RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 65/PUU-XIII/2015 Kepastian Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Kewajiban Pelaku Usaha Atas Informasi Badan Hukum Secara Lengkap
I. PEMOHON 1. Capt. Samuel Bonaparte, A.Md., SH., SE., M.Mar. (Pemohon I); 2. Ridha Sjartina, SH. (Pemohon II); 3. Satrio Laskoro, SH. (Pemohon III). Secara bersama-sama disebut sebagai para Pemohon. II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999). III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Para Pemohon menjelaskan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah: 1. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usa negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”; 2. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah
Konstitusi
adalah
melakukan
pengujian
Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)”; 3. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”; 1
4. Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk, antara lain: menguji UndangUndang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”; 5. Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan bahwa: “Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi”; 6. Bahwa objek permohonan adalah pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999), oleh karena itu Mahkamah berwenang untuk melakukan pengujian Undang-Undang a quo. IV. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING) 1. Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi: “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: (a) perorangan WNI, (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam undang-undang, (c) badan hukum publik dan privat, atau (d) lembaga negara”. 2. Berdasarkan Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 010/PUU/III/2005 menyatakan bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu: a. adanya hak konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. b. hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji.
2
c. kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. d. adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya UndangUndang yang dimohonkan untuk diuji. e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. 3. Para Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang merasa dirugikan secara konstitusional dengan berlakunya Pasal 4 huruf c dan Pasal 7 huruf b UU 8/1999 karena tidak diwajibkannya kepada pelaku usaha untuk mencantumkan/menyatakan nama dan domisili lengkap badan hukum/ pelaku usaha yang bertanggung jawab atas suatu barang dan/atau jasa yang dijual/diproduksinya didalam produk dan/atau dokumen transaksinya. V. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN DAN NORMA UUD 1945 A. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN Pengujian Materiil UU 8/1999: 1. Pasal 4 huruf c: “Hak Konsumen adalah: c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/ atau jasa.” 2. Pasal 7 huruf b: “Kewajiban Pelaku Usaha adalah: b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan.” B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945. 1. Pasal 28D ayat (1): “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” 2. Pasal 28G ayat (1): “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak
3
atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” VI. ALASAN PERMOHONAN 1. Bahwa kasus nyata dialami Pemohon I dalam aspek kesehatan malpraktik terhadap anaknya pada rumah sakit yang pada persidangan, pihak rumah sakit menggunakan eksepsi error in persona karena adanya badan hukum yang berbeda sebagai penanggung jawabnya. Namun Pemohon I tidak pernah mengetahui badan hukum mana yang dimaksud. Hal inilah yang menyebabkan kerugian konstitusional Pemohon I sebagai konsumen. 2. Pasal 4 huruf c UU 8/1999 tidak menyatakan secara tegas hak konsumen mengenai informasi yang benar terkait dengan pelaku usaha yang bertanggung jawab terhadap barang/ atau jasa yang diproduksi dan/atau dijual. 3. Bahwa dalam hal terjadi sengketa terhadap barang dan/atau jasa yang diproduksi
dan/atau
dijual
pelaku
usaha,
konsumen
tidak
memiliki
pengetahuan secara pasti mengenai pelaku usaha, konsumen tidak memiliki pengetahuan secara pasti mengenai pelaku usaha yang bertanggung jawab terhadap setiap barang dan/jasa yang diproduksi dan/atau dijual oleh pelaku usaha, sehingga ketika mengajukan gugatan kepada pengadilan negeri, seringkali pelaku usaha menjawab bahwa gugatan konsumen adalah error in persona karena salah pihak ataupun mengajukan eksepsi kompetensi relatif karena salah alamat pihak yang digugat. 4. Bahwa menurut para Pemohon, Pasal 4 huruf c UU 8/1999 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 karena hanya memberikan secara sempit hak untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi barang dan/ jasa kepada konsumen sehingga konsumen tidak mendapatkan kepastian hukum untuk mengetahui nama dan domisili lengkap badan hukum/ pelaku usaha yang bertanggung jawab atas barang dan/ jasa tersebut.
4
5. Adapun potensi lain yang timbul adalah lepasnya tanggung jawab dari pelaku usaha jika tidak ada kewajiban pencantuman nama dan domisili badan hukum atas barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau dijual kepada konsumen, diantaranya para Pemohon. 6. Bahwa Pasal 7 huruf b UU 8/1999 hanya memberikan kewajiban bagi pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan tanpa adanya kewajiban pelaku usaha untuk mencantumkan nama dan domisili lengkap badan hukum/ pelaku usaha yang bertanggung jawab terhadap barang dan/jasa yang diproduksi dan/atau dijual dalam produk dan/atau dokumen transaksi yang dijual dan/atau diproduksi. 7. Bahwa menurut para Pemohon, Pasal 7 huruf b UU 8/1999 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 karena akibat berlakunya pasal a quo para Pemohon tidak mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum atas barang dan/jasa yang para Pemohon beli dari badan hukum/pelaku usaha.
VII. PETITUM 1. Menerima dan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya; 2. Menyatakan Pasal 4 huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang tidak dimaknai “hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta nama dan domisili pelaku usaha yang bertanggung jawab”; 3. Menyatakan Pasal 4 huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821) tidak mempunyaki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai frasa “hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan 5
jaminan barang dan/atau jasa serta nama dan domisili pelaku usaha yang bertanggung jawab”; 4. Menyatakan Pasal 7 huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang tidak dimaknai frasa “memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan serta nama dan domisili pelaku usaha yang bertanggung jawab”; 5. Menyatakan Pasal 7 huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai frasa “memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan serta nama dan domisili pelaku usaha yang bertanggung jawab”; 6. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya.
6