ADA CINTA
oleh Pasya Firmansyah
Thank To
Sujud syukur penulis atas semua limpahan berkah yang tercurah dari Allah SWT. Serta pemimpin sejuta umat manusia, Muhamad SAW. Sumber inspirasi wanita terhebat, Ibunda tercinta. Bersama dengan pangeran yang setia hingga akhir hayat, Papa terkasih. Ucapan terimakasih juga dihaturkan untuk keluarga besar. Nadia Tiffany dan Luqman Kautsar, Heining Sisca dan Robby, Adilla Armando. Serta seluruh orang yang percaya akan adanya mimpi yang terwujud. Tak lupa penulis juga mengucapkan terimakasih untuk setiap permasalahan yang telah diberikan oleh Allah Yang Esa. Tanpa masalah, mustahil tulisan ini akan terwujud. Semoga adanya buku ini, dapat memberi inspirasi bagi khalayak ramai. Wassalamu’alaikum, Pasya. F
ii
Persembahan khusus untuk puteri mungilku nan cantik jelita Zhafirah. R. R
iii
PROLOG
Jemari yang lentik menggapai hangatnya sinar bulan. Arman pandangi dirinya beberapa saat lamanya. Ia pun balas memandang dengan sejuta kasih abadi. Tak pernah lelah mata Arman terusmenerus menatap sosok gadis mungil nan cantik jelita. Gadis mungil Arman yang bernama Raisah. Gadis yang memiliki bola mata berwarna cokelat, rambut hitam lebat tergerai, kelak akan memikat setiap mata lelaki yang memandangnya. Pipi bak bakpao, merah merona, akan menyihir para pujangga hingga terbuai karenanya. Tak satu orang pun yang tidak terpikat akan hadirnya. Raisah akan selalu diperebutkan banyak lelaki. Tapi Arman tidak pernah mau mengalah untuk terus mendapatkan tempat yang istimewa dihatinya. Bertubi-tubi pelukan erat, Arman sarangkan kebadannya yang mungil. Seuntai kata terlontar dari sepasang bibir yang lembut laksana madu. iv
“Apa?” ucapnya dengan nada suara terbatabata. Secepatnya perkataan itu Arman jawab dengan penuh cinta kasih. “Bulan!”
sahut
Arman
berbisik
hangat
ditelinga.
Dibalik semua masalah rumah tangga yang tengah membelit ini, sudah jelas satu-satunya korban adalah Raisah. Tidak terbuka lagi jendela yang menghantarkan sinar harapan Raisah. Rumah impian Raisah
perlahan
akan
menjelma
menjadi
fatamorgana. Rumah impian yang banyak diimpikan oleh setiap anak yang terlahir dari dinding rahim sang Ibu.
v
Bukan materi yang menjadi tiket masuk surga Illahi.. Bukan persamaan yang dapat menyatukan hatiku denganmu.. Bukan pula ketundukan yang membuat kau dapat mengerti akan hadirku.. Hanya keikhlasan dalam perbedaan yang menjadikan cinta kita abadi...
vi
BAGIAN 1
Ragunan. pengunjung.
Tempat ini penuh sesak oleh para
Terik
mentari
pun,
tak
mampu
menyurutkan minat setiap orang untuk masuk ke dalam area kebun binatang. Di kanan-kiri bahu jalan, nampak para penjaja beraneka macam jajanan. Mulai dari makanan berat-ringan, pernak-pernik souvenir, bermacam busana pria dan wanita, sampai dengan perkakas bangunan. Klakson pengemudi kendaraan juga nyaring terdengar di ruas jalan. Hanya sedikit celah bagi pejalan kaki dapat mengayunkan langkah kakinya. Udara panas bercampur debu dan asap knalpot kendaraan menjadi kewajiban setiap orang untuk menghirupnya.
Di sudut menuju pintu masuk utama, ada seorang pemuda dengan pakaian casual yang dikenakannya. Pemuda itu tidak lain ialah Arman. 1
Umurnya memasuki usia 25 tahun. Ia tengah duduk bersama ketiga orang temannya yang bernama Jay, Tama dan Wahid. Mereka menanti informasi yang dapat memberinya akses masuk gratis ke dalam area kebun binatang. Arman lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang penuh dengan hidup kesederhanaan. Tidak ada gelar bangsawan maupun darah ningrat yang mampir kedalam diri Arman. Banyak orang bilang, wajah Arman serupa dengan wajah selebriti, Feri Irawan. Tapi ia tak terlalu perduli pendapat banyak orang. Arman merupakan tipe seorang yang selalu berambisi dalam meraih kesuksesan masa depan. Ambisi itu ditularkan oleh Papa. Ia yang selalu menjadi motor utama penggerak Arman, menggapai semua harapan dan impiannya.
Papa Arman merupakan seorang pegawai pensiunan dari sebuah perusahaan swasta. Sementara mama Arman, sepenuhnya menghabiskan waktu dirumah. Memberi pengabdian penuh sebagai Ibu rumah
tangga
yang
baik
bagi
anak-anaknya. 2
Meskipun Papa Arman hanya seorang pensiunan, tapi pengalaman hidup telah banyak dirasakannya. Asammanis roda kehidupan telah dilaluinya. Waktu mudanya dihabiskan bekerja sebagai seorang pelaut. Salah
satu
kebanggaan
terbesar
yang
pernah
diraihnya, dan selalu menjadi buah bibir yang tak habis untuk diceritakan seumur hidupnya ialah, ketika ia berani mengambil keputusan untuk tinggal dalam waktu beberapa tahun lamanya di negeri Paman Sam. Sungguh keputusan yang semua orang akan berkata nekad. Atau sebagian orang lainnya akan menganggap itu perbuatan bodoh. Oleh karena saat itu statusnya disana sebagai seorang imgran gelap. Tanpa modal yang cukup, tanpa ada sanak keluarga dan tanpa identitas. Papa hanya bermodal keberanian serta doa yang senantiasa tercurah dari kakek-nenek tercintanya. Tanpa adanya kenekatan juga kebodohan yang dilakukan, sudah pasti Arman tidak akan dapat melihat betapa indahnya dunia.
3
Menurut Arman, Papa adalah seorang lelaki sejati. Ia tak seperti kebanyakan orang tua lain. Papa tak pernah memaksa Arman untuk menekuni profesi, sesuai dengan bidang yang dikehendakinya. Ia hanya ingin anaknya menjadi lebih baik daripada dirinya sendiri. Dalam bidang apapun, dalam pengalaman dimana pun, dan dalam segi kepintaraan apa saja. Sisi lain yang paling membanggakan Arman, di usia senja papa dan mama masih tetap saling mencintai. Tidak ada perpisahan, apalagi sampai terjadinya perceraian. Kedua orang tua Arman sering memberikan nasehat, bahwa
sebesar
apapun
pertengkaran
didalam
menjalankan bahtera rumah tangga pernikahan harus tetap diselamatkan. Menikahlah untuk satu kali seumur hidup.
Prinsip demokrasi yang tertanam itu, menjadi modal kuat Arman dalam usaha meraih cita-citanya dibidang kesenian.
Sejak
keluar
dari sekolah
menengah umum, ia memilih untuk melanjutkan kuliah di Institusi Seni. Karena menekuni bidang 4
seni, Arman akrab dengan beragam pernak-pernik kesenian, dan Arman terlihat bersemangat dalam setiap pekerjaan seni yang ditekuninya. Walaupun semua orang tahu pekerjaan dibidang seni sangat dekat dengan kemiskinan. Setiap orang selalu beranggapan bahwa bekerja dibidang kesenian tak akan menjamin masa depan yang lebih baik. Mereka selalu mencibir Arman agar lebih baik cari kerja tetap, dapatkan uang banyak, dapatkan jabatan, menikah, pindah ke rumah mewah, menikmati pesangon dan setelah itu mati dengan damai. Bahkan beberapa orang ada yang berpendapat, “Kalau mau cepat kaya.. Ya harus korupsi. Toh, korupsi itu kan ngga mempersekutukan Allah. Pada saat kita nantinya sudah kaya, baru deh taubatan nasuha.”
Arman tidak memusingkan cibiran yang dilontarkan setiap orang. Arman tetap percaya, jika proses kerja benar akan menuai hasil sukses yang nyata. Seluruh asa serta kerja keras Arman tercurah didunia kesenian, khususnya dalam bidang seni 5
pertunjukan. Dari bidang itu juga Arman dapat bertemu dengan ketiga orang temannya. Bersama mereka, Arman bekerja lepas sebagai seorang pantomime1 disebuah acara yang dibuat oleh salah satu lembaga swadaya masyarakat.
Satu jam telah terlewati dan masih juga belum ada kabar yang mempersilahkan kami semua untuk masuk kedalam. Kebosanan mulai menggelayut dipikiran masing-masing. Tama disibukan oleh aktifitasnya berlatih peran pantomime bersama dengan Arman. Keduanya terlihat sedang berlatih moon walk ala Michael Jackson, pantomime ala Charlie
Chaplin,
pantomime
patah-patah,
dan
beragam latihan imajinasi bebas lainnya. Jay terlihat sibuk menggodai wanita yang berjalan menuju ke kasir tiket. Beberapa saat berselang, penantian berahkir dengan adanya getar handphone di saku celana jeans Jay. Sebaris pesan singkat yang menjelaskan tempat berlangsungnya acara itu. Jay menatap jeli ke layar 6
handphone miliknya. Takut-takut kalau proyek ini akan gagal. Akibatnya, sudah pasti Jay akan menjadi sasaran empuk untuk dipersalahkan teman-temannya. “Acaranya ada rumah panggung pas dipinggir jalan. Masuk kedalam aja! Dari pintu masuk, langsung lurus aja. Nanti juga bisa keliatan spanduk besar disana. Waktu mau masuk, bilang aja buat pengisi acara, “Perjuangkan”. Setelah itu langsung jalan terus. Inget, jangan kemana-mana lagi!” Jay lantas memberi kode pada semua, melalui anggukan di kepalanya.
Kurang dari lima menit, kami sudah berhasil masuk kedalam area kebun binatang. Pemandangan didalam tidak ubahnya sebagaimana pemandangan diluar. Ada beberapa cabang jalan yang akan mengantarkan para pengunjung melihat beraneka ragam kandang satwa liar. Keterbatasan waktu, tak memungkinkan untuk sekedar melihat-lihat seisi kebun binatang. 7
Kami mempercepat langkah untuk sampai ke tempat acara. Semakin menjurus kedalam, makin terlihat pemandangan sejauh mata memandang. Tanpa batas yang menghalangi penglihatan. Dikanankiri jalan, banyak terdapat pepohonan yang sudah berumur tua. Akar-akar kokohnya terjulur kuat sampai menembus beton jalan. Daun serta rantingnya yang mengembang dapat berfungsi sebagai payung penyejuk dari sengatan panas mentari.
Dari kejauhan, pandangan Arman samarsamar mulai menangkap adanya spanduk panjang yang tergantung diantara dua buah pohon besar. Sebuah rumah panggung yang berada disisi kanan jalan, kini tertangkap sudah oleh sepasang mata Arman. Beberapa bagian arsitekturnya terbuat dari kayu. Udara dapat leluasa masuk dan keluar mengisi rumah panggung. Rumah itu didesain tanpa adanya bagian
tembok
kiri
dan
kanan
yang
dapat
memisahkan luar ruangan dan isi dalam rumah. 8
Ruangan didalamnya nampak lengang, tanpa adanya sekat pembatas yang membatasinya. Orang-orang yang terlibat sebagai panitia maupun pengisi acara menghias seisi rumah panggung tersebut. Ada yang terlihat sibuk dengan semua perlengkapan acara dan ada yang sekedar bersenda gurau satu dengan lainnya. Garis besar yang diinginkan pada acara itu, mengangkat tentang berbagai permasalahan yang tengah dihadapi bangsa Indonesia. Kemiskinan, pendidikan, kelestarian hutan, serta bencana alam yang banyak terjadi disetiap daerah.
Persis
di
depannya,
kerumunan
orang
berpakaian t-shirt putih dengan sablon bertuliskan “Perjuangkan.”, tampak tengah membagikan kertas selebaran kesetiap para pengunjung. Setiap orang berbaju putih itu mengambil spot masing-masing disekitar rumah panggung. Diantara kerumunan orang-orang berbaju putih, Arman terpana oleh sosok gadis muda cantik jelita yang sungguh terlihat berbeda diantara wanita lainnya. Ia cantik, periang, 9
dan selalu menebarkan senyum manisnya kesemua pengunjung yang mengampirinya. Pesona yang melekat di wajah perpaduan timur tengah itu, membuat setiap mata para lelaki bergidik kala bertatapan dengannya. Rambut hitam lebat yang bergelombang, menambah daya pikat wanita cantik itu. Pandangan Arman tak pernah berpaling jauh darinya. Arman perhatikan setiap detil gerakgeriknya. Sempat beberapa kali, ia dan gadis cantik itu beradu pandang.
Bukan hanya Arman yang sedari tadi terus mengamati gadis cantik itu. Jay dan Wahid ternyata juga melakukan hal yang sama. Sejak lama, keduanya terus-menerus memandangi gadis cantik itu. Tapi tidak demikian halnya dengan Tama, ia terlalu asik dengan alam pikirannya. Semua itu dikarenakan, Tama memiliki sifat yang sangat cuek terhadap setiap wanita. Andaikata ia bersama seribu orang wanita cantik, hatinya tetap saja akan selalu beku ketika berada didekat para wanita cantik tersebut. Arman, 10
Jay dan Wahid sering kali mendoakan Tama. Semoga saja tetap menjadi lelaki tulen pada umumnya.
Tak menyadari kalau perhatian Arman, Jay dan Wahid hanya tertuju pada sosok gadis cantik itu, Beni yang bertanggung jawab sebagai koordinator acara lekas menyergap kami dengan sapaan yang membuat jantung serasa mau copot. Pemuda berperut buncit itu diam-diam
memperhatikan sorot tajam
pandangan mata Arman, Jay dan Wahid. “Lagi pada ngeliatin apaan sih.. Pasti deh..“ sapa canda Beni ke semua. Arman dan Jay hanya cengar-cengir menanggapi pertanyaan dari Beni. Sedangkan Wahid berusaha untuk mengelak dari pertanyaan itu. “Tidak lihat apa-apa kok.” sahut Wahid dengan nada bicaranya yang terdengar sedikit gagap terbata-bata. 11
Kini tiba
waktunya
bagi para
pemain
pantomime untuk lekas berganti kostum. Beni langsung menunjukan dimana tempat dapat berganti kostum masing-masing. Jay, Arman, Tama dan Wahid bergegas mendatangi tempat yang dimaksud. Tempat yang dimaksud itu tak lain adalah toilet lakilaki. Dari jarak sepuluh meter saja, aroma bau pesing sudah terasa menyengat hidung. Ukuran tempat tersebut memang tidak besar, kapasitas maksimal harusnya hanya muat untuk dua orang. Berhubung keadaan darurat, mau tidak mau ditempat itu juga Jay, Arman, Tama dan Wahid harus segera merubah kostum yang dikenakannya. Berubah untuk menjadi seorang peran pantomime yang akan dimainkannya. Sesampainya disana, Jay masih terus membahas tentang sosok gadis cantik tersebut. “Cantik banget yah itu cewek.. Seandainya saja bisa jadi pacarnya.. Tidak akan dibiarkan keluar
rumah.”
melekatkan
pidih
kelakar
Jay
disekujur
sembari mukanya. 12
Semuanya
langsung
terdiam
menyanjung-nyanjung wanita
kala itu.
Jay
Wahid
seketika bereaksi atas perkataan Jay. “Sudahlah Jay. Kita fokus saja dulu sama kerjaan kita.” jawab Wahid dalam nada bicara yang terdengar ketus. “Kan kita jarang-jarang bisa ngelihat wajah secantik itu, Hid. Jadi maklum saja deh.” tandas Jay dengan lugunya. Wahid berusaha untuk mengalihkan perhatian Jay. Ia lantas mengambil pidih yang sedang dipakai oleh Jay. Tama yang sedari tadi hanya diam mendengar, tiba-tiba menyelak pembicaraan yang terjalin diantara keduanya. “Jay.. Setelah dicari kemana-mana.. Ternyata celana SD, tidak bisa ditemukan, Jay? Ada sih ada tapi ukurannya ngga muat buat, Jay. Masa iya harus pulang ke Surabaya dulu.. Cuma 13
buat ngambil celana SD!” selak Tama dalam logat Jawanya yang masih kental terdengar. “Terus pakai celana apaan sekarang?” jawab Jay lewat pertanyaannya yang tegas. “Sekarang pakai celana pendek yang sudah dimodifikasi. Alias dicat merah.” seru Tama dengan bangganya, seraya menggaruk-garuk tangannya dikepalanya. “Ya mau bagaimana lagi! Tidak terlalu kelihatan mencolok banget perbedaannya, kok!” ucap Jay menenangkan Tama. “Itu juga sudah cocok untuk konsep tema yang diusung. Lagian juga cuma dipakai untuk setengah jam saja kan?” papar Arman guna meredam gundah dihati Tama.
14
Selain dituntut dapat memainkan peranannya dengan baik, pemain pantomime juga harus memiliki kemahiran merias diri. Di event ini tidak tersedia juru rias bagi para pemain pantomime. Sehingga semua pemain memakai make-up masing-masing. Banyak cara
agar
pantomime.
dapat
membuat
Umumnya
warna
make-up
karakter
make-up
yang
dikenakan pemain pantomime ialah hitam, putih dan merah. Putih dipakai sebagai warna dasar yang menutup seluruh area muka. Hitam digunakan untuk memberi kesan dari karakter yang akan dimainkan. Sedangkan warna merah dipakai guna memperkuat kesan karakter. Peralatan yang sering digunakan biasanya ialah bedak, pinsil alis, pidih2 dan lipstik.
Pemain pantomime sudah memiliki konsep peran masing-masing. Semua diatur sebagaimana yang telah disepakati bersama, ketika teknikal rehearsel berlangsung. Jay mengambil peranan sebagai seorang pesakitan. Tama mengambil peran yang mencirikan sebagai seorang anak sekolah dasar 15
yang putus pendidikan. Peran yang disesuaikan dengan postur tubuh yang dimilikinya. Arman memainkan
peran
simbolis
dari
kelestarian
lingkungan. Arman memakai kaos oblong berwarna hijau, celana pendek hijau, disertai dengan pidih hijau yang
membaur
disekujur
tubuhnya.
Mewakili
pepohonan yang sering kali ditebang. Sedangkan Wahid mengambil peran sebagai seorang petugas kelestarian alam. Badannya memang sedikit berotot, sehingga memungkinkan baginya untuk memainkan peran tersebut.
Tak sampai sepuluh menit, semua pemain sudah siap dengan make-up serta kostum peran yang harus dimainkannya. Beni memanggil Jay yang sejak awal bertanggung jawab sebagai kordinator. Setelah kepergian Beni, Jay lantas memberi intruksi ke semua. Ia begitu antusias dalam menyampaikan pesan yang diminta oleh Beni.
16
“Pada saat MC membuka acara, semua langsung menyebar kesetiap sisi. Harus dikasih jarak. Ya, minimal dikasih jarak sekitar dua atau tiga meteran.. Pokoknya kita harus bikin heboh semua orang!” tukas Jay penuh semangat
dalam
bicara
setengah
berbisik. “Setelah menyebar, kita bermain seperti terahkir kali waktu latihan kemarin atau kita mainkan pantomime bebas saja, Jay?”Arman menimpali perkataan Jay dengan pertanyaan. “Kita main pakai imajinasi bebas. Bergerak melalui rasa tanpa ada hambatan batin dan terus
mengalir.
Pokoknya
yang
paling
penting, kita harus bikin acara ini sukses!” ujar Jay dalam gaya bicaranya yang selalu ceplas-ceplos.
17
Nyala spiker aktif itu agaknya memekakan telinga. Ditambah lagi ketika mendengar suara MC yang berseru kesetiap pengunjung untuk datang mendekat. Tak disangsikan lagi, semua perhatian langsung tertuju kearah sumber suara. Selang sesaat kemudian, Arman, Jay, Tama dan Wahid mulai beraksi dengan karakter yang dimainkannya. Jay dan Wahid mengambil ke arah posisi disebelah kanan. Sementara Arman dan Tama berada disebelah kiri. Anak-anak, muda-mudi serta orang tua, begitu terpukau akan adanya pertunjukan pantomime. Riuh tepuk tangan anak-anak menyulut api semangat para pemain pantomime makin membara.
Perlahan
tapi
pasti,
pengunjung
mulai
memadati area pertunjukan pantomime. Diantara mereka, ada yang berusaha untuk mengusili pemain, dan ada juga sikap pengunjung yang tiba-tiba melemparkan koin receh ke seorang pemain. Jay melihat adanya peluang emas. Ia lantas menggulung kain sarungnya, guna dijadikan wadah menaruh 18
setiap uang yang diedarkannya. Dengan sigapnya Wahid membantu Jay mengedarkan wadah itu ke para pengunjung.
Ditempat lain, Tama tengah bergumul dengan seorang
bocah
pengagumnya.
Bocah
itu
menganggapnya bagai tokoh superhero pujaan hati. Sementara Arman masih tetap menghayati peranan sebagai pohon. Ia sangat terkejut dengan kehadiran sosok gadis cantik itu. Sosoknya kemudian berjalan mengelilingi Arman dengan membawa irama langkah kakinya yang teratur. Ia keluarkan sebuah kamera handphone dan langsung mengajak Arman untuk mengabadikan peristiwa pantomime itu berdua. Arman tidak dapat menjawab perkataannya, karena riasan yang dipakainya tidak memungkinkannya untuk bicara. Tapi ia balas perkataan itu, melalui anggukan kepalanya. Gadis itu lantas memanggil seorang teman guna memfotonya.
19
“Ta!! Foto-foto donk?!” tutur gadis cantik itu dengan lantang. “Iya, Diba! Sebentar kesana!” balasnya seraya berjalan menghampiri tempat Arman.
Arman mendengar ucapan diantara keduanya. Ia pun segera mengetahui bahwa sosok gadis cantik itu bernama Diba. Sekarang gadis itu tengah berada dalam jarak pandang yang sangat dekat dengannya. Senyumnya merekah hingga terasa menyejukkan hati Arman.
Sepasang bola mata itu seringkali beradu
pandang. Kebahagiaan yang sangat tak terhingga nilainya kala berdua dengannya. Mungkinkah ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama? Tanya Arman berulangkali dibenaknya. Tapi Arman tak mau cepat menyimpulkan bahwa itu adalah cinta. Sebab terselip rasa kekhawatiran besar Arman, jikalau Diba ternyata sudah memiliki tambatan hati.
20
“Masih kurang atau udahan nih fotonya?” ujar seorang teman Diba yang sedari tadi menjadi juru foto dadakan itu. “Coba lihat hasilnya?” sahut Diba. Ia lantas berpose kembali disamping Arman. Tita lantas menyodorkan kamera handphone yang dipegangnya. “Sekali lagi coba, Ta. Ambil yang bagus donk posenya!” pinta Diba dengan nada bicaranya yang lembut.
Dalam hitungan satu sampai tiga, kamera itu telah berhasil mengabadikan foto Arman dan Diba. Arman rupanya penasaran melihat hasil dari jepretan itu, ia dekati seorang teman Diba yang menjadi juru mengambil foto tersebut. Dilihatnya gambar Arman berdua dengan Diba. Sungguh peristiwa yang akan selalu membekas dalam ingatan Arman. Bibit cinta itu rasanya mulai tertanam dilubuk hati Arman. 21
Satu jam lewat beberapa menit waktu berlalu dengan teramat cepatnya. Pertunjukan pantomime yang disuguhkan oleh Arman, Jay, Tama dan Wahid sampai dipenghujung acara. Gemuruh tepuk tangan para
pengunjung
menjadi
tanda
berahkirnya
pertunjukan itu. Para pemain lekas kembali ke tempat berganti kostum semula. Diruang ganti kostum, ingatan Arman tidak dapat terlepas dari belenggu bayang-bayang wajah Diba yang terus membayang dipikirannya. *
Arman kembali tenggelam oleh rutinitas yang biasa dijalaninya sehari-hari. Bayang-bayang wajah Diba, perlahan terganti sibuknya menghadapi ujian akhir semester. Kampus perkuliahan itu telah siap menyambut kedatangan Arman dengan senyumnya yang penuh misteri. Banyak seniman-seniman sukses dan besar yang terlahir dikampus Arman. 22
Dikampus itu, Arman lebih memilih untuk bersikap diam. Banyak belajar dan mendengar semua pembicaraan, daripada terlalu ikut banyak bicara. Arman hanya memiliki Jay, Wahid dan Tama, sebagai teman terdekatnya. Arman dan Jay samasama satu angkatan. Sedangkan Tama dan Wahid adalah adik kelas Arman. Kemana dan dimanapun, Arman, Jay, Wahid dan Tama, selalu bersama. Jika tidak ada mata kuliah yang harus diikuti, biasanya Arman, Jay, Wahid dan Tama, menghabiskan waktu luang, didalam masjid kampus. Bicara mengenai impian dan cita-cita, merupakan topik utama yang tidak pernah bosan untuk dibicarakan. Arman tidak ingin memilih teman lain selain mereka. Semua itu dilakukannya, karena mengingat masa perkuliahan yang hanya tersisa satu semester lagi. Menyelesaikan perkuliahan merupakan cita-cita Arman yang paling penting. Arman tidak ingin menyia-nyiakan semua pengorbanan yang sudah banyak diberikan oleh papa dan mama. 23
Di depan ruang kelas, Arman siap menerima ujian akhir semester. Bangku-bangku diruangan itu juga terlihat berjejer rapih satu dengan lainnya. Jarak satu dengan lainnya, kurang lebih satu sampai dengan dua meter. Sehingga masing-masing siswa dapat bekerja sendiri, dan tak akan ada lagi aksi contekmencontek hasil pekerjaan teman. Semester ini adalah semester penutup, dan sekaligus merupakan semester dengan mata kuliah yang terpadat. Padatnya jadwal
perkuliahan
disebabkan,
Arman
harus
mengulang beberapa mata kuliah. Arman dituntut untuk belajar ekstra keras guna menyelesaikan semua mata kuliah. Didalam tas ransel yang dibawanya, Arman mengeluarkan semua buku bacaan dan sejumlah makalah perkuliahan yang akan keluar pada saat ujian tiba. Ia terlihat serius kala menyisir halaman
buku
makalah
bahasa
Inggris
yang
dibacanya itu.
24
Kelas ujian yang digunakan Arman serta mahasiswa lainnya, sudah bisa untuk ditempati. Arman bergegas untuk menempati deretan bangku yang tersedia. Ia memilih tempat duduk disudut, dibaris paling depan. Tepat disebelah Arman, duduk seorang
mahasiswi
yang
setingkat
dengannya.
Mahasiswi itu bernama Kyla. Garis serta lekukan di wajahnya, menyiratkan gadis itu berasal dari tanah Pasundan. Bodi yang dimilikinya sangat aduhai, hingga selalu menyegarkan pandangan mata.
Selang beberapa menit, terlihat kedatangan Dosen mata kuliah Bahasa Inggris. Kedua belah tangannya nampak sibuk, mengapit empat buah map cokelat yang berisikan lembar soal dan lembar jawaban ujian. Dosen yang biasa disapa Pak Ridwan itu, berdiri persis didepan Arman. Kemudian ia langsung membuka map itu melalui ujung pena yang diambil dari kantong baju kemejanya. Dibagikannya lembar soal dan lembar jawaban itu secara estafet. Arman mengambil satu lembar soal-jawaban, lalu ia 25
oper sisanya kearah belakang. Dalam sekejap, semua peserta ujian sudah memegang semua lembar soaljawaban itu.
Menit berganti-detik pun berlalu, konsentrasi peserta ujian masih tertuju ke lembar soal-jawaban itu. Suasana semakin hening tanpa suara. Entah mengapa, tiba-tiba Arman merasakan ada yang berbeda pada diri Kyla. Konsentrasi Arman pun terganggu akan adanya bahasa tubuh yang dibuatnya. Sesuatu yang berbeda, saat ia mengerjakan soal-soal tersebut.
Kyla
melirik
arloji
dipergelangan
tangannya. Kemudian ia perhatikan semua orang yang sedang mengerjakan soal ujian bahasa Inggris itu. Dari balik meja, Pak Ridwan menatap jeli kesetiap gerakan tubuh Kyla. “Waktu ujian kini tinggal sepuluh menit lagi!” tegas Pak Ridwan dalam nada bicaranya yang serak lagi lantang. Kyla tiba-tiba menyelak, ia lantas bangkit dari tempat duduknya. Dalam 26
sekejap, ia lantas menaruh lembar soaljawaban itu diatas kursi meja. Kyla beranjak pergi keluar kelas. “Gimana.. Kamu menyerah!” sergap Pak Ridwan menebak bahasa tubuh Kyla. “Saya ulang tahun depan saja, Pak!” timpal Kyla cuek sambil berlalu dari Pak Ridwan. Tanpa balas menjawab, Pak Ridwan kembali ketempat
duduknya
semula.
Semua
pandangan peserta ujian langsung tercengang, ketika melihat sikap Kyla yang mundur dari ujian. Beberapa peserta ada juga yang terdengar menahan gelak tawa.
Setelah kepergian Kyla, Pak Ridwan kembali berseru pada semua. “Waktu ujian sudah habis! Segera kumpulkan semua lembar soal dan lembar jawaban. 27
Kertas jawaban diselipkan kedalam lembar soal!” terang Pak Ridwan lantang ke muridmuridnya.
Perintah Pak Ridwan menghentikan seluruh aktifitas tulis-menulis diruangan itu. Satu-persatu para peserta ujian keluar kelas. Tak lama kemudian, Arman dikejutkan dengan adanya getar handphone dikantong celananya. Ia pandangi nomor asing yang tertera tersebut. Nomor asing itu rupanya membuat penasaran didalam pikiran Arman. Tak perlu berpikir terlalu lama, diangkatnya nomor itu dalam keadaan setengah tergesa. “Hallo.. Ini siapa? Hallo..” sahut Arman, seraya berjalan keluar ruang kelasnya. Suara kesek terdengar dari seberang sana. Arman lantas kembali mengulang pertanyaannya. “Hallo...” 28
“Ini..
Wahid..”
balasan dari pertanyaan
Arman. “Bukan.. Ini, Arman! Siapa ini..” desis Arman. “Ini.. Diba!!” timpal suara diseberang sana. “Oh.. Diba! (Tercekat).. Iya, ada apa? Tahu dari mana nomor ini?” tebak Arman pada Diba. “Maaf. Salah nomor, yah! Tadi dikirain ini nomornya Wahid!” tutur Diba ingin segera menyudahi sambungan telepon. “Tunggu. Tunggu sebentar.. Jangan ditutup dulu.. Kalau boleh, Aku ingin ketemuan sama kamu! Sekalian juga mau main kekosan Wahid.” desak Arman tergesa, karena tak ingin telepon itu lekas ditutup Diba. 29
“Gimana ya.. Kalau mau ketemu Wahid, ya ketemu saja!” balas Diba melalui nada bicaranya yang terdengar enteng. “Makasih ya, Diba. Mungkin lusa aku akan ketempat
Wahid!”
Arman
menutup
pembicaraan dengan Diba. Pembicaraan itu pun berahkir.
Ingatan tentang wajah Diba kembali mencuat dipikiran Arman. Tak sabar ingin segera bertemu dengannya. Telepon panggilan itu juga membuat Arman selalu
mengenang peristiwa pertemuan
dengan Diba. *
30
BAGIAN 2
Semilir
angin berhembus, dedaunan jatuh
berguguran. Warna langit cerah, tak berkabut awan hitam disekelilingnya. Sang surya siap berlabuh diantara cerahnya langit.
Kala itu, Arman tengah duduk sendiri, dikantin kampusnya. Arman nampak menikmati kerinduan pada sosok Diba. Semakin lama-makin larut Arman pada lamunan yang menghanyutkan pikirannya
hingga
melayang-layang.
Pikirannya
terbang menari-nari. Pikiran itu lantas terbelah menjadi dua bayang-bayang buram tak berbentuk. Bayangan pertama adalah, bagaimana jika menembak Diba. Dan bayangan kedua adalah apakah sudah yang punya atau belum. Tanpa terlalu berpikir keras, Arman bulatkan tekad atas satu pertanyaan yang menguras pikirannya. Satu jawaban yang menyatakan 31
bahwa Arman harus menembak Diba. Suara bisikbisik kembali berbisik. Suara sayup-sayup itu, berkata bahwa kini saatnya untuk bertindak. Meraih keberhasilan untuk sebuah keputusan yang sudah ditetapkan.
Sebab,
keputusan
akan
selamanya
menjadi keputusan, jika tak ada yang membuatnya bergerak. Ia bergegas untuk menghubungi nomor telepon Jay. “Jay.. Lagi ada dimana? Kenapa dari tadi ngga kelihatan dikampus?” suara Arman menjadi pembuka. “Lagi dirumah saja, Man.. Rasanya malas banget
ke
kampus
hari
ini.
(Hening)
Sepertinya ada niat buat berhenti dari kuliah. Yah, panjanglah itu ceritanya!” jawab Jay dengan nada bicaranya yang cuek bebek. “Berhenti? Waduh jangan dulu donk friend. Bagaimana kalau kita ketemuan sekarang di 32
kosan Wahid? Sekalian cerita kenapa harus berhenti kuliah. Bisa kan, Jay?” ucap Arman tanpa panjang lebar lagi. “Hmm. Ya sudah kita ketemuan ditempat Wahid sore ini.” Jay membalas ucapan Arman.
Diujung
perkataannya,
merapihkan semua
barang-barang
Arman
lekas
miliknya.
Ia
bergegas pergi kekosan Wahid. Buku-buku langsung dimasukan tak berurutan kedalam tas ransel miliknya. Kemudian ia mengambil kunci sepeda motor yang akan digunakannya. Setelah menemukan kunci sepeda motor, Arman lantas memberikan sejumlah rupiah pada tukang warung. *
33
Berkilo-kilo meter jarak yang harus Arman tempuh untuk ketempat Wahid. Rumah petakan dengan luas tanah terbatas serta tata bangunan yang saling tumpang tindih
makin
tergambar
jelas
dihadapan Arman. Pemandangan disisi kiri dapat ditemukan adanya sebuah sungai yang mengalir, dan terdapat
sebuah
jembatan
penghubung
ke
perkampungan lain. Sedangkan jika melihat ke sisi sebelah kanan, berdiri jejeran rumah-rumah petak yang berhimpitan. Rasa letih mengendarai sepeda motor agaknya membuat penat dipikiran Arman. Tapi wajah Diba yang membayang tak menyurutkan langkah kakinya. Ia lalui setiap gang-gang sempit, sebelum menuju ketempat kos-kosan Wahid. Dalam waku singkat Arman berhasil mendapat tempat parkir yang sesuai keinginannya. Ia langsung memarkirkan sepeda motornya.
Didepan gerbang rumah terdapat beberapa pot tanaman, sebuah alas kaki, serta beberapa pasang sepatu-sendal. Sementara didalam rumah, terdapat 34
beberapa baris tali tambang yang berfungsi sebagai jemuran, beberapa kursi kayu dan meja kecil. Rumah itu, rumah bertingkat dua. Tempat kos-kosan Wahid berada diatas atau ditingkat dua. Bersatu dengan rumah Diba.
Selang sesaat, Arman pijakan kaki didepan pagar rumah Diba. Sebagai muslim sejati, tak luput Arman untuk mengucapkan salam pembuka. “Assalamu’allaikum!” seru Arman dari balik pagar rumah. “Wa’alaikumsallam.” cerocos si empunya rumah.
Aksen
bicaranya
terdengar
cempereng, berbaur dengan logat betawi. “Permisi, Bu.. Wahidnya ada?” sahut Arman sopan pada sosok ibu tersebut.
35
“Ada. Masuk saja. Diatas kelihatannya juga lagi pada rame tuh. Banyak teman-temannya Wahid yang pada kumpul-kumpul.” Ibu tua yang memiliki garis wajah keturunan timur tengah itu, langsung membukakan pintu pagar depan rumahnya.
Arman mulai masuk ke teras rumah Diba dan menginjak titian anak tangga pertama. Sebelum sempat Arman menginjakan kaki di anak tangga selanjutnya, tampak Diba tengah melintas menuju kearah belakang rumahnya. Diba terpukau ketika melihat kedatangan Arman. Melalui celah pintu rumah yang sedikit terbuka, Arman dan Diba terlibat adu pandang. Pesona kecantikan Diba, bak embun pagi yang menentramkan kalbu. Arman lontarkan senyumnya yang terbaik. Diba memberikan balasan atas senyum ramah Arman yang menggoda. Kedua insan manusia itu, larut dalam buaian pandangannya masing-masing.
Sayangnya
kejadian
itu
tak
berlangsung lama. Sosok ibu tua itu, menghentikan 36
jalinan komunikasi yang terjadi diantara keduanya. Seketika itu, ia lekas memanggil Wahid dari tempatnya berdiri. “Hid.. Wahid.. Ada tamunya, nih!” “Iya, Ummi.. Wahid segera turun!” jawab Wahid atas panggilan tersebut.
Tanpa menunggu kedatangan Wahid, Arman berinisiatif untuk menaiki setiap titian anak tangga penghubung lantai atas dan bawah. Satu per-satu, anak tangga itu dipijak oleh sepasang kaki Arman. Desain
tangga
itu
berbentuk
spiral,
dengan
keseluruhan bahan dasarnya terbuat dari kayu. Supaya tak tergelincir sewaktu menaikinya, Arman memilih untuk mendongakkan kepala keatas. Ia menatap keseluruhan titian anak tangga berikutnya. Tanpa
diduga-duga,
Wahid
muncul
dengan
menampakan setengah kepalanya. Kemunculan yang sangat membuat kaget Arman. 37
“Man.. Langsung naik saja keatas.” pinta Wahid. Arman sentak terkejut oleh sosok kehadirannya. Ia mengira bahwa itu adalah wujud hantu disiang hari bolong. “Astagfirullah. Dikirain tadi ada setan. Bikin jantungan
saja.”
mengusap-usap
sahut
Arman
seraya
dadanya
yang
masih
terdengar berdebar-debar.
Tak perlu balas berkata Wahid segera melepaskan sinyal melalui gerakan ditangan yang menunjuk kedalam. Sinyal itu membuat Arman lekas meniti anak tangga berikutnya. Dalam sekejap, Arman berhasil menginjak titian anak tangga yang terahkir. Sayup-sayup suara hingar-bingar milik Jay, Tama, Beni, menyambut kedatangan Arman. Rona muka Arman sentak dipenuhi oleh rasa penasaran yang mendalam. Ia mendengar suara gelak tawa milik Jay. Rasa penasaran itu semakin lama-makin 38
membuncah.
Sampai
pada
puncaknya,
Arman
utarakan seluruh rasa penasaran dihatinya. “Jay.. Ko bisa lebih dulu sampai?” ujar Arman spontan, sambil membuka tali sepatu kets miliknya. Panggilan Arman ternyata tidak mendapat respon balik dari Jay.
Suara dari dalam semakin riuh terdengar. Arman palingkan wajahnya guna mencari sumber suara. Ia dapati semua penglihatan teman-temannya sedang fokus tertuju pada layar monitor laptop. Jay sangat terlihat bersemangat lagi gembira. Pemuda berambut kribo itu, melonjak-lonjak kegirangan bagai anak kecil yang telah berhasil mendapat cokelat kesukaannya.
Ia
tumpahkan
seluruh
rasa
kegembiraannya dengan berjoget gaya Bollywood. Tama yang sehari-harinya selalu cuek terhadap setiap perempuan, memasang reaksi yang jauh berlawanan dari biasanya. Senyumnya sumringah ketika menatap layar tersebut. Sementara Beni yang bertindak 39
sebagai operator pun tertawa riang gembira, saat melihat reaksi yang timbul dari teman-temannya. Beni tak pernah berhenti untuk mengganti setiap foto yang sudah dinikmati oleh teman-temannya. “Man.. Sini masuk! Kita lagi melihat foto cewek-cewek cantik, nih!” tandas Beni pada Arman yang masih berdiri diambang pintu. “Oh, iya.. Sebentar kesana.” ucap Arman sambil celingak-celinguk melihat seisi ruang dalam kos-kosan Wahid.
Ruang itu memiliki luas serta lebar yang tak luas. Jarak antara tembok dengan kamar kosan, berkisar dua langkah kaki orang dewasa. Kamarkamar kosan berjumlah enam pintu. Setiap kamar memiliki ukuran yang tak jauh berbeda. Perbedaan yang mencolok hanya terletak pada fasilitas jendela ditiap-tiap kamar. Pada kamar satu sampai dengan kamar ke lima, jendela letaknya persis disebelah 40
pintu masuk kamar. Sementara dikamar terahkir, terdapat dua jendela yang menghadap kearah luar rumah. Kedua jendela yang senantiasa selalu menghantarkan udara sejuk dan bersih di pagi hari. Kamar terakhir adalah kamar favorit yang paling banyak diperebutkan oleh setiap anak-anak kosan. Tak jarang tiga atau empat bulan sebelum pemilik kamar
pindah ketempat
lain,
anak kos-kosan
disampingnya buru-buru memesan kamar tersebut. Didepan kamar kos-kosan, tersedia tempat bagi anakanak kosan untuk menerima tamu. Disekitarnya terdapat, televisi tabung, meja, serta sebuah kamar mandi. Tepat diruang tamu itulah teman-teman Arman melepas tawa ria bersama.
Perasaan asing, seketika
membeku
dengan
kewaspadaan
membuat
tegang. dan
tubuh Arman
Langkahnya
penuh
sikapnya
diliputi
kecanggungan. Arman menghela nafas panjang guna mengusir ketegangan. Wahid yang berada dibelakang Arman, segera merangkul Arman masuk kedalam. Ia 41
mengajak
Arman
bersama-sama
menikmati
pemandangan gadis cantik dilayar Laptop kepunyaan Beni. Sementara Jay yang berada didekat Beni, lekas bertukar tempat dengan Tama. Ia lebih mendekat ke Arman. “Man sini.. Santai saja disini. Ngga usah tegang begitu. Pasti belum pernah lihat cewek cantik kayak gini kan? Ben, coba deh kasih lihat foto-foto itu ke Arman.” jelas Jay pada Arman, sambil menahan tawa. “Foto apaan sih? Kayaknya semua pada heboh banget.” tanya Arman pada semua. “Biasalah menikmati
Man..
Kita
karunia
lagi
ciptaan
pada
asyik
Allah!”selak
Tama, dengan nada ringan lagi lugu. “Coba lihat sini.. (Klik mause).. Nah, kalau yang ini bagaimana, Man! Cantik ngga?”seru 42
Beni
sambil
kedua
tangannya
tetap
mengopersikan laptop-nya. “Loh.. Ini kan.. Bukannya si..” Seketika itu Arman langsung tercekat. Ia tak mengira kalau foto-foto yang dilihatnya ialah foto Diba. “Itu.. Cantik kan, Man!”sambar Jay dengan cepat. “Biasa saja donk, Jay.. Kayak tidak pernah melihat cewek.” bantah Wahid dengan nada ketus pada Jay. “Iya. Cantik Jay! Ternyata diam-diam teman kita ini hebat, yah. Bisa mendapatkan cewek secantik dia!” timpal Arman sedikit kesal pada Jay.
43
“Itu bukan ceweknya, Jay.. Tapi itu pacar Anne, Man!” timpal Beni sedikit nyolot pada si-kribo. Oleh karena jengkel mendengar perkataan Jay, Beni lantas mengubah tampilan dilayar laptopnya. “Yah... Kok jadi hilang gambarnya.. Lagi! Lagi!” tegas Tama dengan nada ceplas-ceplos. “Sudahlah.. Kenapa semua jadi pada ribut gara-gara cewek satu.” jawab Wahid pada semua yang ada diruangan itu. “Jangan pada ribut kenapa sih! Masalah cewek begini saja jadi pada ribut. Ngga seru ah.” jelas Tama. “Ya sudah.. Kalau memang semua pada ngaku-ngaku jadi pacarnya.. Mendingan kita buktikan saja. Bagaimana?” Manakala melihat 44
gambar foto Diba tanpa riasan, dan terlihat alami, tiba-tiba perasaan Arman begitu teduh. “Nah.. Memang tepat banget, Man. Kita buktikan
siapa
yang
bisa
mendapatkan
hatinya. Coba lihat deh.. Meskipun tanpa make-up, dia masih saja tetap cantik.” ucap Jay terkesima. Tanpa disadari, baterai laptop itu memberikan tanda-tanda bahwa telah lowbat. “Bioskop telah ditutup. Sudah dulu ya kawan. Baterainya sudah lowbat nih!” seru Beni pada semua. Ia lantas memencet tombol shutdown yang tertera pada layar laptop. “Nah.. Itu ada tempat colokan listrik. Bawa kan chargerannya, Ben?” tanya Wahid dengan nada antusias. “Besok kita akan lanjutin lagi deh, Hid. Lagian juga kepingin pergi, nih. Jam empat 45
nanti ada ketemuan sama teman.” jawab Beni tanpa basa-basi. “Tidak apa-apa kok, Ben. Tapi besok jangan lupa datang lagi yah.”sambar Tama dengan tangkasnya. “Janji ya, Ben.. Besok kita akan melihat fotofoto itu lagi?” ungkap Jay dalam suara setengah mengancam Beni. “Tenang.. Harap tenang semuanya.. Besok kita bakalan melihat bioskop lagi deh.” terang Beni pada semua. “Pokoknya dijamin beres yah.” gurau Arman pada Beni.
Beni tak lagi menyambung perkataan Arman, ia lantas segera membereskan seluruh pernak-pernik laptop miliknya. Bertepat dengan itu, sayup-sayup 46
suara
adzan
pemanggil
shalat
Ashar
mulai
berkumandang. Suara itu makin lama, semakin nyaring terdengar. Wahid lekas berlalu, dan menuju kekamar mandi. Ia mengambil air wudhu. Sementara Jay, Beni, Tama dan Arman, masih terlibat topik pembicaraan mengenai sosok Diba. “Subhanallah.. Cantik yah, Jay!” tukas Beni, sembari memasukkan laptop kedalam tasnya. “Super, Ben! Kalo dia mau jadi istri.. Ngga bakalan diijinin selangkah saja keluar dari rumah.” balas Jay dengan nada bicara yang terdengar mengebu-gebu. “Jangan cuma OMDO alias omong doank. Hayo.. Buktikan kalau memang pantas jadi pendamping hidupnya. Selagi janur kuning belum melambai, siapa saja bebas untuk bersaing!” timpal Arman tegas. 47
“Baik semuanya.. Pamit jalan dulu yah!” seru Beni pada semua. “Ben.. Punya pulpen ngga?” tanya Jay pada Beni. “Hati-hati yah, Ben.. Kalau jatuh jangan lupa bangun lagi.” canda Wahid pada Beni. “Waduh.. Ada sih, tapi mau dibawa pulang. Nah, coba deh minta dibawah saja. Siapa tahu pulpennya lagi ngga terpakai.” papar Beni pada Jay. “(Tertawa) Ide yang berlian juga tuh. Makasih yah, Ben” tutur Jay pada Beni.
Beni berlalu dari hadapan semua temantemannya. Sementara Jay tampak ingin lekas meminjam pulpen pada Diba. Dengan sigapnya Jay turun kebawah. Tiba-tiba terbesit didalam pikiran 48
Arman akan adanya suatu kesempatan dapat melihat dekat sosok Diba. Tak perlu banyak pikir, ia pun membuntuti Jay tepat dibelakangnya. “Jay.. Jay tunggu! Ikut donk!” sahut Arman memanggil-manggil nama Jay.
Jay tak menjawab panggilan dari Arman. Derap langkahnya menuruni tangga mulai terdengar jelas.
Arman
yang
mengikuti
Jay
segera
mempercepat langkahnya. *
Perlahan tapi pasti, Jay sampai ditempat yang diinginkan.
Arman
berdiri
selangkah
persis
dibelakangnya. Raut muka Jay mulai terlihat merah merona. Sementara Arman mulai terasa kikuk, ketika semakin mendekat keambang pintu. Pintu rumah 49
Diba yang bercelah, memungkinkan Jay dan Arman dapat melihat seisi rumah.
Ruang didalamnya terdapat satu kamar tidur dan satu kamar mandi yang letaknya disudut belakang rumah. Disebelah kamar tidur terdapat satu ruang kosong tak bertuan. Ruang kosong berukuran 4x4 yang menjadi tempat menyimpan barang-barang bekas pakai. Dapur rumah Diba, letaknya berhadapan dengan kamar mandi. Barang-barang seperti; satu set meja-kursi diruang tamu, almari pajangan, vas bunga dan televisi tabung, nampak menghias disekitar ruang tengah. Diantaranya juga terpampang sebuah bingkai kaligrafi bernafas islam, yang menjadi simbol kepercayaan si pemilik rumah.
Dari balik kamar, Diba keluar. Ia dapati kedua anak lelaki yang tengah berdiri menatapinya. Wajah cerah nan berkilau membuat Jay dan Arman, semakin terkesima terhadap kecantikannya. Semerbak aroma tubuhnya, serasa merambat disekujur tubuh. Jay 50
menyapanya
lewat
senyumnya
yang
terbaik.
Sementara Arman masih tetap memperhatikan seisi rumah. “Diba cantik! Bang Jay mau pinjam pulpen, nih.
Diba
punya
tidak?”seringai
Jay
menggoda Diba. “Oh.. Tunggu sebentar, coba Diba cari dulu ada dimana.” sambar Diba dengan tutur katanya yang berbaur logat betawi perkotaan. Diba ayunkan kakinya ketempat tersimpannya alat-alat tulis. “(Berbisik) Man.. Ngapain sih ngebuntutin? Sudah naik keatas sana.” pinta Jay dengan nada bicaranya yang terdengar sewot ke Arman. “(Berbisik lirih) Ingat.. Sebelum janur kuning berkibar.. Diba milik bersama!” cerocos 51
Arman menanggapi perkataan Jay. Dalam sekejap, Diba datang membawa yang diminta Jay. “Wah.. Makasih banyak yah, neng Diba cantik!” goda Jay sambil meraih pulpen yang disodorkan Diba. Tatapannya menjurus dalam kedalam pandangan Diba. Tapi pandangan itu lekas ditepis oleh Diba. Tak disengaja, tangan Jay yang gugup lantas memainkan pulpen tersebut. Sampai-sampai tinta pulpen itu pun menetes. “Jay.. Itu pulpennya.” tutur Arman ke Jay yang masih terlena memandang paras cantik Diba. Pemuda kribo itu masih belum juga menyadarinya. Ia malah mengusap telapak tangannya, kearah rambutnya yang kribo. Sementara Diba yang melihat sinyal yang diberikan oleh Arman secepatnya direspon olehnya. 52
“Kak.. Aduh, pulpennya bocor itu! Lihat tuh berantakan kemana-mana deh.” tandas Diba pada Jay. “Kenapa Diba?” Jay masih belum menyadari kalau
isi
pulpen
itu
membuat
noda
diwajahnya. “(Menahan Tawa) Maaf-maaf yah..”Diba lekas meraih wajah Jay yang dipenuhi oleh isi tinta. “Ngga apa-apa kok! Selama masih ada Diba disamping abang.. Mau Diba apain juga muka abang.. Rela dan ridho kok.” sambar Jay penuh percaya diri. “Nih lihat.. (Tertawa) Wajah Kakak sekarang dipenuhi
tinta?”
tandas
Diba
seraya 53
memperlihatkan
telapak
tangannya
yang
penuh tinta dari wajah Jay. “Astagfirullah! Waduh jadi celemotan tinta yah.. Man, kok ngga bilang sih?!”Jay sentak kaget bukan kepalang. Ia pun lekas berlalu pergi dari
hadapan
Diba
yang
berada
didepannya.
Jay segera mencari-cari cermin rias untuk membersihkan semua noda tinta yang melekat pada wajahnya. Arman hanya dapat menahan tawa melihat tingkah laku temannya. Sesekali, ia curi-curi pandang dengan Diba. Begitu pula sebaliknya Diba terhadap Arman. Sambil naik ke anak tangga, Jay berucap pada Arman. “Man.. Temanin naik keatas donk!” celetuk Jay.
54
“Sendiri saja bisa kan Jay? Masa gitu aja harus ditemani.” tangkis Arman tanpa ragu. “Iya deh, Man. Awas yah diapa-apain! Jagain loh!” desak Jay ke Arman. “Memangnya mau diapain sih, Jay! Lagi juga, kalau diapa-apain kenapa memangnya?Ada yang cemburu yah.” jelas Arman dalam nada gurauannya.
Seketika itu, Arman tercekat oleh senyum manis diwajah Diba. Beberapa saat lamanya, Diba dan Arman terlibat adu pandang. Mata itu begitu tentram terasa dihati Arman. “(Mengalihkan pandangan) Kak Arman.. Satu tempat kuliah sama Wahid juga?” tanya Diba, penuh kelembutan.
55
“Iya.. Hanya kakak dan Wahid berbeda angkatan.” balas Arman tegas. “Beda angkatan, yah?! Memangnya kuliah dikesenian itu..
Ngapain aja sih,
kak?
Pelajarannya apa saja?” “Menurut kak Arman.. Kuliah dikesenian itu, belajar tentang ilmu kehidupan Diba. Banyak hal yang akan bermanfaat dari setiap mata kuliah yang didapatkan. Bukan hanya sebatas teori yang diajarkan, tapi juga praktik dilapangan. Kita banyak mengenal karakter atau kepribadian setiap orang. Tapi bukan berarti dukun ramal, loh!” urai Arman pada Diba. “Diba juga suka seni, Kak. Walaupun bisanya cuma nyanyi dikamar mandi saja. Paling top juga, juara nyanyi sekampung.” jelas Diba pada Arman seraya melepas tawa manisnya. 56
“Jadi Diba suka nyanyi juga, yah?! Biasanya kalo nyanyi, suka bawain lagu apa?” “(Tersipu malu) Apa yah..” “Ngga apa-apa kok.. Kenapa harus malu! Yang penting kita tidak jadi tukang copet kan?! Tukang copet saja ngga malu.” canda Arman pada Diba. “Dangdut, kak. Diba paling suka nyanyi lagu dangdut.” balas Diba dengan yakin. “Kakak juga suka lagu dangdut, Diba! Kayak lagunya, Meggi Z, atau Rhoma Irama. Yah, Meski terkadang tidak terlalu hafal siapa penyanyinya, dan juga ngga hafal liriknya kayak gimana.” tutur kikuk Arman pada Diba.
57
“Benaran, Kak. Berarti Diba ada temannya donk yah!” semangat Diba berapi-api. “Kakak serius suka sama dangdut juga, Diba. Bagi Kakak, lagu dangdut itu lagu yang mudah untuk dicerna. Enak buat diajak joget. Apalagi, kalau goyangnya berdua Diba! Makin suka deh Kakak!” gurau Arman pada Diba,
sembari
tubuhnya
memperagakan
goyangan dangdut. “Tahun kemarin, Diba dapat juara nyanyi lagu dangdut, kak. Kebetulan Diba, dapat juara pertama.” terang Diba, dengan percaya diri penuh. “Hebat, Diba.. Wah, kak Arman jadi punya banyak
teman
yang
punya
kemahiran
berbeda-beda. Sungguh, warna-warni hidup ini ya, Diba! Kita memang harus melestarikan budaya Indonesia. Masa kita yang punya 58
pabrik tempe. Carinya hamburger sih!” canda Arman ke Diba. “Kak Arman bisa aja, deh! Oh ya, kak.. Apa tidak mau ngobrol didalam saja?” “Disini saja, Diba. Lebih sejuk udara diluar. Memang didalam rumah ada siapa?” ungkap Arman tanpa ragu. “Tidak ada siapa-siapa, Kak. Didalam cuma ada Ummi sama Abah.” “Berarti.. Diba itu anak tunggal, yah?” terka Arman. “Diba itu empat bersaudara, kak. Tertua namanya Indra. Nomor dua namanya Hasan. Ketiga Diba sendiri. Paling kecil itu namanya Ria. Jadi Diba itu anak nomor tiga. Kak 59
Arman sendiri anak ke berapa?” selidik Diba ke Arman. “Berarti kita sama donk, ya. Kak Arman juga empat bersaudara. Hanya, kak Arman anak kedua dari empat bersaudara.” jawab Arman tegas.
Tiba-tiba obrolan yang terjalin hangat itu pun, dipotong oleh seseorang yang memanggil-manggil nama Diba, dari dalam rumah. Tampak seorang wanita,
dengan
busana
daster
usang
yang
dikenakannya. Ia berdiri didepan pintu kamar, melihat kearah Diba. Raut wajahnya, lebih kurang menyerupai wajah Diba. Perbedaannya hanya terletak pada postur tubuhnya yang pendek dan kecil. “Diba!!! Kalau mau ngobrol didalam saja. Jangan ngobrol diluar. Ngga enak sama tetangga dikanan-kiri. Diba!!” seru suara dari 60
dalam
rumah.
Seketika,
Diba
tanggapi
panggilan dari dalam itu. “Iya, Ummi! Diba akan ngobrol didalam.” sahut cepat Diba, atas panggilan tersebut. “Siapa sih itu, Diba? Itu ibu kamu, yah.” sergap Arman, menebak siapa gerangan orang yang memanggil Diba. “Iya, benar Kak. Itu Ummi Diba. Yuk, didalam aja kita ngobrolnya biar lebih enak. Lagi pula kaki Diba sudah pada pegel nih, kak.” papar Diba pada Arman. “Duh. Kak Arman ngga enak, kalau ngobrol didalam Diba. Rasanya malu kak Arman, Diba.
Ngomong-ngomong,
besok
malam
minggu ada acara kemana, Diba!” tanya Arman pada Diba, dalam tutur katanya yang lemah lembut, berbisik ke telinga Diba. 61
“Besok Diba ngga kemana-mana, kak. Paling juga dirumah saja.” jelas Diba ke Arman. “Mau ngga temanin kakak jalan-jalan. Ya, mungkin kita main ke internet. Ngga jauh ko, Diba. Didaerah kelapa gading aja gimana, Diba! Bisa kan temanin kakak pergi?” ungkap Arman dengan bicaranya yang terdengar sedikit memelas bercampur antusias. “Gimana ya, kak... Diba belum tahu, bisa atau ngganya nih, kak?! “ jawab Diba dengan rona mukanya yang sedikit tertunduk malu. “Cuma sebentar saja Kok, Diba. Sekedar jalan-jalan ke internet. Sudah selesai dari sana, kak Arman akan langsung nganterin Diba pulang.” yakinkan Arman pada Diba, yang terlihat bimbang menjawab ajakan Arman. 62
Tanpa disangka-sangka, Ummi datang dari arah dalam, dan langsung menghampiri Diba. Matanya
mengandung
kecurigaan,
ketika
memandang kearah Arman. Mulai dari ujung rambut, hingga sampai keujung kuku diperhatikannya dengan seksama. Dibenak Arman, kedatangan Ummi bagai seekor lalat pengganggu yang tidak senang jika melihat ada orang sedang menikmati santapannya. Ia langsung melontarkan perkataannya. “Kalau
mau
ngobrol-ngobrol..
Masuk
kedalam rumah saja!” sewot Ummi dengan irama bawel bawaannya. “Iya, Bu. Saya hanya mau bicara dengan Diba sebentar saja.” tanggap Arman penuh nada kesopanan. “Didalam
yah,
Diba.
Sekalian
bikinin
minuman tuh?!” seru Ummi pada Diba. 63
“Iya, Ummi. Diba juga bakal masuk kedalam rumah.” balas Diba dengan gusarnya. “Terimakasih untuk tawaran minumannya, Bu. Tapi mohon maaf, saya rasa tidak perlu repot-repot. Saya tidak akan lama bicara dengan
Diba.”
ucap
Arman
sambil
melemparkan senyum kecutnya pada Ummi.
Ummi kembali masuk kedalam rumah. Diba yang ingin segera menyusul langkah Ummi masuk kedalam rumah, secepat kilat langsung ditahan oleh Arman. Ia rupanya sangat penasaran akan ajakan jalan yang ditawarkan ke Diba. “Bagaimana besok, Diba. Bisa kan kita pergi?” Arman kembali memastikan ke Diba.
64
“Iya, deh.. Tapi nanti Diba hubungi kak Arman lagi yah.” urai Diba sambil berlalu pergi.
Kepergian Diba, menyisakan rasa penasaran yang mendalam dihati Arman. Ajakan untuk jalan berdua itu, merupakan langkah awal yang baik agar terjalin
hubungan
yang
lebih
dari
sekedar
pertemanan. Kendati demikian, semua itu masih sebatas angan-angan yang belum pasti kejadiannya. Bisa saja, Diba menolak tawaran jalan, atau bisa juga sebaliknya. Tetapi rasa penasaran itu, lekas terusir oleh Arman. Ia tak ingin terlalu membenani pikirannya dengan segudang pertanyaan yang harus dijawabnya sendiri. Ia lantas menjejakan kembali tapak kakinya ke titian anak tangga. Berbaur bersama teman-temannya. *
65
BAGIAN 3
Iring-iringan
awan hitam tampak menyebar,
menutup keindahan pendar-pendar bintang di langit. Gerimis sang hujan, mulai membasahi bumi. Gelegar kilatan petir menyambar-nyambar, laksana seorang pelukis yang tengah menorehkan tinta diatas kanvas. Didalam
kamar,
Arman
tengah
serius
ketika
membaca tuntas naskah drama teater, “Malam Jahanam karangan Motinggo Busye”.
Dalam menyelesaikan tugas akhir, Arman dituntut untuk membuat sebuah karya pertunjukan untuk dipertontonkan khalayak ramai. Karena itu, sebanyak mungkin naskah-naskah drama teater, harus dapat selesai dibaca. Menyelesaikan tugas akhir perkuliahan memang bukan suatu perkara yang mudah. Sebab selain biaya produksi yang mahal, Arman dituntut untuk membuat tim produksi sendiri. 66
Kendati demikian, Arman harus bisa melalui setiap proses yang akan mengantarkannya meraih gelar.
Rasa kantuk mulai berayun-ayun dikedua pelupuk mata. Sungguh terasa berat untuk membuka halaman berikutnya. Padahal jam di dinding masih menunjukan pukul delapan dan masih ada tersisa tiga lembar halaman terahkir untuk dibaca. Sebelum rasa kantuk mulai merambat disekujur tubuh, Arman lekas tersadar belum melaksanakan shalat isya. Bergegas ia bangkit dari tempat tidur dan melangkah keluar kamar. Setelah berada diruang keluarga, samar-samar Arman menangkap suara diskusi dari kedua orang tuanya. Rasa ingin tahu membuat Arman semakin mendekat kearah sumber suara. Ia tempelkan telinganya merapat ke tembok. “Terus
kuliah
Arman
bagaimana?
Kan
tanggung kalau sampai ia harus terputus ditengah jalan. Padahal hanya tinggal ujian 67
akhir!” ungkap Mama dalam nada bicaranya yang lemah lembut. “Habis mau bagaimana lagi! Kita memang sudah tidak punya uang untuk biaya tugas akhir Arman! Apa kita harus jual ini rumah?” tandas Papa dalam nada terdengar putus asa. “Bagaimana.. Kalau kita pinjam uang sama Uwak3 Pian. Siapa tahu saja dia bisa membantu kita. Lagi pula Ening juga butuh buat bayar uang kuliah. Belum lagi ditambah bayar kosannya yang di Bandung?!” jelas Mama. “Nanti kita bayar gantinya pakai apa? Kita benar-benar udah ngga punya apa-apa lagi.” Begitu pasrah nada bicara papa dalam menyampaikan penjelasannya.
68
“Insyallah.. Kita bisa pinjam dari dia! Masalah gantinya itu urusan belakangan. Kita harus mengutamakan kuliah anak-anak selesai dulu. Siapa tahu saja nanti kita dapat rezeki untuk
menggantikan
uang
yang
sudah
dipinjam?!” jawab Mama tanpa ragu, guna meyakinkan hati suami tercinta. “Alhamdulillah! Jika memang bisa pinjam dari dia.. Insyallah akan dapat rezeki buat menggantikannya. Yah, paling tidak kita bisa mencicil. (Diam). Sebagai jaminannya.. Kita bawa saja sertifikat tanah dan rumah, ini. Apapun akan kita lakukan demi pendidikan. Kapan kita kesana?” tanya Papa terdengar antusias. “Besok siang? Tapi sebelum kita berdua kesana, ada baiknya kita hubungi dulu orangnya.” timpal Mama dengan penuh percaya diri. 69
“Ya, besok juga tidak apa-apa. Sehabis shalat dzuhur kita berangkat ke Bogor?!” terang Papa diliputi kekhawatiran. “Nanti biar ditelepon dulu orangnya. Jangan sampai kita susah payah kesana.. Eh orangnya sedang tidak ada ditempat. Sekalian aku juga mau tawarin baju muslim. Siapa tahu aja mereka mau ambil salah satu dagangan aku ini?!” Belum sampai diakhir kalimat Arman secepatnya beranjak menuju kekamar mandi. Ia tak ingin kalau kedua orang tuanya tahu.
Arman berjalan menuju kearah kamar mandi. Rumah Arman merupakan rumah yang terletak didaerah perumahan. Didalam rumah terdapat tiga ruangan. Ruang pertama, merupakan tempat tidur kakak perempuannya, ruang nomor dua adalah tempat tidur kedua orang tuanya dan ruang nomor terahkir ialah kamar Arman. Jumlah penghuni yang 70
menempatinya,
berjumlah
lima
orang.
Arman
memiliki kakak perempuan tertua, yang bernama Vany, dan dua orang adik, perempuan dan laki. Adik dibawah Arman, bernama Ening. Serta sibungsu, bernama Aidil. Vany, kakak tertua, berstatus sudah menikah. Ia diboyong oleh suaminya, tinggal berdua dengannya. Sedangkan Ening, masih mengeyam pendidikan di UNPAD. Terahkir Aidil, statusnya sebagai seorang pelajar. Keluarga Arman merupakan keluarga yang hidup penuh keharmonisan, hal itu karena ajaran serta norma-norma yang diterapkan oleh kedua orang tua Arman untuk berpegang teguh pada akidah islamiah.
Sehabis berwudhu, Arman lekas berangkat untuk menentramkan hatinya gundah gulana. Berita itu
serasa
ditubuhnya.
menggetarkan Ia
sangat
setiap takut
sendi-sendi
kalau
semua
perjuangannya dalam mendapatkan gelar sarjana hanya tinggal impian belaka. Sajadah yang sedari tadi sudah dipegang, lekas digelar pada lantai kamarnya. 71
Seraut wajah mulai dipenuhi kekhusukan yang terpancar syahdu. Setiap gerakan dalam shalatnya, begitu penuh penghayatan. Tak terasa, derai airmata mulai jatuh menetes diatas sajadah. *
Siang
itu
Arman
selesai
melakukan
bimbingan dengan ketua jurusan perkuliahannya. Ia kini telah mendapatkan informasi sebanyak mungkin tentang ujian akhirnya. Baru saja ia akan beranjak pulang, tiba-tiba suara dering handphone disaku Arman bergetar. Dalam sekejap, ia teringat akan sebuah janji untuk jalan berdua dengan Diba. Ia rogoh saku celana jeansnya. Sebaris pesan singkat dilayar handphone Arman tertera..
#Apa kita jadi jalan, kak? Kalau jadi jam berapa kita jalannya. Kakak bisa jemput Diba kan?# 72
Pesan singkat itu, tak cepat dibalas Arman. Ia pun mengambil dompet dikantong belakang, agar memastikan uang yang dimilikinya cukup untuk jalan berdua Diba. Lipatan-lipatan dompet itu, diperhatikan dengan teliti. Perasaan ragu mulai menyergap dihati Arman. Ia khawatir dengan jumlah uang yang dimilikinya. Tapi rupanya rasa ragu itu segera tertutup oleh besarnya hasrat ingin bertemu dengan Diba. “Apa iya cukup dengan uang cuma segini? Sementara bensin sudah habis. Ah, mudahmudahan aja cukup buat jalan berdua.” tuturnya dalam hati. Seketika itu, Arman kirim SMS balasan.
#Jadi, Diba. Mungkin sekitar jam tiga sore kita jalan. Gimana kalau Diba tunggu kakak dipinggir
jalan raya.
Supaya kita
bisa
langsung jalan, dan juga kita ngga akan 73
kemalaman
pulangnya.#
pesan
segera
melayang, diikuti status terkirim.
Beberapa menit kemudian, pesan balasan kembali menggetarkan handphone Arman.
#Yah. Kenapa harus tunggu dipinggir jalan, Kak? Diba takutnya Ummi ngga akan kasih ijin pergi. Lebih baik jemput Diba ke rumah saja.#
#Iya. Kak Arman akan jemput Diba kerumah. Kira-kira tiga jam lagi, yah?# perjelas Arman didalam pesan singkatnya.
#Diba tunggu kakak dirumah yah. Kakak.. Sebenarnya kita mau pergi kemana sih?# tanya Diba kembali dalam pesan singkat yang dikirimnya.
74
#Kita hanya jalan-jalan sebentar saja kok. Kakak kepingin sekali ke WARNET. Cari bahan-bahan untuk tugas perkuliahan.# tegas Arman dalam isi pesannya.
SMS yang sudah dikirim, merupakan penutup dari komunikasi keduanya. Tak lama berselang, Arman dikejutkan kembali oleh dering handphone yang bergetar. Tanpa menunggu lama, diangkatnya panggilan tersebut. “Assalamu’allaikum. Arman.. Kamu masih ada dikampus atau sedang dimana? Kalau bisa Papa mau minta jemput diterminal bus. Tidak sekarang kok.. Kira-kira jam setengah tiga.. Nanti Papa akan kasih kabar lagi.. Bisa yah, kamu?” seru panggilan Papa, dalam nada terburu-buru. Disisi lain, Arman terkejut dengan datangnya permintaan dari Papa. Rasa terkejut yang tidak tahu harus bagaimana mengatur antara jadwal pertemuan dengan 75
Diba. Disisi lain, tidak pernah sebelumnya menolak untuk membantu Papa dan Mama. “Wa’alaikumsallam! Maaf, Pa.. Arman tidak bisa. Sebab masih ada urusan dikampus. Tidak
apa-apa
ya,
Pa!”sahut
Arman
menjawab panggilan dari Papa. “Ya, sudah. Jika memang Arman masih banyak urusan disana. Biar Papa dan Mama pulang
naik
angkutan
umum
saja..
Assalamu’allaikum.” tukas Papa terdengar sedikit kecewa. “Wa’allaikumsallam.. Hati-hati di jalan ya, Pah.” balas Arman pada Papanya. “Tut.. tut..tut.” terdengar suara penutup pembicaraan antara Arman dengan papa.
76
Jarum
jam
ditangan
Arman
masih
menunjukan pukul dua siang. Masih ada waktu beberapa jam lagi sebelum bertemu dengan Diba. Seketika itu, Arman terbesit untuk merapihkan penampilannya. Ia ingin menunjukan penampilan terbaiknya. Kesan pertama haruslah dapat memikat perhatian Diba. Seterusnya pasti menggoda.
*
Sebagaimana yang telah dijanjikan, Arman akhirnya sampai dirumah Diba tepat pada waktu. Tatanan rambut klimis dan semerbak aroma parfum, makin membuat Arman percaya diri. Walau itu semua diperoleh dari teman-teman kuliahnya. Arman berjalan penuh keyakinan saat mendekat ke pintu rumah Diba. Degup jantungnya lamat-lamat mulai terdengar. Arman layangkan ketukan kearah pintu kayu tersebut. 77
“Assalamu’allaikum..” “Wa’alaikumsallam.. Siapa itu?” sambar si empunya rumah. “Permisi, Bu.. Saya Arman..” seru Arman dari luar pintu. Dalam beberapa detik saja, pintu rumah
itu
pun
terbuka.
Sosok
Ummi
menyambut kedatangan Arman. “Oh, Arman.. Ada apa kemari?” tanya Ummi ke Arman melalui gerakan di bibirnya yang nampak komat-kamit. “Diba ada, Ibu? Saya ingin bertemu.” tandas Arman tak ragu-ragu pada Ummi. “Sebentar yah. Diba!! Ada tamu nih.” panggil Ummi dengan irama cempreng berpadu logat Betawi. 78
“Iyah, Ummi.. Sebentar lagi Diba akan keluar!”sahut Diba dari balik kamar mandi. “Memang pada mau kemana, sih! Pada rapihrapih.” selidik Ummi dengan tutur kata mengandung kecurigaan. “Kita ingin ke WARNET sebentar saja, Bu.” ungkap Arman dengan rasa hormat pada sosok Ummi. Saat itu juga Diba datang dengan penampilan terbaiknya.
Wajahnya segar berseri, bening lagi bersih, dan wangi tubuhnya juga dapat tertangkap indera penciuman. Jika sudah begini, wajah Diba
sungguh
mirip
dengan
selebriti
perempuan. Nabila Sakieb. Kehadiran Diba membuat Ummi kembali ketempatnya semula.
79
“Bikinin kopi atau teh tuh. Ngopi yah, Man?” pinta Ummi pada Diba. “Terimakasih. Saya tidak lama-lama disini. Karena ingin langsung pergi.” jawab Arman atas suguhan dari Ummi. “(Menyalami) Kak Arman.. Benaran tidak mau
minum
dulu,
Kak?”
ucap
Diba
mengulang pertanyaan umi. “Tidak Diba. Biar nanti pulangnya, tidak larut malam.” balas kembali Arman pada Diba. “Kak, Ummi jangan dipanggil Ibu donk.. Panggil saja, Ummi. Rasanya aneh sekali panggilan, Ibu.” tutur Diba ke Arman. “Iya, deh. Lain kali.. Kakak akan panggil Ummi saja.” tegas Arman ke Diba. 80
“Kakak sudah lama datangnya!” ujar Diba seraya menggerai rambutnya yang masih tampak basah. “Kira-kira.. Lima menit yang lalu kakak datang. Tadinya kakak pikir yang bukain pintu itu, Diba. Eh, ternyata Ummi yang menyambut
kedatangan
kakak.”
ungkap
Arman pada Diba. “Waktu Kakak datang.. Diba masih dikamar mandi. Baru saja selesai mandi. Tuh lihat, masih basah kan badan, Diba.” cetus Diba sembari memperlihatkan t-shirt yang masih basah. “Mau jalan sekarang saja?” tanya Arman lemah lembut pada Diba. “Kakak mau masuk dulu, yah.. Nanti Diba buatkan kopi atau teh.. Lagi pula Diba masih 81
belum beres-beres, kak!” urai Diba sambil tetap bersikeras mengajak masuk Arman kedalam rumahnya. “Iya, kakak masuk. Tapi kakak ngga minum kopi dan teh. Karena akan semakin lama nantinya
kita
berangkat.
Kakak
takut
kemalaman pulangnya, Diba.” seraut wajah canggung memancar dalam diri Arman.
Diba mempersilahkan Arman untuk duduk dikursi. Tempat duduk Arman berhadapan langsung dengan kamar tidur satu-satunya. Sehingga setiap kali ada orang yang masuk ke dalam kamar, dapat terlihat dengan mudahnya. Selang sesaat, Ummi keluar dari kamar. Rambutnya yang berantakan, sudah menjadi ciri khas sosok Ummi. Seolah tak melihat adanya Arman yang tengah duduk, Ummi langsung ngeloyor menuju kearah dapur. Arman memperhatikan gerakgerik Ummi dengan teliti. Ia melihat bahwa diantara dapur dan kamar mandi, terdapat satu buah pintu 82
keluar dari dalam rumah. Pintu keluar itulah yang digunakan Ummi untuk pergi ke tetangga sebelah rumah. Setelah membuka pintu keluar, tampak deretan rumah yang letaknya, persis berhadaphadapan dengan pintu keluar rumah Diba.
Tak lama berselang, Diba keluar dari dalam kamar tidur. Ia tengah menenteng sebuah tas jinjing yang
dilingkarkan
pada
pergelangan
tangan
kanannya. Diba langsung mengambil posisi duduk, bersebelahan
dengan
Arman.
Beberapa
detik
lamanya, ia menatap kearah Arman yang sedang diliputi rasa kikuk. “Sudah siap kita berangkat?” kata Arman pada Diba. “Sekarang kita jalannya, Kak?” balas Diba dengan lugunya.
83
“Ya sekarang donk, masa iya besok kita jalan.” timpal Arman dengan nada enteng. “Sebentar.. Kita pamitan dulu sama Ummi. Tidak enak rasanya kalau belum pamitan.” urai Diba penuh ketegasan pada Arman. “Diba panggil Ummi dibelakang dulu ya, Kak.” ungkap Diba, polos pada Arman. “Ya sudah. Jangan lama-lama ya, Diba. Kakak tidak terbiasa ditinggal sendiri begini.” selak Arman. “Palingan juga Ummi lagi ada ditetangga sebelah. Biasaya sih lagi pada ngerumpi.” jelas Diba sambil beranjak meninggalkan tempat duduknya.
Diba pergi kearah yang dimaksud. Sementara Arman duduk seorang diri diruangan itu. Dalam 84
menunggu kedatangan Diba, Arman mengeluarkan handphone didalam kantong sakunya. Ia memainkan game, yang terdapat didalamnya. Pandangannya, sesekali menatap kesetiap sudut didalam rumah Diba. Ia
melihat
televisi
tabung,
kemudian
beralih
memandang kearah lukisan kaligrafi yang tertanam ditembok rumah. Tulisan kaligrafi arab gundul, terasa sukar untuk diterjemahkan menjadi ayat yang mudah dipahami, “Dari tulisan awalnya, rasanya itu adalah surah Yasin. Oh, bukan surah Yasin, tapi surah AlFatihah. Mungkin ada baiknya ditanyakan makna dari kaligrafi
yang
tertanam
ditembok
rumahnya.
Daripada harus menebak-nebak dan akhirnya menjadi salah”. Pikir Arman dalam hati. Perhatiannya kini, telah mengalahkan aktifitas permainan di handphonenya. Game itu tak lagi disentuhnya.
Tampak Ummi dan Diba yang berjalan dari arah dapur. Tak lagi basa-basi, Ummi langsung melontarkan kata-katanya ke Arman. 85
“Jadi mau pergi juga, Man?” ujar Ummi dengan bicaranya ceplas-ceplos. “Iya, Mi. Kita pamit keluar sebentar. Sebelum maghrib kita sudah pulang.” balas Arman atas kata-kata Ummi. “Iya sudah. Hati-hati dijalan!” cerocos Ummi pada Arman.
Akhir kata-kata Ummi menjadi pertanda, bahwa Diba sudah bisa untuk diajak keluar dengan Arman. Diba dan Arman bergegas keluar dari rumah. Sembari melangkah ketempat parkir sepeda motor, wajah Arman nampak ceria. Hati Arman terasa berbunga-bunga kala ingin jalan berdua dengan Diba. Semua beban perkuliahannya, seakan lenyap sudah. Saat-saat yang dinanti akhirnya kesampaian juga. Sungguh tak pernah dibayangkan sebelumnya, kalau Arman dapat dengan mudahnya mengalahkan Jay, 86
Wahid, Beni, dan Tama dalam memperebutkan Diba. Kini terbukti siapa lelaki sejati diantara yang lain.
*
Sepanjang perjalanan,
Diba tak banyak
berkata-kata. Ia hanya bicara saat Arman mulai bicara dengannya. Jika Arman tidak memulai percakapan, Diba sama sekali tidak akan bicara sepatah kata pun. Situasi yang sama sekali tidak pernah terpikirkan oleh Arman. Gelisah mulai menghantui dipikirannya. Arman menoleh kekaca spion yang memantulkan wajah Diba. Ia tersenyum, tapi seketika itu juga berubah merengut. Sembari mengemudikan sepeda motornya, Arman berusaha untuk mencairkan situasi yang diliputi ketegangan. “Diba! Kenapa dari tadi diam saja?” tanya Arman,
lewat
bahasa
tubuhnya
yang 87
menggeliat kekanan dan kiri. Ia lakukan itu, guna mencairkan suasana. Tapi berakibat motor
yang
dikemudikan
hilang
keseimbangan. “Aduh.. Awas, nanti nabrak!” Diba penuh kekhawatiran. Karena laju sepeda motor tidak lagi stabil. “Diba ngga suka yah, jalan berdua sama Kakak? Dari tadi Diba diam terus.” Arman palingkan
pandangannya
lalu
melihat
kembali ke kaca spion motornya. “Tidak apa-apa kok. Masih jauh ya Kak, internetnya?!” ungkap Diba dengan nada bicaranya yang terdengar ketus. “Sebentar lagi kita akan sampai. Dari sini sudah tidak jauh lagi.” balas Arman pada Diba penuh lemah lembut ke Diba. 88
“Duh.. Diba sudah bosan nih. Kalo tahu begini, mending besok-besok Diba ngga mau ikut ajah.” ujar Diba semakin terdengar uringuringan. “Sabar sebentar ya, Diba. Kira-kira lima menit lagi kita sampai tujuan.”sahut Arman. “Lagian.. Kenapa harus milih tempat yang jauh-jauh begini sih, Kak!” ungkap Diba pada Arman. “Sampai juga akhirnya! Tempat ini tempat favorit Kakak.” tandas Arman ke Diba.
Warung internet atau biasa disebut WARNET itu, telah terlihat keberadaannya. Motor-motor para pengunjung sudah tampak memadati dihalaman muka. Badan motor Arman segera diparkirkan, persis diantara deretan motor pengunjung lainnya. Letaknya 89
yang berada dipinggir jalan raya, memungkinkan setiap orang melihat keberadaan warnet tersebut. Disamping kiri, terdapat ruko-ruko perkantoran yang menjulang tinggi. Sebelah kanan, sebuah tembok beton pembatas wilayah tersebut. Arman coba untuk melemparkan senyum ke Diba. Tapi senyumnya tak dibalas olehnya. Diba masih saja tetap dihinggapi kejenuhan.
Ia
malah
semakin
sibuk
dengan
pikirannya. “Kenapa masih saja cemberut kamu? Hayo donk senyum.. Kalau kamu senyum pasti lebih cantik
terlihat.
Yuk,
kita
masuk
kedalam! Jangan takut tidak ada apa-apa didalam sana. Paling juga kamu bisa melihat komputer dan semuanya.” tukas Arman pada Diba
yang
nampak
tetap
merengut
diwajahnya. Trali besi yang menjadi pembatas masuk kedalam internet, secepatnya dibuka Arman. 90
“(Ketus) Pokoknya kita jangan lama-lama disini, kak.” tegas Diba sedikit mengancam Arman. “Kita tidak akan lama disini. Paling juga cuma satu jam kita ada disini. Kamu itu kenapa? Sepanjang perjalanan bawaannya merengut terus.. Apa kamu ngga suka kemari?”sergap
Arman
seraya
memesan
komputer yang akan dipakainya.
Arman memilih tempat duduk, paling sudut diruangan itu. Wajah Diba, sedikit pun tidak menunjukan sikap ramahnya. “Sebentar ya, Kakak ambilkan kamu minum dulu. Kamu mainin saja dulu komputer ini. Mau minum apa?!” ucap Arman penuh perhatian pada Diba.
91
“Apa saja. Terserah Kakak mau minum apa.” jelas Diba sambil menekuk muka.
Selang kemudian, Arman datang dengan membawa dua botol berisi air teh. Tanpa didugaduga, sikap Diba langsung menolak tawaran dari Arman. Ia tidak mengambil botol yang sudah disodorkan oleh
Arman.
Minuman
itu
hanya
dipandang penuh kecurigaan. “Loh.. Kenapa kamu tidak mau minum?” tandas Arman penuh keterkejutan ketika melihat sikap Diba. Tanpa langsung berkatakata, Arman minum sedikit air teh yang akan diberikan. Ia lantas berucap kembali ke Diba. “Lihat kan.. Tidak terjadi kenapa-napa dan masih
sehat
wall’afiat.”
tegas
Arman,
berusaha untuk meyakinkan Diba.
92
“Kita pulang saja yuk, Kak! Diba sudah bosan ada
disini!”
secepatnya
Diba
habiskan
minuman itu. Tanpa banyak berkata, ia langsung
beranjak
keluar
dari
ruangan
tersebut.
Arman hanya pasrah melihat sikap Diba yang menjengkelkan dan seakan tidak bersahabat. *
93
BAGIAN 4
Dari jarak
sepuluh meter, Arman mendengar
perdebatan antara Diba dengan Ummi. Adanya perdebatan itu, memperlambat laju gerak jalan Arman. Sosor suara Ummi, terdengar membredel setiap pernyataan yang diutarakan oleh Diba. “Tapi Ummi.. Diba itu memang tidak pernah suka sama Farhan.. Kenapa Diba harus dijodohin sama lelaki yang sudah berumur begitu! Umurnya saja beda dua puluh tahun sama umur Diba.” sergap Diba dengan nada terdengar kesal. “Kalau dibilangin sama orang tua, kudu4 nurut..(Mengancam) Mau.. Ntar abah lue itu kena serangan jantung.. Lantaran ngeliat
94
kelakuan
kayak
gini?!”
serang
Ummi,
terdengar menakut-nakuti Diba. “Memang apa hubungannya, sama penyakit Abah.. Maut itu ditangan Allah, Ummi!” balas Diba. “Ah, memang anak kagak pernah tahu diuntung.. Dikasih lelaki yang sudah siap segala-galanya, malah dicuekin. Lihat saja nanti,
bakalan
menyesal
kalau
tahu
kedepannya nanti.. Mana ada sih, orang tua yang mau bikin susah anaknya!” sewot Ummi pada Diba. “Percaya deh sama Diba, Mi.. Diba akan mendapatkan lelaki yang siap lahir-batin. Menjadi Imam dalam rumah tangga, Diba.” Jawabnya berusaha untuk meredam emosi dihati Ummi. 95
“Kagak
bakal
pernah
percaya
Ummi..
(Jengkel) Diba! Ummi itu cuma memberikan yang terbaik buat anak. Kamu ingat selalu itu!” tegas Ummi, berupaya lemah lembut pada Diba. “Tuh! Pasti ujung-ujungnya kayak gini kan?! Tetap saja Ummi tidak pernah percaya, kalau Diba itu mampu berdiri sendiri. Kenapa Diba tidak boleh hidup mandiri. Berdiri sendiri, Ummi!” ungkap Diba semakin meluapkan kekesalannya. “Hah.. Memang dasar tambeng5.. Lihat saja, bakalan kualat nantinya!” terang Ummi, lebih meninggi dari nada bicara Diba. “(Memeluk) Mi.. Diba akan berusaha untuk memberikan
yang
terbaik
buat,
Ummi.
Percayakan Diba mampu. Pasti Diba bisa 96
mengangkat derajat keluarga kita ini?!” urai Diba lemah lembut. “Pokoknya sampai ada kenapa-napa, makan tuh sendiri akibatnya. Palingan juga dapat laki-laki miskin! Tapi kan sudah Ummi bilang dari jauh-jauh hari, yah!” semprot Ummi berusaha menghindar dari pelukan Diba.
Percakapan
itu
pun
langsung
terhenti,
manakala mendengar gesek kaki milik Arman. Diba dan Ummi langsung memutus perdebatan yang tengah terjadi. Setelah berucap salam, Arman masuk kedalam rumah. “Assalamua’allaikum.. “ ucap Arman dengan nada santun ke Diba dan Ummi. “Wa’alaikumsallam!!” jawab Diba dan Ummi dengan kompaknya. 97
“Permisi, Ummi.. Arman ingin bertemu dengan Wahid!” tegas Arman, sembari ia membuka pintu pagar rumah. “Iya.. Langsung naik keatas saja, Man!” serobot cempreng suara Ummi pada Arman. “Makasih
ya, Ummi!” Arman langsung
beranjak naik keatas. Disisi lain, Diba terlihat curi-curi pandang ke Arman. Begitu pun sebaliknya Arman terhadap Diba.
Beberapa
langkah
saja,
Arman
sampai
didepan pintu masuk kos-kosan Wahid. Sejurus, ia melihat bahwa disana sudah ada, Tama, Wahid, Bang Sani, dan Darto. Mereka tengah berada diruang tengah. Darto sedang membaca sebuah majalah. Tama disibukan mencoret-coret jadwal latihan yang ada
ditangannya.
Sementara
Wahid
terlihat
menggelinjang geli akibat kerokan Bang Sani. Berkali-kali,
Wahid
memperlihatkan
ekspresi 98
kegelian dan kesakitan. Dipunggungnya kini sudah terbentuk garis-garis merah hasil kerokan dari Bang Sani. Arman melihat rasa lelah yang sedang dialami oleh teman-temannya yang sudah membantu. Tak sampai hati, ia ingin mengajak teman-temannya untuk berlatih. Tapi disisi lain, Arman tidak ingin membuat dosen pembimbing kecewa dengan tidak adanya latihan pada hari itu. Ia dekati Darto, yang berperan sebagai pimpinan produksi di group Arman. “Man.. Datang juga akhirnya!” tanya Tama, sambil membolak-balikan kertas jadwal yang dipegangnya. “Pasti datang donk. (Pada Wahid) Waduh, lagi dikerok sama Bang Sani, nih!” canda Arman ke Wahid.
99
“Ia nih, Man. Masuk angin. Karena begadang terus!!” tutur Wahid dengan nada bicara ketus yang tak terlalu jelas terdengar. “Terimakasih ya, Hid. Karena sudah banyak membantu di ujian akhir. Semoga kerja keras itu bisa membuahkan pahala yang setimpal. (Pada Darto) To, boleh kita bicara sebentar?” pinta Arman ke Darto yang nampak asik membaca majalah bekas. Permintaan Arman segera disambut Darto. Ia lantas menghampiri Arman. “(Menghampiri) Ada apaan, Man?” ujar Darto. Arman kemudian mengajak Darto keluar menjauh dari teman-teman lainnya. “Diluar saja kita bicaranya. Sebab ada sesuatu hal penting yang harus dibicarakan.” urai Arman dengan nada setengah berbisik ke Darto. Keduanya melangkah keluar ruang 100
tengah. Lantas mengambil spot diantara pintu masuk. “Kenapa?” tanya Darto pada Arman. “Begini..
Sekedar
mau
tanya
tentang
keuangan. Tidak apa-apa kan ya?!” papar Arman. “Oh.. Masalah itu. Ya ngga apa-apa kok, Man. Sebentar diambil dulu pembukuannya.” Darto berlalu dari hadapan Arman guna mengambil pembukuan yang berisi semua catatan transaksi keuangan diproduksi Arman. Setelah ia berhasil mendapatkan buku yang dimaksud, secepatnya Darto kembali ke Arman. “Gimana, To? Coba lihat transaksi apa saja yang sudah terjadi?!” jelas Arman, seraya mengambil buku yang disodorkan oleh Darto. 101
Ia kemudian membuka halaman pertama buku yang ada ditangannya. “Semuanya sudah dicatat satu-persatu. Disana juga ada kwitansi tanda terima seluruh transaksi. Mulai dari pembelian air minum, untuk acara tumpengan besok, dan semua kegiatan.”
urai
Darto
berusaha
untuk
menjelaskan hasil kerjanya. “Sebentar.. Biar dilihat semuanya dulu.” satu persatu setiap lembar yang berisi semua keterangan transaksi yang terjadi, diamati dengan teliti. Arman sisir lembar-lembar kwitantasi dan bon yang menempel pada buku tersebut. “Hasil uang kas yang kita punya tinggal satu juta, Man. Uang itu tidak akan cukup, sampai pementasan besok. Untuk acara tumpengan besok saja, kita butuh dana.. Sekitar tiga ratus 102
ribu rupiah. Belum lagi biaya konsumsi dan uang makan tim art yang begadang sampai larut
malam. Jadi minta tolong, untuk
dikirimkan lagi uang tambahan.” ungkap Darto
dengan
nada
lemah
lembut
pembawaannya. “Ya.. Insyallah besok akan kasihkan. Mudahmudahan kalau tidak ada halangan.. Pagi atau sore akan ditransfer ke rekening.” jelas Arman sambil
tetap
membolak-balikan
setiap
halaman yang berisi semua tulisan Darto. “Man.. Maaf.. Apa tidak bisa malam ini juga dikirim uangnya. Supaya besok pagi-pagi benar, sudah bisa kesana-kemari. Membeli semua kebutuhan untuk acara tumpengan. Malamnya kan sudah masuk gladi resik.” sergap Darto dalam nada penuh tekanan ke Arman. 103
“Kalau hari ini belum bisa, To. Sebab orang tua juga sudah tidak ada biaya lagi untuk produksi ini. Ini saja dipinjam sana-sini. Besok pagi atau siang.. Insyallah bakalan ditransfer. Sorenya, bisa kita pergunakan uang itu. To, hari ini kita jadi latihan atau ngga?” papar Arman pada Darto. Ujung kata-kata Arman agaknya membuat Darto sedikit kebingungan.
Ia
sadar,
bahwa
teman-
temannya seperti tidak sanggup untuk berlatih lagi. Apalagi melihat kondisi Wahid yang sedang masuk angin.Tapi disisi lain, ia terlihat tidak enak hati dengan Arman. Ditambah lagi janji dengan dosen pembimbing yang akan melihat latihan untuk yang terahkir kalinya. “Wah, Gimana ya Man. (Menggaruk kepala). Hari ini kelihatannya kita tidak bisa latihan dulu. Percuma saja kita latihan, kalau kondisi teman-teman sangat memprihatinkan. Wahid juga sedang masuk angin. Tadi di SMS sama 104
si Jhon.. Dia kasih kabar, kalau dia absen dulu untuk latihan. Karena dia masih sibuk dengan pekerjaannya, Man. Tapi jika memang kita terpaksa harus latihan juga.. Ya, paling tidak kita bisa mulai latihan sehabis Isya, Man. Bagaimana?” tukas Darto pada Arman. “Jhon tidak bisa latihan hari ini? (Jengkel) Mau ujian atau tidak ya.. Kayaknya dari kemarin dia selalu absen latihan terus ya, To. Padahal hari ini kan kita sudah ada janji sama dosen pembimbing. Sebenarnya, kita bisa-bisa saja tidak latihan hari ini.. Masalahnya itu dosen
pembimbing
yang
nantinyaakan
kecewa, To?! Apalagi tadi sudah ketemu sama bang Nandar. Alumni kita dulu yang sudah pernah membawakan naskah drama yang sama. Dia saja sampai nanyain teman-teman semua pada kemana?” urai Arman dengan nada terdengar kesal terhadap berita yang diberikan oleh Darto. 105
“Coba kita bicarakan lagi dengan Tama dan Wahid. Siapa tahu saja dia bisa cari jalan keluarnya?!” ungkap Darto. “Ide bagus tuh. Siapa tahu saja, mereka bisa latihan hari ini. Sayangkan, kalau ada dosen pembimbing dan kita tidak ada latihan hari itu. Tidak apa-apa kalau kita harus latihan dengan tim yang tidak lengkap. Sebab terpenting
kita
sudah
berusaha
untuk
berlatih.” balas Arman atas perkataan dari Darto.
Keduanya lantas kembali ketengah-tengah Wahid, Tama dan juga bang Sani. Wahid nampak baru selesai dengan pijat-memijat yang diberikan secara cuma-cuma oleh bang Sani. Seluruh anggota badannya seketika dilekukan kekiri dan kekanan. Sampai akhirnya, beberapa bagian sendi dibadan Wahid mengeluarkan bunyi. Kala melihat Arman, 106
Wahid memasang wajah yang masam. Arman menangkap ekspresi wajah Wahid, ia sadar bahwa temannya itu sudah tidak lagi sanggup berlatih. Sebab itu, Arman tidak langsung bertanya ke Wahid. “Hari ini, kita tidak jadi latihan ya, Ma?” tanya Arman ke Tama. “Sepertinya tidak mungkin kita berlatih. Banyak yang tidak bisa datang untuk latihan. Kalau dipaksakan akan percuma. Bisa-bisa besok, waktu gladi resik kita semua ngga akan tampil maksimal. Lebih baik kita tunda saja latihan hari ini?!” jelas Tama, sambil memasang wajah sedikit memelas ke Arman. “Betul tuh.. Ngapain semua latihan, kalau keadaan pada sakit-sakitan begini. Paling juga sampai tempat latihan. Semua nantinya akan cari-cari kesalahan. Ujung-ujungnya pada ribut sesama teman deh. Jangan begitu 107
donk?!”
terka
Bang
sani,
memotong
pembicaraan yang terjalin. “Kepinginnya sih tidak ada latihan. (Pada Tama) Bagaimana ya, Ma! Kalau tidak jadi latihan hari ini sih tidak masalah. Tapi kita ada
jadwal
pertemuan
dengan
dosen
pembimbing?” ungkap Arman datar. “Dihubungi saja. Siapa tahu saja, dia masih belum berangkat kekampus.” ujar Tama pada Arman. “Baiklah. Mudah-mudahan saja dia bisa ngertiin keadaan kita ya, Ma!”Arman segera mengambil handphone disaku celana. Ia kemudian, menjauh dari teman-temannya.
Usai pembimbing,
memberi
kabar
Arman
segara
berita kembali
ke
dosen
ketempat
semula. Ia menyampaikan percakapan yang telah 108
terjadi. Tama, Darto, Wahid, dan Bang Sani memperhatikan apa yang sedang diutarakan oleh Arman. Bersamaan dengan itu, suara adzan maghrib terdengar berseru lantang, mengajak segenap umat untuk lekas beribadah. *
109
BAGIAN 5
Sepekan kemudian..
Tebet.
Warung pinggir jalan. Langit tak lagi
mendung, tapi tak juga berbintang. Cuaca dingin rasanya sudah seperti jarum yang menusuk kedalam pori-pori kulit. Malam itu, Arman mengajak Diba pergi kesuatu tempat. Sebuah warung yang terletak di pinggir jalan, agaknya sesuai untuk sekedar dapat berduaan dengannya. Ia ingin merayakan hari kelulusannya bersama Diba. Sebelum memesan menu makanan,
Arman
melihat
mobil-mobil
milik
pengunjung yang terdapat disekitarnya. Warung itu tidaklah teramat istimewa, hanya sebuah warung berukuran ala kadarnya. Lengkap dengan sajian menu makanan yang sederhana. Menu makan yang 110
disajikan berkisar; roti bakar aneka rasa, minuman berbagai rasa, dan bermacam-macam rasa olahan makanan berbahan dasar mie instant. Entah apa dan mengapa alasannya, setiap muda-mudi gemar sekali kongkouw-kongkouw disana. Menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk sekedar bercengkrama. Apabila mereka tidak bisa mendapat tempat duduk didalam warung, mereka rela untuk duduk diemperan pinggir jalan hanya dengan beralaskan selembar kertas koran.
Suasana hati Diba tak seperti sewaktu pertama kali jalan berdua Arman. Kala itu, ia nampak bersemangat, riang-gembira, dan banyak bicara. Tindak-tanduknya, sungguh seirama dengan motif totol di t-shirt yang sedang dikenakannya. Ia bagaikan seekor macan betina yang akan memangsa lawan bicaranya.
111
“Kak.. Kita duduk disana saja! Di dalam sumpek dan pengab, Kak?!” ajak Diba ke Arman. “Terus pesan makanannya sekarang atau nanti saja waktu kita disana, Diba?” balas Arman lewat pertanyaan darinya. “Sekarang juga tidak apa-apa. Diba lagi mau makan mie rebus cornet-keju, kak?!” sergap Diba sembari melemparkan pandangan liar kesetiap orang-orang yang berada didalam warung tersebut. “Ya sudah, kalau begitu kita pesan sekarang saja. Nanti biar minta tolong untuk diantarkan ketempat kita duduk.” jawab Arman ke Diba. Arman segera menyapa tukang warung. Ia meminta daftar menu makan.
112
“Pesan mie atau nasi goreng gila..” tebak tukang warung ke Arman. “Ga ah, saya ngga mau nasi goreng gila. Takut nanti jadi ketularan gila, Pak. Coba saya mau lihat menunya dulu.” timpal Arman ke tukang warung. “Ini menu makanannya. Silahkan dipilih sesuai selera ya, Mas.” terang tukang warung berkumis lebat itu. “Makasih pak. Sebentar kita lihat-lihat dulu menu makanannya.” ungkap Arman, seraya melihat kearah Diba disebelahnya. “Silahkan. Ditulis pesanannya disini.” tukang warung itu lantas memberikan buku order. Ia pun berlalu dari hadapan Arman.
113
“Diba mau pesan mie cornet pakai keju, Kak?!”
sergap
Diba.
Arman
langsung
menuliskan pesanan Diba diatas lembar buku kecil order makanan tersebut. “Kakak mau pesan apa ya.. Kayaknya lagi malas makan nih. Hah, Kakak mau pesan minum aja deh. Es capucino?!” terang Arman sambil menuliskan orderannya. “Kenapa tidak makan, Kak?! Pesan saja roti bakar. Buat temani Diba makan.” seru Diba dengan menampakan kerut diwajahnya. “Iya, tidak tahu kenapa.. Rasanya Kakak lagi malas makan nih. Kamu mau minum apa Diba.” timpal Arman lugas. “Diba pesan minum es jeruk, Kak. Tidak usah pakai es deh. Biar hangat.” papar Diba ke Arman. 114
“Jadi pesanan kita itu.. Pertama, mie rebus cornet keju. Terus, es capucino dan jeruk hangat.”
kata
Arman
seraya
membaca
tulisannya. “Sudah.. Kakak pesan roti bakar. Nanti biar Diba yang bayar.” tegas Diba, sedikit mendesak ke Arman. “Bukan permasalahan membayar Diba.. Tapi beneran deh, Kakak memang lagi malas makan. Jadi sudah komplit semua pesanan kita ya!” urai Arman. “Diba pesan itu saja. Tidak ada yang lain lagi.” balas Diba atas perkataan dari Arman.
Dari
perkataan
Diba,
Arman
lekas
memberikan buku kecil orderan tersebut. Tukang warung yang masih bergumul dengan 115
pesanannya
seketika
langsung
berhenti
manakala Arman menghampirinya. “Sudah dipesan menu makanannya?” terka tukang warung pada Arman. “Iya. Semua yang saya pesan ada disitu. Bisa minta tolong buat dihantarkan, Pak?” jawab Arman dengan nada bicara datar. “Bisa. Duduknya dimana?” ujar tukang warung. “Dimana ya.. Nanti dibawakan lebih dulu saja, Pak. Biar kita akan panggil. Saya juga belum tahu mau duduk dimana. Karena tempat duduknya penuh semua, Pak. Minta tolong dihantarkan ya, Pak.” ungkap Arman ke tukang warung. Ia lantas mengajak Diba keluar dari warung tersebut. 116
Persis didepan warung, terdapat jalan raya menuju ke segala arah. Pengunjung biasanya menempati tempat duduk dikanan-kiri warung. Berhubung keadaan warung kala itu memang sedang ramai, pengunjung yang datang memilih duduk didepan
pagar
rumah-rumah
penduduk.
Diba
menangkap situasi itu, ia rupanya tak ingin duduk didepan pagar rumah orang. Apalagi harus duduk dilantai
semen
yang
kotor
dalam
keadaan
pencahayaan yang remang-remang. Arman segera mencari tempat yang tepat untuk Diba. Matanya memandang
kecelah-celah
yang
memungkinkan
dapat duduk. “Nah”, ucapnya dalam hati. Ia menemukan sebuah tempat yang cocok untuk berduaan dengan Diba. Sebuah poskamling tak bertuan,
rasanya
sesuai
dengan
gambaran
dibenaknya. “Kita duduk disana saja?” ujar Arman pada Diba. 117
“Ya, Kak. Kita kesana yuk!” balas Diba, sembari melangkah ketempat yang maksud.
Kala melangkah seirama, sepintas Arman melihat kearah Diba. Ia mendapati sorot matanya yang liar tak tentu arah. Sesekali ia menatap kearah para pemuda yang tengah nongkrong disamping warung.
Lalu
kemudian pandangannya
beralih
ketempat sekelompok wanita yang tampak asyik menghisap tembakau ditangannya. Sungguh tak dapat dipahami apa yang kini sedang dilakukannya. Namun pandangan itu seperti membuat orang-orang bereaksi terhadapnya. “Kamu lagi lihat siapa?” tukas Arman sambil melangkah mendekat kearah poskamling. “Tidak lihat apa-apa, Kak! Itu tempatnya serem.. Apa tidak bisa kita duduk ditempat lain saja?” tanya Diba, sedikit terdengar takut. 118
“Dimana lagi yah.. Kakak yakin tidak akan kenapa-napa kok.” terang Arman.
Dalam satu, dua, tiga langkah, keduanya sudah sampai ke poskamling tersebut. Tempat itu, berada tepat dipertigaan jalan besar. Kesan yang diperoleh ketika menginjakan kaki disana adalah kumuh, kotor, miskin pencahayaan. Arman segera mengambil
tempat
duduk
dihalaman
muka
poskamling tersebut. “Kita duduk disini saja. Kalau didalam terlalu gelap.Tapi kita duduk pakai apa yah!” ujar Arman. “Iya benar. Pakai apa yah kita duduk. (Melihat kearah tempat duduk) Kotor begini tempat duduknya.” balas Diba tak tahu harus berbuat apa.
119
“Tidak mungkin kita langsung duduk kan?!” kata Arman seraya mencari alas duduknya. Ia lihat kekiri, tak terdapat apa-apa. Kemudian ia cari disebelah lain, juga tidak ada apa-apa. “Masa kita harus makan berdiri sih, Kak.” sergap Diba terdengar mulai jengkel. “Nah, sebentar yah. Biar Kakak minta koran bekas diwarung itu. Siapa tahu saja punya alas untuk dapat kita duduki.”jawab Arman, guna meyakinkan Diba. “Betul, Kak. Minta saja sama tukang warung. Masa dia tidak punya koran bekas atau apapun bisa dijadikan alas tempat duduk kita?!” tegas Diba sambil berusaha membantu Arman mencarikan alas untuk duduk.
120
“Kakak sebentar kesana yah.” balas Arman sambil melangkahkan kaki seribu menuju ke warung.
Disaat menanti kedatangan Arman, Diba mengambil handphone yang berada dalam genggaman tangannya. Lalu mengirimkan sebaris pesan singkat yang mengabarkan keberadaannya. Tak lama berselang Arman kembali
dengan
membawa
koran
yang
dimaksud. “Kita duduk disini saja, Diba.” seru Arman pada Diba. “Terimakasih ya, Kak. Diba sudah lapar nih, Kak.” “Sebentar juga pasti datang kok. Tuh dia! Benarkan apa kata, Kakak.” sergap Arman pada Diba. 121
“(Memanggil) Mas!! Kemari.. Kita duduk disini.” panggil Diba pada si pengantar orderan. Pria baya yang membawa nampan itu langsung menyebrang dan mendekat kearah Arman dan Diba. “Kayaknya dia tidak membawakan pesanan kita semua, kak.. Tuh lihat.. Sambalnya tidak ada, kak.” terka Diba ke Arman. “Tenang.. Mungkin nampannya penuh. Jadi dibawakanya belakangan.” papar Arman ke Diba.
Dalam sekejap pengantar makanan itu pun sudah berada dihadapan Diba dan Arman. “Kenapa Kakak tidak mau makan? Nih, kita makan berdua.” pinta Diba pada Arman. 122
“Terimakasih Diba. Tapi, benaran deh.. Kakak sedang malas makan.” jawab Arman dengan datarnya.
Pengantar makanan itu kembali. Ia memberikan semua yang diminta oleh Diba. “Jadi berapa semuanya, Mas?” tanya Arman ke pengantar makanan. “Sudah nanti saja bayarnya. Kasihan dia, bolak-balik terus. Sampai keringatan begitu.” sela Diba ke Arman. “Nanti saja, Mas.. Biar nanti kita akan bayar.” balas Arman. “Kak, kalau kemarin itu.. Berapa lama sih proses latihannya? Banyak yah hafalannya.” ujar Diba pada Arman. 123
“Kita sudah menjalani latihan selama.. Empat sampai enam bulan, Diba. Mengenai hafalan sih.. Lumayan menguras pikiran. Kakak dituntut untuk menghafal sekitar sepuluh lembar halaman penuh. Dialog kakak juga panjang-panjang, Diba. Semua itu karena tokoh yang Kakak perankan.. Tidak keluar masuk panggung. Jadi dari mulai awal pertunjukan, sampai dengan selesai.. Kakak memang
harus
diam
ditengah-tengah
panggung. Tanpa minum, tanpa isthirahat sedikit
pun.
Alhamdulillah..
Hasilnya
memuaskan. Kakak percaya, Dimana ada kemauan, Allah pasti akan menunjukan jalan. Sesulit apapun situasi yang sedang kita hadapi.” urai Arman dengan percaya diri yang tinggi. “Kalau Diba, waktu nyanyi diatas panggung dulu. Juga harus menghafal lirik lagu, Kak. Tapi yah, tidak sebanyak Kakak sih.” canda 124
Diba makin menghangatkan suasana malam itu. “Selama Kakak mempersiapkan ujian akhir.. Kesibukan kamu apa?” tanya Arman ke Diba. “Diba,
ada
berita
bagus
Kak.
Syukur
Alhamdulillah.. Diba sudah diterima kerja di restoran pizza.” tuturnya dengan kebanggaan yang tersembunyi. “Hebat kamu. Berarti kamu sudah lama kerja donk, yah!” jawab Arman ke Diba. “Masih
di
training,
Kak.
Jadi
belum
sepenuhnya bekerja.. Statusnya juga masih freelance kok, kak!” ujar Diba. “Apapun pekerjaan kita.. Asalkan kita senang dan gembira menjalaninya.. Semua itu pasti 125
tidak akan pernah jadi beban. Tapi itu menurut kakak, loh.” tutur Arman ke Diba. “Selesai dari kuliah.. Kakak mau cari kerja dimana?” tanya Diba pada Arman. “Dimana yah.. Aduh, kalau Kakak kepingin jadi aktor atau bintang film.” gurau Arman ke Diba. “Diba rasa, Kakak memang cocok jadi bintang film. Haha...” tawanya riang Diba. “Kakak selalu berdoa.. Agar dapat diberikan yang terbaik dalam mendapatkan pekerjaan, Diba!” ucap Arman teramat teduhnya.
Petir menyambar-nyambar, hingga berahkir dengan jatuhnya bulir-bulir air dari atas mega. Hujan pun turun membasahi debu-debu jalanan. Suasana makin terasa sendu dan romantis. Arman menatap 126
lama ke Diba. Ia pun membalas tatapan Arman. Kadang-kadang Arman tersenyum sendiri. Sangat bahagia atas kesempatan yang sudah terjadi. “Kakak kenapa sih.. Kok, senyum-senyum sendirian aja!” tutur Diba ke Arman. “Tidak ada apa-apa, Diba. Kakak hanya sedang merasakan bahwa hidup ini penuh misteri! Sedikitpun Kakak tidak pernah membayangkan akan bertemu dan berdekatan sedekat ini sama kamu.” jelas Arman sambil tersipu malu. “Hujannya tambah besar, Kak. Aduh gimana ya kita pulangnya!!” Diba mulai gelisah. Ia tak lagi memakan makanan yang sudah dipesannya. “Sabar. Sebentar lagi juga reda.” ucap Arman, menenangkan Diba. 127
Hujan turun dengan derasnya. Arman dan Diba, perlahan menyingkir dari tempat duduknya. Keduanya mengambil tempat berteduh didalam poskamling. “Pakai
saja
jaket
Kakak
ini...”Arman
menyodorkan jaket pada Diba. Jaket itu kemudian dipakai oleh Diba. Keduanya lantas terlibat adu pandang.
Tak lama berselang, hujan yang tadinya deras berubah menjadi gerimis. Betapa bahagianya Diba, kala melihat perubahan cuaca tersebut. “Akhirnya reda juga hujannya yah, Kak. Kita pulang yuk. Diba sudah di SMS terus, nih!” pinta Diba pada Arman.
128
“Yuk
kita
pulang..
Biar
nanti
tidak
kemalaman. Kakak juga khawatir akan hujan lagi.” balas Arman.
Arman menuju ke warung guna membayar makanan
dan
minuman
yang
sudah
diorder.
Sementara Diba, bergegas ketempat sepeda motor yang diparkirkan. Diba yang mulanya terlihat gembira, sentak berubah menjadi murung. Berkalikali ia perhatikan handphone yang berada dalam genggaman tangannya. Hatinya gundah dan gerakgeriknya mulai berubah panik. Arman yang berada didekatnya, mencoba untuk memberikan perhatian padanya. *
129
BAGIAN 6
Selang beberapa bulan kemudian..
Ciawi.
Awan gelap masih menutup birunya
langit. Aspal jalan tampak belum kering benar. Masih terdapat sisa-sisa genangan air dipermukaan jalan. Angin gunung, udara lembab berkabut, dan semerbak wangi uap daun teh, makin terkesan romantis. Sehabis menempuh perjalanan panjang yang banyak menguras tenaga, Arman dan Diba memutuskan untuk beristhirahat sebentar diwarung kelontong, dikaki gunung. Warung kelontong itu nampak lengang.
Dagangan
berupa;
umbi-umbian,
air
mineral, rokok berbagai merk, snack, dan kebutuhan lainnya, masih tertata rapih ditempatnya masingmasing. Sebagaimana layaknya barang dagangan 130
yang tidak pernah diminati oleh setiap orang yang singgah. Warung yang berdiri diatas tebing curam itu, terasa membuat bulu kuduk berdiri. Suasana penuh kengerian makin bertambah dengan adanya jaring laba-laba yang menghias dilangit-langit sudut warung tersebut.
Rasa ketakutan itu, perlahan mulai tertelan oleh rasa penasaran yang mendalam. Bak sorang detektif,
Arman
jejaki
seluruh
ruangan
yang
membuat warung itu seolah tak lagi berpenghuni. Sedang Diba, tak sedikitpun sudi untuk melepaskan ikatan
jari
jemari
tangannya
dengan
Arman.
Ekspresinya mengandung ketakutan. Irama langkah kakinya, tak berupaya ingin mendahului Arman didepannya. Mulanya Arman menyisir kearah jejeran bangku-bangku
plastik
didalamnya.
Ia
tak
menemukan sosok si pemilik warung. Kemudian ia melongok kebangunan lain disebelahnya. Tiada seorang pun yang berhasil ditemukannya. Lantas Arman kelilingi area warung itu dari ujung ke ujung, 131
namun hasilnya tetaplah nihil. Ia hela nafas panjang sebagai
pertanda
pencariannya
yang
sia-sia.
Pencarian itu membuat Diba memilih untuk menjauh dari Arman. Gurat diwajahnya menunjukan adanya kengerian. Arman sempat terkejut kala melihat kepergian Diba. Ia berpikir bahwa Diba sudah bersikap arogan, dengan meninggalkannya seorang diri.
Akan
tetapi
pikiran
itu
buru-buru
dihilangkannya, Arman sadar masih harus tetap melakukan pencarian keberadaan si pemilik warung. “Pak... Bu.. Permisi!! Assalamu’allaikum!” seru Arman memanggil-manggil si pemilik warung. “(Senyap)” tidak ada satu pun jawaban yang menyahut panggilan Arman.
Selang beberapa menit berlalu, sosok pria dan wanita berusia lanjut, menampakan dirinya dari balik tebalnya kabut. Sosok keduanya itu, terlihat tengah 132
memikul beban berat dipunggungnya. Beban itu tidak lain ialah batang-batang kayu yang sudah dibungkus apik dengan kain hitam. Didalam keremangan kabut gunung, Arman segera menangkap keberadaan kedua sosok makhluk tersebut. Seolah percaya tak percaya, ia gosok-gosokan katup matanya dengan jari jemarinya, guna memastikan bahwa itu bukanlah sosok penampakan makhluk halus. Diba akhirnya ikut pula bereaksi terhadap kedatangan kedua orang tersebut. “Kak.. Itu mungkin yang punya warung datang!!” cetus Diba dengan volume bicara yang terdengar meninggi. Arman menoleh ke sumber panggilan. Bergegas Diba langsung hampiri Arman yang masih berdiri persis didepan warung kelontong.
133
“Pak.. Bu.. Permisi, Assalamu’allaikum!!” seru kembali Arman pada kedua orang itu. Panggilan
itu,
lagi-lagi
diabaikan
oleh
keduanya. “Maaf pak.. Bu.. Bapak yang punya warung ini?” ucap Diba ketika Kakek dan Nenek itu semakin mendekat padanya. “Ada apa jang?” tanya Kakek pada Arman, dengan irama bicaranya yang terdengar berat lagi serak. Nenek yang ada ditengah, memilih untuk
berlalu
pergi
kedalam
warung
kelontong miliknya. Membawa batanganbatangan kayu kepunyaannya, dan juga kepunyaan kakek. “Saya kira tadi memang tidak ada penjaganya. Saya ingin beli air mineral pak?! Sekalian juga sama beberapa snack. Kamu mau beli 134
apa?” terang Arman, sambil menjaga posisi jarak dengan sang kakek. “Diba mau beli ini aja, Kak. (Mengambil wafer). Sama sekalian teh kotaknya deh?!” ungkap Diba ke Arman. “Sudah semuanya. Kita isthirahat sebentar disini yah? Kayaknya kakak benar-benar sudah kecapean banget. Lagian juga masih jauh perjalanannya. (Pada Kakek) Berapa jadi semuanya, Pak?” tanpa berkata, Arman langsung menyodorkan uang dalam pecahan nominal besar. Kakek menerima uang itu dengan membawa ekspresi diwajahnya yang mengandung penuh misteri. “Ya sudah, Kak. Tapi jangan lama-lama, nanti kita
bisa
kemalaman
sampai
kedaerah
Curugnya? Apalagi keliatannya sudah mau mendung lagi kak. Bisa-bisa hujan ditengah 135
jalan nantinya. Jadi mendingan habis kita minum, langsung jalan lagi saja.” tandas Diba dengan yakinnya. “Pak.. Kita numpang isthirahat sebentar yah!” ujar Arman pada kakek. Melalui gerakan tubuhnya, Arman kemudian memberi sinyal mengajak Diba duduk diatas tugu semen, persis disamping warung kelontong tersebut. “(Tidak menjawab)” sahut dinginnya kakek itu tidak menjawab pertanyaan dari Arman. Ia hanya menyodorkan sisa uang kembalian yang telah diberikan oleh Arman. Lalu pergi dari hadapannya, menuju kesebelah lain.
Arman dan Diba duduk diatas tugu semen yang bersebelahan dengan warung kelontong. Hawa gunung semakin lama makin terasa dingin menusuk. Diba menarik resleting jaket jeans miliknya. Lalu diselipkan kedua ujung tangannya, kedalam kantong 136
kiri-kanan jaketnya. Setidaknya hal itu bisa berguna untuk menahan hawa dingin yang menjalar disekitar daerah pergelangan tangan. Sementara Arman lama kelamaan juga merasakan hawa dingin yang mulai merambat dengan cepatnya, berkali-kali ia terlihat menggosok-gosok kedua telapak tangannya.
Dingin itu masih belum juga mau beranjak pergi. Dingin yang akhirnya membuat kerongkongan terasa kering kerontang. Guna mengusir dehidrasi yang kian merasuk, Arman basahkan tenggorokan itu dengan air mineral. Manakala Arman ingin mereguk kenikmatan air mineral, tatapannya beradu pandang dengan Diba. Sorot mata itu, seakan-akan tengah mencari perlindungan didalam pergolakan batin yang kian merajam. Pandangan yang begitu penuh dengan kehangatan. Entah apa yang merasuki pikirannya, hingga ia pun lekas menyambut sorot mata Arman. Ia kini tak lagi sekaku kali pertama bertemu. Wajahnya tak perlu memakai riasan untuk 137
memancarkan kecantikan. Cukup dengan apa yang sudah terdapat diwajahnya yang alami.
Arman tahu benar, Diba masih merasa telah diperhatikan dengan detil. Diba agaknya mulai terasa risih
diperhatikan,
tapi kerisihan
itu
tidaklah
membuatnya menjauh dari Arman. Justru telah menanamkan rasa kebanggaan yang mendalam dipikirannya.
Ia
seolah-olah
merasa
seperti
diperlakukan bagaikan seorang ratu. Sepasang anak manusia kini telah menyatu padu dalam kungkungan hawa dingin yang menemaninya. “Kak.. Kita tidak jadi ke Curug?” tanya Diba dengan lemah lembut lagi manja. “Jadi donk. Kalau tidak jadi, Kakak takut nanti kamu ngga mau ketemu kakak lagi. Rasanya Kakak kalau lagi begini, tidak ingin terpisah dari kamu!” ujar Arman terdengar melankolis. 138
“Kakak gombal. Kapan-kapan kita jalan rame-rame yuk. Sama Ummi terus juga sama si Ria dan juga teman Diba, Kak?! Pokoknya kita jalan rame-rame saja, Kak.” balas Diba pada Arman. “Sekarang kita sudah jalan. Perasaan dari kemarin kita setiap Sabtu dan Minggu, selalu jalan-jalan terus yah. Tapi tidak apa-apa, deh. Hitung-hitung Kakak mau ngilangin rasa jenuh kerja dikantor.” cetus Arman sambil matanya mengikuti laju mobil yang melintas didepannya. “Janji yah. Kalau bulan depan bagaimana? Kita pergi kemana?” tanya Diba penasaran. “Kakak juga bingung kalau ditanya mau kemana?! Tapi Kakak kepingin pergi kesuatu pulau.” tukas Arman, dengan penuh perhatian. 139
Ia kemudian membelai rambut sang kekasih dengan rasa cinta kasih. “Kak, bagaimana keadaan dikantor? Enak apa tidak suasana kerjanya. Pasti enak ya Kak, suasana kerjanya. Diba saja kepingin banget kerja dikantoran.” ungkap Diba dengan lugunya. “Bagi Kakak sama saja. Pasti ada kurang dan lebihnya. Tapi sejauh ini sih, Kakak merasa nyaman kerja disana. Orang-orangnya baikbaik semua. Setiap hari atasan kakak selalu memberi pelajaran yang berharga buat kakak, dik. Dia itu udah kakak anggap seperti ibu sendiri. Baik banget dan juga royal. Dalam sekejap
Diba
sudah terlihat
menyender
dipangkuan Arman. “Memang dia itu sekolahnya tinggi ya, kak? Kalau dosen itu apaan sih? Bedanya kalau 140
sama guru apa?” ucap Diba cuek tanpa basabasi. “Iya benar. Dia sekolahnya sampai magister atau S2. Tapi dari penampilannya, wibawanya serta
kesehariannya
penuh
dengan
kesederhanaan.” benar-benar sosok seorang bos idaman kakak. Selain itu pula, jika kita punya
saran
bermanfaat,
dia
ataupun
masukan
yang
akan
berusaha
untuk
mewujudkannya. Oh ya. Tadi kamu tanya tentang dosen ya?! Menurut Kakak, dosen itu tidak berbeda jauh dengan guru waktu disekolah
menengah
dulu.
Hanya
perbedaannya, dosen itu ada diperguruan tinggi.” papar Arman singkat pada Diba yang nampak menyimak pembicaraannya sedari tadi. “Kita berangkat lagi yah, Kak! Nanti kalau kita kelamaan disini. Lagi pula Diba merasa 141
seram banget disini. Apalagi yang punya warung itu, ngeliatin kita seperti sudah kayak orang yang pingin merampok warung.!” tegas Diba pada Arman. “Jadi sekarang kita jalannya yah.” tukas Arman sambil bangun dari tempat duduknya. Disusul kemudian dengan Diba yang juga bangkit berdiri.
Ia bergegas kearah sepeda motornya. Jaket, helm dan semua kebutuhan berkendara, disiapkan Arman.
Begitupun dengan Diba
yang berada
didekatnya. Tak lagi memakan waktu, Arman dan Diba sudah berada di jok sepeda motor itu. Arman layangkan senyum bahagia kearah Diba. *
142
Jalan
berkelok-kelok.
Kadang
menanjak
tajam, kemudian turun, lalu menikung. Tetes air hujan mulai turun sedikit demi sedikit. Selama diperjalanan,
Diba
kepinggang
Arman.
melingkarkan Tak
tangannya
sedikitpun
ia
memperlihatkan ekspresi penuh kecurigaan atau gerak-gerik waspada terhadap Arman. Sepenuhnya ia percayakan jiwa dan raganya, dan membiarkan roda motor berjalan mengarah ketempat tujuan. Angin dingin menampar tubuh keduanya. Dingin itu membuat hasrat membalut manis dengan nafsu dunia.
Beberapa menit berlalu, hujan pun tiba-tiba turun dengan derasnya. Disusul kemudian dengan sambaran petir yang terdengar menggelegar. Arman dan Diba kalang kabut menanggapi datangnya hujan tersebut. Ingin sekali Arman memarkirkan sepeda motornya, tapi tak satu pun terlihat tempat berteduh yang dapat ditempati barang sebentar. Pemandangan dikiri-kanan jalan hanya tampak portal pembatas 143
jalan dan tebing-tebing yang berisikan beraneka ragam jenis tumbuhan.
Dari laju sepeda motor itu, Diba seketika merengek sejadi-jadinya. Ia tak kuasa menahan air hujan yang membuat bajunya basah kuyup. Sampai pada akhirnya ia lekas berujar pada Arman. Meskipun
ia
sadar
betul
bila
mengeluarkan
perkataan, hal itu tidak akan dapat terdengar Arman, karena tertelan oleh deras hujan yang mengguyur. Akan
tetapi
ia
terus-menerus
berusaha
melakukannya. “Kakak!! Berhenti dulu donk.. Baju Diba sudah basah kuyup begini. Cepat cari tempat untuk neduh dulu!!” pinta Diba dengan nada terdengar mendesak Arman. “(Tak mendengar)” suara seruan dari Diba, tak dapat di dengar oleh Diba. Ia hanya fokus pada jalanan. 144
“Kakak.. Berhenti dulu?! Cari tempat dimana saja. Baju Diba sudah basah kuyup banget ini?!” ulang perkataan Diba pada Arman. “Sebentar Diba.. Kakak juga tidak tahu harus berhenti dimana? Masalahnya, belum ada tempat buat berteduh sementara. Kalau kita harus neduh dibawah pohon, itu sama juga akan kebahasan!”cetus Arman lewat cara bicaranya yang tegas dan lantang. “Buruan neduh dimana saja. Pakaian Diba udah basah kuyup begini?! Masa kita tetap maksa buat jalan sih!” rengek Diba minta agar laju motor dapat berhenti. “Iya!! Iya.. Kita bakalan neduh. Sabar sebentar yah! Tuh, kelihatannya ada tempat buat bertedih..” jawab Arman dengan nada bicaranya yang sudah sama kalang kabutnya. 145
Dikejauhan
Arman
sebuah papan plang
yang
menangkap
adanya
bertuliskan tempat
penginapan. Sesaat, hati Arman diliputi oleh perasaan bimbang lagi ragu. Ia ingin menghampiri tempat tersebut, tapi disisi lain ada terselip kekhawatiran bila mendatangi tempat itu. Sampai pada akhirnya, ia putuskan untuk terus melanjutkan perjalanan. Dari belakang, Diba yang telah basah kuyup semakin menjadi-jadi dengan rengekannya. Sebab hujan itu, makin membuatnya basah, sampai-sampai menyerap kedalam
kulit.
Diba
segera
berusaha
untuk
memberhentikan laju sepeda motor. “(Kesal) Kakak.. Kenapa tidak neduh disana saja sih?! Sudah berhenti donk, Kak!!!” sergap Diba penuh dengan nada rengekan.
Tak tahan lagi mendengar Diba yang terus menerus
merengek,
Arman
akhirnya
menuruti
kemauan Diba. Dalam sekejap, decitan rem milik 146
motor itu memberhentikan gerak motor. Arman kemudian memutar stang kemudi, berbalik arah menuju ketempat penginapan. Hujan makin lamamakin deras membasahi bumi. Hujan itu telah membuat pandangan kaca helm menjadi kabur. Karenanya ketika Arman ingin memutar haluan, ia mengambil
ancang-ancang
penuh
dengan
kewaspadaan. Jaga-jaga kalau saja ada kendaraan lain yang berlawanan arah datang menghantam sepeda motornya.
Arman dan Diba sudah berada pada halaman muka penginapan, tepatnya dibawah gapura rumah penginapan tersebut. Bangunannya bergaya seperti rumah tempo dulu. Dipayungi dengan dua pohon besar nan rimbun. Letak penginapannya berada dibagian
dalam.
Sementara
disebelah
rumah
penginapan, ada sebuah bangunan yang menghadap kearah jalan. Model serta warna catnya, tak beda jauh dengan rumah penginapan. Bangunan itu tidak lain adalah rumah makan Padang. Tapi entah kenapa, 147
rumah makan itu ditutup oleh si empunya. Apabila digabungkan secara keseluruhan,
tata letaknya
menyerupai huruf L. Tidak ada desain khusus sebagaimana
layaknya
hotel berbintang.
Tidak
banyak orang-orang yang lalu-lalang diparkiran rumah penginapan tersebut. Mungkin dikarenakan oleh hujan deras.
Selesai memasang badan motor, Arman dan Diba mengambil posisi berdiri di gapura rumah penginapan itu. Gapura itu memiliki atap setengah, jadi siraman air hujan tidak akan langsung mengenai tubuh Arman dan Diba. Tak henti-hentinya, Arman selalu
menggosok-gosok
Memanaskan menggigil
tubuhnya kedinginan.
kedua yang
tangannya.
sudah
nampak
Sementara
Diba,
memperlihatkan wajah dipenuhi oleh rasa kekesalan. T-shirt yang dikenakannya nampak basah kuyup. Kesuburan
tubuh
Diba,
serasa
menyilaukan
pandangan mata. Bibirnya yang berwarna pink, seketika bergetar hebatnya. Arman sadar betul, 148
bahwa Diba sudah makin terlihat kedinginan. Tak lagi memperdulikan orang-orang yang akan datang disekitarnya, Diba lekas mendekap tubuh Arman dengan eratnya. Gerakannya seperti kilat yang menyambar dengan cepatnya. “Kak gimana ini. Baju kita basah semua! Dingin. Dingin!!” keluh Diba manja, dengan irama
bicaranya
yang
lembut
dan
menghangatkan. “Bagaimana yah.. Kakak juga bingung harus bagaimana lagi?! Mana kita tidak bawa baju ganti lagi. Kita berdua sudah kayak orang hilang
aja
yah!”gumam
Arman
dengan
halusnya.
Arman dan Diba sungguh telah terbuai oleh nikmatnya dunia. Bukan seorang yang terlarut dalam kungkungan hawa dingin, tapi sepasang kekasih. 149
Arman bergegas pergi dari hadapan Diba. Diba mengisi waktunya dengan memeras T-shirt pakaiannya. Bajunya yang lepek membuat air perasan terlihat banyak mengucur. *
Arman dan Diba sudah berada dilobi rumah penginapan.
Sekejap,
wajah
Arman
langsung
diselimuti ketegangan. Sedang Diba terlihat masih tetap tenang. Jemarinya, melekat erat dicelah-celah jemari tangan Arman. Pakaian yang dikenakan keduanya, belum juga kering benar. Hanya pada bagian-bagian tertentu yang terkena angin, dapat membuatnya kering. Suara derasnya hujan sayupsayup terdengar dari arah luar. Setelah menyapa resepsionis disana, Arman dan Diba terus melangkah menuju
kekamar
yang
dipesan.
Pencahayaan
ditempat penginapan itu remang-remang. Sepanjang koridor, Arman dan Diba berjalan dengan hati-hati. 150
Arman dan Diba berhenti tepat didepan pintu kamar nomor 308. Pada barisan dinding yang berada didepan kamar, ada sebuah bingkai lukisan berukuran 60X80. Panjang lagi besar.
Diujung sisi kanan
bingkai, tertera sebaris kolom judul yang mencirikan dari lukisan tersebut. Judul yang tertera itu ialah Panah Arjuna. Gambaran seorang Arjuna yang memegang
busur
panah,
dan
siap
untuk
menghujamkan anak panah mengenai sasarannya. Sepintas mata, Arman pandangi lukisan itu. Lukisan itu seolah-olah ingin menyampaikan suatu pesan khusus untuk Arman. “Arman.. Lebih baik kamu urungkan niat kamu itu! Kembalilah.. Kembalilah pulang!!”, Dengung dari perkataan itu, membuatnya lebih mendekati lukisan. Lalu ia raba kanvas yang terbentang panjang. Dalam hati, Arman membalas bisikan yang mengganggu pikirannya. “Kenapa.. Ada apa memangnya?” tukasnya kesal dalam hati. Kemudian kedua bola matanya memelototi sepasang mata Arjuna, seraya tangannya menggaruk-garuk 151
kanvas yang terdapat didalam bingkai lukisan tersebut. Diba yang berada disampingnya langsung tertegun ketika melihat sikap aneh Arman. “Kakak. Ngapain sih kakak kayak gitu. Cepat donk.” ungkap Diba penuh kekesalan. “Akh.. Ngga apa-apa sayang. Kakak hanya kesal
melihat
lukisan
itu?!
Seolah-olah
lukisan itu bicara sama kakak.” tanggap Arman atas perkataan Diba. “Ih.. Kakak aneh ya.. Masa lukisan itu bisa ngomong sih, kak?!” sergap Diba.
Anak kunci diambilnya dari saku celana jeans yang dikenakan Arman. Pun kemudian, ia lekas mencolok ujung kunci hingga masuk kedalam knop pintu. Rasa was-was mulai menggerayangi benak Arman. Tindak-tanduknya penuh dengan waspada. Degup jantungnya berdebar-debar kencang. Dalam 152
satu dua langkah, Arman dan Diba berhasil masuk kedalam kamar penginapan tersebut. *
Arman
mengantar
pulang
Diba
sampai
kedepan pintu rumah. Sesampainya Arman dan Diba diambang pintu rumah. Tampak kehadiran Ummi yang berdiri menatap tajam pada keduanya. Sorot matanya lebih tajam menatap kearah Arman. Didalam rumah, terlihat Abah yang sedari tadi duduk dikursi ruang tengah. Ia juga melakukan tatapan yang sama dengan yang dilakukan oleh umi. Guna menghindar dari ledakan amarah Ummi dan abah, Arman memutuskan untuk segera angkat kaki dari rumah tersebut. Ia memberi sinyal pada Diba, untuk lekas beranjak dari rumahnya. Tapi ternyata gerak langkah Arman langsung tertahan oleh panggilan suara Abah. Tidak biasanya abah bicara dengan Arman. Ini adalah kali pertama ia bicara dengan 153
Arman. Karakternya terlihat tenang tapi penuh dengan sejuta misteri.
Ketika menatap, tatapannya seperti sepasaang mata elang yang tengah mencari mangsanya. Bila mangsa sudah didapatkan, ia akan cepat melumat habis si mangsa hidup-hidup. Postur tubuhnya tinggi besar. Sekilas mirip dengan seorang perwira. Namun berdasarkan ucapan yang dikatakan dari Diba, Abah sama sekali tidak pernah berasal dari perwira. Ia memang memiliki postur tubuh yang tinggi besar, diimbangi dengan warna kulitnya yang sawo matang sudah darisananya. “Arman..” panggil Abah dari arah dalam rumah. “Iya, Bah?! Assalamua’alaikum!” Arman masuk kedalam rumah. Tak lupa ia juga mengucapkan salam. 154
Diba yang berdiri disamping Arman, segera menjaga jarak. Ia lantas pergi mengganti pakaian dikamar mandi. Selesainya, ia langsung mengambil posisi duduk berdekatan dengan abah dan Ummi. Sementara Arman duduk bersebrangan dengan posisi duduk Abah, Ummi, dan Diba. “Dari mana aja kamu.. Sampai pulang larut malam begini!” tukas Abah dengan nada bicaranya yang bercampur logat Betawi kental.
Diba memandangi Arman, lantas memberi isyarat dari kedipan matanya. “Tadi habis dari acara ulang tahun teman, bah.. Kemalaman, karena hujan deras dijalan bah-mi?!”
ungkap
Arman
memasang
wajahnya yang lugu dan polos.
155
“Kita bukannya melarang pulang sampai malam begini.. Tapi tidak enak sama warga sini. Kalau nanti kamu dituduh yang enggakenggak, bagaimana? Disini juga yang bakalan kena tumpu!” “Maaf kalau sudah pulang selarut malam begini. Tadinya kita juga mau pulang cepat.. Tapi mendadak hujan turun deras, Bah!” “Iya Ummi.. Diba rencananya juga pulang cepat. Habis hujannya gede.” sambar Diba pada kedua orang tuanya. “Ya sudah.. Ini buat peringatan kekalian berdua.. Besok-besok jangan sampai pulang malam lagi. Abah tidak enak hati sama warga disini. Arman juga tidak mau kan kalau nanti dituduh maling oleh warga sini!” kata Abah dengan bahasa tubuhnya yang superior. 156
“Lagian pada ngapain saja sih disana.. Bisa sampe pulang jam.. (Melihat jam dinding) jam satu malam begini..” ketus suara Ummi bagaikan mercon dimalam buta. “Tadi kan sudah dibilang, kalau kita terpaksa harus neduh dulu.. Hujannya deras banget, Ummi.” sahut Diba menimpali. “Nah tuh kalau neduh.. Kenapa rambut pada basah-lepek begitu,sih!” sambar Ummi pada Diba. “Tadi sempat kehujanan.. Tapi waktu hujan makin deres, kita akhirnya mutusin buat neduh.” sergap Diba atas perkataan Ummi. “Sekali lagi Arman mohon maaf.. Kalau sampai pulang semalam ini. Besok-besok Arman tidak akan melakukan hal ini lagi. Sekarang Arman mohon pamit pulang dulu!” 157
ucap Arman dengan sopan pada kedua orang tua Diba. Ia lalu bangkit dari tempat duduknya. “Kakak.. Hati-hati dijalan ya.. Jangan lupa SMS kalau sudah sampai rumah.” jelas Diba pada Arman yang sudah bergegas untuk keluar dari rumahnya. “Abah.. Ummi.. Arman mohon pamit dulu?!” Arman tidak menjawab perkataan dari Diba, ia
hanya
memberikan
bahasa
isyarat
kepadanya. “Besok-besok diingat..” judes suara Ummi terdengar. “Ya sudah kamu pulang!” jelas Abah ke Arman.
158
“Assalamua’alaikum!” Akhir dari perkataan Arman pada keluarga tersebut. Ia lalu pergi keluar melewati pagar rumah Diba.
Arman melangkah keluar dari rumah Diba. Perkataan kedua orang tua Diba, terasa menusuknusuk kedalam batin. Sembari melangkah, ia sesekali menoleh kearah rumah Diba. Dibalik kaca jendela kamar, Diba melihat dengan jelas kepergian Arman. Sementara Arman terus melangkah hingga akhirnya menghilang ditelan gelapnya malam. *
159
BAGIAN 7
Senin
biasanya
hari
yang
dirasa
menjengkelkan. Tak heran bila ada ungkapan, “I hate Monday”. Mungkin saja hal demikian banyak orang rasakan, akan tetapi tidaklah terlalu berlaku dimata Arman. Bagi Arman setiap hari kerja adalah hari yang sama. Semua itu dikarenakan tidak banyak pekerjaan yang harus dilakukan sebagai seorang karyawan outsourcing.
Bila
hasil
kerja
bagus,
promosi
dan
penghargaan sudah pasti diberikan ke para pekerja permanent. Tapi suka ataupun tidak suka, itulah resiko menjadi pekerja outsourcing, “Kalau suka silahkan ikuti aturan dan terus tetap bekerja. Kalau tidak suka silahkan cari tempat yang lebih baik”. Outsourcing serupa dengan mayat hidup.
160
Suatu waktu, Arman pernah melakukan survey amatiran. Ia menggali informasi, mengapa para outsourcing tidak ingin mencari pekerjaan lain, selain ditempatnya bekerja? Sebagian dari padanya menjawab dengan jawaban yang serupa, “Daripada tidak kerja, daripada anak dan istri terlantar.” Sungguh situasi yang tak ubahnya seperti dizaman penjajahan. Bedanya penjajah disaat ini, tidak lagi berperang
satu
lawan
satu.
Tapi
dengan
kecerdikannya, ia ber-kamuflase sebagai penonton yang sedang melihat jalannya peperangan. Jika kedua petarung saling tikam-menikam, dan berahkir dengan kemenangan salah satunya, ia tidak akan berhenti sampai
disana.
Justru
malah
membuat
arena
peperangan baru bagi si jawara. Sehingga pada akhir peperangan, tidak akan pernah ada jawara maupun tidak
akan
pemenang
pernah ialah
berkamuflase
ada
mereka
dengan
pemenang. yang
Sejatinya
sudah
menonton
berhasil
peperangan
berdarah. 161
Pemerintah manusiawi
memang
dengan
outsourcing,
tapi
menaikan beberapa
sudah
berlaku
gaji
pekerja
bulan
kemudian
pemerintah juga menaikan harga BBM. Semua yang diberlakukan oleh pemerintah itu, sama dengan tidak adanya kenaikan apapun.
Selepas Arman mengikuti briffing pagi yang rutin dilakukan. Ia merencanakan rencana kerjanya dan akan mengerjakan apa yang harus dikerjakan hari itu. Tugas utama Arman dikantor ialah bekerja sebagai administrasi yang mengurus surat keluar dan mengantarkannya ke fungsi lain. Arman bersyukur memiliki lingkungan kerja yang nyaman. Ruang kerja Arman berada didalam gedung bertingkat. Ruangan didalamnya, dihiasi dengan partisi-partisi pembatas. Beberapa partisi digunakan untuk membatasi satu ruang kerja dengan tempat lainnya. Tugas Arman disana
ialah
mendukung
sekretaris
dalam
menjalankan setiap pekerjaannya. 162
Atasan Arman bernama Yanthi. Umurnya genap memasuki usia dua puluh delapan, tapi statusnya masih lajang. Meskipun statusnya masih lajang,
ia
memiliki
karakter
keibuan.
Tutur
bahasanya lembut dan pembawaannya selalu tenang. Ketika
menerima
tekanan
dari
atasannya,
ia
menyelesaikan setiap masalah yang dihadapinya dengan tenang serta selalu berhati-hati. Tidak panik dan tidak pula grasak-grusuk. Arman bekerja sesuai dengan semua yang diperintahkan olehnya. Bila ia sedang dinas, atau tidak ada diruangan kerja alias rapat, Arman diharuskan untuk menjaga ruang kerja agar tetap dalam kondisi aman. Sementara atasan Yanthi bernama Ibu Sinta. Sama halnya dengan perangai Yanthi, Ibu Sinta memiliki karakter bawaan yang tenang. Badannya yang mungil, tidak menjadi suatu penghambat untuk bergerak bebas. Ibu Sinta tipe seorang bos yang selalu didambakan oleh Arman.
Ia
menginspirasi
memiliki Arman.
jiwa Ibu
leadership Shinta
kerap
yang kali 163
menyemangati
Arman
untuk
tidak
gampang
menyerah dalam menghadapi setiap problematika kerja.
Arman diminta untuk mengantar sejumlah dokumen yang telah ditandatangan oleh Ibu Sinta. Surat-surat
yang
diantar,
harus
lebih
dulu
dimasukkan kedalam jurnal pencatatan. Sehingga bila tercecer atau salah kirim, dapat dengan mudahnya terlacak keberadaannya. “Arman!! Coba kamu kemari..” panggil Yanthi ke Arman. “Ya, mbak! ”Arman lekas mendatangi tempat duduk Yanthi yang letaknya bersebrangan dari posisi tempat duduknya. “(Menyodorkan beberapa berkas-berkas) Ini surat-surat yang harus kamu antarkan.. Oh ya, nanti saya akan ada training upskill IT, sekitar 164
jam sebelas siang sampai sore.. Jadi kamu pulangnya tungguin saya pulang dulu ya! Saya
berangkatnya
bareng
sama
Ibu..
Kemungkinan besar kamu akan lembur sampai malam. Karena kita rencananya akan ada acara besar seminggu lagi.. Pokoknya nanti kamu jangan pulang dulu ya.. Tunggu kita kembali dari training.” papar Yanthi ke Arman. “Iya, mbak.. Nanti saya tunggu mbak sama ibu kembali dari training?! Memangnya akan ada acara apa, kalau boleh saya tahu mbak..” balas Arman ke Yanthi. “Pokoknya kamu tungguin kita datang aja.. Nanti bakalan kita kasih tahu acaranya apa!” pinta mbak Yanthi ke Arman.
165
Tak lama kemudian Bu Sinta datang dari ruang kerjanya yang exclusive. Sebagai seorang manajer, ia memiliki ruang kerja yang jauh berbeda dari tempat kerja staff umumnya. Letak ruangannya berada disudut. Tersembunyi dan terhindar dari kebisingin para karyawan lainnya. “Ibu. Mau berangkat ya?” tanya Arman ke ibu Sinta. “Kita berangkat dulu ya, Man.. Kamu jaga ruangan baik-baik!” tutur ibu Sinta dengan tegasnya, diimbangi oleh senyumnya yang manis. “Beres pokoknya, Bu. Ruangan akan tetap aman, selagi masih ada Arman disini?!” ucap Arman dengan penuh rasa percaya diri. Ibu Sinta dan mbak Yanthi berjalan keluar dari ruangan.
Sementara
Arman
mengikuti 166
dibelakangnya. Sembari berjalan, ibu Sinta memberi tugas-tugas. “Man. Nanti kalau ada supir saya yang datang, kamu kasihkan amplop putih yang ada dimeja kerja saya, yah!” ucap ibu Sinta ke Arman. “Baik, Bu. Begitu dia datang, saya langsung akan kasihkan amplop itu.” jawab Arman. “Jangan lupa.. Kalau ada telepon atau surat yang datang.. Kamu terima dan kamu catat dibuku
ekspedisi
kamu!”
Mbak
Yanthi
mengingati Arman.
Hari itu, tugas yang diberikan oleh mbak Yanthi dan Ibu Sinta tak begitu banyak. Dari mbak Yanthi, Arman hanya ditugasi untuk mengantar surat undangan rapat ke dua orang pejabat, yang setingkat dengan Ibu Sinta. Sedangkan dari Ibu Sinta, Arman 167
bertugas untuk menunggu kedatangan supir pribadi ibu Sinta, dan segera memberikan amplop putih yang berada diatas meja kerjanya. Setiap melakukan pekerjaan,
Arman
tidak
ingin
menunda-nunda
pekerjaan. Ia ingin secepatnya menyelesaikan semua tugas yang diberikan oleh Mbak Yanthi.
Setelah tugas mengantar surat dari mbak Yanthi selesai, Arman kembali ke meja tempatnya bekerja. Ia menunggu kedatangan supir Ibu Sinta. Lewat pesan yang disampaikan, kedatangan supir itu tidak akan melewati jam makan siang. Kala menanti kedatangan supir, Arman dikejutkan dengan adanya telepon yang berdering dimejanya. Sejenak Arman mengira, kalau itu mungkin salah seorang karyawan yang membutuhkan keterangan. Perihal acara yang dibilang seminggu lagi oleh Mbak Yanthi.
Tanpa berpikir lama, ia angkat dering telepon dimejanya. Ternyata sumber suara itu bukan berasal dari
karyawan
permanent,
melainkan
rekan 168
seperjuangannya, sesama pekerja outsourcing. Sri Andayani
nama
panjangnya.
Arman
biasa
memanggilnya dengan sebutan Sri, atau biasa mendapat julukan sebagai si peri gosip. Sebab semua informasi
mengenai
perpanjangan
kontrak,
pengangkatan, pemecatan dan berbagai fasilitas yang akan didapatkan oleh tenaga kerja outsourcing, telinganya amat sangat sensitive mendengar. Ia juga tak segan-segan memberikan informasi penting ke Arman.
Statusnya
sudah
berkeluarga,
dengan
dikaruniai dua orang anak. Satu perempuan dan satu laki-laki. Kesehariannya, ia tak pernah luput dengan hijab yang dikenakannya. “Assalamua’alaikum.. Ibu Sri yang cuantik jelita semerbak harum namanya.” canda Arman membuka kata-kata pertamanya. “Wa’alaikumsallam. Bapak Arman yang jelek banget!!” jawab atas candaan Arman. 169
“Tumben-tumbenan nih nelepon.. Apa ada yang bisa saya banting.. Ups.. Maksudnya dibantu, Bu?” “Jadi tidak suka nih.. Ya sudah kalau begitu.” Sri ingin menutup teleponnya, namun lekas ditahan oleh Arman. “Duhh.. Segitu sewotnya, Ibu Sri yang baik hatinya. Gimana-gimana.. Ada gosip baru apaan nih?!” tukas Arman padanya, dengan ayunan
bicara
layaknya
tukang
gosip
tidak
pernah
umumnya. “Eh..
Arman
kok
kamu
overtime?” tanya Sri ceplas-ceplos. “Maksudnya, lembur gitu!” sahut Arman padanya.
170
“Iyah. Begono maksudnya.. Pernah tidak buat surat lemburan?” “Tidak pernah sama sekali. Memangnya kenapa, Bu?” “Sayang banget tahu. Lembur donk kayak kita-kita!” “Oh iya. Kalau buat lemburan itu kayak bagaimana memangnya, Bu.” tegas Arman pada Sri. “Nanti deh dikasih tahu.” “Sekarang saja kasih tahunya. Mumpung lagi didepan komputer nih. Kirimin lewat email saja?!” pinta Arman. “Ya sudah dikirimin sekarang yah.” jarinya yang terampil, membuat email itu lekas 171
melayang dan tersimpan didalam inbox. Arman lantas membuka email itu, dan menyisir setiap huruf yang terangkai rapih didalam tiap halaman surat lemburan. “Astagaaa... Beneran bisa dapetin uang sebanyak ini.. Memang benar-benar lembur sampai pulang malam terus?” tanya Arman dengan lugunya. “Jangan bilang siapa-siapa.. Awas sampai bilang sama semua orang.. Bisa-bisa terjadi pertumpahan darah loh!!” sergapnya dengan irama bicara setengah mengancam Arman. “Ngga berani bikin lemburan fiktif begini! Dosa tahu, Bu.” “Ya ampun.. Arman tahu tidak, karyawan permanent saja.. Kalau mereka pada dinas keluar kota atau keluar negeri.. Lebih gila172
gilaan rembush uang mereka.. Ditambah lagi gaji mereka sama kita itu, satu berbanding sepuluh... Memang dengan gaji saat ini, cukup untuk biaya nikah? Terus kita bisa kebeli rumah? Boro-boro mau mikir buat beli rumah, bayar kontrakan saja nunggak kesana-kemari. Hutang juga numpuk dimana-mana. Mana mungkin dengan gaji segitu, bisa bayar semua hutang-hutang.”
paparnya
dengan
nada
berani
bikin
nyinyir. “Tapi..
Kalau sekali
saja
lemburan fiktif begitu.. Kesananya bakalan ketagihan terus.. Takut ah...” jelas Arman padanya. “Buat saja tahu.. Gampangkan buatnya.. Memang karyawan permanent itu kerjanya pada ngapain sih.. Bisa sampai segede gitu gajinya. Setiap bulan gonta-ganti mobil?” ketusnya ke Arman. 173
“Masing-masing rezekinya..
orang
itu,
sudah
ada
Tinggal bagaimana dia bisa
menikmati dan selalu bersyukur untuk rezeki yang sudah didapatkan, Bu.. Kalau begini namanya pencurian tahu! Tidak akan pernah berkah nanti kerja kita, Bu!!” tutur Arman dengan lugunya. “Terserah dah. Arman tahu tidak, si bos saja kalau kemana-mana itu selalu minta dilebihin gantinya..
Lagi
pula..
Sebenarnya
gaji
outsourcing itu ngga kecil.. Ada selisih.. Besar pula selisihnya.. Tapi kita tidak pernah tahu kan, dikemanakan saja itu selisihnya? Pokoknya, kamu mau buat atau tidak.. Kayaknya ngga penting deh?” urainya dengan nada suara cuek bebek. “Tuh ambek digedein deh.. Masa gitu saja marah sih, cantik!!” goda Arman padanya. 174
“Tau akh.. Ngomong-ngomong, kok ngga kemana-mana? Makan gaji buta saja nih. Memang bos kemana?” “Lagi pada ikutan training IT.. Kalau mau main kemari. Kemari saja. Temanin yang lagi sendirian disini?!” guyon Arman pada Sri. “Heh.. Udahan dulu yah.. Bos datang nih!!” tuturnya singkat sembari langsung menutup teleponnya. Arman pun melakukan hal yang sama.
Tak lama berselang, sosok seorang pria dengan topi yang pakainya, mengetuk pintu ruang kerja. Warna kulitnya yang hitam legam, membuat Arman langsung terkejut waktu pertama melihatnya. Akan tetapi terbesit dalam ingatannya, tentang perintah yang telah diberikan oleh ibu Sinta. Ia sadar 175
bahwa pria itu tidak lain adalah supir ibu Sinta. Sebagaimana yang sudah diamanahkan sebelumnya. “Bapak.. Mau ngambil amplop dari ibu Sinta?” tanya Arman ke supir ibu Sinta. “Ya betul, Mas. Saya mau ambil amplop putih, titipan dari Ibu Sinta! Sekalian saya bawakan juga barang-barang Ibu.. Ibu Sinta minta ditaruh didalam ruang kerjanya?!” balasnya dengan nada suara berat lagi serak. “Sekarang ada dimana barangnya, Pak? Perlu saya bantu untuk mengangkatnya?”tandas Arman padanya. “Boleh, Mas.. Berat masalahnya. Maaf nih jadi ngerpotin.” urainya tanpa basa-basa ke Arman.
176
Keduanya secepatnya mengambil beberapa doos yang sudah berada dilobi depan. Tidak tahu benda apa yang termuat didalam doos itu, tapi rasanya sungguh berat ketika mengangkatnya. “Aduh berat banget ya.. Apaan sih isinya?!” tukas Arman pada sang supir. Ia tidak menjawabnya, supir itu hanya cengar-cengir mendengar
perkataan
yang
dilontarkan
Arman.
Tak dapat dibayangkan bila saja tidak ada supir dan juga Arman. Tidak akan mungkin doos itu dapat terangkat oleh kedua tangan ibu Sinta. Beratnya beban doos itu, sampai-sampai membuat sisi bawah doos jebol. “BRUGGH...”
Seketika, Arman dan sang supir terhenyak diam membeku. Takut-takut isi didalamnya adalah 177
barang-barang pecah belah. Keadaan berubah hening. Tapi ketakutan itu segera menghilang, ketika yang didapatinya hanya buku-buku kerja dengan ratusan bahkan ribuan halaman itu, kini terserak tak beraturan dilantai. Tak menunggu lama, keduanya segera mengumpulkan buku-buku tersebut. Arman membawa sebagian dari buku itu. Disusul kemudian oleh sang supir yang membawa sisanya. Dari kesibukan menyelesaikan pekerjaan, *
178
BAGIAN 8
Semusim telah berganti..
Taman
kodok. Hari kian temaram, pertanda
senja berganti malam. Gelapnya malam, terisi oleh terangnya cahaya lampu taman. Suasana dikisaran taman, masih ramai oleh beragam aktifitas. Banyak anak muda mengisi aktifitasnya dengan bermain futsal, berkeliling menggunakan sepeda, memotret, berlatih break dance, dan ada juga yang asyik bercengkrama dengan pujaan hatinya. Bagi yang sudah berusia lanjut, biasanya mereka datang untuk sekedar berwisata kuliner. Karena memang banyak suguhan makanan yang bisa memanjakan lidah.
Sejak tiba ditaman itu, Diba tak mengeluarkan sepatah kata pun. Arman memutuskan untuk duduk 179
dibangku taman, bermandikan cahaya remangremang. Suatu tempat yang sedikit privasi dan sengaja ditentukan oleh Arman. Ditempat itu pula, Arman berniat untuk mengutarakan keinginannya, tentang keseriusan serta masa depan hubungan dengan Diba. Dibalik niat untuk mengungkapkan maksud tujuannya, Arman tak menyadari kalau kala itu raut wajah Diba tampak pucat pasi. Sekujur tubuhnya, mengeluarkan keringat dingin. “Dik, kita sudah jalan genap empat tahun pacaran.. Semua sudah pernah kita jalanin berdua.. Kakak pingin suatu hari nanti memiliki kamu utuh. Kamu kepikiran tidak kalau kita akan nikah! Kakak tidak ingin kita terus menerus berlumur dosa. Mau Kakak, kita sama-sama kembali ke jalan yang diridhoi Allah.” papar Arman ke Diba yang duduk disebelahnya.
180
“Hoekhh...Hoekhh..”
Diba
langsung
meluapkan rasa mual yang ditahannya sedari tadi. Arman bergegas merebahkan wajah Diba kepundaknya. “Kamu kenapa.. Sakit? Kakak kan selalu bilang ke kamu, meski sesibuk apapun kamu ditempat kerja, kamu harus selalu bisa sempatkan untuk makan.. (Meraih kening Diba) Badan kamu dingin.. Sudah kamu rebahkan wajah kamu dipundak Kakak.” “Diba mual, Kak.. Rasanya sungguh sangat tidak enak.” tutur Diba dengan lemahnya ke Arman. “Kenapa kamu tidak coba untk pergi ke Dokter.. Atau kamu mau sekarang kita ke Dokter?” ungkap Arman terdengar was-was.
181
“Diba takut sama Abah, Kak. Diba takut kalau terjadi kenapa-napa!” ujarnya dengan terbatabata. “Maksud kamu apa? Apapun yang terjadi, Kakak akan selalu ada disamping kamu.. Selalu menemani kamu setiap saat. Kamu inget kan, semua hal yang sudah kita jalani.. Kita mampu kan jalani berdua?” urai Arman meyakinkan Diba. “Tapi orang tua Diba bagaimana, Kak? Diba bakalan diusir dari rumah kalau memang nantinya terjadi juga.” terang Diba dengan lugas.
Arman masih tetap memperhatikan omongan Diba dengan segenap perhatiannya. Ia kemudian memanggil
tukang
minuman
yang
lewat
menggunakan sepeda onthel tersebut. Tukang jajanan yang menawarkan berbagai macam jenis minuman. 182
Namun kali itu, Arman hanya memesan segelas teh hangat, guna meredam rasa mual yang didera oleh Diba. Setelah transaksi dilakukan, Arman segera memberikan segelas teh hangat ke Diba. “Coba kamu minum ini dulu. Supaya badan kamu sedikit lega. Biar mualnya pelan-pelan hilang.” pinta Arman ke Diba. “Kakak.. Kalau memang Diba terjadi kenapanapa. Diba mau digugurin saja. Diba takut semua orang akan ngomongin keluarga Diba.” tegas Diba dengan sedikit penekanan katakatanya. “Dari tadi kamu selalu bicara kenapa-napa. Kamu memangnya kenapa sih. Jujur kakak tidak ngerti sama yang kamu omongin. Kamu bilang gugurin. Maksud kamu apa?” jelas Arman kebingungan. 183
“Bagaimana kalau Diba hamil, Kak? Diba takut sama Abah dan Ummi. Kakak kan tahu sendiri, kalau Abah itu orangnya keras.. Dia pasti syok kalau Diba jadi seperti ini. Belum lagi saudara-saudara Diba yang lainnya. Mereka pasti akan ngomong yang ngga-ngga sama keluarga Diba, Kak.” ungkap Diba dengan lemahnya. “Kamu
hamil?(Hening)..
Alhamdulillah..
Kalau memang itu benar.. Kakak akan bertanggung jawab atas kehamilan kamu itu. Jadi kamu tidak usah khawatir dan juga takut. Apalagi sampai kamu ada pikiran untuk aborsi anak itu. Kakak akan marah besar sama kamu. Inget itu yah.. Kakak sayang sama kalian berdua. Justru Kakak sengaja datang kemari, buat ngomong serius ke kamu. Tentang masa depan hubungan kita nantinya. Tapi ternyata Allah telah merestui hubungan kita.
Meskipun
itu
harus
dengan
cara 184
keterpaksaan.” urai Arman dengan tegarnya ke Diba. “Lalu bagaimana sama Abah, Kak.. Dia pasti bakalan marah banget sama kita. Apalagi kalau benar sampai begini.” Diba semakin tak dapat
membendung
kesedihannya,
ia
tumpahkan bulir air mata itu, hingga jatuh menetes dipipinya. Arman langsung meraih kedua pipi Diba. Lantas disekanya derai air mata yang membasahi pipi Diba. “Sudahlah..
Sekarang
kamu
lebih
baik
tenangkan diri kamu.. Besok kita akan ke bidan, atau kita ke Dokter? Nanti kita akan check apakah benar kamu memang hamil atau tidak. Setelah itu baru kita pikirkan lagi langkah selanjutnya bagaimana.” cetus Arman guna meredam kesedihan dihati Diba.
185
“Hoekhh.. Hoekhh.” Mual itu datang lagi. Kali ini mual semakin hebat, hingga air liur Diba tumpah ke baju kaos Arman. “Astagfirullahalladzim...
Kita
pulang
sekarang yah.. Biar kamu bisa isthirahat.” tukas Arman dengan lembutnya ke Diba. “(Lemah) Diba ngga mau, Kak.. Nanti saja, kalau mualnya reda.. Diba takut orang rumah nantinya akan curiga!” jelas Diba seraya mendekap Arman semakin erat. “Ya sudah.. Lebih baik, sekarang kamu isthirahat sebentar.. Besok kita akan check kamu ke Dokter atau bidan. Lagi pula besok kebetulan kita liburnya bareng kan?” ucap Arman pada Diba.
Diba hanya menggulingkan kepalanya, hingga menelusup kedalam pundak Arman. Orang-orang 186
yang lewat didepannya, memperhatikan dengan seksama
keduanya.
Tapi
Arman
tak
pernah
memperdulikannya. Dari rumitnya perkara yang melilit dipikiran Arman, dering handphone terdengar memanggil-manggil.
Arman merogoh saku jeans celananya, ia lihat bahwa panggilan itu berasal dari mama. Lekas dijawab panggilan tersebut. “Assalamu’alaikum, Ma!” jawab Arman pada suara mama. “Wa’alaikumsallam.. Man, kamu sedang ada dimana?” tutur mama ke Arman. “Arman masih ada diluar, Ma! Ada apa memangnya?” sahut Arman. “Man.. Mama ada berita duka.. Nenek meninggal! Sekarang juga Mama sama Papa 187
mau berangkat ke Bogor.. Kamu mau ikut Mama kesana, apa tidak?” balas Mama ke Arman. “Innalillahi Wainnailaihi rojiun.. (Arman tercekat, sembari beradu pandang dengan Diba) Bagaimana ya, Ma.. (Bingung) Arman masih ada ditempat teman. Kalau Arman kesananya nyusul, gimana?” cetus Arman ke mama. “Terserah sama kamu saja, Man.. Tapi kalau bisa.. Kamu pulang kerumah aja, biar kita berangkatnya bareng-bareng dari rumah.. Jam berapa pun kamu pulang, Mama akan tunggu.. hanya kalau memang benar-benar tidak bisa juga kamu pulang, pesan Mama jangan sampai tidak datang kesana.” pinta Mama ke Arman dengan tegasnya.
188
“Ia Mama.. Arman akan usahakan secepatnya kesana... Dikuburnya kapan, Ma?” “Besok pagi rencananya, langsung dikubur di Bogor, Man. Kemungkinan besar, Arman bakalan kesana.. Pagi-pagi benar, Ma?!” tandas mama ke Arman. “Inget dikuburnya pagi-pagi benar loh, Man. Sekitar jam delapan.. Jadi habis subuh kamu usahakan berangkat kesana. Mama sama papa rencananya akan bermalam di Bogor.. Kamu masih inget kan ancer-ancer jalan ke rumah nenek?!” jelas Mama ke Arman. “Arman masih inget kok, Ma. Ya sudah tidak apa-apa kalau Mama dan Papa tidak bisa pulang. Hati-hati disana ya, Ma!” “Iya.. Sudah dulu ya, Man?!” akhir dari panggilan Mama ke Arman. 189
Percakapan itu diakhiri oleh Mama. Diba yang mendengar percakapan diantara Arman dan mamanya, memberikan dukungan agar Arman dapat pulang kerumahnya. Namun kondisi badan yang tidak lagi dalam keadaan sehat, membuatnya tak mampu melepaskan Arman untuk pulang kerumah. “Hoekh.. Hoekh..” lagi-lagi datang rasa mual dibadan Diba. “Kamu yang kuat yah.. Kakak yakin, kamu pasti bisa melalui ini semua.. Wanita normal memang harus merasakan itu.” tutur Arman ke Diba. “Kalau Kakak mau pulang.. Lebih baik pulang aja?!” tegas Diba ke Arman.
Arman tak membalas perkataan itu, ia langsung menggenggam erat tangan Diba. Perasaan 190
cinta Arman ke Diba sudah semakin dalam, hingga ia harus mengabaikan berita duka dari kedua orang tuanya. *
Mentari mulai beranjak naik keatas kepala. Kumandang adzan shalat dzuhur mulai terdengar bertaut-tautan disetiap penjuru. Semenjak nikmatnya dunia telah direguk Arman, ibadah shalat lima waktu menjadi prioritas kedua baginya. Diba telah mencuri tempat yang istimewa dalam hatinya. Namun hari itu, sebelum keberangkatan Arman dan Diba ke bidan. Sepasang kaki Arman ingin sekali rasanya mampir sebentar
disebuah
langgar,
guna
menunaikan
kewajiban sebagai seorang muslim sejati. Begitu rindu hatinya pada shalat lima waktu yang telah lama diabaikannya. “Kamu shalat yah?” tukas Arman ke Diba.
191
“Diba tunggu disini saja, Kak. Biar shalatnya nanti saja dirumah?!” tutur Diba sambil pandangannya liar menatap kemana-mana. “Memangnya kamu lagi tidak bisa shalat? Aneh, kok shalat kamu bilang nanti sih!” ucap Arman ke Diba. “Bawel ya, Kakak! Kalau mau shalat, ya shalat saja sendiri!” tegas Diba dengan nada bicaranya yang sudah terdengar jengkel. “Ya sudah kalau kamu memang mau tunggu disini. Kakak tidak akan memaksa kamu.” Dipenghujung kata-katanya, Arman bergegas memasuki langgar.
Pemuda
itu
lekas
mengambil
wudhu
dibelakang langgar. Selesai itu, ia pun segera bersujud dihadapan Allah yang Esa. Sampai rakaat terahkir, Arman terlihat shalat dalam keadaan yang 192
sangat khusuk. Tak lupa ia memanjatkan doa dipenutup shalatnya. “Ya Allah.. Ampunilah dosa-dosa yang hamba telah perbuat. (Arman menitikan air matanya) Bukakanlah pintu taubatan nasuha dari-Mu. Bimbing hamba dijalan yang lurus.. Jalan yang yang Engkau ridhoi.. Ya Allah.. Bila memang Diba adalah takdirku, maka ikatkanlah aku dengannya. Ikatan dalam ikatan yang Engkau restui.. Namun jika ia hanya akan menjauhkan aku dengan-Mu.. Maka berilah aku kemudahan untuk segera menyelesaikan permasalahan ini.. Ya Allah.. Hanya pada-Mu, hamba serahkan hidup dan mati hamba.. Jadikanlah berita baik atau buruk ini sebagai langkah untuk lebih dekat disisi-Mu.. Ya Allah..Yang Maha adil lagi Maha
besar..
Terangilah
jalan
hamba..
Berikan hamba kemudahan dari-Mu.. Jangan Engkau tempatkan hamba.. Bersama dengan 193
orang-orang kafir. Terimalah shalat dan doa hamba-Mu ini.. Amin.”
Arman
tak
kuasa
mengingat
rentetan
peristiwa maksiat yang sudah dilalui bersama dengan Diba. Derai air mata itu jatuh membasahi sajadahnya. Pikirannya terbayang akan setiap dosa yang telah diperbuatnya. Dosa karena sudah mengecewakan kedua orang tuanya, dan dosa karena mengisi hidupnya dengan perbuatan maksiat. Matanya yang dipenuhi
bulir
air
mata,
pelan-pelan
mulai
membukakan katup penutupnya. Kedua bola mata itu lantas menyisir seisi langgar yang nampak kosong membisu.
Dunia
seakan
berputar-putar
dalam
benaknya. Hingga pandangannya terhenti pada sebuah tulisan kaligrafi yang tertanam di salah satu sudut dinding langgar. Ia menatap lekat kearah kaligrafi berlafas,
“Allah”. Tulisan itu serasa
menyalurkan energi untuk terus melangkah dan menghadapi kenyataan yang harus dihadapi. Saat itu 194
juga, ia bangkit dari sajadahnya. Lalu menuju ke tempat Diba yang berada diluar langgar.
Diluar langgar, Diba menunggu kedatangan Arman. Mual yang dirasakannya tak bisa tertahankan lagi. Hingga ia pun meluapkan rasa mual yang dialaminya. “Hoekhhh.. Hoekhh..”
Bukan sari-sari makanan yang dikeluarkan dari mulutnya, melainkan air liur berwarna putih yang menggumpal kental. Arman melihat keadaan Diba dari jauh. Ia langsung ayunkan langkah seribu mendekati Diba. Dalam sekejap, jari jemarinya segera hinggap di pundak Diba. “Kamu
Kakak kasih teh hangat
yah?”
ucapnya lembut ke Diba.
195
“(Ditepisnya pijitan Arman).. (Jengkel) Tidak perlu.. Sudah cepetan jalan donk!!” pinta Diba dengan sewot ke Arman. “Benar kamu tidak mau Kakak kasih air putih atau teh hangat.. Biar badan kamu itu bisa sedikit enakkan?!” ujar Arman menenangkan emosi Diba. “(Meledak) Cepetan jalan donk.... Diba sudah tidak tahan lagi!!!” bentak Diba ke Arman yang berada disampingnya. Arman tidak ladeni perlakuan Diba. Ia hanya mengikuti yang diminta Diba.
Sepeda motor Arman melaju sesuai rencana. Ketika
Arman mengemudikan motornya,
menyandarkan
badannya,
dipundak
Diba
Arman.
Tubuhnya terasa amat lesu dan letih. Ia juga tak banyak bergerak. Sesekali perasaan mual itu datang, 196
tapi Diba buru-buru menutupnya dengan kedua tangannya.
Kurang dari sepuluh menit, papan nama bertuliskan,
”BIDAN
LIANA”
sudah
dalam
jangkauan mata. Tempatnya tidak sebesar rumah sakit. Sebuah rumah tinggal yang dijadikan praktek kebidanan oleh siempunya. Dikanan-kirinya, diapit oleh rumah tinggal penduduk.
Sehingga ketika
Arman sampai disana,
tindak-tanduknya diliputi kewaspadaan penuh. Takuttakut kalau saja ada tetangga Diba, atau teman kerja Arman melihat keberadaannya. Bukan hanya Arman yang memasang aksi penuh kewaspadaan, Diba juga melakukan hal yang serupa. Semua itu terjadi, sebab lokasi tempat praktek bidan Liana berada dalam satu wilayah dengan rumah Diba.
197
“Kita sudah sampai..(Merangkul Diba) Ayo.. Kamu yang kuat ya, Dik!!” tukas Arman pada Diba. “Diba takut, Kak. Gimana kalau benar-benar hasilnya positif, Kak?” tanya Diba dengan bibirnya yang terlihat gemetar. “Kalau memang benar kamu posistif.. Kakak tidak akan pernah pergi dari hidup kamu!” ucap Arman menentramkan gundah dihati Diba.
Keduanya
lekas
masuk
kedalam
ruangan tersebut.
Ruangan didalamnya nampak lengang. Tak seorang pun yang menyambut kedatangan Arman dan Diba.
Melihat
keadaan
itu,
Arman
langsung
memanggil-manggil siapa saja yang tengah bertugas di bidan tersebut. Panggilan dari Arman, ditanggapi oleh kehadiran sosok seorang perempuan baya. Diikuti dengan langkah kakinya yang memasuki 198
loket penerima pasien. Seiring dengan kedatangan petugas loket, Arman dan Diba memilih duduk dibangku tunggu pasien.
Arman berusaha untuk meredam gejolak emosi Diba. Pun kemudian ia mendaftarkan Diba sebagai pasien, diloket pendaftaran. Petugas loket secepatnya menerima Arman. Tangannya yang cekatan, mulai menuliskan semua informasi dari Arman tentang Diba. Rasa cemas mulai merambat kedalam diri Arman. Ia pun meminta pada petugas loket, agar proses pemeriksaan Diba dilakukan dengan secepatnya. “Bu.. Kira-kira kapan saya bisa masuk kedalam ruang periksa?” tanya Arman dengan nada sedikit mendesak petugas loket. “Sabar ya, Pak.. Dokternya masih dalam perjalanan.. Mohon untuk ditunggu sebentar.” jelas petugas loket ke Arman. 199
“Iya, Bu.. Tapi.. (Gugup) Mmhh... Istri saya sudah mual-mual bu.. Tolong diperiksa secepatnya, bu!!” desak Arman padanya. “Maaf pak. Tolong Bapak duduk dulu.. Silahkan ditunggu sebentar.. Dokternya masih dalam perjalanan!!” terang petugas dengan tegasnya. “Baik, Bu.. Saya minta tolong banget ya, bu.. Supaya dipercepat.. Kasihan istri saya!” seru Arman pada petugas loket seraya kembali duduk disebelah Diba.
Diba terlihat sudah semakin lemah tak berdaya. Badannya tak mampu lagi menopang berat tubuhnya. Sehingga ia pun meringguk dikursi duduknya. Wajahnya tak dapat dilihat lagi, karena diselimuti oleh jaket beludru miliknya. 200
Selang kemudian, sosok Dokter yang dinantinanti akhirnya datang juga. Pembawaannya tampak sigap, ketika memasuki ruang periksa. Melihat kedatangannya,
petugas
loket
mempersilahkan
Arman dan Diba masuk kedalam ruang periksa pasien. Arman dan Diba menjawab panggilan itu dengan langkahnya memasuki ruang periksa. “Itu dokternya sudah ada, dik.. Kita masuk kedalam yah!” jelas Arman. Diba membuka penutup wajahnya, dan perlahan bangkit berdiri dari tempat duduknya. “Dimana ruangannya, Kak?” seru Diba ke Arman. “Sini.. Ikutin Kakak saja kamu.” sahut Arman sambil menggandeng pergelangan tangan Diba.
201
Diba dan Arman sampai didalam ruang periksa. Ruangan itu didominasi oleh warna putih. Ditambah lagi oleh adanya pendar lampu penerangan yang juga memantulkan cahaya terangnya. Sehingga ketika pertama kali memasuki ruangan tersebut, penglihatan harus sedikit beradaptasi dengan silau lampu penerangan. “Silahkan duduk Bu-Pak..(Membuka buku pasien) Dengan Ibu Diba?” tanya dokter pada Diba dan Arman. “Iya benar, Dok.. Dengan Ibu Diba...Saya dengan suaminya, bu!” cetus Arman ke dokter tersebut. “(Mengangguk) Jadi gimana Bu Diba?! Keluhannya apa?” tutur dokter ke Diba. “Saya sudah dari tanggal 5 kemarin.. Belum juga datang bulan. Lalu rasanya, badan saya 202
mual dan eneg banget, Dok.” ungkap Diba pada dokter tersebut. “Kita test dulu ya, bu!(Mengambil alat testpack kehamilan)” Dokter membuka segel dialat testpack itu, lantas ia berikan ke Diba. “Iya,
Dok.(Mengambil
alat
itu
dengan
tangannya yang gemetar)” “(Menunjukan arah tempat memakai test itu)” Diba langsung pergi ketempat yang diminta oleh dokter.
Sesaat, Diba keluar dengan membawa linang air matanya. Pandangannya tak kuasa menahan air mata yang menderanya. Hingga akhirnya membawa tetes air mata, sampai menggenang dilantai keramik. Wajahnya tertunduk lunglai tak berdaya. Arman melihatnya tegas, dan langsung mendekat cepat ke 203
Diba. Diraihnya alat testpack yang dipegang oleh Diba. Alat itu, menunjukan garis yang positif. “(Mengecup kening Diba) Papa sayang sama mama! Semoga anak kita lucu dan pintar yah?!” tandas Arman dengan tegas ke Diba. “(Menghela
nafas
panjang).”
Diba
tak
berkata. Pause. “(Mengambil hasil testpack) Baik.. Saya ucapkan selamat untuk Ibu-Bapak.. Kalau boleh saya tahu, ini anak ke berapa, Pak?” tanya Dokter ke Arman dan Diba. “Ini anak pertama kami, Dok. ” balas Arman atas pertanyaan dari Dokter. “(Menuliskan resep) Ini.. Saya akan berikan salinan
resep
untuk
segera
ditebus. 204
Didalamnya ada vitamin untuk si kecil.” urai dokter ke Diba. “(Mengambil salinan resep) Terimakasih, Dok. Saya akan tebus resep yang sudah diberikan dari Dokter.” ucap Arman, sambil bangkit dari tempat duduknya. “(Menyalami) Sekali lagi saya ucapkan selamat untuk Bapak dan Ibu. Mohon dirawat janin yang dikandungnya.”
Arman dan Diba keluar dari ruang periksa Dokter. Setelah
itu,
Arman
segera
mendatangi
loket
pembayaran. Ia lanjut membayar sejumlah uang pada petugas loket. “(Menangis) Ini semua.. Gara-gara Kakak.. Pokoknya harus tanggung jawab!!” ungkap Diba dengan isak tangis yang dibawanya. 205
“(Menenangkan) Ssst.. Kamu jangan bicara seperti itu.. Ini semua sudah rezeki dari Allah untuk kita.. Jadi kita tidak boleh nolak rezeki yang Allah kasih..(Mengecup kening Diba).” “(Kecupan dari Arman ditepis mentah-mentah oleh Diba) Sudah deh.. Cepetan jalan!!” sambar Diba dengan nada penuh kekesalan.
Arman dan Diba lekas berbalik arah, menuju ke tempat motor diparkirkan sebelumnya. Sekelumit wajah Diba, diliputi oleh kekhawatiran mendalam. Air matanya tak mampu lagi dibendungnya, hingga akhirnya tumpah seketika. Arman yang berada disampingnya berupaya untuk selalu menenangkan hati Diba. *
206
Dalam perjalanan, Diba masih juga tak dapat membendung isak tangisnya. Tubuhnya gemetar tak karuan. Ia lantas menyetop motor tiba-tiba, melalui kaki kirinya yang menyentuh ke aspal jalan. Arman langsung menengok ke arah Diba. Ia terkejut dengan tindakan yang dilakukan Diba. Arman buru-buru memberhentikan laju motornya. “(Kesal) Pokoknya harus diaborsi.. Besok, harus temeni Diba cari tempat aborsi. Ngerti kan Kakak!!” tandas Diba dengan nada mengancam Arman. “Dengar baik-baik!! Sebesar apapun masalah yang
kita
hadapin..
Kita
harus
tetap
berdua!!”seketika itu, wajah Arman membeku keras. Sepasang matanya, menatap tajam kearah Diba. Kata-kata Arman bagaikan guntur yang menggelegar.
207
“Apa Kakak mau liat Diba diusir dari rumah, hah? Memang Kakak punya uang buat nikah?” ketus Diba ke Arman. “Semua ciptaan Allah mulai dari proses dilahirkan.. Bukan tiba-tiba kita ada disini! Jadi, setiap kejadian yang terjadi.. Pasti ada alasannya.. Ada asal muasalnya. Tidak akan pernah Allah.. Menciptakan satu mahkluk pun untuk menjadi sia-sia dimuka bumi. Allah memberikan masalah..
Allah juga
yang
memberikan jawabannya. Itu semua sudah menjadi
takdir
manusia.”
papar
Arman
dengan yakinnya. “(Mengancam) Inget yah.. Sampai kenapanapa, Kakak harus tanggung jawab yah!! Diba ngga mau diusir dari rumah.” ucap Diba dengan nada sewot ke Arman.
208
“Pasti
Kakak
akan
tanggung
jawab
semuanya!! Kamu tidak perlu marah-marah seperti ini.” tandas Arman dengan nada bicara yang meyakinkan Diba. “Kakak
itu
tidak
pernah
memikirkan
kedepannya.. Kalau Diba diusir dari rumah, apa Kakak mau tanggung resikonya?!” jelas Diba ke Arman. “Kamu dengar baik-baik.. Segala hal yang terjadi.. Itu semua sudah takdir. Jadi apa kita harus mengelak dari rencana yang dibuat Allah? Kakak itu selalu memikirkan kamu.. Jadi harus kamu sadari, kalau segala yang terjadi ini.. Pasti Kakak akan bertanggung jawab!” sambar Arman dengan lembutnya ke Diba.
Arman
memutuskan
untuk
melanjutkan
perjalanan kembali. Diba yang berada dibelakangnya, 209
terus menerus berada dalam isak tangisnya. Karena terlalu
emosionalnya,
ia
pun
meluapkan
kekesalannya, pada perutnya. Janin yang berada didalam perutnya itu, ia pukul berulangkali. Arman melihat perbuatan Diba, tak kuasa hatinya melihat janin yang tak berdosa itu dipukul terus menerus oleh Diba, ia pun memilih agar memberhentikan laju motornya kembali.
Diwaktu sepeda motor berhenti, Diba sejadijadinya berlari kencang menuju ke ujung jembatan. Arman lekas menyusul dibelakangnya. Diba sudah sampai dibibir jembatan. Tanpa berpikir panjang, ia siaga untuk menghempaskan tubuhnya ke dasar sungai. Arman semakin cepat berlari, hingga berhasil menggapai tangan Diba. “Untuk apa kamu lakuin ini semua? Apa kamu
sudah
tidak
punya
Tuhan
lagi?(Memeluk) Percaya sama Kakak, dik.. 210
Kita pasti mampu melewati semua ini berdua!!” terang Arman lembut ke Diba. “Memang Kakak tahu apa tentang Ummi dan Abah?(Berontak) Janin ini harus diaborsi!!!” Diba terus menerus memukul tubuh perutnya. “Tolong kasih kesempatan untuk Kakak bisa membuktikan ke kamu dan keluarga kamu.. Kita
mampu
menjadi
keluarga
yang
bahagia?!” cetus Arman dengan nada bicara penuh tekanan ke Diba. “Kakak itu cuma akan membenani hidup Diba.. Kakak sama sekali tidak tahu menahu siapa keluargaDiba.. Pokoknya Janin ini harus diaborsi!!!”
cercos Diba
membredel
ke
Arman. “Sabar.. Sabar, kita omongin baik-baik ini semua.. Sekarang kamu ikut Kakak yah!!” 211
tutur
Arman
berusaha
untuk
tetap
menenangkan hati Diba. “(Meronta-ronta) Alah percuma saja.. Ngga bakalan Diba pertahanin ini anak.. Pokoknya Diba mau aborsi ini anak!!!” Perut itu dipukulnya berkali-kali. “Sini kamu.. Ikut Kakak.. (Marah) Kenapa kamu harus kayak gitu?! Kamu tidak sadar.. Kalau itu juga akan berpengaruh sama diri kamu?”
tandas
Arman
dengan
luapan
amarahnya. Dari luapan amarahnya, tiba-tiba.. “Prakk...Prak..” Handphone yang dipegang Arman itu, ia banting keras. Handphone itu terlihat pecah terburai. Isinya berserakan tak beraturan.
Dalam sekejap, orang-orang berdatangan dari berbagai arah. Mereka melihat pertengkaran yang 212
tengah terjadi diantara Diba dan Arman. Seorang pemuda berusaha untuk meredam luapan amarah Arman. “(Melerai) Mas.. Sudah mas.. Kasihan kan!!” terang pemuda berbadan kekar tersebut. “Maaf Ibu-Ibu... Bapak-bapak.. Maaf mas.. (Membisiki telinga Diba) Kakak mohon sama kamu.. Tolong kamu ikut kakak.. Kita omongin semuanya baik-baik ya sayang.” ungkap Arman dengan lembutnya. Ia lantas memungut serpihan handphone-nya yang berserakan.
Diba tersadar akan kehadiran orang-orang disekelilingnya. Ia pun segera menuruti permintaan dari Arman. Tak perlu berpikir lama, Arman secepatnya menuntun langkah Diba. Keduanya melalui celah orang-orang yang datang melihat kejadian tersebut. Sembari melangkah, Diba tetap 213
konsisten dengan keinginannya untuk mengaborsi anak. “(Mengancam) Kakak harus aborsi ini anak?! Diba tidak mau tahu.. Janin ini harus diaborsi.. Kalau tidak.. Biar Diba mati saja!!” urai Diba dengan nada bicaranya yang kasar.
Arman tidak menjawab perkataan Diba. Ia bersiap untuk melajukan kendaraannya. Dalam hitungan menit, roda sepeda motor itu kembali berputar. *
Petang ditaman. Diba masih dibayangi oleh rasa kekhawatiran yang mendalam. Janin yang ada didalam kandungannya, terus menerus dipukulinya. Arman yang melihat keadaan Diba, berusaha untuk tetap meyakinkan Diba. Ia tak kuasa dengan 214
perlakuan Diba yang selalu membahayakan diri sendiri. “Apa kamu tidak bisa berhenti!! (Jengkel) Untuk apa kamu kayak begitu terus hah? Kalau kamu terus menerus pukul-pukul perut kamu.. Itu sama dengan kamu bunuh diri.. Seharusnya kamu bisa mengerti donk?!” jelas Arman ke Diba. “Kapan kita bisa ketempat aborsi? Perut ini.. Semakin hari, semakin bertambah gede.. Kalau sudah besar, semua orang pasti tahu!! Itu yang Kakak mau?” ucap Diba dengan kasarnya. “Sekarang begini saja. Kakak mau tanya sama kamu. Sebenarnya kamu itu mau melihat anak itu lahir apa tidak sih?”
215
“Memang kalau pingin anak ini lahir. Apa Kakak sudah siap untuk nikah!” damprat Diba dengan berangnya. “Kakak bakal tanggung jawab resiko untuk nikahi kamu. Kakak sudah siap buat nikahi kamu!! Mengenai biayanya. Kamu tidak usah khawatir
lagi.
memperhitungkan,
Kakak kalau
Kakak
sudah sanggup
untuk nikahin kamu. Meskipun nantinya, pesta yang akan kita adakan tidak semegah yang kamu bayangkan sebelumnya.” tegas Arman ke Diba. “Berapa emangnya Kakak punya duit, hah?!” semprot Diba ke Arman. “Kalau dalam waktu tiga sampai empat bulan lagi kita nikah.. Kakak sanggup menyiapkan dana, sebesar enam belas juta. Hanya itu kesanggupan Kakak, untuk mengadakan pesta 216
pernikahan.. Kakak yakin, kalau dana itu akan cukup
untuk
pesta
pernikahan
yang
sederhana.. Kita rayakan di masjid saja, Bagaimana?” papar Arman ke Diba. “Apa? Cuma punya duit enam belas juta? Mana mungkin bisa diterima sama keluarga.. Sementara uang segitu tidak akan bisa nutupin semua kekurangan pernikahan kita! Pokoknya Kakak harus aborsi ini anak.. Sebelum semuanya tahu.. Seharusnya Kakak bisa ngerti donk!!!” sewot Diba penuh kemarahan. “Kamu boleh sampaikan semua uneg-uneg kamu ke Kakak.. Tapi jangan kamu bicara sekasar itu ke Kakak.. Apa kamu tidak pernah sadar, kalau sekarang ini.. Suka atau ngga suka, Kakak itu adalah Bapak dari anak yang kamu kandung.. Ngerti kan kamu! Lagi pula setiap masalah itu, tidak perlu kita hadapin dengan
kemarahan..
Jadi
begini
saja.. 217
Insyallah.. Dalam waktu dua bulan kedepan.. Kakak akan datang kerumah kamu.. Saat itu juga, Kakak akan langsung melamar kamu?!” ucap Arman.
Diba hanya diam membeku mendengar perkataan Arman. Tak lama kemudian, perhatian Diba beralih oleh adanya pedagang yang berada tak jauh darinya. Ia lekas berlari mendatangi pedagang rujak tersebut. Arman tercengang kala perkataannya tidak direspon oleh Diba. “Kamu mau kemana..” Diba berlari ke arah pedagang
rujak.
Sementara
Arman
menghembuskan nafas panjang, pertanda kerisauan dihatinya.
Selesai bertransaksi dengan pedagang rujak, Diba kembali duduk diposisinya semula. Arman melihat jajanan yang sudah dibeli oleh Diba. Betapa sangat tercekatnya ia, manakala mendapati isi dalam 218
wadah plastik rujak itu hanya dipenuhi oleh buah nanas, yang menurut Arman dapat mengancam pertumbuhan janin didalam kandungan Diba. Dan tidak ada satu buah lain pun yang mengisi di wadah plastik tersebut. “Mau ngga, Kakak..” Diba tak menghiraukan perkataan Arman. Ia terus melahap rujak nanas yang dibelinya. “kemariin..(Mengambil wada plastik) Apa kamu ngga dengar kalau kakak lagi ngomong sama kamu!!” Arman langsung melemparkan wadah plastik itu jauh dari dekatnya. “Brengsek yah!! Memang itu Kakak yang beli? Memang kalau Diba mau makan itu kenapa, hah?!” semprot Diba dengan kasarnya ke Arman.
219
“(Memeluk tubuh Diba) Tenang donk kamu! Kamu tidak perlu sampai kayak gini. Kakak belikan kamu rujak yang baru. Tapi tanpa nanas yah?! Buah nanas itu tidak bagus buat pertumbuhan janin kamu, sayang.. Tolong kamu inget itu baik-baik. Kakak pingin dia lahir ke dunia sehat dan pintar, sayang. Jadi jangan kamu sakiti dia!!” rayu Arman ke Diba. “Cape juga ya lama-lama ngomong sama Kakak.. Kakak itu ngga akan pernah bisa ngertiin Diba!!” ucap Diba, sembari ingin melangkahkan kakinya pergi dari hadapan Arman. “Sebentar donk.. Kasih kakak kesempatan buat nunjukin ke kamu, kalau kakak itu mampu jadi Bapak yang baik buat anak kita nanti. Kakak akan ngebuktiin ke keluarga kamu!!” cetus Arman ke Diba. 220
Diba berusaha untuk melepaskan genggaman tangan Arman. Tapi semakin Diba berupaya kuat untuk
melepaskan
diri,
Arman
semakin
erat
menggenggam tangan Diba. “Lepasin ngga tangan Diba. Kalau tidak bakalan teriak disini loh!!” ancam Diba dengan nada penuh kemarahan.
Diba berusaha untuk terus melawan. Tapi Arman tak mau mengalah. Hingga akhirnya, Diba tak kuat dan pasrah dalam pelukan Arman. Bulir air matanya seketika kembali meledak di kedua pelupuk mata. Arman secepatnya mengusap derai air mata yang menetes di pipi Diba. Ia layangkan kecupan hangat dikening Diba. *
221
BAGIAN 9
Bulan berganti bulan..
Waktu
teramat cepat berjalan. Tanpa terasa
usia kandungan Diba sudah memasuki bulan ke tiga. Arman memutuskan untuk bertanggung jawab atas kehamilan Diba. Ia berniat untuk menyudahi semua perbuatan maksiat yang selalu dilakukan berdua dengan Diba. Membuka lembaran baru yang bersih dan mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Membawa Diba menjadi wanita yang sholeha. Karena itu, Arman ingin sekali untuk meminang Diba.
Dihadapan Ummi, Abah, Diba, Ria, dan Hasan, Arman memberanikan diri mengutarakan maksud hatinya. Diba mengambil posisi ditengah keluarganya. Sementara tempat duduk Arman berada seperti di tengah, dikelilingi oleh keluarga Diba. Jantungnya berdegup kencang. Bibirnya terasa keluh. 222
“Pertama-tama.. Arman ingin mengucapkan terimakasih
yang
sebesar-besarnya.
Atas
kesediaan waktu dari Ummi, Abah, Hasan dan Ria.
Maksud
tujuan
Arman
untuk
mengumpulkan semuanya hadir saat ini adalah.. (Nervous) Arman ingin melamar Diba, menjadi istri sah Arman. Semua itu terjadi karena mengingat waktu pacaran kita, yang sudah memasuki tahun keempat. Sebab itu, Arman ingin meminta doa restu dari abah, umi, Hasan dan Ria, agar menerima lamaran dari Arman.” ucap tegas Arman ke semua yang ada diruangan itu. “Abah sangat bersyukur kalau
memang
Arman berniat untuk melamar Diba. Tapi apakah Arman sudah siap dengan seluruh kebutuhan yang dibutuhkan untuk pernikahan kamu nanti?” jelas Abah ke Arman. 223
“Lagian ngapain sih kebelet banget mau kawin? Sudah ngga ketahanan yah!” sambar Ummi, menambahkan perkataan Abah. Dari perkataan Ummi, Diba, Ria, dan Hasan terdengar tertawa geli. “(Tersenyum) Bisa saja Ummi! Ngga begitu kok, Ummi.. Arman hanya ingin meresmikan hubungan yang sudah berjalan lama. (Pada Abah)
Tentang
semua
kebutuhan
yang
dibutuhin untuk pernikahan nanti.. Insyallah, Arman sudah menyiapkan dananya, Bah.. Tapi dalam hal ini, alangkah lebih afdolnya kalau dibicarakan lebih jauh dengan kedua belah pihak keluarga.” tandas Arman ke abah. “Abah sih setuju-setuju aja kalian berdua menikah. Itu tandanya kalian berdua memang serius
membina
hubungan.
Bukan
asal
berhubungan aja. Tapi semua itu harus-benar 224
dipersiapkan secara matang.” tukas abah ke Arman. “Iya, Man. Nikah itu bukan hanya karena kita mau nikah.. Terus kedepannya nanti bakalan blangsak. Jadi bener-bener kudu dipikirin.” terang umi ke Arman. “Begini saja.. Nanti kasih tahu kita lagi. Kapan waktunya buat ngomongin sama keluarga Arman. Sebab Arman kan harus bilang dulu sama kedua orang tua.” urai abah dengan tegas ke Arman. “Iya, Abah. Arman akan segera berikan kabar ke Ummi dan Abah, kapan waktu untuk bisa kita kumpul-kumpul bareng sama keluarga Arman. Setelah itu baru kita akan mulai bicarakan konsep pernikahan yang akan kita akan adakan. Bagaimana, Mi-Bah?” jelas Arman ke abah dan semua. 225
“Lebih baik begitu.. Jadi kita ngga gedebakgedebuk ngadepin pernikahannya. Semua memang
direncanakan
baik-baik.”
tukas
Ummi pada Arman. “Arman nanti juga sampakan sama Papa sama Mama.. Kapan tanggal baiknya! Ngomongngomong.. Arman ngomongin ini semua, sudah atas sepengetahuan dari Papa sama Mama, belum?” ucap abah. “Semua yang Arman sampaikan ke Abah dan Ummi, sudah Arman utarakan sebelumnya ke Papa dan Mama.. Mereka memang mulanya terkejut dengan keputusan Arman.. Tapi Arman jelaskan, kalau hubungan yang Arman dan Diba jalin.. Sudah berlangsung sekian tahun lamanya. Jadi ini semua, bukan karena Arman dan Diba ingin buru-buru, Bah-Mi. Berikutnya,
Arman
akan
coba
untuk 226
memberitahu
lagi
tentang
pertemuan
berikutnya, ke Papa dan Mama Arman. Setelah itu, baru Arman sampaikan ke Diba, waktu yang tepat untuk kita bisa kumpul kedua belah pihak keluarga Bah-Mi?!” papar Arman dengan nada lembut ke Ummi dan Abah. “Ya udah, kalau memang ngga ada hal penting yang harus dibicarain lagi.. Abah tinggal dulu keluar ya, Man?!(Berlalu pergi dari hadapan Arman)” tandas abah ke Arman. “Ummi juga sekalian deh.. Mau ke pasar bentaran.”ungkap umi ke Arman, seraya melempar pandangan dengan Diba.
Selesai hatinya,
Arman
menyampaikan
maksud
semua anggota keluarga Diba,
lekas
berpencar ke aktifitas masing-masing. Di ruang tamu rumah Diba, hanya tinggal Arman dan Diba yang 227
masih tetap bertahan. Keadaan berubah hening tanpa suara. Arman dan Diba, saling diam dalam kebisuan. Arman keluarkan handphone dari saku celana. Ia lantas menuliskan sebaris pesan singkat. Setelah tulisan itu tuntas ditulis, ia tak langsung kirimkan pesan tersebut. Handphone itu, ia serahkan ke tangan Diba, agar dibaca olehnya.
#Kakak tadi gerogi, dik. Tapi akhirnya sekarang sudah lega. Kakak akan bertanggung jawab atas kehamilan kamu sayang.# isi yang tertera pada layar handphone Arman.
Diba
hanya
menyunggingkan
senyum
tipisnya. Gurat diwajahnya terpancar perasaan senang berselimut duka. Arman berusaha untuk meredam gejolak emosi Diba, dengan menggapai jemari tangannya, namun jemari itu rupanya sedang tak ingin disentuh oleh tangan Arman.
228
“Kalau gitu. Kakak pulang dulu ya. Temanin kakak sampai didepan donk. Masa kakak harus keluar dari rumah kamu sendiri!” ujar Arman ke Diba, yang terlihat masih diselimuti mendung dimatanya. “Ah. Masa kedepan pintu pager aja.. Harus diteminin sih, Kak?!” kata Diba dengan ketusnya, sambil bangkit dari tempat duduk.
Arman keluar dari dalam rumah. Disusul Diba dibelakangnya. Keduanya nampak dalam kekakuan. Arman lemparkan senyuman ke Diba. Tapi hanya dibalas oleh lambaian tangan Diba. Lambaian tangan itu, tak lagi dijawab oleh Arman. Namun ia lekas beranjak keluar dari rumah petak tersebut. *
229
Sesuai dengan harapan Arman, pertemuan antara kedua keluarga dapat terjadi. Siang itu, Arman datang kerumah Diba, bersama dengan Mama dan Papa. “Assalamu’alaikum!!” seru Papa, sebelum masuk kedalam rumah Diba. “Wa’alaikumsallam.. Eh ada tamu! Mari masuk
Pak-Bu.
(Mempersilahkan
masuk
kedalam rumah)” jawab si empunya rumah ke keluarga Arman.
Iringan kedua keluarga itu bergegas masuk kedalam rumah. Didalam rumah Diba, tampak adanya bermacam hidangan makanan ringan. “Mari, Bu.. Silahkan duduk.. maaf ya Bu, cuma ada segini-gininya saja!” tutur Ummi pada mama dan papa Arman. 230
“Ya ampun.. Ngga apa-apa Ummi.. Ini saja sudah cukup banyak.” balas Mama ke Ummi. “Hayo, sambil dimakan Pak-Bu!” minta Abah ke Mama dan Papa Arman.
Kedua keluarga itu, langsung menempati posisi duduknya masing-masing. Usai mengambil posisi duduk, lontaran-lontaran pembicaraan basabasi mulai terucap satu sama lainnya. Mulai dari pembicaraan lama perjalanan, situasi selama dalam jalan, perkenalan anggota keluarga, sampai pada situasi lingkungan tempat tinggal. Pembicaraan basabasi kedua keluarga itu akhirnya berhenti, dan mulai menyentuh pada inti dari maksud kedatangan keluarga Arman ke rumah Diba. Arman menguatkan diri untuk membuka pembicaraan. “Seperti yang sebelumnya pernah Arman sampaikan ke Abah dan Ummi.. Hari ini Arman sekeluarga datang.. Bermaksud ingin 231
melamar Diba.” ungkap Arman pada Ummi dan Abah. “Memang kenapa harus buru-buru banget sih, Man?! Sudah ngebet banget pengen kawin yah!” canda
Ummi
ke Arman,
hingga
membuat semua pada tertawa. “Tahu ini anak.. Kayaknye sudah kagak ketahanan lagi, Mi!!” timpal Papa Arman ke Ummi dengan nada cueknya. “Biarin deh, Mi.. Kalau niat baik harus disegerain kan, Bah-Mi.” tukas Mama pada Abah dan Ummi. “Yah kalau kita sih, sebagai orang tua.. Gimana baiknye anak aja Pak-Bu. Gimana tuh?” tanya Abah ke Diba yang duduk disebelahnya. 232
“(Mengangguk)” Diba tak menjawab, ia hanya mengganggukan kepala atas pertanyaan yang dilontarkan oleh abah. “Loh.. Kamu ko ngga jawab sih? Kamu terima lamaran dari Kakak kan, Dik?” ucap Arman mengulangi perkataan dari abah. “Iya, Diba mau.” tandas Diba ke keluarga Arman. “Alhamdulillah..
Kalau
memang
begitu,
rasanya udah klop. Abah sama Ummi juga sudah ngerti maksud kedatangan kita kemari.” sambar mama Arman ke umi dan abah. “Berarti, sekarang saatnya kita bicarakan masalah konsep pernikahan yang akan kita adain nanti ya Bah-Mi?!” tutur Arman ke Ummi dan Abah. 233
Disela-sela pembicaraan, terdengar suara adzan pemanggil shalat dzuhur berseru-seru. Papa dan mama Arman, memutuskan untuk menghentikan pembicaraan. “Sebelum kita membahas masalah konsep dan susunan acaranya.. Mendingan kita dzuhur dulu
ya,
Man?Biar
lebih
leluasa
kita
ngobrolnya.” tegas Papa ke Arman. “Iyah.. Betul tuh, Man. Bapak sama Ibu, mau shalat disini atau dimushola belakang? Di mushola saja ya, Pak. Lebih legaan kalau disana?!” sambar Ummi ke Papa Arman. “Ya-ya.. Kita shalat di mushola saja. Ngga jauh kan musholanya, Mi?” tanya papa ke Ummi. “Ngga kok, Pak. Ada gang dibelakang rumah. (Pada
Arman)
Arman
nanti
tunjukin 234
tempatnya ke Bapak sama Ibu, ya!” ujar Ummi ke Arman.
Arman, Papa dan Mama, berangkat untuk menunaikan
kewajiban
perjalanan
menuju
shalat. ke
Ditengah-tengah
mushola,
Arman
menyempatkan bicara mengenai jumlah mahar perkawinan. Jumlah uang yang nantinya akan diberikan ke Diba. “Pah.. Bagaimana dengan mahar perkawinan yang akan kita omongin nanti?!” “(Tegas) Kamu omongin apa adanya saja, Man. Berapa uang yang kamu punya.” balas mama ke Arman. “Seperti yang pernah Arman sampaikan ke Papa dan Mama kemarin.. Kalau uang tabungan Arman hanya punya segitu-gitunya 235
aja. Arman juga tidak mau punya hutang sama pihak manapun, Pah?!” “Ya sudah.. Kamu utarakan saja, berapa nilai yang memang kamu punya. Jadi pernikahan yang
akan
kamu
adakan
tidak
perlu
bermewah-mewahan. Lagi pula, kan kamu harus ada pegangan setelah nikah nanti. Bukannya harus dihabiskan semua uang kamu itu?!” jawab Papa dengan gaya bicaranya yang lemah lembut. “Sampaikan
saja..
Kalau
kamu
niat
mengadakan acara yang sederhana. Biar mereka nantinya akan menerima kita apa adanya. Jika memang Diba itu cinta sama kamu, seperti apapun pesta pernikahan yang akan kita adakan.. Dia itu tidak akan bisa tolak.” sambar Mama pada Arman.
236
“Ya, Pah-Mah.. Arman akan utarakan ke mereka, berapa jumlah uang yang Arman punya. Saat itu juga, Arman akan bicarakan konsep pernikahan Arman yang sesederhana mungkin.” jelas Arman ke Papa dan Mama.
Papa, Mama tak menjawab perkataan Arman. Keduanya
bergegas
masuk
kedalam
mushola.
Tampak satu persatu, orang-orang yang berdatangan guna menunaikan shalat. Imam pemimpin shalat sudah mulai terlihat mengisi syaf di paling depan. *
Ummi, Abah, Diba terbelalak kaget, saat mendengar jumlah uang yang akan diberikan sebagai mahar pernikahan. Mereka ternyata tidak dapat menerima jumlah angka yang disodorkan oleh Arman.
237
“Apa kagak bisa ditambah lagi uang segitu, Man. Ummi merasa kalau uang segitu, tidak akan cukup buat ngadain pesta pernikahan. Kan Bapak dan Ibu tahu sendiri, apa-apa sekarang mahal.” jelas Ummi ke Papa dan Mama Arman. “Bagaimana ya, Pak.. Kayaknya dengan uang segitu, kita rasanya harus minjem kesana kemari, Bu. Buat nutupin kekurangannya, kita tidak
mampu
Bu.”
sambar
Abah
menambahkan perkataan Ummi. “Sebelumnya..
Kami
sekeluarga
mohon
maaf.. Karena saat ini, memang uang yang Arman punya ya.. Segitu-gitunya saja?! Terserah bagaimana baiknya Ummi dan Abah mengatur acara resepsi pernikahan, biar sesederhana mungkin.” tukas Mama ke Abah dan Ummi. 238
“Abah- Ummi.. Terus terang, kami sekeluarga memang sudah tidak ada daya lagi. Semua uang tabungan yang Arman miliki, cuma ada segitu-gitunya aja, Bah-Mi.” polos Arman berkata pada abah dan Ummi. “Coba nanti kita itung-itungan dulu ya, PakBu. Semoga saja kita benar-benar bisa mengadakan pesta dengan uang segitu? (Pada Arman) Lagian Arman kebelet banget sih. Apa tidak mau ngumpulin uang dulu.” tanya Ummi ke Arman. “Tahu nih, Kakak. Sudah ditunda sementara dulu aja. Biar Kakak ngumpulin uang dulu. Daripada nanti kita ngutang kesana-kemari.” ucap Diba ke Arman. “Bukannya Arman tidak mau mendengar omongan dari Ummi dan juga kamu, dik. Tapi kakak rasa, uang segitu akan mencukupi biaya 239
pernikahan kita. Lagian kan kita tidak mengadakan pesta yang harus bermewahmewahan. Cukup sesederhana mungkin kita nikahnya, Dik. Arman inginnya diadakan di masjid saja.” ungkap Arman ke Abah, Ummi dan Diba. “Man..
Biarpun
kita
ngga
bermewah-
mewahan, tapi semua tetap aja kita harus keluar biaya. Begini saja deh.. Kita akan lihat dulu, apakah memang cukup untuk seluruh kebutuhan selama pernikahan nanti, ya PakBu?!” ujar Abah ke Papa dan Mama Arman. “Mengenai waktu dan tanggalnya.. Seperti yang Arman sampaikan tadi.. kalau dari lubuk hati Arman, kepinginnya itu diadakan bulan depan. Mengingat bulan depan itu adalah bulan yang dirasa baik, Mi-Bah...”
240
“Memang ada apaan dibulan depan sih, Man?” selak Ummi dengan sewotnya. “Bulan depan itu, adalah hari ulang tahun Arman. Setelah Arman lihat tanggalan, bulan depan ada tanggalan merah. Jadi kalau nanti ada saudara yang ada diluar kota, insyallah akan datang.” tandas Arman ke Ummi dan Abah. “Mengenai itu kita omongin lagi, Man. Nanti bakalan ada pertemuan berikutnya.” terang Papa ke Ummi dan Abah. “Betul itu Pak-Bu. Mengenai tanggalnya.. Lebih baik kita bicarakan lagi. Jadi semua persiapan, sudah benar-benar matang.” tutur Ummi, membalas perkataan Papa Arman. “Ayo Pak-Bu.. Sambil dimakan, makannya.. Sayang ntar keburu dingin. Maaf kita cuma 241
bisa nyuguhin seadanya ya Pak-Bu.” jelas Abah ke Papa dan Mama Arman.
Diba saling beradu pandang dengan Arman. Sorot matanya sangat tajam menatap kearah Arman. Serasa ingin menerkam Arman. Sedangkan Arman, membalas tatap tajam yang diberikan Diba, dengan senyumnya. Ia sadar akan kekurangannya. Tapi tanpa ia menyampaikan sejujur-jujurnya, semua itu akan berakibat ke janin yang dikandung oleh Diba. Sebab tak sedikit pun terbesit, niat untuk menggugurkan bayi yang tengah dikandung oleh Diba. Arman berusaha untuk mengalihkan perhatian Diba. “Mi.. Arman makan ya soto mienya. Kamu kenapa tidak makan.” ucap Arman ke Diba. “Ah.. Lagi tidak enak badan.” judes Diba ke Arman.
242
“Hayo donk kamu makan.. Masa hanya kitakita saja yang makan sih.” jawab Arman lembut ke Diba.
Ummi dan abah seketika langsung melihat kearah Diba. Hingga mau tak mau, Diba mengambil makanan yang telah dihidangkan oleh Ummi. Sembari menyantap hidangan makan, orang tua Arman dan Diba saling membuka pembicaraan selingan. “Kamu
itu
sudah
berapa
lama
masa
pacarannya sih?” tanya Mama ke Arman. “Kita pacaran itu sudah jalan empat tahunan, Pah-Mah.. Jadi kalau secara keseluruhan, bisa dikatakan siap lahir batin.” “Iya nih, Pak-Bu.. Pulangnya malem terus kalau habis jalan berdua. Tahu tuh ngapain 243
saja, sampai pulang malam kayak begitu?!” cerocos Ummi ke Papa dan Mama Arman. “Kita sih, sudah bilang ke Arman, Pak-Bu.. Boleh jalan, tapi jangan sampai pulang malam. Masalahnya, bukan karena kita tidak memperbolehkan.. Tapi kan Bapak-Ibu, tahu sendiri.. Kalau orang kampung disini, benar atau tidak benar.. Tetap saja salah. Kalau ada apa-apa.. Nanti Arman juga yang ketumpuan akibatnya.” ujar Abah ke Papa dan Mama Arman. “(Tercekat)
Begini Ummi,
Abah,
Papa,
Mama.. Arman dan Diba sebenarnya ingin sekali pulang cepat.. Dan ngga malam-malam terus, tapi memang ada saja yang membuat kita berdua selalu pulang larut malam. Karena itu, Arman ingin meresmikan hubungan kita berdua..
Supaya
orang-orang
tidak
lagi 244
mencap kita jelek.” cetus Arman ke Ummi, Abah, Papa dan Mama. “Tapi tetap saja kamu itu salah, Man.. Apapun yang kamu lakuin berdua.. Jangan pernah pulang malam lagi. Inget yah itu?!” pinta Papa ke Arman. “Iya pa-Ma.. Insyallah besok-besok Arman tidak akan pernah pulang malam lagi. Palingan juga nginep aja ya Mi-Bah.” gurau Arman memecah percakapan.
Diba menatap Arman dengan sorot mata yang tajam. Namun Arman tak membalas pandangan itu dengan perasaan benci. Justru ia malah melemparkan senyum manis ke Diba. “Kamu itu kenapa sih? (Berbisik) Kamu melihat Kakak kayaknya benci banget.” ucap Arman ke Diba. 245
“Kurang itu duitnya, Man.=Tambahin donk, Man.” sambar Ummi, atas perkataan Arman ke Diba. “Man.. Sudah atau ada yang ingin dibicarain lagi?” seru Papa ke Arman. “(Menggeleng) Tidak ada yang Arman ingin sampaikan lagi.” tutur Arman pada Papa. “Baik deh Mi-Bah.. Kita pamit pulang dulu ya! Semoga kedepannya, urusan kita ini bisa dilancarkan dan dimudahkan.” tandas Papa ke Ummi dan Abah. “Amin pak.. Insyallah bisa dipermudah! Kalau kita sih tidak akan nyusahin Bapak dan Ibu dah.. Kita ngomong begitu, karena kan Bapak tahu.. Harga barang-barang serba mahal, dan juga saya ngga mau nyusahin 246
Bapak-Ibu pokoknya?!” ungkap Abah ke Papa dan Mama Arman. “Bener Pak-Bu.. Kita bakalan ngasih yang terbaik buat anak pokoknya ya pak.” potong Ummi ke papa Arman. “Kalau begitu.. Arman mohon pamit ya, Ummi -Abah! Selanjutnya kita akan saling kasih kabar masing-masing ya, Bah?! Dik.. Kakak nanti telepon ke kamu ya.” urai Arman ke Diba.
Akhir dari kata-kata Arman ke abah dan umi, Arman sekeluarga langsung melangkah keluar dari rumah Diba. Baru saja Arman hendak mengikuti langkah papa dan mama keluar dari pagar rumah, tiba-tiba Diba menyergap Arman dari belakang. Ia langsung menarik tangan Arman. Diba meminta agar Arman mau mendengar kata-katanya. 247
“Pokoknya.. Diba mau diaborsi aja ini anak?!” ancam Diba ke Arman. “Kamu jangan pernah ngucapin kata-kata itu lagi ya.. Kalau sampai kamu benar-benar ngomongin aborsi itu anak lagi.. Kakak benarbenar ngga akan pernah mau bertanggung jawab. Ngerti kamu ya?!” tandas Arman ke Diba. “Memang dasar egois.. Dasar lelaki, maunya enak sendiri!” timpal Diba dengan kasarnya ke Arman. “Sebenarnya.. Siapa sih yang egois.. Aku atau kamu? Semua ini Kakak lakukan untuk menyelamatkan anak kita sayang.. Hasil cinta kita!! Semestinya kamu itu sadar. Atau barangkali, kamu ngomong begitu.. Karena kakak tidak bisa ngasih kamu uang mahar 248
yang sesuai dengan impian kamu, hah!!” semprot Arman ke Diba. “Sudahlah.. Pokoknya, Diba pengin aborsi ini anak. Diba tidak akan pernah mau nikah sama Kakak?!
Dasar
gembel.”sewot
Diba
ke
Arman.
Arman tak membalas kata-kata Diba terahkir. Ia segera meninggalkan Diba seorang diri, didepan pintu rumahnya. *
Malam makin larut. Mata masih belum juga dapat terpejam. Didalam kamar, Arman masih membayangkan setiap perkataan Diba yang sudah diluar batas normal. Ia tampak gelisah tak menentu. Berkali-kali Arman coba untuk membolak-balikan badannya. Mencari posisi tidur yang nyaman, namun tetap
saja
kedua
matanya
tak
bisa
terlelap.
Membayangkan tentang semua lontaran ucapan yang 249
sangat tidak pantas dilakukan oleh seorang wanita muslim sejati. Kendati demikian, Arman sadar kalau kondisi kehamilanlah yang membuat emosi Diba semakin tak terkendali. Oleh karenanya, Arman justru berusaha untuk mencari tahu keadaan Diba yang sesungguhnya. “Hallo.. Hallo.. Assalamu’alaikum.” ucap Arman
mengawali
handphone.
Suara
pembicaraan panggilan
di-
Arman,
terdengar disahut oleh Diba. “Iyah.. Kenapa, Kak?!” jawab Diba. “Loh.. Kakak tidak boleh ya telepon kamu? Kamu sudah tidur?” “Mau
tidur
atau
belum..
Memangnya
kenapa?” ketus Diba dengan kasarnya ke Arman. 250
“Apa kamu tidak bisa ngomong baik-baik sama kakak.. Kan Kakak pingin ngobrol sama kamu sayang!” rayu Arman guna meredam emosi Diba. “Sudah dulu ya.. Ngantuk banget nih! Besokbesok aja kita ngomongnya.” balas Diba ke Arman.
Secepat kilat, Arman langsung beranjak dari tempat tidurnya. Ia menuju ke halaman depan rumahnya. “Sebentar.. Tahan sebentar.. Kakak mau ngomong serius sama kamu?! Jangan dimatiin teleponnya...” tutur Arman, sambil melangkah keluar dari kamar tidurnya. “Buruan donk.. Diba sudah ngantuk banget ini?!”
251
“(Tersengal) Hah.. Dahh.. Kakak sudah sampai. Begini, dik.. Kakak itu ngerasa kamu ko tadi dan kemarin, selalu bicara kasar ke kakak. Memangnya kakak ada salah apa sih ke
kamu?Kalau
memang
kakak
punya
kesalahan, ya kamu mestinya kasih tahu kakak. Biar kakak bisa introspeksi diri. Bukan kamu malah bicara kasar ke kakak?!” tandas Arman ke Diba. “Terus kenapa.. Kalau tidak suka, ya tinggal cari cewek lain aja.. Kenapa harus maksa terus.. Pokoknya Kakak harus aborsi ini anak.. Sampai Abah dan Ummi tahu.. Lihat aja.. Bakalan
tanggung
jawab
nanti
sama
mereka?!” maki Diba dengan nada bicaranya yang kasar. “Kalau memang kamu tidak kepingin kakak tanggung jawab sama bayi yang kamu tanggung itu. Besok juga kita akan aborsi saja 252
itu anak!” cetus Arman ke Diba dengan nada terdengar meninggi. “Jam berapa Kakak mau ketempat Diba.. Kita berdua bisa ngelakuin aborsi, hah?” ungkap Diba. “Tidak tahu deh jam berapa... Tunggu saja.. Kita bakalan aborsi anak itu. Setelah itu.. Kita sama-sama masuk penjara bareng-bareng yah?!” ucap Arman membalas perkataan Diba. “Sudah dulu yah.. Cape ngomong sama Kakak.. Percuma saja, tidak akan pernah bisa dengar apa yang Diba mau!!” “Sebentar.. Kakak hanya ingin tanya sedikit ke kamu.. Jawab pertanyaan kakak dengan jujur.. Apakah sayang kamu sama anak itu?” tutur Arman, berusaha lemah lembut ke Diba. 253
“(Diam) Sayang lah..Masa iya ngga sayang!” “Nah, kalau begitu.. Artinya kamu tidak akan aborsi itu anak?!” balas Arman ke Diba. “Tahu ah.. Sudah dulu yah.. Tidak tahan, mau tidur dulu..(klik)” seketika sambungan telepon itu dimatikan oleh Diba.
Arman hanya dapat terbujur kaku ketika Diba mematikan saluran tersebut. Ia pandangi handphone ditangannya. Selang sesaat, dari arah belakang muncul papa. Tanpa diketahui oleh Arman, ternyata papa mendengar semua percakapan yang terjadi diantara Arman dan Diba. “Ada apa kamu.. Papa ngedenger kamu ditelepon, marah-marah begitu.. Siapa itu Arman?” tanya Papa, seraya merangkul pundak Arman. 254
“Oh Papa.. (Terkesiap) Bukan siapa-siapa.. Hanya teman Arman, Pah?!” ujar Arman ke papa. “Walaupun kamu tutupi semua kenyataannya. Papa tahu, itu Diba kan?” sergap Papa ke Arman. “(Mengelak) Hanya masalah kecil kok, Pah.. Biasa
kalau
orang
mendekati
hari-hari
pernikahan, selalu ada aja yang menguji. Insyallah besok dia akan baik lagi, Pah!” ucap Arman. “Papa selalu mendoakan.. Semoga pilihan kamu ini adalah yang terbaik buat hidup kamu. Apapun keputusan kamu, Papa akan selalu ada dibelakang kamu ya, Man!” papar Arman penuh kehangatan. 255
“Makasih ya, Pah.. Arman akan selalu ingat semua yang Papa bilang ke Arman. Lagi pula, Arman yakin kok.. Kalau memang tidak terjadi apa-apa. Besok Diba akan kembali normal lagi, Papa.” jelas Arman ke Papa. “Ya
sudah..
Jika
keadaannya.” seraut diliputi
ke
memang
demikian
wajah Papa,
khawatiran.
mulai
Kekhawatiran
selayaknya seorang Ayah terhadap anaknya. “Iya Papa.. Jangan Papa pikirin.. Semua ini cuma ujian kecil saja. Arman yakin bisa melalui masalah kecil ini ko, pah?! Lupakan saja ya, Pah.” ucap Arman penuh sayang kesosok Papa. *
256
BAGIAN 10
Detik berlalu, berganti menit, berganti hari..
Arman
dan Diba resmi menjadi sepasang
suami-istri. Keduanya kini hidup dalam satu rumah. Arman dan Diba tinggal dikamar kos, dirumah Diba. Kamar kost yang ditempati berukuran tidak besar, lengkap
dengan
adanya
dua
jendela
kamar.
Keputusan untuk tinggal dirumah Diba terjadi bukan atas keinginan Arman, melainkan desakan dari kedua orang tua Diba. Semuanya dikarenakan masa kehamilan Diba yang hanya beberapa bulan lagi. Tinggal dikamar kos, membuat Arman tidak dapat bergerak leluasa. Bayangan untuk tidur satu ranjang dengan Diba hanyalah tinggal angan-angan belaka. Tempat tidur Arman dan Diba terpisah. Arman tidur
257
dilantai, sementara Diba dapat menikmati hangatnya tidur dikasur empuk.
Mimpi Arman yang mulanya ingin membina kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah, warohmah, serasa makin jauh dari kenyataan yang ada. Diba tak dapat mengendalikan emosinya yang seringkali meledak-ledak. Disisi lain, Arman lebih bersikap berserah diri pada Allah. Baginya, setiap masalah yang terjadi didalam kehidupan rumah tanganya, harus dihadapi dengan penuh kesabaran. Walau situasi sesulit apapun, Arman tak mau melampiaskan
seluruh
amarahnya.
Selepas
menunaikan shalat isya, Arman lantunkan doa dipenghujung shalat. Wajahnya nampak tepekur diatas sajadahnya. “Ya Rahman, Ya Allah..(Menitikan air mata). Ampunilah segala dosa-dosa yang telah hamba perbuat. Ampunilah dosa-dosa hamba, dimasa lalu. Bukakanlah pintu tobatan nasuha 258
dari-Mu, ya Allah. Ampunilah seluruh dosadosa istri hamba. Jangan Engkau tempatkan hamba didalam kebimbangan dan kegelapan. Jadikanlah keluarga hamba, keluarga yang sakinah,
mawadah,
warohmah..
Yang
senantiasa selalu ingat pada-Mu. Ya Allah, ampuni semua ketidaktahuan istri hamba. Jadikanlah ia istri yang sholeha, yang kelak jadi panutan untuk keturunan hamba, ya Allah. Sadarkanlah ia, dari setiap kesalahan yang
selalu
diperbuatnya.
Ya
Allah,
lancarkanlah proses kelahiran istri hamba. Jagalah bayi yang ada didalam kandungan istri hamba. Ya Allah, ya Rahim.. Jagalah kedua orang tua hamba, berikanlah kesehatan untuk keduanya. Mudahkan dan lancarkanlah setiap urusannya...(Tiba-tiba Diba bangun dari tidurnya, dan langsung lewat didepan sajadah Arman. Seketika Arman menghentikan doa yang masih dilantunkannya)” 259
“(Pada Diba) Kamu sudah shalat isya, sayang.. Kalau belum, shalat dulu. Baru setelah itu diterusin lagi tidurnya!” pinta Arman dengan lembut ke Diba. “Berisik. Mau shalat atau tidak, urusan masing-masing. Tidak usah sok suci deh?!” semprot Diba kasar ke Arman. “Astagfirullah..
Kakak
Cuma
ingin
mengingatkan kamu saja. Kan itu sudah menjadi kewajiban Kakak?! Kalau kamu tidak shalat, Kakak juga yang akan dosa.” tandas Arman ke Diba yang memperlihatkan sikap acuh tak acuh. “Sudahlah. Tidak usah dipikirin, shalat atau tidak. Memangnya kalau shalat itu, bisa merubah keadaan kita?” Diba berlalu pergi dari hadapan Arman. 260
“Ya
sudah,
Kakak
hanya
sekedar
mengingatkan kamu saja. Kalau memang kamu ngga mau Kakak kasih tahu lagi.. Besok-besok, Kakak tidak akan pernah lagi ngomong ke kamu. Kamu mau kemana?” tanya Arman lembut ke Diba. Omongan itu, tak sedikit pun didengar oleh Diba. Ia malah menghilang, meninggalkan Arman seorang diri.
Seperti hari-hari sebelumnya, Diba seringkali meninggalkan Arman seorang diri didalam kamar. Diba selalu memilih tidur bersama dengan anggota keluarganya. Dalam kesendirian, Arman menghibur diri sendiri, dengan menelpon papa dirumah. Hanya papa dan mama yang mampu menjadi obat gundah dihati Arman. “Assalamu’alaikum, Papa. Ini Arman, Pah! Apa kabar Papa dan Mama dirumah? Semoga 261
baik-baik saja ya, Pah!” seru lembut Arman membuka perkataannya. “Alhamdulillah, kita sekeluarga sehat, Man. Kamu sendiri bagaimana disana?” jawab Papa ke Arman. “Arman sehat, Pah. Hanya, Arman merasa jenuh
dengan
kehidupan
rumah
tangga
Arman, Pah?!” “Jenuh dan bosan itu adalah hal biasa dalam kehidupan rumah tangga.. Makanya kamu harus lebih mendekatkan diri pada Allah.. Jangan pernah kamu tinggalkan shalat kamu.” jelas Papa. Selang sesaat, Arman sudah tak sanggup lagi menahan beban berat didadanya. “Papa. Arman tidak tahu harus bagaimana, melawan situasi seperti ini, Pah. Arman selalu bertengkar dengan Diba. Sudah sering Arman 262
berikan nasihat, tapi tetap saja dia ngga pernah
menganggap
Arman
sebagai
suaminya.” urai Arman dalam isak tangisnya. “Hei, my boys.. Kamu tidak boleh cengeng. Kamu harus kuat, Man. Ingat, selalu ada Allah yang menemani kita. Semua itu pasti akan berlalu, Man.” tutur Papa, menguatkan Arman. “Tapi
Arman
benar-benar
sudah
tidak
sanggup lagi, Pah.. Diba sering kali bersikap kasar ke Arman. Sekarang aja, Arman ditinggal sendirian dikamar. Apakah itu sikap seorang istri yang baik, Pah?” balas Arman ke Papa. “Ya sudah.. Kalau memang dia seperti itu kelakuannya, biarkan saja. Kamu inget saja, bayi yang nantinya akan lahir. Jadi kamu tidak perlu marah-marah, apa lagi sampai 263
memukul dia. Selalu ada Allah disamping kita, Man. Sabar ya kamu disana!!” ucap Papa, menenangkan hati Arman yang pedih. “Papa.. Arman sudah sabar dan selalu inget kata-kata Papa dan Mama.. Tapi keadaan disini, benar-benar seperti kurungan. Rasanya sakit, Pah. (Menyeka air mata)” tegas Arman ke Papa. “Pokoknya kamu harus selalu ingat bayi kamu itu. Kalau nanti kamu balas dengan kekerasan, itu akan berdampak ke bayi yang ada didalam kandungan istri kamu. Lebih baik, kamu banyak mengalah saja. Toh, menang atau kalah, semua itu tetap sama dimata Allah. Karena dia masih istri kamu. Jadi Allah hanya akan melihat sosok pemimpin didalam rumah tangga. Lebih baik kamu tetap sabar ya, Man.” papar Papa ke Arman. 264
“Iya, Papa. Makasih atas semua yang Papa sampaikan ke Arman. Itu sangat berharga untuk Arman. Hanya Papa dan Mama dirumah yang bisa mengerti keadaan Arman. Oh ya, Mama sudah tidur atau belum, Pah?” “Mama belum tidur, Man.. Kamu mau bicara dengan Mama?!” ungkap Papa ke Arman. “Sudah tidak usah, Pah. Arman tidak mau nantinya Mama sedih, mendengar cerita Arman disini. Salam saja buat Mama ya, pa!” “Iya.. Nanti Papa akan sampaikan ke Mama. Kamu lebih baik tidur sekarang, besok kamu berangkat kerja pagi kan?” “Ya deh, Pah.. Arman lebih baik tidur saja sekarang. Percuma juga ngeladenin keadaan.. Itu tidak akan membuat kita keluar dari kenyataan
kan.
Arman
akan
lebih 265
mendekatkan diri pada Allah.” tegas Arman ke Papa. “Bagus kalau memang kamu punya pikiran semacam itu. Percayalah, siapa yang menabur angin, dia yang akan menuai badai.” jelas Papa ke Arman. “Makasih
ya, Pah.. Semua yang
Papa
sampaikan ke Arman akan selalu menjadi pedoman hidup Arman. Meskipun sesulit apapun situasi yang Arman hadapin.. Arman akan ingat setiap kata-kata dari Papa.” “Papa minta ke kamu.. Jangan pernah kamu terpancing sama amarah. Jalanin semua permasalahan
kehidupan
dengan
penuh
kesabaran. Allah akan selalu ada, bersama dengan orang-orang yang sabar. Satu lagi pesan Papa.. Kamu jangan tinggalkan shalat kamu, ya Man?!” tukas Papa penuh perhatian. 266
“Iya, Pah. Arman akan menjaga shalat lima waktu. Pah, terus terang.. Arman selalu merasa kesal dengan semua kelakuan Diba ke Arman. Setiap kali dia selalu aja bicara tentang perceraian. Belum lagi ditambah Ummi, yang juga manas-manasin Diba, supaya Arman cepat bercerai dengan Diba. Itu yang membuat Arman kesal, Pah!” “Kan tadi udah bilang ke kamu.. Sesulit apapun situasi yang sedang kamu hadapin, tetap sabar dan shalat. Serahkan semua permasalahan
hidup,
pada
yang
punya
kehidupan. Biar mereka menzhalimi kamu, tapi kamu jangan pernah menzhalimi siapa pun.” jelas Papa ke Arman yang masih dalam keadaan kesal. “Arman mengerti sekarang,
Pah. Mulai
sekarang, Arman akan lebih sabar dalam 267
menghadapi perlakuan Diba. Arman percaya, kalau suatu hari nanti, dia pasti akan berubah. Terimakasih
ya,
Pah?!”
jawab
Arman
terdengar mulai reda dari rasa kesalnya. “Nah gitu donk. Itu baru namanya, anak Papa. Ngapain kamu harus pusing mikirin masalah kecil. Semestinya, kamu itu harus lebih serius memikirkan
masa
depan
anak
kamu.
Pendidikannya, rumah kamu, dan seluruh kebutuhan yang diperluin nantinya. Bukannya kamu harus larut, memikirkan permasalahan sepele begini. Sudah, sekarang lebih baik kamu tidur. Besok kan pagi-pagi kamu berangkat kerja?! Pokoknya kamu harus tetap tenang dan sabar. Jangan terbawa sama emosi sesaat.” ungkap lugas Papa ke Arman.
Semua nasihat dari Papa, bagaikan embun penyejuk dipadang gurun nan tandus. Hati Arman yang awalnya gundah gulana, kini sirna sudah. 268
Arman memutuskan untuk berserah diri dan pasrah atas kehendak Sang Pencipta. Ia benahi semua perlengkapan shalatnya. Dan pergi menuju ke alam mimpi. *
Proses kelahiran Diba, lebih cepat dari yang dijadwalkan. Arman yang tengah berada dikantor, langsung menuju ke rumah sakit. Di rumah sakit sudah ada Ummi yang menemani Diba sedari tadi. Kepanikan perlahan-lahan mulai merambat masuk kedalam diri Arman. Tak dapat ia sembunyikan rasa kekhawatirannya, hingga langkah kakinya pun selalu bergerak kian kemari. Mondar-mandir tak beraturan, didepan ruang persalinan. Selang sesaat, seorang wanita berbadan gemuk, dengan jubah hijau yang dikenakannya, mendatangi Arman yang berdiri diambang pintu ruang persalinan. Wanita itu lantas membuka masker yang menghalangi mulutnya dapat mengeluarkan kata-kata. 269
“Dengan suaminya, Ny. Diba?” terka wanita itu. “Betul saya suaminya, Dok.” seru Arman, sambil berjalan ke arah Dokter. “Maaf, pak.. Saya ingin memberi kabar. Saat ini, Ny. Diba keadaan tensi darahnya tinggi, jadi besar kemungkinan.. Akan kita upayakan untuk operasi cesar. Tetapi ini baru prediksi awal. Kita akan selalu berusaha untuk melakukan proses persalinan normal, pak?!” cetus Dokter ke Arman. “Dok. Persalinan cesar ataupun normal.. Bagi saya sama saja, Dok. Tolong upayakan yang terbaik untuk istri saya ya, Dok. Saya yakin.. Istri saya pasti kuat
untuk melakukan
persalinan normal ya, Dok.” tukas Arman 270
dengan nada suara yang terdengar penuh kepanikan. “Ya.. Kita akan selalu berupaya untuk melakukan persalinan normal. Tapi jika memang tensi, tinggi..
Kita
Ny. akan
Diba terus-menerus secepatnya
lakukan
persalinan cesar ya, pak?!” ungkap tegas Dokter ke Arman. “Baik, Dok. Apapun juga yang dilakukan.. Tolong selamatkan nyawa anak dan istri saya ya, Dok.” tutur Arman ke Dokter. “Insyallah.. Kami akan lakukan yang terbaik, buat keselamatan Ny. Diba dan juga anak bapak. Mohon sabar dan terus berdoa ya, Pak?!” jawab Dokter ke Arman.
271
“Baik bu Dokter.. Oh ya, Dok.. Apakah saya diizinkan untuk melihat kondisi istri saya?! Saya ingin sekali memberi semangat.” “Silahkan, Pak. Tapi pada saat memasuki bukaan tiga.. Bapak harap untuk tunggu diluar ya?” balas Dokter. “Terimakasih, Dok. Saya akan keluar, ketika Dokter menyuruh saya untuk keluar. Saat ini.. Saya hanya ingin memberi semangat ke istri saya, Dok.” pinta Arman ke Dokter. “(Mempersilahkan) Mari ikut saya.. Bapak akan saya pertemukan dengan istri bapak.” ujar Dokter ke Arman.
Dalam waktu singkat, Arman dan Dokter pergi menuju kedalam ruang persalinan. Setelah sampai didalam ruang persalinan, nampak Diba yang terbaring lemah ditempat tidur. Ia hanya bisa 272
merintih kesakitan. Tak tahan rasanya, ia ingin sekali mengeluarkan si jabang bayi. Sampai-sampai Arman selalu mendapat rongrongan untuk menyetujui, persalinan cesar. “(Merintih) Kakak.. Pokoknya Diba mau operasi cesar aja! Ngga tahan rasanya, kak. Perut Diba mules.. Operasi cesar saja ya, Kakak..”t andas Diba, terdengar lemah. “Sabar sayang.. Kakak yakin, kamu pasti bisa ngelaluin operasi normal. (Berbisik lembut) Sayang.. Kamu itu perempuan normal, jadi melahirkan juga harus normal. Kamu pasti kuat yah?!” tegas Arman lembut ke Diba. “(Memukul-mukul perut Arman) Kakak harus setuju buat operasi cesar.. Kakak mau melihat Diba menderita kayak gini terus!” ucap Diba, terdengar sedikit mengancam. 273
“Bukannya kakak tidak mau setujuin kamu ngelakuin operasi cesar.. Tapi Kakak yakin banget,
kalau
kamu
itu
mampu
buat
ngejalanin operasi normal, sayang! Inget, kamu itu dilahirkan normal.. Jadi untuk apa kamu kepingin operasi cesar?!” jelas Arman ke Diba. Sementara Diba terlihat makin terkulai lemah tak beradaya. “Kakak.. Temanin Diba disini saja yah?! Diba tidak mau sendirian disini, Kak.” pinta Diba ke Arman.
Tak lama kemudian, Diba merintih kesakitan. Mules di perutnya datang lagi. Ia terlihat sakit yang teramat
dalam.
Sampai-sampai,
air
keringat
dikeningnya mengucur deras.
Aghh.. Agghhh.. Sakit rasanya kakak...
274
Arman yang berada didekatnya, sering kali membisiki perut Diba dengan shalawat, Al-Fatihah, dan semua doa yang dihafal Arman. Digenggamnya jari jemari Diba. “Istiqfar sayang.. Berdoa terus didalam hati kamu! Supaya kamu bisa ngelewatin semua masa-masa sulit ini.” bisik Arman ditelinga Diba. “Kakak..(Menjerit) Sakit perut, Diba ini.. Aduuuhhhhh!!!”
Diba
semakin
merintih
kesakitan.
Arman yang tak tahan melihat kondisi Diba, segera
memanggil
Dokter
yang
berada
disekitarnya. “Dokter.. Suster.. (Histeris)Tolong istri saya.. Tolong dia, Dokter..” seru Arman memanggil275
manggil
Dokter
maupun
suster
yang
menangani Diba. “(Dokter mendekat ke Arman) Ada apa, Pak.. Tidak kenapa-napa kok, Pak.. Ini hanya reaksi dari
obat
yang
kita
berikan.
Supaya
kandungannya cepat keluar.” ucap Dokter, menenangkan Arman yang terlihat panik. “Iya.. Tapi apa Dokter ngga melihat, kalau istri saya sudah kesakitan begitu?!” semprot Arman ke Dokter. “(Pada Diba) Ibu.. Ibu Diba, jangan banyak bergerak.. Kalau ibu terlalu banyak bergerak, nanti akan terjadi pendarahan. Mohon ditahan sedikit sakitnya. Obat itu memang akan membuat ibu sakit, tapi itu harus kami berikan. Sebab kalau tidak diberikan, anak ibu tidak akan dapat lahir. (Pada Arman) Bapak mohon tenang, jangan membuat Ibunya jadi 276
tambah panik yah!!” tegas Dokter ke Diba dan Arman. “Baik, Dok. Kalau begitu saya lebih baik keluar. (Mengecup kening Diba) Kakak yakin kamu pasti akan baik-baik saja. Kamu harus kuat yah!” tutur Arman seraya melangkah keluar dari dalam kamar persalinan.
Arman menanti kehadiran si buah hati, diambang pintu persalinan. Tersirat wajah penuh dengan
ketegangan.
Mulutnya
komat-kamit,
melafaskan Asma Allah. Tak sedikit pun ia berhenti mendoakan Diba. Didalam kamar persalinan, Diba sudah tak lagi dapat menahan rasa mulas diperutnya. “Dokterrr... Sakit banget perut Diba, Dok.. Aduuuhhhh..” rintih Diba penuh kesakitan.
277
“Sabar Ibu.. (Mempergakan) Tarik nafas.. Buang.. Tarik.. Buang.. Hayo Ibu.. Atur terus pernapasannya ya, bu!” gaet Dokter ke Diba. “(Mencengkram kuat gagang besi tempat tidur)
Addddduuuhhh...
Saakkittt,
Dok..
Tolooongg!!”
Jerit kesakitan Diba, sampai terdengar keluar ruangan. Arman tak kuasa melihat Diba yang tengah kesakitan. Ia pun mendatangi suster penjaga. “Suster.. Istri saya bagaimana.. (Berang) Kenapa dia kesakitan kayak begitu sus..Di tolong donk, Sus!!” sewot Arman ke suster penjaga. “Sabar
Bapak..
Memang
seperti
itu
melahirkan. Jangan khawatir.. Istri bapak baik-baik saja. Sekarang sudah memasuki 278
proses kelahiran.. Mohon ditunggu sebentar ya, pak?!” tegas suster penjaga ke Arman. “Iya.. Tapi kasihan kan dia, suster. Apa tidak ada cara lain lagi?!” ungkap Arman. “(Menenangkan) Bapak tidak usah khawatir.. Pokoknya, serahkan semuanya sama Allah. Istri bapak, baik-baik saja.” urai suster ke Arman, sambil meninggalkan Arman seorang diri.
Menit berganti menit, detik berlalu dengan cepatnya. Masih belum juga terlihat tanda-tanda kelahiran. Diba masih terdengar merintih kesakitan. Sedangkan Arman yang berdiri diambang pintu persalinan,
sesekali
menengok
kearah
dalam.
Sayangnya, pintu tersebut tertutup rapat. Hingga Arman tak dapat melihat jelas keadaan Diba.
279
“(Melihat kearah suster) Sus..” Suster itu tak menjawab panggilan Arman. Tanpa berkatakata, ia langsung masuk kedalam ruang persalinan.
Tiba-tiba terdengar jerit tangisan bayi...
Tak lama kemudian, Dokter yang menangani Arman keluar dari ruang persalinan. Ia langsung menghampiri Arman yang terlihat sudah panik. “Selamat, Pak.. Bayi bapak sehat.. Jenis kelaminnya, perempuan pak! Sekarang, kita akan ingin mandikan lebih dulu.. Bapak tunggu sebentar disini?!” pinta Dokter ke Arman.
Arman tak menuruti perintah Dokter itu. Diam-diam ia ikuti Dokter yang membawa bayi mungil tersebut. Ia nampak penasaran ingin melihat semua yang sedang dikerjakan oleh Dokter. Dari 280
kejauhan, Arman mengabadikan gambar keseluruhan bayi mungil itu dengan camera handphone miliknya. Setelah berhasil mengambil beberapa foto bayi mungil itu, Arman memperhatikan lekat hasil jepretan yang didapatkannya. Tanpa disadari, sosok Dokter menyergap Arman. “Aduh Bapak.. Kan saya sudah bilang, kalau bapak tunggu didepan pintu sebentar. Kenapa Bapak harus ikut saya kesini?!” sergap Dokter ke Arman. “Maaf
Dok.. Saya hanya tidak tahu harus
bagaimana meluapkan rasa kesenangan dihati saya! Dok, apakah sudah bisa saya adzani?” tanya Arman ke Dokter. “Sudah pak. (Memberi kode) Silahkan bapak ikuti saya!” pinta Dokter ke Arman.
281
Dokter itu pun bergegas pergi ke ruang inkubator6. Disusul Arman dibelakangnya.
Sesampainya langsung
diruang
memeluk
hangat
inkubator, tubuh
Arman
mungil
itu.
Hidungnya mirip sekali dengan Diba, matanya yang lentik mirip sekali dengan mata Arman. Perpaduan yang sempurna. Arman namakan bayi itu dengan sebutan “Raisah”. Konon, nama Raisah artinya adalah keberuntungan.
Tak perlu lagi berlama-lama, saat itu juga Arman
langsung
kumandangkan
suara
adzan
ditelinga bayi cantik itu. Bulir air mata jatuh seketika. Tak dapat Arman membendung perasaan haru bahagianya. Berkali-kali ia hujamkan pelukan erat ke tubuh bayi mungil nan cantik jelita tersebut. *
282
BAGIAN 11
Beberapa bulan kemudian..
Waktu terus bergulir dengan teramat cepatnya. Sempat terpikir oleh Arman sebelumnya, bahwa dengan kehadiran Raisah akan memberi warna baru dalam kehidupan rumah tangga. Setidaknya, Diba dapat lebih mengatur emosinya. Tetapi ternyata sikap Diba tidaklah dapat berubah ke Arman. Ditambah lagi, hubungan kedekatan yang semestinya dapat terjalin antara Arman dan Raisah harus terpisah secara paksa.
Arman berusaha untuk bersikap sabar, seperti yang telah diajarkan oleh kedua orang tuanya. Tetapi hal itu tidak mampu menyadarkan Diba. Sikap Diba semakin menjadi-jadi terhadap Arman. Ia masa bodoh dengan kehidupan Arman. 283
“(Menyodorkan makan ke Arman) Tuh makanan!” ucap Diba dengan kasarnya ke Diba. “Makasih ya.. Raisah mana? Kok dari tadi tidak kelihatan?” tanya Arman ke Diba yang ingin segera berlalu dari hadapan Arman. “Lagi main dibawah.. Sudah makan saja dulu!” jawab Diba dengan nada kasar yang diucapkannya. “Kamu temanin makan juga donk.. Masa kakak harus makan sendirian disini?!” tutur Arman penuh kelembutan. “Sudahlah.. Makan saja sendirian. Ngapain harus ditemenin?! Kasihan Raisah dibawah sendirian. Ngga ada yang nemenin dia.” ungkap Diba. 284
“Kan udah ada Ummi.. Sekarang kamu temenin kakak makan disini?!” pinta Arman, berusaha untuk tetap lemah lembut ke Diba. “Dibilangin tambeng yah, Kakak. Raisah itu sendirian dibawah.. Jadi tidak ada yang nemenin tahu!!” sewot Diba penuh dengan kekasaran. “Kalau memang kamu tidak mau temani Kakak. Tapi tidak perlu kamu harus marahmarah begitu kan, Dik?!” cetus Arman ke Diba. “Apa Kakak bilang? Ngga perlu marahmarah.. Heh, kalau memang Kakak ngga suka sama cara
Diba.
Lebih
baik cari aja
perempuan lain aja. Perempuan yang lebih bisa mengerti semua kebutuhan Kakak!!! Diba juga sudah tidak ada perasaan lagi sama 285
Kakak, kok. Diba minta cerai!!” semprot Diba ke Arman. “Astagfirullahalladzim.. Kamu jangan bicara seperti itu. Hanya karena Kakak minta kamu buat nemenin Kakak saja, masa harus kamu balas dengan cara seperti itu sih!! Sudahlah sayang.. Apa kamu tidak kasihan melihat anak kita?” tutur Arman dengan lembutnya ke Diba. “Kasihan? Jelas kasihan.. Tapi lebih kasihan lagi, kalau sampai dia itu jadi gembel kayak Kakak?! Ngerti kan!!” tandas Diba. “Kan tadi kamu bilang mau nemanin Raisah dibawah.. Sekarang malah kamu yang marahmarah
kayak
orang
kesetanan
begini..
Makanya kamu itu shalat yang benar, supaya tidak gampang dirasukin setan.”ujar Arman ke Diba. 286
Perkataan dari Arman itu, rupanya membuat Diba semakin berang. Tak tanggung-tanggung, ia pun meluapkan kemarahannya. Dengan teganya,
ia
langsung menampar keras Arman yang sedikit pun tidak ada maksud untuk mengejek Diba.
Plakk.. Plakk... Plakk..
Arman seketika jatuh tersungkur akibat perbuatan Diba. Tangannya langsung mengepal kuat. Ingin rasanya, ia melayangkan pukulan kearah Diba. Namun
nasihat
dari
papa,
seperti
mencegah
perbuatannya. “Ya Allah, Dik.. Sampai harus seperti ini kelakuan
kamu.
Apa
dosa
Kakak
ke
kamu?Kenapa harus kamu harus jadi begini liarnya!!” ungkap Arman dengan suaranya yang masih tetap lembut ke Diba. 287
“Pokoknya harus cerai. Diba sudah eneg sama Kakak. Awas saja, sampai tidak mau cerein.. Keadaan akan tetap seperti ini terus!!” semprot Diba ke Arman yang sudah terlihat tak berdaya lagi. “Tidak akan pernah kakak ceraikan kamu. Kakak sayang sama kamu.. Kalau memang keadaan saat ini belum memihak ke kita.. Kakak mohon kamu bersabar?! Sampai sekarang, Kakak selalu tetap berusaha sayang. Kakak juga bukan orang yang pemalas, atau pasrah
terhadap
keadaan.
Kakak
selalu
mengusahakan yang terbaik, buat keluarga kecil kita!!” ungkap Arman ke Diba yang terlihat makin beringas. “Heh.. Asal tahu ya.. Mana ada lelaki itu yang perhitungan sama duit! Apalagi sama uang hadiah perkawinan.. Tidak ada lelaki yang kayak gitu!! Kalau ada hadiah dari pernikahan 288
kita kemarin.. Semestinya kasihkan saja semua ke orang tua?! Ngapain pake bantu ngitungin bareng Abah, hah?” tukas Diba dengan kesalnya. “Ya Allah.. Jadi masalah itu masih kamu pikirin, dik. Asal kamu tahu aja.. Semua itu Kakak lakuin, buat kamu juga kok.. Bukan karena kakak perhitungan sama kamu dan keluarga..
Ngga
gitu
sayang..
Kemarin
memang kakak sengaja menghitung berapa hadiah yang sudah diberikan dari kerabat dan keluarga kita. Supaya suatu saat nanti, kakak tahu.. Kemana harus balas budi kebaikan para tamu undangan itu. Tolong kamu mengerti situasinya. Memang Kakak butuh buat apa? Terus dari uang itu, ada yang Kakak ambil? Ngga ada kan sayang.. Semuanya untuk keluarga kamu. Jadi untuk apa kamu bangkitbangkit lagi?! Sudahlah sayang.. Itu cuma masalah kecil dan sepele kok. Ngga usah 289
dibesar-besarin, apalagi harus kamu inget sepanjang hidup kamu.” papar Arman dengan tegas ke Diba. “Sudahlah.. Dari dulu kakak itu orangnya perhitungan! Makanya cari duit yang banyak.. Supaya ngga perhitungan. Belum lagi sama uang belanja.. Mana ada lelaki yang nemenin istrinya belanja. Dimana-mana juga.. Seluruh uang itu, dikasih penuh ke istrinya.” jawab Diba dengan nada penuh kejengkelan. “Sekarang kamu membahas permasalahan uang belanja.. Jadi selama beberapa bulan ini.. Kakak
memang
sengaja
nemani
kamu
belanja.. (Mendekati) Bukan karena kakak kepingin ngatur-ngatur kamu. Tapi semua itu karena Kakak kepingin, agar kamu belajar perlahan-lahan dari cara belanja Kakak. Membeli semua kebutuhan itu ada porsinya dan disesuaikan dengan kebutuhan yang kita 290
butuhkan. Bukan karena kita lapar mata.. Terus kita habiskan semua uang kita. Kalau sudah habis uang kita.. Bulan depan kita numpukin hutang gitu?! Maaf, sayang.. Kakak bukan tipe orang yang suka menghutang ke kanan-kiri.. Biar semiskin apapun keadaan yang kakak hadapi.. Kakak tidak akan pernah mau menghutang. Hanya satu yang lumrah bagi Kakak untuk menghutang.. Yaitu; pada saat nantinya kita membeli rumah. Selain itu, jangan pernah kamu bermimpi Kakak bakalan cari hutangan kesana-kemari. Karena itu bukan tipikal Kakak. “ urai Arman. Diba seperti berpikir dengan semua kata-kata Arman. “Memang Kakak itu paling pinter ngomong.. (Mengancam)Yang harus Kakak inget.. Diba pingin cerai.. Sudah ngga betah lagi, tinggal berdua sama orang kayak Kakak!!” semprot Diba dengan begitu kasarnya ke Arman. 291
“Dik.. Kamu jangan ngomong masalah cerai lagi.. Inget, kalau kamu ngomong begitu.. Kamu bisa dosa besar, sayang.. Istigfar, dik. Istigfar. Semua ini hanya sementara kok.. Percaya sama kakak.. Siapa sih yang kepingin hidup terus-menerus susah begini.. Kakak juga kepingin ngebahagiain kamu, sayang.. Tapi waktu yang memang belum memihak ke kita.. Jadi Kakak mohon kamu bersabar. Lagi pula, masih banyak orang yang lebih susah dari pada kita berdua. Bersyukur, berdoa dan tetap bekerja itu lebih baik, daripada harus menghujat kesana-kemari. Ini Cuma ujian kecil ko, sayang.. Inget ya sayang. Apapun akan kakak lakuin buat kalian berdua. Semua itu karena kakak sayang dan cinta sama kamu dan Raisah. Papa sayang sama
Mama
Raisah?! (Ingin memeluk Diba)” tutur Arman ke Diba. 292
Pelukan itu tak sampai melingkar dipinggang Diba. Karena keburu ditepis oleh Diba yang masih diliputi oleh kemarahan. “Sekarang Diba mau tidur dibawah. Malam ini, tidur sendirian diatas yah?! Jangan turunturun kebawah. Apalagi sampai manggilmanggil.. Inget itu?!” ucap Diba dengan nada penuh ancaman. Ia langsung berlalu dari hadapan Arman, tetapi rupanya tangan Arman lebih cekatan dari langkah kaki Diba. Hingga ia pun tertahan. “(Menyergap) Kamu itu masih istri sah kakak. Tidak pantas kamu ngatur-ngatur kakak begitu. Sekarang kamu minta kakak tidur sendirian. Besok apa lagi! Memang kamu pikir hanya kamu yang bisa marah-marah ke Kakak!” tandas Arman dengan nada mulai meninggi. Ia segera menyergap kedua pundak Diba, dengan kedua tangannya. 293
“(Menantang) Apa? Mau apa, hah? Bakalan tereak, nih! Biar semua orang pada dengar!!!” sewot Diba seperti ingin membuat gaduh dan memancing keributan. “Kalau memang kamu ingin tidur dibawah.. Silahkan.. Biar kamu puas nyakitin hati Kakak?!”
seru
Arman
dengan
penuh
kemarahan yang tertahan.
Didalam kamar, hanya tinggal Arman seorang diri. Tak terasa, bulir air mata menggenang di kedua pelupuk
matanya.
Perlakuan
Diba
telah
meluluhlantahkan kejantanan seorang lelaki. Di keheningan malam, ia pun lekas menuturkan doa bagi kebaikan rumah tangganya. Doa yang dilakukan bersama dengan sayatan hati yang pedih mendalam. * 294
Arman memilih untuk tidak terlena dalam memikirkan pertikaian dalam rumah tangga. Ia mengalihkan
perhatian
ke
pekerjaannya.
Sebagaimana hari-hari sebelumnya, Arman menjalani rutinitas pekerjaannya. Setibanya dikantor, Arman langsung diminta mbak Yanthi agar menghadap ke ruang kerja Ibu Sinta. Raut wajah mbak Yanthi menunjukan keseriusan dan tanda-tanda adanya permasalahan yang membelit. Pandangannya penuh dengan
kecurigaan.
Keseriusan
Mbak
Yanthi
otomatis merubah sikap Arman ketika menghadap ke ruang kerja Ibu Sinta. Kekakuan mulai merasuk kedalam diri Arman.
Diruang kerja, nampak Ibu Sinta yang sudah sedari tadi menunggu kedatangan Arman. Kedua tangannya sibuk membolak-balikan kertas yang dipegangnya. Sorot matanya menyisir jeli ke dalam tulisan yang ada dikertas tersebut. Dalam sekejap, aktifitas itu terhenti saat melihat keberadaan mbak Yanthi, didepan pintu. Mbak Yanthi menyapa 295
melalui ketukan kearah pintu ruang kerja Ibu Sinta. Kemudian diikuti Arman persis dibelakangnya. “Masuk, Man!” seru Ibu Sinta dari balik meja kerjanya. “Makasih, Bu.. (Mendekat ke meja ibu Sinta)” “Silahkan kamu duduk.” pinta Ibu Sinta ke Arman. “Baik, Bu.(Arman mengambil posisi duduk).” “Kamu tahu kenapa kamu saya panggil untuk menghadap?”
ucap
Ibu
Sinta,
sembari
membalikan kertas yang dibacanya. Sehingga Arman tidak dapat melihat isi yang tertulis di kertas tersebut. “Terus terang.. Saya tidak tahu menahu, Bu?!”tukas Arman sopan ke ibu Sinta. 296
“Begini Arman. Kamu kan selalu saya beritahukan. Bahwa dalam bekerja, kejujuran itu adalah yang paling utama. Sekali kita berbohong,
seterusnya
kita
akan
selalu
berbohong. Satu kali saja kita melakukan kebohongan. Dikemudian hari, kebohongan itu akan kita tutupi dengan kebohongan lainnya. Saya sebagai pimpinan disini, merasa kecewa atas perbuatan kamu. Begitu pula dengan
mbak
Yanthi,
yang
sudah
mempercayai kamu selama ini.” tegas ibu Sinta ke Arman. Perkataan itu membuat Arman tertunduk lesu tak berdaya. Ia tak berani beradu mata dengan ibu Sinta. “Mohon maaf. Sungguh saya masih belum mengerti, maksud dari perkataan Ibu?”cetus Arman.
297
“Saya
mendapat
laporan
dari
bagian
keuangan. Hasil laporan itu membuktikan, kalau kamu sudah membuat pemalsuan surat perintah
lembur!
Apakah
pernah
saya
meminta kamu untuk lembur? Mengapa kamu lakukan itu semua?” tandas Ibu Sinta dengan sorot matanya yang tajam. “(Tercekat) Ah.. Aduh. Gimana ya, Bu..” “(Sambar) Lihat sendiri kan akibatnya.. Sekarang kamu sudah tidak bisa berkata-kata lagi ke saya. Coba, saya ingin mendengar penjelasan kamu.” timpal Ibu Sinta ke Arman. “Baik..(Tegar) Pertama-tama, saya akui saya memang salah, Bu! Terus terang saya khilaf kala itu. Memang benar, saya telah membuat perintah kerja lembur palsu. Semua itu dikarenakan,
desakan
kebutuhan
untuk 298
pernikahan saya, Bu.”ungkap Arman, dengan nada bicaranya yang terdengar terpojok. “Sekarang saya tidak perlu lagi bicara panjang lebar ke kamu. Saat ini, kamu hanya saya hadapkan
dengan
dua
pilihan.
Pilihan
pertama, kamu mengganti semua uang yang telah kamu ambil. Lalu yang kedua.. Ya, mau tidak mau, kamu harus saya keluarkan dari pekerjaan ini?!” ujar Ibu Sinta ke Arman. “Sepertinya. Saya memang tidak punya pilihan lain, Bu. Karena sejujurnya, saya tidak memiliki uang, bila memilih pilihan yang pertama. Baik, Bu. Saya akan mundur dari pekerjaan ini?!” jelas Arman ke Ibu Sinta. “Terimakasih atas tanggung jawab perbuatan kamu. Semoga semua ini, bisa menjadi pengalaman yang berharga dikehidupan kamu kedepannya. Mohon maaf, saya tidak punya 299
pilihan lain ke kamu. Semua ini harus saya lakukan.” tegas Ibu Sinta ke Arman. “Ya, saya mengerti situasinya, Bu. Saya pun akan melakukan hal sama, jika ada bawahan saya yang melakukan kebohongan. Saya akan membenahi
semua
barang-barang
saya
dimeja. Terimakasih atas segala yang ibu ajarkan ke saya. Ilmu dan semua perkataan yang telah Ibu berikan, tidak akan pernah dapat saya lupakan.” balas Arman ke Ibu Sinta. “(Bangkit,
lalu
menyalami
Arman)
Terimakasih juga saya ucapkan ke kamu. Semoga kamu sukses.. Dan mengambil hikmah atas kejadian ini.”diakhir ucapannya, Ibu Sinta lekas bangkit dari kursi duduknya. Ia menyalami Arman untuk yang terahkir kalinya. 300
“(Berlalu pergi) Saya mohon pamit, Bu..” tukas Arman tertunduk lunglai.
Arman keluar dari ruang kerja Ibu Sinta. Ia lantas membenahi semua barang-barang yang ada di meja kerjanya. Selang sesaat, mbak Yanthi datang
menghampiri
meja kerja
Arman. “Maafin kesalahan saya ya, Man.. Kalau ada salah kata atau perbuatan.. Saya minta maaf?!” tutur mbak Yanthi. “Sama-sama ya, Mbak.. Justru aku malah yang ingin minta dibukakan pintu maaf yang sebesar-besarnya.. Arman mengaku salah besar. Semua itu karena Arman khilaf, mbak. Arman
didesak
oleh
kebutuhan
biaya
pernikahan yang jumlahnya ngga sedikit. Sekali lagi, Arman minta maaf ke mbak Yanthi.. Ibu dan mbak sudah Arman anggap 301
seperti keluarga sendiri. (Terisak) Tapi. Arman malah mengkhianati kepercayaan yang sudah diberikan?!” ujar Arman, sembari menghapus linang air matanya. “Sudahlah.. Kita juga sudah bahas masalah itu.. Dan ibu tahu persis apa alasan kamu melakukan itu semua. Tapi lagi-lagi, kita memang harus melakukan itu semua ke kamu. Karena kita tidak ingin kebohongan itu menjadi sifat kamu.” jawab mbak Yanthi ke Arman.
Arman terhentak kaget, mendengar semua yang utarakan oleh mbak Yanthi. Tak diduga, kalau mbak Yanthi sangat perduli dan perhatian ke Arman. “Baik,
mbak..
Saya
mohon
pamit..(Menyalami mbak Yanthi)” selepas membenahi semua barang-barang yang ada 302
dimeja kerjanya, Arman lekas berlalu dari hadapan mbak Yanthi.
Arman keluar dari ruang kerja itu, membawa semua barang-barangnya. Langkahnya terlihat lemah tak berdaya. Tak tahu apa nantinya akan disampaikan ke Diba. Apalagi kalau ia sampai tahu keadaan yang sebenarnya terjadi. Bekerja saja sudah mendapat perlakuan yang sangat kasar dari Diba. Apalagi pada saat sudah dipecat dari pekerjaan. *
303
BAGIAN 12
Sepekan kemudian..
Arman memutuskan untuk mengikuti paksaan dari kedua orang tua Diba. Latar belakang keputusan yang terjadi
karena berita pemberhentian kerja
diketahui oleh Abah dan Ummi. Abah yang biasanya tak banyak bicara, kini mulutnya selalu berkicau tak tentu arah. Ia atur berbagai siasat guna melakukan pengusiran terhadap Arman. Tak segan-segan, ia pun mengusir paksa Arman keluar dari rumah.
Hari itu, Arman tengah memberesi buku-buku dirak almari kamarnya. Begitu letih badannya, hingga ia pun mengambil waktu isthirahat sejenak. Dikala itu,
entah
mengapa
pikirannya
tertuju
pada
handphone yang berada didekatnya. Mulanya Arman memainkan game yang biasa dimainkannya. Setelah bosan bermain, ia pun menelusuri berbagai situs 304
jejaring sosial. Di salah satu situs jejaring sosial, Arman
melihat
menampilkan
sebuah
pose
foto
wajah
Diba.
profile
yang
Gambar
itu
memperlihatkan Diba yang tengah berada dalam sebuah mobil sport mewah.
Foto yang terpajang disitus jejaring sosial media itu, sentak membuat Arman terus-menerus mencerca dirinya berulangkali. Matanya mulai berkaca-kaca kala melihat foto tersebut. Potret itu, lekas
berubah
menjadi
sebuah
lubang
hitam
dibenaknya. Pikirannya kini sudah berisikan semua memori masa lalu, bayangan masa depan, serta carutmarut perjalanan cintanya dengan Diba. Genderang perang mulai berkecamuk didalam batin Arman. Bagi Arman, hanya laki-laki tidak waras yang ingin hidup dilembah kemiskinan. “Apakah ini takdir? Kalau ini semua takdir.. (Mengerang) Mengapa saat ini saya masih hidup miskin!!!” bibirnya meracau tak karuan. 305
“(Menatap lekat ke handphone ditangannya) Apa salah saya selama ini! Apakah ini sumber dari semua permasalahan yang terjadi!! (Gemuruh) Tapi.. Saya yakin dan masih tetap percaya akan kebesaran Allah.. Saya akan selalu percaya bahwa Allah Maha Adil.. Allah tidak akan memberi cobaan diluar batas kemampuan manusia menghadapinya. Semua ini pasti akan indah pada akhirnya nanti.” pernyataan
itu
agaknya
menyurutkan
peperangan batin Arman. Pikiran negatif berganti positif. “Mungkin dia lagi foto dimobil saudaranya.. Atau barangkali lagi pergi sama temannya.” tegas Arman dihatinya. Ia lantas diam seribu bahasa. Pikirannya kosong, hatinya tepekur dalam kebisuan.
306
Pertengkaran Arman dan Diba, serasa ombak yang
bergulung-gulung dilautan.
Tidak pernah
berhenti dan selalu bergulung menyapu butiran pasir ditepian.
Pertengkaran
hebat
hingga
berakhir
keputusan untuk pisah rumah. Arman dan Diba tidak lagi tinggal satu atap, selama lima bulan lamanya. Arman kembali pada orangtuanya dan Diba pun demikian halnya.
Bimbang dan ragu selalu bersemayam dikalbu Arman. Kompas harapannya telah tertutup kabut tebal. Langkahnya terlihat terhuyung-huyung kala memasuki kamarnya yang sepi lagi senyap. Sesaat, ia hempaskan
tubuhnya
diatas
tempat
tidurnya.
Memandang kosong ke langit-langit atap kamarnya. Pandangannya menyisir setiap jengkal seisi ruangan itu.
Selang kemudian, lamat-lamat terdengar suara Adzan
pemanggil
shalat
ashar
diluar
rumah.
Bertepatan dengan panggilan shalat, dering telepon 307
diluar kamarnya pun terdengar bersahut-sahutan. Arman tidak ingin mengangkatnya, namun rupanya dering itu bagaikan magnet yang terus menarik Arman untuk bergegas menjawab panggilan tersebut. “Hallo.. Ini siapa..Hallo..” seru suara dari luar sana. Nada bicara bagai senapan mesin itu tak langsung dibalas oleh Arman. Tanpa berkata sepatah katapun, ia langsung menutup gagang telepon
yang
kemudian,
dipegangnya.
dering
memanggil-manggil.
Tak
lama
telepon
itu
kembali
Saat
itu,
Arman
meminta mama yang mengangkat telepon tersebut. “Iya, Hallo.. Assalamu’alaikum!!” ujar Mama lemah lembut, mengawali kalimat pembuka ditelepon itu. “Hallo, Bu.. Raisah masuk IGD (Instalasi gawat darurat) Bu..Sekarang dia dirawat 308
disana, Bu..” belum lagi selesai keduanya bicara, raut wajah Arman dalam sekejap berubah.
Arman menyimak sangat jelas percakapan yang terjadi diantara kedua orang tua. Kabar berita itu,
membuat
hatinya
langsung
tercabik-cabik.
Sedihnya tak lagi dapat terbendung. Bulir air mata mulai menetes jatuh membasahi pipi Arman. Bayangan Raisah yang terbaring lemah dirumah sakit, sungguh jelas tergambar dipikiran Arman. Ia masuki kamarnya kembali dengan membawa segenap badannya yang bergetar hebat. Air matanya mengalir deras menggenang dilantai kamarnya. Kabar berita yang sungguh terasa menyakitkan hatinya. “Ya,
Allah!!
Selamatkan
anak
saya..
Sembuhkan penyakitnya, ya Allah.. Papa sayang kamu, nak! Papa sayang Raisah!” semua
kepedihan
Arman
menggumpal
didadanya. 309
Tangannya
seketika
menggepal
keras.
Nadinya membeku padat dikedua tangannya. Ia marah terhadap perlakuan keluarga Diba yang tidak dapat merawat dengan baik Raisah. Cermin yang menggantung ditembok kamarnya menjadi saksi bisu kemarahan serta kepedihan Arman. Dalam waktu singkat ia tumpahkan seluruh rasa amarahnya. Tanpa pernah perdulikan kematian yang akan dihadapinya.
Darah kental itu pun menetes. Selang sesaat kemudian, Mama yang telah selesai bicara dengan umi, langsung masuk kedalam kamar Arman. *
Mama membalut
luka ditangan Arman,
dengan perban yang diperolehnya dari kotak P3K. Serpihan kaca yang menembus kedalam kulit Arman, satu persatu dicabut oleh tangan terampil mama. 310
Sembari membersihkan luka, mama coba untuk meredam amarah Arman. “Kenapa kamu harus melakukan ini, Man? Apakah kamu lupa.. Kalau kita masih punya Allah,
yang
selalu
mengawasi
setiap
perbuatan kita. Pasrahkan semua ini padaNya.” ungkap Mama penuh perhatian ke Arman. “Arman kesal dan marah atas semua perilaku keluarga Diba, ma?! Apa dosa Arman ke mereka, sampai harus kita ditindas seperti ini. Kenapa Arman diperlakukan ngga adil, Mah!” jelas Arman seraya masih terdengar sisa-sisa isak tangisnya. “Hey.. Kamu itu laki-laki.. Dan laki-laki itu, paling pantang untuk mengeluarkan air mata. (Meminta) Hapus air mata kamu itu. Jangan pernah kamu sesali semua yang sudah terjadi. 311
Karena ketika kamu sesali setiap kejadian yang menimpa hidup kamu.. Itu sama juga kamu sudah menyekutukan Allah.. Kamu ngga percaya, kalau setiap kejadian itu.. Sudah ada yang mengatur. Percayakan pada yang Maha Penyayang. Dia ngga akan bikin kamu sengsara, diluar batas kemampuan kamu?!” lugas Mama ke Arman. “Tapi, Mah.. Sungguh sakit hati Arman, diperlakukan seperti ini. Apa sih ngga pernah Arman lakuin ke mereka? Segalanya Arman kasih, Mah. Tapi selalu aja kita yang harus mengalah.” timpal Arman. Terdengar dalam nada
bicaranya
yang
dengan
penuh
kemarahan. “Arman.. Sekali lagi, tolong kamu dengar baik-baik permintaan Mama.. Ikhlaskan setiap kejadian yang sudah terjadi. Biar mereka berbuat zhalim, tapi kita jangan berbuat 312
zhalim ke mereka. Kejahatan, tidak perlu dibalas dengan kejahatan. Justru kita harus membalas semua
kejahatan itu,
dengan
kebaikan. Sebab bila kita berbuat hal yang sama.. Lalu apa bedanya kita dengan orang jahat
itu?!
Sekarang
lebih
baik
kamu
bersihkan diri kamu.. Kemudian kamu shalat ashar. Setelah itu, kamu berangkat segera ke rumah sakit. Kasihan anak kamu sudah menunggu kedatangan kamu.” tutur mama penuh kasih ke Arman. “Mama.. Sejujurnya, Arman ngga kuat hidup seperti ini. Mereka sudah sangat keterlaluan memperlakukan Arman.” ungkap Arman. Mama
langsung
mengelus-elus
kening
Arman. “Ini cuma ujian kecil dari Allah ke kita, Man. Kalau kamu tanggapi dengan rumit, maka jadinya akan semakin rumit.. Tapi kalau kamu 313
tanggapi dengan enteng, maka masalah itu akan ringan. Sekali lagi mama berikan nasihat ke kamu.. Allah itu, tidak akan pernah memberikan
ujian,
diluar
kemampuan
manusia menghadapinya. Semakin kita diuji, semakin bertambah derajat kita di mata Allah. Pengadilan
yang
paling
jujur
adalah
pengadilan di akhirat nanti. Disana hanya ada kamu seorang diri. Tanpa ada Mama dan Papa.. Apalagi istri dan anak kamu. Ketika itulah, Allah akan memberi keputusan yang seadil-adilnya. Bukan Polisi ataupun Hakim. Tapi Allah yang
berkuasa
memutuskan
manusia berhak masuk neraka atau surga.” papar Mama ke Arman. “(Menangis) Arman sudah salah memilih pasangan
hidup,
Mah..
Arman
sudah
kecewakan Mama dan Papa. Maafin Arman ya,
Mah..(Memeluk
Mama
penuh cinta
kasih)” 314
“Sudahlah, Man. Mending juga kamu segera berangkat ke rumah sakit. Dari pada harus berpangku tangan disini.
Raisah sangat
membutuhkan kehadiran kamu disana.” pinta Mama ke Arman. “(Menggunting
lipatan
perban
ditangan
Arman) Sekarang tangan kamu sudah mama obati. Giliran waktunya Raisah yang perlu kamu obati kerinduannya. Oh ya, ingat. Jangan cari masalah dirumah sakit ya, Man!!” tandas Mama ke Arman. “Arman akan berusaha untuk tidak membuat keributan disana. Setelah Raisah sembuh. Arman ingin dia dirawat dirumah kita dulu ya, ma. Setidaknya, sampai selesai pengobatan dari Dokter.” ungkap Arman ke Mama.
315
“Ya, kamu bawa saja kemari. Mama juga kangen sama Raisah.. Mama yakin, suatu hari nanti. Raisah akan mengikuti jejak kaki kamu. Seberapa besar tembok yang memisahkan antara kamu dengan dia. Itu ngga akan menghalangi rasa cinta Raisah ke kamu.”
Diujung perkataan Mama, membuat Arman segera menunaikan shalat ashar. Selepas dari itu, ia pun lekas menemui Raisah dirumah sakit. *
Sepekan lamanya Raisah terbaring dirumah sakit.
Selama
itu,
Raisah dirawat,
di kamar
perawatan. Dokter memvonis Raisah mengidap penyakit “Bronkhost phenumia” atau bisa dikatakan sebagai penyakit infeksi saluran pernapasan akut. Penyakit yang bersumber dari udara kotor dan lingkungan tinggal yang berpolusi. Sejak Raisah terbaring dirumah sakit, Arman dan Diba selalu 316
berada disampingnya. Ada yang perubahan yang terjadi di dalam diri Diba. Arman dapat merasakan kepribadian Diba, seperti masa-masa indah diwaktu pacaran dulu. Tutur bahasanya lemah lembut dan halus. Begitu pula dengan seluruh perhatian yang kerap diberikan oleh Diba. Jika Arman belum makan ataupun sarapan pagi, Diba menawarinya makan. Tak segan-segan, ia juga menyuapi makan Arman. “Kak. Maafin Diba ya?!” tutur Diba penuh kelembutan. “Ya tidak apa-apa kok.. Semua itu cuma masalah kecil. Allah aja selalu memaafkan setiap kesalahan hambanya. Tapi semua itu harus benar-benar dilakukan dengan hati yang tulus ikhlas. Sebesar apapun kesalahan yang kita lakukan, selama kita memiliki niat untuk berubah.. Pasti ada jalan yang lebih baik, kedepannya nanti.” jawab lembut Arman ke Diba. 317
“Kakak sudah dapat kerja lagi atau belum?” cetus Diba ke Arman. “Alhamdulillah.. Kakak sudah mulai bekerja lagi.. Tapi memang jaraknya cukup jauh dari rumah. Ngga seperti yang kemarin tempat kerja kakak, dik?!” “Sebagai
apa
disana
kerjanya,
kak.
Maksudnya jabatannya apa disana!” seru Diba ke Arman. “Kakak
kerja
dibagian pemasaran,
dik.
Disebuah bank swasta. Kali ini, Kakak yakin pasti akan lebih baik dari kemarin. Karena sekarang kakak, udah bukan lagi karyawan outsourcing. Tapi kontrak langsung sama perusahaan
tempat
kerja
Kakak,
dik.
Insyallah, kedepannya akan lebih baik.” papar 318
Arman ke Diba yang nampak tercengang melihat sikap Arman. “Coba dari dulu kakak seperti ini.. Mungkin Raisah akan lebih bahagia ya, kak.” tandas Diba ke Arman. “Loh kok kamu jadi menyalahkan Kakak begini sih. Kejadian kemarin itu bukan semata-mata total kesalahan Kakak kan, dik?!” tangkis Arman ke Diba. “Sudahlah, Kak.. Lebih baik kita jangan ributribut lagi. Kakak sudah sarapan belum?” jawab Diba mengalihkan perhatian Arman. “Sudah, dik.. Kakak sudah sarapan. Tadi kakak sempatin diri keluar sebentar. Cari makan, terus datang lagi. Dik.. Dari dulu, sampai sekarang.. Kakak ngga kepingin ributribut sama kamu. Lagi pula Kakak juga bukan 319
tipe orang yang suka cari keributan ko.” hardik Arman ke Diba. “Iya, ya deh.. Diba juga ngaku salah sama Kakak.” “Oh ya, dik.. Tadi kakak bicara dengan Dokter yang menangani Raisah.. Dia bilang, kalau hari ini.. Raisah sudah diperbolehkan pulang.. Mungkin siang atau sore, Raisah bisa keluar dari rumah sakit. Jadi kakak mohon kebesaran hati kamu.. Kalau untuk sementara waktu.. Raisah bisa dirawat sama ibu, dirumah Kakak.” sergap Arman, tak lagi basabasi ke Diba. Setelah Arman mengutarakan maksud hatinya, raut wajah Diba seketika berubah total. “Ngga bisa Kak.. Diba ngga bolehin Raisah, tinggal dirumah Kakak. Lagian, kenapa memangnya dirumah Diba sih?!” 320
“Bukannya begitu, dik.. Semua itu bukan karena kakak ngga mau Raisah tinggal dirumah kamu.. Tapi ini semua, demi kesembuhan dia juga kan! Sebab Dokter bilang.. Raisah harus dijauhkan dari polusi udara yang ngga sehat. Sekalian juga, mama dirumah kangen sama Raisah.” tutur Arman meminta ke Diba. “(Meninggi) Ngga boleh.. Pokoknya, Raisah ngga boleh kesana?! Baru aja kita baikan.. Tapi kakak udah mulai lagi buat masalah!” semprot Diba, dengan nada bicaranya yang mulai meninggi. Sedang Arman masih tetap dalam nada bicara yang lembut. “Sayang.. Bukan begitu maksud kakak.. Apakah Raisah ngga boleh kenal sama keluarga
kakak..
Kenapa
mama
ngga
dibolehin ketemu sama Raisah.. Dia itu juga 321
kangen sama cucunya kan, dik.. Tolong kamu bisa ngertiin juga perasaan kita semua?! Begini aja deh.. Selama masih dalam tahap pengobatan.. Raisah sementara waktu, tinggal di rumah kakak.. Setelah semua obat-obatnya habis..
Kakak
akan
kembalikan
Raisah
kerumah kamu. Gimana?” ucap Arman dengan tegasnya. “Kakak itu egois banget ya. Memang Raisah itu harus dirawat dirumah kakak.. Dirumah juga kan bisa. Kakak juga tinggal lagi dirumah Diba.” sewot Diba ke Arman. “Dik. Kakak mohon pengertian kamu.. Kakak itu kan udah satu bulan tidak bertemu sama kamu dan Raisah. Jadi apakah salah, jika Raisah dan kamu itu tinggal sementara dirumah kakak.. Inget, dik.. Cuma sementara kok! Palingan juga satu atau dua minggu aja.. Lagian ini juga permintaan dari Mama dan 322
Papa dirumah.. Mengingat
mereka juga
membantu biaya perawatan dirumah sakit ini, sayang.. Jadi kakak minta kebesaran hati kamu!” urai Arman ke Diba. Ia mulai acuh tak acuh mendengar semua perkataan Arman. “Kalau Diba bilang ngga. Ya ngga, Kalau memang begitu. Kakak berdua sama Raisah aja tinggal. Biar Diba dirumah sendirian. Diba ngga mau nginep dirumah Kakak.” tandas Diba mulai kasar ke Arman. “Kalau memang itu kemauan kamu. Silahkan aja, dik. Berarti kamu ngga sayang sama Raisah. Kamu itu hanya mementingkan kepentingan
kamu
semata.
Lagian
apa
salahnya, kalau kamu nginep dirumah kakak. Kamarnya leluasa. Kita berdua bisa tidur satu ranjang. Tidak terpisah lagi.” tutur Arman, berusaha untuk meredam emosi Diba. 323
“Pokoknya Diba ngga mau tinggal disana!!!” bentak Diba dengan kasarnya ke Arman.
Dalam sekejap, pasien yang berada dikanankiri langsung terbangun dari tidur. Seorang ibu muda yang juga terlihat, tengah mengurus bayi-nya yang sedang sakit, berusaha untuk mengingati Diba. “Bu.. Jangan teriak-teriak bu.. Kasihan kan, anaknya masih sakit. Lihat, dia sampai bangun begitu?!” seru Ibu muda yang berada persis disamping kanan tempat tidur Raisah.
Peringatan dari Ibu muda itu, rupanya tak dapat meredam kemarahan Diba ke Arman. Dengan berangnya, ia malah makin menjadi-jadi. Tak raguragu, Diba langsung membentak Arman dengan perkataannya yang kasar lagi kotor. “Brengsek.. Diba coba tetap sabar sama yah.. Tapi
semakin
menjadi-jadi
kayak 324
begini!!(Membentak
Arman
dengan
kasarnya)” seru Diba dengan nada bicaranya yang sudah tak lagi terkendali. “Terserah kamu mau maki.. Atau perlakukan apa ke Kakak?! Sekarang Kakak akan bawa Raisah ke rumah. Lagi pula, semua biaya pengobatan ini.. Kakak dan keluarga yang bertanggung jawab kan!!” parau suara Arman terdengar mulai meninggi. “Dasar lelaki macam apa, Kakak... (Beringas) Lihat, Bu.. Apa ada suami kayak begini!! Memang berengsek Kakak!!!!” timpal Diba dengan gaduhnya. “Kalau memang kamu mau pulang. Silahkan kamu pulang.. Bawa semua barang-barang kamu itu.. Tapi jangan harap kamu bisa bawa Raisah pulang ke rumah kamu!!” tukas Arman dengan tegas ke Diba. 325
Tak lagi banyak berkata-kata. Diba lantas membenahi semua barang-barang, pakaian, serta semua kebutuhan yang diperlukan selama menginap dirumah sakit. Selesai memberesi semua barangbarangnya, ia langsung melangkah untuk berlalu dari hadapan Arman yang masih berdiri didekatnya. Tanpa diduga-duga.. “Bughh... Bughhh..” Gumpalan tas yang dibawa Diba, melayang ke wajah Arman. Pukulan itu, membuat Arman jatuh tersungkur ke lantai. “Dasar laki-laki macam apa Kakak!!!! Lihat Bu-Pak.. (Pada semua) Apa ada laki-laki kayak begini!!!” sewot Diba berteriak-teriak. Hingga orang-orang, seisi ruangan melihat ke Arman.
326
“Biarin.. Semesti kamu itu malu.. Kamu itu memang sudah tidak punya perasaan.. Dimana pun, ngga akan pernah ada perempuan muslim itu berlaku kasar dihadapan orang banyak.. Apalagi disaat anaknya lagi sakit..Tidak tahu diri!! Dasar tidak punya malu kamu itu!! Arab bar-bar kamu itu!!” lontar kasar Arman ke Diba yang sudah melangkah keluar dari ruang perawatan anak. “(Seorang lelaki menghampiri Arman) Sudah biarkan saja dia pergi.. Kasihan anak Bapak kan!! Sudah..(Pada Raisah) Ih.. Kamu sudah bangun?!” ucapnya ke Arman.
Diba meninggalkan Arman, bersama dengan Raisah yang sudah mulai terbangun karena kaget. Selepas kepergian Diba, Arman langsung menelepon mama dan papa dirumah. Ia ingin agar keduanya lekas datang dan membawa serta Raisah juga Arman. * 327
Semenjak kejadian dirumah sakit, Arman dan Diba memiliki kesepakatan bersama. Kesepakatan yang
terjadi,
bermula
ketika
keluarga
Diba
mengambil Raisah dari rumah Arman. Ketika itulah terjadi kesepakatan untuk sama-sama dalam hal merawat Raisah. Perjanjian yang dilakukan, dibawah sumpah, “Demi Allah”. Juga dilakukan dengan memegang Al-Quran. Sumpah dalam membagi rata kasih sayang yang diberikan ke Raisah. Dua minggu lamanya Raisah dirumah Arman. Dan dua minggu kemudian, Raisah berada dirumah Diba.
Arman sangat menikmati saat-saat berada didekat Raisah. Semua kebutuhan yang dibutuhkan Raisah selalu diusahakan Arman. Setiap pagi menjelang, Arman sudah bangun lebih pagi. Ia memandikan Raisah, lantas kemudian pergi ke taman di depan rumah, guna memberinya sarapan pagi. Raisah memang seorang anak yang luar biasa cerdas lagi cantik. Umurnya yang genap memasuki usia satu tahun, tidak membuatnya kalah bersaing dengan 328
anak-anak
lain
yang
lebih
dewasa
darinya.
Keingintahuannya sangat besar dalam merespon setiap kejadian yang terjadi disekitarnya. Ia terlihat bersemangat dan bisa dikatakan seorang gadis cilik yang hyperaktif. Bilamana ada seorang anak lain yang lebih dewasa darinya, tak sungkan-sungkan ia langsung menghampiri anak tersebut. “Kakak..kakak..”
tukas
Raisah,
lewat
bicaranya yang masih patah-patah. “Apa sayang.. Itu kakak.. Kesana yuk, sayang.(Memeluk Raisah dengan erat)”Selagi bermain, Arman seringkali memeluk Raisah dengan eratnya. Bertubi-tubi ciuman pun kerap mampir di pipinya yang berwarna merah jambu. Jalannya yang selalu jatuh bangun, tak sedikit pun, menyurutkan langkah kakinya kian kemari. Dalam sesaat, Raisah sudah berada dekat dengan sosok kakak yang dipangil-panggilnya. 329
“Kakak.. Kakak..” serunya terbata-bata. “Iya sayang.. Itu kakak.. (Mendekati Raisah pada sosok kakak) Coba kenalan donk kamu, nak?!” bisik Arman penuh sayang. “(Ingin menggapai tubuh gadis cilik berbeda usia) Brughh..” Kedua anak cilik itu saling berpelukan. Tubuh Raisah yang mungil seperti tak ingin kalah, dengan sosok gadis cilik yang lebih tua darinya. Sampai ia pun menjatuhkan gadis itu. “Ngga apa kok, sayang.. Tuh kan bangun lagi, kakaknya.” tutur Arman penuh cinta ke Raisah. Tiba-tiba dari luar taman, terdengar suara kuda meringkik keras. Raisah pun memandangi kuda itu lekang. Arman yang tengah memeluk tubuh mungilnya, secepatnya membawa Raisah turut menaiki kuda tersebut. 330
“Yuk, kita naik kuda.. “ “Apa..” “Kita naik kuda..” sekejap saja, Arman dan Raisah
sudah
berhasil
menaiki
andong
tersebut. Andong itu lantas berjalan, mengitari taman didepan rumah Arman.Kebahagiaan terpancar dari wajah Arman dan Raisah.
Keletihan serta rasa lelah dalam merawat Raisah rasanya lenyap, ketika Raisah sangat aktif bermain. Raisah tidur satu ranjang dengan Arman. Rasa sayang dan besarnya cinta kasih Arman, membuatnya selalu terjaga kala berada disamping Raisah.
Arman
sadar,
bahwa
lambat
laun
kebersamaan itu akan sirna sudah. Apalagi setelah mengingat semua keributan yang sudah terjadi dengan Diba. 331
“(Memeluk
Raisah)
Sayang,
papa..
(Menitikan air mata) Sayang.. Kalau memang kamu ngga bisa berada selalu disamping papa.. Papa mohon kamu ingat semua kebersamaan ini.. Papa sayang kamu, Nak! Papa akan selalu ada untuk kamu. Maafkan Papa ya, nak. Papa tidak bisa jadi Papa yang baik untuk kamu,
nak.
Maafin
semua
kesalahan papa ya sayang. Papa tahu kamu pasti merasakan apa yang papa rasakan.“ bisik Arman lirih, ditelinga Raisah. Bulir air mata itu sering kali menetes dibaju Raisah. Sampaisampai mengenai ke pelupuk mata Raisah yang tengah terlelap tidur. Gadis mungil itu, lantas terbangun karena derai air mata yang menetes mengenai kedua matanya. “Apa..
Apa..Papa..”
ucapnya
lugu
tak
berdosa.Tak banyak kata yang diucapkannya, namun Arman merasa sangat istimewa, kala 332
mendengar
Raisah
dapat
mengucapkan
panggilan, “Papa” ke Arman. “(Bernyanyi) Cicak-cicak di dinding.. Diamdiam merayap.. Datang seekor nyamuk..” “Hap.. Hap..” sambarnya cepat. Merespon nyanyian Arman. “Hap.. Hap.. Lalu ditangkap. (Memeluk erat) Papa sayang sama Raisah! Sampai kapan pun, dimana pun.. Papa akan selalu sayang sama Raisah. Sayang, Papa.. Kalau nanti kamu cudah besar.. Kamu ingat semua kejadian ini, ya. Ingat selalu sama papa.. Sama Omma.. Sama Tato7.. Jangan kamu lupakan ini semua yah, sayang.. Papa sayang kamu, Raisah!!”
Tanpa disadari, matanya mulai mengantuk berat. Raisah tidur dengan pulasnya. Arman masih terus menerus memandang Raisah dengan sejuta 333
kasih nan abadi. Bukan hanya Arman yang merasakan hangatnya berada didekat Raisah. Papa dan Mama Arman juga merasakan hal yang serupa. Keduanya sering kali berkata, bahwa perilaku serta sikap Raisah. Mewarisi semua perilaku Arman. “(Mencium kening Raisah) Lihat anak kamu itu.. Wajah dan sifatnya, persis dengan sifat kamu. Selalu keras dalam mengejar semua yang diinginkan.” ucap Mama ke Arman yang berada disamping Raisah tidur. Senyum Mama merekah kala melihat kebahagiaan Arman disamping Raisah. *
334
BAGIAN 13
Beberapa bulan kemudian..
Bulan
berganti bulan. Kini telah berbulan-
bulan lamanya Raisah tak kunjung ada kabar berita. Tidak ada satu SMS yang singgah ke handphone Arman. Juga tak ada kabar berita dari keluarga Diba ke Arman. Rasa rindu itu sangat menyakitkan batin Arman. Kerinduan yang menggoyahkan akal sehat. Tidak ada alasan, maupun sebab-akibat, dengan mudahnya Arman meledak-ledak. Sampai akhirnya Arman seringkali berselisih paham dengan Papa dan Mama dirumah. Papa dan Mama meminta agar Arman lebih banyak bermunajat pada Allah yang Esa. Tapi semakin Arman menjalankan shalat wajib, shalat sunat, dzikirullah, puasa senin-kamis, makin bertambah besar hasrat Arman ingin bertemu dengan Raisah. 335
“(Kesal) Papa sama Mama selalu aja membela Diba.. Semua permintaan mereka, kita harus kasih ke mereka.. Sementara apa balasan perbuatan mereka ke kita, Pah?! Kenapa kita harus takut kalau kita benar, Pah!! Pokoknya Arman harus ketemu Raisah besok!” terang Arman sedikit meninggi ke Papa. “Arman.. Rambut Papa itu sudah ubanan.. Kenapa diumur Papa sekarang ini, kamu masih saja bikin pusing terus! Apa kamu sudah tidak percaya lagi, kalau Allah itu selalu ada bersama kita! Lalu apa gunanya shalat dan semua ibadah kamu itu!” tutur papa tegas ke Arman. “(Melerai) Sudah, Pah.. Kita harus mengerti keadaan Arman saat ini?! Emosinya sedang labil saat ini. Sudah-sudahlah.. Lebih baik kita yang mengalah!” pinta Mama ke Papa Arman. 336
“Bagus.. Sekarang papa sama mama mau cuci tangan..
Memang
kalau
sudah
begini
keadannya, harus Arman yang ngatasinnya sendiri.” ungkap Arman jengkel ke Papa dan Mama. “Kamu jangan bicara begitu, Man.. Kita sudah berusaha maksimal. Sekarang kita tunggu hasil dari laporan yang kita buat di KOMNAS anak dan KPAI. Setelah itu baru kita buat rencana baru lagi. Jangan gegabah dalam bertindak kita, Man.” “KOMNAS ANAK dan KPAI itu ngga akan bisa berbuat apa-apa, mama! Mereka itu cuma bisa bilang.. Kalau anak dibawah usia lima belas tahun, ada dalam pengasuhan ibunya. Lagi pula tugas mereka itu hanya sebagai mediator.. Masalah eksekusi itu, ada dalam wilayah
keputusan
pengadilan
agama.
Sementara, menurut informasi yang Arman 337
dapatkan..
Proses
persidangan,
sampai
terjadinya keputusan dari hakim.. Itu akan memakan waktu enam bulan lamanya, pama?! (Kesal) Harus selama itu juga Arman ngga bisa ngelihat Raisah? Terus terang.. Arman ngga sanggup kalau sampai selama itu baru bisa melihat Raisah?! Mama-Papa, benar-benar tidak pernah bisa merasakan perasaan Arman.” tandas Arman penuh kekesalan. “Kalau memang lama.. Lebih baik kamu, makin banyak dan khusuk dalam berdoa! Allah sedang menguji kesabaran kamu. Percaya
sama
mama
dan
papa,
man..
Kesabaran itu akan indah pada waktunya.” tukas Mama, meredam amarah Arman.
Perkataan itu, rupanya tak mampu meredam kerinduan terhadap Raisah. Pikiran Arman sudah bagaikan benang kusut yang membuat batinnya 338
selalu menjerit. Tangannya menggenggam dengan keras. Kebencian mulai merajam dihatinya. “Arman
sudah
bersabar..(Membanting
ngga gelas
bisa
lagi
kaca
yang
berada didekatnya.) Prangg.. Prangg... ” “(Membentak) Keluar kamu dari rumah ini!! Anak tidak tahu diri.. Begini balasan kamu ke Papa sama Mama. Kalau kamu ingin ada yang membela kamu.. Semestinya kamu itu harus nurut.. Bukannya kamu malah meledak-ledak seperti ini! Keluar kamu dari rumah ini!!!! seru Papa dengan kesalnya ke Arman. “Ohh.. Jadi Papa ingin mengusir Arman keluar dari rumah.. (Berang) Arman janji, Arman akan keluar dari rumah ini. Tapi tunggu ketok palu dari pengadilan agama. Sekarang Arman ingin Papa dan Mama tanggung jawab. Karena Papa dan Mama 339
sudah membela perempuan sundal, seperti Diba itu!!” jawab Arman dipenuhi emosi amarahnya. Tangannya terlihat mengepal dengan kuatnya. Tidak dapat dibayangkan, bila saja ada salah seorang dari keluarga Diba yang datang, ketika Arman tengah diliputi kemarahan memuncak. Bisa-bisa akan ada pertaruhan nyawa. “(Mama mendekat ke Arman) Arman.. Kamu tidak boleh berbuat seperti ini. Hilangkan kemarahan dihati kamu.. Bukan kita yang jadi sasaran kemarahan kamu. Apalagi papa?!” ucap Mama lemah lembut ke Arman. “(Jatuh
lunglai
dipelukan
mama)
Tapi
mama..(Tangisnya meledak) Arman sudah tidak kuat seperti ini, mama... Arman kangen banget sama Raisah.. Allah ngga adil ke Arman.. Apa dosa Arman ke mereka, Mama.. Apa salah kita?!” tangis Arman tumpah 340
dipelukan Mama. Bulir air mata itu jatuh berderai. “Kadang hidup itu memang tidak pernah adil untuk kita.. Tapi percayalah, hanya Allah yang Maha tahu untuk semua kebutuhan kita. Karena kita itu hanyalah mahkluk ciptaanNya. Sabar dan shalat itu adalah jalan keluar yang terbaik buat kamu. Kekerasan tidak boleh kita balas dengan kekerasan. Mama mohon ke kamu.. Tetap kamu selalu bersabar menghadapi situasi sulit ini?!” tukas Mama penuh perhatian ke Arman. Papa terlihat ingin juga memeluk Arman, namun ditahan oleh Mama. “(Marah) Arman ngga perduli.. Kalau Arman harus mati karena Raisah, mama.. Arman sudah siap menerima kematian. Mereka itu sungguh keterlaluan, Mah.. Darah Arman ini, hanya untuk Raisah. Selamanya untuk Raisah. 341
Besok.. Ada atau tidak ada Mama dan Papa yang menemani Arman kesana.. Arman akan tetap
kesana..
Siapapun
yang
berusaha
memisahkan Arman dan Raisah..
Akan
Arman lawan. Meskipun Arman nantinya akan babak belur, Arman pasrah.. Karena Arman memperjuangkan yang benar. Mereka itu sudah berdusta sama kita, Mah.. Terlebihlebih sama Allah!!!” ucap Arman penuh dengan kemarahan yang mendalam. Mama tak lagi mampu meredam emosi Arman yang memuncak. Ia berusaha untuk terus-menerus mengusap-usap kening Arman. Menahan agar kemarahan Arman tak jadi diluapkannya. “Kenapa kamu tidak langsung mengajukan surat cerai saja ke pengadilan agama? Langsung saja kamu talak8 tiga ke Diba. Supaya tidak ada lagi nama Diba, didalam hidup kamu! Diba itu ngga pantas untuk kamu. Apalagi yang harus tunggu, man.. 342
Lebih
baik
ngelengkapin
kamu
usahakan
semua
untuk
berkas-berkas
pendukung kamu. Kan sekarang kamu juga sudah dapatkan pekerjaan. Nah itu akan memenangkan Raisah, ketika dipengadilan nanti!” papar Mama ke Arman. “Bukan begitu, Mah.. Mama dengar sendiri, sewaktu kita mengajukan laporan ke KPAI, tentang putusnya akses orang tua ke anak.. Konsultannya hanya bilang ke kita.. Kalau hak asuh anak sampai umur lima belas tahun itu, sepenuhnya ada ditangan Ibu. Itulah yang menjadi senjata untuk merampas hak Raisah bertemu dengan Arman.. Bagaimana jika semua itu benar-benar terjadi, Mah? Sekarang saja.. Ketika Diba masih jadi istri sah, kita tidak bisa ketemu sama Raisah. Apalagi kalau sudah ada keputusan dari pengadilan agama yang memihak penuh ke mereka? Keluarga Diba itu akan semakin sewenang-wenang dan 343
tidak memperbolehkan kita bertemu dengan Raisah. Jadi apapun yang terjadi nanti.. Besok, Arman harus ketemu dengan Raisah.” tandasnya penuh kemarahan. “Ya.. Kalau mama sih kepinginnya, kita tidak sama
seperti
mereka.
Kita
ngga
usah
melakukan jalan kekerasan. Tapi jika kamu bersikeras.. Mama sudah ngga bisa berbuat apa-apa lagi.. Mama akan selalu mendukung semua keinginan kamu itu?!” ujar Mama, meneguhkan hati Arman. “Arman yakin.. Allah akan selalu bersama orang-orang yang benar. Bagi Arman, ini adalah jihad dijalan Allah. Mereka itu bukan hakim.. Hakim aja masih memperbolehkan Arman ketemu dengan Raisah, ko?! Kenapa mereka yang bukan hakim, bisa berbuat sewenang-wenang.. Sudah berani melebihi seorang hakim malah, ma? Insyallah.. Besok 344
ngga akan terjadi apa-apa.” tegas Arman ke Mama yang terlihat menunduk lesu. “Tapi mama minta ke kamu.. Jika memang benar kita akan datang kesana.. lebih baik kita bawa polisi, atau saksi lain, selain dari pihak keluarga kita yang akan ikut kesana?!” pinta Mama ke Arman. “Coba nanti Arman akan usahakan cari ya, Mah.. Tapi bila memang Arman ngga juga dapat.. Arman akan tetap kesana, Mah. Terus terang, Arman udah ngga takut lagi akan terjadi apa nantinya. Bagi Arman.. Yang paling penting adalah bertemu dengan Raisah, anak Arman!!” cetus Arman ke Mama. “Man.. Apa tidak ada cara lain, selain dari cara kekerasan yang harus kita tempuh.. Dari hati kecil, Mama inginnya Arman itu lebih fokus sama pekerjaan.. Karena nantinya, 345
kalau Raisah sudah besar.. Dia akan dengan sendirinya nyari keberadaan kamu. Apalagi dia itu anak perempuan.. Kalau menikah, pasti butuh wali dari kamu. Jadi meskipun kamu ngga ada, dia harus cari kamu untuk nikah. Mendingan sih, kamu lupakan sejenak beban pikiran kamu itu. Jika kamu sudah sukses.. Percaya sama Mama, Diba itu akan memintaminta supaya mau balik lagi?!” tutur Mama mencoba mengalihkan perhatian Arman. “Maaf Mah-Pah.. Bukannya Arman menolak keinginan dari Papa dan Mama.. Tapi ini semua harus Arman lakukan.. Kita harus sadar, mereka itu keluarga yang hidup dengan kebohongan dan kemunafikan.. Menghalalkan segala macam cara, agar kemauan mereka itu bisa dituruti! Jika kita terus mengalah, seterusnya kita akan selalu kalah.. Lagi pula, ini bukan masalah harga diri kok, Mah.. Ini Arman
lakukan,
sebab
Arman
ingin 346
menegakkan kebenaran. Selama ini kita sering kali mengikuti semua yang mereka inginkan.. Tapi mereka sudah sewenang-wenang dan sudah tidak punya malu lagi, Mah! Barangkali juga sudah tidak punya pikiran sehat lagi. Didalam otak mereka itu yang ada hanyalah bagaimana caranya mendapat keuntungan. Maafkan Arman ya, Mah.. Jalan ini harus Arman tempuh!” tukas Arman penuh dengan keberanian.
Mama dan Papa memandang Arman dengan lekat. Keduanya sangat menyangsikan keputusan yang sudah dibuat Arman. Namun disisi lain, pandangan itu agaknya membenarkan yang akan ditempuh oleh Arman. *
Siang
itu,
udara
terasa
lebih
gersang
dibanding hari sebelumnya. Sengat mentari, tak membuat air keringat dapat keluar dari pori-pori 347
kulit. Tetapi justru malah membuat kulit mengering. Sejak
pagi,
Arman
berkeliling
disekitar
area
perumahan tempat tinggalnya. Ia tengah mencari sosok seorang pengawal, yang akan menemani ketempat Diba. Arman sadar betul, bahwa disamping keinginannya bertemu dengan Raisah, ia juga harus menjamin keselamatan Papa dan Mama.
Usaha untuk mendapatkan pengawal dari pihak kepolisian, tidak berhasil didapatkan Arman. Ia lantas mencari sosok pengawal pengganti, selain polisi. Rasa lelah dalam melakukan pencarian tak dihiraukan sedikitpun. Sayangnya, baik satpam ditempat tinggalnya, maupun setiap orang yang ditemuinya, menolak permintaan Arman. “Arman.. Apakah sudah ada yang nantinya akan mengawal kita kesana?” tanya Papa dengan datar.
348
“Belum Arman dapatkan, Pah?!” balas Arman ke papa. “Tuh kan.. Firasat Mama itu ngga enak, Man.. Mending kita urungkan saja niat datang kesana?!” selak Mama dengan lembut ke Arman. “(Bantah) Arman tidak mau.. Biarpun Arman harus mati.. Arman yakin, Arman akan mati dengan tenang dan damai. Setidaknya Allah tahu, seberapa besar rasa cinta Arman ke Raisah. Arman ngga perduli lagi, Mah-Pah.” tandas Arman dengan kebulatan tekadnya. “Ya
sudah..
Kita
berangkat
perang
sekarang?!” ujar Papa ke Arman. “Kamu siap-siap sekarang deh.. Kita akan berangkat kesana sekarang. Mumpung Diba juga kerja kan! Kalau dia ada dirumah.. Pasti 349
bisa perang nantinya kamu?!”sahut Mama, menambahkan perkataan Papa ke Arman. “(Mencium pipi Mama dan Papa) Arman sayang sama Papa dan Mama..(Menangis) Maafin segala kesalahan Arman, Mah-Pah.. Maafin Arman, kalau selama ini.. Arman sudah terlalu banyak menyusahkan Papa dan Mama. Arman belum bisa membahagiakan Papa dan Mama.. Terus terang, Arman sangat malu dengan pilihan yang Arman pilih.. Kalau seperti
ini
jadinya,
harusnya
Arman
tinggalkan Diba dari dulu, ma!” ungkap Arman, dalam isak tangisnya. “Untuk apa kamu sesali yang sudah terjadi.. Papa selalu ngomong ke kamu.. Semakin kamu menyesal yang sudah terjadi dalam hidup
kamu..
Kamu
akan
semakin
menyekutukan Allah. Karena Allah punya rencana lain untuk kita. Jika memang nantinya 350
Papa dan Mama terjadi apa-apa.. Mama dan papa sudah ikhlaskan semua ini. Beginilah rasa cinta orang tua terhadap anaknya. Sama seperti besarnya perasaan cinta kamu ke Raisah.” jelas Mama ke Arman. “Oh ya, Mah-Pah.. Sebelum berangkat.. Arman ingin shalat taubatan nasuha lebih dulu.. Mungkin saja ini adalah shalat Arman yang terahkir kalinya.” ucap Arman terbatabata. “Hush.. Kamu jangan bicara seperti itu.. Tidak pantas kamu memprediksi yang belum terjadi. Kita itu cuma manusia biasa, sayang.” tangkis Papa ke Arman. “(Memeluk badan papa dan mama) Makasih ya, Mah-Pah.. Arman sayang papa dan mama!!” jelas Arman ke Papa dan Mama. 351
Arman langsung menuju kekamar mandi, dan segera mengambil air wudhu. Sedangkan papa dan mama, menunggu Arman didalam mobil. Keduanya terlihat
sangat
tidak
merelakan
keberangkatan
kerumah Diba. *
Jalan menuju rumah Diba nampak lengang. Tidak ada kemacetan yang menghadang selama diperjalanan. Sepanjang jalan, bibir Arman terus menerus mengagungkan asma Allah. Mulutnya komat-kamit, berdzikir penuh kekhusukkan. Papa mengambil keputusan untuk memarkirkan badan mobil, di depan sebuah hotel disekitar tempat tinggal Diba. Tanpa sepengetahuan Arman sebelumnya, Vany,
yang merupakan kakak tertua didalam
keluarga Arman, datang untuk menemani. Ia datang berdua dengan suaminya. Kedatangannya membuat Arman,
seketika
menyusun
sebuah
rencana
pengambilan Raisah dirumah Diba. 352
“Pah-Mah. Pokoknya nanti, kita langsung masuk kedalam rumah Diba.. Pakai bajaj9 saja. Papa sama Mama tunggu saja didalam bajaj. Setelah Arman berhasil mengambil Raisah, kita langsung pergi. Arman tidak akan banyak bicara disana. Tugas Arman hanya ingin ambil Raisah.. Setelah itu kita akan pergi.” terang Arman penuh keyakinan. “(Pasrah) Terserah bagaimana rencana kamu saja. Papa dan Mama mengikuti kemauan kamu saja?!” tukas Mama terdengar pasrah dalam bicara. “Ya.. Insyallah ngga akan terjadi apa-apa.. Sampai terjadi apa-apa sama papa dan mama.. Seumur hidup, Arman tidak akan pernah memaafkan
perlakuan
mereka.”
amarah
Arman mulai membuncah didalam dada.
353
Diakhir penjelasan itu, Arman lekas mencari bajaj yang akan ditumpangi oleh keluarga Arman. Tak perlu jauh mencari, Arman segera mendapati bajaj yang tengah mangkal didepan hotel tersebut.
Didalam bajaj, Arman menundukan kepala. Ia tidak ingin, ada salah seorang warga disekitar tempat tinggal Diba yang tahu keberadaan Arman. Sebab jika tahu, tentunya itu akan membuyarkan semua misi yang dijalankan Arman. Dan Raisah tidak akan dapat melihat Arman.
Laju bajaj sudah berada didalam rencana Arman. Kendaran roda tiga itu, lekas berputar haluan. Guna lebih memudahkannya keluar dari gang sempit disekitar tempat tinggal Diba. Setelah berhenti persis didepan gang rumah Diba, Arman lekas berlari menuju kerumah Diba.
Tanpa basa-basi dan permisi, sebagaimana sopan santun yang sering dilakukannya, Arman pun 354
menerobos masuk kedalam rumah Diba. Arman melihat adanya sosok umi yang menghadangnya masuk kedalam rumah. Wajahnya merah menyala, kala melihat kedatangan Arman masuk tanpa permisi. Cacian serta makian, langsung terlontar keluar dari mulutnya. “Mau ngapain datang kemari.. (Teriak) Kalau masuk bilang permisi donk?!” makian dan cacian langsung disemprotkan ke Arman. Tapi Arman tak perduli. Langkah kaki, hati serta pikirannya, hanya tertuju ke sosok keberadaan Raisah.
Tak lagi menjawab semua cacian yang terdengar
bagaikan
suara
sumbang,
Arman
secepatnya menerobos kedalam kamar tempat dimana Raisah biasanya berada. Usai mendapati Raisah yang terbaring ditempat tidur, tangannya yang cekatan, langsung memeluk erat tubuh Raisah. Diluar kamar, Hasan, menyergap kedatangan Arman. Ia rupanya tak 355
ingin melepaskan Arman pergi bersama dengan Raisah yang dipeluknya. Namun kala itu, Arman tak mau terbawa oleh emosi, sehingga ketika tubuh Hasan menghadang, Arman berpaling menuju pintu keluar lainnya. Arman ingin melangkahkan kaki menuju pintu keluar rumah Diba. Tapi baru saja Arman sampai didepan persis rumah Diba, tiba-tiba... “Dughh..
Dughhhh...”
Sebuah
bogem
mentah, dilepaskan oleh Hasan. Hingga akhirnya mengenai tengkuk leher Arman. Berdua
dengan
Raisah,
Arman
jatuh
menyusur aspal semen didepan rumah Diba persis. Para warga seketika datang berkumpul didepan rumah Diba.
Arman susah payah untuk segera bangkit. Namun langkahnya sudah dihadang oleh wargawarga bodoh, yang sama sekali tidak tahu sedikit pun tentang permasalahan didalam rumah tangga Diba. Tak perduli dengan hadangan dari para warga, 356
Arman lantas menerobos barisan warga yang siap melepaskan bogem mentah ke Arman. “(Membentak kerumunan warga) Ini darah daging saya!!!!! Ini anak saya!!!!!!!” teriak Arman dengan lantangnya kesetiap warga yang menghalau kepergian Arman.
Suasana crowdied dan mencekam mulai menyelimuti dikisaran rumah Diba. Arman berhasil menerobos barisan warga. Ia langsung menuju ke mama yang sudah sedari tadi menunggu kedatangan Arman
didalam
bajaj.
Rupanya
bajaj
yang
ditumpangi keluarga Arman, sudah beranjak pergi. Arman lekas mengejar laju kendaraan itu, sembari masih memeluk Raisah. Hingga akhirnya bajaj itu pun berhenti. Selesai menyelamatkan Raisah, dan meminta mama untuk segera meninggalkan rumah Diba. Pikiran Araman, hanya tertuju terhadap sosok Papa, Vanny dan suaminya. Tak akan pernah rela, jika sampai mereka jadi bulan-bulanan dari warga357
warga idiot, yang dengan mudahnya dipanas-panasi oleh keluarga Diba.
Benar saja dugaan Arman, para warga sudah mulai bersiap untuk melepaskan bogem mentah ke Papa, Vanny dan suaminya. Tak banyak bicara, secepatnya Arman berlari ke kerumunan masa yang sudah tidak lagi berkemanusiaan. Ia peluk papa yang terlihat sudah jatuh tersungkur. Sepasang tangantangan para pengecut, mulai hinggap kebadan Arman. Tapi sedikit pun, tak akan pernah Arman lepaskan pelukan yang memeluk ke tubuh Papa. “Sudah.. Cukup!!!!” teriak lantang, salah seorang tokoh masyarakat. “(Pada Arman, papa, vanny dan suami) Kalian semua kerumah saya.. Cepat sekarang kalian masuk kedalam rumah saya.” tandas tegas salah seorang tersebut. 358
Arman, Papa, vanny dan suami, mengikuti yang diminta oleh seorang tokoh tersebut. Kejadian itu berakibat sebagian dari tubuh Arman terluka, hingga darah pun menetes. Emosi Papa sudah nampak mereda. Tapi tidak dengan Vanny, dan suaminya. Vanny menangis, menyaksikan
tragedi
yang
sudah
menimpa
dikeluarganya. Selang sesaat, terdengar raungan suara sirene mobil polisi yang datang. Kerumunan warga yang melihat kejadian itu, langsung diusir paksa oleh brigade perwira Polisi bertubuh kekar. Seruan itu, sedikit pun tak terbantah oleh para warga. Mobil Polisi itu membawa Arman, Papa, vanny dan suami, ke kantor polisi. *
359
BAGIAN 14
Setibanya dikantor polisi, Arman sekeluarga diminta untuk menunjukan identitas diri, KTP maupun SIM yang dimiliki masing-masing. Setelah itu, entah apa alasannya tiba-tiba Arman sekeluarga, diminta untuk berada diruang KADIT SERSE narkoba. Arman membersihkan luka-luka yang terdapat dibeberapa bagian badannya dengan tisue basah. Luka memar, ditambah tungkai kaki yang sobek berdarah, membuat Arman lebih banyak diam seribu bahasa. Berbeda dengan Vanny, yang masih tak kuasa membendung kesedihan dihatinya. Ia menyandar dipundak suaminya, seraya menitikan air matanya. Sementara papa berusaha terus-menerus memberi kabar berita ke ke semua saudara sepupu dan relasi-relasi yang dikenalnya, dan memiliki hubungan dengan penegak hukum. Ia ingin mencari keadilan
dari
tragedi
yang
telah
menimpa
keluarganya. 360
Tiga jam telah terlewati, tanpa adanya tindak lanjut dari pihak kepolisian. Tak ada sedikitpun aktifitas yang dilakukan para penyidik, maupun kepala bagian kriminal ke Arman sekeluarga. Pada saat papa Arman ingin menunaikan ibadah shalat ashar, seorang perwira melarang Papa untuk pergi terlalu jauh. Ia hanya memperbolehkan shalat didalam ruangan tersebut. Hal inilah yang membuat keganjilan didalam diri Papa. Rasa keingintahuannya pun
seketika
muncul.
Ia
lekas
melontarkan
pertanyaan kesalah seorang perwira. “Pak.. Sebenarnya kita semua disini, sedang menunggu apa?” “Bapak nanti akan diperiksa..(Tegas) Karena itu, Bapak tidak kita izinkan untuk pergi terlalu jauh!” tandas perwira ke Papa.
361
“Bukannya kita yang menjadi korban dari kekerasan yang terjadi disana, Pak?” tutur Papa mulai resah atas jawaban yang diberikan oleh perwira tersebut. “Saya tidak tahu, Pak. Saya disini, ditugaskan untuk menjaga bapak sekeluarga.” ucap perwira ke Papa. “Apa maksud bapak, menjaga kita semua disini?” tegas Papa ke perwira. “Berdasarkan atas laporan yang sudah dibuat oleh saudara Hasan.. Bapak akan kita periksa lebih dulu.” jelas perwira. “(Tercekat)
Jadi..
Kita
disini
sebagai
tersangka, Pak?” ucap Papa, menyimpulkan perkataan perwira itu.
362
“Saya tidak tahu jelasnya seperti apa. Saya hanya
bertugas
untuk
menjaga
bapak
sekeluarga.” tutur perwira dengan nada bicaranya yang sudah terdengar meninggi. “Saya hanya bertanya, pak. Dan wajar saja kalau saya bertanya. Karena sudah enam jam kita menunggu disini. Tanpa ada tindakan dari pihak kepolisian.”urai papa sedikit berang ke perwira. “(Mendekat) Pah.. Sudahlah.. Lebih baik kita tunggu aja keputusannya!”sambar Arman ke papa, guna meredam emosi Papa. Kata-kata Arman, rupanya berhasil menahan luapan emosi Papa. Dari sana, Papa melanjutkan niat untuk mengambil air wudhu, dikran depan ruangan tersebut.
Perkataan dari perwira itu, membuat rasa kecewa yang mendalam dihati Papa. Tak henti363
hentinya, keluarga Diba terus-menerus menzalimi keluarga Arman. Karena ternyata, Hasan telah membuat pengakuan palsu. Ia laporkan lebih dulu, perbuatan yang dilakukan oleh Arman sekeluarga. Hasan menjerat Arman dengan tudingan pasal penganiayaan
dan
pasal
perbuatan
tidak
menyenangkan. Hati Arman serasa tercabik-cabik oleh ribuan pedang. Padahal Arman tak pernah sedikitpun mengusik kehidupan rumah tangga Hasan.
Tuduhan tak berhenti sampai disana, keluarga Diba juga telah membuat pasal terhadap Mama Arman. Salah seorang warga juga melaporkan tindakan penculikan yang sudah dilakukan oleh Mama. Sebab ia telah membawa Raisah turut serta bersamanya.
Entah apa yang sudah merasuk kedalam pikiran kepala penyidik kepolisian, atau mungkin saja sudah terjadi transaksi. Sehingga seluruh tuduhan yang dilakukan Hasan dan seorang warga ke keluarga 364
Arman itu, dibenarkan oleh pihak kepolisian. Arman dan Mama terancam masuk penjara. *
Bukan hanya Arman yang nantinya diseret oleh kebejatan moral keluarga Diba, namun Mama yang sama sekali tidak tahu menahu, juga dituduh sebagai maling. Padahal status Raisah adalah cucunya.
Jika semua masalah hanya Arman yang menghadapi, mungkin Arman akan terus berjuang sampai titik darah penghabisan. Tak perduli bila harus dipenjarakan oleh keluarga Diba, berpuluhpuluh tahun lamanya. Tetapi karena sudah menyeret nama Mama ke dalam perkara, hingga akhirnya nanti akan membawanya masuk penjara, Arman memilih untuk bersikap ikhlas. Satu-satunya cara adalah meminta maaf, dan meminta Hasan mencabut semua pasal
yang
telah
dibuatnya.
Arman
segera 365
melayangkan permintaan maaf ke Diba. Dilanjutkan kemudian ke semua keluarga Diba. Pedih melihat kenyataan yang harus dihadapi. Namun Arman tetap memiliki keyakinan bahwa semua kebaikan atau keburukan akan berpulang pada yang menanamnya. Barang siapa yang menanam angin, toh cepat atau lambat dia akan menuai badai. Allah Maha Besar, dan Maha Mengetahui.
Hasan mengikuti kemauan dari Diba. Ia segera mencabut semua tuntutan yang telah diberikan ke Arman sekeluarga. Akan tetapi hal itu tidak semata-mata tanpa adanya
imbalan.
Ia
lantas
menuliskan sejumlah permintaan ke Arman dan keluarga. Sejumlah butir-butir permintaan yang memberatkan keluarga Arman. Tak segan-segan, ia juga meminta sejumlah uang ke keluarga Arman. Juga harus membiayai seluruh proses selama dikepolisian.
366
Allah selalu berkendak atas setiap kejadian yang menimpa umat manusia. Karena itu, seluruh permintaan yang dituliskan Hasan, tak sedikitpun tertuang didalam perjanjian antara Diba dan Arman. Diwaktu mediasi dilakukan, Arman dan Diba merubah seluruh isi kesepakatan yang ditandatangani bersama. Termasuk didalamnya, mengenai pembagian hak perawatan anak. Arman mendapat kesempatan untuk merawat Raisah selama dua minggu lamanya. Begitupun sebaliknya.
Sebenarnya ada atau tidak adanya perjanjian, bukanlah menjadi satu hal yang utama lagi bagi Arman. Oleh karena Arman kini hanya ingin segera membuka lembar kehidupan baru yang lebih bersih. Tanpa adanya dusta dan kemunafikan. *
Dua minggu setelah tragedi yang membuka seluruh topeng dan kedok keluarga Diba telah 367
berlalu. Sebagaimana firasat Arman dan keluarga, ternyata keluarga Diba tak lagi dapat memenuhi isi perjanjian yang telah ditanda tangani, diatas materai.
Arman tak terlalu memusingkan keadaan tersebut. Pikiran dan hatinya kini jauh lebih tenang dan ridho akan setiap keputusan yang direncanakan Allah. Ia yakin, baik-buruk keadaan hanyalah sementara. Sebab hidup terlalu indah untuk disesali. Tiba saatnya untuk membuka lembar baru. Kini tujuan Arman hanyalah untuk memberi pengabdian penuh pada papa, mama dan keluarga yang sudah banyak
membantunya.
Karena
mereka
sangat
mencintai Arman dengan ketulusan dan segenap rasa sayang yang tidak perlu untuk dibalas. Tetapi bagi Arman, Raisah akan selalu tersimpan dihati. Sampai kapan pun, dimana pun, Raisah akan mengisi tempat yang istimewa dihati.
Arman tetap selalu berdoa agar Raisah tetap dapat mengenal siapa Papa dalam hidupnya. 368
“Ya Allah.. Persatukan aku dengan anakku. Apakah ia tidak berhak untuk mengenal siapa sosok Papa dalam hidupnya? Apakah Raisah tidak pantas mendapatkan kasih sayang dariku.. Nak, Papa akan selalu ada untukmu. Kapanpun, dimanapun, Papa akan selalu ada dihatimu. Doa Papa akan mengiring, kemana pun kamu berada. Biarkan rindu ini Papa simpan sampai kelak takdir mempersatukan kita. Papa berjanji.. Akan mensekolahkan kamu sampai keperguruan tinggi.. Ya Rabb.. Persatukan
aku
dengan
anakku
dalam
kehendak-Mu. Persatukan aku dengannya dalam kebahagiaan. Amin.” [][] Tamat
369
1
Pertunjukan drama tanpa kata-kata yang dimainkan dengan
gerak dan ekspresi wajah 2
Alat tata rias untuk memerankan karakter dalam pantomime
3
Panggilan terhadap kakak dari ayah atau ibu
4
Harus
5
Keras pendirian
6
Kamar atau kotak yang bersuhu tetap
7
Sebutan kakek dalam bahasa minang
8
Perceraian suami istri;lepasnya ikatan perkawinan
9
Kendaraan umum bermotor; beroda tiga
[email protected]
iii