A. Latar Belakang Gangguan jiwa yang terjadi di era globalisasi dan persaingan bebas cenderung meningkat. Peristiwa kehidupan yang penuh tekanan seperti kehilangan orang yang dicintai, putusnya hubungan sosial, pengangguran, masalah dalam pernikahan, kesulitan ekonomi, tekanan di pekerjaan dan deskriminasi meningkatkan resiko penderita gangguan jiwa. Peningkatan angka penderita gangguan jiwa akan terus menjadi masalah dan tantangan bagi tenaga kesehatan. Sumberdaya manusia yang berkualitas sangat diharapkan untuk mengatasi hal tersebut (Suliswati dkk, 2005). Menurut UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan, dalam pasal 25 disebutkan bahwa pemerintah mempunyai tugas dalam membantu dan membina masyarakat dalam pencegahan serta penanggulangan masalah psikososial dan gangguan jiwa. Selain itu, pemerintah juga mempunyai tugas dalam pengobatan, perawatan serta penyaluran penderita gangguan jiwa ke dalam masyarakat. Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (DEPKES RI, 2008) gangguan jiwa saat ini telah menjadi masalah kesehatan global bagi setiap negara tidak hanya di Indonesia saja. Gangguan jiwa yang dimaksud tidak hanya gangguan jiwa psikotik/skizofrenia, tetapi kecemasan, depresi dan penggunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (NAPZA) juga menjadi masalah kesehatan jiwa. Prevalensi penderita Skizofrenia di Indonesia adalah 0,3% sampai 1%, dan terbanyak
pada usia sekitar 18-45 tahun, terdapat juga beberapa penderita yang mengalami pada umur 11±12 tahun. Apabila penduduk Indonesia 200 juta jiwa, maka sekitar 2 juta jiwa yang menderita Skizofrenia (Arif, 2006). Menurut Riskesdas (2007), di provinsi DIY jumlah penderita gangguan jiwa berat adalah 0,4% sampai 0,5%. Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosa Gangguan Jiwa-III (PPDGJIII) Skizofrenia merupakan suatu sindrom yang disebabkan oleh bermacam penyebab yang ditandai dengan penyimpangan pikiran dan persepsi serta afek yang tidak wajar. Pasien dengan diagnosis Skizofrenia akan mengalami kemunduran dalam kehidupan sehari-hari, hal ini ditandai dengan hilangnya motivasi dan tanggung jawab. Selain itu pasien cenderung apatis, menghindari kegiatan dan mengalami gangguan dalam penampilan. Pasien Skizofrenia akan mengalami gangguan dalam memenuhi tuntutan hidup sehari-hari seperti kebersihan diri (Stuart and Laraira, 2007). Pemenuhan kebutuhan dasar ini pada penderita gangguan jiwa tidak begitu diperhatikan, padahal apabila pemenuhan kebutuhan dasar, khususnya kebersihan diri tidak terpenuhi dengan baik maka fungsi kehidupan manusia akan terganggu (Brunner and Sundarth, 2002). Penderita Skizofrenia yang mengalami gangguan dalam pemenuhan kebersihan diri akan cenderung memiliki harga diri rendah dan merasa bahwa dirinya tidak mampu serta tidak berharga. Seseorang yang mengalami gangguan harga diri akan menimbulkan gejala yang akan mempengaruhi kehidupan, seperti kerusakan interaksi sosial dan isolasi diri (Maramis, 2004). Menurut Suliswati, dkk (2005)
harga diri merupakan salah satu komponen dari konsep diri yang diperoleh dari diri sendiri dan orang lain yang dicintai, dihormati dan dihargai. Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisis seberapa banyak kesesuaian tingkah laku dengan ideal dirinya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Lelono pada tahun 2003 tentang hubungan antara harga diri rendah dengan menarik diri dan bunuh diri, didapatkan hasil ada hubungan yang bermakna antara harga diri rendah dengan menarik diri, serta ada hubungan yang bermakna antara harga diri rendah dengan kecenderungan bunuh diri. Terdapat beberapa terapi dan pengobatan yang dapat digunakan untuk mencegah gejala-gejala yang ditimbulkan penderita gangguan jiwa diantaranya adalah
psikofarmakoterapi,
terapi
elektrokonvulsi
dan
psikoterapi.
Psikofarmakoterapi cenderung mempunyai efek samping yang mempengaruhi keadaan fisik pasien, diantaranya hipotensi ortostatik, hipersalivasi, konstipasi, dan penurunan potensi seksual. Begitu pula dengan terapi elektrokonvulsi yang dapat menimbulkan apnea, sianosis, sakit kepala setelah terapi elektrokonvulsi selesai dilakukan. Sedangkan psikoterapi ialah suatu cara pengobatan terhadap emosional penderita gangguan jiwa yang dilakukan oleh seseorang yang terlatih dalam hubungan profesional, dengan maksud menghilangkan atau menghambat gejalagejala yang ditimbulkan penderita gangguan jiwa (Maramis, 2004). Salah satu psikoterapi yang dapat dilakukan untuk menangani gejala yang ditimbulkan pasien gangguan jiwa adalah terapi aktivitas kelompok. Menurut Keliat
dan Akemat (2005), terapi aktivitas kelompok adalah metode pengobatan untuk penderita gangguan jiwa yang dilakukan dalam rancangan waktu tertentu dengan tenaga yang memenuhi persyaratan tertentu. Terdapat penelitian yang dilakukan Wulansari (2010) menunjukkan terapi aktivitas kelompok pemenuhan kebutuhan dasar berpakaian dan berhias terhadap harga diri sangat bermakna terhadap klien gangguan jiwa. Penelitian tentang terapi aktivitas kelompok (TAK) sering dilakukan di rumah sakit jiwa, padahal penderita gangguan jiwa tidak hanya berada di rumah sakit jiwa saja, tetapi juga di dalam komunitas/masyarakat. Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas Kasihan II Bantul, pada tahun 2010 jumlah penderita gangguan jiwa berat/skizofrenia yang berada di wilayah kerjanya mencapai 159 pasien. Berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan dengan salah satu petugas puskesmas, ternyata tidak ada terapi khusus yang dilakukan oleh pihak puskesmas selain terapi obat± obatan/psikofarmakoterapi. Pasien gangguan jiwa yang berada di wilayah tersebut, terdapat beberapa pasien yang mengalami defisit perawatan diri, sehingga pasien terlihat kotor, kebersihan diri kurang serta berpakaian buruk. Melihat fenomena tersebut, peneliti ingin mengetahui pengaruh
terapi
aktivitas kelompok kebersihan diri terhadap harga diri pasien Skizofrenia di wilayah kerja Puskesmas Kasihan II Bantul.
B. Rumusan Masalah %HUGDVDUNDQ ODWDUEHODNDQJGLDWDVUXPXVDQ PDVDODKSHQHOLWLDQ LQL DGDODK ³ Bagaimana pengaruh terapi aktivitas kelompok kebersihan diri terhadap harga diri pasien Skizofrenia di wilayah kerja Puskesmas Kasihan II Bantul ´
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Mengetahui pengaruh terapi aktivitas kelompok kebersihan diri terhadap harga diri pasien Skizofrenia di wilayah kerja Puskesmas Kasihan II Bantul. 2. Tujuan khusus a.
Mengetahui tingkat harga diri pasien Skizofrenia pada kelompok kontrol.
b.
Mengetahui tingkat harga diri pasien Skizofrenia pada kelompok intervensi.
c.
Mengetahui perbandingan antara tingkat harga diri pasien Skizofrenia pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol.
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi ilmu keperawatan Memberikan evidence based dalam pelaksanaan TAK kebersihan diri terhadap harga diri pasien Skizofrenia. 2. Bagi pasien Meningkatkan kepercayaan diri pasien serta keyakinan terhadap kemampuan diri untuk merawat kebersihan diri. 3. Bagi peneliti Menambah pengetahuan dan keterampilan peneliti dalam pelaksanaan TAK kebersihan diri pada pasien Skizofrenia. 4. Bagi puskesmas
Memberikan masukan dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat, khususnya pasien gangguan jiwa sehingga meningkatkan peran puskesmas.
E. Keaslian Penelitian Penelitian yang pernah dilakukan berkaitan dengan penelitian ini adalah : 1. Wulansari (2010) penelitian GHQJDQ MXGXO ³Pengaruh Terapi Aktifitas Kelompok Kebutuhan Dasar Berpakaian dan Berhias terhadap Harga Diri Pasien *DQJJXDQ -LZD GL 56 *UKDVLD 3URYLQVL ',<´, jenis penelitian ini adalah penelitian Quasi eksperiment yang menggunakan rancangan pretest-postest control group design dengan metode sampling berupa purposive sampling. Hasilnya adalah pada kelompok intervensi tampak adanya pengaruh TAK Kebutuhan Dasar terhadap harga diri pasien gangguan jiwa. Persamaan penelitian adalah ada nya TAK yang diberikan kepada pasien dan pengaruh TAK terhadap harga diri pasien. Adapun perbedaanya,
TAK yang diberikan pada
penelitian tersebut adalah TAK kebutuhan dasar, sedangkan penelitian
ini pengaruh TAK kebersihan diri terhadap harga diri pasien Skizofrenia. Selain itu, perbedaan yang lainnya adalah lokasi penelitian yang dilakukan pada penelitian tersebut adalah di RS Grhasia, sedangkan pada penelitian ini lokasinya berada di komunitas. 2. Suryaningsih, V (2007) penelitian dengan judXO ´ 3HQJDUXK 7HUDSL Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi Halusinasi terhadap Frekuensi Halusinasi di Ruang P2A RS Grhasia PURSLQVL ',< ´ 3HQHOLWLDQ LQL merupakan penelitian quasi eksperimental dengan menggunakan rancangan pretest-postest one group design menggunakan uji non parametrik Wilcoxon Signed Rank Test. Hasilnya adalah terdapat pengaruh yang bermakna antara pelaksanaan TAK stimulasi persepsi halusinasi terhadap frekuensi halusinasi di RS Grhasia Propinsi DIY. Persamaan penelitian ini adalah adanya TAK yang diberikan kepada pasien gangguan jiwa. Perbedaanya adalah penelitian ini tentang TAK persepsi halusinasi dan lokasi penelitian di RS Grhasia sedangkan penelitian yang dilakukan peneliti merupakan TAK Kebersihan Diri dan lokasi penelitian berada di komunitas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA