“Sastra”
ADAT BUDAYA SAPRAHAN Adisti Primi Wulan IKIP PGRI Pontianak Abstrak
Budaya memiliki kekhasan di masing-masing daerah, sehingga keunikan tersebut menjadi daya tarik. Sebagian budaya diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi, sehingga sangat disayangkan banyak penurunan esensi isi dari kandungan budaya tersebut. Tujuan penelitian ini selain bentuk dokuimentasi budaya yang ada di Kalimantan Barat, juga mendeskripsikan banyak hal seperti rincian kegiatan adat budaya Saprahan yang digunakan oleh masyarakat di Kalimantan Barat. Saprahan merupakan salah satu adat budaya Melayu di Kabupaten Sambas yang masih berkembang dan dilestarikan sejak zaman dahulu hingga sekarang ini. Adat tradisi dalam kegiatan makan bersama-sama berkelompok baik di dalam rumah sehari-hari ataupun dalam acara mengundang tamu ataupun acara-acara pesta yang di adakan dirumah ataupun di desa. Saprahan membujur dengan alas saprah adalah saprahan dengan beralaskan kain saprah 1x1 meter. Kata Kunci : Saprahan, Sambas, Budaya
A. Pendahuluan Sebagai sebuah provinsi, Kalimantan Barat dibentuk dengan tingkat ragam budaya yang tinggi, baik dari segi keragaman suku, agama, dan adat istiadat. Keragaman tersebut semestinya menjadi modal dan kekuatan sosial bagi daerah dalam pelaksanaan hubungan kemasyarakatan. Kemasyarakatan biasa dikaitkan dengan pelaksanaan upacara atau tata cara pada peristiwa yang paling penting dalam daur kehidupan. Daerah Kalimantan Barat terdapat dua etnis yang dominan yaitu etnis Dayak dan etnis Melayu. Di dalam melangsungkan kehidupan sosial budaya, tentu saja terdapat perbedaan antara suku yang satu dengan yang lainnya, meskipun dalam rumpun yang sama, misalnya dalam satu rumpun suku Melayu. Namun, perbedaannya tidak nampak mencolok karena suku Melayu pada dasarnya mempunyai keyakinan yang sama yaitu Islam. Masyarakat tidak akan dapat mempertahankan hidup tanpa kebudayaan, dan sebaliknya kebudayaan tidak akan berkembang dengan sendirinya tanpa masyarakat. Perkembangan kebudayaan di Indonesia diarahkan oleh cita-cita bangsa persatuan antar etnik, yang diimplementasikan oleh pembentukan negara kesatuan dan berbagai program pembinaan. Teori kebudayaan yang lebih mewarnai program pembinaan kebudayaan masyarakat Indonesia adalah teori yang bersifat idealistik. Hal ini terlihat dari diutamakannya Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa yang selanjutnya diharapkan menjadi pengaruh dari seluruh tindakan orang Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. B. Tradisi Saprahan Melayu Sambas Saprahan merupakan salah satu adat budaya Melayu di Kabupaten Sambas yang masih berkembang dan dilestarikan sejak zaman dahulu hingga sekarang ini. Adat tradisi dalam kegiatan makan bersama-sama berkelompok baik di dalam rumah sehari-hari ataupun dalam acara mengundang tamu ataupun acara-acara pesta yang di adakan dirumah ataupun di desa. Hidangan lauk pauk disajikan pada tempat dinamakan baki ataupun dihamparan kain untuk disantap bersama-sama berkelompok sejumlah 6 orang setiap saprah dengan duduk bersila di atas hamparan tikar ataupun permadani untuk undangan laki-laki dan duduk pipih untuk undangan wanita. Manfaat saprahan adalah untuk mempererat hubungan silaturahmi antar sesama masyarakat, sekaligus melestarikan kebudayaan nenek moyang yang telah diturunkan secara turun temurun. Makna dari saprahan melambangkan rasa kebersamaan dan rasa kegotong royongan dengan falsafat bersama dipikul, ringan sama dijinjing, berdiri sama tinggi, duduk
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
469
sama rendah. Makna besaprah disantap oleh 6 orang setiap saprahnya dengan pengertian rukun iman, dan untuk lauk pauk yang dihidangkan biasanya 5 piring atau lima jenis yang mengandung rukun islam. Makna besaprah harus bersama sama serempak mulai menyusun dari atas hingga ke bawah atau dari yang tertua hingga yang muda. Tidak ada perbedaan menu masakan untuk sajian saprahan antara rakyat biasa, pimpinan, dan pemuka-pemuka masyarakat duduk menghadap sajian saprahan, makan dengan teratur, sopan, dan beradat. C. Bentuk Saprahan Melayu Sambas Bentuk saprahan ada dua macam yaitu saprahan memanjang dan saprahan pendek. Saprahan memanjang yaitu sajian makanan disajikan di atas kain yang memanjang sepanjang ruangan yang disiapkan tempat acara jamuan. Tamu duduk berhadapan diruangan yang disiapkan. Saprahan bentuk memanjang ini sudah tidak di adakan dan tidak ada lagi di Kabupaten Sambas. Inilah perbedaan saprahan yang ada di Kabupaten Sambas dengan kabupaten lainnya. Saprahan pendek yaitu membentangkan kain saprahan ( alas ) ukuran pendek 1 x 1 meter saja dan di atasnya hamparan tersebut diletakkan sajian makanan yang akan disantap oleh para tamu undangan. Tiap saprahan pendek ini dihadapi oleh 6 orang setiap saprahan dengan cara duduk melingkari saprahan. Saprahan bentuk pendek inilah yang masih dilaksanakan oleh masyarakat di Kabupaten Sambas hingga sekarang ini. D. Jenis-jenis Saprahan Melayu Sambas Dari bentuk saprahan pendek, pengaturan penyajian saprahan sampai sekarang ada tiga jenis yaitu saprahan bulat, saprahan membujur dengan alas saprah, dan saprahan membujur dengan alas baki. Saprahan bulat adalah saprahan diatas hamparan kain saprah 1x1 meter. Ditengah kain saprahan itu diletakkan pinggan saprah tempat nasi dan dikelilingi oleh lauk pauk dan diteruskan dengan pinggan nasi. Di ujung sebelah depan diletakkan batil dan gelas tempat mencuci tangan sebelum makan. Dan disebelah belakang diletakkan air minum. Saprahan membujur dengan alas saprah adalah saprahan dengan beralaskan kain saprah 1x1 meter. Ditengah alas kain ini diletakkan lauk pauk dalam piring lauk. Di ujung saprahan atau pada ujung saprahan diletakkan pinggan saprah dan bergandengan dengan air cuci tangan didalam batel atau tempat air. Disamping piring lauk diletakkan pingganpinggan tempat nasi yang akan diisi nasi dan lauk-lauk sesuai dengan selera dan keinginan dari para tamu yang sedang menyantap masakan yang disajikan dihadapannya. Pada ujung sekali diletakkan dan disusun cawan atau gelas air minum sebanyak 6 buah. Saprahan membujur dengan alas baki dilaksanakan dengan pinggan saprah tempat nasi diletakkan di atas sekali bergandengan dengan batel air cuci tangan diikuti dengan baki besar yang berisi lauk pauk sajian yang diletakkan pinggan tempat mengambil nasi dan laukpauk di tengah-tengah. Dikiri kanan baki lauk diletakkan,lauk pauk sebanyak 6 macam, dan diujung diletakkan baki cawan atau gelas air minum. E. Macam-macam Saprahan dan Menunya dalam Masyarakat Melayu Sambas Macam-macam hidangan saprahan ada tiga yaitu saprahan sehari-hari, saprahan hari kaccik (hari turun naik), dan saprahan hari besar. Saprahan sehari-hari berupa masakan biasabiasa saja yang ada sehari-hari. Saprahan hari kaccik (hari turun naik) berupa sayur kampung, umbut kelapa, ikan asin, pedak caluk, sambal, dan tulang-belulang. Saprahan hari besar berupa masak putih ayam atau daging sapi, semur daging ayam atau daging sapi, sambal goreng hati dan kentang, goreng ayam, pacri nenas atau terung, telur asin, dan acar. F. Peralatan Saprahan Melayu Sambas Nama peralatan yang biasa digunakan dalam acara saprahan. Tarup yaitu tempat menampung tamu yang datang diundang. Emper-emper yaitu tempat menyusun piring lauk yang telah diisi masakan dan pinggan saprah yang diisi dengan nasi. Pitadang yaitu tempat
470
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
berkumpulnya ibu-ibu dalam membantu menggiling rempah atau membuat bumbu masakan untuk acara pesta. Kawah yaitu kuali besar untuk memasak nasi atau lauk pauk yang banyak. Tungkuk yaitu tempat meletakkan kuali atau kawah waktu memasak. Baki yaitu baki besar untuk membawa piring lauk, dan baki kecil untuk membawa cawan atau gelas air minum. Mogul yaitu tempat memasak air minum. G. Simpulan Saprahan adalah salah satu adat budaya Melayu Sambas dalam acara pesta. Makna dari saprahan melambangkan rasa kebersamaan dan rasa kegotong royongan dengan falsafat berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, berdiri sama tinggi, duduk sama rendah.hidangan sajian yang terhidang dihadapan disantap bersama-sama berkelompo, membentuk lingkaran. Kelengkapan dalam saprahan terdiri dari kain saprah berukuran 1x1 meter, batil, dan gelas air minum, sebuah pinggan saprah atau tempat nasi, piring tempat lauk atau menu, cawan bertudung, sendok nasi, sendok lauk,baki besar untuk mengangkat lauk, baki kecil untuk mengangkat cawan air minum, sarbet 1 buah untuk lap tangan ketika selesai menyantap sajian. Adapun jenis saprahan ada 3 yaitu saprahan bulat, saprahan membujur dengan alas saprah, saprahan membujur dengan alas baki. Dalam saprahan ada juga terdapat macammacam saprahan yaitu saprahan sehari-hari, saprahan hari kaccik, sajian hidangan hari besar. Dalam sebuah pesta banyak hal yang perlu dipersiapkan yaitu bepinjam, beramu, begilling, merancap, bekaut menyiapkan sajian, bebasuk, mulangkan barang. Hal ini tidak lepas dari terbentuknya kepanitiaan. Selain itu ada juga terdapat tingkat kelompok saprahan yang terdiri dari saprahan sangat sederhana,saprahan sederhana, saprahan acara pesta. H. Saran Kebudayaan dan adat istiadat setiap daerah berbeda-beda dan mempunyai ciri khas yang bermacam-macam. Dalam adat kebudayaan Melayu Sambas ini sangat membawa pengaruh besar bagi masyarakat apabila tidak dilestarikan dan dijaga dengan baik. Kebudayaan daerah sangat mengandung nilai-nilai luhur yang sangat wajib dipertahankan, dikembangkan, dan dilestarikan dengan mengenalkannya pada generasi penerus dan pada masyarakat untuk mengetahui sistem budaya daerah yang sangat banyak dan beraneka ragam. I. Daftar Pustaka S, Arpan. 2009. Saprahan Adat Budaya Melayu Sambas. Sambas: Arpan. Depdikbud. RI. 1994. Adat Istiadat Kalimantan Barat. Pontianak: Depdikbud.
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
471
WACANA KARAKTERISTIK PEMUDA BANGSA DALAM PUISI “UCAPKAN KATA-KATAMU” KARYA WIJI THUKUL Alfian Setya Nugraha Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Hasyim Asyari Jombang
[email protected] Abstract
The character is a way of thinking and behaving that characterizes each individual to live and work, both in the scope of the family, community, nation and state. Individuals of good character is an individual who can make decisions and be ready to account for any consequences of decisions he made (According to DG MandikdasmenMinistry of National Education). Character is needed to build and establish a state. The character also is the basis for a nation’s life, to shape the lives of young souls need the requirement of morals and good behavior so that life in a state will be realized. Strengthening moral education (moral education) or character education (character education) is very relevant in the present context to address the moral crisis that has engulfed our country. Such crisis in the form of increased promiscuity, rampant violence numbers of children and adolescents, crimes against friend, teen theft, cheating habits, drug abuse, pornography, and the destruction of property of others has become a social problem that until now has not been able to completely resolved, therefore, the importance of character education. In the poem “Ucapkan Kata-katamu” works Wiji Thukul is one of the means to realize the character of the youth for the betterment of the nation and state of Indonesia in particular, and other countries in general.
A. Pendahuluan Karakter adalah jawaban mutlak untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik di dalam masyarakat. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan normanorma agama, hukum, tata krama,budaya,dan adat istiadat. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana, prasarana, dan, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah. Negara Indonesia yang besar dan dengan sumber daya alamnya yang melimpah pada dasarnya Indonesia memiliki potensi yang besar untuk menjadi salah satu Bangsa yang maju, bermartabat dan lebih baik dari saat ini, dan itu semua dapat terwujud tentunya dengan dukungan sumber daya manusia yang berkualitas, kreatif dan memiliki visi yang jelas dan terarah untuk kemajuan Bangsa. Untuk memenuhi tujuan terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas tentunya pendidikan adalah faktor terpenting yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada pasal 3 (tiga) yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.Tujuan dari pendidikan nasional tidak saja hanya mencetak sumber daya manusia yang cerdas akan tetapi juga mampu mencetak kepribadian yang berkarakter, berakhlak, kreatif, memiliki misi visi dan bertanggung jawab serta sebagai warga negara yang baik. Kesuksesan seseorang tidak pernah lepas dari potensi yang dimiliki oleh orang tersebut, potensi dalam arti tidak saja berbicara tentang skil akan tetapi meliputi kemampuan seseorang mengimplementasikan potensi yang dimiliki untuk orang banyak, kemampuan mengelola diri dan orang lain.
472
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000) mengungkapkan bahwa kemampuan teknis (Hard Skill) hanya memberikan kontribusi sekitar 20% terhadap kesuksesan seseorang, selebihnya sekitar 80% kesuksesan seseorang ditentukan oleh soft skill dan itu artinya karakteristik seseorang memiliki porsi yang lebih besar sebagai penentu sukses tidaknya seseorang dimana karakteristik seseorang sangat dipengaruhi oleh kualitas pendidikan karakter yang ia serap. B. Landasan Teori 1. Teori Wacana Micheal Foucault Wacana mengacu pada aspek-aspek evaluatif, persuasif, atau retoris dari suatu teks, yang dipertentangkan dengan aspek-aspek seperti menamakan, melokasikan, atau mengisahkan karena terkait dengan produksi sosial (Kris Budiman 1999: 121). Dalam hal ini, Eriyanto juga mengatakan hal yang serupa. Dalam pandangan Eriyanto (2008:65), wacana dapat dideteksi secara sistematis karena ada ide, opini, konsep, dan pandangan hidup yang ditransformasikan untuk mengarahkan cara berpikir dan bertindak. Wacana ini mendistribusikan suatu konsep untuk memasukkan arahan dengan tujuan terjadi pola-pola tertentu yang terpengaruh. Wacana mengkonstruksi seseorang ke dalam suatu keadaan untuk menjalin relasi sehingga pemikirannya sesuai dengan konsep yang ada di dalam wacana itu sendiri. Pada akhirnya, wacana membentuk “kuasa” karena adanya kebenaran-kebenaran yang diyakini oleh seseorang secara individu maupun dalam lingkup komunal. Kata wacana ini memiliki perspektif yang sangat beragam, terkait dengan disiplin tertentu. Dalam pandangan ini, diarahkan mengenai adanya wacana yang membentuk kekuasaan. Penggunaan wacana di sini, lebih untuk menitikberatkan perhatian pada pandangan kritis. Wacana adalah pengetahuan yang memberikan definisi-definisi melalui normalisasi sehingga ketika ditransformasikan akan diyakini sebagai kebenaran oleh masyarakat. Menurut Chris Barker (2008:83), bahwa Micheal Foucault telah menyatukan wacana bahasa dan praktik yang mengacu pada produksi pengetahuan melalui bahasa yang memberikan makna kepada objek matrial dan praktik sosial. Wacana melibatkan adanya konteks untuk diteliti, bukan persoalan bahasa semata. Konteks dalam hal ini sebagai struktur dan sistem yang bergerak dalam praktik sosial. Wacana mengarah pada kekuasaan yang mengontrol pergerakan sosial yang ada. Hal tersebut disebabkan adanya kebenaran di dalam wacana yang diyakini sehingga individu-individu tersebut bergerak berdasarkan arahan wacana. 2. Teori Psikoanalisa Sigmund Freud Psikoanalisa menurut sejarahnya memiliki tiga makna yang berbeda. Pertama, merupakan suatu sistem psikologi Sigmund Freud yang secara khusus menekankan peran alam bawah sadar serta kekuatan-kekuatan dinamis dalam pengaturan fungsipsikis.Kedua, merupakan bentuk terapi terutama sekali yang menggunakan asosiasi bebas serta berpijak pada analisa transferensi dan resistensi, sering kali di pergunakan untuk membedakan antara pendekatan Freudian dari pendekatan Neo-Freudian dalam bidang psikoanalisa yang sesuai (Corsini, 2003:1). Psikoloanalisa dibedakan menjadi tiga arti yang terdapat pada artikel Freud. Pertama, istilah psikoanalisa dipakai untuk menunjukkan suatu metode penelitian terhadap proses-proses psikis (seperti misalnya mimpi) yang sebelumnya hampir tidak terjangkau oleh penelitian ilmiah. Kedua, istilah ini menunjukkan juga suatu teknik untuk mengobati gangguan-gangguan psikis yang dialami pasien-pasien neurotis. Teknik pengobatan ini bertumpu pada metode penelitian tadi. Ketiga, istilah yang sama dipakai pula dalam arti lebih luas lagi untuk menunjukkan seluruh pengetahuan psikologis yang diperoleh melalui metode dan teknik tersebut. Dalam arti terakhir ini kata “psikoanalisa” mengacu pada suatu ilmu pengetahuan yang di mata Freud betul-betul baru (Freud, 1984:13). Dua hal yang mendasari teori psikoanalisa Freud adalah asumsi determinisme psikis dan asumsi motivasi tak sadar. Asumsi determinisme psikis (psychic determinism) meyakini
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
473
bahwa segala sesuatu yang dilakukan, dipikirkan, atau dirasakan individu mempunyai arti dan maksud, dan itu semuanya secara alami sudah ditentukan. Adapun asumsi motivasi tidak sadar (unconscious motivation) meyakini bahwa sebagian besar tingkah laku individu (seperti perbuatan, berpikir, dan merasa) ditentukan oleh motif tak sadar. Freud membagi struktur kepribadian menjadi tiga, dan tiga struktur itu menjadi konsep utama yang ada pada teori psikoanalisa. Perlaku seseorang merupakan hasil interaksi antara ketiga komponen tersebut (Syamsu Yusuf, 2008:35). Konsep-konsep utama yang terdapat di psikoanalisa itu adalah struktur kepribadian yang terdiri dari id, ego, dan superego (Corey, 1997: 15). C. Pembahasan Ucapkan Kata-Katamu jika kau tak sanggup lagi bertanya kau akan ditenggelamkan keputusan-keputusan jika kau tahan kata-katamu mulutmu tak bisa mengucapkan apa maumu terampas kau akan diperlakukan seperti batu dibuang dipungut atau dicabut seperti rumput atau menganga diisi apa saja menerima tak bisa ambil bagian jika kau tak berani lagi bertanya kita akan jadi korban keputusan-keputusan jangan kau penjarakan ucapanmu jika kau menghamba kepada ketakutan kita memperpanjang barisan perbudakan kemasan-kentingan-sorogenen
(wiji thukul, 2004:8) Setiap manusia belajar untuk mengatasi dan memperbaiki kelemahannya, serta memunculkan kebiasaan positif yang baru, inilah yang disebut dengan Karakter. Misalnya, seorang dengan kepribadian Sanguin yang sangat suka bercanda dan terkesan tidak serius, lalu sadar dan belajar sehingga mampu membawa dirinya untuk bersikap serius dalam situasi yang membutuhkan ketenangan dan perhatian fokus, itulah Karakter. Pendidikan Karakter adalah pemberian pandangan mengenai berbagai jenis nilai hidup, seperti kejujuran, kecerdasan, kepedulian dan lain-lainnya. Dan itu adalah pilihan dari masing-masing individu yang perlu dikembangkan dan perlu di bina, sejak usia dini (idealnya). Puisi “Ucapkan Kata-katamu’ karya Wiji Thukul memberikan wacana kepada para generasi muda untuk membentuk atau memiliki karakter yang akan menjadikan mereka dipandang di masyarakat ataupun di dunia. Puisi ini memberikan sebuah inspirasi para pemuda untuk menyuarakan segala pemikiran dan ide-ide untuk kepentingan bersama. Suara yang keluar dari mulut kita secara tidak langsung akan memberikan gambaran tentang diri kita. Kata-kata yang kita ucapkan menandakanbahwa pemuda Indonesia mempunyai karakter yang berani, tegas, dalam konteks kebenaran. Karakter yang dimiliki oleh pemuda bangsa perlu untuk memberikan warna dalam kehidupan berbangsa. Kita sebagai pemuda dan sekaligus warga masyarakat yang berkarakter diharapkan dapat menjadi penyeimbang terhadap kondisi yang ada di negara Indonesia khususnya dan dunia pada umunya. Pemuda-pemuda atau masyarakat yang memiliki karakter diharapkan dapat memberikan perlawanan terhadap peraturan atau kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam berbagai hal. Perlawanan tersebut sebagai penyeimbang
474
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
terhadap peraturan yang dianggap tidak tepat sasaran. “jika kau tak berani lagi bertanya kita akan jadi korban keputusan-keputusan jangan kau penjarakan ucapanmu” (Thukul, 2004: 8). Keputusan- keputusan yang diambil pemerintah terkadang tidak sesuai dengan kondisi yang berada di lapangan. Sebagai contoh kasus di DKI Jakarta beberapa waktu yang lalu, tentang kartu sehat. Pemerintah memberikan subsidi berupa kartu sehat, akan tetapi kondisi di lapangan banyak warga yang masih dipungut biaya untuk berobat. Pembentukan karakter juga terjadi di dunia pendidikan Indonesia. Dunia pendidikan diharapkan sebagai motor penggerak untuk memfasilitasi perkembangan karakter, sehingga generasi bangsa mempunyai kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis dan demokratis dengan tetap memperhatikan sendi-sendi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan norma-norma sosial di masyarakat yang telah menjadi kesepakatan bersama. “Dari mana asalmu tidak penting, ukuran tubuhmu juga tidak penting, ukuran Otakmu cukup penting, ukuran hatimu itulah yang sangat penting” karena otak (pikiran) dan kalbu hati yang paling kuat menggerak seseorang itu ”bertutur kata dan bertindak”. Simak, telaah, dan renungkan dalam hati apakah telah memadai ”wahana” pembelajaran memberikan peluang bagi peserta didik untuk multi kecerdasan yang mampu mengembangkan sikapsikap: kejujuran, integritas, komitmen, kedisipilinan, visioner, dan kemandirian. Sejarah memberikan pelajaran yang amat berharga, betapa perbedaan, pertentangan, dan pertukaran pikiran itulah sesungguhnya yang mengantarkan kita ke gerbang kemerdekaan. Wiji Thukul berkata dalam baris puisinya “kau akan diperlakukan seperti batudibuang dipungutatau dicabut seperti rumputatau mengangadiisi apa saja menerimatak bisa ambil bagian” (Thukul, 2004:8). Kalimat puisi ini mengingatkan kepada sistem kurikulum yang berada di Indonesia. Dalam hal ini kurikulum tahun 2013. Banyak terjadi pro dan kontra terhadap kurikulum tersebut. Banyak yang menilai bahwa kurikulum itu merupakan proses pembodohan dalam bidang pendidikan. Pembodohan tersebut diakibatkan kurikulum yang diterapkan saat ini menyamaratakan proses pendidikan dengan standar nilai. Apabila kita melihat semboyan negara kita yaitu “Bhineka Tunggal Ika” seharusnya kita sebagai bangsa yang mempunyai berbagai macam keahlian dapat disatukan untuk membentuk negara yang sejahtera. Akan tetapi falsafah itu telah dilupakan oleh para pemimpin kita, dengan sistem yang berlaku sekarang akan mempermudah pengendalian sistem dari pusat, akan tetapi kemudahan tersebut telah mengabaikan hakekat keilmuan itu sendiri. Melalui perdebatan tersebut kita banyak belajar, bagaimana toleransi dan keterbukaan para Pendiri Republik ini dalam menerima pendapat, dan berbagai kritik saat itu. Melalui pertukaran pikiran itu kita juga bisa mencermati, betapa kuat keinginan para Pemimpin Bangsa itu untuk bersatu di dalam satu identitas kebangsaan, sehingga perbedaan-perbedaan tidak menjadi persoalan bagi mereka. Perbedaan tersebut sebagai modal dasar sehingga akan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Pendidikan karakter harus digali dari landasan idiil Pancasila, dan landasan konstitusional UUD 1945. Sejarah Indonesia memperlihatkan bahwa pada tahun 1928, ikrar “Sumpah Pemuda” menegaskan tekad untuk membangun nasional Indonesia. Mereka bersumpah untuk berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu yaitu Indonesia. Ketika merdeka dipilihnya bentuk negara kesatuan. Kedua peristiwa sejarah ini menunjukan suatu kebutuhan yang secara sosio-politis merefleksi keberadaan watak pluralisme tersebut. Kenyataan sejarah dan sosial budaya tersebut lebih diperkuat lagi melalui arti simbol “Bhineka Tunggal Ika” pada lambang negara Indonesia. Nilai-nilai karakter bangsa dimulai dari pendidikan informal, dan secara pararel berlanjut pada pendidikan formal dan nonformal. Tantangan saat ini dan ke depan bagaimana kita mampu menempatkan pendidikan karakter sebagai sesuatu kekuatan bangsa. Oleh karena itu kebijakan dan implementasi pendidikan yang berbasis karakter menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka membangun bangsa ini. Hal ini tentunya juga menuntut adanya dukungan yang kondusif dari pranata politik, sosial, dan,budayabangsa.
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
475
“Pendidikan Karakter Untuk Membangun Keberadaban Bangsa” adalah kearifan dari keaneragaman nilai dan budaya kehidupan bermasyarakat. Kearifan itu segera muncul, jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat realitas plural yang terjadi. Oleh karena itu pendidikan harus diletakan pada posisi yang tepat, apalagi ketika menghadapi konflik yang berbasis pada ras, suku dan keagamaan. Pendidikan karakter bukanlah sekedar wacana tetapi realitas implementasinya, bukan hanya sekedar kata-kata tetapi tindakan dan bukan simbol atau slogan, tetapi keberpihak yang cerdas untuk membangun keberadaban bangsa Indonesia. Pembiasaan berperilaku santun dan damai adalah refreksi dari tekad kita sekali merdeka, tetap merdeka. D. Simpulan Karakter tidak bisa diwariskan, karakter tidak bisa dibeli dan karakter tidak bisa ditukar. Karakter harus dibangun dan dikembangkan secara sadar hari demi hari dengan melalui suatu proses yang tidak instan. Karakter bukanlah sesuatu bawaan sejak lahir yang tidak dapat diubah lagi seperti sidik jari.Banyak kita perhatikan bahwa orang-orang dengan karakter buruk cenderung mempersalahkan keadaan mereka. Mereka sering menyatakan bahwa cara mereka dibesarkan yang salah, kesulitan keuangan, perlakuan orang lain atau kondisi lainnya yang menjadikan mereka seperti sekarang ini. Memang benar bahwa dalam kehidupan, kita harus menghadapi banyak hal di luar kendali kita, namun karakter anda tidaklah demikian. Karakter anda selalu merupakan hasil pilihan diri sendiri.Ketahuilah bahwa anda mempunyai potensi untuk menjadi seorang pribadi yang berkarakter, upayakanlah itu. Karakter, lebih dari apapun dan akan menjadikan anda seorang pribadi yang memiliki nilai tambah. Karakter akan melindungi segala sesuatu yang anda hargai dalam kehidupan ini. Setiap orang bertanggung jawab atas karakternya. Anda memiliki kontrol penuh atas karakter anda, artinya anda tidak dapat menyalahkan orang lain atas karakter anda yang buruk karena anda yang bertanggung jawab penuh. Mengembangkan karakter adalah tanggung jawab pribadi anda. Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang.“jika kau menghamba kepada ketakutankita memperpanjang barisan perbudakan”(Thukul, 2004:8) menurut Wiji Thukul pendidikan karakter yang ditanamkan terhadap para generasi muda tersebut apabila telah mencapai keberhasilan, tidak diragukan lagi kalau masa depan bangsa Indonesia ini akan mengalami perubahan menuju kejayaan. Namun,apabila pendidikan karakter ini mengalami kegagalan sudah pasti dampaknya akan sangat besar bagi bangsa ini, negara kita akan semakin ketinggalan dari negara-negara lain. E. Daftar Pustaka Barker, Chris. 2009. Cultural Studies Teori dan Praktek. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Budiman, Kris. 1999. Kosa Semiotika. Yogyakarta: LkiS Corsini,Raymond. 2003.Psikoterapi Dewasa Ini. Surabaya: Ikon Teralitera. Corey, Gerald. 1997. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Refika Aditama. Eriyanto. 2008. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS. Freud,Sigmund. 1984.Memperkenalkan Psikoanalisa Lima Ceramah.Jakarta: PT. Gramedia. Mulyadi, Seto dkk. 2008. Character Building: Bagaimana Mendidik Anak Berkarakter. cetakan I. Yogyakarta: Tiara Wacana. Syamsu Yusuf, dkk. 2008. Teori Kepribadian. Jakarta: Upi dan Remaja Rosdakarya. Wiji Thukul. 2004. Aku Ingin Jadi Peluru. Tangerang: Agro Media Pustaka.
476
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
MEMAHAMI PSIKOLOGI MANUSIA INDONESIA DALAM SASTRA MELALUI PSIKOANALISIS ERICH FROMM Anas Ahmadi Jurusan Bahasa & Sastra Indonesia, Universitas Negeri Surabaya
[email protected] Abstrak Dalam penelitian ini dipaparkan psikologi manusia Indonesia dalam sastra yang dikaji melalui Psikoanalisis Erich Fromm. Data yang digunakan adalah Cerpen Pilihan Kompas 2013. Berdasarkan analisis diperoleh penemuan bahwa (1) manusia Indonesia memunculkan orientasi nekrofilia ke dalam yang tampak dalam cerpen “Alesia” dan (2) manusia Indonesia memunculkan orientasi nekrofilia ke luar yang tampak dalam cerpen “Aku, membunuh Munir.” Kata kunci: psikologi manusia, psikoanalisis, Erich Fromm
A. Pendahuluan Sastra sebagai creatio dari sang homo scriptor di dalamnya --baik dalam konteks ketidaksadaran (unconsciousness) maupun kesadaran (counsciousness)-- terkandung dunia filosofispsikologis, sosiologis dan antropologis. Dunia-dunia tersebut merupakan dunia mikroskopis yang sebenarnya wujud dari dunia makroskopis. Pemunculan dunia tersebut terepresentasikan bentuk laten maupun manifest. Salah satu kajian yang dibahas dalam tulisan ini adalah sastra dalam kaitan nya dengan dunia psikologi. Sastra yang didalamnya terkandung unsur psikologis membuat sastra tersebut tidak kaku dan menjadikannya lebih estetis asal tidak melampaui wilayah kesastraannya (Ahmadi, 2011;2012). Sastra sebagai karya kreatif tidak lepas dari unsur psikologi. Karena itu, jika merujuk konseptualisasi Freud (2001); Jung (1955); Wellek & Warren (1990) Darma (2004;2007);Minderop (2010); Endraswara (2008) sastra dan psikologi memiliki hubungan timbal-balik. Keduanya, saling mengisi dan mencocokkan sehingga muncullah dunia keseimbangan antarkeduanya. Psikologi memberikan kontribusi pada sastra, misalnya kajian psikologi yang masuk dalam ranah sastra (psikologi kepribadian [psikoanalisis, eksistensialis, behavioris, dan humanis], psikologi agama, psikologi antropologi, psikologi perempuan, psikologi seksual, dan psikologi deviasi). Sebaliknya, sastra memberikan kontribusi pada psikologi, misal legenda Oedipus Rex yang dijadikan oleh Sigmund Freud [Sigi] sebagai teori Oedipus Kompleks, Legenda Electra yang dijadikan oleh Carl Gustav Jung sebagai teori Elektra Kompleks, Legenda Narcissus yang dijadikan psike seseorang yang mengganggap dirinya paling tampan (cantik). Cerpen Indonesia sebagai salah satu genre sastra di dalamnya juga memunculkan dunia psikologi, baik konteks pengarang, karya, dan pembaca. Dalam hal ini, cerpen yang dijadikan kajian adalah cerpen Indonesia yang terkumpul dalam Cerpen Pilihan Kompas 2013) terbitan Kompas-Gramedia. Mengapa Cerpen Pilihan Kompas? Ada dua alasan dasar mengapa dipilih Cerpen Pilihan Kompas. Pertama, Cerpen Pilihan Kompas merupakan barometer sastra Indonesia (meski tidak menafikkan Horison [yang konon lebih kanonis], Jawa Pos, Republika) dan Cerpen Pilihan Kompas merupakan cerpen yang dipilih oleh tim juri (Kompas) dalam setiap tahunnya. Dalam satu Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas terdapat 20-an cerpen. Jadi, di antara 48 cerpen yang terkumpul setahun diperas menjadi 20-an. Kedua, cerpen yang termuat dalam Kumpulan Cerpen Kompas memuat sastrawan-sastrawan Indonesia yang begawan, misal Budi Darma, Putu Wijaya, Hamsad Rangkuti, dan Senogumira Ajidarma. Jika ditautkan ke judul, “Memahami Psikologi Manusia Indonesia dalam Sastra melalui Psikoanalisis Erich Fromm”, sepanjang pengamatan belum pernah ada yang membuat kajian jenis ini. Salah satu yang agak dekat dengan kajian ini, misal Manusia Indonesia yang ditulis oleh Mochtar Lubis (2001 [cetak ulang 2008]). Melalui kajian konseptualnya, Lubis memaparkan
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
477
bahwa manusia Indonesia secara tipologis ada tujuh, yakni (1) hipokrit, (2) tidak bertanggung jawab, (3) feodalisme, (4) percaya takhyul, (5) artistik/berbakat seni, (6) lemah watak, dan (7) boros. Kajian Mochtar Lubis tersebut berpijak pada fakta empiris tentang manusia Indonesia pada umumnya. Adapun dalam penelitian ini, ingin mengungkap psikologi manusia Indonesia melalui sastra (Indonesia) berdasarkan pada perspektif psikoanalisis Erich Fromm. Sumber data yang digunakan, yakni (1) Kumpulan Cerpen Kompas 2010; (2) Kumpulan Cerpen Kompas 2012; dan (3) Kumpulan Cerpen Kompas 2013. Untuk lebih spesifik, cerpen yang digunakan adalah cerpen yang dijadikan judul buku Kumpulan Cerpen Kompas, yakni “Dodolitdodolibret (2010)”, Dari Selawat Dedaunan sampai Kunang-kunang di Langit Jakarta (2012)”, dan “Klub Solidaritas Suami Hilang (2013)”. Psikologi yang digunakan dalam penelitian ini, yakni Psikoanalisis Erich Fromm. Pumpunannya ditukikkan pada teori [konsep] nekrofilia. Dipilihnya psikoanalisis Erich Fromm sebab Fromm lebih filosofis dalam memandang psikologis atau dikenal dengan julukan filsuf-psikoanalisis, (Fromm, 1996). Dengan demikian, analisis psikologisnya lebih soft sebab dihubungkaitkan dengan filsafat. Berbeda halnya dengan teman semarganya, Carl G. Jung yang lebih pada psikoanalisis-mistis, Freud yang lebih pada pan-seksis, Erikson yang mengarah pada psikososial, Karen Horney yang lebih mengarah pada neurotika, dan Adler yang mengarah pada individualism. Nekrofilia berasal dari bahasa Yunani, nekros yang artinya jasad, mayat, ataupun penghuni kubur. Dalam konteks mikroskopis, nekrofilia adalah pecinta mayat (real ataupun imajiner). Dalam konteks makro, nekrofilia bercirikan ketertarikan tertentu pada bau-bau yang tidak sedap, kebusukan, kegelapan, kemuraman, kekumuhan, kekurangmenyenangkan, kedengkian, kejorokan, dan kedestruktifan (Fromm, 1955; 1996; 2000; 2002; Hall & Linzey, 1990Maramis, 2008;Caplin, 2009;Reber & Reber, 2010). Pemikiran Fromm tentang nekrofilia ini tidak jauh beda dengan insting kematiannya Sigmund Freud. Bedanya, Fromm mengaji dalam konteks yang lebih berorientasi holistis, sedangkan Freud lebih berorientasi pada ranah yang individual. B. Pembahasan Pada cerpen “Alesia” karya Sungging Raga dikisahkan seorang anak yang memunculkan riak nekrofilia. Ia sudah sedih dengan segala tetek-bengek kehidupannya. Karena itu, ketika sang malaikat akan mengambil nyawa sang ibu, ia ingin nyawanya terlebih dahulu diambil oleh malaikat. Lantas ia menusukkannya, ke arah perutnya sendiri. Sang malaikat menoleh ke arah gadis itu. “Apa yang kamu lakukan?”
(Raga, 2013).
Kegelisahan, ketakutan, dan kesedihan yang dipikirkan oleh si Alesia, membuat dirinya melirik dunia kematian. Hasrat (desire) muncul dalam dirinya secara perlahan, tapi pasti dan menuntun dirinya menunju sang malaikat kematian. Kecintaannya pada kematian benar-benar dibuktikan oleh Alesia ketika ia menusuk perutnya dan ia mengatakan pada si Malaikat bahwa dia memang ingin mati. Dalam pandangan Fromm, seseorang yang merindukan kematian memiliki orientasi destruktif daripada konstruktif sebab dia lebih memilih hasrat kematian. Jika seseorang memiliki orientasi pada konstruktif, ia akan mengarah pada tipe biofilia, manusia yang mencintai kehidupan. Hawa biofilia adalah hawa positif, sedangkan hawa nekrofilia adalah hawa yang negatif. Dalam hal ini, Alesia sebagai sosok yang berorientasi pada nekrofilia mengarahkan kenekrofiliaannya itu ke dalam, bukan ke luar. Karena itu, dia mendestruksi dirinya sendiri, bukan orang lain. Pada cerpen berjudul “Aku, Membunuh Munir” karya Senogumira Ajidarma dikisahkan (fakta plus fiksi) tentang peristiwa pembunuhan Munir. Sosok Munir dalam dunia nyata adalah sosok wartawan Bernas yang meninggal dunia dan konon ia mati diracuni
478
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
tatkala berada di pesawat. Dalam konteks cerpen ini, sang pembunuh Munir mengakui bahwa ia telah membunuh Munir. Tentu, tentu aku tidak membunuhnya dengan tanganku sendiri. Untuk apa? Aku bisa membunuhnya melalui tangan orang lain, sama seperti yang biasa kulakukan kepada orang-orang lain bilamana perlu (Ajidarma, 2013). Sang pencerita dalam cerpen ini adalah sang pembunuh Munir. Ia mengakui bahwa ia membunuhnya. Dengan demikian, tampak eksplisit bahwa ia adalah orang yang berorientasi pada nekrofilia. Terlepas dari dia menyukai pembunuhan itu, terpaksa melakukan pembunuhan itu, ataupun tidak menyukai pembunuhan itu. Yang jelas, ia telah membunuh Munir, meski tidak melalui tangannya sendiri. kedestruktifismeannya dimunculkan tatkala hasrat untuk membunuh itu muncul. Dalam konteks ini, pikiran-pikiran yang berkelijatan dalam diri seseorang terkait dengan pembunuhan secara implisit mengarah pada nekrofilia. Ya, sejak tahun 1998 itulah kamu telah menantangku. Kamu bongkar kenyataan adanya orang hilang, kamu dorong mereka yang telah dilepaskan untuk bicara, setelah susah dan payah dilakukan intimidasi terhadap para aktivis ingusan itu. Huh! Tapi, ya tidak usah dibongkar-bongkar dong! Eh, nyap-nyap! Asal tahu saja Munir, bukan aku, tapi kamulah yang memutuskan agar sisanya hilang selamanya (Ajidarma, 2013). Bahasa-bahasa yang sarkastis yang dimunculkan oleh sang pembunuh Munir semakin menunjukkan bahwa dia adalah sosok nekrofil. Tidak hanya pikiran tentang kenekrofiliaan, tetapi ia juga memunculkan tindakan (action) sebagai pembunuh meski bukan tangan pertama, dan bahasa memunculkan bahasa yang bergaya nekrofil. Orientasi nekrofilia yang muncul dalam cerpen ini adalah nekrofilia ke luar sebab ia (sang pembunuh) membunuh sosok Munir Melalui sebuah sastra kita bisa melihat masyarakat, baik filosofi, psikologi, sosiologi, ataupun antropologinya. Hal ini memang tidak lepas dari ungkapan bahwa sastra adalah dunia ‘kecil’ masyarakat dunia nyata. Karena itu, kita juga bisa melihat psikologi manusia Indonesia melalui sastra (cerpen) Indonesia. Jika merujuk pada dua cerpen yang sangat kuat memunculkan dominasi nekrofilia tampak bahwa sebenarnya manusia Indonesia tidak jauh berbeda dengan gambaran tersebut. Percaya atau tidak, diakui atau tidak, kisah Alesia dalam cerpen “Alesia” sebenarnya menggambarkan kehidupan sosok anak kecil Indonesia yang hidup tanpa asuhan sang ayah (sebab ayahnya kerja di luar negeri), sedangkan ibunya sakit-sakitan. Untuk biaya pengobatan sang ibu, uang keluarga tidak mencukupi. Yang bisa dilakukan oleh keluarga ini adalah menunggu kematian sang ibu (meski menunggu kematian bukan sebuah keinginan sebab semua pasti mati). Akhirnya, yang terjadi adalah kehidupan yang muram, petang, gelap, dan dalam ke-absurd-an yang berderetan dengan ke-absurd-an yang lain. Karena itu, sosok Alesia ingin bunuh diri. Bunuh diri yang dilakukan oleh perempuan kecenderungan tidak lepas opresi sebab perempuan lebih mengarah pada orientasi opresi (oppressive) daripada agresi (aggresion) (Ahmadi, 2013). Keinginannya itu, tampaknya tak sebatas esensi, tapi juga eksistensi. Ia pun bunuh diri fisik. Itulah nekrofilia ke dalam yang dilakukan oleh manusia Indonesia. Adapun cerpen “Aku, Pembunuh Munir” menunjukkan bahwa manusia Indonesia itu tak suka dengan ketransparasian. Karena itu, ketika ada sosok Munir yang berusaha memperjuangkan demokrasi dan transparansi. Ia digilas, ditumbangkan, dan dibunuh. Untuk membunuhpun sang pembunuh tidak menggunakan tangannya sendiri. Istilah jawanya, nabok nyilih tangan. Logikanya, apakah sang pembunuh ini penguasa/pejabat. Entahlah! Sebab orang ini tangannya tidak mau kotor oleh darah dari orang yang dibunuh. Fenomena ini kental
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
479
dengan nekrofilia. Ya, nekrofilia yang mengarah ke luar. Apakah manusia Indonesia memang lebih cenderung pada nekrofilia yang mengarah ke luar sebab konon banyak orang hilang setelah sebelumnya memperjuangkan HAM atau lidahnya agak tajam mengritik? Inilah sisi lain manusia Indonesia, nekrofilia. C. Simpulan Bertolak dari paparan di muka dapat disimpulkan bahwa Cerpen Pilihan Kompas 2013 yang dominan memunculkan orientasi nekrofilia, yakni cerpen “Alesia” dan “Aku, Pembunuh Munir”. Pemunculan nekrofilia dalam cerpen-cerpen tersebut, dalam konteks psikologis, bisa secara sadar ataupun nirsadar. Namun, sadar ataupun nirsadar sang pengarang tetap memunculkan bahwa manusia Indonesia memiliki jiwa-jiwa nekrofilia. Jiwajiwa kenekrofiliaan tersebut jika tidak diberangus, kata Erich Fromm akan menghancurkan sebuah bangsa. D. Daftar Pustaka Ahmadi, Anas. 2011. Sastra dan Filsafat. Surabaya: Unesapress. __________. 2012. Sastra Lisan dan Psikologi. Surabaya: Unesapress. __________. 2013. “Perempuan Agresif dan Opresif dalam Antologi Cerpen Kompas 2013: Tinjauan Psikologi-Jender”. Dalam Jurnal Lentera 10/1, hlm. 67—74. Caplin, J. 2009. Kamus Psikologi. Terj. Jakarta: Grafiti. Darma, B. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa. _________. 2007. Sastra, Moral, dan Kreativitas. Surabaya: Unesapress. Davison,G.C. dkk. 2010. Psikologi Abnormal. Jakarta: Grafiti. Endraswara, E. 2008. Psikologi Sastra. Yogyakarta: Media Pressindo. Fromm, Erich. 1955. The Sane Society. New York: Printing History. __________. 1996. Revolusi dan Harapan. Terj. oleh Kamdani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar __________. Akar Kekerasan: Analisisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia. Terj. oleh Imam Muttaqin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. __________. Cinta, Seksualitas, Matriarkhi, dan Gender. Ter. Yogyakarta: Jalasutra. Hall, CS & Linzey, G. 1990. Teori-teori Psikodinamik Klinis. Terj. Yogyakarta: Kanisius. Jung C. Gustav. 1955. The Archetypes and the Collective Unconscious. London: Routledge. Maramis, J. 2008. Ilmu Kedokteran Jiwa.Jakarta: Erlangga. Minderop, A. 2010. Psikologi Sastra. Jakarta: YOI. Reber, A.S. & Reber, E. 2010. Kamus Psikologi. Terj. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Lubis, M. 2008. Manusia Indonesia. Jakarta: YOI. Wellek, R. & Warren, A. 1990. Teori Kesusastraan. Terj. Jakarta: Gramedia.
480
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
AKU BERHUMOR MAKA AKU ADA: IDENTIFIKASI DIRI TOKOH LUPUS DALAM CERITA SERIAL LUPUS KECIL Ari Ambarwati Universitas Islam Malang
[email protected] Abstrak
Artikel ini memaparkan humor sebagai alat identifikasi diri. Humor membangkitkan kesenangan pada partisipannya. Tidak ada yang lucu secara natural. Humor memicu senyum dan tawa melalui proses penerimaan dan negosiasi antarpartisipan. Negosiasi juga muncul dalam cerita anak yang bermuatan humor. Wacana humor dalam Cerita Lupus Kecil digunakan sebagai arena mengonstruksi identitas diri sang tokoh. Tokoh Lupus memanipulasi dan menggunakan beberapa modus humor untuk mengukuhkan identitas dirinya sebagai anak yang cerdas dan disukai banyak orang. Kata Kunci: identifikasi diri, wacana humor
A. Pendahuluan Humor adalah salah satu bentuk permainan (Wijana, 1994:2). Sebagai homo ludens (manusia bermain), manusia adalah mahluk yang suka bermain-main. Bermain adalah kegiatan yang menyenangkan bagi anak-anak, juga orang dewasa. Bahkan, bermain adalah sebagian dari proses belajar. Melalui permainan, kreativitas anak dibangkitkan, dirangsang dan dikembangkan. Melalui permainan juga seorang anak dipersiapkan menjadi bagian dari anggota masyarakat. Humor disajikan dalam berbagai bentuk, seperti dongeng, teka-teki, puisi rakyat, nyanyian rakyat, tembang dolanan, julukan, karikatur, kartun, nama tempat dan bahkan nama makanan yang mengundang tawa. Anandjaja (1989:498) menyatakan bahwa humor dalam masyarakat, baik yang bersifat erotis, maupun protes sosial, berfungsi sebagai pelipur lara. Hal ini disebabkan karena humor dapat melepaskan ketegangan batin yang menyangkut ketimpangan norma masyarakat yang dapat dikendurkan melalui canda dan tawa. Lebih jauh, Danandjaja menyatakan bahwa dalam situasi masyarakat yang sedang terpuruk, humor berperan besar melepaskan ketegangan yang dialami oleh suatu masyarakat (1989:16). Humor dapat membebaskan manusia dari kecemasan, kebingungan, kekejaman, dan kesengsaraan., sehingga manusia dapat mengambil tindakan atau keputusan yang lebih bijaksana. Sebagai wacana kritik sosial, humor dapat ditemui di dalam berbagai media cetak, seperti surat kabar, majalah, dalam bentuk kartun, artikel ringan, atau juga cerita-cerita humor. Humor tidak saja dikonsumsi oleh orang dewasa tetapi juga anak-anak. Salah satu karya cerita anak-anak bermuatan humor dapat dijumpai dalam serial cerita anak-anak yang ditulis oleh Hilman Hariwijaya dan Boim, berlabel Lupus Kecil. Serial Lupus merupakan novel remaja yang diangkat dari cerpen-cerpen Lupus di majalah Hai pada tahun 1986 (Kejarlah Daku, Kau Kujitak) yang kemudian menjadi best sellers. Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 1989, terbit serial Lupus kecil pertama, yang berjudul Lupus Kecil. Serial Lupus kecil terdiri dari 13 judul, yang terbit dalam rentang waktu yang cukup panjang, yakni antara 1989-2003. Pada Juni 2013 penerbit Gramedia kembali menerbitkan serial Cerita Lupus Kecil. Objek yang akan dikaji pada makalah ini adalah wacana humor dalam teks cerita-cerita serial Lupus Kecil. Tujuan penelitian ini adalah memahami serta mengeksplorasi pengetahuan tentang aspek dan fungsi humor yang digunakan oleh tokoh dalam serial Lupus Kecil melalui ancangan studi wacana kritis, khususnya pendekatan SWK milik James Paul Gee, yakni Wacana (dengan huruf kapital W).
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
481
B. Topik Bahasan Topik bahasan dalam makalah ini adalah identifikasi diri tokoh Lupus melalui humor. Tokoh Lupus dalam serial Lupus Kecil adalah seorang anak berusia tujuh tahun, duduk di kelas 1 Sekolah Dasar. Ia digambarkan cerdas dan humoris. Lupus seorang anak periang, mempunyai seorang adik perempuan bernama Lulu. Karakternya yang periang dan suka bercanda membuat Lupus banyak mendapatkan pengalaman menyenangkan maupun sebaliknya. Humor, baik verbal maupun nonverbal, pada dasarnya merupakan rangsangan spontan untuk memancing tawa penikmatnya. Menurut Apte (1985:15), tertawa dan tersenyum adalah merupakan indikator yang paling jelas bagi pengalaman atau penikmatan humor (humor experience). Ada tiga teori yang berusaha menyingkap esensi humor, di antaranya adalah teori pembebasan (relief theory), teori pertentangan (theory of conflict), dan teori ketidaksejajaran (incongruity theory). Teori pembebasan memandang humor sebagai alat pembebasan dari sesuatu yang menyakitkan atau menakutkan (Wijana: 1994:22). Ekspresi terbebas dari sesuatu yang menyakitkan tersebut bisa berupa tawa. Ekspresi tawa muncul bila sesuatu yang diharapharapkan secara tiba-tiba tidak menjadi kenyataan. Adapun yang muncul adalah hal-hal sepele yang tidak diduga-duga (unexpectedly trivial). Teori humor kedua adalah teori pertentangan. Teori ini berpandangan bahwa humor merupakan pertentangan antara dua kekuatan, yakni kekuatan untuk maju dan kekuatan untuk mundur (Wijana: 1994:24). Pertentangan dalam humor sebagai sesuatu yang mengandung ambivalensi yang mengacu pada dua konflik yang berbeda. Teori ketiga yang berusaha menyingkap esensi humor adalah teori ketidaksejajaran. Teori ketidaksejajaran mengacu pada pengaruh humor terhadap persepsi pikiran pembaca atau pendengarnya (Wijana, 1994:27). Dikatakan bahwa humor secara tidak kongruen menyatukan dua makna atau penafsiran yang berbeda ke dalam satu objek yang kompleks. Secara verbal, dua hal atau konsep yang tidak kongruen itu dihubungkan dengan bentuk lingual yang sama. Tiga teori tersebut akan digunakan untuk mengetahui aspek humor yang muncul dalam cerita serial Lupus Kecil. Selanjutnya, temuan tersebut akan ditelaah melalui satu piranti teoritis SWK (Studi Wacana Kritis) Gee yaitu Wacana. Penelitian ini mengaji wacana humor yang terdapat dalam cerita-cerita Lupus Kecil. Berdasarkan fokus yang dipilih, jenis penelitian ini merupakan penelitian analisis teks. Penelitian ini akan menganalisis teks yang terkandung dalam sebuah karya sastra dalam hal kumpulan cerita pendek dan novelet serial Lupus Kecil dengan menggunakan sumber-sumber pustaka yang berkaitan dengan fokus yang akan dianalisis. Wacana tampak dalam cara berbicara, cara membaca/menulis, bersikap, berinteraksi, memberi penilaian, berpikir, merasakan sesuatu, berpakaian, dalam relasinya dengan orang lain, melalui beragam objek, piranti, maupun teknologi sehingga menghasilkan sikap khusus yang dapat diidentifikasi sebagai identitas sosial. Misalnya seperti identitas “siswa yang baik”, “dokter yang berkompeten”, “polisi yang tangguh”. Dalam kajian ini, humor yang dilontarkan oleh tokoh Lupus dikaji untuk mengetahui konstruksi serta identifikasi dirinya. Bagaimana ia menempatkan dirinya sebagai anak dari ibu dan ayahnya, kakak dari adiknya (Lulu), serta anggota dari komunitas publik yang lebih besar (sahabat, murid SD, anggota masyarakat). Kajian tersebut dibangun melalui tujuh pertanyaan tentang beberapa potongan bahasa dalam penggunaan (language in use)—baca: cuplikan narasi, dialog atau monolog dalam teks serial Lupus Kecil. Tujuh pertanyaan tersebut menurut Gee dalam Rogers adalah seven building tasks, yaitu: signifikansi, aktivitas (praktik), identitas, keterhubungan, politik, koneksi, dan sistem tanda dan pengetahuan (2011:30). Signifikansi adalah penggunaan bahasa dengan cara tertentu. Tidak ada hal yang istimewa sampai manusia membuat hal tersebut menjadi istimewa, demikian pula dengan bahasa. Bahasa bisa menjadi penanda siapa yang menuturkan dan memproduksi. Bahasa dapat menunjukkan aktivitas atau praktik yang tengah dikerjakan seseorang. Apakah ia sedang memohon, menyuruh orang lain melakukan tindakan untuknya, melarang, dan sebagainya.
482
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
Bahasa yang diproduksi seseorang merepresentasikan peran yang sedang dimainkannya. Penggunaan bahasa mengindikasikan keterhubungan (relationship) antarpartisipan yang terlibat dalam percakapan. Keterhubungan tentu terikat dengan konteks dan hal-hal lain yang melalui suatu percakapan. Konstruksi bahasa seseorang bisa jadi akan melahirkan situasi tertentu di mana distribusi perangkat-perangkat sosial mempunyai andil (politik). Ada dominasi, status sosial dan kekuasan yang tengah dimainkan. Hal-hal di dunia dapat dilihat terkoneksi dan berhubungan satu dengan yang lainnya. Jika kita berbicara tentang dunia ketiga, misalnya, yang terbayang adalah kondisi sosial dan ekonomi yang tertinggal serta sumber daya manusia yang rendah, khususnya secara intelektual. Penggunaan bahasa tertentu dapat membangun atau memorak-porandakan sistem tanda (sistem komunikasi) serta cara untuk mengetahui dunia. Ada banyak bahasa yang berbeda di dunia, demikian pula dialek dan ragam bahasa yang dimiliki masing-masing komunitas ataupun profesi tertentu. Kerangka kajian ini dibatasi dalam teks Cerita Lupus Kecil. Dari kajian ini diharapkan dapat ditemukan pola identifikasi diri tokoh Lupus. C. PEMBAHASAN Bahasa yang digunakan dalam cerita serial Lupus Kecil adalah bahasa informal. Teks dalam cerita ini lebih banyak ditulis dengan gaya tutur lisan dan cenderung mencerminkan gaya tutur keseharian anak-anak yang tidak mengindahkan pola kalimat baku. Seperti contoh berikut ini. (i)Lupus? Iya, Lupus. Anak yang punya rambut tebal, bermata bulat, punya hidung lucu itu bernama Lupus.Kata dia, gampang kok ngenalnya. Kalau kamu jalan-jalan terus ketemu anak kecil dan kamu tanya namanya, dia menjawab “Lupus”, nah berarti dia itu Lupus. (Lupus Kecil, 1989:13) (ii)Bosan bermain-main di depan, Lupus pun masuk kembali ke dalam rumah. Tapi ternyata ibunyabelum selesai membuat kue.Uh, kok lama sekali, ya?Biasanya nggak gini-gini amat? Lupus memang tak tahu kalo ibunya di dapur tengah dalam kesulitan menerjemahkan resep kue yang berbahasa Prancis. Ibu Lupus sedang menduga-duga, apa kalo bikin kue Prancis garamnya harus garam Prancis, bukan garam Inggris?(Lupus Kecil, 1989:14).
Kutipan di atas menunjukkan kesan yang ingin dibangun dalam cerita Lupus adalah santai dan akrab. ‘Pemindahan’ kata kalau yang baku menjadi kalo, tidak menjadi nggak, begini menjadi gini-gini dalam narasi Lupus mengindikasikan suasana informal yang kuat. Pilihan menggunakan kata-kata nonbaku dalam cerita ini menguatkan pesan bahwa cerita ini ditujukan untuk membangun kedekatan dengan anak-anak usia sekolah dasar yang baru belajar bagaimana seharusnya mengembangkan sikap dalam berinteraksi dengan orang lain. Pernyataan di atas bisa dikategorikan sebagai kajian terhadap fonologi karena berkaitan dengan bunyi dan pola-pola bunyi yang diujarkan. Santosa menyatakan bahwa bunyi dan pola-pola bunyi berkorelasi dengan stratifikasi dan kelas sosial dalam masyarakat (2012:161). Dalam konteks ini, pilihan bahasa informal dalam cerita Lupus memberi penegasan lebih mementingkan jalinan keakraban dalam berinteraksi dengan menyederhanakan kata-kata baku menjadi lebih mudah diucapkan dan easy listening (mudah didengar/dipahami). Secara signifikan, pilihan bahasa nonbaku yang digunakan mengindikasikan sosok Lupus yang masuk dalam kelompok sosial common children (anak-anak kebanyakan/anakanak pada umumnya). Anak-anak yang baru menginjak bangku sekolah dasar dengan warisan sikap dan gaya bicara saat masih di taman kanak-kanak, yaitu cenderung memakai gaya bahasa santai, informal dan berorientasi pada dirinya sendiri (ego centries). Bahasa nonformal, santai dan cenderung memancing tawa orang lain yang dipakai Lupus menunjukkan identitas dirinya sebagai anak periang, cerdas dan kritis menghadapi situasi yang tidak menguntungkan dirinya. Mari kita cermati monolog dan dialog berikut ini (Lupus sedang berakting menjadi penyiar radio untuk menghibur adiknya, Lulu.
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
483
(iii) “Di stadion utama Senayan, sejak kemarin sore hingga pagi hari tidak ada yang bermain sepak bola, hingga saya tidak tahu berapa golnya dan siapa wasitnya……Nah sekarang acara siaran berita sudah habis saudara-saudara, kini kita masuki acara Taman Indria bersama Bu Kasur. Adduuuh tapi sayang sekali, acara ini tak dapat disiarkan, lantaran kasurnya masih dijemur… Tepat saat Lupus mengakhiri siaran beritanya, terdengar suara bel tamu berdentang. “Ibu pulaaaang,,,” teriak Lulu….Tapi Lupus tetap di tempatnya, sampai kedua orang tuanya muncul dari pintu depan. “Aduh, Lupus! Apa-apaan ini? Kenapa radio Bapak jadi berantakan begini,” seru bapaknya ketika melihat radionya tergeletak tak berbunyi di lantai. “Pasti kamu yang merusaknya ya?Ayo kemari!!!” “Saudara-saudara,” Lanjut Lupus tenang,”Ini baru berita penting…” (Lupus Kecil, 1989:35-36).
Lupus memosisikan dirinya sebagai anak yang periang yang suka menghibur orang lain. Ia juga cerdas dan kritis karena bisa berperan seolah-olah penyiar radio yang sedang membawakan acara. Ia langsung membawakan ‘acara’nya begitu saja, tanpa naskah yang ditulis sebelumnya. Ia membangun identitas dirinya sebagai anak yang pandai menghibur orang lain melalui kata-kata yang dirangkainya. Kata-kata tersebut menerbitkan tawa bagi Lulu, adiknya. Ia menegaskan dirinya sebagai anak periang yang mampu membalikkan keadaan yang memojokkan dirinya dengan menjadikan kemarahan ayahnya sebagai hal yang bernilai‘berita’. Dengan melakukan hal tersebut, Lupus membangun relasi anak-ayah dengan cara yang lebih akrab. Ia tahu ayahnya marah, maka ia berusaha membangun kedekatan melalui humor yang dilontarkannya. Menggunakan bahasa berarti membangun atau sebaliknya merusak sistem tanda atau sistem komunikasi (Rogers, 2011:33). Lupus sadar kemarahan ayahnya akan menuntunnya pada posisi yang tidak menguntungkannya. Maka ia membalikkan kemarahan ayahnya sebagai sebuah hal yang mempunyai nilai “berita”. Ia berharap ayahnya mengapresiasi lontaran humornya dengan tidak melanjutkan kemarahannya. Lupus sadar bagaimana memanfaatkan kelebihan yang dimilikinya yaitu sense of humor untuk membangun identitas dirinya. Ia adalah kakak yang pandai menghibur Lulu, adiknya. Ia tahu benar bagaimana membuat adiknya lupa sejenak akan kekesalan yang dialaminya karena menunggu kepulangan Ibunya, meski radio kesayangan ayahnya kemudian rusak dan menimbulkan kemarahan sang ayah. Sebagai anak, Lupus juga berusaha menjadi sosok yang bertanggung jawab. Seperti ketika Ibunya kesal karena Lulu susah makan. Lupus berusaha membantu dengan caranya sendiri, seperti pada cuplikan berikut ini. (iv) Lupus yang sedang santai baca buku cerita, jadi memandang adiknya dengan heran. Makan kok nggak mau, apa sih susahnya, pikir Lupus. Apa perlu dibantu? Yah, kata Ibu Guru , orang hidup mesti tolong menolong untuk menyelesaikan satu pekerjaan. Makan kan juga termasuk pekerjaan juga. Maka harus dibantu.Otak Lupus berpikir cepat.Lalu dia pun mulai membantu Lulu.Mula-mula Lupus membantu menghabiskan perkedelnya.Lulu melihat itu malah senang. Tapi Lupus tetap asyik.Ia menyuapi mulutnya sendiri, hingga piring Lulu bersih tak bersisa (Lupus Kecil, 1989:70-71).
Dengan logikanya sendiri Lupus berusaha membantu Lulu untuk menghabiskan makanannya, meski apa yang dilakukannya salah. Lulu biasanya disuapi sang Ibu, tetapi saat itu Ibu sedang kedatangan tamu. Maka Lupus merasa ia berkewajiban membantu Ibunya. Dari peristiwa tersebut jelas ada ketidaksejajaran persepsi antara Lupus dan Ibunya. Ketidaksejajaran tersebut mengundang tawa Ibunya. Humor secara tidak kongruen menyatukan dua makna atau penafsiran yang berbeda ke dalam satu objek yang kompleks.
484
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
Lupus adalah anak yang pandai bergaul. Ia mempunyai banyak sahabat dan teman. Ia tahu bagaimana menggunakan humor untuk mengidentifikasi dirinya sebagai pribadi yang setia kawan dan bisa menyenangkan sahabat dan teman-temannya, berikut cuplikannya.
Lupus sedang menghadiri pesta ultah Pepno, salah satu sahabatnya. Lupus yang berharap kue tar segera dipotong agak malas saat ia diajak melakukan permainan mengoper gelas yang berisi air secara berantai. Seharusnya ia mengoper gelas berisi minuman itu ke teman sebelahnya, tetapi ia malah meminumnya. Alhasil ia pun dihukum. Pilihan hukumannya, baca puisi.Tanpa ragu, Lupus membacakan puisi karyanya sendiri. “Di laut sudah pasti ada air/Di air belum tentu ada laut/di rumah sudah pasti ada pintu/di pintu belum tentu ada rumah/di meja sudah pasti ada sepotong kue/dan kuenya belum tentu dipotong… Anak-anak bertepuk riuh. Akhirnya saat yang mendebarkan bagi Lupus tiba, Pepno memotong kue tar jadi beberapa bagian…(Lupus Kecil, 1989:54-55).
Lupus menggunakan puisi yang mengandung humor untuk menghibur temannya sekaligus memenuhi keinginannya. Ia ingin segera makan kue tar ulang tahun Pepno, maka ia dengan sadar membawakan puisi yang menyindir agar kue ulang tahun segera dipotong. Ia mendapat dukungan dari teman-temannya yang bertepuk tangan tanda setuju. Ia menggunakan humor untuk mendapatkan keinginannya. Kepandaian membawakan humor menempatkan Lupus sebagai sosok yang mudah mendapatkan teman, dan tentu saja ia juga mudah disukai orang lain karena sosoknya yang suka bercanda. Lupus menempatkan humor sebagai alat untuk mencapai tujuannya dan meneguhkan identitas dirinya di tengah lingkungannya. Eksistensinya diakui sebagai anak yang lucu, pandai bergaul dan pintar. D. Simpulan Humor adalah salah satu permainan bahasa yang disampaikan melalui beragam media. Humor digunakan untuk menghibur diri, orang lain, maupun melepaskan ketegangan yang menghimpit seseorang. Humor juga dapat dipakai sebagai sarana untuk membentuk serta membangun identitas diri seorang anak. Humor dalam serial cerita Lupus Kecil adalah contoh bagaimana seorang anak memosisikan dirinya sebagai sosok yang berbeda dengan anak-anak lain. Lupus mengidentifikasikan dirinya sebagai anak yang periang, pandai bergaul dan suka bercanda. Cerita anak-anak yang bermuatan humor dapat dijadikan referensi bagi anak-anak untuk mampu mengatasi persoalan sehari-hari yang mereka hadapi. Persoalan keseharian yang diangkat dalam serial Lupus Kecil menjadi relevan bagi pentingnya wacana humor dalam kehidupan anak-anak saat ini. Kondisi kehidupan dalam berbagai segi menuntut anak-anak menjadi aktor sosial yang selalu kompetitif. Kompetitif dan adaptif dalam segala hal. Keadaan ini rentan memicu stress dan kondisi psikologis yang tidak menguntungkan anak-anak. Kehadiran cerita anak-anak bermuatan humor adalah salah satu alat yang bisa digunakan untuk membantu meminimalkan tekanan yang dihadapi anak-anak. Untuk alasan itulah kajian serius tentang wacana humor dalam cerita anak-anak mendesak untuk dilakukan. E. Daftar Pustaka Apte, Mahadev L. 1985. Humor and Laughter. Ithaca. Cornell University Press. Danandjaya, James. 1989. Humor, Ensiklopedia Nasional Indonesia, Jilid VI, Jakarta. PT Cipta Adi Pustaka. Hariwijaya, Hilman&Boim. 1989. Lupus Kecil. Jakarta. Gramedia. ___________. 1993.Jalan-jalan Seram. Jakarta. Gramedia. Rogers, Rebecca. 2011. Critical Discorse Analysis in Education. New York. Taylor&Francis e-Library. Diunduh 2 September 2012.
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
485
Santosa, Anang. 2012. Studi Bahasa Kritis: Menguak Bahasa Membongkar Kuasa.Bandung. Mandar Maju. Wijana, I Dewa Putu. 1994. Wacana Kartun dalam Bahasa Indonesia (Disertasi, tidak diterbitkan), UGM.
486
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
PENDIDIKAN KARAKTER PADA DRAMA AYAHKU PULANG KARYA CHUCI KEERU/KIKUCHI KWAN (SADURAN USMAR ISMAIL) Budi Waluyo FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta
[email protected] Abstract
Learning literature, especially drama, plays a very important in the formation of student character. At the playwright found a lot of the values that the intellectual character of readers both in terms of theme, mandate, characterizations, and other intrinsic elements. Only problem is the lack of application of analyzing texts in manuscript among learners. Very important fact to introduce drama texts for students to shape their character for the better, noble character and high morals. Keywords: values, character, character education
A. Pendahuluan 1. Pendidikan Karakter Nilai-nilai pendidikan dapat ditangkap manusia dengan melalui banyak cara, di antaranya melalui penikmatan dan pemahaman terhadap sebuah karya sastra. Sastra sangat berperan penting sebagai media dalam pentransformasian sebuah nilai termasuk halnya nilai pendidikan. Dengan kreativitas dan kepekaan rasa, seorang penulis tidak hanya mampu menyajikan keindahan rangkaian cerita, melainkan juga mampu memberikan pandangan yang berhubungan dengan renungan tentang agama, nilai sosial, filsafat, serta beraneka ragam pengalaman tentang masalah hidup dan kehidupan. Komitmen nasional tentang perlunya pendidikan karakter, secara jelas terdapat pada Undang-undang Nomor 20 tahun 2003, tentang sistem pendidikan nasional. Pada pasal 3 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Jika diperhatikan dengan saksama, menurut Sarwiji Suwandi (2011) potensi peserta didik yang harus dikembangkan tersebut berkaitan erat dengan karakter. Ironisnya praktik pendidikan di sekolah-sekolah lebih banyak menekankan pada aspek kecerdasan intelektual. Pembentukan dan pengembangan karakter peserta didik kurang mendapat porsi yang memadai. Pendidikan karakter di sekolah setakat ini lebih banyak pada aspek pengetahuan dan memahami norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran sastra khususnya drama di sekolah, sebenarnya memegang peranan yang sangat penting dalam pembentukan karakter anak didik. Pada naskah drama banyak sekali dijumpai nilai-nilai yang mencerdaskan karakter pembaca baik dari segi tema, amanat, penokohan, dan unsur intrinsik lainnya. Hanya yang menjadi permasalahan adalah kurangnya aplikasi penganalisisan naskah naskah di kalangan peserta didik. Sangat penting sebenarnya untuk memperkenalkan naskah-naskah drama kepada siswa untuk membentuk karakter mereka menjadi lebih baik dan bermoral tinggi. Akhmat Sudrajat (2010: 2) dalam Sarwiji Suwandi mengatakan bahwa karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya dan adat istiadat (Sarwiji Suwandi, 2011)
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
487
Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari. 2. Drama Menurut Harymawan, dalam buku Dramaturgi kata drama berasal dari bahasa Yunani droamai yang berarti berbuat, bertindak, beraksi dan sebagainya (1998: 1). Lebih lanjut Harymawan merumuskan pengertian drama sebagai berikut. Arti pertama, drama adalah kualitas komunikasi, aktion, segala apa yang terlihat dalam pentas yang menimbulkan perhatian, kehebatan (exciting) dan ketegangan pada pendengar atau penonton. Arti kedua, menurut Moulton, drama adalah hidup yang dilukiskan dengan gerak (life presented in action). Arti ketiga, drama adalah cerita konflik manusia dalam bentuk dialog yang diproyeksikan pada pentas dengan menggunakan percakapan dan aktion di hadapan penonton. Menurut Sudiro Satoto, dalam buku Kajian Drama, teater adalah istilah lain dari drama, tetapi dalam arti yang lebih luas, yakni meliputi proses pemilihan naskah, penafsiran, penggarapan atau pementasan dan proses pemahaman atau penikmatan dari publik (1991: 5). Tema merupakan gagasan pokok yang terkandung dalam drama. Tema berhubungan dengan premis dari drama tersebut yang berhubungan pula dengan nada dasar dari sebuah drama dan sudut pandangan yang dikemukakan oleh pengarangnya. Sudut pandangan ini sering dihubungkan dengan aliran yang dianut oleh pengarang tersebut. Jika tema karya sastra berhubungan dengan arti (meaning) dari karya sastra itu, maka amanat berhubungan dengan makna (sifnificance) dari karya itu. Tema bersifat sangat lugas, objektif, dan khusus, sedangkan amanat bersifat kias, subjektif, dan umum. Setiap pembaca dapat berbeda-beda menafsirkan makna karya itu bagi dirinya, dan semuanya cenderung dibenarkan. Secara sederhana, untuk memahami makna dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, dapat dilakukan dengan mencermati tema dan amanat secara detil. B. Metode Penelitian Penelitian ini tidak terikat tempat penelitian karena objek yang dikaji berupa naskah (teks) sastra, yaitu naskah drama Ayahku Pulang karya Chuci Keeru/Kikuchi Kwan (Saduran Usmar Ismail). Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan sehingga memerlukan bahan pustaka sebagai referensi yang banyak didapatkan baik lewat buku, media massa maupun internet. Penelitian ini bukan penelitian lapangan yang statis melainkan sebuah analisis yang dinamis. Bentuk penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Hal ini disesuaikan dengan rumusan masalah penelitian yang sudah ditetapkan. Dalam penelitian ini informasi yang bersifat kualitatif dideskripsikan secara teliti dan analitis. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah struktural. Pendekatan ini digunakan dalam rangka menafsirkan makna yang mendalam pada karya sastra yang diteliti dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat. Hal ini diambil berdasar asumsi bahwa pada dasarnya karya sastra adalah pengejawantahan kehidupan masyarakat. Dengan demikian penafsiran makna yang ada dalam karya sastra ini merupakan perwujudan dari makna atau nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Data atau informasi yang dikumpulkan dan dikaji dalam penelitian ini berupa data kualitatif. Data dalam penelitian ini diperoleh melalui membaca naskah drama Ayahku Pulang yang menjadi objek kajian. Dalam objek kajian ini didapatkan dokumen yang meliputi tema, amanat, penokohan dan penerapan ketiganya pada pembelajaran karakter
488
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
Sumber data dalam penelitian ini adalah naskah drama Ayahku Pulang karya Chuci Keeru/Kikuchi Kwan (Saduran Usmar Ismail), dan tulisan atau buku-buku lain yang terkait. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi beberapa teknik antara lain; analisis langsung, pencatatan dan analisis dokumen. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis interaktif (interactive model of analysis) yang digunakan Miles dan Huberman. Model analisis interaktif meliputi tiga komponen-komponen penting yang selalu bergerak, yaitu reduksi data (data reduction), penyajian data (data display) dan penarikan kesimpulan (conclusing drawing). Prosedur penelitian merupakan suatu proses yang menggambarkan tentang kegiatan dari awal persiapan sampai pada penyusunan laporan penelitian. Adapun prosedur penelitian yang dilakukan meliputi tahap-tahap sebagai berikut: 1) tahap persiapan; 2) tahap pengumpulan data; 3) tahap analisis data; 4) tahap akhir C. Pembahasan Naskah drama berjudul Ayahku Pulang ini, berkisah tentang sebuah keluarga. Diawali dengan kisah seorang ayah yang bernama Pak Saleh yang pergi meninggalkan istri dan anak-anaknya yang masih kecil untuk mencari pekerjaan yang lebih layak. Saat Pak Saleh pergi, keadaan rumah pun masih miskin. Anak pertamanya bernama Gunarto, saat itu masih berumur 8 tahun, anak keduanya bernama Maimun yang saat itu juga masih balita, sedangkan anak ketiganya, Mintarsih saat itu masih dalam kandungan sang ibu. Sang ayah pergi merantau untuk bekerja di Singapura. Setelah sukses di sana, kemudian ia menikah dengan seorang janda yang kaya. Suatu saat api membakar habis tokonya, ia menanggung kerugian besar. Investasi yang ia lakukan pun gagal, akhirnya ia pun terlunta-lunta. Kini usianya telah tua dan ia memilih untuk kembali ke keluarganya yang lama. Dua puluh tahun sudah berlalu, Gunarto kini sudah dewasa dan menjadi tulang punggung keluarganya. Gunarto bekerja di pabrik tenun, wataknya keras karena beratnya perjuangan hidup yang harus ia lalui tanpa kasih sayang dan didikan seorang ayah. Maimun juga sudah memiliki pekerjaan, sedangkan Mintarsih bekerja dengan menerima jahitan. Saat itu keluarganya sangat bahagia tanpa seorang ayah yang menemani kehidupan mereka. Pada malam hari Raya Idul Fitri, saat Gunarto pulang kerja. Gunarto menemukan ibunya yang sedang melamun, teringat kejadian dua puluh tahun yang lalu, di malam yang sama sang ayah telah meninggalkan mereka. Kenangan itu membuat luka lama di hati Gunarto kembali terbuka. Ia memilih tidak membicarakan hal itu dan mencoba mengalihkan pembicaraan. Maimun kemudian pulang dan membawa kabar bahwa tetangga mereka melihat seorang laki-laki tua yang mirip dengan ayah mereka. Tak lama kemudian, Mintarsih pun pulang dan juga berkata bahwa ia melihat ada seorang lelaki tua di seberang jalan yang sedang melihat ke arah rumah mereka. Beberapa saat kemudian, seorang laki-laki tua menghampiri rumah mereka. Ibu langsung mengenali orang tua itu sebagai suaminya yang telah lama pergi meninggalkan mereka. Maimun dan Mintarsih yang tidak mengerti permasalahan yang dulu pernah terjadi, langsung saja menerima orang itu sebagai ayah mereka. Lain halnya dengan Gunarto yang masih memiliki rasa dendam yang mendalam pada ayahnya, ia tidak sudi menerimanya kembali di rumah mereka. Ibu menyuruh laki-laki tua itu untuk masuk ke dalam rumah dan menyuruh Maimun mengambilkan minuman. Ayah pun melihat Gunarto yang kini sudah dewasa. Lalu ayahnya meceritakan kehidupannya sewaktu di Singapura, dia mempunyai istri, tetapi kemudian tokonya terbakar habis dan sekarang kehidupannya menjadi terlunta-lunta. Gunarto pun marah, sifat angkuhnya yang menurun dari sang ayah pun muncul dan ia mencaci-maki ayahnya. Mengingatkan ayah, ibu dan adik-adiknya tentang kesalahan yang telah diperbuat ayahnya di masa lalu, serta mengingatkan perjuangannya sebagai tulang punggung keluarga. Sang ayah menyesal dan akhirnya memilih untuk pergi karena tidak ingin mengganggu kedamaian keluarganya. Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
489
Ibu hanya bisa menangis menahan kepedihan dan penderitaan yang dialaminya lagi, ditinggalkan suaminya di saat malam hari raya Idul Fitri. Maimun dan Mintarsih menyesalkan perilaku Gunarto yang tidak mau menerima kembali ayah mereka, karena bagaimanapun juga mereka tetap darah dagingnya. Maimun akhirnya bertekad untuk menentang kakaknya dan pergi untuk memanggil ayahnya kembali pulang. Tetapi Maimun hanya menemukan baju dan peci ayahnya saja di pinggir jembatan. Ternyata sang ayah tertabrak mobil dan terlempar dari atas jembatan ke dalam sungai yang banjir. Akhirnya Maimun membawa topi dan baju sang ayah ke rumah. Saat itulah Gunarto terkejut dan sangat menyesali perlakuannya terhadap sang ayah. Gunarto pun pergi ke luar rumah dan berlari untuk mengejar ayahnya ke jembatan, Gunarto mencari ayahnya dan memanggil-manggil nama ayahnya. Usaha Gunarto pun tidak membuahkan hasil, kini yang tersisa hanyalah penyesalan yang mendalam di hati Gunarto. Dalam naskah drama Ayahku Pulang terdapat dua nilai pendidikan yang sangat menonjol yang dapat membantu membangun karakter pembaca atau penontonnya. 1. Kepedulian sosial Sudah menjadi takdirnya bahwa manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan manusia lain dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini bisa dimaknai bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa manusia yang lain. Interaksi antarmanusia ini bisa dengan berbagai macam bentuk. Bisa interaksi secara langsung, semisal memberi pertolongan kepada manusia lain yang membutuhkan pertolongan, bisa juga tidak secara langsung, semisal perasaan simpati atau empati terhadap manusia lain. Pada drama Ayahku Pulang ini, ada dua tokoh yang semuanya laki-laki yang merupakan anak dan bapak, yang memegang peran penting dalam mempertanyakan kepedulian sesama manusia. Perbuatan Pak Saleh, sang ayah yang meninggalkan keluarganya pada bulan Ramadan hingga sampai dua puluh tahun lamanya jelas bukanlah perbuatan yang baik. Apalagi pada waktu sepuluh tahun setelah kepergiannya, diceritakan bahwa Pak Saleh sempat menjadi pengusaha kaya raya di Singapura. Pak Saleh sudah lupa dengan keluarga yang ditinggalkannya. Seorang istri dengan tiga anak yang masih kecil-kecil ditinggalkan tanpa kabar dan berita yang jelas. Peristiwa tidak bertanggung jawabnya seorang kepala keluarga terhadap nasib seluruh anggota keluarganya jelas bukan perbuatan yang baik. Dari peristiwa ini dapat ditarik sebuah simpulan bahwa kepedulian terhadap sesama manusia, apalagi terhadap keluarganya adalah sesuatu yang sangat penting. Peristiwa yang kedua adalah, ketika Pak Saleh (sang ayah) menyadari kesalahannya, dan ia pulang ke rumah. Ia sudah meminta maaf dan mengakui kekhilafannya di masa lalu. Istri dan kedua anak putrinya bisa memaafkan dan menerima ayahnya kembali. Namun anak laki-lakinya yang bernama Gunarto tidak mau menerima kepulangan ayahnya. Gunarto menuduh ayahnya adalah ayah yang tidak bertanggung jawab. Membiarkan keluarganya hidup dalam kekurangan dan penderitaan hampir selama dua puluh tahun. Kemudian setelah ayahnya tua dan tidak punya apa-apa, dia ingin pulang kembali kepada keluarganya. Gunarto menganggap hal tersebut adalah hal yang sangat memalukan sebagai seorang ayah. Tidak bertanggung jawab dan mau enaknya sendiri. Simpulan dari peristiwa di atas bahwa tidak mau memaafkan kesalahan orang lain, apalagi kesalahan bapaknya sendiri jelas bukan perbuatan yang terpuji. Pada peristiwa itu, jelas sekali pengarang betul-betul mempertanyakan rasa kemanusiaan sesama manusia, apalagi terhadap keluarganya. Bagaimana mungkin seorang ayah meninggalkan keluarganya tanpa alasan dan kabar yang jelas. Ini menjadi cermin pada diri kita sendiri, sejauh mana simpati dan perhatian kita kepada sesama manusia. Di samping itu, saling memaafkan kesalahan merupakan hal yang sangat penting. Karena hal tersebut sangat menentukan masa depan orang-orang yang bersangkutan. Pada zaman sekarang, sikap tidak bertanggung jawab, maunya menang sendiri, merasa paling benar dan egois sering kita jumpai pada peristiwa sehari-hari. Sindiran dengan sikap dan sifat manusia yang seperti inilah yang nampaknya menjadi muatan nilai utama pada naskah drama ini.
490
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
2. Nilai Religius Nilai religi berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam drama Ayahku Pulang, nilai religi secara jelas tersirat melalui peristiwa-peristiwa yang berkaitan antarmanusia dengan Tuhannya. Peristiwa perginya Pak Saleh dari rumah terjadi pada bulan Ramadan. Bulan yang bagi umat Islam, biasanya digunakan untuk berkumpul bersama dengan seluruh keluarga. Peristiwa pulangnya Pak Saleh di tengah-tengah keluarga juga terjadi pada bulan Ramadan. Di mana pada saat itu Pak Saleh ingin bertemu dengan keluarganya, untuk meminta maaf dan akan berkumpul kembali. Namun, tidak bagi Gunarto, anak laki-laki Pak Saleh. Meskipun saat itu bulan Ramadan, namun ia tidak mau memaafkan kesalahan bapaknya. Sampai akhirnya ayahnya tersebut meninggal dunia. Ada hal penting yang hendak disampaikan oleh pengarang, bahwa momen atau peristiwa bulan Ramadan hendaknya dimaknai sebagai bulan yang penuh dengan pintu maaf. Pada bulan inilah, diharapkan sesama manusia harus saling membuka diri, membuka hati dan membuka pintu maaf selebar-lebarnya. Jika pintu maaf tidak diberikan, maka rasa sesallah yang akan terjadi di kemudian hari. D. Penutup Berdasarkan pembahasan dan hasil analisis data tersebut di atas, dapat ditarik simpulan sebagai berikut. (1) Naskah drama Ayahku Pulang memuat nilai-nilai kemanusiaan. Drama ini memperlihatkan bahwa sikap tidak bertanggung jawab, sikap menang sendiri, merasa paling benar dan egois sering dijumpai pada peristiwa sehari-hari. (2) Naskah drama Ayahku Pulang mengambil setting waktu bulan Ramadan. Bulan di mana sesama manusia diharapkan harus saling membuka diri, membuka hati dan membuka pintu maaf selebar-lebarnya. Jika pintu maaf tidak diberikan, maka rasa sesallah yang akan terjadi di kemudian hari. E. Daftar Pustaka Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Depdiknas Herman J. Waluyo. 2003. Drama Teori dan Pengajarannya. Yogyakarta: Hanindita __________. 2005. Pembelajaran Bahasa Indonesia dengan Pendekatan Apresiasi Drama di SMA. Surakarta: Sebelas Maret University Press. R.M.A. Harymawan. 1988. Dramaturgi. Bandung: Rosda.
Sarwiji Suwandi. 2011. Peran Sastra dalam Pendidikan Karakter bagi Peserta Didik. Makalah Seminar Nasional Sastra dalam Rangka Pekan Sastra Himprobsi FKIP UNS Sudiro Satoto. 1989. Pengkajian Drama II. Surakarta: UNS Press. inspirasisuciariesta.blogspot.com/.../sinopsis-naskah-drama-ayahku-pulan
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
491
CINTA DAN CITRA PEREMPUAN PADA PUISI BALLADA KASAN DAN PATIMA KARYA W.S. RENDRA Evi Chamalah Universitas Islam Sultan Agung
[email protected] Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan cinta dan citra perempuan pada puisi Ballada Kasan dan Patima karya W.S. Rendra. Patima sebagai tokoh utama melakukan berbagai cara untuk mendapatkan cinta dari Kasan, akan tetapi Kasan lebih memilih istri dan anaknya. Kata Kunci: cinta, citra perempuan, Ballada Kasan dan Patima
A. Pendahuluan Pada awalnya feminisme adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasi, disubordinasi, dan direndahkan oleh kebudayaan yang dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun dalam kehidupan sosial pada umumnya (Ratna 2011:184). Penolakan itulah yang menyebabkan munculnya gerakan feminis. Sugihastuti dan Suharto (2002:73) mengungkapkan bahwa yang dimaksud kritik sastra feminis adalah membaca teks sastra sebagai perempuan. Perempuan dianggap sebagai sosok yang lemah dan masyarakat cenderung mengatakan bahwa perempuan adalah kaum terpinggirkan. Dalam istilah Jawa perempuan dianggap sebagai konco wingking yang dikonsepsikan hanya bisa macak, masak, manak. Di luar itu adalah pekerjaan laki-laki. Hal inilah selanjutnya memberi inspirasi munculnya berbagai penelitian yang menjadikan perempuan sebagai objek penelitian (Qomariyah 2003:12). Dalam hal ini, persoalan perempuan yang diangkat dalam karya sastra tidak hanya ditulis oleh pengarang perempuan tetapi juga laki-laki yang memiliki perhatian terhadap kehidupan perempuan. Persoalan perempuan hampir selalu menarik untuk ditulis karena karya sastra merupakan salah satu media tumbuhnya wacana gender serta dijadikan alat penyampaian kritik terhadap berbagai ketidakadilan yang dialami perempuan. Ketidakadilan yang dialami perempuan sering terjadi dalam masyarakat patriarki (Ekasiswanto 2013:735). Dalam masyarakat patriarki, berkembang pemahaman bahwa perempuan adalah makhluk kelas kedua setelah laki-laki. Perempuan dianggap sebagai seorang yang lemah, dan hanya berada di ruang domestik. Kedudukan kaum perempuan dalam kehidupan sosial juga diatur tradisi, selain itu hak dan kewajiban perempuan lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki (De stuers 2008:45). Menurut Ruthven (1985:2) patriarki adalah sistem yang memungkinkan laki-laki untuk menguasai perempuan dalam segala relasi sosial. Berdasarkan latar belakang tersebut masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana cinta dan citra perempuan pada puisi Ballada Kasan dan Patima karya W.S. Rendra? B. Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat analisis isi dengan menggunakan metode deskriptif. Definisi penelitian kualitatif menurut Semi (1993:23) penelitian kualitatif merupakan penelitian yang dilakukan tidak menggunakan angka-angka, tetapi mengutamakan ke dalam penghayatan terhadap interaksi konsep yang dikaji secara empiris. Data penelitian ini adalah cinta dan citra perempuan pada puisi Ballada Kasan dan Patima karya W.S. Rendra. C. Pembahasan Kritik sastra feminis berkaitan dengan cinta dan citra perempuan. Oleh karena itu puisi Ballada Kasan dan Patima lebih lengkap jika dikaji dengan kritik sastra feminis. Analisis ini tertuju pada perwatakan tokoh perempuan, dan perwatakan tokoh lelaki.
492
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
Tokoh utama perempuan dalam puisi Ballada Kasan dan Patima bernama Patima. Patima adalah seorang perawan tua yang haus akan cinta dari lelaki. Oleh karena itu, Patima berusaha dengan segala cara untuk mendapatkan cinta dari Kasan akan tetapi gagal karena sakit hati Patima membinasakan Kasan dengan kekuatan gaib. Hal tersebut dapat terlihat pada bait puisi berikut.
Bila bulan limau retak merataplah patima perawan tua. Lari ke makam tanah mati buyar rambutnya sulur rimba di tangan bara dan kemenyan. Patima! Patima! susu dan mata padat sihir lelaki muda sepikan pinangan di panasi guna-guna.
Patima! Patima! ditebahnya gerbang makam demi segala peri dan puntianak diguncangnya segala tidur pepokok kemboja dibangunkan segala arwah kubur-kubur rengkah dan dengan suara -duh, bulan limau emas, jejaka tampan desak-desakan wajahmu ke dadaku rindu biar pupus dendam yang kukandung panas bagai lahar, bagai ludah mentari. - patima yang celaka! patima! duka apa, siksa apa? - peri-peri berapi, hantu-hantu kelabu himpun kutuk, sihir dari angin parang telanjang dan timpakan atas kepala kasan! Tokoh lelaki dalam puisi “Ballada Kasan dan Patima” bernama Kasan. Kasan adalah seorang lelaki yang mempunyai seorang istri dan mempunyai tiga orang anak. Istri kasan sangat lembut dan dapat menyejukkan hati, sedangkan ketiga anaknya kulit putih dan badannya tumbuh dengan sehat. Hal tersebut dapat terlihat pada puisi berikut. Beromong angin, dedaun gugur dan rumputan: - bini kasan ludahnya air kelapa. - dan mata tiada nyala guna-guna. - anaknya tiga putih-putih bagai ubi yang subur. Tubuh Kasan semampai dan darahnya mudah mendidih ketika melihat perempuanperempuan yang masih muda sehingga ia mempunyai kebiasaan yang tidak baik yaitu suka menikmati keperawanan perempuan-perempuan itu tanpa dasar rasa cinta, tetapi karena dorongan nafsu semata. Dalam satu malam ada lima orang perawan yang telah digagahinya termasuk Patima. Anehnya perawan-perawan itu begitu pasrah dan menikmati keperkasaan Kasan. Setelah puas ia tinggalkan perempuan-perempuan itu tanpa perasaan iba, bersalah atau berdosa. - kasan, ya kasan! Ku tahu siapa kasan! Pada malam bintang singgah di matanya lelaki semampai berdarah panas
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
493
di dadanya tersimpan beberapa perawan dan di atas diriku ini kusaksikan lima dara begitu pasrah dalam pejam mata berikan malam berbunga, rintihnya bagai nyanyi dan kasan mendengus bagai sampi. - kutuknya menunggu pada patima! Akhir kisah Ballada Kasim dan Patima penyair membiarkan Patima melampiaskan rasa sakit hatinya, mencelakai Kasan dengan bantuan kekuatan gaib. Walaupun Kasan berusaha meninggalkan Patima, namun akhirnya Patima dapat mencelakai Kasan dan keluarganya. Hal ini merupakan gambaran hukum sebab dan akibat, perbuatan Kasan yang selama ini menyakiti hati para perempuan yang telah direnggut keperawanannya. Bau kemenyan dan kemboja goncang bangkit patima mencekau tangan reranting tua menjilat muka langit api pada mata dilepas satu kutuk atas kepala kasan! Ya, kasan! Dan kasan berkendara pedati empat kuda terenggut dari arah dalam buta mata terlempar ke gunung selatan tanah padas meraung anak bini, meringkik kuda-kuda dan semua juga kuda dikelami buta mata. - kasan, ya kasan! Ku tahu siapa kasan! D. Penutup Tokoh utama dalam puisi Ballada Kasan dan Patima adalah Patima. Patima seorang perawan tua yang haus akan cinta dari lelaki bernama Kasan. Patima berusaha dengan segala cara untuk mendapatkan cinta Kasan. Namun cinta Patima gagal karena Kasan lebih memilih anak dan istrinya. Akhir cerita, Patima membinasakan Kasan dengan kekuatan gaib. E. Daftar Pustaka De Stuers, Cora Vreede. 2008. Sejarah Perempuan Indonesia, Gerakan dan Pencapaian. Jakarta: Komunitas Bambu. Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis, Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Ekasiswanto, Rudi. 2013. “Citra dan Peran Perempuan dalam Novel Hati Sinden Karya Dwi Rahyuningsih:Analisis Kritik Sastra Feminis”. Prosiding Seminar Internasional Pengembangan Peran Bahasa dan Sastra Indonesia untuk Mewujudkan Generasi Berkarakter Surakarta tanggal 28-29 September 2013. Fakih, Mansoer. 1996. Membincang Feminisme, Diskursus Gender Perspektif Islam. Surabaya: Risalah Gusti. Fakih, Mansoer. 2003. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Qomariyah, Uum. 2012. “Citra Perempuan Kuasa dalam Perspektif Kritik Sastra Feminis Novel Perempuan Berkalung Sorban karya Arsidah El-Khalieqy”. Dalam http:// journal.unnes.ac.id. Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Teori, Metode, dan Tekhnik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ruthven, K.K. 1985. Feminis Literari Studies, an Introduction. Cambridge: Cambridge University Press.
494
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
PEREMPUAN JAWA: ANTARA KESETIAAN DAN KEMATIAN Harjito Universitas PGRI Semarag
[email protected] Abstract Loyalty is important especialy in a marriage. Women loyal to men. This paper examines loyalty Blorong’s wife, Nyi Kerti, and Rara Mendut in three texts namely ‘Kali Blorong’, ‘Asal Mula Desa Gunem’ and ‘Rara Mendut’. Loyalty divides into two action levels. First, likened. Second, following the death. Blorong’s wife and Nyi Kerti likened himself into human snake as her husband. Rara Mendut following the death Pranacitra. In this era, the two form of loyalty is not recommended to be followed. The texts must be read critically. Women are capable of independent figure. Folklore is a reflection on the reality in community. The texts teach what should not be done by women. Keywords: loyalty, likened, death
A. Pendahuluan Di masa kini, masih ada remaja putus cinta yang melakukan tindakan bunuh diri. Pelaku bunuh diri bisa laik-laki ataupun perempuan. Berita atau informasi ini dapat ditelusuri melalui mesin pencari Google. Tindakan bunuh diri dapat dimaknai sebagai ungkapan kesetiaan. Dengan bunuh diri, salah satu dari pasangan itu menunjukkan kepada dunia pemaknaan atas “sehidup semati”. Bersatu baik dalam hidup maupun saat mati. Kesetiaan merupakan hal penting. Di dalam relasi pekerjaan, kesetiaan disebut dengan istilah loyalitas. Di dalam relasi rakyat dengan negara, kesetiaan disebut dengan nasionalisme. Bagaimana wujud kesetiaan antara perempuan dan lelaki di dalam perkawinan? Tulisan ini membahas bagaimana wujud kesetiaan dalam perkawinan. Data diambil dari tiga teks cerita, yaitu Dongeng Kali Blorong” (Yudiono KS, 2009), yang selanjutnya disebut DKB; “Asal Mula Desa Gunem” (Kusaeri, 2009), selanjutnya disebut AMDG, dan “Rara Mendut” (Daryatun, 2008). Fokus kajian adalah perempuan, yaitu Istri Blorong dalam DKB, Nyi Kerti dalam AMDG, dan Rara Mendut dalam RM. B. Pembahasan 1. Menyamakan Diri Dalam DKB, disebutkan di desa Kaligading, Boja, Kendal, hidup sepasang suami istri yang berusia lanjut. Mereka belum memiliki anak. Mereka menyepi ke hutan untuk memohon keturunan serta merintis sebuah tempat tinggal. Mereka hidup terpisah dari kehidupan masyarakat desa. Takut disebut aneh, sang istri mengingatkan suaminya untuk tetap bermasyarakat. Karena ucapan sang istri tersebut, suaminya tersinggung. Bahkan, suami mengira sang istri sudah bosan dengan dirinya. “Apakah kamu bosan dengan diriku? Kalau begitu, boleh kamu kembali ke desa. Carilah lelaki lain. Biarkan aku sendiri di sini. Kalau mati biarlah jadi rebutan macan dan serigala.” “Jangan salah paham, Kakang. Tak ada lelaki lain di hatiku. Hanya Kakang menjadi suamiku. Tapi kita ini orang biasa. Mestinya hidup lumrah bersama orang banyak.” (Yudiono KS , 2009: 59) Karena salah pengertian, sang istri menyatakan kesetiaannya. Sang istri, berjanji untuk tetap setia kepada suami. Apa yang disampaikan seorang istri adalah sebuah janji. Janji haruslah ditepati karena dalam hidup orang Jawa manusia dipercaya melalui tutur katanya. Wong kuwi sing dicekel omongane. Apabila seseorang tidak dapat dipegang kata-katanya, maka dia tidak pantas untuk dihormati. Janji apalagi sumpah adalah kata-kata yang harus ditepati
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
495
oleh sang pengucapnya. Pada suatu saat, suami pergi ke pasar hingga esok harinya tidak kunjung pulang. Sang istri menyusul mencari suami. Sesampainya di sebuah sendang, ia melihat suaminya berendam seperti seekor ular. Ternyata suaminya telah berubah wujud. Badannya ular dengan kepala manusia. Suaminya bertutur bagaimana dia berubah wujud karena memakan telur di celah pohon di sendang. Meskipun telah berubah menjadi manusia ular, sang istri menyatakan tetap setia kepada suami. Lelaki di sendang sangat terharu mendengar kesetiaan istrinya. Lantas teringatlah dia sebutir telur yang masih berada di celah pohon. Pikirnya, kalau telur itu pun diseruputnya mungkin akan terjadilah nasib serupa. Benarlah, perempuan itu menuruti perintah suaminya dan tak lama kemudian menjelma menjadi ular dengan wajah yang cantik. (Yudiono KS , 2009: 63) Karena takut akan terusik kehidupannya, mereka meninggalkan sendang dan mencari tempat yang lebih luas di lautan. Bekas perjalanan menuju ke laut kemudian menjadi aliran sungai yang disebut Kali Blorong. Kisah serupa, muncul dalam AMDG. Dalam AMDG, Nyi Kerti bersuamikan Ki Kerta. Mereka tinggal di tengah hutan. Bersama mereka tinggal seorang jejaka bernama Jaka Jimpe. Mereka makan buah-buahan dan dedaunan. Pada saat mencari bahan makanan, Ki Kerta menemukan tiga buah telur. Karena sangat lapar, dimakannya sebutir telur. Ki Kerta berubah menjadi berbadan ular. Ia masuk ke dalam sumur. Ketika mencaricari Ki Kerta, Nyi Kerti mendengar dari dalam sumur suara pesan Ki Kerta untuk memakan sebutir telur yang berada di sisi sumur. Nyi Kerti pun memakan telur. Seperti yang telah dialami oleh Ki Kerta, setelah Nyi Kerti memakan sebutir telur, badannya terasa panas sekali. Karena tidak mampu menahan rasa panas yang dialaminya, Nyi Kerti segera menceburkan diri ke dalam sumber air atau sumur yang ada di dekatnya itu. Akhirnya Nyi Kerti pun berubah bentuk menjadi seekor ular. (Kusaeri, 2009: 233) Ia berubah menjadi seekor ular. Ia pun masuk ke dalam sumur. Jaka Jimpe pun mencari Ki Kerta dan Nyi Kerti. Ia mendengar suara yang memintanya memakan sebutir telur. Karena lapar, Jaka Jimpe memakannya. Ia berubah menjadi ular. Tindakan memakan telur sebagaimana yang diminta Ki Kerti, berangkat dari kesetiaan Nyi Kerti kepada suami. Sumur tempat mereka menjadi ular disebut sumur bendo. Kejadian itu sering dibicarakan oleh orang yang melewati daerah tersebut. Kemudian daerah tersebut diberi nama desa Gunem yang berarti membicarakan. Koentjaraningrat (1996: 340) menjelaskan bahwa Ki Blorong adalah pria dengan tubuh bagian atas seperti manusia dan tubuh bagian bawah seperti ular. Meskipun bermuara pada kesetiaan terhadap suami, apa yang ditindakkan antara Istri Blorong dan Nyi Kerti berbeda. Terdapat enam perbedaan. Satu, istri Blorong sudah mengetahui sejak awal bahwa suaminya menjadi ular. Apabila ia menyeruput telur, ia pun menjadi ular sebagaima yang terjadi pada suaminya. Nyi Kerti melaksanakan pesan suami untuk memakan telur tanpa mengetahui akan menjadi apa sesudahnya. Dua, istri Blorong memiliki derajat kepatuhan yang lebih tinggi dibandingkan Nyi Kerti karena Istri Blorong mengetahui akan menjadi apa jika memakan telur yang dianjurkan suami. Tiga, terdapat perbedaan wujud tubuh antara Istri Blorong dan Nyi Kerti. Istri Blorong memiliki wujud kepala manusia dengan tubuh ular. Nyi Kerti memiliki wujud ular. Empat, antara DKB dan AMDG berasal dari cerita rakyat yang berbeda. DKB berkaitan dengan penamaan tempat di daerah Boja, Kendal, Jawa Tengah. AMDG berkaitan dengan penamaan nama desa di daerah Rembang, Jawa Tengah. Lima, dalam DKB subjek manusia berjumlah dua, yaitu istri Blorong dan suaminya Blorong. Dalam AMDG, terdapat tiga subjek manusia, yaitu Nyi Kerti, Ki Kerti, dan Jaka Jimpe. Dengan demikian, jumlah telur pun berbeda. Dalam DKB telur berjumlah dua, sedangkan dalam AMDG telur berjumlah tiga.
496
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
Enam, dalam DKB lebih berfokus kesetiaan istri kepada suami. Dalam AMDG, selain kesetiaan istri juga terdapat kesetiaan anak angkat atau kerabat kepada orang tua. Hal ini dapat ditelusuri dengan hadirnya Jaka Jimpe dalam kehidupan Nyi Kerti. Tindakan memakan telur yang dilakukan Istri Blorong dan Nyi Kerti menunjukkan adanya konstruksi bahwa perempuan wajib setia kepada suami. Kesetiaan diwujudkan dengan tindakan kepatuhan kepada perintah suami. Istri Blorong dan Nyi Kerti menurut dan patuh pada permintaan suami. Apa pun bentuk permintaan suami tetap dipatuhi. Wujud konkret kesetian kepada suami dengan menyamakan diri secara fisik. 2. Kematian Perempuan yang mencintai lelaki hingga mati adalah Rara Mendut. Oleh perempuan, kematian dimaknai sebagai bukti kesetiaan kepada lelaki. Dalam RM, disebutkan Rara Mendut adalah seorang gadis desa yang tinggal di Kadipaten Pati. Ia penjual rokok. Salah seorang langganannya adalah Senopati Mataram Tumenggung Wiraguna. Tumenggeng Wiraguna jatuh cinta kepada Rara Mendut. Rara Mendut tidak menanggapi Tumenggung Wiraguna karena ia telah mempunyai pilihan calon suami. Walaupun hanya seorang pemuda desa, pilihannya sangat tampan. Sangat berbeda dengan Tumenggung Wiraguna yang dianggapnya telah berumur. Pada saat Pati di bawah kekuasaan Mataram, ia dijadikan gadis boyongan Mataram. Meskipun demikian, Rara Mendut masih berhubungan dengan Pranacitra. Tidak diduga, Pranacitra dibunuh Tumenggung Wiraguna. Rara Mendut pun menyusul kematian Pranacitra dengan keris milik Tumenggung Wiraguna. Ditariknya tangan Rara Mendut hendak dibawa ke rumahnya. Namun Rara Mendut merontaronta berusaha melepaskan diri. Bahkan, ia sempat menarik keris milik Tumenggung Wiraguna dari sarungnya. Rara Mendut langsung lari menuju makam Pranacitra. Tumenggung Wiraguna berusaha mengejarnya. Sesampai di makam Pranacitra, Rara Mendut berniat bunuh diri. “Mendut! Jangan!” teriak Tumenggung Wiraguna yang menyusul Rara Mendut. Namun terlambat. Rara Mendut sudah menuskkan keris yang dibawa ke perutnya. Tubuhnya pun roboh berlumuran darah di samping makam kekasihnya. (Daryatun, 2008: 944) Rara Mendut tidak menginginkan dirinya diperistri Tumenggung Wiraguna dengan membunuh diri sendiri. Jika Istri Blorong dan Nyi Kerti merelakan tubuhnya berwujud sama dengan suami, Rara Mendut merelakan nyawanya. 3. Kritis atas Kesetiaan: Jangan Lebai Berdasarkan tiga teks tersebut, dapat dirinci wujud kesetiaan perempuan kepada lelaki, yaitu menyamakan diri dan menyusul kematian. Keduanya tentu sama beratnya bagi perempuan. Menyamakan diri adalah perempuan menyamakan wujud fisiknya dengan wujud fisik lelaki. Menyusul kematian bermakna perempuan merelakan nyawanya dan menyusul kematian sang kekasih hati. Tindakan Rara Mendut, dapat dipersamakan dengan Sati. Sati merupakan tindakan bunuh diri seorang istri dengan menjatuhkan diri ke dalam upacara pembakaran mayat suami yang meninggal. Sati berangkat dari tradisi Hindu (Munoz, 2009: 483). Rara Mendut bukan masuk ke upacara pembakaran mayat, tetapi menusukkan diri ke keris Tumenggung Wiraguna. Lombard (2005: 64) menerangkan bahwa dalam tradisi Hindu-Budha, kematian dianggap sebagai proses pemuliaan atau pendewaan. Apa yang dilakukan Rara Mendut didasari oleh dua hal. Satu, Rara Mendut memiliki kesetiaan kepada Pranacitra. Dua, Rara Mendut memberontak terhadap Tumenggung Wiraguna. Ketiga cerita di atas dicetak dalam format buku dan ditujukan kepada anak-anak dengan perkiraan kelas 4 SD hingga kelas 3 SMP. Meskipun demikian, para remaja pun dengan mudah dapat menemukan cerita tersebut dengan berbagai variasi.
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
497
C. Simpulan Masa kanak-kanak adalah masa yang sangat menyukai imajinasi. Masa remaja adalah masa yang seringkali berlebih-lebihan, meskipun persoalan yang dihadapi sangatlah sederhana. Berkaitan dengan ketiga teks yang telah dibahas, konteks cerita berada pada masanya ketika hirarki atas-bawah sangat dominan dan berkuasa. Di masa kini, hierarki tetaplah ada. Dengan berkembangnya teknologi, tatanan hierarki menjadi semakin digerogoti oleh sikap dan pemikiran kesetaraan atau kesamaan kedudukan terutama berkaitan dengan relasi perempuan dan lelaki. Perempuan dan lelaki memiliki hak dan kewajiban yang sama. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari slogan Keluarga Berencana di Indonesia: “Dua anak cukup, lelaki perempuan sama saja”. Artinya, baik anak lelaki maupun anak perempuan keduanya tidaklah berbeda. Meskipun jika ditelusur lebih mendalam kenyataan di masyarakat, tetap terdapat perbedaan kedudukan antara perempuan dan lelaki. Tentu saja kesetiaan tetaplah diperlukan, baik semasa pacaran maupun dalam perkawinan. Nawun, wujud kesetiaan harus dibaca secara kritis. Wujud pembacaan kritis tersebut, misalnya melalui pertanyaan-pertanyaan lanjutan mengenai relasi perempuan dan lelaki: apakah lelaki juga dituntut untuk setia kepada perempuan. Banyak kejadian di masyarakat yang menunjukkan bahwa ketika sang istri meninggal, justru menikah lagi. Dua wujud kesetiaan sebagaimana yang dianalisis di atas bukanlah wujud kesetiaan yang dianjurkan kepada generasi sekarang ini. Karenanya, jangan lebai dalam memaknai teks, atau tidak perlu berlebih-lebihan dalam memaknai sebuah teks. Teks bisa dianggap sebagai cerminan apa adanya yang terjadi di masyarakat. Namun, teks juga merupakan refleksi. Teks adalah cerminan terbalik apa yang terjadi di masyarakat. Artinya, apa yang dikisahkan di dalam teks merupakan hal-hal yang tidak perlu diikuti atau hal-hal yang semestinya tidak dilakukan dalam realitas masyarakat. Dengan demikian, wujud menyamakan diri dan menyusul kematian tidak layak untuk diikuti. Perempuan adalah sosok tegar yang mampu mandiri. Di dalam realitas masyarakat, banyak ditemui perempuan yang ditinggal mati suami, justru melanjutkan kehidupannya dengan tetap hidup dan menghidupi keluarga. Inilah sosok perempuan yang menjadi kebutuhan di masa sekarang dan mendatang. D. Daftar Pustaka Daryatun. 2008. 366 Cerita Rakyat Nusantara. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. Kusaeri, 2009. Dongeng Rakyat Kabupaten Rembang Jilid 2. Rembang: CV Duta Mulia. Koendtjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. Lombard, Denys. 2005. Nusa Jawa: Silang Budaya 3 Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris. Jakarta: Gramedia. Munoz, Paul Michel. 2009. Kerajaan-Kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia: Perkembangan Sejarah dan Budaya Asia Tenggara (Jaman Pra Sejarah – Abad XVI). Yogyakarta: Mitra Abadi. Yudiono KS. 2009. Cerita Rakyat dari Kendal (Jawa Tengah). Jakarta: Grasindo
498
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
MERENUNGI HARI TUA BERSAMA SAPARDI DJOKO DAMONO Herman J.Waluyo PBSI FKIP Universitas Sebelas Maret Abstrak
Penyair adalah seseorang yang memiliki kepekaan emosi dan pikiran untuk mengetahui dan menangkap gejala-gejala batin yang tidak bias dipahami dan ditangkap orang biasa, dan mampu serta berani menyatakannya dengan bahasa yang jelas. Dalam usianya 74 tahun, Sapardi Djoko Damono dalam puisi terakhirnya menangkap gejala-gejala kematian yang pasti akan dialami semua orang. Misteri kematian itu dilihat, direnungkan, direfleksikan, dimasukkan dalam imajinasinya, dan dengan daya gaibnya diwujudkan di dalam puisi-puisi renungan kematian yang turut diresapi oleh penulis. Ia memberikan peringatan kepada setiap orang jalan yang pasti dilalui. Meski berkali-kali diberitakan meninggal dunia, ternya sang penyair hebat ini masih berkarya hingga saat ini. Kata Kunci: puisi, hari tua, Sapardi Djoko Damono
A. Pengantar Ada persamaan antara diri saya dengan Sapardi, yaitu bahwa sama-sama sudah tua, dan sudah menjadi emeritus. Hanya sangat berbeda, yaitu Sapardi adalah penyair besar yang sangat produktif dan kreatif, yang di hari tuanya tetap masih bisa menggetarkan otak, kreativitas, dan imajinasinya untuk menulis puisi. Ia juga rajin memublikasikan puisi-puisinya itu dengan mudah dan terbiasa, berbeda dengan diri penulis. Puisi terakhirnya yang akan diterbitkan berjudul Babad Batu. Beberapa puisi yang akan dibahas di sini adalah puisi-puisi yang dimuat dalam Kompas Minggu, 19 Oktober 2014. Puisi-puisi Sapardi sebagian besar merenungkan benda atau peristiwa sederhana atau sehari-hari, namun dapat dijadikan renungan mendalam tentang kehidupan. Kita jumpai judul-judul sederhana seperti berikut yang digunakan untuk merenungkan hal-hal besar yang luar biasa: mata pisau, hujan bulan Juni, setangan kenangan, pertapa, telinga, sehabis mengantar jenazah, apa kabar, den Sastro, perahu kertas, ayat-ayat api, Marsinah, suatu siang di kota M, yang kuminta hanyalah, dan ratusan puisi lain yang tidak menggunakan kata yang besar-besar, hebat-hebat, filosofis, namun isinya dapat dijadikan renungan jiwa yang mendalam tentang keberadaan manusia (kita). B. Pulang dari Pemakaman Teman Salah satu dari 7 puisi Saparti dalam Kompas Minggu tersebut berjudul seperti karyanya ketika masih di Madiun sekitar tahun 1960-an, yaitu Sehabis Mengantar Janazah. Di dalam puisi ini, penyair membuat judul Pulang dari Pemakaman Teman. Peristiwa pemakaman, jika didengar dan dipikir sepintas lalu, hanyalah peristiwa biasa, berita biasa yang setiap hari bisa didengar atau diberitakan. Namun bagi penyair yang sangat sensitif ini peristiwa kematian temannya menjadi bahan renungan, mengapa yang mati dia dulu, bukan dirinya (penyair yang pincang memakai tongkat rotan). Ia merenungkan betul kematian temannya itu, bahkan juga orang-orang yang dikubur di kuburan yang menjadi saksi bagi kematian temannya. Sebelum dikisahkan tentang diri aku lirik yang begitu memikirkan kematian itu, ia melukiskan bagaimana orang-orang yang melayat memandang kematian itu suatu peristiwa yang biasa-biasa saja. Yang pakai jas hitam tetap membicarakan proyek-proyeknya, yang pakai sarung pelekat bicara sendiri dengan istrinya untuk tidak ke Mol Firdaus, yang tadi pidato sambil sesenggukan melayani anaknya yang ingin main gadget, yang pakai sepatu kets malah bercerita kepada temannya tentang pemindahan dirinya ke bagian yang kering, anak muda pakai songkok merah kegedean malah merangkul istrinya dan berbisik-bisik, yang berbaju batik dan terus mengomel tentang cuaca mengeluh melulu tentang anaknya,
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
499
meskipun mereka sudah memiliki akses. Pada prinsipnya, para pelayat itu sibuk sendirisendiri dan sama sekali tidak merenungkan tentang kematian teman aku lirik itu. Mereka sama sekali tidak susah atas peristiwa kematian itu. Berbeda dengan penyair (aku lirik). Yang berjalan pincang-pincangan memakai tongkat rotan (yakni saya) tidak mau bicara. Ia bertanya dalam batin: mengapa teman yang baru dimakamkan itu sampai hati benar mendahului dirinya. Mungkin demikianlah renungan setiap orang tua. Kedatangan kematian selalu menjadi tanda tanya. Jika temannya meninggal, teman yang sakit-sakitan (pincang dan bertongkat karena pernah patah tulang kakinya) itu akan bertanya mengapa tidak dirinya dulu yang meninggal. Meninggal dunia adalah sejarah yang akan terjadi pada setiap orang dan mestinya menjadi bahan refleksi pemikiran. C. Memilih Jalan Puisi ini pun berbicara tentang kematian. Di hari tua, seseorang akan memilih jalan menuju sangkan paraning dumadi. Misteri kematian menyebabkan sang penyair perlu memilih jalan. Bagi seorang pensiunan Guru Besar yang pernah menduduki jabatan penting di Universitas dan juga menjadi orang yang terkenal, Sapardi tentu harus mampu menunjukkan jalan yang dipilih itu. Jalan kecil ini berujung di sebuah makam dan kau bertanya/Kenapa tadi kita tidak mengambil jalan yang satunya. Tapi kenapa kau tidak bertanya.“Untunglah kita tidak mengambil jalan itu tadi”. Memang absurd jalan ini kenapa ada ujungnya dan tidak/ menjulur saja terus-menerus sampai pada batas yang seharusnya/ yang tidak perlu ada. (ternyata masih tetap ada yang berujung pada kalimat yang/ tampaknya memerlukan tanda tanya). (Kompas Minggu, 19 Okt.014 :28) Semua orang tidak salah memilih jalan (ke kuburan). Jalan ke kuburan adalah jalan semua orang, jalan kita semua. Ketika masih muda, mungkin kita kurang menyadari akan hal itu, tetapi setelah tua seperti penyair (dan saya) sadar betul bahwa jalan itu keniscayaan yang tidak pernah diragukan. Mungkin kita salah memilih jalan itu, tetapi tidak seorang pun yang salah karena menyuruh atau memberi contoh. Jalan itu adalah jalan yang tidak bisa dihindari oleh siapa pun juga. Di dalam menempuh jalan ke arah tempat terakhir itu, dilalui comberan bekas hujan, dan juga bekas comberan sehabis hujan.Orang-orang yang baru dikejutkan oleh jalan itu berteriak menanyakan rumah ibadah. Di rumah itulah tersedia bekal perjalanan yang ternyata kemudian sampai ke jalan buntu. Penyair merasa, bahwa kuburan adalah jalan buntu karena perjalanan itu akhir kisah tidak bisa dilanjutkan ke jalan lain lagi. Jalan buntu itu hanya dijumpai saat pejalan sampai di sana. Kemarin jalan buntu itu tidak ada. Mengapa baru setelah tiba di sana (kuburan) jalan itu menjadi buntu? Penyair tidak dapat menjawab.“Sebaiknya kautanyakan saja kenapa jalan buntu ini sekarang ada”. D. Sejak Sampai Jalan Buntu Seperti Chairil Anwar dan Rendra, Sapardi juga dapat menafsirkan bagaimana maut akan datang padanya dan bagaimana wujud dirinya yang selama ini disayang-sayang, dibedaki, diberi minyak angin, diberi obat gosok, dan obat organ dalam yang sangat mahal itu. Kita tidak lagi berhak mengucapkan apa pun sejak cuaca yang/ sangat kalut ini nyatanyata bermuara di mulut. Kata yang tumbuh dari diri kita yang subur dalam denyut jantung / dan serabut-serabut darah di otak kita telah disihir menjadi/ warna-warni angin dan semerbak api dan suara lebam yang/ memadamkan hujan.
500
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
Duka ganjil yang tumbuh dari bayang-bayang rebut-ribut ini/ tak juga bisa kita kebaskan. Lidah kita mengecap tiga tetes air dan sebutir pasir. (Kompas, 19 Okt.014 :28) Meskipun masih kabur, penyair ingin merasakan secara fisik bahwa tubuh kita, baik organ dalam maupun luar sudah rusak dan berubah. Ketajaman pikiran, kejernihan detap jantung, kelembutan urat darah yang selalu dipelihara dengan kasih sayang, bahkan juga otak telah disihir menjadi warna-warni angin dan semerbak api dan suara lebam yang memadamkan hujan. Selanjutnya di dalam kubur, hanya dapat dibayangkan orang akan mencecap tiga tetes air dan sebutir pasir. Di dalam “Memilih Jalan” penyair sudah mengatakan absurd, namun bukankah bayangan ini lebih absurd? E. Penyeberang Sungai dan Bonggol Kayu Memikirkan aneka macam peristiwa yang kecil-kecil dalam kehidupan menjadikan seseorang sadar akan keberadaannya, eksistensinya. Dalam menyeberangi sungai penyair merasakan betul eksistensinya, sehingga ketika sampai ke tepi barat sungai, ia duduk di bonggol kayu, ia mencoba merenungkan mengapa bonggol kayu itu berada di situ. Kebanyakan orang tidak sadar keberadaan dirinya ketika ia sedang melewati suatu tempat. Namun penyair lebih sadar diri ketika melihat semut yang beriring-iringan (meskipun semut sama sekali tidak memperhatikan dirinya), melihat ular kecil berwarna hijau (yang juga tidak memperhatikan dirinya), melihat kura-kura memanjat tebing sungai sangat pelan (ia tidak peduli waktu). Penyair sadar betul akan keberadaannya (cogito ergo sum) meskipun tidak dipedulikan orang. Untuk lebih kuat kesadarkan dirinya, penyair menyeberang lagi sungai itu ke pinggir sebelah timur. Sesampai di tepi timur, ia ingin meyakinkan bahwa dirinya pernah duduk di bonggol kayu itu. Maka ia menyeberang lagi ke tepi barat. Namun, di tengah sungai itu, ia ingin berhenti berpikir dan membiarkan segala yang terjadi biar terjadi tanpa mendapat perhatian atau pemikiran eksistensinya. Tepat di tengah sungai/ ia berhenti dan berpikir/ sebaiknya dibiarkan saja/ semua ingatan/ tentang bonggol kayu/ yang pernah didudukinya. Ia memilih menjadi buih/ menggelembung putih/ mengikuti keriput air/ yang menghilir/ menuju tubir. (Kompas 19-10-014 :28) Tadinya penyair berusaha mempertanyakan dan mendapat jawaban akan semua peristiwa dan rahasia kejadian di dunia ini, namun akhirnya menyadari bahwa sebaiknya ikut aliran air (menjadi buih, menggelembung putih, mengikuti keriput air). Tujuannya ikut ke mana? Ke mana lagi kalau tidak ke kematian (yang menghilir menuju tubir). F. Aku Melambaikan Tangan Puisi ini mungkin lebih absurd. Ketika sukma sudah keluar dari raga, sukma itu tidak mengenal diri fisiknya lagi. Penyair memiliki interpretasi demikian karena tidak ada respons atas lambaian tangan itu. Aku melambaikan tangan di sela-sela cahaya sore yang tampaknya/ sudah sangat ingin lesap. Tetapi kau bilang kau tidak pernah mengenalku. Ketika ada anak-anak bersepeda liwat Aku dengar jeritan-jeritan yang dulu pernah menjadi bagian hidup kita.
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
501
Tetapi kaubilang kau tak pernah mengenalku. Di seberang danau ada yang memperhatikan kita Ketika kulambaikan tangan sore itu Tak pernah ada yang sia-sia ketika bedug Magrib menularkan cahaya merah. (Kompas, 19 Okt 014 :28) Dalam puisi terakhir ini, Nampak kesendirian penyair.Renungan-renungan tentang kematian menunjukkan kesendirian penyair dalam menghadapi hidup. Pikirannya merenungkan tentang orang lain dan tidak berpikir bagaimana orang lain memikirkan dirinya. Renungan bahwa roh dan daging sudah berpisah sama sekali dan tidak saling mengenal ini menyebabkan seseorang perlu mengenang peristiwa masa lalu ketika bersatu-padu dalam suka dan duka. G. Akhirul Kalam Merenungkan hari tua bersama penyair besar nampaknya dapat memperkaya batin kita bahwa hari itu pasti datang dan akhir perjalanan itu pasti sampai. Bagi penyair besar seperti Sapardi, masalah teknis dan sarana estetika puisinya tentulah cukup bernilai literer. Makna puisi-puisinya cukup tinggi karena merenungkan tentang kehidupan, keberadaan manusia, dan perjalanan ke hari akhir yang merupakan misteri hidup bagi semua orang. H. Daftar Pustaka Bakdi Sumanto, Chr. 2008. Sapardi Djoko Damono Penyair dan Karyanya. Jakarta: Gramedia Sapardi Djoko Damono. 2004. Ayat-ayat Api. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. __________. 2014. “Puisi Sapardi Djoko Damono”. Kompas Minggu, 19 Oktober 2014, Hal. 28.
502
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
PENGENALAN BUDAYA INDONESIA DALAM NOVEL SEJARAH MELALUI PROGRAM BIPA Hespi Septiana Universitas Negeri Surabaya Abstract
One of the objectives of BIPA program is to introduce Indonesian cultures. Literary work is one of supporting teaching materials which is able to be used to deliver Indonesian culture. History novel is one of literary work which full of cultural heritage because history novel is reflection of Indonesian cultures. The results of the analysis are (1) Rara Mendut novel describes the cultures of Javanese society during the Islamic Kingdom of Mataram, such as way of life, customs, beliefs, and habits (2) Rara Mendut novel by Y.B Mangunwijaya is able to be used as teaching material of introduction Indonesian culture on advanced learners of BIPA program. Keywords: BIPA teaching, History novel, Rara Mendut novel, Indonesian culture
A. Pendahuluan Salah satu materi ajar Program BIPA adalah mempelajari dan mengenal budaya Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut pengajar BIPA harus bisa memilih bahan ajar yang tepat. Pemilihan bahan ajar yang tepat berarti dengan bahan yang tidak membosankan, contohnya hasil karya sastra. Karya sastra bersifat menghibur dan berisi tentang nilai-nilai kehidupan manusia. Sastra adalah hasil imajinasi pengarang tentang kehidupan sosial dan kebudayaan masyarakat. Wellek dan Warren (dalam Sangidu 2004: 34) menyatakan sastra adalah suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni. Sastra juga merupakan hasil kebudayaan, sehingga sastra tidak dapat lepas dari konteks sosial dan budaya. Sastra dan budaya saling mempengaruhi. Hubungan di antara keduanya adalah timbal balik dan saling mengikat. Senada dengan pernyataan di atas Sumardjo (1982: 30) yang menyatakan sastra merupakan produk dari masyarakat dan mencerikakan atau mencerminkan kehidupan masyarakat tersebut. Novel sejarah merupakan salah satu bahan ajar yang bisa digunakan oleh pengajar BIPA tingkat mahir. Novel sejarah yang berisi tentang struktur historis dan strukrur kebudaayaan Indonesia akan memudahkan pebelajar mengenal budaya Indonesia. Selain dapat mengenalkan budaya, dengan membaca novel pembelajar. Novel sejarah biasanya menggunakan diksi yang tinggi dan banyak istilah yang tidak lazim digunakan dalam percakapan sehari-hari maka dari itu pengajar harus mendampingi pembelajar dalam proses membaca. Pembelajar yang diberi materi ini adalah pembelajar BIPA pada tingkat lanjut jadi pemahaman mereka tentang bahasa indonesia sudah baik. Apabila mereka mendapatkan kesulitan dalam proses memahami bacaan, mereka disuruh membuat daftar pertanyaan tetang bacaan yang tidak dimengerti atau pengajar membuat sinopsis dahulu tentang novel tersebut. Salah satu novel sejarah yang menceritakan tentang kultur Jawa pada masa pemerintahan Mataram Islam adalah novel Rara Mendut karya Y. B. Mangunwijawa.Y.B. Mangunwiijaya menggambarkan dua lapisan kehidupan yang berbeda yaitu kehidupan masyarakat kawula alit atau rakya jelata dan kehidupan di keraton. Mangunwijaya juga menceritakan tentang budaya Jawa patriarkhi pada sudut pandang masyarakat Jawa pada tahun 1600-an yaitu budaya menuntut seorang gadis harus selalu patuh pada kaum laki-laki, perempuan tidak punya hak bercita-cita kecuali menjadi istri yang selalu di rumah mengurus suami dan anakanaknya, tidak berhak menolak kemauan orang tua untuk menetukan siapa yang akan ia pilih menjadi suami. Taine (dalam Wardani, 2009:56) berpendapat bahwa sastra bukanlah permainan imajinasi saja, tetapi juga merupakan rekaman tatacara zamannya. Sebuah karya sastra tidak dapat dipisahkan dengan lingkungan atau kebudayaan yang menghasilkannya. Pengarang
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
503
menciptakan sebuah karya sastra selalu disesuaikan dengan tempat atau lingkungannya tinggal. Seperti pada novel Rara Mendut, Romo Mangun menjelaskan secara detail kehidupan dan tatacara kebudayaan keraton Mataram pada masa kejayaan Tumenggung Wiraguna. Koentjaraningrat (dalam Muchtarom, 1988:3) telah menggambarkan stratifikasi Jawa dengan mencoba menganalisis dan membuat perbedaan yang jelas antara pembagianpembagian masyarakat Jawa yang horisontal dan vertikal. Menurutnya orang jawa sendiri membedakan empat tingkat sosial sebagai stratifikasi status; yaitu dhara (bangsawan), priyayi (birokrat), wong dagang atau saudagar (pedagang) dan wong cilik (orang kecil, rakyat kecil) .pendapat lain dari Burger (Muchtarom, 1988:4) membagi masyarakat Surakarta dan Yogyakarta menjadi tiga kelas sosial. Pertama, ada para sentana dalem atau kerabat raja penguasa yang digolongkan sebagai kelompok bangsawan dan raja. Kedua, terdapat para abdi dalem yaitu para pegawai dan birokrat raja. Ketiga, ada para kawulo dalem, ialah massa atau mereka yang diperintah. Dari pendapat pakar di atas dapat disimpulkan bahwa pada masyarakat Jawa menganut sistem klasifikasi, dari golongan atas yaitu bangsawan sampai golongan bawah yaitu kawula alit (orang kecil atau rakyat jelata). Perbedaan golongan tersebut juga diikuti oleh perbedaan tatacara kehidupan, adat-istiadat, kebiasaan, cara bersikap. Semua sudah ada aturannya dan masyarakat wajib mematuhinya. B. Pembahasan Novel Rara Mendut adalah novel sejarah karya Y.B. Mangunwijaya yang mengandungnilai sosial budaya dan historis (sejarah) yang ada di Jawa. Pada novel tersebut pengarang memaparkan nilai-nilai kebudayaan Jawa, kehidupan masyarakat keraton, wong cilik, dan mitos masyarakat Jawa. 1. Kebudayaan Masyarakat Keraton Pada novel Rara Mendut karya Y. B. Mangunwijaya lebih bayak bercerita tentang kekuasaan Mataram yang menguasai daerah jawa Dari Cirebon sampai Blambangan. Sri Susuhunan (Raja Mataram) juga digambarkan sebagai sosok penguasa yang sangat berwibawa dan terhormat. Dijelaskan pula upacara-upacara resmi kerajaan yang sangat khidmat dan semuanya sangat patuh dengan perintah raja. Tumenggung yang akan menghadap raja harus jalan merangkak yang mencium kaki Raja. Itulah bentuk kesetiaan dan pengabdian kepada sang raja. Pranata Acara mempersilakan Tumenggung Wiraguna untuk maju. Panglima besar maju dengan merangkak, hidung di lantai, menurut adat penghormatan yang berlaku. (Mangunwijaya, 2009:65)
Di manapun raja berada tidak diperbolehkan seorang pun menatap wajah raja, karena ia akan mendapat hukuman mati jika berani melakukan itu. Perintah raja tidak boleh sekalipun diabaikan atau ia akan mendapatkan hukuman yang berat dari kerajaan. Maka saat raja menghadiahkan beberapa putri kepada Tumenggung Wiraguna untuk dijadikan selir garwa padmi juga harus menerima perintah itu dengan senang hati. Tidak diperkenankan bagi seorang Permaisuri (garwa padmi) atau selir mempunyai perasaan cemburu bila suaminya yang menjadi pejabat kerajaan itu dihadiahi putri-putri cantik untuk dijadikan selir selanjutnya. Hal tersebut harus dibuang jauh-jauh karena pemberian raja adalah anugrah yang tidak boleh ditolak. Malam-malam ditengah rimba penuh suara-suara binatang: burung-burung kebluk, burung hantu, uhu, jangkrik; bahkan tidak kadang-kadang harimau-harimau meraun di kejauhan. Sama sekali lain dari suasana istana dengan klenengan gamelan dan uyon-uyon. Dimana seolah-olah tercicipi surga nikmat. (Mangunwijaya, 2009:29)
504
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
Kutipan di atas menjelaskan tentang kebudayaan keraton yang setiap harinya diiringi alunan lagu-lagu jawa yang memberikan ketentraman kepada penghuni istana. Novel Rara mendut memberikan pengetahuan kepada pembaca tentang nilai-nilai kebudayaan Jawa khususnya keraton Mataram karena Pengarang banyak menjelaskan perihal-perihal yang berkaitan dengan kebudayaan Kerajaan. Seperti pada kutipan di bawah ini yang menjelaskan tentang atribut yang digunakan oleh raja, seperti: baju, atau mahkota, hiasan telinga, dan rompi Raja. Di kerajaan mataram budaya pesta penyambutan untuk Prajurit yang menang di medan perang wajib dilakukan. Semua harus disiapkan secara matang oleh Garwa padmi dan selir-selir kerajaan agar perayaan berlangsung sukses. Pada malam perayaan itu berisi pertunjukan tari yang berasal dari daerah-daerah. Semua harus ikut bergembira bahkan malam perayaan itu dihalalkan bagi masyarakan melakukan perselingkuhan. Kebudayaan adalah warisan nenek moyang, namun sebagai manusia yang sudah berakal budi seharusnya manusia mampu membedakan kebudayaan yang perlu dilestarikan dan yang harus ditinggalkan. Melakukan perayaan kemenangan boleh saja asal tidak melakukan perbuatan menyimpang dari norma agama. 2. Kekuasaan Kerajaan terhadap Wong Cilik Berdasarkan hasil temuan novel Rara Mendut tentang struktur sosial masyarakat wong cilik berada di lingkungan asal Rara Mendut yaitu daerah Teluk Cikal dan di daerah kampung sekitar puri Wiraguna. Kehidupan Priyayi keraton sangat berbeda dengan kehidupan wong cilik. Wong Cilik atau masyarakat kecil adalah masyarakat kalangan bawah yang menjalankan perintah yang dibuat raja. Maka dari itu rakyat kecil sangat berharap perlindungan yang diberikan kepada mereka sangat aman. Kebanyakan wong cilik(rakyat jelata)bekerja menjadi petani di ladang dan sawah atau sekadar menggarap sawah milik orang lain dan akan mendapatkan sebagian dari hasil panen untuk upahnya. Kalau yang hidup di pesisir, tidak peduli perempuan atau laki-laki mereka harus berjuang melawan ombak demi mendapatkan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Wong cilik juga tidak diperbolehkan menolak permintaan petinggi-petinggi kerajaan. Seperti saat Rara Mendut dijemput di pantai oleh prajurit Kadipaten Pati karena ingin diperistri Adipati Pragola tidak ada satu pun yang berani melawan. 3. Mitos Masyarakat Jawa Mitos adalah kepercayaan yang dianut masyarakat. Mitos di kalangan masyarakat Jawa masih sangat kental. Ada beberapa yang mempunyai pesan mendidik untuk kebaikan masyarakat tetapi ada juga yang tidak masuk akal dan sebaiknya ditinggalkan. Seperti “anak kecil jangan keluar rumah sehabis magrib, nanti digondol wewe. Hal tersebut hanya mitos belaka namun mempunyai pesan yang baik yaitu seorang anak sebaiknya berada di rumah kalau sudah sore hari agar tidak mengkhawatirkan orang tua. Ada juga mitos yang tidak diperbolehkan seorang anak berkata kotor pada malam jumat, karena dipercaya akan mendapatkan petaka. Hal tersebut hanyalah mitos belaka tetapi juga mempunyai pesan yang baik agar anak tidak berkata kotor. Namun hal buruknya sang anak hanya takut berkata kotor saat malam jumat saja. Romo Mangun sangat memahami tentang mitos-mitos masyarakat Jawa karena ia adalah orang Jawa. Namun karena Romo Mangun adalah orang modern dan berpendidikan tinggi tentu ia tidak mempercayai tahayul. Ia lebih berpikir secara logis. Terkadang orang yang masih terlalu percaya dengan mitos dan tahayul akan sulit mengikuti perkembangan zaman. Namun mitos juga harus dilestarikan karena termasuk budaya daerah. Keyakinan masyarakat Jawa terhadap hal-hal mistis masih sangat kental. Masih banyak yang percaya kekuatan suatu benda seperti benda pusaka. Benda pusaka adalah benda yang berpusat pada ruh yang bersemayam pada benda tersebut. Mereka masih sering melakukan budaya ritual memandikan benda-benda pusaka sambil membakar kemenyan.
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
505
Dari hasil analisis nilai budaya yang terkandung dalam novel Rara Mendut karya Y.B. Mangunwijaya, novel tersebut bisa digunakan sebagai bahan ajar pengenalan budaya Indonesia pada PembelajarProgram BIPA tingkat mahir. Setelah pembelajar membaca novel tersebut mereka sudah bisa melihat gambaran kebudayaan masyarakat Jawa pada masa kerajaan Mataram Islam, seperti adanya golongan-golongan yang ada pada masyarakat Jawa, adat kehidupan keraton, tari tayub, dan mitos-mitos yang dipercaya oleh masyarakat Jawa. 4. Desain dan Teknik Keterampilan Berbahasa melalui novel Rara Mendut Novel Rara Mendut dapat digunakan dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Melalui berbagai keterampilan berbahasa seperti pembelajaran menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Penggunaan bahan ajar novel ini bertujuan agar kemampuan keterampillan dan pemahaman mahasiswa asing tentang bahasa Indonesia semakin meningkat. Kegiatan menyimak, pengajar membuat sinopsis tentang novel Rara Mendut kemudian membaca sinopsis tersebut dan pembelajar menyimak. Setelah selesai menyimak pembelajar diberi beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan budaya-budaya masyarakat Jawa yang tadi sudah dibacakan oleh pengajar. Bisa juga dengan merekam sinopsis kemudian pembelajar disuruh menyimaK hasil rekaman. Kegiatan yang kedua adalah berbicara, pengajar dapat menceritakan cerita dari budaya– budaya Jawa yang ada pada Novel Rara Mendut, kemudian pembelajar disuruh mencari sumber-sumber lain berkaitan dengan budaya-budaya tersebut dan menceritakan kembali tentang budaya-budaya yang telah mereka pelajari. Bisa juga mereka disuruh mengaitkan dengan budaya-budaya yang ada di negara mereka kemudian mereka kemukakan di muka kelas. Kegiatan yang ke tiga adalah kegiatan membaca, pembelajaran dapat dilakukan dengan membaca intensif. Pembelajar disuruh membaca secara intensif dan membuat daftar pertanyaan mengenai hal-hal yang belum dipahami. Apabila pebelajar masih kesulitan, pengajar bisa membantu dengan membuatkan sinopsis tentang novel Rara Mendut karya Y. B. Mangunwijaya kemudian dibaca oleh pembelajar. Tahap yang terakhir adalah kegiatan menulis, pada tahap ini pembelajar disuruh membuat sinopsis dari novel Rara Mendut karya Y.B. Mangunwijaya yang telah mereka baca. Apabila praktik tersebut masih sulit bagi mereka, maka sebagai langkah awal mereka diminta menulis kembali tentang budaya-budaya Jawa yang terkandung dalam novel dan mengomentarinya. C . Simpulan Berpijak dari hasil analisis yag telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa Novel Rara Mendut adalah novel sejarah karya Y.B. Mangunwijaya yang mengandung nilai sosial budaya dan historis (sejarah) yang ada di Jawa. Pada novel tersebut pengarang memaparkan nilai-nilai kebudayaan Jawa, kehidupan masyarakat keraton, wong cilik, dan mitos masyarakat Jawa. Dari hasil analisis nilai budaya yang terkandung dalam novel Rara Mendut karya Y.B. Mangunwijaya, novel tersebut bisa digunakan sebagai bahan ajar pengenalan budaya Indonesia pada Pembelajar Program BIPA tingkat mahir. Mahasiswa akan mengetahui budaya-budaya jawa yang ada di novel Rara Mendut seperti golongangolongan yang ada pada masyarakat Jawa, adat istiadat keraton, tari tayub, dan mitos-mitos yang dipercaya oleh masyarakat Jawa. Novel Rara Mendut dapat digunakan dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Melalui berbagai keterampilan berbahasa seperti pembelajaran menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Penggunaan bahan ajar novel ini bertujuan agar kemampuan keterampilan dan pemahaman mahasiswa asing tentang bahasa Indonesia semakin meningkat
506
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
D. Daftar Pustaka Mangunwijaya, Y.B. 2009. Rara Mendut. Jakarta: Gramedia. Muchtarom, Zaini. 1988. Santri dan Abangan di Jawa. Jakarta: INIS. Sangidu. 2004. Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, Metode, Teknik, dan Kiat. (tempat): Unit Penerbitan Sastra Asia Barat, Fakultas Ilmu Budaya. Santosa, Imam Budhi. 2007. Spiritualisme Jawa. Yogyakarta: Melayu Publishing. Sumardjo, Jacob dan Saini K. M. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia. Wardani, Nugraheni Eko. 2007. “Fiksi Karya Pengarang Perempuan Muda Indonesia 2000 dalam Perspekstif Gender”. Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya. Vol. 5, No 1. Hal. 77. __________ . 2009. Makna Totalitas dan Karya Sastra. Surakarta: UNS Press. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Utama Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
507
BENTUK DAN TEMA PUISI KARYA SISWA SD/MI DI LINGKUNGAN NELAYAN CIREBON Indrya Mulyaningsih IAIN Syekh Nurjati Cirebon Abstract
This paper is the result of research conducted during July-September 2014. The purpose of this study was to describe and explanation forms with themes of poetry written by students of SD / MI in the fishing district. Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon. 85 samples are analyzed poetry and context. Form of poetry that are written, including: a) narrative (12%), b) lyrics (80%), and c) platonic (8%). The composition of the theme: parents (22%), natural (22%), aspiration (21%), education (11%), heroes (5%), and religion (4%). Keywords: fishing district, poetry, student, theme
A. Pendahuluan Pemberlakuan Kurikulum 2013 meminta para guru untuk mengubah pembelajaran menjadi lebih kreatif, inovatif, dan menyenangkan. Pembelajaran yang dilakukan di kelas hendaknya mampu menghasilkan generasi kreatif, yakni generasi yang memiliki cara berpikir orang-orang jenius (Semiawan dan Rachman, 2013: vii). Salah satu kreativitas yang ditunjukkan oleh peserta didik berupa kemampuan dalam berbahasa. Salah satu bidang yang memerlukan kemampuan berbahasa adalah sastra. Sebuah karya sastra sangat dipengaruhi oleh kemampuan pengarang dalam mengolah kata. Karya sastra meliputi prosa, drama, dan puisi. Prosa terdiri atas cerita pendek, cerita bersambung, roman, dan sebagainya. Drama berupa naskah yang kemudian akan diperankan dan ditampilkan di panggung. Sementara puisi dapat berupa gurindam, satire, pantun, dan sebagainya. Karya sastra memiliki peran dalam membentuk karakter seseorang. Demikian pula puisi. Puisi memiliki manfaat yang tidak bisa dianggap remeh karena dapat menjadi sarana penyampaian ide yang efektif. Selain itu, puisi juga dapat menjadi hiburan dan membentuk pandangan hidup pembaca. Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan “Bagaimanakah bentuk dan tema puisi yang ditulis oleh siswa SD/MI di lingkungan nelayan Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon?” Adapun penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan mengeksplanasikan bentuk serta tema puisi yang ditulis oleh siswa SD/MI di lingkungan nelayan Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon. B. Hakikat Puisi 1. Pengertian Puisi Secara etimologi, istilah puisi berasal dari bahasa Yunani poeima ‘membuat’ atau poeisis ‘pembuatan’, dan dalam bahasa Inggris disebut poem serta poetry. Puisi diartikan ‘membuat’ dan ‘pembuatan’ karena melalui puisi pada dasarnya seseorang telah menciptakan suatu dunia tersendiri, yang mungkin berisi pesan atau gambaran suasana-suasana tertentu, baik fisik maupun batiniah. Mengutip pendapat Mc. Caulay, Hudson (dalam Hartoko, 1989: 134) puisi adalah salah satu cabang sastra yang menggunakan kata-kata sebagai media penyampaian untuk membuahkan ilusi dan imajinasi, seperti halnya lukisan yang menggunakan garis dan warna dalam menggambarkan gagasan pelukisnya. Sementara itu menurut Waluyo (2008: 28) puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif serta disusun dengan mengonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya. Sementara menurut Suroso (2009: 2-3) secara sederhana puisi dapat
508
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
dirumuskan sebagai sebentuk pengucapan bahasa yang memperhitungkan adanya aspek bunyi-bunyi di dalamnya yang mengungkapkan pengalaman imajinatif, emosional, dan intelektual penyair. Hal tersebut diperoleh dari kehidupan individual dan sosial penyair yang diungkapkan dengan teknik pilihan tertentu. Maka puisi tersebut mampu membangkitkan pengalaman tertentu pula dalam diri pembaca atau pendengarnya. Berdasarkan uraian tentang beberapa pengertian di atas, puisi dapat didefinisikan salah satu bentuk kesusastraan yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif serta disusun dengan mengonsentrasikan semua kekuatan bahasa, yakni dengan mengonsentrasikan struktur fisik dan struktur batinnya. 2. Macam-Macam Puisi Ditinjau dari bentuk maupun isinya, puisi terdiri dari beragam genre. Ragam puisi itu dibedakan dalam beberapa kelompok, yaitu a. Puisi naratif, yakni puisi yang di dalamnya mengandung suatu cerita dengan pelaku, perwatakan, setting, maupun rangkaian peristiwa tertentu yang menjalin suatu cerita. b. Puisi lirik, yakni puisi yang berisi luapan batin individual penyairnya dengan segala macam endapan pengalaman, sikap, maupun suasana batin yang melingkupinya. c. Puisi fisikal, bersifat realitis artinya menggambarkan kenyataan apa adanya. Hal-hal yang dilihat, didengar, atau dirasakan merupakan objek ciptaannya. d. Puisi platonik, adalah puisi yang sepenuhnya berisi hal-hal yang bersifat spiritual atau kejiwaan. e. Puisi subjektif, disebut puisi personal, yakni puisi yang mengungkapkan gagasan, pikiran, perasaan, dan suasana dalam diri penyair. 3. Tema Puisi Tema merupakan salah satu bagian dari puisi. Pengertian tema dalam karya sastra menurut Stanton (1988: 66) adalah makna yang dikandung oleh sebuah karya. Tema merupakan ide yang mendasari suatu cerita sehingga mampu memaparkan suatu karya fiksi yang diciptakannya. Pendapat senada disampaikan Suroto (1989: 134), yang menyatakan tema adalah pokok persoalan yang menjadi bahan pemikiran pengarang yang kemudian hendak disampaikan kepada penikmat atau pembaca. “Theme is the meaning the story releases; it may be the meaning the story discovers”(Kenney,
1966: 91). Tarigan (1984: 125) menyatakan tema merupakan hal yang penting dalam sebuah cerita. Suatu cerita yang tidak mempunyai tema dikatakan tidak ada gunanya. Meskipun pengarang tidak menjelaskan apa tema ceritanya secara eksplisit, hal itu dapat disimpulkan dan dirasakan oleh pembaca pada saat selesai membaca cerita. Demikian juga Fananie (2000: 84) berpendapat tema adalah ide, gagasan, atau pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi ciptaan karya sastra. Tema dapat berupa persoalan moral, etika, agama, sosial budaya, tehnologi, dan tradisi yang terkait erat dengan masalah kehidupan. Namun, tema bisa berupa pandangan pengarang, ide, atau keinginan pangarang dalam menyiasati persoalan yang muncul. Tema menurut Waluyo (2008: 124) merupakan gagasan pokok atau subject-master yang dikemukakan oleh penyair. Pokok pikiran atau pokok persoalan itu begitu kuat mendesak dalam jiwa penyair, sehingga menjadi landasan utama pengucapannya. Jika desakan yang kuat itu berupa hubungan antara penyair dengan Tuhan, maka puisinya bertema ketuhanan, jika desakan yang kuat berupa rasa belas kasih atau kemanusiaan, maka puisi bertema kemanusiaan. Dengan latar belakang pengetahuan yang sama, penafsir-penafsir puisi akan memberikan tafsiran tema yang sama bagi sebuah puisi karena tema puisi bersifat lugas, objektif, dan khusus. Tema puisi harus dihubungkan dengan penyairnya, dengan konsepkonsepnya yang terimajinasikan. Oleh sebab itu, tema bersifat khusus (penyair), tetapi objektif (bagi semua penafsir), dan lugas (tidak dibuat-buat). Menurut Nurgiyantoro (2009: 70) tema dapat dipandang sebagai gagasan dasar umum sebuah karya sastra. Gagasan dasar umum
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
509
inilah yang tentunya telah ditemukan sebelumnya oleh pengarang dan dipergunakan untuk mengembangkan cerita. C. Pembahasan 1. Bentuk Puisi Puisi sebagai salah satu cara dalam menyampaikan isi hati yang dimiliki penulis. Penulis memiliki kebebasan penuh dalam memilih bentuk puisi. Bentuk puisi yang umum digunakan oleh anak-anak nelayan di Bandengan, Mundu dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni puisi naratif, puisi lirik, dan puisi platonik. a. Puisi Naratif Puisi naratif merupakan puisi yang berupa cerita. Dalam cerita terdapat alur, latar, dan tokoh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk puisi ini ditulis oleh 12% anak-anak Bandengan, Mundu. Hal ini tercermin pada puisi berikut. Puisi tersebut bercerita tentang guru. Guru merupakan orang tua bagi penulis. Hal tersebut terdapat pada kalimat ‘engkau bagaikan orang tuaku...’. Penulis berusaha menceritakan bahwa seorang guru memiliki jasa yang luar biasa. Guru dapat membuat seseorang yang tidak dapat membaca menjadi dapat membaca; tidak dapat menulis menjadi dapat menulis; tidak dapat menghitung menjadi dapat menghitung. Hal ini ditunjukkan pada kalimat ‘dan kau terus bersabar mengajariku hingga kubisa membaca, menulis, dan menghitung’.
Penulis ingin bercerita bahwa jasa guru begitu besar. Selain itu, seorang guru memiliki kepribadian yang baik. Hal ini dibuktikan dengan sikap sopan dan santun yang dimiliki. Menurut penulis, sopan santun itu juga diajarkan dan disampaikan kepada murid-murid, seperti pada kalimat ‘kau selalu mengajariku tentang sopan santun yang baik’. Bagi penulis, guru merupakan jembatan untuk mencapai kebahagiaan dan kesuksesan. Karena banyak informasi dan pengetahuan yang dimiliki guru yang dibagikan kepada para muridnya. Para murid yang pada awalnya tidak tahu, akhirnya menjadi tahu. Pernyataan ini termuat pada kalimat ‘engkau adalah jembatan ilmu bagiku’. b. Puisi Lirik Puisi lirik merupakan puisi yang berisi luapan batin individu atau penulis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 80% anak-anak di Bandengan, Mundu menulis puisi ini. Seperti pada puisi berikut.
510
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
Puisi tersebut bercerita tentang pengalaman penulis. Pengalaman mencari ikan di laut dengan ayah. Penulis dengan jelas menceritakan hal-hal menarik yang dialaminya. Walaupun penulis tidak menceritakan secara rinci namun, tulisan tersebut sedikit banyak sudah menggambarkan kejadian yang dialami. Penulis menyatakan kegembiraannya dapat ikut mencari ikan. Hal ini tampak pada kalimat ‘aku dan ayah sangat senang sekali’. Ditambah pula dengan kalimat ‘dari kapal pemandangan sangat indah sekali’. Kedua kalimat ini menyatakan bahwa penulis menikmati perjalanan selama ikut mencari ikan. Penulis juga bercerita tentang kapal yang digunakan untuk mencari ikan. Kalimat ‘kapal yang di naiki saya sama ayah besar sekali’ dan ‘kapal itu berwarna coklat’. Melalui kedua kalimat itu, penulis ingin menyampaikan keadaan kapal yang digunakan ayah dan penulis. Penulis juga bercerita tentang hasil tangkapan. Hal ini dapat ditemukan pada kalimat ‘saya dan ayah mendapatkan ikan yang sangat banyak’. Kalimat tersebut diperkuat dengan rincian atau jenis-jenis ikan yang berhasil ditangkap. Penulis menyebutkan berhasil menangkap ikan mujaher dan lele. Hal ini terlihat pada kalimat ‘yang aku sama ayah dapat ikan ada ikan mujaer ada ikan lele dan lain lain’. c. Puisi Platonik Puisi platonik merupakan puisi yang berbentuk spiritual atau keagamaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 8% anak-anak nelayan di Bandengan yang menulis puisi tersebut. Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan. Bagi anak-anak, pemahaman akan adanya Tuhan belum seluruhnya dimengerti. Kadang-kadang Tuhan yang mereka yakini merupakan pemahaman atau hal yang bersifat turun-temurun dari orang tua. Walaupun tidak semua seperti itu. Hal tersebut nampak pada puisi berikut.
Puisi tersebut menceritakan kegiatan yang dilakukan di masjid. Artinya, anak-anak nelayan di Bandengan percaya pada keberadaan Tuhan. Salah satu bentuk kepercayaan itu adalah dengan melakukan perintah dan menjauhi larangan. Penulis menuliskan bahwa sebagai seorang muslim, wajib hukumnya salat berjamaah di masjid. Hal ini terdapat pada
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
511
kalimat ‘pada saat hari Jumat mereka shalat berjamaah’. Salat jemaah akan dilakukan ketika terdengar azan dari masjid. Hal ini tergambar pada kalimat ‘kumandang adzan telah terdengar para shalat pergi ke masjid’. Ini berarti penulis menyadari bahwa adzan berfungsi memanggil para jamaah untuk salat bersama. Selain itu, penulis juga menyampaikan bahwa belajar merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan di masjid, yakni belajar mengaji dan atau membaca alquran. Hal ini terdapat pada kalimat ‘banyak yang mengaji di sana membaca Alquran, belajar, dan lainnya’. Penulis menyadari bahwa mengaji merupakan bagian dari belajar. Belajar merupakan bagian dari iman. Iman diartikan sebagai ketaatan kepada Sang Maha Pencipta. Hal ini juga berarti sebagai salah satu bentuk kepercayaan terhadap keberadaan Tuhan. Penulis menyadari bahwa ketika ada azan, maka hendaknya segera pergi ke masjid untuk melaksanakan salat berjemaah. Hasil wawancara menyimpulkan bahwa pendidikan di SD maupun MI telah memberikan kesadaran tentang percaya kepada Tuhan. 2. Tema Puisi Seluruh puisi yang berjumlah 85 dapat dikelompokkan berdasarkan tema, yaitu agama (4), pendidikan (11), alam (22), orang tua (22), cita-cita (21), dan pahlawan (5). Tema alam meliputi: gunung (2), pemandangan (3), dan sisanya laut. Tema agama berjumlah paling sedikit diantara tema lain. Hal ini terjadi karena anakanak belum mengerti atau paham tentang agama. Artinya, keberadaan Tuhan dipahami sebatas keyakinan turun-temurun dari orang tua. Agama yang dipeluk berdasar pada orang tua. Anak-anak juga belum merasakan pentingnya beragama. Anak-anak memiliki persepsi agama merupakan dunia orang dewasa. Oleh karena itu, tidak banyak anak nelayan kawasan Bandengan, Mundu yang menulis puisi bertema agama. Berikut ini contoh puisi bertema agama. Salah satu tema yang sedikit digunakan anak-anak dalam membuat puisi adalah kepahlawanan. Hanya lima anak yang menulis puisi tentang kepahlawanan. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak kurang memahami peran pahlawan dalam memerdekakan bangsa dan kurang mengerti arti pahlawan. Seyogianya, sedari dini, anak-anak sudah diajarkan arti penting seorang pahlawan. Anak-anak perlu tahu dan memahami peran pahlawan di negara Indonesia, khususnya di wilayah Cirebon. Semakin banyak pahlawan yang dikenal oleh anak-anak, semakin baik pula bagi perkembangan psikologis anak. Anak-anak dapat mencontoh sikap dan sifat baik yang dimiliki pahlawan diantaranya sifat patriotisme dan nasionalisme. Tema pendidikan merupakan tema ketiga yang kurang diminati anak-anak. Hal ini dibuktikan dengan puisi yang menggunakan tema tersebut hanya ditulis oleh 11 anak. Mayoritas anak tidak menyukai pendidikan. Ini menandakan bahwa pendidikan yang diperoleh membosankan, mengekang, dan membuat anak-anak merasa tidak nyaman. Sesuatu yang melekat kuat pada anak, itulah yang kemudian dipilih menjadi tema. Sedikitnya tema pendidikan yang digunakan dalam puisi anak-anak merupakan sebuah indikator bahwa mereka kurang menyukai belajar Perlu ada perubahan dalam hal pendidikan sehingga anakanak tidak lagi merasa terkekang ketika belajar di kelas. Jumlah anak yang menggunakan tema keadaan alam ditulis sama dengan tema orang tua, yaitu 22 anak. Tema alam terbagi atas laut, gunung, dan pemandangan alam. Berdasarkan hasil penelitian, tema yang membicarakan laut memiliki jumlah terbanyak diantara dua lainnya. Tentu saja hal ini tidak aneh lagi. Anak-anak akan menuliskan segala hal yang dekat dengan kehidupan mereka. Laut merupakan tempat yang dekat, bahkan sangat dekat dengan kehidupan mereka. Oleh karena itu, sangat wajar jika segala hal yang terkait dengan laut dituangkan dalam puisi. Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada beberapa anak, justru karena sudah terbiasa dengan laut, anak-anak mencoba menulis selain laut. Munculnya rasa bosan terhadap kehidupan laut atau nelayan, menyebabkan anak-anak berimajinasi tentang gunung dan pemandangan alam.
512
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
Tema orang tua menempati jajaran tema yang paling banyak digunakan oleh anakanak. Secara psikologis, anak-anak merupakan sosok yang masih membutuhkan bimbingan dan teladan. Sebagai orang yang dekat dengan anak, orang tua memiliki peran penting. Segala hal yang dilakukan orang tua selalu menjadi teladan atau contoh bagi anak. Anak-anak yang masih membutuhkan bimbingan merasa masih sangat memerlukan kehadiran orang tua. Keberadaan dan segala ihwal orang tua menjadi perhatian anak. Oleh karena itu, sangat wajar jika anak-anak menulis puisi tentang orang tua. D. Penutup Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Bentuk puisi yang ditulis oleh siswa SD/MI di lingkungan nelayan Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, meliputi: a) puisi naratif (12%), b) puisi lirik (80%), dan c) puisi platonik (8%). 2. Tema yang ditulis oleh siswa SD/MI di lingkungan nelayan Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon adalah orang tua (22%), alam (22%), cita-cita (21%), pendidikan (11%), pahlawan (5%), dan agama (4%). E. Daftar Pustaka Fananie, Zainuddin. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Hartoko, Dick. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia. Kenny, William. 1966. How to Analyze Fiction. New York: Monas Press. Muller, Beate. “The Modern Language Review: is the official quarterly journal of the Modern Humanities Research Association”. Sea Voyages Into Time and Space: Postmodern Topographies in Umberto Eco’s L’isola Del Giorno Prima and Cristoph Ransmayr’s Die Schrecken Des Eises Und Der Finsternis. Januari 2000, Vol. 95, Part 1, p. 1-17. Nurgiyantoro, Burhan. 2009. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Semiawan, Conny R dan Arief Rachman. 2013. Metaphorming: Beberapa Strategi Berpikir Kreatif. Jakarta: Indeks. Suroso, Puji Santosa, dan Pardi Suratno. 2009. Kritik Sastra: Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Yogyakarta: Elmatera Publishing. Suroto. 1989. Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama. Stanton, Robert. 1988. An Introduction to Fiction. New York Chicago San Francisco Toronto London: Holt, Rinehart and Winston, Inc. Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. Waluyo, Herman J. 2008. Pengkajian dan Apresiasi Puisi. Salatiga: Widya Sari.
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
513
KABA MINANGKABAU SEBAGAI BASIS PEWARISAN NILAI-NILAI KARAKTER Jasril STKIP YDB Lubuk Alung, Sumatera Barat
[email protected] Abstract Various events that occur in our neigborhood or thai is displayed in the media coverage of corruption, bribery, violence, student brawls, rape, and other crimes of events shows that the degradation of characters in Indonesia. The action of responding to the character crisis of Indonesian, should be done immediately. The values of the genuine character of the Indonesian which had been neglected is now realize to be renewed. The value of the genuine character of the Indonesian is derived from the classical story of each region, such as the Minangkabau folklore. Minangkabau folklore or Kaba are used as the reference to community life in imitating and practicing the values of character. Therefore, kaba can be used as the basis of national culture character inheritance to the youth. When the youth has been re-absorb the noble values of the nation, the youth with genuine character will be reborn. Keywords : kaba, inheritance, the values of character
A. Pendahuluan Degradasi budaya bangsa sudah berada pada taraf yang sangat mengkhawatirkan. Berbagai tindak kejahatan mulai dari skala kecil sampai skala besar terjadi diseluruh penjuru negeri. Setiap hari media massa memberitakan korupsi, suap-menyuap, berbagai tindak kekerasan, tawuran pelajar, pemerkosaan, dan berbagai peristiwa kejahatan lainnya yang jauh dari karakter bangsa Indonesia. Sikap sopan santun, ramah-tamah, bermufakat, jujur, toleransi, religius, dan berbudi luhur yang merupakan karakter bangsa Indonesia sudah semakin hilang. Intinya bangsa Indonesia sedang mengalami krisis karakter bangsa. Situasi ini sangat mengkhawatirkan, sebab bila terus dibiarkan, maka akan menyeret bangsa ini ke tepi jurang kehancuran. Menurut Lickona (1992:12—22), ada sepuluh tanda-tanda sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran. Kesepuluh tanda-tanda itu sebagai berikut. (a) Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja; (b) membudayanya ketidakjujuran; (c) sikap fanatik terhadap kelompok; (d) rendahnya rasa hormat kepada orang tua & guru; (e) semakin kaburnya moral baik & buruk; (f) penggunaan bahasa yang memburuk; (g) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol, & seks bebas; (h) rendahnya rasa tanggung jawab sebagai individu & sebagai warga negara; (i) menurunnya etos kerja & adanya rasa saling curiga; dan (j) kurangnya kepedulian di antara sesama. Bila dicermati sepuluh tanda-tanda tersebut, kita patut meningkatkan kewaspadaan. Sebab beberapa di antara tandatanda itu sudah ditemukan dalam kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini. Mencermati dan menyikapi krisis karakter yang dialami bangsa Indonesia, kiranya perlu adanya usaha nyata untuk mengatasi persoalan tersebut. Karakter jujur, bertakwa, bermusyawarah, bekerja keras, mau berkorban, ramah, responsif, objektif, dan nilai-nilai etika seperti budi pekerti mesti kembali dibicarakan, diteliti, dan digalakkan. Upaya ini sangat diperlukan untuk memperbaiki krisis karakter bangsa. Usaha ditekankan pada kegiatan mengembalikan pengaplikasian karakter asli bangsa Indonesia dalam kehidupan. Nilainilai karakter bangsa Indonesia yang semula sempat diabaikan, kini disadari ternyata sangat diperlukan untuk diaktualkan kembali. Nilai-nilai tersebut bersumber dari cerita klasik dari masing-masing daerah, seperti kaba yang bermuatan budaya Minangkabau. Kaba dalam kehidupan masyarakat Minangkabau dijadikan rujukan dalam mencermati dan mengamalkan nilai-nilai karakter. Karya sastra disamping berfungsi sebagai pembawa nilai-nilai kebajikan juga berfungsi sebagai penghibur, sehingga nilai-nilai pendidikan karakter yang tersampaikan bisa meresap dalam pikiran manusia secara tidak disadari. Dengan demikian, pewarisan nilai-nilai karakter
514
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
kepada seseorang tepatlah kiranya menggunakan kaba Minangkabau. Kaba sebagai salah satu genre sastra Minangkabau merupakan suatu bentuk yang berisi nilai-nilai kehidupan. Melalui kaba diharapkan dapat sebagai bahan yang diidealkan dalam menawarkan nilai-nilai yang diteladani dalam membentuk perilaku manusia. Menurut Sugono (2004), nilai-nilai karya sastra lama (kaba) yang memuat informasi kehidupan masa lalu perlu dihadirkan kembali dalam kehidupan masa kini. Dalam konteks kekinian, menghadirkan kembali nilai karya sastra lama ke dalam kehidupan berbentuk pendidikan bahasa dan sastra. Hal ini penting karena karya sastra lama banyak menyimpan pengetahuan masa lampau yang memiliki peran besar dalam menata hidup masa kini dan masa depan. Dengan demikian, mengkaji kembali sastra lama akan sangat berguna untuk pedoman dalam kehidupan sekarang dan masa depan. Keberadaan cerita kaba sebagai produk budaya Minangkabau merupakan objek yang sarat dengan nilai-nilai pendidikan karakter. Sebagai sebuah produk budaya, kaba mengandung nilai-nilai karakter yang meliputi: nilai religius, jujur, bertanggung jawab, disiplin, kerja keras, percaya diri, berpikir logis dan kritis, mandiri, memiliki rasa ingin tahu, cinta ilmu pengetahuan, sadar akan hak dan kewajiban, menghargai karya dan prestasi orang lain, santun, demokratis, memiliki kepedulian sosial, cinta kepada bangsa dan negara, berpikir nasionalis, dan menghargai keberagaman. Oleh sebab itu, kaba bercerita tentang orang-orangnya yang digunakan untuk mentransfer nilai pendidikan karakter kepada generasi muda. Berdasarkan penjelasan di atas, keberadaan kaba sebagai basis pewarisan karakter menjadi penting. Keberadaan kaba dapat dijadikan sebagai media tranformasi nilai-nilai karakter kepada generasi muda. Tranformasi nilai-nilai karakter melalui kaba berguna untuk memperbaiki kerusakan karakter bangsa dan dapat dijadikan anutan dalam kehidupan. Selain itu, juga untuk menciptakan kehidupan lebih baik yang jauh dari karakter jahat, sehingga menghindari bangsa dari kehancuran akibat karakter buruk komponen bangsa. B. Pembahasan 1. Kaba Sebagai Sarana Pewarisan Karakter Kaba secara etimologis berasal dari bahasa Arab “akhbar” yang berarti berita, warta, atau kabar kemudian dilafalkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi kabar dan dalam bahasa Minangkabau dilafalkan menjadi kaba. Semula disampaikan secara lisan melalui proses berkaba (berkabar), namun sekarang kaba sudah ada yang berbentuk tulisan menurut versi penulis (bukan pengarang). Menurut Amir (2006:44), kaba adalah cerita fiksi dari Minangkabau. Kaba merupakan cerita rakyat, yaitu jenis cerita yang anonim dan dianggap sebagai cerita milik bersama atau bersifat komunal. Selain itu, kaba disampaikan secara lisan dari mulut ke mulut secara turun-temurun dalam beberapa generasi. Dengan demikian, kaba merupakan folklor masyarakat Minangkabau. Hal ini sesuai dengan pendapat Dananjaya (1984:1), bahwa kaba memiliki ciri yang berbeda dari kebudayaan yang lain, disebarkan secara lisan dari mulut ke mulut, dan diwariskan secara turun-temurun. Keberadaan kaba bagi masyarakat Minangkabau tidak hanya sebagai hiburan semata, tetapi sekaligus sebagai pembawa nilai-nilai kehidupan. Penceritaan kaba berfungsi sebagai alat pendidikan budaya dalam rangka mewariskan nilai-nilai budaya di samping sebagai seni hiburan yang menyenangkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Hasanuddin WS (2009) bahwa sastra pada zaman lampau (kaba) berperan sebagai suatu pelajaran pada zaman sekarang terutama kandungan nilai budi pekertinya yang disikapi secara positif. Sejalan dengan hal itu, berkaitan dengan pengkajian nilai-nilai budaya dalam kaba akan makin diperlukan bagi pendidikan budaya dan karakter bangsa yang akan diterapkan pemerintah (Depdiknas, 2010). 2. Pengertian Karakter dan Nilai-nilai Karakter Menurut KBBI (2008:632), karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lainnya. Pusat Bahasa Depdiknas juga menjelaskan bahwa karakter adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat tabiat, temperamen, dan watak.” Selain itu, Suyanto (dalam Suharjana, 2011:26),
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
515
menjelaskan bahwa karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Berdasarkan pengertian di atas, setiap orang memiliki karakter berbeda dengan orang lain. Karakter seseorang akan menjadi ciri khas orang tersebut sekaligus akan menjadi pembeda dengan orang lain. Karakter seseorang akan terlihat dalam kehidupan sehari-harinya. Ada Sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai luhur universal, yakni (a) cinta Tuhan dan segenap ciptaann-Nya; (b) kemandirian dan tanggung jawab; (c) kejujuran dan diplomatis; (d) hormat dan santun; (e) dermawan, suka tolong-menolong, dan gotongroyong; (f) percaya diri dan kerja keras; (g) kepemimpinan dan keadilan; (h) baik dan rendah hati; dan (i) karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan. Menurut Asmani (2011:36—41), nilai-nilai karakter dapat dikelompokkan menjadi lima nilai utama, yaitu nilai-nilai perilaku manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan. Kelima nilai utama karakter tersebut akan dikelompokkan sebagai berikut. Pertama, nilai karakter dalam hubungan dengan Tuhan bersifat religius. Dalam hal ini pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang diupayakan selalu berdasarkan ajaran agama yang dianutnya. Kedua, nilai karakter manusia dalam hubungannya dengan diri sendiri dapat dilihat melalui kejujuran, tanggung jawab, gaya hidup, kedisiplinan, kerja keras, percaya diri, kemandirian, dan rasa keingintahuan. Ketiga, nilai karakter manusia dalam hubungannya dengan sesama dapat dilihat melalui ada tidaknya kesadaran terhadap hak dan kewajiban, kepatuhan pada aturan-aturan sosial, menghargai pendapat orang lain, menghargai karya dan prestasi orang lain, dan juga kesantunan kepada orang lain. Keempat, nilai karakter manusia yang berhubungan dengan lingkungan mencegah tindakan yang merusak lingkungan dan berupaya memperbaiki kerusakkan lingkungan. Kelima, nilai karakter manusia yang berhubungan dengan kebangsaan terlihat pada cara berpikir, bertindak, dan wawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompok. Karakter sebagai bagian dari penggambaran diri seseorang dipengaruhi oleh lingkungan tempat orang tersebut dibesarkan. Kesembilan nilai-nilai universal dan lima aspek nilai yang diuraikan di atas dapat dijadikan sebagai landasan pengungkapan nilainilai karakter dalam kaba Minangkabau. Pewarisan nilai-nilai karakter bertujuan untuk menciptakan generasi berkarakter sebagai penerus bangsa. 3. Nilai-nilai Karakter dalam Kaba Minangkabau Ada lima nilai karakter yang akan diungkapkan dalam kaba Minangkabau. Kelima nilai karekter tersebut sebagai berikut. a. Nilai Karakter dalam Hubungan dengan Tuhan Nilai karakter dalam hubungan dengan Tuhan yang tergambar dalam Kaba Cindua Mato, Kaba Rancak Di Labuah, dan Kaba Sutan Lembak Tuah terlihat dalam hal penyerahan diri kepada Tuhan dalam menjalani kehidupan. Tokoh-tokoh dalam kaba meyakini hidup sebagai takdir Allah. Oleh sebab itu, dalam kehidupan yang harus dilakukan penyerahan diri kepada Allah yaitu hidup di tangan Allah, hidup berserah diri kepada Allah, keyakinan semua peristiwa yang terjadi sebagai takdir Allah, mati (akhir hidup) sesuai ajal yang ditentukan Allah, dan hidup bersyukur kepada Allah. Berdasarkan hubungan dengan Tuhan, dalam kaba Minangkabau terlihat adanya keyakinan dan penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah. Keyakinan yang kuat kepada Allah menjadikan manusia sebagai makhluk yang bertindak dan berperilaku sesuai dengan tuntunan yang diberikan oleh Allah yaitu Al-quran dan hadist. b. Nilai Karakter dalam Hubungan dengan Diri Sendiri Nilai karakter dalam hubungan dengan diri sendiri tergambar dalam Kaba Cindua Mato, Kaba Rancak Di Labuah, dan Kaba Sutan Lembak Tuah. Nilai karakter terlihat melalui tokoh dalam bentuk sikap jujur, bertanggung jawab, disiplin dalam menjalani kehidupan,
516
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
kerja keras mengubah kehidupan, berpikir dengan orientasi jauh ke masa depan, memiliki kemandirian dalam menjalani kehidupan, percaya dengan kemampuan sendiri, dan memiliki rasa keingintahuan. c. Nilai Karakter dalam Hubungan dengan Orang Lain Nilai karakter dalam hubungan dengan orang lain yang tergambar dalam Kaba Cindua Mato terlihat dalam hubungan yang terjalin baik antara tokoh dalam kaba. Hubungan baik terjalin antara Bundo Kandung dengan para penghuni istana. Bundo Kandung menjalin kerja sama yang baik dengan para pembantunya yaitu Si Salamaik dan Si Kambang, meskipun mereka memiliki kedudukan yang berbeda. Dia tidak membeda-bedakan antar pembantu dan membangun sikap saling menghargai. Mereka tinggal bersama saling menolong dan memahami peran masing-masing. Hubungan baik bak bersaudara kandung juga terjalin antara Dang Tuanku dengan Cindua Mato. Meskipun Dang Tuanku anak raja, sementara Cindua Mato anak dayang kerajaan, tetapi mereka digambarkan sebagai orang yang saling menolong dalam segala hal. Tidak tampak perbedaan kedudukan antara mereka. Hubungan baik juga terjalin antaraparat kerajaan. Bundo Kanduang, Dang Tuanku, Cindua Mato berhubungan baik dengan Basa Ampek Balai dan Rajo Duo Selo. Mereka saling memberikan masukan demi kebaikan bersama. Mereka saling menghargai dan menghormati dalam kapasitas masing-masing. d. Nilai Karakter dalam Hubungan dengan Lingkungan Nilai karakter dalam hubungan dengan lingkungan, dapat dilihat pada pemanfaatan binatang untuk membantu kehidupan. Dalam Kaba Cindua Mato digambarkan kuda sebagai alat transportasi, ayam sebagai alat permainan, kerbau sebagai hewan peliharaan, dan burung sebagai hewan kesayangan. Selain itu, juga pemeliharaan tanaman hias sebagai bentuk pemeliharaan lingkungan. Pemanfaatan alam bukan untuk dirusak tetapi untuk dikelola dan diambil manfaatnya dalam kehidupan. Alam mesti selalu dipelihara agar tetap lestari dan memberi manfaat kepada manusia. Selain bersahabat dengan alam, keberadaan alam juga dijadikan sebagai guru dalam hidup. “Alam takambang jadi guru”. e. Nilai Karakter dalam Hubungan dengan Kebangsaan Nilai karakter dalam hubungan dengan kebangsaan yang tergambar dalam Kaba Cindua Mato terlihat saat Dang Tuanku dan Cindua Mato memiliki kebersamaan untuk tolongmenolong dan loyalitas tinggi yang mereka berikan kepada kerajaan Minangkabau. Mereka bahu-membahu membela negara (kerajaan Minangkabau) dan menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi dan kelompok. Selain itu, kecintaan terhadap bangsa yang dibangun Sutan Lembak Tuah (Kaba Sutan Lembak Tuah) juga digambarkan sebagai sikap yang mendatangkan kebahagiaan. Pengangkatan Sutan Lembak Tuah menjadi Damang di kampung halamannya menggantikan Angku Lareh yang cenderung menggunakan kekuatan dan kekuaasaan untuk memenuhi keinginan diri sendiri. Hal tersebut dimanfaatkan dengan baik oleh Sutan Lembak Tuah untuk membangun kampungnya. Kecintaannya terhadap negeri dibaktikan dengan kepandaian ia bekerja, tahu dengan tipu muslihat penjahat, dan banyak menangkap pencuri. Kebijaksanaannya dalam mengemban tugas, membuat negari yang dipimpinnya dapat hidup dengan aman dan makmur. C. Penutup Berdasarkan pembahasan di atas, disimpulkan bahwa kaba Minangkabau mengandung nilai-nilai karakter dalam hubungan dengan Tuhan, diri sendiri, sesama, lingkungan, dan kebangsaan. Kaba Minangkabau dapat dijadikan sebagai basis pewarisan karakter. Dengan demikian, disarankan kepada generasi muda untuk mewarisi dan memahami nilai-nilai karakter yang terkandung dalam kaba Minangkabau. Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
517
D. Daftar Pustaka Amir, Adriyeti dkk. 2006. Pemetaan Sastra Lisan Minangkabau. Padang: Andalas University Press. Asmani, Jamal Ma’mur. 2011. Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter Di Sekolah. Yogyakarta: Diva Press. Dananjaya, James. 1984. Folklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Grafiti Press. Hasanuddin WS. 2004. ”Latar Belakang Penulisan Kaba Cindua Mato Sebagai Karya Sastra Historiografi Minangkabau” dalam Humanus Vol VII No 1. Hal 32—41. Hasanuddin WS. 2009. Ensiklopedi Kesusastraan Indonesia. Bandung: Angkasa. Junus, Umar. 1986. Sosiologi sastra: Persoalan Teori dan Metode. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Lickona, Thomas. 1992. Educating for Character: How our school can teach respect & responsibility. New Yor: Bantam Books. Suharjana. 2011. Model Pengembangan Karakter Melalui Pendidikan Jasmani dan Olahraga. Dalam Zuchdi (Ed). Pendidikan Karakter: Dalam Perspektif Teori dan Praktik. Yogyakarta: UNY Press. Sugono, Dendi. 2004. “Kata Pengantar Kepala Pusat Bahasa” dalam Kaba Minangkabau: Ringkasan Isi Cerita Serta Tema dan Amanat. Jakarta: Pusat Bahasa. Sugono, Dendi, dkk. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
518
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
KAJIAN HERMENEUTIKA DALAM PUISI ASTANA RELA KARYA AMIR HAMZAH Khaerunnisa Universitas Muhammadiyah Jakarta
[email protected] Abstrak Kajian sastra dalam segala bentuknya akan selalu berkaitan dengan aktivitas interpretasi (penafsiran). Kegiatan apresisasi sastra dan kritik sastra selalu berhubungan dengan sebuah karya sastra yang harus dimaknai. Proses memaknai akan melibatkan peran dan konsep dari hermeneutika. Dengan demikian, hermeneutika akan menjadi dasar dalam proses memperoleh pemahaman. Dalam hal ini kegiatan interpretasi dan memaknai tidak hanya menyentuh permukaan dari karya sastra saja, namun dikaji secara mendalam. Pada kajian ini penulis menggunakan teori Ricoeur yang menempatkan teks pada tempat sentral serta membagi lima bagian, yaitu: makna unsur-unsur pembentuk teks, makna teks berdasarkan latar belakang pembuatan teks, makna teks berdasarkan lingkungan teks, makna teks berkaitan dengan teks lain, dan makna teks berdasarkan dialog teks dengan pembaca. Puisi Astana Rela menceritakan tentang keikhlasan akulirik yang tidak dapat bertemu dengan kekasihnya didunia dan percaya mereka akan bertemu kembali di surga. Kata kunci: hermeneutika, interpretasi, dan makna teks.
A. Pendahuluan Secara etimologis hermeneutik berasal dari bahasa Yunani yaitu hermeneuein yang berarti menafsirkan. Dalam kaitannya dengan sastra, secara sederhana hermeneutika berarti tafsir sastra. Melalui hermeneutika pandangan dunia yang terpantul dalam teks sastra dapat diangkat. Semua kegiatan kajian sastra harus diakui pasti melibatkan peranan konsep hermeneutika.Karena itu hermeneutika menjadi hal yang prinsip dan tidak mungkin diabaikan.Atas dasar itulah hermeneutika perlu diperbincangkan secara komprehensif guna memeroleh pemahaman yang memadai. Berhasil tidaknya penafsir sastra untuk mencapai taraf interpretasi yang optimal, sangat bergantung pada kecermatan dan ketajamannya.Selain itu tentu saja dibutuhkan metode pemahaman yang memadai.Dari beberapa alternatif yang ditawarkan para ahli sastra dalam memahami karya sastra, metode pemahaman hermeneutika dapat dipandang sebagai peralatan konseptual yang paling memadai. Menurut Endraswara (2003:44-45) dalam penafsiran teks sastra setidaknya akan mengikuti salah satu atau lebih dari enam pokok rambu-rambu di bawah ini yaitu: (1) Penafsiran yang bertitik tolak dari pendapat, bahwa teks sendiri sudah jelas. Menurut pandangan ini, maka isyarat-isyarat dan susunan teks membuka kesempatan bagi pembaca yang kompeten untuk menemukan arti yang tepat. Tanpa penghayatan, penafsiran akan dangkal. (2) Penafsiran yang berusaha menyusun kembali arti historis. Dalam pendekatan ini si juru tafsir dapat berpedoman pada maksud pengarang seperti nampak pada teks sendiri atau di luar teks. (3) Penafsiran hermeneutik baru yang terutama diwakili oleh Gadamer berusaha memadukan masa silam dan masa kini. (4) Penafsiran yang bertolak pada pandangannya sendiri mengenai sastra. Penafsiran terfokus pada hal ihwal yang oleh peneliti telah diketahui secara dalam. Jika peneliti hendak menafsirkan gerakan wanita dalam kerangka emansipasi, peneliti dapat pula memahami karya-karya pengarang wanita yang bernafas emansipasi. (5) Penafsiran yang berpangkal pada suatu problematik tertentu. Dari model hermeneutik ini, berarti penafsiran karya sastra bersifat parsial, hanya bagian tertentu saja yang
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
519
sejalan dengan isu strategis. (6) Tafsiran yang tak langsung berusaha agar memadahi sebuah teks diartikan, melainkan hanya ingin menunjukkan kemungkinan-kemungkinan yang tercantum dalam teks, sehingga pembaca sendiri dapat menafsirkannya. Pada kajian ini penulis menggunakan teori Ricoeur yang menempatkan teks pada tempat sentral. Berikut adalah skema kajian hermeneutik menurut Ricoeur. ”speech” Penulis dialog Teks Lingkungan Teks Pembaca
Teks lain
”opera aperta” ”polisemic text”
Berdasarkan skema di atas, alur kerja analisis hermeneutik terbagi menjadi lima bagian, yaitu: a. Makna unsur-unsur pembentuk teks b. Makna teks berdasarkan latar belakang pembuatan teks c. Makna teks berdasarkan lingkungan teks d. Makna teks berkaitan dengan teks lain e. Makna teks berdasarkan dialog teks dengan pembaca B. Analisis Hermeneutik Puisi Astana Rela a. Makna Unsur-Unsur Teks
ASTANA RELA Amir Hamzah
Tiada bersua dalam dunia Tiada mengapa hatiku sayang Tiada dunia tempat selamanya Layangkan angan meninggi awan. Jangan percaya hembusan sedera Berkata tiada hanya dunia Tilikkan tajam mata kepala Sungkumkan sujud hati sanubari. Mula segala tiada ada Pertengahan masa kita bersua Ketika tiga bercerai ramai Di waktu tertentu pandang terang. Kalau kekasihmu hasratkan dikau Restu sempana memangku daku Tiba masa kita berdua Berkaca bahagia di air mengalir. Bersama kita mematah buah Sempana kerja di muka dunia Bunga cerca melayu lipu Hanya bahagia tersenyum harum. Di situ baru kita berdua
520
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
Sama merasa, sama membaca Tulisan cuaca rangkaian mutiara Di mahkota gapura astana rela. Puisi ini dibuat sebagai rasa permintaan maaf penyair kepada kekasihnya. Ia tidak mampu menjalin hubungan lagi karena telah dijodohkan dengan gadis lain oleh orangtuanya. Ia pun mengharapkan akan bersua kembali dengan kekasihnya di alam yang abadi. Puisi ini merupakan lanjutan dari puisi Barangkali. Bait pertama, karena cinta kepada kekasihnya tidak dapat terlaksana, jika tidak dapat diwujudkan di dunia, penyair tidak keberatan. Menurutnya, dunia bukanlah tempat selamanya atau abadi (Tiada dunia tempat selamanya). Penyair meminta kepada kekasihnya agar jangan bersedih, karena mereka tidak dapat disatukan di dunia. Bait kedua, penyair meminta kepada kekasihnya agar jangan mempercayai hasut atau kabar angin mengenai dirinya (Jangan percaya hembusan sedera). Yang memutuskan segala sesuatu bukan hanya manusia saja. Namun, tak ada salahnya untuk merenung dan mengikuti kata hati (Sungkumkan sujud hati sanubari). Bait ketiga, bait ini bercerita tentang awal mula mereka bertemu dan berpisah. Berjumpa di masa muda (Pertengahan masa bersua). Saat mereka telah lepas dari semua urusan dunia, mereka dapat bertemu di yaumul mashsyar (Di waktu tertentu pandang terang). Bait keempat, jika Tuhan memanggil kekasihnya kelak (Kalau kekasihmu hasratkan dikau), penyair berharap mereka dapat bertemu kembali dan berbahagia selamanya di akhirat nanti (Berkaca bahagia di air mengalir). Bait kelima, karena itulah penyair meminta kepada kekasihnya agar bersama-sama berbuat kebajikan di dunia, maka segala yang bersifat cerca akan musnah (Bunga cerca melayu lipudan Hanya bahagia tersenyum harum).Bait keenam, pada saat itulah baru mereka merasa bahagia dalam suasana rela merelakan. Yang tiada menyimpan amarah dan dendam kepada sesama (Di situ baru kita berdua dan Di mahkota gapura astana rela). b. Makna Teks Berdasarkan Latar Belakang Penulis Amir Hamzah adalah seorang sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru.Amir Hamzah bernama lengkap Tengku Amir Hamzah Pangeran Indera Putera lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Utara (dulu Sumatera Timur) tanggal 28 Februari 1911.Ia lahir dalam lingkungan keluarga bangsawan Melayu dan banyak berkecimpung dalam alam sastra dan kebudayaan Melayu. Karangannya Nyanyian Sunyi terbit pada tahun 1937. Kumpulan sajaksajaknya dari Pandji Pustaka, Timbul, dan Pujangga Baru dikumpulkan dalam Buah Rindu yang terbit tahun 1941. Setinggi Timur yang memuat terjemahannya dari beberapa sajak Persia, India, Tiongkok, dan lain-lain terbit tahun 1939.Pada tahun 1938 Amir Hamzah dinikahkan dengan Putri Kamali, anak Sultan Mahmud yang tertua. Dari perkawinan itu lahirlah lima orang anak, empat diantaranya meninggal, sehingga yang hidup hanya Putri Tahura. Di zaman penjajahan Jepang, ia terpilih sebagai anggota Balai Bahasa Indonesia di Medan. Amir Hamzah meninggal di Sumatera Utara, di awal-awal tahun Indonesia merdeka. Amir Hamzah tidak hanya menjadi penyair besar pada zaman PujanggaBaru, tetapi juga menjadi penyair yang diakui kemampuannya dalam bahasa Melayu-Indonesia hingga sekarang. Di tangannya Bahasa Melayu mendapat suara dan lagu yang unik yang terus dihargai hingga saat ini. Beliau wafat di Kuala Begumit pada 20 Maret 1946. Tahun 1977 Amir Hamzah diangkat sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia. c. Makna Teks Berdasarkan Lingkungan Teks Puisi-puisi karya Amir Hamzah bernafas kepada Ketuhanan, misalnya saja Padamu Jua dan Nyanyian Sunyi yang sangat kental religiusitasnya. Pada Astana Rela pun demikian, walau bercerita tentang kisah cintanya, tetap saja akhir dari puisi itu adalah pengharapannya jika bertemu kekasihnya di surga nanti. Karya-karya Amir Hamzah kental pula nuansa Melayunya. Hal tersebut tidak lepas dari asal dan tempat tinggal beliau.
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
521
d. Makna Teks Berkaitan dengan Teks Lain (Intertekstual) Puisi lain yang bertema sama dengan Astana Rela adalah puisi karya Chairil Anwar yang berjudul Senja di Pelabuhan Kecil Buat Sri Ayati. Kedua puisi tersebut berkisah tentang kasih tak sampai. Hanya bedanya pada puisi karya Chairil Anwar, Sri Ayatilah yang telah mempunyai calon suami, sedangkan pada Astana Rela, Amir Hamzahlah yang telah dijodohkan orang tuanya. e. Makna Teks Berdasarkan Dialog Teks dengan Pembaca Astana Rela adalah penggambaran jiwa Amir Hamzah setelah terumbang-ambing menghadapi Tuhan, setelah meleting-leting di dalam jiwanya sebagai cacing jatuh di atas abu, menjerit penuh kesakitan dan kesedihan, tibalah ia kepada keputusan yang selayaknya, yaitu meminta maaf kepada kekasihnya, meminta supaya direlakan ia menarik dirinya dari perjanjian cinta dan hidup bersama-sama untuk mencintai dan hidup bersama dengan perempuan lain. Alasan yang dikemukakannya adalah akhir-akhirnya segala sesuatu di dunia ini fana belaka dan tiada bersifat hakekat (Alisjahbana 1996:25-26). Melalui puisi ini, penyair ingin menyampaikan pesan bahwa tidak semua hal-hal yang diinginkan seseorang dapat terwujud. Hal-hal yang menurut kita baik, belum tentu baik menurut-Nya dan hal-hal yang menurut kita buruk, mungkin saja justru itu adalah keputusan yang terbaik menurut-Nya. Penyair juga mengatakan bahwa tidak ada hal yang abadi di dunia, sesuatu yang abadi hanya ada di akhirat kelak. C. Daftar Pustaka Alisjahbana, S. Takdir. 1996. Amir Hamzah Penyair Besar Antara Dua Zaman dan Uraian Nyanyian Sunyi. Jakarta: Dian Rakyat. Endraswara, Suwardi. 2003. Metode Penelitian Sastra Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. Rahman, Jamal D, dkk. 2014. 33 Tokoh Ssatra Indonesia Paling Berpengaruh. Jakarta: KPG Ratna, Nyoman Kutha. 2013. Glosarium: 1.250 Entri Kajian Ssatra, Seni, dan Sosial Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rosidi, Ajip. 2013. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Penerbit Pustaka Jaya. Sumaryono. 1993. Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Teeuw, A. 2013. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Bandung: Pustaka Jaya.
522
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
PEMBENTUKAN KARAKTER INDIVIDU MELALUI TOKOH-TOKOH DALAM TETRALOGI LASKAR PELANGI KARYA ANDREA HIRATA Kustyarini Universitas Wisnuwardhana Malang
[email protected] Abstract
Indonesian novels as a form of classical literature that contain the value of the ideal life (Danandjaja, 1984), because they contain values of noble personality. This can be understood as literature related and contained values of community in place of literature was born, mainly literature is still primitive. Because the content of the noble values of life, the literature such as novels have the possibility to character education materials and worthy of study. There are some specific problems in this study. In detail can be explained each specific problem as follows.1) religious 2) ethics, and 3) responsibility, to be achieved in order the growth and development of personality? This study has a specific purpose to describe value: 1) religious, 2) ethical or moral, 3) responsible owned by figures of tetralogy of Laskar Pelangi written by Andrea Hirata leaded worthy life serve as a character education models for individual. In this study, applying literature psychology approach, analyzing text and discourse and using reality theory is developed by William Glasser and combined with east culture. Judging from the paradigms and approaches applied, this research is a research library. This is because the implementation of research used a novel and library materials as a reference. The Research data forms text in the form of tetralogy novel of Laskar Pelangi tetralogy which is summarized in words, diction, terminology, strands sentences, paragraphs related to the mindset and behavior of the characters, the internal motivations of the characters, the fulfillment of basic needs of the characters, and how leaders implement guidelines to achieve the goal. The data source of this research is a novel the Tetralogi of Laskar Pelangi which include Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, and Maryamah Karpov written by Andrea Hirata. The series of coils in the data analysis are as follows: (1) the data collection, (2) the data reduction, (3) the presentation of data and data analysis, and (4) conclusion. If the conclusion is doubtful, do triangulation. The results of this study showed that each individual should always stick to the rules in the form of religious values, ethical, and responsible. The existence of significance in everyday life, making the figures of the novel as a model for the character learning for the individual. Keywords: The Literature psychology, the formation of individual characters, the figures, the tetralogy of Laskar Pelangi
A. Pendahuluan Individu hadir dengan motivasi internal harus bertanggung jawab atas semua yang akan dilakukan, sedang dilakukan, dan akibat dari perilakunya. Motivasi itu tidak disebabkan oleh rangsangan lingkungan, melainkan juga harus memegang kebenaran secara kontekstual. Hal lain yang harus dipatuhi adalah memegang teguh kebenaran yang berlandasan tanggung jawab. Acuan kebenaran harus jelas dan tegas, sehingga langkah-langkah yang ditempuh dalam mencapai tujuan lebih mantap. Tetralogi Laskar Pelangi sebagai salah satu wujud novel karya Andrea Hirata telah menghadirkan rangkaian kehidupan yang dijalani oleh tokoh-tokoh yang kental dengan impian, harapan-harapan, melarutkan nilai religius, etika, serta bertanggung jawab dalam hidup. Empat novel (Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov ) karya Andrea Hirata secara berkesinambungan membentuk dunia baru yang di dalamnya menampilkan kompleksitas kehidupan berkarakter. Teori realitas menjelaskan bahwa fungsi otak kita sebagai sebuah sistem kontrol untuk mendapatkan apa yang kita inginkan dari kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. Tujuan utama teori realitas adalah mengajari orang dengan lebih baik dan lebih efektif mengenai cara untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan dalam kehidupan. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui kerja keras. Ketika orang melanggar kebebasan orang lain, perilaku mereka tidak bertanggung jawab.
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
523
Penelitian ini menggunakan pendekatan psikologi sastra dan teori realitas yang dikembangkan oleh William Glasser (1965), dipadu dengan kebudayaan Timur khususnya budaya Melayu. Alasan penelitian ini menggunakan kajian pustaka, karena menampilkan hasil argumentasi dari penalaran keilmuan yang memaparkan hasil Kajian Pustaka dan hasil olah pikir peneliti mengenai masalah yang menjadi fokus kajian penelitian. Fokus kajian pada penelitian ini adalah pembentukan karakter individu melalui tokoh-tokoh dalam tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Adapun bagian-bagian yang diteliti dari teori William Glasser yang sudah dimodifikasi sesuai dengan latar budaya Timur, sebagai tempat peristiwa dalam tetralogi Laskar Pelangi, yaitu (1) nilai religius, (2) nilai etis, dan (3) nilai tanggung jawab yang terangkum dalam perilaku individu dalam kehidupan. Data penelitian berwujud teks tulis berupa novel tetralogi Laskar Pelangi yang terangkum dalam kata-kata, diksi, terminologi, untaian kalimat, paragraf-paragraf terkait dengan nilai religius, nilai etika, dan nilai tanggung jawab. Mimpi, sebagai motivasi internal individu tokoh bersumber dari rasa cinta yang luar biasa terhadap A Ling. Rasa cinta itu memberikan daya hidup yang sangat kuat. Selain memang dari kedua orang tuanya motivasi itu ada, orang tuanya telah menanamkan mimpimimpi pada individu tokoh untuk meraih mimpi-mimpinya menjelajahi dunia. Novel ini mencitrakan kebijaksanaan seorang ayah yang begitu besar. Pengorbanan dan ketulusan seorang ayah dalam mendukung mimpi anaknya di tengah keterbatasan hidup menjadikan semangat yang tak ternilai bagi Ikal dan Arai dalam menggapai impiannya. Pada bagian ini cerita mulai berevolusi menjadi cerita yang memberikan semangat bagi setiap manusia untuk meraih mimpi. Filsafat berpikir orang-orang Timur selalu berpangkal pada pandangan religius dan moral-etis serta pola tingkah laku orang Timur sendiri. Karena itu filsafat berpikir orang Timur pada umumnya bersifat sangat religius, mistis-magis, kosmis dan sosial, serta moraletis. Tuntutan-tuntutan dasar harmoni kosmis ini bersifat sangat religius dan harus dibuktikan dalam sikap moral-etis manusia. Misalnya bagaimana bersikap yang benar dan baik, atau bersikap terhadap diri sendiri, orang lain, alam dunia serta terhadap keyakinannya yang disebut sebagai wujud tertinggi. Harmoni kosmis dalam hubungan dengan diri sendiri harus dilihat melalui cara hidup dan penghargaan terhadap diri sendiri, perhatian terhadap diri dan semua unsur normatif untuk pembentukan diri (Kebung, 2011). Semua perilaku dan perlakuan masyarakat yang mengikuti norma tertentu sangat berpengaruh pada kepribadian seseorang, baik laki-laki atau pun perempuan. Dalam pembentukan kepribadian tersebut, terdapat hubungan timbal balik yang terus-menerus antara sistem dinamika kepribadian manusia, dan merupakan proses yang tidak pernah berhenti seumur hidup. Tanggung jawab adalah otonomi bahwa individu mengetahui apa yang ia inginkan dengan membuat rencana-rencana untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan tersebut. Tanggung jawab juga berarti bahwa orang belajar melakukan kontrol yang efektif pada kehidupannya. Oleh karena itu, tanggung jawab adalah nilai yang menjadi karakteristik penting kedewasaan. Seseorang dikatakan dewasa jika mampu menunjukkan sikap bertanggung jawab dalam perbuatannya. Sikap tanggung jawab pada individu tokoh novel Laskar Pelangi ini ditunjukkan dalam dua hal, yakni berani mengambil risiko dan tindakan menyelamatkan keluarga. B. Pembahasan 1. Nilai Religius Manusia sebagai makhluk yang berpredikat homo religious berakar pada hakekat perkembangan manusia dengan kecerdasan spiritual/ supranaturalnya. Ada demensi intelektual, emosional, sosial, dan spiritual. Pada tataran ini manusia dipandu keyakinan dalam diri yang mengakui adanya kekuatan supranatural, yaitu kekuatan mahadahsyat yang menata dan mengatur kehidupan secara makro. Oleh sebab itu, ada beberapa pengakuan
524
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
tentang keesaan Tuhan. Sastra sering membuat nilai-nilai religiusitas. Hal demikian terjadi karena pada awalnya semua sastra adalah religious (Mangunwijaya, 1988:11). Artinya, semula sastra lahir untuk acara-acara kebaktian manusia kepada Tuhan, sehingga sastra lahir bersama dengan upacara keagamaan tertentu. Melalui sastra, manusia ingin mendekat dan menyatu dengan Tuhan melalui seni (unio mistico). Oleh sebab itu, seperti dikatakan oleh Wellek dan Werren (1995), sastra memuat norma kehidupan masyarakat, nilai religiusitas, tradisi, dan mitos, terutama dalam sastra masyarakat primitif. Karena itu munculah istilah sastra religius karena dalam sastra memang sering terdapat nilai religius. Nilai keimanan meliputi tiga unsur utama, yaitu pengetahuan yang mendalam, kepercayaan penuh, dan keyakinan yang teguh. Ketiga unsur ini akan membentuk iman yang kukuh dan menjadi tonggak kekuatan rohaniah yang cukup kental untuk membina jiwa dan raga manusia. Keteguhan iman juga merupakan penghalang baginya dari melakukan kejahatan dan maksiat. Akhlak mulia bagi individu adalah hasil keimanan yang kental. Ini disebabkan tali ikatan yang menjalin hubungan antara individu dengan masyarakat terbentuk melalui nilainilai dan disiplin yang diamalkan oleh anggota masyarakat tersebut. Sekiranya nilai yang diamalkan itu positif, maka akan lahirlah sebuah masyarakat yang aman, damai, dan harmoni. Beberapa nilai yang baik dalam akhlak Islam yang menjadi tonggak amalan untuk melahirkan individu yang baik ialah: a. Jujur Jujur adalah sifat pribadi orang iman, yang apabila berkata benar, tidak dusta, tidak menipu, polos apa adanya, walaupun pada lingkungan dan keadaan seperti apapun. Orang yang jujur hidupnya akan tentram dan damai, karena tidak ada kepalsuan dalam dirinya, tidak ada dusta, tidak menipu diri sendiri, sehingga hatinya akan tenang tidak was-was karena tidak ada kekhawatiran akan terbongkarnya sesuatu yang disembunyikan oleh dirinya. Kejujuran (sidiq) adalah cerminan sebuah kepribadian yang sehat. Ibarat bunga adalah melati, putih, bersih, indah dan menebarkan bau harum di sekitarnya. Semua tentu senang melihat dan ingin menciumnya b. Amanah Amanah adalah sifat mulia yang mesti diamalkan oleh setiap orang. Amanah adalah azas ketahanan individu, kehormatan, dan rohnya keadilan. Jelas terpapar ajaran kebaikan, kebenaran, penegak keadilan. Semua itu akan menjadi saksi di depan Allah, baik terhadap diri sendiri, ibu, bapak, maupun kerabat. Seseorang harus memiliki sikap yang baik, berakhlaqul karimah, berbicara dengan ucapan yang baik, menjaga lisan, kasih sayang, menebar senyum, dan merangkai kedamaian. Sehingga dengan sikap kasih sayang dan kelapangan hati akan dapat membangkitkan semangat hidup. c. Ikhlas Ikhlas merupakan inti setiap ibadah dan perbuatan. Allah berfirman yang artinya: “Dan mereka tidak diperintah kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus”. Ikhlas akan menghasilkan kemenangan dan kejayaan. Masyarakat yang mengamalkan sifat ikhlas akan mencapai kebaikan dunia dan akhirat, dan mencapai kerukunan, persaudaraan, perdamaian dan kesejahteraan. Semua perilaku dilakukan dengan keikhlasan. Semua amal dilakukan sesuai niat. Jika seseorang melakukan dengan ikhlas, maka yang ada adalah ketenangan, ringan, dan tidak ada beban. Akan tampaklah kesenangan di wajah tokoh-tokoh tetralogi Laskar Pelangi. d. Tekun Islam mendorong umatnya supaya tekun apabila melakukan sesuatu pekerjaan sampai tuntas dan bertanggung jawab. Sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Sesungguhnya Allah S.W.T menyukai apabila seseorang kamu bekerja, dia melakukan dengan tekun”.
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
525
Sifat tekun akan meningkatkan produktivitas ummah, melahirkan suasana kerja yang aman dan memberi kesan yang baik kepada masyarakat. Bahkan ditekankan pula untuk tidak berlama-lama menganggurkan diri, tapi segeralah mengerjakan pekerjaan yang lainnya, sebagaimana firman Allah SWT yang artinya: “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain”. Keuletan seseorang akan menghasilkan sesuatu yang cemerlang. Sesulit apapun pekerjaan, jika dilakukan dengan tekun, dengan telaten, maka selesailah segala urusannya. e. Disiplin Berdisiplin dalam bermasyarakat dan menjalankan sesuatu pekerjaan akan dapat menghasilkan mutu kerja yang cemerlang. Dengan demikian harapan diri sendiri dan Negara untuk maju dan sukses akan dapat dicapai dengan lebih cepat lagi. Dengan berdisiplin, seseorang dapat menguatkan pegangannya terhadap ajaran agama dan menghasilkan mutu kerja yang cemerlang. Disiplin waktu, disiplin melakukan sesuatu, adalah kunci keberhasilan seseorang. Banyak faktor yang berpengaruh dari perilaku disiplin seseorang, misalnya melakukan sesuatu pekerjaan dengan tenang, dapat berpikir kreatif, dan juga dipercaya banyak orang. f. Syukur Bersyukur dalam konteks pribadi berlaku dalam dua keadaan, pertama; sebagai tanda kerendahan hati terhadap segala nikmat sesama makhluk, kedua; sebagai ketetapan dari Allah SWT supaya kebajikan senantiasa dibalas dengan kebajikan. “Barang siapa yang belum bersyukur pada manusia, maka ia belum bersyukur pada Allah”. (LP :38) Barang siapa diberi suatu pemberian, lalu dia mempunyai kemampuan, maka hendaklah dia membalasnya. Barang siapa yang tidak mempunyai kemampuan, maka hendaklah dia menyanjungnya (mendoakanbaik) maka sungguh dia telah bersyukur. g. Sabar Dalam menghadapi tantangan dan cobaan hidup, kesabaran sangat penting untuk membentuk pribadi unggul. Orang-orang yang beriman, bersabar dan kuat kesabarannya, serta selalu tetap bersiapsiaga adalah orang yang akan beruntung. Pemahaman terhadap lingkungan yang baru dengan perlakuan yang sangat tidak mengenakkan, sangatlah diperlukan kesabaran dari seseorang. Sifat sabar dan mampu menahan amarah merupakan kekuatan tersembunyi yang dimiliki individu ketika terjadi seseuatu yang membuatnya marah, dan bagaimana seseorang mampu menguasai akal sehatnya. h. Adil Adil merupakan perintah Allah yang harus ditetapi oleh dan terhadap siapapun. Adil adalah meletakan sesuatu pada tempatnya sesuai dengan porsinya. Orang yang beriman, adalah orang yang selalu menegakkan kebenaran. Hal tersebut mengandung sebuah nilai, yakni nilai yang menunjukkan bahwa dalam kehidupan ini ada Dzat yang merupakan sumber dari segala sumber kehidupan. Jika seseorang mempuyai dan memegang nilai tersebut, baik di dalam lubuk hati maupun perbuatanya selalu diwarnai nilai religius. Oleh sebab itu manusia disebut homo religious, yaitu makhluk yang berpenghayatan adanya kekuatan di luar manusia (Tuhan) (Suwarno, 1982: 45) . Penggunaan kata “terberkatilah” menunjukkan bahwa adanya pengakuan Tuhan yang memberkati sebuah wilayah atau tanah yang ternyata kaya-raya. Kata tersebut dikembangkan dengan kalimat ironis, bahwa masyarakat yang hidup di atas tanah yang kaya-raya ternyata kehidupannya miskin secara turun-temurun. Bahkan diungkapkan secara sarkasme “kemiskinan turun-temurun penduduk asli Melayu Belitong yang hidup berserakan di atasnya. Kami seperti sekawanan tikus yang paceklik di lumbung padi”.
526
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
2. Nilai Etis/Moral Berbicara tentang etika, pada hakikatnya Pancasila merupakan sistem etika, khususnya etika bangsa Indonesia dalam wilayah budaya Timur. Oleh karena itu, etika Pancasila merupakan dasar moral bangsa Indonesia berdasarkan inti ajaran Pancasila sehingga dalam diri Pancasila terkandung nilai-nilai moral. Nilai-nilai Pancasila dapat digunakan sebagai parameter tingkah laku pemerintah, masyarakat, dan individu. Nilai-nilai ajaran etika itu harus dipahami sebagai kesatuan yang bulat dan utuh, baik dalam penafsiran maupun pengimplementasiannya. Orang Jawa pernah mengungkapkan sebuah konsep hidup yang universal, yaitu empan, papan, adhepan. Hal ini mengisyaratkan bahwa manusia harus bisa menempatkan diri dan memegang teguh etika, sopan-santun, tatakrama. Segala perilaku dan perbuatan, serta perkataan harus disesuaikan dengan konteksnya. Sedang berbicara dengan siapa, tentang apa yang dibicarakan, di mana pembicaraan berlangsung. Semua dijadikan pertimbangan untuk menciptakan harmoni dalam kehidupan. Dimensi-dimensi ruang, waktu, suasana, dan para pelaku harus dipertimbangkan dalam setiap langkah kehidupan. Semua perilaku dan perlakuan masyarakat yang mengikuti norma tertentu, sangat berpengaruh pada kepribadian seseorang, baik laki-laki atau pun perempuan. Dalam pembentukan kepribadian tersebut, terdapat hubungan timbal balik yang terus-menerus antara sistem dinamika kepribadian manusia, dan merupakan proses yang tidak pernah berhenti seumur hidup. 3. Nilai Tanggung Jawab Teori Realitas menekankan tanggung jawab, yang didefinisikan sebagai perilaku yang memenuhi kebutuhan orang dengan cara yang tidak mengganggu orang lain dalam memenuhi kebutuhannya. Tanggung jawab adalah otonomi dalam pengertian bahwa mereka mengetahui apa yang mereka inginkan dari kehidupan dan membuat rencana-rencana untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan tersebut. Tanggung jawab juga berarti bahwa orang belajar melakukan kontrol yang efektif pada kehidupan individu. Teori Realitas menyatakan bahwa hukuman bukanlah sarana yang berguna untuk merubah perilaku. Dijelaskan bahwa tujuan utama teori Realitas adalah mengajari orang dengan lebih baik dan dengan cara yang lebih efektif mengenai cara-cara mendapatkan apa yang mereka inginkan dalam kehidupan, yang merupakan konsep kunci kepribadian. Tujuan-tujuan tersebut dapat dicapai melalui kerja keras. Setiap individu dalam menjalani proses kehidupan untuk meraih tujuan selalu memegang aturan atau rambu-rambu pencapaian tujuan itu. Tokoh-tokoh dalam tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata ada dalam wilayah kebudayaan timur. Aturan dalam menjalani kehidupan meliputi: religius, etika dan tanggung jawab. Religius, mencakup halhal yang terkait dengan bagaimana individu mampu bersyukur, berdoa, jujur, ikhlas, amanah, adil, disiplin, tekun, serta sabar. Kebersamaan, kepedulian, perhatian selalu dirasakan Ikal dan Arai dalam menjalani kehidupan. Apalagi di negera barat yang sebelumnya hanya dalam mimpi. Jungkir-balik kehidupan dirasakan sebagai letupan penyemangat hidup. Demi A Ling, apa pun dan siapa pun tidak akan mampu menghalangi tekad Ikal yang telah membatu. Dari situlah kesulitan demi kesulitan menghadang bahkan tidak sedikit orangorang di sekitar mencapnya sinting. Ikal menghadapi sebuah pertaruhan besar dan bertekad untuk memenangkannya. Sekali lagi pertolongan dari sahabat sejati terutama Lintang dan Mahar yang membuatnya lolos dari kesulitan-kesulitan. Tujuannya hanya satu: A Ling, tiada yang lain. C. Simpulan Tokoh-tokoh dalam tetralogi Laskar Pelangi dalam menjalani kehidupannya berpegang pada nilai-nilai agama Islam dan budaya Timur. Budaya timur menuntun para tokoh untuk
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
527
selalu paham dan berperilaku religius, bersyukur, jujur, amanah, ikhlas dalam melakukan sesuatu dengan tekun dan disiplin yang ketat dan juga sabar. Setiap individu dalam menjalani proses kehidupan untuk meraih tujuan selalu memegang aturan atau rambu-rambu pencapaian tujuan itu. Tokoh-tokoh dalam tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata ada dalam wilayah kebudayaan timur (Melayu). Aturan dalam menjalani kehidupan meliputi: religius, etika dan tanggung jawab. Religius, mencakup hal-hal yang terkait dengan bagaimana individu mampu bersyukur, berdoa, jujur, ikhlas, amanah, adil, disiplin, tekun, serta sabar. D. Daftar Pustaka Aminuddin. 2010. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Anshari, Hafi.1996. Kamus Psychology. Surabaya: Usaha Nasional. Cresswell, J.W. 2003. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. Thousand Oaks, California: Sage Publications. Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra-Teori, Langkah, dan Penerapannya. Yogyakarta: FBS Universitas Negeri Yogyakarta. Endraswara, Suwardi. 2003. Budi Pekerti dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Adipura. Fatimah, Enung. 2006. Psikologi Perkembangan. Bandung: Pustaka Setia Glasser, William. 1965. “Reality Therapy”. dalam Gerald Corey (Ed). 1996. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. USA: Thomson Publishing Company. _________. 1970. Reality Therapy: A New Approach to Psychiatry. NY: Harper Perennial. _________. 1985. Choice Theory: A New Psychology of Personal Freedom. NY: Harper Perennial. Hanh, T.N. 1995. Living Buddha, Living Christ. NY: Riverhead Books. Hirata, Andrea. 2008. Laskar Pelangi (cetakan ke-26 ). Yogyakarta : Bintang Pustaka. _________. 2008. Sang Pemimpi (cetakan ke-12).Yogyakarta: Bintang Pustaka _________. 2008. Edensor (cetakan ke-14). Yogyakarta: Bintang Pustaka _________. 2009. Maryamah Karpov (cetakan ke-5). Yogyakarta: Bintang Pustaka Kebung, Konkrad, 2011. Filsafat Berpikir Orang Timur. Jakarta: Prestasi
Pustakaraya.
Minderop, Albertine. 2010. Psikologi Sastra: Karya Sastra, Metode, Teori, dan Contoh K a s u s . Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Wellek, Rene and Austin Warren. 1956. Theory of Literature. New York: Harcourt, Brace and World, Inc. Wiyono, Suko. 2012. “Peran keluarga, Sekolah, dan Masyarakat sebagai Modal Dasar Pembangunan Karakter Bangsa” dalam Prosiding Seminar Nasional: Implementasi Model Pembelajaran Berkarakter Bangsa. Malang: Universitas Wisnuwardhana Malang Press.
528
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
TINDAK TUTUR PEDAGANG “TINJAUAN PRAGMATIK” Lili Hasmi STKIP Ahlussunnah Bukittinggi Abstrak
Bahasa merupakan alat komunikasi yang sangat penting bagi kehidupan manusia, karena dengan bahasa masyarakat dapat menyalurkan hasrat, ide dan gagasan secara utuh. Masyarakat pada umumnya mempunyai kemampuan untuk berkomunikasi, masyarakat itu disebut masyarakat tutur. Tindak tutur berada dalam setiap peristiwa tutur. Salah satu peristiwa tutur yang terjadi antara pedagang dengan calon pembeli dan rekan seprofesinya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk dan fungsi tindak tutur yang terjadi dalam peristiwa tutur. Masalah yang diteliti adalah bentuk dan fungsi tindak tutur ilokusi direktif yang terjadi di pasar, antara pedagang dengan calon pembeli serta rekan seprofesinya. Hasil analisis data menunjukkan bahwa tindak ilokusi direktif yang paling banyak ditemukan dalam percakapan pedagang, adalah memerintah 23 tuturan, yang paling sedikit ditemukan memohon 1 tuturan, menasehati 1 tuturan. Tindak tutur menyarankan ditemukan 6 tuturan, memperbolehkan 6 tuturan, meminta 2 tuturan, melarang 2 tuturan, mengajak 3 tuturan. Fungsi tindak tutur yang paling banyak ditemukan adalah fungsi kompetitif terdapat 26 tuturan,yaitu memerintah 23 tuturan, memohon 1 tuturan, meminta 2 tuturan. Dan yang paling sedikit adalah konfliktif yaitu 2 tuturan, yakni melarang 2 tuturan. Kata Kunci: pragmatik, tindak tutur, pedagang
A. Pendahuluan Bahasa merupakan alat komunikasi yang sangat penting bagi kehidupan manusia dalam bermasyarakat karena manuasialah yang mempunyai kemampuan untuk menghasilkan bahasa. Manusia dapat menyalurkan hasrat, ide, gagasannya secara utuh dengan bahasa. Bahasa tersebut tidak lahir dengan sendirinya, tetapi harus diperoleh dan dipelajari terlebih dahulu. Berdasarkan pengalaman penulis yang sering melakukan transaksi jual-beli dengan pedagang yang ada di Pasar Bawah Bukittinggi, penulis mendengar bahwa sebagian dari mereka sering mengeluarkan kata-kata yang kurang sopan saat berkomunikasi dengan rekan seprofesi ataupun dengan calon pembeli. Mereka tidak segan-segan untuk bersikap lancang, dari interaksi tersebut terjadilah peristiwa tutur. Bentuk dan fungsi dari tindak tutur yang dianalisis dalam penelitian ini adalah bentuk dan fungsi tindak tutur direktif yang digunakan oleh pedagang dalam berkomunikasi dengan calon pembeli dan rekannya. Penulis membatasi masalah penelitian ini pada bentuk dan fungsi tindak tutur ilokusi direktif yang digunakan oleh pedagang dengan calon pembeli serta rekannya di Pasar Bawah Bukittinggi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bentuk dan fungsi tindak tutur direktif yang digunakan pedagang dengan calon pembeli serta rekannya di Pasar Bawah Bukittinggi. B. Landasan Teori 1. Pragmatik Menurut George Yule (2006: 5) pragmatik adalah studi tentang hubungan antara bentuk-bentuk linguistik dan pemakai bentuk-bentuk itu. Hal ini dilandaskan oleh kesadaran para linguis bahwa untuk mengetahui hakikat bahasa perlu pemahaman terhadap pragmatik. Dalam pragmatik makna diberi defenisi dalam hubungannya dengan penutur atau pemakai bahasa. Levinson (dalam Tarigan, 2009: 31) mengemukakan, Pragmatik adalah telaah mengenai relasi antara bahasa dan konteks yang merupakan dasar bagi suatu catatan atau laporan pemahaman bahasa, dengan kata lain: telaah
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
529
mengenai kemampuan pemakai bahasa menghubungkan serta menyerasikan kalimatkalimat dan konteks-konteks secara tepat. Dari pendapat Levinson di atas jelaslah bahwa telaah mengenai cara melakukan sesuatu dengan memanfaatkan kalimat-kalimat adalah telaah mengenai tindak ujar. Dalam menelaah tindak ujaran ini harus menyadari benar-benar betapa pentingnya konteks ucapan/ ungkapan. Konteks mempengaruhi cara menafsirkan kalimat tersebut. Tagor Pangaribuan (2008: 68) mengemukakan pragmatik adalah ilmu yang mengkaji hubungan bahasa dengan konteks dan hubungan pemakaian bahasa dengan pemakai atau penuturnya. Dalam tindak operasionalnya, kajian pragmatik itu berupaya menjelaskan bahasa itu melayani penuturnya dalam pemakaian, dan yang dilakukakan penutur dalam tindak tutur itu. Berdasarkan penjelasan di atas, pragmatik merupakan kajian tentang hubungan antara bahasa dengan pemakaiannya yang disesuaikan dengan makna kontekstual. Dalam tata bahasa konteks tuturan itu mencakupi semua aspek fisik atau latar sosial yang relevan dengan tuturan yang diekspresikan. Konteks dan ekspresi penuturlah sebagai suatu faktor pendukung dalam memahami makna tuturan. Dari beberapa defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji penggunaan bahasa untuk berkomunikasi dalam berbagai situasi (konteks). 2. Konteks Menurut Chaer dan Agustina (2004: 28) “konteks merupakan aspek-aspek linguistik berfungsi sebagai alat komunikasi yang membentuk atau membangun situasi tertentu dalam proses komunikasi”. Konteks adalah semua aspek-aspek yang berhubungan dengan tuturan, berupa kata, kalimat, maupun ucapan dalam proses komunikasi yang membantu menentukan makna tuturan. Berdasarkan makna tuturan inilah dapat diklasifikasikan bentuk dan fungsi tindak tutur tersebut. Kunjana Rahardi (2005: 51) mengemukakan konteks dapat diartikan sebagai semua latar belakang pengetahuan yang diasumsikan sama-sama dimiliki penutur dan mitra tutur serta yang mendukung interpretasi mitra tutur atas yang dimaksudkan oleh penutur itu di dalam proses bertutur. Konteks dapat mencakup aspek-aspek tuturan yang relevan baik secara fisik maupun non fisik. Berdasarkan defenisi di atas semakin jelas, betapa pentingnya konteks dalam kajian pragmatik. Konteks dapat dikatakan sebagai situasi lingkungan yang mempengaruhi makna ujaran dalam proses komunikasi. Proses komunikasi itu dipengaruhi oleh partisipan penutur dan lawan tutur untuk berinteraksi. Konteks juga memperlihatkan suatu kesepakatan bersama atas dasar latar belakang pengetahuan untuk memicu penyimak dalam memahami maksud pembicara saat komunikasi berlangsung. 3. Peristiwa Tutur Peristiwa tutur adalah suatu kegiatan yang melibatkan penutur dan mitra tutur (lawan bicara) dalam berinteraksi dengan satu pokok pikiran dalam waktu, tempat dan situasi yang berbeda. Percakapan adalah salah satu contoh peristiwa tutur. Chaer dan Agustina (2004: 47) menyatakan: Peristiwa tutur (speech situations) adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran yang melibatkan dua pihak, penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat dan situasi tertentu. George Yule (1996: 99) juga menyatakan: “peristiwa tutur merupakan suatu kegiatan para peserta berintegrasi dengan bahasa dalam cara-cara konvensional untuk mencapai suatu hasil”. Maksudnya peristiwa tuturan yang terjadi sesuai dengan arah tuturan dan reaksinya secara langsung terhadap masyarakat tutur itu. Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa peristiwa tutur mempunyai maksud untuk memberikan reaksi pendengar dan tuturan lewat partisipasi mitra tutur, mengenai
530
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
pokok pembicaraan, waktu, tempat, situasi, latar, budaya yang digunakan dan tujuan tuturan tersebut. Partisipasi mitra tutur dalam menanggapi tuturan amatlah berpengaruh dalam berkomunikasi. 4. Tindak Tutur Tindak tutur (speech act) merupakan bagian dari peristiwa tutur (speech event). Tindak tutur dan peristiwa tutur merupakan dua gejala yang terdapat pada proses komunikasi. Tindak tutur adalah tindak yang dilakukan dalam menyampaikan atau menyebutkan suatu maksud oleh penuturnya. Pada tindak tutur lebih dilihat makna dan arti dari tindakan dalam tuturannya, sedangkan dalam peristiwa tutur lebih dikaji pada tujuan peristiwanya. Tindak tutur tidak terlepas dari kalimat yang dipakai oleh penuturnya. Menurut Chaer dan Agustina (2004: 51) membedakan kalimat deklaratif berdasarkan maknanya menjadi kalimat konstantif dan kalimat performatif. Kalimat konstantif adalah kalimat yang berisi pernyataan belaka, sedangkan kalimat perfomatif adalah kalimat yang berisi perlakuan. Tindak tutur yang dilangsungkan dengan kalimat performatif oleh Chaer dan Agustina (2004: 53) dirumuskan dalam tiga peristiwa tindakan yang berlangsung sekaligus, yakni : “(1) tindak tutur lokusi (lucutionary act) yaitu tindak yang menyatakan sesuatu dalam arti “berkata”, atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami. (2) tindak tutur ilokusi (ilucutionary act) yaitu tindak tutur yang biasa didefinisikan dengan kalimat yang perfomatif yang eksplisit. Tindak tutur ini biasanya dengan pemberian izin, mengucapkan terima kasih, menyuruh, menawarkan, dan menjanjikan. (3) tindak tutur perlokusi (perlocutiony act) yaitu tindak tutur yang bekenaan dengan adanya ucapan orang lain sehubungan sikap dan perilaku non linguistik dari orang lain itu”. Bahwa secara pragmatik ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur yakni : tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (locutionary act), dan tindak perlokusi (perlocutiony act). Makna tindak tutur berkaitan dengan nilai, pemahaman, dan tanggapan yang dibawakan oleh preposisinya. Maksudnya makna tuturan itu tergantung pada yang diperoleh dari peristiwa ujar tersebut. 5. Bentuk Tindak Tutur Ilokusi Menurut Tarigan (2009: 42) mengklasifikasikan bentuk tindak tutur ilokusi sebagai berikut : “(1) asertif yaitu melibatkan pembicara pada kebenaran proposisi yang diekspresikannya. (2) direktif yaitu menimbulkan beberapa efek melalui tindakan sang penyimak. (3) komisif yaitu melibatkan pembicara pada berapa tindakan yang akan datang. (4) ekspresif yaitu mengekspresikan sikap psikologis sang pembicara menuju pada suatu pernyataan keadaan yang diperkirakan oleh ilokusi. (5) deklaratif yaitu ilokusi yang performansinya berhasil yang menyebabkan korespondensi yang baik antara isi proposisinya dengan relitas. Bentuk tindak tutur ilokusi terbagi atas: asertif, direktif, komisif, ekspresif dan deklaratif. Asertif yaitu peristiwa tutur yang melibatkan pembicara pada kebenaran preposisinya. Direktif dimaksudkan untuk menimbulkan beberapa efek tindakan yang dilakukan oleh penutur. Komisif yaitu melibatkan pembicara pada tindakan yang akan datang. Ekspresif yaitu berfungsi untuk mengekspresikan. Sedangkan deklaratif yaitu mengakibatkan adanya kesesuaian antara isi dengan realitas. 6. Fungsi Tindak Tutur Ilokusi Leech (1996:112) menyatakan fungsi tindak ilokusi dapat diklasifikasikan atas empat jenis yaitu: (1) Kompetitif, yaitu fungsi ilokusi yang bersaing dengan tujuan sosial, (2) menyenangkan yaitu fungsi ilokusi yang sejalan dengan tujuan sosial, (3) bekerja sama yaitu fungsi ilokusi yang biasa-biasa saja terhadap tujuan sosial, (4) bertentangan yaitu fungsi ilokusi yang bertentangan dengan tujuan sosial. Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
531
C. Metode Penelitian Jenis penelitian kualitatif, latar penelitian ini adalah Pasar Bawah Bukittinggi, informan dalam penelitian ini adalah pedagang di Pasar Bawah. Data pada penelitian ini adalah tuturan pedagang ketika berinteraksi dengan calon pembeli serta rekan seprofesinya di pasar. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data ini adalah metode simak. Teknik Simak Bebas Libat Cakap, teknik rekam, teknik atat. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode padan. D. Hasil Penelitian dan Pembahasan Data penelitian ini terdiri dari 324 tuturan dari 27 orang pedagang. Data yang termasuk tindak tutur direktif 44 tuturan dari 324 tuturan. Pedagang satu diberi kode (Pd1), pedagang dua (Pd2), pedagang tiga (Pd3), pedagang empat (Pd4), pedagang lima (Pd5), pedagang enam (Pd), pedagang tujuh (Pd7), begitu seterusnya sampai pedagang dua puluh tujuh (Pd27). Berdasarkan analisis data yang dilakukan maka dapat disimpulkan mengenai tindak tutur pedagang di Pasar Bawah Bukittinggi sebagai berikut: 1. Bentuk Tindak Tutur Direktif Dari hasil penelitian yang dilakukan, terlihat bahwa bentuk tindak tutur direktif yang terdapat pada tindak tutur pedagang dengan calon pembeli serta rekan seprofesinya itu terdiri dari memesan, memerintah, memohon, menyarankan, meminta, menasehati, melarang, memperbolehkan, dan mengajak. Bentuk tindak tutur memesan tidak ada ditemukan, karena tindak tutur ini berfungsi untuk memberi suatu pesan dengan tujuan lawan tuturnya menanggapi tuturan itu. Direktif memerintah 23 tuturan, tindak tutur memerintah ini paling banyak ditemukan, karena pada umumnya pedagang memerintah calon pembeli untuk membeli barang dagangannya. Direktif memohon 1 tuturan, sedikit ditemukan karena jarang calon pembeli yang meminta dengan penuh permohonan. Direktif menyarankan 6 tuturan, karena pedagang menyarankan calon pembeli untuk membeli barang dagangannya. Direktif meminta 2 tuturan, karena ada beberapa pedagang yang meminta sesuatu kepada rekannya. Direktif menasehati 1 tuturan, bentuk menasehati ini jarang ditemukan karena jarang pedagang yang menasehati calon pembelinya. Direktif melarang 2 tuturan, tindak melarang ini merupakan ungkapan memerintah untuk melakukan sesuatu, tidak memperbolehkan sesuatu. Direktif membolehkan 6 tuturan, tindak membolehkan ini merupakan tindakan mengizinkan. Direktif mengajak 3 tuturan, tindak mengajak merupakan membujuk orang agar memenuhi permintaan kita. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindak tutur direktif yang paling banyak ditemukan adalah direktif memerintah yaitu 23 tuturan. Contoh: Tindak Tutur Ilokusi Direktif Memerintah Tengok dek Ni bawang nyo rancak e! Lihatlah Ni, bawangnya bagus! Contoh: Tindak Tutur Ilokusi Direktif Memohon Diak duo baleh lah yo…. Dek, dua belas ya….. Contoh: Tindak Tutur Ilokusi Direktif Menyarankan Bungkuih daun se lah dih bulih agak tahan nyo… Pakai bungkus daun saja ya boleh tempe nya agak tahan… Contoh: Tindak Tutur Ilokusi Direktif Meminta Agiah pitiah duo ribu Man…… Mintak uang dua ribu Man…..
532
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
2. Fungsi Tindak Tutur Direktif Fungsi tindak tutur direktif yang paling banyak ditemukan adalah fungsi kompetitif yaitu 26 tuturan, yang terdiri dari direktif kompetitif memerintah, memohon, dan meminta. Tindak yang paling sedikit ditemukan adalah bertentangan, ditemukan 3 tuturan yaitu direktif melarang. Contoh : Fungsi Tindak Tutur Kompetitif Ni, bawoklah bawang ni… Uni, bawalah bawang ni…. Contoh : Fungsi Tindak Tutur Menyenangkan Bawoklah ni, marilah ni, cubolah ni kalo ndak picayo…. Bawalah ni, ke sinilah boleh dicoba kalau tidak percaya… E. Simpulan dan Saran Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tindak tutur direktif pedagang di Pasar Bawah Bukittinggi, tindak tutur direktif merupakan tindak tutur yang disampaikan oleh penutur kepada petutur untuk membuat pendengarnya melakukan sesuatu. Bentuk tindak tutur direktif yang digunakan ialah memesan, memerintah, memohon, menyarankan, meminta, menasehati, melarang, memperbolehkan, dan mengajak. Fungsi tindak tutur direktif yaitu kompetitif, menyenangkan, bekerja sama, dan bertentangan. Berdasarkan simpulan di atas dapat di sarankan: Bagi pendidikan, pemahaman tentang tindak tutur ini masih perlu di tingkatkan khususnya tindak tutur direktif. Bagi pembaca, dapat menjadi contoh tuturan yang baik yang ada di dalam tuturan pedagang, selain itu menerapkan dalam kehidupan sehari-hari baik di rumah maupun di lingkungan masyarakat. F. Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rhineka Cipta. Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta : Rineka Cipta. Leech, Geoffrey. 1996. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia (UI). Lubis, A. Hamid Hasan. 2011. Analisis Wacana Pragramatik. Bandung: Angkasa. Mahsun, M.S. 2005. Metedologi Penelitian Bahasa. Jakarta : Raya Grafindo Persada. Margono. 1996. Metodologi Penelitian Pendidikan. Semarang : Rineka Cipta. Pangaribuan, Tagor. 2008. Paradigma Bahasa. Yogyakarta: Graha Ilmu. Rahardi, R. Kunjana. 2005. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. Sudaryanto.1996. Metode dan Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: UGM Press. Sugiyono. 2007. Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Sumarsono dan Paida Pratama. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Syamsuddin, dan Damaianti, Vismaia S. 2007. Metode Penelitian Pendidikan Bahasa. Bandung: Remaja Rosda Karya. Tarigan, Hendri Guntur. 2009. Pengajaran Pragmatik. Bandung : Angkasa. Yule, George. 2006. Pragmatik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Wijana, Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta : Andi Offset.
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
533
WAJAH PENDIDIKAN INDONESIA DALAM NOVEL M. Tauhed Supratman Universitas Madura Pamekasan
[email protected] Abstrak
Sastra dan kehidupan tidak dapat dipisahkan. Sastrawan seringkali mengangkat masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan. Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata adalah salah satu novel yang menampilkan potret kehidupan pendidikan di daerah terpencil. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif. Hasil penelitian menggambarkan wajah pendidikan Indonesia yang disimbolkan oleh keadaan sekolah dan gaji guru SD Muhammadiyah yang memprihatinkan. Kata kunci: pendidikan, novel.
A. Pendahuluan Tugas utama seorang sastrawan adalah menjadi saksi zaman dan menjadi hati nurani masyarakat dan bangsanya. Sastrawan sebagai saksi zaman menyerap segala yang terjadi dalam masyarakat, dan mengabadikannya dalam kata-kata, sehingga semangat dan situasi batin maupun fisik dapat diteruskan pada kalangan yang lebih luas, baik sekarang maupun pada masa-masa yang akan datang. Bukti sastrawan sebagai saksi zaman dan menjadi hati nurani bangsanya, khususnya yang berkaitan dengan masalah pendidikan dapat kita lihat dalam novel Laskar Pelangi. Novel karya Andrea Hirata yang satu ini telah memotret denyut nadi kehidupan pendidikan di Indonesia selama ini. B. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Metode deskriptif merupakan prosedur atau cara pemecahan masalah penelitian dengan memaparkan keadaan objek yang diteliti sebagaimana adanya, berdasarkan fakta-fakta yang terjadi. C. Hasil Dan Pembahasan Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata merupakan salah satu novel yang menceritakan perjuangan sepuluh anak miskin Bangka Belitong yang ingin menggapai citacita melalui sekolah. Novel tersebut menampilkan wajah pendidikan di Indonesia yang masih memprihatinkan. Keadaan tersebut disebabkan karena kurangnya perhatian pemerintah terhadap sarana dan prasarana pada sekolah yang didirikan di daerah-daerah terpencil, seperti ungkapan: “Diujung bangku-bangku panjang tadi ada sebuah pintu terbuka. Kosen itu miring karena seluruh bangunan sekolah sudah doyong seolah akan roboh.” (Hirata, 2008: 1) Sekolah yang seharusnya menjadi pusat ilmu dan penunjang cita-cita anak Indonesia. Kondisi sekolah yang terkesan sangat sederhana dan hampir roboh tersebut tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah dan masyarakat. “….Para orangtua ini sama sekali tak yakin bahwa pendidikan anaknya yang hanya mampu mereka biayai paling tinggi sampai SMP akan dapat mempercerah masa depan keluarga. “(Hirata, 2008: 3) Menyaksikan wajah lembaga pendidikan seperti yang dilukiskan dalam novel Laskar Pelangi tersebut mengingatkan bahwa seharusnya pemerintah mengambil peran untuk menyelamatkan pendidikan. Pemerintah harus memberikan kesempatan kepada setiap anak dari berbagai lapisan sosial untuk mendapatkan kesempatan menikmati pendidikan yang layak. Terbatasnya kesempatan untuk menikmati pendididikan bagi rakyat miskin di berbagai daerah hanya akan menghambat kemajuan dan pengentasan kemiskinan, dan hanya akan memperparah jurang pemisah antara si miskin dan si kaya. “Adapun sekolah ini, SD Muhammadiyah, juga sekolah kampung yang paling miskin di Balitong. Ada tiga alasan
534
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
mengapa orangtua mendaftarkan anaknya di sini. Pertama, karena sekolah Muhammadiyah tidak menetapkan iuran dalam bentuk apapun , para orangtua hanya menyumbang suka rela semampu mereka. Kedua, karena firasat karakter anak-anak yang mudah disesatkan iblis sehingga sejak usia muda harus mendapat pendadaran Islam yang tangguh. Ketiga, karena anaknya memang tidak diterima disekolah manapun.” (Hirata, 2008: 4) Gambaran bahwa anak-anak miskin hanya mampu masuk ke sekolah yang miskin pula, disebabkan masalah biaya merupakan alasan klasik bagi orangtua. Kehidupan ekonomi memang secara langsung mempengaruhi kesempatan pendidikan yang diterima oleh seorang anak. Mahalnya pendidikan di Indonesia menyebabakan para orangtua hanya mampu menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah kampung yang sederhana. Lain halnya di PN Timah, sekolah yang megah dan mewah hanya diperuntukkan bagi mereka anak-anak staf PN Timah dan orang-orang kaya di Bangka Belitung, sehingga tampak marginalisiasi pendidikan bagi kaum miskin. “Guru-guru yang sederhana ini berada dalam situasi genting karena pengawas sekolah dari Depdikbud Sumsel telah memperingatkan bahwa jika SD Muhammadiyah hanya mendapat siswa kurang dari sepuluh orang, maka sekolah paling tua di belitong ini harus ditutup” (Hirata, 2008: 4) Bagian ini menyiratkan bahwa praktik pendidikan, terutama di daerah pinggiran, sering terkendala masalah administratif, seperti sejumlah siswa yang harus dipenuhi, ketika banyak orang ingin menikmati pendidikan dengan biaya murah, namun sekolah itu mengalami kendala masalah administratif, nyaris sembilan anak tersebut kehilangan kesempatan bersekolah selamanya. Untung saja muncullah Harun sebagai penyelamat. Hal ini sangat sangat kontradiktif dengan SD yang didirikan oleh PN Timah, sekolah eksklusif dan megah diperuntukkan bagi anak-anak staf PN Timah, tidak pernah kekurangan murid . Hal ini menimbulkan fenomena ketidaksetaraan akses pendidikan yang dapat diraih masyarakat. “Tak susah melukiskan sekolah kami, karena sekolah kami adalah salah satu dari ratusan atau mungkin ribuan sekolah miskin di seantero negeri ini yang jika disenggol sedikit saja oleh kambing yang senewen ingin kawin, ia bisa rubuh berantakan.” (Hirata, 2008: 17) Kutipan tersebut, menggambarkan bahwa fasilitas sarana yang dimiliki oleh sekolah-sekolah miskin begitu memprihatinkan. Idealnya setiap tempat yang digunakan sebagai sarana penunjang pendidikan haruslah memadai, sehat, dan aman bagi penyelenggaraan pendidikan itu sendiri seperti ungkapan: “Kami kekurangan guru dan sebagian besar siswa SD Muhammadiyah ke sekolah memakai sandal. Kami bahkan tak punya seragam. Kami juga tak punya kotak P3K.” (Hirata, 2008: 17-18) Sekolah orang-orang miskin selalu saja lebih memprihatinkan, karena selain sarana yang kurang, sekolah-sekolah seprti ini selalu kekurangan guru. Fenomena seperti ini haruslah diperhatikan pemerintah, baik pusat maupun daerah demi terwujudnya pendidikan yang bermutu dan berkualitas. “Sekolah Muhammadiyah tidak pernah dikunjungi pejabat, penjual kaligrafi, pengawas sekolah, apalagi anggota dewan. Yang rutin berkunjung hanyalah seorang pria berpakaina seperti ninja. Dipunggungnya tergantung sebuah tabung alumunium besar dengan selang yang menjalar kesana-kemari….(Hirata, 2008: 18). Sekolah-sekolah miskin jarang mendapatkan perhatian, baik dari instansi pendidikan, maupun dari pemerintah. Tidak ada yang tertarik untu memperhatikan sekolah-sekolah orang miskin, padahal sekolah seperti inilah yang yang mampu menampung anak-anak miskin untuk tetap bersekolah dan melanjutkan cita-citanya agar tidak hanya berkubang dalam kemiskinan. Kepedulian pemerintah dan masyarakatlah yang diharapkan demi kelangsungan sekolah-sekolah orang miskin seperti sekolah SD Muhammadiyah ini, seperti yang digambarkan dalam kutipan berikut: “Jika dilihat dari jauh sekolah kami seolah akan tumpah karena tiang-tiang kayu penyangga sudah tak tegak menahan atap sirap yang berat. Maka sekolah kami sangat mirip dengan gudang kopra. Maka pada intinya tidak ada yang baru dalam pembicaraan tentang sekolah yang atapnya bocor, berdinding papan, berlantai tanah, atau yang kadang malam dipakai untuk menyimpan ternak, semua itu telah dialami oleh sekolah kami.” (Hirata, 2008: 20)
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
535
Sekolah sebagai tempat yang menyelenggarakan pendidikan haruslah aman dan nyaman, karena dengan keadaan tersebut, maka siswa dapat belajar dengan tenang, namun berbeda dengan sekolah yang terdapat pada kutipan di atas, sekolah yang digunakan oleh orang-orang miskin lebih mirip dengan gudang kopra, yang terkadang malam hari digunakan sebagai tempat menyimpan ternak. Sekolah-sekolah seperti ini selayaknya mendapatkan perhatian dari pemerintah agar anak-anak miskin mendapatkan sarana yang layak dalam penyelenggaraan pendidikannya. “Tekad itu memberinya kesulitan hidup yang tidak terkira, karena kami kekurangan guru, lagi pula siapa yang rela diupah beras 15 kilo tiap bulan? Maka selama enam tahun selam di SD Muhammadiyah, beliau sendiri yang mengajar semua mata pelajaran.” (Hirata, 2008: 30). Tenaga pengajar dalam sekolah miskin pun mendapatkan kesusahan yang sama, selain beratnya tugas yang diemban sebagai pengajar dan pendidik, upah yang mereka terima, tidak sepadan dengan pengabdian dan pengorbanan yang mereka berikan. Misalnya dalam kutipan data di atas, seperti halnya Bu Mus, hanya dihargai dengan 15 kilo beras setiap bulannya. Tidak meratanya kesempatan pandidikan, masih banyak dijumpai di Indonesia, hanya mereka yang memiliki uang saja yang dapat meneruskan pendidikan sampai ke jenjang lebih tinggi, namun anak-anak miskin, selalu saja termarginalkan, kurang mendapat perhatian, seperti kutipan data berikut: “Dan kata-kata itu semakin menghancurkan hatiku, maka sekarang aku marah, aku kecewa pada kenyataan begitu banyak anak pintar yang harus berhenti sekolah karena alasan ekonomi.” (Hirata, 2008: 472). Ungkapan tersebut merupakan bentuk ungkapan kekecewaan melihat wajah pendidikan di Indonesia, karena hanya dengan alasan ekonomi, anak miskin tak lagi berani bermimpi. Kecerdasan bukan lagi tolak ukur menggapai impian karena kesempatan untuk mendapatkan akses pendidikan lebih banyak ditentukan oleh siapa yang memiliki uang. Dari uraian di atas, dapat kita pahami bahwa potret pendidikan di Indonesia masih begitu memprihatinkan, karena keterbatasan akses untuk mendapatkan pendidikan yang layak bagi orang miskin. Pemerintah seharusnya menjembatani agar kesenjangan tersebut tidak terjadi, karena pada dasarnya setiap anak di Indonesia memiliki kesempatan dan hak untuk mendapatkan pendidikan layak agar tidak terjadi jurang pemisah antara si miskin dan si kaya dalam menikmati akses pendidikan yang bermutu. D. Simpulan Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata menggambarkan wajah dunia pendidikan, terutama pendidikan yang ditujukan terhadap anak-anak miskin. Anak-anak miskin hanya mampu bersekolah di sebuah sekolah yang hampir roboh dengan fasilitas seadanya. Sekolah yang ada di daerah terpencil tidak pernah mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat maupun daerah. Pemerintah seharusnya tanggap dan peduli terhadap pendidikan terutama bagi anak-anak miskin, agar tidak terjadi kesenjangan dan kecemburuan sosial antara si kaya dan si miskin. E. Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Amal, Syafi’I. 1998. Kegalauan Ekonomi Politik ORBA. Bandung: Forum Komunikasi Masyarakat. Gunawan, Tamrin. 12 Juli 2009. Kritik Terhadap Praktek Pendidikan di Indonesia. http://www. kritikterhadappraktekpendidikandiIndonesia.wikepedia.com [01 Mei 2011]. Herawan. 26 Mei 2008. Menghujat Pendidikan di Indonesia. Tersedia: http://www. menghujatpendidikandiIndoneisa.blog.spot.com [01 Mei 2011]. Hirata, Andrea. 2008. Laskar Pelangi. Jogjakarta: Bentang Pustaka. Mas’oed, Mohtar. 1999. Krtitik Sosial. Yogjakarta: UII Press Yogjakarta. Moleong, Lexi. 2007. Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: Rosda.
536
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
Nurgiyantoro, Burhan.1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogjakarta: Gadjah Mada University Press. Prasetyo, Eko. 2004. Orang Miskin Dilarang Sekolah. Yogjakarta: Insist. Rahmadi, Muhammad. 2009. Sebuah Kritik Terhadap Pendidikan Nasional. http baham\my sElf » pendidikan di indonesia dan hukum.htm.20 Oktober. Suyanto, Bagong dan Karnaji. 2005. Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial: Ketika Pembangunan Tak Berpihak Kepada Rakyat Miskin. Surabaya: Universitas Airlangga Press Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogjakarta: Pustaka. Yamin, Moh. 2009. Menggugat Pendidikan Indonesia. Yogyakarta: Ar-rus Media.
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
537
SASTRA INDONESIA: ASET KULTURAL BANGSA TERABAIKAN Maryaeni Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstrak
Akhir-akhir ini bermunculan penulis muda yang andal. Dari tangan mereka, kita memperoleh sejumlah produk budaya berupa sastra. Apakah karya sastra anak bangsa ini sudah terbaca dan terdokumentasikan? Buah tangan mereka itulah yang bisa dikatakan sebagai aset kuktural bangsa ini.
Kata kunci: aset kultural A. Pendahuluan Mari kita flashback ke masa lalu. Kita tengok periodidasi sastra dengan puncak-puncak sastranya.Meski tidak semua akan ditulis di sini, paling tidak, apa yang disitir diharapkan mampu menggugah ingatan ke masa lalu kita.Djamarismengatakan bahwa perkembangan sastra Indonesia lama secara periodik terbagi atas 4, yaitu (1) sastra tradisional atau sastra rakyat, yaitu hasil sastra yang belum atau sedikit sekali mendapatkan pengaruh asing, khususnya pengaruh Hindu atau Islam, (2) sastra pengaruh Hindu, (3) sastra pengaruh peralihan Hindu ke Islam, (4) sastra pengaruh Islam. Sementara sastra modern atau terkini belum masuk pada periodisasi tersebut. Karya satra Indonesia lama pada masa Hindu lebih kental dengan pengaruh India. Kebudayaan India merupakan kebudayaan asing pertama yang mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat Melayu, tak terkecuali bidang kesusastraan.Banyak kesusastraan Melayu Klasik yang dipengaruhi agama Hindu. Kesusastraan Melayu Klasik yang termasuk karya sastra prosa pengaruh Hindu diantaranya Hikayat Sri Rama, Hikayat Sang Boma, dan Hikayat Kalilah dan Daminah. Karya sastra Melayu Klasik pengaruh Hindu mempunyai ciri-ciri:(a) berbentuk epos atau cerita kepahlawanan, (b) selalu ada benda-benda keramat yang digunakan oleh tokoh cerita, (c) mengajarkan budi pekerti melalui jalan cerita yang mempertantangkan sifat hitamputih, (d) sebagian besar nama tokoh menggunakan unsur nama, (e) terdapat tokoh yang mempunyai kesaktian karena bertapa, dan(f) menggambarkan hubungan yang hierarkis baik antarmanusia, maupun manusia dengan dewa. Ramayana merupakan epos yang terkenal di India.Bagi masyarakat, Ramayana adalah kavya, yakni puisi yang biasanya dipakai untuk memberikan nasihat atau ajaran moral bagi para generasi muda.Ramayana juga dikenal sebagai cerminan orang kelas Arya yang idealis. Melalui tokoh Rama, epos Ramayana juga mengajarkan keluruhan, ketaatan, keramahan, kasih sayang yang harus dimiliki oleh manusia sebagai individu.Epos Ramayana dikalangan Melayu Klasik dikenal dengan Hikayat Sri Rama.Hikayat Sri Rama ialah salah satu dua Versi gubahan dan pendaerahan Melayu untuk Versi Ramayana yang ditulis oleh Wamiki dalam bahasa Sansekerta.Tujuan utama hikayat Sri Rama adalah untuk menampilkan kewajaran, kasih saying, kesetiaan, dan penumpuan yang tidak mementingkan dirinya. Dalam konteks sastra Melayu Klasik, Hikayat Pandawa Lima merupakan nama lain dari Mahabarata. Di samping itu, Hikayat Pandawa Lima juga memiliki berbagai macam sebutan, di antaranya Hikayat Pandawa, Hikayat Pandawa Jaya, Pandawa Panca Kelima.Hal itu membuktikan Mahabarata sebagai epos yang dapat diterima dan terkenal di kalangan masyarakat melayu.Hikayat Pandawa Lima yang dikenal di Melayu merupakan hikayat yang berasal dari cerita Mahabarata. Masa peralihan dalam sastra Indonesia lama adalah hasil sastra yang didalamnya terdapat unsur Hindu dan Islam.Munculnya dua pengaruh yang berbeda, Hindu dan Islam, di
538
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
dalam karya sastra Indonesia lama membuktikan bahwa terdapat dialog yang bersifat damai antara kedua unsur tersebut.Nilai Islam sebagai faktor yang datang setelah Hindu mencoba berasimilasi dengan Hindu dalam rangka memperkenalkan nilai-nilainya.Akan tetapi dalam perkembangannya, setelah nilai Islam dapat diterima oleh masyarakat Melayu, pengaruh Islam dalam karya sastra semakin dominan bahkan mampu menghilangkan unsur kehinduan dalam rangkaian cerita tersebut. Kesusastraan zaman Islam adalah kesusastraan yang mulai menerima pengaruh yang besar dari kebudayaan Islam, sebagaimana yang ditunjukkan oleh integrasi, baik secara eksplisit maupun implisit, dari karya-karya sastra bercorak Islam ke dalam karya-karya berbahasa Melayu. Namun pada saat yang sama, pengaruh dari kebudayaan India yang diperoleh melalui kesusastraan Jawa juga masih dijumpai dan disesuaikan dengan asas-asas Islam. Beberapa penulis Kontemporer yang ‘beraliran’ Islam, sepertiDjamil Suherman banyak menulis cerpen dengan latar kehidupan pesantren.Diksi-diksi yang dipakainya untuk mendeskripsikan realitas kehidupan para santri sangat akrab dengan realitas sehari-hari pondok pesantren misalnya tarawih, santri, tadarus, dan lain sebagainya.Nilai yang hendak disampaikannya pun seputar dunia yang ditekuni para santri, sebuah pilihan hidup untuk selalu elingkepada Yang Maha Kuasa.Sastrawan Ahmad Tohari, penulis trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Dalam kesusastraan kita kini, tidak banyak sastrawan yang mengikuti jejak Djamil Suherman. Ada memang banyak sastrawan yang merupakan produk pesantren, yang mempunyai kontribusi besar dalam khasanah kesastraan Indonesia mutakhir, seperti K.H. Mustofa Bisri, Emha Ainun Nadjib, Ahmad Tohari, Fudoli Zaini, Zawawi Imron, Acep Zamzam Nur, Ahmad Syubbanuddin Alwi, Jamal D. Rahman, Mathori A Elwa, dan Nasruddin Anshory. Tapi para sastrawan produk pesantren itu tidak hanya menulis kehidupan di sekitar pesantren seperti Djamil Suherman, melainkan juga menulis tentang banyak hal sebagaimana sastrawan lain yang bukan produk pondok pesantren. Sebut saja Fudoli Zaini dengan cerpencerpen yang temanya sangat beragam dalam kehidupan yang begitu luas. Munculnya kesusasteraan modern sejak tahun 1980 an membawa angin segar pada kehidupan kesusteraan di tanah air, lebih-lebih perkembangan pada tahun 2000 memperlihatkan gejolak yang sangat signifikan dengan perubahan dan perkembangan zamannya. Sebut saja W.S. Rendra, Sutarji Chalsum Bachri, Taufik Ismail, Hartoyo Andang Jaya, Putu Wijaya, Arifin C. Noer dan lain-lain. Meskipun corak karya sastrawan zaman W.S. Redra dan Putu Wijaya tersebut berbeda dengan aliran sastra sebelumnya, bukan berarti bahwa mereka sama sekali meninggalkan yang lama. Sastrawan dilahirkan pada zamannya dan karyanya pun sesuai dengan fenomena saat itu. Karya Rendra menukik dengan Nyanyian Angsa dan Serenada, Taufik Ismail ngetop dengan Karangan Bunga, Putu Wijaya lebih cenderung ke naskah Drama, Aduh, Aum. Sementara Arifin C Noer memuncak dengan Sumur Tanpa Dasar, Iwan Simatupang didongkrak oleh Petang Di Taman dan seterusnya. Belum lagi lahirnya Hamid Jabar, Sutarji Cholsum Bachri, Danarto dan lain-lain yang menghasilkan karya yang sangat unik bahkan terlalu asing bagi pembaca saat itu. Tahun 2013 masyarakat sastra Indonesia dikejutkan, dibelalakan, dan dicengangkan dengan lahirnya Sastra Indonesia Mutakhir yang menurut penulis “menuai badai”. Beberapa penulis baru, baru lahir, baru bisa menulis, baru berkomentar secara tiba-tiba masuk pada kategori sastrawan Indonesia Mutakhir. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Jawabnya,ya begitulah ulah oknum-oknum tertentu yang “pengen ngetop sesaat”. Terlepas dari zaman para penulis kita lahir dan dilahirkan dengan karya apa, apakah karya besar mereka sudah terdokumentasikan dengan baik? Kitalah yang bisa menjawab permasalahan itu, bukan orang lain. Mengapa pertanyaan ini tiba-tiba muncul? Mengingat karya besar kita dalam bentuk komik sudah sulit ditemukan di tanah air. Berita yang beredar mengatakan bahwa komik-komik semacam Ko Ping Ho, Api Di Bukit Menoreh, Nagasasra
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
539
Sabuk Inten dan lain-lain telah “terborong” oleh warga negara lain. Benarkah? Aset sastra yang mana lagi yang bisa kita nikmati dan dinikmati anak cucu kita? B. Pembahasan Atar (2012:1) bahwa sastra lahir disebabkan oleh dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan dirinya, menaruh minat terhadap masalah manusia dan kemanusiaan, dan menaruh minat terhadap dunia realitas yang berlangsung sepanjang hari dan sepanjang zaman. Sastra diharapkan mampu memberikan sumbangan terhadap perkembangan intelek, estetik, serta manifestasi budaya. Dikatakan sebagai manifestasi budaya, karya sastra dibentuk oleh masyarakat itu sendiri. Sebagai manifestasi kebudayaan, tentunya karya sastra merupakan tolak ukur atau cerminan masyarakat pada zamannya, dan akan mengkontaminasi zaman sekarang serta zaman yang akan datang. Warren dan Wallek (1995:11) mengatakan bahwa sastra tidak terlepas dari unsur budaya. Budaya yang tercipta merupakan hasil pemikiran masyarakat tentang keadaan, peristiwa yang terjadi pada saat itu, sehingga seorang pengarang berinisiatif menulis dengan berbagai penafsiran. Menurut Teeuw (dalam Pradopo, 2012:80) karya sastra tidak lahir dalam kekosongan budaya, termasuk dalamnya karya sastra. Karya sastra harus memiliki daya pikat tersendiri terhadap batin dan jiwa penikmatnya. Daya gugah ini akan menjadi senjata pengarang untuk menggambarkan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kurun waktu yang relatif lama, sehingga menjadi misteri dan terus dicari keberadaannya atau keabsahannya oleh masyarakat. Dari beberapa pendapat di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa karya sastra merupakan luapan emosi dan kreativitas pengarang secara spontan yang bersifat otonom dan memiliki nilai estetik tinggi, baik berasal dari nilai kebahasan dan nilai makna tentang suatu peristiwa-peristiwa dan atau konflik-konflik di tengah-tengah masyarakat yang diungkapkan dengan menginterpretasi peristiwa atau konflik dengan daya imajinatif pengarang. Sikap hidup pragmatis dari sebagian besar masyarakat Indonesia dewasa ini mengakibatkan terkikisnya nilai luhur budaya bangsa. Demikian pula budaya kekerasan dan anarkisme sosial turut memperparah kondisi sosial budaya bangsa Indonesia. Nilai kearifan lokal (local wisdom) yang santun, ramah, saling menghormati, arif, dan religius seakan terkikis dan tereduksi gaya hidup instan dan modern. Masyarakat sangat mudah tersulut emosinya, pemarah, brutal, kasar, dan vulgar tanpa mampu mengendalikan hawa nafsunya, seperti perilaku para demonstran yang membakar kendaraan atau rumah, merusak gedung, serta berkata kasar, dalam berunjuk rasa yang ditayangkan di televisi. Fenomena itu dapat menjadi representasi melemahnya karakter bangsa ini, yang terkenal ramah, santun, berpekerti luhur, dan berbudi mulia. Sebagai bangsa yang beradab dan bermartabat, situasi yang demikian itu jelas tidak menguntungkan bagi masa depan bangsa, khususnya dalam melahirkan generasi masa depan bangsa yang cerdas, bijak, terampil, cendekia, berbudi pekerti luhur, berderajat mulia, berperadaban tinggi, dan senantiasa berbakti kepada Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena itu, dibutuhkan paradigma pendidikan kejiwaan yang berorientasi pada karakter bangsa, yang tidak sekadar memburu kepentingan kognitif (pikir, nalar, dan logika), tetapi juga memperhatikan dan mengintegrasi persoalan moral dan keluhuran budi pekerti. Hal itu sejalan dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu fungsi pendidikan adalah mengembangkan kemampuan dan membangun watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pendidikan kejiwaan yang berorientasi pada pembentukan karakter bangsa itu dapat diwujudkan melalui pengoptimalan peran sastra. Untuk membentuk karakter bangsa ini, sastra diperlakukan sebagai salah satu media atau sarana pendidikan kejiwaan. Hal itu cukup
540
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
beralasan sebab sastra mengandung nilai etika dan moral yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia. Sastra tidak hanya berbicara tentang diri sendiri (psikologis), tetapi juga berkaitan dengan Tuhan (religiusitas), alam semesta (romantik), dan juga masyarakat (sosiologis). Sastra mampu mengungkap banyak hal dari berbagai segi. Banyak pilihan genre sastra yang dapat dijadikan sarana atau sumber pembentukan karakter bangsa. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:623) menjelaskan bahwa karakter adalah sifat atau ciri kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain; tabiat; watak. Karakter merupakan nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Karakter juga merupakan cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang mampu membuat suatu keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusan yang dibuatnya. Berkaitan dengan karakter, Saryono (2009:52-186) mengemukakan bahwa genre sastra yang dapat dijadikan sarana untuk membentuk karakter bangsa, antara lain, genre sastra yang mengandung nilai atau aspek (1) literer-estetis, (2) humanistis, (3) etis dan moral, dan (4) religius-sufistis-profetis. Keempat nilai sastra tersebut dipandang mampu mengoptimalkan peran sastra dalam pembentukan karakter bangsa. Genre sastra yang mengandung nilai literer-estetis adalah genre sastra yang mengandung nilai keindahan, keelokan, kebagusan, kenikmatan, dan keterpanaan yang dimungkinkan oleh segala unsur yang terdapat di dalam karya sastra. Dalam idiom estetis Jawa Kuno, genre sastra yang mengandung nilai literer-estetis disebut kalangwan (Zoetmulder, 1985). Genre sastra yang mengandung nilai humanistis adalah genre sastra yang mengandung nilai kemanusiaan, menjunjung harkat dan martabat manusia, serta menggambarkan situasi dan kondisi manusia dalam menghadapi berbagai masalah. Kisah klasik Ramayana dan Mahabarata, misalnya, menyajikan berbagai pengalaman hidup manusia, seperti tragedi, maut, cinta, harapan, loyalitas, kekuasaan, makna dan tujuan hidup, serta hal yang transendental. Nilai kemanusiaan yang begitu tinggi dalam karya sastra klasik tersebut sering ditulis ulang (direproduksi) oleh penulis kemudian. Novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata (1983) dan Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Aji Darma (2004) ditulis berdasarkan kisah Ramayana yang penuh nilai kemanusiaan tersebut. Kehadiran karya sastra semacam itu diharapkan dapat membentuk kearifan budaya bangsa Indonesia yang memiliki rasa perikemanusiaan yang adil, beradab, dan bermartabat. Genre sastra yang mengandung nilai etis dan moral dalam karya sastra mengacu pada pengalaman manusia dalam bersikap dan bertindak, melaksanakan yang benar dan yang salah, serta bagaimana seharusnya kewajiban dan tanggung jawab manusia dilakukan. Sudah sejak dahulu karya sastra diperlakukan sebagai wahana penyimpan dan perawat nilai etis dan moral, misalnya Ramayana, Mahabarata, Wulangreh (Pakubuana IV), Wedhatama (Mangkunegara IV), dan Kalatidha (R.Ng. Ranggawarsito), sudah dianggap sebagai penyimpan dan perawat norma etis dan moral yang ideal bagi masyarakat. Simpanan dan rawatan norma etis dan moral tersebut dapat dijadikan wahana pembentukan karakter bangsa yang lebih mengutamakan etika dan moral dalam bersikap dan bertindak sehari-hari. Untuk menjadikan sastra sebagai pembentukan karakter bangsa, tidak serta-merta hal itu dapat terwujud. Untuk mengoptimalkan peran sastra tersebut, kemauan apresiator sangat menentukan keberhasilan. Apabila apresiator tidak memiliki kemauan, segan membaca dan mengapresiasi karya sastra, bahkan sekadar membaca dan setelah itu dilupakan, tentu sulit diharapkan sastra mampu secara optimal berperan membentuk karakter bangsa. Sebaliknya, apabila ada kemauan yang teguh dari seorang apresiator untuk berapresiasi secara total dan optimal, setelah sastra dibaca, lalu dipahami maknanya, dimengerti, dan selanjutnya dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, tentu karakter bangsa akan terbentuk sesuai
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
541
dengan nilai kebajikan yang termuat dalam sastra. Karakter bangsa yang diharapkan terbentuk adalah terjalinnya harmoni hubungan manusia dengan Tuhan, alam semesta, makhluk lain, dan dirinya sendiri. “MARILAH KITA BERTANGGUNG JAWAB TERHADAP KELESTARIAN ATAS KEADILUHUNGAN KARYA SASTRA NUSANTARA YANG SARAT AKAN NILAI DAN PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA” Satu-satunya aset kultural bangsa ini adalah karya sastra, apa pun bentuknya, baik karya sastra lama maupun karya sastra modern/mutakhir. Jika dipilah dan dipilih, maka tidak semua karya sastra bernilai adiluhung, tetapi mau atau tidak mau setiap karya sastra yang lahir merupakan representasi zamannya, ordenya, masanya, dan lingkungannya. Apa pun bentuk karya sastra yang dilahirkan pada zamannya mestinya dan seharusnya diasumsikan sebagai aset kultural bangsaini. C. Simpulan Pemahaman terhadap perkembangan zaman bisa dan telah ditijau dari aspek budaya. Budaya sangat berperan membantu proses pembentukkan karakter bangsa. Di lain pihak, pendokumentasian karya adiluhung mestinya sudah harus dilakukan agar budaya bangsa ini tidak tercerabut dari akarnya. D. Daftar Pustaka Nurgiyantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Pess. Fang, Liauw Yock. 1991. Sejarah Kesusasteraan Melayu Klasik. Jakarta: Erlangga. Budianta, Melani. 2000. Membaca Sastra. Yogyakarta: Indonesia Tera. Bakti, Sutopo. 2014. Sastra Indonesia Lama. Yogyakarta: Aura Pustaka Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Scott, Gini Graham. 1999. The Empowered Mind: Bagaimana Memanfaatkan Potensi Kreatif dalam Diri Anda. Jakarta: Delapratasa.
542
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
ANALISIS UNSUR BAHASA ESTETIS DALAMPUISI JAWA TRADISIONAL SERAT BAYAN BUDIMAN KARYA MAS HARJAWINAGA Raheni Suhita, Favorita Kurwidaria, Rahmat, Djoko Sulaksono Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstrak
Serat Bayan Budiman merupakan puisi Jawa tradisional yang berbentuk tembang macapat.Keestetisan pada serat tersebut tidak dapat dilepaskan dari unsur bahasanya. Oleh karena itu penyair akan berupaya memotensikan segenap aspek bahasa, agar dapat mewakili gagasan dan pemikirannya dengan tetapmempertimbangkan aspek estetisnya. Selain memperhatikan aspek estetis, pemilihan bahasa yang terdapat dalam Serat Bayan Budiman juga harus memperhatikan aturan/konvensi tembang. Unsur bahasa estetis yang terdapat dalam serat Bayan Budiman sebagai sarana penyair untuk menciptakan puisi yang indah dan khasantara lain: penggunaan kata yang mengandung persajakan, pemakaian afiksasi arkhais, pemakaian tembung garba, tembung plutan, dasanama, tembung kawi, tembung camboran, dan tembung entar dan penyiasatan struktur kalimat. Kata kunci: bahasa estetis, puisi Jawa Tradisional,
A. Pendahuluan Kesusastraan Jawa merupakan bagian dari keragaman dan kekayaan budaya bangsa Indonesia. Di dalam kesusastraan Jawa terkandung berbagai sumber informasi mengenai adat, filsafat,bahasa, maupun nilai-nilai budaya yang sangat penting sebagai media pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional. Upaya pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Jawa dalam rangka pembinaan kebudayaan nasional, tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No 9/2012 Pasal 3 dan 4, yang berbunyi: “Perlindungan, pembinaan, pengembangan bahasa, sastra dan aksara Jawa bertujuan untuk mengenali nilai-nilai estetika, etika, moral dan spiritual yang terkandung dalam budaya Jawa untuk didayagunakan sebagai upaya pembinaan dan pengembangan kebudayaan Nasional”. (Peraturan Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Tengah, 2012:4) Peraturan daerah tersebut menunjukkan arti pentingnya pembinaan dan pengembangan sastra Jawa bagi pelestarian kebudayaan nasional. Salah satu upaya pengembangan kesusastraan Jawatersebut dapat dilakukan dengan mengkaji dan meneliti, baik dari segi bahasa maupun kandungan isinya. Kesusastraan Jawa tertulis yang ada dalam masyarakat saat ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu sastra tradisional dan sastra modern. Kesusastraan Jawa tradisional banyak digubah dalam bentuk gancaran “prosa” dan basa pinathok ‘puisi, sajak’. Kesusastraan Jawa yang berbentuk basa pinathok ‘puisi’ dapat dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu: (1) puisi Jawa Kuna berupa saloka dan kakawin, (2) puisi Jawa Tengahan berupa tembang tengahan/ kidung dan (3) Jawa Baru/Modern berupa tembang macapat, lagu dolanan, dan geguritan (Sutardjo, 2011:1-2). Sastra Jawa tradisional memiliki aturan dan konvensi yang ditaati secara turun temurun dari generasi ke generasi. Hal ini berbeda dengan sastra Jawa modern, yang merupakan hasil rangsangan kreatif dalam masyarakat modern yang bersifat lebih longgar, tanpa adanya konvensi/aturan yang mengikat. Salah satu jenis sastra Jawa tradisional yang berbentuk basa pinathok ‘puisi’ adalahSerat Bayan Budiman (SBB). SBB digubah dalam bentuk tembang macapat oleh Mas Harjawiraga, yang terdiri atas sepuluh pupuh. SBB menceritakan kisah-kisah yang disertai tokoh berwujud hewan, seperti halnya fable dalam kesusastraan Indonesia. Tokoh hewan yang diceritakan dalam SBB dapat berbicara dan berkomunikasi dengan tokoh lain yang berwujud manusia. Walaupun SBB berbentuk seperti fable, tetapi memiliki unsur estetis yang cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari aspek pemakaian bahasanya. Unsur bahasa yang terdapat dalam SBB banyak menggunakan bentuk-bentuk kasusastran maupun kawruh basa Jawa, seperti purwakanthi,
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
543
tembung baliswara, tembung garba, tembang saroja, bebasan, dan lain-lain. Bahasa merupakan piranti utama dalam puisi. Keindahan bahasa Jawa yang terdapat dalam SBB dapat menunjukkan kreativitas pengarang dalam mengolah dan memotensikan bahasa Jawa untuk dapat mengungkapkan gagasan dan pemikirannya. Selain itu, keindahan aspek bahasa juga dapat menunjukkan tingkat keestetisan puisi Jawa tersebut. Hal ini mengingat bahwa keestetisan sebuah puisi tidak dapat dilepaskan dari aspek pemakaian bahasanya (Sutedjo, 2010:vi). Lebih lanjut Coleridge menyatakan bahwa puisi dirangkai penyair dengan kata-kata yang indah dalam susunan yang indah pula (Pradopo, 2012:6). Oleh karena itu seorang pengarang di dalam menciptakan sebuah karya sastra akan memilih bentuk-bentuk kebahasaan tertentu untuk dapat memberikan kesan atau efek-efek tertentu pada pembaca. Penganalisaan unsur bahasa dalam SBB akan dapat mengungkap segi-segi keestetisan puisi, di samping dapat mengetahui bagaimana seorang pengarang di dalam mengolah dan memotensikan aspek bahasa Jawa. Penggunaan bahasa seorang pengarang merupakan fenomena teks sastra yang menarik untuk dikaji secara intensif. Oleh karena itu tulisan ini akan menyoroti SBB dari unsur bahasanya, yakni unsur bahasa yang dapat mendukung keindahan puisi SBB. B. Pembahasan 1. Aspek Bunyi (Persajakan/Rima) Aspek bunyi merupakan salah satu unsur pendukung keindahan puisi Jawa. Persamaan bunyi dalam puisi disebut sajak/rima. Dalam BJ sajak itu disebut purwakanthi. Ada tiga macam purwakanthi, yaitu: (1) purwakanthi guru swara yaitu persamaan bunyi vocal (asonansi), (2) purwakanthi guru sastra yaitu persamaan bunyi konsonan (aliterasi), (3) purwakanthi basa/ lumaksita, yaitu perulangan suku kata atau kata secara beruntun (Kridalaksana, 2008:204). Adapun unsur keindahan SBB dalam aspek bunyi bahasa, antara lain: a. Purwakanthi guru swara (asonansi) (1) Mangka tandha sasmita kang kawasa (Sinom/I/19) “Sebagai suatu sasmita/pertanda dari yang Maha Kuwasa” (2) Dupi krungu, Ki undhagi rangu-rangu (Pucong/IV/46/1) “Setelah mendengar, Ki tukang kayu ragu-ragu” (3) Kadiduking wingi uni (Megatruh/V/21/4) “Seperti sebelum-sebelumnya” b. Purwakanthi guru sastra (aliterasi) (4) Dahat rempit mawa kancing kang kinunci (Gambuh/III/39/3) “Sangat disimpan rapat dengan kancing yang dikunci” (5) Ing satemah wong sapraja sarwa suka (Pocung/IV/23/5) “Sampai akhirnya orang sedaerah sama-sama suka” (6) Pan kawuwus, dupi antara sasi wus (Pocung/IV/41/1-2) “Setelah diberitahu, saat sesudah sebulan” (7) Yen ta rujuk, lan padha tinemu mathuk (Megatruh/V/32/1) “Kalau pun rujuk, dan sama-sama menemukan kesepakatan” c. Purwakanthi basa/lumaksita (8) Nulya dhawuh sri nata mring Tayib/Tayib ing samengko …………………………… (Mijil/II/30/1-2) “Kemudian Sri Nata memerintah Tayib/Tayib sekarang” (9) Mring parentah prakawis murih pinriksa Pinriksa wus Undhagi den uwus-uwus (Pocung/IV/60-61) “Yang diperintahkan supaya perkara diperiksa/Dipriksa sudah/Tukang kayu (kemudian) dimarah-marahi”
544
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
Pada data (1) sampai dengan (3) dapat terlihat adanya perulangan bunyi vokal /a/, /u/, dan /i/. Demikian juga pada data (4) sampai (7) terdapat perulangan bunyi konsonan /k/,/s/, serta suku kata /wus/ dan /uk/. Sedangkan pada data (8) dan (9) terdapat perulangan kata yang disebut purwakanthi basa, yaitu kata pinriksa ‘dipriksa’ di akhir larik pertama diulang kembali pada awal larik berikutnya. Adanya persajakan yang berupa perulangan bunyi maupun kata dalam SBB dapat membangun unsur ritmis dan musikalis, sehingga memperindah tuturan pada saat puisi tersebut ditembangkan. 2. Aspek Kata (Pemilihan Kosakata/Diksi) a. Penggunaan Afiksasi Arkhais Penyair dalam membentuk kata-kata puitis dan estetis akan menggunakan afiks-afiks tertentu yang dapat menyebabkan kata itu menjadi lebih indah/halus, yaitu dengan afiksasi yang bernuansa kuna/arkhais. Seperti pada data berikut: (10) Sapungkuring dutane sang pekik/ nyi sudagar nulya abusana/pan kinetok pacakane (Dhandhanggula/Bebuka/26/1-3) “Setelah selesai (menjadi) utusannya sang Pekik, nyi sudagar lalu berbusana, supaya terlihat dandanan/riasannya.” (11) Wusing rampung/akathah janma kumrumpyung (Pocung/V/56/1-2) “Setelah selesai/banyak orang yang berkerubut” (12) Adhakan darbe piawon (Megatruh/V/19/5) “(Tempat) yang dekat mengandung sesuatu yang tidak baik”. (13) Pan kawuwus/dupi antara sasi wus (Pocung/IV/41/1-2) “Supaya diberitahu/saat sesudah sebulan” Pada data (10) dan (11) tampak adanya pemakaian afiks /a-/ pada kata abusana ‘berbusana’ dan akathah ‘banyak’.Afiks /a-/ seperti halnya awalan /ber-/ dalam bahasa Indonesia digunakan untuk membentuk kata kerja. Selain itu juga digunakan untuk memenuhi aturan guru wilangan, seperti pada kata akathahdimana afiks /a-/ tidak bermakna karena hanya untuk memenuhi jumlah guru wilangan. Infiks /-in/ dan /um/ juga dapat memperindah tuturan seperti pada kata kinetok ‘terlihat’ dan kumrumpyung ‘berkerubut’. Selain itu terdapat afiks /ka-/ yang fungsinya sama dengan afiks /di-/pada kata kawuwus ‘diberitahu’ yang terasa lebih indah dari pada diwuwus ‘diberitahu’. Afiks /pi-/ yang membentuk nomina pada kata piawon ‘keburukan’ juga dapat lebih memperindah kata. b. Persandian (Penggunaan Tembung Garba) Dalam linguistik tradisional persandian disebut juga dengan tembung garba, yaitu kata yang terbentuk dari pertemuan dua kata atau lebih lalu lebur menjadi satu’ (Padmo Soekjoto, 1960 dalam Sutarjo 2002:216). Peleburan dua kata menjadi satu ini mengikuti hukum sandi (sanskerta sandi). Adapun penggunaan tembung garba dalam SBB yaitu: (14) Narendragungkang luhur ing budi (Mijil/II/15/4) “Raja agung yang tinggi budinya” (15) Estokena ywa sembraneng gawe, Tayib matur sandika nulyaglis(Mijil/I/31/3-4) “Sungguh-sungguhlah jangan ceroboh dalam bekerja/Tayib menyatakan sanggup dan segera (melaksanakan pekerjaannya)”. (16) Mumujiya sageda sembadeng karsa (Sinom/I/25/9) “Berdoalah (semoga) bisa terkabul (apa)yang diharapkan” (17) Patrap kang kadyeku, yekti tinemu prayoga (Dhan/Bebuka/31/7-8) “Sikap yang demikian/tentulah membuahkan kebaikan” Pada data (14) sampai (17) tampak pemakaian kata yang digabungkan (tembung garba). Seperti kata: narendragung (narendra ‘raja’ + agung ‘besar’) yang berarti ‘raja agung’, sembraneng (sembrana‘ tidak berhati-hati/ceroboh’+ ing), kadyeku (kadya ‘seperti’ + iku ‘itu’). Pemakaian persandian dalam tembang macapat selain digunakan untuk memperindah tuturan juga sering dimanfaatkan penyair untuk mensiasati jumlah guru wilangan. Misalnya pada data
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
545
(17) untuk memenuhi aturan guru wilangan tembang Dhandhanggula pada gatra ke 7 yang harus berjumlah 6 suku kata, maka kata kadya iku ‘seperti itu’ digabung menjadi kadyeku ‘seperti itu’. c. Pengurangan/Penambahan Fonem (Tembung Plutan dan Uluran) Penyair di dalam menyiasati aturan tembang yang berupa guru wilangan, juga sering memanfaatkan pengurangan/penambahan fonem pada kata. Kata yang mengalami pengurangan fonem disebut tembung plutan, sedangkan kata yang mendapatkan penambahan fonem disebut tembung uluran. Adapun penggunaannya pada SBB sebagai berikut. (18) Mring sedyane Ni Jenab punika/mung arsa nrapken rekane (Sinom/I/31/2-3) “Pada kemauan Ni Jenab itu/maksudnya hanya untukmenerapkannya”. (19) Ki sudagar kang mlas asih (Sinom/I/26/4) “Ki sudagar yang berbelas kasih”. (20) Dene sirasru prihatin(Sinom/I/19/4) “Oleh karena kamu sangat berprihatin”. (21) Amrih tuwuh mareming ati (Dhan,Bebuka/31/2) “Supaya tumbuh rasa puas dalam hati” Pada data (18) sampai (21) terlihat adanya kata-kata yang mengalami pengurangan fonem. Pengurangan fonem tersebut bisa terjadi di awal, tengah dan akhir. Pada data (18) kata mring ‘pada’ mengalami pengurangan fonem /a/ di tengah karena berasal dari kata maring, demikianjuga dengan kata nrapken ‘menerapkan’ yang berasal dari kata nerapken. Sedangkan katamung ‘hanya’ mengalami pengurangan fonem di awal yang berasal dari kata amung ‘hanya’. Hal tersebut berbeda dengan data (21) kata amrih ‘supaya’ tidak dituliskan mrih ‘supaya’, karena dimungkinkan untuk menambah jumlah suku kata agar sesuai dengan aturan guru wilangan. d. Penggunaan Sinonimi (Dasanama) Salah satu unsur bahasa estetis juga terletak pada kevariasian kata-kata yang digunakan. Adanya beberapa kata dalam bahasa Jawa yang memiliki makna yang sama atau hampir sama akan dimanfaatkan oleh penyair untuk membuat puisinya agar tidak terkesan monoton. Oleh karena itu, penyair sering memanfaatkan sinonimi/dasanama untuk menyebut acuan yang sama. Seperti halnya pada data berikut: (22) Kalihira karasa ing ati, nyi sudagar wantuning wanodya (Dhan/Bebuka/24/1-2) “Keduanya terasa di hati/(oleh karena) Nyi sudagar nalurinya (sebagai) wanita”. (23) Kang karasa dadya wodingdriya (Dhan/Bebuka/25/2) “yang terasa sebagai tambatan hati” (24) Sanalika pethuk netranira kalih, Anrus tumanem ing tyas (Dhan/Bebuka/23/8-9) “Seketika itu pandangan mata keduanya bertemu/lalu tertanam dalam hati” (25) Sri Narendra dupiamiyarsi/ing galih karaos (Mijil/II/17/1-2) “Sri Narendra ketika melihat/ (sampai) terasa di hati” (26) Mung ciptanireng kalbu (Dhan/Bebuka/30/ “Hanya perasaan yang ditimbukan dalam hati (27) Janma jalu kang manah tan tulus (Gambuh/III/21/2 “Seorang lelaki yang hatinya tidak tulus” Untuk menyebut acuan yang bermakna ‘hati’ penyair menggunakan kata-kata yang berbeda, yang terdapat pada data (22) sampai (27). Masing-masing kata tersebut memiliki nilai rasa yang berbeda jika dilihat dari segi tingkat tuturnya, seperti halnya kata galih ‘hati’ memiliki nilai rasa yang lebih halus/tinggi (krama inggil) dari pada manah ‘hati’ (krama). Manah ‘hati’ lebih halus/tinggi dari ati. Sedangkan kata driya ‘hati’ dan tyas ‘hati’ merupakan tembung kawi yang memang sering digunakan dalam ragam susastra. Selain itu juga terdapat penggunaan kata yang berbeda (bervariasi) untuk menyebut acuan yang sama ‘wanita’, seperti pada data berikut:
546
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
(28) Dinuta mring dununging pawestri, kangkarasa dadya woding driya (Dhand/ Bebuka/25/1-2) “Diutus ke keberadaan si wanita, yang terasa sebagai tambatan hatinya” (29) Kalihira karasa ing ati, nyi sudagar wantuning wanodya (Dhan/Bebuka/24/1-2) “Keduanya terasa di hati, (oleh karena) Nyi sudagar nalurinya (sebagai) wanita”. (30) Awit pan wus wataking estri(Dhan/Bebuka/23/5) “Oleh karena sudah menjadi wataknya wanita” (31) Nanging nulya ceg cinandhak age, dening kenya lan wacana aris (Mijil/II/43/4) “Tetapi lekaslah ditangkap, pada wanita yang bicaranya manis” Pengarang di dalam menyebut acuan yang bermakna ‘wanita’, menggunakan kata ‘pawestri’, ‘wanodya’, ‘estri’, dan ‘kenya’ yang terdapat pada data (28) sampai (31). Penyebutan dengan kata yang berbeda menjadikan puisi tidak monoton, terlebih dalam puisi berbentuk tembang macapat yang sering dilagukan/ditembangkan. e. Penggunaan Tembung Kawi Tembung Kawi atau bahasa Kawi merupakan bagian dari bahasa Jawa kuna yang sering digunakan oleh para kakaywa (penyair) untuk menulis kakawin (jenis puisi Jawa Kuna), sehingga bahasa Kawi dapat disebut sebagai bahasa penyair yang digunakan dalam ragam kesusastraan. Bahasa Kawi sampai saat ini masih sering digunakan dalam kepengarangan puisi Jawa yang berbentuk tembang macapat maupun geguritan, karena dinilai lebih memiliki muatan arkhais yang membuat karya tersebut lebih estetis. Adapun pemakaian bahasa Kawi dalam SBB yaitu: (32) Datan kadi patrapin menco tan yukti, Kang satemah palastra (Dhan/Bebuka/31/9) “Tidak seperti kelakuan menco yang tidak pantas/sopan, yang pada akhirnya mati” (33) Dyan umedal mabur nggayuh jumantara(Dhan/Bebuka/31/3) “Selanjutnya keluar terbang menggapai langit” (34) Sisiriting bagaskara wus katon mimba (Sinom/I/34) “Terbitnya matahari sudah terlihat keluar” Pada data (32)–(34) penggunaan tembung kawi dapat lebih memberikan nuansa arkhais dan membangun aspek estetis pada puisi. Kata palastra yang bermakna mati lebih indah dari kata mati, kata jumantara ‘langit’ lebih estetis dari ‘langit’, sedangkan bagaskara yang bersinonim dengan matahari juga lebih estetis dari pada ‘srengenge’. f. Penggunaan Tembung Camboran Tembung camboran (kata majemuk) merupakan gabungan dua kata atau lebih menjadi suatu kata baru dan memiliki makna baru pula (Sasangka, 2011:105). Berdasarkan makna setiap kata pembentuknya, tembung camboran memiliki beberapa jenis, yaitu: (1) Tembung camboran yang memiliki makna baru dan sama sekali berbeda dengan makna setiap pembentuk katanya, (2) Tembung camboran yang maknanya menspesifikkan, (3) Tembung camboran yang maknanya menyangatkan, dan (4) tembung camboran yang memiliki makna sanepan (kiasan) (Sasangka, 2011:107). Adapun pemakaian tembung camboran dalam SBB yaitu: (35) Temah maweh sangga runggi, pangirane sang estri (Sinom/I/54/4) “Akhirnya menjadicemburu, perkiraannya sang wanita”. (36) Raja brana mring pangkat linuwih (Mijil/II/48/4) “Harta benda sampai pangkat yang tinggi” (37) Kang wus dangu nemahi papa cintraka (Sinom/I/21/9) “Yang sudah lama merasakan kesedihan” (38) Marang ing tangga tepalih (Megatruh/V/35/4) “Kepada tetangga dekatnya” (39) …../linulutan bandha, kang prapta ambanyumili, ing satemah dadya kasugihanira (Pocung/IV/40) “….diliputi harta, yang datang secara mengalir, yang pada akhirnya menjadi kekayaannya”. Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
547
Pada data (35)kata sangga runggi berasal dari kata sangga ‘membawa dengan tangan terbuka ke atas’ dan runggi ‘tidak percaya’, dan perpaduannya sangga runggi dapat diartikan sujana ‘cemburu’ atau ‘tidak terlalu percaya’. Demikian juga dengan kataraja brana, raja yang berarti ‘raja’ dan brana ‘kekayaan’. Perpaduannya memiliki arti harta benda. Pada data (37) terdapat pemakaian tembung camboran yang bermakna menyangatkan yaitu papa ‘susah/ sedih’ dan cintraka ‘susah/sedih’, perpaduan keduanya papa cintraka memiliki arti ‘kesedihan’. Pemakaian frasa tersebut dapat lebih memberikan gambaran tentang kesedihan/kesusahan yang sedang dialami. Pada data (39) juga tampak adanya pemakaian tembung camboran yang bermakna sanepan (kiasan), yaitu kata banyu ‘air’ dan mili ‘mengalir’. Kata mbanyu mili memiliki makna ‘mengalir’ yang berkaitan dengan suatu hal/benda. Kata mbanyu mili yang terdapat dalam kalimat/linulutan bandha, kang prapta ambanyu mili mengemban makna bahwa harta itu senantiasa mengalir tanpa henti. g. Penggunaan Kata Kiasan (Tembung Entar) Bahasa puisi merupakan bahasa yang dipadatkan, berkonotatif dan prismatis. Oleh karena itu penyair akan menggunakan kata-kata/gabungan kata yang mengandung penyimpangan makna, dalam arti makna kata tersebut tidak seperti makna pada kata dasarnya. Di dalam bahasa Jawa kata tersebut disebut juga tembung entar. Adapun penggunaan tembung entar dalam SBB, yaitu: (40) Lan malih janma wa, datan pisan samar jroning kalbu, awit darbe pupujan musthikaluwih, warni sekar adiluhung(Gambuh/III/23/1-4) “Di samping itu orang tersebut, tidak pernah sekalipun ragu-ragu hatinya, semenjak memiliki pujaan mustika indah,serupa bunga yang sangat berharga” Pada data (40) dapat dilihat pemakaian kata musthika luwih dan sekar adiluhung. Musthika berarti ‘bunga’ dan luwih ‘lebih/unggul’ dan sekar juga memiliki makna yang sama yaitu ‘bunga’ dan adiluhung ‘unggul/berharga’. Ungkapan tersebut tidak akan dapat kita tangkap maknanya jika hanya dimaknai secara harafiahnya saja, karena frasa yang tercetak tebal pada data (40) adalah kata kias. Bunga dalam kalimat pada data (40) bukanlah bunga dalam arti denotatif (sebenarnya), tetapi mengacu pada seorang perempuan yang diibaratkan sebagai bunga. Demikian juga dengan sekar adiluhung, merupakan ungkapan pengibaratan bagi seorang wanita yang disebut sebagai musthika luwih tersebut. h. Penyimpangan struktur kalimat Penyair di dalam menyusun puisi, selain harus terampil dalam memilih kata/ kosa kata juga harus terampil dalam penyiasatan struktur kalimat, terlebih dalam tembang macapat yang terikat dengan aturan/konvensi tembang. Kalimat yang dirangkai selain harus memenuhi aspek estetis, juga harus dapat memenuhi aturan/konvensi tembang. Oleh karena itu, penyair akan melakukan penyiasatan struktur kalimat dengan membalik susunan atau polanya, seperti pada pemakaian kalimat inversi dalam SBB. Kalimat inversi yaitu kalimat yang predikatnya mendahului subjek. Dalam struktur inversi, predikat dibalik (dipindah) urutannya di sebelah kanan subjek (right dislocated) (Sumarlam, 2007: 88). Adapun pemakaian kalimat inversi dalam SBB, yaitu: (41) Nulya dhawuh sri nata mring Tayib(Mijil/II/30/1-2) “Kemudian Sri Nata memerintah Tayib (42) Sanalika pethuk netranira kalih, Anrus tumanem ing tyas (Dhan/Bebuka/23/8-9) “Seketika itu pandangan mata keduanya bertemu, kemudian turun tertanam dalam hati”
548
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
Pada data (41) dan (42) tampak terlihat pemakaian struktur kalimat inversi.Kalimat pada data (41) dan (42) jika diuraikan unsur-unsurnya maka akandapat dilihat: (A) Nulya dhawuh Sri Natamring Tayib. (Keterangan) P S O (B) Sanalika pethuk netranira kalih (Keterangan) P S Pada kalimat (A) dan (B) dapat diketahui bagaimana posisi predikat kalimat tersebut mendahului subjek. Hal ini dilakukan oleh penyair selain untuk membangun keunikan dan keestetisan juga untuk mensiasati aturan tembang. Seperti pada data (42), susunan balik pada kalimat tersebut digunakan untuk memenuhi aturan guru lagu tembang Dhandhanggula, yang harus jatuh pada suara /i/ pada akhir kalimat larik ke 8. Di dalam menyiasati aturan tembang, penyair selain melakukan pembalikan struktur kalimat, juga sering melakukan pembalikan padastruktur frasa, seperti tampak pada data berikut: (43) Pan kawuwus, dupi antara sasi wus(Pocung/IV/41/1-2) “Setelah diberitahu, saat sesudah sebulan” (44) Dene luwak darbe suta satunggal mung(Megatruh/V/5/1) “Sedangkan luwak cuma punya anak satu” Pada data (43) dan (44) tampak adanya penyimpangan pada pemakaian kata keterangan (adverbial)yaitu kata wus ‘sudah’ dan mung ‘cuma’. Kata keterangan seharusnya mendahului kata yang diterangkan, yaituseperti pada pola berikut: (A) Dupi wus antara sasi “saat sesudah sebulan” (B) Dene luwak mung darbe suta satunggal“Sedangkan luwak cuma punya anak satu” Akan tetapi pada data (43) dan (44) terlihat bahwa kata keterangan terletak pada akhir kalimat. Dalam pola struktur baku perangkaian tersebut tidak berterima, akan tetapi hal itu dilakukan penyair untuk memenuhi aturan guru lagu. Seperti pada data (43) yang berbentuk tembang pocung, suara vokal harus jatuh pada suara /u/ pada larik ke 2. Demikian pula pada data (44) yang berbentuk tembang megatruh, suara vokal pada akhir kalimat baris pertama harus jatuh pada suara /u/, sehingga kata keterangan mung ‘hanya’ diletakkan di akhir larik kalimat. Penyimpangan pola struktur kalimat maupun struktur frasa tersebut merupakan sebuahlicentia poetika dari seorang penyair, yang memang memiliki kewenangan untuk menyimpang dari kaidah/struktur bahasa yang baku. C. Penutup Serat Bayan Budiman yang digubah dalam bentuk tembang macapat, merupakan salah satu genre puisi Jawa tradisional yang masih terikat dengan aturan/konvensi. Penyair di dalam mengungkapkan gagasan dan pemikirannya harus memperhatikan pemakaian bahasanya agar dapat memenuhi aturan tembang tanpa mengesampingkan aspek estetisnya. Oleh karena itu dalam menyusun SBB penyair menggunakan piranti bahasa yang sarat dengan unsur keidahan untuk menciptakan tuturan yang unik, khas dan indah, yang berbeda dengan tuturan sehari-hari dan tetap dapat memenuhi konvensi. Unsur bahasa estetis yang digunakan oleh penyair dalam membangun SBB, antara lain: (1) dari aspek fonologis atau aspek bunyi, keindahan SBB didukung oleh adanya purwakanthi; (2) dari aspek morfologis, pemakaian afiksasi arkhais seperti ater-ater /a-/, /ka-/, /pi-/ dan sisipan /-in-/, /-um-/, berpotensi memperindah kata dalam puisi; (3) dari aspek pemilihan kata, penyair banyak memanfaatkan bentuk-bentuk kawruh basa maupun kasusastran Jawauntuk memperindah tuturan, seperti pemakaian tembung garba, tembung plutan, dasanama, tembung kawi, tembung camboran, dan tembung entar; (4) Dari aspek sintaksis (struktur kalimat), penyair menggunakan struktur kalimat inversi dan pembalikan pada kata keterangan. Hal ini merupakan licentia poetika sekaligus upaya penyair untuk dapat memenuhi aturan guru lagu tembang macapat.
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
549
D. Daftar Pustaka Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Peraturan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Nomer 9 Tahun 2012 Pradopo, Rachmat Djoko. 2012. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press Sasangka, Sry Satria Tjatur Wisnu. 2011. Paramasastra Gagrag Anyar Basa Jawa. Yogyakarta: Yayasan Paramalingua Sutejo. 2010. Stilistika (Teori, Aplikasi dan Alternatif Pembelajarannya). Yogyakarta: Pustaka Felicha. Sumarlam. 1991. “Unsur Bahasa Sebagai Sarana Pendukung Keindahan Puisi Jawa” dalam Majalah Linguistik Indonesia, edisi bulan Desember. ________. 2007.Paramasastra 3 (Sintaksis Jawa). Semarang: Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP PGRI 2007. Sutardjo, Imam. 2002. Tembang Jawa. Surakarta: Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Waluyo, Herman J. 1995. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga. Wellek, Rene dan Austin Warren. 2014. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia. DAFTAR SINGKATAN SBB : Serat Bayan Budiman Dhan : Dhandhanggula KETERANGAN TANDA/LAMBANG /_/ : pengapit unsur fonetis (__/__/__/__) : Keterangan nama tembang/pupuh ke-/pada (bait ke-)/gatra (larik ke-)
550
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
SASTRA SEBAGAI SARANA PEMBANGUN KARAKTER BANGSA Sri Widayati STKIP Muhammadiyah Kotabumi Lampung
[email protected] Abstract
This research is aimed to analyze four works from Ramadhan K.H. which are Royan Revolusi, Kemelut Hidup, Keluarga Permana, and Ladang Perminus as the process to shape good character of young generation. In this research descriptive qualitative method was used. Furthermore, content analysis method with genetic structural analysis was used to analyze the data. Based on the result of data analysis it can be concluded that the four Ramadhan’s novel showed the character’s complex personality. The character’s personality is the reflection of the phenomenon which found in reality. Those four novel are suitable to be used as the media of character education because they have strong relevancy with the condition at recent time. The students can learn about honesty, responsibility, and discipline through the character’s personality. Keywords: Character, Education media, Ramadhan K.H. Novels
A. Pendahuluan Karya sastra merupakan karya fiktif atau karya imajinatif. Meskipun fiktif, sastra tidak dapat dilepaskan dari realitas sosialnya, terutama realitas yang mengondisikannya. Hal ini selain disebabkan oleh objek karya sastra yang berupa manusia dan kehidupannya juga karena pengarang sebagai bagian dari masyarakat tidak dapat melepaskan diri dari kondisi yang melingkunginya. Dengan demikian, pikiran, perasaan, ide, dan gagasan yang ditulis pengarang dalam karya sastra selalu merepresentasikan pandangan-pandangannya pada masyarakat tempat pengarang itu terkenal. Karya sastra yang baik tentunya selain memiliki nilai estetika, juga memiliki makna akan suatu pesan kepada pembaca untuk berbuat baik. Pesan tersebut dapat mengisyaratkan adanya nilai-nilai baik dan buruk atau etika. Jadi, dalam karya sastra pesan tersebut dinamakan ‘moral’ karena mengajak pembaca untuk menjunjung tinggi norma-norma moral. Moral dapat dikatakan sebagai suatu peraturan yang sangat rumit untuk ditegakkan di dalam suatu masyarakat. Moral dapat dijadikan rambu-rambu sekaligus pelindung bagi masyarakat itu sendiri. Pada saat ini, masyarakat sedang mengalami krisis keteladanan dan krisis moral. Saat ini sangatlah sulit mencari sosok atau figur yang dapat diteladani oleh masyarakat. Banyak publik figur yang tidak dapat diteladani karena sikap dan perbuatan mereka yang tidak pantas. Bahkan mereka sangat sering mengabaikan tanggung jawab moral. Di dalam masyarakat saat ini tidak ada lagi rasa malu untuk melakukan tindakan yang tidak bermoral. Masyarakat pun tidak dapat lagi membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Batas antara halal dan haram pun semakin tidak jelas. Oleh karena itu, sastra dapat dijadikan sebagai sarana pendidikan karakter. Melalui karya sastra, siswa akan mudah menyerap nilai moral, etika, sosial, atau nilai yang lain karena nilai-nilai tersebut langsung diwujudkan ke dalam diri tokoh cerita. Karya sastra yang baik diharapkan akan mampu membentuk karakter/ watak yang baik, dan juga memperhalus budi pekerti bagi pembacanya, terutama siswa. Hal di atas sesuai dengan standar isi yang terdapat di dalam Kurikulum 2013. Di dalam standar isi, terutama pada kompetensi inti dinyatakan bahwa siswa menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan proaktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia Novel-novel Ramadhan, yaitu Royan Revolusi (1971), Kemelut Hidup (1977), Keluarga Permana (1978), dan Ladang Perminus (1993) pernah mendapat berbagai penghargaan. Novelnovelnya dapat dipakai sebagai bahan pembelajaran, terutama pembelajaran yang berkaitan
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
551
dengan karakter. Meskipun karyanya merupakan karya ’lawas’, karya-karyanya masih tetap memiliki relevansi dengan kondisi masa kini. Di dalamnya tercermin karakter masyarakat yang dapat dijumpai dalam kehidupan yang nyata. Kondisi masyarakat yang tercermin dalam karya-karyanya adalah kondisi Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan sampai kini. Setelah kemerdekaan banyak orang di negeri ini memiliki karakter/moral yang buruk karena mereka tidak lagi berjuang untuk kepentingan masyarakat, tetapi sebaliknya. Mereka memperkaya diri sendiri dengan cara yang tidak terpuji, seperti melakukan korupsi, kolusi dan lain-lain. Jabatan dan kekuasaan mereka gunakan untuk menguras harta negara. Namun, pada akhirnya dengan cara seperti itu, kehidupan orang-orang tersebut tidak bahagia. Hal ini pun tampak pada kehidupan tokoh-tokoh yang dihadirkan Ramadhan melalui keempat novelnya. Karya sastra yang mengandung karakter tokoh yang baik dapat digunakan untuk memotivasi siswa untuk hidup ke arah yang lebih baik. Di dalam karya sastra dapat dijumpai tokoh-tokoh yang memiliki kebijaksanaan dan kearifan sehingga siswa dapat mengambilnya sebagai teladan. B. Teori dan Metode Untuk memahami keempat novel karya Ramadhan K.H. digunakan pendekatan sosiologi sastra, khususnya struktural genetik. Pada prinsipnya struktural genetik menurut Faruk (2012: 56) adalah pendekatan yang beranggapan bahwa karya sastra tidak semata-mata merupakan struktur yang statis dan lahir dengan sendirinya melainkan merupakan hasil dari strukturasi dan destrukturasi yang hidup dan dihayati masyarakat karya sastra yang bersangkutan. Pendekatan strukturalisme genetik berusaha mencari perpaduan antara struktur teks dengan konteks sosialnya karena prinsip pendekatan ini juga mempertimbangkan faktor sosial yang berpengaruh terhadap lahirnya karya sastra, dan mengkaji struktur teksnya yang berkaitan dengan kondisi sosial jamannya. Dengan kata lain, dengan teorinya itu Goldmann (dalam Faruk, 2012: 64) menganggap bahwa ada homologi antara struktur karya dengan struktur mental kelompok sosial tertentu, atau masyarakat karena keduanya merupakan produk aktivitas struktural yang sama. Adanya homologi antara struktur teks dan struktur sosial masyarakat menunjukkan adanya koherensi dan kepaduan bagi kedua struktur tersebut. Bagi Goldman (1981: 55) sastra adalah ekspresi pandangan dunia imajiner pengarang yang dimediasi oleh tokoh-tokoh, objek-objek, dan dalam relasinya secara imajiner. Menurut Grebstein (dalam Damono, 1984: 4) karya sastra tidak dapat dipahami secara lengkap apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Berkaitan dengan karakter, Stanton (2007: 33) mengartikan sebagai individu-individu (tokoh-tokoh) yang muncul dalam suatu cerita. Karakter dapat juga merujuk pada percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral. Pernyataan Stanton tersebut pada dasarnya mengarah ke tokoh, peran tokoh, juga watak tokoh dalam suatu cerita. Selanjutnya penelitian ini merupakan penelitian yang didasarkan pada pendekatan kualitatif dengan teknik analisis isi induktif terhadap novel-novel karya Ramadhan. Menurut Endraswara (2011: 160-161) analisis konten (isi) digunakan apabila si peneliti hendak mengungkap, memahami, dan menangkap pesan karya sastra. Tujuan analisis tersebut yaitu membuat simpulan yang diperoleh melalui identifikasi dan tafsiran. Simpulan tersebut juga berdasarkan konteks yang melingkupi karya sastra C. Pembahasan Secara umum dapat dikatakan bahwa novel-novel Ramadhan rata-rata mengisahkan kesuraman dan kepahitan yang dialami bangsa Indonesia. Ia banyak menyoroti ketidakadilan sosial dan kerusakan moral, misalnya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Ia selalu terobsesi untuk menguak hal-hal tersebut karena hal itulah yang menyebabkan moral bangsa ini menjadi rusak. Ramadhan melihat bahwa di negeri ini sudah sangat sulit ditemukan sikap jujur. Kejujuran baginya merupakan sikap yang sangat langka yang dimiliki oleh
552
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
masyarakat. Ia hanya ditemukan pada sedikit orang yang masih memiliki iman yang kuat dan teguh memegang prinsip kejujuran. Novel-novel karya Ramadhan memiliki keterkaitan yang kuat dengan realitas yang ada di dalam masyarakat. Dalam arti, masalah yang ditampilkan pengarang adalah masalah yang dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Realitas sosial yang ditampilkan Ramadhan K. H. dalam keempat karyanya memiliki kesamaan, yaitu semuanya menyuguhkan masalah-masalah sosial yang memang ada dan berkembang di dalam masyarakat. Masalahmasalah tersebut adalah masalah korupsi, suap, dan pergaulan bebas. Meskipun Ramadhan selalu mengangkat persoalan yang sama, cara penyampaiannya berbeda. Royan Revolusi menceritakan sebagian mantan pejuang yang setelah kemerdekaan memiliki moral yang buruk. Mereka memaknai kemerdekaan untuk melakukan berbagai tindak penyelewengan, seperti korupsi, suap, dan pemerasan. Namun, dalam lingkungan yang sangat koruptif itu, masih ada mantan pejuang yang berjiwa nasionalis dan memiliki karakter serta moral yang baik, yaitu Idrus. Kemelut Hidup menceritakan kejujuran dan ketabahan seorang pensiunan PNS, yaitu Abdurahman yang hidup di lingkungan sosial yang sangat koruptif. Meskipun hidup di lingkungan yang sangat koruptif, Abdurahman masih dapat memiliki karakter serta moral yang baik. Keluarga Permana menceritakan seorang tokoh mantan kepala kantor bagian pembangunan, yaitu Permana yang hidup di lingkungan yang koruptif dan kemudian terpengaruh untuk melakukan korupsi. Kemudian di dalam Ladang Perminus, pengarang menceritakan moral oknum-oknum pejabat dalam sebuah perusahaan minyak yang melakukan korupsi besar-besaran sehingga perusahaan tersebut mengalami kebangkrutan. Meskipun Perminus dikelilingi dengan orang-orang yang rakus dan tamak, masih ada tokoh, yaitu Hidayat yang memiliki moral yang baik. Ia sangat menjunjung kehormatan diri dan kejujuran. Melalui novelnya yang berjudul Royan Revolusi. Ramadhan K. H. merekam realitas sosial yang ada di dalam masyarakat Indonesia yang ada pada saat itu. Royan Revolusi berarti penyakit yang timbul setelah revolusi. Dalam novel tersebut, Ramadhan menyuguhkan penyakit (royan) yang muncul pada sebagian mantan pejuang. Penyakit yang dimaksud adalah penyakit korupsi, suap, kolusi. Selain itu, zinah dan judi sudah dianggap hal biasa dan menyenangkan, barang mewah sudah menjadi kebutuhan hidup pokok. Bahkan, korupsi sudah menjadi usaha yang halal. Penyakit-penyakit amoral tersebut telah menulari sebagian besar tokoh yang ada di dalam novel tersebut. Novel Royan Revolusi merupakan refleksi kondisi sosial masyarakat Indonesia setelah kemerdekaan. Dikatakan demikian, karena segala hal yang tergambar di dalam novel tersebut memiliki kesamaan dengan fakta realitas yang ada di dalam masyarakat. Tokoh Idrus merupakan mantan pejuang yang anti korupsi dan anti suap. Tokoh ini memiliki karakter/moral yang sangat baik. Tokoh tersebut dapat dikatakan perwujudan dari sebagian mantan pejuang di negeri ini yang masih menjunjung tinggi kehormatan diri dan nilai-nilai kejujuran. Bagi orang-orang seperti itu, meskipun tidak memiliki kawan, ia akan tetap berjuang melawan, korupsi dengan berbagai bentuk penyelewengan lainnya. Kebatilan dan ketidakadilan harus dilawan. Dalam realitas sosial, tokoh yang memiliki sikap seperti Idrus masih dapat dijumpai di dalam masyarakat meski tidak banyak. Kemelut Hidup masih menyuguhkan hal sama, yaitu korupsi dengan segala bentuk tindakan amoral lainnya. Namun, lingkungan masyarakat yang sangat koruptif tersebut tidak mampu menggoyahkan iman Abdurahman selaku kepala keluarga dan kepala sebuah kantor. Ia tidak mau menyalahgunakan jabatannya. Gajinya yang kecil sebagai pegawai negeri sipil tidak menjadi alasan bagi dirinya untuk melakukan korupsi. Meskipun desakan untuk korupsi selalu datang dari istri maupun kerabatnya, ia tetap tidak mau melakukan hal itu. Kondisi ini menyebabkan salah satu anaknya menjadi wanita penggoda untuk memenuhi gaya hidupnya. Begitu pun dengan istrinya, Ina yang melakukan perselingkuhan demi uang dan kebutuhan biologisnya.
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
553
Masalah di atas merupakan cerminan dari kondisi sosial yang ada di dalam masyarakat. Lingkungan yang koruptif dan konsumtif dapat dengan mudah mengubah sikap seseorang. Hal ini sangat terlihat dalam kehidupan saat ini. Gaya hidup yang berlebihan serta korupsi dan suap yang semakin marak, membuat negeri ini semakin terpuruk. Banyak orang memiliki jabatan, tetapi tidak amanah. Sangat sedikit orang seperti Abdurahman. Di dalam novel Keluarga Permana, pengarang masih menampilkan lingkungan masyarakat yang koruptif. Permana sebagai kepala keluarga sekaligus kepala pembangunan pada sebuah kantor ikut terjebak dalam lingkungan seperti itu. Ia menerima pemberian dari salah satu teman sejawatnya berupa bahan-bahan bangunan yang kemudian berdampak pada pemecatan dirinya. Masalah yang ditampilkan pengarang tersebut merupakan cerminan dari kondisi mayarakat yang ada. Lingkungan yang koruptif akan mudah menyeret siapa pun untuk melakukan tindakan itu. Apalagi jika seseorang tidak memiliki keimanan yang kuat. Selanjutnya di dalam novel Ladang Perminus, pengarang menghadirkan tokoh Hidayat. Meskipun ia bekerja di tempat yang ‘basah’, ia mampu mengendalikan napsu serakah.. Ia seorang yang sangat antikorupsi. Ia memiliki moral yang unggul. Ia mampu menjaga kehormatan dirinya, mampu mengendalikan diri, selalu amanah baik dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan kerjanya, bertanggung jawab, disiplin, jujur. Ia tidak pernah memanfaatkan jabatannya untuk melakukan tindak kecurangan, seperti korupsi, dan suap. Ia selalu bersikap hati-hati dalam bekerja. Ia selalu meletakkan harga diri serta kehormatan di atas segala-galanya. Lain halnya dengan Sang Direktur dan wakilnya, Kahar. Kahar memiliki karakter/ moral yang sangat buruk. Mereka telah menyalahgunakan jabatan dan wewenangnya untuk melakukan korupsi.. Akibat korupsi yang dilakukan mereka, perusahaan tersebut hampir mengalami kebangkrutan. Sang direktur akhirnya diturunkan dari jabatannya, sedangkan Kahar sebelum perbuatannya diketahui, dia sudah meninggal. Melalui analisis terhadap keempat novel di atas terlihat bahwa Ramadhan K.H mengangkat persoalan yang sama, yaitu korupsi dan segala bentuk penyelewengan yang lain. Korupsi terjadi karena oknum-oknum pejabat di negeri ini telah menyalahgunakan jabatan dan wewenang untuk kepentingannya sendiri. Masyarakat sudah begitu koruptifnya sehingga nilai-nilai kejujuran terabaikan. Kehormatan diri bukan lagi merupakan sikap yang perlu dijunjung tinggi. Kondisi ini memunculkan keprihatinan bagi pengarang. Pengarang selaku wakil dari masyarakatnya melihat bahwa bangsa ini sejak kemerdekaan mengalami degradasi moral. Keprihatinannya ini dituangkan ke dalam karya sastra. Oleh karena itu, melalui pandangan, sikap, dan perbuatan tokoh problematik di dalam novel-novel Ramadhan K.H. dapat diketahui pandangan dunia pengarang. Melalui novel-novelnya, Ramadhan tetap ingin memperlihatkan konsistensinya bermusuhan dengan korupsi, manipulasi, dan segala bentuk penyelewengan. Kebencian pengarang terhadap pelaku korupsi hampir terlihat di setiap karyanya. Dari uraian di atas terlihat bahwa keempat novel karya Ramadhan K.H. dapat digunakan sebagai media pembelajaran/pendidikan karakter bagi siswa. Di dalam novelnovel tersebut memuat berbagai bentuk watak/karakter yang dapat dicontoh, terutama yang berkaitan dengan sikap jujur. Sikap jujur yang sudah mulai hilang perlu ditumbuhkan kembali ke dalam diri siswa sebagai penerus bangsa agar bangsa ini tidak hancur dikemudian hari. D. Simpulan Karya-karya Ramadhan yang sarat dengan aspek moral sangat penting untuk digunakan sebagai media pembinaan ataupun pendidikan karakter karena masalah yang diangkat sangat relevan dengan situasi yang ada pada saat ini. Apalagi mulai tahun 2014 diberlakukan Kurikulum 2013. Salah satu titik fokus dari Kurikulum 2013 adalah pembinaan karakter siswa. Pembinaan karakter perlu dilakukan mengingat negeri ini sudah mengalami krisis multidimensi. Krisis tersebut antara lain, krisis moral/akhlak, krisis agama, krisis keteladanan. Krisis tersebut
554
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
sudah menjangkiti bangsa ini.sejak lama. Banyak pejabat negeri ini yang terkena kasus korupsi dan suap. Tidak ada rasa malu dalam diri para pejabat untuk melakukan tindakan itu. Bahkan, belum lama ada pejabat pada lembaga tertinggi peradilan di negeri ini terkena kasus suap. Ini menunjukkan bahwa kondisi negeri ini sudah sangat parah. Ramadhan K.H. melalui karya-karyanya dengan berani menyoroti perilaku para koruptor. Dia sangat antipati dengan korupsi karena korupsi dapat membawa negeri ini pada kehancuran. Novel-novel Ramadhan yang menggambarkan berbagai karakter tokoh dapat digunakan sebagai salah satu alternatif pembelajaran sastra di sekolah. Novel-novelnya dapat dipakai sebagai media untuk meningkatkan kecerdasan spiritual dan emosional yang selama ini terabaikan dan diabaikan dalam pembelajaran. Novel-novel Ramadhan yang hadir dengan tokoh-tokoh yang mengutamakan kejujuran di tengah-tengah masyarakat yang sangat koruptif sangat patut dipakai sebagai media bahan pembelajaran, terutama untuk menanamkan nilainilai moral seperti kejujuran, kedisiplinan, tanggung jawab, sopan santun. Nilai-nilai luhur seperti itu saat ini sulit didapatkan di dalam kehidupan masyarakat. E. Daftar Pustaka Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS. Faruk. 2012. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Goldmann, Lucien. 1981. Method in the Sociology of Literature. England:Basil Blackwell Publisher. Kemendikbud. 2013.Lampiran Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Bahasa Indonesia untuk SMA dan MA. Ramadhan, K.H. 1971. Royan Revolusi. Jakarta: PT Gunung Agung. -------------. 1977. Kemelut Hidup. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya. -------------. 1978. Keluarga Permana . Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya. -------------. 1990. Ladang Perminus. Jakarta:Pustaka Utama Grafiti. Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi. Diterjemahkan oleh Sugihastuti. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
555
POTENSI PEREMPUAN JAWA DALAM NOVEL GADIS PANTAI KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER Sumartini Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang
[email protected] Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan potensi perempuan yang ada di dalam novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer, karya sastra Jawa yang memuat kehidupan perempuan Jawa pada awal abad kedua puluh. Kritik sastra feminis digunakan sebagai alat analisis dalam penelitian ini. Analisis ini digunakan untuk mengungkap potensi perempuan Jawa yang direfleksikan dalam novel Gadis Pantai. Potensi itu meliputi potensi perempuan berbakat dan perempuan sebagai pembawa perubahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan Jawa pada saat itu sudah memiliki potensi yang luar biasa. Potensi itu berupa keterampilan dan kecerdasan. Pada awalnya, potensi itu belum terlihat. Tetapi, dengan diasah sedikit saja potensi itu sudah sangat terlihat. Kata Kunci: Gadis Pantai, feminis, dan potensi permpuan
A. Pendahuluan Dalam kebudayaan ini ada realitas kehidupan kaum perempuan masih berada di sudut-sudut dan pinggir-pinggir kehidupan sosial. Orang boleh menyangkal pernyataan ini, tetapi banyak realitas kebudayaan dan data-data empiris yang ditemukan oleh pemerhati perempuan masih memperlihatkan validnya pernyataan tersebut (Beauvoir dalam Tong, 1998:253). Dalam realitas, masih ada anggapan bahwa perempuan merupakan makhluk Tuhan kelas dua, separuh harga laki-laki. Hak-hak mereka dibatasi pada wilayah-wilayah kehidupan yang sangat eksklusif dan marginal, yaitu rumah tangga. Akan tetapi, perempuan sebenarnya tidak sekedar tubuh yang bukan laki-laki. Perempuan adalah manusia yang mempunyai jiwa, keinginan, dan kemampuan untuk mengembangkan potensi yang ada pada dirinya Perbedaan peran jenis kelamin tidak dapat diganggu gugat, tetapi perbedaan peran gender masih bisa diubah karena bergantung pada faktor sosial dan sejarah (Fakih, 1999:9). Peran-peran jenis kelamin atau gender biologis yang dijalani oleh para perempuan dalam kehidupan rumah tangga dan masyarakat seringkali tidak tereskpos atau diakui secara formal. Hal ini disebabkan kuatnya konstruksi sosial serta pengaruh hegemoni budaya patriarki yang mengindikasikan mayoritas model pekerjaan laki-laki lebih diakui. Fenomena tersebut menjadi tugas berat bagi para aktivis perempuan dalam melakukan pemberdayaan terhadap komunitasnya karena harus mampu mengubah sedikit demi sedikit konstruksi sosial tersebut. Penolakan, pembongkaran, dan pengkajian ulang terhadap relasi gender dalam kehidupan sosial budaya terus dilakukan termasuk dalam pengkajian-pengkajian seni dan sastra. Dalam karya sastra, penggambaran relasi gender yang timpang dalam suatu kehidupan masyarakat tampak jelas terlihat. Disadari atau tidak, pengarang merefleksikan hal itu dalam karya-karyanya. Di satu sisi ada yang bersifat menolak, memberontak, bahkan dengan radikal menentangnya. Di sisi yang lain, ada pula yang menyerap, menerima, bahkan mengukuhkan ketimpangan gender itu sendiri. Kenyataan ini membawa pengkaji sastra melihat bagaimana posisi dan potensi perempuan dalam karya sastra, baik itu perempuan sebagai pencipta karya sastra maupun sebagai tokoh yang ada dalam karya sastra. Dalam penelitian ini novel Gadis Pantai dipilih sebagai objek kajian penelitian. Novel Gadis Pantai merefleksikan kehidupan perempuan dalam masyarakat Jawa yang hidup pada awal abad ke-20. Novel Gadis Pantai memberikan gambaran kehidupan perempuan Jawa ’kebanyakan’ yang diperistri oleh seorang Bendoro. Dalam novel ini digambarkan kompleksitas persoalan hidup yang dijalani perempuan Jawa ‘kebanyakan’ (bukan priayi) dalam tatanan masyarakat feodal. Wujud perempuan tokoh Gadis Pantai dalam novel tersebut adalah perempuan yang tertindas tetapi memiliki potensi yang luar biasa.
556
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
B. Landasan Teori Kritik sastra feminis dipakai sebagai alat untuk menelaah fenomena perempuan dalam novel Gadis Pantai. Feminisme secara umum diidentikkan dengan gerakan perempuan yang memperjuangkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai apek kehidupan. Gerakan ini muncul pertama kali di Eropa dan Amerika sejak abad sembilan belas, kemudian bergema kembali di akhir tahun 1960-an dengan tujuan menghidupkan kembali isu-isu politik yang terkait dengan perdebatan persoalan hak dan perluasan partisipasi perempuan dalam budaya Barat (Fowler, 1973; Madsen, 2000). Dalam studi sastra, feminisme berhubungan dengan konsep kritik sastra feminis, yaitu studi sastra yang mengarahkan fokus analisis pada perempuan, baik perempuan sebgai pembaca maupun perempuan sebagai pengarang (Showalter, 1985). Pertama, perempuan sebagai pembaca—jika selama ini laki-laki dipandang sebagai wakil pembaca dan pencipta dalam sastra Barat, maka kritik sastra feminis menunjukkan bahwa pembaca perempuan memiliki persepsi dan harapan ke dalam pengalaman sastranya. Subjeknya menyangkut gambaran perempuan stereotip-stereotipnya dalam karya sastra, kesalahan-kesalahan konsepsi mengenai perempuan dalam kritik, dan pembelaan terhadap konstruksi budaya lakilaki dalam sejarah sastra. Di samping itu, berkaitan juga dengan eksploitasi manipulasi audiens perempuan khususnya dalam budaya populer dan film, dan analisis tentang perempuan sebagai tanda dalam sistem semiotik. Kritik feminis tipe ini juga dikembangkan oleh Ruthven (1984) melalui pendekatan ‘gambaran perempuan’. Ia ingin menentukan bagaimana karakter perempuan dihadirkan dalam karya sastra. Kedua, berkaitan dengan perempuan sebagai pencipta arti tekstual, sejarah,tematema, jenis-jenis, dan struktur karya sastra. Subjeknya menyangkut psikodinamika kreativitas perempuan, linguistik dan masalah bahasa perempuan, perjalanan karir kesastraan perempuan individual dan kolektif, sejarah sastra, dan studi mengenai penulis-penulis dengan karyakarya tertentunya. Ruthven (1984:32) mengatakan bahwa kerja kritik sastra feminis adalah melihat karya sastra dengan melacak ideologi yang membentuknya dan menunjukkan perbedaanperbedaan antara yang dikatakan oleh karya dengan yang tampak dari sebuah pembacaan. Kritik sastra feminis bukan berarti pengkritik perempuan atau kritik tentang perempuan atau tentang pengarang perrempuan. Arti sederhananya adalah penngkritik memandang sastra dengan kesadaran khusus, yaitu kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan. Membaca sebagai perempuan berarti membaca dengan keadaran membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang patriarki yang sampai sekarang ini masih menguasai proses penulisan dan pembacaan sastra (Culler, 1983 :43-66). Selanjutnya, Ruthven menambahkan bahwa penelitian mengenai gambaran perempuan digunakan untuk mengungkap dua hal yang berbeda. Pertama untuk mengungkap kakikat stereotip yang menindas yang diubah dalam model peran dan meawarkan hal-hal yang terbatas dari yang diharapkan oleh perempuan. Kedua adalah adanya harapan untuk memberi peluang berpikir tentang perempuan dengan mengetengahkan bagaimana perempuan dihadirkan dan bagaimana perempuan seharusnya dihadirkan. Ada beberapa aliran dalam feminisme, di antaranya yaitu feminisme Liberal. Aliran ini berpandangan bahwa sebenarnya perempuan mempunyai potensi yang sama baiknya dengan laki-laki asalkan perempuan mendapat kesempatan yang sama dengan laki-laki. Oleh karena itu, masyarakat wajib memberikan pendidikan kepada perempuan , seperti juga kepada anak laki-laki, karena semua manusia berhak mendapatkan kesempatan yang setara untuk mengembangkan kapasitas nalar dan moralnya (Tong, 1998:20-21). Dalam penelitian ini, feminisme Liberal dijadikan sebagai titik tolak (ukur) dalam menganalisis potensi perempuan yang terdapat dalam novel Gadis Pantai.
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
557
C. Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kritik sastra feminis dengan melihat bagaimana karakter perempuan direpresentasikan dalam karya sastra. Potensi perempuan dilihat melalui gambaran potensi fisik dan nonfisik yang dimiliki oleh tokoh Gadis Pantai.Dalam hal ini, pembicaraan mengacu pada salah satu konsep aliran kritik sastra feminis yang dipandang tercermin dalam novel Gadis Pantai, yaitu feminisme Liberal. Metode penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, yaitu penelitian yang menghasilkan data-data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati (Moleong, 2002:3). Sifat studi ini adalah kepustakaan murni dengan data berupa bagian-bagian teks novel Gadis Pantai yang mengungkapkan potensi perempuan. Adapun sumber data penelitian ini adalah novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer dengan tebal 272 halaman yang diterbitkan oleh penerbit Lentera Dipantara tahun 2003. Data dalam penelitian ini diperoleh dengan cara membaca novel Gadis Pantai secara menyeluruh disertai dengan penghayatan dan pemahaman isi cerita secara utuh.Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik dokumentasi. Pendokumentasian ini dilakukan dengan mencatat bagian-bagian teks yang mengungkap tentang potensi perempuan. Analisis data dilakukan dengan cara mengambil kutipan teks yang terdapat dalam novel Gadis Pantai, kemudian dijelaskan bagaimana potensi perempuan yang didasarkan pada potensi fisik dan nonfisik. D. Hasil dan Pembahasan Perempuan Berbakat Individu berbakat adalah suatu potensi yang perlu mendapat perhatian sehingga mereka diharapkan mampu menghasilkan kary-karya yang gemilang. Individu yang berbakat terlihat pada potensi yang sangat tinggi, yakni mempunyai intelegensi yang tinggi disertai dengan kemampuan kreativitas yang tinggi pula. Perkembangan potensi ini akan berkembang atau tidak, jika ada dukungan dari lingkungan sosialnya, antara lain lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Seseorang yang mendapat dukungan positif dari lingkungannya akan lebih mempunyai kesempatan yang besar untuk mengaktualisasikan kemampuan yang dimilikinya. Sebaliknya, jika seseorang tidak mendapatkan kesempatan atau bahkan mendapat hambatan dari lingkungannya, maka potensi yang sangat tinggi menjadi tersembunyi dan selamanya tetap tidak pernah terwujud. Sebenarnya tidak ada perbedaan kemampuan berpikir antara laki-laki dan perempuan. Namun, dalam kenyataannya di masyarakat banyak perempuan tidak mampu mengaktualisasikan kemampuannya sehingga mereka tampak kurang memiliki kemampuan. Mereka terkesan pasif dan tergantung pada orang lain. Stereotip tradisional tentang perempuan kadang-kadang membuat perempuan berpura-pura bodoh untuk menarik perhatian lawan jenisnya. Novel Gadis Pantai, secara jelas mengungkap potensi perempuan berbakat melalui karakter tokoh utama Gadis Pantai. Pada awalnya, Gadis Pantai digambarkan sebagai perempuan yang tidak atau kurang memiliki pengetahuan, bodoh, dan kurang bijaksana. Hal itu terjadi karena ia tidak pernah mendapat pendidikan dan pengajaran. Namun, setelah mendapat pendidikan dan pelatihan, akhirnya ia mampu menunjukkan perkembangan pengetahuan dan keterampilan, serta budi pekerti. Gadis Pantai mulai membatik, seorang guru batik didatangkan di pagi hari, tangannya yang telah diperhalus oleh keadaan tanpa kerja, mulai memainkan pensil membuat pola. Seminggu sekali datang guru yang mengajarinya memasak kue. Dan setiapa tiga hari sekali datang guru lain yang menyampaikan padanya kisah-kisah agama dari negeri padang pasir nan jauh. Gadis Pantai mulai terbiasa pada kehidupan yang diperlengkapi alat-alat begitu banyak dan menggampangkan kerja. Ia mulai terbiasa dengar suara pemuda-pemuda yang bicara dalam bahasa
558
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
Belanda setelah meninggalkan suarau di sebelah kiri rumah utama. Suara-suara mereka menerobosi dinding-dinding kamarnya memberitakan banyak hal yang tak pernah diketahui sebelumnya... Kemudian Gadis Pantai pun mulai belajar menyulam, merenda, menjahit. Kecerdasan dan keterampilannya menyukakan semua gurunya (Toer, 2003:69-70)
Kutipan di atas menggambarkan kenyataan bahwa pendidikan dapat memberikan perubahan pada individu yang mau belajar. Mulai dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak terlatih menjadi terlatih, dari tidak terampil menjadi terampil. Pendidikan dan pelatihan yang didapatkan Gadis Pantai di rumah Bendoro, membuat dia menjadi permpuan yang memiliki pengetahuan ddan keterampilan. Meskipun yang diajarkan kepadanya masih seputar pekerjaan domestik. Keterampilan domestik dan pengetahuan agama yang dipelajari Gadis Pantai dipandang sangat memadai untuk ukuran waktu itu karena banyak perempuan yang tidak mendapat kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Status Gadis Pantai sebagai isteri seorang pembesar, memberinya kesempatan untuk mengenyam pendidikan meskipun pada akhirnya semua yang diperolehnya bernuansa politis untuk menyenangkan hati laki-laki. Tampaknya Gadis Pantai sangat berbakat dalam beberpa pelajaran, khususnya ddalam keterampilan-keterampilan yang diajarkan kepadanya. Sebagai perempuan berbakat, Gadis Pantai mulai menunjukkan perkembangan pengetahuan dan keterampilannya dengan hasil yang menggembirakan. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini. Kemudian Gadis Pantai pun mulai belajar menyulam, merenda, menjahit. Kecerdasan dan keterampilannya menyukakan semua gurunya (Toer, 2003:69-70) Hari-hari lewat cepat, dan Gadis Pantai mengisi dirinya dengan berbagai kecakapan baru. Kulitnya yang tak lagi terpanggang kulit matari jadi langsat kemerahan, dan wajah bocahnya telah lenyap digantikan oleh pandang orang dewasa (Toer, 2003;71)
Kutipan di atas mempertegas perubahan yang terjadi pada diri Gadis Pantai yang telah mendapat pembelajaran. Perubahan itu menunjukkan ke arah yang lebih baik pada keterampilan yang dimilikinya. Di samping itu, kutipan tersebut juga semakin mempertegas bahwa perempuan juga mempunayai intelegensi tinggi yang dengan cepat menerima informasi yang didapatnya. Dalam novel Gadis Pantai, secara tersirat diungkapkan perbedaan kesempatan antara laki-laki dan perempuan dalam mendapatkan pendidikan. Perbedaan perlakuan berdasarkan gender ini menjadi norma sejak kanak-kanak, yang selanjutnya menjadi lebih kuat nyata di dalam kehidupan sosial, sampai mereka menjelang remaja dan dewasa. Tampaknya, lakilaki memiliki kesempatan lebih besar untuk belajar dibandingkan perempuan. Sementara itu, perempuan yang memiliki kesempatan untuk memperoleh pendidikan adalah (hanya) perempuan yang berasal dari kalangan kelas atas, isteri atau anak seorang pembesar. Tujuannya adalah untuk kepentingan politis laki-laki, yaitu untuk semakin mengukuhkan kedudukan dan kewibawaan suami atau ayah. Ternyata, kelas sosial juga sangat menentukan kesempatan untuk memperoleh pendidikan pada masa itu. Gadis Pantai sebagai isteri pembesar, juga mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pendidikan karena ia sudah menjadi bagian dari kelompok kelas atas. Sebagai isteri Bendoro, ia harus memiliki perbedaan dengan isteri orang kebanyakan yang tidak berpendidikan. Namun, stereotip tradisional dalam masyarakat Gadis Pantai menuntut perempuan untuk tidak terlalu pintar. Sebaliknya, laki-laki adalah makhluk yang superior, membuat perempuan menjadi warga kelas dua. Laki-laki tidak suka disaingi, terutama oleh isterinya. Stereotip tersebut membuat perempuan menekan bakatnya supaya ia lebih menarik di mata teman lawan jenisnya. Perempuan dengan rasa ingin tahu yang besar dan prestasi yang tinggi kurang menarik bagi lingkungannya, terutama lawan jenisnya. ”Kau mulai pintar. Mulai pintar—siapa ajari kau?” Gadis Pantai tertawa lemah. ”Siapa ajari?”
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
559
”Kasih Bendoro sendiri.” ”Bagaimana kau perlakukan kasih itu?” ”Sahaya sambut setiap saat dia bersua,Bendoro.”... ... ”Ahai, guru ngaji yang ajari kau seperti itu?” ”Tidak, Bendoro.” ”Katakanlah, dari siapa?” ” Sahaya pernah dengar orang bilang,Bendoro, orang bawahan selalu lapar, karena itu matanya selalu melihat segal-galanya, kupingnya dengar segala-galanya dan hatinya seakan segala-galanya, sedang jantungnya deburkan darah buat segal-galanya.” ”Katakanlah dari siapa?” guru ngajimu besok tak perlu datang lagi...Engkau anak yang cerdik (Toer, 2003:105).
Kutipan di atas menunjukkan adanya konflik yang terjadi pada diri Bendoro terkait dengan kecerdasan yang Gadis Pantai, isterinya. Seiring dengan pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya, Gadis Pantai mulai mengerti banyak hal. Ia mulai kritis terhadap situasi yang dihadapinya dan mulai pintar bicara. Sebaliknya, kenyataan ini membuat Bendoro tidak nyaman. Ia mulai merasa terganggu dengan perubahan yang terjadi pada diri Gadis Pantai yang mulai merongrong status dan kedudukannya sebagai laki-laki superior yang berkuasa dan berkelakuan seenaknya. Kritik Gadis Pantai tentang kelakuan orang atasan terhadap masyarakat biasa membuat Bendoro tidak senang sehingga ia tidak memperkenankan lagi Gadis Pantai untuk belajar kepada guru-gurunya. Hal yang demikian, menunjukkan ketakutan laki-laki kepada perubahan tingkah laku perempuan yang memiliki kemampuan dan intelektualitas. Sesungguhnya, menjadi perempuan yanng berbakat tidak didukung oleh lingkungan sosial. Begitu juga orang yang mempunyai kreativitas tinggi dan intelegensi tinggi bukan sesuatu yang mudah. Hal ini disebabkan masyarakat lebih mengutamakan kepatuhan dan kesopanan pada seorang perempuan, atau menolak spontanitas dalam mengungkapkan diri karena dianggap tidak etis. Seperti yang diungkapkan oleh Koentjaraningrat (1999) bahwa masyarakat Jawa mengutamakan tingkah laku dan adat sopan santun terhadap sesama dan sangat berorientasi bilateral. Mereka harus mengembangkan sikap tenggang rasa dan mengintensifkan solidaritas. Orang hidup harus sesuai dengan peraturan moral, harus mampu melawan dan menunda terpenuhinya kebutuhan diri. Hal ini dapat menimbulkan konflik tersendiri bagi orang berbakat. Kesulitan untuk mengembangkan diri bagi orang berbakat menjadi lebih besar pada perempuan berbakat dalam budaya Jawa karena dalam budaya Jawa antara laki-laki dan perempuan mendapat perlakuan yang sangat berbeda. Pandangan ini mempengaruhi cara perlakuan masyarakat dan pengasuhan orang tua yang telah mereka tanamkan sejak bayi. Pembagian peran dalam masyrakat yang berhubungan dengan hal-hal ’apa yang boleh dilakukan’ dan ’siapa yang boleh melakukan’ mempengaruhi pemahaman mengenai partisipasi masing-masing jenis kelamin dalam kehidupan bermasyarakat. Fakta yang ada dalam bidang pendidikan, biasanya anak laki-laki mendapat prioritas pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan adanya anggapan, kelak anak laki-laki akan mendapat pekerjaan, peran, dan kedudukan yang tinggi, sementara anak perempuan hanya akan mengasuh anak dan mengurus rumah tangga. Hal ini tercermin dalam novel Gadis Pantai dengan adanya agus-agus bendoro muda yang belajar di rumah Bendoro, sementara anak perempuan tidak tampak sama sekali. E. Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya perempuan mempunyai bakat yang luar biasa. Bakat tersebut dapat berkembang dengan baik apabila perempuan diberi kesempatan untuk mengembangkan bakat yang dimilikinya. Pada awalnya, Gadis Pantai digambarkan sebagai perempuan yang bodoh, kurang memiliki pengetahuan, dan kurang bijaksana. Setelah mendapat pendidikan dan pelatihan, ia berubah menjadi gadis yang cerdas dan mempunyai berbagai keterampilan.
560
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
Namun, faktor budaya mempunyai peran penting bagi perempuan untuk mengembangkan bakat yang ada pada dirinya. Dalam budaya masyarakat Gadis Pantai, ditegaskan bahwa seorang perempuan tidak boleh mempunyai banyak ide atau pendapat dan harus menjadi seorang yang penurut dan tidak boleh terlalu pintar. Akibatnya seorang perempuan tidak memiliki kekuasaan untuk ikut mengambil keputusan karena posisinya secara sosial tidak menguntungkan. Seringkali perempuan dengan sengaja menekan potensi yang ada dalam dirinya dan menerimanya sebagai hal yang wajar. Akan tetapi, ada juga perempuan yang menjadi tertekan karena tidak boleh melakukan hal-hal yang diinginkan. Novel ini juga mengungkap potensi yang dimiliki perempuan yang hidup dalam masyarakat berkelas. Meskipun perempuan dicitrakan sebagai korban patriarki, tetapi ada perubahan-perubahan yang dialami perempuan menuju kemandirian. Masyarakat, tempat Gadis Pantai tinggal masih dilingkupi pemikiran patriarkis dan misoginis sehingga perempuan menjadi tidak berdaya dalam mengembangkan kemampuannya. Potensi yang dimiliki Gadis Pantai merupakan contoh cara perempuan menuju kemandirian, yaitu melalui pendidikan dan keterampilan. Perempuan mampu untuk mandiri dan mampu memasuki dunia ekonomi yang menghasilkan uang. Namun, area itu belum tersentuh oleh Gadis Pantai, yang ada baru langkah awal untuk menuju ke arah kemandirian. F. Daftar Pustaka Culler, Jonathan. 1983. Structuralist Poetic. London:Routledge & Kegan Paul. Fakih, Mansur. 1999. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Fowler, Roger. 1973. A Dictionary of Modern Critical Term. USA; Routledge & Kegan Paul. Ltd. Madsen, Deborah L. 2000. Feminist Theory and Literary Practice. London : Pluto Press. Moleong, Lexy. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remadja Rosda Karya. Ruthven. 1984. Feminist Literary Study. Cambridge University Press. Showalter, Elaine. 1985. The New Feminit Criticism: Essays on Women, Literature, and Theory. New York: Pantheon Books. Tong, Rosemarie Putnam. 1998. Feminis Thought: A More Comprehensive Introduction. Diterjemahkan oleh Akuarini Prabasmoro.Yogyakarta: Jalasutra. Toer, Pramoedya Ananta. 2003. Gadis Pantai. Jakarta : Lentera Dipantara
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
561
MENEROKA SASTRA PENTAS JIDOR SENTULAN DALAM LINTAS SITUS PERSPEKTIF ETNOGRAFI SEBAGAI STRATEGI PELESTARIAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DALAM MENGHADAPI BUDAYA GLOBAL Susi Darihastining STKIP PGRI Jombang
[email protected] Abstract Jidor Sentulan is literary performances that carried the story narrative prose dialogue and lyrics. Staging is accompanied by music jidor literature, some rituals and attractions. The purpose of this study is to reconstruct the traces staging Jidor Sentulan associated with cultural capital and enrich ethnographic studies in Indonesia. In public life Jombang, Jidor Sentulan a literary stage the spirit of tradition. Therefore, this stage is a literary tradition that should bepreserved. This study discusses; (1)The pattern of narrative and (2) delivery strategy Jidor Sentulan narrative perspective in cross-site Ethnography as a preservation strategy Indonesian language and literature in the face of global culture. Ethnographic analysis model is used narrative analysis model Luc Herman and Bart Vervaeck. Literary form Jidor Sentulan stage were analyzed using a qualitative approach. This approach is used to understand and keep track of ideas or the ideas of cultural construction built by the owner. Sources of data in this study are contained in the poetic narrative literature Jidor Sentulan stage in Jombang. The results of this study indicate that; (1) The pattern of narrative and (2) delivery strategy Jidor Sentulan narrative perspective in cross-site Ethnography as a preservation strategyMIndonesian language and literature in the face of global culture. The results of this study also achieved a reflection that local knowledge, in any form, is constructed not only as things that are entertaining, but also valuable and social functioning, ideological, and religious. Keywords: narrative poetic, literary performances, poetic narrative pattern Jidor Sentulan, revitalization
A. Pendahuluaan 1. Latar Belakang Jidor Sentulan merupakan salah satu diantara tradisi lisan yang terdapat di Jombang Jawa Timur. Secara tradisional pertunjukan kesenian rakyat ini dipentaskan di beberapa daerah dengan bentuk yang hampir sama, tetapi nama berbeda. Jidor Sentulan adalah sastra pentas dengan menggunakan konsep penuturan dialogis. Pada kehidupan masyarakat Jombang (di masa lampau), Jidor Sentulan merupakan sastra pentas yang menjadi roh tradisi. Penelitian ini berusaha merekam kembali konstruksi-konstruksi Jidor Sentulan pada perspektif narasi dengan kajian Etnografi. Di Jombang, berbagai komunitas budaya lokal yang menjadi korban di antaranya komunitas kesenian rakyat Ludruk dan Jidor atau yang terkenal dengan sebutan Jaranan. Terdapat beberapa alasan yang menjadi penyebab kesenian rakyat semakin termarginalkan. Pertama, kesenian industrial kini dan sedang mewarnai dunia kesenian walau hanya dalam skala kecil. Kedua, media massa kini lebih mementingkan nilai kapitalnya dibandingkan nilai estetik kesenian daerah dengan lebih banyak memunculkan atraksi kesenian industrial seperti pengaruh Mc Donaldlisasi dan budaya K-Pop karena secara nyata lebih banyak digemari generasi muda sebagai pasar potensialnya. Ketiga, semakin kecil kelonpok generasi muda sebagai pewaris aktif dalam melanjutkan pergelaran dan proses kreatif kesenian rakyat. Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan dari hasil penelitian desertasi peneliti, yang menelusuri narasi puitik sastra pentas Jidor Sentulan di Jombang (kajian Etnopuitik). Hasil dari penelitian yang sudah pernah dilakukan, pada narasi Jidor Sentulan terdapat rangkaian hubungan sejarah dengan daerah lain, ada ikon atau simbol, penyebutan daerah lain dan sejarah kemunculan serta perkembangan sastra pentas Jidor Sentulan baik dari aspek sosial budaya dan antropologinya. Hal itu menjadikan peneliti semakin terdorong untuk meneroka pola dan strategi penyampaian narasi sastra pentas Jidor Sentulan dalam
562
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
lintas situs pada perspektif Etnografi. Karena hal ini diasumsikan ada keterkaitan dengan perkembangan, pertahanan dan penyebaran sastra pentas Jidor Sentulan di daerah lain. Peneliti ingin mengetahui bagaimana perbedaan dan persamaan dari pola dan strategi penyampaian narasi sastra pentas Jidor Sentulan pada lintas situs. Daerah lintas situs yang akan dipilih, yaitu Jombang, Lamongan, Tulungagung dan Sumenep. Daerah lintas situs tersebut dipilih karena merupakan daerah yang subur oleh tradisi lisan dan mempunyai kearifan lokal. 2. Metode Penelitian ini berusaha merekam kembali konstruksi-konstruksi Jidor Sentulan pada perspektif narasi puitik, yang di antaranya akan membahas; (1) Pola narasi dan (2) strategi penyampaian narasi Jidor Sentulan dalam lintas situs perspektif Etnografi sebagai strategi pelestarian bahasa dan sastra Indonesia dalam menghadapi budaya global. Analisis etnografi dengan model naratif yang digunakan adalah model analisis Luc Herman dan Bart Vervaeck. Bentuk sastra pentas Jidor Sentulan dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini digunakan untuk memahami dan melacak ide atau gagasan konstruksi kultural yang dibangun oleh masyarakat pemiliknya. Sumber data dalam penelitian ini adalah narasi puitik yang terdapat pada sastra pentas Jidor Sentulan di Jombang dibandingkan dengan Jidor yag ada pada lintas situs, yaitu kota Lamongan dan Sumenep Madura . Sumber data penelitian ini adalah sastra pentas Jidor Sentulan yang berada di desa Bongkot, Kecamatan Peterongan, Kabupaten Jombang. Informan dalam pengambilan data ini antara lain pelaku Jidor Sentulan atau pelaku seni dan budayawan. Di samping itu sumber data juga dapat diperoleh dari lokasi penelitian. Lokasi penelitian sebagai sumber informasi dalam bentuk sosiologi budaya masyarakat sastra pentas Jidor Sentulan. Data yang diperoleh, baik melalui observasi, dan wawancara diklasifikasikan sesuai dengan karakteristik masing-masing data. Data pementasan Jidor Sentulan yang berupa transkrip rekaman akan dikelompokkan berdasarkan kesamaan wujudnya, yang berupa pola pada narasi puitik yang terdapat dalam Jidor Sentulan di Jombang yang menjadi strategi pelestarian bahasa dan sastra Indonesia dalam menghadapi budaya global. Pola narasi puitik yang terdapat dalam Jidor Sentulan di Jombang dan data yang telah ditranskripsikan dan dikelompokkan tersebut akan dianalisis melalui analisis model strukturalisme Herman dan Vervaeck (2001). Model analisis ini sebagai bentuk penyempurnaan dari Griemas (tentang actan) dan Gennette (Struktur waktu penceritaan) kemudian Bal melengkapinya dengan unsur waktu, durasi, rentang waktu sebuah narasi. Luc Herman dan Bart Vervaeck mencoba menyempurnakannya dengan penambahan elemen pada time, characterization dan vocalization seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. B. Pembahasan 1. Pola Narasi Puitik Jidor Sentulan Pola narasi, dalam artian struktur pola penyampaian narasi dalam Jidor Sentulan dengan menggunakan perspektif Herman dan Vervaeck (2001) yang terdiri atas: (a) waktu/ durasi yang meliputi (i) pelesapan,(ii) percepatan, (iii) skena dan (iv) penghentian; (b) kelengkapan unsur cerita yang meliputi (i) arah, (ii) jarak dan (iii) pencapaian dan (c) frekuensi yang, meliputi (i) singular,(ii) iteratif dan (iii) repetisi. Sebelumnya akan dipaparkan hal-hal yang melatar belakangi narasi Jidor Sentulan, sehingga mampu memberikan gambaran yang lebih jelas tentang struktur pola yang akan dibahas. Latar belakang tersebut mencakup peristiwa, aktor, waktu dan lokasi. Gambaran peristiwa dalam narasi Jidor Sentulan lebih cenderung sebagai fantasi yang tergolong dalam fantasi of manner. Fantasi yang berbentuk fiksi yang mistis. Peristiwa yang tergambar dengan menonjolkan karakteristik alamiah, bukan karakteristik futuristik atau kontemporer. Peristiwa dalam narasi Jidor Sentulan terdiri atas delapan tahapan atau peristiwa. Narasi-narasi yang terdapat pada Jidor Sentulan berbentuk simbol atau gambarangambaran tertentu, berisikan nasihat antara saudara tua kepada saudara yang lebih muda
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
563
akan sebuah tanggung jawab. Ide pokok narasi Jidor Sentulan adalah ‘tanggung jawab’ manusia terhadap kewajibannya. a) Pembuka Peristiwa dalam Jidor Sentulan yaitu Sholawatan Nada pentatonis pada Jidor Sentulan adalah laras pelog dengan tempo sedang, notasi yang di dalam kotak menandakan bunyi gong agung yang dapat digambarkan sebagai berikut: 3. 5. 2. | 5. 7. 6. 4. 6. 5 | Yaa -Na - bii 5 Yaa
2 5 -ha - bii
sa-
laam-
‘a -
la-
i-
ka,
| 2 1 2 | 3. 5 . 6 5 bu sa- laam- ‘alai- ka,
|
Lantunan Sholawat ini temponya diulang sesuai dengan lantunan bait pujian yang pertama. Pada nada pentatonis sebagaimana dinyatakan oleh Gitosaprodjo dalam Suwarna (1996:11) laras terdiri atas laras slendro dan pelog. Laras adalah susunan nada, tatanan nada, racikan nada, dan sistem nada (Prawiradisastra, 1997:12). 1) Peristiwa Narasi ke-2: Gambaran Kondisi Dua Pemuda Bernama Joko Penthul dan Joko Tembem Peristiwa narasi ke-2 dideskripsikan mengenai kondisi mereka berdua sebagai pemuda yang mempunyai tanggung jawab terhadap ‘ingon-ingon’ (peliharaan) yang berupa Kumbang Semendhung, serta tanggung jawab mementaskan Jidor Sentulan itu sendiri. 2) Peristiwa Narasi ke-3: Berupa Doa Pembuka terhadap Sohibbul hajjah serta Nasihat terhadap Pengantin, Nikah ataupun Pengantin Khitan Doa yang berisikan permohonan keselamatan untuk pengantin khitan dan semua keluarga serta pemain Jidor Sentulan, disamping itu berisi nasihat kepada pengantin supaya kelak menjadi orang dewasa yang beriman, taat pada ajaran agama dan berbakti kepada orang tua. Tedlock (1992:81) bahwa doa yang disampaikan secara verbal adalah bagian dari etnopuitika disamping dendangan, rintihan, komunikasi oral, peribahasa dan pujian. Elemen doa dalam Jidor Sentulan juga merupakan hal yang signifikan, karena tujuan shohibul hajjah mengundang Jidor Sentulan adalah untuk mengumpulkan masyarakat sekitar. 3) Peristiwa Narasi ke-4: Berupa Proses Dialogis dalam Merawat Kumbang Semendhung. Penthul mengajak Tembem untuk saling merawat Kumbang Semendhung yang selama ini menjadi tanggung jawab mereka berdua. Dalam narasi itu terdapat pernyataan-pernyataan bahwa kita harus pantang menyerah, tidak boleh malu dan segan dalam mencari pekerjaan dalam memenuhi segala kebutuhan peliharaannya. Dikisahkan bahwa manusia hidup harus mencari penghidupan dan berjuang untuk hidup walaupun berada pada kehidupan yang semu di dunia ini. 4) Peristiwa narasi ke-5: Berupa Tembem digigit oleh Kumbang Semendhung Peristiwa Tembem digigit oleh Kumbang Semendhung, merupakan klimaks dari cerita ini, dengan kronologi bahwa Tembem dalam memberi makan Kumbang Semendhung kurang hati-hati dan waspada sehingga terjadi hal yang tidak diinginkan, yaitu Tembem digigit tangannya oleh Kumbang Semendhung. Tahapan cerita ini menjadi pengejawantahan dari konsep tentang sikap hidup yang dituturkan oleh Penthul, sebab tahapan ini berupa hukum kausalitas atau sebab-akibat dalam hidup seseorang yang dalam hal ini digambarkan dengan digigitnya Tembem oleh Kumbang Semendhung karena tidak hati-hati dan tidak waspada dalam memberi makan Kumbang Semendhung.
564
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
5) Peristiwa Narasi ke-6: Pertolongan Penthul terhadap Tembem dengan Gaman Tapak Edan. Gaman Tapak Edan memiliki kekuatan yang luar biasa. Penthul segera menolong Tembem melalui Gaman Tapak Edan. Pertolongan Penthul menggunakan Gaman Tapak Edan dengan menusukkannya kepada Kumbang Semendhung. Akibat Gaman Tapak Edan dan rasa emosi Penthul membuat keduanya tewas. Penthul merasa tidak tega melihat kejadian itu, akhirnya ia membawa Tembem dan Kumbang Semendhung kepada Mbah Wiroguno. 6) Peristiwa Narasi ke-7: Tembem dan Kumbang Semendhung dibawa Penthul ke Mbah Wiroguno untuk diobati Tembem dan Kumbang Semendhung berobat kepada Mbah Wiroguno, Mbah Wiroguno merupakan seorang yang diyakini sebagai tabib yang mempunyai kelebihan dalam hal pengobatan dan juga disebut sebagai seorang guru, karena Mbah Wiroguno juga mempunyai peguron atau perguruan terkenal yang mempunyai pengikut atau murid pada waktu itu. 7) Peristiwa Narasi ke-8: Penyelesaian Cerita pada Tahap Ini Mbah Wiroguno Mengobati Tembem dan Kumbang Semendhung dengan Parangnya Penthul sebagai saudara tua juga tidak tega melihat Tembem menderita, Penthul sebagai saudara tua merasa bertanggung jawab untuk kesembuhan Tembem, simpati yang dalam tampak pada perbuatannya. Mbah Wiroguno segera mengobati Tembem dengan doadoa yang ditujukan kepada Allah untuk memohon kesembuhan Tembem. Mbah Wiroguno dengan parangnya dan bersila berdiam diri berdoa dan pasrah, kepada Allah. b) Aktor Jidor Sentulan mempunyai dua macam aktor, yaitu aktor inti dan aktor pendukung. Aktor inti dalam hal ini adalah aktor-aktor yang benar-benar bergerak aktif dalam memproduksi peristiwa. Aktor-aktor inti tersebut adalah Penthul, Tembem, Kumbang Semendhung, dan Wiroguno. Mereka berempat adalah figur bergerak melengkapi siklus cerita dalam Jidor Sentulan. Aktor yang lain adalah aktor pendukung yang terdiri atas satu figur saja, yaitu monyet dan macan. c) Waktu Jidor Sentulan dipentaskan bergantung kepada permintaan masyarakat, biasanya mereka mendapatkan undangan untuk mementaskan Jidor Sentulan pada musim-musim pernikahan dan khitanan (Syawal, Selo, Besar, Mulud, Ruah). Waktu pementasan biasanya kerap dilaksanakan pada bulan-bulan tersebut. Waktu pementasan tidak terbatas siang, pagi atau sore, akan tetapi mengikuti undangan shohibul hajjah. d) Lokasi Lokasi pementasan dilaksanakan pada dua jenis tempat, yaitu di rumah sohibbul hajjah atau pengundang dan dapat juga tampil di jalanan. Peristiwa pertama yang bertempat di rumah adalah sholawatan dan dialog pembuka. 2. Pola Narasi Jidor Sentulan Dalam Perspektif Herman dan Vervaek Memetakan struktur narasi Jidor Sentulan dalam penelitian ini menggunakan pemetaan yang digunakan oleh Herman dan Vervaek (2001), yakni struktur terdiri atas sebuah struktur waktu yang didalamnya ada durasi yang meliputi: (pelesapan, ringkasan atau percepatan, skena, dan penghentian), kelengkapan unsur cerita yang meliputi: (Arah, jarak, pencapaian), frekuensi yang meliputi: (kejadian sekali disebut sekali, kejadian berulang disebut sekali, kejadian sekali disebut berkali-kali).
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
565
3. Strategi Narasi Jidor Sentulan Dalam Perspektif Herman dan Vervaek Strategi penyampaian narasi Jidor Sentulan tampil dalam bentuk komunikasi antara aktor dan penonton, baik dalam bentuk dialog maupun kontak fisik. hal-hal yang dibahas dalam strategi penyampaian pementasan Jidor Sentulan adalah (1) latar belakang masyarakat, (2) ruang atau latar budaya dan sosial, (3) bahasa (verbal dan nonverbal), (4) musik, dan (5) interaksi panggung (aktor dan penonton), dan (6) interaksi nonpanggung. C. Simpulan Pola narasi puitik Jidor Sentulan pasti berbeda dengan Jidor pada lintas situs antara Jidor di Lamongan dengan di Sumenep Madura, adapun Jidor Sentulan memiliki unsur pola yang terdiri atas tiga fase, yaitu fase sholawat, fase penceritaan dialogis, dan fase ndadi (intrance). Pola narasi puitik Jidor Sentulan secara struktural berbentuk narasi dialogis dengan latar naratif alas (hutan) , tetangga, dan keluarga. Latar waktu berbentuk timeless (tanpa batas waktu), dalam artian seperti halnya folklor di Jawa pada umumnya, tidak mendefinisikan sebuah waktu yang tertentu demi keutuhan cerita. Pola narasinya berbetuk puitik. Dan strategi penyampaian Jidor sentulan meliputi (1) latar belakang masyarakat, (2) ruang atau latar budaya dan sosial, (3) bahasa (verbal dan non verbal), (4) musik, dan (5) interaksi panggung (aktor dan penonton), dan (6) interaksi non panggung. Tradisi lisan Jidor Sentulan sebagai jembatan strategi pelestarian bahasa dan sastra Indonesia dalam menghadapi budaya global. Para pengambil kebijakan di bidang pendidikan dan kebudayaan, terutama di Kabupaten Jombang, selayaknya membuat kebijakan-kebijakan yang berpotensi meningkatkan tingkat ketertarikan masyarakat terhadap pertunjukan seni Jidor Sentulan di Jombang. Kebijakan sosialisasi bisa ditempuh, misalnya, sosialisasi melalui pendidikan formal atau nonformal. Jika dilakukan, hal itu dapat memperkuat karakter generasi muda sejak dini. Konsep pementasan seni sastra tradisi memang seharusnya selalu mengikuti perkembangan zaman yang ada. Ini berarti diperlukan adanya kreativitas pementasan Jidor Sentulan dengan kemasan yang lebih menarik tanpa meninggalkan khazanah lokalitas dan nilai-nilai yang dikandungnya. Untuk itu, para pelaku seni tradisi Jidor Sentulan, khususnya di wilayah Kabupaten Jombang, perlu berwawasan baru dalam penyelanggaraan Jidor Sentulan dengan konsep pementasan yang baru,unik dan lebih menarik minat masyarakat. D. Daftar Pustaka Amin Sweeney. l987. A Full Hearing: Orality and Literacy in the Malay world. London: University of California Press, Ltd. Bauman, R. and Sherzer, J. (eds.) .1989. Explorations in the Ethnography of Speaking (2nd Edition). Cambridge: Cambridge University Press. Bouvier, Helene. 2002. Le’bur! Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Denzin, K, Norman and Lincoln Yonn S. 1994. Handbook of Qualitative Research. Sage Publication. Emzir, 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Herman, Luc and Vervaek. 2005. Handbook of Narrative Analysis. Lincoln and London: University of Nebraska Press. Ong, Walter J. 1982 Orality and Literacy The Technologizing of the Word. USA.Published Methuen & Co.
566
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
REPRESENTASI IDEOLOGI TOKOH PRIYAYI DALAM NOVEL GADIS TANGSI KARYA SUPARTO BRATA Wijaya Heru Santosa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Abstract
The study aims to (1) describe the biography and ideology Suparto Brata as author; (2) describe the ideology of the aristocracy figures contained in the novel Gadis Tangsi; and (3) describe the response of readers on the novel Gadis Tangsi. Data on biographi and ideology Suparto Brata collected by interviews, data about ideology gentry figures in the novel were collected with a critical reading of text intensive dsecara novel; and data on reader response to the novel was collected by a structured interview on Indonesian teachers and students PBSI FKIP Sarjanawiyata Tamansiswa University of Yogyakarta. The data was analyzed with the approach of literary sociology. The results showed that (1) a biography of the author was born and raised in the palace so that the ideology of feudalism very influential in creating works of authors in the literature; (2) Figures gentry in novels generally have a feudal ideology, humanism, and the Dutch East Indies government support; and (3) Novel Gadis Tangsi have positive and negative social function for readers, especially for students. If the novel is taught in high school, the teacher should choose the parts in accordance with morality and psychological background of students. Keywords: ideology, feudalism, humanism, morality
A. Pendahuluan Novel sebagai karya sastra tidak hanya lahir karena fenomena-fenomena kehidupan imajinatif, tetapi juga dari kesadaran penulisnya bahwa sastra sebagai sesuatu yang faktual realistis karena sastra adalah produk masyarakat serta menampilkan gambaran realitas sosial. Novel menampilkan ciri masyarakat, baik sosial budaya maupun nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Melalui novel sastra, pengarang melukiskan, menguraikan, serta menampilkan kenyataan sosial yang tercermin pada perilaku-perilaku tokohnya. Menurut Geertz ( 1960:5) di dalam masyarakat Jawa terdapat golongan santri, abangan, dan priyayi. Perkembangan selanjutnya, priyayi yang di masa lalu hanya terdiri atas para yayi raja atau golongan bangsawan Kerajaan Jawa (Surakarta dan Yogyakarta) setelah Pemerintah Hindia Belanda mencanangkan Politik Etis, golongan priyayi melebar menjadi golongan yang terdiri atas kelas pejabat pangreh projo, administratur pabrik, pegawai kantor, guru, dosen, dokter, hakim, jaksa, perwira militer dan intelektual, dan para profesional. Mereka sekarang terkait dengan birokrasi di Indonesia dan elit yang berkuasa (Dean, 1999: 7). Sementara di masa lalu priyayi adalah keturunan bangsawan, priyayi pada saat ini dapat merujuk kepada siapa pun dengan pendidikan akademis atau kepada siapa saja yang hanya mencerminkan pandangan tertentu. Seperti abangan, para priyayi yang kurang memiliki pengetahuan Islam, namun pandangan mereka sangat dipengaruhi oleh etika kerajaan Jawa, seperti Yogyakarta dan Surakarta (juga disebut sebagai Solo), yang dipengaruhi oleh estetika dan pandangan hidup sinkretisme Islam, Hindu, Budha. Adanya hirarki ini sikap yang menggantungkan diri, menaruh hormat dan percaya pada senior atau atasan itu menyebabkan priyayi tidak bergairah untuk berusaha bertanggung jawab sendiri (Damono, 2000:160). Sikap yang demikian itu menjadikan priyayi di dalam melangsungkan kehidupannya cenderung bekerja di sektor formal, baik di kantor-kantor pemerintahan maupun di perusahaan yang dikelola oleh negara. Karena berpengaruhnya pandangan dunia priyayi yang dianggap oleh masyarakat Jawa, posisi priyayi adalah posisi yang luhur. Masyarakat Jawa sering dibedakan dua golongan sosial yaitu wong cilik (orang kecil) terdiri atas sebagian besar petani dan mereka yang berpendapatan rendah di kota dan priyayi yang di dalamnya termasuk pegawai dan golongan intelektual. Realitas cita-cita dan perilaku orang Jawa (priyayi) juga banyak menjadi teladan bagi wong cilik, sehingga
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
567
wong cilik cenderung bercita-cita menjadi priyayi atau setidak-tidaknya perilaku wong cilik cenderung meneladan perilaku yang berupa mentalitas, simbol-simbol, pandangan hidup atau ideologi priyayi. Pengarang mengeskpresikan pandangan dunianya melalui karyanya menciptakan tokoh-tokoh, objek-objek, hubungan antartokoh secara imajiner. Padahal bentuk karya sastra yang paling panjang dan bisa memaparkan peristiwa secara kompleks dan jelas adalah novel. Hal ini juga senada dengan pendapat Goldmann (1977:1-2) bahwa novel mencari nilainilai kehidupan otentik yang terdegradasi dalam dunia yang terdegradasi pula dilakukan oleh tokoh hero yang problematik. Berkaitan dengan hal tersebut, penelitian novel yang mengungkapkan ideologi kepriyayian Jawa perlu dilakukan, khususnya ideologi kepriyayian yang terdapat pada novel Gadis Tangsi karya Suparto Brata. B. Metode Penelitian Data dalam penelitian ini adalah penggalan-penggalan novel yang menunjukkan ideologi tokoh priyayi dalam novel. Keterangan pengarang yang berhubungan dengan ciptaan novelnyaa, dan keterangan mahasiswa sebagai pembaca novel yang berkaitan dengan fungsi novel. Sumber data dalam penelitian ini adalah pengarang novel, buku Novel Gadis Tangsi karya Suparto Brata dan mahasiswa sebagai pembaca novel yaitu mahasiswa Semester V PBSI FKIP Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta. Teknik pengumpulan data dalam cerita novel Indonesia dilaksanakan dengan cara observasi, yakni membaca kritis seluruh wacana dan dialog dalam teks novel tersebut. Hasil observasi ditulis dalam kartu pencatat data. Kemudian data-data tersebut diklasifikasikan/dikelompokkan sesuai dengan klasifikasi keterangan pengarang, isi teks novel yang relevan dengan ideologi tokoh priyayi, dan fungsi sosial sastra kepada mahasiswa. C. Pembahasan Penelitian Kepengarangan Suparto Brata diawali dengan hobi senang menulis sejak ia bekerja di kantor telegrap pada tahun 1953-1960. Ia mengisi tulisan di majalah dan surat kabar di Surabaya tanpa mendapatkan honor. Pada saat itu juga ia masih meneruskan sekolah di SMA Katholik St. Louis pada tahun 1954-1956. Pada tahun 1960 Suparto Brata pindah bekerja di Perusahaan Dagang Negara Djaja Bhakti dengan kehidupan makmur mendapatkan istri dan masih sempat mengarang cerita. Karena kedekatannya dengan para wartawan yang bernama Basuki Rahmat, Farid Dimyati, Purnawan Condronegoro, dan Ruba’i membuat hasil tulisannya cepat terbit. Suparto Brata memiliki konsep bahwa bangsa yang modern adalah bangsa yang senantiasa menekuni dunia tulis-menulis dan bangsa primitif adalah bangsa yang tidak memiliki tradisi tulis, tetapi hanya memiliki tradisi lisan. Tulisan-tulisan Suparto Brata berawal dari pengalaman yang ia dengar, ia lihat serta ditambah dari pengetahuan yang dibaca dari buku-buku sastra dan sejarah. Pengalaman-pengalaman yang ia rasakan hidup dalam tiga zaman yaitu pada zaman Hindia Belanda, Jepang, dan zaman kemerdekaan. Karyakarya yang ditulis oleh Suparto Broto bisa dijadikan alat bantu untuk menjelaskan tentang fakta-fakta yang terdapat dalam novel dalam kaitannya dengan sejarah sejak zaman Hindia Belanda, Jepang, dan zaman kemerdekaan. Novel Gadis Tangsi karya Suparto Brata juga merupakan bagian dari trilogi novel Gadis Tangsi, Kerajaan Raminem, dan Mentari di Ufuk Timur. Dalam trilogi novel tersebut diceritakan tentang kehidupan tokoh Teyi seorang gadis tangsi anak pasangan seorang tentara berpangkat rendahan dan Raminem orang miskin desa dari Ngombol yang berlatar belakang pada zaman Hindia Belanda dan pendudukan Jepang. Raminem menginginkan hidup lebih baik sehingga harus bekerja keras. Ia menyuruh Teyi, anak perempuan pertamanya untuk menjajakan pisang keliling tangsi. Sepulang menjajakan pisang Teyi diberi tugas lagi untuk menagih orang-orang yang menggadaikan barang kepada Raminem. Pada perjalanan hidupnya, Teyi bertemu dengan Putri Parasi istri Kapten Sarjubehi. Oleh Putri Parasi Teyi
568
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
dididik untuk hidup berperilaku seperti bangsawan sehingga Teyi diberi pelajaran etiket kepriyayian, membaca, menulis , dan menyulam oleh Putri Parasi. Pada akhirnya Teyi menjadi istri seorang bangsawan yang bernama Raden Mas Kus Bandarkum. Suparto Brata, orang yang bekerja keras manakala mendapatkan wahyu orang tersebut bisa menjadi priyayi. Oleh Suparto Brata, yang dimaksud dengan orang kecil yang mendapatkan wahyu adalah orang kecil yang dinikahi oleh bangsawan. Oleh sebab itu, Teyi yang berasal keturunan orang kecil, karena mendapatkan Wahyu yaitu dinikahi oleh Raden Mas Kus Bandarkum maka Teyi itu menurut Suparto Brata merupakan seorang priyayi. Suparto Brata yang senang membaca dan menulis dengan riwayat kehidupan sebagai bangsawan miskin yang terlunta-lunta pada masa kecilnya karena ibunya yang ditinggal menikah oleh bapaknya itu harus bekerja ngenger ke tempat saudara-saudaranya untuk mempertahankan hidupnya. Ia yakin bahwa dengan membaca seseorang akan bisa mengubah nasib. Oleh karena itu, nasib Suparto Brata berubah ketika ibunya ngenger di rumah Bupati Sragen. Di rumah tersebut tersedia buku-buku bacaan, baik yang berbahasa Jawa maupun yang berbahasa Belanda. Dengan membaca buku-buku tersebut ditambah dengan dongengan ibunya secara lisan, Suparto Brata tumbuh menjadi pribadi yang gemar membaca dan menulis. Dengan keterampilan membaca dan menulis itulah Suparto Brata selain bertambah pengetahuannya juga mampu merepresentasikan segala pengalamannya melalui media tulis yang berbentuk cerita. Sebagai seorang bangsawan Suparto Brata agaknya juga setuju tentang pembatas antara priyayi dan orang kecil terutama pada zaman pemerintahan Hindia Belanda bahwa priyayi orang yang luhur , tetapi orang kecil hina. Priyayi beradab, orang kecil tidak beradab. Priyayi memiliki kehalusan bahasa dan sikap, orang kecil berperilaku dan berbahasa dengan kasar. Priyayi pandai, tetapi orang kecil bodoh. Priyayi berkuasa, tetapi orang kecil tidak berkuasa. Priyayi selalu mendapatkan fasilitas dari pemerintah, tetapi orang kecil untuk mendapatkan fasilitas harus bekerja keras. Stereotip semacam tersebut direpresentasikan oleh Suparto Brata ke dalam novel Gadis Tangsi. Penggambaran tokoh Putri Parasi dalam novel Gadis Tangsi sebagai putri yang sempurna merupakan representasi pengarang di dalam membela ideologi feodalisme. Pengarang memberikan stereotip feodalisme sebagai kesempurnaan hidup. Pengarang juga memuji Kerajaan Surakarta yang pada masa Pakubuwana X memiliki kekuasaan yang makin sempit, dan merupakan raja yang terpenjara di istananya sendiri merupakan kerajaan tertib di dalam keberadaban. Di dalam novel Gadis Tangsi juga tergambarkan betapa lebar jurang pemisah antara bangsawan dengan kawula atau orang kebanyakan di dalam pergaulan. Bangsawan bila berpapasan dengan orang kecil atau abdi dalem di dalam keraton, orang kecil tersebut dengan jarak yang masih jauh harus jongkok dan menyembah. Untuk mengubah nasib dan mendapatkan wahyu hanya dengan kebaikan hati para feodalis, orang-orang kecil dapat hidup mulia sebagaimana Teyi yang bisa mengalami perubahan nasib dari gadis proletar menjadi gadis intelektual yang feolidalistik. Hanya dengan pertolongan bangsawan,Teyi dapat menjadi seorang gadis intelektual yang mampu berbahasa Belanda dihormati oleh masyarakat. Feodalisme identik dengan kemegahan, penuh dengan simbol-simbol diungkapkan oleh pengarang dengan cara mengkontraskan kehidupan rakyat kecil yang serba kekurangan, sederhana, bodoh, jorok, dan kasar. Dalam menularkan pengetahuannya, Putri Parasi digambarkan sebagai bangsawan yang sabar pada saat menghadapi Teyi yang mula-mula lambat di dalam mempelajari membaca dan menulis. Kemudian, berkat kesabaran dan kemuliaan Putri Parasi, Teyi dapat menyerap semua pelajaran yang diberikan oleh Putri Parasi dengan baik. Termasuk ajaran feodalisme yang ditularkan kepada Teyi tentang cara laku dhodhok, menyembah, dan bertutur kata sesuai dengan aturan keraton yang tidak lazim digunakan oleh masyarakat umum di sekitarnya yang jauh dari kehidupan feodalisme. Dari berbagai uraian tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa Suparto Brata di dalam mencipta novel Gadis Tangsi mereperesentasikan tentang perempuan Jawa yang ideal adalah perempuan Jawa yang memiliki pengalaman
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
569
seperti Teyi, yaitu perempuan yang memiliki intelektual cukup, berjiwa humanis karena juga suka menolong orang dan suka pada kejujuran, menjaga nama baik orang tua dan gurunya, memiliki etiket kepriyayian, berpikir rasional, inovatif dan berani menghadapi berbagai resiko serta berjiwa mandiri dan mampu berdagang. Di mata pembaca, pengarang melalui novelnya menentang adat istiadat yang ada pada masa itu yang hanya mengajarkan kedisiplinan dan membeda-bedakan tingkat sosial, namun tidak memberi didikan moral yang baik. Pengarang membuka pemikiran pembaca dalam novel ini untuk lebih tebuka dalam kehidupan social (Data b. Hanindito HS XI A4 3 Juli 2013). Sebagian pembaca mengatakan bahwa perilaku Teyi merupakan perilaku yang kurang pantas karena perilaku hubungan seksual dengan Kus Bandarkum, seorang lelaki keponakan Putri Parasi yang bukan suaminya. Teyi memberontak pada realitas kehidupan masa kini untuk kehidupan masa depan dengan orang yang dicintainya dan meningggalkan suami sahnya .Cara seperti itulah yang seharusnya tidak dimiliki seorang perempuan, dia dengan mudahnya menikahi laki-laki yang tidak dia cintai dan meninggalkan (bercerai) setelah bertemu dengan laki-laki yang lebih baik. Komitmennya pada cinta sangat mudah tergoyah. Selanjutnya, Tokoh Putri Parasi dan Kapten Sarjubehi merupakan pasangan suami istri yang memiliki jasa yang banyak kepada Teyi. Pasangan suami-istri tersebut memiliki latar sosial yang tinggi . selain itu perilaku dan kepribadian yang dimiliki oleh Putri Parasi sangat baik dan terpuji karena meskipun Teyi adalah seorang gadis tangsi yang berderajat rendah, Putri Parasi tidak pernah merendahkan Teyi, Putri Parasi merupakan seorang priyayi yang santun sabar dalam mengajari etika kepada Teyi Putri Parasi adalah putra Pangeran Jayaningrat Keraton Surakarta. Putri Parasi berpikiran rasional kebarat-baratan dengan mempertahankan adat Jawa, Dengan berbagai cerita yang berhubungan dengan kisah Teyi hingga menjadi perempuan yang mampu membaca dan menulis tersebut dapatlah dikatakan bahwa novel Gadis Tangsi bisa memberikan gambaran tentang kehidupan masyarakat dalam masa penjajahan Belanda, dan untuk mengubah nasib seseorang harus berjuang keras demi mencapai keinginan untuk menjadi kaya dan memenangkan masa depan. Atas dasar realitas tersebut, novel Gadis Tangsi dapat diajarkan di sekolah. Novel Gadis Tangsi memberikan potret kehidupan masa lampau antara masyarakat yang modern dan tradisional. Selain itu, novel itu juga dapat memberikan pelajaran kepada seseorang agar selalu kuat untuk meraih cita-cita tanpa meninggalkan etika dan budaya Jawa. Berkaitan dengan pembelajaran novel tersebut, peneliti mendapatkan pernyataan Sujaratun (kepala sekolah dan guru bahasa Indonesia bahwa novel Gadis Tangsi dapat diajarkan di sekolah, tetapi siswa harus mengerti karena dalam novel ini menggunakan beberapa bahasa yang sangat luas, lugas, kromo inggil, dan Belanda. Siswa mampu memahami novel Gadis Tangsi dengan cara membaca 2 sampai 3 kali, untuk memahami tokoh, perilaku, dan amanat yang terkandung di dalamnya sehingga pembaca jadi mampu untuk menentukan pilihan yang terbaik untuk hidupnya. Novel Gadis Tangsi bisa diajarkan pada siswa-siswa SMA karena di dalamn novel tersebut ada pesan-pesan moral bila digali lebih dalam, dan bisa dikaitkan dengan kehidupan masa sekarang. Untuk meraih masa depan yang lebih baik tidak harus selalu patuh semua hal dari orang tua, tetapi mematuhi perkataan orang tua merupakan usaha mencapai masa depan. Bahkan, mentalitas kerja keras dan disiplin harus ditanamkan orang tua sejak lahir kepada sang anak. Novel tersebut mengajarkan bagaimana seharusnya berperilaku sebagai seorang priyayi yang baik seperti apa yang seharusnya seorang priyayi lakukan untuk kalangan di bawahnya, Priyayi atau orang berdarah biru merupakan suatu kelas sosial yang mengacu kepada golongan bangsawan. Priyayi merupakan suatu golongan tertinggi dalam masyarakat karena memiliki keturunan dari keluarga kerajaan. Seorang priyayi seharusnya memiliki sifat ramah, santun, berwibawa, dan mampu mengayomi masyarakat. Novel tersebut mengandung nilai sosial dan nilai kesopanan yang sangat kental. Karena itu, novel tersebut
570
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
cocok bila diajarkan di sekolah karena mampu mengungkapkan sikap-sikap positif, terutama dalam norma sosial di kehidupan sehari-hari. D. Simpulan Berdasarkan pembahasan masalah tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa biografi pengarang sebagai bangsawan genetik yang sangat mengenal dan memahami seluk beluk nilai-nilai kebangsawan berpengaruh pada novel yang diciptanya terutama ideologi feodalisme yang mendukung imperialisme yang dilakukan oleh para bangsawan pada zaman Hindia Belanda. Tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel Gadis Tangsi pada umumnya memiliki ideologi feodalisme, solidaritas sosial, humanisme, disiplin, mimikri, seks bebas (Kapten Sarjubehi). Ideologi yang dimiliki oleh Putri Parasi sama dengan ideologi yang dimiliki oleh Kapten Sarjubehi, tetapi Putri Parasi tidak menganut seks bebas. Bahkan, ia setia kepada suaminya. Tokoh Teyi memiliki ideologi Suka bekerja keras, humanisme, solidaritas sosial, suka belajar, westernisme,feminisme, kapitalisme, tulus, mimikri, seks bebas. Novel Gadis Tangsi memiliki fungsi sosial yang berupa deskripsi nilai-nilai positif dan negatif bagi pembelajawran bahassa dan sastra Indonesia.Pembaca sebagian besar berpendapat bahwa novel Gadis Tangsi relevan diajarkan di SMA dengan memilih bagian-bagian yang sesuai dengan moral kejiwaan siswa SMA. E. Daftar Pustaka Abrams, M.H. 1976. The Mirror and The Lamp: Romantic Theory and The Critical Tradition. London, Oxford, New York:Oxford University Press. Barker, Chris. 2009. Cultural Study, Teori dan Praktek. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Brotowijaya, Thomas Wiyasa. 1997. Mengungkap dan Mengenal Budaya Jawa. Jakarta: Pradnya Paramita. Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. --------- 2000. Priayi Abangan. .Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. Jatmiko, Adityo. 2005. Tafsir Serat Wedhatama. Yogyakarta: Pura Pustaka. Geertz, Clifford. 1960. The Religion of Java. Chicago and London: The University of Chicago Press. Goldmann, Lucien. 1975. Towards a Sociology of the Novel. Traslated from the French by Clan Sheridan. Tavistock Publications. Harsono, Andi. 2005. Tafsir Ajaran Serat Wulangreh. Yogyakarta: Pura Pustaka. Magnes Suseno, Frans. 2001. Etika Jawa, Sebuah Analisis Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Maryaeni. 2005. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: Bumi Aksara. Mueller-Vollmer, Kurt. 1990. Introduction, dalam The Hermeneutics Reader. Kurt MuellerVollmer (Editor). New York: Continuum Sarmidi, Gatot. 2009. “Representasi Pergeseran Moralitas dalam Karya Novelis Perempuan Indonesia”. Disertasi. Prgoram Pasca Sarjana Unversitas Negeri Malang 2009. Storey, John. 2003. Cultural Studies dan Kemajuan Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra. Suwardi. 2003. Budi Pekerti dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya. Thomson, John B. 2007. Kritik Ideologi Global (terjemahan Haqul Yakin. Yogyakarta: Ircisod.
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
571
RESPONS NOVEL ANAK ISLAMI TERHADAP DEGREDASI AKHLAK GENERASI MUDA Winda Dwi Hudhana Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret
[email protected] Abtract
Islamic children’s novel as response to the worsening of the morals of the young generations. The novel provides a solution to edify the young generation. This research aims at outhining the moral education on the children’s novel islamic morals decline phenomena associated with the younger generation. On the children’s novel there are islamic moral educations relating of God. That is obediant to God, hard work and give thank to God; and educations attitudes relate to others there are apologizing dan forgiving, caring fellow and helping, and prejudice either. Keywords: islamic children’s novel, character
A. Pendahuluan Era globalisasi memberikan dampak positif, yaitu kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan. Di samping itu, memberikan dampak negatif yang berkaitan dengan praktikpraktik buruk yang sebagian besar dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Terlebih, ironisnya tidak hanya masyarakat awam, praktik-praktik buruk juga sering dilakukan oleh kaum terdidik.Praktik-praktik buruk yang sering kali terlihatp, ada mereka yang terdidik adalah kekerasan, tidak amanah, tindak korupsi, daya juang rendah, rendah disiplin kerja, mudah puas, mementingkan diri sendiri, integritas kurang, melemahnya sikap bernegara, dan berbagai bentuk split personality lainnya yang sering membuat gundah lingkungan dimana mereka berada (Elfindri, dkk, 2012:5).Hal tersebut disebabkan oleh banyaknya persaingan namun tidak dilandasi dengan budi pekerti dan landasan agama yang kuat.Untuk itu diperlukan pendidikan karakter yang berlandaskan keagamaan sejak dini. Pendidikan karakter memiliki esensi yang sama dengan pendidikan akhlak. Menurut Hamid dan Saebani (2013:43) kata akhlaq berasal dari bahasa Arab yakni jama’ dari “khuluq” yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabuat, tata krama, sopan santun, adab dan tindakan.Pendidikan karakter merupakan ilmu mengenai tingkah laku manusia yang berorientasi pada budi pekerti dalam perbuatan yang konkret. Salah satu media pendidikan karakter yang efektif yaitu melalui novel. Novel memuat penggambaran peristiwa sehari-hari yang dapat dijadikan pedoman oleh pembaca. Sehingga di sekolah-sekolah novel digunakan sebagai media pembelajaran untuk mengembangkan diri dan pembentuk karakter budi pekerti luhur pada anak, karena novel merupakan bacaan yang beralur dan berkonflik serta menggambarkan kehidupan sehari-hari anak. Selaras dengan pemikiran Suryanto, Suhita dan Mujiyanto (2013:238) bahwa cerita anak yang disajikan dengan menarik berpotensi dapat mengembangkan kognisi dan daya apresiasi anak serta berkontribusi positif bagi perkembangan kepribadiannya. Saat ini banyak novel-novel anak Islami bemunculan yang mengandung nilai-nilai budi pekerti. Novel tersebut mendeskripsikan mengenai fenomena penurunan akhlak pada generasi muda. Lahirnya novel-novel tersebut merangsang anak untuk lebih meningkatkan akhlak mereka. Maka novel tersebut sangat cocok diajarkan dengan bahasa yang sastra yang santun dan mudah dipahami oleh anak-anak. Maka, berdasarkan latar belakang masalah tersebut, makalah ini membahas mengenai pendidikan akhlak yang terdapat dalam novel anak Islami. B. Metode Penelitian Metode yang digunakan adalah kualitatif-deskriptif yaitu mendeskripsikan pendidikanakhlak yang terdapat pada novel anak islami. Sumber data pada penelitian ini
572
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
yaitu novel anak Islami “Surat Cinta untuk Sakina” karya Irma Irawati dan Lovely Pink Shoes karya Chris Oetoyo, penerbit Bhuana Ilmu Populer. Data dalam penelitian ini yaitu kutipan yang terdapat pada novel anak islami yaitu Surat Cinta untuk Sakina karya Irma Irawati dan Lovely Pink Shoes karya Chris Oetoyo. Pengumpulan data dengan teknik cuplikan atau purposive sampling yaitu menampilkan cuplikan-cuplikan data dari novel anak Islami. C. Pembahasan 1. Pendidikan Akhlak terhadap Tuhan Pendidikan akhlak ini berorientasi secara langsung terhadap sang Kholik. Perilaku dan tutur kata seseorang dapat dilihat dari intensitas ibadah terhadap Allah. Seseorang yang dapat menjaga perilaku dan tutur kata maka ia tergolong orang yang beriman. Hal tersebut ditunjukkan oleh anak-anak pondok pada novel Surat Cinta Untuk Sakina (SCUS) dan tokoh Melati pada novel Lovely Pink Shoes berikut, a. Taat pada Tuhan 1) Saat suara azan Ashar terdengar, semua anak serentak berhenti bermain. Mereka segera bubar dan berlarian mengambil wudhu untuk shalat berjamaah di Masjid (SCUS, 36) 2) Ningsih tersenyum. “Kita shalat Dzuhur dulu yuk ke mushola!” ajak Melati kemudian (LPS, 60) Kedua kutipan tersebut menunjukkan adanya karakter taat terhadap perintah Allah dengan menjalankan hal-hal yang diperintahkan.Pada novel Surat Cinta Untuk Sakina, ketaatan kepada Tuhan ditunjukkan dengan ketepatan sholat sedangkan pada novel Lovely Pink Shoes mengajarkan mengenai ajakan untuk sholat berjamaah. Sholat menjadi suatu yang urgent sebab sholat memiliki banyak faedah dalam berbagai dimensi. Dimensi batiniah, sholat dapat memberikan kenyamanan hati, menjaga hati dari penyakit hati dan sikap tercela. Dimensi kesehatan, sholat mermiliki gerakan yang dapat memperlancar peredaran darah yang baik untuk kesehatan. Dimensi sosial, sholat berjamaah dapat membangun silaturahmi dan kerukunan sesama muslim. Sholat juga dapat melatih kedisiplinan dan fokus dalam menjalani aktivitas.Namun memandang fenomena yang terjadi, sholat tidak lagi menjadi hal yang utama, padahal sudah dijelaskan bahwa sholat merupakan ibadah yang paling utama. Generasi muda masih mengabaikan keutamaan sholat, kekhusyukan sholat dan sholat berjamaah. Mereka belum memahami manfaat dan keutamaan sholat secara terintegrasi. b. Kerja Keras 1) Lana menggeleng, “Aku nggak akan pulang, sebelum hafal 30 zuz ayat Al-Qur’an,” semangat tampak menyala di mata Lana. ...... “Kan aku sudah bilang, aku ingin hafal Al-Qur’an agar bisa memasangkan mahkota bertabur cahaya pada ayah dan ibuku di surga nanti,” tutur Lana lugu (SCUS, 9697) Paradigma Islam menganjurkan kepada umatnya untuk bekerja keras untuk mendapatkan pahala dari Allah serta dianjurkan berlomba-lomba dalam hal kebaikan untuk mendapatkan rahmat dan ridho dari Allah. Barang siapa yang mendapatkan rahmat dari Allah maka akandimudahkan segala jalan di dunia dan di akhirat. Sikap kerja keras ditunjukkan oleh tokoh Lana yang terus menghafalkan zuz 30 ayat Al-Qur’an agar orang tua yang telah meninggal mendapatkan penerangan di akhirat. Tokoh Lana yang kehilangan orang tua ketika ia kecil menjadikan ia terobsesi untuk memberikan yang terbaik untuk orang tuanya, karena ia tidak memiliki kesempatan di dunia untuk membahagiakan orang tua. Kerja keras yang harus ditanamkan pada anak tidak sebatas dalam hal ilmu agama, namun kerja keras dalam bekerja atau belajar agar tercapai semaksimal mungkin sehingga kita dapat memperoleh manfaatnya yaitu dapat mengembangkan potensi diri dalam meraih prestasi yang tinggi, membentuk sikap bertanggung jawab, mencapai hasil yang maksimal, tidak menjadi pemalas dan dapat bertahan dalam segala situasi.Namun, kebanyakan generasi
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
573
muda mengabaikan kerja keras dan menginginkan hal-hal secara instan. Mereka malas untuk belajar mengenai suatu hal.Maka, berakibat mudah putus asa, tidak mendapatkan hasil yang maksimal dan tidak puas dengan hasil kerja. c. Bersyukur Sikap khusnuzhon dan bersyukur memiliki keterkaitan pada kutipan berikut, 1) “Bagus!” puji Ibu sambil mengacungkan jempolnya. “Alhamdulillah, akhirnya kamu punya sepatu baru.” 2) “Iya, Bu. Akhirnya Allah mengabulkan doa-doa Ningsih,” sahut Ningsih senang (LPS, 16) Pada kutipan tersebut, sikap khusnuzon yang dilakukan tokoh Ningsih terhadap Tuhan bahwa Tuhan bukan tidak mengabulkan doa tokoh Ningsih, namun belum ada waktu yang tepat untuk mengabulkan doa Ningsih. Maka, dengan asumsi tersebut, tokoh Ningsih beroda dengan khusyuk dan continue sehingga Tuhan akhirnya mengabulkan doa tokoh Ningsih. Tokoh Ibu Ningsih kemudia mengucapkan syukur atas berkah yang didapatkan karena telah berprasangka baik.Gambaran pada novel tersebut bahwa sikap khusnuzon yang terus dipupukakan menghasilkan anugrah. Namun kebanyakan generasi muda yang kurang bersyukur, mereka tidak puas atas apa yang dicapai dan diberikan. Maka, banyak anak-anak yang mengalami keputusasaan dan mencoba mencari jalan yang negatif. 2. Pendidikan Akhlak terhadap Orang Lain Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa orang lain. Maka manusia selalu membutuhkan bantun orang lain. Untuk itu, dalam menjaga hubungan antara sesama dibutuhkan akhlak mulia. a. Meminta Maaf dan Memaafkan Manusia tidak dapat luput dari kehilafan karena manusia dianugrahi Allah nafsu.Ketika berbuat salah sangat dianjurkan untuk meminta maaf dan ketika ada seseorang yang meminta maaf juga dianjurkan untuk memaafkan.Pentingnya meminta maaf yaitu untuk menghindari pertikaian dan perselisihan, sehingga seseorang lebih lapang dalam menyikapi suatu masalah. Selain itu.Memaafkan juga memiliki faedah yaitu membebaskan rasa negatif seperti amarah, dendam dan rasa bersalah untuk kehidupan yang lebih bahagia dan tentram. “Maafkan atas sikapku yang kemarin, ya Vinka?”Sakina memulai berbaikan.Dia ingat nasihat Mama, untuk menjadi orang yang mudah meminta maaf atau memberi maaf. Benar aja, setelah mengucapkan kata maaf, Sakina merasakan hatinya semakin ringan. ……......... “Sama-sama, Sakina.Maafkan aku juga,” bisik Vinka sambil menrpuk punggung Sakina (SCUS, 39). Kutipan tersebut menunjukkan bahwa tokoh Sakina yang meminta maaf atas pertengkaran yang terjadi dan tokoh Vinka memaafkan.Sikap yang ditunjukkan oleh kedua tokoh tersebut wajib dicontoh untuk menghidarkan diri dari pertengkaran yang menceraiberaikan suatu ikatan persaudaraan.Fenomena yang ada yaitu banyak anak yang kurang dapat menerima permintaan maaf maupun memaafkan orang lain. Hal tersebut dapat menyulut rasa dendam dan berakibat pada pertikaian maupun perkelahian. b. Peduli Sesama Muslim dan sikap tolong menolong Kepedulian terhadap sesama yang terkena musibah merupakan perintah Allah mengingat manusia membutuhkan bantuan orang lain. Sikap peduli sesama dan sikap tolong menolong memiliki keterkaitan sebab seseorang yang peduli terhadap orang lain secara otomatis akan menolong orang tersebut.Sikap peduli dan tolong menolong melatih anak untuk saling berbagi sehingga memperkuat tali silaturhami dan persaudaraan anak.Selain itu dapat melatih anak menjadi anak yang dermawan dan murah hati.
574
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
1) “Inggit, bisa tolong aku untuk menjenguk seorang anak yang sakit?” pinta Umi Haya pada Mama. “Iya, kenapa-kenapa?Siapa yang sakit?” Mama terbawa panik saat melihat wajah Umi Haya yang tampak sedih. “Lana, dia anak yatim piatu. Melihat teman-teman sekamarnya yang sakit dan dijenguk keluarga, dia tak berhenti menangis,” Umi Haya menarik napas panjang (SCUS, 84) 2) Sebuah kecelakaan hebat sore itu terjadi di jalanan sepi. Cacha yang sedang mengayuh sepeda bersama Ria dan Armi, tiba-tiba terserempet mobil yang melaju dengan agak kencang. Sepeda Cacha terlempar dan Chaca jatuh pingsan dengan luka di hampir seluruh tubuhnya. Melati dan Ningsih yang saat itu melihat kejadian itu, segera berlari menolongnya. Tidak banyak orang yang mengetahui kejadian itu (LPS, 82) Sikap peduli sesama ditunjukkan oleh tokoh Umi Haya pada kutipan pertama yaitu ia merasa iba atas hal yang dialami oleh Tokoh Lana. Tokoh Lana sakit dan tidak ada satu keluargapun yang mengunjungi Lana, maka ia meminta Mama Sakina untuk menjenguknya. Tokoh Mama Sakina menolong Umi Haya dengan menenangkan hati tokoh Lana. Selain itu, pada kutipan kedua, sikap peduli dan tolong menolong ditunjukkan oleh tokoh Melati dan tokoh Ningsih yaitu dengan menolong tokoh Cacha yang terkena musibah kecelakaan. Di sini letak kemuliaan hati tokoh Ningsih karena ia mau menolong orang yang selalu menjahatinya dan berusaha mencelakainya. Ia tidak mendendam atas sikap tokoh Cacha yang tidak bersahabat kepadanya. Pada novel Surat Cinta untuk Sakina danLovely Pink Shoes, persahabatan menjadi tema pokok yang di dalamnya diajarkan sikap-sikap tolong menolong dan kepedulian terhadap sesama.Kedua novel tersebut menggambarkan bahwa persahabatan harus dipupuk dengan akhlak yang mulia agar tidak tercerai berai dan tidak terjadi pertikaian.Namun, realitasnya banyak anak yang mengabaikan itu, banyak dari generasi muda yang sudah kehilangan akhlak mulia sehingga persingan-persaingan yang terjadi menimbulkan banyak konflik dan pertikaian.maka banyak terjadi tawuran antarpelajar bahkan saling membunuh antarpelajar. c. Khusnuzhon Sikap khusnuzon yaitu sikap berprasangka baik, Sikap ini melatih sikap sabar dalam menghadapi cobaan sehingga orang tidak mudah putus asa dalam menjalani kehidupan.Selain itu, khusnuzhon merupakan upaya menghindarkan diri dari fitnah yang dapat menimbulkan pertikaian.Sikap khusnuzon melatih diri untuk menjalani hidup dengan perspektif positif dan jauh dari rasa putus asa. 1) “Allah bukannya tidak mengabulkan doa kamu, Ningsih. Tapi mungkin belum saatnya,” kata ayah suatu hari menasehati Ningsih, ketika Ningsih mulai putus asa karena doanya belum dikabulkan oleh Allah. Mulai saat itu, Ningsih tidak lagi protes. Dia percaya pada kata-kata Ayah bahwa Allah MahaAdil dan MahaBijaksana. Allah akan mendengar dia dari hambanya (LPS, 13) 2) “Pasti ini perbuatan si anak bandel itu,” geram Melati yakin. Siapa lagi kalau bukan Handoko. Dia kan anak yang paling iseng di kelas. Ada-ada saja perbuatannya. “Hus! Jangan suka menuduh orang sembarangan tanpa bukti,” kata Ningsih mengingatkan Melati (LPS, 8) Pada kutipan pertama, ditunjukkan mengenai sikap tokoh Ningsih yang positif dalam memandang bahwa sesuatu yang belum tercapai bukan semata-mata ditentukan oleh usaha namun doa juga memiliki peranan penting. Doa yang khusyuk dan continue merupakan factor yang mendukung doa dikabulkan. Sedangkan kutipan kedua mengajarkan mengenai khusnuzon terhadap sesama yaitu tokoh Ningsih yang tidak mendengarkan katakata sahabatnya yang menuduh orang lain mencelakai tokoh Ningsih. Namun iatidak ingin su’udzan kepada orang yang dimaksud.Khusnuzhon berkaitan erat dengan sikap berfikir positif. Berfikir positif memberikan peranan dalam pembentukan akhlak individu karena dapat menghilangkan stress dan menghadirkan sikap optimis, sehingga menjadi sehat dalam
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
575
pikiran dan jiwa seseorang. Selain itu menimbulkan sikap percaya diri dalam menghadapi sesuatu.Fenomena yang terjadi dikalangan generasi muda, sikap khusnuzon sudah minim. Hal tersebut dibuktikan bahwa banyak anak-anak yang cepat mendendam dan marah, karena ia tidak berpikir positif. Untuk itu, marak terjadi tawuran dan perkelahian antarpelajar. D. Simpulan Pendidikan akhlak pada novel anak Islami berangkat dari fenomena yang terjadi pada generasi muda yang semakin menipis akhlak baiknya. Novel anak Islami juga memberikan gambaran solusi mengenai fenomena tersebut.Sehingga novel anak Islami sangat strategis digunakan sebagai media pembelajaran di sekolah. Karakteristik anak yang mudah meniru apa yang dilihat, didengar dan dibaca. Oleh karena itu, novel anak Islami yang sarat akan akhlak-akhlak mulia yang wajib untuk diajarkan anak-anak. E. Daftar Pustaka Oetoyo, Chris. 2013. Lovely Pink Shoes. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer Elfindri, dkk. 2013. PendidikanKarakter: Kerangka, Metode dan Aplikasi untuk pendidik Profesional. Jakarta: Baduose Media Jakarta. Hamid, Hamdani dan Beni Ahmad Saebani.2013. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung: Pustaka Setia Irawati, Irma. 2013.Sekotak Cinta untuk Sakina. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer Suryanto, Edy, RaheniSuhitadanYantMujiyanto. 2013. Model Pendidikan Budi Pekerti Berbasis Cernak Melalui Penanaman Nilai-Nilai Etis-Spiritual Di SD. pp. 237-241. KundharuSaddono. Proceeding Seminar Internasional Pengembangan Peran Bahasa dan Sastra Indonesia untuk Mewujudkan Generasi Berkarakter. Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UNS. Surakarta.
576
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
AJARAN WANITA JAWA DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT Hartini Jurusan sastra Daerah FFSR UNS
[email protected] Abstract Text chronicle reflects the potential of women in accordance with their respective capabilities. One example is the Queen Kalinyamat. Although a woman but was able to overcome the major problems in the country, create jobs for their people, and make the port a major airport for the native and foreign merchants. It makes people prosperous and happy in life. It was a very proud parents and families do not realize the magnitude of gender equality has been entered. In addition Kalinyamat queen of the kingdom of Demak, there is another woman that Retno Pambayun of work Mataram. Retna Pambayun Panembahan daughter Senopati using smear manners of carrying out a task to conquer the enemy without using weapons and carrying troops can defeat the enemy, so that his father remained in power in Mataram. In addition, Purwagupita kingdom ruled by King Surya Amisesa had many demon warrior women.
A. Pendahuluan Pendidikan adalah upaya untuk pengembangan sumber daya manusia dalam arti luas; dan kebudayaan merupakan milik bangsa, sehingga pada hakikatnya pendidikan dan kebudayaan merupakan dua hal yang sangat berkaitan erat. Hal tersebut dapat dimengerti karena pendidikan berlangsung pada suatu iklim budaya tertentu. Di samping itu, pendidikan tidak bisa lepas dari kebudayaan yang menjadi tempat tumbuhnya identitas dan kepribadian bangsa. Sebaliknya, kebudayaan sebagai suatu konsep yang luas, yang mencakup sistem pranata nilai yang berlaku termasuk tradisinya yang mengisyaratkan makna pewarisan normanorma, kaidah-kaidah, adat istiadat dan kekayaan melalui pendidikan, yakni pendidikan yang menyadarkan kepentingan akan preservasi nilai budaya yang bersifat turun-temurun. Berangkat dari pemikiran tersebut, sesungguhnya secara spekulatif dapat dikatakan bahwa pengajaran sastra khususnya, dan pengajaran kesenian serta humaniora pada umumnya, merupakan suatu muara bertemunya masalah-masalah tertentu yang ada pada pendidikan dan kebudayaan. Hal tersebut dikarenakan pengajaran pada hakikatnya merupakan salah satu wujud nyata upaya pendidikan. Di sisi lain sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan. Oleh karena itu, peranan pengajaran sastra bagi pencapaian tujuan pendidikan secara umum mempunyai kekuatan yang dapat memberikan sumbangan dalam mengembangkan dan mendidik manusia Indonesia seutuhnya. Pendidikan tanpa orientasi budaya akan menjadi gersang jauh dari nilai luhur. Pada sisi lain kebudayaan tanpa pendukung yang sadar dan terdidik akan memudar, sehingga kerangka pendidikan tidak bisa dilepaskan dari pengelolaan kebudayaan. Dengan demikian, kerangka pendidikan maupun kebudayaan memiliki tugas yang berat, yaitu mengemban tugas berperan serta membangun kepribadian bangsa yang mantap, utuh, dan kokoh, seperti yang tercermin dalam teks Jawa. B. Pembahasan 1. Wanita Jawa di dalam Masyarakat Seperti telah dijelaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial, termasuk wanita Jawa. Wanita sebagai makhluk sosial memiliki keinginan untuk berinteraksi dengan lingkungan sosial. Adapun lingkungan sosial yaitu suatu lingkungan masyarakat yang di dalamnya terdapat interaksi antar individu masyarakat tertentu. Keberadaan lingkungan sosial berpengaruh terhadap individu dalam masyarakat (Walgito, 1990: 27). a. Ajaran Wanita Jawa untuk Berikhtiar Seperti yang tercermin dalam teks ajaran untuk wanita Jawa. Adapun ajaran-ajaran tersebut dapat disimak sebagai berikut. Sejak lama wanita Jawa sudah hidup bermasyarakat.
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
577
Di dunia ini manusia diwajibkan untuk berikhtiar, termasuk wanita Jawa. Berikhtiar untuk mengatasi hidupnya agar tidak salah langkah dalam pergaulan masyarakat, seperti tercermin dalam Sêrat Darma Wasita, Pupuh Dhandhanggula, bait 4 sebagai berikut. Bait 4 //Panggaotan gêlaring pambudi/ warna-warna sakaconggahira/ nut ing jaman kêlakoné/ rigên ping kalihipun/ dadi pamrih marang pakolih/ katri gêmi garapnya/ margané mrih cukup// papat nastiti papriksa/ iku dadi margane wêruh ing pasthi/ lima wruh étung ika//
‘Pertama, pekerjaan sebagai terwujudnya bermacam-macam sesuai dengan kemampuan untuk mengikuti jaman. Kedua, pandai memberi cara yang sesuai dengan keinginan orang banyak. Ketiga berhati-hati dan hemat terhadap nafkah yang dimilikinya sehingga dapat mencukupi segala kebutuhan. Keempat, berhati-hati dalam bertindak dan cermat di dalam memeriksa’
(Sêrat Darma Wasita, Pupuh Dhandhanggula, bait 4) Wanita Jawa menggambarkan seorang wanita bermasyarakat agar menjadi tahu banyak tentang kehidupan. Dalam kehidupan sehari-hari banyak hal-hal yang yang dijumpai seseorang, misalnya saja seseorang harus menghitung sejumlah barang atau uang, namun tidak bisa karena belum pernah belajar menghitung. Apabila seseorang ingin menambah pengetahuannya, maka harus rajin bertanya kepada orang lain. Dengan demikian, wanita Jawa tahu benar apa yang terbaik untuk bermasyarakat dan sangat menghargai kebersamaan. Wanita Jawa mengerti, bahwa dalam hutang piutang akan mengurangi nama baik dan mengganggu harga dirinya. Seperti tercermin dalam Sêrat Darma Wasita, Pupuh Dhandhanggula, bait 5 dan 6 sebagai berikut. Bait 5 //Watakadohmrih/ butuhsahari/ kapingnênêmtabêritêtanya/ ngundhahakênmarangkawruhé/ ping pitu nyegah kayun/ pêpénginan kang tanpa kardi/ tan boros marang arta/ sugih watêkipun/ ping wolu nênêm ing lega/ watêkira sarwa lega ingkang kinapti/ yènbisakangmangkana//
‘tidak memikirkan kebutuhan sehari-hari saja keenam, telaten bertanya untuk menambah pengetahuan ketujuh mencegah keinginan yang tidak penting tidak boros kebutuhan keluarga dan mempunyai watak kaya kedelapan, apabila mempunyai serba ikhlas sehingga cepat tercapai keinginannya andaikata tidak begitu′
Bait 6 //Angêdohkên durtaning kangati/ anyêdhakkên rahayuning badan/ dèn êndêl mring sesamané/ lan malih wêkasingsun/ aja tuman utang lan silih/ anyudakkên dêrajat/ cêmar wêkasipun/ kasoran prabawanira/ mring kang utang lawankang sira silihi/ nyatané angrêrêpa//
‘Menjauhkan pikiran buruk, mendekatkan selamatnya badan, dipercaya sesamanya dan pesanku jangan suka masalah hutang piutang, karena akan mengurangi harga diri. yang membuat hina diri dan ditambahkan kewibawaannya oleh orang yang memberi hutang karena kenyataannya memang meratap‘
(Sêrat Darma Wasita, Pupuh Dhandhanggula, bait 5 dan 6) Dalam kehidupan bermasyarakat, bagi Wanita Jawa sudah mendarah daging sejak nenek moyangnya. Mereka hidup saling bahu membahu, saling membantu, untuk mencapai kebahagiaan, ketenangan dan keselamatan bersama.
578
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
b. Ajaran Wanita dalam Kehidupan Sosial Peran Wanita Jawa dalam masyarakat sebagai proses langkah kehidupan sosial, dapat diambil contoh Ratu Kalinyamat putri dari Sultan Trenggana yang menikah dengan Pangeran Hadiri. Setelah Sultan Tranggana wafat, maka daerah kekuasaan Pangeran Hadiri bertambah luas, meliputi Kalinyamat, Jepara, Pati, Juwana, dan Rembang. Daerah kekuasaannya tersebut dekat dengan kota pelabuhan, oleh karena itu daerah kekuasaan Ratu Kalinyamat dan Pangeran Hadiri menjadi kerajaan yang kaya raya (Hayati, dkk, 2000: 57-58). Di sini terlihat bahwa kerajaan Kalinyamat sangat dikenal oleh masyarakat, dan Ratu Kalinyamat sendiri juga seorang Ratu yang bijak, ia membeli dan berhubungan dagang sampai mancanegara, kemudian dipasarkan di daerahnya sendiri, yang dekat dengan masyarakat luas di wilayahnya untuk mencapai kesejahteraan bersama. Ratu Kalinyamat sebagai seorang wanita istri seorang Raja, ia sangat berperan dalam kerajaannya, dan sangat dikenal masyarakat luas, karena selalu mengutamakan kesejahteraan rakyat. Sehingga pada waktu yang disanggupinya untuk membunuh Arya Penangsang, ia pulang ke Kalinyamat dari tempat bertapanya di Gunung Prawata, minta kesaksian Ki Ageng Pemanahan, seperti tersirat dalam Babad Dêmak Jilid II, Pupuh Asmaradana, bait 19 sebagai berikut. Bait 19 //Jêng Ratu ngandikèng yayi/ sira yayi Pêmanahan/ kang sun karya sêksi têmbé/ bab prakara saguhannya/ yayi prabu/ lan ingwang nuli kêlakonan iku”/ umatur Sang Pêmanahan//
‘ Kanjeng Ratu berkata kepada yayi: ”Yayi Pemanahan kamu ajab kujadikan saksi yayi Prabu ”akan saya laksanakan” Sang Pemanahan berkata’
(Babad Dêmak Jilid II, Pupuh Asmaradana, bait 19) Dari kutipan satu bait tersebut, menunjukkan kuatnya kebersamaan terhadap saudara dan teman. Bila Arya Penangsang dapat terbunuh, maka Ratu Kalinyamat dapat menciptakan ketenangan dan kedamaian serta keamanan kerajaan, karena ancaman dari Arya Penangsang, dan Ratu Kalinyamat dapat menghentikan perang saudara di kerajaan Dêmak. Tindakan Ratu Kalinyamat memberikan kepuasan, ketenangan, keamanan keluarga besar dan masyarakat, perjuanganya disertai panji-panji kerajaan yang dipindahkan ke Pajang, dengan demikian wahyu kerajaan sudah pindah ke Pajang yang melegitimasi Jaka Tingkir menjadi Sultan Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya. c. Ajaran Wanita Jawa untuk Berperan Ganda Sejak berabad-abad yang lalu, wanita Jawa sudah banyak yang berkiprah di masyarakat di mana ia tinggal. Seperti wanita-wanita di pura Mangkunegaran, baik istri ataupun abdi dalem mempunyai peran yang sangat kuat. Mereka diasuh oleh Pangeran Mangkunegara I atau Pangeran Sambernyawa, dengan harapan lepas dari himpitan budaya yang menyakitkan, karena pada waktu itu wanita dianggap berada pada posisi yang tidak menguntungkan, guna mengangkat derajat wanita di lingkungan Pura Mangkunegaran, Pangeran Mangkunegara I melatih keterampilan untuk para putri dengan kegiatan yang bermacam-macam. Pada pagi hari para putri menyelesaikan pekerjaan dalam rumah tangganya. Setelah itu mereka dilatih menjahit, menari, menyanyi, ‘nembang’, bertani, serta dilatih menjadi prajurit, memanggul senjata dan menunggang kuda. Pada waktu itu diketahui Pangeran Arya Mangkunegara I bahwa ada posisi inferior. Maka, Pangeran Mangkunegara I melakukan perombakan budaya yang berhubungan dengan pandangan dan perlakuan masyarakat pada waktu itu terhadap kaum wanita. Dalam hal ini pemikiran Pangeran Mangkunegara I terhadap wanita pada zamannya tertuang pada pemikirannya tentang eksistensi wanita. Visi yang
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
579
diperankan oleh wanita berbeda dengan tokoh-tokoh yang lain. Di samping itu, Pangeran Harya Mangkunegara I mengadakan perubahan terhadap eksistensi para wanita yang justru datangnya dari lingkungan kerajaan. Pangeran Mangkunegara I menganggap bahwa hal itu merupakan ketimpangan-ketimpangan sehingga ia mencoba mengubah tatanan sosial tentang keberadaan wanita Jawa yang sangat berpotensi. Semua itu tercermin dalam Babad Nitik Mangkunêgaran, Pupuh Mijil, bait 16, 18, 19, dan 20 sebagai berikut. Bait 16 //Pinêthuk monggang mariyêm swaranya gumuroh/ kalih rancak apan gamêlané/ ingkang sarancak niyaga èstri/ tatbéyan sami/ dyan tata alungguh// Bait 18 //Samya cingak indah kang ningali/ agawok malompong/ déné èstri lir kakung tingkahé/ kêbat acukat samya tarampil/ miwah niyaga èstri/ kacaryankangdulu//
muni/ ‘
Disambut bunyi monggang dan meriam suaranya bergemuruh gamelannya dua perangkat yang seperangkat penabuhnya putri saling mengabarkan dengan sikap duduknya yang rapi’
‘ Yang melihat merasa keheranan tercengang-cengang mengapa wanita tingkahnya seperti pria cepat, cekatan dan terampil dan penabuh wanita terkesima melihatnya’
Bait 19 //Miwah kapilih tanjak abaris/ ‘ yang terpilih berdiri berbaris kang mulat adongong/ melihat terkesima wong pasisir samya jomblong kabèh/ nékaorang pesisir pun tercengang néka Pangran Dipati/ Pangeran Adipati ada-ada saja susuguh tatami/ menjamutamu kathah warninipun// banyakmacamnya’
(Babad Nitik Mangkunêgaran, Pupuh Mijil, bait 16, 18, dan 19).
d. Ajaran Percaya Diri bagi Wanita Jawa Seperti telah diketahui, bahwa keluarga adalah suatu unit terkecil dalam kehidupan bermasyarakat. Pertumbuhan masyarakat, ditentukan dari pembentukan keluarga sehat dan sejahtera. Masyarakat yang sehat dapat memberi kontribusi dalam membangun bangsa dan negara, di sinilah wanita berperan dalam keluarganya (Hemas, 1992, 81-89). Peran wanita yang dibicarakan di sini adalah, peran wanita dalam keluarga inti. Keluarga inti yang hanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak, masing-masing anggota keluarga mempunyai kepribadian yang berbeda-beda. Ketidaksamaan tersebut ternyata tidak menimbulkan perseteruan, tetapi justru menjadikan suatu variasi dalam kehidupan yang sangat diharapkan. Kebahagiaan hidup keluarga tidak lepas dari perjuangan masing-masing anggota keluarga, semua tidak lepas dari ajaran nenek moyang dan kebiasaan dalam hidup serta keluarga yang menaunginya. Wanita Jawa mempunyai percaya diri yang tinggi yang dapat mengarahkan dirinya untuk menghasilkan sesuatu produksi atau pendapatan, sehingga dapat menghasilkan uang yang dapat menunjang kebutuhan ekonomi keluarga. Di sinilah tegaknya ekonomi keluarga, karena ikut sertanya wanita dalam mengurus ekonomi keluarganya. Seperti tersirat dalam Sêrat Sandi Wanita, Pupuh Asmaradana bait 3 dan 4 sebagai berikut.
580
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
Bait 3 //Karsanya Radyan Mas Panji/ muryani sêrat piwulang/ winulangkên mring garwané/ nênggih Sêrat Sandi Wanita/ wulanging pra wanodya/ nglêluri kang éyang buyut/ mrih antuk bêrkat supangat//
‘ Kehendak Raden Mas Panji memulai kitab ajaran yang diajarkan kepada istrinya yaitu Sêrat Sandi Wanita ajaran bagi para wanita melestarikan ajaran nenek moyangnya agar dapat berkah dan safaatnya’
Bait 4 //Anênggih Sang Kanjêng Gusti/ kandjêng Pangéran Dipatya/ Paku Alam ping kalihé/ dhawuh mring putra wayah/ kang samya miyos wanita/ ajinên srat wulang ingsun/ supayantuk jênênging dyah//
‘ Yaitu Kanjeng Gusti Kanjeng Pangeran Adipati Paku Alam ke II menganjurkan kepada anak cucu yang lahir sebagai wanita untuk menghargai kitab ajaran saya agar wanita mempunyai harga diri’
Dalam sebuah keluarga, wanita adalah segalanya, apabila dalam keluarga ada seorang istri yang rapuh dalam hal martabat wanitanya, akan hancurlah keluarganya. Selain menjaga dan menyelamatkan martabatnya, wanita juga mempunyai tugas mulia, yaitu membimbing anak-anaknya. Dalam hal ini kecermatan dan kesigapan seorang ibu dalam membimbing anak-anaknya teruji, karena di lain pihak ada wanita-wanita yang tidak memperdulikan pendidikan anak-anaknya. Jelas, bahwa wanita memiliki andil besar dan sangat berperan dalam keluarga. e. Ajaran Wanita Jawa dalam Berperan Ganda Dalam keluarga, wanita sebagai anggota keluarga sangat berperan dalam keluarganya. Seorang wanita sebagai ibu rumah tangga, ia salah satu anggota keluarga yang paling banyak mempunyai kewajiban mengurusi keluarga, yang terkadang mencari uang untuk mencukupi kebutuhan keluarga, atau menambah pendapatan keluarga guna memperbaiki ataupun menegakkan ekonomi keluarga, dan dapat menambah kesejahteraan keluarga (Partini, 1990: 60), seperti Ratu Kalinyamat, putri Sultan Demak yang sangat energik dalam mengurus keluarganya. Ketika Sunan Prawata meninggal, semua anaknya dibawa pulang ke Kalinyamat, seperti tercermin dalam Pupuh Dhandhanggula, bait 12 sebagai berikut. Bait 12 //Pan cinandhakpangusthininglalis/ nênggya tilar putra/ among tiga/ kêkalihi jaki putrané/ satunggul putrinipun/ maksih samya timur mlas asih/ Jêng Ratu Kalinyamat/ mangké karsanipun têtilaré arènira/ putra katri binakta mring ibu sami/ dhatêng ing Lèpènyamat //
‘ Langsung memegang yang meninggal walau hanya meninggalkan tiga orang putra dua orang putra laki-laki putrinya satu semuanya masih anak-anak dan mengharukan Kanjeng Ratu Kalinyamat ia berkehendak atas peninggalan adiknya ketiga putra dibawa oleh ibunya ke Kalinyamat’
(BabadDêmakJilid II, PupuhDhandhanggula, bait 12) Dari penjelasan dan kutipan tersebut membuktikan bahwa Ratu Kalinyamat sebagai istri yang belum dikarunia anak’, tetapi ia sangat baik hati dan mampu mengasuh keponakankeponakannya, bahkan adiknya sendiri hingga menjadi orang-orang yang terhormat dan berguna bagi rakyatnya tercermin dalam teks sebagai berikut.
“Pangeran Timur yang menjadi adipati Madiun disebut Panembahan Madiun. Ia seorang tokoh yang pemberani dan tidak mau tunduk kepada Mataram yang saat itu diperintah oleh Senopati. Akhirnya panembahan Madiun dapat dikalahkan oleh Senopati. Putrinya, yaitu Retna Dumilah
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI
581
diangkat sebagai permaisuri Senopati. Kemenangan ini sangat penting bagi Senopati, karena telah berhasil mensejajarkan diri dengan Dinasti Demak (Sartana Kartadirdjo, 1987: 129 dalam Hayati).
Ratu Kalinyamat juga mengasuh Pangeran Arya, putera Maulana Hasanuddin Raja Banten. Ratu Kalinyamat yang dianggap mampu mendidik keponakan-keponakannya, juga bertanggung jawab atas hasil bimbingannya, keponakannya mampu menjadi orang besar, seperti Pangeran Arya dapat menggantikan bibinya menjadi raja di Jepara (H.J. De Graaf, 1986: 129, dalam Hayati dkk, 2000: 46). C. Penutup 1. Ajaran Wanita Jawa untuk Berikhitiar Di dunia ini manusia diwajibkan untuk berikhtiar dalam mengatasi kehidupannya agar tidak salah langkah dalam pergaulan masyarakat. Hal tersebut merupakan nilai leblih wanita Jawa yang berusaha mengatasi hidupnya. 2. Ajaran Wanita Jawa dalam Berperan Ganda Ajaran ini mengemukakan bahwa wanita sebagai anggota keluarga sangat berperan dalam keluarganya. Seorang wanita sebagai ibu rumah tangga mempunyai kewajiban mengurusi keluarga, yang terkadang mencari uang untuk kebutuhan keluarga. Dari sini dapat dilihat betapa besar perjuangan wanita yang tercermin dalam Babad Demak II, pupuh Dhandanggula bait 12. 3. Ajaran Ketekunan Wanita dalam Mengatasi Pekerjaan Dalam upaya mengatasi permasalahan ekonomi keluarga maka para wanita Jawa bekerja untuk mendapatkan tambahan penghasilan, pekerjaan yang dapat dikerjakan sesuai dengan kebiasaannya. Misalnya dalam teks mencerminkan kemampuan wanita dalam membatik, menenun, bertani, dan sebagainya. 4. Perjuangan wanita untuk tanah airnya. Perjuangan ini dikerjakan oleh ratu Pambayun mengalahkan musuh ayahnya yaitu Ki Ageng Mangir. Ratu Pambayun melakukan dengan berat hati, tetapi akhirnya ikhlas demi tanah airnya, yaitu nusa bangsanya. 5. Perjungan wanita demi keluarga dan masyarakat dan kerajaannya. Perjuangan ini dilakukan oleh Ratu Kalinyamat, walaupun harus melepaskan tahta kerajaan mendiang ayahnya, ia berjuang untuk mengatasi kerajaan besar Demak. Ratu Kalinyamat pun berjuang membalas kematian suami dan saudara kandungnya. Salah satu perjuangan yang perlu ditiru adalah mengatasi kehidupan keluarga besarnya, mengurus adik dan keponakan. Selanjutnya megatasi politik, ekonomi dan kehidupan masyarakat. Di kerajaan suaminya yaitu di Jepara ia melanjutkan pemerintahan suami dengan tegar yang membuat masyarakatnya hidup makmur dan sejahtera. 6. Berjuang mengangkat martabat wanita Pura Mangkunegaran Perjuangan ini dipimpin oleh Raden Mas Said. Wanita di Pura Mangkunegaran diajarinya bertani, menjahit, memasak, berdagang, menari, menabuh gamelan, menjadi prajurit, menaiki kuda, berperang, dan sebagainya. Semua itu dilkukan setelah wanita mengurusi keluarganya. D. Daftar Pustaka Hayati, Chusnul. 2000. Peranan Ratu Kalinyamat di Jepara Abad XVI. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Partini. 1999. “Peluang Pegawai Wanita untuk Menduduki Jabatan Struktural Suatu Studi pada Pegawai Negeri Sipil, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta”. Disertasi. Universitas Gadjah Mada. Walgito, Bimo. 1989. PengantarPsikologiUmum. Yogyakarta: Andi Offset.
582
Musyawarah & Seminar Nasional III AJPBSI