DISTRIBUSI SEL MAST PADA KULIT DAN PERITONEUM TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) MODEL DIABETES MELITUS DENGAN STREPTOZOTOSIN
AHMAD NURHAKIM
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
”Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” (Q. S. 94: 6-7) ”Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q. S. 31: 34)
ABSTRAK
AHMAD NURHAKIM. Distribusi Sel Mast pada Kulit dan Peritoneum Tikus Putih (Rattus norvegicus) Model Diabetes Melitus dengan Streptozotosin. Dibimbing oleh ADI WINARTO. Diabetes melitus adalah penyakit metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemia dan glukosuria (Hau & Hoosier 2006). Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sebaran sel-sel mast pada kulit dan peritoneum tikus model diabetes yang diinduksi dengan Streptozotosin (STZ), serta mengetahui korelasi antara pemberian vitamin E terhadap jumlah sel mast pada kulit dan peritoneum tikus. Tikus Sprague-Dawley berjumlah 12 ekor yang dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu kelompok diabetes dan non-diabetes. Masing- masing kelompok besar dibagi menjadi 2 sub kelompok yakni kelompok perlakuan dengan vitamin E dan non-vitamin E berjumlah 3 ekor. Tikus diadaptasikan selama satu minggu, kemudian induksi STZ diberikan intraperitoneal 50 mg/kg BB pada hari ke-8. Pada hari yang sama kelompok vitamin E diberikan peroral 80 IU/ekor setiap hari selama 19 hari. Pada hari ke-27 dilakukan pengambilan sampel kulit dan peritoneum, pengamatan sebaran sel mast dilakukan dengan mikroskop cahaya pada sediaan yang diwarnai dengan Toluidin blue. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah pemberian vitamin E pada kelompok diabetes terjadi penurunan jumlah sel mast pada kulit dan peritoneum secara berturut-turut menjadi 19.373±2.143ab dan 10.150±1.140ab. Jumlah ini secara statistik jika dibandingkan dengan kontrol tidak berbeda nyata pada kulit, sedangkan pada peritoneum hasil penurunan yang ada masih jauh di atas nilai kontrol. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa vitamin E mampu menurunkan jumlah sel mast pada kulit tetapi tidak pada peritoneum.
DISTRIBUSI SEL MAST PADA KULIT DAN PERITONEUM TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) MODEL DIABETES MELITUS DENGAN STREPTOZOTOSIN
AHMAD NURHAKIM B04103092
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 Judul Skripsi : Distribusi Sel Mast pada Kulit dan Peritoneum Tikus Putih (Rattus norvegicus) Model Diabetes Melitus dengan Streptozotosin Nama : Ahmad Nurhakim NIM : B04103092
Disetujui Dosen Pembimbing
drh. Adi Winarto, Ph. D NIP. 131 578 835
Diketahui Wakil Dekan FKH IPB
Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS. NIP. 131 129 090
Tanggal Lulus : RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 21 Januari 1986 dari pasangan Bapak Aidarus Zakaria dan Ibu Darnailis. Penulis merupakan anak keenam dari enam bersaudara. Riwayat pendidikan penulis dimulai pada tahun 1991-1996 di SDN III Makarti Jaya, Palembang. Penulis pindah sekolah ke SDN IV Ciasem, Subang dan tamat pada tahun 1997. Tahun 1997 sampai dengan 2000 penulis melanjutkan sekolah di SLTPN III Ciasem, kemudian melanjutkan ke SMUN I Pamanukan dari tahun 2000 sampai 2003. Penulis diterima di Perguruan Tinggi Negeri Institut Pertanian Bogor (IPB) Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) pada tahun 2003 melalui jalar USMI. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi intra dan ekstra kampus. Organisasi intra kampus antara lain : Dewan Perwakilan Mahasiswa Keluarga Mahasis wa (KM) FKH (2003-2004, 2006-2007), Korps Sukarela Palang Merah Indonesia IPB Unit I (2003-2007), Badan Eksekutif Mahasiswa KM FKH (2004-2005), Himpunan Minat Profesi Ruminansia (2004-2005), Himpunan Minat Profesi Satwa Liar (2005-2006), Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (2006-2007). Sedangkan organisasi ekstra kampus yang diikuti antara lain : fgW Student Forum (2005-2007). Selain itu penulis juga pernah menjadi asisten praktikum Anatomi Veteriner di Laboratorium Anatomi FKH IPB pada saat semester 5 dan semester 8.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji milik Allah SWT yang telah memberikan nikmat dalam kehidupan, berkat petunjuk dan ridho-Nya maka skripsi ini selesai ditulis. Shalawat dan salam teruntuk Nabi Allah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya dan para pejuang yang tidak kenal lelah menegakkan kebenaran sampai akhir zaman. Skripsi
ini
dapat
diselesaikan
dengan
bantuan
berbagai
pihak.
Penghargaan dan tarima kasih kepada : drh. Adi Winarto, Ph. D, sebagai dosen pembimbing skripsi sekaligus pembimbing akademik atas kesabaran, semangat dan waktu yang telah diluangkan dalam pembuatan skripsi ini. Keluargaku tersayang Ayahanda AM. Aidarus Zakaria, BA (Alm), ibunda Darnailis, kakanda Hossa Hennida, Hilman Fathoni, Melly Hamelina, Hylma Shofiah, Helmi Wirahmi atas dukungan do’a, motivasi, materi dan kasih sayang yang tulus diberikan. Staf Histologi Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi. Tempat bernaungku : Pondok HAMAS. Teman-teman seperjuangan Dewan Perwakilan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan IPB (Vando Dariksa, Elia Rulita, Ani Siti, Kukuh Diki Kembara, Fitriawati, Adriyan, M. Ikhsan, A. Syifa Siddik, Ferdi, Afidz, Echi). Gymnolaemata 40’, angkatan 36, 37, GASTRO’ 38, serta adik-adik 41 dan 42 yang menemani perjuangan selama 4 tahun di kampus ungu. Penulis sangat menyadari kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu penulis memohon maaf jika ada kesalahan dalam proses pembuatannya. Semoga karya tulis ini bermanfaat. Amin.
Bogor, Agustus 2007
Ahmad Nurhakim
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR ISI ………………........................................................................
i
DAFTAR TABEL …………….........................….......................................
ii
DAFTAR GAMBAR ...........……………………....................….…....……
iii
DAFTAR LAMPIRAN ……………............................................................
iv
PENDAHULUAN ……………………………………….............……....... Latar belakang ............................................................................... Tujuan dan manfaat ...................................................................... Hipotesa ........................................................................................
1 1 1 2
TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………...................… Diabetes Melitus …..…………………………………................. Tikus Putih sebagai Hewan Model ..……………......................... Streptozotosin ………………………………………................... Vitamin E ...……………………………………........................... Sel Mast ...…………………………………….…........................
3 3 5 7 8 9
METODE PENELITIAN .………………………………......................….. Waktu dan Tempat ……………...........…………….............…… Materi ………………………………………..........…..........…… Rancangan penelitian ……………………………….................... Prosedur ……………………………………….........................… Analisa Data ..................................................................................
12 12 12 12 13 14
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... Kulit .............................................................................................. Peritoneum ....................................................................................
15 18 20
KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................
25
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………….……….........
26
LAMPIRAN ………………………………………………….………........
30
DAFTAR TABEL Halaman
1 Klasifikasi taksonomi tikus ........................................................................
6
2 Populasi sel mast pada kulit tikus putih .....................................................
18
3 Populasi jumlah sel mast pada peritoneum tikus putih ..............................
20
DAFTAR GAMBAR Halaman
1 Struktur Streptozotosin ……..........….................................................…
7
2 Sel mast (Anonim 2007c) ......................................................................
10
3 Sel mast. Pewarnaan Toluidin blue pembesaran 40x .............................
15
4 Sebaran sel mast (tanda panah) pada dermis kulit. A=kelompok kontrol dan B=kelompok vitamin E. Populasi pada kelompok A > kelompok B. Pewarnaan Toluidin blue pembesaran 10x .............................
16
5 Sebaran sel mast (tanda panah) pada dermis kulit. C=kelompok STZ dan D=kelompok STZ+vitamin E. Populasi pada kelompok C > kelompok D. Pewarnaan Toluidin blue pembesaran 10x .............................. 6 Sebaran sel mast pada peritoneum kelompok vitamin E (B) yang tersebar pada jaringan ikat. Pewarnaan Toluidin blue pembesaran 20x .......................................................................
16
17
7 Besar populasi sel mast pada kulit setelah pemberian vitamin E ..................................................................................
19
8 Besar populasi sel mast pada peritoneum setelah pemberian vitamin E .................................................................................
21
9 Populasi sel mast pada kulit dan peritoneum tikus ................................
22
DAFTAR LAMPIRAN
Halama n 1 Prosedur pembuatan preparat histologi ....................................................
31
2 Tabel pengamatan jumlah sel mast ..........................................................
34
3 Rata-rata jumlah sel mast pada kulit ........................................................
36
4 Rata-rata jumlah sel mast pada peritoneum .............................................
37
PENDAHULUAN
Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu keadaan dimana kadar gula dalam darah meningkat dan di dalam urin/kencing ditemukan gula. DM mendapat gelar “The silent killer” karena komplikasi yang dapat ditimbulkannya dan hingga kini masih belum tuntas penanganannya. Komplikasi akut yang disebabkan oleh terganggunya proses metabolisme karbohidrat sehingga menyebabkan kadar gula darah tinggi atau sangat rendah dan dapat timbul koma diabetikum. Apabila tidak segera ditolong dapat menimbulkan kematian. Komplikasi kronis (menahun) disebabkan timbulnya kerusakan pembuluh darah besar dan kecil pada organ tubuh, anafilaksis dan rontoknya bulu rambut (botak) (Dalimunthe 2004). Pada penderita DM (hiperglikemia) sering ditemukan adanya reaksi anafilaksis atau alergi yaitu berupa timbulnya gatal- gatal pada badan yang berkorelasi erat dengan sel mast. Pada saat ini belum banyak dilakukan penelitian yang terkait dengan adanya ganguan pada pertahanan perifer, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui adanya korelasi distribusi sel mast pada penderita DM yang diinduksi dengan Streptozotosin (STZ)
terhadap sistem
pertahan perifer. STZ yang digunakan merupakan senyawa toksin dari Streptomyces achromogenes (Herr et al. 1967 dalam Cooperstein 1981) yang bekerja secara spesifik merusak sel B pankreas (Cooperstein et al. 1981; Ganong 2003).
Tujuan dan Manfaat Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sebaran sel mast pada kulit dan peritoneum tikus model diabetes ya ng diinduksi dengan STZ, serta mengetahui korelasi antara pemberian vitamin E terhadap jumlah sel mast pada kulit dan peritoneum tikus Penelitian ini diharapkan dapat membuktikan adanya korelasi yang erat antara penderita DM yang diinduksi dengan STZ dan sel mast yang selalu terlibat dalam respon hipersensitivitas. Hasil dari penelitian diharapkan dapat menjadi informasi ilmiah untuk dunia kedokteran sehingga dapat dilakukan tindakan pengobatan terhadap penderita diabetes yang menunjukkan gejala anafilaksis.
Hipotesa 1. Populasi sel mast pada kulit dan peritoneum meningkat pada kondisi diabetes yang diinduksi dengan STZ. 2. Vitamin E dapat menurunkan jumlah sel mast pada kulit dan peritoneum.
TINJAUAN PUSTAKA Diabetes Melitus
DM adalah penyakit metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemia (kadar gula darah meningkat) dan glukosuria (Hau & Hoosier 2006). Diabetes berasal dari bahasa Yunani yang berarti “bocor”, dengan gejala utama berupa produksi urin yang berlebih. Pada tahun 1675 Thomas Willis menambahkan kata melitus, sebuah kata yang berasal dari bahasa latin yang berarti “madu” karena adanya rasa manis pada urin (Anonim 2007a). DM dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai “kencing manis” (Moehyi 1997 dalam Meylina 2005). DM akibat defisiensi insulin merupakan keadaan patologik yang sering terjadi dan bersifat serius pada manusia (Ganong 2002), dengan prevalensi diabetes melitus di Indonesia sebesar 4,6% pada kelompok usia 15-74 tahun (Moehyi 1997 dalam Meylina 2005). Menurut Mistra (2004), predikat diabetes pada orang di Indonesia lebih dari 2,5 juta orang dan diperkirakan terus bertambah.
Klasifikasi Diabetes Melitus Klasifikasi DM menurut WHO tahun (1985) dalam Soehadi (1989) adala h: 1. Insulin-Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) = DM Tipe 1 2. Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) = DM Tipe 2: a. Obese b. Non-Obese Qustionable DM adalah suatu terminologi untuk menggambarkan kondisi DM yang keadaannya meragukan antara DM Tipe 1 dan Tipe 2. 3. Malnutritional-Related-Diabetes-Mellitus (MRDM): a. Fibro Calculous Pancreatic DM (FCPD) b. Protein Deficient Pancreatic DM (PDPD) 4. Bentuk DM yang lain dengan kondisi-kondisi dan sindrom-sindrom tertentu: a. Penyakit pankreas b. Penyakit dengan etiologi hormonal c. DM karena bahan kimia atau obat-obatan d. Abnormalitas-abnormalitas insulin atau reseptor-reseptornya
e. Sindrom-sindrom genetik tertentu f. Lain- lain Sebuah komisi internasional telah merekomendasikan bahwa DM tipe 1 dan tipe 2 menjadi nama primer (bukan IDDM dan NIDDM) (Ganong 2003). Istilah DM tipe 1 (DMT1) menggantikan beberapa istilah terdahulu, termasuk childhood-onset diabetes, juvenile diabetes dan insulin-dependent diabetes (Anonim 2007a). DMT1 disebabkan oleh defisiensi insulin yang ditimbulkan oleh destruksi autoimun sel-sel B di pulau langerhans pankreas (Ganong 2003; Anonim 2007a) yang ditandai dengan waktu onset yang tiba-tiba, glukosuria, hiperglikemia, hiperketonemia, ketonuria dan hipoinsulinemia. Umur tikus dimana kencing manis didiagnosa biasanya antara 60 dan 120 hari. Data yang sering dilaporkan rata-rata umur 90 hari. Hewan yang menderita DMT1 tidak gemuk, dengan frekuensi sama pada kedua jenis kelamin (Hau 2006). DMT1 biasanya timbul sebelum usia 40 tahun (diabetes juvenilis), penderita tidak kegemukan dan sering dipersulit oleh ketosis serta asidosis dengan tingkat kejadian 10% penderita diabetes mengalami DMT1 (Ganong 2003). Berbagai faktor penentu etiopatogenesis DMT1, misalnya konstitusi genetik, imunologis, faktor lingkungan dan gangguan metabolisme serta endokrinologik (WHO 1985 dalam Soehadi 1989). Faktor imunologis yang dapat menyebabkan IDDM menurut Ganong (2002) adala h terbentuknya antibodi insulin akibat penyuntikan insulin dari satu spesies ke spesies yang lain dalam jangka waktu lama. Faktor genetik DMT1 dipengaruhi oleh gen. Gen pada regio HLA-D (DP, DQ, DR) kromosom no. 6 berpengaruh terhadap respon imun (Immune Respons Gene = Ir gene) yang dapat menyebabkan berkurangnya respon imun pada penderita yang mempunyai predisposisi DM. Menurut Indriyati (2004), faktor genetik/faktor keturunan DM merupakan penyakit terpaut kromosom seks. Agenagen
yang
dapat
merusak
sel
beta
misalnya
virus- virus Coxsakie-B,
ensefalomiokarditis, mumps, mononukleosis infeksiosa dan rubella (Steinke dan Taylor 1973 dalam Soehadi 1989) melalui mekanisme infeksi sitolitik pada sel B yang mengakibatkan perusakan sel (Utami 2003 dalam Daniaty 2004). Bahan
kimia misalnya alloxan, streptozotosin, serta berbagai toksin (Notkins 1985, WHO 1985 dalam Soehadi 1989). Menurut Indriyati (2004), bahan toksik seperti pyrinuron (rodentisida) dan bahan toksik dari casava/singkong yang mengandung glikosida sianogenik dapat melepaskan sianida sehingga memberi efek toksik pada jaringan tubuh. Agen-agen tersebut dapat merusak sel beta pankreas secara langsung, atau secara tidak langsung melalui mekanisme imunologis. Diabetes tipe 2 (DMT2) juga menggantikan beberapa istilah lama, termasuk adult-onset diabetes, obesity-related diabetes dan non insulin dependent diabetes. Beberapa sumber telah mendefinisikan diabetes tipe 3 sebagai diabetes antara 1 dan 2 (Anonim 2007a). Diabetes tipe 2 lebih sering terjadi daripada tipe 1 (Ganong 2003, Buschard dan Thon 2003 dalam Hau 2006) dengan tingkat kejadian 75% sampai 90% pada kasus DM. DMT2 dulu lebih sering terjadi pada orang yang berusia diatas 45 tahun tetapi kini dapat terjadi di usia muda termasuk anak-anak (Buschard dan Thon dalam Hau 2006). DMT2 ditandai oleh resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin, pada manusia terjadi pada usia diatas 40 tahun. Penderita yang menderita DMT2 mengalami kegemukan, jarang mengalami ketosis dan toleransi glukosa membaik apabila dilakukan penurunan berat badan (Ganong 2003). Pada penderita DM, glukosa tidak dapat digunakan oleh tubuh sehingga tubuh akan melakukan pemecahan asam lemak yang berlangsung di mitokondria dan peroksisom melalui jalur ß–oksidasi dan sitokrom P-450 untuk mendapatkan energi. Produk samping dari oksidasi tersebut menghasilkan radikal bebas (Orellana et al. 1992 dalam Zulfanedi 2006).
Tikus Putih sebagai Hewan Model Hewan model DM adalah hewan laboratorium yang dalam hal tertentu secara natural maupun artifisial memiliki respon, serta mempunyai patogenesis ataupun patofisiologi yang sebagian atau seluruhnya mirip dengan DM pada manusia (Widyastuti 2000). Klasifikasi Ellerman, Missonne, Morris dan Simpson dalam Baker et al. (1979) mengklasifikasikan tikus sebagai berikut :
Tabel 1 Klasifikasi taksonomi tikus: Class
:
Mammalia
Subclass
:
Theria
Infraclass
:
Eutheria
Order
:
Rodentia
Suborder
:
Myomorpha
Superfamily
:
Muroidea
Family
:
Muridae
Subfamily
:
Murinae
Genus
:
Rattus
Species
:
norvegicus
Pemakaian tikus putih (Rattus norvegicus) sebagai model banyak dilakukan mengingat tikus ini mudah diperoleh. Menurut Hanim (1996) tikus mempunyai sifat respon biologik dan adaptasi mendekati manusia. Tikus telah diketahui sifat-sifatnya dengan sempurna, mudah dipelihara, merupakan hewan yang relatif sehat dan cocok untuk berbagai macam penelitian (Malole 1989). Misalnya untuk melihat pengaruh vitamin E terhadap organ hati dan uterus tikus betina yang diberi perlakuan natrium sakarin dan natrium siklamat yang dilakukan oleh Hanim (1996).
Pembuatan Hewen Model Untuk membuat model DM tipe 1 dengan menggunakan tikus ada beberapa cara, yaitu dengan pankreatektomi, pemberian aloksan, streptozotosin (STZ) atau toksin lain yang dengan dosis sesuai akan secara selektif merusak selsel B pulau langerhans, pemberian obat-obat yang menghambat sekresi insulin dan dengan pemberian antibodi antiinsulin (Widyastuti 2000; Ganong 2003). Penggunaan STZ lebih baik dalam mengurangi produk insulin karena dapat bekerja secara selektif merusak sel-sel B pulau langerhans, sehingga akan terjadi peningkatan kadar gula dalam darah (hiperglikemia) dan intoleransi glukosa yang merupakan manifestasi dari defisiensi insulin (Meylina 2005).
Streptozotosin STZ/2-deoksi-2-(3-metil-3-nitrosureido)-D-glukopiranosa
(Shalahuddin
2005) diproduksi oleh Streptomyces achromogenes (Herr et al. 1967 dalam Cooperstein 1981). STZ digunakan untuk menginduksi diabetes pada hewan coba karena secara selektif merusak sel B di pulau langerhans (Cooperstein et al. 1981; Ganong 2003). STZ terdiri dari 1- methyl-1-nitrosourea (Cooperstein 1981) berikatan dengan C-2 dari D- glukosa dengan berat molekul 265 g/mol (Shalahuddin 2005). STZ memiliki struktur separuh glukosa, karena berisi campuran a dan ß anomer (Herr et al.1967 dalam Coorperstein 1981).
CH2 OH O
H
OH OH
OH NH C=O N-NO CH3
Gambar 1 Struktur Streptozotosin
Menurut Shalahuddin (2005) STZ masuk ke dalam sel B pankreas melalui GLUT 2 (Glucose Transport 2) dan berikatan dengan C-2 dari D- glukosa kemudian menurut Karunanayake et al. (1976) dalam Cooperstein (1981) setelah berikatan dengan gugus separuh glukosa menghasilkan degradasi metabolit untuk melepaskan N-methylnitroso kemudian menembus sel B dan menimbulkan efek sitotoksik. N-nitrosomethylurea menurut Gunnarsson et al. (1974) dalam Coorperstein (1981) juga dapat menyebabkan nekrosis sel B. Nekrosis massive
pada sel B terjadi 7 hari setelah injeksi STZ (Junod et al. 1967 dalam Coorperstein 1981). Rossini et al. (1977) dalam tulisan Cooperstein (1981) melaporkan bahwa dosis 30-40 mg/kg a anomer STZ menimbulkan keparahan nekrosis sel B daripada ß anomer, walaupun dosis lebih tinggi tidak ada perbedaan. Dosis yang digunakan untuk menginduksi DMT1 secara intravena pada tikus yaitu diantara 40 dan 60 mg/kg BB dan berhasil juga secara intraperitoneal dengan dosis yang sama atau lebih tinggi dan kurang efektif dibawah 40 mg/dL. Dosis STZ sebanyak 50 mg/kg BB secara intravena pada tikus dapat meningkatkan kadar glukosa darah sampai sekitar 15 mM (270 mg/dL) setelah 2 minggu (Ganda dalam Szkudelski 2001 dalam Shalahuddin 2005). STZ dapat menyebabkan efek diabetogenik dengan meningkatkan konsentrasi intraseluler radikal bebas atau menurunkan kemampuan sel B untuk mengatur/mempertahankan antioksidan (Robbins et al. 1980 dalam Cooperstein 1981). Selain itu STZ merupakan donor nitrit oksida
(NO) yang ditemukan
sebagai penyebab kerusakan sel pulau langerhans pankreas dan dapat menghambat siklus krebs sehingga terjadi deplesi nukleotida pada sel B (Shalahuddin 2005). Sel B berkurang setelah 90 menit setelah injeksi STZ (Orci et al. 1972 dalam Coorperstein 1981).
Vitamin E Vitamin menurut Casimir Funk terdiri dari kata Vital dan amin. Vitamin adalah campuran dari beberapa bahan organik yang terdiri dari lemak, karbohidrat dan protein (Comb 1992). Vitamin E dibedakan atas dua kelompok besar yaitu atokotrienol dan a-tokoferol. Kelompok a-tokoferol paling banyak ditemukan dalam makanan sehinggga lebih dikenal sebagai vitamin E (Savitri 1999). Salah satu bentuk vitamin E adalah a-tokoferol dengan struktur 5,7,8trimethyl tokol (Syahrizal 1998) disintesis hanya oleh tanaman sehingga sering ditemukan pada produk tanaman yang kaya sumber minyak contoh sumber utamanya adalah biji gandum (Comb 1992). Vitamin E tidak larut dalam air tetapi secara keseluruhan larut dalam minyak, zat pelarut lemak (Savitri 1999), aseton,
alkohol, kloroform, ether, benzena dan lemak (Machlin 1990 dalam Syahrizal 1998). Vitamin E (a-tokoferol) berfungsi sebagai antioxidant (Guyton 1961; Baker 1979; Hanim 1996; Savitri 1999), mekanisme peroksidasi lipid, melindungi sel dari radikal bebas (Moreno et al. 2003), faktor lain dalam pertahanan antioxidant, proteksi terhadap oxyradikal (Comb 1992) dan antitoksisitas (Hanim 1996). Vitamin E sebagai antioksidan dapat mencegah oksidasi dan peroksidasi unit asam lemak tidak jenuh dan fosfolipid membran plasma sel sehingga mencegah lesio dinding sel seperti kerapuhan sel darah merah dan distrofi otot (Linder 1991 dalam Hanim 1996). Standardisasi vitamin E telah didefinisikan sebagai 1 IU yang setara dengan 1 mg DL-a-tokoferil asetat atau 0,74 mg D-atokoferil asetat. Vitamin E 30 IU/kg diet (30 mg DL-a-tokoferil asetat) dapat mencegah terjadinya hemolysis (Baker et al. 1979). Defisiensi vitamin E dapat ditandai dengan malabsorpsi lipid, kondisi ini termasuk hasil kerusakan fungsi eksokrin pankreas (seperti pankreatitis, tumor pankreas, atropi pankreas pada kasus defisiensi Se). Menurut Comb (1992), tanda defisiensi vitamin E dapat tampak pada beberapa organ seperti myopathi pada muscular, pada vascular dapat terjadi anemia, hemolysis RBC, diathesis exudative, hemorhagi intraventrikular, sedangkan pada dermis tidak tampak. Vitamin E mempunyai kemampuan meracuni jika terjadi hipervitaminosis. Gejala keracunan ini umumnya timbul jika mengkonsumsi 800 IU per- hari (Chaney 1993 dalam Savitri 1999), sedangkan menurut Comb (1992) hewan dan manusia masih mampu mentoleransi level yang agak tinggi (sedikitnya diatas syarat nutrisi 1000-2000 IU/kg diet) dari vitamin tanpa memperlihatkan effek. Efek negatif pada manusia yang mengkonsumsi vitamin E diatas 1000 IU/hari dapat menyebabkan sakit kepala, fatigue, nausea, double vision, kelemahan otot, creatinuria ringan dan distress gastrointestinal.
Sel Mast Sel mast adalah sel yang besar, bulat (15-20µm) tersebar diseluruh tubuh pada jaringan ikat (Tizard 1987). Sedangkan menurut Ham (1982) dan Galli (1990) dalam Choliq (2002) sel mast berbentuk bulat dan ovoid dengan ukuran 6-
12 nm. Sel mast memiliki inti yang tidak bersegmen dan sitoplasma yang memiliki banyak butir-butir dengan ukuran bervariasi. Sel mast memiliki inti ditengah dan sitoplasma yang berisi granul berwarna ungu (Bookbinder 1992) atau metakromatik (Tizard 1987). Menurut Tizard (1987) dan Anonim (2007c), sel mast dibagi menjadi dua berdasarkan asal dan fungsinya yaitu sel mast jaringan ikat dan sel mast epitel mukosa. Sel mast jaringan ikat berasal dari pendahulu pada hati dan sumsum tulang fetus, sedangkan sel mast epitel mukosa berasal dari sel timus pendahulu dan memiliki lebih sedikit granul yang mengambil warna berbeda-beda (Tizard 1987).
Gambar 2 Sel mast (Anonim 2007c)
Sel mast berada di jaringan ikat dan membran mukosa serta mengatur respon inflamasi, sel mast kerap kali dihubungkan dengan alergi dan anafilaksis (Anonim 2007b) serta persembuhan jaringan. Alergi secara terminologi adalah tipe reaksi hipersensitivitas cepat yang diperantarai oleh IgE dan berlangsung cepat setelah terpapar dengan antigen. Sedangkan anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas cepat yang terjadi secara sistemik dan parah. Hipersensitivitas cepat, alergi dan anafilaksis termasuk kedalam reaksi hipersensitivitas tipe I yang merupakan reaksi peradangan yang diperantarai oleh IgE (Tizard 1987). Ig E yang berikatan dengan sel mast tidak menyebabkan perubahan pada struktur sel mast. Tetapi, bila antigen asing yang mengikat silang dua molekul IgE maka sel mast akan mengeluarkan granul- granul ke cairan ekstraseluler. Zat- zat yang terkandung dalam granula- granula sel mast tersebut adalah heparin,
histamin, serotonin, leukotrien, Faktor Kemotaktis Eosinofil dari Anafilaksis (FKE-A) dan Faktor Kemotaksis Netrofil (FKN-A) (Tizard 1987). Sel mast berada mengelilingi pambuluh darah, pembuluh limfe, saraf dan dibagian basal dari sel-sel epitel, seperti yang terdapat didalam sistem pencernaan, sistem respirasi dan kulit (Galli 1993 dalam Choliq 2002). Sel mast pada kulit berada mengelilingi pembuluh darah di dermis (Curran 1985). Penelitian pada sel mast dengan pewarnaan his tokimia alcian blue dan safranin O dengan larutan fiksasi Carnoy telah mulai dilakukan oleh Enerback (1966) (Choliq et al. 2002). Pemakaian alcian blue dalam pewarnaan histokimia sel mast juga pernah dilakukan oleh Featherston et al. (1992) dan Ishih (1992). Kemudian Curran pada tahun 1985 melakukan pewarnaan Methylen blue atau Toluidin blue pada kulit untuk mengamati sel mast pada urticaria pigmentosa. Penggunaan Toluidin blue dalam mewarnai sel mast dinyatakan pula oleh Tizard (1987) dan Keller (1966).
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2006 sampai bulan Februari 2007 di laboratorium Patologi Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi dan laboratorium Histologi Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi Institut Pertanian Bogor.
Materi Hewan Percobaan Hewan yang digunakan pada penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague-Dawley dewasa, dengan berat badan 250 gram, berumur dua bulan dan berjenis kelamin jantan yang berjumlah 12 ekor.
Bahan dan Alat Bahan
yang
digunakan
pada
penelitian
ini
adalah
vitamin
E,
streptozotosin, larutan xylol, alkohol absolut, alkohol 95%, 90%, 80%, 70% , air, pewarna Toluidin blue, dan Buffer Neutral Formalin 10%. Adapun alat yang dipergunakan adalah alat bedah mikro, object glass, cover glass, corong, kertas saring, kertas tissue, kertas label, pensil, erlenmeyer, pipet tetes, jarum suntik, kandang tikus, timbangan untuk menimbang tikus, gelas ukur, sonde lambung, mikrotom, refrigerator, kamera foto dan inkubator.
Rancangan Penelitian Tikus yang digunakan pada penelitian ini berjumlah 12 ekor, yang dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu kelompok diabetes dan non-diabetes. Masingmasing kelompok besar berjumlah enam ekor tikus. Kelompok pertama (nondiabetes) terdiri dari dua kelompok, yang masing- masing berjumlah tiga ekor tikus dengan dua perlakuan yang berbeda, yaitu kelompok tanpa perlakuan (kontrol) dan kelompok yang mendapat perlakuan dengan pemberian vitamin E. Kelompok kedua (kelompok model diabetes) terdiri dari dua kelompok, yang masing- masing berjumlah tiga ekor tikus dengan perlakuan yang berbeda, yaitu
kelompok tikus yang diberikan STZ dan kelompok tikus yang diberikan STZ dan vitamin E.
Prosedur Preparasi hewan Tikus diadaptasikan terlebih dahulu sebelum dilakukan percobaan. Tikus diberikan pellet dan air minum secara ad libitum. Adaptasi aklimatisasi dilakukan selama satu minggu, kemudian tikus ditimbang dan dicatat berat badannya.
Pemberian vitamin E dan penyuntikan STZ Pemberian vitamin E 80 IU/ekor secara peroral (di cekok) dengan menggunakan sonde lambung diberikan setiap hari mulai hari ke-8 selama 19 hari setelah adaptasi. Sedangkan pemberian STZ dengan dosis tunggal diberikan pada kelompok model diabetes secara intra peritoneal sebanyak 50 mg/kg BB pada hari ke-8 setelah adaptasi.
Preparasi jaringan Sampling dilakukan setelah tikus dibius dengan ether pada hari ke-27. Penyayatan pada regio ventral abdomen tikus dilakukan sampai daerah thorax setelah darah dikeluarkan dengan baik. Sampel (kulit dan peritoneum) diambil seluas 2 x 2 cm. Sampel kemudian dibersihkan dari bulu dan kotoran yang menempel dengan NaCl fisiologis, selanjutnya direndam dalam Buffer Neutral Formalin 10 % . Setelah itu sampel di dehidrasi menggunakan alkohol bertingkat yaitu 70%, 80%, 90%, 95%, dilanjutkan dengan alkohol absolut I, II dan III. Kemudian dilakukan clearing menggunakan xylol I, II dan III lalu diinfiltrasi dalam parafin I, II dan III kemudian di embedding dalam parafin. Blok jaringan dalam parafin dipotong menggunakan mikrotom dengan ketebalan (4-5 µ). Selanjutnya potongan jaringan diletakkan pada object glass biasa untuk pewarnaan Toluidin blue. Pengamatan histologi menggunakan mikroskop cahaya, dilakukan dengan melihat jumlah sebaran sel mast pada jaringan kulit dan peritoneum. Pada tiap
jaringan, keberadaan sel mast dihitung pada tiga lapang pandang dengan pembesaran 10x.
Analisis Data Hasil penghitungan kuantitatif pada tiap kelompok perlakuan dianalisa menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan analisis sidik ragam (ANOVA). Untuk mengetahui tingkat perbedaan jumlah sebaran sel mast antar kelompok perlakuan dilakukan uji lanjut menggunakan uji Duncan (Walpole 1990).
HASIL DAN PEMBAHASAN Sel mast yang ditemukan pada kedua jaringan berbentuk bulat dan berwarna ungu. Hal ini sesuai yang diutarakan Tizard (1987) bahwa sel mast adalah sel yang besar, bulat dengan ukuran 15-20 µm dan terlihat berwarna metakromatik dengan zat warna Toluidin blue. Warna tersebut disebabkan adanya glykosaminoglikan (heparin atau kondroitin sulphate) pada granula sel mast (Choliq et al. 2002). Sel mast berbeda dengan basofil, sel mast memiliki inti yang tidak bersegmen (Choliq 2002) dan sitoplasma yang padat granula besar (Tizard 1987; Anonim 2007c), sedangkan basofil memiliki inti yang bersegmen (Bookbinder 1992) dan granul yang tidak banyak di dalam sitoplasma (Anonim 2007c).
Granul metakromatik Inti sel mast
20 µ Gambar 3 Sel mast. Granul metakromatik. Pewarnaan Toluidin blue, pembesaran 40x. Pada kulit dan peritoneum, sel mast yang ditemukan adalah sel mast tipe jaringan ikat. Pada Gambar 4 dan 5, sel mast pada kulit yang diamati lebih banyak ditemukan pada daerah dermis dan di sekitar pembuluh darah. Hal ini sesuai yang diutarakan Runnels (1965) dan Banks (1986) dalam Dianawati (2002) bahwa sel mast tersebar di seluruh jaringan ikat tubuh dan biasanya terdapat di sekitar pembuluh darah kecil. Sebagian besar sel mast terdapat dalam dermis dan tunika propria dari saluran pencernaan. Sel mast pada kulit berada mengelilingi pembuluh darah di dermis (Curran 1985).
Pada Gambar 4, dapat dilihat pada kelompok non-diabetes sebaran sel mast lebih banyak ditemukan pada kelompok kontrol. Sedangkan pada Gambar 5, kelompok diabetes tanpa pemberian vitamin E memiliki sebaran sel mast lebih banyak jika dibandingkan dengan kelompok yang diberikan vitamin E. Sebaran sel mast ya ng diwarnai dengan Toluidin blue dapat dilihat pada Gambar 4 dan 5.
Sel mast Sel mast
A
B
Gambar 4 Sebaran sel mast (tanda panah) pada dermis kulit. A=kelompok kontrol dan B=kelompok vitamin E. Populasi pada kelompok A > kelompok B. Pewarnaan Toluidin blue pembesaran 10x.
Sel mast
C
Sel mast
D
Gambar 5 Sebaran sel mast (tanda panah) pada dermis kulit. C=kelompok STZ dan D=kelompok STZ+vitamin E. Populasi pada kelompok C > kelompok D. Pewarnaan Toluidin blue pembesaran 10x. Pada Gambar 6, sel mast yang diamati pada peritoneum berada pada jaringan ikat dan mengitari pembuluh darah. Hal ini sesuai yang diutarakan Keller (1966) bahwa sel mast umumnya ditemukan di jaringan ikat dan sekitar pembuluh
darah. Sel mast yang ditemukan di peritone um jika dibandingkan dengan sebaran sel mast pada kulit lebih sedikit. Hal ini dapat dimungkinkan karena peritoneum disusun oleh lapisan mesothelium yang tersusun dari lapisan tipis jaringan ikat (Bowen 2006) dan kurang mendapat vaskularisasi darah (Bertoli et al. 2003).
Sel mast Sel mast
Pembuluh darah 30 µ
B
B
30 µ
Gambar 6 Sebaran sel mast pada peritoneum kelompok vitamin E (B) yang tersebar pada jaringan ikat. Pewarnaan Toluidin blue pembesaran 20x. Vaskularisasi pada peritoneum yang lebih sedikit dibandingkan kulit serta ketebalan jaringan ikat menentukan jumlah sebaran sel mast pada kedua sampel tersebut. Sebaran sel mast lebih banyak ditemukan di daerah dermis kulit, sedangkan pada peritoneum sebaran sel mast lebih sedikit. Sel mast yang ditemukan di dalam jaringan merupakan bentuk yang sudah dewasa, karena menurut Anonim (2007c) sel mast yang meninggalkan sumsum tulang dan bersirkulasi di dalam pembuluh darah dalam bentuk belum dewasa, hanya dalam bentuk dewasa yang berada di dalam jaringan. Peningkatan jumlah sel mast merupakan salah satu indikator terjadinya reaksi alergi dan anafilaksis (Tizard 1987; Anonim 2007c). Pada saat alergi sel mast tetap dalam keadaan inaktif, sampai antigen berikatan dengan dua atau lebih IgE (Anonim 2007c). Proses degranulasi terjadi setelah dua atau lebih IgE yang telah bergabung dengan sel mast, menyebabkan saluran dalam sitoplasma membuka dan membiarkan cairan ekstraseluler merembes masuk kedalam granula atau dengan cara mendorong granula dari dalam sel ke lingkungan ekstraseluler (Tizard 1987).
Zat- zat yang terkandung dalam granula-granula sel mast tersebut adalah heparin, histamin, serotonin, leukotrien, kalikrein, Faktor Kemotaktis Eosinofil dari Anafilaksis (FKE-A) dan Faktor Kemotaksis Netrofil dari Anafilaksis (FKNA).
Histamin, kalikrein
dan
leukotrien
yang
dilepaskan
menyebabkan
bertambahnya permeabilitas pembuluh darah dan kontraksi urat daging licin. Serotonin menyebabkan spasmus pembuluh darah (Tizard 1987). Pelebaran pembuluh darah menyebabkan kulit tampak kemerahan, panas dan terjadi edema (Anonim 2007c). Heparin dalam granula sel mast merupakan antikoagulan darah. Faktor Kemotaktis Eosinofil dari Anafilaksis (FKE-A) dan Faktor Kemotaksis Netrofil (FKN-A) merupakan zat kemotaksis yang kuat untuk eosinofil dan neutrofil (Tizard 1987). Neutrofil berespons terhadap infeksi dan mampu keluar dari pembuluh darah untuk membersihkan nekrosa jaringan. Neutrofil memiliki butir spesifik mengandung laktoferin dan lysozyme yang bekerja sama dalam menghancurkan benda asing yang difagositosis. Sedangkan eosinofil berperan aktif dalam mengatur alergi akut dan proses pembarahan dan dapat memperbesar koagulasi dan fibrinolisis (Dellmann 1992).
Kulit Hasil pengamatan terhadap distribusi jumlah sel mast pada kulit disajikan secara lengkap pada Tabel 2.
Tabel 2 Populasi sel mast pada kulit tikus putih Kelompok
Perlakuan
Jumlah sel mast
Non-diabetes
Kontrol
16.370±1.226ab
Vitamin E
13.443±3.979 b
STZ
22.813±3.446a
STZ+vitamin E
19.373±2.143ab
Diabetes
Keterangan : Superscript yang berbeda menunjukkan beda nyata/signifikan (p<0.05)
Berdasarkan hasil analisis jumlah sel mast pada Tabel 2 dapat dilihat adanya peningkatan jumlah sel mast pada kelompok diabetes tanpa vitamin E sebesar 22.813±3.446a dibandingkan dengan kontrol 16.370±1.226ab. Berdasarkan
uji Duncan peningkatan yang terjadi memiliki perbedaan yang signifikan, sedangkan pada kelompok diabetes yang diberi vitamin E peningkatan tidak signifikan dibandingkan dengan kontrol. Namun jika dibandingkan dengan populasi sel mast pada kelompok diabetes terjadi penurunan yang signifikan. Hal ini berarti vitamin E mampu menurunkan jumlah sel mast pada tikus model diabetes sampai mendekati jumlah sel mast pada kelompok kontrol. Tingkat penurunan jumlah sel mast secara jelas dapat dilihat pada Gambar 7. Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa tikus yang diberi vitamin E mempunyai jumlah sel mast paling rendah (13.443), diikuti kontrol (16.370), STZ+vitamin E (19.373) dan STZ (22.813).
22.813
25 20
19.373 16.370 13.443
15
Jumlah sel mast 10
kulit
5 0 kontrol
vitamin E
STZ
perlakuan
STZ dan vitamin E
Gambar 7 Besar populasi sel mast pada kulit setelah pemberian vitamin E
Kelompok non-diabetes Pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa kelompok non-diabetes yakni kelompok vitamin E (tikus yang diberi vitamin E secara peroral) mempunyai jumlah sel mast lebih rendah (13.443) dibandingkan kontrol (16.370). Penurunan jumlah sel mast yang terjadi pada kulit kelompok non-diabetes sebesar 17.880%. Selanjutnya dilakukan uji Duncan untuk mengetahui tingkat perbedaan yang ada. Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa perlakuan pada kelompok tikus nondiabetes yang diberikan vitamin E memberikan perbedaan yang nyata terhadap kontrol. Hal ini berarti pemberian vitamin E mampu menurunkan jumlah sel mast pada kulit tikus non-diabetes dengan nyata.
Kelompok diabetes Berdasarkan hasil analisis jumlah sel mast pada Gambar 7 dapat diketahui kelompok tikus diabetes yang memiliki jumlah sel mast lebih rendah adalah kelompok diabetes yang diberi vitamin E (19.373). Sedangkan kelompok diabetes yang tidak diberi vitamin E memiliki jumlah sel mast paling banyak (22.813). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian vitamin E dapat dengan baik menurunkan jumlah sel mast pada tikus model diabetes. Penurunan yang terjadi pada kelompok diabetes yang diberi vitamin E dibandingkan kelompok diabetes tanpa vitamin E sebesar 15.079%. Berdasarkan hasil uji beda Duncan menunjukkan bahwa penurunan jumlah sel mast pada kelompok diabetes yang diberi vitamin E memberikan perbedaan yang nyata dibandingkan kelompok diabetes yang tidak diberi vitamin E. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian vitamin E selama 19 hari setelah adaptasi secara peroral dapat menurunkan jumlah sel mast pada kulit tikus model diabetes.
Peritoneum Hasil pengamatan terhadap distribusi jumlah sel mast pada peritoneum disajikan secara lengkap pada Tabel 3.
Tabel 3 Populasi jumlah sel mast pada peritoneum tikus putih Kelompok
Perlakuan
Jumlah sel mast
Non-diabetes
Kontrol
6.297±2.357b
Vitamin E
5.113±1.866 b
STZ
12.853±4.270a
STZ+vitamin E
10.150±1.140ab
Diabetes
Keterangan : Superscript yang berbeda menunjukkan beda nyata/signifikan (p<0.05)
Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa pada kelompok diabetes ada peningkatan jumlah sel mast sebesar 12.853±4.270a dibandingkan dengan kontrol 6.297±2.357b. Uji Duncan menunjukkan bahwa peningkatan yang terjadi memiliki perbedaan yang signifikan. Kemudian jika kelompok diabetes tanpa vitamin E dibandingkan dengan kelompok diabetes dengan vitamin E, terjadi penurunan yang signifikan. Namun pada kelompok diabetes yang diberi vitamin E jika
dibandingkan dengan kontrol menunjukkan peningkatan yang signifikan. Hal ini berarti vitamin E mampu menurunkan jumlah sel mast pada tikus model diabetes, namun belum sampai mendekati jumlah sel mast pada kelompok kontrol. Hal ini dikarenakan setelah pemberian vitamin E, distribusi vitamin E sebagian besar lebih banyak ditemukan di kulit (Combs 1992). Hasil penghitungan jumlah sel mast pada peritoneum dalam bentuk grafik disajikan pada Gambar 8. Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa kelompok tikus yang diberi vitamin E mempunyai jumlah sel mast paling rendah (5.113), diikuti kontrol (6.297), STZ+vitamin E (10.150) dan STZ (12.853).
12.853
14 12
10.150
10
Jumlah sel mast
8
6.297
5.113
6
peritoneum
4 2 0 kontrol vitamin E
STZ
STZ dan vitamin E
perlakuan Gambar 8 Besar populasi sel mast pada peritoneum setelah pemberian vitamin E Kelompok non-diabetes Pada Gambar 8 dapat ditunjukkan bahwa kelompok non-diabetes yang diberi vitamin E mempunyai jumlah sel mast lebih rendah (5.113) dibandingkan kontrol (6.297). Atau dengan kata lain, terjadi penurunan jumlah sel mast pada peritoneum sebesar 18.803% dari 6.297 (kontrol) menjadi 5.113 (vitamin E). Penurunan yang terjadi diuji dengan Duncan untuk mengetahui tingkat perbedaan yang ada. Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa kelompok non-diabetes yang diberi vitamin E tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap kontrol (Tabel 3), hal ini berarti pemberian vitamin E tidak begitu nyata pengaruhnya terhadap sebaran sel mast pada peritoneum tikus non-diabetes.
Kelompok diabetes Berdasarkan hasil analisis jumlah sel mast pada Gambar 8 dapat diketahui kelompok tikus diabetes yang memiliki jumlah sel mast lebih rendah adalah kelompok diabetes yang diberi vitamin E (10.150). Sedangkan kelompok diabetes yang tidak diberi vitamin E memiliki jumlah sel mast paling banyak (12.853). Hal ini menunjukkan terjadi penurunan pada kelompok diabetes yang diberi vitamin E dibandingkan kelompok diabetes yang tidak diberi vitamin E yakni sebesar 21.030%. Berdasarkan uji beda Duncan menunjukkan bahwa penurunan jumlah sel mast yang terjadi pada kelompok diabetes yang diberi vitamin E memberikan perbedaan yang nyata dibandingkan kelompok diabetes tanpa pemberian vitmin E (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa pada tikus diabetes yang diinduksi STZ yang disertai dengan pemberian vitamin E selama 19 hari setelah adaptasi secara peroral dapat menurunkan jumlah sel mast pada peritoneum tikus model diabetes. Perbandingan distribusi sel mast pada kulit dan peritoneum tikus dapat dilihat pada Gambar 9. Berdasarkan Gambar 9 dapat dilihat bahwa distribusi sel mast lebih banyak ditemukan pada jaringan kulit dibandingkan dengan peritoneum. 25
22.813 19.373
20
16.370
15
13.443
12.853
Jumlah sel mast 10
10.150 6.297
kulit peritoneum
5.113
5 0 kontrol vitamin E
STZ
perlakuan
STZ dan vitamin E
Gambar 9 Populasi sel mast pada kulit dan peritoneum tikus
Kulit memiliki sebaran jumlah sel mast lebih banyak dibandingkan peritoneum karena kulit memiliki jaringan ikat dan vaskularisasi pembuluh darah lebih banyak dibandingkan peritoneum. Hal ini berarti posisi keberadaan sel mast
pada tubuh tikus menentukan hasil sebaran jumlah sel mast pada kedua sampel tersebut. Posisi sel mast umumnya berada di sekitar pembuluh darah, jaringan ikat, di dalam interstitium myokardium, di antara sel lemak, di peritoneum dan di thymus (Harris 1990; Stammler 1921; Riley 1959; Benditt and Lagunoff 1963 dalam Keller 1966). Menurut Baker (1979), otot, kulit dan tulang tikus mendapat distribusi darah sebesar 47%, kemudian menurut Bowen (2006) peritoneum tersusun dari membran tipis yang membatasi abdominal dan ruang pelvis serta menutupi banyak organ viscera. Peritoneum disusun oleh lapisan mesothelium yang tersusun dari lapisan tipis ja ringan ikat. Banyaknya jumlah vaskularisasi pada kulit dan ketebalan jaringan ikat dimungkinkan menentukan jumlah sebaran sel mast pada kedua sampel tersebut. Banyaknya jumlah sel mast pada tikus diabetes yang diinduksi dengan STZ kemungkinan berhubungan dengan reaksi alergi yang terjadi pada tikus diabetes. Reaksi alergi terjadi dimungkinkan karena radikal bebas pada penderita DM meningkat. Meningkatnya radikal bebas dapat berasal dari hasil samping metabolisme (Wresdiyati et al. 2002) sebagai upaya tubuh untuk mencukupi energi. Sumber energi yang digunakan sebagai pengganti glukosa adalah lemak. Proses pemecahan lemak (lipolisis) berlangsung di mitokondria dan peroksisom melalui jalur ß–oksidasi dan sitokrom P-450. Proses pemecahan lemak selain menghasilkan energi juga menghasilkan produk samping yaitu radikal bebas (Orellana et al. 1992 dalam Zulfanedi 2006). Radikal bebas juga dapat dihasilkan STZ berupa radikal metil yang dapat menyisipkan gugus alkil pada berbagai macam komponen seluler seperti DNA, protein atau bereaksi dengan H2 O membentuk metanol (Ling li 2001 dalam Shalahuddin 2005). Kehadiran radikal bebas yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid membran yang berefek langsung terhadap kerusakan membran sel. Kerusakan membran sel dapat berlanjut menjadi nekrosa (Halliwell and Gutteridge 1990 dalam Wresdiyati dan Astawan 2004). Nekrosa massive juga terjadi pada sel B pankreas yang disebabkan oleh STZ. STZ menghasilkan donor nitrit oksida (NO) yang menyebabkan kerusakan sel pulau langerhans pankreas dan menghambat siklus Krebs, akibatnya konsumsi oksigen berkurang, sehingga
terjadi pembatasan produksi ATP dalam mitokondria yang menyebabkan deplesi nukleotida dalam sel B pankreas (Gunnarsson et al. 1974 dalam Coorperstein and Watkins 1981). Kematian sel/nekrosa yang terjadi pada beberapa organ menyebabkan reaksi inflamasi. Reaksi inflamasi yang terjadi menyebabkan peningkatan jumlah sel mast. Menurut Katz et al. (1985) yang dalam Choliq (2002) dan Anonim (2007b), sel mast berperan dalam mengatur respon inflamasi, sehingga pada tikus diabetes yang diinduksi dengan STZ terjadi peningkatan jumlah sel mast. Pada kulit dan peritoneum tikus yang diberi vitamin E terjadi penurunan jumlah sel mast. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan fungsi vitamin E sebagai antioxidant (Guyton 1961; Baker 1979; Hanim 1996; Savitri 1999), proteksi terhadap oxyradikal (Comb 1992) dan antitoksisitas (Hanim 1996) sehingga dapat mengurangi efek sitotoksik dari N-methylnitroso dan jumlah radikal bebas (Ling li 2001 dalam Shalahuddin 2005) serta melindungi sel dari radikal bebas (Moreno et al. 2003). Berkurangnya radikal bebas setelah pemberian vitamin E dapat mengurangi peroksidasi unit asam lemak tidak jenuh dan fosfolipid membran plasma sel (Linder 1991 dalam Hanim 1996; Moreno et al. 2003). Berkurangnya reaksi peroksidasi dapat mencegah terjadinya nekrosa yang dapat menyebabkan reaksi inflamasi. Berkurangnya reaksi inflamasi pada tikus akan mengurangi jumlah sel mast yang memiliki peran dalam mengatur proses inflamasi (Anonim 2007b).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Distribusi sel mast pada kulit tikus model DM yang diinduksi dengan STZ ditemukan lebih banyak dan berfluktuasi daripada peritoneum. Pemberian vitamin E dapat menurunkan jumlah sel mast pada kulit secara nyata baik pada kelompok diabetes/non-diabetes. Sedangkan pada peritoneum, penurunan secara nyata hanya terjadi pada kelompok diabetes.
Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui secara histopatologi pengaruh vitamin E terhadap dampak yang ditimbulkan oleh diabetes melitus yang diinduksi dengan STZ.
DAFTAR PUSTAKA
[Anonim].
2007a. Diabetes Mellitus. mellitus.html. [2 Mei 2007].
http://en.wikipedia.org/wiki/Diabetes
[Anonim]. 2007b. Immune System. http://en.wikipedia.org/wiki/Immune_system. html. [2 Mei 2007]. [Anonim]. 2007c. Mast Cell. http://en.wikipedia.org/wiki/Mast cell.html. [2 Mei 2007]. Baker HJ, Lindsey JR, Steven HW. 1979. The Laboratory Rat. Volume I. New York: Academic Press. hlm 140-141. Bertoli SV, Buzzi l, Ciurlino D, Maccario M, Martino S. 2003. Morpho- functional study of peritoneum in peritoneal dialysis patients. http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://www.sinitaly.org/jnonline/Vol16n3/373-f2.jpg&imgrefurl=http://www.sinitaly.org/jnonline/Vol16n3/373.html&h=300&w=400&sz=15&hl=id& start=78&tbnid=BWSwtzjdCcaHyM:&tbnh=93&tbnw=124&prev=/im ages%3Fq%3Dperitoneum%26start%3D60%26gbv%3D2%26ndsp%3 D20%26svnum%3D10%26hl%3Did%26sa%3DN.html. [21 Juli 2007]. Bowen
R. 2006. Peritoneum, Mesentery and Omentum. http://www.vivo.colostate.edu/hbooks/pathphys/misc_topics/peritoneu m.html. [21 Juli 2007].
Bookbinder PF, Butt MT, Harvey HJ. 1992. Determination of the Number of Mast Cells in Lymph Node, Bone Marrow, and Buffy Coat Cytologic Specimens from Dogs. Journal of the American Veterinary Medical Association. Vol. 200. No. 9-12. hlm 1648-1650. Choliq C, Nisa’ C, Priyono SA, Tiuria R, Adnyane IKM. 2002. Distribusi dan Frekuensi Sel Mast yang Berperan sebagai Modulator Pertahanan Mukosa pada Saluran Pencernaan Itik Tegal (Anas javanica) yang di Infeksi dengan Cacing Nematoda Ascaridia galli. [laporan penelitian]. Fakultas Kedokteran Hewan: Institut Pertanian Bogor. Combs GF. 1992. The Vitamins, Fundamental Aspects in Nutritional and Health. New York: Academic Press. hlm 179-201. Cooperstein SJ, Watkins D. 1981. The Islet of Langerhans. New York: Academic Press. hlm 411-418. Curran RC. 1985. Colour atlas of Histopathology. 3rd edition. Oxford University Press.
Dalimunthe D. 2004. Diabetes Mellitus: Peranan Insulin, Reseptor Insulin dan Penanganannya. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara; Medan, 17 April 2004. Medan: Universitas Sumatera Utara. hlm 2 dan 11. Daniaty RD. 2004. Gambaran Histopatologi Organ Otak Tikus Penderita Diabetes Melitus yang diberi Infus Batang Brotowali (Tinospora tuberculata L.) sebagai bahan antidiabetik. [skripsi]. Bogor : Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Dellmann HD. dan Brown EM. 1989. Buku Teks Histologi Veteriner I. Penerjemah; Hartono. Ed. 3. Jakarta : UI-Press. hlm 116-120. Dianawati E. 2002. Gambaran Sel Mast pada Abomasum Domba yang diinfeksi Cacing Haemonchus contortus. [skripsi]. Bogor : Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Featherston DW, Wakelin D, Lammas DA. 1992. Inflamatory Responses in the Intestine During Tapeworm Infections Mucosal Mast Cells and Mucosal Mast Cell Protease in Sprague-Dawley Rats Infected with Hymenolepis diminuta. International Jornal for Parasitology. Vol. 22. No. 7-8. hlm 961-966. Ganong WF. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-20. Jakarta: EGC. hlm 320-341. Guyton AC. 1961. Text book of Medical Physiology. Ed ke-2. Philadelphia: W. B. Saunders Company. hlm 945-946. Hanim D. 1996. Pengaruh vitamin E terhadap organ hati dan uterus tikus putih (Rattus norvegicus) betina yang diberi perlakuan natrium sakarin dan natrium siklamat. [tesis]. Bogor : Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Hau J, Van Hoosier GL Jr. 2006. Handbook of laboratory animal science. Ed ke2. London: CRC press. Indriyati E. 2004. Gambaran Histopatologis Organ Testis Tikus Penderita Diabetes Melitus yang diberi Infus Batang Brotowali (Tinospora tuberculata L.) sebagai Bahan Anti Diabetik. [skripsi]. Bogor : Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Ishih A. 1992. Mucosal Mast Cell Response to Hymenolepis diminuta Infection in Different Rat Strains. International Journal for Parasitology. Vol. 22. No. 7-8. hlm. 1033-1035.
Keller R. 1966. Tissue Mast Cells in Immune Reactions. Vol. 2. Switzerland: Schellenberg-Druck. hlm 14-15. Malole MBM, Pramono SU. 1989. Penggunaan hewan-hewan percobaan di laboratorium. Departemen pendidikan dan kebudayaan Direktorat Jenderal pendidikan tinggi pusat antar universitas bioteknologi, IPB. Meylina E. 2005. Analisis faktor resiko hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung dan pembuluh darah di Indonesia. [tesis]. Bogor : Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Mistra. 2004. 3 jurus melawan diabetes melitus. Jakarta: Puspa Swara. hlm 4-8. Moreno CS, Dorfman SE, Lichtenstein AH, Martin A. 2003. Dietary Fat Type Affects Vitamins C and E and Biomarkers of Oxidative Status in Peripheral and Brain Tissues of Golden Syrian Hamsters. American Society for Nutritional Sciences. hlm 655. Savitri C. 1999. Potensi antiaterogenik suplemen kombinasi isoflavon-vitamin E terhadap lesi arteri koroner pada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang hiperkolesterolemik. [tesis ]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Shalahuddin I. 2005. Efek Antihiperglikemik Ekstrak Air Buah Mahkota Dewa pada Tikus Diabetes yang di Induksi Streptozotosin. [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Soehadi K. 1989. Pengaruh regulasi diabetes mellitus terhadap profil spermiogram, hormon reproduksi dan potensi seks pria. [disertasi]. Surabaya: Universitas Airlangga. Syahrizal. 1998. Kadar optimum vitamin E (a-tokoferol) dalam pakan induk ikan lele, Clarias batrachus Linn. [tesis]. Bogor : Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Tizard I. 1987. An Introduction to Veterinary Immunology. WB. Saunders Company. Philadelphia. Walpole RE. 1990. Pengantar Statistika. Ed. Ke-3. Jakarta: PT-Gramedia Pustaka Utama. Wiyastuti SK. 2000. Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebagai model diabetes melitus: pengaruh hiperglikemia pada lipid darah, serum oksida nitrik (NO) dan tingkah laku klinis. [tesis]. Bogor : Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Wresdiyati T, Agungpriyono S, Sari DK. 2002. Deteksi secara Imunohistokimia Antioksidan Copper Zinc Superoxide Dismutase Cu,Zn-SOD pada Hati dan Ginjal Tikus Prenatal, Postnatal dan Dewasa. [laporan kegiatan]. Fakultas Kedokteran Hewan: Institut Pertanian Bogor. Wresdiyati T, Astawan M. 2004. Deteksi secara Imunohistokimia Antioksidan Superoksida Dismutase (SOD) pada Jaringan Tikus Hiperkolesterolemia. [laporan penelitian]. Fakultas Kedokteran Hewan: Institut Pertanian Bogor. Zulfanedi Y. 2006. Dampak pemberian Tepung Buah Pare terhadap Profil Imunohistokimia Antioksidan Copper, Zinc-Superoksidase (Cu, ZnSOD) pada jaringan ginjal Tikus Diabetes Melitus. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Prosedur pembuatan preparat histologi
1. Sampling Sampling dilakukan dengan mengambil organ dari he wan tikus. Organ yang diambil adalah kulit dan peritoneum seluas 2 x 2 cm. 2. Fiksasi Sampel kulit dan peritoneum dimasukkan dalam cairan fiksatif Buffer Neutral Formalin (BNF) 10%, setelah beberapa hari organ kulit dan peritoneum dipotong seluas 1 x 2 cm, kemudian dimasukkan ke dalam kaset dan siap diproses dalam Tissue Processor. 3. Dehidrasi Dehidrasi dengan menggunakan alkohol konsentrasi bertingkat •
Alkohol 70%
•
Alkohol 80%
•
Alkohol 90%
•
Alkohol 95%
•
Alkohol absolut I (1 jam)
•
Alkohol absolut II (1 jam)
•
Alkohol absolut III (1 jam)
4. Clearing (penjernihan) •
Xylol I (1 jam)
•
Xylol II (1 jam)
•
Xylol III
5. Infiltrasi menggunakan parafin di dalam Tissue processor •
Parafin I (1 jam)
•
Parafin II (30 menit)
•
Parafin III (30 menit)
6. Embedding (penanaman organ) Parafin cair di embedding console dimasukkan dalam cetakan (setengah dari volume cetakan), kemudian potongan jaringan dimasukkan sampai menyentuh dasar cetakan, lalu cetakan dipenuhi dengan parafin cair dan dibekukan diatas Cold plate.
7. Pemotongan Setelah cetakan organ dalam parafin beku, lalu dipotong dengan menggunakan rotary microtome dengan ketebalan 4-5 µ. Hasil pemotongan diletakkan di atas permukaan air hangat (40ºC). Setelah itu dilekatkan pada objek gelas lalu disimpan dalam inkubator selama satu malam dengan suhu 40ºC. 8. Deparafinasi •
Xylol (2-3 menit)
•
Xylol II (2-3 menit)
•
Xylol I (2-3 menit)
9. Rehidrasi •
Alkohol absolut (2-3 menit)
•
Alkohol absolut II (2-3 menit)
•
Alkohol absolut I (2-3 menit)
•
Preparat ditiriskan/dikeringkan
•
Alkohol 95% (2-3 menit)
•
Alkohol 90% (2-3 menit)
•
Alkohol 80% (2-3 menit)
•
Alkohol 70% (2-3 menit)
•
Air kran (10 menit)
•
Aquades (5 menit)
10. Pewarnaan Pewarnaan yang dilakukan yaitu pewarnaan Toluidin blue, yang bertujuan untuk dapat melihat gambaran lebih jelas distribusi sel mast pada sampel organ beberapa kelompok tikus. Adapun proses pewarnaan Toluidin blue melalui beberapa proses diantaranya : •
Toluidin blue (5-30 menit)
•
Preparat slide dibilas di air (5X)
•
Di dehidrasi singkat
•
Alkohol 90%, alkohol absolut I, alkohol absolut II, clearing xylol I, clearing xylol II, clearing xylol III (1 menit)
•
Entellan (2 tetes) dan ditutup dengan cover glass (mounting).
9. Pengamatan histologi Pengamatan histologi menggunakan miikroskop cahaya, dilakukan dengan melihat jumlah sebaran sel mast pada organ kulit dan peritoneum. Pada tiap organ, keberadaan sel mast dihitung pada tiga lapang pandang.
Lampiran 2 Tabel pengamatan jumlah sel mast
Kelompok A1
Slide a b c
A2
a b c
A3
a b c
B1
a b c
B2
a b c
B3
a b c
Organ Peritoneum Kulit Peritoneum Kulit Peritoneum Kulit Peritoneum Kulit Peritoneum Kulit Peritoneum Kulit Peritoneum Kulit Peritoneum Kulit Peritoneum Kulit Peritoneum Kulit Peritoneum Kulit Peritoneum Kulit Peritoneum Kulit Peritoneum Kulit Peritoneum Kulit Peritoneum Kulit Peritoneum Kulit Peritoneum Kulit
LP I 7 16 8 26 8 16 2 12 8 16 4 15 10 14 14 18 19 17 6 16 7 12 1 7 10 11 6 13 10 11 5 14 4 9 5 7
LP II 0 18 3 17 4 8 5 12 2 16 11 18 5 11 5 22 14 16 3 18 3 14 5 10 4 19 4 26 4 17 4 18 1 5 7 16
LP III 4 16 1 26 7 15 7 10 4 15 4 22 2 16 6 15 6 19 0 11 0 13 8 9 8 25 6 24 13 15 2 9 3 6 9 8
Rata2 LP 3.67 16.67 4 23 6.33 13 4.67 11.33 4.67 15.67 6.33 18.33 5.67 13.67 8.33 18.33 13 17.33 3 15 3.33 13 4.67 8.67 7.33 18.33 5.33 21 9 14.33 3.67 13.67 2.67 6.67 7 10.33
Rata2 slide 4.67 17.56
Rata-rata kelompok 6.30 16.37
5.22 15.11
9 16.44
3.67 12.22
7.22 17.89
4.45 10.22
5.11 13.44
Kelompok C1
Slide a b c
C2
a b c
C3
a b c
D1
a b c
D2
a b c
D3
a b c
Keterangan :
LP A B C D
Organ LP I Peritoneum 9 Kulit 18 Peritoneum 9 Kulit 23 Peritoneum 7 Kulit 30 Peritoneum 6 Kulit 8 Peritoneum 10 Kulit 16 Peritoneum 12 Kulit 16 Peritoneum 11 Kulit 26 Peritoneum 17 Kulit 12 Peritoneum 12 Kulit 13 Peritoneum 6 Kulit 16 Peritoneum 13 Kulit 15 Peritoneum 10 Kulit 17 Peritoneum 10 Kulit 16 Peritoneum 8 Kulit 20 Peritoneum 7 Kulit 11 Peritoneum 9 Kulit 27 Peritoneum 5 Kulit 32 Peritoneum 6 Kulit 28 = Lapang Pandang = Kontrol = Vitamin E = STZ = STZ+vitamin E
LP II 10 20 11 25 14 25 10 14 13 18 17 26 18 33 32 21 38 30 11 20 11 17 14 10 8 25 12 24 8 24 10 14 8 17 8 16
LP III 11 37 12 26 9 32 6 21 6 19 15 36 9 21 7 33 16 17 13 28 8 19 14 17 15 15 12 20 14 13 16 23 8 24 10 15
Rata2 LP 10 25 10.67 24.67 10 29 7.33 14.33 9.67 17.67 14.67 26 12.67 26.67 18.67 22 22 20 10 21.33 10.67 17 12.67 14.67 11 18.67 10.67 21.33 9.67 16 11.67 21.33 7 24.33 8 19.67
Rata2 slide 10.22 26.22
Rata-rata kelompok 12.85 22.81
10.56 19.33
17.78 22.89
11.11 17.67
10.45 18.67
8.89 21.78
10.15 19.37
Lampiran 3 Rata-rata jumlah sel mast pada kulit The SAS System Analysis of Variance Procedure Class Level Information Class
Levels
Values
KONSENT
4
F G H kont
ULANGAN
3
1 2 3
Number of observations in data set = 12 Dependent Variable: SM Source
DF
Model
5
SEL MAST
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
146.48245000
29.29649000
2.64
0.1343
11.09022500
Error
6
66.54135000
Total
11
213.02380000
R-Square
C.V.
Root MSE
SM Mean
0.687634
18.50111
3.330198
18.00000000
Source
DF
Anova SS
Mean Square
F Value
Pr > F
Kelompok
3
145.42300000
48.47433333
4.37
0.0591
ULANGAN
2
1.05945000
0.52972500
0.05
0.9537
Level of
--------------SM-------------
Kelompok
N
Mean
SD
F
3
13.4433333
3.97864717
G
3
22.8133333
3.44563976
H
3
19.3733333
2.14336962
kont
3
16.3700000
1.22649908
Duncan's Multiple Range Test for variable: SM NOTE: This test controls the type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate Alpha= 0.05
df= 6
Number of Means Critical Range
MSE= 11.09023 2
3
4
6.653 6.896 7.016
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
kelompok
A
22.813
3
G
19.373
3
H
16.370
3
kontrol
13.443
3
F
A B
A
B
A
B
A
B B
Lampiran 4 Rata-rata jumlah sel mast pada peritoneum The SAS System Analysis of Variance Procedure Class Level Information Class
Levels
Values
KONSENT
4
F G H kont
ULANGAN
3
1 2 3
Number of observations in data set = 12 Dependent Variable: SM Source Model
SEL MAST
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
5
0.55884167
0.11176833
1.35
0.3580
0.08267500
Error
6
0.49605000
Total
11
1.05489167
R-Square
C.V.
Root MSE
SM Mean
0.529762
58.78009
0.287532
0.48916667
Source
DF
Anova SS
Mean Square
F Value
Pr > F
Kelompok
3
0.11162500
0.03720833
0.45
0.7265
ULANGAN
2
0.44721667
0.22360833
2.70
0.1454
Level of
--------------SM-------------
Kelompok
N
Mean
SD
F
3
0.33000000
0.11000000
G
3
0.52000000
0.35930488
H
3
0.51666667
0.52548390
kont
3
0.59000000
0.23302360
Duncan's Multiple Range Test for variable: SM NOTE: This test controls the type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate Alpha= 0.05
df= 6
Number of Means Critical Range
MSE= 0.082675 2
3
4
.5745 .5954 .6057
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
KELOMPOK
A
0.5900
3
kontrol
0.5200
3
G
0.5167
3
H
0.3300
3
F
A A A A A A