1
21. Kisah Cinta Di Masa Silam Senin pagi, sewaktu matahari masih menggeliat dengan malas dan mulai merangkak bangun dari tidurnya, Ahmadi sudah bertengger di depan wastafel dengan mulut berbusa dan sikat gigi di tangan kanannya. Setelah kumur-kumur, ia memeriksa kumis dan jenggotnya, apakah perlu dicukur atau tidak. Sepuluh menit kemudian, ketika Ery baru tiba di depan toilet dengan tampang kusut dan brewokan, mendadak pintu toilet itu terbuka dan memuntahkan sosok Ahmadi yang telah siap dalam kondisi rapi. Ery terperangah. “Lho, hari ini Minggu, ya?” “Minggu? Kenapa tidak sekalian loe sebutkan tanggal 32? Hari ini Senin, Ndut!” Dipanggil dengan sebutan “Ndut”, Ery mendengus kencang sehingga gumpalan kotoran hidungnya yang bercampur bulu hidung langsung melesat keluar dan mencemari lingkungan. Seperti biasa, Ery langsung menerjang ke arah Ahmadi. Namun kali ini Ahmadi berkelit dengan kelincahan seorang matador, mempermalukan Ery dengan cara mencopot handuk yang melilit pinggangnya sehingga kemaluan si gendut dari empat sekawan ini melambailambai tanpa rasa malu tatkala pemiliknya kehilangan keseimbangan dan terhuyung-huyung ke dalam toilet. ”Blunar-blunar gibla,” Ery berbicara sewaktu kepalanya terbenam ke dalam lubang kloset sehingga suaranya terdengar seperti bunyi gelembung soda di dalam minuman keras, “masa aklu kalah blari Ahmlabi?” Ery berusaha mencabut kepalanya, menyebabkan pantat dan kemaluannya bergoyang ke sana kemari. Tapi untunglah cerita ini tertuang dalam bentuk tulisan, bukannya visualisasi langsung, sehingga tidak bisa dikatakan pornografi. Dengan demikian kehormatan Ery masih bisa terselamatkan apabila imajinasi pembaca tidak cukup tinggi untuk membayangkan rincian kata per kata ini. Setelah bunyi “plop” yang diiringi oleh suara guyuran air yang menetes ke dalam toilet dari bahan keramik, Ery berbalik dan menatap Ahmadi dengan heran. “Ini aneh! Loe bangun pagi di hari Senin dan menang dari wa dalam perkelahian. Coba katakan, apakah pagi ini tidak wajar atau cerita ini yang salah konsep? “Dua-duanya salah. Jawaban yang benar adalah…” Ahmadi berhenti sejenak untuk mengembangkan senyumnya yang menampakkan deretan gigi putih, bersih, berkilau sehingga Ery terpaksa memakai kacamata hitam untuk menghindari kebutaan total, “karena wa lebih ganteng!” Dan Ery langsung terpeleset, terjerembab dan muntah darah karena mendapat jawaban ngawur seperti itu. *** Mengingat cerita-cerita terdahulu, memang aneh rasanya kalau Ahmadi bisa menang dalam perkelahian melawan Ery. Akan tetapi hari ini adalah hari special untuk Ahmadi. Keistimewaan pertama adalah hari Senin ini ditulis dengan warna merah karena termasuk hari libur dalam penanggalan di Newtown City (hal ini menjelaskan kenapa Ahmadi bisa bangun pagi di hari Senin). Keistimewaan kedua akan muncul setelah Ahmadi dan Ery tiba di mall untuk bersenang-senang. Sugi dan Billy tidak ikut karena dua sekawan itu telah pulang kampung pada akhir pekan yang lalu dan baru akan kembali sore ini. Dan inilah Ery dan Ahmadi yang baru turun dari kendaraan umum… ***
Happy Campus 3 © 2003, Anthony Ventura
2 Gairah Ery untuk mengucurkan air seni sudah mencapai puncaknya sehingga ia langsung melesat ke toilet begitu ia dan Ahmadi turun dari bus. Sambil menunggu Ery yang sedang membuang hajat, Ahmadi mengamati setiap orang yang berlalu-lalang di hadapannya. Seorang gadis lewat di depan Ahmadi. Handphone gadis itu berdering sehingga ia mengambilnya dari dalam handbag dengan tergesa-gesa, menyebabkan sapu tangan terjatuh dari tasnya. Melihat kejadian di depan matanya, secara spontan Ahmadi membungkuk untuk mengambilkan sapu tangan tersebut. Reaksi sang gadis tidak jauh berbeda. Ia berjongkok dengan sopan untuk mengambil sapu tangan miliknya. Tangan bertemu tangan. Sentuhan lembut itu menghasilkan percikan gelombang respon ke otak masing-masing yang selanjutnya mengontrol kontak dari mata ke mata. Ahmadi terkejut saat merasakan hangatnya tatapan yang mengalir dari mata turun ke hati itu. Sensasi hebat mengguncang otaknya, membuka kembali ingatan masa lalu yang menjelaskan sebuah alasan kenapa ia merasakan semua ini… *** Saat itu ia adalah Amado Kurosawa. Ia sedang berlutut di kuil Shinto untuk memanjatkan doa. Seorang gadis bersimpuh di sebelahnya dengan tubuh bergetar, rupanya ia berdoa sambil menangis. Amado berhenti berdoa untuk menyeka air mata gadis itu. Di saat itu juga ia menyadari betapa pahitnya kenyataan bahwa takdir tak dapat dihindari. Gadis itu juga tahu akan hal itu. Meskipun bibirnya tidak mengucapkan sepatah kata pun, sorot matanya memancarkan permohonan agar Amado tidak pergi. Gadis itu mencintainya. Amado tidak bersuara. Sebagai jawaban atas cinta sang gadis, ia mengikatkan kain putih bergambar matahari terbit di kepalanya. Amado telah mengambil keputusan. Ia meninggalkan gadis itu. Di dalam hatinya ia sadar betul kalau ia menyesali keputusan itu. Diiringi oleh tangisan dan jeritan kepedihan hati sang gadis, Amado berlalu… *** December 7th, 1941, kapal perang Jepang berada pada posisi sekitar 450 KM jauhnya dari utara Pearl Harbour. Amado terlihat berdiri di samping pesawat pembom torpedo Nakajima Type 97, tetapi ia sesungguhnya berdiri di antara garis tipis pembatas cinta dan perang. Ia tahu ia akan merindukan sorot mata itu, tetapi takdirnya sebagai putra bangsa memaksanya untuk berperang demi Jepang. Kira-kira jam tujuh pagi, Amado sudah melayang rendah di dekat Pearl Harbour. Amerika tampaknya jauh dari sikap waspada. Baru setelah Amado menekan picu, meluncurkan torpedo untuk meledakkan kapal perang Amerika, Pearl Harbour terbangun dan memberikan balasan. Perang telah dimulai. Peluru berdesing dan bom menggelegar. Pekik-jerit kematian disambut dengan suara ledakan. Amado terbang melewati semua itu dan tersentak oleh kenyataan bahwa perang sangat mengerikan. Perang bukanlah takdir, tetapi sebuah proses lahirnya neraka di dunia. Terbang melewati neraka ciptaan di bawahnya membuat Amado berharap bahwa semua ini akan segera berakhir. Keinginannya terkabul lewat rentetan tembakan tanpa ampun yang menembus pesawat dan tubuhnya. Amado cegukan, mengeluarkan darah dari mulutnya selagi pesawatnya terbakar dan menukik ke bawah. Semakin ia dekat dengan kematian, semakin ia merindukan sorot mata yang membekas di ingatannya itu. Dan ia berharap masih Happy Campus 3 © 2003, Anthony Ventura
3 diberi kesempatan lagi walaupun ia sadar bahwa itulah hari terakhirnya di dunia ini… *** Setelah terbuai ke dalam adegan dramatis dalam nuansa hitam-putih seperti film dokumenter, Ahmadi terjaga dari lamunannya. Gadis itu masih di sana, menatapnya dengan heran. “Maaf, boleh kuambil lagi sapu tanganku ini?” “Oh, tentu saja. Maaf!” Ahmadi menyahut dengan kikuk. Gadis itu tersenyum kepada Ahmadi, lalu meninggalkannya. Ahmadi bangkit kembali sambil menarik napas panjang, bersyukur karena impian masa lalunya sudah terbayar. Bagi Ahmadi, takdir itu nyata dan ia merasa kalau gadis itu datang dari masa lalu untuk mendampinginya di masa kini. Gadis itu nyata kehadirannya, dan ini hanya masalah waktu saja sebelum cinta yang hilang itu kembali bersemi… ***
Happy Campus 3 © 2003, Anthony Ventura
4
22. Suatu Malam Di Newtown City Bus yang bertolak dari Tortoise Village melambat dan akhirnya berhenti. Begitu Billy dan Sugi menginjak kaki di pelataran terminal Newtown Point, awan tebal dan mendung yang menggantung di langit senja segera menyambut kehadiran mereka. Kilat menyambar, membelah langit bagaikan seekor naga berwarna putih keperakan, kemudian muncul gemuruh guntur yang memekakkan telinga. Angin dingin berderu dengan kencang, membuat debu jalanan terangkat dan berpusar sehingga mengganggu pandangan mata. Bermaksud untuk mencari bus jurusan Emerald Book, Billy berjalan terbungkuk-bungkuk dengan kepala terjulur ke depan, menahan terpaan angin yang sanggup menerbangkan seekor anak sapi. Mata Billy menyipit dan berkedip mengikuti irama angin, namun tetap saja gagal mencegah masuknya partikel halus bernama debu. Terbawa oleh gerak refleksnya, Billy kontan memejamkan mata sementara kakinya terus melangkah. Akibatnya ia menubruk bantalan kenyal dengan hidung menancap di sela-sela benda empuk yang ditabraknya. “Hei, kalau jalan pakai mata, dong!” Mendengar suara bariton yang serak itu, Billy tersentak kaget dan mundur beberapa langkah. Ia menggosok matanya dan memaksakan diri untuk melihat apa yang telah ditabraknya. Seketika itu juga ia menelan ludah. Di hadapan Billy, terlihat sosok pria bertubuh wanita yang menjulang tinggi. Badan pria itu berotot, terutama dadanya yang menggelembung. Selain bekas cukuran kumis yang terlihat di atas bibirnya yang disemir dengan warna merah jambu, bulu-bulu kaki yang keriting juga mencuat di pahanya sehingga kian menambah kesan macho. Parfum beraroma solar yang menyengat hidung Billy semakin memperkuat dugaan kalau sosok ajaib di hadapannya ini pasti bekerja sebagai sopir truk sebelum beralih profesi tatkala hari menjelang malam. Melihat banci di hadapannya sedang mengembalikan posisi penyangga buah dadanya yang menggantung seperti melon, wajah Billy langsung dihiasi rasa ngeri, mual dan kecut. Dalam perasaan yang bercampur-aduk seperti itu, Billy tak kuasa untuk menahan ucapan “wanita jadi-jadian” yang meluncur secara spontan dari mulutnya. “Apa loe bilang?” bencong itu menggeram, sehingga deretan giginya yang kuning terlihat seperti pagar usang yang menutupi ruas mulutnya. ”Sengaja atau tidak, loe telah menikmati buah imitasi yang dibuat dari injeksi silikon ini, Bocah! Loe harus bayar!” “Apa? Bayar? Dasar banci edan! Kesucian wa sebagai pria justru ternoda gara-gara bersetubuh dengan balon tiruanmu itu…” Sugi yang ada di belakang Billy kontan merasa terkejut. “Bersetubuh?” Billy menoleh. “Err, wajahku sempat tertanam di bukit buatan yang di dadanya, jadi pertemuan antara wajah dan tubuh bisa dikatakan sebagai persetubuhan, bukan?” “Wah, kalau penggunaannya seperti itu, loe bisa didakwa karena telah memperkosa kata dan memaksa kata tersebut untuk menyeleweng dari arti yang sebenarnya,” tutur Sugi dalam sudut pandang linguistik. “Jadi apa, dong, istilah yang tepat untuk peristiwa tadi?” “Hei, topiknya kok jadi menyimpang? Loe mau bayar, nggak?” si banci menegaskan permintaannya kembali. “Bayar? Bagaimana kalau wa gesekkan kartu debet di belahan bokongmu?” tukas Billy dengan ketus. Dan si banci pun naik pitam. Ia bersiul dengan nyaring, memberi tanda kepada teman-temannya untuk berkumpul. Sugi menjadi pucat. Billy tiba-tiba Happy Campus 3 © 2003, Anthony Ventura
5 menyesal karena telah bertutur-kata dengan lancang. Kebijakan mereka sebagai pria sejati telah menggariskan kalau mereka boleh adu-gebuk dengan pria dan wajib bersikap sopan pada wanita, namun belum ada policy untuk menghadapi pria setengah wanita yang berangasan. Apa boleh buat! Daripada dicabik-cabik oleh cakar para banci dan bencong, Sugi dan Billy memilih untuk lari terbirit-birit. “Ingatkan aku untuk memikirkan kebijaksanaan tentang cara menghadapi banci yang brutal kalau kita sudah tiba di asrama,” seru Sugi pada Billy. “Yeah! Katakan juga pada Geoffrey kalau wa sedang nggak mood untuk berbincang dengannya karena dia akan mengingatkan wa pada trauma hari ini,” sahut Billy. *** Sekali lagi kilat menyambar, menerangi jalanan suram yang dilalui oleh dua sekawan. Saat itu Billy dan Sugi baru sadar kalau mereka telah tersesat. Mereka tidak pernah menapak di kawasan ini sebelumnya… “Di mana kita sesungguhnya?” gumam Billy. Sugi memandang ke sekelilingnya. Dari papan nama sebuah toko, ia akhirnya tahu kalau mereka sedang berada di Pandemonium Slum. Cerita para sesepuh di Tortoise Village yang mengisahkan tentang keangkeran daerah ini langsung membuatnya berkeringat dingin. “Kita telah salah arah. Seharusnya kita tidak berada di Pandemonium Slum. Terlalu berbahaya…” Angin dingin yang bertiup membuat ucapan Sugi terhenti. Guntur menggelegar lagi. Dari arah lorong gelap, secara samar-samar terdengar suara rantai yang bergesekan dengan permukaan jalan. Sugi terlonjak ketika tong sampah di lorong itu terjatuh dan menimbulkan suara berisik. “Billy, ayo!” Sugi mulai bergegas untuk menjauh. Billy, yang tidak tahu-menahu tentang keadaan Pandemonium Slum, beranjak dengan malas. Baru saja ia melangkah, terdengar suara kucing mengeong dari dalam lorong. Pemuda itu menghentikan langkahnya dan berkata, “Sugi, itu hanya seekor kucing.” Sugi menoleh untuk membuktikan ucapan Billy. Pada saat itu juga ia melihat seseorang memainkan rantai dan menjerat leher Billy. Melihat rekannya terbelenggu dalam keadaan sesak napas, Sugi segera menerjang ke arah penyerang Billy. Serangan Sugi luput, tetapi memberi kesempatan bagi Billy untuk menyodok perut lawan dengan siku lengannya. Billy akhirnya berhasil membebaskan diri. Ia berbalik untuk menatap pria buruk rupa yang telah menyergapnya. “Sial! Apa-apaan ini?” Billy melengos dengan kesal. Akan tetapi rantai besi itu kembali melecut ke wajahnya, memaksanya untuk melompat sebisanya dan kabur. “Terus berlari. Jangan lihat ke belakang!” seru Sugi. Kali ini Billy menuruti rekannya. Ia melaju dengan terpontang-panting, berusaha menyelamatkan diri dari orang yang telah mencekiknya dengan rantai tanpa alasan yang jelas. “Oh, well, mereka tak perlu alasan untuk melukai korbannya,” ujar Sugi di kala mereka sudah mencapai tempat yang terang, “maka dari itu jangan heran kalau Pandemonium Slum dikenal sebagai tempat paling menyeramkan di Newtown City. Para penduduk di daerah itu… kalau bukan dari kalangan pekerja keras, pastilah berasal dari golongan penjahat! Tak ada yang bisa dibanggakan dari sudut kota yang paling kelam di Newtown City ini.” Happy Campus 3 © 2003, Anthony Ventura
6 “Kecuali Anthony Lee dan Band It,” sahut Billy dengan napas terengahengah.
Sugi tersenyum. “Yeah, kecuali mereka1…” *** Begitu Billy menengadah, terlihat butiran-butiran air hujan sebesar biji jagung yang tercurah dari langit. Billy merasakan tetesan air di ujung hidungnya yang mancung. Seiring dengan basahnya pakaian yang ia kenakan, Billy mulai menggigil kedinginan. “Kurasa kita harus segera berteduh.” “Yeah,” Sugi berkata sekenanya dengan wajah muram, “daerah ini betulbetul sepi dan kita tidak menemukan sebuah halte pun di sepanjang jalan ini. Kita tersesat dan kini aku baru mengerti kenapa Ahmadi sering mengatakan kalau aku kurang gaul.” “Harus diakui kalau tersesat di kota sendiri merupakan kenyataan yang menyedihkan,” Billy memberi tanggapan, “tapi ayolah! Loe boleh melanjutkan keluh-kesah loe setelah kita menemukan tempat untuk berlindung dari hujan deras ini.” Dua sekawan lantas berlari menyusuri jalanan licin yang membentang di hadapan mereka, lalu membelok dan memasuki bangunan terang yang menggantungkan palang tanda “open” di pintu kaca. Mulanya mereka mengira bahwa tempat yang mereka masuki itu adalah sebuah restoran, namun dugaan mereka salah. Ruangan di balik pintu kaca itu adalah sebuah lobi hotel! Billy dan Sugi terkejut bukan alang kepalang ketika seorang tante seksi mendekat dan merangkul mereka dengan ramah. Tanpa perlu melucuti rokok menthol yang sedang dihisapnya, wanita itu berkata, “ah, para pelanggan muda yang bersemangat. Padahal aku sudah sempat khawatir kalau hujan akan mengacaukan bisnisku malam ini.” Bisnis? Billy dan Sugi langsung saling memandang. Bisnis macam apa yang digelar di hotel pada malam hari begini? Dan mereka segera tahu jawabannya setelah melihat beberapa gadis di balik etalase kaca. Billy menelan ludah. “Well, kurasa aku harus ke toilet dulu.” “A-aku juga,” Sugi menyambung ucapan Billy. “A-a-a, kau tetap di sini, Anak Muda. Di mana semangatmu tadi? Padahal kau telah memaksakan diri untuk datang di kala hujan deras seperti ini.” “Aku… aku…” Tante itu tersenyum genit. “Ah, kau gugup karena ini adalah kali pertama bagimu, bukankah begitu? Nah, biar tante bimbing. Coba lihat, bagaimana pendapatmu tentang si pirang yang lincah itu? Atau si gadis Latin yang berpaha mulus?” Sugi menganga. Bertahun-tahun ia belajar di sekolah, tetapi tidak pernah diajarkan bagaimana caranya untuk lolos dari situasi seperti ini. Apa akalnya sekarang? *** “Ini benar-benar malam yang gila,” gumam Billy sambil mengancingkan celananya. “Pertama banci, lalu preman dan sekarang tante jalang! Nanti apa lagi?” Ketika Billy mendorong pintu bilik toiletnya, pada saat itu pula ia melihat dua orang masuk dengan tergesa-gesa sambil diiringi desahan dan erangan. Billy kontan tersentak mundur dan menutup pintu biliknya lagi. Setelah agak tenang, ia mengintip sedikit dari celah pintu.
1
Anthony Lee (mantan anggota The PartyKids) dan empat awak grup Band It berasal dari Pandemonium Slum. Happy Campus 3 © 2003, Anthony Ventura
7 Seorang pria rupanya sedang menggendong gadisnya untuk bercumbu di toilet. Gadis itu duduk di atas wastafel dengan dengusan napas liar sementara sang pria asyik menikmati tubuhnya. Jesus! Ini benar-benar hotel mesum! Billy berkata di dalam hati. Mereka bahkan melakukannya di toilet! Gee, apa aku harus terjebak di sini hingga mereka selesai? *** “Koleksi anda memang menakjubkan,” Sugi memuji Mdm. Pussy, germo yang sedang menawarkan gadis-gadis kepadanya, “tapi sayang sekali, saya lupa membawa…” “Jangan khawatir, saya telah menyiapkan hal-hal kecil yang selalu dilupakan oleh para pelanggan yang belum berpengalaman,” sela Mdm. Pussy sambil menyelipkan sesuatu ke saku Sugi. Pemuda berkacamata dari Tortoise Village itu terpana saat melihat sebungkus condom di kantong bajunya. “Bukan, anda salah paham. Yang hendak saya sampaikan pada anda adalah saya tidak membawa uang cash. Anda tentunya tidak ingin saya membayar dengan kartu mahasiswa, bukan?” “Oh, tidak masalah. Kami menerima segala jenis pembayaran, baik tunai maupun kre...” Mimik wajah sang germo mendadak berubah. “Sebentar, anda tadi mengatakan kartu mahasiswa?” Sugi mengangguk dengan senyum polos. “Gila!” Mdm. Pussy berteriak dengan marah. Hilang sudah keramahan yang ia tawarkan sebelumnya. “Dasar mahasiswa kantong kering! Mau mencari kenikmatan tapi pakai modal kartu mahasiswa? Benar-benar gila!” “Sejujurnya saya sedang mengadakan penelitian untuk…” “Tidak. Tidak boleh ada penelitian! Enyah! Pergi yang jauh.” Sugi senang melihat kebohongannya bekerja dengan baik. “Yah, kalau anda menolak, saya akan per…” “Ya, sana! Pergi dan jangan kembali lagi!” *** Di dalam toilet, Billy duduk dengan gelisah di atas closet leher angsa di kala suara desahan di luar kian tak terkendali. Ia telah menutup pintu biliknya karena tidak ingin menyaksikan adegan itu (dengan cara mengintip), namun telinganya tidak bisa diajak kompromi. Di kala suara penuh nafsu itu membuat Billy nyaris gila, terdengar suara pintu terbuka, lalu disusul dengan suara wanita yang terpekik kaget dan umpatan kesal sang pria. “Lho?! Maaf, mungkin aku salah masuk.” Billy kenal dengan nada gugup yang menyertai kalimat tersebut. Itu adalah suara Sugi. Kedengarannya pemuda itu keluar lagi dari toilet. Tebakan Billy tidak salah. Sugi memang keluar dari toilet, namun ia segera masuk lagi. Setelah melihat tulisan “Gents” di depan toilet, Sugi yakin dia tidak salah masuk. Dari dalam bilik toilet, Billy mendengar Sugi berkata, “hoho, jangan salahkan aku karena ingin pipis. Ini tempat umum, ‘kan?” “Brengsek. Tidak bisa lihat orang senang, ya?!” gerutu pria itu. “Ayo, Liz. Kita pindah ke kamar hotel saja.” Setelah suara langkah berhenti bergema di lantai ubin, Billy keluar dari persembunyiannya. Sugi tersenyum kepadanya dan berkata, “malam yang luar biasa, ya?” “Yeah, sebaiknya kita pulang!” ***
Happy Campus 3 © 2003, Anthony Ventura
8 “Dan begitulah ceritanya,” ujar Sugi kepada Ahmadi dan Ery setelah mereka sampai di asrama. “Untung di luar hotel ada beberapa phone-box, jadi wa bisa menelepon Victor untuk mencari tahu mengenai rute bus terdekat yang bisa kami ambil.” Sugi lantas menatap Billy. “Well, Billy, loe tidak ingin menceritakan apa yang loe dengar selama di toilet?” Billy langsung melengos. Untuk pemuda selugu Billy, pengalaman itu cukup membuatnya trauma. Ahmadi dan Ery tertawa melihat wajah Billy yang pucat. “Ada satu hal yang membuat wa heran dari cerita kalian ini,” ucap Ahmadi. “Hanya satu? Bukannya loe paling sering kebingungan?” goda Ery. “Haha, justru sebaliknya. Sugi terlalu pintar sehingga otaknya terlalu sistematis dan tidak bisa berpikir secara praktis. Sekarang jawab pertanyaan wa, selama perjalanan kalian dari terminal hingga ke hotel, apakah kalian menemukan taxi di jalan?” Sugi mengangguk. “Kalau begitu, kenapa kalian hanya terpaku pada bus saja? Bukankah kalian bisa pulang dengan taxi?” Kali ini Sugi melongo, tak bisa menjawab karena kemungkinan yang disebutkan Ahmadi memang luput dari pemikirannya. Ery dan Ahmadi akhirnya melebur dalam tawa melihat sang jenius membuat kesalahan seperti ini… ***
Happy Campus 3 © 2003, Anthony Ventura
9
23. Kejutan Istimewa Di Ultah Kampus (Part: 1) Pagi itu adalah hari istimewa bagi Perfect Alphabeth University. Apa pasal? Well, rupanya kampus kebanggaan Newtown City ini sedang merayakan hari jadinya yang ke-98. Dibuka untuk publik, khususnya bagi alumni kampus, Marlina dan Diana bertugas sebagai penerima tamu. Seorang pengunjung, yang tampaknya tidak asing lagi bagi Marlina, masuk dan melemparkan senyum kepada gadis itu. Marlina jelas bukan orang yang mudah gugup, tapi sosok di hadapannya sanggup menyuguhkan perasaan itu di hatinya. Dengan tangan gemetar, Marlina menyodorkan pen supaya sang tamu bisa mengisi daftar kunjungan. Setelah goresan singkat, orang itu pun berlalu. Marlina lantas meraih buku tamu itu. Dibacanya nama yang tertera di situ dan ia akhirnya bergumam, “dia… tak kusangka dia akan hadir juga. Cerita kali ini pasti akan berbeda!” *** Mr. Buddy membuka acara dengan pidato syukuran tentang eksistensi Perfect Alphabeth University dan peranannya dalam menciptakan kaum terdidik di Newtown City. Walaupun setiap ucapan Mr. Buddy ditanggapi dengan serius oleh alumni yang telah berkiprah di dalam masyarakat, para mahasiswa yang masih kuliah pada umumnya tidak ambil pusing untuk bersusah-payah memfokuskan pendengaran mereka guna menyimak pidato tersebut. Terlihat di antara pada hadirin, Santa Eve dan dan Luk Kiau sibuk beraktivitas. Di saat Santa Eve sedang asyik meneropong alumni yang ganteng, Luk Kiau terjun langsung untuk mencari tahu tentang para tamu berdompet tebal sehingga tidak mengherankan kalau beberapa saat kemudian ia segera diamankan oleh satpam Jeff. Konon Luk Kiau akan diadili dengan tuduhan pelecehan seksual secara masal karena ia telah meraba bokong setiap tamu dengan cara yang kasar. *** Setelah pidato pembukaan perayaan ultah kampus, para tamu mulai berkeliling kampus untuk bernostalgia. Asisten Dedi menjabat sebagai guide untuk tour sejarah kampus. Dedi tentu saja mengerjakan tugasnya dengan baik, tetapi event-event yang menghibur bukan berasal dari penjelasan Dedi, melainkan justru berasal dari dirinya sendiri. Keberadaan Dedi sebagai asisten dijadikan anekdot fosil hidup oleh Damon, mantan mahasiswa jenius yang tidak pernah menyelesaikan skripsinya. Kepada istri dan anaknya, Damon bercerita bahwa Dedi telah menjadi asisten sejak jaman ia kuliah hingga hari ini. Di lain tempat, pada saat yang bersamaan, Mr. Rushman dan Mr. Stephen juga tampak menikmati tour tersebut. Lewat acara yang merupakan bagian dari paket ultah kampus ini, mereka mendapat kesempatan untuk memandang kampus tidak dari kacamata dosen, tetapi dari sudut pandang alumni. Sambil memandang foto mereka di saat wisuda, kedua dosen muda ini mengenang kembali masa-masa kuliah yang mereka jalani dulu. Saat itu mereka adalah tiga mahasiswa yang pintar sekaligus bandel. Sepak terjang mereka membekas sebagai mitos yang tetap hidup di Perfect Alphabeth University hingga saat ini. Sayang, John Mighty, salah satu dari trio legendaris itu tidak hadir pada acara ini. Acara tour yang cukup diminati ini berlangsung hingga tengah hari, kemudian digantikan dengan acara makan siang bersama. Setelah itu giliran Happy Campus 3 © 2003, Anthony Ventura
10 para jago kampus masa kini yang mendemonstrasikan kehebatannya kepada para alumni. Sugianto2, makhluk jangkung dengan kening bertato Intel Inside, memperagakan sistem client/server untuk sistem operasi Windows 2000. Dengan bualan yang menakjubkan, Sugianto berhasil meyakinkan para penonton tentang kehandalan sistem operasi buatan Microsoft itu. Akan tetapi praktek langsung yang ia peragakan tidaklah sehebat dongeng yang ia dengungkan hingga mulutnya berbuih. Kegagalan yang paling jelas di mata pemirsa adalah ketidakmampuan sistem dalam melakukan roaming untuk data berkapasitas lebih dari 5 MB, padahal quota untuk account tersebut telah dicadangkan sebanyak 10 MB. Setelah adegan melempar tomat busuk yang diiringi dengan cibiran “woowoo” dan ejekan “Windows sucks” dari para penonton, Sugianto langsung ditarik dari pentas. Selanjutnya asisten Seagat yang tampil dengan demonstrasi program Delphi untuk sistem administrasi rumah sakit. Program Seagat sangat atraktif, tetapi Sir Harry III malah berpendapat kalau aksesori bunyi-bunyian yang ditambahkan oleh Seagat membuat aplikasi untuk rumah sakit ini terdengar seperti mesin ding-dong. Kekurangan lainnya, Seagat sama sekali tidak membuat tabel penghuni kamar mayat. Penilaian akhir dari penonton memutuskan kalau program Seagat masih perlu disempurnakan lagi. Untuk hasil yang optimal, Seagat diwajibkan untuk melakukan penelitian dengan cara menginap di kamar mayat selama satu atau dua hari. Dengan hancur leburnya performance dua tokoh tadi, image kaum cerdikpandai kampus di era sekarang semakin memburuk di mata lulusan generasi terdahulu. Citra kampus dan kredibilitas dewan dosen kontan dipertanyakan. Di dalam tingkat keraguan sebesar itu, asisten Jan Fui ditampilkan sebagai upaya terakhir untuk menyelamatkan martabat Perfect Alphabeth University. Dan asisten Jan Fui pun melangkah ke pentas dengan gaya yang kikuk seperti penguin. Melihat tampangnya yang lugu tak berdosa, sebenarnya Jan Fui lebih cocok untuk dikembangbiakkan sebagai hewan peliharaan yang bisa dibelai, dicubit dan dijadikan teman tidur, namun perlu diingat pula bahwa penampilan itu bisa mengecoh. Begitu duduk di depan server Linux Red Hat, Jan Fui segera mengenakan topi merah dan beraksi. Jari-jemari Jan Fui menari dengan lincah di atas keyboard, menggempur papan ketik murahan itu hingga jebol. Syntax demi syntax ia keluarkan, membuat server Linux takluk dan mengiyakan perintah Jan Fui dengan respon “done” di layar monitor. Dalam tempo setengah jam, Jan Fui berhasil mendemonstrasikan perkawinan silang antara server Linux Red Hat dan client Windows ‘98. Di tengah-tengah pujian dan tepuk tangan yang menggelora, Jan Fui akhirnya mengakhiri pertunjukan jaringan komputer ini secara dramatis dengan mengirimkan signal “kill” untuk mematikan server. Berkat Jan Fui, kehormatan kampus berhasil diselamatkan. Mr. Buddy Holly menarik napas lega. Mr. August menyeka keringatnya dan merasa beruntung karena ia memiliki asisten cakap yang bisa diandalkan. *** Demonstrasi oleh para jago komputer itu memakan waktu setengah hari. Setelah makan malam, acara kembali dilanjutkan, kali ini dengan tontonan yang memanjakan telinga. Lewat alunan suara O Nie yang melanglang setiap jengkal ruangan aula, para penonton merasa lebih santai dan nyaman. Stamina otak 2
Sugianto pernah muncul sekilas dalam kisah “Hari Pendaftaran”. Saat itu ia menyapa Sugi yang baru mendaftar sebagai mahasiswa. Happy Campus 3 © 2003, Anthony Ventura
11 penonton yang terkuras untuk menyaksikan pertunjukan komputer oleh Sugianto, Seagat dan Jan Fui kini pulih kembali, terobati oleh merdunya suara O Nie. O Nie, mahasiswi asal Myanmar yang memiliki paras elok dan rambut hitam yang mempesona itu memang luar biasa. Dia berhasil memikat semua penonton lewat pertunjukannya. “Oh, jangan katakan kalau suara O Nie mengingatkanmu pada salah satu mantan mahasiswiku,” ucap Mr. Sandy kepada orang yang duduk di sebelahnya. “Haha, O Nie memang menyanyi dengan baik, Mr. Sandy. Jika anda melihatku melamun, itu bukan berarti aku teringat pada Angelia, tapi karena aku begitu menikmati pertunjukan ini…” Mr. Sandy tersenyum penuh arti. “Baik, anggap saja aku percaya pada perkataanmu itu.” *** Empat sekawan akhirnya tampil. Mereka melanjutkan acara dengan mengetengahkan adegan parodi dari kisah klasik Journey To The West. Dalam drama ini, Sugi menjadi pendeta Tong Sam Cong. Karena tidak mungkin membawa kuda ke dalam aula, maka dikisahkan bahwa pendeta Tong mengendarai sepeda. Tong Sam Cong dikawal oleh tiga muridnya. Peran Sun Go Kong sudah pasti jatuh ke tangan Ahmadi. Dengan panu, kadas, kurap dan gatal jamur yang dideritanya, Ahmadi tampak menghayati perannya sebagai kera sakti. Penonton sungguh terkesima menyaksikan ia menggaruk-garuk tubuhnya seperti monyet tanpa mengetahui bahwa hal itu sebenarnya disebabkan oleh rasa gatal akibat penyakit kulit. Murid kedua, yakni Ti Pat Kay, dimainkan oleh Ery. Ia juga aktor yang bagus. Mengandalkan wajah mesum dan sedikit suara “nguik-nguik”, penonton dibuat kesulitan untuk membedakan apakah yang di panggung itu adalah Ery atau babi berkostum. Adapun Billy mendapat jatah sebagai murid ketiga. Dengan begitu banyak koper yang dipikulnya, Billy malah terlihat lebih mirip office boy daripada Sah Ceng. Pendeta Tong hendak mengambil kitab. Karena kewajibannya, ia harus menempuh perjalanan yang panjang dan sulit. Suatu ketika pendeta Tong merasa lapar, lalu Sun Go Kong pergi mencari makanan. Pada saat itulah para siluman berdatangan. Ti Pat Kay yang mata keranjang segera ditaklukkan oleh Mardiana, sang siluman kepiting parit. Pendeta Tong juga terkapar setelah muntah-muntah karena digoda oleh siluman kentang busuk (Luk Kiau). Sah Ceng sempat bertarung sengit dengan siluman kelamin ganda (Geoffrey), tetapi menyerah setelah siluman itu berubah menjadi wanita. Sah Ceng ternyata tidak tega memukul wanita! Sun Go Kong sendiri dihadang oleh Subianto, si siluman ompong. Ia dihirup ke dalam mulut siluman yang bergusi namun tak bergigi, lalu ditelan hidup-hidup. Akan tetapi Sun Go Kong tidak mati. Ia malah berbuat onar di dalam tubuh Subianto. Su Go Kong mengencingi lambung Subianto, menyodok hatinya dengan toya, mengaduk-aduk usus dan meniup kantong empedunya, lalu mematikan pompa darah yang terletak di jantung. Subianto akhirnya mati. Sun Go Kong segera melesat untuk menolong gurunya. Ia menghancurkan setiap kelamin yang dimiliki Geoffrey, membuat soup basi dengan bahan baku Luk Kiau dan merebus Mardiana hingga kulitnya memerah.
Happy Campus 3 © 2003, Anthony Ventura
12 Para siluman akhirnya berhasil ditumpas. Pendeta Tong dan muridmuridnya pun kembali meneruskan perjalanan. Penonton memberikan sambutan meriah setelah drama ini berakhir. “Hebat! Hebat sekali. Aku ingin bertemu langsung dengan mereka, Mr. Sandy!” “Itu bisa diatur. Tapi sekarang, bukankah sudah saatnya bagimu untuk tampil?” Baru saja Mr. Sandy menyelesaikan kalimatnya, ruangan aula menjadi gelap gulita. Suara pemandu acara membahana di segenap penjuru ruangan, mengumumkan kejutan istimewa di penghujung pesta ulang tahun Perfect Alphabeth University. Begitu lampu sorot menyala secara mendadak dengan titik fokus pada salah satu sudut di bangku penonton, pada saat itu pula terdengar pengumuman: “Para hadirin, kita sambut sekarang, Anthony Ventura!” Dan setiap pasang mata yang ada di aula pun menoleh… ***
Happy Campus 3 © 2003, Anthony Ventura
13
24. Kejutan Istimewa Di Ultah Kampus (Part: 2) Marlina berdiri di samping panggung, menyaksikan sosok yang disoroti oleh lampu dan disambut dengan tepuk tangan meriah itu. Ia tersenyum saat pemuda itu berdiri dengan agak canggung, melambai dan sesekali membungkuk untuk balas menyapa para hadirin yang menyorakinya. Anthony Ventura ada di sini, di dalam ruangan ini. Ia hadir di tengahtengah mereka. Betapa hal seperti itu sangat mengejutkan bagi semua orang. Setelah namanya diumumkan, Anthony menuju ke pentas sambil menjabat tangan beberapa orang yang dilewatinya sementara beberapa tamu lain yang berada di dekatnya tergerak untuk menepuk bahunya dengan ringan sebagai tanda sapaan. Di atas panggung, Anthony melirik sekilas pada Marlina yang menatapnya. Sekali lagi ia melempar senyum, membuat gadis itu menghindari tatapannya karena tersipu malu. Setelah itu Anthony melambai, memberi salam kepada para hadirin dan hendak duduk di kursinya. Pada saat itu juga muncul suara riuh yang mengelu-elukan nama The PartyKids. Anthony Ventura membatalkan niatnya untuk duduk dan memilih untuk menanggapi hal itu terlebih dahulu. “Please, kali ini wa hanya hadir sebagai mantan lulusan kampus, jadi tidak tepat kalau kita berdiskusi tentang The PartyKids pada malam ini.” Para mahasiswa yang pernah menjadi fans The PartyKids, termasuk juga empat sekawan yang kini berkeliaran di dekat panggung, tidak putus asa. Mereka masih saja menyuarakan aspirasi mereka. Anthony menunduk dan menggelengkan kepala. Senyum lucu yang tersungging di bibirnya menandakan ia telah menyerah, tak lagi berniat untuk menentang kehendak massa. “Baik! Wa katakan satu hal. Sebenarnya ini rahasia,” tutur Anthony sambil mendekatkan jari telunjuk kiri ke bibirnya, “tapi wa beritahukan karena kalian terlihat begitu antusias. Angelia akan kembali ke kota ini untuk mengadakan konser. Nantikan saja kedatangannya.” Penuturan Anthony Ventura langsung direspon dengan tepuk tangan dan gemuruh suara percakapan antar penonton. Melihat reaksi demikian, Anthony langsung menyela dengan berkata, “well, itu saja informasi singkat yang bisa wa bocorkan. Ingat, malam ini wa tampil gratis, jadi kalian tidak boleh menuntut lebih!” Dan ucapannya langsung dilanjutkan dengan tawa penonton. “Mr. Neku, lama tak jumpa,” tukas Anthony saat menoleh pada pembawa acara. Dosen itu mengangguk. “Silahkan duduk.” *** Mr. Neku (N) : “Selamat malam, Anthony. Anthony Ventura (AV) : “Selamat malam, Sir.” (Sambil melambai) “Selamat malam, ladies and gentlemen!” Penonton membalas sapaan Anthony dengan paduan suara yang bergemuruh. N : “Sungguh suatu kejutan istimewa bahwa Anthony bersedia hadir untuk berbagi cerita bersama kita di malam ini.” AV : “Tidak juga, justru saya yang merasa bersyukur karena bisa hadir dalam rangkaian acara yang menakjubkan ini tanpa perlu kehilangan privasi saya. Happy Campus 3 © 2003, Anthony Ventura
14
N : AV : N : AV :
N : AV :
N : AV :
N : AV :
Bagi saya ini merupakan kejutan istimewa karena, seperti yang anda ketahui, kehadiran saya selalu memancing keramaian. Untuk bisa duduk dan berbincang dengan dosen dan teman-teman lama seperti ini adalah suatu karunia yang luar biasa. “Baik, tadi anda katakan bahwa kedatangan anda hanya sebatas mantan lulusan kampus. Apa maksudnya itu?” “Ah, soal itu. Akan saya jelaskan, tentu saja. Tapi sebelumnya saya ingin memperjelas kabar yang sejauh ini tampaknya simpang-siur.” “Perihal apa itu?” “Tentang status kehadiran saya ini. Saya sering kali memperhatikan bahwa saya disebutkan sebagai lulusan dari Perfect Alphabeth University. Itu bisa berarti benar dan salah, bukan?” “Well…ya, betul juga. Sebaiknya anda jelaskan saja, Anthony, terutama kepada para penggemar anda yang masih muda-belia ini.” “Uhm, begini. Sebetulnya tidak salah kalau saya disebut sebagai lulusan Perfect Alphabeth University, namun akan lebih tepat kalau saya mengaku sebagai lulusan dari Eaton karena demikianlah faktanya. Well, kampus Eaton itu… kalian sekarang mengenalnya sebagai WideDeep University, tapi dulu berada di bawah naungan Perfect Alphabeth University.” “Begitulah, penonton sekalian. Tapi saya kira Anthony tidak datang hanya untuk membuat klarifikasi tentang hal ini…” “Anda benar. Ada misi yang lebih penting lagi di balik kehadiran saya ini. Pada kesempatan ini, saya akan menyumbangkan karya leluhur saya, Michael Hart Ventura3. Perlu saya tambahkan pula bahwa Michael adalah mahasiswa generasi pertama di Newtown City. Saat itu tahun 1905…” “Nyaris satu abad yang lalu. Namun apa sesungguhnya yang menarik dari karya Michael sehingga anda merasa perlu untuk menyumbangkannya?” “Faktor pertama lebih condong pada nilai sejarahnya. Faktor kedua, sesuai dengan apa yang anda sebut sebagai daya tarik, adalah kenyataan bahwa tesis tersebut unik dan saya percaya kalau setiap pembaca akan termotivasi oleh tulisannya. Dan faktor ketiga, sebenarnya lebih bersifat pribadi, adalah karena saya bangga dengan tesis yang ia tulis itu.”
Di bawah kilatan blitz, Anthony menyerahkan transcript tesis Michael kepada Mr. Neku, lalu berjabat tangan dengan kepala perpustakaan itu. N : “Terima kasih, Anthony.” AV : “Sama-sama.” *** “Agak disayangkan juga bahwa Anthony tidak mau berkomentar banyak tentang The PartyKids,” ujar Ahmadi. “Menurutmu kenapa dia bersikap begitu?” “Cukup jelas, ‘kan?” Sugi berkata dengan acuh tak acuh. “Bagi orang seperti dia, The Partykids adalah masa lalu. Dia tidak ingin mengungkit-ungkit cerita lama itu lagi. Bisa jadi karena hubungannya dengan para mantan anggota grup itu mungkin tidak semulus yang ia katakan sendiri.” Billy yang merasa tertarik langsung ikut bercakap-cakap. “Bagaimana pendapatmu tentang hubungannya dengan Angelia? Tadi dia sempat menyebut namanya, bukan?” “Entahlah. Aku tidak tahu…”
3
Baca kisah tentang Michael di buku Blast From The Past
Happy Campus 3 © 2003, Anthony Ventura
15 Ucapan Sugi terpotong oleh ketukan di pintu kamar ganti pengisi acara ultah kampus. Ery membukakan pintu selagi ketiga kawannya menatap ke arah yang sama dan… “Holy!” Ery bergetar tak terkendali saat menyadari siapa yang ada di depannya. Tiga sekawan segera bangkit melihat reaksi Ery yang aneh. Segera mereka ketahui siapa yang baru saja mengetuk pintu mereka. “Anthony Ventura!” seru mereka secara serempak. Sugi cepat tanggap sementara ketiga sobatnya hanya terperangah di dalam kebingungan. Ia meraih kursi dan mempersilahkan tamunya masuk. “Silahkan, Sir. Sungguh suatu kehormatan karena anda mau menemui kami…” Anthony tersenyum. “Jangan terlalu berlebihan. Panggil saja namaku. Kalian tahu kenapa aku kemari?” Empat sekawan bertatapan satu sama lain, kemudian menggelengkan kepala. “Sederhana saja, aku tertarik dengan pertunjukan kalian tadi. Performance kalian bagus. Sekarang aku tanya, apakah kalian mau jadi bintang?” “Bintang apa?” gumam Ery dengan lugu. Ahmadi, dengan gaya yang lebih polos lagi, segera menimpali rekannya. “Menjadi bintang seperti bintang di langit?” Anthony Ventura tertawa. “Haha, namamu Ahmadi, ‘kan? Well, aku paling suka gaya kocakmu yang alami. Bagaimana? Coba katakan pendapatmu?” Ahmadi jadi terlihat seperti pengidap bisu-tuli. Mulutnya terbuka, memperkuat kesan tolol di tampangnya. Begitu Billy menyenggolnya, ia baru sadar kalau air liurnya hampir menetes dari pojok bibirnya. Billy dan Ery terlihat gelisah, terjebak dalam keraguan dan rasa tidak percaya karena tidak menyangka keberuntungan seperti ini akan menghampiri mereka. Di luar dugaan, Sugi dengan tegas mengambil tindakan yang mengejutkan untuk mewakili mereka. “Tawaran anda sungguh merupakan suatu kejutan istimewa bagi kami, Anthony. Tapi dengan sangat menyesal kami terpaksa menolaknya,” ucap Sugi dengan mantap. Ery, Ahmadi dan Billy menatap Sugi begitu mendengar kalimat yang mencengangkan itu. Ahmadi langsung mendekat dan berbisik, “apakah kau sudah gila? Tawaran seperti ini tidak datang dua kali!” Di hadapan mereka, Anthony duduk dengan tenang. “Jangan terburu-buru untuk menjawab pertanyaanku ini. Coba pikirkan dulu…” Sugi tidak berubah pendirian. “Uh, kami mengerti bahwa tawaran anda sungguh menggiurkan. Kami ingin menerimanya, tapi kami juga harus sadar akan kewajiban kami sebagai mahasiswa. Belajar dari pengalaman Angelia, kami tidak ingin putus kuliah karena tekanan dari dunia showbiz.” Mendengar perkataan Sugi, Ahmadi kontan terperangah. Berbisik pada Billy yang ada di sampingnya, Ahmadi berkata, ”dia sudah gila rupanya. Dia tidak berpikir bahwa aku akan celaka kalau tetap berada di kampus karena tampaknya Simon Sez sudah berniat untuk memberiku nilai E!” Billy jadi tertawa geli. Ia menoleh ke Ery dan bertanya, “apa pendapatmu?” “Dia yang paling pintar, bukan? Wa harap dia sadar dengan apa yang baru saja ia ucapkan,” sahut Ery dengan nada kecewa. Mereka menatap wajah Anthony yang kini tampak serius. Tanpa perlu menunggu lebih lama lagi, mereka segera mendengarkan jawaban dari Anthony.
Happy Campus 3 © 2003, Anthony Ventura
16 “Kalian cemas kalau kuliah kalian akan terganggu. Jika itu alasannya, aku bisa mengerti…” “Shit! Padahal aku lebih senang kalau kuliahku terganggu oleh kesempatan emas ini. Dasar aneh si Sugi itu,” Ahmadi bergumam sambil menggigit jari. Lewat raut wajahnya, Anthony bisa menangkap apa yang dirasakan oleh Ahmadi. Ia tersenyum dan berkata, “Sayang sekali, padahal aku sangat mengagumi kalian. Sekarang aku tanya satu hal. Bagaimana kalau seandainya kita bisa membuat suatu ikatan kerja sama tanpa perlu mengorbankan kuliah kalian?” Empat sekawan terpana. “Solusi macam apa yang sesungguhnya anda coba tawarkan pada kami?” *** “Sejak pertemuan itu, Anthony meluangkan waktunya untuk menulis kisah tentang kami,” ucap Ahmadi. “Yeah, untuk alasan tersebut, sekarang para pembaca mungkin mengerti kenapa episode pertama dari kisah empat sekawan berjudul anak-anak terpilih,” ungkap Sugi. “Episode pertama diberi judul demikian karena kami ini dipilih oleh Anthony secara langsung dari sekian banyak generasi muda di kampus ini,” tutur Ery dengan nada bangga. “Dan kisah kali ini sebenarnya tidak lebih dari sebuah kilas balik, bukannya penutup dari cerita empat sekawan,” tukas Billy. “Petualangan kami akan terus berlanjut sampai…” “Sampai penulis dan pembaca merasa bosan,” sahut Ahmadi. Tiga sekawan tertawa mendengar lelucon Ahmadi. “Nah, tetap nantikan kisah-kisah kami, ya?” ***
Happy Campus 3 © 2003, Anthony Ventura
17
25. Di Kolam Renang Panas terasa membakar raga dan menyiksa sukma di siang itu. Para mahasiswa kegerahan, namun terpaksa mengikuti perkuliahan tambahan yang diselenggarakan Mr. Al-Iqhlas. Perkuliahan pengganti jam kuliah regular itu diadakan pada sesi ketiga, tepat pada saat rasa kantuk dan lapar menyerang mahasiswa hingga kelopak mata menutup dan usus halus melilit. Arie Dementor mulai kehilangan akal sehatnya karena hawa panas membuat keringat mengucur dari pori-pori tubuhnya seperti keran bocor. Ia mulai membuka bajunya, dan begitu kenikmatan dan perasaan lega menjalar di sekujur dadanya, ia tergerak untuk melorotkan celananya. Para mahasiswi berteriak sambil menutup mata. Geoffrey juga histeris, tetapi ia masih berusaha untuk mengintip lewat sela-sela jari tangan yang menutupi matanya untuk menyaksikan adegan gratis yang dipertontonkan oleh Arie. Sebelum Geoffrey sempat memastikan apakah rahasia yang tersembunyi di balik celana Arie sama dengan gumpalan daging mentah tak bertulang yang tergantung di pangkal pahanya, mahasiswa eksentrik yang didiagnosa mengidap demam tinggi itu sudah diamankan dari ruang kelas oleh sukarelawan Rio dan Mohammed Masrul. Mr. Al-Iqhlas sangat terpukul oleh insiden tersebut. Akan tetapi perasaan terguncang itu bukan disebabkan karena Arie kehilangan kendali sehingga melakukan hal yang tidak pantas, melainkan karena gerakan Arie yang erotik itu tidak tuntas. Sang dosen mengecam habis tindakan Rio dan Masrul yang dianggapnya sebagai prilaku gegabah anak muda masa kini. Menurut Mr. AlIqhlas, mereka semua sudah cukup dewasa untuk menyaksikan adegan yang murah-meriah seperti yang diperagakan Arie. “Sungguh mengecewakan. Bukankah saya sudah sering mengutip pernyataan George R. Terry4 tentang controlling? Kalau kontrol diri kalian separah ini, kalian pasti sudah dipecat dari perusahaan. Sebelum ada instruksi dari saya, kalian tidak boleh melakukan aksi pencegahan dalam bentuk apapun. Sekali lagi kalian bertindak lancang, maka jangan harap kalian akan memperoleh nilai yang lebih tinggi dari E di akhir semester.” Dan nasehat yang disertai ultimatum kepada Rio dan Masrul itu membuat para mahasiswa tercengang. Gee, dosen ini pasti sudah kehilangan akal sehatnya karena sengatan panas matahari. Usai memberikan nasehat yang patut dipertanyakan kebenarannya, Mr. Al-Iqhlas kehilangan mood untuk mengajar setelah menyaksikan wajah-wajah muda-mudi yang diajarnya. Kecuali Sheik Habibie yang sudah terbiasa dengan cuaca panas karena ia dibesarkan di Timur Tengah, anak-anak didiknya tampak memelas. Ia akhirnya membubarkan perkuliahan. *** Memperhatikan efek rumah kaca yang menyebabkan terjadinya pemanasan global, mencairnya es di kutub dan membuat Arie lepas kendali, semua sepakat kalau temperatur hari ini sudah berada di luar ambang toleransi. Untuk menghibur diri, maka disewalah para penghibur tuna susila, ups, bukan! Maksudnya tuh, anak-anak bermaksud untuk mengunjungi WaterBoom, kolam renang modern yang ada di pusat kota.
4
George R. Terry adalah pakar manajemen. Bilamana pembaca lupa, maka penulis ingatkan lagi kalau Mr. Al-Iqhlas adalah dosen mata kuliah manajemen.
Happy Campus 3 © 2003, Anthony Ventura
18 Semestinya yang berangkat ke tempat pemandian umum itu hanya beberapa mahasiswa yang sekelas dengan Sugi, tapi berhubung Billy turut serta, maka secara tidak langsung Subianto juga menempatkan diri ke dalam jajaran kelompok renang dari Perfect Alphabeth University itu. Sebenarnya Subianto tidak diajak, tapi karena dia merengek dan mengancam untuk mencabut semua giginya yang tersisa sehingga sudah pasti kalau ia akan kesulitan dalam mengunyah kerupuk karena tidak bergigi dan setelah itu tidak tertutup kemungkinan kalau ia akan minta tolong supaya kerupuknya dikunyah dan dimuntahkan lagi oleh Billy sebelum ia sendiri memakannya kembali (ugh, jijik sekali!), maka ia pun diijinkan untuk ikut. “Awas, ya! Janji dulu kalau loe nggak akan kencing di dalam kolam!” tegur Ahmadi dengan suara garang. Akhirnya, setelah Subianto berjanji kalau ia tidak akan menambah volume isi kolam renang dengan air seninya, para mahasiswa pun berangkat. Tiba di WaterBoom, mereka pun membeli tiket. Berdiri di depan loket, Ahmadi pun bertanya, “gak ada potongan harga untuk orang yang jompo dan pikun?” Penjual tiket itu kebingungan. “Loe cari orang yang wa maksud? Nih!” ucap Ahmadi sambil menarik kedua belahan bibir Subianto sehingga menampakkan deretan gigi atasnya yang hilang. “Orang ini, karena sudah renta, giginya nyaris copot semua.” Para mahasiswa dan penjual tiket itu tertawa. Ery lantas berseloroh, “wah, Ahmed! Bukannya Subianto ini masih balita? Giginya saja belum tumbuh dengan lengkap!” *** Penderitaan Subianto tentu saja belum berakhir, sebab tipe penderitaannya memang penderitaan tiada akhir, hihihi. Kalau ia berani mengambil resiko untuk bertualang bersama Ahmadi yang comel, ia harus siap menerima sindiran pedas yang khas Ahmadi. Di kamar ganti, tepat di saat Subianto hendak mengganti celana panjangnya dengan celana renang (iya, dong! Masa diganti dengan celana montir, sih?!), Ahmadi melepaskan seekor anjing sebagai kejutan. Akibatnya Subianto mengalami kesulitan karena setiap kali ia menurunkan celananya, di saat itu pula sang anjing menerkamnya karena mengira ada sosis yang tersembunyi di balik celana dalam Subianto yang putih menggemaskan. Setelah berjuang keras, tidak diragukan lagi kalau Subianto berhasil mengenakan celana renang yang tercabik-cabik. Ia pun keluar, disambut dengan haha-hihi dari teman-temannya. Empat sekawan dan rombongannya lantas melangkah keluar dengan gagah, membuat setiap orang menoleh dan terperangah, sebab Subianto yang menjadi maskot para mahasiswa ini memakai celana renang yang bolong tepat pada bagian tengahnya. Beberapa perenang wanita yang masih berusia relatif muda atau sebaya dengan mereka menjadi histeris dan pingsan setelah melihat bekas cakar anjing yang menimbulkan goresan merah-berdarah pada tonjolan daging yang sebenarnya merupakan saluran kencing itu. Mungkin saja luka di bagian vital Subianto ini terlalu seksi bagi para gadis. *** Acara renang dimulai! Tanpa perlu dikomando, para mahasiswa mulai menceburkan diri ke kolam renang. Arie Dementor beraksi dari papan loncat, melompat membentuk angka 9, lalu menukik tegak-lurus dan langsung menghantam lantai ubin di dasar kolam. Diiringi tepuk tangan meriah dari temantemannya, Arie yang mempesona diangkut dalam kondisi kepala retak dan bocor.
Happy Campus 3 © 2003, Anthony Ventura
19 Disela-sela jarinya tidak lupa pula diselipkan tagihan perbaikan lantai kolam sehingga ia bisa membacanya setelah selesai diopname. Setelah Arie, Budi Tornado unjuk kebolehan dengan menciptakan pusaran air di tengah kolam. Ia menyedot siapa saja yang berada di dekatnya. Kesal dengan tindakannya, Budi Tornado langsung menerima gedebak-gedebuk dari orang-orang yang terseret ke dalam pusarannya. Detik berikutnya, ia mengapung di permukaan air seperti ikan mas koki yang mati dalam kondisi terbalik dan pucat pasi. Mahatma Iqram juga tidak kalah mengejutkan. Ia duduk dalam posisi bersemedi di atas permukaan air. Setiap orang mengira ia memperlihatkan ketangguhan yoga yang ia pelajari, padahal ia hanya duduk di atas kepala Mohammed Masrul yang nyaris mati tenggelam. Nun jauh di atas sana, Ery bersiap-siap untuk meluncur di lorong-lorong berair yang mengarah ke kolam. Ia menggulingkan badannya seperti bola, tapi malah tersangkut di mulut lorong. Kepanikan segera merebak. Sugi, Billy dan Ahmadi segera memberi pertolongan. Billy memekik lirih, seakan-akan pantatnya tertusuk jarum, dengan tujuan memancing perhatian setiap orang untuk menyaksikan aksi penyelamatan ini. Selagi Sugi sedang asyik menyirami tubuh Ery dengan oli bekas, Ahmadi turut membantu dengan cara melompat-lompat di atas punggung Ery supaya tubuhnya yang licin bisa tergelincir ke dalam lorong peluncuran. Upaya penyelamatan mereka berhasil setelah Ahmadi terpeleset dan jatuh mencium bokong Ery. Benturan final itu menyebabkan mereka berdua terperosok dan meluncur mengikuti alur lorong. Ery terpelanting keluar tepat ketika Subianto berenang di bawahnya sehingga tubrukan pun tidak terelakkan lagi. Subianto tidak siap dalam mengantisipasi bencana yang menimpanya. Ia terbenam dengan bibir monyong karena meringis. Pada saat itu pula berliter-liter air masuk melalui sela-sela gusi yang tidak bergigi. Subianto tenggelam! Tampaknya tidak ada yang menyadari hal itu karena Subianto memang paling sering diabaikan. Sheik Habibie yang sedang duduk di bawah tenda-payung di tepi kolam adalah satu-satunya orang yang melihat kejadian itu. Tanpa membuang waktu lagi, Sheik Habibie segera menceburkan diri ke kolam dan… “Blub-blub-blub!” Sheik Habibie juga tenggelam! Terbawa oleh gerak refleksnya, rupanya pemuda asal Arab ini lupa kalau ia hanya bisa naik onta tetapi tidak bisa berenang. Dalam kondisi antara hidup dan mati, Sheik Habibie memukul-mukul permukaan air dengan tangannya sementara kakinya terus menendang di dalam air. Salah satu tendangannya mampir dengan telak ke kepala Subianto, membuat pemuda itu kian dekat dalam perjuangannya untuk meraih gelar Alm. alias almarhum. Mendengar teriakan SOS dari rekannya, Ahmadi melesat dengan gaya kapal selam sementara Ery menyelam dengan gaya kuda nil. Dalam sekian detik, sobat-sobat yang karam ke dalam kolam ini akhirnya bisa terselamatkan. Sheik Habibie cuma menderita shock. Akan tetapi Subianto banyak menelan air. Ery segera duduk di atas perut Subianto untuk mengeluarkan segalon air yang terkumpul di perutnya. Setelah beberapa tamparan keras di pipi (karena tidak satu pun dari mereka yang bersedia untuk memberikan bantuan napas buatan dari mulut ke mulut untuk Subianto), pemuda naas itu bisa dipulihkan kembali. Happy Campus 3 © 2003, Anthony Ventura
20 Sugi menyuguhkan air gula. “Minum ini, Subi. Dan sebaiknya kita pulang setelah Subi merasa segar kembali. Sudah cukup banyak kejadian sial yang kita alami hari ini.” “Tapi aku belum berenang sama sekali,” sanggah Billy. “Aku juga belum,” sahut Sugi. “Tapi apa kau yakin kalau kau mau berenang lagi?” Billy menatap air di kolam yang telah terkontaminasi oleh oli yang sebelumnya melumuri badan Ery. Setelah itu ia menoleh dan melihat para perenang lain yang mengamuk karena mereka telah berulah dan mengacak-acak kolam tersebut. Para mahasiswa berkeringat dingin. Tanpa perlu menunggu hitungan ketiga, mereka semua langsung berlari terbirit-birit sambil menyeret Subianto yang masih tergeletak lemas di lantai… ***
Happy Campus 3 © 2003, Anthony Ventura
21
26. Ery Dan Gitar Setelah bunyi “ching-chang, ching-chang” yang menusuk telinga dan menggelitik naluri pendengar untuk kencing, Ery berhenti sejenak dan menoleh ke arah jam dinding. “Wah, sudah jam satu pagi. Rupanya wa sudah berlatih dengan tekun selama dua belas jam penuh.” Ery mendengus sementara raut wajahnya mengerut seperti pembalut wanita yang basah, meluapkan ekspresi tidak puas terhadap permainan gitarnya. “Aneh! Meskipun wa giat berlatih, rasa-rasanya teknik gitar gua tidak berkembang. Pasti ada yang salah dengan gitar ini.” “Yang salah itu otakmu!” Ahmadi menimpali rekannya dengan nada kesal karena ia terus diganggu dengan alunan suara gitar yang lebih menyerupai bunyi ayam jantan cegukan. “Loe tahu jam berapa sekarang? Tidur, sana!” Dan satu hantaman gitar dari Ery langsung menidurkan Ahmadi. Sambil menatap gitarnya yang telah patah menjadi dua bagian, Ery bergumam, “hmm, besok wa harus cari gitar baru.” *** Beberapa hari yang lalu, Ery dan tiga sekawan menonton rekaman konser Hardy5 di rumah Victor. Empat sekawan, terutama Ery, merasa takjub dengan keterampilan jari-jemari Hardy yang sanggup mengolah beraneka macam nada dari gitarnya. Terkadang lead guitar itu melengking penuh kepiluan, namun pada alunan musik yang riang, jeritan sang gitar sanggup membawa penonton untuk bertepuk tangan dan berjingkrak dalam suasana gembira. Ery merasa tergugah dengan antusiasme penonton terhadap kehebatan Hardy. Ia lalu membayangkan dirinya yang menerima sambutan seperti itu dan di saat itulah ia memutuskan untuk belajar gitar. Semua yang ada di situ merasa terkejut. Ahmadi tidak bisa menahan diri dan langsung berkomentar, “gitar? Terlalu berlebihan! Coba iris nadimu dan lihat apakah darah seni mengalir di dalamnya. Untuk orang brutal yang hanya cocok untuk bergumul dengan baut dan oli di dunia perbengkelan seperti dirimu, memainkan gong pun rasanya terlalu sulit untuk loe pelajari.” Detik berikutnya, Ahmadi terpelanting dengan mulut bungkam karena bonyok, terkapar dengan kepala menembus layar yang merupakan bagian dari home theater milik Victor. *** Saat ini Ery sedang asyik memilih gitar baru. Ia melangkah ke bagian gitar listrik. Bukannya bertanya berapa harga gitar Fender Stratocaster yang sedang dipegangnya, Ery malah menanyakan berapa Volt tegangan gitar tersebut. Tentu saja si pramuniaga jadi kaget. Ery melangkah lagi, berkeliling menikmati variasi instrumen alat musik yang terpampang di setiap sudut toko. Ia sempat berhenti untuk menabuh drums hingga tom-tom-nya lecet, meniup terompet sampai meninggalkan air ludah di pada pangkalnya, memutuskan senar cello karena menggeseknya dengan teknik menggergaji kayu dan menekan tuts piano dengan penuh semangat seperti tenaga ahli di panti pijat. Akhirnya, setelah keluar dari toko musik, Ery menenteng sebuah acoustic guitar dengan harga tiga kali lipat dari harga semula. Tidak mengherankan, sih, soalnya ia merusak setiap alat musik yang ia coba mainkan! ***
5
Hardy adalah mantan anggota Band It yang kini tampil sebagai solo artist.
Happy Campus 3 © 2003, Anthony Ventura
22 Mendengar suara “tung-tung” dengan nada yang senantiasa naik-turun di kamar sebelah, Ahmadi terpancing untuk menghampiri sumber suara tersebut. Begitu pintu terbuka, Ery menggulirkan bola matanya untuk menatap si pendatang. Melihat senyum konyol yang menghiasi wajah Ahmadi, Ery kembali berkonsentrasi pada gitarnya. Suasana di kamar itu begitu sunyi mencekam sehingga suara AC yang biasanya halus dan nyaris tidak tertangkap oleh telinga malah terdengar bergemuruh. Suara senar gitar yang sesekali dipetik melantun dengan sumbang, membuat Ery yang sedang menyetem gitar bertambah murung. “Belum berhasil menyetem gitar, eh?” tanya Ahmadi. Alis Ery yang tebal tersibak dengan malas, menampilkan sorot matanya yang sayu. Ahmadi yang pada mulanya datang untuk mengejek akhirnya jadi tidak tega. Untuk satu kali ini, ia bersimpati terhadap rekannya. “Boleh kupinjam sebentar?” Ahmadi bertanya lagi. Usai bertanya, Ahmadi langsung menerima gitar yang disodorkan oleh Ery. Ia lalu memetik senar gitar itu secara berurutan untuk mendengarkan deretan nada yang telah disetel oleh Ery. “Ada kekeliruan pada senar ketiga dan kelima. Coba dengarkan,” ujar Ahmadi sambil memainkan gitar itu dalam sekali kocok. “Kau dengar?” ucap Ahmadi sambil memperbaiki kesalahan yang dilakukan Ery. “Sekarang coba bandingkan lagi…” Rangkaian nada gitar dalam chord C terdengar harmonis. Puas dengan hasil kerjanya, Ahmadi mengembalikan gitar itu kepada Ery. “Terima kasih,” ucap Ery dengan mata berbinar-binar, meluapkan rasa syukur dan haru akan kebaikan hati sobatnya. Ia sama sekali tidak menyangka kalau sahabatnya yang bermulut usil ini akan membantunya menyetem gitar. Ahmadi jadi salah tingkah. Ia merasa janggal dengan situasi seperti ini karena rutinitas harian mereka biasanya tidak jauh dari aktivitas ejek-dan-gebuk, namun hatinya merasa senang. Ahmadi mendengus dan mengangguk sambil tersenyum dengan kikuk, lalu meninggalkan Ery. *** Ery pernah membaca di sebuah buku kalau seorang gitaris ternama dulunya belajar bermain gitar hingga ujung jarinya berdarah, namun tekad, usaha dan pengorbanan itu akhirnya membuat ia menjadi salah satu gitaris legendaris dunia. Berdasarkan apa yang ia baca, Ery lantas menatap jari-jarinya yang mulai melepuh. Menurut Ery, melepuh itu pertanda baik. Sebentar lagi, begitu jarinya berdarah, maka ia langsung dibaptis oleh darahnya sendiri sebagai gitaris. Untuk mempersingkat proses pendarahan (wah, mirip anak perawan di malam pertama, nih!), Ery menggores ujung jarinya dengan pisau. Sesuai dengan teori yang ada di buku, kini ia telah resmi menjadi seorang gitaris. Ery mulai mencoba kemampuan barunya. Begitu jemari kirinya menggenggam chord C dengan erat, tangan kanannya pun meluncur turun ke deretan senar gitar. Dan bunyi yang dihasilkan sangat mencengangkan: persis seperti babi bengek belajar bersenandung! Penyebab lahirnya jeritan tersedak dari gitar itu tentu saja membuat Ery penasaran. Padahal jarinya sudah berdarah, kenapa telunjuknya masih saja mengggencet senar gitar yang ada di atasnya sehingga suara gitar itu menjadi sumbang? Kecewa karena dedikasinya terhadap musik hanyalah sia-sia belaka, Ery frustrasi dan memainkan gitarnya dengan brutal. Hilang sudah kunci C, G atau F, tergantikan dengan kunci Inggris, kunci ring dan kunci pas no. 16. Happy Campus 3 © 2003, Anthony Ventura
23 Digempur dengan kunci-kunci dunia perbengkelan, suara yang keluar dari gitar itu berubah dari “jreng” menjadi “gubrak-gubrak-tuing”. Tak lama setelah senarnya putus semua, gitar itu pun hancur berantakan. Buku dan gitar itu melayang keluar dari kamar Ery dalam bentuk sobekan kertas dan serpihan kayu, disusul dengan suara pintu dibanting. Di saat keributan terjadi, Billy, Ahmadi dan Sugi duduk di ruang sebelah dan saling bertatapan. “Bagaimana?” tanya Ahmadi. “Bukannya aku tidak membantu, tetapi dia benar-benar tidak berbakat.” Sugi menyeringai. “Bahkan Ahmadi pun tergerak hatinya untuk membantu.” “Agak serius sedikit, Sugi,” ujar Billy. “Kau pikir apa yang sedang aku lakukan? Dengar, Ery telah mencurahkan semua yang ia miliki untuk musik. Sekarang giliran musik yang harus menyembuhkan kekecewaan di hati Ery,” Sugi menyahut sambil mengaktifkan lagu All I Have To Do Is Dream di komputernya. “Ha, dia mulai lagi dengan terapi mentalnya,” gumam Ahmadi setelah menyadari apa yang dilakukan Sugi. *** Di saat Ery tertidur dalam perasaan lelah dan kecewa, lagu yang diputar Sugi melantun dengan lembut, merambat menembus dinding dan membersihkan amarah di hati Ery. Perlahan tapi pasti, kerut di dahi Ery memudar, menghadirkan kembali mimik yang cerah di wajahnya. Setelah emosi negatif terkikis habis, Ery, yang masih terpengaruh oleh lagu tersebut, mulai bermimpi. Di dalam dunia khayal yang tercipta di otaknya, Ery mendapati dirinya sedang berada di atas panggung. Ia menyandang sebuah gitar dan para penonton di hadapannya berteriak-teriak, meminta agar ia segera memainkan alat musiknya. Ery tidak begitu yakin, tetapi ia melakukan apa yang dikehendaki oleh penonton. Begitu gitarnya melengking, histeria langsung melanda. Luk Kiau menangis tak terkendali seperti terkena santet. Arie Dementor berguling-guling di lantai bagaikan terserang epilepsi. Santa Eve pipis di celana dan pingsan karena bau amonia pekat yang berasal dari air seninya. Subianto meraung-raung, persis seperti suara sirene rusak. Suasana kian memanas ketika Ery memetik gitar dengan bokongnya. Penonton gerah melihat gaya Ery yang seksi. Keringat membanjir dari ketiak Geoffrey, memproduksi bau tidak sedap yang mulai menelan korban. Rahmawati, yang berpostur tubuh pendek dan bertengger tepat di bawah pangkal lengan Geoffrey, langsung terkapar dengan mulut berbuih. Penonton mulai bertumbangan. Ery langsung menyelamatkan mereka dengan guyuran air dari botol yang ia gunakan untuk kumur-kumur. Dan hasil semprotan air berulang kali betul-betul di luar dugaan: penonton bukannya merasa segar setelah dibasahi dengan air yang bercampur sisa makanan dan sedikit dahak, tetapi malah menderita penyakit kulit! Akan tetapi pertunjukan terus berlanjut. Ery mempertontonkan hiburan yang spektakuler ketika ia memainkan gitar dengan telapak tangan berdarah. Darah yang bercipratan ke segala penjuru sungguh memperlihatkan betapa tingginya teknik gitar yang dikuasai Ery. Setelah menjadi martir untuk aksi bunuh diri itu, Ery jatuh tertelungkup karena kehabisan darah. Sugi, Ahmadi dan Billy menyalakan lilin pertanda salut. Diana meletakkan rangkaian bunga di atas panggung. Dan Mardiana, dengan dalih ingin memberikan napas buatan, mendaratkan sebuah kecupan tepat di bibir.
Happy Campus 3 © 2003, Anthony Ventura
24 Kembali ke alam sadar, kepala Ery tersentak dan berguncang sedikit di saat Mardiana menciumnya di alam mimpi. Ia agak kaget juga, rupanya. Tapi kemudian ia tersenyum dan memeluk bantal gulingnya dengan erat, meneruskan tidurnya yang nyenyak… ***
Happy Campus 3 © 2003, Anthony Ventura
25
27. Pernikahan Yoviana6 “Coba lihat itu!” seru Ahmadi. Ery menoleh, melihat penutup buah dada berlabel Triumph, lalu tersenyum dan berbalik menatap rekannya sambil berkata, “dasar maniak.” “Maniak apa? Dasar juling! Kepiting, biarpun jalannya miring, tetap saja bisa melihat secara tegak lurus,” sahut Ahmadi dengan ketus dan serius. “Kalau pandangan loe memang saling-silang, loe mesti pake kacamata kuda untuk meluruskan pandangan loe.” “Oh, ya?” Suara Ery meninggi karena ia merasa tidak senang dengan ucapan Ahmadi. Di belakangnya, Sugi dan Billy saling bertukar senyum, sadar kalau rutinitas harian antara Ery dan Ahmadi akan segera terjadi. Dugaan mereka tidak keliru. Dengan dua jari membentuk huruf V, Ery berupaya mencolok mata Ahmadi yang melotot kepadanya. Akan tetapi Ahmadi menangkis dengan acungan jari tengah sehingga serangan Ery terganjal tepat di pangkal jarinya yang gemuk. “Loe berani menangkis?” tanya Ery. “Kenapa tidak? Kali ini wa tidak salah, kok. Coba kalian perhatikan arah yang wa tunjuk!” Ery menoleh, diikuti oleh Sugi dan Billy. Tepat di tumpukan TV 14 Inch yang dipajang di etalase toko, mereka melihat satu sosok yang paling terkenal di Newtown City. “Astaga!” Sugi terperanjat. “Dia menikah!” Billy pun tidak luput dari perasaan shock. “Oh, Guys! Dia ada di gereja!” gumam Ery. “Cathedral Saint Joseph, uh? Gereja itu tidak jauh dari sini,” ujar Ahmadi. Empat sekawan berpandangan satu sama lain setelah ucapan spontan dari Ahmadi, kemudian mereka bergegas ke sana. *** Misa pemberkatan usai saat empat sekawan tiba di gereja. Halaman katedral itu penuh sesak oleh para Newtownian yang ingin menyaksikan mantan The PartyKids di hari bahagianya itu. Empat sekawan sebetulnya agak terlambat, tapi mereka tidak kehilangan akal. Ery membuka jalan, menggeram ke sana kemari seperti babi liar, membubarkan barisan pemuda dengan bunyi “nguik-nguik” yang bernuansa haram. Ery cukup sukses, tetapi ia tidak berkutik saat menghadapi wanita. Prinsip pria sejati yang ia anut mewajibkannya untuk bersikap sopan kepada wanita. Sugi dan Billy juga tidak bisa berbuat banyak karena mereka juga terbelenggu oleh kebijakan yang sama. Pada kondisi seperti ini, mereka biasanya mengandalkan Ahmadi, si pria tidak sejati. Ahmadi memulai usaha dengan tangannya, lalu dilanjutkan dengan sedikit fitnah keji kepada siapa saja yang berada di dekatnya. Caranya adalah sebagai berikut: ia (dengan senang hati) meraba bokong seksi setiap cewek yang ada di depannya, kemudian menyalahkan pria di sampingnya sehingga terjadi pertengkaran yang menyebabkan pria dan wanita itu meninggalkan kerumunan. Hingga suatu ketika, Ahmadi tidak punya sasaran untuk difitnah lagi. Akan tetapi otaknya bekerja dengan cepat dan spontan, memunculkan Ery sebagai satu-satunya nama yang akan diproses oleh pita suaranya. Ery yang dijadikan
6
Yoviana adalah mantan anggota The PartyKids
Happy Campus 3 © 2003, Anthony Ventura
26 sebagai tumbal akhirnya dijewer dan diseret oleh sang wanita sambil dimarahi sementara rekan-rekannya tetap maju ke garis depan. Berkat kecerdasan Ahmadi dan pengorbanan Ery, Sugi dan Billy bisa menyaksikan Yoviana. Itu adalah kesempatan pertama bagi mereka untuk melihat seorang mantan anggota The PartyKids secara langsung. “Gee, dia… dia tampak cantik dan berseri, ya?” ujar Sugi. “Yeah, dia terlihat persis seperti sosok di koleksi foto The PartyKids yang kita kumpulkan,” ucap Billy. “Keliru. Kurasa dia kini tampak lebih cantik dan dewasa,” kilah Ahmadi dengan mulut menganga. Dan Yoviana, dengan gaun pengantin tak berlengan dan serumpun bunga matahari di tangannya, ia tampak sungguh mempesona. Blitz kamera menyertai setiap langkahnya, mengabadikan senyum ceria selalu menghiasi wajahnya. Yo melambai dan sebelum memasuki mobil pengantin, ia melemparkan rangkaian bunga yang ia pegang ke tengah para pengagumnya. “Rebut bunganya!” seru Sugi. Ahmadi membungkuk, Billy menaiki punggungnya dan melompat untuk menangkap ikatan bunga yang sedang melayang itu, tetapi seseorang menarik celananya hingga ia jatuh terjerembab dan diinjak-injak massa. Melihat rekannya terkapar, Ahmadi turut menyumbangkan beberapa hentakan kaki ke tubuh Billy, lalu menyelinap ke dalam keramaian. Ahmadi berhasil menarik satu batang bunga, tetapi ia jadi terkejut sendiri ketika ia menyadari bunganya bugil tak bermahkota. Sugi jelas lebih cerdik. Ia memasang tali kekang di mulut Ery, lalu menungganginya. Bagaikan menaiki badak, Sugi mengarahkan tunggangannya ke arah kerumunan. Hasilnya sungguh seperti efek bola bowling. Para mudamudi yang berkumpul untuk merebut bunga itu terpental! Turun dari kendaraan pribadinya, Sugi akhirnya mendapatkan bunga matahari tanpa hambatan apapun. *** Keesokan harinya, Ery, yang kesal karena ulah Ahmadi membuatnya tidak bisa melihat Yoviana, muncul di sebuah gulungan kain di samping kedai koran pagi. Rupanya ia berkemah di situ sejak tadi malam dan tidur di tepi jalan dengan mengandalkan sleeping bag! Ery bersikap acuh tak acuh, mengambil sikat gigi dan pasta dari sakunya, lalu mulai kumur-kumur dengan air selokan. Akibatnya sudah bisa dipastikan! Kalau ia tidak cacingan, pasti terserang diare, hihihi… Meskipun diagnosa terkini sudah menyebutkan kalau ia akan terserang penyakit perut, tetapi untuk sementara ini Ery masih sanggup untuk berdiri dengan tegar. Seperti dugaannya, antrian pembeli untuk koran hari ini pasti sangat ramai sekali. Untung saja ia sudah mempersiapkan diri di baris pertama dengan cara berkemah di situ di malam sebelumnya. Begitu kedai koran dibuka, ia segera menyodorkan uang tunai, cek kontan dan kartu kredit untuk membeli Newtown Post untuk membaca liputan spektakuler tentang pernikahan yang menggemparkan publik Newtown City itu. Usai membayar, Ery langsung menepi, menyingkir dari antrian panjang, lalu menyandarkan tubuhnya ke dinding bata di samping kedai koran dan membaca berita yang terpampang di halaman pertama… ***
Happy Campus 3 © 2003, Anthony Ventura
27
Newtown Post
January 31 , 2003 st
1
Pernikahan Yoviana ~Newtown Point~ Yoviana (24 tahun), mantan anggota grup tenar The PartyKids, menikah! Pernikahan antara Yoviana dan Octavian Ron (28 tahun) dilangsungkan kemarin, January 30th, 2003, dalam dua fase, yakni pemberkatan di gereja dan kemudian dilanjutkan dengan pesta tertutup di Green Island. Mengejutkan! Mungkin hanya ka pernah diucapkan Robert, mere -ta inilah yang bisa mewakili ekspre -ka bukan lagi The Kids. Mereka -si publik Newtown City saat menge telah tumbuh dewasa. Satu per -tahui siapa yang sedang menerima satu dari mereka akan menikah pemberkatan dalam misa khusus dan kebetulan Yo yang menikah di gereja Saint Joseph. Tidak terba- terlebih dahulu. yang sama sekali kalau Yoviana aDan pemberkatan di gereja kan menikah secepat itu. yang disiarkan secara langsung i Sesungguhnya tidak mengheran -tu menarik perhatian banyak o-kan kalau publik merasa kaget. Se- rang. Diperkirakan sekitar 900 panjang karir The PartyKids, Yo ter- muda-mudi datang untuk melihat lebih low-profile dibandingkan nyaksikan pujaan mereka di hari sosok Angelia atau Robert. Siapa bahagia itu. Sikap spontan Yo Yoviana, usai yang akan menyangka kalau dia jus dalam melemparkan bunga ke a pemberkatan di -tru mendahului rekan-rekannya da- -rah kerumunan bahkan sempat gereja lam melangkah ke jenjang perni- memicu kericuhan karena massa kahan? saling berdesakan untuk mendapatkan bunga matahari Kenyataannya adalah, seperti yang tersebut. Green Island Setelah misa pemberkatan, rombongan pengantin langsung meluncur ke pelabuhan, dimana sebuah yacht mewah telah bersandar di dermaga, siap membawa mereka ke Green Island. Di sana para undangan, yang terdiri dari keluarga, kerabat dekat kedua mempelai, beberapa teman dan wartawan, telah menunggu dan siap memulai acara. Upacara pernikahan itu sendiri berlangsung dengan santai dan penuh tawa. Yo tampak tidak bisa menutupi rasa canggungnya ketika ia harus mencium suaminya di depan umum. Satu hal yang cukup menarik untuk dicatat adalah tak satupun dari rekan The PartyKids yang hadir di Kecupan pengantin di kala senja pesta ini. Ada apa gerangan? (Y)
Apa Kata Mereka? Mul Eddy Lisna Robert Yoviana
: “Tidak, saya sama sekali tidak tahu tentang pesta pernikahan Yo. Akan tetapi saya harap mereka bahagia.” : “Yoviana menikah? Well, sama seperti anda, saya juga terkejut.” : “Oh, saya diundang, tetapi saya tidak bisa hadir karena sesuatu dan lain hal.” : “Siapa yang pernah mengira kalau dia akan menikah duluan? Saya bahkan tidak pernah tahu siapa Octavian Ron itu…” : “Saya telah mencoba menghubungi mereka, tetapi anda tahu, sejak kami berpisah, komunikasi kami terputus. Hanya Lisna yang masih berhubungan dengan saya via telepon, oleh karena itu dia adalah satusatunya rekan The PartyKids yang saya undang. Saya berharap dia datang bersama Edy, tapi rupanya dia punya kesibukan lain…”
Happy Campus 3 © 2003, Anthony Ventura
28
28. Dari Sugi Untuk Herlina Sugi sedang melamun. Mulutnya mengerucut, bergerak ke kiri dan ke kanan dengan lincah, mengikuti imajinasi di dalam benaknya, membuat pena yang dikulumnya berayun dengan liar ke segala arah. Ketika ia menyungging senyum yang menyita separuh bibir bagian kiri, pena di mulutnya menyodok ke kiri pula, meninggalkan goresan hitam-panjang di lengan Luk Kiau yang kebetulan melintas di sampingnya. Setelah itu, mendadak Sugi tertawa kecil, nyaris menyerupai bunyi helaan napas yang melewati tenggorokan berdahak. Nun jauh di dalam otaknya, tercipta fatamorgana dengan latar berkabut. Sosok gadis berambut panjang muncul, tersenyum dan melambaikan tangan dengan gerakan yang lembut dan anggun. Sugi tersentak dan menggapai, namun sang gadis kembali menghilang di balik tebalnya asap putih. Pesona dalam impian itu lantas menjadi bekal inspirasi bagi Sugi mengekspresikan isi hatinya. Dalam sekali gores, segumpal kertas melayang ke tong sampah. Salah tulis, rupanya! Hihihi. Sekali lagi Sugi menulis. Kali ini hasilnya tampak lebih meyakinkan… “Rambutmu hitam seperti sepatuku yang kusam, Sorot matamu menggugah hasratku yang terpendam. Lentik bulu matamu, keriting bulu ketiakku, Merajut rindu di bawah langit biru. Oh Herlina, jangan kau datang dan pergi bagaikan aurora, Bila 1+1=2, maka bersatulah putri cinta dan pangeran asmara.” “Hmm, ini puisi untuk Herlina, ya? Bagus juga, sih…” “Iya, tapi ada beberapa bagian yang masih terdengar konyol. Wa harus mengubahnya… hei! Sejak kapan loe ada di sini dan membaca puisi wa?” Sugi tersentak kaget ketika menyadari bahwa ia sedang berdiskusi dengan Luk Kiau tentang puisinya. “Sejak kau mencoretku,” jawab Luk Kiau jujur. “Mulanya aku ingin menegurmu, namun kau terlihat sangat serius. Aku jadi tidak tega mengganggu, lalu kuputuskan untuk membaca tulisan yang telah merebut seluruh perhatianmu itu.” Sugi menggeram kesal karena rahasianya tidak lagi menjadi rahasia. Ia langsung menyemprot Luk Kiau dengan kata-kata yang semi-pantas (awas, bukannya kata-kata yang tidak pantas, lho!). “Dasar Luk Kiau! Loe memang benalu jelmaan! Menempel di sisi wa tanpa terasa dan menyedot kesenangan pribadi wa lagi. Ayo, menjauh ke sana, dong!” Luk Kiau menjauh dengan wajah yang bisa membuat setiap orang merasa iba. Chris “ShowHand” Drake yang berada tak jauh dari mereka kontan merasa heran karena Sugi tidak pernah meneriaki Luk Kiau sebelumnya. “Hei, ada apa, nih?” tanya Chris. “Oh, Sugi lagi marah karena aku membaca puisi yang ia buat untuk Herlina,” sahut Luk Kiau dengan enteng. Sugi melotot tak percaya setelah mendengar dan melihat kalau Luk Kiau bisa berkata-kata dengan tenang dalam mimik wajah lugu-lugu-keparat yang innocent itu. Chris yang merasa tertarik kini mulai mendekat, membuat Sugi kian yakin kalau masalah pribadinya akan tersebar ke seluruh kampus. “Hei-hei, Chris. Loe tidak percaya dengan Luk Kiau, ‘kan? Apakah loe lupa kalau Luk Kiau itu selalu kesulitan dalam membedakan gajah, badak dan kuda nil? Mana mungkin dia mengerti apa yang wa tu…” Happy Campus 3 © 2003, Anthony Ventura
29 Chris tidak menghiraukan perkataan Sugi. Ia menoleh ke samping dan secara tiba-tiba menunjuk dan menyerukan nama Herlina. Sugi terperanjat, turut menoleh dan pada saat itu juga kertas di tangannya sudah berada di dalam genggaman Chris. Sugi langsung sadar kalau ia kalah cerdik. Hanya dengan mengandalkan nama Herlina, Chris bisa mengecohnya dengan mudah. Sugi berniat merebut kembali kertas yang sedang dibaca oleh Chris, tetapi sahabat yang iseng ini sudah melemparkannya ke sudut lain. “Tangkap ini, Masrul!” seru Chris sambil mengelak dari Sugi. Terpengaruh oleh ucapan Chris. Masrul yang tidak mengerti dudukperkaranya langsung menyambar kertas yang sedang melayang ke arahnya itu. Ia menatap Chris dan mendapat petunjuk agar ia segera membacanya. Sugi berbalik untuk mengejar Masrul, tetapi ejekan dari Chris membuatnya seolah-olah terpaku ke lantai. Wajahnya menjadi merah-padam saat Chris melontarkan ejekan, “wah, puisi bagus, Sugi! Itu puisi untuk iklan shampoo atau semir sepatu?” Masrul yang telah membaca puisi itu pun turut menyindir setelah menyodorkan kertas milik Sugi kepada Mahatma Iqram. “Masa rambut Herlina sama kusamnya dengan sepatu butut loe? Memangnya Herlina menggunakan pupuk kandang untuk mencuci rambutnya?” Iqram, yang kini tergelak-gelak, mengambil gilirannya untuk mengutarakan pertanyaan miring ala India. “Hasrat macam apa yang loe pendam? Bagaimana kalau wa pinjamkan buku Kamasutra supaya hasrat loe bisa tersalurkan dengan baik?” Setelah Iqram, kesempatan untuk membuat lelucon pedas bergulir pada Buddy Goodman. “Yo, Sugi. Dengan apa loe merajut rindu? Dengan bulu ketiak loe yang keriting?” “Tapi baris yang berbunyi ‘Oh Herlina, jangan kau datang dan pergi bagaikan aurora’ itu sangat bagus,” bantah Luk Kiau yang masih tidak mengerti kenapa teman-temannya mulai mengolok Sugi. “Yeah, sama bagusnya dengan pelajaran matematika di baris terakhir,” timpal Arie Dementor sambil tertawa geli. “Nah, Sugi, itu Herlina. Loe ingin dengar pendapatnya tentang rangkaian kata-kata puitis-ilmiah yang loe tulis untuknya?” Sugi terperanjat. Bila Arie memberikan puisi itu kepada Herlina, maka kesalahpahaman yang hebat akan terjadi karena yang ditaksir Sugi bukanlah Herlina yang ada di kelasnya, melainkan Herlina yang sekelas dengan Victor! Ehm, sejauh ini ada yang belum mengerti? Baik, kita ulangi lagi. Herlina tuh nama yang sangat umum dan pasaran, oleh karena itu jangan heran kalau di kampus Sugi ada dua Herlina. Orang pertama adalah Herlina yang jenius tapi kaku seperti boneka sawah pengusir burung pemakan biji-bijian. Yang ini jelas bukan idola Sugi karena hawa Yin-nya lebih perkasa dan sanggup mendesak hawa Yang milik Sugi. Herlina yang kedua jauh lebih bawel, sigap dan supel. Walaupun agak judes dan cerewet, tapi Sugi suka dan cinta kepadanya. Puisi yang baru saja ditulis Sugi itu sebenarnya diperuntukkan baginya. Nah, kembali ke inti cerita, kecuali tiga sekawan, teman-teman Sugi yang lain tentunya tidak tahu-menahu tentang hal yang bersifat pribadi ini. Dan Sugi pun tidak bisa menghindar dari malapetaka. Surat itu disodorkan oleh Arie dan dibaca oleh Herlina. Pada saat bersamaan, Herlina yang berasal dari kelas Victor
Happy Campus 3 © 2003, Anthony Ventura
30 mendadak mampir bersama Brandy dan Rama karena tertarik dengan keributan di kelas Sugi. Gosip tentang cinta Sugi dan Herlina pun terdengar olehnya. Sugi kontan berdiri mematung dengan mulut menganga dan darah membeku. Bagaimana ia harus menjernihkan masalah ini? Nasi sudah masuk ke dalam mulut, diolah di perut dan keluar menjadi tahi (perumpamaan ini setara maknanya dengan ‘nasi sudah menjadi bubur’). Sugi tidak bisa membiarkan Herlina pujaannya pergi begitu saja tanpa mendengarkan penjelasan darinya. Sugi bertindak dengan cepat, melewati teman-temannya untuk menghampiri Herlina untuk mengatakan bahwa puisi itu bukan untuknya dan memohon pengertiannya untuk memaklumi peristiwa yang memalukan ini. “Aku harap hal ini tidak mengganggu persahabatan kita,” ucap Sugi sambil menghindari sorot mata Herlina. Sejenius apapun Herlina, dia tetaplah seorang wanita biasa. Gadis muda yang tertutup dan perasa ini begitu tersentuh dan bahagia ketika mengira Sugi menulis puisi kepadanya, tapi fakta yang meluncur dari mulut pemuda di hadapannya ini sungguh mengecewakannya dan dengan telak meninggalkan cacat yang menghunjam di hatinya. Sugi tahu akan hal itu sehingga ia tidak berani bertemu-pandang dengan Herlina sewaktu menyatakan hal yang sebenarnya. Dengan hati galau, Sugi meninggalkan Herlina untuk menjumpai gadis lain dengan nama sama yang telah menumbuhkan cinta di hatinya. Di depan teman-teman sekelasnya, ia berusaha meyakinkan Herlina untuk tidak mempercayai rumor yang terlanjur beredar itu. Herlina terperangah. Ia datang ke kelas Sugi semata-mata karena didorong oleh rasa ingin tahu. ia sama sekali tidak menyangka kalau dirinya akan terseret ke dalam hubungan segitiga yang diwarnai kesalahpahaman ini. Kenapa Sugi bersikeras agar ia harus mempercayai kata-katanya? Apa maksud Sugi dan sikap seperti apa yang Sugi inginkan darinya? Pandangan Herlina melayang, menatap teman-teman Sugi yang sama kagetnya setelah melihat reaksi Sugi, lalu bergulir ke arah Herlina yang terguncang sehingga terlihat seperti raga kosong tanpa jiwa, dan akhirnya berhenti setelah terfokus pada Sugi yang tampak salah tingkah. “Apa maksudmu? Apa hubungannya denganku? Aku tidak mengerti apa yang sedang kau bicarakan,” ucap Herlina sembari menjauh. “Herlina, aku…” Sang gadis mengundurkan diri dari keramaian, meninggalkan Sugi dengan tergesa-gesa. Herlina sesungguhnya tahu kalau Sugi ingin mengungkapkan isi hatinya, namun kejadian ini terlalu mengejutkan dan ia tidak siap untuk mendengarkan hal-hal semacam itu. Terlalu banyak keraguan di tempat dan saat yang tidak tepat itu. Semuanya jadi berantakan. Sugi tertunduk lesu karena gagal membereskan persoalan yang sedang ia hadapi. Chris dan teman-teman turut merasa bersalah. “Sugi,” Arie berbicara, mencoba mengusir atmosfir yang tidak menyenangkan ini, tetapi tidak tahu harus berkata apa, “jadi Herlina yang ada di dalam puisimu itu adalah yang baru saja pergi itu?” Sugi tersenyum kecut. Sebelum ia pergi meninggalkan teman-temannya, ia menjawab dengan nada sinis. “Benar. Kuharap sekarang kalian merasa senang dengan apa yang telah kalian lakukan…” ***
Happy Campus 3 © 2003, Anthony Ventura
31
29. Kisah Sedih Sugi Sejak kekacauan yang mengakibatkan kesalahpahaman antara dirinya dan Herlina, Sugi patah semangat. Ia tidak bisa memahami sikap Herlina yang sama sekali tidak mau mendengarkan penjelasannya. Kini ia bingung, tak tahu harus berbuat apa. Sugi hanya mendekam di dalam kesunyian, menghadapi kebuntuan dalam masalah pribadinya. Chris dan teman-teman berniat membantu sebisa mungkin untuk menebus kesalahan mereka, tapi Sugi tidak memberikan kesempatan kedua. Ahmadi, Ery dan Billy mencoba memberikan solusi, tetapi Sugi tidak mau mendengarkan mereka. “Well, sulit!” sahut Ery ketika teman-temannya bertanya tentang kabar Sugi. “Sungguh sulit untuk membuatnya bicara. Dia bungkam seperti orang sakit gigi.” “Sepertinya dia juga bertambah sensitif,” tukas Ahmadi. “Oh ya?” Arie Dementor bertanya dengan nada bego. Ahmadi mendengus. “Heh, kalau loe tidak percaya. Coba saja bicara sambil meraba bokongnya. Pasti loe akan lihat betapa sensitifnya dia terhadap rangsangan.” “Uh, itu sih, lain perkara,” Arie Dementor mencibir setelah mendengar jawaban Ahmadi. “Tapi kalau dia jadi sensitif dalam arti sinis dan pemarah, itu benar adanya.” “Hati-hati kalau bicara. Jangan lupa, loe yang membuatnya jadi seperti ini,” Ery berkata dengan ketus. ”Siapa sih, yang tidak marah jika hubungannya dengan seorang gadis dirusak dengan cara seperti yang loe lakukan? Sugi itu kikuk. Dia pasti sangat frustrasi.” “Lalu apa yang bisa kita lakukan?” tukas Chris yang merasa sangat bersalah. Billy menggeleng. “Untuk sementara ini kita tidak bisa melakukan apaapa. Dengan kepintarannya, Sugi sulit menerima bantuan dari orang lain, apalagi masalah pribadi seperti ini.” Masrul mengangguk setuju. “Semoga saja tidak timbul persoalan lain yang akan memperburuk suasana.” *** Teman-teman mengharapkan sesuatu yang positif dalam beberapa hari ke depan, namun tampaknya kondisi Sugi tidak banyak berubah. Ia menjadi pemurung dan mengucilkan dirinya dari pergaulan. Tiga sekawan dan teman-teman jadi khawatir, apalagi sekarang mereka kembali memasuki musim ujian. Sugi terlihat tidak bergairah, sibuk melamun dan tampaknya tidak menyadari tentang datangnya ujian akhir semester. Ahmadi dan dua sekawan tidak bisa tinggal diam. Mereka mencatatkan jadwal ujian dan mengingatkan Sugi untuk belajar. Siapa sangka Sugi malah sangat tersinggung dengan tindakan mereka yang ikut campur dalam urusannya? Sugi melemparkan tumpukan buku dan memandang tiga sekawan dengan tatapan tajam. Sorot mata itu kemudian melunak, dipayungi oleh nuansa kepedihan hati. Sugi mengigit bibirnya, terlihat salah tingkah, lalu bergumam dengan perlahan, “kalian… pergilah.” Tiga sekawan undur diri. Ery pun menutup pintu kamar Sugi… *** Sugi masih akan tetap terpuruk dalam perasaan letih, lemah, lesu dan lunglai kalau ia tidak bertemu Benny pada keesokan harinya. Rival yang mempunyai Happy Campus 3 © 2003, Anthony Ventura
32 kepandaian setara dengannya itu kembali menantangnya untuk duel dalam ajang final test. Benny muncul begitu saja di pojok ruangan dimana Sugi duduk sendiri, menggedor meja dan menaikkan kaki kirinya hingga menginjak bangku di depan meja Sugi. Sugi tentu saja tidak terkesan dengan gaya seperti itu. Rasa kesalnya langsung memuncak. “Menyingkirlah, Benny. Di depan mataku, kau terlihat begitu memuakkan!” “Jangan kira aku senang berlama-lama denganmu, Sugi. Aku hanya ingin mengatakan kalau final test sudah tiba. Kau siap untuk menerima kekalahanmu dalam duel kali ini?” Sugi tersentak. Di saat itu ia teringat dengan apa yang tiga sekawan coba sampaikan padanya. “Apa yang baru saja kau ucapkan itu benar-benar sampah, Benny. Menjauhlah, dan pikirkan apa yang hendak kau katakan padaku jika kau yang kalah!” “Hmph!” *** Tantangan Benny membangkitkan semangat Sugi. Ia belajar, namun tidak dengan semangat seorang mahasiswa yang terdapat di dalam dirinya. Kali ini ia belajar demi membuat Benny berlutut di kakinya. Ahmadi, Billy dan Ery jelas terkejut dengan perubahannya, tetapi mereka tidak beminat untuk menanyakan hal itu. Dari sikap Sugi yang mogok bicara, mereka tahu kalau rekannya ini belum stabil emosinya. Dugaan tiga sekawan segera terbukti. Begitu hari-H tiba, mereka bisa merasakan betapa kentalnya hawa “aku akan mengalahkanmu, Benny” yang terpancar dari tubuh Sugi. Hawa itu begitu menusuk sehingga hidung Ahmadi mimisan. Begitu ujian dimulai, pena Sugi turun menghunjam kertas. Kibasan ringan yang dihasilkan oleh gerakan tangan Sugi sungguh menghasilkan gelombang energi luar biasa yang merambat dan menjebol tanggul ingatan di otak Sheik Habibie sehingga seluruh ilmu yang telah dipelajarinya tumpah-ruah dan lenyap seketika. Sheik Habibie jadi pucat pasi. Jawaban yang sedang ditulisnya mendadak terputus. Ia tidak bisa mengingat apapun. Bahkan tanggal lahir dan ukuran celana dalamnya pun tak bisa ia ingat. Keganasan Benny tidak kalah dari Sugi. Jari kanannya menunggang pena dengan lincah, membuat ujung runcing itu menari balet di atas kertas. Putaran pena yang dilakukan Benny begitu sempurna sehingga tidak lama kemudian kertas jawabannya sobek dan ia harus meminta kertas jawaban baru dari pengawas dan menyalin kembali hasil kerja kerasnya. Pertarungan itu berlangsung sengit sepanjang ujian. Sugi dan Benny memang pintar sehingga tampaknya mereka selalu dalam kedudukan seimbang. Teman-teman memohon sambil berlutut dan menangis meraung-raung agar mereka menghentikan perseteruan mereka karena tekanan yang tercipta lewat adu kecerdasan itu membuat otak Ery dan teman-teman menjadi tersendatsendat. Bayangkan saja, karena sulit untuk berkonsentrasi, saat mereka berhasil mengisi satu jawaban untuk lima soal yang ada, bel tanda habisnya waktu ujian telah berdering. Kalau kondisi seperti ini terus dibiarkan, maka tak diragukan lagi bahwa Ery dan teman-teman pasti tewas dengan mengenaskan dalam musim ujian kali ini. Akan tetapi Sugi tetap tidak tergerak hatinya. Untuk memuaskan hatinya yang kecewa, ia akan melakukan apapun untuk memenangkan pertarungan kali ini. Bila ia harus mengorbankan teman-temannya, ia akan melakukannya! Sepertinya Happy Campus 3 © 2003, Anthony Ventura
33 Ery dan kawan-kawan tidak akan punya harapan lagi, namun keajaiban selalu saja terjadi. Keajaiban kali ini akan menyelamatkan mereka semua, kecuali satu orang… *** Sugi sedang belajar di kelas ketika Herlina tiba-tiba melintas di depan pintu. Sugi terkejut, langsung bangkit dan mengejarnya. Keduanya pun lantas bersua, mata bertemu mata, tetapi tak tahu apa yang harus dibicarakan. Mereka berdiri dengan canggung di tempat masing-masing. “Kau ingin mengatakan sesuatu padaku?” tanya Herlina dengan perlahan. Sugi menelan ludah dan mengangguk dengan kaku. “Tentang kejadian tempo hari itu, aku merasa bersalah. Aku ingin minta maaf…” Herlina tertegun. Ia terdiam sambil menatap wajah Sugi yang patut dikasihani, lalu ia menyadari bahwa orang-orang yang melintas di koridor kampus kini mulai memperhatikan mereka. “Kenapa kau harus minta maaf? Kau tak perlu minta maaf…” Sugi tampak bingung. “Apa maksudmu?” Herlina kian gelisah ketika para mahasiswa di sekitar mereka mulai berbisik-bisik. Ia berusaha menghindar percakapan dengan tema seperti itu di depan umum. Untuk mengakhiri perbincangan, Herlina akhirnya berkelit sebisanya. “Apa yang terjadi itu bukan urusanku. Apapun masalahmu, Sugi, aku tidak ingin terlibat. Permisi.” Sugi terkejut. “Herlina, tunggu. Kau tidak mengerti.” Melihat Sugi masih terus mengejarnya, Herlina berbalik dengan wajah memerah. Lalu ia berkata dengan nada tinggi. “Yang tidak mengerti itu kau, Sugi. Aku tidak tahu apa yang kau harapkan dariku, tapi jika kau ingin mencari pacar, cari saja orang lain. Aku sudah punya pilihan sendiri. Dan pria yang kupilih itu tentu bukan dirimu!” Langkah Sugi terhenti. Wajahnya langsung pucat pasi. Orang-orang di sekelilingnya juga sangat terkejut dengan pernyataan Herlina. Tepat di depan Sugi, Herlina juga sadar kalau ia telah membuat kekeliruan besar. Tak tahu apa yang harus ia perbuat, Herlina langsung berlari meninggalkan Sugi. Dan Sugi masih berdiri di sana, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya… *** Dalam kondisi shock yang sedemikian hebatnya, Sugi gagal dalam ujian terakhirnya. Tiga sekawan menyadari kalau trauma yang hebat baru saja menimpa rekan mereka yang pintar ini, tetapi karena mereka tidak tahu-menahu tentang peristiwa dimana Herlina melukai hati Sugi dengan telak, mereka tidak bisa banyak membantu. Melihat sikap Sugi yang pendiam, Mereka juga sadar bahwa tidak mungkin untuk bertanya kepada Sugi. Dan hal yang paling buruk masih datang menghampiri. Ketika nilai akhir semester telah diumumkan, terlihat jelas bahwa prestasi Sugi terpuruk karena ujian terakhirnya gagal. Jika bukan karena nilai mid-semesternya yang baik, sudah bisa dipastikan kalau Sugi tidak lulus dalam mata kuliah tersebut. Benny menjadi orang yang paling bahagia setelah mengetahui kalau ia berhasil mengungguli Sugi. Ia tertawa dengan keras dan ia tidak melewatkan kesempatan untuk menghina Sugi. Ditolak oleh Herlina, gagal dalam ujian, dihina habis-habisan oleh Benny… dalam kondisi mental yang nyaris depresi itu, apakah Sugi masih akan menemui nasib yang lebih buruk lagi? *** Happy Campus 3 © 2003, Anthony Ventura
34
30. Billy Atau Sugi Sugi sangat terpukul dengan apa yang terjadi pada dirinya. Ia putus asa. Kampus jelas bukan tempat yang cocok baginya untuk saat ini karena ia selalu merasa dicemooh di sana. Asrama pun membuatnya tidak betah karena keberadaan Ery, Ahmadi dan Billy membuatnya merasa risih. Perasaannya begitu rapuh dan sensitif sehingga ia tidak mau bertemu siapapun pada saat ini. Di dalam ketidakpastian, Sugi melangkah tak tentu arah, membawa serta kenangan buruk yang senantiasa membayanginya. Ia tak bisa lepas dari kalimat “Dan pria yang kupilih itu tentu bukan dirimu!” yang diucapkan dengan keras dan penuh rasa penolakan oleh seseorang yang ia kagumi. Ia juga takkan bisa lupa bagaimana Benny menghina dan menertawakannya. Semua itu bagaikan mimpi buruk yang tidak akan pernah usai! Sugi telah berjalan sekian lama. Ketika ia berhenti untuk melihat di mana ia berada, ia mendapati dirinya sedang berada di depan sebuah bioskop. Ia tersenyum kecut tatkala mengenang kembali saat-saat dimana mereka ingin menonton film The PartyKids, tetapi tak ada bioskop di Tortoise Village. Nasibnya sungguh buruk saat itu. Tapi sekarang juga tidak lebih baik. Sugi yang malang akhirnya membeli karcis untuk memuaskan impian masa lalunya… *** Sugi berada di dalam ruangan bioskop yang gelap. Dia tak tahu siapa yang ada di kiri-kanan kursinya. Dia bahkan tidak tak tahu film apa yang sedang ditontonnya. Namun ada satu hal yang membuat ia terperangah: ia tahu pasti siapa yang memerankan cowboy Billy Gunn7 dan ia jelas tidak senang dengan kenyataan itu! Tanpa menunggu hingga film usai, Sugi langsung beranjak dari kursinya dan pulang ke asrama. Dua puluh menit kemudian, pintu asrama terbanting secara mendadak, membuat Ahmadi, Billy dan Ery menoleh secara spontan. Sugi mengabaikan Ahmadi dan Ery, namun ia langsung menuju Billy, mencengkeram dan menarik bajunya. Billy terkejut, segera berdiri dan menggerak-gerakkan telapak tangannya sebagai isyarat agar Sugi tidak bertindak lebih lanjut. “Whoo, tahan! Ada apa ini?” seru Billy. “Sugi!” ujar Ery. Sugi menggeram. “Ery, sebaiknya kau dan Ahmadi tidak usah ikut campur. Aku akan mengajari pengkhianat ini tentang arti berpegang teguh pada ikrar.” “Apa maksudnya?” Ery dan Ahmadi saling pandang. “Shit! Pengkhianat? Apa maksudmu dengan menuduhku sebagai pengkhianat?” ujar Billy sembari menepis tangan Sugi dengan kasar. Ia jelas tidak senang karena disudutkan tanpa alasan yang jelas. “Sial! Kau berani mendorongku seperti itu?” maki Sugi yang temperamental. Tangan terkepal, siap untuk memukul, namun Ery menghentikannya. “Selama ada aku di sini, tak ada yang boleh main pukul!” Ery berkata dengan suara menggelegar. “Sugi, kau datang dengan tiba-tiba, lalu menuduh tanpa bukti. Apa sebenarnya yang ada di pikiranmu sekarang ini?” Ahmadi setuju. “Yeah, kita bisa membicarakannya, bukan? Lagipula aku tidak menyukai adegan kekerasan antar teman.” 7
Baca kisah “Demi Ahmadi”
Happy Campus 3 © 2003, Anthony Ventura
35 Sugi meronta. Ery terpaksa melepaskannya Kendati begitu, Ery tetap berjaga-jaga karena Sugi terlihat begitu liar dan tak terkendali. Sambil mendengus kesal, Sugi mengutarakan alasannya. “Kalian masih ingat ketika Anthony Ventura menawarkan kita untuk menjadi bintang?” tanya Sugi. “Tentu. Kita tidak setuju dengan idenya, bukan? Lalu apa hubungannya dengan tuduhan pengkhianatan yang kau tujukan pada Billy?” Ery balik bertanya. “Karena itulah yang ia lakukan secara diam-diam!” Sugi berteriak dengan histeris. “Tanpa sepengetahuan kita, ia telah membintangi film dengan memainkan sebuah peran kecil. Tapi hari ini aku berhasil membongkar semua kebohongan Billy. Kalian tenang saja. Kita dengar apa alasannya kali ini.” Billy terkejut. “Gee, jadi itu yang kau permasalahkan. Tapi apakah kau tahu apa yang sedang terjadi pada saat itu? Jangan katakan kalau kau lupa bahwa Ahmadi sedang sakit dan dia butuh uang untuk biaya operasi. Persetan dengan janji kita! Nyawa Ahmadi lebih penting bagiku. Oleh karena itu aku terpaksa menerima tawaran sebagai figuran.” “Terpaksa, katamu?!” Sugi menjawab dengan sinis. “Kau memang mengincar kesempatan seperti itu. Sejak awal kau memang tidak senang dengan ideku untuk menolak tawaran Anthony Ventura, lalu, di saat Ahmadi sakit, kau mengambil peran koboi dungu itu karena kau tahu kalau kau bisa berdalih untuk membohongi kami. Hei, aku bukan orang bodoh, Billy!” “Kurasa kau terlalu berburuk-sangka,” ucap Ahmadi. Sugi memandang Ahmadi dengan tatapan marah. “Kau tahu apa yang baru saja kau lakukan? Dia membohongi kita semua dan kau masih saja membelanya!” “Kita telah bersahabat selama bertahun-tahun. Tak kusangka kalau kepercayaanmu padaku begitu rendah,” Billy berkata dengan lirih. “Aku tidak memungkiri kenyataan bahwa aku tidak menepati janji, tetapi semula kukira kau bisa mengerti...” “Aku tidak bisa percaya, apalagi memahami seorang pembohong. Kesalahanku yang terbesar adalah bahwa aku pernah menganggapmu sebagai teman!” Billy terpana. Ia tahu emosi Sugi sedang tidak stabil, namun tak urung perasaannya terluka juga oleh perkataan Sugi. Amarah Billy akhirnya meluap. Harga dirinya memaksa ia untuk berperang mulut. “Baik! Kau anggap aku pembohong. Apa maumu sekarang?” Sugi tersenyum sinis. “Aku ingin agar kau enyah dari sini. Pergilah, Billy. Kau bukan lagi bagian dari kami.” Ery dan Ahmadi terperanjat. Mereka langsung menengahi. “Whoa, tidak bisa begitu,” seru Ery. “Sugi…” “Diam! Kalau kalian tidak setuju denganku, kalian juga boleh pergi! Pilih salah satu! Aku atau Billy!” Billy mendesiskan kata “memuakkan”, lalu berkemas dan hendak pergi saat itu juga. Melihat kenyataan seperti itu, Ery langsung bertindak untuk mencegahnya. Ia sama tidak menggubris tatapan Sugi yang terlihat tidak senang dengan tindakannya. “Kau tahu bahwa dia sedang dirundung masalah. Kau tidak menganggap serius setiap perkataannya, ‘kan?” tanya Ery saat ia mencegat Billy di depan pintu. “Jika kau dimaki seperti anjing, apa kau pikir itu tidak serius?” “Tapi…” Happy Campus 3 © 2003, Anthony Ventura
36 “Sudahlah.” Billy tersenyum pahit dan menepuk bahu sahabatnya, setelah itu ia melangkah keluar pintu dan meninggalkan mereka… ***
Happy Campus 3 © 2003, Anthony Ventura