1 DISTRIBUSI KEKAYAAN INDIVIDU DALAM EKONOMI ISLAM Disertasi Ini diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Doktor Dalam Bidang Ilmu Agama...
DISTRIBUSI KEKAYAAN INDIVIDU DALAM EKONOMI ISLAM Disertasi Ini diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Doktor Dalam Bidang Ilmu Agama Islam
Oleh
TAJUDDIN POGO Nim : 04.3.00.1.08.01.0054 Promotor : Prof. Dr. Ahmad Rodoni, MA Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
i
2010
Surat Pernyataan
Yang bertanda tangan di bawah ini, Nama NIM Tempat/ tanggal lahir Pekerjaan Alamat
E-mail
: : : :
Tajuddin Pogo 04.3.00.1.08.01.0054 Sumbawa, 5 Juni, 1972 Guru Swasta : a. Serange no. 24 kec. Lopok Sumbawa Besar NTB. 84382 b. Jl. Transad V, no. 5, rt. O2/08 Jatirangon Jatiwarna, Bekasi, Jawa Barat. : [email protected]
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa disertasi yang berjudul;
Distribusi Kekayaan Individu Dalam Ekonomi Islam, adalah benar-benar karya asli saya, kecuali kutipan-kutipan yang dijelaskan sumbernya. Apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan di dalamnya, sepenuhnya menjadi tanggungjawab saya yang dapat berakibat pada gelar kesarjanaan dibatalkan. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Jakarta, 29 September 2010 Yang membuat pernyataan;
Tajuddin Pogo
ii
Persetujuan Pembimbing
Disertasi berjudul, Redistribusi Kekayaan Individu Dalam Ekonomi Islam, yang ditulis oleh Tajuddin Pogo, Nomor Induk Mahasiswa, 04.3.00.1.08.01.0054 disetujui untuk diajukan ke sidang Ujian Pendahuluan Disertasi.
Jakarta, 29 Juli 2010 Pembimbing I,
(Prof. Dr. Ahmad Rodoni, MA )
iii
Persetujuan Pembimbing
Disertasi berjudul, Redistribusi Kekayaan Individu Dalam Ekonomi Islam, yang ditulis oleh Tajuddin Pogo, Nomor Induk Mahasiswa, 04.3.00.1.08.01.0054 disetujui untuk diajukan ke sidang Ujian Pendahuluan Disertasi.
Jakarta, 29 Juli 2010 Pembimbing II,
(Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA)
iv
Persetujuan Penguji Disertasi berjudul, Distribusi Kekayaan Individu Dalam Ekonomi Islam, yang ditulis oleh Tajuddin Pogo, Nomor Induk Mahasiswa, 04.3.00.1.08.01.0054 telah dinyatakan lulus dalam Ujian Promosi pada tanggal 7 September 2010, dan disetujui untuk diserahkan ke Perpustakaan Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 29 September 2010
Tim Penguji Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA (Ketua Sidang/Penguji)
(.......................................)
Prof. Dr. Ahmad Rodoni, MA (Pembimbing/Penguji)
(.......................................)
Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, MA (Pembimbing/Penguji)
(.......................................)
Prof. Dr. Abdul Hamid, MS (Penguji)
(.......................................)
Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA (Penguji)
(.......................................)
Dr. Muslimin Nasution, APU (Penguji)
(.......................................)
v
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB–LATIN Pedoman transliterasi Arab-Latin dalam disertasi ini, mengacu kepada pedoman ALA-LC Romanization Tables. A. Daftar huruf Arab dan transliterasinya dengan huruf latin adalah sebagai berikut : Huruf Arab
Nama Alif
Ba>
Huruf Latin Tidak dilambangkan b
Ta>'
t
te
Tha>'
th
Te dan ha
Ji>m
j
je
Ha>'
h}
ha (titik di bawah)
Kha>'
kh
ka dan ha
Da>l
d
de
Dha>l
dh
De dan ha
Ra
r
er
Zay
z
zet
Si>n
s
es
Shi>n
sh
es dan ha
S{ad>
s}
D{ad>
d}
T{a'>
t}
es (dengan titik di bawah) de (dengan titik di bawah) te (dengan titik di bawah)
vi
Nama Tidak dilambangkan be
Z{a'>
z}
‘Ayn
...‘.....
Ghayn
gh
Fa>'
f
ef
Qa>f
q
qi
Ka>f
k
ka
La>m
l
el
Mi>m
m
em
Nu>n
n
en
Wa>wu
w
we
Ha, ta>' marbu>ta} h Hamzah
h
Ha*
...’ ...
Ya>'
y
zet (dengan titik di bawah) Koma terbalik di atas Ge dan ha
apostrof ye
* untuk huruf ( ) ة, ta>’ marbu>ta} h dalam kata benda majmuk (mud}af> ) dilambangkan dengan huruf t (te). B. Vokal 1. Vokal Tunggal ـَـ ـِـ
= =
a i
ُــ
=
u
2. Vokal Rangkap ْـَـ ْـَـ
= =
aw ay
3. Mad atau Vokal Panjang
ـَـ ْـِـ ْـُـ
= = =
a> i> u>
C. Kata Sandang
D. Shaddah atau Tashdi>d
vii
= ا = ا = وا
al-qalam al-shams wa al-‘as}r
ل َ َ َ ُ ّ َا
= = =
nazzala nu‘i‘ima al-h}ajj
Kata Pengantar Alhamdulillâh, puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Allah swt. atas segala nikmat-Nya kepada penulis, sehingga mampu menyelesaikan penulisan disertasi ini. Şalawat dan salam kepada pemimpin dan teladan umat, nabi Muhammad saw. keluarganya, sahabatnya dan para pengikutnya yang setia hingga hari kiamat.
Selanjutnya
penulis
menghaturkan
terima
kasih
dan
penghargaan kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian disertasi ini, dan secara khusus penulis haturkan kepada; •
Kedua orang tua, ayahanda Abu Bakar dan ibunda Saimah yang senantiasa berdoa untuk keberhasilan penulis, dan keduanya meninggal dunia sebelum penulis menyelesaikan disertasi ini.
•
Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. DR. Azyumardi Azra MA, yang telah berkenan memberikan kesempatan kepada penulis dalam menempuh pendidikan dan menyelesaikan penulisan disertasi ini.
•
Bapak Prof. Dr. Ahmad Rodoni, MA dan Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA yang menjadi pembimbing I dan II bagi penulis, yang telah meluangkan waktu dan tenaganya membimbing penulis dengan memberikan arahanarahan untuk perbaikan penulisan disertasi ini.
•
Seluruh Guru Besar dan Dosen
Sekolah Pascasarjana Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mengajarkan ilmu-ilmu bermanfaat dan membantu penyelesaian penulisan disertasi ini.
viii
•
Seluruh staff Perpustakaan Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan disertasi ini.
•
Istri tercinta, Ernawati dan anak-anak tercinta, Ahmad Fudhail Adzka, Aisyah Ittaqi, dan Athiya Husna yang memberikan semangat dan motivasi untuk menyelesaikan disertasi ini.
•
Seluruh keluarga, khususnya kakak-kakak dan adik yang memotivasi semangat penulis untuk menyelesaikan disertasi ini.
•
Saudara dan rekan perjuangan dalam kajian dan riset serta Pengurus Pusat IKADI dan MES.
•
Teman-teman satu angkatan yang telah banyak bekerjasama dalam pendalaman materi dan mata kuliah.
Dan semua orang yang terlibat baik langsung ataupun tidak langsung dalam penyelesaikan disertasi ini, semoga Allah membalas dengan balasan terbaik dan berlipat ganda. Wassalam
Penulis
ix
ABSTRAK Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa redistribusi kekayaan individu merupakan kebijakan yang mutlak diperlukan untuk merealisasikan pemerataan kesejahteraan dan keadilan distribusi seluas-luasnya. Penerapan prinsip ih}sa>n, ‘iffah dan i>tha>r dalam praktik redistribusi dapat melengkapi keterbatasan yang terdapat dalam prinsip-prinsip keadilan distribusi. Disertasi ini mendukung teori John Rawls dalam bukunya, A Theory of Justice (Harvard, MA: Harvard University Press, 1971) berkenaan dengan prinsip ketidaksamaan, yaitu Prinsip Perbedaan. Prinsip ini menjawab persoalan bagaimana ketidaksamaan diatasi. Namun dalam teori Rawls tidak terlihat jelas apa yang memotivasi tindakan orang-orang yang beruntung untuk berkorban bagi mereka yang kurang beruntung. Disertasi ini menawarkan prinsip ih}sa>n, ‘iffah dan i>tha>r agar orang-orang yang beruntung berkorban bagi mereka yang kurang beruntung. Disertasi ini juga mendukung temuan Masudul Alam Choudhury, Contributions to Islamic Economic Theory (New York: St. Martin’s Press, 1986) yang menawarkan tiga variabel untuk menciptakan ekonomi yang berkeadilan dan kesejahteraan seluas-luasnya yaitu; Tawheed and Brotherhood, Work and Productivity, dan Distributional Equity. Disertasi ini menjabarkan lebih detail tentang aplikasi Tawheed and Brotherhood, Work and Productivity, dan Distributional Equity tersebut, khususnya redistribusi kekayaan individu berdasarkan prinsip ih}sa>n, ‘iffah dan i>tha>r. Disertasi ini juga mendukung temuan Yu>suf Al-Qarad}a>wi, Dawr Al-Qiyam Wa Al-Akhla>q fi> al-Iqtis}ad> al-Isla>miy (Kairo, Da>r Wahbah, 1415/1995) dan penelitian Zakiyuddin Baidhowi, ‘Konsep Keadilan Ekonomi Dalam Al-Qur!a>n’ (Disertasi Doktor, pada Program Pascasarjana (PPs) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2007), yang menjelaskan tentang urgensi norma-norma dan akhlak dalam pembangunan ekonomi dan bahwa untuk menegakkan keadilan ekonomi sangat penting melibatkan aspek-aspek akidah dan etika, spiritualisasi dan moralisasi semua aktivitas ekonomi, baik pada tingkat individu, kolektif, masyarakat maupun kebijakan negara. Disertasi ini membahas lebih detail tentang beberapa prinsip dari norma dan akhak tersebut, khususnya prinsip ih}sa>n, ‘iffah dan i>tha>r. Perbedaan keduanya dengan disertasi ini adalah fokus penelitiannya yang terbatas pada bidang redistribusi kekayaan individu dan penjabarannya yang lebih detail tentang prinsip-prinsip redistribusi kekayaan individu yang menekankan urgensi norma dan akhlak dalam pembangunan ekonomi Islam. Disertasi ini menolak teori Ronald Dworkin, dalam ‘What is Equality? Part 1: Equality of Resources’, (Philosophy and Public Affairs, 10, 1981) tentang Prinsip
x
Berbasis Sumber Daya yang secara nyata tidak memberikan tempat bagi tanggungjawab sosial atas orang yang kurang beruntung, dan tidak ada subsidi bagi orang yang kurang pendapatannya. Disertasi ini membuktikan bahwa perbedaan tingkat ekonomi merupakan sunnat Alla>h yang pasti terjadi dan merupakan penghargaan atas kenyataan adanya perbedaan antara kemampuan manusia dan produktifitasnya dalam ekonomi. Dengan merujuk kepada buku-buku distribusi dan redistribusi dalam ekonomi Islam, ayat-ayat al-Qur!a>n secara tematis, hadith-hadith yang berkenaan dengan redistribusi kekayaan, dan penjelasannya dalam kita>b-kita>b tafsir dan sharh} hadith, ditambah dengan kitab-kitab utama dalam empat madhhab fikih, dan kitabkitab al-siya>sah al-shar‘iyyah, kemudian dianalisis secara komparatif dan berdasarkan fakta empiris dalam sejarah kenabian dan kekhalifahan, ditemukan bahwa ekonomi Islam memiliki konsep yang unik dan berbeda dalam mengatasi kesenjangan pendapatan dan kekayaan di tengah-tengah masyarakat.
ABSTRACT The findings in this dissertation points out that redistribution of individual wealth is policy that is absolutely necessary for the realization of equality of welfare
xii
and distributive justice. Application of the principle ih}sa>n, ‘iffah and i>tha>r in the practice of such redistribution complements the limitations in the principles of distributive justice. This dissertation supports the theory of John Rawls in his book, A Theory of Justice (Harvard, MA: Harvard University Press, 1971) in respect of the principle of inequality, namely Difference Principle. This principle is to answer the question of how to overcome inequality. However, in Rawls's theory is not clear, what motivated the actions of people who were lucky to make sacrifices for those who are less fortunate. This dissertation offers a principle of ih}sa>n, ‘iffah dan i>tha>r, to make lucky people voluntarily sacrifices for those who are less fortunate. This dissertation also supports the findings of Masudul Alam Choudhury, Contributions to Islamic Economic Theory (New York: St. Martin's Press, 1986) that offer three variables to create economic justice and welfare as wide as possible ie; tawheed and brotherhood, work and productivity, and distributional equity.This dissertation sets out more detail about the application of tawheed and brotherhood, and work productivity, and distributional equity, especially based on the principle of ih}sa>n, ‘iffah dan i>tha>r. This dissertation also supports the findings of Yusuf al-Qaradawi, The Role of Norms and Morals in Islamic Economics (Cairo, Dar Wahbah 1415/1995) and research of Zakiyuddin Baidhowi, “Concept of Economic Justice in the Qur'an,” (Doctoral Dissertation, the Graduate Program, State Islamic University (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2007), which both are emphasized the urgency of norms and morals in the development of Islamic Economics and implementation aspects of faith and ethics, spiritualized and the moralization of all economic activities, at the individual level, collective, community or state policy. The differences both with this dissertation are the range that limited research focusing on redistribution of individual wealth areas. This dissertation discusses more detail about some of the norms and moral principles, especially the principle of ih}sa>n, ‘iffah dan i>tha>r. This dissertation rejects the theory of Ronald Dworkin, in “What Is Equality? Part 1: Equality of Resources,” (Philosophy and Public Affairs, 10, 1981) of the Resource-Based Principles which significantly did not give a place for social responsibility for people who are less fortunate, and no subsidies for people with less income. With reference to the verses of al-Qur'a>n thematically, Hadiths regarding the redistribution of wealth, and its explanation in Tafseer and Hadith’ Commentary books, a major books of the four madhhabs (schools jurisprudence), books concern with the distribution and redistribution of Islamic economics, and the books of shariah policy, then analyzed it comparatively and based on empirical facts in the history of prophethood and caliphate, it was discovered that Islamic economics has a unique and different concept in overcoming disparities in income and wealth in the midst of society.
xiii
DAFTAR ISI Surat pernyataan............................................................................................................i Lembar Persetujuan Pembimbing ………………..….…….................….….……... ii Lembar Persetujuan Penguji........................................................................................iii Pedoman Transliterasi Arab-Latin……………….…......….………………...……... iv Kata Pengantar …………………..………………………......….…………..…........ vi Abstrak……………………………………………………………………………...viii Daftar Isi …………………..……….…………..………..…….…………..….… xiv BAB I. Pendahuluan …………………………….……………………………………1 A. Latar Belakang …………………...……..….………………………..….……….. 1 B. Permasalahan…………………………..…………………….……………...……..9 1. Identifikasi Masalah ……….........…….…………………………….……..9 2. Pembatasan Masalah……...….…..……………………..…………….…..13 3. Perumusan Masalah……...…....………….…………………….….….….13 C. Kajian Pustaka………...…………….….………………..………………….…... 14 D. Tujuan Penelitian …………………………...………...………..………………..19 E. Manfaat dan Kegunaan Penelitian………….……..………….…………...…..…20 F. Metode Penelitian…………………………….…….………………..……..…… 21 G. Sistimatika Pembahasan…………………………….……………….………..…23 BAB II. Kebutuhan terhadap Distribusi Kekayaan ……………...…………………26 A. Urgensi dan Fungsi Distribusi Kekayaan …………...……....……..……..…..…26 B. Prinsip-prinsip Keadilan Distribusi dan Keterbatasannya…...……..…………....35 C. Prinsip Altruisme Dalam Kekayaan …………...……………………..……..…...51 D. Kepemilikan Individu, Umum dan Negara ……...…………………………........65 E. Standar Kekayaan dan Kecukupan dalam Kebutuhan Dasar ...………………….72 1. Batasan Kekayaan Minimal………………………….….…….…….…...…78 2. Batasan Kekayaan Maksimal…………………………..…………..…….....80 3. Jaminan Standar Penghidupan Minimal …………….……..………..…......82 BAB III. Peningkatan Kemampuan Distribusi……………....……….......…….......95 A. Bahaya Konsentrasi Kekayaan dan Ukuran Ketimpangan………………………95 B. Distribusi menurut Prinsip ih}sa>n, ‘iffah dan i>tha>r …………...………....……....101 1. Prinsip Ih}sa>n ……………….………………………….…..………………101
xiv
2. Prinsip ‘Iffah ……………………………..……………….……....….…...108 3. Prinsip I@tha>r …………………………………..…………………..………112 C. Optimalisasi Produksi Kekayaan …………………….....……..…………..….. 115 D. Urgensi Menghasilkan Kekayaan……...……………..………………………...119 E. Praktik Distribusi Kekayaan………..……………..................................…...….132
BAB IV. Pencegahan Penyimpangan dalam Distribusi Kekayaan Individu..........155 A. Aplikasi Sikap ‘iffah untuk Pencegahan Penyimpangan Distribusi..…….….....155 B. Penunaian Amanah dan Kesucian dari Syubhat..................................................165 C. Menghindari Usaha yang Haram .........................................................................169 D. Kesucian dari Penyimpangan Dana Kaum Dhuafa dan Perjuangan Agama.......176 E. Pencegahan Praktik Ih}tika>r dan Kejahatan Ekonomi ………………..………...178 F. Pengawasan Terhadap Distribusi Kekayaan Individu …………...………….....185 G. Pencekalan terhadap Distribusi Kekayaan Individu ……………..………....…194 BAB V. Sasaran dan Skala Prioritas Distribusi Kekayaan Individu......................195 A. Sikap ih}sa>n Membelanjakan Kekayaan…………………….……………..........202 B. I@tha>r Dalam Kekayaan dan Manfaat…………………………….………….......215 C. Skala Prioritas Distribusi berdasarkan Filosofi Zakat...................................... ..217 D. Distribusi untuk Pengentasan Kemiskinan..........................................................221 BAB VI. Penutup ...................................................................................................235 A. Kesimpulan …...….……………………………………………….…..………. 235 B. Saran……………….....………………………………………………..…….….239 Daftar Pustaka…………………………………………………….....……………..240 Lampiran-lampiran…………………………………………………......…………..254
xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara global, kekuatan ekonomi di bawah sistem Kapitalisme, Sosialisme, Negara Sejahtera dan Neo-Liberalisme masih menyisakan sejumlah masalah dalam hubungannya dengan keadilan ekonomi, baik dalam soal hubungan kepemilikan, produksi, konsumsi ataupun distribusi.1 Dalam bidang ekonomi, di bawah sistemsistem ekonomi tersebut, manusia dewasa ini menghadapi persoalan ketidakadilan, ketimpangan pendapatan, kemiskinan, sikap rakus dan tamak, marjinalisasi, rasa takut dan cemas, kecurigaan berlebihan, xenophobia, terorisme, inharmonisasi, korupsi, dan lain-lain.2 Sistem ekonomi Kapitalisme misalnya sekarang ini telah mengakibatkan kesenjangan sosial antara kaya dan miskin. Dunia saat ini menghasilkan sekelompok sangat kecil orang-orang yang sangat kaya, meninggalkan milyaran manusia hidup di bawah garis kemiskinan dan jutaan orang meninggal setiap hari karena kelaparan. Ini merupakan salah satu akibat dari penekanan pada pertumbuhan GNP dan keberpihakan berlebihan kepada pihak-pihak yang memiliki kapital besar.3 Oleh karena itu Kapitalisme dalam bentuk klasiknya laissez faire telah runtuh, yang masih bertahan adalah Kapitalisme yang telah dimofidikasi. Kapitalisme berasumsi bahwa 1
Pada skala global, banyak orang yang menolak Kapitalisme tanpa regulasi dan Sosialisme ekstrem, serta Neoliberalisme yang telah berdampak kepada kondisi melahirkan kemiskinan dan pemiskinan struktural dalam jumlah massif, sebagaimana yang disebutkan oleh beberapa ahli ekonomi seperti; Joseph E. Stiglitz, Globalization and Its Discontent (New York: W.W. Norton & Company, 2003), Umar Vadillo, The Ends of Economics: An Islamic Critique of Economics (San Gregorio Alto, 30, 18010 Granada: Madinah Press, 1991) dan Jan Aart Scholte, “Globalization : A New Imperialism” The Netherlands, Institute of Social Studies, the Hague (1998):11-13. 2 Lihat Joseph Carens, Equality, Moral Incentives and the Market (Chicago: Chicago University Press, 1981), 2-5. 3 Dikatakan Mahbub ul Haq, “… we were taught to take care of GNP as this will take care of poverty. Let us reverse this and take care of the poverty as this will take care of GNP.” Lihat Mahbub ul Haq, “Employment and Income Distribution in the 1970’s: A New Perspective,” Development Digest (October 1971), 7. Lihat pula Sri-Edi Swasono, “Prospek dan Perkembangan Perekonomian Rakyat/UKM: Antara Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Pasar” memo, Denpasar, Diklatpim, LAN (21-22 Maret 2002).
1
dalam sistemnya terdapat suatu distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata dan fair dalam perekonomian. Namun karena tidak adanya mekanisme filter dan pemuasan keinginan yang tak terbatas, pendapatan dan kekayaan tidak terdistribusi secara merata.4 Sementara itu, Sosialisme dan Marxisme sebagai antitesis dari Kapitalisme juga tak dapat diandalkan. Ideologi ini bahkan mengalami kemunduran lebih cepat dari yang diprediksikan. Tujuan utama Sosialisme adalah menegakkan keadilan, namun pada praktiknya Sosialisme hanya mengurangi sedikit ketidakmerataan atau menimbulkan ketidakadilan yang lain. Sehingga para ahli ekonomi Barat sejak awal 1940-an dimulai oleh Joseph Schumpeter dengan bukunya Capitalism, Socialism and
Democracy, disusul generasi 1950-an, dan oleh generasi 1960-an, menyebutkan bahwa teori ekonomi telah masuk dalam tahap krisis.5 Kemudian beberapa ekonom menyimpulkan bahwa, konsep dan kebijakan ekonomi yang berdasarkan kapitalisme dan sosialisme, terbukti telah gagal mewujudkan perekonomian yang berkeadilan.6 Kemudian lahir Sistem Keadilan Negara Sejahtera7 merupakan langkah maju dari Kapitalisme. Dari segi filosofinya, Negara Sejahtera meyakini bahwa kesejahteraan individu merupakan tujuan yang sangat penting yang tidak mungkin tergantung hanya pada operasi kekuatan-kekuatan pasar; kemiskinan dan ketidakmampuan seseorang tidak mesti merupakan bukti dari kegagalannya. Oleh 4
Norman Furniss dan Timothy Tilton, The Case of Welfare State: From Social Security to Social Equality (Bloomington, Indiana: International Union Press, 1977), 42. 5
Hal ini dapat dibaca dengan jelas dalam beberapa literatur, antara lain: Daniel Bell and Irving Kristol (ed). The Crisis in Economic Theory (New York: Basic Books, Inc., Publishers, 1981). Selain itu juga bisa dilihat pada karya Mahbub Ul Haq, The Poverty Curtain: Choices for the Third World, (New York, U.S.A: Columbia University Press, 1976), Gunnar Myrdal, “Institutional Economics,” Journal of Economic Issues, XIII, 4, (Desember 1978): 771-783 dan Hla Mynt, “Economic Theory and the Underdeveloped Countries” Jurnal of Political Economic, LXXXIII, 5: (Oktober 1965): 477-491. 6 ‘Abdulla>h ‘Abd al-H}usayn Al-Ta>riqiy, Al-Iqtis}a>d Al-Isla>miy (Kuwait: Da>r Al-Nafa>is, 1999), 276. 7 Negara Sejahtera memperoleh dua momentum: setelah Depresi Besar dan Perang Dunia II sebagai respon terhadap tantangan yang ditimbulkan oleh Sosialisme dan kesulitan-kesulitan akibat Depresi dan Perang Dunia II tersebut. Untuk melihat sejarah Negara Sejahtera silahkan merujuk pada Maurice Bruce, The Coming of the Welfare State (London: Batsford, 1968).
2
karena itu, sistem ini mengakui full employment dan distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil sebagai bagian dari tujuan pokok kebijakan negara, namun subsidi umum telah melahirkan kepincangan yang tidak adil antara kaya dan miskin. Setelah krisis Kapitalisme selama 25 tahun berakhir dan semakin berkurangnya tingkat profit yang berakibat jatuhnya akumulasi kapital, korporasi besar bertekad kembali ke sistem liberalisme. Melalui corporate globalization mereka merebut kembali posisi ekonomi dan berhasil mengembalikan paham Liberalisme, bahkan dalam skala global. Paham ini disebut Neoliberalisme. Dua bapak ekonom Neoliberalisme adalah Friederich August von Hayek8 dan Milton Friedman.9 Paham ini mulai menggeliat pada dekade 1980-an, dan satu dekade kemudian, tepatnya
pada 1990-an, Kapitalisme Neoliberal pasar bebas
telah
menjadi ideologi ekonomi dunia yang dominan. Paham Neoliberalisme menggarisbawahi bahwa pasar harus bekerja secara bebas tanpa campur tangan negara, menekan pengeluaran upah dan melenyapkan hak-hak buruh, menghilangkan kontrol atas harga; mengurangi pemborosan anggaran negara dengan memangkas semua subsidi untuk pelayanan sosial seperti pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial, dan pada saat yang sama subsidi besarbesaran diberikan kepada perusahaan transnasional (TNCs) melalui tax holidays; memercayai deregulasi ekonomi; privatisasi adalah jalan menuju persaingan bebas yang dibungkus dengan efisiensi dan mengurangi korupsi, meski kenyataannya terjadi konsentrasi kapital di tangan sedikit orang dan memaksa rakyat kecil membayar lebih mahal untuk kebutuhan dasar mereka; dan mempetieskan paham 8
Pengaruh besar Hayek terutama pada pendasaran filosofis ekonomi pasar bebas, ia juga menentang keras kolektivisme dan fascisme yang melanda sebagian Eropa saat itu. Lihat B. Herry Priyono, “Dalam Pusaran Neoliberalisme,” dalam I. Wibowo dan Francis Wahono, ed. Neoliberalisme (Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003), 52-53. 9 Ia dikenal sebagai penentang gagasan John M. Keynes tentang campur tangan negara atau pemerintah dalam kehidupan ekonomi, yang biasanya dilakukan lewat stabilisasi untuk mengontrol inflasi dan pengangguran, dengan kebijakan investasi untuk mengangkat belanja masyarakat. Lihat B. Herry Priyono, Dalam Pusaran Neoliberalisme, dalam Neoliberalisme, I. Wibowo dan Francis Wahono, eds. (Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003), 52-53.
3
tentang public goods dan solidaritas sosial dan menggantinya dengan tanggung jawab individual.10 Persoalan-persoalan ekonomi tersebut memengaruhi munculnya berbagai kelompok dan strata masyarakat di hampir seluruh belahan dunia, dengan perbedaan dan jurang pemisah yang mencolok, kurang harmonis, lemah rasa empati dan jarang memiliki ikatan sosial yang kuat.11 Ironisnya diantara kelompok-kelompok masyarakat tersebut ada sekelompok kecil individu yang menikmati kekayaan berlimpah dan hidup dengan kemewahan. Mereka lebih banyak memuaskan keinginan sendiri tanpa dan atau kurang memberikan kontribusi untuk kemakmuran orang lain yang kurang beruntung.12 Hanya sebagian kecil dari orang kaya yang peduli terhadap sesama dengan menyisihkan sebagian kekayaannya untuk menyantuni dan memberdayakan orang lain, namun jumlahnya belum memadai dan bantuan dana dari mereka masih belum memenuhi hajat mayoritas orang-orang yang lemah.13 Indonesia dengan sistem ekonominya juga tidak luput dari persoalanpersoalan tersebut di atas, khususnya ketimpangan pendapatan dan kesenjangan 10
Kebangkitan liberalisme ekonomi ini pada intinya memperjuangkan leissez faire, yakni paham yang mempertahankan hak-hak atas pemilikan dan kebebasan individual, dan lebih percaya kepada pasar daripada metode regulasi negara untuk menyelesaikan masalah sosial. Lihat Mansour Fakih, Bebas dari Neoliberalisme (Yogyakarta: Insist Press, 2003), 54-58. 11 Lihat Lawrence Crocker, “Equality, Solidarity, and Rawls' Maximin,” in Philosophy and Public Affairs (1977): 262-266. 12 Di Asia Timur pada tahun 1990, hampir 170 juta anak laki-laki dan perempuan putus sekolah pada tingkat sekolah menengah. Di Asia Tenggara dan Pasifik lebih sepertiga anak-anak berusia di bawah lima tahun mengalami kekurangan nutrisi. Hampir satu juta anak-anak di Asia Timur mati sebelum berumur lima tahun. Memang bisa saja dikemukakan argumen bahwa seiring dengan perjalanan waktu dan semakin meningkatnya pertumbuhan, kekurangan-kekurangan itu akan bisa dihilangkan. Akan tetapi hal demikian nampaknya hanya khayalan belaka, sebab kalau memang demikian adanya, maka negara-negara industri pasti akan terbebas dari masalah-masalah seperti itu. Pada kenyataannya dewasa ini lebih dari 100 juta orang di negara-negara industri hidup di bawah garis kemiskinan dan lebih dari lima juta orang menjadi tunawisma. Lihat Anwar Ibrahim, The Asia Renaisance, terj. Ihsan Ali Fauzi (Bandung: Mizan, 1998), 80-81. 13 Padahal setiap orang memiliki hak yang sama atas kesempatan untuk memperoleh kenikmatan, sehingga diperlukan kajian lebih dalam berkenaan dengan penerapan sistem dan kebijakan yang dapat merealisasikan keadilan lebih luas dan merata. Lihat Rodney Shakespeare and Peter Callen, “Seven Steps to Justice,” dalam Stable and Just Global Monetary System, ed. Ahmed Kameel Mydin Meera (Kuala Lumpur: Research Centre IIU, 2002), 210.
4
antara kaya dengan miskin. Hal ini bertolak belakang dengan filosofi negara yang memberikan jaminan atas penghidupan yang layak dan merata sebagaimana disebutkan dalam Pasal 27 ayat 2 UUD 1945, bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pemenuhan hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan ditempuh melalui demokrasi ekonomi. Dasar demokrasi ekonomi tercantum dalam Bab XIV Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial pasal 33 UUD 1945. Intinya mencakup (a) produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat; (b) kemakmuran seluruh masyarakat
yang
diutamakan
bukan
kemakmuran
individu
tertentu;
(c)
perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; dan (d) bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi. Indonesia pada Era Reformasi kembali menemukan momentum yang tepat dalam membangun sistem demokrasi. Namun ironisnya, demokrasi yang seharusnya menjadi saluran arus bawah, telah menjadi monopoli elit (elite-dominated democracy). Demokrasi Indonesia menjadi amat rapuh karena didominasi elit yang tidak ingin menjalankan reformasi subtantif yang menguntungkan sebagian besar masyarakat miskin.14 Akibatnya ketimpangan pendapatan semakin tinggi dan jumlah rakyat miskin semakin bertambah.15 Dalam ungkapan John Naisbitt, semakin besar dunia ekonomi, semakin sedikit jumlah pemainnya.16 Ketimpangan pendapatan tersebut secara prinsip dan teoritis telah diantisipasi dengan prinsip distibutive justice (keadilan distribusi). Prinsip 14
Lihat beberapa artikel dalam Sri-Edi Swasono, Dari Daulat Tuanku ke Daulat Rakyat (Jakarta: UI-Press, 1992) dan Dari Lengser ke Lengser: Reformasi Menjadi Deformasi (Jakarta: UIPress, 2001). 15 Hal ini menjadi isu yang dikaji dalam beberapa bahasan para ahli ekonomi diantaranya dapat dilihat pada buku Michael P. Todaro, Economic Development in the Third World (New York: Longman Inc, 1989). 16 The major new trends in global economics, politics, and social life all point toward a "global paradox," according to John Naisbitt — "the bigger the world economy, the more powerful its smallest players." Lihat kajian lengkapnya dalam John Naisbitt, Global Paradox (London: William Morrow & Co., 1994).
5
distributive justice (keadilan distribusi) ini didesain untuk menjadi pedoman dalam mengalokasikan barang pada suplai yang terbatas secara adil dan merata sesuai dengan permintaan dan kebutuhan. Prinsip ini memiliki beberapa dimensi, yaitu; subyek apa yang didistribusikan (pendapatan, kekayaan, kesempatan kerja, usaha, dan lain-lain), tabiat sasaran distribusi (personal, kelompok, kelas masyarakat tertentu, dan lain-lain) dan atas basis apa barang-barang tersebut didistribusikan (kesetaraan, berdasarkan kriteria tertentu, sesuai dengan kebebasan pasar dan lainlain). 17 Keadilan distribusi memfokuskan pada apa yang adil dan tepat berkenaan dengan alokasi barang atau sesuatu yang berguna kepada masyarakat. Dalam kasuskasus yang berkenaan dengan distribusi, keadilan adalah distribusi yang proporsional dan ketidakadilan adalah pelanggaran atau penyimpangan dalam distribusi yang proporsional. Pemerintah Indonesia yang belum dapat menjalankan program keadilan distribusi, dengan penuh tanggung jawab harus menggalakkan program redistribusi, untuk mencapai kesejahteraan. Menurut Cullis dan Jones (1992), pemerintah suatu daerah bukan hanya berperan dalam hal keuangan (anggaran), tetapi juga berperan dalam hal penentuan pilihan supaya masyarakat dapat memperoleh kesejahteraan.18 Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Maret 2010, angka kemiskinan di Indonesia turun ke angka 31,02 juta jiwa atau sekitar 13,33 persen dari total penduduk Indonesia. Pada 2009, tingkat kemiskinan tercatat mencapai 14,15 persen atau sebanyak 32,53 juta jiwa atau turun dibandingkan 2008 yang
17
G.A.Cohen, “Where the Action Is: On the Site of Distributive Justice,” in Philosophy and
Public Affairs, 26 (1997): 3-30. 18
J. Cullis and P. Jones, Public Finance and Public Choice Analitical Perspectives (London: Mc Graw-Hill Book Co., 1992), 13-17. Dengan demikian program redistribusi ini harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia lewat beberapa program strategis, diantaranya, program redistribusi lahan pertanian, program jaring pengaman sosial, jaminan sosial, subsidi dan bantuan langsung tunai (BLT), penetapan pajak progressif dan lain-lain. Sasaran program-program ini adalah masyarakat korban bencana alam, korban PHK, masyarakat miskin, anak jalanan, dan lain-lain.
6
mencapai 15,42 persen.19 Sementara itu data yang dilansir dari Bank Dunia, menunjukkan angka kemiskinan Indonesia 2008 hingga 2009 mencapai 90 juta jiwa hingga hampir mencapai 100 juta.20 Terlepas dari perbedaan mencolok antara kedua data tersebut, keduanya menunjukkan bahwa jumlah orang miskin di Indonesia masih tinggi. Untuk keluar dari krisis ini, Indonesia harus mengembangkan pemikiran-pemikiran strategis, cermat dan mendalam mengenai ketimpanganketimpangan struktural sehingga masalah ketimpangan pendapatan dan kesenjangan sosial dapat diminimalkan dan diatasi.21 Pada kenyataannya, permasalahan ketimpangan pendapatan tersebut memang tidak bisa ditangani oleh pemerintah sendiri, namun harus melibatkan swasta dan masyarakat secara umum, untuk mengatasinya bersama-sama. Peran lembaga masyarakat di sini sangat strategis. Para akademisi ikut terlibat dalam melakukan penelitian untuk mendorong keterlibatan institusi sosial demi terwujudnya keadilan dalam ekonomi, seperti yang diusahakan oleh John Rawls melalui teori "justice as
fairness." Rawls berargumen bahwa liberty dan equality dapat dipadukan dalam satu prinsip keadilan, yaitu setiap orang memiliki hak yang sama terhadap kebebasan asasi, dan bila terjadi ketidakadilan maka kaum yang tertinggallah yang harus diuntungkan olehnya. Inilah prinsip yang harus tertanam di dalam institusi-institusi
19
Kriteria miskin tersebut berdasarkan konsumsi masyarakat di bawah Rp 123.000 per bulan. Dengan asumsi sebesar itu, maka buruh yang mendapatkan upah sebesar Rp 450.000 per bulan sesuai dengan KHM (kebutuhan hidup minimum), tidak termasuk dalam kategori miskin. Ini berbeda dengan catatan International Labour Organization (ILO/Organisasi Buruh Internasional), penduduk yang berpenghasilan di bawah Rp 1 juta per bulan, dianggap masyarakat miskin. Sebab, ILO memasukkan sejumlah komponen seperti kebutuhan pendidikan, kesehatan, rekreasi dan kebutuhan lainnya (KHL, kebutuhan hidup layak). 20 Perbedaan angka yang mencolok ini, mengundang komentar diantaranya adalah komentar,
“Metodologi yang diaplikasikan oleh BPS melalui pendekatan konsumsi sangat berbeda dengan metodologi Bank Dunia," demikian penjelasan Kabiro Humas dan Hukum BPS M. Sairi Hasbullah kepada wartawan, di Gedung BPS, Jakarta, Selasa (18/8/2009). Dengan kenaikan TDL, rencana kenaikan BBM, dan faktor-faktor lainnya diperkirakan jumlah angka kemiskinan akan semakin tinggi dari angka tersebut. 21 Lihat Sri-Edi Swasono, Ekspose Ekonomika: Globalisme dan Kompetensi Sarjana Ekonomi (Yogyakarta: UGM-PUSTEP, 2003), 36-38.
7
sosial bila keadilan sosial hendak sungguh-sungguh diwujudkan. “Justice is the first
virtue of social institutions, as truth is of systems of thought,” kata Rawls.22 Berkenaan dengan hal itu, ajaran Islam mengatur hubungan antara kaya dengan miskin sedemikian rupa sehingga kesenjangan yang terjadi antara keduanya bisa diminimalkan. Ajaran Islam mendorong terjadinya hubungan seimbang dan timbal balik yang positif, dinamis, saling menghargai dan menguntungkan antara keduanya. Dalam sejarah Islam, disebutkan telah terjadi kesenjangan pendapatan dan kekayaan antara kaum Ans}ar> dengan kaum Muha>jiri>n, ketika hidup bersama dalam satu komunitas di Madinah.23 Kaum Muha>jiri>n digambarkan sebagai golongan yang fakir namun memiliki sifat ‘iffah yang menjaga diri dari meminta-minta dan tidak ingin menyusahkan orang lain.24 Sementara kaum Ans}ar> digambarkan memiliki sumber penghidupan yang jelas dan bisa memenuhi kebutuhan pokoknya. Selain itu mereka digambarkan memiliki sifat ih}sa>n dan itha>r, yang lebih mementingkan orang lain daripada diri sendiri walaupun mereka sendiri dalam keadaan sangat membutuhkan dan kelaparan.25 Hubungan timbal balik yang harmonis dan saling menguntungkan antara dua kelompok tersebut, sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur'an, memunculkan pertanyaan; -
Apa dan bagaimana konsep ekonomi Islam yang mendorong terwujudnya pemerataan ekonomi dan menjamin keadilan distribusi dan distribusi kekayaan antara anggota masyarakat?
Pertanyaan tersebut laik diteliti untuk merumuskan strategi dan kebijakan yang tepat dan solutif dalam kegiatan perekonomian umat Islam dan masyarakat umumnya. Selanjutnya ia memberikan masukan guna mengurangi beban finansial 22
Lihat John Rawls, A Theory of Justice (Harvard, MA: Harvard University Press, 1971),
69-80.
23
Seperti yang disebutkan oleh para ahli sejarah diantaranya; S}afiyy al-Rah}ma>n alMuba>rakfu>ry, al-Rahi>q al-Makhtu>m (Kairo: Da>r al-Hadi>th, tt.), 175-176. 24 Lihat al-Qur’a>n, su>rah al-Baqarah : 273. 25 Lihat al-Qur’a>n, su>rah al-H{ashr: 9.
8
yang ditanggung pemerintah dalam program subsidi, bantuan langsung tunai (BLT), dan program-program kesejahteraan masyarakat lainnya.26 Untuk mengurangi dampak negatif dari kesenjangan pendapatan terhadap kelompok penduduk berpendapatan rendah maka perlu dikembangkan semangat berbagi -dengan keterlibatan berbagai elemen masyarakat- yang meliputi; program penyediaan kebutuhan pokok dengan harga terjangkau, mendorong program anak asuh dan beasiswa untuk pendidikan, dan lain-lain yang merupakan kebijakan yang segera dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat yang membutuhkan. Ekonomi Islam menawarkan konsep ih}sa>n, ‛iffah dan i>tha>r yang ditujukan untuk mendorong keterlibatan langsung masyarakat dan berbagai pihak dalam menciptakan keadilan ekonomi dan meminimalkan ketimpangan pendapatan antara kaya dengan miskin, serta mendorong distribusi kekayaan secara efektif dan efisien. Berdasarkan data awal tersebut, penelitian tentang konsep distribusi kekayaan
individu dalam ekonomi Islam, laik dilakukan. B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah Islam menawarkan pembangunan ekonomi yang egaliter, berbasis konsep 27
i>tha>r
dan nilai-nilai ajaran Islam yang mendorong terciptanya keadilan ekonomi.
Ekonomi egalitarian adalah suatu kebijakan, tindakan, dan perilaku ekonomi yang memberi kesempatan sama kepada seluruh rakyat untuk memperoleh hak-hak ekonominya, sehingga kekayaan tidak menumpuk pada segelintir atau sekelompok 26
Untuk mengantisipasi dampak dari kenaikan BBM dan penghapusan subsidi secara bertahap, pemerintah menyalurkan bantuan langsung tunai (BLT), kepada 844.130 rumah tangga sasaran (RTS) di 10 daerah pertama di Indonesia pada Sabtu, 24 Mei 2008. Lihat “BLT dibayarkan Mulai Hari Ini,” Harian Umum Republika, 24 Mei 2008, 1. 27 Akar konsep ini dijelaskan al-Qur’a>n dalam beberapa ayat, diantaranya;
“Dalam harta mereka tersedia bagian untuk orang yang meminta-minta dan orang miskin yang tidak bisa meminta. Lihat al-Qur’a>n, su>rah al-Dha>riya>t: 19. Untuk mengkaji lebih dalam tentang ayat-ayat al-Qur’a>n yang berkaitan dengan isu-isu ekonomi, lihat Muhammad Akram Khan,
Economic Message of Quran (Kuwait: Islamic Book Published, 1996).
9
orang. Dan bila kebijakan ini telah diterapkan, namun ketimpangan pendapatan juga masih terjadi, maka diperlukan kesadaran individu dalam berkontribusi dengan berbagi kepada orang-orang yang kurang beruntung dan tidak memiliki kompetensi untuk memperoleh kehidupan yang layak, baik secara permanen karena keterbatasan pisik, seperti cacat bawaan sejak lahir, atau mengalami cacat permanen, atau hanya temporer sifatnya, seperti; korban bencana alam, korban PHK, dan lain-lain.28 Islam tidak menghendaki terjadinya penumpukan harta pada sekelompok orang, atau dengan kata lain, kekayaan yang hanya berputar dan bersirkulasi di antara orang-orang kaya29 perlu dihindari. Jika tidak, akan ada sekelompok orang yang selalu kaya, sementara kelompok lainnya selalu miskin. Mungkin pernyataan selalu kaya (neverlasting rich) terdengar naif, namun ini adalah kecenderungan manusia dan faktanya ada di tengah-tengah masyarakat. Seseorang yang dibesarkan oleh keluarga kaya mewarisi berbagai aset yang dibutuhkan untuk menjadi kaya. Pada dirinya terakumulasi human capital (prinsip genetik), information capital (link dan network elit ekonomi-politik), dan organization capital (usaha bisnis dan struktur usaha yang sudah terbukti mampu mendulang sukses). Dengan kata lain, untuk menjadi kaya, yang ia perlukan sekedar mentransformasi intangible assets yang telah ia miliki menjadi tangible outcomes. Kecenderungan manusia untuk mengumpulkan harta yang kemudian berkonsekuensi kepada penumpukan kekayaan ini, menyebabkan adanya kewajiban dan anjuran distribusi agar harta bersirkulasi tidak hanya terbatas pada sekelompok orang. Namun, penghalang yang muncul adalah dorongan egoisme yang tidak hanya terjadi pada manusia kebanyakan, tetapi para agamawan sekalipun terkena penyakit
28
R. Yeo and K. Moore, “Including Disabled People in Poverty Reduction Work; Nothing About Us, Without Us,” World Development, Vol. 31, No.3 (2003): 571-590. 29 al-As}fah}a>ni mendefinisikan al-ghina> ini kepada 3 kategori: 1) Tidak punya kebutuhan (karena telah memiliki segalanya). 2) Kebutuhannya tinggal sedikit (karena sebagian besar telah terpenuhi). 3) Memiliki banyak materi (harta benda) yang dibutuhkan manusia. Lihat Al-Ra>ghib alAs}fah}a>ni, Mu‘jam Mufrada>t al-Fa>z} al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Fikr, tt.), 172.
10
keengganan untuk mendistribusikan harta yang sudah terlanjur menumpuk pada mereka. 30 Dalam kondisi tidak menguntungkan, kecenderungan dasar sebagian besar manusia adalah tidak sabar, dan berkeluh-kesah, namun dia akan bersikap sombong dan melupakan hak orang lain jika ia memperoleh sesuatu yang baik dan dalam kondisi menguntungkan. 31 Teori Ekonomi Islam mengatur tentang Distribution with Equity
(Redistribution of Wealth). Ada dua ayat dalam al-Qur’a>n yang menggunakan akar kata dawala. Ayat Pertama pada su>rah A>lu ‘Imra>n ayat 140 yang menggunakan kata
nuda>wilu sementara yang kedua pada su>rah Al-H}ashr ayat 7 menggunakan kata Al-Ra>ghib al-As}faha>ni32 menyatakan bahwa du>lah berarti sesuatu yang
du>lah.
substansi materinya bersirkulasi. Kedua ayat tersebut berisikan pesan bahwa keberhasilan, kemenangan, kebahagiaan, dan kenyamanan material serta immaterial akan dirasakan secara bergantian; dari satu individu ke individu lain, dari satu kelompok ke kelompok lain.33 Untuk menciptakan hubungan yang seimbang dan harmonis dalam sirkulasi tersebut, Islam menawarkan konsep ih}sa>n, ‘iffah dan i>tha>r. Semangat berbagi, dengan lebih mengutamakan orang lain dalam urusan-urusan dunia, dengan berharap kebaikan dan pahala di akhirat (i>tha>r) yang dikuatkan oleh semangat memberikan sesuatu lebih banyak dan lebih baik daripada yang diterima (ih}sa>n) serta diimbangi oleh semangat menahan diri dari meminta-minta dan mempertahankan kehormatan dan kesucian diri (‘iffah) merupakan salah satu paradigma dan pola hubungan ideal
30
Lihat al-Qur’a>n, su>rah Al-Tawbah: 34. Lihat al-Qur’a>n, su>rah Al-Ma‘a>rij: 19 – 21. 32 Al-Ra>ghib al-As}fah}a>ni, Mu‘jam Mufrada>t al-Fa>z} al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Fikr, tt.), 172. 33 Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Text, Translation and Commentary (Maryland: Amana Corporation, 1989), 1528. Ayat pertama membahas tentang sirkulasi kenyamanan yang masih bersifat umum karena mengacu kepada kenyamanan material dan immaterial. Sedangkan ayat yang kedua (Al- H{ashr: 7) lebih spesifik kepada sirkulasi material (harta). 31
11
antar individu yang saling menguntungkan dan saling mendukung menurut ajaran Islam.34 Namun dalam kenyataan kehidupan ekonomi umat Islam masih terdapat kesenjangan yang lebar antara miskin dengan kaya dan belum tercipta kemakmuran yang merata. Untuk mengantisipasi dan menanggulangi masalah itu, berdasarkan penjelasan al-Qur'an dan sunnah setiap mukmin harus mendistribusikan nikmat Alla>h yang diamanahkan kepadanya.35 Namun masalahnya aktifitas sosial ini disamping dapat menghasilkan kebaikan, ia juga dapat melestarikan sikap malas dan kebergantungan terus-menerus kepada orang lain. Oleh karena itu Rasulullah saw. telah secara dini mewaspadai kemungkinan eksploitasi ajaran charity oleh para pemalas.36 Di sinilah urgensi konsep ih}sa>n dan ‘iffah diterapkan.37
34
Lihat Shams al-Di>n al-Qurt}u>biy, Abu> Abdillah Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Abi> Bakr, ibn Farah} al-Ans}ar> iy al-Khazrajiy, Al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Fikr, tt.) jld. xi, 26. Konsep ‘iffah juga disebutkan dalam beberapa hadith, diantaranya; Rasulullah saw. bersabda:
“Seorang yang mencari seikat kayu bakar (di hutan), dan memanggulnya di atas pundaknya dan menjualnya (di pasar), lebih baik baginya daripada mengharap pemberian seseorang, ia memberinya atau tidak.” Lihat Al-Bukha>ri, Abu> Abdilla>h Muh}ammad ibn Isma>il, S}ah}ih} al-Bukha>ri (al-Riya>d,} KSA: Da>r ‘A>lam al-Kutub, 1996), jld. ii, 129. 35 Hal ini disebutkan dalam beberapa ayat al-Qur’a>n, diantaranya; Al-Baqarah: 273, A>lu ‘Imra>n: 92, al-Tawbah: 34-35, dan lain-lain. Dalam hadith juga banyak disebutkan, diantaranya; Rasulullah saw. bersabda; "Aku tidak suka kalau mempunyai emas sebesar gunung Uhud, (Jika aku
memilikinya), maka aku akan menginfakkan semuanya kecuali tiga dinar. Sungguh mereka adalah orang-orang yang tidak berakal, yaitu orang-orang yang mengumpulkan harta dunia.” Lihat AlBukha>ri, Abu> Abdilla>h Muh}ammad ibn Isma>il, S}ah}ih} al-Bukha>ri (al-Riya>d,} Saudi Arabia, Da>r ‘A>lam al-Kutub, 1996), jld. ii, 112. 36 Rasulullah saw. bersabda; “barangsiapa yang meminta-minta, padahal dia memiliki sesuatu
yang mencukupinya, maka ia datang dengan muka tercoreng di hari kiamat." Ada yang bertanya; "apa yang mencukupinya wahai Rasulullah?" Beliau menjawab; "lima puluh Dirham atau seharga dengan itu dari emas.” Lihat Abu> Da>wu>d, Sulayma>n ibn Ash‘ath Al-Sajista>niy, Sunan Abi> Da>wu>d (Suriah: Da>r al-H}adith,1969) jld. iv, 433, no. 1385. 37 Sikap ih}sa>n dan 'iffah itu banyak sekali dianjurkan dalam al-Qur’a>n, diantaranya; "Dan
janganlah kamu memakan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesagesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.” Lihat al-Qur’a>n, su>rah al-Nisa>’ : 6. Lihat pula ayatayat lain dalam al-Qur’a>n tentang tema tersebut dalam Muhammad Akram Khan, Economic Message of Quran (Kuwait: Islamic Book Published, 1996).
12
Dilema ini turut memengaruhi munculnya pemikiran mendirikan lembaga professional yang mengatur distribusi kekayaan secara efektif dan efisien.38 Dalam operasional di lapangan, lembaga-lembaga tersebut masih mencoba beberapa konsep dan teori sesuai dengan penafsiran masing-masing lembaga terhadap ajaran sosial dari al-Qur’a>n dan al-sunnah. Namun secara umum, lembaga-lembaga tersebut masih pasif dan hanya mengalokasikan dana-dana yang diterima kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Lembaga-lembaga tersebut sangat membutuhkan teori dan krangka konsep yang menjadi pedoman dalam memaksimalkan pemanfaatan danadana sosial, mendistribusikannya dengan adil dan tepat sasaran, dan mengurangi tingkat kemiskinan di tengah-tengah masyarakat. 2.
Pembatasan Masalah Mengingat permasalahan yang sangat luas di atas, maka Penelitian ini
mengacu kepada batasan-batasan sebagai berikut; a. Penelitian ini mengkaji teori-teori tentang keadilan distribusi dan bagaimana ekonomi Islam mengkritik teori-teori tersebut, dan menawarkan teori dan konsep distribusi kekayaan individu untuk menambal ketimpangan dan kesenjangan sehingga kemakmuran dan pemerataan seluas-luasnya dapat tercapai. b. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji teori ekonomi Islam dalam bidang distribusi pendapatan dan kekayaan dan bukan dalam bidang yang lainnya. c. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji konsep distribusi kekayaan individu dan aplikasinya untuk menciptakan pemerataan kesejahteraan, yang telah diterapkan pada periode kenabian Muhammad saw. dan kekhilafahan dan kemungkinan aplikasinya pada abad modern ini. 38 Seperti; BAZIS, Dompet Du’afa, GNOTA, Peduli Kasih, dan yang berskala internasional, seperti; Dubai Charity Association, International Islamic Relief Fund, dan lain-lain.
13
3. Perumusan Masalah Berdasarkan pokok permasalahan tersebut di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dirancang lebih terperinci sebagai berikut; a. Apa teori dan konsep yang ditawarkan oleh ekonomi Islam dalam bidang distribusi pendapatan dan kekayaan individu, dan apa sisi kekuatan dan kelemahannya dibandingkan dengan teori dan konsep aliran ekonomi konvensional? b. Bagaimanakah teori dan konsep tersebut dapat diterjemahkan dalam kerja nyata dan riil untuk mewujudkan pemerataan dan meminimalkan kesenjangan pendapatan? c. Apakah konsep distribusi kekayaan individu dalam ekonomi Islam dapat menjamin pemenuhan kebutuhan orang-orang yang miskin sekaligus memberdayakan mereka, sehingga tidak bergantung kepada bantuan orang lain? C. Kajian Pustaka Pertumbuhan ekonomi yang pesat sering dibarengi kenaikan dalam ketimpangan distribusi pendapatan atau disebut dengan ketimpangan relatif. Antara pertumbuhan ekonomi yang pesat dengan distribusi pendapatan terdapat suatu trade
off, yang membawa implikasi bahwa pemerataan dalam pembagian pendapatan hanya dapat dicapai jika laju pertumbuhan ekonomi diturunkan. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi selalu akan disertai penurunan dalam distribusi pendapatan atau kenaikan dalam ketimpangan relatif. 39 Sementara pertumbuhan ekonomi yang dibiarkan secara alamiah tidak dengan sendirinya akan menghasilkan distribusi pendapatan secara alamiah pula,
39
Lihat John Arthur and William Shaw, eds. Justice and Economic Distribution (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1991)
14
sehingga diperlukan adanya campur tangan pemerintah secara langsung untuk mengurangi ketimpangan pendapatan.40 Oleh karena itu wacana tentang distribusi ekonomi dalam skala negara seringkali ditargetkan untuk mewujudkan pemerataan kesejahteraan warga negara.41 Wacana inilah yang kemudian memunculkan dikotomi blok Timur (negara-negara yang menganut paham Sosialisme) dan blok Barat (negara-negara yang menganut paham Liberalisme/Kapitalisme).42 Sederhananya, blok
Timur
memprioritaskan
pemerataan
kesejahteraan
(distributional
prosperity/equity), sekaligus mengenyampingkan perbedaan komparatif antar individu.
Di sisi yang lain, blok Barat lebih mengedepankan kebebasan dan
penghargaan terhadap perbedaan komparatif dari kemampuan individu. Sebagai solusi dari kegagalan sosialisme dan kapitalisme, Choudhory (1986) menawarkan prisma ekonomi Islam. Thesa prisma ekonomi Islam ini diajukan Choudhory sebagai prinsip-prinsip interaksi ekonomi yang dapat diberlakukan baik untuk skala individu maupun negara.43 Choudhory44 tentunya mendasarkan tawaran prisma prinsip ekonomi Islamnya pada al-Qur’a>n. Dalam tawarannya, Choudhury menyatakan bahwa setiap muslim perlu memperhatikan ketiga variable ini untuk mengevaluasi apakah
40 Lihat Mahbub Ul Haq, The Poverty Curtain: Choices for the Third World (New York, USA.: Columbia University Press, 1976) dan Weisskoff, Richard and Edward N. Wolff, “The Structure of Income Inequality,” Journal of Development Economics 9, North Holland Publishing Company (1981): 205-228. 41 Di dalam Islam, penegakan keadilan dan kesejahteraan seluas-luasnya merupakan salah satu prinsip utama dalam kegiatan perekonomian. Lihat Mahfooz Ahmed, “Distributive Justice and Fiscal and Monetary Economics in Islam,” in Monetary and Fiscal Economics of Islam, ed. Mohammad Arif (Jeddah: International Centre in Islamic Economics of King Abdul Aziz University, 1982), 25-30. 42 Dua ideologi ini merupakan dua kutub yang saling bertentangan secara ekstrim dalam ideologi ekonomi, dan terlibat dalam perang dingin dalam beberapa tahun yang dipresentasikan oleh Amerika Serikat versus Uni Sovyet sebelum keruntuhannya. 43 Dalam konteks negara Republik Indonesia, sila kelima Pancasila, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” dan Pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Dalam artian, negara bertanggung jawab atas distribusi kesejahteraan minimal warganya, diantaranya; kesempatan kerja. 44 Masudul Alam Choudhury, Contributions to Islamic Economic Theory (New York: St. Martin’s Press, 1986), 7–20.
15
aktivitas ekonominya menampilkan kebenaran dan wajah Islam atau tidak. Ketiga variabel tersebut adalah; Tawheed and Brotherhood, Work and Productivity dan
Distributional Equity.45 Sementara itu, penelitian Zakiyuddin (2007)46 mengangkat nilai-nilai AlQur’a>n dalam aktivitas ekonomi untuk menegakkan keadilan ekonomi, yakni dengan cara menumbuhsuburkan aspek-aspek akidah dan etika, spiritualisasi dan moralisasi semua aktivitas ekonomi, baik pada tingkat individu, kolektif, masyarakat maupun kebijakan negara. Dia mengangkat nilai-nilai Al-Qur’a>n sebagai taken for granted dengan dua pendekatan, qawliyyah (intelektual-merekonstruksi konsep-konsep keadilan yang dipijakkan pada nilai-nilai Al-Qur’a>n) dan kawniyyah (empirismenganalisis praktik-praktik ekonomi).47 Zakiyuddin dalam disertasinya menawarkan alternatif jawaban atas problem ketidakadilan, implementasi dan dimensi teologisnya dalam hubungannya dengan lima persoalan, yakni aktivitas kepemilikan, produksi, konsumsi, distribusi dan redistribusi serta peran negara. Melalui pendekatan tafsir tematik dan analisis sintetik, ternyata jawaban konseptual Al-Qur’a>n terhadap masalah ketidakadilan melahirkan prinsip-prinsip kepemilikan antara lain, sumberdaya adalah hak mutlak Alla>h,48 kepemilikan sumberdaya adalah kemitraan bukan hak eksklusif, manusia bebas menentukan pilihan nasibnya, individu menerima apa yang menjadi haknya berdasarkan usaha, konsumsi tak boleh melampaui batas maksimal, prioritas konsumsi konsumsi berdasarkan hierarki kebutuhan dan menjaga kelestarian alam 45 Masudul Alam Choudhury, Contributions to Islamic Economic Theory ( New York: St. Martin’s Press, 1986), 7-9. 46 Zakiyuddin Baidhowi, “Konsep Keadilan Ekonomi Dalam Al-Qur’a>n” (Yogyakarta: Disertasi Doktor, pada Program Pascasarjana (PPs) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, 2007). 47 Dalam disertasi ini akan dianalisis tentang teori-teori Keadilan Distribusi dan bagaimana konsep yang ditawarkan oleh ekonomi Islam berkenaan dengannya. Konsep yang ditawarkan adalah konsep ih}sa>n, ‘iffah dan i>tha>r. 48 Filsafat kepemilikan akan dibahas lebih lengkap pada bab II, dalam hubungannya dengan konstribusi sosial untuk kesejahteraan bersama secara luas. Lihat bahasan tentang kepemilikan dalam Islam dalam buku H}amad al-Junaidil, Naz}ariyyat al-Tamalluk fi>> al-Isla>m (Beirut: Muassasah alRisa>lah, 1403 H).
16
dan manusia, distribusi sumberdaya alam dan lingkungan dalam kerangka partisipasi, distribusi kekayaan dan pendapatan merupakan tanggungjawab bersama untuk memastikan jaminan sosial bagi mereka yang kurang beruntung, dan peran negara adalah keniscayaan yang bersifat komplementer. Sementara tujuan penerapan prinsip-prinsip keadilan yang diserap dari nilainilai Al-Qur’a>n,49 adalah untuk mencapai kesejahteraan bersama dengan semua melaksanakan aktivitas produksi melalui kerja profesional, tidak parasit, mencari keuntungan dengan cara halal, memiliki kesadaran ekologis, memiliki harga diri untuk tidak meminta-minta dan berusaha untuk terbebas dari jeratan utang. Kesimpulan tersebut sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Muhammad Qal‘ah Jey dalam bukunya Maba>hith fi> Al-Iqtis}ad> al-Isla>miy yang mengatakan bahwa salah satu tujuan ekonomi Islam adalah mewujudkan pertumbuhan ekonomi,50 yaitu pertumbuhan (growth) dan pemerataan (equity) secara simultan. Ekonomi Islam tidak mengorbankan pertumbuhan ekonomi, karena memang pertumbuhan (growth) sangat dibutuhkan.51 Pada sisi lain, Islam juga tetap memandang
pentingnya
pemerataan,
karena
pertumbuhan
ekonomi
tidak
52
menggambarkan kesejahteraan secara menyeluruh, terlebih apabila pendapatan dan faktor produksi banyak terpusat pada sekelompok kecil masyarakat.
49
Untuk penjelasan tentang ayat-ayat al-Qur’a>n yang berkaitan dengan ekonomi, Lihat Muhammad Akram Khan, Economic Message of Quran (Kuwait, Islamic Book Published, 1996). 50 Muhammad Qal’ah Jey, Maba>hi} th fi> Al-Iqtis}a>d al-Isla>miy (Kuwait: Da>r Al-Nafa>is, tt.), 35. 51 Menarik untuk dicermati pendapat Sumitro Djojohadikusumo yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dan segi pemerataan pendapatan menjadi dua sayap kembar yang tak terpisahkan dalam satuan gerak pembangunan. Sehingga akan terwujud pula keseimbangan dan efisiensi dalam kegiatan produksi dan keadilan dalam tata masyarakat. Lihat, Sumitro Djojohadikusumo, Indonesia dalam Perkembangan Dunia: Kini dan Masa Datang (Jakarta: LP3ES, 1991), 147. 52 Ada beberapa jenis pertumbuhan dan akibat-akibat negatifnya yang harus dihindarkan. Pertama, Jobless Growth, yaitu seluruh perekonomian tumbuh, namun tidak memperluas tenaga kerja. Kedua, Ruthless growth, yaitu pertumbuhan ekonomi yang kebanyakan menguntungkan pihak yang kaya, membiarkan jutaan orang tetap terjerembab dalam kemiskinan. Ketiga Voiceless Growth, yaitu pertumbuhann yang tidak memberdayakan masyarakat dan membungkam suara alternatif. Keempat, Rootless growth, yaitu pertumbuhan yang menyebabkan hilangnya identitas cultural masyarakat. Kelima, futureless growth, yaitu pertumbuhan yang di dalamnya generasi muda melakukan
17
Beberapa ilmuan muslim telah banyak melakukan penelitian tentang bagaimana merealisasikan distribusi yang berkeadilan dan jaminan pemenuhan kebutuhan minimal yang menjadi kewajiban fard}u kifa>yah atas umat Islam dalam mencukupinya. Negara dan masyarakat yang mampu, berkewajiban secara umum untuk menjamin kebutuhan minimal warganya. Penelitian tersebut diantaranya beberapa tulisan yang dipresentasikan pada Konferensi Ekonomi Islam yang diselenggarakan di Islamabad.53 Dalam salah satu tulisan yang dipublikasikan, disebutkan bahwa syariah menuntut setiap orang untuk berjuang dan berusaha keras memenuhi kebutuhan pokoknya dengan usaha sendiri agar hidup dengan layak, yaitu kehidupan yang memiliki target dan tujuan dengan efisiensi dan kehormatan sehingga meraih target dan tujuan yang diletakkan oleh Alla>h Swt.54 Jaminan kebutuhan pokok ini mencakup tiap orang, tanpa memandang usia, kelamin, ras, warna kulit, bahasa, kasta dan aliran. Jaminan ini mencakup muslim dan non-muslim. Kriteria satusatunya yang jadi acuan adalah kebutuhan yang harus mendapat jaminan. Beberapa orang secara permanen berada dalam kondisi membutuhkan karena kelemahan dan keterbatasan alami seperti, cacat, buta, berpenyakit kronis, orang tua renta dan anakanak, dan lain-lain. Ada juga sebagian orang yang berada dalam kondisi itu secara temporer seperti, orang yang dipecat dari pekerjaan, penganggur, dan orang-orang yang tidak berpenghasilan cukup. Orang-orang tersebut harus mendapat jaminan kehidupan dan kebutuhan pokok, selama mereka belum mampu memenuhinya sendiri.55 pemborosan sumberdaya yang dibutuhkan generasi mendatang. Lihat Richard Posner, The Essential Holmes (Chicago : Chicago University Press, 1992), 161. 53 Konferensi tersebut diselenggarakan pada tanggal 19-23 Maret 1983. Hasil konferensi tersebut, diedit oleh M. Iqbal dan dipublikasikan dalam buku, Distributive Justice and Need Fulfilment in an Islamic Economy (Leicester, U.K.: The Islamic Foundation, 1988/1408 H). 54 Ini adalah salah satu bentuk penerapan konsep ih}sa>n, ‘iffah dan i>tha>r yang akan dibahas lebih terfokus dalam penelitian ini. 55 Muhammad Nejatullah Siddiqi, “The guarantee of a Minimum Level of Living in an Islamic State,” in Distributive Justice and Need Fulfilment in an Islamic Economy, M. Iqbal, ed. (Leicester, U.K.: The Islamic Foundation, 1988/1408 H), 251-260.
18
Dalam penelitian ini yang akan dikaji suatu konsep yang mendukung teori para ahli ekonomi muslim yang menyatakan bahwa nilai persaudaraan dan nilai-nilai Al-Qur’a>n, sangat berpengaruh dalam menciptakan keadilan ekonomi.56 Tetapi dalam penelitian yang akan dikaji adalah strategi berskala mikro yaitu tentang teori dan konsep distribusi kekayaan individu yang efektif dan efisien dalam menciptakan pemerataan ekonomi, meminimalkan ketimpangan pendapatan antara kaya dengan miskin, dan mendorong terwujudnya jaminan standar minimal bagi orang-orang miskin dalam memenuhi kebutuhan pokok dari orang-orang mampu dan kaya. Melalui teori dan konsep ini diharapkan muncul berbagai proses dan usaha yang secara sadar dilaksanakan, inovatif dan terencana untuk membangun masyarakat yang modern, berdikari dan berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan, khususnya ikut serta dalam mengentaskan kemiskinan. D. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk menganalisis teori dan konsep yang ditawarkan oleh ekonomi Islam dalam bidang distribusi pendapatan dan kekayaan individu, dan mengkaji sisi-sisi kekuatan dan kelemahannya dibandingkan dengan beberapa teori dan konsep aliran ekonomi yang lain. Penelitian ini akan mengkaji akar teori dan konsep distribusi yang dipraktikkan pada zaman kenabian dan kekhalifahan dan terbukti dapat mengurangi ketimpangan dan kesenjangan dalam distribusi sehingga kemakmuran dan pemerataan seluas-luasnya dalam komunitas kaum Muha>jiri>n dan Ans}ar> dapat tercapai. 56
Dalam al-Qur’a>n terdapat nilai-nilai yang mendukung terciptanya keadilan ekonomi, dan ada pula penjelasan tentang nilai-nilai yang merusak tatanan ekonomi yang berkeadilan. Lihat bahasan ini dalam buku H}amad al-Junaidil, Naz}ariyyat al-Tamalluk fi> al-Isla>m (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1403 H).
19
Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk merumuskan rekomendasi kebijakan yang dapat dilaksanakan pemerintah dalam menerapkan teori dan konsep ekonomi Islam dalam bidang distribusi pendapatan agar program pemerintah mengentaskan kemiskinan dapat diekslarasi dan mengena tepat pada sasaran dan targetnya, serta segala kekurangan dan hal-hal yang belum dapat dilakukan oleh pemerintah dapat ditambal dan dipenuhi oleh lembaga non-pemerintah, khususnya lembaga Islam. E. Manfaat dan dan Kegunaan Penelitian Manfaat dari penelitian ini dapat dibedakan menjadi manfaat operasional bagi pembuat kebijakan, manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, dan manfaat bagi peneliti lain dan pembaca umumnya. 1. Manfaat Operasional bagi Pembuat Kebijakan Program pengentasan kemiskinan dan menimalkan kesenjangan pendapatan antara warga negara saat ini kurang melibatkan peran serta lembaga non-pemerintah dan lembaga Islam, sehingga program ini mengalami hambatan di sana sini. Dengan kajian tentang teori dan konsep ekonomi Islam dalam bidang distribusi pendapatan, maka hasilnya dapat menyumbangkan bahan kajian lebih lanjut bagi para pembuat kebijakan dalam memerhatikan aspek-aspek dan kebijakan-kebijakan yang dapat mendorong keterlibatan aktif lembaga Islam dalam mensukseskan program pemerintah mengentaskan kemiskinan. 2. Manfaat bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan Kajian tentang teori dan konsep ekonomi Islam dalam bidang distribusi pendapatan, masih jarang sekali sehingga susah menemukannya dalam literaturliteratur yang ada. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengisi dan memenuhi kebutuhan dunia keilmuan, agar dapat dikembangkan lebih luas lagi. 3. Manfaat bagi Peneliti lain dan Pembaca Pembaca
20
Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang berguna, khususnya bagi para peneliti yang ingin mendalami teori dan konsep ekonomi Islam dalam bidang distribusi pendapatan. Para peneliti lain selanjutnya dapat melakukan penelitian lanjutan dengan cara menggali indikator yang lebih dalam dan relevan serta belum dibahas dalam penelitian ini, kemudian dapat menjawab permasalahan yang belum terjawab dalam penelitian ini. F. Metodologi Penelitian 1. Tipe Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research). Oleh karena itu fokus dari penelitian ini tertuju pada penelitian kepustakaan dan dokumendokumen yang terkait, dan tidak diperlukan hipotesis.57 Untuk
menjawab
permasalahan dalam penelitian ini, pendekatan analisis kualitatif dan review atas teori-teori ekonomi berkenaan dengan distribusi dan distribusi pendapatan dan kekayaan yang telah berlaku selama ini, akan dilakukan. Secara khusus, penelitian ini dirancang untuk meneliti tiga elemen pokok, yaitu; a. Analisis komparatif antara teori-teori distribusi dan redistribusi pendapatan dalam hubungannya dengan keadilan dan pemerataan ekonomi. b. Analisis teori dan konsep ekonomi Islam tentang distribusi pendapatan dan kekayaan, sisi kelemahan dan kekuatannya, dan aplikasinya di lapangan ekonomi. c. Analisis tentang batasan orang kaya dan orang miskin, hubungan antara keduanya dalam ekonomi Islam dan bagaimana keduanya berinteraksi secara
57
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1984), 53 dan Maria SW Sumardjono, “Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian,” (Yogyakarta: Tidak Dipublikasikan, 1989): 16.
21
dinamis, saling mendukung, saling berbagi, dan masing-masing memberikan kontribusi dalam menciptakan keadilan ekonomi sesuai kemampuannya, dan pola hubungan antara keduanya dalam kerangka persaudaraan yang saling menguntungkan. 2. Materi Penelitian Penelitian ini secara garis besar berdasarkan pada sumber-sumber berikut; i. a.
SumberSumber-Sumber Primer: Buku-buku yang berkenaan dengan distribusi dan redistribusi pendapatan dan kekayaan, yaitu; buku John Rawls, A Theory of Justice (1971), Lawrence Crocker, “Equality, Solidarity, and Rawls' Maximin.” In Philosophy and Public Affairs (1977), Ronald Dworkin, “What is Equality? Part 1: Equality of Resources.” And Part 2: Equality of Welfare.” Philosophy and Public Affairs, 10, (1981), John E. Roemer,
Theories of Distributive Justice. (1996), M. Iqbal, Ed. Distributive Justice and Need Fulfilment in an Islamic Economy, (1983), Abu> ‘Ubaid, Kita>b Al-Amwa>l (1406/1986). b. Ayat-ayat al-Qur’a>n dan hadith-hadith dalam sembilan kitab hadith utama yang berkaitan dengan distribusi kekayaan. c.
Untuk penjelasan ayat-ayat al-Qur’a>n, penelitian ini bersumber kepada Kitab-kitab tafsir, yaitu; Ja>mi‘ al-Baya>n ‘an Takwil al-Qur’a>n karangan al-T{abariy, Al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m al-Qur’a>n, karangan al-Qurt}u>biy, Tafsi>r
Al-Kubra>, karangan Malik ibn Anas, Al-Umm, karangan Al-Sha>fi‘I, AlMajmu>‘ Sharh} al-Muhadhdhab, karangan al-Nawa>wiy, dan Al-Mughni> karangan Ibnu Quda>mah. Dalam beberapa masalah penulis juga merujuk kepada Al-Muh}alla> bi al-A>tha>r, karangan Ibnu H{azm. b. Kitab-kitab tentang al-Siya>sah al-Shar‘iyyah, yaitu; al-Muwa>faqa>t fi>
Us}ul> al-Shari>‘ah, karangan al-Sha>tibiy, Al-Siya>sah Al-Shar’iyyah, karangan Khalaf, dan Al-Ah}ka>m al-Sult}an> iyyah wa al-Wila>ya>t al-
Di>niyyah karangan al-Ma>wardiy. c.
Berbagai kepustakaan mengenai teori-teori distribusi dan redistribusi pendapatan dan kekayaan dalam ekonomi konvensional.
3. Alat dan Cara Pengumpulan Data Untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, ditempuh melalui penelitian kepustakaan dengan menggunakan alat studi dokumen, dan akan diteliti bahan-bahan tentang teori-teori distribusi dalam beberapa aliran ekonomi modern dan konvensional. Kemudian diteliti tentang teori distribusi dan redistribusi dalam ekonomi Islam, posisinya diantara aliran-aliran ekonomi konvensional, kelebihan dan kekurangannya, kritiknya terhadap teori-teori konvensional dan aplikasi teori tersebut dalam sektor riil. Selanjutnya bahan-bahan tersebut disusun
23
dalam sebuah kerangka secara sistematis sehingga akan memudahkan dalam melakukan analisis terhadapnya. G. Sistematika Pembahasan Sejalan dengan batasan masalah, perumusannya dan tujuan yang hendak dicapai, maka sistematika pembahasan disertasi ini diawali dengan Bab I Pendahuluan yang menjelaskan latarbelakang masalah, permasalahan yang akan dikaji, kajian pustaka, tujuan dan kegunaan penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika pembahasan. Dalam Bab II akan dibahas tentang kebutuhan terhadap distribusi kekayaan, urgensi dan fungsi distribusi kekayaan, prinsip altruism dalam kekayaan, jaminan pemenuhan kebutuhan dasar, prinsip-prinsip distribusi yang berlaku selama ini, kekuatan dan kelemahannya, analisis tentang teori-teori konvensional tentang distribusi, prinsip-prinsip keadilan distribusi dalam ekonomi konvensional, batasan kekayaan minimal dan maksimal menurut syariat Islam, dan jaminan kecukupan dalam kebutuhan dasar. Kemudian dilanjutkan dengan Bab III yang membahas tentang distribusi kekayaan menurut prinsip ih}sa>n, ‘iffah dan i>tha>r, prinsip ih}sa>n, dan pengaruhnya dalam distribusi pendapatan, praktik prinsip ih}sa>n, ‘iffah dan i>tha>r pada masa kenabian Muhammad saw., pada masa kekhalifahan Islam dan pengaruh praktik prinsip ih}sa>n, ‘iffah dan i>tha>r dalam sirkulasi dan distribusi kekayaan individu, alokasi dana yang produktif, alokasi dana yang tidak produktif dan keadilan dalam distribusi kekayaan individu. Dalam Bab IV akan dibahas sikap ‘iffah, beberapa praktik yang menghalangi terciptanya distribusi yang merata dan sehat, pengaruh sikap ‘iffah dalam meminimalisir
dan
atau
menghapus
praktik-praktik
menghalangi terciptanya distribusi yang adil dan merata.
24
penyimpangan
yang
Berikutnya disusul dengan Bab V yang membahas tentang prinsip i>tha>r dalam kekayaan individu, skala prioritas distribusi kekayaan dalam Islam, distribusi kekayaan menurut filosofi zakat, dan distribusi dengan fokus pengentasan kemiskinan. Bab VI memuat kesimpulan-kesimpulan yang dicapai oleh penelitian ini dan saran-saran untuk implementasi dan penelitian selanjutnya.
25
BAB II KEBUTUHAN KEBUTUHAN TERHADAP DISTRIBUSI KEKAYAAN INDIVIDU
Pemerataan dan kesejahteraan seluruh anggota masyarakat dan warga negara menjadi cita-cita luhur setiap sistem ekonomi. Ia menjadi tujuan pokok dan utama dari penerapan prinsip-prinsip keadilan distribusi. Namun hingga saat ini dalam setiap komunitas dan warga negara di seluruh belahan dunia, selalu ada kelompok dan orang-orang yang belum diuntungkan dengan kebijakan keadilan distribusi, padahal di antara komunitas mereka ada sekelompok orang yang sangat kaya dan berlimpahan harta. Kenyataan tersebut memerlukan kebijakan tambahan untuk mengatasi masalah kesenjangan pendapatan dan kekayaan di tengah-tengah manusia. Salah satu kebijakan yang diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah redistribusi kekayaan dari orang yang berlebihan kepada yang kekurangan. Kebijakan ini menekankan inisiatif individu untuk berperan aktif dalam kontribusi sosial dan kesejahteraan sesama. Dalam bab ini dijelaskan tentang urgensi dan fungsi dari kebijakan
distribusi
kekayaan,
prinsip-prinsip
keadilan
distribusi
dan
keterbatasannya, kepemilikan individu, umum dan negara, batasan kekayaan minimal, batasan kekayaan maksimal, dan jaminan standar penghidupan minimal. A. Urgensi dan Fungsi Distribusi Kekayaan Distribusi pendapatan dan kekayaan merupakan salah satu dari lima masalah pokok dalam ekonomi.58 Ia menempati posisi yang sangat penting karena berhubungan dengan pembagian sumber daya dan pemerataan kesejahteraan. Problem kemiskinan dan ketertindasan secara ekonomi dan sosial memerlukan
58
Lihat Saiful Azhar Rosly, “Ke Arah Penyusunan Ekonomi Negara Mengikut Lunas Islam,” dalam Ekonomi Islam dan Pelaksanaannya di Malaysia, ed. Nik Mustapha Nik Hassan (Kuala Lumpur: IKIM, 2002), 17-52.
26
proses redistribusi59 secara sistemik untuk dapat mengangkat derajat orang yang kurang
beruntung
dari
ketidakberdayaan,
ketidakpastian
dan
kelangkaan.
Redistribusi berlandaskan pada pertimbangan keagamaan, moral, keluarga dan sosial (atau biasanya disebut transformasi sosial).60 Perkembangan perekonomian dunia selama tiga abad terakhir setelah melewati paling kurang tiga fase, telah menimbulkan dua efek yaitu; pertama, kemakmuran
atau taraf hidup yang semakin meningkat dan kedua, terciptanya
kesempatan dan lapangan kerja baru.61 Namun bersamaan dengan itu muncul pula problem besar dalam ekonomi kontemporer yang dikembangkan selama ini, dimana kinerjanya belum dapat memecahkan persoalan kebutuhan ekonomi manusia secara mendasar dalam kesejahteraan yang merata dan luas, khususnya di negara-negara berkembang.62 Tanpa menafikan kemakmuran yang berhasil diciptakan, kerangka kerja ekonomi konvensional telah memunculkan beberapa persoalan seperti; ketidakmerataan distribusi pendapatan dan kekayaan, melebarnya disparitas antara berbagai kelompok masyarakat, meningkatnya angka pengangguran, kemiskinan 59
Ada tiga cara untuk menanggulangi ketimpangan pendapatan, atau melakukan redistribusi atasnya, yaitu : 1. Redistribusi Non-Incremental. Hal ini menyangkut kebijaksanaan redistribusi harta yang ada, seperti : pemungutan pajak pendapatan secara progresif. 2. Redistribusi Inkremental. Cara ini digunakan dalam pemungutan pajak bagi golongan yang berpendapatan tinggi, yang selanjutnya dibagikan langsung kepada mereka yang kurang mampu. Kebijaksanaan ini biasanya dianut oleh negara-negara sosialis. 3. Redistribusi melalui Pertumbuhan. Kebijaksanaan ini bertujuan untuk menaikkan laju pertumbuhan pendapatan golongan masyarakat miskin, dengan tidak mengurangi secara absolut pendapatan total. Ada beberapa hal yang terkandung dalam kebijaksanaan ini, seperti; (1) mempertahankan laju pertumbuhan yang tinggi, (2) menstabilkan penghasilan golongan paling kaya, (3) menyalurkan sebagian pendapatan golongan kaya sebagai hasil pertumbuhan kedalam berbagai bentuk investasi, dan (4) mengalokasikan investasi ke dalam bentuk yang lebih bermanfaat bagi golongan masyarakat termiskin. 60 Rafi>q Yu>nus al-Mis}riy, Us}ul> Al-Iqtis}ad> Al-Isla>miy (Beirut: Al-Da>r Al-Sha>miyyah, 1999), 226. 61 Lihat Michael P. Todaro, Economic Development in The Third World (New York: Longman Inc, 1989), 7 dan M. Umer Chapra, Islam and The Economic Challenge (USA : The Internasional Institute of Islamic Thought (IIIT) 1992), 15. 62 Negara berkembang memiliki karakteristik antara lain; taraf hidup yang rendah, produktifitas yang rendah, laju pertambahan penduduk yang tinggi dan ketergantungan pada ekspor hasil-hasil pertanian. Lihat, Ace Pce Pertadireja, Pengantar Ekonomika (Yogyakarta: BPFE, 1984), 213-219.
27
massal, penurunan secara substansial kualitas kesejahteraan material manusia, sampai kepada persoalan penggunaan sumberdaya alam yang tak dapat diperbaharui (non-renewable resources) secara irasional sehingga mengancam lingkungan dan peradaban manusia. Kondisi demikian semakin memperparah gejala penyakit ekonomi yang diderita oleh umat manusia sejagat.63 Ketidakadilan ekonomi telah menjadi problem universal yang dihadapi oleh semua sistem kontemporer. Dalam hampir semua bagian dunia, dan dalam seluruh wilayah sejarah, sistem-sistem ekonomi yang dilandaskan pada ketamakan dan target-target kepuasan individu telah mengalami kebuntuan dalam melahirkan keadilan dan kepedulian terhadap sesama. Hari demi hari ketimpangan pendapatan semakin meningkat dan akses kepada sumber-sumber penghidupan di dunia semakin tidak adil dan tidak terkendali.64 Kenyataan tersebut di atas memunculkan banyak kritikan terhadap ekonomi konvensional saat ini oleh para pakarnya sendiri seperti Amartya Sen, Amita Etzioni, Wilfred Backerman, James Robertson, dan lain-lain. Menurut mereka ekonomi konvensional nihil moral, padahal ekonomi pada hakekatnya adalah persoalan moral.65 Faktor ini disinyalir menjadi sebab utama terjadinya ketimpangan pendapatan dan tidak meratanya kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Dalam skala nasional, Indonesia tidak ingin terjebak dalam kondisi tersebut. Indonesia mencanangkan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial yang dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia 63 Lihat Haider Rizvi, “Hungry in a Wealthy Nation,” Global Policy Forum, Inter Press Service, USA (March 26, 2003): 2-3. 64 Lihat John Madeley, Hungry for Trade (London: Zed Books 2000), 26. 65 Konservatisme dan ortodoksi ilmu ekonomi banyak ditentang karena telah terbukti bahwa asumsi dasar ekonomi neo-klasikal yang berdasar self-interest tidak lagi valid, bahkan telah membentuk perilaku ekonomi yang makin jauh dari hakikat ilmu ekonomi sebagai a moral science. Dari asumsi itu telah terjadi suatu self-fulfilling prophesy yang menciptakan mindset ekonomi dan membentuk para pelaku ekonomi benar-benar menjadi homo-economicus, meninggalkan moralitasnya sebagai homo-ethicus. Lihat pembahasan lebih lanjut tentang masalah ini dalam Amartya Sen, "On Weights and Measures: Informational Constraints in Social Welfare Analysis," Econometrica, 45 (October 1977), and "Informational Analysis of Moral Principles," in Rational Action, Ross Harrison, ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1979).
28
sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, melalui redistribusi hasil-hasil pembangunan. Undang-undang (UU) No. 6 Tahun 1974 tentang Ketentuanketentuan pokok Kesejahteraan Sosial secara umum mengatur ruang lingkup tugas pemerintah dalam melaksanakan pembangunan kesejahteraan sosial dalam menentukan garis kebijakan yang diperlukan untuk memelihara, membimbing dan meningkatkan usaha kesejahteraan sosial; memupuk, memelihara, membimbing dan meningkatkan kesadaran serta rasa tanggung jawab sosial masyarakat; dan melakukan pengamanan dan pengawasan pelaksanaan usaha-usaha kesejahteraan sosial.66 66
Dalam kajian tentang keberhasilan negara-negara Asia Timur seperti Jepang, Korea, Taiwan, Hongkong, dan lain-lain, prihal menggabungkan pertumbuhan ekonomi dengan distribusi pendapatan yang merata, terlihat bahwa negara-negara tersebut secara umum telah menerapkan tujuh model pembangunan seperti yang dikemukakan oleh ahli ekonomi, yaitu; 1. Pembangunan yang mengutamakan penciptaan lapangan kerja, antara lain dengan mendorong penggunaan teknik-teknik produksi yang padat karya dalam pertumbuhan pertanian, dan membantu kegiatan sektor informal. 2. Pembangunan yang mengutamakan penyaluran kembali investasi untuk membantu golongan penduduk miskin, antara lain melalui reorientasi investasi dari proyek-proyek besar ke proyek-proyek yang langsung membantu golongan miskin, seperti pendidikan, kesehatan, perkreditan, dan lain-lain. 3. Pembangunan yang terutama bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar dari seluruh penduduk, yaitu pangan, sandang, pemukiman, kesehatan, pendidikan, dan partisipasi dalam pengambilan keputusan. 4. Pembangunan yang mengutamakan pengembangan sumber-sumber daya manusia yang harus didahului oleh redistribusi harta produktif, termasuk perluasan penyediaan kesempatan memperoleh pendidikan, sebelum dilakukan usaha pengembangan sumber-sumber daya manusia. 5. Pembangunan yang mengutamakan pengembangan sektor pertanian lebih dulu sebelum bisa mencapai pertumbuhan dengan pemerataan, khususnya dengan usaha land reform. 6. Pembangunan yang mengutamakan pembangunan pedesaan terpadu yang menekankan bahwa berbagai usaha pokok sangat diperlukan untuk keberhasilan pembangunan disertai pemerataan yaitu land reform, penggunaan teknik produksi yang padat karya oleh petani kecil, pembangunan prasarana oleh pekerja pertanian yang setengah menganggur, pengolahan jadi secara padat karya, usaha berdikari, pelaksanaan oleh suatu badan pemerintah yang melintasi yuridiksi kementrian lain, dan perencanaan regional yang mencakup hubungan antara ibukota dan desa-desa. 7. Pembangunan yang mengutamakan penataan ekonomi internasional baru yang menekankan bahwa konteks atau lingkungan internasional harus diubah dulu sebelum strategi pembangunan disertai pemerataan dapat berhasil. Jadi uraian mengenai strategi pembangunan negara-negara Asia Timur menunjukkan pembangunan tersebut menekankan pentingnya redistribusi harta produktif, prioritas pembangunan pada sektor pedesaan, dan realokasi dana investasi ke golongan miskin. Lihat juga ide-ide lain dari
29
Meskipun pertumbuhan ekonomi telah berjalan dengan pesat di Indonesia belakangan ini namun pertumbuhan yang pesat tersebut telah membawa akibat yang mengkhawatirkan, yaitu terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan yang lebih buruk.67 Memang pertumbuhan ekonomi mampu mengurangi persentase penduduk miskin relatif, namun di lain pihak sebagian penduduk miskin yang absolut menjadi semakin miskin.68 Dengan demikian, Indonesia belum termasuk kelompok negaranegara berkembang yang telah berhasil dalam menggabungkan pertumbuhan ekonomi yang pesat dengan distribusi pendapatan yang makin merata serta pengurangan kemiskinan absolut yang lebih pesat. Oleh karena itu, upaya-upaya untuk melaksanakan pemerataan hasil-hasil pembangunan harus terus dilakukan oleh pemerintah. Pemerataan berarti suatu pembagian hasil produksi kepada masyarakat yang lebih merata, sehingga dirasakan keadilannya. Untuk mewujudkan pemerataan ini, Indonesia69 telah melaksanakan ahli ekonomi dalam George Soule, Ideas of the Great Economist (New York, USA: New American Library, 1952). 67 Pertumbuhan ekonomi yang pesat sering dibarengi kenaikan dalam ketimpangan distribusi pendapatan atau disebut dengan ketimpangan relatif. Para ekonom berpendapat bahwa antara pertumbuhan ekonomi yang pesat dan distribusi pendapatan terdapat suatu trade off, yang membawa implikasi bahwa pemerataan dalam pembagian pendapatan hanya dapat dicapai jika laju pertumbuhan ekonomi diturunkan. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi selalu akan disertai penurunan dalam distribusi pendapatan atau kenaikan dalam ketimpangan relatif. Lihat John Arthur and William Shaw, eds. Justice and Economic Distribution (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1991) dan Richard E. Rubenstein, “Conflict Resolution and Distributive Justice: Reflections on the Burton Laue Debate” (November 1999). Available at: http://www.gmu.edu/academic/pcs/Rubenstein61PCS.html. 68 Pertumbuhan ekonomi yang dibiarkan secara alamiah tidak dengan sendirinya akan menghasilkan redistribusi pendapatan secara alamiah pula. Dan oleh karenanya, diperlukan adanya campur tangan pemerintah secara langsung untuk mengurangi ketimpangan pendapatan. Lihat Mahbub Ul Haq, The Poverty Curtain: Choices for the Third World (New York, USA.: Columbia University Press, 1976) dan Weisskoff, Richard and Edward N. Wolff, “The Structure of Income Inequality,” Journal of Development Economics 9, North Holland Publishing Company (1981): 205228. 69 Untuk mewujudkan pemerataan, Indonesia menerapkan Delapan Jalur Pemerataan. Delapan Jalur Pemerataan tersebut adalah sebagai berikut; 1. Pemerataan kebutuhan pokok rakyat. 2. Pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan. 3. Pemerataan pembagian pendapatan, khususnya melalui usaha-usaha padat karya. 4. Pemerataan kesempatan kerja melalui peningkatan pembangunan regional. 5. Pemerataan dalam pengembangan usaha, khususnya memberikan kesempatan yang luas bagi golongan ekonomi lemah untuk memperoleh akses perkreditan dan penggalakan koperasi.
30
program-program pemerataan pembangunan agar Indonesia dalam tahun-tahun mendatang lebih berhasil dalam menanggulangi masalah ketimpangan distribusi pendapatan dan pemerataan pembangunan. Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan juga adalah strategi pembangunan alternatif yang dapat diterapkan di Indonesia, khususnya yang ditawarkan oleh ekonomi Islam, karena nilai-nilai Islam telah mengakar dalam kehidupan sebagian besar warga negara Indonesia. Tidak bisa dipungkiri bahwa Kapitalisme memang telah menghadirkan kemajuan dalam ekonomi, misalnya dari visi yang tajam mengenai perkembangan ekonomi dan sosial dan penekanan terhadap akumulasi dan pertumbuhan dalam kerangka kebebasan individu. Sosialisme telah berhasil melakukan penekanan terhadap keadilan sosial dan distribusi. Sistem Negara Kesejahteraan telah melahirkan kebijakan-kebijakan tentang pengkombinasian atas pertumbuhan ekonomi, keadilan, kebebasan individu dan tanggungjawab sosial.70 Dalam dua dekade terakhir, banyak usaha untuk menjelaskan kembali secara serius dan mendalam tentang pemikiran ekonomi dalam Islam, melengkapi studi fikih muamalah yang telah lama berkembang sejak awal Islam. Hal ini muncul seiring dengan perhatian yang besar terhadap perkembangan ekonomi Islam dan penawarannya sebagai pilihan lain selain ekonomi konvensional yang dianggap kurang mampu menciptakan kesejahteraan yang merata dan keadilan yang luas.71 6. 7. 8.
Pemerataan kesempatan berpartisipasi khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita. Pemerataan penyebaran penduduk melalui transmigrasi dan pengembangan wilayah. Pemerataan dalam memperoleh keadilan hukum. 70 Syed Nawab Haider Naqvi, Islam, Economics, and Society (London: Kegan Paul International Ltd, 1994), 71-75. 71 Usaha tersebut dilakukan lewat rujukan terhadap warisan literatur Islam dalam kitab-kitab fikih, buku-buku ekonomi sendiri dan bahasan tentang al-siya>sah al-shar‘iyyah, kajian terhadap praktik-praktik yang diterapkan pada masa nabi dan kekhalifahan yang berpegang kepada prinsipprinsip syariah dan telah terbukti mampu mengantarkan kepada kejayaan umat dan pembangunan yang sejahtera dan makmur, memanfaatkan hasil-hasil ijtihad para ulama dan metodologi mereka dalam menyelesaikan problematika dan permasalahan ekonomi yang mereka hadapi pada zamannya masing-masing dan menganalisis sejauh mana kemungkinan penerapannya pada saat ini. Pemikiran ekonomi Islam bukan hanya meliputi pembahasan tentang permasalahan, problematika, dan krisis ekonomi dan solusinya, tetapi juga meliputi pemikiran yang berkaitan dengan kesejahteraan ekonomi, penjelasan tentang pokok-pokok prinsip ekonomi Islam secara umum, dan sikap ekonomi Islam
31
Kondisi saat ini di Indonesia menunjukkan bahwa ada sebagian warga negara yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasar secara mandiri dan hidup dalam kondisi kemiskinan. Akibatnya mereka mengalami kesulitan dan keterbatasan kemampuan dalam mengakses berbagai sumber pelayanan sosial dasar serta tidak dapat menikmati kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dalam hal ini, persoalan yang mendasar adalah tidak terpenuhinya pelayanan sosial dasar seperti kesehatan, pendidikan, sandang, pangan, papan, dan kebutuhan dasar lainnya. Selain itu, belum ada suatu sistem perlindungan dan jaminan sosial yang terintegrasi untuk melindungi dan memberikan jaminan sosial bagi seluruh penduduk terutama penduduk yang miskin dan rentan dengan berbagai persoalan hidup. Telah menjadi perhatian yang serius dari para ahli ekonomi berkenaan dengan keadilan sosial dan ekonomi, persoalaan
bagaimana distribusi sumber-
sumber daya dilakukan sedemikian rupa, sehingga kemerataan dapat terealisasi sekaligus hak individual tidak dilanggar. Proses pembangunan ekonomi yang liberal pada tahap awal, umumnya disertai oleh kemerosotan yang cukup besar dalam pembagian pendapatan, yang baru berbalik menuju suatu pemerataan yang lebih besar dalam distribusi pendapatan pada tahap pembangunan lebih lanjut.72 Secara global, kekuatan ekonomi di bawah sistem Kapitalisme, Sosialisme, Negara Sejahtera dan Neo-Liberalisme masih menyisakan sejumlah masalah dalam hubungannya dengan keadilan ekonomi, baik dalam soal hubungan kepemilikan, produksi, konsumsi dan distribusi.73 Oleh karena itu harus dilakukan pembangunan kembali fundamental ekonomi yang sehat dan mantap demi meningkatkan terhadap pemikiran-pemikiran ekonomi konvensional yang pernah ada dan berlaku saat ini. Isha>m Abba>s Muh}ammad ‘Aliy Naqliy, Tah}li>l Al-Fikr al-Iqtis}a>diy fi> al-‘As}r al-‘Abba>siy al-Awwal (Mekkah: Ja>mi‘ah Umm al-Qura>, 1416 H), 32. 72 Lihat Bruce A. Ackerman, Social Justice and the Liberal State (New Haven: Yale University Press, 1980) dan G.A. Cohen, “Where the Action Is: On the Site of Distributive Justice,” in Philosophy and Public Affairs, 26 (1997): 3-30 73 Para politikus dan pemerhati sosial ditantang untuk bersama-sama membangun kehidupan sosial dan politik yang lebih adil dan merata di bawah sistem ekonomi konvensional yang diterapkan selama ini. Lihat Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic Books, October 1977).
32
pertumbuhan, memperluas pemerataan, dan menjamin kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, dengan sasaran utama menekan angka kemiskinan dan pengangguran. Pembangunan ekonomi yang tidak adil bukan hanya menyebabkan kenaikan dalam ketimpangan relatif, tetapi lebih parah lagi akan membawa pula kemerosotan taraf hidup absolut dari golongan miskin. Dengan kata lain, bukan saja ketimpangan relatif tetapi juga kemiskinan absolut akan bertambah akibat pertumbuhan ekonomi yang pesat. Beberapa sebab terjadinya kepincangan pembagian pendapatan diantaranya; pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan penduduk, perkembangan kotadesa, sistem pemerintahan yang bersifat plutokratis, terjadinya konsentrasi kekayaan pada kelompok atas, kurang efektifnya pajak yang progresif, dan terjadinya akumulasi pemilikan modal.74 Masalah ketimpangan dalam distribusi pendapatan75 dapat ditinjau dari tiga segi, yaitu : 1. Distribusi pendapatan antar golongan pendapatan (size distribution of
income) atau ketimpangan relatif.76 2. Distribusi pendapatan antara daerah perkotaan dan daerah pedesaan (urban-
rural income disparities). 3. Distribusi pendapatan antar daerah (regional income disparities). Dalam usaha meminimalkan bahkan menghilangkan disparitas pendapatan, penelitian tentang keadilan distribusi bergulir semakin intensif. Kajian ini secara khusus meneliti tentang keadilan distribusi yang berkenaan distribusi pendapatan 74
Lihat H. Steiner, “Liberty and Equality,” Political Studies (1981): 555-569. Distribusi atau pembagian adalah klasifikasi pembayaran-pembayaran berupa sewa, upah, bunga modal dan laba, yang berhubungan dengan tugas-tugas yang dilaksanakan oleh tanah, tenaga kerja, modal dan pengusaha-pengusaha. Ia adalah proses penentuan harga yang dipandang dari sudut si penerima pendapatan dan bukanlah dari sudut si pembayar biaya-biaya. Distribusi juga berarti sinonim untuk pemasaran (marketing). Kadang-kadang ia dinamakan sebagai functional distribution. Lihat Winardi, Kamus Ekonomi (Bandung: CV. Mandar Maju, 1989), 171 76 Pendapatan diartikan sebagai suatu aliran uang atau daya beli yang dihasilkan dari penggunaan sumber daya properti manusia. Lihat Campbell R. MacConnel and Stanley R. Brue, Economics Principles, Problems, and Policies (New York: McGraw-Hill Higher Education, 2002), G12. Menurut Winardi, pendapatan (income), secara teori ekonomi adalah hasil berupa uang atau hasil material lainnya yang dicapai dari penggunaan kekayaan atau jasa-jasa manusia bebas. Dalam pengertian pembukuan, pendapatan diartikan sebagai pendapatan sebuah perusahaan atau individu. Winardi, Kamus Ekonomi (Bandung: CV. Mandar Maju, 1989), 245 75
33
antar golongan pendapatan. Keadilan distribusi memperhatikan apa yang adil atau tepat berkenaan dengan alokasi barang (atau sesuatu yang berguna) dalam masyarakat. Dalam kasus-kasus yang berkenaan dengan distribusi, keadilan adalah distribusi
yang
proporsional
dan
ketidakadilan
adalah
pelanggaran
atau
penyimpangan dalam distribusi yang proporsional. Di samping itu ada usaha membentuk pengembangan alternatif ekonomi seperti; perdagangan yang adil, saling membantu, koperasi produsen dan konsumen, sistem produksi yang didasarkan kepada teknologi ramah lingkungan sampai kepada kembali kepada ekonomi subsisten.77 Keadilan dapat diukur dari sudut kesesuaian dengan kebijakan dan hukum dan dapat pula diukur dengan kemerataan, keseimbangan dan kesamaan. Keadilan yang berkaitan dengan individu merupakan bagian dari kebajikan, dimana setiap orang mendapatkan masing-masing haknya sesuai porsinya yang tepat dan sama sedangkan ketidakadilan terjadi ketika ada orang yang mendapatkan lebih banyak sementara yang lainnya mendapatkan lebih sedikit.78 Keadilan khusus (particular
justice) ini terdiri dari dua bentuk yaitu distributive justice dan corrective atau
77 Kesenjangan ekonomi seharusnya diukur dari sisi warga negara yang kelebihan dan yang kekurangan. Pemerintah memiliki banyak pilihan untuk membantu masyarakat miskin dan menegakkan aspek keadilan. Misalnya, melalui mekanisme pemerataan dan redistribusi pendapatan yang lebih baik dan adil. Di antaranya adalah melalui sistem perpajakan yang progresif, pengenaan pajak kekayaan, kemudahan akses perbankan bagi koperasi dan UKM (misal, dengan suku bunga subsidi layaknya KLBI), atau upaya-upaya pemberdayaan masyarakat miskin lainnya. Lihat diskusi lebih intensif tentang masalah ini dalam Jude Howell dan Jenny Pearce, Civil Society and Development: A Critical Exploration (London: Lynne Rienner Publishers, 2001), 64-85. 78 Organisasi-organisasi di dalam masyarakat sipil dapat membantu individu warga negara untuk mendapatkan kebutuhan atau menyalurkan aspirasinya yang tidak dapat dipenuhi atau dipuaskan baik oleh negara maupun oleh pasar. Kalau organisasi-organisasi bisnis menghasilkan modal keuangan (financial capital) yang diperoleh melalui pertukaran barang dan jasa yang diatur oleh pasar, maka organisasi masyarakat sipil menghasilkan apa yang disebut dengan modal sosial (social capital). Seorang ahli sosiologi Robert Putnam merumuskan modal sosial dalam bentuk norma-norma seperti saling percaya (mutual trust), keuntungan timbal-balik (mutual benefit), kerjasama, toleransi dan solidaritas; yang kesemuanya merupakan hal-hal yang sangat esensial bagi berfungsinya demokrasi modern. Lihat Bob Edwards, Beyond Tocqueville: Civil Society and Social Capital Debate in Comparative Perspective (Hanover: University Press of New England, 1998), 10.
34
remedial justice; yang meralat ketimpangan dalam transaksi privat antara individu dan mereduksi konflik yang terjadi karena ketidakadilan.79 B. PrinsipPrinsip-prinsip Keadilan Distribusi dan Keterbatasannya Prinsip
keadilan
distribusi
(distributive
justice)
didesain
untuk
mengalokasikan barang pada suplai yang proporsional sesuai dengan permintaan dan kebutuhan.80 Prinsip ini memiliki beberapa dimensi, yaitu; subyek apa yang didistribusikan (pendapatan, kekayaan, kesempatan kerja, usaha, dan lain-lain), tabiat sasaran distribusi (personal, kelompok, kelas masyarakat tertentu dan lainlain) dan atas basis apa barang-barang tersebut didistribusikan (kesetaraan, kriteria tertentu, sesuai dengan kebebasan pasar dan lain-lain).81 Studi ini difokuskan pada prinsip-prinsip keadilan distribusi yang dirancang untuk mendistribusi barang-barang dan jasa kepada individu. Prinsip-prinsip ini telah menjadi sumber perdebatan pada tiga dekade terakhir. John Rawls misalnya,
79
Distribusi kepemilikan aset, apalagi land reform, tidaklah mudah dilakukan, sehingga langkah yang paling mudah adalah meningkatkan penerimaan redistribusi pendapatan dengan mengambil sebagian pendapatan dan kekayaan pribadi golongan berpenghasilan tinggi secara progresif dan proporsional, misalnya melalui pajak dan subsidi. Jadi ada transfer pembayaran dari orang kaya kepada negara untuk disalurkan kepada si miskin melalui pembebasan uang sekolah, kesehatan, penciptaan lapangan kerja, dan sebagainya. Morton mengkaji tentang keadilan dalam hubungannya dengan konflik yang terjadi. Ia membahas tentang distributive, procedural, retributive and reparative justice, rasa and ruang lingkup keadilan, dan implikasi dari ketidakadilan di atas rangkaian konflik. Lihat Morton Deutsch, “Justice and Conflict,” In The Handbook of Conflict Resolution: Theory and Practice, eds. Coleman, Peter T. and Morton Deutsch (San Francisco: JosseyBass, 2000). 80 Keadilan sering digunakan untuk mendiskusikan isu-isu yang berkaitan dengan ekonomi dan politik, bahkan oleh ahli agama dalam usaha menciptakan kesejahteraan umat beragama. Lihat Sidney Rooy, “Righteousness and Justice,” Evangelical Review of Theology 6. no. 2 (Oct. 1982): 260-265. 81 Teori dan praktik keadilan dianggap valid hanya jika terkait langsung dengan struktur, kultur dan tantangan utama masyarakat dimana keadilan itu dirumuskan dan dipraktikkan. Dengan kata lain, keadilan selalu terkait langsung dengan tantangan setempat, sedangkan tantangan setempat selalu berkait dengan struktur lain di luarnya atau di atasnya. Tanpa bermaksud mendiskreditkan Barat dan menghadapkannya dengan Timur atau Islam, konsep-konsep yang terlahir dari budaya Barat akan berbeda dalam konsep dan praksisnya dengan Timur semata karena perbedaan konteks struktur dan kultur sosial dan tingkat kehidupan masyarakat yang melingkupinya. Lihat psikologi sosial tentang keadilan dalam kajian Tom R. Tyler, and R. J. Boeckmann, Social Justice in a Diverse Society (Boulder, CO: Westview Press, May 1998).
35
sebagai kampiun dalam mengkaji keadilan yang berperspektif Barat, menekankan bahwa nilai keadilan yang paling tinggi adalah kebebasan dan pemenuhan hak-hak individu. Sementara Yersu Kim,82 sebagai salah satu pakar Confusianism menekankan pentingnya arti harmonitas kelompok dalam perumusan keadilan, apakah kelompok tersebut dalam arti keluarga atau kesamaan etnik, atau bahkan masyarakat setempat yang menjadi landasan sebagian besar bangsa Timur. 83 Prinsip paling sederhana dari keadilan distribusi adalah Strict Egalitarianism (kesamaan radikal).84 Prinsip ini menjelaskan bahwa setiap orang memiliki level dan hak yang sama dalam barang dan jasa.85 Secara umum prinsip ini dapat diterapkan untuk masyarakat dengan latar belakang memiliki penilaian yang sama dan kesamaan pembagian barang dan jasa dilakukan untuk memenuhi penilaian tersebut. Walaupun sederhana, prinsip ini masih menyisakan dua masalah pokok tentang konstruksi indeks yang paling tepat untuk ukuran kebutuhan masing-masing orang dan spesifikasi jangka waktu.86 Kemudian diantara cara yang paling umum untuk memproduksi barang dan kekayaan adalah dengan menerapkan sistem yang menjamin bahwa orang yang lebih produktif dapat memperoleh lebih banyak pendapatan. Hal ini menginspirasikan 82
Lihat misalnya, Yersu Kim, “World Change and the Cultural Synthesis of the West,” dalam Ron Bontekoe et. al. (ed.) Justice and Democracy Cross-Cultural Perspectives (Honolulu: University of Hamai’i Press): 431-441. 83 Lihat kajian tentang masalah ini dalam Robert T. Buttram, Robert Folger and Blair H. Sheppard, "Equity, Equality, and Need: The Three Faces of Social Justice." In Conflict, Cooperation, and Justice: Essays Inspired by the Work of Morton Deutsch, eds. Deutsch, Morton, Jeffrey Z. Rubin and Barbara Benedict Bunker (San Francisco: Jossey-Bass Inc. Publishers, May 1995). 84 Lihat Kai Nielsen, “Radical Egalitarian Justice: Justice as Equality,” Social Theory and Practice (1979): 209-226. 85 For egalitarians, the need to address these huge material inequalities demands the formulation of theories concerning not only how these injustices are generated, but also a strategy for how we may distribute resources more fairly to benefit more people. Lihat Richard Arneson, “Liberalism, Distributive Subjectivism, and Equal Opportunity for Welfare,” Philosophy and Public Affairs 19 (1990): 158-165. 86 Uang menjadi indeks alat ukur untuk nilai barang dan jasa, namun uang bukan indeks yang sempurna. Dan kekayaan tidak bisa dibatasi dengan jumlah tertentu dalam suatu periode ekonomi. Lihat kajian lengkapnya dalam Joseph Carens, Equality, Moral Incentives and the Market (Chicago: Chicago University Press, 1981) dan John Rawls A Theory of Justice (Harvard, MA: Harvard University Press, 1971)
36
formula distribusi menurut Difference Principle,87 yang menekankan penghormatan yang berbeda sesuai kapasitas dan kemampuan terhadap masing-masing orang. Pendapat yang banyak dipegang mengasumsikan bahwa harapan mendapatkan penghasilan yang lebih besar di masa akan datang, membuat setiap orang bekerja maksimal dan berlomba memberikan usaha produksi terbaik untuk memperoleh hasil terbaik dan lebih banyak. Hal tersebut akan meningkatkan akumulasi total kekayaan ekonomi khususnya kekayaan kelompok yang diuntungkan di bawah prinsip ini. Kritikan terhadap prinsip ini sebagai fakta yang tak terhindarkan adalah sampai dimana tingkat perbedaan pendapatan -yang dapat diterima dan hanya menguntungkan segelintir orang- yang tidak mengancam usaha merealisasikan keadilan distribusi dan kemerataan untuk sebanyak-banyaknya anggota masyarakat? Prinsip Resource-based (disebut juga Resource Egalitarianism) menawarkan tentang kesamaan dalam sumber daya.88 Pendapatan ditentukan oleh kebebasan orang dalam menggunakan sumber dayanya. Penggagas89 prinsip ini mengkritik
Difference Principle sebagai prinsip yang tidak cukup memuaskan dalam meredam ambisi dan perhatian terhadap sokongan orang lain. Mereka berargumen bahwa masyarakat yang bekerja keras untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi, biasanya sangat sulit diminta untuk ikut serta mensubsidi masyarakat yang kurang inovasi dan kualitas kerjanya rendah karena fisik yang lemah atau cacat sehingga pendapatannya kurang atau tidak mencukupinya.90 87
Lawrence Crocker, “Equality, Solidarity, and Rawls' Maximin,” in Philosophy and Public
Affairs (1977): 262-266. 88
Richard Arneson, “Liberalism, Distributive Subjectivism, and Equal Opportunity for Welfare,” in Philosophy and Public Affairs 19 (1990): 158-194. 89 Pengembang teori prinsip ini adalah Ronald Dworkin, yang mengemukakan bahwa masyarakat yang memulai usaha berdasarkan kesamaan sumber daya namun memperoleh hasil yang berbeda adalah konsekuensi yang disebabkan oleh pilihan mereka sendiri. Lihat Ronald Dworkin, “What is Equality? Part 1: Equality of Resources,” in Philosophy and Public Affairs, 10 (1981): 185246. 90 Anthony T Kronman, “Talent Pooling,” in Human Rights: Nomos 23, J. Roland Pennock and John W.Chapman, eds. (New York: New York University Press, 1981): 58-79 dan lihat pula
37
Dalam
Welfare-based
principles
diterapkan
distribusi
berbasis
kesejahteraan91 yang dimotivasi oleh ide yang dilandasi moral primer bahwa yang paling penting adalah tingkat kesejahteraan masyarakat. Prinsip ini merupakan derivasi dari perhatian teori-teori lain selama ia masih berada dalam jalur dan usaha meningkatkan kesejahteraan, maka ia dapat diterima dan berguna sehingga pokok persoalannya adalah memaksimalkan kesejahteraan.92 Prinsip ini menghadapi kritikan dari pandangan moral (commonsense),93 karena gagal memuaskan tingkat keseriusan individu dan memperlakukan kepuasan individu atau kesenangannya dengan merujuk kepada kesenangan di tangan orang lain. Kritikan paling besar terhadap prinsip ini datang dari sisi penentuan materi apa yang didistribusikan untuk pemenuhan kepuasan masing-masing individu yang memiliki preferensi yang berbeda-beda. Masyarakat patut menerima keuntungan ekonomi tertentu berdasarkan usaha mereka. Prinsip Desert-Based94 mengkritik perhatian pemikir Welfare-based
principles yang memperlakukan masyarakat hanya sebagai penampung dari Amartya Sen, “Equality of What?” in Choice, Welfare and Measurement (Cambridge: Cambridge University Press, 1982) 91 Dalam kajian Charles, eksplorasi tentang keadilan distribusi terfokus pada jawaban atas pertanyaan, “apa yang menjadi bagian distribusi masing-masing individu sesuai dengan haknya?” Lihat Charles R. Beitz, “Economic Rights and Distributive Justice in Developing Societies,” World Politics 33:3 (1981). 92 Ini disebut juga dengan aliran Utilitarianism. Utilitarianism adalah filsafat dalam politik ekonomi yang digagas oleh diantaranya Adam Smith, David Ricardo dan Jeremy Bentham, yang berargumen bahwa manusia modern adalah individu yang ‘rational economic beings’ yang merancang pilihan-pilihannya untuk memaksimalkan kesejahteraan dan kepuasannya. Dengan demikian tujuan dari ekonomi adalah memfasilitasi sebesar-besarnya kesejahteraan ekonomi untuk seluas-luasnya kehidupan mayoritas masyarakat. 93 Lihat Jon Elster, and John E. Roemer (eds.), Interpersonal Comparisons of Well-Being, (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), Jonathan Glover, (ed.), Utilitarianism and Its Critics, (New York: Macmillan Publishing Company, 1990), Robert E. Goodin, Utilitarianism as a Public Philosophy (New York: Cambridge University Press, 1995), Russell Hardin, Morality within the Limits of Reason (Chicago: University of Chicago, 1988), Nicholas Rescher, Distributive Justice: A Constructive Critique of the Utilitarian Theory of Distribution (Indianapolis: Bobbs-Merrill Co., 1966) dan Amartya Sen, and Bernard Williams (eds.), Utilitarianism and Beyond (Cambridge: Cambridge University Press, 1982) 94 Alan Zaitchik, “On Deserving to Deserve,” in Philosophy and Public Affairs 6 (1977): 370-388
38
kesejahteraan, bukan sebagai makhluk yang memiliki tujuan-tujuan mulia, bertanggung jawab terhadap setiap tindakannya dan kreatif dalam lingkungannya.95 Prinsip ini membedakan distribusi berdasarkan perbedaan primer menurut apa yang dikenal masyarakat sebagai basis dari kepatutan mereka memperoleh sesuatu, yaitu sesuai nilai kontribusinya terhadap produk sosial dan ekonomi,96 usaha yang dikerahkan untuk aktivitas kerja dan kompensasi untuk biaya yang dikucurkan dalam aktivitas kerja. 97 Morton Deutsch dalam tulisannya menawarkan tiga bentuk dari keadilan 98
sosial.
Menurut Deutsch, tiga konsep dari keadilan distribusi dapat diterapkan
untuk menciptakan masyarakat yang baik dan sejahtera berdasarkan prinsip-prinsip kerjasama; keadilan, kesamaan dan kebutuhan. Keadilan berkenaan dengan distribusi barang, jasa dan nilai-nilai secara proporsional sesuai kebaikan-kebaikan individu dalam masyarakat. Kesamaan menunjukkan bentuk distribusi yang diasumsikan bahwa setiap orang memiliki hak yang sama dalam jumlah dan kualitas tanpa mempertimbangkan kebaikan dan jasanya. Sedangkan kebutuhan menggambarkan tentang distribusi yang proporsional terhadap kebutuhan setiap individu. Sebaliknya pendukung prinsip kebebasan distribusi (Libertarian distributive
principles) mengusung ide bahwa keadilan pendapatan dapat tercapai lewat keadilan usaha yang bebas dan beraneka ragam dari masing-masing individu yang bebas.99 Di 95
Lihat Joel Feinberg, ‘Justice and Personal Desert’, Doing and Deserving (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1970), 55-94, Julian Lamont, “Incentive Income, Deserved Income, and Economic Rents,” Journal of Political Philosophy, 5 (1997): 26-46, Julian Lamont, “Problems For Effort-Based Distribution Principles,” Journal of Applied Philosophy, 12 (1995): 215-229, dan “The Concept of Desert in Distributive Justice,” The Philosophical Quarterly, 44 (1994): 45-64. 96 Jonathan Riley, ‘Justice Under Capitalism’, Markets and Justice, ed. John W. Chapman (New York: New York University Press, 1989), 122-162 97 Wojciech Sadurski, Giving Desert Its Due (Dordrecht, Holland: D. Reidel, 1985) 98 Morton Deutsch, "Equity, Equality, and Need: What determines which value will be used as the basis for distributive justice?", Journal of Social Issues, 31(1975): 137-149. 99 Dalam politik modern, diskusi tentang kebebasan dan kesamaan dimulai pada akhir abad ke delapan belas, ketika terjadi revolusi Prancis dan Amerika. Deklarasi hak-hak Asasi manusia menjamin, “Men are born and remain free and equal in rights. Social distinctions may be founded
only upon the general good”. In addition, “Law is the expression of the general will. Every citizen has a right to participate personally, or through his representative, in its foundation. It must be the same
39
bahwa prinsip ini setiap orang bertanggung jawab atas nasibnya sendiri dan masa depannya dengan penekanan pada pasar bebas dan proteksi terhadap hak kepemilikan.100 Namun maksimalisasi kebebasan akan menghasilkan akumulasi kekayaan di tangan sedikit orang, dan itu berarti menghalangi peluang yang sama bagi semua orang untuk mencapai kemerataan. Liberty niscaya menghasilkan
inequality. Sebaliknya, kemerataan yang menuntut ditotalkan, membutuhkan kebijakan politik yang keras, yang harus mengurangi, bahkan menghilangkan kebebasan individual. Egalitarianisme membutuhkan politik otoritarianisme. Oleh karena itu John Rawls menawarkan teori ‘justice as fairness’.101 Rawls berargumen bahwa liberty dan equality dapat dipadukan dalam satu prinsip keadilan, yaitu, setiap orang memiliki hak yang sama terhadap kebebasan asasi, dan bila terjadi ketidakadilan maka kaum yang tertinggallah yang harus diuntungkan olehnya. Inilah prinsip yang harus tertanam di dalam institusi-institusi sosial bila keadilan sosial hendak sungguh-sungguh diwujudkan.102 Sebab setiap orang yang for all, whether it protects or punishes. All citizens, being equal in the eyes of the law, are equally eligible to all dignities and to all public positions and occupations, according to their abilities, and without distinction except that of their virtues and talents”. The Declaration of the Rights of man and of the Citizen (1789) dan lihat pula Friedrich A. Hayek, The Constitution of Liberty (London: Routledge and Kegan Paul, 1960), 10-25. 100 Menurut Nozick ada tiga paket tata aturan keadilan, how things not previously possessed
by anyone may be acquired, how possession may be transferred from one person to another and what must be done to rectify injustices arising from violations of (1) and (2). A distribution is just if it has arisen in accordance with these three sets of rules. Lihat Robert Nozick, Anarchy, State and Utopia (New York: Basic Books, 1974), 151-152 101 John Rawls described an ideal society thus:"(1) Each person is to have an equal right to
the most extensive total system of equal basic liberties compatible with a similar system of liberty for all. (2) Social and economic inequalities are to be arranged so that they are both: (a) to the greatest benefit of the least advantaged, consistent with the just savings principle, and (b) attached to offices and positions open to all under conditions of fair equality of opportunity." Lihat John Rawls A Theory of Justice (Harvard, MA: Harvard University Press, 1971), 302. 102 "Justice is the first virtue of social institutions, as truth is of systems of thought", ungkapan Rawls tentang prioritas keadilan dalam program pokok setiap institusi. Latar teori Rawls adalah suatu masyarakat demokrasi konstitusional. Konsep manusia di dalam teori itu adalah sosok warga negara rasional. Di dalam konstruksi politik semacam ini, pluralitas nilai dan kedudukan sosial tidak menghalangi masyarakat untuk sampai pada kesepakatan tentang keadilan, karena setiap orang diandaikan terdorong oleh keinginan etis untuk menghindar dari kemungkinan dirugikan oleh suatu aransemen sosial. Itulah sebabnya setiap orang ingin dilindungi oleh prinsip keadilan yang sama. Lihat kajian lengkapnya dalam John Rawls, A Theory of Justice (Harvard, MA: Harvard University
40
ikut di dalam perjanjian sosial tetap bertumpu pada kedudukan primernya sebagai pemilik hak-hak dasar. Kontroversi tentu mengikuti proposisi Rawls itu. Kalangan kiri menganggap bahwa prinsip ini memberi pembenaran pada ketidakadilan. Artinya, dapat terjadi manipulasi ketidakadilan dengan mengatasnamakan kepentingan golongan yang kurang beruntung. Sedangkan kalangan kanan beranggapan bahwa prinsip ini memberi peluang kepada negara untuk memperalat si miskin guna memeras si kaya. Artinya, baik si miskin maupun si kaya diperlakukan sebagai obyek saja dan sekedar instrumental fungsinya. Distribusi bisa tercapai dengan adil bila setiap orang bertanggung jawab atas nasibnya sendiri apapun yang terjadi di masa datang, dan ia berhak dengan bebas untuk memiliki semua barang dan jasa yang berada di bawah program distribusi.103 Oleh karena itu prinsip keadilan sosial yang menjamin kemerataan dan keuntungan bagi mereka yang tertinggal, menjadi keutamaan suatu masyarakat demokratis. Dari sudut lain, ada pandangan yang mengusung prinsip distribusi berbasis feminisme (feminist principles) melawan kecenderungan yang membeda-bedakan hak gender, -bila ada- yang muncul karena adanya praktik ketidakadilan terhadap wanita.104 Prinsip ini menawarkan versi yang berbeda dari semua prinsip yang ada. Untuk mengurangi kesenjangan gender, rumah tangga dengan perempuan sebagai kepala keluarga perlu mendapat prioritas, karena kelompok ini paling rentan dan sering diabaikan. Oleh karena itu program-program distribusi harus diarahkan Press, 1971) , 137-145, dan lihat perbandingannya dalam John Christman, “Self-Ownership, Equality, and the Structure of Property Rights” Political Theory (1991): 28-46, dan dalam Loren E. Lomasky, Persons, Rights, and the Moral Community (New York: Oxford University Press, 1987), 31-47. 103 Setiap orang memiliki hak atas diri mereka sendiri, demikian pula atas bakat mereka. Dengan demikian mereka berhak atas apapun yang dapat diproduksi dengan bakat tersebut. Lihat Robert Nozick, Anarchy, State and Utopia (New York: Basic Books, 1974), 151-172. 104 Lihat Susan Moller Okin, Justice, Gender and the Family (New York: Basic Books, 1991), Moira Gatens, Feminism and Philosophy: Perspectives on Difference and Equality (Indianapolis: Indianan University Press, 1991), Catherine A. MacKinnon, Feminism Unmodified: Discourses of Life and Law (Cambridge, MA: Harvard Univ Press, 1987), Catherine A. MacKinnon, Sex Equality (Foundation Press, 2001), Rosemary Tong, Feminine and Feminist Ethics (Belmont, California: Wadsworth Publishing Company, 1993), dan Carol Pateman, The Sexual Contract (Stanford: Stanford University Press, 1988)
41
kepada usaha yang mendukung peningkatan kualitas hidup perempuan untuk mendapat kesempatan terutama di bidang pendidikan, pelayanan kesehatan reproduksi dan kesempatan peningkatan ekonomi keluarganya.105 Selain
itu,
ada
usaha
merekonstruksi
prinsip
distribusi
dengan
menggabungkan antara pemikiran David Hume tentang sumber dan tujuan keadilan distribusi dengan pemikiran Ronald Dworkin tentang tonggak jaminan sosial untuk mendukung kesamaan dalam sumber daya sebagai model dari keadilan distribusi. Dengan menggabungkan seluruh kekuatan maka kekuatan masyarakat menjadi besar dan semakin kuat, dengan berbagi kesempatan kerja maka kemampuan masyarakat meningkat, dan dengan saling menjaga maka masyarakat bisa meminimalkan kerugian dan kecelakaan. Dengan tiga konsep ini masyarakat akan mencapai kemakmuran. Inilah yang seharusnya dikembangkan dan dimaksimalkan oleh komunitas
manusia
yang
membedakannya
dengan
kumpulan
binatang.106
Keterbatasan prinsip-prinsip tersebut107 menyebabkan munculnya masalah-masalah 105
John Stuart Mill berargumen bahwa seiring pertumbuhan liberalisme, terdapat desakan dan tuntutan kesamaan gender dan status yang sama untuk wanita dalam ekonomi dan politik. Lihat diskusi lebih intensif tentang isu-isu mengenai masalah ini dalam Moira Gatens, Feminism and Philosophy: Perspectives on Difference and Equality (Indianapolis: Indianan University Press, 1991). Dan lihat pula, Susan Moller Okin, Justice, Gender and the Family (New York: Basic Books, 1991), Jean Hampton, Political Philosophy (Boulder, Colorado: Westview Press, 1997) dan Virginia Held, Rights and Goods: justifying social action (New York: Free Press, 1994) 106 David Hume menggambarkan tentang keadilan dengan pengamatan atas perilaku hewan, seperti yang disebutkan oleh Sheldon Wein, … David Hume begins his account of the origins of
justice by observing that animals tend to fit into two categories: either they are lion-like, having substantial needs and great resources with which to satisfy those needs, or they are sheep-like, having little in the way of abilities to satisfy their needs but also having correspondingly few needs. But humans, Hume claims, are quite different. Like lions, we have substantial needs. But like sheep, we have little in the way of natural attributes upon which to draw in fulfilling those needs. Now, give the lion with its voracious carnivorous appetite the body of a sheep and one would not expect it to survive. But humans have survived. Lihat paper Sheldon Wein, “A Humean Theory of Distributive Justice for a New Century,” Saint Mary's University. 107 Beberapa keterbatasan dapat disebutkan antara lain: Pertama, dalam hal kepemilikan, Prinsip Egalitarianisme Radikal dan Prinsip Libertarian berada pada posisi saling bertentangan. Yang pertama mementingkan kepemilikan kolektif, sedangkan yang terakhir mengedepankan kepemilikan pribadi dan self-interest. Keduanya mengalami kebuntuan dalam memecahkan masalah keadilan dalam kepemilikan. Kedua, dalam masalah sumber daya, Prinsip Libertarianisme menyatakan bahwa dunia ini pada asalnya tidak ada yang memiliki. Jika demikian, bagaimana dunia ini mesti diperlakukan bukan merupakan problem penting keadilan. Ketiga, ada beberapa teori keadilan yang
42
yang masih tersisa namun kurang mendapatkan perhatian padahal ia memerlukan pengayaan dengan nilai-nilai lain tentang keadilan distribusi dan kesejahteraan masyarakat. Ketidakmampuannya merealisasikan sasaran-sasaran yang diinginkan seperti pemenuhan kebutuhan dasar, kesempatan kerja penuh (full employment) dan distribusi pendapatan dan kekayaan merata, menjadikan konsep-konsep tersebut dianggap gagal. Bahkan beberapa diantaranya menyuburkan budaya eksploitasi manusia atas manusia lainnya, kerusakan lingkungan serta melupakan tujuan-tujuan moral dan etis manusia, sehingga bukanlah pilihan tepat apalagi dijadikan prototype bagi negara-negara yang sedang berkembang.108 Prinsip-prinsip tersebut pada hakikatnya bersandar kepada paham tertentu mengenai keadilan, dan karena terjadi perdebatan sengit tentang keadilan itu telah terlalu menekankan pada satu aspek semata dari fakta dan problem keadilan ekonomi sehingga kurang dapat memberikan jawaban secara tepat atas masalah keadilan itu sendiri. Prinsip Berbasis Sumber Daya secara nyata tidak memberikan tempat bagi tanggung jawab sosial atas mereka yang kurang beruntung, dan tidak ada subsidi bagi mereka yang kurang pendapatannya. Prinsip Berbasis Kesejahteraan (Utilitarianisme), dengan berpedoman pada the great happiness for the great number, mengorbankan sekelompok kecil orang atas nama kepentingan atau kesejahteraan mayoritas. dan Prinsip Berbasis Balasan juga tidak dapat memberikan jawaban atas pertanyaan bila setiap orang harus menerima balasan atau upah sesuai dengan usaha dan kontribusi aktualnya bagi masyarakat, lalu siapakah yang bertanggung jawab atas kondisi mereka yang kurang beruntung dalam masyarakat?Keempat, dalam Prinsip Egalitarianisme Radikal, bila setiap orang harus memiliki tingkat yang sama dalam kebutuhan barang dan jasa, di manakah penghargaan atas kenyataan adanya perbedaan antar orang perorang dan atas mereka yang secara ekonomi lebih produktif? Kelima, berdasarkan kompetisi, pasar bebas secara moral dikehendaki sebagai alat yang dipercaya untuk mengalokasikan dan mendistribusikan sumber daya secara adil. Fakta menunjukkan kekuatan pasar tidak sepenuhnya dapat memenuhi tugas alokasi dan distribusi secara adil. Dalam kondisi demikian, siapakah yang bertanggung jawab atas redistribusi bagi mereka yang kurang beruntung? Keenam, apa yang sejati dari prinsip keadilan John Rawls adalah berkenaan dengan prinsip ketidaksamaan. Prinsip ini biasa disebut sebagai Prinsip Perbedaan. Prinsip ini hanya dapat menjawab persoalan bagaimana ketidaksamaan diatasi. Sementara perbedaan dan konsekuensinya tidak dilihat sebagai suatu kenyataan yang tak dapat ditolak, perbedaan tidak dipandang sebagai potensi untuk saling mengambil manfaat dan titik tolak untuk mengukir prestasi. Di samping itu, dalam Prinsip Perbedaan tidak terlihat jelas apa yang memotivasi tindakan orang-orang yang beruntung untuk berkorban bagi mereka yang kurang beruntung. Terakhir, hampir semua teori keadilan di atas cenderung fokus pada keadilan distributif, sehingga aspek-aspek lain dari kegiatan ekonomi seperti konsumsi dan soal perlakuan atas sumber daya alam dan lingkungan luput dari perhatian. Lihat kajian lengkap tentang hal ini dalam Zakiyuddin Baidhowi, “Konsep Keadilan Ekonomi Dalam Al-Qur’a>n” (Disertasi Doktor, pada Program Pascasarjana (PPs) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2007). 108
M.Umer Chapra, Islam and The Economic Challenge, 25
43
melahirkan sejumlah teori dan prinsip keadilan. Meskipun para penganjurnya memiliki cita-cita dan pandangan yang sama tentang keinginan untuk menegakkan keadilan dalam masyarakat, mereka memiliki perbedaan cukup mendasar dalam menentukan makna dan definisi yang tepat tentang keadilan. Selama dua dekade belakangan ini, konsepsi tentang keadilan distribusi antara individu dan reaksi mereka tentang ketidakadilan telah diteliti dengan serius dan luas.109 Masalah penumpukan kekayaan pada segelintir orang di tengah kekurangan harta dan ketimpangan pendapatan pada komunitas mayoritas telah mendesak kajian tentang aturan-aturan yang berkenaan dengan keadilan distribusi.110 Dalam beberapa kajian ditemukan adanya keterikatan dan hubungan yang erat antara kepercayaan dan keyakinan masyarakat dengan keadilan distribusi yang terekpresi dalam tindakan dan sikap masyarakat. Keyakinan dan kepercayaan masyarakat berpengaruh signifikan terhadap alokasi barang dan jasa secara fair seperti pendapatan dan wibawa.111 Kemakmuran dan kesejahteraan yang luas dan merata sangat dipengaruhi oleh pemikiran dan sikap individu yang telah terbentuk untuk berkontribusi dan berbagi dengan sesama.112 Setiap individu harus memiliki perhatian terhadap isu-isu yang berkenaan dengan keadilan dan kehidupan yang fair ketika berinteraksi dengan sesamanya. Tinjauan mengenai keadilan distribusi seharusnya dilakukan melalui tiga perspektif yaitu; masyarakat, individu dan hubungan antar personal dalam 109
Lihat Karen S. Cook, and Karen A. Hegtvedt, “Distributive Justice, Equity, and Equality,” Annual Review of Sociology 9 (1983). 110 Kenyataan ini menuntut adanya program-program untuk pemenuhan hak-hak ekonomi melalui redistribusi keadilan ekonomi hingga membawa manfaat pembangunan ekonomi dan kesejahteraan yang merata. Lihat Nicholas Rescher, Distributive Justice: A Constructive Critique of the Utilitarian Theory of Distribution (Washington, D.C.: University Press of America, October 1982), 7-21. 111 Lihat Morton Deutsch, Distributive Justice: A Social-Psychological Perspective (New Haven, CT: Yale University Press, April 1985), dan David Miller, Distributive Justice: What the People Think (Ethics , 1995). 112 Dalam hal ini doktrin Altruism mendorong sikap berderma dan berbagi dimana Altruism
is being unselfishly devoted to the welfare of others. Examples: Giving to others without concern about returns to one's self. Lihat kajian selengkapnya tentang masalah ini dalam Tom R. Tyler, and R. J. Boeckmann, Social Justice in a Diverse Society (Boulder, CO: Westview Press, May 1998).
44
masyarakat.113 Oleh karena perspektif keadilan yang berbeda-beda, maka dibutuhkan penelitian tentang hubungan antara berbagai prinsip tentang keadilan dan kesamaan hak yang mengarahkan kepada sasaran terciptanya kemerataan dan keadilan dalam distribusi.114 Ekonomi Islam dalam masalah ini, menawarkan kaidah-kaidah pokok dan umum yang menetapkan bahwa harta adalah milik Allah115 dan manusia diamanahkan untuk mengelolanya dan berbagi dengan orang lain di dalam sebagian harta tersebut, jaminan batasan kecukupan untuk tiap-tiap individu dalam masyarakat, penghormatan terhadap kepemilikan individu yang menjamin realisasi keadilan sosial dalam masyarakat, perlindungan atas keseimbangan ekonomi antara individu dalam masyarakat, dan pembangunan ekonomi yang komprehensif dan integral untuk kesejahteraan dan keadilan ekonomi seluas-luasnya.116 Kaidah-kaidah pokok dan umum tersebut hanya merupakan pedoman umum dan universal dan tidak membatasi perincian-perincian dan petunjuk-petunjuk teknis yang detail berkaitan dengan perubahan kondisi, tempat dan waktu pada saat ia diterapkan selama masih dalam batasan-batasan umumnya.117 Ia menjelaskan konsep-konsep hukum, analogi-analoginya, kondisi-kondisi pengecualian yang dapat menganulir sementara sebagian hukum yang tetap, peletakan petunjuk-petunjuk
113 Lihat Robert T. Buttram, Robert Folger and Blair H. Sheppard. "Equity, Equality, and Need: The Three Faces of Social Justice," In Conflict, Cooperation, and Justice: Essays Inspired by the Work of Morton Deutsch, eds. Deutsch, Morton, Jeffrey Z. Rubin and Barbara Benedict Bunker, (San Francisco: Jossey-Bass Inc. Publishers, May 1995). 114 Lihat Sidney Rooy, “Righteousness, and Justice,” Evangelical Review of Theology 6. no. 2 (Oct. 1982): 260-265, John Rawls, A Theory of Justice, (Oxford University Press 1971), 78 dan 302-329, Alex Callinicos, Equality (Polity 2000), Alex Callinicos, An Anti Capitalist Manifesto (Polity 2003), 108-147, Karl Marx et F.Engels, The Communist Manifesto (Progress 1972) dan Tom R. Tyler, and Maura A Belliveau, "Tradeoffs in Justice Principles: Definitions of Fairness", Conflict, Cooperation and Justice: Essays Inspired by the Work of Morton Deutsch (May 1995). 115 Lihat al-Qur’a>n su>rah al-Hadi>d, : 7. Di dalamnya disebutkan, “berimanlah kamu kepada
Alla>h dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Alla>h telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” 116 Lihat Muh}ammad Shawqiy al-Fanjariy, al-Madhhab al-Iqtis}a>diy fi> al-Isla>m (Jeddah: Silsilat al-Iqtis}ad> iy al-Isla>miy, 5, Sharikah Maktabah ‘Ukka>z,} 1401/1981), 19-23. 117 Lihat Rabi>‘ al-Ru>biy, Dira>sa>t wa Buh}ut> h fi> al-Fikr al-Iqtis}ad> iy fi> al-Isla>m (Kairo: Da>r alHuqu>q, tt.), 28-29.
45
teknis dan perinciannya yang dapat diterapkan menurut kondisi pada tiap-tiap waktu dengan tetap berkomitmen dengan batasan-batasan dalam kaidah umum tersebut.118 Dengan pola perekonomian yang integratif, Islam memiliki dasar filosofisnya yang klasik. Islam meyakini konsepsi tauhid sebagai barometer fundamental. Allah Mahaesa dan manusia berasal dari satu nenek moyang.119 Perbedaan kebangsaan, negara, strata sosial dan lain sebagainya adalah perbedaan artificial saja. Dengan demikian pola interaksi antara sesama manusia dan satu bangsa dengan bangsa lain harus dilandasi asas keadilan dan persaudaraan. Ia merupakan sistem ekonomi yang menurut Ibn Khaldun bukan a laissez faire ataupun totalitarian, tetapi sistem yang merealisasikan pembangunan manusia dan human well-being yang merata dan adil seluas-luasnya, walaupun realisasinya saat ini masih sangat parsial.120 Pendekatan ekonomi Islam terhadap isu-isu ekonomi telah berkembang pesat dan luas, namun perhatian dan kajian tentang keadilan distribusi termasuk bidang yang paling kurang pengembangannya.121 Dalam dua dekade terakhir, banyak usaha untuk menjelaskan kembali secara serius dan mendalam tentang pemikiran ekonomi dalam Islam, melengkapi studi fikih muamalah yang telah lama berkembang sejak awal Islam. Hal ini muncul seiring dengan perhatian yang besar terhadap perkembangan ekonomi Islam dan penawarannya sebagai sistem ekonomi yang solutif selain ekonomi konvensional yang dianggap gagal.122
118
Lihat Shawqiy Ah}mad Dunya>, Duru>s wa Buh}ut> h fi> al-Iqtis}ad> iy al-Isla>miy, al-Naz}ariyyah al-Iqtis}a>diyyah min Manz}ur> Isla>miy (Riya>d,} KSA: Maktabat al-Khirri>jiy, 1404/1984), 27-28. 119
Lihat al-Qur’a>n su>rah al-Nisa>’ : 1. Lihat M.Umer Chapra, “Socioeconomic and Political Dynamics in Ibn Khaldun’s Thought,” The American Journal of Islamic Social Sciences, vol.16, No.4 (Winter 1999): 17-38 121 Beberapa hasil kajian tentang tema ini, diantaranya; M. Iqbal, Ed. “Distributive Justice and Need Fulfilment in an Islamic Economy,” Papers presented to the International Conference on Islamic Economics in Islamabad (1983), Ziauddin Ahmad, Islam, Poverty and Income Distribution (1991), Kursyid Ahmad, Economic Development in an Islamic Framework (1979) dan lain-lain. 122 Usaha tersebut dilakukan lewat rujukan terhadap warisan literatur Islam dalam kitab-kitab fikih, buku-buku ekonomi sendiri dan bahasan tentang siyasah syar'iyah, kajian terhadap praktikpraktik yang diterapkan pada masa kekhalifahan yang berpegang kepada prinsip-prinsip syariah dan telah terbukti mampu mengantarkan kepada kejayaan umat dan pembangunan yang sejahtera dan makmur, memanfaatkan hasil-hasil ijtihad para ulama dan metodologi mereka dalam menyelesaikan 120
46
Dalam ekonomi Islam terdapat tuntunan dalam mendistribusikan pendapatan dengan memperhatikan skala prioritas yang ketat.123 Distribusi pendapatan dan kekayaan dalam ekonomi Islam menduduki posisi yang penting karena pembahasan distribusi pendapatan tidak hanya berkaitan dengan aspek ekonomi akan tetapi juga berkaitan dengan aspek sosial dan aspek politik.124 Ekonomi Islam tidak hanya mengedepankan aspek ekonomi, dimana ukurannya berdasarkan atas jumlah harta kepemilikan, namun fokusnya terletak pada solusi bagaimana mendistribusikan penggunaan segala potensi kemanusiaan dan kekayaan untuk pemerataan kesejahteraan seluas-luasnya. Islam mengajarkan agar masing-masing individu menyadari eksistensinya di hadapan Allah,125 dan prinsip persaudaraan antar sesama manusia126 agar saling menyantuni, menghargai dan menghormati peran masingmasing. Distribusi pendapatan dan kekayaan dalam Islam merupakan penyaluran harta kepada pihak yang berhak menerima. Fokus distribusi pendapatan dan kekayaan dalam Islam adalah proses pendistribusiannya dan bukan output dari distribusi tersebut. Kewajiban menyisihkan sebagian harta atas pihak surplus (yang berkecukupan) adalah sebagai kompensasi atas kekeyaannya dan di sisi lain merupakan insentif (perangsang) untuk kekayaan pihak deficit agar dapat dikembangkan kepada yang lebih baik (surplus).
problematika dan permasalahan ekonomi yang mereka hadapi pada zamannya masing-masing dan menganalisis sejauh mana kemungkinan penerapannya pada saat ini. 123
http://ekisonline.com/index.php?option=com_content&task=view&id=3 40&Itemid=28 - _ftnref8Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam (Yogyakarta: Ekonisia, 2004), 232-240
124
Islam menekankan kewajiban redistribusi kekayaan hingga tercipta kemakmuran dan pemenuhan kebutuhan pokok bagi masing-masing individu dan menetapkannya sebagai fardhu kifayah, dimana seluruh unsur umat Islam terlibat di dalamnya. Lihat Muhammad Nejatullah Siddiqi, The Guarantee of a Minimum Level of Living in an Islamic State, in Distributive Justice and Need Fulfilment in an Islamic Economy, ed. Munawar Iqbal (Leicester, UK: The Islamic Foundation, 1988), 253-254 125 Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam (Yogyakarta: Ekonisia, 2004), 235 126 Lihat al-Qur’a>n su>rah al-Nisa>’, : 1
47
Proses redistribusi pendapatan dalam Islam sangat berkaitan dengan moral
endogeneity (factor dari dalam).127 Sebagaimana utilitarianisme mempromosikan ‘greatest good for greteast number of people’ dengan good dan utility diharmonisasikan dengan pengertian halal-haram, demikian pula ih}sa>n, ‘iffah dan
i>tha>r menegaskan bahwa kesejahteraan, kemerataan dan peningkatan utility manusia adalah tujuan utama dari tujuan pembangunan ekonomi dalam Islam. Dalam Libertarian dan Marxism, pertobatan dan penebusan dosa adalah salah satu faktor yang mendasari diterapkannya proses redistribusi pendapatan. Dalam aturan syariat Islam ditemukan sejumlah instrument yang mewajibkan seorang muslim untuk meredistribusikan kekayaannya sebagai akibat melakukan kesalahan (dosa), diantaranya kewajiban kaffa>rah.128 Sistem redistribusi diarahkan sebagai faktor pengurang dari adanya pihak yang merasa dalam keadaan merugi atau gagal. Kondisi seperti ini hampir bisa dipastikan berlaku pada setiap komunitas. Mekanisme redistribusi berlaku secara istimewa walaupun pada realitasnya distribusi adalah proses transfer kekayaan searah. Tetapi pada hakekatnya di sini terjadi mekanisme pertukaran, hanya saja objek yang menjadi alat tukar dari kekayaan yang ditransfer berlaku di akhirat nanti (pahala).129 Ini jelas bukan mekanisme dari market exchanges, tetapi pertukaran yang terjadi antara orang yang beriman dengan Tuhannya.130 Sistematika redistribusi kekayaan dalam islam yang dikembangkan oleh para ahli fikih dalam memenuhi maqa>si} d al-shari>‘ah mengacu pada skala prioritas dengan urutan sebagai berikut: 1) Al-D}aru>riyya>t, skala kebutuhan yang berkaitan erat 127
Yu>suf al-Qarad}aw > i, Mushkilat Al-Faqr wa Kaifa ‘A>lajaha> Al-Isla>m (Kairo, Mesir: Maktabah Wahbah, 1995), 17-19. 128 Mengenai kaffa>rah ini terdapat tabel tentang ketentuan tebusan harta yang harus ditunaikan. Lihat lampiran tabel kaff>ar> ah. 129 Seiring dengan definisi ih}sa>n yaitu berbuat terbaik untuk diri dan sesama untuk memperoleh balasan yang terbaik di akhirat. Shams al-Di>n al-Qurt}u>biy, Abu> Abdillah Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Abi> Bakr, ibn Farah} al-Ans}ar> iy al-Khazrajiy, Al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Fikr, tt.) jld. ii, 23 130 Mustafa Edwin Nasution, dkk. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam (Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2006), 133-134
48
dengan kebaikan dan kepentingan umum dalam menjalani hidup di dunia dan di akhirat. 2) Al-Ha>jiyya>t, skala kebutuhan yang berkaitan erat dengan kemudahan dan penghindaran dari kesulitan dalam menjalani hidup di dunia dan di akhirat. 3) Al-
Tah}si>niyya>t, skala kebutuhan yang berkaitan erat dengan kelengkapan dan kecakapan
melaksanakan
hidup
di
dunia
dan
di
akhirat.131http://ekisonline.com/index.php?option=com_content&task=view&id= 340&Itemid=28 - _ftn3 Islam
menawarkan
konsep
optimalisasi
proses
distribusi-redistribusi
pendapatan. Konsep ini menuntut bantuan otoritas dari pemerintah (negara) dan ada pula yang memang sangat bergantung pada konsep ketaatan dan karitatif personal (rumah tangga) maupun masyarakat muslim.132 Prinsip-prinsip ekonomi yang dibangun di atas nilai moral Islam mencanangkan kepentingan distribusi pendapatan secara adil. Urgensi kebijakan ini berkaitan dengan tugas pemimpin dalam kerangka pemerataan keadilan.133 Dalam pengelolaan sumber daya, Negara harus mampu mendistribusikan sumber daya yang ada dengan baik dan maksimal. Kebijakan distribusi menganut kesamaan dalam kesempatan kerja, pemerataan kesejahteraan dan pemanfaatan lahan yang menjadi sektor publik. Ajaran Islam memberikan otoritas kepada pemerintah dalam menentukan penggunaan lahan untuk kepentingan publik dan Negara, distribusi tanah kepada sektor swasta, penarikan pajak, subsidi, dan keistimewaan non-monetary lainnya.134 Semua keistimewaan tersebut harus
131 Lihat Abu> Isha>q al-Sha>tibiy, al-Muwa>faqa>t fi> Us}ul> al-Shari>‘ah (Riyad}: Maktabat Riyad} al Hadi>thah, tt), jld. ii, 8-11. 132 Lihat Muhammad Nejatullah Siddiqi, “The Guarantee of a Minimum Level of Living in an Islamic State,” in Distributive Justice and Need Fulfilment in an Islamic Economy, ed. Munawar Iqbal (Leicester, UK: The Islamic Foundation, 1988), 257-259 133 Ia merupakan tujuan prioritas ekonomi Islam sebagaimana digambarkan oleh Syed Aftab Ali, “Broad-based economic well-being, social and economic justice, and equitable distribution of income and wealth are some of the major socio-economic goals emphasized in Islamic teachings.” Lihat Syed Aftab Ali, Risk-Bearing and Profit Sharing in an Islamic Framework: Some Allocational Resources, 28. 134 ‘Abdulla>h ‘Abd al-H}usayn Al-Ta>riqiy, Al-Iqtis}a>d Al-Islam > iy (Kuwait: Da>r Al-Nafa>is, 1999), 255-260
49
diarahkan untuk memenuhi kepentingan publik, pemerataan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan. Kebijakan ekonomi politik diarahkan untuk melayani kepentingan individu dan umum sekaligus, yang menfokuskan kepada keimbangan, harmonisasi dan saling menguntungkan dari kedua kepentingan tersebut. Kebijakan ekonomi politik Islam melayani kesejahteraan materi dan kebutuhan spiritual. Ada dua hal penting yang mendukung kesuksesan sistem Islam dalam distribusi pendapatan dan kekayaan, yaitu; prilakuperilaku konsumsi dan pengembangan intermediary system untuk lebih menyelengggarakan
instrument-instrumen
kebijakan
fiskal
yang
khusus
diproyeksikan untuk distribusi pendapatan. Redistribusi pendapatan dalam konteks rumah tangga tidak terlepas dari prinsip dan nilai-nilai ih}sa>n dan i>tha>r.135 Nafkah adalah redistribusi wajib tanpa syarat dengan menyediakan kebutuhan yang diberikan kepada pihak atau orangorang yang menjadi tanggungan. Redistribusi ini ditujukan kepada istri, anak, orang tua, saudara, dan pembantu.136 Selanjutnya zakat merupakan sarana redistribusi wajib seorang muslim untuk menyisihkan sebagian hartanya kepada kelompok tertentu (8 asnaf). Fokus penekanan dalam distribusi zakat terletak pada sirkulasi kekayaan yang diambil dari orang kaya untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.137 Selain itu ada sarana-sarana redistribusi kekayaan yang lain, seperti, ud}h}iyah yaitu kurban binatang ternak pada saat hari raya Idul Adha dan harihari tashri>q. Ada pula warisan yaitu pembagian harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia kepada para ahli warisnya. Ada pula musa>‘adah yaitu bantuan kepada orang lain yang sedang terkena musibah dan kesulitan tanpa ada pamrih 135
Mustafa Edwin Nasution, dkk. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam (Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2006), 136 136
http://ekisonline.com/index.php?option=com_content&task=view&id=3 40&Itemid=28 - _ftnref6Yu>suf al-Qarad}aw > i, Dawr Al-Qiyam Wa Al-Akhla>q fi> al-Iqtis}a>d alIsla>miy (Kairo: Da>r Wahbah, 1415/1995), 240.
50
apapun. Jiwa>r adalah bantuan yang diberikan kepada tetangga. D{iya>fah adalah hidangan yang disuguhkan kepada tamu yang datang. Infak adalah sarana redistribusi harta selain kewajiban membayar zakat. Ia dapat dilakukan oleh seorang muslim walaupun dia belum berkewajiban membayar zakat. Aqi>qah adalah kegiatan pemotongan kambing untuk kesyukuran atas setiap anak yang dilahirkan, satu ekor untuk anak perempuan dan dua ekor untuk anak lakilaki. Wakaf menahan suatu benda untuk diambil manfaatnya untuk kepentingan umum sesuai dengan ajaran Islam.138 Wasiat merupakan sarana pendistribusian harta kepada orang lain setelah pemilik harta tersebut meninggal, maksimal 1/3 (sepertiga) harta yang ditinggalkan (warisan).139 C. Prinsip Altruisme140 dalam Kekayaan Kekayaan
dan
kepemilikan141
kurang
diapresiasi
secara
baik
dan
bertanggungjawab padahal setiap orang memiliki perhatian terhadapnya baik secara instink maupun rasional, karena kelanjutan dan ketahanan hidup setiap manusia secara langsung berhubungan dengan beberapa macam kepemilikan.142 Harta benda 138
http://ekisonline.com/index.php?option=com_content&task=view&id=3 40&Itemid=28 - _ftnref7Muhammad Daud Ali, System Ekonomi Islam Zakat Dan Wakaf (Jakarta: Universitas Indonesia Press,1988), 80. 139 Ini adalah ketetapan maksimal menurut ulama berdasarkan praktik Sa‘ad ibn Abi> Waqqa>s.} Lihat al-Bukha>riy, S}a}hi} >h} al-Bukha>riy, ba>b, Hijjat al-Wada>‘> , no. 4057 140 Altruisme mendorong sikap berderma dan berbagi. Diantara definisi dari Altruism is being
unselfishly devoted to the welfare of others, or giving to others without concern about returns to one's self. Lihat kajian masalah ini dalam Tom R. Tyler, and R. J. Boeckmann, Social Justice in a Diverse Society (Boulder, CO: Westview Press, May 1998), 21-25 141
Kekayaan (wealth) diartikan sebagai segala sesuatu yang berguna dan digunakan oleh manusia. Istilah ini juga digunakan dalam arti khusus seperti kekayaan nasional. Sloan dan Zurcher mengartikan kekayaan sebagai obyek-obyek material, yang ekstern bagi manusia yang bersifat; berguna, dapat dicapai dan langka. Kebanyakan ahli ekonomi tidak menggolongkan dalam istilah kekayaan hak milik atas harta kekayaan, misalnya saham, obligasi, dan surat hipotik, karena dokumendokumen tersebut dianggap sebagai bukti hak milik atas kekayaan, jadi bukan kekayaan itu sendiri. Lihat Winardi, Kamus Ekonomi (Bandung: CV. Mandar Maju), 1989), 503 142 Contoh sederhananya adalah kepemilikan makanan yang harus dikonsumsi, dan tanpanya manusia akan mati atau berkurang daya tahan dan kapabilitasnya. Kebutuhan ini juga merupakan kebutuhan setiap makhluk hidup selain manusia. Manusia secara khusus memiliki beberapa kebutuhan dasar yang harus dipenuhi, diantaranya; Makanan, pakaian, tempat tinggal, kendaraan,
51
dengan berbagai macam dan kompleksitasnya sering digambarkan sebagai tuntutan yang harus terpenuhi dalam kehidupan manusia. Dorongan untuk memiliki, mengendalikan, menguasai, mencari dan memanfaatkan harta benda terdapat dalam diri manusia sebagai dorongan alami dan asasi. Obyek dorongan ini sangat beragam dan beberapa diantaranya bersifat insidental untuk memuaskan manusia.143 Kepemilikan harta benda bertingkat-tingkat diantara manusia, ada yang kekurangan (fakir dan miskin), ada yang berkecukupan (kaya) dan ada yang berlebihan (kaya raya), sehingga diperlukan kebijakan mekanisme sirkulasi dan redistribusi kekayaan yang mendukung dan menjamin keadilan dan pemerataan kesejahteraan. Walaupun mendapatkan porsi perhatian yang kurang,144 telah lama muncul pemikiran untuk menyelesaikan permasalahan ketimpangan jumlah kepemilikan dan bagaimana pengelolaannya agar lebih merata dan adil. Pemikiran berkembang kepada studi tentang manusia sebagai pemilik harta benda dan sisi sosialnya agar mau berbagi dengan sesama yang kekurangan. Dalam studi filosofis pada masa awal, anggapan yang berkembang tentang harta benda dan kepemilikan adalah sama dan keduanya menghalangi manusia untuk mencapai kebaktian dan kesucian. Pemikiran ini diadopsi oleh filsuf Stoic dan Epicurean.145 Ajaran Kristiani yang banyak mengadopsi pemikiran Plato dan filsuf Stoic, menawarkan ajaran bahwa kesalehan pada tingkat tertentu berkaitan erat dengan ketiadaan harta benda, sehingga orang miskin lebih diuntungkan dan
pelayan (pembantu), perabot rumah tangga, biaya pendidikan, buku-buku ilmiyah, alat-alat kerja, produksi dan modal, pelunasan hutang, biaya kesehatan dan obat-obatan, pemerdekaan diri dari perbudakan, biaya pernikahan, persenjataan bagi yang membutuhkannya. Lihat ‘Isha>m ‘Abba>s Muh}ammad ‘Ali Naqliy, Tahli>l Al-Fikr al-Iqtis}a>diy fi> al-‘As}r al-‘Abba>siy al-Awwal (Mekkah, KSA: Ja>mi‘ah Umm al-Qura>, 1416 H), 460-480 143 Dalam al-Qur’a>n disebutkan beberapa obyek kepuasan manusia, diantaranya; pasangan, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kendaraan, binatang-binatang ternak, sawah ladang. Lihat al-Qur’a>n Su>rah A>lu ‘Imra>n: 14 144 Robert LeFevre, The Philosophy of Ownership (Rampart College, Second Printing 1971), 4 145 Hal ini disebutkan secara implisit oleh Plato dalam bukunya Republic. Lihat Whitney J. Oates, ed. The Stoic and Epicurean Philosophers (New York: Random House, 1940), 13-17
52
dimuliakan karena tidak disibukkan dan dibebankan dengan urusan kepemilikan.146 Walaupun sesungguhnya bukan harta benda atau kepemilikan yang menjadi sumber masalah, namun karakter dan perilaku buruk yang timbul karenanya yang dipersalahkan.147 Untuk meluruskan perilaku tersebut dan membangkitkan semangat berbagi kepada orang lain, Bible mengajarkan bahwa kepemilikan harta yang mutlak dan absolut adalah milik Tuhan.148 Ajaran Budha yang lebih dahulu muncul sebelum Kristiani, menanamkan ajaran bahwasanya tidak cukup hanya menjauhi dan meninggalkan harta benda, namun harus disertai dengan menghilangkan segala keinginan dan hawa nafsu. Nirvana, kondisi kekosongan dan ketiadaan tidak akan dicapai melainkan oleh orang yang telah berhasil menghentikan dan mengendalikan hasrat.149 Dalam ajaran ini tersirat makna bahwa sikap religiusitas tercapai dengan menundukkan diri dan mengelola harta benda untuk kepentingan dan kesejahteraan sesama. 150 146
De Coulanges menekankan bahwa, "In the greater number of primitive societies, the right of property was established by religion....The first religion that exercised its empire on their minds was also the one that established the right of property among them....Religion, and now laws, first guaranteed the right of property.” Lihat Fustel de Coulanges, The Ancient City (New York: Anchor Books edit. Double-day and Co.[original edit.1864]), 66-67. 147 Hal ini seiring dengan tulisan Joseph Fletcher yang menjelaskan tentang, The story of the Rich Man and Lazarus (Luke 16:19ff.) dimana dia menekankan bahwa, "great 'virtue' which often comes from the accumulation of great wealth is hardness of heart, which manifests itself in indifference towards others. It was not property or money in itself that condemned Dives, but the character that was shaped by his accumu1ation of wealth". Pengaruh bagi kehidupan orang dalam kesehariannya digambarkan dengan ringkas oleh Bishop Emrich, yang menyatakan: “Jesus, we repeat, planned no ideal society, nor did he give us any specific advice for the weighty questions that confront us today. Rather, He gives us the background against which all discussion on the problem of property must be set by bringing home the urgency of the divine command, ‘Seek ye first the Kingdom.’Without his spirit of service and of concern for the needs of our brothers all discussion builds upon a false foundation.” Joseph Fletcher (ed.), Christianity and Property (Westminster, Philadelphia) Ch. 2, 2. 148 Dalam The Holy Bible, RSV disebutkan, “The earth is the Lord’s, and all that therein is; the compass of the world, and they that dwell therein.” (Psalm 24:1). 149 Robert LeFevre, The Philosophy of Ownership (Rampart College, Second Printing 1971) , 2 150 Amarta Sen menggambarkan tentang ajaran Budha dengan pernyataan, “…Gautama
Buddha's concern about the deprivations and adversities of human life has served as a powerful image of caring humanity throughout the ages, and it remains deeply evocative today. Lihat Amartya Sen “Disability and Inclusive Development: Sharing, Learning and Building Alliances,” a conference organized by the World Bank, Washington (November 30-December 1, 2004), 2
53
Ajaran Islam yang datang enam abad setelah Kristiani mengakui bahwa kepemilikan harta benda merupakan hasrat mendasar yang sangat kuat dalam diri manusia151, obyek keindahan dan kenikmatan dunia yang diburu dan disenangi,152 sehingga melalaikan dan menjerumuskan manusia ke dalam perilaku tidak berempati kepada sesama dan hanya memuaskan hasrat kepemilikan yang tak terbatas.153 Oleh karena itu Islam mencela perilaku mewah,154 namun memuji sikap dan perilaku moderat155 dalam mengelola harta benda sebagai penopang hidup.156 Dalam ajaran Islam, kekayaan sangat diapresiasi karena Tuhan Mahakaya, dan semua makhluk termasuk manusia adalah fakir dan membutuhkan anugerah nikmat dari-Nya.157 Dengan sifat Mahakasih, Tuhan mencukupi segala kebutuhan manusia, 158 bahkan memberikan kelebihan dan kekayaan. Islam mengakui adanya hak milik pribadi (individu) dan menganjurkan usaha-usaha dan inisiatif individu untuk memiliki harta benda sebanyak-banyaknya159, menggunakan dan mengelola harta pribadinya. Namun bersamaan dengan itu, Islam memberikan batasan-batasan tertentu agar seseorang menggunakan harta pribadinya tanpa merugikan kepentingan umum. Dalam Islam, hak individu itu berada dalam batasan norma, bukan tak terbatas sebagaimana dalam aliran kapitalisme, ataupun ditekan secara mutlak sebagaimana dalam aliran komunisme. Inilah sisi kemoderatan Islam dalam memandang kepemilikan.160 151
Lihat al-Qur’a>n, su>rah al-‘At : 8 Lihat al-Qur’a>n, su>rah A>lu ‘Imra>n : 13 153 Lihat al-Qur’a>n, su>rah al-Taka>thur : 1-2 154 Salah satu sebab manusia terjerumus dalam azab adalah hidup bermewah-mewah. Lihat al-Qur’a>n, su>rah al-Wa>qi’ah : 45 155 Lihat al-Qur’a>n, su>rah Al-Furqa>n : 67 156 Dalam al-Qur’a>n, Alla>h menyebutkan harta sebagai pokok kehidupan. Lihat al-Qur’a>n, su>rah al-Nisa>' : 5 157 Dalam al-Qur’a>n su>rah Muh}ammad : 38 disebutkan, "Alla>h Maha Kaya dan kalian adalah orang-orang yang fakir". 158 Dalam al-Qur’a>n su>rah Luqma>n: 20 disebutkan, “Tidakkah kamu perhatikan 152
Sesungguhnya Alla>h telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin.” 159 160
Lihat al-Qur’a>n, su>rah al-Nisa>' : 20. Lihat Yu>suf al-Qarad}aw > i, Dawr al-Qiyam wa al-Akhla>q, 93-100
54
Setelah studi ekonomi lebih terorganisir dan hasil kerja monumentalnya dipublikasikan,161 Carlyle menggambarkan ilmu ekonomi sebagai
'ilmu yang
malang',162 kurang memberikan inspirasi dan hanya berfungsi menguji data-data fisik yang berhubungan dengan produksi dan distribusi. Kajian tentang pemerataan kepemilikan dan kesejahteraan sangat kurang.163 Walaupun setiap orang bahkan ahli ekonomi sendiri berkepentingan langsung dengan pemerataan kepemilikan dan menikmati manfaatnya, namun perhatian terhadapnya kurang signifikan. Persoalan ekonomi manusia secara fundamental terletak pada sebuah fakta bahwa manusia punya keinginan (wants) yang tidak secara umum dapat dipuaskan tanpa membelanjakan sumber-sumber energi manusia dan peralatan material yang terbatas.164 Apapun kondisi seorang manusia, dia pasti butuh makan, pakaian, akomodasi dan keperluan-keperluan
lain yang diupayakan tidak terputus
ketersediaannya baik secara kualitas maupun kuantitas, apalagi nafsu manusia selalu menginginkan lebih dari kebutuhannya. Sumber alam yang terbatas semakin sulit terdistribusi secara merata dan adil karena keinginan yang berlebihan dan tidak terpuaskan. Inilah persoalan kehidupan manusia (human problem of life) yang terus menjadi perhatian mereka baik secara individual ataupun kolektif atau dalam bentuk negara. Meski ada kesamaan timbulnya kegiatan ekonomi, -yakni disebabkan oleh adanya kebutuhan dan keinginan manusia tersebut,- namun karena cara manusia 161 162
Yaitu buku Adam Smith, Wealth of Nations (1776) Hal ini juga ditegaskan oleh Lester C. Thurow: “ … economics is in the state of turmoil…
the economics of the textbooks and of the graduate schools not only still teach price-auction model but it is moving toward narrower and narrower interpretations … the mathematical sophistication intensifies as an understanding of the real world diminishes… economics cannot do without simplifying assumptions, but the trick is to use the right assumption at the right time, and this judgement has to come from empirical analyses including those employed by historians, psychologists, sociologists and political scientists…”, lihat Lester C. Thurow, The Dengerous Currents: The State of Economics (New York: Random House, 1983), 236-237. 163 Robert LeFevre, The Philosophy of Ownership (Rampart College, Second Printing 1971), 3
164
Lihat M.A. Mannan, Islamic Economics, Theory and Practice, a Comparative Study (Lahore, Pakistan: sh.Muhammad Ashraf Publishers, 1991), 3-5
55
dalam memenuhi alat pemuas kebutuhan dan cara mendistribusikan alat kebutuhan tersebut didasari filosofi yang berbeda, maka timbullah berbagai bentuk sistem dan praktik ekonomi dari banyak negara di dunia.165 Perbedaan ini tidak terlepas dari pengaruh filsafat, agama, ideologi, dan kepentingan politik yang mendasari suatu negara penganut sistem tersebut.166 Para ekonom mengkaji tentang perilaku dan cara-cara manusia mencapai kesejahteraan dan mendistribusikannya. Kesejahteraan yang dimaksud adalah segala sesuatu yang memiliki nilai dan harga, mencakup barang-barang dan jasa yang diproduksi dan dijual. Beberapa paham yang muncul memang berbeda-beda tetapi memiliki satu satu tujuan memuaskan keinginan manusia. Paham Kapitalisme167 bersumber dari tulisan Adam Smith dalam bukunya
An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations yang ditulis pada tahun 1776. Isi buku tersebut sarat dengan pemikiran-pemikiran tingkah laku ekonomi masyarakat. Dari dasar filosofi tersebut kemudian menjadi sistem ekonomi, dan pada akhirnya kemudian mengakar menjadi ideologi yang mencerminkan suatu gaya hidup (way of life). Smith berpendapat motif manusia melakukan kegiatan ekonomi adalah atas dasar dorongan kepentingan pribadi, yang bertindak sebagai tenaga pendorong yang membimbing manusia mengerjakan apa saja asal masyarakat sedia membayar.168 Motif kepentingan individu yang didorong oleh filsafat liberalisme kemudian melahirkan sistem ekonomi pasar bebas.169 165
Lihat Morton Fried, The Evolution of Political Society (New York: Random House, 1970), 15-23. 166 Menurut Sayyid Qutb, kehidupan manusia tidak mungkin akan terus berlangsung di atas sistem kontemporer yang sedang berlangsung. Ia harus melakukan perubahan mendasar pada pondasi yang diatasnya ia dibangun. Perubahan yang akan menjaganya dari kehancurannya dan kehancuran karakteristiknya yang khas dan mendasar. Lihat Sayyid Qut}b, Al-Isla>m wa Mushkilat al-Had}ar> ah (Kairo: Da>r al-Shuru>q, 1993), 15-18 167 Lihat Fernand Braudel, Capitalism and Civilization (New York: Harper & Row, 1984), 23-25 168
“Bukan berkat kemurahan tukang daging, tukang pembuat bir, atau tukang pembuat roti kita dapat makan siang,” kata Smith “akan tetapi karena mereka memperhatikan kepentingan pribadi mereka. Kita berbicara bukan kepada rasa perikemanusiaan mereka, melainkan kepada cinta mereka kepada diri mereka sendiri, dan janganlah sekali-kali berbicara tentang keperluan-keperluan kita,
56
Lembaga hak milik swasta merupakan elemen paling pokok dari kapitalisme.170 Pemberian hak pemilikan atas harta kekayaan menjadikan individu termotivasi memanfaatkan aktiva seproduktif mungkin, sehingga terjadi privatisasi secara massif.171 Hal tersebut sangat memengaruhi distribusi kekayaan dan pendapatan karena individu-individu diperkenankan untuk menghimpun aktiva dan memberikannya kepada para ahli waris secara mutlak apabila mereka meninggal dunia. Ia memungkinkan laju pertukaran yang tinggi karena orang memiliki hak
melainkan tentang keuntungan-keuntungan mereka.” Lihat Paul A. Samuelson and William D. Nordhaus, Economics (McGraw-Hill, 15th Ed., 1995), 5 169 Menurut Milton H. Spencer (1977), “Kapitalisme merupakan sebuah sistem organisasi ekonomi yang dicirikan oleh hak milik privat (individu) atas alat-alat produksi dan distribusi (tanah, pabrik-pabrik, jalan-jalan kereta api, dan sebagainya) dan pemanfaatannya untuk mencapai laba dalam kondisi-kondisi yang sangat kompetitif.” Untuk penjelasan lebih mendalam tentang masalah ini, lihat Fernand Braudel, Capitalism and Civilization (New York: Harper & Row, 1984), 31-33 dan lihat pula M. Camdessus, “Capital Account Liberalization and the Role of the Fund,” pada seminar IMF tentang Capital Account Liberalization, Washington, DC (9 Maret 1998). 170 Maka dalam ekonomi kapitalis, program privatisasi sangat gencar dilakukan, sehingga tercapainya minimalitas peranan negara dalam perekonomian dan untuk kemudian peran ini digantikan oleh mekanisme pasar. Dalam kasus Indonesia atas desakan IMF, tidak sedikit BUMN yang tergolong strategis, beraset besar dan mengelola hajat hidup orang banyak termasuk dalam daftar perusahaan yang diprivatisasikan oleh negara. PT Indosat, PT Semen Gresik, PT Aneka Tambang, PT Tambang Timah, PT Angkasa Pura II , PT Telkom, PT Pelindo II dan III, PT Jasa Marga, PT Perkebunan Nusantara IV, PT Tambang Batu Bara Bukit Asam dan PT Krakatau Stell adalah sebagian dari daftar perusahaan yang termasuk diprivatisasikan pada akhir 1999 dan hasilnya baru bisa didapat pada tahun 2001. Lihat E. Wyne Nafzinger, The Economics of Developing Countries (Upper Saddle River NJ: Pretice Hall International, 1997), 70. dan lihat pula, Indra Bastian, Privatisasi di Indonesia: Teori dan Implementasi (Jakarta: Salemba Empat, 2002), 206. 171 Terdapat banyak definisi yang diberikan oleh pakar berkenaan dengan istilah privatisasi. Diantaranya adalah menurut J.A. Kay dan D.J. Thompson yang mengartikan privatisasi sebagai cara untuk mengubah hubungan antara pemerintah dan sektor swasta. Dubleavy menyatakan bahwa privatisasi merupakan pemindahan permanen aktivitas produksi barang dan jasa yang dilakukan oleh perusahaan negara ke perusahaan swasta atau dalam bentuk organisasi non-publik, seperti lembaga swadaya masyarakat. Menurut Besley dan Littlechild, meskipun kata "privatisasi" secara umum dapat diartikan sebagai "pembentukan perusahaan" namun dalam Company Act, privatisasi didefinisikan sebagai penjualan berkelanjutan yang sekurang-kurangnya sebesar 50% dari saham milik pemerintah ke pemegang saham swasta. Lihat Roy H. M. Sembel, "Privatisasi BUMN di Indonesia" dalam Mengembangkan Strategi Ekonomi, ed. Sularso Sopatar et. al (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan dan Yayasan Wahana Dharma Nusa, 1998), 79. Pengertian tersebut sejalan dengan UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN menyebutkan bahwa, "privatisasi adalah penjualan saham Persero (Perusahaan Perseroan), baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas saham oleh masyarakat.
57
pemilikan atas barang-barang sebelum hak tersebut dapat dialihkan kepada pihak lain. Dengan demikian kapitalisme sangat erat hubungannya dengan pengejaran kepentingan individu. Bagi Smith bila setiap individu diperbolehkan mengejar kepentingannya sendiri tanpa adanya campur tangan pihak pemerintah, maka ia seakan-akan dibimbing oleh tangan yang tak tampak (the invisible hand), untuk mencapai yang terbaik pada masyarakat. Kebebasan ekonomi tersebut juga diilhami oleh pendapat Legendre yang ditanya oleh Menteri keuangan Perancis pada masa pemerintahan Louis XIV pada akhir abad ke 17, yakni Jean Bapiste Colbert, ”Bagaimana kiranya pemerintah dapat membantu dunia usaha?” Legendre menjawab: “Laissez nous faire” (jangan mengganggu kita, [leave us alone]). Kalimat ini dikenal kemudian sebagai laissez faire. Dewasa ini prinsip laissez faire diartikan sebagai tiadanya intervensi pemerintah sehingga timbullah individualisme ekonomi dan kebebasan ekonomi.172 Dengan kata lain dalam sistem ekonomi kapitalis berlaku Free Fight
Liberalism (sistem persaingan bebas). Siapa yang memiliki dan mampu menggunakan kekuatan modal (kapital) secara efektif dan efisien akan dapat memenangkan pertarungan dalam bisnis. Paham ini mengagungkan kekuatan modal sebagai syarat memenangkan pertarungan ekonomi.173 Namun ketika kaum bermodal tumbuh semakin kaya dan mendigdaya dan kaum miskin semakin terpinggirkan, maka integritas sosial dan keseimbangan distribusi yang seharusnya eksis akan semakin mustahil terwujud. Nilai-nilai moral seperti persaudaraan, kerjasama, gotong royong, kasih sayang dan kebajikan manusiawi akan dengan sendirinya tergerus oleh kebencian, iri dengki, rivalitas individualis dari sebuah peradaban kapitalistik.
172
Lihat Harold Faulkner, The Decline of Laissez Faire (New York: Holmes 1978), 15-20 Lihat John B. Clark , Philosophy Of Wealth (Boston: Gixn & Company, 1887), 9-15.
173
58
Pada skala global, banyak orang menolak Kapitalisme tanpa regulasi yang telah berjasa melahirkan kemiskinan dan pemiskinan struktural dalam jumlah masif.174 Kapitalisme dalam bentuk klasiknya laissez faire telah runtuh, yang masih bertahan adalah Kapitalisme yang telah dimofidikasi. Kapitalisme berasumsi bahwa dalam sistemnya terdapat suatu distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata dan fair dalam perekonomian. Namun karena tidak adanya mekanisme filter dan pemuasan keinginan secara serampangan, pendapatan tidak terdistribusikan secara merata. Sesungguhnya ketidakmerataan dalam pewarisan kekayaan sangat berkaitan dengan akses yang tidak adil terhadap fasilitas kredit dan pendidikan, perbedaan bakat, stamina fisik, latar belakang keluarga, dan ambisi pribadi. Ketidakmerataan
memungkinkan
kelompok
berpendapatan
tinggi
memperoleh bagian pendapatan yang jauh lebih besar dibandingkan kuantitas mereka. Dengan cara ini konfigurasi barang-barang dan jasa yang diproduksi oleh sistem pasar tidak selaras dengan keinginan mayoritas konsumen. Kesenjangan pendapatan yang besar diterima sebagai kewajaran dan tak terhindarkan. Ini merupakan ketidakadilan yang nyata, namun dirasionalisasi dengan argumen bahwa seseorang yang memikirkan diri sendiri yang telah merupakan ‘kekuatan sosial yang perlu dan bermanfaat’.
melahirkan
situasi ini
175
Sosialisme sebagai gerakan ekonomi muncul sebagai perlawanan terhadap ketidakadilan yang timbul dari sistem kapitalisme.176 Sosialisme merupakan bentuk perekonomian di mana pemerintah paling kurang bertindak sebagai pihak yang dipercaya oleh seluruh warga masyarakat, dan menasionalisasikan industri-industri
174
Lihat diskusi tentang hal ini dalam, Daniel Bell, The Cultural Contradictions of Capitalism (New York: Basic Books 1976) 175 Lihat George Soule, Ideas of the Great Economists (New York: Mentor, 1952), 53 dan lihat pula George Dalton, Economic System and Society (Kingsport, Tenn: Kingsport Press, 1974), 77.
176
John Stuart Mill (1806-1873), menyebutkan istilah sosialisme menunjukkan kegiatan untuk menolong orang-orang yang tidak beruntung dan tertindas dengan sedikit tergantung dari bantuan pemerintah. Lihat, Robert Heilbroner, Marxism: For and Against (New York: WW. Norton 1980)
59
besar dan strategis seperti pertambangan, jalan-jalan, dan jembatan, kereta api, serta cabang-cabang produk lain yang menyangkut hajat hidup orang banyak.177 Dalam bentuk yang paling lengkap sosialisme melibatkan pemilikan semua alat-alat produksi, termasuk di dalamnya tanah-tanah pertanian oleh negara, dan menghilangkan milik swasta. Dalam masyarakat sosialis hal yang menonjol adalah kolektivisme atau rasa kebersamaan. Untuk mewujudkan rasa kebersamaan ini, alakosi produksi dan cara pendistribusian semua sumber-sumber ekonomi diatur oleh negara. Sosialisme memposisikan diri sebagai antithesa kapitalisme.178 Di saat kapitalisme memberikan kebebasan tak terbatas bagi individu untuk memiliki harta dan kekayaan, di saat yang sama sosialisme justru menghapus kebebasan itu. Seluruh alat-alat dan sumbersumber produksi dan distribusi adalah milik negara.179 Namuni ideologi ini mengalami kemunduran lebih cepat dari yang diprediksikan. Ini disebabkan kelemahan-kelemahan utama yang inheren di dalamnya. Pertama, ideologi ini mengimplikasikan ketidakpercayaan pada kemampuan manusia untuk mengelola kepemilikan pribadi dalam batasan-batasan kesejahteraan sosial. Kedua, mesin kekuasaan negara dijalankan oleh sekelompok orang yang kepentingannya selaras dengan kepentingan seluruh masyarakat. Dalam praktik yang terjadi sebaliknya, sekelompok orang yang mengendalikan kekuasaan negara memanfaatkan kekayaan dan pendapatan negara untuk kepentingan mereka sendiri. Ketiga, subsidi umum yang besar hanya menguntungkan si kaya dan orangorang istimewa dibanding si miskin yang daya belinya terbatas.180
195.
177
Lihat “Preface to A Contribution to the Critique of Political Economy'” MESW, 180-
178
Lihat C. Dutt, W. Lough, dan C.P. Magill, The German Ideology (Lawrence & Wishart,
1965), 30.
179
Lihat Afzal-ur-Rahman, Economic Doctrines of Islam (Lahore: Islamic Publications (Pvt.) Ltd., 1990), vol. i, 5-7 180 Norman Furniss dan Timothy Tilton, The Case of Welfare State: From Social Security to Social Equality (Bloomington, Indiana: International Union Press, 1977), 42.
60
Tujuan utama Sosialisme adalah menegakkan keadilan, namun pada praktiknya
Sosialisme
hanya
mengurangi
sedikit
ketidakmerataan
atau
menimbulkan ketidakadilan yang lain. Kaum buruh yang tidak mempunyai hak milik tetap menjadi buruh tanpa hak milik, mereka bekerja pada majikan yang lebih bekuasa. Mereka juga tidak mempunyai hak untuk memilih, semua tergantung pada pimpinan. Perjuangan akan hak-hak buruh akan berujung pada penjara atau kematian. Dengan demikian,
negara Sosialis jauh lebih mematikan daripada
Kapitalisme. Alienasi para pekerja dari sarana-sarana produksi masih tetap, karena pusat kendali dipisahkan dari pekerja. Praktik semacam ini bertentangan dengan ajaran Marx sendiri tentang bagaimana alienasi terjadi: yakni ketika pekerjaan terpisah dari pekerjanya dalam arti pekerjaan bukan milik si pekerja sehingga dalam pekerjaannya ia tidak mengafirmasi dirinya sendiri bahkan menolak dirinya sendiri; dan pekerja terasing dari pekerjaannya muncul ketika pekerjaan itu bukan miliknya namun milik orang lain.181 Dengan cara demikian, kemungkinan eksploitasi sebagaimana terdapat dalam Kapitalisme, yang menjadi sasaran kritik oleh Sosialisme itu sendiri, masih hidup. Komunisme sebagai sempalan dari sosialisme muncul dengan tujuan yang sama dengan sosialisme, lebih bersifat gerakan ideologis dan mencoba hendak mendobrak sistem kapitalisme dan sistem lain yang telah mapan. Kampiun Komunis adalah Karl Marx,182 sosok yang amat membenci kapitalisme ini merupakan korban dan saksi sejarah, betapa ia melihat para anak-anak dan wanita-wanita -termasuk keluarganya- yang dieksploitir para kapitalis sehingga sebagian besar dari mereka terserang penyakit TBC dan tewas. Sementara hasil jerih payah mereka dinikmati oleh para pemilik sumber daya (modal) yang disebutnya kaum Bourjuis. Diilhami pendapat Hegel yang menyatakan bahwa perubahan historis merupakan hasil 181
Lihat pembahasan tentang alienasi ini dalam Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1884 (Moscow: Foreign Language Publishing House, 1961), 67-83. 182
tampaknya dalam pandangan ini, terdapat pemutusan epistemologis, yang menegakkan satu sudut pandang yang sama sekali baru dalam memahami sejarah. Tentang konsep ini lihat Louis Althusser, For Marx (Allen Lane, The Penguin Presss, 1969), 32-34.
61
kekuatan-kekuatan yang bertentangan satu sama lain. Pertentangan tersebut pada dasarnya bersifat ekonomis atau materialistis, dengan demikian faktor-faktor ekonomi menurut Marx menjadi sebab pokok terjadinya perubahan. Komunisme secara historis sering digunakan untuk menggambarkan sistemsistem
sosial
dimana
barang-barang
dimiliki
secara
bersama-sama
dan
didistribusikan untuk kepentingan bersama sesuai dengan kebutuhan masing-masing anggota masyarakat.183 Produksi dan konsumsi bersama berdasarkan kapasitas ini merupakan hal pokok dalam mendefinisikan paham komunis, sesuai dengan motto mereka, "from each according to his abilities to each according to his needs" (dari
setiap orang sesuai dengan kemampuan, untuk setiap orang sesuai dengan kebutuhan). Sistem keadilan Negara Sejahtera184 Kapitalisme.
merupakan langkah maju dari
Tujuan sistem ini adalah melunakkan ekses Kapitalisme yang
berlebihan dan dengan cara ini dapat mengurangi daya tarik Sosialisme. Sistem ini cukup menarik semua lapisan masyarakat, baik pekerja maupun kapitalis. Dari segi filosofinya, Negara Sejahtera meyakini bahwa kesejahteraan individu merupakan tujuan yang sangat penting yang tidak mungkin tergantung hanya pada operasi kekuatan-kekuatan pasar; kemiskinan dan ketidakmampuan seseorang tidak mesti merupakan bukti dari kegagalannya. Karena itu, sistem ini mengakui
full
employment (sebagaimana juga dipercaya Kapitalisme) dan distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil sebagai bagian dari tujuan pokok kebijakan negara. Meski sistem ini menerapkan strateginya melalui enam perangkat negara – regulasi, nasionalisasi industri pokok, gerakan buruh, kebijakan fiskal, pertumbuhan yang
183
Hal ini membuktikan bahwa manusia selalu membutuhkan satu sama lain, sedangkan kaum komunis dalam dunia yang nyata berarti pengikut sebuah partai revolusioner tertentu. Lihat Louis Althusser, For Marx (Allen Lane, The Penguin Presss, 1969), 54 184 Negara Sejahtera memperoleh dua momentum: setelah Depresi Besar dan Perang Dunia II sebagai respon terhadap tantangan yang ditimbulkan oleh Sosialisme dan kesulitan-kesulitan akibat Depresi dan Perang Dunia II tersebut. Untuk melihat sejarah Negara Sejahtera silahkan merujuk pada Maurice Bruce, The Coming of the Welfare State (London: Batsford, 1968).
62
tinggi dan full employment— subsidi umum telah melahirkan kepincangan yang tidak adil antara si kaya dan si miskin. Setelah krisis Kapitalisme selama 25 tahun terakhir dan semakin berkurangnya tingkat profit yang berakibat jatuhnya akumulasi kapital, korporasi besar meneguhkan tekad untuk kembali ke sistem liberalisme. Melalui corporate
globalization, mereka merebut kembali ekonomi dan berhasil mengembalikan paham Liberalisme, bahkan dalam skala global. Inilah yang disebut sebagai paham Neoliberalisme. Sejak 1970-an Keynesianisme yang menjadi fondasi Welfare State telah masuk dalam catatan kaki sejarah. Panggung kini menjadi milik dua bapak ekonom Neoliberalisme Friederich August von Hayek185 dan Milton Friedman.186 Mulai dekade 1980-an, aliran kanan baru yang diwakili oleh Margaret Thatcher dan Ronald Reagan memperjuangkan pasar bebas dan menolak dengan tegas paham negara intervensionis. Satu dekade kemudian, tepatnya pada 1990-an, Kapitalisme Neoliberal pasar bebas dari dua tokoh tersebut telah menjadi ideologi dunia yang dominan. Keyakinan-keyakinan Neoliberalisme menggarisbawahi bahwa pasar harus bekerja secara bebas tanpa campur tangan negara, menekan pengeluaran upah dan melenyapkan hak-hak buruh, menghilangkan kontrol atas harga; mengurangi pemborosan anggaran negara dengan memangkas semua subsidi untuk pelayanan sosial seperti pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial, dan pada saat yang sama subsidi besar-besaran diberikan kepada perusahaan transnasional (TNCs) melalui tax
holidays; memercayai deregulasi ekonomi; privatisasi adalah jalan menuju
185
Pengaruh besar Hayek terutama pada pendasaran filosofis ekonomi pasar bebas, ia juga menentang keras kolektivisme dan fascisme yang melanda sebagian Eropa saat itu. Lihat B. Herry Priyono,”Dalam Pusaran Neoliberalisme”, dalam Neoliberalisme, I. Wibowo dan Francis Wahono, eds. (Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003), 52-53. 186 Ia dikenal sebagai penentang gagasan John M. Keynes tentang campur tangan negara atau pemerintah dalam kehidupan ekonomi, yang biasanya dilakukan lewat stabilisasi untuk mengontrol inflasi dan pengangguran, dengan kebijakan investasi untuk mengangkat belanja masyarakat, Lihat B. Herry Priyono,”Dalam Pusaran Neoliberalisme”, dalam Neoliberalisme, I. Wibowo dan Francis Wahono, eds. (Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003), 52-53.
63
persaingan bebas yang dibungkus dengan efisiensi dan mengurangi korupsi, meski kenyataannya terjadi konsentrasi kapital di tangan sedikit orang dan memaksa rakyat kecil membayar lebih mahal kebutuhan dasar mereka; dan mempetieskan paham tentang public goods dan solidaritas sosial dan menggantinya dengan tanggung jawab individual.187 Dengan demikian semua ideology yang mengakar di bawah sistem Kapitalisme, Sosialisme, Komunisme, Negara Sejahtera, dan Neoliberalisme masih menyisakan sejumlah masalah dalam hubungannya dengan keadilan ekonomi
-
khususnya distribusi kepemilikan dan kekayaan– sehingga diperlukan adanya reformasi struktur sosio-ekonomi dan nilai-nilai keadilan yang membimbingnya.188 Dalam ekonomi Islam, distribusi sumber-sumber kesejahteraan sosial dapat dimaksimalkan jika sumber daya ekonomi dialokasikan sedemikian rupa, sehingga tidak seorang pun menjadi lebih baik dengan menjadikan orang lain lebih buruk. Islam mengajarkan bahwa pemilik asal semua harta dengan segala macamnya adalah Allah karena Dialah Pencipta, Pengatur dan Pemilik segala yang ada di alam semesta ini.189 Sedangkan manusia adalah pihak yang mendapatkan kuasa untuk memiliki dan memanfaatkan harta tersebut.190 Seseorang yang beruntung memperoleh harta, pada hakekatnya hanya menerima titipan sebagai amanat untuk disalurkan dan dibelanjakan sesuai dengan kehendak pemilik sebenarnya (Allah), baik dalam pengembangan harta maupun penggunaannya. Sejak semula Allah telah menetapkan bahwa harta hendaknya digunakan untuk kepentingan bersama. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa "pada mulanya" masyarakatlah yang berwenang
187
kebangkitan liberalisme ekonomi ini pada intinya memperjuangkan laissez faire, yakni paham yang mempertahankan hak-hak atas pemilikan dan kebebasan individual, dan lebih percaya kepada pasar daripada metode regulasi negara untuk menyelesaikan masalah sosial. Lihat Mansour Fakih, Bebas dari Neoliberalisme (Yogyakarta: Insist Press, 2003), 54-58. 188 Lihat Zakiyuddin Baidhowi, “Konsep Keadilan Ekonomi Dalam Al-Qur’a>n,” Disertasi Doktor, pada Program Pascasarjana (PPs) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, (Yogyakarta: 2007), 35-40 189 Lihat al-Qur’a>n su>rah al-Ma>’idah : 17. 190 Lihat al-Qur’a>n su>rah al-H}adi>d, : 7.
64
menggunakan harta tersebut secara keseluruhan, kemudian Allah menganugerahkan sebagian darinya kepada pribadi-pribadi (dan institusi) yang mengusahakan perolehannya sesuai dengan kebutuhan masing-masing.191 Sehingga sebuah kepemilikan atas harta kekayaan oleh manusia baru dapat dipandang sah apabila telah mendapatkan izin dari Allah SWT untuk memilikinya. Islam telah menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan mekanisme perolehan kepemilikan, tata cara mengelola dan mengembangkan kepemilikan, serta cara mendistribusikan dan meredistribusikan kekayaan di tengah-tengah manusia.192 D. Kepemilikan Individu, Individu, Umum dan Negara Hak milik individu (private property) telah menjadi bahan pembicaraan lama di kalangan filsuf dan politisi, terutama ekonom. Dalam rangka diskusi tentang pasar bebas, pokok tentang hak milik pribadi menjadi bahasan yang utama. Tidak mungkin membicarakan transaksi jual-beli dengan sistem pasar tanpa pengakuan tentang hak milik pribadi. Ketika seseorang membeli sebidang tanah, misalnya, ia harus mendapat kepastian dan jaminan bahwa tanah yang dibelinya itu tidak bisa diambil oleh orang lain. Hak milik pribadi berarti hak untuk menguasai (control) pemakaian harta dan orang berhak memperoleh keuntungan dari milik itu. Dengan hak atas milik itu, orang juga berhak untuk mengalihkan atau menjualnya. Hak milik itu secara otomatis melarang orang lain ikut memilikinya. Ada beberapa macam hak milik: real
property (tanah), personal property (barang fisik lainnya), intellectual property (hak atas karya seni, penemuan, dan sebagainya). Negara mempunyai peran penting untuk menjamin hak milik pribadi ini. Dengan kata lain negara membuat hukum yang menjamin hak milik pribadi. Setiap pelanggaran terhadap hukum tersebut, dapat
ditindak oleh negara. Di negara-negara yang menganut sistem pasar pasti ada hukum yang mengatur hak milik.193 Secara garis besar dapat dibedakan dua teori hak milik pribadi, masingmasing dengan implikasinya sendiri. Teori yang pernah populer adalah teori yang didasarkan atas hukum kodrat, yang mengatakan bahwa menurut kodratnya manusia memiliki hak atas barang ciptaan Allah. Tetapi manusia, karena usaha dan kerjanya, mempunyai hak atas hasil kerjanya itu, yang tidak bisa dimiliki oleh orang lain.194 Teori yang kedua mengatakan bahwa hak milik pribadi itu bersifat sosial.195 Hak milik itu bukan hubungan antara manusia dengan benda, tetapi hubungan manusia dengan manusia dalam kerangka kepemilikan benda-benda itu. Dengan kata lain, hak milik pribadi itu adalah konvensi sosial. Ini berarti bahwa hak milik pribadi bisa digugat jika hak milik pribadi itu menghalangi orang lain. Pandangan ini tercermin dalam undang-undang yang mengatakan bahwa hak milik pribadi tidak boleh melanggar public property rights, di antaranya tidak boleh menimbulkan ancaman penyakit kepada orang banyak, menimbulkan ancaman bagi keamanan, perdamaian, atau juga kenyamanan (convenience). Bahkan hak milik seseorang yang
193 Misalnya, UUD Amerika Serikat dalam amandemen kelima dan amandemen keempat belas memberi jaminan atas hak milik ini. Amandemen kelima menyatakan: "Nor be deprived of life,
liberty, or property, without due process of law; nor shall private property be taken for public use, without just compensation." Sementara Amanden Keempatbelas menegaskan, “State shall make or enforce any law which shall abridge the privileges or immunities of citizens of the United States; nor shall any State deprive any person of life, liberty, or property, without due process of law.” 194 Pandangan ini juga dianut oleh Paus Leo XIII dalam Rerum Novarum, “It is surely undeniable that, when a man engages in remunerative labor, the impelling reason and motive of his work is to obtain property, and thereafter to hold it as his very own.” 195
Dalam pandangan Islam kepemilikan mempunyai fungsi sosial. Sebab, harta kekayaan yang diperoleh manusia adalah semata-mata titipan dan amanah dari Alla>h yang harus dibelanjakan sesuai dengan tuntunan syariat. Islam memberikan kebebasan pada tiap-tiap individu untuk mengumpulkan harta. Prinsip kepemilikan dalam Islam ialah bahwa setiap individu diposisikan sebagai wakil masyarakat yang disertai kekuasaan untuk memegang dan mengurus harta benda yang ada di tangannya. Oleh karena itu, pada hakekatnya kepemilikan seseorang atas harta banda hanya terbatas pada penggunaan atau pembelanjaan harta saja. Dengan demikian, kepemilikan seseorang atas harta benda adalah bersifat nisbi/relatif. Sedangkan yang abadi/mutlak hanyalah milik Alla>h semata.
66
menimbulkan
ketidaknyamanan
(nuissance)
dapat
dipermasalahkan
karena
melanggar hak milik orang lain. Penentang hak milik pribadi yang paling ekstrim datang dari kaum sosialis dan komunis.196 Bagi mereka hak milik pribadi itu secara inheren tidak sah karena hak milik pribadi memberi keuntungan pada satu kelas saja dan merugikan kelas yang lain. Pada akhirnya, hal ini akan menimbulkan dominasi dari kelas yang memiliki hak milik itu (kaum borjuasi). Maka bagi kaum komunis khususnya hak atas milik pribadi itu harus dihapus. Kepemilikan individu ditetapkan oleh syariat Islam yang berlaku bagi zat ataupun kegunaan tertentu, yang memungkinkan pemiliknya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasinya baik karena diambil kegunaannya oleh orang lain seperti disewa ataupun karena dikonsumsi dari barang tersebut.197 Pemberian wewenang kepada manusia untuk membelanjakan, menafkahkan dan melakukan berbagai bentuk transaksi atas harta yang dimiliki, seperti jual-beli,
196
Penghapusan kepemilikan pribadi sebagai sumber terjadinya alienasi dan eksploitasi adalah bertentangan dengan fitrah manusia. Setiap manusia ketika dilahirkan diberikan hak dan preferensi masing-masing untuk memiliki harta. Oleh karena itu sangat tidak adil, menakala hak dan preferensi-preferensi tersebut dihapuskan. Jika alienasi kaum buruh benar-benar disebabkan oleh kepemilikan pribadi, mungkin konsep penghapusan kepemilikan tersebut bisa diterima. Namun, pada kenyataannya kepemilikan hanyalah salah satu faktor penyebab alienasi. Kuasa dari perilaku individu-individu yang ambisius untuk menguntungkan pribadi dan perilaku penguasa dan negara, mungkin lebih tepat sebagai penyebab alienasi. Islam menghadapi kenyataan tersebut, berpandangan bahwa bukan sistemnya penyebab alienasi dalam masyarakat, namun perilaku-perilaku individu yang cenderung untuk tidak adil dan mementingkan diri sendiri penyebab alienasi. Dengan demikian, dalam hal kepemilikan pribadi, Islam menawarkan konsep pembatasan dalam pengelolaan kepemilikan pribadi, bukan dengan merampas kepemilikan tersebut. Inilah yang membedakan kerangka pikir Karl Marx dengan Islam. Pandangan Karl Marx tersebut mengindikasikan betapa Karl Marx sangat tidak percaya terhadap individu untuk mengelola harta. Sehingga Karl Marx berpendapat, kepemilikan kolektiflah yang mengatasi problem keterasingan, penindasan dan diskriminasi kelas. Lihat Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1884 (Moscow: Foreign Language Publishing House, 1961), 16-22 197 Rafi>q Yu>nus al-Mis}riy, Us}ul> al-Iqtis}ad> al-Isla>miy (Damaskus: Da>r al-Qalam, 1999), 4149.
67
gadai, sewa menyewa, hibah, wasiat, dan lain-lain adalah merupakan bukti pengakuan Islam terhadap adanya hak kepemilikan individual.198 Kepemilikan harta merupakan keperluan asasi bagi manusia yang boleh dikuasai dan dimanfaatkan menurut kebiasaan. Manusia dengan fitrahnya amat suka kepada harta dan mengumpulnya. Mereka tidak pernah merasa puas dalam mengejar harta kekayaan. Tidak ada sesuatu yang dapat menghalangi kecintaan mengejar harta kekayaan kecuali kematian.199 Al-Qur’a>n menggambarkan bahwa manusia lebih mencintai harta kekayaan melebihi anak-anak dan keluarga.200 Islam telah meletakkan hukum-hukum yang mengatur perilaku dan sikap pemilik harta individu dalam harta benda dan kekayaannya, dan dimaksudkan untuk merangsang pertumbuhan harta benda, penjagaannya dan pemeliharaannya dari kehilangan dan kemusnahan. Kepemilikan dan kekayaan harus terus beredar secara adil dan luas kepada seluruh manusia, sehingga Islam mengharamkan atas orang kaya meminta dan mengambil harta benda dari pengumpulan zakat, melainkan hanya dalam kondisi-kondisi pengecualian. Walaupun syariat membolehkannya mengambil sumbangan-sumbangan lain yang dihadiahkan kepadanya, tetapi sebaiknya dia bersikap ‘iffah dan menahan diri untuk mengutamakan orang lain yang lebih membutuhkannya.201 198
Karena kepemilikan merupakan izin dari Pembuat syariat (Alla>h swt.) untuk memanfaatkan suatu benda, maka kepemilikan atas suatu benda tidak semata berasal dari benda itu sendiri ataupun karena karakter dasarnya, semisal bermanfaat atau tidak. Akan tetapi ia berasal dari adanya izin yang diberikan oleh al-Sha>ri'‘serta berasal dari sebab yang diperbolehkan al-Sha>ri'‘ untuk memilikinya (seperti kepemilikan atas rumah, tanah, ayam, dan lain-lain, bukan minuman keras, babi, ganja dan lain-lain), sehingga melahirkan akibatnya, yaitu adanya kepemilikan atas benda tersebut. Taqiyy al-Di>n al-Nabha>ni, al-Niza>m al-Iqtis}a>diy fi> al-Isla>m (Beirut: Da>r al-Ummah, 1990), 72-73. 199 “Dan kamu cintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan”. Lihat al-Qur’a>n, su>rah al-Fajr : 20 200
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi soleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” Lihat al-Qur’a>n su>rah al-Kahfi : 46). Ayat ini mendahulukan perkataan harta daripada perkataan anak-anak yang menunjukkan manusia amat mencintai harta kekayaan. 201 Islam membenarkan seseorang menjadi kaya tetapi bila dia menginginkan kebahagiaan, maka kebahagiaan yang sebenar bukan terletak pada banyaknya harta. Kebahagiaan tidak terdapat dalam mengumpulkan harta berguni-guni emas dan perak. Manusia tidak bahagia karena tidak pernah merasa puas dengan penghasilan yang sedikit dan tidak pernah pula merasa kenyang dengan hasil
68
Atas orang kaya terdapat hak-hak orang lain yang harus ditunaikannya. Sebagian hak-hak itu berkaitan dengan Allah Swt. yang merupakan Pemilik Hakiki dari harta benda itu, dan sebagiannya lagi yang berkaitan dengan individu-individu, masyarakat dan negara. Maka merupakan kewajiban atas orang-orang kaya untuk menyampaikan hak-hak tersebut kepada orang-orang yang berhak atasnya. Dalam Islam terdapat konsepsi yang mengindikasikan bahwa setiap individu bebas mengelola harta bendanya sendiri dan
tidak seorang
pun
dapat
mengganggunya dan ikut campur di dalamnya tanpa kerelaannya, bila tetap memperhatikan kepentingan umum dan tidak mengganggu dan merusaknya. Bahkan pemerintah sekalipun tidak berhak melakukan intervensi, tanpa legitimasi hukum yang jelas.202 Menurut Al-Sha>fi‘iy manusia bebas sepenuhnya mempergunakan harta miliknya. Tidak seorang pun berhak mengambil harta tersebut atau sebagiannya tanpa hak dan kerelaannya, kecuali pada pos-pos yang diharuskan.203 Sebaliknya negara berkewajiban mendistribusikan tanah dan kekayaan lainnya untuk kepentingan rakyat secara merata dan adil, serta mempertimbangkan kebutuhan generasi mendatang.204 Sedangkan kepemilikan umum (public property) adalah benda-benda yang dimiliki komunitas secara bersama-sama dan tidak boleh dikuasai oleh hanya
yang banyak. Lihat Yu>suf al-Qarad}aw > i, Dawr al-Qiyam wa al-Akhla>q... (Kairo: Da>r Wahbah, 1415/1995), 95-100. 202 Berkaitan dengan ini Abu> Yu>suf berkata, “seorang pemimpin tidak berhak mengambil sesuatu pun dari kepemilikan seseorang tanpa hak dan dasar hukum yang jelas”. Lihat Abu> Yu>suf, alKhara>j (Kairo, Mesir: Da>r al-Isla>h,} tt.), 141 203 Isma>‘il ibn Yahya> Al-Muzaniy, Mukhtas}ar Al-Muzaniy (Beirut, Libanon: Da>r alMa‘rifah, tt.), 92. 204 Dalam sebuah jawaban ‘Umar kepada panglima Sa‘ad sesaat setelah penaklukan Irak ia menulis,“Saya sudah menerima surat anda. Orang-orang menuntut agar anda membagikan tanah dan
kekayaan kepada mereka (tentara). Anda harus membagikan harta dan kekayaan rampasan kepada mereka tetapi biarkan tanah-tanah dan saluran irigasi air tetap bagi gubernur agar dibayarkan kepada umat Islam. Kalau kita distribusikan tanah sekarang, maka tidak akan ada lagi tanah yang tersisa untuk generasi mendatang.” Lihat Irfan Mahmud Ra’ana, Economic System under Umar the Great (Lahore: Sh.M.Ashraf, 1991), 12-15.
69
seorang saja.205 Karena milik umum, maka setiap individu dapat memanfaatkannya namun dilarang memilikinya. Fasilitas dan sarana umum206 tergolong ke dalam jenis kepemilikan umum karena menjadi kebutuhan pokok masyarakat dan jika tidak terpenuhi dapat menyebabkan perpecahan dan persengketaan.207 Dalam hadith nabi yang berkaitan dengan sarana umum air, padang rumput dan api.208 Air yang dimaksudkan adalah air yang masih belum diambil, baik yang keluar dari mata air, sumur, maupun yang mengalir di sungai atau danau bukan air yang dimiliki oleh perorangan di rumahnya. Oleh karena itu pembahasan para fuqaha>‘ mengenai air sebagai kepemilikan umum difokuskan pada air yang belum diambil tersebut.209 Sedangkan padang rumput, mencakup semua padang rumput umum, baik rumput basah atau hijau (al-khala>’) maupun rumput kering (al-hashi>sh) yang tumbuh di tanah, gunung atau aliran sungai yang tidak ada pemiliknya.210 Adapun api adalah bahan bakar dan segala sesuatu yang terkait dengannya, termasuk di dalamnya adalah kayu bakar. Demikian pula jalan umum, manusia berhak melakukan aktivitas dan berlalu-lalang di atasnya, sehingga pemilikan jalan oleh individu yang dapat merugikan orang lain yang membutuhkannya, tidak boleh diizinkan oleh 205
Dalam bahasa Arab disebutkan dengan al-mara>fiq al-’a>mmah li al-jama>‘ah. Lihat Husayn Saha>tah, al-Khas}khas}ah fi Miza>n al-Isla>m (Maktabah al-Taqwa>, 2001), 37. Dalam kitab-kitab klasik, sering juga hanya disebut dengan al-arfa>q yang diartikan sebagai fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana umum yang dapat dimanfaatkan oleh warga dan masyarakat secara umum. 207 Taqiyy al-Di>n al-Nabha>ni, al-Niza>m al-Iqtis}a>diy fi> al-Isla>m (Beirut: Da>r al-Ummah, 1990), 213. 208 Jenis harta ini dijelaskan dalam hadith nabi yang berkaitan dengan sarana umum:
"Manusia berserikat (bersama-sama memiliki) dalam tiga hal: air, padang rumput dan api " dan dalam hadith lain terdapat tambahan: "...dan harganya haram". Lihat Al-Shawka>ni, Nayl al-Awt}ar> Sharh Muntaqa> al-Akhba>r min Ah}adi>th Sayyid al-Akhya>r (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabiy, 1994), jld. vi, 48. 209 Al-Ma>wardi, Ali ibn Habi>b, al-Ah}ka>m al-Sult}a>niyyah wa al-Wila>yah al-Di>niyyah (Beirut: Da>r al-Fikr, 1960), 180-184. 210 Al-Shawka>ni, Nayl al-Awt}ar> Sharh Muntaqa> al-Akhba>r min Ah}adi>th Sayyid al-Akhya>r (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabiy, 1994), jld., vi, 49.
70
penguasa.211 Hal tersebut juga berlaku untuk Masjid.212Termasuk dalam kategori ini adalah kereta api, instalasi air dan listrik, tiang-tiang penyangga listrik, saluran air dan pipa-pipanya, semuanya adalah milik umum sesuai dengan status jalan umum itu sendiri sebagai milik umum, sehingga ia tidak boleh dimiliki secara pribadi. Barang tambang yang depositnya tidak terbatas213 menjadi milik umum sehingga tidak boleh dimiliki oleh perorangan atau beberapa orang. Ia mencakup semua jenis tambang, baik yang tampak di permukaan bumi seperti garam, batu mulia atau tambang yang berada dalam perut bumi seperti tambang emas, perak, besi, tembaga, minyak, timah dan sejenisnya. Sedangkan barang tambang yang depositnya tergolong kecil atau sangat terbatas, dapat dimiliki oleh perseorangan atau perserikatan. Hal ini didasarkan kepada hadith nabi yang mengizinkan kepada Bila>l ibn H{a>rith al-Muzaniy memiliki barang tambang yang sudah ada di bagian Najd dan Tiha>mah.214 Hanya mereka dibebankan untuk membayar pajak dua puluh persen dari hasil produksinya kepada negara.215 Kepemilikan Negara adalah harta yang merupakan hak bagi seluruh rakyat dan pengelolaannya menjadi wewenang negara, dimana negara berhak memberikan atau mengkhususkannya kepada sebagian rakyat sesuai dengan kebijaksanaan
Dalil yang digunakan dasar untuk jenis barang yang depositnya tidak terbatas ini adalah hadith nabi riwayat Abu> Da>wu>d tentang Abyad} ibn H}amal yang meminta kepada Rasulullah agar dia diizinkan mengelola tambang garam di daerah Ma’rab, bahwa ia datang kepada Rasulullah SAW meminta (tambang) garam, maka beliaupun memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki yang bertanya kepada beliau: "Wahai Rasulullah, tahukah apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir". Lalu ia berkata: “Kemudian Rasulullah pun menarik kembali tambang itu darinya.” Lihat Al-Shawka>ni, Nayl alAwt}ar> Sharh Muntaqa> al-Akhba>r min Ah}adi>th Sayyid al-Akhya>r (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabiy, 1994), jld. vi, 53. 214 Riwayat lengkap beserta penjelasannya, lihat Abu> Ya’la al-Farra>', al-Ahka>m alSult}a>niyyah (Beirut: Dar al-Fikr tt.), 264 215 'Abd al-Qadi>m Zallu>m, al-Amwa>l fi> Dawlat al-Khila>fah (Beirut: Da>r al-‘Ilm li al- Mala>yi>n, 1983), 89.
71
pemerintah.216 Kepemilikan negara ini meliputi semua jenis harta benda yang tidak dapat digolongkan ke dalam jenis harta milik umum namun terkadang bisa tergolong dalam jenis harta kepemilikan individu. Dalam Islam ada beberapa harta yang dapat dikategorikan ke dalam jenis kepemilikan negara dan negara berhak mengelolanya dengan kebijaksanaannya. 217 E. Standar Kekayaan dan Kecukupan dalam Kebutuhan Dasar Islam mengajarkan tentang jaminan Allah bagi pemenuhan segala kebutuhan manusia sebagai makhluk yang terbaik,218 sejak manusia pertama Adam masih berada di surga. Allah menjamin segala kesenangan dalam surga bagi Adam dan mencukupi segala kebutuhan pokoknya, diantaranya; makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal,219 pasangan dan keturunan.220 Allah hanya membatasi dan 216
Dapat disebutkan di sini diantaranya; Harta ghani>mah, anfa>l (harta yang diperoleh dari rampasan perang dengan orang kafir) dan fay' (harta yang diperoleh dari musuh tanpa peperangan) dan khums. 2. Harta yang berasal dari khara>j (hak kaum muslim atas tanah yang diperoleh dari orang kafir, baik melalui peperangan atau tidak). 3. Harta yang berasal dari jizyah (hak yang diberikan Alla>h kepada kaum muslim dari orang kafir sebagai tanda ketundukan mereka kepada pemerintah Islam). 4. Harta yang berasal dari d}ari>bah (pajak). 5. Harta yang berasal dari ‘ushr (pajak penjualan yang diambil pemerintah dari pedagang yang melewati batas wilayahnya dengan pungutan yang diklasifikasikan berdasarkan agamanya). 6. Harta yang tidak ada ahli warisnya atau kelebihan harta dari sisa pembagian warisan. 7. Harta yang ditinggalkan oleh orang-orang murtad. 8. Harta yang diperoleh secara tidak sah ole penguasa dan pegawai pemerintah, yaitu harta yang didapat tidak sejalan dengan syariat. Harta lain milik negara, semisal: padang pasir, gunung, pantai, laut dan tanah mati yang tidak ada pemiliknya. Lihat ‘Abd al-Qadi>m Zallu>m, al-Amwa>l fi> Dawlah al-Khila>fah (Beirut: Da>r al‘Ilm li al- Mala>yi>n, 1983), 39. 218 Lihat al-Qur’a>n su>rah al-Ti>n: 4. 219 Dalam surga terdapat jaminan bagi Adam bahwa ia tidak akan pernah merasakan kelaparan dan tidak akan telanjang tak berpakaian, dan dia mendapatkan tempat berlindung dan berteduh (tempat tinggal). Dalam al-Qur’a>n disebutkan; "Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan 1.
di dalamnya dan tidak akan telanjang, dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya". Lihat al-Qur ân, sûrah T}a>ha>: 118-119. Dan lihat pula ‘Ali al-S}a>bu>ni, S}afwat al-Tafa>si>r (Beirut: Da>r al-Qur’a>n al-Kari>m, tt.), jld. ii, 249 220
Walaupun keturunan baru lahir setelah Adam dan Hawa ditempatkan di bumi. Lihat alQur’a>n su>rah al-Nisa>’: 1.
72
menghalangi Adam dari satu kesenangan sebagai ujian dan menghindarkannya dari keburukan dan perilaku melampaui batas.221 Dalam kehidupan di bumi dan ketika manusia harus bertahan hidup dan telah berkembang biak, kebutuhan manusia semakin berkembang menurut skala prioritas;
d}aru>riyya>t (essentials), atau h}a>jiyya>t (complementarities), atau tah}si>niyya>t (amelioratories).222 Kebutuhan d}aru>riyya>t (essentials), merupakan kebutuhan pokok manusia yang dapat mewujudkan lima maqa>si} d al-shari>‘ah, yaitu memelihara jiwa, akal, agama, keturunan, dan kehormatan. Kebutuhan h}a>jiyya>t (complementarities), merupakan kebutuhan untuk memudahkan kehidupan manusia dan menjauhkannya dari kesulitan. Kebutuhan ini tidak perlu dipenuhi sebelum kebutuan primer terpenuhi, dan kebutuhan ini juga masih berhubungan dengan lima tujuan syariat. Sedangkan kebutuhan tah}si>niyya>t (amelioratories) merupakan kebutuhan yang dapat menciptakan kebaikan dan kesejahteraan dalam kehidupan manusia. Pemenuhan kebutuhan ini bergantung pada kebutuhan primer dan sekunder dan semuanya berkaitan dengan tujuan syariat. Untuk dapat mewujudkan lima maqa>si} d al-shari>‘ah, setiap muslim harus memperhatikan ketiga jenis kebutuhan tersebut dengan mengutamakan kebutuhan yang lebih penting dan prioritas. Beberapa kebutuhan yang menjadi bagian pokok dari standar kecukupan manusia adalah makanan, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, biaya pendidikan223 dan buku-buku ilmiyah, alat-alat kerja, produksi dan modal, biaya kesehatan dan obat-obatan, pemerdekaan diri dari perbudakan dan penjajahan, pelunasan hutang,
221
Lihat al-Qur’a>n su>rah al-Baqarah: 35. Lihat Abu> Ish}a>q al-Sha>ti} bi, al-Muwa>faqa>t fi> Us}ul> al-Shari>‘ah (Riya>d,} Maktabat al-Riya>d} al- H}adi>thah, tt), jld. ii, 8-11. 223 Kebutuhan ini dideklarasikan pula oleh Vatikan, seperti terkandung dalam kalimat berikut, “… Education, a specific right of the human being inasmuch as he is a rational being “All 222
men of every race, condition and age, since they enjoy the dignity of a human being, have an inalienable right to an education.” Lihat Vatican Council II, Declaration on Christian Education, Gravissimum Educationis, § 1). Cfr. Pius XII's radio message of Dec. 24, 1942, A.A.S. 35 (1943), 1219, and John XXIII's encyclical letter, Pacem in Terris, 11 April 1963, A.A.S. 55 (1963), 259 ff.
73
biaya pernikahan, pelayan (pembantu) dan persenjataan bagi yang membutuhkannya untuk membela diri dan melawan musuh yang menyerang.224 Makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal merupakan kebutuhan pokok yang disepakati,225 dan terkandung dalam hadith yang menyebutkan tentang kebutuhan-kebutuhan pokok manusia, yaitu tempat tinggal yang melindunginya dari kepanasan, kedinginan, pandangan orang yang berlalu lalang, demikian pula kesehatan, makanan dan minuman.226 Kebutuhan terhadap kendaraan tercantum dalam ayat al-Qur’a>n
227
yang menjelaskan fungsi dari binatang ternak diantaranya
untuk sarana-sarana transportas yang tradisional seperti; kuda, onta dan keledai. Hewan-hewan ini menjadi kebutuhan pokok dalam melakukan perjalanan dan kegiatan-kegiatan usaha dan bisnis sebelum diciptakan sarana-sarana transportasi yang modern, seperti; pesawat terbang, mobil, kereta api, dan lain-lain yang telah direkayasa dan diciptakan manusia agar digunakan untuk melakukan perjalanan ibadah, muamalah dan memakmurkan bumi.228 Kebutuhan terhadap biaya pendidikan dan buku-buku ilmiyah, merupakan konsekuensi dari kewajiban menuntut dalam Islam.229 Ketika menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap individu dalam masyarakat, maka setiap orang membutuhkan biaya untuk meraihnya. Dengan demikian segala sarana untuk menuntut ilmu merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia.
224
Lihat ‘Isha>m Abba>s Muh}ammad ‘Aliy Naqliy, Tah}li>l Al-Fikr al-Iqtis}ad> iy fi> al-’As}r al‘Abba>siy al-Awwal (Mekkah: Ja>mi‘ah Umm al-Qura>, 1416 H), 460-480. 225 Lihat juga Muh}ammad ibn al-Hasan, al-Kasb, (Damaskus, Da>r al-Nashr, 1400/1980), 74, yang mencantumkan pemikiran bahwa manusia tidak akan bertahan hidup kecuali dengan empat kebutuhan pokok, yaitu, makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. 226 Rasulullah Saw. bersabda, “barangsiapa yang bangun pagi dengan rasa aman dalam
hatinya, sehat wal afiat jasmaninya, dan dia memiliki makanan untuk hari itu, maka dia seolah-olah telah menggenggam dunia seisinya.” Al-Tirmidhi, Sunan, ba>b al-Tawakkul ‘ala> Alla>h, no. 2268 227
al-Qur’a>n su>rah al-Nahl : 5-8 Lihat al-S}a>bu>ni, S}afwat al-Tafa>si>r, jld. ii, 119-120 229 Rasulullah Saw. bersabda, “Menuntut ilmu adalah kewajiban atas setiap muslim.” Ibnu Ma>jah, Sunan, ba>b; Fad}l al-‘Ilm wa al-hathth ‘ala> t}alab al-‘ilm, no. 220 228
74
Sedangkan kebutuhan terhadap alat-alat kerja, produksi dan modal, tersirat dalam ayat230 yang menjelaskan bahwa orang-orang miskin memiliki perahu untuk mencari nafkah di laut. Namun mereka tetap dikategorikan miskin yang menunjukkan bahwa modal kerja dan sarana-sarana mencari nafkah merupakan kebutuhan pokok kehidupan dan merupakan hajat pokok manusia yang harus dimilikinya. Sementara kebutuhan terhadap biaya kesehatan dan obat-obatan, merupakan kebutuhan pokok ketika manusia menghadapi risiko sakit dan membutuhkan obat. Ia adalah salah satu faktor kecukupan manusia untuk menjaga jiwanya dan kehidupannya.231 Adapun kebutuhan terhadap kemerdekaan diri dari perbudakan232 dan penjajahan merupakan perintah dalam ayat al-Qur’a>n233 yang menyuruh untuk menginfakkan harta benda dalam memenuhi hajat budak dan orang yang terjajah untuk memerdekakan diri dan mengangkat derajat kehidupan mereka ke tingkat yang layak dan berkecukupan dalam kehormatan dan kebebasan. Di dalam ayat tersebut terdapat pesan yang meletakkan kemerdekaan manusia sebagai hak dan kebutuhan pokok, disamping makanan, kestabilan, dan keamanan sosial. Ajakan tersebut terdapat pula dalam hadith234 yang menekankan tugas untuk berupaya melepas tawanan dan memerdekakannya dari tangan musuh dan penjajahan.
230 231
Lihat al-Qur’a>n su>rah al-Kahfi : 79 Rasulullah Saw. bersabda; "berobatlah, karena sesungguhnya Alla>h Swt. tidak
menurunkan penyakit melainkan menurunkan pula obatnya, selain satu penyakit yaitu penyakit tua".
Abu> Da>wu>d, Sunan, ba>b; fi> al-Rajul yatada>wa>, no. 3357 232 Dalam al-Qur’a>n disebutkan, “(yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi
makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir...” Lihat al-Qur’a>n su>rah al-Balad : 13-16. Dalam ayat-ayat ini terdapat ajakan kepada usaha pemerdekaan budak, pemberian makanan kepada orang-orang yang kelaparan, pengasuhan anak-anak yatim, pertolongan kepada orang-orang yang miskin dan fakir, yang merupakan kebutuhan terhadap kebebasan dari belenggu perbudakan dan kemiskinan. 233 Lihat al-Qur’a>n su>rah al-Baqarah : 177 234 Rasulullah Saw. bersabda, “….. lepaskanlah orang yang ditawan (dan bebaskanlah dia dari perbudakan.” al-Bukha>riy, S}ah}ih> } al-Bukha>riy, ba>b, Fika>k al-Asi>r, no. 2819
75
Sedangkan kebutuhan terhadap biaya untuk pelunasan hutang dan anjuran untuk ikut berkontribusi dalam menanggung pembayaran hutang orang-orang yang tidak mampu membayar hutangnya, terdapat dalam perintah untuk menyalurkan dana zakat kepada salah satu pos penerimanya yaitu orang yang berhutang.235 Hutang merupakan
belenggu yang
mengurangi kehormatan manusia dan
membatasinya dari kebebasan yang sempurna. Perkawinan merupakan kebutuhan asasi manusia untuk melestarikan keturunan dan meneruskan kehidupan sehingga setiap orang membutuhkan biaya pernikahan.236 Dalam praktiknya untuk mencukupi kebutuhan tersebut Umar ibn Khat}ta} >b menikahkan putranya ‘As}im, membiayainya selama sebulan, kemudian menghentikan bantuan dengan mempekerjakannya sebagai karyawan pemetik buahbuahan di kebunnya di Al-‘A
235
Lihat al-Qur’a>n su>rah al-Tawbah : 60 Di dalam perkawinan terdapat hikmah untuk kedua jenis manusia yang saling membutuhkan satu sama lainnya, dalam urusan biologis, akal, jasmani, serta mendapatkan dari pasangannya ketenangan, kesenangan, dan stabilitas. Dan keduanya juga menemukan dalam ikatan itu kedamaian, kecukupan, cinta dan kasih sayang. Lihat al-Qur’a>n su>rah al- Ru>m : 21. Dan Rasulullah Saw. bersabda; "wahai para pemuda, barangsiapa yang telah mampu, maka hendaklah dia menikah...". al-Bukha>riy, S}ah}ih> } al-Bukha>riy, ba>b, Man lam yastat}i‘ al-Ba>’ah falyas}um, no. 4678. Hadith ini mengajak para pemuda agar menikah karena ia merupakan salah satu kebutuhan pokok kehidupan. Segala usaha secara materil dan maknawi harus diupayakan untuk mewujudkan hal itu. 237 Ibnu Shaibah, Akhba>r al-Madinah, jld. ii, 264 238 Imam Ah}mad meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “barangsiapa yang 236
menangani suatu tugas, sementara dia tidak memiliki rumah, maka hendaklah dia mengambil rumah, atau dia tidak memiliki isteri, maka hendaklah dia menikah, atau dia tidak memiliki pelayan, maka hendaklah dia mengambil pelayan, atau dia tidak memiliki hewan tunggangan, maka hendaklah dia mengambil hewan tunggangan.” Ah}mad, al-Musnad, hadith al-Mustaurid ibn Shadda>d, no. 17329. Hadith ini merupakan dalil bahwa pelayan dan pembantu adalah kebutuhan pokok bagi orang yang mengemban amanah dan tanggung jawab menangani urusan dan hajat hidup orang banyak.
76
dimilikinya. Maka orang atau instansi yang mempekerjakan pegawai yang demikian harus memperhatikan kebutuhan pokok tersebut dan menyiapkannya. Adapun kebutuhan terhadap persenjataan239 adalah kebutuhan pokok yang bersifat temporer dan terbatas pada kondisi-kondisi genting dan darurat untuk membela diri, kehormatan dan kemerdekaan setiap orang dan menyelamatkan diri dari ancaman dan serangan setiap makhluk yang memusuhinya dan menyerangnya. Kekayaan (al-ghina>) dalam syariat Islam adalah kepemilikan atas harta yang banyak yang melebihi kebutuhan-kebutuhan pokok manusia tersebut, sehingga tidak membutuhkan bantuan materi dari orang lain, dan jumlahnya dalam pengertian syariat adalah sejumlah nisab zakat atau lebih,240 yang merupakan kelebihan dari kebutuhan pokok.241 Sedangkan harta benda yang jumlahnya masih berada di bawah nisab zakat dan hanya memenuhi kebutuhan primer,242 dalam syariat Islam tidak disebutkan dengan kekayaan tetapi kecukupan (al-kifa>yah).243 Dengan demikian seseorang tidak digolongkan sebagai individu yang kaya melainkan bila dia telah memiliki harta benda yang melebihi kecukupannya. Maka 239
Dalam al-Qur’a>n su>rah al- Nahl : 80-81, dijelaskan tentang apa-apa yang telah dijadikan oleh Alla>h untuk manusia, seperti nikmat rumah, pakaian dan senjata, dan semua itu adalah kebutuhan-kebutuhan pokok dalam hidup yang mau tidak mau harus dimiliki oleh manusia. Hal itulah yang membuatnya hidup berkecukupan. 240 Dalam kitab Al-Mabsu>t,} disebutkan; "yang disebut kaya itu tidak dicapai melainkan dengan jumlah harta benda tertentu menurut nisab zakat" Lihat Muh}ammad ibn Ah}mad al-Sarakhsiy, Al-Mabsu>t} (Beirut: Da>r al-Ma‘rifah, tt.), jld. ii, 149. 241 ‘Ali ibn ‘Abd al-Jali>l al-Margina>ni, al-Hida>yah (Beirut: Da>r Ihya>’ At-Tura>th Al-‘Arabiy, tt.), jld. ii, 113 242 Dalam kitab al-Bada>’i‘ disebutkan, “ukuran kaya itu tidak akan tercapai melainkan
dengan harta benda yang lebih dari kebutuhan asasi (primer) dan hakiki. Sedangkan harta benda yang jumlahnya masih berada di bawah nisab (zakat) yang tidak melebihi kebutuhan asasi (primer) dan pokok, tidaklah menjadikan seseorang berstatus orang kaya karenanya.” Lihat Abu> Bakr ibn Mas‘u>d Al-Ka>sa>ni, Bada>’i‘Al-S}ana>’i‘ fi> Tarti>b al-Shara>’i‘ (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1406 H), jld. ii, 404
243
Ukuran ini juga digunakan dalam menetapkan kewajiban jizyah atas Ahli Kitab yang dianalogikan dengan kewajiban zakat atas orang muslim. Dalam pandangan ulama Hanbali tentang orang yang wajib membayar jizyah adalah orang yang memiliki harta benda yang mencapai nisab zakat karena orang tersebut telah menjadi kaya bila dianalogikan kepada kaum muslim. Sebagian ulama Shafi>‘iyyah juga memandang seperti ini dalam hal urunan dan iuran bersama-sama untuk membayar kaffa>rah pembunuhan. Lihat, Zain al-Di>n al-Munji Al-Tanu>khi, Al-Mumti‘ (Beirut: Da>r ih}ya> Al-Tura>th Al-‘Arabiy, tt.), jld. ii, 663
77
berkecukupan itu sendiri bukanlah kekayaan, namun yang melebihi batasan kebutuhan pokok dan kecukupan itulah yang dinamakan kekayaan. Kekayaan itu sendiri sangat relatif dan berbeda dengan perbedaan tempat dan zaman bahkan individu. Islam membawa misi agar setiap individu masyarakat mencapai tingkat penghidupan hingga batas kecukupan dan layak walaupun tidak kaya. Ini adalah salah satu tujuan syariat sekaligus sebagai kebutuhan asasi manusia. Dalam khazanah fikih Islam, padanan yang cukup relevan dengan terma kekayaan dalam ekonomi adalah al-ma>l, al-ghina> atau al-tharwah. Dalam mendefinisikannya, ada dua kecenderungan pakar fikih; (1) sesuatu yang bermanfaat dan bisa diukur; (2) sesuatu yang berharga dan mesti dijamin/diganti oleh perusaknya.244 Pengertian kedua yang merupakan pendapat mainstream pakar hukum Islam, kiranya sesuai dengan defenisi kekayaan dalam ekonomi konvensional. Kekayaan mendapat perhatian sangat serius dalam khazanah fikih, khususnya yang berkaitan dengan jumlah dan batasan kekayaan, sehingga berimplikasi terhadap hukum-hukum dan kewajiban-kewajiban atas seorang mukallaf, demikian pula hakhak yang boleh diterimanya. 1. Batasan Kekayaan Minimal Dari penelitian dan penelusuran bahasan fikih dalam madhhab yang empat, ditemukan tiga pendapat ulama fikih dalam menentukan batasan minimal bagi ukuran kekayaan; Pendapat pertama menentukan bahwa batasan minimal bagi ukuran kekayaan adalah terwujudnya kecukupan. Jadi bila manusia telah mencapai jaminan dan harapan berkecukupan sepanjang umurnya, atau selama setahun, dengan harta benda ataupun dengan usaha seperti, leasing, produksi, pertanian, atau gaji maka ia telah kaya, karena kecukupan merupakan pemisah yang nyata antara fakir dan kaya.245 Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh al-Isla>miy wa Adillatuh, jld. iv, 399. Ini adalah pendapat al-Sha>fi‘iyyah dan sebagian al-Hanbaliyyah. Sandaran pandangan ini adalah terminologi definisi kekayaan dengan tercukupnya kebutuhan dan tidak dalam kondisi membutuhkan. Oleh karena itu kecukupan adalah standar minimal dalam mengukur kekayaan, jadi 244 245
78
Pendapat kedua246 menentukan batasan minimal bagi ukuran kekayaan adalah dua ratus dirham yang merupakan kelebihan dari kebutuhan-kebutuhan pokok atau barang yang senilai dengannya. Status hukum orang tersebut sama dengan orang-orang kaya, dia wajib melakukan segala kewajiban yang dibebankan kepada orang-orang kaya.247 Pendapat ketiga248 memandang bahwa standar minimal ukuran kekayaan diukur dengan kebiasaan dan adat di suatu negeri atau zaman. Hal demikian ditetapkan karena tidak ada batasan minimal kekayaan dalam syariat, sehingga standar tersebut harus dirujuk kepada kebiasaan. Jadi orang yang dianggap kaya oleh suatu kebiasaan dan pada zaman tertentu, maka dia telah mencapai status kaya dan hal itu berbeda-beda untuk tiap-tiap zaman, tempat dan individu.
249
Ukuran dan
standar ini merupakan ukuran dan standar keekonomian yang digunakan secara luas. Pendapat ini adalah pandangan yang paling kuat karena tidak ada kewajiban atas kecukupan itu adalah batasan minimal bagi ukuran kekayaan. Mereka menambahkan bahwa pegangan hidup dan pemenuhan kebutuhan hidup adalah bermakna berkecukupan dan terpenuhinya kebutuhankebutuhan pokok. Jadi hal itu menunjukkan bahwa kecukupan itu adalah batasan minimal bagi ukuran kekayaan. 246 yaitu pendapat al-H}anafiyyah. Lihat Abu> Bakr ibn Mas‘u>d Al-Ka>sa>ni, Bada>’i‘Al-S}ana>’i‘ fi> Tarti>b al-Shara>’i‘ (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1406 H), jld. ii, 404 247 al-H}anafiyyah telah berpandangan sejak awal bahwa kekayaan adalah urusan syariat dan diukur juga dengan ukuran syariat. Lihat al-‘Aini, al-Bina>yah fi> sharh} al-Hida>yah (Beirut: Da>r al-Fikr, tt.), Jld. V, 816-817. Dan pendapat ini juga dipegang oleh sebagian al-Sha>fi‘iyyah dan sebagian alHanbaliyah. Lihat Yah}ya> ibn Zakariyya> ibn Sharaf Al-Nawa>wi, Rawd}at al-T}al> ibi>n (Beirut: Da>r alFikr, tt.) jld. viii, 306 dan Zain al-Di>n al-Munji Al-Tanu>khi, Al-Mumti‘ (Beirut: Da>r Ih}ya> Al-Turath Al-‘Arabiy tt.), jld. ii 633. 248 yaitu pendapat al-Ma>likiyyah dan sekelompok dari al-H}anbaliyyah, sebagaimana secara tekstual al-Sha>fi’iyyah dan al-H}anafiyyah juga memegang pendapat ini. Lihat Muwaffiq al-Di>n Ibn Quda>mah al-Maqdi>siy, Al-Mughni> (Riya>d} :Al-Mana>r, 1424 H), jld. x, 567 249 Pendapat tersebut beralasan bahwa syariat tidak meletakkan ukuran yang pasti dalam hal itu, demikian pula bahasa tidak memberikan batasan tertentu dalam mengukurnya. Oleh karena itu mau tidak mau harus merujuk kepada kebiasaan dan adat, berdasarkan kaidah, sesuatu yang memiliki
batasan dalam syariat dan bahasa harus dirujuk kepada keduanya, sedangkan sesuatu yang tidak ada batasannya dalam keduanya, harus dirujuk kepada kebiasaan dan adat. Lihat Ibnu Taymiyah, Majmu>‘ Al-Fata>wa>, jld. xxxv, 351. Dalam kita>b al-Mughni juga disebutkan tentang batasan kemudahan dan kecukupan untuk Ahli Dhimmah dalam pernyataan, “batasan kemudahan dan kecukupan untuk orangorang yang Ahli Dhimmah adalah ukuran kebiasaan orang dalam mengukur kekayaan dan hal itu tidak terukur pasti, karena ukuran yang pasti harus ditentukan dengan pedoman syariat, sementara syariat tidak menentukan hal itu. Maka rujukannya adalah ukuran adat dan kebiasaan". Lihat Ibnu Quda>mah, Muwaffiq al-di>n al-Maqdi>si, Al-Mughni> (Riya>d:} Al-Mana>r, 1424 H), jld., x, 567
79
orang-orang yang berkecukupan untuk menunaikan kewajiban hukum yang ditetapkan atas orang kaya, yaitu diantaranya bahwa orang yang berkecukupan tidak harus ikut serta dalam menebus diyat melainkan bila ada kelebihan dari batas kecukupan mereka. 250 2. Batasan Kekayaan Maksimal Ulama sejak zaman sahabat dan setelahnya telah berijmak bahwa tidak ada batasan maksimal dari kekayaan. Hanya Abu> Dharr r.a. yang berbeda pandangan dari ijmak ini. Menurut Abu> Dharr, sesungguhnya batasan maksimal dari kekayaan adalah sejumlah harta benda yang dapat memenuhi kebutuhan pokok seseorang dan kebutuhan keluarga yang menjadi tanggungannya. Sedangkan harta yang melebihi ukuran tersebut adalah haram dan merupakan simpanan251 dan ia akan membakar pemiliknya sendiri di neraka Jahannam kelak di alam akhirat.252 Abu> Dharr sangat
250 251
Al-Nawa>wi, Rawd}at al-T}al> ibi>n, jld. viii, 306 Ibnu Kathi>r, berkata, “madhhab Abu> Dharr adalah mengharamkan setiap simpanan yang
melebihi kebutuhan nafkah keluarga. Dan bahwasanya Abu> Dharr memberikan fatwa kepada orangorang seperti itu, menyeru mereka dengan fatwa tersebut, menganjurkannya dan sangat keras > , jld. ii, 599 dan Alterhadap pendapat yang sebaliknya.” Ibnu Kathi>r, Tafsi>r al-Qura>n Al-‘Az}im Nawa>wi berkata, “yang diketahui dari madhhab Abu> Dharr bahwa sesungguhnya harta simpanan adalah harta yang berlebihan dari kebutuhan manusia.” Al-Nawa>wi, Al-Minha>j Sharh} S}ah}ih> } Muslim ibn al-H}ajja>j, jld. iv, 79 252 Dalil madhhab Abu> Dharr adalah ayat, "Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Alla>h, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu". Lihat al-Qur’a>n, su>rah al-Tawbah; 34-35. Abu> Dharr memahami dari ayat ini bahwa harta simpanan adalah simpanan yang dilakukan seseorang terhadap harta benda yang melebihi kebutuhannya. Oleh karena itu setiap harta benda yang melebihi kebutuhan manusia adalah haram dengan dalil yang umum dalam ayat tersebut dan arahannya. Menurut Abu> Dharr hal itu menunjukkan bahwa batasan maksimal dari kekayaan adalah harta yang mencukupi kebutuhan pokok saja. Dalil lainnya adalah hadith dari Abu> Sa‘i>d al-Khudriy r.a. berkata;
"ketika kami sedang dalam suatu perjalanan bersama Rasulullah Saw., tiba-tiba seseorang muncul di atas hewan tunggangannya. Dia berkata; "maka dia pun menoleh ke kanan dan ke kiri". Kemudian Rasulullah Saw. bersabda; "barangsiapa yang kelebihan hewan tunggangan, maka hendaklah dia persiapkan untuk orang yang tidak memiliki hewan tunggangan. Dan barangsiapa yang kelebihan perbekalan makanan, maka hendaklah dia persiapkan untuk orang yang tidak memiliki perbekalan makanan. Kemudian Rasulullah Saw. menyebutkan beberapa jenis harta benda hingga kami berkesimpulan bahwa tiada hak bagi seseorang dari kami atas kelebihan yang ada padanya". alBukha>riy, S}ah}i>h} al-Bukha>riy, ba>b, al-S}adaqah ‘ala> al-Yata>ma>, no. 1372. Dalam hadith ini terdapat
80
mencela orang yang menyimpan kelebihan hartanya.253 Abu> Dharr memandang bahwa orang tidak boleh memiliki harta benda lebih dari yang mencukupi kebutuhannya dan kebutuhan keluarga yang menjadi tanggungannya seperti istri dan anak-anaknya dan lain-lain. Sedangkan para ulama –selain Abu> Dharr- tidak berbeda pendapat bahwa batasan maksimal dari kekayaan adalah tidak terbatas, karena Islam tidak melarang seseorang mengumpulkan harta benda sebanyak-banyaknya dan selama dia menjaga kaidah-kaidah dalam berusaha dan menggunakan harta benda tersebut. Dia tidak bersalah sama sekali dan tidak akan dihisab karena mengumpulkan harta benda tersebut. Dalam al-Qur’a>n terdapat beberapa ayat yang menunjukkan tidak ada batasan maksimal dalam memiliki kekayaan.254 Konsensus ulama ini menunjukkan bahwa tidak ada seorang ulama pun baik dulu hingga kini yang berfatwa agar membatasi jumlah kekayaan dalam ukuran tertentu yang tidak boleh dilampaui dan mereka semua telah bersepakat
tidak ada batasan maksimal dalam memiliki
kekayaan. Apalagi persetujuan Rasulullah menunjukkan bahwa tiada batasan larangan atas orang menyimpan harta benda yang melebihi kebutuhannya baik berupa kendaraan, bekal makanan dan jenis harta lainnya. 253 Ibnu ‘Abd al-Barr berkata; "ada beberapa riwayat dari Abu> Dhar yang menunjukkan
bahwa dia memandang setiap harta benda yang melebihi makanan dan pemenuhan kebutuhan hidup, maka harta tersebut adalah harta simpanan yang pelakunya dicela karenanya... Lihat Ah}mad ibn ‘Ali ibn Hajar Al-‘Asqala>ni, Fath} al-Ba>ri> Sharh} S}ah}i>h} al-Bukha>riy (al-Mat}ba’ah al-Khairiyyah tt.) jld., iv, 1880
254
Seperti misalnya ;, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang…(A>lu ‘Imra>n: 14). Alla>h Swt. menyebutkan dalam ayat ini tentang tabiat manusia yang suka mengumpulkan harta benda yang berlimpah dan tidak terbatas dari setiap jenis harta benda. Dalam ungkapan ini terdapat penegasan dari al-Qur’a>n tentang kebolehan memiliki harta benda yang berlimpah. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada batasan maksimal dari kekayaan. Demikian pula ayat, “Ia berkata: "Ya Tuhanku, ampunilah aku dan
anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi". (Shaad: 35). Dan kandungan ayat tentang ratu Saba'; Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. (Al-Naml: 23). Dan firman Alla>h Swt. tentang Qa>run dan harta bendanya; Sesungguhnya Qa>run adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. ... (Al-Qas}as}: 76). Semua ayat tersebut menunjukkan bahwa tidak ada batasan maksimal dari kekayaan. Ini merupakan ketetapan al-Qur’a>n, dimana ia tidak menyebutkan ayat yang membatalkan (nasakh) ketentuan tersebut.
81
maksimal dari kekayaan, dimana tidak ditemukan satu riwayatpun yang menyuruh seorang dari sahabat untuk membatasi kekayaannya pada ukuran tertentu yang tidak boleh dilampaui, seperti ‘Uthma>n, ‘Abdurrahma>n ibn ‘Auf, Abu> T}alhah dan lain-lain yang memiliki harta benda yang berlimpah dan melebihi batasan kecukupan. 3. Jaminan Standar Penghidupan Minimal Minimal Dalam pandangan Islam pemenuhan kebutuhan pokok bagi setiap orang merupakan ajaran inti dan tabiat dasar dari hubungan antar sesama.255 Institusi masyarakat (umat) yang terbangun dari individu dan keluarga harus mampu memenuhi kebutuhan pokok agar menikmati kehidupan yang layak sebagai khalifah di muka bumi.256 Syariat menuntut setiap orang untuk berjuang dan berusaha keras memenuhi kebutuhan pokoknya dengan usaha sendiri agar hidup dengan layak. Dalam konteks ujian hidup, manusia harus memenuhi kebutuhan pokok dan dasarnya dalam kehidupan di dunia ini. Ujian kehidupan akan bermakna bila manusia memiliki pilihan untuk bertahan dalam memenuhi kebutuhannya secara efisien.257 Kehidupan yang memiliki target dan tujuan dengan efisiensi dan kehormatan
255
Beberapa ayat menegaskan bahwa manusia telah dicukupkan dengan segala anugerah untuk memenuhi kebutuhannya. Alla>h Swt. berfirman;
(10)$ %& ' ( "# ! Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur. (al-A‘ra>f; 10). Ayat serupa ada pada su>rah; XIV: 34, XV: 19, 20, XLI: 10, dan LXVII: 15 256 Manusia sebagai khalifah mengharuskannya berkarya untuk membuktikan fungsinya sebagai khalifah. Rasulullah Saw. menegaskan hal ini dalam hadith;
$ 0 < ( ; &9 : 5 6 78 % 4 $ + /.& 2 3 /. 0 1% , - $ + Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau (indah) dan sesungguhnya Alla>h telah menjadikan kalian khalifah di atasnya untuk menyaksikan bagaimana kalian berkarya. Lihat al-Tirmidhi, Sunan, ba>b, ma> ja>a fi raf’i al-ama>nah, no. 2117 257
Kehidupan dan kematian merupakan ujian sebagai seleksi dalam penentuan derajat terbaik dalam karya dan persembahan kepada Allah. Dalam al-Qur’a>n ditegaskan,
(2)% 0 5R Q% !Q 0 D% "< F P% 8 1 O -!O 0 > / N M 0 < L 3 ?@(1)&9 !# JI K HG EF 0 D% C % <% A B ?@ = >( Maha Suci Alla>h Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. Lihat al-Qur’a>n, su>rah al-Mulk: 1-2
82
menuntun kepada realisasi target dan tujuan yang ditetapkan dalam penciptaan manusia. Jaminan kebutuhan pokok ini mencakup tiap orang, tanpa memandang usia, kelamin, ras, warna kulit, bahasa, kasta dan aliran. Jaminan ini mencakup muslim dan non-muslim. Kriteria satu-satunya yang jadi acuan adalah adanya kebutuhan yang harus mendapat jaminan.258 Beberapa orang secara permanen berada dalam kondisi membutuhkan karena kelemahan dan keterbatasan alami seperti, cacat, buta, berpenyakit kronis, orang tua renta dan anak-anak, dan lain-lain.259 Ada juga sebagian orang yang berada dalam kondisi itu secara temporer seperti, orang yang dipecat dari pekerjaan, penganggur, dan orang-orang yang tidak berpenghasilan cukup. Orang-orang tersebut harus mendapat jaminan kehidupan dan kebutuhan pokok, selama mereka belum mampu memenuhinya sendiri.260 Jaminan pemenuhan kebutuhan dasar atau hak untuk hidup layak merupakan pandangan Islam tentang kehidupan dan merupakan tanggungjawab bersama masyarakat. Alangkah naif bila orang-orang yang membutuhkan masih berada dalam kondisi terlalaikan dan tidak terpenuhi kebutuhannya padahal dia hidup dalam kelompok masyarakat yang berprinsip kepada nilai-nilai persaudaraan dan persahabatan yang saling mengayomi.261
258
Muh}ammad Nejatullah Siddiqi, “The Guarantee of a Minimum Level of Living in an Islamic State,” in Distributive Justice and Need Fulfilment in an Islamic Economy, ed. Munawar Iqbal (Leicester, UK: The Islamic Foundation, 1988), 253-154. 259 Lihat A. Elway, “Poverty and Disability” A Review of the Literature, Social Protection Discussion Paper No. 9932 (The World Bank, 1999) 260 Lihat R. Yeo, and K. Moore, “Including Disabled People in Poverty Reduction Work; ‘Nothing About Us, Without Us.’” World Development, Vol. 31, No.3 (2003): 571-590. 261 Islam menghormati manusia sebagai saudara agar bekerjasama dan saling menolong. Dalam hadith disebutkan,
/03 + % V > $ O 9 K ,O..... 4 ( S & B%V% U 0 ! T 4 F 4% ES 4 - >, $ Bahwa Rasulullah Saw. bersabda, setelah shalatnya; "...aku adalah saksi bahwa seluruh hamba Alla>h adalah bersaudara...". Abu> Da>wu>d, Sunan, ba>b, ma> yaqu>lu al-rajul idha> sallama, no. 1289.
83
Pandangan tentang jaminan tersebut tercantum dalam teks al-Qur’a>n, hadith, kebijakan khulafa>’ al-ra>shidi>n dan ulama Islam dari dulu hingga kini.262 Hal ini telah diakui secara luas ditinjau dari berbagai sudut yaitu; kehidupan sebagai ujian, fungsi kekhilafahan, kemuliaan manusia atas makhluk lain, alam yang sempurna dan diperuntukkan untuk kehidupan manusia dan dari sisi pandangan persaudaraan dan saling menolong dalam Islam. Oleh karena itu dalam hadith Rasulullah Saw. ditegaskan bahwa kondisi kekurangan merupakan perkara yang tidak dikehendaki dan harus dientaskan. Doa sebagai senjata muslim, terlebih bagi orang yang tidak memiliki kemampuan apaapa selain doa, sangat dianjurkan agar bermunajat memohon perlindungan kepada Allah swt. dari kefakiran dan kekurangan dalam memenuhi kebutuhan pokok, karena bahaya kefakiran sama dengan bahaya kekafiran.263 Dalam merealisasikan nilai-nilai persaudaraan, Islam menekankan perintah penggalangan dukungan sosial terhadap kondisi kemiskinan dan kekurangan,264 sehingga ulama memasukkan tugas memenuhi standar kebutuhan dasar ke dalam fardhu kifayah. Kriteria kecukupan adalah standar yang menggambarkan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok manusia secara sempurna dan meningkatkan derajat hidupnya ke tingkat yang layak dalam kehidupan. Ulama sejak dulu hingga kini memberikan perhatian dalam menjelaskan tentang batasan kecukupan sesuai kebutuhan setiap zaman.265 Dalam praktiknya ukuran kecukupan berbeda-beda untuk 262
Muhammad Nejatullah Siddiqi, “The Guarantee of a Minimum Level of Living in an Islamic State,” in Distributive Justice and Need Fulfilment in an Islamic Economy, ed. Munawar Iqbal (Leicester, UK: The Islamic Foundation, 1988), 253-265. 263 Dalam hadith disebutkan bahwa Rasulullah Saw. berdoa; "Ya Alla>h, aku berlindung
kepada-Mu dari kekufuran dan kefakiran". Seorang sahabat bertanya; "apakah keduanya sama?" Rasulullah Saw. menjawab; "benar". Al-Nasa>'i, Sunan, ba>b, al-isti’a>dhah min sharr al-kufr, no. 5390 264
Dalam kekayaan setiap mukmin harus ada alokasi dana sosial untuk orang-orang yang kurang beruntung dan terhalang dari usaha dan bekerja. Al-Qur’a>n menekankan fungsi sosial kekayaan, sebagai berikut;
(25)Y %&N < H Z 8(24)Y9 0 LX 1 0 O P !@
Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta), (al-Ma‘a>rij: 24-25) 265 Lihat, Zain al-Di>n al-Munji Al-Tanu>khiy, Al-Mumti‘ , jld. ii, 663
84
tiap-tiap zaman, tempat dan orang yang ditentukan oleh pemerintah dengan pertimbangan keadaan dan kondisi yang berbeda-beda dan dibantu oleh orang-orang yang ahli dan spesialis dari para pakar fikih, ekonomi dan lain-lain. Di sinilah urgensi penetapan UMR (upah minimum regional) di suatu daerah. Islam bertujuan meningkatkan taraf hidup anggota masyarakat hingga ke tingkat berkecukupan bukan hanya sekadar bertahan hidup.266 Cara mencapai taraf hidup tersebut adalah dengan bekerja atau lewat mobilisasi dana zakat atau dari dana tabungan pemerintah atau dari santunan orang-orang kaya yang melebihi kebutuhan mereka. Orang-orang yang belum mencapai derajat hidup yang cukup dan layak, harus diberi santunan nyata dengan cara memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok mereka, membuka lapangan pekerjaan selebar mungkin yang sesuai dengan keahlian dan kemampuan mereka sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan orang-orang yang menjadi tanggungannya.267 Pertimbangan kecukupan merupakan pertimbangan pokok dalam menentukan tingkat minimal upah dan gaji dalam Islam. Sehingga upah dan gaji seseorang tidak boleh lebih rendah dari standar kecukupannya.268 Dengan demikian merupakan kewajiban institusi-institusi Islam untuk mempraktikkan kaidah ini, dan bila tidak, ia telah bersalah dan berlaku aniaya. Pemeliharaan harta yang merupakan tiang penopang kehidupan individu dan masyarakat menjadi salah satu dari tujuan syariat Islam. Oleh karena itu Islam memberikan tuntunan tentang syarat-syarat, kaidahkaidah dan tujuan-tujuan yang berkaitan dengan harta benda dan kekayaan baik yang menyangkut cara memilikinya, mengusahakannya, mengelolanya, mengkonsumsinya
Patut dicermati di sini kaidah bahwa jaminan sosial dalam Islam diperuntukkan bagi orang yang telah memaksimalkan seluruh kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, namun belum terwujud. Sehingga tidak boleh dipahami bahwa Islam mengajarkan untuk bersandar kepada uluran bantuan orang lain. Lihat Muh}ammad Abu> Zahrah, al-Taka>ful al-Ijtima>’i fi> al-Isla>m (Kairo: Da>r al-Fikr al-‘Arabiy, tt), 62-64. 268 ‘Isha>m Abba>s Muh}ammad ‘Aliy Naqliy, Tah}li>l Al-Fikr al-Iqtis}a>diy fi> al-‘As}r al-‘Abba>siy al-Awwal (Mekkah: Ja>mi‘ah Umm al-Qura>, 1416 H), 460-463
85
dan bagaimana mendermakannya dan mengalokasikannya. Islam tidak mencela dan menghina kekayaan,269 namun ia mencela keburukan dan bencana yang timbul karena penyimpangan dan penyelewengan dalam kepemilikan, pengelolaan, konsumsi dan pengalokasiannya. Manusia diperintahkan untuk mengontrol harta bendanya yang dapat memenuhi kebutuhan pokok bagi dirinya dan orang-orang yang
menjadi
tanggungannya, baik berupa; makanan, pakaian, tempat tinggal, kendaraan dan lainlain yang harus dimilikinya. Dan kelebihan yang tersisa dari harta benda yang melebihi batas kecukupan seseorang, dianjurkan untuk menginfakkannya. Itulah harta yang lebih atau al-‘afwu.270 Dalam tafsir Al-T{abariy disebutkan makna al-‘afwu adalah kelebihan dari harta benda seseorang atas kebutuhan dirinya sendiri, keluarganya yang berada dalam tanggungannya dan orang-orang yang harus ditanggungnya.271 Sementaran dalam tafsir Al-Qurt}u>biy disebutkan bahwa maknanya menginfakkan kelebihan harta benda yang melebihi kebutuhan, selama hal itu tidak menyulitkan dan mengurangi kebutuhan untuk diri sendiri sehingga menjadi beban bagi orang lain.272 Pendapat kedua ulama dan imam besar ini juga merupakan pendapat jumhur. 273 Islam menekankan urgensi kehidupan yang cukup, dimana Rasulullah Saw. menjelaskan tentang nafkah yang harus mencukupi untuk seluruh anggota keluarga. Dan bila nafkah pemberian suami kurang daripada itu, maka seorang isteri boleh mengambil harta suaminya sesuai dengan batasan kecukupan yang ma’ruf walaupun
269
Bahkan nabi Muh}ammad menjelaskan tentang sisi positif dan kebaikan dari harta bahwa ia tidak berbahaya apa-apa selama pemiliknya tetap bertakwa kepada Alla>h swt. Lihat Ibnu Ma>jah, Sunan, ba>b, al-hathth ‘ala> al-Maka>sib, no. 2132 270 Lihat al-Qur’a>n, su>rah Al-Baqarah; 219 271 Al-T}abariy, Ja>mi' al-Baya>n 'an Takwil al-Qur’a>n, jld., ii, 439 272 Shams al-Di>n al-Qurt}u>biy, Abu> Abdillah Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Abi> Bakr, ibn Farah} al-Ans}ar> iy al-Khazrajiy, Al-Ja>mi’ li Ahka>m al-Qura>n (Beirut: Da>r al-Fikr, tt.), jld., ii, 48 273 Seperti Ibnu ‘Abba>s, Ibnu ‘Umar, Qata>dah, Atha>' dan lain-lain. Lihat Shams al-Di>n alQurt}u>biy, Abu> Abdillah Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Abi> Bakr, ibn Farah} al-Ans}ar> iy al-Khazrajiy, AlJa>mi’ li Ahka>m al-Qura>n (Beirut: Da>r al-Fikr, tt.) jld., ii, 48
86
tanpa
sepengetahuan
suaminya.274
Ibnu
H{ajar
menyebutkan
bahwa
yang
dimaksudkan dengan ma’ruf adalah jumlah yang dikenal cukup untuk ukuran adat dan kebiasaan. 275 Lebih jauh lagi, ajaran Islam juga menjelaskan tentang dalil praktis dalam menentukan batasan kecukupan, dalam kasus Hindun binti ‘Utbah.276 Menurut Ima>m Al-Ghaza>li batasan kecukupan tersebut ditentukan dalam makanan, minuman, tempat tinggal, dan segala yang bermakna dengannya, yang belum muncul dalam teks hadith pada kasus Hindun binti ‘Utbah.277 Dalil praktis lainnya278 menunjukkan bahwa sebaik-baik sedekah dan yang paling utama, adalah harta benda yang dikeluarkan oleh orang dari harta bendanya setelah dia menyisihkan sejumlah harta yang cukup untuk dirinya dan keluarganya. Dengan demikian harus ada harta yang cukup yang masih tersisa bagi pemiliknya, setelah dia mengeluarkan sedekah.279 Maka manusia tidak dituntut untuk bersedekah melainkan setelah menutupi dan memenuhi segala kebutuhannya sendiri dan kebutuhan orang-orang yang menjadi tanggungannya, baik istrinya, anaknya, pelayannya, dan selain mereka. Dia harus menjamin terlebih dahulu kecukupan atas dirinya dan kecukupan mereka, kemudian barulah dia boleh bersedekah setelah itu dari kelebihannya.280 274
Dari ‘Aishah r.a. disebutkan bahwasanya Hindun binti ‘Utbah berkata; "wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan, adalah seorang yang kikir, dan dia tidak memberikanku harta yang mencukupiku dan anak-anakku, kecuali bila aku mengambil sebagian hartanya sedangkan dia tidak mengetahuinya. Maka Rasulullah Saw. bersabda; "ambillah apa yang mencukupimu dan anakmu dengan makruf (baik)". al-Bukha>riy, S}ah}i>h} al-Bukha>riy, ba>b, Idha> lam yunfiq al-rajul… no. 4945 275 Ah}mad ibn ‘Ali ibn Hajar Al-‘Asqala>ni, Fath} al-Ba>ri> Sharh} S}ah}i>h} al-Bukha>riy (Beirut: alMat}ba‘ah al-Khairiyyah tt.), jld. xi 5364 276 Dalam hadith disebutkan pembatasan hak setiap manusia dari hartanya yaitu, "anak Adam
tidak memiliki hak selain dalam hal-hal berikut; rumah yang didiaminya, pakaian untuk menutupi auratnya, roti yang kering dan air". al-Tirmidhi, Sunan, ba>b, fi al-Z{aha>dah fi> al-dunya>, no. 2262 277 Abu> Ha>mid Al-Ghaza>liy, Ih}ya>' ‘Ulu>m al-Di>n (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah tt.) jld., iv, 286
278
Hadith menjelaskan redistribusi harta dalam kondisi terbaik adalah setelah pemenuhan kebutuhan diri sendiri dan tanggungan, "sebaik-baik sedekah adalah yang keluar dari kondisi kaya, dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu". al-Bukha>riy, S}ah}ih> } al-Bukha>riy, ba>b, la> s}adaqah illa> ‘an z}ahr ghina>, no. 1337 279 Al-Nawa>wiy, Al-Minha>j Sharh} S}ah}i>h} Muslim ibn al-H}ajja>j, jld. vii, 126 280 Perhatikan hadith yang diriwayatkan oleh Abu> Hurayrah r.a. bahwa Rasulullah Saw. bersabda, "bersedekahlah kalian!" seseorang berkata, "aku hanya punya satu dinar". Rasulullah Saw.
87
Dalam kasus yang diceritakan oleh Abu> Sa‘i>d al-Khudriy r.a.281 dalam suatu perjalanan bersama Rasulullah Saw., ada seorang dari kafilah yang membutuhkan hewan tunggangan. Dia mencari-cari bantuan tumpangan dari sisa tunggangan orang lain. Kemudian Rasulullah Saw menjelaskan beberapa jenis harta benda hingga dapat disimpulkan bahwa terdapat anjuran yang sangat tegas kepada seseorang untuk mendermakan kelebihan hartanya kepada yang membutuhkan dan tidak memilikinya.282 Islam membebankan tanggungjawab kepada pemerintah dan masyarakat secara kolektif untuk memenuhi kebutuhan pokok untuk setiap individu yang tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Allah menegaskan bahwa perilaku tidak menyantuni anak yatim dan menghardiknya dan tidak memberikan makanan kepada fakir dan miskin termasuk sifat pendusta agama.283 Dalam penegasan tersebut terdapat isyarat tentang kewajiban memenuhi hajat orang-orang yang membutuhkan seperti, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan lain-lain dan anjuran berusaha untuk mencukupi kebutuhan mereka.284 Menurut Ibnu H{azm, orang yang
bersabda, "bersedekahlah atas dirimu sendiri". Dia berkata lagi, "aku masih punya satu dinar lagi". Rasulullah Saw. bersabda, " bersedekahlah atas istrimu dengannya". Dia berkata lagi, "aku masih punya satu dinar lagi". Rasulullah Saw. bersabda," bersedekahlah atas anakmu dengannya". Dia berkata lagi, "aku masih punya satu dinar lagi". Rasulullah Saw. bersabda, " kamu lebih tahu (dimana kamu menginfakkannya)." Lihat Ah}mad ibn H}anbal Al-Shaiba>ni, Al-Musnad, Musnad Abi> Hurairah, no. 7112 281 Dari Abu> Sa‘i>d al-Khudri r.a. berkata; "ketika kami sedang dalam suatu perjalanan bersama Rasulullah Saw., tiba-tiba seseorang muncul di atas hewan tunggangannya. Dia berkata, "maka dia pun menoleh ke kanan dan ke kiri". Kemudian Rasulullah Saw. bersabda, "barangsiapa
yang kelebihan hewan tunggangan, maka hendaklah dia persiapkan untuk orang yang tidak memiliki hewan tunggangan. Dan barangsiapa yang kelebihan perbekalan makanan, maka hendaklah dia persiapkan untuk orang yang tidak memiliki perbekalan makanan.” Kemudian Rasulullah Saw. menyebutkan beberapa jenis harta benda hingga kami berkesimpulan bahwa tiada hak bagi seseorang dari kami atas kelebihan yang ada padanya. Lihat al-Bukha>riy, S}ah}ih> } al-Bukha>riy, ba>b, al-S}adaqah ‘ala> al-Yata>ma>, no. 1372 282 Ah}mad Abd al-Rahma>n al-Banna> Al-Sa‘a>ti, Al-Fath al-Rabba>ni bi Tarti>b Musnad Ah}mad ibn H}anbal Al-Shaiba>ni (Beirut: Da>r Ih}ya>’ Al-Tura>th Al-‘Arabiy, tt.) jld. ix 162 283 Lihat al-Qur’a>n, su>rah al-Ma>‘u>n; 1-3 284 Rasulullah bersabda, “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, tidak boleh
menzaliminya dan tidak boleh mengacuhkannya (dan membiarkannya disakiti dan dizalimi orang lain) dan barang siapa yang menyelesaikan hajat saudaranya maka Alla>h Swt. pun pasti
88
membiarkan orang muslim lapar dan telanjang, padahal dia mampu memberikannya makanan dan pakaian, maka dia telah mengacuhkannya.285 Bahkan ‘Umar ibn Khat}ta} >b sampai berandai-andai sekiranya dia bisa menghadirkan kembali masa lalu yang telah dilewatinya, maka dia pasti mengambil kelebihan harta benda dari orangorang kaya, kemudian dia akan membagikannya kepada orang-orang yang fakir dari kaum Muha>jiri>n.
286
Kelebihan yang dimaksud adalah harta benda yang melebihi
batas kecukupan dan kebutuhan-kebutuhan pokok. ‘Ali ibn Abi> T{al> ib r.a. menjelaskan bahwa orang fakir memiliki hak atas kelebihan harta benda orang kaya hingga dia terbantu untuk mencapai batasan kecukupan. Dia menyebutkan secara khusus makanan dan pakaian kemudian menerangkan secara global tentang kebutuhan-kebutuhan lainnya.287 Kebijakan ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azi>z saat menjabat khalifah sangat mendukung kaum yang lemah dan memperhatikan pemenuhan kebutuhan mereka.288 Pendapat Ibnu H{azam mendukung penetapan kewajiban atas orang-orang kaya pada
setiap negeri untuk menyelesaikan kebutuhan orang-orang fakir.
Pemerintah boleh memaksa mereka untuk melakukan hal itu bila harta benda dari menyelesaikan hajatnya.” Lihat al-Bukha>riy, S}ah}i>h} al-Bukha>riy, ba>b, La> Yaz}lim al-Muslimu alMuslima wa la> Yuslimuh, no. 2262. 285 Abu> Muh}ammad ‘Ali ibn Ah}mad ibn Sa’i>d ibn H}azm al-Andalu>si, Al-Muh}alla> bi al-A>tha>r (Beirut: Da>r al-Fikr, 2001), jld. v, 157 286 Ibnu H}azm, Al-Muh}alla> bi al-A>tha>r, jld. vi, 107 287 Hal ini tersirat dalam pernyataan ‘Ali r.a.; "sesungguhnya Alla>h Swt. telah mewajibkan atas orang-orang kaya dalam harta benda mereka suatu bagian yang mencukupi kebutuhan orangorang yang fakir. Maka bila mereka lapar, telanjang, kekurangan dan mengalami kesulitan, maka semua itu diseba>bkan oleh penolakan orang-orang yang kaya untuk menunaikan kewajiban mereka. Dengan demikian Alla>h Swt. berhak menghisab dan memintai pertanggung jawaban mereka". Lihat Abu> ‘Ubayd, Kita>b Al-Amwa>l (Kairo: Da>r al-Ma‘rifah, tt.), 237-238 288
Dalam sejarah disebutkan bahwa ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azi>z menulis kebijakan kepada sebagian pegawainya; "tunaikanlah hutang orang-orang yang berhutang". Para pegawainya membalas suratnya; "sesungguhnya kami menemukan seseorang yang berhutang tetapi dia memiliki rumah, pelayan, kuda dan perabotan". Kemudian Umar menulis lagi; "sesungguhnya seorang muslim itu
harus memiliki tempat tinggal yang didiaminya, seorang pelayan yang memenuhi kebutuhannya, seekor kuda untuk melawan musuhnya, dan dia pun harus memiliki perabotan di rumahnya. Kalau benar demikian, tunaikanlah hutangnya karena dia termasuk salah seorang yang berhak dilunaskan hutangnya". Jadi Umar di sini menerangkan tentang batasan kecukupan, yaitu; tempat tinggal, pelayan, kendaraan, perabotan, dan pelunasan hutang. Lihat Abu> ‘Ubayd, Kita>b Al-Amwa>l (Kairo: Da>r al-Ma‘rifah, tt.), 209
89
zakat atau harta benda kaum muslimin lainnya tidak mencukupi untuk menyelesaikan kebutuhan mereka. Orang-orang fakir harus dipenuhi kebutuhan makanan pokok, pakaian yang digunakan untuk musim dingin dan panas, tempat tinggal yang melindungi dari hujan, musim panas, terik matahari dan pandangan orang-orang yang berlalu lalang.289 Pendapat ini juga didukung oleh Ibnu Taymiyah.290 Setiap individu dalam masyarakat berhak atas kecukupan dan kebutuhan-kebutuhan pokoknya dari perbendaharaan dan kekayaan negara, atau dari redistribusi kelebihan harta benda orang-orang
kaya. Hal itu dilakukan dengan
syarat orang tidak mampu sama sekali bekerja dan berusaha, atau tidak mampu menghasilkan sesuatu yang mencukupi kebutuhan-kebutuhan pokoknya. Ulama telah bersepakat tentang kebolehan mengambil dana zakat dan sedekah yang dibutuhkan bagi orang yang tidak memiliki rumah untuk tempat tinggal, untuk membayar pelayan yang dibutuhkannya dengan syarat tidak ada kelebihan apapun dalam harta yang dihasilkannya dan keadaan memaksanya untuk terus bekerja.291 Sebab segala yang disebutkan di atas merupakan kebutuhankebutuhan pokok manusia yang harus dimilikinya. Dalam Islam, terdapat tuntunan bahwa penetapan gaji tentara diukur dengan kadar kecukupan, yaitu memenuhi tiga aspek; jumlah tanggungan anak dan budak, jumlah hewan tunggangan (kendaraan untuk berperang) seperti kuda dan onta, dan tempat tinggal yang didiaminya, dan sesuai dengan harga bahan-bahan pokok, apakah mahal atau murah.292 Dengan demikian harus dipertimbangkan kondisi tiap289 290
Abu> ‘Ubayd, Kita>b Al-Amwa>l, 223 Ibnu Taymiyah berkata; "sesungguhnya ulama telah bersepakat bahwa orang yang tidak
memiliki harta benda sementara dia sendiri tidak bisa bekerja, maka seharusnya dia diberikan santunan yang mencukupinya. Bahkan demikian pula untuk orang-orang yang belum sempurna dalam kecukupannya seperti; para pekerja industri, pedagang, orang-orang yang fakir, ahli tasawwuf, ahli fikih dan tentara-tentara penjaga keamanan dan perbatasan dan lain-lain dari anggota masyarakat. Setiap mereka berhak mendapatkan santunan yang mencukupi kebutuhannya selama mereka tidak mampu bekerja dan menghasilkan sesuatu untuk kecukupan mereka.” Ibnu Taymiyah, Majmu>‘ al-AlFata>wa>, jld. xxviii, 580 291 Ibnu ‘Abd al-Barr, al-Istidhka>r (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah tt.), jld. iii, 211 292 al-Ma>wardi, al-Ah}ka>m al-Sult}an> iyyah.., 315
90
tiap orang dari segi sosialnya, ekonominya, lingkungannya, dan orang-orang yang menjadi tanggungannya dalam menentukan upah dan gajinya. Menurut Al-Sharqa>wi kadar kecukupan diukur dengan ukuran pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok; makanan, pakaian, tempat tinggal dan lain-lain yang harus dimiliki sesuai dengan kebutuhan dan kondisi seseorang, dan orang-orang yang menjadi tanggungannya tanpa pemborosan, berlebihan atau sebaliknya berlaku kikir dan zalim.293 Kebutuhan pokok mencakup segala sesuatu yang dapat mencegah kehancuran manusia secara nyata ataupun hanya sekadar ancaman dan kemungkinan seperti; biaya hidup seseorang dan pakaian yang melindunginya dari panas dan dingin, demikian pula makanan pokok bagi keluarganya, perabot-perabot untuk keindahan, buku-buku ilmiyah dan alat-alat kerja.294 Dan diantara faktor kesempurnaan dalam kadar kecukupan adalah pernikahan bagi orang yang mendesak untuk menikah. Oleh karena itu ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azi>z menetapkan kebijakan kepada pembantunya dan gubernurnya untuk memudahkan dan membantu setiap pemuda dan pemudi yang telah siap untuk menikah, namun tidak memiliki biaya untuk itu.295 Termasuk dalam ukuran kecukupan adalah tersedianya biaya untuk pendidikan dan menuntut ilmu, bahkan termasuk biaya pendidikan spesialisasi dalam ilmu tertentu. Bila seseorang memiliki tanggungan anak-anak yang masih belajar, maka termasuk dalam ukuran kecukupannya adalah memiliki biaya yang cukup untuk belajar anak-anaknya, khususnya pada negaranegara yang tidak menyelenggarakan pendidikan secara gratis. Biaya obat-obatan dan kesehatan, menjadi bagian dari kriteria kecukupan dalam kondisi darurat karena kecelakaan atau sakit parah dan lain-lain. Telah 293
Abdullah ibn H{ija>ziy ibn Ibra>hi>m Al-Sharqa>wi, H}as> hiyah Al-Sharqa>wi (Beirut: Da>r Ihya>’ Al-Tura>th Al-‘Arabiy, tt.), jld., ii, 244 294 Abu> Muh}ammad Mah}mu>d ibn Ah}mad, al-‘Ayniy, al-Bina>yah fi> sharh al-Hida>yah (Beirut: Da>r al-Fikr, tt.), jld. xxx, 22-23 295 Hal itu tersirat dalam kebijakan ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azi>z ketika mengirimkan titah kepada gubernurnya di Irak: "selidikilah setiap bujangan atau gadis yang tidak memiliki harta yang cukup namun sudah ingin menikah, kemudian nikahkanlah dan tanggunglah maharnya dan biayanya." Lihat Abu> ‘Ubayd, Kita>b Al-Amwa>l, 109
91
dimaklumi bahwa saat ini di sejumlah negara biaya kesehatan sangat tinggi. Oleh karena itu setiap orang yang sakit harus dipenuhi biayanya sesuai dengan penyakit yang dideritanya.296 Dengan demikian kriteria kecukupan adalah segala sesuatu yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok manusia secara sempurna dan meningkatkan derajat hidupnya ke tingkat yang layak dalam kehidupan. Ukuran kecukupan dalam kehidupan yang ril ditentukan oleh pemerintah di suatu negeri dan pada zamannya, dengan pertimbangan kondisi yang berbeda-beda dan dibantu oleh orang-orang yang ahli dan spesialis dari para pakar fikih dan ekonomi dan lain-lain. Islam bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup anggota masyarakat hingga ke tingkat berkecukupan bukan hanya bertahan hidup. Cara mencapai taraf hidup tersebut adalah dengan bekerja atau lewat mobilisasi dana zakat atau dari dana tabungan pemerintah atau dari santunan orang-orang kaya yang melebihi kebutuhan mereka. Orang-orang yang belum mencapai derajat hidup yang cukup dan layak, harus diberi santunan, membuka lapangan pekerjaan selebar-lebarnya yang sesuai dengan keahlian dan kemampuan mereka sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan orang-orang yang menjadi tanggungannya. Pertimbangan kecukupan merupakan elemen pokok dalam menentukan tingkat minimal upah dan gaji dalam Islam, sehingga upah dan gaji seseorang tidak boleh lebih rendah dari batas kecukupannya.297 Dengan demikian merupakan kewajiban institusi-institusi Islam untuk mempraktikkan kaidah ini, dan bila tidak, maka ia telah melanggar dan melakukan ketidakadilan terhadap pegawai dan pekerjanya. Dalam bahasan tentang masa waktu dalam berkecukupan tersebut terdapat dua pandangan ahli fikih dalam membatasi ukuran masa berkecukupan. Pandangan jumhur madhhab al-Sha>fi‘iyyah dan Al-Hanbaliyyah dalam suatu riwayat, memandang bahwa pemenuhan kebutuhan sesuai batas kecukupan itu harus 296
174-175
297
Yu>suf al-Qarad}aw > i, Dawr al-Qiyam wa al-Akhla>q …(Kairo: Da>r Wahbah, 1415/1995), al-Ma>wardiy, al-Ah}ka>m al-Sult}an> iyyah.., 315
92
dilakukan terus-menerus seumur hidup baik dengan cara bekerja ataupun penggalangan dana. Jadi berkecukupan secara umum adalah terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok manusia sepanjang hidupnya karena dengan demikian dia telah keluar dari katagori orang yang masih membutuhkan dan telah sampai ke derajat berkecukupan.298 Pandangan lainnya adalah pandangan ulama al-Hanafiyyah, al-Ma>likiyyah, dan jumhur Al-H{anbaliyyah dan sebagian Al-Sha>fi‘iyyah. Istilah berkecukupan secara umum menurut mereka adalah terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok manusia sepanjang setahun penuh, dengan adanya pembaharuan ketetapan setiap tahun berdasarkan dalil dari kebijakan Rasulullah yang menjual hasil kebun kurma Bani Nadhir dan menyimpan sisanya sebagai persediaan makanan selama satu tahun untuk keluarganya.299 Dengan mengkaji secara mendalam dua pandangan di atas, maka akan terlihat jelas bahwa masing-masing memiliki landasan yang kuat. Oleh karena itu pandangan pertama dapat diaplikasikan pada penyediaan alat-alat kerja, modal, pengadaan lapangan kerja agar orang terjamin kecukupannya sepanjang umur dengan pekerjaan tersebut. Dengan demikian banyak kelompok masyarakat yang memenuhi kebutuhan dan kecukupannya sendiri secara terus-menerus. Sedangkan ukuran kecukupan dalam makanan pokok dan lain-lain yang sangat susah diukur dengan kebutuhan seumur hidup, maka ukurannya dapat ditentukan dengan batas kecukupan selama satu tahun khususnya bagi orang yang tidak mampu bekerja atau bagi orang yang penghasilannya pas-pasan karena banyak tanggungannya atau sebab yang lain. Adanya kelemahan dan keterbatasan dalam semua prinsip keadilan distribusi, kebolehan memiliki kekayaan yang tidak terbatas sehingga berpotensi menjadikan manusia ambisius dan individualistis dan kewajiban kolektif (fard}u kifa>yah) dalam 298 299
Al-Nawa>wiy, Al-Majmu>‘, jld. vi, 175 dan Ibnu Quda>mah, Al-Mughni>, jld. ii, 522 al-Bukha>riy, S}ah}i>h} al-Bukha>riy, ba>b, Habs nafaqat al-rajul… no. 4938
93
memenuhi standar kehidupan minimal untuk tiap-tiap individu, menjadikan kebijakan redistribusi kekayaan mutlak diperlukan. Oleh karena redistribusi kekayaan individu sangat berkaitan dengan inisiatif individu, maka ia akan terlaksana secara efektif diantaranya dengan dorongan norma-norma yang diyakini dan dihormatinya. Islam memberikan norma-norma dan prinsip-prinsip yang mendorong setiap muslim untuk meredistribusikan kekayaannya.
94
BAB III PENINGKATAN KEMAMPUAN DISTRIBUSI Ada beberapa alasan dan motivasi orang melakukan distirbusi kekayaan dan berbagi dengan sesamanya, diantaranya, alasan kemanusiaan, implementasi ajaran altruism, dan argumentasi relijius. Untuk alasan yang terakhir, Ekonomi Islam memberikan perhatian yang sangat serius dan tekanan yang kuat. Dalam ekonomi Islam, peran nilai dan moral sangat penting dalam pembangunan ekonomi.300 Oleh karena itu dalam bab ini dijelaskan tentang distirbusi kekayaan individu dalam ekonomi Islam berdasarkan prinsip dan nilai-nilai
ih}sa>n, ‘iffah dan ir,
optimalisasi produksi kekayaan, urgensi menghasilkan kekayaan dan praktik distirbusi kekayaan. F. Bahaya Konsentrasi Kekayaan dan Ukuran Ketimpangan Konsentrasi penumpukan harta pada segelintir orang merupakan kejahatan ekonomi yang menghambat sektor produksi, konsumsi, perdagangan, sirkulasi dan distrubusi kekayaan dan laju roda perekonomian.301 Kondisi tersebut menghalangi pelaku ekonomi memiliki akses yang bebas dan sama dalam mengambil manfaat dari sumber-sumber alam, akan mencegah munculnya tindakan monopoli maupun oligopoli dalam aktivitas perekonomian karena hal tersebut merupakan antitesa dari adanya distribusi kekayaan secara adil.302 Islam sangat mengecam tindakan konsentrasi kekayaan dan menetapkan beberapa kebijakan untuk meminimalkan dan
300
Yu>suf al-Qarad}a>wi menulis buku secara khusus membahas masalah tersebut dan menjelaskan betapa pentingnya peran nilai dan moral dalam pembangunan ekonomi Islam. Lihat selengkapnya dalam Yu>suf al-Qarad}aw > i, Dawr Al-Qiyam Wa Al-Akhla>q fi> al-Iqtis}ad> al-Isla>miy (Kairo: Da>r Wahbah, 1415/1995) 301 S. M. Yusuf, Economic Justice in Islam (Lahore: Sh. Muhammad Asyraf), 57 302 Mufti Muhammad Syafi’, Islam ka Nizhami Taqsimi Dawlat (Karachi: Maktabah Daar al‘Ulum, 1968), 18.
95
mengikis segala hambatan laju roda perekonomian.303 Pelarangan riba, monopoli, penimbunan, perampasan hak, dan lain-lain merupakan beberapa intrumen kebijakan yang diharapkan sanggup menekan konsentrasi dan penimbunan harta menuju distribusi
kekayaan
yang
merata.304
Konsentrasi
kekayaan
menyebabkan
ketimpangan pendapatan dan kesejahteraan, sehingga jumlah angka kemiskinan meningkat. Ekonomi Islam sama sekali tidak merumuskan pembagian kekayaan dengan sama rata kepada setiap manusia. Ia hanya menekankan penyebaran kekayaan yang merata dimana setiap orang masyarakat dapat memperoleh bagian dari harta kekayaan yang beredar. Penyamarataan kekayaan adalah sebagai sesuatu yang tidak alami. Ketidaksamaan manusia dalam hal kesehatan, kekuatan fisik, kecerdasan dan kecakapan adalah bukti yang membenarkan bahwa perbedaan kekayaan itu adalah sebagai sesuatu yang sangat alami.305 Pengumpulan kekayaan hanya dibenarkan dengan tujuan untuk kesejahteraan masyarakat secara umum sehingga tidak ada salah satu kelompok yang diuntungkan (better-off) dengan jalan merugikan yang lain (worse-off).306 Makna
welfare
akhirnya bukan lagi sekedar tercapainya economic gain secara optimal belaka. Efisiensi berdimensi sosial, politik, psikologi dan filosofi, menjangkau tujuan humanisasi dan humanisme. Masalah welfare lebih mengemuka lagi setelah Amartya
303
Mahmud Muhammad Babili, Al-Ma>l fi> al-Isla>m (Beirut: Da>r al-Kita>b al-Lubna>ni, tt.), 63. Mufti Muhammad Syafi’, Islam ka Nizhami Taqsimi Dawlat (Karachi: Maktabah Daar al‘Ulum, 1968), 35. 305 Abul A’la al-Maududi, Capitalism, Socialism and Islam (Kuwait: Islamic Book Publisher, 1977), 149-153. 306 Ini dikenal dengan konsepsi “social optimum”, yaitu Paretian optimality (optimalitas ala Pareto dan Edgeworth), di mana economics efficiency mencapai social optimum bila tidak seorangpun bisa lagi menjadi lebih beruntung (better-off) tanpa membuat orang lain merugi (worseoff). Lihat A Survey of Contemporary Economic I (Homewood: Irwin, 1949) yang disponsori oleh The American Economics II terbit pula dengan editor Prof. Bernard F. Haley dari Stanford University (Homewood: Irwin 1952), yang juga disponsori oleh the American Economics Association. 304
96
Sen mengedepankan masalah etika yang didukung pula oleh Amitai Etziomi seorang sosiolog terkemuka.307 Akumulasi kekayaan tidak tercela sepanjang hak-hak harta benda tidak dilanggar dan ditunaikan kewajiban-kewajibannya308 dan membuat harta kekayaan sebagai suatu obsesi yang diimpikan dan dikhayalkan selalu.309 Segala kegiatan transaksi ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga semua pihak sama-sama diuntungkan dan melalui cara-cara yang benar.310 Pelarangan riba termasuk langkah utama dan paling penting yang diambil karena sangat berpengaruh terhadap lancarnya distribusi kekayaan dan praktik riba menyebabkan meningkatnya kemiskinan secara massif di dalam masyarakat dan ketimpangan pendapatan yang mencolok.311 Para ahli ekonomi sepakat bahwa cara-cara eksploitatif dalam pengambilan bunga merupakan penyebab utama atas terjadinya ketidakmerataan dan ketidakadilan distribusi kekayaan.312 Ekonomi yang hanya berorientasi hasil (profit) semata hanya akan menghambat pemerataan kesejahteraan masyarakat.313 Dengan menghapuskan riba, Al-Qur’an telah membangun landasan pemerataan dan distribusi kekayaan yang adil, dimana hal tersebut merupakan tuntutan esensial bagi usaha penghapusan
307
Lihat Amartya Sen, On Ethics and Economics (Oxford : Basel Blakwell, 1987) dan Amitai Etziomi, The Moral Dimensions: Toward a New Economics (New York : Free Press, 1988). 308 Mahmud Muhammad Babili, Al-Ma>l fi> al-Isla>m (Beirut: Da>r al-Kita>b al-Lubna>ni, tt.), 18 309 Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980), 39 310 Ali Musa Razi Muhajir, Islam in Practical Life (Sh. Muhammad Ashraf, Lahore, 1974), 150. 311 Mahmud Muhammad Babili, Al-Ma>l fi> al-Isla>m (Beirut: Da>r al-Kita>b al-Lubna>ni, tt.), 2930 312 Jika ekploitasi riba tidak dihapus, maka elemen eksploitasi di dalam kategori distribusi seperti keuntungan dan penyewaan secara otomatis akan mati, pekerjaan ini secara penuh akan menjadi sebuah kebutuhan teknis. Gaji akan naik, dan keuntungan serta penyewaan akan jatuh bersamaan dengan melambungnya harga-harga. Lihat: Sh. Mahmud, Social Justice in Islam, (Lahore : Institute of Islamic Culture, 1975), 41. 313 Abul A’la al-Maududi, Capitalism, Socialism and Islam (Kuwait: Islamic Book Publisher, 1977), 263
97
kemiskinan.314 Kesejahteraan masyarakat membutuhkan adanya sebuah distribusi kekayaan yang adil dan fair. Untuk mencapai tujuan ini maka interest (bunga) hendaknya diturunkan ke titik nol. Lord Keyness, seorang ekonom yang memiliki pandangan sangat tajam tentang peran bunga, menyatakan keyakinannya bahwa pekerjaan penuh (full employment) tidak akan dicapai kecuali dengan penurunan tarif bunga pada titik nol.315 Kemudian hukum waris menghindarkan beberapa kemungkinan yang menyebabkan konsentrasi harta warisan pada pihak tertentu seperti; 1. Adanya pewaris secara korporasi (taqsi>m murtakiz). 2. Adanya pengutamaan hak anak sulung. 3. Adanya transfer seluruh kekayaan pada satu orang dengan cara wasiat. 4. Adanya kemungkinan dimasukkannya orang-orang yang berhak menerima warisan dalam kelompok orang-orang yang mendapat harta wasiat (Meskipun wasiat itu dibolehkan namun batasan maksimum wasiat itu adalah sepertiga dari semua kekayaan seseorang). 5. Tidak memberikan hak-hak dan bagian waris wanita. Dimana hal ini dijamin Al-Qur’an yang mengiginkan distribusi kekayaan itu secara luas dan merata. 316 Bahkan untuk distribusi maksimal, bila saat pembagian warisan hadir kerabat yang yatim dan miskin, sebagian harta warisan diberikan kepada mereka atas dasar kemanusiaan.317 Jika tidak ada orang yang berhak untuk mendapatkan harta warisan
314
Untuk mendapatkan penjelasan yang lebih lanjut tentang Konsep Islam dalam masalah kemiskinan dan cara-cara memeranginya lihat Muhammad Al-Muba>rak, Niz}am > Al-Isla>m Al-Iqtis}a>di, Maba>di’ wa Qawa>‘id ‘A<mmah (Beirut: Da>r Al-Fikr, 1972), 72-74. 315 S. M. Yusuf, Economic Justice in Islam (Lahore: Sh. Muhammad Asyraf), 45 316 Mufti Muhammad Syafi’, Islam ka Nizhami Taqsimi Dawlat (Karachi: Maktabah Da>r al‘Ulu>m, 1968), 50. 317 Ibrahim Al-T}aha>wi, Al-Iqtis}a>d Al-Isla>mi\ (Kairo : Majma‘ al-Buhu>th al-Isla>miyyah, 1974), 396-397. Dan lihat pula al-Qur ân, sûrah al-Nisa>’: 8.
98
itu, maka ia diambil oleh negara dan dimasukkan ke Bayt al-Ma>l, dan akan dipergunakan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat.318 Karena sangat pentingya persoalan ini, maka sistem distribusi dan koleksi kebijakan yang komprehensif sangat penting dicanangkan. Tatanan sosial yang berkeadilan memberikan garansi terhadap adanya distribusi kekayaan secara merata.319 Adanya instrumen zakat merupakan jaminan umum (general insurance) terhadap semua anggota masyarakat, yang sebenarnya (jika ini dipraktekkan) tidak akan ada dan tidak akan diperlukan instrumen-instrumen kontemporer yang sifatnya ribawi. Zakat seperti asuransi umum dimana preminya dibayar hanya oleh orangorang kaya, sedangkan keuntungannya bisa dinikmati oleh siapa saja yang membutuhkannya. Semua yang dihasilkan orang bukanlah sepenuhnya miliknya. Yang menjadi miliknya hanya porsi yang memang harus dimiliki, sedangkan selebihnya harus dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Inilah jaminan sosial dalam Islam (al-taka>ful al-ijtima>‘i).320 Melalui kewajiban berinfak pada satu sisi dan pelarangan riba pada sisi yang lain, ekonomi Islam menginginkan adanya distribusi kekayaan yang adil dan melahirkan masyarakat sejahtera yang berdampak pada percepatan laju aktivitas bisnis dan ekonomi pada umumnya.321 Distribusi yang merata dan adil memiliki landasan yang kuat dalam UUD 1945 seperti pasal 27 dan pasal 33 Bab XIV Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial dalam amandemen. Hal itu
318
Abul A’la al-Maududi, Capitalism, Socialism and Islam (Kuwait: Islamic Book Publisher, 1977), 28-29, 62-63. 319 Fazlur Rahman menulis,“Tak dapat diragukan lagi bahwasanya tujuan sentral dari Al-
Qur’an adalah untuk membangun sebuah sistem sosial yang berdasarkan atas keadilan dan etika.”
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980), 37. 320 Muhammad Al-Muba>rak, Niz}am > Al-Isla>m Al-Iqtis}a>di, Maba>di’ wa Qawa>‘id ‘A<mmah (Beirut: Da>r Al-Fikr, 1972), 72-74 321 Babilli menegaskan bahwasanya infak akan meningkatkan aktivitas bisnis, mengurangi pinjaman-pinjaman berbau riba, dan akan menghapuskannya, manakala infak itu dilakukan dengan cara-cara yang terorganisir dengan baik. Mahmud Muhammad Babili, Al-Ma>l fi> al-Isla>m (Beirut: Da>r al-Kita>b al-Lubna>ni, tt.), 29-30.
99
dijabarkan dalam beberapa Kebijakan pemerintah seperti UU No 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Ada beberapa alat ukur ketimpangan pendapatan yang terjadi dalam suatu komunitas atau masyarakat suatu negara. Di Amerika Serikat digunakan cara dengan mengelompokkan lima kelompok household, dan diurut dari yang terendah hingga yang tertinggi. Dengan melakukan perhitungan bagian pendapatan masing-masing kelompok antara persentase yang diterima ditambah dengan distribusi aktual pada kelompok yang lebih rendah maka akan ditemukan jumlah distribusi aktual untuk empat kelompok yang lebih tinggi.322 Pemerataan pendapatan antar penduduk atau rumah tangga mengandung dua segi. Pertama adalah meningkatkan tingkat hidup masyarakat yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Kedua adalah pemerataan pendapatan secara menyeluruh, dalam arti mempersempit berbedanya tingkat pendapatan antar rumah tangga. Para ahli ekonomi pada umumnya membedakan antara dua ukuran utama dari distribusi pendapatan baik untuk tujuan analisis maupun kuantitatif yaitu: 1. Distribusi Pendapatan Perseorangan Distribusi Pendapatan perseorangan memberikan gambaran tentang distribusi pendapatan yang diterima oleh individu/perorangan termasuk pula rumah tangga. Dalam konsep ini, yang diperhatikan adalah seberapa banyak pendapatan yang diterima oleh seseorang, tidak dipersoalkan cara yang dilakukan oleh individu/rumah tangga untuk memperoleh pendapatannya, banyaknya anggota rumah tangga yang mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga serta apakah penghasilan tersebut berasal dari bekerja atau sumber lainnya seperti bunga, hadiah, keuntungan maupun warisan. Demikian pula tempat dan sektor sumber pendapatan pun turut diabaikan. 2. Distribusi Pendapatan Fungsional
322
Lihat Paul A. Samuelson dan William D. Nordhaus, Microeconomics, (New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. 1992), 342-343. Dan lihat pula alat ukur lainnya pada lampiran.
100
Distribusi Pendapatan Fungsional mencoba menerangkan bagian dari pendapatan yang diterima oleh tiap faktor produksi. Faktor-faktor produksi tersebut terdiri dari tanah (SDA), tenaga kerja, dan modal. Pendapatan didistribusikan sesuai dengan fungsinya, seperti buruh menerima upah, pemilik tanah menerima sewa, dan pemilik modal menerima bunga serta laba. Jadi setiap faktor produksi memperoleh imbalan sesuai dengan distribusinya pada produksi nasional, tidak lebih dan tidak kurang.
tha>r dalam Distribusi G. Penerapan Prinsip Ih}sa>n, ‘Iffah dan I 1. Prinsip ih}sa>n Prinsip ih}sa>n dapat ditawarkan untuk menyelamatkan ekonomi dari pandangan yang beredar bahwa teori ekonomi telah masuk dalam tahap krisis, khususnya dalam distribusi kekayaan individu.323 Dalam Al-Qur’an, tidak kurang dari 166 ayat yang membahas tentang ih}sa>n dan implementasinya.324 Ruang lingkup
ih}sa>n tidak hanya menyangkut hubungan dengan Allah, tetapi juga hubungan dengan manusia bahkan makhluk lainnya. Ih}sa>n dalam makna yang luas mencakup segala
323
Hal ini dapat dibaca dengan jelas dalam beberapa literatur, antara lain: Daniel Bell and Irving Kristol (ed). The Crisis in Economic Theory (New York: Basic Books, Inc., Publishers, 1981). Selain itu juga bisa dilihat pada karya Mahbub Ul Haq, The Poverty Curtain: Choices for the Third World, (New York, U.S.A: Columbia University Press, 1976), Gunnar Myrdal, “Institutional Economics,” Journal of Economic Issues, XIII, 4, (Desember 1978): 771-783 dan Hla Mynt, “Economic Theory and the Underdeveloped Countries” Jurnal of Political Economic, LXXXIII, 5: (Oktober 1965): 477-491. 324 Lihat umpamanya, beberapa ayat berikut, “Dan berbuat baiklah kalian, karena sesungguhnya Alla>h mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Baqarah: 195), “Sesungguhnya Alla>h memerintahkanmu untuk berbuat adil dan kebaikan….” (Al-Nahl: 90). “Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri…” (Al-Isra>’: 7) “Dan berbuat baiklah (kepada oraang lain) seperti halnya Alla>h berbuat baik terhadapmu….” (Al-Qas}as}: 77). Ibnu Kathi>r mengomentari ayat di atas dengan mengatakan bahwa kebaikan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kebaikan kepada seluruh makhluk Alla>h. Lihat Ibnu Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n Al-‘Azhi>m, jld. iv, 168.
101
kebaikan kepada seluruh makhluk yang ada.325 Konsep ih}sa>n lebih menekankan pada kualitas karya, tetapi tidak melupakan kuantitasnya.326 Dalam aplikasinya ih}sa>n meliputi tiga aspek yang fundamental yaitu; ibadah, muamalah, dan akhlak. Ih}sa>n dalam ibadah mah}da} h teraplikasi dengan penunaian ibadah secara benar dengan menyempurnakan syarat, rukun, sunnah, dan adabnya dan ditunaikan dengan kesadaran tentang pengawasan dan perhatian Allah terhadap pelakunya.327 Ih}sa>n dalam ibadah mah}da} h ini berpengaruh secara langsung dan tidak langsung terhadap sikap ih}sa>n dalam bermuamalah dan berakhlak, karena keduanya merupakan bagian dari ibadah secara umum. Sikap ih}sa>n dalam muamalah adalah mekanisme filter dan pengelola pemuasan keinginan yang tak terbatas, yang menyebabkan pendapatan dan kekayaan tidak terdistribusi secara merata.328 Dalam mengaplikasikan ih}sa>n
pada bidang
muamalah, sikap adil menjadi landasan operasionalnya dan tanpa sikap adil, ih}sa>n tidak memiliki standar yang jelas.329 Sikap ih}sa>n merupakan perlakuan yang melebihi standar keadilan dan nilai tambah dari kewajiban bersikap adil.330 Dalam teorinya sikap adil adalah membalas kebaikan dengan kebaikan yang sama, dan membalas keburukan dengan keburukan yang sama. Sedangkan ih}sa>n adalah 325
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Alla>h telah mewajibkan kebaikan pada segala sesuatu, maka jika kamu membunuh, bunuhlah dengan baik, dan jika kamu menyembelih, sembelihlah dengan baik.” Abu> al-H}usayn Muslim ibn H}ajja>j Al-Qushayriy, S}ah}i>h} Muslim, Ba>b, al-amr bi Ihsa>n al-Dhabh} … no. 3615 326 Lihat al-Qur’a>n su>rah al-Mulk: 2. Dan lihat Ibnu Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n Al-‘Azhi>m, jld. iv, 178.
327
Berkenaan dengan hal ini Rasulullah saw bersabda, “Hendaklah kamu menyembah Alla>h seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” Lihat Abu> al-H}usayn Muslim ibn H}ajja>j Al-Qushayriy, S}ah}i>h} Muslim, Tah}qi>q Muh}ammad Fu’a>d ‘Abd al-Ba>qi. (Riya>d,} Saudi Arabia: Da>r ‘A>lam al-Kutub, 1996), jld. i, 28 328 Lihat beberapa dampak dari tidak adanya filter dan mekanisme pemuasaan keinginan terhadap kekayaan dalam sistem Kapitalisme sehingga melahirkan sistem Negara Sejahtera dalam Norman Furniss dan Timothy Tilton, The Case of Welfare State: From Social Security to Social Equality (Bloomington, Indiana: International Union Press, 1977), 42-49. 329 Lihat al-Qur’a>n, su>rah Al-Nahl : 90, “Sesungguhnya Alla>h menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebaikan,...”. Dalam praktiknya sikap ih}sa>n merupakan nilai tambah dari sikap adil dan untuk mengantisipasi kekurangan di dalamnya, seperti melebihkan pengeluaran zakat dari jumlah yang wajib, untuk mengantisipasi kesalahan dalam hitungan persentase atau sebab lain. 330 Lihat al-Qur’a>n, su>rah al-Baqarah: 237.
102
memperlakukan dan membalas kebaikan dengan kebaikan yang lebih baik, dan memperlakukan keburukan dengan memaafkannya atau membalas dengan keburukan yang lebih kecil.331 Dalam al-Qur’a>n, terdapat perintah ih}sa>n yang ditujukan secara khusus kepada orang-orang kaya seperti Qarun,332 karena kekayaan menumpuk pada mereka. Perintah itu lebih ditegaskan lagi dalam hadith agar setiap orang memanfaatkan masa dan kondisi kayanya untuk kebaikan yang maksimal bagi sesamanya sebelum mengalami masa dan kondisi miskin.333 Tangan yang mengucurkan bantuan jauh lebih baik daripada tangan yang menerima kucuran bantuan. Prinsip ih}sa>n melawan paham Liberalisme yang mempetieskan prinsip tentang public goods dan solidaritas sosial dan menggantinya dengan tanggung jawab individual.334 Prinsip ih}sa>n menawarkan usaha-usaha untuk
meminimalkan munculnya
berbagai kelompok dan strata masyarakat di hampir seluruh belahan dunia, dengan perbedaan dan jurang pemisah yang mencolok, kurang harmonis, lemah rasa empati dan jarang memiliki ikatan sosial yang kuat.335 Prinsip ih}sa>n menyamakan peran dan tugas memenuhi kebutuhan orang yang kekurangan dan tidak memiliki penghasilan 331
Dengan demikian dalam praktiknya ih}sa>n adalah memberi lebih banyak daripada kewajiban yang seharusnya ditunaikan dan mengambil lebih sedikit daripada hak yang seharusnya diterima, seperti melebihkan pembayarkan zakat dari persentase wajib dua setengah persen (2.5%) dan tidak mengambil upah dari amanah mengelola harta anak yatim atau mengambil upah kurang dari hak yang seharusnya. 332 Dalam al-Qur’a>n disebutkan, “… dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Alla>h telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Alla>h tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” Lihat al-Qur’a>n, su>rah Al-Qas}as}: 77. 333 Abu> Abdilla>h Muh}ammad bin Abdilla>h al-Ha>kim al-Naysa>bu>riy, Al-Mustadrak ‘Ala> AlS}ah}i>ha} yn Fi> Al-H}adi>th (Beirut: Da>r al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1418 H), jld. iv, 306 dan lihat pula Ah}mad ibn ‘Ali ibn H{ajar Al-‘Asqala>niy, Fath}} al-Ba>ri> Sharh} S}ah}ih> } al-Bukha>riy (Beirut: al-Mat}ba‘ah alKhairiyyah tt.) jld. xi , 235 334 Kebangkitan liberalisme ekonomi ini pada intinya memperjuangkan leissez faire, yakni paham yang mempertahankan hak-hak atas pemilikan dan kebebasan individual, dan lebih percaya kepada pasar daripada metode regulasi negara untuk menyelesaikan masalah sosial. Lihat Mansour Fakih, Bebas dari Neoliberalisme (Yogyakarta: Insist Press, 2003), 54-58. 335 Lihat Lawrence Crocker, “Equality, Solidarity, and Rawls' Maximin,” in Philosophy and Public Affairs (1977): 262-266.
103
tetap, mengurusi segala keperluan dan bekerja untuk kebaikan mereka seperti peran dan tugas pejuang di jalan Allah, orang yang mendirikan shalat tanpa henti dan puasa tanpa berbuka.336 Prinsip ih}sa>n memperlakukan pekerja dan pelayan seperti saudara sendiri, yang berhak untuk mendapatkan kehidupan yang layak dan terpenuhi segala kebutuhan pokok yang telah terpenuhi pada pengguna jasanya dan menanggung beban dan memberikan keringanan dan bantuan dalam kerjanya.337 Sikap ih}sa>n meniscayakan orang untuk mengurus tidak hanya kepentingan pribadinya.338 Orang kaya harus peduli terhadap sesama dengan menyisihkan sebagian kekayaannya untuk menyantuni dan memberdayakan orang lain.339 Umar ibn Khat}ta} >b mencela Muh}ammad ibn Maslamah ketika ia menghalangi al-D}ah}ha} k> ibn Khali>fah menggali saluran air yang mengalir ke tanahnya yang melewati tanah Muh}ammad ibn Maslamah.340 Setiap orang seyogyanya memberikan manfaat, dan bila tidak maka menghindarkan sesuatu yang membahayakan orang lain adalah manfaat.341
336
Lihat al-Bukha>riy, S}ah}i>h} al-Bukha>riy, ba>b, Fad}l al-Nafaqah ‘ala> al-ahl, no. 4932 Lihat al-Bukha>riy, S}ah}i>h} al-Bukha>riy, ba>b, qawl al-nabiy, al-‘abi>d ikhwa>nukum, no. 2359. Dalam hadith disebutkan, seorang pekerja atau pembantu seyogyanya memakan makanan yang dimakan oleh pemakai jasanya atau majikannya. Demikian pula dalam berpakaian. Hadith tersebut adalah; 337
338
D% 0%F D% 0%<7%5 $ ^ % >%R ! D% 0 5G (% [ % > ! < 4% 8 > % H ! < 4% < \ % A ! ] N ( A% 0%3O $ P < Maka Rasulullah bersabda,
H 5 A% 3O _ 5 ! $ O ` \7T P
“Barangsiapa yang bisa memberi manfaat kepada saudaranya, maka hendaklah ia melakukannya.” Muslim, S}ah}i>h} Muslim, kita>b Fad}a‘> il, bab ke-28, no. 132/2473. 339 Setiap orang memiliki hak yang sama atas kesempatan untuk memperoleh kenikmatan, sehingga sikap ih}sa>n diperlukan agar dapat merealisasikan pemerataan kekayaan secara luas. Lihat Rodney Shakespeare and Peter Callen, “Seven Steps to Justice,” dalam Stable and Just Global Monetary System, ed. Ahmed Kameel Mydin Meera (Kuala Lumpur: Research Centre IIU, 2002), 210. 340 Umar berkata, “Kenapa engkau menghalangi sesuatu yang berguna untuk saudaramu, dan
ia menjadi manfaat untukmu, engkau menyiram dengannya yang pertama dan terakhir, dan ia tidak membahayakanmu…” Lihat Ma>lik ibn Anas ibn Ma>lik ibn Abi> ‘A>mir, Al-As}buh}iy, Al-Muwat}t}a’
(Kairo: ‘I<sa> al-Ba>bi al-Halabiy, tt.) kita>b al-Aqd}iyah, ba>b ke-26, hadith ke 33. 341 Dan di antara wasiat Rasulullah saw kepada Abu> Barzah ketika ia berkata kepada beliau,
“Wahai Rasululah, ajarkanlah kepadaku sesuatu yang dengannya Alla>h memberi manfaat kepadaku,” Beliau bersabda,
104
Perumpamaan muslim yang bermanfaat adalah seperti bumi yang subur, yang menerima hujan lalu menumbuhkan tanaman.342 Seorang muslim yang bersemangat adalah bumi subur yang menyerap kebaikan dan menyumbangkannya. Memberikan manfaat kepada kaum kerabat lebih wajib dan lebih banyak pahalanya.343 Seorang muslim harus berperan aktif dalam mengurangi dampak dari ketimpangan pendapatan yang semakin tinggi dan jumlah rakyat miskin yang semakin bertambah.344 Ungkapan John Naisbitt yang sangat menyedihkan adalah semakin besar dunia ekonomi, semakin sedikit jumlah pemainnya.345 Prinsip ih}sa>n menawarkan pintu-pintu kebaikan yang sangat banyak.346 Berkorban dengan jiwa dan harta adalah tingkatan ih}sa>n yang tertinggi.347 Orang
!& a P F % Q 7F b ?cd %! & e ,
“Lihatlah sesuatu yang menyakiti manusia, maka singkirkanlah dari jalan mereka.” Lihat Ah}mad ibn H}anbal Al-Shayba>ni, Al-Musnad (Bait al-Afa>k, 1419 H) jld. iv, 423. 342 Rasulullah saw. bersabda,
... F 4 B _ 5 , 4 B g f h B
“Maka itulah perumpamaan orang paham terhadap agama Alla>h
dan Alla>h memberi manfaat kepadanya dengan ajaran yang Dia mengutusku dengannya, mengambil manfaat dengannya, mengetahui dan mengajarkan (kepada orang lain)…”. al-Bukha>riy, S}ah}i>h} al-Bukha>riy, kita>b al-‘Ilm, ba>b ke-20, no. 79 dan lihat pula Ah}mad ibn ‘Ali ibn Hajar Al-‘Asqala>niy, Fath} al-Ba>ri> Sharh} S}ah}i>h} alBukha>riy (Beirut: al-Mat}ba‘ah al-Khairiyyah tt.) jld. i ,175. 343 Abu> Qila>bah berkata, “Laki-laki manakah yang lebih besar pahalanya daripada seseorang yang memberi nafkah keluarganya yang kecil, membuat mereka bersikap ‘iffah atau Alla>h memberi manfaat kepada mereka dengannya, Alla>h menolong mereka dengan (perantaraan)nya dan Dia mencukupkan mereka.” Muslim, S}ah}i>h} Muslim,. kita>b zakat, ba>b ke-12, hadith 38/994 dan lihat pula, Yah}ya> ibn Zakariyya> ibn Sharaf Al-Nawa>wiy, Al-Minha>j Sharh} S}ah}i>h} Muslim ibn al-H}ajja>j (Kairo:
Da>r al-Ma‘rifah, tt.) jld. iv, 85. 344 Hal ini menjadi isu yang dikaji dalam beberapa bahasan para ahli ekonomi diantaranya dapat dilihat pada buku Michael P. Todaro, Economic Development in the Third World (New York: Longman Inc, 1989). 345 The major new trends in global economics, politics, and social life all point toward a "global paradox," according to John Naisbitt — "the bigger the world economy, the more powerful its smallest players." Lihat kajian lengkapnya dalam John Naisbitt, Global Paradox (London: William Morrow & Co., 1994). 346 Rasulullah menggabungkannya dengan sabdanya:
j. # S k 8 % HG EF
"Setiap muslim harus bersedekah…"
Dan beliau membuat beberapa contoh menurut kadar kemampuan seseorang: in0% < j N c P% % ...l % m 7! 4% 8 5 , _% 5
105
4 ! B H <
yang mendistribusikan kekayaan dan manfaat kepada manusia lewat pengorbanan jiwa dan hartanya untuk kesejahteraan sesama.348 Praktik ih}sa>n menekankan maksimalisasi manfaat bagi diri sendiri atau orang lain dan meminimalkan penggunaan yang tidak rasional dan sia-sia.349 Seorang muslim tidak boleh membiarkan tanah tanpa diurus atau ditanami, dan bila dia tidak mampu hendaknya diserahkan kepada orang yang mampu mengurus tanah itu dan mengambil manfaat dengannya.350
“Maka ia bekerja dengan kedua belah tangannya, memberi manfaat kepada dirinya dan bersedekah…menolong orang yang sangat membutuhkan…” dan jika seorang mukmin tidak melakukan sedikitpun dari hal itu:
j. # S 4% 4% , ^ &o '
P F C 8 i < %
“Maka hendaklah ia menahan diri dari berbuat kejahatan, maka hal itu menjadi sedekah baginya.” Lihat al-Bukha>riy, S}ah}ih> } al-Bukha>riy, kita>b al-Adab, ba>b ke-33, no. 6022 dan lihat pula Ah}mad ibn ‘Ali ibn H{ajar Al-‘Asqala>niy, Fath}} al-Ba>ri> Sharh} S}ah}i>h} al-Bukha>riy (Beirut: al-Mat}ba‘ah alKhairiyyah tt.), jld. X, 447 347 Seorang Arab Baduwi bertanya: “Wahai Rasulullah, manusia apakah yang terbaik?” Beliau menjawab:
A &o K P b ` % ! 4% B % >% ! p o' P q k K E H. % 4 4 8 i 5 B D H. %
“Seseorang yang berjihad dengan jiwa dan hartanya dan seseorang yang tinggal di salah satu lembah, menyembah Rabb-nya, dan membebaskan manusia dari kejahatannya.” al-Bukha>riy, S}ah}i>h} alBukha>riy, kita>b al-Riqa>q, ba>b ke-34, hadith no. 6494 dan lihat pula Ah}mad ibn ‘Ali ibn H{ajar Al‘Asqala>niy, Fath}} al-Ba>ri> Sharh} S}ah}i>h} al-Bukha>riy (Beirut: al-Mat}ba‘ah al-Khairiyyah, tt.), jld. xi, 330.
348
Dalam hal itu, Rasulullah bersabda:
. t8 i % P F u v 7! 8 iN % P H > r1 O 4 _ 5 ! O r1 O 4 & 2 % ! $ O ` \7T s < N % js O P "tK P < ...
“Barangsiapa yang mengemban suatu urusan umat Muhammad, sehingga bisa jadi dalam melaksanakannya ia mampu memberi mudharat kepada seseorang, atau memberi manfaat kepada seseorang, maka hendaklah ia menerima dari orang yang baik dan memaafkan dari perlakuan jahat dari mereka.” al-Bukha>riy, S}ah}ih> } al-Bukha>riy, kita>b al-Jum’ah, ba>b ke-29, hadith no. 927 lihat pula Ah}mad ibn ‘Ali ibn H{ajar Al-‘Asqala>niy, Fath} al-Ba>ri> Sharh} S}ah}i>h} al-Bukha>riy (Beirut: al-Mat}ba‘ah al-Khairiyyah tt.) jld., ii, 404. 349 Salah satu fenomena yang mengancam ekosistem dan kelangsungan hidup manusia adalah persoalan penggunaan sumberdaya alam yang tak dapat diperbaharui (non-renewable resources) secara irasional sehingga mengancam lingkungan dan peradaban manusia. Lihat Haider Rizvi, “Hungry in a Wealthy Nation,” Global Policy Forum,, Inter Press Service,, USA (March 26, 2003): 23. 350 Berkaitan dengan hal itu, Rasulullah bersabda:
A% 3O F Q % F Q ! $ ^ F Q 9 O 4% $ P “Barangsiapa yang mempunyai tanah, hendaklah ia menanaminya. Apabila ia tidak bisa menanaminya, maka hendaklah ia meminta saudaranya untuk menanaminya.” Lihat Muslim, S}ah}i>h}
106
Setiap orang harus menghindarkan kekayaannya dari kondisi terpendam dan tidak bermanfaat, kemudian mengelola dan memanfaatkannya untuk kesejahteraan orang lain.351 Hal ini harus digalakkan oleh pemerintah karena salah satu tugas pokoknya adalah memaksimalkan segala usaha agar masyarakat dapat memperoleh manfaat dan kesejahteraan, seperti lewat beberapa program strategis diantaranya, program redistribusi lahan pertanian dan asset produktif liannya.352 Orang yang selalu memberikan manfaat laksana pohon kurma karena selalu hijau dan bisa memberikan manfaat dengan semua yang ada padanya.353 Sikap ih}sa>n memberikan manfaat kepada manusia karena mengharap ridha Allah tanpa tendensi lainnya, dan melepaskan diri dari asumsi dasar ekonomi neo-klasikal yang berdasar
self-interest dan telah membentuk perilaku ekonomi yang semakin jauh dari hakikat ilmu ekonomi sebagai a moral science. Dari asumsi itu telah terjadi self-fulfilling
prophesy yang menciptakan mindset ekonomi dan membentuk para pelaku ekonomi benar-benar menjadi homo-economicus, meninggalkan moralitasnya sebagai homo-
ethicus. 354
Muslim, kita>b al-Buyu>‘, ba>b ke-17, hadith no. 88 dan lihat pula Yah}ya> ibn Zakariyya> ibn Sharaf AlNawa>wiy, Al-Minha>j Sharh} S}ah}i>h} Muslim ibn al-H}ajja>j (Kairo: Da>r al-Ma‘rifah, tt.), jld. V, 454 351
Sungguh beruntung orang yang dijadikan Allah sebagai kunci kebaikan dan menjadi penutup keburukan. Rasulullah saw. bersabda,
4 ! B &o '
w ( 5 g f H P < H. ! 4 ! B & 6 w ( 5 g f H P < EB0 \
“Maka beruntunglah bagi orang yang dijadikan Alla>h sebagai kunci-kunci kebaikan lewat kedua tangannya, dan celaka bagi orang yang Alla>h menjadikan kunci-kunci kejahatan lewat dua tangannya.” Ibnu Ma>jah, Sunan, kita>b al-Muqaddimah, ba>b ke-19, hadith no 193/237. 352 Ini sejalan dengan pendapat J. Cullis and P. Jones, dalam Public Finance and Public Choice Analitical Perspectives (London: Mc Graw-Hill Book Co., 1992), 13-17. 353
Beliau bersabda:
P d <% H h B _% 5 7%! /" & v K % F xyx o,+ “Sesungguhnya aku mengetahui pohon yang diambil manfaat dengannya seperti seorang mukmin.” Musnad Ahmad 2/115, seperti dalam riwayat al-Bukha>riy, S}ah}ih> } al-Bukha>riy, kita>b ilmu, ba>b ke-5, no 62. lihat pula Ah}mad ibn ‘Ali ibn Hajar Al-‘Asqala>ni, Fath}} al-Ba>ri> Sharh} S}ah}i>h} al-Bukha>riy (Beirut: al-Mat}ba‘ah al-Khairiyyah, tt.), jld. i, 147. 354 Lihat pembahasan lebih lanjut tentang masalah ini dalam Amartya Sen, "On Weights and Measures: Informational Constraints in Social Welfare Analysis," Econometrica, 45 (October 1977), and "Informational Analysis of Moral Principles," in Rational Action, Ross Harrison, ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1979).
107
Dalam sejarah Islam dan praktik ekonomi Abu> Bakar ditegur keras ketika ia bersumpah tidak akan memberi manfaat dan nafkah kepada Mist}ah ibn Utha>thah karena ikut serta dalam menyebarkan berita bohong dan tuduhan keji terhadap ‘Aishah putrinya.355 Dalam Islam manusia yang paling bermanfaat adalah manusia yang terbaik.356 Dengan demikian konsep ih}sa>n mendorong setiap orang untuk berlomba dalam mempersembahkan manfaat terbaik dan terbanyak. 2. Prinsip ‘Iffah Sikap ‘iffah membuat seseorang meninggalkan banyak hal yang dibolehkan, apalagi yang samar-samar dan tidak jelas kehalalannya. Di antara tanda yang mendasarnya adalah kehati-hatian yang sangat ketat dari sesuatu yang haram dan menghindari syubhat yang bisa menjebak kepada yang haram.357 Sikap ini dapat ditawarkan untuk melengkapi studi yang tidak secara jelas disebutkan oleh John Rawls tentang peran individu dan apa yang mendorongnya untuk tidak mengambil yang bukan haknya dan mau berbagi kesejahteraan dengan sesama.358 Menurut al-Qubbariy dan Ibnu H{ajar perkara yang makruh adalah dinding penghalang di antara hamba dengan sesuatu yang haram. Orang yang banyak melakukan perkara makruh berarti ia menuju kepada yang haram. Dan perkara yang mubah merupakan dinding pemisah di antara seorang hamba dengan yang dimakruhkan, maka orang yang terlalu banyak mengkonsumsi perkara mubah 355 356
b % % 5 ,O b &% 3 “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain.” Lihat al-Alba>ni, S}ah}i>h} al-Ja>mi‘, no. 3289 357 Dan dalam hal itu, Rasulullah bersabda: .4 } & F 4 ! O& >7T M >%' - E( P < |b P &9 h P % <% !{ M 9 >7' % 9 0 % O <% B P9 oB Y &N $ + P9 oB U z N $ +
“Sesungguhnya yang halal dan yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya banyak hal-hal syubhat yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang menjaga diri dari hal-hal yang syubhat maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya.” Lihat al-Bukha>riy, S}ah}ih> } alBukha>riy, kita>b al-i>man, no. 52, dan Muslim, S}ah}i>h} Muslim, kita>b al-Musa>qah, no. 1599 dan 107. 358
Rawls berargumen bahwa bila terjadi ketidakadilan maka kaum yang tertinggallah yang harus diuntungkan olehnya. Lihat John Rawls, A Theory of Justice (Harvard, MA: Harvard University Press, 1971), 69-80.
108
niscaya ia menuju kepada yang makruh.359 Sementara menurut al-Khat}ta} biy360 semua yang meragukan harus dijauhi.361 Rasulullah Saw. berpesan bahwa orang yang bersikap ‘iffah, telah memelihara agama dan kehormatannya dari celaan.362 Sikap ‘iffah mencegah dari kerakusan terhadap bagian orang lain dalam kekayaan, yang menyebabkan ketimpangan pendapatan semakin meningkat dan akses kepada sumber-sumber penghidupan di dunia semakin tidak adil dan tidak terkendali.363 Ia membantu terciptanya keseimbangan dan meminimalkan efek negatif pada tataran ekonomi individu -yang karena pertumbuhan ekonomi tinggibiasanya terjadi penurunan dalam distribusi pendapatan atau kenaikan dalam ketimpangan relatif.364 Sifat tamak berakibat kepada pengejaran kesenangan dan kekayaan tanpa henti dan tidak berujung. Orang yang tamak laksana orang yang makan dan tidak pernah kenyang. Padahal kebutuhan setiap orang adalah terbatas, sehingga tidak perlu sifat tamak.365 359
Ah}mad ibn ‘Ali ibn H{ajar Al-‘Asqala>niy, Fath} al-Ba>ri> Sharh} S}ah}ih> } al-Bukha>riy (Beirut: alMat}ba‘ah al-Khairiyyah, tt.) jld. i, 127, penjelasan hadith no. 52. dari kita>b al-i>man, ba>b ke-39. 360 Ah}mad ibn ‘Ali ibn H{ajar Al-‘Asqala>niy, Fath} al-Ba>ri> Sharh} S}ah}ih> } al-Bukha>riy (Beirut: alMat}ba‘ah al-Khairiyyah, tt.), jld. iv, 293, dari sharah} ba>b ke-3, dari kita>b Buyu>‘. 361 sebagaimana pesan Rasulullah untuk meninggalkan sesuatu yang meragukan dan memilih sesuatu yang meyakinkan dan tidak meragukan.al-Bukha>riy, S}ah}i>h} al-Bukha>riy, kita>b, al-i>man, ba>b, tafsi>r al-Mushabbiha>t. Tanpa no. hadith. 362 Rasulullah saw. bersabda,
4 } & F 4 ! O& >7T M >%' - E( P < “…Maka barangsiapa yang menahan diri dari yang syubhat, niscaya ia telah membersihkan agama dan kehormatannya...” Light al-Bukha>riy, S}ah}i>h} al-Bukha>riy, kita>b al-i>man, ba>b ke-39, hadith no. 52. Menurut Ibnu H{ajar dalam hadith tersebut tersirat makna bahwa orang yang tidak menjaga diri dari yang syubhat dalam usaha dan kehidupannya, berarti ia telah menawarkan dirinya untuk mendapat celaan. Lihat Ah}mad ibn ‘Ali ibn H{ajar Al-‘Asqala>niy, Fath} al-Ba>ri> Sharh} S}ah}i>h} al-Bukha>riy (Beirut: al-Mat}ba‘ah al-Khairiyyah, tt.), jld. i, 127. 363 Lihat John Madeley, Hungry for Trade (London: Zed Books 2000), 26. 364 Lihat Lihat John Arthur and William Shaw, eds. Justice and Economic Distribution (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1991) 365 Rasulullah Saw. bersabda,
{ H ! ?@ |4 4% = >%! [ k 5 , n &K ^B A% @ 3 O P |4 4% = 0 B% [ k 5 , / 68 B D@ 3 O P < |./0 1% /.& 2 3 U ~ @ D $ +... _% >' ! “Sesungguhnya harta ini berwarna hijau serta manis, maka barangsiapa yang mengambilnya dengan
kemurahan jiwa niscaya diberikan berkah baginya pada harta itu. Dan barangsiapa mengambilnya
109
Imam Al-Nawa>wi memberikan alasan terhadap tendensi tersebut. Ketika manusia melihat kepada orang yang lebih kaya, nafsunya menuntut untuk meraih hal yang sama. Dia selalu berambisi untuk menambahkan kekayaannya, agar melampau kekayaan orang lain atau mendekatinya.366 Sifat tamak yang berlebihan berdampak buruk terhadap pemerataan kekayaan dan inefisiensi yang meliputi struktur pasar yang tidak sempurna (seperti monopoli, monopsoni, oligopoli, oligopsoni, dan persaingan monopolistik).367 Ketergantungan hati yang berlebihan terhadap perhiasan dunia dan memperbanyak harta menjadikan manusia sebagai budak harta.368 Bila
monopoli,
monopsoni,
oligopoli,
oligopsoni,
dan
persaingan
monopolistik terjadi diperlukan campur tangan pemerintah secara langsung untuk mengurangi inefisiensi, hambatan kebebasan usaha dan ketimpangan pendapatan.369 Sifat tamak tersebut harus dilawan dengan sifat qana>‘ah, kerelaan berbagi, bekerja dengan semangat berlomba dalam kebaikan dan sehat. Sifat Qana>‘ah menjadi cacat bila iman terhadap takdir tidak kokoh dan kuat, karena ia merupakan gambaran syukur dan ridha yang tertinggi kepada Allah. dengan nafsu serakah niscaya tidak diberikan berkah baginya pada harta itu, seperti orang yang makan dan tidak pernah kenyang…” Lihat al-Bukha>riy, S}ah}ih> } al-Bukha>riy, kita>b al-Zaka>h, ba>b ke-50, no. 1472.
366
Yah}ya> ibn Zakariyya> ibn Sharaf Al-Nawa>wiy, Al-Minha>j Sharh} S}ah}i>h} Muslim ibn alH}ajja>j. (Kairo, Da>r al-Ma‘rifah, tt.) jld. iv, 293, penjelasan Kita>b al-Zuhd dan al-Raqa>’iq,} hadith no. 2963.
367
Hadith menyiratkan hal tersebut dalam sabda Rasul:
4 ! n & '
U < EF Ji & < & 1 P 8 B k E z T O $ Z $ >Zc
"Tidak ada dua ekor srigala yang dilepas pada kambing lebih merusak baginya terhadap agamanya daripada sifat tamak seseorang terhadap harta dan kemuliaan." al-Tirmidhi, Sunan, kita>b al-Zuhd, ba>b ke-30, no.1935/2495. 368 Sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda,
...[ 7, [ ( |6 T %! $ + } \ F O $ + :j m < 6 % % >F D o % >F !o % >F [ (
"Celaka budak dinar dan budak dirham serta budak khumaishah: jika diberi, ia senang, jika tidak diberi, ia marah, celaka dan jatuh terjungkir." al-Bukha>riy, S}ah}i>h} al-Bukha>riy, kita>b al-Jiha>d, ba>b ke70, no. 2887. 369 Lihat Mahbub Ul Haq, The Poverty Curtain: Choices for the Third World (New York, USA.: Columbia University Press, 1976) dan Weisskoff, Richard and Edward N. Wolff, “The Structure of Income Inequality,” Journal of Development Economics 9, North Holland Publishing Company (1981): 205-228.
110
Sikap ‘iffah
dan sifat qana>‘ah tertanam dalam jiwa seseorang dengan
muja>hadah (melawan) hawa nafsu dan dengan taufik Allah.370 Seorang sahabat yang bernama H{aki>m ibn H{iza>m menolak mengambil haknya dari harta fay’ –sekalipun Khalifah Umar beberapa kali menawarkan hal itu kepadanya-. Ibnu H{ajar al‘Asqalani menyebutkan alasan penolakannya, yaitu khawatir menerima sesuatu dari seseorang, lalu terbiasa mengambilnya, hingga jiwanya terbiasa menerima pemberian. Sebelum hal itu terjadi dia segera menyapih jiwanya dari segala yang merendahkannya, dan meninggalkan sesuatu yang meragukannya kepada yang tidak meragukannya.371 Studi empiris mengisyaratkan urgensi sikap ‘iffah dan qana>‘ah dimana studi tentang program sistem jaminan social di negara-negara kapitalis maju menunjukkan bahwa penekanan utamanya adalah pada pemberian kompensasi bagi orang-orang yang tidak bekerja dengan memberi pekerjaan yang menguntungkan.372 Sikap ‘iffah, mandiri dan berusaha menahan diri dari meminta walaupun mempunyai keluarga yang ditanggung, merupakan sifat ahli surga,373 sehingga para sahabat melakukan bay‘ah kepada Rasulullah bahwa mereka tidak akan meminta sesuatu kepada manusia. Mereka sangat bersungguh-sungguh menepati bay‘ah mereka terhadap Rasulullah.374 Rasulullah hanya memberikan izin untuk meminta-
370
Rasulullah Saw. bersabda,
g f 4 R %! P R 78 ! P g f 4% 5 %! ; 5 78! P ... “Barangsiapa berusaha ‘iffah (menghindar dari yang tidak terpuji) niscaya Alla>h menjadikannya ‘iffah, dan barangsiapa yang merasa cukup niscaya Alla>h memberikan kecukupan kepadanya.” Lihat al-Bukha>riy, S}ah}i>h} al-Bukha>riy, kita>b al-Zaka>h, ba>b ke-50, no. 2887. 371 Ah}mad ibn ‘Ali ibn H{ajar Al-‘Asqala>niy, Fath} al-Ba>ri> Sharh} S}ah}ih> } al-Bukha>riy (Beirut: alMat}ba‘ah al-Khairiyyah, tt.) jld., iii, 341, penjelasan kita>b al-Zaka>h, ba>b ke-50, hadith no. 1472. 372 Oscar Ornati, Proverty Amid Affluence, A Report on Research Project, The Twentieth Century Fund (New York, 1966): 115-119 373 Muslim, S}ah}i>h} Muslim, kita>b al-Jannah, ba>b ke-16, no.63. 374 Dalam dialog bersama Abu> Dharr, Rasulullah bersabda:
E+ C K & P Y 0 ( $ O _% \ 78 ({ |C K & E+ _% & ( $ O _% \ 78 ( z = v8 ( ( E 71 b q % m %! rF0 % ] ,O ; j 5 B C F :U # . % F O 4% 0 T% g f :] % # :U # = v 8
“Bagaimana engkau, sedangkan rasa lapar menimpa manusia, sehingga engkau datang ke masjidmu,
maka engkau tidak mampu kembali ke tempat tidurmu, dan engkau tidak bisa bangun dari tempat tidurmu ke masjidmu? Ia berkata, “Aku menjawab, ‘Alla>h dan Rasul-Nya lebih mengetahui.’ Beliau
111
minta dalam batasan yang sangat sempit, yaitu hingga mendapatkan kebutuhan pokok atau mencukupi penghidupan. Meminta sesuatu untuk mengayakan diri dan melebihi kebutuhan adalah haram, dan orang yang mengambilnya telah memasukkan sesuatu ke dalam kekayaannya secara haram.375 Imam al-Nawa>wiy menyebutkan kesepakatan ulama atas larangan meminta kecuali terpaksa. Dan kebolehan meminta bagi orang yang masih mampu bekerja, harus memenuhi tiga syarat; tidak merendahkan diri, tidak terus-menerus meminta, dan tidak menyakiti orang yang diminta. Jika salah satu dari syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka hukum meminta adalah haram menurut konsensus ulama.376 Padahal menurut hukum asal, orang boleh mengambil harta yang diberikan kepadanya tanpa menunjukkan keinginan kepadanya atau memintanya.377 Islam menganjurkan setiap orang bekerja agar terpenuhi faktor-faktor kecukupan padanya, sebagaimana dijelaskan dalam hadith nabi, sehingga dapat membangun sikap ‘iffah dalam dirinya.378 Ibnu H{ajar menyebutkan faedah-faedah dalam hadith tersebut yaitu; anjuran untuk menahan diri dari meminta dan
bersabda, “Engkau harus bersifat ‘iffah…” Ibnu Ma>jah, Sunan, kita>b al-Fitan, ba>b ke-10,
no.
3197/3958.
375
Sebagaimana disebutkan dalam hadith:
r7N T% >%1 S ! r7N T% j m ># !– j t8 < P P D% 0T < ...k F P rVT O k F P r0# qm %! E 71 ...
“…Sehingga ia mendapatkan kebutuhan pokok, atau mencukupi penghidupan…maka meminta selain
yang demikian itu –wahai qabishah- adalah haram, orang yang mengambinya memakannya secara haram.” Muslim, S}ah}i>h} Muslim, kita>b al-Zaka>h, ba>b ke-35, no. 1043. 376 Al-Nawa>wiy, Al-Minha>j Sharh} S}ah}i>h} Muslim ibn al-H}ajja>j, jld. iii, 37, penjelasan kita>b al-Zaka>h, ba>b ke-35, no. 1043. 377 Rasulullah bersabda tentang hal itu:
C 8 % 5 , 4% >7(% z { A% @ 6 % Hk Z T{ n s & ' % &% ] ,O – . K U < @D P = Jx c+
“Apabila sedikit dari harta ini datang kepadamu –sedangkan engkau tidak mengharapkan dan tidak meminta- maka ambillah, dan yang tidak (seperti itu), maka janganlah membiarkan nafsumu mengejarnya.” al-Bukha>riy, S}ah}i>h} al-Bukha>riy, kita>b al-Zaka>h, ba>b ke-51, no. 1473. 378
Rasulullah bersabda:
.4% O A% \F O |4% 8 z " % ( ! $ O P 4% &9 3 A & : EF q \ 7N 4% >1 % 1 O @ 3% ! $ yx x A B i85 , ?@
"Demi Alla>h yang diriku berada di tangan-Nya, sungguh salah seorang darimu mengambil talinya,
lalu ia memikul kayu bakar di pundaknya, lebih baik baginya daripada ia datang kepada seseorang, lalu ia meminta kepadanya, (sama saja) dia memberinya atau tidak." al-Bukha>riy, S}ah}ih> } al-Bukha>riy, kita>b al-Zaka>h, ba>b ke-50, no. 1470.
112
menjauhkan diri darinya, walaupun karenanya seseorang harus bersusah payah mencari rizqi. Sikap meminta-minta sangat hina dan kehinaan seseorang bertambah ketika dia meminta sesuatu, namun tidak mendapatkan apa-apa.379 3. Prinsip I tha>r Islam menawarkan pembangunan ekonomi yang egaliter, berbasis konsep
i>tha>r380 dan nilai-nilai ajaran Islam yang mendorong terciptanya keadilan ekonomi. Ekonomi egalitarian merupakan kebijakan, tindakan dan perilaku ekonomi yang memberi kesempatan sama kepada seluruh rakyat untuk memperoleh hak-hak ekonominya, sehingga kekayaan tidak menumpuk pada segelintir atau sekelompok orang. Namun bila ketimpangan pendapatan masih tetap terjadi, maka diperlukan kesadaran individu dalam berkontribusi dengan berbagi kepada orang-orang yang kurang beruntung dan tidak memiliki kompetensi untuk memperoleh kehidupan yang layak, baik secara permanen karena keterbatasan pisik, seperti cacat bawaan sejak lahir, atau mengalami cacat permanen, atau hanya temporer sifatnya, seperti; korban bencana alam, korban PHK, dan lain-lain.381 Prinsip i>tha>r selaras dengan tawaran Choudhury bahwa untuk menciptakan keadilan ekonomi dan kesejahteraan yang luas dan merata diperlukan tiga variable yaitu; awheed and Brotherhood, Work and Productivity dan Distributional Equity.382 Penanaman tauhid dan nilai persaudaraan didasarkan pada sifat kasih sayang kepada sesama. Sifat kasih sayang terhadap sesama merupakan salah satu sifat orang-orang terpilih untuk meneruskan pembangunan dan kemakmuran di bumi. Sifat ini 379
Ah}mad ibn ‘Ali ibn H{ajar Al-‘Asqala>niy, Fath}} al-Ba>ri> Sharh} S}ah}i>h} al-Bukha>riy (alMat}ba’ah al-Khairiyyah, tt.) jld., iii , 336, kita>b al-Zaka>h, ba>b ke-50, Sharh} hadith: 1470. 380 Akar konsep ini dijelaskan al-Qur’a>n dalam beberapa ayat, diantaranya;
“Dalam harta mereka tersedia bagian untuk orang yang meminta-minta dan orang miskin yang tidak bisa meminta. Lihat al-Qur’a>n, su>rah al-Dha>riya>t: 19. Untuk mengkaji lebih dalam tentang ayat-ayat al-Qur’a>n yang berkaitan dengan isu-isu ekonomi, lihat Muhammad Akram Khan,
Economic Message of Quran (Kuwait: Islamic Book Published, 1996). 381
R. Yeo and K. Moore, “Including Disabled People in Poverty Reduction Work; Nothing About Us, Without Us,” World Development, Vol. 31, No.3 (2003): 571-590. 382 Masudul Alam Choudhury, Contributions to Islamic Economic Theory ( New York: St. Martin’s Press, 1986), 7-9.
113
membuat pelaku ekonomi rela berbagi dalam asset produktif.383 Pada landasan teologis penggalan ayat ke-54 dari su>rah al-Ma>’idah,384 ditafsirkan dengan makna santun kepada orang-orang beriman, kasih sayang dan lemah lembut terhadap mereka. Menurut Ibnu ‘Abba>s, sikap mereka terhadap orang-orang beriman seperti seorang ayah terhadap anak.385 Dan penggunaan huruf ja>r ‘ala> dalam ayat tersebut terdapat dua penafsiran, yang kedua-duanya menunjukkan perintah untuk berkasih sayang dan saling menghormati antara sesama mukmin.386 Orang yang beriman adalah mulia,387 dan bersamaan dengan kemuliaan tersebut terdapat perintah berkasih sayang antara sesama mereka,388 khususnya kepada kaum lemah dan fakir miskin. Rasulullah menunjukkan kecintaan kepada kaum lemah dengan berdoa agar selalu bersama mereka.389 Teladan tersebut diikuti oleh khalifah Umar yang mendidik para penjabatnya agar bersifat rendah hati
383
Lihat Norman G. Kurland, ‘The Capital Homestead Act, National Infrastructural Reforms to make every citizen a shareholder,’ Center for Economic and Social Justice (1999). 384 Yaitu penggalan,
d <% EF js c O
Lihat al-Qur’a>n su>rah al-Ma>‘idah, : 54 385 Shams al-Di>n al-Qurt}u>biy, Abu> Abdillah Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Abi> Bakr, ibn Farah} al-Ans}ar> iy al-Khazrajiy, Al-Ja>mi’ li Ahka>m al-Qura>n (Beirut: Da>r al-Fikr, tt.) jld. vi, 220. 386 Menurut satu pendapat, ia mengandung pengertian kasih sayang dan santun, seakan-akan Alla>h swt. berfirman, ‘Bersifat santunlah kepada orang-orang beriman dengan cara merendahkan diri dan tawa>d}u’. Dan menurut pendapat yang lain sesungguhnya (‘Ala> /di atas) menunjukkan tingginya kedudukan mereka, dan sekalipun mereka mulia dan tinggi kedudukannya, mereka tetap tawa>d}u' terhadap orang yang lebih rendah kedudukannya. Lihat Abu> Hayya>n al-Andalu>siy, Tafsi>r al-Bah}r alMuh}it}, jld. iii, 512. 387 Lihat al-Qur’a>n su>rah al-Muna>fiqu>n: 8 388 Abdulla>h al-Laythiy al-Ans}ar> iy, Mukhtas}ar Minha>j al-Qa>s}idi>n (Beirut: Da>r al-Kutub al’Ilmiyyah, 1987), 254. 389 Rasulullah saw. berdo’a:
P 8< / & u% E ,& ' % 1 r 8 7 O r 8 1 O %
“Ya Alla>h, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan giringlah aku (di hari kiamat) dalam golongan orang-orang miskin.” Lihat al-Tirmidhi, Sunan, jld. ii, 275, kita>b al-Zuhd, ba>b ke-23, no. 1917/2471
114
terhadap rakyat.390 Umar selalu berpesan kepada para pejabatnya tentang hal ini ketika mereka ditugaskan ke suatu daerah.391 Sifat kasih sayang menuntun kepada Ukhuwwah Isla>miyyah atau persaudaraan Islam392 yang merupakan prinsip pokok dalam Islam yang mengatur hubungan antara sesama muslim. 393 Ukhuwwah Isla>miyyah merupakan nikmat yang mempersatukan hati-hati manusia dan menjadikan mereka bersaudara.394 Ia terbentuk sebagai hasil usaha manusia yang berpegang teguh kepada tali Allah, menyelaraskan diri dengan Islam dan memperbaiki hubungan antar sesama manusia.395 Ukhuwwah Isla>miyyah menjadikan hidup seorang muslim berlimpah keberkahan termasuk dari kekayaan dan kedudukan saudaranya yang muslim. Puncak dari Ukhuwwah Isla>miyyah adalah i>tha>r, yaitu mengutamakan kepentingan orang lain hingga mengalahkan kepentingan pribadi. Dalam al-Qur’a>n kaum Ans}ar> digambarkan lebih mengutamakan kaum Muha>jiri>n atas diri mereka sendiri, walaupun mereka dalam kondisi sangat memerlukan apa yang diberikan kepada kaum Muha>jiri>n.396 Dalam perekonomian konvensional beberapa kebijakan dirumuskan untuk berbagi dalam asset produktif untuk penyebaran kepemilikan. 397
390
Ahmad ibn Hanbal, Al-Musnad (Bait al-Afa>k, 1419 H) jld. I, 41. Seperti ucapannya, “Rendahkanlah dirimu terhadap kaum muslimin, hati-hatilah terhadap doa kaum muslimin, maka sesungguhnya doa orang-orang yang dianiaya dikabulkan.” Lihat alBukha>riy, S}ah}i>h} al-Bukha>riy, kita>b al-Jiha>d, ba>b ke-180, no. 3059. 392 Alla>h menjelaskan bahwa kaum Ans}ar mencintai kaum Muha>jiri>n dan mengutamakan mereka atas diri mereka sendiri. Lihat al-Qur’a>n su>rah al-H}ashr : 9. 393 “orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah 391
hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Alla>h, supaya kamu mendapat rahmat.” Lihat al-Qur’a>n su>rah al- H}ashr : 10 394 Lihat al-Qur’a>n su>rah A>lu ‘Imra>n : 103 395 Lihat al-Qur’a>n, su>rah al-Anfa>l : 1 396 Lihat al-Qur’a>n, su>rah al-H{ashr : 9 397 Umpamanya dalam Capital Homestead Act di Amerika ada empat bentuk kendaraan untuk menyebar-luaskan kepemilikan aset produktif, yakni: 1. Employee Stock Ownership Plan (Kepemilikan saham oleh karyawan perusahaan) disingkat ESOP. 2. Individual Stock Ownership Plan (Kepemilikan saham oleh tiap warga-negara) disingkat ISOP. 3. Consumer Stock Ownership Plan (Kepemilikan saham oleh konsumen) disingkat CSOP.
115
H. Optimalisasi ptimalisasi Produksi Kekayaan Kemakmuran atau taraf hidup yang semakin meningkat dan terciptanya lapangan kerja baru,398 merupakan dua keberhasilan utama dari sistem-sistem ekonomi kontemporer. Keberhasilan tersebut memotivasi setiap pelaku ekonomi untuk memaksimalkan profit dan meminimalkan biaya produksi serendahrendahnya. Tidak jarang kebijakan ini malah berakibat pada praktik-praktik ketidakadilan terhadap tenaga kerja dan buruh yang merasa profesionalitas dan produktivitasnya tidak dihargai dengan nilai yang wajar. Hal ini menjadi salah satu penghambat optimalisasi produksi. Dorongan terhadap kegiatan-kegiatan produksi dalam ekonomi Islam dikukuhkan dengan menetapkan hukum mencari kekayaan adalah wa>jib ‘ayn.399 Kewajiban ini bersifat individual, yang tidak bisa diwakilkan kepada orang lain. Hukum wajib ini berlaku atas seseorang untuk menunaikan kewajibankewajibannya400 seperti; mencukupi diri sendiri dan keluarga yang menjadi
4.
Community Investment Corporation (Kepemilikan saham oleh masyarakat sekeliling) disingkat CIC. 398 Lihat Michael P. Todaro, Economic Development in The Third World (New York: Longman Inc, 1989), 7 dan M. Umer Chapra, Islam and The Economic Challenge (USA : The Internasional Institute of Islamic Thought (IIIT) 1992), 15. 399 Berkenaan dengan kewajiban ini, Al-Shaiba>ni, berkata, “ukuran yang harus dimiliki oleh
setiap orang adalah harta benda yang dapat menopang hidupnya sendiri. Sedangkan bila seseorang memiliki hutang, maka dia wajib berusaha hingga mampu mengumpulkan harta benda untuk melunasi hutangnya. Demikian pula bila dia memiliki keluarga yang menjadi tanggungannya seperti isteri dan anak-anak, maka wajib pula atas dirinya untuk mencukupi kebutuhan mereka. Dan bila dia juga memiliki orang tua yang sudah berusia lanjut, maka wajib pula atas dirinya untuk mencukupi kebutuhan mereka.” Muh}ammad ibn H{asan Al-Shayba>niy, Al-Iktisa>b fi> al-Rizq al-Mustat}a>b (Kairo, Mesir: Mat}a>bi‘ Al-‘Ufth, tt.), 52-54. 400 Ibnu Taymiyah berpendapat; “mencari kekayaan wajib hukumnya dan berlaku pada
perkara-perkara yang harus dilakukan dalam menunaikan kewajiban-kewajiban. Mencari kekayaan dalam hal ini hukumnya adalah wajib, berdasarkan kaidah; Perkara yang membuat kewajiban tidak sempurna ditunaikan melainkan hanya dengannya, maka hukum perkara tersebut juga wajib.” Lihat Ibnu Taymiyah, Majmu>‘ Al-Fata>wa>, disusun oleh Abdurrahma>n ibn Muh}ammad ibn Qa>sim al‘A<si} miy al-Najdiy (Riya>d,} KSA: Mat}a>bi‘ al-Riya>d,} 1425 H), jld. xx, 144.
116
tanggungannya,401 membayar kewajibannya terhadap hak-hak orang lain, melunasi hutang, membayar ganti rugi dalam perbuatan-perbuatan yang merugikan orang lain dan lain-lain yang dikategorikan sebagai kewajiban.402 Al-Qur’a>n menyebutkan kerja dengan berbagai terminologi. Al-Qur’a>n menyebutnya sebagai ‘amal, terdapat tidak kurang dari 260 mushtaqqa>t (derivatnya). Ia disebut dalam bentuk fi‘l (kata kerja) pada sekitar 99 derivatnya, dengan konotasi pada pekerjaan nyata. Ia disebut dengan kata s}un’, tidak kurang dari 17 derivat, yang penekanan maknanya pada pekerjaan yang menghasilkan keluaran (output) yang bersifat fisik. Ia disebut juga dengan kata taqdi>m, dalam 16 derivatnya, yang mempunyai penekanan makna pada investasi untuk kebahagiaan hari esok. Pekerjaan yang dicintai Allah dan dianjurkan dalam Islam adalah yang berkualitas. Untuk menjelaskannya, Al-Qur’a>n mempergunakan beberapa istilah, diantaranya: ‘amal s}al> ih}, tak kurang dari 77 kali, ‘amal ih}sa>n, lebih dari 20 kali,
‘amal itqa>n, disebut 1 kali, dan al-birr, disebut 6 kali.403 Pengungkapannya kadang dengan bahasa perintah dan kadang dengan bahasa anjuran. Pada sisi lain, al-Qur’a>n juga menjelaskan pekerjaan yang buruk dengan akibatnya yang buruk dalam beberapa istilah yang berbeda, untuk mencegahnya dan berhati-hati dari kejahatannya. Sebagai contoh, al-Qur’a>n menyebutkannya sebagai perbuatan 401
Dalam hadith disebutkan, “tidak ada makanan yang lebih baik yang dimakan oleh seseorang daripada makanan yang dihasilkan oleh tangannya sendiri.” Lihat al-Bukha>riy, S}ah}ih> } alBukha>riy (Riya>d}, KSA: Da>r ‘A>lam al-Kutub, 1996), jld. iv, 303. No. 2072. 402
Ibn al-Musayyib memberikan teladan tentang hal ini, seperti diriwayatkan dari Ibnu Abi> al-Dunya> dari Ibn al-Musayyib bahwa dia meninggalkan warisan dinar yang sangat banyak. Menjelang kematiaannya dia berdoa; “ya Alla>h sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku tidak
mengumpulkan harta benda melainkan untuk menjaga agamaku, menjalin silaturrahimku, menjaga kehormatanku, dan melunasi hutangku. Tidak ada kebaikan pada orang yang tidak mengumpulkan harta benda untuk menjaga kehormatannya, menjalin silaturrahimnya, melunasi hutangnya dan menjaga agamanya.” Jadi Ibn al-Musayyib telah mengumpulkan harta benda untuk kebutuhannya yang merupakan kewajibannya. Bahkan diapun melakukan hal itu untuk menjalin silaturrahimnya dengan harta bendanya tersebut padahal hukumnya sunah dalam syariat. Lihat Ibnu Abi> al-Dunya>, Is}hla>h al-Ma>l, 177. Lihat pula Muh}ammad Shawqiy al-Fanjariy, Nahwa Iqtis}a>diy Isla>miy (Jeddah: Sharikah Maktabat ‘Ukka>z,} 1401/1981), 71-75 403 Jumlah tersebut berdasarkan entry masing-masing kata. Lihat Muh}ammad Fua>d‘Abd AlBa>qi, Al-Mu’jam al-Mufahras li Al-Fa>z} al-Qura>n (Madinah: Jari>dat al-Sha‘b, tt.)
117
setan,404 perbuatan yang sia-sia,405 pekerjaan yang bercampur dengan keburukan,406 dan pekerjaan kamuflase yang nampak baik, tetapi kandungannya buruk.407 Orang tetap dianjurkan bekerja maksimal walaupun dia telah mencapai batas kecukupan dengan tujuan berbuat ih}sa>n kepada orang lain, yaitu; menolong fakir, miskin, anak yatim, janda, orang cacat, usia lanjut dan lain-lain yang kurang mampu atau tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Demikian pula anjuran kerja itu ditetapkan, agar hasilnya dapat dimanfaatkan untuk menjalin silaturrahim seseorang dengan kerabat-kerabatnya yang bukan menjadi tanggungannya.408 Ajaran Islam memuji orang yang mencari kekayaan untuk dialokasikan pada pembangunan sarana-sarana ibadah dan sosial, seperti; masjid, sekolah, rumah sakit, panti asuhan dan lain-lain.409 Alokasi-alokasi infak tersebut sangat penting dalam distirbusi kekayaan untuk merealisasikan kesejahteraan dan memenuhi kebutuhan pokok yang merata dan luas.410 Dalam ekonomi Islam, filosofi bekerja tidak terbatas hanya untuk memenuhi kebutuhan diri, keluarga dan orang-orang yang menjadi tanggungan, namun lebih daripada itu dimaksudkan untuk berbagi dengan orang lain yang pantas menerimannya dan membangun peradaban yang mensejahterakan manusia.411 404
Lihat al-Qur’a>n, su>rah al-Ma>’idah: 90 Lihat al-Qur’a>n, su>rah A>lu ‘Imra>n: 22, al-Furqa>n: 23 406 Lihat al-Qur’a>n, su>rah al-Tawbah:102 407 Lihat al-Qur’a>n, su>rah al-Naml: 4, Fus}s}ilat: 25 408 Rasulullah Saw. bersabda, “barangsiapa yang beriman kepada Alla>h dan hari akhirat, maka hendaklah dia menjalin silaturrahim.” Lihat al-Bukha>riy, S}ah}ih> } al-Bukha>riy, ba>b, Ikra>m al-d}ayf wa Khidmatuhu binafsihi, no. 5673. Silaturrahim hukumnya sunah, maka mencari harta benda untuk dialokasikan guna menjalin silaturrahim hukumnya juga sunah. Imam Al-Shaiba>ni, berkata, “selain 405
kedua orangtua dari keluarga dan kerabat yang merupakan mahram, bukanlah kewajiban seseorang bekerja untuk menafkahi mereka karena mereka tidak berhak mendapatkan nafkah darinya selain karena kedermawanan dan kebaikan saja. Namun seseorang tetap disunahkan berusaha dan bekerja untuk menafkahi kerabatnya karena hal itu merupakan hubungan silaturrahim yang hukumnya sunah dalam syariat.” Lihat Muh}ammad ibn H}asan Al-Shaiba>ni, Al-Iktisa>b fi> al-Rizq al-Mustat}a>b (Kairo,
Mesir: Mat}a>bi' Al-‘Ufth, tt.), jld. i, 54 409 Syariat waqaf berperan penting melestarikan dan mengabadikan sarana-sarana tersebut. 410 Dalam al-Qur’a>n disebutkan, “…Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah
diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan...” Lihat al-Qur’a>n, su>rah Al-Baqarah: 215 411
Rasulullah Saw. bersabda,
118
Seseorang yang melakukan perdagangan, jual-beli dan aktivitas perdagangan lainnya412 sangat terpuji.413 Disamping pujian, terdapat juga perintah melakukan perjalanan niaga dan bisnis.414 Anugerah Allah atas hamba-hamba-Nya di dunia ini berupa kebaikan, jumlahnya tidak terhingga dan terhitung. Namun anugerah tersebut tidak mungkin diraih dan dimiliki melainkan dengan usaha dan bekerja seperti; berburu, bertani, menciptakan produksi dan lain-lain. Allah Swt. telah menundukkan lautan dan bahtera 415 yang menjadi salah satu sarana mencari penghidupan.416 Allah menyediakan bagi manusia berbagai sarana usaha untuk mencari emas, perak,
H >8
P B 7 8 < 4% E\F O 8 <% q % 1 S /.0 1% /. & 2 3 U < @D $ +
“sesungguhnya harta benda itu indah dan manis. Dan sebaik-baik pemiliknya adalah seorang muslim yang memberikannya kepada orang-orang yang miskin, anak yatim dan ibnu sabil.” al-Bukha>riy, S}ah}i>h} al-Bukha>riy, ba>b, al-S}adaqah ala> al-Yata>ma>, no. 1372. Hadith ini merupakan dalil tentang
keutamaan mencari harta kekayaan dengan benar kemudian dialokasikan dalam kebajikan yang disebutkan. 412 Lihat al-Qur’a>n, su>rah Al-Baqarah: 275 dan 282 dan Al-Nisa>’: 29 413 Alla>h Swt. berfirman, “... dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Alla>h ...” Lihat al-Qur’a>n, su>rah Al-Muzzammil: 20. Alla>h Swt. memuji orang-orang yang melakukan perjalanan di muka bumi dan berkelana di penjuru-penjurunya untuk mencari rezeki dan kekayaan. Ini menunjukkan legalitas mencari kekayaan dalam syariat, karena Alla>h Swt. tidak mungkin memuji dan memuliakan sesuatu melainkan hanya perkara-perkara yang halal dan diperintahkan. Dan karena perdagangan merupakan salah satu cara mencapai kekayaan, maka dengan disyariatkannya perdagangan maka secara otomatis mencari kekayaan pun adalah disyariatkan, demikian pula usaha untuk mendapatkannya dan meraihnya. 414 Alla>h Swt. berfirman, “Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezki-Nya…” Lihat al-Qur’a>n, su>rah AlMulk: 15. Alla>h Swt. menyuruh hamba-hamba-Nya untuk melakukan perjalanan ke penjuru-penjuru bumi, dan agar menikmati rezeki yang dianugerahkan kepada mereka. Hal itu tidak mungkin tercapai tanpa berusaha dan melakukan perniagaan dan usaha-usaha lain yang merupakan sarana meraih kekayaan. Ibnu Kathi>r mengomentari ayat di atas dengan pernyataan, “yaitu berjalanlah kalian
dimanapun di penjuru-penjuru bumi ini dan berlalu lalanglah di daerah-daerah dan pojok-pojoknya > , dengan aktivitas perniagaan dan usaha-usaha bisnis.” Lihat Ibnu Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n Al-‘Az}im jld. iv, 13.
415
Lihat al-Qur’a>n, su>rah al-Nahl: 14 Yaitu dengan beberapa cara, diantaranya; Penangkapan ikan untuk mengkonsumsikannya, mengeluarkan dan mengeksploitasi perhiasan, permata, emas dan perak dari lautan, pelayaran kapal laut dan perahu untuk transportasi di lautan dan samudera, pengapalan barang baik eksport maupun import sebagaimana Alla>h Swt. telah mengajarkan manusia tentang pembuatan kendaraan darat seperti mobil dan pesawat. Semua itu didayagunakan untuk mencari karunia Alla>h Swt., harta benda dan kekayaan. 416
119
tembaga, besi, dan menanam beraneka ragam tanaman, buah-buahan dan tumbuhtumbuhan dan lain-lain untuk makanan dan minuman.417 I. Urgensi Produksi Produksi Kekayaan Mencari kekayaan sangat penting dalam kehidupan individu dan masyarakat, dimana kestabilan hidup individu dan masyarakat tidak akan tercapai melainkan dengan kekayaan.418 Allah menjelaskan bahwa tonggak kehidupan tidak akan tegak tanpa kekayaan dan harta benda.419 Hal ini merupakan alasan kenapa Allah memerintahkan untuk menahan dan mencegah penyerahan harta benda –walaupun kepada pemiliknya sendiri- kepada orang-orang yang tidak mampu mengelolanya agar tidak menjadi beban bagi orang lain. Dengan demikian manusia dapat terhindar dari kesulitan dan kesempitan yang disebabkan oleh kekurangan harta benda dan kelangkaan kekayaan.420 Islam menempatkan pemeliharaan harta benda sebagai salah satu tujuan syariat (maqa>si} d al-shari>‘ah) dan salah satu misinya. Perhatian yang besar dalam 417 418
Lihat al-Qur’a>n, su>rah Al-H}ijr: 19-20 Ibnu ‘Ashu>r berkata, “ketika terjadi kelangkaan harta benda di tangan
sekelompok manusia, mereka terjerumus ke dalam kondisi membutuhkan dan kelaparan, mereka ditimpa oleh kesempitan dan keputusasaan. Mereka terpaksa membutuhkan pertolongan dan bangsa lain, yang negerinya lebih jaya dan kaya serta telah mengalokasikan sebagian manfaatnya untuk melayani orang-orang selain mereka.” Ibnu ‘Ashu>r, Maqa>si} d Al-Shari>‘ah Al-Isla>miyyah (Beirut: Al-Bas}a’> ir li al-Inta>j al-‘Ilmiy, 1418/1998), 325-326 419 Bekerja adalah kodrat hidup, baik kehidupan spiritual, intelektual, fisik biologis, maupun kehidupan individual dan sosial dalam berbagai bidang (al-Mulk: 2). Seseorang layak untuk mendapatkan predikat yang terpuji seperti potensial, aktif, dinamis, produktif atau profesional, semata-mata karena prestasi kerjanya. Karena itu, agar manusia benar-benar berdayaguna maksimal dalam kehidupan ini ia memerlukan ruh (spirit). Untuk itu, Al-Qur’a>n diturunkan sebagai, ru>han min amrina>, yakni spirit hidup bagi hamba Alla>h, sekaligus sebagai nu>r (cahaya) yang tak kunjung padam, agar aktivitas hidup manusia tidak tersesat. (al-Shu>ra>: 52). 420 Kebijakan tersebut berdasarkan ayat, “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang
yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Alla>h sebagai pokok kehidupan...” Lihat al-Qur’a>n, su>rah Al-Nisa>’: 5. Dalam syariat, kebijakan ini, disebut dengan al-h}ajr yaitu pencekalan dan pelarangan. Dalam terminologi syariat, istilah ini mengandung makna pembatasan dan penyempitan kebebasan seseorang memperlakukan dirinya dan hartanya sendiri. Sedangkan diantara definisi al-h}ajr dalam istilah fikih adalah, sifat hukum yang melekat pada
diri seseorang yang memaksanya terhalang dari kebebasan berbuat di luar batas kekuasaannya sebagaimana dia juga terhalang dari menderma lebih daripada sepertiga hartanya. Lihat Al-Ra>fi‘iy, Kita>b Al-‘Azi>z (Beirut, Libanon: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1417 H) jld. v, 66
120
Islam mengenai hukum-hukum yang berkaitan dengan kekayaan beserta perincianperinciannya, hampir memenuhi sepertiga bahasan fikih. Kenyataan ini tidak menyisakan ruang keraguan lagi bahwa mencari harta benda dan kekayaan sangat penting.421 Menurut Ibnu ‘Ashu>r, seluruh teks-teks al-Qur’a>n dan hadith yang berkenaan dengan kekayaan dan harta benda mengisyaratkan bahwa kedudukan harta benda dalam syariat sangat penting.422 Kekayaan merupakan karunia Allah dan kebaikan yang diperintahkan untuk dicari dan diproduksi setelah menunaikan tugas ibadah kepada Allah.423 Bahkan mencari dan mengusahakan kekayaan dibolehkan disela-sela ritual ibadah.424 Allah menyebutkan harta benda dan kekayaan dalam banyak ayat dengan istilah karunia dan kebaikan. Contohnya dalam ayat yang menjelaskan tentang wasiat harta.425 Utusan Allah seperti nabi Sulayma>n,426 Yu>suf427 dan rasul yang lain diberi karunia kekayaan yang banyak. Hadith menegaskan bahwa dalam kekayaan ada kebaikan bagi orang yang memilikinya bila dia memelihara nilai-nilai Islam dalam berusaha dan mengkonsumsinya.428 Dalam hadith yang lain ditegaskan bahwa kekayaan 421
Dalam kekayaan terdapat manfaat yang mendorong orang untuk berusaha mencari kekayaan guna membiayai dirinya dan keluarganya dalam beribadah seperti sedekah, memberikan hadiah, melayani tamu, dan silaturrahim, atau untuk keperluan sehari-hari seperti makanan, minuman, pakaian, pernikahan, tempat tinggal dan lain-lain yang semuanya tidak mungkin direalisasikan melainkan dengan kekayaan. Kekayaan sangat bermanfaat bagi pemiliknya dalam melakukan kebajikan seperti membangun masjid, membangun jembatan dan lain-lain yang bermanfaat bagi kepentingan umum. Pahala dan balasan dari Alla>h sangat besar dalam kebajikan tersebut bila diniatkan ikhlas karena Alla>h. 422 Ibnu ‘Ashu>r menambahkan, “kedudukan harta benda dalam syariat tidak boleh diremehkan dan direndahkan, berdasarkan dalil-dalil syariat.” Ibnu ‘Ashu>r, Maqa>si} d Al-Shari>’ah AlIsla>miyyah (Tunis: Da>r Al-Tunisiyah, 1970 M), 328. 423 Lihat al-Qur’a>n, su>rah al-Jum‘ah: 10 424 Lihat al-Qur’a>n, su>rah Al-Baqarah: 198 425 Lihat al-Qur’a>n, su>rah Al-Baqarah: 180 426 Lihat al-Qur’a>n, su>rah Al-Naml : 16 427 Lihat al-Qur’a>n, su>rah Yu>suf: 101 428 Hadith yang diriwayatkan dari Abu> Sa‘i>d al-Khudriy r.a. berkata, “bahwa suatu hari
Rasulullah Saw. duduk di atas mimbar, dan kami pun duduk di sekitar beliau. Kemudian Rasulullah Saw. bersabda, ‘sesungguhnya diantara yang aku takutkan terjadi pada kalian setelahku adalah dibukakannya bagi kalian kenikmatan dunia dan perhiasannya.’ Seorang bertanya, ‘wahai Rasulullah Saw. apakah kebaikan datang bersama keburukan?’. Rasulullah Saw. terdiam. Seorang berkata kepada penanya tersebut; ‘kenapa dirimu, kamu bertanya kepada Rasulullah Saw. namun beliau tidak
121
merupakan salah satu elemen yang meningkatkan kualitas individu yang bertakwa.429 Dalam kasus Sa‘ad ibn Abi> Waqqa>s} ditegaskan urgensi mengelola kekayaan untuk kesejahteraan keturunan dan generasi penerus, dan mempersiapkan mereka sebaik-baiknya dalam kemandirian dan produktivitas.430 Kekayaan yang tersedia di alam semesta adalah karunia Allah untuk hamba-hamba-Nya agar mereka bersyukur, menghindari budaya hedonistik, materialistik, individulistik dan menyuburkan budaya altruisme dan kedermawanan.431 Dalam melaksanakan tugas kekhalifahan, mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan dalam hidup dan kehidupan432 dan tugas pengabdian atau ibadah dalam arti luas433, manusia diberi dua bekal utama; minha>j al-h}aya>h dan wasi>lah al-
h}aya>h.434 Minha>j al-h}aya>h merupakan seluruh aturan kehidupan dalam Islam berupa
menjawabmu?’ Kamipun berkesimpulan bahwa Rasulullah Saw. sedang menerima wahyu. Dia berkata; "maka Rasulullah Saw. pun mengusap keringatnya, kemudian bersabda; ‘mana penanya tadi?’ kayaknya beliau memujinya. Rasulullah Saw. bersabda, “sesungguhnya kebaikan tidak datang bersama keburukan. Sesungguhnya diantara yang tumbuh di musim semi ada tumbuhan yang membunuh atau hampir membunuh, melainkan hewan pemakan tanaman hijau, hingga bila kedua sisi perutnya menggelembung disesaki oleh tanaman tersebut, hewan itu menjemur diri, membuang kotoran, kencing dan tertidur. Sesungguhnya harta benda itu menghijaukan mata dan terasa manis, dan sebaik-baik pemilik harta benda itu adalah seorang muslim yang memberikan sebagian darinya kepada orang-orang yang miskin, anak-anak yatim dan ibnu sabil (musafir).” al-Bukha>riy, S}ah}i>h} alBukha>riy, ba>b, al-S}adaqah ‘ala> al-Yata>ma>, no. 1372 429 Rasulullah Saw. bersabda, “kekayaan itu tidak berbahaya bagi orang yang bertakwa kepada Alla>h Swt.” Ah}mad ibn Hanbal, Al-Musnad (Bayt al-Afa>k, 1419 H), no. 22144 430 Sabda Rasulullah Saw. untuk Sa‘ad ibn Abi> Waqqa>s}, “sesungguhnya bila kamu meninggalkan ahli waris dalam keadaan kaya adalah lebih baik bagimu daripada bila kamu meninggalkan mereka dalam beban orang lain dengan meminta-minta kepada orang.” al-Bukha>riy, S}ah}i>h} al-Bukha>riy, ba>b, H{ijjat al-wada>‘, no.4057 431
Lihat al-Qur’a>n, su>rah al-Qas}as}: 76. Al-Qur’a>n adalah pedoman bagi manusia yang ingin memilih jalan kebenaran daripada jalan kesesatan (al-Baqarah: 185), pembimbing (guidance) untuk membina ketakwaan (al-Baqarah: 2). Namun, hidup yang taqwa bukan semata harapan atau angan-angan untuk meraih kebahagiaan, tetapi merupakan medan dan cara kerja yang sebaik-baiknya untuk merealisasikan kehidupan yang sejahtera di dunia dan memperoleh balasan yang lebih baik lagi di akhirat (al-Nahl: 97 dan alAn’a>m:165). 433 Lihat al-Qur’a>n su>rah al-Dha>riya>t: 56. 434 Dalam al-Qur’a>n disebutkan, “Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Alla>h telah 432
menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin.…” Lihat al-Qur’a>n, su>rah Luqma>n: 20
122
aturan-aturan yang harus dilakukan dan atau sebaiknya dilakukan serta aturan yang berbentuk larangan dan atau sebaiknya ditinggalkan. Minha>j al-h}aya>h ini bergerak di antara lima hukum fikih, yaitu; wa>jib, mandu>b (sunnah), muba>h} (boleh dilakukan, boleh ditinggalkan), makru>h (sebaiknya ditinggalkan), dan h}ara>m (tidak boleh dilakukan). Ketetapan tersebut dimaksudkan agar setiap manusia dalam hidupnya terjamin
keselamatan
kehormatannya),
agamanya,
keselamatan
keselamatan
akalnya,
hidupnya
keselamatan
harta
(jiwa
raga
dan
bendanya,
dan
keselamatan nasab keturunannya, yang dikenal dengan al-h}aja>h al-d}aru>riyyah (kebutuhan pokok/primer).435 Pelaksanaan minha>j al-h}aya>h secara konsisten dalam semua aktifitas kehidupan, akan melahirkan tatanan kehidupan yang baik, adil dan sejahtera yang disebut dengan al-h}aya>h al-t}ayyibah436 dan h}asanah di dunia hingga akhirat, baik secara individu maupun kolektif.437 Sebaliknya penolakan terhadap aturan tersebut atau tidak memiliki keinginan mengaplikasikannya dalam aktivitas kehidupan, akan menimbulkan kekacauan, ma‘i>shah d}ank (kehidupan yang sempit) dan kenistaan di masa yang akan datang.438 Produksi merupakan jantung dari kehidupan ekonomi dan inti dari studi-studi tentang ekonomi, disebabkan fungsinya yang sangat penting dalam memenuhi tuntutan kehidupan setiap individu masyarakat. Dalam Islam, sumber produksi dan pencipta sejati segala sesuatu adalah Allah.439 Dia pencipta seluruh makhluk dan segala usaha dan produksinya.440 Bertitik tolak kepada prinsip ini, dalam pandangan ulama terdahulu dan ahli ekonomi Islam seperti Yah}ya> ibn ‘Umar, terdapat korelasi
yang sangat kuat antara kegiatan produksi dan kegiatan ekonomi umumnya dengan ketakwaan kepada Allah yang membawa keberkahan dalam hasil produksi.441 Dengan landasan ini, segala produksi bukan semata-mata hasil usaha makhluk, namun merupakan keridhaan dan penghargaan Allah atas usaha dan kreativitas makhluk, sekaligus mengisyaratkan bahwa produksi dan segala aktivitasnya seharusnya mengacu kepada tuntunan Allah. Tujuan produksi harus terkonsentrasi pada pengadaan manfaat atau menambahkannya, dengan maksud merealisasikan sebanyak-banyaknya kebaikan yang disyariatkan,442 tidak hanya terbatas pada kesenangan materi dan kepuasan nafsu kepemilikan yang -bisa jadi hal ini- menjauhkan manusia dari tujuan utama penciptaannya.443 Perluasan produksi yang bermanfaat bertujuan meningkatkan jumlah produksi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan tercapainya pola produksi yang tepat. Prinsip fundamental yang harus diperhatikan dalam proses produksi adalah prinsip kesejahteraan ekonomi dan hasilnya untuk kemakmuran manusia seluasluasnya.444 Produksi yang dimaksud bukan hanya sesuatu yang dapat dibeli orang kaya saja, atau untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya, namun juga bermanfaat bagi kepentingan manusia secara keseluruhan. Produksi barang yang dilarang oleh Islam tidak diperkenankan, sedangkan yang bermanfaat untuk
40-41
441
Yah}ya> ibn ‘Umar, Ah}ka>m Al-Su>q (Tu>nis: Al-Sharikah al-Tu>nisiyah li al-Tawzi>‘, 1975),
442
Muh}ammad Abd al-Mun‘im ‘Afar dan Muh}ammad ibn Sa‘i>d ibn Na>ji Al-Gha>midiy, Us}ul>
Dalam sejarah Islam, istilah yang sering digunakan untuk produksi adalah al-kasb, atau t}alab al-rizq atau al-h}arakah fi> t}alab al-rizq. Lihat al-H}arith ibn Asad al-Muh}a>sibiy, al-Maka>sib wa al-Rizq al-Hala>l wa Haqi>qah al-Tawakkul ‘ala> Alla>h (Kairo: Maktabah al-Qur’a>n tt.), 51. 444
Produksi berarti diciptakannya manfaat, produksi tidak diartikan sebagai menciptakan secara fisik sesuatu yang tidak ada, karena tidak seorang pun dapat menciptakan benda. Yang dapat dilakukan oleh manusia hanyalah membuat barang-barang menjadi berguna, disebut sebagai dihasilkan. Lihat Abdurrahma>n Yusra>, Dira>sa>t fi> ‘Ilm al-Iqtis}a>d al-Isla>miy, (Iskandariyah: Da>r alJam‘iyya>t al-Mis}riyyah, 1988), 51, dan lihat pula Shawqiy Ah}mad Dunya>, Duru>s wa Buh}ut> h fi> alIqtis}ad> al-Isla>miy, al-Naz}ariyyah al-Iqtisha>diyyah min Manz}ur> Isla>miy (Riya>d,} KSA: Maktabah alKhirri>jiy, 1404/1984), 106.
124
masyarakat akan ditingkatkan. Dalam kebijakan demikian, pola investasi dan produksi disesuaikan dengan prioritas ajaran Islam dan kebutuhan masyarakat.445 Tidak ada perbedaan dalam menentukan faktor-faktor produksi dalam pandangan ekonomi konvensional dengan ekonomi Islam yakni, tanah, tenaga kerja, modal dan organisasi.446 Perbedaan keduanya terletak pada sudut pandang perlakuan terhadap faktor-faktor produksi tersebut. Dalam pandangan Kapitalisme, tanah merupakan hak milik mutlak, sementara dalam pandangan Sosialisme dan Komunisme, tanah hanya dikuasai negara. Sementara Islam, memandang tanah dan seluruh permukaan bumi ini beserta segala kekayaan dan sumber daya alam yang ada di dalamnya sebagai milik Allah secara mutlak.447 Sehingga baik negara maupun masyarakat tidak dapat mengklaim sebidang tanah bila keduanya mengabaikan tanah tersebut melewati batas waktu tiga tahun.448 Pemanfaatan atas tanah dalam Islam bukan pada kemampuan seseorang untuk menguasainya tetapi atas dasar pemanfaatannya. Sehingga fungsi tanah dalam Islam adalah sebagai hak pengelolaan bukan pada penguasaan. Sistem kepemilikan tanah dalam Islam telah diterapkan sejak zaman Rasulullah seperti iqt}a‘> (sistem kepemilikan tanah secara individual pada periode yang berbeda), h}ima> (sistem kepemilikan tanah baik oleh individu atau lebih dari satu kabilah tetapi dikelola secara kolektif untuk kepentingan bersama), sistem tanah milik petinggi atau negara (Crown Lands and State Landlordism), kepemilikan
445 Dalam hal ini ada tiga agenda yang diprioritaskan; Pertama, Produksi dan tersedianya bahan makanan dan kebutuhan pokok dalam jumlah yang melimpah, termasuk bahan-bahan konstruksi untuk perumahan, jalan dan kebutuhan dasar lainnya dengan harga yang cukup murah. Kedua, produksi peralatan persenjataan yang memadai untuk pertahanan. Ketiga, Swasembada di bidang produksi kebutuhan primer. Lihat Kursyid Ah}mad, [ed.] Studies in Islamic Economics (Leicester, UK: The Islamic Foundation, 1981), 25-35 446 Lihat Rif‘ah al-‘Iwa>di} y, Naz}ariyyah al-Tawzi>‘; al-Iqtis}a>d al-Isla>miy wa al-Fikr al-Mu‘a>si} r (Kairo, Mesir: al-Azhar, Majma‘ al-Buhu>th al-‘Ilmiyyah, 1977), 30-34 447 H}usayn ‘Umar, Muqaddimat ‘Ilm al-Iqtis}a>d; Naz}ariyyah al-Qi>mah (Jeddah, KSA: Da>r alShuru>q, 1402), 68-70 448 Lihat Abd al-‘Azi>z Fahmi Haikal, Mausu>‘a>t al-Must}alah}at> al-Iqtis}a>diyyat wa al-Ih}sa} ’> iyyat (Beirut: Da>r al-Nad}ah al-Arabiyyah, 1980), 470
125
tanah secara pribadi di mana para elit dapat mempekerjakan orang lain agar produktif dan sistem tanah milik petani. Pada masa pemerintahan ‘Umar ibn al-Khat}ta} >b terjadi revolusi sistem kepemilikan tanah.449 Kepemilikan tanah yang banyak dikuasai oleh kaum feudal dihapuskan sehingga terjadi reformasi sistem pertanahan (land reform). Umar menetapkan kebijakan bahwa tanah dan apa yang ada di dalam dan di atasnya adalah untuk kemaslahatan seluruh rakyat dan setiap manusia berhak untuk mendapat penghasilan, penghidupan dan sumber makanan darinya. Tidak ada kepemilikan tanah oleh individu secara absolut, karena kepemilikan tanah hanya Allah semata. Jika seseorang mengelola sebidang tanah yang tak bertuan dan membuatnya berproduksi, maka dialah orang yang paling berhak atasnya.450 Dalam praktiknya, Uthman bin Abu> al-‘Ash diberikan mandat oleh Umar untuk mengelola tanah yang tidak bertuan di daerahnya451 dan Abu> Abdillah diberikan tanah di Basrah untuk peternakan kuda.452 Allah telah menyediakan fasilitas segala sumber daya yang diperlukan manusia melalui hukum taskhi>r, yakni menundukkan seluruh isi langit dan
bumi
untuk
manusia.453
Peran
manusia
adalah
memobilisasi
dan
mendayagunakan segala sumber daya tersebut secara optimal, yang menghasilkan
449
Dalam sebuah jawaban Umar kepada panglima Sa‘ad sesaat setelah penaklukan Irak, ia menulis; “Saya sudah menerima surat anda. Orang-orang menuntut agar anda membagikan tanah dan
kekayaan kepada mereka (tentara). Anda harus membagikan harta dan kekayaan rampasan kepada mereka tetapi biarkan tanah-tanah dan saluran irigasi air tetap dalam kekuasaan gubernur agar hasilnya dapat dibayarkan kepada umat Islam. Kalau kita distribusikan tanah sekarang, maka tidak akan ada lagi tanah yang tersisa untuk generasi mendatang.” Lihat Irfan Mahmud Ra’ana, Economic System under Umar the Great (Lahore: Sh.M.Ashraf, 1991), 12-15. 450
Hal ini ditegaskan dalam sebuah hadith Rasulullah yang berbunyi :
L1O 0 |1y ]8 }O 1O P
‘Barang siapa yang menghidupkan suatu bidang tanah yang bukan milik seseorang, dialah yang lebih berhak atasnya’ al-Bukha>riy, S}ah}i>h} al-Bukha>riy, ba>b, man ah}ya> ard}an mawa>tan, no. 2167 451 H{umayd ibn Mukhlid Ibn Zanjawayh, al-Amwa>l, tah}qi>q, Sha>kir Dhayb Fayya>d} (Riya>d} : Markaz al-Malik Fays}al li al-Buhu>th wa al-Dirasa>t al-Isla>miyyah, 1406 H), jld. ii, 626. 452 Ah}mad ibn Yah}ya> Al-Bala>dhiriy, Futu>h al-Bulda>n (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1403), 489-490. 453 Lihat al-Qur’a>n su>rah Ibra>hi>m : 32-33
126
segala output untuk kemakmuran dan kesejahteraan bersama, diantaranya lahan, modal, stack holders dan tenaga kerja. Dalam merealisasikan tujuan tersebut Islam sangat menekankan tentang pemenuhan hak tenaga kerja dan melakukan ih}sa>n terhadapnya.454 Islam mengajarkan untuk membayar upah pekerja sebelum keringatnya kering455 dan menekankan segala kebijakan yang memastikan bahwa hak-hak pekerja terjamin dan terpenuhi dengan adil. Pelaku usaha yang mempekerjakan buruh harus memiliki tanggung jawab moral dan sosial, dan menghindari kesepakatan dan penetapan upah dan gaji yang tidak wajar (ukuran wajar dapat diukur dengan standar hidup layak atau menurut ukuran pemerintah seperti UMR). Untuk
kemuliaan
dan
martabat
para
pekerja,
Islam
menekankan
profesionalisme dan ih}sa>n dalam menguasai bidang kerja, kreatif dan inovatif untuk menghasilkan kinerja yang tinggi.456 Semakin profesional seseorang dalam bekerja, maka semakin berkualitas produktifitasnya dan semakin tinggi pula imbalan yang diterimanya. Penghasilan yang baik merupakan hak yang diperoleh bagi orang yang bekerja secara professional dan otomatis meningkatkan kemampuan distirbusinya.457 454
Masalah krusial hingga kini adalah berkaitan dengan tenaga kerja. Dalam pandangan Marx, ketidakadilan yang dilakukan para Kapitalis terletak pada pemenuhan upah yang tidak wajar. Sebagai contoh, para pemilik modal menetapkan hari kerja 12 jam, padahal pekerja yang bersangkutan dapat memproduksi nilai yang sama dengan upah subsitensinya dalam 7 jam, maka sisa 5 jam merupakan nilai surplus yang secara harfiah dicuri oleh para Kapitalis. Lihat Karl Marx dan Friedriech Engel, Capital: Manifesto of the Communist Party (Chicago: Encyclopaedia of Britannica Inc., 1952), 85-95. 455 Ibnu Ma>jah, Sunan, ba>b; Ajr al-Ujara>’, no. 2434 456 Muh}ammad ‘Uthma>n ‘Abdulla>h al-Marghayni, Ta>j al-Tafa>si>r (Beirut: Da>r al-Fikr, tt.), jld. i, 254-267. 457 Profesionalisme dan ih}sa>n dalam bekerja terkandung beberapa ciri. Pertama, punya keterampilan tinggi dalam suatu bidang dan kemahiran dalam mempergunakan peralatan tertentu yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas yang bersangkutan dengan bidang tadi. Kedua, punya ilmu dan pengalaman serta kecerdasan dalam menganalisa suatu masalah dan peka di dalam membaca situasi, cepat dan tepat serta cermat dalam mengambil keputusan terbaik atas dasar kepekaan. Ketiga, punya sikap berorientasi ke hari depan, sehingga punya kemampuan mengantisipasi perkembangan lingkungan yang terbentang di hadapannya. Keempat, punya sikap mandiri berdasarkan keyakinan akan kemampuan pribadi (‘izzat al-nafs atau self-confidence), serta terbuka menyimak dan menghargai pendapat orang lain, namun cermat dalam memilih yang terbaik bagi diri dan perkembangan pribadinya. Dalam al-Qur’a>n manusia dengan karakteristik dan kualitas seperti ini
127
Kualitas kerja yang ih}sa>n dan itqa>n atau perfect merupakan sifat pekerjaan Tuhan, dan ia menjadi ukuran kualitas pekerjaan yang islami.458 Konsep ih}sa>n dan itqa>n memberikan penilaian lebih terhadap hasil pekerjaan yang sedikit atau terbatas, tetapi berkualitas, daripada output yang banyak, tetapi kurang bermutu.459 Penghasilan yang baik sebagai buah profesionalisme dalam bekerja pada dasarnya adalah hak yang harus diterima. Hal ini merupakan tuntutan dari keadilan.460 Apabila seseorang bekerja secara profesional dan menghasilkan kinerja yang baik, maka ia berhak memperoleh penghasilan yang baik. Namun, ciri yang menonjol dari profesionalisme dalam Islam tidak hanya berhenti pada tingkat adil, tapi meningkat pada tingkat ih}sa>n. Ar-Ra>ghib al-Asfaha>ni, seorang ulama tafsir, menjelaskan bahwa ada dua pengertian ih}sa>n.461 Pertama, bermakna memberikan sesuatu yang bermanfaat kepada orang lain dan kedua, ih}sa>n dalam perbuatan, yaitu mengetahui sesuatu dengan pengetahuan yang baik dan beramal (berbuat) dengan perbuatan yang baik. Berdasarkan pengertian ini, ih}sa>n terdiri dari tiga dimensi, ih}sa>n dalam bentuk suatu materi yang diberikan kepada orang lain, ih}sa>n dalam bentuk pengetahuan dan ih}sa>n dalam dimensi perbuatan.
dinyatakan sebagai ulu> al-alba>b. Al-Qur’a>n menyebut ulu> al-alba>b sebanyak enam belas kali dengan ciri-ciri antara lain kritis mendengarkan pembicaraan dan ungkapan pemikiran orang (al-Zumar:1718), orang yang dikaruniai hikmah (al-Baqarah: 269), mengambil pelajaran dari sejarah umat terdahulu (Yu>suf: 111), bersungguh-sungguh mencari ilmu (A>lu ‘Imra>n: 7), senantiasa berzikir (mengingat) Alla>h (A>lu ‘Imra>n: 190-192). Manusia ulu> al-alba>b menyadari tugas dasar kemanusiaannya sebagai makhluk yang memakmurkan kehidupan dunia (Hu>d: 61) yang senantiasan meningkatkan kualitas diri dalam melaksanakan tugasnya (al-Nu>r: 37). Kualitas ulu> al-alba>b di atas apabila melekat dalam diri seseorang ketika mengemban sebuah tugas akan melaksanakannya secara profesional. 458 Lihat al-Qur’a>n su>rah al-Naml: 88. 459 Lihat al-Qur’a>n su>rah al-Baqarah: 263. 460 Adil dapat diartikan sebagai 4 @3! 4F \! $O (memberikan apa yang menjadi kewajibannya dan mengambil/menerima apa yang menjadi haknya). Lihat Muh}ammad Abdurra’u>f AlMuna>wi, Fayd} al-Qadi>r, (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah 1415-1994), jld. i, 162-164. 461 Lihat Muh}ammad Abdurra’u>f Al-Muna>wi, Fayd} al-Qadi>r (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah 1415-1994) jld. i, 162-164.
128
Aktualisasi manusia dalam pandangan Islam bukan didasarkan pada kemampuan materi atau posisi sosial di masyarakat, tetapi didasarkan kepada kualitas ih}sa>n. Kualitas ih}sa>n seseorang pada dasarnya berdampak kepada kebaikan untuk dirinya sendiri, karena kebaikan yang diberikan kepada orang lain akan kembali kepada dirinya sendiri.462 Tingkat ih}sa>n dalam hubungannya dengan profesionalitas tercermin dari perilaku, yaitu tidak hanya menuntut keadilan, namun juga disertai dengan berkontribusi yang terbaik. Dalam su>rah al-Nahl ayat 90 kata al- ih}sa>n disandingkan dengan al-‘adl. Jika adil adalah perlakuan yang proporsional antara kewajiban dan hak, maka ih}sa>n merupakan perlakuan yang melebihi makna adil.463 Ih}sa>n adalah perilaku menjalani profesi tidak didasarkan pada kuantitas imbalan yang akan diperoleh, tetapi didasarkan bahwa profesi tersebut merupakan kebutuhan untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan.464 Profesionalisme dalam Islam jelas tidak didasarkan pada prinsip kapitalisme yang hanya berputar pada hubungan kausalitas materialistis, yaitu bekerja secara profesional akan memperoleh imbalan materi secara proporsional.465 Profesionalisme Islami didasarkan pada prinsip tawhi>d466 dan istikhla>f. Ketauhidan menjadi prinsip bahwa
setiap
perbuatan
bermuara
kepada
Tuhan
dan
akan
dimintai
pertanggungjawaban kelak. Di sisi lain perbuatan itu dapat bernilai ibadah apabila dilandaskan bahwa semua perbuatan tersebut semata karena Allah. Istikhla>f berarti bahwa manusia diciptakan mempunyai tugas sebagai khalifah di muka bumi, bertanggung jawab mengelola dan memakmurkan alam bukan merusaknya, tetapi 462
Lihat al-Qur’a>n su>rah al-Isra>’ : 7 Karena itu Al-Asfahani dalam kaitannya dengan adil memberikan pengertian ih}sa>n sebagai berikut; 4 H#O @3! 4F &hO \! $O $ 81 (memberi lebih banyak dari yang menjadi 463
kewajibannya dan meminta atau memperoleh lebih sedikit dari yang menjadi haknya). Lihat Muh}ammad Abdurra’u>f Al-Muna>wi, Fayd} al-Qadi>r (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 1415/1994) jld. i, 162-166. 464 Ah}mad Must}afa> al-Mara>ghi, Tafsi>r al-Mara>ghi (Beirut: Da>r al-Fikr, 1974) jld. xv, 58. 465 Lihat Sayyid Qut}ub, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Shuru>q, 1986) jld. v, 22-34. 466 Lihat Masudul Alam Choudhury, Contributions to Islamic Economic Theory (New York: St. Martin’s Press, 1986), 7-20.
129
memanfaatkannya untuk kepentingan semua makhluk.467 Profesional dan ih}sa>n menuntut maksimalisasi karya otak dan fisik seluruhnya untuk menghasilkan produksi yang optimal dan bermanfaat.468 Islam memuliakan setiap pekerjaan yang baik tanpa mendiskriminasikannya, baik berupa pekerjaan otak ataupun otot, pekerjaan halus ataupun kasar. Orang yang bekerja secara profesional dan ih}sa>n telah merealisasikan fungsi kehambaan kepada Allah, dan menempuh
jalan menuju ridha-Nya, mengangkat harga diri,
meningkatkan taraf hidup, dan memberi manfaat kepada sesama, bahkan kepada makhluk lain. Islam menganjurkan pekerjaan yang baik dan bermanfaat bagi kemanusiaan, agar setiap pekerjaan mampu memberi nilai tambah dan mengangkat derajat manusia baik secara individu maupun kelompok.469 Selain itu dalam banyak ayat, Al-Qur’a>n meletakkan kualitas muja>hadah dalam bekerja pada konteks manfaatnya, yaitu untuk kebaikan manusia sendiri, dan agar nilai guna dari hasil kerjanya semakin bertambah.470 Muja>hadah dalam maknanya yang luas adalah mengerahkan segenap daya dan kemampuan yang ada dalam merealisasikan setiap pekerjaan yang baik (istifra>gh ma> fi al-wus‘i). Dapat juga diartikan sebagai mobilisasi serta optimalisasi sumber daya. Ini sejalan dengan
467
Dalam bekerja, Islam mensyaratkan dua syarat pokok agar setiap aktivitas kerja agar bernilai baik dan berkualitas, yaitu ikhla>s,} yakni mempunyai motivasi yang benar dan berniat ibadah, dengan proyeksi atau tujuan akhir meraih mard}at> illa>h (ridha Alla>h). Selain itu syaratnya adalah shawab (benar), yaitu sepenuhnya sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh agama melalui Rasulullah untuk pekerjaan ‘ubu>diyah (ibadah khusus), dan tidak bertentangan dengan suatu ketentuan agama dalam hal mu‘a>malah (ibadah umum). (al-Baqarah: 207 dan 265). Lihat al-Qurt}u>biy, Al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m al-Qur’a>n, (Beirut: Da>r al-Fikr, tt.) jld. x, 276-277 468 Lihat Ah}mad Ja>mi‘, al-Naz}ariyyah al-Iqtis}a>diyyah (Kairo: Da>r al-Nahd}ah al-‘Arabiyyah, 1977), 31-33. 469 Dalam al-Qur’a>n disebutkan, “Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya.” (al-An‘a>m: 132) Al-Qur’a>n menggandengkan kata iman dengan amal saleh sebanyak 77 kali. Pekerjaan yang standar adalah pekerjaan yang bermanfaat bagi individu dan masyarakat, secara material dan moral-spiritual. Ini adalah pesan iman yang membawa manusia kepada orientasi nilai dan kualitas. 470 Lihat al-Qur’a>n su>rah A>lu ‘Imra>n: 142, al-Ma>’idah: 35, al-H}ajj: 77, al-Furqa>n: 25, dan al‘Ankabu>t: 69.
130
pandangan Yersu Kim,471 yang menekankan pentingnya arti harmonitas segala potensi kelompok, untuk memaksimalkan manfaat dan produksi yang adil.472 Pesan persaingan untuk meningkatkan kualitas kerja dan amal saleh terdapat dalam beberapa ungkapan al-Qur’a>n yang bersifat perintah, ada perintah, “fastabiqu>
al khaira>t” (maka, berlomba-lombalah kamu sekalian dalam kebaikan).473 Demikian pula perintah, “wasa>ri‘u> ila> magfirah min Rabbikum wa jannah” (bersegeralah kamu
sekalian menuju ampunan Rabbmu dan surga).474 Ampunan dan surga diraih melalui infaq, pengendalian emosi, pemberian maaf, berbuat ih}sa>n, dan bersegera bertaubat kepada Allah.475 Namun persaingan tersebut didasarkan pada semangat ketaatan kepada Allah dan ibadah dan untuk saling membantu (ta‘a>wun).476 Sehubungan dengan itu, penghargaan terhadap waktu dan prestasi kerja, merupakan syarat mutlak bagi pekerja yang profesional dan ih}sa>n.477 Waktu sangat berharga dan merupakan kehidupan itu sendiri, dan waktu seharusnya tidak berlalu
471
Lihat misalnya, Yersu Kim, “World Change and the Cultural Synthesis of the West,” dalam Ron Bontekoe et. al. (ed.) Justice and Democracy Cross-Cultural Perspectives (Honolulu: University of Hamai’i Press): 431-441. 472 Lihat kajian tentang masalah ini dalam Robert T. Buttram, Robert Folger and Blair H. Sheppard, "Equity, Equality, and Need: The Three Faces of Social Justice." In Conflict, Cooperation, and Justice: Essays Inspired by the Work of Morton Deutsch, eds. Deutsch, Morton, Jeffrey Z. Rubin and Barbara Benedict Bunker (San Francisco: Jossey-Bass Inc. Publishers, May 1995). 473 Lihat al-Qur’a>n su>rah al-Baqarah: 108. 474 Lihat al-Qur’a>n su>rah A>lu ‘Imra>n : 133-135. 475 Ada pula istilah tana>fus untuk menjadi hamba yang gemar berbuat kebajikan, sehingga berhak mendapatkan surga dan segala kenikmatannya. (al-Mut}affifi>n: 22-26). Dalam konteks persaingan, ketaqwaan merupakan nilai puncak yang dituju. Sebab yang paling mulia dalam pandangan Alla>h adalah orang yang paling taqwa. (al-H}ujura>t: 13) Semua itu menjelaskan semangat persaingan dalam kualitas kerja. 476 Lihat al-Qur’a>n su>rah al-Ma>’idah: 3 477 Keuntungan atau pun kerugian manusia banyak ditentukan oleh sikapnya terhadap waktu. Sikap ih}sa>n adalah sikap yang menghargai waktu sebagai karunia Alla>h yang wajib disyukuri. Hal ini dilakukan dengan cara mengisinya dengan amal saleh, sekaligus waktu itu pun merupakan amanat yang tidak boleh disia-siakan. Sebaliknya, sikap ingkar adalah cenderung mengutuk waktu dan menyia-nyiakannya. Waktu adalah sumpah Alla>h dalam beberapa ayat di kitab suci-Nya terkait dengan nasib baik atau buruk yang akan menimpa manusia, akibat tingkah lakunya sendiri. Semua macam pekerjaan ubu>diyah (ibadah vertikal) telah ditentukan waktunya dan disesuaikan dengan kesibukan dalam hidup ini.
131
sia-sia untuk hal-hal yang tidak produktif, walaupun sekejap atau sedetik.478 Setiap orang akan mempertanggungjawabkan usianya yang merupakan rangkaian dari waktu.479 Sikap negatif terhadap waktu pasti berdampak pada kerugian, seperti gemar menangguhkan atau mengulur waktu, yang berarti menghilangkan kesempatan. Islam
mengajarkan
semangat
muja>hadah
dalam
bekerja
yang
mempersyaratkan mobilisasi dan optimalisasi pemberdayaan segenap potensi untuk kebaikan sesama. Semangat muja>hadah menuntut kesabaran dan kontinyuitas kerja, bahkan menuntut tingkat kesabaran ekstra yang mampu mengungguli kesabaran para pesaing. Semua itu didukung dengan ketekunan untuk mura>bat}ah yaitu pantang meninggalkan pekerjaan sebelum selesai.480 Semangat muja>hadah menolak setiap bentuk ketidakcermatan dalam manajemen waktu yang sangat berharga dan setiap kebijakan yang tidak profesional dalam mengelola sumber daya yang demikian mahal. Semangat muja>hadah menolak dengan tegas setiap perasaan dan sikap lemah, malas dan kurang serius, mengandalkan pada kemampuan orang lain untuk menyelesaikan pekerjaan, apalagi mengklaim prestasi orang lain sebagai hasil karya sendiri.481 Harta benda yang halal adalah apa yang dihalalkan oleh syariat yaitu berbagai macam usaha yang baik. Seorang muslim boleh berusaha untuk meraih harta benda yang baik dan memilikinya, sebanyak apapun yang dikehendakinya, berdasarkan perintah dan izin dalam al-Qur’a>n.482 Hal tersebut menunjukkan 478
Berkaitan dengan waktu dan prestasi kerja, terdapat petikan surat Khalifah ‘Umar ibn alKhat}ta} >b kepada Gubernur Abu> Mu>sa> al-Ash‘ariy ra, sebagaimana dituturkan oleh Abu> ‘Ubayd,”…Ketahuilah, sesungguhnya kekuatan itu terletak pada prestasi kerja. Oleh karena itu,
janganlah engkau tangguhkan pekerjaan hari ini hingga esok, karena pekerjaanmu akan menumpuk, sehingga kamu tidak tahu lagi mana yang harus dikerjakan, dan akhirnya semua terbengkalai.” Abu> ‘Ubayd al-Qa>sim ibn al-Sala>m, Kita>b Al-Amwa>l (Kairo: Da>r al-Ma’rifah, tt.), 10 479
Lihat al-Qur’a>n su>rah al-‘As}r. Lihat al-Qur’a>n su>rah A>lu ‘Imra>n: 200. 481 Seba>b, cara ini analog dengan memakan harta orang lain secara batil. Lihat al-Qur’a>n su>rah al-Baqarah: 188. 482 Lihat al-Qur’a>n su>rah Al-A‘ra>f: 32. 480
132
kebolehan memiliki harta benda yang baik dan halal berupa; makanan, minuman, pakaian, perabotan, segala perhiasan, dan rizki yang halal dan baik untuk diusahakan, dikembangkan dan dikonsumsi.483 Dalam hadith dijelaskan bahwa Allah Maha Baik tidak menerima melainkan hal yang baik, sekaligus menggambarkan contoh kerugian pada diri seorang pengelana yang selalu melakukan perjalanan jauh, kusut, dekil dipenuhi debu, dia mengangkat kedua tangannya ke langit memohon rezki dan keberkahan, namun doanya terhalang dan tidak terkabul karena modal, makanan dan minumannya haram.484 Hadith ini menunjukkan bahwa seorang muslim harus berusaha meraih kekayaan dari harta benda yang halal bukan dari selain yang halal apalagi dari yang haram. Setiap harta benda yang boleh dimanfaatkan menurut syariat dan suci, maka ia boleh dikembangkan dan dimiliki. Demikian pula sebaliknya setiap harta benda yang tidak boleh dimanfaatkan menurut syariat, maka ia tidak boleh dikembangkan dan dimiliki, seperti; minuman keras, daging babi dan lain-lain. J. Praktik Distribusi Distribusi Kekayaan Islam mensyariatkan beberapa praktik dalam distirbusi kekayaan, sehingga individu dapat berkontribusi maksimal untuk kesejahteraan sesama, seperti beberapa praktik berikut; 1. Penunaian Zakat Kekayaan berdampak terhadap kewajiban zakat485 yang mendistribusi porsentase tertentu dari kekayaan tersebut kepada pos-pos alokasi dana zakat yang 483
al-Qurt}u>biy, Al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jld. iv, 136-144. Abu> al-H}usayn Muslim ibn al-H}ajja>j Al-Qushayriy, S}ah}i>h} Muslim, Tah}qi>q Muh}ammad Fu’a>d ‘Abd al-Ba>qi (Riya>d,} KSA: Da>r ‘A>lam al-Kutub, 1996), jld. ii, 702, no. 1014. 485 Zakat menurut bahasa artinya adalah ‘berkembang’ (al-nama>’) atau “pensucian” (altat}hi>r). Adapun menurut istilah, zakat adalah hak yang telah ditentukan besarnya dan wajib dikeluarkan pada harta-harta tertentu. Lihat ‘Abd al-Qadi>m Zallu>m, al-Amwa>l fi Daulat al-Khila>fah (Beirut: Da>r al-'Ilm li al- Mala>yi>n, 1983), 147. Dalam pernyataan “hak yang telah ditentukan besarnya” (haqq muqaddar), berarti zakat tidak mencakup hak-hak –berupa pemberian harta– yang besarnya tidak ditentukan, misalnya hibah, hadiah, wasiat, dan wakaf. Dalam pernyataan “yang wajib (dikeluarkan)” (yajibu), berarti zakat tidak mencakup distirbusi harta yang sifatnya sunnah atau tat}awwu’, seperti shadaqah tat}awwu’ (sedekah sunnah). Sedangkan ungkapan “pada harta-harta 484
133
telah ditetapkan. Zakat mendistribusikan kekayaan melalui transfer payments dari tangan the have kepada the have not di dalam perekonomian, sehingga memperbaiki distribusi pendapatan, disamping distribusi fungsional yang merujuk pada distribusi faktor produksi. Zakat merupakan ibadah yang memiliki dua dimensi yaitu vertikal sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan horisontal sebagai kewajiban kepada sesama manusia. Kewajiban zakat sangat penting sehingga terdapat 82 ayat dalam al-Qur’a>n yang menyandingkan perintah zakat dengan perintah shalat. Zakat merupakan institusi resmi yang diarahkan untuk menciptakan pemerataan dan keadilan bagi masyarakat, sehingga taraf kehidupan masyarakat dapat ditingkatkan. Zakat diwajibkan pada harta benda yang dapat didistirbusikan kepada orang lain. Orang yang memiliki harta benda yang kurang dari nisab tidak harus mendistribusi hartanya, tetapi dia sendiri harus disantuni dan berhak menerima dana zakat, karena masih kekurangan. Menurut Al-Qarad}a>wi berdasarkan tinjauan ini, syariat pembebanan zakat memberikan dispensasi bagi orang-orang yang memiliki penghasilan yang terbatas, sebagai rahmat, kemudahan, dan kepedulian terhadap kondisi mereka dan karena mereka sendiri tidak dapat membayarnya.486 Zakat merupakan salah satu ciri dari sistem ekonomi Islam, yang tidak dimiliki oleh sistem lain untuk mengurangi penumpukan kekayaan, membuatnya terus berputar dalam sistem distribusi dan redistribusi yang adil dan merata sehingga tersebar luas kepada setiap orang487 dan menyempurnakan implementasi azas keadilan. Menurut M.A Mannan (1993)488 zakat mempunyai enam prinsip yaitu, diantaranya prinsip pemerataan dan keadilan, yaitu mendistribusi kekayaan yang lebih merata dan adil kepada manusia.
tertentu” (fi> Amwa>l mu‘ayyanah) berarti zakat tidak mencakup segala macam harta secara umum, melainkan hanya harta-harta tertentu yang telah ditetapkan berdasarkan teks-teks al-Qur’a>n dan hadith yang khusus, seperti emas, perak, onta, domba, dan sebagainya. 486 Yu>suf Al-Qarad}aw > i, Fiqh Al-Zaka>h, jld. i, 151. 487 Lihat al-Qur’a>n su>rah al-Hashr : 10. 488 M.A. Mannan, Islamic Economics : Theory and Practice (Lahore. 1970), 35-43.
134
Sedangkan Menurut Monzer Kahf,489 tujuan utama dari zakat adalah untuk mencapai keadilan sosial ekonomi. Zakat merupakan transfer sederhana dari bagian dengan ukuran tertentu dalam harta si kaya untuk dialokasikan kepada si miskin. Lebih lanjut Muhammad Daud Ali490 menerangkan bahwa tujuan zakat adalah, mengangkat derajat fakir miskin, membantu memecahkan masalah para gharimin, ibnu sabil dan mustahik lainnya, membentangkan dan membina tali persaudaraan sesama umat Islam dan manusia pada umumnya, menghilangkan sifat kikir dan loba para pemilik harta, menghilangkan sifat dengki dan iri (kecemburuan sosial) dari hati orang-orang miskin,491 menjembatani jurang antara si kaya dengan si miskin di dalam masyarakat, mengembangkan rasa tanggung jawab sosial pada diri seseorang terutama yang memiliki harta, mendidik manusia untuk berdisiplin menunaikan kewajiban dan menyerahkan hak orang lain, sarana pemerataan pendapatan untuk mencapai keadilan sosial. Semua tujuan tersebut mengarah kepada distirbusi kekayaan.
489
Lihat Monzer Kahf, “The Principle of Socioeconomics Justice in The Comtemporarry Fiqh of Zakah,” Iqtisad, Journal of Islamic Economics. Vol. 1. (Muharram 1420 H /April 1999). Enam prinsip tersebut berdampak kepada sikap ih}sa>n dalam menunaikan kewajiban zakat, yaitu; 1. prinsip keyakinan keagamaan; yaitu bahwa orang yang membayar zakat merupakan salah satu manifestasi dari keyakinan agamanya; 2. prinsip pemerataan dan keadilan; merupakan tujuan sosial zakat yaitu membagi kekayaan yang diberikan Alla>h lebih merata dan adil kepada manusia. 3. prinsip produktifitas; menekankan bahwa zakat memang harus dibayar karena milik tertentu telah menghasilkan produk tertentu setelah lewat jangka waktu tertentu. 4. prinsip nalar; sangat rasional bahwa zakat harta yang menghasilkan itu harus dikeluarkan. 5. prinsip kebebasan; zakat hanya dibayar oleh orang yang bebas dan merdeka. 6. prinsip etika dan kewajaran; yaitu zakat tidak dipungut secara semena-mena. 490 Lihat Muh}ammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf (Jakarta: UI Press, 1988), 10-19. 491 Hal senada juga disebutkan oleh Sayyid Sa>biq, yang menegaskan bahwa zakat akan mensucikan pembayarnya dari kotoran kikir serta tamak, sikap memandang rendah dan keras hati terhadap para fakir miskin, serta meninggikan dan mengembangkan jiwa pembayarnya dengan berbagai nilai kebajikan dan keberkahan baik berisfat khuluqiyah (etika) maupun amaliyah, sehingga dengan itu si pembayar zakat akan layak mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Lihat Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah (Madinah: Mat}a>bi‘ al-Madinah al-Munawwarah, 1988) jld. i, 328
135
Ibnu Manz}ur> menyimpulkan bahwa kata zakat mempunyai arti bersih dan suci, tumbuh dan berkembang, berkah atau baik dan terpuji.492 Harta zakat disebut demikian karena adanya unsur harapan terealisirnya berkah harta, pensucian diri serta pengembangan dengan berbagai nilai kebajikan.493 Imam al-Nawa>wi, menukil pendapat al-Wa>hi} di, yang mendasarkan filosofi zakat pada penambahan dan pengembangan harta yang dizakati, memberinya keberkahan dan memeliharanya dari kehancuran dan kebangkrutan.494 Sedangkan menurut Wahbah Al-Z{uhayliy, penyebutan harta zakat dengan istilah itu, karena ia akan menambah nilai bagi pembayarnya dan membentenginya dari berbagai bencana.495 Lebih lanjut Sayyid Sa>biq menegaskan bahwa zakat adalah hak Allah swt. dalam harta manusia yang wajib dikeluarkan untuk kalangan fakir miskin.496 Sedangkan menurut Al-Qarad}a>wi, zakat adalah istilah untuk sebagian harta yang telah ditetapkan oleh Allah swt. agar dikeluarkan dan diberikan kepada para
mustah}iq (orang-orang yang berhak menerima zakat).497 Zakat berkaitan pula dengan proses pelaksanaan pengembangan dan aktifitas ekonomi muzakki. Teks alQur’an menegaskan bahwa pelaksanaan zakat sangat berkaitan erat dan berdampak positif terlebih dahulu kepada muzakki sebelum kepada para mustahiq, diantaranya kesucian diri, kedamaian dan ketentraman jiwa,498 dan limpahan karunia yang berlipat-lipat daripada zakat yang dikeluarkan.499 Oleh karena itu zakat juga disebut sebagai s}adaqah yang tersirat makna s}idq (kejujuran) dari seseorang dalam upaya merealisasikan nilai ibadah dan taat kepada Allah. Menurut Abdulla>h ibn Mas‘u>d, mendirikan shalat dan membayar zakat keduaduanya adalah kewajiban, sehingga orang yang tidak membayar zakat, tidak akan 492
Lihat Ibnu Manz}ur> , Lisa>n al-Arab, jld. x, 357. Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, jld. i, 276. 494 Lihat Imam al-Nawa>wi, Majmu>’ Sharh al-Muhadhdhab, jld. v, 324. 495 Wahbah al-Z{uhayliy, Al-Fiqh al-Isla>miy, jld. ii, 729. 496 Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, jld. i, 276. 497 Yu>suf Al-Qarad}aw > i, Fiqh Al-Zaka>h, jld. i, 64. 498 Lihat al-Qur’a>n su>rah al-Taubah ; 103-104. 499 Lihat al-Qur’a>n su>rah al-Ru>m : 39. 493
136
diterima shalatnya.500 Perintah berzakat secara mutlak, menurut Sayyid Sa>biq , telah ada sejak periode Mekkah, walaupun belum ada ketentuan yang pasti tentang harta yang wajib dizakati dan berapa kadar yang harus dikeluarkan. Dan pada tahun kedua hijriyah zakat diwajibkan dengan ketentuan-ketentuan seperti yang ada hingga saat ini.501 Secara umum fungsi zakat meliputi bidang moral, sosial dan ekonomi. Dalam bidang moral, zakat mengikis ketamakan dan keserakahan hati si kaya. Sedangkan dalam bidang sosial, zakat berfungsi untuk menghapuskan kemiskinan dari masyarakat.502 Di bidang ekonomi, zakat mencegah penumpukan kekayaan di tangan sebagian kecil manusia dan merupakan sumbangan wajib kaum muslimin untuk perbendaharaan negara. Perkembangan sumber-sumber ekonomi modern seharusnya mengembangkan pula sumber-sumber zakat, karena tujuan zakat adalah transfer kekayaan dari masyarakat yang kaya kepada masyarakat yang kurang mampu, sehingga setiap kegiatan yang merupakan sumber kekayaan harus menjadi sumber zakat. Dalam praktiknya, syariat tidak mewajibkan zakat melainkan atas harta yang telah mencapai nisab,503 status kepemilikannya penuh, berkembang dan berjangka satu tahun atau setelah panen.504 Dalam ketentuan tersebut, terdapat
500
Yu>suf Al-Qarad}aw > i, Fiqh Al-Zaka>h, jld. i, 64. Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, jld. i, 276. 502 Kemiskinan yang menimpa umat Islam mayoritas, sesungguhnya merupakan potret dari kemiskinan structural, yaitu kemiskinan yang bukan diseba>bkan oleh lemahnya etos kerja, melainkan diseba>bkan oleh ketidakadilan sistem. Kemiskinan model ini sangat membahayakan kelangsungan hidup sebuah masyarakat, sehingga diperlukan adanya sebuah mekanisme yang mampu mengalirkan kekayaan yang dimiliki oleh kelompok masyarakat mampu (the have) kepada kelompok masyarakat yang tidak mampu (the have not). 503 Lihat tabel Nisab Zakat dalam lampiran. 504 Tidak ada seorang ulama pun yang tidak mensyaratkan nisab selain ima>m Abu> H{ani>fah dimana dia tidak mensyaratkan pencapaian nisab ini dalam zakat pertanian. Jadi dia memandang bahwa zakat pertanian harus dikeluarkan baik sedikit ataupun banyak. Dalil-dalil tentang nisab adalah hadith dan ijma’. Dalam hadith, Rasulullah Saw. bersabda; "tidak ada kewajiban zakat dalam perak yang kurang dari lima uqiyah, tidak ada kewajiban zakat dalam onta yang kurang dari lima ekor dhaud, dan tidak ada kewajiban zakat dalam hasil bumi yang kurang dari lima wisq”. Lihat AlBukha>ri, S}ah}ih> } al-Bukha>ri, ba>b Zaka>t Al-Wariq, jld. ii, 279 no. 1355. Ukuran yang disebutkan dalam 501
137
kebijakan mengenai distirbusi kekayaan individu. Kitab-kitab fikih telah memuat kesepakatan ulama tentang ketentuan ini. Dalam kitab al-Bada>‘i‛ disebutkan bahwa harta benda yang wajib dizakati adalah sejumlah nisab dari harta benda yang tumbuh, dan melebihi kebutuhan asasi manusia.505 Sementara dalam Bida>yat al-
Mujtahid disebutkan bahwa orang yang wajib mengeluarkan zakat, dalam kesepakatan ulama adalah setiap muslim yang merdeka, baligh, berakal, memiliki nisab dengan kepemilikan yang sempurna.506 Dan dalam Kifa>yat al- Akhya>r terdapat batasan tentang nisab yang menentukan bahwa seorang yang memiliki harta benda di bawah standar nisab, tidak wajib berzakat.507 Kemudian ditegaskan dalam kitab
Kashsha>f al-Qina>‘ bahwa nisab zakat merupakan penyebab dari kewajiban zakat.508 Peran negara sangat penting dalam memaksimalkan pelaksanaan kewajiban zakat ini.509 Peran tersebut teraplikasikan dalam bentuk pengontrolan dan pengecekan terhadap kebersinambungan pengeluaran zakat harta benda individu, pemberian hukuman atas setiap muslim yang mengingkari kewajiban itu dan pemaksaan terhadapnya untuk menunaikannya.510 Bahkan bila perlu pemerintah dapat menggunakan kekuatan dalam memungut zakat, seperti yang dilakukan oleh Abu> Bakar Al-S}iddi>q, khalifah pertama yang memerangi kelompok pembangkang yang menolak menunaikan zakat. 511
hadith ini dikonversikan di dalam tabel (lihat lampiran). Hadith ini menerangkan tentang hitungan nisab yang mewajibkan zakat. Ulama telah berijmak tentang syarat nisab dalam kewajiban zakat. 505 Abu> Bakr ibn Mas‘u>d Al-Ka>sa>ni, Bada>’i‘Al-S}ana>’i‘ fi> Tarti>b al-Shara>’i‘ (Beirut: Da>r alKutub al-‘Ilmiyah, 1406 H) jld. ii, 477. 506 Muh}ammad ibn Ah}mad, Ibn Rushd, Bida>yah al-Mujtahid (Beirut, Da>r Ibnu Hazm, 1416/1995) jld., ii, 482 507 al-Hus}ni, Kifa>yat al- Akhya>r, (Kairo: Da>r al-Ma’rifah tt.), jld. i, 210 508 Mans}ur> ibn Yu>nus al-Buhu>ti, Kashsha>f al-Qina>‘ (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah tt.) jild, ii, 196 509 Efek pewajiban zakat adalah signifikan dalam meningkatkan penerimaan zakat. Lihat Monzer Kahf, Zakah Management in Some Muslim Countries (Jeddah: IRTI, 2000), 43. 510 Al-Nawa>wi, Al-Majmu>‘ Sharh} al-Muhadhdhab, jld. v, 334 dan Ibnu Quda>mah, Al-Mughni>, jld. ii, 434. 511 al-Shawka>ni, Nayl al-Awt}ar> , kita>b al-Zaka>h, jld. iv, 19.
138
Peran pemerintah sangat diperlukan dalam pelaksanaan distirbusi kekayaan melalui zakat, disamping untuk mengawasi harta benda yang tampak dan terbuka, yang lebih penting lagi adalah mengawasi penunaian zakat pada harta benda yang tersembunyi; yaitu harta benda milik individu yang tidak terakses atau teraudit oleh umum. Pemerintah sangat berperan dalam memungut zakat dalam hal ini dan mendistribusikannya kepada para mustahik yaitu delapan pos (as}na>f) yang telah ditentukan,512 secara merata dan adil. Di samping itu pengeluaran zakat dan pengalokasiannya secara individu lansung kepada para mustahiknya, bisa berakibat penumpukan zakat pada individu tertentu sehingga distribusinya tidak merata dan tidak adil terhadap para mustahik lainnya. Efek positif zakat terhadap distirbusi harta terlihat jelas dari dua ciri;
Pertama dana zakat didistirbusikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya, baik dalam bentuk tunai, dalam bentuk benda yang konsumstif maupun dalam bentuk barang-barang yang produktif. Kedua, distirbusi dana zakat tidak dibatasi dengan batasan jumlah tertentu, sehingga bila dana zakat surplus, setiap mustahik dapat menerima dana yang lebih dari cukup untuk menutupi kebutuhan-kebutuhan sesuai dengan standar hidup masyarakat, sekaligus pada saat yang sama dapat meningkatkan kemampuannya untuk mendapatkan penghasilan lebih tinggi sehingga dia bisa keluar dari kelompok mustahik.513 Distribusi zakat menjadi jantung peredaran dana dalam mengefektifkan dampak pemberdayaan zakat bagi kesejahteraan dan keadilan ekonomi. Prioritas dalam distribusi zakat terletak pada pemberdayaan orang fakir dan miskin sebagai kelompok pertama dan kedua dalam daftar penerima zakat. Ini menunjukkan bahwa mengatasi masalah kemiskinan merupakan tujuan utama zakat.514 Hal ini menjadi 512
Al-Qur’a>n Su>rah Al-Tawbah : 60 Kadar zakat untuk fakir miskin tidak ditentukan menurut besarnya dana zakat yang terkumpul. Hal ini karena tujuan zakat adalah memberikan tingkat hidup yang layak sebagai seorang Muslim dengan cara memampukan mustahik untuk menghidupi diri-nya sendiri dengan kemampuan yang dimilikinya. Lihat Yu>suf Al-Qarad}aw > i, Fiqh Al-Zaka>h, jld. ii, 7-12. 514 Lihat Yu>suf Al-Qarad}aw > i, Fiqh al-Zaka>h, jld. i, 510 dan 664-672. 513
139
sangat penting ketika dana zakat adalah terbatas. Untuk mewujudkan kemaslahatan, diperbolehkan tidak menyamaratakan pemberian zakat pada semua obyek zakat, bahkan diperbolehkan memberikan zakat untuk satu obyek saja. Zakat harus ditujukan sebagai modal produktif untuk fakir miskin yang sanggup bekerja namun menjadi miskin karena tidak dapat menggunakan secara penuh sumber daya disebabkan keterbatasan human physiscal dan financial capital yang dibutuhkan untuk melakukan aktivitas ekonomi agar memperoleh pendapatan yang memadai. Disini zakat harus dijadikan sebagai program spesifik yang didesain untuk mendukung penyediaan modal manusia, fisik, dan finansial yang dibutuhkan orang miskin.515 Pemberian modal produktif bisa jadi tidak sesuai dan cocok untuk kelompok pekerja atau buruh miskin yang memiliki keterbatasan waktu dan kontrak kerja. Di sini zakat dapat ditujukan sebagai equity transfer yaitu pemberian zakat dalam bentuk modal saham sehingga pekerja-buruh miskin mendapat manfaat dari aktivitas ekonomi yang luas, meningkatnya motivasi kerja, dan nilai saham yang cenderung stabil.516 Sedangkan bagi fakir miskin yang tidak sanggup bekerja dan mencari nafkah, zakat dapat ditujukan sebagai jaring pengaman sosial. Di sini zakat dapat digunakan untuk menyediakan kebutuhan dasar kelompok orang tua dan jompo, orang-orang sakit dan cacat, dan anak-anak terlantar.517 Kebutuhan sangat mendesak untuk mewujudkan bentuk pemberdayaan zakat yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat serta perkembangan pemikiran pemberdayaan ekonomi masyarakat. Misalnya, dalam kondisi bencana alam, distribusi zakat semestinya tidak hanya dalam bentuk cash transfer namun juga bisa dalam bentuk cash for work.518 515
Habib Ahmed, Role of Zakah and Awqaf in Poverty Alleviation (Jeddah: IRTI, 2004), 64. Abu al-Hasan Sadeq, A Survey of the Institution of Zakah: Issues, Theories and Administration (Jeddah: IRTI, 2002), 18 517 Habib Ahmed, Role of Zakah and Awqaf in Poverty Alleviation (Jeddah: IRTI, 2004), 64. 518 Lihat Yusuf Wibisono, “Strategi Mengefektifkan Dampak Zakat dalam Pemberdayaan Masyarakat Miskin ...” Makalah disampaikan pada Focus Group Discussion BAZNAS – Dompet Dhuafa, Tolok Ukur dan Strategi Mengefektifkan Impact Pemberdayaan Zakat Menuju Sistem Ekonomi Berkeadilan, Jakarta (14 Maret 2007). 516
140
Pengaruh distirbusi kekayaan dalam menunaikan zakat fitrah sangat jelas. Jumlah kekayaan yang mewajibkan zakat fitrah adalah kepemilikan harta yang lebih dari kebutuhan seseorang, dan nilainya seharga dua ratus dirham.519 Bahkan zakat fitrah itu wajib atas orang fakir, dengan syarat dia memiliki kemudahan, yaitu kelebihan dari harta benda yang dikeluarkannya untuk biaya dirinya dan keluarganya pada hari Idul Fitri. Kekayaan bukan syarat kewajiban zakat fitrah dalam pandangan sebagian besar ulama dan tidak pula disyaratkan mencapai nisab. Satu-satunya yang disyaratkan adalah kelebihan atas kebutuhan makanan seseorang dan makanan keluarganya.520 Sebab zakat fitrah itu dikeluarkan untuk kesucian jasmani dan jiwa. Orang fakir halal mendapatkan zakat fitrah dan seharusnya tidak mengeluarkannya. Namun dalam kondisi demikian tidak ada yang dapat menghalanginya untuk menerima zakat fitrah dan menunaikan zakat fitrah atas dirinya, sebagaimana seorang petani tetap harus mengeluarkan zakat hasil pertanian sepuluh persen atau lima persen, padahal dia sendiri masih membutuhkannya untuk anak dan keluarganya. Orang fakir tetap perlu disucikan, bila dia memiliki sejumlah makanan pokok untuk zakat fitrah yang lebih dari kebutuhannya, sehingga dia perlu mengeluarkan zakat fitrah.521 Dalam pensyariatan dan pengamalan zakat terealisasi distirbusi kekayaan individu yang sangat berpengaruh dalam mencukupi makanan pokok. Zakat fitrah nilainya tetap (satu S}a‘> = kurang lebih 3,5 kg) tidak bertambah, meskipun orang bertambah kaya dan memiliki harta benda yang berlimpah. Oleh karena itu dalam hal ini ketentuan kewajiban mengeluarkannya setelah mencapai nisab tidaklah benar.522 Pertimbangan memiliki makanan pokok untuk sehari-semalam adalah
519
Abu> Bakr ibn Mas‘u>d Al-Ka>sa>ni, Bada>’i‘Al-S}ana>’i‘ fi> Tarti>b al-Shara>’i‘ (Beirut: Da>r alKutub al-‘Ilmiyah, 1406 H) jld., ii, 477 520 Muh}ammad ibn Ah}mad, Ibnu Rushd, Bida>yah al-Mujtahid (Beirut: Da>r Ibn H{azm, 1416/1995), jld. ii, 549. 521 al-Baghda>di, Al-Ishra>f, jld. I, 415 522 Muh}ammad ibn Mahmu>d, Al-‘Ina>yah (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1420 H), jld. ii, 287.
141
keharusan. Tujuan syariat zakat fitrah adalah mencukupi makanan pokok untuk orang fakir walaupun hanya pada hari Idul Fitri tersebut.523 2. Pelaksanaan Kurban dan Sembelihan lainnya Para ahli fikih sepakat mensyaratkan kecukupan dan kemudahan dalam kewajiban kurban. Kurban wajib atas orang kaya, dan kekayaan yang mewajibkannya adalah kepemilikan harta sejumlah nisab zakat atau seharga dengannya dari harta benda yang tidak wajib dizakati.524 Hukum paling minimal dari kurban adalah sunnah mu’akkadah atas orang yang mampu melakukannya, baik orang kaya ataupun orang miskin.525 Syariat kurban mensyaratkan kekayaan dan keluasan dalam harta, namun ia tidak membedakan perintah dalam pelaksanaannya antara orang kaya dengan orang miskin.526 Islam sangat memakruhkan sikap meninggalkan ibadah kurban atas orang yang mampu dan memiliki kelapangan dalam harta.527 Bahkan Islam menganjurkan pemeluknya yang ingin berkurban untuk mempersiapkan diri agar tidak lupa dan dapat melakukan syariat kurban sebaik-baiknya.528 Distirbusi kekayaan melalui sembelihan hewan dan pembagian dagingnya terdapat pula pada syariat
aqi>qah,wali>mah,dan lain-lain. 3. Pembayaran Kaffa> rah Kaffa>rah ra
Kaffa>rah bisa berupa tebusan dengan puasa atau membayar dengan harta benda.529 Yang berupa harta benda adalah; memerdekakan budak, memberi makanan orang miskin, memberikan pakaian, atau menyembelih binatang. Distirbusi 523
al-Shawka>ni, Nayl al-Awt}ar> , jld., iv, 496 Ibnu Rushd, Bida>yat al-Mujtahid, jld. ii, 829 525 al-Margina>ni, al-Hida>yah, jld. iv 355 526 Al-Kasa>ni, Bada>’i‘ Al-Shan a>’i‘, jld. vi, 283 527 Ibn H{ajar Al-‘Asqala>niy, Fath} al-Ba>ri, jld. xi, 6670 528 Berkaitan dengan perintah ini Rasulullah Saw. bersabda, “Bila kalian melihat hilal bulan 524
Dhul Hijjah, dan diantara kalian ada yang ingin berkurban, maka hendaklah dia mencegah dirinya dari mencukur rambutnya dan memotong kukunya”. Abu al-Husain Muslim ibn Hajja>j Al-Qushairi, Shahih Muslim, ba>b. Nahy Man Dakhala ‘Alaihi ‘Ashru Dhi Al-Hijjat… jld. iv, 171, no. 3654. Lihat pula al-Margina>ni, al-Hida>yah, jld. iv, 355 529 Lihat tabel kaffa>rah dalam lampiran.
142
kekayaan dalam kaffa>rah harta benda terletak pada ketentuan bahwa seorang mukallaf diperintahkan membayar kaffa>rah harta benda selama dia memiliki harta benda untuk kepentingan fakir miskin dan hamba sahaya. Atas dasar ini bila orang kaya melakukan sesuatu yang mewajibkannya membayar kaffa>rah harta benda, maka dia harus menunaikannya karena hal itu merupakan wa>jib ‘ain atas dirinya. Muslim yang merusak atau membatalkan puasanya dengan bersetubuh secara sengaja, wajib membayar kaffa>rah, yaitu memerdekakan budak, bila tidak, maka dia harus berpuasa dua bulan berturut-turut, dan bila tidak mampu juga, maka dia wajib memberikan makanan enam puluh orang miskin. Kaffa>rah ini disusun dengan aturan berikut; memerdekakan budak lebih dahulu, baru berpuasa dan memberikan makanan, sehingga tidak boleh seseorang beralih dari pilihan pertama kepada pilihan berikutnya melainkan setelah dia tidak mampu melakukan pilihan kaffa>rah sebelumnya.530 Orang yang melakukan haji Tamattu‘ yaitu berihram untuk umrah dulu kemudian bertahallul, kemudian melaksanakan haji, atau berihram untuk umrah dan haji sekaligus, maka dia wajib membayar kaffa>rah (hadyu). Kaffa>rah ini bentuknya adalah harta benda bila pelakunya memiliki kemudahan dan kelapangan yaitu dengan menyembelih hewan yang mampu dilakukannya. Bila dia tidak menemukan hewan, karena tidak memiliki harta benda atau karena hewannya sendiri tidak ada, 530
Dalil kaffa>rah ini adalah hadith riwayat Abu> Hurayrah r.a. berkata, “ketika kami sedang duduk di sekeliling Rasulullah Saw., tiba-tiba datang seorang laki-laki seraya berkata, “wahai Rasulullah aku telah hancur”. Rasulullah Saw. bertanya, "kenapa?” Dia menjawab, “aku melakukan jimak dengan isteriku ketika aku berpuasa”. Kemudian Rasulullah Saw. bersabda, "apakah kamu memiliki budak yang dapat kamu merdekakan?” Dia menjawab, “tidak”. Rasulullah Saw. bertanya lagi, “apakah kamu bisa berpuasa dua bulan berturut-turut?”. Dia menjawab, “tidak”. Rasulullah Saw. bertanya lagi, “apakah kamu bisa memberi makanan enam puluh fakir miskin?” Dia menjawab, “tidak”. Dia bercerita, “maka Rasulullah pun terdiam sejenak. Ketika dalam keadaan demikian, sekonyong-konyong seseorang datang menghadiah bejana yang berisi kurma kepada Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. bertanya lagi, “mana orang yang bertanya tadi?”. Dia menjawab, “saya.” Rasulullah Saw. bersabda, "ambillah ini dan bersedekahlah dengannya”. Orang tersebut bertanya lagi, “atas orang yang lebih fakir daripadaku wahai Rasulullah? demi Alla>h, tidak ada di antara dua sisi kota Madinah ini yang lebih fakir daripada keluargaku”. Rasulullah Saw. pun tersenyum hingga kelihatan giginya, seraya bersabda, “berilah makanan ini kepada keluargamu”. Lihat al-Bukha>riy, S}ah}i>h} alBukha>riy, ba>b, Idha> ja>ma‘a fi> Ramad}a>n… no. 1800.
143
maka dia wajib berpuasa tiga hari selama musim haji, dan ditambah tujuh hari lagi ketika dia telah kembali ke tempat tinggal asalnya. Di sini orang yang mampu tidak boleh memilih berpuasa lebih dahulu, melainkan setelah tidak mendapatkan hewan sembelihan karena hal itu wajib atas dirinya terlebih dahulu. 531 Orang yang berihram sama sekali tidak boleh mencukur rambutnya sedikitpun hingga dia bertah}allul. Bila dia melakukannya maka dia wajib membayar
kaffa>rah. Dia boleh memilih antara tiga pilihan; yaitu menyembelih atau memberikan makanan atau boleh juga memilih pilihan yang ketiga, yaitu berpuasa.532 Kaffa>rah ini terjadi pada kasus Ka‘ab ibn ‘Ajrah r.a. yang berpenyakit kutu, sehingga Rasulullah Saw. menyuruhnya agar mencukur botak kepalanya padahal dia baru sampai di Hudaibiyah, dan pada saat itu belum jelas apakah dia sudah boleh bertahallul, karena dia masih berkeinginan masuk ke Mekkah. Maka Allah menurunkan ayat tentang fidyah. Kemudian Rasulullah Saw. menyuruhnya agar memberi makanan enam orang, atau menyembelih kambing atau berpuasa tiga hari.533 Syariat melarang orang yang sedang berihram baik untuk haji ataupun umrah, dari berburu di daratan. Bila muslim melanggar ketentuan ini, maka dia wajib membayar kaffa>rah, yaitu mengganti seperti hewan yang diburunya bila terdapat hewan ternak yang semisal dengannya. Berburu burung onta tebusannya menyembelih onta, kerbau liar tebusannya menyembelih sapi, dan berburu rusa, tebusannya menyembelih kambing. Bila hewan ternak tersebut tidak tersedia, maka harganya dikonversikan dan dibelikan makanan untuk fakir dan miskin. Kalau pelanggarnya tidak mampu, ia harus berpuasa sebanyak hari untuk masing-masing fakir dan miskin yang seharusnya diberi makanan tersebut.534
Muslim yang melakukan z}iha>r terhadap isterinya, yaitu mengharamkannya atas dirinya dengan berkata, “kamu bagiku laksana punggung ibuku” atau perkataan yang semisal dengannya, wajib membayarkan kaffa>rah sebelum kembali menggauli isterinya. Kaffa>rahnya adalah memerdekakan budak, bila tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut, dan bila tidak mampu juga, baru beralih kepada pilihan terakhir memberikan makanan kepada enam puluh fakir miskin.535 Muslim yang bersumpah atau bernadhar untuk melakukan sesuatu, atau untuk meninggalkan sesuatu, kemudian dia melanggarnya, maka wajib atasnya membayar kaffa>rah536 dengan harta benda atau berpuasa bila tidak memiliki harta benda.537 Bila dia memiliki kelapangan, maka dia harus mengeluarkan harta benda.538 Dalam hal ini dia memiliki tiga pilihan; memberi makan sepuluh fakir miskin,539
atau
memberikan
pakaian
kepada sepuluh
fakir miskin, atau
memerdekakan budak. Tiga macam kaffa>rah tersebut dimulai dari yang paling ringan dan seterusnya, sebab memberi makan lebih ringan daripada memberi pakaian, sebagaimana memberi pakaian lebih ringan daripada membebaskan budak. Jadi kaffa>rah ini meningkat dari yang rendah kepada yang lebih tinggi. Jika mukallaf tidak mampu melaksanakan salah satu dari tiga macam kaffarah ini, maka dia menebus sumpahnya dengan berpuasa selama tiga hari. Namun mukallaf tidak boleh beralih kepada puasa tiga hari, bila dia kaya. 540
535 536
Lihat al-Qur’a>n su>rah Al-Muja>dilah: 3-4
"Barangsiapa bernadhar sesuatu nadhar yang tidak mampu dilaksanakannya, maka kaffarahnya adalah kaffarah sumpah." Lihat Abu> Da>wu>d, Sunan, no. 3322, dan Ibnu Ma>jah, Sunan, no. 2128.
537
“Kaffa>rah nadhar adalah kaffa>rah sumpah.” Lihat Muslim, Shah}i>h} Muslim, no. 1645, AlTirmidhi, Sunan, no. 1528; Al-Nasa>’i, Sunan, no. 3832; Abu> Da>wu>d, Sunan, no. 3323, namun lafaz} hadith tersebut adalah lafaz} Muslim. 538 Ibnu Kathi>r, Tafsi>r al-Qura>n Al-‘Azhi>m, jld. iii, 176. 539 Kaffarah dengan beras wajib diberikan kepada sepuluh orang miskin, masing-masing satu mud (544 gram). Lihat 'Abd al-Qadi>m Zallu>m, al-Amwa>l fi Daulat al-Khila>fah (Beirut: Da>r al-'Ilm li al- Mala>yi>n, 1983), 60. 540 Lihat al-Qur’a>n su>rahAl-Ma>'idah: 89
145
Kalau pelaku sumpah atau nadhar meninggal, maka dalam kasus ini, alShawka>niy menukil pendapat Ibnu H{azm, bahwa ahli waris berkewajiban melaksanakan nadhar dari orang yang diwarisinya dalam semua keadaan.541 Muslim yang melakukan pembunuhan karena suatu kesalahan tanpa sengaja, wajib membayar kaffa>rah berdasarkan kesepakatan ulama. Demikian pula bila dia melakukan pembunuhan itu dengan sengaja menurut ima>m al-Sha>fi‘i berdasarkan dalil analogi yang lebih utama (al-qiya>s al-awla>), dan diriwayatkan pula pendapat serupa dari ima>m Ah}mad.542 Kaffa>rahnya adalah memerdekakan budak yang mukmin bila menemukannya, dan bila tidak, harus berpuasa dua bulan berturutturut.543 4. Pembayaran Denda Denda Syariat mewajibkan atas orang mampu bila memiliki hutang agar segera melunasinya dan diharamkan atasnya melakukan penundaan pembayaran. Bila dia melakukannya, maka dia telah berdosa dan melanggar larangan.544 Setiap muslim wajib menunaikan amanat termasuk diantaranya pelunasan hutang bagi orang yang mampu melakukannya. Dia haram melakukan yang sebaliknya yaitu menunda atau
541
Yang dibolehkan adalah menunaikan nadhar dari seseorang yang sudah meninggal, bukan yang masih hidup. Lihat Al-Shawka>ni, Nayl al-Awt}ar> Sharh Muntaqa> al-Akhba>r min Ah}adi>th Sayyid al-Akhya>r, (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabiy, 1994), jld. iv, 177 pada ba>b Qad}a‘> u Kulli Al-Mandhu>ra>t ‘an Al-Mayyit mengetengahkan hadith berikut :
U 0%T U 4 2 ( 9 @ , F ] ( oO $ + U T 4 F 4% ES 4 U 0%T E75 7T / V >F% P B T $ O b k >F P B 4 >F P F F 4 2 # T 4 F 4% ES 4 Dari Ibnu Abbas bahwa Sa’ad ibn Uba>dah meminta fatwa kepada Rasulullah SAW, dia berkata, "Sesungguhnya ibuku telah meninggal sedangkan dia masih berkewajiban melaksanakan nadhar yang belum ditunaikannya." Maka Rasulullah SAW bersabda, 'Tunaikanlah nadhar itu olehmu untuknya." Dengan demikian, jelaslah, bahwa ahli waris dapat melaksanakan nadhar dari orang yang diwarisinya yang sudah meninggal. Berarti jika orang yang bernadhar itu masih hidup dan belum meninggal, nadhar itu wajib dilaksanakan oleh dia sendiri dan tidak boleh ada orang lain yang melaksanakan nadharnya. 542 Ibnu Quda>mah, Al-Mughni, jld. x, 38 543 Lihat al-Qur’a>n su>rah al-Nisa>’ : 92 544 Lihat al-Qur’a>n su>rah al-Nisa>’: 58
146
tidak melunasinya.
545
Walaupun demikian dalam Islam sangat dianjurkan untuk
memberikan tenggang waktu untuk orang yang mengalami kesulitan.546 Dalam kasus demikian Bayt al-Ma>l memberikan jaminan untuk membayar balik pinjaman yang berada diatas kemampuan pengutang.547 Hal ini menunjukkan bahwa orang yang lapang harus menunaikan kewajiban hutang dan harus dituntut. Bila dia tetap menolak membayar hutang padahal dia telah mampu maka dia zalim.548 Orang kaya yang sengaja menunda pembayaran hutang, harus dihukum oleh pemerintah dengan hukuman setimpal dan sesuai; seperti pengenaan denda, penjara, cambuk, dan hukuman lain yang berdampak efek jera, hingga dia mau membayar hutangnya. Para ulama sepakat bahwa hukum ta‘zi>r disyariatkan atas setiap maksiat yang tidak disebutkan hukum hadnya secara pasti dan tidak ada kaffa>rah atasnya.549 Hal itu menunjukkan bahwa menghukum orang yang sengaja menunda pembayaran hutang, dibolehkan bila dia dalam kondisi lapang dan kaya. 5. Pemberian Mahar Kesetaraan (kufu>’/kafa>’ah) dalam masalah pernikahan merupakan salah satu pertimbangan dalam memilih pasangan hidup, agar lebih mudah membangun hubungan yang lestari, seimbang, adil dan menghindari eksploitasi dan kezaliman salah satu pihak. Kafa>’ah adalah keadaan dan kondisi suami yang hampir sama dengan kondisi isteri.550 Pertimbangan unsur kafa>’ah dalam pernikahan, khususnya dalam pertimbangan kesetaraan dalam kualitas ketaatan beragama (al-Di>n), merupakan perkara yang disepakati. Diantara unsur kafa>’ah yang lain adalah kesetaraan dalam kekayaan, sehingga laki-laki yang fakir tidak setara dengan wanita 545
Rasulullah Saw. bersabda; “penundaan (bayar hutang) orang kaya adalah kezaliman, sehingga kehormatannya dan penghukuman atasnya menjadi halal.” Lihat al-Bukha>riy, S}ah}ih> } alBukha>riy, ba>b, Mat}l al-ghaniy z}ulm, no. 2225. Hadith ini merupakan dalil atas diharamkannya penundaan pembayaran hutang tanpa halangan. 546 Lihat al-Qur’a>n su>rah Al-Baqarah: 280 547
yang kaya dan seharusnya tidak boleh menikahinya. Pada masa Rasulullah Saw. terjadi kasus yang menimpa Fa>ti} mah binti Qays ketika dilamar oleh Mu‘a>wiyah dan Abu> Jahm. Rasulullah Saw. berfatwa bahwa Mu‘a>wiyah adalah orang fakir yang tidak memiliki harta benda.551 Kasus ini menunjukkan bahwa harta benda menjadi pertimbangan dalam pernikahan dan menentukan mahar, karena wanita akan terancam bahaya bila suaminya miskin dan tidak bisa memberikannya nafkah. Dengan demikian kekayaan menentukan kadar dan kualitas mahar yang wajib diserahkan oleh mempelai pria kepada mempelai wanita.552 6. Pelaksanaan Nafkah Wajib Dalam Islam, seseorang wajib membiayai kebutuhan dirinya sendiri dan harus diutamakan atas kebutuhan orang lain karena hal itu adalah fardu ‘ain.553 Orang harus membiayai dirinya sendiri untuk makan, minum, pakaian, tempat tinggal, kendaraan dan lain-lain.554 Menurut Ibnu H{ajar setiap orang harus memberikan porsi kebutuhan yang menjadi hajat pokok manusia untuk dirinya sendiri secara memadai, dari segala yang dihalalkan oleh Allah Swt. baik berupa makanan, minuman maupun tempat istirahat.555 Orang kaya diperintahkan untuk memberikan nafkah kepada isterinya sesuai dengan kekayaan dan kelapangannya.556 Dia harus memperluas dan melapangkan kebutuhan isterinya sebagaimana Allah telah melapangkan rezki baginya,557 selama tidak melampaui batas kepada sikap boros, berfoya-foya dan berlebihan. Dengan 551
Hadith tersebut berbunyi;
4 U =9 0 m % j ! % O 4 ( F P F A% mF _% 2 ! k 0%BO O T 4 F 4% ES 4 U 0%T U #x
“tiada makanan yang lebih baik dimakan oleh seseorang daripada makanan yang dihasilkan dari usaha tangannya sendiri” al-Bukha>riy, S}ah}i>h} al-Bukha>riy, Kitab al-bay‘, ba>b, kasb al-rajul bi yadih, 303 no. hadith 2072 555 Ibnu H}ajar, Fath} al-Ba>ri, jld. iv, 84-85. 556 al-Qurt}u>biy, Al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jld. xviii, 112 557 Lihat al-Qur’a>n su>rah al-T{ala>q : 7
148
demikian kewajiban nafkah ini memiliki pengaruh terhadap distirbusi kekayaan bagi isteri yang bertingkat-tingkat sesuai dengan kelapangan dan kekurangan seseorang. Orang kaya wajib memberikan nafkah sesuai standar orang kaya dan kelapangannya. Biaya dan nafkah anak-anak adalah tanggungan dan kewajiban ayahnya, ketika masih kecil dan belum memiliki harta benda. Orang tua yang kaya harus membiayai anak-anaknya sesuai dengan standar kekayaannya. Dalam al-Qur’a>n terdapat larangan membunuh anak-anak karena takut miskin.558 Menurut Ibnu Taymiyah pembiayaan atas anak yang masih dalam kandungan dan masih dalam susuan, merupakan kewajiban ayah memberikan nafkah atas ibunya yang mengandungnya, karena pada kondisi demikian tidak mungkin memberikan biaya kepada anak langsung dan harus melalui ibunya. Apalagi bila anak telah terpisah dan tersapih dari ibunya, maka kewajibannya lebih tegas dan kuat.559 Anak yang kaya wajib membiayai kehidupan kedua orangtuanya yang fakir. Tidak ada perbedaan dalam hal ini baik anak masih kecil ataupun sudah besar, dan baik wanita ataupun laki-laki, selama anak memiliki kekayaan. Anak tidak boleh membiarkan orangtuanya menderita dan menghadapi kesulitan. Dia harus melapangkan kehidupan keduanya bila dia mampu dan kaya. Islam menegaskan kepada setiap anak agar berbuat baik kepada kedua orangtua dan membiayai kehidupan mereka ketika mereka dalam kondisi membutuhkan dan karena kefakiran mereka.560 Al-Qur’a>n memerintahkan bersyukur kepada Allah Swt. dan berterima kasih kepada orang tua. Aplikasinya adalah dengan membiayai kehidupan ayah dan ibu dan menanggung kebutuhan keduanya bila mereka telah lemah dan tidak mampu lagi bekerja. Memenuhi kebutuhan kedua orangtua adalah salah satu bentuk kesyukuran,
sehingga hal itu menjadi sebuah kewajiban.561 Oleh karena itu anak berkewajiban membiayai kedua orangtuanya ketika membutuhkannya. Dalam hadith ditegaskan bahwa harta benda anak merupakan harta kedua orangtuanya juga.562 Hadith tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. telah menisbatkan harta benda anak kepada orangtuanya dengan sifat kepemilikan. Makna tekstual hadith menunjukkan bahwa kepemilikan orangtua adalah kepemilikan hakiki. Kalaupun tidak sampai pada kepemilikan yang hakiki, namun paling kurang orangtua boleh mengambilnya ketika harta tersebut dibutuhkannya.563 Dalam konsensus ulama ditemukan bahwa mereka telah bersepakat atas kewajiban memberikan nafkah dan biaya hidup untuk kedua orangtua yang fakir. 564 Walaupun tidak sampai kepada derajat hukum wajib, namun membiayai kerabat sangat dianjurkan dalam al-Qur’a>n.565 Kerabat memiliki hak atas kerabatnya sebagai bagian dari silaturrahim dan ikatan nasab dan darah. Anjuran nafqah ini sangat memperhatikan orang-orang yang miskin dan cacat serta kerabat-kerabat dekat.566 Ath-Thahawi menyatakan bahwa kewajiban memberikan nafkah pada kerabat-kerabat yang miskin dan cacat jasmani adalah sangat sesuai dengan formula
al-ghurm bi al-ghunm, dan merupakan tambahan kewajibannya dalam memberi nafkah yang berkenaan dengan anak, isteri, budak dan binatang.567 7. Pembayaran Diy Diyah (Kompensasi) Dalam menanggung pembayaran tebusan diyah (kompensasi) terhadap keluarga yang terbunuh atau ahli warisnya, seluruh anggota keluarga pembunuh atau anggota kabilah dan sukunya yang laki-laki, berakal, baligh dan lapang (kaya) harus 561
Al-Kasa>niy, Bada>‘i’ Al-S}ana>‘i’, jld. v, 167-168. Jabir r.a. meriwayatkan hadith bahwa seorang datang kepada Rasulullah Saw. mengadukan ayahnya karena ingin mengambil hartanya. Maka Rasulullah Saw. bersabda; "kamu dan harta bendamu adalah milik ayahmu”. Ibnu Ma>jah, Sunan, ba>b, Ma> li al-Rajul min Ma>l Waladih, no. 2282. 563 Al-Kasa>niy, Bada>’i‘ Al-S}ana>’i‘, jld. v, 168-171. 564 Ibnu Hazm, Mara>tib al-Ijma>‘ (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabiy, tt.), 79. 565 Lihat al-Qur’a>n, su>rah al-Nisa>’ : 36 566 Mufti Syafi’, 49 562
567
Ath-Thahawi, op.cit., 393-94
150
ikut serta menanggung bersama. Ini adalah satu bentuk santunan dan solidaritas bersama dalam menanggung beban diyat tersebut. Orang miskin tidak wajib ikut serta membayar diyat. Yang wajib adalah orang kaya dan kelas menengah. Orang kaya wajib ikut serta sebanyak setengah dinar, sedangkan yang kelas menengah seperempat dinar.568 8. Pelunasan HakHak-hak Umum dan Negara Yang dimaksudkan dengan hak-hak umum di sini adalah hak pemerintah, bangsa dan masyarakat terhadap sebagian dari kekayaan seseorang. Setiap anggota masyarakat atau negara, berkewajiban ikut serta menopang dan menguatkan negara dan masyarakat, apalagi dalam kondisi krisis. Semua orang kaya terkena hukum
fard}u kifa>yah untuk menguatkan dan menopang negara dan bangsa secara materi ketika berada dalam krisis. Apalagi dalam kondisi perang dan negara berada dalam kesulitan dana dan kekurangan anggaran, karena sebab-sebab tertentu. Ibnu al‘Arabiy menyebutkan kebijakan ini ditempuh untuk menutupi anggaran dan pembendaharaan negara yang tidak memadai.569 Pendapat bahwa negara berhak menghimpun dana dari masyarakat di samping zakat, telah dikuatkan oleh banyak ilmuan dan ulama Islam yang cukup representatif dari seluruh madhhab yang ada.570 Kebijakan ini ditempuh karena pungsi zakat secara primer adalah terfokus kepada kemakmuran orang-orang miskin, faqir dan yang membutuhkan. Sementara negara membutuhkan sumber dana lain untuk program-program alokasi, distribusi dan stabilisasi lain secara efektif. Abu> Yu>suf mendukung pendapat bahwa negara berhak meningkatkan pajak dan menurunkannya sesuai dengan kemampuan rakyat untuk memikulnya.571 AlMarghina>ni menyebutkan bahwa bila sumber-sumber pendapatan negara tidak mencukupi, maka negara berhak mengumpulkan dana dari masyarakat untuk 568
Al-Nawa>wiy, Rawd}at al-T}alibi>n, jld. viii, 2306. Ibnu al-‘Arabi, Ah}ka>m al-Qur’a>n, jld. iii, 1202-1203 570 Kewajiban zakat atau pajak keagamaan ini juga dapat ditemukan dalam Perjanjian Lama (Lev. 27:30; Deut. 14:22; Num. 18:21; Neh. 11:37). 571 Abu> Yu>suf, Kita>b al-Khara>j (Hadith 1335), 85 569
151
pelayanan umum mereka, bahkan bila manfaatnya langsung dapat dinikmati oleh mereka, adalah menjadi kewajiban mereka menanggung biayanya.572 Yu>suf AlQarad}a>wi mendukung negara boleh memungut pajak untuk menutupi defisit anggarannya.573 Untuk merespon pendapat orang-orang yang menolak pembebanan pajak, maka mau tidak mau harus diupayakan sistem pajak yang adil dan berjalan harmoni dan seiring dengan ajaran Islam. Paling tidak ada enam kriteria pembebaban pajak yang adil;
Pertama; Pembebanan pajak harus disandarkan pada pembiayaan untuk pemenuhan kebutuhan yang sesuai dengan maqa>si} d al-shari>‘ah, tujuan-tujuan kemanusiaan dan tujuan-tujuan luhur bangsa.
Kedua; Pembebanan pajak tidak boleh kaku, monoton dan dalam jumlah yang tetap tanpa perubahan. Jadi ia harus benar-benar disesuaikan dengan kemampuan rakyat untuk menanggung dan didistribusikan secara merata dan adil.
Ketiga; Hasil pungutan pajak harus benar-benar digunakan untuk tujuan yang telah dirumuskan dan direncanakan, dengan tidak ada penyimpangan dan penggelapan.
Keempat; Pembebanan pajak harus adil dan merata, dimana pajak harus dibebankan kepada seluruh rakyat sesuai dengan kemampuannya.
Kelima; Pembebanan pajak harus serendah mungkin dan sesederhana mungkin. Keenam; Pembebanan pajak harus pada harta benda yang berkembang, bukan pada harta benda yang menjadi kebutuhan pokok seseorang. 574 Setiap pembebanan pajak yang tidak memenuhi kriteria tersebut, dalam pandangan Islam adalah kezaliman dan sepakat dikecam pemberlakuannya.575 Jadi bila pajak pemeliharaan jalan raya umpamanya tidak berwujud dalam pemeliharaan 572
al-Margina>ni, al-Hida>yah, jld. iv, 105. Al-Qarad}a>wi menyatakan; “saat negara menanggung beban kewajiban yang terus
573
meningkat seiring perkembangan zaman, seseorang akan ikut bertanya; “dari mana lagi negara menghimpun dana ? Lihat Yu>suf Al-Qarad}a>wi, Fiqh Al-Zaka>h, jld. ii, 1074. 574 Abd al-Wahha>b Khalaf, Al-Siya>sah Al-Shar‘iyyah (Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, 1993), 108-109. 575
M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge, 296
152
jalan dan para pengusaha merasa kecewa dengan kondisi jalan yang rusak ketika melakukan aktivitas-aktivitas distribusi dan pengiriman barang, mereka pun akan mencari-cari celah untuk menghindar dari pembayaran pajak dan atau bahkan menolak membayarnya secara terang-terangan. Para khalifah khususnya ‘Umar, ‘Ali dan ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz dalam riwayat disebutkan bahwa mereka memerintahkan untuk memungut pajak dengan adil, ringan dan lunak, porsinya tidak di atas kemampuan rakyat untuk menanggungnya dan juga tidak menghalangi mereka memenuhi kebutuhan pokok dan asasi karenanya.576 Maka Abu> Yu>suf mengemukakan teorinya bahwa sistem pajak bukan hanya bertujuan menguatkan kemampuan dana pemerintah tetapi harus juga menopang pertumbuhan dan kemajuan taraf hidup rakyat khususnya di sisi ekonomi.577 Sementara Al-Mawardi beragumentasi bahwa sistem pajak yang adil harus memperhatikan keadilan dari sisi pembayar dan dari sisi kekayaan negara. Memungut pajak terlalu banyak adalah tidak sesuai dengan hak-hak kelayakan kemampuan rakyat dan memungut terlalu sedikit juga tidak adil dengan kebutuhan aset publik.578 Kutipan surat dari T{a>hir ibn Husayn kepada anaknya yang menjabat sebagai gubernur salah satu propinsi, menjelaskan tentang distribusi pajak.579 Merujuk kepada target-target keadilan sosial dan distribusi merata di atas, maka sistem pajak proporsional580 lebih tepat dan cocok dengan semangat dan tujuantujuan Islam. Selain pajak ada kewajiban bea cukai yang dibebankan kepada harta benda yang dijadikan komoditas jual-beli, baik yang diimpor dari negara lain ataupun yang Abu> Yu>suf, Kita>b al-Khara>j (1335 H), 14, 16 dan 86 Abu> Yu>suf, Kita>b al-Khara>j (1335 H), 111 578 Al-Ma>wardi, Al-Ah}ka>m al-Sult}a>niyyah, 209. 579 di dalamnya tercantum; “Jadi distribusikanlah pajak itu diantara rakyatmu dengan adil 576
577
dan merata, jangan ada satu pun yang dikecualikan karena status kehormatannya dan kekayaannya, bahkan jangan sampai mengistimewakan para pegawai, penasehat dan pengikutmu. Ingatlah jangan sampai kamu membebani seseorang dengan pajak yang jumlahnya di atas kemampuannya”. Ibnu Khaldu>n, al-Muqaddimah (Damaskus : Da>r al-Shuru>q, 1985), 308. 580
Tipe pembebanan pajak progresif dan regressif kurang tepat. Lihat Lewis C. Solmon,
Economics, 133.
153
diekspor ke luar negeri, atau harta benda yang dijadikan komoditas perdagangan dalam lintas wilayah di suatu negara.581 ‘Umar ibn Khat}t}a>b merupakan khalifah pertama yang membuat kebijakan bea cukai ini. Hal ini dilakukan untuk melakukan kebijakan yang sama yang dibebankan kepada para pedagang dari warga kekhalifahan Islam yang berjualan di luar wilayah kekuasaannya.582 Usyur ini dibebankan kepada semua pedagang yang memasuki wilayah negara Islam, baik pedagang muslim, dzimmi (orang yang dilindungi oleh negara Islam) ataupun orang non-muslim yang bukan warga negara Islam.583 Namun jika sebuah negara nonmuslim tidak memungut bayaran apapun dari pedagang muslim, maka negara Islam pun tidak boleh memungut bayaran dari penduduk dari negara non-muslim itu.584 Jizyah merupakan kewajiban lain yang ditetapkan oleh negara Islam atas setiap orang yang masuk dalam perlindungannya dari orang-orang non-muslim saja. Sedangkan orang-orang muslim hanya wajib berzakat saja. Dasar hukum bagi pembebanan dana ini adalah penegasan Al-Qur’a>n; “…sehingga mereka menunaikan
jizyah karena kemampuannya…”.585 Pembebanan jizyah harus dilakukan dengan adil dan bijaksana. Maka pembebanan jizyah hanya ditujukan kepada laki-laki, merdeka (bebas bukan budak), berakal tidak gila, dan mampu menunaikannya. Kewajiban ini hanya berlaku sekali setiap tahun Hijriyah. Sedangkan jumlah jizyah yang dikeluarkan adalah sesuai dengan ijtihad dan kebijakan pemerintah. 586 Dari penjelasan di atas, terdapat gambaran tentang konsep distirbusi kekayaan individu dalam Islam berdasarkan prinsip ih}sa>n dan i>tha>r yang dijabarkan pada beberapa bentuk pelaksanaan praktisnya dalam aktivitas ekonomi sehari-hari. 581
Dengan demikian ekonomi Islam menawarkan teori dan praktik dalam bidang distirbusi kekayaan individu.
155
BAB IV PENCEGAHAN PENYIMPANGAN DALAM DISTIRBUSI KEKAYAAN INDIVIDU Pencegahan terhadap penyimpangan dalam distirbusi kekayaan individu dalam ekonomi Islam lebih ditekankan pada inisiatif individu daripada kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah baru diterapkan ketika individu menyimpang dari prinsip-prinsip dan norma-norma distirbusi kekayaan dan harus diluruskan untuk mencegah keburukan yang lebih besar baik dalam skala individu ataupun skala lebih luas di tengah-tengah masyarakat. Di sinilah peran prinsip ‘iffah sangat penting yaitu dalam pembelanjaan kekayaan, pengalokasian dana terlarang, harta yang syubhat, usaha yang haram, dana kaum dhuafa dan perjuangan agama, praktik ihtikar (penimbunan), pengawasan dan pencekalan terhadap distirbusi individu. A. Aplikasi Sikap‘Iffah untuk Pencegahan Penyimpangan Distribusi Konsumsi berlebihan yang dilakukan oleh kaum kaya membuat toleransi masyarakat terhadap ketidakmerataan semakin rendah. Tindakan ini sangat dikecam dalam ekonomi Islam. Kepedulian terhadap kesejahteraan para kaum miskin melalui pemberantasan
kemiskinan
absolute
dan
meminimalkan
ketidakmerataan
pendapatan dan kekayaan hingga dalam batas-batas yang dapat diterima, memberikan demonstrasi yang praktis mengenai tatanan ekonomi kesejahteraaan dan keadilan.587 Keadaan ekonomi kaum miskin yang menyedihkan di dalam masyarakat dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi dan menimbulkan berbagai protes dari berbagai kalangan masyarakat.588 587
Ziauddin Ahmad, Islam, Proverty and Income Distribution. (Lahore:The Islamic Fondation, 1998), 9. 588 Robert L. Heilbroner, The Making of Economics Society (Prentice Hall, 1975), 32. Zaman pertengahan memperlihatkan peningkatan ketidakpuasan para petani atas nasibnya dan perjuangan yang terus menerus untuk membebaskan mereka dari genggaman perbudakan. Para ahli sejarah mencatat ribuan pemberontakan petani pada periode ini di negara-negara Eropa dan daerah lainnya
156
Implementasi ajaran-ajaran Islam di jazirah Arab dan di antara wilayahnya pada periode Islam pertama, yang termasuk di dalamnya pengenalan sistem jaminan sosial Islam, telah menghasilkan perubahan yang signifikan terhadap nasib kaum miskin. Masyarakat Muslim memelihara bias egalitarian yang tegas untuk beberapa waktu tertentu.589 Alla>h memuji hamba-Nya yang bersikap sederhana dalam membelanjakan
kekayaan,590
sehingga
lebih
banyak
berkontribusi
untuk
kesejahteraan sesama. Menurut Ibnu Kathi>r orang yang bersikap demikian adalah orang yang tidak boros dalam memanfaatkan harta dan tidak pula kikir terhadap keluarganya dan orang lain sehingga mengurangi hak-hak mereka, berlaku adil, sederhana dan bertindak yang terbaik. Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan dan tidak berlebih-lebihan.591 Sikap pertengahan sangat ditekankan yaitu tidak kikir dan menyempitkan diri dengan sikap terlalu menahan kekayaan, pada saat yang sama juga tidak berlebihan dan tidak boros. Sikap terbaik adalah pertengahan di antara semua sikap ekstrim di atas.592 Dalam praktiknya Ibnu Kathi>r menjelaskan bahwa perintah bersikap sederhana di dalam kehidupan sekaligus peringatan dari sikap kikir yaitu menahan harta dan tidak memberikannya kepada seorangpun. Sikap boros dan berlebihan dalam membelanjakan harta menyebabkan pengeluaran seseorang melebihi penghasilannya. Akibat sikap kikir, orang menjadi sasaran celaan, cercaan dan pengacuhan. Sedangkan sikap berlebihan mengulurkan bantuan di atas kemampuan, dapat membangkrutkan orang sehingga tidak memiliki apa-apa lagi bahkan bisa terlilit hutang dan menjadi seperti hasi>r, yaitu hewan tunggangan yang tidak mampu lagi berjalan.593 Pengabaian ajaran sederhana ini baik dilakukan penguasa maupun dimana mereka mendapat perlakuan penindasan yang kejam. Lihat Fernand Braudel, Civilization and Capitalism (Harper & Row, 1982), 251-255. 589 Sayyed Mahmood Taleqani, Islam and Ownership, (Lexington: Mazda Publishers, 1983), 76-77. 590 Lihat al-Qur’a>n, su>rah Al-Furqa>n: 67 591 Ibnu Kathi>r, Tafsi>r al-Qura>n Al-‘Azhi>m, jld., iii, 325 592 Lihat al-Qur’a>n, su>rah Al-Isra>’: 29 593 Ibnu Kathi>r, Tafsi>r al-Qura>n Al-‘Azhi>m, jld. i, 36.
157
rakyat membuat tanggungjawab terhadap perbaikan penderitaan kaum miskin sangat berkurang dan sistem jaminan sosial yang diatur oleh negara menjadi tidak bermanfaat.594 Dalam Islam hidup mewah dan berlebihan sangat dilarang, karena perilaku tersebut menjadikan banyak kekayaan terbuang sia-sia.595 Al-Qur’a>n menggunakan kata isra>f untuk menggambarkan segala yang melampui batas dalam pembelajaan kekayaan.596 Menurut At}a>’ ibn Abi> Raba>h setiap muslim dilarang berlaku boros dalam segala hal.597 Ibnu Kathi>r menambahkan bahwa berlebihan dalam makan, dapat membahayakan akal dan jasmani.598 Namun perilaku membelanjakan harta dan menginfakkannya dalam kebenaran, sebanyak apapun tidak termasuk dalam pemborosan.599 Berkaitan dengan konsumsi makanan, Alla>h menghimpun prinsip pokok tentang pola hidup sehat dalam setengah ayat saja, yaitu bersikap wajar, sederhana, adil dan tidak berlebihan dalam makan dan minum.600 Disamping untuk keseimbangan kebutuhan tubuh, sikap itu juga meningkatkan kemampuan distirbusi seseorang untuk manfaat sesamanya.601 Rasulullah Saw. memberikan tuntunan
594 Ziauddin Ahmad, Islam, Proverty and Income Distribution. (Lahore:The Islamic Fondation, 1998), 68 595 Al-Qur’a>n menyebut orang yang boros sebagai saudara setan. Lihat al-Qur’a>n su>rah AlIsra>’: 27. Pertanyaan moralnya adalah bagaimana mungkin seseorang bisa dengan tenang hidup mewah dan berfoya-foya, sementara banyak orang kelaparan dan hidup dalam kekurangan? 596 Lihat al-Qur’a>n, su>rah Al-‘Ara>f: 31 597 Ibnu Kathi>r, Tafsi>r al-Qura>n Al-‘Azhi>m, jld., i, 182. 598 Ibnu Kathi>r, Tafsi>r al-Qura>n Al-‘Azhi>m. jld. i, 182. Dalam sebuah riwayat dari Miqda>m ibn Ma’di Karib, disebutkan bahwa Nabi bersabda, “Tidaklah seorang anak Adam mengisi sebuah bejana yang lebih buruk daripada perutnya,…Lihat al-Tirmidhi, Sunan, jld., iv, 590 no: 2380. 599 Mujahid berkata, “seandainya seorang menginfakkan seluruh hartanya dalam kebenaran
maka ia bukan termasuk pemborosan, dan seandainya dia menginfakkan satu mud bukan pada tempatnya maka hal itu termasuk pemborosan”. Ibnu Kathi>r , Tafsi>r al-Qura>n Al-‘Azhi>m. Jld., i, 36 600 Ibnu Kathi>r, Tafsi>r al-Qura>n Al-‘Azhi>m, jld. i, 210. Yaitu penggalan ayat dari Al-A’ra>f:
31
0 & 8 (% { 0%B& K 0
601
Sebagai antisipasi dari sikap boros, al-Qur’a>n menekankan agar berzakat dan mendistirbusi hasil bumi, sebelum dikonsumsi dan dibelanjakan;
& 8 <% q - N %! { 4% , + 0 & 8 (% { A V m1 Y 0 ! 4% 1 0%( 158
kesederhanaan dalam konsumsi makanan dan belanja pakaian.602 Tuntunan Rasulullah Saw. dalam membagi kapasitas perut adalah sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman dan sepertiga untuk nafas.603 Di antara bentuk pemborosan yang dilakukan oleh masyarakat adalah pemborosan dalam pesta pernikahan dan acara-acara lainnya, baik pesta yang kecil ataupun besar, dimana makanan dihidangkan melebihi kebutuhan.604 Pengalokasian dana di tempat-tempat dan batasan-batasan yang terlarang merupakan tindakan yang menyimpang dari tujuan syariat yang berkenaan dengan kekayaan dan harta benda. Ia merupakan pelanggaran terhadap amanah harta dan kekayaan dan pendayagunaan harta benda di tempat yang tidak semestinya. Oleh karena itu syariat tidak membiarkan orang kaya mengalokasikan dana kekayaannya sekehendak dirinya sendiri, namun harus disesuaikan dengan kehendak Alla>h, Pemilik hakiki dari harta benda tersebut dan sesuai dengan syariat-Nya. Dalam banyak kasus, orang kaya dirampas kembali kekayaannya disebabkan maksiat yang dilakukannya, dan sikap sombong dan boros dalam harta. Al-Qur’a>n
“…dan tunaikanlah haknya di hari saat memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Alla>h tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”. Lihat al-Qur’a>n, su>rah Al-An‘a>m: 141 602
Sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Amr ibn Shu‘ayb dari bapaknya dari kakeknya bahwa Nabi bersabda, “Makan dan bersedeqahlah dan pakailah pakaian tanpa berlebihan dan sombong.” Lihat Al-Nasa>’i, Sunan, jld., v, 79 no: 558 dan diriwayatkn oleh al-Bukha>riy secara ta’liq dari Ibnu ‘Abba>s berkata: “Makanlah sekehendakmu dan pakailah sekehendakmu, dua perkara yang membuatmu salah yaitu boros dan sombong”. Lihat al-Bukha>riy, S}ah}ih> } al-Bukha>riy, jld., iv, 53 603 Dari Miqda>m ibn Ma‘diy Karib meriwayatkan bahwa Nabi bersabda, “…cukuplah bagi
anak Adam beberapa suap makanan untuk menegakkan tulang punggungnya, dan jika mesti dilakukan maka hendaklah dia meletakkan porsi sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya dan sepertiga untuk nafasnya”. Lihat Al-Tirmidhi, Sunan, jld., iv, 590 no: 2380 dan dia menyatakannya hadith hasan shahih. 604 Sikap ini termasuk berlebihan dalam membelanjakan harta. Sikap ini terlarang dan terancam dengan predikat saudara setan. Perhatikan firman Alla>h berikut,
r0 5 4 Bo& $ \'
$ a '
$ 03 + 0%, P !@G ><% $ + “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” Lihat al-Qur’a>n, su>rah Al-Isra>’: 27. Tabdhi>r adalah mempergunakan harta bukan pada tempatnya, seperti penyaluran harta dalam kemaksiatan, atau menyalurkannya pada perkara yang tidak bermanfaat. Sementara isra>f (boros) adalah berlebihan dalam makan dan minum serta berpakaian tanpa ada tuntutan kebutuhan untuk berbuat demikian.
159
memperingatkan dengan kasus negeri Mekkah yang makmur, kemudian ditimpa kemiskinan dan kelangkaan makanan, karena kekufuran dan kemaksiatan penduduknya.605 Perumpamaan ini tertuju kepada setiap negeri yang memiliki sifat seperti ini.606 Dalam postulat iman, tindakan demikian menyebabkan penyesalan di akhirat. Ketika seorang hamba berada di hadapan Alla>h, Pemilik Hakiki dari segala harta benda dan kekayaan, dia akan dimintai pertanggungjawaban tentang anugerah harta benda. Maka diapun akan menyesal pada saat tidak berguna lagi penyesalan. Berkenaan dengan itu Rasulullah memperingatkan bahwa setiap manusia akan ditanya tentang harta bendanya; dari mana dia mendapatkannya kemudian dimana dan untuk apa dia mempergunakannya?607 Pengalokasian
dana
di
tempat-tempat
yang
terlarang
merupakan
penghancuran hak orang lain atau mengurangi bagian untuk distirbusi harta benda dan manfaatnya. Dalam syariat diperintahkan untuk menahan harta benda dan tidak menyerahkannya kepada orang-orang yang tidak cakap dalam mengelolanya.608 Tindakan demikian dapat menghalangi nikmat kekayaan. al-Qur’a>n menjelaskan bahwa harta benda yang digunakan dan dibelanjakan di tempat-tempat tersebut dapat menjadi penghalang dari turunnya kenikmatan dan kekayaan, dan menjadi penyebab kelaparan dan ketakutan.609 Sikap demikian harus dilarang untuk mencegah bahaya yang sangat mungkin terjadi. Syariat Islam sangat mencela
605 Al-Qur’a>n memberikan perumpamaan dalam ayat berikut, “Dan Alla>h telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk) nya mengingkari ni’mat-ni’mat Alla>h; karena itu Alla>h merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” Lihat al-Qur’a>n su>rah al-Nahl: 112 606 al-Qurt}u>biy, Al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jld. x, 128. 607 Al-Tirmidhi, Sunan, jld., iv, 612 no. 2426. 608 Hal tersebut ditegaskan dengan larangan keras, yaitu, “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Alla>h sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” Lihat al-Qur’a>n, su>rah Al-Nisa>' : 5 609
Lihat al-Qur’a>n, su>rah al-Nahl: 112
160
tindakan tersebut dan diancam dengan neraka di akhirat.610 Sebab, Islam menuntun bahwa setiap harta benda adalah anugerah yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya, tidak disia-siakan dan tidak dibelanjakan dalam konsumsi yang haram. Kelak di hari kiamat, setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban tentang amanat harta.611 Kaidah yang disepakati oleh ulama adalah bahwa segala sesuatu yang jualbelinya diharamkan Islam, maka haram pula mengalokasikan dana di dalamnya. Yang termasuk dalam kaidah ini, adalah segala sesuatu yang diharamkan jualbelinya seperti; minuman keras, babi, bangkai, narkoba dan lain-lain. Alokasi dana untuk patung dan berhala lebih luas dari sekadar jual-belinya, dimana termasuk di dalamnya; pemberian sesajen, baik berupa penyembelihan hewan, makanan, menanggung dana bagi penjaganya, membangun tempatnya dan lain-lain. Demikian pula yang dilakukan oleh sebagian orang dalam membangun bangunan di kuburan, hutan-hutan yang dianggap keramat, atau di sungai-sungai, laut dengan berbagai macam bentuk dan coraknya. Termasuk dalam hal ini juga, memenuhi tuntutan setan untuk mempersembahkan sesembahan di acara-acara ritual dan pesta-pesta yang mengandung kemusyrikan dan lain-lain.612 Hewan yang disembelih dan dipersembahkan untuk patung, berhala, setan dan lain-lain, tidak halal dan diharamkan atas orang Islam.613 Al-Qur’a>n menekankan dengan keras agar menjauhi dan tidak mengalokasikan dana untuk memberikan sesajen dan melakukan ritual keagamaan di dalamnya ritual-ritual mistis dan bernilai syirik.614 Pembelian 610
Disebutkan dalam riwayat dari Khaulah Al-Ans}ar> iyyah berkata: “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya seorang lelaki menenggelamkan diri dalam memanfaatkan harta milik Alla>h bukan pada jalan yang benar, maka mereka mendapat balasan neraka pada hari kiamat.’ al-Bukha>riy, S}ah}i>h} al-Bukha>riy, bab, Qawl Alla>h fa anna Lilla>h Khumusahu,…jld., ii, 393 no: 3118,
611
Disebutkan dalam riwayat, dari Abu> Barzah al-Aslami bahwa Nabi bersabda, “Tidak akan melangkah dua kaki seorang hamba pada hari kiamat sehingga dirinya akan ditanya oleh Alla>h SWT tentang umurnya untuk apa umur tersebut dia habiskan? tentang ilmunya apakah yang telah diperbuat dengan ilmu tersebut, tentang hartanya dari manakah dia dapatkan dan kemanakah disalurkan” . AlTirmidhi, Sunan, bab, ma> ja>’a fi> Sha’n al-Hisa>b wa al-Qis}a>s}, jld. iv, 612 no; 2426, 612
patung-patung untuh menghias rumah dan pembuatan patung-patung pahlawan dan tokoh masyarakat untuk mengabadikan mereka, termasuk dalam larangan ayat tersebut, dan bagian dari sikap ‘iffah dalam masalah ini. Ulama sepakat atas haramnya jual-beli darah, karena ia bukan termasuk harta benda yang bisa diperjual-belikan, tidak boleh dikonsumsi dan dimanfaatkan, kecuali dalam kondisi darurat.615 Barang yang bersifat demikian tidak boleh diperjualbelikan.616 Oleh karena itu seorang muslim tidak boleh mengalokasikan dana untuk membeli darah dan mengeluarkan dana untuknya.617 Alla>h Swt. mengharamkan konsumsi darah dan memanfaatkannya. Dan segala sesuatu yang konsumsinya dan pemanfaatannya diharamkan Islam, maka haram pula membelinya dan menjualnya. Dalam hadith yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, terdapat larangan dari jual-beli dan harga darah.618 Sedangkan jual-beli darah manusia karena kondisi kritis dan darurat, dan tidak menemukan orang yang dengan suka rela menyumbangkan darahnya, sementara kalau tidak membelinya, orang yang kekurangan darah akan mati, maka dalam kondisi demikian terdapat rukhs}ah619 membeli darah. Bahkan hukum membeli darah pada kondisi demikian bisa menjadi wajib untuk menyelamatkan nyawa dan kehidupan seseorang karena kondisi darurat. Dan kondisi darurat itu memiliki hukumnya sendiri. Dalilnya terdapat dalam ayat yang sama tentang haramnya darah; yang menyebutkan bahwa dalam kondisi terpaksa, membeli dan mentransfusi darah, tanpa menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, bukan merupakan dosa dan kesalahan.620
615
Lihat al-Qur’a>n su>rah al-Ma>’idah : 3 al-Qurt}u>bi, Al-Ja>mi‘ li Ahka>m al-Qura>n, jld. ii, 150 617 Lihat al-Qur’a>n, su>rah Al-Baqarah: 173 618 al-Bukha>riy, S}ah}i>h} al-Bukha>riy, bab, Thaman al-Kalb, no. 2084. Hadith tersebut menunjukkan bahwa jual-beli darah adalah haram, sehingga ulama telah berijmak atas haramnya jualbeli dan memanfaatkan harga darah. 619 Rukhs}ah merupakan kebijakan pengecualian dari hukum asal dan hanya berlaku dalam kondisi darurat. 620 Lihat al-Qur’a>n, su>rah Al-Baqarah: 173 616
162
Setiap tindakan dan transaksi yang haram dijadikan sarana dalam mencari kekayaan, haram juga membelanjakan dan mengalokasikan harta benda di dalamnya, seperti; zina, riba, suap-menyuap, judi, perdukunan, tukang ramal dan lain-lain. AlQur’a>n menunjukkan bahwa pemuasan hawa nafsu dengan cara-cara yang haram adalah sifat orang kafir. Orang-orang yang bersikap demikian tidak akan mendapatkan bagian apa-apa di akhirat, melainkan azab dan kehinaan.621 Sehingga generasi terbaik dari kaum salaf, baik para sahabat ataupun tabi’in dan orang-orang yang datang sesudah mereka, selalu bersikap hati-hati, bersikap wara', dan menghindarkan diri dari bergelimang dengan kenikmatan, karena khawatir menjadi salah satu kelompok yang dimaksudkan oleh ayat tersebut.622 Menurut Ibnu H{ajar, syariat sangat melarang kesenangan-kesenangan dunia yang diharamkan; baik karena ia murni haram, atau perbuatan itu menyebabkan orang meninggalkan perintah-perintah agama. Dan termasuk dalam hal ini adalah melakukan perkara-perkara yang syubhat dan terlalu berlebihan dalam perkaraperkara yang mubah sehingga menjerumuskan orang ke dalam perkara-perkara yang haram.623 Rasulullah Saw. menjelaskan tentang manfaat kendaraan dan sikap-sikap yang harus dihindari ketika memilikinya dan mengendarainya.624 Rasulullah Saw. 621
Lihat al-Qur’a>n, su>rah al-Ah}qa>f: 20. Ibnu Kathi>r berkata, "maka merekapun dibalas dengan azab yang sejenis dengan amal perbuatan mereka. Karena mereka telah bersenang-senang dan bersikap congkak dari mengikuti kebenaran. Mereka bersikap fasik dan bermaksiat. Mereka dihukum oleh Alla>h Swt. dengan azab yang menghinakan, yaitu kerendahan, penderitaan, penyesalan yang tiada putus, dan tempat-tempat tinggal yang mengerikan." Ibnu Kathi>r , Tafsi>r al-Qura>n Al-‘Azhi>m. Jld., iii, 1210 622 Lihat al-Qur’a>n, su>rah al-Ah}qa>f : 20. Dan lihat pula Ibnu Kathi>r, Tafsi>r al-Qura>n Al‘Azhi>m, jld. iii, 1210. 623 Ibnu H}ajar, Fath} al-Ba>ri, jld., iv, 37, hadith no. 6487. Dan sebaiknya disinggung di sini, bahwa batasan berlebihan itu diukur dengan adat dan kebiasaan. Hal itu berbeda sesuai dengan tingkat kehidupan manusia, karena kebiasaan orang-orang yang kaya berbeda dengan kebiasaan orang-orang yang fakir dan miskin. 624 Orang-orang kaya saat ini telah berlebihan di dalam mengalokasikan dana untuk kendaraan. Banyak diantara mereka yang tiap tahun mengganti mobil, atau setiap melihat ada model baru di pasaran. Padahal sebetulnya bukan karena suatu kebutuhan, namun lebih disebabkan oleh sikap sombong, pamer dan membangga-banggakan diri dan kekayaan. Perangai seperti ini sangat tercela dalam Islam, disamping hal itu juga banyak memasukkan devisa bagi negara-negara maju. Di
163
menjelaskan bahwa kuda tunggangan (kendaraan) itu bisa mendatangkan pahala bagi pemiliknya dan pemeliharanya, namun bisa pula membebankan dosa atasnya. Kuda tunggangan (kendaraan) yang mendatangkan pahala bagi seseorang adalah kuda yang dipergunakan di jalan Alla>h Swt., hingga sebagian besar waktunya berada di medan juang. Segala yang terjadi pada kuda tersebut, bahkan segala jejak kaki dan kotorannya menjadi pahala kebaikan bagi pemiliknya. Ada pula kuda (kendaraan) yang digunakan agar bisa mandiri dan menjaga harga diri seseorang, dan tidak melupakan hak Alla>h Swt. dalam penggunaannya dan ketika mengendarainya, maka kuda dan kendaraan itu telah menjaga harga dirinya dan kemuliaannya. Namun ada pula orang yang menggunakan kuda dan kendaraan dengan sombong, congkak, riya>' (pamer), dan bermaksud meninggikan dan membedakan status sehingga menjaga jarak dari orang lain, maka kuda itu menjadi beban dosa atasnya.625 Orang yang membangun suatu bangunan yang tidak dibutuhkannya untuk tempat tinggal, dan bukan pula untuk berusaha dan menumbuhkan ekonominya, dan hanya untuk membanggakannya dan berlebihan dalam harta benda, meninggikan diri, sombong dan pamer, maka dia telah berlaku boros dan berlebihan dalam konstruksi bangunan. Rasulullah Saw. menjelaskan bahwa tindakan tersebut merupakan tanda-tanda kehancuran dan kiamat.626 Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa salah satu tanda kiamat adalah berlomba-lomba dalam konstruksi bangunan.627 Dalam hadith yang diriwayatkan dari Anas disebutkan bahwa Rasulullah Saw. menghukum, mengisolir, menghindari diri dari seorang Ans}ar> yang membangun kubah rumah yang tinggi. Maka orang itu pun kembali ke rumahnya dan
dalamnya terdapat ancaman dan bahaya besar bagi masyarakat di negara berkembang, yang mayoritasnya menjadi konsumen. 625 Lihat al-Bukha>riy, S}ah}i>h} al-Bukha>riy, bab, shurb al-na>s wa al-dawa>b min al-anha>r, no. 2198. Hadith ini menjadi dalil yang menunjukkan bahwa orang yang menunggang kuda, hewan lain dan kendaraan lain dengan sombong, bangga, pamer, dan tinggi hati, adalah dosa atasnya. Dengan demikian hendaknya setiap orang bersikaf ‘iffat dalam berkendara dan memperhatikan adab-adab yang mulia. 626 Muslim, S}ahi>h Muslim, bab, Baya>n al-Ima>n wa al-Isla>m wa al-Ihsa>n, no. 10. 627 Al-Nawa>wi, Sharah} S}ahi>h Muslim, jld. I, 115-117, hadith, no. 97 .
164
menghancurkannya hingga rata dengan tanah. Rasulullah Saw. menjelaskan bahwa setiap bangunan adalah bencana bagi pemiliknya, kecuali bangunan yang harus ada dan bermanfaat.628 Sikap berlebihan dalam bangunan menjadi penyebab penyesalan dan kesengsaraan di akhirat, yaitu bila membangun rumah atau bangunan yang tidak bermanfaat dan tidak dibutuhkan atau membangunnya untuk menyombongkan diri dan memamerkannya.629 Dalam hadith yang diriwayatkan dari Khabba>b ditegaskan bahwa bangunan bernilai pahala adalah bangunan yang bermanfaat.630 Orang muslim yang cerdas pasti tidak akan membelanjakan harta bendanya dalam perkara-perkara yang tidak diberi pahala dan tidak diberi balasan oleh Alla>h Swt.631 Berlebihan dalam wisata dan rekreasi terjadi secara luas di tengah umat Islam. Wisata yang dimaksudkan di sini adalah bepergian untuk bersenang-senang, atau menyaksikan keajaiban-keajaiban alam dan peninggalan-peninggalan sejarah. Hukum wisata itu sendiri pada asalnya adalah mubah dalam batasan-batasan dan ketentuan-ketentuan syariat. Namun bila tidak, maka hal itu berubah menjadi haram dan haram pula membelanjakan harta benda untuknya. Oleh karena itu dalam berwisata, harus diperhatikan nilai-nilai ih}sa>n yaitu; memperhatikan skala prioritas, seperti; membayar hutang dan kewajiban harta benda yang lain sebelum pergi bersenang-senang dan berwisata. Dalam berwisata tidak boleh bercampur baur dengan perkara-perkara yang terlarang, apalagi menghamburkan dan membelanjakan
628
Lihat Abu> Da>wu>d, Sunan, ba>b, ma> ja>a fi al-bina>’, no. 4559. Al-T{abra>niy, Al-Mu‘jam al-Awsat}, jld. ii, 223 no. 3081. 630 Yang intinya berisi bahwa seorang hamba pasti diberi pahala dalam mengeluarkan dana dan membelanjakannya, kecuali membelanjakannya dalam debu atau "dalam pembangunan". Ibnu Ma>jah, Sunan, bab, fi al-bina>’ wa al-Khara>b, no. 4153 631 Berlebihan dalam pesta dan acara seremonial telah merajalela saat ini, dalam bermacammacam bentuknya dan coraknya sesuai dengan kebiasan negeri tertentu. Ada yang berlebihan dalam pesta perkawinan, acara akikah, khitanan, penyambutan orang haji dan lain-lain. Semua pesta dan acara diselenggarakan dengan menghambur-hamburkan banyak harta dan menyia-nyiakannya. Ini merupakan pemborosan, gemar memamerkan kekayaan dan berbangga-banggaan, dan meninggalkan sunah nabi dan keberkahannya. Lihat Ibnu al-Hajj, al-Madkhal (Beirut: Al-Maktabah al-Islamiyyah, I423 H), jld. iii, 293-294. 629
165
kekayaan dengan boros pada praktik pelacuran, minuman keras dan lain-lain khususnya bila keluar ke negeri-negeri yang tidak islami.632 Dalam berwisata hendaknya bersikap ‘iffah menghindari segala potensi perputaran harta dalam kemungkaran. Menurut Ibnu Taymiyah berwisata untuk melihat kemaksiatan tanpa mengingkarinya adalah maksiat kepada Alla>h Swt. dalam berwisata dan melakukan perjalanan.633 Wisata dan membelanjakan kekayaan di dalamnya seharusnya tidak mendatangkan devisa dan menguatkan ekonomi musuhmusuh Islam dan kemanusiaan, karena wisata tersebut seharusnya bermanfaat dan membawa maslahat bagi kaum muslimin, kejayaan Islam, dan manusia umumnya. Wisata dan tourisme saat ini telah menjadi salah satu pos paling penting bagi devisa negara.634 B. Penunaian Amanah dan Kesucian dari Syubhat Islam sangat menekankan akhlak menunaikan amanah dan menjaga hak-hak orang lain. Akhlak ini sangat berpengaruh dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif dan distirbusi kekayaan. Ketika orang-orang kafir mengusir nabi dari Mekkah, beliau tidak tenang, karena harta mereka masih berada di tangannya. Namun, beliau juga tidak mampu mengembalikan sendiri barang-barang tersebut kepada pemiliknya, karena khawatir terbunuh. Maka, Ali pun ditugaskan
632
Al-Qarad}aw > i berkata; "negeri-negeri yang tidak islami telah merajalela dalam kebobrokan dan dekadensi moral. Masyarakatnya telah menghipnotis generasi muda sejak mereka turun dari pesawat, untuk menjerumuskan mereka ke dalam syahwat yang haram. Hal itu membahayakan kesehatan, menghancurkan akhlak, menghamburkan harta benda, dan membiasakan mereka melakukan hal-hal yang hina sehingga ketika mereka kembali ke negara masing-masing, kepribadian mereka telah hancur, pemikiran dan nilai mereka telah berubah. Yu>suf Al-Qarad}aw > i, Liqa>at> Wa Muha>wara>t Haula Qadha>ya> Al-Isla>m Wa Al-Ashr; (Beirut: Muassasah al-Risa>lah,1420 H), 156 633 Ibnu Taymiyah, Majmu>’ Al-Fata>wa>, Disusun Oleh Abdurrahma>n ibn Muh}ammad ibn Qa>sim al-‘A>Ashimiy al-Najdiy, (Riyad}, Saudi Arabia Mathabi’ al-Riyad}, 1425 H), jld. xxvii, 496 634 Yu>suf Al-Qarad}a>wi,, Liqa>at> Wa Muha>wara>t Haula Qadha>ya> Al-Isla>m Wa Al-Ashr; (Beirut: Muassasah al-Risa>lah,1420 H), 156
166
menggantikan beliau untuk menunaikan amanat tersebut.635 Rasulullah merupakan pribadi yang benar-benar menunaikan amanah, walaupun kepada musuhnya.636 Pada hakikatnya tindakan menyuap untuk mencegah kezaliman atau memperoleh hak bukanlah suap menyuap,637 sehingga tindakan ini pada dasarnya dibolehkan. Dalam kitab Ahka>m al-Qur’a>n disebutkan tentang bolehnya orang menyuap hakim agar dia memutuskan perkara atas hak miliknya sendiri yang dirampas darinya.638 Hanya saja hal ini makruh dilakukan bila ada hakim lain yang dapat memberikan haknya tanpa jasa hakim yang meminta suap itu. Ada bentuk lain dari suap yaitu menyuap penguasa agar tidak dizalimi. Suap seperti ini haram bagi orang yang mengambilnya, namun tidak terlarang dan tidak ada dosa bagi orang yang memberinya. Sebab dia hanya memberikan suap untuk mencegah kezaliman atas dirinya, yang diserahkan kepada orang yang ingin menzaliminya dan melanggar harga dirinya.639 Kezaliman itu haram atas orang yang menzalimi saja dan bukan atas orang yang dizalimi.640 Orang yang memberikan harta benda untuk meraih haknya tidak termasuk zalim karena dia memberikannya bukan untuk mendapatkan sesuatu yang batil. Walaupun demikian dalam hal ini tetap dituntut bersikap ‘iffah, agar tidak terjerumus ke dalam hukum umum larangan praktik suap-menyuap dan larangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.641 Penyerahan harta benda untuk meraih hak kepada orang yang zalim atau mencegah kezaliman dari diri 635
Hal tersebut diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra> dalam riwayat yang menceritakan hijrah Nabi dari Abd ar-Rahman ibn ‘Uwaym ibn Sa’adah. “…nabi keluar berhijrah,
sementara ‘Ali menggantikan beliau (tinggal di rumah) selama tiga hari tiga malam. (Selama waktu tersebut) ‘Ali mengembalikan barang-barang yang dititipkan kepada nabi dan setelah selesai dia pun menyusul Rasulullah berhijrah.” Lihat Abu Bakar Ahmad ibn Husayn Al-Baihaqi, Al-Sunan al-Kubra> (India: Haidarabad, 1423 H), jld. vi, 289 636 Ini sesuai dengan perintah al-Qur’a>n, “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” Lihat al-Qur’a>n, su>rah Al-Mu’minu>n: 8. 637 Berbeda dengan suap yang diharamkan karena suap itu dilakukan untuk mencapai sesuatu yang batil dan merampas hak orang lain. 638 al-Jas}sa} >s,} Ahka>m al-Qur’a>n, jld. ii, 433-434 639 al-Jas}sa} >s,} Ahka>m al-Qur’a>n, jld. ii, 433-434 640 Ibnu Taymiyah, Majmu>‘ Al-Fata>wa>, jld. xxix, 258. 641 Lihat al-Qur ân, sûrah Al-Ma>’idah : 2
167
sendiri, berarti telah mendukung dan menolong orang lain dalam dosa dan pelanggaran. Orang yang membutuhkan anjing atau hewan lain dan dia tidak mungkin memilikinya kecuali dengan membelinya, maka boleh baginya untuk membelinya, seperti anjing untuk menjaga hewan ternak dan berburu, anjing pelacak dan lain-lain. Menurut Ibnu Hazm bila seseorang membutuhkan anjing karena kondisi darurat, dan tidak ada seorangpun yang memberinya, maka boleh baginya untuk membelinya. Hal itu halal bagi pembelinya walaupun haram bagi penjualnya.642 Namun sikap ‘iffah menuntun agar setiap orang tidak berlebihan dalam hal ini, apalagi mengalokasikan dana besar untuk membeli seekor ikan Arwana misalnya, sehingga melalaikan kewajiban sosialnya kepada orang-orang yang lemah. Para peneliti ahli fikih modern menyimpulkan bahwa merokok, membeli rokok dan menjualnya adalah haram,643 karena bahaya yang ditimbulkannya, dan karena penghamburan harta benda pada perkara yang tidak bermanfaat, penguatan industri rokok yang dimiliki orang non-muslim dan musuh kaum muslimin. Ahli kesehatan, kedokteran, dan ilmuan sosial juga menguatkan pendapat tentang haramnya rokok, dan mereka memasukkannya sejenis dengan narkoba. Ada beberapa macam harta yang seharusnya dihindari dalam distirbusi kekayaan karena mengandung syubhat, dan sebagai bentuk dari sikap ‘iffah , ih}sa>n dan kehati-hatian seharusnya ditolak dan dihindari. 642
Ibnu Hazm, Al-Muhalla>, jld. ix, 290. Ulama berbeda pandangan tentang rokok atas tiga pendapat; Pendapat yang membolehkan. Dengan dalil bahwa sesungguhnya hukum asal dan pokok atas segala sesuatu adalah mubah, dan tidak ada nash dari syariat yang mengharamkannya. Pendapat yang memakruhkannya, karena adanya polusinya dan bau asapnya yang mengganggu kesehatan dan merendahkan martabat. Pendapat yang mengharamkannya, karena di dalamnya terdapat bahaya yang mengancam dan tidak diragukan lagi, penghamburan harta benda, gangguan terhadap orang lain, ancaman kesehatan bagi perokok dan orang yang di sekitarnya. Di samping itu ada teks al-Qur’a>n yang secara umum mengharamkan segala benda yang kotor dan menjijikkan. Pendapat ini adalah pendapat jumhur ulama dari dulu hingga kini. 643
a. b. c.
168
Hadiah penguasa termasuk harta benda yang syubhat, karena bisa jadi ia diperoleh dengan cara yang zalim, perampasan, penumpahan darah, dan pengambilan secara paksa, dengan korupsi dan lain-lain.644 Demikian pula hasil transaksi yang masih diperselisihkan kehalalannya, karena bisa jadi pendapat yang benar adalah pendapat yang menyatakan bahwa harta tersebut tidak dihalalkan oleh syariat, harus dihindari sebagai bagian dari sikap sikap‘iffat. Ibnu Taymiyah menyebutkan dalam Majmu' al-Fatawa, suatu kasus dimana seorang telah bertransaksi dengan cara yang mengandung riba dan pada saat terjadi transaksi dia masih meyakini kebolehannya. Namun setelah itu menjadi jelas baginya bahwa hal itu diharamkan, maka harta benda yang dihasilkan dari transaksi itu tidaklah haram baginya, menurut pendapat yang benar.645 Harta benda yang bercampur antara yang halal dengan yang haram, adalah harta benda yang mengandung syubhat. Harta benda ini sebetulnya boleh dimiliki selama bagian yang haram disisihkan dan dikeluarkan dari kelompok yang halal. Dalam Ahka>m al-Qura>n disebutkan cara mensucikan harta halal yang telah bercampur dengan harta yang haram dan tidak terpisah secara nyata, yaitu dengan cara dikeluarkan sejumlah harta yang haram tersebut dan tidak ada keharusan harta itu sendiri yang harus dipilah-pilah dan dibedakan secara pasti antara yang halal dengan yang haram.646 Ibnu Taymiyah dalam Majmu>‘ al-Fatawa>, menyebutkan bahwa harta benda yang bercampur baur dengan yang haram, harus dikeluarkan bagian yang haram, dan sisanya adalah halal bagi pemiliknya. Namun bila pemiliknya tidak mengetahui kadar haramnya dan hal itu terhalang dilakukan, maka sebagian harus disedekahkan,647 sebagai bagian dari sikap ‘iffah , ih}sa>n dan kehatihatian. 644
al-Ha>rith ibn Asad al-Muha>sibiy, al-Maka>sib wa al-Rizq al-Hala>l wa Haqi>qat al-Tawakkul ‘ala> Alla>h (Kairo: Maktabat al-Qur’a>n tt), 112. 645 Ibnu Taymiyah, Majmu>‘ al-Fata>wa>, jld., xxix, 267. 646 al-Qa>di} Abu> Bakr ibn al-‘Arabiy, Ah}ka>m al-Qur’a>n, Tah}qi>q Ali al-Bijawi (Kairo, Mesir: ‘I<sa> Al-Halabi, 1426 H), jld. i, 245. 647 Ibnu Taymiyah, Majmu>‘ al-Fata>wa>, jld. xxix 308
169
C. Menghindari Usaha yang Haram Islam melarang praktik mengambil alih harta orang lain dengan cara riba dan batil, menyuap, memakan harta anak yatim, mencuri, berlaku curang, berjudi, menipu dan lain-lain. Islam juga melarang transaksi dalam minuman keras, narkoba, daging babi, prostitusi dan lain-lain. Larangan ini sangat tegas dalam ayat alQur’a>n.648 Menurut Al-Qurt}u>bi yang termasuk dalam larangan ayat adalah; berjudi, menipu, merampas, tidak mengakui hak-hak orang lain, harta yang tidak direlakan oleh pemiliknya, atau diharamkan oleh syariat walaupun pemiliknya dengan rela memberikannya, seperti; upah pelacuran, upah dukun, hasil penjualan narkoba, daging babi dan lain-lain.649 Dalam ayat lain,650 dinyatakan bahwa Alla>h Swt. melarang orang beriman memakan harta benda orang lain dengan cara yang tidak benar dan tidak dihalalkan oleh syariat, seperti mencuri, berkhianat, merampas, berjudi, dan transaksi ribawi.651 Dalam lanjutan ayat, Alla>h swt. menyuruh untuk mencari harta benda dengan cara yang disyariatkan seperti; perdagangan, dan transaksi yang diridhai. Alla>h swt. menentukan syarat sahnya transaksi berdasarkan keridhaan antara penjual dan pembeli untuk memperoleh kekayaan.652 Ketentuan ini semakin dipertegas dan dirinci secara lebih detail dalam hadith 653
nabi.
Di dalamnya terdapat dalil kewajiban mengambil harta benda dengan cara
yang benar, yaitu mengambilnya dengan cara yang disyariatkan, dan keharusan
648
Alla>h Swt. berfirman; “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” Lihat al-Qur’a>n, su>rah Al-Baqarah; 188 649 al-Qurt}u>bi, Al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jld. ii, 225. 650
_% >' ! H ! ?@ H h< 4% h< 4 G 1 & R B " @ 3% ! P 4 4% = >%! 4 G N B " @ 3% ! P <
“barang siapa yang mengambil harta benda dengan cara yang benar, maka Alla>h Swt. akan memberkahinya di dalamnya. Dan barang siapa yang mengambil harta benda dengan cara yang tidak benar, maka dia laksana orang makan tapi tidak pernah merasa kenyang.” Lihat Muslim, S}ah}i>h} Muslim ba>b, Takhawwuf ma> Yakhruju min Zahrah al-Dunya>, no. 1742
170
menghindari cara-cara yang tidak benar yaitu dengan cara-cara yang dilarang oleh syariat. Berdasarkan kedua sumber hukum tersebut, ulama telah berijmak atas haramnya memakan harta benda dengan cara yang batil, seperti dijelaskan oleh AlQurt}u>bi.654 Islam telah melarang praktik-praktik yang haram dalam menghimpun harta benda. Segala hasil usaha yang haram tidak ada keberkahan di dalamnya, dan bila didistirbusi kepada orang lain membawa dampak negatif dan ancaman azab. Usaha yang diharamkan oleh syariat dan berakibat negatif terhadap distirbusi yang merata dan adil sangat banyak, diantaranya; 1. Riba Usaha dengan cara riba diharamkan oleh syariat. Tiga sumber utama dalam penetapan hukum, yaitu al-Qur’a>n, sunah dan ijmak, melarang praktik ini. Al-Qur’a>n memberikan pilihan lain yang sangat banyak sebagai pengganti praktik riba, seperti jual beli, dan muamalah lain yang disyariatkan.655 Islam memproklamirkan perang terhadap pelaku riba yang menolak menghentikan praktik riba, walaupun ia seorang muslim, dan hanya menghalalkan modal yang dipinjamkan.656 Semua yang terlibat dalam aktivitas dan distribusi riba dan hasilnya dikecam dengan keras, yaitu diantaranya; pemakan riba, orang yang mewakilinya, penulisnya dan dua saksinya.657 Namun sungguh ironis kebanyakan kaum muslimin saat ini bertransaksi secara luas dalam transaksi riba, yang berakibat kepada kehinaan dan kehancuran dalam ekonomi dan struktur umat.658 2. Korupsi, Suap dan Komisi
654
Al-Qurt}u>bi berkata; "telah terjadi ijmak bahwa orang yang mengambil harta benda dengan cara yang batil, baik sedikit ataupun banyak, maka dia telah fasik dan hal itu haram atas dirinya. AlQurt}u>biy, Al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jld. ii, 261 655
Lihat al-Qur’a>n, su>rah al-Baqarah; 275 Lihat al-Qur’a>n, su>rah al-Baqarah: 278-279 dan lihat Al-T}abari, Ja>mi‘ al-Baya>n ‘an Ta’wi>l al-Qur’a>n, (Beirut: Da>r Ih}ya>’ Al-Tura>th Al-‘Arabiy, tt.), jld. iii, 129. 657 Dari Jabir berkata, “Rasulullah Saw. melaknat pemakan riba, orang yang mewakilinya, penulisnya dan dua saksinya, dan Rasulullah Saw. bersabda, “mereka semuanya sama.” Lihat Muslim, S}ah}i>h} Muslim, ba>b, La’nu A>kil al-Riba> wa Mu>kilah, no. 2995 658 Sayyid Qut}ub, Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Shuru>q, 1414 H), jld. I, 322 656
171
Korupsi, suap dan komisi telah tersebar luas dalam praktik masyarakat saat ini, khususnya di kalangan birokrasi dan pejabat tinggi di banyak negara –padahal ia adalah salah satu dosa besar dalam Islam.659 Dalam istilah syariat, tindakan tersebut termasuk dalam bagian ghulu>l yang diharamkan. Kata ghulu>l atau ghull mengandung beberapa pengertian, di antaranya bermakna belenggu besi, atau berasal dari kata kerja ghalla yang berarti khianat. 660 Ibnu al-Athi>r menerangkan, kata al-ghulu>l, pada asalnya bermakna khianat dalam urusan harta rampasan perang, atau mencuri sesuatu dari harta rampasan perang sebelum dibagikan.661 Kemudian, kata ini digunakan untuk setiap perbuatan khianat dalam suatu urusan secara sembunyisembunyi.662 Jadi, kata ghulu>l> secara umum digunakan untuk setiap pengambilan harta oleh seseorang secara khianat, atau tidak dibenarkan dalam tugas yang diamanahkan kepadanya. Tindakan-tindakan ghulu>l sekarang ini disebut korupsi, suap, komisi, dan lain-lain. Nabi menyampaikan peringatan dan ancaman kepada orang yang ditugaskan untuk menangani suatu pekerjaan, lalu ia mengambil sesuatu dari hasil pekerjaannya tersebut secara diam-diam, di luar hak yang telah ditetapkan untuknya, meskipun hanya sebatang jarum. Apapun yang diambilnya dengan cara tidak benar akan menjadi belenggu baginya pada hari Kiamat. Tindakan tersebut merupakan
659
Diriwayatkan dari Abu> Hurayrah r.a. bahwa dia berkata; "Rasulullah Saw. melaknat orang yang menyuap dan orang yang disuap". Al-Tirmidhi, Sunan, bab, ma> ja>‘a Fi> al-Ra>shi wa al-Murtashi Fi> al-hukm, no. 1257 660 Ibnu Manz}ur> , Lisa>n al-‘Arab, jld. xi, 499 661 Dalam hadith Abu> Hurayrah disebutkan tentang kisah seorang nabi (sebelum Nabi Muhamamd) dengan umatnya ketika mereka memperoleh rampasan perang. Kemudian di antara mereka ada yang mencuri harta rampasan perang tersebut, hingga Alla>h mengirimkan api dan melahap semua harta rampasan perang tersebut, dan Alla>h mengharamkannya untuk umat sebelum umat Muhammad. Lihat al-Bukha>riy, S}ah}ih> } al-Bukha>riy, kita>b Fard} al-Khumus, ba>b Qawl al-Nabiy ‘Uh}illat’, hadith no. 3124, dan Muslim, S{ah}ih> } Muslim, kita>b Al-Jiha>d wa al-Sayr, ba>b Tah}li>l alGhana>im li Ha>dhih al-Ummah Kha>s}s}ah, hadith no. 3287 662 Lihat Ibnu al-Athi>r, Al-Niha>yah Fi> Ghari>b al-Hadi>th (Beirut: Da>r al- Fikr, tt.) jld. iii, 380.
172
pengkhianatan (korupsi) terhadap amanah yang diembannya. Dia akan dimintai pertanggungjawabannya nanti pada hari Kiamat.663 Jadi orang yang memberikan sejumlah harta untuk membatalkan hak orang lain atau mewujudkan kebatilan, dan orang yang menerima harta benda seperti ini, maka keduanya bersama-sama berada dalam dosa dan laknat. Tidak seorangpun dari keduanya boleh mengambil dan medistirbusi harta benda seperti ini, karena perilaku tersebut kotor dan haram. 664 Orang yang diberi jabatan dalam urusan kaum muslimin dan diberi gaji yang layak dan cukup, tidak berhak menerima hadiah apapun dari masyarakat baik sebagai imbalan jasa atas suatu pelayanan tertentu dalam lapangan kebijakan dan wilayah kerjanya ataupun tanpa maksud imbalan jasa. Oleh karena dia telah diangkat memegang jabatan itu untuk melayani orang-orang yang membutuhkan pelayanan dalam bidangnya. Hal ini mencakup seluruh pejabat dari yang paling tinggi hingga yang paling rendah. Al-Shawka>ni menjelaskan dalam hadith665 terdapat dalil tidak halalnya (haram) bagi pekerja (petugas) mengambil tambahan di luar imbalan (upah) yang telah ditetapkan oleh orang yang menugaskannya, dan apa yang diambilnya di luar itu adalah ghulu>l (korupsi).666 Bentuk lain dari tindakan ghulu>l adalah merampok kekayaan negara dan mencurinya dengan cara mark–up dana, menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi atau money laundring dan bentuk-bentuk kejahatan lainnya.667 663
Dari ‘Adiy ibn ‘A<>mirah Al-Kindiy berkata, “Aku pernah mendengar Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulu>l (harta korupsi) yang akan dia pikul pada hari kiamat.” Lihat Muslim, S}ah}ih> } Muslim, kita>b Al-Ima>rah, ba>b Tahri>m Hada>ya> Al-‘Umma>l, hadith no. 3415 664 al-S}an’a>ni, Subul al-Sala>m, jld. iii, 1134. 665 Yaitu hadith berikut dimana Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang kami tugaskan
dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulu>l (korupsi).” Abu> Da>wu>d, Sunan, kita>b Al-Khara>j wa al-Ima>rah wa al- Fay’, ba>b Fi> Arza>q al-‘Umma>l, hadith no. 2943. 666 Al-Shawka>ni, Nayl al-Awt}ar> , jld. iv, 233 667 Peristiwa semacam ini pernah terjadi pada masa Rasulullah dan beliau memperingatkan dengan keras kepada petugas yang mendapat amanah mengumpulkan zakat tersebut dengan
173
Semua itu adalah haram menurut syariat sebagaimana ia juga adalah praktik pengkhianatan terhadap amanat jabatan tersebut. 3. Memakan Harta Anak Yatim Sistem pewarisan dalam Islam merupakan salah satu cara distirbusi kekayaan dan memberikan bekal hidup untuk kerabat orang yang meninggal. Oleh karena itu masing-masing orang yang berhak atas harta warisan itu, harus diberikan hakhaknya, baik laki-laki, perempuan atau anak-anak sesuai dengan kedekatan ikatan kekeluargaannya dengan si mayyit dan sesuai porsinya. Namun banyak kasus dimana sebagian kerabat mayit yang tidak berhak menerima warisan merampas hak pewaris, khususnya anak yatim yang masih kecil untuk memperkaya diri dan hanya memberikan sebagian kecilnya saja kepada pewaris mayit tersebut. Al-Qur’a>n menggambarkan pemakan harta anak yatim dengan pemakan bara api sehingga membakar perutnya, kemudian mati dan masuk ke dalam neraka.668 Al-Qur’a>n menyentuh jiwa-jiwa kaum muslimin dengan pendidikan yang keras sehingga memurnikannya dan mensucikannya dari sisa sifat-sifat kejahiliyahan, lalu menggantinya dengan rasa takut, waspada, ketakwaan dan kehati-hatian dari mendekati harta benda anak yatim.669 4. Usaha Pelacuran dan Perjudian
mengatakan, “Tidaklah kamu duduk saja di rumah bapak-ibumu, lalu lihatlah, apakah kamu akan diberi hadiah (oleh orang lain) atau tidak?” Kemudian pada malam harinya setelah shalat Isya Nabi berceramah (untuk memperingatkan perbuatan ghulul kepada khalayak). Di antara isi penjelasan beliau, “(Maka) Demi (Alla>h), yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya. Tidaklah seseorang dari
kalian mengambil (korupsi) sesuatu daripadanya (harta zakat), melainkan dia akan datang pada hari Kiamat membawanya di lehernya. Jika (yang dia ambil) seekor unta, maka (unta itu) bersuara. Jika (yang dia ambil) seekor sapi, maka (sapi itupun) bersuara. Atau jika (yang dia ambil) seekor kambing, maka (kambing itu pun) bersuara…” Lihat al-Bukha>riy, S}ah}i>h} al-Bukha>riy, kita>b Al-Ayma>n wa alNudhur, ba>b Kaifa Kha>nat Yami>n al-Nabiy, hadith no. 6636 dan lainnya dengan lafazh yang berdekatan, dan lihat pula Muslim, S}ah}ih> } Muslim, kita>b Al-Ima>rah, ba>b Tahri>m Hada>ya> Al-‘Umma>l, hadith no. 3413 dan 3414 dengan lafaz} yang serupa, namun ada sedikit perbedaan. 668 Lihat al-Qur’a>n su>rah al-Nisa>’: 10 669 Sayyid Qut}ub, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Sharu>q, 1986), jld. i, 582-583
174
Walaupun di beberapa negara saat ini, usaha pelacuran telah dilegalkan, namun praktik ini tetap haram. 670 Dengan legalitas dari kebijakan resmi pemerintah, praktik ini semakin menyebar luas di hotel-hotel, cafe-cafe baik yang terselubung ataupun yang terang-terangan, dan lain-lain. Legalitas praktik ini merupakan salah satu bentuk kehancuran sistem ekonomi modern.671 Rasulullah Saw. dengan tegas melarang usaha dan upah pelacuran.672 Distirbusi kekayaan dalam aktivitas hina yang dilarang oleh semua agama dan menjadikannya sebagai sumber penghidupan dan mencari kekayaan, adalah haram dengan kesepakatan ulama. 673 Perjudian adalah mengadu nasib dan bertaruh dalam permainan atau lainnya. Setiap usaha mengadu nasib dan pertaruhan adalah perjudian walaupun menggunakan istilah yang lain. Pengharaman judi datang dalam bentuk jawaban langsung dari Alla>h ketika para sahabat bertanya tentang hukumnya.674 Dalam ayat lain, disebutkan bahwa meminum khamar, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan.675 Manusia telah banyak memodifikasi perjudian dengan berbagai macam bentuk dan modernisasi, dan berbagai macam nama dan istilah. Diantara gambaran judi adalah; i.
setiap permainan yang terdapat pertaruhan di dalamnya, dimana ada yang menang dan ada yang kalah.
670
Hukum tersebut berdasarkan ayat, ...Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Alla>h adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu)... Lihat al-Qur’a>n, su>rah Al-Nu>r : 33 671 Sayyid Qut}ub, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Sharu>q, 1986), jld., iv, 2517 672 Hadith riwayat Abu Mas'ud al-Ans}ar> i r.a. berkata; "Rasulullah Saw. melarang harga jual beli anjing, upah pelacuran, dan bayaran dukun". al-Bukha>riy, S}ah}i>h} al-Bukha>riy, ba>b, Thaman alkalb, no. 2083 673 Ibnu Daqi>q al-‘Im al-Ah}ka>m (Kairo: Maktabah Al-Sunnah, 1418/1998), jld. iii, 135. 674 Lihat al-Qur’a>n, su>rah Al-Baqarah; 219 675 Lihat al-Qur’a>n su>rah Al-Ma>’idah :, 90-91
175
ii.
Penjualan barang tertentu dengan cara mengumpulkan kupon-kupon yang berseri dalam produk barang tersebut dan bila beruntung kupon-kupon tersebut akan membentuk dan menggambarkan sesuatu. Bila terkumpul demikian, dengan kupon-kupon tersebut orang mendapatkan hadiah mobil, motor, dan lain-lain.
iii.
Bertaruh dalam perlombaan pacuan kuda, permainan sepakbola dan lain-lain.
5. Upah perdukunan Syariat melarang praktik perdukunan, sihir, dan jampi-jampi dan melarang pula berusaha dan mendistribusikan harta lewat praktik ini. Dalam riwayat Abu Mas’u>d al-Ans}a>ri disebutkan bahwa Rasulullah Saw. melarang harga jual anjing, upah pelacuran, dan bayaran dukun".676 Hadith ini sangat jelas melarang usaha dan praktik perdukunan, yaitu segala upah dan bayaran yang diberikan karena jasa perdukunan. 6. Curang dan Merugikan HakHak-hak orang lain Syariat telah mewajibkan untuk memenuhi takaran, timbangan dan setiap ukuran yang disepakati. Syariat melarang keras perlakuan curang dan merugikan hak-hak orang lain, seperti menambah timbangan ketika membeli dari orang lain dan menguranginya ketika menjualnya kepada orang lain. 677 Dalam ayat lain, al-Qur’a>n sangat menekankan agar menyempurnakan timbangan dengan neraca yang benar dan pas. 678 Alla>h Swt. telah memerintahkan untuk menunaikan amanat kepada para pemiliknya dan melarang berkhianat di dalamnya. Setiap muslim harus menghindarkan diri dari praktik pengkhianatan terhadap amanat untuk menghimpun kekayaan dan harta benda.679 Ulama telah berijmak atas kewajiban menunaikan
amanat kepada pemiliknya dan mengharamkan pengkhianatan dan tindakan merugikan hak-hak orang lain. 680 D. Kesucian dari Penyimpangan Dana Kaum Dhuafa dan Perjuangan Agama Dalam sejarah ditulis beberapa kebijakan dan pilihan yang menunjukkan sikap ‘iffah para sahabat. Salah satunya adalah sikap ‘iffah ‘Umar, yang masih meragukan pendapatannya dari Bayt al-Ma>l karena dia masih berdagang pada saat menjabat khalifah, dan memposisikan dirinya dalam mengurus Bayt al-Ma>l dan urusan-urusan umat, seperti wali anak yatim yang mengurus hartanya.681 Sikap tersebut merupakan teladan yang berpengaruh terhadap sirkulasi dana untuk kepentingan yang lebih tepat sasaran. Sesungguhnya ‘Umar berhak mendapatkan gaji dari Bayt al-Ma>l, sebagai pejabat khalifah. Pada prinsipnya, Islam sangat mencela dan melarang orang kaya dari sikap pelit yang disertai kesombongan dan sikap memamerkan harta kepada orang lain.682 Demikian pula Islam sangat mencela dan melarang sikap meminta-minta apalagi dengan memelas dan memaksa,683 baik meminta dana zakat, atau sedekah, atau dana-dana sosial lainnya. Islam hanya membolehkan sikap meminta-minta dalam kondisi darurat dan untuk orang-orang yang benar-benar sedang terjepit dan membutuhkan bantuan orang lain. Alla>h memuji orang-orang fakir yang menjaga harga dirinya dan tidak meminta-minta, padahal mereka berada dalam keadaan dan kondisi yang membutuhkan, disebabkan oleh pengepungan dan pemboikotan di jalan Alla>h swt. sehingga distribusi barang-barang kebutuhan terganggu dan tidak sampai kepada mereka. 684 Pujian ini mengisyaratkan penghinaan terhadap segala sikap dan
680
Al-Qurt}u>biy, Al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jld., v 166 Ibnu al-Athi>r, al-Ka>mil, jld., ii, 4352 682 Lihat al-Qur’a>n su>rah al-Nisa>‘ : 36-37, dan lihat pula Ah}mad ibn H}anbal Al-Shayba>ni, AlMusnad, jld. v, 176. Dalam ayat dan hadith tersebut Alla>h swt. mengutuk dan membenci orang sombong dan kikir. Dan lihat pula Ibnu Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n Al-‘Azhi>m, jld., ii 302. 683 Ibnu Kathi>r, Tafsi>r al-Qura>n Al-‘Azhi>m, jld. ii, 705. 684 Lihat al-Qur’a>n, su>rah Al-Baqarah; 273 681
177
perilaku meminta-minta secara umum, khususnya atas orang-orang yang kaya.685 Ulama telah sepakat bahwa meminta-minta itu haram atas orang kaya. Menurut AlQurt}u>bi sikap dan perilaku meminta-minta dengan cara mendesak dan memaksa adalah haram bagi orang kaya dan tidak halal baginya.686 Walaupun tinjauan hukum menghalalkan orang kaya untuk menerima sumbangan dengan syarat tidak memintanya dan tidak menawarkan diri untuknya, namun demi kemuliaannya dan kehormatannya, orang kaya seharusnya tidak menerima sumbangan.687 Sebab, sebagian ulama memakruhkan atas orang kaya menerima sumbangan, termasuk Abu> ‘Ubayd.
688
Tujuan sedekah adalah santunan
atas orang-orang yang membutuhkan dan fakir miskin, sedangkan orang kaya bukan salah satu dari mereka. Hadiah merupakan pemberian yang diberikan seseorang kepada orang lain untuk menjalinkan kedekatan dan menunjukkan rasa cinta kepadanya. Hadiah hukumnya sunah, dan Rasulullah Saw. menerima hadiah dan memerintahkan agar menerimanya. Dengan maksud tersebut orang kaya boleh menerima hadiah yang dihadiahkan kepadanya. Namun demi kemuliaannya dan kehormatannya, orang kaya seharusnya tidak menerima hadiah, atau menghadiahkan kembali hadiah yang diterimanya kepada orang yang lebih membutuhkannya.689 Wasiat adalah sumbangan seseorang setelah dia meninggal.690 Orang kaya boleh menerima wasiat harta. Namun sikap ‘iffah menuntun agar orang kaya menjaga dirinya dari perilaku menawarkan diri atau melakukan sesuatu yang mendekatkannya kepada sasaran dan obyek wasiat.
685
Berdasarkan penggalan ayat, ...orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta... Al-Baqarah; 273. 686 Al-Qurt}u>bi, Al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jld. I, 224. 687 Ibnu Quda>mah, Al-Mughni>, jld., ii, 520. 688 Abu> ‘Ubayd, Kita>b Al-Amwa>l, 225. 689 Ibnu Quda>mah, Al-Mughni>, jld., ii, 522 690 Ibnu Quda>mah, Al-Mughn>i, jld., vi, 444
178
tika>r dan Kejahatan Ekonomi E. Pencegahan Praktik Ih}tika> tik Penimbunan barang dalam istilah syariat disebut dengan ih}tika>r. Praktik ini sering terjadi dengan tujuan menaikkan harga barang dan melepasnya ke pasar ketika barang langka dengan harga yang tinggi. Namun bukan semua bentuk penimbunan memiliki efek negatif terhadap publik dan masyarakat, khususnya bila hal itu dilakukan untuk persiapan dan stok barang yang berlebihan di suatu musim untuk tujuan konsumsi ketika terjadi kelangkaan di pasar, bersamaan dengan itu ia didistribusikan agar harga stabil dan tidak melonjak tinggi. Penimbunan barang atau
ih}tika>r juga berkaitan dengan berbagai aspek ekonomi lain, -yang bila dihubungkan dengannya- bisa menjadikannya kebijakan yang tepat, efektif dan bermanfaat bagi masyarakat, sehingga lebih tepat disebut dengan stok barang.691 Untuk membedakan antara praktik penimbunan dengan stok barang atau istilah ekonomi lainnya, perlu definisi yang jelas, syarat-syarat dan lain-lain, sehingga suatu praktik ekonomi itu disebut ihtika>r atau tidak. Dalam kajian fikih ditemukan sedikit perbedaan pendapat antara kalangan ulama tentang praktik penimbunan, ruang lingkup dan batasan lama waktu penimbunan dan lain-lain. Definisi ih}tika>r adalah; “penimbunan segala sesuatu yang membuat manusia
kesulitan mendapatkannya disebabkan penimbunan tersebut, dengan tujuan menanti saat harganya tinggi”.692 Definisi ini mengisyaratkan ada tiga unsur pokok dalam ih}tika>r yaitu terjadinya penimbunan barang, terciptanya bahaya dan kesulitan bagi publik yang membutuhkan barang tersebut, dan lonjakan harga yang tidak rasional. Dalam kajian al-Qurt}u>bi, ada isyarat bahwa ayat 48 di su>rah Yusuf, berhubungan dengan praktik penimbunan, disamping membahas tentang stok barang.693 Kajian 691
Kajian tentang ihtika>r dibutuhkan kemampuan ijtihad dalam menganalisa segala variabel ekonomi sehingga kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan penanggulangan dan penyelesaian praktik penimbunan lebih tepat, adil, berpihak kepada masyarakat umum namun tidak merugikan pengusaha dan pedagang, dan ia juga mencakup seluruh aspek tanpa pertimbangan interest tertentu dan lain-lain. 692 Al-Ba>ji Sulaima>n Khalaf, Al-Muntaqa> sharh} Muwat}t}a’ Ima>m Ma>lik (Beirut: Da>r al-Kutub Al-‘Arabiyyah, 1404/1984), jld., v, 15. 693 Yaitu ayat,
179
hukum ih}tika>r juga berlandaskan dari rujukan hadith Rasulullah Saw. tentang
ih}tika>r.694 Para ulama mensyaratkan haramnya penimbunan bila penimbun menimbun sesuatu untuk menyulitkan orang lain dan membahayakan mereka, baik dengan mengurangi pemasokan atau pelayanan yang dibutuhkan oleh publik selama beberapa waktu untuk meninggikan harganya kemudian menjualnya dengan harga tinggi tersebut. Tingkat pemasokan yang rendah dan kurangnya suplay dalam suatu komoditas menyebabkan harganya melonjak tinggi. Praktik penimbunan pada kondisi seperti ini dilarang keras dan pemerintah harus melakukan intervensi untuk mengembalikan kegiatan pasar pada kondisi normal dan sehat. Sedangkan bila suatu komoditas sangat banyak dan melimpah, maka praktik penimbunan terhadap komoditas
itu
tidak
terlarang
selama
tidak
menyulitkan
publik
dalam
mendapatkannya. Oleh karena itu syariat membedakan antara pengurangan pemasokan dan pengelolaannya dengan perencanaan distribusi yang sehat dan seimbang. Pengurangan pemasokan dilarang sedangkan pengelolaan distribusi dibolehkan, selama tidak membahayakan dan menyulitkan publik. Mereka juga membedakan antara menyimpan hasil produksi suatu barang untuk mengelola distribusinya pada waktu yang tepat dan penarikan barang produksi dari peredarannya di pasar dengan maksud menimbunnya agar harganya tinggi.695 Yang pertama dibolehkan selama
(48)$ 0%m N (% < "# + P % 7% # P ! V9 K _9 >T C c B P ( !
Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan. Lihat al-Qur’a>n, su>rah Yu>suf, ayat 48. 694 Yaitu hadith,
a 3 {+ &7 {
“tidak seorang pun yang melakukan penimbunan melainkan dia melakukan kesalahan (dosa)”. Muslim, S}ah}i>h} Muslim, Kita>b Masa>qa>t, ba>b; Tahri>m al-ih}tika>r fi> al-aqwa>t, jld. II, 43, no. 1605 695 Ibnu Quda>mah, Al-Mughni>, jld., iv, 306
180
tidak membahayakan dan menyulitkan publik sedangkan yang kedua dilarang dan pemerintah harus melakukan intervensi. Ada satu aspek lagi yang dijadikan pertimbangan dalam masalah ih}tika>r ini yaitu perbedaan antara pasar kecil dan pasar besar atau pasar induk dan pasar cabang.
Penimbunan yang dilakukan di pasar kecil sehingga terjadi monopoli,
sangat dilarang karena membahayakan dan menyulitkan publik. Sedangkan penimbunan di pasar besar tidak dilarang selama tidak membahayakan dan menyulitkan para pedagang lain dan para pelanggannya.696 Komoditas bahan pokok yang tidak memiliki alternatif lain atau harga asli komoditas alternatifnya mahal dan di atas rata-rata kemampuan publik, termasuk komoditas
yang
terlarang
ditimbun.
Sehingga
setiap
penimbunan
yang
membahayakan publik merupakan ih}tika>r yang diharamkan.697 Imam Ma>lik menegaskan bahwa segala sesuatu baik makanan pokok, alat-alat tulis, minyak, pakaian bulu binatang (pakaian musim dingin), minyak goreng, madu dan minyak usfur serta biji-bijian dan lain-lain yang membahayakan publik, penimbunannya dilarang.698 Lamanya waktu penimbunan berbeda antara satu komoditas dengan komoditas lainnya. Untuk ukuran obat-obatan seseorang bisa dinyatakan telah menimbun dalam waktu beberapa detik saja, untuk ukuran makanan bisa dinyatakan telah menimbun dalam beberapa jam saja, sedangkan untuk pakaian, seseorang bisa dinyatakan telah menimbun dalam waktu satu tahun. Kebutuhan seseorang dan publik terhadap suatu komoditas tidak ditentukan dengan waktu, umpamanya bisa
696
‘Ali ibn ‘Abd al-Jali>l al-Marghina>ni, al-Hida>yah (Beirut: Da>r Ihya>’ Al-Tura>th Al-‘Arabiy, tt.), jld. viii, 491. 697 ‘Ali ibn ‘Abd al-Jali>l al-Marghina>ni, al-Hida>yah, (Beirut, Da>r Ihya>’ At-Tura>th Al-Arabi, tt.), jld., viii 491 698 Ma>lik ibn Anas, Al-Mudawwanah Al-Kubra> (Beirut: Da>r al-Fikr, tt.) jld. iii, 290
181
jadi seseorang yang terbakar pakaiannya lebih butuh pakaian daripada makanan karena dia tidak memiliki stok pakaian lain. 699 Penimbunan
komoditas
tertentu
berakibat
sangat
buruk
terhadap
perekonomian dan sistem distribusi. Implikasinya yang tampak jelas dalam kegiatan ekonomi diantaranya adalah; a. kelangkaan barang dan kesulitan konsumen mendapatkannya, b. gangguan terhadap persaingan sehat di pasar, c. tanggungan biaya ekonomi karena kelesuan produksi dan gangguan distribusi, d. monopoli harga yang dikuasai oleh para penimbun sehingga permainan harga tidak sehat, e. hancurnya sumber pemasukan sebagian pedagang, f. hilangnya kemampuan inovasi dalam pribadi para penimbun, dan lain-lain. Untuk mengantisipasi dan menghindarkan bahaya yang lebih besar, syariat menentukan beberapa kebijakan sebagai solusi terhadap praktik penimbunan.700 Syariat sangat mengecam dan mengancam praktik penimbunan. Kebijakan antisipatif yang ditentukan oleh syariat adalah larangan terhadap praktik pencaloan yang membuat para produsen terhalang dari akses langsung ke pasar dan tidak mengenal pasar dan harga yang berkembang di pasar. Lebih lanjut para ulama menegaskan bahwa yang menjadi penyebab utama larangan praktik pencaloan itu adalah bahaya yang diakibatkan oleh monopoli harga yang ditetapkan oleh para calo tanpa mempertimbangkan kepentingan konsumen dan distribusi barang yang sehat
Rabi>’ Al-Ru>bi, Al-Ab‘a>d Al-Iqtis}adiyyah li al-Mafhu>m al-Isla>miy li al-Ih}tika>r (Mekkah, Saudi Arabia: Ja>mi‘ah Umm al-Qura>, 1423 H), 41-43 700 Persaingan yang alami dan sehat antara aspek permintaan dan penawaran dalam pasar ditambah dengan terpenuhinya kaidah-kaidah dasar kebebasan ekonomi seperti; kebebasan berusaha, kebebasan bertransaksi, kebebasan kepemilikan dan ransangan produksi serta terciptanya syaratsyarat persaingan yang sehat merupakan faktor-faktor yang sangat efektif mengantisipasi munculnya praktik penimbunan. 699
182
di pasar.701 Syariat yang mensyaratkan transaksi dan distribusi barang harus terjadi di dalam pasar -khususnya bila ada ancaman bahaya jika praktik itu dilakukan di luar pasar,- merupakan kebijakan intervensi antisipatif. Selanjutnya rendahnya kuantitas penawaran barang atau terjadinya lonjakan harga jual atau kedua-duanya merupakan faktor-faktor yang menguatkan adanya larangan terhadap praktik pencaloan di luar pasar.702 Pemerintah berhak melakukan intervensi dalam hal ini. Apalagi bila praktik ini muncul dari para calo yang telah membeli barang dengan harga yang sangat murah dari tangan para pemasok barang dari luar pasar. Imam Al-Sha>fi’i menawarkan solusi bagi masalah praktik transaksi pencaloan yang telah terjadi. Beliau menyatakan bahwa bila seseorang menghadang pemasokan barang di luar pasar kemudian membelinya, maka jual-belinya pada dasarnya sah. Hanya saja pemasok awal barang tersebut memiliki h}aqq al-khiya>r (hak memilih) setelah masuk ke pasar dan mengenalnya; yaitu hak membatalkan transaksi bila dia merasa rugi. Sedangkan bagi para calo tidak ada h}aqq al-khiya>r (hak memilih) karena dialah yang melakukan kecurangan.703 Bila kebijakan-kebijakan antisipatif tidak efektif dalam mencegah terjadinya penimbunan, maka langkah-langkah imperatif dilaksanakan. Praktik penimbunan dapat ditanggulangi dengan pemaksaan untuk menjual barang. Jumhur ulama sepakat bahwa pemerintah berhak melakukan intervensi terhadap praktik-praktik penimbunan dan berhak memaksa para penimbun untuk menjual barang timbunan dengan harga normal. 704
701
‘Ali Ah}mad Al-Nadwi, Al-Qawa>’id al-Fiqhiyyah (Damaskus, Suriah: Da>r al- Qalam, 1406/1986), 114-115. 702 Ibnu Rushd, Bida>yat al-Mujtahid, jld. ii. 166 703 Lihat Ima>m Muh}ammad ibn Idri>s Al-Sha>fi‘i, Al-Umm (Beirut, Libanon: Da>r al-Ma‘rifah, tt.) jld. iii, 93. 704 Mereka menyatakan bahwa, “bila di suatu negeri terdapat makanan yang disimpan dan
ditimbun, sementara publik sangat membutuhkannya namun harganya sangat mahal, maka seorang pemimpin berhak menyuruh pemiliknya untuk mengeluarkannya dan menjualnya ke pasar”. Lihat AlBa>ji Sulaima>n Khalaf, Al-Muntaqa> sharh} Muwat}t}a’ Ima>m Ma>lik, jld., v, 17
183
Bila penimbun tetap bertahan tidak mau mengeluarkan dan menjual barang timbunannya, maka pemerintah mengambil alih peran distribusi dari tangan penimbun, khususnya bila barang yang ditimbun adalah bahan-bahan pokok, seperti; makanan, obat-obatan, minuman dan lain-lain. Kebijakan ini tentu berdampak buruk terhadap penimbun khususnya, tetapi untuk kemaslahatan publik langkah ini merupakan langkah inovatif dari pemerintah dengan intervensi langsung dan menjualnya dengan harga normal di pasar.705 Kebijakan hukum ditempuh oleh pemerintah bila penimbun mengulangi lagi perbuatannya. Kebijakan-kebijakan hukum harus diterapkan terhadap para pelakunya, baik berupa hukum cambukan, digelandang sekeliling pasar atau penjara.706 Hukuman di sini tidak ada ketentuan pastinya dalam syariat. Hukumannya adalah hukuman ‘ta’zir’ yang ketentuan kadar hukumannya sesuai dengan ijtihad hakim dan kebijakan pemerintah. Sebagian besar ulama menyatakan bahwa hukum penetapan dan patokan harga
adalah haram. Oleh karena itu pemerintah tidak boleh menetapkan dan
mematok harga tertentu. Ketentuan ini merupakan kebijakan pokok dan mendasar dalam hukum ekonomi Islam. Namun ketentuan ini tidak baku dan konstan tanpa pengecualian sama sekali. Pada kondisi-kondisi tertentu, intervensi pemerintah dengan menetapkan harga tertentu adalah kebutuhan dan tuntutan yang tidak bisa diabaikan. Ma>lik menyatakan dengan tegas bahwa penetapan harga tertinggi dan harga terendah dalam suatu pasar besar sangat penting. Dan bila seorang pedagang melanggarnya, maka pemerintah berhak menghukumnya dengan mengeluarkannya
113.
705
Yah}ya> ibn ‘Umar, Ah}ka>m Al-Su>q (Tunis: Al-Sharikah al-Tunisiyah li al-Tawzi>‘, 1975),
706
Yah}ya> ibn ‘Umar, Ah}ka>m Al-Su>q (Tunis: Al-Sharikah al-Tunisiyah li al-Tawzi>‘, 1975),
113.
184
dari pasar. Dalam hal ini Ma>lik melihat dari sisi kaidah fikih.707 Lonjakan harga yang tinggi merupakan bahaya atas konsumen dan masyarakat dan penetapan harga juga merupakan bahaya bagi para pedagang, namun bahaya bagi para pedagang lebih ringan dari bahaya yang menimpa konsumen dan masyarakat. Namun dengan penerapan kebijakan di atas pun masih ada kemungkinan bahaya yang lebih besar muncul, yaitu bila semua pedagang sepakat untuk memboikot peraturan pemerintah dan sepakat tidak mau menjual dengan harga yang ditetapkan, karena ingin mendapatkan keuntungan yang tidak wajar dan eksploitatif. Dalam kondisi demikian agar tidak terjadi bahaya yang lebih besar bagi konsumen dan masyarakat, pemerintah harus memasukkan pedagang baru ke pasar atau menunda pemberlakuan kebijakan penetapan harga.708 Oleh karena banyak unsur dan faktor yang terkait dengan penetapan harga ini, maka syariat menetapkan batasan-batasan dan panduan-panduannya. Pemerintah harus menyertakan sebanyak mungkin elemen masyarakat, khususnya orang-orang yang terkait langsung dengan kebijakan patokan harga, dalam upaya mengambil keputusan yang paling tepat untuk mematok harga atas barang.709
707
yaitu; “bahaya yang lebih besar dihilangkan dengan menanggung bahaya yang lebih kecil”. Lihat ‘Ali Ah}mad Al-Nadwi, Al-Qawa>‘id al-Fiqhiyyah (Damaskus, Suriah: Da>r al- Qalam, 1406/1986), 276 708 Berkaitan dengan hal ini, Yahya bin Umar menegaskan; “bila para pedagang di pasar
sepakat tidak menjual barang melainkan dengan harga yang mereka inginkan dimana dengan praktik itu mereka membahayakan masyarakat dan merusak kegiatan pasar, pengeluaran mereka dari pasar merupakan hak pemerintah. Pemerintah harus mengintervensi dan mengkaji kemaslahatan dan manfaat bersama dan memasukkan pedagang lainnya ke dalam pasar. Bila pemerintah menerapkan kebijakan itu, diharapkan mereka rela dengan ketentuan harga itu dan tidak lagi berambisi meraih keuntungan yang diinginkan…”. Lihat Yah}ya> ibn ‘Umar, Ah}ka>m Al-Su>q (Tunis: Al-Sharikah alTu>nisiyyah li al-Tawzi>‘, 1975), 45. 709 Berkaitan dengan ini Ibnu H{ubayb berkata; “Pemerintah seharusnya mengumpulkan para
wakil pedagang di suatu pasar dan menyertakan orang lain yang dipercaya untuk membuktikan kejujuran mereka. Pemerintah melakukan dialog dengan mereka tentang seluk-beluk penjualan dan pembelian. Dari dialog itulah pemerintah menyimpulkan hak keuntungan bagi pedagang tanpa mengacuhkan pertimbangan kebutuhan publik, sehingga para pedagang dan konsumen publik samasama puas. Pemerintah tidak berhak memaksa patokan harga tertentu sebelum mereka rela dan puas. Atas kaidah inilah patokan harga dibolehkan oleh sebagian besar ahli syariat”. Lihat Al-Ba>ji Sulaima>n Khalaf, Al-Muntaqa> sharh} Muwat}ta} ’ Ima>m Ma>lik, jld. v, 19.
185
Dalam konsepsi ini terdapat jaminan keuntungan yang wajar bagi para pedagang tanpa membahayakan dan menyulitkan kebutuhan publik. Bila hal ini ditempuh, maka para pedagang pun akan berfikir panjang untuk
melakukan
penimbunan. Patokan harga hanya diberlakukan atas para pedagang di Pasar. Sedangkan para pemasok barang tidak dikenakan ketetapan patokan harga tertentu.710 Setiap komoditas yang dapat ditentukan ukuran neracanya, baik berupa timbangannya atau jumlahnya atau ukuran satuannya, dapat ditentukan patokan harganya oleh pemerintah. 711 F. Pengawasan Terhadap Distirbusi Kekayaan Individu Di dalam negara-negara berpaham sosialis, badan perencanaan biasanya memutuskan untuk mengontrol pemasokan barang-barang, membatasi penawaran dan permintaan dan membuat kebijakan keseimbangan umum dalam ekonomi. Namun dalam praktiknya banyak penyimpangan terjadi di lapangan bahkan oleh aparat pemerintah sendiri, karena tidak adanya batasan dalam intervensi. 712 Sementara di dalam sistem ekonomi Islam terdapat pengakuan terhadap kebebasan pasar dan penghormatan terhadap hak individu dalam bersaing secara bebas dan sehat.713 Kaidah ini jelas sekali tampak dalam riwayat hadith yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw. menolak untuk menetapkan patokan harga 710
Al-Ba>ji Sulaima>n Khalaf, Al-Muntaqa> sharh} Muwat}t}a’ Ima>m Ma>lik, jld. v, 20. Isha>m Abba>s, Tah}li>l Al-Fikr al-Iqtis}a>diy fi> al-‘As}r al-‘Abba>siy al-Awwal, 143-197 712 Fungsi Intervensi memiliki tujuan-tujuan pokok sebagai berikut; (i) Mengawasi agar akibat-akibat ekstern dari kegiatan ekonomi yang merugikan dapat dihindari atau akibat buruknya dapat dikurangi. (ii) Menyediakan barang publik yang cukup sehingga masyarakat dapat memperoleh barang tersebut dengan mudah dan dengan ongkos yang murah. (iii) Mengawasi kegiatan-kegiatan perusahaan terutama perusahaan-perusahaan besar yang dapat mempengaruhi pasar, agar mereka tidak mempunyai kekuasaan monopoli yang merugikan masyarakat banyak. (iv) Menjamin agar kegiatan ekonomi yang dilakukan tidak menimbulkan penindasan dan ketidaksetaraan di dalam masyarakat. (v) Memastikan agar pertumbuhan ekonomi dapat diwujudkan dengan efisien. Lihat Sadono Sukirno, Pengantar Teori Mikro Ekonomi (Jakarta: Rajawali Press, 1995), 416 713 Al-Thama>liy, Al-H}uriyyah al-Iqtis}a>diyyah (Mekkah: Ja>mi‘ah Umm al-Qura>, 1405/1985), 382 dan setelahnya. 711
186
tertentu, ketika harga barang-barang di pasar Madinah mengalami lonjakan harga yang dahsyat.714 Namun dalam praktik hukum syariat dikenal juga beberapa kebijakan pengecualian dari ketentuan umum tersebut dengan disahkannya beberapa bentuk intervensi negara dalam kegiatan pasar. Hukum Islam memberikan tugas dan wewenang kepada negara untuk berperan sebagai lembaga otoritas yang menjamin terlaksananya ketentuanketentuan hukum yang adil dan benar dan meminimalkan pelanggaran terhadapnya, mencakup seluruh lapisan kekuasaan dari yang tertinggi seperti; institusi kekhalifahan, Perdana Menteri, kementerian pertahanan dan lain-lain hingga yang terendah seperti kepolisian, pamong praja dan lain-lain.715 Lembaga pengawasan umum berkaitan dengan aktivitas ekonomi individu yang dibentuk pemerintah disebut lembaga h}isbah. Menurut Al-Mawardi h}isbah merupakan lembaga yang memerintah berbuat kebajikan jika kebajikan itu tidak dilaksanakan dan melarang kemungkaran jika ada tanda-tanda bahwa kemungkaran itu dikerjakan. Tegasnya menurut Al-Ma>wardi h}isbah merupakan salah satu bentuk pengawasan bila terjadi pelanggaran terhadap suatu aturan. Peran h}isbah ini erat kaitannya dengan ketertiban umum dan keamanan dalam kehidupan masyarakat. Lebih lanjut Al-Mawardi menegaskan bahwa h}isbah merupakan sebuah institusi negara yang bertugas untuk menyuruh dan mendukung perbuatan-perbuatan makruf dan mencegah perbuatan-perbuatan mungkar. 716 Tujuan pokok Lembaga H{isbah adalah ‘to take into consideration’ merupakan gerakan kepedulian atau “to anticipate a reward in the Hereafter by
adding a pious deed to one’s account with God”, yaitu mengharapkan balasan di
Muh}ammad Akram Khan, Al-Hisbah and the Islamic Economy, diterbitkan bersama dengan Ibnu Taymiyah, Publik duties in Islam, the intitution of the Hisba (Leicester, UK: the Islamic Foundation, 1983), 23. 716 Abu> al-Hasan al-Ma>wardi, al-Ah}ka>m al-Sult}an> iyyah wa al-Wila>yah al-Di>niyyah (Beirut: Da>r al-Fikr, 1960), 240
187
hari kemudian dengan melakukan karya-karya baik (takwa) dengan maksud menambah timbangan kebaikan di sisi Tuhan.717 Orang yang menjalankan tugas h}isbah ini disebut muh}tasib. Persyaratan bagi seorang muh}tasib dalam teori Al-Ma>wardi adalah bersikap adil, merdeka, memiliki pandangan, berwawasan dan tajam pemikirannya, teguh dalam pendirian agama dan memiliki pengetahuan tentang tindakan-tindakan kriminal yang terjadi dalam masyarakat. Ahli lainnya mensyaratkan sifat alim yaitu kemampuan berijtihad dalam soal hukum agama.
718
Dua sifat pokok yang harus dimiliki oleh para
muh}tasib adalah kebenaran dan keadilan. 719 Tugas utama nabi Muh}ammad Saw. setelah pendirian negara Islam di Madinah adalah membentuk institusi pendukung. Institusi yang paling menyentuh masyarakat luas adalah institusi h}isbah yang secara fard}u kifa>yah (collective duties) bertugas pokok yaitu amar makruf dan nahyi mungkar.
Muh}ammad Saw.
merupakan muh}tasib pertama yang dikenal dalam sejarah Islam.720 Kemudian Muh}ammad Saw. menetapkan Sa‘i>d ibn Al-‘As} ibn Al-‘As} sebagai muh}tasib di Mekkah dan ‘Umar ibn Khat}ta} >b sebagai muh}tasib di Madinah. 721 Dalam masa pemerintahan al-khulafa>’ al-ra>shidi>n yang empat, setiap gubernur daerah
merupakan wakil khalifah dalam urusan h}isbah.722 Pada masa
pemerintahan Abu> Ja‘far al-Mans}ur> dari dinasti Abba>siyah tahun 157 H, muh}tasib dikenal dengan nama ‘a>rif dan ami>n. Institusi h}isbah ini terus dipertahankan dalam sejarah kekhalifahan Islam di Spanyol, Afrika, Turki dan India, walaupun dengan 717
M. Cowan, A dictionary of Modern Written Arabic (Beirut: Librairie du Liban, 1974) Nur Mufid dan A. Nurfuad, Bedah al-Ah}ka>m al-Sult}a>niyyah al-Ma>wardi (Surabaya, Pustaka Progressif, 2000), 131. 719 Muh}ammad Akram Khan, Al-Hisbah and the Islamic Economy, diterbitkan bersama dengan Ibnu Taymiyah, Publik duties in Islam, the intitution of the Hisba, 23. Lihat juga al-Qur’a>n, su>rah al-An’a>m: 115 720 Abd al-Azi>z Muh}ammad ibn Murshad, Niz}am > al-Hisbah fi> al-Isla>m (Riya>d:} University of Imam Muh}ammad ibn Sa’ud, 1395 H), 29. 721 Abd al-Hay ibn Abd al-Kabi>r Al-Katta>niy, Al-Tara>tib Al-Ida>riyyah (Beirut, Libanon: Da>r al- Kutub al-‘Arabiy), jld. i, 287. 722 ‘Ali Muttaqi, Kanz al-‘Umma>l (Hyderabad: Da>r al-Ma‘a>rih al-Niz}a>miyyah, 1313 H) jld. iii, 176. 718
188
istilah yang lain. Di Afrika disebut dengan s}ah> ib al-su>q di Turki disebut dengan
muh}tasib agha>si, dan di India disebut dengan kotwal. Akibat kolonialisme Barat, institusi h}isbah ini dalam beberapa negara Islam mengalami perubahan dan modifikasi yang drastis. Institusi h}isbah ini walaupun masih dipertahankan oleh beberapa negara seperti; Iran, Turki, Mesir dan Maroko, tetapi telah menjadi institusi sekunder. Hanya Saudi Arabia yang masih mempertahankan institusi h}isbah sebagai departemen yang cukup vital dalam negara.723 Muh}tasib merupakan seorang laki-laki muslim merdeka yang dengan penuh integritas, pandangan luas, diakui dan direkomendasi memiliki status terhormat dalam masyarakat. Kemampuan yang disyaratkan adalah menguasai hukum syariat yaitu mampu berijtihad dengan keahlian yang memadai dalam ilmu sosial dan moral. Sifat yang paling penting diantaranya adalah; pintar dan cerdas (ilm), lembut dan baik (kindness atau rifq) dan sabar (s}abr atau patience).724 Untuk memuaskan tuntutan publik, seorang muh}tasib harus melibatkan partisipasi komunitas publik sebanyak mungkin dan tidak boleh memaksakan kehendak sendiri atas mayoritas.725 Kepedulian muh}tasib terhadap penegakan dan implementasi keadilan dalam segala hal merupakan salah satu tugas pokoknya.726 Berkaitan dengan fungsi intervensi para muh}tasib dalam kegiatan pasar, AlMawardi menyebutkan bahwa mereka bertanggung jawab melakukan pengawasan terhadap kegiatan produksi di pasar-pasar. Kegiatan produksi yang diawasi menyangkut kuantitas, kejujuran dan kualitas barang. Muh}tasib harus mencegah
723
‘Abd al-Azi>z Muh}ammad ibn Murshad, Niz}am > al-Hisbah fi> al-Isla>m (Riya>d:} University of Imam Muh}ammad ibn Sa’ud, 1395 H), 114. 724 Ibnu Taymiyah, Al-H}isbah Fi> al-Isla>m, 74. 725 Ibnu Taymiyah, Al-H}isbah Fi> al-Isla>m, 243-244. 726 Muh}ammad Akram Khan, Al-Hisbah and the Islamic Economy, diterbitkan bersama dengan Ibnu Taymiyah, Publik duties in Islam, the intitution of the Hisba, (Leicester, UK. the Islamic Foundation, 1983), 140.
189
praktik-praktik yang merugikan di dalam kegiatan pasar; seperti pencurian dan masalah kejujuran para pedagang. 727 Fungsi para muh}tasib ini tidak untuk mengekang kebebasan pasar dan individu dalam berbisnis yang merupakan kaidah dasar dalam sistem ekonomi Islam, namun merupakan salah satu lembaga payung yang menjaga alur kebebasan pada jalurnya yang benar dengan nilai-nilai syariat, atau dengan kata lain fungsi intervensi itu hanya bersifat sekunder dan pengecualian dari kaidah umum itu dengan tujuan menjaga kesinambungan penerapan kaidah kebebasan itu. Oleh karena demikian pentingnya fungsi h}isbah ini, seorang yang memegang tampuk pemerintahan harus memilih para petugas h}isbah dengan cermat dan teliti, dengan standar utama dan pokok yaitu; sikap keadilan dan ketidak-berpihakan. Yahya> ibn ‘Umar seorang penulis yang mencermati masalah hukum pasar berpandangan bahwa seorang pemimpin yang mengedepankan keadilan seyogyanya memperhatikan masalah pasar dalam masyarakatnya, dan menugaskan orang yang paling dipercaya dan mengenal dengan baik daerahnya sendiri, untuk mengawasi pasar. 728 Lembaga H}isbah diberi wewenang dan otoritas yang terkontrol dalam mengatur aktivitas-aktivitas ekonomi. Fungsi ini berimplikasi kepada beberapa kebijakan berikut;729 mengatur keseimbangan (Eguilibrium), kontrol atas suplay barang, kontrol harga, menjaga struktur dan prosedur pembayaran, menjaga hak kepemilikan, meningkatkan SDM (Sumber Daya Manusia), mengontrol efisiensi dalam sektor public, pengawasan terhadap neraca, dan pengawasan terhadap kualitas dan spesifikasi komoditi. Muh}tasib berfungsi sebagai pengontrol terhadap pelaksanaan peraturan pemerintah di lapangan secara aktif sehingga efisien dan adil. Ambisi yang tak terkendali dari segelintir orang bisa merusak keseimbangan pasar. Bila hal ini terjadi 727
Nur Mufid dkk, Bedah al-Ah}ka>m al-Sult}an> iyyah al-Ma>wardi, 135. Yahya> ibn ‘Umar, Ah}ka>m al-Su>q, 30-31. 729 Yahya> ibn ‘Umar, Ah}ka>m al-Su>q, 142-147 728
190
maka muh}tasib harus melakukan intervensi guna mengembalikan keseimbangan pasar. Tugas-tugas muh}tasib yang berkenaan dengan fungsi ini sebagai berikut; 1) Mencegah layanan produksi dan distribusi barang yang berkategori haram dan merusak dalam syariat.730 2) Memantau secara teliti dan ketat kebutuhan suplay kebutuhan pokok, khususnya makanan. 3) Mengontrol agar setiap transaksi dilakukan dalam pasar yang terbuka sehingga harga tetap stabil dan terkendali.731 4) Mencegah dan melarang para penjual agar tidak berkolusi menaikkan harga.732 5) Mencegah para penjual membentuk grup yang berkolaborasi untuk melarang para penjual pendatang baru masuk ke pasar. 6) Membuka akses seluas-luasnya bagi para suplier barang untuk mengetahui harga pasar.
733
Dalam sejarah disebutkan bahwa di Tunisia
tepatnya di Qairawan, para suplier barang dari desa diberi fasilitas akomodasi, hotel dan tempat beristirahat lainnya dekat pasar untuk memberikan kemudahan informasi tentang pasar.734 7) Para calo dan perantara antara pembeli dan penjual yang tidak menambah nilai dan kualitas komoditas melainkan menambah biaya ekonomi, dilarang ikut beroperasi dalam transaksi.735
730
Muh}ammad ibn Muh}ammad ibn Ah}mad, Ibnu Ukhuwwah, Ma‘a>lim al-Qurbah (trans. and edit.) Levi Reuben (London: Lucaz and Co. 1938), 12-13. 731 Yahya> ibn ‘Umar, Ah}ka>m al-Su>q, 114. 732 Muh}ammad Akram Khan, Al-Hisbah and the Islamic Economy, diterbitkan bersama dengan Ibnu Taymiyah, Publik duties in Islam, the intitution of the Hisba, 20. 733 Muh}ammad Akram Khan, Al-Hisbah and the Islamic Economy, diterbitkan bersama dengan Ibnu Taymiyah, Publik duties in Islam, the intitution of the Hisba, 42-43. 734 Yahya> ibn ‘Umar, Ah}ka>m al-Su>q, 114. 735 Ibnu Taymiyah, Al-H}isbah Fi> al-Isla>m, 42.
191
8) Mencegah
terjadinya
dumping
yang
dilakukan
oleh
pedagang
minoritas.736 9) Mencegah para penjual menyembunyikan kekurangan dan cacat barang dagangan, apalagi meyakinkan pembeli dengan sumpah palsu dan bohong.737 Pada zaman ini muh}tasib diharapkan berperan sangat aktif dalam mengontrol iklan yang lebih banyak menipu konsumen. Muh}tasib bertugas mengontrol dan mengantisipasi segala transaksi sehingga tidak berkategori riba; 738 termasuk cash, barter, advance payment (bay’ salam), dan
loan (qard), kartu kredit dan lain-lain. Muh}tasib harus memaksa para debitor untuk membayar hutang pada waktu jatuh tempo bila kondisi menuntut hal itu.739 Bila debitor benar-benar tidak mampu membayar pada waktunya, maka muh}tasib harus melakukan intervensi secara bijaksana agar kreditor memberikan tambahan tempo. Fungsi lain dari muh}tasib adalah mendidik gelandangan, pengangguran dan pengemis,740 melalui institusi zakat dan sedekah. Muh}tasib juga bertugas mengusahakan perluasan lapangan kerja dan kesempatan karya, meningkatkan kesejahteraan buruh memenuhi kebutuhan asasi dan pokok serta upahnya, memaksa para pengguna jasa untuk membayar upah yang telah disepakati.741 Bila terjadi perselisihan antara pengguna jasa dan pekerja mengenai jumlah upah, maka pengguna jasa dipaksa untuk membayar upah yang standar.742 Muh}tasib juga diharapkan dapat menjadi penengah dalam bernegosiasi antara perusahaan pengguna jasa dan para buruh dalam menentukan upah dan kesejahteraan lainnya agar tidak terjadi kezaliman dan eksploitasi.
736
Ibnu Taymiyah, Al-H}isbah Fi> al-Isla>m, 32. Al-Ghaza>li, ihya>' ulu>m al-Di>n, jld. i, 333. 738 Ibnu Ukhuwwah, Ma‘a>lim al-Qurbah, 22-25. 739 al-Ma>wardi, al-Ah}ka>m al-Sult}a>niyyah, 246. 740 al-Ma>wardi, al-Ah}ka>m al-Sult}a>niyyah, 9. 741 al-Ma>wardi, al-Ah}ka>m al-Sult}a>niyyah, 94. 742 Muh}ammad Akram Khan, Al-Hisbah and the Islamic Economy, diterbitkan bersama dengan Ibnu Taymiyah, Publik duties in Islam, the intitution of the Hisba, 27 737
192
Seorang muh}tasib harus berperan mengontrol kebijakan zalim pemerintah dan meluruskannya. Dalam hadith disebutkan bahwa tugas itu merupakan jihad yang tertinggi.
743
Beberapa negara Barat telah memperkenalkan suatu institusi yang
disebut dengan office of Ombudsman untuk melayani pengaduhan tentang perilaku administratif fungsionaris negara, dengan inisiatif pribadi.744 Pemerintah harus menetapkan neraca umum yang dijadikan patokan oleh setiap orang dalam bertransaksi, seperti neraca timbangan, ukuran dan hitungan. Sedangkan pengawasan penerapannya di lapangan khususnya di pasar diserahkan kepada muh}tasib. Selanjutnya para muh}tasib menerapkan neraca itu dan mempublikasikannya, kemudian mengawasi pemakaiannya. Tidak ada patokan ukuran yang baku dalam hukum Islam mengenai neraca timbangan dan ukuran selain ukuran jumlah nishab zakat dan prosentase pengeluarannya, karena hal ini berkenaan dengan ibadah harta benda. Selain neraca ukuran dan timbangan zakat tersebut, tidak ada keharusan berpatokan kepada neraca tertentu. Tetapi bila pemerintah telah menetapkan neraca umum yang disepakati, maka tidak seorang pun boleh melanggarnya. Jika terjadi pelanggaran, maka peran intervensi pemerintah melalui institusi h}isbah harus menindak dan memaksa para pelanggar memakai neraca itu. Seorang muh}tasib diharuskan mengontrol penerapan dan pelaksanaan ketentuan neraca yang s ah untuk mewujudkan keadilan dan keseimbangan dalam pasar. Bahkan Yahya> ibn ‘Umar menyatakan bahwa fungsi ini merupakan kewajiban kolektif umat Islam, walaupun dalam situasi tidak terpimpin oleh pemimpin negara atau pemimpin negaranya tidak memperhatikan masalah-masalah pasar.745 Yahya> ibn ‘Umar sangat mementingkan publikasi hasil kesepakatan tentang segala ukuran neraca yang berlaku di pasar, sebagai bahan rujukan bagi segala 743
Al-Ghaza>li, Ih}ya>' ‘Ulu>m al-Di>n, jld. i, 337. F. Stacy, Ombudsman Compared (Oxford: Clarendon Press, 1978), 35-60 745 Secara tegas Yahya> mengatakan; “bila kaum muslimin berada di suatu tempat dimana 744
pemimpin negara merasa acuh tak acuh terhadap perkara ini (yaitu penetapan neraca) atau mereka tidak memiliki pemimpin yang mengaturnya, maka hendaklah para pemuka masyarakat dan orangorang yang terhormat dan saleh berkumpul untuk memusyawarahkan tentang ukuran-ukuran neraca dan timbangan seperti yang kami gambarkan” Yahya> ibn ‘Umar, Ah}ka>m al-Su>q, 36-39.
193
permasalah dan perselisihan antara para pelaku pasar.746 Dalam pengawasan di lapangan tentang ukuran neraca tersebut, para muh}tasib berhak melakukan intervensi terhadap penyimpangan yang dilakukan di pasar. Segala penyimpangan bisa berakibat terhadap tidak terwujudnya stabilitas dan kepercayaan pasar, keseimbangan antara pemasokan dan permintaan barang, kelancaran aktivitas pasar tanpa kecurangan dan pemalsuan dan persaingan yang sehat dalam pasar. Oleh karena itu hukuman atas para pelanggar yang menyimpang dengan merubah timbangan baik menguranginya ataupun menambahnya, harus dilaksanakan seefektif mungkin sehingga pelanggar tersebut jera dan kembali kepada aturan main pasar yang sehat. Kelayakan barang komoditi yang ditawarkan di pasar menuntut barangbarang komoditi bersih dari cela dan cacat apapun; baik yang menyangkut keindahannya ataupun kualitas produksinya. Hal ini penting diperhatikan untuk menjamin kesinambungan stabilitas kegiatan jual beli, perdagangan yang sehat, kepercayaan konsumen, hak kesempatan bersaing bebas, keseimbangan antara penawaran dan permintaan dan sebagainya.747 Berdasarkan ketentuan di atas, praktik-praktik curang seperti pengoplosan beras dan pencampuran oli, bensin dan lain-lain harus diintervensi oleh pemerintah melalui pengawasan dan pengontrolan
746
Lebih jauh Yahya> menegaskan; “bila ketentuan di atas (penentuan ukuran neraca) telah ditetapkan, maka muh}tasib harus mempublikasikannya ke publik tentang timbangan dan ukuran neraca mereka, dan tidak seorang pun berhak merubahnya baik menambah ataupun menguranginya.”. Yahya> ibn ‘Umar, Ah}ka>m al-Su>q, 40. 747 Para ahli fikih yang mengkaji tentang hukum-hukum yang berkenaan dengan pasar sangat memperhatikan faktor kelayakan komoditas ini khususnya dari segi spesifikasinya dan kualitasnya. Ima>m Ma>lik ketika ditanya tentang perlakuan seorang pedagang yang sengaja mencampur makanan yang berkualitas baik dengan makanan yang berkualitas di bawahnya menjawab; “bahwa pedagang
tersebut berlaku demikian dengan maksud mendapatkan keuntungan atas standar harga makanan yang baik…dengan perlakuan tersebut, (sebetulnya) pedagang itu telah merusak makanan seluruhnya, karena Allah Swt.b erfirman;“…dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk, lalu kamu nafkahkan dari padanya…”,( bagian dari ayat ke- 267, Al-Baqarah). Pedagang ini menyangka bahwa dia mendapatkan keuntungan, padahal dia merusak perilakunya dari segi agamanya. Orang semacam ini pantas dihukum dan dibatasi aktivitas bisnisnya agar tidak mencampur-adukkan (barang dagangan) dan berlaku curang. Para pedagang harus menjual barang sejenis-sejenis saja.” Lihat Yahya> ibn ‘Umar, Ah}ka>m al-Su>q, 61-62.
194
ketat. Dan peran lembaga-lembaga terkait seperti lembaga h}isbah sangat berpengaruh dalam masalah ini. G. Pencekalan terhadap Distirbusi Kekayaan Individu Individu Individu dicegah dan dicekal dari pengelolaan harta bendanya karena dua sebab pokok; tidak profesional atau kurang profesional, dan tindakan tidak rasional atau kejahilan.748 Bila pemilik harta tidak pandai mengelola hartanya sendiri, maka ia harus diamanatkan kepada wali yang mampu mengelolanya dan menumbuhkannya dengan maksud menjaga kebaikan dan kepentingan pemiliknya. Pemeliharaan harta benda merupakan salah satu tujuan syariat,
maka harta tidak boleh dibiarkan
terlantar dan disia-siakan oleh tangan orang-orang yang tak bertanggungjawab. Oleh karena itu, syariat Islam mensyaratkan ahliyah (profesionalitas), khususnya ahliyah
al-ada>' dalam pribadi pemilik harta, dalam mengelola hartanya.749 Asas ahliyah ini adalah tamayyuz (mampu menalar dan membedakan). Oleh karena itu orang tidak dianggap memiliki ahliyah untuk melakukan sesuatu pada awal masa hidupnya hingga dia mencapai kematangan akal (tamayyuz). Ahliyah dimulai dengan terwujudnya sifat tamayyuz dalam diri seseorang. Hanya saja
ahliyah ini masih bersifat semi-permanen dan kurang sempurna hingga orang benarbenar mencapai usia baligh. Hal ini menyangkut pembebanan syariat. Sedangkan dalam urusan-urusan muamalat dan semua akad lainnya maka seseorang disyaratkan 748
Kebijakan ini dalam istilah fikih disebut dengan al-h}ajr. Al-H}ajr menurut pengertian bahasa bermakna; larangan mutlak. Lihat al-Jurja>ni, Al-Ta‘ri>fa>t, 59. Sedangkan menurut syariat, alh}ajr adalah larangan terhadap seseorang dalam mengelola dan membelanjakan harta bendanya. Lihat Ibnu Quda>mah, Al-Mugni>, jld., iv, 550. Dalam definisi lain disebutkan, al-h}ajr adalah sifat hukum
yang melekat pada diri seseorang yang memaksanya terhalang dari kebebasan berbuat di luar batas kekuasaannya sebagaimana dia juga terhalang dari menderma lebih daripada sepertiga hartanya.” Lihat Al-Ra>fi‘i, Kita>b Al-Azi>z, jld., v, 66 749
Ahliyah tersebut ada dua macam, yaitu, pertama, ahliyah al-wuju>b; yaitu profesionalitas seseorang yang menetapkan hak-hak baginya dan meletakkan kewajiban-kewajiban atas dirinya. Kedua, ahliyah al-ada>'; yaitu profesionalitas seseorang yang membolehkannya melakukan perbuatan dan mengeluarkan pernyataan yang dipertimbangkan oleh syariat. Lihat Sa>nu, Mu‘jam Must}alaha>t Us}u>l al-Fiqh (Beirut: Da>r al-Fikr, tt.), 94.
195
telah mencapai usia kematangan akal dan baligh untuk menetapkan ahliyah al-ada' yang permanen dan sempurna atasnya. 750 Bila sebelum baligh, seorang anak telah memiliki kemampuan dan kematangan akal, dia dikategorikan kurang ahliyah.751 Oleh karena itu dia tidak boleh mengelola hartanya seperti larangan terhadap orang gila.752 Allah memerintahkan untuk menyerahkan harta anak yatim kepada mereka dengan dua syarat, yaitu; usia baligh dan kecakapan, keahlian dan kecerdasan mengurus harta.753 Ulama telah sepakat dalam hal ini tidak ada beda antara anak yatim dan anak yang masih di bawah asuhan orangtuanya. Dan hukum ini juga mencakup orang gila.754 Ulama telah berijmak bahwa
anak kecil dan orang gila terlarang mengelola
hartanya.755 Syarat penyerahan harta kepada anak yatim adalah adanya sifat 'rushd' yaitu kemampuan menumbuhkan dan menjaga harta,756 dan kesalehan dalam agama.
757
Yang dimaksudkan dengan saleh dalam agama adalah tidak melakukan perkara-
750
Sifat ahliyah ini memiliki hubungan dengan tema di atas, dimana karenanya orang ditetapkan hak-hak baginya dan diletakkan kewajiban-kewajiban. Namun dalam beberapa kondisi karena akalnya belum sempurna seperti anak yang belum baligh dan belum matang akalnya, dia tidak boleh bertransaksi dan melakukan kebijakan dimana pernyataan dan perbuatannya tidak dapat menjadi pertimbangan dalam pandangan syariat. Oleh karena itu dia dilarang mengelola hartanya bila dia memiliki harta seperti hukum atas orang gila. Lihat Sa>nu, Mu‘jam Must}alaha>t Us}u>l al-Fiqh (Beirut: Da>r al-Fikr, tt.), 94-95 751 Dalam al-Qur’a>n disebutkan, “ Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur
untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya... Lihat al-Qur’a>n, su>rah Al-Nisa>'; 6. 752 Ketentuan tersebut terdapat dalam ayat, ...Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Lihat al-Qur’a>n, su>rah Al-Baqarah: 282. Ayat ini menunjukkan bahwa orang lemah akal dan bodoh yaitu; anak kecil dan orang gila, dilarang mengelola hartanya dan walinya berhak mengaturnya. 753 Yaitu dalam ayat, Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.
Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. . 754 Zain al-Di>n al-Munji Al-Tanu>khiy, Al-Mumti‘, jld. iii, 324. 755 Al-Qurt}u>biy, Al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jld. v, 21-22. 756 Ibnu Quda>mah, Al-Mughni>, jld., iv, 566 757 Al-Sharbi>ni, Mughni> al-Muh}ta>j, (Beirut: Da>r al-Fikr, tt.) jld., iii, 135
196
perkara haram yang bisa menjatuhkan martabat keadilan dan kejujuran seseorang, tidak berlaku boros dan berfoya-foya dalam kenikmatan duniawi. Menurut hukum dasarnya, seseorang yang telah mencapai usia akil baligh, ia dibebani oleh hukum syariat dan dia bebas menentukan dan memberdayakan apa pun yang menjadi manfaat bagi dirinya. Namun bila seseorang setelah mencapai usia akil baligh, masih berperilaku dengan sifat kefasikan dan menghamburkan harta dalam maksiat dan atau tenggelam dalam sikap boros, berfoya-foya dan berlebihan walaupun masih dalam batasan
halal, maka perilaku dan sikap tersebut bisa
membelenggunya dalam lingkaran hukum ‘al-h}ajr’ (pencekalan). Pencekalan ini untuk menjaga hak orang lain dan untuk kepentingan dirinya sendiri.758 Orang yang berperilaku demikian disebut safi>h.759
Al-Safah adalah ketidakwajaran orang dalam berbuat dan menggunakan hartanya yang bertentangan dengan akal sehat, namun akalnya sendiri tidak
758
Pencekalan tersebut ada beberapa macam; Pencekalan terhadap orang yang bangkrut dari aktivitas bisnis dan kegiatan transaksi yang baru untuk menjaga hak para pemberi piutang kepadanya. b. Pencekalan terhadap orang yang memegang amanah titipan barang gadaian dari sikap menyianyiakannya untuk menjaga hak orang yang menggadaikannya. c. Pencekalan terhadap orang yang sakit dari menghamburkan harta benda dan menyerahkan kepada orang lain dengan maksud menyulitkan para ahli waris untuk menjaga hak para ahli warisnya. d. Pencekalan terhadap seorang hamba sahaya dari perilaku yang membahayakan tuannya untuk menjaga hak tuannya dan juga terhadap seorang hamba sahaya yang sedang membebaskan diri dari perbudakan melalui pembayaran secara angsur dari sikap-sikap melarikan diri dari tanggung jawab, untuk menjaga hak tuannya dan hak Allah Swt. e. Pencekalan terhadap seorang yang murtad dan keluar dari agama Islam dari segala aktivitas yang merugikan kaum muslimin untuk menjaga hak kaum mereka. f. Pencekalan terhadap orang yang berlaku irrasional dan jahil serta berfoya-foya dengan harta bendanya sehingga menjadi bangkrut dan terlilit hutang, sampai ia berlaku sehat dan normal kembali. g. Pencekalan terhadap anak kecil sampai mencapai umur akil balig. h. Pencekalan terhadap orang gila, sampai penyakit gilanya sembuh dan otaknya kembali berfungsi normal. Masing-masing dari pencekalan tersebut memiliki dalil sebagai dasar hukumnya dan dibahas secara terpisah pada bab-bab yang berbeda dalam buku-buku fikih. Lihat Lihat Al-Ra>fi‘iy, Kita>b Al‘Azi>z, jld., v, 300 dan setelahnya. 759 Lihat al-Qur’a>n, su>rah Al-Nisa>’: 5
a.
197
terganggu (tidak gila).760 Diantara tanda-tandanya adalah menggunakan harta benda dan menghambur-hamburkannya dalam kesia-siaan, menjual barang yang mahal dengan harga yang murah, membelanjakannya untuk hal-hal tidak bermanfaat dan lain-lain. Sifat ini disejajarkan status hukumnya dengan sifat kelemahan dalam fisik dan akal, bahkan sifat gila.761 Menurut Al-Ka>sa>niy, Allah membatalkan pernyataan orang yang kurang akal, dan menetapkan wali atas dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang kurang akal dihalangi dari wewenang dalam mengelola harta bendanya. 762 Allah menentukan wali atas orang yang kurang akal dan melarang penyerahan harta terhadap mereka agar tidak memboroskannya. Penyebab dijatuhkan hukum al-h}ajr pada anak yatim adalah kemungkinan adanya sifat boros pada anak, dan hal itu pun terdapat dalam diri orang dewasa yang kurang akalnya. Bahkan pada orang dewasa, potensi penyimpangan lebih besar, sehingga lebih wajib untuk dijatuhkan hukum al-h}ajr. 763 Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa orang yang dikenakan hukum pembatasan al- hajr, adalah orang yang memiliki kriteria-kriteria berikut; 1) Menghambur-hamburkan harta tanpa manfaat yang berarti. 2) Menggunakan harta benda dalam kemaksiatan dan dosa (fasik). 3) Mengelola harta dalam bidang usaha yang bukan merupakan keahliannya yang menyebabkan kerugian dan kebangkrutan, sehingga dia terlilit hutang. Dalam kondisi ini seseorang harus menyerahkan pengelolaan 760 Muh}ammad Abdulla>h al-Murtashi, Al-Wus}ul> ila> Qawa>‘id al-Us}ul> (Beirut: Da>r al-Fikr, 1423 H), 310. 761 Lihat al-Qur’a>n, su>rah Al-Baqarah; 282. Menurut tafsir ayat tersebut maksud dari safi>h adalah orang yang bertindak bodoh dan berfoya-foya dengan boros. D}a’i>f adalah para anak kecil yang belum cukup memiliki pertimbangan tentang manfaat atau mudlarat bagi dirinya. Orang yang tidak mampu mendiktekan adalah orang yang tidak sempurna dan sangat lemah akalnya atau akalnya hilang sama sekali (gila). Lihat Ibnu Kathi>r , Tafsi>r al-Qura>n Al-‘Azhi>m (Beirut, Libanon: alMaktabah al-‘As}riyyah, tt.) jld., i, 294-295. 762 Abu> Bakr ibn Mas‘u>d Al-Ka>sa>niy, Bada>’i‘Al-S}ana>’i‘ fi> Tarti>b al-Shara>’i‘ (Beirut: Da>r alKutub al-‘Ilmiyah, 1406 H), jld., x, 84 763 ‘Ali ibn ‘Abd al-Jali>l al-Marghina>ni, al-Hida>yah (Beirut: Da>r Ihya>’ Al-Tura>th Al-‘Arabiy, tt.), jld., iii, 278.
198
harta bendanya kepada orang yang ahli, profesional dan mampu mengelolanya. Seseorang bisa dikatakan masuk dalam katagori muflis (bangkrut) bila hutangnya menumpuk atasnya dan harta miliknya yang ada tidak mencukupi jumlah biaya hutang yang harus dilunasinya. Dengan maksud meminimalkan keburukan dan kerugian yang bisa berakibat kepada orang lain khususnya para pemberi piutang dan penanam modal, maka syariat menentukan posisi orang yang demikian berada dalam batasan hukum al-h}ajr. Paling kurang ada empat materi hukum al-h}ajr yang diberlakukan atas orang yang ditimpa kebangkrutan; 764 1) Larangan terhadap orang tersebut dari menjalankan kebijakan baru dalam mengelola usaha dan memanfaatkan hartanya yang tersisa. Hal ini untuk mengantisipasi kerugian yang lebih besar dan kemungkinan semakin menumpuknya hutang, dan guna meminimalisir kerugian yang lebih besar bagi pemberi piutang disebabkan tidak menerima bayaran piutangnya sama sekali dari penghutang tersebut. 2) Pelelangan
atas hartanya untuk membayar
hutang-hutangnya, atau
membagikan barang-barang yang tersisa dan menyerahkannya kembali kepada para pemberi piutang, bila hutang tersebut berbentuk komoditas barang. 3) Hukuman penahanan dan pengurungan terhadapnya pada kasus dimana dia sendiri menyatakan bahwa dirinya ditimpa kebangkrutan dan tidak mampu lagi membayar hutang. Batas waktu penahanan ini hingga ada penelitian yang benar-benar membuktikan kesulitan orang yang bangkrut tersebut dan ketidak-mampuannya membayar hutang. Kebijakan ini diberlakukan untuk menghindari kelicikan dan siasat seseorang dengan menyatakan dirinya
764
Al-Ra>fi‘iy, Kita>b Al-‘Azi>z, jld. v, 3 dan setelahnya.
199
bangkrut, padahal kenyataannya dia masih memiliki simpanan yang cukup banyak dan berlebihan untuk membayar hutang-hutangnya. 4) Dalam memutuskan siapa yang paling berhak dari para pemberi piutang –bila lebih dari satu pihak- atas komoditas yang tersisa di tangan orang yang bangkrut, kebijakannya harus merujuk kepada pemilik asli dari komoditas yang ada di tangan orang yang bangkrut tersebut. Demikian beberapa kebijakan untuk mengantisipasi dan mencegah terjadinya penyimpangan dalam distirbusi kekayaan yang berkenaan dengan inisiatif individu dan kebijakan pemerintah, sehingga sasaran dan prioritas distirbusi kekayaan lebih tepat dan efektif dalam mengentaskan kemiskinan dan menciptakan pemerataan seluas-luasnya di tengah masyarakat.
200
BAB V SASARAN DAN SKALA PRIORITAS DISTIRBUSI KEKAYAAN INDIVIDU Islam menuntun manusia agar memiliki keberkahan dalam kehidupan untuk orang lain dan lingkungan di sekitarnya. Setiap orang yang beriman dan beramal saleh, memiliki keberkahan sebesar iman dan amal salehnya.765 Keberkahan seorang muslim menjadi sumber perumpamaan dalam keberkahan makhluk lainnya. Keberkahan dan kemanfaatan pohon kurma, serupa dengan keberkahan dan kemanfaatan seorang muslim, yaitu bersifat umum, sehingga dapat dirasakan dalam segala kondisi, tempat dan orang-orang sekitarnya.766 Keberkahan dalam bahasa Arab disebut al-Barakah berarti perkembangan, pertambahan dan kebahagiaan.767 Menurut Imam Al-Nawa>wi asal makna keberkahan ialah kebaikan yang banyak dan abadi.768 Dalam al-Qur a>n dijelaskan tentang air hujan yang diberkahi dari langit yang membawa manfaat yang banyak. Dengan air tersebut tumbuhlah berbagai macam tanaman, biji-biji yang diketam, dan pohon kurma yang tinggi-tinggi dan memiliki mayang yang bersusun-susun. Dengan air itu tanah yang mati dan kering menjadi hidup dan subur kembali.769 Negeri yang memiliki sifat demikian adalah negeri Saba’, suatu negeri yang tatkala penduduknya beriman dan beramal saleh, diliputi dengan keberkahan. Ahli tafsir mengisahkan wanita kaum Saba' tidak perlu bersusah payah mengambil hasil kebunnya, mereka cukup membawa keranjang di atas kepalanya, lalu melintas di kebunnya, maka buah-buahan yang telah masak berjatuhan memenuhi keranjangnya. Sebagian ulama menyebutkan bahwa di negeri Saba' tidak ada lalat, nyamuk, kutu,
765
Lihat Sulayma>n ibn Abdilla>h, Taysi>r Al-Azi>z Al-H{ami>d, 174-186 Ibnu H{ajar Al-‘Asqala>niy, Fath} al-Ba>ri> Sharh} S}ah}i>h} al-Bukha>riy, jld. i, 145-146. 767 Al-Fayyu>miy, Al-Mis}ba>h Al-Muni>r, jld. I, 45, Al-Fayru>z Aba>di, Al-Qa>mu>s al-Muhi>th, jld., ii, 1236, dan Ibnu Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, jld. x, 395. 768 Al-Nawa>wi, Al-Minha>j Sharh} S}ah}i>h} Muslim ibn al-H}ajja>j, jld. i, 225. 769 Lihat al-Qur’a>n, su>rah Qa>f: 9-11. 766
201
atau serangga lainnya. Udaranya segar menyejukkan dan cuacanya sangat bersahabat.770 Demikianlah ketika suatu negeri diberkahi oleh Alla>h swt., maka harta yang sedikit jumlahnya, akan mendatangkan kemanfaatan sangat banyak, sampai-sampai satu buah delima dapat mengenyangkan sekelompok orang, dan susu hasil perasan seekor sapi dapat mencukupi kebutuhan orang satu kabilah.771 Menurut Imam Ibnu al-Qayyim dahulu biji-bijian baik gandum atau lainnya lebih besar dibanding yang ada sekarang, sebagaimana keberkahan yang ada padanya lebih banyak. Imam Ah}mad menceritakan bahwa telah ditemukan di gudang khalifah Bani> Umayyah sekantung gandum yang biji-bijinya sebesar biji kurma, dan bertuliskan pada kantung luarnya: “Ini adalah gandum hasil panen masa keadilan ditegakkan.”772 Iman menuntut bukti nyata dalam amal saleh dan ketaatan mutlak kepada Alla>h swt. dalam mempraktikkan tuntunan hidup dalam kitab suci-Nya773. Alla>h menjamin bagi setiap orang yang beriman, beramal saleh dan berinfak774 limpahan rezki yang sangat banyak dari langit dan dari bumi, kecukupan, berbagai kebaikan, dan ketentraman hidup.775 Diantara contoh nyata keberkahan harta orang yang saleh ialah kisah Khid}ir dan Nabi Mu>sa bersama dua orang anak kecil. Pada kisah tersebut Khidir menegakkan tembok pagar yang hendak roboh untuk menjaga harta warisan 770
Ibnu Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n Al-‘Azhi>m, Jld., iii, 531. Ketika Nabi menceritakan tentang berbagai kejadian yang mendahului kebangkitan di hari kiamat, beliau bersabda, 34 إن ا7*8 ،ِ ْ;< ا0( رك1 و،>?3 &ن4@*A و،"آ ا ا# $%&'( ،)*) وردي آ#./ 0*1 أ:ل رض .سE ا$G? ا0?B* HEI ا34 وا،سE ا4'1 ا0?B* 1 ا34 وا،سEم ا%? ا0?B* Cا 771
“Akan diperintahkan (oleh Alla>h) kepada bumi, “tumbuhkanlah buah-buahanmu, dan kembalikan keberkahanmu, maka pada masa itu, sekelompok orang akan merasa cukup (menjadi kenyang) dengan memakan satu buah delima, dan mereka dapat berteduh dibawah kulitnya. Dan air susu diberkahi, sampai-sampai sekali peras seekor onta dapat mencukupi banyak orang, dan sekali peras susu seekor sapi dapat mencukupi manusia satu kabilah, dan sekali peras, susu seekor domba dapat mencukupi satu cabang kabilah.” Lihat Muslim, S}ah}i>h} Muslim, ba>b, Dhikr al-Dajja>l wa S}ifatuh wa ma> ma‘ahu, no. 5228. 772 Ibnu al-Qayyim, Za>d al-Ma‘a>d fi> Hady Khayr al-‘Iba>d, ta‘li>q; Muh}ammad Hami>d alFa>qiy (Madinah: Al-Sunnah al-Muhammadiyyah 1426 H), jld. iv, 363. 773 Lihat al-Qur’a>n, su>rah Al-Ma>’idah: 66. 774 Lihat al-Qur’a>n, su>rah Al-Nahl: 97. 775 Ibnu Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n Al-‘Az}im > , jld. ii, 76.
202
yang dimiliki oleh dua orang anak kecil dan terpendam di bawah pagar tersebut, sehingga tidak diketahui dan diambil oleh orang lain.776 Ahli tafsir menyebutkan bahwa ayah saleh tersebut bukan ayah langsung kedua anak tersebut, tetapi kakeknya yang ketujuh, yang semasa hidupnya berprofesi sebagai tukang tenun. Dengan demikian anak keturunan orang saleh akan dijaga, dan keberkahan amal saleh meliputi anak keturunan di dunia dan di akhirat.777 Oleh karena itu dalam bab ini akan dibahas tentang Sikap ih}sa>n membelanjakan kekayaan, infak, sikap i>tha>r dalam kekayaan dan manfaat, skala prioritas distirbusi berdasarkan filosofi zakat dan distirbusi untuk pengentasan kemiskinan. Penggunaan kekayaan untuk orang-orang yang membutuhkan, derma kepada orang-orang yang miskin dan mereka yang membutuhkan, memberikan pinjaman yang baik (qard} h}asan), mengembangkan sistem keuangan tanpa riba dan berbentuk patnership (shari>kah), akan melahirkan booming dalam sektor pertanian, perdagangan dan perindustrian, serta akan meningkatkan GNP.778 A. Sikap Ih}sa>n Membelanjakan Kekayaan Dalam membelanjakan kekayaan, Islam menetapkan syarat dan ketentuan yang harus atau sebaiknya dipanuti agar menjadi amal yang diterima dan diridhai, tepat
sasaran,
dan
membebaskan
diri
segala
potensi
penghalangan
dan
penyimpangan dalam distirbusi kekayaan seperti, sifat bakhil, kikir, berlebihan, dan boros. Agar pembelanjaan dan penggunaan dana menjadi amal yang diterima dan diridhai Alla>h Swt., serta bermanfaat secara maksimal, pembelanjanya harus bersikap ih}sa>n.
776
Lihat al-Qur’a>n, su>rah Al-Kahf: 82 Ibnu Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n Al-‘Az}im > , jld., iii, 99. 778 Babilli berpendapat bahwasanya infak akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan akan membawa berkah dan kemenangan dalam masyarakat. Mahmud Muhammad Babili, Al-Ma>l fi> al-Isla>m (Beirut: Da>r al-Kita>b al-Lubna>ni, tt.), 126 777
203
Dalam Islam seluruh amal harus dilandasi oleh keimanan agar menjadi amal yang diterima, termasuk di dalamnya membelanjakan harta benda.779 Sesungguhnya yang menghalangi diterimanya pembelanjaan infak kaum munafik adalah karena mereka fasik, dan kafir kepada Alla>h Swt. dan rasul-Nya. Dalam tafsir Al-Qurt}u>bi disebutkan bahwa perbuatan orang kafir bila termasuk kebajikan seperti silaturrahim dan pertolongan terhadap orang yang ditimpa musibah, tidak diberi pahala dan imbalan serta tidak bermanfaat apa-apa di akhirat.780 Dalam Hadith ditegaskan bahwa silaturrahim, memberikan makan orang miskin dan akhlak yang mulia lainnya tidak bermanfaat di akhirat disebabkan kekafiran.781 Menurut Al-Qa>d}i Iya>d} telah terjadi ijmak bahwa amal orang kafir tidak bermanfaat baginya dan dia tidak mendapat balasan apapun atasnya.782 Dengan demikian iman merupakan syarat atas pembelanjaan harta benda yang benar dan diberikan balasan pahala. Setiap muslim ketika membelanjakan harta benda dan berinfak harus meluruskan niatnya agar ikhlas karena Alla>h Swt., tidak boleh bercampur baur dengan kesombongan dan memamerkan harta, dan hanya mengharapkan ridha Alla>h Swt. Dalam al-Qur a>n disebutkan bahwa harta baik yang dinafkahkan di jalan Alla>h dengan ikhlas dan mengharapkan keridhaan Alla>h, akan dibalas dengan pahala yang memadai dan
tidak
akan
mengalami kerugian.783
Al-Qur a>n
memberikan
perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Alla>h dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat atau gerimis, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat.784 Alla>h memuji orang-orang yang 779
Lihat al-Qur’a>n su>rah al-Tawbah; 54 Al-Qurt}u>bi, Al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jld. viii, 73 781 Hadith tersebut adalah riwayat Aisyah r.a. berkata; "aku bertanya; "wahai Rasulullah Saw., Ibnu Jad'an di masa jahiliyah bersilaturrahim, memberikan makanan orang miskin, apakah hal itu bermanfaat baginya? Rasulullah Saw. bersabda; "tidak bermanfaat baginya. Sesungguhnya dia tidak pernah sekalipun berdo'a; Ya Tuhanku ampunilah kesalahanku pada hari pembalasan". Lihat Muslim, S}ah}i>h} Muslim, ba>b, al-Dali>l ‘ala> anna man ma>ta ‘ala> al-Kufr la> yanfa’uh, no. 315 782 Al-Nawa>wi, Al-Minha>j Sharh} S}ah}i>h} Muslim ibn al-H}ajja>j, jld. iii 82 783 Lihat al-Qur’a>n su>rah al-Baqarah: 272 784 Lihat al-Qur’a>n su>rah al-Baqarah: 265 780
204
menginfakkan hartanya karena ikhlas dan mencari ridha-Nya, dan akan diberi balasan berlipat ganda.785 Hal ini menunjukkan bahwa ikhlas merupakan syarat diterimanya infak dan pembelanjaan harta benda. Ih}sa>n mengharuskan kekayaan diperoleh dengan cara yang disyariatkan dan baik, bukan dimiliki dan dikumpulkan dengan cara yang diharamkan. Dalam alQur a>n ditegaskan bahwa Alla>h memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.786 Berdasarkan ayat ini, Alla>h Swt. tidak akan menerima dari orang-orang yang mempraktikkan riba; sedekahnya, hajinya, jihadnya, dan silaturrahimnya. Alla>h Swt. menumbuhkan dan menyuburkan sedekah di dunia dengan keberkahan, dan memperbanyak pahalanya dengan berlipat ganda di akhirat.787 Hal itu disebabkan riba itu bukan usaha yang baik, sedangkan infak dan sedekah itu harus dari sesuatu yang baik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa usaha yang baik adalah syarat diterimanya infak dan pembelanjaan harta. Dalam riwayat Abu> Hurayrah r.a. disebutkan bahwa Rasulullah Saw. menjanjikan bagi orang yang bersedekah senilai satu kurma dari usaha yang baik – dan Alla>h Swt. tidak akan menerima melainkan sesuatu yang baik- bahwa Alla>h akan menerimanya dengan tangan kanan-Nya, kemudian Dia menumbuhkannya bagi pemiliknya, sebagaimana seseorang menumbuhkan anak keledainya, hingga sedekah itu tumbuh laksana gunung.788 Setiap muslim harus bersikap tawa>du} ’ (rendah hati), tidak bersikap sombong atas orang lain dan membangga-banggakan diri karena kekayaannya. Sebab semua itu adalah sikap aniaya dan kezaliman yang tercela dan harus dijauhi. Dalam alQur a>n, Alla>h Swt.
mengutuk Qarun yang terlalu membanggakan diri dan
kekayaannya.789 Alla>h Swt. telah membinasakan Qarun karena kezaliman dan berlaku semena-mena terhadap kaumnya. Nasihat kaumnya agar jangan bersikap 785
sombong, congkak, dan membanggakan diri dan kekayaannya, sama sekali tidak dihiraukan dan diperhatikan.790 Kasus ini menunjukkan bahwa orang kaya harus menjauhi dan menghindarkan diri dari sikap aniaya dan kezaliman agar Alla>h Swt. menerima infaknya dan selamat dari murka-Nya dan azab-Nya. Dalam ayat lain Alla>h Swt. memberi peringatan agar tidak terlalu gembira dan bersuka ria terhadap anugerah kekayaan yang diberikan-Nya, karena Dia tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri.791 Menurut Ibnu Kathir peringatan tersebut adalah larangan menjadikan nikmat Alla>h Swt. sebagai alat untuk menyombongkan diri, berbangga dan memamerkannya atas manusia lainnya.792 Orang kaya tidak sepantasnya berbangga-bangga terhadap orang yang menerima pemberian infaknya, atau menyakiti perasaannya, karena hal itu bisa membatalkan pahala infak tersebut. Dalam al-Qur a>n disebutkan bahwa orang yang menafkahkan
hartanya
di
jalan
Alla>h,
kemudian
tidak
menyebut-nyebut
pemberiannya dan menyakiti perasaan si penerima, pasti memperoleh pahala di sisi Alla>h swt.793 Dalam ayat tersebut Alla>h Swt. memuji orang yang berinfak di jalanNya, tidak menyebut-nyebut infak kepada penerimanya, tidak menyakitinya baik dengan kata-kata ataupun dengan perbuatan, dan tidak pula menyinggungnya dengan sesuatu yang tidak disukainya. Sebab semua itu bisa menghilangkan pahala kebaikan baginya. Alla>h menjanjikan pahala yang berlimpah atas kebersihannya dari sifat jelek itu.794 Kemudian Alla>h Swt. menjelaskan bahwa menghindari sikap menyebut-nyebut dan menyakiti adalah lebih baik daripada berinfak, dan bahwa menolak peminta-minta dengan cara yang baik adalah perbuatan yang makruf dan wajib dilakukan. Selain itu memberikan ma'af kepada peminta-minta bila muncul sifat kurang baik dari dirinya merupakan penyebab datangnya ampunan Alla>h
penerimannya adalah penyebab hancurnya pahala infak di jalan Alla>h Swt. seperti sombong dan sikap pamer yang menghilangkan pahala suatu amal shaleh.796 Perumpamaan infak orang yang menyebut-nyebut infaknya, seperti batu licin yang berdebu kemudian debu itupun hilang dan tidak tertinggal sedikitpun, karena hujan lebat. Dalam Hadith disebutkan bahwa diantara tiga golongan orang yang tidak akan diajak berbicara oleh Alla>h Swt. kelak di hari kiamat adalah orang yang berinfak namun selalu menyebut-nyebut infaknya dan menyakiti penerimannya.797 Distirbusi kekayaan difokuskan pada sasaran-sasaran kebajikan dan pos-pos yang dibolehkan dalam Islam. Dalam al-Qur a>n diperintahkan untuk membelanjakan harta benda di jalan Alla>h
dan dilarang membelanjakannya ke dalam perkara-
perkara yang membinasakan.798 Pembelanjaan harta benda hendaknya untuk menguatkan kaum muslimin dan menghindarkan mereka dari kebinasaan dan kehancuran, akibat serangan musuh atau sebab lain. Kemudian ayat menekankan perintah untuk berbuat ih}sa>n yang merupakan tingkat ketaatan yang paling tinggi.799 Dalam Hadith Rasulullah Saw. mengingatkan bahwa di hari kiamat, seseorang akan ditanya tentang harta bendanya dari mana ia diperoleh dan untuk apa ia dipergunakan?800 Hadith ini menunjukkan keharusan berinfak dalam lokasi dan pos yang dibolehkan oleh Pemilik harta benda yang hakiki Alla>h. Setiap harta benda yang ada dalam kekuasaan seseorang adalah nikmat Alla>h. Oleh karena itu dia harus berterima kasih atas nikmat Alla>h Swt. tersebut dengan bersyukur kepada-Nya. Kesyukuran ini merupakan penyempurna dan kewajiban yang melengkapi syarat-syarat sebelumnya. Dalam al-Qur a>n, Alla>h menjanjikan limpahan tambahan nikmat yang berlipat-lipat bagi orang yang 795
Abu> al-Qa>sim Mah}mu>d ibn ‘Umar ibn Muh}ammad ibn ‘Umar Al-Zamakhshari, AlKashsha>f; (Beirut: Da>r al-Fikr, tt) jld. i, 160. 796 Al-Zamakhshari, Al-Kashsha>f; jld., i, 160 797 Muslim, shahi>h Muslim, ba>b, Baya>n Ghalaz} Tahri>m Isba>l al-Iza>r wa al-Mann…no. 154 798
Lihat al-Qur’a>n su>rah al-Baqarah; 195 Ibnu Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n Al-‘Az}im > , jld. i, 152 800 Al-Tirmidhi, Sunan, ba>b, Ma> ja>‘a fi Sha’n al-H}isa>b wa al-Qis}a>s}, no. 2340 799
207
bersyukur. Sebaliknya orang yang mengingkari nikmat Alla>h swt. akan disiksa dengan azab yang sangat pedih.801 Sikap mensyukuri nikmat Alla>h Swt. adalah keberkahan dan tambahan nikmat yang baru. Sebaliknya sifat kufur nikmat, menyembunyikannya dan mengingkarinya, terancam dengan hukuman dirampasnya nikmat tersebut ditambah dengan siksaan yang keras dan pedih.802 Dalam al-Qur a>n dikisahkan tentang nabi Sulaiman yang lewat kara>mah seorang hamba saleh berhasil memindahkan singgasana ratu Balqis sebelum matanya berkedip. Nabi Sulaiman menyikapinya sebagai ujian kesyukuran.803 Semua nikmat Alla>h Swt. adalah ujian bagi hamba-Nya apakah dia akan bersyukur atau kufur.804 Syukur tidak cukup dengan ucapan lisan, tetapi harus dibuktikan dengan amal saleh yang diridhai Alla>h, diantaranya mendistribusikan kekayaan untuk kepentingan sesama.805 Distirbusi kekayaan dalam syariat infak merupakan salah satu tujuan yang mulia dalam mencari dan menghasilkan kekayaan. Islam menekankan distribusi kekayaan yang lebih dari kebutuhan.806 Sikap ih}sa>n dalam menghasilkan dan mengelola kekayaan sangat ditekankan. Sikap ih}sa>n dalam berinfak dimaksudkan untuk membangun dampak yang baik bagi kemaslahatan manusia khususnya pemberi dan penerima infak tersebut. Kekayaan adalah karunia Allah, maka pemiliknya harus menunjukkan rasa terima kasihnya dengan sikap dermawannya pada orang yang tidak memiliki keberuntungan.807
801
Lihat al-Qur’a>n su>rah Ibra>hi>m : 7 dan lihat ayat serupa pada su>rah Al-Baqarah : 172, dan Al- ‘Ankabu>t : 17 802 Ibnu Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n Al-‘Az}im > , jld., ii, 709 803 Lihat al-Qur’a>n su>rah Al-Naml : 40 804 Bila seorang hamba bersyukur, maka manfaatnya kembali untuk dirinya sendiri, dengan demikian dia akan memperoleh kesempurnaan, kelestarian dan tambahan nikmat. Bersyukur menambah nikmat yang ada dan meraih nikmat baru yang belum ada. Lihat Al-Qurt}u>biy, Al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jld., xii, 158 805 Lihat al-Qur’a>n, su>rah al-Ah}qa>f : 15. 806 M. Hussain, Motivation for Economic Achievement in Islam, (All Pakistan Islamic Education Congress, 1974), 46. 807 Abul A’la al-Maududi, Capitalism, Socialism and Islam (Kuwait: Islamic Book Publisher, 1977), 271.
208
Islam menuntun agar memulai infak dengan memprioritaskan kebutuhan diri sendiri terlebih dahulu, kemudian urutan berikutnya adalah anggota keluarga sendiri yang menjadi tanggungan, kemudian baru orang yang paling dekat dari hubungan kerabat, dan demikianlah seterusnya. Ketentuan tersebut berlaku baik menyangkut pemberian yang wajib ataupun yang sunah, seperti hadiah, sedekah dan lain-lain. Ekonomi Islam dengan teori Prinsip Resource Egalitarianism yang digagas oleh Ronald Dworkin, bahwa masyarakat yang memulai usaha berdasarkan kesamaan sumber daya namun memperoleh hasil yang berbeda adalah konsekuensi yang disebabkan oleh pilihan mereka sendiri.808 Sebuah kasus diriwayatkan oleh Abu> Hurayrah r.a. ketika seseorang datang menghadap Rasulullah Saw. bertanya tentang apa yang harus dilakukannya dalam skala prioritas dengan beberapa uang dinar, satu demi satu? Kemudian Rasulullah Saw. memberikan skala prioritas, yaitu membelanjakannya untuk keperluan diri sendiri. Bila masih tersisa maka dibelanjakan untuk keperluan isteri. Bila masih tersisa lagi maka dibelanjakan untuk keperluan anak. Bila masih tersisa lagi maka dibelanjakan untuk keperluan pembantu. Bila masih tersisa lagi maka dibelanjakan untuk keperluan menurut skala prioritas sesuai kebijakan masing-masing orang.809 Hadith tersebut menunjukkan tentang kewajiban orang memulai dengan memenuhi kebutuhan dirinya sendiri dan orang-orang yang menjadi tanggungannya sebelum membantu orang lain. Dalam riwayat T}ar> iq Al-Muh}ar> ibi diceritakan bahwa dia tiba di Madinah ketika Rasulullah Saw. sedang berkhutbah di hadapan para sahabat dan dalam seruan beliau terdapat pernyataan bahwa tangan pemberi adalah lebih tinggi dan mulia, dan prioritas dalam pemberian ditujukan kepada orang yang menjadi tanggungan; ibu, bapak, saudara kandung, dan seterusnya (orang-orang yang lebih jauh hubungan kekeluargaan dari pemberi).810 Hadith tersebut menunjukkan 808
Lihat Ronald Dworkin, “What is Equality? Part 1: Equality of Resources,” in Philosophy and Public Affairs, 10 (1981): 185-246. 809 Abu Dawud, Sunan, ba>b, Fi> S}ilat al-Rahim, no. 1441 810 al-Bukha>riy, S}ah}ih> } al-Bukha>riy, ba>b, La> s}adaqah illa> ‘an Zhahri Ghina>, no. 1338
209
tentang penegasan mengikuti skala prioritas dalam berinfak. Dalam riwayat Zainab isteri Abdulla>h ibn Mas'ud, disebutkan bahwa dia meminta kepada Bila>l agar menyampaikan pertanyaannya kepada Rasulullah Saw. apakah dia mendapatkan pahala dan balasan atas infaknya kepada suaminya dan anak-anak yatim yang ada dalam asuhannya? Kemudian Rasulullah Saw. menjelaskan bahwa baginya dua pahala, yaitu pahala kekerabatan dan pahala sedekah.811 Hadith ini menunjukkan bahwa sedekah yang paling afd}al adalah sedekah atas kerabat, bahkan pahalanya dua macam yaitu pahala kekerabatan dan pahala sedekah. Dalam keteladanan Maymu>nah, ternyata memerdekakan wanita hamba sahaya yang memiliki anak di zaman Rasulullah Saw., tidak lebih besar pahalanya dibandingkan berinfak kepada kerabatnya. Sebab ketika dia menyinggung hal itu di hadapan Rasulullah Saw., beliau menganjurkan agar memberikannya kepada pamannya karena pahalanya lebih besar.812 Hadith tersebut menunjukkan bahwa infak atas kerabat lebih utama daripada memerdekakan budak, karena harus mempertimbangkan skala prioritas terlebih dahulu dalam berinfak dan membelanjakan harta. Menurut Al-Nawa>wi dalam Hadith tersebut terdapat keutamaan silaturrahim dan berbuat baik kepada kerabat dan bahwa hal itu lebih utama daripada memerdekakan budak.813 Seorang muslim yang telah memenuhi hajat-hajat pokoknya dan keluarganya, boleh berinfak dari kelebihan hartanya kepada orang lain. Dalam al-Qur a>n ditegaskan bahwa harta yang diinfakkan adalah yang lebih dari keperluan.814 Sehingga sangat ironis bila seseorang berinfak dengan sesuatu sementara dia sendiri masih membutuhkannya, atau keluarganya masih membutuhkannya. Tujuan syariat dalam berinfak adalah membangun kebaikan dan peningkatan ekonomi bagi kaum lemah, maka jika pelaku infak masih lemah ekonominya, dia harus menguatkan ekonominya terlebih dahulu. 811 812
no. 1666
813 814
Muslim, S}ah}ih> } Muslim, jld. i, 691 Muslim, S}ah}i>h} Muslim, ba>b, Fad}l al-Nafaqah wa al-Shadaqah ‘ala> al-Aqrabi>n wa al-Zawj, Al-Nawa>wi, Al-Minha>j Sharh} S}ah}i>h} Muslim ibn al-H}ajja>j, jld. iv, 53. Lihat al-Qur’a>n su>rah Al-Baqarah : 219.
210
Kebutuhan terhadap jumlah infak yang signifikan tidak akan tercapai melainkan dengan menanggungnya secara bersama-sama dan terus-menerus, sehingga infak terus berlangsung setiap waktu. Hal itu hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang berlebihan, sehingga tidak memberatkan dan aktivitas infak berjalan terus tidak terhenti.815 Rasulullah Saw. mengajarkan bahwa sebaik-baik sedekah adalah yang dikeluarkan dari kondisi kecukupan.816 Sehingga Ibnu Hajar dalam Fath} al-Ba>ri> menjelaskan bahwa sedekah terbaik adalah yang dikeluarkan setelah mencukupi hak-hak diri sendiri dan keluarga, dimana orang yang bersedekah setelah mengeluarkan sedekah, tidak membutuhkan kepada pertolongan orang lain.817 Tingkat ih}sa>n yang paling tinggi adalah berinfak dengan seluruh harta benda. Dalam jejak sahabat nabi ditemukan riwayat perlombaan sedekah antara Umar ibn al-Khat}ta} >b ra. dengan Abu> Bakar ra. Umar menyerahkan setengah dari hartanya. Kemudian Abu Bakar datang membawa seluruh hartanya dan tidak menyisakan bagi keluarganya selain keyakinan kepada Alla>h Swt. dan Rasul-Nya. Umar pun mengakui keunggulan Abu Bakar dalam sedekah.818 Rasulullah Saw. menerima sedekah Abu Bakar dengan seluruh hartanya, karena kekuatan keyakinannya dan kesempurnaan imannya. Dia memiliki pekerjaan, usaha dan penghasilan yang tetap dan sedekah itu tidak membuat keluarganya disia-siakan. Hal itu menunjukkan bahwa sedekah dengan seluruh harta benda dibolehkan dengan memenuhi syaratsyaratnya.819 815
Ibnu ‘Ashu>r, Al-Tah}ri>r wa Al-Tanwi>r (Tu>nis: Da>r Al-Tu>nisiyyah, 1970 M), jld. ii, 351. al-Bukha>riy, S}ah}ih> } al-Bukha>riy, ba>b, La> S}adaqah illa> ‘an Z}ahri Ghina>, no. 1338 817 Al-‘Asqala>ni, Fath} al-Ba>ri>, jld. iv, 1909 818 Al-Tirmidhi, Sunan, ba>b, fi Mana>qib Abi> Bakar wa Umar, no. 3608 819 Syarat-syarat yang dikemukakan oleh jumhur ulama dalam masalah ini, antara lain; 1. pemberi sedekah harus dalam kondisi sehat tidak sakit. 2. Pemberi sedekah tidak memiliki hutang kepada orang lain. 3. Pemberi sedekah harus bisa bersabar atas akibat yang menimpa dirinya sendiri (setelah bersedekah dengan seluruh harta bendanya). 4. Keluarga pemberi sedekah itu juga harus bisa bersabar atas akibat yang menimpa mereka. 816
211
Setiap muslim harus segera berinfak dan bersedekah sebelum datang ajalnya dan hilang kesempatan baginya. Hal itu merupakan langkah pelestarian harta benda dan mengabadikan pahalanya dan imbalannya di akhirat. Dalam al-Qur a>n disebutkan peringatan kepada orang yang tidak membelanjakan dalam sedekah sebagian dari pemberian Alla>h swt. sebelum datang kematian, sehingga dia meminta penangguhan kematian kepada Alla>h swt., agar dapat bersedekah dan menjadi orang yang saleh.820 Peringatan tersebut menunjukkan bahwa orang yang memiliki harta benda hendaknya segera menginfakkannya sebelum dia menyaksikan tanda-tanda kematian, napasnya sesak, infaknya terhalang, dan hilang kesempatan baginya untuk diterima infaknya. Sehingga diapun menyesal dan mengigit jarinya. Padahal sebelumnya dia telah diberi kesempatan untuk berinfak.821 Dalam riwayat Abu> Hurayrah ditemukan penjelasan Rasulullah Saw. tentang sedekah yang paling besar pahalanya. Ia adalah sedekah yang dilakukan dalam keadaan sehat, masih merasa kikir, ingin menahan harta tetap dalam hak milik, takut kefakiran dan mengharapkan kekayaan.822 Menurut Al-Nawa>wiy dalam penjelasan makna hadith tersebut bahwa sifat kikir memang dominan pada diri seseorang ketika kondisi sehat bugar. Bila orang mampu mengatasinya dan bersedekah, maka niatnya lebih jujur dan pahalanya lebih besar. Namun orang yang telah dekat dengan kematian, telah berputus asa dari kehidupan, dan telah meyakini bahwa harta bendanya akan berpindah kepada orang lain sebagai warisan, maka sedekahnya pada saat itu kualitasnya berkurang dibanding saat kondisinya masih sehat.823 Syariat infak menetapkan infak dari harta yang baik dan menghindari berinfak dari harta yang jelek kualitasnya dan tidak lagi dibutuhkan. Instrumen infak 5. Pemberi sedekah harus memiliki usaha dan penghasilan yang tetap. Lihat Ibnu al-‘Arabiy, ‘An su>rah Al-Muna>fiqu>n : 10 821 Al-Zamakhshari, al-Kashsha>f, jld. iv 103 822 al-Bukha>riy, S}ah}i>h} al-Bukha>riy, ba>b, Fad}l al-S}adaqat ‘ala> al-Shahi>h al-S}ahi>h, no. 1330 823 Al-Nawa>wiy, Al-Minha>j Sharh} S}ah}ih> } Muslim ibn al-H}ajja>j, jld. iv, 124.
212
adalah
instrumen
untuk
memenuhi
kebutuhan
dasar
bagi
mereka
yang
membutuhkan, tanpa harus terjerat dalam jaringan ganas riba. Infak akan memberi bantuan pada masyarakat umum dan memberi fasilitas bagi kemajuan aktivitas bisnis dan transaksi yang halal dan legal, disamping akan menghindari manusia dari riba.824 Sebaliknya, ketiadaan instrumen infak ini akan menghasilkan depresi ekonomi yang memaksa segmen masyarakat kelas tak berpunya terjun ke jurang riba. Dalam ayat 254 su>rah Al-Baqarah, juga dipaparkan hubungan erat antara infak, rizki dan perdagangan, yang memberikan jaminan secara implisit bahwa pembelanjaan harta akan menimbulkan booming bisnis.825 Sikap ih}sa>n menuntun orang meyakini bahwa harta benda milik Alla>h Swt. dan Dia yang menyuruh untuk berinfak, sehingga orang yang berinfak harus memberikan yang terbaik dari hartanya. Dalam al-Qur a>n dijelaskan bahwa seseorang tidak akan sampai pada kebajikan yang sempurna sebelum menafkahkan sebagian harta yang dicintainya.826 Dalam tafsirnya dijelaskan bahwa orang tidak akan mencapai kebajikan yang sejati hingga memberikan sedekah dari harta yang dicintainya.827 Dalam riwayat Anas dicantumkan sikap Abu> T}alh}ah, orang yang terkaya dari kaum Ans}ar> di Madinah setelah turunnya ayat tersebut. Hartanya yang paling dicintainya adalah yang terletak di Barha>. Ia berada di depan masjid. Rasulullah Saw. sering memasukinya dan meminum dari mata airnya. Abu> T}alh}ah datang menghadap Rasulullah Saw. seraya menyatakan bahwa harta yang paling dicintainya adalah yang terletak di Barha>. Dia menyerahkan kebun yang paling dicintainya tersebut untuk Alla>h. Kemudian Rasulullah menyarankan agar memberikannya kepada kerabatnya. Maka Abu> T}alh}ah membagikannya kepada kerabatnya dan anak-anak pamannya.828 824
Mahmud Muhammad Babili, Al-Ma>l fi> al-Isla>m (Beirut: Da>r al-Kita>b al-Lubna>ni, tt.),
Dalam ayat lain, Alla>h Swt. memerintahkan untuk menafkahkan di jalan-Nya sebagian dari hasil usaha yang baik dan melarang dari sikap memilih yang buruk dan tidak lagi disukai untuk dialokasikan dalam berinfak.829 Orang yang bersikap ih}sa>n tidak mungkin berinfak dengan harta yang buruk dimana tidak seorangpun yang diberikan harta buruk tersebut rela menerimanya termasuk dirinya sendiri, bagaimana
dia
mempersembahkannya
untuk
Alla>h
Swt.
dan
bersedekah
dengannya?830 Prinsip ih}sa>n menuntun kesederhanaan dan keseimbangan dalam berinfak, menghindari sikap boros dan berlebihan, sekaligus pula menjauhkan diri dari sikap bakhil dan kikir. Sikap sederhana adalah kondisi pertengahan dan keseimbangan, antara berlebihan dan kekurangan,831 dan antara pemborosan (isra>f) dan berfoyafoya (tabdhi>r) dengan sikap bakhil dan kikir. Pemborosan (isra>f) adalah pembelanjaan dan penggunaan sesuatu melebihi kelayakannya.832 Dengan demikian orang yang membelanjakan hartanya pada tempat-tempat yang disyariatkan namun melebihi batasan yang dibutuhkan, maka dia telah bersikap boros. Sedangkan
tabdhi>r adalah membelanjakan dan mempergunakan sesuatu pada tempat dan kondisi yang tidak semestinya.833 Jadi tabdhi>r adalah membelanjakan harta pada tempat-tempat yang diharamkan, seperti minuman keras, pelacuran dan maksiat lainnya. Sementara sikap bakhil adalah menahan diri dari harta sendiri.834 Sejatinya bakhil itu adalah menahan hak-hak yang wajib ditunaikan dan bersikap kikir dalam infak-infak yang sunah.835 Sifat yang lebih buruk daripada bakhil adalah taqti>r; yaitu kikir dan menyempitkan diri dengan terlalu hemat. Ia adalah kebalikan dari sikap 829
boros dan berfoya-foya.836 Jadi taqti>r bagian dari sikap bakhil namun lebih khusus dan lebih buruk. Sehingga setiap orang yang menyempitkan dan terlalu hemat atas nafkah keluarga hingga membuat mereka kelaparan,837 maka dia telah bersifakf
taqti>r (kikir). Dalam al-Qur a>n, Alla>h Swt. memuji orang-orang yang selalu menjaga sikap pertengahan, seimbang, dan sederhana dalam berinfak, dimana mereka tidak boros dan tidak bakhil lagi kikir.838 Ibnu ‘Ashu>r menegaskan tentang tafsir ayat, bahwa pujian Alla>h swt. terletak pada pengalokasian infak pada tempatnya yang proporsional dan baik sebagaimana diperintahkan oleh Alla>h Swt., sehingga infak tetap lestari. Islam telah memberikan sugesti agar amal dipertahankan secara istiqamah dan selalu dapat dijaga oleh pelakunya. Sehingga sistem masyarakat akan terbangun dan berjalan dengan semestinya dan tidak terhenti. Sebab pemborosan merupakan penghancuran dan pembinasaan terhadap harta benda sehingga infak tidak dapat dijaga dan dilestarikan. Sedangkan sifat kikir berakibat kepada penahanan harta sehingga tidak disalurkan kepada orang-orang yang
berhak
atasnya.839 Islam mengajarkan komitmen kepada sikap pertengahan, adil, seimbang dan sederhana, sehingga harta benda tetap terus berputar dan beredar seluas-luasnya. Islam sangat mengecam sikap bakhil dan menahan harta untuk diri sendiri, yang menyebabkan keburukan dan kehancuran harta.840 B. Itha>
r dalam Kekayaan dan Manfaat Islam mengharuskan setiap pemeluknya untuk bekerja dan berusaha guna memenuhi kebutuhan dirinya dan orang-orang yang berada dalam tanggungannya, dan ikut berkontribusi dalam pembangunan peradaban dan merealisasikan 836
Al-Zamakhshari, al-Kashsha>f, jld. iii, 104. Al-Qurt}u>biy, Al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jld. xiii, 49-50. 838 Lihat al-Qur’a>n, su>rah Al-Furqa>n : 67 839 Ibnu ‘Ashu>r, Al-Tah}ri>r wa Al-Tanwi>r (Tu>nis: Da>r Al-Tu>nisiyyah, 1970 M), Jld., xix, 72 840 Lihat al-Qur’a>n, su>rah Al-Isra>’ : 29 dan A>lu ‘Imra>n: 180. 837
215
kesejahteraan bersama. Namun Realitas menunjukkan bahwa tidak semua orang punya kemampuan untuk bekerja mencari nafkah. Mereka kadang ada yang cacat mental atau fisik, sakit-sakitan, usianya sudah lanjut, dan lain-lain. Pada setiap generasi selalu ada orang-orang yang tidak mampu bekerja atau tidak memiliki pekerjaan sehingg tidak memiliki penghasilan dan harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya.841 Dalam kasus semacam ini, Islam mewajibkan kepada kerabat dekat yang memiliki hubungan darah, untuk membantu mereka, yang disebutkan dalam al-Qur a>n dengan istilah al-wa>rith.842 Maksudnya, pewaris berkewajiban sama seperti seorang ayah, dari segi nafkah dan pakaian. Yang dimaksud pewaris di sini, bukan berarti orang yang secara langsung bisa mewarisi, namun siapa saja yang berhak mendapatkan warisan.843 Orang-orang yang tidak mampu menjadi tanggungjawab komunitas,844 untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.845 Di dalam al-Qur a>n, terdapat beberapa ayat yang menganjurkan untuk mendistribusikan kekayaaan kepada golongan ekonomi lemah lewat syariat infak dan menghubungkannya dengan iman kepada Alla>h dan rasulNya.846 Perintah infak ditujukan kepada semua masyarakat untuk mendistribusikan hartanya.847 Syariat infak menggalang distirbusi harta dan kekayaan kepada sesama sepanjang waktu dan setiap kondisi, dalam jumlah sekecil apapun. Dalam praktiknya, generasi sahabat telah mencontohkan infak dengan segenggam kurma, 841
Dalam sebuah konferensi dengan tema Disability and Justice, Amartya Sen sebagai keynote speaker, menjelaskan pentingnya melibatkan dan menyertakan orang yang cacat dan tidak mampu dalam strategi dan tujuan ekonomi, sebagai bagian dari tanggung jawab moral dan social. Lihat Amartya Sen, “Disability and Inclusive Development: Sharing, Learning and Building Alliances,” a conference organized by the World Bank, Washington (November 30-December 1, 2004) 842 Lihat al-Qur’a>n, su>rah Al-Baqarah: 233 843 Taqiyy al-Di>n al-Nabha>ni, al-Niz}am > al-Iqtisa>di fi> al-Isla>m (Beirut: Dar al-Ummah, 1990), 210. 844 Lihat al-Qur’a>n, su>rah al-Ma’a>rij: 24-25 845 Lihat R. Yeo, and K. Moore, “Including Disabled People in Poverty Reduction Work; ‘Nothing About Us, Without Us.’” World Development, Vol. 31, No.3 (2003): 571-590 846 Lihat al-Qur’a>n su>rah al-Hadi>d: 7. 847 Lihat al-Qur’a>n su>rah al-Baqarah: 245. Perintah infak berbeda dengan perintah zakat yang hanya ditujukan kepada orang-orang kaya yang memiliki harta sampai nis}a>b.
216
satu mud makanan, bahkan ada di antara mereka yang memaksa diri untuk bekerja kasar, menjadi tukang panggul, atau mencari kayu dan menjualnya di pasar, untuk mendapatkan
harta yang diinfakkan di jalan Alla>h. Bila tidak berinfak, orang
terancam dengan kebangkrutan perniagaannya. 848 Islam membenarkan seseorang memiliki kekayaan lebih dari yang lain sepanjang kekayaan tersebut diperoleh secara benar dan pemiliknya menunaikan kewajibannya bagi kesejahteraan masyarakat, baik dalam bentuk zakat maupun amal kebajikan lain seperti infak, sedekah, wakaf, dan lain-lain. Meskipun demikian, Islam menekankan agar orang kaya tetap rendah hati, sederhana dan tidak berlebihan dalam memamerkan kekayaan.849 Dalam praktiknya para sahabat menyambut seruan Rasulullah untuk menginfakkan sebagian harta mereka dengan penuh semangat. Di antara mereka ada yang berinfak dengan seluruh hartanya, ada juga yang berinfak dengan separuh hartanya, ada yang berinfak dengan sepertiga hartanya, ada yang berinfak dengan sepikul, sebakul, atau hanya dengan segenggam kurma. Ketika mereka tidak memiliki sesuatu untuk diinfakkan, mereka pergi ke pasar untuk menjadi buruh panggul, atau pergi ke hutan mencari kayu bakar dan menjualnya di pasar untuk mendapatkan uang dan kemudian menginfakkannya. Semangat berinfak mampu 850
memaksa seseorang bekerja keras mencari harta untuk diinfakkan.
Al-Qur a>n mensyaratkan infak dan mendermakan sebagian kekayaan kepada orang lain untuk mencapai kesuksesan dan kemenangan.851 Menurut al-T}abari dan Ibnu Kathir hal tersebut bersifat umum sehingga mencakup zakat dan nafkah, yaitu 848
Al-‘Asqala>ni, Fath} al-Ba>ri>, jld., iii, 304 Dalam hadith, Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Alla>h SWT mencintai hamba yang bertakwa, kaya, lagi menyembunyikan (simbol-simbol kekayaannya).” Muslim, S}ah}ih> } Muslim, kitab az-Zuhd wa al-Raqa>iq, no. 5266. 850 Dalam hadith disebutkan, “Seorang yang mencari seikat kayu bakar (di hutan), dan 849
memanggulnya di atas pundaknya dan menjualnya (di pasar), lebih baik baginya daripada mengharap pemberian seseorang, ia memberinya atau tidak.” Lihat Al-Bukhariy,Shahi>h al-Bukha>riy, jld. ii, 129. No. 15
851
Lihat al-Qur’a>n, su>rah al-Baqarah: 3-5
217
menunaikan semua kewajiban atas harta dan diberikan kepada orang-orang yang ada dalam tanggungannya dari keluarga, kerabat atau pembantu (hamba sahaya).852 Infak juga mencakup segala pemberian dan bantuan kepada orang lain.853 Dengan demikian kata infak mencakup segala bentuk pemberian yang bersifat materi baik yang diwajibkan, yaitu zakat dan nafkah, atau hanya bersifat anjuran saja, yaitu sedekah secara sukarela. C. Skala Prioritas Distirbusi berdasarkan Filosofi Filosofi Zakat Prinsip i>tha>r memprioritaskan pengalokasian dana untuk perjuangan di jalan Alla>h dan orang-orang fakir yang berkonsentrasi dan terikat dalam memperjuangkan kejayaan Islam dan umat Islam,854 yang dalam pandangan Ibnu H}ajar, karena kesibukan jihad, mereka tidak punya waktu untuk bekerja mencari nafkah.855 Prinsip
i>tha>r ini memiliki akar sejarah yang kuat di kalangan sahabat Rasulullah setelah peristiwa hijrah. Dalam sejarah disebutkan bahwa setelah tiba di Yathrib (Madinah), kaum Muha>jirin segera dipersaudarakan dengan kaum Ans}ar> . Abdurrahma>n ibn ‘Awf mendapat bagian dipersaudarakan dengan Sa‘ad ibn Rabi>‘ yang kemudian menawarkan separuh hartanya dan salah satu dari dua istrinya untuk Abd al-Rahma>n ibn ‘Awf. Jika Sa‘ad memiliki sifat i>tha>r, maka Abd al-Rahma>n ibn ‘Awf memiliki sifat ‘iffah. Ia menolak halus tawaran Sa‘ad ibn Rabi>‘ dan hanya meminta ditunjukkan letak pasar. Ia pun berusaha sampai berhasil dalam perniagaannya bahkan ia mampu merintis dan membangun pasar Ukka>z} yang menandingi pasar
852
Ibnu Kathi>r berkata, “Infak adalah berbuat ih}sa>n kapada sesama makhluq dengan memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi mereka. Dan orang yang yang paling berhak menerimanya adalah kerabat dekat, orang yang masih ada hubungan keluarga, para hamba sahaya dan kemudian orang yang ada di sekitar kita.” Lihat Ibnu Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n Al-‘Az}im > , jld., I, 37. 853
Infak adalah mengeluarkan atau memberikan sebagian harta (materi) atau yang serupa untuk segala bentuk kebaikan. Lihat Ibnu Manz}ur> , Lisa>n al-‘Arab, jld. xiii, 226. 854 Lihat al-Qur’a>n, su>rah al-Baqarah: 273 855 Al-‘Asqala>ni, Fath} al-Ba>ri> , jld., iii, 240.
218
Yahudi.856 Dalam al-Qura>n, su>rah al-H}ashr ayat ke-9 disebutkan bahwa kaum Ans}ar> dengan tulus mencintai, tanpa pamrih dan lebih mengutamakan kaum Muha>jirin daripada diri sendiri, meskipun mereka sendiri merasa lapar dan membutuhkan. Teladan lain terdapat dalam riwayat Muslim dari Abu> Hurayrah, sepasang suami istri Abu> T}alh}ah dan Ummu Sulaim Rumais}a binti Milha>n menjamu tamu Rasulullah yang kelaparan. Malam itu mereka segera menidurkan anak-anak mereka yang kelaparan dan berpura-pura ikut serta makan bersama tamu agar ia makan dengan tenang. Padahal yang sedang disantap oleh tamu itu adalah satu porsi terakhir yang mereka miliki hari itu. Keesokan harinya Rasulullah menyampaikan penghargaan Alla>h kepada kedua sahabat yang dermawan tersebut.857 Pada awal penetapan zakat di Mekkah, hukumnya masih bersifat pilihan belum diwajibkan kecuali setelah hijrah ke Madinah. Pada waktu itu pembagian zakat diserahkan penyalurannya kepada Rasulullah untuk dibagikan kepada fakir miskin dan orang-orang yang dianggap sama dan senasib dengan mereka.858 Orangorang yang lemah, adalah golongan pertama yang mendapat perhatian untuk diberi bagian harta yang diinfakkan. Bahkan Rasulullah saw, dalam kondisi tertentu, tidak menyebut kecuali golongan ini karena mereka adalah obyek pertama dan utama dalam berinfak, sebagaimana dalam wasiat Rasulullah saw. kepada Muadh ibn Jabal ketika mengutusnya ke Yaman agar mengambil zakat dari orang-orang kaya di antara mereka dan membagikannya kepada orang-orang miskin di antara mereka.859 Tetapi orang-orang munafik yang kaya tidak senang dengan cara yang dilakukan Rasulullah dalam membagikan zakat tersebut karena mereka tidak mendapatkan
856
Lihat al-Bukha>riy, S}ah}i>h} al-Bukha>riy, kitab, Mana>qib al-Ans}ar> , bab ikha>’ al-nabiy bayna al-Muha>jirin wa al-Ans}a>r, jld. iv, 268, no. 3761. Berdasarkan hadith ini Abu Hanifah dan pengikutnya berpendapat bahwa zakat hanya diberikan kepada orang-orang miskin saja 857 Muslim, S}ah}ih> } Muslim, ba>b, Ikra>m al-d}ayf wa fad}l i>tha>rih, jld., iii, 1624, no. 2054 858 Abd al-Lat}if> ‘Iwad} Bada>wi, Al-Nizha>m al-Ma>liy al-I‘la>miy al-Muqa>ran, 111 859 al-Bukha>riy, S}ah}ih> } al-Bukha>riy, ba>b, Wujŭb al-Zaka>h, no. 1308.
219
bagian.860 Kemudian turunlah ayat yang menjelaskan kelompok orang yang berhak menerima zakat.861 Orang fakir adalah seorang yang tidak memiliki harta atau mata pencarian halal yang dapat mencukupi keperluan hidupnya sendiri dan orang-orang yang di bawah tanggungannya secara yang sederhana. Sementara orang miskin adalah seorang yang mempunyai harta atau mata pencarian halal yang dapat mencukupi sebagian keperluan hidupnya sendiri dan orang-orang di bawah tanggungannya secara sederhana, tetapi dia masih selalu dalam kekurangan.862 Para ahli berbeda pendapat tentang fakir dan miskin. Ada yang berpendapat bahwa dua golongan tersebut pada hakikatnya adalah sama.863 Berbeda dengan pendapat sebagian besar ulama, sebenarnya keduanya adalah dua golongan tetapi satu macam, yakni dalam hal kondisi kekurangan dan dalam kebutuhan. Para ahli tafsir dan ahli fikih juga berbeda pendapat dalam memberi definisi kedua kata tersebut. Yusuf Qardawi memberikan perumpamaan bahwa kedua kata tersebut seperti Islam dan Iman, kalau dikumpulkan terpisah, yakni masing-masing mempunyai arti tersendiri, dan jika dipisah terkumpul, yakni bila salah satu disebutkan sendiri-sendiri, masing-masing mempunyai arti buat kata lain yang sejajar.864 860
Lihat al-Qur’a>n, su>rah Al-Tawbah : 58-59 Lihat al-Qur’a>n, su>rah Al-Tawbah ; 60. Dengan turunnya ayat tersebut, zakat harus disalurkan kepada delapan asnaf, yaitu; faqi>r, miski>n, ‘amil, muallaf, riqa>b, gha>rim, fi> sabi>lilla>h dan ibn al-sabi>l. 862 Lihat al-Ramliy, Niha>yat al-Muh}ta>j, jld. vi, 151 – 153. 863 Demikian pendapat Abu> Yu>suf, pengikut Imam Abu Hanifah dan Ibnu Qasim pengikut Imam Malik. Lihat Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqh Al-Zaka>t (Muassasat al-Risalat, Beirut, 1401 H), cet. 5. 490-492. 864 Orientalis Josef Schacht dalam Ensiklopedi Islam mengatakan: “Perbedaan antara kata 861
“fakir dan miskin” ialah perbedaan yang dipaksa-paksakan dalam segala seginya. Para ulama fikih biasanya suka menafsirkan suatu definisi dan sering memasukkan diri mereka sendiri ke dalam salah satu kelompok itu.” Selanjutnya Yu>suf Qarad}aw > i mengatakan sebagai umpan balik pernyataan Josef Schacht; ”kalau orang mempunyai sedikit saja etika kesarjanaan tidak akan mengeluarkan pernyataan kosong semacam itu. Orang orang semacam Sarkhasi dari kalangan Hanafi, Ibnu al-Arabi dari Maliki, an-Nawawi dari kalangan Syafi’i, Ibnu Qudamah dari Hambali atau Ibnu Hazm dari kalangan Zahiri dan ulama-ulama fikih yang lain dari kalangan mazhab –akan punya ambisi demikian supaya mereka memperoleh zakat atas nama kaum fakir atau orang miskin, dengan jalan mengubah pengertian-
220
Al-Ra>ghib al-Isfaha>ni,865 ahli fikih dan ahli tafsir, menyebutkan empat macam pengertian fakir. Pertama, fakir dalam arti orang yang memerlukan kebutuhan hidup yang primer, yaitu makanan, minuman, tempat tinggal, dan keamanan. Kedua, fakir dalam arti orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya yang primer, tetapi ia dapat menjaga dirinya dari meminta-minta. Ketiga, fakir dalam arti fakir jiwanya. Ini termasuk golongan fakir yang paling buruk karena dapat mendorong orang itu kepada kekafiran. Keempat, fakir dalam arti orang yang selalu merasa butuh kepada petunjuk dan bimbingan Tuhan, sehingga orang tersebut tidak merasa sombong. Sayyid Sabiq,866 ahli fikih dari Mesir, mengatakan bahwa yang tergolong orang fakir adalah orang yang tidak memiliki harta sebanyak satu nisab (sejumlah minimal harta kekayaan yang harus dikeluarkan zakatnya dalam waktu tertentu). Ketentuan ini dapat dipahami dari hadith Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Mu’a>dh ibn Jabal; ”Diambil dari harta orang-orang kaya dan
diberikan kepada orang-orang fakir.” 867 Dari segi kekurangan harta yang dimilikinya dan kedudukannya sebagai salah satu penerima zakat tampak ada perbedaan. Sayyid Sabiq868 mengatakan bahwa
pengertian dan definisi itu dan supaya dengan demikian mereka memperoleh keuntungan materi. Ulama-ulama fikih itu sendiri dari kalangan berada yang malah mau berkorban, atau golongan miskin yang memang sudah tidak menginginkan harta (zakat). Jelas sekali ini dapat diketahui oleh mereka yang sudah mengenal riwayat hidup para ulama itu. Mengenai anggapannya tentang perbedaan yang dipaksa-paksakan, nampaknya dia tidak menyadari adanya perbedaan-perbedaan yang begitu mendetail antara istilah-istilah yang tergabung dalam satu ungkapan itu, masalahnya adalah masalah linguistik, sebelum ia menjadi masalah hukum (fikih). Ahli fikih sudah sama-sama mengadakan studi yang cukup mendalam mengenai masalah ini. Mereka sudah sepakat bahwa perbedaan pendapat dalam hal ini tak ada gunanya dalam arti zakat.” Lihat Yu>suf Al-Qarad}a>wi, Fiqh Al-Zaka>h (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1993), jld. i, 512. 865 Al-Ra>ghib al-Isfaha>ni, Mu’jam Mufrada>t Alfa>z} al-Qur’a>n (Beirut: Dar al-Fkr, tt.), 397398. 866 Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah (Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, 1983 M/1403 H), Cetakan keempat Jld. I, 324-325. 867 Hadith tersebut merupakan tugas dari Rasulullah SAW yang diberikan kepada sahabat Mu’adh ibn Jabal ketika menjadi gubernur di Yaman. Adapun naskah hadithnya berbunyi sebagai berikut : H>R (ا74L د# وH>R'ES أ$MN# OPQ H>'4L أنH>.4Lأ Lihat al-Bukha>riy, S}ah}i>h} al-Bukha>riy, ba>b, Wuju>b al-Zaka>h, no. 1308. 868 Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, jld. i, 324-325.
221
fakir miskin disebut secara bersamaan dengan menggunakan huruf wa>w al-’athaf (kata sambung), sebagaimana dijumpai dalam su>rah al-Tawbah ayat 60, menunjukkan bahwa miskin adalah bagian dari fakir, atau orang miskin itu pada hakikatnya adalah orang fakir juga, tetapi ia memiliki ciri-ciri yang khusus. D. Distirbusi untuk Pengentasan Pengentasan Kemiskinan Ekonomi
Islam
meletakkan
prinsip-prinsip
dasar
yang
mendukung
pemerataan dan kesejahteraan seluas-luasnya, yaitu diantaranya; distribusi sumbersumber alam dan aset dengan adil, keseimbangan dalam kebijakan fiskal, pengawasan dan koreksi terhadap praktik-praktik penyimpangan dalam aktivitas pasar, dorongan dan dukungan terhadap kegiatan-kegiatan produksi, pembangunan infrastuktur dan sarana-sarana distribusi dan redistribusi, dan lain-lain.869 Distirbusi kekayaan individu dalam Islam bisa merupakan implikasi kebijakan ekonomi-sosial pemerintah atau merupakan inisiasi pilantropik. Dengan bahasa lain, ia bisa bersifat imperatif atau tidak. Yang bersifat imperative misalnya, zakat, belanja keluarga, warisan, kaffa>rah dan nadhar. Terkadang yang imperatif ini diobligasikan oleh pemerintah seperti untuk zakat harta yang terlihat. Yang bersifat pilantropik semisal sedekah sunat, hibah, dan wasiat.870 Menurut Jarhi dan Zarqa redistribusi setidaknya bertujuan untuk: (1) melawan kemiskinan, mengingat adanya ajaran penghormatan kepada anak Adam dan jaminan pemenuhan kebutuhan dasarnya.871 Ini merupakan tujuan utama; (2) purifikasi bagi penderma; dan (3)mereduksi ketidakadilan. Ini merupakan tujuan
Lihat lebih jauh tentang distribusi dan redistribusi dalam Islam, Rafi>q Yu>nus Al-Mis}riy,
Us}u>l Al Iqtis}a>d Al-Isla>miy (Beirut: Al-Da>r Al-Sha>miyyah, 1999), 226. 871
Lihat al-Qur’a>n, su>rah Al-Isra>’ :70.
222
kedua dari redistribusi. Islamlah satu-satunya agama yang mengklaim tujuan ini dan meregulasi instrumen pendukung melalui zakat/direct redistribution.872 Jarhi dan Zarqa berpendapat bahwa ilmu ekonomi memberikan perhatian yang besar terhadap ranah distribusi dalam pengertian tujuan penentuan bagian setiap faktor produksi (determining the share of each factor of production) melalui proses yang terjadi dalam market exchange. Namun ilmu ekonomi kurang memperhatikan ranah redistribusi dalam pengertian penggapaian level tertentu dari keadilan sosial dan equitas. 873 Dalam ekonomi kapitalis, misalnya, kepemilikan harta pribadi diakui juga bahwa tidak ada kebebasan yang sempurna, sebagian dapat memperoleh kebebasan lebih dari yang lain. Di samping itu adanya trade-off antara equality dan efisiensi874 dalam alokasi sumber daya guna memaksimalkan output dan kesejahteraan sosial mengakibatkan adanya distribusi yang tidak merata.875 Efesiensi alokasi dalam ekonomi konvensional hanya menjelaskan bahwa bila semua sumber daya yang ada habis teralokasi, maka alokasi yang efisien tercapai, namun tidak mengatakan apapun
872
Lihat al-Qur’a>n, su>rah Al-H{ashr: 7. Dan lihat pula Mabid Ali al Jarhi and Muhammad Anas Zarqa, “Redistributive Justice in a Developed Economy: An Islamic Perspective,” paper presented at 6th International Conference on Islamic Economics and Finance, Jakarta, Bank Indonesia (2005): 43. 873 Lihat Mabid Ali al Jarhi and Muhammad Anas Zarqa, “Redistributive Justice in a Developed Economy: An Islamic Perspective,” paper presented at 6th International Conference on Islamic Economics and Finance, Jakarta, Bank Indonesia ( 2005): 34-40 874 Secara tradisional, ekonomi memperlakukan efisiensi dan equity secara terpisah. Landasan teoritisnya adalah the Second Fundamental Theory of Welfare Economics yang mempertahankan bahwa outcome Pareto yang efisien dapat diterapkan sebagai ekuilibrium kompetitif yang memberikan transfer dan pajak dengan harga borongan yang tepat. Menurut sebagian besar ekonom konvensional, keadilan dan efisiensi tidak bisa dikombinasikan, bila keadilan (equity) dilakukan maka efisiensi akan tergerus. Setidaknya hal ini telah kadung diterima sejak akhir tahun 1960. Namun belakangan ada penelitian-penelitian sebagian ekonom yang mengakui bahwa keadilan -dalam batas tertentu- tidak mengganggu efisiensi, seperti yang dilakukan Rebbeca Blank (2002). Lihat Mabid Ali al Jarhi and Muhammad Anas Zarqa, “Redistributive Justice in a Developed Economy: An Islamic Perspective,” paper presented at 6th International Conference on Islamic Economics and Finance, Jakarta, Bank Indonesia (2005): 36. Dan lihat pula lebih lengkap tentang kajian ini dalam Akhtar Awan, Equality, Efficiency and Property Ownership in the Islamic Economics System (New York: University Press of America, 1983) 875 Lihat Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami (Jakarta: Rajawali Press, 2007), 225.
223
perihal apakah alokasi tersebut adil. Akibatnya ketidakadilan merajalela dan kemiskinan jumlahnya terus bertambah. Pada dasarnya Islam sangat memerangi segala bentuk kemiskinan dan kepapaan, apalagi pemiskinan. Karena ia mempunyai dampak yang sangat luas dalam kehidupan seorang muslim. Kemiskinan dalam Islam merupakan persoalan serius dan berbahaya yang menjadikan tingkat keimanan terancam dengan kekafiran.876 Penghapusan kemiskinan adalah tugas bersama yang harus dipikul oleh masyarakat dan negara. Sistem jaminan sosial Islam mengharuskan tercapainya kepuasan penuh kebutuhan dasar seluruh anggota masyarakat.
877
Namun ironisnya
kemiskinan adalah fenomena yang begitu mudah dijumpai di tengah-tengah umat Islam, tak terkecuali di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Paul Ekins mendeskripsikan bahwa salah satu dari empat masalah mendasar dunia adalah tragedi kemiskinan (holocaust of poverty).878 Kemiskinan sebagai suatu fenomena sosial tidak hanya dialami oleh negaranegara yang sedang berkembang tetapi juga terjadi di negara yang sudah mempunyai kemapanan di bidang ekonomi.879 Fenomena ini pada dasarnya telah menjadi perhatian, isu, dan gerakan global yang bersifat kemanusiaan (humanity).880 Secara konstitusional, Indonesia telah menempatkan permasalahan kemiskinan sebagai Dalam hadis Nabi SAW. riwayat Anas dinyatakan &ن آ?اB آد ا? أن. Lihat Abu> al-‘Ula Muhammad Abd al-Rahma>n ibn Abd al-Rahi>m al-Muba>rakfu>riy, Tuhfat al-Ahwadhiy Sharh Ja>mi‘ alTurmudhiy (Beirut, Lebanon: Da>r al-Fikri, 1424 H/2003 M), jld. x, 50. 877 S. M. Yusuf, Economic Justice in Islam (Lahore: Sh. Muhammad Asyraf), 59 878 Selain itu industri militer termasuk di dalamnya reaktor nuklir, krisis lingkungan dan pengingkaran atas hak-hak asasi manusia. Lihat Paul Ekins, A New World Order, Grassroots Movements for Global Change (New York: Routledge 1992), 5-9 879 Masalah kemiskinan pada dasarnya memiliki dua kategori, yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Dalam kemiskinan absolut, kemiskinan ditentukan oleh kekuatan daya beli untuk menutupi kebutuhan fisik dan sosial yang mendasar. Sedangkan kemiskinan relatif, kemiskinan ditentukan dari proporsi kebutuhan yang tetap dari rata-rata pendapatan penduduk untuk membiayai kebutuhan fisik dan sosial yang mendasar. 880 Salah satu fenomena sosial yang dipandang perlu penanganan segera dan menjadi agenda Tingkat Tinggi Dunia adalah kemiskinan, pengangguran, dan pengucilan sosial yang ada di setiap negara. Hal ini tercermin dari konferensi tingkat tinggi dunia yang berhasil menggelar Deklarasi dan Program Aksi untuk Pembangunan Sosial (World Summit in Social Development) di Compenhagen pada tahun 1995. 876
224
perhatian utama bangsa Indonesia sejak tersusunnya Undang-Undang Dasar 1945.881 Pada dekade 1976-1996, persentase penduduk miskin di Indonesia pernah mengalami penurunan yaitu dari 40,1% menjadi 11,3%, namun pada periode 1996-1998 angka ini menjadi 24,29% atau 49,5 juta jiwa. Bahkan International Labour Organization (ILO) memperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 129,6 juta atau sekitar 66,3%.882.883 Konsep tentang kemiskinan sangat kompleks dan beragam, mulai dari sekadar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral. Pada umumnya, kemiskinan yang sering 881
Manifestasi dari komitmen Indonesia dimaksud terlihat dari beberapa lembaga pemerintah maupun swasta yang mempunyai konsentrasi dalam penanganan kemiskinan. Berbagai model penanganan kemiskinan yang telah dijalankan cukup banyak, misalnya Program Kesejahteraan Sosial Kelompok Usaha Bersama Keluarga Muda Mandiri (Prokesos KUBE KMM), Tabungan Kesejahteraan Rakyat (Takesra), Kredit Usaha Kesejahteraan Rakyat (Kukesra), Kredit Usaha Kecil Menengah, Jaring Pengaman Sosial (Social Safety Net Program) dan lain-lain. 882 Badan Pusat Statistik, 1999. Penduduk Muskin (Poor Population). Berita Resmi Statistik Penduduk Miskin No.04/Th.II/July, Jakarta: CBS. 883 Data tentang kemiskinan di Indonesia dapat disampaikan sebagai berikut : Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2006 sebesar 39,05 juta (17,75 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Februari 2005 yang berjumlah 35,10 juta (15,97 persen), berarti jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 3,95 juta. Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah. Pada bulan Maret 2006, sebagian besar (63,41 persen) penduduk miskin berada di daerah perdesaan. Terjadi pergeseran posisi penduduk miskin dan hampir miskin selama periode Februari 2005 Maret 2006. Sekitar 56,51 persen penduduk miskin pada bulan Februari 2005 tetap tergolong sebagai penduduk miskin pada Maret 2006, sisanya berpindah posisi menjadi tidak miskin. Sebaliknya, 30,29 persen penduduk hampir miskin di bulan Februari 2005 jatuh menjadi miskin pada bulan Maret 2006. Pada saat yang sama, 11,82 persen penduduk hampir tidak miskin di bulan Februari 2005 juga jatuh menjadi miskin pada bulan Maret 2006. Bahkan 2,29 persen penduduk tidak miskin juga terjatuh menjadi miskin di bulan Maret 2006. Perpindahan posisi penduduk ini menunjukkan jumlah kemiskinan sementara (transient poverty) cukup besar. Berita Resmi Statistik No. 47 / IX / 1 (September 2006), Tingkat Kemiskinan Di Indonesia Tahun 2005-2006. Maka pemerintah menggulirkan beberapa program pengentasan kemiskinan, antara lain Program Inpres Desa Tertinggal (IDT), Jaringan Pengaman Sosial (JPS), Program Pengentasan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), Program Kompensasi Kenaikan BBM berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT), Bantuan Tidak Langsung (BTL) dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Program Beras Miskin (Raskin), Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Ketahanan Pangan (KKP), Program Pengembangn Kecamatan (PPK), Proyek Padat Karya, Program Kesehatan keluarga Miskin (Gakin) dan lain-lain. Selain itu ada beberapa program non Pemerintah, antara lain ; Program Cepat Tanggap, Siaga Gizi Nusantara, Layanan Kesehatan Masyarakat (Dompet Dhu’afa’), Program Tali Kasih, Bedah Rumah, Uang Kaget, Lunas (Media Televisi), dan lain-lain.
225
didiskusikan adalah kemiskinan material.884 Dengan pengertian ini, maka seseorang masuk dalam kategori miskin apabila tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup secara layak.885 Al-Qur a>n memakai beberapa kata dalam menggambarkan kemiskinan, diantaranya; faqi>r, miski>n, al-sa>’il, dan al-
mahru>m, tetapi dua kata yang pertama paling banyak disebutkan dalam ayat alQur a>n. Orang fakir dan miskin diberi zakat yang bisa mengangkat mereka dari kemiskinannya. Pembagian yang dekat dengan keadilan adalah jika si miskin dan fakir diberi zakat yang bisa untuk memenuhi kebutuhan setahun. Menurut alNawa>wi bagian fakir miskin tidak boleh diberikan kepada orang kaya atau kepada orang yang mampu bekerja dan menghasilkan keperluan yang cukup untuk diri sendiri dan orang-orang yang di bawah tanggungannya.886 Kemampuan mencari pendapatan yang dijadikan standar tidak bolehnya seseorang menerima zakat adalah yang memenuhi kebutuhan dasarnya secukupnya. Kalau tidak, status seseorang tetap miskin atau fakir, karena ketidakmampuannya mencari atau memperolehi pendapatan yang layak.887 Tanpa kerja-kerja atau usaha-usaha seperti itu seseorang boleh disifatkan sebagai orang yang tidak ada pendapatan atau tidak mampu bekerja.888
884
Faktor-faktor utama yang digunakan pemerintah untuk menentukan kemiskinan adalah pendapatan, pembayaran transfer, properti yang dimiliki, dan ukuran keluarga. 885 Kemiskinan adalah akar kata dari miskin dengan awalan ke dan akhiran an yang menurut kamus bahasa Indonesia mempunyai persamaan arti dengan kefakiran yang berasal dari asal kata fakir dengan awalan ke dan akhiran an. Dua kata tersebut seringkali juga disebutkan secara bergandengan; fakir miskin dengan pengertian orang yang sangat kekurangan. Dua kata : “fakir dan miskin” menurut kamus bahasa Indonesia sebenarnya mempunyai arti yang berbeda, fakir mempunyai dua pengetian; yaitu 1) orang yang sangat kekurangan; orang yang terlalu miskin. 2) orang yang sengaja membuat dirinya menderita kekurangan untuk mencapai kesempurnaan batin. Sedangkan miskin juga mempunyai pengertian; 1) tidak berharta benda, serba kekurangan, berpenghasilan rendah. Lihat Lukman Ali et.all. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), 273 dan 660. 886 Al-Nawa>wiy, Al-Majmu>‘ Sharh} al-Muhadhdhab, jld. vi, 228. 887 Al-Shawka>niy, Nayl al-Awt}ar> , jld., iv, 170. 888 Al-Nawa>wiy, Al-Majmu>‘ Sharh} al-Muhadhdhab, jld., vi, 191, dan Al-Nawa>wiy, Rawd}at al-T}al> ibi>n, jld., ii, 309.
226
Sehubungan dengan persoalan di atas para ulama menjelaskan, kalau seseorang tidak bekerja mencari sarana hidup karena sepenuhnya berkonsentrasi dalam ibadah, dia tetap dianggap orang yang tidak memenuhi syarat fakir atau miskin yang boleh menerima zakat, karena bekerja merupakan kewajiban dalam Islam.889 Tetapi berbeda hukumnya dengan orang yang sepenuhnya berkonsentrasi untuk belajar agama, karena sebenarnya dia sedang melakukan tugas-tugas kemasyarakatan yang dalam Islam disifatkan sebagai fard}u kifa>yah. Penuntut ilmu yang boleh menerima zakat adalah yang memiliki kecerdasan dan kemampuan untuk meraih prestasi dan keahlian yang dibutuhkan oleh umat.890 Di antara cara pemberian zakat kepada fakir miskin adalah menyalurkannya kepada lembaga sosial seperti yayasan kesehatan yang memerhatikan pengobatan orang-orang miskin dan fakir, yayasan dakwah yang menebarkan ajaran islam di tengah-tengah masyarakat, yayasan pendidikan Islam
yang memperhatikan
pendidikan anak-anak kurang mampu dan sebagainya. Semua yang dikeluarkan untuk kepentingan pendidikan fakir miskin atau pengobatan mereka termasuk zakat yang disalurkan kepada fakir dan miskin.891 1. Faktor dan Indikator Kemiskinan Kemiskinan Menurut Ali Yafie892 terdapat petunjuk dari salah satu hadis yang mengungkapkan sebab-sebab kemiskinan, yang berbunyi: ” ... aku mohon supaya
Engkau (Tuhan) melindungi aku dari kelemahan (al- ‘ajz), kemalasan, ketakutan, kepelitan, terlilit hutang dan diperas atau dikuasai sesama manusia.” 893 889
Al-Nawa>wiy, Rawd}at al-T}a>libi>n, jld., ii, 309, dan Al-Nawa>wiy, Al-Majmu>‘ Sharh} alMuhadhdhab, jld., vi, 191. 890 Al-Nawa>wiy, Al-Majmu>‘ Sharh} al-Muhadhdhab, jld. vi, 191. 891 Ibra>hi>m Muh}ammad Qut}b, Al-Nuz}um al-Ma>liyah fi al-Isla>m (Mesir: Al-Hay‘ah alMis}riyyah li al-Kita>b, 1989), 160 892 Ali Yafie, “Islam Dan Problema Kemiskinan,” Majalah Pesantren, No.2/VolIII/ (1986), 3. 893 Lihat Abu> Da>wu>d, Sunan, bab, fi> al-Isti‘a>dhah, no. 1330. Di dalamnya tercantum hal-hal pokok yang menimbulkan kemiskinan yang memelaratkan, yaitu: Pertama: Kelemahan. Yaitu meliputi kelemahan hati, semangat, akal, ilmu, fisik dan lain-lain. Semua itu mengurangi daya pilih dan daya upaya manusia sehingga tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai pencipta dan pembangun untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
227
Sebab-sebab terjadinya kemiskinan terkait dengan model interaksi antara manusia dengan dirinya sendiri, dengan sesamanya, dengan alam dan dengan masyarakatnya. Sebab-sebab kemiskinan yang berkaitan dengan kondisi alam terjadi bila dilakukan pola destruktif antara manusia dan alam seperti eksploitasi alam tanpa melakukan analisa dampak lingkungan, kecenderungan untuk menghabiskan seluruh potensi alam, keengganan mengadakan peremajaan demi kelanjutan alam, dan sebagainya. Akibat lebih lanjut dari pola interaksi demikian ialah terjadinya kemiskinan, baik secara langsung maupun tidak, baik generasi yang sedang eksis maupun generasi selanjutnya. Di sisi lain kondisi alam yang gersang dan tidak memiliki potensi yang bisa dikembangkan juga merupakan cobaan yang diberikan Tuhan kepada umat manusia sebagaimana yang dilukiskan al-Qur a>n dalam su>rah Al-Baqarah ayat 155. Sedangkan sebab-sebab kemiskinan yang berkaitan dengan kondisi manusia itu
sendiri
adalah
kurangnya
percaya
pada
kemampuannya,
keengganan
mengaktualisasikan potensi yang ada dalam bentuk kerja nyata yang serius, serta keengganan memberikan respek optimal terhadap perputaran waktu. Sedang salah satu sebab kemiskinan yang berkaitan dengan kondisi sosial, ialah terkonsentrasinya Kedua: Kemalasan. Sifat ini merupakan pangkal utama dari kemiskinan. Penataan hidup sehari-hari yang diajarkan oleh Islam sangat bertolak belakang dengan sifat ini.
Ketiga: Ketakutan. Sifat ini merupakan penghambat utama untuk mencapai suatu sukses dalam pekerjaan dan usaha. Keberhasilan seseorang dalam merintis ataupun melanjutkan sesuatu atau tugas banyak tergantung dari keberanian yang ada pada dirinya. Keempat: Kepelitan. Hal ini banyak bersangkutan dengan pihak si kaya, karena dengan sifat ini tanpa disadari kepelitannya itu membantu untuk tidak mengurangi kemiskinan, dan menempatkan dirinya menjadi sasaran untuk dibenci oleh si miskin. Kelima: Terlilit hutang. Terdapat banyak peringatan dari ajaran Islam untuk berhati-hati jangan sampai terjerat hutang, karena hutang sangat membelenggu kebebasan, baik di dunia maupun di akhirat. Apalagi orang yang sudah terbiasa dengan membiayai hidupnya dari hutang, sulit sekali mengangkat dirinya dari lumpur kemiskinan. Keenam: Diperas atau dikuasai sesama manusia. Hal ini merupakan penyebab bagi timbulnya banyak penderitaan dan kemelaratan, baik pada tingkat perorangan maupun pada tingkat masyarakat, bangsa dan negara. Pemerasan manusia kuat menimbulkan sistem perbudakan, dan pemerasan manusia kaya menimbulkan sistem riba. Dan pemerasan pada tingkat masyarakat bangsa/negara menimbulkan sistem kapitalisme yang berkembang menjadi imperialisme. Kenyataan yang ada di negeri-negeri jajahan atau setengah jajahan membuktikan dengan jelas betapa besar kemiskinan yang memelaratkan masyarakat, berabad-abad lamanya sebagai akibat langsung dari sistem imperialisme itu.
228
modal di tangan orang-orang kaya (konglomerat). Terkonsentrasinya modal di tangan mereka menyebabkan orang-orang fakir tidak memiliki kesempatan untuk mengaktualisasikan potensi-potensinya demi meraih prestasi di bidang ekonomi. Loekman Soetrisno894 mengutip pendapat Robert Chambers seorang ahli pembangunan pedesaan berkebangsaan Inggris, menyatakan bahwa kemiskinan yang dialami oleh rakyat negara sedang berkembang, khususnya rakyat pedesaan, disebabkan oleh beberapa faktor yang disebut sebagai ketidakberuntungan atau disadvantages yang saling terkait satu sama lain. Menurut
teori
development
of
underdevelopment895
atau
teori
ketergantungan-dominasi (dominance-dependency) bahwa sebab-sebab kemiskinan dan keterbelakangan bukanlah sekadar faktor-faktor yang terdapat pada masyarakat yang bersangkutan seperti kurangnya modal, pendidikan yang rendah, kepadatan
894
Menurut Robert Chambers ada lima ketidakberuntungan yang melingkari kehidupan orang atau keluarga miskin, yaitu: Pertama, kemiskinan (poverty), yaitu situasi dimana orang miskin mempunyai tanda-tanda sebagai berikut; a. Rumah reot dan dibuat dari bahan bangunan yang bermutu rendah, perlengkapan yang sangat minim, dan tidak memiliki MCK sendiri. b. Pendapatan mereka tidak menentu dan sangat rendah. Ekonomi keluarga bercirikan gali lubang tutup lubang. Kedua, fisik yang lemah (physical weakness). Kelemahan fisik keluarga miskin disebabkan oleh beberapa hal seperti tidak adanya seorang laki-laki sehat yang menjadi kepala keluarga, sehingga keluarga terpaksa dikepalai seorang perempuan yang di samping mengurusi pekerjaan rumah seharihari, ia juga harus bekerja untuk menghidupi keluarga. Akibatnya keluarga miskin lemah secara fisik disebabkan oleh rendahnya gizi, beban kerja terlalu berat dan interaksi berbagai bibit penyakit akibat kemiskinan. Ketiga, keterasingan (isolation). Kelompok miskin dapat terasing karena tempat tinggalnya yang secara geografis terasing, atau karena mereka tidak memiliki akses terhadap sumber-sumber informasi. Keempat, kerentanan (vulnerability). Dalam menghadapi paceklik keluarga miskin mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka dengan menjual barang-barang yang dimiliki dan laku dijual, utang pada tetangga yang lebih mampu, atau mengurangi makan mereka baik dari segi jenis ataupun frekuensinya. Keadaan darurat membuat tidak hanya keluarga miskin menjadi lebih miskin, tetapi juga rawan dari berbagai macam penyakit, yang tidak jarang dapat membawa kematian. Kelima, ketidakberdayaan (powerlessness). Orang miskin tidak berdaya menghadapi rentenir atau orang-orang lain yang sering mengeksploitasi mereka. Mereka juga tidak berdaya menghadapi polisi atau aparat negara lain yang sering tidak ramah terhadap mereka. Lihat Loekman Sutrisno, Kemiskinan, Perempuan, dan Pemberdayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1997), 18. 895 M. Dawam Rahardjo, Esei-esei Ekonomi Politik (Jakarta: LP3ES, 1985), 8.
229
penduduk, kekurangan gizi dan lain sebagainya. Lebih dari itu faktor-faktor tersebut hanyalah merupakan atribut kemiskinan saja, tetapi kemiskinan itu sendiri berakar dari sejarah eksploitasi, terutama yang dilakukan oleh kekuatan kapitalis asing atau internasional yang melakukan penetrasi, dominasi dan pengerukan keuntungan dari daerah pinggiran ke pusat-pusat metropolis. 2. Pemberdayaan dan Pengentasan Kemiskinan Dalam Islam kemiskinan terjadi bukan karena tidak memiliki harta, namun ia terjadi karena tidak adanya kepandaian dalam bekerja.896 Alla>h telah menciptakan manusia, sekaligus menyediakan sarana-sarana untuk memenuhi kebutuhannya. Bahkan tidak hanya manusia; seluruh makhluk yang telah, sedang, dan akan diciptakan, pasti Alla>h menyediakan rezeki baginya. Tidak mungkin, Alla>h menciptakan berbagai makhluk, lalu membiarkan begitu saja tanpa menyediakan rezeki bagi mereka.897 Jika demikian halnya, mengapa terjadi kemiskinan? Seolaholah kekayaan alam yang ada, tidak mencukupi kebutuhan manusia yang populasinya terus bertambah. Dalam pandangan ekonomi kapitalis, problem ekonomi disebabkan oleh adanya kelangkaan barang dan jasa, sementara populasi dan kebutuhan manusia terus bertambah. Akibatnya, sebagian orang terpaksa tidak mendapat bagian, sehingga terjadilah kemiskinan. Pandangan ini jelas keliru dan bertentangan dengan fakta dimana jumlah kekayaan alam yang disediakan oleh Alla>h, untuk manusia pasti mencukupi. Hanya saja, apabila kekayaan alam ini tidak dikelola dengan benar, tentu akan terjadi ketimpangan dalam distribusinya. Jadi, faktor utama penyebab kemiskinan adalah buruknya distribusi kekayaan. Dalam al-Qur a>n, su>rah Al-S}ad> ayat 26 diceritakan tentang tugas yang diberikan oleh Alla>h kepada nabi Da>wu>d untuk mewujudkan keadilan dan tidak mengikuti dorongan hawa nafsu. Kisah ini menekankan signifikansi pemerataan
896 897
al-Jass}a>s,} Ah}ka>m al-Qur'a>n, jld., iii, 159 Lihat al-Qur’a>n, su>rah al-Ru>m: 40 dan Hu>d: 6
230
kesejahteraan yang harus ditegakkan oleh seorang khalifah.898 Selain kisah Nabi Da>wu>d, contoh historis dari peran pemerintah dapat ditemukan juga dalam su>rah Yu>suf ayat 47, 48, 55, 56, 57, 58 dan 59. Ayat-ayat tersebut berbicara tentang keberhasilan nabi Yu>suf dalam mengelola 7 (tujuh) tahun masa subur di Mesir untuk menghadapi 7 (tujuh) tahun masa paceklik, menerapkan asas keberhati-hatian dalam mengkonsumsi simpanan, namun tetap tidak menjadi egois dan kikir terhadap orang dan kelompok yang membutuhkan bantuan.899 Perjalanan panjang sejarah kaum Muslim, membuktikan bahwa kebijakan yang tepat dalam distribusi dan redistribusi dapat meminimalkan kemiskinan.900 ‘Umar ibn Khat}ta} b menerapkan politik ekonomi yang memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan primer rakyat. Beliau menikahkan orang yang belum mampu menikah, membayar hutang-hutang mereka, dan memberikan biaya kepada para petani agar menanami tanahnya. Kodisi politik seperti ini terus berlangsung hingga masa Dawlah Umayyah di bawah pemerintahan Khalifah ‘Umar ibn Abd al-Azi>z. Pada saat itu rakyat sudah sampai pada taraf hidup dimana mereka tidak memerlukan bantuan harta lagi. Pada tahun kedua masa kepemimpinannya, ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azi>z menerima kelebihan uang Bayt al-Ma>l secara berlimpah dari gubernur Irak. Beliau lalu mengirim surat kepada gubernurnya untuk menyelesaikan kewajiban-kewajiban harta rakyatnya dan menyelesaikan kesulitan ekonomi mereka.901 Dalam kesempatan lain, ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azi>z memerintahkan 898
Kisah ini berkaitan dengan keserakahan seseorang yang ingin menggenapkan jumlah kambing piaraannya menjadi 100 ekor dengan meminta dari saudaranya yang hanya memiliki 1 ekor kambing. 899 Lihat al-Qur’a>n, su>rah Yu>suf : 48, dimana disebutkan, ”(Setelah 7 tahun masa subur),
kemudian akan datang 7 tahun masa paceklik yang akan menghabiskan sebagian besar dari simpananmu.” 900
Khalifah Umar ibn Khat}t}ab pernah berkata kepada pegawainya yang bertugas membagikan sedekah: “Jika kamu memberikan, maka cukupkanlah”, selanjutnya berkata lagi: “Berilah mereka itu sedekah berulangkali sekalipun salah seorang diantara mereka memiliki seratus onta. Abdurrahman al-Bagdadi, Ulama dan Penguasa di Masa Kejayaan dan Kemunduran (Jakarta: Gema Insani Press, 1988), 38. 901 ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azi>z menulis dalam suratnya, “Telitilah, barang siapa berhutang, tidak
berlebih-lebihan dan berfoya-foya, maka bayarlah hutangnya.” Kemudian gubernur itu mengirim
231
pegawainya
untuk
berseru
setiap
hari
di
kerumunan
khalayak
ramai,
mempermaklumkan kesediaan pemerintah memenuhi kebutuhan masing-masing orang yang membutuhkan.902 Jaminan pemenuhan kebutuhan hidup ini, tidak hanya diberikan kepada kaum Muslim, tetapi juga kepada orang non-Muslim. Dalam hal ini, orang-orang non-Muslim yang menjadi warga negara Dawlah Khilafah, mempunyai hak yang sama dengan orang Muslim, tanpa ada perbedaan.903 Peristiwa terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Abu> Bakar al-S}iddiq. ‘Umar ibn Khat}ta} b pernah menjumpai seorang Yahudi tua yang sedang mengemis. Ketika ditanyakan kepadanya, ternyata usia tua dan kebutuhan telah mendesaknya untuk berbuat demikian. Umar segera membawanya kepada bendahara Bayt al-Ma>l dan memerintahkan agar ditetapkan bagi orang itu, dan orang-orang seperti dia, sejumlah uang dari Bayt al-Ma>l yang cukup baginya dan dapat memperbaiki keadaannya.904 Untuk memperoleh pemahaman yang lebih utuh tentang kemiskinan diperlukan pemahaman dari segi empiris kontekstual, karena seringkali pengertian jawaban kepada beliau: “Sesungguhnya aku telah melunasi hutang orang-orang yang mempunyai tanggungan hutang, sehingga tidak ada seorang pun di Irak yang masih mempunyai hutang, maka apa yang harus aku perbuat terhadap sisa harta ini?” ‘Umar ibn Abd al-Azi>z mengirimkan jawaban: “Lihatlah setiap jejaka yang belum menikah, sedangkan dia menginginkan menikah, kawinkanlah dia dan bayar mas kawinnya”. Gubernur itu mengirimkan berita lagi bahwa dia sudah melaksanakan semua perintahnya, tetapi harta masih juga tersisa. Selanjutnya ‘Umar ibn Abd al-Azi>z mengirimkan surat lagi kepadanya: “Lihatlah orang-orang Ahlu al-Dhimmah yang tidak mempunyai biaya untuk menanami tanahnya, berilah dia apa-apa yang dapat mensejahterakannya.” Lihat Abu> ‘Ubayd, Kita>b Al-Amwa>l, 39. 902
Diantara seruannya sebagai berikut, “Wahai manusia! Adakah diantara kalian orang-orang yang miskin? Siapakah yang ingin menikah? Kemanakah anak-anak yatim?” Ternyata, tidak seorang pun datang memenuhi seruan tersebut. Lihat Abu> ‘Ubayd, Kita>b Al-Amwa>l, 39. 903 Sebagai contoh, dalam aqad dhimmah yang ditulis oleh Kha>lid ibn Wa>lid untuk penduduk Hirah di Irak yang beragama Nasrani, disebutkan: “Saya tetapkan bagi mereka, orang yang lanjut usia
yang sudah tidak mampu bekerja atau ditimpa suatu penyakit, atau tadinya kaya kemudian jatuh miskin, sehingga teman-temannya dan para penganut agamanya memberi sedekah; maka saya membebaskannya dari kewajiban membayar jizyah. Dan untuk selajutnya dia beserta keluarga yang menjadi tanggungannya, menjadi tanggungan Bayt al-Ma>l kaum Muslim.” Lihat Abu> Yu>suf, Kita>b alKhara>j (Kairo, Mesir: Da>r al-Isla>h, tt.), 144. 904 Umar berkata: “Kita telah bertindak tidak adil terhadapnya, menerima pembayaran jizyah darinya kala dia masih muda, kemudian menelantarkannya kala dia sudah lajut usia.” Lihat Abu> Yu>suf, Kita>b al-Khara>j, 126.
232
secara normatif (teoritis) sulit ditemukan di lapangan.905 Diantara penelitian tersebut adalah penelitian dengan judul “Tradisi Mengemis Masyarakat Desa
Pragaan Daya, Kecamatan Pragaan, Kabupaten Sumenep, Madura.”906 Penelitian ini menurut tim peneliti dilatarbelakangi oleh sebuah pemikiran utama, bahwa tradisi mengemis yang tumbuh dan berkembang di desa Pragaan Daya sudah menjadi cara hidup (way of life) yang melembaga sejak puluhan tahun silam. Hal ini merupakan perilaku yang menyimpang dari norma etika yang berlaku secara umum. Penyimpangan ini berkembang secara sistematik menjadi satu subkultur, yaitu suatu sistem perilaku yang menghasilkan organisasi sosial, nilai-nilai, rasa kebanggaan, norma dan moral tertentu yang bertentangan dengan situasi umum. Tradisi ini menunjukkan bahwa persoalan yang dihadapi masyarakat bersifat multidimensional dan multidirektikal. Dari segi agama dan etika sosial, pekerjaan mengemis merupakan pekerjaan yang tidak etis. Hasil penelitiannya ada empat, yaitu ; a. Terdapat tiga karakteristik pengemis di desa Pragaan Daya; personal, kolektif, dan kolektif-fiktif. b. Faktor yang menjadi penyebab munculnya tradisi mengemis antara lain adalah lahan pertanian yang tidak produktif karena kering dan tandus, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, dan minimnya pengetahuan dan realisasi nilai-nilai agama. c. Terbatasnya potensi SDA, SDM dan ekonomi. d. Ada dua persepsi masyarakat tentang tradisi mengemis; pertama, pekerjaan mengemis dipandang sebagai
905
Ada beberapa penelitian yang dilakukan baik oleh pemerintah ataupun lembaga swasta tentang kemiskinan dan pengentasannya, antara lain, yang disebutkan dalam disertasi ini. 906 Lihat Marzuki Wahid, et.all (Ed), Sinopsis dan Indeksasi Hasil Penelitian Kompetitif Dosen PTAI Tahun 1999-2003 (Jakarta: Ditpertais. Ditjen Bagais. Depag. RI, 2004), 117-122. Penelitian ini dilakukan oleh tim peneliti dari IAI Nurul Jadid Paiton Probolinggo yang beranggotakan 5 orang; Drs. Noer Abijono, M.Ed sebagai ketua tim, dengan anggota yang terdiri; Rahman Riyadi, SE., MM, Dra. Rachma Hasibuan, MS, Drs. Munir Anshori, dan M. Faridy, SH. Penelitian yang mengambil lokasi di desa Pragaan Daya Kecamatan Pragaan Kabupaten Sumenep Madura ini mencoba mengungkap tiga persoalan, yaitu 1) bagaimana profil pengemis di desa Pragaan, 2) apa yang mendasari timbulnya pekerjaan mengemis, dan 3) bagaimana persepsi masyarakat Pragaan Daya terhadap tradisi mengemis yang telah berlangsung secara turun menurun.
233
pekerjaan pada umumnya, dan kedua, pekerjaan ini dipandang sebagai pekerjaan yang menyalahi norma agama dan sosial. Penelitian lainnya adalah penelitian dengan judul ”Era Baru dalam
Pengentasan Kemiskinan di Indonesia.”907 Fokus penelitian ini adalah tentang karakteristik kemiskinan di Indonesia dengan mencoba; 1) mengidentifikasikan apa yang bermanfaat dan tidak bermanfaat dalam upaya pengentasan kemiskinan, 2) memperjelas pilihan-pilihan apa saja yang tersedia untuk Pemerintah dan lembagalembaga non-pemerintah dalam upaya memperbaiki standar kualitas kehidupan masyarakat miskin. Penelitian ini dilakukan dengan latar belakang; a. Indonesia sedang berada di ambang era yang baru, yaitu sesudah mengalami krisis multi-dimensi pada akhir tahun 1990-an, Indonesia dari sisi ekonomi sudah berhasil kembali bangkit dari posisi salah satu negara berkembang berpenghasilan rendah menjadi salah satu negara berkembang berpenghasilan menengah. Sementara dari sisi lain mengalami transformasi besar di bidang sosial politik, berkembang dengan demokrasi yang penuh semangat dengan adanya desentralisasi pemerintahan, serta keterbukaan yang lebih luas dibandingkan dengan masa lalu. b. Pengentasan kemiskinan tetap merupakan salah satu masalah yang paling mendesak di Indonesia. c. Indonesia memiliki peluang emas untuk mengentaskan kemiskinan dengan cepat. d. Tantangannya adalah bagaimana membuat Indonesia baru itu bermanfaat bagi penduduk miskin (work for the poor). e. Indonesia sebenarnya bisa belajar dari pertumbuhan ekonomi, kebijakan dan program kemasyarakatannya sendiri. Hasil penelitiannya dapat diungkapkan sebagai berikut: Pertama ; Ada tiga ciri yang menonjol kemiskinan di Indonesia; 1) Banyak penduduk Indonesia rentan 907
Laporan penelitian yang dipublikasikan pada 2006 ini adalah merupakan hasil kerja dari staf Bank Dunia (The Word Bank) yang dilakukan sejak 2002 sampai akhir 2005 bekerjasama dengan Kementrian Perekonomian Indonesia, Kementerian Kesejahteraan Rakyat, Bappenas, LPEM-UI Jakarta, Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran Bandung, dan Lembaga Penelitian SMERU Jakarta dibawah naungan Program Analisa Kemiskinan di Indonesia (INDOPOV) di kantor Bank Dunia Jakarta. Lihat www.wordbank.or.id
234
kemiskinan, 2) ukuran kemiskinan didasarkan pada pendapatan, sehingga tidak menggambarkan batas kemiskinan yang sebenarnya, 3) mengingat sangat luas dan beragamnya wilayah Indonesia, perbedaan antar daerah merupakan ciri mendasar dari kemiskinan Indonesia. Kedua, Ada tiga cara Indonesia untuk mengentaskan kemiskinan; 1) membuat pertumbuhan ekonomi bermanfaat bagi rakyat miskin, 2) membuat layanan sosial bermanfaat bagi rakyat miskin, 3) membuat pengeluaran (anggaran) pemerintah bermanfaat bagi rakyat miskin. Hasil-hasil riset dari dua penelitian tersebut menunjukkan urgensi dan fungsi yang besar dari distirbusi kekayaan individu untuk kesejahteraan masyarakat seluasluasnya dan pengentasan kemiskinan. Penjelasan di atas menggambarkan tentang skala prioritas distirbusi kekayaan dalam Islam, yang terfokus kepada pengentasan kemiskinan dan pemenuhan kebutuhan diri sendiri, keluarga, orang tua, dan kerabat dekat. Setelah itu diarahkan kepada pembangunan kesejahteraan bersama dan penguatan pondasi dan peradaban manusia.
235
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa redistribusi kekayaan individu merupakan kebijakan yang mutlak diperlukan untuk merealisasikan pemerataan kesejahteraan dan keadilan distribusi seluas-luasnya. Penerapan prinsip ih}sa>n, ‘iffah dan i>tha>r dalam praktik redistribusi tersebut, telah terbukti secara historis pada masa kenabian dan kekhalifahan mampu meminimalkan kesenjangan ekonomi dan mengurangi angka kemiskinan secara signifikan. Ekonomi Islam menjamin pemenuhan kebutuhan dasar dan merupakan kewajiban pemerintah dan institusi masyarakat untuk memenuhinya bagi setiap orang, yaitu; makanan, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, pelayan (pembantu), perabot rumah tangga, biaya pendidikan, buku-buku ilmiyah, alat-alat kerja, produksi dan modal, pelunasan hutang, biaya kesehatan dan obat-obatan, pemerdekaan diri dari perbudakan, biaya pernikahan, dan persenjataan bagi yang membutuhkannya. Sistematika redistribusi kekayaan dalam Islam yang memenuhi
maqa>si} d al-shari>‘ah mengacu pada skala prioritas dengan urutan Al-D}aru>riyya>t, AlHa>jiyya>t, Al-Tah}si>niyya>t. Disertasi ini mendukung teori John Rawls dalam bukunya, A Theory of
Justice (Harvard, MA: Harvard University Press, 1971) berkenaan dengan prinsip ketidaksamaan, yaitu Prinsip Perbedaan. Prinsip ini menjawab persoalan bagaimana ketidaksamaan diatasi. Namun dalam teori Rawls tidak terlihat jelas apa yang memotivasi tindakan orang-orang yang beruntung untuk berkorban bagi mereka yang kurang beruntung. Disertasi ini menawarkan prinsip ih}sa>n, ‘iffah dan i>tha>r agar orang-orang yang beruntung berkorban bagi mereka yang kurang beruntung. Disertasi ini mendukung hasil penelitian Zakiyuddin Baidhowi, “Konsep Keadilan
Ekonomi
Dalam
Al-Qur’a>n,”
(Disertasi
Doktor,
pada
Program
Pascasarjana (PPs) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta,
236
2007), bahwa untuk menegakkan keadilan ekonomi bisa dilakukan lewat usaha menumbuhsuburkan aspek-aspek akidah dan etika, spiritualisasi dan moralisasi semua aktivitas ekonomi, baik pada tingkat individu, kolektif, masyarakat maupun kebijakan negara. Namun perbedaannya dengan disertasi ini adalah fokus penelitiannya yang bersifat umum mencakup segala aktivitas ekonomi, sementara disertasi ini terbatas hanya pada kajian spritualisasi dan moralisasi bidang redistribusi kekayaan individu. Disertasi ini juga mendukung temuan Masudul Alam Choudhury,
Contributions to Islamic Economic Theory (New York: St. Martin’s Press, 1986) yang menawarkan tiga variabel untuk menciptakan ekonomi yang berkeadilan dan kesejahteraan seluas-luasnya yaitu; Tawheed and Brotherhood, Work and
Productivity, dan Distributional Equity. Disertasi ini menjabarkan lebih detail tentang aplikasi Tawheed and Brotherhood, Work and Productivity, dan
Distributional Equity tersebut, khususnya berdasarkan prinsip ih}sa>n, ‘iffah dan i>tha>r. Disertasi ini juga mendukung temuan Yu>suf Al-Qarad}a>wi, Dawr Al-Qiyam
Wa Al-Akhla>q fi> al-Iqtis}ad>
al-Isla>miy (Kairo: Dar Wahbah, 1415/1995) yang
menekankan urgensi norma dan akhlak dalam pembangunan ekonomi Islam. Disertasi ini membahas lebih detail tentang beberapa prinsip dari norma dan akhak tersebut, khususnya prinsip ih}sa>n, ‘iffah dan i>tha>r. Disertasi ini mendukung campur tangan pemerintah lewat lembaga H}isbah untuk menegakkan prinsip-prinsip keadilan ekonomi dan meluruskan prilaku-prilaku menyimpang dalam ekonomi. Disertasi ini berbeda dengan penelitian Zaki Fuad, “Wawasan Ekonomi Islam tentang Pemenuhan Kebutuhan dan Distribusi Pendapatan,” (Disertasi pada Program Pascasarjana, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005) yang hanya membahas enam kebutuhan dasar manusia yaitu, pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, lapangan kerja. Di samping itu penelitian Zaki Fuad terfokus kepada distribusi sumberdaya produktif dan perluasan kesempatan kerja, sektor pertanian dan kehutanan, peternakan dan perikanan, sektor pertambangan dan
237
sumber daya manusia secara makro. Sementara disertasi ini terfokus pada kajian tentang isu-isu distribusi ekonomi individu secara mikro. Penelitian ini mendukung prinsip dan legalitas kepemilikan individu dan menolak teori Karl Marx tentang penghapusan kepemilikan pribadi sebagai sumber terjadinya alienasi dan eksploitasi. Pada kenyataannya kepemilikan individu hanyalah salah satu faktor penyebab alienasi. Disertasi ini membuktikan bukan sistem kepemilikan individu sebagai penyebab alienasi dalam masyarakat, namun prilaku-prilaku individu yang cenderung tidak adil dan mementingkan diri sendiri. Teori Karl Marx tersebut mengindikasikan ketidakpercayaan terhadap individu dalam mengelola harta, sehingga ia berpendapat kepemilikan kolektif yang dapat mengatasi problem keterasingan, penindasan dan diskriminasi kelas. Disertasi ini juga menolak Kapitalisme berbasis Prinsip Libertarian yang cenderung terlalu mementingkan hak-hak dan kepemilikan individu, dan mengabaikan fungsi sosial dari kekayaan individu. Disertasi ini menawarkan redistribusi kekayaan individu berdasarkan prinsip
ih}sa>n, ‘iffah dan i>tha>r untuk mengatasi masalah alienasi dan eksploitasi sekaligus menambal kekurangan dan kelemahan sistem dan prinsip-prinsip keadilan distribusi. Ia menolak Prinsip Egalitarianisme Radikal dan Prinsip Libertarian yang berada pada posisi saling bertentangan. Yang pertama mementingkan kepemilikan kolektif, sedangkan yang terakhir mengedepankan kepemilikan pribadi dan self-interest. Disertasi ini menawarkan solusi untuk mempertemukan keduanya dengan prinsip
ih}sa>n, ‘iffah dan i>tha>r. Ia menolak Prinsip Libertarianisme yang menyatakan bahwa dunia ini pada asalnya tidak ada yang memiliki. Disertasi ini mendukung teori bahwa dunia ini milik Allah dan diamanatkan kepada manusia sebagai khalifah-Nya di bumi, agar dikelola untuk kesejahteraan manusia seluas-luasnya. Ia menolak Prinsip Berbasis Sumber Daya yang secara nyata tidak memberikan tempat bagi tanggungjawab sosial atas orang yang kurang beruntung, dan tidak ada subsidi bagi orang yang
238
kurang
pendapatannya.
Ia
juga
menolak
Prinsip
Berbasis
Kesejahteraan
(Utilitarianisme), dengan berpedoman pada the great happiness for the great
number, yang mengorbankan sekelompok kecil orang atas nama kepentingan atau kesejahteraan mayoritas. Disertasi ini menolak Prinsip Egalitarianisme Radikal, yang menentukan setiap orang harus memiliki tingkat yang sama dalam kebutuhan barang dan jasa. Ia membuktikan bahwa perbedaan tingkat ekonomi merupakan sunnatulla>h yang pasti terjadi dan merupakan penghargaan atas kenyataan adanya perbedaan antara kemampuan manusia dan produktifitasnya dalam ekonomi. Dengan merujuk kepada ayat-ayat al-Qur a>n secara tematis, hadith-hadith yang berkenaan dengan redistribusi kekayaan, dan kita>b-kita>b tura>th dan ekonomi yang ditulis dalam tema tersebut, kemudian dianalisis secara sintetis dan historis berdasarkan fakta empiris dalam sejarah kenabian dan kekhalifahan, ditemukan bahwa ekonomi Islam memiliki konsep yang unik dan berbeda dalam mengatasi kesenjangan pendapatan dan kekayaan di tengah-tengah masyarakat. B. Saran Disertasi ini sangat kurang karena penelitiannya terbatas pada bahasan prinsip ih}sa>n, ‘iffah dan i>tha>r dalam redistribusi kekayaan individu. Padahal Ekonomi Islam adalah system yang sangat kaya dengan prinsip-prinsip lain yang saling berkaitan dan mendukung untuk menciptakan tatanan ekonomi yang lengkap dan adil. Kekurangan ini diharapkan dapat dilengkapi oleh peneliti-peneliti lain dalam bidang ini. Kelemahan lain dari disertasi ini adalah sifatnya yang hanya terfokus pada penelitian kepustakaan (library research) dan prinsip-prinsip normatif, sehingga perlu kajian lanjutan berkenaan dengan pedoman praktisnya dalam lapangan empiris. Data yang dikemukakan dalam penelitian ini merupakan warisan sejarah masa
239
kenabian dan kekhalifahan, sehingga perlu dikaji aplikasinya dalam kehidupan ekonomi modern yang telah berkembang sangat pesat dewasa ini. Karena itu peneliti menyarankan beberapa rekomendasi berikut; 1. Pembentukan Bayt al-Ma>l yang dikelola oleh negara dengan adil, transparan dan bertanggungjawab terhadap public untuk memenuhi kebutuhan kaum lemah dan mengaplikasikan prinsip ih}sa>n, ‘iffah dan i>tha>r. Lembaga BAZNAS, Dompet Dhuafa, LAZNAS, Rumah Zakat, dan lain-lain, perlu disinergikan dan dipayungi oleh Bayt al-Ma>l, sehingga tidak terjadi kebijakan dan alokasi dana yang tumpang tindih dan tambal sulam. 2. Pembentukan Lembaga H}isbah yang tidak berpihak dan bekerja secara professional sehingga dihormati dan ditaati oleh publik. Satuan Polisi Pamong Praja yang telah terbentuk dan terlembaga dalam Pemerintahan Daerah, dalam perekrutannya
seharusnya
lebih
mengedepankan
seleksi
pada
aspek
intelektualitas, integritas, nilai-nilai kesantunan, kesabaran dan lain-lain, bukan pada aspek kekuatan fisik dan kegarangan.
240
DAFTAR PUSTAKA Al-Quran al-Karim
Al-Quran dan Terjemahnya. Madinah, Saudi Arabia: Mujamma‘ al-Malik Fahd. Aba>di, Al-‘Az}im > . ‘Awn al-Ma‘bu>d. Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabiy, tt. Adiy, Majd al-Di>n Al-Fayru>z. Al-Qa>mu>s al-Muh}it> }. Madinah: al-Mat}ba‘ah alKhairiyyah tt. Abu> Da>wu>d, Sulayma>n ibn Ash‘ath Al-Sajista>niy. Sunan Abi> Da>wu>d. Suriah: Da>r al-H}adith,1969. Ackerman, Bruce A. Social Justice and the Liberal State. New Haven: Yale University Press, 1980. Al-‘Adl, vol.14, (Rabiul Akhir, 1423 H) Agil, Syed Omar Syed. “Rationality in Economic Theory: A Critical Appraisal.” in Readings in Microeconomics: An Islamic Perspective, eds. Sayyed Tahir et all. Petaling Jaya: Longman Malaysia Sdn. Bhd., 1992. Al-Ahl, ‘Abd al-‘Azi>z Sayyid. Falsafah al-Zaka>h ‘Inda al-Muslimi>n. Beirut, Libanon: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1406 H. Ahmad, A. and Awan, K. R. [eds.] Lectures on Islamic Economics. Jeddah, Saudi Arabia, IRTI, Islamic Development Bank. 1992. Ahmad, Ausaf. “Macroconsumption Function in an Islamic Framework: A Survey of Current Literature.” in Lectures on Islamic Economics, Ausaf Ahmad and Kazim Raza Awan eds., Jeddah: Islamic Research and Training Institute IDB, 1412 H/1992. Ahmad, K. [ed.] Studies in Islamic Economics. Leicester, UK, The Islamic Foundation, 1981. Ahmed, Mahfooz. “Distributive Justice and Fiscal and Monetary Economics in Islam.” in Monetary and Fiscal Economics of Islam, ed. Mohammad Ariff, Jeddah: International Centre in Islamic Economics of King Abdul Aziz University, 1982. Alstott, Anne and Bruce A. Ackerman. The Stakeholder Society. New Haven: Yale University Press, 1999. al-Andalu>siy, Abu> Hayya>n. Tafsi>r al-Bah}r al-Muh}it}, Beirut: Da>r al-Kutub al‘Ilmiyyah, tt. al-Ans}ar> iy, ‘Abdulla>h al-Laithi. Mukhtas}ar Minha>j al-Qa>si} di>n. Beirut : Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1987. al-‘Arabiy, Ibnu, al-Qa>di} Abu> Bakr. Ahka>m al-Qur’a>n. Tahqi>q, Ali al-Bijawi. Kairo, Mesir : Cet. Isa Al Halabi, tt. Arneson, Richard. “Liberalism, Distributive Subjectivism, and Equal Opportunity for Welfare.” Philosophy and Public Affairs 19 (1990): 158-165.
241
Arthur, John and William Shaw, eds. Justice and Economic Distribution. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1991. Al-As}buhiy, Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi ‘A<mir. Al-Mudawwanah Al-Kubra>. Beirut, Libanon: Da>r al-Fikr, tt. Al-As}buhiy, Ma>lik ibn Anas ibn Ma>lik ibn Abi ‘A<mir. Al-Muwat}ta} ’. Kairo, Mesir: Cet. Isa al-Ba>bi al-Halabi, tt. al-As}faha>niy, Ar- Ra>ghib. Mu‘jam Mufrada>t al-Fa>z} al-Qur’a>n. Beirut: Da>r al-Fikr, tt. ‘A<shu>r, Ibnu, Muh}ammad al-T{ah> ir. Al-Tah}ri>r wa Al-Tanwi>r. Tunis : Da>r AlTunisiyah, 1970 M. ‘A<shu>r, Ibnu, Muh}ammad al-T{ah> ir, Maqa>si} d Al-S}hari>‘ah Al-Isla>miyyah. Tunis: Da>r Al-Tunisiyah, 1970 M. al-‘Askariy, Abu> Hila>l. Kita>b al-Furu>q. Beirut: Muassasah al-Risalah, 1420 H. Al-‘Asqala>niy, Ah}mad ibn ‘Ali ibn H}ajar. Fath} al-Ba>ri> Sharh} S}ah}ih> } al-Bukha>riy. Madinah: al-Mat}ba’ah al-Khairiyyah, tt. al-Athi>r, Ibnu, Majd al-Di>n al-Muba>rak Muh}ammad ibn Muh}ammad. Al-Niha>yah Fi> Ghari>b al-Hadi>th. Beirut: Da>r al- Fikr, tt. al-Attas, Syed Muh}ammad Naquib. Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An
Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam.
Kuala Lumpur: ISTAC, 1994. Awan, Akhtar. Equality, Efficiency and Property Ownership in the Islamic Economics System. New York: University Press of America, 1983 al-‘Ayniy, Abu> Muh}ammad Mah}mu>d ibn Ah}mad. al-Bina>yah Fi> Sharh al-Hida>yah. Beirut: Da>r al-Fikr, tt. Babili, Mahmud Muhammad. Al-Ma>l fi> al-Isla>m. Beirut: Da>r al-Kita>b al-Lubna>ni, tt.. Baidhowi, Zakiyuddin. “Konsep Keadilan Ekonomi Dalam Al-Quran.” Disertasi Doktor, pada Program Pascasarjana PPs. Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2007. Al-Bagha>wiy, al-H}usayn ibn Mas‘u>d ibn Muh}ammad al-Farra>’. Sharh al-Sunnah. Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, tt. Al-Bayhaqiy, Abu> Bakar Ah}mad ibn H}usayn. Al-Sunan al-Kubra>. India: Cet. Haidarabad tt.. al-Banna, Ahmad Abdurrahman. al-Fath al-Rabba>ni. Beirut: Da>r Ihya>’ Al-Tura>th Al‘Arabi, tt. Al-Ba>qi>, Muh}ammad Fua>d ‘Abd. Al-Mu‘jam al-Mufahras li Al-Fa>z} al-Qura>n. Madinah: Jari>dah al-Sya’b, tt. al-Barr, Ibnu ‘Abd, Yu>suf ibn ‘Abdilla>h ibn Muh}ammad, al-Istidzka>r, Beirut: Da>r alKutub al-Ilmiyah tt.. al-Barr, Ibnu ‘Abd<, Yu>suf ibn ‘Abdilla>h ibn Muh}ammad. Al-Tamhi>d. Maroko : Waza>rah Al-Awqa>f, tt. Barry, Brian. Political Argument. London: Routledge and Keagan Paul, 1965. 242
Barry, Brian. Theories of Justice. Vol. 1 Berkeley: University of California Press, 1989. Bastian, Indra. Privatisasi di Indonesia: Teori dan Implementasi. Jakarta: Salemba Empat, 2002. Bayu>mi, Zakariyya> M. Al-Ma>liyyah Al-‘A<mmah Al-Isla>miyyah. Beirut: Da>r alNahd}ah Al-‘Arabiyyah, 1979 M. Beitz, Charles R. "Economic Rights and Distributive Justice in Developing Societies." World Politics, 33:3, 1981. Bell, Daniel. The Cultural Contradictions of Capitalism. New York: Basic Books, 1976. Bogart, J. H. “Lockean Provisos and State of Nature Theories.” Ethics, 1985. Braudel, Fernand. Capitalism and Civilization. New York: Harper & Row, 1984 Brotodihardjo, R. Santoso. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung: PT. Refika Aditama, 2001 Bruce, Maurice. The Coming of the Welfare State. London: Batsford, 1968. al-Buhu>ti, Mans}u>r ibn Yu>nus. Kasya>f al-Qina>‘. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah tt. Al-Bukha>riy, Abu> Abdilla>h Muh}ammad ibn Isma>il. S}ah}ih} al-Bukha>riy. al-Riya>d,} KSA: Da>r ‘A>lam al-Kutub, 1996. Buttram, Robert T., Robert Folger and Blair H. Sheppard. "Equity, Equality, and Need: The Three Faces of Social Justice." In Conflict, Cooperation, and Justice: Essays Inspired by the Work of Morton Deutsch, eds. Deutsch, Morton, Jeffrey Z. Rubin and Barbara Benedict Bunker, San Francisco: Jossey-Bass Inc. Publishers, (May 1995). Callinicos, Alex. An Anti Capitalist Manifesto. Polity, 2003. Callinicos, Alex. Equality. Polity, 2000. Carens, Joseph. Equality, Moral Incentives and the Market. Chicago: Chicago University Press, 1981. Chapra, M. U. The Future of Economics: An Islamic Perspective. Leicester, UK: The Islamic Foundation, 2000. Chapra, M. Umer. Islam and Economic Challenge. Herndon, USA: The Islamic Foundation IIIT, 1992. Choudhury, Masudul Alam. Contributions to Islamic Economic Theory. New York: St. Martin’s Press, 1986. Christman, John. “Self-Ownership, Equality, and the Structure of Property Rights.” Political Theory, 1991. Clark, John B. Philosophy Of Wealth. Boston: Gixn & Company, 1887. Cohen, G. A. Self-Ownership, Freedom, and Equality. New York: Cambridge University Press, 1995. Cohen, G.A. “Where the Action Is: On the Site of Distributive Justice.” in Philosophy and Public Affairs, 26 (1997): 3-30 Cohen, G.A. If You're an Egalitarian, How Come You're so Rich? Cambridge, MA: Harvard University Press, 2000. 243
Cook, Karen S. and Karen A. Hegtvedt. "Distributive Justice, Equity, and Equality." Annual Review of Sociology 9, (1983). Cowan, M. A Dictionary of Modern Written Arabic. Beirut: Librairie du Liban, 1974. Crocker, Lawrence. “Equality, Solidarity, and Rawls' Maximin.” In Philosophy and Public Affairs (1977): 262-266. Cullis, J. and P. Jones. Public Finance and Public Choice Analitical Perspectives. London: Mc Graw-Hill Book Co. 1992. Daniel Bell and Irving Kristol, eds. The Crisis in Economic Theory. New York: Basic Books Inc. Publishers, 1981. Daniels, Norman. “Equality of What: Welfare, Resources, or Capabilities?” Philosophy and Phenomenological Research (1990). Deutsch, Morton. "Justice and Conflict." In The Handbook of Conflict Resolution: Theory and Practice, eds. Coleman, Peter T. and Morton Deutsch, San Francisco: Jossey-Bass, 2000. Deutsch, Morton. Distributive Justice: A Social-Psychological Perspective. New Haven, CT: Yale University Press, April 1985. Al-Dhahabiy, Shams al-Di>n, Muh}amad ibn Ah}mad ibn ‘Uthma>n. Siyar A‘la>m alNubala>’. Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1420 H. Hafidhuddin, Didin. Zakat dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani Press, 2002. Djojohadikusumo, Sumitro. Indonesia dalam Perkembangan Dunia: Kini dan Masa Datang. Jakarta: LP3ES, 1991. al-Dunya, Ibnu Abi>,> ‘Abdulla>h ibn Muh}amad ibn ‘Ubayd ibn Sufya>n ibn Qays alQurashiy. Al-Ishra>f fi> Mana>zil al-Ashra>f. Beirut : Da>r Ibn H}azm, tt. Dunya>, Shawqiy Ah}mad. Duru>s wa Buh}ut> h fi> al-Iqtis}ad> al-Isla>miy: al-Naz}ariyyah al-Iqtisha>diyyah min Manz}ur> Isla>miy. Riya>d,} KSA: Maktabat alKhirri>jiy, 1404/1984. Dworkin, Ronald. “What is Equality? Part 1: Equality of Resources.” And Part 2: Equality of Welfare.” Philosophy and Public Affairs, 10, (1981). Dworkin, Ronald. Sovereign Virtue. Cambridge, MA: Harvard University Press, 2000. Edwards, Bob. Beyond Tocqueville: Civil Society and Social Capital Debate in Comparative Perspective. Hanover: University Press of New England, 1998. Ekins, Paul. A New World Order, Grassroots Movements for Global Change. New York: Routledge, 1992. Elster, Jon and John E. Roemereds. Interpersonal Comparisons of Well-Being, Cambridge: Cambridge University Press, 1991. Etziomi, Amitai.The Moral Dimensions: Toward a New Economics .New York : Free Press, 1988. Fakih, Mansour. Bebas dari Neoliberalisme. Yogyakarta: Insist Press, 2003. 244
al-Fanjariy, Muh}ammad Shauqiy. Nahwa Iqtis}ad> iy Isla>miy. Jeddah: Sharikah Maktabah ‘Ukka>z,} 1401/1981. al-Farra>', Abu> Ya‘la. al-Ahka>m al-Sult}an> iyyah. Beirut: Da>r al-Fikr, tt. Faulkner, Harold. The Decline of Laissez Faire. New York: Holmes, 1978. Al-Fauza>n, S}alih ibn Fauza>n ibn Abdulla>h. Al-Tahqi>qa>t al-Mard}iyyah fi> al-Maba>hith al-Fardiyyah. Riya>d:} Ja>m’iah Ibnu Su’u>d al-Isla>miyah, 1408 H. Al-Fayyu>mi, Ah}mad ibn Muh}ammad ibn ‘Ali al-Muqriy. Al-Mishba>h al-Muni>r. Mesir : Al-‘A<miriyah. Feinberg, Joel. ‘Justice and Personal Desert’, Doing and Deserving. Princeton, NJ: Princeton University Press, 1970. Fletcher, Joseph. ed. Christianity and Property. Philadelphia: Westminster, tt. Food and Agricultural Organisation: www.fao.org Francis, L.P. and J. G. Francis. “Nozick's Theory of Rights: A Critical Assessment.” Western Political Quarterly, 39, (1975). Fried, Morton. The Evolution of Political Society. New York: Random House, 1970. Furniss, Norman dan Timothy Tilton. The Case of Welfare State: From Social Security to Social Equality. Bloomington, Indiana: International Union Press, 1977. Al-Futu>hi, Ah}mad ibn al-Najja>r. Kita>b Sharh al-Kaukab. Beirut, Libanon: Da>r alKutub al-‘Arabiyyah tt. Garis-Garis Besar Haluan Negara, Ketetapan MPR No.II/1993 Gatens, Moira. Feminism and Philosophy: Perspectives on Difference and Equality . Indianapolis: Indianan University Press, 1991. Gauthier, David. Morals by Agreement. Cambridge: Cambridge University Press, 1987. Al-Gha>midiy, Muh}ammad ‘Abd al-Mun‘im ‘Afar dan Muh}ammad ibn Sa‘i>d ibn Na>ji. Us}ul> Al-Iqtis}ad> Al-Isla>miy. Kairo: Da>r al-Fath al-I‘la>m al-‘Arab, 1417/1996. Al-Ghaza>liy, Abu> Ha>mid Muh}ammad ibn Muh}ammad Al-Tu>si Al-Sha>fi‘i. Ihya>' ‘Ulu>m al-Di>n . Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, tt. Al-Ghaza>liy, Muh}ammad. Al-Isla>m wa al-Awdha>‘ al-Iqtis}ad> iyyah. Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1420 H Glover, Jonathan. ed. Utilitarianism and Its Critics. New York: Macmillan Publishing Company, 1990. Goodin, Robert E. Utilitarianism as a Public Philosophy. New York: Cambridge University Press, 1995. Gwartney, James D. et al. Economics Private and Public Choice. USA: Dryden Press, 2000. Al-H}ak> im, Abu> Abdilla>h Muh}ammad ibn Abdilla>h al-Naisabu>riy. Al-Mustadrak ala> al-S}ah}ih> a} yn. India: Haidarabad, tt. Haykal, ‘Abd al-‘Azi>z Fahmi. Mausu>‘a>t al-Must}alah}at> al-Iqtis}ad> iyyat wa alIh}sa} ’> iyyat. Beirut: Da>r al-Nad}ah al-Arabiyyah, 1980. 245
al-H{ajj, Ibnu>. al-Madkhal. Beirut: Al-Maktabah al-Isla>miyyah, I423 H. Hampton, Jean. Political Philosophy. Boulder, Colorado: Westview Press, 1997. Al-H{anbaliy, al-Qa>di} > Abu> Ya‘la>. Al-Ah}ka>m al-Sult}an> iyyah. Kairo: Must}afa al-Ba>bi al-H{alabi, tt. Haq, Irfan Ul. Economic Doctrines of Islam: A Study in the Doctrines of Islam and Their Implications for Poverty, Employment and Economic Growth. Herndon, Virginia: The International Institute of Islamic Thought, 1416 H/1995. Haq, Mahbub Ul. The Poverty Curtain: Choices for the Third World. New York, USA: Columbia University Press, 1976. Haq, Mahbub Ul. “Employment and Income Distribution in the 1970’s: A New Perspective.” Development Digest, (October 1971). Hardin, Russell. Morality within the Limits of Reason. Chicago: University of Chicago, 1988. Harman, Chris. Economics of the Madhouse. Bookmarks, 1995. Hayek, Friedrich A. The Constitution of Liberty. London: Routledge and Kegan Paul, 1960. H}azm, Ibnu, Abu> Muh}ammad ‘Ali ibn Ah}mad ibn Sa‘i>d ibn H}azm al-Andalu>siy. AlMuh}alla> bi al-A>tha>r. Beirut: Da>r al-Fikr, 2001. H}azm, Ibnu, Abu> Muh}ammad ‘Ali ibn Ah}mad ibn Sa‘i>d ibn H}azm al-Andalu>siy. Mara>tib al-Ijma>‘ . Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabiy, tt. Heilbroner, Robert. Marxism: For and Against. New York: WW. Norton 1980. Held, Virginia. Rights and Goods: Justifying Social Action. New York: Free Press, 1994. Al-Hindiy, ‘Ali al-Muttaqiy ‘Ala>u al-Di>n, Kanz al-‘Umma>l fi> Sunan al-Aqwa>l wa alAf‘a>l. India: Haidarabad, tt. Hollander, Heinz. “Class Antagonism, Exploitation and the Labour Theory of Value.” The Economic Journal (Desember 1992). Howell, Jude dan Jenny Pearce. Civil Society and Development: A Critical Exploration. London: Lynne Rienner Publishers, 2001. al-Hus}ni. Kifa>yat al-Akhya>r. Kairo: Da>r al-Ma‘rifah, tt. Al-Iba>di, ‘Abd al-Sala>m. Al-Milkiyyah Fi> Al-Shari>‘ah al-Isla>miyyah. Amman, Yordania: Maktabat al-Aqs}a,> tt. Ibrahim, Anwar. The Asia Renaisance. terj. Ihsan Ali Fauzi. Bandung: Mizan, 1998. al-I@d, Ibnu Daqi>q. Ih}ka>m al-Ah}ka>m. Kairo: Maktabat Al-Sunnah, 1418/1998. Iqbal, M. ed. Distributive Justice and Need Fulfilment in an Islamic Economy. Leicester, U.K.: The Islamic Foundation, 1988/1408 H. al- ‘Iwa>di} y, Rif‘ah. Naz}ariyyat al-Tawzi>'‘ al-Iqtis}ad> al-Isla>miy wa al-Fikr alMu‘a>si} r, Kairo, Mesir: al-Azhar, Majma‘ al-Buhu>th al-‘Ilmiyyah, 1977. Ja>mi‘, Ah}mad. al-Naz}ariyyah al-Iqtis}ad> iyyah. Kairo: Da>r al-Nahd}ah al-‘Arabiyyah, 1977.
246
Jey, Muh}ammad Qal‘ah. Maba>hith fi Al-Iqtis}ad> al-Isla>my. Kuwait: Da>r An-Nafa>is, tt. al-Jass}as> s}, Ah}mad ibn ‘Ali. Ah}ka>m al-Qur'a>n. Beirut: Da>r Ihya>’ Al-Tura>th Al‘Arabi, tt.. Al-Jaza>’iriy, Abu> Bakr, Aysar Al-Tafa>sir Li Kala>m Al-‘Aliy Al-Kabi>r, Madinah AlMunawwarah: Maktabat Al-Ulu>m Wa Al-Hikam, 1419 H. John XXIII's encyclical letter. Pacem in Terris. 11 April 1963, A.A.S. 55 (1963). Jum‘ah, Ah}mad Khali>l. Nisa>' Ahl Al-Bayt Fi> Dhaw’ Al-Kita>b Wa Al-Sunnah. Beirut: Al-Yamamah, 1417 H. al-Junaidil, H{amad. Naz}ariyyat al-Tamalluk fi> al-Isla>m. Beirut: Muassasat alRisa>lat, 1403 H. al-Jurja>ni, ‘Ali ibn Muh}ammad. Al-Ta'ri>fa>t. Beirut: Da>r Ihya>’ At-Tura>th Al-‘Arabi, tt. Kahf, M. [ed.] Lessons in Islamic Economics. Jeddah, Saudi Arabia: IRTI, Islamic Development Bank, 2002 Kahf, Monzer. “The Principle of Socioeconomics Justice in The Comtemporarry Fiqh of Zakah.” Iqtis}a>d, Journal of Islamic Economics, Vo. 1. (Muharram 1420 H / April 1999). Kahf, Monzer. “The Theory of Consumption.” In Readings in Microeconomics: An Islamic Perspective, Sayyed Tahir et all. eds. Petaling Jaya: Longman Malaysia Sdn. Bhd, 1992. Al-Ka>sa>ni, Abu> Bakr ibn Mas‘u>d. Bada>’i‘ Al-S}ana>’i‘ fi> Tarti>b al-Shara>’i‘. Berut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1406 H. Kathi>r, Ibnu, Abu> al-Fida> Isma>‘i>l ibn Kathi>r. Tafsi>r al-Qura>n Al-‘Az}i>m. Kairo, Mesir: Isa Al-Halabi, tt. Al-Katta>ni, ‘Abd al-H{ay ibn ‘Abd al-Kabi>r. Al-Tara>tib al-Ida>riyyah. Beirut, Libanon: Da>r al-Kutub al-‘Arabiyyah, tt. Khalaf, ‘Abd al-Wahha>b. Al-Siya>sah Al-Shar’iyyah. Beirut: Muassasah al-Risalah, 1993. Khan, M. Fahim. “Theory of Consumer Behaviour in An Islamic perspective,” in Readings in Microeconomics: An Islamic Perspective , Sayyed Tahir et all. eds. Petaling Jaya: Longman Malaysia Sdn.Bhd, 1992. Khan, M. Fahim. “Macro Consumption Function in Islamic Framework.” Journal of Research in Islamic Economics, vol. 1, No. 2, 1404/1984. Khan, M. Fahim and Noor Muh}ammad Ghifari. “Shatibi’s Objectives of Shari’ah and Some Implications for Consumer Theory.” in Readings in Islamic Economic Thought, Abu>l Hasan M. Sadeq and Aidit Ghazali, Petaling Jaya: Longman Malaysia Sdn. Bhd., 1992. Khan, Muhammad Akram. Economic Message of Quran. Kuwait: Islamic Book Published, 1996.
247
Khan, Muh}ammad Akram. Al-Hisbah and the Islamic Economy. dicetak bersama dengan buku Ibnu Taimiyah. Publik duties in Islam, the intitution of the Hisba. Leicester, UK: the Islamic Foundation, 1983. Kim, Yersu. “World Change and the Cultural Synthesis of the West,” in Justice and Democracy Cross-Cultural Perspectives, Ron Bontekoe et. al. eds. Honolulu: University of Hamai’i Press: 431-441. Al-Khu>liy, al-Ba>hiy. Al-Ishtira>kiyyah fi> al-Mujtama‘ al-Isla>miy. Kairo: Mat}ba‘at alIstiqla>l al-Kubra, 1998. Kronman, Anthony T. “Talent Pooling.” in Human Rights: Nomos 23, J. Roland Pennock and John W. Chapman, eds. New York: New York University Press, 1981. Kymlicka, Will. Contemporary Political Philosophy. Oxford: Clarendon Press, 1990. Lamont, Julian. “Incentive Income, Deserved Income, and Economic Rents.” Journal of Political Philosophy, 5, (1997). Lamont, Julian. “Problems For Effort-Based Distribution Principles.” Journal of Applied Philosophy, 12, (1995). Lamont, Julian. “The Concept of Desert in Distributive Justice.” The Philosophical, Quarterly, 44, (1994). Leontief, Wassily W. The Structure of American Economy 1919-1929. Cambridge: Harvard University Press, 1941. Locke, John. Treatise of Civil Government 1690. ed. Charles Sherman, New York: Appleton-Century-Crofts, 1937. Lomasky, Loren E. Persons, Rights, and the Moral Community. New York: Oxford University Press, 1987. MacKinnon, Catherine A. Feminism Unmodified: Discourses of Life and Law. Cambridge, MA: Harvard Univ Press, 1987. MacKinnon, Catherine A. Sex Equality . Foundation Press, 2001. Madeley, John. Hungry for Trade. London: Zed Books, 2000. Mahmud, Sh. Social Justice in Islam. Lahore : Institute of Islamic Culture, 1975. al-Ma>liki, Abd al-Rahma>n. Politik Ekonomi Islam. terj. Ibn Sholah, Bangil: al-Izzah, 2001. Malinvauld, E. Lectures on Micro Economic Theory. London: North Holland, 1974. Mannan, M.A. Islamic Economics: Theory and Practice. Cambridge: Holder and Stoughton, 1986.. Manz}ur> , Ibnu, Jama>l al-D}in> Abu> al-Fad}l Muh}ammad ibn Makram ibn Manz}ur> alAns}ar> iy al-Ifri>qiy al-Mis}riy. Lisa>n al-‘Arab. Beirut, Libanon: Da>r Ih}ya>’ Al-Tura>th Al-‘Arabiy, 1408/1988. al-Mara>ghi, Ahmad Musthafa>.Tafsi>r al-Mara>ghi. Beirut: Da>r al-Fikr. 1974. al-Marghayni, Muh}ammad ‘Uthma>n ‘Abdulla>h. Ta>ju al-Tafa>si>r. Beirut: Da>r al-Fikr, tt.
248
al-Marghina>ni, ‘Ali ibn ‘Abd al-Jali>l. al-Hida>yah. Beirut: Da>r Ihya>’ Al-Tura>th Al‘Arabiy, tt. Marx, Karl dan Friedrich Engels. Capital: Manifesto of the Communist Party. Chicago: Encyclopaedia of Britannica Inc, 1952. Marx, Karl dan Friedrich Engels. The Communist Manifesto. Progress, 1972. al-Maududi, Abul A’la. Capitalism, Socialism and Islam. Kuwait: Islamic Book Publisher, 1977. al-Ma>wardiy, ‘Ali ibn Habi>b al-Qa>di} Abu> al-Hasan. Al-Ah}ka>m al-Sult}an> iyyah wa alWila>ya>t al-Di>niyyah. Kairo: Da>r al-I@ma>n, 1969. al-Ma>wardiy, ‘Ali ibn Habi>b. Al-Ins}af> . Beirut: Da>r Ihya>’ Al-Tura>th Al-‘Arabiy, tt. Al-Mawdu>diy, Abu> al-A‘la>. al-Usus al-Iqtis}ad> iyyah fi> al-Isla>m. Damaskus: AlMat}ba‘ah al-Ha>shimiyyah, tt. Michael, Walzer. Spheres of Justice. New York: Basic Books, 1984. Miller, David. Market, State, and Community. Oxford: Clarendon Press, 1989. Miller, David. Social Justice . Oxford: Clarendon Press, 1976. Miller, David. "Distributive Justice: What the People Think." Ethics, 102:3, (1995). al-Mis}riy, Rafi>q Yu>nus. Us}ul> Al-Iqtis}ad> Al-Isla>miy. Beirut: Al-Da>r Al-Sha>miyyah, 1999. Mursyad, ‘Abd al-‘Azi>z Muh}ammad ibn. Niz}am > al-Hisbah fi> al-Isla>m. Riya>d;} University of Imam Muh}ammad ibn Sa’ud, 1395 H. Muslehuddin, M. Economics and Islam. Lahore: Islamic Publications Ltd, 1980. Muslim, Abu> al-H}usayn Muslim ibn al-H}ajja>j Al-Qushayriy. S}ah}ih> } Muslim. Tah}qi>q Muh}ammad Fua>d ‘Abd al-Ba>qi. Riya>d,} Saudi Arabia: Da>r ‘A>lam alKutub, 1996. Al-Muba>rak, Muhammad. Niz}am > Al-Isla>m Al-Iqtis}ad> i, Maba>di’ wa Qawa>‘id ‘A<mmah. Beirut: Da>r Al-Fikr, 1972. Al-Muba>rakfu>ri, Muh}ammad ibn ‘Abd al-Rahma>n ibn ‘Abd Al-Rahi>m. Tuh}fah alAhwadhiy bi Sharh} Ja>mi‘ al-Tirmidhiy. Kairo: Da>r al-Ittiha>d al-‘Arabiy, tt. Al-Muba>rakfu>ri, Muh}ammad ibn ‘Abd al-Rahma>n ibn ‘Abd Al-Rahi>m. al-Rahi>q alMakhtu>m. Kairo: Da>r al-H{adi>th, tt. Muhajir, Ali Musa Razi. Islam in Practical Life .Sh. Muhammad Ashraf, Lahore, 1974. al-Muh}as> ibiy, al-H}arith ibn Asad. al-Maka>sib wa al-Rizq al-Hala>l wa Haqi>qah alTawakkul ‘ala> Alla>h. Kairo: Maktabah al-Qura>n, tt. Al-Muna>wi, Muh}ammad ‘Abd al-Ra’u>f. Fayd} al-Qadi>r. Beirut: Da>r al-Kutub al‘Ilmiyyah, 1415-1994. Al-Murtashiy, Muh}ammad Abdulla>h. Al-Wus}ul> ila> Qawa>‘id al-Us}ul> . Beirut: Da>r alFikr, 1423 H. Al-Muzani, Ismail ibn Yahya. Mukhtas}ar Al-Muzaniy. Beirut, Libanon: Da>r alMa‘rifah, tt.
249
Mynt, Hla. “Economic Theory and the Underdeveloped Countries.” Jurnal of Political Economic, LXXXIII, 5, (Oktober 1965). Myrdal, Gunnar. “Institutional Economics.” Journal of Economic Issues, XIII, 4, (Desember 1978). > al-Iqtis}ad> iy fi> al-Isla>m. Beirut: Da>r al-Ummah, al-Nabha>ni, Taqiy al-Di>n. al-Niz}am 1990. Al-Nadwi, ‘Ali Ah}mad. Al-Qawa>‘id al-Fiqhiyyah. Damaskus, Suriah: Da>r alQalam, 1406/1986. Nafzinger, E. Wyne. The Economics of Developing Countries. Upper Saddle River NJ: Pretice Hall International, 1997. Naisbitt, John. Global Paradox. London: William Morrow & Co., 1994. Naqliy, ‘Is}am > Abba>s Muh}ammad ‘Aliy. Tahli>l Al-Fikr al-Iqtis}ad> iy fi> al-‘As}r al‘Abba>siy al-Awwal. Mekkah: Ja>mi‘ah Umm al-Qura>, 1416 H. Naqvi, Syed Nawab Haider. Islam, Economics, and Society. London: Kegan Paul International Ltd., 1994. Al-Nasa>i, Abu> ‘Abd al-Rahma>n Ah}mad ibn Shu‘ayb. Sunan al-Nasa>’i. Beirut: Da>r al-Fikr, tt. Al-Nawa>wi, Yah}ya> ibn Zakariyya> ibn Sharaf. Al-Majmu>‘ Sharh} al-Muhadhdhab. Beirut, Da>r al-Fikr, tt.. Al-Nawa>wi, Yah}ya> ibn Zakariyya> ibn Sharaf. Al-Minha>j Sharh} S}ah}ih> } Muslim ibn alH}ajja>j. Kairo: Da>r al- Ma‘rifah, tt. Al-Nawa>wi, Yah}ya> ibn Zakariyya> ibn Sharaf. Rawd}at al-T}alibi>n. Beirut: Da>r al-Fikr, tt. Nielsen, Kai. “Radical Egalitarian Justice: Justice as Equality.” Social Theory and Practice, 1979. Nozick, Robert. Anarchy, State and Utopia. New York: Basic Books, 1974. Okin, Susan Moller. Justice, Gender and the Family. New York: Basic Books, 1991. Parfit, Derek. Reasons and Persons. Oxford: Oxford University Press, 1986. Participative economics: www.parecon.org and www.znet.org (accessed March 3, 2009) Paul J. Strayer. “The Individual Income Tax and Income Distribution.” American Economic Review, vol. 45 No. 2. Pertadireja, Ace Pce. Pengantar Ekonomika. Yogyakarta: BPFE, 1984. Posner, Richard. The Essential Holmes. Chicago: Chicago University Press, 1992. Priyono, B. Herry.”Dalam Pusaran Neoliberalisme.” Dalam Neoliberalisme, I. Wibowo dan Francis Wahono, eds. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003. Al-Qa>di} ,> Mukhta>r. Ta>ri>kh al-Shara>’i‘. Kairo: Da>r al-Nahd}ah Al-‘Arabiyyah, 1997. Al-Qarad}a>wi, Yu>suf. al-Hala>l wa al-Hara>m. Beirut: al-Maktab al-Isla>mi, I423 H. Al-Qarad}a>wi, Yu>suf. Dawr Al-Qiyam Wa Al-Akhla>q fi> al-Iqtis}ad> al-Isla>miy. Kairo: Da>r Wahbah, 1415/1995. Al-Qarad}a>wi, Yu>suf. Fiqh Al-Zaka>h. Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1993. 250
Al-Qarad}a>wi, Yu>suf. Mushkilat al-Faqr wa Kaifa ‘Alajaha> al-Isla>m. Kairo, Mesir: Maktabah Wahbah, 1995. Al-Qarad}a>wi, Yu>suf. Al-Fata>wa> al-Mu‘a>si} rah. Beirut: al-Maktab al-Isla>mi, 1421/2000. Al-Qarad}a>wi, Yu>suf. Liqa>at> Wa Muha>wara>t Haula Qad}ay> a> Al-Isla>m Wa Al-As}r. Beirut: Muassasah al-Risa>lah,1420 H Al-Qara>fi, Al-Dhakhi>rah. Beirut: Da>r al-Garb al-Isla>miy, tt. al-Qayyim, Ibnu, al-Jauziy. I’la>m al-Muwa>qqi‘i>n ‘an Rabb al-‘Alami>n. Ta’li>q alSyaikh Muh}ammad Muh}yi al-D}in> Abd al-H}ami>d, Madinah, KSA: Mat}ba‘ah al-Sa‘a>dah, tt. Al-Qazwayni, Ibnu Ma>jah. Sunan Ibnu Majah. Kairo: ‘I<sa> al-H{alabiy, tt. Quda>mah, Ibnu, Muwaffiq al-D}in> al-Maqdi>si. Al-Mughni>. Riya>d:} Al-Manar, 1424 H. al-Qurt}u>biy, Shams al-Di>n Abu> Abdillah Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Abi> Bakr, ibn Farah} al-Ans}ar> iy al-Khazrajiy. Al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m al-Qur’a>n. Beirut: Da>r al-Fikr, tt. Qut}ub, Sayyid, Muh}ammad. Fi> Zhila>l al-Qura>n. Beirut: Da>r al-Shuru>q, 1414 H. Qut}b, Sayyid, Muh}ammad. Al-Isla>m wa Mushkilat al-Had}ar> ah. Kairo: Da>r alShuru>q, 1993. Ra’ana, Irfan Mahmud. Economic System under Umar the Great. Lahore: Sh.M.Ashraf, 1991. Rahman, Abdur. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : Penerbit Akademika Pressindo, 1992. Rahman, Afzalur. Economic Doctrins of Islam. Lahore: Islamic Publications Ltd, 1980. Rahman, Fazlur. Major Themes of the Qur’an .Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980. Rawls, John. A Theory of Justice. Harvard, MA: Harvard University Press, 1971. Rawls, John. Political Liberalism. New York: Columbia University Press, 1993. Rescher, Nicholas. Distributive Justice: A Constructive Critique of the Utilitarian Theory of Distribution. Washington, D.C.: University Press of America, October 1982. Richard B. McKenzi. The Limits of Economic Science. Kluwer: Nijhoft Publishing, 1983. Al-Ra>fi‘iy, ‘Abd al-Kari>m ibn Muh}ammad ibn ‘Abd al-Kari>m. al-‘Azi>z Sharh} alWaji>z. Beirut, Libanon: Dar> al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1417 H. Riley, Jonathan. ‘Justice Under Capitalism’, Markets and Justice. ed. John W. Chapman, New York: New York University Press, 1989. Roemer, John E. Theories of Distributive Justice. Harvard: Harvard University Press, 1996. Rosly, Saiful Azhar. Ke Arah Penyusunan Ekonomi Negara Mengikut Lunas Islam. in Ekonomi Islam dan Pelaksanaannya di Malaysia. Nik Mustapha Nik Hassan, ed. Kuala Lumpur: IKIM, 2002.
251
Rubenstein, Richard E. "Conflict Resolution and Distributive Justice: Reflections on the Burton-Laue Debate." November 1999 Available at: http://www.gmu.edu/academic/pcs/Rubenstein61PCS.html. Al-Ru>bi, Rabi>‘. Al-Ab‘a>d Al-Iqtis}a>diyah li al-Mafhu>m al-Isla>miy li al-Ih}tika>r. Mekkah, Saudi Arabia: Ja>mi‘ah Umm al-Qura>, 1423 H. al-S}a>bu>ni, Muh{ammad ‘Ali. S}afwat al-Tafa>si>r. Beirut: Da>r al-Qura>n al-Kari>m, tt. Sadurski, Wojciech. Giving Desert Its Due. Dordrecht, Holland: D. Reidel, 1985. Sahatah, Husayn. al-Khas}khas}ah fi> Mi>zan al-Isla>m. Tunis: Maktabat al-Taqwa, 2001. Sa‘i>d, Must}afa>. Nuzhah al-Muttaqi>n Sharh} Riya>d} al-S}al> ihi>n. Beirut: Muassasah alRisa>lah, 1408 H. Al-Sa‘i>d, S}adiq Mahdi. Al-Dhama>n al-Ijtima>‘i. Beirut, Libanon: Dar> al-Kutub al‘Ilmiyyah, 1417 H. Al-Sajista>ni, Abu> Daud Sulayma>n ibn Ash‘ath. Sunan Abi Daud. Beirut: al-Sa‘a>dah, 1324 H. Samuelson, Paul A. dan William D. Nordhaus. Microeconomics. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. 1992. al-S}an‘a>ni, Muh}ammad ibn Isma>‘i>l. Subul al-Sala>m. Beirut: Da>r al-Fikr, 1421 H. Sa>nu>, Mu‘jam Must}alaha>t Us}ul> al-Fiqh. Beirut: Da>r al-Fikr, tt. Al-Sarakhsiy, Abu> Bakr Muh}ammad ibn Abi> Sahl. Al-Mabsu>t.} Beirut: al-Sa‘a>dah, 1324 H. Sarkaniputra,, Murasa. “Adil dan Ihsan dalam Perspektif Ekonomi Islam.” AlIqtisha>diyyah, Vol. I, No.1, (Januari 2004). Sarkaniputra, Murasa. “Produksi dan Distribusi Pendapatan Fungsional dalam Perspektif Ekonomi Islam.” Fakultas Syari’ah IAIN Syarif Hidayatullah. Bahan diskusi untuk dosen Jurusan Muamalah (4 November 2000). Savas, E.S. Privatization: The Key For Better Government. Chatham, New Jersey: Chatham House Publishers,1987. Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur'an. Bandung: Mizan, 2003. Siddiqi, M. N. The Economics of Enterprise in Islam. Lahore: Islamic Publications Ltd, 1972. Solmon, Lewis C. Economics. Massachusetts, USA: Addison Wesley Publishing Company Inc, 1980. Soule, George. Ideas of the Great Economist. New York, USA: New American Library, 1952. Stiglitz, Joseph E. Globalization and Its Discontent. New York: W.W. Norton & Company, 2003. al-S{aw > i, Ah}mad ibn Muh}ammad. Ha>shiyah Al-S{aw > i. Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1420 H. Scheffler, Samuel. Boundaries and Allegiances. Oxford: Oxford University Press, 2001.
252
Scholte, Jan Aart. Globalization : A New Imperialism. the Hague, The Netherlands: Institute of Social Studies, 1998. Sembel, Roy H. M. “Privatisasi BUMN di Indonesia.” dalam Mengembangkan Strategi Ekonomi, ed. Sularso Sopatar et. al., Jakarta: Pustaka Sinar Harapan dan Yayasan Wahana Dharma Nusa, 1998. Sen, Amartya. “Equality of What?” in Choice, Welfare and Measurement, Cambridge: Cambridge University Press, 1982. Sen, Amartya. On Ethics and Economics .Oxford : Basel Blakwell, 1987. Sen, Amartya and Bernard Williams, eds. Utilitarianism and Beyond. Cambridge: Cambridge University Press, 1982. Al-Sha>fi‘i, Imam Muh}ammad ibn Idris. Al-Umm. Beirut, Libanon: Da>r al-Ma‘rifah, tt. Al-Shaiba>ni, Ahmad ibn Hanbal. Al-Musnad. Bayt al-Afa>k, 1419 H. Al-Shaiba>ni, Muh}ammad ibn H}asan. Al-Iktisa>b fi> al-Rizq al-Mustat}ab> . Kairo Mesir: Mat}a>bi‘ Al-‘Ufth, tt. Shakespeare, Rodney and Peter Callen. “Seven Steps to Justice.” dalam Stable and Just Global Monetary System, Ed. Ahmed Kameel Mydin Meera, Kuala Lumpur: Research Centre IIU, 2002. Al-Sharbi>niy, Muh}ammad ibn Ah}mad. Mughni> al-Muh}ta>j. Beirut: Da>r al-Fikr, tt. Al-Sharqa>wiy, Abdulla>h ibn H{ija>ziy ibn Ibra>hi>m. H}as> hiyah Al-Sharqa>wi. Beirut: Da>r Ihya>’ Al-Tura>th Al-‘Arabiy. tt. al-Sha>ti} bi, Abu> Ish}aq> . al-Muwa>faqa>t fi> Us}ul> al-Shari>‘ah. Riyadh: Maktabat al-Riya>d} al-H}adi>thah, tt. al-Shawka>ni, Muh}ammad. Nayl al-Awt}ar> Sharh} Muntaqa> al-Akhba>r min Ahadi>th Sayyid al-Akhya>r. Beirut: Dar al-Fikr, 1994. Al-Shayra>zi, Abu> Ish}aq> Ibra>hi>m ibn ‘Aliy ibn Yu>suf. Al-Minha>j al-Maslu>k fi> Siya>sat al-Mulu>k. Beirut: Da>r Ihya>’ Al-Tura>th Al-‘Arabi. tt. Sher, George. Desert. Princeton, NJ: Princeton University Press, 1987. Al-Siba>‘iy, Must}afa>. Ishtira>kiyyat al-Isla>m. Kairo, Mesir: Al-Da>r al-Qawmiyyah, tt. Siddiqi, M.N. “Islamic Consumer Behavior,” in Readings in Microeconomics: An Islamic Perspective, Sayyed Tahir et all, .eds. Petaling Jaya: Longman Malaysia Sdn. Bhd, 1992. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1984, Soemitro, Rochmat. Pajak dan Pembangunan. Bandung: PT. Eresco, 1988. Soule, George. Idea of the Great Economist. Terj. Pemikiran Para Pakar Ekonomi Terkemuka. Jakarta: Kanisius, 1994. Sraffa, Piero. Production of Commodities by Means of Commodities : Prelude to a Critique of Economic Theory. Cambridge: Cambridge University Press, 1960 Stacy, F. Ombudsman Compared. Oxford: Clarendon Press, 1978 Steiner, H. “Liberty and Equality.” Political Studies, 1981. Sukirno, Sadono. Pengantar Teori Mikro Ekonomi. Jakarta: Rajawali Press, 1995. 253
Sumardjono, Maria SW. “Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian.” Tidak Dipublikasikan, Yogyakarta: 1989. Al-Suyu>ti} y, Jaluluddin Abd al-Rah}ma>n ibn Abi> Bakr. Al-Durr Al-Manthu>r fi> alTafsi>r bi al-Ma’thu>r. Beirut: al-Maymanah, tt. Swasono, Sri-Edi. Dari Daulat Tuanku ke Daulat Rakyat. Jakarta: UI-Press, 1992. Sweden’ Economic. Jurnal The Economist. (March 7, 1987). Syafi’, Mufti Muhammad. Islam ka Nizhami Taqsimi Dawlat. Karachi: Maktabah Daar al-‘Ulum, 1968. Al-T}abariy, al-H{usayn ibn al-Qa>sim. Ja>mi‘ al-Baya>n ‘an Ta’wil al-Qur’a>n. Beirut: Da>r Ih}ya>’ Al-Tura>th Al-‘Arabiy, tt. Al-T{aha>wi, Abu> Ja‘far. Mushkil al-Ar. India: Haidarabad, tt. Al-T}aha>wi, Ibrahim. Al-Iqtis}ad> Al-Isla>mi\. Kairo : Majma‘ al-Buhu>th al-Isla>miyyah, 1974. Al-Tanu>khi, Zain al-Di>n al-Munji. Al-Mumti‘ Beirut: Da>r Ih}ya> Al-Tura>th Al‘Arabiy, tt. Al-Ta>riqiy, ‘Abdulla>h ‘Abd al-H}usayn. Al-Iqtis}ad> Al-Isla>miy. Kuwait: Da>r AlNafa>’is, 1999. Taymiyah, Ibnu, Taqiy al-Di>n. Majmu>‘ Al-Fata>wa>. disusun oleh Abd al-Rah}ma>n ibn Muh}ammad ibn Qa>sim al-‘A>shimiy al-Najdiy, Riyad}, Saudi Arabia: Mat}a>bi‘ al-Riyad}, 1425 H. Todaro, Michael P. Economic Development in The Third World. New York: Longman, 1989. Tong, Rosemary. Feminine and Feminist Ethics. Belmont, California: Wadsworth Publishing Company, 1993. Tyler, Tom R. and Maura A Belliveau. "Tradeoffs in Justice Principles: Definitions of Fairness." In Conflict, Cooperation and Justice: Essays Inspired by the Work of Morton Deutsch, (May 1995). Tyler, Tom R. and R. J. Boeckmann. Social Justice in a Diverse Society. Boulder, CO: Westview Press, May 1998. ‘Ubaid, Abu> al-Qa>sim ibn Sala>m al-Baghda>di. Kita>b Al-Amwa>l. Riya>d:} Markaz AlFays}al, 1406/1986. Ukhuwwah, Ibnu. Ma‘a>lim al-Qurbah Fi> Ah}ka>m al-H{isbah, trans. and edit. Levi Reuben London: Lucaz and Co, 1938. Umar, Husayn. Muqaddimat ‘Ilm al-Iqtisha>d; Naz}ariyyat al-Qi>mah. Jeddah, KSA: Da>r al-Shuru>q, 1402. Umar, Yah}ya> ibn. Ah}ka>m Al-Su>q. Tu>nis: Al-Sharikah al-Tu>nisiyyah li al-Tawzi>‘, 1975. Vadillo, Umar. The Ends of Economics: An Islamic Critique of Economics. San Gregorio Alto, 30, 18010 Granada: Madinah Press, 1991. Vatican Council II, Declaration on Christian Education. Gravissimum Educationis. § 1.. Cfr. Pius XII's radio message of Dec. 24, (1942).
254
Al-Wa>hidiy, Abu> al-H{asan ‘Ali ibn Ah}mad al-Naisabu>ri. Asba>b Al-Nuzu>l. Beirut: Da>r Ih}ya>’ Al-Tura>th Al-‘Arabiy, tt. Wallerstein, Emanuell. Historical Capitalism. London: Verso, 1983. Weber, Max. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. New York: Charles Scribner’s Sons, 1958. Weisskoff, Richard and Edward N. Wolff. “The Structure of Income Inequality.” Journal of Development Economics 9, North Holland Publishing Company, (1981): 205-228. Wellbank, J. H. John Rawls and His Critics: an Annotated Bibliography. New York: Garland Pub, 1982. Wibisono, Yusuf. Strategi Mengefektifkan Dampak Zakat dalam Pemberdayaan Masyarakat Miskin ... Makalah disampaikan pada Focus Group Discussion BAZNAS–Dompet Dhuafa “Tolok Ukur dan Strategi Mengefektifkan Impact Pemberdayaan Zakat Menuju Sistem Ekonomi Berkeadilan.” Jakarta (14 Maret 2007). Winardi, Kamus Ekonomi. Bandung: CV. Mandar Maju, 1989 Yeo R. and K. Moore. “Including Disabled People in Poverty Reduction Work; ‘Nothing About Us, Without Us.’” World Development, Vol. 31, No.3. (2003) : 571-590. Yusra>, ‘Abd al-Rah}ma>n. Dira>sa>t fi> ‘Ilm al-Iqtis}ad> al-Isla>miy. Iskandariyah: Da>r alJam‘iyya>t al-Mis}riyyah, 1988. Yu>suf, Abu, Ya‘qu>b ibn Ibra>hi>m ibn H{ubayb al-Ans}ar> iy. Kita>b al-Khara>j. Kairo, Mesir: Da>r al-Isla>h, tt. Yusuf, S. M. Economic Justice in Islam. Lahore: Sh. Muhammad Asyraf tt.. Zahrah, Abu>, Muh}ammad. Al-Milkiyyah Wa Naz}ariyyah al-Aqd fi Al-shari>’ah alIsla>miyyah. Kairo: Da>r al-Fikr al-‘Arabiy, tt. Zaitchik, Alan. “On Deserving to Deserve.” Philosophy and Public Affairs 6 (1977). Zallu>m, ‘Abd al-Qadi>m. al-Amwa>l fi> Dawlat al-Khila>fah. Beirut: Da>r al-‘Ilm li alMala>yi>n, 1983. Al-Zamakhshariy, Abu> al-Qa>sim Mah}mu>d ibn ‘Umar ibn Muh}ammad ibn ‘Umar. AlKashsha>f. Beirut: Da>r al-Fikr, tt. Al-Zuhayliy, Muh}ammad. Ih}ya>’ Ard} al-Mawa>t. Jeddah, Saudi Arabia: Ja>mi‘ah AlMalik, 1440/1990.
255
LAMPIRAN-LAMPIRAN ALAT UKUR DISTRIBUSI PENDAPATAN Distribusi pendapatan mencerminkan merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu negara di kalangan penduduknya. Ada beberapa cara yang dijadikan sebagai indikator untuk mengukur kemerataan distribusi pendapatan, diantaranya yaitu : 1.Distribusi Ukuran Distribusi ukuran adalah besar atau kecilnya pendapatan yang diterima masing-masing orang. Distribusi pendapatan perseorangan (personal distribution of income) atau distribusi ukuran pendapatan (size distribution of income) merupakan indikator yang paling sering digunakan oleh para ekonom. Ukuran ini secara langsung menghitung jumlah penghasilan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga. Yang diperhatikan di sini adalah seberapa banyak pendapatan yang diterima seseorang, tidak peduli dari mana sumbernya, entah itu bunga simpanan atau tabungan, laba usaha, utang, hadiah ataupun warisan. Lokasi sumber penghasilan (desa atau kota) maupun sektor atau bidang kegiatan yang menjadi sumber penghasilan (pertanian, industri, perdagangan, dan jasa) juga diabaikan. Bila si X dan si Y masing-masing menerima pendapatan yang sama per tahunnya, maka kedua orang tersebut langsung dimasukkan ke dalam satu kelompok atau satu kategori penghasilan yang sama, tanpa mempersoalkan bahwa si X memperoleh uangnya dari membanting tulang selama 15 jam sehari, sedangkan si Y hanya ongkang-ongkang kaki.
256
Berdasarkan pendapatan tersebut, lalu dikelompokkan menjadi lima kelompok, biasa disebut kuintil (quintiles) atau sepuluh kelompok yang disebut desil (decile) sesuai dengan tingkat pendapatan mereka, kemudian menetapkan proporsi yang diterima oleh masing-masing kelompok. Selanjutnya dihitung berapa % dari pendapatan nasional yang diterima oleh masing-masing kelompok, dan bertolak dari perhitungan ini mereka langsung.
2.Kurva Kurva Lorenz Kurva Lorenz menggambarkan distribusi kumulatif pendapatan nasional di kalangan lapisan-lapisan penduduk. Kurva ini terletak di dalam sebuah bujur sangkar yang sisi 257
tegaknya melambangkan persentase kumulatif pendapatan nasional, sedangkan sisi datarnya mewakili persentase kumulatif penduduk. Kurvanya sendiri ditempatkan pada diagonal utama bujur sangkar tersebut. Kurva Lorenz yang semakin dekat ke diagonal (semakin lurus) menyiratkan distribusi pendapatan nasional yang semakin merata. Sebaliknya, jika kurva Lorenz semakin jauh dari diagonal (semakin lengkung), maka ia mencerminkan keadaan yang semakin buruk, distribusi pendapatan nasional semakin timpang dan tidak merata.
3.Indeks Indeks atau Rasio Gini Gini ratio merupakan alat ukur yang umum dipergunakan dalam studi empiris, yaitu dengan formula:
258
1
n n
Gini = ---------- ∑ ∑ yi - yj 2n2 – y
I=1 j= j =1
Sumber: Tulus Tambunan (2003) Nilai Gini antara 0 dan 1, dimana nilai 0 menunjukkan tingkat pemerataan yang sempurna, dan semakin besar nilai Gini maka semakin tidak sempurna tingkat pemerataan pendapatan. Namun dalam studi studi empiris terutama dalam single country, ternyata kemiskinan tidak identik dengan kesejahteraan. Artinya ukuran ukuran diatas belum mencerminkan tingkat kesejahteraan. Studi yang dilakukan oleh Ranis (1977) dalam Tulus Tambunan (2003) mengemukakan bahwa di Republik Cina dan Ravallion dan Datt (1996) dalam Tulus Tambunan (2003) mengemukakan bahwa di India, menunjukkan kedua negara tersebut dilihat dari tingkat pendapatan per kapita maupun ukuran Gini ( Gini ratio) menunjukkan tingkat kemikskinan yang cukup parah. Namun dilihat dari tingkat kesejahteraan, kedua negara tersebut masih lebih baik dari beberpa negera Amerika Latin yang mempunyai tingkat Gini ratio rendah dan tingkat pendapatan perkapita tinggi. Ranis, Ravallion dan Datt memasukan faktor seperti tingkat kemudahan mendapatkan pendidikan yang murah, hak mendapatkan informasi, layanan kesehatan yang mudah dan murah, perasaan aman baik dalam mendapatkan pendidikan dan lapangan kerja, dan lain lain. Intinya adalah dalam mengukur kemiskinan, banyak variabel non keuangan yang harus diperhatikan. Variabel keuangan (tingkat pendapatan) bukanlah satu satunya variabel yang harus dipakai dalam menghitung kemiskinan. Namun kalau pengambil keputusan, lebih menitikberatkan pada cross variable study dalam mengatasi masalah kemiskinan, maka berarti kemiskinan akan diatasi dengan cara meningkatkan kesejahteraan dalam arti yang luas.
259
4.Kriteria Kriteria Bank Dunia Kriteria ketidakmerataan versi Bank Dunia didasarkan atas porsi pendapatan nasional yang dinikmati oleh tiga lapisan penduduk, yakni 40% penduduk berpendapatan rendah, 40% penduduk berpendapatan menengah, serta 20% penduduk berpendapatan tinggi. Ketimpangan atau ketidakmerataan distribusi pendapatan dinyatakan parah apabila 40% penduduk berpendapatan rendah menikmati kurang dari 12% pendapatan nasional. Ketidakmerataan dianggap sedang atau moderat apabila 40% penduduk miskin menikmati antara 12-17% pendapatan nasional. Sedangkan jika 40% penduduk yang berpendapatan rendah menikmati lebih dari 17% pendapatan nasional, maka ketimpangan atau kesenjangan dikatakan lunak dan distribusi pendapatan nasional dianggap cukup merata. Pembagian pendapatan untuk masing-masing kelompok masyarakat di negaranegara Dunia Ketiga tersebut masih relatif sangat timpang. Porsi pendapatan yang diterima oleh 20% penduduk yang paling miskin hanya berkisar 5,2 % dari total pendapatan, sedangkan 10% serta 20% kelompok penduduk yang paling kaya masing-masing
menerima
36,0%
dan
51,8%
dari
pendapatan
nasional.
Bandingkanlah dengan negara-negara industri maju. Jepang, 20% penduduknya yang paling miskin menerima 8,7% dari keseluruhan pendapatan nasional, sedangkan 10% dan 20% penduduk terkaya hanya menerima 22,4% dan 37,5% dari pendapatan nasional. 5.Hipotesis Hipotesis Kuznets Data data ekonomi periode 1970 – 1980, terutama mengenai pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan terutama di LDS (Less Developing Countries), terutama di negara negara yang mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat, seperti Indonesia, menunjukan seakan akan korelasi positif antara laju pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesenjangan ekonomi. Semakin tinggi pertumbuhan produk domestik bruto, atau semakin tinggi tingkat pendapatan per kapita, maka semakin
260
besar perbedaan antara kaum miskin dan kaum kaya. Bahkan studi yang dilakukan di negara negara Eropa Barat, menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak atau justru membuat ketimpangan antara kaum miskin dan kaum kaya semakin melebar. Jantti (1997) dalam Tulus Tambunan (2003) mengemukakan bahwa fenomea tersebut timbul karena adanya perubahan suplly of labor (masuknya buruh murah dari Turki, atau negara Eropa Timur kedalam pasar buruh di Eropa Barat). Berdasarkan fakta tersebut, muncul pertanyaan: mengapa terjadi trade-off antara pertumbuhan dan kesenjangan ekonomi dan untuk berapa lama?
Kerangka
pemikiran ini yang melandasi Hipotesis Kuznets. Kuznets Yaitu, dalam jangka pendek ada korelasi positip antara pertumbuhan pendapatan perkapita dengan kesenjangan pendapatan. Namun dalam jangka panjang hubungan keduanya menjadi korelasi yang negatif. Artinya, dalam jangka pendek meningkatnya pendapatan akan diikuti dengan meningkatnya kesenjangan pendapatan, namun dalam jangka panjang peningkatan pendapatan akan diikuti dengan penurunan kesenjangan pendapatan. Fenomena ini dikenal dengan nama “Kurva U terbalik dari Hipotesis Kuznets”. Namun, hipotesis Kuznets ini mulai dipertanyakan. Beberapa studi yang mengambil data time series membuktikan bahwa dalam beberapa negara yang masih bertumpu pada sektor pertanian (rural economy) menunjukan hubungan negatif. Ini berarti bertolak belakang dari hipotesis Kuznets. Pemahaman atas variabel variable tersebut akan membuktikan bahwa negara pertanian tidak identik dengan kemiskinan atau mungkin lebih tepatnya adalah kesejahteraan pun bisa meningkat di negara-negara yang berbasis pertanian. 6.Indeks Indeks Theil Digunakan untuk mengukur ketimpangan pendapatan antar individu di dalam provinsi dan ketimpanan pendapatan antar provinsi. Untuk megukurnya digunakan rumus sebagai berikut: Theil = Σi Σj (Y ij/Y)1n(Ŷij /Ŷ)
261
Sumber : Tulus Tambunan (2003 Keterangan: Y ij = Total pendapatan di prvinsi i, grup j Ŷij = Rata-rata pendapatan per kapita di provinsi i, grup j Ŷ = Total pendapatan nasional 7.Perekonomian Perekonomian Indonesia 2009 Perekonomian Indonesia pada tahun 2009 mengalami pertumbuhan sebesar 4,5 persen dibanding tahun 2008. Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga konstan pada tahun 2009 mencapai Rp 2.177,0 triliun, sedangkan pada tahun 2008 dan 2007 masing-masing sebesar Rp2.082,3 triliun dan Rp1.964,3 triliun. Bila dilihat berdasarkan harga berlaku, PDB tahun 2009 naik sebesar Rp 662,0 triliun, yaitu dari Rp4.951,4 triliun pada tahun 2008 menjadi sebesar Rp5.613,4 triliun pada tahun 2009. Menurut M. Suparko dan Maria R. Suparko ada beberapa macam alat yang dapat digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi yaitu : a. Produk Domestik Bruto PDB adalah jumlah barang dan jasa akhir yang dihasilkan dalam harga pasar. Kelemahan PDB sebagai ukuran pertumbuhan ekonomi adalah sifatnya yang global dan tidak mencerminkan kesejahteraan penduduk. b. PDB per Kapita atau Pendapatan Perkapita PDB per kapita merupakan ukuran yang lebih tepat karean telah memperhitungkan jumlah penduduk. Jadi ukuran pendapatn perkapita dapat diketahui dengan membagi PDB dengan jumlah penduduk. c. Pendapatan Per jam Kerja Suatu negara dapat dikatakan lebih maju dibandingkan negara lain bila mempunyai tingkat pendapatan atau upah per jam kerja yang lebih tinggi daripada upah per jam kerja di negara lain untuk jenis pekerjaan yang sama.
262
TABEL HUKUM DAN PEMBAYARAN KAFFARAT ( DENDA ) Pelanggaran
Jenis Denda
Hukum
Memberi
Boleh memilih antara
makan Sumpah
atau
Memerdeka
pakaian
kan budak
sepuluh
yang beriman
orang
Puasa tiga hari berturut-
memberi makan atau Wajib
pakaian atau memerdekakan budak, kalau tidak ada baru
turut
berpuasa
miskin
Memberi
Boleh memilih antara
makan Nazar
Opsi Pilihan Denda
atau
Memerdeka
pakaian
kan budak
sepuluh
yang beriman
orang
Puasa tiga hari berturut-
memberi makan atau Wajib
turut
pakaian atau memerdekakan budak, kalau tidak ada baru berpuasa
miskin
Memberi Boleh memilih antara
makan I' (bersumpah
atau
Memerdeka
tidak meng
pakaian
kan budak
gauli istri )
sepuluh
yang beriman
orang
Puasa tiga hari berturutturut
memberi makan atau Wajib
pakaian atau memerdekakan budak, kalau tidak ada baru berpuasa
miskin
263
Memberi
MemerdeZhihar
kakan
Puasa dua
makan
seorang
bulan
enam puluh
budak
berturut-turut
orang
Wajib
Berurutan
Wajib
Berurutan
--
Wajib
Berurutan
--
Wajib
Boleh memilih
Wajib
Berurutan
mukmin
miskin
merusak puasa
Memerde-
Memberi
dengan
kakan
Puasa dua
makan
berhubungan
seorang
bulan
enam puluh
suami istri
budak
berturut-turut
orang
siang hari
mukmin
Orang yang
miskin
Ramadhan
MemerdeMembunuh
kakan
orang
seorang budak
sakit dan melakukan larangan haji
Menyembelih seekor kambing
sakit dan
Menyem-
meninggalkan
belih
Puasa dua bulan berturut-turut
Memberi makan enam orang miskin
Puasa sepuluh hari;
tiga
hari ketika haji dan tujuh
264
wajib haji
seekor
hari ketika sudah pulang ke
kambing
keluarga
berhalangan dari melanjut
Menyem-
Puasa sepuluh hari;
tiga
kan ibadah haji,
belih
hari ketika haji dan tujuh
denda haji
seekor
hari ketika sudah pulang ke
tamattu' dan
kambing
keluarga
Wajib
Berurutan
Wajib
Boleh memilih
Wajib
Boleh memilih
qiran
Menyembelih hewan yang Membunuh
sejenisnya
binatang
dan
buruan yang
membagi-
ada padanan-
kan
nya/jenisnya
dagingnya kepada fakir
Memperkirakan harga hewan yang dibunuh, kemudian uangnya dibelikan makanan
Berpuasa satu hari untuk tiap orang miskin sebagai ganti dari memberi makan mereka
miskin di mekah
Membunuh
Memperkirakan harga
Berpuasa
binatang
hewan yang dibunuh,
satu hari
buruan yang
kemudian mengeluarkan
untuk tiap
265
tidak ada
uang sebanyak harga
orang miskin
padanannya /
hewan itu dan dibelikan
sebagai ganti
jenisnya
makanan kemudian
dari
dibagikan kepada orang-
memberi
orang miskin
makan mereka
Berhubungan suami istri sebelum tahallul awal
Badanah (Sapi atau Unta)
Puasa sepuluh hari, tiga hari ketika haji dan tujuh hari ketika sudah kembali kepada
Wajib
Berurutan
Sunat
-
Sunat
-
keluarga
Memotong pohon-pohon di Mekkah dan Madinah serta hewan buruan
Kalau dia sanggup menggantinya maka dia harus menggantinya, tapi kalau tidak sanggup maka tidak ada denda lainnya
di Madinah
Menggauli istri
Bersedekah sebanyak satu dinar atau
ketika haid
setengahnya
Sumber : Abdullah bin Muhammad Attayyar, Irsha>da>t fi> Ahka>m al-Kaffa>ra>t, (Islamhouse.com 14312009 )
266
RIWAYAT HIDUP Saya Tajuddin Pogo. Lahir 5 Juni 1972 di sebuah kampung di kabupaten Sumbawa. Anak ke sembilan dari sepuluh bersaudara dari ayah H. Abu Bakar (Pogo) dan ibu Hj. Saimah. Setelah tamat sekolah dasar, penulis meneruskan sekolah ke Sekolah Menengah Pertama di Lape, sebuah kota kecamatan di Sumbawa. Namun setelah semester pertama, tahun 1984 orang tua memasukkan saya ke pesantren AlIkhlash, Taliwang di Sumbawa Barat. Di pesantren alumni Pondok Modern Gontor ini, penulis menimba ilmu selama tiga setengah tahun sampai kelas empat. Kemudian terjadi kegoncangan mental dan masalah ekonomi yang membuat penulis keluar pesantren, pada pertengahan kelas empat. Selama dua tahun penulis tidak melanjutkan sekolah, dan pada tahun 1990 penulis tertarik untuk meneruskan ke Pondok Modern Gontor. Di sini setelah melewati proses ujian kenaikan kelas, penulis diterima di kelas empat. Selama tiga tahun menimba ilmu di sana, penulis mendapatkan banyak wawasan tentang keislaman dan bekal bahasa Arab dan Inggris. Setelah tamat tahun 1993, penulis mendapatkan beasiswa ke Universitas Islam Madinah, Saudi Arabia. Penulis mengambil jurusan syariah dan lulus pada tahun ajaran 1997-1998. Di Universitas ini, penulis merasakan semangat yang bergelora dalam kecintaan terhadap ilmu, namun terbentur dengan kemampuan menghapal yang kurang memadai untuk mengejar ketertinggalan dari mahasiswa-mahasiswa berasal negeri-negeri yang terkenal dengan budaya hafalan seperti Arab Saudi, India, Pakistan, dan lain-lain. Pada tahun 2000, penulis melanjutkan studi strata dua di Universitas Muhammadiyah Jakarta dan lulus tahun 2003. Kemudian pada tahun 2004, penulis meneruskan ke program doktor di sekolah pasca sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama menempuh studi di Jakarta, penulis lebih banyak bergelut dengan urusan-urusan ekonomi dan biaya hidup yang cukup menyita waktu penulis dalam menyelesaikan studi. Membiayai seorang istri dengan tiga anak cukup berat. Walaupun demikian, penulis juga menyempatkan diri menjadi anggota Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) menjabat sekretaris bidang pengembangan organisasi dan terlibat dalam kegiatan dakwah, ceramah-ceramah agama dan mengajar di majlis taklim. Isu-isu tentang ekonomi Islam dan perbankan syariah di Indonesia menarik minat penulis untuk mendalami studi tentang ekonomi Islam. Penulis melihat kecendrungan studi ekonomi Islam hanya terfokus kepada isu-isu finansial dan perbankan yang banyak mendatangkan keuntungan materi, dan masih sedikit studi tentang perilaku dan aktivitas ekonomi individu sehari-hari. Sehingga penulis ingin menyumbangkan tulisan dan pikiran yang berkaitan dengan masalah ekonomi seharihari masyarakat dan bagaimana mereka berinteraksi dan berbagi dalam sumber-
267
sumber ekonomi dengan saling menguntungkan dan berbagi dalam kesejahteraan dan kekayaan. Masalah yang menurut penulis merupakan kebutuhan lebih prioritas bagi masyarakat dan umat Islam khususnya yang masih mayoritas dalam kondisi kekurangan dan kemiskinan. Karya Ilmiyah - Tafsi>r Fi> Z{ila>l al-Qur'a>n (terjemahan) - Intervensi negara terhadap ekonomi individu dan pasar (Tesis) - Tips; menjadi wanita paling bahagia di dunia (terjemahan) - Menjadi Hamba Rabbani. - Islam Moderat. - Wasiat nabi untuk para murabbi (terjemahan). - Shakhs}iyyah Al-Rasu>l (terjemahan) - Panduan meraih sukses dunia akhirat (terjemahan). Dan lain-lain.