3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Dilema Etika dan “SIMBOLISME” Kode Etik Akuntan Manajemen Perspektif Kualitatif – Fenomenologis (Studi pada sebuah BUMN di Indonesia) Erlina Diamastuti Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Surabaya
[email protected] ABSTRACT The purpose of this study is to describe and interpret the ethical practice of management accountants in an BUMN in Indonesia. This study uses qualitative-phenomenological approach to look at the social reality of the object of study. Qualitative-phenomenological approach aims to understand the phenomenon of what is experienced by research subjects, for example, behavior, perception, action and so the whole depicted in the form of words and language in the context of natural. The results obtained in this study is the first, reconstruction of reality created by management accountants to prove that the financial statements and accounting systems have ethical consequences contained therein. Secondly, ethical practices that occur in the activity accountant management accountant in the state is less understood by management accountants. This is due mandulnya its code of ethics. Although there is no code of ethics of a company that specialized in shaded the accountant in the state, but they have their own code of conduct. The codes are only showing the rights and obligations without any concrete manifestation of the practice of those rights and obligations. That is, there is no ethical character that represents a true picture of those rights and obligations. As a result, some management accountants who work in BUMN perform denial of the existing code of ethics. The findings of this study indicate that the presence of a code of conduct for them not only normative reflective so that researchers interpret that ethical practices are carried out is merely symbolism. The findings stated that the existence of a code of ethics in a company is not color management accountants to behave ethically. Code of conduct also not been able to guide the employee or the company to behave ethically, as expected by its stakeholders. That is, many companies treat the symbolism of the ethical code of conduct as a company. Keywords: ethics, management accountants, ethical dilemma, ethical codes
PENDAHULUAN
Tema tentang etika dalam profesi akuntan tidak pernah habis. Tema ini memiliki pemahaman yang sangat penting dan mendalam. Sorotan masyarakat terhadap profesi akuntan sangatlah besar sebagai dampak dari beberapa skandal yang terjadi baik di Indonesia maupun di negara lain seperti kasus Enron (2001), WorldCom dan Global Crossing di Amerika, Bank Lippo, PT. Kimia Farma dan kasus pajak PT. Bumi Resources (2010) di Indonesia. Dari berbagai skandal yang berkaitan dengan etika tersebut, skandal Enron menjadi sorotan yang memengaruhi berkembangnya berbagai penelitian mengenai arti penting etika terhadap profesi akuntan. Sedangkan untuk kasus di Indonesia, skandal akuntan pada bank Lippo sebagai salah satu contoh pelanggaran yang dilakukan manajemen Lippo yang dikerjakan oleh akuntan manajemen. Pelanggaran tersebut dilakukan dengan cara membuat laporan keuangan ganda, manipulasi saham di pasar modal dan pelanggaran peraturan perbankan. Akibat skandal bank
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1782
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Lippo ini negara mengalami kerugian sebesar Rp. 5,4 triliun yang sangat berdampak pada masyarakat. Menurut Suratman (1998: 40): “skandal akuntansi yang ada dalam perusahaan sebenarnya diketahui oleh pihak akuntan manajemen perusahaan, tapi karena mereka mempunyai tanggung jawab kepada pihak top manajemen perusahaan maka mereka tidak bisa berbuat apa-apa”.
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa akuntan manajemen sering mengalami sebuah dilema etika. Dilema etika yang dialami akuntan manajemen menyebabkan sebuah skandal akuntan. Akibatnya semakin rendah kepercayaan publik terhadap laporan keuangan. Skandal tersebut membuat banyak kalangan bertanya, apakah laporan keuangan masih bisa dipercaya? Apakah akuntan manajemen sebagai penyedia laporan keuangan juga masih bisa dipercaya?. Dua pertanyaan ini tentunya akan saling terkait jika kita melihat keberadaan laporan keuangan tidak akan terbit tanpa adanya peran akuntan manajemen. Keadaan ini tentunya menyebabkan krisis kepercayaan pada masyarakat. Kemampuan akuntan manajemen untuk membuat keputusan berdasarkan laporan keuangan yang diambil ketika menghadapi situasi dilema akan sangat bergantung kepada berbagai hal karena keputusan yang diambil oleh akuntan manajemen juga akan berpengaruh pada organisasi di mana dia berada (Arnold dan Ponemon, 1991). Dalam berbagai peristiwa yang ada, tampak bahwa laporan keuangan yang andal menjadi sangat penting. Namun dalam praktiknya, manipulasi laporan keuangan yang dilakukan akuntan manajemen sering terjadi dalam dunia bisnis pada saat ini. Tekanan organisasional-profesional adalah salah satu alasan yang muncul pada saat kondisi ini terjadi. Adanya tekanan ini memang sering menyebabkan akuntan tidak independen dalam menjalankan profesinya. Akibatnya, situasi ini merujuk pada satu pilihan yaitu perilaku menyimpang dan tindakan tidak etis. Potensi konflik organisasional-profesional mengenai perilaku etis telah dikembangkan dalam literatur akuntansi. Namun, mayoritas permasalahan ini lebih berfokus pada karyawan kantor akuntan publik maupun akuntan publiknya bukan akuntan manajemen. Perilaku etis akuntan publik menjadi tonggak dalam penciptaan nilai-nilai moral yang diharapkan oleh setiap organisasi tidak akan menimbulkan konflik dalam implementasinya, tetapi pada kenyataannya realitas bisnis jarang menengok adanya kemungkinan konflik organisasi-profesional lebih besar yang dialami oleh akuntan manajemen. Sumber konflik yang terjadi antara organisasiprofesional pada umumnya adalah tekanan pihak manajemen perusahaan untuk melakukan perilaku tidak etis, seperti manipulasi hasil laporan keuangan. Arranya dan Ferris (1984) menemukan bahwa akuntan manajemen sesungguhnya mengalami level konflik organisasional-profesional lebih tinggi dibandingkan mereka yang bekerja dalam kantor akuntan publik. Temuan ini menunjukkan bahwa akuntan manajemen seringkali merasakan perbedaan antara nilai organisasional dengan profesional, sehingga tekanan untuk melakukan perilaku tidak etis tampaknya menjadi satu sumber konflik. Hal senada juga diungkapkan oleh Weaver (1995) dalam studinya yang menemukan bahwa perilaku tidak etis yang dilakukan oleh akuntan manajemen ini sering terjadi karena pemilik sebagai pemegang saham berkepentingan terhadap keuntungan akibatnya tindakan tidak etis dapat dilakukan salah satu contohnya manipulasi data. Hasil penelitian dari Arranya dan Ferris (1984) dan Weaver (1995) menperlihatkan kepada peneliti bahwa perilaku etis sangat dibutuhkan akuntan manajemen dalam menjalankan profesinya. Untuk membingkai perilaku tersebut beberapa pengamat dan peneliti merasa perlu Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1783
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
untuk menerbitkan sebuah kode etik (Steven,1994). Pernyataan ini juga berdasarkan pendapat dari Kjonstad & Willmott (1995) yang mengatakan bahwa kode etik mempunyai efek positif terhadap perilaku. 1.1. Pertanyaan Penelitian Berkaitan dengan uraian di atas maka peneliti melakukan sebuah penelitian dengan pendekatan kualitatif-fenomenologis untuk mendeskripsikan dan memaknai praktik etika yang dilakukan oleh akuntan manajemen pada sebuah BUMN di Indonesia. Akuntan manajemen sebagai informan diharapkan dapat memberikan gambaran sesungguhnya mengenai implementasi kode etik yang dijalankan oleh akuntan manajemen tersebut. Untuk itu, pertanyaan penelitian yang timbul dari uraian di atas adalah bagaimana praktik etika dan implementasi kode etik akuntan manajemen pada salah satu BUMN di Indonesia 1.2. Motivasi dan Tujuan Penelitian Motivasi dan tujuan penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa 1) Penelitian dengan pendekatan kualitatif-fenomenologis mengenai praktik etika dan kode etik akuntan manajemen di Indonesia belum banyak dilakukan. 2) Gap antara perilaku akuntan manajemen dengan praktik etika akuntan manajemen masih sering timbul pada saat akuntan menjalankan profesinya
PENJELAJAHAN DENGAN PENDEKATAN KUALITATIF-FENOMENOLOGIS Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif-fenomenologis dengan alasan melalui pendekatan ini peneliti lebih mudah mendekati informan. Teori kualitatiffenomenologis melihat aspek manusia pada prinsipnya berkaitan erat dengan beberapa indikator termasuk: a) apa yang menjadi perilaku, b) apa yang dikatakan dan c) apa yang diperbuat oleh seseorang atau sekelompok. Tugas seorang peneliti dalam menggunakan teori fenomenologis adalah menangkap gejala tersebut dari sumbernya secara alami, mengadministrasi gejala dan kemudian mengumpulkan untuk merefleksikannya kembali atas dasar pandangan seseorang atau kelompok masyarakat tersebut, dan langkah berikutnya adalah menjadikannya sebagai acuan dalam melaporkan hasil penelitian. Informan penelitian adalah subjek yang memahami informasi objek penelitian sebagai pelaku maupun orang lain yang memahami rumusan masalah penelitian. Dalam studi ini, peneliti menentukan informan yang digunakan untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan peneliti adalah tingkat kepala departemen sampai dengan kepala seksi pada departemen akuntansi, keuangan dan satuan pengawas internal (SPI) pada sebuah BUMN di Indonesia yang mempunyai gelar kesarjanaan berasal dari fakultas ekonomi jurusan akuntansi. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, penelitian ini menggunakan key person dalam mendekati informan penelitian. Alasannya, peneliti sudah memahami informasi awal sehingga peneliti dapat langsung mengadakan wawancara dengan Kepala Bagian/Biro akuntansi sebagai key person dalam penelitian ini. Sedangkan, dalam penyebutan nama informan, penulis menggunakan pseudonym, yang berarti penulis tidak akan menggunakan nama asli informan, melainkan nama samaran atau inisial. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kerahasiaan identitas informan. Selain untuk menjaga kerahasiaan, penggunaan nama samaran juga dilakukan sebagai strategi agar informan tidak keberatan atau memberi informasi yang tidak sesuai selama penelitian berlangsung. Teknik analisis data yang digunakan dalam Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1784
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
penelitian ini adalah analisis data kualitatif, mengikuti konsep yang diberikan Miles & Huberman, yaitu data reduction, data display, dan conclusion drawing / verification.
AKUNTAN MANAJEMEN DAN DILEMA ETIKA 3.1. Etika Dalam penelitian ini, etika dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari segala kebaikan dalam hidup manusia semuanya, mengenai gerakan pikiran dan rasa yang merupakan pertimbangan perasaan sampai dengan mengenai tujuan yang diaplikasikan dalam perbuatan. Bertens (2000) melihat etika sebagai praksis yang mempunyai arti nilai-nilai dan norma moral yang dipraktekkan atau tidak dipraktekkan walaupun seharusnya dipraktekkan. 3.2. Peran Akuntan Manajemen Akuntan manajemen yang dimaksud dalam penelitian ini adalah akuntan yang bekerja pada departemen/bagian akuntansi pada suatu organisasi atau perusahaan (Agoes dan Ardana, 2009). Tugas pokok yang diemban akuntan manajemen adalah melakukan proses pencatatan transaksi keuangan, memelihara catatan atas semua transaksi perusahaan serta membuat laporan akuntansi secara periodik untuk disampaikan kepada manajemen organisasi. Andayani (2002) menyatakan bahwa peran akuntan manajemen saat ini mengalami pergeseran dan ternyata tidak dibarengi dengan kemampuan akuntan manejemen sebagai pelaku bisnis untuk bertanggungjawab dengan tugas yang diembannya, sehingga akuntan manajemen harus melakukan suatu perubahan dan perbaikan kualitas dirinya. Hal ini merupakan tantangan bagi akuntan manajemen dan harapan baru bagi perkembangan akuntansi manajemen yang bebas dari tekanan yang menyebabkan dilema etika Machfoedz (2004) menyatakan tantangan pertama yang dihadapi akuntan manajemen adalah tantangan globalisasi yang menyebabkan informasi akuntansi manajemen menjadi semakin rumit dan kompleks. Tantangan kedua adalah meningkatnya skandal korporasi yang sering terjadi dalam praktik. Banyak sekali contoh skandal korporasi yang melibatkan akuntan manajemen. Akibatnya akuntan manajemen tidak dapat merancang informasi akuntansi manajemen secara tepat dan akurat. Hal ini juga menyebabkan laporan akuntansi manajemen di masa yang akan datang harus dapat mengakomodasi bidang lainnya seperti psikologi, sosiologi, politik dan lain-lain. Tantangan-tantangan yang sudah diuraikan di atas adalah dilema yang sering dialami para akuntan manajemen, sehingga sangat memengaruhi akuntan manajemen dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada keputusan etis. 3.3. Dilema Etika Akuntan Manajemen Peran yang diemban oleh akuntan manajemen memang sangat strategis. Namun, peran tersebut sering digunakan akuntan manajemen untuk melakukan tindakan tidak etis. Dalam kondisi ini sangat memungkinkan terbukanya suatu peluang untuk melakukan hal-hal yang tidak memenuhi persyaratan legal dan etika. Akibatnya, banyak sekali skandal akuntansi yang dilakukan oleh akuntan manajemen. Suratman (1998: 40) menyatakan: Skandal akuntansi yang ada dalam perusahaan sebenarnya diketahui oleh pihak akuntan manajemen perusahaan, tetapi karena mereka mempunyai tanggungjawab kepada pihak top manajemen perusahaan maka mereka tidak bisa berbuat apa-apa
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1785
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Hal ini dapat kita lihat dari akibat yang ditimbulkan pada beberapa perusahaan yang mengalami skandal seperti Enron, Worldcom dll. Akibat gagalnya laporan keuangan menggambarkan kondisi perusahaan yang sesungguhnya akan mengakibatkan hancurnya harga saham 25 perusahaan besar (75%) di dunia selama tahun 1999 sampai dengan 2002.Hal ini mengakibatkan kerugian kurang lebih 23 milyar US dollar (Fortune,2 September 2002). Diskripsi kejadian di atas menunjukkan bahwa keputusan etis yang diambil berdasarkan keakuratan laporan keuangan seakan musnah karena kegagalan penyusunan laporan keuangan. Kejadian ini mengakibatkan para pemilik modal mulai hengkang dan tidak mau berinvestasi lagi. Akibatnya, kelangkaan modal terjadi dan berakibat menurunnya produktifitas ekonomi dan merosotnya kepercayaan masyarakat Merosotnya kepercayaan masyarakat yang telah digambarkan oleh peneliti di atas adalah salah satu penyebab dilema etika yang dialami akuntan manajemen. Situasi dilema menurut Gunz et al. (2002) adalah situasi yang timbul sebagai alternatif pilihan etis yang sulit dan harus diambil oleh seorang profesional. Artinya, dilema etika adalah situasi yang dihadapi oleh seseorang di mana ia harus mengambil keputusan tentang perilaku yang tepat. Sedangkan, jika kita melihat dari kondisi dan posisi akuntan manajemen di dalam perusahaan, maka dilema etika adalah sebuah keadaan yang tidak dapat dihindari oleh akuntan manajemen. Sementara itu, Belkaoui (1989) dalam tulisannya yang berjudul The Coming Crisis in Accounting menyebutkan salah satu penyebab munculnya dilema etika adalah banyak tindakan kecurangan maupun fraud dilakukan manajemen perusahaan yang melibatkan akuntan. Hal ini terjadi karena secara kontraktual akuntan manajemen mempunyai tanggung jawab profesi kepada manajemen dan pemegang saham. Untuk itu, pada tahapan pelaksanaan, pihak manajemen atau pemegang saham akan membuat berbagai aturan agar terjadi suatu keselarasan dalam mencapai tujuan bersama.
MENGGALI INFORMASI DALAM SEBUAH REALITAS 4.1. Aktivitas Profesi Akuntan Manajemen Peran akuntan manajemen memang sangat strategis, tapi peran tersebut sering digunakan untuk melakukan tindakan yang tidak etis. Dalam kondisi ini sangat mungkin terbukanya peluang untuk melakukan hal-hal yang tidak memenuhi persyaratan legal dan etika. Akibatnya, banyak skandal akuntansi yang dilakukan oleh akuntan manajemen. Hampir setiap skandal yang terjadi merupakan akumulasi dari kegagalan bisnis, kegagalan manajerial dan kegagalan pelaporan. Ketidakakuratan dalam penyajian laporan keuangan dan tidak tepatnya penyajian laporan keuangan mengakibatkan adanya penundaan dalam pengambilan keputusan yang penting. Berikut Informasinya: “saya sangat sepakat apabila informasi akuntansi relevan dengan pengambilan keputusan pada perusahaan ini. Tanpa adanya informasi tersebut maka laporan keuangan tidak mungkin terbit dan pihak manajemen tidak dapat memutuskan sesuatu yang tepat. Sepertinya hal ini juga berakibat pada produktifitas perusahaan” (pernyataan AZ sebagai kepala divisi keuangan BUMN).
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1786
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Pernyataan ini dilanjutkan oleh Bapak HS: “Walaupun sudah tersistem, proses penyajian laporan keuangan pada BUMN membutuhkan energi yang tidak sedikit. Banyak hal-hal yang harus kita putuskan supaya laporan keuangan tersebut mencerminkan keadaan yang sesungguhnya dari perusahaan ini. Namun, tak jarang juga saya harus mengambil keputusan tanpa harus mempertimbangkan informasi akuntansi yang telah dibuat. Hal ini dapat dilakukan apabila ada keadaan mendesak dan pihak manajemen membutuhkan keputusan ini untuk mengambil keputusan yang lebih besar”.
Pernyataan kedua informan menunjukkan bahwa informasi akuntansi sangat dibutuhkan dalam sebuah keputusan yang besar, namun dalam praktiknya beberapa keputusan tidak harus didasarkan pada informasi akuntansi dan ternyata keputusan tersebut mengakibatkan sebuah dilema. Salah satu dilema lagi yang sering dialami oleh akuntan manajemen di BUMN adalah ketepatan waktu dalam penyajian laporan keuangan yang menyebabkan mereka merasa di bawah tekanan. Seperti kita ketahui, kegiatan perusahaan berjalan terus dari satu periode ke periode yang lain dengan volume dan laba yang berbeda. Laporan keuangan ini harus dibuat tepat waktu, agar berguna bagi berbagai pihak. “satu hal yang membuat kami stress adalah saat harus melaporkan laporan keuangan konsolidasi. Kalo anak usaha ngak cepat melaporkan kepada kita, kami kelabakan” (Pernyataan Bapak HA).
Ungkapan Pak HA di atas menunjukkan bahwa proses penyusunan laporan keuangan membutuhkan kecermatan, kerjasama, kejujuran dan akuntabilitas. Satu hal yang tidak dapat dihindari dalam proses penyusunan laporan keuangan ini adalah perilaku etis dari si penyusun dalam menjalankan aktivitas profesinya. 4.2. Dilema Etika Sang Akuntan Manajemen BUMN Pada proses penyusunan dan penyajian laporan keuangan di BUMN banyak pihak berperan dan berkepentingan terhadap laporan keuangan. Banyaknya pihak berkepentingan terhadap laporan keuangan seringkali menyebabkan akuntan manajemen sebagai penyedia informasi tersebut merasa berada di bawah tekanan. Tekanan akan selalu menciptakan konflik dan ketegangan. Ketegangan dapat menimbulkan rasa emosional (Goleman, 1998: 84). Seseorang yang diliputi rasa emosional yang tinggi, tidak menutup kemungkinan akan melakukan tindakan atau keputusan di luar batas-batas etis. Potret mengenai fenomena ini dapat kita lihat dari informasi Bapak RA dan Bapak S selaku staf penyusunan laporan keuangan. “kami di bagian akuntansi sangat merasakan pentingnya laporan keuangan untuk membuat keputusan. Oleh karena itu, kami menyadari betul apabila pihak manajemen sangat marah kalo laporan keuangannya belum bisa terbit sampai dengan tanggal yang telah ditentukan. Momen-momen seperti ini, biasanya kami bagian penyusun laporan keuangan menjadi stres dan merasa di bawah tekanan. Tapi kami sadar betul memang itu adalah tugas kami dan tanggung jawab kami kepada manajemen BUMN”.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1787
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
“Pernah saya mengalami konflik internal dengan rekan sekerja, akibatnya pekerjaan saya sedikit terganggu. Untung saja, apa yang terjadi tidak menganggu proses penyusunan laporan keuangan yang harus diterbitkan setiap tanggal 5 tiap bulannya”.
Pernyataan dari kedua informan tersebut menunjukkan bahwa proses penyusunan dan penyajian laporan keuangan di salah satu BUMN ini membutuhkan energi yang tidak sedikit. Energi berupa tenaga dan pikiran dibutuhkan dalam proses penyusunan laporan keuangan ini terkadang menimbulkan gesekan atau konflik di antara para akuntan manajemen atau antara staf dengan pimpinan yang menimbulkan tekanan. Tekanan jika tidak dikelola dengan profesional akan berdampak pada perilaku. Contoh, peristiwa yang terjadi pada Bapak RA jika tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan rasa malas dan rasa enggan untuk menyelesaikan tugas-tugasnya. Untuk itu, dibutuhkan sebuah profesionalisme yang tinggi dan kepribadian yang tangguh dalam menjalankan aktivitas profesi ini. Para akuntan manajemen di BUMN tidak memungkiri bahwa selama praktik penyusunan dan penyajian laporan keuangan tidak pernah terhindar dari tekanan dan konflik internal. Konflik internal ataupun tekanan yang terjadi dalam suatu organisasi adalah hal yang pasti terjadi, karena organsasi merupakan kumpulan dari individu yang mempunyai karakter berbeda-beda. Walaupun mereka menyadari bahwa konflik internal ataupun tekanan organisasional cenderung menyebabkan dilema etika. Dilema etika menurut Arens & Loebbecke (2000) adalah situasi di mana terjadi pertentangan batin yang disebabkan ia mengerti bahwa keputusan yang diambilnya salah. Lebih lanjut, Kieso et al. (2007) juga menyatakan bahwa konsentrasi perusahaan yang ditujukan pada memaksimumkan bottom line akan menghadapi persaingan dan kinerja jangka pendek telah menempatkan akuntan dalam lingkungan yang berisi konflik dan tekanan. Hal ini dapat kita pahami karena akuntan manajemen adalah agen diberi amanah oleh principal untuk menjalankan aktivitas penyusunan dan penyajian laporan keuangan. Dengan kondisi ini, praktik pelaporan keuangan sering menimbulkan ketidaktransparanan yang dapat menimbulkan konflik antara prinsipal dan agen (Sulistyanto, 2008). Akibat adanya perilaku akuntan manajemen yang tidak transparan dalam penyajian informasi ini akan menjadi penghalang adanya praktik etika pada perusahaan tersebut. 4.2.1. Faktor Penyebab Timbulnya Dilema Etika Realitas penelitian ini menunjukkan bahwa praktik akuntansi di BUMN bersifat rutinitas. Namun, ada saat-saat di mana praktik ini akan sangat membutuhkan kekuatan (power) untuk mencegah berbagai kemungkinan yang menganggu praktik akuntansi. Salah satunya tekanan organisasi dan konflik internal antara akuntan manajemen dengan pemegang saham ataupun akuntan manajemen sebagai staf dengan pimpinan/top manajemen. Arens (1997) menyatakan faktor penyebab timbulnya dilema etika yaitu lingkungan budaya, lingkungan organisasi dan lingkungan profesi serta pengalaman pribadi. Faktor tersebut juga turut berpengaruh dalam pembentukan perilaku etis akuntan. Lebih lanjut, White dan Lam (2000) menyatakan individu lebih mungkin menghadapi dilema etika jika 1) organisasi tidak memberikan means untuk mencegah perilaku tidak etis, 2) individu mempunyai motivation personal untuk diuntungkan dari tindakan etis, 3) posisi pekerjaan memberikan opportunity untuk terlibat praktik tidak etis. Untuk itu White dan Lam (2000) menggambarkan dalam skema berikut: Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1788
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014 Organizational climate
Means
Dilema Etika
Opportunity
Motivations
Job Positions
Individual Needs
Sumber: White dan Lam (2000: 38) Gambar 1 Komponen Dilema Etika Skema di atas menunjukkan ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang mengalami dilema etika, salah satunya adalah means. Means merupakan alat infrastruktur organisasi yang terdiri dari sistem, kebijakan dan prosedur yang telah ditetapkan. Ludigdo (2007: 48) menyebutkan bahwa kode etik termasuk di dalam arti means. Jika means yang dimaksud oleh White dan Lam (2000) ataupun Ludigdo (2007) adalah kode etik, maka means di BUMN adalah standar akuntansi, kebijakan perusahaan (disiplin pegawai) dan kode etik perusahaan. Berdasarkan refleksi yang telah dijabarkan pada sub bab sebelumnya, nampak bahwa akuntan manajemen di BUMN dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan sudah berdasarkan standar keuangan dan PABU serta kebijakan dan aturan yang ditetapkan bersama oleh pihak manajemen. Di samping itu di BUMN juga mempunyai kode etik perusahaan. 4.3. Perspektif Kode Etik bagi Akuntan di BUMN Beberapa informan yang telah memberikan informasinya menyatakan bahwa memang benar di BUMN mempunyai kode etik tapi itu kode etik perusahaan, bukan kode etik akuntan manajemen. Artinya, tidak ada kode etik yang mengatur secara khusus tentang aturan dan perilaku bagi akuntan manajemen. Kode etik BUMN tersebut berisi empat pokok bahasan utama yaitu 1) kebijakan umum kode etik di BUMN yang berisi pedoman kode etik perusahaan dan integritas pengelolaan, 2) kebijakan perilaku perusahaan,3) internalisasi, penerapan dan pemantauan, 4) pelaporan pelanggaran kode etik dan pernyataan kepatuhan. Kode etik tersebut dinyatakan secara tertulis agar tidak melanggar norma perusahaan yang ditujukan sebagai keterikatkan dalam pelaksanaan Good Corporate Governance. Berikut pernyataan dari Ibu ES dan Ibu AW sebagai informan mengenai keberadaan kode etik bagi akuntan manajemen:
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1789
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
“Saya tidak pernah tahu kalau akuntan yang ada di perusahaan itu mempunyai kode etik sendiri, yang sering saya dengar adalah kode etik akuntan publik”.
“...saya pernah tahu dan membaca pada saat saya kuliah di PPAK, tapi di sini sepertinya ngak ada atau mungkin merasa tidak diperlukan oleh perusahaan. Setiap tahun kita harus menandatangani pernyataan tidak melanggar kode etik, tapi itu untuk Good Corporate Governance.”
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa informan tidak pernah mengetahui jika perilaku dirinya sebagai seorang akuntan manajemen dibatasi oleh kode etik akuntan yang diterbitkan oleh IAI. Pernyataan informan tersebut juga membenarkan bahwa kode etik yang mereka anut adalah kode etik perusahaan. Kode etik ini tidak hanya diperuntukkan bagi akuntan manajemen saja, namun bagi seluruh karyawan BUMN. Lebih lanjut, beberapa informan mengutarakan keberadaan kode etik bagi mereka dinyatakan beragam, ada yang percaya bahwa kode etik dapat memandu mereka dalam beraktivitas dan ada yang merasa hal tersebut buang-buang waktu saja. Menurut mereka, kode etik memang sangat dibutuhkan karena hal itu dapat digunakan untuk mengarahkan individu yang tergabung dalam profesi akuntan manajemen untuk selalu bertindak secara etis atau berperilaku etis. Perilaku etis perlu dikedepankan oleh akuntan manajemen agar keputusan yang dibuat juga keputusan yang etis. Namun, permasalahannya mereka merasa tidak tahu kode etik apa yang seharusnya ada dan dilaksanakan oleh akuntan manajemen yang berada di BUMN ini. Berikut ini pernyataan Bapak IR dan Ibu ES mengenai keberadaan kode etik di BUMN, “ ...terkadang saya merasa sangat membutuhkan aturan yang jelas dan khusus yang berkaitan dengan aktivitas yang saya lakukan. Saya merasa bahwa aturan perusahaan terkadang hanya untuk orang-orang seperti saya, tapi tidak untuk atasan”.
“...kode etik itu hanya lips service aja bu...yang berlaku disini bukan kode etik tapi aturan dari atasan. Maksud saya aturan atasan tersebut yang dijadikan pedoman. lha kalo nggak ikut perintah atasan meskipun melanggar, ya besok siap-siap di pindah aja”. Informasi dari beberapa informan tersebut menunjukkan di BUMN tersebut masih belum ada kode etik yang khusus menaungi para akuntan manajemennya. Sikap pesimis yang ditunjukkan oleh informan menunjukkan bahwa kode etik itu tidak perlu, jika yang lebih berlaku adalah perintah pimpinan. Artinya, yang mengatur tingkah dan polah akuntan manajemen dalam melakukan aktivitas profesinya lebih condong pada suatu ketaatan kepada pimpinan bukan suatu aturan tertulis. Informasi sedikit berbeda dinyatakan oleh Ibu TM, “Kode etik secara kelembagaan dibutuhkan sebagai pedoman dalam melaksanakan kegiatan atau aktivitas perusahaan. Demikian pula dengan dengan kode etik akuntan manajemen, harus bisa dijadikan pijakan bagi akuntan manajemen, sehingga setiap akuntan manajemen di perusahaan mempunyai kewajiban untuk mentaati semua aturan yang ada di dalam kode etik tersebut. Untuk dapat menaati aturan tersebut, setiap pelaku minimal harus mengenal nilai etika yang ada dalam perusahaan”.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1790
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Informasi di atas menunjukkan bahwa kode etik memang dibutuhkan dan berguna bagi akuntan manajemen dalam menjalankan aktivitasnya. Tindakan ini akan mempunyai nilai moral apabila berdasarkan suatu tuntunan atau nilai etika yang dijadikan pedoman bersama pada akuntan manajemen. Ahmad (1996: 205) juga menyatakan bahwa kode etik adalah aturan yang mengatur tingkah laku dalam satu kelompok khusus, sudut pandangnya hanya ditujukan pada hal-hal prinsip dalam bentuk ketentuan tertulis. Artinya, ketentuan yang tertera pada kode etik diharapkan dapat mengatur dan membatasi tingkah laku individu atau kelompok yang berada di dalam suatu organisasi. Berdasarkan uraian mengenai kode etik dan bertolak dari beberapa pernyataan informan, maka realitas praktik menunjukkan bahwa kode etik hanyalah alat yang digunakan untuk membatasi perilaku supaya tidak lepas dari batas-batas etis. Alat ini bersifat mengikat siapa saja yang bersedia bergabung dengan BUMN. Alat yang bagus adalah alat yang dapat digunakan oleh siapa saja, bukan alat yang diciptakan untuk kepentingan kelompok tertentu saja. Namun dalam praktiknya, ternyata alat tersebut hanya dapat membingkai perilaku sebagian orang saja, tidak seluruhnya, walaupun alat tersebut memang digunakan untuk semua. Artinya, kode etik di BUMN hanya mengena pada sebagian orang saja, hanya pegawai tertentu yang harus taat, pegawai lainnya boleh taat boleh tidak, tergantung bagaimana evaluasi terhadap implementasi kode etik tersebut. Berikut informasi dari Ibu N sebagai kepala bagian pengelolaan hutang piutang BUMN yang menyatakan sikap optimis bahwa kode etik dapat membingkai perilakunya “Saya mengibaratkan perusahaan sebagai sebuah kapal besar, di mana di dalamnya terdapat berbagai macam individu dengan berbagai macam perilaku. Untuk itu sebaiknya perusahaan menggunakan satu standar atau kode etik agar bisa menyelaraskan menjadi satu perilaku untuk menciptakan iklim yang kondusif. Dengan terciptanya iklim yang kondusif tersebut, maka tujuan perusahaan dapat dengan mudah tercapai”
Sikap optimis yang diungkapkan oleh informan menunjukkan harapannya bahwa dengan keberadaan kode etik dapat menyelaraskan berbagai macam perilaku individu. Pernyataan “sebaiknya” yang diungkapkan oleh Ibu N mengisyaratkan sebagai sebuah anjuran bukan suatu keharusan. Padahal maksud dibuatnya kode etik pada umumnya digunakan sebagai suatu aturan yang wajib dan harus ditaati oleh individu yang yang tergabung di dalamnya. Artinya, kode etik yang diterbitkan oleh BUMN masih belum dapat menyelaraskan dalam satu perilaku untuk menciptakan satu iklim yang kondusif, walaupun Ibu N sangat yakin jika kode etik dapat menyatukan seluruh perilaku individu dalam satu wadah perilaku yang sama. Sekarang coba kita kembali mengulas pernyatan dari Ibu ES yang menyatakan bahwa kode etik itu hanya lips service saja “...kode etik itu hanya lip service aja bu...yang berlaku disini bukan kode etik tapi aturan dari atasan. Maksud saya aturan atasan tersebut yang dijadikan pedoman. lha kalo nggak ikut perintah atasan meskipun melanggar, ya besok siap-siap di pindah aja.
Pernyataan dari Ibu ES tersebut menunjukkan sikap yang berseberangan dengan Ibu N. Ibu ES merasa tidak pernah mendapatkan sisi baik dengan keberadan kode etik bagi dirinya, bahkan Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1791
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
dia pesimis keberadaan kode etik dapat memandu perilaku akuntan manajemen di BUMN meskipun yang dimaksud adalah kode etik perusahaan. Kode etik menurutnya hanya “pemanis” saja atau bersifat “basa basi”, hanya tulisan tanpa makna. Artinya, keberadaan kode etik di BUMN bagi informan tidak berpengaruh pada perilakunya. Informasi yang diungkapkan oleh Ibu ES menunjukkan bahwa kode etik perusahaan tidak dapat memainkan fungsinya sebagai alat pemandu perilaku bagi akuntan manajemen. Berdasarkan penyataan ketiga informan di atas, kondisi yang nampak adalah ada atau tidak adanya kode etik tergantung bagaimana individu tersebut memaknainya. Ibu N lebih berharap dengan adanya kode etik tersebut dapat tercipta iklim organsiasi yang lebih sehat, sedangkan Ibu ES lebih cenderung merasa “masa bodoh”. Pendapat Pak IR lebih berbeda dengan yang lain, menurutnya kode etik hanya untuk pihak tertentu saja, misalnya pegawai bawahan. Harapan yang dikemukakan oleh Ibu N, juga ditemukan oleh Adams et al. (2001) dalam penelitiannya. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa kode etik diterbitkan oleh perusahaan sebagai satu upaya untuk memperbaiki iklim organisasi sehingga individu dapat berperilaku etis. Kode etik dapat juga dipandang sebagai upaya menginstitusionalisasikan moral dan nilai-nilai pendiri perusahaan, sehingga kode etik tersebut menjadi bagian dari budaya perusahaan dan membantu sosialisasi individu baru dalam memasuki budaya tersebut. Berbeda dengan Ibu N, dalam benak Ibu ES yang penting dia menjalankan aktivitasnya sesuai dengan aturan pimpinan. Ketaatannya pada aturan hanya disebabkan karena rasa takutnya terhadap jabatan yang diembannya. Permasalahannya, bagaimana jika pimpinan tersebut justru melakukan tindakan menyimpang?. Menurut Sihwahyuni dan Gudono (2000), kode etik sering mempunyai kelemahan karena kode etik sulit diawasi. Temuan yang dihasilkan oleh Sihwahyuni dan Gudono, juga ditunjukkan oleh Bapak HS, Pak IR, Ibu N berikut ini: “secara fully evaluasi terhadap kode etik belum ada, tapi jika memang terjadi pelanggaran baru ditindaklanjuti. Masalahnya memang tidak ada reward dan punishment yang jelas jika terjadi suatu pelanggaran. Contohnya begini, suatu pelanggaran dapat diketahui jika ada pihak lain yang melaporkan pelanggaran tersebut. Jika tidak ada reward yang diperoleh pihak lain tersebut, tentu tidak ada orang yang mau melaporkan, karena adanya sikap toleransi yang ditanamkan antara sesama. Trus bagaimana kita bisa memberikan punishment jika tidak ada yang lapor.”
“selain itu di sini tidak ada bagian yang khusus pemantau perilaku pegawai BUMN, walaupun hal ini memang merupakan koordinasi oleh bagian sekretaris perusahaan, dinas hukum dan manajemen risiko.
“Setahu saya tidak ada evaluasi mengenai pelaksanaan kode etik perusahaan dan setahu saya tidak ada sosialisasi. Jadi ya cuma dibagikan aja bukunya ke seluruh karyawan BUMN. Tidak ada sosialisasi dan belum ada evaluasi...”
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1792
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Berdasarkan beberapa pernyataan di atas nampak jelas bahwa pelaksanaan kode etik perusahaan belum dibarengi dengan pelaksanaan evaluasi. Di samping itu tidak adanya sosialisasi menyebabkan mereka kurang begitu peduli dengan keberadaan kode etik tersebut. Bahkan salah satu informan menyatakan bahwa sampai sekarang belum memahami sepenuhnya apa yang terkandung dalam pedoman kode etik perusahaan tersebut. 4.3.1. Kode Etik: Refleksi Etis Akuntan Manajemen Akuntan sebagai sebuah profesi yang penting bagi masyarakat seharusnya mengedepankan kaidah dalam melaksanakan profesinya. Refleksi etis profesi akuntan manajemen pada umumnya dituang dalam kode etik akuntan manajemen (Duska dan Duska, 2003). Seorang akuntan pasti membutuhkan kode etik. Kode etik tersebut mempunyai tujuan utama untuk mempresentasikan gambaran secara gamblang mengenai laporan keuangan suatu perusahaan yang meliputi auditing, managerial accounting, tax accounting, financial planning dan consulting. Duska melanjutkan, profesi akuntan harus dapat memberikan memberikan gambaran yang benar dan akurat mengenai financial affairs dari perusahaan-perusahaan dan keakuratan tersebut sangat krusial. Hal ini sangat dibutuhkan untuk menciptakan suatu legitimasi kebenaran agar dapat mengetahui gambaran yang akurat dan secara struktural dapat menjauhkan dari tindakan yang tidak etis. Dalam implementasinya, dampak keberadaan kode etik di perusahaan masih diperdebatkan. Beberapa hasil studi dalam tataran positivistik/kuantitatif menunjukkan adanya suatu perbedaan. Hasil penelitian Adam et al. (2001) menunjukkan bahwa perusahaan yang berkode etik formal mempunyai lebih besar dukungan melakukan tindakan etis dibandingkan dengan perusahaan yang tidak mempunyai kode etik formal. Weaver (1995), kode etik mempunyai pengaruh terhadap perilaku. Studi dengan hasil berbeda antara lain Kohut dan Corriher (1994), Cressey dan Moore (1983), Soutar et al. (1994) dengan hasil temuan tidak ada hubungan antara eksistensi kode etik dengan jawaban responden dan tidak ada hubungan antara perilaku etis dengan eksistensi kode etik. Temuan Marnburg (2000) menunjukkan bahwa eksistensi kode etik tidak mempunyai efek perilaku terhadap profesi di Norwegia. Jika kode etik mempunyai beberapa pengaruh terhadap perilaku, pengaruh ini tidak dijelaskan oleh kode itu sendiri tetapi oleh proses yang menjadi simbol kode. Sedangkan Scwhartz (2002) menyatakan keberadaan kode etik dalam perusahaan tidak berdampak signifikan terhadap perilaku etis dan belum dapat menuntun karyawan perusahaan berperilaku etis sebagaimana diharapkan oleh stakeholders. Untuk di Indonesia, baik akuntan publik maupun akuntan manajemen untuk sementara waktu berpedoman pada kode etik yang diterbitkan oleh IAI pada tahun 1998 yang mempunyai empat kebutuhan dasar yaitu 1) kredibilitas, 2) profesionalisme, 3) kualitas jasa dan 4) kepercayaan. Kode etik sebagai refleksi etis akuntan manajemen dimaksudkan oleh peneliti sebagai gambaran bahwa akuntan manajemen sebenarnya mempunyai kode etik yang sama dengan profesi lainnya. Hanya saja dalam praktiknya akuntan manajemen sering keluar dari batas yang telah digariskan oleh kode etik tersebut, bahkan ada akuntan manajemen yang tidak pernah tahu bahwa perilakunya harus sesuai dengan kode etik yang ada.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1793
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
KOMPARASI DAN PEMAKNAAN TEMUAN 5.1.
Praktik Akuntansi dalam Organisasi
5.1.1. Temuan Laporan keuangan dibuat oleh akuntan manajemen BUMN bertujuan untuk memberikan informasi akuntansi yang akurat dan berguna bagi pihak yang berkepentingan. Dalam praktiknya penyusunan dan penyajian laporan keuangan yang dibatasi dengan standar yang telah ditetapkan terkadang menyebabkan adanya tekanan dan konflik internal. Contoh, ketepatan waktu penyajian laporan keuangan. Tekanan dan konflik ini jika tidak dapat dikelola dengan baik maka akan dapat menimbulkan dilema. Dilema yang sering terjadi adalah cara atau tindakan yang harus diambil pada saat terjadi tekanan atau konflik internal tersebut. Untuk hal ini, salah seorang informan menyatakan tingkat ketidakakuratan rata-rata hanya disebabkan karena user kurang teliti dalam melakukan entry data-data, bukan permasalahan ketidakjujuran dalam pencatatan angka-angka tersebut. Namun, beberapa aktor atau informan menyatakan proses tersebut sering menyebabkan sebuah tekanan dan dilema yang bersifat organisasional ataupun psikologis (stres). 5.1.2. Analisis dan Konsep Dilema Etika dalam Praktik Akuntansi Berdasarkan temuan di atas menunjukkan bahwa praktik akuntansi di BUMN tersebut menimbulkan dilema etika. Dilema etika yang dialami akuntan manajemen lebih sering disebabkan karena adanya tekanan di dalam perusahaan. Studi ini melihat bahwa tekanan demi tekanan yang terjadi menyebabkan akuntan manajemen terjebak dalam sebuah konflik organisasional-profesional. Konflik organisasi-profesi yang sering terjadi pada saat pengambilan keputusan yang dilakukan oleh level manajer ke atas dan selalu berdasarkan musyawarah. Namun, dalam praktiknya pengambilan keputusan ini sering menimbulkan sebuah dilema bagi mereka. Temuan ini ditunjukkan oleh Arranya dan Ferris (1984) dalam penelitian positivist yang menyatakan bahwa akuntan manajemen mempunyai tingkat konflik yang lebih tinggi dibandingkan akuntan publik. Akuntan manajemen sering merasakan adanya perbedaan nilai antara organisasional dan profesional, namun perbedaan tersebut sampai saat ini kurang dipahami. Akibatnya, sampai saat ini permasalahan tersebut masih tetap ada. Sejalan dengan beberapa penelitian yang telah dijabarkan di atas, maka studi ini menggarisbawahi bahwa tekanan organisasional-profesional dan dilema etika akan selalu ada dalam sebuah hubungan kerja di perusahaan manapun. Satu hal yang dapat dilakukan oleh perusahaan adalah meminimalisasi tekanan dan dilema etika tersebut, karena setiap organisasi terdiri dari berbagai karakter individu dengan nilai dan motivasi yang berbeda-beda. Meskipun mereka mempunyai tujuan yang sama, namun mereka berangkat dari arah dan kepentingan yang berlainan. Secara skematis praktik akuntansi yang dilakukan oleh akuntan manajemen dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1794
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Manajemen/ pimpinan
Rekan sekerja
Konflik Organisasional profesional
Akuntan Manajemen
Tinggi
Praktik Akuntansi Dilema Etika Konflik kepentingan
Rendah
Pemegang Saham
Sumber: Peneliti Gambar 2 Dilema Etika dalam Praktik Akuntansi Skema pada gambar 2 menunjukkan bahwa praktik akuntansi yang dilakukan oleh akuntan manajemen di dalam suatu organisasi tidak pernah terlepas dari adanya konflik. Keberadaan akuntan manajemen sebagai bagian dari struktur organisasi tidak terlepas dari kerangka agensi. Dillart dan Yuthas (2002) menyatakan bahwa perubahan dalam suatu organisasi dapat terjadi melalui tindakan agen sebagai upaya adanya integrasi sosial. Dalam studi ini, akuntan manajemen adalah aktor sosial yang secara kodrati mempunyai kehendak sebagai manusia yang tidak terbelenggu. Berdasarkan pemikiran tersebut akuntan manajemen dapat mempunyai pemikiran yang spesifik dan berbeda dengan organisasinya. Spesifikasi pemikiran tersebut menyebabkan adanya pembingkaian perilaku yang membedakan individu sebagai akuntan manajemen (agent) dengan individu sebagai pemegang saham (principal) dalam suatu organisasi. Hal ini akan membedakan wewenang yang harus dipikul oleh keduanya. Pemegang saham sebagai pemilik modal akan mengutamakan pemikiran mengenai bagaimana meraih keuntungan yang sebesar-besarnya melalui penanaman modal pada suatu organisasi, sedangkan akuntan manajemen sebagai pengelola modal juga mempunyai keinginan mendapatkan keuntungan dari aktivitas profesinya. Pemikiran ini yang menyebabkan pemisahan tanggung jawab di antara keduanya. Pemisahan tanggung jawab ini memunculkan suatu perjanjian kontraktual antara agent dan principal. Principal sebagai pemilik modal mempunyai kewajiban untuk menyediakan fasilitas dan sumber daya dalam organisasi agar dapat dikelola oleh manajemen/akuntan manajemen, sedangkan akuntan manajemen mempunyai tanggung jawab untuk mengelola Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1795
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
modal dan memberikan gambaran yang sebenarnya tentang kondisi perusahaan melalui perspektif keuangan. Dua individu, dua kewajiban dan dua kepentingan bersatu untuk mencapai tujuan bersama. Inilah gambaran mengenai perspektif keagenan. Perspektif ini akan menjadi lebih utuh jika dikaitan dengan motivasi dari tiap-tiap individu yang berbeda dalam melakukan interaksi dengan organisasi sebagai lingkungan sosialnya. Adanya pemisahan wewenang antara akuntan manajemen dengan pemegang saham menyebabkan pemegang saham memiliki rasa ketidakpercayaan bahwa apa yang dilakukan oleh akuntan manajemen adalah benar. Dalam benak pemegang saham, akuntan manajemen dapat menyembunyikan informasi dari dirinya dan berperilaku opportunistik sehingga dapat mengurangi keuntungan. Ketidakpercayaan dan perilaku opportunistik ini yang terkadang menyebabkan sebuah tekanan dan berakibat pada timbulnya konflik kepentingan (Sulistyanto, 2008: 73). Dalam sebuah organisasi, akuntan manajemen sebagai karyawan sering bertindak berdasarkan perintah pimpinan. Organisasi pada umumnya memiliki sebuah struktur otoritas hirarkis mengenai struktur jabatan yang ada. Berdasarkan struktur tersebut tanggung jawab moral terkadang ditanggung oleh sepenuhnya oleh atasan, akibatnya karyawan akan merasa terbebas dari tanggung jawab moral (Velasquez, 1996). Hal ini yang sering menyebabkan akuntan manajemen sebagai agen menyalahi tanggung jawab moral yang dibebankan kepadanya. Sebaliknya jika atasan memerintahkan karyawan untuk berbuat kesalahan yang secara tindakan bertentangan dengan moral maka kewajiban tanggunjawabnya dibebankan kepada bawahan. Kondisi ini sering memunculkan konflik organisasional-profesional. Fenomena realitas praktik yang terjadi mengenai hubungan keagenan antara pegawai dengan atasan ternyata lebih kompleks dibandingkan dengan hubungan keagenan antara pemegang saham dengan akuntan manajemen sebagai manajer. Realitas praktik menunjukkan tekanan yang sangat kuat dan dilakukan pihak atasan lebih membuat mereka merasakan ketidaknyamanan dalam melakukan aktivitasnya dan hal ini sangat memengaruhi bawahan untuk melakukan suatu perilaku etis. Artinya, semakin tinggi tekanan organisasional profesional yang dilakukan pihak manajemen atau pimpinan terhadap akuntan manajemen, maka semakin tinggi dilema etika dialami oleh pihak akuntan manajemen dan sebaliknya. Shafer (2002) menyatakan, jika pegawai tidak mempunyai standar etis tinggi, maka mereka akan merasionalkan perilaku tidak etis sebagai bagian yang dibutuhkan dalam pekerjaannya. Di samping itu, semakin tinggi konflik kepentingan yang terjadi pada akuntan manajemen yang berperilaku opportunistik dengan pemegang saham menyebabkan semakin tingginya dilema etika yang terjadi. Jika pemegang saham membantu pegawai memenuhi pengharapan mereka dengan memberikan lingkungan yang mendukung nilai profesional dan perkembangan pribadi, maka konflik kepentingan dapat diminimalisasi sehingga pegawai tersebut kemungkinan lebih komitmen terhadap organisasi. Sebaliknya, jika pemegang saham membuat tuntutan terhadap individual yang bertentangan dengan nilai profesional mereka, maka pegawai tersebut kemungkinan tidak akan memenuhi tuntutan pemegang saham dan menyebabkan mereka melakukan tindakan tidak etis (Noreen, 1988). Akuntan manajemen sebagai pegawai yang mempunyai tingkat kesadaran diri tinggi untuk melakukan tindakan tidak menyimpang lebih mudah untuk melepaskan diri dari jerat konflik organisasional-profesional dan konflik kepentingan. Komitmen yang kuat dan tingginya nilai-nilai yang tertanam dalam dirinya menjadikan mereka sosok yang taat aturan, mempunyai integritas dan obyektifitas yang tidak perlu diragukan lagi. Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1796
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
5.1.3. Makna temuan Akuntan manajemen yang mempunyai tanggung jawab secara profesional terhadap pihak manajemen dan pemegang saham lebih sulit untuk bertindak independen dibandingkan dengan akuntan publik. Hal ini disebabkan segala aktivitasnya diperuntukkan bagi pemegang saham, di mana pemegang saham lebih bertujuan untuk mencari keuntungan dibandingkan tujuan lainnya. Oleh karena itu, perusahaan harus mampu untuk meminimalisasi berbagai konflik dan tekanan yang ada agar tercipta suatu iklim organisasi yang sehat. Untuk itu dibutuhkan suatu alat dan dukungan dari organisasi untuk membatasi perilaku karyawannya agar mempunyai perilaku etis. Alat tersebut dapat berupa kode etik atau corporate credo. 5.2
Keberadaan Kode Etik
5.2.1.
Temuan
Berdasarkan realitas yang ada, maka studi ini menggarisbawahi beberapa temuan: 1) Beberapa informan tidak menyadari bahwa mereka berprofesi sebagai akuntan manajemen, sehingga mereka juga tidak menyadari bahwa dirinya terikat dengan kode etik akuntan Indonesia, 2) Akuntan manajemen BUMN tidak mengetahui bahwa mereka dibatasi oleh kode etik akuntan sehingga peneliti mempersepsikan bahwa mereka tidak mempunyai kode etik khusus bagi akuntan manajemennya, sehingga mereka berpedoman pada kode etik perusahaan. Meskipun seharusnya tidak hanya taat pada kode etik perusahaan, namun juga kode etik akuntan Indonesia yang diterbitkan oleh IAI. 5.2.2
Analisis dan Konsep Kode etik dalam Praktik Etika Akuntan Manajemen
Duska dan Duska (2003) menyatakan bahwa seorang akuntan membutuhkan kode etik. Kode etik merupakan sebuah pendekatan yang memasukkan sistem etis dalam perilaku individu yang berada dalam organisasi (White dan Lam, 2000), oleh sebab itu kode etik adalah pedoman yang paling populer di berbagai organisasi. Perusahaan dengan kode etik secara formal mempunyai dukungan yang lebih besar dibandingkan dengan yang tidak (Adam et al., 2001) dan mempunyai pengaruh terhadap perilaku (Weaver, 1995). Bertolak dari realitas yang ada, ternyata beberapa informan menyatakan tidak merasakan keberadaan kode etik sebagai aturan yang berpengaruh pada perilaku mereka. Beberapa informan menyatakan kode etik perusahaan tidak pernah disosialisasikan, tidak ada evaluasi untuk menilai dan memantau pelaksanaan kode etik serta tidak sesuai dengan aspirasi akuntan manajemen di BUMN tersebut. Tidak ada sanksi yang jelas jika terjadi pelanggaran kode etik. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa keberadaan kode etik di BUMN hanya bersifat normatif belum sampai pada pengaplikasiannya. Artinya, kode etik hanya sebagai simbolisme semata. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan simbolisme sebagai kata, tanda isyarat yang digunakan untuk mewakili sesuatu yang lain seperti arti, kualitas, abstraksi, gagasan dan objek. Dengan kata lain simbolisme adalah apapun yang diberikan arti dengan kesepakatan dan kebiasaan yang dibangun oleh masyarakat atau individu dengan arti tertentu yang disepakati dan dipakai oleh masyarakat itu sendiri. Dalam studi ini simbolime dimaknai sebagai tanda pengenal berupa kata atau kalimat yangg menjelaskan dan mengaktualisasikan sesuatu dan kebersamaan didasarkan oleh kewajiban atau perjanjian. Bentuknya adalah 1) tanda indrawi, barang atau tindakan yang menyatakan realitas lain di luar dirinya, 2) sarana paling tepat untuk mengungkapkan sebuah tindakan, namun simbol juga terbuka terhadap arti dan tafsiran tergantung bagaimana setiap Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1797
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
individu memaknainya. Berdasarkan penjabaran tersebut, makna simbolisme kode etik dalam studi ini adalah sebuah sarana yang tepat untuk mengatualisasikan sebuah tindakan dan disepakati bersama di antara kelompok masyarakat atau pelaku organisasi namun mereka mempunyai sebuah makna atau tafsiran yang berbeda-beda dalam mengaktualisasikan tindakan tersebut. 5.2.3. Makna Temuan Keberadaan kode etik di BUMN secara reflektif tidak banyak memengaruhi praktik etika akuntan manajemen, sehingga tidak begitu berdampak terhadap perilaku akuntan manajemen dikarenakan tidak adanya evaluasi dan pemantauan terhadap implementasi kode etik tersebut. Artinya, Kode etik bagi para akuntan manajemen di salah satu BUMN di Indonesia hanya merupakan simbolisme semata. Temuan ini selaras dengan hasil penelitian yang ditunjukkan oleh Scwhartz (2002) dalam tataran positivist yang menyatakan keberadaan kode etik dalam perusahaan tidak berdampak terhadap perilaku etis dan kode etik belum dapat menuntun karyawan atau perusahaan untuk berperilaku etis sebagaimana diharapkan oleh stakeholders-nya. Artinya, banyak perusahaan mengkondisikan kode etik hanya sebagai simbolisme etis perusahaan. Realitas praktik juga menunjukkan kode etik tetap dibutuhkan sebagai dimensi organisasi dalam menciptakan iklim organisasi yang sehat. Artinya, kode etik tetap digunakan sebagai landasan hukum atau aturan yang mengikat antara akuntan manajemen dengan organisasi untuk mengarahkan pada tujuan bersama. Kode etik tetap menjadi unsur yang penting dalam praktik etika akuntan manajemen jika dibarengi dengan evaluasi pelaksanaan dan adanya pemantauan dari pihak yang independen.
6. MENYIMPULKAN BENANG MERAH PENELITIAN Studi ini bermula dari maraknya skandal akuntansi pada perusahaan-perusahaan besar di dunia maupun di Indonesia. Salah satu penyebab yang berhasil terdeteksi adalah adanya manipulasi laporan keuangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan akuntan manajemen dengan pihak manajemen dan diamini oleh akuntan publik. Namun, realitas ini sangat jarang terekspos di masyarakat. Hal ini disebabkan karena yang sering dijadikan pesakitan dalam hal ini adalah para akuntan publik. Akuntan manejemen adalah profesi yang ikut andil dalam perkembangan suatu organisasi. Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk lebih mendalami pedoman dan koridor apa yang dibutuhkan akuntan manajemen agar tidak melakukan skandal tersebut. Peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian dengan menggunakan metode kualitatif-fenomenologis untuk melihat, mendeskripsikan dan memaknai realitas apa yang terjadi di balik aktivitas akuntan manajemen. Studi ini melakukan beberapa langkah agar mendapatkan informasi dari informan akuntan manajemen yang berada di salah satu BUMN di Indonesia. Peneliti menggunakan perusahaan tersebut bukan berarti perusahaan tersebut melakukan skandal akuntansi. Peneliti hanya menelusur persepsi, perspektif dan informasi mengenai perilaku yang mendasari para akuntan manajemen mengenai skandal akuntansi tersebut. Rekonstruksi realitas yang diciptakan oleh akuntan manajemen membuktikan bahwa laporan keuangan dan sistem akuntansi mempunyai konsekuensi etis yang terdapat di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1798
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
dalamnya. Contoh, angka akuntansi yang nampak pada laporan keuangan akan mengarahkan individu untuk melakukan pengambilan keputusan berdasarkan angka-angka tersebut. Kondisi ini menunjukkan bahwa adanya ketergantungan yang kuat antara pengambil keputusan dengan angka akuntansi, jika kita cermati kembali akuntan adalah pencipta realitas akuntansi, maka hasil ciptaannya adalah sesuatu yang penting dan sangat menentukan langkah individu selanjutnya. Seandainya akuntan sebagai pencipta realitas tidak menginput nilai-nilai etis dalam praktik akuntansinya, maka realitas yang diciptakan bukanlah realitas kebenaran dan hal ini tentu akan menjerumuskan orang lain dalam mengambil keputusan. Triyuwono (2000:268) menyatakan bahwa akuntansi bisa secara sederhana dibayangkan sebagai mata air yang mengalir dari mata air menuju ke danau. sepanjang mata air dan airnya terbebas dari polusi, makhluk apapun yang ada di danau dan aliran tersebut akan mendapatkan manfaat dari air yang segar dan bersih itu. Seballiknya, bila mata airnya terkontaminasi oleh benda-benda beracun, makhluk yang menggunakan air tersebut akan terjangkiti penyakit
Berpangku pada pernyataan di atas menunjukkan bahwa akuntansi memang dibangun dengan dasar dan tujuan yang baik. Akuntansi dibangun dengan asumsi bahwa individu yang menciptakan ataupun individu yang mempraktikkan mempunyai sebuah nilai-nilai dalam dirinya. Nilai-nilai ini yang nantinya akan menentukan bagaimana hasil ciptaan tersebut. Jika akuntansi dibangun dengan nilai yang buruk, maka buruk pulalah hasilnya dan sebaliknya. Demikian pula dalam proses penyusunan dan penyajian laporan keuangan sebagai bentuk dari praktik akuntansi. Hal ini akan sangat berpengaruh pada kepercayaan publik. Oleh sebab itu, menurut beberapa peneliti, akuntansi tidak pernah terlepas dari nilai-nilai dan nilai adalah bagian dari etika (Francis 1990; Belkaoui 1992; Chua dan Degeling 1993). Jika akuntansi merupakan praktik moral dan diskursif (Francis, 1990) karena melibatkan manusia sebagai agent of development dalam proses penciptaanya, maka praktik akuntansi yang dijalankan oleh akuntan juga sarat akan praktik moral. Akuntan sebagai penyusun laporan keuangan, menginginkan orang lain atau pihak lain untuk memahami tentang apa yang dilakukannya. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa dirinya terlibat di dalamnya (Triyuwono, 2000: 269), sehingga moral keagenannya akan menggerakkan dirinya dalam penciptaan laporan keuangan. Artinya, laporan ini dibuat dan digunakan untuk tujuan publik, nampak bahwa akuntan dalam hal ini yang melakukan penciptaan realitas sebagai rekonstruksi realitas (Morgan, 1988: 482). Bercermin dari penjelasan di atas, maka realitas praktik menunjukkan bahwa perusahaan membutuhkan corporate credo yaitu kode etik. Belkaoui (1992:30) menguraikan argumentasinya bahwa kode etik ini pada umumnya berisi tanggung jawab akuntan sebagai bagian dari sebuah kelompok yang melayani kepentingan publik dan menjaga integritas, independensi, memperluas kepercayaan dan bersikap objektif. Namun secara praktis, menerjemahkan etika ke dalam kode etik akan menemui kesulitan karena kode etik merupakan peraturan tanpa memilliki karakter etis atau moral. Selaras dengan pendapat Belkaoui (1992), praktik etika akuntan yang terjadi dalam aktivitas akuntan manajemen di BUMN kurang berdampak. Hal ini disebabkan mandulnya kode etik yang dimilikinya. Walaupun tidak ada kode etik dari perusahaan yang khusus menaungi para akuntan di BUMN, namun mereka mempunyai kode etik perusahaan. Kode etik Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1799
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
ini hanya menampilkan hak dan kewajiban tanpa adanya wujud kongkrit dari praktik hak dan kewajiban tersebut. Artinya, tidak ada karakter etis yang mewakili gambaran sesungguhnya dari hak dan kewajiban tersebut. Akibatnya, beberapa akuntan manajemen yang bekerja di BUMN melakukan pengingkaran terhadap kode etik yang ada. Hasil studi ini menunjukkan bahwa keberadaan kode etik bagi mereka hanya bersifat normatif bukan reflektif. Artinya, BUMN ini memperlakukan kode etik sebagai simbolisme etis perusahaan. Kembali pada bukti yang ditemui di lapangan, keberadaan kode etik perusahaan menjadi tidak penting bagi mereka karena tidak adanya evaluasi terhadap refleksi dari kode etik tersebut. Akibatnya, timbul perasaan apatis dan pesimis. Apa yang terjadi di BUMN juga diutarakan oleh Sihwahyuni dan Gudono (2000) dalam penelitiannya yaitu kode etik sering mempunyai kelemahan karena kode etik sulit diawasi. Tidak adanya evaluasi terhadap praktik etika di BUMN menyebabkan beberapa akuntan manajemen cenderung mengabaikan atau mengingkari keberadaan kode etik yang ada. Evaluasi kode etik sangat dibutuhkan di BUMN sebagai wujud komitmen perusahaan pada karyawannya, sehingga setiap penyimpangan yang terjadi akan nampak jelas di hadapan mereka, tidak lagi berada pada posisi grey area. Pengingkaran akuntan manajemen terhadap kode etik perusahaan menyebabkan akuntan manajemen mencari aturan lain yang bisa digunakan sebagai pedoman dalam menuntun langkahnya. Salah satu penyebab lain terjadinya pengingkaran kode etik perusahaan adalah tidak adanya pemantauan secara langsung mengenai implementasi kode etik tersebut dalam praktik etika yang ada di perusahaan. Akibatnya, ketidakjujuran masih bersemayam di ranah BUMN, walaupun studi ini tidak menafikkan bahwa kejujuran masih merupakan nilai yang digenggam oleh akuntan manajemen di BUMN tersebut. 6.1. Perjalanan Studi ke Depan Setiap perjalanan dalam sebuah studi akan selalu berada pada ambang pemberhentian. Namun, setiap peneliti akan selalu berharap agar studi yang telah dilakukan masih dapat berkembang dan bermanfaat bagi pihak lain. Walaupun masih terdapat banyak keterbatasan yang dialami oleh peneliti dalam penelitian ini, namun peneliti sangat berharap agar studi ini dapat menjadi langkah awal untuk mengembangkan penelitian akuntansi keperilakuan di masa mendatang yang dilakukan dengan pendekatan non positivitik/kualitatif. Manfaat penelitian ini adalah pertama, bagi para peneliti, berdasarkan informasi dari beberapa informan yang ada, adanya suatu keyakinan bahwa dalam suatu situs sosial yang bersifat lokal pasti akan memunculkan suatu kearifan lokal. Kearifan lokal ini tidak mungkin kita hindari, tidak mungkin kita hilangkan. Namun, kearifan lokal tersebut bisa kita gali sebagai nilai lebih yang tentunya dapat bermanfaat bagi semua pihak. Kedua, bagi profesi akuntan manajemen di BUMN, studi ini diharapkan dapat memicu dan menyebarkan semanggat bagi akuntan manajemen di BUMN untuk segera mengembangkan nilai etika bagi akuntan manajemennya. Ketiga, studi ini diharapkan mempunyai implikasi bagi kalangan profesional akuntan dan akademisi akuntansi. Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan dapat diambil suatu benang merah untuk mengkaji lebih mendalam studi yang berkaitan dengan etika akuntan, sehingga kita dapat mengetahui seberapa penting pengaplikasian etika dan kode etik bagi akuntan.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1800
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
DAFTAR PUSTAKA Adams, J.S., A. Tashchian and T.H. Shore. 2001. Codes of Ethics as Signals for Ethical Behavior, Journal of business Ethics 29: 199:211. Agoes, Sukrisno dan I.C. Ardana. 2009. Etika Bisnis dan Profesi. Salemba Empat. Jakarta. Ahmadi, R. 2005. Memahami Metodologi Penelitian Kualitatif, Penerbit Universitas Negeri Malang (UM Press). Malang. Ahmad, H. 1996. Kamus Pintar Bahasa Indonesia. Fajar Mulya. Surabaya Andayani, Wuryan. 2002. Persaingan Kelas Dunia Menuntut Perbaikan Berkelanjutan yang Menyebabkan Timbulnya Sistem Manajemen Biaya Baru. Media Akuntansi Edisi 28/September. pp. 66-68 Arens, A.A and J.K. Loebecke. 2003. Auditing: an Integrated Approach. 3rd Ed. Prentice Hall Inc. Englewood Cliffs. New Jersey. Arnold, D and L. Ponemon. 1991. “Internal Auditors Perceptions of whistle-blowing and the influence of moral reasoning: An Eperiment”. Auditing: A Journal of Theory and Practice. pp. 1-15. Arranya, N. and K. Ferris. 1984. A Reexamination of Accountants Organizational–Profesional Conflict., The Accounting Review 69 (1). pp.1-15 Bertens, K. 2000. Pengantar Etika Bisnis. Kanisius Yogyakarta. Belkaoui, A.R. 1989. The Coming Crisis in Accounting, New York; Quorum Books. Belkaoui, A.R. 1992. Morality in Accounting. London: http://www.googlebooks.com diakses 13 Agusutus 2009
Quorum
Books.
Chua, W.F. and P. Degeling. 1993. Interrogating an Accounting Based Intervention on Three Axes: Instrumental, Moral and Aesthetic, Accounting, Organizations and Society. 18 (4): 291-318. Cressey, D.R and C.A. Moore. 1983. Managerial Values and Corporate Codes of Ethics, California Management Review. 25. pp.53-77. Duska, R. F and B.S. Duska. 2003. Accounting Ethic, Blackwell Publishing Ltd. USA Dillard JF and K. Yuthas. 2002. Ethical Audit Decisions: A Structuration Perspective, Journal of Business Ethics 36: 49-64 Francis, J.R. 1990. After Virtue? Accounting as moral and discursive practice. Accounting, Auditing and Accountability Journal 3. (3): 5-17 Griffin, R.W. dan R.J. Ebert. 1998. Business, Fourth Edition. Prentice Hall Inc. Englewood. Clift. Goleman, D. 1998. Working with Emotional Intelligence, New York: Bantam Book. Gunz, H.P., S.P. Gunz and J.C. McCutcheon. 2002. Organizational Influences on Approaches to Ethical Decisions by Professionals: the Case of Public Accountants. Canadian Journal Of Administrative Sciences. Vol. 19 No. 1. 76-91 Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1801
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Kieso, D., J.J. Weygandt and T.D. Warfield. 2007. Intermediate Accounting. 12th. Terj. Emil Salim. PT. Penerbit Erlangga. Jakarta. Kjonstad, B and H. Willmott. 1995. Business Ethics: Restrictive or Empowering?. Journal of Business Ethics. 14. 445-464. Kohut, G. E. and S.E.Corriher. 1994. The Relationship of Age, Gender, Experiance and Awereness of written Ethics Policies to Business decision Making. SAM Advance Management Journal. Winter. 32-39. Ludigdo, U. 2007. Paradoks Etika Akuntan. Penerbit Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Machfoedz, M. 2004. The Role of Management Accounting Profession in Value Reporting. Media Akuntansi 38/Maret/Tahun XI. Marnburg, E. 2000. The Behavioural Effects of Corporate Ethical codes: Empirical Findings and Discussion. Journal of Accounting Ethic. Vol. 9 No.3. pp. 200-208. Morgan, G. 1988. Accounting as Reality Construction: Towards a New Epistemology for Accounting Practice, Accounting, Organizations and Society 13 (5): 477-485. Noreen, E. 1988. The Economics of Ethics: A New Perspective on agency Theory. Accounting, Organizations and Society 13. 359-369. Scwhartz, M.S. 2002. “A Code of Ethics for Corporate Code of Ethics”. Journal of Business Ethics 41: 27-43. Shafer, W.E. 2002. Ethical Pressure, Organizational-Professional Conflict and Related Work Outcomes Among Management Accountants. Journal of Business Ethics (38). pp. 263. Sihwahyuni dan Gudono. 2000. Persepsi Akuntan Terhadap Kode Etik Akuntan. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol. 3 No. 2; pp. 168-184 Stevens, B. 1994. “An Analysis of Corporate Ethical Code Studies: Where do We Go From Here?”. Journal of Business Ethics. 13. 327-329. Soutar, G., McNeil, M.M. and Molster, C. 1994. The Impact of Work Environment on ethical Decision Making: Some Australian Evidence. Journal of Business Ethics. 13. pp. 327329 Sulistyanto, Sri. 2008. Manajemen Laba. Teori dan Model Empiris. Penerbit PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. Suratman, A. 1998. “Mark up” Dilema Bagi Akuntan Publik”. Media Akuntansi. Penerbit PT. Intitama Artha Indonusa. Jakarta. Edisi 28/V/Agustus. Triyuwono, I. 2000. Organisasi dan Akuntansi Syariah.LkiS. Yogyakarta. Velasquez, M.G. 1996. “Why ethics Matters: A Defense of Ethics in Business Organizations”. Business Ethics Quarterly. Vol. 6 No.2. pp. 201-222
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1802
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Weaver, G.R. 1995. Does ethics Code design matter? Effects of ethic code rationales and sanctions on recipient’s justice perceptions and content recall. Journal of Business Ethics. 14. 367-385. White, L.P and L.W. Lam. 2000. “A Proposed Infrastructural Model for the Establishment of Organizational Ethical Systems”. Journal of Business Ethics 28: pp 35-42
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1803