TOPIK UTAMA
DILEMATIS MEDIA DALAM PEMBERITAAN KONFLIK DAN KEKERASAN Christiany Juditha Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika (BBPPKI) Makassar Kementerian Komunikasi dan Informatika RI email:
[email protected]
ABSTRACT The media is now widely proclaimed vulgar conflict and violence. and sometimes no longer have a good sensor. In fact by presenting the news or impressions repeatedly will adversely affect the behavior of the audience. The purpose of this study to obtain an overview about dilemma of the media in news of conflict and violence. The method used is content analysis with a qualitative approach. The study concluded that the media wherever located and operates always have the potential functional and dysfunctional. Media has the potential to spread the spirit of peace and also to alleviate the conflict. Conversely also has the potential dysfunctional due to potentially worsen or trigger a prolonged conflict. Time for the media to accommodate various alternative paradigms that allows for an atmosphere of peace through the news that brings peace where professional journalism, ethics, conscience and personal sensor fused participate in it. Keywords: Impressions, Conflict, Violence, Television. yang disiarkan begitu gamblang dan cenderung
PENDAHULUAN
menuai keresahan di kalangan masyarakat.
Jika kita memperhatikan tayangan berita
Masyarakat
tentang konflik di media massa khususnya di
mulai
resah
dengan
televisi beberapa tahun terakhir ini, maka kita
banyaknya tayangan televisi yang mengandung
akan mendapati tayangan yang sangat dominan
tindakan kekerasan. Seolah tayangan-tayangan
dengan kekerasan. Tidak dipungkiri bahwa hal
tersebut
ini merupakan akibat dari perkembangan
seringnya
keterbukaan
ditampilkan pun dalam berbagai bentuk baik
informasi
pasca
reformasi
menjadi
hal
ditayangkan.
fisik
maupun
yang
bisa
Kekerasan non
fisik
karena yang
digulirkan. Namun keterbukaan informasi yang
secara
justru
berujung kebebasan pers yang nyaris tidak
ditonjolkan dalam tayangan televisi. Bahkan
terkendali melahirkan semakin banyaknya
secara umum banyak kalangan menilai bahwa
program acara televisi maupun berita-berita
tayangan televisi di negeri ini sebagai tayangan yang tidak lagi bermutu dan tidak mendidik. 15
DILEMATIS MEDIA DALAM PEMBERITAAN KONFLIK DAN KEKERASAN Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pusat
menyiarkan berita yang paling cepat, utama
sediri menerima sebanyak 13.805 aduan
dan
masyarakat atas siaran televisi di berbagai
tayangan serta gambar-gambar di lokasi
jaringan di Indonesia sepanjang 2014. Data
kejadian yang sementara terjadi konflik)
aduan tersebut dikumpulkan melalui berbagai
dibanding
sarana yang disediakan KPI baik melalui
rumusan masalah dalam kajian ini adalah
surat elektronik (e-mail), SMS, media sosial
bagaimana dilematis media dalam pemberitaan
(Twitter dan Facebook), dan saluran telepon.
konflik dan kekerasan. Tujuannya untuk
Aduan
mendapat gambaran tentang dilematis media
masyarakat
pada
saluran-saluran
menarik
(karena
bisa
menampilkan
pesaing-pesaingnya?
Adapun
televisi tersebut terkait pelanggaran kode etik
dalam pemberitaan konflik dan kekerasan.
penyiaran
TINJAUAN PUSTAKA
publik
dan
mengganggu
termasuk
di
kepentingan
dalamnya
tayangan-
tayangan kekerasan (Republika, 2014). Dibanding
media
massa
Penelitian-penelitian tentang tayangantayangan kekerasan di televisi sudah banyak
lainnya,
dilakukan. Salah satu diantaranya berjudul
memang televisi memiliki dampak yang luar
“Tayangan Bermasalah dalam Program Acara
biasa dalam tayangan-tayangannya. Tidak
Televisi di Indonesia yang dilakukan oleh Afifi
hanya program-program televisi yang dinilai
tahun 2010. Penelitian ini menyimpulkan
banyak mengandung nilai-nilai konflik dan
bahwa kekerasan dan sadisme, pornografi dan
kekerasan,
didalam
seksualitas, serta pelecehan terhadap nilai-nilai
program berita pun tidak kalah banyaknya.
kesopanan dan moralitas banyak ditemukan
Berita tentang perkelahian antar kelompok,
dalam
demontrasi mashasiswa/warga yang berujung
didominasioleh
bentrok, tawuran pelajar dan lain sebagainya
seperti sinetron, infotainment, reality show,
secara vulgar ditayangkan televisi-televisi
variety show, dan komedi situasi. Kondisi ini
nasional. Tidak hanya televisi, media surat
disebabkan oleh persaingan antar stasiun
kabar, dalam pemuatan gambar-gambar dan
televisi
kalimat-kalimat dalam pemberitaan konflik
memperebutkan rating. Selain itu, persoalan
dan kekerasan juga tidak sidikit dimuat.
regulasi penyiaran yang tidak jelas.
tayangan-tayangan
Mengapa terjadi demikian? Apakah media massa ini semata-mata hanya mementingkan ego 16
pemberitaan
semata
untuk
program-program
televisi
program-program
yang
Penelitian
sangat
lain
ketat
berjudul
yang hiburan,
dalam
“Kekerasan
Simbolik (Symbolic V iolence) Terhadap Suku
bisa 16 Acta diur nA │Vol 11 No . 1 │2015
DILEMATIS MEDIA DALAM PEMBERITAAN KONFLIK DAN KEKERASAN Jawa dalam Program TV ‘Hidup Ini Indah’ di
dimunculkan dan diproduksi oleh media akan
Trans TV” yang dilakukan Hasfi (2011).
tertanam
Penelitian ini mencoba untuk mengevaluasi isi
perlahan
program televisi, "Hidup Ini Indah", yang
menumbuhsuburkan diskriminasi antar SARA
diproduksi oleh Trans TV yang diindikasikan
secara laten. Hal ini tentu membahayakan
melakukan kekerasan simbolik untuk Jawa. Simbolik integrasi bahaya kekerasan dari masyarakat multikultural di Indonesia karena menghasilkan
diskriminasi
dari
‘budaya
dominan’ lebih ‘budaya minoritas’. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kekerasan simbolik (symbolic violence) di program televisi
dak
kalah
berbahaya
dengan
kekerasan fisik (physical violence) yang selama
di
benak
namun
masyarakat pas
dan
secara akan
karena didukung kekuatan media massa (televisi) yang selama ini menjadi agen penyebar realitas media yang isinya selalu menjadi
panutan
masyarakat
karena
jangkauan siarnya yang luas. “Kekerasan
di
Televisi:
Perspektif
Kultivasi” merupakan judul penelitian lainnya yang dilakukan oleh Yohana
(2007).
Ahmadi dan Nova
Penelitian
ini
masih
ini lebih menjadi perha an dan hal tersebut
mengangkat masalah kekerasan pada televisi.
terdapat di program acara ‘Hidup Ini Indah’
Hasilnya
yang
terbukti menjadi media yang efektif yang
ditayangkan
Trans
TV.
Proses
televisi
berlangsungnya sangat halus menyebabkan
penjangkauan
para pengontrol isi media (KPI, LSF) sulit untuk
yang tak terkalahkan dibandingkan dengan
mengiden fikasi dan mengukur pelanggaran
media lainnya khususnya tayangan yang berisi
program semacam ini sehingga tetap bisa
bahan kekerasan. Dengan demikian orang
tayang dengan bebas. Bahkan masyarakat
secara
sebagai pengonsumsi media mungkin
dak
kekerasan dari televisi. Menjadi overexposed
menyadari bahwa apa yang ditonton telah
untuk bahan kekerasan, sehingga dengan
melukai kelompok tertentu, karena biasanya
murah orang mendapatkan cara-cara dengan
didalamnya
dicampur
dengan
konteks
hiburan, pendidikan dan informasi sehingga seolah patut untuk ditonton. Jika didiamkan maka stereo pe atas suatu golongan yang
17 Acta diur nA │Vol 11 No . 1 │2015
kekerasan
dan
penetrasi
alami
sekaligus
ampuh
belajar
digunakan
untuk
memecahkan masalah mereka dengan cara kekerasan juga. Perbedaan
penelitian-penelitian
yang
telah dilakukan sebelumnya dengan penelitian 17
DILEMATIS MEDIA DALAM PEMBERITAAN KONFLIK DAN KEKERASAN ini yaitu, penelitian ini khusus mengangkat
dipilihnya. Problemnya realitas yang dibentuk
tayangan-tayangan berita di berbagai televisi
media ini dianggap sebagai kebenaran oleh
baik yang ada di Indonesia maupun di negara
audiens (Eriyanto, 2002).
lain juga surat kabar. Sehingga hasilnya pun
Watson
sendiri
menjelaskan
bahwa
dapat dilihat secara lebih general dan umum.
konsep kebenaran yang dianut media massa
Karena itulah kajian ini sangat penting untuk
bukanlah kebenaran sejati, tetapi sesuatu yang
dilakukan.
dianggap
Konstruksi Media dalam Membingkai
dengan kata lain kebenaran hasil bentukan
Konflik Kekerasan
media
Media massa mempunyai kekuatan dan
masyarakat massa.
mengkonstruksi
sebagai
kebenaran,
Peran
media
dalam
realitas
seperti
sebuah
realitas.
pekerjaan yang harus dilakukan (Sobur, 2001).
Realitas merupakan hasil karya (konstruksi)
Artinya bahwa berita-berita tentang konflik
media terhadap sebuah peristiwa atau fakta.
dan kekerasan yang ditayangkan secara leluasa
Setiap upaya menceritakan (konseptualisasi)
di media televisi merupakan proses konstruksi
sebuah peristiwa, keadaan atau benda tak
media itu sendiri. Sehingga hal tersebut
terkecuali mengenai hal-hal apapun adalah
diangap sebagai realitas dan kebenaran oleh
usaha mengkonstruksi realitas (Hamad, 2004).
masyarakat yang menontonnya.
peran
besar
dalam
membentuk
Media menyusun realitas dari berbagai
Little John mengatakan media massa
peristiwa yang terjadi hingga menjadi cerita
tidak langsung menimbulkan dampak bagi
atau wacana yang bermakna. Seluruh isi media
khalayak. Nyatanya banyak variabel terlibat
tiada
dalam proses terjadinya efek. Sedangkan
lain
adalah
realitas
yang
telah
dikonstruksikan dalam bentuk wacana yang
Klapper menyatakan bahwa
bermakna. Realitas yang diciptakan media
hanya
adalah realitas simbolik hasil produk atau
Komunikasi massa terjadi lewat serangkaian
rekayasa para pengelola (redaksi, wartawan,
perantara. Komunikasi antara lain melalui
produser, dan semua orang yang bekerja di
pengaruh media massa. Untuk sampai kepada
media). Pekerjaan media pada hakekatnya
perilaku tertentu, maka pengaruh ini diseleksi,
adalah mengkonstruksi realitas dan isi media
disaring, atau bahkan mungkin ditolak sesuai
adalah
dengan
hasil
mengkonstruksi
18
karya
para
pekerja
media
berbagai
realitas
yang
sebagai
“contributing
faktor-faktor
mempengaruhi
media massa
reaksi
cause”.
personal
yang
khalayak,
faktor
18 Acta diur nA │Vol 11 No . 1 │2015
DILEMATIS MEDIA DALAM PEMBERITAAN KONFLIK DAN KEKERASAN situasional di mana individu berada, dan
Perilaku agresi secara nega f berhubungan
situasi lingkungan, baik primer (keluarga) atau
dengan perilaku menolong (Baron & Byrne,
sekunder (lingkungan masyarakat).
2000). Menurut Baron, Byrne, & Branscombe
Namun Anderson dan Bushman (2002)
(2006), ke ka menonton televisi, individu
mengatakan bahwa terpaan media massa yang
dapat mengiden fikasikan diri terhadap tokoh
mengandung kekerasan oleh banyak ahli diyakini
memiliki
kontribusi
meningkatkan perilaku agresif
dalam Meskipun,
kekuatan pengaruh dan apakah ia menjadi satu -satunya faktor pengaruh dan dalam kondisi bagaimana terpaan kekerasan di media dapat
dalam tayangan program televisi tersebut. Dalam hal ini, adanya sebuah reaksi emosional yang muncul terhadap kegembiraan (joys), dukacita (sorrows), dan ketakutan (fears) yang dialami oleh tokoh tersebut. Hingga disini
menunculkan agresivitas telah pula menjadi
dapat disimpulkan bahwa televisi merupakan
perdebatan (Freedman, 1986).
salah satu media yang dapat mempengaruhi
Salah satu jenis media massa yang
baik secara langsung maupun
dak bagi
diyakini memiliki pengaruh yang kuat pada
khalayaknya. Beberapa hasil peneli an jelas
khalayak adalah media audio visual atau
menyimpulkan hal tersebut. Namun
televisi. Pengaruh tayangan kekerasan di
dipungkiri bahwa faktor lain diluar media
televisi terhadap agresivitas telah ditunjukkan
televisi tersebut juga ikut mempengaruhi
oleh para ahli (Bushman dan Anderson, 2001).
perilaku khalayak.
Kekuatan pengaruh media televisi disebabkan
Fungsi Media dalam Pemberitaan Konflik dan
media
Kekerasan
jenis
ini
dak
hanya
mampu
dak
Sebagai media komunikasi, lembaga
mengop malkan pesan melalui pendengaran, melainkan juga penglihatan dan gerakan
sosial,
sekaligus, dimana pesan bergerak memiliki
ekonomi fungsi utama media adalah sebagai
daya tarik lebih dibandingkan pesan sta s.
mediator, mengawasi, menyediakan informasi
Tayangan televisi yang mengandung unsur kekerasan dapat meningkatkan level kecenderungan agresi terhadap orang lain, baik pada anak maupun orang dewasa.
19 Acta diur nA │Vol 11 No . 1 │2015
dan
produk
informasi,
menghibur
menjalankan
dan
(Abrar,2011).
kegiatan
mediasi,
lembaga
Dalam media
seharusnya bersifat netral dan tidak berpihak. Artinya dalam pemberitaan tentang konflik, media benar-benar menyampaikan pesan dari 19
DILEMATIS MEDIA DALAM PEMBERITAAN KONFLIK DAN KEKERASAN kedua belah pihak yang bertikai. Sekalipun
Salah satu contoh tayangan yang penuh
sikap netral tidak mudah dilakukan, namun
dengan kekerasan adalah konflik mahasiswa
media harus tetap berusaha untuk tidak
Universitas Negeri Makassar (UNM) dengan
berpihak. Karena hanya dengan memiliki sikap
aparat polisi di Makassar yang ditayangkan
yang netral dan tidak berpihak pada satu
oleh Metro TV. Sebenarnya konflik berawal
golongan yang berkonflik maka media dapat
dari protes mahasiswa terhadap pihak rektorat
menjalankan fungsinya sebagai mediator.
tentang kebijakan kampus, namun karena aksi
METODE PENELITIAN
demontrasi mereka cenderung mengarah ke
Penelitian ini menggunakan metode
tindakan-tindakan anarkis, maka diturunkanlah
penelitian analisis isi dengan pendekatan
aparat kepolisian di lokasi kampus UNM.
kualitatif.
Sayangnya konflik yang awalnya antara
Adapun
unit
analisis
yang
merupakan focus kajian ini adalah isi berita
mahasiswa
dari berbagai stasiun televisi baik nasional
berkembang menjadi konflik antara mahasiswa
maupun dari stasiun televisi luar negeri.
dan aparat keamanan. Dan justru media
Kajian
membingkai
ini
ini
menggunakan
pendekatan
dan
pihak
beritanya
rektorat
menjadi
justru
suatu
kualitatif sehingga penentuan sampel diambil
memberitaan yang sarat dengan tindakan
secara acak melalui Youtube dan harian
kekerasan baik yang dilakukan oleh mahasiswa
Kompas yang sesuai dengan konsep-konsep
maupun polisi. Terlihat bagaimana sang
tayangan berita tentang konsflik dan kekerasan
reporter melaporkan peristiwa ini secara live
melalui televisi.
dengan menggunakan helm pengaman yang
Hasil
pengumpulan
data
kemudian
menunjukkan
bahwa
bisa
saja
dalam
yang
melaksanakan tugas reportasenya, reporter
kunci-kunci
juga bisa kena serangan lemparan batu dan lain
perbedaan yang muncul dalam setiap kategori
-lain akibat dari konflik tersebut. Digambarkan
atau item tayangan. Kesemuanya ini kemudian
juga bagaimana mahasiswa beramai-ramai
dianalisis
sebuah
merusak mobil polisi, memecahkan kaca,
gambaran sebagai jawaban dari rumusan
menginjak-injak di bagian atas mobil dan
masalah yang dicari.
kemudian membalikkan mobil itu. Ironisnya
diperbandingkan
dengan
berkaitan
pemilihan
dan
sehingga
hal-hal
menghasilkan
berita yang disiarkan live itu berlangsung HASIL DAN PEMBAHASAN
berjam-jam.
Bahkan
kembali
diulangi
penayangannya disore dan malam hari hingga 20
20 Acta diur nA │Vol 11 No . 1 │2015
DILEMATIS MEDIA DALAM PEMBERITAAN KONFLIK DAN KEKERASAN
Gambar 1. Metr o TV menayangkan konflik antar a mahasiswa dan polisi di Makassar (Capture video to picture:courtesy of YouTube) Peristiwa konflik lainnya (antara warga
Bahkan seorang saksi yang penuh dengan
Tanjung Priok dan Aparat Keamanan) yang
lumuran darah diwajah dan dadanya ikut
disiarkan
rencana
diwawancara dan memberikan keterangan
pemindahan makam Mbah Priok. Kerusuhan di
tentang kerusuhan tersebut. Berita ini juga
wilayah Koja, Tanjung Priok dengan vulgar
diberi judul yang bombastis : “Tanjung Priok
ditayangkan
oleh
SCTV
melalui
berkobar-kobar
tentang
televisi.
membakar
Api
yang
Berdarah”. Sesuai judul dan gambar-gambar
gedung
dan
yang ditayangkan yang penuh dengan lumuran
kendaraan disekitar lokasi, tawuran masyarakat
darah.
setempat dengan aparat, hingga kepanikan warga ikut dibingkai dalam pemberitaannya.
Gambar 2. SCTV menayangkan konflik war ga dan apar at dalam kasus pemindahan makam Mbah Priok, Jakarta (Capture video to picture:courtesy of Y ouTube) Belum lagi peristiwa-peristiwa lainnya,
gembong
teroris
Nurdin
M.
Top
yang
seperti konflik agama (kasus Akhmadiah)
disiarkan secara live dan dramatis seperti
bagaimana media sangat tidak memihak
adegan sinetron atau film oleh televisi. Seolah-
kelompok ini. Atau peristiwa penangkapan
olah kita yang menontonnya ikut hanyut di
21 Acta diur nA │Vol 11 No . 1 │2015
21
DILEMATIS MEDIA DALAM PEMBERITAAN KONFLIK DAN KEKERASAN alam perang. Dan peristiwa-peristiwa konflik
sini dapat kita lihat bahwa media berpotensi
lainnya yang dimuat dan diberitakan melalui
sebagai issu intensifier dimana media mampu
media massa yang sangat jauh dan belum
memunculkan
berpihak pada jurnalisme damai. Bahkan dari
mempertajamnya (Eni Setiasi, 2005).
isu/konflik
dan
Gambar 3. TV One menayangkan siar an langsung penyer gapan gembong ter or is Nur din M.Top, Temanggung (Capture video to picture:courtesy of Y ouTube). Realitas konflik memang menjadi sangat dilematis bagi
tatkala meletus perang Irak-Amerika. Dan
pers. Hukum pasar yang
seperti yang telah disampaikan diawal tulisan
bertumpu pada diktum never ending circuit of
bahwa hari-hari kita sebagai pemirsa televisi,
capital accumulation mendorong media untuk
dapat menyaksikan betapa sepuluh menit
menyajikan
dan
pertama dalam regular news program televisi-
yang
televisi hampir selalu diisi dengan berita soal
informasi
sedramatis
mungkin.
menyebabkan pertikaian
Hal
realitas
politik,
semenarik inilah
konflik
(perang,
kerusuhan,
kerusuhan,
tawuran,
perkelahian atau peristiwa yang terkait dengan
demonstrasi
demonstrasi yang anarkhis, dan sebagainya)
terorisme.
selalu
Media Memperhebat Konflik
menjadi
primadona
pemberitaan.
yang
ricuh,
Konflik selalu menyajikan sensasi dan daya
Harus diakui keragaman bahwa bangsa
magnetik yang besar bagi publik. Liputan
Indonesia memiliki sekitar 656 suku bangsa
konflik dapat secara signifikan menaikkan
yang mendiami sekitar 30 ribu pulau yang
oplah, rating, hit, leverage sebuah media. CNN
menyebar di wilayah Indonesia dari Sabang
mampu membangun reputasi sebagai media
sampai Merauke dari Talaud hingga Timor.
berita utama di dunia melalui liputan-liputan
Belum lagi beragam agama yang diakui oleh
konflik dari berbagai negara. Sejarah juga
negara mejadi lima agama dan adat istiadat
menunjukkan bahwa pada tahun 1991 media
yang sangat beragam. Perbedaan ini disatukan
cetak nasional mencapai oplah tertinggi, 22
22 Acta diur nA │Vol 11 No . 1 │2015
DILEMATIS MEDIA DALAM PEMBERITAAN KONFLIK DAN KEKERASAN oleh pendiri bangsa dalam ‘Bhineka Tunggal
konflik laten digambarkan dengan akar yang
Ika’ berbeda-beda tetapi tetap satu. Namun
tumbuh ke dalam dengan pengertian konflik
banyaknya berbedaan ini justru membawa
disembunyikan dan sumber konflik direpresi.
Indonesia sebagai negara yang sangat rawan
Sedangkan di era reformasi konflik terjadi
dengan konflik. Kalau di jaman orde lama
secara terbuka digambarkan dengan akar yang
konflik
yang
tumbuh ke atas dan kebawah yang artinya
tumbuh ke atas permukaan. Konflik ini
konflik cenderung dibiarkan dan sumber
dikelola
konflik kadang tidak tersentuh (Stanley,2005).
digambarkan dan
sumber
sebagai
akar
konflik
langsung
dipangkas oleh penguasa. Di era Orde Baru,
Orde Lama (Konflik
Orde Baru (Konflik Laten)
Masa Reformasi (Konflik
Gambar 4. Model Konflik di Indonesia. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
soal rumah ibadah (metrotvnews.com). Apa
Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya atau
yang
Centre for Religius and Cross Cultural Studies
memperlihatkan bahwa negara kita sangat
(CRCS) UGM tentang Kehidupan Beragama
rawan akan terjadi konflik baik itu konflik
di Indonesia tahun 2011 menyebutkan bahwa
karena agama, suku maupun konflik sosial
kekerasan atas nama agama kerap saja muncul
lainnya.
di tahun 2011 dan tidak ada perbedaan secara
disebutkan
dalam
laporan
ini
Konflik terbuka di era reformasi ini juga
signifikan dengan tahun-tahun sebelumnya.
dimanfaatkan
oleh
Hasil penelitian ini juga mengungkapkan
memainkan
peranannya
bahwa isu utama yang kerap menjadi masalah
memperhebat konflik-konflik yang terjadi.
adalah penodaan, penyimpangan agama dan
Bisa dikatakan media massa di Indonesia tidak
23 Acta diur nA │Vol 11 No . 1 │2015
media
massa
untuk
yang
justru
23
DILEMATIS MEDIA DALAM PEMBERITAAN KONFLIK DAN KEKERASAN memiliki pengalaman dalam meliput serta
mengatakan
memberitakan konflik. Selama 32 tahun Orde
massa berperan sebagai pemicu konflik yang
Baru
biasanya
berkuasa,
media
massa
dilarang
bahwa
muncul
kecenderungan karena
media
media massa
memberitakan semua hal yang berhubungan
bersangkutan lebih cenderung menerapkan
dengan pertentangan Suku, Agama, Ras dan
paradigma jurnalisme perang yang banyak
Antar Golongan (SARA). Sehingga saat
dipraktekkan
kekuasaan Orde Baru berlalu dan masa
cenderung terfokus pada kekerasan sebagai
reformasi lahir, dimana keterbukaan informasi
penyebab konflik dan enggan menggali secara
pada pers berkembang sangat dasyat yang
mendalam akar struktural suatu konflik. Dan
justru berujung pada keterbukaan media massa
terlalu mengkonsentrasikan diri pada efek yang
yang kebablasan. Hampir semua berita tentang
tampak dipermukaan saja dan bukannya pada
konflik ditayangkan secara vulgar dengan
kerusakan psikologi struktural dan kultural.
tindak kekerasan.
Apa yang terjadi dalam tragedi bom India dan
pers
Barat.
Jurnalisme
ini
Tim Allen dan Jean Seaton (1999)
penyerangan 26 November 2008 di Mumbai
mengakui bahwa adakalanya liputan media
adalah contoh yang gamblang tentang hal ini.
malah
konflik.
Teror bom itu melahirkan cerita horor dimana
Keduanya berpendapat bahwa sebagian perang
pers justru memberi andil. Tak lama setelah
justru dilahirkan oleh media. Yang artinya
setelah bom meluluhlantahkan Taj Mahal
media dapat mengarahkan strategi perang dan
Palace Hotel, beberapa stasiun televisi India
mempertajam perseteruan. Sedangkan Denis
nekat melakukan siaran langsung atas proses
Mc Quail (1994) mengemukakan bahwa media
evakuasi dan penanganan lokasi peristiwa.
massa
Pasukan
memperkeruh
dengan
suasana
berbagai
cara
dapat
anti
teror
India
tidak
berhasil
menimbulkan kerusuhan, menciptakan budaya
melarang siaran langsung itu karena wartawan
huru hara, menyebarluaskan kekacauan dari
televisi melontarkan argumentasi yang sulit
satu tempat ke tempat lain. Hal ini biasanya
dibantah yaitu publik berhak tahu atas apa
dipicu oleh berita yang tidak
lengkap dan
yang terjadi di Taj Mahal Hotel akibat
menyesatkan serta didorong oleh kepentingan-
serangan teroris. Yang tidak terpikirkan oleh
kepentingan pribadi media massa.
para
Pakar jurnalisme damai Johan Galtung (dalam Stanley Cohen dan Jack Young, 1973)
24
wartawan
sebagai
yang
pahlawan
ini,
bertindak sejumlah
seola-ola pelaku
penyerangan dari kelompok Deccan Mujahidin
24 Acta diur nA │Vol 11 No . 1 │2015
DILEMATIS MEDIA DALAM PEMBERITAAN KONFLIK DAN KEKERASAN yang masih terjebak di dalam hotel, dengan
menyerbu hotel. Begitu pasukan anti teror
menyandera
merangsek masuk ke dalam hotel, para teroris
menonton
banyak siaran
orang,
langsung
juga yang
turut mereka
segera
memberondong
mereka
dengan
tayangan. Dari layar televisi di dalam Taj
tembakan yang mematikan. Belasan polisi
Mahal Palace Hotel, mereka mengetahui gerak
India tewas gara-gara kecerobohan stasiun
-gerik
televisi tersebut.
pasukan
anti
teror
yang
hendak
Gambar 5. TV Nasional India menayangkan siar an langsung penyer gapan ter or is di Taj Mahal Palace Hotel, Mumbai, 26 November 2008 (Capture video to picture:courtesy of YouTube) Disinilah sebenarnya diakui atau tidak
ekonomi fungsi utama media adalah sebagai
media melalui pekerjanya (para jurnalis/
mediator, mengawasi, menyediakan informasi
wartawan) ikut memiliki kekuatan dalam
dan
mengungkapkan
menjalankan
peristiwa
melalui
media
menghibur
(Abrar,2011).
kegiatan
mediasi,
Dalam media
massa sebagai wadah pembingkaian (framing)
seharusnya bersifat netral dan tidak berpihak.
berita. Berita dengan bingkai kekerasan yang
Artinya dalam pemberitaan tentang konflik,
memicu perpanjangan konflik atau sebaliknya,
media benar-benar menyampaikan pesan dari
membingkai perdamaian yang berujung pada
kedua belah pihak yang bertikai. Sekalipun
berakhirnya konflik.
sikap netral tidak mudah dilakukan, namun
Fungsi Media dan Berita Konflik/
media harus tetap berusaha untuk tidak
Kekerasan
berpihak. Karena hanya dengan memiliki sikap
Sebagai media komunikasi, lembaga sosial,
produk
informasi,
dan
lembaga
yang netral dan tidak berpihak pada satu golongan yang berkonflik maka media dapat menjalankan fungsinya sebagai mediator.
25 Acta diur nA │Vol 11 No . 1 │2015
25
DILEMATIS MEDIA DALAM PEMBERITAAN KONFLIK DAN KEKERASAN Penelitian yang dilakukan oleh Fita
Media juga memiliki fungsi mengawasi
Fathurokhmah (2011) mengkaji isi 2 surat
yang
kabar nasional yaitu Republika dan Tempo
masyarakat tanpa memandang status dan latar
(edisi November 2007- Januari 2008) dengan
belakang masyarakat tersebut. Artinya bahwa
melihat bagaimana kedua media ini mengulas
media harus menjalankan fungsi pengawasan
berita tentang komunitas agama Jemaah
secara
Akhmadiyah. Hasil penelitian menyebutkan
bahwa kenyataan yang ada sekarang tidak
bahwa surat kabar Republika melalui beritanya
semua media melakukan fungsi ini dengan
mengkonstruksi
realita
maksimal. Dalam pemberitaan konflik, setiap
Jemaah Akhmadiyah sebagai aliran sesat,
media memiliki persepsi yang berbeda-beda.
menyimpang,
aliran
Ini disebabkan karena diperhadapkan dengan
sempalan, musyrik dan murtad sementara
hal yang klasik yaitu aturan main dimasing-
koran tempo membingkai realitas Jemaah
masing media yang juga berbeda.
Akhmadiah
atau aliran
keagamaan,
kebebasan
tidak
mau
proporsional.
harus
Sangat
membela
disayangkan
dalam
Contoh pemberitaan tentang konflik
beragama, dan dalam pemberitaannya koran
yang telah digambarkan diatas bahwa Metro
Tempo mengutamakan untuk mengakomodir
TV cenderung dalam pemberitaannya lebih
kepentingan masyarakat umum dan diambil
mengangkat
dari sudut pandang kemanusiaan atau sisi
perdamaian dari sebuah konflik. Itu karena
humanisme bukan dari perspektif umat Islam.
aturan main redaksional media ini yang telah
Dari hasil penelitian ini kita dapat melihat
mempatenkan hal tersebut sehingga berita
bahwa koran Tempo berusaha untuk bersifat
terbingkai sedemikan rupa. Seharusnya sebagai
netral
media,
dalam
sebagai
membingkai
mau
membingkai
berita
konflik
sisi
fungsi
kekerasan
pengawasan
ketimbang
tetap
harus
tentang Jemaah Akhmadiyah. Sebaliknya surat
ditegakkan dengan menyampaikan berita-
kabar Republika dengan tegas mengatakan
berita sebagai alat kontrol. Dimana tidak lagi
golongan Akhmadiyah
sesat dan tentunya
memuat atau menyiarkan berita-berita yang
sama sekali tidak berpihak pada golongan ini.
cenderung buruk dan disertai kekerasan, tidak
Hal ini juga sangat berhubungan erat dengan
pada tempatnya, tanpa etika dan menyalahi
ideologi
aturan. Karena apa yang dipersepsikan oleh
kabar,
yang dianut masing-masing surat sehingga
sedemikian rupa.
26
menghasilkan
konstruksi
masyarakat bahwa berita buruk akan selalu menghasilkan
sesuatu
yang
buruk
pula.
26 Acta diur nA │Vol 11 No . 1 │2015
DILEMATIS MEDIA DALAM PEMBERITAAN KONFLIK DAN KEKERASAN Misalnya pemberitaan kekerasan konflik yang
konflik yang ada, media kita cenderung begitu
terus
berulang-ulang
ditayangkan
melalui
mudah menerima kebenaran berita dari segala
membentuk
persepsi
penjuru. Meski berita tersebut mengandung
masyarakat menjadi hal yang biasa, dan orang
unsur SARA, tetapi media cenderung tidak
akan cenderung menyelesaikan konflik juga
melakukan
dengan kekerasan. Padahal idealnya media
proses seleksi, media harus memperjelas visi
harus mengawasi agar konflik ini tidak
dan misi media mereka agar tidak melenceng
berkepanjangan dan justru berujung pada
dari garis redaksional yang telah ditetapkan.
penyelesaian konflik.
Dan yang tidak kalah pentingnya pekerja
media
justru
akan
Fungsi media sebagai produk informasi
media
penyeleksian.
harus
mampu
Padahal
mengasah
dalam
naluri
adalah menyediakan informasi. Dan seluruh
jurnalistiknya dalam menilai setiap peristiwa
dunia sepakat rentang hal tersebut. Media
apalagi yang mengandung unsur SARA apakah
memang wajib menyampaikan informasi yang
layak dikonsumsi masyarakat atau tidak. Hal
jujur dan benar sesuai fakta peristiwa kepada
inilah yang disebut dengan memiliki etika dan
masyarakat. Tetapi dalam pemberitaan tentang
profesionalisme.
konflik,
bisa
pengungkapan suatu peristiwa media massa
dengan
dan wartawan memiliki tanggungjawab moral
media
mencerahkan
sedapat pikiran
mungkin publik
mengungkapkan fakta dan peristiwa secara
Sehingga
dalam
terhadap kebenaran informasi.
berimbang. Dengan pengertian bahwa pekerja
Jika diperhadapkan dengan peristiwa
media tidak membuat liputan dan pemberitaan
konflik atau pertikaian maka media harus bisa
yang mengorbankan konflik atau memecahkan
menerapkan
jurnalisme
persatuan rakyat.
membingkai
konflik
damai
pada
dengan
pengungkapan
Tetapi sekali lagi bahwa hal itu tidak
informasi konflik bukan arena konflik atau
mudah dilakukan. Masih banyak media yang
kejadian kekerasannya. Dalam hal ini media
menyimpang dalam menyebarkan informasi.
mengidentifikasikan
Hal ini yang seharusnya dikhawatirkan karena
terlibat konflik, meluruskan isu-isu yang ada
jika media memuat semua informasi tanpa
serta mengungkapkan akar permasalahan yang
kendali, keamanan dan ketenangan maka
mungkin terkait dengan sejarah, psikologi
masyarakat bisa berada dalam ketegangan dan
sosial maupun budaya. Di sinilah peran dan
ketidaknyamanan. Dari beberapa contoh berita
fungsi media yaitu mengungkapkan fakta tanpa
27 Acta diur nA │Vol 11 No . 1 │2015
berbagai
pihak
yang
27
DILEMATIS MEDIA DALAM PEMBERITAAN KONFLIK DAN KEKERASAN menyulut isu melainkan kepada pencarian
bahwa
solusi permasalahan. Media tidak hanya
membombardir
sebagai sarana untuk memuat pesan dan
perbatasan,
informasi belaka, namun seharusnya juga
bentrokan
dapat menjadikan suatu peristiwa menjadi
Paragraf-paragraf selanjutnya menggambarkan
berita yang menarik bagi khalayak dan
secara detail bagaimana pertempuran dan
memunculkan empati dengan menekankan
penyerangan
bahwa
membuahkan
pemaparan berita oleh wartawan ini sangat
kesengsaraan. Karena itu jeritan-jeritan korban
vulgar soal perang termasuk menyebutkan
khususnya perempuan dan anak-anak sebagai
jumlah
korban konflik lebih ditonjolkan ketimbang
menyertakan pendapat dari dua pihak yang
kelompok-kelompok elit yang bertikai.
bertikai yaitu pejabat militer Sudan Selatan
kekerasan
hanya
Sebuah berita di rubrik Internasional,
(sebagai
:
Sudan
pada
Senin
beberapa terutama
selama
korban
pihak
daerah
pemicu
pekan
terakhir.
berlangsung.
tewas,
yang
di
Heglig,
dua
itu
(16/4)
tetapi
menjadi
Meski
masih
korban
Kompas Rabu, 18 April 2012 berjudul
pengeboman) dan pemerintah Sudan (sebagai
“Konflik di Sudan Makin Sengit, Berebut
penyerang).
Ladang Minyak Heglig, Khartoum Intensifkan
Namun hasil wawancara kedua pihak ini
Pengeboman” . Seperti yang disebut judulnya,
saling
berita
AFP/AP/
menjelaskan bagaimana mereka diserang, dan
REUTERS/CAL sangat bombastis. Baru saja
sang penyerang menjelaskan bahwa mereka
membaca judulnya, pastilah kita sepakat
menolak dialog damai dengan Sudan Selatan.
berasumsi bahwa telah terjadi perang saudara
Sungguh pemberitaan yang sama sekali tidak
antara Sudan dan Sudan Selatan. Bahkan
akan berujung pada upaya damai.
yang
bersumber
dari
bertolak
belakang.
Sang
korban
dalam paragraf pertama berita ini memaparkan
Gambar 6. Konflik Sudan dan Sudan Selatan
28
28 Acta diur nA │Vol 11 No . 1 │2015
DILEMATIS MEDIA DALAM PEMBERITAAN KONFLIK DAN KEKERASAN Tetapi dibagian akhir dari berita ini ikut
mencampuradukan antara fakta dan opini dari
digambarkan bahwa : Penyerangan Sudan
kelompok yang bertikai. Disamping itu lebih
tersebut telah menyasar antara lain fasilitas
banyak menyampaikan atau memberitakan
markas kantor PBB yang berada di Sudan
upaya-upaya perdamaian sehingga masyarakat
Selatan. Sehingga Sekertaris Jenderal PBB
yang
Ban Ki Moon mendesak segera dilakukan
menonton atau mendengar berita tersebut
genjatan senjata, melindungi warga sipil dan
merasa terhibur dan tenang. Tidak hanya itu
menghormati hukum internasional tentang
publik umum diluar kelompok yang bertikai
kemanusian. Paragraf terakhir ini paling tidak
juga dapat merasakan ketenangan dan perasaan
ada sedikit upaya damai yang dilakukan media,
empati
setelah dibagian awal dengan tegas menuliskan
perdamaian dari segi realnya.
bertikai
dan
pada
saat
berupaya
membaca
membantu
atau
upaya
berbagai tindak kekerasan yang terjadi. Dari
Dari beberapa fungsi media massa yang
contoh ini dapat ditarik kesimpulan bahwa
dipaparkan di atas, kenyataannya bahwa media
sangat tidak mudah bagi sebuah media untuk
memang selalu diperhadapkan dengan dilema
menjadi juru damai bagi kelompok yang
dan masalah. Jika kita melihatnya dari
bertikai. Memang benar bahwa media telah
pendekatan objektifitas berita, maka akan
melaksanakan peran dan fungsinya sebagai
tergambar media yang tetap mengusung
menyedia informasi sehingga semua orang bisa
objektifitas dimana berita konflik yang dimuat
mengetahui
bersifat netral, mengandung kebenaran dan
terjadi
di
keadaan wilayah
yang konflik,
sesungguhnya tetapi
juga
lain sebagainya. Tetapi ada juga media yang
menimbulkan keresahan dan perasaan benci
bersifat
serta ketakutan dan juga tidak adanya rasa
wartawan
empati.
pemberitannya sehingga terkadang kebenaran
Media
sebagai
lembaga
ekonomi
konstruksi menjadi
dimana aktor
seolah-olah di
dalam
dan netralitas tidak berlaku, karena menurut
memiliki fungsi yaitu menghibur. Mungkin
mereka
kita bertanya-tanya dalam pemberitaan konflik
memilah dan menilai mana berita yang baik
dimana unsur menghiburnya? Media yang
dan mana yang tidak.
menghibur artinya dapat memberikan hiburan yang
sehat
masyarakat.
dan Salah
kesenangan satunya
29 Acta diur nA │Vol 11 No . 1 │2015
dengan
masyarakat
telah
mampu
untuk
Dan ketika kita melihat masalah media
kepada
ini dari sisi politik pemberitaan, maka kita juga
tidak
perlu melihatnya dari dua pendekatan yaitu
29
DILEMATIS MEDIA DALAM PEMBERITAAN KONFLIK DAN KEKERASAN jurnalisme dan kepemilikan media. Pendekatan
saling kait mengait serta berbagai kepentingan
jurnalisme merupakan bagian dari kebijakan
di dalamnya, kadang yang membuat media dan
redaksional dan hal ini akan berpihak pada
pekerja media diperhadapkan dengan dilema
kebenaran,
untuk
nasionalis
pluralism
serta
tetap
melaksanakan
fungsi
mendorong orang untuk bebas berpendapat.
jurnalismenya dengan mengikuti aturan-aturan
Sedangkan pendekatan kepemilikan media
yang berlaku atau mengikuti kepentingan-
akan mengarah pada ideologi yang dianut
kepentingan pemilik media.
masing-masing media. Sehingga terkadang
Jangan Melupakan Profesionalitas, Etika
media sangat nasionalis terhadap agama
dan Self Censorship
tertentu atau nasionalis
terhadap statusquo
atau
berpihak
terkesan
melaksanakan
fungsi
dan
kepada
tugasnya sesuai dengan amanat Undang-
pemerintah dalam arti apa yang disampaikan
Undang, maka media dituntut memiliki sumber
oleh para penguasa itulah yang dianggap benar
daya
dan diberitakan. Contoh kasus konflik yang
berpengetahuan dan beretika. Inilah prasyarat
terjadi
jika
di
sangat
Dalam
Papua,
dimana
dalam
manusia ingin
yang
menjadi
berkemampuan, jurnalis/wartawan
pemberitaannya, banyak media yang terkesan
profesional (Kompetensi Wartawan, Dewan
melindungi atau pro terhadap aparat keamanan
Pers,
dan aparat diberitakan berada dalam posisi
memerankan fungsinya dengan baik jika tertib
yang tidak harus bertanggungjawab (bersalah)
dan
atas konflik kekerasan tersebut.
jurnalisme. Banyak perusahaan media
Politik
pemberitaan
Karena
tidak
media
mengabaikan
hanya
bisa
kaidah-kaidah yang
sangat
berdiri sengan sumber daya seadanya yang
dipengaruhi oleh aspek ekonomi politik,
tidak layak disebut dengan lembaga yang
organisasi dan kultural. Aspek ekonomi politik
sehat. Hal ini justru tidak memungkinkan
berada di luar proses penulisan atau penyiaran
memperkerjakan para jurnalis yang memenuhi
pemberitaan,
syarat dan mampu membangun sumber daya
sementara
juga
2006).
aspek
organisasi
berada di dalam, yang berhubungan dengan
yang profesional.
orang-orang yang bekerja pada sebuah media,
Mengapa wartawan harus profesional?
dan aspek kultural merupakan pendekatan
Karena
yang menggabungkan aspek ekonomi politik
mempengaruhi publik melalui informasi dan
dan organisasi media. Banyaknya aspek yang
wartawan memiliki ‘hak istimewa’ dalam
30
media
memiliki
kekuatan
untuk
30 Acta diur nA │Vol 11 No . 1 │2015
DILEMATIS MEDIA DALAM PEMBERITAAN KONFLIK DAN KEKERASAN menjalankan
profesinya
hak
belanja iklan di media massa. Survei Nielsen
mendapatkan akses informasi dan hak tolak.
Media Indonesia terhadap 103 koran, 165
Profesionalisme wartawan merupakan tingkat
majalah dan tabloid serta 24 stasiun televisi
kemampuan
wartawan
menyadari,
nasional maupun lokal menunjukkan bahwa
memahami
dan
menyelesaikan
belanja iklan untuk semua media massa pada
pekerjaannya.
seperti
dalam
trampil
Wartawan
sadar
tahun 2009 mencapai 48,5 triliun. Jumlah ini
tanggung jawab sosial, memahami visi dan
meningkat 16 % dari tahun sebelumnya
misi media serta menguasai hal-hal teknis yang
(Kompas,
terkait dengan pekerjaan media. Wartawan
memperlihatkan bahwa gerak pengoperasian
profesional
kepentingan
media sangat ditentukan oleh pendapatan dari
perusahaan, publik, bkhalayak luas dan bangsa
iklan. Akibatnya sering kali aspek ideologis
(Ishadi.SK. 2003). Meski wartawan dituntut
terkalahkan oleh aspek komersial. Akhirnya
bekerja untuk kepentingan perusahaan yang
media terjebak dalam perdagangan berita yang
notabene lebih mementingkan aspek komersial
menyiarkan
(ekonomi),
media
tayangan-tayangan berkualitas rendah demi
dituntut bisa menjadi mata dan hati bagi
mendongkrak oplah atau untuk meraih pangsa
publik. Karena jika sudah menempatkan diri
pasar yang berselera rendah dan ketatnya
pada kepentingan pasar maka media/wartawan
persaingan antar media.
bekerja
namun
dituntut
untuk
wartawan
dan
13
Feb
2012).
Angka
ini
serta memuat foto-foto atau
secara otomatis akan mengusung asas ‘bad
Di samping profesionalitas, etika media/
news is a good news, bad picture is a good
wartawan juga harus menjadi prioritas dalam
picture’ dimana berita buruk adalah berita
pelaksanaan tugas jurnalistik. Dewan Pers
baik dan gambar buruk adalah gambar baik.
(2006) merumuskan salah satu kompetensi
Tidak heran apa yang ditayangkan media
wartawan yang dibutuhkan saat ini adalah
massa dewasa ini yaitu cenderung menjual
kesadaran
gambar-gambar,
melaksanakan
atau
visualisasi-visualisasi
(awarness). tugas,
Dimana wartawan
dalam dituntut
paling berdarah, kekerasan dan sensasional
menyadari norma-norma etika dan berbagai
ketimbang
ketentuan hukum yang berkaitan dengan karya
mementingkan
kebenaran
isi
beritanya. Penetrasi pasar dalam industri media ditunjukkan oleh terus meningkatnya angka
31 Acta diur nA │Vol 11 No . 1 │2015
jurnalistik. Kesadaran akan etika merupakan hal
yang
sangat
penting
dalam profesi
wartawan. Dengan adanya kesadaran tersebut,
31
DILEMATIS MEDIA DALAM PEMBERITAAN KONFLIK DAN KEKERASAN mekanisme
kerja
selalu
berdasarkan permintaan media dan kebutuhan
mengacu pada kode perilaku, sehingga setiap
pasar. Sejalan dengan itu, ada banyak media
langkahnya akan selalu dilandasi pertimbangan
yang dengan sengaja bertindak tidak relevan.
yang matang termasuk dalam mengambil
Karena itu, implikasi dari masalah ini, bahwa
keputusan penulisan isu-isu yang sensitif
sensor pribadi tetap harus menyatu dengan
dalam pemberitaan konflik. Adanya kesadaran
proses intelektuan jurnalis dalam memainkan
etika
memudahkan
fungsinya sebagai ujung tombak dari media
tersebut
wartawan
juga
akan
akan
wartawan
dalam
mengetahui
kesalahan-
massa serta kesetiaannya pada kebenaran dan
kesalahan
dan
menghindari
terjadinya
masyarakat.
kesalahan-kesalahan
tersebut.
kurangnya
akan
kesadaran
Karena dapat
Uraian diatas menjelaskan bahwa media
berakibat serius. Ketiadaan petunjuk moral
dimanapun dia berada dan beroperasi selalu
yang dengan tegas mengarahkan nilai-nilai dan
memiliki
memandu
prinsip
disfungsional. Media massa dinilai memiliki
wartawan
mengalami
dapat
etika
KESIMPULAN
menyebabkan
fungsional
dan
juga
dalam
potensi fungsional karena berpotensi untuk
melaksanakan tugas dan fungsinya. Karena itu
menebar semangat perdamaian dan meredakan
pemahaman kode etik jurnalistik dan Undang-
konflik. Sebaliknya media massa juga dinilai
Undang
memiliki
Pers
kegagalan
potensi
serta aturan-aturan lainnya
sangat penting bagi semua pekerja media. Sensor pribadi (self censorship), hati nurani dan tanggung jawab sosial dari para
potensi
disfungsional
karena
memang berpotensi untuk memperkeruh atau bahkan memicu konflik yang berkepanjangan. Kini
saatnya
media
massa
jurnalis sangat penting untuk mengukur dan
mengakomodir berbagai paradigma alternatif
menilai arti sebuah pemberitaan konflik.
yang memungkinkan terbangunnya suasana
Dokumen pengaduan dari masyarakat yang
perdamaian
diterima oleh Dewan Pers sepanjang tahun
mengusung jurnalisme perdamaian dimana
2001-2007 dan dari Fokus Grup Diskusi antar
profesional, etika, hati nurani serta sensor
para jurnalis Indonesia dan Australia pada
pribadi ikut menyatu di dalamnya. Jurnalisme
tanggal 8-11 November 2010 di Canbera dan
damai sebagai salah satu jurnalisme yang
Sydney
jurnalis
memiliki potensi fungsional bagi media massa
fungsinya
dalam membangun suasana yang kondusif di
cenderung
32
menunjukkan untuk
bahwa
memainkan
melalui
berita-berita
yang
32 Acta diur nA │Vol 11 No . 1 │2015
DILEMATIS MEDIA DALAM PEMBERITAAN KONFLIK DAN KEKERASAN daerah konflik dan juga sebagai mediator
menyediakan informasi dan menghibur dapat
dalam proses penyelesaian konflik. Dengan
terlaksana secara maksimal.
demikian, fungsi media yang sesungguhnya yaitu
sebagai
mediator,
mengawasi,
DAFTAR PUSTAKA Abrar, Ana Nadhya. 2011. A nalisis Pers Teori dan Praktek. Yogjakarta : Cahaya Atma Pustaka. Afifi, Subhan. 2010. Tayangan Bermasalah dalam Program A cara Televisi di Indonesia. Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 8, Nomor 3, September - Desember 2010, halaman 246 – 262 Ahmadi, Dadi dan Nova Yohana M. 2007. Kekerasan di Televisi: Perspektif Kultivasi. Mediator, Vol.8 No.1 Juni 2007 http://download.portalgaruda.org/article.php? article=117262&val=5336 diakses 23 Februari 2015. Allen, Tim dan Jean Seaton. 1999. The Media of Conflict : W ar Reporting and Representations of Ethnic Violence. New York : Zed Books. Anderson, C.A., Bushman, B.J. 2001. Effect of Violent Video Games on Aggressive Behavior, Aggressive Cogni on, Aggressive Affect, Psysiological Arousal, and Prosocial Behavior; A Meta‐Analy c Review of Scien fic Literature. American Psychological Society, 12 (5), 353‐ 359 Anderson, C.A., Bushman, B.J. 2002. Violent Video Games and Hos le Expecta ons: A Test of the General Aggression Model. Personality and Social Psychology Bulle n, 28 (12), 1679‐1686 Dewan Pers. 2006. Kompetensi W artawan. Pedoman Peningkatan Profesionalisme W artawan dan Kinerja Pers. Jakarta : Sekretariat Dewan Pers. Eriyanto. 2002. A nalisis Framing, Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Jogjakarta: LKIS. Fathurokhmah, Fita. 2011. W acana Komunitas A gama : Sebuah Propaganda di Media. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Vol.2. No.2. Tahun 2011. Jakarta : Balitbang SDM Kemkominfo RI. Focus Group Disccussion (FGD) Wartawan Media Indonesia-Australia, Self Censorship dalam Bilateral Inter Media Dialog - BIMD, Canberra dan Sydney, 9-11 November 2010. Freedman, J.L. 1986. Televison Violence and Aggression : A Rejoinder. Psychological Bulle n, 100 (3), 372‐378 Galtung, Johan. 1973. Structuring and Selecting News. Dalam Stanley Cohen dan Jack Y oung (ed). Manufacture of News : Deviance and the Mass Media. London : Constable. Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa, Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-berita Politik. Jakarta: Granit. Hasfi, Nurul. 2011. Kekerasan Simbolik (Symbolic V iolence) Terhadap Suku Jawa Dalam Program TV “Hidup Ini Indah” di Trans TV. http://eprints.undip.ac.id/33025/1/ Kekerasan_Simbolik_atas_Suku_Jawa_dalam_Program_TV_lengkap.pdf, diakses 23 Februari 2015.
33 Acta diur nA │Vol 11 No . 1 │2015
33
DILEMATIS MEDIA DALAM PEMBERITAAN KONFLIK DAN KEKERASAN
Ishadi, SK.2003. Konsep Profesionalisme dalam Industri Media Massa. Jakarta: Depkominfo. Kompas, Rabu 18 April 2012. Konflik di Sudan Makin Sengit. Kompas, Senin 13 Februari 2012. Jajak Pendapat Kompas Pers Belum Bisa Memberikan Solusi. Liputan 6 SCTV, edisi 14 April 2010. Tanjung Priok Berdarah. McQuail, Denis. 1994. Mass Communications Theory : A n Introductions, third editions. London: Sage Publications. Metrotvnews.com. 22 Maret 2012. Kekerasan atas Nama A gama di Indonesia Enggan Menyusut. News Metro TV, edisi 5 Maret 2010. Rusuh Makassar. Republika.18 November 2014. KPI Terima 13805 aduan Sepanjang 2014. http:// www.republika.co.id/berita/koran/hukum-koran/14/11/18/nf7yla7-kpi-terima-13805-aduansepanjang-2014 diakses 23 Februari 2015. Setiasi, Eni. 2005. Ragam Jurnalistik Baru Dalam Pemberitaan. Yogjakarta : Penerbit Andi. Sobur, Alex. 2001. A nalisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosda Karya. Stanley, 2006. Posisi dan Peran Media dalam Pemberitaan Konflik (Pelajaran dari A mbon dan Konflik Lainnya). Bunga rampai Membangun Pers Nasional yang Bebas, Profesional dan Bermartabat. Jakarta : Depkominfo RI. Youtube.com. www.youtube.com
34
34 Acta diur nA │Vol 11 No . 1 │2015