VI DINAMIKA RASIONALITAS TIGA LEMBAGA TATAKELOLA ZAKAT 6.1. Pendahuluan Foucault ketika membahas tentang kesadaran subjek, dalam masyarakat borjuis, Foucault mengikuti Weber. Bagi Foucault, subjek dipandang sebagai makhluk rasional, otonom dan mampu memprakarsai tindakan (Sarup, 2008). Sama halnya ketika Weber menyatakan bahwa tindakan dapat bersifat rasional, baik dalam sarana maupun tujuan (Hindess, 1977).
Menekankan efisiensi
sarana dan organisasi yang birokratis dan impersonal, penalaran dibentuk oleh rasionalitas ilmiah. Tujuan rasionalitas ilmiah adalah mendapatkan penguasaan atas lingkungan fisik dan sosial. Mengikuti Nietzche, Weber mengatakan bahwa rasionalitas ilmiah memusatkan perhatian pada sarana dan bukan pada tujuan (Sarup, 2008). Foucault menghawatirkan produktivitas dan efisiensi instrumental-rasional yang dilihat Weber dalam birokrasi modern, karena menurut Foucault, kekuasaan dalam masyarakat modern tidak bergantung pada kecakapan dan wibawa individu, tetapi dilaksanakan melalui mesin administrasi impersonal dan peraturan-peraturan yang abstrak. Di sinilah menurut Foucault, pengetahuan bekerja mengarahkan perilaku sosial manusia melalui sistem rasionalitas ilmiahnya. Kesadaran subjek dalam tindakan sosialnya selalu diarahkan oleh sistem rasionalitas yang bekerja secara abstrak bersama dengan sistem pengetahuan yang selanjutnya kekuasaan menjelma dan menguasai manusia dalam bentuk rasionalitas teknis. Bekerjanya rasionalitas pada tatakelola zakat terlihat pada perbedaan logika kepatuhan dan instrumen kepatuhan yang digunakan oleh ragam lembaga tatakelola yang ada dewasa ini. Tatakelola zakat di tangan kaum ‖tradisionalis‖ dengan kaum ‖modernis‖ logika kepatuhan dan instrumen penundukannya berbeda. Kelompok tradisionalis memberikan kepatuhannya pada "ajaran" melalui perantara otoritas personal yang melekat pada agamawan (tokoh ulama‘ atau kiyai). Kelompok
modernis menyalurkan kepatuhannya kepada "ajaran"
melalui perantara otoritas impersonal yang ada pada institusi atau organisasi (Mas'udi, 1991 dan 1993). Zakat oleh kaum tradisionalis umumnya dijadikan
182
sebagai sumber dana penunjang untuk membangun sarana-sarana formalisme keagamaan seperti tempat ibadah, pusat penyebaran, dan proses pewarisan ajaran. Sementara bagi kaum modernis, dana zakat digunakan membangun sarana fisik yang relatif lebih mentereng seperti: perkantoran, masjid, sekolahan, rumah sakit dan asrama-asrama panti, dan cenderung untuk dikomersilkan dalam melayani kepentingan kelas menengah ke atas ketimbang masyarakat lapisan bawah (Mas‘udi, 1991 dan Miftah, 2004). Tiga model lembaga tatakelola zakat yang saat ini bekerja dalam masyarakat mengelola zakat dengan sistem rasionalitas dan kepentingan yang berbeda yaitu: Komunitas/Civil Society, Negara dan Swasta. Lembaga Amil Zakat (LAZ) berbasis civil society merupakan praktek tatakelola zakat yang berada di luar struktur negara dengan legitimasi kekuasaan lokal, berbasis pengetahuan lokal di bawah kuasa kelembagaan kiyai (Sadili, 2006). Persoalannya adalah munculnya desakan dalam diskursus zakat berbasis pengetahuan modern yang menyebar luas dan menggugat rasionalitas LAZ berbasis civil society. Badan Amil Zakat (BAZ) berbasis birokrasi pemerintah, berada di bawah naungan pengetahuan modern dengan legitimasi kekuasaan politik negara, bekerja mengelola zakat dengan aktor aparat pemerintah. Negara hadir dalam wacana tatakelola zakat dilandasi dengan alasan historis, bahwa zakat masa lalu dikelola oleh Rasulullah sebagai pemimpin agama yang sekaligus pemimpin negara. Dari sinilah landasannya sehingga zakat dikonstruksi sebagai hak negara dan harus dikelola oleh pemerintah sebagai aparatur negara melalui kekuasaan dengan instansi milik negara. Zakat oleh negara dipandang terkait erat dengan kepentingan masyarakat luas dan masuk dalam wacana negara dan pembangunan, sehingga zakat dianggap sebagai hak kuasa negara yang bertujuan untuk mewujudkan pembangunan masyarakat, khususnya masyarakat miskin. Wacana BAZ ini kemudian menyebar menjamah aras gagasan zakat dan tatakelolanya dalam masyarakat, sehingga persentuhan dengan gagasan LAZ komunitas, sulit terhindari. Perusahaan industri swasta dengan institusi LAZ disana berbasis birokrasi perusahaan dipayungi oleh rezim pengetahuan ekonomi modern dengan legitimasi kekuasaan manajemen swasta, di bawah kuasa manajer. Kehadiran perusahaan-perusahaan industri dalam arena kelembagaan zakat,
dilandasi
oleh pertimbangan ekonomi dan kepedulian sosial terhadap ekonomi lemah, dan
183
sekaligus sebagai respon atas tuntutan ‖etika industri” (social responsibility), sebagai hasil wacana dari wacana the humanist corporate. Persoalan yang muncul di sini adalah munculnya wacana zakat berbasis rasionalitas ekonomi industri dari LAZ swasta bertemu dengan rasionalitas budaya dari LAZ komunitas dan BAZ dengan rasionalitas politik. Ketiga lembaga zakat ini secara lansung memang tidak berbenturan, namun pada aras disiplin dan norma mengalami pertemuan dan gesekan dalam proses konstruksi dan rekonstruksi rasionalitas zakat masyarakat ketika disiplin dan norma bekerja dan menyebar di segala ruang sosial. Kehadiran
tiga entitas sosial (Civil Society atau Komuintas, Negara, dan
Swasta) dalam arena tatakelola zakat dengan berbeda
basis pengetahuan,
institusi, dan aktor, memberikan pengaruh yang besar pada munculnya perbedaan basis etika moral atau rasionalitas dan kepentingan. Masing-masing membangun wacana dalam memperluas pengaruh dan kekuasaan terhadap masyarakat zakat dan menggiring pengakuan publik, membangun pengetahuan tatakelola zakat yang menurut masing-masing baik, tepat dan benar. Proses ini berjalan dalam pertarungan gagasan tatakelola, membangun pengetahuan dan kekuasaan untuk menaklukkan logika publik. Fenomena pembenaran, peniadaan dan penaklukan satu terhadap yang lainnyapun tak terhindari. Akibatnya pertarungan wacana muncul dan berwujud pada fenomena penerimaan dan penolakan dari masyarakat. 6.2. Problematika Tatakelola Zakat Kehadiran
tiga
entitas
sosial
dalam
praktek
tatakelola
zakat,
memunuculkan banyak isu-isu kritikal tentang ketatakelolaan zakat. Model yang ditawarkan oleh negara misalnya, dengan bentuk kelembagaan resmi bentukan negara secara formal dinilai lebih efektif karena memiliki perangkat kekuasaan yang kuat di bawah naungan negara, namun persoalannya model ini dinilai sebagai fenomena sentralisasi, bersifat mendominasi dan berpeluang munculnya politisasi29 terhadap masyarakat zakat30. Lembaga zakat berbasis swasta, yang menawarkan dan menjalankan pengelolaan zakat dengan LAZ swasta berbasis perusahaan/industri dinilai lebih 29
Politisasi yang dimasud adalah segala bentuk tindakan, baik melalui gagasan atau perbuatan yang digunakan dalam mengadapi maupun memperoleh kekuasaan. 30 Masyarakat zakat adalah sekelompok orang yang terkait dengan tindakan sosial zakat (muzakki, mustahik, amil dan masyarakat luas)
184
efisien, karena menggunakan manajemen ekonomi industri. Namun persoalan yang mencuat adalah isu ketergantungan dari kaum lemah terhadap ekonomi kuat dan peluang munculnya komodifikasi zakat. Sementara lembaga zakat berbasis komunitas (civil society) menawarkan dan telah lama menerapkan pengelolaan zakat model LAZ lokal berbasis masjid. Model ini dinilai aspiratif karena menggunakan lembaga lokal seperti masjid/langgar/surau, madrasah atau pesantren, yang melekat dalam tradisi beragama masyarakat. Namun persoalan yang muncul adalah isu hegemoni elit agama lokal dan dinilai tidak tertata dengan baik. 6.3. Konstalasi Ideologi Aktor Tatakelola Zakat Konstalasi ideologi tatakelola zakat berbasis komunitas, menempatkan agamawan sebagai pusat dan sumber wacana sekaligus pemangku kuasa tatakelola zakat. Disini agamawan membangun pemahaman dan keyakinan bahwa zakat adalah ajaran agama yang bernuansa ibadah menuju keshalehan individu yang berimplikasi sosial. Sehingga berzakat bertujuan untuk mematuhi perintah agama dan sekaligus mengayomi kaum lemah. Ideologi asketisisme dan altruisme merupakan ciri yang sangat kental dan mendasari rasionalitas tatakelola zakat komunitas pedesaan. Konstelasi ideologi tersebut terlihat pada tabel 14. Tabel 14 : Ideologi Tiga Lembaga Tatakelola Zakat
Pengetahuan Sistem rasionalitas Ideologi
Berbasis Komunitas
Berbasis Negara
Berbasis Industri
Local Knowledge Nilai /Budaya Lokal
Sain Modern Politik
Sain Modern Ekonomi
Asketisisme dan Altruisme
Developmentalisme
Utility dan Profit Maximization
Data Primer : 2008 (diolah) Zakat difahami sebagai tindakan sosial yang bersumber dari ajaran agama dan merupakan bagian dari ritual beragama, makanya bagi komunitas, agamawan ditempatkan sebagai sosok yang paling berhak atas tatakelola zakat. Zakat difahami sebagai bentuk ibadah terkait dengan status sosial ummat (khususnya zakat harta), seorang yang dikenakan wajib zakat difahami karena memiliki kelebihan dalam penguasaan harta, sehingga ia diwajibkan untuk menyisihkan sebagian untuk orang lain sebagai tanda syukur kepada Allah SWT. Tidak mentaati perintah wajib zakat dimaknai sebagai bentuk pengingkaran dan
185
diancam dosa. Tidak berzakat pada saat yang sama juga dianggap menahan haknya orang lain (mustahik), hal ini adalah tindakan zholim dan juga dianggap dosa. Tidak berzakat selalu digambarkan sebagai salah satu sebab dari bencana yang terkadang menimpa harta dan jiwa seseorang. Menekankan pada stabilitas sosial komunitas merupakan orientasi sosial zakat bagi tatakelola zakat komunitas. Tindakan sosial zakat ditekankan dalam ruang sosial yang dibatasi oleh komunitas. Maka berzakat lebih dipentingkan dalam wilayah komunitas kepada amil komunitas dan untuk kaum lemah dalam komunitas. Zakat dipandang sebagai mekanisme distribusi kesejahteraan komunitas untuk meringkankan beban kaum lemah dalam satu komunitas. Memberikan zakat keluar komunitas dianggap kurang pantas manakala dalam komunitas itu masih ada yang memerlukannya. Logika commonality dan togetherness merupakan landasan yang sangat mewarnai tatakelola zakat berbasis komunitas. Bagaimana capaian hasil dari zakat yang diberikan tidak begitu penting, yang penting adalah semua yang layak dan berhak mendapatkan bagian zakat memperoleh haknya dalam batasan yang sama tanpa ada perlakuan perbedaan. Berzakat bagi komunitas dipayungi oleh paradigma memberikan hak kaum lemah, bukan membantu kaum lemah, sehingga meminta atau tidak meminta seorang yang dianggap berhak tetap saja diberikan haknya atas zakat yang terkumpul. Konstelasi ideologi tatakelola zakat berbasis negara menganut faham developmentalisme (lihat tabel 14) yang menempatkan aparatur negara sebagai aktor utama dalam tatakelola. Disini membangun keyakinan bahwa perintah zakat adalah perintah agama untuk memberdayakan kaum lemah agar tidak menyebabkan muncul keresahan sosial yang mengancam kehidupan yang lebih luas dalam konteks bernegara. Makanya negara di posisikan sebagai lembaga yang paling berkompeten dalam tatakelola zakat. Kalau pada komunitas zakat lebih dilihat sebagai bentuk ibadah yang berefek pada muncul tindakan yang dinilai peduli kepada kaum lemah. Berbeda dengan pemahaman dalam tatakelola zakat berbasis negara, berzakat lebih dinilai sebagai sebuah kewajiban sosial yang dikenakan karena kelebihan harta, lalu diwajibkan untuk membantu kaum lemah untuk mengatasi kesulitan mereka, agar kesulitan mereka tidak menimbulkan keresahan pada masyarakat banyak.
186
Konstelasi ideologi tatakelola zakat komunitas berorietasi proses dan nilai, sedangkan tatakelola zakat berbasis negara berorietasi mekanisme dan tujuan (hasil). Memenuhi prasyarat nilai merupakan logika penting bagi tatakelola zakat berbasis komunitas, sementara tatakelola zakat berbasis negara, prasyarat pencapaian tujuan bagi pengentasan kemiskinan ummat dalam konteks bernegara adalah hal yang lebih penting oleh karena itu di sini menempatkan sistem tatakelola berbasis manajemen negara dianggap penting dan mendasar demi tercapainya pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa payung ideologi tatakelola zakat berbasis negara berada di bawah logika developmentalisme, bahwa segala potensi agar dimanfaatkan
sebesar-besarnya
oleh
pemerintah
untuk
mewujudkan
pembangunan bangsa dan negara. Konstelasi Ideologi tatakelola zakat berbasis swasta menganut logika utility maximization atau profit maximization. Pengusaha swasta sebagai pelaku utama tatakelola, membangun pemahaman bahwa berzakat adalah memberdayakan dan mengamankan secara ekonomi, makanya siapapun yang memiliki kemampuan memberdayakan dan mewujudkan keamanan ekonomi berhak atas kuasa tatakelola zakat. Berzakat adalah perintah agama yang mengandung maksud untuk membantu kaum lemah agar terbebas dari kemiskinan dan mampu memenuhi kebutuhannya sehingga tidak mengancam hak kepemilikan orang lain dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup. Keterangan informan yang menunjukkan bangunan ideologi zakat LAZ Industri digambarkan oleh ZM (59) bahwa : ‖Siapa saja boleh mengelola zakat, yang penting mampu mewujudkan tujuan zakat dalam memberdayakan masyarakat miskin. PT. SP yang merupakan satu perusahan yang di dalamnya bekerja banyak orang Islam, dan memiliki kepedulian pada masyarakat miskin dan para karyawan mendapatkan harta di sini sehingga mereka diwajibkan berzakat, maka selayaknya pengelolaan zakat dikelola dibawah koordinasi perusahaan dengan bekerjasama dengan pihak-pihak petinggi perusahaan dibantu oleh unsur ulama‘ sebagai dewan pertimbangan terkait dengan aturan agama (fiqh) dan perusahaan ini memiliki perangkat manajemen yang efektif dan pengalaman dalam pemberdayaan masyarakat berupa program CSR‖. Berzakat adalah kewajiban dan hak atas muzakki untuk memilih di mana, kepada siapa dan untuk apa zakatnya diberikan dan dimanfaatkan. Berzakat dipandang sebagai mekanisme distribusi kekayaan kepada kaum lemah untuk
187
membangun keseimbangan dan stabilitas ekonomi antara dua struktur yang berbeda. Berzakat adalah tindakan beragama yang benuansa ekonomi, sehingga di dalamnya pandang sebagai proses negosiasi dan transaksi secara ekonomi. Keamanan dan kenyamanan investasi dari kaum muzakki merupakan salah satu tujuan zakat yang dipandang penting bagi aktor tatakelola zakat berbasis swasta. Wacana social resposibility mewarnai logika tatakelola berbasis swasta, dibuktikan dengan adanya persandingan dengan program Corporate Social Responsibility (CSR) dibeberapa perusahaan yang menerapkan sistem tatakelola zakat. Logika ini memang secara sederhana terlihat cenderung menempatkan wacana pemberdayaan terhadap kemiskinan masyarakat sekitar perusahaan, sebagai wacana terdepan, namun dibalik logika tersebut juga melekat kepentingan pengamanan
ekonomi pihak swasta dalam bentuk upaya
menciptakan susana usaha dan investasi yang aman dan nyaman. Fenomena kemiskinan sekitar perusahaan seringkali menjadi pemicu lahirnya konflik antara perusahaan dengan masyarakat lokal, memberikan pengaruh
dan
mendorong
munculnya
program
CSR
atau
Community
Development (CD) sebagai upaya mengatasi kemiskinan masyarakat sekitar perusahaan. Hal serupa juga menjadi pendorong lahirnya gerakan zakat dan tatakelola zakat perusahaan yang saat ini telah menerapkan sistem tatakelola zakat berbasis swasta. Gerakan zakat dan tatakelolanya dilingkungan swasta diwarnai
dengan
logika
ekonomi
yang
mengedepankan
upaya
utility
maximization atau profit maximization di bawah ideologi ekonomi kapitalisme. Bangunan ideologi tiga sistem tatakelola zakat yang diteliti ditemukan perbedaan
sehingga
pengelolaannya.
muncul
Sistem
potensi
tatakelola
benturan
berbasis
Ideologi
komunitas
dan
praktek
dengan
ideologi
asketisme dan atruisme meyakini zakat sebagai fenomena pengabdian dan keshalehan menggiring ummat untuk berzakat atas dasar logika ibadah ketuhanan dan kemanusiaan, sehingga kepentingan berzakatpun lebih pada kepentingan pengabdian kepada Tuhan dan kepedulian kepada sesama. Sementara bangunan ideologi sistem tatakelola zakat berbasis negara lebih pada logika developmentalisme yang mengedepankan pembangunan masyarakat berbasis kekuatan negara, sehingga tatakelola zakat di sini menempatkan negara dan pemerintah pada posisi sentral dan masyarakat zakat ditempatkan pada posisi yang diharuskan tunduk pada mekanisme yang ditentukan oleh
188
negara melalui aparatur pemerintah. Negara dianggap paling tepat untuk mengelola
zakat dan paling
mampu mewujudkan tujuan
zakat dalam
memberdayakan masyarakat lemah dalam bentuk pembangunan berbasis negara. Berbeda dengan tatakelola zakat berbasis swasta. Di sini kekuasaan bangunan ideologinya lebih pada logika kapitalisme, yang mendahulukan logika penguatan modal. Zakat diasumsikan sebagai modal ekonomi dan kemiskinan diasumsikan karena keterbatasan pada sumberdaya produksi. Oleh karenanya mewujudkan zakat lebih dipercaya dengan melalui logika swasta ketimbangan komunitas dan negara. Penguasa sektor ekonomi dianggap sentral dari upaya perwujudan
pemberdayaan
masyarakat
lemah.
Kepedulian
sosial
dan
tanggungjawab sosial ada pada kaum pemilik modal, sehingga untuk melahirkan kepedulian sosial dan terwujudnya tanggungjawab sosial seharusnya dimulai dari kekuatan pemilik modal khususnya Industri. Tiga bangunan ideologi dari sistem tatakelola zakat yang berbeda tersebut, berpotensi melahirkan benturan ideologi secara internal maupun antara sistem tatakelola. Pada aras internal masyarakat zakat khususnya kaum muzakki masih dipengaruhi oleh ideologi asketisisme dan altruisme. Pada sistem tatakelola zakat berbasis komunitas hal ini tidak menjadi persoalan yang besar karena masih bersinergis dengan indeologi yang memayunginya logika aktor tatakelola dan masyarakat zakat. Berbeda dengan yang terjadi pada sistem tatakelola zakat berbasis negara dengan logika developementalisme dan sistem tatakelola berbasis swasta dengan logika kapitalisme (utility maximization atau profit maximization) yang berbenturan dengan idelolgogi masyarakat yang menganut logika asketisisme dan altruisme. 6.4. Sustainability dan Acceptability Lembaga Tatakelola Zakat Menyinggung tentang sustainability dan acceptability Tatakelola zakat menjadi penting, karena zakat tradisi beragama yang akan terus menjadi fenomena beragama dan melintasi struktur sosial dan ekonomi ummat. Tradisi berzakat memposisikan ummat yang mapan sebagai wajib zakat dan ekonomi lemah sebagai penerima zakat yang dalam prakteknya dikelola oleh sekelompok orang yang manjadi amil (pengelola zakat). Siapa yang bertindak sebagai amil,
189
bagaimana model dan mekanisme tatakelolanya, akan menentukan sustainability dan acceptability dari masyarakat zakat. Pada tiga model tatakelola zakat yang diteliti (LAZ Komunitas, BAZDA dan LAZ swasta) ditemukan peluang sustainability dan acceptability yang berbeda karena disana ada perbedaan setting sosial, aktor tatakelola, mekanisme dan kekuatan pengetahuan dan rasionalitas yang bekerja. 6.4.1. Sustainability dan Acceptability Tatakelola Zakat Komunitas Mengasuh rumah ibadah, pengajian agama dan pendidikan agama tanpa meminta dibayar oleh ummat, merupakan ciri yang sangat kental sebagai jalan hidup seorang agamawan komunitas sejak masa lalu. Mereka juga bercirikan kehidupan sederhana, dengan gaya hidup yang kental dengan budaya santri, mulai dari kebiasaannya yang selalu dekat dengan masjid, akrab dengan kitabkitab agama, dan cara berpakaiannya yang selalu serba putih, kemudian melekat makna keshalehan, kedalam pengetahuan agama dan kesucian. Dikuasainya pengetahuan agama yang luas, membuat seorang agamawan kemudian lebih dikenal dengan sebagai ulama‘, membuat sang agamawan menjadi sosok yang dikonstruksi sebagai orang memiliki kemampuan yang luar biasa dan seringkali di konstruksi sebagai sosok yang memiliki kemampuan membaca realitas di luar kemampuan manusia biasa. Membuat sang agamawan memiliki kekuasaan yang besar dalam mewarnai, membetuk dan mengarahkan konstruksi sosial dan tindakan sosial ummat. Kekuatan pengetahuan di sini menjadi begitu terlihat ampuh dalam membangun dan mengokohkan satu kekuasaan yang khas bagi agamawan. Kekuasaan tersebut menjadi lebih kokoh ketika disertai dengan konstruksi sosial yang diperkuat oleh nilai yang menggiring keyakinan ummat bahwa seorang ulama‘ adalah pewaris kenabian yang seringkali didengungkan oleh agamawan dalam berbagai kesempatan dalam pengajian. Ditambah lagi dengan diskursus yang mengetengahkan wacana ulama‘ sebagai sosok yang bersandingan dengan umara‘ (pemerintah) yang diposisikan harus tunduk di bawah kontrol moral ulama‘. Kesemua ini membuat sosok agamawan (ulama‘) dikonstruksi sebagai sosok dimana kebenaran selalu menyertainya. Struktur kuasa dalam tatakelola zakat berbasis komunitas menempatkan agamawan sebagai pemangku kuasa atas kekuatan pengetahuan (power
190
knowledge) yang dimilikinya secara dominan sebagai pangku kuasa sosialisasi pengetahaun agama. Konstruksi pengetahuan dan rasionalitas zakat dan tatakelola zakat yang dibangun oleh agamawan, menghegemoni ummat. Agamawan dipandang sebagai orang yang paling mengetahui dan menguasai pengetahuan tentang zakat dan diberikan tugas oleh Allah
sebagai penyiar,
pengawal dan pemimpin agama sehingga zakat sebagai ajaran agama merupakan hak kuasa agamawan yang terwujud dalam konsep amil. Masyarakat sebagai penganut agama dinilai sebagai sekelompok orang yang harus tunduk pada agamawan sebagai ummat (jama‘ah) jika ingin menjadi penganut agama dengan benar, dan mentaati agamawan dinilai sebagai perintah agama yang sama halnya dengan kewajiban kepatuhan pada para nabi. Konstruksi sosial komunitas terhadap agamawan yang sedemikian rupa, memberikan pengaruh yang besar dalam perjalanan tatakelola zakat komunitas. Agamawan dikonstruksi sosial sebagai orang yang sholeh, bersih, jujur dan sebagai pengawal moral, selalu identik dengan kebenaran, membuat tatakelola zakat di bawah kuasa agamawan sangat dipercaya oleh komunitas. Namun belakangan konstruksi ini kemudian menghadapi persoalan ketika konstruksi tentang yang sholeh, bersih, jujur dan benar mulai bergeser dari logika asketisisme dan altruisme ke logika developmentalisme (sebagai basis ideologi tatakelola zakat berbasis negara) dan kapitalisme (sebagai basis ideologi tatakelola zakat berbasis swasta). Pergeseran konstruksi merupakan hasil dinamika pengetahuan yang terus berkembang dan tersosialisasi secara luas. Rasionalitas masyarakat di sini terus mengalami dinamika sejalan dengan dinamika pengetahuan, dan berimbas pada perkembangan wacana tatakelola zakat. Model tatakelola zakat komunitas di sini menghadapi tantangan besar karena berhadapan dengan developmentalisme dan kapitalisme yang merupakan basis rasionalitas dalam tatakelola zakat negara dan swasta. Tatakelola zakat komunitas berbasis logika asketik dan altruis mengedepankan rasionalitas nilai, berhadapan dengan tatakelola zakat negara dan swasta dengan logika developmentalisme dan kapitalisme yang mengedepankan rasionalitas tujuan.
Di sini tatakelola zakat komunitas
mendapatkan
rasionalitas
tekanan
pada
aras
yang
menjamah
dan
mengintervensi serta menggugat ruang gagasan masyarakat komunitas lewat wacana tatakelola zakat modern. Pada sisi yang lain, tatakelola zakat komunitas
191
menghadapi tantangan legalitas yang mengancam. Resiko terpinggirkan dan tergilas oleh dominasi rasionalitas developmentalisme dan kapitalisme terus membayangi, karena keduanya menjadi ideologi zakat yang mendominasi. Model
tatakelola berbasis komunitas, secara internal potensi benturan
terjadi ketika agamawan sebagai sosok yang dipercaya sebagai pemangku kuasa agama termasuk dalam tatakelola zakat dengan kepentingan penyiaran dan penguatan agama oleh ulama‘‘ berhadapan dengan kepentingan penguatan sosial dan kekuasaan ekonomi oleh para wajib zakat (muzakki) serta tuntutan sosial lingkungan yang menuntut kedermawanan mereka. Akibatnya terjadi dualisme praktek tatakelola zakat pada level komunitas dalam bentuk tatakelola zakat berpusat pada kekuasaan ulama‘ komunitas dan tatakelola berpusat pada kekuasaan para muzakki secara individu. Dualisme praktik tatakelola zakat berbasis komunitas ini merupakan wujud adanya penolakan dari muzakki, namun penolakan ini tidak begitu kentara karena para muzakki mengambil jalan kompromi dengan berzakat melalui dua cara, yaitu: mengelola sendiri sebahagian zakatnya dan sebahagiannya diserahkan kepada petugas amil zakat komunitas. Di sini akseptabilitas dari masyarakat cukup baik, karena tuntutan sistem tatakelola dari masyarakat hanya pada batas dilaksanakannya kewajiban berzakat dan tersalurnya dana zakat kepada yang berhak (mustahiq). Makanya kelebihan tatakelola zakat berbasis komunitas terletak pada partisipasi ummat yang terbebas dari intervensi dan terbangunnya
kepercayaan
bahwa
berzakat
kemanapun
sah
selagi
penyalurannya tidak melenceng dari aturan agama (berzakat melalui amil atau langsung kemustahik keduanya sama sahnya). 6.4.2. Sustainability dan Acceptability Tatakelola Zakat Negara Kekuasaan dalam sistem negara bekerja dan menyebar dalam wilayah yang luas, melintasi ruang sosial dalam masyarakat dan melekat dalam lembaga dan isntansi pemerintah sebagai instrumen pendisiplinan masyarakat oleh negara. Instrumen pendisiplinan menuntut kepatuhan masyarakat logika stabilitas negara. Keamanan, kenyamanan dan kekuasaan yang menjelma dalam kepatuhan dan penundukan rakyat bagi negara merupakan satu kondisi yang sangat diharapkan.. Makanya, penguasaan sumber-sumber daya potensial bagi penundukan dan penaklukan sangat penting untuk dikuasai oleh negara. Zakat dan tatakelolanya di
192
sini kemudian terlihat dan dimaknai sebagai sumberdaya potensi bagi penguatan kekuasaan, membangun stabilitas dan menjadi instrumen menudukan dan penaklukan khalayak, makanya kemudian zakat dan tatakelolanya bagi negara menjadi penting untuk dikuasai
menjadi. Upaya menguasai zakat dan
tatakelolanya oleh negara dilakukan melalui wacana tatakelola zakat dan wacana pembangunan serta pengentasan kemiskinan berbasis zakat. Berangkat dari konstruksi sosial zakat sebagai ajaran agama berorientasi pembangunan dan pengentasan kemiskinan, maka zakat memiliki memiliki dimensi kemanusiaan dan pembebasan. Hal ini melahirkan pemikiran menuju transformasi zakat dalam ranah rasionalitas zakat melalui transformasi pengetahuan zakat (Kontowijoyo, 1991, Mas‘ud, 1991 dan Idris, 1997). Melembaganya zakat dalam praktek sosial tak terlepas dari bagaimana sistem pengetahuan dan rasionalitas bekerja membentuk konstruksi zakat melalui proses internalisasi, eksternalisasi dan objektivasi (Berger, 1967) secara terus menerus tanpa pernah terhenti. Di BAZDA, proses ini dilakukan oleh aparat negara atau agamawan bias negara, yang mengajarkan zakat kepada ummat melalui lembaga pendidikan, media pendidikan dan saluran informasi lainnya, seperti media cetak hingga media audio visual. Pemahaman zakat di sini diajarkan kepada ummat oleh aparat atau agamawan negara dan ummat menyerap lalu mencerna dalam ranah subjektif yang berkomunikasi dengan stock of knowledge mereka. Informasi di cerna secara subjektif lalu ditafsirkan kembali untuk kemudian disikapi dalam tindakan sosial sehari-hari. Proses ini berjalan dalam kontrol dan arahan kekuasaan yang melekat pada rezim pengetahuan yang bekerja membangun pengetahuan zakat dan berdialektika dengan peran dan posisi sosial aparat yang bekerja membangun pengetahuan zakat tersebut. Berzakat secara umum dikonstruksi sebagai tindakan sosial spiritual berdimensi
theosentris
yang
kemudian
juga
dikontruksi
berdimensi
anthrophocentris. Membuat sinergis antara dimensi theosentrisme berorientasi ukrawi (nilai dan derajat keshalehan) dan dimensi antrophosentrisme berorientasi duniawi (dalam wujud pembangunan) terbuka untuk dirajut dalam wacana tatakelola zakat berbasis negara. Dominannya logika sekularisme (Effendi, 2001) sebagai akibat bekerjanya sains modern dalam ruang agama, memberikan desakan yang menggiring wacana berzakat masuk ke ruang logika yang semakin sekuler dan didominasi oleh ideologi antrophocentrisme.
193
Munculnya wacana tatakelola zakat berbasis negara merupakan hasil dari diskursus intelektual Islam yang panjang tentang relasi Islam dan negara (Effendi, 2001), dan membawa diskursus agama memasuki ruang sains modern yang membangun interpretasi dan reinterpretasi tentang agama dan beragama tidak hanya dikonstruksi dalam ruang theologi tetapi meluas hingga keruang sosial, ekonomi dan politik. Zakatpun kemudian dipandang sebagai sumberdaya sosial, ekonomi dan politik yang bisa memberikan dukungan yang besar bagi pembangunan (Idris, 1997). Membawa wacana tatakelola zakat masuk dalam ruang negara,
berimplikasi pada
struktur kuasa
tatakelola zakat
dan
meleburkannya dalam strukur kuasa institusi dan aparat negara, dan difahami sebagai salah satu instrumen pembangunan khususnya pengentasan kemiskinan ummat oleh negara. Tatakelola zakat berbasis negara sebagai salah satu instrumen negara, sustainabilitasnya lebih terjamin karena mekanismenya diatur dalam kebijakan peraturan dan perundang-undangan negara yaitu: Undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, membuat tradisi berzakat dan tatakelolanya menjadi bagian dari mekanisme bernegara atau beragama (berzakat) dengan mekanisme yang diatur oleh negara. Hak kuasa dan kepatuhan para aktor dibangun sedemikian rupa dan terkonstruksi bahwa zakat merupakan perintah berorientasi pembangunan, zakat dipandang sebagai sumberdaya potensial yang harus dimanfaatkan semaksimalnya oleh negara untuk pembangunan dan pemberdayaan rakyat. Disana juga terbangun pemahaman bahwa zakat terkait dengan hak orang banyak, makanya zakat selayaknya diatur oleh negara Memandang zakat sebagai sumberdaya maka sustainability tatakelolanya sangat dipengaruhi oleh sejauh mana dan sampai kapan zakat dianggap memiliki potensi dan negara masih menganggap efektif serta diperlukan bagi menunjang pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Tatakelola zakat berbasis negara, keberlanjutannya diupayakan dengan menggunakan dukungan kebijakan negara. Kekuatan instrumen hukum, kelembagaan, dan aparat serta konstruksi pengetahuan dibangun sebagai landasan rasionalitas. Keyakinan terhadap sistem tatakelola zakat negara sebagai tatakelola yang rasional bagi banyak orang dibangun sedemikian rupa melalui proses konstruksi dan rekonstruksi rasionalitas masyarakat, dari rasionalitas asketisisme dan altruisme ke rasionalitas developmentalisme.
194
Konstruksi rasionalitas dilakukan secara sistimatis, simultan dan dialektis. Berawal dari pembangunan wacana zakat yang menggiring gagasan ummat pada konstruksi rasionalitas melalui kekuatan pengetahuan. Proses objektivasi dilakukan ketika lembaga tatakelola zakat muncul dan hadir dalam interaksi sosial secara intersubjektif berupa lembaga tatakelola zakat yang dipatuhi. Proses internalisasi selanjutnya terjadi ketika ummat secara individu mengindetifikasikan dirinya dengan lembaga tatakelola zakat yang ada sebagai proses interaksi dan dialektika dunia objektif dan dunia subjektif yang terlihat pada proses sosialisasi membangun pemahaman berzakat ummat. Proses momen objektivasi dan internalisasi berlanjut ke momen eksternalisasi sebagai konstruksi dan rekonstruksi rasionalitas atas lembaga zakat yang ada dalam bentuk pemahaman zakat sebagai landasan etika moral tindakan berzakat. Bagaimana bentukan rasionalitas hasil eksternalisasi sangat ditentukan oleh kekuatan kekuasaan dan pengetahuan bekerja dalam membentuk dan mewarnai momen internalisasi dan eksternalisasi. Tatakelola zakat berbasis negara yang didukung oleh perangkat negara, akseptabilitas publik dibentuk melalui berbagai kebijakan, mulai dalam himbauan pemerintah, peraturan-peraturan pemerintah pusat dan daerah, hingga pada perundang-undangan. Membangunan akseptabilitas tatakelola zakat, pemerintah melakukan sosialisasi, mobilisasi, yang didukung dengan kebijakan-kebijakan yang memiliki kekuatan memaksa. Akseptabilitas sangat ditentukan oleh sejauh mana negara mampu membangun kerangka gagasan, keyakinan, dan kepercayaan serta memobilisir masyarakat untuk tunduk, dan terbangunnya pemahaman bahwa tatakelola zakat BAZ merupakan pilihan yang paling tepat secara rasional. Konstruksi dan rekonstruksi rasionalitas di sini sangat penting dalam membangunan keyakinan, mobilitas, kepercayaan dan penerimaan masyarakat. Perbedaan aras rasionalitas dalam masyarakat berakibat pada munculnya penolakan-penolakan dan benturan-benturan gagasan pada aras wacana yang mencuat dalam diskursus zakat sebagai proses konstruksi dan rekonstruksi rasionalitas melalui momen objektivasi, internalisasi dan eksternalisasi ala Berger (1990). Milik siapa dan dari mana argumen yang kuat dan rasional datang maka dialah yang akan tampil sebagai pemenang dan berkuasa. Kekuatan argumen dalam membangun logika yang rasional bagi banyak orang tergantung pada
195
dukungan kekuasaan dan rezim pengetahuan yang mampu membangun argumen menjadi rasional bagi banyak orang dengan pilihan-pilihan yang logis dan diakui. Pada model tatakelola zakat berbasis negara, ditemukan potensi benturan internal dalam Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA). Hal ini terjadi ketika pertemuan rasionalitas kuasa aktor pengelola zakat dan kekuasaan pemerintah. Aktor tatakelola di BAZDA yang terdiri dari unsur masyarakat, ulama‘ dan unsur pemerintah dalam prakteknya mengalami benturan pada aras rasionalitas. Aktor beranggapan bahwa mereka selayaknya mendapatkan kuasa penuh atas tatakelola zakat, namun pada saat yang sama disana mereka terbatasi oleh kekuasaan birokrasi BAZDA yang melekat pada sistem kuasa birokrasi dan administrasi pemerintah daerah. Keterangan IH (61 tahun) menerangkan bahwa : ‖ kami di sini agak terbatas bergerak untuk mengambil keputusan dalam pendayagunaan dana zakat, karena kekuasaan kebijakan terkait pengunaan dana zakat berada di tangan pemerintah daerah oleh Sekretaris Daerah (sekda) sebagai ketua BAZDA. Hampir semua rencana penggunaan dana harus atas persetujuan pihak pemerintah daerah‖. Benturan lain antara BAZDA dan muzakki juga ditemukan dalam bentuk benturan alasan pengaturan zakat oleh BAZDA dengan alasan berzakat oleh muzakki. Benturan terlihat ketika adanya muzakki dari kelompok pengawai negeri sipil yang berzakat dengan dua cara sekaligus, yaitu: berzakat pada BAZDA dengan batasan tertentu (atau hanya dengan berinfaq) dengan kepentingan kepatuhan pada sistem birokrasi dan administrasi ditempat kerja dan selanjutnya berzakat pada LAZ komunitas dengan kepentingan memenuhi tuntutan sosial lingkungan yang menuntut kedermawanan mereka. Akseptalitas BAZDA begitu rendah, meski kepatuhan cukup tinggi, karena disana terjadi penekanan birokrasi dan administrasi yang cukup kuat. Muzakki berzakat pada BAZDA lebih karena kepatuhan pada sistem birokrasi dan administrasi tempat bekerja ketimbang sebuah kesadaran beragama. Keterangan Sulaiman (49 tahun), menyatakan bahwa : ‖ kami memang berzakat di BAZDA tapi rasanya tidak seperti berzakat dengan amil di masjid. Berzakat di BAZDA karena kewajiban dikantor saja, sehingga kami lebih senang hanya memberikan infaq saja, untuk mendukung program pemerintah dan agar tidak dianggap membangkang pada atasan. Berzakat di masjid
196
dekat tempat tinggal kami lebih meyakinkan dan menenangkan karena masyarakat lemah terdekat ada dilingkungan tempat tinggal‖ Muzakki yang dipungut zakatnya oleh BAZDA, selain sebagai pegawai atau keryawan di dinas/instansi pemerintah, mereka juga sekaligus sebagai anggota masyarakat dalam sebuah komunitas di lingkungan tempat tinggal mereka yang sekaligus menjadi nasabah zakat berbasis komunitas. Posisi dilematis dihadapi para muzakki, ketika harus berzakat di tempat kerja sementara dilingkungan kumunitas, mereka juga memiliki kewajiban dan beban sosial komunitas sebagai wajib zakat yang seharusnya juga berzakat di sana. Pemahaman zakat muzakki BAZDA bahwa berzakat di lingkungan tempat tinggal lebih baik dengan alasan di sana ada kelompok lemah yang berhak menerima zakat, dan berinfak ke BAZDA sebagai bentuk kepatuhan pada sustem administrasi dan birokrasi tempat kerja, mencuat dalam tindakan berzakat dan berinfak yang dilakukan oleh muzakki BAZDA dari kalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Persoalan membangun keyakinan dan kepercayaan muzakki serta desakan sosial politik menjadi faktor dominan dan menentukan sejauh mana akseptabilitas dan sustainabilitas BAZDA di tengah-tengah masyarakat.
Kekuatan politik, mungkin efektif untuk mendesak lahirnya
partisipasi yang tinggi, namun sistem bangunan rastinalitas zakat ummat juga sangat menentukan, dan inilah yang menjadi persoalan BAZDA. Rasionalitas zakat dan
ketatakelolaannya yang bekerja di BAZDA berbeda dengan
rasionalitas yang bekerja di tengah-tengah masyarakat. 6.4.3. Sustainability dan Acceptability Tatakelola Swasta Kekuasaan dalam dunia swasta (industri) bekerja dan menyebar dalam wilayah yang luas, meliputi
wilayah sumber-sumber produksi dan alat-alat
produksi, proses produksi, pasar dan lingkungan produksi, yang kesemuanya menganut logika maksimalisasi keuntungan ekonomi. Kekuasaan dan keuntungan ekonomi dalam dunia industri merupakan satu rajutan yang sulit diurai, keduanya sulit dipilah mana yang melahirkan dan mana yang dilahirkan. Walau secara historis perwajahannya yang lebih menonjolkan aspek ekonomi, namun belakangan posisi keduanya menjadi kabur sekaligus kental dan keduanya saling melahirkan. Kekuasaan
atas sumber-sumber ekonomi dan alat-alat produksi
mewarnai perkembangan industri kapitalisme modern dewasa ini. Penguasaan sumber-sumber ekonomi potensial sangat penting dan menjadi perhatian untuk
197
dikuasai. Gejala ini kemudian terlihat merambah masuk kesegala ruang, mulai dari ruang sosial budaya, politik, dan bahkan ruang agama dalam bentuk tatakelola zakat berbasis swasta. Wacana tatakelola zakat, tadinya hanya muncul dalam tradisi beragama komunitas dan tradisi beragama ala negara, belakangan wacana tatakelola zakat muncul
dalam
dunia
swasta
mengikuti
diskursus
pemberdayaan
dan
petanggungjawaban sosial. Program Corporate Social Responsibility (CSR) yang lebih dahulu muncul dalam wacana pemberdayaan berbasis swasta, belakangan diikuti oleh program sadar zakat yang disertai pembentukan lembaga tatakelola zakat khusus untuk mengelola zakat karyawan perusahaan (karyawan dan manajer) yang mengedepankan wacana pemberdayaan masyarakat sekitar perusahaan dan pertanggungjawaban sosial perusahaan. Kehadiran lembaga tatakelola zakat dalam sebuah perusahaan swasta secara internal terbentuk dari wacana pertanggungjawaban sosial bersama dalam struktur perusahaan terhadap fenomena kemiskinan sekitar perusahaan. Melalui Lembaga Tatakelola Zakat (LAZ) perusahaan, dibangun pemahaman zakat yang memandang zakat sebagai kewajiban beragama yang bertujuan pemberdayaan sebagai bentuk upaya mengatasi persoalan sosial masyarakat sekitar perusahaan. Wacana ini muncul terkait erat dengan fenomena masalah sosial yang kerap dihadapi perusahaan dalam bentuk gangunan kenyamananan kerja, keamanan usaha dan investasi yang dianggap sebagai akibat kemiskinan masyarakat sekitar perusahaan. Gerakan berzakat dan tatakelola zakat berbasis swasta, terbangun dalam kompleksnya relasi struktur sosial internal dan eksternal perusahaan, seperti : antar-manajer, antara manajer dengan pekerja, antar pekerja dan antara berbagai kelompok pekerja serta dengan masyarakat luar disekitar perusahaan. Bangunan relasi dalam tatakelola zakat secara external memiliki hubungan hampir sama dengan program Corporate Social Responsibility (CSR), dimana keduanya samasama membangun relasi dengan masyarakat luar perusahaan. Akan tetapi keduanya memiliki perbedaan yang sangat mendasar dalam hal relasi internal perusahaan. Kalau CSR lebih merupakan program pertanggungjawaban sosial perusahaan yang merupakan beban dan kewajiban perusahaan untuk melakukan pemberdayaan kepada masyarakat sekitarnya yang diambil dari keuntungan bersih perusahaan. Sementara program tatakelola zakat merupakan kewajiban beragama karyawan secara individu dalam perusahaan yang kemudian
198
diakumulasi dalam satu wadah berupa Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan muncul atas nama perusahaan menjalankan program pemberdayaan masyarakat. Persoalan kemiskinan sekitar perusahaan yang tadinya hanya berada dalam tanggungjawab CSR dengan beban pembiayaan dari perusahaan, belakangan memunculkan LAZ yang dananya diberasal dari zakat individu karyawan yang juga diwacanakan bertanggungjawab. Persoalan yang dihadapi perusahaan dalam wacana zakat swasta dikonstruksi sebagai tanggungjawab bersama semua elemen perusahaan. Wacana penciptaan kondisi kerja yang aman dan nyaman, demi pengamanan investasi dikedepankan untuk membangun pemahaman bahwa berzakat bukan hanya sekedar memenuhi kewajiban agama, akan tetapi juga memberdayakan kaum lemah dan membangun suasana yang aman, khsusnya keamanan dan kenyaman kerja bagi karyawan serta pengamanan investasi bagi perusahaan. Sustainabilitas tatakelola zakat swasta, sangat ditentukan oleh seberapa jauh pihak manajemen perusahaan atau paling tidak LAZ mampu menciptakan kepercayaan dan keyakinan terhadap semua wajib zakat dari elemen perusahaan. Karena merekalah kunci terpenting berjalan atau terhentinya program tatakelola zakat dalam sebuah perusahaan. Membangun rasionalitas berzakat dalam komunitas perusahaan menjadi bagian yang sangat penting bagi kelanjutan tatakelola zakat swasta. Rasionalitas utility dan
profit maximization, sebagai
landasan logika dominan dalam kerangka berfikir swasta, membuat program tatakelola zakat di sini harus menganut rasionalitas yang sama. Manakala sudah tidak mampu memberikan dukungan bagi maksimalisasi perolehan keuntungan ekonomi, maka seketika dianggap tidak penting dan bahkan akan dihentikan. LAZ hanya akan ada dan diterapkan selama dianggap mampu memberikan keuntungan yang bersifat ekonomi secara langsung atau tidak langsung. Akseptabilitas sebagai bagian penting dari keberlanjutan sebuah program kebijakan dan budaya dalam masyarakat, membuat tatakelola zakat berbasis swasta agaknya menghadapi tantangan yang rumit. Sebuah LAZ swasta dalam prakteknya mengatasnamakan perusahaan sementara sumberdaya yang dikelola bersumber dari muzakki secara personal. Hal ini membuat LAZ harus mampu membangun ikatan-ikatan sosial dan kepercayaan dari para muzakki sekaligus mampu memberikan bukti nyata bahwa LAZ mewujudkan harapan mereka secara signifikan bagi perusahaan dan berefek secara positif bagi semua elemen perusahaan. Jika tidak, maka penolakan bisa saja muncul dalam berbagai bentuk dari
muzakki,
apalagi
ketika
keikutsertaan
mereka
membiayai
program
199
perusahaan, tidak mampu memberikan kenyamananan dan pengamanan ekonomi secara personal. Memaksakan penerimaan masyarakat perusahaan dalam bentuk kebijakan yang mewajibkan semua elemen perusahaan untuk berzakat pada LAZ perusahaan, sebagai mana yang diterapkan oleh BAZDA/BAZNAS oleh negara terhadap masyarakat khususnya aparat negara, bisa efektif namun persoalannya, keterpaksaan bisa memicu munculnya gejolak atau bahkan penolakan, ketika kebijakan tersebut dirasakan begitu memaksa dan tanpa memberikan ruang, apalagi ketika secara rasional, hal itu dianggap tidak tepat. JN (42 tahun) karyawan PT. SP, menerangkan bahwa : ―…perusahaan ini mewajibkan semua karyawan berzakat ke LAZ dengan melakukan pemotongan gaji sebesar 2,5%... kami semua patuh walaupun ada yang keberatan tapi tidak ada yang protes….anggap saja itu syarat kerja di sini, lagi pula kan berzakat itu wajib kalau mampu, yang penting penggunaan zakat itu tepat sasaran dan memberikan manfaat buat bagi mayarakat dan kita semua…. Memberikan zakat kepada orang miskin di sekitar perusahaan yang selalu mengganggu keamanan kerja karyawan karena desakan kebutuhan sehari-hari‖…. Pemotongan zakat memang membuat kami agak terpaksa membayar zakat, tapi itu tidak bisa dihindari karena melalui pemotongan dari bendaharawan gaji… padahal seperti saya yang tinggal di luar lingkungan perusahaan mendapatkan desakan lingkungan tempat tinggal saya untuk berzakat di masjid disana,… yang saya lakukan hanya bisa berinfaq atau sadaqah saja…‖ Kesan keterpaksaan muncul di sini, namun karena pemotongan zakat telah dianggap sebagai prasyarat bekerja pada perusahaan, maka keberatan dan penolakan tidak pernah muncul dipermukaan. Bagi karyawan, zakat mereka yang dipotong perusahaan bisa memberikan manfaat bersama berupa keamanan dan kenyamanan kerja di perusahaan dan tersalur kepada yang berhak. Persoalan dilematis dihadapi oleh karyawan perusahaan PT. SP khsusnya yang tinggal di luar lingkungan perusahaan, sebagaimana yang dihadapi oleh Nasabah zakat di BAZDA, pada satu sisi mereka diwajibkan membayar zakat pada LAZ-SP, sementara pada sisi yang lain mereka juga didesak oleh untuk berpartisipasi berzakat di masjid lingkungan dimana mereka menjadi warga komunitas. Artinya bahwa muzakki mendapatkan desakan sosial dan mereka menghadapi persoalan dilematis harus berzakat di tempat kerja setiap bulan dengan pemotongan langsung, dan harus berpartisipasi berzakat di lingkungan tempat tinggal pada waktu yang lain. Padahal nilai kewajiban zakat angkanya telah ditentukan oleh
200
aturan agama secara jelas, kalau memenuhi desakan tempat kerja dan lingkungan tempat tinggal sekaligus, maka pengeluaran zakat akan terhitung dua kali. Berbeda dengan di BAZDA, ruang masih terbuka untuk memenuhi dua desakan (desakan tempat kerja dan lingkungan), karena masih ada ruang untuk memilih berzakat, berinfaq dan bersadaqah atau memilih salah satu saja. Oleh pegawai negeri yang diwajibkan berzakat di BAZDA Jambi, mengatasi dua desakan membuat mereka memilih berinfaq atau bersadaqah di BAZDA dan berzakat di masjid yang ada di lingkungan tempat tinggal mereka atau terhadap mustahik dilingkungannya. 6.5. Peta Rasionalitas Aktor Lembaga Tatakelola Zakat 6.5.1. Rasionalitas Aktor Lembaga Tatakelola Zakat Komunitas Jambi Konsep ―amil‖31 yang muncul dan menyejarah dalam tradisi agamawan merupakan konsep yang berasal dari wahyu dan telah menjadi bagian penting dalam tradisi tatakelola zakat. Konsep amil ini memotivasi lahirnya wacana tatakelola zakat pedesaan di Jambi. Konsep ini dibangun dan diwariskan oleh agamawan dalam proses sosialisasi ajaran agama melalui mimbar masjid (pengajian) dan kelembagaan madrasah atau pesantren dan kemudian melembaga.
Melalui
sosialisasi
ajaran
zakat
oleh
agamawan,
zakat
terinternalisasi dalam ranah kognitif ummat dan menjelma dalam kerangka berfikir sebagai basis logika berzakat. Sosialisasi agamawan dicerna oleh ummat tidak selamanya sama dengan yang digambarkan, akan tetapi ummat secara individu memiliki ruang untuk memaknai dan menafsirkan secara berbeda, karena di pengaruhi oleh perbendaharaan pengetahuan dan rezim pengetahuan yang menguasai aras kognitif mereka. Makanya pemahaman yang muncul tentang amil selalu berbeda dan dinamis. Pemahaman atau pemahaman baru tereksternalisasi dalam bentuk tindakan berzakat dan tatakelolanya yang mentradisi dalam tindakan sosial zakat, siapa yang berhak menjadi amil, apa peran dan fungsinya serta dibawah kuasa lembaga yang bagaimana amil memiliki ruang kuasa. 31
Amil bagi komunitas merupakan orang atau sekelompok orang yang bertugas menerima atau memungut, mengelola dan mendistribusikan zakat dari para wajib zakat, sekaligus memiliki hak atas manfaat dari dana zakat. Amil merupakan mekanisme tatakelola zakat pedesaan di Provinsi Jambi yang selalu melekat pada kelembagaan masjid dan ulama (imam masjid dan guru ngaji) serta dukun bayi (sanro).
201
Pentingya tatakelola zakat bagi komunitas dilandasi oleh pemahaman bahwa zakat adalah kewajiban beragama, terkait dengan hak kaum dhua‘fa, bertujuan untuk penguatan agama, mencegah kekufuran, kepedulian kepada kaum dhu‘fa, dan zakat adalah hak komunitas. Hal ini terbukti dari beberapa pengakuan informan dalam wawancara yang dikutip dalam box 6.5.1. berikut : Box 6.5.1 : Logika Aktor Tatakelola Zakat Komunitas Pengakuan Ust. H. A.HAS (59) Imam dan amil Zakat Desa Simburnaik, menyatakan bahwa ―....mengeluarkan zakat itu kewajiban mutlak yang wajib dijalankan, dan zakat adalah perintah Allah yang diperintah dalam agama Islam. Menjadi amil itu perintah agama dan sebagai fardu kifayah, sehingga harus ada paling tidak satu orang menjadi amil zakat dalam satu kelompok ummat... Berzakat itu menyerahkan hak fakir miskin yang sudah ditentukan jumlahnya. Berbeda dengan sumbangan (shadaqah atau infaq). ... dan mengurus zakat itu juga perintah Allah, supaya ada salah seorang dari satu kelompok yang menjadi amil yang bisa mengumpukan zakat untuk dibagikan kepada mustahik.‖ ... memungut dan membagikan zakat adalah tugas yang wajib dilaksanakan oleh amil, kerena kormban waktu dan tenaga maka ia diberikan hak menerima bagian dari zakat yang di pungutnya. Pertimbangan mengapa zakat menjadi penting dan harus dikelola dalam kaitannya dengan ummat dan agama, oleh Ustad SDD (41 tahun) amil zakat simburnaik, menjelaskan bahwa :....Zakat diwajibkan memiliki maksud untuk menguatkan agama, zakat untuk untuk mencegah kekufuran ummat. Orang miskin bisa kufur karena penderitaan kemiskinan dan orang kaya bisa kufur karena nikmat kekayaan. ....Zakat juga diwajibkan mengelola supaya ummat bisa ikut bersama ulama‘, membangun agama dengan mengeluarkan zakat untuk membiayai syiar agama.‖ Oleh H. AMR (56 tahun) seorang muzakki, menyatakan bahwa : berzakat itu penting karena kewajiban yang diperintahkan dalam agama. Berzakat juga memberikan hak orang lain yang dititipkan oleh Allah dalam harta setiap orang yang mampu. Kalau tidak berzakat artinya ingkar dengan Allah dan menahan hak orang lain. Makanya agar zakat terlaksana dengan baik harus ada amil.... Berzakat itu ibadah, tanda syukur, dan melindungi orang miskin. Berzakat juga mendatangkan berkah,membersihkan harta dan mengamankan kita dan harta dari ancaman tangan jahil karena kemiskinan. .... kami hanya tahu kalau zakat itu wajib, ada berpahala dan manfaat kebaikan kalau dilaksanakan dan berdosa jika tidak dilaksanakan.... kami kurang tahu bagaimana cara supaya zakat itu sah dan berkah......... Oleh SLHD (45 tahun) seorang mustahik yang profesinya buruh tani, menyatakan bahwa : zakat adalah kewajiban orang kaya kepada Allah untuk memberikan sebahagian hartanya kepada orang miskin,... tapi kalau tidak di atur oleh amil, mereka bisa jadi enggan membayar zakat.... ada paling karena takut diganggu hartanya.... jadi dikasi hanya yang berani minta, yang malu minta yah, tidak diberi. Oleh H. TAM (56 tahun) muzakki Simbur Naik, dikatakan : ... dekat dengan Puang Imam itu bagus, mengikuti anjuran puang Imam berarti patuh dengan agama karena nasehat puang Imam itu untuk kebaikan. ... dekat dengan Imam ikut taat dan semua orang menganggap baik dekat dengan ustad. ... Membayar zakat itu bagusnya kepada amil, karena amil itu orang jujur dan taat. Kalau berzakat dengan amil akan berkah karena didoakan oleh amil agar murah rejeki dan selamat dunia akhirat. Guru Ngaji dan Guru Agama di beberapa Desa di Tanjung Jabung Timur ditemukan ada yang keberatan menjadi amil zakat jika diberikan bagian zakat dua bagian, yaitu bagian sebagai Guru Ngaji/Guru Agama dan sebagai amil Zakat. Mereka ini dalam kultur zakat desa dijadikan salah satu tempat para Muzakki menyerahkan zakatnya karena alasan telah mengajarkan mengaji dan agama kepada anak-anak desa tanpa pamrih. Mereka ini menjadi amil di luar kelembagaan masjid dan selalu berlangsung di rumah sang Guru yang diantarkan langsung oleh Muzakki atau oleh anaknya yang belajar mengaji di sana. H. ABD (59 tahun), Imam Masjid Raya Simburnaik, menjelaskan bahwa : ‖Zakat itu rukun Islam yang wajib ditunaikan. Zakat mengandung maksud untuk melahirkan rasa kasihan kepada orang miskin. Zakat awalnya ditunaikan karena itu perintah Allah, tapi nanti zakat ditunaikan karena rasa tanggungjawab terhadap saudara-saudaranya seagama yang miskin....‖ MASTG (49 tahun), amil zakat dari tokoh masyarakat yang sekaligus Muzakki menyatakan bahwa ia membayar zakat karena menyadari itu kewajiban sebagai orang Islam yang memiliki kelebihan harta yang memiliki kewajiban terhadap orang miskin yang ada di lingkungannya (tau mareppek). Menurutnya bahwa Zakat itu lebih utama diberikan kepada orang dekat, karena mereka itu yang melihat dan mengetahui kita punya harta dan menikmati harta di depan mereka yang kesusahan.
Pentingnya tatakelola sebagai upaya melaksanakan perintah keharusan adanya amil dalam tradisi berzakat, merupakan upaya melaksanakan ajaran dan menjadi landasan utama bagi komunitas. Munculnya seorang atau sekelompok
202
orang menjadi amil zakat dalam lembaga tatakelola zakat, merupakan wujud penafsiran atau eksternalisasi dari proses sosialisasi atau
internalisasi
pengetahuan zakat masyarakat yang dibangun oleh agamawan, khususnya terkait dengan konsep amil yang difahami sebagai petugas yang mengurusi zakat.
Internalisasi pemahaman
zakat
dibangun
sedemikian
rupa
oleh
agamawan dalam masyarakat dengan wacana kewajiban berzakat dalam berbagai kesempatan dan melalui berbagai media. Masjid sebagai lembaga dimana agamawan memiliki kekuasaan penuh, menjadi media penting dalam proses internalisasi nilai dan pengetahuan zakat lintas generasi bagi komunitas. Melalui masjid, agamawan mensosialisasikan pengetahuan zakat dalam khutbah-khutbah, ceramah-ceramah dan pengajian-pengajian secara berkala dan mencapai puncaknya pada masa bulan Ramadhan dan disanalah agamawan dimunculkan pemahaman bahwa amil yang tepat adalah agamawan sebagai perwaris hak kuasa kenabian (para ulama adalah pewaris para Nabi). Landasan etika kepatuhan pada ajaran agama yang mewajibkan zakat dilandasi dengan nilai sebagai sebuah pengabdian kepada Allah SWT, merupakan landasan etika dominan. Logika
commonality, togetherness dan
social assurance, muncul dari ajaran agama bahwa berzakat lebih difahami sebagai pengembalian hak kaum lemah dibanding menyantuni, karena itu sebagai kewajiban orang kuat untuk membantu yang lemah. Bagi komunitas, zakat difahami sebagai praktek beragama yang merupakan perintah wajib untuk menyerahkan hak orang lemah yang ada dalam harta orang kaya. Zakat di sini didorong logika bahwa berzakat adalah peraktek beragama yang wajib dan jika mentaatinya akan memperoleh pahala, sebaliknya berdosa manakala tidak mentaatinya. Landasan etik moral disini bermuara pada pertimbangan bahwa Allah
SWT mewajibkan zakat sebagai bagian dari ketaatan beragama yang
sekaligus merupakan tindakan menyalurkan titipan Allah dalam harta yang dimiliki orang kaya kepada yang lemah sebagai yang berhak (muzakki). Aktor utama dalam tradisi zakat dan tatakelolanya, memunculkan amil sebagai sosok yang menempati peran mengelola (menerima, mengatur dan mendistribusikan dana zakat), muzakki sebagai kelompok orang atau organisasi yang dikenai kewajiban membayar zakat dan mustahik sebagai sekelompok orang yang berhak menerima dana zakat untuk dimanfaatkan sendiri atau memanfaatkan untuk kepenatingan orang lain. Mereka ini masing-masing
203
memiliki landasan logika zakat yang dapat dilihat pada tabel 15 yang menggambarkan peta rasionalitas aktor lembaga tatakelola zakat komunitas. Tabel 15 : Basis Etika-Moral Aktor dalam Lembaga Tatakelola Zakat Komunitas Aktor
Landasan Rasionalitas
Amil (Agamawan), birokrat desa dan pemuka adat.
Asketik, Altruistik dan penguatan komunitas
Muzakki
Asketik, Altruistik dan perekat hubungan kaya dan miskin serta pengamanan sosial
Mustahik
Asketik, Altruistik dan ekonomi Survival
Sumber : Data Primer, 2008 (diolah) Amil sebagai aktor tatakelola zakat dalam mengelola zakat menganut logika asketik dan altruistik. Hal ini terlihat dalam petikan wawancara dengan IH (61 tahun) bahwa : ―menjadi amil itu adalah menjalankan perintah agama sehingga menjadi amil itu berpahala, dan paling tidak harus satu orang yang siap menjadi amil dalam satu kampung… menjadi amil itu selain karena Allah, juga sebagai pengabdian kepada ummat karena membela hak orang miskin dan pengutan agama.‖. Menjadi amil zakat bagi IH (61) dianggap sebagai sebuah kewajiban, dan melaksanakannya dianggap berpahala, namun sebaliknya jika tidak ada yang bersedia menjadi amil dalam satu kampung, baginya dianggap seluruh warga akan menanggung dosa. Keberadaan amil di sini dianggap sebagai sebuah ―pengabdian‖ karena amil bagi komunitas menjadi amil dipandang sebagai upaya melindungi hak kaum lemah dan membantu mereka untuk memperoleh haknya dari harta kaum kaya. Penguatan agama terkait dengan perintah zakat, bagi amil dianggap sebagai tujuan penting. Zakat dipandang sebagai sumber pendanaan penyiaran agama,
makanya
memanfaatkan
salah
dana
satu
zakat
kelompok adalah
yang
kelompok
berhak
menerima
orang
yang
dan
berjuang
memperjuangkan agama Allah SWT sebagai dana penyiaran dan penguatan ajaran agama, makanya tatakekola zakat komunitas komunitas selalu berada dipercayakan dalam kuasa agamawan sekaligus dianggap sebagai yang berhak menerima. Muzakki berzakat di bawah landasan rasionalitas asketisisme dengan motivasi ibadah dengan alasan bahwa berzakat adalah kewajiban sebagai penganut agama yang diberikan rejeki oleh Allah SWT. Selain itu bagi mereka
204
berzakat dengan rasionalitas altruisme dengan memandang bahawa berzkat sebagai tindakan kemanusiaan dalam bentuk kewajiban kepada kaum lemah. Zakat bukan sebagai kepedulian sebagaimana infaq dan shadaqah, karena berzakat bukan menyantuni namun dianggap sebagai memberikan atau malah mengembalikan hak kaum lemah yang dititipkan Allah SWT dalam rejeki yang diterima. Bagi muzakki komunitas, berzakat selain sebagai ibadah, bagi mereka zakat memiliki fungsi sosial sebagai perekat hubungan sosial antara kelompok kaya dan kelompok miskin, dan bagi mereka salah satu fungsi perintah zakat memang bertujuan untuk mendekatkan hubungan antara kaum kaya dan kaum miskin. Keterangan H. AMR (56 tahun) bahwa : ‖Berzakat itu penting karena kewajiban yang diperintahkan dalam agama. Berzakat juga memberikan hak orang lain yang dititipkan oleh Allah dalam harta setiap orang yang mampu... dengan zakat hubungan kaum kaya dengan kaum miskin bisa terjalin dengan baik...‖ Menerima zakat bagi mustahik, dianggap sebagai melaksanakan perintah Allah SWT yang telah diatur dalam agama, karena bagi mereka zakat adalah hak mereka yang telah ditetapkan dalam agama sebagai kewajiban terhadap orang kaya. Menerima zakat bagi mustahik bisa melewati amil dan langsung dari muzakki, dan bagi mereka dua cara ini tidak ada bedanya. Bagi mustahik komunitas yang penting adalah zakat dapat diterima mereka sebagai pengamanan ekonomi survival mereka. Menganggap zakat sebagai hak, tidak kemudian mendorong para muzakki komunitas ada yang secara langsung meminta hak zakatnya kepada para muzaki. Meski menganggap hak, mereka hanya bisa mengharap diberikan oleh kaum kaya dengan penuh kesadaran, dan mengharapkan kepada para amil agar bisa mengelola zakat kaum kaya untuk disalurkan kepada mereka. Mustahik komunitas menggantungkan haknya dalam kuasa para amil dan mengharap agar amil dapat memotivasi kaum kaya dan bahkan memungut untuk kemudian disalurkan kepada mereka sebagai salah satu kelompok yang berhak menerima santunan dan manfaat zakat. Keterangan SLHD (45 tahun) bahwa : ‖.....zakat adalah kewajiban orang kaya kepada Allah untuk memberikan sebahagian hartanya kepada orang miskin,... sebagai
205
kewajiban dalam ajaran agama.... tapi kalau tidak di atur oleh amil, mereka bisa jadi enggan membayar zakat.... zakat bagi kami penting untuk membantu mengatasi kesulitan sehari-hari apalagi pada waktu lebaran....‖ Berzakat bagi komunitas, termotivasi oleh semangat asketik, yang terlihat ketika para aktor tatakelola zakat dan pelaku zakat dalam mengelola zakat bagi amil, berzakat bagi muzakki dan menerima zakat bagi mustahik, selalu atas dasar ajaran agama yang diperintahkan oleh Allah SWT. Selain motivasi asketik tersebut, motivasi altruis juga mewarnai motivasi aktor tatakelola dan pelaku zakat komunitas. Ada motivasi kemanusian bagi amil dalam bentuk upaya perlindungan atas hak kaum lemah, penguatan ajaran agama dan penguatan ekonomi komunitas ketika mewujudkan zakat sebagai system distribusi kekayaan dalam komunitas. Mustahik sebagai aktor ketiga dalam tradisi berzakat dan tatakelolanya dalam komunitas, menempati peran sebagai penerima dana dan manfaat dana zakat. Mereka ini menerima zakat dengan pemahaman bahwa mereka sebagai kelompok orang lemah diberikan hak oleh Allah untuk menerima santunan dari kaum kaya. Menerima zakat bagi mereka dilandasi oleh etika moral asketisisme yang ditandai oleh pemahaman bahwa menerima zakat adalah menjalankan ketentuan dan ajaran agama Allah yang menentukan bahwa kaum lemah adalah kelompok yang berhak untuk menggunakan ata menerima manfaat zakat. Etika moral altruisme juga terlihat sebagai basis etika mustahik, hal ini terlihat dalam pemahaman bahwa menerima zakat merupakan wujud kepedulian sosial kaum kaya terhadap mereka yang lemah dan menderita kesulitan ekonomi. Selain etika moral akstisisme dan altruisme, etika moral ekonomi survival juga terlihat dalam logika menerima santunan dana zakat bagi mustahik komunitas. Bagi mereka menerima zakat adalah hak mereka terhadap sebahagian harta orang kaya untuk melindungi ancaman ekonomi mereka. Menerima zakat adalah hak dan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan survival mereka. Zakat bukan untuk mensejahterakan, namun hanya untuk membantu memenuhi kebutuhan mendesak dan pengamanan kebutuhan survival mereka (lihat tabel 15). Terbangunnya etika-moral asketik dan altruis merupakan bangunan etika dari masing-masing aktor tatakelola zakat komunitas yang kemudian melebur menjadi satu. Etika-moral asketik merupakan basis yang melandasi logika
206
agamawan dan muzakki. Di sini agamawan sebagai sosok pemangku kuasa pengetahuan agama, dalam praktek tatakelola zakat yang dipayungi oleh etika moral kepatuhan dan penundukan kepada Allah sebagai pemberi titah dalam konteks zakat sebagai ajaran agama. Ini merupakan konsekwensi dari bekerjanya pengetahuan agama dalam ranah kognitif para agamawan yang disebarkan ke masyarakat dan menjamah aras kognitif muzakki dan mustahik. Etika-moral altruisme yang menjelma dalam etika-moral commonality, togetherness, dan social assurance, merupakan basis etika-moral yang memayungi aktor tatakelola zakat yang berasal dari elit adat (tuo-tuo tengganai). Basis etika moral ini merupakan konsekuensi dari payung pengetahuan lokal (local knowledge) yang memang menjadi basis pengetahuan mereka. Sementara keterlibatan birokrat desa lebih menujukkan adanya etika moral integratif, namun masih diwarnai dengan etika-moral commonality, togetherness dan social assurance. Muncul landasan multi etik bagi mereka di sini merupakan bias dari pertemuan dua pengetahuan yaitu: pengetahuan administrasi pemerintahan desa dan pengetahuan lokal (local knowledge) yang memayungi logika komunitas desa. Diyakini bahwa telah terjadi sinergis dua pengetahuan yang mengarah hibridisasi pengetahuan yang kemudian berefek pada bangunan rasionalitas tatakelola zakat komunitas. Landasan rasionalitas lembaga tatakelola zakat komunitas, sangat menonjol memperlihatkan etika moral asketik dan altruistik. Tiga komponen sosial dalam komunitas pedesaan, yang menjadi bagian penting dan strategis bagi berlansungnya praktek berzakat dan tatakelolanya, masing-masing berpayung pada landasan etika moral tersebut sebagai bangunan rasionalitas yang terbentuk dari proses internalisasi dan eksternalisasi yang kemudian melembaga dan dipatuhi melalui momen objektivasi . Statemen yang oleh Foucault dianggap sebagai kekuatan mengarahkan dan membentuk serta menaklukkan secara halus, disini bermunculan dari segala arah.
Statemen dosa, pahala, kufur dan beriman merupakan kekuatan yang
datang dari amil untuk mengarahkan dan menundukkan kaum muzakki agar patuh berzakat. Statemen jujur, sholeh dan ihlas yang datang dari muzakki dan mustahik, menjadi kekuatan yang menundukkan dan mengarahkan sang amil dalam mengelola zakat. Sementara statemen kikir dan dermawan merupakan kekuatan dari mustahik yang mengarahkan muzakki untuk berzakat dalam
207
mekanisme yang terbangun pada komunitas. Artinya bahwa ada kekuatan statemen-statemen yang menyebar dan menjadi kekuatan yang membantuk situasi sosial untuk mengarahkan dan menaklukkan tiga elemen sosial zakat dalam komunitas. Pada saat yang sama statemen syair agama juga merupakan kekuatan yang mengarahkan para muzakki untuk berzakat melalui LAZ komunitas berbasis masjid di bawah kuasa agamawan, karena disini dipercaya tempat agama disyiarkan oleh agamawan. Statemen yang menkategorikan ummat menjadi muzakki, mustahik dan amil, di dalammnya mengandung kuasa yang mengarahkan masing-masing kategori untuk melakukan peran masing-masing secara common sense sesuai dengan pemahaman dan rasionalitas mereka yang telah terinternalisasikan dalam ruang kognitif sebagai gagasan dan pengetahuan yang selanjutnya menjelma sebagai kekuatan yang mengarahkan tubuh-tubuh mereka untuk melakukan tindakan yang menurut mereka, sebagai sebuah yang benar dan pantas. Berzakat dan mengelola zakat dilakukan karena dianggap sebagai yang benar dan mengikuti kewajiban agama, menjadi yang sholeh, mencari pahala, dan menjadi dermawan, sementara sebaliknya adalah hal yang salah. Sesuatu yang dianggap dan diyakini sebagai ―kebenaran‖ oleh Foucault, selalu dikaitkan dengan relasi kekuasaan dalam ranah sosial dan politik karena kebenaran itu sendiri adalah kekuasaan dari sebuah rezim rasionalitas bangunan pengetahuan. Kebenaran berada dalam banyak cara dan praktek-praktek kehidupan manusia dan
mengatur diri mereka dan orang lain. Kebenaran
diproduksi dengan pembentukan wilayah-wilayah dimana praktek benar dan salah dapat diciptakan dalam aturan dan saling terkait. Setiap ilmu pengetahuan memiliki rezim kebenarannya sendiri (McCarthy, 1996). Bagaimana kekuasaan dan kebenaran itu saling berhubungan, oleh Foucault, dikatakan keduanya ada dalam praktek-praktek diskursif, dimana statemen/ucapan, tindakan, aturanaturan yang diterapkan, alasan-alasan yang diberikan, bertemu dan saling berhubungan serta benar dan salah ditentukan di dalamnya. 6.5.1.1. Rasionalitas Amil Zakat Lembaga Tatakelola Zakat Komunitas. Landasan nilai (value) berupa kewajiban dalam agama atas adanya amil, merupakan landasan etik yang paling utama bagi aktor dalam lembaga tatakelola zakat komunitas. Perolehan pahala dan menghindari dosa menjadi dua sisi yang
208
memberikan pengaruh besar terhadap agamawan komunitas (imam dan guru agama), birokrat desa dan tokoh adat dalam memilih untuk terlibat atau tidak dalam praktek tatakelola zakat. motivasi kepatuhan dan penundukan pada ajaran agama yang muncul dalam bentuk pengejaran pahala dan menghindari dosa, di sini tampak begitu kuat bekerja dalam mengarahkan dan menentukan pilihanpilihan bagi amil dan ini hasil dari proses internalisasi dan eksternalisasi yang kemudian melembaga dalam tradisi ketatakelolaan zakat komunitas. Pertimbangan ekonomi terlihat manakala agamawan, birokrat desa dan pemuka adat menilai zakat dari nilai ekonomi dan potensi ekonomi yang ada dalam kaitannya dengan pembiayaan dalam upaya penguatan agama, membantu mengatasi kesulitan ekonomi kaum lemah, atau dimaknai sebagai mekanisme distribusi kekayaan. Pertimbangan alokasi hak ekonomi bagi pengelola sebagai amil yang tergolong dalam kelompok mustahik, juga merupakan bukti bahwa disana preferensi yang dilandasi oleh pertimbangan bahwa zakat itu merupakan sumber pembiayaan penguatan ajaran, artinya zakat di nilai sebagai potensi ekonomi bagi pembiayaan pengembangan syair agama. Pertimbangan ekonomi muncul sebagai salah satu preferensi yang mendasari keterlibatan kelompok agamawan tertentu dalam memutuskan untuk menekuni, terlibat atau tidak dalam praktek pengelolaan zakat. Pengorbanan waktu dan tenaga yang merupakan salah satu justifikasi yang mengemuka sebagai alasan berhaknya sang agamawan untuk mendapatkan hak atas dana zakat. Kepentingan ekonomi tersebut begitu kentara pada temuan kasus seorang guru ngaji desa yang enggan terlibat menjadi anggota amil zakat (pengelola zakat) jika tidak mendapatkan dua bagian, yaitu sebagai guru ngaji dan sebagai amil. Kasus ini cukup menunjukkan bahwa dalam tatakelola zakat komunitas telah bekerjanya logika ekonomi yang tunduk dalam logika kerja upahan. Diduga ini terjadi sebagai akibat terjadinya penetrasi kapital di pedesaan Provinsi Jambi. Menyangkut tujuan berzakat, oleh amil zakat komunitas difahami dan dikonstruksi sebagai sebuah tindakan ibadah untuk membangun kesholehan individu yang berimplikasi pada terbangunnya kesholehan sosial. Berzakat merupakan bentuk tindakan kepatuhan kepada Allah, namun memberikan efek sosial pada sesama manusia khususnya kepada kaum lemah (mustahik). Berzakat adalah mematuhi perintah agama, sekaligus memenuhi kewajiban kepada kaum miskin dalam bentuk upaya memberikan hak mereka sebagai
209
titipan dari Allah. Untuk mewujudkan tujuan zakat yang berorientasi membangun hubungan kepada Allah dan kepada manusia secara bersamaan, maka penting adanya sekelompok orang yang mengelola zakat dengan mekanisme yang baik, yaitu: amil yang mengatur bagaimana zakat di praktekkan dan dikelola. Bangunan
pemahaman
tersebut
mewarnai
rasionalitas
amil
dan
disosialisasikan kepada ummat, dengan pemahaman bahwa berzakat adalah kewajiban, zakat adalah hak kaum miskin, memerlukan amil dari kelompok orang yang memiliki pengetahuan agama. Berzakat dikonstruksikan kepada ummat bahwa berzakat dan tidak berzakat berada pada dua sisi ruang yang berlawanan, dimana berzakat berada pada sisi ruang yang dikonstruksi sebagai orang yang beriman, bertaqwa dan sholeh, sedangkan tidak berzakat menempati sisi ruang yang dikonstruksi sebagai orang yang ingkar, kufur, dan kotor dimata Allah dan manusia. Konstruksi ini dibangun dan
disosialisasikan dalam berbagai
kesempatan dan tempat. Agamawan menyuarakan di mimbar masjid, di pengajian,
pada
selamatan
hingga
di
madrasah-madrasah.
Konstruksi
pemahaman zakat ummat yang demikian inilah yang mendukung kepatuhan para muzakki dan mustahik kepada amil sehingga mereka begitu berkuasa dalam mengarahkan dan membentuk prilaku berzakat komunitas. 6.5.1.2. Rasionalitas Muzakki Lembaga Tatakelola Zakat Komunitas Membayar zakat melalui amil dilandasi oleh pertimbangan bahwa, zakat merupakan ibadah yang dalam pelaksanaan diatur dengan tatacara tertentu dan yang tahu persis ritual tersebut hanyalah sang Imam atau amil. Berzakat bagi muzakki juga dipandang sebagai proses pembersihan diri dan harta serta pemurah rejeki, karena itu memerlukan campur tangan dan bantuan orang yang dipercaya memiliki kemampuan yang luar biasa, memiliki kedekatan dengan Allah, sehingga dipercaya doa-doanya makbul. Munculnya Imam Masjid atau agamawan sebagai amil dalam komunitas, karena memang mereka dipercaya sepenuhnya oleh para muzakki bahwa mereka adalah orang yang luar biasa, jujur, taat beribadah, dianggap dekat dengan Allah dan doa-doanya makbul. Muzakki berzakat dengan mustahik secara langsung karena pertimbangan bahwa mereka dianggap oleh masyarakat sebagai orang yang kaya sehingga memiliki tanggungjawab sosial untuk membantu yang lemah. Di sini seorang muzakki berzakat karena pertimbangan tanggungjawab sosial dan kemanusiaan.
210
Pertimbangan lain yang ditemukan adalah untuk menghindari resiko negatif dianggap sebagai orang kaya yang pelit. Karena berzakat dengan amil bagi mereka tidak menjamin kalau semua orang tahu ia telah berzakat. Resiko yang mengancam adalah dikatakan sebagai orang kaya yang sombong, pelit dan kikir. Seperti diungkapkan oleh HAR (40 tahun), bahwa : ‖...Menjadi orang kaya ada enak dan susahnya, enaknya yang dapat menikmati dengan gampang apa yang diinginkan, tapi susahnya, memenuhi tuntutan orang orang banyak..... orang kaya itu harus baik, tidak pelit, rajin berzakat dan membantu orang miskin..... walaupun rajin berzakat melalui pak Imam, tapi kadang-kadang masih juga dianggap pelit,... jadi supaya tidak dianggap pelit kalau membayar zakat dibagi dua, sebagian langsung lewat pak Imam dan sebagiannya langsung kepada orang miskin yang dekat rumah atau kalangan keluarga...‖. Kasus ini merupakan bukti bahwa, berzakat bagi muzakki di dalamnya ada pertimbangan pengamanan sosial, artinya mereka juga mempertimbangkan resiko sosial yang bisa memberikan ancaman sosial dari lingkungannya. Maka memberikan zakat kepada mustahik secara langsung bisa memberikan keamanan dari ancaman sosial berupa cap pelit, kikir atau sombong. Memberikan zakat kepada mustahik, muzakki juga melakukan pilihanpilihan tertentu yang terkait erat dengan profesi sosial ekonomi yang ditekuninya. Manakala ia sebagai pengusaha desa, cenderung memilih memberikan zakat langsung ke pada karyawan atau buruhnya. Sementara bagi mereka yang tidak mempunyai karyawan atau buruh, mereka cenderung memberikan zakat kepada kerabat dan tetangganya yang miskin. Preferensi membayar zakat
langsung atau membayar lewat
amil
menunjukkan bahwa muzakki komunitas dalam berzakat dipengaruhi oleh pertimbangan pengamanan sosial yang berorientasi untuk menghindari resiko tekanan maupun ancaman sosial dari masyarakat desa. Dicap sebagai orang kaya yang sombong, pelit atau kikir, bagi muzakki komunitas merupakan hal yang menakutkan. Maka membayar zakat dengan cara langsung ke mustahik atau ke amil keduanya akan memberikan keamanan dari ancaman simbol-simbol sosial yang menakutkan. Mengamati ini terbaca bahwa, sebenarnya dalam praktek tatakelola zakat komunitas memberikan dua takanan yang sama kuat dan menakutkan bagi muzakki. Mereka terbebani harus membayar zakat langsung ke amil zakat untuk
211
pengamanan sosial, kenyamananan dan penghargaan sebagai orang kaya yang taat beragama, dermawan dan bersahaja pada level elit desa. Pada saat yang sama juga tertekan untuk harus membayar zakat langsung ke mustahik yang secara sosial memiliki kedekatan (tetangga, kerabat atau buruh) agar bisa bebas dari ancaman sosial yang tidak kalah beratnya. Artinya bahwa di sini muzakki mendapatkan posisi dilematis untuk memilih salah satu cara berzakat, sehingga mereka pada akhirnya melakukan praktek berzakat dengan dua cara secara bersamaan dan ini adalah solusi teraman bagi mereka. Etika pengamanan diri dan pengamanan harta terlihat menjadi salah satu landasan etika-moral muzakki komunitas melaksanakan zakat. Ada rasa kekhawatiran atas ancaman sosial dari orang sekelilingnya manakala ia tidak berzakat. Simbol sosial sebagai orang yang pelit, kikir dan sombong merupakan hal yang menakutkan. Karena manakala simbol tersebut dilekatkan oleh komunitas terhadapnya, secara sosial mereka akan terisolasi dari komunitasnya dan bahkan bisa terabaikan secara sosial dan ini adalah hukuman sosial yang paling menakutkan. Simbol sosial tersebut juga bisa memberikan efek yang besar terhadap jejaring sosial yang lebih spesifik, misalnya enggannya masyarakat komunitas memberikan bantuan dalam berbagai bentuk dan bahkan sampai pada enggannya masyarakat untuk hadir manakala mereka diundang dalam acara selamatan dan lain sebagainya. 6.5.1.3. Rasionalitas Mustahik Lembaga Tatakelola Zakat Komunitas Mustahik menganggap bahwa zakat haruslah dikelola oleh sekelompok orang-orang yang jujur dan tahu banyak tentang ajaran agama khususnya zakat agar zakat yang diserahkan oleh para muzakki tersalurkan kepada yang berhak dengan tujuan membantu dan atau menyantuni mereka. Zakat diyakininya bertujuan untuk meringkankan beban kemiskinan dan mengingatkan kepada orang kaya bahwa mereka punya kewajiban kepada kaum yang lemah. Seharusnya dalam pengelolaan para amil dan muzakki memahami bahwa zakat bukan sumbangan atau sedekah, tapi itu adalah kewajiban atas hak para fakir miskin yang merupakan titipan Allah, sebagai konsekuensi kesejahteraan. Zakat sebagai kewajiban kaum sejahtera terhadap orang-orang miskin, maka oleh kaum mustahik, dianggap harus dilaksanakan dengan sistem tatakelola yang baik sebagai upaya untuk menjamin kewajiban zakat terlaksana
212
dengan baik dan tidak diselewengkan. Kalau tidak ada tatakelola yang baik dan terpercaya, maka hak fakir miskin sebagai orang lemah yang diwajibkan Allah dianggap informan tidak akan dipenuhi kecuali hanya dalam bentuk sedeqah atau infak seperlunya, yang akan diberikan karena mereka takut dikatakan sebagai orang kikir, sombong dan kufur nikmat, atau mungkin karena takut diganggu hartanya oleh orang miskin merekapun memberikan shadaqah kepada mereka yang dianggap membahayakan dan bisa memberikan rasa aman dan nyaman. Orang
sejahtera
atau
muzakki,
bagi
mustahik
dianggap
sebagai
sekelompok orang yang mendapatkan berkah dan kesempatan yang lebih baik dari Allah dengan rejeki yang lebih baik dari kebanyakan orang.
Mereka
mendapatkan harta tidak semata-mata karena kepiawaian dan kerja keras mereka, namun mereka didukung oleh adanya orang miskin, yang bersedia setiap saat menjadi bagian dari usaha ekonomi yang ditekuni oleh orang yang sejahtera. Para orang miskin yang memberikan bantuan dalam usaha orang sejahtera,
bekerja dengan
imbalan
upah
sebagai hasil
dari kerjanya.
Keberhasilan yang diperoleh oleh orang sejahtera dengan bertambahnya kesejahteraan atas bantuan orang miskin yang menjadi buruhnya, maka selayaknya mereka memberikan kebaikan sebagai rasa syukur kepada Allah dan terima kasih
kepada para orang miskin dengan memberikan kesempatan
kepada orang miskin untuk juga ikut menikmati sebagian dari kesejahteraan itu, dan zakat adalah salah satu bentuk kesempatan yang diberikan kepada orang miskin sebagai kewajiban bagi orang sejahtera disamping yang lain sebagai bentuk rasa kemanusiaan (infaq dan shadaqah). Pengelolaan zakat komunitas bagi mustahik, menurut keterangan informan SLD (58 tahun) sebaiknya berada dalam kuasa Takmir Masjid (agamawan) terpercaya dan diakui sebagai petugas amil. Keberadaannya melekat dengan keberadaan kelembagaan masjid atau langgar dengan pertimbangan bahwa dua lembaga ini merupakan lembaga yang diakui dan dapat diakses dengan terbuka oleh banyak orang.
Masjid atau langgar dikonstruksi oleh mustahik
selain
sebagai tempat ibadah sholat berjamaah, juga di dipercaya sebagai tempat dimana ritual sosial keagamaan dan kepentingan bersama dalam sebuah komunitas dilakukan dengan penuh keterbukaan dan kebersamaan. Masjid dan langgar dianggap tempat yang mempu mencairkan hubungan-hubungan sosial
213
yang bebas dari batasan-batasan struktur sosial kecuali struktur sosial keagamaan (ulama‘, guru dan imam). Bagi mereka perbedaan orang-orang perorang tidak terlalu berpengaruh ketika di masjid apalagi antara dan kaya dan miskin. Yang muncul hanyalah perbedaan kekuasaan antara Takmir masjid (imam dan pengurus masjid) dengan jamaah masjid. Amil dianggap berhak karena memang diatur dalam agama, dan mereka mendapatkan perintah dari Allah untuk mengurusi zakat dengan cara yang telah diatur dalam agama. Makanya menurut infoman (SLD, 58 tahun) amil hendaklah dari orang yang mengerti agama dengan baik seperti ulama‘, ustad, atau guru agama, tapi yang paling tepat adalah imam masjid (puang imang), karena mereka hampir setiap saat ada di masjid dan paling banyak ngurus ummat. Pandangan ini menunjukkan bahwa seorang amil dari imam masjid dapat dengan gampang ditemui dan terakses dengan mudah oleh semua orang. Seorang iman juga karena menguasai masjid sebagai arena komunikasi ummat terkait dengan urusan agama dan masalah sosial lainnya. Seorang imam juga menguasai jejaring sosial dan komunikasi keagamaan melalui mimbar masjid, sehingga orang dengan mudah mendapatkan informasi tentang zakat dan tatakelolanya. Atas keikhlasan dan jerih payah amil bekerja dalam ketatakelolaan zakat ummat, dipandang wajar untuk mendapatkan manfaat dari dana zakat yang dikelola. Sekelompok amil yang telah bekerja dengan serius dan menghabiskan waktu tanpa pamrih baik dalam mengurus zakat, masjid dan kesediaannya memimpin segala ritual agama dan adat, membuat mereka selayaknya diberikan keuntungan dari sebagian dana zakat. Bagian zakat yang diterima oleh amil diyakini juga untuk menunjang kelancaran tugas sang amil dalam mengurus agama dalam banyak hal, misalnya menjadi imam masjid, guru agama masyarakat, guru ngaji anak-anak desa, dan pelayan ummat tanpa pernah minta upah. Mustahik di sini mengkostruksi amil sebagai sosok yang mampu mengelola zakat dengan baik, karena dianggap memiliki integritas keagamaan dan moral yang baik sebagai orang yang berilmu, bijak dan memiliki kepedulian yang tinggi kepada ummat serta tanpa pamrih. Seorang yang agamawan yang menjadi amil dianggap sebagai tokoh agama dan moral yang mampu memberikan pelayanan kepada ummat secara adil dan berimbang bebas dari pengaruh perbedaan status sosial. Mereka bekerja berdasarkan petunjuk wahyu dan norma-norma
214
adat, bebas kepentingan, ikhlas untuk dan hanya mengharapkan pahala dari Allah. Komunitas mustahik begitu percaya dengan kejujuran dan keikhlasan agamawan karena memiliki pengetahuan agama yang dianggap lebih baik dari kebanyakan orang. Seorang agamawan karena pengetahuan agamanya dipandang memiliki kapatuhan terhadap ajaran agama dengan baik dan konsisten dalam segala ruang. Seorang agamawan kemudian dipatuhi sedemikian rupa dengan penundukan dan penyerahan yang penuh dengan rasa percaya. Mustahik dalam konstruksi pengetahuan para ahli agama, dipandang sebagai sosok yang menjadi sasaran utama diwajibkannya zakat kepada para muzakki. Mustahik sebagai kelompok kaum lemah selalu menjadi alasan utama dalam memotivasi kaum kaya untuk berzakat dan menjadikan mereka sebagai kelompok yang paling berhak menerima dana dan manfaat dana zakat. Namun sebaliknya konstruksi pengetahuan mustahik sendiri tentang diri mereka agak berbeda, mereka memandang diri mereka memang sebagai kelompok yang berhak mendapatkan santunan zakat, namun mereka beranggapan bahwa mereka berhak menerima zakat atas kemurahan hati kaum muzakki dan perhatian para amil.
Hak atas dana zakat lebih dianggap sebagai berhak
menerima santunan ketimbang berhak dan berkuasa terhadap dana zakat yang telah terkumpul di tangan amil maupun yang masih berada di tangan muzakki. Ada kesenjangan pengetahuan antara para amil dengan muzakki dan mustahik,
dalam
konstruksi
pengetahuan
tentang
ruang
kuasa
dalam
ketatakelolaan zakat. Hal ini terjadi karena tidak berimbangnya informasi tentang pengetahuan yang disosialisasikan terkait dengan hak dan kewajiban muzakki dan mustahik. Amil sebagai sosok yang dikonstruksi memiliki pengetahuan zakat yang luas dan dianggap ahli, dalam memberikan informasi tentang zakat dalam berbagai kesempatan selalu lebih ditekankan untuk memotivasi muzakki dengan memberikan informasi tentang hak dan kewajiban berzakat. Sementara terkait dengan mustahik selalu pada posisi terpinggirkan dan hanya muncul sebagai salah satu alasan untuk memotivasi muzakki berzakat. Informasi tentang hak dan kewajiban mustahik sangat minim yang seakan tidak dianggap penting dan diserahkan pada kuasa dan kebijakan pada amil. Keterangan TY (51 tahuan) mustahik di Simburnaik menyatakan bahwa :
215
‖.... kami orang miskin memang sebagai orang berhak menerima zakat dan selalu menjadi alasan para ustad dalam mendorong orang kaya berzakat,... terserah kepada Pak Imam (tokoh agama yang selalu menjadi amil) mereka lebih tahu zakat itu dimanfaatkan untuk apa dan diberikan kepada siapa... kami ini hanya menerima, kami tidak tahu apa dan berapa hak kami,... pak Imam lebih tahu,... bagaimana cara dan berapapun nilianya kami percayakan kepada pak imam, .....yang diberikan kepada kami diterima dengan senang hati...‖ Ada delegasi kuasa yang besar dengan kepercayaan yang tinggi dari kaum mustahik kepada para amil atas hak-hak mustahik dalam ketatakelolaan zakat komunitas. Amil dikonstruksi sebagai orang yang ahli, jujur dan bijak serta berpihak pada mereka. Munculnya kelompok miskin sebagai alasan mendasar yang selalu digunakan oleh para amil dalam memotivasi kaum muzakki agar berzakat, mungkin merupakan salah sebab mengapa kepercayaan mustahik begitu besar kepada amil, disamping itu amil yang selalu dari agamawan juga memberikan sumbangan lahirnya kepercayaan tersebut. Perbedaan pengetahuan mustahik pada level expected dan level riil merupakan akibat ketidak berimbangan distribusi informasi tentang pengetahuan zakat, dan yang lebih berperan di sini adalah adalah berbagai kepentingan yang menyertai praktek tatakelola zakat oleh amil terhadap muzakki dan mustahik. Pada aras experted, muzakki memang di konstruksi sebagai muara dari perintah zakat, dan menjadi titik kunci atas anjuran amil untuk memenuhi kewajiban berzakat terhadap muzakki. Namun pada tataran riil mereka hanya menjadi komoditas atas tatakelola zakat. Mereka begitu gencar di atas namakan sebagai tujuan dan sasaran zakat namun pada tahap pemanfaatan zakat mereka tak jarang hanya menempati wilayah wacana pinggiran dan terkadang hampir terlupakan dalam wacana pemanfaatan dana zakat. Kuasa pengetahuan yang didominasi oleh sosok agamawan juga memberikan pengaruh terhadap muncul kesenjangan pada aras experted dan riil tentang konstruksi pengetahuan mustahik. Apa yang dikonstruksikan oleh amil tentang mustahik dan mustahik tentang tentang dirinya, yang selalu berbeda pada tataran realitas, merupakan akibat dari ada konstruksi mustahik terhadap amil yang hampir memiliki kesempurnaan untuk menjadi sosok yang diberikan kepercayaan sepenuhnya. Ada ruang kuasa atas pengetahuan zakat dan
216
legalitas moralitas yang tinggi yang diberikan oleh mustahik kepada amil membuat pada mustahik begitu mempercayakan hak-haknya kepada amil. 6.5.2. Rasionalitas Aktor Badan Amil Zakat Jambi. Membahas landasan etik Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) ditemukan bahwa etik pengelolaan zakat di sini memandang dan memahami zakat sebagai instrumen pembangunan. Etika integratif/stalibiltas dan penyeragaman serta optimalisasi proses dan hasil sangat mewarnai pertimbangan bagaimana zakat dikelola. Logika integratif menjadi landasan bahwa manakala zakat dibiarkan berjalan dengan pengelolaan cara tradisional akan mengakibatkan keresahan masyarakat. Beberapa cuplikan wawancara dengan informan yang bisa memberikan gambaran nyata bagaimana bangunan rasionalitas tatakelola zakat di BAZDA Jambi pada box 6.5.2 berikut : Box 6.5.2 : Rasionalitas Aktor BAZDA Jambi Badan Amil Zakat (BAZDA) adalah lembaga pengelola zakat bentukan pemerintah yang berada di bawah koordinasi Departemen Agama dan Pemerintah Daerah. Di dalamnya bekerja tiga aktor utama yaitu perwakilan dari unsur masyarakat, yaitu : 1. Unsur Pemerintah, yang terdiri dari perwakilan Kanwil Depag untuk level provinsi, Kadepag untuk level Kabupaten-Kota dan KUA-Kecamatan untuk level Kecamatan. Sementara dari unsur pemerintah Daerah, dari staf Pemda untuk level Provinsi, Staf Pemda Kabupaten/Kota untul level Kabupaten/Kota dan staf kecamatan untuk level kecamatan. 2. Unsur Ulama‘. Unsur ini selalu berasal dari pengurus Majelis Ulama‘ sebagai lembaga berkumpulnya agamawan yang diakui oleh negara sebagai pemangku kuasa pengetahuan dan pengawal ajaran. 3. Unsur Tokoh Masyarakat, unsur ini banyak berasal dari perguruan tinggi khususnya Perguruan Tinggi Agama (IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi) dan pensiunan dari Departemen Agama. Sekretaris Daerah (Sekda) merupakan sosok staf Pemda yang secara ex-officio menjadi ketua BAZDA untuk level Provinsi oleh Seketaris Daerah Provinsi, Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota untuk BAZDA Kabupaten dan Kota, dan Sekcam Untuk BAZDA Kecamatan. Sementara untuk posisi wakil dan sekretaris selalu dijabat oleh staf dari Depag atau pensiunan Depag (provinsi, kabupaten/kota). Aktor yang berasal dari Ulama‘/Agamawan dan Tokoh masyarakat dalam kepengurusan selalu menempati posisi Dewan Pertimbangan atau Dewan Penasehat. Sementara untuk Pelindung selalu dijabat oleh Kepada Daerah untuk masing-masing level (Gubernur untuk peropinsi, Bupati untuk level Kabupaten, Walikota untuk level Kota dan Camat untuk level Kecamatan). Ketiga aktor yang terlibat dalam tatakelola zakat BAZDA ditemukan meski ada beberapa perbedaan pandangan, namun mereka sebenarnya memiliki basis etika-moral yang sama yaitu tunduk pada rasionalitas developtalisme. Mereka memandang zakat sebagai istrumen pembangunan. Zakat dilihat sebagai sumber dana bagi pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Oleh MHD (44 tahun) Kabag Sosial Pemda Provinsi, menyatakan bahwa : dilakukannya pengelolaan Zakat Jambi sebagai perintah UU No 38 tahun 1999 tentang pengelolaan Zakat, memerintahkan untuk dibentuknya Badan Amil Zakat pada setiap daerah termasuk Jambi. Badan ini dibentuk sebagai lembaga yang bertugas untuk memungut dan mendistribusikan zakat untuk pemberdayaan dan pembangunan masyarakat miskin. Zakat merupakan potensi yang ada dalam masyarakat yang belum termanfaatkan dengan baik untuk membangun masyarakat. Makanya perlu diakukan pengelolaan yang profesional, bertanggungjawab dan terpercaya. …. Jika zakat terus dijalankan dengan cara tradisional dengan cara berbeda-beda dan tidak profesional bisa mengakibatkan keresahan masyarakat. Masyarakat juga bisa bingung dan akhirnya akan memilih menyalurkan sendiri zakatnya ke yang berhak dan ini bisa disalah gunakan oleh muzakki. Oleh IH (61 tahun), Wakil Ketua Pelaksana Harian BAZDA Jambi (pensiunan Kanwil Depag Jambi) menyatakan bahwa : …zakat sebagai kewajiban ummat belum maksimal seperti Haji dijalankan oleh ummat. Zakat memiliki potensi ekonomi yang besar yang bisa digunakan untuk membangun masyarakat dan memberdayakan kaum lemah… zakat yang laksanakan sejak dulu hanya menjadi sumbangan dan hasilnya juga sampai saat ini belum mampu mengatasi masalah kemiskinan ummat. … hak orang miskin harus dilindungi oleh pemerintah supaya bisa memberikan mafaat kepada kaum lemah.....jika ingin mewujudkan tujuan zakat maka harus dikelola dengan baik dan profesional seperti BAZDA. Oleh AA M (36 tahun), pengurus BAZDA dari IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, menyatakan bahwa untuk memaksimalkan potensi dan capaian tujuan zakat haruslah dikelola dengan modern dan dengan dukungan negara. Pengaturan yang tegas oleh pemerintah dibutuhkan agar zakat menjadi bagian dari
217
pembangunan dan pengentasan kemiskinan ummat. Oleh CH (54 tahun) menyatakan ―karena telah memiliki sekelompok mustahik yang menjadi langganan berzakat di kampung‖, kalau berzakat di BAZDA mustahik langganannya tersebut akan kecewa karena ini telah dilakukan sejak lama Oleh AW (51 tahun) menurutnya bahwa pengaturan pengelolaan zakat mestinya untuk menjamin agar orang bisa berzakat dengan mudah dan supaya dana zakat sampai kepada yang berhak. Kalau sudah memiliki mustahik yang jelas dan berlangganan itu lebih baik jika memang mampu memberikan manfaat bagi zakat,……itu lebih pasti bisa membuat hubungan antara kaya dan miskin erat dan harmonis. Oleh Amr (37 tahun) menyatakan bahwa ―zakat sebagai ajaran agama yang didalamnya mengatur hubungan antara manusia dengan Allah sebagai bentuk syukur atas diperolehnya harta kekayaan dalam bentuk memberikan sebahagian kepada orang lain yang mengalami kekurangan‖.
Rasionalitas
politik
dalam
bentuk
etika-moral
integratif,
menjadi
pertimbangan bahwa manakala zakat dikelola dengan mekanisme dan pola yang beragam dan tidak diatur dengan peraturan yang memiliki kepastian, dianggap dapat memunculkan keresahan masyarakat. Perbedaan mekanisme pengelolaan antara satu wilayah dengan wilayah yang lainnya dapat memunculkan keresahan dan pertentangan dalam masyarakat. Pengelola zakat yang satu dengan yang lainnya dianggap bisa berbenturan karena perbedaan pemahaman dan landasan etik yang digunakan. Maka salah satu pertimbangan dibalik lahirnya BAZDA adalah untuk mencegah keresahan dan pertentangan masyarakat dalam tradisi berzakat. BAZDA lahir dengan perwajahan pengelolaan zakat yang dianggap mampu memberikan warna yang sama dalam tradisi pengelolaan zakat antara satu wilayah dengan wilayah lainnya dengan pengaturan yang jelas dan memiliki kepastian hukum. Penyeragaman sistem tatakelola menjadi penting dalam upaya mencegah lahirnya perbedaan konstruksi pengetahuan zakat dan landasan etik dalam pengelolaan. Penyeragaman ini membutuhkan terbetuknya satu model tatakelola yang terpercaya dan memiliki kekuatan hukum yang jelas. Pertimbangan ini kemudian menjadi alasan utama mengapa harus negara yang menjadi sentral bagi sistem tatakelola zakat. Rasionalitas ekonomi yang mucul dalam wacana optimalisasi pengelolaan dan upaya akumulasi sumberdaya zakat, juga menjadi landasan etika mengapa zakat kemudian harus digiring masuk dalam ruang kuasa negara. Ada asumsi bahwa pengelolaan zakat baru bisa optimal manakala ada campurtangan negara, dan bahkan diyakini bahwa hanya negaralah yang mampu mengelola zakat secara optimal, karena negara mempunyai kekuatan politik dan hukum serta perangkat birokrasi dan jaringan yang luas, sehingga zakat di bawah kontrol negara dianggap akan lebih bisa mencapai hasil optimal dibanding dengan pengelolaan zakat lainnya. Wacana mensinergiskan zakat dan pajak
218
merupakan satu temuan yang bisa dimaknai bahwa negara sedang berupaya memasukkan zakat dalam sistem negara dan menjadikan zakat sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan. Keterbatasan pemasukan dana pembangunan dari pendapatan pajak sepertinya menjadi salah satu alasan mengapa zakat menjadi manarik bagi negara. Basis etika moral aktor dalam tatakelola zakat di BAZDA Jambi, berawal dari tiga basis etika moral, yaitu: Asketisisme dan Altruisme dengan orientasi keshalehan (individu dan sosial) yang disertai etika integratif dengan penekanan pada penyeragaman dan akumulasi dana zakat untu pembiayaan pengentasan kemiskinan dengan orientasi pemberdayaan. Ketiga basis etika moral tersebut pada
akhirnya
dalam
prakteknya
melebur
dalam
satu
etika
moral
Develompmentalisme yang mengatas namakan pembangunan berbasis agama. Fenomena peleburan logika asketisism dan Altruisme ke dalam rasionalitas logika developmentalisme merupakan fenomena rasionalitas termodifikasi dan memiliki kemiripan dengan fenomena penaklukan rasionalitas (Bryant, 1998), dan hibridisasi rasionalitas (Escobar, 1999), sebagai hasil discursive rasionalitas (Edger, 2000). Terlepas dari beberapa konsep tersebut, yang pasti bahwa telah terjadi pergeseran rasionalitas agamawan dan tokoh masyarakat yang semula berada pada ranah rasionalitas asketisisme dan altruisme setelah berinteraksi dengan rasionalitas develompmentalisme yang mendasari etika moral birokrat dalam tatakelola zakat BAZDA. Pada tabel 16, terlihat basis etika moral aktor tatakelola zakat BAZDA Jambi. Agamawan dan tokoh masyarakat menganut etika moral asketisisme dan altruisme memahami zakat sebagai instrumen keshalehan individu dan sosial. Birokrat dengan basis etika developmentalisme. Setelah ketiga aktor tersebut berinteraksi dalam wacana dan peraktek tatakelola zakat berbasis negara di BAZDA, etika moral asketisisme dan altruisme agamawan dan tokoh masyarakat serta etika moeral developmentalisme birokrat, saling bersintetis dan merajut menjadi atika moral aketisisime dan altruisme yang diwarnai dengan etika developmentalisme. Bahkan bisa dikatakan bahwa terjadi pergeseran dari rasionalitas asketisisme dan altruisme kearah rasionalitas developmentalisme berwajah agama. Diskursus rasionalitas yang mempertemukan kubu agamawan, elit
adat
dan
birokrat
memunculkan
birokrat
sebagai
pemenang
dan
mendominasi diskursus ketatakelolaan zakat pada level BAZDA. Rasionalitas
219
agamawan dan elit adat yang berorietasi nilai dan kemandirian lokal tertaklukkan oleh rasionalitas birokrat berorientasi tujuan dan pembangunan. Tabel 16 : Basis Etika-Moral Aktor Badan Amil Zakat Daerah Jambi Agamawan Basis Etika-Moral
Pertemuan Basis Etika-Moral Aktor
Tokoh Masyarakat
Birokrat
Asketisisme dan Altruisme (Kesalehan individu dan kesalehan sosial)
Asketisisme dan Develomentalisme Altruisme (Kesalehan Individu dan Kesalehan sosial) Kesalehan individu dan kesalehan sosial (individual and social asketisisme) Intergaratif dengan wacana Pemberdayaan Develompmentalisme
Sumber : Data Primer, 2008 (diolah) Wacana tatakelola zakat BAZDA yang didominasi oleh birokrat sebagai aparat negara yang menyuarakan tatakelola dalam logika pembangunan dengan penekanan pada pemberdayaan masyarakat. Berzakat dilihat sebagai praktek beragama yang bertujuan mengatasi kemiskinan ummat, dan merupakan tanggungjawab bersama yang harus diatasi secara bersama-sama dalam konteks bernegara. Mengatasi kemiskinan diyakini hanya bisa dilakukan dengan perangkat organisasi yang kuat, terpercaya dan memiliki kekuatan politik yang kuat. Makanya tatakelola zakat diyakini sebaiknya berada dalam pengelolaan negara. Zakat di sini dipandang sebagai satu potensi yang bisa menjadi instrumen pembangunan dengan logika dari rakyat untuk rakyat sebagaimana logika pajak. Tatakelola zakat dikonstruksi sebagai bagian dari proses bernegara. Berzakat selain dipandang sebagai kepatuhan beragama, berzakat juga kemudian dipandang sebagai kewajiban bernegara. Ada fenomena penggeseran landasan etika berzakat masa lalu yang lebih pada landasan kepatuhan pada ajaran agama beorientasi ukhrawi (keTuhan-an), dialihkan secara perlahan pada landasan etik kepatuhan pada aturan negara dan berorientasi duniawi (pembangunan dan kemanusiaan). Proses ini terjadi sebagai sebuah hasil dari upaya negara memperluas ruang kekuasaan khususnya pada ruang yang dianggap sebagai sumber potensial bagi penguatan politik dan ekonomi. Aparat negara membangun pemaknaan bahwa zakat merupakan instrumen pemberdayaan dan pembangunan yang seharusnya dengan mekanisme sistematis dengan menggunakan manajemen modern di bawah payung negara. Logika ini merasuki ranah gagasan publik, menjalar jauh ke mana-mana hingga bersentuhan dengan gagasan zakat komunitas pedesaan
220
dalam praktek diskursus tatakelola zakat. Kekalahan dialami oleh gagasan zakat komunitas yang memiliki kekuasaan dan pengetahuan yang terpinggirkan hingga proses rekonstruksi rasionalitas tatakelola zakat di sini terjadi. Peta rasionalitas aktor dalam tatakelola dan praktek berzakat di BAZDA Jambi dapat dilihat pada tabel 17 yang menggambarkan etika moral amil, muzakki dan mustahik dalam tindakan berzakat dan tatakelolanya. Tabel 17 : Peta Rasionalitas Aktor Badan Amil Zakat Daerah Jambi Aktor
Etika-Moral
Amil (Agamawan dan birokrat ) Muzakki Mustahik
Asketisisme dan altruism yang diwarnai etika moral Developmentalisme Asketisisme dan altruisme (tanggungjawab sosial negara) Asketisisme dan ekonomi survival
Sumber : Data Primer, 2008 (diolah) Amil zakat dalam tatakelola zakat BAZDA
Jambi, mengakui menganut
etika moral asketisisme dan altruisme namun pada kenyataannya cenderung bermuara pada etika moral developmentalisme. Tujuan utama yang ditonjolkan di publik adalah upaya meningkatkan keshalehan individu sebagai bentuk akhir dari kepatuhan dan kesadaran berzakat, namun pada akhirya dalam prakteknya, tujuan yang menonjol lebih pada upaya perolehan atau akumulasi dana zakat secara maksimal untuk pembiayaan pembangunan dan pemberdayaan dalam upaya mengatasi persoalan kemiskinan sebagai tanggungjawab negara dalam bentuk pembangunan. Rasionalitas aktor dalam praktek zakat dan ketatakelolaannya di BAZDA Jambi menunjukan bahwa tiga aktor utama dalam praktek dan tatakelola zakat menunjukkan landasan rasionalitas yang berbeda. Amil sebagai aktor tatakelola menganut rasionalitas developmentalisme dengan motivasi pada pencapaian stabilitas
dan
perolehan
dukungan
pembiayaan
pembangunan
dan
pemberdayaan. Amil zakat di sini memahami bahwa tatakelola zakat penting sebagai upaya optimalisasi pencapaian tujuan zakat dalam mengentaskan kemiskinan ummat dengan pembangunan dan pemberdayaan. Pegawai dan Pejabat pemerintah Provinsi Jambi sebagai muzakki utama atau aktor utama praktek berzakat di BAZDA, menganut etika moral asketisisme dan altruisme dengan keyakinan bahwa zakat merupakan kewajiban beragama dari Allah SWT, kepatuhan berzakat karena tujuan pahala dari Allah. Berzakat
221
bagi mereka merupakan pengabdian kepada Allah dan bertujuan melahirkan kenyamanan dan keharmonisan hubungan antar manusia. Berzakat merupakan ibadah kepada Allah, sekaligus wujud rasa solidaritas dan pertanggungjawaban sosial sebagai seorang yang memiliki kehidupan yang lebih baik terhadap sesama manusia yang bernasib kurang baik. Kepatuhan Muzakki di sini lebih dikarena pertimbangan kenyamanan dan pengamanan sumber ekonomi, mereka berzakat atau beinfak pada BAZDA karena menghindari sanksi kebijakan yang diberlakukan di lingkungan kantor dan instansi pemerintah
tempat mereka
bekerja. Etika moral amil zakat dan muzakki dalam tatakelola zakat di BAZDA Jambi, menujukkan ada logika develompentalisme karena memang merupakan aparat negara yang berafiliasi pada motivasi menjalankan tugas sebagai aparatur negara yang diarahkan oleh logika birokrasi negara dengan motive menjalankan pembangunan menuju negara integratif. Bagi mereka pembangunan adalah hal penting dan mejadi ruh segala kegiatan dalam konteks menjalankan tugas sebagai aparatur negara, dan ini mewarnai secara dominan rasionalitas dalam tatakelola zakat di BAZDA. Etika moral muzakki, yang terdiri dari para pegawai negeri sipil dan karyawan BUMD, ditemukan dipermukaan bahwa dalam berzakat di BAZDA, mereka menganut etika moral asketik dan altruis dengan motive pencapaian keshalehan individu dan sosial. Etika moral asketik dan altruis muzakki tersebut tidaklah murni sebagai mana etika moral muzakki pada LAZ komunitas, muzakki BAZDA disini diusamping etika moral asketik dan altruis yang ditemukan diperkukaan, ditemukan etika moral yang lebih memberikan pengaruh dalam menentukan preferensi berzakat ke BAZDA. Alasan motive kepatuhan pada atasan dan sistem birokrasi serta pengamanan diri dalam birokrasi tempat bekerja agar ternyata menjadi motive yang mendasar yang menonjol. Berzakat di BAZDA sebagai upaya mengamankan diri dari sanksi administrasi dan birokrasi ditempat kerja, karena kalau tidak mereka mendapatkan teguran dan bahkan bisa mendapatkan hukuman administrasi. Upaya membangun citra sebagai birokrat yang sholeh dan budiman, juga ditemukan dalam peraktek berzakat bagi pejabat tinggi daerah. Berzakat atau terlibat dalam peraktik tatakelola zakat merupakan cara yang menjadi pilihan dalam membangun citra tersebut. Hal ini terbaca dari beberapa temuan bahwa
222
dalam peraktik distribusi dana zakat ke mustahik selalu dilakukan dengan publikasi yang meriah dan dalam acara yang terbuka dengan dihadiri dan bahkan dibawah kendali birokrat. Penyerahan zakat oleh pejabat tinggi selalu disertai dengan publikasi yang sistimatis dan besar-besaran. Bagi mereka itu adalah motivasi bagi para muzakki, hanya saja persoalannya mengapa selalu harus dalam momen-momen tertentu yang lebih memihak pada terbangunnya citra bagi pejabat yang bersangkutan. Misalnya memilih waktu hari-hari besar Islam dan nasional atau memen-momen politik seperti Pemilu dan Pilkada. Etika moral Mustahik BAZDA menunjukkan adanya motivasi asketik. Menerima atau meminta bagian zakat bagi mustahik di BAZDA, karena pertimbangan bahwa menerima zakat memang hak mereka yang telah ditentukan oleh Allah SWT, menolak atau mengabaikan hak itu sama dengan ingkar atas ketentuan Allah dan itu dinilai sombong (kufur nikmat). Mereka juga berprinsip bahwa menolak menerima atau tidak meminta dana zakat di BAZDA sama halnya mengecewakan para muzakki yang telah berniat berzakat untuk ibadah
dan
membantu
mereka
sebagai
mustahik.
Mereka
memilih
menerima/meminta bantuan zakat dari BAZDA dengan tujuan untuk pemenuhan kebutuhan subsisten berupa pemenuhan kebutuhan konsumptif atau untuk mendukung terpenuhinya kebutuhan subsisten berupa dana produktif sebagai modal usaha dalam bentuk usaha kecil. Mustahik mengkonstruksi dirinya sebagai orang yang lemah, yang layak dibantu dan memerlukan bantunan, menerima apa adanya, memiliki hak atas dana sosial dan zakat, layak meminta dan memohon. Wacana kemiskinan dan pemberdayaan merupakan wacana yang membentuk mereka bahwa orang yang miskin layak dibantu, mendapatkan bantuan, meminta dan memohon serta harus dengan usaha yang sabar. Bangunan wacana tentang kemiskinan dan pemberdayaan yang membangun konstruksi bahwa kaum kaya harus memiliki solidaritas dan responsibilitas sosial yang tinggi terhadap kaum lemah, dan itu menumbuhkan tanggung jawab negara, maka pada titik tertentu bisa membuat kaum lemah menggantungkan segalanya pada negara. Di sinilah penundukan, dan penaklukan melalui pendisiplinan dan normalisasi. Paling tidak, ada dua aspek yang penting untuk melihat dinamika diskursus; perluasan mekanisme disiplinier dan mekanisme normalisasi pada tatakelola zakat BAZDA, sebagai produksi berbagai diskursus zakat oleh negara sebagai
223
suatu cara untuk mendominasi masyarakat zakat (amil, muzakki dan mustahik). Diskursus tatakelola zakat terkristalisasi dalam suatu ruang lingkup strategi yang baru dan berbeda dengan diskursus tatakelola yang terbangun di masjid, yaitu strategi menghadapi masalah-masalah ―kemiskinan‖ yang dimunculkan dan menyatu dalam suatu rentang waktu. Membangun dominasi, penundukan dan eksploitasi terhadap masyarakat zakat bukan dengan kekuatan menekan dan memaksa secara fisik, namun hanya lewat penyebaran wacana tatakelola zakat berbasis
negara
yang
menyatu
dengan
diskursus
pembangunan
dan
pemberdayaan kemiskinan dengan statemen solidaritas sosial, pembangunan dan pemberdayaan kemiskinan. Menurut Foucault, kuasa bukanlah seperti definisi paradigma Weberian, yang
menganggap
kekuasaan
sebagai
kemampuan
subjektif
untuk
mempengaruhi orang lain. Kuasa juga bukan seperti yang diyakini oleh kaum Marxis sebagai artefak material yang bisa dikuasai dan digunakan oleh kelas tertentu untuk mendominasi dan menindas kelas lain. Kuasa bukan pula institusi, struktur atau kekuatan dalam masyarakat. Kuasa tidak dimiliki tetapi dipraktekkan dalam suatu ruang lingkup dimana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain dan senantiasa mengalami pergeseran. Kekuasaan melekat pada aras rasionalitas, tidak mengacu pada satu sistem umum dominasi oleh suatu kelompok tertentu terhadap yang lain. kuasa adalah beragamnya gagasan dalam hubungan kekuasaan. Menurut Foucault, kekuasaan bukan suatu institusi, bukan suatu struktur, dan bukan pula suatu kekuatan yang dimiliki; tetapi nama yang diberikan pada suatu situasi strategis yang kompleks dalam suatu masyarakat. Kekuasaan di sini mengatur tubuhtubuh melalui gagasan dan kerangka rasionalitas mereka. Kekuasaan di sini menormalisir keadaan dan mengarahkan kepada ummat agar patuh berzakat dalam satu sistem tatakelola yang dianggap benar dan dibenarkan oleh satu sistem pengetahuan dan rasionalitas melalui mekanisme-mekanisme sosial yang dibangun untuk menjamin suatu pengetahuan diterima, menjadi disiplin diri dan dianggap sebagai sebuah kepatutan. 6.5.2.1. Rasionalitas Amil Zakat Badan Amil Zakat Daerah Jambi Pengurus Badza dalam penelitian ini dianggap sebagai Amil zakat, karena memang mereka semua bertugas dan bekerja dalam lembaga tatakelola zakat
224
untuk mengelola zakat sesuai dengan mekanisme yang telah diatur oleh negara dalam peraturan dan perundang-undangan zakat. Zakat sebagaimana di jelaskan oleh IH (61 tahun) dan AA. M (37 tahun) dalam wawancara, merupakan fenomena beragama yang dengan alasan historis dianggap sebagai salah satu hak kuasa negara. Beliau juga menganggap bahwa zakat terkait dengan kepentingan banyak orang dan dalam pelaksanaannya melibatkan serta berakibat pada orang lain, maka negara dalam hal ini negara harus ikut campur demi menjamin kelancaran, kepastian dan stabilitas umum, khususnya memudahkan muzakki dan menjaga atau melindungan hak-hak kaum lemah sebagai mustahik. Membiarkan tatakelola zakat bebas tanpa ada aturan yang memiliki kepastian
hukum
dipandang
memberikan
kesempatan
untuk
terjadinya
penyalahgunaan zakat oleh orang-orang yang tidak bertanggunjawab, bahkan disinyalir oleh IH (61 tahun) bahwa sekarang banyak orang yang tidak disiplin dalam membayar zakat dan bahkan banyak yang tidak pernah berzakat sama sekali. Semua itu diakibatkan tidak adanya para amil zakat dalam lembaga tatakelola masyarakat
zakat untuk
tradisional berzakat.
memotivasi Mereka
dan
hanya
membangkitkan mengandalkan
tradisional, tidak memiliki program yang jelas dan terukur,
kesadaran manajemen
tidak memiliki
manajemen pertangungjawaban dan administrasi yang jelas. Akibatnya kurang dipercaya masyarakat. Oleh karena itu menurut mereka, untuk mencapai hasil maksimal dari kewajiban berzakat, hendaknya diatur oleh negara dengan perangkat aturan yang jelas dan pasti, dengan lembaga yang bertanggungjawab dan memiliki program serta administrasi yang baik. Berzakat bagi pengurus BAZDA
Jambi, dianggap kewajiban beragama
secara mutlak yang tidak bisa ditawar-tawar. Zakat adalah hak kaum lemah sehingga mengingkari zakat sama halnya mengingkari perintah sekaligus menzolimi orang lemah. Oleh karena itu dalam hal ini negara harus tampil menertibkan pelaksanaan zakat sekaligus melindungi hak kaum lemah. Melalui lembaga yang resmi yang berkekuatan hukum, dengan aturan yang memiliki kepastian hukum, dengan tenaga profesional yang ditunjuk, negara berkewajiban tampil dalam arena tatakelola zakat sekaligus menertibkan sistem tatakelola yang ada agar tunduk dalam kerangka kebijakan negara.
225
Zakat oleh Amil Zakat BAZDA Jambi, dipandang penting dikelola dalam satu bentuk tatakelola berbasis negara, karena menganggap zakat sebagai perintah pembangunan perekonomian bagi kaum lemah. Pembangunan ekonomi kaum lemah di sini dimaknai tidak hanya pada batas pemberian bantuan berupa dana zakat dalam bentuk bentuan konsumptif atau produktif, tapi dimaknai lebih jauh dalam bentuk segala hal yang mampu memberikan sumbangan bagi terwujudnya ekonomi pemberdayaan bagi kaum lemah. Oleh karena itu bagi mereka tatakelola zakat menjadi bagian dari tanggungjawab negara untuk memaksimalkan
tujuan
zakat
dengan
meleburkannya
dalam
program
pembangunan dan pemberdayaan masyarakat lemah. Potensi zakat oleh Amil BAZDA Jambi dianggap sebagai potensi masyarakat yang harus dimanfaatkan dengan baik. Zakat adalah hak kaum lemah yang harus dijamin dan dilindungi oleh negara. Kalau zakat dibiarkan dalam pengelolaan masyarakat secara tradisional tanpa campurtangan negara, hak-hak kaum lemah akan terabaikan dan tak terjamin. Oleh karena itu negara dibutuhkan dengan kekuatan sosial politik untuk menjamin terlaksananya zakat dengan baik dan terjaminnya perolehan hak-hak kaum lemah. Potensi ekonomi zakat adalah potensi yang besar bagi pembiayaan pembangunan khususnya dalam upaya pengentasan kemiskinan, oleh karena itu menurut keterangan IH (61 tahun) salah satu pengurus BAZDA Jambi bahwa: ―…harus dimanfaatkan semaksimalnya untuk pemberdayaan masyarakat dengan baik‖. Menurutnya ―…untuk memaksimalkan pemanfaatan potensi ekonomi zakat tidak bisa dengan lembaga yang tidak memiliki kekuatan (sosial politik) dan memiliki perangkat aturan yang bisa memotivasi kesadaran berzakat masyarakat secara luas, dan bahkan diperlukan kekuatan memaksa‖. Menurut pengurus BAZDA Jambi, diperlukan kekuatan untuk memaksa mereka yang enggan melaksanakan zakat, dan ini hanya bisa dilakukan oleh lembaga yang di dukung oleh negara seperti BAZDA atau lembaga zakat lainnya yang diakui dan didukung oleh peraturan dan perundang-undangan. Oleh Amil Zakat di BAZDA Jambi, negara dipandang sebagai lembaga yang berpihak pada kepentingan orang banyak. Negara memihak pada rakyat lemah sehingga kaum kaya yang enggan berzakat dianggap layak untuk dipaksa demi melindungi kepentingan kaum lemah. Kaum kaya dianggap sebagai orang yang memiliki kepedulian lemah terhadap kaum miskin, sehingga lembaga zakat tradisional
226
dianggap kurang mampu memotivasi munculnya kesadaran berzakat yang tinggi dari kaum kaya, namun negara dianggap
lebih mampu karena memiliki
perangkat sosial politik berupa lembaga yang kuat, aparat yang profesional dan perangkat hukum yang memiliki kekuatan memaksa. Tujuan BAZDA Jambi sebagai lembaga tatakelola zakat milik daerah adalah : 1) Untuk memaksimalkan kesadaran berzakat masyarakat; 2) Untuk melindungi dan menjamin diperolehnya hak-hak orang miskin dalam kewajiban zakat; 3) Untuk memaksimalkan tercapainya tujuan zakat dalam memberdayakan masyarakat; 4) memaksimalkan perolehan dana zakat untuk pemanfaatan pembangunan khususnya pemberdayaan kemiskinan. Mereka beranggapan bahwa dengan adanya BAZDA sebagai lembaga tatakelola
zakat
berabsis
negara,
akan
memicu
lahirnya
kepercayaan
masyarakat pada lembaga tatakelola zakat khususnya terhadap BAZDA Jambi . Ada asumsi bahwa negara dan segala hal yang berbau negara dapat dipercaya oleh masyarakat. Negara bagi mereka merupakan lembaga yang dipercaya dan mampu membangun keparcayaan publik. Kekuatan politik negara, hukum negara, dan lembaga miliki negara serta aparatnya dianggap satu kesatuan selalu sejalan dan memiliki keberpihakan pada kepentingan masyarakat. Keengganan wajib zakat untuk berzakat bagi mereka layak mendapatkan pemaksaan dengan menggunakan instrumen kekuasaan negara demi mencapai akumulasi potensi zakat yang ada. Tinggi rendahnya kesadaran selalu diukur dengan tinggi rendahnya akumulasi dana zakat terkumpul. Melindungi hak kaum mustahik sebagai golongan lemah, merupakan satu alasan penting perlunya ada lembaga tatakelola zakat yang memiliki kekuatan sosial politik yang mampu memaksa kaum wajib zakat agar berzakat pada satu lembaga tertentu. Aspek keharmonisan hubungan antara muzakki dan mustahik berupa kehangatan hubungan sosial antara dua golongan yang berbeda struktur sosial ekonominya menjadi kurang diperhatikan. Yang penting di sini adalah bagaimana agar dana zakat terakumulasi secara maksimal dan ini dianggap sebagai ukuran terlindunginya hak-hak kaum lemah. Tujuan pemberdayaan adalah tujuan zakat yang paling dominan yang ditonjolkan oleh BAZDA dalam tatakelola zakat. Zakat dianggap sebagai instrumen pemberdayaan. Zakat sepertinya dianggap memiliki kesamaan dengan pajak, sehingga di sini negara atas nama pembangunan dan pemberdayaan
227
memiliki hak kuasa yang besar untuk campurtangan dengan berbagai kebijakan yang dianggap bisa mewujudkan zakat sebagai instrumen pembangunan dan pemberdayaan.
Oleh karena itu, maka perolehan dana zakat yang sebesar-
besarnya
para
dari
wajib
zakat
merupakan
tujuan
utama
agar
bisa
mengumpulkan dana bagi pembangunan dan pemberdayaan kemiskinan. Akumulasi dana menjadi lebih penting dari bangunan relasi yang nyaman, damai dan hangat antara muzakki sebagai wajib zakat dan mustahik sebagai yang berhak atas potensi zakat. Maksimalisasi zakat oleh BAZDA lebih pada upaya meningkatkan kesadaran berzakat dengan tujuan perolehan atau akumulasi dana zakat yang besar dalam satu wadah lembaga tatakelola serta capaian manfaat zakat bagi pengentasan kemiskinan. 6.5.2.2. Rasionalitas Muzakki Badan Amil Zakat Daerah Jambi. Zakat bagi muzakki dalam tatakelola BAZDA yang kebanyakan adalah para pengawai negeri sipil dan militer (PNS). Amr (37 tahun) salah satu muzakki BAZDA meyakini bahwa : ―zakat sebagai ajaran agama yang di dalamnya mangatur hubungan antara manusia dengan Allah sebagai bentuk syukur atas diperolehnya harta kekayaan dalam bentuk memberikan sebahagian kepada orang lain yang mengalami kekurangan‖. Menurut muzakki bahwa kepedulian terhadap yang lemah dimulai dengan beban kewajiban, dengan harapan akan berlanjut dengan lahir kedermawanan sosial terhadap kaum lemah.
Menerapkan tatakelola zakat dalam kuasa
pemerintah dengan mekanisme pemerintah yang memaksakan para PNS membayar zakat di BAZDA dianggap oleh SLM (2008) ‗kurang tepat jika dilihat dari ruh zakat yang bertujuan membangun hubungan yang harmonis dan nyaman antara kaum kaya dengan kaum miskin‘, kecuali kalau memang tujuan memberdayakan yang menjadi titik perhatian.
Ini menunjukkan bahwa
sebenarnya unsur pemerintah sendiri dalam bangunan rasionalitas tentang tatakelola zakat belum memiliki kesamaan.
Kalau para amil memfokuskan
perhatian pada tujuan pemberdayaan, sementara para muzakki malah memandang pentingnya tujuan bangunan relasi yang nyaman dan harmonis antara kaum kaya dengan kaum miskin. Kepatuhan berzakat bagi kalangan PNS melalui BAZDA, ditemukan banyak di antara mereka yang melakukan tindakan kamuflase, mereka menerima
228
dilakukan pemotongan gaji oleh petugas pemungut zakat atau Unit Pengumpul Zakat (UPZ) yang ada disetiap dinas dan instansi, namun hanya sebatas shadaqah atau infaq saja. Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa mereka menghadapi tuntutan dari lingkungan dimana mereka tinggal. Di lingkungan tempat tinggal mereka, sebagai orang yang mampu dituntut membayar zakat, infaq dan shadakah oleh warga. Makanya untuk memenuhi dua tuntutan, tuntutan dari tempat kerja berupa kewajiban berzakat di kantor melalui BAZDA dan tuntutan berzakat dari lingkungan dimana mereka tinggal, maka mereka melakukan tindakan kamuflase sebagai tindakan pengamanan diri. Mereka berprinsip dengan memberikan infaq atau shadaqah di kantor, itu cukup untuk mengamankan diri dari tuntutan sistem dan birokrasi di kantor, dan selanjutnya kewajiban zakat dilaksanakan di lingkungan tempat tinggal melalui petugas zakat di masjid. Temuan paling ironis, adanya pengurus teras BAZDA Jambi, yang menurut keterangan petugas administrasi BAZDA, bahwa pejabat tersebut tidak pernah menyetorkan zakatnya ke BAZDA. Alasan sang pejabat tidak pernah menyetorkan zakatnya di BAZDA, dalam wawancara CH (54 tahun) menyatakan ―karena telah memiliki sekelompok mustahik yang menjadi langganan berzakat di kampung‖, maka ia enggan berzakat di BAZDA, karena kalau berzakat di BAZDA mustahik langganannya tersebut akan kecewa. Fenomena ini menunjukkan bahwa zakat bagi kalangan PNS tidak sepenuhnya harus mengikuti tuntutan pemerintah untuk membayar zakat di BAZDA. Jika memiliki mustahik yang jelas bagi mereka itu lebih baik. Fenomena adanya pengurus BAZDA yang tidak pernah berzakat di BAZDA karena telah memiliki langganan muzakki, ditemukan banyak dari kalangan pejabat tinggi. Mereka membayar di BAZDA hanya sebatas infaq dan shadaqah, sementara zakatnya diberikan kepada banyak tempat, ada di lingkungan tempat tinggal, ada yang ke kampung, bahkan ada yang ke keluarga dan buruh atau pekerja yang mereka miliki. Bagi mereka bahwa tujuan berzakat dan tatakelola zakat adalah untuk menjamin kepastian berjalannya zakat dan sampainya zakat ke yang berhak. Maka dengan memiliki langganan mustahik untuk diberikan zakat itu lebih baik jika memang mampu memberikan manfaat bagi terbangunnya hubungan yang harmonis dan nyaman antara keduanya (wawancara dengan WHB, 55 tahun).
229
Adanya keengganan atau tindakan kamuflase dari muzakki BAZDA untuk membayar zakat sepenuhnya di BAZDA menunjukkan bahwa mereka juga kurang percaya dengan BAZDA, dan mengganggap BAZDA hanya terfokus pada maksimalisasi tindakan berzakat dengan tujuan mengakumulasi dana zakat yang besar dengan alasan untuk mewujudkan pembangunan dan pemberdayaan kaum miskin. Etika moral kenyamananan dan keharmonisan hubungan antara kaum muzakki dan mustahik yang mewarnai logika muzakki dari PNS yang membuat terjadinya ketidaksinambungan (decoupling) antara logika BAZDA yang mengedepankan etika moral develompentalism dan empowerment. 6.5.2.3. Rasionalitas Mustahik Badan Amil Zakat Daerah Jambi Pegelolaan Zakat, bagi mustahik dipandang perlu sebagai bentuk upaya mendorong para penganut agama Islam yang dikenai wajib Zakat agar berzakat dengan baik. Zakat penting di tangani oleh satu lembaga atau sekelompok orang yang bertindak sebagai amil, yang bertugas mendorong orang berzakat, memungut dana zakat dan memanfaatkan dana tersebut untuk keperluan kaum fakir miskin. RN (36 tahun) pedagang jangung bakar Acol Jambi yang telah mendapatkan bantuan modal usaha senilai Rp. 500.000.- (lima ratus ribu rupiah) dari BAZDA, menyatakan bahwa : ―… Adanya BAZDA itu baik, karena memang orang kaya itu kalau tidak diingatkan berzakat, selalu lupa, bahkan ada yang sengaja melupakan kewajiban zakatnya,...‖. Keterangan RN (36 tahun) ini menunjukkan bahwa bagi mustahik BAZDA, keberadaan BAZDA merupakan hal yang tepat jika untuk mengingatkan atau memobilisasi para wajib zakat untuk berzakat dengan baik. Karena kalau tidak ada yang mengingatkan, menurut mustahik, para wajib zakat (orang kaya) lupa akan kewajiban. Ungkapan ―sengaja lupa atau icak-icak lupo” dalam budaya berkomunikasi di Jambi, selalu digunakan untuk menyatakan adanya niat yang tidak baik atau menghindari tanggungjawab dengan sengaja. Artinya menurut pandangan mustahik di sini, terhadap wajib zakat yang enggan membayar zakat boleh dipaksa untuk berzakat. Terhadap mekanisme penyaluran dana zakat di BAZDA Jambi, oleh TF (55 tahun), sebagai mustahik, dipandang kurang menunjukkan tatakekola yang diharapkan. Mustahik beranggapan bahwa dana zakat itu adalah hak mereka,
230
sehingga proses mendapatkannya tidak seharusnya dengan prosedur yang rumit seperti yang diterapkan di BAZDA. Dengan mekanisme yang ada bagi mustahik dinilai seakan dana zakat yang ada di BAZDA itu hak milik BAZDA, bukan hak kaum fakir miskin sebagaimana yang mereka fahami. Keterangan TF (55 tahun), dalam wawancana menyatakan : ―… kata ustad semua orang yang memiliki harta diwajibkan berzakat oleh agama, zakatnya merupakan hak orang miskin…,tapi kenapa di BAZDA kita orang miskin harus membuat permohonan dengan syarat macam-macam, seperti minta bantuan ke pemerintah saja… kalau begini zakat bukan hak orang miskin…dana zakat di BAZDA itu sepertinya harta BAZDA saja…‖. Keterangan mustahik tersebut menujukkan bahwa ada penilaian yang kurang baik terhadap sistem distribusi dana zakat. Mereka menganggap itu terlalu birokratis, dan memperlakukan kaum mustahik sebagai peminta-minta (pengemis). Penilaian ini, merupakan gambaran bahwa pengalaman dan pengetahuan zakat mustahik masih terpengaruh dengan sistem pengetahuan zakat yang dibangun dalam tatakelola zakat berbasis komunitas. Wacana tatakelola zakat modern yang telah di sosialisasikan oleh BAZDA dan perangkat pemerintah serta pendukung wacana tatakelola zakat modern, ternyata belum mampu menggeser rasionalitas masyarakat miskin tentang tatakelola zakat. Kekuatan pengetahuan zakat dan tatakelolanya yang telah dibangun oleh agamawan melalui mimbar masjid dan ruang pengajian, ternyata masih begitu kokoh dan mengakar dalam ruang gagasan ummat. Pertemuan gagasan tatakelola zakat berbasis masjid sebagai tradisi masa lalu dengan gagasan tatakelola zakat modern berbasis negara, ternyata membuahkan benturan dan penolakan-penolakan dari mustahik. Logika yang mendasari pandangan tentang hak mustahik, status hak dana zakat dan mekanisme pendistribusian dana zakat kepada mustahik, antara ummat dan BAZDA memiliki perbedaan mendasar, dan ini memberikan ruang konflik gagasan yang tentunya karena adanya kepentingan yang berbeda. Menerima bantuan dengan mekanisme yang telah diatur oleh BAZDA, diakui oleh mustahik sebagai bentuk keterpaksaan, karena desakan kebutuhan. Meski menurut mereka mekanisme BAZDA kurang nyaman, namun karena kebutuhan terhadap dana tersebut begitu besar, membuat mereka dengan berat hati terpaksa memenuhinya. Logika tatakelola yang menempatkan dana zakat
231
sebagai hak mustahik, dan tradisi masa lalu yang mendistribusikan zakat dengan menghantarkan kerumah mustahik, membuat mustahik memadang cara yang diterapkan BAZDA mempersulit dan mustahik merasa direndahkan. Persoalan lain yang juga menjadi masalah perbedaan pengetahuan tentang manajemen administrasi. Kalau BAZDA menganut manajemen modern yang mengharuskan adanya penerapan administrasi dan birokrasi yang tersistimatis. Sementara mustahik menganut manajemen kultural yang memilih penerapan pola kultural yang dianggap sebagai nilai yang harus dipatuhi. Memperlakukan mustahik yang diyakini berhak atas dana zakat, tidak selayaknya diperlakukan sebagai orang orang harus memohon kepada BAZDA untuk memperoleh haknya. Sementara bagi BAZDA, cara itu lebih pada upaya meminimalisir kekeliruan informasi, efektifitas dan optimalisasi manfaat zakat serta mencegah tersalurnya zakat ke tempat yang salah. Sempitnya ruang kuasa mustahik, membuat mereka harus juga tunduk dengan mekanisme BAZDA. Meski harus merasa direndahkan oleh mekanisme distribusi di BAZDA, namun tetap saja harus memenuhinya karena mereka tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk memprotes, membantah apalagi menolak. Dana zakat yang menurut mereka adalah hak berada dalam kuasa BAZDA dan baru bisa diperoleh hak itu jika memenuhi mekanisme yang telah diatur oleh BAZDA. Mereka memilih mengalah, merendahkan diri, takluk dan patuh meski harus dengan rasa berat hati.
Jika begini fenomenanya, maka bagaimana
makna konsep ―mengayomi‖, dan dimana letak perlindungan hak mustahik? 6.5.3. Rasionalitas Aktor Lembaga Tatakelola Zakat SP Hadirnya swasta dalam wacana tatakelola zakat berbasis manajemen industri, menonjolkan rasionalitas ekonomi (profit dan utility maximization) merupakan gejala menarik pada akhir dekade ini. Kehadiran perusahaanperusahaan industri dalam arena tatakelola zakat, menuai banyak pemaknaan, diantranya: sebagai gejala bangkitnya kepedulian sosial dunia usaha terhadap kaum ekonomi lemah, atau bisa jadi sebagai respon atas tuntutan etika lingkungan untuk bisa dikatakan sebagai pengusaha yang memiliki kepedulian dan moralitas sosial dan keberpihakan pada kaum lemah. Gambaran ZM (59 tahun) dalam wawancara menjelaskan bahwa :
232
‖...kehadiran LAZ pada perusahaan SP awal merupakan inisiatif karyawan yang ingin memenuhi perintah ibadah zakat, kemudian mendapatkan respon dari pihak manajemen, karena dianggap memiliki potensi yang bisa memberikan manfaat yang besar bagi perusahaan, karyawan dan masyarakat di sekeliling perusahaan...‖ MIS (41 tahun) kami sebagai pengelola LAZ SP memandang pengelolaan zakat sebagai kegiatan kemanusiaan, dengan prinsip membantu penduduk miskin yang ada di sekitar perusahaan dalam bentuk bantuan konsumptif maupun produktif...‖ MA (39 tahun) Kegiatan LAZ memiliki kesamaan dengan program CSR bahkan bersama-sama untuk membangun hubungan yang harmonis dan bersahabat antara perusahaan dengan masyarakat luas, bedanya CSR dananya dari perusahaan, tapi LAZ SP dari para karyawan..‖. Sebagai inisiatif karyawan, Lembaga Amil Zakat (LAZ) SP awalnya memiliki etika moral asketisisme, namun setelah melebur dalam program kegiatan manajemen perusahaan mengalami pergeseran etika moral ke arah etika moral ekonomi utilitarian. Pertimbangan profit dan keamanan usaha serta investasi perusahaan
terlihat
menonjol.
Karyawan
sebagai
inisiator
merupakan
perwujudan agamawan dari kalangan karyawan, yang secara bersama-sama dengan para muzakki. Gagasan mereka tentang tatakelola zakat karyawan diawali pertimbangan pemenuhan kewajiban perintah zakat sebagai penganut agama Islam. Penekanannya sebagai ibadah dengan tujuan perolehan pahala dan menghindari dosa. Keshalehan secara individu merupakan penekanan utama,
sementara
konsekuensi
tindakan
berzakat
dan
tatakelolanya
menekankan pada kepentingan kemanusiaan yang teraktualisasi dalam kegiatan distribusi perolehan dana zakat kepada yang berhak menerima zakat di sekitar perusahaan untuk mengatasi masalah
sosial sekitar perusahaan
yang
mengancam kenyamanan dan keamanan usaha. Tabel 18 : Basis Etika-Moral Aktor Lembaga Tatakelola Zakat Swasta
Basis Etika-Moral
Pertemuan Basis Etika-Moral Aktor
Agamawan
Elit Perusahaan
Asketisisme (Kesalehan individu) altruisme Kesalehan Sosial)
Economic Reciprocity Economic ScurityPengamanan Investasi
Economi berbagi dan Pengamanan investasi menuju Maksimalisasi utiliti / maksimalisasi keutungan
Sumber : Data Primer, 2008 (diolah) Pergeseran tersebut terlihat pada tabel 18 yang menggambarkan basis etika moral aktor LAZ-SP. Pada tabel memperlihatkan peleburan etika moral
233
agamawan dalam etika moral elit perusahaan yang menonjolkan etika-etika reciprocity dan tunduk dalam logika utility maximization sehingga pengamanan usaha dan investasi menjadi penting adanya. Pertimbangan-pertimbangan yang berorientasi ekonomi bagi perusahaan dan karyawan nampak muncul, begitu pula dalam pertimbangan efisiensi dan efektifitas menjadi warna yang kental. Manajemen tatakekola dipengaruhi oleh kebijakan manajemen perusahaan dengan orientasi kepentingan ekonomi, pengamanan kerja, usaha dan investasi yang dititipkan pada kegiatan agama (berzakat) dan kemanusiaan. Pertimbangan yang sangat menonjol dalam tindakan tatakelola zakat sebagai tujuan adalah pada penciptaan kondisi yang aman, nyaman dan kondusif bagi kegiatan produksi bagi perusahaan. Kenyamanan kerja karyawan,
keamanan usaha dan inverstasi serta kondisi
yang mendukung bagi perolehan keuntungan ekonomi, merupakan pertimbangan yang paling menonjol dalam menentukan kegiatan kemanusiaan yang dilakukan oleh LAZ-SP. Hal ini terlihat dengan adanya sinergis antara program kerja LAZSP dan program CSR Perusahaan PT. SP dalam menyalurkan bantuan dan santunan kepada kaum miskin sekitar perusahaan. Sebagai contoh: bantuan sosial untuk individu diserahkan kepada LAZ-SP, sementara yang besifat kelembagaan seperti sekolah dan masjid diserahkan kepada CSR PT. SP. Tabel 19 : Peta Rasionalitas Aktor Lembaga Tatakelola Zakat Swasta Aktor
Etika Moral
Manajemen LAZ Muzakki
Utility Maximization atau Profit Maximization. Asketisisme, Altruisme dan pertangungjawaban sosial perusahaan
Mustahik
Ekonomi survival atau bertahan hidup
Sumber : Data Primer, 2008 (diolah) Pada tabel 19 tentang peta rasionalitas aktor LAZ-SP, menggambarkan perbedaan etika moral antara aktor zakat dalam tatakelolanya. Manajemen LAZ menonjolkan etika moral utility atau profit maximization dalam tatakelola zakat, dan muzakki dari karyawan perusahaan lebih menonjolkan etika asketisisme dan altruisme sebagai bentuk pertanggungjawaban sosial sebagai orang sejahtera, sementara mustahik pada sisi yang lain sebagai penerima manfaat zakat lebih menonjolkan etika subsisten dengan anggapan bahwa zakat adalah bentuk kedermawanan kaum sejahteran untuk pengamanan ekonomi mereka.
234
Pengelola LAZ-SP, meyakini bahwa yang menjadi sasaran atau penerima utama zakat adalah fakir miskin (mustadh'afin). Zakat itu "diambil dari orang yang mampu untuk diberikan kepada orang-orang yang tidak mampu. Berzakat dan tatakelolanya dianggap sebagai tindakan pemindahan kekayaan dari yang kaya kepada yang miskin. Pengalihan kekayaan berarti pengalihan penguasaan ekonomi, yang berakibat secara ekonomi pada dua belah pihak. Sang pemberi zakat dan lembaga pengelolaan zakat sebagai sumber dana dan pengelola dana zakat, dianggap layak mendapatkan keuntungan dari nilai ekonomi yang diberikan sebagai efek perpindahan hak ekonomi yang memberikan nilai guna kepada yang menerima sebagai pemberian untuk membantu memenuhi kebutuhan yang bersifat ekonomi, baik untuk biaya konsumptif dan atau modal produktif. Rasionalitas aktor zakat dan tatakelolanya pada LAZ-SP, ditemukan ada perbedaan antara aktor. Manajemen LAZ sebagai aktor tatakelola yang personilnya berasal dari pihak manajemen serta pensiunan karyawan yang merekrut tenaga administrasi yang diposisikan di luar struktur perusahaan, memiliki etika moral utility maximization atau profit maximization. Mereka memandang bahwa tatakelola zakat merupakan tindakan yang bertujuan untuk memaksimalkan manfaat sumberdaya zakat untuk kepentingan pencapaian kesejahteraan kaum lemah dan membangun relasi yang kondusif dengan masyarakat bagi muzakki dalam bekerja sebagai karyawan perusahaan. Kemiskinan penduduk sekitar perusahaan selalu dianggap sebagai pemicu munculnya tindakan yang mengganggu kenyamananan dan keamanan kerja karyawan dan produksi bagi perusahaan. Dengan adanya LAZ yang mengelola zakat karyawan perusahaan dianggap mampu memberikan solusi bagi persoalan yang dihadapi oleh penduduk miskin sekitar perusahaan sehingga akan mengurangi ancaman bagi karyawan dan perusahaan. Gagasan ini merupakan wujud dari adanya anggapan bahwa perusahaan merupakan tempat para karyawan termasuk pengelola LAZ menggantungkan sumber ekonomi mereka, sehingga
seharusnya
semua
elemen
secara
bersama-sama
berusaha
menciptakan kondisi yang baik, aman dan nyaman bagi pelaksanaan proses produksi. Seperti yang diakui oleh FS (40 tahun) sebagai salah satu pengurus Yayasan LAZ-SP, bahwa : ‖...perusahaan dan karyawan adalah satu keluarga sehingga keamanan perusahaan juga keamanan para karyawan,..”
235
Bagi karyawan sebagai muzakki, diakui oleh DS (38 tahun) berzakat pada LAZ-SP, dilandasi oleh pertimbangan bahwa : ―.... zakat sebagai kewajiban semua orang Islam yang mampu, zakat harus dilaksanakan karena Allah dan kewajiban memberikan hak para fakir miskin, membayar zakat adalah bentuk kepedulian kepada saudara seagama.....Kami membayar zakat di LAZ-SP karena memang itu ketentuan sebagai karyawan di sini, yang beragama Islam harus dipotong zakatnya oleh perusahaan .....Penyaluran dana zakat tergantung pada LAZ-SP, siapa yang paling membutuhkan dan bisa memberikan manfaat bagi penerima dan yang membayar zakat.‖ Berzakat dianggap kewajiban beragama dan kewajiban orang yang memiliki kelebihan harta untuk memberikan sebahagian kepada fakir miskin. Berzakat dianggap sebagai ibadah kepada Allah SWT dan sebagai bentuk kepedulian kepada sesama manusia. Tujuan pahala dari mematuhi perintah Allah, tujuan kemanusiaan dengan membantu meringankan beban fakir miskin dan kepatuhan pada aturan perusahaan, mewarnai pertimbangan membayar zakat di LAZ perusahaan oleh karyawan PT. SP. Oleh karena itu kemampuan LAZ membangun kepercayaan muzakki bahwa pengelolaan zakat oleh LAZ sesuai dengan ajaran agama, mendistribusikan kepada yang berhak dan memberikan kenyamanan dan keamanan kepada muzakki dari perusahaan penting di sini. Bagi Mustahik, meminta bantuan zakat dari LAZ-SP, oleh SL (46 tahun) dianggap sebagai ‖...hak orang miskin, karena
zakat memang untuk orang
miskin, ... Bazis (LAZ) SP memungut zakat memang untuk orang miskin...”. LAZSP dianggap sebagai lembaga yang berusaha melindungi hak fakir miskin dan dianggap sebagai upaya untuk mengumpulkan dana zakat yang bertujuan membantu mengatasi masalah kemiskinan masyarakat.
Muzakki meminta
bantuan dengan tujuan pemenuhan kebutuhan konsumsi dan kebutuhan modal usaha. 6.5.3.1. Rasionalitas Amil Lembaga Amil Zakat (LAZ) SP Pihak manajemen LAZ-SP (ZM, 59 tahun), beranggapan bahwa zakat karyawan sebagai potensi ekonomi yang dimiliki potensi yang besar yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pemberdayaan ekonomi untuk penduduk miskin sekitar perusahaan. Selain menyediakan lembaga bagi karyawan untuk mengurusi zakat mereka, dengan adanya LAZ bisa memberikan keuntungan
236
kepada karyawan dan perusahaan. Melalui LAZ-SP penduduk miskin sekitar perusahaan bisa terbantu dalam mengatasi persoalan kemiskinan yang seringkali menjadi sebab terjadinya peristiwa yang mengganggu kenyamanan dan keamanan kerja karyawan yang secara bersamaan mengancam keamanan perusahaan. Tentang bagaimana zakat sebaiknya dikelola, oleh ZM (59 tahun) dikatakan bahwa : ―… Pengelolaan zakat telah diatur dalam agama, agama telah menetapkan nilai yang harus dibayar, kepada siapa diserahkan, dan dimanfaatkan untuk apa… bagaimana teknis mengelola tergantung pada pengelolanya, mana yang terbaik, yang penting tujuan zakat mengayomi dan memberdayakan fakir miskin dapat diwujudkan…‖. Tatakelola zakat oleh pengurusLAZ-SP satu keharusan karena memang telah diatur dalam agama, namun bagaimana tehnis dan mekanisme pengaturannya
ada
kebebasan
dengan
penekanan
mengayomi
dan
memberdayakan kaum lemah yang termasuk dalam golongan mustahik. Artinya bahwa pertimbangan pentingnya tatakelola zakat ditentukan pada tujuan pemanfaatan sumberdaya ekonomi zakat untuk manfaat yang sebesar-besarnya bagi pemberdayaan kelompok miskin. Menetapkan adanya perioritas pemberian bantuan dana zakat kepada masyarakat miskin sekitar perusahaan, dilandasi oleh pertimbangan bahwa zakat adalah untuk membantu mengatasi masalah ekonomi kaum lemah, dan harus memberikan manfaat bagi penerima dan pemberi (mustahik dan muzakki) berupa mengatasi kecemburuan sosial antara mereka. Maka memilih memberikan kepada yang terdekat dengan muzakki dan perusahaan merupakan pilihan dalam dengan pertimbangan mengatasi kecemburuan sosial dari masyarakat miskin sekitar perusahaan terhadap karyawan perusahaan. Kecemburuan sosial kepada karyawan bisa memberikan akibat yang merugikan
bagi
perusahaan
dan
karyawan,
ketika
masyarakat
sekitar
perusahaan melakukan tindakan-tindakan kriminal yang diarahkan pada perusahaan maupun pada karyawan. Makanya dengan adanya LAZ-SP, diharapkan
mampu
mengatasi
kesenjangan
dan
mencegah
munculnya
kecemburuan sosial yang berhubungan dengan tindakan kriminal. Keterangan MIS (41 tahun) menyatakan bahwa :
237
―… LAZ-SP memprioritaskan pemberian bantuan kepada mustahik yang ada di sekitar perusahaan, karena mereka adalah orang yang terdekat dengan perusahaan, mereka harus dibantu karena persoalan mereka adalah masalah bagi karyawan dan perusahaan. Kalau mereka terdesak pemenuhan kebutuhan sasaran kriminal mereka selalu perusahaan atau karyawan… entah itu mencuri atau malah marah dengan perusahaan…. Karena ada yang beranggapan bahwa mereka miskin karena adanya perusahaan…‖ Keterangan informan tersebut, memberikan informasi bahwa adanya skala prioritas dalam penyaluran bantuan dana zakat kepada mustahik, dilandasi oleh pertimbangan mengurangi resiko yang mungkin mengancam kenyamananan dan keamanan kerja karyawan dan perusahaan, yang selalu dianggap bahwa persoalan
kemiskinan
sekitar
perusahaan
bisa
mengancam
keamanan
perusahaan dan kemiskinan dianggap sebagai pemicu munculnya tindakan kriminal yang selalu menjadikan perusahaan sebagai sasarannya. Ada pertimbangan untuk pengamanan bagi usaha dan perusahaan sebagai salah satu yang menjadi dasar diterapkannya tatakelola zakat karyawan di PT. SP, sebagai kelanjutan dari inisiatif karyawan oleh pihak manajemen perusahaan yang sekaligus sebagai aktor utama dalam tatakelola zakat pada LAZ-SP. Penerapan tatakelola zakat di PT. SP, bagi pengelola LAZ dianggap sebagai satu bentuk perhatian terhadap persoalan yang dihadapi oleh masyarakat miskin sekitar perusahaan. Sebagai komunitas yang memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih baik, dianggap memiliki kewajiban untuk memobilisir anggotanya (para karyawan perusahaan) agar memiliki rasa solidaritas yang tinggi kepada sesama dalam bentuk berzakat. Kesetiakawan sosial bagi pengelola LAZ adalah penting dan itu merupakan tanggungjawab bersama antara perusahaan dan karyawan yang secara bersama-sama mendapatkan kesejahteraan dalam satu sistem usaha perusahaan. Maka mengelola zakat bersama dalam satu wadah di bawah payung merusahaan adalah sebuah keharusan sebagai upaya mewujudkan sikap solidaritas sosial karyawan dan perusahaan kepada masyarakat sekitar perusahaan. Hal ini diakui oleh FS (2008) sebagai bentuk kebersamaan memperjuangkan nasib kaum miskin sekaligus upaya mengatasi masalah sosial yang mengancam kenyamanan kerja dan usaha bersama di bawah payung perusahaan. Pemanfaatan dana LAZ karyawan PT. SP, oleh pihak LAZ ditekankan pada upaya mengatasi persoalan mendasar bagi komunitas miskin sekitar perusahaan
238
dan wilayah lainnya. Penyaluran dana diperioritaskan pada upaya mengatasi persoalan mendesak berupa kebutuhan konsumptif berupa bantuan untuk orang jompo dan janda miskin, biaya pengobatan, dan bantuan bencana alam serta bantuan perbaikan (bedah) rumah, sementara untuk pembiayaan produktif diberikan dalam bentuk beasiswa dan bantuan modal usaha. Bantuan usaha produktif berupa beasiswa adalah prioritas utama dan selalu mendapatkan alokasi terbesar baru kemudian menyusul bantuan modal usaha. Keterangan ZM (59 tahun) dalam wawancara, menerangkan bahwa pemberian bantuan konsumptif selalu dibuka kesempatan dalam waktu banyak waktu, karena dianggap paling potensial bagi pemicu munculnya gejolak yang mengancam perusahaan. Sedangkan bantuan produktif, hanya dilayani dalam waktu-waktu tertentu, misalnya bantuan beasiswa diberikan pada tahun ajaran baru, khususnya bantuan biaya masuk sekolah untuk anak Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Preferensi-preferensi yang mendasari tatakelola zakat LAZ-SP tampak terpusat pada pertimbangan ekonomi yang menekankan pada penilaian potensi ekonomi zakat, manfaat ekonomi dan dukungan kondisi yang kondusif bagi usaha dan kerja karyawan serta capaian hasil ekonomi yang bagi penerima bantuan yang bisa memberikan efek penyelesaian masalah sosial dan ekonomi yang mengancam kenyamanan kerja karyawan dan keamanan perusahaan. Sementara alokasi untuk bantuan bencana alam lebih pada penekanan kemanusiaan yang disertai dengan upaya memenuhi tuntutan publik sekaligus membangun citra perusahaan yang memiliki social resposibility yang tinggi pada persoalan sosial dan kemanusiaan. 6.5.3.2. Rasionalitas Muzakki dalam Yayasan Lembaga Amil Zakat SP. Adanya lembaga yang mengelola zakat karyawan perusahaan PT. SP, oleh karyawan dianggap hal yang wajar dan itu baik, karena memberikan kemudahan bagi karyawan untuk berzakat. Oleh YM (40 tahun) dikatakan bahwa : ―LAZ SP memberikan kemudahan bagi karyawan dalam berzakat, tidak perlu susah-susah menghitung dan membayar setelah gajian, karena LAZ telah memiliki perhitungan yang tepat dan memotong langsung dari gaji. … kami merasa nyaman karena menerima gaji yang sudah bersih dari zakat…adanya LAZ menunjukkan bahwa
239
perusahaan ini memiliki kesadaran beragama dan karyawan untuk menjadi penganut agama yang baik…‖
membina
Pertimbangan efisiensi dan efektif bagi karyawan merupakan pertimbangan yang membuat mereka menerima dan mengakui adanya LAZ sebagai lembaga khusus yang menangani pengelolaan zakat karyawan perusahaan PT. SP. Keberadaan LAZ bagi karyawan justru dinilai sangat baik karena dianggap sebagai perusahaan yang memiliki semangat beragama yang tinggi dan ini dinilai sebagai bentuk pembinaan kepada karyawan agar menjadi penganut agama yang taat. Kedisiplinan karyawan membayar zakat dalam bentuk kesediaan zakatnya dipotong melalui mekanisme bendaharawan gaji, karena pertimbangan bahwa zakat memang kewajiban. Selain itu kesediaan tersebut sebagai wujud kepatuhan pada kebijakan perusahaan yang mewajibkan para karyawan muslim untuk berzakat melalui LAZ Perusahaan. Penundukan pada ajaran agama dan aturan perusahaan mewarnai pilihan karyawan untuk mematuhi sistem tatakelola zakat perusahaan PT. SP. Persoalan pemanfaatan dana zakat, oleh pihak muzakki (karyawan) seperti diterangkan oleh RJ (39 tahun) bahwa : …yang penting sesuai dengan agama dan aturan perusahaan…. Pembagiannya kepada mustahik terserah pengurus LAZ…” Artinya bahwa di serahkan sepenuhnya pada kebijakan pihak perusahaan dan LAZ. Bagi karyawan, pemotongan zakat sesuai aturan agama dan kebijakan perusahaan merupakan sudah dianggap cukup. Tentang bagaimana mekanisme pendistribusian, kepada siapa didistribusikan, untuk kepentingan apa dan kapan, itu diserahkan sepenuhnya pada mekanisme yang telah diatur oleh perusahaan. Bagi mereka yang penting zakat mereka sah secara agama dan dianggap telah memenuhi harapan pihak manajemen. Pertimbangan kenyamananan spritual dengan memenuhi kewajiban berzakat sebagai penganut agama Islam, dan keamanan ekonomi dari sanksi perusahaan dengan memenuhi ketentuan kewajiban berzakat kepada LAZ Perusahaan bagi karyawan yang beragama Islam, menjadi dua pertimbangan utama mengapa karyawan bersedia dipotong gajinya oleh perusahaan untuk zakat. Tentang bagaimana dana zakat dikelola dan didistribusikan, bagi mereka tidak menjadi perhatian mendasar. Namun oleh SL (46 tahun) yang penting
240
disalurkan kepada yang berhak menerima dan memberikan manfaat bagi penerima, manfaat bersaama kalau bisa.
Yang paling penting bagi mereka
bahwa ―…zakat yang telah mereka keluarkan bisa memberikan rasa aman dan nyaman sebagai ummat beragama dan sebagai karyawan…”. Rasa aman dan nyaman beragama digambar dalam wujud adanya kepuasan spiritual yang dirasakan dari keyakinan telah memberikan zakat sesuai dengan kewajiban yang diperintahkan oleh agama dan mekanismenya benar menurut pengetahuan agama mereka. Kebenaran yang digambarkan mereka di sini merupakan kebenaran yang telah terbangun sebagai hasil dari wacana zakat dan tatakekolanya dalam ruang perusahaan yang dibangun oleh pihak perusahaan bersama agamawan perusahaan. Sedangkan rasa aman dan nyaman sebagai karyawan digambar sebagai kondisi yang membuat mereka terjamin dari tuntutan publik dan tekanan perusahaan. Keamanan pekerjaan
dan kenyamananan
bekerja merupakan pertimbangan yang mendasari tindakan berzakat pada LAZ perusahaan bagi karyawan. Memaknai keberadaan LAZ sebagai bentuk semangat religius perusahaan dan pertimbangan perolehan kemudahan dan kenyamananan serta keamanan bekerja bagi karyawan, tampak dipermukaan sebagai preferensi utama bagi karyawan yang patuh berzakat pada LAZ-SP. Preferensi yang tersembunyi dibalik kesetiaan berzakat, juga ditemukan dengan landasan hanya sekedar memenuhi aturan perusahaan agar mereka memperoleh keamanan kerja dan pekerjaan. Jauh dari itu bahwa ada karyawan (AS, 40 tahun) yang beranggapan bahwa LAZ perusahaan sebagai wujud usaha perusahaan membagi beban dan tanggungjawab sosial kepada lingkungan untuk diatasi bersama-sama dengan karyawan.
Padahal
menurutnya,
―…karyawan
memiliki
tanggungjawab
membayar zakat di lingkungan tempat tinggal, kepada tetangga dan kerabat yang miskin…‖. pernah
muncul
Pengakuan ini merupakan bentuk penolakan, namun tidak dan
bahkan
informan
memohon
agar
indentitasnya
disembunyikan karena takut mendapatkan sanksi dari atasan atau diberhentikan bekerja dari perusahaan. 6.5.3.3. Rasionalitas Mustahik Lembaga Amil Zakat SP Pengelolaan zakat yang tepat bagi mustahik disekitar perusahaan PT. SP, adalah oleh orang yang tahu agama, dan mengerti bagaimana zakat seharusnya
241
dimanfaatkan menurut ajaran agama, karena mengelola zakat itu adalah ibadah. Oleh HR (42 tahun) dikatakan bahwa : ―….zakat itu kewajiban untuk orang Islam, zakat fitrah untuk semua dan zakat harta khusus untuk yang kaya… supaya orang kaya rajin berzakat, harus ada yang mengurusnya, seperti amil… ‖. Kutipan wawancara ini menujukkan bahwa mustahik menganggap bahwa zakat itu kewajiban untuk semua orang yang beragama Islam dan zakat harta dikhususkan untuk orang yang memiliki kelebihan harta (kaya). Pentingnya keberadaan lembaga tatakelola zakat bertujuan agar orang kaya berzakat dengan baik. Artinya bagi mustahik bahwa keberadaan Lembaga tatakelola zakat itu penting guna mendorong, memudahkan dan mengelola dana zakat dari kaum kaya. Terhadap LAZ-SP, HR (42 tahun) yang merupakan mustahik lembaga ini, beranggapan bahwa pengelolaan zakat karyawan yang menurutnya zakat perusahaan, adalah bentuk pengelolaan zakat yang baik, karena telah mampu mengumpulan dana zakat dan memanfaatkan untuk membantu kaum miskin di Lubuk Kilangan. Seperti yang diungkapkannya dalam wawancara yaitu : “… Bazis (LAZ) SP, bagus telah memanfaatkan zakat perusahaan untuk membantu orang miskin di Lubuk Kilangan…”. Keterangan mustahik tersebut menujukkan bahwa logika mustahik ini tentang tatakelola zakat terbatas pada pengumpulan dan pemanfaatan dana zakat secara ekonomi. Artinya bagi mustahik tersebut, pengelolaan zakat itu harus sesuai dengan ajaran agama dan tujuan pokoknya adalah untuk mengumpulkan dan mendistribusikan dana zakat dari orang kaya kepada yang berhak dengan baik. Tercapainya
akumulasi
dana
zakat
yang
besar
yang
kemudian
termanfaatkan dengan baik untuk kepentingan kaum miskin sesuai dengan ajaran agama, itu sudah cukup bagi mustahik LAZ-SP. Persoalan bagaimana zakat di pungut dan dikelola itu tidak penting. Bagi mereka : ―…semua orang Islam tahu zakat adalah kewajiban bagi orang memiliki kelebihan harta dan dana zakat itu adalah hak kaum fakir miskin, Cuma banyak yang tak mau tau…‖. Zakat sebagai kewajiban bagi orang yang kaya, agar zakat itu diberikan ―…harus ada orang memungut dan mengelolanya untuk diserahkan kepada yang berhak…‖.
242
Pengelolaan bagi mustahik LAZ-SP, dikelola dengan tujuan mengumpulkan dana zakat dari kaum kaya untuk membantu mengatasi masalah ekonomi yang dihadapi oleh kaum miskin. Bantuan untuk mengatasi kebutuhan itu lebih ditekankan kepada orang yang paling miskin dengan adil. Sebagaimana diungkapkan oleh AK (2009), bahwa : ―….pembagian dana zakat itu sebaiknya merata kepada semua mustahik yang ada di sini dengan adil…. Jangan pilih-pilih, … syarat harus ada permohonan baru diberikan zakat, itu kurang tepat tapi apa mau dikata itu sudah ketentuan Bazis (LAZ) SP…yah kami sebagai orang susah yang butuh bantuan terpaksa memohon seperti pengemis dan yang paling tidak enak waktu kita diperiksa oleh petugas dari perusahaan…‖ Ungkapan mustahik diatas, menujukkan adanya protes atas mekanisme pemberian bantuan zakat yang menyatakan ―terpaksa memohon seperti pengemis… apalagi harus diteliti oleh pengurus LAZ‖. Di sini muzakki masih beranggapan bahwa zakat itu hak mereka yang harus diberikan tanpa harus meminta seperti yang berlaku pada tatakelola zakat komunitas. Warisan sistem tatakelola zakat berbasis masjid masih memberikan pengaruh dan masih melekat dalam logika mustahik di Lubuk Kilangan, meski mereka telah menjadi mustahik LAZ-SP. Ada ungkapan keterpaksaan mematuhi persyaratan permohonan dalam bentuk proposal, yang di desak oleh kondisi perekonomian yang serba kekurangan sehingga memohon yang umpamakan seperti pengemis terpaksa dilakukan. Mekanisme tatakelola modern dengan mensyaratkan adanya mekanisme administrasi dalam pendistribusian dana zakat, bagi mereka bukan hal yang baik, tapi malah membuat mereka seperti terhina. Yang menarik adanya inisiatif dari para mustahik yang telah pernah mendapatkan bantuan zakat untuk menyebarkan informasi kepada orang lain bahwa, ada bantuan dana zakat dari PT. SP. Inisiatif ini membuat informasi menyebar kemana-mana sehingga pemohon yang minta bantuan dana zakat selalu meledak untuk setiap saat. Fenomena ini secara sederhana dan sementara dibaca sebagai bentuk upaya kelompok miskin untuk membantu orang sesamanya sebagai kelompok orang yang sama-sama miskin. Ada dugaan lebih jauh bahwa dikalangan mustahik telah terbangun jejaring pemburu bantuan yang menyebar dalam masyarakat miskin sekitar perusahaan, namun
243
tidak meyakinkan karena tidak punya waktu yang cukup untuk mencari data pendukung dugaan tersebut. 6.6. Ikhtisar Tiga model tatakelola zakat yang diteliti ditemukan bahwa masing-masing memiliki landasan etika moral yang berbeda-beda. LAZ Komunitas pedesaan Jambi dengan landasan etika moral asketisisme dan altruisme, menilai bahwa tatakelola zakat merupakan keharusan dan menjadi tugas dan kewajiban bagi pemimpin agama selaku pewaris Nabi. Tatakelola zakat komunitas berorietansi pada pencapaian derajat keshalehan. Shaleh karena taat pada perintah agama secara individu dan shaleh karena telah melakukan kebajikan yang memberikan manfaat bagi banyak orang khususnya meningkatkan kesadaran beragama muzakki dan membantu kesulitan kaum mustahik (kaum lemah) serta menciptakan kehidupan yang nyaman dan damai secara lahir dan bathin kepada komunitas. Keberadaan LAZ dianggap sebagai wujud keshalehan para aktor zakat dalam bentuk penguatan ajaran agama, penguatan ummat dan komunitas. BAZDA bahwa
Jambi, landasan etika moral developmentalisme dan meyakini
tatakelola
zakat
adalah
hak
dan
tanggungjawab
negara,
dan
mengharuskan pengelolaan zakat berada ditangan pemerintah dengan orientasi pada pencapaian stabilitas masyarakat dan negara melalui penyeragaman sistem tatakelola. Zakat dipandang sebagai instrumen pembangunan dan pemberdayaan oleh itu BAZDA dianggap sebagai wujud kepedulian negara beserta aparatnya terhadap fenomena kemiskinan ummat, sekaligus sebagai wujud pembangunan spiritual. Masing-masing aktor zakat di BAZDA, ditemukan memiliki orientasi tersendiri. Aparat dari unsur agamawan, unsur pemukan masyarakat dan unsur pemerintah serta muzakki, masing-masing berorietasi pada penudukan pada negara dan birokrasi pemerintahan serta kepentingan penguatan status sosial serta pengamanan sosial ekonomi, sementara mustahik hanya berkepentingan pengamanan kebutuhan ekonomi subsisten. LAZ SP dengan landasan etika moral ekonomi maximize utility atau maximize profit, menganggap zakat sebagai potensi ekonomi ummat yang berpeluang menjadi instrumen penguatan dan pengamanan ekonomi. Tatakelola zakat adalah hak perorangan yang bisa didelegasikan kepada lembaga profesional yang dianggap bisa mewujudkan tujuan zakat sesuai dengan
244
hamparan agama dan muzakkinya. LAZ-SP sebagai lembaga tatakelola zakat swasta, berorietasi untuk mengatasi persoalan sosial masyarakat khususnya sekitar perusahaan.
Penekanannya difokuskan untuk mengatasi persoalan
sosial dan ekonomi masyarakat. Keberadaan LAZ dianggap bisa membantu mengatasi persoalan kemiskinan masyarakat sekitar perusahaan dan ini membangun citra sebagai perusahaan yang baik, dan bertanggungjawab, sehingga keberadaan perusahaan akan disambut dengan bersahabat oleh masyarakat setempat. Selain kepentingan perusahaan, para aktor zakat pada LAZ-SP dalam berzakat berorientasi pada kepentingan pengamanan kerja dan pekerjaan sebagai sumber pendapatan keluarga. Sementara bagi mustahik tidak ada bedanya dengan pada LAZ komunitas dan BAZDA, mereka semua hanya berkepentingan pada pengamanan ekonomi dan konsumsi pada level ekonomi survival. Tabel 20 : Pengetahuan, Rasionalitas, dan Kepentingan dalam Tiga Lembaga Tatakelola Zakat Basis Kuasa
Basis Pengetahuan
Landasan Etik dan Kepentingan Rasionalitas
Komunitas
Local Knowledge / wisdom
Asketisisme dan Altruisme: pahala, penguatan ummat dan Kesejahteraan kolektif
Asketisime dan Altruisme (Keshalehan Individu dan Sosial) : Commonality & Togetherness menuju Kemadirian lokal
Imam Masjid dan Tokoh Masyarakat lokal
Egaliter yang menonjolkan pastisipasi masyarakat yang tinggi. Namun Hegemoni Elit Lokal dan penundukan nilai. Muzakki dan mustahik tunduk pada nilai dan budaya yang terpusat pada kuasa agamawan dengan Kepatuhan Nilai
Negara
Sains Modern
Etika Developmentalisme (Pembangunan dan tanggungjawab politik negara)
Stabilitas politik berorientasi Kekuasaan
Birokrat Militer
Dominasi dengan kekuasaan aparat pemerintah Penundukan Sistemik ketika Muzakki dan mustahik tertundukkan oleh aturan negara dan Birokrasi Pemerintah
Swasta
Sains Modern
Etika Produksi dengan Rasionalitas Ekonomi menuju Maximize Provit (memanfaatkan modal sekecilkecilnya untuk mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya)
Stabilitas Produksi berorientasi Kesejahteraan
Industrialis Buruh
Dominasi dengan kuasa manajemen swasta Penundukan Sistemik ketika Muzakki dan mustahik tertundukkan oleh aturan negara dan Birokrasi Pemerintah
Sumber : Data Primer, 2008 (diolah)
Aktor
Bangunan Kekuasaan
245
Fenomena rasionalitas termodifikasi terlihat terjadi dalam rasionalitas tatakelola zakat. Pada LAZ komunitas, rasionalitas asketisisme dan altruisme disertai dengan rasionalitas commonality dan togetherness yang menonjolkan tujuan kemandirian lokal yang terlihat pada penguatan ajaran dan ikatan sosial komunitas. Pertimbangan kepatuhan pada ajaran dan membangun semangat keberagamaan secara bersama dalam ikatan yang hangat antara anggota komunitas khsusus kaum lemah dan kaum kaya dibawah kuasa dan kontrol agamawan. Sementara rasionalitas asketisisme dan altruism pada BAZDA dan LAZ Swasta, termodifikasi dengan adanya sintesis dengan etika moral developmentalisme pada BAZDA dan etika moral profit dan utility maximization pada LAZ Swasta. Pertibangan askrtik dan altruis dalam tatakelola zakat BAZDA dan LAZ Swasta termodifikasi dengan pertimbangan pemberdayaan dan pembangunan pada BAZDA dan pencapaian kesejaheteraan dan pengamanan usaha serta investasi pada LAZ Swasta.