c 50 % AT 14.0 abc 16.4 abc 14.9 abc 15.1 abc 16.1 abc 25 % AT 17.1 abc 17.7 ab 15.0 abc 17.5 abc 16.0 abc Keterangan:Data yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan Pembeda Nyata Terkecil uji Tukey (0.05) untuk interaksi sebesar 4.5 cm. 2 MSP
Hasil di atas menunjukkan bahwa untuk menghasilkan daun kaki-1 dengan ukuran maksimum diperlukan kelembaban tanah yang rendah selama 2 minggu menjelang panen. Ini sesuai dengan pola perkembangan tanaman tembakau yaitu fase sebelum berbunga pengelolaan air diarahkan untuk mendapatkan produk bahan kering yang maksimal, sedangkan fase setelah berbunga atau menjelang panen pengelolaan air bertujuan untuk mendapatkan kualitas yang maksimal (Naidu, 2001). Bobot Kering Daun. Bobot kering daun total dipengaruhi oleh interaksi tingkat irigasi dengan waktu irigasi. Interaksi tingkat irigasi 6 hari sekali dengan waktu irigasi 6 MSP dapat meningkatkan produksi sebesar 232% dibanding interaksi tingkat irigasi 6 hari sekali dengan waktu irigasi T-P. Produksi daun total yang dihasilkan oleh interaksi tingat irigasi 6 hari sekali dengan waktu irigasi 6 MSP tidak berbeda nyata dengan interaksi antara tingkat irigasi 6 hari sekali dan waktu irigasi 2 MSP (Tabel 8). Jadwal irigasi tersebut sesuai dengan pegelolaan air untuk tembakau yaitu mendapatkan pertumbuhan yang maksimal sampai menjelang berbunga kemudian munurunkan tingkat irigasi saat menjelang panen (Naidu, 2001). Bobot Kering Akar.
Bobot kering akar dipengaruhi oleh interaksi
tingkat irigasi dengan waktu irigasi. Interaksi tingkat irigasi 50% AT dan 25% AT masing-masing dengan waktu irigasi T-P menghasilkan bobot kering akar lebih tinggi dari pada interaksi tingkat irigasi 4 hari sekali dengan waktu irigasi T-P. Interaksi 7 tingkat irigasi masing-masing dengan waktu irigasi 2 MSP, 4 MSP, 6 MSP dan 8 MSP tidak menghasilkan perbedaan bobot kering akar (Tabel 9) Tabel 8. Bobot Daun Total pada Berbagai Tingkat Irigasi dan Waktu Irigasi Tembakau Tingkat Irigasi Setiap hari 2 hari sekali 4 hari sekali 6 hari sekali
Waktu irigasi 4 MSP 6 MSP 8 MSP T-P . . . . . . . . . . . g krosok/tanaman . . . . . . . . . . 12.47 ab 6.57 abcd 11.13 abc 10.42 abcd 12.18 abc 8.71 abcd 5.18 cd 9.43 abcd 9.47 abcd 7.26 abcd 11.63 abc 9.68 abcd 8.28 abcd 8.42 abcd 9.31 abcd 12.12 abc 6.16 bcd 13.26 a 12.01 abc 3.99 d 2 MSP
75 % AT 7.82 abcd 7.26 abcd 10.01 abcd 6.92 abcd 12.94 ab 50 % AT 9.34 abcd 11.63 abc 8.78 abcd 9.53 abcd 12.60 ab 25 % AT 6.41 abcd 9.27 abcd 8.80 abcd 9.62 abcd 3.81 d Keterangan:Data yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasar-kan Pembeda Nyata Terkecil uji Tukey (0.05) untuk interaksi sebesar 7.02 g krosok/tanaman. MSP (minggu sebelum panen). Kandungan Gula dan Nikotin. Kandungan gula dan nikotin hanya dipengaruhi oleh faktor tunggal tingkat rigasi. Kandungan nikotin pada tingkat irigasi 25% air tersedia (AT) atau irigasi 6 hari sekali lebih rendah dari pada irigasi setiap hari sampai kapasitas lapang, tetapi kandungan gulanya lebih tinggi (Tabel 10). Uji korelasi antara kandungan gula dengan kandungan nikotin menunjukkan korelasinya negatif (r=-0.651, P<0.01, N=70), artinya semakin rendah kandungan nikotin, maka semakin tinggi kandungan gula. Pengelolaan air untuk menghasilkan kandungan nikotin rendah dan gula tinggi adalah irigasi dengan tingkat irigasi minimal yaitu 25% AT atau irigasi 6 hari sekali. Tingkat irigasi 25 % AT dan 6 hari sekali menghasilkan nisbah kandungan gula dengan kandungan nikotin lebih tinggi dari pada irigasi setiap hari, 2 hari dan 75% AT. Kualitas organoleptik untuk nilai nisbah kandungan gula dengan kandungan nikotin sebesar 5.68 dan 5.72 adalah halus sampai sedang, tidak gatal (Tabel 10). Kualitas organoleptik untuk nisbah kandungan gula dengan kandungan nikotin sebesar 4.32 adalah keras, kuat, beraroma, sangat gatal. Tabel 9. Bobot Kering Akar pada Berbagai Tingkat Irigasi dan Waktu Irigasi Tembakau Tingkat Irigasi
Waktu irigasi 2 MSP 4 MSP 6 MSP 8 MSP T-P . . . . . . . . . . . g /tanaman . . . . . . . . . . Setiap hari 1.47 bcd 1.46 bcd 5.57 a 3.17 abcd 1.08 bcd 2 hari sekali 1.59 bcd 1.05 bcd 2.05 abcd 1.89 abcd 2.65 abcd 4 hari sekali 2.08 abcd 0.84 cd 2.13 abcd 2.21 abcd 0.46 d 6 hari sekali 2.24 abcd 1.47 bcd 1.92 abcd 4.71 abc 1.82 abcd 75 % AT 1.35 bcd 2.50 abcd 2.35 abcd 1.55 bcd 0.85 cd 50 % AT 3.03 abcd 1.04 bcd 2.15 abcd 2.67 abcd 4.68 abc 25 % AT 1.22 bcd 1.32 bcd 2.31 abcd 4.86 ab 4.62 abc Keterangan: Data yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasar-kan Pembeda Nyata Terkecil uji Tukey (0.05) untuk interaksi sebesar 3.89 g /tanaman. MSP (minggu sebelum panen).
Tabel 10. Kandungan Gula, Nikotin dan Nisbah Gula/Nikotin pada Berbagai Tingkat Irigasi. Tingkat Irigasi 1 hari sekali 2 hari sekali 4 hari sekali 6 hari sekali 75 % AT 50 % AT 25 % AT Tukey (0.05) Keterangan: tidak
Kandungan Gula Kandungan (%) Nikotin (%) 14.87 c 3.58 a 15.02 abc 3.24 ab 15.03 abc 3.01 b 15.70 a 2.79 b 14.99 bc 3.19 ab 15.12 abc 3.01 b 15.69 ab 2.78 b 0.71 0.56 Data pada kolom yang sama yang diikuti oleh
Nisbah Gula/Nikotin 4.32 b 4.71 b 5.01 ab 5.68 a 4.77 b 5.06 ab 5.72 a 0.83 huruf yang sama
berbeda nyata berdasarkan uji Tukey (0.05).
Kandungan gula dan nikotin dari berbagi umur tanaman mengikuti pola sigmoid. Persamaan sigmoid untuk kandungan gula (G) adalah G= 1.6001.e 0.1087 t
selama fase eksponensial dan G=28.217 Ln (t) – 55.354 selama fase
logaritmik. N=0.3263.e
Persamaan sigmoid untuk kandungan nikotin (N) adalah 0.0984 t
selama fase eksponensial dan N=2.8608 Ln (t) – 5.2565
selama fase logaritmik (Gambar 5).
Peralihan fase eksponensial ke fase
logaritmik terjadi pada umur (t) 8 minggu. Pada umur 8 minggu ini merupakan saat berbunga.
25
% Bobot Kering Daun
20
15
10
5
0 Fase
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Umur Tanaman (MST)
Gambar 5.
13
14
15
GULA
16 Nikotin
Perkembangan Kandungan Gula dan Nikotin Selama Periode Tumbuh Tembakau
Evapotranspirasi. Evapotranspirasi dipengaruhi oleh interaksi antara tingkat irigasi dan waktu irigasi. Interaksi tingkat irigasi setiap hari dengan waktu irigasi 6 MSP menyebabkan evapotranspirasi harian selama 2 MSP lebih rendah dari pada interaksi tingkat irigasi 4 hari sekali dengan waktu irigasi T-P. Nilai evapotranspirasi berkisar antara 1.75 mm/hari sampai 8.60 mm/hari. Evapotranspirasi antar tingkat irigasi pada masing-masing waktu irigasi tidak berbeda nyata. Evapotranspirasi rata-rata untuk semua waktu irigasi pada irigasi setiap hari nyata lebih tinggi dari pada irigasi 4 dan 6 hari sekali (Lampiran 7). Interaksi tingkat irigasi 2 hari sekali dengan waktu irigasi 8 MSP menyebabkan evapotranspirasi harian selama 4 MSP lebih tinggi dari pada interaksi tingkat irigasi 4 hari sekali dengan waktu irigasi T-P. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antar tingkat irigasi pada masing-masing waktu irigasi. Interaksi tingkat irigasi setiap hari dengan waktu irigasi 6 MSP menyebabkan evapotranspirasi harian selama 6 MSP lebih tinggi dari pada interaksi tingkat irigasi 4 hari sekali dengan waktu irigasi 2 MSP. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antar tingkat irigasi pada masing-masing waktu irigasi.
Interaksi tingkat irigasi 2 hari sekali dengan waktu irigasi 8 MSP menyebabkan evapotranspirasi harian selama 2 MST sampai panen (T-P) lebih tinggi dari pada interaksi tingkat irigasi 4 hari sekali dengan waktu irigasi T-P. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antar tingkat irigasi pada masing-masing waktu irigasi. Eva-potranspirasi rata-rata untuk semua waktu irigasi pada irigasi 25 % AT nyata lebih rendah dari pada irigasi setiap hari. Pada umumnya ketersediaan air yang tinggi oleh tingkat irigasi yang tinggi menyebabkan evapotranspirasi yang tinggi. Ini sesuai dengan konsep umum gerak-an air yaitu besarnya gerakan air berbanding lurus dengan beda potensial air dan berbanding terbalik dengan tahanan. Kelembaban tanah yang tinggi memiliki po-tensial air yang tinggi. Hubungan produksi dan evapotranspirasi dapat diukur dengan efisiensi pemakaian air yaitu nisbah antara produksi dengan evapotranspirasi. Interaksi tingkat irigasi 6 hari sekali dengan waktu irigasi 2 MSP menghasilkan efisiensi pemakaian air lebih tinggi dari pada interaksi tingkat irigasi 2 hari sekali dengan waktu irigasi 8 MSP dan 2 MSP (Tabel 12).
Efisiensi pemakaian air pada
perlaku-an irigasi tersebut tidak berbeda nyata dengan irigasi sampai 25% air tersedia mulai 4 MSP, irigasi selama periode tumbuh sebelumnya dilakukan setiap hari sampai kapasitas lapang. Ini sesuai dengan metode pengelolaan air pada tembakau yaitu membuat evapotranspirasi yang maksimal pada periode tumbuh sebelum berbunga. Produksi daun total berkorelasi positif dengan evapotranspirasi total (koefisien korelasi 0.6 dengan peluang < 0.05), artinya semakin tinggi evapotranspirasi, maka semakin tinggi produksi. Transpirasi. Transpirasi pada waktu 2 minggu sebelum panen sampai panen hanya dipengaruhi oleh faktor tunggal tingkat irigasi. Irigasi setiap hari menghasilkan transpirasi lebih tinggi dari pada irigasi 4 dan 6 hari sekali, 25% dan 50% air tersedia.
Transpirasi oleh irigasi setiap hari tidak berbeda nyata
dengan irigasi 2 hari sekali dan irigasi sampai 75% air tersedia. (Tabel 13).