PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DOSIS EFEKTIF NA-TIOSULFAT SEBAGAI ANTIDOTUM UNTUK KERACUNAN SIANIDA PADA MENCIT JANTAN GALUR SWISS
HALAMAN SAMPUL SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh : Andrew Arief Sudarmono NIM : 04 8114 132
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2008
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DOSIS EFEKTIF NA-TIOSULFAT SEBAGAI ANTIDOTUM UNTUK KERACUNAN SIANIDA PADA MENCIT JANTAN GALUR SWISS
HALAMAN JUDUL SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh : Andrew Arief Sudarmono NIM : 04 8114 132
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2008
ii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DOSIS EFEKTIF NA-TIOSULFAT SEBAGAI ANTIDOTUM UNTUK KERACUNAN SIANIDA PADA MENCIT JANTAN GALUR SWISS HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16 Juli 2008
iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
HALAMAN PERSEMBAHAN
What is there that is not poison? All things are poison and nothing (is) without poison. Solely the dose determines that a thing is not a poison
(Paracelcus, 1493-1541)
With all my love, for Papi, Mami, Ko George, Ko Charles Almamaterku, dan semua yang mengenal Andrew
v
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama Nomor Mahasiswa
: Andrew Arief Sudarmono : 04 8114 132
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul: DOSIS EFEKTIF NA-TIOSULFAT SEBAGAI ANTIDOTUM UNTUK KERACUNAN SIANIDA PADA MENCIT JANTAN GALUR SWISS beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 28 Juli 2008
Yang menyatakan
(Andrew Arief Sudarmono )
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Bapa di Surga dan Tuhan Yesus Kristus karena atas berkat, hikmat, kasih, kekuatan, dan cinta-nya yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Dosis Efektif Natrium Tiosulfat sebagai antidotum untuk keracunan sianida pada mencit jantan galur swiss”. Skripsi ini disusun sebagai tugas akhir untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata satu Farmasi (S. Farm.), program Studi Ilmu Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Sekaligus untuk menambah pengetahuan dalam dunia kefarmasian pada umumnya. Pada Kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih atas segala bantuan yang penulis terima baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih yang tulus khususnya penulis tujukan kepada : 1. Bapa di surga atas kasih dan karunia-nya yang telah memberi kekuatan yang tak terduga. 2. Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. 3. Ipang Djunarko, S.Si., Apt. selaku dosen pembimbing yang telah mengarahkan, mendampingi, dan menyediakan waktu untuk berdiskusi
vi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bersama penulis selama proses penelitian, penyusunan, hingga selesainya skripsi ini. 4. Drs. A. Tri Priantoro, M.For.Sc. selaku dosen penguji, yang telah memberikan banyak dukungan, saran, dan kritikan yang membangun. 5. dr. Fenty, M.Kes., Sp.PK selaku dosen penguji, yang telah memberikan banyak dukungan, saran, dan kritikan yang membangun. 6. dr.Luciana Kuswibawati, M.Kes selaku dosen pembimbing dalam pembacaan histopatologi organ atas saran dan masukannya. 7. Rm. Drs. P. Sunu Hardiyanto, S.Si , S.J selaku dosen pembimbing dalam analisis data statistik atas saran dan masukannya. 8. Yosef Wijoyo, M.Si., Apt selaku dosen pembimbing dalam penambahan literatur. 9. Papi terima kasih atas doa, bimbingan dan dukungannya untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 10. Mami yang selalu memberikan semangat dari surga, terima kasih atas doa dan bimbingannya selama ini. 11. George dan Charles, kakak-kakakku, terima kasih atas dukungan, saran, kritik dan doanya, Thank you for being my”super” brother 12. Mas Pardjiman, Mas Heru, Mas Kayat (laboran Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi), Mas Sigit dan Mas Wagiran (laboran Laboratorium Biologi Farmasi), Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang bersedia membantu dan menemani penulis selama melakukan penelitian.
vii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13. Pak Agus (laboran Laboratorium Farmakologi) Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Pak Surono (UPHP) Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, atas bantuannya dalam menyediakan hewan uji. 14. Pak Dian di Laboratorium Patologi, Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Wilayah IV Daerah Istimewa Yogyakarta atas bantuannya dalam pembuatan preparat histopatologi organ. 15. Untuk om-eg terima kasih atas dukungan,bimbingan dan wejanganwejangannya selama ini. 16. Untuk Shintia Legasari terima kasih atas kesabaran, dukungan, kasih, sayang dan cinta-nya selama ini dan khususnya pendampingan pada saat penyusunan skripsi ini. 17. Teman-teman senasib seperjuangan dalam rangkaian penelitian ini Tintuz, Blian buat semua dukungan, kebersamaan, selama melakukan penelitian di laboratorium. 18. Lidia-epez, Arie-Gozonk, Blian, Cin, Novi-kebo, Cika-tembong, Nike-Oneng, Apri-Gajah, Fandy, Tice, Tintus, buat semua bantuan, tawa, air mata, kegilaan, kebersamaan, semangat, dukungan, serta kesediaan untuk jadi tempat berbagi dan teman dikala senang dan duka. 19. Meri-Mace, Limdra-ndut, Arif-kentung, Adit, Budiaji, Yoyo, Maria, Ita, Resty, Yasinta, Lala, Cawaz, Candhy, Lian ,Feri DS, Liza, Puipuin, Dian.Kbeng , Dika, Andri, Cendani, Tata, Desy, Cipi, Henny dan semua teman-teman angkatan 2004.
viii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20. Ndut Reta, Nolen, Welly, Tami, Sinta-Lele, Cocow, Mas Punto, Erlin terima kasih sudah menjadi teamwork yang baik selama kepengurusan BPMF periode 2006-2007. 21. Lia, Bang Jok, Dewi, Indri, Dima, Ndaru, Tato, Amel, Mitha, atas kebersamaannya dalam Kuliah Kerja Nyata Universitas Sanata Drama angkatan XXXIV kelompok XI di dusun Wonodoro, Bantul. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Tak ada gading yang tak retak, demikian pula dalam penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan yang ada dalam penyusunan skripsi ini. Untuk itulah penulis mengaharapkan kritik dan saran yang dapat membuat karya ini menjadi lebih baik. Akhir kata, semoga penelitian skripsi yang telah dilakukan penulis dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu kefarmasian.
Penulis
ix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan bahwa sesungguhnya skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 16 Juni 2008 Penulis,
Andrew Arief Sudarmono
x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
INTISARI Keracunan sianida dapat berakibat fatal jika tidak segera dilakukan terapi antidotumnya, Keberhasilan Natrium tiosulfat sebagai terapi antidotum salah satunya ditentukan oleh ketepatan dosisnya. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gejala, mekanisme, wujud, sifat, dan efek dari keracunan sianida, mengetahui seberapa besar kisaran dosis natrium tiosulfat ya ng efektif untuk keracunan sianida, mengetahui hubungan antara dosis natrium tiosulfat dengan efek penawaran racun pada keracunan sianida pada mencit. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Terdir i dari 7 kelompok : kelompok I diberi KCN dosis 26 mg/kgBB p.o, kelompok II diberi aquadest 25 mg/KgBB p.o, kelompok III diberi larutan natrium tiosulfat (Na2 S2 O3 ) dosis 160.720 mg/kgBB diberikan secara i.p, kelompok IV-VII diberi larutan KCN secara p.o, kemudian diberi antidotum natrium tiosulfat dengan peringkat dosis berturut-turut : 0.468 mg/kgBB, 3.279 mg/kgBB, 22.960 mg/kgBB dan 160.720 mg/kgBB secara i.p. Hasil penelitian didapatkan bahwa gejala dari keracunan sianida pada mencit meliputi : hilang kesadaran, gagal nafas, kejang, sampai menimbulkan kematian. Mekanisme keracunan sianida pada mencit adalah sianida berikatan dengan besi dalam feri sitokrom oksidase. Wujud efek toksik sianida berupa perubahan biokimia dan mungkin juga perubahan fungsional. Sifat dari keracunan sianida pada mencit adalah terbalikkan dan tidak terbalikkan. Dosis efektif natrium tiosulfat sebagai antidotum untuk keracunan sianida pada mencit sebesar 160.720 mg/KgBB intraperitoneal. Meningkatnya dosis natrium tiosulfat dapat meningkatkan efek pengawaracunan sianida pada mencit Kata kunci : keracunan, antidotum, natrium tiosulfat, sianida, mencit
xi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRACT Cyanide poisoning can cause fatal result if its antidote therapy is not done shortly., one of the successes Thiosulphate sodium as antidote therapy s is determined by its dose accuracy. The research aims to know the indication, mechanism, configuration, characteristics, and effects of cyanide poisoning, to know how much effectiveness the dose estimation of thiosulphate sodium for cyanide poisoning, to know the relationship between thiosulphate sodium dose and the effect of poison antidote for cyanide poisoning toward mice. The research is a pure experimental research with random unidirectional pattern program. Forty two male mice are divided into seven groups equally that consist of: group I is given resolvent that is aquadest 25mg/KgBB per oral, group II is given KCN solution with dosage 26mg/kgBB per oral as a poison positive control, group III is given thiosulphate Sodium solution (Na2 S2 O3 ) with dosage 160.720mg/kgBB given intraperitoneally (i.p), group IV-VII are given KCN solution per oral (p.o) and then given thiosulphate sodium antidote with dosage level in a row: 0.468 mg/kgBB, 3.279 mg/kgBB, 22.960 mg/kgBB and 160.720 mg/kgBB intraperitoneally. From the research result, it can be seen that the indication of cyanide poisoning toward mice includes lost consciousness, fail breathing, spastic, and causing death. Mechanism of cyanide poisoning toward mice shows its toxicity especially because of its ability to react against iron in ferric sitokrom oxide. Because aerobe metabolism is depended on this enzyme system, so the tissue can no longer use oxygen and hypoxia. The configuration of cyanide toxic effect is biochemical alteration and functional alteration, too. The characteristic of cyanide poisoning toward mice is not capsized. Effective dose thiosulphate sodium as antidote for cyanide poisoning toward mice is 160.720mg/KgBB intraperitoneal. The increase of thiosulphate sodium dosage can increase the effect of antidote of cyanide poisoning toward mice. Keywords: antidote, thiosulphate sodium, cyanide, mice.
xii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL...........................................................................................i HALAMAN JUDUL .............................................................................................ii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................iii HALAMAN PENGESAHAN ..............................................................................iv HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................v PRAKATA............................................................................................................vi PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ................................................................x INTISARI..............................................................................................................xi ABSTRACT.........................................................................................................xii DAFTAR ISI.......................................................................................................xiii DAFTAR TABEL..............................................................................................xvii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................xviii DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................xxiii BAB I.
PENGANTAR .....................................................................................1 A. Latar Belakang ...............................................................................1 1. Permasalahan ...........................................................................3 2. Keaslian penelitian...................................................................3 3. Manfaat penelitian....................................................................3 B. Tujuan Penelitian ...........................................................................4
xiii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB II.
PENELAAHAN PUSTAKA ...............................................................5 A. Sianida............................................................................................5 1. Tinjauan sejarah.......................................................................5 2. Sumber- sumber potensial sianida ...........................................5 3. Jenis keracunan pada sianida ...................................................8 4. Mekanisme keracunan sianida ...............................................10 5. Pemeriksaan laboratorium......................................................12 6. Detoksifikasi sianida secara biologis .....................................14 B. Terapi pada Keracunan Sianida ...................................................14 1. Terapi suportif........................................................................14 2. Terapi antidot .........................................................................16 C. Natrium Tiosulfat .........................................................................17 1. Dasar pemikiran untuk memilih antidot ................................17 2. Kelompok risiko.....................................................................18 3. Nama dan rumus kimia ..........................................................18 4. Sifat fisiko-kimia....................................................................19 5. Mekanisme penawaracunan...................................................21 6. Profil biokimia/farmakologi lain............................................22 7. Rute pemberian......................................................................27 8. Dosis.......................................................................................27 9. Kontraindikasi........................................................................28 10. Efek samping..........................................................................29 11. Penggunaan pada kehamilan/menyusui .................................29
xiv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
D. Anatomi Fisiologi ........................................................................29 1. Jantung ...................................................................................29 2. Lambung ................................................................................30 3. Usus halus ..............................................................................30 4. Hati.........................................................................................31 5. Ginjal......................................................................................32 6. Paru ........................................................................................32 E. Kerusakan Organ..........................................................................33 F. Landasan Teori.......................................................................34 F. Hipotesis .................................................................................34 BAB III. METODE PENELITIAN ...................................................................35 A. Jenis dan Rancangan Penelitian...................................................35 B. Variabel dan Definisi Operasional..............................................35 1. Variabel utama .........................................................................35 2. Variabel pengacau....................................................................35 C. Definisi Operasional ....................................................................36 D. Bahan Penelitian ..........................................................................37 E. Alat dan Instrumen Penelitian......................................................38 F. Tata Cara Penelitian.....................................................................38 1. Pembuatan larutan dan penetapan dosis KCN .......................38 2. Pembuatan larutan dan penetapan dosis natrium tiosulfat.....39 3. Pengelompokkan hewan uji ...................................................39 4. Pengamatan............................................................................40
xv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5. Pemeriksaan histopatologi .....................................................40 G. Analisis Hasil ...............................................................................41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN..........................................................42 A. Potensi Sianida sebagai Racun.....................................................42 B. Potensi Natrium Tiosulfat sebagai Kontrol Positif Antidotum....44 C. Kisaran Dosis Natrium Tiosulfat sebagai Antidotum Sianida .....45 D. Pemeriksaan Histopatologi ..........................................................65 1. Hati.........................................................................................66 2. Ginjal......................................................................................67 3. Paru ........................................................................................67 4. Jantung ...................................................................................73 5. Usus halus ..............................................................................73 6. Lambung ................................................................................77 BAB V.
KESIMPULAN DAN SARAN..........................................................82 A. Kesimpulan ..................................................................................82 B. Saran.............................................................................................81
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................83 BIOGRAFI PENULIS .......................................................................................176
xvi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR TABEL
Tabel I. Hidrogen sianida yang dihasilkan oleh pembakaran (Montgomery dkk. (1975))....................................................................................................................7 Tabel II. Hasil pengamatan waktu gejala efek toksik sianida terhadap 7 kelompok perlakuan..............................................................................................................46 Tabel III. Hasil perbandingan antar kelompok pada gejala efek toksik jantung berdebar................................................................................................................48 Tabel IV. Hasil perbandingan antar kelompok pada gejala efek toksik hilang kesadaran..............................................................................................................51 Tabel V. Hasil perbandingan antar kelompok pada gejala efek toksik gagal nafas ............................................................................................................................544 Tabel VI. Hasil perbandingan antar kelompok pada gejala efek toksik kejang...56 Tabel VII. Hasil perbandingan antar kelompok pada gejala efek toksik mati.....58 Tabel VII. Hasil Pemeriksaan histopatologi beberapa organ mencit akibat pemberian larutan KCN (sebagai senyawa racun) dan pada kelompok perlakuan diberikan larutan KCN kemudian diteruskan dengan pemberian senyawa antidotumnya, yaitu natrium tiosulfat. .................................................................68
DAFTAR GAMBAR
xvii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 1. Grafik mean ± 2 SE untuk gejala efek toksik berupa jantung berdebar ..............................................................................................................................47 Gambar 2. Grafik mean ± 2 SE untuk gejala efek toksik berupa hilang kesadaran ..............................................................................................................................50 Gambar 3. Grafik mean ± 2 SE untuk gejala efek toksik berupa gagal nafas .....53 Gambar 4. Grafik mean ± 2 SE untuk gejala efek toksik berupa kejang.............55 Gambar 5. Grafik mean ± 2 SE untuk gejala efek toksik berupa mati ................59 Gambar 6. Pengubahan cyanmethemoglobin menjadi tiosianat oleh rodhanase dan tiosulfat (Cyanide Toxicity Review, 2003)..........................................................63 Gambar 7. Kurva hipotesis yang melukiskan hubungan antara kadar racun di dalam darah atau di tempat aksi lawan waktu dengan strategi terapi keracunan mempercepat eliminasi. .......................................................................................64 Gambar 8. Gambaran histopatologi untuk organ hati mencit pembesaran 100X pengecatan hematoksislin-eosin pembedahan 24 jam, perlakuan : .....................70 a.KCN 26 mg/kgBB. A. hiperemi lokal derajat 2 (++)........................................70 b............. Aquadest, normal, tidak tampak adanya hiperemi, tidak ada manifestasi peradangan. ..........................................................................................................70 c.Na2S2O3 dosis 160.720 mg/kg BB. A. hiperemi lokal derajat 2 (++) .............70 d.KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 0,468 mg/kg BB. A. hiperemi lokal derajat 1 (+) .................................................................................................70 e.KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 3.279 mg/kg BB. A. hiperemi lokal derajat 2 (++)...............................................................................................70
xviii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
f. .... KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 22.960 mg/kg BB, normal, tidak tampak adanya hiperemi, tidak ada manifestasi peradangan. .....................70 g... KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 160.720 mg/kg BB, normal, tidak tampak adanya hiperemi, tidak ada manifestasi peradangan. .....................70 Gambar 9. Gambaran histopatologi untuk organ ginjal mencit pembesaran 100X pengecatan hematoksislin-eosin pembedahan 24 jam, perlakuan : .....................72 a.KCN 26 mg/kgBB. A. haemorrhagie ................................................................72 b.Aquadest............................................................................................................72 c.Na2S2O3 dosis 160.720 mg/kg BB ..................................................................72 d................KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 0,468 mg/kg BB. A. haemorrhagie........................................................................................................72 e................KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 3.279 mg/kg BB. A. haemorrhagie........................................................................................................72 f. KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 22.960 mg/kg BB..............72 g............KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 160.720 mg/kg BB. A. hiperemi ...............................................................................................................72 Gambar 10. Gambaran histopatologi untuk organ paru mencit akibat pemberian KCN dosis 26 mg/kg BB pembesaran 100X pengecatan hematoksislin-eosin pembedahan 24 jam, perlakuan:...........................................................................74 a...... KCN 26 mg/kgBB, alveoli dan bronkeoli dalam batas normal. A. penebalan septa alveoli, B. sel radang. ..................................................................................74 b.Aquadest............................................................................................................74
xix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
c...Na2S2O3 dosis 160.720 mg/kg BB. A. penebalan septa alveoli, B. sel radang. ..............................................................................................................................74 d................KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 0,468 mg/kg BB. A. penebalan septa alveoli, B. sel radang. ................................................................74 e.KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 3.279 mg/kg BB. A. penebalan septa alveoli, B. sel radang. ..................................................................................74 f.KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 22.960 mg/kg BB...............74 g.KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 160.720 mg/kgBB .............74 Gambar 11. Gambaran histopatologi untuk organ jantung mencit akibat pemberian KCN dosis 26 mg/kg BB pembesaran 100X pengecatan hematoksislin-eosin pembedahan 24 jam, perlakuan :..........................................................................75 a.KCN 26 mg/kgBB, miokardium dalam batas normal.......................................75 b. Aquadest, miokardium dalam batas normal.....................................................75 c. Na2S2O3 dosis 160.720 mg/kg BB, miokardium dalam batas normal ...........75 d.KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 0,468 mg/kg BB, miokardium dalam batas normal ..............................................................................................75 e. KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 3.279 mg/kg BB, miokardium dalam batas normal. .............................................................................................75 f. ................ KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 22.960 mg/kg BB, miokardium dalam batas normal..........................................................................75 g. ............... KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 160.720 mg/kgBB, miokardium dalam batas normal..........................................................................75
xx
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 12. Gambaran histopatologi untuk organ usus halus mencit akibat pemberian KCN dosis 26 mg/kg BB pembesaran 100X pengecatan hematoksislineosin pembedahan 24 jam,Perlakuan :.................................................................76 a............. KCN 26 mg/kgBB. A. fili intestinal erosi dan mukosanya tidak normal ..............................................................................................................................76 b. ..Aquadest, fili intestinal dan mukosa dalam batas normal, mukosa muskularis, serosa dan kelenjar nya juga normal. ...................................................................76 c. Na2S2O3 dosis 160.720 mg/kg BB. A. fili intestinal erosi dan mukosanya tidak normal. .................................................................................................................76 d. ........KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 0,468 mg/kg BB. A. fili intestinal erosi sedikit, dan juga terdapat adanya manifestasi peradangan derajat 2 (++). .....................................................................................................................76 e. ........KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 3.279 mg/kg BB. A. fili intestinal erosi sedikit, dan juga terdapat adanya manifestasi peradangan derajat 2 (++). .....................................................................................................................76 f. ......KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 22.960 mg/kg BB. A. fili intestinal erosi, dan juga terdapat adanya manifestasi peradangan derajat 1 (+). 76 g. ...KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 160.720 mg/kg BB. A. fili intestinal erosi, dan juga terdapat adanya manifestasi peradangan derajat 1 (+). 76 Gambar 13. Gambaran histopatologi untuk organ lambung mencit akibat pemberian KCN dosis 26 mg/kg BB pembesaran 100X pengecatan hematoksislineosin pembedahan 24 jam,perlakuan: ..................................................................79
xxi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
a. ............. KCN 26 mg/kgBB, aktivitas kelenjarnya meningkat, erosi mukosanya ..............................................................................................................................79 b. ......Aquadest, tunika mukosa muskularis normal, aktivitas kelenjarnya normal. ..............................................................................................................................79 c. ............... Na2S2O3 dosis 160.720 mg/kg BB, mukosa lambung erosi, aktivitas kelenjarnya meningkat. ........................................................................................79 d. KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 0,468 mg/kg BB. A. mukosa erosi. .....................................................................................................................79 e. KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 3.279 mg/kg BB. A. mukosa lambung erosi (++) dan terdapat adanya manifestasi peradangan. ......................79 f. KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 22.960 mg/kg BB. A. mukosa lambung erosi (+) aktivitas kelenjarnya meningkat. ............................................79 g. ..........KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2S2O3 dosis 160.720 mg/kg BB. A. mukosa lambung erosi (+). ..................................................................................79
xxii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil pengamatan gejala efek toksik pada kelompok kontrol sianida (dalam detik) ........................................................................................................97 Lampiran 2. Hasil pengamatan gejala efek toksik pada kelompok kontrol aquadest (dalam detik) .........................................................................................97 Lampiran 3. Hasil pengamatan gejala efek toksik pada kelompok kontrol natrium tiosulfat (dalam detik) ..........................................................................................97 Lampiran 4. Hasil pengamatan gejala efek toksik pada kelompok kontrol sianida (dalam detik) ........................................................................................................98 Lampiran 5. Hasil pengamatan gejala efek toksik pada kelompok kontrol sianida (dalam detik) ........................................................................................................98 Lampiran 6. Hasil pengamatan gejala efek toksik pada kelompok kontrol sianida (dalam detik) ........................................................................................................99 Lampiran 7. Hasil pengamatan gejala efek toksik pada kelompok kontrol sianida (dalam detik) ........................................................................................................99 Lampiran 8. Hasil perbandingan pengamatan gejala efek toksik sianida terhadap kelompok kontrol (aquadest, sianida (26 mg/Kg), dan Na-tiosulfat (160,720 mg/Kg)) ..............................................................................................................116 Lampiran 9. Hasil uji menggunakan analisis statistik Kruskal-Wallis dan MannWhitney..............................................................................................................100
xxiii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB I. PENGANTAR PENGANTAR A. Latar Belakang Sianida adalah zat beracun yang sangat mematikan. Efek dari sianida ini sangat cepat dan dapat mengakibatkan kematian dalam jangka waktu beberapa menit. Sianida dalam dosis rendah dapat ditemukan di alam dan ada pada setiap produk yang biasa kita makan atau gunakan. Sianida dapat diproduksi oleh bakteri, jamur dan ganggang serta ditemukan pada rokok, asap kendaraan bermotor, dan makanan seperti bayam, bambu, kacang, tepung tapioka dan singkong. Selain itu juga dapat ditemukan pada beberapa produk sintetik. Sianida banyak digunakan pada industri terutama dalam pembuatan garam seperti natrium, kalium atau kalsium sianida (Utama, 2006). Sianida dan hidrogen sianida digunakan dalam elektroplating, metalurgi, produksi zat kimia, pengembangan fotografi, pembuatan plastik dan beberapa proses pertambangan (Anonim, 2000). Sianida dapat mengganggu kesehatan serta mengurangi bioavailabilitas nutrien di dalam tubuh. Sianida merupakan racun yang bekerja cepat, berbentuk gas tak berbau dan tak berwarna, yaitu hidrogen sianida (HCN) atau sianogen khlorida (CNCl) atau berbentuk kristal seperti sodium sianida (NaCN) atau potasium khlorida (KCN). Racun ini menghambat sel tubuh mendapatkan oksigen sehingga yang paling terpengaruh adalah jantung dan otak. Paparan dalam jumlah kecil mengakibatkan napas cepat, gelisah, pusing, lemah, sakit kepala, mual dan muntah serta detak jantung meningkat. Paparan dalam jumlah besar menyebabkan kejang, tekanan darah rendah, detak jantung melambat, kehilangan kesadaran,
1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
gangguan paru serta gagal napas hingga korban meninggal (Utama, 2006). Jika sianida yang masuk ke dalam tubuh masih dalam jumlah yang kecil maka sianida akan diubah menjadi tiosianat yang lebih aman dan diekskresikan melalui urin. Selain itu, sianida akan berikatan dengan vitamin B12. Tetapi bila jumlah sianida yang masuk ke dalam tubuh dalam dosis yang besar, tubuh tidak akan mampu untuk mengubah sianida menjadi tiosianat maupun mengikatnya dengan vitamin B12 (Utama, 2006). Masuknya sianida ke dalam tubuh tidak hanya melewati saluran pencernaan tetapi dapat juga melalui saluran pernafasan, kulit dan mata. Yang dapat menyebabkan keracunan tidak hanya sianida secara langsung tetapi dapat pula bentuk asam dan garamnya, seperti asam hidrosianik sekitar 2.500–5.000 mg.min/m3 dan sianogen klorida sekitar 11.000 mg.min/m3 (Utama, 2006). Jalur terpenting dari pengeluaran sianida ini adalah dari pembentukan tiosianat (SCN-) yang diekresikan melalui urin. Tiosianat ini dibentuk secara langsung sebagai hasil katalisis dari enzim rhodanese dan secara indirek sebagai reaksi spontan antara sianida dan sulfur persulfida (Utama, 2006). Reaksi ini membutuhkan sumber utama yaitu sulfur sulfan namun jumlahnya dalam tubuh terbatas maka natrium tiosulfat dapat digunakan sebagai antidot dalam keracunan sianida karena natrium tiosulfat dapat berfungsi sebagai pemasok sulfur. Natriun tiosulfat merupakan antidot pilihan jika diagnosisnya belum tentu jelas karena keracunan sianida atau bukan, seperti dalam kasus yang disebabkan oleh asap rokok (Meredith, 1993).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
Sering kali secara tidak kita sadari, kita juga dapat terpapar sianida, untuk itu kita perlu mengetahui kisaran dosis optimum dari natrium tiosulfat yang digunakan sebagai antidot dalam keracunan sianida. Kisaran dosis sangatlah penting karena menurut Meredith (1993), meskipun secara intrinsik natrium tiosulfat bersifat nontoksik tetapi produk hasil reaksi detoksifikasi antara natrium tiosulfat dengan sianida dapat bersifat toksik 1. Permasalahan Yang timbul dalam penelitian ini adalah : 1. Berapa besar dosis efektif natrium tiosulfat dengan cara pemberian i.p. untuk keracunan sianida pada mencit? 2. Bagaimana wujud dan sifat penawaracunan sianida oleh natrium tiosulfat secara pengamatan fisik dan struktural? 2. Keaslian penelitian Penelitian mengenai natrium tiosulfat sebagai antidot pada keracunan sianida sudah pernah dilakukan, yaitu : Ann (2005), meneliti natrium tiosulfat untuk keracunan sianida akut pada tikus. Hasil penelitian yaitu efek terapi natrium tiosulfat ditunjukkan pada dosis 225 mg/kgBB secara i.p. Penelitian mengenai Dosis Efektif natrium tiosulfat sebagai antidotum untuk keracunan sianida pada mencit jantan galur Swiss sepanjang pengetahuan penulis belum pernah ada yang melakukan. Perbedaan dengan pene litian tentang na-tiosulfat sebelumnya terletak pada hewan uji yang digunakan. 3. Manfaat penelitian 1. Manfaat teoritis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
Penelitian ini bermanfaat dalam pengembangan pengetahuan tentang natrium tiosulfat sebagai antidotum keracunan sianida. 2. Manfaat metodologis Penelitian ini dapat memberi informasi tentang dosis efektif natrium tiosulfat dengan cara pemberian i.p. sebagai antidotum dalam keracunan sianida pada hewan uji mencit. 3. Manfaat praktis Penelitian ini dapat digunakan untuk mengetahui berapa besar dosis efektif dari natrium tiosulfat yang dapat digunakan pada manusia.
B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian menge nai Dosis Efektif natrium tiosulfat sebagai antidotum untuk keracunan sianida pada mencit jantan galur Swiss untuk mengetahui 1. Seberapa besar dosis efektif natrium tiosulfat dengan cara pemberian i.p. untuk keracunan sianida pada mencit. 2. Wujud dan sifat penawaracunan sianida oleh natrium tiosulfat secara pengamatan fisik dan struktural.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA PENELAAHAN PUSTAKA
A. 1.
Sianida
Tinjauan sejarah Sianida sudah dikenal sebagai racun dalam kenari yang pahit, ceri, daun
salam, dan singkong sejak jaman dahulu. Sebuah catatan pada sebuah lontar Mesir dalam museum Louvre, Paris menuliskan bahwa Dioscorides pada abad pertama, SM, telah mengetahui adanya sesuatu yang beracun di dalam kenari yang pahit (Sykes, 1981). Mekanisme biokimia untuk menawaracunkan sianida telah dijelaskan oleh Chen dkk. (1933, 1934). Mereka manganjurkan penggunaan sebuah kombinasi amil nitrit, natrium nitrit, dan natrium tiosulfat, senyawa terakhir berfungsi sebagai donor sulfur untuk rhodanese (sulfur transferase). Rhodanese mempercepat detoksifikasi sianida dengan membentuk metabolit tiosianat. Ini menunjukkan perkembangan salah satu penawar racun pertama berdasarkan alasan ilmu pengetahuan tentang racun yang ilmiah. Kombinasi penawar racun ini telah teruji lama, dan masih menunjukkan kombinasi penawar racun yang paling mujarab untuk terapi keracunan akibat sianida. 2.
Sumber- sumber potensial sianida
a. Sumber-sumber dari industri Sianida digunakan di industri dan untuk mengontrol serangga atau binatang yang merugikan. Hidrogen sianida digunakan untuk mengasapi
5
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bangunan, kapal dan pesawat yang terserang serangga atau binatang yang merugikan. Garam sianida, seperti natrium sianida dan kalium sianida digunakan dalam proses pembersihan, penguat, ekstraksi bijih pada pertambangan, serta elektroplating (Henry, 1997). Nitril adalah turunan siano dari senyawa organik. Asetonitril digunakan sebagai pelarut dan sedikit mengandung racun (LD50 = 120 mg/kg) dibanding hidrogen sianida (LD50 = 0,5 mg/kg), tetapi sering mengandung campuran racun yang berkaitan dengan metabolisme sianida anorganik. Ketika nitril alifatik mengalami metabolisme menjadi sianida anorganik, ikatan aroma nitril stabil in vivo. Akrilonitril adalah bahan kasar yang digunakan untuk pabrik plastik dan serat sintetis. Bersinggungan dengan kulit dapat menyebabkan kulit melepuh. Pembakaran menghasilkan hidrogen sianida. Akrilonitril dan propionitril sedikit mengandung racun (LD50 = 35 mg/kg) dibanding butironitril (LD50 = 10 mg/kg). Trikloroasetonitril (LD50 = 200 mg/kg) digunakan sebagai obat pembasmi serangga. Aroma nitril, bromoksinil (LD50 = 190 mg/kg) dan ioksinil (LD50 = 110 mg/kg), digunakan sebagai obat pembasmi tanaman liar. Sianamida, asam sianoasetk, ferrisianida dan ferrosianida tidak mengeluarkan sianida. Sehingga mereka mangandung sedikit racun (LD50 = 1000-2000 mg/kg) dibanding senyawa sianogenik diatas, walaupun mereka mungkin menyebabkan keracunan dengan cara lain misalnya sianida yang dicampur dengan alkohol (Olson, 2007). b. Sumber- sumber non- industri Api dan pengatur polusi kendaraan dilengkapi dengan kegagalan pemakaian pengubah katalitis (Voorhoeve dkk., 1975) menghasilkan sianida. Zat-
6
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
zat alami seperti wol, sutera, rambut kuda, dan tembakau serta bahan sintetis modern seperti poliuretan dan poliakrilonitril, mengeluarkan sianida selama pembakaran (Levine dkk., 1978; Birky dkk., 1979; Anderson & Harland, 1982; Clark dkk., 1983 ; Alarie, 1985 ; Lowry dkk., 1985) (Tabel I) Tabel I. Hidrogen sianida yang dihasilkan oleh pembakaran (Montgomery dkk. (1975))
Bahan Kertas Katun Wol Nilon Busa poliuretan
µg HCN yang dihasilkan per gram bahan 1100 130 6300 780 1200
c. Sumber- sumber alam Sianida ditemukan dalam bahan makanan seperti kol, bayam, dan kenari, dan sebagai amigdalin dalam biji apel, persik, kismis, ceri dan biji kenari. Dalam biji- biji itu sendiri, amigdalin tampak tidak berbahaya selama itu kering. Akan tetapi, biji- biji mengandung sebuah enzim yang mampu mengatalisis reaksi hidrolitis berikut ini ketika biji-biji itu dihancurkan dan dibasahi (Olson, 2007) : C20 H27NO11 + 2H2 O -- > 2C6 H12O6 + C 6 H5CHO + HCN Amigdalin
glukosa
benzaldehid hidrogen sianida
Reaksi itu lambat dalam asam tetapi cepat dalam larutan alkali. Minyak alami dari kenari yang pahit mengandung 4% HCN. Kacang lima putih Amerika mengandung 10 mg sianida/100 g kacang. Akar kering ketela (tapioka) mungkin mengandung 245 mg sianida/100 g akar. Kandungan sianida dalam 100 g biji aprikot yang ditanam telah ditemukan menjadi 9mg dan dalam biji aprikot liar lebih dari 200 mg (Olson, 2007).
7
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
d. Sumber- sumber iatrogenik Sianida juga dibentuk pada terapi menggunakan nitroprusida, terutama ketika diperpanjang, karena takifilaksis kadang membutuhkan penggunaan dosis yang lebih tinggi daripada dosis maksimum yang dianjurkan 10 µg/kg per min (Smith & Kruszyna, 1974; MacRae & Owen, 1974; Piper, 1975; Atkins, 1977; Anon, 1978). Sianida mengakibatkan metabolisme menjadi tiosianat. Tiosianat telah digunakan beberapa tahun yang lalu sebagai agen antihipertensi dan mereka tampak sering digunakan karena sangat efektif. Sedangkan pada jenis efek akut sedang, termasuk anoreksia, kelelahan, dan sistem gastrointestinal dan gangguan CNS, mendorong pada keburukan mereka. Laetril, amigdalin berasal dari biji aprikot, telah digunakan sebagai sebuah agen anti kanker, tetapi sekarang tidak terpakai karena efek pengobatan tidak dapat dipraktekkan dalam pembelajaran retrospektif dan prospektif. Laetril telah menyebabkan keracunan sianida yang fatal (Sadoff dkk., 1978). 3.
Jenis keracunan pada sianida
a. Keracunan akut sianida Secara umum, menghirup kira-kira 50 ml (konsentrasi 1,85 mmol/l) gas hidrogen sianida fatal dalam beberapa menit. Keracunan hidrogen sianida lebih sering secara tidak sengaja daripada sengaja. Sehingga keracunan sianida secara tidak sengaja mungkin terjadi pada pengasap dan ahli kimia yang menggunakan hidrogen sianida selama jalannya pekerjaan mereka (Chen dkk., 1944). Pada kebakaran, kombinasi keracunan HCN dan karbon monoksida (CO) terjadi karena terhirupnya asap dari barang yang terbakar, mungkin menyebabkan
8
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kefatalan. Menelan garam sianida yang secara sengaja biasanya terjadi pada orang yang bekerja dengan sianida. Menelan sedikitnya 250mg garam sianida anorganik mungkin bisa fatal (Peters dkk., 1982). Akan tetapi, kematian bisa ditunda beberapa jam mengikuti proses pencernaan sianida pada perut yang penuh; firstpass effect yang terjadi di hati juga dapat menunda onset dari sianida (Naughton, 1974). b. Keracunan kronis sianida Neurotoksisitas kronis karena dosis rendah telah diteliti dengan pendekatan epidemiologi pada populasi yang mengkonsumsi secara alami tanaman yang mengandung glikosida (Blanc dkk., 1985). Glikosida ini terdapat dalam banyak jenis spesies tanaman, terutama tanaman singkong, bahan makanan utama daerah tropis (Conn, 1973; Cook & Coursey, 1981; Ministry of Health, Mozambique, 1984). Ketela telah dihubungkan dengan ataxic neuropati tropis (Cook & Coursey, 1981). Paraparesis wabah kejang telah dihubungkan dengan sebuah kombinasi kadar sianida yang tinggi dan belerang rendah yang masuk dari makanan yang didominasi oleh ketela yang kurang diproses dan suplemen yang kurang protein (Rosling, 1989). Neurotoksologi juga telah ditemukan pada tembakau yang berhubungan dengan ambliopia (Grant, 1980) dan pada amigdalin yang berhubungan dengan neuropati perifer (Kalyanaraman dkk., 1983). Keracunan sianida jangka panjang telah ditunjukkan berhub ungan dengan pembesaran dan gangguan pada kelenjar tiroid pada laporan kasus dan cohort studies dari individu yang terpapar sianida
9
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dalam pekerjaannya (Blanc dkk., 1985), melalui makanan yang dikonsumsi (Cook & Coursey, 1981), dan secara eksperimental (El Ghawabi dkk., 1975). 4.
Mekanisme keracunan sianida Sianida mempunyai afinitas khusus pada ion-ion besi yang ada dalam
sitokrom oksidasi, enzim akhir pada respirasi oksidatif dalam mitokondria. Enzim ini merupakan katalisator yang penting untuk penggunaan oksigen pada jaringan. Ketika sitokrom oksidasi dihambat oleh sianida, histotoksik anoksia terjadi karena metabolisme aerobik yang terhambat. Pada keracunan sianida besar-besaran, mekanisme keracunan lebih rumit. Ini memungkinkan bahwa getaran bebas dari amina biogenic mungkin berperan dengan menyebabkan gagal jantung (Burrows & Way, 1976). Sianida dapat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh paru-paru dan atau pembuluh jantung, yang akan mengakibatkan, secara langsung dan tidak langsung, pada gagal pemompaan dan penurunan volume darah pada sirkulasi didalam tubuh yang dipengaruhi oleh penurunan fungsi organ jantung. Teori ini didukung oleh peningkatan yang tajam pada tekanan pembuluh darah pusat yang telah diobservasi oleh Vick & Froelich (1985) pada waktu ketika tekanan pembuluh darah arteri turun setelah pengambilan natrium sianida ke dalam pembuluh darah pada anjing. Observasi bahwa phenoxybenzamine, sebuah alfa adrenergic menghalangi obat, secara terpisah mencegah perubahan awal (Vick & Froelich, 1985) mendukung konsep getaran awal menyatakan tidak berhubungan dengan penghambat sistem oksidasi sitokrom.
10
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Bau kenari yang pahit dalam udara yang kadaluarsa adalah tanda penting keracunan sianida. Namun banyak orang tidak mampu merasakan bau asam hydrocyanic (Kalmus & Hubbard, 1960). Timbulnya “non-smeller” dilaporkan menjadi 18% diantara laki- laki dan 5% diantara wanita (Kirk & Stenhouse, 1953; Fukumoto dkk., 1957). Secepatnya setelah menelan sianida, gejala yang sangat awal, seperti iritasi lidah dan selaput lender, mungkin dialami. Aspirasi darah kotor mungkin diobservasi jika pencucian lambung dilakukan. Gejala awal dan tanda- tanda yang terjadi setelah penghisapan HCN atau proses pencernaan garam sianida termasuk kegelisahan, sakit kepala, pusing, kebingungan, dan hiperpnea, diikuti oleh dispnea, membiru, hipotensi, bradikardi, dan sinus atau aritmia simpul AV. Pada tahap kedua keracunan, kesadaran yang lemah, koma dan gangguan hebat terjadi dan kulit menjadi dingin, lembab, dan basah. Detak jantung menjadi lebih lemah dan lebih cepat. Opisthotonos dan trismus mungkin diobservasi. Tanda terakhir dari keracunan sianida termasuk hypotension, arrythmias komplek, gagal pembuluh darah jantung, oedema paru- paru dan kematian. Bahwa pewarnaan kulit merah terang atau ketidakadaan pembiruan yang disebutkan dalam buku pelajaran (Gosselin dkk., 1984; Goldfrank dkk., 1984) jarang dijelaskan dalam laporan kasus keracunan sianida oleh sebab itu harus lebih ditekankan. Secara teori tanda ini bisa dijelaskan oleh oxyhaemoglobin yang berkonsentrasi tinggi dalam pembuluh darah balik, tetapi, terutama pada keracunan besar- besaran, gagal pembuluh darah akan mencegah ini dari kejadian.
11
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kadang-kadang, pada awalnya pembiruan bisa diobservasi, ketika kemudian pasien bisa menjadi merah muda terang (Hilmann dkk., 1974). Patogenesis
udem
paru-paru
bisa
dimaksudkan
untuk
beberapa
mekanisme yang berbeda: (1) proses metabolisme intraselular yang bisa melukai alveolus dan pembuluh rambut epithelium secara langsung, menghasilkan sindrom kebocoran pembuluh rambut; (2) udem paru-paru neurogenik atau, (3) hampir sama, efek langsung pada miokardium mengarahkan ke kegagalan jantung bagian kiri dan peningkatan tekanan pembuluh darah paru-paru. Otak secara jelas adalah organ utama yang dilibatkan dalam keracunan sianida dan ini telah ditunjukkan bahwa sianida meningkatkan laktat otak dan menurunkan konsentrasi ATP otak (Olsen & Klein, 1974). 5.
Pemeriksaan laboratorium
a. Asidosis laktat Karena phosphorylation oksidasi ditutup, tingkat glikolisis ditingkatkan dengan jelas, dimana berubah mengarah pada asam susu. Tingkat asam susu bisa dihubungkan dengan kehebatan keracunan sianida (Trapp, 1970; Naughton, 1974). b. Konsentrasi sianida dalam darah dan plasma Sebelum perawatan intravenous dengan penawar racun dimulai, penting mengumpulkan heparinise (bukan fluoride) contoh darah untuk menentukan konsentrasi sianida. Hasil dari contoh yang dikumpulkan setelah perawatan benarbenar tidak bisa dipercaya. Sebuah tes kuantitatif yang menggunakan sebuah pembuluh detektor bisa digunakan jika diagnosanya diragukan. Darah juga bisa
12
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
digunakan untuk tes kuantitatif, sehingga kehebatan racun bisa dievaluasi. Pengukuran obat setelah perawatan penawar racun seharusnya didasarkan pada kondisi klinis dari pasien daripada konsentrasi darah sianida (Berlin, 1971; Vogel dkk., 1981; Peter dkk., 1982). Karena konsentrasi darah sampai 0,005-0,04 mg/l telah direkam pada kesehatan orang yang tidak merokok, dan 0,01-0,09 mg/l pada perokok, hanya konsentrasi diatas jumlah ini sebelumnya dianggap racun (Vogel dkk., 1981; Peters dkk., 1982). Lundquist dkk., (1985) melaporkan bahkan konsentrasi lebih rendah: bukan perokok 3,4 µg/l (seluruh darah), 0,5 µg/l (plasma), 6,0 µg/l (eritrosit); perokok 8,6 µg/l (seluruh darah), 0,8 µg/l (plasma), 17,7 µg/l (eritrosit). Keracunan sianida yang fatal telah dilaporkan dengan seluruh konsentrasi darah 3 mg/l dan keracunan parah dengan 2mg/l (Graham dkk., 1977). Akan tetapi, ketika sianida masuk aliran darah, sampai 98% secara cepat memasuki sel darah merah dimana itu menjadi ikatan yang kuat. Rasio Plasma ke perbandingan darah sebesar 1:10 sehingga seluruh konsentrasi darah sianida mungkin tidak secara akurat mencerminkan konsentrasi sianida pada jaringan. Konsentasi sianida dalam plasma mungkin menjadi lebih penting karena pada keracunan yang parah itu terjadi jika konsentrasi dalam plasma berada dalam level sedang (Vesey dkk., 1976). Akan tetapi, kelemahan dari penggunaan plasma dalam mendeteksi sianida dalam dugaan keracunan karena ketidakstabilan sianida dalam plasma (Lundquist dkk., 1985).
13
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6.
Detoksifikasi sianida secara biologis Jalan kecil utama penghilangan endogen adalah pengubahan, dengan
menggunakan tiosulfat, menjadi tiosianat. Jalan kecil pengeluaran adalah pengeluaran hidrogen sianida melalui paru-paru dan mengikat sistein atau hidroksokobalamin. Penghilangan sianida terjadi secara perlahan pada tingkat 0,017 mg/kg per min (McNamara, 1976). Enzim sulfurtransferase dibutuhkan untuk mengatalis pengiriman atom sulfur dari pemberi tiosulfat sampai sianida. Teori klasik yang menandakan bahwa mitokondrial tiosulfat sulfurtransferase adalah enzim terpenting dalam reaksi ini yang sekarang diragukan karena tiosulfat menembus selaput lipid secara perlahan dan sehingga tidak siap sedia sebagai sumber sulfur pada keracunan sianida. Konsep modern menganggap peranan yang lebih besar pada komplek serum albumin- sulfane, yang penahan utama penghilangan sianida yang berjalan pada metabolisme normal (Sylvester dkk., 1983). Enzim berikutnya, beta-merkaptopiruvat sulfurtransferase, juga mengubah sianida menjadi tiosianat (Vesey dkk., 1974). Enzim ini ditemukan dalam eritrosit, tetapi dalam sel-sel manusia aktifitasnya rendah.
B. 1.
Terapi pada Keracunan Sianida
Terapi suportif Walaupun penawar racun yang efektif tersedia, pengukuran pendukung
umum seharusnya tidak diabaikan dan mungkin menjadi penyelamat hidup. Menurut Jacobs (1984), yang melaporkan pengalaman pribadinya dari 104 kasus
14
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
keracunan industri, penggunaan penawar racun tertentu ditunjukkan hanya dalam kasus keracunan yang hebat dengan koma yang lama, biji mata yang tidak reaktif, dan pernapasan yang kurang dalam kombinasi dengan kurangnya peredaran darah. Pada pasien dengan keracunan yang lumayan hebat, yang hanya mengalami ketidaksadaran singkat, gangguan hebat, muntah, dan membiru, terapi terdiri dari perawatan intensif dan memberikan natrium tiosulfat ke dalam pembuluh darah. Pada kasus keracunan ringan dengan kepeningan, rasa mual, dan rasa mengantuk, hanya oksigen dan istirahat yang digunakan. Peden dkk. (1986) menjelaskan sembilan pasien yang keracunan hidrogen sianida dikeluarkan oleh kebocoran katup. Tiga diantaranya tidak sadar sebentar tapi sembuh dengan cepat setelah dipindah dari daerah dimana mereka bekerja. Pembuluh urat nadi seluruh darah konsentrasi sianida pada pintu masuk adalah 3.5, 3.1 dan 2.8 mg/l, secara berturut- turut. Konsentrasi sianida pada kasus lain berkisar antara 2.6 dan 0.93 mg/l. semua disembuhkan hanya dengan terapi pendukung. Antara tahun 1970 dan tahun 1984, tiga relawan laki- laki diberikan perlakuan yang sama; dua diantaranya menunjukkan hasil kehilangan kesadaran yang singkat, dan dalam kasus ini konsentrasi sianida 30 min setelah pemejanan adalah 7,7 dan 4,7 mg/L. Konsentrasi pada pasien yang lain adalah 1,6 mg/L. Ketiga pasien sembuh tanpa penggunaan penawar racun sianida. Sebagian kecil pasien yang tidak sadar dengan potensi konsentrasi racun dalam darah yang mematikan pada pemejanan, dan yang sembuh tanpa penawar racun sianida, telah
15
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dilaporkan oleh Graham dkk. (1977), Edward & Thomas (1978), dan Vogel dkk. (1981). Jika pasien tidak sadar, sebuah penawar racun tidak penting untuk ditangani secara cepat kecuali tanda yang penting/ mematikan memburuk. Pasien yang terkena hidrogen sianida yang sampai rumah sakit dengan kesadaran penuh hanya membutuhkan observasi dan penenangan hati. 2.
Terapi antidot
a. Oksigen Ini sangat sulit dimengerti bagaimana oksigen mempunyai efek bagus dalam keracunan sianida, karena pencegahan oksidasi sitokrom tidak kompetitif. Akan tetapi, oksigen selalu dianggap sebagai sebuah ukuran pertolongan pertama pada keracunan sianida, dan sekarang ada bukti yang bersifat percobaan bahwa oksigen mempunyai aktifitas penawar racun yang penting. Oksigen mempercepat reaksi oksidasi sitokrom dan melindungi terhadap pencegahan oksidasi sitokrom oleh sianida (Takano dkk., 1980). Meskipun demikian, ada kemungkinan tindakan lain dan yang secara klinis penting untuk ditentukan. Oksigen hiperbarik dianjurkan untuk korban penghirupan asap yang menderita dari gabungan karbon monoksida dan keracunan sianida, karena dua agen ini secara gabungan racun. Penggunaan oksigen hiperbarik pada keracunan sianida yang murni masih diperdebatkan. b. Natrium tiosulfat Jalan utama penghilangan sianida dalam tubuh adalah pengubahan menjadi tiosianat oleh rhodanese, walaupun sulfurtransferase yang lain, seperti
16
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
beta-mercaptopiruvat sulfurtransferase, mungkin juga dilibatkan. Reaksi ini membutuhkan sumber sulfane sulfur, tapi penyedia endogen dari zat ini terbatas. Keracunan sianida adalah proses intramitokondrial dan sebuah penyediaan sulfur ke dalam pembuluh darah hanya akan menembus mitokondria secara perlahan. Sedangkan natrium tiosulfat mungkin cukup pada kasus ringan sampai berat, ini seharusnya ditangani dengan penawar racun yang lain pada kasus keracunan yang berat. Selain itu pemilihan penawar racun juga dibutuhkan ketika diagnosa racun sianida tidak pasti, sebagai contoh pada kasus penghirupan asap. Natrium tiosulfat dianggap pada dasarnya tidak beracun tetapi produk penghilang racun dibentuk dari sianida, tiosianat, mungkin menyebabkan keracunan pada pasien dengan kelainan ginjal.
C.
Natrium Tiosulfat
Penggunaan natrium tiosulfat sebagai penawar racun telah dicatat dalam kepustakaan tentang keracunan yang berkaitan dengan sianida, gas mustard, mustard nitrogen, bromat, klorat, brom, yodium, sisplatin, dan obat-obatan tertentu (Dactinomycin, Mechlorethamine, Mitomycin) ketika dipaksa keluar dari pembuluh. Juga ada beberapa referensi tentang efeknya pada iodat dan racun hipoklorit. Peranan utama natrium tiosulfat terletak pada perawatan keracunan sianida. 1.
Dasar pemikiran untuk memilih antidot Efek natrium tiosulfat sebagai penawar racun pada keracunan sianida
juga diabadikan dengan baik, dan pertama kali diperagakan oleh Lang (1985).
17
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Beberapa pengarang percaya ini akan menjadi pemawar racun yang bekerja cukup lambat, walaupun yang lain telah memperagakan bahwa ini bekerja lebih cepat dibanding pemikiran yang sebelumnya, memungkinkan pengubahan sianida menjadi tiosianat (Krapez dkk., 1981). Tiosulfat membantu menghilangkan sianida pada enzim rhodanese. Akan tetapi, rhodanese adalah sebuah enzim intramitokondrial dan tiosulfat membatasi kemampuan untuk menembus sel dan selaput mitokondrial. Sehingga penyaluran tiosulfat hampir secara ekslusif ekstraseluler (Cardozo & Edelman, 1952), sedangkan kerja penawar racunnya telah dianggap terjadi secara intraseluler. Gambaran ini sekarang sedang dipelajari kembali dalam keterangan bukti penelitian mutakhir. 2.
Kelompok risiko Tidak ada kelompok resiko khusus yang dapat diidentifikasi mengenai
penggunaan natrium tiosulfat. Akan tetapi, harus dicatat bahwa kemungkinan terdapat pengurangan kemampuan untuk mengubah sianida menjadi tiosianat dalam beberapa penyakit, contohnya, racun ambliopia (pada tembakau ambliopia tertentu) dan berhentinya pertumbuhan penglihatan turun-temurun Leber (Wilson, 1965; Darby & Wilson, 1967). Secara tidak normal aktifitas rhodanese yang rendah dalam hati telah dijelaskan pada dua pasien dengan berhentinya pertumbuhan penglihatan turun- temurun Leber (Grant, 1986). 3.
Nama dan rumus kimia Nama internasional tanpa kepemilikan: Natrii thiosulfas; natrium
thiosulfate (Thiosulfate); Thiosulfate de natrium; Natrium thiosulfuricum; natriumthiosulfat (Hager, 1977). Nomer CAS: 10102-17-7 untuk natrium
18
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
thiosulfate, pentahydrate (NIOSH, 1986); 7772-98-7 untuk natrium thiosulfate, anhydrous, (NIOSH, 1986). Nama IUPAC : Natrium Thiosulfate, pentahydrate Perusahaan : siap tersedia di banyak Negara. Nama Komersil : secara komersil tersedia sebagai natrium thiosulfate atau sama di banyak Negara. Formula : Na2 S2O3 .5H2O (Martindale, 1989) Rata-rata berat molekul : 248.2 (Martindale, 1989) Spesifikasi garam kimia yang digunakan: natrium tiosulfat mangandung tidak kurang 99.0% dan tidak lebih atau sama dengan 101.0% Na2 S2O3 .5H2O (Farmakope Eropa, 1980); transparan, kristal yang tidak berwarna (Farmakope Eropa, 1980); tidak berwarna, tidak berbau, (atau hampir tidak berbau) kristal prisma monoklinik, atau serbuk kristal yang kasar denga n rasa garam (Martindale, 1989). 4.
Sifat fisiko-kimia
a. Titik lebur dan titik didih. Natrium tiosulfat larut dalam air pengkristalannya sendiri kira-kira pada 49ºC (Farmakope Eropa, 1980; Martindale, 1989). Ini kehilangan seluruh airnya pada 100ºC dan terurai pada suhu yang lebih tinggi (Windholz, 1983). Di atas 200-300ºC, ini terurai menjadi sulfat dan pentasulfida (Kirk-Othmer, 1969; Hager, 1977). Ketika dipanaskan sampai titik penguraian, uap dari sulfur oksida terpancar (Sax, 1984; PoisIndex, 1987). b. Kelarutan
19
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kemampuan larut yang tinggi dalam air (2 bagian natrium tiosulfat dalam 1 bagian air) (Martindale, 1989; Windholz, 1983). c. Kestabilan Memuai dalam panas (>30ºC) udara yang kering. Sedikit higroskopik di udara yang lembab (Windholz, 1983). Disimpan dalam wadah kedap udara (Martindale, 1989). Pelarut yang encer membatasi kestabilan yang berkaitan dengan kecenderungan untuk mengurai secara perlahan seperti reaksi berikut ini: Na2 S2 O3 -- > Na2 S2 O3 + S (larutan netral atau asam) Na2 S2 O3 + H2O -- > Na2 SO4 + H2S (larutan alkali) Reaksi pertama dipercepat oleh asam dan yang kedua oleh udara atau oksigen. Larutan natrium tiosulfat yang encer mengurai lebih cepat dalam panas. Penyimpanan dengan akse yang terbatas pada udara dan cahaya dalam lingkunga n yang dingin meningkatkan kestabilan (Kirk-Othmer, 1969; Martindale, 1989; Windholz, 1983). Tiosulfat yang dapat disuntikkan disimpan dalam tempat kaca kecil yang tersegel selama tiga tahun menunjukkan tidak adanya perubahan penting pada komposisi. d. Pembawa Untuk tiosulfat yang dapat disuntikkan (0.15g/ml) : natrium fosfat dodekahidrat (Na2 HPO4 .12H2O) 1.2% (informasi dari Perusahaan Nasional Farmasi Swedia).
20
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5.
Mekanisme penawaracunan Jalan utama penghilangan sianida dalam tubuh adalah pengubahan
menjadi tiosianat. Reaksi ini membutuhkan sumber sulfur sulfan (sulfur dwivalensi terikat pada sulfur lain) dan dikatalis oleh sulfur transferase. Telah dianjurkan bahwa ada kelompok psikologi sulfur sulfane reaksi sianida menempel pada albumin yang mungkin bekerja sebagai penyangga melawan produksi endogen sianida (Westley dkk., 1983; Way dkk., 1984). Tiosulfat ada dalam tubuh hanya dalam jumlah kecil, sebagian besar diperoleh dari sistin dan senyawa mercapto yang lain. Cadangan psikologi yang tersedia untuk penghilangan sianida menjadi terbatas (Schulz dkk.1979b) Rhodanase Na2 S2 O3 + CN -
SCN + Na2 S2 O3
Ini disalurkan ke seluruh tubuh, konsentrasi paling tinggi ditemukan dalam hati, dan sebagian besar terletak dalam rahim mitokondria (Westley dkk., 1983). Keberadaan oksidasi tiosianat yang dapat mengoksidasi tiosianat kembali menjadi sianida (Goldstein & Rieders, 1953) telah dipertanyakan. Akan tetapi, ini sekarang terhubung dengan formasi artifaktual HCN selama pengujian kadar logam (Vesey, 1979). Natrium tiosulfat mengandung dwivalensi pemberi sulfur yang penting terikat pada sulfur yang lain dan ini adalah pemberi sulfur utama untuk rhodanese dalam pengubahan sianida menjadi tiosianat. Sedangkan rhodanese tersedia berlebih dalam tubuh, kekurangan pemberi sulfur yang cocok adalah faktor pembatas rata-rata untuk jalan penghilangan racun pada keracunan sianida. Ini
21
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
adalah dasar pemikiran untuk pengambilan natrium tiosulfat pada keracunan sianida sehingga kapasitas endogen penghilang racun tubuh ditingkatkan. 6.
Profil biokimia/farmakologi lain
a. Farmakokinetik Ketika tiosulfat dosis tinggi disuntikkan pada mamalia, bagian yang lebih besar dikeluarkan tidak diubah oleh pengeluaran ginjal tapi jumlah tertentu dioksidasi menjadi sulfat. Bagian kecil terakhir meningkat karena dosis tiosulfat menurun. Oksidasi tiosulfat menjadi sulfat terjadi dalam hati dengan dua langkah jalan kecil enzim. Pembelajaran oleh Gilman dkk. (1946) membuktikan bahwa penyuntikan tiosulfat ke dalam pembuluh darah secepatnya disalurkan dalam tempat cairan extracellular dan bahwa pembuangan ginjalnya terjadi penyaringan syaraf ginjal. Percobaan hewan lebih lanjut telah menunjukkan bahwa sistem pengangkutan tabung mungkin juga terjadi (Sörbo, 1972). Tiosulfat disimpan dan diserap kembali dalam manusia dan anjing, menurut Bucht (1949) dan Foulks dkk. (1952). Pembersihan tiosulfat rendah, tapi pada tingkat yang tinggi pembersihan sama dengan mutu penyaringan syaraf ginjal. Ini berarti bahwa pada tingakatan plasma tiosulfat yang tinggi, penyimpanan Tm (pengiriman maksimal) sama dengan penyerapan kembali Tm, sedangkan pada tingkat plasma yang rendah seluruh penyaringan dan penyimpanan tiosulfat diserap kembali sehingga ada sebuah pengurangan nilai pembersihan tiosulfat. Volume penyaluran, seperti yang ditentukan pada berat anjing 8.5-14.4 kg, pada rata-rata, 3 1 (Cardozo & Edelman, 1952).
22
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Rhodanase Na2 S2 O3 + CN -
SCN + Na2 S2 O3
Reaksi katalis sulfurtransferase dimana sulfur sulfan diikutkan, rhodanase adalah sulfurtransferase yang telah banyak dipelajari secara ekstensif. Rhodanase mengakatalis pengiriman sulfan. Pembelajaran secara kinetik telah menunjukkan bahwa ada tempat kationik pada rhodanase untuk pemberi anionik sulfur (Westley dkk,1983) sebagian besar dosis tiosulfat yang disuntikkan dikeluarkan dan tidak mengalami perubahan. Tiosulfat dianggap menyebar secara perlahan melalui selaput sel (Himwich dan Saunders, 1948; Sorbo,1962). Menurut Crompton dkk, (1974), tiosulfat bisa menggunakan pembawa dikarboksilat untuk memasuki mitokondria, seperti yang ditunjukkan pada percobaan dengan menggunakan mitokondria pada hati tikus. Sistem ini khusus pada senyawa anion valensi dua. Telah ditunjukkan oleh Szczepkowski dkk,(1961) bahwa ketika menggunakan tiosulfat yang dilabeli 2 atom sulfur mempunyai keuntungan yang berbeda selama serangkaian proses metabolisme pada hewan. Pada tikus, atom sulfur dalam dihilangkan sangat cepat dihilangkan dalam bentuk sulfat ketika atom luar diubah menjadi sulfat lebih lambat, mungkin mulai melalui jumlah tingkat tahap tengah. Ketika hewan percobaan disuntik dengan tiosulfat yang mengandung
35
S
pada posisi sulfannya secara ekslusif. Ini seluruhnya dapat ditemukan berlabel dalam plasma secepat sampel yang diperoleh (Schneider dan Westley, 1969).
23
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Percobaan pada anjing (Michefelder dan Tinker,1977; Schulz dkk,1979b) telah menunjukkan bahwa kapasitas persediaan endogen tiosulfat untuk menghilangkan sianida dilebihkan jika natrium nitroprusside diatur sebagai infus yang terus menerus pada rata-rata lebih dari 0,5 mg/kg/jam ketika hewan percobaan menerima dosis yang lebih tinggi dari 0,5/mg/kg/jam, konsentrasi darah sianida mereka meningkat secara bertahap. Hewan percobaan yang menerima dosis yang sama mengalami kondisi yang sama tetapi dengan pemberian infus tiosulfat tambahan 6 x (b/b) dosis natrium nitroprusside tidak menunjukkan tanda yang tidak normal. Volume urin dalam anjing yang diberi tiosulfat diatas 48 jam periode kira-kira 2x hewan yang tidak diberi, barangkali berhubungan dengan peningkatan rata-rata formasi tiosianat dan penghasil osmotik diuresis. Hasil yang sama diperoleh dalam percobaan pada kelinci (Hobel dkk, 1978). b. Farmakodinamik Setelah induksi natrium nitroprusida (SNP) akut. Pemejanan pada kelinci secara injeksi bolus tiosulfat dan hidroksokbalamin (Vit B12a) pada SNP/ perbandingan konsentrasi molar penawar racun 1:5 sama efektifnya pada pengurangan tanda awal keburukan asidosis metabolik (Pill dkk,1980). Selama masa pengamatan berikutnya kelebihan dasar B12a sebagai penawar racun didapati lebih rendah daripada dengan tiosulfat, ketika 2 penawar racun diberikan secara paralel dengan dosis SNP tinggi natrium tiosulfat terbukti lebih bagus dari B12a. Pengarang menganjurkan bahwa untuk tujuan klinis SNP harus selalu diatur dalam kombinasi tiosulfat (1:5).
24
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Sebuah molekul SNP mengandung 5 ion sianida, sehingga tiosulfat harus diberikan dalam pervandingan molar paling tidak 5 : 1, yang cocok untuk dosis 4 bagian oleh berat natrium tiosulfat terhadap salah satu SNP. Schulz dkk. (1979b) menganjurkan bahwa karena tiosulfat dimetabolis dan dihilangkan dengan cepat dari tubuh lebih baik untuk mengaturnya secara berlebih dengan infus yang berkala. Chen dkk, (1934) menunjukkan bahwa natrium tiosulfat menghilangkan racun sianida sampai 3x dosis minimal yang mematikan (MLD), dosis tiosulfat yang berbeda secara i.p untuk tikus pada waktu yang berbeda setelah penyuntikkan sub lethal atau lethal dosis
sianida (Schubert dan Brill, 1968).
Ketika tiosulfat diberikan kepada tikus 5 menit setelah sianida, waktu setelah penyembuhan dari keracunan sianida sangat diperpendek, tikus diberi tioslufat 10 menit setelah sianida (ketika pencegahan oksidasi sitokrom hati maksimal) sembuh 5-10 menit kemudian sebagai pengganti 30-40 menit secara normal yang dibutuhkan tanpa perawatan. c. Toksikologi Penghilangan hasil sianida, tiosianat, dikeluarkan dalam air seni. Konsentrasi tiosianat normalnya 1-4 mg/l dalam plasma bukan perokok dan 3-12 mg/l pada perokok. Tiosianat plasma setengah hidup pada pasien dengan fungsi ginjal normal adalah 4 h (Blaschle & Melmon, 1980), tapi pada ginjal yang tidak normal ini secara jelas diperpanjang dan sehingga resiko keracunan pada para pasien meningkat (Schulz dkk., 1978). Tingkat tiosianat yang lebih dari 100 mg/l dianggap berkaitan dengan keracunan. Keracunan tiosianat dikenali dengan
25
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
lemahnya kekejangan otot, rasa muak, penyimpangan orientasi, sakit jiwa, gerak yang berlebihan, dan pingsan (Smith, 1973; Michenfelder & Tinker, 1977). Keracunan mematikan pada konsentrasi yang lebih besar dari 180 mg/l telah dilaporkan (Healy, 1931; Garvin, 1939; Russel & Stahl, 1942; Kessler & Hines, 1948; Domalski dkk., 1953). Haemodialysis dianjurkan sebagai sebuah cara yang efektif menghilangkan thicyanate (Marbury dkk., 1982). Dialysance yang berjumlah 82,8 ml/min (in vivo) dan 102,3 ml/min (in vitro) telah dicatat (Pahl & Vaziri, 1982). Sedikit diketahui tentang sifat pengikat protein tiosianat, dan haemoperfusion mungkin lebih efektif daripada haemodialisis. Menurut NIOSH (1986) pemberian secara i.v dosis LD 50 pada tikus 250 mg/kg sedangkan pemberian secara i.v paling rendah mengeluarkan dosis yang mematikan (LDLO) pada anjing 3000 mg/kg (Dennis dan Feltchef, 1966). Ketika anjing diberikan 3000 mg/kg Natrium tiosulfat pentahidrat secara i.v (Dennis dan Feltchef, 1966), efek berikut ini berkembang secara cepat. Metabolik asidosis hipoksemi, hipernatremia dan perubahan pada ECG dan dalam tekanan arteri dan vena. Dalam percobaan ini kenaikan cepat dan langsung pada konsentrasi serum natrium akan diharapkan karena isi natrium dalam natrium tiosulfat pentahidrat kira-kira 24 MEQ/3000 mg dan anjing yang bertahan terhadap suntikan menunjukkan tanda diuresis yang akan diperkirakan dari dosis osmotik besar yang dilakukan. Dianjurkan bahwa natrium tiosulfat pentahidrat (1500 mg/kg) diberikan secara i.v pada rata-rata konstan diatas 30 menit/periode ditahan dengan baik
26
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Selama pelaksanaan SNP kronis infus simultan tiosulfat mungkin menunjukkan masalah karena akumulasi pembesaran plasma tiosianat dan bahaya hipofolaemia (Michen Felder dan Tinker, 1977). Fesey dkk. (1985) menganjurkan bahwa ini cukup untuk memberikan dosis bolus natrium tiosulfat jika hanya dosis SNP atau dosis rata-rata berlebihan. Disitu tampak tidak ada informasi yang cenderung pada teratogen dan mutagenesis natrium tiosulfat 7.
Rute pemberian Pada keracunan sianida, natrium tiosulfat seharusnya diberikan secara i.v
(penyerapan sangat buruk setelah pelasanaan oral) sebagai penyuntikan bolus atau dengan infus melebihi paling tidak 10 min. Ketika digunakan untuk mencegah keracunan sianida selama terapi SNP bisa diberikan secara simultan dengan infus berkala atau , secara alternatif, sebagai penyuntikkan bolus yang lambat 8.
Dosis Dosis awal yang dianjurkan untuk orang dewasa dalam pembuktian
keracunan sianida adalah 8-12,5 gram (Chen dkk; 1944; Chen dan Rose, 1952), atau 0.2 g/kgBB (Sorbo, 1972). Dosis ini berdasarkan kasus individu dimana dosis ukuran ini telah terbukti efektif data percobaan dan pertimbangan teoritikal mendukung anjuran ini walaupun kebenaran ini kurang benar. Untuk anak-anak relatifnya dosis yang lebih tinggi secara umum dianjurkan. Untuk anak-anak dengan konsentrasi hemoglobin normal, dosis kira-kira 410 mg/kgBB telah dianjurkn (Berlin;1970) dan banyak buku panduan menganjurkan dosis rata-rata 300-500 mg/kgBB ini harus diacatat bahwa dalam sumber-sumber itu yang
27
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
membuat anjuran ini, natrium tiosulfat digunakan dalam kombinasi dengan penawar racun yang lainnya, terutama natrium nitrit. Resiko keracunan sianida pada pasien yang melakukan perwatan dengan SNP didokumentasikan dengan baik, Natrium tiosulfat telah didapati ideal pada situasi ini dan telah dianjurka bahwa rasio B/B untuk SNP dan Natrium tosulfat seharusnya paling tidak 1:4 (Schulz dkk;1979b) dan terutama untuk mendapat kelebihan tiosulfat, 1/5-6. Penawar racun bisa diberikan juga dengan infus berkala secara simultan dengan SNP (Schulz dkk; 1982) atau dengan suntikan bolus. Dosis awal pada orang dewasa adalah (8-12,5 g natrium tiosulfat diberikan secara injeksi bolus i.v/infus diatas 10-15 min, secara alternatif total dosis awal bisa dihitung sebagai 150-200 mg/kgBB. Dosis tambahan zat ditandai menurut rangkaian klinis. Dosis awal pada nak-anak adalah 400 (300-500) mg/kg BB diberikan secara i.v seperti yang diindikasikan diatas. Untuk mencehak keracunan sianida selama terapi SNP natrium tiosulfat seharusnya diberikan oleh infus simultan dengan dosis 5-6X melebihi (b/b) dosis SNP atau secara alternatif, suntikan bolus bisa digunakan. 9.
Kontraindikasi Tidak ada kontra indikasi khusus. Keracunan natrium tiosulfat adalah
rendah dan efek racun seharusnya tidak diharapkan kecuali dosisnya jauh melebihi yang dianjurkan. Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, dialisis bisa dianggap untuk penghilangan tiosianat yang lebih cepat (selama perawatan jangka panjang). Dosis yang dianjurkan diatas seharusnya tidak diubah pada kaus kehamilan atau menyusui.
28
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10.
Efek samping Efek samping adalah kecil dan tidak terlalu penting dibandingkan untuk
resiko jika dihubungkan dengan keracunan sianida. Injeksi cepat dari larutan hiperosmolar natrium tiosulfat dapat menyebabkan nausea dan vomiting (Ivankovich dkk;1983). Adanya hipotensi keduanya dimungkinkan pada pembentukan dari tiosianat, dimana diketahui untuk dapat terjadi nya hipotensif (Done,1961) efek samping lainnya yang berhubungan dengan produksi tiosianat adalah nausea, headache dan disorientasi. Jika tiosulfat telah diinjeksikan ke anjing (Vesey dkk;1985) tidak ada efek samping dimana terlihat yang memperantarai hipotensi. Efek diuretik dan ga ngguan tekanan osmotik adalah efek samping yang mungkin dapat terjadi (Martindale,1989). 11.
Penggunaan pada kehamilan/menyusui Termasuk dalam kategori C berdasarkan FDA (Olson, 2007), studi
terhadap binatang percobaan telah memeperlihatkan adanya efek samping pada janin (teratogenik atau embriosidal atau efek samping lainnya) dan tidak ada studi terkontrol pada wanita hamil. Obat hanya diberikan jika manfaat yang diperoleh lebih besar daripada risiko yang mungkin terjadi pada janin (Anonim, 2006).
D. 1.
Anatomi Fisiologi
Jantung
Fungsi utama jantung adalah sebagai pompa dalam sistem transport yang bertanggung jawab membawa gas nutrisi, produk-produk sampah, dan zat- zat
29
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
lainnya dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh lainnya. Jantung sebagai pompa merupakan salah satu bagian dari sistem kardiovaskular disamping sistem pembuluh darah dan darah. Ketiga komponen tersebut dapat dipengaruhi oleh zat toksik (Stine and Brown, 1996) Jantung Merupakan organ berotot yang memompa darah ke arteri. Dindingnya terdiri dari 3 lapisan : a. Endokardium (lapisan yang paling dalam, yang kontak dengan darah) (Bergman, Adel, and Paul, 1996). b. Miokardium terdiri dari otot jantung dan berhubungan dengan tunika media dari dinding pembuluh darah. (Bergman, 1996). c. Epikardium (lapisan terluar) (Bergman, 1996). 2.
Lambung Lambung memiliki sejumlah fungsi disamping penyimpanan makanan
dan pengendalian pelepasannya kedalam duodenum. Asam hidroklorida membunuh banyak bakteri yang ditelan. Sel parietalis dalam mukosa lambung juga mensekresi faktor intrinsik, suatu senyawa yang diperlukan bagi absorpsi sianokobalamin (vitamin B 12) dari usus halus. 3.
Usus halus Terbagi menjadi 3 bagian, yaitu duodenum, bagian awal; bagian tengah,
jejunum; dan bagian akhir adalah ileum. Lipatan mukosal dan submukosal nya berbentuk plicae circulares, valves of keckring, atau valvulae conniventes. Lipatan- lipatan tersebut tidak terdapat pada bagian awal duodenum, paling banyak terdapat di jejunum, dan jarang terdapat di ileum, dinding usus halus terdiri dari 4
30
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
lapisan sama seperti yang ada di lambung, yaitu mukosa, submukosa, muskularis eksterna, dan serosa (kecuali pada bagian duodenum, yang mana adalah retroperitoneal dan karena itulah tidak terdapat lapisan terluar mesotelial, turunan dari peritoneum) (Bergman, 1996). Usus halus atau usus dua belas jari dan usus besar adalah bagian dari usus. Panjang usus halus sekitar 4-7 meter, panjangnya bervariasi sejalan dengan kontraksi dan relaksasi dinding otonya (Anonim, 1987). Usus halus dibagi menjadi dupdenum, jejenum, dan ileum. Usus halus mempunyai dua fungsi utama yaitu pencernaan dan absorpsi bahan-bahan nutrisi dan air. Mukosa pada usus halus terselubung dengan vili yang bentuknya seperti jari- jari, yang membuat usus halus mempunyai permukaan yang luas (sekitar 10 m2 ). Terdapat sekitar 2540 vili/mm2 , setiap vili panjangnya sekitar 1 mm. Pada duodenum dan jejenum, mukosa terbenam di dalam lipatan- lipatan dan vili panjang-panjang dan sangat rapat. Mengarah ke ileum, lapisan mukosanya lebih sedikit lipatannya, dindingnya lebih tipis, dan vilinya lebih pendek dan lebih jarang. Semua pencernaan dan penyerapan yang penting terjadi didalam usus halus. Baik lambung maupun usus besar dapat diangkat seluruhnya tanpa menyebabkan dampak yang serius. Kirakira sampai sepertiga usus halus dapat diangkat tanpa memberikan efek pada pencernaan, dan daya tahan hidup masih dapat dimungkinkan dengan kira-kira 1 meter usus halus dalam keadaan utuh (Anonim, 1987b). 4.
Hati Hati mempunyai banyak fungsi kompleks, di antaranya pembentukan
empedu, penyimpanan dan pelepasan karbohidrat, pembentukan urea, pembuatan
31
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
protein plasma, pentak-aktifan sejumlah hormon polipeptida, pengurangan dan konjugasi
hormon
korteks
adrenalis
dan
steroid
gonad.
Sintesis
25-
hidroksikolekalsiferol, detoksikasi banyak obat dan toksin, dan banyak fungsi yang berhubungan dengan metabolisme lemak (Ganong, 1995). Ketika produk dari pencernaan mencapai hati, maka produk-produk ini dipecah menjadi bentukbentuk senyawa anorganik baru: Hati merupakan kelenjar terbesar pada tubuh manusia yang terdiri dari 4 bagian, lobus yang tidak lengkap yang terpisah, tertutup oleh selaput jaringan penghubung (selaput Glisson) dan terselubungi secara tidak lengkap oleh peritoneum. Bagian selaput yang lebih tebal adalah pada bagian hilum (porta hepatik), dimana pembuluh darah dan pembuluh limfa serta saluran empedu yang keluar dan masuk hati (Bergman, 1996). 5.
Ginjal Ginjal berfungsi memfilter sampah nitrogen terutama sebagai urea dan
toksin-toksin lain dari darah dan mengontrol kehilangan air dan elektrolit dalam urine, dengan demikian mempertahankan keseimbangan yang tepat dari substansi ini dalam tubuh. Dengan mengendalikan komposisi dan volume cairan ekstraseluler, yang memelihara lingkungan yang diatur secara ketat yang diperlukan oleh sel-sel yang strukturnya sangat rumit dan halus jika ingin sel-sel ini berfungsi dengan tepat (Anonim, 1987b). 6.
Paru Paru berfungsi sebagai alat pernafasan, Fungsi sistem pernafasan adalah
untuk memungkinkan ambilan oksigen dari udara kedalam darah, dan
32
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
memungkinkan karbondioksida terlepas dari darah ke udara bebas (Anonim, 1987a). Bagian akhir dari bronkeolus adalah duktus alveolaris, yang tampak dari adanya sejumlah alveoli atau tidak adanya dinding bronkeolar, dan bagian otot polos menggemb ung menjadi lumen dari duktus alveolaris. duktus alveolaris berakhir di atria yang kemudian terbagi menjadi dua atau lebih sakus alveolaris. Alveoli adalah bagian terkecil dan terbanyak jumlahnya pada sistem pernafasan. Pertukaran gas terjadi di alveoli me lewati blood-air barrier (Bergman, 1996).
E.
Kerusakan Organ
Hiperemi adalah keadaan dimana terdapat darah secara berlebihan didalam pembuluh darah pada daerah tertentu. Jika dilihat dengan mata telanjang, maka daerah jaringan atau organ yang mengalami hiperemi berwarna lebih merah (ungu) karena bertambahnya darah didalam jaringan. Secara mikroskopis kapilerkapiler dalam jaringan hiperemia melebar dan penuh berisi darah. Pada dasarnya terdapat dua mekanisme di mana kongesti dapat timbul yaitu kenaikan jumlah darah yang mengalir ke daerah dan penurunan jumlah darah yang mengalir dari daerah. Manifestasi kerusakan organ ini sering ditemukan pada organ hati dan ginjal. Hemorhagie adalah keluarnya darah dari sitem kardiovaskular, disertai penimbunan dalam jaringan atau ruang tubuh atau disertai keluarnya darah dari tubuh. Manifestasi kerusakan organ ini sering ditemukan pada organ ginjal.
33
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
F.
Landasan Teori
Sianida merupakan racun yang kuat dan bekerja sangat cepat, dapat menyebabkan sesak pada bagian dada, berikatan dengan sitokrom oksidase, dan kemudian memblok penggunaan oksigen secara aerob. Akibat yang ditimbulkan dari racun sianida tergantung pada jumlah paparan dan cara masuknya ke dalam tubuh, lewat pernapasan atau pencernaan. Racun ini menghambat sel tubuh mendapatkan oksigen sehingga yang paling terpengaruh adalah jantung dan otak. Pada keracunan sianida, dapat diberikan 50 ml (12,5 gram) natrium tiosulfat 25 %, secara i.v selama 10 menit dan berikan oksigen 100 % selama 12-24 jam, tapi tidak boleh lebih lama. Natrium tiosulfat merupakan donor sulfur yang mengkonversi sianida menjadi bentuk yang lebih nontoksik, tiosianat, dengan enzim sulfurtransferase, yaitu rhodanase. Tidak seperti nitrit, tiosianat merupakan senyawa nontoksik, dan dapat diberikan secara empiris pada keracunan sianida.
G. Hipotesis Peningkatan dosis natrium tiosulfat dapat lebih efektif digunakan untuk terapi keracunan sianida.
34
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB III. METODE PENELITIAN METODE PENELITIAN A.
Jenis dan Rancangan Penelitian
Jenis uji antidotum Natrium tiosulfat pada kasus keracunan akut-oral sianida pada mencit jantan galur swiss termasuk dalam penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah.
B.
Variabel dan Definisi Operasional
Dalam Penelitian uji antidotum Natrium tiosulfat pada kasus keracunan akut-oral sianida pada mencit jantan galur swiss mempunyai variabel utama dan pengacau. 1. Variabel utama a. Variabel bebas : dosis natrium tiosulfat, sejumlah mg natrium tiosulfat tiap kg berat badan mencit. b. Variabel tergantung : keadaan kembalinya kondisi mencit ke keadaan semula dari gejala efek toksik yang timbul dan yang diukur adalah waktu (dalam detik) timbulnya lima gejala efek toksik dari keracunan sianida, meliputi: Jantung berdebar, Hilang kesadaran, Gagal nafas, Kejang, Mati akibat pemejanan tiosulfat. 2. Variabel pengacau a. Variabel pengacau terkendali 1) Umur
: 60-90 hari ( 2- 3 bulan )
2) Berat badan
: 20- 30 gram
35
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3) Jenis kelamin
: Jantan
4) Galur
: Swiss
5) Jalur pemberian
: Oral (sianida), i.p (natrium tiosulfat)
6) Frekuensi pemberian
: Satu kali
36
b. Variabel pengacau tidak terkendali : jumlah asupan gizi hewan uji
C.
Definisi Operasional
1. Waktu terjadinya efek toksik adalah waktu (dalam detik) di mana mulai muncul efek toksik dari keracunan sianida, meliputi : jantung berdebar, hilang kesadaran, gagal nafas, kejang, dan mati setelah pemejanan sianida pada mencit yang diamati secara vis ual. 2. Waktu hilangnya efek toksik adalah durasi antara sesaat pemberian natrium tiosulfat sampai hilangnya gejala efek toksik. 3. Gejala efek toksik dari keracunan sianida yang meliputi : jantung berdebar, hilang kesadaran, gagal nafas, dan kejang, apabila tidak teramati atau tidak muncul diinterpretasikan dengan angka 0.00 detik. 4. Gejala efek toksik dari keracunan sianida yang berupa kematian, apabila dalam waktu 1X24 jam tidak mati maka diinterpretasikan dengan angka 86400 detik. 5. Jantung berdebar adalah keadaan di mana dengan pengamatan secara visual mencit terlihat lebih berdebar. 6. Hilang kesadaran adalah keadaan di mana mencit tidak dapat membalikkan badan setelah diterlentangkan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
7. Gagal nafas adalah keadaan di mana mencit susah bernafas dan tampak mulut yang ikut membuka-buka. 8. Kejang adalah keadaan di mana kaki depan dan atau kaki belakang mencit bergetar- getar; atau kaki depan dan kaki belakang saling menarik ke depan dan kebelakang. 9. Mati adalah keadaan di mana mencit sudah tidak ada tanda-tanda bernafas dan tidak terdapat adanya detak jantung yang teramati dalam pengamatan maksimal 24 jam.
D.
Bahan Penelitian
Bahan atau materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Racun yang dipejankan adalah larutan potassium sianida (KCN), (E.Merck, Darmstadt,
Germany).
Bahan
tersebut
diperoleh
dari
Laboratorium
Farmakologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. 2. Racun yang dipejankan adalah larutan potassium sianida (KCN), (E.Merck, Darmstadt,
Germany).
Bahan
tersebut
diperoleh
dari
Laboratorium
Farmakologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. 3. Bahan antidot yang digunakan adalah natrium tiosulfat (E.Merck, Darmstadt, Germany). bahan tersebut diperoleh dari Laboratorium Farmakologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. 4. Bahan pelarut adalah aquadest yang diperoleh dari Laboratorium Farmakologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
5. Bahan kimia berupa formalin 10 % tekhnis untuk mengawetkan organ hewan uji yang dperoleh dari Laboratorium Farmakologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. 6. Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit jantan yang diperoleh dari Unit Pengembangan Hewan Penelitian (UPHP), Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
E.
Alat dan Instrumen Penelitian
Peralatan dan instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Neraca atau timbangan elektrik (Mettler Toledo Tipe AB 204, Switzerland) 2. Alat-alat gelas 3. Jarum tuberkulin (preparat oral) yang digunakan untuk pemberian larutan sianida secara per-oral 4. Seperangkat alat bedah yang digunakan untuk membedah mencit 5. Digitalmicrophotography untuk pengamatan dan pemeriksaan histopatologi organ hewan uji
F. 1.
Tata Cara Penelitian
Pembuatan larutan dan penetapan dosis KCN Larutan KCN 0,104% b/v dibuat dengan cara melarutkan 0,104 gram
KCN ditambah aquadest hingga 100 ml. Dosis KCN dipilih berdasarkan dosis letal oral KCN yang sudah dikonversikan ke dosis letal oral mencit yaitu sebesar 26 mg/kg BB.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2.
39
Pembuatan larutan dan penetapan dosis natrium tiosulfat Larutan natrium tiosulfat 0.643% b/v (dosis 160.720 mg/kg BB) dibuat
dengan cara melarutkan 642.880 mg natrium tiosulfat ditambah aquadest hingga 100 ml. Dosis natrium tiosulfat dipilih berdasarkan hasil orientasi yang sudah pernah dilakukan yaitu sebesar 1125 mg/kg BB. Dosis 1125 mg/kg BB diturunkan dengan faktor perkalian 7 kalinya, maka diperoleh dosis 160.720 mg/kg BB, 22.960 mg/kgBB.,3.279 mg/kgBB dan 0,468 mg/kgBB. 3.
Pengelompokkan hewan uji Hewan uji sebanyak 42 ekor dikelompokkan secara acak menjadi 7
kelompok, yaitu : a.. Kelompok I diberi bahan pelarut yang digunakan yaitu aquadest, sebagai kontrol negatif. b. Kelompok II diberi larutan KCN dosis 26 mg/kgBB mencit secara p.o. c. Kelompok III diberi larutan Na2 S2O3 dosis 160.720 secara i.p. sebagai kontrol antidotum nya. d. Kelompok IV diberi perlakuan KCN dosis 26 mg/kgBB secara p.o. dan secara cepat diberikan antidotumnya Na2 S2 O3 dosis 0.468 mg/kgBB secara i.p. e. Kelompok V diberi perlakuan KCN dosis 26 mg/kgBB secara p.o. dan secara cepat diberikan antidotumnya Na2 S2 O3 dosis 3.279 mg/kgBB secara i.p. f. Kelompok VI diberi perlakuan KCN dosis 26 mg/kgBB secara p.o. dan secara cepat diberikan antidotumnya Na2 S2 O3 dosis 22.960 mg/kgBB secara i.p. g. Kelompok VII diberi
perlakuan KCN dosis 26 mg/kgBB secara p.o. dan
secara cepat diberikan antidotumnya Na2 S2O3 dosis 160.720 mg/kgBB secara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
i.p. Peringkat kelompok VII ini merupakan kelompok yang diberi dosis tertinggi antidotum Na2 S2 O3 yang diharapkan hewan uji dalam kelompok ini seluruhnya akan hidup. 4.
Pengamatan Pengamatan dilakukan dari waktu pemberian antidotum Na2 S2 O3 waktu
dimulai hingga 3 jam pengamatan. Jika hewan uji sampai 3 jam pengamatan tidak mengalami kematian maka pengamatan dilanjutkan hingga 1x 24 jam dari waktu pemberian antidotum. Kriteria klinik pengamatan meliputi : a. Pengamatan fisik terhadap gejala- gejala toksik. Pengamatan harus dilakukan sesering mungkin pada 24 jam pertama setelah pemberian sianida dan antidotumnya Na2 S2 O3 dan sekali sehari selama masa uji. b. Kematian hewan uji pada masing- masing kelompok. c. Pemeriksaan histopatologi organ-organ penting seperti jantung, hati, paruparu, usus, ginjal, lambung pada akhir masa uji. 5.
Pemeriksaan histopatologi
a. Pengambilan organ : Untuk histopatologi dilakukan dengan mengorbankan hewan uji dengan cara dekapitasi (menarik kepala dan ekornya) kemudian dibedah pada bagian perut. Selanjutnya organ paru-paru, jantung, hati, usus, ginjal dan lambung diambil kemudian dimasukkan kedalam wadah berisi formalin 10%. b. Pembuatan preparat histopatologi Dilakukan di Laboratorium Patologi, Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Wilayah IV Daerah Istimewa Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
c. Pemeriksaan preparat histopatologi Dilakukan di Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Pemeriksaan preparat histopatologi dilakukan dengan menggunakan digitalmicrophotography dibimbing oleh dr. Luciana Kuswibawati, M.Kes.
G.
Analisis Hasil
1. Untuk mengetahui normal/ tidaknya sebaran data maka pertama kali dilakukan uji normalitas dengan metode analisis shapiro-Wilk karena sampel yang digunakan < 50. 2. Untuk mengetahui perbedaan waktu mati antar kelompok perlakuan, hasil waktu mati antar kelompok perlakuan dianalisis menggunakan metode analisis statistika Kruskal Wallis Test, dilanjutkan dengan analisis Mann Whitney jika data yang diperoleh tidak terdistribusi normal p<0,05. untuk kepentingan ini hipotesis dirumuskan sebagai berikut Ho : Peningkatan dosis na-tiosulfat tidak dapat meningkatkan fek penawaracunan sianida. 3. Dilakukan pula uji histopatologi pada organ jantung, paru-paru, lambung dan usus halus, hati, serta ginjal dari tiap kelompok perlakuan. Data pemeriksaan histopatologi digunakan untuk mengevaluasi perubahan pada organ sebagai perwujudan efek toksik yang timbul. 4. Data gejala-gejala toksis yang teramati dianalisis secara kualitatif dengan membandingkan kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol untuk melihat tingkat keparahan kerusakan pada sel maupun jaringan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Potensi Sianida sebagai Racun
Dalam penelitian ini, sianida yang digunakan sebagai senyawa racun berupa senyawa KCN (kalium sianida) dengan dosis lethal pada manusia dewasa 70 Kg yang diberikan secara peroral sebesar 200 mg. Kemudian senyawa KCN tersebut dikonversikan dosisnya ke hewan uji mencit jantan yang akan digunakan sebagai subyek uji dalam penelitian ini sekaligus sebagai kontrol positif dari keracunan sianida. Dengan menggunakan nilai konversi dosis dari manusia 70 Kg ke mencit dengan berat badan 20 gram sebesar 0,0026, maka didapatkan nilai dosis KCN secara peroral pada mencit 20 gram sebesar : = 200 x 0,0026 = 0,52 mg/20 gram BB mencit = 26 mg/KgBB mencit Keracunan sianida berarti meningkatkan keberadaan zat beracun sianida di sel sasaran, dimana terjadi translokasi sianida dari jalan masuk ke tempat reseptornya. Hal ini menyebabkan perubahan sianida menjadi produk aktif yang stabil, sehingga dapat menimbulkan gejala efek toksik mulai jantung berdebar, hilang kesadaran, gagal nafas, kejang bahkan sampai mematikan. Dari tabel II, tampak bahwa waktu timbulnya efek toksik sampai kematian subyek uji mencit karena perlakuan sianida dosis 26 mg/KgBB peroral (setara dengan dosis letal pada manusia, 200 mg) sangat cepat, rata-rata 321.17
42
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
detik. Keadaan ini mengakibatkan gejala efek toksik yang dapat teramati mulai bisa diukur waktunya sejak mencit kehilangan kesadaran, gagal nafas, kejang sampai saat kematian. Mekanisme yang memperantarai keracunan adalah sianida bereaksi dengan sejumlah enzim yang mengandung logam, seperti, feri sitokrom oksidase. Karena metabolisme aerob tergantung pada sistem enzim ini, maka jaringan tidak dapat lagi menggunakan oksigen dan jaringan itu mengalami hipoksia. Sianida menyebabkan hipoksia seluler dengan menghambat sitokrom oksidase pada bagian sitokrom a3 dari rantai transport elektron. Ion hidrogen yang secara normal akan bergabung dengan oksigen pada ujung rantai tidak lagi tergabung. Hasilnya, selain persediaan oksigen kurang, oksigen tidak bisa digunakan, dan molekul ATP tidak lagi dibentuk, sehingga dapat terjadi gagal nafas, kejang dan akhirnya mematikan. Wujud efek toksik sianida merupakan perubahan biokimia karena adanya hambatan respirasi sel dan gangguan pasok energi dari sianida di dalam sel yang juga dipengaruhi oleh keadaan biologis. Meskipun demikian berdasarkan mekanisme dan efek toksik yang timbul selama pemberian sianida maka kemungkinan lain terjadi wujud toksik berupa udem pada paru yang diduga sebagai perubahan fungsional pernafasan dan pemicu kematian. Dosis atau takaran sianida sebesar 26 mg/KgBB peroral pada mencit menentukan sifat efek toksik sianida yaitu sifat yang tidak terbalikkan karena keberadaan sianida pada dosis tersebut potensi ketoksikannya tinggi sampai berakibat fatal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
B.
44
Potensi Natrium Tiosulfat sebagai Kontrol Positif Antidotum Pemberian antidotum untuk keracunan sianida dalam penelitian ini
digunakan natrium tiosulfat. Perlakuan dosis yang besar sampai 1125 mg/KgBB yang pernah dicobakan tidak memberikan efek kematian pada hewan uji. Dosis yang dipilih berdasarkan dosis terapi antidotum yang akan digunakan dalam penelitian penawaracunan sianida dengan jalur pemberian secara intraperitoneal. Pada penelitian ini dosis natrium tiosulfat yang dipilih berdasarkan orientasi, yaitu dosis tertinggi yang tidak menyebabkan kematian pada subyek uji mencit (160.720 mg/KgBB sebagai kontrol positif natrium tiosulfat). Dari hasil penelitian didapatkan pada natrium tiosulfat dosis 160.720 mg/KgBB secara intraperitoneal pada mencit tidak ditemukan adanya kematian tetapi pada 3 hewan uji masih dapat ditemukan data waktu terjadinya gejala efek toksik yang memperantarainya seperti : jantung berdebar, hilang kesadaran, gagal nafas dan kejang. Artinya keberadaan natrium tiosulfat dosis 160.720 mg/KgBB intraperitoneal pada mencit sebagai antidotum nantinya tidak menimbulkan efek toksik bahkan tidak menyebabkan kematian. Dosis natrium tiosulfat 160,720 mg/kgBB pada mencit jika dikonversikan ke dosis pada manusia normal 70 kg adalah sebesar 17,812 kg/BB manusia 70 kg. Pada kelompok kontrol positif natrium tiosulfat dosis 160.720 mg/KgBB mencit secara intraperitoneal didapatkan hasil sebagai berikut. Seperti tersaji pada tabel II, ternyata natrium tiosulfat memiliki gejala efek toksik yang berbeda dibanding sianida, dimana tidak terdapat kematian tanpa didahului keadaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
kejang. Keberadaan (takaran dan lama) natrium tiosulfat dosis 160.720 mg/KgBB secara intraperitoneal pada mencit ternyata tidak menyebabkan kematian.
C.
Kisaran Dosis Natrium Tiosulfat sebagai Antidotum Sianida Na-tiosulfat merupakan komponen kedua dari antidot sianida kit. Antidot
ini diberikan sebanyak 50ml dalam 25% larutan. Tidak ada efek samping yang ditimbulkan oleh tiosulfat. Namun tiosianat memberikan efek samping seperti gagal ginjal, nyeri perut, mual, kemerahan, dan disfungsi pada SSP. Dosis untuk anak-anak didasarkan pada berat badan (Kerns et al., 2002). Salah satu tujuan penelitian ini adalah untuk mencari kisaran dosis natrium tiosulfat yang mempunyai potensi sebagai antidotum sianida. Dosis 0.468 mg/kgBB intraperitoneal natrium tiosulfat yang dipilih sebagai antidotum sianida diberikan sesaat setelah pemberian sianida secara oral 26 mg/KgBB berurutan sebesar : 0.468 mg/KgBB, 3.279 mg/KgBB,
22.960 mg/KgBB dan 160.720
mg/KgBB. Hasil pengamatan terhadap gejala dari keracunan sianida pada 7 kelompok perlakuan seperti tertera pada tabel II. Dari tabel II, diperoleh gambaran bahwa keberadaan sianida dosis 26 mg/KgBB yang diberikan secara peroral lebih dominan dalam menimbulkan efek toksik. Dilihat dari tabel II maka untuk kasus jantung berdebar dari 7 kelompok hewan uji maka dapat dilihat bahwa pada kelompok perlakuan dosis 160.720 mg/kgBB waktu mulai terjadinya jantung berdebar adalah yang paling lama dibandingkan dengan kelompok yang lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
Tabel II. Hasil pengamatan waktu gejala efek toksik sianida terhadap 7 kelompok perlakuan
Kelompok
Jantung berdebar X ± SE Tidak terjadi (a)
Hal yang diamati (dalam detik) Hilang Gagal nafas Kejang kesadaran X ± SE X ± SE X ± SE Tidak Tidak Tidak terjadi(a) terjadi (a) terjadi (a)
Mati X ± SE Tidak mati (a)
% Hidup
Kontrol 100 % aquadest Kontrol Tidak 77.50 ± 157.50 ± 258.33 ± 321.17 ± sianida 0% teramati (a) 17.77 (a) 30.45 (b) 74.046 (b) 85.09 (b) (26 mg/Kg) Kontrol Na-tiosulfat 83.67 ± 258.00 ± Tidak Tidak Tidak mati (160.720 37.84 (a) 152.15 (b) terjadi (a) terjadi (a) (a) 100 % mg/Kg) Sianida + Terjadi Na tiosulfat 21.33 ± 140.67 ± 422.50 ± 648.67 ± cepat 13.58 (a) 22.43 (b) 71.24 (b) 88.21 (b) 0,468 0% sekali(a) mg/kg BB Sianida + Terjadi 252.17 ± 415.50 ± 29350.17 ± Na tiosulfat 9.17 ± 9.16 cepat sekali 3.279 (a) 132.82 (b) 170.50 (b) 18041.23 (b) 33.33 % (a) mg/kg BB Sianida + 11.33 ± 165.17 ± 264.00 ± 49.67 ± 29147.67 ± 33.33 % Na tiosulfat 22.960 7.54 (a) 114.71 (b) 139.30 (b) 49.67 (a) 18105.11 (b) mg/kg BB Sianida + Na tiosulfat 83.67 ± 258.00 ± Tidak Tidak Tidak mati 160.720 37.84 (a) 152.15 (a) terjadi (a) terjadi (a) (a) 100 % mg/kg BB a = memberikan hasil yang berbeda tidak bermakna jika dibandingkan dengan kontrol negatif (aquadest). b = memberikan hasil yang berbeda bermakna jika dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif (aquadest)
Maka dapat diambil kesimpulan bahwa dosis natrium tiosulfat sebesar 160.720 mg/KgBB dapat digunakan sebagai terapi antidot pada kasus keracunan sianida karena dapat menurunkan gejala efek toksik yang ditimbulkan oleh sianida khususnya jantung berdebar. Hasil data untuk hilang kesadaran hampir mirip
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
dengan data pada jantung berdebar, yaitu untuk kelompok dosis 160.720 mg/kgBB memiliki hasil yang paling baik. juga dilihat dari hasil % angka hidup nya adalah 100 % hidup. Pada kelompok dosis 160.720 mg/kgBB tidak ditemukan adanya gejala efek toksik dari keracunan sianida yang salah satunya berupa gagal nafas. Kejang yang bisa dikatakan bahwa gejala efek toksik dari sianida yang paling jelas terlihat disini, pada kelompok dosis 160.720 mg/kgBB tidak ditemukan adanya gejala tersebut, pada kelompok perlakuan hanya ditemukan pada kelompok perlakuan dosis 0.468 mg/kgBB. Dilihat dari waktu mati bisa dikatakan bahwa tidak ada yang mati pada kelompok perlakuan dosis160.720 mg/kgBB (kelompok VII). Dari perlakuan dosis 0.468 mg/kgBB, 3.279 mg/kgBB, 22.960 mg/kgBB dan 160.720 mg/kgBB terdapat adanya perpanjangan waktu mati atau dapat dikatakan efek antidotumnya berhasil karena rentang waktu terjadinya kematian
Mean rerata_waktu_jantung_berdebar_dalam_detik
semakin panjang/ lama. 160.00
140.00
120.00
100.00
80.00
60.00
40.00
20.00
0.00
-20.00 kontrol aquades
kontrol sianida 26 mg/Kg
kontrol tiosulfat 160,720 mg/Kg
tiosulfat dosis 0,468 mg/Kg
tiosulfat dosis 3,279 mg/Kg
tiosulfat dosis 22,960 mg/Kg
tiosulfat dosis 160,720 mg/Kg
perlakuan Error bars: +/- 2.00 SE
Gambar 1. Grafik rerata ± 2 SE untuk gejala efek toksik berupa jantung berdebar Keterangan :
X =
0.00 artinya kejang tidak terjadi atau tidak teramati
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
Tabel III. Hasil perbandingan antar kelompok pada gejala efek toksik jantung berdebar
Sianida + Na tiosulfat 0.468 mg/kg BB
Sianida + Na tiosulfat 3.279 mg/kg BB
Sianida + Na tiosulfat 22.960 mg/kg BB
Sianida + Na tiosulfat 160.720 mg/kg BB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
Kontrol Kontrol NaKontrol sianida tiosulfat aquadest (26 (160.720 mg/Kg) mg/Kg) Kontrol aquadest Kontrol sianida (26 mg/KgBB) Kontrol Natiosulfat (160.720 mg/KgBB) Sianida + Na tiosulfat 0,468 mg/kg BB Sianida + Na tiosulfat 3.279 mg/kg BB Sianida + Na tiosulfat 22.960 mg/kg BB Sianida + Na tiosulfat 160.720 mg/kg BB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
Dilihat dari tabel III untuk kasus jantung berdebar jika dibandingkan antara tiga kelompok kontrol dengan empat kelompok perlakuan, menggunakan uji statistika maka didapat hasil yang berbeda tidak bermakna, jadi maksudnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
adalah jika semua kelompok saling dibandingkan maka memberikan hasil yang dapat dikatakan sama. Maka tidak dapat dikatakan bahwa sianida atau natrium tiosulfat yang lebih dominan dalam mempengaruhi timbulnya gejala jantung berdebar. Pada kasus jantung berdebar, dari hasil olah data secara statistik untuk 6 kelompok jika dibandingkan dengan kontrol pelarut, yaitu aquadest maka hasilnya berbeda tidak bermakna, jika dibandingkan dengan kontrol sianida juga memberikan hasil berbeda tidak bermakna dan untuk kontrol antidot, yaitu na tiosulfat juga memberikan hasil berbeda tidak bermakna. Maka dari hasil tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pada kasus jantung berdebar, dosis natrium tiosulfat I-IV tidak memberikan hasil yang berbeda dengan aquadest, sianida, maupun natrium tiosulfat sendiri. Untuk jantung berdebar, secara global dapat dilihat dari 7 kelompok hewan uji bahwa pada kontrol antidot dan kelompok perlakuan dosis 160.720 mg/kgBB (kelompok VII) memberikan gambar pada grafik mean ± SD yang sama maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sianida didalam kasus jantung berdebar ini tidak berpengaruh/kurang berpengaruh pada kasus jantung berdebar ini karena pada kelompok kontrol tiosulfat dan kelompok perlakuan memberikan hasil yang hampir hampir sama. Jantung berdebar dapat terjadi pada keracunan sianida hal ini disebabkan karena pada keracunan sianida terjadi kegagalan pembentukan ATP. Adanya penurunan ATP menyebabkan peningkatan konsentrasi Na+ didalam sel dimana menghambat pengeluaran Ca2+. Akibat adanya peningkatan konsentrasi Ca2+
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
didalam sel meningkatkan kontraksi otot jantung. Peningkatan kontraksi otot
Mean rerata_waktu_hilang_kesadaran_dalam_detik
jantung menyebabkan jantung berdebar.
600.00
500.00
400.00
300.00
200.00
100.00
0.00
-100.00 kontrol aquades
kontrol sianida 26 mg/Kg
kontrol tiosulfat 160,720 mg/Kg
tiosulfat dosis 0,468 mg/Kg
tiosulfat tiosulfat dosis 3,279 dosis 22,960 mg/Kg mg/Kg
tiosulfat dosis 160,720 mg/Kg
Gambar 2. Grafik rerata ± 2 SE untuk gejala efek toksik berupa hilang kesadaran
Keterangan : X = 0.00 artinya kejang tidak terjadi Pada kasus hilang kesadaran, jika dibandingkan dengan kelompok aquadest, kelompok yang memberikan hasil berbeda bermakna adalah kelompok sianida dan perlakuan denga n dosis natrium tiosulfat I-III. Hal ini berarti menunjukkan adanya sianida menyebabkan terjadinya gejala efek toksik yang berupa hilang kesadaran. Pada kelompok perlakuan dosis 0.468 mg/kgBB–22.960 mg/kgBB memberikan hasil yang berbeda bermakna dengan kelompok aquadest dan memberikan hasil yang berbeda tidak bermakna jika dibandingkan dengan kelompok sianida.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
Tabel IV. Hasil perbandingan antar kelompok pada gejala efek toksik hilang kesadaran
Kontrol aquadest Kontrol sianida (26 mg/Kg) Kontrol Natiosulfat (160.720 mg/Kg) Sianida + Na tiosulfat 0,468 mg/kg BB Sianida + Na tiosulfat 3.279 mg/kg BB Sianida + Na tiosulfat 22.960 mg/kg BB Sianida + Na tiosulfat 160.720 mg/kg BB
Sianida Sianida Sianida Sianida Kontrol Kontrol + Na + Na + Na + Na NaKontrol sianida tiosulfat tiosulfat tiosulfat tiosulfat tiosulfat aquadest (26 0,468 3.279 22.960 160.720 (160.7200 mg/Kg) mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/Kg) BB BB BB BB BTB BB BTB BB BB BB
BB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BB
BTB
BTB
BB
BTB
BTB
BTB
BB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
Dari penjelasan di atas berarti, adanya antidot, yaitu natrium tiosulfat dengan dosis 0.468 mg/KgBB, 3.279 mg/KgBB, 22.960 mg/KgBB belum dapat mengatasi gejala ketoksikan sianida ya ng timbul, yaitu hilang kesadaran. Untuk kasus hilang kesadaran, dapat dilihat pada kelompok kontrol tiosulfat dan kelompok perlakuan dosis 3.279 mg/kgBB (kelompok V) dan kelompok perlakuan dosis 160.720 mg/kgBB (kelompok VII) memberikan interpretasi data yang sama ada grafik mean ± 2 SE jadi dapat diambil kesimpulan bahwa pemberian tiosulfat di sini dapat memberikan efek memperlama waktu mulai terjadinya gejala efek toksik keracunan sianida mulai dari hilang kesadaran sampai mati, jadi berpengaruh mengurangi gejala efek toksik yaitu memperlama waktu interaksi/memperlama waktu terjadi nya efek toksik/memperlama onset. Pada keracunan sianida, gejala yang ditimbulkan salah satunya adalah hilang kesadaran. Terjadinya hilang kesadaran diawali dengan timbulnya hipoksia yang kemudian menyebabkan hiperlaktemia. Hiperlaktemia terjadi karena kegagalan metabolisme energi secara aerob. Hiperlaktemia berarti terjadi peningkatan perubahan asam piruvat menjadi asam laktat, dimana peningkatan asam laktat mengakibatkan timbulnya manifestasi lemas. Bila keadaan ini terjadi secara terus menerus maka dapat menyebabkan hilangnya kesadaran. Untuk kasus gagal nafas dilihat dari grafik mean ± 2 SE, dapat dilihat hasil pada perlakuan dosis 0.468 mg/kgBB dan perlakuan dosis 3.279 mg/kgBB didapatkan hasil waktu munculnya gejala efek toksik berupa gagal nafas lebih lama jika dibandingkan dengan kelompok kontrol KCN, kontrol aquadest, kontrol tiosulfat, sedangkan pada dosis 22.96 mg/kgBB terjadi penurunan waktu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
munculnya gejala efek toksik (lebih cepat terjadi) hilang kesadaran sedangkan pada kelompok perlakuan dosis 160.720 mg/kgBB tidak ditemukan adanya manifestasi gejala efek toksik berupa gagal nafas.
Mean rerata_waktu_gagal_nafas_dalam_detik
800.00
600.00
400.00
200.00
0.00
kontrol aquades
kontrol sianida 26 mg/Kg
kontrol tiosulfat 160,720 mg/Kg
tiosulfat dosis 0,468 mg/Kg
tiosulfat dosis 3,279 mg/Kg
tiosulfat dosis 22,960 mg/Kg
tiosulfat dosis 160,720 mg/Kg
Gambar 3. Grafik rerata ± 2 SE untuk gejala efek toksik berupa gagal nafas
Keterangan : X = 0.00 artinya kejang tidak terjadi Maka dapat disimpulkan, adanya tiosulfat disini dapat memperbaiki bahkan sampai menghilangkan gejala efek toksik yaitu gagal nafas, maka tiosulfat disini bisa dikatakan sangat berpotensi sebagai antidotum untuk keracunan sianida karena dapat menurunkan waktu terjadinya gejala efek toksik keracunan sianida khusus nya gagal nafas. Pada keracunan sianida salah satu gejala yang timbul adalah gagal nafas. Terjadinya gagal nafas diakibatkan karena terjadi hipoksia pada tingkat sel. Hipoksia terjadi karena terhambatnya rantai transport elektron dari sitokrom oksidase ke molekul oksigen pada bagian sitokrom a3 pada mitokondria.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
Tabel V. Hasil perbandingan antar kelompok pada gejala efek toksik gagal nafas
Sianida Sianida Sianida Sianida Kontrol Kontrol + Na + Na + Na + Na NaKontrol sianida tiosulfat tiosulfat tiosulfat tiosulfat tiosulfat aquadest (26 0,468 3.279 22.960 160.720 (160.7200 mg/Kg) mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/Kg) BB BB BB BB Kontrol aquadest Kontrol sianida (26 mg/Kg) Kontrol Natiosulfat (160.720 mg/Kg) Sianida + Na tiosulfat 0,468 mg/kg BB Sianida + Na tiosulfat 3.279 mg/kg BB Sianida + Na tiosulfat 22.960 mg/kg BB Sianida + Na tiosulfat 160.720 mg/kg BB
BB
BB
BTB
BB
BB
BB
BTB
BB
BTB
BTB
BTB
BB
BB
BB
BB
BTB
BTB
BTB
BB
BTB
BB
BTB
BB
BB
BTB
BB
BB
BTB
BB
BTB
BB
BTB
BB
BTB
BTB
BTB
BB
BTB
BB
BB
BB
BB
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
Gejala gagal nafas juga ditunjukkan adanya penebalan septum interalveolaris pada kelompok kontrol KCN dosis 26 mg/kgBB, kelompok kontrol Na2S2O3 dosis 160,720 mg/kgBB, dan kelompok perlakuan dosis 0,468 mg/kgBB dan 3,279 mg/kgBB dari hasil analisis histopatologi. Penebalan septum interalveolaris mengakibatkan berkurangnya jumlah oksigen yang masuk ke alveolus. Bila keadaan ini berlangsung terus menerus maka dapat menyebabkan gagal nafas.
Mean rerata_waktu_kejang_dalam_detik
600.00
400.00
200.00
0.00
-200.00 kontrol aquades
kontrol sianida 26 mg/Kg
kontrol tiosulfat 160,720 mg/Kg
tiosulfat dosis 0,468 mg/Kg
tiosulfat tiosulfat dosis 3,279 dosis 22,960 mg/Kg mg/Kg
Gambar 4. Grafik rerata ± 2 SE untuk gejala efek toksik berupa kejang
Keterangan : X = 0.00 artinya kejang tidak terjadi atau tidak teramati.
tiosulfat dosis 160,720 mg/Kg
56
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tabel VI. Hasil perbandingan antar kelompok pada gejala efek toksik kejang
Kontrol aquadest
Kontrol aquadest Kontrol sianida (26 mg/Kg) Kontrol Natiosulfat (160.720 mg/Kg) Sianida + Na tiosulfat 0,468 mg/kg BB Sianida + Na tiosulfat 3.279 mg/kg BB Sianida + Na tiosulfat 22.960 mg/kg BB Sianida + Na tiosulfat 160.720 mg/kg BB
Sianida Kontrol Kontrol + Na Nasianida tiosulfat tiosulfat (26 0,468 (160.7200 mg/Kg) mg/kg mg/Kg) BB BB
BB
Sianida + Na tiosulfat 3.279 mg/kg BB
Sianida + Na tiosulfat 22.960 mg/kg BB
Sianida + Na tiosulfat 160.720 mg/kg BB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BB
BB
BB
BB
BB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BB
BTB
BB
BTB
BTB
BB
BTB
BTB
BTB
BB
BTB
BTB
BTB
BTB
BB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
Untuk kasus gejala efek toksik kejang dapat dibahas secara global sesuai yang tercantum pada grafik mean ± 2 SE, maka hasil waktu munculnya gejala efek toksik berupa kejang hanya ditemukan pada kelompok kontrol sianida dan kelompok perlakuan dosis 22.960 mg/kgBB, sedangkan pada kelompok perlakuan dosis 0.468 mg/kgBB, 3.279 mg/kgBB, 160.720 mg/kgBB dan kelompok kontrol aquadest dan kontrol tiosulfat tidak ditemukan adanya manifestasi gejala efek toksik berupa kejang. Maka dapat dikatakan bahwa antidot tiosulfat disini dapat menurunkan gejala efek toksik kejang dan pada kontrol tiosulfat dosis yang tertinggi tidak menimbulkan manifestasi efek toksik berupa kejang jadi bisa dikatakan bahwa na-tiosulfat disini cukup aman digunakan sebagai terapi antidotum sianida. Salah satu gejala yang muncul pada keracunan sianida adalah kejang. Kejang disebabkan karena keadaan depolarisasi yang terus menerus di dalam sel. Sianida menghambat transfer elektron pada rantai transfer elektron didalam mitokondria sehingga menyebabkan kegagalan sintesis ATP. ATP digunakan untuk menggerakan transporter ion seperti Na+, K+-ATPase dalam membran plasma, Ca2+-ATPase didalam plasma dan membran retikulum endoplasma, dan H+-ATPase dalam membran lisosom. Karena ATP tidak terbentuk maka terjadi penumpukan Na+ di dalam sel sehingga menyebabkan depolarisasi terus menerus.
58
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tabel VII. Hasil perbandingan antar kelompok pada gejala efek toksik mati
Kontrol aquadest
Kontrol aquadest Kontrol sianida (26 mg/Kg) Kontrol Natiosulfat (160.720 mg/Kg) Sianida + Na tiosulfat 0,468 mg/kg BB Sianida + Na tiosulfat 3.279 mg/kg BB Sianida + Na tiosulfat 22.960 mg/kg BB Sianida + Na tiosulfat 160.720 mg/kg BB
Sianida Kontrol Kontrol + Na Nasianida tiosulfat tiosulfat (26 0,468 (160.7200 mg/Kg) mg/kg mg/Kg) BB BB
BB
Sianida + Na tiosulfat 3.279 mg/kg BB
Sianida + Na tiosulfat 22.960 mg/kg BB
Sianida + Na tiosulfat 160.720 mg/kg BB
BTB
BB
BB
BB
BTB
BB
BB
BB
BTB
BB
BB
BB
BB
BTB
BTB
BTB
BB
BTB
BB
BTB
BB
BB
BB
BB
BB
BB
BB
BTB
BB
BTB
BB
BTB
BTB
BTB
BB
BTB
BB
BB
BB
BB
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
Mean rerata_waktu_mati_dalam_detik
100000.00
80000.00
60000.00
40000.00
20000.00
0.00
-20000.00 kontrol aquades
kontrol sianida 26 mg/Kg
kontrol tiosulfat 160,720 mg/Kg
tiosulfat dosis 0,468 mg/Kg
tiosulfat dosis 3,279 mg/Kg
tiosulfat dosis 22,960 mg/Kg
tiosulfat dosis 160,720 mg/Kg
Keterangan : X = 0.00 artinya rata-rata waktu kematian mencit sangat cepat X = 86400 artinya mencit sampai batas waktu pengamatan 1x 24 jam tidak mengalami kematian Gambar 5. Grafik rerata ± 2 SE untuk gejala efek toksik berupa mati
Untuk kasus mati, jika dilihat dari tabel IX jika dibandingkan dengan kontrol aquadest maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dosis 160.720 mg/kgBB (kelompok VII) angka kematiannya paling kecil jika dibandingkan dengan semua kelompok perlakuan dan kontrol KCN. Maka dapat diartikan bahwa natrium tiosulfat dosis 160.720 mg/kgBB dapat mengurangi angka kematian hingga 100%. Jadi, natrium tiosulfat dosis 160.720 mg/kgBB (kelompok VII) dapat digunakan sebagai antidotum pada kasus keracunan sianida dosis 26 mg/kgBB.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
Diperkuat juga dengan hasil pada grafik mean ± SD maka dapat dikatakan bahwa keberadaan natrium tiosulfat dosis 160.720 mg/kgBB (kelompok VII) dapat menurunkan bahkan sampai meniadakan adanya kematian karena efek toksik dari sianida dapat diatasi dengan natrium tiosulfat sebagai terapi antidotumnya pada hewan uji mencit. Dari beberapa keterangan mengenai tabel V, VI, VII, dan VIII diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa pada pemberian natrium tiosulfat dosis 0.468 mg/KgBB secara intraperitoneal untuk mengatasi keracunan sianida belum dapat mengatasi efek toksik dari sianida. Gejala efek toksik seperti jantung berdebar, hilang kesadaran dan gagal nafas masih muncul, serta waktu kematiannya juga singkat. Pada dosis tersebut natrium tiosulfat keberadaannya tidak atau belum berpotensi sebagai antidotum sianida. Pada kelompok perlakuan KCN dosis 26 mg/kgBB + natrium tiosulfat dosis 3.279 mg/KgBB (kelompok V) secara intraperitoneal untuk mengatasi keracunan sianida belum dapat mengatasi efek toksik dari sianida. Gejala efek toksik seperti jantung berdebar, hilang kesadaran dan gagal nafas masih muncul, serta waktu kematiannya juga singkat meskipun sedikit lebih lama dibanding dengan dosis natrium tiosulfat 0.468 mg/KgBB. Sehingga pada dosis tersebut natrium tiosulfat keberadaannya tidak atau belum berpotensi sebagai antidotum sianida. Pada kelompok perlakuan KCN dosis 26 mg/kgBB + natrium tiosulfat dosis 22.960 mg/KgBB (kelompok VI) secara intraperitoneal untuk mengatasi keracunan sianida belum dapat mengatasi efek toksik dari sianida. Gejala efek
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
toksik seperti jantung berdebar, hilang kesadaran, gagal nafas dan kejang masih muncul, serta waktu kematiannya sama dengan dosis natrium tiosulfat 3.279 mg/KgBB, sehingga dapat disimpulkan pada dosis tersebut natrium tiosulfat keberadaannya sedikit berpotensi sebagai antidotum sianida. Dari tabel V, VI, VII, VIII dan IX, dapat dikatakan bahwa pemberian natrium tiosulfat dosis 160.720 mg/KgBB secara intraperitoneal dapat mengatasi keracunan sianida. Meskipun beberapa gejala efek toksik dari sianida masih muncul, seperti jantung berdebar, tapi waktu timbulnya jantung berdebar lebih lama dan hilang kesadaran. Tetapi dapat mengatasi terjadinya kematian. Keracunan sianida dosis 26 mg/KgBB secara oral ternyata baru dapat diatasi dengan terapi pemberian antidotum natrium tiosulfat dosis 3.279 mg/KgBB secara intraperitoneal pada mencit. Hasil ini ditunjukkan dengan keterbalikannya efek toksik yang muncul akibat pemberian sianida dosis 26 mg/KgBB mencit. Terjadinya gejala efek toksik berupa hilangnya kesadaran dan gagal nafas sempat muncul pada beberapa hewan uji mencit. Tetapi secara terbalikkan kesadaran mencit kembali ke normal sesaat setelah pemberian antidotum natrium tiosulfat dosis 3.279 mg/KgBB secara intraperitoneal. Dari 6 hewan uji 4 mati sehingga respon kematian yang ditimbulkan sebanyak 66.67 %. Dari penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa pada dosis 3.279 mg/kgBB dan 22.960 mg/kgBB kurang optimal dalam penawaracunan sianida maka diperlukan adanya kombinasi dengan antidot sianida yang lain, seperti natrium nitrit, EDTA, vitamin 12a. Dari hasil pengamatan gejala keracunan sianida selalu disertai dengan adanya kejang sehingga bila diberikan tambahan antikonvulsan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
seperti diazepam maka diharapkan dapat mengurangi manifestasi kejang yang timbul sehingga diharapkan dapat mengurangi angka kematian. Prinsip asas utama penatalaksanaan keracunan dalam hal ini terhadap sianida 26 mg/KgBB adalah cepat penanganan (antidotum diberikan sesaat) dan tepat antidotum (natrium tiosulfat) dan tepat jalur pemejanan (intraperitoneal) sangat menentukan keberhasilan terapi keracunan di samping pemilihan strategi terapi antidotumnya, sehingga natrium tiosulfat dosis 160.720 mg/kgBB pada kondisi tersebut dapat dinyatakan mempunyai potensi sebagai antidotum sianida dosis 26 mg/KgBB peroral pada mencit. Mekanisme aktivitas antidotum natrium tiosulfat Rhodanese Na2 S2 O3 + CN - --> SCN- + Na2 S2O3 Rute utama detoksifikasi sianida dalam tubuh adalah mengubahnya menjadi tiosianat oleh rhodanese, walaupun sulfurtransferase yang lain, seperti beta-merkaptopiruvat sulfurtransferase, dapat juga digunakan. Reaksi ini memerlukan sumber sulfan sulfur, tetapi penyedia endogen substansi ini terbatas. Keracunan sianida merupakan proses mitokondrial dan penyaluran intravena sulfur hanya akan masuk ke mitokondria secara perlahan. Sedangkan natrium tiosulfat mungkin muncul sendiri pada kasus keparahan ringan sampai sedang, sebaiknya diberikan bersama antidot lain dalam kasus keracunan parah. Ini juga merupakan pilihan antidot saat diagnosis intoksikasi sianida tidak terjadi, misalnya pada kasus penghirupan asap rokok. Natrium tiosulfat diasumsikan secara intrinsik nontoksik tetapi produk detoksifikasi yang dibentuk dari sianida,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
tiosianat dapat menyebabkan toksisitas pada pasien dengan kerusakan ginjal. Pemberian natrium tiosulfat 12,5 g i.v. biasanya diberikan secara empirik jika diagnosis tidak jelas (Olson, 1994).
Gambar 6. Pengubahan cyanmethemoglobin menjadi tiosianat oleh rodhanase dan tiosulfat (Cyanide Toxicity Review, 2003)
Meskipun demikian gejala efek toksik pada beberapa kelompok hewan uji pada penelitian ini banyak yang tidak teramati, bisa disebabkan oleh karena cepatnya terjadi kematian hewan uji tanpa melewati/memperlihatkan tanda-tanda gejala keracunan sianida, atau ada beberapa kelompok yang masih bertahan hidup hingga waktu pengamatan selesai (24 jam). Indikator keterbalikkan efek toksik sebagai upaya penyelamatan subyek uji mencit dari keracunan merupakan salah satu keberhasilan antidotum natrium tiosulfat dosis 160.720 mg/KgBB dengan pemberian secara intraperitonial dalam menawaracunkan sianida. Hal ini sesuai sifatnya di mana saat kadar racun sianida habis, reseptor kembali, artinya apabila sianida dosis 26 mg/KgBB dalam tubuh sudah menurun bahkan sudah habis,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
maka reseptor yang mulanya berikatan dengan sianida akan kembali ke reseptor semula dan berfungsi seperti semula. Efek toksik juga cepat kembali normal, di mana sianida dosis 26 mg/KgBB peroral sangat cepat menimbulkan efek toksik, namun secara cepat normal kembali atau sangat cepat pergi dari reseptor sasaran dengan adanya antidotum natrium tiosulfat dosis 160.720 mg/KgBB secara intraperitoneal. Sifat terbalikkan terakhir yang mendukung keberhasilan terapi keracunan sianida tersebut adalah terapi antidotum tergantung dosis di mana pada dosis 160.720 mg/KgBB intraperitoneal sangat efektif sebagai antidotum sianida dosis 26 mg/KgBB dengan pemejanan secara peroral. Cp KTM
t Gambar 7. Kurva hipotesis yang melukiskan hubungan antara kadar racun di dalam darah atau di tempat aksi lawan waktu dengan strategi terapi keracunan mempercepat eliminasi.
Potensi natrium tiosulfat dosis 160.720 mg/KgBB intraperitoneal pada mencit terbukti merupakan salah satu metode mempercepat eliminasi. Proses eliminasi terdiri dari proses metabolisme dan ekskresi. Natrium tiosulfat bekerja dengan mempercepat perubahan sianida dengan bantuan rhodanase menjadi tiosianat [SCN]- yang bersifat kurang toksik. Selain itu, tiosianat berbentuk ion sehingga dapat lebih mudah untuk diekskresikan. Hal ini dapat mempercepat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
keluarnya sianida dari tubuh. Seperti yang tampak pada gambar 17. garis putusputus menunjukkan keadaan awal, sebelum adanya percepatan eliminasi. Setelah adanya percepatan eliminasi maka waktu eliminasinya menjadi lebih cepat (kurva bergeser ke kiri) dan toksisitasnya juga menjadi berkurang (daerah di atas KTM menjadi lebih kecil).
D.
Pemeriksaan Histopatologi
Pengamatan fisik terhadap gejala toksik yang mungkin timbul dilakukan sampai 1x 24 jam. Oleh karena tidak terjadi kematian pada hewan uji maka pada 1x 24 jam maka hewan uji dikorbankan dengan cara dekapitasi yaitu menarik kepala dan ekor dari tubuhnya untuk diambil organnya. Pengambilan organ juga dilakukan pada hewan uji (cadangan) 24 jam setelah pemberian sianida dan natrium tiosulfat. Organ yang diambil meliputi ginjal, usus halus, lambung, hati, paru-paru, jantung. Pengamatan secara makroskopis juga dilakukan untuk melihat perubahan morfologi pada setiap organ dari setiap kelompok perlakuan. Dari pengamatan makroskopis setelah hewan uji di- nekropsi, terlihat bahwa tidak terjadi perubahan morfologi pada setiap organ dari setiap kelompok perlakuan. Setelah dilakukan pengamatan makroskopis, maka dilanjutkan dengan pengamatan mikroskopis dari setiap organ untuk melihat terjadinya kerusakan organ, pengamatan mikroskopis berupa pengamatan preparat organ dari setiap kelompok perlakuan yang telah dibuat preparat histopatologi dengan pengecatan hematoksilin-eosin, hasil pengamatan yang berupa pengamatan histopatologi organ menunjukkan terjadinya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
perubahan pada beberapa organ dari masing- masing kelompok perlakuan dibandingkan dengan kontrol. Perubahan organ dapat dilihat pada tabel VIII. Beberapa kerusakan jaringan yang timbul akibat keracunan sianida adalah : hiperemia, keadaan dimana terdapat darah secara berlebihan didalam pembuluh darah pada daerah tertentu. Jika dilihat dengan mata telanjang, maka daerah jaringan atau organ yang mengalami hiperemi berwarna lebih merah (ungu) karena bertambahnya darah didalam jaringan. Secara mikroskopis kapilerkapiler dalam jaringan hiperemia melebar dan penuh berisi darah. Pada dasarnya terdapat dua mekanisme di mana kongesti dapat timbul : (1) kenaikan jumlah darah yang mengalir ke daerah atau (2) penurunan jumlah darah yang mengalir dari daerah; hemorhagie, keluarnya darah dari sitem kardiovaskular, disertai penimbunan dalam jaringan atau ruang tubuh atau disertai keluarnya darah dari tubuh. 1.
Hati Organ hati pada kelompok kontrol KCN mengalami peradangan.
Peradangan terjadi karena adanya respon terhadap cedera dan kematian sel yang merupakan mekanisme pertahanan tubuh. Hal ini mungkin disebabkan karena sianida menyebabkan hipoksia pada sel sehingga selnya mati. Dapat dilihat pada kelompok kontrol KCN terdapat manifestasi peradangan dan terdapat adanya hiperemi begitu juga pada kelompok kontrol tiosulfat dan kelompok perlakuan I dan II, sedangkan pada kelompok perlakuan II dan IV tidak terdapat adanya manifestasi peradangan dan tidak ditemui adanya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
hiperemi jadi dapat dikatakan bahwa kerusakan organ disini pada kelompok perlakuan dapat membaik dengan meningkatnya dosis antidotumnya.
2.
Ginjal Organ eksresi yang penting adalah ginjal. Ginjal melakukan fungsi vital
sebagai pengatur volume dan komposisi kimia darah dan lingkungan dalam tubuh dengan mengeksresikan solut dan air dalam tubuh, kalau kedua ginjal karena sesuatu hal gagal melakukan fungsinya, maka kematian akan terjadi dalam waktu 3 sampai 4 minggu (Price dan Wilson, 1995). Hasil pemeriksaan histopatologi organ ginjal menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol KCN terjadi kerusakan berupa hemorrhagi pada 24 jam. Pada kelompok perlakuan I dan II pemberian senyawa racun KCN 26 mg/kgBB kemudian ditambah dengan pemberian natrium tiosulfat berurutan dosis 0,468 mg/kgBB dan 3,279 mg/kg BB mengalami kerusakan ginjal yang hampir sama dengan yang terjadi pada kontrol sianida yaitu terjadi manifestasi hemorrhagi. Hal ini terjadi karena adanya proses peradangan. 3.
Paru
Memegang peranan penting dalam proses respirasi. Paru berfungsi untuk mengambil oksigen dan mengeluarkan karbondioksida. Apabila kondisi normal ini terjadi maka akan mendukung kelancaran dalam proses respirasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
Tabel VIII. Hasil Pemeriksaan histopatologi beberapa organ mencit akibat pemberian larutan KCN (sebagai senyawa racun) dan pada kelompok perlakuan diberikan larutan KCN kemudian diteruskan dengan pemberian senyawa antidotumnya, yaitu natrium tiosulfat.
Organ
Kontrol KCN
1. Ginjal
Glomerolus dan tubulus normal, terjadi manifestasi haemorrhagie
2. Paru
Alveoli dan bronkeoli dalam batas normal, septum interalveolaris menebal dan ada infiltrasi sel-sel radang Hepatosit normal tersusun radier mengelilingi vena sentralis sel hepatosit dalam batas normal tampak
3.Hati
Kontrol Aquadest Glomerolus dan tubulus dalam batas normal, tidak ada radang, tidak ada erosi Alveoli dan bronkeoli dalam batas normal
Kontrol Na2 S2 O3 Glomerolus dan tubulus dalam batas normal
Alveoli dan bronkeoli dalam batas normal, septum interalveolaris menebal dan ada infiltrasi sel-sel radang Hepatosit Hepatosit normal normal tersusun tersusun radier radier mengelilingi mengelilingi vena sentralis vena sentralis sel hepatosit sel hepatosit dalam batas dalam batas normal tampak
Perlakuan D1
Perlakuan D2
Perlakuan D3
Perlakuan D4
Glomerolus dan tubulusnya normal, terjadi manifestasi haemorrhagie
Glomerolus dan tubulusnya normal, terjadi manifestasi haemorrhagie
Glomerolus dan tubulus dalam batas normal
Glomerolus dan tubulus dalam batas normal dan ada hiperemi sedikit
Alveoli dan bronkeoli dalam batas normal, septum interalveolaris menebal dan ada infiltrasi sel-sel radang Hepatosit normal tersusun radier mengelilingi vena sentralis sel hepatosit dalam batas normal tampak
Alveoli dan bronkeoli dalam batas normal, septum interalveolaris menebal dan ada infiltrasi sel-sel radang Hepatosit normal tersusun radier mengelilingi vena sentralis sel hepatosit dalam batas normal tampak
Alveoli dan bronkeoli dalam batas normal
Alveoli dan bronkeoli dalam batas normal
Hepatosit normal tersusun radier mengelilingi vena sentralis sel hepatosit dalam batas
Hepatosit normal tersusun radier mengelilingi vena sentralis sel hepatosit dalam batas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
hiperemi lokal (derajat 2)
4. Usus halus
5.Jantung
6. Lambung
normal tidak tampak adanya hiperemi, tidak ada manifestasi peradangan Fili intestinal Fili intestinal nya dan mukosa mengalami dalam batas erosi dan normal, mukosanya mukosa tidak normal muskularis, serosa dan kelenjar nya juga normal, Miokardium Miokardium nya dalam nya dalam batas normal batas normal Aktivitas Tunika kelenjarnya mukosa meningkat, muskularis erosi normal, mukosanya aktivitas kelenjarnya normal
hiperemi lokal (derajat 2)
hiperemi lokal (derajat 1)
Fili intestinal Fili intestinal dan mukosa nya terdapat nya normal erosi sedikit , dan juga terdapat adanya manifestasi peradangan (++) Miokardium Miokardium nya dalam nya dalam batas normal batas normal Mukosa Mukosanya lambung erosi, erosi aktivitas kelenjarnya meningkat
69
hiperemi lokal (derajat 2)
normal
normal
Fili intestinal nya terdapat erosi , dan juga terdapat adanya manifestasi peradangan (++)
Fili intestinal nya terdapat erosi , dan juga terdapat adanya manifestasi peradangan (+)
Fili intestinal nya terdapat erosi sedikit , dan tapi masih tetap ada manifestasi peradangan (+)
Miokardium nya dalam batas normal Mukosa lambung erosi (++) dan terdapat adanya manifestasi peradangan
Miokardium nya dalam batas normal Mukosa lambung mengalami erosi (+) aktivitas kelenjarnya meningkat
Miokardium nya dalam batas normal Mukosa lambung mengalami erosi (+)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
A
A
(a)
(b)
70
A (c)
(d)
A (e)
(f)
(g)
Gambar 8. Gambaran histopatologi untuk organ hati mencit pembesaran 100X pengecatan hematoksislin-eosin pembedahan 24 jam, perlakuan : a. KCN 26 mg/kgBB. A. hiperemi lokal derajat 2 (++). b. Aquadest, normal, tidak tampak adanya hiperemi, tidak ada manifestasi peradangan. c. Na2 S2 O3 dosis 160.720 mg/kg BB. A. hiperemi lokal derajat 2 (++). d. KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2 S2 O3 dosis 0,468 mg/kg BB. A. hiperemi lokal derajat 1 (+) e. KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2 S2 O3 dosis 3.279 mg/kg BB. A. hiperemi lokal derajat 2 (++). f.
KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2 S2O3 dosis 22.960 mg/kg BB, normal, tidak tampak adanya hiperemi, tidak ada manifestasi peradangan.
g. KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2 S2 O3 dosis 160.720 mg/kg BB, normal, tidak tampak adanya hiperemi, tidak ada manifestasi peradangan.
71
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
organ paru juga mempunyai resiko tinggi terkena zat toksik karena berhubungan langsung dengan lingkungan luar, kerusakan organ paru berupa penebalan septa alveoli dan terdapat adanya manifestasi sel-sel radang. Selain terjadi pada kelompok kontrol KCN 26 mg/kgBB juga terjadi pada kelompok perlakuan I dan II. Kerusakan tersebut tidak meningkat seiring dengan meningkatnya dosis natrium tiosulfat. Bila dibandingkan dengan kelompok kontrol, adanya zat antidotum natrium tiosulfat dapat memicu penurunan kerusakan pada organ paru sehingga keadaan organ menjadi semakin membaik. Pada penebalan septa alveoli ditemukan adanya sel-sel radang dan sel-sel darah merah. Hal tersebut menunjukkan adanya respon terjadinya peradangan. Pada daerah yang meradang terjadi peningkatan aliran darah dan pembuluh darah menjadi lebih permeabel. Hal tersebut mendorong keluarnya sel-sel darah merah yang
disebut
hemorrhagi,
kondisi
tersebut
menyebabkan
alveoli
sukar
berkontraksi. Apabila septa semakin tebal maka daya tampung alveoli terhadap oksigen akan semakin berkurang sehingga akan mengganggu suplai oksigen. Hal ini menyebabkan pertukaran udara terganggu. Apabila gangguan pada organ ini semakin parah bisa menyebabkan terjadinya dispnea, dispnea dapat terjadi karena adanya gangguan pertukaran antara oksigen dengan karbondioksida akibat adanya rangsang atau kerusakan pada organ pernafasan sehingga terjadi peningkatan kerja pernafasan akibat meningkatnya resistensi elastik paru. Hal tersebut terjadi karena hewan berusaha mengkompensasi ketersediaan oksigen didalam alveoli. Apabila kondisi ini semakin parah, kemungkinan akan menyebabkan kematian.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
A
A (a)
(b)
(c)
(d)
A
A (e)
72
(f)
(g)
Gambar 9. Gambaran histopatologi untuk organ ginjal mencit pembesaran 100X pengecatan hematoksislin-eosin pembedahan 24 jam, perlakuan : a. KCN 26 mg/kgBB. A. haemorrhagie. b. Aquadest c. Na2 S2 O3 dosis 160.720 mg/kg BB d. KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2 S2 O3 dosis 0,468 mg/kg BB. A. haemorrhagie. e. KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2 S2 O3 dosis 3.279 mg/kg BB. A. haemorrhagie. f.
KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2 S2 O3 dosis 22.960 mg/kg BB.
g. KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2 S2 O3 dosis 160.720 mg/kg BB. A. hiperemi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
Dispnea atau sesak nafas merupakan gejala utama dari penyakit kardiopulmonar (Price& Wilson, 1995 ). 4.
Jantung Organ jantung merupakan organ yang sangat vital dan memegang
peranan penting didalam tubuh makhluk hidup. Jantung bertanggung jawab terhadap sistem sirkulasi didalam tubuh. Apabila terjadi gangguan pada organ ini maka sirkulasi darah didalam tubuh menjadi tidak lancar. Dalam penelitian ini organ jantung masih dalam batas normal baik dalam pembedahan 3 jam dan pembedahan 24 jam setelah dipejani KCN dosis 26 mg/kgBB dan pada kelompok perlakuan yang dipejani KCN dosis 26 mg/kg BB kemudian dilanjutkan dengan senyawa antidotumnya yaitu natrium tiosulfat berurutan dengan dosis 0,468 mg/kg BB, 3.279 mg/kg BB, 22,960 mg/kg BB, 160.720 mg/kgBB
tidak
menyebabkan kelainan pada organ jantung, artinya pemberian sianida dan natrium tiosulfat disini tidak mempengaruhi organ jantung, kemungkinan organ ini normal karena percobaan yang peneliti lakukan adalah termasuk uji akut jadi belum tampak adanya kerusakan pada ogan jantung ini. 5.
Usus halus Organ usus berperan dalam pencernaan makanan. Makanan yang telah
dicerna di lambung kemudian masuk ke organ usus. Hasil pencernaan yang sudah dianggap cukup di usus kemudian diserap melalui kapiler-kapiler darah dan pembuluh limfe. Pada penelitian ini kelompok kontrol KCN dosis 26 mg/kgBB menunjukkan organ usus tidak normal karena fili intestinal nya mengalami erosi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
B
A
A
(a)
B
(b)
B (e)
B
74
A
(c)
(d)
A (f)
(g)
Gambar 10. Gambaran histopatologi untuk organ paru mencit akibat pemberian KCN dosis 26 mg/kg BB pembesaran 100X pengecatan hematoksislin-eosin pembedahan 24 jam, perlakuan: a. KCN 26 mg/kgBB, alveoli dan bronkeoli dalam batas normal. A. penebalan septa alveoli, B. sel radang. b. Aquadest c. Na2 S2 O3 dosis 160.720 mg/kg BB. A. penebalan septa alveoli, B. sel radang. d. KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2 S2 O3 dosis 0,468 mg/kg BB. A. penebalan septa alveoli, B. sel radang. e. KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2 S2 O3 dosis 3.279 mg/kg BB. A. penebalan septa alveoli, B. sel radang. f.
KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2 S2 O3 dosis 22.960 mg/kg BB,
g. KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2 S2 O3 dosis 160.720 mg/kgBB
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
(a)
(b)
(e)
(c)
(f)
75
(d)
(g)
Gambar 11. Gambaran histopatologi untuk organ jantung mencit akibat pemberian KCN dosis 26 mg/kg BB pembesaran 100X pengecatan hematoksislin-eosin pembedahan 24 jam, perlakuan : a.
KCN 26 mg/kgBB, miokardium dalam batas normal.
b. Aquadest, miokardium dalam batas normal. c. Na2 S2 O3 dosis 160.720 mg/kg BB, miokardium dalam batas normal. d. KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2 S2 O3 dosis 0,468 mg/kg BB, miokardium dalam batas normal. e. KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2 S2 O3 dosis 3.279 mg/kg BB, miokardium dalam batas normal. f.
KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2 S2 O3 dosis 22.960 mg/kg BB, miokardium dalam batas normal.
g. KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2 S2 O3 dosis 160.720 mg/kgBB, miokardium dalam batas normal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
A
A
(a)
(b)
(e)
A
(c)
A
A (f)
76
(d)
A (g)
Gambar 12. Gambaran histopatologi untuk organ usus halus mencit akibat pemberian KCN dosis 26 mg/kg BB pembesaran 100X pengecatan hematoksislin-eosin pembedahan 24 jam,Perlakuan : a. KCN 26 mg/kgBB. A. fili intestinal erosi dan mukosanya tidak normal. b. Aquadest, fili intestinal dan mukosa dalam batas normal, mukosa muskularis, serosa dan kelenjar nya juga normal. c. Na2 S2 O3 dosis 160.720 mg/kg BB. A. fili intestinal erosi dan mukosanya tidak normal. d. KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2 S2 O3 dosis 0,468 mg/kg BB. A. fili intestinal erosi sedikit, dan juga terdapat adanya manifestasi peradangan derajat 2 (++). e. KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2 S2 O3 dosis 3.279 mg/kg BB. A. fili intestinal erosi sedikit, dan juga terdapat adanya manifestasi peradangan derajat 2 (++). f.
KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2 S2 O3 dosis 22.960 mg/kg BB. A. fili intestinal erosi, dan juga terdapat adanya manifestasi peradangan derajat 1 (+).
g. KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2 S2 O3 dosis 160.720 mg/kg BB. A. fili intestinal erosi, dan juga terdapat adanya manifestasi peradangan derajat 1 (+).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
dan mukosanya tidak normal. Demikian pula terjadi pada kelompok perlakuan IIV organ usus masih dalam keadaan tidak normal masih terdapat erosi dan terdapat
manifestasi
peradangan,
peningkatan
dosis senyawa
antidotum
menurunkan manifestasi terjadinya peradangan. Pada kelompok kontrol KCN 26 mg/kg BB. Pada pembedahan sesaat setelah kematian
terjadi perubahan organ berupa erosi fili. Fili terdapat di
permukaan lumen usus halus yang mempunyai sejumlah lipatan mukosa. Fili berfungsi sebagai tempat penyerapan. Luas permukaan fili sangat besar sehingga terjadi peningkatan proses absorpsi didaerah ini. Apabila terjadi erosi fili maka proses penyerapan makanan ke kapiler-kapiler darah akan mengalami penuruna n. Peningkatan erosi fili terjadi pada kelompok perlakuan I dan kelompok II, tetapi lebih parah pada kelompok perlakuan II, hal itu kemungkinan disebabkan karena semakin menurunnya dosis senyawa antidotum yang dipejankan kepada hewan uji kelompok tersebut. Sedangkan pada kelompok perlakuan dosis 22.960 mg/kgBB dan 160.720 mg/kgBB tetap ditemukan adanya manifestasi peradangan tapi tingkat keparahannya lebih sedikit/turun daripada kelompok 0.468 mg/kgBB dan 3.279 mg/kgBB, hal ini kemungkinan karena dengan peningkatan pemberian dosis senyawa antidotum maka kerusakan organ khususnya usus halus ini menjadi semakin tidak parah, atau dapat juga dikatakan kerusakan ini bersifat reversible. 6.
Lambung Lambung berperan didalam pencernaan makanan. Setelah makanan
masuk melalui mulut dan dilanjutkan ke esophagus, makanan akan berkumpul di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
lambung dan dengan gerakan peristaltik serta sekresi kelenjar, lambung akan bekerja mengadakan pencernaan. Pada kelompok kontrol aquadest, tidak ditemukan adanya kelainan pada organ lambung, organ lambung masih terlihat normal. Seperti pada organ usus, organ lambung juga mengalami kelainan mulai dari kelompok kontrol KCN dosis 26 mg/kg BB, kelompok kontrol natrium tiosulfat dosis 160,720 mg/kgBB dan empat kelompok perlakuan. Organ ini mengalami kelainan berupa erosi epitel. Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena pemejanan larutan KCN pada dosis 26 mg/kgBB dapat menimbulkan iritasi pada epitel lambung. Untuk melindungi permukaan terhadap iritasi lebih lanjut, lambung meningkatkan sekresi mukus, hal ini terbukti dengan meningkatnya aktivitas kelenjar Brunner dan sel goblet yang menghasilkan mukus yang berguna untuk melapisi epitel usus dari bahan-bahan yang bersifat iritatif, kerusakan paling parah terlihat pada kelompok perlakuan II dengan derajat erosi mukosa ditunjukkan dengan derajat II.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
A (a)
(b)
(c)
A
A
A (e)
(d)
(f)
(g)
Gambar 13. Gambaran histopatologi untuk organ lambung mencit akibat pemberian KCN dosis 26 mg/kg BB pembesaran 100X pengecatan hematoksis lin-eosin pembedahan 24 jam,perlakuan: a. KCN 26 mg/kgBB, aktivitas kelenjarnya meningkat, erosi mukosanya. b. Aquadest, tunika mukosa muskularis normal, aktivitas kelenjarnya normal. c. Na2 S2 O3 dosis 160.720 mg/kg BB, mukosa lambung erosi, aktivitas kelenjarnya meningkat. d. KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2 S2 O3 dosis 0,468 mg/kg BB. A. mukosa erosi. e. KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2 S2O3 dosis 3.279 mg/kg BB. A. mukosa lambung erosi (++) dan terdapat adanya manifestasi peradangan. f.
KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2 S2 O3 dosis 22.960 mg/kg BB. A. mukosa lambung erosi (+) aktivitas kelenjarnya meningkat.
g. KCN dosis 26 mg/kg BB dengan Na2 S2 O3 dosis 160.720 mg/kg BB. A. mukosa lambung erosi (+).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Berdasarkan data, analisis statistik dan evaluasi hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa potensi natrium tiosulfat sebagai antidotum keracunan sianida pada mencit jantan galur Swiss adalah : 1. Dosis efektif natrium tiosulfat untuk terapi antidotum keracunan sianida adalah 160,720 mg/kgBB. 2. Wujud penawaracunan sianida oleh natrium tiosulfat secara pengamatan fisik gejala efek toksik ditunjukkan bahwa pada kelompok perlakuan natrium tiosulfat dosis 160.720 mg/kgBB terjadi jantung berdebar 50%, hilang kesadaran 50%, gagal nafas 0%, kejang 0%, mati 0%, wujud kerusakan struktural ditunjukkan bahwa pada kelompok perlakuan dosis 160.720 mg/kgBB pada organ hati normal, pada organ ginjal terdapat manifestasi hiperemi, pada organ paru normal, pada organ usus halus terdapat erosi dan terdapat manifestasi peradangan derajat keparahan 1 (+), pada organ jantung normal, pada organ lambung terdapat erosi derajat keparahan 1 (+) pada lapisan mukosanya, sifat penawaracunan sianida secara struktural oleh natrium tiosulfat adalah terbalikkan.
80
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
B.
81
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang uji daya antidotum natrium tiosulfat ditambah dengan pemberian zat anti kejang mengingat bahwa biasanya kasus keracunan sianida diperantarai dengan adanya kejang sehingga diperlukan adanya penambahan senyawa anti kejang disini untuk mengurangi terjadinya gejala efek toksik yang memperantarai terjadinya keracunan sianida.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR PUSTAKA Alarie Y., 1985, The toxicity of smoke from polymeric materials during thermal decomposition. Am Rev Pharmacol Toxicol, 25 : 325-347, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Anderson RA & Harland WA., 1982, Fire deaths in the Glasgow area.III. The role of hydrogen cyanide. Med Sci Law, 22 : 35-37, In http://www.inchem.org /documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Ann P.R., 2005, Sodium thiosulfate for acute Cyanide poisoning : study in a rat model, In http://www.medscape.com/medline/abstract/15976683, diakses tanggal 15 juni 2008 Anon ., 1978, Controlled intravascular sodium nitroprusside treatment. Br Med J, 6140: 784-785, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot /ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Anonim, 1987a, Anatomi dan Fisiologi Modul Swa-Instruksional Sistem Pernafasan dan Sistem Kardiovaskular, diterjemahkan oleh Andy Santosa Augustinus, Edisi 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Anonim, 1987b, Anatomi dan Fisiologi Modul Swa-Instruksiona l Sistem Perkemihan dan Sistem Pencernaan, diterjemahkan oleh Andy Santosa Augustinus, Edisi 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Anonim, 2000, Gali Data : Sianida, http://www.minergynews.com/forum.shtml, diakses pada 28 September 2007
Atkins D ,1977, Cyanide toxicity following nitroprusside-induced hypotension. Can Anaesth Soc J, 24: 651-660, In http://www.inchem.org/documents/ antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
82
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
Berlin AM, 1971, The treatment of cyanide poisoning in children. Pediatrics, 46: 793, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Birky MM, Halpin BM, Capla n YH, Fisher RS, Mc Allister JM, & Dixon AM, 1979, Fire Fatality study. Fire mater, 3 : 211-217, In http://www .inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Blanc, P., Hogan, M., Malin, K., Hryhorczuk, D., Hessl, S., & Bernard, B., 1985, Cyanide intoxication among silver reclaiming workers, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 28 September 2007
Blaschle TE & Melmon KL., 1980, Antihypertensive agents and the drug therapy of hypertension. In: Goodman LS & Gilma A ed. The pharmacological basis of therapeutics. New York, MacMillan Publishing Co., vol 6, pp 807-808, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Bucht H., 1949, On the tubular secretion of thiosulfate and creatinine under the influence of caronamide. Scand J Clin Lab Invest, 1: 270-276, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Burrows GE & Way JL, 1976, Antagonism of cyanide toxicity by phenoxybenzamine. Fed Proc, 35: 533, In http://www.inchem.org/ documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Cardozo RH & Edelman IS, 1952, The volume of distribution of sodium thiosulfate as a measure of the extracellular fluid space. J Clin Invest, 31: 280-290, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Chen KK, Rose CL, & Clowes GHA., 1934, Comparative values of several antidotes in cyanide poisoning. Am J Med Sci, 188: 767, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
Chen KK, Rose CL, & Clowes GHA., 1944, The modem treatment of cyanide poisoning, J Indiana Med Assoc, 37 : 344-350, In http://www.inchem. org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Chen KK, Rose CL, & Clowes GHA., 1933, Methylene blue, nitrites and sodium thiosulfate againts cyanide poisoning. Proc Soc Exp Biol Med, 31 : 250-252, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Chen KK & Rose CL., 1952, Nitrite and thiosulfate therapy in cyanide poisoning. J Am Med Assoc, 149: 113-119, In http://www.inchem.org/documents/ antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008 Clark CJ, Campbell D, & Reid WH., 1983, Blood carboxyhaemoglobin and cyanide levels in fire survivors. Lancet, 1 :1332-1335, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Conn EE, 1973, Cyanogenic glucosides (Committee on Food Protection, Food and Nutrition Board, National Research Council). In: Toxicants occurring naturally in foods, 2nd ed. Washington, DC, National Academy of Sciences, pp 299-308, In http://www.inchem.org/documents/antidot/ antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Cook RD & Coursey DB., 1981, Cassava: a major cyanide-containing food crop. In: Vennesland B, Conn E, Knowles CJ, Westley J, & Wissing F ed. Cyanide in biology. New York, London, Academic Press, pp 11-28, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Crompton M, Palmieri F, Capano M, & Quagliariello E, 1974, The transport of thiosulphate in rat liver mitochondria. FEBS Lett, 46: 247-250, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
Darby PW & Wilson J., 1967, Cyanide, smoking, and tobacco amblyopia. Observations on the cyanide content of tobacco smoke. Br J Ophthalmol, 51: 336-338, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02 .htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Dennis DL & Fletcher WS., 1966, Toxicity of sodium thiosulfate (NCS-45624), a nitrogen mustard antagonist, in the dog, Cancer Chemother Rep, 50: 255257, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008 Domalski CA, Kolb LC, & Hines EA., 1953, Deleterious reactions secondary to thiocyanate therapy of hypertension. Proc Mayo Clin, 28: 272-280, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Done AK., 1961, Cyanide antidotes. In clinical pharmacology of systemic antidotes. Clin Pharmacol Ther, 2: 765-768, In http://www.inchem.org/ documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Edwards AC & Thomas IC, 1978, Cyanide poisoning. Lancet, 1: 92, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
El Ghawabi SH, Gaafar MA, El Saharti AA, Ahmed SH, Malash KK, & Fares R, 1975, Chronic cyanide exposure, a clinical, radio isotope and laboratory study. Br J Ind Med, 32: 215-219, In http://www.inchem.org/documents/ antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
European Pharmacopoeia, 1980, 2nd ed. Sainte- Ruffine, France, Maisonneuve S.A, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Foulks J, Brazeau P, Koelle ES, & Gilman A., 1952, Renal secretion of thiosulfate in the dog. Am J Physiol, 168: 77-85, In http://www.inchem.org/ documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
Fukumoto Y, Nakajimo H, Uetake M, Matusyama A, & Yoshida T, 1957, A study on the sense of smell with respect to potassium cyanide solution and its hereditary transmission. Jpn J Hum Genet, 2: 7-16, In http://www.inchem .org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Ganong, W.F., 1995, Buku Ajar Fisio logi Kedokteran (Review of medical Physiology), Edisi 14, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Garvin CF., 1939, The fatal toxic manifestations of the thiocyanates. J Am Med Assoc, 112: 1125-1127, In http://www.inchem.org/documents/antidot/ antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Gilman A, Philips S, & Koelle ES., 1946, The renal clearance of thiosulfate with observations on its volume of distribution, Am J Physiol, 146: 348-357, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008 Goldfrank L, Bresnitz EA, Weisman RS, & Lewin NA., 1984, The inhaled agents and other disorders of oxygen transport. In: Hanson W Jr ed. Toxic emergencies. New York, Churchill Livingstone, pp 204-211, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Goldstein F & Rieders F, 1953, Conversion of thiocyanate to cyanide by an erythrocytic enzyme. Am J Physiol, 173: 287-290, In http://www.inchem. org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008 Gosselin RE, Smith RP, & Hodge HC., 1984, Cyanide. In: Clinical toxicology of commercial products. Baltimore, London, Williams & Wilkins Co., pp 123-130, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Graham DL, Laman D, Theodore J, & Robin ED., 1977, Acute cyanide poisoning complicated by lactic acidosis and pulmonary edema. Arch Intern Med, 137: 1051, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02 .htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
Grant WM, 1980, The peripheral visual system as a target. In: Spencer PS & Schaumberg HH ed. Experimental and clinical neurotoxicology. Baltimore, London, Williams & Wilkins Co., pp 77-91, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Grant WM., 1986, Toxicology of the eye, 3rd ed. Springfield, Illinois, Charles C. Thomas, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Hager HHJ., 1977, [Hager's manual of pharmaceutical practice.] Berlin, Heidelberg, New York, Springer-Verlag, In http://www.inchem.org/ documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Healy JC., 1931, Therapeutics and toxicology of sulfocyanates. New Engl J Med, 205: 5481-5583, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Henry, J.A., H.M., Wiseman, 1997, Management of Poisoning : A handbook for health care workers, World Health Organization, Geneva
Hilmann B, Bardham, KD, & Bain JTB., 1974, The use of dicobalt edentate (Kelocyanor) in cyanide poisoning. Postgrad Med J, 50: 171-174, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Himwich WA & Saunders JP., 1948, Enzymatic conversion of cyanide to thiocyanate. Am J. Physiol, 153: 348-354, In http://www.inchem.org/ documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Höbel M, Kreye VAW, & Pill J., 1978, Effect of sodium nitroprusside alone and in combination with sodium thiosulfate on the acid-base balance, and on thiocyanate and iron plasma levels in the rabbit, Klin Wochenschr, 56(suppl 1): 147-152, In http://www.inchem.org/documents/antidot/ antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
IUPAC, 1969, Dissociation constants of inorganic acids and bases in aqueous solution. Oxford, United Kingdom, International Union of Pure and Applied Chemistry, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot /ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Ivankovich AD, Braverman B, Kanuru RP, Heyman HJ, & Paulissian R., 1980, Cyanide antidotes and methods of their administration in dogs: a comparative study. Anaesthesiology, 52: 210-216), In http://www.inchem. org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Jacobs K., 1984, [Report on experience with the administratio n of 4-DMAP in severe prussic acid poisoning. Consequences for medical practice.] Zentralbl Arbeitsmed, 34: 274-277 (in German), In http://www. inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Kalmus, H., & Hubbard, D.J., 1960, The chemical senses in health and disease, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 28 September 2007
Kalyanaraman UP, Kalyanaraman K, & Cullinan SA, 1983, Neuropathy of cyanide intoxication due to "laetrile" (amygdalin). Cancer, 51: 2126-2133, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Kessler DL & Hines LE., 1948, Hazards of thiocyanate therapy in hypertension. J Am Med Assoc, 138: 549-551, In http://www.inchem.org/documents/ antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Kirk RI & Stenhouse NS., 1953, Ability to smell solutions of potassium cyanide. Nature (Lond), 171: 698-699, In http://www.inchem.org/documents/ antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008 Kirk-Othmer, 1969, Encyclopedia of chemical technology, 2nd ed. New York, John Wiley & Sons, vol 20, In http://www.inchem.org/documents
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Krapez JR, Vesey CJ, Adams L, & Cole PV, 1981, Effects of cyanide antidotes used with sodium nitroprusside infusions: Sodium thiosulfate and hydroxocobalamin given prophylactically to dogs. Br J Anaesth, 53: 793804, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Lang, S., 1895, [Prussic acid detoxification.] Arch Exp Pathol Pharmakol, 36: 7599 (in German), In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Levine, MS., Radford MPH, & Radford EP., 1978, Occupational exposures to cyanide in Baltimore fire fighters. J Occup Med, 20 : 53-56, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Lowry WT, Juarez L, Petty CS,& Roberts B., 1985, Studies of toxic gas production during actual structural fires in the Dallas area. J Forensic Sci, 30 : 59-72, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02. htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Lundquist P, Rosling H, & Sorbo B., 1985, Determination of cyanide in whole blood, erythrocytes and plasma. Clin Ther, 31: 591-595, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
MacRae WR & Owen M., 1974, Severe metabolic acidosis following hypotension induced with sodium nitroprusside. Br J Anaesth, 46: 795-797, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Marbury TC, Sheppard JE, Gibbons K, & Lee CC., 1982, Combined antidotal and hemodialysis treatments for nitroprusside-induced cyanide toxicity. J Toxicol Clin Toxicol, 19: 475-482, In http://www.inchem.org/documents /antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
Martindale, 1989, In: Reynolds JEF ed. The extra pharmacopoeia, 29th ed. London, The Pharmaceutical Press, p 855, In http://www.inchem.org/ documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
McNamara BP., 1976, Estimation of the toxicity of hydrocyanid acid vapors in man. (Edgewood Arsenal Technical Report No. EB-TR-76023) (Army Department), In http://www.inchem.org/documents/antidotantidot/ant02. htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Meredith, T.J., 1993, Antidots for Poisoning by Cyanide, http://www. inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, diakses pada 28 September 2007
Miche nfelder JD & Tinker JH, 1977, Cyanide toxicity and thiosulfate protection during chronic administration of sodium nitroprusside in the dogs: correlation with a human case. Anesthesiology, 47: 441-448, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Ministry of Health, Mozambique., 1984, Mantakassa: an epidemic of plastic paraparesis associated with chronic cyanid intoxication in a cassava staple area of Mozambique. I., In http://www.inchem.org/documents/antidot/ antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Montgome ry R, Reinhart CF, & Terril JB., 1975, Comments on fire toxicity. Comb Toxicol, 2: 179-212, In http://www.inchem.org/documents/antidot/ antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Naughton M, 1974, Acute cyanide poisoning. Anesth Intensive Care, 4: 351-356, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
NIOSH, 1986, Register of toxic effects of chemical substances, Washington, DC, National Institute for Occupational Safety and Health, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
Olsen NS & Klein RJ, 1947, Effect of cyanide on the concentration of lactate and phosphates in brain. J Biol Chem, 167: 739, In http://www.inchem.org /documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Olson, K. R., 2007, Poisoning and Drug Overdose, 2nd edition, 145-147, Prentice-Hall International Inc., USA
Pahl MV & Vaziri ND, 1982, In vivo and in vitro hemodialysis studies of thiocyanate. J Toxicol Clin Toxicol, 19: 965-974, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Peden NR, Taha A, McSofiey PD, Bryden GT, Murdoch IB, & Anderson JM, 1986, Industrial exposure to hydrogen cyanide: implications for treatment. Br Med J, 293: 538, In http://www.inchem.org/documents/antidot/ antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Peters CG, Mundy JVB, & Rayner PR., 1982, Acute cyanide poisoning. Anaesthesia, 37: 582-586, In http://www.inchem.org/documents/antidot/ antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Pill H, Engeser P, Hobel M, & Kreye VAW, 1980, Sodium nitroprusside: Comparison of the antidotal effect of hydroxocobalamin and sodium thiosulfate in rabbits. Dev Toxicol Environ Sci, 8: 423-426, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008 Piper J., 1975, Use and toxicity of nitroprusside. New Engl J Med, 292: 10811082, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
PoisIndex, 1987, Microfiche data base, 53rd ed. Denver, Colorado, Micromedex Inc, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.ht m, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
Rosling H., 1989, Cassava associated neurotoxicity in Africa. In: Proceedings of the 5th International Congress of Toxicology. Volans GN, Sims J, Sullivan FM, & Turner P ed. Brighton, Taylor & Francis, pp 605-614, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Russel WO & Stahl WC., 1942, Fatal poisoning from potassium thiocyanate treatment of hypertension. J Am Med Assoc, 119: 1177-1181, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Sadoff L, Fuchs J, & Hollander J., 1978, Rapid death associated with laetrile ingestion. J Am Med Assoc, 239: 1532, In http://www.inchem.org/ documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008 Sax NI, 1984, Dangerous properties of industrial materials, 6th ed. New York, Van Nostrand Reinhold Co, In http://www.inchem.org/documents/antidot/ antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Schulz V, Dohring W, & Rathsac, 1978, [Thiocyanate poisoning in antihypertensive therapy with sodium nitroprusside.] Klin Wochenschr, 56: 355-361 (in German), In http://www.inchem.org/documents/antidot /antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Schubert J & Brill WA, 1968, Antagonism of experimental cyanide toxicity in relation to the in vivo activity of cytochrome oxidase. J Pharmacol Exp Ther, 162: 352-359), In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot /ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008 Smith RP & Kruszyna H., 1974, Nitroprusside produces cyanide poisoning via a reaction with hemoglobin. J Chem Exp Ther, 191: 557-563, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
Smith RP., 1973, Cyanate and thiocyanate: Acute toxicity. Proc Soc Exp Biol Med, 142: 1041-1044, In http://www.inchem.org/documents/antidot/ antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Sörbo B, 1972, The pharmacology and toxicology of inorganic sulfur compounds. In: Senning A ed. Sulfur in organic and inorganic chemistry. New York, Marcel Dekker, vol 2, pp 156-158, In http://www.inchem.org /documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008 Stine, E.K and Brown, M.T., 1996, Principles of Toxicology, Lowis Publishers by CRC Press Inc. United States of America.
Sykes AH (1981) Early studies on the toxicology of cyanide. In: Vennesland B, Conn EE, Knowles CJ, Westley J, & Wissing F ed. Cyanide in biology. New York, London, Academic Press, pp 1-9, In http://www.inchem.org /documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Szczepkowski TW, Skarzynski B, & Weber M, 1961, The metabolic state of thiosulphate. Nature (Lond), 189: 1007-1008, In http://www.inchem. org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008 Sylvester DM, Hayton WL, Morgan RL, & Way JL., 1983, Effects of thiosulfate on cyanide pharmacokinetics in dogs. Toxicol Appl Pharmacol, 69: 265, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Takano T., Miyzaki Y., Nashimoto I., & Kobayashi K., 1980, Effect of hyperbaric oxygen on cyanide intoxication: in situ, changes in intracellular oxidation reduction. Undersea Biomed Res, 7: 191-197, In http://www.inchem.org/ documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Trapp WG (1970) Massive cyanide poisoning with recovery. Can Med Assoc J, 102: 3517, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02 .htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
Utama, Harry Wahyudhy, 2006, Keracunan Sianida, http://klikharry.wordpress. com/about/, diakses pada 28 September 2007
Vesey CJ, Cole PV, & Simpson PJ., 1976, Cyanide and thiocyanate concentration following sodium nitroprusside infusion in man, Br J Anaesth, 48: 651659, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Vesey CJ, Cole PV, Linnell JC, & Wilson J., 1974, Some metabolic effects of sodium nitroprusside in man. Br Med J, 2: 140-142, In http://www. inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Vick, J.A. & Froelich, H.L., 1985, Studies on cyanide poisoning, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 28 September 2007
Vogel SN, Sultan TR, & Ten Eyck RP, 1981, Cyanide poisoning. Clin Toxicol, 18: 367-383, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02 .htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Voorhoeve RJH, Patel CKW, Trimble LE, & Kerl RJ., 1975, Automobile pollution control devices with malfunctional catalytic converters. Science, 190 : 149-151, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02 .htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Way JL, Tamulinas CB, Leung P, Ray L, Nizamani S, Sylvester D, Way JL, & Chiou F, 1984, Pharmacologic and toxicologic basis of cyanide antagonism. Proc West Pharmacol Soc, 27: 149-153, In http://www. inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Westley J, Adler H, Westley L, & Nishida C, 1983, The sulfurtransferases. Fundam Appl Toxicol, 3: 377-382, In http://www.inchem.org/documents/ antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
Wilson J, 1965, Leber's hereditary optic atrophy: a possible defect of cyanide metabolism. Clin Sci, 29: 505-515, In http://www.inchem.org/documents/ antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
Windholz M ed., 1983, The Merck index: An encyclopedia of chemicals, drugs, and biologicals, 10th ed. Rahway, New Jersey, Merck and Co., Inc, In http://www.inchem.org/documents/ant idot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 9 Juni 2008
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
Lampiran 1. Hasil pengamatan gejala efek toksik pada kelompok kontrol sianida (dalam detik) Sianida mencit jantung berdebar hilang kesadaran gagal nafas kejang mati I Terjadi cepat sekali 96.00 166.00 178.00 211.00 II Terjadi cepat sekali 114.00 141.00 133.00 190.00 III Terjadi cepat sekali 60.00 86.00 93.00 120.00 IV Terjadi cepat sekali 116.00 120.00 180.00 240.00 V Terjadi cepat sekali 79.00 132.00 546.00 626.00 VI Terjadi cepat sekali 0.00 300.00 420.00 540.00 rata-rata Terjadi cepat sekali 77.50 157.50 258.33 321.17 SD 0.00 43.52 74.59 181.40 208.43 SE 0.00 17.77 30.45 74.06 85.09 Lampiran 2. Hasil pengamatan gejala efek toksik pada kelompok kontrol aquadest (dalam detik) Aquadest hilang kesadaran mencit jantung berdebar gagal nafas kejang mati I Tidak Tidak terjadi Tidak terjadi Tidak terjadi terjadi Tidak mati II Tidak Tidak terjadi Tidak terjadi Tidak terjadi terjadi Tidak mati III Tidak Tidak terjadi Tidak terjadi Tidak terjadi terjadi Tidak mati IV Tidak Tidak terjadi Tidak terjadi Tidak terjadi terjadi Tidak mati V Tidak terjadi Tidak terjadi Tidak terjadi Tidak terjadi Tidak mati VI Tidak Tidak terjadi Tidak terjadi Tidak terjadi terjadi Tidak mati rata-rata Tidak Tidak terjadi Tidak terjadi Tidak terjadi terjadi Tidak mati SD 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 SE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Lampiran 3. Hasil pengamatan gejala efek toksik pada kelompok kontrol natrium tiosulfat (dalam detik) Na-tiosulfat mencit jantung berdebar hilang kesadaran gagal nafas kejang mati I Tidak Tidak Tidak 160.00 705.00 terjadi terjadi mati II Tidak Tidak Tidak 192.00 769.00 terjadi terjadi mati III Tidak Tidak Tidak 0.00 74.00 terjadi terjadi mati IV Tidak Tidak Tidak 150.00 Tidak terjadi terjadi terjadi mati
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
V Tidak terjadi
Tidak terjadi
Tidak terjadi
Tidak terjadi
83.67 92.70 37.84
258.00 372.69 152.15
VI rata-rata SD SE
Tidak terjadi Tidak terjadi Tidak terjadi 0.00 0.00
Tidak terjadi Tidak terjadi Tidak terjadi 0.00 0.00
97
Tidak mati Tidak mati Tidak mati 0.00 0.00
Lampiran 4. Hasil pengamatan gejala efek toksik pada kelompok kontrol sianida (dalam detik) Sianida+Na-tiosulfat 0,468 mg/kg jantung hilang mencit berdebar kesadaran gagal nafas kejang mati I Terjadi cepat Terjadi cepat sekali 212.00 675.00 sekali 941.00 II Terjadi cepat Terjadi cepat sekali 108.00 222.00 sekali 284.00 III Terjadi cepat Terjadi cepat sekali 83.00 268.00 sekali 648.00 IV Terjadi cepat Terjadi cepat sekali 161.00 573.00 sekali 741.00 V Terjadi cepat Terjadi cepat sekali 89.00 416.00 sekali 695.00 VI Terjadi cepat 58.00 191.00 381.00 sekali 583.00 rata-rata Terjadi cepat sekali 21.33 140.67 422.50 648.67 SD 33.27 54.95 174.49 0.00 216.07 SE 13.58 22.43 71.24 0.00 88.21 Lampiran 5. Hasil pengamatan gejala efek toksik pada kelompok kontrol sianida (dalam detik) Sianida+Na-tiosulfat 3,279 mg/kg jantung hilang berdebar kesadaran mencit gagal nafas kejang mati I Terjadi cepat Tidak terjadi 791.00 1011.00 sekali 1275.00 II Terjadi cepat Tidak terjadi 0.00 0.00 sekali Tidak mati III Terjadi cepat Tidak terjadi 513.00 726.00 sekali 861.00 IV Tidak Tidak Terjadi cepat Tidak terjadi teramati teramati sekali Tidak Mati V Terjadi cepat sekali Tidak terjadi 108.00 569.00 910.00 VI Terjadi cepat 55.00 101.00 187.00 sekali 255.00 rata-rata 9.17 252.17 415.50 Terjadi cepat 29350.17
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
SD SE
22.45 9.16
325.33 132.82
417.63 170.50
sekali 0.00 0.00
98
44191.82 18041.23
Lampiran 6. Hasil pengamatan gejala efek toksik pada kelompok kontrol sianida (dalam detik) Sianida+Na-tiosulfat 22,96 mg/kg hilang gagal mencit jantung berdebar kesadaran nafas kejang mati I Tidak Terjadi cepat Tidak terjadi Tidak terjadi teramati sekali Tidak mati II 43.00 81.00 132.00 298.00 302.00 III Terjadi cepat Tidak terjadi 78.00 102.00 sekali 170.00 IV Tidak Terjadi cepat Tidak terjadi Tidak terjadi teramati sekali Tidak mati V Terjadi cepat Tidak terjadi 100.00 500.00 sekali 681.00 VI Terjadi cepat 25.00 732.00 850.00 sekali 933.00 rata-rata 11.33 165.17 264.00 49.67 29147.67 SD 18.46 280.99 341.22 121.66 44348.29 SE 7.54 114.71 139.30 49.67 18105.11 Lampiran 7. Hasil pengamatan gejala efek toksik pada kelompok kontrol sianida (dalam detik) Sianida+Na-tiosulfat 160,72 mg/kg mencit jantung berdebar hilang kesadaran gagal nafas kejang mati I Tidak Tidak Tidak 160.00 705.00 terjadi terjadi mati II Tidak Tidak Tidak terjadi terjadi mati 192.00 769.00 III Tidak Tidak Tidak Tidak teramati 74.00 terjadi terjadi mati IV Tidak Tidak Tidak 150.00 Tidak teramati terjadi terjadi mati V Tidak Tidak Tidak Tidak teramati Tidak teramati terjadi terjadi mati VI Tidak Tidak Tidak Tidak teramati Tidak teramati terjadi terjadi mati rata-rata Tidak Tidak Tidak terjadi terjadi mati 83.67 258.00 SD 92.70 372.69 0.00 0.00 0.00 SE 37.84 152.15 0.00 0.00 0.00
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
Lampiran 8. Hasil perbandingan pengamatan gejala efek toksik sianida terhadap kelompok kontrol (aquadest, sianida (26 mg/Kg), dan Na-tiosulfat (160,720 mg/Kg)) Kelompok
Kontrol aquadest Kontrol sianida (26 mg/Kg) Kontrol Natiosulfat (160,720 mg/Kg) Sianida + Na tiosulfat 0,468 mg/kg BB Sianida + Na tiosulfat 3.279 mg/kg BB Sianida + Na tiosulfat 22.96 mg/kg BB Sianida + Na tiosulfat 160,720 mg/kg BB
Keterangan :
Jantung berdebar Kontrol Kontr NaKontrol ol tiosulfat aquadest sianid (160,720 a mg/Kg)
Hilang kesadaran Kontrol Kontr NaKontrol ol tiosulfat aquadest sianid (160,720 a mg/Kg)
Btb
B
Btb
Btb Btb
Btb
Btb
Btb
Btb
Btb
B
Btb
Btb
B
Btb
Btb
Btb
B
Btb
Btb
Btb
Btb
Btb
Btb
B Btb
Kontrol aquadest
Btb Btb
Btb
Gagal nafas
Kejang
Kontr ol sianid a
Kontrol Natiosulfat (160,720 mg/Kg)
B
Btb
B
B
Btb
B
Btb
B
Btb
Btb
Btb
B
B
Btb
Btb
Btb
Btb
Btb
Kontrol aquadest
Kontro l sianida B
Btb
B
B
Btb
B
B
Btb
B
Btb
B
Btb
B
Btb
B
Btb
B
Btb
: berbeda bermakna dengan tingkat signifikansi 95% : berbeda tidak bermakna dengan tingkat signifikansi 95%
Mati Kontrol Natiosulfat (160,720 mg/Kg)
Kontrol aquadest
Kontr ol sianid a
Kontrol Natiosulfat (160,720 mg/Kg)
B
Btb
B
B
Btb
B
Btb
B
B
B
B
Btb
B
B
B
Btb
B
Btb
B
Btb
B
Btb
B
Btb
Btb
B
Btb
100
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Lampiran 9. Hasil uji menggunakan analisis statistik Kruskal-Wallis dan MannWhitn
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BIOGRAFI PENULIS
Penulis skripsi berjudul ”Potensi Na-tiosulfat Sebagai Antidotum Untuk Keracunan Sianida Pada Mencit Jantan Galur Swiss” memiliki nama lengkap Andrew Arief Sudarmono, merupakan putra ketiga, anak ketiga dari pasangan Edianto Sudarmono dengan ibu kandung Maria Henny Rustianti dan ibu yang membesarkan Ina Kusuma Dewi yang dilahirkan di Semarang pada tanggal 24 Januari 1987. Pendidikan formal yang telah ditempuh oleh penulis sejak di bangku taman kanak-kanak hingga tamat SMF diselesaikan di kota Semarang, TK. Don Bosco (1991-1992), SD Regina Pacis (1992-1998), SLTP Maria Goretti (1998-2001) dan SMF Theresiana (2001-2004). Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke kota Yogyakarta untuk menuntut ilmunya di Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma (2004-2008). Selama masa kuliah, penulis juga pernah menjadi Koordinator Bidang Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF) Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, dan pernah juga menjadi Ketua II (Bidang Umum) pada acara Titrasi (Tiga hari temu Akrab Farmasi) 2006 dan menjadi panitia dalam beberapa kepanitian lepas yang masih dalam lingkup internal di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.
176