PUSAT KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN KESEHATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA
Diseminasi Hasil Penelitian dan Uji Coba Model Kebijakan Penelitian Kebijakan dan Program HIV & AIDS dalam Sistem Kesehatan di Indonesia
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Gedung IKM Baru Sayap Utara Jl. Farmako Sekip Utara Yogyakarta 5528 email:
[email protected] Telp/Fax (hunting) (+62274) 549425
www.kebijakanaidsindonesia.net Kebijakan AIDS Indonesia @KebijakanAIDS
LAPORAN KEGIATAN
Diseminasi Hasil Penelitian dan Uji Coba Model Kebijakan
Penelitian Kebijakan dan Program HIV & AIDS dalam Sistem Kesehatan di Indonesia
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran UGM bekerja sama dengan Universitas Katolik Atma Jaya (PPH) dan Universitas Indonesia (UPT HIV RSCM UI) Jakarta 2016 1
2
Daftar Isi Daftar Isi ..................................................................................................................................... 3 A.
Pengantar ........................................................................................................................... 5
B.
Tujuan ................................................................................................................................. 6
C.
Peserta ................................................................................................................................ 6
D. Waktu ................................................................................................................................. 6 E.
Pelaksanaan Kegiatan ......................................................................................................... 7 1. Diseminasi Hasil Penelitian ............................................................................................. 7 2. Uji Coba Model Integrasi Kebijakan dan Program PMTS ..............................................10
F.
Tindak Lanjut Diskusi ........................................................................................................13 1. Program LASS ................................................................................................................13 2. Program ART .................................................................................................................13 3. Model Kebijakan Program PMTS ..................................................................................14
G. Penutup ............................................................................................................................14 H. Lampiran ...........................................................................................................................15
3
4
A. Pengantar Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran UGM atas pendanaan DFAT (Department of Foreign Affairs and Trade), Pemerintah Australia sejak bulan Agustus 2013 melaksanakan penelitian multi-centered yang melibatkan 9 universitas dari 8 provinsi. Penelitian kebijakan dan program HIV & AIDS dalam sistem kesehatan di Indonesia dimaksudkan untuk mengetahui perkembangan dan pelaksanaan kebijakan HIV dan AIDS dalam sistem kesehatan di Indonesia saat ini dan sejauh mana sistem kesehatan ini adaptif dalam merespon dinamika epidemi HIV dan AIDS. Harapannya, rekomendasi dari penelitian ini akan membantu pemerintah Indonesia baik di tingkat pusat maupun daerah dalam mengembangkan strategi program penanggulangan HIV dan AIDS di masa mendatang, serta diharapkan dapat memberikan kontribusi pengembangan kebijakan dan program HIV dan AIDS dalam konteks desentralisasi. Penelitian ini terdiri dari tiga tahapan penelitian yang saling terkait dan dilaksanakan di tingkat nasional dan daerah. Penelitian tahap I untuk melihat tingkat integrasi upaya penanggulangan HIV dan AIDS selama ini dalam sistem kesehatan. Penelitian tahap II merupakan studi kasus tentang intervensi spesifik (pencegahan dan perawatan, dukungan, dan pengobatan) guna menilai kontribusi berbagai tingkatan integrasi tersebut terhadap efektivitas intervensi serta faktor eksternal yang mempengaruhi integrasi tersebut. Sedangkan penelitian tahap III dimaksudkan untuk menyusun model kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS yang mempertimbangkan integrasinya ke dalam sistem kesehatan
sebagai
strategi
untuk
memperkuat
efektivitas
dan
keberlanjutan
penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Penelitian tahap I dan II telah selesai dilaksanakan dan dalam pelaksanaannya bekerja sama dengan Universitas Cendrawasih (Papua); Universitas Negeri Papua (Papua Barat); Universitas Nusa Cendana (Nusa Tenggara Timur); Universitas Udayana (Bali); Universitas Hasanuddin (Sulawesi Selatan); Universitas Airlangga (Jawa Timur); Universitas Indonesia dan Universitas Atma Jaya (DKI Jakarta); Universitas
Sumatera
Utara.
Sebagai
pertanggungjawaban
publik
dan
untuk
mendiseminasikan temuan-temuan pokok serta rekomendasi dari kedua penelitian tersebut, maka diselenggarakan pertemuan yang mengundang pihak-pihak yang terkait serta para informan kunci yang terlibat dalam penelitian tahap I dan II. 5
Terkait dengan penelitian tahap III yaitu pengembangan model kebijakan, pada pertemuan ini sekaligus dipergunakan untuk mendiskusikan model kebijakan yang dikembangkan oleh Tim Kebijakan HIV dan AIDS PKMK FK UGM. Model kebijakan yang dikembangkan pada penelitian tahap III ini secara khusus berfokus pada model integrasi kebijakan dan program pencegahan melalui transmisi seksual (PMTS) ke dalam sistem kesehatan. Model ini dikembangkan sebagai model untuk mengembangkan program layanan terintegrasi yang bisa digunakan untuk menjamin keberlangsungan program pencegahan melalui transmisi seksual (PMTS) di pelayanan kesehatan dasar. Dalam uji coba model ini, melibatkan kembali para informan yang sebelumnya telah terlibat dalam penelitian tahap I dan II. Diskusi mengenai model ini dimaksudkan untuk mendapatkan input dan konsensus terhadap model kebijakan PMTS sebagai bentuk upaya untuk melihat kelayakan atau kemungkinan perlaksanaannya dan kemungkinan adopsinya dalam pelaksanaan penanggulangan AIDS di tingkat daerah.
B. Tujuan 1. Memaparkan temuan-temuan pokok dan rekomendasi penelitian. 2. Diskusi tentang kelayakan dan penerimaan model integrasi kebijakan dan program pencegahan melalui transmisi seksual (PMTS) ke dalam sistem kesehatan.
C. Peserta Dari 34 undangan yang disebarkan, rata-rata tingkat kehadiran peserta dalam pertemuan ini sebesar 62%. Pada hari pertama dihadiri sebanyak 22 orang dan pada hari kedua dihadiri sebanyak 20 orang. Peserta tersebut berasal dari perwakilan Dinkes DKI Jakarta, Sudin, rumah sakit, puskesmas, Bappeda, KPAK DKI Jakarta dan LSM serta perwakilan Pokja PMTS.
D. Waktu Kegiatan ini dilaksanakan pada : Hari / Tanggal : Senin – Selasa, 4-5 April 2016 Waktu : 09.00 – 15.00 WIB Tempat : Kantor Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Pusat Jalan Tanah Abang I No. 1, Jakarta Pusat
6
E. Pelaksanaan Kegiatan
Ada dua agenda utama dalam pertemuan ini, yaitu diseminasi hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti dari PPH Atma Jaya Jakarta dan UPT HIV RSCM UI serta untuk melakukan uji coba model kebijakan yang sedang dikembangkan oleh PKMK FK UGM terkait dengan model integrasi kebijakan program PMTS. Secara detail pelaksanaan kegiatan ini diuraikan sebagai berikut :
1.
Diseminasi Hasil Penelitian
Dalam sesi ini ada dua hasil penelitian yang disampaikan. Penelitian yang pertama dilakukan oleh peneliti dari UPT HIV RSCM UI, dengan judul Studi Kasus : Analisis Hubungan Integrasi Program ART ke dalam Sistem Kesehatan terhadap Efektivitas Program Penyediaan Layanan ART di Provinsi DKI Jakarta. Sedangkan hasil penelitian yang kedua dilakukan oleh peneliti dari PPH Atma Jaya Jakarta dengan judul Studi Kasus: Integrasi Respon HIV dan AIDS ke dalam Sistem Kesehatan dan Efektivitas Program LASS di DKI Jakarta. Beberapa poin diskusi yang muncul pada sesi tanya jawab untuk menanggapi hasil penelitian yang disampaikan oleh peneliti dari UPT HIV RSCM UI, antara lain :
7
a) Masih ada ambiguitas terkait dengan ART, dimana pada satu sisi aspek kerahasiaan (confidentiality) pasien harus dijaga, tetapi di sisi yang lain perlu membuka beberapa informasi yang akan dipergunakan untuk pelaporan. Situasi ini tentu saja memerlukan komitmen dari para petugas kesehatan yang melayani untuk dapat menjaga kerahasiaan ini. Selain itu, informasi mengenai pengobatan harus disampaikan secara seimbang, tidak hanya efek sampingnya saja tetapi juga manfaatnya ketika menjalani pengobatan ini. b) Menyoroti salah satu hasil penelitian yang menyatakan bahwa tingkat partisipasi masyarakat ternyata masih rendah, maka perlu ada upaya komunikasi yang lebih baik lagi dan edukasi perlu dilakukan terlebih dahulu kepada masyarakat. Salah satu respon yang dilakukan oleh tim peneliti UPT HIV RSCM UI terkait masalah ini adalah menyelenggarakan diskusi bersama dengan ibu-ibu warga. c) Dari hasil penelitian, diketahui bahwa cakupan program ART baru berkisar 50-60% saja. Tantangan yang saat ini masih dihadapi adalah masih tingginya angka putus obat (drop out) ARV. Selain itu, pemeriksaan untuk pra ART tidak murah dan memerlukan pemeriksaan lebih dari satu kali. Harapannya BPJS dapat memenuhi hal ini. Adanya mekanisme layanan yang tidak satu pintu atau harus melalui banyak rujukan, ternyata juga menjadi salah satu faktor dalam menurunkan kemauan untuk berobat, selain itu adanya efek samping yang cukup tinggi dan keharusan untuk minum obat ARV seumur hidup, semakin mengecilkan kemauan untuk berobat. Beberapa hal yang merupakan respon dan menjadi diskusi bersama dalam sesi diseminasi hasil penelitian dari tim peneliti PPH Atma Jaya, yaitu : a) Jumlah informan dari kelompok penasun, hanya 10 orang saja oleh salah satu peserta dianggap terlalu sedikit jika dibandingkan dengan jumlah estimasi kelompok penasun di Jakarta. Klarifikasi yang diberikan oleh peneliti menyangkut hal ini adalah dikaitkan dengan aspek metodologi dalam penentuan jumlah sampel penelitian dalam desain penelitian kualitatif. Penentuan informan/sampel penelitiannya dipilih secara sengaja dengan kriteria tertentu yang ditetapkan dalam penelitian ini. Selain itu, informan dari kelompok penasun, dipilih secara sengaja berdasarkan wilayah dan akses mereka pada program LASS. 8
b) Situasi lapangan yang menjadi tantangan program LASS saat ini berupa razia dan penggrebekan yang dilakukan oleh pihak keamanan dan penegak hukum terkait dengan peredaran narkoba. Hal ini sedikit banyak memberikan dampak pada program LASS dan Harm Reduction yang ada di Jakarta, terutama dirasakan pada kegiatan penjangkauan. c) Klarifikasi mengenai salah satu hasil penelitian terkait dengan peran KPA, mengapa masih minimal. Telah banyak upaya yang dilakukan oleh KPA dalam program penanggulangan HIV dan AIDS selama ini, yaitu berupa peran koordinasi, terutama mengkoordinir LSM yang melakukan program LASS. Klarifikasi yang diberikan oleh tim peneliti mengacu pada hasil analisis yang dilakukan dalam analisis stakeholder, mengapa kemudian dapat muncul hasil yang seperti ini. Secara kekuasaan KPA tergolong rendah, sehingga belum mampu mengkoordinir semua SKPD yang menjadi anggotanya dan juga belum mampu untuk memobilisasi pendanaan yang mendukung LASS. d) Dalam kesempatan ini, peneliti juga memberikan klarifikasi perihal acuan kebijakan yang dipergunakan dalam penelitian ini, yaitu masih mengacu pada pedoman HR berupa Kepmenkes Nomor 567/Menkes/SK/VIII/2006 serta Permenko Kesra No 02/2007 yang menjadi payung hukum pelaksanaan program LASS. Pada saat yang bersamaan kebijakan program Harm Reduction yang baru dari Kemenkes masih dalam proses pengesahan. e) Disoroti juga bahwa pelaksanaan program LASS di puskesmas selama ini yang melibatkan kader muda, dirasa masih belum optimal, oleh karena kader muda juga dibebani dengan tugas-tugas administrasi. f) Dari hasil penelitian, diketahui bahwa ternyata jumlah rata-rata jarum yang didistribusikan dianggap terlalu sedikit dibandingkan dengan kebutuhan di lapangan, jumlahnya seharusnya lebih besar. Ternyata, perhitungan jumlah tersebut muncul dari hasil penghitungan rata-rata jumlah jarum yang didistribusikan dibagi dengan jumlah estimasi penasun dengan asumsi bahwa semua penasun telah terjangkau. Hal ini yang menyebabkan jumlah akhirnya menjadi lebih kecil dari kebutuhan sebenarnya. Fakta yang ada selama ini adalah belum semua penasun terjangkau dan kadang para penasun tersebut tidak mengambil langsung jarumnya tetapi 9
diambilkan oleh temannya. Dengan demikian, terkadang satu orang bisa mendapatkan jarum yang cukup banyak. g) Temuan penelitian yang menyatakan bahwa partisipasi masyarakat dalam bentuk keikutsertaan populasi kunci dan LSM dalam musrenbang belum ada, mendapatkan tanggapan dari peserta bahwa musrenbang dimulai dari level kelurahan. Dengan demikian, jika perwakilan populasi kunci atau LSM atau siapa saja yang mau berpartisipasi dalam musrenbang ini, harus mulai dari tingkat kelurahan. h) Pelaksanaan program LASS di DKI pada saat penelitian ini dilakukan masih tergantung dengan LSM, terutama untuk penjangkauan. Petugas Lapangan (PL) di LSM dibiayai dari donor asing, oleh karena itu perlu dilakukan kajian lebih lanjut untuk mengetahui bagaimana caranya agar pembiayaan penjangkauan termasuk operasional PL dapat dibiayai oleh pemerintah ketika sudah tidak ada donor lagi. Hal ini perlu dipersiapkan mulai dari sekarang, meskipun masih ada jaminan sampai 2 tahun ke depan mendapatkan pendanaan dari donor melalui skema New Funding Model (NFM). Beberapa isu terkait dengan kegiatan penjangkauan adalah Bagaimana penjangkauan akan dilakukan? Siapa yang akan menjangkau? Bagaimana dana APBD dapat dipergunakan dan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk membantu penjangkauan dan penanggulangan HIV dan AIDS?
2.
Uji Coba Model Integrasi Kebijakan dan Program PMTS
Sesi ini terkait dengan pelaksanaan penelitian tahap 3 dari beberapa tahapan penelitian kebijakan dan program HIV dan AIDS dalam sistem kesehatan di Indonesia. Tujuan utama dari sesi ini adalah untuk mendapatkan konsensus dari para peserta sebagai perwakilan dari praktisi terkait dengan model integrasi kebijakan dan program PMTS. Konsensus atas permodelan yang telah dikembangkan, dilakukan dengan metode delphi dalam dua putaran. Putaran pertama untuk mengetahui sejauh mana pemahaman dan persepsi dari para informan terhadap program PMTS selama ini dan putaran kedua dilakukan setelah model dipaparkan oleh peneliti. Hasil dari dua putaran delphi tersebut, dianalisis untuk melihat sejauh mana dan kemungkinannya model yang dikembangkan tersebut dapat diimplementasikan pada tingkat layanan primer.
10
Diskusi atas model ini kemudian dilakukan pada hari kedua, namun hasil diskusi ini tidak memengaruhi konsensus yang telah tercapai pada hari pertama. Dalam kesempatan ini diawali dahulu dengan penyajian hasil pengisian kuesioner yang telah dilakukan pada hari sebelumnya. Hasil analisis ini yang menjadi materi pemantik diskusi bersama dengan para peserta yang telah hadir kembali pada hari kedua. Beberapa poin diskusi yang muncul pada sesi ini, antara lain : a) PMTS yang dianggap sebagai salah satu pendekatan untuk penanggulanan HIV dan AIDS di Indonesia, ternyata masih belum diyakini sepenuhya oleh para peserta. Data menunjukkan bahwa kurang 50% dari seluruh peserta yang menyatakan paling yakin terkait dengan PMTS. Hal ini dijelaskan bahwa pada awalnya PMTS kurang menekankan pada perubahan perilaku dan cenderung lebih berfokus pada layanan klinis. Tentu saja hal ini dirasakan kurang optimal, oleh karena karakteristik dari WPS dengan mobilitas yang cukup tinggi. Pengalaman menunjukkan bahwa ternyata WPS tidak mengikuti rangkaian pengobatan yang ada. Hal ini dapat dilihat dari jumlah WPS yang datang pada kunjungan pertama dibandingkan dengan jumlah yang datang pada kunjungan kedua. Selain itu, penapisan sulit dilakukan karena keterbatasan tenaga puskesmas yang ada serta sulitnya mendatangkan WPS ke layanan secara rutin. b) Sangat sedikit peserta (18%) yang paling meyakini bahwa pemberi layanan kesehatan primer (puskesmas) telah berperan optimal dalam pokja PMTS di lokalisasi. Mayoritas peserta menyatakan bahwa hal ini belum optimal karena keterbatasan tenaga meskipun keadaan di tiap puskesmas berbeda-beda. Terkait dengan dana, pemanfaatan dana APBD sudah mulai, namun permasalahan sumber daya manusia khususnya untuk penjangkauan masih bergantung pada LSM dengan pendanaan dari donor asing. c) Dari hasil delphi putaran 1 dan 2, menunjukkan bahwa semua peserta sepakat pengadaan dan distribusi kondom yang dikoordinir oleh KPAN tidak akan berkelanjutan. Saat ini sudah ada kondom mandiri serta yang dari BKKBN dan bisa dimanfaatkan oleh non-aseptor KB, meskipun hal ini seringkali masih dihadapkan pada hambatan sosial. Namun, selama distribusi kondom tersebut ditujukan pada populasi kunci, bukan menyasar ke masyarakat umum, masalah tersebut tidak 11
terlalu berarti. Namun demikian, upaya ini masih memerlukan koordinasi lintas sektor, oleh karena adanya perbedaan kebijakan yang seringkali bisa menjadi faktor penghambat dalam pendistribusian kondom sebagai alat pencegah penularan HIV dan AIDS. d) Diskusi juga menyoroti mengenai pendanaan. Dalam kuesioner ada pernyataan bahwa puskesmas mengadakan kondom dan lubrikan dari dana BOK. Hal ini mendapatkan sanggahan dari peserta. Menurut peserta, dana BOK ini jumlahnya kecil dan peruntukannya pada prioritas penyakit lainnya. Selain itu di DKI ada peluang dana APBD dan dana BULD sehingga dana BOK tidak lagi menjadi sumber pendanaan untuk pengadaan kondom. e) Upaya pendidikan kesehatan masyarakat terkait pencegahan IMS-HIV oleh petugas lapangan dari LSM sudah dikoordinasikan oleh puskesmas dengan baik menurut hasil diskusi bersama. Namun koordinasi yang terjadi saat ini kesannya lebih pada hubungan yang kurang setara, seperti supervisi, padahal yang diharapkan dalam koordinasi ini adalah kerjasama yang lebih setara atau kemitraan.
12
F. Tindak Lanjut Diskusi Berdasarkan diskusi yang telah dilakukan dalam kegiatan selama dua hari tersebut, beberapa rekomendasi penelitian yang ditujukan kepada masing-masing pemangku kepentingan perlu untuk ditindaklanjuti di tingkat instansi. Secara detail hal-hal yang perlu ditindaklanjuti tersebut, antara lain :
1.
Program LASS a) Perlunya peningkatan peran stakeholder yang ada dalam program LASS, yang mempunyai kekuasaan tinggi (misalnya pemerintah daerah). Dari hasil analisis pemangku kepentingan dalam penelitian ini, diketahui bahwa KPA mempunyai kepentingan tinggi tetapi kekuasaanya rendah, karena kekuasaan KPA sangat tergantung pada pemerintah daerah. b) Peran puskesmas agar dapat memasukkan kebutuhan tenaga penjangkau dan kader muda dalam analisa kebutuhan untuk program LASS di wilayahnya, termasuk mengajukan pembiayaannya dari sumber lokal (misalnya APBD, BLUD, dll). c) Perlu upaya sosialisasi yang lebih lagi terkait dengan keterlibatan LSM dan populasi kunci dalam Musrenbang sejak dari tingkat kelurahan, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman bahwa selama ini tidak ada partisipasi dari LSM, populasi kunci dalam Musrenbang.
2.
Program ART a) Perlu adanya layanan ART di tingkat puskesmas yang bisa melayani secara komprehensif mulai dari inisiasi sampai dengan pengobatan, termasuk di dalamnya pemeriksaan laboratorium sehingga sebisa mungkin layanan ART dilakukan di satu tempat, kecuali bila ada kejadian di luar kapasitas puskesmas. b) Masih diperlukannya dukungan terkait dengan tempat layanan dan pembiayaan agar populasi kunci mau melakukan tes HIV, menjalani ART secara patuh. Dukungan terkait dengan tempat layanan adalah layanan yang terintegrasi (one stop services).
13
c) Perlu dilakukan kajian lebih lanjut terkait dengan ART untuk meningkatkan layanan ART supaya tidak hanya tersedia di rumah sakit saja, tetapi juga dapat tersedia di puskesmas.
3.
Model Kebijakan Program PMTS
Dari hasil delphi yang telah diperoleh akan dianalisis kembali bersama dengan hasil delphi dari provinsi yang lain untuk mengembangkan model yang lebih komprehensif dan dapat diimplementasikan sebagai rekomendasi pelaksanaan program PMTS di tingkat puskesmas di daerah.
G. Penutup Pertemuan ditutup oleh Sekretaris KPAK Jakarta Pusat, dengan penekanan bahwa dari hasil pertemuan selama dua hari ini akan disampaikan kepada Walikota Jakarta Pusat bersamaan dengan agenda kegiatan yang lain dari KPAK Jakarta Pusat terkait dengan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di DKI. Hasil dari pertemuan ini menjadi masukan bagi KPAK Jakarta Pusat untuk mengkoordinir stakeholder terkait dalam program LASS dan ART yang ada di wilayah Jakarta Pusat. Saat ini, KPAK Jakarta Pusat sedang melakukan scale up upaya penangulangan HIV dan AIDS dalam rangka mencapai target Fast Track 90-90-90, dimana Jakarta Pusat merupakan wilayah yang menjadi uji coba program ini. Sementara itu, untuk pengembangan model kebijakan program PMTS masih akan berjalan sebagai rangkaian kegiatan penelitian tahap III yang akan dilakukan di 7 kota yang merupakan lokasi penelitian. Hasil akhirnya diharapkan akan bisa diperoleh pada akhir Mei. Hasil dari penelitian tahap III tersebut akan berupa permodelan integrasi kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS melalui program PMTS di tingkat layanan primer. Model ini merupakan hasil konsensus bersama, baik dari para praktisi dan para pakar. Model ini akan menjadi rekomendasi yang akan disampaikan kepada para pemangku kepentingan untuk upaya penanggulangan HIV dan AIDS khususnya program PMTS agar lebih baik lagi.
14
H. Lampiran 1. Kerangka acuan 2. Undangan 3. Materi presentasi : a. Dekskripsi projek penelitian – PKMK FK UGM b. Hasil penelitian Pokdisus c. Hasil penelitian PPH d. Model PMTS e. Tabel Skoring Delphi 1 & 2
15
Lampiran 1
forBetter Policy AIDS
KERANGKA ACUAN
Diseminasi Hasil Penelitian Kebijakan dan Program HIV & AIDS dalam Sistem Kesehatan dan
Uji Coba Model Integrasi Kebijakan dan Program Pencegahan Melalui Transmisi Seksual (PMTS) dalam Sistem Kesehatan di Indonesia
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan Universitas Katolik Atma Jaya (PPH) dan Universitas Indonesia (Pokdisus) Jakarta
1
2
PENGANTAR Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran UGM atas pendanaan DFAT, Pemerintah Australia sejak bulan Agustus 2013 melaksanakan penelitian multi-centered yang melibatkan 9 universitas dari 8 provinsi. Penelitian kebijakan dan program HIV & AIDS dalam sistem kesehatan di Indonesia dimaksudkan untuk mengetahui perkembangan dan pelaksanaan kebijakan HIV dan AIDS dalam sistem kesehatan di Indonesia saat ini dan sejauh mana sistem kesehatan ini adaptif dalam merespon dinamika epidemi HIV dan AIDS. Harapannya, rekomendasi dari penelitian ini akan membantu pemerintah Indonesia baik di tingkat pusat maupun daerah dalam mengembangkan strategi program penanggulangan HIV dan AIDS di masa mendatang, serta diharapkan dapat memberikan kontribusi pengembangan kebijakan dan program HIV dan AIDS dalam konteks desentralisasi. Penelitian ini terdiri dari 3 tahapan penelitian yang saling terkait dan dilaksanakan di tingkat nasional dan daerah. Penelitian tahap 1 untuk melihat tingkat integrasi upaya penanggulangan HIV dan AIDS selama ini dalam sistem kesehatan. Penelitian tahap 2 merupakan studi kasus tentang intervensi spesifik (pencegahan dan perawatan, dukungan, dan pengobatan) guna menilai kontribusi berbagai tingkatan integrasi tersebut terhadap efektivitas intervensi serta faktor eksternal yang mempengaruhi integrasi tersebut. Sedangkan penelitian tahap 3 dimaksudkan untuk menyusun model kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS yang mempertimbangkan integrasinya ke dalam sistem kesehatan
sebagai
strategi
untuk
memperkuat
efektivitas
dan
keberlanjutan
penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Penelitian tahap 1 dan 2 telah selesai dilaksanakan dan dalam pelaksanaannya bekerja sama dengan Universitas Cendrawasih (Papua); Universitas Negeri Papua (Papua Barat); Universitas Nusa Cendana (Nusa Tenggara Timur); Universitas Udayana (Bali); Universitas Hasanuddin (Sulawesi Selatan); Universitas Airlangga (Jawa Timur); Universitas Indonesia dan Universitas Atma Jaya (DKI Jakarta); Universitas
Sumatera
Utara.
Sebagai
pertanggungjawaban
publik
dan
untuk
mendiseminasikan temuan-temuan pokok serta rekomendasi dari kedua penelitian tersebut, maka diselenggarakan pertemuan yang mengundang pihak-pihak yang terkait serta para informan kunci yang terlibat dalam penelitian tahap 1 dan 2. 3
Terkait dengan penelitian tahap 3 yaitu pengembangan model kebijakan, pada pertemuan ini sekaligus dipergunakan untuk mendiskusikan model kebijakan yang dikembangkan oleh Tim Kebijakan HIV dan AIDS PKMK FK UGM. Model kebijakan yang dikembangkan pada penelitian tahap 3 ini secara khusus berfokus pada model integrasi kebijakan dan program pencegahan melalui transmisi seksual (PMTS) ke dalam sistem kesehatan. Model ini dikembangkan sebagai model untuk mengembangkan program layanan terintegrasi yang bisa digunakan untuk menjamin keberlangsungan program pencegahan melalui transmisi seksual (PMTS) di pelayanan kesehatan dasar. Diskusi mengenai model ini dimaksudkan untuk mendapatkan input dan konsensus terhadap model kebijakan PMTS sebagai bentuk upaya untuk melihat kelayakan atau kemungkinan perlaksanaannya dan kemungkinakn adopsinya dalam pelaksanaan penanggulangan AIDS ditingkat daerah.
TUJUAN 1. Memaparkan temuan-temuan pokok dan rekomendasi penelitian. 2. Diskusi tentang kelayakan dan penerimaan model integrasi kebijakan dan program pencegahan melalui transmisi seksual (PMTS) ke dalam sistem kesehatan.
PESERTA 1. Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota 2. KPA Provinsi/Kabupaten/Kota 3. Informan kunci penelitian tahap 1 dan tahap 2
WAKTU Kegiatan ini akan dilaksanakan pada : Hari / Tanggal : Kamis – Jumat / 7 – 8 April 2016 Waktu
: 09.00 – 15.00 WIB
Tempat
: Kantor Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Pusat Jalan Tanah Abang I No. 1, Jakarta Pusat
4
AGENDA KEGIATAN No Waktu Hari I 09.00 – 09.20 09.20 – 10.00
10.00 – 10.30 10.30 – 12.00 12.00 – 13.00 13.00 – 15.00
15.00 – selesai
Materi
Fasilitator
Pembukaan Pengantar projek penelitian kebijakan dan program HIV dan AIDS dalam sistem kesehatan di Indonesia Pemaparan hasil penelitian dan rekomendasi Diskusi Istirahat Diskusi model integrasi kebijakan dan program pencegahan melalui transmisi seksual (PMTS) ke dalam sistem Kesehatan Penutup
Sekretaris KPA Provinsi Tim PKMK FK UGM
Tim peneliti universitas
Tim PKMK FK UGM
Hari II 09.00 – 12.00
12.00 – selesai
Lanjutan diskusi model integrasi kebijakan Tim PKMK FK UGM dan program pencegahan melalui transmisi seksual (PMTS) ke dalam sistem kesehatan Penutup
PENDANAAN Kegiatan ini terselenggara atas pendanaan dari projek penelitian kebijakan dan program HIV dan AIDS dalam sistem kesehatan di Indonesia, kerjasama antara PKMK FK UGM dan DFAT, Pemerintah Australia. == 00 ==
5
Lampiran 2
forBetter Policy AIDS
T i
KOMISI PENANGGU LANGAN AIDS (KPA) KOTA ADM I N ISTRASI JAKARTA PUSAT sekretariat'li.tfi
:t 1i33?J'JrB'"n
c
Lantai 5
Email :
[email protected]
Nomor Sifat l-amptran
ttal
:
M.
St Maret 20'tg
438,lKPAK.JPllfff2g.'t6
:-
: t (Satu) bmbar. : Undangan
Yth.
Kepada Daftar undangan terlampir
di
1'
Jakarta +denindaklanjuti Surat Fakultas'l€dskteran Unirersitas Gadjah Mada Nomor 1 35/PKMK/PH/lll/201 6 tentang Surat Permohonan Fasilitasi Pertemuan Diseminasi Hasil Penelitian PKMK FK UGM, Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Adm- Jakarta Pusat menghardpkan kehadiran Saudara dalam pertemuan yang akan disefenggarakan pada
hari tanggal waktu . tenpat aa.ara
Senin-selasa : 04 s/d O5 April2016
:
: Pukul0g:00 sld t5.OSWlB : Ruang Pota Lt,t BtokA Kantor Penerintah t{,ch Adm. Jaea{h Fusa{ Jl- Tanah Abang I No.1 Jakarta Pusat : Penelitian Studi Kasus Kontribusi lntegrasi Respon HIV dan AIDS diTingkat Daerah
Atas perhatian dan kehadiran Saudara saya ucapkan terima kasih.
Komisi Penangulangan AIDS
Ter-nbusan
:
1, Walkota Kota AHm. Jakarta Pusat selaku Ketua KPAK 2. Wakil Walikota Kota Adm. Jakarta Pusatselaku Ketua Pelaksana
KPAK
Lampiran :
Undangan Sekretaris KPAK-JP Nomor : 04. 438 /KPAK-JP/III/2016 Tanggal : 31 Maret 2016
Daftar Undangan : 1. Bapedda Prov DKI Jakarta 2. Dinas Kesehatan DKI Jakarta 3. Biro Kesos Prov DKI Jakarta 4. Sudinkes Jakarta Pusat 5. Sudinkes Jakarta Selatan 6. Sudinkes Jakarta Timur 7. Sudinkes Jakarta Barat 8. Sudinkes Jakarta Utara 9. RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo 10. RS. Kanker Dharmais 11. RS. Tarakan 12. RS. Duren Sawit 13. RS. Koja 14. RS. Budi Asih 15. KPA Provinsi DKI Jakarta 16. KPA Kota Adm. Jakarta Pusat 17. KPA Kota Adm. Jakarta Selatan 18. KPA Kota Adm. Jakarta Timur 19. KPA Kota Adm. Jakarta Barat 20. KPA Kota Adm. Jakarta Utara 21. Puskesmas Kec. Cilincing 22. Puskesmas Kec. Tebet 23. Puskesmas Kec. Jatinegara 24. Puskesmas Kec. Gambir, 25. Puskesmas Kec. Grogol Petamburan 26. Puskesmas Kec. Cengkareng 27. Puskesmas Kec. Tj. Priok 28. Puskesmas Kec. Jatinegara 29. Klinik Remaja Yayasn Pelita Ilmu 30. Kios Atmajaya 31. Yayasan Karisma 32. PKBI Jakarta 33. Perwakilan Penasun dari masing-masing Puskesmas 34. Para Kasie KPA Kota Adm. Jakarta Pusat
Lampiran 3a
forBetter Policy AIDS
PENELITIAN Kebijakan dan Program HIV AIDS dalam Sistem Kesehatan di Indonesia Kerjasama: Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM & Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT), Pemerintah Australia
Sistematika: 1. Latar belakang 2. Lokasi penelitian 3. Implementasi penelitian a. Cluster 1: Analisis Kebijakan HIV dan AIDS b. Cluster 2: Model Kebijakan HIV & AIDS c. Cluster 3: Pengembangan Simpul Pengetahuan
4. Mendorong Perubahan Agenda Kebijakan 5. Penjaminan kualitas penelitian
1
Latar Belakang Penelitian Dominasi Inisiatif Kesehatan Global melalui bantuan luar negeri (bilateral dan multilateral) dalam penanggulangan AIDS di Indonesia – Hasil Positif: meningkatkan cakupan dan efektivitas respon epidemi – Hasil Negatif: upaya kesehatan yang terintegrasi dalam sistem kesehatan tidak berjalan karena ada ‘re‐ vertikalisasi’ dalam perencanaan, penganggaran, monitoring dan evaluasi program Tantangan: penanggulangan HIV & AIDS dapat lebih efektif dan berkelanjutan jika diintegrasikan secara sistematik ke dalam sistem kesehatan yang ada
Tujuan Penelitian
1
• Menganalisis program dan implementasi kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS dan keterkaitannya dengan sistem kesehatan di Indonesia.
2
• Menilai tingkat integrasi kebijakan dan program penanggulangan AIDS ke dalam sistem kesehatan dalam konteks pemerintahan yang terdesentralisasi
3
• Menyediakan rekomendasi kepada pemerintah tentang strategi untuk mengembangkan kebijakan dan program penanggulangan HIV dan AIDS yang terintegrasi dengan sistem kesehatan agar lebih efektif dan berkelanjutan
2
Proses penelitian & kegiatan Cluster 1:Analisis Kebijakan HIV dan AIDS • Desk Review: Kebijakan HIV & AIDS dan Sistem Kesehatan di Indonesia • Penelitian I: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV & AIDS Dalam Sistem Kesehatan
Cluster 2: Model Kebijakan HIV & AIDS • Penelitian II: Studi Kasus (Integrasi Penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam Sistem Kesehatan dan Efektivitas Penanggulangan HIV & AIDS di Daerah) • Penelitian III: Pengembangan model integrasi kebijakan dan program pencegahan melalui transmisi seksual (PMTS) ke dalam Sistem Kesehatan Nasional dan Daerah
Cluster 3: Pengembangan Simpul Pengetahuan • Website (www.kebijakanaidsindonesia.net) • Blended Learning I ‐ III • Diskusi Kultural
Lokasi penelitian
3
Implementasi kegiatan Cluster 1
Desk Review : Kebijakan HIV & AIDS dan Sistem Kesehatan di Indonesia (Oktober 2013 – September 2014)
Fokus: Kajian program dan kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia (program pencegahan, PDP, mitigasi dampak) dengan mempergunakan perspektif sejarah, di level nasional maupun daerah. http://www.kebijakanaidsindonesia.net/id/hasil‐penelitian
4
Penelitian I: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV & AIDS Dalam Sistem Kesehatan (Januari – Desember 2014) Menganalisis tingkat integrasi kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS dalam sistem kesehatan di Indonesia, untuk pengembangan rekomendasi agar kinerja penanggulangan HIV dan AIDS yang lebih baik lagi.
http://www.kebijakanaidsindonesia.net/id/hasil‐penelitian
Implementasi kegiatan Cluster 2
5
Penelitian II : Studi Kasus ‐ Integrasi Penanggulangan HIV dan AIDS dalam Sistem Kesehatan dan Efektivitas Penanggulangan HIV & AIDS di Daerah ‐ (April 2015 – Februari 2016)
PMTS WPS
PMTS LSL
LASS Respon AIDS
ART
Link to Care
Fokus: • menggali kontribusi integrasi penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan terhadap efektivitas penanggulangan AIDS di tingkat kabupaten/kota • mengidentifikasi mekanisme integrasi yang mampu memberikan kontribusi terhadap efektivitas penanggulangan AIDS.
Penelitian III : Pengembangan model integrasi kebijakan dan Program Pencegahan Melalui Transmisi Seksual (PMTS) ke dalam sistem kesehatan nasional dan daerah (Januari – April 2016)
Fokus:
Model Integrasi PMTS ?
– Model layanan yang terintegrasi seperti apakah yang bisa digunakan untuk menjamin keberlangsungan program pencegahan melalui transmisi seksual (PMTS) di pelayanan kesehatan dasar (primary health care)? – Model kebijakan operasional seperti apakah yang dibutuhkan untuk menjamin terlaksananya integrasi program PMTS di tingkat layanan dasar?
6
Tahapan Penelitian 3
• untuk menyusun model integrasi di tingkat layanan (delivery of health care) program PMTS
Kajian Hasil Penelitian Sebelumnya
Membangun Kesepakatan (Delphi) • untuk mendapatkan konsensus model pelayanan kesehatan program PMTS dan kebijakan pendukungnya yang ideal dan komprehensif
• Model pelayanan kesehatan dalam program PMTS dan kebijakan pendukungnya yang terintegrasi dalam SKN
Model Kebijakan
Implementasi kegiatan Cluster 3
7
Simpul Pengetahuan Kebijakan AIDS Indonesia (Knowledge Hub) Tujuan: a) meningkatkan akses informasi kebijakan HIV dan AIDS, b) membagikan dan menerapkan pengetahuan terkait kebijakan HIV dan AIDS, c) menerjemahkan pengetahuan menjadi kebijakan HIV dan AIDS yang lebih baik.
Pengembangan simpul pengetahuan 1 Mengembang kan Jaringan Kebijakan AIDS Indonesia & Membangun Website kebijakanaidsi ndonesia.net
2
3
4
Menggali, mengidentifikasi dan mengumpulkan pengetahuan
Memperkuat kapasitas dalam memahami sistem kesehatan dan kebijakan HIV dan AIDS
Menerjemahkan pengetahuan menjadi kebijakan HIV dan AIDS
8
Website : www.kebijakanaidsindonesia.net
Kunjungan dan Artikel Kunjungan 10000 9000 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0
Hingga Maret 2016:
631 orang pelanggan newsletter 450 artikel tematik 463 dokumen kebijakan (regulasi, pedoman dan data epidemiologi) rata‐rata tingkat kunjungan berkisar antara 150‐400 pengunjung per hari.
9
KEBIJAKAN AIDS DAN SISTEM KESEHATAN (Maret 2014 – Maret 2016) Tujuan: 1) menganalisis dan mengevaluasi komponen dan fungsi sistem kesehatan yang diperlukan untuk penguatan respon HIV dan AIDS, 2) mengidentifikasi, menganalisis dan menggunakan kesempatan untuk melakukan peran advokasi yang lebih besar, 3) secara kritis menganalisis kesenjangan layanan kesehatan bagi kelompok yang terdampak oleh HIV dan AIDS dan mampu menyediakan rekomendasi untuk memperbaiki akses terhadap layanan tersebut, serta 4) melakukan riset kebijakan AIDS.
Modul Pembelajaran 1. Sistem Kesehatan dan Desentralisasi Politik 2. Organisasi Sistem Kesehatan dan Pembiayaan Kesehatan 3. Perluasan Respon AIDS dan Sistem Kesehatan, dalam konteks Jaringan Kesehatan 4. Sistem Penguatan Masyarakat Sipil 5. Layanan HIV, aksesibilitas dan Artikulasi Kepentingan kelompok Populasi Kunci dan Masyarakat 6. Penelitian Kebijakan AIDS dan Penulisan Paper Kebijakan AIDS
Peserta : I. Gelombang 1 : 18 orang (Uncen, Unipa, Undana, Unud, Unhas, Unair, UI, Atma Jaya Jakarta, USU)
II. Gelombang 2 : 12 orang (KPA Kota Mataram, Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarbaru, Puskesmas, Kemensos, Sekolah Tinggi Saint Carolus Jakarta, Poltekes, Kemenkes dan LSM)
III. Gelombang 3 : 20 orang (SKPD, LSM, Akademisi, dokter perusahaan )
10
Diskusi Kultural (November 2013 – Maret 2016) Tujuan : untuk membangun dan memperkuatkan dialog diantara pegiat AIDS di masing‐masing daerah. Proses • Sudah terlaksana sebanyak 21 kali diskusi di Yogyakarta. • Sudah terselenggara 12 kali diskusi di Jakarta, Medan, Surabaya, Denpasar, Papua, Kupang, Makassar. Tindak Lanjut: Rekomendasi Kebijakan • KPAN • Bappenas • Kemendagri • Kemenkes (P2JK)
Mendorong Agenda Perubahan Kebijakan 1) Diseminasi hasil penelitian : KPAN, Kemkes, Kemendagri, Bappenas, Seminar, JKKI. 2) Seminar terbuka : Close The Gap, Monev Dalam Fast Track, Outlook Kebijakan HIV & AIDS 2016. 3) Pertemuan tingkat nasional : JKKI (Kupang, Bandung, Padang), Pernas AIDS V Makassar. 4) Penulisan dan diseminasi Policy Brief : 10 Policy Brief.
11
Penjaminan Kualitas • Pertemuan rutin dengan DFAT dan konsultan yang ditunjuk setiap 3 bulan sekali atau jika diperlukan • Dewan penasehat penelitian nasional (NAB) • Pelibatan stakeholder dan informan pada pertemuan validasi dalam proses pengumpulan data • Pelibatan independent reviewer untuk semua dokumen yang dihasilkan dari penelitian ini.
www.kebijakanaidsindonesia.net
12
Lampiran 3b
forBetter Policy AIDS
Studi Kasus Analisis Hubungan Integrasi Program ART ke dalam Sistem Kesehatan terhadap Efektivitas Program Penyediaan Layanan ART di Provinsi DKI Jakarta Kurniawan Rachmadi, SKM, M.Si. Fitri Hudayani, SGz, MKM Bayu Samudra, SGz Yudhi Adrianto, SGz Rizqiana Halim, SKM
Out line I. II. III. IV. V. VI.
Pendahuluan Metodologi penelitan Analisis Kontekstual Analisis Pemangku Kepentingan Analisis Tingkat Integrasi Kontribusi Integrasi terhadap Efektivitas Program VII. Pembahasan dan Diskusi VIII.Kesimpulan dan Rekomendasi
1
I. Pendahuluan A. B. C. D.
Situasi Terkini Pertanyaan Penelitian Tujuan Kerangka Konsep
Situsi terkini Gambar 1 Penurunan Angka Kematian Pada ODHA Dengan Pengobatan ART Tahun 2014
Sumber: KPAP 2015
2
Pertanyaan penelitian utama • "Apakah integrasi kebijakan dan program AIDS ke dalam sistem kesehatan memberikan kontribusi pada efektivitas program layanan ART di DKI Jakarta?"
Pertayaan khusus 1. Apakah integrasi manajemen dan peraturan terkait penanggulangan AIDS ke dalam sistem kesehatan berkontribusi terhadap efektivitas program penyediaan layanan ART di Provinsi DKI Jakarta? Bagaimana kontribusinya? 2. Apakah integrasi pembiayaan kesehatan terkait penanggulangan AIDS ke dalam sistem kesehatan berkontribusi terhadapprogram penyediaan layanan ART di Provinsi DKI Jakarta? Bagaimana cara kerjanya? 3. Apakah integrasi sumber daya manusia terkait penanggulangan AIDS ke dalam sistem kesehatan berkontribusi terhadap program penyediaan layanan ART di Provinsi DKI Jakarta? Bagaimana cara kerjanya? 4. Apakah integrasi penyediaan pasokan dan peralatan medis terkait penanggulangan AIDS ke dalam sistem kesehatan berkontribusi terhadapprogram penyediaan layanan ART di Provinsi DKI Jakarta? Bagaimana cara kerjanya? 5. Apakah integrasi informasi strategis terkait penanggulangan AIDS ke dalam sistem kesehatan berkontribusi terhadap program penyediaan layanan ART di Provinsi DKI Jakarta? Bagaimana cara kerjanya? 6. Apakah integrasi partisipas masyarakat terkait penanggulangan AIDS ke dalam sistem kesehatan berkontribusi terhadap program penyediaan layanan ART di Provinsi DKI Jakarta? Bagaimana cara kerjanya?
3
Tujuan utama Mengetahui faktor‐faktor eksternal yang mempengaruhi integrasi dan untuk mengeksplorasi kontribusi integrase program penyediaan layanan ART di Provinsi DKI Jakartake dalam sistem kesehatan terhadap efektivitas program penyediaan layanan ART di Provinsi DKI Jakarta, serta mengidentifikasi mekanisme di mana integrasi tersebut berkontribusi terhadap efektivitas program penyediaan layanan ART di Provinsi DKI J
Tujuan khusus a. Untuk menggali kontribusi integrasi sistem manajemen dan regulasi dalam penanggulangan AIDS ke dalam sistem kesehatan terhadap efektivitas intervensiprogram penyediaan layanan ART di Provinsi DKI Jakarta. b. Untuk menggali kontribusi integrasi sistem pembiayaan kesehatan dalam penanggulangan AIDS ke dalam sistem kesehatan terhadap efektivitas intervensi program penyediaan layanan ART di Provinsi DKI Jakarta. c. Untuk menggali kontribusi integrasi sistem penyediaan pasokan obat dan alat kesehatan dalam penanggulangan AIDS ke dalam sistem kesehatan terhadap efektivitas intervensiprogram penyediaan layanan ART di Provinsi DKI Jakarta. d. Untuk menggali kontribusi sistem pengelolaan sumber daya manusia di bidang kesehatan dalam penanggulangan AIDS ke dalam sistem kesehatan terhadap efektivitas intervensi program penyediaan layanan ART di Provinsi DKI Jakarta. e. Untuk menggali kontribusi integrasi sistem informasi strategis dalam penanggulangan AIDS ke dalam sistem kesehatan terhadap efektivitas program penyediaan layanan ART di Provinsi DKI Jakarta. f. Untuk menggali kontribusi integrasi sistem pengelolaan partisipas masyarakat dalam penanggulangan AIDS ke dalam sistem kesehatan terhadap efektivitas intervensiprogram penyediaan layanan ART di Provinsi DKI Jakart
4
Kerangka konsep
Kerangka konsep kasus
5
II. Metodologi Penelitian A. B. C. D.
Desain Penelitian Lokasi Penelitian Instrumen Penelitian Penentuan Sampel Dan Informan Kunci
Desain penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan disain studi kasus sebagai upaya untuk memahami lebih dalam hubungan antara integrasi dan efektivitas penanggulangan HIV dan AIDS.
6
Lokasi peneltian 1. Rumah Sakit tingkat Pusat, yaitu RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan RS Kanker Dharmais. 2. Rumah Sakit di empat wilayah DKI Jakarta, yaitu RSUD Tarakan, RSUD Duren Sawit, RSUD Koja dan RSUD Budi Asih. 3. Puskesmas di wilayah DKI Jakarta yaitu Puskesmas Cilincing, Puskesmas Tebet, Puskesmas Gambir dan Puskesmas Jatinegara.
Instrumen penelitian Panduan wawancara yang telah dikembangkan bersama oleh tim Unit Pelayanan Teknis (UPT) HIV RSCM – Universitas Indonesia (UI) dan tim Pusat Kebijakan dan Manajemen
7
Penentuan Sampel Dan Informan Kunci Informan kunci dalam penelitian ini dipilih secara sengaja karena pengetahuan mereka tentang sistem kesehatan dan program HIV dan AIDS. Untuk memperoleh informasi yang lebih komprehensif maka informan kunci terdiri atas berbagai organisasi, posisi, dan spesialis pada sistem kesehatan dan program HIV dan AIDS. Mereka adalah perwakilan dari Bappeda, dinas kesehatan, Komisi Penanggulangan HIV dan AIDS Daerah, Puskesmas, rumah sakit rujukan, lembaga swadaya Masyarakat (LSM) yang melaksanakan program HIV dan AIDS serta populasi yang terdampak oleh HIV dan AIDS.
III. Analisis Kontekstual A. B. C. D.
Komitmem Politik Ekonomi Hukum Dan Regulasi Permasalahan Kesehatan
8
A. Komitmem Politik Dalam hal komitmen politik, pemerintah daerah DKI Jakarta yang ditunjukkan oleh masuk dalam alokasi anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) serta adanya program bulan bhakti dan program layanan dan informasi HIV, hal ini juga didukung dengan adanya regulasi dan peraturan daerah terkait penanggulangan HIV dan AIDS Perda No. 5 th 2008 tentang penanggulangan HIV dimana didalamnya diuraikan menganai penanggulangan HIV dan AIDS adalah srangkaian upaya terpadu dan peningakatan perilaku hidup sehat untuk menekan laju penularannya memalui kegiatan promosi, pencegahan.
B. Ekonomi Anggaran APBD sebesar 2,5 M dialokasikan untuk dinkes sebagai keperluan belanja barang, Proporsi APBD untuk sektor kesehatan, data dari paparan pada pertemuan Forum Kebijakan Kesehatan Indonesia (FKKI) di kota Padang, September 2015 adalah APBD sebesar Rp. 23 M sedang mitra pembangunan internasional (MPI) sebesar Rp. 3 M. Sedangkan untuk Proporsi biaya kesehatan sebesar 13,09 % atau Rp. 5.217.663.189.802 dari total belanja langsung APBD 2015 sebesar Rp.39.861.493.329.050. Jumlah tersebut dialokasikan untuk Dinas Kesehatan, Sudin Kesehatan 6 Kota/Kabupaten, 5 UPT di bawah Dinas Kesehatan, 8 RSUD/RSKD dan 44 Puskesmas Kecamatan.
9
C. Hukum Dan Regulas Kebijakan daerah provinsi DKI Jakarta melalui peraturan gubernur nomor 123 tahun 2014 mengenai kepesertaan dan pelayanan jaminan kesahatan yaitu membebaskan biaya pelayanan kesehatan di puskesmas, rumah sakit daerah dan rumah sakit yang bekerjasama untuk pelayanan kesehatan yang tidak termasuk dalam program jaminan kesehatan nasional (JKN) termasuk didalamnya pelayanan infeksi menular seksual (IMS), pelayanan HIV dan AIDS dan pelayanan harm reduction(HR).
D. Permasalahan Kesehatan • “Dasar epidemiologinya mereka cukup baik, siapa saja yang bekerja untuk permasalahan AIDS di DKI, ada 2 dasar, yang pertama adalah sifatnya pelaporan yang kemudian mereka rekap. Kemudian mereka juga melakukan penelitian penelitian epidemiologi, terutama sekali yang bentuknya behavior design tadi studi perilaku. Yang bekerja jadi dinas kesehatan terutama yang menyangkut permasalahan penyakit menular, kemudian puskesmas tentu kemudian RS, lalu LSM, dan sebenarnya mungkin secara potensial yang dilibatkan adalah kecamatan dan kelurahan” (wawancara Kepala Klinik HIV RSK Dharmais Jakarta, Juli 201 • ”Yang saat ini sedang pupoler adalah pelayanan kesehatan di rumah susun. Dengan adanya perluasan pelayanan tersebut kami manfaatkan yaitu bila ditemukan ibu hamil di rumah susun maka langsung kami lakukan tes HIV baik ibu maupun suaminya (sejalan dengan permenkes).Harapannya tahun depan dapat diperluas lagi jangkauannya” (wawancara mendalam dengan Dinkes DKI Jakarta, September 2015).
10
Gambaran kasus HIV dan AIDS di DKI Jakarta tahun 2011 ‐ 2014
Sumber : arah kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS, KPAP 2014
IV. Analisis Pemangku Kepentingan A. B. C. D.
Bappeda Dinas Kesehatan Rumah Sakit Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi/ Kabupaten (KPAP/K) E. Pusat Kesehatan Masyarakat (PKM) F. Populasi Kunci G. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
11
KEPENTINGAN
LSM POPULASI KUNCI
BAPEDA DINKES MPI KPA PKM & RS
KEKUASAAN
Tingkat
Sistem
Program
Skoring Stakeholder KepentinganKekuasaan BAPEDA T DINKES T MPI T KPA kabupateT LSM T PKM dan RS T Populasi KuncT
T T T T R T R
V. Analisis Tingkat Integrasi A. B. C. D. E. F. G. H.
Manajemen dan regulasi Pembiayaan Sumber daya manusia Penyediaan farmasi dan alat kesehatan Informasi strategis Partisipasi masyarakat Penyedian layanan Penilaian integrasi kedalam fungsi sistem kesehatan
12
No
Fungsi Sistem Kesehatan
1 2
Manajemen dan Regulasi Regulasi Formulasi kebijakan Akuntabilitas Pembiayaan Pengelolaan sumber pembiayaan Penganggaran, proporsi, distribusi dan pengeluaran Mekanisme pembayaran layanan Sumber daya manusia Kebijakan dan sistem manajemen Pembiayaan Kompetensi Penyediaan farmasi dan alkes Regulasi penyediaan, penyimpanan, diagnostik dan terapi Sumber daya Informasi strategis Sinkronisasi sistem informasi Doseminasi dan pemanfaatan Partisipas masyarakat Penyediaan layanan Ketersediaan layanan Koordinasi dan rujukan Jaminan kualitas layanan
3 4
5 6 7
Dimensi Tingkat intergrasi
Dimensi Tingkat Integrasi Sub Sistem
P P T P
P
T
T T T
P
P P
T
T
T P
P
P T P P P
T P
VI. Kontribusi Integrasi terhadap Efektivitas Program A. Efektivitas program 1. Kuantitas 2. Kualitas
B. Hubungan Integrasi terhadap efektivitas C. Faktor‐faktor yang mempengaruhi ART kedalam sistem kesehatan
13
A. Efektivitas program 1 1.
Kuantitas –
–
– –
Target RPJMD urusan kesehatan terkait penanggulangan HIV dan AIDS dalam program pengendalian penyakit dan kesehatan lingkungan dimana indikator kinerja program (outcome) persentase akses layanan kesehatan pada ODHA dengan capaiannya 44% (tahun 2013) dan target 45% (tahun 2014) dan 50% (tahun 2015). Indikator proporsi penduduk terinfeksi HIV lanjut yang memiliki akses pada obat – obatan anti retroviral dan telah tercapai 80,6% pada tahun 2015 angka tersebut sudah menunjukkan adanya peningkatan dan sudah melebihi target nasional untuk pengobatan yaitu 60%. Bertambahnya satelit ART yaitu 17 PKM satelit dan 13 PKM yang kemudian akan dikembangkan sebagai satelit. Dukungan pembiayaan dalam bentuk adanya mata anggaran program HIV dan AIDS di dalam APBD DKI Jakarta
A. Efektivitas program 2 2. Kualitas • Seluruh penduduk DKI Jakarta dapat dengan mudah untuk mengakses layanan begitupun orang miskin dan kelompok marjinal • Ketersediaan layanan RSUD di DKI Jakarta telah mencakup pelayanan pasien secara menyeluruh dari VCT, PITC dan PMTCT, ART dan terus berjalan kemudian perawatan IO dan dalam kepatuhan obat • Dari berbagai faskes tidak ditemukan adanya sigma petugas tehadap pasien, sehingga hal ini juga dapat menjadi salah satu indikator kenyamanan ODHA untuk kembali ke faskes. “Ya dari penyedia layanan Cukup bagus, dari loketnya, sampai suster, dokter dan di polinyapun terdapat anak anak lsm yang kita bisa sharing ya jadi kita kalo kita merasa kurang puas dengan jawaban dari dokter, teman2 dari lsm membantu lebih detil lagi menjelaskan”. (wawancara dengan populasi kunci, September 2015).
14
B. Hubungan integrasi terhadap efektivitas 1. 2. 3.
4.
5.
6.
7.
Manajemen dan Regulasi, Pengaruh terhadap pogram ART adalah tertuangnya dalam regulasi daerah sebagai pedoman pelaksaan program. Pembiayaan, penganggaran dana melalui pemerintah daerah sangat mempengaruhi keberlangsungan program dalam hal ini program ART dan cakupannya. Sumber Daya Manusia, SDM sebagai pelaksana dalam menjalankan program ART. Ketersediaan SDM dalam jumlah yang cukup sangat dibutuhkan dalam menjalankan program melalui pelayanan di faskes. Selain jumlah, kompetensi juga merupakan unsur yang penting dalam hal ini. Penyediaan Farmasi dan Alkes, merupakan bagian utama dalam program ART. Yang menjadi fokus bukan sekedar ketersediaan ART tetapi juga penunjangnya yaitu pemeriksaan CD4 dan viral load serta penyediaan reagen yang secara penilaian belum terintegrasi Informasi Strategis, sistem Informasi sebagai komponen penting keberhasilan program, Sistem ini harus mencakup layanan oleh KPAP, KPAK, rumah sakit, puskesmas, dan LSM. Informasi yang saat ini berjalan bermanfaat dalam membantu mengindikasikan keberhasilan program. Konsekuensi dari tingkat integrasi yang penuh adalah pemanfaatan data yang dapat digunakan untuk perencanaan dan monev program ART sehingga konsekuensinya sanga mempengaruhi program. Patisipasi Masyarakat, sampai saat ini masih sangat sulit melibatkan masyarakat dalam pelaksanaan program ART. Partisipas baru sampai perwakilan populasi kunci di LSM yang sudah terlibat dalam program ART. Penyediaan Layanan, Seluruh penduduk DKI Jakarta dapat dengan mudah untuk mengakses layanan melalui faskes yang tersedia. Pemerataan jumlah penyedia layanan sangat mempengaruhi cakupan program yang tentunya akan meningkatkan kualitas program dan juga dampak yang diharapkan dari program ART. Hal ini sudah dirasakan efektif bagi penerima manfaat dalam pelaksanaan program.
Faktor –faktor yang mempengaruhi ART dalam sisten kesehatan 1.
2.
3.
Pengaruh besar yang mempengaruhi yaitu dari dimensi konteks dimana didalamnya terdiri dari komitmen politik yang memegang peranan penting dalam menentukan pemerintah daerah menetapkan skala prioritas masalah yang akan ditangani kemudian di terjemahkan melalui kebijakan dan pengalokasian anggaran daerah. Dalam mengimpelementasikan regulasi yang telah ditetapkan dalam program ART terdapat faktor yang memiliki pengaruh antara lain fungsi sistem kesehatan yang memiliki masing – masing sub sistem saling mempengaruhi satu sama lainnya, misalnya manajemen regulasi menjadi awal dari berjalannya program ART kemudian pengelolaannya bergantung pada sumber daya, ketersediaan bahan dilapangan, keterjaminan pembiayaan kesehatan dan ketersediaan layanan. Untuk meyakinkan program ini berjalan dengan baik tentunya keterlibatan masyarakat memiliki fungsi yang dapat menjadi indikator dari keberhasilan keberlangsungan dan jangkauan program Dalam menjalankan program ART dalam sistem kesehatan diperlukan komponen yang saling berkaitan sehingga dapat memastikan program tersebut berjalan dalam sebuah sistem yang telah dibangun.
15
VII. Pembahasan dan Diskusi 1 • Dari hasil analisa hubungan integrasi dan kinerja program di DKI Jakarta terdapat sub sistem yang menunjukkan hasil yang tidak sesuai dengan kerangka konsep dimana sub sistem ini seharusnya terintegrasi penuh dalam menjamin kinerja program. Sub sistem tersebut adalah penyediaan farmasi dan alkes, dimana masih terdapatnya sistem yang berjalan saling tidak berintegrasi. • Potensi lokal yang mendukung kebijakan dalam strategi penanggulangan HIV dan AIDS telah mulai tumbuh. Potensi ini dapat dilihat dari banyaknya peraturan pemerintah mengenai HIV dan AIDS yang telah dihasilkan baik di tingkat daerah. Hasil ini sejalan dengan hasil yang didapatkan juga dalam penelitian ini dimana pemerintah daerah menjalan regulasi yang merupakan turunan dari pusat. Sehingga hubungan vertikal dalam pengadaan dapat dijalankan oleh pemerintah daerah dengan baik.
VII. Pembahasan dan Diskusi 2 •
•
Sub sistem pembiayaan program dalam sistem kesehatan masih ada yg menunjukan integrasi yang belum penuh meskipun hasil kinerja program baik. Tetapi hal ini tidak menjadikan kinerja program menjadi tidak efektif. Dukungan pemerintah pusat dalam hal pembiyaan masih sangat mendukung secara penuh sehingga daerah mendapatkan manfaat yang optimal. Alokasi APBN serta adanya dukungan dari MPI untuk program masih sangat kuat dalam menunjang keberlangsungan program. Dukungan APBD sangat menunjang dalam keberlangsungan program melalui pendanaan kegiatan penunjang program. Sub sistem sebagian juga di alami oleh SDM, dimana sub sistem ini merupakan bagian yang penting dalam hal pelaksanaan progam langsung kepada end user. Penanganan khusus pada kasus ini akan berbeda dengan kasus lain karena ada kondisi spesifik yang juga membutuhkan kompetensi khusus bagi SDM yang terlibat sehingga perlu adanya intervensi khusus terhadap SDM yang berkontrbusi dalam program dan ini berlaku pada semua jenis SDM. Dalam hal ini pemerintah daerah telah mengambil tanggung jawab dalam pembinaan SDM melalui pelatihan–pelatihan kompetensi spesifik bagi SDM di pelayanan HIV. Pelatihan‐ pelatihan ini penting untuk meningkatkan kapasistas kompetensi dan memperbarui pengetahuan SDM. Selain itu pelatihan juga bermanfaat untuk mengantisipasi rotasi kepegawaian yang dilakukan oleh BKD.
16
VII. Pembahasan dan Diskusi 3 • Sub sistem informasi strategi telah terintegrasi penuh dimana sistem informasi yang saat ini berjalan merupakan kegiatan kunci dalam regulasi program mulai dari perencanaan, pendistriibusian dan monitoring di tingkat daerah. SIHA juga telah diintegrasikan dengan Sistim Informasi Kesehatan di DKI Jakarta. • Sub sistem yang tidak penuh adalah partisipas masyarakat, dimana seharusnya kontribusi masyarakat menjadi salah satu sektor yang memberikan kontribusi terhadap berjalannya program. Tidak ada sistem yang secara langsung melibatkan masyarakat sampai dengan monitoring keberlangsungan program • Kinerja program yang optimal di DKI Jakarta saat ini didapatkan dengan optimalisasi sistem pelayanan kesehatan baik dari segi kualitas unit layanan dan cakupan jumlah untuk layanan yang mudah diakses serta hal terpenting adalah sistem rujukan yang mudah.
VIII. Kesimpulan dan Rekomendasi A. Kesimpulan B. Rekomendasi
17
A. Kesimpulan 1 1.
2.
3.
Integrasi manajemen dan peraturan terkait penanggulangan AIDS ke dalam sistem kesehatan berkontribusi terhadap efektivitas program penyediaan layanan ART di Provinsi DKI dibuktikan dengan akses terhadap ART mencapai 80% oleh populasi kunci. Integrasi pembiayaan kesehatan terkait penanggulangan AIDS ke dalam sistem kesehatan belum terkontribusi secara penuh berkontribusi terhadap program penyediaan layanan ART di Provinsi DKI karena untuk program ART masih sangat tergantung oleh pusat berdasarkan hasil wawancara dengan kepala program HIV dan AIDS Dinkes DKI Jakarta. Integrasi sumber daya manusia terkait penanggulangan AIDS ke dalam sistem kesehatan berkontribusi terhadap program penyediaan layanan ART di Provinsi DKI ditunjukan dengan adanya alokasi dana dan program pelatihan oleh dinas kesehatan DKI Jakarta sebanyak 200 juta.
A. Kesimpulan 2 4. Integrasi penyediaan pasokan dan peralatan medis terkait penanggulangan AIDS ke dalam sistem kesehatan berkontribusi terhadap program penyediaan layanan ART di Provinsi DKI belum terintegrasi secara menyeluruh, hal ini ditunjukan oleh belum masuknya anggaran untuk pemeriksaan indikator pengobatan ARV kedalam anggaran APBD. 5. Integrasi informasi strategis terkait penanggulangan AIDS ke dalam sistem kesehatan berkontribusi terhadap program penyediaan layanan ART di Provinsi DKI dengan cara menyediakan website informasi AIDS yang dapat dengan mudah diaskes. 6. Integrasi partisipas masyarakat terkait penanggulangan AIDS ke dalam sistem kesehatan berkontribusi terhadap program penyediaan layanan ART di Provinsi DKI belum optimal, hal ini ditunjukan oleh masih kurangnya kontribusi masyarakat dalam program HIV dan AIDS.
18
B. Rekomendasi 1 1.
2.
3.
4.
Disusunnya regulasi secara spesifik dan jelas yang mengatur regulasi program yang mencakup semua alur proses dalam program ART di DKI Jakarta oleh dinas kesehatan. Memulai inisiasi perencanaan penganggaran daerah untuk pemenuhan kebutuhan ART secara parsial untuk memastikan kesiapan daerah jika suatu saat pembiayaan ART harus melibatkan pendanaan daerah, termasuk didalamnya penyediaan farmasi dan alkes terkait program ART oleh Bappeda dan dinkes dengan mulai melakukan perencanaan penganggaran. Memenuhi kebutuhan SDM sesuai jumlah yang dibutuhkan dengan menggunakan rasio beban kerja. Mempersiapkan SDM yang kompeten dalam pelayanan HIV dalam setting layanan kesehatan sesuai dengan jenjang pelayanan serta menetapkan standar kompetensi khusus bagi tenaga profesional dan non pofesional yang terlibat dalam pelayanan HIV, sehingga ada penjaminan kualitas SDM. Memberikan pelatihan HIV dan IMS sebagai pelatihan dasar SDM dengan tujuan menurangi stigma dikalangan petugas kesehatan dan petugas lain yang dilakukan oleh unit kerja yang dikoordinir oleh dinkes. Adanya perencanaan peningkatan kompetensi secara berkesinambungan bagi tenaga profesional dan non pofesional yang terlibat dalam pelayanan HIV di unit kerja dan program terstadar dari dinkes
B. Rekomendasi 2 5. Sistem infomasi yang telah berjalan ditingkatkan lagi baik dari segi sistem dan juga user yaitu SDM yang terlibat serta kepastian koneksi jaringan sehingga sistem informasi akan lebih menunjang efisiensi kinerja program dengan cara meningkatkan kemudahan akses informasi terkait program HIV dan AIDS agar pemanfaatan data dapat ditingkatkan. 6. Meningkatan keterlibatan masyarakat dalam menunjang program, yaitu memalui sosialisasi aktif, mengusahakan keterlibatan masyarakat dan mempeluas/menambah WPA di seluruh wilayah DKI Jakarta yang dikoordninir oleh masing – masing pemerintah kota. 7. Sistem informasi yang telah berjalan agar ditingkatkan kualitasnya baik dari segi muatan informasi dan juga integrasi dengan sistem yang telah ada karena akan memberikan manfaat bagi pihat terkait Misalnya bagi unit kerja yang memberikan pelayanan HIV sebagai bahan evaluasi program maupun untuk perencanaan. 8. Adanya penelitian lanjut yang lebih berfokus kepada dampak lanjut dari program ART.
19
Lampiran 3c
forBetter Policy AIDS
Studi Kasus: Integrasi Respon HIV dan AIDS ke dalam Sistem Kesehatan dan Efektivitas Program Layanan Alat Suntik Steril di DKI Jakarta PPH Atma Jaya – PKMK Universitas Gadjah Mada
Latar Belakang • Indonesia lower middle‐income country • Pendanaan asing untuk HIV berkurang bagaimana dengan sustainability program? • Program LASS didukung oleh dana asing yang akan menghentikan pendanaannya pada akhir tahun 2015 • 10% dari seluruh populasi penasun berada di Jakarta (Kemkes, 2013) • Kebutuhan tinggi akan program pengurangan dampak buruk
1
Pertanyaan Penelitian ”Apakah integrasi kebijakan dan program LASS ke dalam sistem kesehatan memberikan kontribusi pada efektivitas pecegahan HIV dan AIDS di DKI Jakarta?”
Tujuan Penelitian Untuk melihat secara sistematik kontribusi integrasi respon LASS ke dalam sistem kesehatan terhadap efektivitas respon AIDS tingkat provinsi DKI Jakarta dan mengidentifikasi mekanisme yang memungkinkan integrasi tersebut dapat berkontribusi terhadap efektivitas respon LASS.
2
Kerangka Penelitian
Metode Penelitian • Penelitian kualitatif: studi kasus program LASS di Jakarta • Pengambilan data primer dan sekunder di level provinsi dan kotamadya
3
Pengambilan Data: Primer Wawancara mendalam mengenai: a. Konteks kebijakan respon HIV dan AIDS di suatu wilayah yang mencakup konteks politik, ekonomi, hukum dan regulasi serta permasalahan kesehatan b. Pelaksanaan fungsi‐fungsi sistem kesehatan (manajemen dan regulasi, SDM, pembiayaan, penyediaan farmasi dan alkes, informasi strategis, partisipasi masyarakat dan penyediaan layanan) di tingkat sistem kesehatan daerah dan tingkat program HIV dan AIDS
Pengambilan Data: Sekunder a. Data Kontekstual (kebijakan pemda, anggaran daerah, dokumen perencanaan/laporan kinerja daerah, situasi kesehatan, data epidemiologi; b. Data pendukung pelaksanaan fungsi‐fungsi sistem kesehatan (Manajemen dan regulasi, SDM, pembiayaan, penyediaan farmasi dan alkes, informasi strategis, partisipasi masyarakat dan penyediaan layanan); c. Indikator yang mencakup indikator keluaran, hasil dan dampak program baik yang terkait dengan jenis intervensi LASS maupun data kinerja penanggulangan AIDS secara keseluruhan
4
Pemilihan Responden Kategori Informan
(N)
Keterangan
L
P
Total
‐
4
4
Bappeda, Dinas Kesehatan Prov., KPAP, Biro Kesos
Program HIV & AIDS
13
8
21
Puskesmas, Sudinkes, KPAK, LSM
Sistem Kesehatan dan Program HIV&AIDS
3
4
7
Dinkes, KPAP, Kepala Puskesmas
Kualitas Layanan
9
1
10
Penasun
TOTAL
25
17
42
Sistem Kesehatan
Analisa Konteks: Komitmen Politik ‐ Isu HIV sudah masuk RPJMD Jakarta 2013‐2017 ‐ Dinkes DKI Jakarta sebagai leading sector untuk penanggulangan HIV ‐ Sudah ada Perda HIV (No.5/2008) sebagai payung hukum program harm reduction ‐ Bantuan dari HCPI untuk program LASS, kerjasama dengan Puskesmas, namun kurang koordinasi dengan Bappeda ‐ Permenkes 78/2014: SUFA
5
Analisa Konteks: Ekonomi ‐ APBD: 10% untuk kesehatan ‐ Dana HIV meningkat (30 M menjadi 53 M di 2014) ‐ Alokasi dana untuk HIV dari APBD:APBN = 70:30
Analisa Konteks: Hukum & Regulasi ‐ Perda No. 5/2008: penanggulangan HIV ‐ Perda No.4/2009: upaya kesehatan tingkat dasar di kelurahan mencakup pencegahan dan pemberantasan penyakit menular. ‐ Pergub no.123/3014: HR dan layanan HIV‐AIDS masuk ke layanan dasar; tambahan kuota APBD untuk akses layanan kesehatan dasar selama warga Jakarta ‐ RPJMD 2013‐2017: indikator sasaran untuk penurunan prevalensi HIV dengan layanan kesehatan, pengetahuan komprehensif ‐ Kebijakan BNN, Satpol PP ada yang counter‐productive terhadap upaya kesehatan ‐ Program penjangkauan dari Puskesmas “Ketuk Pintu dengan Hati”
6
Analisa Konteks: Permasalahan Kesehatan ‐ Jumlah kasus HIV dan AIDS di Jakarta semakin meningkat; tertinggi di Indonesia. Prevalensi meningkat dari 8.1% ke 17.2% di kelompok risti (IBBS 2007 dan 2011) dasar masuk RPJMD 2013‐2017 ‐ Sudah ada berbagai upaya monev dari berbagai pihak (Kemenkes, KPA, donor), namun informasi belum tersinkronisasi dengan baik untuk memetakan kebutuhan dengan optimal. ‐ Upaya meningkatkan Puskesmas menjadi RS tipe D, namun ada masalah dalam hal SDM yang terbatas.
Analisa Pemangku Kepentingan Tingkat
Sistem
Stakeholder
Kepentingan
Bappeda
Bappeda tidak memiliki kepentingan spesifik terhadap program LASS. Namun, karena HIV masuk dalam RPJMD dan menjadi prioritas kesehatan daerah (SK1) maka secara tidak langsung program LASS termasuk didalam perencanaan dan penganggaran
Dinkes
Melatih tenaga medis yang ada di bawah pemerintah dan menjadi tanggung jawab dinas kesehatan (P10).
Sudinkes
Supervisi kerja Puskesmas dan memberi bimbingan teknis (SK1).
MPI – HCPI
HCPI sebagai mitra pembangunan internasional yang memberikan dukungan langsung kepada program LASS melalui dukungan teknis dan logistic yang dimulai pada tahun 2009 (P14, SKP2, SK5, P3, SKP8).
Biro Kesos
Tupoksi Biro Kesos termasuk Perumusan kebijakan, kordinasi & monitoring evaluasi termasuk program HIV/AIDS (SK5), Menyelaraskan kebijakan antar SKPD (SK2)
7
Analisa Pemangku Kepentingan Tingkat
Stakeholder
Kepentingan
KPA Provinsi
Besaran dana yang dikelola KPAP 3 tahun terakhir, antara lain 14M, 14M, 17M (P10); KPAP yang mengkoordinir dengan sektor lainnya (SK5)
KPA Kotamadya
Memimpin, mengelola, mengendalikan dan memantau dan mengevaluasi pelaksanaan HIV/AIDS di Kotanya. Bertanggungjawab untuk masalah HIV di wilayahnya yang dilakukan melalui supervisi langsung ke tempat pelaksana, melakukan koordinasi lintas sektor tingkat kota.
Program
LSM Populasi Kunci Puskesmas
Memiliki kepentingan untuk melakukan pencegahan terhadap penerima manfaat yang diwakili Terdampak langsung dengan HIV/AIDS, kualitas hidup tergantung pada pelayanan HIV yang tersedia. Puskesmas sebagai leading sector sebagai kordinator di wilayah (SK5)
Analisa Pemangku Kepentingan Kepentingan
KPA Propinsi, KPA Kota, Populasi Kunci, LSM, Sudinkes
Dinkes, Puskesmas, MPI Kekuasaan
BAPPEDA, Biro Kesos
8
Analisa Tingkat Integrasi
MANAJEMEN & REGULASI Regulasi
Sedang
Apakah tata kelola dan regulasi pada sistem kesehatan tercermin dalam tata kelola dan regulasi dalam program LASS?
Dua dimensi regulasi dan regulasi kebijakan memiliki tingkat integrasi sedang, dan satu dimensi akuntabilitas bernilai rendah. Secara umum regulasi dan manajemen LASS di Jakarta sudah berjalan dan dilakukan sesuai dengan sistem kesehatan walaupun belum berjalan dengan sempurna.
Formulasi Kebijakan
Sedang
Apakah proses pengembangan program (perencanaan, penganggaran, alokasi dana dan pertanggungjawaban) menggunakan mekanisme penyusunan program dalam sistem kesehatan di daerah tersebut?
Dari sisi anggaran, alokasi dana program LASS dapat dimasukan melalui APBD/BLUD dengan mengikuti sistem yang berlaku di Pemda DKI Jakarta. Bappeda juga turut terlibat dalam pererencanaan. Namun dari sisi perencanan, program LASS belum melibatkan masyarakat, baik dari sisi Musrencbang ataupun meminta masukan dari Kader Muda atau LSM sebelum proses perencanaan dimasukan dalam APBD/BLUD. Proses perencanaan masih terkonsentrasi di kordinator program HR di Puskesmas. Dalam proses perencanaan KPAP sudah melalui Rakerda, namun tidak selalu melibatkan Bappeda dalam perencanaan. Program LASS masih banyak didukung oleh Donor yang memiliki alur perencanaan sendiri dan tidak masuk dalam sistem kesehatan daerah.
Akuntabilitas
Rendah
Apakah masyarakat memiliki akses untuk ikut dalam proses monitoring dan evaluasi program kesehatan umum yang dilaksanakan di daerah ini dan terlibat dalam pengambilan keputusan? Apakah hal yang sama terjadi dalam program HIV dan AIDS (LASS, dll)
DKI Jakarta memiliki mekanisme Musrenbang sebagai bentuk pelibatan masyarkaat dalam perencanan. Namun mekanisme tersebut belum digunakan untuk program HIV atau LASS. Walaupun LSM sudah mulai dilibatkan dalam perencaan dan evaluasi, namun belum ada aturan yang jelas mengenai prosesnya. Populasi kunci belum dilibatkan dalam proses evaluasi dan perencanaan.
9
PEMBIAYAAN Pengelolaan sumber pembiayaan
Sedang
Apakah pemerintah daerah mengkoordinasikan dan mengelola sumber pembiayaan untuk program LASS yang berasal dari berbagai sumber?
Dana HIV dan LASS di DKI pada dasarnya bersumber dari APBD, APBD hibah, BLUD dan Donor. Dana ini dikelola oleh berbagai institusi seperti KPAP/K, Dinkes, Puskesmas dan LSM. Sampai saat ini belum ada pengelolaan dana CSR atau swasta di DKI Jakarta untuk HIV&AIDS. Untuk dana APBD dan BLUD yang berada dibawah alur kordinasi Dinkes, sudah ada mekanisme monitoring anggaran dan singkronisasi anggaran untuk mencegah tumpang‐tindih alokasi dana untuk program. Namun untuk dana yang dilkelola oleh KPAP belum ada mekanisme monitoring anggaran.
Penganggaran, proporsi, distribusi
Tinggi
Apakah ada mata anggaran program HIV dan AIDS LASS di dalam APBD?
Dana APBD sudah digunakan untuk membiayai program HIV di DKI Jakarta. Sumber dana ini diakses oleh SKPD, UPTD dan KPAP. Walaupun besaran untuk setiap institusi bervariasi, namun dana ini sudah diakses secara rutin selama beberapa tahun kebelakang.
Mekanisme pembiayaan layanan
Sedang
Apakah JKN atau jamkesda bisa digunakan oleh masyarakat untuk memanfaatkan layanan perawatan dan pengobatan HIV termasuk program‐program seperti LASS?
Walau BPJS tidak menanggung logistik yang bersifat preventif seperti Jarum untuk program LASS, tapi penasun yang sakit dapat tetap mengakses BPJS. Pemda sudah menambang alokasi anggaran BPJS untuk menanggung masyarakat terlantar sesuai dengan Pergub 123/2014. Dana kapitas BPJS di Puskesmas sudah digunakan untuk merawat pasien
SDM Kebijakan & sistem manajemen
rendah
Tidak ada aturan khusus yang mengatur tentang program LASS hanya pertauran umum tentang PNS dan Non‐PNS. Tidak ada daftar kompetensi formal yang dibuat sebagai prasyarat rekruitmen. Staf melakukan pendaftaran sebagai staf umum dan ditempatakan untuk LASS dan merangkap dengan tugas lain.
Pembiayaan
Tinggi
Apakah ada regulasi yang mengatur tentang SDM yang digunakan dalam program seperti LASS di daerah ini? (kompetensi, pengembangan kapasitas, penempatan/mutasi, hubungan kerja dengan non pemerintah) Apakah pembiayaan pengelolaan SDM untuk program seperti LASS, menggunakan pembiayaan di sektor kesehatan (pemerintah)?
Kompetensi
Sedang
yang bekerja dalam program LASS mengacu dalam peraturan tentang SDM kesehatan yang berlaku?
Ada dukungan dana yang digunakan untuk membayar staf non‐ PNS seperti kader muda dan petugas penjangkau LSM yang bersumber dari BLUD dan APBD hibah. Ada dasar hukum surat edaran kepala Dinkes No 3884/1.779/2009 yang mengenai pendanaan mandiri yang menyatakan dukungan dana dari BLUD untuk kader muda Tidak ada regulasi khusus yang mengatur, namun staf dalam LASS mengikuti pelatihan terkait HR yang dilakukan Dinkes dan Donor. Dana BLUD dapat digunakan untuk melakukan referesher bila diinginkan
10
PENNYEDIAAN ALKES Regulasi, penyediana, Tinggi diagnistik
Sumber daya
INFORMASI STRATEGIS Singkronisasi informasi strategis
Diseminasi & Pemanfaatan
Tinggi
Sedang
Sedang
PARTISIPASI MASYARAKAT Partisipasi Rendah masyarakat
Apakah regulasi penyediaan, penyimpanan material , diagnostik, dan terapi terkait program seperti LASS di daerah tersebut seperti untuk permasalahan kesehatan lain di daerah tersebut atau disediakan oleh JKN? (reagen, ARV, kondom, jarum suntik, mesin CD4 dan VL) Apakah sumber pembiayaan untuk penyediaan, penyimpanan, dan distribusi obat dan perlengkapan medik untuk HIV dan AIDS seperti LASS masuk di dalam anggaran dinas kesehatan atau ditanggung oleh JKN?
Logistik LASS sudah terintegrasi dalam alur penyediaan farmasi dan alkes di PKM, melalui bagian logistik. Dana BLUD bisa digunakan untuk membeli logistik. Sudah ada surat edaran Kadis untuk mandiri program HR
Apakah program HIV dan AIDS seperti LASS menggunakan sistem informasi yang digunakan oleh dinas kesehatan? (surveilans, survey, monitoring dan evaluasi program berdasarkan input, proses, output) Apakah hasil pengolahan data sistem informasi program HIV dan AIDS LASS yang ada saat ini digunakan untuk perencanaan dan pengembangan program HIV di daerah tersebut?
Sudah ada surbveilance dan monitoring, ada pemetaan, namun belum ada evaluasi program berdasrkan input proses dan output. Evaluasi hanya berdasarkan pencapaian program saja
Sumber pembiayaan untuk penyediaan LASS dari BLUD PKM. Sudah ada surat edaran Kadis ttg kemandirian PKM.
Sudah ada upaya untuk menggunakan laporan sebagai pengembangan perencanaan program walaupun belum sempurna. Ada singkronisasi data 3 bulanan, perhitungan hasil mapping sudah disesuaikan dengan kebutuhan jarum
ponci belum terlibat, LSM terlibat sebatas undangan dalam Apakah masyarakat umum dan populasi kunci terlibat secara strategis kegiatan dalam proses perencanaan hingga evaluasi program seperti LASS di daerah?
11
PENYEDIAAN LAYANAN Ketersediaan layanan
Tinggi
Ketersediaan layanan
Tinggi
Jaminan kualitas
Sedang
Apakah tersedia layanan penanggulangan HIV dan AIDS seperti LASS di fasyankes primer dan sekunder di daerah ini? Apakah layanan seperti LASS yang ada di didaerah ini dikoordinasi oleh Dinas Kesehatan melalui KPAD sebagai penanggung jawab pembangunan kesehatan termasuk penanggulangan HIV dan AIDS di daerah ini? Apakah ada mekanisme supervisi dan evaluasi untuk menjamin kualitas program layananseperti LASS seperti halnya mekanisme dalam pelayanan kesehatan lainnya? (penerapan SOP layanan, ketaatan terhadap petunjuk pelaksanaan, akreditasi, survei kepuasan klien, dll)
Layanan LASS sudah tersedia di fasyankes primer dan sekunder di DKI Jakarta dengan jumlah 70% dari PKM Kecamanatan yang mengcover secara merata kotamadya di JKT Sudah ada kordinasi dan pelaporan dibuat berjenang, ada pertemuan singkorinisasi data yang digagas oleh KPAP/K dan mengunang semua unsur PKM, Sudinkes, LSM
LASS belum masuk ISO, tapi ada monev untuk croscheck data, ada supervisi
Kinerja Program LASS • 64% penasun sudah terjangkau program LASS (KPAP, 2014) • Penasun mendapat sekitar 4 jarum bersih per minggu (SIHA, 2014) • Belum ada perubahan perilaku yang signifikan • Belum ada data perubahan perilaku, menunggu data IBBS 2015.
12
Kontribusi Integrasi terhadap Efektivitas Program LASS • Ketersediaan LASS merata di semua wilayah Jakarta, memudahkan akses penasun • Koordinasi dan rujukan antar fasyankes dan lintas sektor untuk program LASS sehingga program terus aktif dan menjangkau lebih banyak penasun. • Pembiayaan program LASS sudah masuk alokasi dana Pemda dengan kesempatan Puskesmas menganggarkan melalui BLUD untuk pengadaan jarum dan tenaga kerja (kader muda).
Pembahasan • Mekanisme perencanaan seperti Musrenbang masih kurang diutilisasi secara optimal dalam perencanaan program LASS kelompok penasun kurang terlibat • Kewenangan Puskesmas untuk menganggarkan untuk program LASS melalui BLUD menjadi kesempatan keberlangsungan program LASS • Musrenbang dapat mendukung akuntabilitas program untuk dapat memberi masukan berkala
13
Kesimpulan • Aspek yang terintegrasi penuh: Penganggaran, proporsi, distribusi dan pengeluaran; Pembiayaan; Ketersediaan Layanan; Koordinasi dan Rujukan • Terintegrasi sebagian: Regulasi; Formulasi Kebijakan; Pengelolaan sumber pembiyaan; Mekanisme pembiyaan; Kompensasi; Regulasi penyediaan penyimpanan, diagnostik; Sumber daya; Singkronisasi sistem informasi; Diseminasi dan pemanfaatan; dan jaminan kualitas layanan • Tidak Terintegrasi: Akuntabilitas; Kebijakan dan sistem manajemen; Partisipasi Masyarakat • Dengan tingkat integrasi demikian, jangkauan program LASS sudah melebihi sasaran KPAP, namun belum ada sistem monev yang memadai.
Rekomendasi Kementerian Kesehatan: • Membuat standard kompetensi pelaksana program program dengan mengacu pada panduan pelaksanan pengurangan dampak buruk versi revisi; • Mengembangkan Sistem Informasi HIV AIDS (SIHA) agar memperjelas tata kelola dan pelaporan LASS untuk mengindari overlapping pelaporan antara bagian penyakit menular dan kesehatan jiwa;
14
Rekomendasi (lanjutan) Dinas Kesehatan: • Memperjelas sistem rekrutmen dan deskripsi kerja bagi pelaksana program LASS termasuk kader muda berdasarkan standar kompotensi dari pusat; • Membuat kompilasi kebutuhan pelatihan dari Puskesmas dan Sudinkes secara berkala sebelum proses pengajuan APBD dilakukan, berdasarkan format resmi yang diedarkan; • Menerapkan sistem handover‐note dan pemetaan kebutuhan peningkatan kapasitas bagi posisi yang ditinggalkan sebagai solusi rotasi yang tinggi; • Menyediakan sistem rujukan BPJS dan layanan bagi warga yang tidak memiliki KTP • Melakukan kajian rencana peningkatan status puskesmas menjadi RS tipe D mengingat fitrah puskesmas sebagai layanan primer dengan akses dekat ke masyarakat; • Memasukan program LASS dan HIV dalam ISO puskesmas untuk menjamin kualitas layanan dan ketertiban administrasi dan pelayanan, termasuk membuka peluang masukan dari penerima manfaat;
Rekomendasi (lanjutan) KPAP/K: • Meningkatkan fungsi monitoring dan evaluasi terkuat program LASS terutama dalam konteks singkronisasi data, kebutuhan pelatihan dan partisipasi LSM dan komunitas, dan pencapaian target; • Mengembangkan sistem kontrak dengan LSM untuk mendukung pelaksanan program LASS melalui dana APBD hibah;
15
Rekomendasi(lanjutan) Puskesmas: • Meningkatkan kualitas SIHA dengan melakukan pelaporan secara berkala, termasuk melakukan analisa data capaian program; • Melibatkan penasun dalam perencanaan program sebagai bagian dari proses Musrenbang; • Mengaktifkan kembali peran kader muda untuk melakukan penjangkauan lapangan bersama LSM; LSM: • Mendalami dan terlibat dalam proses Musrenbang sebagai bagian dari advokasi anggaran program LASS.
Terima kasih
16
Lampiran 3d
forBetter Policy AIDS
Model Pelayanan Dalam Progam PMTS
Program Pencegahan Melalui Transmisi Seksual Pedoman PMTS KPAN 2010
PMK 21 – 2013 & Pedoman LKB 2012
Rekomendasi WHO 2009
WPS Lokalisasi
Semua Populasi kunci dan Masyarakat umum
Semua Populasi kunci
Pelayanan
Kondom, IPP, IMS
IPP, Kondom, IMS KT‐HIV, ART sbg pencegahan, PEP Sirkumsisi Medis Sukarela Laki‐laki KIE masyarakat umum
IPP, Kondom, IMS KT‐HIV, ART sbg pencegahan, PEP, PrEP Sirkumsisi Medis Sukarela Laki‐laki
Pelaksana
KPA, sektor kesehatan dan masyarakat
Sektor kesehatan dan Masyarakat
Sektor Kesehatan
Populasi
1
Penyediaan dan Distribusi Kondom • Dukungan regulasi: PMK 21‐2013, PMK 11‐2015, PMK 52‐2015, SE Menkes 129‐ 2013, Pedoman LKB‐2012, Pedoman PMTS‐2010
• Kegiatan yang saat ini tersedia di tingkat layanan primer: • Penyediaan kondom dan distribusi kondom di Puskesmas dan klinik IMS swasta, outlet‐outlet kondom di lokasi dan hotspot • Distribusi kondom lewat petugas lapangan dan peer educator • Penjualan kondom di berbagai toko obat, apotik dan berbagai jenis toko atau mart lainnya
• Masalah di tingkat sistem, organisasi, dan layanan: • Penyediaan dan distribusi kondom pada populasi kunci bersumber donor • Kondom dari BKKBN terbatas untuk aseptor KB • Tantangan sosial, budaya, politik dan agama masih menjadi
Manajemen IMS & Sirkumsisi Laki‐laki • Dukungan regulasi: PMK 21‐2013, SE Menkes 129‐2013, Pedoman IMS‐2011, SE Dirjen P2PL 823‐2013
• Kegiatan yang saat ini tersedia di tingkat layanan primer: • Pelayanan kesehatan perorangan primer berupa pemeriksaan dan pengobatan IMS baik di dalam gedung maupun dengan mobile klinik, begitu juga dengan sirkumsisi • Pelayanan kesehatan masyarakat primer berupa skrining IMS pada pekerja seks dan belum ada program sirkumsisi sebagai UKM
• Masalah di tingkat sistem, organisasi, dan layanan: • Layanan sudah terintegrasi kebijakan, manajemen pengelolaan dan teknis pelayanan kedalam pelayanan kesehatan perorangan primer (PKPP) • Belum ada kebijakan, sistem dan mekanisme pelayanan IMS dalam pelayanan kesehatan masyarakat primer (PKMP) ‐ Penapisan, Pengobatan Presumtif, dan Sirkumsisi • operasional PKMP berupa layanan mobile IMS masih sebagian besar di dukung dana GF‐ ATM
2
Pencegahan berbasis ART termasuk di dalamnya perluasan tes HIV • Dukungan regulasi: PMK 74‐2014, Pedoman LKB‐2012, SE Dirjen P2PL 823‐2013, PerPres 76‐2012, PMK 21‐2013, Kepemenkes 1190‐2004, SE Menkes 129‐2013, Pedoman ART‐2011
• Kegiatan yang saat ini tersedia di tingkat layanan primer: • Tes HIV dalam bentuk VCT (mobile dan dalam gedung), PITC, PMTCT • Pengobatan ARV
• Masalah di tingkat sistem, organisasi, dan layanan: • Layanan tes HIV dan ART cukup terintegrasi baik secara kebijakan, organisasi maupun teknis pelayanan kedalam PKPP • Penyediaan 95% sarana layanan tes dan ART sudah disediakan oleh pemerintah • Model pembiayaan sebagian besar operasional layanan mobile sebagai layanan KT HIV yang efektif menjangkau populasi kunci, masih berasal dari dana GF‐ATM
Komunikasi Perubahan Perilaku • Dukungan regulasi: PMK 21‐2013, SKB 432‐2012, SE Menkes 129‐2013 • Kegiatan yang saat ini tersedia di tingkat layanan primer: • Hampir semua KPP pada populasi kunci dilakukan oleh Petugas Lapangan • Fokus KPP pada populasi kunci mulai beralih dari mengurangi perilaku berisiko menjadi upaya mempromosikan layanan testing HIV dan IMS • Penyediaan media pendidikan kesehatan masyarakat di Puskesmas dan klinik IMS lainnya dan Program Kesehatan Peduli Remaja dengan pembentukan kader siswa peduli AIDS dan narkoba (KSPAN)
• Masalah di tingkat sistem, organisasi, dan layanan: • LSM masih mengandalkan bantuan dana lembaga internasional untuk melakukan penjangkauan di kantong‐kantong lokasi populasi kunci • Cakupan layanan IPP semakin menurun, persentase populasi kunci yang pernah menerima > 3 kali IPP dari petugas lapangan dalam 1 tahun terakhir hasil STBP 2007 (2%‐47%) dan 2015 (1%‐19%)
3
Terima kasih
4
Lampiran 3e
forBetter Policy AIDS
Notulensi diskusi Delphi DKI Jakarta, 5 April 2016 No
Domain dan Pertanyaan Reliability PMTS
Diskusi R1
R2
1.
Pencegahan melalui transmisi seksual (PMTS) adalah kunci keberhasilan penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia
47%
88%
29%
59%
2. Konsep PMTS yang dikampanyekan saat ini masih terfokus hanya pada pelayanan pencegahan berbasis lokasi/lokalisasi pada kelompok WPSL
3. Konsep PMTS yang berlaku sekarang perlu diperluas pendefinisian dan operasionalisasinya
71% 100%
R1
R2 Kegiatan PMTS dari pengalaman di lapangan hasilnya tidak signifikan karena dasar dari PMTS adalah perubahan perilaku sehingga capaiannya sulit. Perubahan perilaku pada PS sulit karena untuk cakupan ada kriteria2 yang harus dipertimbangkan dalam menghitung cakupan sehingga hasilnya tidak maksimal. Presumptif treatment juga dirasa kurang pas dalam PMTS, karena PS nya juga berganti-ganti sehingga banyak yang tidak bisa berkelanjutan pengobatannya. Kegiatan PMTS di lapangan seringkali banyak ditumpangi juga dengan kegiatan-kegiatan lainnya sehingga kurang fokus. Pemerintah daerah komitmennya masih rendah Dari banyak faktor tersebut pendapat saya PMTS di Jakarta khususnya berdasar pengalaman masih belum maksimal. Perlu juga dukungan dari stakeholder. Rendahnya kepentingan pemerintah ditunjukkan dari contoh pembubaran lokalisasi. Komitmen dari pemda masih kurang sehingga PMTS tidak efektif dan kebijakannya dianggap berubah-ubah. Penutupan lokalisasi berdampak semakin sulitnya penjangkauan, semakin banyak WPSTL. Layanan PMTS kurang pas bila dilihat dari waktu atau jam layanan dan juga jam kerja. Layanan di PKM tidak sesuai waktunya dengan jam teman-teman PS. Bila menyesuaikan dengan jam PS maka petugas akan kerja lebih panjang bisa sampai malam sementara insentifnya rendah. Mekanisme untuk melakukan tes dan pengobatan untuk semua PS juga kurang efektif. Tantangan untuk PMTS di masing-masing populasi kunci berbeda-beda mulai dari WPS, LSL maupun waria. Identitas sulit dipastikan, suka berganti-ganti. Untuk itu fokus layanan berbasis lokasi dianggap masih cukup baik, karena mereka biasanya memang ada tempat-tempat tertentu untuk bekerja atau berkumpul. Sepakat, seperti dijelaskan juga diatas, bahwa tantangannya berbeda-beda sehingga perluasan di masing-masing poci perlu dilakukan.
4.
5.
6.
7.
ke populasi kunci lainnya terutama WPSTL, LSL dan waria dan pria risiko tinggi Penyelenggaraan kegiatan PMTS masih sangat bergantung pada dukungan dana donor Pendekatan kelompok kerja (pokja) pencegahan melalui transmisi seksual sebagaimana diuraikan dalam berbagai peraturan dan pedoman terkait PMTS hanya efektif di lokalisasi Pembubaran lokalisasi memicu pembubaran pokja dan menghambat upaya pencegahan melalui transmisi seksual khususnya pada WPS langsung Pemberi pelayanan kesehatan primer puskesmas telah berperan optimal dalam pokja PMTS di lokalisasi
41%
53%
12%
65%
Saat ini dana di PKM untuk wilayah DKI Jakarta juga sudah ada dana untuk penanggulangan HIV. Bisa memanfaatkan dana BLUD namun memang perlu dukungan dan kerjasama dengan pihak2 lain terkait dengan usaha penjangkauan karena SDM PKM terbatas. Sementara itu LSM sendiri masih tergantung dengan MPI. Merasa bahwa pendekatan ini baru dicoba diimplementasikan di satu lokasi saja, belkum dicoba pada lokasi lain sehingga tidak yakin apakah bisa dilakukan dilokasi lain atau tidak
Banyak yang beranggapan memang memberikan pengaruh. 41%
13%
71%
69%
Lebih karena keterbatasan SDM sehingga menganggap dari PKM belum mampu bekerja secara optimal. Dari LSM berdasarkan pengalaman dilapangan ada perbedaan antara PKM satu dengan yang lain. Sangat tergantung dengan kemampuan dan kebijakan. Ada yang bisa memberikan pelayanan pagi dan malam bahkan subuh (24 jam).
Reliability Kondom 1. Pengadaan dan distribusi
2.
3.
4.
5.
6.
7.
kondom untuk populasi kunci masih dikoordinir oleh KPAN Pengadaan dan distribusi kondom yang dikoordinir oleh KPAN tidak akan berkelanjutan Saat ini penyediaan dan distribusi kondom melalui BKKBN masih terbatas pada akseptor KB sebagai alat kontrasepsi KPAN dan BKKBN tidak memiliki SDM untuk mendistribusikan kondom sampai ke populasi kunci Masih ada hambatan sosial, budaya, agama dalam pendisribusian kondom Distribusi kondom ke populasi kunci masih sangat bergantung pada petugas lapangan LSM Distribusi kondom di dalam gedung puskesmas belum dapat dilakukan
Cukup yakin 41%
71%
12%
41%
41%
94%
Di Jakarta sudah mulai ada pengadaan kondom mandiri. Alasan keraguan bahwa ketersediaan kondom di KPAN tidak berkelanjutan adalah karena masih besarnya penolakan penggunaan kondom atau kondom belum menjadi kebijakan utama yang disetujui oleh pemerintah. Dari PKM menyatakan penggunaan kondom dari BKKBBN tidak ketat, bisa dimanfaatkan untuk pencegahan HIV sehingga tidak harus akseptor KB. Dan selama ini belum pernah bermasalah untuk pelaporannya.
38%
75%
Untuk KPAN ada dana dari GF untuk SDM yang mendistribusikan kondom namun hanya sampai outlet terakhir bukan sampai poci. Untuk BKKBN belum ada info
Tidak ada masalah untuk distribusi selama target distribusinya adalah dari poci 65%
82%
47%
82%
Distribusi kondom untuk poci sudah tidak bergantung hanya pada petugas dari LSM namun konsepnya adalah mempermudah akses melalui outlet2. Jadi kapanpun bisa mengakses dari outlet tidak menunggu petugas
6%
29%
Pembagian kondom di puskesmas sudah dilakukan, bahkan ada di salah satu PKM yang membantu membagikan adalah satpam. Di protes dari UNAIDS.
8. Kondom di masyarakat luas yang dijual pasar masih terlalu mahal bagi masyarakat Indonesia dan populasi kunci 9. Kondom bisa menjadi barang bukti prostitusi sehingga menghambat pencegahan melalui transmisi seksual
Desirability dan Feasibility Kondom 1. Kebutuhan terhadap kondom dipenuhi melalui jalur BKKBN 2. Puskesmas mengadakan kondom dan lubrikan dari dana BOK
3. Puskesmas mengadakan kondom dan lubrikan dari dana BLUD
4. Puskesmas mengadakan kondom dan lubrikan dari dana kapitasi JKN 5. Dinas kesehatan menjamin distribusi kondom sampai ke populasi kunci dengan
12%
29%
Harga kondom dianggap masih wajar, bila dibandingkan dengan harga seks yang dijual atau dibeli. Namun masih ada juga yang beranggapan kondom yang berbayar masih cukup mahal, ada yang gratis namun konsekuensi di kualitas. Lebih baik kualitas yang berbayar
35%
Untuk panti pijat/urut karena sudah ada peraturan dan juknis yang jelas bahwa tidak boleh memberikan layanan lainnya. Pernah kejadian saat di panti pijat didapati kondom maka dilakukan penangkapan, namun setelah adanya pendekatan dan diskusi serta dikembalikan lagi pada komitmen PMTS maka kembali dibebaskan
76%
Desirability
Feasibility
25%
38%
36%
43%
6%
44%
21%
43%
31%
63%
43%
64%
6%
19%
14%
21%
25%
63%
29%
50%
Kebutuhan kondom dari PKM sementara ini tidak ada masalah. Dari BKKBN hanya komplemen saja, selain itu permasalahan terbesar adalah keluhan terkait kualitas kondom yang jelek Pengadaan kondom harus mempertimbangkan bagaimana distribusinya, jangan sampai hanya mengadakan tanpa mempertimbangkan kualitas dan jenis serta distribusinya. Dan apakah mampu memenuhi kebutuhan dari poci. Dana BOK adalah untuk program prioritas seperti KIA kesling dan salah satunya termasuk HIV. Di DKI dana BLUD nya cukup besar sehingga untuk kondom ini lebih memungkinkan untuk pemanfaatan dari BLUD dari pada BOK. Sudah ada pembagian nya untuk sumbersumber dana yang ada di PKM Termasuk dana kapitasi sudah ada slot2nya digunakan untuk apa dan seberapa besar
Jumantik, tidak bisa begitu saja dimanfaatkan karena sudah diluar dari kekuasaan dari PKM. Pendanaannya bukan dari dinkes dan PKM. Perlu koordinasi dengan pihak lain seperti desa
menggaji petugas lapangan sebagai tenaga pendidik kesehatan masyarakat sejenis jumantik yang ditempatkan di puskesmas 6. Komponen distribusi kondom ke populasi kunci dimasukkan ke dalam sistem pelaporan kegiatan puskesmas SIMPUS atau sistem khusus seperti SIHA
Sudah ada sistem pelaporannya di PKM 53%
80%
67%
93%
Reliability IMS 1. Diagnosis dan pengobatan IMS adalah pelayanan kesehatan perorangan primer (PKPP) yang wajib diberikan puskesmas dan jejaringnya pada mereka yang bergejala 2. Penapisan IMS berkala pada pekerja seks merupakan pelayanan kesehatan masyarakat primer yang wajib dilakukan oleh puskesmas
Setuju 53%
82%
Setuju 71%
94%
3. Pengobatan presumtif berkala memicu penurunan pemakaian kondom pada pekerja seks sehingga perlu dihentikan 4. Layanan IMS pada kelompok LSL belum dilakukan secara maksimal oleh puskesmas 5. Layanan IMS pada kelompok LSL masih lebih banyak dilakukan oleh klinik LSM/OMS/swasta 6. Pelayanan diagnosa dan pengobatan IMS oleh dokter dan klinik swasta belum dilaporkan dengan baik ke dinas kesehatan
Desirability dan feasibility IMS
Pengobatan presumtif berkala perlu dihentikan karena dianggap tidak efektif dan dilapangan sudah banyak tidak dikerjakan 18%
29%
18%
47%
24%
35%
24%
53%
LSL di jakarta sudah cukup maksimal, hanya dibeberapa wilayah tertentu yang belum. Sudah ada layanan yang khusus untuk LSL dan cukup baik seperti klinik carlo jadi favorit layanan LSL RS juga melakukan layanan LSL
Desirability
Feasibility
1. Penapisan IMS pada pekerja seks dilakukan secara setiap 3 bulan sekali oleh puskesmas untuk mengurangi resiko penularan 2. Pengobatan presumtif berkala dilakukan oleh
Setuju 44%
81%
43%
71%
19%
44%
29%
50%
Sudah dilakukan
puskesmas setiap 3 bulan sekali untuk mengurangi risiko penularan 3. Dinas kesehatan kabupaten dan kota (Dinkes Prov DKI) mengumpulkan data laporan IMS dari klinik swasta dan dokter swasta secara regular
Setuju 56%
81%
Reliability KTHIV 1. Tes HIV merupakan komponen integral dari pelayanan pencegahan melalui transmisi seksual
71% 100%
35%
53%
3. Mobile VCT adalah salah satu bentuk pelayanan kesehatan masyarakat primer (PKMP) yang dilakukan Puskesmas dan jejaringnya
79%
Setuju
2. Akses langsung populasi kunci ke layanan tes HIV di dalam gedung puskesmas masih belum optimal
43%
65% 100%
Pemeriksaan kalau bisa layanan satu pintu dan satu hari. Permasalahan yang sering terjadi di layanan di PKM masih perlu dirujuk ke tempat lain. Hal ini banyak disebabakan karena kurangnya SDM atau adanya rotasi petugas ke tempat lain, sehingga tidak bisa layanan satu hari. Dari PKM merasa kurang maksimal juga dari sisi poci terutama dari PS dimana komitmen untuk datang masih kurang. Faktor2 lainnya yang membuat akses di PKM masih kurang maksimal adalam banyak yang lebih memilih ke klinik swasta atau LSM dengan alasan tidak mengantri, lebih sepi, ada stigma dan diskriminasi dari petugas kesehatan. Setuju
4. Operasional mobile VCT masih didanai secara lebih dominan oleh donor 5. Pemberian ARV segera setelah diagnosa HIV adalah bagian dari kegiatan pencegahan melalui transmisi seksual
B3 - ART 1. Puskesmas memberikan pelayanan ART sedini mungkin setelah diagnosa (inisiasi) 2. Petugas penjangkau yang dikoordinir puskesmas berperan sebagai pendamping kepatuhan minum obat ARV Reliability IPP 1. Upaya pendidikan kesehatan terkait pencegahan IMS-HIV pada kelompok populasi kunci masih dilakukan oleh petugas lapangan LSM yang didanai utamanya oleh donor
29%
Kecukupan pendanaan sangat tergantung kebutuhan dan apa yang dilakukan…..
53%
Setuju 71%
88%
Desirability
Feasibility Setuju
60%
44%
93%
81%
Desirability
64%
57%
93%
79%
Untuk penjangkau memang domainnya lebih pada LSM. Sementara untuk petugas PKM masih sangat terbatas, belum semua PKM punya petugas ini. Pendamping yang dari PKM juga berperan sebagai pendamping minum obat, dan untuk itu ada kriteria2 yang harus dipenuhi
Feasibility Setuju
53%
82%
2. Upaya pendidikan kesehatan masyarakat terkait pencegahan IMSHIV oleh petugas lapangan LSM belum dikordinasikan oleh puskesmas 3. Puskesmas belum memasukkan penjangkauan pada populasi kunci ke dalam kegiatan pendidikan kesehatan masyarakat yang wajib mereka lakukan 4. Upaya pendidikan kesehatan masyarakat terkait pencegahan IMSHIV oleh puskesmas masih lebih banyak dilakukan lewat integrasi dengan kegiatan mobile testing HIV 5. Upaya pendidikan kesehatan masyarakat terkait pencegahan IMSHIV saat ini terfokus pada upaya meningkatkan akes tes dan pengobatan
18%
47%
Ada koordinasi dengan PKM, bahkan beberapa kegiatan memang dibawah komando PKM. Dari PKM biasanya memang ada MoU setiap tahunnya untu menyepakati apa yang harus dan akan dilakukan.
…..
24%
47%
…..
41%
71%
….. 47%
71%
6. Saat ini upaya pendidikan kesehatan masyarakat terkait perubahan perilaku untuk mengurangi risiko penularan pada populasi kunci menjadi terabaikan
Desirability dan feasibility IPP
41%
Upaya pendidikan kesehatan terkait perubahan perilaku untuk mengurangi resiko penularan pada populasi kunci menjadi terabaikan -> untuk kota besar perlu dipertimbangkan bahwa permasalahan yang ada lebih kompleks
82%
Desirability
Feasibility
1. Dana hibah APBD dimanfaatkan untuk membantu organisasi sipil masyarakat membiayai operasional petugas lapangan yang berkoordinasi dengan puskesmas 2. Dana bantuan langsung masyarakat Kemensos dimanfaatkan untuk membantu organisasi sipil masyarakat membiayai operasional petugas lapangan yang berkoordinasi dengan puskesmas 3. Petugas lapangan yang dikoordinir oleh puskesmas melakukan
33%
80%
27%
73%
Keraguan dari DKI jakarta adalah dari peraturan terkait hibah yang ada batasan bahwa hibah hanya bisa diberikan 2x. oleh karena itu perlu ada aturan yang lebih jelas atau diubah. Khusus untuk KPA karena dari Pemda DKI mengikuti aturan keppres maka masih tetap mendapatkan dana, namun tetap ada batasan yaitu dana hibah tidak bisa dihibakan kembali, dimana berarti KPA tidak boleh mmeberikan hibah ke teman2 LSM dan ini pernah terjadi sehingga KPA harus mengembalikan dana.
Dana bantuan langsung dari kemensos memang umumnya adalah dana langsung untuk ODHA bukan untuk operasional kegiatan. 25%
88%
20%
73%
38%
88%
43%
86%
Setuju
kegiatan penjangkauan berupa pendidikan kesehatan dan pendistribusian kondom dan lubrikan 4. Petugas lapangan yang dikoordinir oleh puskesmas melakukan kegiatan penjangkauan untuk memfasilitasi populasi kunci mengakses layanan puskesmas termasuk tes dan pengobatan 5. Puskesmas menyediakan media pendidikan kesehatan masyarakat terkait pencegahan HIV dan IMS terutama melalui hubungan seksual di setiap lini pelayanan dalam bentuk cetak atau gambar dan tulisan lainnya 6. Puskesmas merencanakan dan melaksanakan upaya pendidikan kesehatan masyarakat pada populasi kunci dan masyarakat luas
Koordinasi untuk kondom bukan di puskesmas tetapi di KPA. Sementara PKM sebenarnya lebih berfungsi sebagai outlet juga. 50%
81%
50%
86%
Ada yang media sudah tersedia atau diberikan dari dinkes atau lainnya, namun ada juga yang buat sendiri
56%
75%
57%
79%
Setuju 75%
94%
50%
79%
Desirability dan feasibility SMSL Puskesmas mempromosikan pelayanan sirkumsisi sukarela laki-laki sebagai upaya pencegahan HIV
Desirability dan feasibility Enabling Puskesmas melakukan pertemuan lintas sektor untuk meningkatkan komitmen dan peran sektor terkait termasuk perwakilan populasi kunci dalam lokakarya mini puskesmas dan musyawarah masyarakat
Desirability
Feasibility Belum familiar di PKM tentang SMSL, jadi selama ini memang belum dilakukan
25%
81%
Desirability
36%
71%
Feasibility Setuju …..
50%
81%
64%
79%