MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 47/PUU-XII/2014
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN DPR, AHLI/SAKSI PEMOHON DAN PRESIDEN (VI)
JAKARTA KAMIS, 6 NOVEMBER 2014
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 47/PUU-XII/2014
PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan [Pasal 23 ayat (2)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. PT Cotrans Asia ACARA Mendengarkan keterangan DPR, Ahli/Saksi Pemohon dan Presiden (VI) Kamis, 6 November 2014, Pukul 11.14 – 12.36 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Hamdan Zoelva Arief Hidayat Ahmad Fadlil Sumadi Anwar Usman Aswanto Maria Farida Indrati Muhammad Alim Wahiduddin Adams
Sunardi
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Pemohon: 1. Aldo B. Kuasa Hukum Pemohon: 1. 2. 3. 4.
Marulam J. Hutauruk Sabaruddin Yasin Heribertus Filipus Arya Sembadastyo
C. Pemerintah: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Didik Harianto Budijono Sigit Danang Joyo Jatmika Dodik Samsu Teguh Jhon Hutagaul Irawan
D. Ahli dari Pemerintah: 1. A. Anshari Ritonga 2. Denny Indrayana
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.14 WIB 1.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Sidang Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 47/PUUXII/2014 dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Absen dulu. Pemohon, hadir, ya? Hadir. Dari Pemerintah mewakili Presiden? Dari DPR? DPR tidak hadir, ya? Baik. Hari ini kita melanjutkan sidang untuk mendengarkan keterangan Ahli dari Pemerintah, yaitu dua orang Ahli. Satu, Prof. Denny Indrayana. Ya, selamat datang lagi, Pak Denny jadi Ahli, sebelumnya mewakili Pemerintah. Dr. Anshari Ritonga? Ya, baik. Silakan maju dua-duanya untuk diambil sumpah lebih dulu.
2.
HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Kepada kedua Ahli, ikuti lafal sumpah yang akan saya tuntunkan. “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.”
3.
PARA AHLI BERAGAMA ISLAM BERSUMPAH: Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.
4.
HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Terima kasih.
5.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Terima kasih. Kembali ke tempat. Ya, saya persilakan siapa yang lebih dulu? Prof. Denny Indrayana atau Pak Anshari Ritonga?
6.
PEMERINTAH: DIDIK HARIANTO Terima kasih, Yang Mulia. Terlebih dahulu barangkali kami persilakan Bapak Prof. Dr. Denny Indrayana. Terima kasih.
1
7.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, silakan di podium.
8.
AHLI DARI PEMERINTAH: DENNY INDRAYANA Terima kasih. Assalamualaikum wr. wb. Bapak Ketua, dan Para Hakim Konstitusi yang saya muliakan, Hadirin sekalian. Saya mempunyai tayangan yang mungkin bisa membantu untuk memberikan keterangan Ahli pada siang hari ini terkait uji konstitusionalitas Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan. Pasalnya untuk kita ingat saja, berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2, diatur dengan atau berdasarkan peraturan Menteri Keuangan.” Konstitusionalitasnya kalau saya membaca apa yang diajukan Pemohon adalah beberapa hal. Yang paling inti, pengaturannya di luar undangundang, dan tentang menimbulkan ketidakpastian hukum, diskriminatif, dan lain-lain. Saya akan coba memberikan argumentasi-argumentasi, mengapa ini tetap aturan yang konstitusional? Benar, Pasal 23A kita sama-sama paham bunyinya, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Namun, ketentuan itu bukan berarti tidak boleh ada aturan lebih lanjut. Tidak dapat dikatakan bahwa kalau ini diatur dengan peraturan Mahkamah Konstitusi … ulangi, Peraturan Menteri Keuangan (PMK), kemudian keliru, dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Ada beberapa argumentasi yang akan saya paparkan untuk menguatkan pendapat itu. Empat di antaranya adalah delegasi aturan. Yang kedua, izinkan saya mengutip permohonan yang sama, yang juga sudah diajukan dalam keterangan Pemerintah, putusan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 … ulangi, ulangi, yang kedua … argumentasi yang kedua adalah sejalan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Yang ketiga, saya ingin mengutip Putusan MK Nomor 128 Tahun 2009 yang pada dasarnya serupa, meski tak sama, pasti. Beberapa argumentasinya terkait dengan delegasi pengaturan ini. Dan yang terakhir bahwa praktik delegasi pengaturannya adalah hal yang biasa. Saya sengaja kemudian mengambil contoh di Mahkamah Konstitusi sendiri yang akan saya jelaskan kemudian. Baiklah, kita lihat satu per satu delegasi aturan. Meskipun Undang-Undang Dasar 1945 mengatakan, “Pajak diatur dengan undangundang,” namun ketentuan lebih lanjut saya beri tanda kutip sebagaimana bunyi pasal yang diuji pada hari ini, diatur dengan peraturan Menteri Keuangan adalah sejalan dengan teori delegasi. Yang tidak boleh, menurut pendapat kami adalah jika kemudian muncul PMK otonom. Ada istilah peraturan pemerintah otonom, peraturan presiden 2
otonom, tapi kalau dia ada delegasi, apalagi delegasi itu dari yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 dalam artian bentuk undangundang yang memberikan, masih boleh, kalau yang memberikan peraturan di luar undang-undang agak … bukan agak, saya berpendapat memang tidak bisa, dalam konteks ini undang-undang lah yang mendelegasikan dan karenanya tidak keliru atau jika yang menerima delegasi kewenangannya tidak bisa me … apa … melaksanakan apa … tidak punya kewenangan untuk mengatur lebih lanjut tentang … terutama tentang pajak. Menterinya bukan menteri punya kewenangan itu. Tiba-tiba bunyinya diatur dengan peraturan Menteri Hukum dan HAM atau Menteri Perhubungan, itu jadi problematik. Satu lagi barang kali yang tidak tercatat di sini jik … ulangi, jika yang menerima delegasi kewenangan bukan menteri yang berwenang, ya, atau jika yang memberi bukan juga yang berwenang memberikan, dalam hal ini yang memberikan adalah pembuat undang-undang Pemerintah dan DPR. Jadi baik yang memberi delegasi maupun yang menerima delegasi dalam konteks ini tidak ada masalah, sehingga pendelegasian ke dalam bentuk peraturan Menteri Keuangan, mestinya sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 tidak dapat diargumentasikan tidak konstitusional. Selanjutnya. Nah, argumentasi kedua yang juga disoal oleh Pemohon menurut kami masih sejalan bahkan sangat sejalan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, nanti Pak Anshari barang kali juga bisa, saya juga bisik-bisik sedikit mengatakan juga dari sisi hukum pajak, Beliau hampir sama mengutip ini juga. Dengan jelas kita samasama paham bahwa di situ dikatakan peraturan perundang-undangan di luar Pasal 8 ayat (1) itu mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan yang lebih tinggi atau berdasarkan kewenangannya. Nah, PMK kita sama-sama tahu dalam konteks ini diperintahkan oleh Undang-Undang Pajak Penghasilan dan dibentuk berdasarkan kewenangan Menteri Keuangan. Kalau kita lihat butir 200 lampiran Undang-Undang 12 Tahun 2011, maka dengan jelas dikatakan di situ, “Pendelegasian kewenangan mengatur harus menyebut dengan tegas dua hal, ruang lingkup materi muatan yang diatur dan jenis peraturan perundang-undangan.” Kedua-duanya terpenuhi dengan Pasal 23 yang diajukan oleh konstitusionalitasnya, ruang lingkupnya adalah jenis jasa lain, jenis peraturannya disebut peraturan Menteri Keuangan. Bapka, Ibu, saya masih lanjutkan dengan Undang-Undang 12. Bagaimana dengan kewenangan Menteri Keuangan banyak sekali yang terkait dengan pajak ini? Nanti juga pada Pak Ritonga bisa lebih mengulas dari sisi hukum perpajakannya. Saya hanya mengambil satu contoh saja yaitu Pasal 8 Undang-Undang tentang Kuangan Negara yang bunyinya, “Dalam rangka pelaksaannya kekuasaan atas pengelolaan fiscal, Menteri Keuangan mempunyai tugas,” yang e misalnya, 3
“Melaksanakan pemungutan pendapatan negara.” Jadi kalau dia melaksanakan pungutan jenisnya juga adalah kewenangan dia untuk menentukan secara logiknya. Ini hanyalah salah satu contoh bahwa kewenangan yang disyaratkan oleh Undang-Undang 12 untuk melakukan delegasi sangat jelas, banyak diatur dalam peraturan perundangundangan kita, salah satunya dengan Undang-Undang Keuangan Negara ini. Selanjutnya. Di dalam Pasal 8 kita sama-sama membaca dengan sangat jelas ayat (1) penjelasannya dengan apa … dengan sangat terang dicontohkan yang dimaksud dengan peraturan menteri disebut peraturan menteri. Jadi kalau kita sekarang sedang menguji konstitusionalitas peraturan menteri, undang-undang ini dengan jelas mencontohkan bahwa peraturan menteri adalah peraturan yang ditetapkan oleh menteri berdasarkan materi muatan dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan. Keuangan negara, pajak, sangat jelas termasuk dalam konteks itu, atau bahkan Pasal 8 ayat (2) penjelasannya dengan jelas juga mengatur tentang yang dimaksud dengan berdasarkan kewenangan adalah penyelenggara urusan tertentu pemerintahan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, yang salah satunya saya bacakan berdasarkan Undang-Undang Keuangan Negara. Jadi argumentasi kedua terkait dengan Undang-Undang Nomor 12 yang diargumentasikan dalam permohonan ini bertentangan, tidak sesuai, justru kalau kita baca ada banyak aturan-aturan terutama Pasal 8 dan penjelasannya yang menguatkan bahwa pendelegasian ke dalam peraturan Menteri Keuangan adalah tepat. Selanjutnya. Nah, argumentasi ketiga, izinkan saya mengutip mengingatkan kita, saya yakin Hakim Konstitusi juga sudah … Majelis juga sudah mengingat ini tapi izinkan saya merefresh kita semua bahwa sudah ada Putusan 128 Tahun 2009 yang permohonannya argumentasinya mirip-mirip tidak boleh ada delegasi kewenangan terkait dengan pajak karena menurut Undang-Undang Dasar 1945 ad dalam undang-undang, maka dalam paragraf 3.13 izinkan saya membacakan yang merah saja, “Proses pembentukan peraturan di bawah undangundang lebih cepat dibandingkan proses pembentukkan undangundang.” Jadi MK punya pandangan yang menurut kami tepat ... Mahkamah bahwa kalau menunggu undang-undang bisa jadi justru kebutuhan untuk mendapatkan alasan hukum memang sulit. Bahkan PP sekalipun terkait dengan delegasi, saya kemarin membaca dokumen pendapat ahli yang mengatakan, “Kalau tidak di undang-undang minimal peraturan pemerintah.” Satu, ahli demikian berarti berpendapat memang diizinkan ada delegasi di luar undang-undang untuk pengaturan pajak. Yang kedua, kalau terkait dengan cepat, pengalaman kami untuk membuat PP PNBP Kemenkumham misalnya itu bisa dua-tiga tahun juga, lambat juga. Atau yang merah yang kedua yang kami ingin bacakan di situ, “Pendelegasian wewenang tersebut merupakan hal yang lazim,” 4
pendapat Mahkamah, “Dan dibolehkan dalam penyelenggaraan negara,” Oleh sebab, itu kami cetak tebal dan kapital, “Tidak bertentangan dengan hukum.” Jadi Mahkamah dalam putusan ini dengan jelas menyatakan, “Pendelegasian dari undang-undang itu ke aturan yang lebih bawah adalah hal yang konstitusional, tidak bertentangan dengan hukum.” Selanjutnya, masih dalam putusan yang sama, paragraf yang lain, 315.1. Bahwa pendelegasian ini argumentasi Mahkamah adalah legal policy. Bahwa pendelegasian undang-undang untuk mengatur lebih lanjut ke peraturan yang lebih rendah adalah kebijakan pembentuk undang-undang yaitu DPR dengan persetujuan pemerintah, sehingga kami kembali garis … beri warna berbeda, tidak ada ketentuan UndangUndang Dasar 1945 yang dilanggar. Artinya produk hukumnya dianggap sah. Saya pikir pendapat ini yang diberikan Mahkamah dalam pertimbangan … dalam pendapat, di putusan itu sudah sangat klir tentang delegasi yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Masih dalam putusan yang sama, izinkan saya mengutip paragraf selanjutnya, yang titik dua, “Pengaturan lebih lanjut dalam bentuk peraturan pemerintah bahkan keputusan Menteri Keuangan, bahkan keputusan dirjen pajak, di samping untuk memenuhi kebutuhan pemerintah dengan segera … supaya ada alasan hukum yang lebih rinci dan operasional sekaligus juga merupakan diskresi.” Jadi ini argumentasi diskresi. Sengaja kami memberi judulnya atasnya Diskresi, “Yang diberikan oleh undang-undang kepada pemerintah yang dibenarkan oleh hukum administrasi.” Dengan demikian, maaf, maka Mahkamah kembali saya beri kapital, “Pasal-pasal yang diuji konstitusionalnya tidak bertentangan dengan Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945.” Selanjutnya masih putusan yang sama, izinkan kami yang terakhir ini mengutip paragraf 3.16. Bahwa ini argimentasi selain diskresi, bukan delegasi blangko. Jadi ada diskresi memang tapi pemerintah yang memberi … memperoleh kewenangan untuk memilih kebijakan yang berkaitan dengan tarif memalui delegasi, bukan blangko karena ada batasannya. Sama dengan ini, meskipun jenisnya diatur lebih lanjut, tetapi tarif maksimalnya tetap tidak bisa melebihi ketentuan UndangUndang Pajak Penghasilan. Tetap di situ, tidak melebihi tarif pajak tertinggi. Jadi dengan demikian kata Mahkamah, delegasi ini tidak melanggar ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Sengaja kami mengambil paragraf-paragraf ini agak lengkap karena kami berpendapat bahwa apa yang diuji dalam permohonan ini punya kesamaan, kemiripan, objek terkait dengan apakah bisa pajak diatur dalam peraturan lebih rendah argumentasi hanya boleh undangundang dan seterusnya, Putusan Mahkamah Tahun 2009 dengan jelas menyatakan, “Delegasi pengaturan diizinkan, delegasi kewenangan juga tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.” 5
Selanjutnya yang keempat, argumentasi yang kami ingin paparkan dalam forum Yang Mulia ini adalah kalau kita lihat praktik pendelegasian ke peraturan rendah adalah hal yang biasa dan izinkan kami juga pada forum ini mengutip di Mahkamah Konstitusi Pasal 24C dengan jelas disebutkan bahwa argumentasinya pajak diatur dengan undang-undang, maka Pasal 24C ayat (6) mengatur, misalnya hukum acara juga diatur dengan undang-undang dan kita sama-sama paham bahwa dalam praktiknya, hukum acara pengaturan lebih lanjutnya, lebih detailnya, itu juga ada di peraturan yang lebih rencah, tidak sematamata ada dalam Undang-Undang MK tapi ada dalam peraturan Mahkamah Konstitusi. Itu 4 argumentasi yang ingin kami paparkan, pertama. Di luar itu, izinkan kami memberikan beberapa tambahan terhadap argumentasi yang mengatakan ini tidak sejalan dengan kepastian hukum, Pasal 28D Undang-Undang Dasar 1945. Justru argumentasinya bisa terbalik, bisa dibalik. Justru dengan diatur dalam peraturan Mahkamah … ulangi … peraturan Menteri Keuangan, aturan undang-undang PPh menjadi lebih pasti, menjadi lebih rinci, dan justru lebih jelas. Kalau kami melihat peraturan Menteri Keuangannya itu ada 30-an lebih jenis jasa yang lain, dan kalau ini dimasukkan ke dalam undang-undang tentu menjadi materi yang tidak pas, terlalu detail, untuk ukuran undang-undang. Dan kami berpendapat open clause semacam ini jenis jasa lain memang diperlukan justru untuk mengantisipasi dinamika bisnis yang sangat cepat, meskipun bukan berarti menimbulkan ketidakpastian justru dengan diatur, sekali lagi justru adalah memenuhi kepastian hukum itu. Yang selanjutnya sejalan dengan pasal … ulangi, paragraph 3.13 Putusan 128 tadi kami ingin menguatkan lagi bahwa undang-undang di samping pasti harus mampu mengantisipasi perkembangan bisnis yang bergerak cepat, dalam hal ini negara harus punya instrumen untuk mendapatkan pajak tanpa harus selalu mengubah undang-undang. Kalau argumentasinya tentang pajak hanya bisa diatur dengan undang-undang atau bahkan PP sekalipun tentu membutuhkan waktu yang lama dan ini justru dalam konteks penerimaan negara, kesejahteraan, (suara tidak terdengar jelas), dan selanjutnya, justru bertentangan dengan spirit konstitusi yang juga memperhatikan bagaimana negara mempercepat kesejahteraan rakyat. Selanjutnya kami juga ingin memberikan urun pendapat terkait dengan argumentasi bahwa ini adalah aturan yang diskriminatif. Kami membaca putusan-putusan Mahkamah Konstitusi tidak kami kutip satusatu karena banyak sekali terkait dengan HAM ini. Rata-rata itu semua mengatakan diskriminasi terkait soal-soal yang terkait SARA. Kalau itu terkait legal policy, pilihan-pilihan, itu bukan diskriminasi sepanjang diberlakukan sebagai aturan yang berlaku sama untuk semua untuk kondisi yang sama, maka aturan jenis jasa lain dalam peraturan Menteri Keuangan ini tidak dapat diargumentasikan sebagai perlakuan 6
diskriminatif karena berlaku sama bagi semua. Itu yang ingin kami paparkan pada kesempatan yang baik dan terhormat ini. Bapak Ketua dan Majelis Hakim Konstitusi yang kami hormati mudah-mudahan bisa membantu dalam kita mencari keputusan yang terbaik sesuai dengan konstitusi. Atas kesempatan yang diberikan, kehormatan, terima kasih. Wabillahi taufik wal hidayah. Assalamualaikum wr. wb. 9.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Terima kasih. Selanjutnya saya persilakan Dr. Anshari Ritonga.
10.
AHLI DARI PEMERINTAH: A. ANSHARI RITONGA Assalamualaikum wr. wb. Bapak Ketua Majelis Yang Mulia dan Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi Yang Mulia, yang terhormat Wakil dari Pemohon, dan yang terhormat Wakil dari Pemerintah, serta Hadirin yang berbahagia. Pertama-tama terlebih dahulu saya menyampaikan terima kasih atas perkenan yang diberikan kepada saya sebagai salah seorang tenaga Ahli yang diminta oleh Pemerintah sebagai Pihak Termohon untuk memberikan keterangan Ahli terkait pengujian Pasal 23 ayat (2) UndangUndang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat UndangUndang Pajak Penghasilan Nomor 7 Tahun 1983 terhadap UndangUndang Dasar 1945 yang diajukan oleh PT. Cotrans Asia ke Mahkamah Konstitusi yang sekarang lagi disidangkan. Sebelumnya izinkan saya memperkenalkan diri sebagaimana tadi sudah diungkapkan oleh Bapak Ketua saya namanya Anshari Ritonga, saya sekarang sebagai dosen tapi di samping itu juga pengalaman saya adalah termasuk yang ikut aktif membuat undang-undang ini termasuk munculnya Pasal 23 ayat (2) karena sebelumnya dalam pasal sebelumnya tidak demikian. Adapun materi undang-undang yang diajukan Pemohon untuk diuji dan beberapa pertimbangan yang dikemukakan dalam permohonan Pemohon antara lain, inilah yang sebagai berikut. Saya mulai dengan ketentuan yang dimohon untuk dilakukan adalah Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar … Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 yang sebenarnya tidak bisa dipisahkan dengan Pasal 23 ayat (1) nya karena kewajibannya ada di Pasal 23 ayat (1) yaitu, “Atas penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya, yang dilakukan oleh badan pemerintah atas subjek pajak dalam negeri, atau penyelenggara kegiatan, atau bentuk usaha tetap yang memberikannya kepada wajib pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan,” yaitu berlaku umum untuk yang lain diatur hanya diatur khusus untuk jasa yang diatur pada Pasal … huruf c ayat 7
(1) nya yaitu sebesar 2% dari jumlah imbalan sehubungan dengan jasa teknik dan jasa manajeman jasa konstruksi yang konsultan dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong. Inilah yang menjadi permasalah yang nanti berkembang. Dikatakan oleh Pemohon menjadi membuat, Pertama adalah ketidakpastian hukum. Yang kedua dampaknya akan menjadi kerugian kepada Pemohon dan juga yang lain adalah perlu perlindungan hukum. Oleh karena itu, saya kemukakan atau saya juga jelaskan dulu ketentuan yang dianggap merugikan hak dan kewenangan konstitusi Pemohon terkait dengan pasal tersebut. Untuk memenuhi ketentuan dimaksud Pasal 23 ayat (2) dikatakan tadi bahwa kepada Menteri Keuangan diberikan kewenangan untuk menentukan jasa lain, ini sumbernya. Maka keluarlah Keputusan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK/03/2008, tanggal 30 Desember 2008. Inti di sini adalah ada tambahan jasa sebanyak 62 jenis jasa yang dalam undang-undang yang mulai tahun 1994 sampai tahun 2000 ini hanya disebut 4 jasa, yaitu jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, dan jasa konsultasi. Di situ dibuat jasa lain dan seluruhnya kena pajak, seluruhnya sampai tahun 2008 ... sampai 2008 keluarnya undang-undang ini, jasa lain semua kena, yang diatur di Direktur Jenderal Pajak adalah tarifnya dalam menghitung, dalam menghitung penghasilan netto. Karena di buat di situ adalah tarifnya dari penghasilan netto. Baru di undang-undang ini ... di undang-undang di uji materi ini, jadi dibuat penentuan jasa lain karena diubah yang tadinya dihitung 15% daripada penghasilan bruto, jadi seluruh yang diperolehnya tidak mempersoalkan sekarang menjadi penghasilan netto, sehingga perlu tidak seluruh jasa itu cara menghitung nettonya berbeda, maka dilimpahkan lah cara menghitung penghasilan nettonya itu kepada Menteri Keuangan. Oleh karena itu, saya buat resume daripada khusus karena persoalan ini adalah pada Pasal 2 ayat (2) PMK 244 Tahun 2008 ditetapkan bahwa jenis jasa pengangkutan sistem transportasi kecuali jasa angkutan umum, nilai yang ditambahkan dalam pasal itu khusus terkait dengan jasa pelayaran, ya, yang termasuk jasa penunjang di bidang penambangan selain migas, misalnya menyangkut ... saya buat ini contoh saya di sini, misalnya menyangkut batubara dari penimbunan ke kapal adalah termasuk jenis jasa lain, sebagaimana yang dimaksud Pasal 23 ayat (2) Pajak Penghasilan, 36/2008, yang diwajibkan bagi si pembayar pemotong pajak penghasilan sebesar 2%. Ini berlaku 2% sesudah tahun 2008, sebelumnya ... sebelumnya itu adalah ditentukan 15% dari penghasilan netto. Nah, penghasilan netto itulah yang disuruh diaturkan ... diatur kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menetapkan perhitungan ... perkiraan, perkiraan penghasilan. Jadi dengan 15% kali ... diatur tadi diperaturan Direktur Jenderal Pajak 30% penghasilan perkiraan persen netto, sehingga tadinya menjadi 4,5%. Jadi 4,5% seharusnya yang diacu untuk Pasal 2 ayat (2) ... eh, sori ... ya, pasal ... 8
menurut Pasal 24 ... menurut PMK 24 tersebut Pasal 2 ayat (2). Sekarang karena timbul permasalahan di sini adalah dari kasus yang dikemukakan oleh Pemohon, dari permohonan yang diajukan tanggal ... yang disampaikan tanggal ... saya buat di sana, maaf sekali. Dari perbaikan permohonan uji materi yang disampaikan tanggal 27, 2014, saya baca di situ bahwa timbulnya interpretasi ini baik namanya merugikan ataupun namanya merasa itu adalah minta perlindungan adalah karena penentuan Pasal 23 ayat (2) ... Pasal 22 ayat (2) tadi, yaitu termasuk ... termasuk jasa pengangkutan sistem transportasi sebagai jasa lain. Karena menurut si Pemohon dia masukkan kepada ... itu nanti kepada Pasal 15, ini akan saya jelaskan. Oleh karena itu, akan saya coba jelaskan mendudukan dasar hukum yang menjadi acuan Pemohon dalam menentukan kewajiban pajak penghasilan sehubungan dengan kasus Pemohon yang dicantumkan dalam pasal ... yang diajukan dalam permohonan apa ... perbaikan permohonannya, butir 13, butir 13 dari permohonan pengujiannya. Yaitu dalam kegiatan Pemohon menyediakan memberikan jasa pemindahan barang muatan batubara dari transhipment milik perusahaan pertambangan batubara, selanjutnya disebut namanya pemilik barang atau pengguna jasa, ya. Dari tempat penimbunan ke kapal … dari tempat penimbunan ke kapal. Ini akan masuk kepada undang-undang yang dipakai pengertian Undang-Undang Pelayaran yang dipakai dalam pajak nanti. Bahwa yang masuk Undang-Undang Pelayaran dan Jasa Pelayaran yang dimaksud itu adalah harus barang itu dibawa atau Pemohon itu ... atau penumpang dibawa dari pelabuhan ke pelabuhan, dari pelabuhan ke pelabuhan. Itu yang tunduk kepada jasa pelayaran, ini bukan dari pelabuhan ke pelabuhan, ini dari darat, darat ke kapal, ini dari darat ke kapal. Ini banyak cara dia memasukannya, ada bisa pakai ... kalau kita lihat misalnya contoh dari batubara yang dari pelabuhan sampai ke apa ... yang di apa ... yang di Serang itu pakai anu ... pakai apa ... pakai jalur … apa namanya itu … ban-ban berjalan, ada pakai pipa, ada memang pakai tongkang, ini bertepatan pakai tongkang. Jadi tidak termasuk dengan pengangkutan pelayaran yang dimaksudkan, ini makanya disebut. Oleh Karena itu, terhadap menyediakan atau memberi jasa pemindahan barang dan muatan batubara milik perusahaan pertambangan yang dilakukan oleh dari sisi BUT atau pemilik barang ke kapal itu dikenakan perlakuan pajaknya, ya adalah pakai dianggap sebagai jasa-jasa penunjang. Jadi bukan pelayaran, bukan. Jadi perlakuan jasanya di sini disebut di situ adalah atas penghasilan yang diperoleh Pemohon pemilik barang pengguna jasa sebagai pembayaran atas jasa pemindahan barang muatan miliknya, pemindahan ke kapal. Pemohon hendaknya mengacu kepada Pasal 23 ayat (2) … Pasal 23 ayat (2), Pemohon memakai Pasal 15, kalau Pasal 15 ya adalah dia untuk menghitung pajaknya sendiri. Jadi mungkin saya jelaskan kepada 9
Majelis, dari yang terlibat pasal dalam kegiatan wajib pajak ini adalah sebenarnya Pasal 15, Pasal 15 adalah diberikan kepada wajib pajak ini termasuk pelayaran ini adalah untuk menghitung pajak sendiri, maka ditentukan bagaimana cara menghitung penghasilan netto? Bagaimana cara menghitung penghasilan netto? Tapi untuk dia sendiri. Tapi kalau untuk orang lain, namanya memungut, yang menanggung bukan dia, yang menanggung orang lain, itu hanya cara memungut, sangat berbeda. Pasal 15 tidak menentukan besar pajaknya, makanya untuk dia sendiri, dibuat namanya norma. Di sini, Pasal 23 bukan dipakai norma, perhitungan penghasilan netto sementara … perkiraan penghasilan netto. Jadi kalau Pasal 23 menyebut perhitungan perkiraan penghasilan netto karena bukan final, bukan definitif. Berapa pun dipungut itu nanti akan dikreditkan ke itu, kepada pajaknya yang menanggung, kecuali yang ditentukan final. Oleh si wajib pajak, oleh si Pemohon, ini dipakai seakan-akan untuk kewajiban dia menghitung pajaknya sendiri, ini Pasal 15. Padahal seharusnya dia harus memakai untuk memungut pajak orang lain, itu Pasal 23. Karena prinsip Pasal 23 itu adalah penghasilan bagi usaha pelayaran yang diperoleh perusahaan pelayaran dari angkutan orang dan atau barang yang dikenakan pajak final sesuai … itu diatur waktu itu berlakunya adalah PMK 416 atau 417, yaitu perairan di dalam atau luar negeri adalah atas angkutan umum dari suatu pelabuhan ke pelabuhan lain dalam negeri atau ke luar negeri. Jadi itu yang berlaku yang dipakai oleh si Pemohon, kenyataannya. Sedangkan seharusnya … seharusnya adalah Pasal 23, yaitu Undang-Undang Pajak Penghasilan, (suara tidak terdengar jelas), atas pembayaran yang dilakukan oleh badan pemerintah atau subjek pajak, dalam hal ini subjek pajak dalam negeri, ya, menjadi penghasilan bagi yang menerimanya dan dipotong oleh si pemotong, maka dia yang memotong dan membayar ke kas negara, tapi yang menanggung … yang menanggung adalah yang dipotong. Jadi tidak ada tambahan beban, baik bagi Pemohon, baik kepada yang dipotong, tidak ada sepanjang sesuai ketentuan, tidak ada tambahan beban karena dikreditkan bagi yang dipotong. Si pemotong, dia menjadi tambahan beban, nanti akan dijelaskan di situ ada dikeluarkan SKPK, sama dia. Karena dia memakai Pasal 15 yang bukan untuk dia. Pasal 15 itu adalah untuk kewajiban beban dia, kewajiban beban dia. Di situ dia menggunakan penghasilan netto … menghitung penghasilan netto adalah penghasilan nettonya untuk dia dan itu nanti dasar menghitungkan pajaknya. Ini tidak, untuk pajak orang lain, yaitu pajak daripada yang punya batubara, padahalnya seandainya berapapun dipungut ini, ini tidak menambah beban karena pada prinsipnya akan dihitungkan kepada pajaknya pada akhir tahun. Sekarang saya akan soroti mengenai pelimpahan kewenangan Pasal 23 ayat (2) kepada Menteri Keuangan dan penafsiran dapat berdampak bertentangan Pasal 28D atau Pasal 28I. Menurut Pemohon 10
dengan membuka peluang menentukan jenis jasa lain selain yang diatur Pasal 23 ayat (1) huruf a, huruf c karena huruf b-nya dihapus sebagaian Pasal 23 ayat (2) telah menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana dimaksud Pasal 28D dan 28I Undang-Undang Dasar Tahun 1945, ini menurut Pemohon yang dikemukakan dalam butir 30, butir 30 perbaikan permohonannya. Perlu … apa … perlu penentuan jenis jasa lain selain yang disebut oleh Pasal 23 ayat (1), waktu itu hanya disebut ada 4 jenis. Jasa teknis, jasa manajemen, jasa konstruksi, dan jasa konsultan. Adalah karena masih banyak lagi jenis-jenis jasa lain yang terus bertambah, yang terus bertambah, mengingat banyaknya jenis jasa lain yang berpeluang menjadi objek pengenaan pajak penghasilan dan terus berkembang kegiatan orang pribadi atau badan hukum yang selalu mengikuti menyesuaikan dengan perkembangan teknologi dan sosial ekonomi masyarakat, maka tidak semuanya dicantumkan langsung Pasal 23 ayat (1) huruf c untuk menampugnya, maka diatur dalam Pasal 23 ayat (2) untuk melimpahkan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menentukan jasa-jasa lain yang disebutkan. Seperti saya jelaskan tadi, mulai undang-undang dibuat mula-mula tahun 1983, mula-mula hanya dua jasa, jasa teknik dan jasa manajemen, hanya dua dan tidak ada jasa lain, dan itu memang berlaku umum, semua dan yang lain 15%. Di sepuluh tahun kemudian di tahun 1994, baru bertambah dua jasa lagi menjadi jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, dan jasa konsultasi. Di situ yang tadinya 15% pada tahun 1983, 5% tadi penghasilan bruto, diubah menjadi penghasilan netto. Maka timbullah ketentuan di … di … di tahun 1994, diberikan kewenangan kepada Dirjen Pajak menentukan penghasilan netto-nya karena menghitungnya dari penghasilan netto. Kemudian, berlaku sampai 10 tahun sampai tahun 2000, masih sama, sama sekali tidak berubah. Artinya, seluruh jasa lain tanpa menyebut namanya, itu semua kena pajak, tidak dirinci pajaknya manapun, semua kena. Tarifnya adalah 15% dari jasa. Hanya yang diatur, diberikan kepada Direktur Dirjen Pajak adalah menentukan … menentukan penghasilan netto-nya, maka dibuatlah penghasilan netto itu rata-rata ada tabelnya, sesuai dengan ketentuan peraturan Dirjen Pajak, ada yang 10%, ada 30%. Terhadap jasa ini 30%, sehingga tadi menjadi 15% x 13% menjadi 4,5%. Pengertian jasa lain yang diatur dalam peraturan Menteri Keuangan adalah mengatur perlakuan pajak penghasilan atas jasa yang belum tersebut dalam pasal yang ada agar berlaku seperti yang berlaku untuk jasa pada umumnya, sedangkan ketentuan perpajakan yang berlaku untuk semua jenis jasa sudah ada ketentuannya yaitu pajaknya tadi itu 15% hitungannya di penghasilan netto. Penghasilan netto saja yang diatur oleh Direktur Jenderal Pajak, sehingga menjadi tarif 15% x jenis penghasilan netto. Nah, dengan 11
demikian tidak ada pengaturan yang baru, jasa itu sudah ada, jenis jasanya sudah ada, hanya tujuan frasa jasa lain dalam peraturan Menteri Keuangan Nomor 23 itu adalah seperti Pak tadi … Saksi Ahli pertama, untuk mengantisipasi perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi yang tumbuh berkembang dengan cepat dalam bermacam corak kegiatan masyarakat yang berpotensi timbulnya jasa baru, agar jangan menimbulkan ketidakadilan, misalnya karena belum tercantum dalam undang-undang, maka ketentuan pajak terkait tidak diterapkan. Yang kedua, jika dicantumkan lengkap dalam pasal-pasal undangundang, apabila ada perubahan atau penambahan jenis jasa, maka untuk menampungnya harus dengan merubah undang-undang. Sedangkan untuk peoses perubahan undang-undang memerlukan waktu cukup lama. Saya berikan contoh, undang-undang itu sendiri yang sekarang dua dasarnya, 42/2009, tiga tahun lebih baru selesai, tiga tahun. Disampaikan pada tahun 2006, itu baru keluar tahun 2009, tiga tahun. Dalam proses itu jenis jasa sudah bertambah banyak sekali. Pada prinsipnya, semua penghasilan atau setiap tambahan kemampuan ekonomi yang terima wajib pajak adalah objek pajak termasuk yang diperolah oleh jasa. Jadi, sebenarnya dari segi kewajiban, tidak menambah … tidak menambah. Diatur atau tidak itu harus kena karena Pasal 41, maaf sekali, hasil curian juga itu harus kena pajak, hasil rampokan sepanjang menambah nilai ekonomi, itu harus kena pajak, jelas itu Pasal 4 ayat (1). Bahwa objek pajak adalah setiap pertambahan nilai ekonomi, nilai ekonominya belum muncul, pertama betul-betul fisiknya tanpa uangnya, atau kemungkinan kekayaannya bertambah, atau kemungkinannya hutangnya bebas, ini. Oleh karena itu, jasa ini tercantum atau tidak, dia kena pajak, hanya yang diatur adalah cara memungutnya … cara memungutnya, kebetulan itu dibalik cara memungut, dipotonglah dia menurut Pasal 23. Menurut Pemohon, pelaksanaan Pasal 23 ayat (2) telah memberikan ketidakpastian hukum dan mencederai jaminan perlindungan hukum yang adil bertentangan dengan Pasal 24D ayat (1) dan 20 ayat (1). Cakupan ketentuan lebih lanjut diatur dalam peraturan Menteri Keuangan yang tanda kutip, “Yang disebut dalam Pasal 23 ayat (2) tersebut,” sebagaimana 23 adalah pajak penghasilan hanya terbatas menyatakan bahwa atas penghasilan dan imbalan pemakai jasa dibayarkan oleh pengguna jasa, memotong sebesar 4,5% x 15 x 30 yang saya katakan tadi, yaitu ditentukan di pasal itu karena 15%, tapi menghitungnya adalah dari penghasilan netto. Penghasilan netto tidak sama semuanya karena ada pembukuan, ada (suara tidak terdengar jelas), sehingga itulah yang diatur. Ditetapkanlah dengan putusan Menteri Keuangan yang (suara tidak terdengar jelas) sebenarnya dengan Direktur Jenderal Pajak, 15%, sehingga tadi menjadi 15 x 30%. Sekarang yang dipakai oleh si 12
Pemohon. Si Pemohon adalah ada ketentuan juga yang pas seperti itu apabila dia sebagai perusahaan pelayaran dikenakan memang dia kena tarifnya 15% … 15%. 15% dia untuk dirinya dan finalnya kalau di situ disebut 2,64%, final, sedangkan kalau tadi tidak, dia tidak apa … finalnya … pemotongannya dikenakan 15% tapi dari penghasilan netto, menghitung penghasilan netto dilimpahkan kepada Direktur Jenderal Pajak. Yang dipakai oleh si Pemohon adalah yang tadi 2,64%, padahal itu adalah berlaku bagi dia untuk menghitung pajaknya, menghitung pajaknya, menghitung pajak dari maskapai pelayaran itu, sedangkan ini tidak untuk menghitung pajak orang lain. Karena dibuatnya untuk menghitung pajaknya oleh kantor pajak dikoreksi karena dikoreksi ada tambahan pajak karena dipakainya hanya 2,64%, seharusnya tadi harus 15 x 30% jadi 4,5%, ada koreksi kena pajak, sehingga dikatakanlah itu dia membuat kerugian. Padahal persoalan penyebabnya adalah karena salah penerapan undang-undang atau penafsiran undang-undang. Itulah mula-mula dari sumber permasalahannya. Sekarang kekuatan hukum peraturan Menteri Keuangan yang memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan menentukan penentuan jasa lain. Dalam Undang-Undang Pajak Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 23 ayat (2) mengatur pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menentukan lebih lanjut jasa lain. Selain yang sudah disebut, Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2, atas pelaksanaan ketentuan pasal tersebut, Menteri Keuangan menerbitkan 2044/PMK/03/2008 yang berpendapat … yang menentukan itu seperti dikatakan tadi ada 62 jenis jasa lain tambahannya, yaitu 28 jasa utama, jasa penunjang untuk maskapai pertambangan 19, sedangkan .. eh, bukan perusahaan pertambangan, minyak 19, sedangkan untuk penunjang pertambangan nonmigas sebanyak 9, dan untuk angkutan udara ada 7, sehingga 28 tambah 7 … tambah 19 tambah 9 tambah 7 itu 62. Jadi, ada tambahan jenis pajak 62 itu yang diatur. Sebagaimana saya sebutkan tadi, pengertian Menteri Keuangan menentukan jenis jasa lain adalah mencantumkan nama jasa yang sudah ada, yang sudah dikenal. Itu yang dicantumkan di undang-undang supaya tunduk kepada peraturan itu. Sebab kalau tidak menjadi tidak tunduk, padahal seluruh jasa harus kena pajak. Apa yang menjadi jasa bukan Menteri Keuangan yang menentukan. Adalah instansi yang terkait, instansi yang terkait. Kalau ini departemen pertambangan, departemen pertambangan, kalau perdagangan, departemen perdagangan. Jadi, hanya jasa-jasa mana yang kena. Jasanya sudah ada, jadi bukan mencampuri bagaimana penentuan jasa seperti yang dikemukakan banyak industrialis apa … klasifikasi lapangan bidang usaha itu memang sudah ada, industrial standard code. Memang jasa-jasa yang tersebut itulah yang dilihat yang masukan pajak dicantumkan dalam undang-undang supaya kena pajak. Sebab kalau tidak, dia tidak 13
dipungut, tapi tetap kena pajak, pada finalnya dia tetap kena pajak hanya tidak termasuk yang dipungut. Untuk itu apakah tadi dikatakan pemberian itu sah? Saya mengacu kepada pasal … sistem perundang-undangan atau dasar hukum yang ada di … sama kita. Menurut Undang-Undang Nomor 12, Pak Indrayana tadi sebutkan, Pak Denny, dasarnya mengulangi kembali, menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Pembentukan Perundang-Undangan, urutan undang-undangnya seperti yang sudah kita ketahui. Kalau kita tinjau sebenarnya ini kepada yang pertama dirumuskan dalam TAP MPR Nomor 22 Tahun 1966, pas, di situ masih termasuk peraturan Menteri Keuangan dan instruksi Menteri Keuangan. Di sini bedanya diatur peraturan daerah, tapi di Pasal 8 ayat (2) disebut bahwa keluaran dari instansi-instansi terhadap peraturan keuangan sepanjang itu diwajibkan undang-undang masih mempunyai kekuatan hukum dan dibenarkan. Itu jelas. Sekarang kalau kita lihat pemberian Pasal 23 ayat (2) adalah oleh undang-undang, saya tidak kutip lagi sudah katakan undang-undang berarti yang memberikan harus yang berwenang karena yang membuat undang-undang adalah DPR. Yang kedua, yang diatur seperti katakan tadi adalah untuk memberikan kepastian, sebab kalau tidak masuk jasa itu menjadi ada yang kena, ada yang tidak. Ada yang kena. Sekarang kalau diatur mulai dari sejak awal dengan undang-undang, makan waktu untuk membuat undang-undang, maka untuk memprosesnya dibuatlah dengan peraturan Menteri Keuangan. Ini masih jalur dengan tata hierarki atau tata perundang-undangan menurut yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2001 terutama yang mengatur pada … menganut kepada butir 8 ayat (2). Sekarang kalau saya tinjau dari Undang-Undang Nomor 17, Undang-Undang Keuangan Negara. Undang-Undang Keuangan Negara pada Pasal 6 menyebutkan bahwa kekuasaan tertinggi keuangan negara ada pada pemerintah … kepada presiden sebagai kepala pemerintahan. Itu Pasal 6 ayat (1). Pasal 6 ayat (2) disebutkan bahwa kuasa … kuasa untuk mengelola keuangan negara itu diserahkan pada Menteri Keuangan, Pasal 6 ayat (2). Lalu, di samping itu jadi urusannya adalah mengelola fiskal dan juga sebagai bendahara umum negara. Nah, sekarang dengan adanya kewenangan ini dan ini juga diatur dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2001 sebenarnya itu adalah masih dalam kewenangan dan tidak ada yang menyimpang. Jadi, dengan mengacu pada Pasal 8 ayat (2) diperkuat lagi posisi Menteri Keuangan sebagaimana diatur pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, maka Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang memberikan wewenang mengatur jenis pajak lain kepada Menteri Keuangan adalah dapat dibenarkan dan peraturan Menteri Keuangan 14
untuk menentukan jenis jasa lain sebagaimana yang tercantum pada peraturan Nomor 244 PMK.03 Tahun 2004 adalah mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Itu sesuai dengan pasal … Undang-Undang 12/2011 Pasal 8 ayat (2). Saya tidak baca seluruhnya karena ini semua di sini saya buat dari segi teori apanya … sistem hukum yang kita buat, kita menganut teori hukum berjenjang. Itu bahwa kekuatan hukum itu melalui daripada Undang-Undang Dasar, TAP MPR, peraturan undang-undang istilahnya perpu, peraturan pemerintah, baru di Undang-Undang Nomor 12 menjadi peraturan … peraturan presiden, baru peraturan daerah tingkat I apa … provinsi dan kabupaten. Tapi Pasal 8 menyatakan peraturanperaturan-peraturan apabila instansi yang disebut di situ termasuk Menteri Keuangan sepanjang menurut ketentuan hukum, masih benar. Ini kalau disebut dari segi teori hukum. Dari teori hukum … teori hukum berjenjang dibuat oleh Hans Kelsen atau Hans Nawiasky juga sama pas. Han Kelsen atau Nawias menyebut adalah sumber hukum staatsfundamentalnorm baru staatsgrundgezetze ya, baru namanya verordnungen, dan autonomesatzungen. Kalau kita lihat bahwa itu adalah Prof. Bu … maaf, juga dia … Bu Farid … Farida juga saya baca banyak me … me … menyitir situ. Dari Pak … Bapak Attamimi dia menyebutkan adalah kalau kitia analogkan di situ adalah grundnorm yang oleh Hans Kelsen itu dikoreksi oleh Hans Nawiasky. Dia membuat menjadi staatsfundamentalnorm … staatsgrundnorm. Yang dipishakan jadi oleh Attamimi menyebut yang grundnorm menjadi Pancasila, staatsgrundnorm itu menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Sehingga staatsgrundgezetzetnyalah yang menjadi Undang-Undang Dasar 1945 ya, grundnormnya menjadi undang-undang, baru (suara tidak terdengar jelas) sebagai peraturan pemerintah. Jadi, ada peraturan di situ peraturan-peraturan pemerintah atau dengan peraturan daerah. Nah, sekarang ini yang kita anut. Kalau kita lihat mulai TAP MPR Nomor 22 menyebut demikian. Demikian juga yang keluar Nomor 12 Tahun 2011 demikian. Undang-Undang Dasar 1945, TAP MPR, undangundang atau perpu, peraturan pemerintah, peraturan presiden, baru peraturan daerah. Tapi dengan ada Pasal 8 ayat (2), hampir kembali kemarin kepada TAP MPR Nomor 20, MPRS Nomor 20. Itu masih ada putusan Menteri Keuangan … putusan menteri, maaf, putusan menteri. Dengan demikian, dengan pelimpahan kewenangan Pasal 23 ayat (2) masih sesuai dengan tata urutan perundang-undangan. Rangkuman supaya singkatnya. Ada empat rangkuman saya. Timbulnya sengketa pajak dalam pemenuhan kewajiban pajak perhasi pajak penghasilan oleh Pemohon dianggap penyebab adalahnya … adalah karena ketentuan Pasal 23 ayat (2) yang memberi kewenangan kepada Menteri Keuangan menerbitkan PMK Nomor 244/PMK.03/2008 adalah keliru. Penyebabnya adalah karena penafsiran dari penerapan 15
yang salah terhadap penetapan Pasal 15 dan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan yang dilakukan oleh Pemohon sebagaimana dikemukakan pada saya buat di sini di paper saya, resume 3, resume 4, dan resume 5, seperti dikemukakan tadi. Seharusnya dia harus memakai itu jasa … jasa … jasa penunjang terhadap pertambangan lain, tapi dipakainya Pasal 15 yang untuk menghitung pajak dia sendiri. Padahal yang kewajiban adalah menghitung pajak orang lain. Yang kedua. Timbulnya SKPKB hasil pemeriksaan terhadap Pemohon yang berdampak dikenakan denda sebagai tambahan atas pajak yang terhutang adalah konsekuensi kekeliruan yang dilakukan oleh Pemohon. Sanksi diberikan sebagai … sanksi diberikan sebagai pengganti kerugian negara atau untuk tujuan pembinaan wajib pajak agar untuk lain kali jangan terulang. Hal yang sama juga diperlakukan kepada wajib pajak lain yang tidak melaksanakan ketentuan sesuai ketentuan yang berlaku. Oleh karena itu, pemberian sanksi perpajakan tidak dilakukan secara diskriminatif dan tujuan untuk menghancurkan … dan tujuan untuk menghancurkan wajib pajak, sehingga tidak perlu perlindungan untuk itu. Atas perbedaan interpretasi penyebab sengketa yang tidak dapat disetujui oleh Pemohon, seperti halnya sengketa pajak biasa, Pemohon dapat mengajukan keberatan ke kantor pelayanan pajak. Kalau juga belum … belum setuju, pergi ke kantor pengadilan pajak. Kalau tidak, masih ada upaya hukum untuk melakukan peninjauan kembali. Jadi, tidak menjadi harus kepada mengubah undang-undang yang ada karena ini berlaku. Kemudian yang lain memang berlaku. Ketentuan Pasal 23 ayat (2) memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan adalah dalam rangka mencegah agar tidak sampai terjadi ketidakpastian hukum karena perkembangan sosial ekonomi, dunia usaha, dan teknologi yang terjadi lebih cepat dari pembenahan hukum untuk mengantisipasi penyesesuaiannya. Pelimpahan ini masih mengikuti rambu-rambu dalam prinsip sistem hukum berjenjang yang dianut tata urutan perundangan Republik Indonesia dengan mengacu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-Undangan khususnya dalam Pasal 8 ayat (2) dan memperhatikan Pasal 6 Undang-Undang Keuangan Negara Nomor 17 Tahun 2003 sebagaimana yang diungkapkan dalam resume yang saya kemukakan sebelumnya. Sehubungan dengan rangkuman tersebut di atas, maka permohonan uji yang dilakukan oleh Pemohon tidak berdampak merugikan hak konstitusional Pemohon dan tidak memperlakukan diskriminasi dan ketidakpastian hukum, dan dalam Pasal 23 ayat (2) dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan agar semua wajib pajak pengusaha jasa yang sama mendapat perlakuan yang sama.
16
Demikian Ketua Majelis, Pak Ketua, kalau ada penyampaian yang kurang berkenan mohon maaf. Wabillahitaufik walhidayah assalamualaikum wr. wb. 11.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, terima kasih. Pemohon ada pertanyaan kepada Ahli atau cukup? Ada? Ya, silakan.
12.
KUASA HUKUM PEMOHON: MARULAM J. HUTAURUK Terima kasih, Yang Mulia. Saya ada satu pertanyaan untuk Prof. Denny dan juga satu untuk Pak Anshari. Mengenai hierarki, Pak. Tadi saya sudah mendengar dari Prof. Denny pendelegasian ... mungkin juga saya tambahkan informasi bahwa yang kami permasalahkan di sini bukan delegasi mengenai tarif karena tadi disampaikan mengenai tarif, bukan itu tapi mengenai jasa lain, jadi penentuan jasa lain, jadi bukan mengenai tarif. Yang pertanyaan saya apakah menurut Prof. Denny ada hirarki itu apakah kontennya semua boleh didelegasikan, semua konten, kalau itu konten untuk undang-undang apakah itu semua boleh diserahkan kepada peraturan di bawahnya itu? Karena kalau yang saya lihat ada hierarki tentunya ada perbedaan antara undang-undang, peraturan menteri, dan selanjutnya. Itu satu. Kemudian kepada Pak Anshari, di Pemohon, Klien kami ini adalah perusahaan pelayaran, Pak, perusahaan pelayaran yang tidak bisa melakukan jasa yang lain. Yang tadi ... jadi ada tadi disebutkan jasa penunjang minyak dan gas bumi, kemudian ini yang menunjang pertambangan. Jadi perusahaan Pemohon ini adalah perusahaan pengangkutan, perusahaan pelayaran yang mengangkut batubara milik Kideco Jaya Agung, Pak. Kemudian kami ini menyewa peralatan begitu proses singkatnya. Jadi ada proses yang menunjang pertambangan yang Kideco bukan itu yang kami lakukan, tapi kami melakukan mengangkut ini setelah (after) pertambangan, begitu, Pak. Jadi ada dua, ada proses, dua proses yang menunjang pertambangan dan ini proses untuk mengangkut pengangkutan yang lain, gitu. Yang Bapak maksudkan tadi di PMK 244 sebagai pelaksanaan jasa lain dari Pasal 23 ayat (2) ini yang mana? Karena ada proses yang berbeda. Sedangkan di Cotrans Asia ini tidak bisa melaksanakan jasa yang lain selain pengangkutan itu saja dan itu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang lain, UndangUndang Pelayaran, dan sebagainya. Mungkin satu itu dari kami apakah boleh dilangsungkan ke (...)
17
13.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, silakan yang lain.
14.
KUASA HUKUM PEMOHON: SABARUDDIN YASIN Terima kasih, assalamualaikum wr. wb. Selamat siang, salam sejahtera bagi untuk kita semua, amin. Baik, Pak, pertanyaan kami ini ada dua tapi mungkin saya perlu menyampaikan dulu hal-hal yang berkaitan dengan konteks pertanyaan itu supaya pemahaman tentang pertanyaan dan jawaban atas pertanyaan jadi sesuai dengan apa yang kami harapkan, Pak. Dua-dua pertanyaan ini akan kami tujukan kepada ke Bapak dua Saksi Ahli. Pertanyaan pertama perlu saya jelaskan dulu bahwa Perusahaan Cotrans inikan berangkatnya persoalan ini karena kita itu menyewa kapal, Pak, dari perusahaan luar negeri melalui BUT-nya. Jadi bahasanya saya baca itu tadi, penggunaan alat, penggunaan harta, ya, tadi sebenarnya bukan itu karena sewa-menyewa ini clear, Pak, ini saya gambarkan dulu begini. Di dalam perjanjian kontrak antara kita dengan perusahaan luar negeri melalui BUT-nya itukan dua pihak, Pak, kedudukannya sama. Nah, kalau saya dulu pernah baca kalau salah satu pihaknya perusahaan ada unsur asingnya itukan kita hukum mana yang berlaku itu juga harus kita lihat. Hukum yang berlaku itu kalau lihat Pasal 16 dan Pasal 17 AB yang berlaku karena penyewa badan hukum atau orang, atau person Indonesia berarti yang berlakukan hukum Indonesia. Nah, begitu juga tentang Pasal 17 domisili dari barang dan operasional barang locus delicti, loci operation, loci actus itu juga di Indonesia, itu benar berarti yang berlaku hukum Indonesia. Kemudian pajak pun sudah menyebutkan di dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 itu disebutkan, Pak, dan benar ternyata yang berlaku harus hukum pajak Indonesia. Objek pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, itu objeknya, kan begitu. Nah, sekarang baik saya akan coba sampaikan hal-hal yang seperti ini, Pak. Dalam konteks tadi berartikan kami sederajat sama, sama-sama perusahaan pelayaraan, cuma kami yang di dalam, satu luar negeri, kan begitu kan. Nah, makanya menarik sekali pertanyaan satu ini apa yang disebutkan oleh Pak Indrayana tadi. Bahwa pendelegasian ini artinya ... artinya mungkin-mungkin saja ya, dengan catatan bahwa tentang khusus delegasi ini karena saksi ahli kami juga telah memberikan penjelasan kesaksian di sini. Itu nanti kami ajukan dalam kesimpulan. Tapi khusus yang kaitan delegasi ini, Pak. Persoalannya semua itu sudah diatur, oleh Menteri Keuangan juga sudah diatur jasa pelayaran itu. Sehingga singkatnya begini untuk pertanyaan pertama ini. Tadi jelas bahwa objek pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari 18
luar Indonesia. Tadi Pak Indrayana juga bilang, itu tidak ada diskriminasi sepanjang berlaku bagi semua jenis usaha yang sama, kan begitu. Nah, sekarang, Pak, begini. Kita ... perusahaan kita yang dalam ini yang tadi sederajat kedudukannya dalam perjanjian kontrak saya menyewa kapal itu. Itu kita itu dikenakan Pasal 15, Pak, ada bukti bayarnya dan kita dipungut pajak oleh Kideco Pasal 15. Dan pajak itu tidak mempersoalkan itu. Nah, pada saat kita ... kita pastikan karena sama, enggak boleh ada ... artinya diskriminasi. Nah, kita memungut pajak ya Pasal 15, itu satu, Pak ya. Jadi sehingga pertanyaan kami di sini, tidakkah itu diskriminatif? Padahal kita baca saja, Pak. Bahasanya sederhana saja. Ada KMK-nya juga, Menteri Keuangannya juga. Sudah ada aturannya yang disebut dengan jasa yang berkaitan dengan pelayaran ini. Ada, Pak, Putusan Menteri Keuangan 417 itu. Jelas itu besarnya pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri adalah 2,64% dan pajak penghasilan sebagaimana yang dimaksud ayat (2) bersifat final. Sehingga saya mungkin sependapat dengan, Pak, itu. Bahwa berlaku sepanjang bagi semua jenis usaha yang sama, kan begitu. Soal menengah delegasi, pendelegasian ini mungkin bisa benar sepanjang adil, kan begitu kan. Sama ... perlakuan yang sama. Pertanyaan saya yang berkaitan dengan konteks yang saya sampaikan ini. Apakah dengan pengenaan kami sama-sama perusahaan pelayaran ini yang hanya bergerak di bidang jasa pelayaran itu tidak ada kaitannya dengan muatannya kan, jasa pelayaran itu. Apa itu tidak diskriminatif? Yang kedua, yang kedua itu saya bacakan dahulu, Pak, ya. Nah, selanjutnya, saat diberlakukan UNDANG-UNDANG Nomor 10 Tahun 1994 kemudian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 23 ayat (2) itu sama bunyinya, Pak, kurang lebih sama. Sama, tentang mengenai ketentuan lebih lanjut mengenai jasa lain sebagaimana dimaksud itu diatur oleh peraturan Menteri Keuangan. Itu kalau Pasal 23 ayat (2) undang-undang yang ini. Yang lama sama, cuma kewenangannya dirjen, kan begitu, Pak. Nah, sedangkan berbagai peraturan sudah ada, Pak. Saya baca saja, pendapat ahli juga banyak. Saya baca, Pak, ya supaya saya enggak salah. Nah, ini pendapat Ahli dahulu. Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro, Guru Besar Hukum Pajak Universitas Padjajaran. Dalam bukunya, Pajak Ditinjau Dari Segi Hukum dan seterusnya. Disebutkan, Undang-Undang Perpajakan merupakan produk hukum yang harus memenuhi normanorma hukum yang mendambakan keadilan dan kepastian hukum. Di samping itu setiap undang-undang berlandaskan asas-asas hukum rechtsbeginselen. Pendapat yang kedua, Prof. Dr. Rochmat Soemitro dalam bukunya Hukum Pajak Internasional Indonesia Perkembangan dan Pengaruhnya. Di dalam buku itu halaman 45 terbitan PT Eresco Bandung disebutkan, 19
”Dalam hukum pajak tidak hanya wajib pajak saja tetapi juga organorgan negara serta pejabat-pejabat negara yang melakukan peraturan dan Undang-Undang Pajak. Terikat pada hukum tidak saja hukum pajak tetapi juga hukum lainnya seperti hukum perdata, hukum publik, hukum pidana, dan sebagainya. Tidak mungkin di dalam negara hukum penguasaan negara melakukan tindakan yang mempunyai akibat hukum tanpa dasar hukumnya.” Saya baca lagi, Pak. Pendapat (...) 15.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Anu, langsung pertanyaan saja.
16.
KUASA HUKUM PEMOHON: SABARUDDIN YASIN Langsung (...)
17.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Pertanyaan saja. Kalau tanggap-menanggapi nanti serahkan dalam kesimpulan. Dilihat kita bisa nilai ya.
18.
KUASA HUKUM PEMOHON: SABARUDDIN YASIN Ada satu, Pak. Ini ... ini ilmu hukum juga, hukum juga kayaknya ini, Pak. Kaitannya dengan undang-undang. Dengan disebutkannya time charter dalam Pasal 45 ayat (1) menurut Prof. Wirjono Prodjodikoro, itu yang kalau dulu kami itu bukunya kalau enggak dapat ini enggak bisa ... enggak bisa lulus pasti, Pak, ya. Di sini disebutkan ya, dengan disebutkannya time charter dalam Pasal 45 ayat (1), ayat (2) KUH Dagang itu, maka ditegaskan bahwa time charter ini meskipun hampir sama dengan persetujuan sewa-menyewa. Toh masuk istilah persetujuan pengangkutan di laut. Jadi tidak berlaku pasal sewamenyewa, BW. Dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan ini banyak sekali, Pak. Di dalam KUHD itu … ndak usah saya bacakan, tapi poin peraturannya saja. Pasal 309 ayat (1), (2), (3), itu jelas alat berlayar kapan dan lain sebagainya. Pasal 453 ayat (1), (2) KUHD, itu yang dimaksud time charter dan lain sebagainya. Juga di dalam UndangUndang tentang Pelayaran, ini penting sekali saya sebutkan, Pak. Itu disebutkan, “Pelayaran adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan angkutan di perairan, ke pelabuhanan, serta keamanan, dan keselamatannya.” Jadi, kalau Bapak bilang tadi itu dari pelabuhan ke pelabuhan, itu kayaknya, Pak … Pak … siapa … Pak … si Pak Ritonga, ya. Itu enggak seperti itu, Pak, peraturannya. Dipertegas lagi, sebelum berlakunya undang-undang (…) 20
19.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Jadi gini, Saudara Pemohon.
20.
KUASA HUKUM PEMOHON: SABARUDDIN YASIN Ya, Pak.
21.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Jadi, kalau Saudara punya beda pendapat, nanti dimuat dalam kesimpulan. Tanya saja, begitu lho.
22.
KUASA HUKUM PEMOHON: SABARUDDIN YASIN Ya, pertanyaannya (…)
23.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Nanti dibuat kesimpulan, gitu caranya, ya!
24.
KUASA HUKUM PEMOHON: SABARUDDIN YASIN Jadi, di sini ada … yang kaitannya dengan dari pelabuhan ke pelabuhan ini, Pak Ketua Majelis Yang Mulia, saya perlu jelaskan, Pak. Disebutkan di sini (…)
25.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, ndak usah dijelaskan (…)
26.
KUASA HUKUM PEMOHON: SABARUDDIN YASIN Ya.
27.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Tanya saja.
28.
KUASA HUKUM PEMOHON: SABARUDDIN YASIN Pertanyaannya, Pak (…)
21
29.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, tanya saja.
30.
KUASA HUKUM PEMOHON: SABARUDDIN YASIN Ya.
31.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Tadi dia juga Ahli soalnya.
32.
KUASA HUKUM PEMOHON: SABARUDDIN YASIN Oh, gitu, Pak, ya? Terima kasih, Yang Mulia. Jadi, pertanyaan kita adalah bahwa setujukah Para Saksi Ahli ini apabila sesuatu sudah diatur dengan peraturan tentang jasa pelayarannya, MK-nya juga ada. Yang disebutkan dengan pelayarannya itu juga ada, bukan hanya port to port, itu jelas sekali. Setujukah Para Saksi bahwa jika sudah ada peraturannya, enggak perlu diatur lagi, mengacu saja pada peraturan itu. Karena itu, sesuai dengan permohonan kami juga, sebenarnya kami enggak menampikkan itu kalau memang ada aturan-aturan yang memang harus diacu. Tetapi, sepanjang telah diatur oleh peraturan, maka artinya tidak perlu ada pengaturan lagi. Sudah jelas, kan? Nah karenanya pertanyaan saya, setujukan Para Saksi apabila semua itu sudah diatur dalam satu peraturan, undang-undang, maupun (…)
33.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, diulang-ulang terus, sudah tiga kali itu. Setujukah, setujukah itu. Saya ingat betul. Sudah cukuplah, ya?
34.
KUASA HUKUM PEMOHON: SABARUDDIN YASIN Gitu, Pak, ya? Jadi, dua pertanyaan, Pak Yang Mulia.
35.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya. Oke, cukuplah. Nanti akan dijawab. Dari Pemerintah, ada pertanyaan?
22
36.
PEMERINTAH: BUDIJONO Dari Pemerintah, kami rasa cukup, Yang Mulia.
37.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Cukup?
38.
PEMERINTAH: BUDIJONO Ya.
39.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik. Ya, silakan, Ahli. Pak Denny dulu.
40.
AHLI DARI PEMERINTAH: DENNY INDRAYANA Baik. Terima kasih, Ketua Majelis. Pertanyaan kepada kami, yang pertama terkait dengan materi muatan, apakah semuanya bisa kemudian didelegasikan demikian saja pada peraturan Menteri Keuangan? Ini tentu akan tergantung pemaknaan kita terhadap apa yang diatur dalam peraturan menteri ini. Ada yang berpendapat, sebagaimana Pemohon tadi sampaikan, ini adalah materi muatan undang-undang, sehingga kemudian kok diatur dalam peraturan Menteri Keuangan? Berarti materi muatan undang-undang diatur dalam peraturan Menteri Keuangan, sebagaimana saya baca juga pendapat Ahli Prof. Yusril pada persidangan sebelumnya. Tentang materi muatan ini, memang kalau kita baca UndangUndang Nomor 12 walaupun ada penjelasan pengaturan normanya pun agak sulit untuk saya … saya berpendapat agak sulit untuk bisa me … secara rigit mengatakan bahwa ini materi muatan apa sih sebenarnya? Gitu. Izinkan saya mengatakan berdasarkan pasal … Pasal 8 saja penjelasan tadi saya sudah sampaikan bahwa ayat (1) … yang dimaksud dalam peraturan menteri, di sini hanya dikatakan, “Oleh menteri berdasarkan materi muatan dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan.” Jadi kita lihat apakah tentang jenis jasa ini adalah dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan? Ya, ada yang bisa berpendapat yes, ada bisa berpendapat tidak. Agak … agak … agak tidak bisa kita dalam satu posisi yang ini sulit untuk mengatakan, “Ini bukan materi muatan peraturan menteri,” begitu. Dan karena ini kemudian didelegasikan … yang … yang … yang bagi saya penting itu adalah pada saat undang-undang mendelegasikan, yang sama sekali tidak boleh tadi saya katakan, kalau 23
dia tiba-tiba, ujug-ujug mengatur. Nah, itu tidak bisa. Kalau dia ujugujug kemudian muncul peraturan Menteri Keuangan tentang jenis jasa lain tanpa undang-undang memberikan delegasi. Nah, itu … itu keliru. Tapi pada saat dia diberikan delegasi, mengatur, tapi kan materi muatan undang-undang. Ya, aturannya kemudian secara … secara sifat, kita bisa lihat lebih rinci, lebih detail, dan dalam konteks ini lebih antisipatif dalam bisnis. Kalau kita baca peraturan Menteri Keuangannya, saya tadi sebutkan 30-an, ada yang lain-lain katanya 62, kata ahlinya. Jadi, kalau itu ada dalam undang-undang, bisa dibayangkan. Tentu pun ada argumentasi yang mengatakan kalau ada 62 jenis jasa dalam undangundang, ini materi muatannya terlalu detail sebagai materi muatan undang-undang. Kalau kita di situ baca 62 jenis gitu, bayangkan itu bisa berapa halaman sendiri? Dan pasti orang ada yang akan berargumentasi, akan ada pendapat hukum yang mengatakan, “Ini adalah materi muatan yang terlalu detail untuk dimasukkan dalam undang-undang.” Materi muatan ini satu … satu konsep yang di bukunya Bu Maria mengutip kuliah Pak Hamid, memang menarik untuk waktu itu didiskusikan dan akhirnya masuk dalam undang-undang sekarang, Undang-Undang 10, tetapi sep … bagi kami sependapat kami sepanjang ada pendelegasian yang mendelegasian berwenang yang menerima delegasi berwenang maka apakah dia dalam PP, apakah dalam peraturan pemerintah atau peraturan yang lebih rendah mana? Sepanjang ada delegasi itu, itu menjadi semacam apa … menjadi benar. Itu yang … yang … yang pertama. Yang kedua, tadi pertanyaanya agak teknis, tadi pengangkutan pelayaran, saya terus terang tidak … tidak menguasai bidang itu dan izinkan saya untuk mungkin tidak masuk terlalu dalam … terlalu jauh karena bukan bidang yang sama pahami, teknisnya. Dan karenanya kalau terkait dengan problematika hukum pajaknya atau pajaknya sendiri mungkin nanti Pak Anshari Ritonga yang bisa lebih dalam memberikan penjelasan, kami hanya mendengar informasi bisa jadi keliru bahwa tentang persoalan pajaknya sendiri sudah diputusakan dalam peradilan pajak, mungkin itu juga bisa jadikan satu acuan, seingat, seingat saya informasinya sudah selesai sampai Mahkamah Agung gitu. Bahwa … jangan-jangan apa yang Bapak sampaikan tadi pun sudah menjadi objek yang diputuskan. Saya … saya bisa jadi keliru tapi mohon maaf informasi kami seperti itu. Tetapi kalau ditanya tadi masalah … masalah apakah itu diskriminatif atau tidak dan seterusnya? Karena saya tidak terlalu paham diteknis tentang pengangkutan pelayaran dan lain-lain, lebih baik saya menahan diri untuk menjawab pertanyaan itu. Terima kasih, Ketua. 41.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Silakan, Pak Ritonga.
24
42.
AHLI DARI PEMERINTAH: A. ANSHARI RITONGA Baik, terima kasih, Pak Ketua. Menjawab pertanyaan dari penanya yang pertama, apakah yang dimaksud pajak yang tadi 2 itu? Ada 2 memang. Pajak ini ada 2 memang yang Anda kewajiban, Anda sebagai pengguna jasa terhadap pabrik batubara, ya. Karena di sana satu lagi, ya, pabrik-pabrik barubara … eh, sory, pabrik batubara … pabrik … ya batu … ya pertambang batubara, tambang batubara. Satu lagi adalah Anda sebagai pengusaha pelayaran. Anda sebagai pengusaha pelayaran ya, sebagai pengusaha dalam menghitung pajak Anda sendiri harus ke Pasal 15 betul Anda, tapi untuk kewajiban Anda Pasal 15, yang diatur dengan PMK 416 dengan 417 kalau dalam negeri 416 dan luar negeri 417, Anda ke sana. Yang Anda permasalahkan di sini (suara terdengar tidak jelas) adalah yang Anda memotong kepada si batubara itu yang dibutirnya seperti itu (suara terdengar tidak jelas) sekarang. Kalau untuk Anda, ulangi kembali, untuk Anda menghitung pajak Anda sebagai perusahaan pelayaran tetap menetapkan Pasal 15 sebenarnya yang Anda pakai selama ini, tetapi untuk kewajiban Anda yaitu ya untuk jasa pelayaran untuk Anda karena itu final, untuk anda final, jadi pajak kewajiban Anda tidak ada yang lain lagi. Tapi kalau untuk pemotong tindakannya itu hanya cara memungut bagi si wajib pajak itu cara memungut kok, namanya angsuran, kalau biasa namanya PPh Pasal 15 … Pasal 25. Ini tidak, asal tidak bayar potong duluan nanti akan diperhitungkan kepada pajaknya oleh dia, maka jawabnya pertanyaan dari Pihak Pemohon pertama terhadap kewajiban Anda ya, memasukkan terhadap si … si … si perusahaan kontrak Anda yang mengangkat barang, mengangkut barang itu, si enggak tahu siapa, ini memang sebagai untuk kewajiban (suara terdengar tidak jelas) Pasal 15 dengan 416, 417, seperti kalau ini Anda laksanakan untuk Anda, tapi sayangnya ini Anda laksanakan untuk kewajiban dari pada pabrik batubara, itu. Bapak enggak apa … melihat itu saya baca. Jadi … jadi kalau kepada si tambang batubara Anda bukan pelayaran di dalam arti yang dimaksud di sini karena baru pelayaran memang angkut, apabila dari pelabuhan ke pelabuhan ini tidak hanya dari darat ke kapal, hanya itu. Itu ada 3 macam boleh pakai apa … pakai pipa, boleh diangkat boleh sebagainya, sehingga jasa ini tidak memakai jasa penumpang dibidang pelayaran tersebut. Jasa penumpang … jasa penunjang pelayaran atau expro ex … transportasi disebut di situ, ya semua pelayaran transportasi. Ini kewajiban ini bukan berarti berbeda dengan Anda karena Anda untuk kewajiban Anda dan final itu Pasal 15, ini untuk orang lain, untuk orang lain harus dilihat memperhatikan kepada yang bersangkutan, maka perlakuannya ini kepada yang bersangkutan, kepada yang bernama … yang kewajiban Anda ya, menginginkan kontrak kepada BUT-BUT yang empat itu bahwa tolong barang itu saya mengikat … mengangkut barang dari sini tolong Anda 25
laksanakan. Satu Anda buat berdasarkan final … eh, bukan berdasarkan 50 dollar per bulan, satu lagi berdasarkan tonase atau volume. Kalau itu Anda kenakan karena Anda harus membuat kewajiban itu harus berdasarkan Pasal 23 ayat (2). Jadi harus mengacu pada PER DJP 70 yang menjadi … yang menjadi PER DJP 70 yang menjadi PMK 244. Sebelumnya memang tetap juga kalau dia PER DJP 70 waktu itu masih di 500% dari pengahasilan netto, netto-nya itu yang diatur oleh PER DJP, perkiraan penghasilan … perkiraan penghasilan. Jadi tolong dibedakan. Kalau untuk ada namanya perhitungan penghasilan net … norma perhitungan, untuk Anda norma perhitungan. Karena menjadi pasti untuk Anda. Tapi kalau untuk memuat namanya bukan perkiraan perghasilan. Karena perkiraan kan akan difinalkan waktu nanti dimasukkan SPT. Jadi jawabannya yang dihitung-hitung tadi, kalau yang menganut kepada yang diterapkan kepada 244 yang sebelumnya 70 adalah atas Anda … atas Anda memakai jasa daripada … mengangkut batu … jasa dari si BUT, mengangkut kapal … batubara ke kapal. Tapi kalau Anda mengikat kontrak dengan orang yang menggunakan apa itu tadi … perusahaan itu sebagai perusahaan asing memang untuk pengisian … penghasilan Anda harus Anda pakai Pasal 15, tapi untuk penghasilan Anda. Sekarang yang kedua adalah terkait dengan … saya pikir sudah sekaligus menjawab sekalian daripada pihak ke … pihak yang tadi yang biarpun tidak bertanya, saya mau mengomentari yang itu tadi. Sebenarnya persoalan diskriptif … diskriminatif. Diskrimintatif adalah pajak tidak selamanya pas. Jadi memang sepakat dengan Anda, yang sudah diatur oleh yang berwenang tidak boleh diatur oleh orang lain, yes. Ini tidak ada mengatur, yang diatur oleh orang lain. Jasa itu yang … apa yang … jasa ini yang menentukan orang lain. Yang dimaksud adalah hanya perlakuan perpajakannya, perlakuan perpajakannya. Itu tidak sama perlakuan perpajakannya, bergantung kepada … ini hanya perlakuan perpajakan. Kalau ada jasa manajemen, ada jasa ini, jasa perlakuan perpajakan. Itu semua juga sama, sama, kecuali yang disebut final. Maka dulu tidak disebut jasa lain itu tidak menyebut. Coba Bapak baca, mulai daripada Undang-undang Nomor 8 … Nomor 8 belum ada jasa lain. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, semua jasa lain tidak dirinci. Hanya yang dibuat yang diminta kepada Dirjen Pajak menentukan normanya karena normanya enggak sama. Baru di sini 2000 … di 42 Tahun 2009 ini di pasal yang Anda katakan tadi, ditentukan jasa lain karena banyaknya perkembangan jasa lain. Dan sampai sekarang belum tersemua, masih banyak yang belum masuk, sudah diputuskan ini. Ini misalnya orang cuap-cuap sekarang namanya jasa mutifator, ini belum termaco. Masih banyak muncul sekarang jasa muncul. Kalau itu undang-undang nomor itu … pemerintah nanti harus membuat nanti itu. Ini maka diatur supaya 26
saya tadi katakan untuk kepastian hukum, malah. Untuk kepastian hukum dan demi untuk keadilan, jadi bukan sebaliknya. Saya pikir ini. Sedangkan yang terakhir ini, apakah setuju? Sudah dijawab. Kalau orang lain yang kewenangan dia, saya setuju tidak dicampur orang lain. Jadi tidak mencampuri. Yang mencampuri adalah bagaimana pengenaan pajaknya. Demikian, Pak Ketua. Terima kasih. 43.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik. Cukup, ya. Ya, silakan terakhir. Jangan bantah-membantah. Pertanyaan saja.
44.
KUASA HUKUM PEMOHON: SABARUDDIN YASIN Saya cuma mau meluruskan sedikit saja, Pak, ini. Bahwa yang diuji ini adalah yang seperti disampaikan tadi bahwa katanya ada … itu sudah sampai ke Mahkamah Agung. Saya perlu bacakan saja, Pak. Yang sampai di Mahkamah Agung itu, ini, “Menolak permohonan banding terhadap keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep Tanggal 16 Februari 2009.” Jadi bukan perusahaan … persoalan uji materi ini. Terus di PK-nya mengadili menolak peninjauan kembalinya, gitu lho, Pak. Itu saja.
45.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, ini klarifikasi saja.
46.
KUASA HUKUM PEMOHON: SABARUDDIN YASIN Ya, klarifikasi, Pak. Terima kasih.
47.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik, terima kasih. Ini sidang perkara ini sudah panjang dan sudah mendengarkan semua keterangan dari Pemohon dan juga dari Pemerintah. Karena itu sidang ini adalah sidang terakhir untuk pemeriksaan pembuktian. Selanjutnya kepada Pemohon dan Pemerintah dapat mengajukan kesimpulan paling lambat pada hari Kamis, tanggal 13 November 2014, pukul 14.00 WIB, langsung kepada Kepaniteraan tanpa melalui sidang ya. Sekali lagi, hari Kamis, tanggal 13 November 2014, pukul 14.00 WIB.
27
Dengan demikian, sidang ini selesai dan dinyatakan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 12.36 WIB Jakarta, 6 November 2014 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
28