2.1 Pengertian Kesetaraan Gender 2.1.1 Pengertian Gender Makna kata gender yang pertama muncul di kamus adalah penggolongan gramatikal terhadap kata kata benda dan kata kata lain yang berkaitan dengannya, yang secara garis besar berhubungan dengan dua jenis kelamin serta ketiadaan jenis kelamin (atau kenetralan). Rumusan diatas termuat dalam Concise Oxford Dictionary of Current English edisi ke 8 1990 . Sementara itu dalam khasanah ilmu-ilmu sosial, istilah gender diperkenalkan untuk mengacu pada perbedaan perbedaan antara perempuan dan laki-laki, tanpa konotasi-konotasi yang sepenuhnya bersifat biologis . Jadi rumusan gender yang ini merujuk pada perbedaan-perbedaan antara perempuan dan laki-laki yang merupakan bentukan sosial; perbedaanperbedaan yang tetap muncul meskipun tidak disebabkakn oleh perbedaan perbedaan biologis yang menyangkut jenis kelamin. Dalam rumusan ilmu-ilmu sosial itu, yang dimaksud dengan istilah hubungan-hubungan gender (atau relasi relasi gender) adalah sekumpulan aturan-aturan, tradisi-tradisi, dan hubungan-hubungan sosial timbal balik dalam masyarakat dan dalam kebudayaan, yang menetukan batas-batas feminism dan maskulin (memutuskan apa saja yang dianggap bersifat keperempuanan dan bersifat kelelakian). Secara terpadu, semua hal diatas menjadi penentu bagaimana kekuasaan dibagikan diantara perempuan dan laki-laki, dan bagaimana perbedaan penggunaan kekuasaan yang telah dibagikan itu. Disini gender menjadi istilah simpul untuk menyebut ke feminiman dan kemaskulinan yang dibentuk secara sosial, yang berbeda-beda dari satu kurun waktu ke kurun waktu lainnya, dan juga berbeda beda menurut tempatnya. Berlainan dengan jenis kelamin, perilaku gender adalah perilaku yang tercipta melalui proses pembelajaran, bukan sesuatu yang berasal dari dalam diri sendiri secara alamiah atau takdir yang tidak bisa dipengaruhi oleh manusia. 2.1.2 Pengertian Kesetaraan Gender Kesetaraan gender, yakni kesetaraan sosial antara lelaki dengan perempuan, dilandaskan kepada pengakuan bahwa ketidaksetaraan gender itu disebabkan oleh diskriminasi struktural dan kelembagaan. Ada istilah lain lagi
yakni kesetaraan gender. Dalam istilah ini terlibat unsur pemahaman tentang perbedaan antara jenis kelamin dengan peran-peran gender. Jika perbedaanperbedaan hakiki yang menyangkut jenis kelamin tidak bisa diganggu gugat (misalnya
bahwa
secara
biologis
perempuan
memiliki
kemampuan
mengandung dan melahirkan sementara laki-laki tidak, dan sejenisnya); perbedaan perbedaan gender bisa diubah lantaran yang menjadi akarnya adalah faktor faktor sosial dan sejarah. Kedua faktor itu membentuk dan menentukan
perbedaan-perbedaan
gender
yang
diberlakukan
disuatu
masyrakat pada waktu tertentu. Sudut pandang (Perspektif) gender dan kesadaran gender dilandasi oleh prinsip kesetaraan gender sebagai tujuan yang hendak dicapai.1 2.2 Isu Diskriminasi Gender 2.2.1
Isu Gender Menurut Patria M. Lengermann dan J. Niebbrugge Brantley (1988), dalam
garis besarnya ada beberapa variasi teori yang berusaha menjelaskan dunia wanita yang tercermin dalam bagan. Secara sepintas ada baiknya kita melihat bagaimana sudut pandang dari berbagai teori yang telah dikemukakan tersebut. Situasi sosial para wanita dapat ditinjau dari tiga sudut pandang utama, yakni: wanita memang berbeda dari laki-laki (2) wanita derajatnya lebih rendah dari laki-laki dan yang ketiga wanita adalah kelompok yang tertindas dan kaum yang menindas adalah kaum laki-laki atau sistem sosial yang bersifat patriachat yang dibentuk oleh laki-laki. Pandangan yang melihat perbedaan mendasar antara wanita dan pria dapat dibagi dalam tiga kelompok yakni kondisi bio-sosial menekankan perbedaan jenis kelamin dan berbagai konsekuensinya; pranata sosial melihat bahwa melihat peran yang harus dijalankan oleh wanita seperti mengurus rumah tangga, menyapih dan menyusui anak, melayani suami dan lain-lain, aktivitas sekitar rumah tangga diciptakan oleh pranata sosial (kondisi sosial budaya); psiko-sosial yang menekankan pada proses sosialisasi dan gambaran ideal mengenai siapa seharusnya wanita atau laki-laki itu (misal konsep gadis tomboi bagi anak wanita yang berkelakuan seperti para pemuda). 1
Macdonald,mandy dkk.1997.Gender and Organizational change Bridging the gap between policy and practice.Amsterdam:Royal Tropical Institute.
Teori-teori yang berusaha menjelaskan wanita yang berada pada posisi lemah dan tertindah, yakni liberal feminism yang melihat bahwa struktur sosial yang menciptakan ketidaksamaan hak antara pria dan wanita, menurut pemikiran mereka perubahan harus melalui sistem politik dan sistem hukum formal. Sementara pandangan Marxis melihat bahwa wanita berada pada posisi dan merupakan bagian dari sistem sosial yang rumit, eksploitasi terhadap wanita sebagian disebabkan oleh karena perbedaan jenis kelamin dan sebagian lagi karena posisinya dalam kelas sosial. Aliran psiko-analisa lebih menekankan bahwa penindasan pada kaum wanita karena kaum laki-laki memiliki perasaan yang terpendam dalam dirinya untuk menguasai wanita. Sementara kaum radikal feminism melihat bahwa awal mula tekanan-tekanan terhadap wanita adalah pada sistem masyarakat yang menganut paham patriachat, dimana pria memang ditakdirkan untuk menguasai seluruh sistem dalam masyarakat. Sementara aliran sosial feminism berusaha memberi penjelasan mengapa kaum wanita ini tertindas dari berbagai segi dan menggabungkan teori-teori terdahulu. Misalnya, dalam menjelaskan jenis-jenis dan sistem penindasan yang mengacu pada pengaturan sistem produksi yang ada dalam masyarakat, sistem kelas sosial, umur, suku bangsa (etnis), prevelensi seksual, posisi global, yang dapat menindas baik wanita maupun pria. 2.2.2
Regionalisme dan Isu Gender Regionalisme merupakan suatu paham yang menginginkan adanya
collective action dan kesatuan kerjasama dalam berbagai bidang yang pada akhivrnya akan menjadi suatu entitas yang integral yang lebih besar. Regionalisme di Asia diantaranya NAFTA, ACFTA dan AustraliaASEAN-New Zealand FTA. Juga dibentuk forum informal beregion seperti ASEM (ASIA Europe Meeting) sebagai langkah awal membentuk traktat dagang bebas dua kawasan ini. APEC yang dibentuk sejak tahun 1994 juga dimaksimalkan untuk mendorong adanya kawasan dagang bebas di Asia Pasifik. Dengan adanya regionalisme ekonomi tersebut membawa dampak yang tidak kecil bagi kehidupan perekonomian perempuan. Selama keberhasilan pembangunan hanya diukur dari angka statistik makro ekonomi, seperti
pertumbuhan dan peningkatan investasi tanpa pernah menghubungkan apakah angka-angka tersebut mempunyai dampak pada peningkatan ekonomi sektor riil terutama usaha kecil, apalagi megkaitkannya dengan peningkatan kualitas hidup perempuan. Seperti halnya yang menimpa perempuan di Indonesia, dimana negara kita merupakan konsumen terbesar di Asia yang kemudian dibanjiri produk produk dari negara China. Ancaman banjirnya produk China, jika tidak bisa ditahan akan menggulung industri-industri lokal dan kelompok buruh akan kehilangan pekerjaannya. Jika tidak, negara seperti Indonesia yang memiliki sumber bahan mentah dan tenaga kerja murah akan dieksploitasi oleh negara lain yang bermodal kuat. Tingkat upah buruh Indonesia yang murah dibandingkan negara-negara lain sebagai "keunggukan" dan "daya tarik" industri yang akan menanamkan modalnya di Indonesia. 2.2.3
Globalisasi dan Human Security 2.2.3.1 Teori Globalisasi Hingga saat ini belum ada kesepakatan tunggal mengenai definisi globalisasi. Namun, fenomena globalisasi bisa dijelaskan dengan adanya
kondisi: 1. Distanciation, aktifitas-aktifitas sosial politik dan ekonomi di suatu belahan dunia yang berupa kejadian-kejadian, keputusan-keputusan dan kegiatan lainnya mampu melintasi batas-batas territorial sehingga dapat berpengaruh kepada individu-individu dan komunitas-komunitas pada wilayah lain di belahan dunia lain. 2. Time and space compress, ruang atau jarak seolah-olah menjadi hilang karena waktu. Revolusi di bidang TI dan transportasi telah membuat aliran modal global semakin mudah dan cepat. 3. World Conciousness, yaitu munculnya kesadaran sebagai warga dunia. 2.2.3.2 Fakta Human Security Perempuan di Indonesia 2.2.3.2.1
Perempuan dan Economic Security UNDP Report 2009 menempatkan Indonesia pada urutan
69 dari 182 negara dalam Human Poverty Index, dengan 70% kelompok miskin di Indonesia adalah perempuan. 17% penduduk Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan menurut standart
kemiskinan
nasional,
yakni
dengan
pendapatan
dibawah
200.000/bulan. 6,7% penduduk diperkirakan tidak akan hidup hingga 40 tahun, dan 28% balita tumbuh dalam kondisi berat badan kurang.2 Jumlah kaum perempuan Indonesia dewasa ini diperkirakan mencapai 50,3% dari 238,452,952 total penduduk. Dari jumlah ini, kaum tani diperkirakan berjumlah 70% dari total penduduk atau lebih dari 150 juta jiwa. 56,52% diantaranya adalah tani gurem yang mengolah tanah kurang dari 0,4% ha. Akses kaum perempuan desa yang jumlahnya 58% ini terhadap kepemilikan tanah jauh lebih rendah dari kaum lelaki. Para perempuan mayoritas bekerja sebagai buruh tani dan buruh kebun (69,32% dan 46,7% tenaga kerja di pedesaan). Dalam masalah pengupahan, perempuan selalu diberikan upah yang jauh lebih rendah dari kaum lelaki untuk pekerjaan yang sama, dimana laki-laki memperoleh upah sekitar 40% lebih tinggi dibanding perempuan.3 Saat ini sekitar 60% dari total perempuan Indonesia menjadi tulang punggung Indonesia menjadi tulang punggung keluarga mereka. Jumlah perempuan yang berusaha sendiri berkisar antara 32-34%; yang berusaha sendiri dengan bantuan anggota keluarga atau buruh tak tetap berkisar antara 21-26%; yang menjadi buruh sekitar 31-32%. Berdasarkan data statistik tahun 2009, jumlah perempuan yang bekerja tanpa dibayar mencapai jumlahnya antara 68-73% atau sekitar 18 juta orang, atau separuh dari jumlah perempuan yang bekerja. Sedangkan perempuan yang bekerja mandiri, jumlahnya hampir mencapai separuhnya, namun pekerjaan tersebut umumnya di sektor informal. Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Kemendiknas, menyatakan jumlah perempuan buta aksara sekitar 6,5 juta orang, dari data angka buta aksara per Desember 2009,
2
UNDP report 2009 BPS-KPP, Pembangunan Manusia dan Kesetaraan Gender: peta dan disparitas pencapaian anatar wilayah; indeks pembayaran gender, 2005 dalam jurnal perempuan edisi 46 tahun 2006. 3
sebesar 8,2 juta orang.4 Demikian pula tingkat kesenjangan pendidikan yang ditempuh, semakin tinggi tingkatannya semakin tinggi pula kesenjangan partisipasi laki-laki dan perempuan. Perempuan yang menjadi buruh dibayar murah di kantongkantong industri maupun menjadi pekerja di sektor rumah tangga. Mereka dibayar murah, masih ada yang tidak diberikan haknya akan cuti haid dan melahirkan, selain banyak juga yang tidak mendapatkan tunjangan bagi keluarganya. Kondisi perempuan yang sudah termiskinkan diperparah dengan kebijakan pemerintah yang juga tidak pro kepada masyarakat miskin, misalnya saja dengan tingginya tarif pelayanan publik. 2.2.3.2.2
Perempuan dan Food Security Di Indonesia ada 20 juta penduduk mengalami kelaparan di
samping 210 juta penduduk lainnya yang tidak mengalami kelaparan. Wakil Menteri Pertanian Republik Indonesia, Dr. Ir. Bayu Krisnamurti, M.Sc, mengatakan, mayoritas penduduk kekurangan pangan dan kelaparan berada di pedesaan, dengan kondisi kualitas sumber daya manusianya relatif rendah.5 Kaitannya dengan kemiskinan dan kelaparan yang terjadi di Indonesia tersebut, PBB pun menyebutkan data yang cukup mengkhawatirkan yaitu mengenai 20 juta perempuan di Indonesia yang hidup miskin. Bahkan setelah krisis moneter jumlah perempuan miskin tersebut meningkat menjadi 40 juta orang. Lalu, karena kemiskinan tersebut, dari 11 ribu kelahiran anak Indonesia setiap harinya yang lahir dari perempuan miskin tadi, 800 orang diantaranya meninggal dalam usia belum lima tahun.6 2.2.3.2.3 Perempuan dan Health Security Angka Kematian (AKI) karena hamil, melahirkan, dan masa nifas di Indonesia tertinggi se-Asia Tenggara, yakni 470 4
6,5 juta perempuan Indonesia buta huruf, 25 Februari 2010, http://staf.blog.UI.ac.id/zahidayat/2010/02/25/aksara/ 5 20 juta penduduk alami kelaparan, minggu, 13/06/201014:54,http://www.pikiran-rakyat.com/node/115761. 6 Press release jaringan solidaritas untuk penanggulangan busung lapar 2005, dalam jurnal perempuan, edisi 42, tahun 2005, mengurai kemiskinan, dimana perempuan?.
kematian
per
100.000
kelahiran.
Penyebab
kematian
ibu
diantaranya pendarahan, infeksi, kurang gizi dan kurang darah, status perempuan yang rendah, tingkat pendidikan kurang, serta status sosio ekonomi yang juga rendah. Kondisi ini diperparah dengan rendahnya status gizi perempuan yang ditunjukkan dengan angka penderita anemia yang juga tinggi. Dalam hal ini kesehatan reproduksi bukan semata masalah kesehatan fisik, tetapi juga mental dan sosial. Tingginya AKI ini berkaitan dengan tingkat pelayanan dasar yang diterima masyarakat, minimnya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dasar dan beberapa hal terkait lainnya. Usia kehamilan
pertama
ikut
berkontribusi
kepada
kematian ibu di Indonesia. Data SKIA 2008 menunjukkan umur median kehamilan pertama di Indonesia adalah 18 tahun. SDKI 2008
melaporkan
57,4%
Pasangan
Usia
Subur
(PUS)
menggunakan alat kontrasepsi dan sebanyak 9,21% PUS sebenarnya tidak ingin mempunyai anak, tetapi tidak memakai kontrasepsi. Mayoritas akseptor KB adalah perempuan, dan kemiskinan menjadi sebab utama rendahnya daya beli terhadap alat dan pelayanan kontrasepsi.7 Permasalahan lain yang masih harus dihadapi perempuan adalah mahalnya ongkos berobat, mahalnya harga obat, terbatasnya layanan kesehatan yang bisa diakses. Ditambah lagi tingkat pengetahuan perempuan tentang kesehatan reproduksi rendah dan terbatasnya sarana kesehatan spesifik perempuan. Sementara itu terkait dengan HIV/AIDS,
jumlah
perempuan yang terinfeksi HIV AIDS di Indonesia terus meningkat dengan cepat. Pada tahun 2008, terdapat sekitar 4750 yang terinfeksi HIV/AIDS.
Laporan dari United National AIDS
mengatakan diperkirakan 50 juta perempuan Asia beresiko terinfeksi HIV/AIDS dari pasangan intim mereka. 2.2.3.2.4 7
Perempuan dan Environment Security
Profil kesehatan perempuan Indonesia, http://www.kesrepro.info/? q=node/164
Kegiatan industri, terutama sektor perkebunan, pertanian dan pertambangan yang dilakukan perusahaan raksasa dan TNCs menjadi salah satu penyebab kerusakan lingkungan. Akibat yang ditimbulkan akibat kerusakan hutan diantaranya adalah masyarakat yang sebelumnya memiliki sumber-sumber air bersih, ketika terjadi kekeringan, mereka harus mengambilnya di tempat yang jauh, sedangkan beban mengambil air banyak dilakukan oleh perempuan dan anak. Bahkan saat ini 20% masyarakat Indonesia tidak menggunakan air bersih dan ini berdampak pada kesehatan reproduksi
perempuan,
juga
menyebabkan
penyakit
kulit,
muntaber, dan penyakit menular lainnya mewabah. Perempuan juga kehilangan sumber pendapatan ekonomi dari hasil-hasil hutan yang selama ini dikelola secara bersama oleh masyarakat. Bagi perempuan kerusakan lingkungan di kawasan industry Mobil Oil (Aceh), Freeport (Papua), Newmont Nusa Tenggara (NTB) berdampak berlipat ganda dan berefek domino ketika model kekerasan yang patriarkhi dan militeristik berpadu dengan faktor kekuatan modal internasional. Di desa Buyat Pantai, Sulawesi Utara, lokasi pembuangan limbah penambangan emas PT Newmont Minahasa misalnya, beberapa perempuan dan anak-anak seperti kehilangan harapan hidup karena tidak mampu lagi menghadapi proses pemiskinan akibat hancurnya perairan tempat menangkap ikan.8 Bagi perempuan kehilangan wilayah kelola memiliki dampak pada semakin tingginya beban kerja dan menurunkan
pendapatan
yang
berdampak
pada
kesehatan,
pendidikan, dan kekerasan. Perempuan dalam masyarakat patriarki merupakan tulang punggung mengelola rumah tangga sehingga merupakan pihak yang paling merasakan penderitaan tersebut. 2.2.3.2.5 Perempuan dan Community Security
8
Meentje Simatauw, Leonard Simanjutak, Pantoro Tri Kuswardono, Gender dan Pengelolaan Sumber Daya ALam:Sebuah Panduan Analisis, Yayasan PIKUL,2001
Komnas
Perempuan
mencatat
selama
tahun
2009,
kekerasan terhadap perempuan di ranah komunitas paling banyak terjadi di wilayah Jawa 3429 kasus, Sumatera 1305 kasus dan NTT 858 kasus. Selebihnya, kekerasan berbasis komunitas ini juga dijumpai di berbagai wilayah lain: NTB 420 kasus, Sulawesi 322 kasus, Kalimantan 121 kasus, Papua 9 kasus, Bali 70 kasus, Aceh 50 kasus dan Maluku 99 kasus.9 Ancaman ini berupa tindakan diskriminatif terhadap komunitas perempuan yang dilakukan oleh budaya tertentu, agama tertentu, maupun oleh negara melalui beberapa perangkat aturannya. 2.2.3.2.6
Perempuan dan Personal Security Tenaga Kerja Indonesia yang tersebar di 30 negara dengan
jumlah sekitar 8.739.046 orang. 97,2% tenaga kerja Indonesia di luar negeri adalah perempuan. BNP2TKI pada tahun 2009 menangani sekitar 7.709 kasus. Dari jumlah itu, terdapat 5.403 kasus deportasi dari Malaysia dan 644 kasus PHK sepihak yang terjadi di Aljazair sebagai akibat krisis global. Kasus di Timur Tengah jumlahnya 1.634 kasus. LSM Migran Care melaporkan jumlah pekerja migrant yang meninggal dunia saat bekerja di luar negeri pada tahun 2009 mencapai 1.018 orang. 67% di antaranya meninggal dunia di Malaysia. Sedikitnya 2.878 pekerja migran mengalami kekerasan pada tahun yang sama.10 Dalam kasus trafficking, perempuan dan anak perempuan merupakan 80% dari sekitar 800.000 orang diperdagangkan setiap tahun, dan mayoritas (79%) adalah mereka yang diperdagangkan untuk dieksploitasi seksual. KDRT juga merupakan salah satu ancaman personal security perempuan Indonesia. Data tahun 2009 menunjukkan adanya 25.522 kasus KDRT yang ditangani oleh 215 lembaga, 9
Ibid Diana Apriyanti, S.E, Keadaan umum Kaum Perempuan, http://dedisyahputra.wordpress.com/2009/04/08/Keadaan-Umum-KaumPerempuan-Indonesia/ 10
termasuk institusi penegak hukum, rumah sakit dan organisasi masyarakat pengada layanan.11 KDRT yang dialami perempuan mayoritas adalah kekerasan ekonomi yaitu sebanyak 6800 orang dari 46.882 kasus kekerasan terhadap istri dan mayoritas korban kekerasan seksual adalah perempuan di bawah umur yaitu sebanyak 469 orang dari 1.870 kasus.12 2.2.3.2.7
Perempuan dan Political Security Meski jumlah perempuan di Indonesia lebih banyak dari
laki-laki, namun kenyataannya angka keterwakilan perempuan di DPR masih rendah. Jumlah perempuan anggota DPR untuk periode 2009-2014 di Indonesia saat ini berjumlah 101 orang atau 18,4% meningkat dari tahun 2004-2009 lalu yang berjumlah 62 orang atau 11,72%, dengan 14% perempuan yang duduk di sebagai pejabat publik, dan 40% perempuan yang bekerja sebagai tenaga teknis dan professional.13 Hal ini berimbas pada kebijakan dan keputusan politik yang mengabaikan suara perempuan. Ancaman Political security yang dialami perempuan Indonesia berupa kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara, atau yang terjadi karena kebijakan diskriminatif, atau pengabaian yang dilakukan oleh negara, dalam beragam bentuknya. Selama tahun 2009, 54 korban melaporkan kekerasan yang terkait political security, 29 kasus dari NTB, 12 dari Jawa Timur, 6 dari Jawa Tengah, dan beberapa dari Sumatera, NAD, Bangka dan Belitung. Sedangkan tindak kekerasan yang dialami oleh korban mencakup : intimidasi, pengabaian, pengejaran PSK, perceraian sepihak dengan saksi palsu, pelarangan ikut ujian nasional karena hamil, pelecehan seksual yang dilakukan oleh aparat negara, penyiksaan dan penganiayaan oleh aparat negara.14 11
http://haideakiri.wordpress.com/2009/03/10/Pengadilan-Agama-BanyakSumbang-Data-KDRT/ 12 http://www.Surya.co.id/2009/03/07/kekerasan-terhadap-wanita-meningkat200-persen.html 13 UNDP report 2009, Op.cit
Ancaman political security yang lain adalah banyaknya perda diskriminatif di berbagai wilayah di Indonesia. Komisi Nasional Perempuan bahkan menemukan terdapat sekitar 154 Perda yang diskriminatif selama sepuluh tahun terakhir. Dari jumlah itu, 64 diantaranya merupakan peraturan yang merugikan langsung perempuan. Perda diskriminasi perempuan tersebut berupa ketentuan wajib berjilbab bagi pegawai. Terdapat 21 daerah yang mengeluarkan peraturan daerah tentang tata cara berpakaian dengan kewajiban mengenakan jilbab bagi pegawai negeri. Ketentuan wajib berjilbab tersebut dinilai melanggar jaminan kebebasan berekspresi bagi perempuan. Komnas Perempuan juga mencatat
terdapat
pemberantasan
38
prostitusi
kebijakan yang
daerah
dinilai
berupa
aturan
diskriminatif
karena
mengkriminalisasikan perempuan. Terdapat juga empat kebijakan daerah tentang buruh imigran yang merugikan perempuan. 2.2.4
Global Governance dan Isu Gender Istilah Global Governance digunakan untuk menunjuk semua peraturan
yang dimaksudkan untuk mengatur masyarakat manusia pada skala global. Secara tradisional, government telah diasosiasikan dengan “mengatur”, atau dengan otoritas politik, lembaga, dan, akhirnya, kontrol. Pemerintahan dalam arti khusus ini menunjukkan lembaga-lembaga politik formal yang bertujuan untuk mengkoordinasikan dan mengendalikan hubungan sosial yang saling tergantung, dan yang memiliki kemampuan untuk menegakkan keputusan. Kesadaran global akan perlunya perbaikan kehidupan perempuan terkait dengan kondisi kehidupan perempuan yang tidak layak di berbagai dunia memunculkan norma baru yang lebih gender wise. Masalah penting yang masih harus dihadapi perempuan di dunia dalam kehidupan sehari-harinya diantaranya adalah: a. Kekerasan berbasis gender
14
Tak Hanya Dirumah: Pengalaman Perempuan Akan Kekerasan Di Pusaran Relasi Kekuasaan yang Timpang, catatan tahunan tentang kekerasan terhadap perempuan , Komnas Perempuan, Jakarta, 7 Maret 2010.
Fenomena kekerasan terhadap perempuan, berupa kekrasan fisik, kekerasan emosional dan psikologis, kekerasan seksual, praktek-praktek tradisional berbahaya, kekerasan social ekonomi terjadi di banyak Negara di dunia. Data menunjukkan, 10-50% perempuan di setiap Negara mengalami kekerasan fisik dari pasangannya. 15 Setiap tahun, yang diperkirakan 800.000 orang yang diperdagangkan melintasi perbatasan 80 persen dari mereka adalah perempuan dan anak perempuan, yang membuat mereka akhirnya terjebak dalam perdagangan seks komersial. 16 WHO menyatakan, diantara 40 persen dan 70 persen dari korban pembunuhan perempuan di Australia, Kanada, Israel, Afrika Selatan, Inggris dan Amerika Serikat adalah dibunuh oleh suami atau pacar mereka dan dalam konteks
hubungan
yang
penuh
dengan
kekerasan
yang
berkelanjutan.Reproductive Health Response in Conflict / RHRC Consurtium menyatakan setidaknya satu dari tiga perempuan di dunia mengalami kekerasan fisik atau pelecehan seksual dalam hidupnya. Termasuk perempuan hamil dan perempuan muda, mengalaminya dalam kondisi yang lebih berat, terus-menerus dan berulang-ulang.17 Di Amerika Serikat, 25 persen pasien perempuan sakit jiwa yang mencoba bunuh diri adalah korban kekerasan rumah tangga, seperti juga 85 persen perempuan dalam program penyalahgunaan narkoba. Studi yang dilakukan di Pakistan, Australia dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga lebih menderita depresi, gelisah dan fobia daripada wanita yang belum pernah mengalami kekerasan. Bahkan Noeleen Heyzer, mantan direktur eksekutif UNIFEM, pernah menyatakan, kekerasan terhadap perempuan menghancurkan kehidupan orang, menfragmentasi masyarakat dan menghalangi Negaranegara untuk berkembang.18 Di seluruh Negara, 33% perenpuan usia 16 sampai 49 tahun telah menjadi korban pelecehan seksual.19 1 dari setiap 3 perempuan telah 15 16 17 18 19
JHUCCP, 1999 http://www.Oxfam.ca www.RHRC.org/RHR_Basics/gbf Chelala,2010 http://www.UNDP.org/rblac/gender/Internationalday.htm
dipukuli, dipaksa melakukan hubungan seks, atau dilecehkan dengan banyak cara dan yang paling sering dilakukan oleh orang yang dikenal, termasuk suami dan anggota keluarga laki-laki lainnya.20 Setidaknya 130 juta perempuan telah dipaksa untuk menjalani genital mutilation/pemotongan alat kelamin. 21 Honour Killings merenggut kehidupan 1000 perempuan muda setiap tahun, terutama di Asia Barat, Afrika Utara dan sebagian Asia Selatan. Setidaknya 60 juta bayi perempuan kehilangan hak hidupnya karena praktek aborsi untuk menyelaksi jenis kelamin dan perlakuan yang tidak adil.22 Setidaknya 45 persen perempuan telah diancam, dihina atau mengalami perusakan harta pribadinya. 23 Dalam ekonomi pasar, kekerasan berbasis gender bertanggung jawab atas hilangnya satu dari setiap lima hari hidup sehat bagi perempuan usia reproduksi.24 Di seluruh dunia, perempuan dua kali lebih beresiko buta huruf dibanding laki-laki yang berakibat terbatasnya kemampuan mereka untuk menuntut mereka dan perlindungan.25 b. Angka kematian ibu melahirkan Dalam kaitan dengan angka kematian ibu hamil, data WHO, UNICEF, UNFPA dan Bank Dunia menunjukkan angka kematian ibu hingga saat ini masih kurang dari satu persen per tahun. Pada 2005, 536.000 perempuan meninggal dunia akibat masalah persalinan. 99 persen kematian ibu akibat masalah persalinan atau kehamilan terjadi di Negaranegara berkembang. Rasio kematian ibu di Negara-negara berkembang masih tinggi dengan 450 kematian ibu per 100 ribu kelahiran bayi hidup, sedangkan rasio kematian ibu di Sembilan Negara maju dan Negara persemakmuran adalah 51 per 100 ribu. 86 persen dari jumlah kematian ibu di dunia terjadi di kawasan sub-sahara Afrika dan Asia Selatan. c. Angka buta huruf dan pengetahuan
20 21 22 23 24 25
http://www.oxfam.ca http://www.oxfam.ca Ibid http://www.UNDP.org/rblac/gender/Internationalday.htm http://www.UNDP.org/rblac/gender/genderbased.htm Ibid
Data sekretaris jenderal PBB menyatakan bagi semua orang di dunia, keaksaraan atau melek huruf adalah harapan untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Namun pada kenyataannya, tingkat buta huruf meningkat secara substansial selama 50 tahun terakhir dan selama 5 tahun terakir stagnan berada pada kisaran 23 persen. Sedangkan tingkat buta huruf bagi perempuan tetap lebih tinggi, yakni 34 persen. Ada 538.000.000 perempuan buta huruf di Negara berkembang dan total 640 juta perempuan buta huruf di dunia.26 Di Amerika Serikat dan Eropa Barat angka melek huruf antara lakilaki dan perempuan sama, yakni hampir 100 persen. Tetapi di tempat lain, terutama di India, Cina, Pakistan dan Republik Islam Iran, angka ketertinggalan perempuan melek huruf masih jauh dibandingkan laki-laki. Tingkat melek huruf laki-laki dan perempuan di Yaman adalah 69% dan 28% di Nepal mereka 62% dan 26% di Mozambik mereka 62% dan 31% dan di Republik Afrika Tengah masing-masing adalah 64% dan 34%.27 Pada konferensi dunia keempat tentang perempuan / FWCW yang diselenggarakan pada 4-15 september 1995 di Beijing, pendidikan bagi perempuan adalah salah satu dari 12 bidang kritis yang menjadi prioritas. Fakta-fakta yang disajikan menyimpulkan bahwa dua pertiga dari buta huruf dunia adalah perempuan dan tingkat pertumbuhan pendidikan perempuan lebih lambat dari laki-laki. Data konkret yang dirilis menunjukkan
bahwa
pendidikan
perempuan
yang
meningkat
menyebabkan kelahiran lebih sedikit, kematian bayi lebih sedikit, lebih banyak perempuan dalam angkatan kerja formal dan pertumbuhan ekonomi yang lebih besar. d. Angka partisipasi politik perempuan Di negara-negara Skandinavia, partisipasi perempuan cukup tinggi yakni 42%. Kuba sendiri menempati urutan ketiga di dunia, dengan tingkat tertinggi legislator perempuan di Majelis Nasional, pada Desember 2011, mencapai 45,2%. Sedangkan Nikaragua telah meningkat kembali sejak kemenangan Sandinista beberapa tahun lama dengan angka legislator perempuan di parlemen mencapai 40,2%. Kelompok 10 besar lainnya 26 27
http://www.munfw.org/archive/50th/csw1.htm http;//www.worldmapper.org/display.php?selected=198
adalah Rwanda 56,3%, Andora 50%, Kuba 45,2%, Swedia 44,7%, Republik Seychelles 43,8%, Finlandia 42,5%, Afrika Selatan 42,3%, Belanda 40,7%, Nikaragua 40,2%, dan Islandia 39,7%. Sedangkan Amerika Selatan hanya menempati urutan ke 78, dengan tingkat legislator perempuan di parlemen hanyaa 16,8% di Lower Chamber dan 17% di senat.28 Sedangkan negara negara lain, angka partisipasi perempuan masih sangat rendah. Dan hanya di negara negara yang sosialis, yang didalamnya ada proses transformasi sosial yang radikal, tingkat partisipasi perempuan berjalan beriringan dengan perbaikan kulitas pembangunan manusia. Sedangkan di negara negara muslim, hambatan hambatan dari budaya dan agama masih tidak kondusif dalam peningkatan partisipasi perempuan, seperti hal nya di negara negara timur tengah. 2.2.5
Isu Gender dan Politik Internasional Alasan mengapa perempuan terpinggirkan dari peran politik di tingkat
nasional maupun internasional adalah karena peran domestic yang dilekatkan padanya. Louise Ackers mengatakan bahwa perempuan terperangkap dalam pekerjaan domestic yang butuh waktu fulltime, sehingga membuatnya sulit untuk berpartisipasi
sebagai warganegara yang sesungguhnya di ranah
publik.29 Subyek dari Negara selanjutnya mengarah pada laki-laki, sementara disisi lain perempuan terikat kontrak kewarganegaraan yang berpola fraternity dan brotherhood. Dalam hal ini pendapat bahwa yang memiliki hak seksual hanya laki-laki atau perempuan yang bekerja tidak perlu digaji, serta bentukbentuk diskriminasi lainnya yang mencirikan kekuasaan public yang maskulin.30 Dominasi
patriarkhi
dalam
politik
internasional
mengakibatkan
marginalisasi, subordinasi, stereotype, beban ganda, diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan di tingkat lokal, nasional maupun global yang 28
Raymond Samuel dalam http://www.berdikarionline.com/duniabergerak/20120308/gambaran-peran-politik-perempuan-di-berbagainegara.html 29 Ackers, Louise. Shifting space: women citizenship and migration within the eropean union. Bristol: The Policy Press,1998/hal 41 30 Pettman, Jann Jindi. 1996. Worlding Woman, Feminist International Politics. New York
belum bisa terselesaikan meskipun telah ada upaya dari lembaga-lembaga utama internasional seperti PBB. 2.2.5.1 Kekerasan terhadap Perempuan Di Indonesia, kekerasan terhadap perempuan dalam tahun 2008 meningkat dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Dalam Catatan Tahunan pada tahun 2008, Komisi Nasional Perempuan mencatat peningkatan jumlah kekerasan meningkat 213% dan mencapai angka 54.425 kasus. Peningkatan jumlah ini disebabkan makin mudahnya akses memperoleh data ke sejumlah lembaga, termasuk Departemen Agama terkait data rumah tangga. Isu lainnya yang juga selalu hangat adalah trafficking (perdagangan manusia) dimana selalu korbannya adalah perempuan dan anak perempuan. Perempuan dan anak perempuan merupakan 80% dari sekitar 800.000 orang diperdagangkan setiap tahun, dengan mayoritas (hampir 79 %) adalah mereka yang diperdagangkan untuk dieksploitasi seksual. Untuk persoalan ini hampir didapati ada lebih dari 100 kasus. Kasus berikutnya adalah adanya 140 juta anak perempuan dan perempuan di dunia telah mengalami mutilasi genital perempuan (pemotongan alat kelamin perempuan), dengan lebih dari 3 juta anak perempuan di Afrika setiap tahunnya. Mereka sangat riskan karena berada pada resiko kematian karena perdarahan dan alat-alat yang tidak steril. Lebih dari 60 juta anak di seluruh dunia perempuan menjadi pengantin sebelum usia mereka mencapai 18 tahun, terutama di Asia Selatan (31,1 juta) dan sub-sahara Afrika (14,1 juta). Untuk kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan, diperkirakan terdapat 150 juta anak-anak di bawah 18 tahun menderita beberapa bentuk kekerasan seksual pada tahun 2002. 2.2.5.2 Beban ganda perempuan Peran dalam masyarakat dibagi menjadi produktif, reprodukstif, memelihara masyarakat, politik masyarakat. Perempuan umumnya memiliki tiga peran : produktif, reproduktif, memelihara masyarakat. Sementara peran politik dalam masyarakat lebih dominan laki-laki. Ketidakadilan yang muncul disini adalah bahwa perempuan memiliki beban ganda. Dalam konteks hubungan internasional beban ganda juga
terkait posisinya sebagai perempuan dan terlebih sebagai warga negara dunia ketika yang dalam struktur internasional selalu terhegemoni Negaranegara maju. 2.2.5.3 Marginalisasi perempuan Lemahnya kesempatan perempuan mengakses sumber-sumber ekonomi seperti tanah, kredit dan pasar. Di banyak negara, jarang program pemberdayaan ekonomi yang menyentuh perempuan. Seiring dengan globalisasi, eksploitasi terhadap perempuan juga lebih masif. Perempuan dalam fungsi reproduksi dianggap memiliki peran penting sebagai pencetak tenaga kerja baru. Selain itu kapitalisme mendorong perempuan untuk masuk ke kera produktif dengan menyatakan bahwa kerja-kerja yang dilakukan perempuan di rumah tangga tidak bernilai ekonomis. Disini eksploitasi perempuan dimulai. Perempuan dengan tingkat pendidikan rendah dan penampilan fisik yang tidak menarik dijadikan buruh dengan upah murah. Berikutnya perempuan dengan kategori menarik dijadikan alat untuk pemasaran sebagai bintang iklan, dan disini perempuan hanya dilihat secara fisik yang akhirnya diidentikkan dnegan barang yang diiklankan. Dengan asumsi perempuan banyak dirumah banyak melihat iklan, dan yang dianggap memiliki tanggungjawab terhadap belanja rumah tangga, perempuan diarahkan untuk menjadi konsumtif dan menjadi korban produsen dan pengiklan. 2.2.5.4 Subordinasi perempuan Perempuan tidak memiliki peluang untuk mengambil keputusan bahkan yang menyangkut dirinya. Penomorduaan perempuan teradi dalam berbagai hal. Dalam bidang politik, perempuan selalu menempati posisi sub-ordinan, baik distruktur pemerintahan, maupun di tingkat perwakilan rakyat. Sebagai warga negara, perempuan juga hanya ditempatkan sebagai obyek dalam setiap kebijakan pemerintah yang memang seringkali menajadi monopoli laki-laki. 2.2.5.5 Stereotype terhadap perempuan Perempuan sering digambarkan pada bentuk-bentuk yang belum tentu benar, seperti pelekatan sifat feminine pada perempuan dan sifat
maskulin pada laki-laki. Sifat feminine seringkali dilekatkan pada diri perempuan dan sifat maskulin seringkali dilekatkan sebagai sifat laki-laki. Sehingga bila ada seorang yang bersikap tidak sesuai dari sifat-sifat yang sudah didekatkan pada dirinya oleh masyarakat maka dia dianggap menyimpang atau salah. Padahal pada kenyataannya, potensi
yang
dimiliki laki-laki dan perempuan sebagai sesama manusia adalah relatif. Tidak semua laki-laki mampu bersikap tegas. Demikian pula tidak semua perempuan bersikap cengeng, dan seterusnya. Persoalannya kemudian, dan pelabelan yang ada di masyarakat ini memunculkan ketidakadilan yang berkaitan dengan relasi antara perempuan dan laki-laki. 2.2.6
Ekofeminisme dan Lingkungan Lingkungan dan perempuan mempunyai kesamaan simbolik karena sama
sama ditindas oleh manusia yang berciri maskulin. Banyak gugatan mengatakan bahwa pembangunan yang bias gender selama ini tidak hanya menyebabkan kerusakan lingkungan tetapi juga memarginalkan perempuan. PBB melaporkan dari sekitar 1,3 miliar warga dunia yang miskin , 70% di antaranya adalah kaum perempuan. Beberapa laporan mencatat bahwa sekitar 2,6 milyar orang di seluruh dunia tidak bisa terlayani sanitasinya dengan baik. Secara global, setiap tahun ada sekitar 1,8 juta anak atau setiap harinya hampir 5000 anak yang meninggal karena diare.31 Perempuan menjadi pihak yang paling terbebani dalam kondisi krisis air. Barangkali ini yang menjadikan perempuan secara umum lebih peduli dalam mengelola sumberdaya air daripada laki-laki. Oleh karena itu salah satu butir dari ‘Dublin Principles’ menyebutkan bahwa perempuan memiliki peranan strategis dalam konteks Integrated Water Resources Management.
2.3 Upaya Masyarakat serta Organisasi Internasional untuk Mencapai Kesetaraan Gender 2.3.1 Kesetaraan Gender Secara garis besar, di dunia ini dikenal ada tiga golongan besar gerakan feminism, yaitu feminism sosialis, feminism liberal, dan feminism radikal. Feminisme sosialis mempersoalkan kaitan antara dominasi laki-laki dengan proses kapitalisme. Sedangkan, feminisme liberal bergerak pada tatanan 31
Widodo Brontowiyono. http//news.uii.ac.id/2009/04/feminisme-lingkungan/
mikro, yakni berusaha mempersoalkan berbagai bentuk pembagian kerja seksual dan membongkar ketersembunyian serta ketaktampakan perempuan akibat dominasi laki-laki. Sementara itu, feminisme radikal menggugat nilai patriarkhi dan dominasi laki-laki yang tidak hanya terbatas di arena kekerabatan saja, tetapi telah dirasa meluas ke berbagai sektor kehidupan manusia, seperti ekonomi, politik, keagamaan, seksualitas dan sebagainya. Di berbagai negara, gerakan feminisme yang makin marak diakui telah membawa banyak perubahan. Hak-hak kaum perempuan lebih memperoleh perhatian, dan banyak perempuan juga mulai merambah sektor-sektor yang semula melulu hanya didominasi laki-laki. Yang menjadi soal, kendati telah berhasil dipersiapkan garis-garis besar dan iklim yang kondusif bagi kemajuan dan proses pemberdayaan perempuan, namun karena subordinasi perempuan telah mengkristal lama, maka perjuangan untuk memberdayakan mereka pun kerap menemui berbagai kendala. Untuk mempercepat menghapus kesenjangan gender, kini disadari bahwa yang perlu dilakukan tidak cukup hanya sekedar merumuskan masalah dan mengkaji masalah perempuan secara akademis, melainkan yang dibutuhkan adalah program-program aksi yang lebih kongkrit. Tujuan utama dari konferensi dunia di Beijing karena itu adalah sangat strategis, yakni bagaimana merumuskan strategi yang benar-benar operasional mengubah kata menjadi perbuatan, dan mempersiapkan dana untuk mendukung strategi aksi yang hendak dilaksanakan. Gestrude Mongella, Sekretaris Jenderal Konferensi Beijing menyatakan bahwa target yang ingin diraih dari pelaksanaan konferensi adalah mengidentifikasi langkah-langkah khusus yang dibutuhkan untuk menjamin bahwa keadaan wanita, secara politis, sosial dan ekonomis akan membaik secara nyata, dan ada tolak ukur untuk menentukan kemajuan yang dicapai. Dalam laporan UNDP-PBB telah ditegaskan bahwa pembangunan manusia tidak akan dapat dicapai tanpa pemberdayaan dan kesetaraan gender. Menghela ekspor dan memacu pertumbuhan ekonomi bukan tidak diperlukan, namun dalam proses pembangunan yang utuh juga harus dipikirkan bagaimana memperluas pilihan yang ada bagi perempuan. Kegiatan dan program pembangunan yang semata hanya mementingkan pertumbuhan
ekonomi dan tidak memiliki visi gender, niscaya akan berisiko mengundang timbulnya ketimpangan dan kerawanan sosial. 2.3.2
Upaya Internasional Di dunia internasional, berbagai upaya untuk menghapus diskriminasi
gender dan meningkatkan kiprah perempuan di berbagai ranah kehidupan sebenarnya telah banyak dan akan terus dilakukan. Konferensi Dunia IV tentang wanita di Beijing tanggal 4-15 September 1995 mendatang adalah salah satu di antara rangkaian kegiatan yang dilakukan masyarakat internasional untuk menyusun strategi bagaimana mempercepat proses pemberdayaan perempuan. Sebelum Konferensi di Beijing, lima tahun sekali sebenarnya telah digelar acara-acara serupa. Konferensi I dilakukan di Meksiko tahun 1975, selanjutnya di Copenhagen tahun 1980, dan Konferensi III digelar di Nairobi tahun 1985. Dari konferensi I hingga III banyak hal telah berhasil diidentifikasi dan dirumuskan. Intinya, selama kurun waktu 20 tahun (1975-1995) para pemerhati dan ahli persoalan perempuan telah berhasil dipersiapkan garisgaris besar dan iklim yang kondusif bagi kemajuan dan proses pemberdayaan perempuan. Untuk Konferensi IV, kini sudah bukan lagi waktunya hanya sekedar mengidentifikasi atau mengeksplorasi masalah, tetapi diyakini tibalah waktunya untuk membuat program-program aksi yang lebih kongkret. Tujuan utama dari konferensi IV di Beijing adalah bagaimana merumuskan strategi yang benar-benar operasional, mengubah kata menjadi perbuatan, dan mempersiapkan
dana untuk mendukung
strategi
aksi yang
hendak
dilaksanakan. Tema Konferensi Dunia IV Tentang Wanita di Beijing adalah Langkah Untuk Persamaan, Pembangunan dan Perdamaian. Di tengah makin merebaknya kesenjangan dan pertikaian internasional, tema ini sangat strategis. Gertrude Mongella, Sekretaris Jenderal Konferensi Beijing menyatakan bahwa target yang ingin diraih dari pelaksanaan konferensi adalah mengidentifikasi langkah-langkah khusus yang dibutuhkan untuk menjamin bahwa keadaan wanita, secara politis, social dan ekonomi akan membaik secara nyata, dan ada tolak ukur untuk menentukan kemajuan yang dicapai.
Semisal dalam konferensi tahunan ke enam di beijing pada tanggal 7 September 1997, banyak negara berkomitmen untuk menuntaskan angka buta huruf di negara masing-masing. Sekretaris jenderal PBB Kofi Annan menyatakan, “Keaksaraan adalah sebuah platform untuk demokratisasi, dan kendaraan untuk promosi identitas budaya dan nasional. Terutama untuk anak perempuan dan perempuan, yang adalah agen dari kesehatan keluarga dan gizi. Untuk semua orang dimana-mana, literasi bersama dengan pendidikan secara umum adalah hak dasar manusia” Hal itu akan dilakukan dengan cara: 1. Menjamin akses yang sama terhadap perempuan. 2. Pemberantasan buta huruf di kalangan perempuan. 3. Meningkatkan akses perempuan terhadap pelatihan kejuruan, ilmu pengetahuan, teknologi dan pendidikan berkelanjutan. 4. Mengembangkan non-diskriminatif pendidikan dan pelatihan. 5. Mengalokasikan sumber daya yang cukup untuk dan memantau pelaksanaan reformasi pendidikan. 6. Mempromosikan pelatihan dan pendidikan seumur hidup bagi anak perempuan dan perempuan (Beijing platform). Asumsi yang melatarbelakangi semua topik pembicaraan selama konferensi adalah: pembangunan manusia tidak akan dapat dicapai tanpa pemberdayaan, partisipasi dan sumbangan yang sepenuhnya dari perempuan dan laki-laki dalam pijakan yang setara. Pertumbuhan ekonomi bukan tidak diperlukan, namun dalam proses pembangunan yang utuh juga harus dipikirkan bagaimana menyingkirkan hambatan dan membuka lebar serta memperluas pilihan yang ada bagi perempuan. Kegiatan dan program pembangunan yang semata hanya mementingkan kiprah laki-laki (bias gender), tak pelak akan beresiko mengundang timbulnya ketimpangan dan inefisiensi. Dengan keberadaannya yang secara absolute lebih besar daripada laki-laki, perempuan bukanlah beban pembangunan, melainkan justru merupakan potensi yang harus dimanfaatkan untuk menunjang kelancaran proses pembangunan. Caranya sudah tentu bukan dengan membiarkan perempuan tetap terpuruk di dalam hubungan kemiskinan dan kelemahannya, tetapi
sesegera mungkin harus dilakukan upaya pemberdayaan agar wanita duduk sejajar dengan laki-laki mengisi kegiatan pembangunan. 2.3.3
Upaya PBB Pada tahun 1967 Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah mengeluarkan
Deklarasi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Deklarasi tersebut memuat hak dan kewajiban berdasarkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dan menyatakan agar diambil langkah-langkah seperlunya untuk menjamin pelaksanaan deklarasi tersebut. Oleh karena itu deklarasi tersebut sifatnya tidak mengikat, maka kemudian PBB menyusun rancangan konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW). Pada tahun 1975 di Mexico City, PBB menyelenggarakan Konferensi Wanita Internasional yang menhhasilkan deklarasi persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal pekerjaan dan pendidikan. Pada tanggal 18 Desember 1979 Majelis Umum PBB telah menyetujui konvensi tersebut. Tahun 2009, Dewan Keamanan PBB sepakat mengesahkan resolusi tersebut untuk menghentikan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak korban konflik. Resolusi itu juga termasuk mengakhiri praktik impunitas terhadap para pelaku kekerasan seksual yang terjadi selama konflik. Lebih dari 60 negara pendukung resolusi yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Amerika Serikat. Hillary Clinton meminta PBB mengangkat duta khusus untuk perang global terhadap pemerkosaan wanita dan anak-anak selama perang. Dewan keamanan dengan suara bulat mengeluarkan resolusi yang melarang penggunaan kekerasan seksual seperti perkosaan, sebagian dari strategi peperangan. Kekerasan seksual nyang terjadi di Negara-negara yang sedang dilanda konflik “sudah menjadi pendemi tapi tidak pernah diungkapkan”. Kekerasan seksual bukan lagi hanya sebagai dampak dari terjadinya peperangan, tapi telah menjadi starategi militer yang mengancam stabilitas dan keamanan internasional. Resolusi DK PBB itu menyerukan Negara-negara di dunia melindungi rakyatnyadari kekerasan seksual dan pelaku kejahatan semacam itu tidak boleh diberikan amnesty setelah perang
berakhir. Resolusi itu juga menegaskan bahwa para pelaku kekerasan seksual akan dikenakan sanksi. Tahun 2009, Sidang Majelis Umum PBB yang memiliki 192 anggota mengesahkan dengan consensus resolusi yang mendukung pembentukan lembaga gabungan baru, yang akan memiliki anggaran substansial. Yang akan dipimpin oleh seorang wakil sekretaris jenderal dan akan melapor secara langsung pada sekjen PBB atas dasar perwakilan geografis dan keseimbangan gender yang adil.32 Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium PBB bulan September 2000, sebanyak 189 negara anggota PBB yang sebagian besar diwakili oleh kepala pemerintah sepakat untuk mengadopsi Deklarasi Milenium. Deklarasi ini berdasarkan pendekatan yang inklusif, dan berpijak pada perhatian bagi pemenuhan hak-hak dasar manusia. Dalam konteks inilah Negara-negara anggota PBB kemudian mengadopsi Milenium Development Goals (MDGs) atau Tujuan Pembangunan Milenium. MDGs terdiri atas 8 tujuan yaitu: a. b. c. d. e. f. g. h.
Penanggulangan Kemiskinan dan Kelaparan, Pendidikan Dasar untuk Semua, Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan, Menurunkan Angka Kematian Anak Meningkatkan Kesehatan Ibu Memerangi HIV/AIDS, Malaria dan penyakit menular lainnya Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup Membangun Kerjasama Global untuk Pembangunan33 Namun demikian masih ada beberapa hal yang menjadi kelemahan MDGs,
diantaranya terkait dengan globalisasi. Semisal privatisais, reformasi lainnya dan deregulasi melalui Perjanjian Pasar Besar telah melemahkan peran Negara. Hal ini akan mempengaruhi implementasi MDGs. Sebagai contohnya adalah bagaimana pemerintah akan membiayai pelayanan kesehatan dan pendidikan dasar ketika di sisi lain mereka ditekan untuk mengurangi sumber0sumber pengeluaran public. MDGs tidak memasukkan isu-isu seperti permasalahan perang, sebagaimana telah diketahui secara luas bahwa permasalahan yang dihadapi perempuan selama dan sesudah konflik bersenjata salah satunya adalah tantangan dalam pemajuan pembangunan. 32 33
http://www.waspada online.org/16/9/2009 diases 5 januari 2010 Obando, Ana Elena. 2010. Women and the Millenium Development Goals
MDGs juga tidak mengintegrasikan prinsip bahwa hak asasi manusia adalah tidak terbagi (indvisible), integral dan saling terkait (interrelated). Pemberdayaan ekoni tanpa hak-hak reproduksi atau pendidikan tanpa penghapusan pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan tidak mengarah pada penikmatan hak asasi manusia juga hak-hak perempuan secara penuh. Berkaitan dengan MDGs, ICESCR (Internasional Konvenan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya), CEDAW (Konvesi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan) dan BPFA (Beijing Platform of Action) menawarkan kerangka kerja konseptual untuk memahami
MDG
sebagai
kewajiban
hak
asasi
manusia.
ICESCR
menghasilkan definisi mengenai kewajiban yang harus segera dipenuhi oleh Negara, yaitu nondiskrimasi, tidak melakukan pelanggaran, tidak melakukan kemunduran
dalam
kebijakannya,
mengambil
langkah0langkah
yang
diperlukan kearah pemenuhan secara progresif dan memenuhi kewajiban utama. Kewajiban utama (perumahan dasar, pangan, pendidikan dasar, kesehatan dasar dan air) ini berkesesuaian dengan MDG. CEDAW, di pihak lain mengandung jaminan akan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki serta adanya kebebasan dari diskriminasi. Negara memiliki immediate obligation
untuk melaksanakan kebijakan yang
menghapus diskriminasi. Kewajiban yang didasarkan pada pelaksanaan (obligate of conduct) bersifat segera, Sementara kewajiban Negara berdasarkan hasil (realisasi hak atas pekerjaan, pendidikan dan lain-lain) dicapai secara bertahap. Namun demikian upaya-upaya yang dilakukan PBB masih sulit untuk diterapkan dalam banyak Negara, mengingat berbagai Negara dengan alas analasan tertentu tidak menerapkan dalam hokum nasionalnya. Komitmen itu lemah bukan hanya di Negara-nefara berkembang tetapi bahkan di Negaranegara maju sehingga kesetaraan gender dan perbaikan kwalitas hidup perempuan juga belum terwujud.
2.3.4
Upaya Indonesia
Di dalam Laporan Pembangunan Manusia 1995, ada dua tolok ukur baru yang dipergunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan pembangunan suatu negara. Prestasi pembangunan sebuah negara kini tak semata hanya dilihat dari aspek ekonomi, kesehatan dan politik saja, tetapi juga dari aspek kesetaraan gender, yaitu: Pertama, Genderrelated Development Index (GDI), yang mengukur kadar ketimpangan gender dalam bidang kesehatan dasar, pendidikan dan pendapatan. Kedua, Gender Empowerment Measure (GEM) yang mengevaluasi kemajuan suatu bangsa dalam memajukan kaum perempuannya dalam bidang ekonomi dan politik. Untuk GDI, dari 130 negara yang dikaji Indonesia menduduki peringkat 68, sementara untuk GEM, dari 116 negara yang diteliti, Indonesia berada di peringkat 56. Lepas dari persoalan akurasi dan validitas data yang dipergunakan, laporan PBB tersebut paling tidak menunjukkan kepada kita bahwa di Indonesia masalah kesetaraan gender masih menjadi problema serius yang perlu segera ditangani. Dalam konteks ini, tujuan kita lebih memusatkan perhatian pada kegiatan pembangunan yang memperhatikan kesetaraan gender tentu bukan sekedar untuk mengejar kenaikan peringkat dalam laporan PBB, melainkan yang lebih penting karena kita menyadari tanpa memiliki visi gender yang nyata, maka kegiatan pembangunan tidak akan pernah memberikan manfaat yang optimal. Menghilangkan bentuk diskriminasi gender, merumuskan peraturan hukum yang menghormati posisi perempuan, memperluas kesempatan pendidikan bagi perempuan, dan memberdayakan perempuan adalah sejumlah agenda kerja dan pekerjaan rumah yang perlu memperoleh perhatian serius dari kita semua. Seperti dikatakan Mahbub ul Hag bahwa kesetaraan gender adalah konsep dasar orde dunia baru yang tak lagi dapat ditolak, termasuk di tanah air tercinta ini. Di Indonesia usaha dan tantangan untuk memberdayakan kaum perempuan tak mustahil lebih berat karena dua hal. Pertama, karena akar penyebab timbulnya subordinasi perempuan di Indonesia lebih mengakar dan bersifat cultural daripada akibat proses industrialisasi. Kedua, karena secara politis masih belum ada komitmen yang benar-benar serius dari pemerintah untuk memberdayakan perempuan.
Dalam GBHN benar telah disinggung bahwa perempuan adalah salah satu potensi pembangunan yang harus dimanfaatkan dan dihargai sesuai dengan hak asasi sebagai manusia. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa dalam berbagai aspek kehidupan masih saja terus berlangsung pelecehan dan subordinasi kaum perempuan. Banyak program pembangunan disusun dan dilaksanakan tanpa dilandasi dengan kepekaan gender (gender sensitive). Di samping itu, para pelaksana kebijakan di berbagai daerah pun masih banyak yang belum memiliki visi gender yang jelas sehingga acap terjadi kegiatan pembangunan yang dilaksanakan salah arah. Jujur harus diakui program-program pembangunan yang ditujukan bagi kaum perempuan di tanah air ini masih tetap berkutat dalam kegiatan sektor domestik dan peran perempuan juga masih dipersepsi sebagai sekedar pelengkap karier suaminya saja. Kegiatan pembangunan yang benar-benar berusaha memberdayakan kaum perempuan cenderung belum tersentuh. Bahkan dalam banyak kasus, kaum perempuan sering masih dilihat sebagai beban daripada diperlakukan sebagai kekuatan potensial pembangunan. Untuk merubah nasib kaum perempuan dari kungkungan nilai patriarkhi dan ketidakberdayaannya memang bukan usaha yang mudah seperti orang membalik telapak tangan. Tanpa didukung oleh komitmen dari pemerintah yang benar-benar serius, niscaya cita-cita untuk membangun masyarakat tanpa ketimpangan gender (genderless society) tetap akan menjadi slogan kosong yang sama sekali tidak ada artinya.