TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
SKRIPSI
OLEH :
DIXIE B.D.PARAPAT 030200260
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH :
DIXIE B.D.PARAPAT 030200260
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui Oleh : Ketua Departemen Hukum Pidana
ABUL KHAIR, SH, M.HUM NIP.131.842.854
Dosen Pembimbing I
(NURMALAWATI, SH, M.Hum) NIP.131569409
Dosen Pembimbing II
(ARMANSYAH, SH, M.Hum) NIP.131803397
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan studi pada Strata Satu pada Universitas Sumatera Utara. Karya ilmiah dalam bentuk skripsi merupakan salah satu syarat yang dipenuhi untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum maka harus dilengkapi syarat tersebut dengan skripsi yang berjudul : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah. Dalam penyusunan skripsi ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan, penulis mengucapkan terimakasih secara khusus kepada Ketua Departemen Hukum Pidana Abul Khair, S.H., M.Hum serta Komisi Pembimbing Nurmalawaty, S.H.,M.Hum, Armansyah, S.H.,M.Hum . Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Rektor Universitas Sumatera Utara 2. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H.,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan para pembantu Dekan beserta seluruh Staf atas bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan studi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 3. Seluruh Guru Besar dan Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 4. Para pegawai/ karyawan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu penulis dengan sepenuh hati terutama dalam kelancaran manajemen yang dibutuhkan.
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
i
5. Rekan-rekan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang selalu memberikan bantuan, semangat, dorongan, motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan studi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Secara khusus ucapan terimakasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada Ayahanda Nelson Parapat, S.H, Ibunda (Alm) Masnur Sidabutar, S.H, Kakanda Debora Dolce Rouli Parapat. S.H.,M.Kn atas doa dalam memberikan bimbingan, nasihat serta dorongan moril yang kuat kepada penulis sehingga termotivasi dan melangkah ke depan untuk menyelesaikan studi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Akhirnya semoga segala budi baik, jasa-jasa dan semua bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapat imbalan yang berlimpah dari
Tuhan Yang
Maha Kuasa
Medan, Juli 2009 Penulis,
Dixie Bisuk Daniel Parapat
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
ii
TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH *
Dixie Bisuk Daniel Parapat Nurmalawaty, S.H.,M.Hum *** Armansyah, S.H.,M.Hum
**
ABSTRAKSI Aspek hukum dalam pengelolaan keuangan daerah yaitu 1. Pengawasan adalah tindakan yang dilakukan oleh pihak di luar ( yaitu masyarakat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ) untuk mengwasi kinerja pemerintahan dalam hal ini Pemerintahan Daerah 2. Pengendalian adalah tindakan yang dilakukan oleh pihak di luar ( yaitu masyarakat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ) untuk mengawasi kinerja pemerintahan dalam hal ini Pemerintahan Daerah 3. Pemeriksaan adalah merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pihak yang memiliki independensi dan memiliki kompetensi professional untuk memeriksa apakah hasil kinerja pemerintah daerah telah sesuai dengan standar atau kriteria yang ada, sedangkan bentuk penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Kepala Daerah dalam tindak pidana korupsi : a. Tidak melaksanakan Asas Spesialitas yakni ketentuan tujuan yang harus diperhatikan sebagi bentuk yang nyata seorang kepala daerah secara pribadi tidak melalaikan kewajibannya yang merugikan b. Tidak melaksanakan Asas Spesialitas Kaitannya dengan Asas Legalitas yakni Kepala Daerah dalam melakukan perbuatan hukum untuk mencapai tujuan tertentu harus berdasarkan undang-undang. c. Tidak melaksanakan Asas Spesialitas Kaitannya dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang baik yakni Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan nepotisme Pertanggungjawaban pidana yang dilakukan dalam pengelolaan keuangan daerah yakni setiap orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain sebagai contoh Abdullah Puteh sebagai Kepala Daerah dengan Penunjukan Langsung dalam pengadaan barang dan jasa yang seharusnya dilakukan oleh Kepala Kantor , menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, sarana yang ada padanya karena jabatan yang dimilikinya yang dapat merugikan keuangan negara dapat dipidana dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh ) tahun atau denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah ) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 ( satu milyar rupiah sedangkan sebagai analisa kasus pada kasus Abdullah Puteh yang merupakan Kepala Daerah yang juga pejabat merupakan subyek delik penyalahgunaan wewenang dalam Pasal 3 Undang-undang PTPK yang dirumuskan dengan ”setiap orang” mempunyai pengertian pejabat atau pegawai negeri. Pendapat itu didasari bahwa pejabat atau pegawai negeri merupakan personifikasi dari wewenang publik dan pejabat atau pegawai negeri *
Mahasiswa Dosen Pembimbing I *** Dosen Pembimbing II **
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
iii
.Pejabat yang akan dituntut, dilakukan penyelidikan , penyidikan terhadap Tindak Pidana Korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi apabila menyangkut keuangan negara yang paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 ( satu milyar rupiah ).Abdullah Puteh merupakan Kepala Daerah didakwa melanggar pasal 2 ayat 1 jo pasal 18 ayat (1) huruf a,b ayat (2),(3), Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................... i ABSTRAK................................................................................................................. iii DAFTAR ISI ............................................................................................................. v BAB I
PENDAHULUAN .............................................................................. 1 A. Latar Belakang ............................................................................... 1 B. Permasalahan ................................................................................. 3 C. Tujuan dan Manfaat ....................................................................... 4 D. Keaslian Penulisan ...................................................................... 4 E. Tinjauan Kepustakaan ................................................................... 5 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ............................................ 5 2. Pengertian Keuangan Daerah..................................................... 15 F. Metode Penelitian .......................................................................... 16 G. Sistematika Penulisan..................................................................... 19
BAB II
ASPEK HUKUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH ........................................................................................... 20 A. Sumber Keuangan Daerah dan Pengelolaan Keuangan Daerah ........................................................................................... 20 B. Kendala Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah ............................... 25
BAB III
PENYALAHGUNAAN WEWENANG DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI .......................................................... 35 A. Kewenangan Kepala Daerah........................................................... 35 A. Sumber Lahirnya Wewenang ......................................................... 38 B. Bentuk- bentuk Penyalahgunaan Wewenang Kepala Daerah........................................................................................... 41
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
v
C. Delik Penyalahgunaan Wewenang ................................................. 46 BAB IV
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM PENYALAHGUNAAN WEWENANG PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH ..................................... 61 A. Sanksi Yuridis Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Wewenang Pengelolaan Keuangan Daerah ........................................................................................... 61 B. Kasus Penyelewengan Pengelolaan Keuangan Daerah.................... 64 C. Analisis Kasus ............................................................................... 70
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 72 A. Kesimpulan .................................................................................... 72 B. Saran ........................................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 75
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintah diikuti dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada daerah dengan mengacu kepada Undang-undang Nomor
17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara yakni
Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dimana besarnya disesuaikan dan diselaraskan dengan pembagian kewenangan antara pemerintah dan daerah. Semua sumber keuangan yang melekat pada setiap urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah menjadi sumber keuangan daerah, antara lain berupa kepastian tersedianya pendanaan dari pemerintah sesuai dengan urusan
pemerintahan
yang
diserahkan,
kewenangan
memungut
dan
mendayagunakan pajak dan retribusi daerah dan hak untuk mendapatkan bagi hasil dari sumber-sumber daya nasional yang berada di daerah dan dana perimbangan lainnya, hak untuk mengelola kekayaan di daerah dan mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah serta sumber-sumber pembiayaan. Peraturan daerah dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersamasama pemerintah daerah, artinya prakarsa dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maupun dari pemerintah daerah. Khusus peraturan daerah tentang APBD rancangannya disiapkan oleh peraturan daerah yang telah mencakup keuangan Dewan Perwakilan Rakyat, untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat.
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
1
Namun dalam kenyataannya Anggaran Pendapatan Belanja Daerah sering digunakan untuk diri sendiri, serta menyalahgunakan wewenang dengan kesempatan atau sarana yang ada karena jabatan atau kedudukan yang dimiliki. Gubernur Aceh non-aktif Abdullah Puteh, yang menjadi terdakwa kasus pembelian helikopter Mi-2 Rostov buatan Rusia, dijatuhi hukuman 10 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Putusan yang diambil kendati Puteh tidak hadir dalam persidangan ini dua tahun lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Selain hukuman 10 tahun penjara, Puteh juga diharuskan membayar denda Rp 500 juta dan hukuman subsider enam bulan penjara. Selain bersalah karena melakukan Penunjukan Langsung, mantan ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia itu juga diputuskan bersalah karena memindahkan dana dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah ke rekening pribadi senilai Rp 7,75 miliar. Atas tindakan ini, Puteh telah melanggar Peraturan Pemerintah No 105 tahun 2000 tentang pengelolaan keuangan daerah. Majelis hakim menilai, tindakan ini adalah untuk memperkaya diri. 1.
Dengan keadaan yang demikian penulis merasa hal tersebut sangat menarik dan
sesuai dengan jurusan penulis sehingga ingin mengetahui keadaan
tersebut lebih jauh terutama apabila dihubungkan dengan tindakan-tindakan terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah. 2. Di samping itu berpedoman kepada pendapat sarjana yakni Nur Basuki Minarno dan Andi Hamzah tentang cara atau langkah, dasar untuk memilih topik atau judul suatu karya ilmiah.
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
Penulis berpendapat, ada 3 point yang menjadi alasan dalam pemilihan judul, yaitu : 1. Topik masih dalam jangkauan penulis. 2. Tersedia secukupnya bahan-bahan (data) yang diperlukan untuk membahas topik tersebut. 3. Topik tersebut cukup menarik untuk diselidiki dan dibahas. Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa judul yang telah penulis ambil topik dalam penulisan ini adalah relevan dan memenuhi syarat yang tersebut di atas. 3. Penulis sangat tertarik juga untuk menentukan Parameter Penyalahgunaan Wewenang yang dilakukan oleh
Pemerintah Daerah dalam menggunakan
Anggaran Keuangan Daerah.
B. Permasalahan Dalam pembuatan suatu karya ilmiah khususnya Skripsi, maka untuk mempermudah penulis dalam pembahasan, perlu dibuat suatu permasalahan yang sesuai dengan judul yang diajukan penulis. Jadi yang menjadi masalah-masalah pokok di dalam Skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana aspek hukum dalam pengelolaan keuangan daerah ? 2. Bagaimana bentuk penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Kepala Daerah dalam tindak pidana korupsi ? 3. Bagaimana pertanggungjawaban pidana dalam pengelolaan keuangan daerah ?
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
C. Tujuan dan Manfaat Tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui aspek hukum dalam pengelolaan keuangan daerah. 2. Untuk mengetahui bentuk penyalahgunaan wewenang dalam tindak pidana korupsi. 3. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana dalam pengelolaan keuangan daerah. Manfaat penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat teoritis Penulis berharap karya ilmiah dalam bentuk skripsi ini memberikan manfaat bagi kalangan akademis pada khususnya mahasiswa dan masyarakat pada umumnya yang membutuhkan informasi mengenai tindak pidana korupsi dalam pengelolaan keuangan daerah. Penulis juga berharap bahwa karya ilmiah ini memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi nusa dan bangsa. 2. Manfaat praktis Memperkenalkan UUPTK kepada masyarakat luas terutama penerapannya dalam kasus–kasus tertentu, sehingga undang-undang tersebut sungguhsungguh dapat dijadikan sarana pembangunan atau bagian dari hukum pembangunan yang akan mengawal proses pembangunan yang semakin melaju.
D. Keaslian Penulisan Dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini adalah asli, dari ide, gagasan, pemikiran dan usaha penulis sendiri, tanpa ada penipuan, penjiplakan atau dengan cara lain yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu. Hasil dari upaya penulis
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
dalam mencari keterangan-keterangan baik berupa majalah, koran, buku-buku, peraturan perundangan-undangan dan pihak-pihak lain yang sangat erat kaitannya dengan pemberantasan tindak pidana korupsi.
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Korupsi Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimanamana. Sejarah membuktikan bahwa hampir setiap negara dihadapkan pada masalah korupsi. Tidak berkelebihan jika pengertian korupsi selalu berkembang dan
berubah
sesuai
dengan
perubahan
zaman.
Bagaimana
dengan
penanggulangannya demikian pula berkembang. Kata korupsi berasal dari bahasa latin “Corruptio” atau “Corrupties” yang berarti buruk, busuk, dan dapat disuap, menyimpang dari kesucian, perkataan yang menghina dan memfitnah. Sedangkan Corruptio berasal dari kata Corruptere yaitu suatu kata lain yang lebih tua, Cor yang berarti bersama-sama, rumpere dan ruptum yang berarti pecah dan jebol. Dan dari bahasa latin inilah banyak bahasa Eropa yang mengikutinya seperti Perancis dan Inggris dengan kata Corruption, Belanda dengan Korruptie dan dari Belanda lah Indonesia mengenal kata korupsi seperti sekarang ini. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia korupsi diartikan sebagai perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. 1
1
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar dan Bahasa Indonesia, Balai Pustaka hal. 391.
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
Namun demikian perlu dikemukakan bahwa korupsi adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang atau kelompok lain untuk mempermudah keinginannnya dan mempengaruhi si penerima untuk memberikan pertimbangan khusus
guna
mengabulkan
permohonannya.
Defenisi
tersebut
dapat
dikembangkan sebagai berikut : 1. Korupsi adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang memberikan hadiah berupa uang maupun benda kepada si penerima untuk memenuhi keinginannya. 2. Korupsi adalah seseorang atau kelompok orang meminta imbalan dalam menjalankan kewajibannya. 3. Korupsi adalah mereka yang menggelapkan dan menggunakan uang negara atau milik umum untuk kepentingan pribadi. 4. Korupsi merupakan perbuatan manusia dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara. 5. Korupsi merupakan perbuatan dan memperkaya diri sendiri atau orang lain sebagai akibat pertimbangan ilegal. 2 Dengan demikian pada dasarnya itu dikaitkan atau disangkutpautkan kepada perbuatan ketidakjujuran seseorang atau golongan dalam berbagai bidang kehidupan yang merugikan keuangan atau perekonomian negara. Dari pendapat tersebut diatas, apabila dianalisa lebih jauh maka dalam banyak kasus korupsi terjadi
akibat
berbagai
peraturan
perundang-undangan
dan
peraturan
pelaksanaannya tidak dilaksanakan oleh aparat pemerintah, organisasi pemerintah dan swasta maupun masyarakat sebagai akibat pertimbangan yang ilegal. 2
Joko Prakoso dkk, Kejahatan-kejahatan Yang Membahayakan dan Merugikan Negara, (Jakarta : Bima Aksara, 1987 ), hal. 391
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi dapat diklasifikasikan dalam beberapa bentuk yaitu : a. Tindak Pidana Korupsi bentuk Pertama Tindak pidana korupsi bentuk pertama terdapat dalam ketentuan Pasal 2 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. Secara lengkap redaksional Pasal 2 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 menyebutkan bahwa : 1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling sedikit 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000 dan paling banyak Rp. 1.000.000.000. 2. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan Dengan bertitik tolak ketentuan Pasal 2 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 maka dapat ditarik unsur-unsur/bestanddelen sebagai berikut : 1. Perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi. Pada dasarnya maksud memperkaya diri dapat ditafsirkan suatu perbuatan dengan mana si pelaku bertambah kekayaannya oleh karena perbuatan tersebut. Modus operandi perbuatan memperkaya dapat dilakukan dengan berbagai cara dengan misalnya membeli, menjual, mengambil, memindahkan rekening, menandatangani kontrak serta perbuatan lainnya sehingga si pelaku jadi bertambah kekayaannya.
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
2. Perbuatan tersebut sifatnya melawan hukum. Dalam aspek ini, pembentuk undang-undang mempertegas elemen dalam arti formil maupun dalam arti peraturan perundang-undangan, tetapi apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. 3. Dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Apakah yang dimaksud dengan keuangan dan perekonomian negara? Menurut bentuk undang-undang dalam penjelasannya menentukan bahwa keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena : a) Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat negara, baik ditingkat pusat maupun daerah. b) Berada dalam pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, Perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara. Selain itu, apakah yang dimaksud dengan perekonomian negara? Dapat
dijelaskan bahwa perekonomian negara adalah kehidupan
perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang berdasarkan pada kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
seluruh kehidupan masyarakat. 3 Terhadap aspek ini selanjutnya dapatlah diajukan
pertanyaan
bagaimanakah
jika
tersangka/terdakwa
telah
mengembalikan hasil korupsinya sehingga keuangan/perekonomian negara tidak dirugikan? Untuk ini, berdasarkan ketentuan Pasal 4 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi. Selain itu, dalam ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 kata “dapat” sebelum frasa “ korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat. 4. Dalam hal tertentu pelaku tindak pidana korupsi dapat dijatuhi pidana mati. Ketentuan aspek ini ditegaskan dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 yang merupakan pemberatan terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Adapun yang dimaksud konteks “keadaan tertentu” adalah sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undangundang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. b. Tindak Pidana Korupsi Bentuk Kedua Pada asasnya, pengertian korupsi bentuk kedua diatur dalam ketentuan Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, yang redaksional selengkapnya 3
Lilik Muliadi, Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Khusus Terhadap Penyidikan, Penuntutan, Peradilan Serta Upaya Hukumnya Menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000 ), hal. 18. merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana.
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
berbunyi sebagai berikut : “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 dan paling banyak Rp. 1.000.000.000”. Dari ketentuan Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut dapatlah ditarik unsur-unsur/bestenddelen deliknya sebagai berikut : 1. Menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan. Hakikatnya, korupsi tipe kedua ini diterapkan pada seorang pegawai negeri oleh karena hanya pegawai negerilah yang dapat menyalahgunakan jabatan, kedudukan dari kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya. Menurut redaksional ketentuan Pasal 5 Undangundang Nomor 20 Tahun 2001 pengertian pegawai negeri meliputi : a) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang kepegawaian (i.c. Undang-undang Nomor 43 tahun 1999); b) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam kitab undang-undang hukum pidana (i.c. Pasal 92 KUHP); c) Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; d) Orang yang menerima gaji dari keuangan negara atau daerah; e) Orang yang menerima gaji atau upah dari koorporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat 2. Tujuan dari perbuatan tersebut menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi. Apabila ditinjau dari aspek pembuktian, maka elemen
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
“menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi”, dapat lebih mudah dibuktikan jaksa/penuntut umum karena unsur “menguntungkan” tidak memerlukan dimensi apakah tersangka/terdakwa tindak pidana korupsi menjadi kaya karenanya. Lain dengan aspek “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi” sebagaimana ketentuan Pasal 2 Undangundang Nomor 20 Tahun 2001, dimana relatif lebih sulit membuktikannya. Konkretnya, perbuatan “menguntungkan” ini membuat tersangka/terdakwa, orang lain/kroninya atau suatu koorporasi memperoleh aspek materiil maupun immaterial. Sifat “menguntungkan” ini dapat dilakukan dengan cara korupsi, kolusi dan nepotisme (Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999). c. Tindak Pidana Korupsi Bentuk Ketiga Pada asasnya, pengertian korupsi bentuk ketiga terdapat dalam ketentuan Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 merupakan pasal kitab undang-undang hukum pidana/KUHP kemudian ditarik menjadi tindak pidana korupsi. d. Tindak Pidana Korupsi Bentuk Keempat Pada dasarnya, pengertian korupsi bentuk keempat adalah bentuk korupsi percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat serta pemberian kesempatan, sarana atau keterangan terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh orang di luar wilayah Indonesia (Pasal 15 dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001). Konkretnya, perbuatan percobaan/poging sudah diintrodusir sebagai Tindak Pidana Korupsi oleh karena perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan atau kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi maka
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
percobaan melakukan tindak pidana korupsi dijadikan delik tersendiri dan dianggap selesai dilakukan. Demikian pula mengingat sifat dari tindak pidana korupsi meskipun masih merupakan tindakan persiapan sudah dapat dipidana penuh sebagai suatu tindak pidana tersendiri. Selanjutnya, identik pula dalam hal pemberian kesempatan, sarana, atau keterangan terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh orang luar di wilayah Indonesia dimana pemberian ”bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan” dalam ketentuan Pasal 16 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sedangkan tujuan pencantuman konteks ini adalah untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi yang bersifat transnasional atau lintas batas teritorial sehingga segala bentuk transfer keuangan/harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi antarnegara dapat dicegah secara optimal dan efektif. Selanjutnya, apabila dijabarkan ancaman pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korupsi tipe keempat adalah : 2. Ancaman Pidana Penjara berupa : 1. Pidana penjara seumur hidup/pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) (Pasal 12 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001); 2. Pidana penjara seumur hidup/pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) (Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001); 3. Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) (Pasal 11 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001); dan 4. Pidana penjara dan atau pidana denda sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. 3. Pidana Tambahan, dapat berupa : a. Perampasan barang bergerak yang terwujud atau tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barangbarang tersebut; b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harga benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi; c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun; dan d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana. e. Tindak Pidana Korupsi Bentuk Kelima Sebenarnya pengertian korupsi bentuk kelima ini bukanlah bersifat murni tindak pidana korupsi, tetapi tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
korupsi sebagaimana diatur dalam Bab III Pasal 21 sampai dengan Pasal 24 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. Apabila dijabarkan, hal-hal tersebut adalah : 1. Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau mengagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa, ataupun para saksi dalam perkara korupsi dipidana dengan penjara paling singkat 3 (tiga) tahun paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah); 2. Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 35, atau Pasal 36 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 yang dengan sengaja atau tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah); 3. Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 241, Pasal 422, Pasal 429 atau Pasal 430 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah); dan
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
4. Saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). 2. Pengertian Keuangan Daerah Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut. 4 Dalam upaya penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat, antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah tidak dapat dilakukan pemisahan dan merupakan kesatuan. Dalam otonomi daerah, masalahnya bukan hanya pelimpahan kewenangan dan pembiayaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, tetapi yang lebih penting adalah keinginan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya keuangan daerah untuk peningkatan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk itu semangat desentralisasi, demokratisasi, transparansi, dan akuntabilitas, menjadi sangat dominan dalam mewarnai proses penyelenggaraan pemerintahan pada umumnya dan proses pengelolaan keuangan daerah pada khususnya. 5 Pengaturan bidang akuntasi dan pelaporan dilakukan dalam rangka untuk menguatkan pilar akuntanbilitas dan transparansi. Dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang akuntabel dan transparan, pemerintah daerah wajib menyampaikan pertanggungjawaban berupa : (1) laporan realisasi anggaran; (2) 4
Ahmad Yani, Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002 ), hal. 347. 5 Ibid.
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
neraca; (3) laporan arus kas; dan (4) catatan laporan keuangan. Laporan keuangan dimaksud disusun sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan. Sebelum dilaporkan kepada mayarakat melalui DPRD, laporan keuangan perlu diperiksa terlebih dahulu oleh BPK.
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu research, yaitu yang berasal dari kata re (kembali) dan to search (mencari). 6 Pada dasarnya yang dicari itu adalah ”pengetahuan yang benar” untuk menjawab pertanyaan atau ketidaktahuan tertentu dengan menggunakan logika berfikir yang ditempuh melalui penalaran induktif, deduktif dan sistematis dalam penguraiannya. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan. Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah metode pendekatan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Dalam hubungan ini 6
Bambang Sungono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Raja Grafindo Indonesia, 2005), hal. 27.
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
dilakukan pengukuran dan analisis terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah melalui kajian undang-undang yakni Undangundang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 2. Sumber Data Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder untuk mendapatkan konsep teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan objek yang diteliti yang dapat berupa peraturan-perundangan dan karya ilmiah. Adapun data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. a. Bahan Hukum Primer. Sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini diantaranya adalah, yakni Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Kitab Undang-undang Hukum Perdata . b. Bahan Hukum Sekunder Bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti misalnya, rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, serta penelitian lain yang relevan dengan penulisan ini.
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
c. Bahan Hukum Tersier Bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berupa kamus umum, kamus hukum, ensiklopedia, majalah, surat kabar dan jurnal-jurnal hukum, laporan ilmiah yang akan dianalisa dengan tujuan untuk memahami lebih dalam penelitian. 3. Alat Pengumpulan Data Alat pengumpulan data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah studi dokumen dan bahan pustaka. Bahan pustaka yang dimaksud terdiri dari bahan hukum primer yatu peraturan perundangan-undangan, dokumen-dokumen dan teori yang berkaitan dengan penelitian ini. 4. Analisa Data Analisis data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian dalam rangka memberikan jawaban terhadap masalah yang diteliti. Sebelum analisis dilakukan, terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang ada untuk mengetahui validitasnya. Untuk selanjutnya diadakan pengelompokan terhadap data yang sejenis untuk kepentingan analisis dan penulisan. Sedangkan evaluasi dilakukan terhadap data dengan pendekatan kualitatif . Untuk selanjutnya data yang terkumpul dipilah-pilah dan diolah, kemudian dianalisis dan ditafsirkan secara logis dan sistematis dengan menggunakan metode induktif dan deduktif. Dengan metode ini kemudian diperoleh kesesuaian antara pelaksanaan kajian hukum terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah.
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
G. Sistematika Penulisan Adapun yang menjadi sistematika penulisan yakni : BAB I : PENDAHULUAN yang meliputi latar belakang, perumusan masalah, tujuan
dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, Tinjauan
Kepustakaan, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan. BAB II : ASPEK HUKUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH meliputi Sumber Keuangan Daerah dan Pengelolaan Keuangan Daerah, Kendala dalam Pengelolaan Keuangan Daerah. BABIII : PENYALAHGUNAAN WEWENANG DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI yakni : Kewenangan Kepala Daerah Hukum, Sumber Lahirnya Wewenang, Delik Penyalahgunaan Wewenang BABIV : PERTANGGUNGJAWABAN PENYALAHGUNAAN
PIDANA WEWENANG
DALAM PENGELOLAAN
KEUANGAN DAERAH meliputi Sanksi Yuridis Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Wewenang Pengelolaan Keuangan Daerah, Kasus Penyelewengan Pengelolaan Keuangan Daerah serta Analisis Kasus BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN meliputi Kesimpulan dan saran serta DAFTAR PUSTAKA
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
BAB II ASPEK HUKUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
A. Sumber Keuangan Daerah dan Pengelolaan Keuangan Daerah Tersedianya Sumber keuangan daerah merupakan faktor yang sangat penting untuk keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dapat dipandang suatu strategi yang memiliki tujuan ganda. Pertama, pemberian otonomi daerah merupakan strategi untuk merespons tuntutan masyarakat daerah terhadap tiga permasalahan utama, yaitu sharing of power, distribution of income, dan kemandirian sistem manajemen di daerah. Kedua, otonomi daerah dimaksudkan sebagai strategi untuk memperkuat perekonomian daerah dalam rangka memperkokoh perekonomian nasional untuk menghadapi era perdagangan bebas. 7 Kekuatiran beberapa daerah bisa dipahami, karena pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal membawa konsekuensi bagi Pemerintah daerah untuk lebih
mandiri baik dari sistem pembiayaan maupun dalam menentukan arah
pembangunan daerah sesuai dengan prioritas dan kepentingan masyarakat di daerah. 8 Atep Adya Barata dan Bambang Trihartonto memberikan beberapa alternatif Sumber keuangan daerah yang dapat digali yaitu meliputi pendapatan atau penerimaan yang terdiri dari Pendapatan Asli Daerah, Pendapatan dana Perimbangan, lain-lain pendapatan yang sah, dan Penerimaan Pembiayaan.
7
Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, (Yogyakarta : Andi, 2004), hal.
8
Ibid, hal. 107.
25.
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
20
1) Pendapatan Asli Daerah, terdiri dari : a. Pendapatan Pajak Daerah b. Pendapatan Restribusi Daerah c. Pendapatan Bagian Laba BUMD dan Investasi Lainnya d. Pendapatan Asli Daerah lain-lain 2) Pendapatan Dana Perimbangan, terdiri dari : a. Pendapatan Bagian Daerah Dari PBB dan BPHTB b. Pendapatan Daerah dari Pajak Penghasilan c. Pendapatan Bagian Daerah dari SDA d. Dana Alokasi Umum e. Dana Alokasi Khusus 3) Lain-lain Pendapatan yang sah, tediri dari : a. Pendapatan Hibah b. Pendapatan Dana Darurat c. Pendapatan lain-lain 4) Penerimaan Pembiayaan, terdiri dari : a. Sisa lebih perhitungan anggaran b. Penjualan aset daerah yang dipisahkan c. Penjualan investasi lainnya d. Pinjaman luar negeri e. Pinjaman dari Pemerintah Pusat f. Pinjaman dari otonomi lainnya g. Pinjaman dari BUMN/BUMD Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
h. Pinjaman dalam negeri lainnya. 9 Pasal 157 Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan Sumber Pendapatan Daerah terdiri atas : a. Pendapatan asli daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu : 1). Hasil pajak daerah; 2). Hasil retribusi daerah; 3). Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan ; dan 4). Lain-lain PAD yang sah ; b. Dana perimbangan; dan c. Lain-lain pendapatan daerah yang sah. Susunan penerimaan (pendapatan) sebagaimana tersebut di atas pada tiap-tiap daerah ada perbedaan tergantung kepada perkembangan, kebutuhan, kemampuan dan keadaan Pemerintah dalam merealisasikan jenis pendapatan tersebut. 10 Sedangkan Mekanisme Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk saat ini mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor. 903/2429/SJ Tahun 2002 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2006 dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Tahun Anggaran 2005. 11
9
Atep Adya Barata dan Bambang Trihartanto, Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara/ Daerah Berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, (Jakarta : Elex Media Komputindo, 2004), hal. 56-58. 10 Ibid. 11 Nur Basuki Minano, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah,( Yogyakarta : Laksbang Mediatama, 2008) hal. 111.
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
Pasal 29 PP Nomor 58 Tahun 2005 menentukan bahwa untuk penyusunan Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah berpedoman kepada RPJP Daerah dengan memperhatikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM Nasional) dan Standar Pelayanan Minimal yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.12 Adapun prioritas pembangunan tahun 2006 yang ditetapkan Pemerintah mencakup : 1. Penanggulangan kemiskinan dan kesenjangan. 2. Peningkatan kesempatan kerja, investasi dan eskpor. 3. Revitalisasi pertanian dan pedesaan. 4. Peningkatan aksesibilitas dan kualitas pendidikan dan kesehatan. 5. Penegakan hukum, pemberantasan korupsi, dan reformasi birokrasi. 6. Penguatan kemampuan pertahanan, pemantapan keamanan dan ketertiban serta mencegah munculnya konflik vertikal maupun horisontal. 7. Merehabilitasi dan merekontruksi daerah yang terkena bencana alam. 13 Mekanisme penyusunan APBD diatur dalam Pasal 180 UU Nomor 32 Tahun 2004 dijelaskan sebagai berikut : 2. Dalam rangka menyiapkan RAPBD, Pemerintah Daerah bersama-sama DPR menyusun arah dan kebijakan umum APBD dengan memperhatikan Rencana Pembangunan jangka Menengah Nasional (RPJM Nasional) dan Standar Pelayanan Minimal yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat;
12 13
Ibid, hal. 111. Lihat, Surat Edaran Mendagri No. 903/2429/SJ tanggal 21 Sepetember 2005.
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
3. Berdasarkan arah dan kebijakan umum tersebut, Pemerintah Daerah menyusun strategi dan prioritas APBD (Renstra dan skala prioritas); 4. Berdasarkan Renstra dan skala prioritas, Pemerintah Daerah
menyiapkan
RAPBD; 5. RAPBD diajukan oleh Kepala daerah untuk mendapatkan Persetujuan dari DPRD; 6. Apabila RAPBD tidak disetujui oleh DPRD, RAPBD perlu disempurnakan untuk diajukan kembali; 7. Setelah disempurnakan tetapi DPRD tetap tidak setuju, maka Pemerintah Daerah menggunakan APBD tahun sebelumnya. 14 Rancangan APBD yang telah disetujui, langkah berikutnya adalah Kepala Daerah(Gubernur/Walikota/Bupati) Gubernur/Peraturan
Bupati/Walikota
membuat tentang
Rancangan Penjabaran
Peraturan dari
APBD.
Gubernur/Bupati/Walikota sebelum menetapkan Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota dan Perda APBD dimuat dalam Lembaran Daerah, paling lambat 3 (tiga) hari APBD dan Rancangan Peraturan Gubernur disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi. Dalam waktu paling lama 15 (lima belas) hari Menteri Dalam Negeri untuk APBD Propinsi
dan
Rancangan
Kabupaten/Kotamadya
dan
Peraturan
Gubernur,
Gubernur
Peraturan
Bupati/Walikota,
untuk
menyampaian
APBD hasil
evaluasinya dengan parameternya pada kesesuaian dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dalam hal dinyatakan sudah sesuai maka Gubernur/Bupati/walikota dimuat dalam Lembaga Daerah. Sebaliknya jika 14
Nur Basuki Minarno, Op.cit., hal. 113.
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
hasil evaluasi dari Menteri Dalam Negeri atau Gubernur bahwa APBD maupun Rancangan Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota tersebut tidak sesuai dengan kepentingan umum dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang telah tinggi maka Gubernur/Bupati/Walikota dan DPRD menyempurnakannya kembali dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari. Jika Gubernur/Bupati/Walikota dan DPRD tidak menyempurnakan APBD tersebut dan Gubernur/Bupati/Walikota maka Menteri Dalam Negeri membatalkan APBD dan Peraturan Gubernur dan untuk ABPD dan Peraturan Bupati/Walikota tersebut dibatalkan oleh Gubernur. 15
B. Kendala Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah Terdapat 3 (tiga) aspek utama yang menjadi kendala dalam penyalahgunaan wewenang atau penyimpangan yang perlu dibangun dalam suatu sistem pengawasan, pengendalian dan pemeriksaan pengelolaan keuangan daerah. a. Sistem Pengawasan Pengelola Keuangan Daerah Pengawasan mengacu pada tindakan yang dilakukan oleh pihak luar (yaitu masyarakat dan DPRD) untuk mengawasi kinerja pemerintahan. Pengawasan DPRD dan masyarakat harus sudah dilakukan sejak tahap persiapan dan penyusunan APBD. Fungsi pengawasan DPRD dapat dilakukan dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, pelaporan APBD. Dalam tahap perencanaan, anggota DPRD akan mengetahui kehendak riil masyarakat yang nantinya dapat disusun skala prioritas kegiatan
apa yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah agar tercapai
kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.
15
Ibid, hal. 113.
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
Dalam proses penyusunan APBD yang sevisi dengan ”good financial governance” yang pertama-tama harus diperhatikan adalah membentuk APBD yang terasa demokratis dengan mengedepankan unsur peran serta masyarakat. Elemen masyarakat menjadi penting artinya dalam proses pembuatan APBD di samping Pemerintah Daerah dan DPRD dengan maksud untuk memperpanjang substansi APBD sebagai perwujudan dari amanah rakyat kepada Pemerintah Daerah dan DPRD dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kualitas pelayanannya terhadap masyarakat.16 Pengelolaan keuangan daerah yang modern secara yuridis harus dituangkan dalam perangkat peraturan hukum yang sesuai dengan prinsip-prinsip ”good financial governance” yang berupa keterbukaan (transparency) dan peran serta masyarakat (public participation).17 Penyerapan aspirasi masyarakat yang dilakukan oleh DPRD dalam tatanan implementasinya kadang-kadang menyimpang dari harapan dan yang lebih ekstrim aspirasi masyarakat tidak diperhatikan sama sekali. Bukti yang dapat diketengahkan kasus DPRD Sumatera Barat, DPRD Cirebon, dan masih banyak lagi. Anggaran APBD banyak tersedot untuk kepentingan dan kemakmuran untuk anggota DPRD dan kebutuhan pemerintahan daerah itu sendiri, tidak bertujuan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. 18
16
Soekarwo, Berbagai Permasalahan Keuangan Daerah, (Surabaya : Airlangga University Press, 2003), hal. 131. 17 Ibid. 18 Nur Basuki Minarno, Op.cit., hal. 148.
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
b. Sistem Pengendalian Pengelolaan Keuangan Daerah APBD ialah wujud pengelolaan keuangan daerah karena di dalam APBD di samping mencantumkan jumlah anggaran ditentukan pula tentang arah dan strategi pembangunan daerah yang berorientasi pada kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Kekuasaan pengelolaan keuangan daerah tersebut di atas : 1. dilaksanakan oleh kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku pejabat pengelola APBD; 2. dilaksanakan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah. Menurut Mardiasmo kegagalan pemerintah daerah dalam pengelolaan daerah pada masa lalu disebabkan : 1. pengeluaran belum berorientasi pada kinerja dan kepentingan publik; 2. pengeluaran daerah yang dilakukan berorientasi jangka pendek; 3. pemerintah daerah bersifat reaktif, tidak proaktif untuk mengeliminasi sumber pemborosan keuangan daerah; 4. tidak adanya pengetahuan yang memadai mengenai sifat biaya. 19 Mardiasmo memberikan pemecahan melalui perencanaan dan pengendalian aktivitas, yaitu dengan cara : 1.
pemilihan aktivitas. Strategi yang berbeda memerlukan aktivitas yang berbeda. Aktivitas yang berbeda akan menyebabkan biaya yang berbeda. Pemda
19
Mardiasmo, Op.cit., hal. 63-64.
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
hendaknya memilih strategi yang memerlukan biaya terendah untuk mencapai tujuan pemerintah daerah. 2.
pengurangan aktivitas. Pengurangan biaya dapat dicapai dengan mengurangi waktu dan sumber daya yang digunakan. 20 Pendekatan pengurangan aktivitas dimaksudkan untuk perbaikan efisiensi
dengan catatan aktivitas yang dikurangi ialah aktivitas yang tidak menambah nilai bagi kesejahteraan masyarakat (not-value-added activities). 21 Soekarwo memberikan analisis terhadap lemahnya pengendalian pengelolaan keuangan daerah disebabkan peranan DPRD sangat terbatas dan pengendalian dan pengawasan tertuju pada pertanggungjawaban finansial saja dan bukan kinerja pemerintah. 22 Badan Pengawas Daerah (Bawasda) mempunyai peranan yang sangat penting, karena Bawasda ini dibentuk untuk melakukan pengawasan (pengendalian) internal dalam pengelolaan keuangan daerah. Di internal pemerintah dibangun sistem pengendalian intern keuangan negara atau daerah, yang pada prinsipnya mencakup penyusunan administrasi keuangan negara atau daerah (mulai dari pembuatan neraca, arus kas, pelaporan, pertanggungjawaban, dll), namun dalam prakteknya, Itjen atau Bawasda tidak lagi sebagai pengawas (pengendali) internal pengelolaan keuangan daerah melainkan tertarik sebagai auditor (pemeriksa). Itjen maupun Bawasda dapat melakukan
20
Ibid, hal. 190-191. Ibid. 22 Soekarwo, Op.cit., hal. 64-65. 21
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
pemeriksaan atas penggunaan uang negara jika dianggap perlu, tetapi bukan merupakan tugas utama sebagai auditor. c. Sistem Pemeriksaan Pengelolaan Keuangan Daerah Lembaga pemeriksa dan pengawas pengelola keuangan daerah dilakukan oleh suatu lembaga yang berkompeten. Untuk lembaga pengawas (pengendalian) internal terdiri dari Inspektorat Jendral Departemen, Satuan Pengawas Intern (SPI) di lingkungan lembaga negara dan BUMN/BUMD, Badan Pengawas Daerah Propinsi (Bawasdaprop),
Badan
Pengawas
Daerah
Kabupaten/Kotamadya
(Bawasda
Kab/Bawasko), dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan audit eksternal (lembaga pemeriksa) adalah BPK, yang merupakan lembaga pemeriksa independen. Lembaga BPK bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang diwujudkan dengan penyampaian laporan kinerja BPK dalam setiap sidang tahunan MPR dan menyampaikan hasil pemeriksaannya kepada Lembaga Perwakilan (DPR), untuk pengelola keuangan daerah kepada DPRD. Sedang lembaga pengawas (pengendalian) internal bertanggung jawab kepada Pemerintah, BPKP bertanggung jawab kepada Presiden, Itjen bertanggung jawab kepada Menteri, Bawasda bertanggung jawab kepada Gubernur atau Bupati/Walikota. Ruang lingkup pemeriksaan BPK diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 15 tahun 2004 dinyatakan bahwa : ”Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh BPK meliputi seluruh unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang–undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.”
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
Sementara itu keuangan negara meliputi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU Nomor 17 Tahun 2003 ialah : (a). Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman; (b). Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga; (c). Penerimaan negara; (d). Pengeluaran negara; (e). Penerimaan daerah; (f).
Pengeluaran daerah;
(g). Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak–hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah; (h). Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; (i).
Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.
Ada beberapa pengelolaan keuangan negara lembaga pemeriksa tidak dilakukan BPK, tetapi oleh audit dari Akuntan Publik. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 3 ayat (2) UU Nomor 15 Tahun 2004 yaitu : ”Dalam hal pemeriksaan dilaksanakan oleh Akuntan Publik berdasarkan ketentuan undang–undang, Laporan Hasil Pemeriksaan tersebut wajib disampaikan kepada BPK dan dipublikasikan”. Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
Auditor dari Akuntan Publik memeriksa pengelolaan keuangan negara (bukan kewenangan BPK) terhadap : 1. Kekayaan BUMN/BUMD yang tercatat dalam Pasar Modal Hal tersebut didasarkan pada : a. Pasal 2 huruf g Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 : Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan
uang,
termasuk
kekayaan
yang
dipisahkan
pada
perusahaan
negara/perusahaan daerah. b. Pasal 71 ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara : Badan Pemeriksa Keuangan berwenang melakukan BUMN
pemeriksaan
terhada
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal menentukan : untuk memenuhi prinsip keterbukaan dalam Pasar Modal setiap perusahaan yang terdaftar di Pasar Modal wajib menyerahkan laporan keuangan yang sudah diperiksa oleh Akuntan Publik yang terdaftar di Bapepam. 2. Yayasan Milik Negara Pasal 52 ayat (3) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan menyatakan : ”Yayasan yang memperoleh bantuan Negara wajib di audit oleh akuntan publik”. Auditing yang dilakukan oleh BPK dengan Akuntan Publik menggunakan standar berbeda. BPK menggunakan Standar Audit Pemerintah (SAP), sedangkan dalam audit oleh Akuntan Publik menggunakan Standar Pofessional Akuntan Publik
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
(SPAP). Perbedaan tolak ukur (asersi) yang mendasar antara SAP dengan SPAP adalah asersi ketaatan kepada peraturan perundang-undangan sesuai dengan SAP, hal itu tidak dijumpai pada SPAP. Pemeriksaan Keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Pemeriksaan ini dilakukan dalam rangka memberikan pernyataan opini tentang tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah. Pemeriksaan Kinerja adalah pemeriksaan atas aspek ekonomi dan efisiensi, serta pemeriksaan atas aspek efektivitas yang lazim dilakukan bagi kepentingan manajemen oleh aparat pengawas intern pemerintah. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Laporan hasil pemeriksaan oleh BPK berdasarkan Pasal 16 UU Nomor 15 tahun 2004 meliputi : 1. laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah memuat opini. 2. laporan hasil pemeriksaan atas kinerja memuat temuan, kesimpulan, dan rekomendasi. 3. laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu memuat kesimpulan. 4. tanggapan pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas temuan, kesimpulan, dan rekomendasi pemeriksa, dimuat atau dilampirkan pada laporan hasil pemeriksaan. Pemeriksaan yang dilakukan oleh lembaga pemeriksa atas pengelola keuangan daerah (APBD) menurut PP Nomor 58 Tahun 2005, UU Nomor 17 Tahun Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
2003, UU Nomor 32 Tahun 2004, serta PP Nomor 37 Tahun 2005 meliputi pengelolaan keuangan daerah yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD. Kewenangan Lembaga Pemeriksa BPK dalam kaitannya dengan pengelolaan keuangan daerah dapat dilihat dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 17 ayat (2) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara. Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 dinyatakan : Gubernur/Bupati/Walikota menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan, selambat–lambatnya 6 (enam) setelah tahun anggaran berakhir. Pasal 31 ayat (2) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 dinyatakan : laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah daerah disampaikan oleh BPK kepada DPRD selambat–lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari pemerintahan daerah. Keberadaan audit internal yang berlapis–lapis dan berjenjang tersebut menimbulkan tumpang tindih pemeriksaan baik di antara audit internal sendiri maupun antara audit internal dengan BPK. 1. audit internal dan BPK memiliki tugas dan wewenang untuk melakukan pemeriksaan tanggung jawab keuangan negara/daerah atas kegiatan instansi (auditan) dengan sasaran dan atau ruang lingkup pemeriksaan yang relatif sama;
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
2. koordinasi antara audit internal dan BPK relatif sulit dilakukan dan walaupun dilakukan koordinasi untuk menghindari tumpang tindih, akan membatasi pelaksanaan masing–masing; 3. hasil pemeriksaan audit internal tidak dapat saling dimanfaatkan baik oleh masing–masing audit internal, maupun oleh BPK. Mardiasmo menyatakan bahwa ada beberapa kelemahan dalam melakukan audit pemerintah. Kelemahan yang pertama bersifat inherent, sedangkan kelemahan kedua bersifat struktural. Kelemahan pertama terkait dengan tidak tersedianya indikator kinerja dan belum tersedianya Standar Akuntansi Keuangan Pemerintah yang baku. Kelemahan kedua, banyaknya lembaga pemeriksa fungsional yang overlapping satu dengan yang lain. 23
23
Mardiasmo, Op.cit., hal. 216-217.
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
BAB III PENYALAHGUNAAN WEWENANG DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Kewenangan Kepala Daerah Pemerintah daerah yang dimaksud adalah sebagai berikut : 1. Pemerintahan daerah provinsi terdiri atas pemerintah daerah provinsi dan DPRD Provinsi. 2. Pemerintah
daerah
kabupaten/kota
terdiri
atas
pemerintah
daerah
kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota. Pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota terdiri atas kepala daerah dan perangkat daerah. 24 Kepala Daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah (Pasal 5 PP Nomor 58 Tahun 2005). Kepala daerah sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dapat melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaan kepada aparat yang ada di bawahnya, hal tersebut diatur dalam Pasal 156 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang dinyatakan sebagai berikut : (1) Kepala Daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah. (2) Dalam melaksanakan kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Kepala Daerah melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaannya yang berupa perencanaan,
pelaksanaan,
penatausahaan,
pelaporan
24
dan
HAW. Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005 ), hal. 155. Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
35
pertanggungjawaban, serta pengawasan keuangan daerah kepada pejabat perangkat daerah (3) Pelimpahan sebagian atau seluruh kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
di
daerah
pada
prinsip
pemisahan
kewenangan
antara
yang
memerintahkan, menguji, dan yang menerima mengeluarkan uang. 25 Kepala Daerah menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan paling lambat enam bulan setelah tahun anggaran berakhir. 26 Pelimpahan kekuasaan tersebut dimaksudkan jangan sampai terjadi kekuasaan menumpuk pada Kepala Daerah saja yang mengakibatkan beban yang begitu berat pada Kepala Daerah, dan yang lebih penting dari itu adalah untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan wewenang dan sewenang-wenang. RAPBD yang telah mendapatkan persetujuan oleh DPRD harus ditindak lanjuti oleh Kepala Daerah dengan mengeluarkan Keputusan Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) sebagai pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah yang telah ditetapkan dalam APBD. Pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah oleh Kepala Daerah diatur dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan Negara jo. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jo. PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
25 26
Nur Basuki Minarno, Op.cit., hal. 128. Ahmad Yani, Op.cit., hal. 409.
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD diatur dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 jo. Pasal 184 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 jo. Pasal 100 PP Nomor 58 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa : ”Gubernur/Bupati/Walikota menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan, selambatlambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir ”. Berdasarkan surat Edaran Mendagri Nomor 903/2429/SJ tanggal 21 September 2005 ditentukan batas waktu penetapan Raperda Perhitungan APBD menjadi Perda Perhitungan APBD untuk tahun anggaran 2005 masih tetap mengacu pasal 92 ayat (2) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah Serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yaitu 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Mekanisme dan sistem pelaporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD pada periode berlakunnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 memasuki paradigma baru, berbeda dengan pada saat berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 jo. PP Nomor 108 Tahun 2000. Paradigma baru tersebut terkait dengan pemilihan kepala daerah secara langsung ,yang tidak lagi diangkat dan diberhentikan oleh DPRD, dan oleh karenanya laporan pertanggungjawaban keuangan daerah sifatnya terbuka untuk masyarakat (Pasal 27 ayat (2) Undang-
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
undang Nomor 32 Tahun 2004) dan DPRD tidak dapat memberhentikan Kepala Daerah kalau tidak ada alasan Kepala Daerah melakukan tindak pidana (Pasal 30 sampai dengan Pasal 32 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004). Laporan pertanggungjawaban Kepala Daerah menyangkut 2 (dua ) hal : pertama, menyampaikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada pemerintah serta menginformasikan kepada masyarakat
(Pasal 27 ayat (2)
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004), kedua, menyampaikan laporan Raperda tentang Pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh BPK paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir (Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 jo. Pasal 184 ayat (1) Undang-undang UU Nomor 32 tahun 2004 . Laporan penyelenggaraan pemerintah daerah oleh Gubernur disampaikan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri, kepada Menteri Dalam Negeri melalui
Gubernur
untuk
laporan
penyelenggaraan
pemerintah
daerah
kebupaten/kotamadya. Format laporan penyelenggaraan pemerintah daerah diatur dalam Surat Mendagri Nomor 120/1306/SJ tanggal 7 Juni 2005 perihal Penyampaian Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah dan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan daerah.
B. Sumber Lahirnya Wewenang Istilah wewenang atau kewenangan disejajarkan dengan ”authority ” dalam bahasa Inggris dan ”bevoegdheid ” dalam bahasa Belanda. Authority dalam Black’s Law Dictionary diartikan sebagai Legal power ; a right to command or act ;the right and power of public officers to require obedience to their orders
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
lawfully issued in scope of their public duties
27
(kewenangan atau wewenang
adalah kekuasaan hukum, hak untuk memerintahkan atau bertindak; hak atau kekuasaan pejabat publik untuk mematuhi aturan hukum dalam lingkup melaksanakan kewajiban publik). “Bevoegdheid“ dalam istilah Hukum Belanda, Phillipus M. Hadjon memberikan catatan berkaitan dengan penggunaan istilah “wewenang“ dan “bevoegdheid“ digunakan dalam konsep hukum privat dan hukum publik, sedangkan “wewenang“ selalu digunakan dalam konsep hukum publik. 28 Wewenang sebagai konsep hukum publik sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) komponen, yaitu : b. Pengaruh c. Dasar hukum d. Konformitas hukum Komponen pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subjek hukum. Komponen dasar hukum bahwa wewenang selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya. Komponen konformitas mengandung makna adanya standar wewenang yaitu standar umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu ). 29 Sejalan dengan pilar utama negara hukum yaitu asas legalitas, atas dasar prinsip tersebut bahwa wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundangundangan. Dalam kepustakaan hukum administrasi terdapat 2 (dua) cara untuk memperoleh wewenang pemerintahan yaitu atribusi dan delegasi; kadang-kadang 27
Henry Campbell Black, Black’ s Law Dictionary, (West Publishing, 1990), hal. 133. Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, ( Jakarta : Yuridika, 1997 ), hal. 1. 29 Ibid, hal. 1-2. 28
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
juga, mandat, ditempatkan sebagai cara tersendiri untuk memperoleh wewenang . 30 Suatu atribusi kepada kewenangan yang asli atas ketentuan hukum tata negara. Atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti materiil. Rumusan lain mengatakan bahwa atribusi merupakan pembentukan wewenang tertentu dan pemberiannya kepada organ tertentu. Yang dapat membentuk wewenang adalah organ yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan. 31 Indroharto mengatakan bahwa atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundangundangan. Disini dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang baru. Lebih lanjut disebutkan bahwa legislator yang kompeten untuk memberikan atribusi wewenang pemerintahan dibedakan antara : a.
Berkedudukan sebagai original legislator; di negara kita di tingkat pusat adalah MPR sebagai pembentuk konstitusi dan DPR bersama-sama pemerintah sebagai yang melahirkan suatu undang-undang, dan di tingkat daerah adalah DPRD dan pemda yang melahirkan Peraturan Daerah;
b. Bertindak sebagai delegated legislator; seperti presiden yang berdasar pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan peraturan pemerintah di mana diciptakan wewenang-wewenang pemerintahan kepada badan atau jabatan tata usaha negara tertentu. 32
30
Philipus M. Hadjon, Op.cit., hal. 1. Ibid. 32 Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta : Sinar Harapan, 1993), hal. 91. 31
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
C. Bentuk-bentuk Penyalahgunaan Wewenang Kepala Daerah Dalam pengelolaan keuangan daerah Kepala Daerah sebagai Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah mendelegasikan sebagian atau seluruhnya kepada Sekretaris Daerah dan atau perangkat pengelola keuangan daerah. Penetapan pendelegasian wewenang kepada perangkat pengelola keuangan daerah tersebut dengan Surat Keputusan Kepala Daerah. Penetapan tersebut merupakan salah satu syarat pelaksanaan anggaran. Pelimpahan wewenang dari Kepala Daerah kepada Sekretaris Daerah atau Perangkat Pengelola Keuangan Daerah, apakah dalam konsep delegasi? Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah tidak delegasi karena dalam konsep pelimpahan wewenang dengan cara delegasi tidak diperuntukkan pelimpahan wewenang dari atasan ke bawahan. Sekretaris Daerah dan Perangkat Pengelola Keuangan Daerah secara hirarki sebagai bawahan dari Kepala Daerah. Tidak dalam konsep delegasi pelimpahan wewenang Kepala Daerah kepada Perangkat Pengelola Keuangan Daerah, pertanyaan yang muncul bekaitan dengan siapa yang bertanggung jawab secara hukum dalam hal terjadi perbuatan melanggar hukum (”melawan hukum” atau ”penyalahgunaan wewenang”) yang berakibat kerugian pada keuangan atau perekonomian daerah (korupsi)? 33 Contoh kasus yang dapat dikemukan sebagai berikut : Pengguna Anggaran (Kepala Dinas) pada Dinas Kebersihan akan melakukan pembelian alat pengelohan sampah. Kepala Dinas (Kadis) tersebut menunjuk salah satu Kepala Seksi sebagai Kuasa Pengguna Anggaran. Atas dasar pelimpahan wewenang, 33
Nur Basuki Minarno, Op.Cit, hal. 77.
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
selanjutnya Kepala Seksi membentuk Panitia Lelang (Panitia Tender), Panitia lelang dan kepala Seksi yang telah ditunjuk tersebut tidak melaksanakan lelang sesuai dengan wewenang yang dilimpahkan kepada melainkan dengan cara melakukan penunjukkan langsung (PL) dengan tujuan untuk memenangkan rekanan tertentu, dengan cara seperti itu berakibat merugikan keuangan negara. In casu siapa saja yang dapat dimintai pertanggungjawaban? Pelimpahan wewenang dari Kepala Daerah kepada Kepala Dinas, Kepala Dinas kepada Kepala Seksi, Kepala Seksi kepada Panitia Lelang tidak pelimpahan wewenang dalam konsep delegasi, lebih menyerupai dekonsentrasi (pelimpahan wewenang pusat kepada daerah). Terkait dengan kasus posisi tersebut untuk menjawab siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban menurut hukum pidana adalah delegatoris (penerima pelimpahan wewenang), meskipun konsep delegasi dalam peraturan perundang-undangan tersebut keliru. 34 Pendapat tersebut didasarkan kepada suatu argumen legalistik formal, seperti yang tertuang dalam Pasal 55 PP Nomor 58 Tahun 2005 dengan dinyatakan ”delegasi”, dan juga tidak kalah pentingnya ditelaah secara teliti atas Surat keputusan Kepala Daerah sebagai sumber pelimpahan wewenang tersebut. Di samping itu, dalam hukum pidana menganut prinsip ”personal responsibility”, tanggung jawab pidana adalah tanggung jawab pribadi. Bentuk- bentuk penyalahgunaan wewenang yang dilakukan
Kepala
Daerah dalam tindak pidana korupsi :
34
Lihat Pasal 5 Peraturan pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dinyatakan”……Kepala Daerah mendelegasikan sebagian tau seluruhnya kewenangan kepada Sekretaris Daerah dan atau Perangkat Pengelola Keuangan Daerah….”
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
1. Tidak Melaksanakan Asas Spesialitas Asas spesialitas sudah diadopsi dalam hukum positif, hal tersebut dapat dilihat dalam dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara perlu menjabarkan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar tersebut ke dalam asas-asas telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan dan asas spesialitas . Konkritisasi asas spesialistas tersebut terlihat dalam Pasal 35 Undangundang Nomor 17 tahun 2003 yang dinyatakan : a. Setiap pejabat negara dan pegawai negeri bukan bendahara yang melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya baik langsung atau kerugian dimaksud. b. Setiap orang yang diberi tugas menerima, menyimpan, membayar, dan/atau menyerahkan uang atau surat berharga atau barang-barang negara adalah bendahara yang wajib menyampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan. c. Setiap bendahara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian keuangan negara yang berada dalam pengurusannya. d. Ketentuan mengenai penyelesaian kerugian negara diatur dalam undangundang mengenai perbendaharan negara.
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
Asas spesialitas (specialialiteitsbeginsel) oleh Tatiek Sri Djatmiati menertejemahkan dalam bahasa kuasa hukum Indonesia, asas tujuan. 35 Dalam hal ini bahayanya adalah bahwa terdapat pertentangan antara berbagai peraturan tersebut. Dalam penggunaan wewenang pemerintah harus mempertimbangan kepentingan yang terkait yang ditetapkan oleh peraturan undang-undang. Jika ketentuan tujuan itu tidak ada maka akan lahirlah suatu keadaan bahwa berdasarkan peraturan tertentu sebuah tingkah laku tersebut harus dilarang.
Dalam
kondisi
seperti
ini
pengambilan
keputusan
dengan
mempertimbangkan kepentingan yang lain, maka asas legalitas menjadi tidak bernilai, karena pemerintah bertindak di luar ketentuan perundang-undangan yang menjadi landasan dasarnya; selain itu, akan muncul bahaya yaitu pemerintah menggunakan wewenang untuk tujuan yang berarti adanya penyalahgunaan wewenang (”detounement de pouvoir”). 2. Tidak Melaksanakan Asas Spesialitas Kaitannya dengan Asas Legalitas Pemerintah hanya dapat melakukan perbuatan hukum jika memiliki legalitas atau didasarkan pada undang-undang yang merupakan perwujudan aspirasi warga negara. Dalam negara demokrasi, tindakan pemerintah harus mendapatkan legitimasi dari rakyat yang secara formal tertuang dalam undangundang. Asas legalitas merupakan dasar bagi kepentingan pemerintah untuk bertindak dalam mencapai tujuan tertentu. Pemberian wewenang kepada pemerintah diberikan dengan sarana peraturan perundang-undangan. 36 35
Tatiek Sri Djatmiati, Prinsip Izin Usaha Industri di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana, Unair, 2004, hal. 108.
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
Asas legalitas asalnya dari kata Lex (undang-undang). Asas legalitas di dalam hukum pidana, artinya seseorang hanya dapat dipidana berdasarkan ketentuan legislasi. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, produk legislasi adalah undang-undang dan Peraturan Daerah. Asas tersebut saat ini ditetapkan dalam Pasal 14 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 14 Undang-undang No. 10 Tahun 2004 menentukan : Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam undang-undang dan Peraturan Daerah. 37 3. Tidak Melaksanakan Asas Spesialitas Kaitannya dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik Asas-asas Umum Penyelenggaraan Negara dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme meliput i : 1. Asas Kepastian Hukum; 2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara; 3. Asas Kepentingan Umum; 4. Asas Keterbukaan; 5. Asas Proposionalitas; 6. Asas Profesionalitas; dan 7. Asas Akuntabilitas. Dalam perkembangannya Asas-asas Umum Penyelenggaraan Negara dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara 36 37
Nur Basuki Minarno, Op.Cit, hal 83 Ibid, hal.83
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme tersebut diakui dan diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintah hal tersebut terlihat dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai berikut : “Penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada Asas Umum Penyelenggara Negara yang terdiri atas : asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggara negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proposionalitas, asas akuntabilitas, asas efisiensi, dan asas efektivitas “. 38 Sedangkan penerapan asas-asas yang ada pada Pasal 3 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 ke dalam praktek peradilan di PTUN dapat terlihat dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN yang disebutkan : ”Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengana asas-asas umum pemerintahan yang baik” dan dalam penjelasannya disebutkan : ”Yang dimaksud dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah yang meliputi asas
kepastian
hukum,
tertib
penyelenggaraan
negara,
keterbukaan,
proposionalitas, profesionalitas dan akuntabilitas, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme “. 39
D. Delik Penyalahgunaan Wewenang Delik penyalahgunaan wewenang dalam tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 3 UU PTPK, yang dinyatakan sebagai berikut: ”Setiap orang yang dengan
38 39
Ibid,hal. 91. Ibid.
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Pasal 3 Undang-undang PTPK dapat diuraikan unsur-unsur deliknya adalah sebagai berikut : a. dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; b. menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan ; c. yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Unsur yang khas dari tindak pidana korupsi dibandingkan dengan KUHP yaitu; ”memperkaya atau menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan jabatan atau kedudukan dan merugikan keuangan negara”. Ad.a. Unsur ”dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi”. Unsur subjektif yang melekat pada batin si pembuat menurut Pasal 3 Undang-undang PTPK ini merupakan tujuan si pembuat dalam melakukan perbuatan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
padanya karena jabatan atau kedudukan yakni untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Sehubungan dengan perumusan”dengan tujuan menguntungkan .....” yang ditentukan dalam pasal 3 Undang-undang PTPK, Andi Hamzah berpendapat bahwa rumusan tersebut dimaksudkan mempermudah dalam segi pembuktiannya, bila dibandingkan ”memperkaya diri sendiri......” seperti yang tercantum dalam pasal 2 Undang-undang PTPK (ex Pasal 1 ayat (1) sub a Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971). 40 Dari segi bentuk kesalahan (schuld) perlu dipertanyakan apakah rumusan “dengan tujuan menguntungkan…….” sebagai kesengajaan (dolus/opzet)atau kealpaan (culpa)? Dari rumusan kesalahan (schuld) tersebut diatas adalah kesalahan dalam bentuk kesengajaan (opzetteijk/dolus), tidak dalam bentuk ketidaksengajaan (culpa). 41 Dalam hukum positif Indonesia tidak satupun memberikan definisi tentang kesengajaan. Definisi kesengajaan yang tepat dapat dijumpai dalam Wetboek van Strafrech 1809, yaitu : ”kesengajaan adalah kehendak untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diharuskan oleh undangundang”. 42 Ad.b. Unsur ”menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena kedudukan atau jabatan”.
40
Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1991), hal. 103-104. 41 Nur Basuki Minarno, Op.cit., hal. 26-27. 42 Van Hantum dalam J.E Sahetapy, (editor penerjemah), Hukum Pidana, (Yogyakarta : Liberty, 1995), hal. 87.
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
Dalam Pasal 3 Undang-undang PTPK dinyatakan : ”Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
wewenang,
kesempatan,
atau
sarana
yang
ada
atau
perekonomian negara, dipidana dengan Pidana seumur hidup atau Pidana Penjara paling singkat I (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupia )”. Penyalahgunaan wewenang dimasukkan sebagai bagian inti delik (berstanddeel delict) tindak pidana korupsi sejak Peraturan Penguasa Militer tahun 1957 sampai sekarang. 43 Hanya saja dalam peraturan atau undang-undang yang pernah berlaku tersebut tidak sekalipun memberikan penjelasan yang memadai. Tidak adanya penjelasan tentang penyalahgunaan wewenang dalam peraturan atau undang-undang akan membawa implikasi interpretasi yang beragam. Hal tersebut sangat berbeda sekali dengan penjelasan tentang ”melawan hukum” (”wederrechtelijkheid ”) yang dirasakan sudah cukup memadai, meskipun demikian dalam penerapannya masih ”debatebl ”. 44 Di dalam referensi hukum sering dijumpai penggunaan istilah ”melawan hukum” (”wederrechtelijkheid”) dan ”melanggar hukum” (”onrechtmatige daad”). Penggunaan dua istilah tersebut sering kali dipertukarkan. Istilah ”melanggar hukum” lazim dipergunakan dalam ranah hukum perdata, sedangkan ”melawan hukum” lazim dipergunakan dalam ranah hukum pidana. Dalam hukum pidana unsur ” melawan hukum ”dibatasi daya berlakunya oleh” Asas Legalitas” 43
Hermien Hadiati Koeswadji, Korupsi di Indonesia dari delik Jabatan ke Tindak Pidana Korupsi, ( Bandung : Citra Aditya Bakti, 1994 ), hal. 46. 44 Nur Basuki Minarno, Op.cit., hal. 32.
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
(Pasal 1 ayat (1) KUHP), sedangkan ”melanggar hukum” mempunyai cakupan yang lebih luas, tidak hanya terbatas pada ”written law” tetapi juga ”unwritten law” / ”he living law”. Sementara itu dalam undang-undang PTPK pengertian unsur melawan hukum meliputi formil dan materil, yang identik dengan pengertian ”onrechtmatige daad ”. 45 Komariah
Emong
Sapardjaja
menyatakan
onrechtma-tigheid
atau
wederrechtelijkheid atau unlawfulness dapat diterjemahkan sifat melawan hukum Rutten, perubahan BW pada tahun 1824 perkataan ”wederrechtelijk” diubah ke dalam perkataan onrechtmatigheid”. 46 Barda Nawawi Arief melakukan identifikasi adanya pemahaman sifat melawan hukum materil. Pandangan Pertama melihat makna materil dari sifat/hakikat perbuatan terlarang dalam undang-undang, untuk pandangan kedua, makna atau pengertian Sifat Melawan Hukum Formal dan Sifat Melawan Hukum Materil sebagai berikut : a. Sifat Melawan Hukum Formal : identik dengan melawan/ bertentangan dengan undang-undang atau kepentingan hukum (perbuatan maupun akibat) yang disebut dalam undang-undang (hukum tertulis atau sumber hukum formal). Jadi ”hukum” diartikan sama dengan undang-undang (”wet”). Oleh karena itu SMH formal identik dengan ”onwetmatige daad” b. Sifat Melawan Hukum Materil : identik dengan melawan/bertentangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup (unwritten law/the living law),
45
Ibid, hal. 33. Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil Dalam Hukum Pidana Indonesia, Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya Dalam Yurisprudensi, (Bandung : Alumni, 2002 ), hal. 90-91. 46
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
bertentangan dengan asas-asas kepatutan atau nilai-nilai (dan norma) kehidupan sosial dalam masyarakat (termasuk tata susila dan hukum kebiasaan/adat). Jadi singkatnya, ”hukum” tidak dimaknai secara karena itu SMH Materil identik dengan ”onrechtmatige daad ”. 47 Lebih lanjut Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa : ”Dilihat dari latar belakang historis, sosiologis, substansial, dan ide dasar yang terkandung dalam ”Penjelasan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999”, SMH Materil dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tidak hanya tertuju pada tindak Pidana korupsi dalam Pasal 2 (yaitu ”memperkaya diri sendiri, orang lain, korporasi”), tetapi juga terhadap tindak Pidana dalam Pasal 3 (yaitu ”menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan”)”. 48 Dari pendapat Andi Hamzah, Komariah Emong Sapardajaja, dan Bardi Nawawi Arief dapat disimpulkan bahwa ”melawan hukum” (”wederrechtelijk”) dan ”melanggar hukum ”(onrechtmatigheid”) tidak perlu lagi dicari perbedaan. Lebih khusus lagi terkait dengan pendapat Bardi Nawawi Arief, hal yang sama dikemukakan oleh Pompe, bahwa ”onwetmatige daad”
identik dengan
”materielle wederrechtelijkheid ”. 49
47
Barda Nanawi Arief, Konsepsi Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana, Makalah Disampaikan Pada Seminar Nasional Aspek Pertanggungjawaban Pidana Dalam Kebijakan Publik Dari Tindak Pidana Korupsi, Semarang, 6-7 Mei 2004, hal. 2-4. 48 Ibid, hal. 17-18. 49 Pompe dalam Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 125’
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
Penyalahgunaan
wewenang
merupakan
salah
satu
bentuk
dari
”onrechtmatige daad”. Penyalahgunaan wewenang merupakan ”species” dari ”genus” nya ”onrechtmatige daad ”. 50 Hermien Hadiati Koeswadji misalnya, secara implisit mengggambarkan kondisi bagaimana penyalahgunaan wewenang dilakukan, tanpa memberikan difinisi konsep penyalahgunaan wewenang. Adapun contoh yang dikemukakan sebagai berikut : Yaitu misalnya pegawai kas negara yang memotong uang rapelan para pensiunan. Atau misalnya contoh lain, seorang Pemimpin/Pejabat struktural yang mendirikan sebuah NV atau CV, NV atau CV itu memborong bangunan atau fasilitas lain dalam bentuk Proyek kegiatan yang menggunakan biaya negara dalam rangka pembangunan suatu Proyek (Pabrik, jalan, bendungan, dan lain-lain). 51 Dari contoh yang dikemukakan Hermien Hadiati Koeswadji dapat diajukan pernyataan yaitu : Apakah ”memotong uang rapelan” dan ”pejabat mendirikan CV atau NV untuk mengerjakan proyek yang dibiayai Pemerintah yang
ada
di
bawah
kewenangannya”
dapat
diklasifikasikan
sebagai
penyalahgunaan wewenang atau tindakan sewenang-wenang? 52 Tindakan sewenang-wenang dalam hal ”memotong uang rapelan” dapat sekaligus melakukan penyalahgunaan wewenang jika ”memotong uang rapelan” tersebut digunakan untuk kepentingan dirinya. 53
50
Nur Basuki Minarno, Op.cit., hal. 35. Harmien Hadiati Koeswadji, Op.cit., hal. 44. 52 Nur Basuki Op.cit., hal. 37. 53 Ibid. 51
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
Selanjutnya Darwan Prinst mengartikan kewenangan sebagai kekuasaan atau hak sehingga penyalahgunaan wewenang adalah penyalahgunaan kekuasaan atau penyalahgunaan hak. Selanjutnya dikatakan, menyalahgunakan kesempatan berarti menyalahgunakan waktu yang ada padanya dalam kedudukan atau jabatannya itu. Sementara menyalahgunakan sarana berarti menyalahgunakan alat-alat atau perlengkapan yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan itu. 54 Leden Marpaung memberikan pengertian menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan adalah bahwa yang bersangkutan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hak dan kewajibannya. Selanjutnya untuk menggambarkan apa yang dimaksud, yang bersangkutan memberikan contoh : - A diwajibkan melaksanakan suatu pekerjaan. Ternyata pekerjaan baru selesai 40% telah dinyatakan selesai 100%. - B ditugaskan membeli 100 mesin baru. Ternyata yang dibeli 100 mesin bekas. 55 Contoh yang telah diberikan oleh Leden Marpaung terlalu sumir karena A dan B tidak jelas kapasitas sebagai pejabat atau tidak. Jika subyeknya adalah pejabat
maka perbuatan tersebut
dapat
diklasifikasikan penyalahgunaan
wewenang, sebaliknya kalau subyeknya bukan pejabat masuk dalam klasifikasi perbuatan melawan hukum. 56
54
Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 34. 55 Leden Marpaung,Tindak Pidana Korupsi Pemberantasan dan Pencegahan, (Jakarta : Djambatan, 2004), hal. 45. 56 Nurbasuki Minarno, Op.cit., hal. 39.
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
Pemberian wewenang kepada pejabat akan melahirkan hak dan kewajiban untuk mencapai tujuan dan maksud yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Penyimpangan terhadap maksud dan tujuan yang telah ditentukan dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang. Berbeda halnya dengan Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP, uitlokking (membujuk melakukan) disyaratkan antarayang menyalahgunakan kekuasaan (misbruik van gezag) dan orang yang dipancing (uigelokte) ada hubungan atasan dengan bawahan, termasuk yang swasta. Bagaimana dengan kedudukan Direktur Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)? Indroharto menyatakan bahwa ”direksi BUMN dan BUMD dimasukkan sebagai ”instansi Pemerintah”. 57 Sependapat dengan pendapat dari Arifin yang menyatakan bahwa : ”BUMN/BUMD itu merupakan badan hukum perdata yang tidak mempunyai kewenangan publik. Kekayaan negara dan daerah yang menjadi modal dalam bentuk saham dari badan usaha tersebut tidak lagi merupakan kekayaan negara atau daerah, tetapi telah berubah status hukumnya menjadi kekayaan badan usaha tersebut. Demikian pula kedudukan hukum pejabat Pemerintah yang duduk sebagai pemegang saham atau komisaris sama atau setara dengan kedudukan hukum masyarakat biasa atau pemegang saham swasta yang lainnya. Imunitas publiknya sebagai penguasa tidak berlaku lagi, dan kepadanya tunduk dan berlaku sepenuhnya hukum privat, meskipun saham perusahaan tersebut seratus persen milik negara”. 58
57
Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta : Sinar Harapan, 1993 ), hal. 135. 58 Arifin P. Soeriaatmadja dalam Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006 ), hal. 87-88.
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
Dalam hal Pemerintah bertindak dalam lapangan keperdataan dan tunduk pada peraturan hukum perdata, Pemerintah bertindak sebagai wakil dari badan hukum, bukan wakil dari jabatan. Sangatlah tepat Surat Dakwaan Penuntut Umum dalam perkara dengan terdakwa Neloe dan kawan-kawan (Direksi Bank Mandiri) menggunakan dakwaan Pasal 2 Undang-undang PTPK (”unsur melawan hukum”). Sementara itu di dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 35 ayat (1) dinyatakan : ”Setiap pejabat negara atau pegawai negeri bukan bendahara yang melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya baik langsung atau tidak langsung yang merugikan keuangan negara diwajibkan mengganti kerugian dimaksud” . Rumusan ”melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya” dijumpai juga dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dalam Pasal 59 dinyatakan sebagai berikut : (1) Semua kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus segera diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang karena perbuatannya melanggar hukum atau malalaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya secara langsung merugikan keuangan negara, wajib mengganti kerugian tersebut . Dari rumusan Pasal tersebut pembentuk undang-undang membedakan ”melanggar hukum” dengan ”kelalaian/melalaikan kewajibannya”. Secara implisit
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
pembentukan undang-undang ingin menyatakan bahwa perbuatan ”melanggar hukum”
sebagai
bentuk
kesengajaan,
sebagai
lawan
kata
dari
”kelalaian/melalaikan kewajibannya” sebagai bentuk kealpaan. 59 Ad.c. Unsur ”dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” Kata ”dapat” sebagaimana dimuat pada Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dinyatakan sebagai berikut : Dalam ketentuan ini, kata ”dapat ” sebelum frasa ”merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Kata ”dapat” yang menunjukkan sebagaimana delik formil diperkuat lagi dengan rumusan pada Pasal 4 Undang-undang PTPK yang dinyatakan sebagai berikut : ”Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan pasal 3 ”. Konsekuensi delik dirumuskan secara formil yang dipentingkan adalah perbuatannya, bukan akibatnya seperti dalam perumusan delik materil. Pada delik formil tidak perlu dicari hubungan kausal (conditio sine quanon) antara akibat dengan perbuatan, yang paling penting adalah perbuatan tersebut melawan hukum atau tidak.
59
Nur Basuki Minarno, Op.cit., hal. 43.
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
Pengertian keuangan negara dapat dilihat dalam Penjelasan Umum Undang-undang PTPK yang dinyatakan sebagai berikut : ”yang dimasud keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan,termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: (a) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjwaban pejabat negara, baik di tingkat pusat maupun daerah; (b) berada dalam pengawasan, pengurusan, dan Pertanggungjwaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara. Pengertian keuangan negara dapat dijumpai pula dalam Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dinyatakan sebagai berikut : Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Selanjutnya Pasal 2 Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dinyatakan keuangan negara meliputi : (a)
hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan
(b)
kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum Pemerintah negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
(c)
penerimaan negara;
(d)
pengeluaran negara;
(e)
penerimaan daerah;
(f)
pengeluaran daerah;
(g)
Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah;
(h)
Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas Pemerintah dan/atau kepentingan umum;
(i)
Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan Pemerintah. Dan kedua undang-undang tersebut nampak bahwa pengertian keuangan
negara pada Undang-undang No. 17 tahun 2003 sifatnya lebih terinci dibandingkan dengan Undang-undang PTPK. Pengertian perekonomian negara dapat dijumpai dalam Penjelasan Umum Undang-undang PTPK, dinyatakan sebagai berikut : ”Perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian negara yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik ditingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang kesejahteraan kepada seluruh kehidupan masyarakat”. Rumusan pengertian ”perekonomian negara” sangat fleksibel dan luas cakupannya. Misalnya, melakukan penimbunan beras, pupuk, BBM dan lain sebagainya dapat dikenakan Undang-undang PTPK karena mempunyai dampak
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
terganggunya perekonomian negara. Bagaimana dengan berlakunya ketentuan Pasal 14 Undang-undang PTPK? 60 Rumusan pengertian ”perekonomian negara” yang sangat luas/elastis tersebut tidak menutup kemungkinan terhadap satu jenis perbuatan dapat dikenakan beberapa peraturan pidana. Terkait dengan hal tersebut, untuk menjawab pertanyaan di atas harus kembali pada asas preferensi hukum yaitu : Lex Specialis, Lex Superiori, atau Lex Posteriori. 61 Dalam kaitan dengan unsur ”merugikan perekonomian negara”, unsur ”kerugian keuangan negara” tidak selalu mesti harus ada, hal tersebut disebabkan penggunaan kata ”atau” dalam Pasal 3 Undang-undang PTPK menunjukan sifat alternatif. Artinya unsur ”keuangan negara” atau ”perekonomian negara” saling meniadakan. Pengertian kerugian negara/daerah menurut Pasal 1 angka 22 Undangundang Nomor 1 Tahun 2004 adalah : Kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Hal yang sama tentang pengertian kerugian daerah dapat dijumpai dalam Pasal 1 angka 62 PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (L.N.R.I Nomor 4578 ), adapun yang dimaksud kerugian daerah adalah sebagai berikut : ”Kerugian daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti, jumlahnya sebagai akibat perbuatan malawan hukum baik sengaja maupun lalai”. 60 61
Ibid, hal. 48. Ibid.
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
Selanjutnya, dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 dinyatakan sebagai berikut : ”Setiap kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus segera diselesaikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Tindakan melanggar hukum yang dilakukan oleh pelaku dapat dikenakan sanksi untuk mengembalikan ganti kerugian dan juga tidak menutup kemungkinan untuk dituntut pidana ”.
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM PENYALAHGUNAAN WEWENANG PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
A. Sanksi Yuridis Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Wewenang Pengelolaan Keuangan Daerah Unsur melawan hukum dalam Undang-undang PTPK meliputi melawan hukum formil dan materil. Ditentukan dalam Pasal 2 beserta penjelasannya undang-undang PTPK, parameter ”melawan hukum formil : adalah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, sedangkan parameter ”melawan hukum materil” adalah bertentangan dengan nilai kepatutan dan keadilan masyarakat. Berdasarkan Pasal 2 Undang-undang PTPK, ”nilai kepatuhan dan keadilan masyarakat” dipakai sebagai parameter untuk mengukur/menilai suatu perbuatan tersebut tercela dan patut untuk dipidana. 1. Peraturan Perundang–undangan Konsep melawan hukum dalam Undang-undang PTPK meliputi melawan hukum formil dan materil. Pada unsur melawan hukum formil, parameter yang dipakai adalah bertentangan dengan peraturan perundang–undangan. Dan dipakai sebagai dasar patut dipidananya suatu perbuatan telah menyimpang dari asas legalitas, nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali. Dalam praktek peradilan untuk menyatakan bahwa perbuatan terdakwa melawan hukum formil dengan suatu pembuktian bahwa perbuatan yang dilakukan bertentangan dengan Peraturan Pemerintah, Surat Keputusan Presiden, Surat Keputusan Menteri.
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
61
2. Nilai Kepatutan dan Keadilan Masyarakat Konsep melawan hukum yang bersifat materil parameter yang dipakai adalah bertentangan dengan nilai kepatutan dan nilai keadilan masyarakat. Asas legalitas formil dan materil pada Pasal 11 Konsep RKUHP tahun 2004 yang selengkapnya dinyatakan : (1). Tindak pidana ialah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang–undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. (2). Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan itu dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang–undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. (3). Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar. Dalam penjelasan Konsep RKUHP–2004 memberikan penjelasan atas pengertian ”perbuatan yang bertentangan dengan hukum” sebagai berikut : Yang dimasud dengan : perbuatan yang bertentangan dengan hukum” adalah perbuatan yang dinilai oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak dapat dilakukan. Ditentukannya syarat bertentangan dengan hukum, didasarkan pada pertimbangan bahwa menjatuhkan pidana pada seseorang yang melakukan suatu perbuatan tidak bersifat melawan hukum dinilai tidak adil. Oleh karena itu, untuk dapat menjatuhkan pidana, hakim selain harus menentukan apakah perbuatan tersebut secara formil dilarang oleh peraturan perundang-undangan dan apakah
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
perbuatan itu secara materil juga bertentangan dengan hukum, dalam arti kesadaran hukum masyarakat. Hal ini wajib dipertimbangkan dalam putusan. Pembentuk undang-undang dalam menentukan perbuatan yang dapat dipidana, harus memperhatikan keselarasan dengan perasaan hukum yang hidup masyarakat. Oleh karena itu, perbuatan itu tidak hanya bertentangan dengan peraturan perundang–undangan tetapi juga akan selalu bertentangan dengan hukum. Pada umumnya setiap tindak pidana dipandang bertentangan dengan hukum, namun dalam keadaan khusus menurut kejadian–kejadian konkrit, tidak menutup kemungkinan perbuatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum. Dalam hal demikian, pembuatan tindak pidana membuktikan bahwa perbuatannya tidak bertentangan dengan hukum. Dalam Pasal 11 Konsep R KUHP–2004 sejalan dengan keseimbangan asas legalitas formil dan materil dan juga menegaskan keseimbangan unsur melawan hukum formal dan materil, serta mendasarkan pada perbuatan dan tindak pidananya (daad-dader-strafrecht). Atas dasar rumusan Pasal 11 Konsep RKUHP–2004 beserta penjelasannya, dapat disimpulkan bahwa dalam Konsep RKUHP–2004 menganut melawan hukum materil yang berfungsi negatif. Jadi, pedoman/kriterianya bertolak dari nilai–nilai nasional maupun internasional. Sesuai dengan nilai–nilai nasional (Pancasila), artinya sesuai dengan nilai/paradigma moral religius, nilai/paradigma kemanusiaan (humanis), nilai/paradigma kebangsaan, nilai/paradigma demokrasi (kerakyatan/hikmah kebijaksanaan), dan nilai/paradigma keadilan sosial. Sehingga, rambu–rambu yang berbunyi ”sesuai dengan prinsip–prinsip hukum umum yang diakui oleh
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
masyarakat bangsa–bangsa, mangacu/bersumber dari istilah ”the general principles of law recognized by the community of nations” yang terdapat pada Pasal 15 ayat 2 ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights). Parameter untuk menilai melawan hukum adalah peraturan perundang– undangan (melawan hukum formil) atau kepatutan dan nilai keadilan atau norma– norma kehidupan sosial dalam masyarakat (melawan hukum materil). Sehingga, parameter penyalahgunaan wewenang dalam kewenangan diskresi berbeda parameternya dengan melawan hukum materil. Berbeda halnya antara asas–asas umum pemerintahan yang baik dengan nilai kepatutan dan keadilan atau norma–norma kehidupan sosial dalam masyarakat. Asas–asas umum pemerintahan yang baik merupakan norma yang tidak tertulis yang tumbuh dalam praktek penyelenggaraan pemerintah dan dipakai sebagai etika menjalankan pemerintahan, dari mana untuk keadaan tertentu dapat ditarik aturan–aturan hukum yang dapat diterapkan.
B. Kasus Penyelewengan Pengelolaan Keuangan Daerah Kepala Daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah , namun pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dapat dilimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaan kepada aparat yang ada di bawahnya, hal tersebut diatur dalam Pasal 156 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang dinyatakan sebagai berikut : (1) Kepala Daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah. (2) Dalam melaksanakan kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Kepala Daerah melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaannya yang berupa
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
perencanaan,
pelaksanaan,
penatausahaan,
pelaporan
dan
pertanggungjawaban, serta pengawasan keuangan daerah kepada pejabat perangkat daerah (3) Pelimpahan sebagian atau seluruh kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
di
daerah
pada
prinsip
pemisahan
kewenangan
antara
yang
memerintahkan, menguji, dan yang menerima mengeluarkan uang. Kepala Daerah serta Pelaksana tugas Kepala Daerah harus memperhatikan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah , UndangUndang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang sehingga apabila ketentuan tersebut tidak dilaksanakan maka terjadilah penyelewengan terhadap Pengelolaan Keuangan Daerah dalam bentuk Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Adapun bentuk-bentuk Kasus Penyelewengan Pengelolaan Keuangan Daerah yang dilakukan oleh Kepala Daerah diantaranya : a. Dalam posisi Abdullah Puteh merupakan Kepala Daerah yang memegang pengelolaan keuangan daerah Posisi Kasus yakni Abdullah Puteh merupakan Gubernur Aceh telah melakukan Penunjukan Langsung Perusahaan Pengadaan Heli tanpa tender. Atas tindakan ini Puteh telah melanggar Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang. Dalam Kepres itu Penunjukan Langsung bisa dilakukan jika untuk pengadaan barang dengan harga Rp.50 Milyar ( Lima Puluh Milyar Rupiah ) .
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
Seharusnya yang melakukan pengadaan barang adalah Kepala kantor atau pihak setara yang ditunjuk bukan Gubernur atau Kepala Daerah. 62 Dakwaan terhadap Puteh dibacakan secara bergantian oleh 3 (tiga ) tiga orang Jaksa Penuntut Umum (JPU) yakni Khaidir Ramli, Wisnu Baroto dan Yessi Esmiralda. Puteh didakwa melanggar pasal 2 ayat 1 jo pasal 18 ayat (1) huruf a,b ayat (2),(3), Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo UndangUndang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ancaman maksimal pelanggaran pasal 2 adalah hukuman 20 tahun penjara dengan denda maksimal Rp1 miliar. Untuk dakwaan subsidair Puteh didakwa melanggar pasal 3 jo pasal 18 ayat (1) huruf a,b ayat (2) dan (3) UU No.31/1999 jo. UU No.20/2001. Pada dakwaan primer dijelaskan bahwa Puteh diduga telah memperkaya diri sendiri maupun orang lain, yaitu Bram Manoppo dan PT Putra Pobiagan Mandiri (PPM) yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 13.687.500.000. Namun jumlah tersebut dikurangi Rp 3,6 miliar yang disetorkan kembali oleh Puteh ke rekening kas daerah. Untuk itu kerugian negara yang diperoleh dari pembelian helikopter MI-2 adalah Rp 10.087.500.000. Dugaan adanya praktik korupsi berawal ketika Puteh menandatangani Letter of Intent dengan Bram Manoppo--Presdir PPM--untuk membeli helikopter tipe MI-2 dengan fasilitas kabin VIP dan kaca anti peluru. 62
http ://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/17/utama/1822002.htm lihat bandingkan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan “ Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui usulan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah karena didakwa melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, maker, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara “, sedangkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa Penyelenggara Negara adalah penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
Padahal, belum ada dana yang tersedia dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah NAD. 63 Jaksa menuntut terdakwa delapan tahun penjara dan membayar denda Rp 500 juta, subsider enam bulan kurungan. Jaksa penuntut umum, yang beranggotakan Khaidir Ramly, Yessi Esmiralda, dan Wisnu Baroto, juga menuntut Puteh membayar uang pengganti Rp 10,087 miliar. Puteh didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 Ayat (1) huruf a, huruf b, Ayat (2), Ayat (3) Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 jo UU No 20/2001 jo Pasal 55 Ayat (1) jo Pasal 54 Ayat (1) KUHP tentang melakukan perbuatan yang memperkaya diri sendiri. 64 Majelis hakim yang terdiri dari Kresna Menon (Ketua), Dudu Duswara, Ahmad Linoh, I Made Hendra Kusuma dan Gus Rizal (hakim anggota), Abdullah Puteh secara sah dan meyakinkan telah bersalah sehingga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 13,875 miliar. Puteh juga bersalah karena telah melakukan penunjukan langsung perusahaan pengadaan heli tanpa tender. Atas tindakan ini, Puteh telah melanggar Keputusan Presiden No 18 tahun 2000 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang . Dalam Keppres No.18 Tahun 2000 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang, Penunjukan Langsung bisa dilakukan jika untuk pengadaan barang 63
http ://www.hukum online.com/detail.asp?id=11895&cl=Berita lihat bandingkan Pasal 6 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa Komisi Pemberantasan mempunyai tugas salah satunya yakni melakukan penyelidikan, penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi 64 http://www.aceh-eye-org/a.eye-news-files/a-eye-news-files/a-eye-news-bahasa/newsitem.asp?NewsID=577 lihat bandingkan dengan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ” Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berada di Lingkungan Peradilan umum serta Pasal 52 ayat 2 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ” Penuntut disini adalah Jaksa Penuntut Umum
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
dengan harga di atas Rp 50 miliar (lima puluh milyar rupiah ). Adapun yang melakukan pengadaan barang adalah kepala kantor atau pihak setara yang ditunjuk, bukan gubernur atau kepala daerah. Selain bersalah karena melakukan Penunjukan Langsung , mantan ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia itu juga diputuskan bersalah karena memindahkan dana dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah ke rekening pribadi senilai Rp 7,75 miliar. Atas tindakan ini, Puteh telah melanggar Peraturan Pemerintah No 105 tahun 2000 mengenai pengelolaan keuangan daerah. Majelis hakim menilai, tindakan ini adalah untuk memperkaya diri. 65 Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyatakan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam non-aktif Abdullah Puteh terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Puteh divonis pidana penjara selama 10 tahun dan denda Rp 500 juta, subsider enam bulan kurungan. Selain itu, Puteh juga dihukum membayar uang pengganti Rp 3,687 miliar, selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Pembacaan vonis itu dilakukan tanpa dihadiri terdakwa maupun penasihat hukumnya. 66 b. Posisi Kasus Pelaksana tugas Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Samsuri Aspar, diancam hukuman 20 tahun penjara. Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi, Zet Tadung Allo, mendakwa Samsuri dalam kasus dugaan korupsi pos bantuan sosial pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kutai 2005 dan 2006 sebesar Rp 23,134 miliar. Terdakwa Samsuri 65 66
http://radzie.multiply.com/journal?&page-start=80 http://antikorupsi.org/indo/content/view/91816
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
bersama-sama dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kutai, Setia Budi, memperkaya diri sendiri dan orang lain saat jaksa membacakan dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Jaksa menilai terdakwa melanggar Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara. Jaksa Zet menuturkan kasus ini bermula dari pengeluaran dana pada pos bantuan sosial APBD 2005 dan 2006. Penggunaan APBD pada pos bantuan sosial pada 2005 senilai Rp 19,7 miliar. Namun, uang itu digunakan untuk keperluan anggota Dewan. "Terdakwa juga meminta bagian dari dana tersebut," kata jaksa Zet.Pada November 2005, kata jaksa, anggota DPRD, Setia Budi dan Khairudin, meminta pencairan dana sebesar Rp 18,5 miliar. Samsuri, kata jaksa, langsung memberikan persetujuan dengan menggunakan dana anggaran bantuan sosial pada APBD Kabupaten Kutai Kartanegara. Menurut jaksa, terdakwa Samsuri menggunakan uang itu untuk kepentingannya sendiri senilai Rp 1,95 miliar. Uang mengalir ke beberapa anggota DPRD Kutai Kartanegara, di antaranya Setia Budi sebesar Rp 1,78 miliar. Total uang mengalir kepada 35 anggota DPRD Kutai Kartanegara dengan masing-masing sebesar Rp 375 juta. Adapun Setia Budi disidangkan secara terpisah. Setia diancam dengan hukuman yang sama. 67 Majelis Hakim Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi dalam korupsi penyelewenangan dana Bantuan Sosial di Kutai Kertanegara pada Samsuri dengan vonis
selama empat tahun
67
Penyidik tengah mengurus proses administrasi
http ://www.kpu.go.id/modules/news/article php?strgid=2974
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
pemindahan Samsuri dari rumah tahanan Markas Besar Kepolisian RI ke Cipinang. Pada 16 Maret 2009, Samsuri menyatakan menerima vonis yang diberikan Majelis Hakim dan tidak mengajukan banding. Selain hukuman penjara, Majelis juga menghukum Samsuri dengan uang denda Rp 200 juta. Pelaksana Bupati
dinilai bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus
penyelewengan dana Bantuan Sosial pemerintah kabupaten Kutai Kertanegra. Dana Bantuan itu sendiri dikeluarkan Samsuri melalui disposisi. Dana sebesar Rp 24,7 miliar itu ia keluarkan dari anggaran belanja daerah pada pos bantuan sosial Anggaran Pendapatan Belanja Daerah tahun 2005 dan 2006. 68
C. Analisis Kasus Berdasarkan kedua kasus Kasus Penyelewengan Pengelolaan Keuangan Daerah yang dilakukan oleh Kepala Daerah yang merupakan subyek delik penyalahgunaan wewenang dalam Pasal 3 Undang-undang PTPK yang dirumuskan dengan ”setiap orang” mempunyai pengertian pejabat atau pegawai negeri. Pendapat itu didasari bahwa pejabat atau pegawai negeri merupakan personifikasi dari wewenang publik dan pejabat atau pegawai negeri Andi Hamzah secara tegas menyatakan bahwa ”subyek delik pada Pasal 3 Undang-undang PTPK (ex Pasal 1 ayat (1) sub Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971) harus memenuhi kualitas sebagai pejabat atau mempunyai kedudukan. 69
68 69
Ibid Andi Hamzah, Op.cit., hal. 105-106.
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
Pejabat yang akan dituntut, dilakukan penyelidikan , penyidikan terhadap Tindak Pidana Korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi apabila menyangkut keuangan negara yang paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 ( satu milyar rupiah ) 70 Abdullah Puteh merupakan Kepala Daerah maupun
Pelaksana tugas
Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Samsuri Aspar sama-sama didakwa melanggar pasal 2 ayat 1 jo pasal 18 ayat (1) huruf a,b ayat (2),(3), UndangUndang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Namun perbedaan pada kasus pada Abdullah Puteh selaku Kepala Daerah di Aceh telah melakukan penunjukan Langsung dalam pengadaan barang dan jasa yang seharusnya dilakukan oleh Kepala Kantor sedangkan Pelaksana tugas Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Samsuri Aspar mengambil uang itu untuk kepentingannya sendiri senilai Rp 1,95 miliar yang dikeluarkan Samsuri melalui disposisi. Dana tersebut keluarkan dari anggaran belanja daerah pada pos bantuan sosial Anggaran Pendapatan Belanja Daerah tahun 2005 dan 2006.
70
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1. Aspek hukum dalam pengelolaan keuangan daerah yaitu a. Pengawasan merupakan tindakan yang dilakukan oleh pihak di luar (yaitu masyarakat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) untuk mengwasi kinerja pemerintahan dalam hal ini Pemerintahan Daerah b. Pengendalian merupakan tindakan yang dilakukan oleh pihak di luar (yaitu masyarakat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) untuk mengawasi kinerja pemerintahan dalam hal ini Pemerintahan Daerah c. Pemeriksaan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pihak yang memiliki independensi dan memiliki kompetensi professional untuk memeriksa apakah hasil kinerja pemerintah daerah telah sesuai dengan standar atau kriteria yang ada. Ketiga aspek hukum tersebut di atas diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. 2. Bentuk- bentuk penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Kepala Daerah dalam tindak pidana korupsi : a. Tidak melaksanakan Asas Spesialitas yakni ketentuan tujuan yang harus diperhatikan sebagi bentuk yang nyata seorang kepala daerah pribadi tidak melalaikan kewajibannya yang merugikan
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
72
secara
b. Tidak melaksanakan Asas Spesialitas Kaitannya dengan Asas Legalitas yakni Kepala Daerah dalam melakukan perbuatan hukum untuk mencapai tujuan tertentu harus berdasarkan undang-undang. c. Tidak melaksanakan Asas Spesialitas Kaitannya dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang baik yakni Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan nepotisme meliputi : 1. Asas Kepastian Hukum ; 2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara; 3. Asas Kepentingan Umum ; 4. Asas Keterbukaan; 5. Asas Profesionalitas ; dan 6. Asas Akuntabilitas. 3. Pertanggungjawaban pidana dalam pengelolaan keuangan daerah yakni setiap orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, sarana yang ada padanya karena jabatan yang dimilikinya yang dapat merugikan keuangan negara dipidana dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh ) tahun atau denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah ) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 ( satu milyar rupiah ) . Dalam kasus Korupsi Abdullah Puteh yang merupakan Gubernur Aceh melakukan perbuatan ” melawan hukum ” dalam bentuk penyalahgunaan wewenang.yakni melanggar Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
Barang . Dalam Kepres ditegaskan bahwa pengadaan barang dilaksanakan oleh Kepala Kantor bukan oleh Kepala Daerah, sedangkan kasus Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur melakukan tindak pidana dengan penggunaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah untuk diri sendiri dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
B. Saran 1. Agar Aparat penegak hukum khususnya Majelis Hakim menjatuhkan hukuman seberat beratnya para Kepala Daerah yang tidak mempergunakan Anggaran bagaimana mestinya karena tidak sesuai dengan peraturan serta rasa keadilan masyarakat. 2. Agar Kepala Daerah berhati-hati dalam membuat suatu APBD dengan Anggota Legislatif karena setiap anggaran yang keluar yang tidak sesuai dengan peraturan, menyalahgunakan wewenang karena jabatan maka berakibat hukuman. 3. Agar masyarakat juga memantau kinerja Kepala Daerah dan DPRD baik tingkat I maupun tingkat II jika kinerjanya buruk maka masyarakat jangan lagi memilihnya dalam pemilu dan pilkada apalagi jika memakai APBD untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok maka dilaporkan kepada pihak berwajib.
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Adya, Atep Barata dan Bambang Trihartanto, Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara/ Daerah Berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Jakarta, Elex Media Komputindo, 2004. Basuki, Nur Minarno, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Yogyakarta, Laksbang Mediatama, 2008. Emong, Komariah Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil Dalam Hukum Pidana Indonesia, Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya Dalam Yurisprudensi, Bandung, Alumni, 2002. Hamzah, Andi, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991. Hantum, Van dalam J.E. Sahetapy, (editor penerjemah), Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1995. Hadiati, Hermien Koeswadji, Korupsi di Indonesia dari delik Jabatan ke Tindak Pidana Korupsi, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1994. Henry Campbell Black, Black ‘ s Law Dictionary, West Publishing, 1990. Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Harapan, Jakarta, 1993. Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah,Yogjakarta, Andi, 2004. Muliadi, Lilik, Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Khusus Terhadap Penyidikan, Penuntutan, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2000. M., Philipus. Hadjon, Tentang Wewenang, Jakarta, Yuridika, 1997. Marpaung, Leden, Tindak Pidana Korupsi Pemberantasan dan Pencegahan, Jakarta, Djambatan, 2004. Nanawi, Barda Arief, Konsepsi Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana, Makalah Disampaikan Pada Seminar Nasional Aspek Pertanggungjawaban Pidana Dalam Kebijakan Publik Dari Tindak Pidana Korupsi, Semarang, 6-7 Mei 2004. Prakoso, Joko dkk, Kejahatan-kejahatan Yang Membahayakan dan Merugikan Negara, Jakarta, Bima Aksara, 1987. Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
Prints, Darwan, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2002. Sungono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Indonesia, 2005. Soekarwo, Berbagai Permasalahan Keuangan Daerah, Surabaya, Airlangga University Press, 2003. Soeriaatmadja, P. Arifin dalam Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2006. Widjaja, HAW., Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2005. Yani, Ahmad, Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002.
B. Internet http ://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/17/utama/1822002.htm http ://www.hukum online.com/detail.asp?id=11895&cl=Berita http://www.aceh-eye-org/a.eye-news-files/a-eye-news-files/a-eye-news-bahasa/newsitem.asp?NewsID=577 http://radzie.multiply.com/journal?&page-start=80 http://antikorupsi.org/indo/content/view/91816 http ://www.kpu.go.id/modules/news/article php?strgid=2974
C. Peraturan Perundang-Undangan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang- undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Surat Edaran Mendagri No. 903/2429/SJ tanggal 21 Sepetember 2005
Dixie B. D. Parapat : Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009.