IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENERBITAN PERIJINAN DAN PEMBERITAHUAN KEGIATAN MASYARAKAT DI KESATUAN INTELIJEN KEPOLISIAN RESORT KOTA BESAR (POLRESTABES) BANDUNG Oleh : M. Yulian S Abstrak Secara umum pelaksanaan implementasi kebijakan Penerbitan Perijinan dan Pemberitahuan Kegiatan Masyarakat telah berjalan dengan baik. Namun demikian pelaksanaan kebijakan tersebut masih terdapat kendala. Hal tersebut dapat diketahui melalui berbagai temuan penelitian, diantaranya adalah kurangnya sosialisasi langsung menyeluruh dan berkala terhadap masyarakat, sehingga semua lapisan masyarakat belum mengetahui dengan jelas prosedur pengajuan perijinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat. Adanya disfungsi Intelijen pra dan atau pasca penerbitan perijinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat, karena rendahnya anggaran Kesatuan Intelijen di Polrestabes Bandung serta kurangnya koordinasi anggota intelijen dan petugas polri dilapangan secara menyeluruh baik di dalam maupun ke luar termasuk kepada masyarakat. Beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan diantaranya adalah: (1) Faktor Komunikasi; (2) Faktor Sumber Daya ; (3) Faktor Disposisi; dan (4) Faktor Struktur Organisasi. Sosialisasi harus ditingkatkan secara intens. Para pelaksana penerbitan perijinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat diberikan peningkatan pengetahuan melalui pendidikan dan latihan. SOP dan Petunjuk Lapangan harus lebih spesifik mengatur ketentuan tindakan berikut anggaran dan kepentingan petugas dalam melaksanakan tugasnya. A. Latar Belakang Masalah Penerbitan perijinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat oleh Kesatuan Intelijen Kepolisian Resort Kota Besar (Polrestabes) Bandung menjadi bahan sorotan dan perbincangan yang selalu aktual. Implementasi kebijakan penerbitan perijinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat oleh Kesatuan Intelijen Kepolisian Resort Kota Besar (Polrestabes) Bandung dipandang sebagian masyarakat tidak mampu mengantisipasi masalah keamanan dan ketertiban masyarakat, dikarenakan kebijakan tersebut tidak
1
dilakukan secara utuh menyeluruh dan konsisten. Bahwa sebagian masyarakat menganggap kebijakan itu hanya Prosedur Kepolisian yang bersifat diskriminatif terhadap sebagian golongan masyarakat atau bahkan ada sebagian masyarakat yang menganggap Kepolisian tidak profesional dalam pelayanan kepada masyarakat terhadap kebutuhan masyarakat dalam mendapatkan pendampingan Kepolisian atas kegiatan yang ingin dilakukan masyarakat. Dalam rangka Revitalisasi Polri menuju pelayanan prima guna meningkatkan kepercayaan masyarakat, maka pelayanan prima yang dilakukan oleh Kepolisian Republik Indonesia harus diwujudkan pada seluruh lingkup tugas pokok, fungsi dan peran Polri sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Secara universal, tugas Polisi pada hakekatnya ada dua, yaitu menegakkan hukum dan memelihara keamanan serta ketertiban umum. Tugas yang pertama mengandung pengertian Represif atau tugas terbatas yang kewenangannya dibatasi oleh kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP), tugas kedua mengandung pengertian Preventif atau tugas mengayomi adalah tugas yang luas sehubungan dengan tugas memelihara keamanan dan tidak melanggar hukum itu sendiri (Kunarto 1997. Perilaku Organisasi Polri. Cipta Manunggal hal. 111) Ada dua unsur yang mempengaruhi tugas Polisi, yaitu unsur bahaya dan unsur kewenangan, termasuk kewenangan untuk melakukan tindak kekerasan atau diskresi. Unsur bahaya membuat polisi selalu curiga, sedang unsur kewenangan sewaktu-waktu bisa berubah menjadi kesewenang-wenangan atau penyalahgunaan wewenang. Dalam psikologi, konflik peran ini bisa menimbulkan perilaku agresif. (Sarwono. S.W. 1997. Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka. Hal: 313) Kerja keras kepolisian akan terasa lebih berarti dengan adanya dukungan dan kepercayaan masyarakat terhadap tugas kepolisian. Sehingga kepolisian dapat menjalankan tugas tanpa adanya kendala dan selisih faham dengan kata lain tidak terjadi benturan kepentingan tugas kepolisian dengan masyarakat.. Khusus dalam masalah penanganan kegiatan kemasyarakatan yang berhubungan dengan Kebijakan Penerbitan Perijinan dan Pemberitahuan Kegiatan Masyarakat, pihak kepolisian banyak mengalami kendala. Benturan kepentingan sering terjadi, disisi lain
2
polisi harus melaksanakan tugasnya mengayomi dan melindungi masyarakat, disisi lain polisi juga harus membantu tugas tentara (TNI) dalam menjalankan tugas mengamankan negara. Dengan demikian kepolisian tidak dapat lepas tangan dengan kemungkinan dari adanya dampak kegiatan masyarakat yang mungkin dapat menimbulkan gerakan anarkhis dan atau bahkan membahayakan persatuan dan kesatuan masyarkat, berbangsa dan bernegara. Untuk dapat melihat apakah kegiatan masyarakat merupakan kegiatan mengarah kepada gerakan berbahaya yang mengancam ketertiban umum, kesatuan dan persatuan, masyarakat, berbangsa dan bernegara atau tidak, kegiatan masyarakat murni hanya kegiatan sosial, atau kegiatan keilmuan dan atau hanya mengungkapkan pendapat di muka publik (kegiatan unjuk rasa) atau gerakan sadar hukum, pawai dan lain sebagainya, yang umum tanpa unsur provokasi politik dan sebagainya, maka dalam hal ini kepolisian harus melihat dengan cermat dan seksama, mengadakan penelusuran, analisis dan informasi yang cukup lengkap, sehingga dapat mengambil kesimpulan dan keputusan yang tepat berhubungan dengan pemberian ijin dan pemberitahuan kegiatan masyarakat oleh kesatuan Intelijen kepolisian. Selanjutnya kepolisian dapat mengawal dan wajib membantu terselenggaranya keamanan serta ketertiban kegiatan tersebut. Sebelum surat ijin diberikan,
tugas
menganalisis jenis kegiatan masyarakat itu berbahaya atau tidak, merupakan tugas satuan intelijen kepolisian, yang selanjutnya dapat ditindak lanjuti dengan penerbitan surat perijinan dan pemberitahuan atas kegiatan masyarakat dari kepolisian dengan melampirkan jadwal acara; daftar susunan panitia penyelenggara; daftar susunan pengurus organisasi, nama-nama peserta/undangan, nama-nama pembicara dan judul makalahnya (bagi warga negara asing disertai dengan nomor, tanggal paspor dan visa serta kebangsaan); AD/ART organisasi/Badan Hukum; Akte pendirian organisasi/Badan Hukum; Proposal; Curiculum Vitae bagi pembicara warga negara asing; surat ijin dari pemilik tempat kegiatan dan rute yang dilalui bila kegiatan berbentuk pawai dan atau karnaval. Satuan Intelijen harus teliti dan memastikan bahwa kelengkapan tersebut telah dipenuhi, bukan bertujuan mempersulit melainkan semua demi kepentingan keamanan masyarakat.
3
Adapun penerbitan ijin dan pemberitahuan kegiatan masyarakat diantaranya mencakup; (1) Surat ijin Keramaian, dasar hukumnya adalah Petunjuk lapangan dari Kapolri No.Pol. /02/XII/95, tentang Perijinan dan Pemberitahuan Kegiatan Masyarakat. Dalam hal ini kegiatan yang dimaksud adalah; pertunjukan Orkes Melayu/Band; Wayang Kulit; Ketoprak dan pertunjukan lainnya. (2) Surat Ijin Penyampaian Pendapat di Muka Umum, dasar hukumnya adalah Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapatan Di Muka Umum, diantaranya; Unjuk Rasa/ Demonstrasi; Pawai; Rapat Umum; Mimbar Bebas. (3) Surat Ijin Tinggal Orang Asing, dasar hukumnya adalah Juklak No. Pol, JUKLAK/09/II/1995, tentang Pengawasan Kewajiban Setiap Orang yang Memberikan Kesempatan Menginap Kepada Orang Asing Untuk Melapor Kepada Polri; Undang-Undang No. 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian ; PP No. 31 Tahun 1994 Pasal 10. (4) Perijinan Sendak yaitu Kepemilikan Senjata Api dan bahan peledak. Kebijakan penerbitan perijinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat seperti disebutkan di atas merupakan tugas dan wewenang Satuan Intelijen Kepolisian, sehingga dalam pelaksanaanya membutuhkan keseriusan dan penanganan yang optimal. B. Pengertian dan Faktor-Faktor Implementasi Kebijakan 1) Pengertian Implementasi Kebijakan Publik Solichin mendefinisikan istilah implementasi sebagai berikut : “Implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah/ keputusan yang dalam pelaksanaanya sering timbul masalah yang biasa disebut kompleksitas tindakan bersama karena dalam hal ini kebijakan menyangkut berbagai pihak/unit organisasi untuk melaksanakannya sehingga diperlukan suatu organisasi” Solichin Abdul Wahab (2008;187). 2) Teori Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan. Keberhasilan implementasi kebijakan akan ditentukan oleh banyak faktor dan masing-masing faktor tersebut saling berhubungan satu sama lain. Untuk memperkaya pemahaman tentang variabel yang terlibat di dalam implementasi, maka dapat dilihat teori Implementasi di bawah ini:
4
Teori George C. Edwards III, dalam pandangannya ada empat variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan diantaranya adalah variabel komunikasi, sumberdaya, disposisi, dan struktur birokrasi. Keempat variabel tersebut saling berhubungan satu sama lain. 1)
Komunikasi, dalam hal ini keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi sasaran, dan tujuan kebijakan harus dikomunikasikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi.
2)
Sumberdaya adalah meskipun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, akan tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, implementasai tidak akan berjalan efektif. Sumberdaya yang dimaksud adalah keseluruhan baik sumberdaya manusia dan atau sumberdaya finansial.
3)
Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis dan banyak lagi yang lainnya. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses Implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif.
4)
Struktur birokrasi (organisasi) yang mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar (standard operating procedures atau SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor di dalam bertindak. Dari keempat faktor di atas struktur organisasi (struktur birokrasi) yang juga
menentukan bagaimana proses implementasi itu terjadi. Struktur birokrasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tipe, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Ini pada gilirannya menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel.
5
Dengan adanya keempat faktor yang mempengaruhi impelemntasi kebijakan di atas, maka dengan kata lain implementasi harus dilakukan dengan sistem kontrol. Komunikasi dan sumber daya yang ada dapat menjalankan tugas implementasi tersebut dengan sistem kontrol yang baik. (Parsons, Wayne, 2008. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Kencana: Jakarta; hlm. 467- 478) C. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam desain penelitian kualitatif, desain kualitatif dipilih mengingat penelitian bertujuan untuk mengungkapkan apa yang terjadi dalam kenyataan empirik dan penelitian ini lebih banyak mengobservasi dan mengekplorasi perilaku objek yang diteliti sehingga tidak mungkin untuk ditarik hubungan sebab akibat dari hasil penelitian ini. Realitas yang diamati bervariasi (jamak) dan banyak fakta yang tidak mungkin diungkapkan melalui kuisioner seperti latar belakang perilaku objek, bagaimana pelayanan atas pemberian ijin dan pemberitahuan kegiatan masyarakat dilakukan oleh Satuan Intelijen Polrestabes Bandung, bagaimana para implementator kebijakan memaknai Peraturan dan perundang-undangan yang ada, bagaimana pemahaman para pelaksana yang justru akan terungkap dari observasi dan interaksi antara peneliti dan objek untuk memperoleh penafsiran emik, yaitu deskripsi yang didasarkan pada persepsi informan terhadap suatu fenomena yang sedang diteliti. Penelitian ini tidak untuk generalisasi namun untuk menguraikan fakta dan realitas secara rinci (thick description) dan tidak bertujuan menguji atau menguat teori tertentu namun secara induktif akan mengekplorasi data empirik untuk menarik kesimpulan. Sehingga penelitian ini memenuhi syarat sebagai penelitian kualitatif yaitu partikularistis, deskriptif, heuristis dan induktif.
( S.B. Merriam, (1988), Case Study Research in
Education: a Qualitative Approach, (San Francisco: Jossey-Bass Publishers; hlm. 18) Dalam pelaksanaan penelitian, digunakan teknik penelitian studi kasus yaitu kebijakan penerbitan perijinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat oleh Kesatuan Intelijen Polrestabes Bandung periode 2008-2011. D. Analisis Pembahasan Implementasi Kebijakan
6
Berkaitan dengan penyelesaian kegiatan Pelayanan Penerbitan Perijinan dan Pemberitahuan Kegiatan Masyarakat, para informan/responden baik petugas atau masyarakat dan Tokoh Ormas memberikan pernyataan yang senada yaitu bahwa semua proses kegiatan tersebut telah diselesaikan sesuai prosedur semuanya. Hal di atas sesuai dengan pernyataan mereka sebagai berikut (sumber responden petugas Intelijen Polres, Polsek; Tokoh Ormas dan masyarakat; dikelola 20 September 2012);
Bahwa semua kegiatan Pelayanan Penerbitan Perijinan dan Pemberitahuan
Kegiatan Masyarakat di wilayah Polrestabes Bandung telah berjalan dan selalu diselesaikan dengan baik, meskipun seringkali terjadi keterlambatan baik masyarakat dalam hal mengajukan permohonan dan atau sebaliknya petugas dalam hal memberikan ijin dengan melaksanakan penerbitan perijinan kegiatan dan pemberitahuan masyarakat. Namun demikian itu dapat diatasi sejauh bahwa kegiatan masyarakat tidak terindikasi sebagai kegiatan yang mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat yang biasanya akan dibatalkan atau petugas tidak memberikan ijin dan tidak menerbitkan perijinan kegiatan masyarakat tersebut. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan penerbitan perijinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat di wilayah Kesatuan Intelijen Polrestabes Bandung dapat disampaikan pada hasil penelitian sebagai berikut: 1. Komunikasi Komunikasi merupakan proses terjadinya interaksi penyampaian pesan melalui mediator. Pengaruh faktor komunikasi terhadap implementasi adalah pada kejelasan dan isi pesan untuk dapat difahami secara menyeluruh oleh penerima pesan atau program. Dalam faktor komunikasi ini, akan dilihat dari berbagai fenomena yang diamati penulis dilapangan terkait dengan proses implementasi kebijakan penerbitan perijinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat oleh Kesatuan Intelijen Polrestabes Bandung. 1) Intensitas Sosialisasi Kebijakan Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan para informan di dapat dan diketahui bahwa kurang adanya intensitas sosialisasi kebijakan penerbitan perijinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat karena sosialisasi hanya dilakukan oleh pemerintah pada saat undang-undang atau peraturan diterbitkan dan hanya beberapa kali saja melalui media, sementara secara langsung baik melakukan kontak
7
langsung atau melalui selebaran tidak pernah dilakukan; Petugas Intelijen juga hanya melakukan sosialisasi (memberitahukan secara detail) saat masyarakat datang untuk meminta ijin atau surat ijin kegiatannya tersebut. Untuk informan yang berasal dari masyarakat umum masih banyak yang awalnya belum mengetahui prosedur pembuatan ijin pelayanan kegiatan masyarakat tetapi bagi ormas/ event organiser dan mahasiswa umumnya sudah mengetahui prosedur pembuatan perijinan kegiatan masyarakat”. 2) Kejelasan Komunikasi Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan para informan di atas dapat diketahui bahwa terdapat adanya kekurang jelasan pesan dari para pelaksana kebijakan penerbitan perijinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat di wilayah Kesatuan Intelijen Polrestabes Bandung. 3) Konsistensi Pesan Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan para informan di atas dapat disimpulkan penerbitan perijinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat oleh Kesatuan Intelijen Polrestabes Bandung, telah ada konsistensi pesan artinya tidak ada pesan yang saling bertentangan. Adapun kejelasan informasi, hasil penelitian terungkap bahwa ketentuan dalam petunjuk lapangan penerbitan perijinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat di Kesatuan Intelijen Polrestabes Bandung telah jelas diterima oleh para pelaksana. Demikian juga terdapat konsistensi pesan, artinya tidak ada pesan kebijakan yang saling bertentangan antara satu perintah kebijakan dengan perintah yang lain. Hanya saja masyarakat kadang kurang dapat mencerna pesan dengan baik dan cenderung hanya menginginkan kepentingannya terakomodir. 2. Sumber Daya Dalam hal sumber daya pendukung kebijakan penerbitan perijinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat di Kesatuan Intelijen Polrestabes Bandung, para informan mempunyai tanggapan yang beragam, namun mereka sepakat perlu adanya peningkatan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun yang lainnya. Lebih lanjut tentang sumber daya ini disajikan dalam hasil penelitian berikut ini : 1) Kemampuan Sumberdaya Manusia.
8
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan para informan di atas dapat diketahui bahwa kemampuan sumber daya manusia sebagai pelaksana kebijakan pelayanan penerbitan perijinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat dibidang pendidikan memang rendah, sehingga mempengaruhi kemampuan mereka untuk menidentifikasi dan menyelesaikan masalah dengan cepat, namun demikian mereka mempunyai kemampuan untuk menahan masyarakat melakukan pelanggaran hukum dan atau memaksakan kehendak yang akan mengancam ketertiban dan keamanan masyarakat. Untuk kekuatan personel intelijen ditingkat Polrestabes Bandung sudah sesuai dengan kebutuhan personel (dspp 88 personil, riil 119 personil ) dan Personil yang sudah mengikuti Pendidikan intelijen sekitar 80% baik yang berpangkat bintara dan perwira, sedangkan Dspp personil intelijen tingkat polsek 9 orang Riil 8 orang dan mayoritas belum mengikuti pendidikan intelijen, sementara Polsek dituntut sebagai basis deteksi. 2) Fasilitas Pendukung Kebijakan Pelayanan Penerbitan Perijinan dan Pemberitahuan Kegiatan Masyarakat. Dari hasil penelitian fenomena sumber daya di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut “Hasil penelitian terhadap sumber daya manusia terungkap tingkat kemampuan pelaksana tidak merata, sehingga mempengaruhi kemampuan mereka untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah dengan cepat. Namun hal ini tidak mempengaruhi pelaksanaan pelayanan penerbitan perijinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat karena mereka mempunyai kemampuan untuk menyadarkan masyarakat. (wawancara tanggal 10 September 2012). Hasil penelitian terhadap fasilitas pendukung terungkap bahwa dukungan anggaran jauh dari cukup, namun demikian hasil penelitian menunjukkan adanya dukungan sarana dan prasarana berupa gedung, sepeda motor, meja, kursi dan ATK, dan yang lainnya cukup baik, hanya saja untuk perlengkapan atau alat khusus intelijen itu sendiri ternyata kurang canggih. 3. Disposisi (Sikap Pelaksana)
9
Dalam hal sikap pelaksana, para informan mempunyai tanggapan yang senada, yaitu terdapat sikap pelaksana yang mendukung pelaksanaan pelayanan penerbitan perijinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat. Lebih lanjut tentang sikap pelaksana ini disampaikan oleh para informan sebagai berikut : 1) Persepsi Pelaksana Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan para informan di atas dapat disimpulkan bahwa para pelaksana kebijakan pelayanan penerbitan perijinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat mempunyai persepsi yang sangat mendukung pelayanan penerbitan perijinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat terus ditingkatkan. 2) Respon Pelaksana Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan para informan di atas dapat disimpulkan bahwa tidak semua pelaksana memiliki respon baik terhadap kebijakan pelayanan penerbitan perijinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat, karena menganggap pelayanan penerbitan perijinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat sudah menjadi rutinitas yang di dalamnya tidak ada inovasi yang lebih baik, sehingga tidak ada lagi Oknum yang merugikan kepentingan masyarakat. 3) Tindakan Pelaksana Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan para informan di atas dapat disimpulkan bahwa para pelaksana telah memiliki tindakan dan langkahlangkah yang baik dalam pelaksanaan pelayanan yang berhubungan dengan kegiatan masyarakat. 4. Struktur Organisasi Pelaksana Dalam hal struktur organisasi pelaksana kebijakan organisasi, para informan mempunyai tanggapan yang senada, yaitu telah adanya struktur organisasi pelaksana kebijakan pelayanan penerbitan perijinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat. Meskipun demikian perlu adanya pembagian tugas yang jelas dari para pelaksana pelayanan penerbitan perijinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat.
10
Lebih lanjut hasil penelitian tentang struktur organisasi pelaksana kebijakan pelayanan penerbitan perijinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat ini disampaikan oleh para informan sebagai berikut : 1) Pembentukan Struktur Organisasi Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan para informan di atas dapat disimpulkan bahwa pembentukan struktur organisasi pelaksana pelayanan penerbitan perijinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat telah dilakukan sesuai dengan SOP dan Petunjuk Lapangan tentang pelayanan penerbitan perijinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat yang dikeluarkan oleh Kapolri dan ditindak lanjuti oleh Kapolda Jawa Barat. 2) Pembagian Tugas Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan para informan di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksana pelayanan penerbitan perijinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat sudah melakukan pembagian tugas, sehingga petugas mengerti akan tugas dan kewenangannya dalam pelaksanaan pelayanan penerbitan perijinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat. 3) Koordinasi Para Pelaksana kebijakan Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan para informan di atas dapat disimpulkan bahwa koordinasi tidak dilakukan dengan baik diantara para pelaksana pelayanan penerbitan perijinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat salah satu penyebabnya dikarenakan adanya ketidak percayaan diantara mereka, kurangnya motivasi pimpinan, kurangnya perhatian pemerintah terhadap tugas tersebut. Berdasarkan pada hasil penelitian fenomena struktur organisasi pelaksana di atas, maka dapat disimpulkan bahwa telah ada pembentukan struktur organisasi pelaksana pelayanan penerbitan perijinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat sesuai dengan SOP dan juga petunjuk lapangan tentang pelayanan penerbitan perijinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat yang dikeluarkan oleh Kapolri.
11
Namun demikian dari hasil penelitian terungkap bahwa tidak semua pelaksana pelayanan penerbitan perijinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat mampu melakukan pembagian tugas, sehingga tugas kadang tidak mengerti oleh petugas dan kewenangannya
dalam
pelaksanaan
pelayanan
penerbitan
perijinan
dan
pemberitahuan kegiatan masyarakat. Demikian juga hasil penelitian menyimpulkan bahwa koordinasi tidak dilakukan dengan baik diantara para pelaksana pelayanan penerbitan perijinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat, salah satu penyebab dikarenakan adanya ketidak percayaan diantara mereka dan kurangnya anggaran pengembangan pelaksanaan kebijakan tersebut. E. Penutup Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, maka dalam penulisan tesis ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Secara umum pelaksanaan implementasi kebijakan Penerbitan Perijinan dan Pemberitahuan Kegiatan Masyarakat telah berjalan dengan baik. Namun demikian pelaksanaan kebijakan tersebut masih terdapat kendala. Kendala tersebut berhubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan dalam penerbitan ijin dan pemberitahuan kegiatan masyarakat oleh Satuan Intelijen Polrestabes Bandung. Beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan diantaranya adalah: (1) Faktor Komunikasi; (2) Faktor Sumber Daya ; (3) Faktor Disposisi; dan (4) Faktor Struktur Organisasi. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat diberikan saran-saran yang nantinya diharapkan dapat memperbaiki ataupun menyempurnakan pelaksanaan kebijakan penerbitan perijinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat di Kesatuan Intelijen Polrestabes Bandung dimasa yang akan datang. Saran-saran dimaksud adalah : Pertama. Sosialisasi terhadap kebijakan penerbitan perijinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat diberikan kepada masyarakat luas sehingga setelah memahami kebijakan penerbitan perijinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat, masyarakat juga akan lebih mudah untuk diajak berpartisipasi dalam pelaksanaan penerbitan perijinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat. Masyarakat dapat ikut melestarikan hasil pelaksanaan penerbitan perijinan
12
dan pemberitahuan kegiatan masyarakat serta ikut mengawasi proses kegiatan masyarakat sesuai dengan ketentuan yang ada. Kedua. Para pelaksana penerbitan perijinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat diberikan peningkatan pengetahuan melalui pendidikan dan latihan, khususnya yang menyangkut intelijen dan pelayanan masyarakat. sedangkan untuk mempercepat pelayanan penerbitan perijinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat serta mengurangi kesalahan dalam pembuatan dokumen, perlu dibangunnya sistem aplikasi komputer yang memungkinkan akurasi dan kecepatan data. Ketiga. Kegiatan penerbitan perijinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat dilaksanakan oleh petugas khusus. hal ini diharapkan akan memberikan kesadaran pada masyarakat bahwa penerbitan perijinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat untuk kepentingan masyarakat dan bersifat transfaransi. Keempat. Perlu adanya pengaturan yang jelas mengenai kedudukan, tugas dan fungsi dari Kesatuan Intelijen, yang menangani khusus kegiatan masyarakat yang dituangkan dalam SOP dan Juklap yang jelas dan mudah dimengerti. Sehingga itu tidak diartikan sebagai ”second line” yaitu jika dibutuhkan akan dipakai, namun jika tidak dibutuhkan hanya akan dipakai sebagai ” lembaga konspirasi ” untuk menjaga kepentingan politik lembaga. Dalam rangka penyelenggaraan kebijakan pengamanan dan ketertiban masyarakat sebagai satu kesatuan dalam system pelayanan kepolisian terhadap masyarakat. Diharapkan semua program yang disusun dan dilaksanakan dapat tepat sasaran. DAFTAR PUSTAKA Abdul Wahab, Solichin, 1990, Pengantar Analisis Kebijakan Negara, Rineka Cipta,. Jakarta. Edward III, George C., 1980. Implementing Public Policy. Englewood Cliffts, N.J. Printice Hall Inc. Gibson, Organisasi dan Manaiemen. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1994. Koesoemaatmadja. 1979. Pengantar ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia. Jakarta: Bian Cipta. Kunarto 1997. Perilaku Organisasi Polri. Cipta Manunggal hal. 111
13
Parsons, Wayne, 2008. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Kencana: Jakarta; hlm. 467- 47 S.B. Merriam, (1988), Case Study Research in Education: a Qualitative Approach, (San Francisco: Jossey-Bass Publishers; hlm. 18). Sarwono. S.W. 1997. Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka. Hal: 313) Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU RI No.2 Tahun 2002. Sinar Grafika, Jakarta, 2003. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, Petunjuk Lapangan Nopol : Juklap/02/XII/1995, Jakarta, 29 Desember 1995. Kepolisian Negara Republik Indonesia, Peraturan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat, No.Pol. 05 Tahun 2008. Mekanisme Perijinan dan Pmeberitahuan Kegiatan Masyarakat, Bandung, 21 April 2008. Diktat Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Jawa Barat, Tentang Peraturan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat, No. Pol. 05 Tahun 2008. Bandung 21 April 2008, Diktat dan Makalah dari Kepolisian Republik Indonesia tentang Perijinan dan Pemberitahuan Kegiatan Masyarkat.Mabes Polri, Jakarta Drs. Timur Pradopo, Revitalisasi Polri menuju pelayanan prima guna meningkatkan kepercayaan masyarakat, Uji Kelayakan Calon Kapolri di hadapan Komisi III DPR RI, Jakarta 14 Oktober 2010
14