Dillatiffa
Unfortunate
Sneak Peek Terlalu sepi untuk disebut sebagai sebuah pub. Tempatnya pun tak begitu besar, tidak lebih besar daripada sebuah ruang kelas, dengan meja bar panjang mengkilap yang diujungnya terdapat sebuah mesin counter dan beberapa
meja
bundar
kecil
dengan
masing-masing
dilengkapi dengan dua buah kursi. Dua buah rak besar berisi botol-botol minuman menjulang hampir mencarpai plafon. Gelas-gelas transparan beragam bentuk dan ukuran ditata rapi di bagian tengah rak. Alunan musik jazz mengalun dari speaker berukuran sedang yang dipasang di salah satu sudut. Dan lampu remang-remang yang tergantung di atas setiap meja sekilas menyamarkan tempat ini sebagai sebuah kafe romantis. Hanya ada lima orang pengunjung saat itu, yang semuanya sibuk dengan urusan masing-masing. Dua pasang menempati dua buah meja terpisah di kedua ujung ruangan, dan seorang sisanya duduk menyendiri di bar. Dihadapannya terletak segelas air mineral dan sepiring kacang panggang. 2
Ninda memasukkan butir-butir kacang ke dalam mulutnya dalam gerakan lambat. Pikirannya terfokus pada alur hidupnya detik ini. Satu kata yang dapat ditariknya sebagai kesimpulan, unlucky. Dilahirkan dari rahim ibu yang hanya mencintai anak laki-lakinya.
Menjadi
anak
dari
ayah
yang
sangat
membanggakan anak laki-lakinya. Seumur hidup dalam bayang-bayang orang yang paling dia benci. Selama lebih dari dua tahun memendam suka pada orang yang tidak akan pernah menganggapnya lebih dari sekadar teman. Ninda rasa tak ada sebutan yang pantas untuknya selain „unlucky girl‟. Ninda hanya bisa merutuki nasib yang enggan berpihak padanya. Seolah-olah keberadaannya hanyalah sebagai penonton bagi keberuntungan orang-orang di sekitarnya. Ada tidaknya dia di dunia tidak akan berpengaruh banyak, karena dia bernalai nol. Tidak akan membawa pengaruh apa pun. “Seperti bisa, Bos?” pertanyaan bartender di balik meja bar menarik perhatian Ninda. Dia menoleh ke kanan, ternyata ada pengunjung yang baru datang dan menempati bangku di sebelahnya.
3
“Kali ini cukup Diet Coke, masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan.” Jawab orang yang tadi dipanggil „bos‟ itu diiringi sebuah senyuman. Dari penampilannya, dia memang benar-benar terlihat seperti seorang bos. Setelan jas yang kelihatannya mahal berwarna hitam, dasinya agak sedikit miring,
dan
sepasang
sepatunya
hitam
mengkilap.
Penampilannya perlente, tanda bahwa dia adalah salah seorang eksekutif muda yang sukses. “Memangnya biasa minum vodka, ya?” celetuk Ninda iseng, kebiasaannya bila sedang memikirkan banyak hal – sulit mengendalikan mulutnya, meskipun itu kepada orang asing. Si eksekutif muda tampak kaget. Diamatinya gadis cantik di sampingnya dari atas sampai bawah. Dan Ninda yang tidak sedang menjadi dirinya sendiri, sama sekali tidak peduli dipandangi demikian. “Sori?” tanyanya sopan, mencoba meyakinkan bahwa memang dirinya yang diajak bicara. “Memangnya biasanya minum vodka? Sampai mikirin kalau masih punya kerjaan gitu…” Ninda memperjelas maksud ucapannya.
4
“Oh, nggak… bukan gitu. Tapi nggak enak aja kalau pas balik kantor ada bau minuman,” rupanya dia mengerti apa maksud pertanyaan gadis yang tidak dikenalnya itu. Mendapatkan tanggapan, Ninda semakin terpancing untuk berbicara lebih jauh. “Memangnya nggak ngrasa nggak enak ninggalin kerjaan dan malah santai di sini?” “Hahaha…” sepertinya orang itu tidak begitu peduli dengan komentar Ninda yang sembarangan, mungkin dia juga banyak pikiran. “Bisa saja,” “Jelas bisa dong, kan sudah disekolahin dari TK juga,” Dalam beberapa menit saja, keduanya sudah bisa akrab dan Ninda tidak mau ambil pusing bahwa saat ini dia tengah berbincang dengan orang asing – hal yang tak akan dilakukannya jika pikirannya sedang normal. “Oh, maaf… sudah waktunya aku pergi,” kata si eksekutif muda sambil melirik arlojinya. Ninda yang tidak biasa mengenakan arloji, mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Baru kemudian dia ingat, di mana tempatnya berada sekarang. Tidak mungkin ada jam dinding di sebuah pub, itu terlalu tidak wajar.
5
“Sudah hampir jam satu pagi,” ucap si eksekutif muda memberi tahu tanpa diminta. Mendengarnya menyebut kata-kata jam satu, Ninda langsung menepuk keningnya. Bila Lilly terbangun dari tidurnya dan tidak mendapati Ninda di kamar mereka, temannya itu akan panik dan hal terakhir yang Ninda butuhkan saat ini adalah Lilly menelepon orang tuanya yang berada di Jakarta. Ninda tidak ingin mendapatkan kuliah panjang lebar saat pulang nanti. “Ya ampuun… aku juga harus cepetan balik sebelum Lilly bangun,” katanya buru-buru mencari lembaran uang bergambar W.R. Supratman yang dia yakini sudah disakunya sebelum dia pergi tadi. Oh satu catatan, Ninda tidak suka menggunakan dompet. “Kali ini biar kutraktir,” cegah si eksekutif muda. Ninda memicingkan mata. Apakah orang ini selalu mentraktir semua orang yang baru dia temui? Kalau benar begitu, dia pasti sangat kaya! Sembarangan mentraktir orang yang bahkan baru pertama kali ditemuinya.
6
Ninda segera mengucapkan terima kasih dan tidak lupa menghabiskan sisa butiran kacang yang tersisa, sayang jika terbuang. “Eh, kalau boleh tahu, namamu siapa?” tanya si eksekutif muda sebelum Ninda berlalu. “Ninda. Panggil aja Ninda,” katanya dan kemudian langsung melesat pergi, tanpa menyadari ada hal yang dia lupakan. Dia lupa balas menanyakan nama si eksekutif muda.
7