ABSTRACT RIZAL ALAMSYAH. Study on Mixing Process Using Static-mixer Method to Increase Transesterification Efficiency of Refined Palm Oil into Biodiesel. SUPERVISORS: ARMANSYAH H. TAMBUNAN, Y. ARIS PURWANTO, and DADAN KUSDIANA One of the difficulties faced in the current technology for biodiesel production is the requirement for rigorous mixing of methanol with the feedstock oil in the reactor. Utilization of blade mixer has limitation due to the immiscible state of those substances. This research was devoted to assess of static-mixer utilization in a transesterification reactor for biodiesel production in terms of kinetics reaction (reaction rate coefficient k, activation energy Ea, and collision factor or coefficient factor A). The experiments were conducted by reacting refined bleached deodorized palm olein (triglyceride or TG) with methanol (MeOH) at 50, 55, 60, 65, and 70o C, using potassium hydroxide (KOH) as a catalyst at atmospheric pressure. Molar ratio of TG and MeOH was 1 : 11.5 and KOH used was 1% of palm oil weight. Transesterification process using blade agitator with the same reaction condition was performed as base of comparison to those of static-mixer. Energy consumption was measured for heater during oil heating, transesterification, boiling water and biodiesel drying by kWh meter. It was also conducted for pump for distribution, reactant mixing, and impeller of blade agitator. The experiments showed that static-mixer has significant effect in reducing reaction time to reach required fatty acid methyl ester content (FAME) i.e. 96.5% than those of blade agitator. Transesterification reaction time with static-mixer were shorter than with blade agitator for all temperature levels. Reaction temperature of 65o C with 5 minutes of reaction time demonstrated the best condition for running the static-mixer reactor. The kinetics satudy was conducted based on the decrease of bounded glicerol or unmethyl esterified compound (uME) which consists of triglyceride TG, digliceryde DG, and monoglyceride MG during transesterification reaction. Since the bounded glycerol decreased rapidly in the first stage reaction so the reation rate was evaluated into two stages reaction of transesterification that gived the initial and the final reaction rate coefficient (k1 and k2), the initial and final activation energy (Ea1 and Ea2) and the initial and final collision factor (A1 and A2). The value of Ea1, Ea2, A1, and A2 for static-mixer experiments were 1.33 J/mol, 16.71 J/mol, 6.48, minute-1 and 8.89 minute-1, respectively. The energy ratios of static-mixer are 2,4 times higher than those of blade agitator reactor for all temperature reaction levels. It means that transesterification by
static-mixer improved the energy ratio of blade agitator. The static-mixer experiment at reaction temperature 65oC demonstrated the lowest energy consumption (Qin) e.g 1804.35 kJ/kg, meanwhile Qin for 50, 55, 60 and 70 oC were 1810.45 kJ/kg, 1807.77 kJ/kg, 1801.79 kJ/kg, and 1838.66 kJ/kg respectively. Based on the heat transfer analysis, the overall heat transfer from the reactor wall was 260.62 kJ, meanwhile the highest of heat transfer was released from pipe for circulating the reactants. Keywords : static mixer, blade agitator, activation energy, biodiesel, collision factor, energy ratio, and transesterification
RINGKASAN RIZAL ALAMSYAH. Studi Proses Mekanisme Pengadukan Dengan Metode Static -Mixer Untuk Meningkatkan Efisiensi Transesterifikasi Minyak Sawit Menjadi Biodiesel. Dibimbing oleh ARMANSYAH H. TAMBUNAN, Y. ARIS PURWANTO, dan DADAN KUSDIANA Biodiesel merupakan monoalkil ester (misal: fatty acid methyl ester atau FAME) yang diproses dengan metode transesterifikasi antara trigliserida yang berasal dari minyak nabati atau lemak hewani dengan alkohol rantai pendek terutama metanol untuk digunakan sebagai bahan bakar mesin diesel. Proses esterifikasi atau transesterifikasi dapat dilangsungkan dengan menggunakan katalis atau tanpa katalis. Sejauh ini dalam produksi biodiesel umumnya dilakukan dengan proses transesterifikasi menggunakan katalis basa. Kekurangan dari proses katalis basa adalah: 1) terdapat dua fase campuran minyak nabati-metanol (MeOH) yang memerlukan mekanisme pengadukan yang kuat agar proses transesterifikasi bisa efektif dan reaksi mengarah ke sebelah kanan, 2) dalam purifikasi biodiesel kasar (crude biodiesel) diperlukan proses yang panjang karena di dalam produk masih terkandung impurities yang terdiri dari residu katalis, metanol yang tidak bereaksi, dan sabun yang harus dipisahkan. Waktu reaksi transesterifikasi dengan sistem pengadukan ini berkisar antara 60 – 90 menit. Tujuan penelitian yang dilakukan adalah untuk: 1) menentukan kinetika reaksi transesterifikasi (laju reaksi, konstanta laju reaksi k, energi aktivasi Ea, dan frekuensi tumbukan A) menggunakan reaktor static-mixer pada beberapa tingkat suhu yaitu 50, 55, 60, 65, dan 70oC pada tekanan atmosfir. Sebagai pembanding proses transesterifikasi dengan menggunakan blade agitator dilakukan pada tingkat suhu yang sama, dan 2) mengkaji kebutuhan energi transesterifikasi, kebutuhan energi pemanasan awal, purifikasi (pencucian dan pengeringan) dan rasio energi biodiesel dari minyak curah sawit (refined bleached deodorized palm olein - RBDPO). Pembuatan biodiesel dilakukan dengan proses transesterifikasi RBDPO dengan metanol (MeOH) menggunakan reaktor static-mixer. Rasio molar antara RBDPO dan MeOH adalah 1 : 11,5. Jumlah KOH yang digunakan sebanyak 1% dari RBDPO. Proses pembuatan biodiesel adalah diawali dengan pemanasan awal RBDPO dalam reaktor sesuai suhu yang ditentukan (50, 55, 60, 65, dan 70oC) dan pada saat yang sama juga MeOH dipanaskan. Saat suhu yang diinginkan tercapai, campuran MeOH-KOH dimasukkan ke dalam reaktor, kemudian pengadukan dimulai dengan menghidupkan pompa static-mixer sehingga campuran melewati static-mixer. Sampling dilakukan pada biodiesel dengan mengambil contoh di keran bagian atas pada selang waktu menit ke 1, 5, 10, 15, 20, 30, 40, 50, 55, 60, 65, 70, 80, dan 90 untuk dianalisis mutunya sesuai dengan Sandard SNI 04-7128-2006. Sampel ditampung dalam glass jar untuk kemudian diendapkan (settling) hingga terbentuk 2 lapisan (bagian atas biodiesel kasar dan bagian bawah adalah gliserol kasar). Biodiesel kasar kemudian dicuci dan dianalisa berdasarkan standard
SNI 04-7128-2006 untuk biodiesel. Pengujian dilakukan untuk beberapa parameter mutu utama antara lain untuk: gliserol bebas dan total gliserol dengan metoda uji (AOCS: Ca 14-56), kandungan metil ester (biodiesel), angka asam (AOCS: Cd 3-63), angka penyabunan (AOCS: Cd 3-25), viskositas, densitas, dan kadar air. Biodiesel yang dihasilkan secara visual memiliki warna kuning jernih dan terlihat encer. Hasil samping reaksi transesterifikasi adalah gliserol yang berwarna coklat gelap dan lebih kental dibanding metil ester, yang berada pada lapisan bagian bawah. Reaksi transesterifikasi menunjukkan bahwa laju reaksi metil ester menggunakan static-mixer lebih cepat dibanding dengan blade agitator pada periode awal proses. Hasil percobaan menunjukkan bahwa penggunaan static-mixer mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pengurangan waktu reaksi untuk mencapai kandungan metil ester minimum yaitu 96,5% dibanding menggunakan blade agitator, untuk seluruh perlakuan suhu yang diberikan. Waktu reaksi transesterifikasi dengan static-mixer lebih pendek dibanding dengan blade agitator unrtuk semua perlakuan suhu. Suhu reaksi 65o C dan waktu reaksi 5 menit memperlihatkan kondisi terbaik untuk mengoperasikan reactor static-mixer. Hasil yang sama juga ditunjukkan dengan hasil penurunan, gliserol terikat (triglierida TG, digliserida DG, dan monogliserida MG) yang tidak bereaksi, viskositas dan angka asam dari biodiesel untuk penggunaan kedua metode pengadukan tersebut. Perhitungan kinetika didasarkan atas penurunan jumlah gliserol terikat atau unmethyl esterified compound (uME) yang tidak bereaksi dan terdiri dari TG, DG, dan MG). Karena penurunan jumlah gliserol terikat dengan static-mixer lebih cepat pada tahap awal proses, maka laju reaksi dievaluasi ke dalam 2 tahap proses transesterifikasi sehingga memberikan konstanta laju reaksi awal (k1) dan laju raksi akhir (k2). Perubahan dari laju reaksi awal menuju laju reaksi akhir terlihat naik turun, akan tetapi hasil masih menunjukkan kecenderungan penurunan. Perubahan jumlah gliserol terikat dengan blade agitator menunjukkan penurunan yang stabil sehingga laju reaksi dievaluasi dalam satu tahap reaksi transesterifikasi. Dari hasil yang diperoleh laju reaksi awal (k1) dengan static-mixer pada tahap awal lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan blade agitator. Waktu reaksi transesterifikasi dengan static-mixer lebih pendek dibanding dengan blade agitator untuk semua perlakuan suhu. Suhu reaksi 65oC dan waktu reaksi 5 menit memperlihatkan kondisi terbaik untuk mengoperasikan reaktor staticmixer. Energi aktifasi (Ea) dan frekuensi tumbukan (A) dihitung berdasarkan persamaan Arhenius untuk tahap awal dan akhir reaksi untuk static-mixer, serta untuk satu tahap pada blade agitator. Dengan demikian muntuk static-mixer dihasilkan energi aktivasi awal dan akhir (Ea1 and Ea2) serta frekuensi tumbukan awal dan akhir (A1 and A2) yang masing-masing nilainya adalah : 1,33 J/mol, 16,71 J/mol, 6,48, menit-1 dan 8,89 menit-1. Nilai Ea dan A untuk percobaan blade agitator adalah 10,49 J/mol, dan 2,9 menit-1. Energi transesterifikasi rata-rata menggunakan reaktor static-mixer adalah 84,53 kJ/kg lebih kecil dibanding menggunakan blade agitator yaitu 484,16 kJ/kg.
Kebutuhan energi rata-rata untuk produksi biodiesel (Qin) menggunakan static-mixer adalah 1812,60 kJ/kg, sedangkan bila menggunakan blade agitator adalah 2212,32 kJ/kg. Energi transesterifikasi terkecil didapat pada suhu operasi (static-mixer) 65 oC yaitu 56,01 kJ/kg. Dari hasil percobaan static-mixer pada suhu 50, 55, 55, 60, 65, dan 70oC dihasilkan rasio energi masing-masing 3,67 , 3,3, 3,65, 3,73, 3,75, dan 3,34. Rasio energi dalam pengolahan biodiesel dengan menggunakan static-mixer 2,4 kali lebih tinggi dibandingkan menggunkan blade agitator. Hal ini menunjukan bahwa reaktor static-mixer dapat mengurangi konsumsi energi (meningkatkan efisiensi proses transesterifikasi). Dari hasil analisis kehilangan panas terlihat bahwa kehilangan terbesar terjadi pada pipa untuk saluran sirkulasi reaktan (116,57 kJ/kg) disusul dengan dinding tangki (73,98 kJ), tutup atas (38,47 kJ), static-mixer (27,72 kJ), dan tutup bawah (8,38 kJ).