DINAMIKA BERMADZHAB DI PASURUAN (Studi Konstruksi Sosial tentang Makna Bermadzhab Bagi Masyarakat Muslim Pasuruan) A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, bahkan umat paling banyak di dunia melebihi negara-negara Islam sendiri, seperti Arab Saudi, Iraq, Iran, Mesir, dan sebagainya. Dari sekian banyak penduduk muslimnya, kebanyakan mereka menganut faham ahl al-sunnah wa al-jama’ah1. Hal yang patut diperhatikan adalah bahwa ternyata walaupun kaum muslim Indonesia mengaku menganut faham ahl al-sunnah wa al-jama’ah secara umum dan madzhab yang empat secara khusus, dalam kehidupan sehari-hari mereka lebih cenderung mengikuti satu madzhab saja, yaitu madzhab syafi’i, bahkan dalam madzhab inipun seringkali ditemukan para penganutnya banyak mengikuti dan menerapkan pendapat dari para tokoh yang notebene merupakan pengikut madzhab syafi’i daripada pendapat pendiri madzhab itu sendiri. Hal ini semakin jelas seperti yang dikatakan oleh Qodri Azizy bahwa ketika kita melihat dan mempelajari kitab-kitab yang diajarkan secara formal oleh pengikut madzhab di Indonesia, baik lewat sekolah atau pengajian sorogan dan bandongan, kita tidak bisa menutup mata bahwa beberapa kyai seniornya tidak jarang memilik refrensi kitab-kitab karya ulama’ di luar madzhab syafi’i. Sayangnya jarang sekali -hampir bisa dikatakan tidak ada- kebiasaan tradisional yang mengajarkan kitab-kitab karya Imam besarnya, Muhammad bin Idris alSyafi’i dan murid-murid terdekatnya2. Hal ini menurut Said Agil Siraj sangat naif, karena betapa banyak ijtihad atau setidaknya pemikiran ulama’ madzahib yang tidak sejalan dengan pendahulunya3. Sebagai contoh adalah tradisi kaum muslim Indonesia yang mengirimkan pahala bacaan al-Qur’an kepada seseorang yang telah meninggal dunia yang hal ini bukan merupakan pendapat Imam Syafi’i sendiri.
1
Ahl al-sunnah wa al-jama’ah adalah suatu faham yang biasa dikontradiksikan dengan faham syi’ah. Secara sederhana didefinisikan sebagai faham yang mengikuti Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi dalam bidang aqidah, dalam bidang fiqh mengikuti empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali) dan dalam bidang akhlak mengikuti Imam al-Ghazali dan Imam al-Junaid al-Bagdadi. Ketiga jalur pemahaman inilah yang kemudian dikenal dengan al-Ushus al-Tsalatsah fi I’tiqadi Ahlissunnah waljama’ah. Untuk selanjutnya baca kata pengantar KH. Abdurrahman Wahid dalam Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Lintasan Sejarah oleh Dr. H. Said Agil Siraj, LKPSM, Yogyakarta, 1998, hal. ix 2 A. Qodri Azizy, Reformasi Bermadzhab, Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Sesuai dengan Saintifik-Modern, 2003, Teraju, Jakarta, hal. 19 3 Said Agil Siraj, Op Cit, hal. 5
1
Oleh karena itu, maka penelitian ini ingin melihat dan mengkaji bagaimana masyarakat muslim popular khususnya di Pasuruan Jawa Timur memahami makna madzhab dan kemudian mengkonstruk kebermadzhaban mereka dalam kehidupan keagamaan seharihari. B. Rumusan Masalah Dari gambaran fenomena di atas, maka ada dua persoalan yang akan dijawab dalam penelitian ini, yaitu: 1. Apa makna bermadzhab bagi penganut Islam popular Pasuruan? 2. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi penganut Islam popular Pasuruan dalam mengkonstruk kebermadzhaban mereka? C. Pembatasan Masalah Agar penelitian ini tidak terlalu luas, maka perlu dilakukan pembatasan yaitu pada konstruksi sosial penganut Islam popular Pasuruan terhadap makna bermadzhab dan faktorfaktor yang mempengaruhi konstruks tersebut. D. Signifikansi Penelitian Penelitian ini menarik karena beberapa hal, di antaranya; Pertama, Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya muslim, bahkan umat Islam terbanyak di dunia. Lebih dari itu, umat Islam Indonesia mayoritas bermadzhab ahl al-sunnah wa al-jama'ah. Namun demikian dalam kehidupan sehari-hari mereka lebih menonjolkan madzhab syafi’i saja. Kedua, Meskipun umat Islam Indonesia menekankan madzhabnya pada madzhab syafi'i, akan tetapi dalam realitasnya mereka lebih cenderung kepada syafi'iyyah (pengikut Imam Syafi'i). Ketiga, Sepengetahuan peneliti, belum ada penelitian yang secara khusus mengkaji tentang konstruks sosial masyarakat muslim Indonesia dalam kebermadzhaban mereka. E. Kajian Terdahulu Penelitian tentang Syafi’i, baik pemikiran maupun madzhabnya telah menarik perhatian banyak orang. Di antara kajian dan penelitian tersebut adalah: 1. Lahmuddin Nasution, Pembabaruan Hukum Islam dalam Madzhab Syafi’i. Penelitian ini memfokuskan pembahasannya pada perubahan dan perbedaan pendapat Imam Syafi’i tentang beberapa hal yang kemudian dikenal dengan nama qaul qadim dan qaul jadid. Di samping itu juga dibahas tentang sebab-sebab yang mempengaruhi pendapat Imam Syafi’i tersebut yang terlebih dahulu diawali dengan pembahasan tentang pemikiran Imam Syafi’i dalam istinbath hukum Islam.
2
2. Abdul Mun’im Saleh, Madzhab Syafi’i: Kajian Konsep Maslahah. Penelitian ini memfokuskan pembahasannya tentang pemikiran Imam Syafi’i hanya dalam konsep maslahah saja. 3. Abdul Hadi Muthohhar, Pengaruh Madzhab Syafi’i di Asia Tenggara, Fiqh dalam Peraturan Perundang-undangan tentang Perkawinan di Indonesia, Berunei dan Malaisya. Sebagaimana judul penelitian ini, maka dapat diketahui bahwa penelitian ini memfokuskan pembahasannya tentang pengaruh madzhab Syafi’i dalam peraturan perundang-undangan tentang perkawinan yang berlaku di tiga negara, yakni Berunei, Indonesia, dan Malaysia. 4. Muhammad ibn Abdul Wahhab al-Aqil, Manhaj al-Imam al-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah. Penelitian ini memfokuskan pembahasannya tentang faham dan pendapat Imam Syafi’i dalam masalah aqidah. 5. Muhammad Abu Zahrah, Imam Syafi’i: Hayatuhu wa Ashruhu wa Fikruhu Arauhu wa Fiqhuhu. Tulisan Abu Zahrah ini cukup lengkap dengan memuat berbagi hal yang berkaitan dengan latar belakang (khalfiyyah) kehidupan Imam Syafi’i, pemikirannya, baik dalam bidang produk hukum Islam maupun sumber istinbath hukum Islam. 6. Ahmad Nahrowi Abdus Salam, al-Imam al-Syafi’i fi Madzhabay al-Qodim wa al-Jadid. Penelitian yang merupakan disertasi ini memfokuskan pembahasannya tentang dua qaul/pendapat Imam Syafi’i yang tertera dalam qaul qodim dan qaul jadid. 7. Wael B. Hallaq, Was al-Syafi’i the Master Architect of Islamic Jurisprudence? dalam Jurnal International Journal of Middle East Studies. Dalam tulisannya tersebut, Wael B. Hallaq mempertanyakan kembali asumsi yang berkembang selama 3 abad terakhir yang meyakini bahwa Syafi’i adalah penemu teori hukum Islam (ushul al-fiqh) dan apakah karya utamanya “al-Risalah” dipandang sebagai pedoman para ahli hukum dan para ahli kalam yang menulis persoalan ini. 8. Muhammad bin Abdurrahman al-Khumais, al-Syirk wa Wasailuh inda al-Syafi’i. Buku ini membahas tentang pandangan Imam Syafi’i dan syafi’iyyah tentang pengertian syirik dan sarana-sarana yang bisa menjerumuskan seseorang ke dalam syirik. 9. Ahmad Hakim, Muhammad Ibn Idris al-Shafi’i and His Role in the development of Islamic Legal Theory. Penelitian yang merupakan tesis di McGill University ini membahas tentang peranan Imam Syafi’i terhadap perkembangan teori hukum Islam. 10. Abdul Halim al-Jundi, al-Imam al-Syafi’i, Nashir al-Sunnah wa Wadhi’u al-Ushul. Buku ini membahas tentang latar belakang kehidupan dan pendidikan Imam Syafi’i, bagaimana dia membela sunah Nabi sehingga kemudian diberi gelar nashir al-sunnah. Di samping itu 3
juga buku ini membahas tentang bagaimana Imam Syafi’i meletakkan dasar-dasar hukum dalam Islam. 11. Abdul Wahhab Ibrohim Abu Sulaiman, Manhajiyyah al-Imam Muhammad ibn Idris alSyafi’i fi al-Fiqh wa Ushul al-Fiqh. Buku ini membahas tentang bagaimana Imam Syafi’i membangun dan mengembangkan metodenya dalam bidang fiqh dan Ushul fiqh. 12. N.J. Coulson, a History of Islamic Law. Dalam bab yang berjudul: Master Architect: Muhammad Ibn Idris ash-Shafi’i, N.J. Coulson membahas tentang bagaimana Imam Syafi’i membangun metodenya sendiri yang berbeda dengan imam-imam yang lainnya. Dari beberapa kajian dan penelitian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa secara umum penelitian dan kajian tersebut hanya membahas tentang pemikiran Imam Syafi’i dan syafi’iyyah, baik dalam masalah aqidah maupun ibadah.
Oleh karena itu belum
ditemukan pembahasan tentang bagaimana suatu masyarakat muslim di suatu daerah dalam mengkonstruk kebermadzhaban mereka. F. Kerangka Teori Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Artinya bahwa Islam bukan hanya untuk makhluk yang bernama manusia saja, apalagi hanya untuk umat Islam semata, namun untuk semua makhluk di alam ini. Oleh karena itu sebagai konsekuensi logisnya adalah Islam barus bersifat universal. Dan karena itulah maka agama Islam barus sempurna. Kesempurnaan agama ini telah dinyatakan oleh Allah swt dengan turunnya ayat terakhir kepada Nabi Muhammad saw, yaitu surat al-Maidah;3. Dengan turunnya ayat terakhir ini berarti bahwa tidak akan ada lagi wahyu dan Nabi yang akan menjelaskan dan menyelesaikan segala permasalahan umat Islam. Dalam masa awal Islam (masa Nabi Muhammad dan para sahabat-Nya), permasalahan umat Islam bisa dikonsultasikan dan diselesaikan secara langsung oleh Nabi Muhammad saw sendiri. Oleh karena itu tidak ada permasalahan yang tidak segera terselesaikan. Namun ketika wahyu berakhir dan tidak turun lagi, disusul lagi dengan wafatnya Nabi saw, maka umat Islam menghadapi berbagai permasalahan. Dalam menghadapi keadaan seperti ini, umat Islam mencari “jalan keluar” yang kemudian memunculkan apa yang disebut dengan ijtihad. Karena dalam ijtihad menurut para ulama’ ushul fiqh ada beberapa pola dan metode ijtihad, diantaranya ada tiga pola ijtihad; pertama, pola bayani (kajian semantiq), pola ini dimaksudkan sama kegiatan yang berkaitan dengan kejadian kebahasaan, kapan sesuatu lafadz diartikan secara majaz, mana Iafadz yang umum, maupun yang khas dan seterusnva. Sebagai contoh, didalam hadits ada perintah untuk mempersaksikan nikah yang didalam Al4
Qur’an ada perintah mempersaksikan ruju’ (al-thalak : 2). Ulama’ memahami kesaksian nikah sebagai wajib sedang kesaksian ruju’ oleh sebagian Ulama’ dianggap sunnah. Kedua, pola penalaran, yang menjadikan illat (keadaan atau illat yang menjadikan tambahan hukum) sebagai titik tolaknya. Contoh didalam hadits ada perintah untuk mengambil zakat hanya dari tiga jenis tanaman yaitu gandum, kurma (kering) dan anggur (kismis). Sebagian Ulama’ (kelompok zahiriyyah memahami melalui pola bayani (zahir). Namun sebagian besar ulama’ berupaya mencari illat dari jenis tanaman tersebut dan lantas memperluasnya kepada tanaman lain yang mempunyai illat yang sejenis. Ada yang menyatakan “tahan disimpan lama” sebagai illatnya, ada yang menyatakan “menyenangkan” (makanan pokok). Ketiga, pola mengidentifikasi masalah-masalah yang tidak mempunyai nash khusus sebagai rujuan. Dalam pola ini, ayat-ayat umum dikumpulkan guna menciptakan beberapa prinsip (umum), yang digunakan untuk melindungi atau mendatangkan kemaslahatan tertentu. Prinsip-prinsip tersebut disusun menjadi tiga tingkatan (dbaruriyyat, kebutuhan esensial; hajjiyat, kebutuhan skunder; tahsiniyyah. kebutuhan kemewahan). Prinsip umum ini dideksikan kepada persoalan yang ingin diselesaikan. Misalnya transplantasi organ tubuh, bayi tabung dan aturan lalu lintas kendaraan bermotor. Masalah-masalah ini tidak mempunyai nash khusus sebagai rujukan. Karena itu untuk menentukan hukum digunakan prinsip-prinsip umum yang ditarik ayat-ayat, seperti tidak boleh mencelakakan diri sendiri dan orang lain. Oleh karena itu sebagian ulama’ membolehkan hukum dasar transplantasi organ tubuh boleh untuk bayi tabung sekiranya dilakukan oleh suami isteri itu sendiri sedang pelanggaran lalu lintas sebagai ta’zir4. Sedangkan menurut Dr. Yusuf al- Qardhawi, sebagai tawaran dalam mewujudkan sebuah rumusan ijtihad kontemporer. Pertama, Ijtihad intiqol ialah memilih suatu pendapat dari beberapa pendapat terkuat yang terdapat pada warisan fiqh Islam, yang penuh dengan fatwa dan keputusan hukum. Sesungguhnya ijtihad ini merupakan pola studi komparatif terhadap pendapat-pendapat itu dan meneliti dalil-dalil ijtihad yang dijadikan sandaran ijtihad tersebut, sehingga pada akhirnya dapat memilih pendapat yang terkuat dalilnya dan alasannya pun sesuai dengan kaidah “tarjih”. Diantara kaidah tarjih itu banyak, hendaknya pendapat itu mencerminkan kelemah lembutan dan kasih sayang kepada manusia, hendaknya pendapat itu lebih memprioritaskan untuk merealisasikan maksud-maksud syara’, untuk kemaslahatan manusia dan menolak kemadharatan atau menolak mara bahaya dari mereka. Yang demikian itu nampak jelas dalam kasus pidana, yakni pembunuhan yang dilakukan orang secara terpaksa. Semisal, seseorang membunuh orang lain lantaran mendapat tekanan dari orang lain
4
Amir Mu’allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam. Hal; 64. Pn. UII. Press. Yogyakarta. 1995
5
dimana ia mendapat jaminan untuk dilindungi hidupnya. Maka kepada siapakah hukum pembunuhan atas qishas itu dijatuhkan? Ada yang berpendapat qishas itu dijatuhkan kepada orang yang secara langsung melakukan pembunuhan, yaitu orang yang dipaksa tadi. Karena Ia orang yang melakukan pembunuhan secara langsung. Ada yang berpendapat, bahwa qishas dijatuhkan kepada keduanya, karena pihak pertama yang melakukan tindakan pembunuhan, sedangkan pihak kedua karena dialah pihak yang memaksa untuk melakukan pembunuhan tersebut. Bahkan, ada yang berpendapat bahwa pihak pertama maupun pihak kedua tidak dikenai qishas. Karena pidana masing-masing dan keduanya belum memenuhi persyaratan. Kedua, Ijtihad lnsya’i ialah pengambilan konklusi hukum baru dari suatu persoalan, yang persoalan itu belum pernah dikemukakan oleh ulama’-ulama’ terdahulu. Baik itu persoalan lama maupun persoalan baru5. Dengan kata lain, bahwa ijtihad insya’i adalah meliputi sebagian persoalan lama yaitu dengan cara seorang mujtahid kontemporer untuk memiliki pendapat baru dalam masalah itu yang belum didapati dalam pendapat ulama’ salaf. Dan yang demikian itu sah saja, berkat karunia Allah. Sebagai contoh seorang mufti di Mesir, Syeih M. Bahiits al- Muth’i dalam artikelnya yang berjudul: “al-Qaul al-Kafi fi ibahati alTaswir al- futghrafi” (pendapat yang cukup tentang kebolehan fotografi). Ia berpendapat, bahwa berfoto itu di perbolehkan. Sebab ada dilarangnya melukis karena menyerupai penciptaan makhluk Allah SWT. Sedangkan foto itu sama sekali tidak menyerupai makhluk Allah, sebaliknya merupakan bayangan diri sendiri yang terlefeksi pada kertas. Seperti halnya pemantulan bayangan pada kaca. Jadi, dengan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia mampu menetapkan, bahwa foto merupakan bayangan yang merefleksi dalam kertas, melalui beberapa cara tertentu dan seterusnya. Pendapat ini merupakan hasil ijtihad insya’i yang benar, karena didukung oleh kenyataan yang ada di penduduk Qatar dan negara-negara Teluk, mereka menamakan “Taswir” (foto) dengan kata “naqs” (membuat bayangan), menyebut foto dengan kata-kata uqus yang berarti beberapa bayangan hasil pemantulan dan tukang foto tersebut “Aqqas” yang berarti merefleksikan. Sekiranya diantara mereka minta difoto, ia berkata, iqisni (buatlah bayangan saya). Di dalam berijtihad ada beberapa metode yag dipakai oleh para mujtahid yang pada umumnya telah dirumuskan oleh ulama’ ushuliyyin. Misalnya; ljma’, Qiyas Istihsan, Qiyas Istishhab, Istihsan, Istislah, Sadd al- Dzari’ah, metode yang lainnya seperti Qaul sahhabi.6
5
Dr. Yusuf Al-Qardhawi, IJtihad Kontemporer Kode Etik Dan Berbagai Penyimpangan, hal; 24. Pn. Risalah Gusti. Surabaya. 1995 6 Dr. Nasrun Rusli. Op. Cit. hal; 145
6
Dikalangan empat madzhah ada perbedaan dalam mengklasifikasikan metode yang dipakai dalam melakukan untuk berijtihad, diantara perbedaan itu dapat dilihat seperti: 1. Metode ijtihad Abu Hanifah ialah: al-Qur’an, Sunnah Nabi dengan cara yang ketat dengan penuh extra hati-hati, pendapat sahabat, qiyas dalam penggunaan yang luas, istihsan dan helah syari’ah. Tidak disebutkannya ijma’ dalam rumusan itu bukan berarti beliau menolak terhadap adanya ijma’ tetapi beliau lebih suka menggunakan ijma’ sahabat, hal ini dapat dilihat dari gambaran diatas. 2. Metode ijtihad Imam Malik ialah: al-Qur’an, Sunnah Nabi, amal ahli Makkah, Maslakhah mursalah, qiyas dan sadduz zari’ah, amal ahli Madinah (ijma’ dalam arti umum). 3. Metode ijtihad Imam ibn Hambal ialah: mula-mula mencariya dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi kemudian mencarinya dalam fatwa sahabat (ijma’ sahabat) lalu memilih pendapat diantara para sahabat itu. Selanjutnya mengambil hadist mursal dan yang tingkatannya diperkirakan Iemah, baru terakhir menempuh jalan qiyas 4. Metode ijtihad Imam Syafi’i ialah: al-Qur’an, Sunnah Nabi yang shahih (meskipun dalam periwayatannya adalah riwayat ahad), ijma’ seluruh Mujtahid umat Islam dan qiyas, al-Qur’an dan Sunnah dijadikan dalam satu level sedangkan ijma’ sahabat lebib kuat dan ijma’ ulama’ dalam artian umum, langkah terakhir adalah istihsan7 Dari empat madzhab diatas, akan ada pertanyaan apakah dari hasil ijtihad ataupun metode yang diambil oleh mereka itu sudah merupakan hal yang pasti benarnya ataupun merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar lagi? Tentunya tidak demikian, sehingga Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i sendiri pernah menyatakan: 7
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin. Op. Cit. hal; 286
7
ٌ ْ ُْ َوا َ ْ ُ ْ ن ا َوإ ٍ ْ ُ ٍ َ ْ ُ
ُآ َ ْ َ “Tidak semua mujthid itu benar, dan kebenaran hanya ada satu” Berkaitan dengan ijtihad ini, memang Nabi sering memberikan spiritnya dalam bentuk sabda-sabdanya, salah satu haditsnya yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Imam Muslim.
ٌﺝ(ٌ َوا ْ ُ& َأ%َ!َ "َ* َ) ْ ﺝ َ َ َ َوَأ ْ ﺝ َ(ان َوإنْ ا ْ ُ& َأ%َ!َ ب َ ﺹ َ "َ!َ َ َ َ ﺝ ْ آ ُ إنْ ا َ ْ ا “hakim apabila berijtihad kemudian dia benar maka dia mendapat pahala dua dan apabila dia berijtihad kemudian dia salah maka dia mendapat pahala satu” Hadits diatas menyatakan bahwa benar itu hanya satu, karena itu ada sebagian ulama’ berpendapat bahwa semua mujtahid mencapai kebenaran dan sebagian yang lain berpendapat bahwa hasil ijtihad itu tidak mutlak henar, melainkan disesuaikan dengan situasi yang berbeda-beda.8
Dalam perkembangan selanjutnya ijtihad tersebut memunculkan berbagai macam madzhab. Secara umum umat Islam terbagi menjadi dua, yaitu ahl al-sunnah waal-jamaah dan syiah yang kemudian terbagi lagi menjadi beberapa bagian. Dalam madzhab syi’ah terdapat syi’ah imamiyyah, zaidiyyah dan sebagainya. Sedangkan dalam madzhab ahl alsunnah wa al-jamaah terdapat empat madzhab, yaitu; madzhab hanafi yang dinisbatkan kepada Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit (w.150 H/767 M), madzhab maliki yang dinisbatkan kepada Malik bin Anas (w.179H/795M), madzhab syafi’i yang dinisbatkan kepada Muhammad bin Idris al-Syafi’i (w.204H/819M), dan madzhab hambali yang dinisbatkan kepada Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal (w.241 H/855M). Oleh karena itu pembicaraan ijtihad tidak bisa lepas dari pembicaraan madzhab dan membicarakan madzhab di Indonesia tentunya tidak bisa lepas juga dari pembicaraan tentang madzhab syafi’i sebagai madzhab yang paling dominan.
8
Drs. Moh. Riva’i, Ushul Fiqh, hal; 126. Pn. Al-Ma’arif. Bandung. 1987
8
G. Metode Penelitian Sesuai dengan persoalan yang diajukan dalam penelitian ini, maka peneliti menggunakan paradigma sosial. Oleh karena itu penelitian ini tidak hanya menelusuri sebab akibat sebagaimana dalam paradigma fakta sosial, akan tetapi juga mencari pemahaman yang lebih mendalam. Penggalian data dilakukan lewat observasi partisipasi dan wawancara yang mendalam. Metode ini biasa juga disebut penelitian kualitatif, yaitu jenis penelitian yang tidak terlalu “berambisi” mengumpulkan data dari sisi kuantitasnya saja, akan tetapi juga ingin memperoleh pemahaman yang lebih mendalam di balik fenomena yang ada. Sedangkan pendekatan yang dipilih adalah fenomenologi, yaitu sebuah pendekatan yang berusaha memahami makna, nilai, persepsi dan juga pertimbangan-pertimbangan etik di setiap tindakan dan keputusan pada dunia kehidupan manusia. Adapun pengumpulan dan analisa data dilakukan secara terpadu, artinya analisis telah dikerjakan sejak di lapangan, yakni dengan penyusunan data atau bahan empiris menjadi pola-pola dan berbagai kategori secara tepat. H. Daftar Refrensi Untuk terlaksananya penelitian ini dengan baik, maka mutlak diperlukan refrensi. Adapun refrensi yang akan digunakan dalam penelitian ini tentunya adalah kitab, buku, jurnal, ensiklopedi dan sebagainya yang ada kaitannya dengan obyek penelitian. Di antara refrensi yang akan digunakan adalah sebagai berikut: 1. A. Qodri Azizy, Reformasi Bermadzhab Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Sesuai Saintifik Modern, Teraju, Bandung, 2003 2. ---------------------, Eklektisisme Hukum Nasional, Gama Media, Yogyakarta, 2002 3. Abdul Hadi Muthohhar, Pengaruh Madzhab Syafi’i di Asia Tenggara, Fiqh dalam Peraturan Perundang-undangan tentang Perkawinan di Indonesia, Berunei dan Malaisya, Aneka Ilmu, Semarang, 2003 4. Abdul Halim al-Jundi, al-Imam al-Syafi’i, Nashir al-Sunnah wa Wadhi’u al-Ushul. 5. Abdul Mun’im Saleh, Madzhab Syafi’i: Kajian Konsep Maslahah, Ittaqa Press, Yogyakarta, 2001. 6. Abdul Wahab Abdul Salam Thowilah, Atsar al-Lughoh fi Ikhtilaf al-Mujtahidin, Dar alSalam, Mesir, 2000 7. Abdul Wahhab Ibrohim Abu Sulaiman, Manhajiyyah al-Imam Muhammad ibn Idris alSyafi’i fi al-Fiqh wa Ushul al-Fiqh.
9
8. Ahmad Hakim, Muhammad Ibn Idris al-Shafi’i and His Role in the development of Islamic Legal Theory, . 9. Ahmad Nahrowi Abdus Salam, al-Imam al-Syafi’i fi Madzhabay al-Qodim wa al-Jadid, 1994 10. Al-Maktabah al-Syamilah 11. Al-Qur’an al-Karim dan Terjemahannya 12. Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996 13. H. KN. Sofyan Hasan, Hukum Islam, Jakarta, 2004 14. Imam Munawir, Mengenal Pribadi 30 Pendekar Pemikir Islam Dari Masa ke Masa, PT Bina Ilmu, Surabaya, 2006 15. Ismail Raji al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, Mizan, Bandung, 2003 16. Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Rosda Karya, Bandung, 2003 17. John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Mizan, 2001 18. Lahmuddin Nasution, Pembabaruan Hukum Islam dalam Madzhab Syafi’i, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001. 19. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, Rosdakarya, Bandung, 2006 20. M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majlis Ulama’ Indonesia, Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, Seri INIS XVII, 1993 21. Mani’ ibn Hamad al-Juhni, al-Mausu’ah al-Muyassaroh fi al-Adyan wa al-Madzahib wa al-Ahzab al-Mu’ashiroh, Jilid I, Dar al-Nadwah al-Alamiyah 22. Muhammad Abu Zahroh, Imam Syafi’i: Hayatuhu wa Ashruhu wa Fikruhu Arauhu wa Fiqhuhu, Terj. Lentera Basritama, Jakarta, 2005 23. Muhammad ibn Abdul Wahhab al-Aqil, Manhaj al-Imam al-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Bogor, 2002. 24. Muhammad Tolhah Hasan, Ahlussunnah Wal Jama'ah dalam Persepsi dan Tradisi NU, Lantabora Press, Jakarta, 2004 25. Said Agil Siraj, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Lintasan Sejarah, LKPSM, Yogyakarta, 1998 26. Taufiq Abdullah dalam Politik Demi Tuhan, Nasionalisme Religius di Indonesia, Editor Andito (Abu Zahra), Pustaka Hidayah, Bandung, 1999
10
27. Wael B. Hallaq, Was al-Syafi’i the Master Architect of Islamic Jurisprudence? dalam Jurnal International Journal of Middle East Studies, Terj. Adul Basit, Srikandi, Surabaya, 2005. 28. Amir Mu’allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam. Hal; 64. Pn. UII. Press. Yogyakarta. 1995 Dr. Yusuf Al-Qardhawi, IJtihad Kontemporer Kode Etik Dan Berbagai Penyimpangan, hal; 24. Pn. Risalah Gusti. Surabaya. 1995 29. Dr. Nasrun Rusli. Op. Cit. hal; 145 30. Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin. Op. Cit. hal; 286 31. Drs. Moh. Riva’i, Ushul Fiqh, hal; 126. Pn. Al-Ma’arif. Bandung. 1987
11