FENOMENA CULTURE SHOCK (GEGAR BUDAYA) PADA MAHASISWA PERANTAUAN DI YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Disusun oleh : MARSHELLENA DEVINTA 08413244004
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI JURUSAN PENDIDIKAN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2015
MOTTO
“Lepaskan masa lalu tanpa penyesalan namun jadikan pelajaran,
MOTTO “Lepaskan masa lalu tanpa penyesalan namun jadikan pelajaran, Hadapi hari ini dengan tegar dan percaya diri, Siapkan masa depan dengan rencana yang matang tanpa ada rasa khawatir”
(Hary Tanoesoedibjo “Ada dua cara untuk menghadapi kesulitan, mengubah kesulitan itu atau mengubah diri sendiri untuk menghadapinya”
(Phyllis Bottome)
“Jangan patah semangat walau apapun yang terjadi, karena jika kita menyerah maka habislah sudah”
(Tom)
“Seringkali, pekerjaan terlihat sangatlah sulit untuk dilakukan. Mengeluhlah karena itu manusiawi, hanya saja jangan nyaman dengannya”
(Doni Hermawan)
“We shall not cease from exploration And the end of all exploring Will be to arrive where we started And know the place for the first time”
(T.S. Elliot)
“Jangan terlalu larut dalam kesedihanmu, karena jika kamu terlalu larut dalam kesedihanmu sesungguhnya kamu hanya akan bersedih sendirian”
(Penulis)
PERSEMBAHAN
Puji syukur Alhamdulillah ke hadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas segala rahmat yang telah diberikan-Nya, sehingga skripsi ini akhirnya dapat terselesaikan. Dengan penuh ketulusan dan rasa hormat, kupersembahkan skripsi ini kepada kedua orang tua ku, Bapak Agus Waryanto dan Ibuku Siti Lungwiati tercinta, terimakasih atas doa tulus yang tidak pernah padam menyertai langkahku, dukungan yang tidak pernah berhenti, kasih sayang dan cinta kasih yang tidak pernah surut dalam membimbingku serta nasihat untuk meluruskan jalanku akan selalu menjadi motivasi dalam menggapai cita. Kubingkiskan untuk Adikku satu-satunya Dinda Imaniska dan keponakan pertamaku Banu Mahardika yang memberikan semangat dalam warna-warni hidupku. Terimakasih karena canda, tawa, tangis, amarah, kebersamaan dan senyum tulus kalianlah yang memompa niatku untuk terus menjadi lebih baik. Semoga semua cita-cita kita tercapai. Aamiin. Karya ini juga kubingkiskan untuk Doni Hermawan, seseorang yang mengisi hati serta hariku dengan ketulusan, kesabaran dan kebahagiaan. Terimakasih telah hadir, memberikan motivasi dalam menjalani hidupku dan tidak bosan selalu memberikanku semangat untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Untuk teman-teman angkatanku Pendidikan Sosiologi 2008, terimakasih atas masa kebersamaan yang telah kalian berikan. Kini saya datang meyusul kalian untuk berjuang menggapai cita-cita karena ternyata perjalanan memang masih panjang membentang.
KATA PENGANTAR Assalamu „alaikum wr.wb., Puji syukur Alhamdulillah saya panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, hidayah dan inayah-NYA. Shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW, yang menjadi suri tauladan sepanjang jaman. Hanya atas petunjuk-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi yang berjudul “Fenomena Culture Shock (Gegar Budaya) Pada Mahasiswa Perantauan Di Yogyakarta” sebagai salah satu persyaratan guna memperoleh gelar sarjana pendidikan pada Program Studi Pendidikan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta. Penulis menyadari bahwa keberhasilan penyusunan hingga terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari kerjasama, bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini dengan tidak mengurangi rasa hormat penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Bapak Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., M.A, selaku Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang berkenan memberi kesempatan bagi saya untuk menimba ilmu di Universitas Negeri Yogyakarta beserta fasilitas yang telah disediakan.
2.
Bapak Prof. Dr. Ajat Sudrajat, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan izin untuk penelitian.
3.
Bapak Grendi Hendrastomo, S. Sos., MA., MM., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta
yang telah memberikan izin serta mengesahkan skripsi ini untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana (Strata-1). 4.
Ibu Poerwanti Hadi Pratiwi, M. Si., selaku Ketua Penguji yang telah berkenan meluangkan waktunya untuk memberikan kritik yang membangun, masukan berharga dan mengujikan untuk kesempurnaan skripsi ini.
5.
Ibu V Indah Sri Pinasti, M.Si., selaku Dosen Narasumber dan Penguji Utama yang telah berkenan meluangkan waktunya untuk memberikan kritik, masukan berharga dan mengujikan untuk kesempurnaan skripsi ini.
6.
Ibu Nur Hidayah, M.Si., selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktu memberikan bimbingan, arahan dan saran kepada penulis mulai tahap awal hingga terselesaikannya penyusunan skripsi ini.
7.
Bapak Grendi Hendrastomo, MM., MA., selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu memberikan bimbingan, arahan dan saran kepada penulis mulai tahap awal hingga terselesaikannya penyusunan skripsi ini.
8.
Bapak dan Ibu dosen yang mengajar di Jurusan Pendidikan Sosiologi Prodi Pendidikan Sosiologi yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang bermanfaat bagi penulis selama berkuliah di Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta.
9.
Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang telah memberikan izin penelitian sehingga penelitian dapat terlaksana dengan baik.
10. Walikota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang telah memberikan izin penelitian sehingga penelitian dapat terlaksana dengan baik.
11. Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
yang telah memberikan izin penelitian serta
memberikan data-data mahasiswa perantau di Yogyakarta tahun akademik 2015 sehingga penelitian dapat terlaksana dengan baik dan lancar. 12. Para mahasiswa perantauan di Yogyakarta yang telah banyak memberikan informasi sehingga dapat terlaksana penelitian dan tersusunnya skripsi dengan baik dan lancar. 13. Kedua orang tuaku tercinta yang tidak pernah berhenti selalu mengejar janji terselesaikannya skripsi ini dalam suasana apapun, sehingga pada akhirnya saya dapat menyelesaikan skripsi ini jua. 14. Sahabat seperjuanganku di Pendidikan Sosiologi Non-Reguler 2008, Nia Budi Lestari dan Pri Rohmawati yang telah banyak membantu memberikan bantuan, dukungan serta semangat, terimakasih untuk semuanya. 15. Teman-teman Kost Mbak Kondang-Mbak Mull Gejayan CC XII/ 87a Soropadan, Mbak Funny, Ganita, Afrilia, Watik, Mbak Ina, Mbak Vicha, Mbak Nana, Mbak Intan dan semua yang selalu memotivasi saya menyelesaikan skripsi. 16. Teman-teman parkiran Gedung Kampus Fakultas Ilmu Sosial Mas Adit dan Mas Galih yang membantu mencarikan narasumber Program Kerja sama Daerah. 17. Teman-teman Jurusan Pendidikan Sosiologi angkatan 2008 yang telah memberikan masa kebersamaan selama menempuh masa akademik yang tidak pernah akan terlupakan.
FENOMENA CULTURE SHOCK (GEGAR BUDAYA) PADA MAHASISWA PERANTAUAN DI YOGYAKARTA Disusun oleh: MARSHELLENA DEVINTA 08413244004 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Untuk mendeskripsikan penyebab yang melatarbelakangi proses terjadinya culture shock pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta, (2) Untuk mendeskripsikan dampak culture shock pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta. Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Sumber data yang diperoleh melalui kata-kata dan tindakan, sumber tertulis serta foto. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara, observasi dan dokumentasi. Subjek dalam penelitian ini adalah delapan orang informan mahasiswa perantau dari luar Jawa yang terdiri dari empat orang informan mahasiswa perantau semester awal dan empat orang informan mahasiswa perantau semester lanjut. Teknik pemilihan informan yang digunakan adalah teknik purposive sampling. Teknik validitas data menggunakan teknik triangulasi sumber. Teknik analisis data menggunakan model analisis interaktif yang terdiri dari pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyebab yang melatarbelakangi proses terjadinya culture shock pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta terbagi atas penyebab internal dan eksternal. Culture shock yang terjadi pada setiap individu memiliki gejala dan reaksi dalam bentuk stress mental maupun fisik yang berbeda-beda mengenai sejauhmana culture shock mempengaruhi kehidupannya. Pengalaman culture shock bersifat normal terjadi pada mahasiswa perantauan yang memulai kehidupannya di daerah baru dengan situasi dan kondisi budaya yang berbeda dengan daerah asalnya. Empat fase dalam culture shock yaitu fase optimistik (fase pertama), masalah kultural (fase kedua), fase recovery (fase ketiga) dan fase penyesuaian (fase terakhir). Dampak culture shock pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta terdapat pada fase terakhir dalam culture shock yang ditunjukkan dengan adanya tindakan adaptasi budaya yang diaplikasikan oleh mahasiswa perantauan di Yogyakarta sebagai tempat rantauan. Kata Kunci: Mahasiswa Perantauan, Culture Shock, Adaptasi Budaya
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .......................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN .......................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iii HALAMAN PERNYATAAN ......................................................................... iv MOTTO ...........................................................................................................
v
PERSEMBAHAN ............................................................................................ vi KATA PENGANTAR ..................................................................................... vii ABSTRAK .......................................................................................................
xi
DAFTAR ISI .................................................................................................... xii DAFTAR BAGAN ........................................................................................... xv DAFTAR TABEL ........................................................................................... xvi DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xvii
BAB I. PENDAHULUAN ...............................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................
1
B. Identifikasi Masalah ..............................................................................
7
C. Batasan Masalah ...................................................................................
7
D. Rumusan Masalah .................................................................................
8
E. Tujuan Penelitian ..................................................................................
8
F.
8
Manfaat Penelitian ................................................................................
BAB II. KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR........................... 12 A. Kajian Pustaka ....................................................................................... 12 1. Culture Shock .................................................................................. 12 a. Pengertian Culture Shock…....................................................... 12 b. Penyebab Culture Shock….......................................................
12
c. Gejala Culture Shock................................................................. 13 d. Fase Terjadinya Culture Shock.................................................. 15
2. Adaptasi…………………………………………………………... 17 3. Sosialisasi…………………………………………………………. 19 a. Pengertian Sosialisasi…………………………………………. 19 b. Tujuan Sosialisasi…………………………………………….. 20 4. Komunikasi Bahasa……………………………………………….. 22 5. Budaya dan Masyarakat…………………………………………... 23 6. Mahasiswa........................................................................................ 25 7. Perantau dan Merantau………......................................................... 25 a. Pengertian Perantau.................................................................... 25 b. Pengertian Merantau..........................................................…… 26 B. Penelitian yang Relevan……………………………………….……… 27 C. Kerangka Pikir…………………………………………………...…… 31
BAB III. METODE PENELITIAN ............................................................... 34 A. Lokasi dan Subyek Penelitian……………………………………...…. 34 B. Waktu Penelitian ................................................................................... 34 C. Metode Penelitian ................................................................................. 34 D. Sumber Data Penelitian.......................................................................... 36 1. Sumber Data Primer ........................................................................ 36 2. Sumber Data Sekunder .................................................................... 37 E. Teknik Pengumpulan Data .................................................................... 38 1. Pengumpulan Data dengan Observasi…………………………...... 38 2. Pengumpulan Data dengan Wawancara…………………………... 39 3. Pengumpulan Data dengan Dokumentasi………………………… 40 F.
Teknik Pengambilan Sampel………………………………………….
41
G. Validitas Data…………………………………………………………. 44 H. Teknik Analisa Data…………………………………………………... 46 1. Pengumpulan Data………………………………………………
46
2. Reduksi Data……………………………………………………… 47 3. Penyajian Data……………………………………………………. 48
4. Penarikan Kesimpulan……………………………………………. 49
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…........................... 51 A. Deskripsi Data…………………………………………...…………..... 51 1. Deskripsi Umum D.I. Yogyakarta ……………...…...…………… 51 a. Karakter Sosial Budaya Yogyakarta…………………………… 55 b. Mahasiswa Perantauan di Yogyakarta…………………………. 58 2. Deskripsi Umum Informan Penelitian………………….………… 62 B. Analisa dan Pembahasan. ……………………………………..……… 68 1. Penyebab yang Melatarbelakangi Proses Terjadinya Culture Shock Pada Mahasiswa Perantauan Di Yogyakarta………………. 68 2. Dampak Culture Shock………………………………………........ 103 C. Pokok-Pokok Temuan……………………………………………........ 113
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 116 A. Kesimpulan ........................................................................................... 116 B. Saran ...................................................................................................... 118
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 122 LAMPIRAN ..................................................................................................... 125
DAFTAR BAGAN 1. Kerangka Pikir....................................................................................
33
2. Komponen-komponen Analisis data Miles dan Huberman…………
50
DAFTAR TABEL 1. Gejala dan Reaksi Culture Shock Pedersen…………………………………
15
2. Jumlah Mahasiswa Perantauan Di Yogyakarta Berdasarkan Asal Daerah tahun Ajaran 2015……………..………………………………..
60
3. Perbedaan Culture Shock Yang Dialami Oleh Mahasiswa Perantauan Di Yogyakarta…………………………………………………………...
108
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Pedoman Observasi...................................................................................... 125 2. Pedoman Wawancara dengan Mahasiswa Perantauan Semester Awal Perkuliahan................................................................................................... 126 3. Pedoman Wawancara dengan Mahasiswa Perantauan Semester Tengah Perkuliahan................................................................................................... 129 4. Hasil Observasi............................................................................................ 132 5. Hasil Wawancara dengan Mahasiswa Perantauan Semester Awal Perkuliahan................................................................................................... 135 6. Hasil Wawancara dengan Mahasiswa Perantauan Semester Tengah Perkuliahan..............................................................................................…. 176 7. Tabel Koding................................................................................................ 227
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sebagian besar mahasiswa identik dengan perantau, lokasi universitas yang tersebar di kota-kota besar Indonesia dengan tingkat kualitas berbedabeda memunculkan pandangan berbeda pada masing-masing calon mahasiswa
dalam
menentukan
pilihan
universitas.
Bercampurnya
mahasiswa dengan identitas budaya yang berbeda-beda dalam suatu daerah bukanlah hal baru yang terjadi di Indonesia. Hal tersebut disebabkan oleh tingginya tingkat gerak sosial geografis oleh seorang individu atau kelompok individu di atas kemajemukan budaya, suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat dan sebagainya yang terdapat di Indonesia, sehingga sangat memungkinkan terjadinya kontak budaya diantara penduduk Indonesia. Mengingat beragamnya budaya menimbulkan perbedaan budaya yang ada antara satu budaya dengan budaya lainnya di tanah air Indonesia, maka tidak heran jika potensi terjadinya kekagetan budaya di antara para individu perantau yang tinggal di suatu daerah baru juga akan semakin besar. Dalam konteks tersebut secara umum kekagetan budaya terjadi akibat ketidaksiapan individu menghadapi perbedaan budaya yang dikenal dengan istilah culture shock (gegar budaya), yang ditunjukkan pada tahap awal kehidupannya di tempat rantauan ia akan mengalami suatu problem ketidaknyamanan terhadap lingkungan barunya yang kemudian akan berpengaruh baik secara fisik maupun emosional sebagai reaksi ketika
berpindah dan hidup dengan lingkungan baru terutama yang memiliki kondisi budaya berbeda. Ketika nilai-nilai budaya baru tersebut terasa berbeda dengan nilai-nilai budaya yang dimiliki, sebagai dampaknya individu pasti akan merasa sangat terganggu karenanya. Budaya yang baru dapat berpotensi menimbulkan tekanan, karena memahami dan menerima nilai-nilai budaya lain bukanlah hal yang instan serta menjadi sesuatu hal yang tidak dapat sepenuhnya berjalan dengan mudah. Konsep culture shock (gegar budaya) pertama kali diperkenalkan oleh antropologis bernama Oberg pada tahun 1960 untuk menggambarkan respon yang mendalam dan negatif dari depresi, frustasi, dan disorientasi yang dialami oleh individu-individu yang hidup dalam suatu lingkungan budaya yang baru (dikutip dari Dayakisni, 2012: 265). Yogyakarta adalah salah satu propinsi yang terletak di pulau Jawa yang juga merupakan salah satu kota tujuan pendidikan yang banyak menarik minat para perantau untuk datang dan melanjutkan pendidikan ke berbagai perguruan tinggi yang terdapat di kota Yogyakarta. Hal ini ditinjau dari hampir setiap tahunnya puluhan universitas yang tersebar di wilayah Yogyakarta dipenuhi oleh para pelajar yang berasal dari luar kota, luar propinsi atau bahkan luar negeri dengan motif tujuan yang sama yaitu untuk menuntut ilmu dan meneruskan studinya ke jenjang yang lebih tinggi, baik jenjang diploma maupun jenjang sarjana dari S1, S2, hingga S3. Semakin banyak mahasiswa perantau yang datang untuk menuntut ilmu di Yogyakarta menyebabkan dinamika pelajar yang juga semakin tinggi karena
di sanalah pertemuan emosional kolektif putera puteri Indonesia dari Sabang hingga Merauke diatas “Bhineka Tunggal Ika” yang diwujudkan dengan niat menuntut ilmu diberbagai perguruan tinggi Yogyakarta. Para pelajar rantauan inilah awal mula terbentuknya keanekaragaman budaya dan memunculkan nuansa multikultural yang ada di kota Yogyakarta baik di lingkungan tempat-tempat perguruan tinggi hingga lingkungan tempat tinggal sementara (seperti kos) para mahasiswa perantau tersebut. Sehingga tidak heran jika di lingkungan sosial kampus terlebih di kota Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar miniaturnya Indonesia ini akan kita temui sejumlah mahasiswa yang memiliki latar belakang budaya berbeda dengan karakternya masing-masing yang mencerminkan kekhasan budaya dari mana individu itu berasal. Selain kota pelajar, Yogyakarta juga dikenal sebagai kota budaya yang kental dengan budaya Jawa dan masyarakatnya yang menjunjung tinggi adat istiadat Jawa dalam tata perilaku mereka sehari-hari berupa tata krama, unggah-ungguh, nilai-norma, misalnya saja dari segi bahasa, sebagian besar masyarakat Yogyakarta menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa seharihari yang terkenal sopan, halus serta bernada rendah. Sedangkan mahasiswamahasiswa perantau yang memilih berkuliah di Yogyakarta memiliki karakteristik sosial budaya yang tentu saja berbeda dengan kondisi sosial budaya kota Yogyakarta. Sehingga kondisi multikultural yang ada diantara mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa maupun dengan penduduk pribumi sebagai tuan rumah baik itu adalah teman kuliah, dosen, maupun
warga kampung daerah tempat tinggal kosnya, ini tentunya dapat menimbulkan reaksi psikis berupa kekagetan budaya yang biasanya diikuti dengan munculnya hal-hal tidak menyenangkan yang disebabkan oleh perbedaan-perbedaan sosial budaya diantara mereka yang dipertemukan dalam satu tempat yang sama yaitu Yogyakarta. Budaya merupakan alat perekat dalam suatu komunitas (Tilaar, 2004: 82). Pada hakekatnnya hal inilah yang menjadi salah satu wahana efektif bagi masyarakat dalam bersosialisasi dan berinteraksi dengan berbagai individu yang berbeda budaya untuk saling mengenal satu sama lain. Akan tetapi hal tersebut tidak dapat begitu saja berlaku pada mahasiswa perantau yang baru memasuki tahap awal kehidupannya di Yogyakarta sebagai tempat rantauan. Berada di lingkungan baru yang asing menghadapkan mahasiswa perantau pada suatu permasalahan sosial-psikologis yang harus mereka lalui terlebih dahulu sebagai proses adaptasi terhadap tempat rantauan, karena suasana multikultural diantara mahasiswa perantau di Yogyakarta, serta kondisi sosial budaya penduduk pribumi Yogyakarta sebagai tuan rumah di tempat rantauan ternyata dapat menimbulkan kekagetan budaya (culture shock) yang terjadi akibat ketidaksiapan individu perantau yang berpindah dari suatu budaya asal kebudaya baru dengan segala perbedaan yang ada didalamnya. Adanya perbedaan latarbelakang budaya beserta karakter diantara mahasiswa perantau dengan individu-individu tuan rumah tersebut tentunya akan melahirkan perbedaan-perbedaan dalam beberapa hal kehidupan,
perbedaan-perbedaan tersebut dapat berpotensi sebagai modal budaya jika mengarah pada persatuan (intergrasi) atau asosiatif, jika terjalin suatu hubungan dan kerja sama yang baik antara mahasiswa perantauan dari suatu daerah tertentu dengan teman kampus sesama mahasiswa yang berstatus pribumi Yogyakarta maupun antara mahasiswa perantauan dengan masyarakat pribumi Yogyakarta. Namun fenomena culture shock yang dialami oleh mahasiswa perantauan yang baru memasuki tahap awal kehidupannya dilingkungan baru sebagai reaksi menemukan perbedaan tersebut dapat juga berpotensi menjadi sumber kekacauan, seperti enggan melakukan interaksi, prasangka negatif, dan keraguan berinteraksi antar budaya yang rentan akan suatu tindakan stereotip (pencitraan yang buruk) terhadap kebudayaan baru hingga timbulnya paham etnosentris pada diri individu mahasiswa perantau dengan memandang rendah budaya tuan rumah di tempat rantauanya, perpecahan (disintegrasi) atau disasosiatif dan mengarah pada pertentangan atau konflik apabila proses sosialisasi dari adaptasi budaya tidak berjalan lancar. Dapat dikatakan bahwa dari culture shock yang dialami oleh mahasiswa perantauan bahkan dapat menimbulkan masalah sosial akibat adanya perbedaan kebudayaan antara mahasiswa perantauan dengan teman kampus sesama mahasiswa yang berstatus pribumi Yogyakarta maupun antara mahasiswa perantauan dengan masyarakat pribumi Yogyakarta dan akan menjadi negatif menyangkut kerugian fisik, psikologis serta sosial jika culture shock (gegar budaya) tidak teratasi. Kesuksesan bersosialisasi dari
adaptasi budaya yang akan individu lakukan terhadap lingkungan sosiokultural barunya ini merupakan tantangan atau permasalahan tersendiri dalam mengusahakan penyesuaian diri yang baik terhadap lingkungan barunya. Tidak jarang pada bulan-bulan pertamanya sebagai proses dari gegar budaya mahasiswa perantauan ini akan rentan merasa gagal menyesuaikan diri, jenuh, tidak nyaman dengan keadaan di tempat rantauan, akibatnya mereka mengalami gegar budaya, kepanikan, kecemasan, hilangnya rasa percaya diri, daya tahan tubuh mengurang sehingga mudah terserang penyakit ringan seperti flu, demam dan diare, bahkan stres hingga depresi yang akhirnya menimbulkan rasa ingin selalu cepat pulang kekampung halamannya yang dapat mengganggu konsentrasi berkuliah sebagai tujuan utamanya merantau. Dari uraian-uraian diatas, fenomena culture shock (gegar budaya) yang terjadi pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta ternyata sangat menarik untuk diamati dan diteliti lebih intensif guna mendapatkan suatu temuan sosial yang bermanfaat. Tulisan ini bertujuan untuk dapat memberikan gambaran tentang fenomena culture shock mengenai penyebab yang melatarbelakangi, gejala hingga reaksi dan dampak culture shock yang terjadi pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta. Peneliti berharap melalui tulisan ini pembaca dapat memetik manfaat untuk membantu diri sendiri ataupun orang lain agar terhindar dari culture shock, ataupun mampu mengatasi culture shock saat berada di lingkungan budaya yang berbeda. Selain itu, tulisan ini juga merupakan usaha untuk menambahkan minimnya
literatur
mengenai
fenomena
culture
shock
di
Indonesia.
Bila
memungkinkan tulisan ini juga diharapkan dapat membuka minat dan wawasan bagi pembacanya untuk membahas permasalahan mengenai fenomena culture shock atas peluang-peluang riset yang mungkin akan dilakukan di masa mendatang. B. Identifikasi Masalah dan Pembatasan Masalah 1. Identifikasi Masalah Berdasarkan
latar
belakang
masalah
tersebut
maka
dapat
diidentifikasikan beberapa masalah sebagai berikut : a. Sebagian besar mahasiswa identik dengan perantau. b. Adanya perbedaan latarbelakang budaya diantara para mahasiswa perantauan dengan penduduk asli Yogyakarta. c. Pengalaman lintas budaya menghadapkan mahasiswa perantau pada fenomena culture shock yang akan dialaminya di tanah rantauan. d. Fenomena
culture
shock
menimbulkan
masalah
psikis
yang
mengganggu bagi mahasiswa perantau asal luar Jawa di Yogyakarta. e. Adanya penyebab yang melatarbelakangi terjadinya gegar budaya pada mahasiswa perantau asal luar Jawa di Yogyakarta. f. Bagi mahasiswa perantau culture shock harus segera diatasi untuk membiasakan diri terhadap segala perbedaan sosial budaya sebagai pengalaman lintas budaya.
2. Batasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka dalam hal ini permasalahan yang dikaji perlu dibatasi. Pembatasan masalah dilakukan agar fokus penelitian menjadi jelas dan tidak terlalu luas, oleh karenanya untuk mempersempit area bahasan dalam penelitian ini maka peneliti membatasi kajian pada fenomena culture shock (gegar budaya) pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta. C. Rumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah diatas, maka rumusan masalah pada penelitian ini yaitu : 1. Apakah penyebab yang melatarbelakangi proses terjadinya culture shock pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta? 2. Bagaimana dampak culture shock pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta? D. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti dalam penelitian ini yaitu : 1. Untuk mendeskripsikan penyebab yang melatarbelakangi proses terjadinya culture shock pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta. 2. Untuk mendeskripsikan dampak culture shock pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta.
E. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, antara lain sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang berarti dan kontribusi serta wawasan baru bagi pengembangan ilmu pengetahuan sebagai hasil karya ilmiah mengenai fenomena culture shock (gegar budaya) pada
mahasiswa perantauan di
Yogyakarta. b. Dapat menjadi referensi untuk penelitian selanjutnya atau berguna untuk menambah informasi yang berhubungan dengan fenomena culture shock (gegar budaya) pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Universitas Negeri Yogyakarta Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah koleksi bacaan sehinga dapat digunakan sebagai sarana dalam menambah wawasan yang lebih luas. b. Bagi Pembaca Diharapkan
dapat
memberikan
tambahan
informasi
untuk
mengetahui permasalahan dan fenomena yang terjadi yaitu fenomena culture shock (gegar budaya) pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta.
c. Bagi Mahasiswa 1) Penelitian ini dapat dijadikan panduan atau bahan bacaan oleh mahasiswa baru yang akan berpindah dari lingkungan sekolah menengah ke lingkungan perguruan tinggi. 2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi, informasi dan menambah wawasan mahasiswa mengenai fenomena culture shock (gegar budaya) pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta untuk diteliti lebih lanjut. d. Bagi Peneliti 1) Penelitian ini dilaksanakan untuk menyelesaikan studi guna mendapatkan gelar Sarjana (S1) pada program studi Pendidikan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta. 2) Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai pengukur kemampuan peneliti dalam menemukan suatu fenomena atau permasalahan sosial yang terjadi dalam ruang lingkup masyarakat serta menganalisisnya.
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Pustaka 1. Culture Shock a. Pengertian Culture Shock Culture shock atau dalam bahasa Indonesia berarti gegar budaya, istilah yang digunakan untuk menggambarkan keadaan dan perasaan seseorang dalam menghadapi kondisi lingkungan sosial budaya baru yang berbeda. Konsep culture shock diperkenalkan oleh Oberg (1960) untuk menggambarkan respon yang mendalam dari depresi, frustasi dan disorientasi yang dialami oleh orang-orang yang hidup dalam suatu lingkungan budaya baru yang berbeda. Sementara Furnham dan Bochner (1970) mengatakan bahwa culture shock adalah ketika seseorang tidak mengenal kebiasaan-kebiasaan sosial dari kultur baru maka ia tidak dapat menampilkan perilaku yang sesuai dengan aturanaturan yang berlaku di lingkungan baru tersebut (dikutip dari Dayakisni, 2012: 265).
b. Penyebab Culture Shock Melalui konsep culture shock diperkenalkan oleh Oberg (1960) yang kemudian disempurnakan oleh Furnham dan Bochner (1970) menunjukkan bahwa culture shock terjadi biasanya dipicu oleh salah satu atau lebih dari tiga penyebab berikut ini, yaitu: 1) Kehilangan cues atau tanda-tanda yang dikenalnya. Padahal cues adalah bagian dari kehidupan sehari-hari seperti tanda-tanda, gerakan bagian-bagian tubuh (gestures), ekspresi wajah ataupun kebiasaan-kebiasaan yang dapat menceritakan kepada seseorang bagaimana
sebaiknya bertindak dalam situasi-situasi tertentu. 2) Putusnya komunikasi antar pribadi baik pada tingkat yang disadari yang mengarahkan pada frustasi dan kecemasan. Halangan bahasa adalah penyebab jelas dari gangguan ini. 3) Krisis identitas dengan pergi keluar daerahnya seseorang akan kembali mengevaluasi gambaran tentang dirinya (dikutip dari Dayakisni, 2012: 265). Culture shock dapat terjadi dalam lingkungan yang berbeda mengenai individu yang mengalami perpindahan dari satu daerah ke daerah lainnya dalam negerinya sendiri (intra-national) dan individu yang berpindah ke negeri lain untuk periode waktu lama (Dayakisni, 2012: 266). Oberg lebih lanjut menjelaskan bahwa hal-hal tersebut benar dipicu oleh kecemasan yang timbul akibat hilangnya tanda dan lambang hubungan sosial yang selama ini familiar dikenalnya dalam interaksi sosial, seperti petunjuk-petunjuk dalam bentuk kata-kata, isyarat-isyarat, ekspresi wajah, kebiasaan-kebiasaan, atau normanorma yang individu peroleh sepanjang perjalanan hidup sejak individu tersebut lahir (Mulyana, 2006:175). Ketika individu perantau memasuki suatu lingkungan budaya baru yang asing, semua atau hampir semua petunjuk-petunjuk ini menjadi samar atau bahkan lenyap, yang dapat di gambarkan individu ini bagaikan ikan yang keluar dari air. Meskipun individu tersebut berpikiran luas dan beritikad baik, individu tetap akan kehilangan pegangan, kemudian individu mengalami frustasi dengan gejala
maupun reaksi yang hampir sama diderita oleh individu yang terjangkit gegar budaya. Pertama-tama individu akan menolak lingkungan yang menyebabkan ketidaknyamanan hingga penyesalan diri. Lingkungan di kampung halaman sekarang terasa menjadi demikian penting. Semua kesulitan dan masalah yang dihadapi menjadi tekanan dan hanya hal-hal menyenangkan dikampung halamanlah yang diingat menjadi sangat dirindukan. Bagi individu perantau hanya pulang ke kampung halamannya yang akan membawanya kepada realitas. c. Gejala-Gejala dan Reaksi Culture Shock (Gegar Budaya) Secara umum, banyak definisi awal memfokuskan gegar budaya sebagai sindrom, keadaan rekatif dari patologi atau defisit spesifik: individu
pindah
ke
lingkungan
baru
yang
asing,
kemudian
mengembangkan gejala psikologis negatif dan beberapa gejala gegar budaya ini adalah buang air kecil, minum, makan serta tidur yang berlebih-lebihan; perasaan tidak berdaya lalu keinginan untuk terus bergantung pada individu-individu sebudayanya; marah/ mudah tersinggung karena hal-hal sepele; reaksi yang berlebih-lebihan terhadap penyakit-penyakit sepele; hingga akhirnya, keinginan yang memuncak untuk pulang ke kampung halaman (Mulyana, 2006:175). Gegar
budaya
banyak
menyebabkan
gangguan-gangguan
emosional, seperti depresi dan kecemasan yang dialami oleh pendatang baru. Pada tahap awal penyesuaian kebudayan baru, individu
pendatang akan mengalami masa terombang-ambing antara rasa marah dan depresi. Gegar budaya sebagai pengalaman belajar yang mencakup akuisisi dan pengembangan keterampilan, aturan, dan peran yang dibutuhkan dalam setting kultur yang baru. Gegar budaya juga sebagai hilangnya control seseorang saat ia berinteraksi dengan orang lain dengan kultur yang berbeda. Kehilangan kontrol umumnya memang menyebabkan kesulitan penyesuaian tetapi tidak selalu merupakan gangguan psikologis (Mulyana, 2006:176). Harry Triandis, seorang psikolog terkenal memandang gegar budaya sebagai hilangnya kontrol seseorang saat ia berinteraksi dengan orang lain dari kultur yang berbeda. Kehilangan kontrol umumnya memang menyebabkan kesulitan penyesuaian tetapi tidak selalu merupakan gangguan psikologis (Shiraev dan Levy, 2012: 443). Pedersen mengemukakan dalam salah satu teori gegar budaya melihat gegar ini sebagai penyesuaian awal kelingkungan baru atau asing yang diasosiasikan dengan perkembangan individu, pendidikan, dan bahkan pertumbuhan personal. Secara singkat bahwa segala bentuk stress mental maupun fisik yang dialami individu pendatang selama berada di lokasi asing disebut sebagai gejala culture shock, akan tetapi gejala culture shock yang terjadi pada setiap individu memiliki tingkatan atau kadar yang berbeda mengenai sejauhmana culture shock mempengaruhi kehidupannya. Ada beberapa gejala dan reaksi yang biasanya ditunjukkan individu saat mengalami culture shock dapat dilihat dari tabel berikut (Shiraev dan Levy, 2012: 444):
Gejala Gegar Budaya
1) Gegar budaya sebagai nostalgia.
2) Gegar budaya sebagai disorientasi dan hilangnya kontrol.
3) Gegar budaya sebagai ketidakpuasan atas hambatan bahasa. 4) Gegar budaya sebagai hilangnya kebiasaan dan gaya hidup.
5) Gegar budaya sebagai anggapan adanya perbedaan.
6) Gegar budaya sebagai anggapan adanya perbedaan nilai.
Deskripsi Reaksi Gegar Budaya Orang merasa rindu keluarga, kawan, dan pengalaman lain yang familiar. Hilangnya hal-hal yang familiar tentang perilaku orang lain. Disorientasi menimbulkan kecemasan, depresi, dan merasa putus asa. Kurangnya komunikasi atau sulitnya komunikasi bisa menimbulkan frustasi dan perasaan terasing. Individu tidak mampu melakukan banyak aktifitas yang sebelumnya ia nikmati : ini menyebabkan kecemasan dan perasaan kehilangan. Perbedaan antara budaya baru dengan budaya kampung halaman biasanya dilebih-lebihkan dan sulit diterima. Perbedaan ini biasanya dilebih-lebihkan: nilai-nilai baru tampaknya sulit diterima.
Tabel 1. Gejala dan reaksi culture shock (Pedersen dikutip dari Shiraev dan Levy, 2012: 444) d. Fase-fase Culture Shock (Gegar Budaya) Samovar menyatakan bahwa orang biasanya melewati empat tingkatan culture shock. Keempat tingkatan ini dapat digambarkan dalam bentuk kurva U, sehingga disebut U –
Curve. 1) Fase optimistik, fase pertama yang digambarkan berada pada bagian kiri atas dari kurva U. Fase ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan euforia sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru. 2) Masalah kultural, fase kedua di mana masalah dengan lingkungan baru mulai berkembang, misalnya karena kesulitan bahasa, system lalu lintas baru, sekolah baru, dan lain-lain. Fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Ini adalah periode krisis dalam culture shock. Orang menjadi bingung dan tercengang dengan sekitarnya, dan dapat menjadi frustasi dan mudah tersinggung, bersikap permusuhan, mudah marah, tidak sabaran, dan bahkan menjadi tidak kompeten. 3) Fase recovery, fase ketiga dimana orang mulai mengerti mengenai budaya barunya. Pada tahap ini, orang secara bertahap membuat penyesuaian dan perubahan dalam caranya menanggulangi budaya baru. Orang-orang dan peristiwa dalam lingkungan baru mulai dapat terprediksi dan tidak terlalu menekan. 1) Fase penyesuaian, fase terakhir, pada puncak kanan U, orang telah mengerti elemen kunci dari budaya barunya seperti nilai-nilai, adab khusus, pola komunikasi, keyakinan, dan lain-lain (Samovar, Richard dan Edwin, 2010: 169). Mahasiswa perantau yang notabene telah terbiasa menjalankan dan mengembangkan budayanya dalam kehidupan sehari-hari di daerah asalnya masing-masing, mereka akan saling berinteraksi satu sama lain setiap harinya dengan orang-orang yang mayoritas memiliki kebudayaan sama dan hidup bersama dalam satu daerah dalam kurun waktu yang lama. Keseluruhan cara hidup tersebut termasuk nilai-nilai, kepercayaan, standar estetika, ekspresi, linguistik/ bahasa, pola berpikir, nilai-norma, tata perilaku dan gaya komunikasi yang kesemuanya cara yang terjalin secara terus menerus
mengiringi kelangsungan hidup masyarakat dalam kelompok lingkungan fisik beserta lingkungan sosial suatu kebudayaannya. Akibatnya mahasiswa-mahasiswa perantauan tersebut terpelihara dan terbiasa dengan kebudayaan mereka sendiri, hingga tanpa disadari kemudian membentuk karakter dan menjadi ciri khas yang melekat pada diri masingmasing individu sejak ia lahir. Sehingga ketika mereka bermigrasi atau merantau secara tiba-tiba untuk kepentingan pendidikan berkuliah di Yogyakarta, memasuki budaya Yogyakarta yang berbeda dengan budaya asal sama saja dengan menghadapkan mahasiswa perantauan dengan situasi-situasi yang
berpotensi
menimbulkan
keterkejutan,
ketidaknyamanan
serta
kecemasan temporer tidak beralasan dalam diri individu yang berakibat pada terguncangnya konsep diri dan identitas budaya. Kondisi ini dapat menyebabkan sebagian besar mahasiswa perantauan mengalami gangguan mental dan fisik, setidaknya untuk jangka waktu tertentu. 2. Adaptasi (Penyesuaian Diri) Para mahasiswa perantau yang berkuliah di universitas-universitas yang tersebar di Yogyakarta secara tidak langsung dituntut untuk bisa berusaha menyesuaikan diri di lingkungan rantauannya yaitu Yogyakarta. Dalam kamus sosiologi menjelaskan beberapa pengertian adaptasi. a. Adaptation 1) Proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan. 2) Memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan lingkungan dan sistem 3) Proses perubahan untuk menyesuaikan dengan situasi yang berubah
4) Penyesuaian dari kelompok terhadap lingkungan 5) Penyesuaian pribadi terhadap lingkungan 6) Penyesuaian biologis atau budaya sebagai hasil seleksi alamiah. b. Adaptation, communal Proses penyesuaian dengan lingkungan yang terjadi sebagai akibat tidak langsung dari pengorganisasian penduduk. c. Adaptation, external Penyesuaian diri dari struktur sosial terhadap lingkungan sosial. d. Adaptation, genetic Penyesuaian pribadi terhadap lingkungan, sebagai akibat genotype. e. Adaptation, individual Penyesuaian pribadi terhadap lingkungan sebagai akibat langsung dari usaha pribadi, dan yang secara tidak langsung merupakan akibat kegiatan penduduk yang terorganisasikan. f. Adaptation, social Hubungan antara suatu kelompok atau lembaga dengan lingkungan fisik yang mendukung eksistensi kelompok atau lembaga tersebut (Soerjono Soekanto, 1985:9). Ward dan Kennedy (dikutip dari Dakyakisni, 2012:270) melakukan pendekatan melalui dua bentuk adaptasi. Pertama yaitu, Adaptasi sosiokultural, yang menunjukkan kemampuan untuk melakukan negosiasi interaksi dengan anggota-anggota budaya tuan rumah yang baru. Kedua yaitu, Adaptasi psikologis dipengaruhi oleh pusat kendali internal, beberapa perubahan kehidupan, kontak dengan teman sebangsa yang lebih banyak untuk mendapatkan dukungan sosial, dan kesulitan lebih rendah dalam pengelolaan kontak sosial sehari-hari. Sedangkan adaptasi sosiokultural meningkat dengan adanya tingkat perbedaan yang lebih rendah antara budaya tuan rumah dengan pendatang, interaksi yang lebih banyak dengan tuan rumah, ekstroversi dan tingkat gangguan mood yang lebih rendah.
Mahasiswa perantauan yang memasuki suatu situasi baru, selain menjadi mahasiswa juga harus menyesuaikan dengan budaya masyarakat setempat. Proses adaptasi akan dialami oleh setiap mahasiswa etnik pendatang. Dengan memasuki suatu kebudayaan baru yang tidak familiar, secara tidak langsung mereka juga dituntut berusaha untuk menyesuaikan bahkan mulai menerima sebagian budaya dari etnik budaya setempat melalui proses adaptasi. Mahasiswa perantauan dalam mengatasi fenomena culture shock di Yogyakarta salah satunya ialah dengan adaptasi (penyesuaian diri) dengan Yogyakarta yang kini sebagai lingkungan barunya baik lingkungan fisik dan lingkungan sosial budaya. Adaptasi berperan penting sebagai cara mengatasi stress, membatasi terjadinya stress, mengurangi atau menetralisasi pengaruhnya. 3. Sosialisasi a. Pengertian sosialisasi Pengertian sosialisasi menurut Peter Berger adalah suatu proses dimana seorang individu belajar menjadi seorang anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat (Idianto, 2004:115). Menurut David Goslin, sosialisasi adalah proses belajar yang dialami seseorang untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai dan norma agar ia berpartisipasi sebagai seorang anggota dalam kelompok masyarakatnya (Ihromi, 1990: 30). Secara sederhana sosialisasi dapat diartikan sebagai sebuah proses seumur hidup yang berkenaan dengan bagaimana individu berpikir mempelajari cara-cara hidup, nilai-norma sosial yang terdapat dalam suatu
kelompok agar ia dapat menyesuaikan diri dan mampu berkembang menjadi pribadi yang dapat diterima, berperan serta berfungsi dalam kelompoknya tersebut. Setelah memahami pengertian sosialisasi menurut beberapa ahli diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sosialisasi adalah proses yang dilalui oleh setiap individu dalam belajar tentang semua kebiasaan yang dimiliki oleh setiap manusia. Batasan mengenai sosialisasi yaitu proses dimana individu tersebut mempelajari kebiasaan sikap, ide-ide, pola-pola nilai dan tingkah laku di dalam masyarakat dimana individu tersebut hidup. b. Tujuan sosialisasi Tujuan pokok adanya sosialisasi bukan semata-mata agar kaidahkaidah dan nilai-nilai diketahui dan dimengerti. Tujuan akhir dari sosialisasi adalah agar manusia bersikap dan bertindak sesuai dengan kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku serta agar yang bersangkutan menghargainya (Soerjono Soekanto, 1990:442). Sosialisasi sebagai proses sosial mempunyai tujuan sebagai berikut: 1) Memberikan keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk melangsungkan kehidupan seseorang kelak ditengah-tengah masyarakat tempat dia menjadi salah satu anggotanya, 2) Menambah kemampuan berkomunikasi secara efektif dan efisien serta mengembangkan kemampuannya untuk membaca, menulis, dan bercerita, 3) Membantu pengendalian fungsi-fungsi organik yang dipelajari melalui latihan-latihan mawas diri yang tepat, 4) Membiasakan individu dengan nilai-nilai dan kepercayaan
pokok yang ada pada masyarakat (Idianto, 2004: 115).
Proses sosialisasi dan kesetiaan sosial akan berjalan secara simultan dan terjadi satu sama lain. Pengalaman serta pengaruh dari individu lain dapat mengubah seseorang individu menjadi pribadi sosial. Beberapa kasus menunjukkan bahwa individu yang mengalami isolasi sosial tidak dapat berkembang sebagai pribadi sosial yang normal. Proses sosial manusia berupa sifat ketergantungan antara individu satu dengan yang lain dan sifat manusia untuk mempelajari barbagai macam bentuk tingkah laku (Koentjaraningrat, 1980: 243). Proses belajar sosial merupakan proses yang berlangsung sepanjang hidup, yang berawal sejak individu dilahirkan hingga mati. Dalam proses ini, individu mendapatkan pengawasan, pembatasan/ hambatan dari individu lain atau masyarakat. Tetapi individu juga mendapatkan bimbingan, dorongan, stimulasi serta motivasi dari individu lain atau masyarakat. Jadi dalam suatu proses sosialisasi, individu bersikap reseptif dan
kreatif
terhadap
pengaruh
invidu
lain
atas
masyarakatnya
(Koentjaraningrat, 1980: 247). Berdasarkan pengertian diatas maka dapat dijabarkan mengenai batasan dari definisi sosialisasi, antara lain: 1)
2)
Sosialisasi ditempuh oleh seorang individu melalui proses belajar untuk memahami, menghayati, menyesuaikan dan melaksanakan tindakan sosial yang sesuai dengan pola perilaku masyarakatnya, Sosisalisasi ditempuh seorang individu secara bertahap dan berkesinambungan sejak ia dilahirkan hingga ia
3)
berakhir hayatnya, Sosialisasi erat sekali kaitannya dengan enkulturasi atau proses pembudayaan, yaitu proses belajar seorang individu untuk belajar, mengenal, menghayati, menyesuaikan alam pikiran serta sikap terhadap sistem adat, norma, bahasa, seni, agama, serta semua peraturan yang mengatur hidup seorang individu dalam lingkungan kebudayaan masyarakatnya (Koentjaraningrat, 1980: 249).
Teori sosialisasi menjadi salah satu konsep khusus terhadap terjadinya dinamika sosial yang sangat dibutuhkan untuk menganalisa secara ilmiah gejala-gejala serta kejadian-kejadian sosial budaya pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta sebagai proses-proses pergeseran masyarakat dan kebudayaan. Hal ini dikaitkan dalam culture shock disebabkan meski perbedaan budaya menjadi suatu kendala tersendiri bagi mahasiswa perantauan, namun tanpa disadari proses belajar kebudayaan akan tertuntun sendirinya secara alamiah dan tidak dapat dihindari sebagai naluri sosial oleh berjalannya waktu disamping usaha individu untuk tetap bertahan di tempat rantauan demi tujuan utamanya melanjutkan pendidikan. Pada dasarnya mahasiswa perantauan tetap saja seorang makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan saling membutuhkan satu sama lainnya untuk melangsungkan hidupnya di Yogyakarta. 4. Komunikasi Bahasa Luwig Wittgenstein mengatakan bahwa manusia akan mengikuti aturanaturan dalam mengerjakan sesuatu melalui bahasa seperti memberikan dan mentaati perintah, bertanya dan menjawab pertanyaan, serta menjelaskan
kejadian. Bahasa adalah salah satu alat yang digunakan oleh manusia untuk bekomunikasi dan memulai interaksi satu dengan yang lainnya (Stephen, Littlejohn dan Foss, 2012: 67). Robert Gales menciptakan sebuah teori terpadu yang bertujuan menjelaskan jenis pesan yang manusia tukar dalam kelompok bahwa bahasa berfungsi sebagai kendaraan untuk tindakan, karena kebutuhan sosial membutuhkan orang lain untuk saling bekerja sama dengan tindakannya sehingga bahasa membentuk suatu prilaku dalam kelompok yang setiap individu dapat memperlihatkan sikap positif atau gabungan dengan (1) menjadi ramah; (2) mendramatisasi suka berbicara; atau (3) menyetujui. Sebaliknya mereka juga dapat menunjukkan sikap negatif atau sikap campur aduk dengan (1) penolakan; (2) memperlihatkan ketegangan; atau (3) menjadi tidak ramah. Dalam menyelesaikan tugas kelompok, setiap individu dapat (1) menanyakan informasi; (2) menanyakan opini; (3) meminta saran; (4) memberi saran; (5) memeberi opini; dan (6) memberi informasi (Stephen, Littlejohn dan Foss, 2012:326). 5. Budaya dan Masyarakat Menurut E. B Taylor dalam bukunya “Primitive Culture”, bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang ada di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan lain, serta kebiasaan yang didapat manusia sebagai anggota dari masyarakat (Koentjaraningrat, 1980: 195). Menurut C. Kluckhohn dan W. H. Kelly, kebudayaan adalah pola untuk hidup yang tercipta dalam sejarah, yang explisit, implisit, rasional, irasional yang terdapat pada setiap waktu sebagai pedoman-pedoman yang potensial bagi tingkah laku manusia. Selo Soemardjan dan Soeleman Soemardi menyatakan kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat,
jadi dengan demikian kebudayaan adalah hasil budi daya manusia, sehingga kebudayaan tersebut dapat dipelajari (Soerjono Soekanto, 2006: 150-151). Kroeber membedakan dua aspek dalam kebudayaan yakni kebudayaan nilai (Value cultur) dan kebudayaan realistis (reality culture). Kebudayaan nilai bersumber pada kreativitas manusia, sedangkan kebudayaan realitas berhubungan dengan usaha manusia dalam mempertahankan hidup dan penggarapan lingkungan dengan ekonomi dan teknologi. Menurut Krober, kebudayaan nilai bersifat sekunder artinya perkembangan kebudayaan nilai tergantung pada perkembangan kebudayaan realitas. Tuntutan-tuntutan yang ada pada kebudayaan realitas dapat terpenuhi maka kebudayaan nilai berkembang (Rahyono, 2009: 45). Koentjaraningrat dalam pengantar ilmu antropologi menjelaskan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem dan gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (dikutip Rahyono, 2009: 45). Budaya memiliki ciri-ciri (Dedi Mulyana, 2006:23) yaitu: a. Budaya bukan bawaan, tetapi dipelajari. b. Budaya dapat disampaikan dari orang ke orang, dari kelompok ke kelompok dan dari generasi ke generasi. c. Budaya berdasarkan simbol. d. Budaya bersifat dinamis, suatu sistem yang terusberubah sepanjang waktu. e. Budaya bersifat selektif, mempresentasikan pola-pola perilaku pengalaman manusia yang jumlahnya terbatas. f. Berbagai unsur budaya saling berkaitan. g. Etnosentrik (menganggap budaya sendiri sebagai yang terbaik atau standar untuk menilai budaya lain). Istilah sosial (social) pada ilmu-ilmu sosial menunjuk pada objeknya, yaitu masyarakat merupakan sekelompok individu yang mempunyai hubungan, memiliki kepentingan bersama, memiliki budaya dan dipelajari dalam ilmu sosiologi meliputi masyarakat, perilaku masyarakat,serta perilaku sosial manusia dengan mengamati perilaku kelompok yang dibangunnya.
Mengkaji masyarakat perlu memahami proses sosial yang ada dalam masyarakat, karena pengetahuan tentang proses-proses sosial dapat digunakan untuk memperoleh pengertian mengenai segi dinamis dari masyarakat atau gerak masyarakat yakni bentuk umum proses sosial yaitu interaksi sosial (Soerjono Soekanto, 2006: 55). Masyarakat pasti akan mengadakan interaksi dalam suatu sistem kapasitas atau identitas sosial serta memainkan peran. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antar orang-perorangan, antar kelompok sosial, maupun antar orang perorangan dengan kelompok manusia.Kelompok sosial adalah sekumpulan individu yang mengadakan hubungan secara berulangulang dalam perangkat hubungan identitas yang bertalian. Melihat masyarakat sebagai suatu sistem hubungan identitas dan kelompok, akan terlukis sebagai sistem sosial. 6. Mahasiswa Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mahasiswa adalah mereka yang sedang belajar di perguruan tinggi dengan usia yang berkisar antara 19 sampai 28 tahun, yang memang dalam usia tersebut mengalami suatu peralihan dari tahap remaja ke tahap dewasa (Poerwadarminta, 2005:375). Mahasiswa adalah seorang individu yang sedang menuntut ilmu, terdaftar sebagai murid di perguruan tinggi negeri maupun swasta atau lembaga lain yang setingkat dengan perguruan tinggi, baik di universitas, institut atau akademi untuk belajar menempuh jenjang pendidikan tingkat lanjut. Mahasiswa dinilai memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi, kecerdasan dalam berpikir dan
kerencanaan dalam bertindak. Mahasiswa memiliki tuntutan peran penting untuk mampu berpikir kritis, bertindak dengan cepat dan tepat merupakan prinsip yang saling melengkapi (Dwi Siswoyo, 2007: 21). 7. Perantau dan Merantau a. Perantau Perantau adalah orang yang meninggalkan kampung halaman atau tanah kelahiran untuk pergi merantau ke kota, wilayah atau bahkan negeri lain dalan kurun waktu tertentu (Kato Tsuyushi, 2005: 13).
b. Pengertian Merantau Menurut Kato Tsuyushi istilah merantau berarti meninggalkan kampung halaman atau tanah kelahiran. Keluar dari kampung sendiri untuk pergi ke kota lain dalan kurun waktu tertentu sudah
disebut
sebagai merantau. Permulaan merantau bertujuan untuk mencari penghidupan. Sekarang ini untuk melanjutkan pendidikan ke negeri lain juga disebut dengan pergi merantau (Kato Tsuyushi, 2005: 13). Menurut Mochtar Naim ada berbagai alasan mengapa mereka melanjutkan studi diluar daerah, antara lain memeperluas wawasan, memperoleh pendidikan yang lebih baik, memperoleh pengalaman baru, mengharapkan tingkat kehidupan yang lebih baik, memperoleh pengalaman baru dan mengharapkan penghidupan yang lebih baik. Mochtar Naim mendefinisikan merantau adalah tipe khusus dari migrasi dengan konotasi budaya tersendiri yang mengandung enam unsur pokok yaitu: 1) Meninggalkan kampung halaman. 2) Dengan kemauan sendiri.
3) Untuk jangka waktu lama atau tidak. 4) Dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu atau mencari pengalaman. 5) Biasanya dengan maksud kembali pulang. 6) Merantau ialah lembaga sosial yang membudaya (Mochtar Naim, 1984:2). Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan pengertian merantau adalah bentuk perpindahan tempat tinggal seseorang ke daerah lain dengan kemauan sendiri, dan jangka waktu tertentu dengan tujuan mencari penghidupan yang lebih baik yang telah melembaga di masyarakat, biasanya untuk kembali pulang. Lebih lanjut dijelaskan bahwa seseorang disebut merantau apabila ia pergi
keluar daerah
budayanya dan individu tersebut tidak lagi berkomunikasi dan berinteraksi hanya dengan kaum kerabat atau anggota kelompok etnisnya, melainkan juga dengan orang yang latar belakang etnis dan kulturnya
berbeda-beda.
Berbicara
tentang merantau
kita
membicarakan tentang mobilitas penduduk. Mobilitas penduduk mempunyai pengertian pergerakan penduduk dari satu daerah ke daerah lain. Mobilitas penduduk dari ada tidaknya niatan untuk menetap di daerah tujuan, mobilitas penduduk dapat pula dibagi menjadi dua, yaitu mobilitas penduduk permanen dan mobilitas non-permanen. Mobilitas penduduk permanen adalah gerak penduduk yang melintas batas wilayah asal menuju ke wilayah tujuan dengan niatan menetap. Sebaliknya mobilitas penduduk nonpermanen adalah gerak penduduk yang melintas batas wilayah asal menuju ke wilayah tujuan dengan tidak ada niatan menetap didaerah tujuan (Mantra, 2003: 172).
juga
Berdasarkan pengertian diatas, sesuai dengan judul penelitian fenomena culture shock pada mahasiswa perantauan, maka merantau merupakan bentuk mobilitas penduduk non-permanen. B. Penelitian yang Relevan 1. Penelitian kuantitatif yang pernah dilakukan oleh Yulian Susanti dari Program Magister Psikologi UGM pada tahun 2012 dalam tesisnya yang berjudul “Dukungan Teman Sebaya Sebagai Mediator Hubungan Antara Culture Shock Dengan Prestasi Belajar”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran dukungan teman sebaya sebagai mediator hubungan antara culture shock dengan prestasi belajar pada mahasiswa di salah satu Universitas swasta di Yogyakarta kriteria subyek penelitian adalah mahasiswa tahun pertama yang berasal dari luar pulau Jawa, tinggal di kos dan tidak tinggal dengan keluarga. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dukungan teman sebaya dapat menjadi mediator antara culture shock dan prestasi belajar. Mahasiswa mengalami tekanan dan kecemasan akibat dari ketidak mampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan dan budaya yang baru akan membutuhkan dukungan dari orang-orang yang ada disekitarnya yaitu dukungan teman sebaya. Teman sebaya memainkan peran sangat penting dalam penyesuaian terhadap lingkungan baru. Kelompok sebaya merupakan konteks sosial yang berkembang lewat keberfungsian kolektif para anggotanya berdasarkan norma dan nilai kelompok. Seringnya bertemu, melakukan kegiatan bersama, dan adanya
keterkaitan afektif antar pribadi para anggota kelompok membuat kelompok teman sebaya menjadi pengaruh sosialisasi yang kuat dalam lingkungan instansi pendidikan. Koneksi dan jejaring sosial dengan teman sebaya yang terbentuk dan terbina bisa menjadi sumber utama dukungan sosial bagi remaja di dalam mengatasi tekanan emosional dan kesulitan penyesuaian diri yang sedang individu alami. Selain memberikan pengaruh kust dalam hal gaya dan sosialisasi remaja, juga memberikan rasa nyaman sehingga mampu mengurangi ketegangan akibat ketidakmampuan menyesuaikan diri terhadap lingkungan barunya. Kemudian dukungan teman sebaya ini dapat menjadi mediator antara culture shock dengan prestasi belajar karena salah satu yang menyebabkan timbulnya kecemasan adalah faktor lingkungan sosial yang kemudian memunculkan perasaan tegang, namun dengan mediasi oleh faktor sosial berupa dukungan dari teman sebaya maka kecemasan yang dialami individu dapat diminimalisir. Adanya dukungan sosial dari teman sebaya membuat individu merasa memiliki teman yang memperhatikan, menghargai, serta perasaan senasib sepenanggungan sehingga menimbulkan rasa kepemilikan dan harga diri yang lebih baik. Dukungan teman sebaya memiliki hubungan positif terhadap prestasi belajar, semakin tinggi dukungan teman sebaya yang diperoleh mahasiswa maka prestasi yang diperoleh semakin baik. 2. Penelitian kualitatif yang pernah dilakukan oleh Fransiska Ani Dewanti dari Program Magister Psikologi UGM pada tahun 2008 dalam tesisnya yang berjudul “Pengalaman Culture Shock Pada Anak Buah Kapal (ABK)
Pemula Di Kapal Pesiar Internasional”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemaknaan pengalaman culture shock oleh para ABK pemula dan bagaimana mereka memaknai kerja setelah melalui masa culture shock dalam proses penyesuaian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengalaman culture shock merupakan pengalaman penyesuaian yang didalamnya terjadi dinamika psikolois yang muncul dalam diri individu sebagai bentuk respon terhadap situasi baru yang harus dihadapi. Dinamika psikologis ABK pemula terhadap pengalaman culture shock merupakan interaksi antara elemen-elemen di dalamnya baik itu elemen yang mencetuskan respon terhadap penyesuaian yang harus dihadapi, maupun elemen yang menjadi faktor anti yang bersifat mereduksi respon negatif terhadap penyesuaian yang harus dihadapi. Ketika faktor anti dapat memberikan pengaruh yang lebih besar dibandingkan faktor pendorong dan pencetus, maka dampak pengalaman culture shock yang timbul dapat diminimalisir. Dinamika psikologis tersebut menghasilkan suatu pemaknaan ABK pemula terhadap pengalaman culture shock yaitu sebagai suatu proses yang harus dijalani, sebagai suatu kebanggaan karena mampu menghadapi proses yang berat tersebut, sebagai suatu pengalaman yang menyenangkan, menyedihkan, dan sekaligus melegakan, serta adanya penghargaan dari lingkungan terhadap hasil kerja yang dicapainya. Pemaknaan tersebut membatu ABK pemula dalam memaknai kerja mereka di kapal pesiar internasional
secara menyeluruh. ABK pemula yang memaknai pekerjaannya sebagai upaya mencari materi memandang pekerjaan sebgai suatu mata pencaharian baik untuk memenuhi kebutuhan saat ini maupun di masa mendatang. ABK pemula yang memaknai pekerjaannya sebagai sarana untuk mencari modal usaha di masa mendatang melatih kedewasaan sebagai batu loncatan dan sebagai bentuk harga diri memandang pekerjaan mereka sebagai karir dimana pekerjaan tersebut merupakan salah satu cara untuk menstimulasi kebutuhan mereka untuk bersaing atau meningkatkan prestise dan kepuasan. ABK pemula yang memaknai pekerjaannya bahwa meskipun pekerjaannya dianggap sepele tapi besar manfaatnya bagi orang lain memandang pekerjaannya sebagai sumber dari fulfillment atau keutuhan. Ia memandang pekerjaannya sebagai suatu panggilan dan memaknainya sebagai suatu bentuk kontribusi mereka pada lingkkungan sosial. Dari penelitian relevan di atas, telah digunakan sebagai bahan pembanding sekaligus referensi bagi penelitian yang akan peneliti lakukan dengan fokus penelitian yang sama yaitu tentang fenomena culture shock. C. Kerangka Pikir Kerangka pikir dibuat untuk mempermudah proses penelitian karena mencakup tujuan dari penelitian itu sendiri. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui fenomena culture shock pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta.
Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu bentuk miniatur dari Negara Indonesia, karena di dalamnya terdapat berbagai kebudayaan dari provinsi yang ada di nusantara Indonesia yang di wakili oleh berbagai pelajar dan mahasiswa yang datang hendak meneruskan studi ke jenjang pendidikan perguruan tinggi yang banyak tersedia di kota ini. Mahasiswa perantauan asal luar Jawa sebagai pendatang baru yang berasal dari luar daerah Yogyakarta, dituntut untuk dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan baru, masyarakat yang baru dan perubahan dalam lingkungan fisik, biologis, budaya dan psikologis.
Perubahan dalam lingkungan fisik seperti lingkungan tempat tinggal. Perubahan dalam hal biologis antara lain meliputi makanan yang bergizi, tingkatan kebersihan, perubahan suhu, dan perbedaan iklim. Perubahan dalam hal budaya antara lain perubahan cara bicara seperti bahasa daerah, kebiasaan, ekspresi atau gerak tubuh, rasa masakan, adat, dan nilai norma yang berlaku. Sedangkan perubahan psikologis yaitu proses yang harus dihadapi karena berpisahnya individu dengan orang tua, sanak saudara dan teman-teman di daerah asal oleh jarak geografis. Perubahan-perubahan tersebut menimbulkan culture shock (gegar budaya) yang dapat menghambat mahasiswa perantau untuk mampu menempatkan dirinya di dalam lingkungan budaya masyarakat yang baru di tempat rantauan. Individu sebagai makhluk sosial, dituntut untuk mampu mengatasi masalah perbedaan budaya yang timbul sebagai hasil dari interaksi dengan
lingkungan sosial dan mampu menyelaraskan diri sesuai dengan norma yang berlaku baik di lingkungan tempat tinggal sementara (kos) maupun di lingkungan kampus universitasnya. Penyesuaian diri terhadap lingkungan baru yang berbeda budaya ini kemudian mengarahkan mahasiswa perantau tersebut untuk mampu bersosialisasi serta terdorong melakukan adaptasi budaya yang terlebih dahulu melalui berbagai bentuk fenomena sosial, salah satunya yang akan peneliti bahas secara khusus berupa fenomena culture shock yang pada prosesnya
akan
tetap
menghantarkan
mahasiswa
perantau
terhadap
pembelajaran kebudayaan yang berlaku di lingkungan baru sebagai tempat rantauan dimana ia tinggal sekarang yaitu Yogyakarta. Mahasiswa Perantau asal Luar Pulau Jawa
Budaya Yogyakarta
Berkuliah di universitas Yogyakarta
Culture Shock (Gegar Budaya)
Penyebab
Gejala Reaksi
Dampak Menciptakan sosialisasi baru sebagai hasil adaptasi budaya di Yogyakarta Bagan 1. Kerangka Pikir
BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian Penelitian tentang “Fenomena Culture Shock Pada Mahasiswa Perantauan di Yogyakarta” dilaksanakan di Yogyakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor hingga reaksi atau gejala yang melatarbelakangi terjadinya culture shock serta akibat yang ditimbulkan terhadap mahasiswa perantauan di Yogyakarta. B. Waktu Penelitian Kegiatan penelitian tentang fenomena culture shock (gegar budaya) pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta ini dilaksanakan dalam kurun waktu kurang lebih pada bulan September 2013 sampai dengan selesai, terhitung sejak pemilihan judul dan pelaksanaan penelitian sampai pada penyusunan laporan penelitian sebagai hasil dari penelitian. C. Metode Penelitian Suatu penelitian, diperlukan adanya pendekatan penelitian. Pendekatan dalam penelitian yang berjudul Fenomena Culture Shock (Gegar Budaya) Pada Mahasiswa Perantauan Di Yogyakarta ini menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu pengamatan, wawancara dan penelaah dokumen. Metode penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis, kata-kata lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian secara utuh dengan
cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah (Moleong, 2006: 4). Pembangunan dan pengembangan teori sosial khususnya sosiologi dapat dibentuk dari empiris melalui berbagai fenomena atau kasus yang diteliti. Dengan demikian teori yang dihasilkan mendapatkan pijakan yang kuat pada realitas, bersifat kontektsual dan historis. Pada penelitian kualitatif ini, peneliti menyajikan hasil penelitian secara kualitatif deskriptif yaitu data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka, misalnya data dari naskah wawancara, catatan lapangan, dokumen pribadi, arsip dan dokumen resmi lainnya. Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek atau obyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya (Hadari Nawari, 2007:67). Pemikiran dalam metode ini tidak sekedar melihat gejala atau fakta-fakta, tetapi perlu dikembangkan dengan mengemukakan hubungannya satu sama lain di dalam aspek-aspek yang diselidiki serta memberikan penafsiran yang akurat terhadap fakta-fakta yang ditemukan. Penelitian deskriptif bukan saja memberikan gambaran tentang fenomena tetapi juga menerangkan hubungan, membuat prediksi, serta mendapatkan makna dari fenomena yang dikaji. Data yang disajikan dalam penelitian ini berupa data deskriptif yang berupa kata-kata, gambar dan bukan berupa angka-angka. Laporan penelitian ini berupa kutipan-kutipan yang diperoleh
dari observasi langsung, catatan lapangan, wawancara langsung, foto, buku, jurnal dan internet yang tentunya relevan dengan mahasiswa perantauan di Yogyakarta. Dalam penelitian ini, peneliti akan melakukan penelitian secara bertahap, agar data yang diambil merupakan data lengkap dan benar. Peneliti juga akan terjun langsung ke lapangan guna memperoleh data yang sesuai dengan hasil wawancara dan data yang diperoleh dari para informan, kemudian dideskripsikan dengan menggunakan kata-kata sehingga mudah untuk dimengerti. Peneliti juga akan mengambil gambar pada saat pelaksanaan wawancara sebagai arsip/dokumen-dokumen yang dianggap penting untuk mempertegas hasil penelitian. Peneliti mempelajari juga dari buku-buku serta berbagai tulisan-tulisan mengenai culture shock (gegar budaya). D. Sumber Data Penelitian Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, bahasa dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan yang mendukung seperti dokumen, foto dan lain-lain
(Moleong,2007:157).
Tindakan orang-orang yang
diamati/diwawancarai merupakan sumber data utama yang dicatat melalui catatan tertulis maupun melalui perekam video/audio tape. Data dari informan yang digunakan atau diperlukan dalam penelitian, dikaji dari sumber data penelitian antara lain sebagai berikut: 1. Sumber Data Primer Data primer diperoleh langsung dari subjek penelitian yang diambil, dikumpulkan atau diperoleh langsung oleh peneliti kepada sumbernya
tanpa ada perantara dengan cara menggali sumber asli secara langsung melalui responden. Data ini diperoleh melalui wawancara dengan subjek atau informan dan pengamatan langsung di lapangan. Data atau informasi tersebut dilakukan dengan metode wawancara. Berkaitan dengan hal tersebut, pada penelitian ini jenis datanya dibagi ke dalam kata-kata dan tindakan sumber data tertulis. Sumber data primer pada penelitian ini, peneliti mengambil data secara langsung melalui observasi dan wawancara dengan beberapa informan mahasiswa perantauan dari luar Jawa yang sedang menempuh kuliah semester awal di universitas-universitas Yogyakarta sebagai informan lapangan penelitian ini. Serta diperkuat oleh data dan informasi dari beberapa informan mahasiswa perantauan dari luar Jawa yang sedang menempuh kuliah semester lanjut di universitas-universitas Yogyakarta. 2. Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder merupakan sumber data kedua di luar kata dan tindakan yang diperoleh secara tidak langsung dari sumbernya, namun data ini tidak diabaikan dan memiliki kedudukan penting yang mampu memberikan tambahan serta penguatan terhadap data penelitian. Sumber data sekunder biasanya diperoleh dari mengumpulkan referensi dan kajian kepustakaan dan dokumen dari kegiatan objek penelitian yang sedang dilaksanakan. Data sekunder dalam penelitian ini berasal dari sumber tertulis, majalah, surat kabar, jurnal, internet dan hasil penelitian yang relevan dengan fenomena culture shock pada mahasiswa perantauan di
Yogyakarta. Data sekunder juga dapat berupa data statistik mengenai jumlah mahasiswa perantauan di Yogyakarta yang akan diteliti. E. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data merupakan suatu cara memperoleh data-data yang diperlukan dalam penelitian.Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pengumpulan Data dengan Observasi Observasi
merupakan
aktivitas
penelitian
dalam
rangka
mengumpulkan data yang berkaitan dengan masalah penelitian melalui proses pengamatan langsung di lapangan. Peneliti berada ditempat itu, untuk mendapatkan bukti-bukti yang valid dalam laporan yang akan diajukan. Menurut Sanafiah Faisal (dikutip dari Sugiyono, 2007: 266) mengklasifikasikan observasi menjadi beberapa bagian yaitu, observasi partisipasi (participant observation), observasi secara terang-terangan dan tersamar (overt observation and covert observation) dan observasi yang tak terstruktur (unstructured observation). Dalam hal ini peneliti melakukan penelitian overt observation and covert observation dengan jenis observasi non partisipasi atau pengamatan secara langsung terhadap suatu fenomena yang dikaji. Dalam observasi non partisipasi ini, pengamat berada diluar subjek yang diamati dan tidak ikut dalam kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan. Dengan demikian pengamat akan lebih mudah mengamati kemunculan tingkah laku yang diharapkan (Irawan Suhartanto, 2002:69).
Dalam penelitian ini peneliti mengamati secara langsung fenomena culture shock pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta. Peneliti melakukan observasi dalam tiga tahap, tahap pertama observasi dilakukan untuk mengetahui kemampuan penyesuaian diri hingga bentuk sosialisasi mahasiswa perantau di Yogyakarta akibat fenomena culture shock. Tahap kedua observasi dilakukan untuk mengetahui komunikasi yang terjadi di lingkungan tempat tinggal sementara (kos) baik terhadap masyarakat sekitar kos maupun sesama penghuni kos lainnya. Tahap ketiga observasi dilakukan untuk mengetahui interaksi pertemanan antar mahasiswa yang terjadi di lingkungan kampus. 2. Pengumpulan Data dengan Wawancara Wawancara dimaksudkan untuk mengkontruksi mengenai orang, kejadian, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain. Wawancara atau interview merupakan percakapan denganmaksud tertentu. Percakapan dilakukan oleh kedua pihak yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan atau sebagai pihak penanya, dan terwawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan yang diberikan oleh pihak penanya. Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan
wawancara
semi
terstruktur
dan
tidak terstruktur.
Wawancara semi terstruktur memiliki pedoman wawancara namun apabila sudah terjun ke lapangan akan berkembang sesuai dengan kondisi
lapangan. Sedangkan wawancara tidak terstruktur, yaitu peniliti tidak terikat waktu dan biasanya informan karena memiliki sifat khas. Pelaksanaan ini mengalir seperti percakapan sehari-hari (Moleong, 2007: 190-191). Metode wawancara sering digunakan untuk mendapatkan informasi dari orang atau masyarakat. Wawancara merupakan cara utama yang digunakan dalam penelitian ini jika seseorang ingin mendapatkan datadata atau keterangan secara lisan dari seorang informan. Wawancara dilakukan dengan membuat pedoman wawancara yang relevan dengan permasalahan yang kemudian digunakan untuk tanya jawab. Sebelum melakukan wawancara, peneliti harus menyiapkan instrumen wawancara terlebih dahulu. Didalam pedoman wawancara ini berisi sejumlah pertanyaan yang wajib ditanya atau direspon oleh responden. Isi pertanyaan tersebut meliputi fakta, realita, data, konsep, pendapat, persepsi yang berkenaan dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian. Teknik wawancara menjadi cara yang digunakan jika seseorang ingin mendapatkan data-data atau keterangan secara lisan dari seorang responden. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan wawancara dengan berusaha menggali data, informasi dan keterangan dari subjek yang diperlukan, yaitu para mahasiswa perantauan di Yogyakarta. 3. Teknik Pengumpulan Data dengan Dokumentasi Dokumentasi
merupakan
teknik
pengumpulan
data
dengan
menghimpun data dan menganalisis dokumen-dokumen baik dokumen
tertulis, dokumen visual berupa foto dan gambar, maupun data yang terdapat dalam media elektronik. Teknik kegiatan pengumpulan data khusus berupa pengumpulan data, pengolahan, penemuan kembali dan penyebaran dokumen dengan sumber yang dapat diperinci dengan jalan melihat, mencatat, dan mengabadikan dalam gambar untuk memperoleh informasi atau gambaran mengenai objek yang diteliti. Dokumen yang dihimpun dan dipilih sesuai dengan tujuan penelitian sebagai sumber data yang dimanfaatkan untuk menguji data. Sebagai sesuatu yang tertulis, tercetak atau terekam yang dapat dipakai sebagai bukti atau keterangan. Hal ini dilakukan dengan cara mengkaji sumber-sumber tertulis yang berkaitan dengan pokok bahasan permasalahan. Dokumentasi untuk penelitian yang dilakukan dengan mengambil gambar secara langsung keadaan informan pada saat wawancara berlangsung, dan mencari dokumen yang berkaitan dengan data fisik yang peneliti peroleh berupa data jumlah mahasiswa perantauan di Yogyakarta pertahun ajaran berdasarkan asal yang diperoleh dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang dikumpulkan selama penelitian sebagai bahan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif. F. Teknik Pengambilan Sampel Teknik sampling merupakan cara yang digunakan dalam pengambilan sampel penelitian. Maksud dari sampling dalam penelitian kualitatif adalah untuk menjaring sebanyak mungkin informasi dari berbagai sumber untuk
merinci kekhususan yang ada ke dalam konteks yang unik dan juga untuk menggali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan dan teori yang muncul (Moleong, 2006: 165). Pengambilan informan dilakukan secara purposive yaitu berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian dan pada umumnya informan berjumlah kecil tetapi sebanyak mungkin menjaring informasi untuk tujuan penelitian dan tetap dalam batasan masalah penelitian. Purposive sampling adalah teknik pengumpulan subyek berdasarkan ciriciri atau sifat tertentu yang diperkirakan mempunyai sangkut paut erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat yang ada dalam populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Sampel bertujuan dilakukan dengan cara mengambil subyek bukan didasarkan atas srata, random atau daerah tetapi didasarkan atas adanya tujuan tertentu. Teknik ini biasanya didasarkan pada pertimbangan alasan keterbatasan waktu, tenaga dan dana sehingga tidak dapat mengambil sampel yang besar dan jauh. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam menggunakan purposive sampling adalah sebagai berikut. 1. Pengambilan sampel harus didasarkan atas ciri-ciri, sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri-ciri pokok populasi. 2. Subyek yang diambil sebagai sampel benar-benar merupakan subyek yang paling banyak mengandung ciri-ciri yang terdapat pada populasi. 3. Penentuan karakteristik populasi dilakukan dengan cermat di dalam studi pendahuluan (Suharsimi Arikunto, 2010:128).
Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa perantau yang sedang berkuliah di Yogyakarta. Cara pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik purposive sampling. Pengambilan sampel ini dilakukan berdasarkan adanya tujuan tertentu yang ingin dicapai oleh peneliti. Subjek yang diambil merupakan subjek yang memiliki banyak kemiripan, atau ciri umum dari populasi. Pertimbangan dalam penentuan sampel adalah Peneliti menetapkan beberapa informan mahasiswa perantau yang sedang berkuliah di universitas-universitas Yogyakarta. Peneliti telah memilih informan yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan peneliti dengan karakteristik sebagai berikut: a. Mahasiswa laki-laki atau perempuan usia sekitar 18-22 tahun (remajadewasa), b. Berkuliah di universitas-universitas yang terdapat Yogyakarta, c. Mahasiswa perantauan yang berasal dari luar pulau Jawa, hal ini disebabkan karena peneliti beranggapan bahwa propinsi di luar pulau Jawa memiliki perbedaan kebudayaan, yang sangat mencolok dan kurangnya pemahaman mengenai kehidupan multikultural sehingga semua hal ini yang dapat memicu terjadinya gegar budaya. d. Belum pernah memiliki pengalaman tinggal di Yogyakarta sebelum akhirnya datang ke Yogyakarta untuk berkuliah di universitas-universitas Yogyakarta, e. Sejak awal masuk kuliah tinggal di sekitar kampus (hanya tinggal di kos, tidak tinggal di rumah saudara yang berada di Yogyakarta).
G. Validitas Data Validitas data atau keabsahan data pada penelitian kualitatif (Moleong, 2004:178), pemeriksaan terhadap keabsahan data selain digunakan untuk menyanggah balik ada yang dituduhkan terhadap penelitian kualitatif yang mengatakan tidak ilmiah, juga merupakan sebagai unsur yang tidak dipisahkan dari tubuh pengetahuan penelitian kualitatif ini diperiksa dengan metode triangulasi yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data untuk kepentingan pengecekan data atau sebagai pembanding terhadap data itu. Triangulation menurut Patton dibagi menjadi 4 (empat), yaitu: 1. Triangulasi Sumber, yaitu membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Data yang diperoleh berupa wawancara yang dilakukan lebih dari satu kali dalam periode waktu tertentu. 2. Triangulasi Metode, yaitu dengan menggunakan dua strategi; (a) pengecekan terhadap derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian dengan beberapa teknik pengumpulan data, (b) pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber dengan metode yang sama. 3. Triangulasi Peneliti, yakni dengan memanfaatkan peneliti atau pengamat lainnya untuk keperluan pengecekan kembali derajat kepercayaan. Pengambilan data dilakukan oleh beberapa orang.
4. Triangulasi Teori, yakni melakukan penelitian tentang topik yang sama dan datanya dianalisa dengan menggunakan beberapa perspektif teori yang berbeda (dikutip dari Moleong, 2004:178-179):. Dalam penelitian ini variasi teknik yang digunakan adalah triangulasi sumber. Hal ini dilakukan karena pengambilan data dalam penelitian ini membandingkan data observasi dengan hasil wawancara terhadap informan, membandingkan perspektif subjek dengan pendapat orang lain yang menjadi sumber data pendukung, serta membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. Teknik triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan atau informasi untuk menguji keabsahan data yang diperoleh, diharapkan data yang terkumpul dalam seluruh rangkaian proses pengumpulan data merupakan datadata yang valid dan dapat dianalisa dengan baik. Teknik
triangulasi
dalam
penelitian
ini
dilakukan
dengan
membandingkan informasi yang peneliti peroleh dari masing-masing sampel. Peneliti akan memeriksa keabsahan data dengan cara melakukan kembali wawancara kepada informan lain yang paham akan permasalah yang berkaitan dengan culture shock (gegar budaya) pada Mahasiswa perantauan di Yogyakarta. Wawancara dengan informan lain ini dilakukan tanpa sepengetahuan informan sebelumnya. Teknik triangulasi dalam penelitian ini yaitu informasi dari mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa yang sedang menempuh semester awal dibandingkan dengan mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa yang sedang
berkuliah semester lanjut di Perguruan Tinggi Yogyakarta, kemudian apabila terjadi ketidakcocokan atau kurang relevan dibandingkan lagi dengan data hasil observasi yang dilakukan peneliti hingga diperoleh informasi yang mendukung data sehingga dapat diambil suatu hasil akhir. Sesuai dengan prinsip penelitian kualitatif, yaitu pencarian informasi jika sudah menemui sampai titik jenuh maka dapat ditarik kesimpulan hasil. Kemudian untuk memperkuat validitas data yaitu dengan cara membandingkan data berupa informasi yang berasal dari dokumentasi, gambar dan sumber internet. H. Teknik Analisis Data Teknik analisis data adalah proses pengumpulan data secara sistematis untuk mempermudah peneliti dalam memperoleh kesimpulan. Analisis data menurut Bogdan yaitu proses mencari dan menyusun secara sistematik data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain sehingga dapat mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain (Sugiyono,2009:334). Proses analisis data dilakukan melalui 4 tahap kegiatan yang terjadi secara bersama-sama yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan/ verifikasi (Miles dan Huberman, 1992:15-21) yakni: 1. Pengumpulan data Data yang diperoleh dari hasil observasi, wawancara dan dokumentasi yang kemudian dituliskan dalam catatan lapangan yang berisi tentang apa yang dilihat, didengar, disaksikan, dialami dan juga temuan tentang apa yang dijumpai selama penelitian yang kemudian ditulis dalam catatan
lapangan, memanfaatkan dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto dan lain sebagainya. Penelitian tentang fenomena
culture shock pada mahasiswa
perantauan di Yogyakarta dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu tahap wawancara
kepada
mahasiswa
perantau
di
universitas-universitas
Yogyakarta yang kemudian dicatat serta diambil bagian-bagian yang dianggap relevan dengan pokok permasalahan. Tahap kedua adalah melakukan aktivitas browsing untuk mencari informasi umum tentang culture shock pada mahasiswa perantauan. Tahap berikutnya dilakukan dokumentasi data berupa foto-foto. 2. Reduksi data Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data berlangsung terus menerus selama penelitian di lapangan. Selama pengumpulan data reduksi selanjutnya membuat ringkasan, mengkode, menelusur tema, membuat gugus-gugus, membuat partisi, menulis memo. Reduksi data/ proses transformasi ini berlanjut terus sesudah peneliti lapangan, sampai laporan akhir lengkap tersusun. Reduksi data bertujuan untuk memberi gambaran dan mempertajam hasil dari pengamatan yang sekaligus untuk mempermudah kembali pencarian data yang diperoleh. Reduksi data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara membuat coding hasil wawancara dengan tujuan menyeleksi data. Pemberian kode
dalam hasil wawancara yang dilakukan dengan beberapa informan dikumpulkan menjadi satu. Kemudian data setiap kode yang telah dikumpulkan tersebut dianalisis sesuai dengan masalah yang dikaji. Selain itu, juga membuat ringkasan hasil wawancara tentang fenomena culture shock pada mahasiswa perantauan dan membuang bagian-bagian yang tidak penting sehingga dihasilkan gambaran yang fokus pokok penelitian dan untuk memperkuat data peneliti membandingkan data hasil wawancara dengan data yang berasal dari dokumentasi, gambar, serta sumber internet. 3. Penyajian data Setelah data direduksi, langkah berikutnya adalah penyajian data. Penyajian data cenderung mengarah pada penyederhanaan data kompleks kedalam kesatuan bentuk yang sederhana dan selektif sehingga mudah dipahami. Penyajian data merupakan rangkaian kalimat yang disusun secara logis dan sistematis sehingga mudah dipahami. Kemampuan manusia sangat terbatas dalam menghadapi catatan lapangan yang bias, jadi mencapai ribuan halaman. Oleh karena itu diperlukan sajian data yang jelas
dan
sistematis
dalam
membantu
peneliti
menyelesaikan
pekerjaannya. Penyajian data dibatasi sebagai sekumpulan informasi yang tersusun dan memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Setelah proses transformasi data, selanjutnya yang telah dilakukan adalah menyusun data dalam satuan-satuan. Satuan-satuan tersebut
kemudian dikategorisasikan pada langkah berikutnya. Kategorisasi termasuk di dalamnya terdapat pemeriksaan keabsahan data melalui triangulasi sumber. Melalui penyajian data akan dipahami apa saja yang telah terjadi, apa yang harus dilakukan, dan apa lebih lanjut lagi mengambil tindakan berdasarkan atas pemahaman yang didapat dari penyajian data tersebut. Langkah yang ketiga ini, peneliti menyusun informasi-informasi tentang mahasiswa perantauan yang memberikan kemungkinan penarikan kesimpulan tentang fenomena culture shock di Yogyakarta. Penyajian data dalam penelitian ini mengacu pada rumusan masalah yang ada pada BAB I. 4. Penarikan kesimpulan Penarikan kesimpulan merupakan proses untuk merangkum data-data yang
telah
direduksi
ataupun
telah
disajikan
peneliti
berusaha
menyimpulkan data hasil penelitian, serta menganalisis data dan membuat kesimpulan. Kesimpulan yang ditarik segera diverifikasikan dengan cara melihat dan mempertanyakan pemahaman yang lebih tepat, dilakukan dengan mengdiskusikannya. Hal tersebut dilakukan agar data yang diperoleh dan penafsiran terhadap data tersebut memiliki validitas sehingga kesimpulan yang ditarik menjadi kokoh. Kesimpulan dalam penelitian ini berupa deskripsi dari objek yang pada awalnya belum jelas, sehingga terlihat hubungan sebab akibat yang terkait dengan penelitian atau jawaban dari masalah penelitian ini yaitu tentang fenomena culture shock pada mahasiswa perantauan. Dalam penarikan kesimpulan tentunya
peneliti sudah merasa terpenuhi akan data yang sesuai dengan permasalahan yang sedang ia teliti sebagai langkah akhir dalam pembuatan suatu laporan. Model analisis data yang dipergunakan dalam penelitian tentang fenomena culture shock pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta ini adalah model analisis interaktif dari Miles dan Huberman. Adapun siklus dari keseluruhan proses analisis data Miles dan Huberman tersebut digambarkan pada skema berikut (Miles dan Huberman, 1992:20).
Pengumpulan Data
Reduksi Data
Bagan 2. Komponen-komponen Analisis data
Sajian Data
Verifikasi/ Penarikan Kesimpulan
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data 1. Deskripsi Umum D.I. Yogyakarta Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu provinsi dari 33 provinsi di wilayah Indonesia dan terletak di pulau Jawa bagian tengah. Berdasarkan informasi dari Badan Pertanahan Nasional, D.I. Yogyakarta tercatat memiliki luas 3.185,80 km² atau 0,17 persen dari luas Indonesia (1.860.359,67 km²), merupakan provinsi terkecil setelah Provinsi DKI Jakarta (BPS Provinsi D.I. Yogyakarta, Dalam Angka, 2014: 3). D.I. Yogyakarta secara administratif terbagi menjadi lima daerah tingkat II yaitu; Kotamadya Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Kulonprogo (BPS Provinsi D.I. Yogyakarta, Dalam Angka, 2014: 7). Kualitas pendidikan yang memadai sangatlah diperlukan oleh penduduk untuk meningkatkan kualitas hidup. Tingginya permintaan jasa pendidikan menuntut tersedianya penyelenggara pendidikan yang makin bermutu sejalan dengan visi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2025 sebagai Pusat Pendidikan, Pusat Budaya, dan Daerah Tujuan Wisata Terkemuka di Asia Tenggara dalam Lingkungan Masyarakat yang Maju, Mandiri, dan Sejahtera (BPS Provinsi D.I. Yogyakarta, Dalam Angka, 2014: 106). Secara nasional, pendidikan diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun swasta.
Pada tahun 2013/2014 untuk jenjang Perguruan Tinggi tercatat pada jenjang perguruan tinggi negeri (PTN), D.I. Yogyakarta memiliki 10 perguruan tinggi negeri, dengan jumlah mahasiswa keseluruhan sebanyak 110.437orang dan jumlah dosen sebanyak 4.828 orang. Adapun perguruan tinggi swasta (PTS) tercatat sebanyak 107, dengan rincian sebanyak 18 universitas, 37 sekolah tinggi, 4 institut, 41 akademi dan 7 politeknik. Didalamnya tergabung mahasiswa sebanyak 74.165 orang yang diasuh oleh 5.539 orang dosen tetap (BPS Provinsi D.I. Yogyakarta, Dalam Angka, 2014: 107). Bermunculannya berbagai instansi pendidikan tinggi baik negeri hingga swasta yang tersedia di propinsi DIY dengan misi pendidikan berkualitas, berdaya saing, yang didukung oleh sumber daya pendidikan yang handal ini pun menambah dampak besarnya arus mahasiswa yang datang dari hampir seluruh penjuru daerah di Indonesia untuk merantau ke Yogyakarta dengan tujuan melanjutkan pendidikan, sehingga tidak akan berlebihan bila Yogyakarta sering disebut sebagai kota miniatur Indonesia. Berdasarkan informasi dari hasil proyeksi penduduk dari SP2010, jumlah penduduk DIY tahun 2013 tercatat 3.594.854 jiwa. Menurut daerah, persentase penduduk kota mencapai 66,09 persen dan penduduk desa mencapai 33,91 persen. Dengan luas wilayah 3.185,80 km², kepadatan penduduk di DIY tercatat 1.128 jiwa per km2. D.I. Yogyakarta termasuk ke dalam kota dengan laju pertumbuhan
penduduk yang rendah di Indonesia, namun bukan berarti kota ini terlepas dari permasalahan kependudukan. Tingginya angka para perantau yang datang dari berbagai wilayah untuk menempuh pendidikan di Yogyakarta menjadi salah satu hal penyebab utama pada tingginya kepadatan penduduk yang hanya memusat pada lokasi-lokasi tertentu, khususnya pada lingkungan sekitar daerah sentra pendidikan di Yogyakarta seperti daerah perguruan tinggi baik negeri maupun swasta, terlebih pada saat musim awal tahun ajaran baru (BPS Provinsi D.I. Yogyakarta, Dalam Angka, 2014: 63). Hal ini tidak terlepas dari sejarah pendidikan berdirinya salah satu Perguruan Tinggi Islam tertua di Indonesia pada tanggal 08 Juli 1945 yang kemudian menjadi UII, serta konsep pendidikan pada “National Onderwijs Institut Taman Siswa” yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara pada tanggal 03 Juli 1992 di Yogyakarta. Di sinilah keunggulan Yogyakarta sebagai Kota Pelajar yang kemudian berubah sebutan menjadi Kota Pendidikan karena dari Yogyakarta inilah kemudian lahir hari pendidikan Nasional yang mengambil hari lahir Ki Hajar Dewantara, Sang Pendiri Tamansiswa inilah yang kemudian menjadikan Yogyakarta sejak dulu santar dikenal oleh masyarakat luas di seluruh Indonesia sebagai kota pelajar, dengan nuansa akademik yang menonjol, kota yang maju dalam dunia ilmu pendidikan dan banyak menarik minat para pelajar hingga mahasiswa perantau untuk datang kemudian menetap sementara waktu selama menuntut ilmu di
Yogyakarta begitu terus dari dahulu hingga saat ini (Budi Wibowo, 2015:8). Lingkungan hidup merupakan sejumlah benda dan kondisi yang ada dalam ruangan yang kita tempati, serta mempengaruhi kehidupan kita. Semua saling berinteraksi dengan lingkungan hidup dan sebaliknya individu juga dapat dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya (Ihromi, 1990:69). Oleh karena itu mau tidak mau dalam kehidupan kesehariannya manusia senantiasa bergantung pada lingkungannya, termasuk lingkungan sosial dan budaya. Mahasiswa maupun pelajar perantau mereka tinggal di Yogyakarta dengan tujuan utama dalam hal pendidikan yang bersifat sementara waktu menciptakan fenomena mobilitas penduduk yang cukup tinggi. Mobilitas penduduk mempunyai pengertian pergerakan penduduk dari satu daerah ke daerah lain. Mobilitas penduduk dari ada tidaknya niatan untuk menetap di daerah tujuan, mobilitas penduduk dapat pula dibagi menjadi dua, yaitu mobilitas penduduk permanen dan mobilitas non-permanen. Mobilitas penduduk permanen adalah gerak penduduk yang melintas batas wilayah asal menuju ke wilayah tujuan dengan niatan menetap. Sebaliknya mobilitas penduduk non-permanen adalah gerak penduduk yang melintas batas wilayah asal menuju ke wilayah tujuan dengan tidak ada niatan menetap didaerah tujuan (Mantra, 2003: 172). Sehingga para mahasiswa pendatang atau perantau ini termasuk dalam mobilitas penduduk non-permanen yang biasanya tidak banyak
terikat dengan hak dan kewajiban atas aturan yang ada dilingkungan tempat yang mereka tinggali, atau bersifat longgar. Jumlah Penduduk menurut Kabupaten/Kota di D.I. Yogyakarta yang didapat dari sumber proyeksi penduduk Indonesia 2010-2035, yaitu; Kulonprogo 403.203, Bantul 947.066, Gunungkidul 700.192, Sleman 1.141.684, Kotamadya Yogyakarta 402.709. Penduduk asli D.I. Yogyakarta pada dasarnya telah mempunyai hak dan kewajiban terhadap tempat tinggalnya (tanah-bangunan milik pribadi), serta hak dan kewajiban terhadap masyarakat sekitar mereka (bertetangga, sosialisasi, perasaan berkelompok), sehingga kecenderungan untuk melakukan perpindahan pun bisa dikatakan minim bahkan tidak ada sama sekali (BPS Provinsi D.I. Yogyakarta, Dalam Angka, 2014: 70). a. Karakter Sosial Budaya Yogyakarta Menurut E. B Taylor dalam bukunya “Primitive Culture” , bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang ada di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan lain, serta kebiasaan yang didapat manusia sebagai anggota dari masyarakat yang dialihkan dari generasi ke generasi berikutnya melalui proses belajar (Koentjaraningrat, 1980: 195). D.I. Yogyakarta merupakan suatu wilayah otonomi provinsi yang memiliki keistimewaan tersendiri. Masyarakat Yogyakarta mempunyai
beberapa
karakteristik
yang
membedakan
dengan
masyarakat dari daerah lain. Di antara karakteristik sosial dari
masyarakat Yogyakarta yang menonjol adalah sikap berbudaya yang tinggi, menunjang nilai-nilai budaya, norma-norma sosial serta moral kehidupan berbudaya yang terkandung dalam adat istiadat Jawa dan hingga saat ini masih melekat mengiringi perkembangan sosial masyarakatnya. Meskipun perkembangan jaman yang semakin modern dan keadaan kota yang semakin didominasi mayoritas oleh para pendatang perantauan, tidak lantas membuat masyarakat Yogyakarta luput untuk tetap menghormati serta memelihara nilai-nilai luhur sosial dan budaya yang dimilikinya. Nilai-nilai sosial budaya sebagai orang jawa masih tetap ada dan terpelihara sampai sekarang dalam mengatur jalannya kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut tampak dari perilaku dan tindakan mereka sehari-hari yang amat terasa nilai paguyubannya serta tradisi yang rutin dilakukan oleh kraton setiap tahunnya. Interaksi antara sesama warga masyarakat Yogyakarta di warnai dengan suasana yang penuh kekeluargaan dan kebersamaan. Hubungan dan kedekatan antar warga cukup baik dan saling menghargai atau tepo seliro satu sama lainnya. Luwig Wittgenstein mengatakan bahwa manusia akan mengikuti aturan-aturan dalam mengerjakan sesuatu melalui bahasa seperti memberikan
dan
mentaati
perintah,
bertanya
dan
menjawab
pertanyaan, serta menjelaskan kejadian. Bahasa adalah salah satu alat yang digunakan oleh manusia untuk bekomunikasi dan memulai
interaksi satu dengan yang lainnya (Stephen, Littlejohn andFoss, 2012: 67). Begitu pula dengan masyarakat Yogyakarta, dalam kesehariannya dalam berkomunikasi mereka menggunakan bahasa Jawa. Dalam menggunakan bahasa Jawa ada beberapa hal yang diperhatikan oleh warga pribumi Yogyakarta, yaitu: siapa yang menjadi lawan bicara dan jenis tingkatan bahasa jawa yang kemudian akan digunakan. Jika berhadapan dengan orang yang lebih tua atau orang yang dihormati, bahasa yang digunakan ialah bahasa Jawa krama alus/ inggil, namun apabila berhadapan dengan teman sebaya atau dibawah umurnya maka bahasa yang akan digunakan adalah bahasa Jawa ngoko yang biasa dipergunakan oleh orang Jawa pada umumnya yang sangat familiar di dengar. Budaya masyarakat D.I. Yogyakarta dengan tutur kata yang lembut, sopan dan ramah merupakan salah satu bukti terjaganya kelestarian budaya kota Yogyakarta. Akan tetapi hak ini tidak lantas membuat suatu dominasi tertentu terhadap pihak lainnya mengenai adanya perbedaan komposisi penduduk antara pribumi dengan perantau di Yogyakarta. Warga lokal Yogyakarta memiliki sikap fleksibel dalam usaha menerima dan beradaptasi dengan pendatang yang memiliki perbedaan latar belakang budaya. Dengan adanya percampuran tersebut tercipta suatu hubungan toleransi budaya dan nuansa khas multikultural di kota Yogyakarta.
Penduduk lokal senantiasa bergerak mengikuti perkembangan jaman tanpa melalaikan identitas sejatinya sebagai pribumi Yogyakarta yang berbudaya hal ini terlihat dari pola kehidupan masyarakatnya yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan, kekeluargaan, unggah-ungguh, nilai norma dan adat istiadat Yogyakarta sebagai orang
Jawa.
Dipihak
lain,
warga
Yogyakarta
juga
tidak
mengesampingkan adanya perubahan-perubahan yang terjadi setelah banyaknya pendatang yang tinggal untuk merantau di Yogyakarta, antara lain: sikap toleransi, menghargai dalam pergaulan dan penggunaan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi, terutama bagi pendatang luar Jawa yang tidak paham bahasa Jawa. b. Mahasiswa perantauan di Yogyakarta Menurut Kato Tsuyushi istilah merantau berarti meninggalkan kampung halaman atau tanah kelahiran. Keluar dari kampung sendiri untuk pergi ke kota lain dalan kurun waktu tertentu sudah disebut sebagai merantau. Permulaan merantau bertujuan untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Sekarang ini untuk melanjutkan pendidikan ke negeri lain juga disebut dengan pergi merantau (Kato Tsuyushi, 2005:13). Para mahasiswa perantau yang berasal dari berbagai daerah propinsi di Indonesia yang memilih merantau ke Yogyakarta karena tertarik akan kualitas pendidikan yang tersedia di Yogyakarta ini datang hanya dengan tujuan utama dalam hal pendidikan. Para
mahasiswa perantau tersebut tergolong sebagai penduduk musiman tinggal di Yogyakarta dan bersifat sementara waktu. Secara tidak langsung hal ini berdampak pada suatu keadaan yang akhirnya menimbulkan suatu fenomena mobilitas penduduk di Indonesia yang cukup tinggi pada kota-kota besar tertentu yang dianggap oleh masyarakat umum merupakan tempat yang memiliki daya tarik sebagai pusat pendidikan. Fenomena mobilitas penduduk musiman dengan kepentingan pendidikan seperti ini pastinya hanya akan berlangsung dalam kurun waktu tertentu atau sementara waktu demi keperluan menimba ilmu, bukan untuk migrasi yang menetap secara permanen. Tingginya daya tarik yang mampu di berikan oleh Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang sejak duhulu santar dikenal oleh khalayak umum dari sabang hingga merauke masyarakat luas di seluruh Indonesia sebagai kota pelajar, dengan nuansa akademik yang menonjol, kota yang maju dalam dunia ilmu pendidikan dan banyak menyedot minat para pelajar hingga mahasiswa perantau untuk datang kemudian menetap sementara waktu selama menuntut ilmu di Yogyakarta hingga saat ini di kuatkan dengan tabel jumlah mahasiswa di Perguruan Tinggi Yogyakarta tahun 2015 yang didapat dari Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai pengukur secara nyata yang tertulis dalam data sekunder yang diperoleh peneliti untuk menjadi salah satu data resmi seperti tabel dibawah ini.
Jumlah Mahasiswa Di Perguruan Tinggi Yogyakarta 2015 No. Asal Daerah Jumlah 1 DKI 9.141 2 Jawa Barat 14.886 3 Jawa Tengah 82.331 4 DIY 99.610 5 Jawa Timur 9.415 6 NAD 2.889 7 Sumatera Utara 17.832 8 Sumatera Barat 3.882 9 Riau 14.221 10 Jambi 4.114 11 Sumatera Selatan 7.993 12 Lampung 7.116 13 Kalimantan Barat 5.821 14 Kalimantan Tengah 3.882 15 Kalimantan Selatan 3.225 16 Kalimantan Timur-Kalimantan Utara 8.221 17 Sulawesi Utara 2.110 18 Sulawesi Tengah 2.577 19 Sulawesi Selatan 7.322 20 Sulawesi Tenggara 2.241 21 Sulawesi Barat 6.541 22 Maluku 1.447 23 Bali 2.792 24 NTB 4.472 25 NTT 13.822 26 Papua 7.889 27 Bengkulu 3.221 28 Banten 1.221 29 Maluku utara 1.227 30 Bangkabelitung 2.551 31 Gorontalo 1.261 32 Papua Barat 4.221 33 Kepuluan Riau 3.354 34 Luar Negeri 4.882 Jumlah Kumulatif 394.117 Tabel 2. Jumlah Mahasiswa Di Perguruan Tinggi Yogyakarta 2015 Sumber: Data Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam Angka 2015
Dari tabel jumlah mahasiswa di Yogyakarta berdasarkan asal daerah dari sumber data Dikpora Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka 2015 diatas menunjukkan besarnya jumlah mahasiswa perantau yang datang ke Yogyakarta terdiri dari berbagai daerah luar D.I. Yogyakarta, provinsipropinsi di luar pulau Jawa hingga luar Negeri sebesar 294.507. Mahasiswamahasiswa perantau tersebut datang dengan tujuan utama yang sama yaitu demi menempuh pendidikan tingkat lanjut yang berkualitas, menambah pengalaman, mampu berkembang secara luas dan melatih kemandirian diri di tengah kentalnya budaya etnis Jawa yang menonjol sebagai identitas budaya Yogyakarta. Tidak terelakkan jika hal ini kemudian memicu tingginya fenomena culture shock yang disebabkan oleh perbedaan karakteristik budaya diatas kemajemukan latarbelakang budaya yang dimiliki oleh para mahasiswa perantau dengan keadaan sosial budaya yang ada di Yogyakarta. Kedatangan mahasiswa-mahasiswa perantau ini kemudian mendorong munculnya suatu keadaan dimana identitas kebudayaan, etnis/ suku, bahasa akan terasa begitu heterogen, hal ini disebabkan oleh masuknya budayabudaya luar Yogyakarta yang terbawa oleh setiap mahasiswa perantau kedalam D.I.Yogyakarta sedangkan jika dilihat dari tabel data Dikpora tahun 2015 mahasiswa pribumi lokal asli D.I. Yogyakarta sendiri sebesar 99.610 yang tersebar di PTN maupun PTS yang terdapat di Yogyakarta, hal ini memberikan kemungkinan bahwa disetiap perguruan tinggi di D.I.Yogyakarta baik PTN maupun PTS akan terdapat mahasiswa pribumi Yogyakarta.
Kenyataan lain datang dari data Badan Pusat Statistik Provinsi D.I. Yogyakarta dalam angka 2014 menunjukkan dosen pengajar menurut jenis PTN memiliki jumlah total 4.828 dan Jumlah dosen pengajar menurut Jenis PTS di D.I.Yogyakarta memiliki jumlah total 6.379 (BPS Provinsi D.I. Yogyakarta, Dalam Angka, 2014: 131 dan 177) kesemuanya merupakan penduduk pribumi lokal D.I. Yogyakarta sebagai tuan rumah yang memiliki ciri khas dari identitas kearifan budayanya. 2. Deskripsi Umum Informan Penelitian Subjek dari penelitian ini adalah seluruh mahasiswa perantauan yang berasal dari luar pulau Jawa yang berkuliah di universitas-universitas yang terdapat di Yogyakarta. Mahasiswa perantauan yang berasal dari luar pulau Jawa yang didapat terbagi dalam dua katagori yaitu mahasiswa perantauan asal luar jawa yang sedang menempuh semester awal dan mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa yang sudah menjalani beberapa semester (semester lanjut) berkuliah di Perguruan Tinggi Yogyakarta. Dalam penelitian untuk mendapatkan data-data dan informasi, peneliti melakukan wawancara dengan informan atau responden yang sengaja dipilih oleh peniliti untuk menjadi sampel yang bisa mewakili populasi yang ada. Menurut peneliti mahasiswa perantauan asal luar jawa yang sedang menempuh semester awal berkuliah di Perguruan Tinggi Yogyakarta bahwa sebagai individu pendatang mereka akan mulai mengalami tahap awal fenomena culture shock dimana muncul perasaan asing terhadap
tempat baru atau tempat rantauan, tidak nyaman dengan segala kondisi lingkungan baru dan tidak mudah menyesuaikan diri dalam kehidupan sehari-hari terhadap lingkungan tempat tinggal mereka yang baru di Yogyakarta, hal ini yang kemudian akan berpengaruh dengan hasil penelitian yang didapat. Informan-informan yang didapat dari katagori mahasiswa perantauan yang baru saja memasuki semester awal perkuliahan berasal dari beberapa daerah di luar pulau Jawa, seperti Padang, Mamuju (Sulawesi Barat), Papua Barat dan Papua Pegunungan Wamina. Sedangkan untuk mahasiswa perantauan yang sudah menjalani beberapa semester (semester lanjut), mereka ialah individu pendatang yang telah melalui fenomena culture shock dan telah menemukan cara dimana individu mulai dapat menerima dan menyesuaikan diri terhadap situasisituasi di kehidupan sehari-hari dengan lingkungan tempat tinggal mereka yang baru di Yogyakarta. Informan-informan yang didapat dari katagori mahasiswa perantauan yang sudah menjalani beberapa semester (semester lanjut) berasal dari beberapa daerah di luar pulau Jawa, yaitu Pematang Siantar, Bedugul Bali, dan Kalimantan Utara Kabupaten Malinau. Penelitian ini mengambil informan sebanyak 8 orang yang terdiri dari 4 orang mahasiswa perantauan asal luar jawa yang sedang menempuh semester awal berkuliah di Perguruan Tinggi Yogyakarta dan 4 orang informan mahasiswa perantauan dari luar jawa yang sudah menjalani beberapa semester (semester lanjut) berkuliah di Yogyakarta.
Deskripsi umum informan mahasiswa perantauan asal luar jawa yang sedang menempuh semester awal berkuliah di Perguruan Tinggi Yogyakarta tersebut antara lain sebagai berikut: 1. SC (Perempuan, 18 tahun) SC adalah salah seorang mahasiswi perantau yang berasal dari Padang. SC datang ke Jogja sekitar bulan september 2013. SC baru saja memasuki semester awal perkuliahan di Universitas Gajah Mada. SC tidak memiliki saudara di Yogyakarta. SC sengaja memilih tempat kos yang dekat dengan kampusnya, kini ia bertempat tinggal di daerah Karang Bendo Yogyakarta. SC masih tergolong sebagai mahasiswi baru dan belum terlalu lama tinggal di Jogja. SC memiliki sifat yang sedikit tertutup, sosok yang pendiam serta pemalu, sehingga karena sifatnya tersebut membuatnya enggan untuk memulai interaksi dengan orang-orang baru atau teman-teman barunya kecuali jika mereka yang memulai berinteraksi dengannya maka ia akan menanggapinya. 2. WLLY (Perempuan, 17 tahun) WLLY adalah mahasiswa perantau yang berasal dari Mamuju Sulawesi Barat. WLLY datang ke Jogja sekitar bulan Agustus 2013. WLLY baru saja memasuki semester awal perkuliahan di Universitas Islam Indonesia. WLLY tidak memiliki saudara di Yogyakarta, WLLY sengaja memilih tempat kos yang dekat dengan kampusnya, WLLY bertempat tinggal di daerah Seturan. Sama seperti SC, WLLY pun mengaku bahwa ia merupakan sosok yang sedikit tertutup, pendiam
dan pemalu. WLLY mengakui dengan sifatnya tersebut membuatnya enggan untuk memulai interaksi dengan orang-orang baru atau temanteman barunya kecuali jika mereka yang memulai berinteraksi dengannya maka ia akan menanggapinya. Dalam sosoknya yang pendiam, ia mengamati bagaimana karakter teman-teman barunya di lingkungan barunya ini. 3. MNDL ( Pria, 18 tahun) MNDL adalah mahasiswa perantau yang berasal dari Papua Barat. MNDL datang ke Jogja sekitar bulan Juli tanggal 15 tahun 2015. MNDL baru saja memasuki semester awal perkuliahan di Universitas Negeri Yogyakarta. MNDL merupakan mahasiswa dari jalur program kerjasama daerah yang antara dinas pendidikan di daerahnya dengan Universitas Negeri Yogyakarta. MNDL memiliki merupakan sosok yang pendiam, sehingga karena sifatnya tersebut membuatnya enggan untuk memulai interaksi dengan orang-orang baru atau teman-teman barunya kecuali jika mereka yang memulai berinteraksi dengannya maka ia akan memberikan respon baik untuk menanggapinya. 4. SN (Pria, 18 tahun) SN adalah mahasiswa perantau yang berasal dari Papua, Pegunungan Wamena. SN datang ke Jogja sekitar pertengahan tahun ini, tepatnya tanggal 07 bulan delapan 2015. SN baru saja memasuki semester awal perkuliahan di Universitas Negeri Yogyakarta. SN merupakan mahasiswa dari jalur program kerjasama daerah yang
antara dinas pendidikan di daerahnya dengan Universitas Negeri Yogyakarta. Deskripsi umum informan mahasiswa perantauan dari luar jawa yang sudah menjalani beberapa semester (semester lanjut) berada di Yogyakarta adalah sebagai berikut: 5. ADTY (Pria, 21 tahun) ADTY adalah mahasiswa perantau yang berasal dari Pematang Siantar Sumatera Utara dengan etnis Simalungun-Batak. ADTY datang ke Jogja sekitar bulan April 2011. ADTY sudah menjalani beberapa semester perkuliahan di Universitas Pembangunan Nasional. ADTY sengaja memilih tempat kos yang dekat dengan kampusnya, di daerah Nologaten
Selokan
Mataram
Yogyakarta.
ADTY
merupakan
mahasiswa semester lanjut dan sudah beberapa tahun tinggal di Jogja. ADTY mengatakan bahwa suasana perbedaan budaya yang begitu terasa di Jogja membuatnya enggan untuk mengawali perkenalan dengan teman-teman barunya dan menjalin pertemanan di Jogja karena rasa canggung akan perbedaan kebudayaan yang ada diantara mereka. ADTY mengakui bahwa pada awal kehidupannya di Jogja ia jarang berinteraksi dengan teman-teman barunya dikampus maupun di lingkungan kos kecuali hanya untuk sekedar bertanya hal sekedarnya. ADTY adalah sosok yang sedikit individual, sehingga karena sifatnya tersebut membuatnya tidak mudah untuk memulai interaksi dengan teman-teman barunya kecuali jika teman-teman barunya itu yang
memulai berinteraksi dengannya, itupun ia hanya menanggapinya dengan datar. 6. KMG (Pria, 20 tahun) KMG adalah mahasiswa perantau beragama hindu yang berasal dari Bedugul Bali. KMG datang ke Jogja sekitar bulan April 2011. KMG sudah menjalani beberapa semester perkuliahan di STIE YKPN. Meskipun KMG memiliki saudara di Banguntapan Yogyakarta, KMG tetap lebih memilih untuk kos. KMG kos di daerah Maguwoharjo Yogyakarta, tempat ini terbilang jauh dari kampus, namun KMG memilih tempat kos didaerah tersebut karena merupakan kos khusus yang dihuni oleh orang-orang beragama Hindu dan mayoritas berasal dari daerah yang sama dengannya. KMG merupakan mahasiswa semester lanjut dan sudah beberapa tahun tinggal di Jogja. 7. UI (Perempuan, 20 tahun) UI adalah mahasiswa perantau yang berasal dari Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara. UI datang ke Jogja sekitar september 2012. UI telah memasuki beberapa semester perkuliahan di Universitas Negeri Yogyakarta. UI merupakan mahasiswa dari jalur program kerjasama daerah yang antara dinas pendidikan di daerahnya dengan Universitas Negeri Yogyakarta. UI memiliki sifat yang sedikit tertutup, sosok yang pendiam serta pemalu namun mampu memberikan respon baik bagi yang baik kepadanya.
8. ERN (Perempuan, 20 tahun) ERN adalah mahasiswa perantau yang berasal dari Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara. ERN datang ke Jogja sekitar 31 Agustus 2012. ERN telah memasuki beberapa semester perkuliahan di Universitas Negeri Yogyakarta. ERN merupakan mahasiswa dari jalur program kerjasama daerah yang antara dinas pendidikan di daerahnya dengan Universitas Negeri Yogyakarta. B. Analisis dan Pembahasan 1. Penyebab Yang Melatarbelakangi Proses Terjadinya Culture Shock Pada Mahasiswa Perantauan Di Yogyakarta Dalam penelitian ini, konsep mahasiswa perantauan menggunakan definisi Mochtar Naim, ia menyebutkan merantau merupakan tipe khusus dari migrasi dengan konotasi budaya tersendiri yaitu seorang individu yang datang dari luar daerah, meninggalkan kampung halaman atau tanah kelahiran untuk pergi merantau ke kota, wilayah atau bahkan luar negeri, dengan kemauan sendiri, dalam kurun waktu tertentu/untuk jangka waktu lama atau tidak biasanya dengan maksud kembali pulang, dan dengan tujuan melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Berbagai alasan mengapa mereka melanjutkan studi diluar daerah, antara lain memperluas wawasan,
memperoleh
pendidikan
yang
lebih
baik,
memperoleh
pengalaman baru dan mengharapkan tingkat kehidupan yang lebih baik (Mochtar Naim, 1984: 2).
Menjadi hal umum bahwa para pelajar di berbagai provinsi di luar pulau Jawa banyak yang lebih memilih perguruan tinggi di pulau Jawa untuk meneruskan pendidikan tingginya. Hingga akhirnya kumpulan pelajar tersebut memusat di beberapa kota besar di Indonesia untuk satu tujuan yang sama yaitu berkuliah melanjutkan pendidikan ketingkat yang lebih tinggi setelah selesai menempuh pendidikan di bangku sekolah menengah atas. Selain banyaknya perguruan tinggi, kualitas perguruan tinggi di pulau Jawa dinilai lebih baik dibandingkan perguruan tinggi di luar pulau Jawa. Beberapa daerah yang menjadi pilihan bagi pelajar dari berbagai daerah di Indonesia untuk meneruskan studi ke tingkat pendidikan perguruan tinggi yaitu kota Jakarta, Bandung, Bogor, Yogyakarta, Semarang, Solo, Malang dan Surabaya. Daerah-daerah tersebut dikenal memiliki sarana dan prasarana perkuliahan lengkap, didukung dengan tempat yang kondusif dalam proses belajar mengajar dan mampu menghasilkan daya saing prestasi tinggi antar universitas. Seperti pada pernyataan dari informan SC mahasiswa perantau asal luar jawa mengenai alasannya menjadi perantau sebagai berikut: “Keinginan sendiri lalu didukung oleh orang tua, agar aku bisa mandiri, mampu berkembang lalu tahu dunia luar. Lagi pula orang-orang didaerah kami menganggap kalau kualitas perguruan tinggi di pulau Jawa itu lebih baik dibanding perguruan tinggi di luar pulau Jawa. Jadi orang tua semakin antusias agar aku merantau ke Jawa demi prospek kedepannya yang penuh peluang begitu kak” (Berdasarkan hasil wawancara dengan SC, informan asal Padang pada tanggal 13 November 2013 pukul 14.00 WIB).
Sama halnya dengan keadaan kota Yogyakarta yang sudah sejak lama dikenal sebagai kota dengan nuansa akademik yang menonjol, kota yang berjamur dan berkembang pesat berbagai lembaga pendidikan yang maju dalam dunia ilmu pendidikan sehingga banyak menarik minat para pelajar hingga mahasiswa perantau untuk datang kemudian menetap sementara waktu selama menuntut ilmu di Yogyakarta begitu terus dari dahulu hingga saat ini. Wajar jika Yogyakarta telah banyak menyedot minat pelajar dari seluruh Indonesia untuk melanjutkan pendidikannya ke tingkat perguruan tinggi berkualitas yang banyak terdapat di Yogyakarta. Yogyakarta sebagai kota pelajar didukung oleh pemerintah daerah D.I.Yogyakarta dengan di dirikannya perpustakaan sebagai salah satu sarana mendapatkan informasi pada tahun 2013 tercatat sebanyak 3.408 unit. Sebagian besar merupakan perpustakaan sekolah yaitu 85,45%, sedangkan perpustakaan desa 12,85%, perpustakaan umum 0,18%, perpustakaan keliling 0,56% dan perpustakaan internet sebesar 0,97% (BPS Provinsi D.I. Yogyakarta, Dalam Angka, 2014: 110). Selain sebagai kota pendidikan, Yogyakarta dikenal dengan kota bersejarah, kota wisata juga merupakan kota besar dengan sarana prasarana dan fasilitas kota bervariasi yang kesemuanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduknya. Sehingga dapat dibayangkan tingginya daya tarik yang mampu diberikan untuk menyedot minat para pendatang dengan tujuannya masing-masing, baik dari pendatang yang sekedar berkunjung ketempat-tempat wisata di Yogyakarta hingga pendatang untuk merantau ke Yogyakarta.
Hal ini diperkuat dengan sumber data sekunder yang peneliti dapatkan dari majalah campusmagz mengenai beberapa alasan mengapa Wilayah D.I.Yogyakarta, dengan Perguruan Tinggi Negeri dan Perguruan Tinggi Swasta di Daerah Istimewa Yogyakarta yang tersebar baik di kota hingga ke beberapa kabupaten di DIY seperti Sleman, Bantul, Gunung Kidul semuanya tidak surut dari minat mahasiswa perantau untuk meneruskan pendidikannya sehingga Yogyakarta layak disebut sebagai kota pendidikan dengan julukan surganya pelajar mengenyam pendidikan kejenjang perguruan tinggi yaitu: a. Aman dan nyaman. Jika dibandingkan dengan kota-kota besar yang juga merupakan kota pendidikan lainnya seperti Jakarta serta bandung, tingkat kriminalitas atau tindak kejahatan di Yogyakarta jauh lebih minim dan terkendali. Sehingga kota Yogyakarta terbilang cukup mampu menciptakan rasa tenang dan nyaman bagi para mahasiswa perantau yang datang melanjutkan pendidikan keperguruan tinggi yang banyak terdapat di Yogyakarta (Majalah campusmagz no.36, edisi april 2014: 38). b. Biaya hidup murah. Indekos yang tersedia di Yogyakarta harga semanya sangat bervariatif dari yang paling murah sampai yang paling mahal tergantung tipe dan fasilitasnya. Harga makanan dan kebutuhan mahasiswa lainnya juga terbilang murah, sesuai dengan kantong mahasiswa. c. Akses transportasi mudah. Di Yogyakarta dapat dengan mudah berpergian dengan angkutan umum yang tersedia dari fasilitas kota bus transyogya, bus PPD, bus antar kota antar provinsi, kereta api listrik, hingga taxi, ojek motor, becak, delman dan lain-lain. d. Asrama mahasiswa. Yogyakarta menjalin kerjasama dengan berbagai pemerintah daerah lain baik tingkat kabupaten, kota, maupun propinsi untuk secara resmi mendirikan asrama mahasiswa di Yogyakarta yang bertujuan untuk memudahkan mahasiswa perantauan di Yogyakarta yang ingin bergabung dengan orang-orang dari daerah sendiri dapat mengakses asrama mahasiswa yang banyak terdapat di Yogyakarta. e. Akses kuliner variatif. Di Yogyakarta banyak terdapat penjaja makanan dari berbagai harga, jenis, dan fasilitas yang dapat disesuaikan dengan selera serta kondisi keuangan. Warung burjo, angkringan, warteg, rumah makan Padang, cafe, resto sampai kedai makan franchise pun ada di Yogyakarta. f. Komunitas kreatif. Komunitas-komunitas kreatif hadir meramaikan kota Yogyakarta seperti komunitas pecinta sepeda, pecinta binatang, pecinta olahraga ekstrim dan berbagai komunitas lain yang dapat di akses secara khusus di
g.
h.
i.
j.
kampus masing-masing atau diluar kampus seperti di tempat umum (Majalah campusmagz no.36, edisi april 2014: 39). Acara-acara menarik. Di Yogyakarta sering di gelar berbagai pameran seni, pertunjukan teater, konser musik, performing arts, dan sebagaianya. Ada acara yang bersifat rutin di gelar setiap setahun sekali, ada acara yang hanya incidental. Kawasan malioboro dan alun-alun merupakan tempat favorit para penggelar acara karena kawasan ini memang titik wisata paling ramai di Yogyakarta. Akses pergaulan yang luas. Di Yogyakarta tidak hanya menemukan mahasiswa-mahasiswa perantau dari segala penjuru Indonesia saja, tetapi juga dari luar negeri. Orangorang asing dari negeri tetangga ini juga tercatat sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta. Sehingga terdapat banyak kesempatan untuk melebarkan sayap pergaulan dengan menjalin hubungan baik dengan orang-orang yang sama-sama memiliki status mahasiswa perantauan dari berbagai daerah di Indonesia bahkan luar negeri. High Quality Campus. Dari seratus lebih kampus yang tersebar di Yogyakarta terbukti menelurkan generasi-generasi yang berprestasi dan mampu bersaing secara kualitas dengan lulusan dari kampus luar daerah Yogyakarta lainnya. Pariwisata yang variatif. Yogyakarta merupakan daerah wisata kedua setelah Bali yang sangat ramai dikunjungi oleh wisatawan baik domestic maupun mancanegara. Yogyakarta memiliki berbagai obyek wisata baik alam maupun buatan, dari pantai, gunung merapi, dataran tinggi, sungai, goa, dan tebing, candi, museum kraton dan lain-lain (Majalah campusmagz no.36, edisi april 2014: 40). Hal tersebut sama seperti pada pernyataan yang peneliti peroleh dari
informan mahasiswa perantauan mengenai alasan mengapa mereka memilih untuk merantau ke Yogyakarta: “...Yogyakarta memang sudah lama dikenal sebagai kota pelajar dengan banyak pilihan universitas dan jurusan yang tersedia, tidak hanya itu kualitas perguruan tingginya jauh lebih baik dibanding perguruan tinggi didaerahku. Biaya hidup di Jogja juga lebih terjangkau dari kota-kota pendidikan lain seperti kota Bogor, Bandung, Semarang, Surabaya, Malang, dan Jakarta…” (Berdasarkan
hasil wawancara dengan KMG, informan asal Bedugul Bali pada tanggal 23 November 2013 pukul 10.00 WIB). Sehingga menjadi fenomena wajar jika Yogyakarta terlihat sebagai daerah yang multietnik, tingginya tingkat karakteristik sosial budaya di Yogyakarta ini disebabkan oleh arus datang budaya asing yang ikut terbawa masuk oleh individu perantau ke dalam Yogyakarta. Terkadang mereka datang merantau secara berkelompok dengan orang-orang satu daerah yang saling mengenal, banyak juga yang datang hanya seorang diri ke Yogyakarta, bahkan tidak sedikit ada mereka datang menghimpun kelompok pertemanan mahasiswa daerah khusus tertentu baik secara resmi maupun yang hanya sekedar mengelompok tanpa dikoordinir secara resmi di Yogyakarta. Mahasiswa perantauan sendiri peneliti menyimpulkan sebagai yaitu seorang mahasiswa yang berasal dari lingkungan yang secara budaya berbeda dengan daerah tempat rantauan. Mereka datang dengan tujuan berkuliah, menetap dalam kurun waktu tertentu/untuk jangka waktu lama atau tidak yang biasanya dengan maksud kembali pulang dan dengan satu hal yang menjadi motivasi utama yaitu untuk menyelesaikan studinya di perguruan tinggi yang terdapat di lingkungan barunya tersebut. Culture shock atau dalam bahasa Indonesia disebut gegar budaya, adalah istilah untuk menggambarkan keadaan dan perasaan seseorang dalam menghadapi kondisi lingkungan sosial budaya yang berbeda. Kalervo Oberg mendefinisikan culture shock sebagai penyakit kecemasan
yang diderita oleh individu dalam usaha menyesuaikan diri terhadap lingkungan baru yang berbeda dengan budaya asal, dipicu oleh kecemasan yang timbul akibat hilangnya tanda dan simbol hubungan sosial yang selama ini familiar dikenalnya dalam interaksi sosial, terutama terjadi ketika individu tersebut hidup di luar lingkungan kulturnya dan tinggal dalam budaya baru dalam jangka waktu yang relatif lama (dikutip dari Mulyana dan Rahman, 2006: 174). Sebagai makhluk sosial mereka dituntut untuk mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitarnya yang baru. Dalam lingkungan yang baru tersebut akan memungkinkan terdapatnya tuntutan-tuntutan untuk dapat mampu memahami budaya yang berlaku, dan respon yang mereka berikan tidak selalu dapat langsung menunjukkan hasil yang dikehendaki dikarenakan adanya perbedaan bahasa, adat-istiadat, tata cara dalam berhubungan atau berkomunikasi, yang kesemuanya memerlukan proses dalam mempelajari suatu hal baru yang kemudian akan dipahami dan diterapkan oleh individu perantau dalam kehidupan sehari-harinya ditempat rantauan. Hal inilah yang menimbulkan gegar budaya bagi mahasiswa perantau, menghasilkan sejumlah reaksi yang berpotensi mengakibatkan masalah yang mengganggu pada diri Individu perantau. Paling tidak gegar budaya dapat menyebabkan perasaan tidak nyaman, lelah hingga putus asa. Hal ini seperti yang disebutkan oleh informan mahasiswa perantauan asal luar jawa semester awal dari hasil wawancara sebagai berikut:
“…Sangat menyakitkan bagi aku karena orang-orang Yogyakarta tidak mengerti aku, orang-orang disini memandang aku dengan tatapan yang membuatku tak nyaman, itu tersirat dari mata lho kak bagaimana cara mereka melihatku dengan tatapan yang aneh yang otomatis membuatku kesal, risih, benci, dan akhirnya malas untuk berinteraksi dengan orang-orang yang ada di lingkungan baru ini, buat apa capek-capek memahami mereka kalau mereka saja tidak bisa menghargai perbedaan pada diri aku. Jangan mentang-mentang ini tanah merekalah.” (Berdasarkan hasil wawancara dengan SC, informan asal Padang pada tanggal 13 November 2013 pukul 14.00 WIB) Dari hasil wawancara dan pengamatan yang peneliti lakukan terhadap informan mahasiswa perantauan di Yogyakarta, peneliti menyimpulkan mahasiswa yang mengalami gegar budaya paling besar dialami oleh mahasiswa perantau yang masih berkatagori sebagai mahasiswa baru, dimana mereka berada diantara transisi budaya yang berbeda, serta dituntut untuk segera beradaptasi dengan lingkungan baru. Sedangkan bagi sebagian besar mahasiswa rantauan, untuk mengatasi masalah transisi budaya dengan baik mereka membutuhkan beberapa waktu dalam proses menyesuaikan diri dengan lingkungan dan kebudayaan baru yang ditemuinya saat ini baru kemudian mereka dapat hidup normal terbebas dari ketidaknyamanan baik secara fisik maupun psikis. Hanya saja tingkat gegar budaya ini bebeda-beda tergantung seberapa jauh perbedaan antara budaya asal yang dimilikinya terhadap kebudayaan yang berlaku di lingkungan baru yang ia datangi. Seperti pada hasil wawancara dengan beberapa orang informan mahasiswa perantauan asal luar Jawa semester awal antara lain sebagai berikut:
“Sepertinya aku terlalu angkuh sok berani memutuskan untuk merantau ke Jogja sendirian jauh dari keluargaku hanya demi pendidikan yang berkualitas, tapi ya bagaimana lagi mau tidak mau bisa tidak bisa aku harus benar-benar mempertanggungjawabkan keputusanku merantau. Karena sebelumnya aku tidak pernah punya pengalaman merantau dan ini kali pertamaku, mungkin wajar kalau aku tidak bisa segera menyesuaikan diri dengan segala perbedaan dengan orang-orang sekitar dilingkungan baruku disini. Bahkan untuk saat ini aku belum memiliki teman yang cocok, paling ya cuma sebatas kenal biasa kalau yang benar-benar dekat dan mengerti bagaimana aku masih belum ada. Setiap kali akan memulai mencoba membaur itu selalu saja timbul perasaan cemas, canggung, dengan orang-orang lokal alhasil maju mundur dan amannya milih untuk nutup diri. Di Jogja aku menjadi sedikit pendiam, bukan karena aku berprilaku sombong tapi aku sering bingung, kurang percaya diri saat hendak memulai pembicaraan dengan orang-orang sekitarku, rasa malu, takut dan ragu bercampur menjadi satu...”(Berdasarkan hasil wawancara dengan WLLY, informan perempuan asal Mamuju, Sulawesi Barat pada tanggal 27 November 2013 pukul 14.00 WIB) “…karena masih ditemani bapak ibu jadi aku tenang-tenang saja nah setelah mereka nak balik ke Padang langsung ya masuk babak baru nusuk sedihnya! Disini benar-benar sendiri kesepian ditengah kota besar, merasa benar-benar berada ditempat asing, tersesat! rasanya campur aduk jadi satu susah jelasinnya. Mendadak melankolis sama kenyataan kalau inilah yang namanya merantau jauh dari rumah, dari keluarga, dari apapun itu ya mungkin karena masih baru-baru saja tinggal di Jogja jadi masih belum terima kenyataan” (Berdasarkan hasil wawancara dengan SC, informan asal Padang pada tanggal 13 November 2013 pukul 14.00 WIB) Pengalaman culture shock (gegar budaya) ini sebenarnya merupakan hal wajar dialami oleh individu ketika sedang berada di dalam daerah dengan lingkungan baru yang secara budaya berbeda dari lingkungan asalnya. Aspek-aspek yang terdiri dari ketegangan, perasaan kehilangan, tidak menyukai perbedaan, perasaan tidak berdaya berada jauh dari budaya asal, adanya kebingungan terhadap peran, perasaan, identitas diri, nilai yang dianut dan tidak mudah membaur atau berinteraksi hingga penolakan
terhadap hubungan sosial orang-orang yang ada dilingkungan baru, dapat mengakibatkan individu merasa tertekan. Mahasiswa perantau yang mengalami culture shock akan merasakan tahap kecemasan akan hal-hal baru yang belum pernah ia jumpai selama ini, hal ini terkait dengan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan asing, hanya saja tingkat gangguan yang dialami oleh individu tersebut berbeda antara satu individu dengan individu yang lain, tergantung dari seberapa jauh penyebab culture shock dapat mempengaruhi diri individu tersebut. Culture shock terjadi biasanya dipicu oleh salah satu atau lebih dari tiga penyebab berikut ini, yaitu: 4) Kehilangan cues atau tanda-tanda yang dikenalnya. Padahal cues adalah bagian dari kehidupan sehari-hari seperti tanda-tanda, gerakan bagian-bagian tubuh (gestures), ekspresi wajah ataupun kebiasaankebiasaan yang dapat menceritakan kepada seseorang bagaimana sebaiknya bertindak dalam situasi-situasi tertentu. 5) Putusnya komunikasi antar pribadi baik pada tingkat yang disadari yang mengarahkan pada frustasi dan kecemasan. Halangan perbedaan bahasa adalah penyebab jelas dari gangguan ini. 6) Krisis identitas dengan pergi keluar daerahnya seseorang akan kembali mengevaluasi gambaran tentang dirinya (dikutip dari Dayakisni, 2012: 265).
Berdasarkan hasil dari wawancara dengan delapan orang informan mahasiswa perantau di Yogyakarta maka peneliti menemukan penyebab culture shock serta gejala dan reaksi culture shock pada mahasiswa perantauan yaitu sebagai berikut: a) Penyebab Internal, Psikologis
yang
menunjukkan
kemampuan
intrapsikis
untuk
menghadapi lingkungan baru yang di kehendaki. Hal ini di kehendaki oleh pusat kendali internal (Dayakisni, 2012: 270). Adanya pengaruh intrapersonal
dalam
diri
individu,
diantaranya
keterampilan
berkomunikasi, pengalaman dalam setting lintas budaya, kemampuan bersosialisasi dan ciri karakter individu (toleransi atau kemandirian berada jauh dari keluarga sebagai orang-orang penting dalam hidupnya yang berperan dalam sistem dukungan dan pengawasan). Seperti pada hasil wawancara dari WLLY informan mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa yang sedang menempuh semester awal berkuliah di Perguruan Tinggi Yogyakarta yang menunjukkan penyebab internal pembentuk culture shock yaitu sebagai berikut: “Yang membuat stress itu jarak, karena jarak membuatku merasa kehilangan orang-orang yang telah ku kenal sebelumnya, sedih berada di lingkungan yang tidak kukenali ini, terlebih jauh dari orang tua itu sangat menyiksa dan sering membuatku gampang menangis, bahkan bisa sampai jatuh sakit saat tidak terbendung lagi rasa rinduku. Sekarang amat terasa sekali kalau ternyata jauh dari orang tua itu sangat berat, dampaknya hingga membuat moodku berantakan, apaapa jadi malas, tidak ada yang menyemangati. Saat rasa itu mulai datang dan tak terbendung, aku akan lebih memilih untuk menyendiri di kamar kosku bahkan bisa sampai nafsu makanku hilang kadang juga bisa sampai jatuh sakit karena tak terbendung rasa rinduku
dengan rumah kampung halaman terlebih dengan keluargaku. Disini apa-apa harus mengurus sendiri, saat sakit pun harus pintar merawat diri sendiri pergi berobat sendiri itu sangat memilukan kak, semua itulah yang membuatku merasa tertekan karena jarak. Aku merasa sebatang kara disini ditempat asing ini.”(Berdasarkan hasil wawancara dengan WLLY, informan perempuan asal Mamuju, Sulawesi Barat pada tanggal 27 November 2013 pukul 14.00 WIB) Dan hasil wawancara dari ADTY informan mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa yang telah menempuh semester lanjut berkuliah di Perguruan Tinggi Yogyakarta yang menunjukkan penyebab internal pembentuk culture shock yaitu sebagai berikut: “…diawal datang itu butuh waktu untuk rileks, tidak dipungkiri ya walau aku cowok tapi perasaan gerogi, gugup, tidak percaya diri karena berada ditempat asing, merasa sendiri tidak ada kelompok teman-teman yang biasanya bersamaku itu ada. Aku merasa kehilangan jati diri selama berada di lingkungan baru ini, tidak ada orang tua hanya ada pacar itupun berbeda jurusan denganku, disini aku kehilangan semuanya ya walau tidak secara langsung tapi aku kehilangan sosok orang-orang yang lama kukenal sebelumnya orangorang yang familiar dikampung halaman. Ini hal-hal yang tidak kuperhitungkan saat memutuskan untuk merantau, tapi kalau aku tidak merantau bagaimana pacarku kasian dia jika tanpaku menjalani semua ini sendiri di sini bisa gila dia nanti. Semua ini berat dan beratnya tidak seperti yang kami berdua bayangkan saat memutuskan untuk merantau, dari yang kami kira mudah ternyata tidak semudah perkiraan”(Berdasarkan hasil wawancara dengan ADTY informan pria asal Pematang Siantar, Sumatera Utara pada tanggal 19 November 2013 pukul 12.00 WIB) Dari hasil wawancara yang peneliti peroleh menunjukkan bahwa pengaruh intrapersonal dalam diri individu, seperti keterampilan berkomunikasi, pengalaman dalam setting lintas budaya, kemampuan bersosialisasi dan ciri karakter individu (toleransi atau kemandirian berada jauh dari keluarga sebagai orang-orang penting dalam hidupnya yang
berperan dalam sistem dukungan dan pengawasan) benar berpengaruh pada besar-kecil terjadinya penyebab culture shock pada diri individu. Peneliti menyimpulkan bahwa pada umumnya individu yang belum pernah melakukan pengalaman lintas budaya dan kurangnya informasi faktual tetang lingkungan dan lokasi tempat rantauan akan lebih mudah mengalami gegar budaya, yang dikarenakan individu tersebut belum cukup siap mempersiapkan strategi terhadap semua hal mengenai seperti pemahaman lintas budaya pada dirinya di tempat rantauan sebagai lingkungan barunya yang kemudian dapat menjalar pada masalah ketidaknyamanan secara luas dan lebih kompleks (mood). b) Penyebab Eksternal, Adanya variasi sosiokultural yaitu kemampuan yang berhubungan dengan tingkat perbedaan budaya yang mempengaruhi tinggi rendahnya transisi antara budaya asal ke budaya baru ( Dayakisni, 2012: 270). Gegar budaya terjadi lebih cepat jika budaya tersebut semakin berbeda, hal ini meliputi perbedaan sosial, budaya, adat istiadat, agama, iklim, rasa makanan, bahasa, gerak tubuh/ ekspresi tubuh hingga mimik wajah, cara berpakaian/ gaya hidup, teknologi, pendidikan, aturan-aturan dan norma sosial dalam masyarakat serta perbedaan perilaku warga tuan rumah. Seperti pada hasil wawancara dari delapan orang informan mahasiswa perantauan yang menunjukkan penyebab eksternal pembentuk culture shock yaitu sebagai berikut:
(1) Pola, jenis, rasa dan porsi makan Salah satu perbedaan terbesar antara pendatang dengan tuan rumah yang biasanya menjadi masalah bagi individu pendatang itu ialah makanan. Pola, jenis, rasa dan porsi makan seseorang sangat berkaitan erat dengan kultur dimana ia tinggal dan telah melekat pada diri individu. Oleh karenanya, ketika individu berada di daerah tuan rumah dengan pola, jenis, rasa dan porsi makan yang berbeda, ia akan mengalami kekagetan dan frustasi yang mengarah pada terjadinya culture shock, “…disini khasnya manis dan sama sekali tidak pedas sedangkan selera lidah cenderung pedas asin. Buruknya lagi disini warung-warung makan rasanya sama saja semuanya dominan manis sepertinya mereka memasak tanpa cabai namun memasukkan gula ke setiap masakannya ya heran betul sama orang sini makanan manis seperti itu mereka bisa suka. Repot pilih-pilih makanan sampai akhirnya kalau makan larinya ke warung makan Padang atau burjo makan mie instan buatan sunda yang amazing rasanya kalau tidak ya sedia ganjalan perut dikamar itu roti kan kalau roti rasanya dimana-mana sama saja atau hunting kemana-mana sampai ketempat mahal pun jadilah tak mengapa sekalian hunting jalan-jalan sama pacar. ”(Berdasarkan hasil wawancara dengan ADTY, informan asal Pematang Siantar pada tanggal 19 November 2013 pukul 12.00 WIB) “Waktu awal langsung kaget dengan rasa manis masakan Jogja sampai kehilangan selera makan dan sempat kurus setengah tahunan kalau tidak salah itu penyebab vitalnya ya karena malas makan dimana-mana rasa masakannya sama saja terlalu manis. Yang akhirnya karena masalah perbedaan selera lidah itulah sehingga membuatku jadi lebih kuat merokok dan ngopinya…”(Berdasarkan hasil wawancara dengan KMG, informan asal Bedugul Bali pada tanggal 23 November 2013 pukul 10.00 WIB)
“Menu masakan susah untuk menyesuaikan karena sini khasnya manis sedangkan lidahku tidak terbiasa dengan masakan manis, kalau makan larinya ke warung makan Padang, makan roti, membuat roti tawar selai, nyemil snacksnack, kalau tidak yaa buat mie instan sendiri, atau kalau pas ada temannya yang mengajak nyari makan bareng ya hunting warung makan yang sambalnya ekstra pedas, sekalian wisata kuliner segala tempat kami coba sampai habis referensi tempat makan terus kebanyakan makan ditempat JunkFood berkelas internasional seperti PH, starbucks, J.Co, KFC, Dunkin donuts yang sebenarnya menguras kantong dan akhirnya tidak bisa keseringan hang out ditempat-tempat mahal seperti itu karena membuatku selalu kehabisan uang bulanan. Cuma ya itu tadi pola makanku berantakan jadinya sering malas mau makan, ini saja aku kurusan turun berapa kilogram sendiri gara-gara pilih-pilih makanan, jadi susah makan. Akhirnya kesini-kesininya harus bisa paksa sedikitsedikit tidak pilih-pilih makan meski setiap kali memaksa makan selalu mual sampai muntah pula, masih berusaha ya untuk tidak pilih-pilih makan lagi cuma ya carinya tetap ketempat makan yang rasanya lumayan bisa cocok di lidahlah sedih kalau makan tapi tak bisa kuhabiskan karena tidak selera.”(Berdasarkan hasil wawancara dengan SC, informan asal Padang pada tanggal 13 November 2013 pukul 14.00 WIB) Penyebab eksternal pembentuk culture shock yang peneliti dapatkan dan terbesar karena rata-rata semua informan paling keluhkan berupa perbedaan rasa masakan yang dirasakan oleh mahasiswa perantauan asal luar pulau jawa, (2) Bahasa Penyebab eksternal pembentuk culture shock berupa perbedaan bahasa yang dirasakan oleh mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa, “Cuma masihlah aku heran orang disini yang asli Jogja itu senang sekali berbahasa Jawa kepada siapapun. Dari para penjualnya, tukang parkir, teman kampusku yang asli Jogja pun begitu sama saja mereka memang sih kalau disini tanah milik mereka tapi harusnya jangan sengaja lupa kalau disini
juga banyak pendatang yang campur-campur asal daerahnya, bukannya kenapa tapi aku cuma bisa bengong kalau diajak mereka mengobrol pakai bahasa Jawa, meskipun mereka jelas tahu aku pakai bahasa Indonesia itulah yang membuatku merasa tidak nyaman setiap harinya ketika berinteraksi dengan mereka yang egois. Aku sudah loh mencoba memahami mereka dengan tidak mengajak mereka bicara dengan bahasa minang yang pastinya tidak mereka pahami… tapi tidak kan? Justru mereka yang masih saja cuek dan tetap berbahasa Jawa memangnya mereka pikir aku tahu paham gitu artinya.” (Berdasarkan hasil wawancara dengan SC, informan asal Padang pada tanggal 13 November 2013 pukul 14.00 WIB) Bahasa merupakan cerminan dari sebuah kebudayaan yang beradab. Bahasa tidak bisa dianggap mudah dengan sebelah mata dewasa ini. Individu yang mengalami kekagetan terhadap budaya baru sering kali dihubungkan dengan masalah bahasa sebagai salah satu penghambat yang cukup besar ketika menetap ditempat yang baru. Tidak menguasai atau bahkan tidak mengerti sama sekali bahasa merupakan suatu hal yang wajar yang menyebabkan timbulnya culture shock. (3) Adat Istiadat Penyebab eksternal pembentuk culture shock berupa perbedaan adat istiadat yang dirasakan oleh mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa, “Kalau di papua itu jika di jalan bertemu dengan orang yang kita kenal maka kita hanya akan menyapa dengan melambaikan tangan, tersenyum dan berkata hai atau bersalaman, kalau di Jogja itu saya kaget karena berbeda mereka menyapanya itu menunduk-nunduk sambil tersenyum dan berkata menggo saya bingung, saya masih sering membalas mereka dengan melambaikan tangan saja
sudah dan tersenyum menjawab iya, wah itu saya belum bisa ikuti kebiasaan disini yang menunduk–menunduk seperti itu tadi, saya merasa aneh.”(Berdasarkan hasil wawancara dengan MNDL, informan asal Papua Barat pada tanggal 16 November 2015 pukul 10.25 WIB) Merujuk pada tradisi-tradisi yang biasa dilakukan oleh masyarakat di setiap daerah yang notebene memiliki ciri khas kebudayaan yang berbeda satu sama lain. Adannya suatu tuntutan bagi individu perantau untuk mampu beradaptasi dengan adat istiadat di daerahnya yang baru sebagai bentuk menghargai di lingkungan tuan rumah dan cara agar mampu untuk membaur. Namun sayangnya, beradaptasi dengan adat istiadat yang baru bukanlah hal yang mudah bagi seorang pendatang, maka individu cenderung mengalami kekagetan budaya terutama dalam hal adat istiadat tersebut. (4) Gerak tubuh/ ekspresi mimik wajah Penyebab eksternal pembentuk culture shock berupa perbedaan gerak tubuh/ ekspresi mimik wajah yang dirasakan oleh mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa, “…Sudah aku tidak paham bahasa jawa aku juga masih belum pintar membaca isyarat, dan mimik wajah orang Jogja jadi masalah kuadrat takut kalau-kalau nanti salah dalam mengartikannya malah timbul ketersinggungan atau apalah.” (Berdasarkan hasil wawancara dengan WLLY, informan asal Mamuju pada tanggal 13 November 2013 pukul 14.00 WIB)
(5) Pendidikan Penyebab eksternal pembentuk culture shock berupa perbedaan
pendidikan
yang
dirasakan
oleh
mahasiswa
perantauan asal luar pulau Jawa, “Iya ada saya merasa terlambat dari mereka yang orang Jawa, mereka pandai presentasi di depan kelas tapi saya tidak karena di Papua tidak di ajarkan seperti itu. Kami di SMA Papua hanya datang kesekolah, belajar, terima materi pelajaran, baca, tulis, mengerjakan tugas soal-soal di buku sudah begitu saja, dan itu tugasnya biasa saja tapi berbeda dengan kuliah, kalau di perkuliahan tugas itu banyak sekali tugas tiada henti, intensitasnya lebih tinggi dibandingkan waktu di SMA dulu dan kalau kuiah ada banyak tugas yang harus di prsentasikan di depan kelas kita membaca, menjelaskan hasilnya lalu tanya jawab pertanyaan temanteman serta dosen itu saya masih kacau. Di SMA tidak ada presentasi kalau tugas saja saya bisa mengerjakan, ini saya kaget, saya bingung, harus banyak berlatih. Ya saya terkesan dengan teman-teman yang lain mereka langsung mampu tapi saya belum. Saya banyak belajar dari mereka bagaimana caranya agar bisa, saya juga diajari oleh dosen mereka memahami saya kalau kita pendidikan memang masih lebih jauh, lebih bawah dari yang di luar Papua.” (Berdasarkan hasil wawancara dengan SN, informan asal Papua, Pegunungan Wamena pada tanggal 03 Desember 2015 pukul 13.00 WIB) Seiring
berjalannya
waktu
perkembangan
pendidikan
pun
Perkembangan
pendidikan
yang
bertambahnya semakin semakin
melaju
jaman, pesat.
mutakhir
ini
menyebabkan masyarakat harus selalu ingin berusaha untuk mengikuti perkembangan pendidikan agar mampu bersaing di dunia global. Pendidikan juga merupakan hal penting dalam mempengaruhi timbulnya masalah culture shock atau gegar
budaya. Individu perantau merasa gelisah, cemas atau bahkan takut tidak bisa mengikuti perkembangan pendidikan di tempat tinggal barunya sehingga individu cenderung merasakan kurang percaya diri. Individu perantau disini dituntut untuk berpikir keras bagaimana caranya untuk dapat mengikuti perkembangan pendidikan serta mampu mengaplikasikannya dikehidupannya. (6) Pergaulan Penyebab eksternal pembentuk culture shock berupa perbedaan pergaulan yang dirasakan oleh mahasiswa perantauan di tempat yang baru asal luar pulau Jawa, “…punya kelompok teman-teman sendiri ya walau tidak murni dari daerahku tapi setidaknya kami satu pulau yang samalah ada yang dari Lampung, Padang, Riau, Jambi macam-macamlah awalnya cuma kenal sama satu orang saja lama-lama bertambahlah link kami karena waktu ya tidak sengaja bertemu di gereja kita berkenalan ada juga yang dikenalkan lalu kami saling mengenalkan satu sama lain kan dan akhirnya sekarang teman-teman sumateraku banyak. Itu berkat tetap cari teman yang satu pulau jadinya seru, tidak mainstream, ”(Berdasarkan hasil wawancara dengan ADTY, informan asal Pematang Siantar pada tanggal 19 November 2013 pukul 12.00 WIB) “Walau dosen selalu menganjurkan biar yang Kalimantan seperti kami berlima lainnya untuk membaur, mendekatkan diri dengan yang Jawa tapi yang Jawa juga sama kami masih aneh saja tidak welcome jadi kalau sama teman sekelas memang kenal tapi cuma sebatas kenal biasa, hafal sama wajahnya tahu namanya ya sudah gitu saja tidak lebih tidak sampai dekat yang akrab bahkan itu sampai sekarang aku sudah semester 7, ada yang baik mau welcome sama aku tapi jarang malah bisa di hitung pakai jari tangan jadi mau apa-apa aku terbiasa sendiri tidak gabung mereka yang sekelas paling cuma yang sama-sama program kerjasama saja, yang sama-sama Kalimantan saja aku punya intensitas
yang lebih di banding dengan yang Jawa kalau nongkrong juga banyak sama yang sama-sama Kalimantan kan tidak enak ya kalau sama yang Kalimantan tidak gabung tidak dekat, masalahnya kami senasib kan”( Berdasarkan hasil wawancara dengan UI, informan asal Malinau, Kalimantan Utara pada tanggal 18 November 2015 pukul 11.00 WIB) Ketakutan ini menjadikan individu merasa canggung dalam menghadapi situasi yang baru, tempat tinggal yang baru dan suasana yang baru. Akibat ketidak pahaman mengenai pergaulan ini, individu juga akan merasa terasing dengan orang-orang disekelilingnya yang dirasa baru baginya. Pada keadaan seperti ini berpotensi timbulnya suatu pandangan yang mengarahkan individu untuk cenderung memilih berinteraksi menurut kelompok dengan identitas kebudayaan yang sama sebagai solusi yang paling tepat bagi individu perantau untuk menghindari dari perbedaan adat istiadat, kebiasaan, tingkah laku yang umumnya terjadi dimasyarakat di lingkungan yang baru. Dengan cara tersebut individu perantau berharap dapat lebih merasa nyaman yang setidaknya sama seperti saat di kampung halamannya. (7) Geografis Penyebab eksternal pembentuk culture shock berupa perbedaan lingkungan secara fisik, misalnya perbedaan cuaca, iklim, perbedaan letak wilayah yang dirasakan oleh mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa,
“...Cuacanya Jogja itu ekstrim, terlebih cuaca di Jogja itu sangat berbeda dengan daerah asalku sehingga waktu pertama di Jogja dulu badan saya ini kaget lalu sering sakit radang tenggorokan atau batuk, Yogyakarta kan teriknya terasa menyengat sekali di kulit sampai harus rajin-rajin pakai handbody kalau tidak ingin kulit menjadi hitam, perih dan kering, lalu kemaraunya disini terasa lebih lama benarbenar tanpa ada hujan walau gerimis sekalipun itu, musim kemarau kemarin benar-benar terasa sangat panas menyengat....” (Berdasarkan hasil wawancara dengan SC, informan asal Padang pada tanggal 13 November 2013 pukul 14.00 WIB) Penyebab geografis ini berkaitan erat dengan kondisi fisik lingkungan maka hal ini dapat berpengaruh secara langsung terhadap kondisi fisik individu yaitu kondisi kesehatan yang cenderung menurun ketika individu tersebut tinggal di suatu tempat tinggal yang baru, yang tentunya jauh berbeda dengan tempat tinggal semula sebagai proses penyesuaian secara fisik. (8) Agama Penyebab eksternal pembentuk culture shock berupa perbedaan agama yang dirasakan oleh mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa, “…Kenapa aku serius mencari kos yang sesuai dengan agama dan suku budayaku itu karena menurutku orangorang Yogyakarta yang mayoritas muhammadiyah tidak mengerti nilai-nilai budaya aku jadi agar terhindar dari perselisihan masalah budaya, etnik dan suku bangsa aku memilih untuk mencari kos yang khusus bali saja agar aku leluasa dalam menjalankan ibadahku sehari-harinya. Kan kami orang hindu kalau bersembahyang pasti menggunakan dupa, bunga dan lain sebagainya takutnya kalau aku kos di sembarang tempat yang biasa mereka akan memberikan peraturan ini itu karena terganggu kan bisa saja itu terjadi, sudah aku terganggu mereka juga terganggu jadi sama-
sama terganggu maka baiknya antisipasi dengan carilah kos yang homogen kalau tidak ada perbedaan kan meminimalisir terjadinya masalah.” (Berdasarkan hasil wawancara dengan KMG, informan asal Bedugul, Bali pada tanggal 23 November 2013 pukul 10.00 WIB) Agama dianggap sebagai salah satu penghambat individu dalam usahanya menyesuaikan di tempat tinggal yang baru, namun dengan kadar yang sangatlah kecil. Individu mengalami ketakutan tersendiri terhadap agama yang menjadi perbedaan yang sangat rentan dan tidak bisa disatukan dengan mudahnya. Ketika individu mulai menyadari akan kenyataan dari ruang lingkup yang berbeda, beberapa masalah ketidaknyamanan ini mulai berkembang, individu seringkali dihadapkan pada berbagai macam perbedaan yang belum pernah dihadapi sebelumnya dan akhirnya hal inilah yang dapat memicu persoalan-persoalan lintas budaya dan munculnya suatu krisis diri. Individu menemukan dirinya dalam situasi kekecewaan atau penolakan dari budaya baru sebagai hasil dari ketidak sesuaian antara harapan dan kenyataan, yang menurut penulis berdasarkan hasil pemaparan diatas mengenai penyebab internal maupun eksternal terjadinya culture shock sesuai dengan pendapat Furnham dan Bochner yang mengatakan bahwa culture shock ialah ketika seseorang tidak mengenal kebiasaan-kebiasaan dari budaya tuan rumah karena adanya perbedaan dengan dari mana individu perantauan tersebut berasal sehingga individu mulai merasa bingung, cemas dan heran dengan lingkungan yang barunya maka ia tidak dapat menampilkan perilaku yang
sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku di lingkungan baru tersebut. Hal ini kemudian berpengaruh pada kesulitan dalam beradaptasi dan berkomunikasi yang muncul kepermukaan. c)
Gejala dan Reaksi Culture Shock Budaya atau kebiasaan yang berbeda dapat menimbulkan ketidaknyamanan bagi individu dalam hidupnya sebagai akibat perubahan besar yang dialami individu yang biasanya ia tidak siap menghadapi perubahan tersebut. Merujuk pada banyaknya tuntutan penyesuaian yang dialami individu pada level kognitif, perilaku, emosional, sosial dan fisiologis yang dapat memicu gejala-gejala gangguan
mental
yang
diawali
dengan
timbulnya
perasaan
kebingungan pada diri individu yang disertai dengan sikap tidak terorganisasi, menarik diri dari pergaulan dengan warga setempat, cenderung menghabiskan waktu seorang diri atau hanya nyaman bergaul dengan orang-orang yang memiliki kultur yang sama dengannya. Harry Triandis, seorang psikolog terkenal memandang gegar budaya sebagai hilangnya kontrol seseorang saat ia berinteraksi dengan orang lain dari kultur yang berbeda. Kehilangan kontrol umumnya memang menyebabkan kesulitan penyesuaian tetapi tidak selalu merupakan gangguan psikologis (Shiraev dan Levy, 2012: 443). Pedersen mengemukakan dalam salah satu teori gegar budaya melihat gegar ini sebagai penyesuaian awal kelingkungan baru atau
asing yang diasosiasikan dengan perkembangan individu, pendidikan, dan bahkan pertumbuhan personal. Secara singkat bahwa segala bentuk stress mental maupun fisik yang dialami individu pendatang selama berada di lokasi asing disebut sebagai gejala culture shock, akan tetapi gejala culture shock yang terjadi pada setiap individu memiliki tingkatan atau kadar yang berbeda mengenai sejauhmana culture shock mempengaruhi kehidupannya. Ada beberapa gejala membentuk reaksi
yang biasanya
ditunjukkan individu saat
mengalami culture shock (Shiraev dan Levy, 2012: 444) yaitu: (1) Gejala gegar budaya sebagai nostalgia. Reaksi yang biasanya ditunjukkan individu yakni merasa rindu keluarga, kawan dan pengalaman lain yang familiar. (2) Gejala gegar budaya sebagai disorientasi dan hilangnya kontrol. Reaksi yang biasanya ditunjukkan yakni hilangnya hal-hal yang familiar tentang perilaku orang lain. Disorientasi menimbulkan kecemasan, depresi, dan merasa putus asa. (3) Gejala gegar budaya sebagai ketidakpuasan atas hambatan bahasa. Reaksi yang biasanya ditunjukkan yakni kurangnya komunikasi atau sulitnya komunikasi bisa menimbulkan frustasi dan perasaan terasing. (4) Gejala gegar budaya sebagai hilangnya kebiasaan dan gaya hidup. Reaksi yang biasanya ditunjukkan yakni individu tidak
mampu melakukan banyak aktifitas yang sebelumnya ia nikmati : ini menyebabkan kecemasan dan perasaan kehilangan. (5) Gejala gegar budaya sebagai anggapan adanya perbedaan. Reaksi yang biasanya ditunjukkan yakni perbedaan antara budaya baru dengan budaya kampung halaman biasanya dilebih-lebihkan dan sulit diterima. (6) Gejala gegar budaya sebagai anggapan adanya perbedaan nilai. Reaksi yang biasanya ditunjukkan yakni perbedaan ini biasanya dilebih-lebihkan: nilai-nilai baru tampaknya sulit diterima. Pada diri individu mahasiswa perantau yang mengalami culture shock dapat kita lihat gejala membentuk reaksi yang ditunjukkan mengarah pada bentuk stress mental maupun fisik selama berada di lokasi asing sebagai penyesuaian awal kelingkungan baru atau asing yang diasosiasikan dengan perkembangan individu, pendidikan, dan bahkan pertumbuhan personal sesuai dengan pandangan Harry Triandis pada setiap point yang telah disebutkan diatas yaitu: (a) Orang merasa rindu keluarga, kawan, dan pengalaman lain yang familiar.
Kerinduan yang teramat besar terhadap keluarga, teman, kerabat, suasana/ keadaan lingkungan kampung halaman, serta hal-hal yang biasa ia jumpai di tempat individu tersebut berasal (homesick).
Seperti pada hasil wawancara dari salah seorang informan mahasiswa perantauan asal luar Jawa semester awal sebagai berikut: “jauh dari orang tua itu saat ini sebenarnya terasa masih sangat menyiksa dan sering membuatku mudah menangis atau menyendiri saat tidak terbendung lagi rasa rinduku. Jauh dari kampung halaman membuatku kurang percaya diri memulai pembicaraan dengan orang baru, belum lagi setiap bangun pagi pasti muncul perasaan seperti belum terbiasa kaget ini bukan kamarku aku dimana apa ya kak semacam belum bisa menerima tidak memiliki rasa memiliki sama lingkungan baruku yang sekarang ini, merasa kurang minder dan kurang bebas mengekspresikan diri di lingkungan baru ini juga, yang semua itu pada intinya mengacu pada perasaan sedih karena berada di lingkungan yang tidak biasa...” (Berdasarkan hasil wawancara dengan SC, informan asal Padang pada tanggal 13 November 2013 pukul 14.00 WIB) (b) Hilangnya hal-hal yang familiar tentang perilaku orang lain. Disorientasi menimbulkan kecemasan, depresi, dan merasa putus asa.
Merasakan kehilangan tanda-tanda yang biasa individu kenal dikehidupan sehari-hari seperti gerakan bagian-bagian tubuh (gestures), ekspresi wajah ataupun kebiasaan-kebiasaan yang dapat menceritakan kepada seseorang bagaimana sebaiknya bertindak dalam situasi-situasi tertentu. Seperti pada hasil wawancara dari salah seorang informan mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa semester lanjut sebagai berikut:
“…masih awal belum tahu apa-apa entah gimana adatnya, bahasanya juga gerak tubuh isyarat-isyarat yang menghormati bagaimana yang tidak bagaimana, benarbenar masih bingung mau bagaimana mau seperti apa di sini kan wajar bukan? karena kan adatnya memang berbeda dengan tempat asalku kalau tempatku kan memang cuek-cuek orangnya nah kalau di Jogja ternyata di tuntut ramah kalau tidak di bilang sombong, kaku, inilah itulah…”(Berdasarkan hasil wawancara dengan UI, informan asal Malinau, Kalimantan Utara pada tanggal 18 November 2015 pukul 11.00 WIB)
Perasaan
kesepian/
merasa
sendirian,
tidak
nyaman,
kecemasan, sedih, melankolis, disorientasi, rapuh tidak berdaya, keletihan, merasa diri lemah, tidak mudah untuk berinteraksi dengan orang lain, mudah lupa namun sering mengingat masa lalu dan penyesalan atau bahkan sebaliknya yaitu timbul adanya perubahan temperamen, kemarahan, mudah tersinggung, kesulitan tidur, frustasi hingga depresi. Seperti pada hasil wawancara dari salah seorang informan mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa semester awal yang menggambarkan dari beberapa pernyataan diatas yaitu sebagai berikut: “…Di Jogja masih merasa kaku ya kan karena adatnya memang berbeda dengan tempat asalku, masih merasa aneh dengan kebiasaan di daerah baruku sekarang, terlebih disini sendirian tidak kenal baik dengan warga sekitar tempat tinggal atau kosku ini. Jauh dari bapak ibu kakak itu rasanya membuatku kesepian dan sering bingung harus bagaimana dengan segala hal yang masih asing dimataku, kalau ada mereka kan ada yang memberi semangat, ada yang menemani, berlindung, bermanja ya mungkin karena belum pernah merantau seperti ini, jadi belum memiliki banyak pengalaman tentang
penyesuaian lingkungan, yang tadinya terbiasa dengan segala kegiatan dan keadaan rumah, sekarang harus jauh dari kebiasaan-kebiasaan itu. (Berdasarkan hasil wawancara dengan WLLY, informan asal Mamuju, Sulawesi Barat pada tanggal 27 November 2013 pukul 14.00 WIB)
Perasaan pesimis, tidak mampu bersaing atau memecahkan masalah sederhana akibat kehilangan rasa kepercayaan diri, kehilangan identitas, mempertanyakan kembali identitas diri yang selama ini diyakininya. Misalnya; sebelumnya individu tersebut meyakini bahwa dirinya adalah orang yang memiliki rasa percaya diri dan bebas mengekspresikan diri di daerahnya namun ketika berada di daerah baru kini ia merasa telah kehilangan jati diri, aneh atau tidak menarik. Seperti pada hasil wawancara dari salah seorang informan mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa semester awal sebagai berikut: “…terasa berat ya memulai dari awal namanya juga mencoba mengenal budaya baru di lingkungan yang masih asing, dengan orang-orang yang belum benarbenar kukenal, apalagi orang-orang disini berbeda latar belakang budayanya denganku jadi untuk saat ini aku masih susah berbaur. Perasaan ragu, takut itu selalu mucul ya setiap akan berinteraksi atau ketika akan memulai beradaptasi dengan lingkungan baru, ditambah bingung bagaimana memulai perkenalan dan memulai pembicaraan dengan teman baru” (Berdasarkan hasil wawancara dengan SC, informan asal Padang pada tanggal 13 November 2013 pukul 14.00 WIB)
(c) Kurangnya
komunikasi
atau
sulitnya
komunikasi
bisa
menimbulkan frustasi dan perasaan terasing.
Timbul perasaan sensitif atau prasangka yang berlebihan pada diri individu perantau akibat masalah perbedaan bahasa daerah asal dengan bahasa di daerah baru dan perbedaan cara bicara. Seperti pada hasil wawancara dari salah seorang informan mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa semester awal sebagai berikut: “…dalam keseharian sering sekali mendengar mereka aktif berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa kesesama mereka yang suku Jawa, walau aku bukan lawan bicara mereka tapi aku mendengarnya merasa aneh, penasaran apa yang sedang seru mereka bahas, nah jangan-jangan mereka sedang membahas kejelekanku siapa yang tahu kan kalau dibalik sikap dan tuturkata lembut tersimpan kebusukan, bukannya apa tapi berjagajaga itu perlu apalagi disini aku sendiri tidak akrab dengan siapa-siapa di tanah orang pula…”(Berdasarkan hasil wawancara dengan WLLY, informan asal Mamuju, Sulawesi Barat pada tanggal 27 November 2013 pukul 14.00 WIB)
(d) Individu tidak mampu melakukan banyak aktifitas yang sebelumnya ia nikmati : ini menyebabkan kecemasan dan perasaan kehilangan.
Perasaan
kehilangan
dan
letih
karena
harus
selalu
menggunakan bahasa umum sehingga merindukan bahasa daerahnya yang biasa individu gunakan tanpa ada hambatan
masalah pehamanan bahasa saat masih di kampung halamannya dalam aktivitasnya berkomunikasi dengan keluarga dan teman. Seperti pada hasil wawancara dari salah seorang informan mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa semester awal sebagai berikut: “…bahasa disini berbeda, karena di tanah Jawa jadi aku harus berbahasa Indonesia terus setiap hari 24 jam full jika berkomunikasi dengan orang lain yang jelas berbeda budaya gini tapi lama-lama juga capek ya rindu bahasa daerah yang lebih mudah di ucapkan bukan bahasa Indonesia tidak mudah di ucapkan tapi berbahasa Indonesia saja mereka masih bilang tidak mereka mengerti kan kesal juga rasanya…”(Berdasarkan hasil wawancara dengan EN, informan asal Malinau, Kalimantan Utara pada tanggal 19 November 2015 pukul 11.00 WIB) (e) Perbedaan antara budaya baru dengan budaya kampung halaman biasanya dilebih-lebihkan dan sulit diterima.
Selalu membandingkan kultur asalnya, mengidolakan kultur asal secara berlebihan dan perasaan bergantung pada orangorang lain dari daerah atau negara asal yang sama dengannya. Seperti pada hasil wawancara dari salah seorang informan mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa sebagai berikut: “lebih nyaman berinteraksi dengan teman-teman kosku yang juga sama-sama dari Bali sehingga tahun pertama di Jogja kebanyakan kuhabiskan dengan mereka, mainmain berkeliling wisata Jogja ya itu ramai-ramai dengan mereka, kalau nongkrong kebanyakan ya di kos itu lebih seru ya aku sangat nyaman berinteraksi dengan teman yang sedaerah denganku. Jadi hanya saat di kos saja
yang membuatku merasa tidak asing berada di Yogyakarta, karena bagiku kos adalah wilayah Bali kecilku dan aku bisa menjadi diri aku sesungguhnya dari pada harus tegang, canggung, susah-susah menyesuaikan diri dengan orang yang berbeda budayanya denganku…” (Berdasarkan hasil wawancara dengan KMG, informan asal Bedugul, Bali pada tanggal 23 November 2013 pukul 10.00 WIB)
Menjadi lebih khawatir tentang kesehatan. Pada orang-orang yang datang dari suatu daerah biasanya menjadi lebih sensitif terhadap masalah kebersihan di tempat yang baru. Perasaan bahwa apa yang baru dan asing adalah “kotor” berkaitan dengan
air
minum,
makanan,
peralatan
makan
dan
perlengkapan tidur; khawatir akan kebersihan dari penduduk setempat. Seperti pada hasil wawancara dari beberapa informan mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa sebagai berikut: “…Jogja cuacanya panas membuatku sering mengalami radang tenggorokan karena suka coba-coba jajan ini itu yang mungkin penjaja makanannya pakai pemanis buatan berlebihan, tidak bersih atau apa kurang paham ya aku, dulu aku memang benar-benar butuh proses untuk bisa menyesuaikan diri di lingkungan yang baru.” (Berdasarkan hasil wawancara dengan UI, informan asal Malinau, Kalimantan Utara pada tanggal 18 November 2015 pukul 11.00 WIB) “…jarak tempat antar rumah itu dekat-dekat sekali, kotor, kumuh menjijikkan banyak tikus berkeliaran karena padat perumahan penduduk disini, beda dengan kampung halamanku yang jarak antar rumah itu jauh dan setiap rumah memiliki halaman yang luas. Lalu Jogja itu kota yang ramai, panas, kering, gerah, Jogja padat kendaraan jadi disini terasa sekali polusi udaranya, berdebu pula kalau disini harus wajib pakai masker kalau
tidak mau rusak paru-parunya.”(Berdasarkan hasil wawancara dengan WLLY, informan asal Mamuju, Sulawesi Barat pada tanggal 27 November 2013 pukul 14.00 WIB)
Menderita rasa sakit di berbagai area tubuh, muncul berbagai iritasi disebabkan alergi, serta gangguan-gangguan kesehatan lainnya, seperti diare, maag, sakit kepala, hingga demam. Seperti pada hasil wawancara dari beberapa orang informan mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa sebagai berikut: “…Sering mudah lelah, tenaga terporsir mungkin karena tegang tidak rileks, sering kembung, masuk angin, yang lain mudah terkena flu, sariawan, masalah gangguan pencernaan dulu sering sekali sembelit, daya tahan itu menurun ya mungkin karena tidak dirumah sendiri ya jadi tidak ada yang merawat kalau dirumah kan ada ibu jadi apa-apa sudah tersedia. ”(Berdasarkan hasil wawancara dengan ADTY, informan asal Pematang Siantar pada tanggal 19 November 2013 pukul 12.00 WIB) “…Yogyakarta itu lebih panas ya dari Bedugul, musim panasnya berlangsung cukup lama, kalau di sana musim kemarau pun masih ada hujan turun juga tapi kalau disini memang benar-benar terasa panasnya, jadi awal dulu sering sekali ganti kulit, kulitnya mengelupas seperti itu, kulit jadi kasar bersisik yang dulunya di Bedugul aku tidak menggunakan handbody, disini jadinya harus pakai itu biar tidak perih karena kasar kulitnya. Terus mudah dehidrasi juga ya disini sampai aku sering bawa bekal air minum dari kos agar dikampus tidak harus bolak balik kekantin hanya untuk sekedar membeli air minum. Panas dan udara keringnya jogja itu selain membuatku dehidrasi juga ngefek juga kepanas dalam, sariawan, gangguan pencernaan mudah buang air kecil, kulit kepala juga mudah berketombe karena gerah dan berdebu. Apalagi Jogja itu termasuk tinggi ya polusi udaranya karena jumlah kendaraan di Jogja yang padat. Terlebih untuk daerah sleman perkembangan kotanya pesat banyak bangunan raksasa dibangun disana sini
menimbulkan debu semakin menyesakkan pernafasan yang akhirnya sering membuat alergi debuku mudah kambuh dan semua itu tidak terelakkan membuatku sedikit terganggu…”(Berdasarkan hasil wawancara dengan KMG, informan asal Bedugul Bali pada tanggal 23 November 2013 pukul 10.00 WIB) “Dulu karena masih merasa tidak nyaman dengan semua hal di Jogja, mungkin pengaruh pikiran yang mindsetnya sudah jelek duluan jadi ya suka mengait-ngaitkan dengan homesick jadi pernah karena terlalu rindu rumah ingin sekali lekas pulang ke kampung halaman yang teramat parah akhirnya aku terkena demam tinggi menggigil sampai masuk rumah sakit RSCC, terus kesininya sering sakit kepala migrenlah, maaglah…” (Berdasarkan hasil wawancara dengan UI, informan asal Malinau, Kalimantan Utara pada tanggal 18 November 2015 pukul 11.00 WIB) (f) Perbedaan
ini
biasanya
dilebih-lebihkan:
nilai-nilai
baru
tampaknya sulit diterima.
Munculnya pemikiran dan pandangan buruk terhadap budaya baru di lingkungan baru atas apa yang individu tersebut lihat dan rasakan, meski sebenarnya tidak semua penduduk lokal di daerah rantauannya dapat dikatakan buruk. Seperti pada hasil wawancara dari salah seorang informan mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa semester awal sebagai berikut: “…Ternyata Jogja sama saja dengan daerah-daerah lainnya ya walau terkenal ramah, nada bicara yang lembut, menjunjung tatakrama tapi tetap saja tuh ada yang wataknya keras, sikapnya seenaknya, seperti preman penguasa, kalau tertawa memekakkan telinga jadi tak menjamin ya walau mungkin hanya minoritas
yang seperti itu. Aku juga sering merasa terganggu dengan cara candaan orang Jawa ya, atau cara mereka memperhatikan penampilan serta logat bicaraku yang terdengar asing bagi mereka, padahal logat bicara mereka sendiri aneh bagiku hanya tidak kutampakkan reaksiku, mungkin disini aku merasa menjadi lebih mudah tersinggung jika ada yang menyinggung masalah budayaku walau untuk sekedar iseng-iseng humor”(Berdasarkan hasil wawancara dengan WLLY, informan asal Mamuju, Sulawesi Barat pada tanggal 27 November 2013 pukul 14.00 WIB)
Timbul rasa takut dibohongi oleh orang lain yang akan berbuat curang padanya karena ketidaktahuannya, dirampok atau dilukai yang berlebihan oleh orang-orang asing yang ia temui di daerah baru terhadapnya dan mencegah kontak dengan orang yang terasa berbeda kultur. Seperti pada hasil wawancara dari salah seorang informan mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa semester awal sebagai berikut: “…Aku memang tidak ingin asal dekat dengan orangorang baru, kan tidak tahu bagaimana dia, asal-usulnya, latar belakangnya juga, takutnya kalau salah berteman aku sama dianya terlanjur longgar taunya nanti akan mengundang masalah tersendiri untukk kan repotu, seperti misalnya jika aku asal berteman dengan orang yang ternyata kleptomania saat aku teledor bisa saja mengundang kesempatan bagi dia untuk mencuri barangku yang menurut dia menarik. Kita kan ya tidak tahu sejarah gimana-gimananya orang baru.” (Berdasarkan hasil wawancara dengan SC, informan asal Padang pada tanggal 13 November 2013 pukul 14.00 WIB)
Bagi para mahasiswa perantau khususnya, berbagai gangguan dari efek culture shock yang mereka alami di tempat rantauan menimbulkan banyak
persoalan-persoalan
perasaan
ketidaknyamanan
emosional
meliputi
ketidaknyamanan fisik sebagai reaksi yang diderita individu perantau ketika mereka datang ke daerah lain atau suatu lingkungan dengan kondisi sosial budaya yang berbeda dengan tempat asal mereka. Cara hidup yang dipakai oleh mahasiswa perantauan di tempat yang sebelumnya menjadi kurang efektif digunakan di Yogyakarta karena bukan hanya budaya dan normanorma masyarakat yang berbeda, tetapi juga karena iklim, makanan, gaya hidup, bahkan teknologi pun menjadi berbeda dari tempat asalnya dengan tempat yang kini didatanginya. Apabila individu tersebut tidak segera menemukan hal yang mampu membuatnya merasa nyaman selama berada di Yogyakarta maka akan datang hal berkelanjutan seperti kehilangan selera humor yang disebabkan oleh
perasaan
sensitif/
mudah
tersinggung
yang
nantinya
dapat
mempengaruhi output dari perilaku individu dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan kemampuan bersosialisasi terhadap masyarakat sekitar lingkungan jangkauan aktivitasnya, kehilangan selera makan (mengalami perilaku makan dan minum yang kompulsif), kehilangan semangat dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari yang disebabkan oleh perasaan rindu kampung halaman/ home sick, perubahan pola tidur, kurang energi dan kesulitan untuk berkonsentrasi dalam pekerjaannya. Dalam keadaan yang tidak nyaman ini, individu tersebut terancam tidak dapat menjalani kehidupan sebagai seorang perantau secara maksimal, hal ini terkait dengan kemampuan menyesuaikan diri dalam proses adaptasi
sosial yang merupakan beban tersendiri bagi individu perantau dan efek yang paling kuat dalam pengalaman lintas budaya yang akan diperoleh. Dalam penelitian ini bahwa fenomena culture shock dialami oleh individuindividu yang berasal dari kebudayaan yang berbeda dari generasi ke generasi berikutnya dengan beberapa tanda-tanda culture shock yang diketahui diantaranya adalah: (i) Merasa sedih dan sendiri/ terasingkan, (ii) Temperamen cepat berubah, merasa sering goyah dan tidak berdaya, (iii) Terkadang disertai masalah kesehatan, seperti demam, flu, diare, (iv) Sering merasa mudah marah, kesal, dan enggan berinteraksi dengan masyarakat sekitar, (v) Mengait-ngaitkan dengan kebudayaan di tempat asal dan bahkan menganggap kebudayaan asal lebih baik dari budaya lain, (vi) Merasa kehilangan identitas/ ciri-ciri pribadi sebelumnya, (vii) Bingung Berusaha keras menyerap dan memahami semua kebiasaan yang ada ditempat barunya, (xi ) Menjadi kurang percaya diri, (xii) Membentuk suatu stereotip (Pencitraan yang buruk) terhadap kebudayaan baru. Penyebab, gejala dan reaksi yang mendorong bagaimana munculnya culture shock juga akan sangat spesifik tergantung pada dari daerah mana individu perantau tersebut berasal, seberapa jauh jarak asal daerahnya dengan daerah rantauannya dan pada tahun atau masa seperti apa, akan sangat bervariasi.
2. Dampak Culture Shock Pada Mahasiswa Perantauan Di Yogyakarta Bentuk-bentuk permasalahan di atas merupakan kondisi seseorang yang mengalami culture shock ketika berpindah ke lingkungan dengan budaya baru.
Seorang individu perantau mungkin mengalami lebih dari satu dari masalah tersebut di atas bahkan mungkin dapat mengalami ke semua bentuk permasalahan akibat culture shock di atas.
Mengenai keempat fase culture shock yang dikemukakan Samovar pada kajian pustaka sebelumnya yakni fase optimistik (fase pertama), masalah kultural (fase kedua), fase recovery (fase ketiga) dan fase penyesuaian (fase terakhir). Hal tersebut sesuai seperti hasil pengamatan yang peneliti lakukan terhadap ke delapan orang informan asal luar pulau Jawa bahwa dalam kehidupan mereka di Yogyakarta ketika di awal bulan-bulan pertama kehidupannya sebagai perantau, sebelumnya ia akan terlebih dahulu mengalami masa perasaan terisolasi dari budayanya yang lama dalam kurun waktu tertentu. Proses disintegrasi terjadi saat individu semakin sadar adanya berbagai perbedaan antara budaya lama dan budaya baru yang diikuti dengan penolakan terhadap budaya baru inilah masa culture shock atau gegar budaya inilah fase ke dua culture shock mengenai masalah kebudayaan. Pada fase ke dua,
masa dimana seorang individu perantau yang
mengidap culture shock menjadi rentan akan dampak negatif dari culture shock seperti membentuk suatu stereotip (pencitraan yang buruk) terhadap kebudayaan baru hingga timbulnya paham etnosentris pada diri individu mahasiswa perantau dengan memandang rendah budaya tuan rumah di tempat rantauanya. Persoalan-persoalan yang nyata ini menimbulkan perasaan agresif seperti mudah tersinggung dan marah pada keadaan budaya
yang ada di daerah barunya karena dianggap asing yang akhirnya mereka mencoba mengatisipasinya dengan cara berpaling kepada teman-teman sedaerah dengannya yang dianggap akan lebih familiar dan dapat memberikan kenyamanan ketika berkomunikasi dengan cara pandang yang sama. Seringkali muncul pendewaan terhadap budaya asal, menganggap budaya asalnya adalah budaya yang paling baik dan mengkritik budaya barunya sebagai budaya yang tidak masuk akal, tidak menyenangkan dan aneh atau mungkin sebaliknya merasa dipandang aneh oleh pihak mayoritas yang disini merupakan tuan rumah rantauan. Kondisi mengkritik budaya baru ini bisa termanifestasi rasa kesal terhadap budaya baru, menunda-nunda untuk mempelajari bahasa yang terdapat di daerah barunya atau menolak terlibat dengan orang-orang di baru tersebut dan juga muncul stereotip stereotip (pencitraan yang buruk) tentang orang-orang dari budaya baru yang bisa menghalangi interaksi yang efektif dengan orang-orang yang ada di tempat yang baru dan bukan sedaerah dengannya. Seperti pada hasil wawancara pada informan mahasiswa perantauan seperti berikut ini: “…Ya memang tidak dipungkiri kalau lebih santai untuk berteman dengan orang yang berasal dari daerah yang sama mudah dipahami, kami sama-sama perantau sama-sama dari sumatera kalau pas lagi kumpul bareng, ngerumpi bisa lepas bahas terang-terangan mengolokngolok mereka- mereka yang menyebalkan sesuka hati kami ibarat menahan muntah nah ini adalah waktu untuk memuntahkan semuanya sampai merasa puas dan lega, mau bagaimanapun memandang budaya kami dikampung halaman itu jauh lebih baik daripada budaya baru yang kami hadapi sekarang dalam tanda kutip Yogyakarta dan segala isinya...”(Berdasarkan hasil wawancara dengan SC, informan asal Padang pada tanggal 13 November 2013 pukul 14.00 WIB)
Namun demikian, oleh berjalannya waktu dan tingkat kebutuhan serta kodrat alami manusia yang merupakan makhluk sosial, secara alami hal ini akan diikuti oleh proses integrasi dari budaya baru yang akan menghantarkan individu pada perasaan luluh, naiknya tingkat toleransi pada diri yang ditandai dengan timbulnya perasaan tertarik untuk dapat memahami arti bahasa setempat, yang kemudian dapat berlanjut pada keadaan menegosiasikan kebutuhannya sehingga tumbuh perasaan otonomi dalam dirinya. Hingga akhirnya ia hampir mencapai kemandirian, dimana ia mulai menciptakan makna dari berbagai situasinya dan perbedaan yang ada akhirnya berangsur dinikmati dan bertahap mulai diterima oleh diri individu tersebut inilah fase recovery atau fase ketiga culture shock. Apabila krisis diri telah mulai teratasi dengan baik, maka individu akan bersedia untuk belajar budaya baru, memahami berbagai perbedaan norma dan nilai-nilai antara budaya asli yang melekat pada dirinya dengan budaya baru yang saat ini dimasukinya yaitu adaptasi. Hingga akhirnya ia mulai menemukan arah untuk perilakunya dan bisa memandang peristiwaperistiwa di tempat barunya dengan rasa humor karena individu mulai mengerti dari budaya barunya yang mencakup nilai-nilai, pola komunikasi, kenyakinan, perilaku dan lain sebagainya. Dimana individu telah mulai menemukan rasa makanan yang lebih cocok dengan lidah dan perutnya, serta mengatasi iklim yang berbeda, timbul perasaan puas, mandiri, menikmati pada diri individu yang bersangkutan sehingga ia mulai nyaman
dan dapat berfungsi dengan baik secara efektif di lingkungan barunya tersebut inilah fase penyesuaian fase terakhir culture shock. Individu perantau tersebut akan tiba pada titik dimana ia menyadari bahwa budaya barunya tidak lebih baik atau lebih buruk antara satu dengan yang lainnya, karena sekarang muncul pemikiran jika pada setiap budaya memiliki ciri berbeda yang berbeda pula dalam menangani setiap masalah dalam kehidupannya. Individu juga dapat menyadari bahwa budaya barunya memiliki banyak hal baik maupun hal buruk yang dapat berpotensi untuk mempengaruhi diri individu selama ia berada di tempat baru tersebut, agar ia tahu harus bagaimana menyikapinya dengan tepat sebagai pengalaman hidupnya. Pada masa ini akan terjadi proses integrasi dari hal-hal baru yang telah dipelajarinya dari budaya baru dengan hal-hal lama yang selama ini dia miliki sehingga muncul perasaan menentukan, memiliki dan menetapkan sebagai tahap dalam proses pencarian jati diri dalam diri individu. Ini memungkinkan munculnya definisi baru mengenai dirinya sendiri. Biasanya pada saat seperti ini individu telah matang dalam pengalaman lintas budayanya dan memiliki kemampuan untuk hidup dalam budaya barunya yang berbeda dengan budaya asalnya inilah dampak positif dari culture shock. Seperti pada hasil wawancara pada informan mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa semester lanjut yang telah lama melewati masa culture shock seperti berikut ini: “Dulu iya canggung ya tapi sekarang sudah baik kok, aku kenal lalu akrab sama temen-temen kampus itu kalau tidak salah semester 2 atau semester 3 an, karena 1 semester sendiri aku merasa belum butuh teman
ya…sampai akhirnya sosialisasi sama temen-temen jadi terabaikan dan terlambat, malas memulai perkenalan dengan orang-orang baru, takut ini takut itu namanya juga merasa asing dilingkungan baru jadi perasaan negative dengan mereka itu gampang muncul. Sekarang setelah aku mulai berinteraksi, mau berkomunikasi dengan orang lokal itu sedikit banyak muncul pemahaman akan hal-hal yang dulunya aku tidak tahu sekarang jadi oh begitu ya ternyata jadi ini semua masalah toleransi, menghargai perbedaan, tidak semua orang jawa itu freak. Orang Jawa pada dasarnya sama seperti kami di Sumatera ada yang tahu sopan santun ada yang tidak, ada yang seenaknya ada yang tidak dan yang selama ini aku pikir jika ia berbahasa Jawa maka ia adalah orang lokal Jogja ternyata salah…setiap kota atau daerah memiliki perbedaannya masing-masing entah itu kelebihannya maupun kekurangannya…” (Berdasarkan hasil wawancara dengan ADTY, informan asal Pematang Siantar pada tanggal 19 November 2013 pukul 12.00 WIB) Dengan beradaptasi atau meyesuaikan diri dengan budaya di Yogyakarta, mahasiswa perantau akan dapat merasa nyaman tinggal di Yogyakarta dan permasalahan culture shock yang terjadi terselesaikan. Sehingga untuk terjalinnya komunikasi yang efektif dan lancar kita harus menerima serta menyesuaikan diri dengan budaya tempat dimana seorang individu kini berada. Sikap menghargai dan menerima segala keanekaan/ keheterogenan budaya yang ada akan mempermudah usaha dalam beradaptasi dengan budaya yang baru. Hal ini akan memperlancar komunikasi yang terjadi diantara individu pendatang dan individu tuan rumah menjadi lebih nyaman. Dibawah ini merupakan tabel perbedaan culture shock yang dialami oleh mahasiswa perantauan asal luar Jawa antara mahasiswa semester awal perkuliahan dengan mahasiswa semester lanjut perkuliahan di Yogyakarta yang peneliti dapat kerucutkan sebagai pembanding yang dapat diperhatikan
bagaimana fase culture shock menjangkit seorang individu perantau di daerah baru atau asing sebagai tempat rantauannya yaitu sebagai berikut: Mahasiswa Perantauan Semester Awal Perkuliahan 1. Baru menjalani bulan awal berada di Yogyakarta sebagai mahasiswa perantau,
Mahasiswa Perantauan Semester Lanjut Perkuliahan Telah melewati lebih dari satu semester tinggal di Yogyakarta sebagai mahasiswa perantauan, Hampir menyelesaikan tahap awal culture shock dengan cara masing-masing yang individu temukan dalam menghadapi ketegangan karena adanya usaha beradaptasi secara psikis maupun sosial, Perasaan tidak berdaya mencakup perasaan bingung, frustasi, ketergantungan dengan orang-orang sedaerah di tempat rantauan dan bayang-bayang tidak mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan baru semakin terkikis seiring berjalannya waktu, walau diawal mereka menghadapi berbagai reaksi culture shock sebagai permasalahan pengalaman lintas budaya yang tidak terelakkan namun lambat laun menjadi terbiasa dengan perbedaan yang ada disekitarnya. Jika mereka belum benar-benar dapat menerima perbedaan setidaknya akan timbul perasaan tertantang untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik di tempat rantauan, Jika di awal bulan-bulan culture shock mereka lebih terbawa oleh kesibukan pelarian ke hal-hal yang berbau streotip budaya maka pada masa ini mereka mulai sadar pada tujuan awal mereka merantau yaitu demi keberhasilan akademik perkuliahan, mereka akan dihadapkan pada keadaan membutuhkan teman-teman baru sebagai suatu kesatuan informasi yang didesak oleh kepentingan kesuksesan akademik.
2. Masih mengalami tahap awal culture shock, akan tetapi gejala culture shock yang terjadi pada setiap individu memiliki tingkatan atau kadar yang berbeda sejauhmana culture shock mempengaruhi kehidupannya di tempat rantauan, 3. Bagi sebagian individu perantauan efek culture shock menghadapkan individu dalam kondisi ketidaknyamanan serta kebingungan akibat berpindah hidup ke lingkungan baru/ daerah rantauan dan menimbulkan berbagai hal kemungkinan reaksi penolakan terhadap orangorang asing sekitar dan kultur di daerah baru hingga dapat menyebabkan individu tersebut menjadi pribadi yang tertutup, atau jika mereka menemukan orang yang sedaerah asalnya di tempat rantauan maka mereka akan cenderung bergantung dengan orang-orang tersebut. Meski begitu,hal-hal tersebut tidak membuat mereka melalaikan tanggung jawab pribadi yang sejak awal merupakan tujuan utama mereka pergi merantau, 4. Bagi beberapa individu perantau dengan perasaan yang masih belum stabil maka culture shock akan mudah mempengaruhi pengalaman lintas budaya di bulan-bulan awal perkuliahan karena pada saat ini mereka sedang sibuk dan terhanyut pada perasaan ketidaknyamanan akan berbagai hal perbedaan yang ada di lingkungan baru baik reaksi penolakan, pesimis akan tetap bertahan pada situasi yang mengganggu yang secara bersamaan dihadapkan pada rasa tanggungjawab akan niat awal mereka untuk merantau yaitu kesuksesan akademik dan pendidikan berkualitas. Tabel 3. Perbedaan Culture Shock Yang Dialami Oleh Mahasiswa Perantauan Di Yogyakarta
Dari tabel perbedaan culture shock yang dialami oleh mahasiswa perantauan di yogyakarta yang terdiri mahasiswa baru semester awal perkuliahan dan mahasiswa tengah semester lanjut diatas menunjukkan bahwa mahasiswa baru memiliki peluang mengalami culture shock karena pada mahasiswa perantau semester awal yang baru saja melakukan tahap awal pengalaman lintas budaya atau melakukan mobilitas penduduk yang kita kenal dengan istilah bermigrasi atau merantau secara tiba-tiba untuk kepentingan pendidikan berkuliah di Yogyakarta. Ketika seorang individu mahasiswa perantau dengan latar belakang budaya yang berbeda memasuki budaya Yogyakarta yang jelas berbeda dengan budaya asalnya sama saja dengan menghadapkan individu tersebut dengan
situasi-situasi
yang
berpotensi
menimbulkan
keterkejutan,
ketidaknyamanan serta kecemasan temporer tidak beralasan dalam diri individu yang berakibat pada terguncangnya konsep diri dan identitas budaya. Kondisi ini dapat menyebabkan sebagian besar mahasiswa perantauan semester awal mengalami gangguan mental dan fisik. Mahasiswa
perantau
yang
sebelum
merantau
selalu
terbiasa
menjalankan dan mengembangkan budayanya dalam kehidupan sehari-hari di daerah asalnya masing-masing, saling berinteraksi satu sama lain setiap harinya dengan orang-orang yang mayoritas memiliki kebudayaan sama dan hidup bersama dalam satu daerah dalam kurun waktu yang lama. Maka keseluruhan cara hidup tersebut termasuk nilai-nilai, kepercayaan, standar estetika, ekspresi, linguistik/ bahasa, pola berpikir, nilai-norma, tata
perilaku, gaya komunikasi yang kesemuanya terjalin secara terus menerus mengiringi kelangsungan hidup masyarakat dalam kelompok lingkungan fisik beserta lingkungan sosial suatu kebudayaannya, hingga tanpa disadari kemudian membentuk karakter dan menjadi ciri khas yang melekat pada diri masing-masing individu sejak ia lahir. Akibatnya mahasiswa-mahasiswa perantauan semester awal tersebut masih terpelihara dan terbiasa dengan kebudayaan mereka sendiri. Bertemu dengan seseorang yang berasal dari kebudayaan lain baik secara kebetulan atau disengaja secara langsung akan menghadapkan pada suatu kenyataan perbedaan seperti bahasa, tingkah laku atau gerakan tubuh, ekspresi mimik wajah, yang kesemuanya sangat berbeda dengan bahasa yang selama ini familiar untuk didengar, tingkah laku atau gerakan tubuh serta ekspresi mimik wajah yang selama ini dikenal atau dilakukan. Berdasarkan pengamatan ternyata dalam peristiwa tersebut, dapat diketahui bahwa dalam benak individu perantau tersirat jika “ada banyak yang salah, tidak sesuai dan berbeda” sehingga menimbulkan perasaan tidak nyaman, walaupun kadang-kadang mereka sebenarnya tidak tahu secara pasti mengapa mereka dapat merasa demikian. Terbiasa dengan kebudayaan sendiri membuat kebanyakan orang menjadi tidak sadar akan hakekat subbudayanya dan mudah mengkonsumsi bahwa, apa yang ada atau terjadi adalah memang seharusnya akan tetap selalu demikian meski sebenarnya kebudayaan atau subbudaya dari unit sosial apapun selalu berubah dengan berjalannya waktu. Inilah masa culture shock yang harus dihadapi oleh
mahasiswa perantauan semester awal setidaknya hanya berlangsung untuk jangka waktu tertentu Mahasiswa semester lanjut yang telah melalui masa culture shock melalui proses waktu akan menemukan dirinya dalam keadaan dapat menilai serta mampu membedakan hal yang positif dan negatif secara seimbang. Mereka mulai sadar bahwa sebagai mahasiswa perantau yang memasuki Yogyakarta dengan suatu situasi baru yang menghadapkannya pada kenyataan segala perbedaan yang ada diantaranya dengan lingkungan barunya, selain menjadi mahasiswa ia juga harus menyesuaikan diri dengan budaya masyarakat setempat. Proses adaptasi secara alami akan dialami oleh setiap mahasiswa etnik pendatang sebagai seorang individu perantau. Dengan memasuki suatu kebudayaan baru yang tidak familiar, meski pada awalnya terasa tidak menyenangkan, muncul ketidakpuasan, ketidaksabaran, ketidaknyamanan, kegelisahan, bahkan kesulitan untuk berkomunikasi akibat segalanya yang terasa asing. Untuk mengatasi rasa ini ada beberapa cara yang ditempuh. Hingga timbul cara melawan yaitu dengan mengejek, memandang rendah dan bertindak secara etnosentrik, namun kesemua ini akan mereda seiring berjalannya waktu oleh hakekat kebutuhan utama manusia sebagai makhluk sosial yang tidak akan terlepas dari interaksi sosial setiap harinya dan semakin mendesak individu perantau mengadakan penyaringan serta pelenturan untuk menyesuaikan bahkan mulai menerima sebagian budaya
dari etnik budaya setempat melalui proses adaptasi yang pastinya membutuhkan waktu melalui proses belajar. Adaptasi budaya akan berlangsung baik jika seorang perantau tersebut memiliki kepekaan kultural. Kepekaan ini dapat diasah melalui kemauan untuk berpikir dalam pola pikir mereka. Kepekaan budaya ini merupakan modal yang amat besar dalam membangun toleransi, rasa pengertian yang akan tercipta antara perantau dengan budaya masyarakat setempat. Singkatnya culture shock yang terjadi pada setiap individu perantauan berbeda-beda mengenai sejauh mana culture shock mempengaruhi hidupnya. Pada mahasiswa semester lanjut yang telah melewati lebih dari satu tahun tinggal di tempat rantauan banyak mengalami perubahan sebagai penyesuaian diri yang individu temukan dalam menghadapi ketegangan karena adanya usaha beradaptasi secara psikis maupun sosiologis dan pada masa ini culture shock telah beralih menjadi pengalaman lintas budaya. Dari data yang peneliti kumpulkan dan pengamatan yang peneliti lakukan terhadap kedelapan informan mahasiswa perantauan asal luar Jawa, maka peneliti menemukan hasil bahwa individu perantau pasti akan mengalami culture shock dibulan-bulan pertama kedatangannya sebagai fase awal dari culture shock, seiring berjalannya waktu kebutuhan serta tuntutan keadaan akan memaksa individu tersebut melakukan perubahan pada cara pandangnya selama ini sekaligus yang akan menghadapkannya pada fase recovery (fase ketiga) yang kemudian diikuti dengan fase penyesuaian diri atau fase terakhir dalam culture shock sehingga gegar budaya yang individu
alami dipastikan akan mulai berangsur teratasi secara maksimal sampai satu tahun pertama kehidupannya dilingkungan daerah yang baru sebagai dampak pada mahasiswa perantau dalam mempelajari banyak hal tentang kebudayaan baru di luar kebudayaannya yang di tunjukkan dengan kemampuan adaptasi budaya yang dilakukan oleh individu perantau tersebut gunakan dan diaplikasikan dalam kehidupannya di lingkungan barunya kini. Mengenai seberapa lama atau tidaknya culture shock dialami oleh seorang individu perantau peneliti beranggapan hal tersebut tergantung dengan sejauh mana seorang individu perantau mampu menyadari akan pentingnya sikap menghargai dan menerima segala keanekaragaman/ keheterogenan budaya yang ada. Hal ini berarti, jika ingin hidup nyaman dan berhasil di lingkungan yang baru maka mau tidak mau individu perantau tersebut harus menyesuaikan dirinya dengan lingkungan baru saat ini, sesuai dengan pepatah tua yang mengatakan di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Untuk mendapatkan hasil merantau yang baik dan lancar maka usaha yang efektif dilakukan adalah menciptakan sikap menghargai dan memahami serta menerima budaya orang lain. Terlebih, kita akan tinggal sementara waktu di budaya itu.
C. Pokok-pokok Temuan Pokok-pokok temuan yang didapat oleh peneliti dalam penelitian yang telah dilakukan tentang fenomena culture shock (gegar budaya) pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta antara lain, sebagai berikut:
1. Kebanyakan pelajar dari luar propinsi Jawa memilih melanjutkan studi ke Jawa karena mereka menilai kualitas perguruan tinggi di pulau Jawa lebih baik dibanding perguruan tinggi di luar pulau Jawa. 2. Yogyakarta sejak dahulu dikenal sebagai kota pelajar atau kota pendidikan serta
memiliki
suasana
yang
sangat
mendukung
dalam
proses
pembelajaran sehingga menarik minat para pelajar untuk menjadi mahasiswa perantauan di Yogyakarta. 3. Semua mahasiswa perantauan yang diteliti tinggal seorang diri ditempat rantauan tanpa ditemani orang tua, mereka memiliki tanggungjawab yang besar terhadap diri mereka sendiri di tempat rantauan. 4. Penyebab internal yang menyebabkan culture shock mahasiswa perantauan yaitu kemampuan berdasarkan kematangan secara psikis yang dimiliki pada diri individu untuk dapat hidup mandiri, 5. Penyebab eksternal yang merupakan masalah utama pemicu terjadinya culture shock mahasiswa perantauan adalah perbedaan sosial budaya. 6. Penyebab internal dan eksternal saling memberikan pengaruh yang besar pada diri individu perantauan yang melatarbelakangi terjadinya culture shock. 7. Culture shock memiliki gejala dalam bentuk kecemasan akibat ketidaknyamanan psikis maupun fisik yang akan dialami individu pendatang selama berada di daerah rantauan/ daerah asing akan tetapi reaksi culture shock yang terjadi pada setiap individu memiliki berbedabeda mengenai sejauhmana culture shock mempengaruhi kehidupannya.
8. Adaptasi budaya akan berlangsung baik jika seseorang individu memiliki kepekaan budaya. Kepekaan budaya dapat diasah melalui kemauan untuk berpikir positif dalam pola pikir individu. Kepekaan budaya ini merupakan modal yang amat besar dalam membangun toleransi atau rasa saling pengertian dan menghormati serta sikap keterbukaan ditengah-tengah situasi perpedaan yang ada.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari hasil wawancara yang telah peneliti lakukan pada delapan orang informan mahasiswa perantauan asal luar Jawa yang terdiri atas mahasiswa perantauan semester awal perkuliahan serta mahasiswa perantauan semester lanjut dan berkuliah di Yogyakarta, menunjukkan bahwa masa culture shock akan dialami oleh setiap mahasiswa perantauan yang baru memasuki tahap semester awal perkuliahan, hanya saja culture shock yang terjadi pada setiap individu berbeda-beda mengenai sejauh mana culture shock mempengaruhi hidupnya. Dalam penelitian ini peneliti setuju dengan pendapat samovar bahwa individu akan mengalami culture shock saat satu minggu pertama kedatangannya dan akan teratasi sampai satu tahun pertama. Mahasiswa baru memiliki peluang mengalami tahap culture shock yaitu tahap optimistik hingga tahap crisis culture dan mahasiswa semester lanjut yang sudah lebih lama tinggal di Yogyakarta telah melalui tahap yang lebih jauh baik tahap recovery hingga tahap penyesuaian integration. Dari hasil yang peneliti kumpulkan menyatakan bahwa culture shock yang dialami informan mahasiswa perantau ternyata tidak benar-benar menimbulkan rasa putus asa permanen dalam menyelesaikan akademiknya. Berbagai rasa ketidaknyamanan akibat perbedaan lingkungan sosial budaya yang dialami oleh mahasiswa perantau di Yogyakarta akan terkikis dengan sendirinya oleh berjalannya waktu. Kondisi individu yang setiap harinya
selalu berada di tengah orang-orang berbeda karakter budaya didukung dengan padatnya aktivitas perkuliahan lambat laun menghadapkan individu pada proses pembauran dengan individu lainnya sebagai dorongan kebutuhan berinteraksi dan kembali pada kodrat bahwa individu merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain dalam pengumpulan informasi guna mencapai keberhasilan tujuannya. Seorang individu perantau penderita culture shock yang mulai melakukan interaksi dengan orang-orang baru disekitar budaya baru akan mendorong terjadinya analisa yang diarahkan kepada diri sendiri yang memungkinkan individu untuk menemukan wawasan baru yang dalam dari aspek psikis mengenai dirinya sendiri. Struktur baru ini akan semakin tampak melalui pengalaman emosional saat berinteraksi dengan budaya baru. Dalam hal ini, pengalaman interaksi dengan budaya baru tidak selamanya negatif, namun sebaliknya akan mendorong individu untuk mengenali dirinya secara lebih dalam agar mampu menjadikan dirinya lebih fleksibel untuk menyesuaikan diri dengan budaya baru. Proses penemuan makna baru yang disebabkan oleh pengaruh budaya baru akan berlangsung secara alami dan menghantarkan individu pada penyesuaian diri dengan lingkungan baru. Pengalaman culture shock bersifat normal terjadi pada mahasiswa perantauan yang memulai kehidupannya di daerah baru dengan situasi dan kondisi lingkungan sosial budaya yang berbeda dengan daerah asalnya. Tingkat keberhasilan dalam mengatasi masalah culture shock sangatlah bergantung
dengan usaha dan kesungguhan dari masing-masing individu dalam memegang teguh tujuan awal merantau. Sehingga berdasarkan hasil penelitian mengenai “Fenomena Culture
Shock (Gegar Budaya) Pada Mahasiswa Perantauan di Yogyakarta” dapat disimpulkan bahwa jalan keluar atau solusi dari culture shock yang baiknya dilakukan oleh mahasiswa perantau adalah dengan beradaptasi, yaitu sikap mau menerima dan memahami budaya di Yogyakarta. Dengan beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan budaya di Yogyakarta, mahasiswa pendatang atau perantau dapat menciptakan perasaan lebih nyaman tinggal di Yogyakarta dan permasalahan ketegangan akibat perbedaan budaya yang terjadi dapat terselesaikan. Selain itu, terjalinnya suatu komunikasi yang efektif dan lancar hanya akan terjadi jika individu mau menerima dan menyesuaikan diri dengan budaya tempat kita berada. Menghargai dan menerima segala keanekaan/ keheterogenan budaya yang ada mempermudah usaha dalam beradaptasi dengan budaya yang baru dan akan menghasilkan suatu komunikasi yang berlangsung secara nyaman ditengah perbedaan budaya.
B. Saran Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian tentang fenomena culture shock (gegar budaya) mahasiswa perantauan di Yogyakarta, peneliti memberi saran untuk mengatasi culture shock dengan baik sebagai berikut:
1. Bagi jurusan Sosiologi Memberikan gambaran mengenai fenomena culture shock dalam membantu mahasiswa perantauan beradaptasi dengan lingkungan budaya baru. 2. Bagi mahasiswa jurusan Sosiologi Ditinjau dari hasil penelitian, penulis menyarankan kepada mahasiswa jurusan sosiologi hendaknya selalu berpikir positif mengenai masalah kultural yakni perbedaan budaya. Terus mengasah kemampuan diri yang dimiliki (proaktif) agar menjadi mahasiswa yang mandiri, adaptive dan mampu
menghargai
serta
menerima
segala
keanekaragaman/
keheterogenan budaya yang ada. 3. Bagi peneliti selanjutnya Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan guna menambah wawasan dasar bagi peneliti selanjutnya untuk lebih menyempurnakannya dan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut secara lebih mendalam sesuai dengan kajian sosiologi mengingat culture shock (gegar budaya) lebih cenderung pada gambaran keadaan dan perasaan psikis individu yang mengarah pada ilmu psikologi, agar diperoleh hasil penelitian sosiologi yang tepat serta lebih maksimal dari penelitian ini. Penulis berharap, akan makin banyak lagi penelitian yang berkaitan dengan fenomena culture shock (gegar budaya) pada mahasiswa perantau di Yogyakarta.
4. Bagi calon mahasiswa perantau a) Sebelum berangkat ke daerah baru yang akan dimasukinya sebaiknya terlebih dahulu mencari informasi pada sumber yang terpercaya tentang keadaan, situasi sosial dan budaya yang ada di daerah tersebut. Hal ini akan membantu individu untuk lebih familiar dengan daerah yang akan dimasukinya dan memunculkan gambaran akan lingkungan barunya. b) Memiliki tujuan merantau yang jelas. Selalu menjaga prioritas utama, berjuang dan berdoa akan membantu individu mengatasi culture shock. Tingkat keberhasilan akademik sangat bergantung dengan konsentrasi, usaha serta kesungguhan dari masing-masing individu dalam memegang teguh tujuan awal merantau. c) Kesiapan diri merupakan salah satu syarat yang harus terpenuhi sebelum individu memutuskan untuk memulai hidup di daerah rantauan, terlebih jika seorang individu memang belum pernah mengenal secara nyata bagaimana kondisi sosial budaya yang ada di daerah rantauan tersebut. Kesiapan diri sangat diperlukan sebagai bekal yang menentukan keberhasilan penyesuaian diri yang baik dalam menghadapi banyak hal perbedaan ketika mulai hidup dalam suatu daerah baru dengan budaya.
d) Memiliki kepekaan budaya, kepekaan budaya dapat diasah melalui kemauan untuk berpikir positif dalam pola pikir individu. Kepekaan budaya ini merupakan modal yang amat besar dalam membangun toleransi atau rasa saling pengertian dan menghormati serta sikap keterbukaan ditengah-tengah situasi perpedaan yang ada. e) Menghargai budaya yang ada di tempat rantauan, bersikap terbuka dengan menerima lingkungan sosial budaya yang baru disekitarnya, menciptakan
interaksi
yang
efektif
dan
meluaskan
jaringan
pertemanan yang baru baik di lingkungan perkuliahan maupun lingkungan tempat tinggal akan membantu menumbuhkan perasaan nyaman pada diri individu sehingga dapat meminimalisir kecemasan yang berkelanjutan yang disebabkan oleh efek culture shock.
DAFTAR PUSTAKA Dayakisni, Tri. (2012). Psikologi lintas budaya. Malang : UMM Press. Dwi Siswoyo. (2007). Ilmu pendidikan. Yogyakarta: UNY Press Hadari Nawawi. (2007). Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Idianto. (2004). Sosiologi SMA. Jakarta: Erlangga Ihromi. T.O. (1990). Pokok-pokok antropologi budaya. Jakarta : Gramedia Irawan Suhartono. (2002). Metode penelitian Sosial. Bandung: Remaja Rosda Karya Kato Tsuyushi. (2005). Adat Minangkabau & Merantau. Jakarta: Balai Pustaka Koentjaraningrat. (1980). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru Larry A. Samovar, Richard. L. Porter & Edwin. R. Mcdaniel. (2010). Komunikasi Lintas Budaya. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika
Lexy. J. Moleong. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Lexy. J. Moleong. (2004). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya Lexy. J. Moleong. (2007). Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Mantra (2003). Pengantar Ilmu Demografi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Milles, Matthew B. and A. Michael Huberman. (1992). Analisis Data Kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia Press Mulyana, D, Rahman, J. (2006). Komunikasi antar budaya panduan berkomunikasi dengan orang-orang berbeda budaya. 7th Ed. Bandung: Rosda Karya Mochtar Naim. (1984). Merantau pola migrasi suku Minangkabau. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Poerwadarminta. (2005). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Rahyono, F.X. (2009). Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta: Wedatama Widya Sastra Soekanto, Soerjono. (1990). Sosiologi suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers Soekanto, Soerjono. (2006). Sosiologi suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Soekanto, Soerjono. (1985). Kamus Sosiologi. Jakarta: Rajawali Pers Sugiyono. (2009). Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta Sugiyono. (2007). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta Suharsimi Arikunto. (2010). Proses Penelitian Suatu Pendekatan Praktikan. Jakarta: Rineka Cipta Shiraev. Eric B, David A. Levy. (2012). Psikologi Lintas Kultural Pemikiran Kritis dan Terapan Modern (Edisi Keempat). Jakarta: Prenada Media Group Stephen W. Littlejohn and Karen A. Foss. (2012). Teori Komunikasi Edisi 9. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika Tilaar. H. A. R. (2004). Multikulturalisme: tantangan-tantangan global masa depan dalam transformasi pendidikan nasional. Jakarta: Grasindo Fransiska Ani Dewanti. (2008). Pengalaman Culture Shock Pada Anak Buah Kapal (ABK) Pemula Di Kapal Pesiar Internasional. Tesis. Yogyakarta: Program Magister Psikologi UGM Yulian Susanti. (2012). Dukungan Teman Sebaya Sebagai Mediator Hubungan Antara Culture Shock Dengan Prestasi Belajar. Tesis. Yogyakarta: Program Magister Psikologi UGM Jogja Kota, tersedia pada: http://www.jogjakota.go.id/index/extra.detail/22. Diakses pada tanggal 30 November 2013 Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka, (2014). Kerjasama dengan BAPPEDA Provinsi D.I.Yogyakarta: Badan Pusat Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta
Tabel Jumlah Mahasiswa Di Perguruan Tinggi Yogyakarta Dalam Angka, (2015). Sumber Data Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Budi Wibowo. (2015). Katalog Pameran Arsip Menyusuri Potret Pasang Surutnya Kelembagaan, Menelusuri Dinamika Masyarakat Yogyakarta Untuk Membangun Indonesia. Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY. Siti Hinggil, Alun-alun Utara, Yogyakarta. 12-27 Desember. Halaman 8. Majalah Campusmagz no.36, edisi april 2014 Halaman 38-40
Lampiran 1
PEDOMAN OBSERVASI CULTURE SHOCK (GEGAR BUDAYA) PADA MAHASISWA PERANTAUAN DI YOGYAKARTA No.
Aspek yang diamati
1.
Lokasi observasi
2.
Waktu observasi
3.
Nama Perguruan Tinggi Yogyakarta tempat mahasiswa perantau tersebut berkuliah
4.
Asal daerah mahasiswa perantau tersebut
5.
Hal yang melatarbelakangi individu untuk merantau
6.
Penyebab yang melatarbelakangi proses terjadinya culture shock pada mahasiswa perantauan asal luar Jawa di Yogyakarta
7.
Gejala hingga reaksi Culture shock yang dialami mahasiswa perantauan asal luar Jawa di Yogyakarta
8.
Dampak yang ditimbulkan culture shock pada mahasiswa perantauan asal luar Jawa di Yogyakarta
Keterangan
Lampiran 2
PEDOMAN WAWANCARA CULTURE SHOCK (GEGAR BUDAYA) PADA MAHASISWA PERANTAUAN DI YOGYAKARTA Tanggal wawancara
:
Waktu
:
Lokasi wawancara
:
A. Identitas Informan Nama
:
Jenis kelamin
:
Umur
:
Agama
:
Asal daerah
:
Suku/ etnis
:
Bahasa daerah
:
Universitas
:
Mahasiswa semester
:
B. Daftar wawancara dengan mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa yang sedang menempuh semester awal berkuliah di Perguruan Tinggi Yogyakarta 1. Berasal dari daerah mana, suku atau etnik, bahasa daerah dan sejak kapan anda merantau ke Yogyakarta? 2. Mengapa anda memilih untuk merantau ke Yogyakarta? Apa alasan dan motivasi anda memilih menjadi seorang mahasiswa perantauan? Apakah anda sebelumnya pernah memiliki pengalaman merantau kedaerah/ propinsi lain? 3. Siapakah yang mendorong anda untuk melakukan merantau? Lalu apakah anda sudah memperkirakan bagaimana tempat yang akan anda rantau tersebut? 4. Sebelum anda merantau apakah anda sudah pernah datang mengunjungi Yogyakarta atau memiliki bayangan bagaimana lingkungan baru anda?
Lalu bagaimanakah perasaan anda saat sudah berada di tempat perantauan? Merasa kagetkah? 5. Jalur penerimaan mahasiswa apa yang anda tempuh untuk akhirnya anda bisa masuk dan di terima di Perguruan Tinggi Jogja? 6. Dimana dan dengan siapa anda tinggal di tempat perantauan kota Yogyakarta ini? Berikan alasannya? 7. Bahasa apa yang biasa di pakai dalam keluarga? Lalu bahasa apa yang anda gunakan untuk berkomunikasi dengan orang-orang baru di Yogyakarta? 8. Bagaimana pergaulan anda dengan teman-teman baru di lingkungan kampus anda pada saat anda memasuki semester awal perkuliahan? 9. Bagaimana pergaulan anda dengan teman-teman baru di lingkungan tempat tinggal (kos) anda? 10. Apakah anda menemukan kendala mengenai penyesuaian belajar yang anda temukan selama berada di lingkungan baru (kota rantauan Yogyakarta)? 11. Apakah terdapat kesenjangan kebudayaan yang anda rasakan selama berada di lingkungan baru (kota rantauan Yogyakarta)? 12. Bagaimana cara anda memahami adat istiadat budaya orang-orang pribumi Yogyakarta saat bulan-bulan pertama tinggal di Yogyakarta? Apakah anda merasakan adanya perbedaan yang mencolok dengan daerah asal anda? 13. Saat berada dibulan-bulan pertama perantauan apakah anda sering membandingkan lingkungan baru di Yogyakarta tempat rantauan dengan daerah asal dari tempat anda sendiri? 14. Sesampainya
di
tempat
rantauan
apakah
anda
dapat
segera
mengkondisikan diri anda dengan lingkungan baru anda? Apakah anda merasa nyaman dengan lingkungan rantauan anda? 15. Bagaimana kondisi kesehatan anda pada bulan-bulan awal di tempat rantauan?
16. Mengenai pola makan, menu dan rasa masakan khas Yogyakarta apakah anda menemukan kendala di tempat rantauan? 17. Mengenai pola tidur anda pada bulan-bulan awal di Yogyakarta, apakah anda menemukan kendala di tempat perantauan? 18. Bagaimana komunikasi anda di tempat perantauan dengan keluarga anda di kampung halaman? Tiap berapa bulan anda pulang kekampung halaman? Apakah anda sering merasa home sick
atau mudah rindu
kampung halaman? 19. Adakah pengalaman sosial budaya di Yogyakarta yang membuat anda stress pada bulan-bulan awal di Yogyakarta? 20. Jika anda mengalami kendala di daerah rantauan mengenai sosialisasi terhadap
masyarakat
pribumi
Yogyakarta
lalu
bagaimana
anda
mengatasinya? 21. Pernahkah ada masalah dengan teman-teman baru anda yang merupakan masyarakat pribumi Yogyakarta? 22. Dengan teman kampus anda yang merupakan masyarakat pribumi Yogyakarta apakah mereka membantu anda untuk bersama-sama menghadapi persoalan penyesuaian diri pada saat awal kedatangan anda di tempat rantauan (Yogyakarta)? 23. Ceritakan bagaimana hubungan anda dengan teman-teman baru di Yogyakarta? Apakah ada kendala? 24. Apakah anda mengalami berbagai permasalahan ketidaknyamanan dengan daerah rantauan? Apakah anda merasa yakin dapat menyesuaikan diri dengan di tempat rantauan tersebut?
Lampiran 3
PEDOMAN WAWANCARA CULTURE SHOCK (GEGAR BUDAYA) PADA MAHASISWA PERANTAUAN DI YOGYAKARTA
Tanggal wawancara
:
Waktu
:
Lokasi wawancara
:
A. Identitas Informan Nama
:
Jenis kelamin
:
Umur
:
Agama
:
Asal daerah
:
Suku/ etnis
:
Bahasa daerah
:
Universitas
:
Mahasiswa semester
:
B. Daftar wawancara dengan mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa yang sedang menempuh semester lanjut berkuliah di Perguruan Tinggi Yogyakarta 1. Berasal dari daerah mana, suku atau etnik, bahasa daerah dan sejak kapan anda merantau ke Yogyakarta? 2. Mengapa anda memilih untuk merantau ke Yogyakarta? Apa alasan dan motivasi anda memilih menjadi seorang mahasiswa perantauan? Apakah anda sebelumnya pernah memiliki pengalaman merantau kedaerah/ propinsi lain? 3. Siapakah yang mendorong anda untuk melakukan merantau? Lalu apakah anda sudah memperkirakan bagaimana tempat yang akan anda rantau tersebut?
4. Sebelum anda merantau apakah anda sudah pernah datang mengunjungi Yogyakarta atau memiliki bayangan bagaimana lingkungan baru anda? Lalu bagaimanakah perasaan anda saat sudah berada di tempat perantauan? Merasa kagetkah? 5. Jalur penerimaan mahasiswa apa yang anda tempuh untuk akhirnya anda bisa masuk dan di terima di Perguruan Tinggi Jogja? 6. Dimana dan dengan siapa anda tinggal di tempat perantauan kota Yogyakarta ini? Berikan alasannya? 7. Bahasa apa yang biasa di pakai dalam keluarga? Lalu bahasa apa yang anda gunakan untuk berkomunikasi dengan orang-orang baru di Yogyakarta? 8. Bagaimana pergaulan anda dengan teman-teman baru di lingkungan kampus anda pada saat anda memasuki semester awal perkuliahan? 9. Bagaimana pergaulan anda dengan teman-teman baru di lingkungan tempat tinggal (kos) anda? 10. Apakah anda menemukan kendala mengenai penyesuaian belajar yang anda temukan selama berada di lingkungan baru (kota rantauan Yogyakarta)? 11. Apakah terdapat kesenjangan kebudayaan yang anda rasakan selama berada di lingkungan baru (kota rantauan Yogyakarta)? 12. Bagaimana cara anda memahami adat istiadat budaya orang-orang pribumi Yogyakarta saat bulan-bulan pertama tinggal di Yogyakarta? Apakah anda merasakan adanya perbedaan yang mencolok dengan daerah asal anda? 13. Saat berada dibulan-bulan pertama perantauan apakah anda sering membandingkan lingkungan baru di Yogyakarta tempat rantauan dengan daerah asal dari tempat anda sendiri? 14. Sesampainya
di
tempat
rantauan
apakah
anda
dapat
segera
mengkondisikan diri anda dengan lingkungan baru anda? Apakah anda merasa nyaman dengan lingkungan rantauan anda?
15. Bagaimana kondisi kesehatan anda pada bulan-bulan awal di tempat rantauan? 16. Mengenai pola makan, menu dan rasa masakan khas Yogyakarta apakah anda menemukan kendala di tempat rantauan? 17. Mengenai pola tidur anda pada bulan-bulan awal di Yogyakarta, apakah anda menemukan kendala di tempat perantauan? 18. Bagaimana komunikasi anda di tempat perantauan dengan keluarga anda di kampung halaman? Tiap berapa bulan anda pulang kekampung halaman? Apakah anda sering merasa home sick
atau mudah rindu
kampung halaman? 19. Adakah pengalaman sosial budaya di Yogyakarta yang membuat anda stress pada bulan-bulan awal di Yogyakarta? 20. Pernahkah ada masalah dengan teman-teman baru anda yang merupakan masyarakat pribumi Yogyakarta? 21. Jika anda mengalami kendala di daerah rantauan mengenai sosialisasi terhadap
masyarakat
pribumi
Yogyakarta
lalu
bagaimana
anda
mengatasinya? 22. Dengan teman kampus anda yang merupakan masyarakat pribumi Yogyakarta apakah mereka membantu anda untuk
bersama-sama
menghadapi persoalan penyesuaian diri pada saat awal kedatangan anda di tempat rantauan (Yogyakarta)? 23. Ceritakan bagaimana hubungan anda dengan teman-teman baru di Yogyakarta? Apakah ada kendala? 24. Apakah anda mengalami berbagai permasalahan ketidaknyamanan dengan lingkungan rantauan anda? Apakah kini anda dapat menyesuaikan diri dengan di tempat rantauan tersebut? 25. Bagaimana sikap dan pandangan anda tentang berbagai masalah kemampuan beradaptasi dalam berusaha mengurangi pengaruh culture shock pada diri anda selama ini?
Lampiran 4
HASIL OBSERVASI CULTURE SHOCK (GEGAR BUDAYA) PADA MAHASISWA PERANTAUAN DI YOGYAKARTA No.
Keterangan
Aspek yang diamati
Di lingkungan kampus masing-masing informan yang terdiri 8 orang informan mahasiswa perantauan asal luar Jawa: SC : Gedung Perpustakaan Pusat UGM WLLY : Perpustakaan Jurusan FE UII MNDL : Teras Gedung Dekanat FIS SN : Halaman parkir Fakultas Ilmu Sosial UNY ADTY : Gedung Auditorium UPN KMG : Gedung Rektorat STIE YKPN UI : Halaman Fakultas Ilmu Sosial UNY ERN : Halaman Parkir Fakultas Ilmu Sosial UNY
1.
Lokasi observasi
2.
Waktu observasi
SC :13 November 2013 WLLY :27 November 2013 MNDL :16 November 2015 SN :03 Desember 2015 ADTY :19 November 2013 KMG :23 November 2013 UI :18 November 2015 ERN :19 November 2015
3.
Nama Perguruan Tinggi Yogyakarta tempat mahasiswa perantau tersebut berkuliah
SC : UGM WLLY : UII MNDL : UNY SN : UNY ADTY : UPN KMG : STIE YKPN UI : UNY
4.
Asal daerah, suku dan bahasa daerah mahasiswa perantau tersebut,
4.
Hal yang melatarbelakangi individu untuk merantau
6.
Penyebab yang melatarbelakangi proses terjadinya culture shock pada mahasiswa perantauan asal luar Jawa di Yogyakarta
ERN
: UNY
SC : Padang, Minang/ Melayu, Minang WLLY : Mamuju, Sulawesi Barat, Mandar MNDL : Papua Barat, Papua SN : Papua, Pegunungan Wamena, Hupla, Nayak ADTY : Pematang Siantar, Sumatera Utara, Simalungun, Batak KMG : Begudul Bali, Bali UI : Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, Dayak, Dayak Kenyah Lepoke ERN : Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, Dayak, Dayak Lundayeh Hal yang melatarbelakangi individu untuk merantau rata-rata sama yaitu agar lebih berkembang, menambah pengalaman dan banyak perguruan tinggi di Yogyakarta serta pemahaman bahwa kualitas perguruan tinggi di pulau Jawa dinilai lebih baik dibanding perguruan tinggi di luar pulau Jawa pada umumnya menjadi latar belakang terjadinya fenomena merantau saat ini a) Penyebab Internal, Adanya pengaruh intrapersonal dalam diri individu, diantaranya keterampilan berkomunikasi, pengalaman dalam setting lintas budaya, kemampuan bersosialisasi dan ciri karakter individu (toleransi atau kemandirian berada jauh dari keluarga sebagai orang-orang penting dalam hidupnya yang berperan dalam sistem dukungan dan pengawasan).
7.
Gejala hingga reaksi Culture shock yang dialami mahasiswa perantauan asal luar Jawa di Yogyakarta
8.
Dampak yang ditimbulkan culture shock pada mahasiswa perantauan asal luar Jawa di Yogyakarta
b) Penyebab Eksternal, Gegar budaya terjadi lebih cepat jika tingkat perbedaan budaya budaya tersebut semakin tinggi, hal ini meliputi perbedaan sosial, budaya, adat istiadat, agama, iklim, rasa makanan, bahasa, gerak tubuh/ ekspresi tubuh hingga mimik wajah, cara berpakaian/ gaya hidup, teknologi, pendidikan, aturan-aturan dan norma sosial dalam masyarakat serta perbedaan perilaku warga tuan rumah. Segala bentuk stress mental maupun fisik yang dialami individu pendatang selama berada di lokasi asing sebagai hilangnya kontrol seseorang saat ia berinteraksi dengan orang lain dari kultur yang berbeda yang menyebabkan kesulitan penyesuaian. Setelah melalui masa culture shock maka individu perantau akan tiba pada titik dimana ia menyadari bahwa budaya barunya tidak lebih baik atau lebih buruk antara satu dengan yang lainnya, karena mulai muncul pemikiran jika pada setiap budaya memiliki ciri berbeda yang berbeda pula dalam menangani setiap masalah dalam kehidupannya. Individu juga mulai menyadari bahwa kultur barunya memiliki banyak hal baik maupun hal buruk yang dapat berpotensi untuk mempengaruhi diri individu selama ia berada di tempat baru tersebut, agar ia tahu harus bagaimana menyikapinya dengan tepat sebagai pengalaman hidupnya. Pada masa ini akan terjadi proses integrasi dari hal-hal baru yang telah dipelajarinya dari kultur baru dengan hal-hal lama yang selama ini dia miliki sehingga muncul perasaan menentukan, memiliki dan menetapkan sebagai tahap dalam proses pencarian jati diri dalam diri individu. Ini memungkinkan munculnya definisi baru mengenai dirinya sendiri. Biasanya pada saat seperti ini individu telah matang dalam penglaman lintas budayanya dan memiliki kemampuan untuk hidup dalam budaya barunya yang berbeda dengan budaya asalnya.
Lampiran 5
HASIL WAWANCARA CULTURE SHOCK (GEGAR BUDAYA) PADA MAHASISWA PERANTAUAN DI YOGYAKARTA Informan 1 Tanggal wawancara
: 13 November 2013
Waktu
: 14.00 WIB
Lokasi wawancara
: Gedung Perpustakaan Pusat UGM
Keadaan informan C. Identitas Informan Nama
: SC
Jenis kelamin
: Perempuan
Umur
: 18 Tahun
Agama
: Islam
Asal daerah
: Padang
Suku/ etnis
:Minang/ Melayu
Jenis bahasa daerah
:Minang
Universitas
: UGM
Mahasiswa semester
:1
D. Hasil wawancara dengan mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa
yang sedang menempuh semester awal berkuliah di Perguruan Tinggi Yogyakarta. 25. Peneliti :Berasal dari daerah mana, suku atau etnik, bahasa daerah dan sejak kapan anda merantau ke Yogyakarta? Informan :Padang, sukunya minang atau melayu, bahasa daerahnya pun minang datangnya kejogja sekitar september 2013 kemarin. 26. Peneliti :Mengapa anda memilih untuk merantau ke Yogyakarta? Apa alasan dan motivasi anda memilih menjadi seorang mahasiswa perantauan? Apakah anda sebelumnya pernah memiliki pengalaman merantau kedaerah/ propinsi lain? Informan :Karena tujuan utamanya memang ingin kuliah di UGM, UGM juga terkenal sebagai universitas tertua di Indonesia,
Comment [CS1]: Asl Comment [CS2]: Sk etnk Comment [CS3]: Bhs Daerh
27. Peneliti
Informan
28. Peneliti
pastinya Jogja menjadi kota yang ramai akan perantau yang sama sepertiku yang bertujuan menempuh jenjang pendidikan perguruan tinggi, itu berarti akan banyak perasaan senasib sepertiku, berjuang demi pendidikan. Aku memang niat banget bisa masuk ke UGM. Berhubung UGM memang adanya hanya di Jogja jadi mau tidak mau sejak awal sudah bertekad untuk menjadi perantau ke Jogja yang notabene Jawa budayanya demi berkuliah ke UGM. Lagipula didaerahku itu sudah lumayan banyak dan kebanyak yang merantau, merantaunya itu ya ke Pulau Jawa. Ada yang ke UI, ITB, bahkan sepupuku saja ada yang kuliah ke Universitas Brawijaya Malang Jawa Timur itu kan lebih jauh dari saya merantaunya. Belum pernah merantau ya jadi ini kali pertamanya aku membuat perjalanan perantauan dihidupku, tapi tekad sudah bulat jalan sajalah. Coba-coba cari pengalaman baru, resikonya pikir belakangan. :Siapakah yang mendorong anda untuk melakukan merantau? Lalu apakah anda sudah memperkirakan bagaimana tempat yang akan anda rantau tersebut? :Keinginan sendiri lalu didukung oleh orang tua, agar aku bisa mandiri, berkembang lalu tahu dunia luar. Lagi pula orang-orang didaerah kami menganggap kalau kualitas perguruan tinggi di pulau Jawa itu lebih baik dibanding perguruan tinggi di luar pulau Jawa. Jadi orang tua semakin antusias agar aku merantau ke Jawa demi prospek kedepannya yang penuh peluang begitu kak. Karena belum pernah ke Jogja sebelumnya, jadi aku tidak memperkirakan bagaimana Jogja. Yaa mungkin aku tahu Jogja hanya dari Tv atau internet. Waktu itu gara-gara ingin sekali kuliah di UGM yang menjadi satu-satunya alasan dan membuatku sangat bersemangat untuk merantau ke Jogja. :Sebelum anda merantau apakah anda sudah pernah datang mengunjungi Yogyakarta atau memiliki bayangan bagaimana lingkungan baru anda? Lalu bagaimanakah perasaan anda saat sudah berada di tempat perantauan? Merasa kagetkah?
Comment [CS4]: Alsn
Comment [CS5]: Alsn
Informan
29. Peneliti
Informan
30. Peneliti Informan
:Belum pernah kesini juga mengenal Jogja juga belum jadi ini pure baru yang pertama kalinya buat aku, cuma waktu pas pertama jatuh cinta dengan UGM itu bayangannya kalau daya saing masuk universitas Jogja pasti tinggi. Yang aku persiapkan dari rumah itu hanya fokus belajar demi lolos ujian masuk UGM, kalau persiapan hidup di Jogja kan bisa sambil jalan saja bagaimana nantinya. alhamdulillah, ternyata lolos keterima di universitas harapan juga, sisanya jadi tantangan tersendiri untukku mampu atau tidak menyesuaikan diri di Jogja lalu sanggup atau tidak aku untuk mendapatkan prestasi akademik dan menjadi sarjana lulusan terbaik, ambisiku cuma buat kesuksesan akademik, lekas lulus wisuda, kembali kerumah, lalu cari pekerjaan. Jadi waktu itu perasaannya campurcampur, bahagianya karena aku lolos seleksi ujian masuk UGM dan akhirnya terwujud juga impian merantau demi UGM terus kan karena masih ditemani bapak ibu jadi aku tenang-tenang saja nah setelah mereka nak balik padang langsung ya masuk babak baru nusuk sedihnya! Disini benar-benar sendiri kesepian ditengah kota besar, merasa benar-benar berada ditempat asing tersesat tapi itu settinganku sendiri rasanya campur aduk jadi satu susah jelasinnya. Mendadak melankolis sama kenyataan kalau inilah yang namanya merantau jauh dari rumah, dari keluarga, dari apapun itu. :Jalur penerimaan mahasiswa apa yang anda tempuh untuk akhirnya anda bisa masuk dan di terima di Perguruan Tinggi Jogja? :Waktu itu saya ikut jalur SMPTN. Benar-benar full rasa cemas bukan kepalang waktu itu karena aku tahu berapa banyak calon mahasiswa yang berminat untuk masuk UGM, dari jumlah peserta yang ada saja membuatku harus super serius giat belajar agar mampu bersaing dan tembus seleksi masuk perguruan tinggi negeri, sampai sembahyang malam pun aku gencarkan demi masuk UGM. :Dimana dan dengan siapa anda tinggal di tempat perantauan kota Yogyakarta ini? Berikan alasannya? :Kos, waktu itu stay dulu di hotel, kami bagi tugas aku fokus ngurus ini itunya masuk UGM dari daftar-ujian-
Comment [CS6]: Intr
31. Peneliti
Informan
32. Peneliti
Informan
pemberkasan, bapak ibu yang bagian mencarikan kos jadi aku tidak tahu menahu ya tahu-tahunya mereka carikan kos yang dekat sama kampus dengan segala pertimbangan mereka tapi memang intinya sengaja cari kos yang dekat sama kampus biar aku jalannya tidak terlalu jauh. :Bahasa apa yang biasa di pakai dalam keluarga? Lalu bahasa apa yang anda gunakan untuk berkomunikasi dengan orang-orang baru di Yogyakarta? :Kalau bahasa yang dipakai di keluarga itu bahasa minang karena keluargaku memang asli padang, sama temanteman juga kebanyakan bahasa minang ya mungkin karena faktor berada di tanah Padang sih menurutku. Nah sejak disini aku tidak mau gegabah ya kak, nanti malah dikira sok-sokan perantau tidak tahu diri apa gimana, dari yang biasanya yang kupakai dalam keseharianku 60% berbahasa minang ini beralih 90% bahasa Indonesia kan bahasa persatuan ya jadi aku disini sadar untuk menggunakan bahasa Indonesia yang efesien jika berkomunikasi dengan orang-orang baru. Hanya saja aku merasa tidak nyaman berkomunikasi dengan orang-orang Jogja yang mereka masih saja menggunakan bahasa Jawa dalam berkomunikasi dengan aku, masalahnya aku tidak mengerti bahasa yang dipakai oleh orang-orang di lingkungan baruku ini, aku belum mengenal bahasa Jawa sebelumnya jadi mana kutahulah apa artinya, itulah yang membuat aku merasa canggung ketika bertemu dengan orang-orang lokal yang kurang peka perbedaan (orang Yogyakarta) pasti nanti aku akan diajaknya bicara bahasa Jawa kan itu buat jadi malas rasanya kesal. :Bagaimana pergaulan anda dengan teman-teman baru di lingkungan kampus anda pada saat anda memasuki semester awal perkuliahan? :Sampai sejauh ini ya mungkin karena masih baru-baru saja tinggal di Jogja jadi terasa berat ya memulai dari awal namanya juga mencoba mengenal budaya baru di lingkungan yang masih asing, dengan orang-orang yang belum benar-benar kukenal, apalagi orang-orang disini berbeda latar belakang budayanya denganku jadi untuk saat ini aku masih susah berbaur. Perasaan ragu, takut itu
Comment [CS7]: Bhs Daerh
Comment [CS8]: Ekstnl
33. Peneliti Informan
selalu mucul ya setiap akan berinteraksi atau ketika akan memulai beradaptasi dengan lingkungan baru, ditambah bingung bagaimana memulai perkenalan dan memulai pembicaraan dengan teman baru, perbedaan budaya sedikit membuatku merasa kesulitan berkomunikasi dengan orang di daerah baru. Untungnya waktu ospek kemarin kebetulan aku bisa dapat beberapa kenalan teman-teman baru walau kami berbeda kelas namun satu jurusan dan sepertinya kami bisa menjadi teman yang lumayan akrab karena kami sama-sama dari Sumatera merasa dialek kami tidak terlalu jauh berbeda membuat kami merasa ada kecocokan, kami sudah sering jalan bareng sampai shoping bareng juga akhir-akhir ini. Kalau dengan teman-teman baru di kelas justru aku masih merasa canggung, dikelas paling aku hanya melakukan aktivitas keperluanku saja tanpa banyak bercakap hal-hal lain diluar dari tanya-tanya mengenai pembahasan materi yang susah dimengerti. Pokoknya berhati-hati saja tidak boleh sembarangan, takut akan keamanan diri karena perbedaan latar belakang budaya gimana kalau aku salah mendapat kenalan teman baru, atau mungkin tanpa disadari bisa saja perilaku dan bahasaku tidak sengaja menyinggung perasaan orang yang lalu akhirnya menimbulkan masalah yang mengganggu konsentrasi berkuliah. Aku tidak mau mengambil resiko yang akhirnya menyusahkanku jadi lebih baik aku disini biasa-biasa saja, tidak banyak teman juga tidak masalah bagiku yang penting tujuanku tercapai. :Bagaimana pergaulan anda dengan teman-teman baru di lingkungan tempat tinggal (kos) anda? :Kalau dengan penghuni kos kamar lain itu ya biasa saja, kenal pun hanya sebagian saja sama beberapa yang kamarnya berdekatan dengan kamarku itupun yang sekiranya bersahabat yang orangnya ramah yang ngajak kenalan duluan ke aku, yang kamarnya jauh-jauh paling cuma hafal wajah penghuni kamarnya saja, namanya siapa itu aku tidak tahu. Sama penghuni kamar kos yang aku kenal kalau kebetulan bertemu dijalan ya komunikasinya sebatas basa-basi saling bertegur sapa, atau kalau lagi nonton televisi kebetulan bareng sama
Comment [CS9]: Gjl &Rea
Comment [CS10]: Gjl &Rea
34. Peneliti
Informan
penghuni kos lain yang juga nonton acara televisi diruang nonton ya kalau aku diajak ngobrol ya ngobrol, kalau tidak diajak ngobrol ya aku diam saja. Aku itu kaku orangnya, tidak pintar mencari bahan pembicaraan, lebih senang jadi pendengar saja. Lagipula di kos aku lebih sering menyendiri menghabiskan waktu dikamar, untuk istirahat, belajar dan lain-lain, kalau keluar kamar paling untuk nonton televisi saat bosan itupun jarang. Aku memang tidak ingin asal dekat dengan orang-orang baru, kan tidak tahu bagaimana dia, asal-usulnya, latar belakangnya juga, takutnya kalau salah berteman aku sama dianya terlanjur longgar taunya nanti akan mengundang masalah tersendiri untukk kan repotu, seperti misalnya jika aku asal berteman dengan orang yang ternyata kleptomania saat aku teledor bisa saja mengundang kesempatan bagi dia untuk mencuri barangku yang menurut dia menarik. Kita kan ya tidak tahu sejarah gimana-gimananya orang baru. :Apakah anda menemukan kendala mengenai penyesuaian belajar yang anda temukan selama berada di lingkungan baru (kota rantauan Yogyakarta)? :Karena kuliahku masih awal, lagi susah-susahnya, masih merupakan tahap penjajakan materi, pengenalan sistem perkuliahan dan banyak praktikumnya jadi sejauh ini seisi kelas termasuk aku sama-sama kebakaran jenggot menghadapi persoalan penyesuaian belajar karena kan wajarlah kalau masih bingung kaget pula kan dengan sistem belajar di perkuliahan yang jelas sangat berbeda dengan sistem belajar saat masih duduk dibangku SMA. Walau kami sekelas tidak saling akrab namun akhirnya kami dapat menyingkirkannya demi kebutuhan serta kelancaran prestasi akademik perkuliahan hingga sendirinya kami mampu berperan aktif dan mandiri, yaa hanya dengan bermodal mau untuk bertanya dengan teman satu sama lain, sedikit menyingkirkan gengsi pada diri guna mendapatkan pemahaman dari hasil bertukar pikiran dengan teman-teman satu kelas. Kalau di luar kelas amat sangat kebetulan itu dengan teman-teman baru yang aku kenal saat ospek itu kan kami lumayan sangat dekat ya
Comment [CS11]: Gjl &Rea
Comment [CS12]: Ekstrnl
35. Peneliti
Informan
36. Peneliti
walau beda kelas tapi kami satu jurusan jadi materi kami sama hanya mungkin berbeda dosen saja, kami sama-sama menghadapi bersama dengan belajar kelompok, bertukar pikiran, berbagi pemahaman, saling mengajak mencari buku-buku sumber bersama saat ada tugas dari usaha mencari buku penunjang keperpus pusat, perpus fakultas sampai hunting kepasar buku murah. Insyaallah pasti bisa aku lewati masalah pembelajaran ini, hais ini juga baru mid semester, aku yakin aku pasti bisa, karena masuk UGM saja aku bisa, maka melanjutkan perjuanganku aku juga harus bisa dengan baik. Tujuan utamaku merantau bukan untuk hal lain kecuali berkuliah jadi pikiranku tidak boleh bercabang harus fokus disatu hal yaitu prestasi akademik, aamiin. :Apakah terdapat kesenjangan kebudayaan yang anda rasakan selama berada di lingkungan baru (kota rantauan Yogyakarta) ? :Aku agak gimana di sini karena kebiasaan logatnya Padang yang notabene melayu tapi intonasi tinggi jadi tiap kelepasan suka pakai bahasa atau logat Padang nah tibatiba teman-teman kampus melihat aku aneh lalu ngejek bilang “uni nasi padangnya seporsi ya!” lalu mereka tertawa terbahak-bahak jadikan aku bahan olokan nah kalau sudah begitu malulah aku. Jadi sebenarnya wajar kenapa orang kami berintonasi tinggi atau keras itu karena rumah kami memang jaraknya jauh bertanah lapang jadi terbiasalah kami bernada tinggi sehari-harinya. Beda situasinya dengan disini yang jarak tempat antar rumah itu dekat-dekat sekali, padat perumahan penduduk. Itulah yang kadang membuat aku merasa tidak diterima oleh orang-orang lokal di budaya yang baru ini. Sangat menyakitkan bagi aku karena orang-orang Yogyakarta tidak mengerti nilai-nilai budaya saya. Seakan orangorang di lingkungan baru memandang aneh terhadap nilainilai budaya aku, bahkan itu tersirat dari mata lho kak bagaimana cara mereka melihatku dengan tatapan aneh. Membuatku marah, benci, dan enggan untuk berinteraksi dengan orang-orang yang ada di lingkungan baru saya ini. :Bagaimana cara anda memahami adat istiadat budaya
Comment [CS13]: Ekstrnl
Comment [CS14]: Gjl &Rea
Informan
37. Peneliti
Informan
orang-orang pribumi Yogyakarta saat bulan-bulan pertama tinggal di Yogyakarta? Apakah anda merasakan adanya perbedaan yang mencolok dengan daerah asal anda? :Sebenarnya mungkin budayanya Jogja sendiri mudah dipahami ya mengingat orang-orang Jawa banyak yang sudah menyebar kemana-mana bahkan di Padang juga banyak perantau dari Jawa, nah bedanya dengan di sini orang Jawa yang merantau di Padang itu aktif berbahasa Indonesiaan sehingga dari awal merantau mereka itulah yang aku garis bawahi sebagai bayanganku jika bertemu dengan orang-orang lokal disini, yang penting disini aku sopan, berusaha tahu tatakrama, tidak ikut campur urusan orang lain itu saja sudah cukup sebagai modal menyesuaikan diri bermasyarakat dengan baik disini walau dalam kondisi yang berbeda dari daerah asalku tapi aku tidak mau ambil pusing. Sayangnya teori hanya sekedar teori. Cuma masihlah aku heran orang disini yang asli Jogja itu senang sekali berbahasa Jawa kepada siapapun. Dari para penjualnya, tukang parkir, teman kampusku yang asli Jogja pun begitu sama saja mereka kadang lupa kalau disini memang tempat milik mereka tapi pendatangnya kan banyak campur-campur asal daerahnya, bukannya kenapa tapi aku cuma bisa bengong kalau diajak mereka mengobrol pakai bahasa Jawa, meskipun aku menjawabnya dengan bahasa Indonesia itulah yang membuatku merasa tidak nyaman setiap harinya ketika berinteraksi dengan mereka yang egois. Aku sudah loh mencoba memahami mereka dengan tidak mengajak mereka bicara dengan bahasa minang yang pastinya tidak mereka pahami… tapi tidak kan? Justru mereka yang masih saja cuek dan tetap berbahasa Jawa memangnya mereka pikir aku tahu paham gitu artinya. :Saat berada dibulan-bulan pertama perantauan apakah anda sering membandingkan lingkungan baru di Yogyakarta tempat rantauan dengan daerah asal dari tempat anda sendiri? :Iya sering, suka malas ya kalau masalah selera masakan. Nah jogja itu terkenal gudegnya. Tahu kan gudeg itu apa? Gudeg itu kan sayur nangka yang manisnya luar biasa
Comment [CS15]: Ekstrnl
38. Peneliti
Informan
39. Peneliti Informan
ternyata tidak cuma gudeg yang rasanya manis tapi masakan lain-lain pun manis rasanya itu berbeda sama rasa masakan khas kami yang pedas kental dengan rempah. Sebenarnya tertarik untuk mencoba tapi sayangnya memang tidak berjodoh dengan rasa manis setiap kali mencoba rasanya ingin muntah. Akhirnya susuah move on dari rumah makan padang, makanan cepat saji fast food, mie instan, roti dan cemilan snack-snack. Mempunyai masalah dengan pola makan selama beradaptasi di lingkungan baru ini membuat nafsu makanku berkurang membuat stres! baru berapa lama di sini saja sudah membuat berat badanku menurun. :Sesampainya di tempat rantauan apakah anda dapat segera mengkondisikan diri anda dengan lingkungan baru anda? Apakah anda merasa nyaman dengan lingkungan rantauan anda? :Aku masih sering merasa kesepian sih, masih sering merasa asing belum terbiasa. Masih banyak menarik diri orang lain (tertutup) karena sering merasa tidak dihargai oleh orang di lingkungan baru. Masih malas buat mengkondisikan secara paten, kadang suka merasa berat harus menghilangkan kebiasaan yang sudah tahunan melekat hanya untuk menyesuaikan diri, ya dibawa mengalir saja karena aku baru juga kan disini agar tidak begitu stress, sepertinya sepele tapi kok berat jalaninya. Umm, gimana ya Jogja itu kota yang ramai, berisik, panas, gerah, Jogja padat penduduk, padat kendaraan jadi disini terasa sekali sesaknya kalau masalah kenyamanan sih tetap menyenangkan kampung halamanku. Lagipula kan tidak mudah langsung sigap sama perubahan. Mungkin aku masih butuh waktu sebagai proses untuk membiasakan diri saja sih. :Bagaimana kondisi kesehatan anda pada bulan-bulan awal di tempat rantauan? :Cuacanya Jogja itu ekstrim, terlebih cuaca di Jogja itu sangat berbeda dengan daerah asalku sehingga waktu pertama di Jogja dulu badan saya ini kaget lalu sering sakit radang tenggorokan atau batuk, Yogyakarta kan teriknya terasa menyengat sekali di kulit sampai harus
Comment [CS16]: Ekstrnl
Comment [CS17]: Gjl &Rea
40. Peneliti
Informan
rajin-rajin pakai handbody kalau tidak ingin kulit menjadi hitam, perih dan kering, lalu kemaraunya disini terasa lebih lama benar-benar tanpa ada hujan walau gerimis sekalipun itu, musim kemarau kemarin benar-benar terasa sangat panas menyengat. Padatnya kendaraan bermotor di Jogja menyebabkan polusi udara menjadi tinggi yang mengharuskanku pakai masker ketika sedang berada di perjalanan. Disini aku sering mengalami alergi flu tiap bangun pagi, kembung/ mual setiap setelah makan selama berada di lingkungan baru ini, yang sebelumnya tidak pernah mengalaminya. Lalu ini sepertinya mulai masuk musim penghujan, menurutku juga sedikit ekstrim, hujan lebat, angin kencang dan banyak petir benar-benar membuatku takut, apalagi Jogja dikenal dengan sering adanya gempa bumi, belum lagi isunya merapi akan erupsi kembali seperti tahun 2010 kemarin jadi semakin menambah rasa was-was. :Mengenai pola makan, menu dan rasa masakan khas Yogyakarta apakah anda menemukan kendala di tempat rantauan? :Menu masakan susah untuk menyesuaikan karena sini khasnya manis sedangkan lidahku tidak terbiasa dengan masakan manis, kalau makan larinya ke warung makan Padang, makan roti, membuat roti tawar selai, nyemil snack-snack, kalau tidak yaa buat mie instan sendiri, atau kalau pas ada temannya yang mengajak nyari makan bareng ya hunting warung makan yang sambalnya ekstra pedas, sekalian wisata kuliner segala tempat kami coba sampai habis referensi tempat makan terus kebanyakan makan ditempat JunkFood berkelas internasional seperti PH, starbucks, J.Co, KFC, Dunkin donuts yang sebenarnya menguras kantong dan akhirnya tidak bisa keseringan nongkrong ditempat-tempat mahal seperti itu karena membuatku selalu kehabisan uang bulanan. Cuma ya itu tadi pola makanku berantakan jadinya sering malas mau makan, ini saja aku kurusan turun berapa kilo sendiri gara-gara pilih-pilih makanan, jadi susah makan. Akhirnya kesini-kesininya harus bisa paksa sedikit-sedikit tidak pilih-pilih makan meski setiap kali memaksa makan
Comment [CS18]: Ekstrnl
41. Peneliti
Informan
42. Peneliti
Informan
43. Peneliti
Informan
selalu mual sampai muntah pula, masih berusaha ya untuk tidak pilih-pilih makan lagi cuma ya carinya tetep ketempat makan yang rasanya lumayan bisa cocok di lidahlah sedih kalau makan tapi tak bisa kuhabiskan karena tidak selera. :Mengenai pola tidur anda pada bulan-bulan awal di Yogyakarta, apakah anda menemukan kendala di tempat perantauan? :Pola tidur berantakan sekarang mau tidak mau susah tidur cepat, tidak tenang, masih merasa kalau ini bukan kamarku sendiri dan memang tidak sedang tidur dirumah, masih mudah menangis karena jauh dari keluarga. Kadang siasati kalau tidak bisa tidur ku alihkan untuk menyelesaikan tugas kuliah, kalau banyak tugas kan memang harus aku nyicil, belum lagi aku juga harus belajar dulu untuk materi kuliah yang susah dipahami jadi ya akhirnya tidurnya semakin sampai larut malam. :Bagaimana komunikasi anda di tempat perantauan dengan keluarga anda di kampung halaman? Tiap berapa bulan anda pulang kekampung halaman? Apakah anda sering merasa home sick atau mudah rindu kampung halaman? :Komunikasi lancar justru malah hampir setiap hari telfon untuk cerita banyak hal ke mama, dari yang hal tidak penting sampai keluhan merajuk menangis minta ditengok juga. Gara-gara tugas banyak jadi rindu sama mama, kalau dirumah setiap aku banyak tugas pasti ditemani mama. Kalau sakit mama yang merawat, rasanya ingin sering pulang tapi mengingat ongkos PP yang tidak sedikit membuatku terjepit pada situasi yang menyebalkan karena harus bersabar dan mengurungkan keinginanku mudikku yang menggebu-gebu. Selalu sangat ingin pulang ke rumah, bertemu keluarga dan temanteman di Padang tapi semua itu harus menunggu sampai liburan panjang tiba. :Adakah pengalaman sosial budaya di Yogyakarta yang membuat anda stress pada bulan-bulan awal di Yogyakarta? :Jarak mungkin, karena jauh dari orang tua itu saat ini
Comment [CS19]: Ekstrnl
Comment [CS20]: Estrnl
Comment [CS21]: Gjl &Rea
44. Peneliti
Informan
sebenarnya terasa masih sangat menyiksa dan sering membuatku mudah menangis atau menyendiri saat tidak terbendung lagi rasa rinduku. Jauh dari kampung halaman membuatku kurang percaya diri memulai pembicaraan dengan orang baru, belum lagi setiap bangun pagi pasti muncul perasaan seperti belum terbiasa kaget ini bukan kamarku aku dimana apa ya kak semacam belum bisa menerima tidak memiliki rasa memiliki sama lingkungan baruku yang sekarang ini, merasa kurang minder dan kurang bebas mengekspresikan diri di lingkungan baru ini juga, yang semua itu pada intinya mengacu pada perasaan sedih karena berada di lingkungan yang tidak biasa. :Jika anda mengalami kendala di daerah rantauan mengenai sosialisasi terhadap masyarakat pribumi Yogyakarta lalu bagaimana anda mengatasinya? :Hmm kendala di daerah rantauan mengenai sosialisasi ya untuk tahap awal paling akan aku simpan sendiri kalau sudah terasa keterlaluan, menyesakkan didada dan sangat mengganggu baru cerita ke orang tua biar perasaanku bisa lebih lega itu saja sih kan uneg-uneg itu jika dilepaskan dia akan sangat membantu. Nah beda ya sama teman-teman dekatku yang sudah aku bilang tadi yang kami sama-sama perantau sama-sama dari sumatera kalau pas lagi kumpul bareng, ngerumpi mereka bisa lepas, bahas terangterangan mengolok-ngolok mereka mereka yang menyebalkan sesuka hati kami ibarat menahan muntah nah ini adalah waktu untuk memuntahkan semuanya sampai merasa puas dan lega, mau bagaimanapun memandang budaya kami dikampung halaman itu jauh lebih baik daripada budaya baru yang kami hadapi sekarang dalam tanda kutip Yogyakarta dan segala isinya kalau sudah begitu aku jelas tidak ikut-ikutan karena terlalu frontal ya memang kebebasan bicara dan menilai tapi cukup tidak untu dibesar-besarkan ya mungkin karena aku anaknya kaku, lebih banyak diam, lebih senang sebagai pendengar dan menilai mengumpat dalam hati itu lebih aman jadi tidak terlalu banyak bicara yang tidak penting dan tidak ikut campur urusan orang ya apalagi disni asing jadi bukan
Comment [CS22]: Intr
Comment [CS23]: Gjl &Rea
45. Peneliti Informan
46. Peneliti
Informan
porsiku untuk melibatkan diri pada hal-hal yang dirasa dapat menimbulkan masalah atau dapat mengganggu konsentrasi kuliah tapi selama disini aku dominan merasa benar-benar kehilangan jati diri aku yang sudah kubentuk selama ini dan itu diam-diam menyakitkan bagi aku. Ya paling sembari menjalani hari sebagai rantauan juga selalu ingat untuk berusaha jaga sikap, jaga etika sebagai pendatang, ikuti aturan yang berlaku, berusaha bersikap biasa saja agar tidak menjadikan hal yang tidak penting sebagai beban pikiran. :Pernahkah ada masalah dengan teman-teman baru anda yang merupakan masyarakat pribumi Yogyakarta? :Aku sering merasa terganggu dengan cara candaan orang lokal Jogja ya mungkin disini aku merasa menjadi lebih sentimen apabila ada yang menyinggung budaya ku walau untuk sekedar humor belaka, tapi dibalik itu nada orang lokal Jogja yang halus ya kadang malah aku merasa karakterku yang kaku bisa nih membuat mereka tergangu, aku juga belum bisa memahami ekspresi wajah dan bahasa Jogja, karena terkadang antara ekspresi wajah dengan perkataan sering kali berbeda terlebih karena perbedaan latarbelakang budaya yang ada diantara kami. Ya memang tidak dipungkiri kalau lebih santai untuk berteman dengan orang yang berasal dari daerah yang sama mudah dipahami, disini apa-apa sedikit-sedikit harus dipelajari untuk menyesuaikan. Membuatku merasa kehilangan orang-orang yang telah kukenal sebelumnya yang bisa menerima apa adanya aku tanpa harus pencitraan segala. :Dengan teman kampus anda yang merupakan masyarakat pribumi Yogyakarta apakah mereka membantu anda untuk bersama-sama menghadapi persoalan penyesuaian diri pada saat awal kedatangan anda di tempat rantauan (Yogyakarta) ? :Karena kuliahku masih awal, lagi susah-susahnya menyesuaikan diri secara kilat, masih merupakan tahap penjajakan lingkungan baru, pengenalan akan banyak hal baru, budaya baru, kebiasaan baru, system baru, nilai, norma, tata tertib baru jadi sejauh ini masih benar-benar kebakaran jenggot menghadapi persoalan penyesuaian diri
Comment [CS24]: Ekstrnl
47. Peneliti Informan
48. Peneliti
Informan
karena aku amat sangat bingung dengan situasi kondisi sosial budaya yang sangat berbeda dengan sistem saat aku masih di kampung halaman. Walau kami sekelas kami masih cenderung mengelompok, masing-masing seakan tidak saling peduli. Mungkin mereka sepertiku ya karena aku sendiri saja masih memandang budaya asli aku lebih baik daripada budaya Jogja yang aku hadapi sekarang bisa saja mereka berpikir sebaliknya kalau budaya Jogja lebih baik dari budayaku. :Ceritakan bagaimana hubungan anda dengan temanteman baru di Yogyakarta? Apakah ada kendala? :Untuk saat ini biasa saja mungkin karena masih awal jadi belum nampak bagaimana aslinya teman-teman baruku dikelas. Mungkin mereka sama sepertiku masih malu-malu, jaga jarak, jaga sikap, lebih banyak menahan diri, menahan emosional demi menghimpun teman yang cocok dengan karakter masing-masing dan kemudian membentuk kelompok pertemanan tersendiri. Dikelas aku termasuk sebagai pihak netral yang tidak condong dengan salah satu dari mereka, mungkin karena aku pendiam dan biasa saja menanggapi mereka. Ada beberapa teman orang lokal yang kritis bertanya tentang daerahku namun aku terlalu pasif bertukar informasi yang berkaitan dengan budaya ya, akan percuma jika aku susah payah menjelasnya tapinya mereka tidak mau benar-benar menghargai. Rugilah kita capek bicara jelasin panjang lebar kalau cuma masuk kuping kanan keluar kuping kiri doang. Tujuanku merantau hanya satu yaitu berkuliah, aku tidak ingin terlalu banyak terlibat pada hal-hal pertemanan yang rumit,banyak menyita waktu dan bisa saja mengalihkan konsentrasi berkuliahku. :Apakah anda mengalami berbagai permasalahan ketidaknyamanan dengan daerah rantauan? Apakah anda merasa yakin dapat menyesuaikan diri dengan di tempat rantauan tersebut? :Iya pasti itu, ini saja baru sampai di mid semester tapi rasanya sudah begitu sangat lama berada disini seperti berabad-abad ya mau bagaimana lagi keputusanku sih yang memilih untuk merantau ke Jogja mau bagaimanapun
Comment [CS25]: Gjl &Rea
Comment [CS26]: Gjl &Rea
aku harus bertanggung jawab dong! Harus yakin aku pasti bisa lalui ini semua, karena masuk UGM saja aku bisa, maka masalah menyesuaikan diri pun aku juga harus bisa tangani dengan baik, tidak mungkin kan mau menghindar terus menerus. Inget kalau tujuan utamaku merantau bukan untuk hal lain kecuali berkuliah jadi pikiranku tidak boleh bercabang harus fokus disatu hal yaitu prestasi akademik. Untuk sampai detik ini aku mungkin masih memberikan jarak sama lingkungan baru disekitarku tapi tetap pada kodratnya bahwa aku adalah seorang makhluk sosial yang pasti akan butuh orang-orang yang ada disekelilingku, cepat atau lambat tapi pasti aku akan terdesak kebutuhan untuk berinteraksi lalu akhirnya bersosialisasi sama sekeliling terus juga disini posisinya aku itu tamu, berada disuatu daerah tuan rumah yang memiliki sistem norma aturan dan nilai yang berlaku pula, maka jika aku ingin tidak ada masalah ya sebaiknya aku harus mengikuti dan mempelajari sistem masyarakat yang dipakai disini yaah harusnya memang dibuat fleksibel saja dan kuncinya samasama welcome, sama-sama sadar diri tapi itu baru teori, prakteknya nunggu ilham datang semua kan butuh proses.
Comment [CS27]: Kemungkinan Hsl Adpt
HASIL WAWANCARA CULTURE SHOCK (GEGAR BUDAYA) PADA MAHASISWA PERANTAUAN DI YOGYAKARTA Informan 2 Tanggal wawancara
: 27 November 2013
Waktu
: 14.00 WIB
Lokasi wawancara
: Perpustakaan Jurusan FE UII
Keadaan informan A. Identitas Informan Nama
: WLLY
Jenis kelamin
: Perempuan
Umur
: 17 tahun
Agama
: Islam
Asal daerah
: Mamuju, Sulawesi Barat
Suku/ etnis
: Mandar
Jenis bahasa daerah
: Mandar
Universitas
: UII
Mahasiswa semester
:1
B. Hasil wawancara dengan mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa yang sedang menempuh semester awal berkuliah di Perguruan Tinggi Yogyakarta. 1. Peneliti :Berasal dari daerah mana, suku atau etnik, bahasa daerah dan sejak kapan anda merantau ke Yogyakarta? Informan :Dari Mamuju, Sulawesi Barat, Mandar bahasanya ya Mandar. Sejak Agustus 2013 lalu.. 2. Peneliti :Mengapa anda memilih untuk merantau ke Yogyakarta? Apa alasan dan motivasi anda memilih menjadi seorang mahasiswa perantauan? Apakah anda sebelumnya pernah memiliki pengalaman merantau kedaerah/ propinsi lain? Informan :Ya kan dimana-mana semua orang tahu kalau Jogja sangat terkenal sebagai Kota pendidikan dengan kualitas perguruan tinggi yang tidak diragukan lagi, banyak
Comment [CS28]: Asl Comment [CS29]: Sk/ etnk Comment [CS30]: Bhs Daerh
3. Peneliti
Informan
4. Peneliti
jurusan yang ditawarkan tersedia disana, selain itu jauh lebih baik dibanding perguruan tinggi yang ada didaerahku. Biaya hidup di Jogja juga kata banyak orang lumayan serba pas terjangkau di kantong menengah kebawah ya dibandingkan dengan kota-kota besar lain seperti kota Bogor, Bandung, Semarang, Malang, dan Jakarta terutama. Dan akhirnya karena stimulus dari kata orang yang di kaitkan dengan ini itu seperti demi kualitas pendidikan juga di dukung dengan biaya kehidupan yang sesuai dengan kemampuan penghasilan orang tua jadi terpilihlah Jogja. Jawa yang sudah dinilai oleh masyarakat umum sebagai Propinsi dengan kualitas pendidikan yang diakui jauh lebih baik dibandingkan luar Jawa menjadi motivasi utama dalam memutuskan diri menjadi mahasiswa perantau, lalu kemudian tujuan pendukung lain biar aku mandiri, tahu dunia luar, menjadi pribadi yang kuat dan berkembang semakin membulatkan tekat merantau. Belum pernah ini kali pertama aku untuk mencoba pengalaman merantau tapi kupikir tidak perlu takut ya lagipula fenomena merantau demi pendidikan berkualitas sepertiku ini kan sudah bukan hal baru lagi, pastinya di Jogja akan banyak orang-orang dengan nasib sama sepertiku merantau demi pendidikan itu artinya aku tidak sendiri. Siapkan tekad bulat saja jadi modal, selebihnya serahkan pada proses waktu. :Siapakah yang mendorong anda untuk melakukan merantau? Lalu apakah anda sudah memperkirakan bagaimana tempat yang akan anda rantau tersebut? :Kalau aku merantau itu keinginan sendiri, sebelumnya juga sudah kupikir dengan segala pertimbangan kuatku sebagai alasan merantau, walau orang tua pertamanya menentang tidak mendukung karena aku anak perempuan, kata mereka Jawa itu jauh dan mereka mencemaskanku. Tapi setelah aku memberi mereka penjelasan akhirnya mereka memberikanku izin. Kalau memperkirakan bagaimana-bagaimananya Jogja karena ini kan pertama kalinya aku ke Jogja jadi sejak awal kedatanganku disini ya benar-benar tidak tahu sama sekali bagaimana Jogja. :Sebelum anda merantau apakah anda sudah pernah
Comment [CS31]: Alsn
Informan
5. Peneliti
Informan
6. Peneliti Informan
datang mengunjungi Yogyakarta atau memiliki bayangan bagaimana lingkungan baru anda? Lalu bagaimanakah perasaan anda saat sudah berada di tempat perantauan? Merasa kagetkah? :Datang langsung sih belum, cuma aku tahu Jogja itu dari searching internet dari berita di Televisi, atau pas menonton sinetron juga kadang lokasi shootingnya ka nada yang di Jogja, selebihnya bayanganku tentang Jogja simple kalau Jogja itu merupakan kota pusat budaya Jawa, adat istiadat Jawa, dan bahasa Jawa. Karena waktu awal sebelum datang ke Jogja anggapanku semua hal di Jogja itu pasti berkaitan dengan apapun yang berbau ke Jawaan, dari logat bahasa, orang-orangnya juga semuanya pasti bakal Jogja paten. :Jalur penerimaan mahasiswa apa yang anda tempuh untuk akhirnya anda bisa masuk dan di terima di Perguruan Tinggi Jogja? :Awalnya ikut SNMPTN tapi aku tuju ke UGM dan UNY sayangnya tidak beruntung. Sudah malas jadinya kecewa, sedih, untungnya waktu berangkat ke Jogja itu aku bawa foto copy nilai raport yang sudah di legalisir dan ternyata benar itu terpakai, sebelum berangjat ke Jogja salah satu guruku menyarankanku membawa bekal raportku untuk cadangan keberuntungan, sekedar mendaftar ke universitas swasta terbaik di Jogja dan menyarankan ke UII beliau mengatakan inshAllah bisa, karena nilai-nilainya bagus jadi waktu itu aku coba-coba bertaruh keberuntungan mendaftar ke UII pakai jalur masuk yang melalui nilai raport saja seperti saran guruku tersebut, kan lumayan tidak usah repot-repot ikut test segala dan Alhamdulillah berjodoh untuk berkuliah di Jogja aku diterima padahal aku benar-benar pasrah saja mau bagaimana nasibku, kalau gagal ya sudahlah kembali saja ke Sulawesi tapi ternyata tidak. :Dimana dan dengan siapa anda tinggal di tempat perantauan kota Yogyakarta ini? Berikan alasannya? :Disini aku ngekos karena memang disini tidak ada saudara, jangankan saudara bahkan teman seperjuangan dari daerah asalku pun sampai saat ini belum kutemukan.
7. Peneliti
Informan
8. Peneliti
Informan
Sedih sih, ini benar-benar tempat asing buatku tapi ya tadi mencoba menguatkan diri sendiri berusaha masukkan sugesti kalau Jogja itu kota yang ramai oleh perantau dengan tujuan yang sama sepertiku yaitu untuk menyelesaikan jenjang pendidikan perguruan tinggi. Di lingkungan kos pun penghuni kamar lainnya juga berasal dari berbagai daerah dan berstatus mahasiswa itu berarti banyak perasaan perantau yang senasib sepertiku, berjuang demi pendidikan, aku harus semangat seperti yang lain. :Bahasa apa yang biasa di pakai dalam keluarga? Lalu bahasa apa yang anda gunakan untuk berkomunikasi dengan orang-orang baru di Yogyakarta? :Bahasa Mandar ya karena memang kita orang asli Mandar. Jadi orang kami di Mamuju sama seperti Jogja ya kalau orang asli Jogja kan dalam kesehariannya pasti akan berbahasa Jawa jika berkomunikasi dengan sanak saudara, keluarga maupun teman sepermainan. Kami pun di Mamuju dalam kesehariannya berbahasa Mandar baik dengan keluarga, tetangga dan teman tapi hanya yang sesama suku. Disini jelas berbahasa Indonesia lah pastinya, tidak mungkin kan kalau aku tetap menggunakan bahasa mamuju diJogja, kecuali kalau memang disini ada perantau yang juga dari daerah asal yang sama denganku, kalau memang bertemu kenal dekat secara alami kami pasti akan berkomunikasi dengan mereka dengan bahasa daerah. Sayangnya sampai saat ini belum kutemukan itu masalahnya hahaha. :Bagaimana pergaulan anda dengan teman-teman baru di lingkungan kampus anda pada saat anda memasuki semester awal perkuliahan? : Sepertinya aku terlalu angkuh sok berani memutuskan untuk merantau ke Jogja sendirian jauh dari keluargaku hanya demi pendidikan yang berkualitas, tapi ya bagaimana lagi mau tidak mau bisa tidak bisa aku harus benar-benar mempertanggungjawabkan keputusanku merantau. Karena sebelumnya aku tidak pernah punya pengalaman merantau dan ini kali pertamaku, mungkin wajar kalau aku tidak bisa segera menyesuaikan diri
Comment [CS32]: Bhs Daerh
9. Peneliti Informan
10. Peneliti
dengan segala perbedaan dengan orang-orang sekitar dilingkungan baruku disini. Bahkan untuk saat ini aku belum memiliki teman yang cocok, paling ya cuma sebatas kenal biasa kalau yang benar-benar dekat dan mengerti bagaimana aku masih belum ada. Setiap kali akan memulai mencoba membaur itu selalu saja timbul perasaan cemas, canggung, dengan orang-orang lokal alhasil maju mundur dan amannya milih untuk nutup diri. Di Jogja aku menjadi sedikit pendiam, bukan karena aku berprilaku sombong tapi aku sering bingung, kurang pede saat hendak memulai pembicaraan dengan orang-orang sekitarku, rasa malu, takut dan ragu bercampur menjadi satu. Aku bisa mempunyai beberapa kenalan teman kampus pun karena mereka yang berbaik hati mengajakku berkenalan terlebih dahulu, lalu mengajak belajar kelompok, cari sumber referensi tugas keperpustakaan, mengajak untuk beli buku tambahan ke toko buku tapi aku masih kaku jaga sikap juga jaga diri takutnya ada niat lain tersembunyi dibalik kebaikan seseorang kan kita tidak bisa pastikan ya apa yang ada didalam hati dan pikiran orang. :Bagaimana pergaulan anda dengan teman-teman baru di lingkungan tempat tinggal (kos) anda? :Sama saja ya aku itu memang sering bingung saat hendak memulai pembicaraan dengan orang-orang baru di sekitarku, lagipula aku tidak pandai mencari bahan pembicaraan, selama ini kebanyakan mereka yang mengajakku berkenalan atau mengobrol terlebih dahulu. Aku orangnya sedikit pemalu dan tertutup ya, kalau di kos juga aku jarang berinteraksi dengan penghuni kamar kos lainnya, hanya sebatas basa-basi bertegur sapa dan jika diajak mengobrol baru aku akan merespon. Aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan menyendiri dikamar menghibur diri sendiri, mengistirahatkan badan yang lelah seharian di kampus, entah baca-baca buku, mengerjakan tugas, menyalin hasil catatan di kelas hasil kuliah hari itu dan lain sebagainya yang penting apa-apa ku alihkan ke prioritas utama yaitu kesuksesan akademik. :Apakah anda menemukan kendala mengenai penyesuaian
Comment [CS33]: Gjl & Rea
Comment [CS34]: Gjl &Rea
Informan
11. Peneliti
Informan
belajar yang anda temukan selama berada di lingkungan baru (kota rantauan Yogyakarta)? :Sebelum UTS kemarin itu aku memang mengalami kesulitan penyesuaian belajar yang membuatku bingung, sistem belajar di perkuliahan sangat berbeda dengan sistem belajar saat aku masih duduk dibangku SMA. Lagipula disini aku dituntut untuk mandiri jadi segala sesuatunya aku lakukan sendiri,aku mensiasatinya dengan menulis jadwal secara lengkap, menulis apa saja tugas perminggunya dan semua itu sengaja aku tempel di dinding kamar untuk mengingatkan dan mendisiplinkan diri. Setiap hari selalu berusaha mencari bahan-bahan materi melalui perpustakaan jurusan bahkan sampai ke perpustakaan pusat, kadang juga ke warnet atau area wifi untuk mencari bahan secara on line. Yah, intinya aku berusaha sendiri, tidak terlalu mengaharapkan bantuan dari orang lain, lagi pula belum tentu teman kita benar-benar membantu kan. Disela lelah aku selalu berusaha kupikir ini baru mid semester awal di awal perkuliahanku kan, jadi aku harus yakin aku pasti bisa, karena akulah yang memilih untuk meneruskan pendidikanku sampai ke Jawa begini maka aku harus melanjutkan perjuanganku dengan maksimal dan membuat orang tuaku bangga atas kerja kerasku. Harapannya aku bisa segera lulus kuliah tepat waktu dan cum laude. :Apakah terdapat kesenjangan kebudayaan yang anda rasakan selama berada di lingkungan baru (kota rantauan Yogyakarta) ? :Ada, kesenjangan di bahasa jelas dalam keseharian sering sekali mendengar mereka aktif berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa kesesama mereka yang suku Jawa, walau aku bukan lawan bicara mereka tapi aku mendengarnya merasa aneh, penasaran apa yang sedang seru mereka bahas, nah jangan-jangan mereka sedang membahas kejelekanku siapa yang tahu kan kalau dibalik sikap dan tuturkata lembut tersimpan kebusukan, bukannya apa tapi berjaga-jaga itu perlu apalagi disini aku sendiri tidak akrab dengan siapa-siapa di tanah orang pula. Namanya juga Jawa dengan Sulawesi jelas berbeda
Comment [CS35]: Ekstrnl
Comment [CS36]: Ekstrnl
12. Peneliti
Informan
daerah, berbeda bahasa, berbeda pula cara bicaranya bagiku ya disitulah perbedanya. Ya walau kita tahu bahasa Jawa itu hampir sudah menusantara kan ya sebenarnya karena mereka banyak merantau kemana-mana, nah setelah disini baru benar-benar tahu secara langsung sehingga wajarlah kalau aku masih sering kurang paham maksud/ artinya kalau lawan bicara menggunakan bahasa Jawa, nada bicaranya juga berbeda sekali dengan nada bicara orang-orang didaerah asalku yang tinggi seakan berteriak jadi sering merasa kesal karena menurutku mereka kalau bicara kurang jelas, mungkin karena di Sulawesi terbiasa mendengar nada bicara yang tinggi. Pokoknya jauh berbeda dengan tempatku sana yang cenderung tegas. Jogja itu kota yang komplit ya. Kota besar, kota Budaya yang banyak tempat-tempat bersejarah disini seperti Istana kepresidenan RI, monumen Jogja kembali dan Benteng Vredeburg, Kraton sebagai istana kesultanan yang masih melangsungkan kegiatan tradisi secara rutin diselenggarakan setiap tahunnya seperti kirab budaya, sekaten, dan lain sebagainya yang di dukung penuh dari antusias warganya. Jadi tradisi dan budaya Jawa kota ini menurutku hidup, masih sangat kental dan dilestarikan sehingga terasa sekali nilai-nilai history disini membuatku merasa kagum, takjub tapi juga merasa benarbenar sedang berada jauh-jauh sekali dengan daerah asalku tak bisa lagi kuberbagi dengan keluarga dan saudara, hanya bisa sebatas berbagi cerita saja tidak lah mereka dapat melihat langsung, takut ku dikira hanya bersombong diri karena sudah jauh ke Jogja menghabiskan dana hanya untuk berkuliah mengejar cita. :Bagaimana cara anda memahami adat istiadat budaya orang-orang pribumi Yogyakarta saat bulan-bulan pertama tinggal di Yogyakarta? Apakah anda merasakan adanya perbedaan yang mencolok dengan daerah asal anda? :Di Jogja masih merasa kaku ya kan karena adatnya memang berbeda dengan tempat asalku, masih merasa aneh dengan kebiasaan di daerah baruku sekarang, terlebih disini sendirian tidak kenal baik dengan warga sekitar tempat tinggal atau kosku ini. Jauh dari bapak ibu
Comment [CS37]: Gjl &Rea
13. Peneliti
Informan
kakak itu rasanya membuatku kesepian dan sering bingung harus bagaimana dengan segala hal yang masih asing dimataku, kalau ada mereka kan ada yang memberi semangat, ada yang menemani, berlindung, bermanja ya mungkin karena belum pernah merantau seperti ini, jadi belum memiliki banyak pengalaman tentang penyesuaian lingkungan, yang tadinya terbiasa dengan segala kegiatan dan keadaan rumah, sekarang harus jauh dari kebiasaankebiasaan itu. Perbedaan yang mencolok ya kalau dikampus diam-diam aku senang mengamati teman kampus satu kelas yang orang pribumi Jogja itu sepertinya mereka tipe yang bersahabat ya karena dari cara mereka berbicara saja dengan nada suara yang lembut, jadi kedengaran ramah dan mudah merapuh. Berbeda dengan daerahku disana meski nada kami tidak selembut Jogja tapi kami tetap ramah, kelantangan suara ditempat kami menandakan bahwa kami memiliki jiwa yang bersemangat dan tidak menyembunyikan rahasia ya mungkin berbeda budaya berbeda juga pemahaman. Entahlah bagaimana nanti jadinya akan seperti apa, aku masih belum tahu selain jalani dulu saja apa yang ada semampunya ya paling yang penting disini bermodalkan kesopanan, jaga sikap, tahu tata etika, mengikuti aturan yang berlaku dilingkungan sekitarku itu saja sudah cukup untuk memahami adat Jogja dengan aman. :Saat berada dibulan-bulan pertama perantauan apakah anda sering membandingkan lingkungan baru di Yogyakarta tempat rantauan dengan daerah asal dari tempat anda sendiri? :Kalau lingkungan ya paling terasa ya disini itu terasa sempit mungkin karena aku tinggal di daerah kotanya Jogja di daerah sentral pendidikan sehingga jarak tempat antar rumah itu dekat-dekat sekali, kotor, kumuh menjijikkan banyak tikus berkeliaran karena padat perumahan penduduk disini, beda dengan kampung halamanku yang jarak antar rumah itu jauh dan setiap rumah memiliki halaman yang luas. Lalu Jogja itu kota yang ramai, panas, kering, gerah, Jogja padat kendaraan jadi disini terasa sekali polusi udaranya, berdebu pula
Comment [CS38]: Ekstrnl
14. Peneliti
Informan
kalau disini harus wajib pakai masker kalau tidak mau rusak paru-parunya. Tapi untuk fasilitas kota ya khususnya, banyak sekolah sampai universitas-universitas unggulan, yang didukung dengan tersedianya banyak perpustakan pusat baik di setiap universitas-universitas tersebut, perpustakaan daerah juga tidak ketinggalan selalu ramai pengunjung, banyak toko buku dari toko-toko buku dengan harga miring seperti pasar buku murah Shoping sampai toko buku besar seperti Gramedia, Togamas, dan banyak lagi toko-toko buku lainnya yang mudah ditemukan tersebar di Jogja. Terlebih saat butuh browsing mencari bahan atau referensi tugas yang tidak ditemukan di buku, tersedia jaringan via selular internet yang luas dan fasilitas warnet juga banyak ditemukan dimana-mana dengan tarifnya yang murah serta tempatnya nyaman, intinya Jogja sangat kondusif dan nyaman untuk belajar yang menjawab alasan predikat yang disandang oleh kota Jogja sebagai kota pelajar. :Sesampainya di tempat rantauan apakah anda dapat segera mengkondisikan diri anda dengan lingkungan baru anda? Apakah anda merasa nyaman dengan lingkungan rantauan anda? :Untuk saat ini karena aku baru beberapa bulan di Jogja jadi belum bisa langsung mengkondisikan, masih sering merasa kesepian, merasa asing, merasa aneh, yang jelas aku butuh waktu sebagai proses membiasakan dengan semua ini, mungkin karena aku belum pernah merantau seperti ini, jadi belum memiliki banyak pengalaman tentang penyesauaian lingkungan, yang tadinya aku terbiasa dengan segala kegiatan dan keadaan rumah, sekarang harus jauh dari kebiasaan-kebiasaan itu. Kalau dirumah apa-apa ada yang membantu menyiapkan sekarang serba dilakukan sendiri dan itu melelahkan tapi ya aku sadar disini aku sebagai tamu maka aku yang harus menyesuaikan diri dan menghargai aturan Jogja sebagai tuan rumah, sebisa mungkin di buat santai saja sih dibuat nyaman biar betah. Karena aku harus ingat tujuan utamaku untuk kuliah jadi ya tidak apa bersusah-susah dahulu selama kuliah yang penting tujuan utama tercapai
Comment [CS39]: Gjl &Rea
15. Peneliti Informan
16. Peneliti Informan
dengan baik, lulus tepat waktu agar lekas pula hengkang dari tempat ini. :Bagaimana kondisi kesehatan anda pada bulan-bulan awal di tempat rantauan? : Cuacanya Jogja itu ekstrim musim panas yang panjang jarang sekali hujan bahkan gerimis sekalipun tak ada jadi musim kemaraunya benar-benar tanpa ampun, terasa sangat panas, kering dan polusi udara sering membuatku batuk-batuk tersedak debu. Lalu ini baru saja mulai masuk musim penghujan namun juga terasa ekstrim dalam sehari pasti ada hujan lebat hingga membuatku demam panas tinggi, sudah memakai jas hujan namun tetap saja basah kuyup kedinginan kalau sudah sakit begitu terasa sekali derita merantaunya. Hujan disini kacau ya derasnya sampai membuat jalan-jalan tertentu banjir dan beraliran deras mendadak menjadi sungai sesaat hingga hujan mereda, anginnya pun kencang merubuhkan batang-batang pohon dijalan, belum lagi banyak petir itu membuatku takut, apalagi Jogja sering ada gempa bumi yang membuat jadi semakin was-was dan tidak nyaman berada disini. :Mengenai pola makan, menu dan rasa masakan apakah anda menemukan kendala di tempat perantauan? :Iya kendala sekali ya karena itu akhirnya aku mempunyai masalah dengan pola makan selama beradaptasi di lingkungan baruku ini nafsu makanku berkurang karena stres rasa masakan Jogja yang jauh berbeda sama selera lidahku, terlalu manis dan tidak pedas sama sekali, sedangkan aku itu orangnya penggila pedas. Dari awal datang sampai saat ini masih pilih-pilih makanan karena susah makan, keseringan makan ke rumah makan Padang, atau buat mie rebus dengan tambahan cabe-cabe serta saos sendiri, sampai lama-kelamaan rasanya bosan sekali. Akhirnya berusaha masak sendiri menggunakan dapur bersama untuk memasak tapi perasaanku aneh, karena setelah memasak lalu ku bawa kekamar kuhabiskan sendiri kadang aku menangis sambil mengunyah makanan karena rindu ingin makan bersama berkumpul bersama lagi
Comment [CS40]: Gjl &Rea
Comment [CS41]: Ekstrnl
17. Peneliti Informan
18. Peneliti
Informan
dengan keluargaku tidak makan sendiri dikamar seperti ini menyakitkan rasanya. :Mengenai pola tidur apakah anda menemukan kendala di tempat perantauan? :Tergantung kalau banyak tugas ya mau tidak mau menyicil sampai larut malam, kalau dibandingkan dengan pola tidur saat masih di rumah dulu memang jadi sedikit berantakan yaa karena kan intensitas tugas yang tinggi membuat harus banyak begadang, tuntutan kebutuhannya sudah berbeda. Sering sekali kudengar lewat telpon ibuku memarahiku karena tak pandai mengatur waktu. Kalau sedang akhir pekan tidak ada tugas atau tugasku sudah kuselesaikan itu berarti saatnya untuk menonton koleksi film-film yang ku dapat dari rental film atau copy di warnet. Belum lagi saat rindu rumah yang benar-benar membuatku aku susah tidur kuminta ibu segera menelponku dan mengobrol hingga akhirnya aku tertidur itu sangatlah membantu untuk mengalihkan kesepianku setidaknya suaranya masih terdengar dekat ditelingaku. :Bagaimana komunikasi anda di tempat perantauan dengan keluarga anda di kampung halaman? Tiap berapa bulan anda pulang kekampung halaman? Apakah anda sering merasa home sick atau mudah rindu kampung halaman? :Dulu waktu masih satu rumah sama keluarga itu malah komunikasinya biasa saja terus pas sudah merantau gini jadi hampir tiap malam jika tak tertahankan kesepianku aku sangat suka menelepon mereka untuk pengantar tidurku karena rindu. Ibu sering takut aku kenapa-kenapa jadi sering sekali telepon aku. Intinya disini jadi lebih banyak ngobrol semenjak aku merantau. Kemarin juga habis mudik kok, pas libur lebaran Idhul Fitri. Kalau mau jujur aku sebenarnya ingin sering-sering mudik karena rindu sekali sama bapak, ibu, rumah dan teman-temanku disana. Tapi aku juga tidak bisa sering mudik mengingat tugas masih banyak-banyaknya, jadwal masih padatpadatnya, ongkos mudik juga mahal. Yaa paling libur lebaran atau libur semester genap saja aku baru bisa mudik.
Comment [CS42]: Ekstnl
Comment [CS43]: Ekstrnl
19. Peneliti
Informan
20. Peneliti
Informan
:Adakah pengalaman sosial budaya di Yogyakarta yang membuat anda stress pada bulan-bulan awal di Yogyakarta? :Yang membuat stress itu jarak, karena jarak membuatku merasa kehilangan orang-orang yang telah ku kenal sebelumnya, sedih berada di lingkungan yang tidak familiar yang tidak kukenali ini, terlebih jauh dari orang tua itu sangat menyiksa dan sering membuatku gampang menangis, bahkan bisa sampai jatuh sakit saat tidak terbendung lagi rasa rinduku. Sekarang amat terasa sekali kalau ternyata jauh dari orang tua itu sangat berat, dampaknya hingga membuat moodku berantakan, apa-apa jadi malas, tidak ada yang menyemangati. Saat rasa itu mulai datang dan tak terbendung, saya sengaja menyendiri di kamar kosku bahkan tidak nafsu makan sampai jatuh sakit karena tak terbendungnya rasa rinduku dengan rumah kampung halaman terlebih keluargaku. Disini apaapa harus mengurus sendiri, saat sakit pun harus pintar merawat diri sendiri pergi berobat sendiri itu sangat memilukan kak, semua itulah yang membuatku merasa tertekan karena jarak. Aku merasa sebatang kara disini ditempat asing dengan mayoritas etnis Jawa membuatku minder karena latar belakang budayaku yang berbeda, kasarnya aku disini itu numpang ditanah orang Jawa jadi bagaimana bisa aku memiliki rasa memiliki terhadap lingkungan disini ya ngefeknya jadi kurang percaya diri dan kurang bebas mengekspresikan diri. Selama disini aku merasa kehilangan diri aku yang dulu. :Jika anda mengalami kendala di daerah rantauan mengenai sosialisasi terhadap masyarakat pribumi Yogyakarta lalu bagaimana anda mengatasinya? :Masalah sosialisasi terhadap masyarakat lokal secara luas sih sejauh ini masih pada bahasa, terus terang aku tidak mengerti bahasa Jawa yang dipakai oleh orangorang di lingkungan Jogja ini karena aku belum pernah mengenal ataupun datang ke Jogja lalu tahu bahasa Jawa sebelumnya, akupun merasa tidak nyaman jika ada orang lokal yang tetap mengajakku berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa dalam keseharian ku disini, meskipun ia tahu
Comment [CS45]: Gjl & Rea
21. Peneliti Informan
22. Peneliti
Informan
kalau aku selalu berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Sudah aku tidak paham bahasa jawa aku juga masih belum pintar membaca isyarat, dan mimik wajah orang Jogja jadi masalah kuadrat takut kalau-kalau nanti salah dalam mengartikannya malah timbul ketersinggungan atau apalah. Kalau mengalami kendala untuk saat ini semua kusimpan sendiri saja, yaa karena aku juga tidak ingin terlalu banyak bicara apalagi aku belum mengenal dengan dekat orang-orang disekitarku. Untuk saat ini aku kurang tertarik ya untuk bertukar informasi yang berkaitan dengan budayaku walau terkadang ada teman pribumi Jogja yang suka sombong berbangga diri akan eksotiknya Jogja mereka belum tahu saja kalau Mamuju seperti apa dan bagaimana. Ah tapi sudahlah tidak penting melayani halhal yang dirasa dapat menimbulkan masalah lalu akhirnya dapat mengganggu konsentrasi kuliah. :Pernahkah ada masalah dengan teman-teman baru anda yang merupakan masyarakat pribumi Yogyakarta? :Ternyata Jogja sama saja dengan daerah-daerah lainnya ya walau terkenal ramah, nada bicara yang lembut, menjunjung tatakrama tapi tetap saja tuh ada yang wataknya keras, sikapnya seenaknya, seperti preman penguasa, kalau tertawa memekakkan telinga jadi tak menjamin ya walau mungkin hanya minoritas yang seperti itu. Aku juga sering merasa terganggu dengan cara candaan orang Jawa ya, atau cara mereka memperhatikan penampilan serta logat bicaraku yang terdengar asing bagi mereka, padahal logat bicara mereka sendiri aneh bagiku hanya tidak kutampakkan reaksiku, mungkin disini aku merasa menjadi lebih mudah tersinggung jika ada yang menyinggung masalah budayaku walau untuk sekedar iseng-iseng humor. :Dengan teman kampus anda yang merupakan masyarakat pribumi Yogyakarta apakah mereka membantu anda untuk bersama-sama menghadapi persoalan penyesuaian diri pada saat awal kedatangan anda di tempat rantauan (Yogyakarta)? :Mungkin karena ini hitungannya masih bulan-bulan awal kali ya, jadi lagi sama-sama ngerasain susah-susahnya
Comment [CS46]: Ekstrnl
Comment [CS47]: Gjl & Rea
23. Peneliti Informan
menyesuaikan diri secara kilat, kalau aku masih merupakan tahap penjajakan lingkungan baru, pengenalan akan banyak hal baru, baik budaya baru, kebiasaan baru, sistem baru, nilai, norma peraturan, tata tertib baru dan sejauh ini masih benar-benar kebakaran jenggot menghadapi persoalan penyesuaian diri karena bingung dengan situasi kondisi sosial budaya yang sangat berbeda dengan sistem saat aku masih di kampung halaman. Kalau teman kampus yang pribumi juga menurut pengamatanku mereka juga masih ada beberapa yang masih segan, ada yang cuek, ada yang sering menyapaku, ada yang diam, ada pula yang suka iseng macam-macam ya. Lagipula dikelas pecah-pecah ya ada yang menyendiri seperti aku ini, masih cenderung mengelompok, masing-masing seakan tidak saling peduli, masih flat ya masih ngurusin diri sendiri masing-masing ya sepertinya. Mungkin mereka sepertiku ya karena aku sendiri saja masih memandang budaya asli aku lebih baik daripada budaya Jogja yang aku hadapi sekarang bisa saja mereka berpikir sebaliknya kalau budaya Jogja lebih baik dari budayaku lalu mereka enggan atau bagaimana ya tidak tahu. :Ceritakan bagaimana hubungan anda dengan temanteman baru di Yogyakarta? Apakah ada kendala? :Untuk saat ini aku anggap masih normal biasa saja mungkin karena masih awal semester jadi belum kelihatan bagaimana sifat aslinya teman-teman baruku dikelas. Mungkin saja mereka sama sepertiku masih malu-malu, jaga jarak, jaga sikap, lebih banyak menahan diri, menahan emosi demi menghimpun teman yang cocok dengan karakter masing-masing dan kemudian membentuk kelompok pertemanan tersendiri. Dikelas aku termasuk penyendiri ya aku tidak terlalu peduli dengan salah satu dari mereka, jadi biasa saja menanggapi mereka. Ada beberapa teman orang lokal ada yang mengajakku mengobrol dia tertarik dan berani untuk bertanya padaku tentang daerahku namun aku terlalu malas untuk bertukar informasi yang berkaitan dengan budaya ya, akan percuma jika aku susah payah menjelasnya namun mereka tidak mau benar-benar menghargai. Lagipula aku tidak
Comment [CS48]: Gjl & Rea
24. Peneliti
Informan
ingin terlalu banyak terlibat pada hal-hal yang namanya pertemanan, itu pasti akan rumit,banyak menyita waktu dan bisa saja mengalihkan konsentrasi berkuliahku. Memulai suatu hal yang baru dari awal itu tidaklah mudah terlebih ini dengan hal-hal yang semuanya nyaris berbeda pasti akan dua kali susahnya. :Apakah anda mengalami berbagai permasalahan ketidaknyamanan dengan daerah rantauan? Apakah anda merasa yakin dapat menyesuaikan diri dengan di tempat rantauan tersebut? :Iya sudah jelas pasti itu, ini saja rasanya sudah begitu sangat lama berada disini seperti sudah seribu tahun lamanya dan liburan rasanya seperti kilat begitu saja berlalu ah menyebalkan sekali tapi ya mau bagaimana lagi keputusanku untuk merantau, karena akulah yang memilih untuk merantau ke Jogja mau bagaimanapun aku harus selesaikan sampai finish, orang tuaku pun menuntut agar aku dewasa dalam mempertanggungjawabkan keputusanku. Walau sulit tapi berusaha ya tanam sugesti pada diri kalau aku harus yakin pasti bisa lalui ini semua, menyesuaikan diri dengan baik, jalani kehidupan merantau dengan baik, tidak mungkin akan seperti ini terus hidup dalam ketegangan ketidaknyamanan terus menerus. Mau sekuat apapun aku untuk hidup sendiri tiada berkawan tetap saja aku pasti akan membutuhkan orang-orang yang ada disekelilingku entah untuk ku mintai pertolongan, untuk ku ajak mengobrol dan lain sebagainya, harusnya memang dibuat fleksibel saja jika sama-sama bisa terbuka, samasama sadar diri, tidak emosional sebenarnya aku akan luluh juga, semua kan butuh proses yang masalahnya itu entah kapan siapa yang tahu. Yah intinya dibuat senyamannyaman saja, kan niat awalnya memang untuk tambah pengalaman pisah jauh dari orang tua, yang mengambil keputusan merantau juga aku sendiri, jadi aku harus tanggungjawab, belajar dewasa, memaksa menanamkan rasa nyaman dalam diri agar tidak memberikan celah untuk merajuk minta pulang saja karena menyerah, berusaha tidak bermanja-manja walau aku sendiri sebenarnya orang yang sedikit manja. Kata orang tua pun
Comment [CS49]: Gjl & Rea
Comment [CS50]: Kemungkinan Hsl Adpts
aku harus ingat biaya yang sudah mereka keluarkan untuk aku merantau ini jadi aku harus kuat.
HASIL WAWANCARA CULTURE SHOCK (GEGAR BUDAYA) PADA MAHASISWA PERANTAUAN DI YOGYAKARTA Informan 3 Tanggal wawancara
: 16 November 2015
Waktu
: 10.25 WIB
Lokasi wawancara
: Teras Gedung Dekanat FIS
Keadaan informan A. Identitas Informan Nama
: MNDL
Jenis kelamin
: Laki-laki
Umur
: 18 tahun
Agama
: Kristen
Asal daerah
: Papua Barat
Suku/ etnis
: Papua
Jenis bahasa daerah
: Papua
Universitas
: UNY
Mahasiswa semester
:1
B. Hasil wawancara dengan mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa yang sedang menempuh semester awal berkuliah di Perguruan Tinggi Yogyakarta. 1. Peneliti :Berasal dari daerah mana, suku atau etnik, bahasa daerah dan sejak kapan anda merantau ke Yogyakarta? Informan :Papua Barat, suku papua bahasa kami orang papua. Sekitar bulan Juli tanggal 15 tahun 2015. 2. Peneliti : Mengapa anda memilih untuk merantau ke Yogyakarta? Apa alasan dan motivasi anda memilih menjadi seorang mahasiswa perantauan? Apakah anda sebelumnya pernah memiliki pengalaman merantau kedaerah/ propinsi lain? Informan :Sebenarnya Jogja itu pilihan satu-satunya yang di tawarkan jadi saya tidak bisa memilih, nasib baik masih bisa berkuliah begini kan dibiayai pemerintah daerah. Yang pasti ingin mandiri, berkembang, menambah wawasan agar lebih luas dengan pengalaman dari
Comment [CS51]: Asl Comment [CS52]: Sk/ entk Comment [CS53]: Bhs Daerh
Comment [CS54]: Alsn
3. Peneliti
Informan
4. Peneliti
Informan
5. Peneliti
Informan
6. Peneliti
merantau dan yang pasti demi masa depanku sendiri karena masa depan sayalah yang menentukan akan seperti apa entah akan sukses atau malah merugi. :Siapakah yang mendorong anda untuk melakukan merantau? Lalu apakah anda sudah memperkirakan bagaimana tempat yang akan anda rantau tersebut? :Itu 100% kenginan sendiri lalu orang tua dan keluarga sangat mendukung. Belum, karena memang belum pernah ke Jogja sebelumnya lagi pula sudah punya tekad besar jadi apapun yang akan terjadi di Jogja saya harus siap hadapi demi masa depan. :Sebelum anda merantau apakah anda sudah pernah datang mengunjungi Yogyakarta atau memiliki bayangan bagaimana lingkungan baru anda? Lalu bagaimanakah perasaan anda saat sudah berada di tempat perantauan? Merasa kagetkah? :Sebelumnya waktu tahu saya lolos test program dikti itu saya pernah lihat ditelevisi tentang bagaimana Jogja jadi saya piker itu saja sudah cukup. Perasaan sampai di Jogja itu senang karena jauh-jauh dari Papua, perjuanganku untuk kuliah akhirnya tercapai, waktu sudah masuk UNY itu kaget, ternyata banyak pendatang dari penjuru Indonesia, fasilitas kota juga memadai, banyak tempattempat wisata yang menarik, saya bisa mencoba datang untuk sekedar refreshing ketika pikiran sedang berat. Apalagi disini apa-apa harganya jauh lebih murah dibandingkan di Papua saya disini jadi bisa hidup lebih mewah dari di Papua. Harga nasi ayam itu jika di Papua Rp 75.000 di Jogja hanya Rp.20.000 itu masih ada kembalian uang. Aku senang sekali. :Jalur penerimaan mahasiswa apa yang anda tempuh untuk akhirnya anda bisa masuk dan di terima di Perguruan Tinggi Jogja? :Puji Tuhan aku bisa masuk dan ikut mewakili Papua Barat dengan teman 7 orang untuk berkuliah dari jalur kerjasama daerah namanya Firmasidikti dari Dirjen Dikti pusat daerah Papua. :Dimana dan dengan siapa anda tinggal di tempat perantauan kota Yogyakarta ini? Berikan alasannya?
Informan
7. Peneliti
Informan
8. Peneliti
Informan
9. Peneliti Informan
:Di Jogja sebenarnya aku tahu ada asrama Papua, tapi kalau di asrama saya pikir malah tidak enak, walau samasama dari Papua tapi kami punya kepentingan yang berbeda mereka banyak membuang waktu untuk banyak berkumpul yang kita tahu mereka banyak suka mabuk minuman keras, berisik, saya akan susah belajar belum lagi jika mereka rayu bujuk saya ikut serta berkumpul dan minum jadi saya lebih memilih untuk sendiri saja ngekos agar lebih nyaman, dapat konsentrasi untuk belajar fokus, sehingga tujuan awal tidak dipengaruhi hal-hal yang bisa membuatku lupa dengan misi kuliah ke Jogja. Tapi walau begitu saya tetap ikut himpunan jika ada acara resmi seperti perkumpulan dan jika saya ada waktu aku akan ikut hadir. :Bahasa apa yang biasa di pakai dalam keluarga? Lalu bahasa apa yang anda gunakan untuk berkomunikasi dengan orang-orang baru di Yogyakarta? :Bahasa sehari-hari dengan orang tua dan saudarasaudara saat dirumah, dengan teman di sekolah yang kami pakai bahasa Papua. Kalau disini menggunakan bahasa yang umum yaitu bahasa Indonesia. :Bagaimana pergaulan anda dengan teman-teman baru di lingkungan kampus anda pada saat anda memasuki semester awal perkuliahan? :Saya tahu jika Papua dengan Jogja itu berbeda banyak hal, saya tidak mau ada masalah terjadi untuk saya jadi saya selalu berusaha tenang di kelas, saya jauh dari rumah jauh dari Papua dari bapak serta saudara tidak tahu siapasiapa disini sendiri, bicara lewat telepon pun tiada guna sudah, sekarang saya memang pendiam, saya piker itu akan lebih baik akan tetapi kalau diajak orang lain untuk berkenalan ya saya pasti akan merespon dengan baik, jika diajak ngobrol ya saya akan ngobrol. Saya percaya kalau diri sudah berusaha baik balasannya juga pasti akan baik pula, orang jadinya menghargai kita itu saja. :Bagaimana pergaulan anda dengan teman-teman baru di lingkungan tempat tinggal (kos) anda? :Sama teman-teman kos juga sama saja ya seperti yang saya lakukan di kampus, walau memang saya pendiam
Comment [CS55]: Bhs daerh
Comment [CS56]: Intrnl
10. Peneliti
Informan
11. Peneliti
akan tetapi kalau diajak untuk berkenalan ya saya pasti akan merespon dengan baik, jika diajak ngobrol ya saya akan ngobrol. Saya selalu berusaha ingat kalau diri sudah berusaha baik balasannya juga pasti akan baik pula, orang lain akan menghargai kita itu saja. :Apakah anda menemukan kendala mengenai penyesuaian belajar yang anda temukan selama berada di lingkungan baru (kota rantauan Yogyakarta)? :Itu jelas sangat-sangat kendala, karena kami berbeda pendidikannya antara Jawa dengan Papua. Kalau di Jogja luar biasa semangat belajarnya, mahasiswanya semangat, ada kelompok belajar membuat makalah lalu presentasi, banyak sekali tugas yang diberikan, kalau di Papua hanya belajar saja tidak banyak tugas, atau kelompok belajar untuk membuat tugas makalah belum lagi banyak yang namanya presentasi. Jika presentasi di depan kelas begitu kalau lihat teman lain yang dari Jawa mereka itu mudah sekali ya menjawab pertanyaan yang diajukan dan lancar ya menjelaskan hasil makalahnya tanpa banyak membaca. Saya ini yang dari Papua kalau di depan kelas untuk presentasi masih banyak tidak lancar seperti teman yang lain yang dari tanah Jawa. Jadi memang yang tanah Jawa atau Jogja itu lebih pintar, lebih berani dalam presentasi mereka sangat pintar berkata dari pada saya karena itu saya masih sering merasa mudah tidak percaya diri. Jadi setiap akan menerima materi saya selalu berusaha membaca ulang yang akan di jelaskan oleh dosen, berusaha memahami lebih dulu, kalau jam jeda seperti ini saya selalu coba ke perpus membaca buku-buku materi, kadang saya juga banyak beli buku ke toko buku untuk saya baca pahami, tapi kalau masalah hal-hal lisan macam presentasi sampai sekarang aku masih belum bisa percaya diri kalau sudah di depan kelas itu minder lupa yang mau di sampaikan tadi apa. Tapi sudah tidak apa saya jauhjauh dari Papua untuk maju terus maka saya akan berusaha lagi dan lagi jangan mudah menyerah. :Apakah terdapat kesenjangan kebudayaan yang anda rasakan selama berada di lingkungan baru (kota rantauan Yogyakarta) ?
Comment [CS57]: Ekstrnl
Informan
12. Peneliti
Informan
:Ada, untuk perbedaan antara Jogja dengan di Papua itu logat bicaranya. Masalahku disini itu yang membuat cukup kaget itu orang-orang disini semua senang berbahasa Jawa, kalau di Papua itu di saat di kelas kami selalu pakai bahasa umum bahasa Indonesia kalau di Jogja di kelaspun mereka masih berbahasa Jawa, terkadang dosen juga senang berbahasa Jawa, jadi saya kaget kenapa bisa seperti ini kalau di Papua berbahasa umum, sama teman juga berbahasa umum, kami walau sama-sama orang papua bukan lalu menggunakan bahasa daerah dimanapun kami berada, bahasa daerah hanya di gunakan di rumah saja jika diluar rumah tidak lagi di gunakan bahasa daerah itu. Berbeda dengan di Jogja, saya tidak paham bahasa Jawa jadi sering bingung jika mereka mengajakku berbicara, intinya saya tidak tahu bahasa Jawa yang dipakai orang asli suku Jawa untuk berkomunikasi begitu, lalu kalau cari kos atau kontrakan di Jogja ternyata agak susah karena banyak yang tidak menerima orang Timur seperti aku ini jadi orang Timur banyak yang memusat di Seturan dan Babarsari saja karena hanya di daerahdaerah sana sajalah yang mau menerima orang Timur seperti aku ini, sedang aku disini tidak ada kendaraan jika harus kekampus UNY kan jauh jadi kemarin aku sangat berusaha sekali untuk dapat kos dekat kampus saja akhirnya Puji Tuhan aku bisa dapat hanya saja tempatnya tidak nyaman sekali tapi dari pada tidak maka tidak mengapa. :Bagaimana cara anda memahami adat istiadat budaya orang-orang pribumi Yogyakarta saat bulan-bulan pertama tinggal di Yogyakarta? Apakah anda merasakan adanya perbedaan yang mencolok dengan daerah asal anda? :Kalau di papua itu jika di jalan bertemu dengan orang yang kita kenal maka kita hanya akan menyapa dengan melambaikan tangan, tersenyum dan berkata hai atau bersalaman, kalau di Jogja itu saya kaget karena berbeda mereka menyapanya itu menunduk-nunduk sambil tersenyum dan berkata menggo saya bingung, saya masih sering membalas mereka dengan melambaikan tangan saja sudah dan tersenyum menjawab iya, wah itu saya belum
Comment [CS58]: Ekstrnl
13. Peneliti
Informan
14. Peneliti
bisa ikuti kebiasaan disini yang menunduk–menunduk seperti itu tadi, saya merasa aneh. Jadi untuk saat ini masih belum bisa benar-benar memahami adat Jogja karena juga baru beberapa bulan saya disini, masih harus adaptasi. Saya jalani saja dulu dan tidak saya jadikan beban pikiran untuk harus sama dengan mereka yang penting saya nyaman dan fokus dengan tujuan awal yang membuatku harus berada disini. Masalah kebiasaan lama-lama juga saya pasti akan bisa mengikuti. Perbedaannya itu kalau Jogja kan kota pelajar yaa disini banyak perantaunya yang membuat jadi majemuk, banyak suku dan budaya dari mahasiswa pendatang dengan karakteristik yang berbedabeda dari daerah-daerah di nusantara, namun banyaknya pendatang itu tidak lalu membuat perselisihan antar beda suku atau bahkan yang asli Jogja tersingkir seperti itu, justru di sini harmonis. :Saat berada dibulan-bulan pertama perantauan apakah anda sering membandingkan lingkungan baru di Yogyakarta tempat rantauan dengan daerah asal dari tempat anda sendiri? :Jogja mungkin kota yang tidak terlalu besar tapi disini tersedia fasilitas perpustakaan dari perpustakaan kampus sendiri saja sudah sangat besar lalu perpustakaan daerah juga tersedia, banyak toko-toko buku, pameran buku hingga bedah buku pun banyak terselenggara disini, bervariasinya fasilitas, baik sarana maupun prasarananya yang bervariasi macamnya dan memadai terus Jogja itu tempatnya selalu ramai terus dari pagi, siang, sore, malam, ke pagi lagi tetap ramai jadi tidak perlu takut jika ada kegiatan yang hingga larut. Kalau mau kemana-mana letak-letaknya tidak jauh-jauh disini juga transportasi umum tersedia,butuh angkutan kota ada transJogja, mau yang 24 jam juga ada, disini aman sentosa tidak ada perampokan apalagi perang antar suku. Jogja juga jelas dikenal sebagai kota surganya pelajar, biaya hidup disini terjangkau, harganya murah-murah dari pada di Papua, saya sangat senang. :Sesampainya di tempat rantauan apakah anda dapat
Comment [CS59]: Ekstrnl
Informan
15. Peneliti Informan
16. Peneliti
Informan
17. Peneliti
Informan
segera mengkondisikan diri anda dengan lingkungan baru anda? Apakah anda merasa nyaman dengan lingkungan rantauan anda? :Karena disini saya masih awal, jadi saya juga masih belum benar-benar bisa segera mengkondisikan bagaimana lingkungan baruku yang sekarang, pada dasarnya saya orangnya tidak terlalu memusingkan hal-hal justru saya jadikan tantangan untuk saya hadapi, jadi dibawa santai saja, lama-kelamaan juga saya pasti akan terbiasa, lagipula semua butuh proses dan waktu, yang penting disini saya tidak membuat masalah saja. Ikut aturan tidak lantas seenaknya, semua tetap saya pertimbangkan sebelum saya lakukan. Saya saja tidak ingin di ganggu maka saya jangan mengganggu siapapun bahkan lingkungan sekitarku ini. :Bagaimana kondisi kesehatan anda pada bulan-bulan awal di tempat rantauan? :Kondisi kesehatan selama saya datang di Jogja hingga saat ini sudah beberapa bulan itu Puji Tuhan sekali saya tidak mengalami masalah kesehatan apa-apa, saya baikbaik saja di sini. :Mengenai pola makan, menu dan rasa masakan khas Yogyakarta apakah anda menemukan kendala di tempat rantauan? :Kebiasaan di Papua itu rasa makananannya banyak menggunakan rempah,enak, ada pedas, waktu sampai di Jogja saya sebenarnya kaget tapi tidak masalah itu bisa diatasi. Yang terpenting biaya makan di Jogja itu lebih murah, lagipula disini ada banyak pilihan tempat makan, dengan banyak pilihan rasa makan yang bervariasi sehingga masalah makan di sini jadi tidak perlu terlalu dipikirkan. :Mengenai pola tidur anda pada bulan-bulan awal di Yogyakarta, apakah anda menemukan kendala di tempat perantauan? :Pola tidur juga Puji Tuhan sekali saya tidak mengalami masalah apa-apa, pola tidur saya baik-baik saja di sini paling hanya sebelum tidur saya harus banyak membaca buku mengenai materi agar saya bisa mengimbangi dan mengejar ketertinggalan.
Comment [CS60]: Ekstrnl
18. Peneliti
Informan
19. Peneliti
Informan
20. Peneliti
Informan
:Bagaimana komunikasi anda di tempat perantauan dengan keluarga anda di kampung halaman? Tiap berapa bulan anda pulang kekampung halaman? Apakah anda sering merasa home sick atau mudah rindu kampung halaman? :Kalau komunikasi saya selalu menghubungi orang rumah melalui sms atau telpon, kalau tidak saya yang telpon maka mereka yang telpon. Untuk saat ini homesick karena jarak sehingga menimbulkan rindu rumah itu pasti, apa lagi pas kalau saya sedang tidak enak badan karena disini tidak ada yang mengurus dan merawatku, tidak ada yang menyiapkan makan sehingga walau sedang sakit, semua harus diurus sendiri, periksa ke dokter ya harus berangkat sendiri disitu saya merasa disini memang sendiri dan harus mandiri tidak boleh merepotkan orang lain. Kalau pulang kampung ya nantinya hanya pas liburan semester genap saja atau hari besar seperti natal saja mungkin, tapi nanti bisa juga menyesuaikan. :Adakah pengalaman sosial budaya di Yogyakarta yang membuat anda stress pada bulan-bulan awal di Yogyakarta? :Sampai saat ini belum ada, ya saya tidak berharap ada kendala yang tidak baik untuk saya. Semua orang pasti berharap hidupnya baik-baik saja begitu juga saya. Semua hal macam perbedaan budaya yang ada tidak terlalu saya ambil pusing cukup hormati, perhatikan baiknya seperti apa dan pelajari, intinya jalani secara alami saja sudah. Hal yang perlu saya ingat itu, saya disini adalah pendatang dengan kepentingan menyelesaikan kuliah lalu segera kembali ke Papua bersama keluarga saya.jadi segala yang terjadi baik itu perbedaan apapun itu harus saya terima, kenyataannya memang seperti itu. :Jika anda mengalami kendala di daerah rantauan mengenai sosialisasi terhadap masyarakat pribumi Yogyakarta lalu bagaimana anda mengatasinya? :Tetap berusaha memberi kesan yang baik saja sudah pada mereka, jika mereka baik kepada saya maka tidak ada alasan untuk saya bermusuhan dengan mereka begitu. Jadi begini saya itu memang susah mencari tempat tinggal
Comment [CS61]: Ekstrnl
21. Peneliti Informan
22. Peneliti
Informan
23. Peneliti
sementara macam mengontrak seperti itu karena mungkin orang Timur Leste atau Papua yang berkulit hitam seperti saya ini dulu ada yang pernah membuat masalah dengan orang Jogja nah lalu berita itu di sebarkan ke orang-orang Jogja pemilik tempat tinggal sementara lainnya sehingga mereka menganggap semua orang Timur Leste atau Papua yang berkulit hitam itu sama saja padahal kan tidak semua. Saya selalu berusaha menjelaskan tapi ada yang mau dengar ada yang tidak begitulah. :Pernahkah ada masalah dengan teman-teman baru anda yang merupakan masyarakat pribumi Yogyakarta? :Untuk saat ini Puji Tuhan belum ada masalah ya sama mereka paling hanya masalah perbedaan bahasa daerah ya, aku tidak paham mereka bicara apa jika sedang menggunakan bahasa Jawanya itu dengan saya. Lalu kalau memang saya sedang serius menanyakan materi atau tugas terkadang saya meminta tolong agar mereka menggunakan bahasa Indonesia saja saat menjelaskan ke saya. Lalu kadang juga suka mereka tegur saya karena kata mereka lafalnya tidak jelas karena saya sering berbicara dengan cepat, intonasiku juga terlalu tinggi mengagetkan mereka, ya tak mengapa memang saya akui perbedaan yang ada di antara kami itu sangat jelas, mereka jika berkata suaranya lirih berbeda denganku yang seperti ini. :Dengan teman kampus anda yang merupakan masyarakat pribumi Yogyakarta apakah mereka membantu anda untuk bersama-sama menghadapi persoalan penyesuaian diri pada saat awal kedatangan anda di tempat rantauan (Yogyakarta) ? :Apa ya, terkadang ada pemikiran kalau saya ingin sekali minta tolong les privat sama mereka yang suku Jawa untuk mengajariku bahasa Jawa sedikit-sedikit agar saya sedikit bisa membaur. Kadang saya juga suka memberanikan diri bertanya dengan mereka mengenai budaya Jogja secara umum saja tidak perlu detail mereka mau bercerita pada saya. :Ceritakan bagaimana hubungan anda dengan temanteman baru di Yogyakarta? Apakah ada kendala?
Comment [CS62]: Gjl & rea
Comment [CS63]: Ekstrnl
Informan
24. Peneliti
Informan
:Tidak ada kendala, semua baik-baik saja dan semoga akan terus baik-baik saja. Dibuat fleksibel saja ya asal disini saya tahu posisi saya apa, saya tidak membuat masalah dengan mereka,mereka juga pasti tidak akan membuat masalah pada saya, tetap jaga diri, jaga perkataan dan sikap agar tidak menyinggung orang lain sebenarnya perbedaan itu memang rentan perselisihan dan sebabnya adalah karena kita suka asal, sembarangan berkata dan bersikap angkuh. Tergantung bagaimana cara pikir kita saja. Kita juga harus bisa pintar membaca lawan bicara kita seperti apa dia orang yang bagaimana. :Apakah anda mengalami berbagai permasalahan ketidaknyamanan dengan lingkungan rantauan anda? Apakah kini anda dapat menyesuaikan diri dengan di tempat rantauan tersebut? :Malah saya nyaman berada disini, karena apa-apa lebih murah dari Papua jadi saya bisa menikmati fasilitas yang ditawarkan oleh Jogja sebagai kota besar Jogja yang menurut saya menarik. Untuk saat ini belum benar-benar serius untuk masalah segera menyesuaikan ya, walau saya tahu sedang dalam fase penjajakan tapi semua akan saya jalani dengan baik.
HASIL WAWANCARA CULTURE SHOCK (GEGAR BUDAYA) PADA MAHASISWA PERANTAUAN DI YOGYAKARTA Informan 4 Tanggal wawancara
: 03 Desember 2015
Waktu
: 13.00 WIB
Lokasi wawancara
: Halaman parkir Fakultas Ilmu Sosial UNY
Keadaan informan 1. Identitas Informan Nama
: SN
Jenis kelamin
: Laki-laki
Umur
: 18 Tahun
Agama
: Kristen
Asal daerah
: Papua, Pegunungan Wamena
Suku/ etnis
: Hupla
Jenis bahasa daerah
: Nayak
Universitas
: Universitas Negeri Yogyakarta
Mahasiswa semester
:1
2. Hasil wawancara dengan mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa yang sedang menempuh semester awal berkuliah di Perguruan Tinggi Yogyakarta. a. Peneliti : Berasal dari daerah mana, suku atau etnik, bahasa daerah dan sejak kapan anda merantau ke Yogyakarta? Informan :Papua, Pegunungan Wamena Hupla. Jenis bahasa daerah saya itu Nayak. Sekitar pertengahan tahun ini, tepatnya tanggal 07 bulan delapan 2015. b. Peneliti : Mengapa anda memilih untuk merantau ke Yogyakarta? Apa alasan dan motivasi anda memilih menjadi seorang mahasiswa perantauan? Apakah anda sebelumnya pernah memiliki pengalaman merantau kedaerah/ propinsi lain? Informan :Mengapa Jogja karena saya ikut program farmasi dikti memang harus keluar Papua, harus merantau seperti ini. Lagipula tidak apa karena disini biaya hidup di Jogja lebih terjangkau dari pada di Papua begitu. Ya karena setelah
Comment [CS64]: Asl Comment [CS65]: Sk/ etnk Comment [CS66]: Bhs Daerh
Comment [CS67]: Alsn
3. Peneliti
Informan
4. Peneliti
Informan
saya lulus SMA saya tidak segera melanjutkan untuk berkuliah seperti teman-teman seangkatan saya yang lain, mereka sudah berangkat berkuliah ke jaya pura, tapi bapak saya bilang saya harus menunggu bapak terima gaji dulu baru saya bisa berangkat mendaftar kuliah. Jadi waktu itu saya narik ojek, saya bawa ke pangkalan lalu disitu saya bertemu dengan adik kelas saya dia kelas dua, dia bilang dia tahu informasi penerimaan mahasiswa di luar Papua yang di kabarkan di SMA N 01 saya itu lalu saya jalan, daftar, ikut test di provinsi Papua, kita test dengan 500 orang yang di terima hanya 22 orang. Puji Tuhan saya masuk di dalamnya. Belum ini kali pertamaku merantau. :Siapakah yang mendorong anda untuk melakukan merantau? Lalu apakah anda sudah memperkirakan bagaimana tempat yang akan anda rantau tersebut? :Jadi setelah saya coba cek ke SMA saya mengenai informasi dari teman saya itu saya segera pulang, saya beritahu bapak, saya minta ijin kepada bapak saya dulu. Bapak bilang sana segera daftar dan banyak belajar agar lulus masuk seleksi, dari pada bapak yang bayar lebih baik pemerintah yang membayar kuliahmu, itu kesempatan baik sekali. Bapak setuju, mama setuju, mereka mendoakan saya lulus, saya mendaftar, ikut test dan saya lulus sehingga bisa sampai disini. Dukungan orang tua, sama keinginan sendiri biar saya tahu dunia luar sana, punya pengalaman, dan saya bisa memiliki wawasan luas biar lebih berkembang itu dengan merantau. Belum, paling cuma tahu kalau Jogja itu tempat yang penuh dengan etnik suku Jawa itu saja. :Sebelum anda merantau apakah anda sudah pernah datang mengunjungi Yogyakarta atau memiliki bayangan bagaimana lingkungan baru anda? Lalu bagaimanakah perasaan anda saat sudah berada di tempat perantauan? Merasa kagetkah? :Belum pernah, karena Jogja itu jauh dari Papua untuk perjalanan panjang itu butuh dana yang tidaklah sedikit. Dulu hanya tahu dari televisi mengenai seperti apa itu Jogja. Saat menuju Jogja perasaanku sangat bosan, di perjalanan itu delapan jam ya saya naik pesawat terbang dari Papua ternyata memang jauh jaraknya, sempat kaget
5. Peneliti
Informan
6. Peneliti Informan
7. Peneliti
karena sejauh mata memandang itu benar-benar asing, hei aku tidak mengenali siapapun disini, takut jika tersesat atau di tipu orang jahat disini tapi senang karena sudah datang dengan selamat ditanah Jogja. Hanya saja setiba saya di Jogja tidak ada yang menjemput saya seperti yang di informasikan oleh orang farmasi dikti Papua. Saya terlantar di bandara sampai jam 06 sudah mau gelap, Pemerintah hanya beri saya tiket, uang jalan saja. Saya sudah coba telfon mereka tapi mereka tidak menjawab telfon saya. Untung saya segera telfon balik ke Papua tanya bapak saya, lalu akhirnya bapak beri jalan ada kenalan bapak yang membantu saya mencari tempat tinggal jika tidak entah akan bagaimana jadinya dan akhirnya saya bisa tinggal di asrama Papua wamena. :Jalur penerimaan mahasiswa apa yang anda tempuh untuk akhirnya anda bisa masuk dan di terima di Perguruan Tinggi Jogja? :Farmasi Dikti Papua. Seperti yang saya katakan tadi setelah saya lulus SMA saya tidak segera melanjutkan untuk berkuliah seperti teman-teman seangkatan saya yang lain, mereka sudah berangkat berkuliah ke jaya pura, tapi bapak saya bilang saya harus menunggu bapak terima gaji dulu baru saya bisa berangkat mendaftar kuliah. Jadi waktu itu saya narik ojek, saya bawa ke pangkalan lalu disitu saya bertemu dengan adik kelas saya dia kelas dua, dia bilang dia tahu informasi penerimaan mahasiswa di luar Papua yang di kabarkan di SMA N 01 saya itu lalu saya jalan, daftar, ikut test di provinsi Papua, kita test dengan 500 orang yang di terima hanya 22 orang. Puji Tuhan saya masuk di dalamnya. :Dimana dan dengan siapa anda tinggal di tempat perantauan kota Yogyakarta ini? Berikan alasannya? :Saya disini sejak awal dulu saya tinggal di asrama Papua. Karena kalau di Papua itu gratis. Biaya dari kabupaten Papua sampai saat ini belum cair jadi dana semakin terbatas. :Bahasa apa yang biasa di pakai dalam keluarga? Lalu bahasa apa yang anda gunakan untuk berkomunikasi dengan orang-orang baru di Yogyakarta?
Comment [CS68]: Gjl & rea
Informan
8. Peneliti
Informan
9. Peneliti
:Kalau di Papua sana yang kugunakan dalam berkomunikasi sehari-hari dengan teman, saat diluar rumah saya menggunakan bahasa Indonesia karena bahasa umum itu bahasa Indonesia semua orang tahu. Bahasa daerah saya hanya digunakan dirumah saja dengan keluarga. Kalau di Jogja saya kembali menggunakan bahasa Indonesia tapi ternyata bahasa Indonesia yang biasa saya pakai di Papua dengan di sini itu berbeda ya. Banyak teman kelas bilang bahasa saya kurang jelas, itu awalnya saya bingung dimana yang tidak jelasnya ternyata sekarang saya sedikit paham. :Bagaimana pergaulan anda dengan teman-teman baru di lingkungan kampus anda pada saat anda memasuki semester awal perkuliahan? :Saya tidak pernah membedakan teman walau dari kulit saja kami tampak berbeda, saya selalu mempunyai keinginan yang mengharuskan saya untuk memiliki teman yang banyak. Pertama kali masuk kelas itu tanggal 02 saya langsung mengajak berkenalan dengan orang-orang yang ada di kelas saya, membaur dengan mereka, memperhatikan bagaimana mereka, untuk awal saya banyak mengalami kesulitan dan nampak banyak diam karena saya harus mempelajari bagaimana mereka dulu tapi memang begitu kan caranya agar mudah dapat teman baru disini, saya tidak boleh menjadi seseorang yang asal dalam berkata atau berperilaku ya. Sama teman kelas syukur Puji Tuhan sudah kenal semua seisi kelas bahkan dengan kakak tingkat juga saya dikenal ya biar nyaman mudah kedepannya. Baik ya anak-anak yang asli Jogja itu ternyata orangnya ramah-ramah tapi permasalahanku ya mereka kadang suka lupa mengajakku bicara bahasa Jawa, sayangnya aku tidak paham bahasa Jawa jadi tidak tahu maksud mereka. Terus waktu masuk lingkungan kampus saya baru sadar kalau tenyata di kampusku banyak mahasiswa yang sama-sama perantauan sepertiku dan itu dari sabang sampai merauke dari aceh sampai papua ada disini jadi terasa sekali multietniknya dan karakternya disini. :Bagaimana pergaulan anda dengan teman-teman baru di
Comment [CS69]: Ekstrnl
Informan
10. Peneliti
Informan
lingkungan tempat tinggal (kos) anda? :Dengan anak-anak asrama kami baik-baik saja ya. Kami sama-sama dari Papua, jadi ada perasaan senasib di antara kami. Sekamar itu kami ber 4 kadang sampai ber 5 orang tapi di dalam kamar itu kami ada kamar mandi sendiri. Pertama kali di asrama itu saya memperkenalkan diri sebagai penghuni kamar baru, itu agar mereka yang baru saja melihatku tidak curiga atau bingung terhadapku. Kan kalau ada apa-apa saya juga bisa minta bantuan terhadap mereka namanya satu atap kan begitu. Cuma sayangnya saya kurang suka dengan kebiasaan mereka yang senang minum, mereka ada beli minuman mengajak saya ikut tapi saya bilang aduh maaf saya tidak bisa, saya menghindari minum-minuman keras karena adik bapak saya meninggal sebab over dosis minuman alkohol, bapak saya larang saya untuk meminum seperti itu, saya sendiri juga tidak tertarik, paling saya hanya merokok seperti ini tapi kalau bapak saya tahu bahaya, pasti dia akan marah dan memarahi saya. Saya di asrama juga memasak sendiri disana di sediakan dapur untuk kami memasak. :Apakah anda menemukan kendala mengenai penyesuaian belajar yang anda temukan selama berada di lingkungan baru (kota rantauan Yogyakarta)? :Iya ada saya merasa terlambat dari mereka yang orang Jawa, mereka pandai presentasi di depan kelas tapi saya tidak karena di Papua tidak di ajarkan seperti itu. Kami di SMA Papua hanya datang kesekolah, belajar, terima materi pelajaran, baca, tulis, mengerjakan tugas soal-soal di buku sudah begitu saja, dan itu tugasnya biasa saja tapi berbeda dengan kuliah, kalau di perkuliahan tugas itu banyak sekali tugas tiada henti, intensitasnya lebih tinggi dibandingkan waktu di SMA dulu dan kalau kuiah ada banyak tugas yang harus di prsentasikan di depan kelas kita membaca, menjelaskan hasilnya lalu tanya jawab pertanyaan teman-teman serta dosen itu saya masih kacau. Di SMA tidak ada presentasi kalau tugas saja saya bisa mengerjakan, ini saya kaget, saya bingung, harus banyak berlatih. Ya saya terkesan dengan teman-teman yang lain mereka langsung mampu tapi saya belum. Saya banyak
Comment [CS70]: Ekstrnl
11. Peneliti
Informan
12. Peneliti
Informan
belajar dari mereka bagaimana caranya agar bisa, saya juga diajari oleh dosen mereka memahami saya. Kita pendidikan memang masih lebih jauh, lebih bawah dari yang di luar Papua. :Apakah terdapat kesenjangan kebudayaan yang anda rasakan selama berada di lingkungan baru (kota rantauan Yogyakarta) ? :Kesenjangan budaya itu bahasa ya, berbeda bahasa kadang menyulitkanku saat berkomunikasi dengan yang suku Jawa atau dengan orang pribumi Jogja. Saya lihat mereka, disini mereka banyak menggunakan bahasa Jawa jadi jika mereka ajak saya bicara pakai bahasa Jawa saya diam, saya diam-diam saja sebab saya tidak mengerti, kecuali mereka bicara bahasa Indonesia itu saya baru bisa mengerti. Jika ada dosen berbahasa Jawa saat memberi materi saya diam-diam saja nanti saat selesai mata kuliahnya berakhir saya baru tanya pada ketua kelas atau dengan teman-teman sebenarnya materinya seperti apa. Saya banyak ketinggalan sebenarnya. Ibu bapak pedagang, tukang foto copy juga kadang masih tidak peduli dan tetap menggunakan bahasa Jawa saat melayani pembeli macam saya yang kulit hitam seperti ini. Sebenarnya tidak mengapa hanya saja saya bingung apalah artinya bahasa Jawa. :Bagaimana cara anda memahami adat istiadat budaya orang-orang pribumi Yogyakarta saat bulan-bulan pertama tinggal di Yogyakarta? Apakah anda merasakan adanya perbedaan yang mencolok dengan daerah asal anda? :Ayah ibuku berpesan agar saya disini tahu diri sebagai tamu haruslah tahu diri, berlaku baik, bertutur kata baik, dan berperilaku sopan jadi itu yang kujadikan pedoman saat tinggal disini. Senang ya orang Jogja itu ramah dan senang menyapa, seperti teman saya disini ini setiap kali bertemu saat akan kekelas entah pulang kuliah mereka selalu menyapa dengan ramah dan itu membuat suasana di antara kami tidak kaku. Saya pun merasa diperhatikan walau hanya dari sapaan mereka. Hanya saja kalau di Papua cara kami menyapa itu dengan melambaikan tangan, jika disini berbeda jadi kalau bertemu dijalan
Comment [CS71]: Ekstrnl
13. Peneliti
Informan
14. Peneliti
mereka menundukkan badan dan tersenyum. Saya belum bisa sesuaikan membalasnya masih saha dengan melambaikan tangan. Saya belum sesuaikan tapi teman malah yang sesuaikan saya. :Saat berada dibulan-bulan pertama perantauan apakah anda sering membandingkan lingkungan baru di Yogyakarta tempat rantauan dengan daerah asal dari tempat anda sendiri? :Berbeda di intonasi suara ya kalau ditempatku sana cerderung lebih cepat ya, kalau di Jogja suaranya lirih dan lembut, kadang saya sering tidak dengar sering bertanya ulang kepada mereka. Sempat salah paham ya saat mengartikan maksud mereka dan memang perlu berhatihati dalam berkata jika disini agar tidak menimbulkan masalah yang tidak diharapkan. Saya kaget karena biaya hidup disini sangat murah, nasi ayam di Papua itu di atas Rp 50.000, harga motor matic Rp. 25juta, handphone, harga semen disana saja bisa Rp.800- 1juta, semua disana pakai kayu untuk membangun rumah karena cuaca disana berbeda, jika membangun menggunakan semen bisa menimbulkan malaria karena dingin. Tapi di Jogja ini semua rumah menggunakan semen, tidak ada rumah kayu jarang sekali disini tapi Puji Tuhan saya disini tidak pernah sekalipun sakit malaria walau bangunan asrama saya menggunakan semen. Disini rumah sangat dekat, di jalan ada banyak sekali warung makan, banyak kendaraan umum, ada transjogja saya selalu pakai transjogja untuk berangkat atau pulangdari kampus menuju ke asrama papua itu murah hanya Rp.3.500 saja, kalau malam ada taxi yang 24 jam mereka bisa layani, ada ojek motor, ada gojek yang bisa di telpon ya sedang marak sekali itu sepertinya, lalu disni ada rental motor mahasiswa banyak sekali layanan yang diberikan disini saya suka sekali tapi karena dana pemerintah wamina tidak turun hingga saat ini saya tidak bisa apa-apa ecuali mencoba berhemat. Bapak hanya kerja sebagai PLN, kami juga 3 bersaudara, ibu rumah tangga saja jadi saya harus menjadi anak yang mengerti harus bagaimana. :Sesampainya di tempat rantauan apakah anda dapat
Comment [CS72]: Ekstrnl
Comment [CS73]: Ekstrnl
Informan
15. Peneliti Informan
16. Peneliti
Informan
segera mengkondisikan diri anda dengan lingkungan baru anda? Apakah anda merasa nyaman dengan lingkungan rantauan anda? :Puji Tuhan saya sangat nyaman karena saya paham saya di beri kesempatan besar oleh Tuhan dapat kuliah seperti ini yang di biayai pemerintah meski saya harus merantau keluar Papua yang bukan untuk waktu sehari dua hari saja tapi disini sampai kuliahku selesai jadi saya harus terima semua yang ada di sini, susah, senang, saya harus hadapi. Kalau mengkondisikan saya perlu banyak belajar, saya baru beberapa bulan disin mungkin setahun dua tahun saya baru bisa, perlahan-lahan juga akan dapat mengkondisikan dengan baik. Yang penting disini saya tetap fokus konsentrasi utama hanya untuk berkuliah, lulus tepat waktu dan tidak melakukan kegiatan tidak penting aneh-aneh menghambur-hamburkan uang maupun waktu yang dapat membuat masa kuliahku membengkak atau molor itu saja. :Bagaimana kondisi kesehatan anda pada bulan-bulan awal di tempat rantauan? :Kondisi waktu pertama aku datang di Jogja itu musim kemarau, panasnya sekali. Pertama disini kalau di asrama pakaian saya buka terus, dalam satu hari saya bisa mandi sampai 3 kali belum lagi malam saya sering mandi tengah malam karena ampun panas sekali sampai teman kamar itu tegur saya kenapa saya mandi sering nanti saya sakit tapi saya tidak sakit. Selama di Jogja saya baik-baik saja tidak ada sakit semoga saya akan selalu begini ya selalu sehat. Saya tidak mau sakit, sakit itu merepotkan dan mahal. :Mengenai pola makan, menu dan rasa masakan khas Yogyakarta apakah anda menemukan kendala di tempat rantauan? :Nah ini masalah utamaku, walau harga makanan di Jogja jauh lebih murah dari Papua, tapi saya ini senang makanan pedas sedang saya kaget makanan di Jogja semua kenapa serba manis tidak pedas sama sekali. Jadi saya lebih sering memasak saja agar lebih hemat juga saya memasak nasi dan mie rebus dengan saos atau bubuk cabai begitu agar terasa pedas. Jika memasak sendiri saya bisa atur rasanya akan jadi seperti apa.
Comment [CS74]: Ekstrnl
Comment [CS75]: Ekstrnl
17. Peneliti
Informan
18. Peneliti
Informan
19. Peneliti
Informan
:Mengenai pola tidur anda pada bulan-bulan awal di Yogyakarta, apakah anda menemukan kendala di tempat perantauan? :Pola tidur baik-baik saja seperti di rumah, tapi disini saya sering sekali tidur jam 1 malam untuk menghabiskan membaca buku materi pelajaran. Saya senang membaca agar saya tidak terlambat dari teman-teman yang lainnya. :Bagaimana komunikasi anda di tempat perantauan dengan keluarga anda di kampung halaman? Tiap berapa bulan anda pulang kekampung halaman? Apakah anda sering merasa home sick atau mudah rindu kampung halaman? :Komunikasi kami baik-baik saja, bapak sering sekali menelfonku karena dia merindukanku. Rindu rumah itu pasti, saya sangat rindu masakan ibuku, bapakku serta adik-adikku, rindu suasanya rumah dan teman-temanku disana. Kalau pulang saya hanya akan menunggu libur panjang saja ya karena mengingat jarak dan biaya pulang kampung itu yang tidak sedikit serta membosankan lagipula bapak suruh saya tidak banyak-banyak pulang dia ingin saya fokus saja kuliah sudah. :Adakah pengalaman sosial budaya di Yogyakarta yang membuat anda stress pada bulan-bulan awal di Yogyakarta? :Awalnya sampai di Jogja karena saya terlantar langsung saya sempat berpikir banyak juga sempat ragu bagaimana nasib saya nanti karena saya belum pernah merantau di luar Papua bagaimana nanti memposisikan diri diantara perbedaan budaya yang ada dengan teman-teman kelas saya, apakah saya akan diterima atau tidak dengan lingkunganku di Jogja. Tapi saya berusaha untuk tetap tenang, ingat dengan tugas utama yang membuat saya ada disini, perjuangan yang telah peroleh untuk bisa berada disini, paling utama saya bercerita tentang perasaanku yang sempat serba bingung disini kepada bapak di Papua melalui telfon dan mereka selalu mengajariku harus bagaimana serta menenangkanku, memberikanku motivasi, mengingatkanku untuk selalu beribadah ke gereja, baik dengan orang lain, tidak boleh keras dengan siapa saja.
Comment [CS76]: Gjl & Rea
Comment [CS77]: Intrnl
20. Peneliti
Informan
21. Peneliti Informan
22. Peneliti
Informan
Perlahan-lahan saya singkirkan perasaan bingung itu dan memulai semua dari awal di tempat asing ini dan syukurlah Puji Tuhan semua dapat kuatasi meski menjalaninya berat penuh tantangan karena selalu muncul rasa tidak percaya diri yang menghalang-halangi langkah untuk sukses. :Jika anda mengalami kendala di daerah rantauan mengenai sosialisasi terhadap masyarakat pribumi Yogyakarta lalu bagaimana anda mengatasinya? :Jangan ada kendala ya. Sejauh ini saya senang sharing sama teman kampus yang asli Jogja kami bertukar pendapat, meminta saran mereka baiknya saya harus seperti apa dalam memposisikan diri di tengah masyarakat Jogja. Untungnya mereka baik dan mau membantuku mengatasi masalah sosialisasi terhadap lingkungan baruku ini kata mereka saya harus terlihat ramah senang menyapa mereka, karena orang Jawa senang sekali di sapa jadi saya ikuti saja. :Pernahkah ada masalah dengan teman-teman baru anda yang merupakan masyarakat pribumi Yogyakarta? :Tidak ada ya paling ya itu tadi mereka suka menegurku karena bahasa indonesiaku kadang kurang jelas bagi mereka, mungkin karena terlalu cepat atau bagaimana saya jurang paham juga sebenarnya maksud mereka bagaimana tapi tidak mengapa bagi saya. :Dengan teman kampus anda yang merupakan masyarakat pribumi Yogyakarta apakah mereka membantu anda untuk bersama-sama menghadapi persoalan penyesuaian diri pada saat awal kedatangan anda di tempat rantauan (Yogyakarta) ? :Membantu sekali karena senang banyak bertanya dengan mereka tadi juga saya sudah jelaskan kalau sejauh ini saya senang sharing sama teman kampus yang asli Jogja tukar pendapat, minta saran entah dalam hal dalam memposisikan diri di tengah masyarakat Jogja atau bagaimana menyesuaikan diri dengan mereka. Untungnya mereka mau membantuku mengatasi masalah sosialisasi terhadap lingkungan baruku ini. Mereka juga senang mengajari saya untuk berlatih presentasi di depan kelas, karena saya belum terbiasa seperti itu di Papua tidak ada.
23. Peneliti Informan
24. Peneliti
Informan
:Ceritakan bagaimana hubungan anda dengan temanteman baru di Yogyakarta? Apakah ada kendala? :Hubungan kami baik-baik saja, syukur hingga saat ini tidak ada kendala. Saya dekat dengan teman kelas dan kakak tingkat saya kami sering nongkrong berkumpul untuk meroko mengobrol bersama, atau minum kopi di warung. Saya berusaha sebisa mungkin tidak membuat masalah, tidak mengganggu, ikut campur mengusik, bersikap dan berkata yang dapat menyinggung perasaan orang lain, terlebih saya berada di tanah orang jadi saya harus bisa membawa diri, menyadari jika jauh dari kampung halaman maka tidak ada yang bisa menolongku kecuali diriku sendiri. :Apakah anda mengalami berbagai permasalahan ketidaknyamanan dengan lingkungan rantauan anda? Apakah kini anda dapat menyesuaikan diri dengan di tempat rantauan tersebut? :Ketidaknyamanan pasti ada tapi harus ditepis jauh agar tidak mengganggu jalannya kegiatan perkuliahan yang menjadi alasanku pergi merantau sejauh ini dari Papua. Kalau menyesuaikan diri tidak bisa mudah itu butuh proses dan belajar mungkin setahun atau dua tahun lagi saya akan terbiasa dan malah bisa jawa sedikit lebih baik agar memudahkan dalam berkomunikasi, paham maksud dosen atau teman bahkan orang lain di sekitar saya yang saya temui di sini. Jadi saya masih banyak belajar dan sedikit perlahan pasti bisa menyesuaikan diri disini. Ini saja saya sudah mulai banyak memperhatikan teman-teman untuk belajar bahasa Jawa dari memperhatikan teman-teman kelasku yang asli Jogja coba-coba tapi ternyata susah tapi saya yakin suatu saat nanti saya pasti bisa kok.
Comment [CS78]: Kemungkinan Hsl Adpt
Lampiran 6
HASIL WAWANCARA CULTURE SHOCK (GEGAR BUDAYA) PADA MAHASISWA PERANTAUAN DI YOGYAKARTA Informan 5 Tanggal wawancara
: 19 November 2013
Waktu
: 12.00 WIB
Lokasi wawancara
: Gedung Auditorium UPN
Keadaan informan A. Identitas Informan
B.
Nama
: ADTY
Jenis kelamin
: Laki-laki
Umur
: 21 tahun
Agama
: Katolik
Asal daerah
: Pematang Siantar, Sumatera Utara
Suku/ etnis
: Simalungun
Jenis bahasa daerah
: Batak
Universitas
: UPN
Mahasiswa semester
:5
Hasil wawancara dengan mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa yang sedang berkuliah semester lanjut di Perguruan Tinggi Yogyakarta. 49. Peneliti : Berasal dari daerah mana, suku atau etnik, bahasa daerah dan sejak kapan anda merantau ke Yogyakarta? Informan :Aku dari Pematang Siantar, Sumatera Utara, Simalungun, Batak. Sepertinya waktu itu aku datang ke Yogyakarta sekitar bulan April 2011. 50. Peneliti :Mengapa anda memilih untuk merantau ke Yogyakarta? Apa alasan dan motivasi anda memilih menjadi seorang mahasiswa perantauan? Apakah anda sebelumnya pernah memiliki pengalaman merantau kedaerah/ propinsi lain? Informan :Kalau kenapa merantau itu karena Yogyakarta kota besar, kota pelajar banyak universitas berkualitas, kota wisata,
Comment [CS79]: Asl Comment [CS80]: Sk etnk Comment [CS81]: Bhs Daerh
51. Peneliti
Informan
52. Peneliti
lalu yang terpenting biaya hidupnya tidak terlalu tinggi, terus pacar juga milih kuliah ke Yogya. Jadi ya sudah aku milih ngikut merantau ke Yogyakarta bareng pacar. Alasan yang utama tambah-tambah pengalaman agar aku bisa jadi lebih berkembang, tahu mana-mana tidak hanya di siantar saja merantau juga membuat aku belajar hidup mandiri berusaha tidak terlalu tergantung sama orang rumah, terus juga pacar memang mau merantau ke Jogja, kuliah ke Jawa. Ya sudah akhirnya pas komplitnya jadilah sudah tekad bulat buatku pergi merantau ke Yogyakarta istimewa ini. Kalau pengalaman pergi merantau selama ini belum pernah, belum. Inilah pegalaman rantauan pertamaku Yogyakarta istimewa. Merantaunya juga tidak direncanakan, orang tua tuntut aku haruslah kuliah tapi mereka membebaskan aku pilih kuliah dimana saja kebetulan pacar yang punya tekad pilihannya Jogja aku ikut sajalah sudah akhirnya. :Siapakah yang mendorong anda untuk melakukan merantau? Lalu apakah anda sudah memperkirakan bagaimana tempat yang akan anda rantau tersebut? :Keinginan sendiri ya pastinya walau cuma ikut-ikutan pacar tapi orang tua tidak ikut campur yang memaksa aku merantau kemana atau bagaimana, orang tua dukungdukung saja, bagi mereka yang penting setelah lulus SMA aku harus lanjut kuliah, terus dari akunya sendiri juga punya niat buat jalanin kuliahnya sampai selesai. Selama ini sama sekali belum tapi walau belum pernah ke Yogyakarta gambaran bagaimana Yogyakarta kan mudah bisa cari tahu dari Tv, majalah, internet kalau tidak ya tanya sama yang sudah pernah ke Jogja tapi itu kan tidak cool laki-laki tidak butuh pakai bertanya-tanya untuk apa itu? Yang jelas aku tahu kalau Jogja itu selain kota pelajar Jogja juga merupakan kota budaya, ada kraton yang masih aktif beroperasi dan berkuasa didalamnya sudah pasti masyarakatnya menjunjung tinggi adat istiadat Jawa dengan baik , diberita-berita hal itu kan sering muncul. :Sebelum anda merantau apakah anda sudah pernah datang mengunjungi Yogyakarta atau memiliki bayangan bagaimana lingkungan baru anda? Lalu bagaimanakah
Comment [CS82]: Alsn
Comment [CS83]: Intrnl
Informan
53. Peneliti
Informan 54. Peneliti Informan
55. Peneliti
perasaan anda saat sudah berada di tempat perantauan? Merasa kagetkah? :Belum ada, tapi kan Yogyakarta itu kota besar yang sering muncul di televisi entah acara sinetron FTV atau berita wisata budaya jadi dari itu saja sudah cukup membuatku merasa mengenal jogja dan dapat membayangkan kalau Jogja itu kota besar terkenal yang menarik bagi wisatawan datang dari berbagai daerah untuk berwisata disini dan kalau begitu Jogja itu kota ramai pasti juga kota berisik seperti kota-kota besar lain pada umumnya, seru tapi pasti macet jalanannya jadi waktu sampai di Yogyakarta itu aku hanya mengguman “Oh jadi ini rupa Yogyakarta yang dulu aku cuma tahu dari Tv atau internet sekarang aku sendiri ada di Yogyakarta, so welcome to Yogyakarta”. Hanya saja sekilas muncul perasaan asing, aku tidak mengenal satu orangpun kecuali pacar, aku tak paham bahasa mereka, aku kehilangan orang-orang yang telah aku kenal sejak lama sebelumnya di siantar, semua keadaan kini telah berubah. Aku menyesatkan diri ditempat yang tak kukenal sebelumnya. :Jalur penerimaan mahasiswa apa yang anda tempuh untuk akhirnya anda bisa masuk dan di terima di Perguruan Tinggi Jogja? :Aku masuk UPN itu dulu lewat test, mengerjakan soal-soal ujian masuk secara komputerisasi :Dimana dan dengan siapa anda tinggal di tempat perantauan kota Yogyakarta ini? Berikan alasannya? :Disini aku kos sendiri. Semua aku yang mempersiapkan secara instan, tidak ada yang membantu. Mencari tempat kos yang dekat dengan area kampus itu lewat internet jadi malam sebelum beli tiket pesawat tujuan Jogja aku amat sibuk hunting browsing info kos yang diunggah di internet dan untungnya dapat kemudian hubungi contact personnya transfer uang muka selesai sudah. Itupun aku juga yang mencarikan kos pacarku. :Bahasa apa yang biasa di pakai dalam keluarga? Lalu bahasa apa yang anda gunakan untuk berkomunikasi dengan orang-orang baru di Yogyakarta?
Comment [CS84]: Ekstrnl
Informan
56. Peneliti
Informan
:Aku ini orang batak kak. Siantar itu banyak orang batak jadi jangankan dirumah sehari-haripun berbahasa batak terus kami kecuali sekolah, kegereja, acara formal tentunya. Aku tahu Jogja bukanlah Siantar jadi jelas berbeda daerah, dan bahasa itu tergantung dengan siapa lawan bicaranya, jelas pula kalau di sini bahasa yang digunakan bukan bahasa batak tapi bahasa persatuan bahasa Indonesia. Hanya saja aku kurang nyaman berkomunikasi dengan orang-orang sini, ada dari mereka yang masih menggunakan bahasa Jawa dalam berkomunikasi dengan aku, tidak apa-apa jika aku paham masalahnya aku tidak mengerti bahasa mereka jadi mana kutahu apalah arti dan maksudnya aku tampak bodoh dibuatnya! Heran aku, kupikir dengan berbahasa Indonesia bisa membuat mereka peka kalau aku bukan orang Jogja apalah logatku tidak nampak batak kan freak! Itulah yang membuat tidak nyaman berkomunikasi jika diajak orang lokal berbicara menggunakan bahasa Jawa dalam keseharian aku di lingkungan baruku ini, meskipun aku menjawabnya tetap dengan bahasa Indonesia itulah susahnya perbedaan budaya, bahasanya saja sudah buat pusing kepala. :Bagaimana pergaulan anda dengan teman-teman baru di lingkungan kampus anda, pada saat anda memasuki semester awal perkuliahan? :Kalau pas awal dulu dari ospek sampai kuliah semester 1 itu belum punya banyak kenalan, mungkin karena barubaru saja tinggal di Jogja jadi terasa malas ya memulai dari awal apalagi mencoba mengenal budaya baru di lingkungan yang masih asing, dengan orang-orang asing yang masa sekali tidak kukenal, belum lagi aku tidak mengerti bahasa yang dipakai oleh orang-orang disini akibat perbedaan latar belakang budaya denganku jadi kupikir wajar kalau saat itu aku masih susah berbaur banyak menutup diri, pasif, jaga jarak dari orang-orang baru itu biar-biarlah orang kata aku sombong, kuterimalah. Karena jujur sajalah memilih diam, tidak bergaul dengan mereka kupilih sebagai jalan keluar ya karena untuk menutupi rasa tidak percaya diri aku saat
Comment [CS85]: Bhs Daerh
Comment [CS86]: Ekstrnl
57. Peneliti Informan
memulai pembicaraan berinteraksi atau ketika akan memulai beradaptasi dengan lingkungan baru, nanti kalau aku sudah terlanjur sok pendekatan dengan mereka ternyata tidak diterima sama orang-orang lokal disini bagaimana nasib aku. Waktu itu kupikir buat apa aku pusing-pusing memulai pertemanan baru dengan orang asing yang aku tidak paham bagaimana mereka, kalau jam jeda kuliah lebih baik aku bersama pacarku saja yang jelas kami berasal dari daerah yang sama, dia juga kasian disini cuma punya aku jadi kami sama-sama saling bergantung satu sama lain. Perbedaan budaya ini membuatku merasa kesulitan berkomunikasi, sehingga membatasi diri untuk kenal atau paling cuma tahu dengan teman kampus itu beberapa saja, masalah tugas kuliah ya asal saja numpang tanya sama teman satu kelas yang wajahnya lumayan bersahabat, yang cara bicaranya kedengaran ramah. Jadi kalau ingat jaman semester awal itu kalau ada tugas kelompok ya masih pada kaku, canggung-canggungan walaupun dari proses mengerjakan sampai presentasikannya itu bersama-sama tapi itu masih pecah masih ego-egoan belum bisa membaur, mungkin karena masih awal jadi semua ya sama saja sepertiku masih pada cupu, malu-malu, gengsigengsian. Dulu juga pernah ilfeel dengan orang Jawa ya yang ternyata mereka kadang senang bercandaan ala Jawa yang menurutku cara itu sangat dan terlalu berlebihan ya, aku tidak bisa menerima itu. Mereka arogan seperti preman mungkin karena ini tanah mereka jadi mereka merasa berkuasa, membuat aku merasa tidak dihargai oleh orang di lingkungan baru ini. :Bagaimana pergaulan anda dengan teman-teman baru di lingkungan tempat tinggal (kos) anda? :Karena ke Yogyakarta cuma berdua sama pacar jadi pertama disini belum tahu mana-mana belum kenal siapasiapa, cari alamat kos keliling-keliling Jogja juga nyarinya berdua sama pacar, apa-apa sama pacar walau memang kita kosnya masing-masing tapi masih satu universitas hanya berbeda jurusan saja, di kos juga sama penghuni sebelah kamar paling cuma sebatas tahu gitu saja sampai
Comment [CS87]: Gjl &Rea
Comment [CS88]: Intrnl
Comment [CS89]: Gjl &Rea
58. Peneliti
Informan
sekitar 1 semester tanpa deket sama teman kelas, lamalama itu bosan dengan keadaan seperti itu yang monoton, karena tidak bersosialisasi, tidak berinterasi dengan tetangga kamar kos makin terasa sepinya dan aku mulai berpikir tidak bisa kalau begini terus nih, mau tidak mau aku memang harus memulai perkenalan dengan siapasiapa untuk mengubah suasana agar punya teman, cobacoba dari berkenalan sama satu orang tetangga kos yang sekiranya punya logat yang sama sepertiku yang sumaterasumatera gimana kan aku paham sama ciri khas kami paling ya tidak berbeda jauh tetaplah utamakan untuk selalu mencari orang yang berasal dari daerah yang sama dengan aku kalau pahit-pahitnya tidak dapat apa boleh buat orang lokalpun terpaksa jadilah sudah tak mengapa. Aku begitu kan karena tidak mau salah cari kenalan terus malah garing, tak nyambung, kaku tidak meyenangkan malah jadi tambah malas kan. Untungnya untuk saat ini aku sudah berhasil kenal dengan tetangga kos dia dari Bengkulu nah sekarang teman cari makan sudah tidak 100% dengan pacarku terus. Sekarang malah punya kelompok teman-teman sendiri ya walau tidak murni dari daerahku tapi setidaknya kami satu pulau yang samalah ada yang dari Lampung, Padang, Riau, Jambi macammacamlah awalnya cuma kenal sama satu orang saja lamalama bertambahlah link kami karena waktu ya tidak sengaja bertemu di gereja kita berkenalan ada juga yang dikenalkan lalu kami saling mengenalkan satu sama lain kan dan akhirnya sekarang teman-teman sumateraku banyak. Itu berkat tetap cari teman yang satu pulau jadinya seru, tidak mainstream, orang Jogja kadang suaranya halus-halus ya takutnya logat aku kasar suara aku yang tinggi ini membuat mereka ilfeel atau parah-parahnya melukai mereka karena aku juga tabiatnya keras berbanding terbaliklah rasanya. :Apakah anda menemukan kendala mengenai penyesuaian belajar yang anda temukan selama berada di lingkungan baru (kota rantauan Yogyakarta)? :Iya dulu benar-benar kaget ya kalau di SMA guru berhalangan hadir mungkin hanya karena sakit atau ada
Comment [CS90]: Ekstrnl
59. Peneliti
Informan
keperluan yang tidak akan lama tidak seperti di perkuliahan dosen banyak tidak hadir mendadak karena harus keluar kota, atau malah keluar negeri yang memakan waktu berhari-hari dan gantinya adalah tugas yang teramat menggunung yang di kelola oleh ketua kelas setiap harinya untuk dikumpulkan tepat pada waktu yang di tentukan, belum lagi aku merasa minder dengan teman yang lain yang ku rasa mereka sangat mudah menerima materi, memahami, dan menyerap materi yang diberikan sehingga mereka tanpak begitu ringan mengikuti pembelajaran dan mengerjakan tugas dari dosen, itu sangat berpengaruh untukku membuatku kurang percaya dengan hasil kerjaanku sendiri jadi setiap selesai mengerjakan tugas semalam suntuk besok paginya aku buru-buru cari teman untuk menyocokkan jika ada yang beda aku akan banyak tanya ke dia kukejar terus dari mana hasilnya dia bisa dapat segitu cuma lama-kelamaan aku pasrah saja karena lelah dengan tugas. Aku juga kesal dengan sistem pembelajaran di perkuliahan sebenarnya memang baik setelah diberikan materi maka dosen memberikan tugas sebagai praktik langsung sejauh mana mahasiswa mampu memahami materi yang telah diberikan cuma ya kalau satu makul saja sudah ada tugas dan makul lain juga ada tugas yang ada tugas itu selalu mengalir tiada jeda membuat mahasiswa kebanjiran tugas endingnya mahasiswa kebingungan, kerepotan dan endingnya mahasiswa yang pas-pasan macam aku ini jadi malas, dan jurus terakhirnya mengandalkan teman untuk mengerjakannya :Apakah terdapat kesenjangan kebudayaan yang anda rasakan selama berada di lingkungan baru (kota rantauan Yogyakarta)? :Yogyakarta itu adat Jawanya kental, kalau bicara dengan orang pribumi, bahasa yang mereka pakai sudah pasti bahasa Jawa, terus nada bicaranya lembut sampai nyaris tak terdengar malah. Dulu aku sempat stres juga, serasa jadi orang tuli sampai mesti tanya berkali-kali baru jelas. Kupikir mereka belum makan jadi tidak punya tenaga untuk berbicara lantang yang jelas didengar ternyata tidak
Comment [CS91]: Ekstrnl
60. Peneliti
Informan
memang begitulah mereka. Aku ada pengalaman besar di semester awal dulu sempat jadi kesalahpahaman antara aku dengan salah satu teman kelas yang pribumi asli Jogja dia itu cewek jadi gara-garanya karena aku masih kebiasaan kan intonasiku yang kasar belum bisa langsung menyesuaikan sama dia yang tuan rumah, mungkin aku merasa itu biasa saja ternyata dia salah mengerti dia kaget katanya saya membentaknya lalu menangislah dia, aku langsung panik lalu minta maaf secepatnya menjelaskan kalau bukan itu maksudku. :Bagaimana cara anda memahami adat istiadat budaya orang-orang pribumi Yogyakarta saat bulan-bulan pertama tinggal di Yogyakarta? Apakah anda merasakan adanya perbedaan yang mencolok dengan daerah asal anda? :Ya awalnya aku memang sempat tidak paham terhadap adat istiadat orang Jogja yang begitu kompleks bermacammacam ada yang terlalu ramah dan itu membuatku berpikir jelek tentang mereka, mereka itu memang ramah atau mau tahu urusan orang contohnya saja tuan rumah kos aku tiap aku mau keluar kos kebetulan bertemu dia di gerbang dia selalu dan pasti akan bertanya kepadaku mau pergi mas? Atau mau kemana mas? Itu aku awalnya biasa saja lamalama risih dengarnya kok mau tahu saja urusan orang. Diluar itu aku tetap berusaha memahami adat istiadat budaya di Yogyakarta secara umum saja seperti berusaha sopan, jaga sikap, ikut aturan, tidak terlibat urusan orang lain, itu saja sudah titik aman walau dalam hati wah kok begini kok begitu, malas, tidak rela dan sebagainya tapi kita kan harus mengcover itu agar orang lain tidak tahu, mau bagaimana pun aku harus ingat kalau aku disini tamu jadi tidak bisa berbuat berperilaku seenaknya, ya berusaha sadar diri saja, kalau masalah perbedaan kebiasaan budaya antara sini dengan tempat asalku ya itu memang pasti membingungkan cuma ya sudah mau bagaimana lagi lama-lama juga paling akan bisa terbiasa, gampangannya tidak terlalu dipikirkan mengalir saja. Bukan menggampangkan hal yang harusnya memang aku khawatirkan sih apalagi aku pendatang harus tau etika pendatang apa saja. Kalau dipikir-pikir itu tambah-tambah
Comment [CS92]: Ekstrnl
Comment [CS93]: Ekstrnl
Comment [CS94]: Hsl Adpt
61. Peneliti
Informan
62. Peneliti
Informan
pengalaman bukan? Bedanya kalau disini kan tanah Jawa jadi semua-semuanya ya Jawa asli, bahasanya diantara kami berbeda, karakter orangnya diantara kami juga beda pokoknya semuanya berbeda jelas itu mencolok kalau kami berbeda. :Saat berada dibulan-bulan pertama perantauan apakah anda sering membandingkan lingkungan baru di Yogyakarta tempat rantauan dengan daerah asal dari tempat anda sendiri? :Yang jelas budaya ya itu beda sama sumatera, logatnya, intonasinya, karakter orangnya, cuacanya disini panas, kering sekali ditenggorokan sampai mudah dehidrasi berat aku rasanya, debunya ampun Tuhan, jarang ada pohon, kebun, rumah-rumah saling menempel, macet, jauhlah tidak seperti di daerahku sana dipematang siantar, lebih nyaman daerah sendiri dibandingkan sini. Belum lagi yang membuat stress berat itu rasa makanannya, apa-apaan masakan disini rasanya manis seperti kolak saja mual aku dibuatnya. Bagaimana bisa tertelan kalau rasanya sudah membuat perut menjadi mual. Susah betul mencari menu yang cocok dengan lidah kami kalau tidak kerumah makan padang atau rumah makan khusus yang punya menu daerah sumatera. Walau mahal untuk kantong mahasiswa tak mengapalah asal perut kami terisi tidak kurus karena masalah mulut. Tapi dibalik itu fasilitas sarana-prasarana kota Jogja memang jauh lebih bervariasi macamnya, tempatnya memang ramai akan pengunjung persis seperti berita di televisi, obyek wisatanya banyak, banyak hal baru disini yang bisa dicoba untuk tambah pengalaman dan cerita untuk dibagi dikampung halaman agar tidak kuper. :Sesampainya di tempat rantauan apakah anda dapat segera mengkondisikan diri anda dengan lingkungan baru anda? Apakah anda merasa nyaman dengan lingkungan rantauan anda? :Di awal kedatanganku aku merasa bisa santai mau seperti apa kondisi lingkungan baruku di Jogja yang penting disini aku tidak sendiri kan ada pacarku yang sama budayanya, jadi tidak benar-benar seakan tersesat ditempat asing, kalau apa-apa aku hadapi berdua sama dia. Hanya
Comment [CS95]: Ekstrnl
63. Peneliti
memang diawal datang itu butuh waktu untuk rileks, tidak dipungkiri ya walau aku cowok tapi perasaan gerogi, gugup, tidak percaya diri karena berada ditempat asing, merasa sendiri tidak ada kelompok teman-teman yang biasa bersamaku itu ada. Aku merasa benar-benar telah kehilangan jati diri selama berada di lingkungan baru ini, tidak ada orang tua hanya ada pacar itupun berbeda jurusan denganku, disini aku kehilangan semuanya ya walau tidak secara langsung tapi aku kehilangan sosok orang-orang yang telah lama kukenal sebelumnya orangorang yang familiar dikampung halaman. Ini hal-hal yang tidak kuperhitungkan saat memutuskan untuk merantau, tapi kalau aku tidak merantau bagaimana pacarku kasian dia jika tanpaku menjalani semua ini sendiri di sini bisa gila dia nanti. Semua ini berat dan beratnya tidak seperti yang kami berdua bayangkan saat memutuskan untuk merantau, dari yang kami kira mudah ternyata tidak semudah perkiraan. Masalah membiasakan diri dengan budaya Jogja itu perlahan lahan ya sedikit-sedikit berusaha menyesuaikan, disini kan merantau, bertamu ditempat orang jadi harus berusaha tau bagaimana aturan mainnyalah. Tujuan awal kan merantau gunanya memang biar mandiri jadi ya hadapi dengan senyuman dan berusaha adaptasi saja, kalah jumlah jangan bertingkah konyol disini itu kalau tidak mau cari masalah. Sekarang hasilnya juga aku bisa-bisa saja kan melewati berapa semester walau memang jatuh bangun, rumit dan menyebalkan. Dari awal dulu aku sudah berusaha untuk semangat ya, apalagi kan disini berdua jadi saling menyemangati memberikan motivasi. Aku tidak boleh banyak mengeluh ya karena memberikan contoh untuk pacar, apa jadinya jika pacar tidak semangat tidak nyaman dan akupun demikian yang ada bisa-bisa kami balik kekampung dan entah kembali ke Jogja atau tidak. Mau bagaimanapu tetap berbeda ya baik budaya, suasana, dan apapun itu antara tempat perantauan dengan kampung halaman sendiri. Hal itu benar-benar berpengaruh dengan masalah kenyamanan. :Bagaimana kondisi kesehatan anda pada bulan-bulan
Comment [CS96]: Intrnl
Informan
64. Peneliti
Informan
65. Peneliti
Informan
awal di tempat rantauan? :Sering mudah lelah, tenaga terporsir mungkin karena tegang tidak rileks, sering kembung, masuk angin, yang lain mudah terkena flu, sariawan, masalah gangguan pencernaan dulu sering sekali sembelit, daya tahan itu menurun ya mungkin karena tidak dirumah sendiri ya jadi tidak ada yang merawat kalau dirumah kan ada ibu jadi apa-apa sudah tersedia. :Mengenai pola makan, menu dan rasa masakan khas Yogyakarta apakah anda menemukan kendala di tempat rantauan? :Karena sering menonton wisata kuliner jadi kalau soal rasa masakan Jogja aku sedikit punya bayangan bagaimana makanannya, masakan khasnya Yogyakarta saja gudeg dan itu sudah terkenal sebagai masakan yang memiliki rasa manis nah karena disini khasnya manis dan sama sekali tidak pedas sedangkan selera lidah cenderung pedas asin. Buruknya lagi disini warung-warung makan rasanya sama saja semuanya dominan manis sepertinya mereka memasak tanpa cabai namun memasukkan gula ke setiap masakannya ya heran betul sama orang sini makanan manis seperti itu mereka bisa suka. Repot pilihpilih makanan sampai akhirnya kalau makan larinya ke warung makan Padang atau burjo makan mie instan buatan sunda yang amazing rasanya kalau tidak ya sedia ganjalan perut dikamar itu roti kan kalau roti rasanya dimana-mana sama saja atau hunting kemana-mana sampai ketempat mahal pun jadilah tak mengapa sekalian hunting jalan-jalan sama pacar. Nah untungnya kalau sekarang sudah bisa membiasakan lidah untuk nyesuaikan masakan sini. Bosan kan kalau terus-terusan makan ke warung makan Padang, ke burjo terus, kalau harus hunting terus juga malas jalan makan jauh-jauh. :Mengenai pola tidur anda pada bulan-bulan awal di Yogyakarta, apakah anda menemukan kendala di tempat perantauan? :Waktu awal semester dulu aku insomnia, entah kenapa jadi susah tidur. Padahal kalau dirumah paling malam aku tidur jam 10 karena paginya harus sekolah tidak boleh
Comment [CS97]: Ekstrnl
Comment [CS98]: Ekstrnl
66. Peneliti
Informan
67. Peneliti
Informan
terlambat. Disini walau mahasiswa kan jam kuliah tetap ada yang pagi juga tapi entah kenapa susah aku memanagenya. Aku tidur pasti larut kadang kalau sudah susah tidur kupakai untuk mengerjakan tugas, baca-baca hasil catatan dikampus tadi nah kalau sudah untuk membaca barulah rasa kantuk datang dan tidurlah aku, begitu terus sampai sekitar semester awal kuliah, tapi hasilnya IPK disemester awalku diatas 3,5. :Bagaimana komunikasi anda di tempat perantauan dengan keluarga anda di kampung halaman? Tiap berapa bulan anda pulang kekampung halaman? Apakah anda sering merasa home sick atau mudah rindu kampung halaman? :Komunikasi sampai detik ini lancar-lancar saja kok, selancar uang bulanan. Dari dulu sampai sekarang kalau pulang yaa cuma pas liburan saja karena memang menunggu libur yang benar-benar panjang, karena mengingat ongkos PP mudik yang tidak murah sehingga tidak bisa menyianyiakan besarnya dana mudik yang keluar. Homesick itu pasti ya tidak dia anak kuat, tegar, mandiri, anak manja, anak rumahan sama saja pasti akan merasakan homesick, sangat ingin pulang, mendadak melankolis, rindu dengan suasana rumah, teman-teman dikampung halaman, rindu dengan masakan rumah, rindu dengan kamar, bahkan hal kecil pun dapat kurindukan. Kupikir wajar sekali itu terjadi pada kami perantau. Kenyataan memang tidak selalu mudah utnuk dijalani. :Adakah pengalaman sosial budaya di Yogyakarta yang membuat anda stress pada bulan-bulan awal di Yogyakarta? :Pengalaman sosial budaya yang membuat stress itu namanya merantau itu kan mau tidak mau menjalankan aturan yang berlaku disini ya ditempat kos, daerah kos aku itu daerah pemukiman yang padat, yang ada jam siskamlingnya, ada plang jalan sesuai jam malam, kebayang kan bagaimana sifat penduduknya tu mereka itu kejawen. aku itu tipe orang yang cuek tapi disini dituntut peka dengan lingkungan sekitar. Yang biasanya malasmalasan untuk bertegur sapa disini karena bapak kosku
Comment [CS99]: Gjl & Rea
Comment [CS100]: Ekstrnl
68. Peneliti Informan
69. Peneliti
Informan
orang Jogja yang ramah dan punya hoby nyapa ya mau tidak mau balas sapaannya, balas senyum pula, mungkin karakter orang Jogja itu suka basa-basi. Apa ya mungkin karena perbedaan budaya kadang suka jengkel sih pas awal dulu kalau mengajak mereka bicara lalu menyelipkan candaan yang biasa aku lakukan dengan teman-teman disiantar itu juga aku lakukan agar obrolan aku dengan orang sini bisa hangat eh ternyata mereka tidak nyambung, garing. Kesini-kesini aku yang mulai sadar kenapa mereka tidak nyambung ya karena mereka pun tidak paham dengan maksud arah candaanku, dan itu berarti memang aku pun salah. :Pernahkah ada masalah dengan teman-teman baru anda yang merupakan masyarakat pribumi Yogyakarta? :Waktu awal dulu itu ya karena belum bisa menerima karakter orang-orang disekitar baik dilingkungan kampus maupun kos yang sering buat aku merasa kurang nyaman yang cenderung kearah jengkel keorang-orang pribumi ya, yang kadang mereka itu masih kebiasaan berbahasa Jawa kesemua orang tanpa pandang bulu padahal jelas-jelas aku bukan orang Jawa jadi aku tidak paham artinya, kalau menurutku itu ya menyebalkan harusnya kan mereka bisalah bedakan mana perantau mana bukan, kadang pernah ada salah paham dengan mereka tapi tidak dalam waktu lama, yaa semua itu mungkin karena aku masih sensitif belum terbiasa dengan kemajemukan karakteristik budaya dilingkungan baruku saja sih. Aku juga sering bingung saat hendak memulai pembicaraan dengan temanteman yang jelas perbedaan karakternya diantara kami, kikuk mau bagaimana mengawali pembicaraannya. :Jika anda mengalami kendala di daerah rantauan mengenai sosialisasi terhadap masyarakat pribumi Yogyakarta lalu bagaimana anda mengatasinya? :Jika ada kendala ya pasti karena masalah perbedaan, perbedaan latar belakang budaya, perbedaan bahasa, perbedaan ekspresi wajah, isyarat, perbedaan iklim cuaca, masakan apapun itu semua begitu kompleks dan berkaitan dengan respon balik dari individu perantau yaitu aku. Itu berat tapi ya dihadapi, yang selama bisa diatasi ya segera
Comment [CS101]: Gjl & Rea
Comment [CS102]: Hsl Adpts
Comment [CS103]: Gjl & Rea
Comment [CS104]: Ekstrnl
70. Peneliti
Informan
71. Peneliti Informan
selesaikan dengan baik, yang penting tidak mengganggu pikiran dan kuliah saja. Dulu pas awal masalah sosialisasi ya berkutat pada masalah mencari link pertemanan entah itu dikampus entah di kos. Dulu aku berpikir kalau berteman dengan orang Jawa yang asli Jogja itu pasti ribet ya karena mereka karakternya berbeda denganku, aku malas untuk memahami mereka yang unik itu akhirnya memberikan jarak dengan mereka dan berusaha mencari kenalan orang perantau yang sama sepertiku namun ternyata anggapanku itu salah. Penyesalan itu adanya dibelakang. :Dengan teman kampus anda yang merupakan masyarakat pribumi Yogyakarta apakah mereka membantu anda untuk bersama-sama menghadapi persoalan penyesuaian diri pada saat awal kedatangan anda di tempat rantauan (Yogyakarta) ? :Kalau awal sih tidak ya karena kami masih cupu-cupunya, malu-malu, masih gengsi-gengsian, jaga image, sama-sama kurang nyaman satu sama lain, canggung, cemas, tegang, grogi jadi itu menimbulkan jarak diantara kami kami berinteraksi juga pas perlu penting saja ya seputar menanyakan tugas, ruangan kuliah, jam kuliah selebihnya kaku. Mungkin aku yang terkesan tidak mengungkapkan diri terlalu banyak kepada orang lain, aku juga tidak pernah membaur dengan salah satu diantara mereka membuat mereka secara langsung sadar kalau aku tidak mau terlalu banyak berinteraksi diluar kepentingan perkuliahan, mereka jadi segan sama aku, menegur pun hanya sekedar basa-basi. Bukan kenapa-kenapa tapi aku bingung dan tidak nyaman ketika akan berinteraksi terlebih itu dihadapkan pada konteks berbedaan budaya pula kan, sehingga aku enggan untuk berinteraksi dengan orangorang yang ada di lingkungan baru :Ceritakan bagaimana hubungan anda dengan temanteman baru di Yogyakarta? Apakah ada kendala? :Dulu iya canggung ya tapi sekarang sudah baik kok, aku kenal lalu akrab sama temen-temen kampus itu kalau tidak salah semester 2 atau semester 3 an, karena 1 semester sendiri aku merasa belum butuh teman ya kalau mau apa-
Comment [CS105]: Gjl & Rea
apa cuma sama pacarku, keperpus cari buku, baca buku, buat tugas, kekantin pun berdua, kami tinggal menyesuaikan jam kuliah untuk bertemu ya sudah gitu terus ya sampai akhirnya sosialisasi sama temen-temen jadi terabaikan dan terlambat, malas memulai perkenalan dengan orang-orang baru, takut ini takut itu namanya juga merasa asing dilingkungan baru jadi perasaan negative dengan mereka itu gampang muncul. Sekarang setelah aku mulai berinteraksi, mau berkomunikasi dengan orang lokal itu sedikit banyak muncul pemahaman akan hal-hal yang dulunya aku tidak tahu sekarang jadi oh begitu ya ternyata jadi ini semua masalah toleransi, menghargai perbedaan, tidak semua orang jawa itu freak. Orang Jawa pada dasarnya sama seperti kami di Sumatera ada yang tahu sopan santun ada yang tidak, ada yang seenaknya ada yang tidak dan yang selama ini aku pikir jika ia berbahasa Jawa maka ia adalah orang lokal Jogja ternyata salah. Di Jawa walau bahasanya sama-sama Jawa tapi setiap kota atau daerah memiliki perbedaannya masing-masing entah itu kelebihannya maupun kekurangannya. Kalau umumnya yang benar-benar asli orang lokal Jogja itu malah cenderung tinggi nilai toleransi, sopan santun, tutur kata halus dan mau menghargai itu yang membedakan orang Jawa sama orang Jogja, tidak semua orang Jawa itu orang Jogja lho ternyata. Nah pusing kan tapi yang paling pusing itu bahasanya, bahasa yang pribumi pakai itu kan bahasa Jawa, itu disini ternyata ada variasinya kalau bahasa jawa yang biasa dipakai untuk kalangan usia sepantaran beda lagi sama bahasa Jawa yang dipakai kalau mereka yang orang Jawa usia muda sedang berkomunikasi dengan orang-orang tua dan itu rumit sekali aku angkat tangan tidak paham artinya, mereka ngejek ngolok-ngolok parah aku saja lah pakai bahasa itu berani bertaruh aku paling cuma pasrah karena tidak paham paling kubalas mereka dengan bahasa batak yang mereka tidak tahu artinya sekarang jatuhnya dibuat becanda ya lucu-lucuan karena urusan akademik saja sudah berat jadi buat apa seperti anak kecil yang mempermasalahkan masalah kecil tentang perbedaan, kasian Ir. Soekarno menangislah ia dalam
Comment [CS106]: Gjl & Rea
72. Peneliti
Informan
kubur nanti susah-susah menyatukan Indonesia tapi generasinya malah saling pecah. Kalau boleh berbangga sekarang aku tahulah sedikit bahasa jawa dan bisa-bisaan bicara bahasa Jawa tapi hanya bahasa Jawa yg kasar koko apa ya namanya kalau tidak salah. Terus selain pribumi Jogja yang unik, mereka mau mengajarkan aku budaya mereka yang membuatku mengurangi pandangan burukku selama ini dengan mereka. :Apakah anda mengalami berbagai permasalahan ketidaknyamanan dengan lingkungan rantauan anda? Apakah kini anda dapat menyesuaikan diri dengan di tempat rantauan tersebut? :Waktu awal kuliah semester 1 dulu aku masih susah payah untuk sosialisasi, jadi penyesuaian diri ya dijalani secara alami ya karena itu butuh proses, aku juga tidak mau terlalu tegang memaksakan diri untuk langsung bisa adaptasi dengan daerah baru. Pastinya juga tidak cuma aku yang bingung menyesuaikan diri dengan lingkungan baru dengan suasana pertemanan yang berbeda di perguruan tinggi yang serba didik untuk mampu berpikir secara luas dan tanggap dengan masalah sosial yang terjadi lingkungan sekitar, anak sekelas yang perantau juga pastinya sama sepertiku kami mengalami masalah ganda menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat tinggal kos yang berbeda suasana dengan rumah dikampung halaman belum lagi harus menyesuaikan diri dengan lingkungan pertemanan dikampus dengan perbedaan budaya yang melekat antara kami dengan pribumi daerah rantauan. Jadi mungkin wajar jika ada mahasiswa perantau yang masih membawa budayanya dan kelepasan masih menerapkan budayanya di tanah Jogja bukan arogan tapi memang mental setiap orang itu berbeda satu sama lainnya meski kami sama-sama mahasiswa perantauan butuh waktu. Tapi itu dulu setelah jalan semester 2 ya lumayanlah bisa saling melunak, mau untuk saling menyesuaikan, mau saling menghargai tidak kaget-kagetan seperti jaman awal semester malah saling ejek-ejekan berpikir perbedaan ada untuk dibesar-besarkan sekarang sudah mulai bisa tukar pikiran sama teman-teman lokal dan itu membantu
Comment [CS107]: Hsl Adpts
73. Peneliti
Informan
memperbaiki penyesuaian diri kearah yang lebih baik lagi ya diatas kemajemukan budaya. Apa ya yang jelas tenyata benar merantau itu membantu sangat sangat membantu proses pendewasaan dan memantapkan jati diri karena berkat merantau aku dapat pengalaman positif yang bermanfaat berjalannya waktu merantau itu mengarahkan aku untuk tahu sopan, nada bicara juga tidak seperti dulu yang intonasi tinggi, kalau lagi mengobrol dengan orang lokal jadi bisa santai aku bisa menyisipkan bahasa Jawa sedikit-sedikit walau belum lancar setidaknya sekarang aku tahu arti bahasa Jawa walau tidak banyak, tau tata krama, yang kesemua itu karena terbawa dengan teman-teman yang pribumi. Walau awalnya memang gengsi tapi kelamaan mau tidak mau aku memang harus bisa merubah kebiasaan di daerah asalku seperti mengurangi berbicara dengan nada tinggi menjadi sedikit lembut, lalu kalau di jalan bertemu dengan bapak atau ibu kosku yang cerewet suka basa-basi bertanta, kebetulan mereka juga sudah sangat berumur dan orang Jogja asli, ya harus timbale balik ramah menyapa mereka tidak asal lewat begitu saja, kalau tidak alhasil dulu pernah diceramahin, diomongomongin tidak baik juga dibilang tidak tau sopan santun dsb, awalnya ya sangat kesal sekali kenapa harus menyesuaikan sama lingkungan baru segala seakan memaksa sekarang baru sadar kalau semua ada manfaatnya buatku :Bagaimana sikap dan pandangan anda tentang berbagai masalah kemampuan beradaptasi dalam berusaha mengurangi pengaruh culture shock pada diri anda selama ini? :Apa ya dibuat nyantai saja sih nanti juga lama-lama juga akan terbiasa sendiri menerima perbedaan yang ada disini. Seperti sekarang ini aku sudah lebih dari setahun tinggal di Jogja, buktinya ya sudah tidak kaget, sama teman kelas sekarang bisa jadi kenal semua, kalau dulu kan apa-apa maunya sama yang sedaerah, kalaupun sama teman kampus pun pilih yang sekiranya cocok dengan karakterku tapi sekarang bisa ngobrol bareng, tidak pilih-pilih lagi. Di kos juga sudah biasa saja, dengan budaya disini atau
Comment [CS108]: Hsl Adpts
orang-orang asing disekitarku sekarang sudah terasa biasa justru malah sedikit banyak mempelajari, mengikuti dan lumayan terbawa dengan kebiasaan baru disini. Intinya sudah nyaman sama semua-semua disini, kalau boros buat makan atau nongkrong sudah tidak parah seperti awalawal dulu terus masalah rutinitas mudik sekarang jadi lebih santai, malah kalau sudah di rumah ingin segera kembali di Jogja. Di kampung itu sepi tidak ada tempattempat hiburan. Pokoknya sekarang jadi kebalikannya. Yang jelas dari diri kitanya juga harus mau ya mencoba tidak batasi diri untuk bergaul dengan teman yang pribumi, jauhkan pemikiran tentang budaya siapa yang lebih baik diantara kita itu akan semakin membuat diri semakin terlihat bodoh menyikapi perbedaan.
HASIL WAWANCARA CULTURE SHOCK (GEGAR BUDAYA) PADA MAHASISWA PERANTAUAN DI YOGYAKARTA Informan 6 Tanggal wawancara
: 23 November 2013
Waktu
: 10.00 WIB
Lokasi wawancara
: Gedung Rektorat STIE YKPN
Keadaan informan A. Identitas Informan Nama
: KMG
Jenis kelamin
: Laki-laki
Umur
: 20 Tahun
Agama
: Hindu
Asal daerah
: Bedugul Bali
Suku/ etnis
: Bali
Jenis bahasa daerah
: Bali
Universitas
: STIE YKPN
Mahasiswa semester
:5
B. Hasil wawancara dengan mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa
yang sedang berkuliah semester lanjut di Perguruan Tinggi Yogyakarta. 1. Peneliti :Berasal dari daerah mana, suku atau etnik, bahasa daerah dan sejak kapan anda merantau ke Yogyakarta? Informan :Asal daerah Bedugul Bali Suku Bali bahasa daerah ya Bali. 2011 sekitar bulan April 2. Peneliti :Mengapa anda memilih untuk merantau ke Yogyakarta? Apa alasan dan motivasi anda memilih menjadi seorang mahasiswa perantauan? Apakah anda sebelumnya pernah memiliki pengalaman merantau kedaerah/ propinsi lain? Informan :Ya karena Yogyakarta memang sudah lama dikenal sebagai kota pelajar dengan banyak pilihan universitas dan jurusan yang tersedia, tidak hanya itu kualitas perguruan tingginya jauh lebih baik dibanding perguruan tinggi didaerahku. Biaya hidup di Jogja juga lebih terjangkau dari kota-kota pendidikan lain seperti kota Bogor,
Comment [CS109]: Asl Comment [CS110]: Sk Etnk Comment [CS111]: Bhs Daerh
3. Peneliti
Informan
4. Peneliti
Informan
Bandung, Semarang, Surabaya, Malang, dan Jakarta. Lagi pula kebetulan disini ada om di Banguntapan jadi kalau misalnya disini aku kenapa-kenapa ada yang tolongin. Juga karena memang ingin bisa lebih berkembang, tahu mana-mana, tambah-tambah pengalaman luas. Yang pasti selain disini terdapat banyak perguruan tinggi, kualitas perguruan tinggi di pulau Jawa dinilai lebih baik dibanding perguruan tinggi di luar pulau Jawa. Pengalaman belum pernah jadi ini kali pertama aku merantau seumur hidupku, lagipula merantau itu fenomena biasa yang lumayan banyak dilakukan di Indonesia, merantau keluar daerah yang tujuannya untuk berkuliah ada juga yang merantau untuk bekerja jadi waktu itu aku berpikir kalau walaupun ini pengalaman pertama merantau buat aku, aku tidak perlu takut karena pasti ditempat rantauanku nanti akan ada orang-orang yang senasib denganku yang sama-sama perantauan. :Siapakah yang mendorong anda untuk melakukan merantau? Lalu apakah anda sudah memperkirakan bagaimana tempat yang akan anda rantau tersebut? :Keinginan sendiri, orang tua hanya memberi dukungan dan motivasi saja karena mereka paham niatku sejak lulus SMA untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, kalau untuk merantau mereka memberiku pilihan penuh ditanganku. Ya walau pernah ke Jogja tapi kalau memperkirakan seperti apa situasi dan keadaan di Jogja itu belum, yang kutahu hanya Jogja itu pasti suatu daerah yang akan Jawa sekali dan aku pun tidak paham bahasa mereka tapi yang perlu aku akui adalah Jawa itu budaya yang terkenal buktinya orang Jawa banyak yang merantau menyebar kepenjuru nusantara. :Sebelum anda merantau apakah anda sudah pernah datang mengunjungi Yogyakarta atau memiliki bayangan bagaimana lingkungan baru anda? Lalu bagaimanakah perasaan anda saat sudah berada di tempat perantauan? Merasa kagetkah? :Dulu sekeluarga pernah berkunjung ke Jogja itu pun kami tidak lama di Jogja, jadi bukan yang memang bisa kesanasini main-main berwisata keliling kota Yogyakarta karena
Comment [CS112]: Alsn
Comment [CS113]: Alsn
5. Peneliti
Informan
6. Peneliti
kami ke Jogja untuk acara nikahan om yang terlibat cinlok dengan teman kuliahnya lalu menikah dengan orang asli Jogja dan menyaksikan acara nikahan om yang menggunakan adat Jawa saja aku sudah bisa menilai setidaknya ada gambaran kalau Jogja itu berada di Pulau Jawa yang sudah pasti lingkungan baruku akan kental dengan nuansa adat budaya Jawa selain itu Jogja adalah kota besar dengan banyak pilihan perguruan tinggi berkualitas. Kalau perasaan sudah sampai disini itu senang, karena awalnya sempat takut tidak lulus seleksi masuk STIE YKPN karena tetap ya Yogyakarta itu kan kota pelajar yang jelas menarik perhatian para calon mahasiswa perantau lain buat berkuliah disini, hal itu kan pasti memicu tingginya tingkat daya saing masuk perguruan tinggi di Yogyakarta. Kagetnya itu meski Yogyakarta sudah menjadi kota yang maju, kota yang multicultural karena efek pendatang yang beragam dari penjuru nusantara bahkan turis asing pun juga datang kemari namun kenyataannya masyarakat Jogja masih tetap melestarikan budayanya ya dari bahasa, tatakrama, moral, nilai, guyup rukun, lalu suasana adat yang kental masih terpelihara dengan baik dan memusat di kraton Yogyakarta yang terselenggaranya di dukung penuh oleh antusias masyarakatnya jika ada buat aku itu hal yang keren! Jarang-jarang kan apalagi ini jaman berkembang sedang maju-majunya peradaban teknologi dan gaya hidup serba hedonism yang membuat orang-orang ingin nampak modern lalu mereka latah bergaya kebarat-baratanlah, lupa adatlah, lupa jati dirilah. :Jalur penerimaan mahasiswa apa yang anda tempuh untuk akhirnya anda bisa masuk dan di terima di Perguruan Tinggi Jogja? :Waktu itu aku tidak pakai ujian macam seleksi test aku masuk itu langsung saja tanpa basa-basipakai nilai raport SMA, terdiri dari hasil nilai kelas X,XI dan XII lagi pula nilaiku selama SMA termasuk bagus setidaknya tidak ada angka di bawah 7. Lumayan untuk di banggakanlah. : Dimana dan dengan siapa anda tinggal di tempat perantauan kota Yogyakarta ini? Berikan alasannya?
Informan
7. Peneliti
Informan
:Walaupun disini ada om tapi aku lebih memilih kos soalnya jadi lebih santai, beruntung aku mendapatkan informasi dari internet ya browsing cari informasi kosnya orang Hindu-Bali di Jogja lalu catat contact personnya, ternyata benar aku mendapatkan kos dengan para penghuni kos yang beragama sama sepertiku Hindu dan rata-rata berasal dari daerah yang sama denganku ya walaupun saat pertama kali datang di kos itu aku sendiri belum mengenal satupun dari mereka sebelumnya, tapi sejak awal mereka sangat welcome denganku dan itu membuat aku nyaman berada disini, terlebih dengan mereka membuat suasananya seperti masih sedang berada di Bali, menjalankan ibadah sehari-harikupun aku jadi lebih nyaman. Kenapa aku serius mencari kos yang sesuai dengan agama dan suku budayaku ya itu karena menurutku orang-orang Yogyakarta yang mayoritas muhammadiyah tidak mengerti nilai-nilai budaya aku jadi agar terhindar dari perselisihan masalah budaya, etnik dan suku bangsa aku memilih untuk mencari kos yang khusus bali saja agar leluasa dalam menjalankan ibadah sehari-harinya. Kan kami orang hindu kalau bersembahyang pasti menggunakan dupa, bunga dan lain sebagainya takutnya kalau aku kos di sembarang tempat yang biasa mereka akan memberikan peraturan ini itu karena terganggu kan bisa saja itu terjadi, sudah aku terganggu mereka juga terganggu jadi sama-sama terganggu maka baiknya antisipasi dengan carilah kos yang homogen kalau tidak ada perbedaan kan meminimalisir terjadinya masalah. :Bahasa apa yang biasa di pakai dalam keluarga? Lalu bahasa apa yang anda gunakan untuk berkomunikasi dengan orang-orang baru di Yogyakarta? :Karena berada ditanah bali dan kami sekeluarga besar memang orang bali asli pribumi bali jadi bahasa yang dipakai di keluarga itu ya bahasa bali. Kalau bahasa yang dipakai disini agar tidak dikira gila itu pakai bahasa Indonesia, berbahasa sebenarnya fleksibel tergantung siapa lawan bicaranya saja, terutama saat di kampus yang aku gunakan jelas bahasa Indonesia ya gampangannya akal sehat dan logika dipakai, kan siapa yang akan paham
Comment [CS114]: Ekstrnl
Comment [CS115]: Gjl & Rea
Comment [CS116]: Bhs Daerh
8. Peneliti
Informan
9. Peneliti Informan
maksud pembicaraanku kalau aku tetap menggunakan bahasa Bali? Siapalah yang tahu artinya aku bicara apa kecuali jika aku bicara dengan sesama orang Bali. Beda keadaannya jika lawan bicaranya anak-anak kosku yang asalnya memang sama sepertiku dari Bali. Jadi selama di Jogja aku masih bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Bali tapi itu baru bisa aktif aku pergunakan ya hanya saat di kos saja diantara kami yang paham dan kami memang sama-sama dari satu daerah, itulah yang membuat aku merasa tidak kesepian didaerah rantauan ini bahkan hanya dengan mereka aku tidak merasa kehilangan jati diri selama berada di lingkungan baru ini. :Bagaimana pergaulan anda dengan teman-teman baru di lingkungan kampus anda pada saat anda memasuki semester awal perkuliahan? :Untuk awal semester aku terlambat beradaptasi dengan teman baru dikampusku yang didominasi akan perbedaan suku budayanya, karena aku lebih nyaman berinteraksi dengan teman-teman kosku yang juga sama-sama dari Bali sehingga tahun pertama di Jogja kebanyakan kuhabiskan dengan mereka, main-main berkeliling wisata Jogja ya itu ramai-ramai dengan mereka, kalau nongkrong kebanyakan ya di kos itu lebih seru ya aku sangat nyaman berinteraksi dengan teman yang sedaerah denganku. Jadi hanya saat di kos saja yang membuatku merasa tidak asing berada di Yogyakarta, karena bagiku kos adalah wilayah Bali kecilku dan aku bisa menjadi diri aku sesungguhnya dari pada harus tegang, canggung, susah-susah menyesuaikan diri dengan orang yang berbeda budayanya denganku. Jadi saat itu hubunganku dikampus monoton, canggung, grogi kurang percaya diri memulai pembicaraan dengan orang baru, tidak tahu akan bagaimana menentukan sikap, bingung akan bicara apa, memulai dari mana, aku pasif dan tertutup terhadap mereka. :Bagaimana pergaulan anda dengan teman-teman baru di lingkungan tempat tinggal (kos) anda? :Teman kosku itu 2 in 1 ya selain teman kos juga mereka merupakan teman-teman sesuku, seagama jadi mau apaapa aku lebih senang untuk melakukan banyak hal dengan
Comment [CS117]: Ekstrnl
10. Peneliti
Informan
11. Peneliti
Informan
mereka. Meskipun berada di lingkungan baru tapi kalau kumpul dengan teman yang berasal dari daerah yang sama itu rasanya lebih percaya diri dan bebas mengekspresikan diri, ketergantunganku dengan mereka juga tinggi hingga timbul rasa memiliki dan keterikatan diantara kami karena kami dari tempat yang sama, mempunyai nasib merantau yang sama sehingga diantara kami timbul perasaan saling membutuhkan, saling menjaga, lagipula kalau dekat dengan mereka rasanya familiar seperti sedang berada dirumah sendiri. :Apakah anda menemukan kendala mengenai penyesuaian belajar yang anda temukan selama berada di lingkungan baru (kota rantauan Yogyakarta)? :Ada, sangat-sangat ada ya. Kalau di SMA kan tugasnya biasa saja, ya memang ada tugas yang di berikan pada siswa tapi beda dengan kuliah, kalau di perkuliahan tugas itu banyak sekali, intensitasnya lebih tinggi dibandingkan waktu di SMA dulu. Dulu itu aku masih sangat ingat, kalau menumpuknya tugas-tugas membuat aku benar-benar kerepotan mengerjakannya bahkan sampai tidak tidur untuk mengerjakan tugas yang tidak pernah putus selalu tugas dan tugas setiap harinya, kalau mnejelang UTS dan US juga membuatku tidur larut untuk belajar, membaca ulang materi, memahami, menghapal rumus, karena juga kan lebih susah materinya dari pada waktu di SMA dulu apa lagi di kelas aku tidak dekat dengan siapa-siapa jadi tidak ada yang bisa aku andalkan kecuali diri sendiri. :Apakah terdapat kesenjangan kebudayaan yang anda rasakan selama berada di lingkungan baru (kota rantauan Yogyakarta) ? :Iya ada, bahasa orang Jogja asli itu lebih halus dalam penekanan nada bicaranya, dan itu sangat berbeda dengan kebiasaan tempat asalku yang dari logatnya saja memiliki penekanan nada bicara, bernada tinggi dan berintonasi cepat bahkan saat kami yang orang Bali ini sedang menggunakan bahasa Indonesia pun akan tetap tampak logat Bali kami, yang seharusnya bagi orang awam akan sangat mudah menebak dari mana asal budaya kami. Hanya saja mungkin karena ini tanah kelahiran
Comment [CS118]: Ekstrnl
Comment [CS119]: Ekstrnl
12. Peneliti
Informan
masyarakat Jogja jadi mereka terbiasa menggunakan bahasa daerah mereka hingga lupa kalau Jogja juga merupakan kota pelajar yang notabene tidak hanya orang pribumi saja yang tinggal di Jogja tapi ada juga perantau seperti aku ini, sayangnya sebagian besar dari mereka masih kurang memperhatikan perbedaan budaya yang ada di Jogja. Dalam keseharianku sering sekali menemukan situasi dimana aku diajak berbicara oleh orang Jogja namun mereka menggunakan bahasa Jawa, jelas ini membuatku tidak nyaman meskipun aku tidak paham maksud pembicaraan mereka aku tetap menjawabnya dengan bahasa Indonesia. Pada saat itu aku belum mengenal bahasa Jawa sebelumnya sehingga aku tidak mengerti bahasa yang dipakai oleh orang-orang di lingkungan baruku ini. :Bagaimana cara anda memahami adat istiadat budaya orang-orang pribumi Yogyakarta saat bulan-bulan pertama tinggal di Yogyakarta? Apakah anda merasakan adanya perbedaan yang mencolok dengan daerah asal anda? :Awal di Jogja jelas aku tidak bisa langsung bisa paham dengan adat istiadat budaya Jogja meskipun begitu akupun mengamati, menilai, membaca adat yang dipakai secara umum di Jogja. Memang kubuat santai tidak harus memahami secara serius adat budaya Jogja, aku ambil garis besar secara umum saja, salah satunya paling dengan tetangga rumah kos yang pribumi Yogya saja ya berusaha untuk tidak segan menyapa mereka jika kebetulan berpapasan dijalan, lagipula mereka orang yang lebih tua mereka juga ramah mudah merespon balik. Jalani saja jangan dijadikan beban pikiran yang penting aku nyaman dikos, masalah adat istiadat Jogja tidak terlalu dipikirkan yang jelas disini tidak membuat masalah, tidak melanggar aturan yang berlaku, mengenal waktu, tidak gaduh yang berlebihan. Kalau merasakan adanya perbedaan yang mencolok iya ada tapi itu cuma diawal-awal tahun saja karena masih pertama jadi masih belum terbiasa dengan perbedaan antara daerah asal dengan teman-teman Yogyakarta karena merasa masih merasa asing baik dengan lingkungan fisik maupun lingkungan sosial jadi
Comment [CS120]: Ekstrnl
Comment [CS121]: Ekstrnl
13. Peneliti
Informan
14. Peneliti
masih merasa aneh saja, juga masih sulit memahami ekspresi wajah dan bahasa teman-teman. Sebenarnya di Bali memang juga banyak perantau-perantau dari Jawa, yang tujuannya berwisata maupun untuk bekerja, namun tidak begitu tampak aku pun kurang mengamati mereka secara jelas lagipula kalau berwisata kan hanya sebentar saja di Bali. Nah kalau perantau asal Jawa mereka ke Bali biasanya untuk bekerja dan mereka di Bali bermukimnya pun hidupnya tidak menyebar mereka hidupnya mengelompok bersama orang Jawa lainnya, setelah datang di Jogja barulah aku merasakan suasana budaya yang berbeda dan mencolok disini. :Saat berada dibulan-bulan pertama perantauan apakah anda sering membandingkan lingkungan baru di Yogyakarta tempat rantauan dengan daerah asal dari tempat anda sendiri? :Kalau dari lingkungan fisik bedanya dengan bali itu cuaca ya kalau di bedugul itu daerah pegunungan jadi cuacanya dingin, sejuk kalau di Jogja panas udaranya kering, beruntung di bedugul itu tidak padat pemukiman jadi tempatnya juga tenang tidak berisik oleh hirukpikuk kota. Kalau disini pemukiman penduduknya juga sama seperti di Bali bedanya kalau di Bali memusatnya di tempat-tempat wisata terkenal, kalau di Jogja memusat di Kota dan memusat didaerah universitas jadi hanya tempat-tempat tertentu saja yang padat pemukiman penduduk seperti didaerah kosku juga karena itu dekat dengan daerah kampus jadi menurutku cukup berdempetan ya jaraknya antara satu rumah dengan yang lain dan aku merasa kurang nyaman sebenarnya karena terbiasa suasana di bedugul yang luas. Kalau lingkungan sosial kembali lagi ya ini tanah Jogja yang isinya orang-orang suku Jawa bahkan ada kraton berdiri di Jogja yang jelas merupakan simbol kekuasaan istana Jawa jadi dari logat, tatakrama, karakter, bahasa, nilai, norma yang berlaku semua hal disini pekat akan budaya Jawa bahkan rasa dari masakan pun khas Jawa sekali ya yang rasanya serba manis sama seperti gudeg yang menjadi mascot oleh-oleh khas Jogja. :Sesampainya di tempat rantauan apakah anda dapat
Comment [CS122]: Gjl & Rea
Comment [CS123]: Gjl & Rea
Informan
15. Peneliti Informan
segera mengkondisikan diri anda dengan lingkungan baru anda? Apakah anda merasa nyaman dengan lingkungan rantauan anda? :Awal kedatanganku di Jogja karena aku sangat nyaman dengan teman-teman kos yang sesuku yang membuatku sangat terhibur, aku merasa bisa santai mau seperti apa kondisi lingkungan baruku di Jogja yang penting disini aku tidak sendiri kan ada teman-teman satu kos yang sama budayanya, jadi tidak benar-benar seakan tersesat ditempat asing, kalau apa-apa aku bisa hadapi bersamasama dengan mereka, minta bantuan mereka, sehingga tidak terlalu memusingkan masalah mengkondisikan, adaptasi, sosialisasi, interaksi, komunikasi dengan orangorang pribumi Jogja maupun masalah lingkungan sosial di Jogja. Selain itu dulu aku terlalu sibuk dengan jadwal kuliah semester awal yang masih padat, belum lagi aku harus banyak membiasakan dengan sistem pembelajaran perguruan tinggi yang jauh berbeda dengan sistem pembelajaran di sekolah jaman SMA jadi sebisa mungkin aku harus bisa mengikuti kegiatan perkuliahan dengan sebaik-baiknya karena tujuan merantauku memang untuk berkuliah bukan untuk yang lainnya diluar konteks itu. :Bagaimana kondisi kesehatan anda pada bulan-bulan awal di tempat rantauan? :Untuk kondisi kesehatan hanya kaget dengan iklim panas Yogyakarta itu lebih panas ya dari Bedugul, musim panasnya berlangsung cukup lama, kalau di sana musim kemarau pun masih ada hujan turun juga tapi kalau disini memang benar-benar terasa panasnya, jadi awal dulu sering sekali ganti kulit, kulitnya mengelupas seperti itu, kulit jadi kasar bersisik yang dulunya di Bedugul aku tidak menggunakan handbody, disini jadinya harus pakai itu biar tidak perih karena kasar kulitnya. Terus mudah dehidrasi juga ya disini sampai aku sering bawa bekal air minum dari kos agar dikampus tidak harus bolak balik kekantin hanya untuk sekedar membeli air minum. Panas dan udara keringnya jogja itu selain membuatku dehidrasi juga ngefek juga kepanas dalam, sariawan, gangguan pencernaan mudah buang air kecil, kulit kepala juga mudah
Comment [CS124]: Ekstrnl
16. Peneliti
Informan
17. Peneliti
Informan
18. Peneliti
berketombe karena gerah dan berdebu. Apalagi Jogja itu termasuk tinggi ya polusi udaranya karena jumlah kendaraan di Jogja yang padat. Terlebih untuk daerah sleman perkembangan kotanya pesat banyak bangunan raksasa dibangun disana sini menimbulkan debu semakin menyesakkan pernafasan yang akhirnya sering membuat alergi debuku mudah kambuh dan semua itu tidak terelakkan membuatku sedikit terganggu. :Mengenai pola makan, menu dan rasa masakan khas Yogyakarta apakah anda menemukan kendala di tempat rantauan? :Waktu awal langsung kaget dengan rasa manis masakan Jogja sampai kehilangan selera makan dan sempat kurus setengah tahunan kalau tidak salah itu penyebab vitalnya ya karena malas makan dimana-mana rasa masakannya sama saja terlalu manis. Yang akhirnya karena masalah perbedaan selera lidah itulah sehingga membuatku jadi lebih kuat merokok dan ngopinya, tetapi kesini-kesininya lama kelamaan kalau lapar ya disiasati, dapur bersama di pergunakan dengan sebaik-baiknya, masak ala-ala cowok biarpun hasilnya berantakan tidak enak rasanya yang penting buatan sendiri jadi bisa disesuaikan seleranya. :Mengenai pola tidur anda pada bulan-bulan awal di Yogyakarta, apakah anda menemukan kendala di tempat perantauan? :Dari dulu itu, malam biasa untuk mengerjakan tugas kuliah, kalau tidak ada tugas kuliah baru aku bisa ikut gabung anak-anak kos untuk nongkrong yang itu entah nobar bola, main futsal, lalu kalau pagi hari sabtu dan mingggu atau hari libur tidak kuliah ya biasanya aku nobatkan sebagai hari untuk tidur sepuasnya. Kadang juga anak-anak merencanakan membuat acara main kewisata Jogja atau entah yang hanya sekedar seru-seruan main kartu, catur, plastation dikamar salah satu teman kos yang kadang sering seharian penuh sampai pagi, jadi pola tidurnya disini berantakan karena tidak ada yang mengawasi, kalau dirumah ka nada ibu yang selalu cerewet mengatur agar aku disiplin. : Bagaimana komunikasi anda di tempat perantauan
Comment [CS125]: Ekstrnl
Comment [CS126]: Ekstrnal
Comment [CS127]: Ekstrnl
Informan
19. Peneliti
Informan
dengan keluarga anda di kampung halaman? Tiap berapa bulan anda pulang kekampung halaman? Apakah anda sering merasa home sick atau mudah rindu kampung halaman? :Tetap lancar kok, kami lumayan sering saling melepon untuk menanyakan kabar maupun memberi kabar terutama dengan ibu. Dari semester awal sampai sekarang hanya menungggu liburan kuliah atau hari besar saja mengingat ongkos balik mudik yang tidak sedikit dan tempat asal yang jauh. Homesicknya ya karena disini tidak ada yang mengawasi, semua aku yang manage mulai dari bangun pagi aktivitas kampus, aktivitas dikos, pola makan hingga malam lalu tidur kembali. Dirumah kan yang biasa ngomel masalah tidur, makan, kesehatan, kebersihan, semua itu urusan ibu, jauh dari rumah pun seakan jauh dari orang yang berisik demi kepentinganku disitulah yang sering membuatku merasa kesepian jauh dari keluarga. Merindukan sosok yang selalu memerhatikanku dengan cemas. :Adakah pengalaman sosial budaya di Yogyakarta yang membuat anda stress pada bulan-bulan awal di Yogyakarta? :Pengalaman apa ya aku ini kan sebenarnya tipe yang tenang ya kalau orang cuek denganku maka akupun akan cuek tapi jika orang berusaha menyapaku maka tidak mungkin aku akan diam tak membalas sapaannya nah disini itu orang Jogja ramah-ramah ya, bertemu dijalan pun mereka pasti akan berusaha bertegur sapa, melempar senyuman dengan gayanya yang khas malu-malu nada lirih, awalnya sempat tidak paham kalau sering ditegur sapa teman sekelas yang asli Jogja waktu dijalan yang membuat mereka berpikir kalau aku karakter yang sombong padahal ya tidak demikian, itupun aku tahunya waktu sudah masuk semester ke dua mereka cerita sama aku mengeluhkan sikapku yang dingin setelah sudah mulai bisa akrab. Kaget dengarnya lalu mencoba flashback ingatingat apa iya dulu aku begitu. Yang buat aku benar-benar stress itu malah rasa masakannya, sampai jadi tertekan sendiri. Konsumsi mie yang tidak baik untuk pencernaan,
Comment [CS128]: Ekstrnl
20. Peneliti Informan
21. Peneliti
Informan
kopi dan merokok aktif selama 2 semester membuatku menderita masalah pencernaan. Lalu timbul perasaan jera, bosan dan masalah perut kupikir tidak bisa hanya tinggal diam tapi saat berusaha mencoba menelan masakan Yogyakarta yang walaupun sudah berusaha keras paksa ternyata tetap tidak tahan akhirnya muntah. Sehingga kuputusan untuk masak sendiri mempergunakan dapur kos dengan sebaik-baiknya lagipula malah lebih irit ya. Menu andalanku telur dadar, kentang goreng, nasi goring karena baru bisa itu masaknya tapi pas dilidah. :Pernahkah ada masalah dengan teman-teman baru anda yang merupakan masyarakat pribumi Yogyakarta? :Waktu awal dulu itu belum bisa menerima karakter sebagian orang-orang disekitar baik dilingkungan kampus maupun kos yang sering buat aku merasa jengkel sendiri karena terganggu dan tidak nyaman jika mereka mengajakku berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa dalam keseharianku meskipun aku menjawabnya dengan bahasa Indonesia tapi seakan mereka tidak peka terhadap perbedaan budaya. Hingga aku sempat berpikir kalau hanya orang Jawa yang berpendidikan tinggi sajalah yang memahami dan menghargaiku dengan menggunakan bahasa Indonesia saat berkomunikasi denganku, ya mungkin karena aku belum terbiasa dengan kemajemukan karakteristik budaya dilingkungan baruku saja, kadang pernah ada salah paham dengan mereka tapi tidak dalam waktu lama. Aku juga sering bingung saat hendak memulai pembicaraan dengan teman-teman yang jelas perbedaan karakternya diantara kami, yang lucunya lagi kalau orang Jogja itu kan lambat-lambat gerakannya ya, suara mereka juga halus seakan tidak bertenaga ternyata itu karakter mereka kadang suka heran memperhatikan ekspresi mereka. : Jika anda mengalami kendala di daerah rantauan mengenai sosialisasi terhadap masyarakat pribumi Yogyakarta lalu bagaimana anda mengatasinya? :Iya sempat ada kendala dulu ya dikampus karena aku memang sedikit membatasi ya untuk berinteraksi dengan orang baru ternyata itu membuat imageku dilingkungan
Comment [CS129]: Ekstrnl
Comment [CS130]: Gjl & Rea
Comment [CS131]: Gjl & Rea
22. Peneliti
Informan
kampus dikenal dengan karakter yang dingin walau aku pun sudah berusaha untuk memberikan respon yang menurutku sudah baik entah kepada orang-orang yang menyapaku atau mengajakku mengobrol awalnya aku mengacuhkan permasalahan itu namun lama kelamaan tuntutan perkuliahan dengan SKS yang semakin padat memaksaku untuk membaur dengan teman kelas disitulah aku mulai melakukan pendekatan dengan mereka (tean kampus) melunakkan ego, menerima perbedaan, menghargai dan tidak menyinggung perasaan mereka walau pada kenyataannya aku masih kurang nyaman. Akan tetapi aku bisa merasa terdapat perubahan sikap setelah terbiasa di tempat rantauan yang signifikan kini aku jadi lebih tahu sopan santun, tata krama, sedikit demi sedikit mulai mengerti bahasa jawa, nada bicara juga sudah tidak tinggi karena pengaruh beberapa teman kampus yang memang asli dari Jogja. :Dengan teman kampus anda yang merupakan masyarakat pribumi Yogyakarta apakah mereka membantu anda untuk bersama-sama menghadapi persoalan penyesuaian diri pada saat awal kedatangan anda di tempat rantauan (Yogyakarta) ? :Untuk awal dulu aku masih lebih memilih untuk berinteraksi dengan teman yang sedaerah denganku akhirnya aku jadi terlalu asik berkumpul dengan teman sesuku dikos dibanding dengan teman kampus. Dengan teman kampus justru malah tidak akrab, hanya sebatas kenal saja, tegur sapa biasa saja, mau mengobrol tanyatanya juga tidak nyaman yang penting aku tidak pasang wajah sombong kalau ada yang mengajak ngobrol ya ditanggapi. Mungkin sikapku yang terlihat individual membuat mereka segan, walaupun sebenarnya dibalik diamku aku menyembunyikan rasa tidak percaya diri, gugup dan tegang yang berlebihan karena perasaan asing, tetap ada perasaan ingin membaur namun selalu timbul rasa canggung dan ragu setiap akan memulai berinteraksi dengan mereka. Beruntung sekarang keadaan sudah jauh berbeda karena kebutuhan akademik yang semakin berjalan hingga masuk semester kelima itu tidak sebentar
Comment [CS132]: Hsl Adpts
Comment [CS133]: Intrnl
23. Peneliti Informan
sudah banyak perjalanan dan waktu yang membuat kami mulai mengenal satu sama lain yang awalnya aku pikir mereka menyusahkan sekarang jadi saling menerima saling menyesuaikan diri. :Ceritakan bagaimana hubungan anda dengan temanteman baru di Yogyakarta? Apakah ada kendala? :Waktu masih semester awal masih ragu untuk membaur dengan teman-teman baru berbeda budaya. banyak menarik diri dari hal-hal yang membuatku berinteraksi dengan mereka kecuali untuk kepentingan akademik. Aku selalu mengandalkan teman-teman kos yang merupakan orang yang berasal dari daerah yang sama denganku, karena hanya dengan mereka aku tidak kehilangan jati diri selama berada di lingkungan baru ini dan menutupi perasaan kehilangan orang-orang yang telah aku kenal sebelumnya di Bedugul. Ya tapi itu sudah lama berlalu, hubunganku dengan teman baru yang merupakan orang local Jogja yang semula kaku sekarang sudah membaik, aku sudah mulai kenal lalu akrab sama temen-temen kampus itu kalau tidak salah semester 2 atau semester 3 an, karena 1 semester sendiri aku merasa belum butuh teman ya kalau mau apa-apa cuma sama teman-teman kosku, kekampus hanya fokus hanya untuk kepentingan akademik ya sudah gitu terus ya sampai akhirnya sosialisasi dengan teman jadi terisolasi, tercipta jarak dan terlambat, malas memulai perkenalan dengan orang-orang baru, takut akan banyak hal ini itu semua itu karena perasaan asing dilingkungan baru menimbulkan perasaan negative thinking tentang mereka dan dulu itu yang selalu menghantui setiap akan membaur. Sekarang setelah aku bisa mulai berkenalan lebih dekat, tidak hanya menilai tapi juga mau untuk ikut membaur, bertoleransi, berinteraksi, mau berkomunikasi dengan orang lokal itu sedikit banyak muncul pemahaman tersendiri buat aku akan hal-hal yang dulunya aku tidak tahu sekarang jadi tahu. Bahkan bahasa Jawa pun akhirnya mulai aku pelajari untuk mengerti artinya walau tidak banyak setidaknya aku mulai terbiasa jika ada orang lokal yang tetap mengejakku berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa. Mereka juga mau untuk
Comment [CS134]: Intrnl
24. Peneliti
Informan
mengajarkan aku budaya mereka yang membuatku mengurangi pandangan burukku selama ini dengan mereka. :Apakah anda mengalami berbagai permasalahan ketidaknyamanan dengan lingkungan rantauan anda? Apakah kini anda dapat menyesuaikan diri dengan di tempat rantauan tersebut? :Dari awal dulu aku sudah semangat sekali disini ya 100% mungkin karena tinggal di kos dengan suasana yang menyenangkan seakan kampung halaman sendiri seakanakan tidak sedang merantau jadinya tidak sejadi tidak terlalu kentara perbedaan yang ada, kalau sudah nyaman dengan suasana tempat istirahat itu seterusnya mendukung terciptanya mood yang bagus kan.Yang pasti dulu aku memang tidak nyaman jika berbaur dengan yang jelas berbeda budayanya denganku hingga memilih untuk mencari kos dengan budaya dan daerah yang sama denganku, ya walau tidak semua hal yang berbeda membuatku tidak nyaman dengan Jogja tapi kebanyakan aku merasa canggung jika berhadapan dengan mereka mau bahas apa juga aku tidak tahu jadi banyak diamnya. Tapi sekarang lama-kelamaan karena faktor keadaan kebutuhan akademik mau tidak mau harus membuat kami aktif berinteraksi agar tidak ketinggalan informasi seputar akademik yang semakin rumit dan sumber informasinya juga tidak banyak tahu sendirilah system kuliah itu kita yang aktif mengejar nilai serta dosen beda dengan jaman SMA yang masih dibimbing guru dan itu akhirnya membuatku bisa menerima berada diantara mereka dan aku juga jadi mulai nyaman dengan mereka. Ternyata seru, tidak semua hal dari perbedaan itu menyebalkan, tergantung bagaimana sudut pandang kita. Perubahanku sekarang itu jadi sering menyelipkan bahasa Jawa sedikitsedikit saat berkomunikasi dengan mereka ya walau belum lancar tapi itu untuk kebiasaan baik agar perbedaan diantara kami tidak begitu jelas terlihat sebagai modal agar mudah berteman. Sekarang jadi lebih banyak punya teman ya tidak pilih-pilih seperti dulu lagi. Jadi lebih banyak yang buat aku sadar diri akan perbedaan tapi tidak
Comment [CS135]: Hsl Adpts
Comment [CS136]: Ekstrnl
Comment [CS137]: Hsl Adpts
25. Peneliti
Informan
menyesalah namanya juga pengalaman hidup jadikan pelajaran yang sangatlah berharga. :Bagaimana sikap dan pandangan anda tentang berbagai masalah kemampuan beradaptasi dalam berusaha mengurangi pengaruh culture shock pada diri anda selama ini? :Sikap dan pandangan dibuat simple aja sih ya kak. Kalau kitanya mau welcome terbuka dengan orang-orang di sekitar, mau sadar diri kalau disini kita itu perantau cuma numpang jadi akan muncul sendiri tata etikanya tidak bisa terus-terusan seenaknya sendiri ditanah rantauan lagi pula beradaptasi itu proses alami kok cepat atau lambat pasti akan menyingkirkan hal-hal ketidaknyamanan tentang semua perbedaan disini.
Comment [CS138]: Hsl Adpts
HASIL WAWANCARA CULTURE SHOCK (GEGAR BUDAYA) PADA MAHASISWA PERANTAUAN DI YOGYAKARTA Informan 7 Tanggal wawancara
: 18 November 2015
Waktu
: 11.00 WIB
Lokasi wawancara
: Halaman Fakultas Ilmu Sosial UNY
A. Identitas Informan
B.
Nama
: UI
Jenis kelamin
: Perempuan
Umur
: 20 tahun
Agama
: Kristen
Asal daerah
: Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara
Suku/ etnis
: Dayak
Jenis bahasa daerah
: Dayak Kenyah Lepoke
Universitas
: Universitas Negeri Yogyakarta
Mahasiswa semester
:7
Hasil wawancara dengan mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa yang sedang berkuliah semester lanjut di Perguruan Tinggi Yogyakarta. 1. Peneliti :Berasal dari daerah mana, suku atau etnik, bahasa daerah dan sejak kapan anda merantau ke Yogyakarta? Informan :Dari Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara. Suku Dayak tapi di Kalimantan itu Dayak banyak macamnya. Kalau bahasa itu Dayak Kenyah Lepoke. Sekitar September 2012 lalu kalau tidak salah. 2. Peneliti :Mengapa anda memilih untuk merantau ke Yogyakarta? Apa alasan dan motivasi anda memilih menjadi seorang mahasiswa perantauan? Apakah anda sebelumnya pernah memiliki pengalaman merantau kedaerah/ propinsi lain? Informan :Tidak memilih tapi karena program kerja sama kabupaten Malinau dengan UNY jadi ya memang di tujukan ke Jogja mau bagaimana lagi.Yaa gara-gara ikut program kerja sama kabupaten Malinau dengan UNY jadi mau tidak mau jadinya melanjutkan kuliah ke Jawa. Lagipula orang tua
Comment [CS139]: Asl Comment [CS140]: Sk Etnk Comment [CS141]: Bhs Daerh
Comment [CS142]: Alsn
3. Peneliti
Informan
4. Peneliti
Informan
dan kakak bilang kalau kualitas perguruan tinggi di pulau Jawa itu lebih baik dibanding perguruan tinggi di luar pulau Jawa termasuk Kalimantan ya mereka berpikir ini jadi pengalaman baik untukku. :Siapakah yang mendorong anda untuk melakukan merantau? Lalu apakah anda sudah memperkirakan bagaimana tempat yang akan anda rantau tersebut? :Yang jelas keinginan kakak dan orang tua. Soalnya setelah lulus SMA juga aku diharuskan untuk meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, yaa sudah aku menurut, menjalankan perintah sajalah. Kalau memperkirakan belum ada karena memang tidak ada niat ke Jogja jadi benar-benar di luar dugaan, yaa paling cuma dari kata teman saja sama searching internet cari artikel tentang Jogja, bagaimana Jogja, walau aku sendiri kan memang belum pernah ke Jogja. Awalnya memang ragu, nolak banget juga soalnya pesimis ya aku takut, masalahnya selama ini belum pernah punya pengalaman kesuatu tempat yang jauh dari rumah, jauh dari orang tua, dari kakak-kakakku, tinggal sendirian tanpa mereka, malas juga karena aku harus berpisah dengan teman-teman dekat di Kalimantan, tapi tuntutan orang tua memaksa agar aku tetap semangat melanjutkan pendidikan ikut program pemda kabupaten malinau tadi kan akhirnya aku harus ke tempat yang jauh walau aku tahu Jogja punya potensi akademik yang lebih dari Kalimantan oke baiklah aku terima, mau bagaimana lagi ya demi masa depan, hitunghitung sembari menyenangkan hati orang tua dan kakak kan. :Sebelum anda merantau apakah anda sudah pernah datang mengunjungi Yogyakarta atau memiliki bayangan bagaimana lingkungan baru anda? Lalu bagaimanakah perasaan anda saat sudah berada di tempat perantauan? Merasa kagetkah? :Memang belum pernah ke Jogja tapi aku sempat tanyatanya, cari tahu informasi dari cerita teman atau searching internet, biar aku tahu kan jadi sedikit banyak aku dapat bayangan gambaran tentang bagaimana Jogja. Iya dulu itu langsung wow speechless, berhubung aku belum pernah
Comment [CS143]: Alsn
Comment [CS144]: Intrnl
5. Peneliti
Informan
6. Peneliti Informan
keluar daerah sampai sejauh ini jadi shock sendiri kalau ternyata Jogja itu jauh juga. Mana terasa asing sekali, tidak ada keluarga disini juga jauh dari kakak, memang sih kesini kan aku ber lima sama yang lain dengan anak-anak program kerjasama kabupaten malinau lainnya tapi sama mereka juga baru kenal tetap saja rasanya disini aku seperti anak hilang, sebatangkara benar-benar tidak tahu mana-mana di Kota besar ini, rasanya ingin segera kembali ke rumah saja terus batal merantau kalau bisa. Wah pokoknya kaget bangetlah semua disini itu kan beda dari bahasa,budaya, rasa masakan juga aneh beda sama yang biasanya di Kalimantan. :Jalur penerimaan mahasiswa apa yang anda tempuh untuk akhirnya anda bisa masuk dan di terima di Perguruan Tinggi Jogja? :Jalur kerja sama daerah Kabupaten Malinau dengan UNY angkatan 2012, disini juga ada ikatan kerjasama mahasiswa Malinau. Teman-teman beri info tentang program kerja sama daerah Kabupaten Malinau, kakak juga sangat mendorong agar aku ikuti. Tapi dari diri sendiri aku tidak mau sebenarnya, jadi ikut tes ujian program kerja sama itu terpaksa, tidak ada persiapan belajar yang sungguh-sungguh, karena memang dari awal tidak ada niat untuk merantau terlalu jauh sampai harus ke Jawa yang jelas jauh dari Kalimantan belum lagi harus jauh dari kakak dari orang tua teman juga sama sekali tidak ada keluarga tapi Puji Tuhan kasih rejeki aku malah lolos. :Dimana dan dengan siapa anda tinggal di tempat perantauan kota Yogyakarta ini? Berikan alasannya? :Disini aku ngekos. Masalahnya asrama itu kan gratis jadi hanya khususkan untuk yang program kesehatan saja. Kalau yang seperti kami yang pendidikan malah dibebaskan untuk ngekos karena sudah diberi biaya hidup yang ditanggung sama daerah kami Kabupaten Malinau. Jadi tak apalah kos sendiri sekalian biar bisa sekalian belajar hidup mandiri. Yaa walaupun sebenarnya disini ada beberapa orang anak cewek yang juga dari program
Comment [CS145]: Intrnl
Comment [CS146]: Intrnl
7. Peneliti
Informan
8. Peneliti
Informan
kerja sama yang sama-sama Kalimantannya tapi aku tipe orang yang tidak mau merepotkan orang lain sih. :Bahasa apa yang biasa di pakai dalam keluarga? Lalu bahasa apa yang anda gunakan untuk berkomunikasi dengan orang-orang baru di Yogyakarta? :Kalau dengan keluarga bahasa dayak ya namanya itu bahasa dialek dayak kenyah lepoke yang dipakai. Kalau disini fleksibel saja sih kalau bicara dengan orang-orang baru yang asing buatku bahasa Indonesia yang pastinya aku gunakan untuk berkomunikasi dengan mereka. Kalau sama teman seangkatan ka nada lima orang yang samasama dari program kerjasama daerah Kalimantan utara walau memang sama-sama dayak tapi kan dayak banyak macemnya itu beda-beda aku tetap berbahasa Indonesia sama mereka. Ya paling kalau pas telpon kakak dan orang tua saja terkhusus aku pasti dengan bangga mengeluarkan bahasa asli daerahku itu hahaha untuk mengobati rasa rindu sih capek juga disini berbahasa Indonesia terus 24jam. :Bagaimana pergaulan anda dengan teman-teman baru di lingkungan kampus anda, pada saat anda memasuki semester awal perkuliahan? :Lumayan bisa cepat akrab kok soalnya waktu awal-awal di Jogja dulu itu pas ospek aku beruntung banget ya bisa kebetulan dapat kenalan seorang kakak panitia ospek yang baik yang ternyata bisa langsung saling nyambung kami saling klop, cocok sama karakterku, padahal kami beda daerah dia itu asli Jogja tapi aku nyaman sama dia. Dia kakak tingkat dari jurusan IPS, dialah yang suka kasih support, dukungan motivasi setiap kali aku merasa tidak sanggup dan menyerah merantau ke Jogja. Tapi sayangnya cuma sampai kemarin pas dia akhirnya lulus kuliah saja kesininya jadi tak bisa cengeng lagi karena dikampus sudah tidak bisa bertemu dia lagi dia sekarang juga dia sudah menikah padahal selama ini bertemannya ya cuma sama dia saja kalau buat dekat jadi seperti temen akrabnya, pertama-pertamanya kuliah itu tiap pulang kuliah atau pas libur suka janjian mau kemana-mana ya sama dia, mengeluh juga sama dia itulah awal kuliah dulu
Comment [CS147]: Bhs Daerh
Comment [CS148]: Gjl & Rea
9. Peneliti Informan
saking dekatnya sama dia akhirnya membuatku kurang tertarik berteman dengan teman-teman sekelasku yang lain karena rasanya dengan teman sekelas itu malah beda kaya kita yang Kalimantan di minoritaskan. Waktu awal dulu tidak dekat karena sama-sama tidak kenal satu sama lain, anak-anak sekelas itu betul-betul jaim-jaiman, diamdiaman, gengsi-gengsian ya karena belum kenal saja mungkin. Bahkan waktu awal masuk kuliah itu malah ingin sekali segera pulang kembali ke Kalimantan saja karena benar-benar tidak betah disini selalu kepikiran untuk menyerah ingin pulang saja, tapi teman yang kakak kelas dari IPS itulah yang memberi semangat, motivasi, dia yang besarin hati aku, ngelarang aku yang sudah mau nekat pulang kampung. Walau dosen selalu menganjurkan biar yang Kalimantan seperti kami berlima lainnya untuk membaur mendekatkan diri dengan yang Jawa tapi yang Jawa juga sama kami masih aneh saja tidak welcome jadi kalau sama teman sekelas memang kenal tapi cuma sebatas kenal biasa, hafal sama wajahnya tahu namanya ya sudah gitu saja tidak lebih tidak sampai dekat yang akrab bahkan itu sampai sekarang aku sudah semester 7, ada yang baik mau welcome sama kau tapi jarang malah bisa di hitung jadi mau apa-apa aku terbiasa sendiri tidak gabung mereka yang sekelas paling cuma yang sama-sama program kerjasama pemda Kalimantan saja punya intensitas yang lebih di banding dengan yang Jawa kalau nongkrong juga banyak sama yang sama-sama Kalimantan kan tidak enak ya kalau sama yang Kalimantan tidak gabung tidak dekat. :Bagaimana pergaulan anda dengan teman-teman baru di lingkungan tempat tinggal (kos) anda? :Dulu memang belum terbiasa apa-apa sendiri. Kalau dirumah kan selalu ramai ada bapak, ibu, kakak-kakakku nah kalau disini sangat berubah drastis jadi sepi sekali. Aku tidak tahan rasanya, jadi terhantui rasa rindu dengan mereka. Akhirnya awal aku disini keseringan menyendiri. Awalnya dengan penghuni kamar kosku lainnya aku kurang kenal jelas ya karena jarang berinteraksi dan berkomunikasi dengan mereka, jika kenal hanya sebatas hafal sama wajahnya saja tanpa tau nama serta identitas
Comment [CS149]: Ekstrnl
10. Peneliti
Informan
yang lain sebagainya. Lama kelamaan yang lain yang mendekatkan ke aku yang mengajak kenalan duluan malah mereka terus kupikir wah mereka malah yang welcome sama aku padahal mereka orang Jawa lho, di kos aku sendiri yang Kalimantan tapi karena mereka baik aku akhirnya juga mengakrabkan diri sama mereka. Aku diam diri apa itu mengurung diri di kamar kos paling kalau pas lagi bad mood karena rindu rumah dengan teramat sangat dan tidak terbendung sehingga aku memfungsikan kamar kosku untuk menyendiri menjauhkan diri dari teman lainnya kan ya malu juga agar mereka tidak terkena imbas moodku yang sedang berantakan, di dalam kamar itu aku biasanya sambil telpon kakak atau orang tua sambil menangis habis-habisan ya cuma itu cara untuk melampiaskannya kadang juga dengan menonton film di laptop sambil makan es krim kesukaanku. Kalau aku sudah kembali normal dan rasa galauku sudah lewat ya baru bisa keluar kamar dengan normal kembali membaur dengan penghuni kos lainnya teman-teman kos juga sudah hapal kok kalau aku diam dikamar berarti aku lagi galau, ingin sendiri mereka ternyata bisa mengerti dan memberikan waktu privasi untukku. Sama teman kos itu malah lebih dekat dari pada sama teman kelas. Kalau nongkrongnongkrong, ada rejeki lebih shoping ya sama mereka yang teman kos. :Apakah anda menemukan kendala mengenai penyesuaian belajar yang anda temukan selama berada di lingkungan baru (kota rantauan Yogyakarta)? :Itu jelas kaget, kan memang ya beda pendidikannya antara Jawa sama Kalimantan. Pas di dalam kelas itu pernah ada dosen yang berkata walau kalian dari program kerja sama tapi belum tentu kalian murni hasil seleksi test bisa saja kalian itu lolos karena kerabat orang pemda yang sengaja di rekrut, kalian itu belum tentu mampu. Mendengar itu seketika aku langsung ingin menangis, beliau seperti memandang kami sebelah mata dari yang lainnya dengan kata-kata yang menurutku tajam. Pulang dari kuliah itu langsunglah aku lapor telpon ke kakakku sambil nangis merajuk minta pulang kampung saja sudahlah balik saja
Comment [CS150]: Ekstrnl
11. Peneliti
Informan
12. Peneliti
tapi kakak masih memberikan semangat menyuruh agar aku tahan banting dari cobaan. Padahal masalahnya karena salah satu teman dari Kalimantan yang bermasalah tapi kami semua yang terkena imbasnya. Tapi kita akui memang yang asli Jogja itu lebih pintar, lebih berani dalam presentasi mereka cakap berkata dari pada kami yang mudah minder. :Apakah terdapat kesenjangan kebudayaan yang anda rasakan selama berada di lingkungan baru (kota rantauan Yogyakarta)? :Iya ada, kalau nada bicara orang asli Jogja itu lembut berbeda dengan daerah asalku nada bicaranya tinggi atau keras jadi belum terbiasa sekali kalau sedang berkomunikasi dengan teman-teman baru yang asli Jogja karena kurang terdengar jelas apa yang mereka sedang bicarakan dan membuatku harus bertanya ulang. Yogyakarta itu adat Jawanya kental, mungkin karena sebagai daerah kesultanan keraton jadi adat dan tradisinya benar-benar masih terjaga, terus orangnya kalem-kalem, ramah-ramah, sopan-sopan, sederhana, berbeda dengan daerahku yang cuek-cuek, acuh tak acuh. Sayangnya disini banyak teman yang orang Jawa acap kali mengajak mengobrol menggunakan bahasa Jawa padahal jelas aku tidak bisa, tidak paham pula apalah artinya tapi mereka tetap saja lupa kadang harus diingatkan kalau aku tidak mengerti bahasa mereka ketika mereka menggunakan bahasa Jawa kepadaku, dosen juga masih banyak yang senang berbahasa Jawa kadang kami pun memberanikan diri untuk mengingatkan kepada dosen kalau maaf kami yang dari luar pulau Jawa tidak tahu artinya. Lalu Jogja itu juga ramai akan banyaknya orang-orang perantau khususnya mahasiswa rantauan seperti aku gini yang akhirnya mendominasi budaya di Jogja. Semoga Jogja tetap Jogja yang istimewa ya tidak luntur keasliannya karena banyaknya para pendatang yang multikultural. :Bagaimana cara anda memahami adat istiadat budaya orang-orang
Comment [CS151]: Ekstrnl
Comment [CS152]: Ekstrnl
Informan
13. Peneliti
Informan
pribumi Yogyakarta saat bulan-bulan pertama tinggal di Yogyakarta? Apakah anda merasakan adanya perbedaan yang mencolok dengan daerah asal anda? :Waktu masih beberapa bulan di Jogja aku masih merasa aneh ya karena kan adatnya memang berbeda dengan tempat asalku kalau tempatku kan mereka memang cuekcuek nah kalau di Jogja banyak teman yang senang menyapa saat bertemu dijalan sambil tersenyum dan menundukkan badan, awalnya masih ngerasa aneh dengan kebiasaan di daerah baruku disini sempat di komen katanya aku sombong padahal kan tidak begitu aku cuma belum tahu dan belum terbiasa saja. Dikos juga gitu aku disini sendirian tidak kenal dengan warga kampung sekitar tempat tinggal kosku jadi kalau keluar masuk rumah kos ya biasa saja ternyata aku harus menyapa warga sekitarku dengan tersenyum atau basa-basi agar mereka memberikan respon baik untukku. Jauh dari bapak, ibu, kakak, itu rasanya membuatku kesepian dan sering bingung harus bagaimana dengan segala hal yang masih asing dimataku, kalau ada mereka kan aku ada yang nuntun aku harus bagaimana-bagaimana, menyemangatin aku, nemenin aku, berlindung, bermanja, merawat istilahnya kalau ada mereka aku bisa lebih pede mau ngapa-ngapain gitu. Yang terlintas di pikiranku waktu awal dulu cuma ingin segera pulang kampung saja terus-terusan sama pasrah sama keadaan bagaimana nanti jadinya akan seperti apa yang penting jalani dulu saja apa yang ada dihadapanku semampuku. :Saat berada dibulan-bulan pertama perantauan apakah anda sering membandingkan lingkungan baru di Yogyakarta tempat rantauan dengan daerah asal dari tempat anda sendiri? :Disini itu kan Jogja, jadi yang pertama jelas berbeda adatnya, jelas berbeda seperti apa orang-orangnya, disini terasa sekali kalau orang asli Jogja itu ramah-ramah sekali ya, senang sekali untuk saling tegur sapa dengan ciri khas Jogja seperti sopan, sederhana, nada suaranya rendah, menundukkan kepala sambil tersenyum itu tadi setiap kali dijalan bertemu dengan orang tua, mereka tahu
Comment [CS153]: Ekstrnl
Comment [CS154]: Ekstrnl
14. Peneliti
Informan
menempatkan diri bagaimana mereka berperilaku saat berhadapan dengan orang yang lebih tua atau orang yang dihormati/ disegani. Kalau di daerah asalku itu justru cuek, acuh tak acuh biasa saja, sopan dengan orang tua tapi yang biasa saja. Terus Jogja itu kota yang komplit ya banyak sekali teman dengan suku bangsa dari ujung barat hingga ujung timur mereka ada disini menuntut ilmu tapi aman tidak ada konflik, itu yang aku suka tempatnya terkendali tidak ada pemetak-petakan. Kota besar, kota Budaya yang banyak tempat-tempat bersejarah disini seperti Istana kepresidenan RI, monumen Jogja kembali dan Benteng Vredeburg, Kraton sebagai istana kesultanan yang masih melangsungkan kegiatan tradisi secara rutin diselenggarakan setiap tahunnya bersama masyarakat Jogja dan kesemua itu seru, menurutku keren terasa sekali nilai-nilai history disini. Selain itu Jogja juga daerah yang kaya akan wisata alam. Pokoknya Jogja asik buat jalan. Yang pasti Jogja itu kota yang jauh lebih maju dan modern kalau dibandingkan dengan tempat asalku, Jogja kota besar dengan fasilitas kota yang sangat beragam sesuai dengan kehidupan yang modern, didukung dengan fasilitas transportasi kota yang memadai seperti transJogja, ada taxi car 24 jam nonstop, taxi motor, ada bandara Adisucipto, dua terminal bus dan stasiun kereta yang letaknya mudah dijangkau dan sangat memudahkan mobilitas warganya. :Sesampainya di tempat rantauan apakah anda dapat segera mengkondisikan diri anda dengan lingkungan baru anda? Apakah anda merasa nyaman dengan lingkungan rantauan anda? :Mengkondisikan kan butuh waktu, butuh proses ya jadi untuk awal dulu benar-benar berat tidak bisa langsung mengkondisikan. Aku perlu belajar memperhatikan, mengamati gimana-gimananya lingkungan sini dulu. Apalagi masalah nyaman aku masih sering merasa kesepian, masih merasa asing sama lingkungan baruku, masih besar sekali rasa menyerahnya untuk kembali saja kekampung halaman tapi ya mungkin karena awal yang namanya pertama kan jadi kaget soalnya aku belum pernah
Comment [CS155]: Ekstrnl
15. Peneliti Informan
16. Peneliti
Informan
merantau super jauh seperti ini sebelumnya, jadi belum memiliki pengalaman tentang penyesauaian lingkungan, yang tadinya aku terbiasa dengan segala kegiatan, suasana keadaan rumah, sekarang harus jauh dari kebiasaankebiasaan itu. Kalau dirumah apa-apa ada yang nyiapkan sekarang serba dilakukan sendiri dan itu membuat aku kerasa banget sepinya. Makannya aku lebih senang curhat sama teman yang kakak tingkat jurusan IPS tadi itu untuk mengurangi rasa sedih rindu rumah. :Bagaimana kondisi kesehatan anda pada bulan-bulan awal di tempat rantauan? :Dulu karena masih merasa tidak nyaman dengan semua hal di Jogja, mungkin pengaruh pikiran yang mindsetnya sudah jelek duluan jadi ya suka mengait-ngaitkan dengan homesick jadi pernah karena terlalu rindu rumah ingin sekali lekas pulang ke kampung halaman yang teramat parah akhirnya aku terkena demam tinggi menggigil sampai masuk rumah sakit RSCC, sakit kepalalah, maaglah. Jogja cuacanya panas membuatku sering mengalami radang tenggorokan karena suka coba-coba jajan yang mungkin penjaja makanannya pakai pemanis buatan berlebihan, tidak bersih atau apa kurang paham ya aku, dulu aku memang benar-benar butuh proses untuk bisa menyesuaikan diri di lingkungan yang baru. :Mengenai pola makan, menu dan rasa masakan khas Yogyakarta apakah anda menemukan kendala di tempat rantauan? :Iya amat sangat jadi kendala, karena memang tidak cocok dengan masakan jogja, lebih tepatnya karena tidak terbiasa jadi aku harus sengaja hunting cari tempat makan yang rasa pedasnya menonjol ya kadang masih sering makan masakan Padang yang ternyata malah lebih bisa diterima sama lidah daripada masakan Jogja yang manis, kalau bosan ya keburjo pesan mie instan, nasi telor, nasi sarden, hunting penyetan yang sambalnya pedas asin kalau malas kemana-mana ya beli roti atau cemilan untuk dimakan dikamar. Sering sih nyobain wisata kuliner Jogja bareng teman Kalimantan itu ketempat makan masakan nusantara ketempat-tempat JunkFood, tempat-tempat makan yang
Comment [CS156]: Intrnl
Comment [CS157]: Gjl & Rea
17. Peneliti
Informan
18. Peneliti
Informan
19. Peneliti
Informan
rada mahal yang berakibat boros di hunting makanan tapi tak mengapalah masalahnya sampai sekarang memang tidak bisa terima rasa manis. :Mengenai pola tidur anda pada bulan-bulan awal di Yogyakarta, apakah anda menemukan kendala di tempat perantauan? :Iya karena waktu awal dulu sering merasa tertekan sekali karena rindu rumah setiap mau tidur jadi kepikiran orangorang di rumah, ke inget suasana rumahku, suasana kamarku disana lalu akibatnya jadi susah tidur cepatlah, menangislah ujung-ujungnya harus telpon rumah dulu menangis, merajuk, curhat sebagai penghantar tidur yang kadang sampai ketiduran. :Bagaimana komunikasi anda di tempat perantauan dengan keluarga anda di kampung halaman? Tiap berapa bulan anda pulang kekampung halaman? Apakah anda sering merasa home sick atau mudah rindu kampung halaman? :Komunikasi amat sangat lancar sekali ya Puji Tuhan sampai sekarang masih teramat sering telponan. Kalau sudah telfonan aku selalu merengek ingin pulang, rindu masakannya, rindu segalanya. Iya, sangat homesick. Mungkin karena aku anak terakhir yang sangat manja, aku sering sekali rindu rumah. Kalau rumahku dekat mungkin aku akan pulang setiap akhir pekan. Tapi berhubung jarak yang teramat jauh dan ongkos pulang yang tidak sedikit membuatku tidak bisa merajuk egois kepada mereka. Liburan semester genap cuma setahun sekali saja yang pasti buat aku untuk pulang kampung karena liburnya kan yang paling lumayan lama. Aku pulang lagi masih menunggu libur semester genap tahun depan. Rasa rinduku akan kubendung hingga saat itu tiba. :Adakah pengalaman sosial budaya di Yogyakarta yang membuat anda stress pada bulan-bulan awal di Yogyakarta? :Pengalaman sosial budaya di Yogyakarta sendiri sih biasa saja ya cuma belum bisa mengatur perasaan melancholic homesick saja. Tidak nyaman karena jarak. Dulu terbiasa dekat setiap hari bertemu kebetulan aku juga tipe anak
Comment [CS158]: Ekstrnl
Comment [CS159]: Gjl & Rea
Comment [CS160]: Gjl & Rea
20. Peneliti Informan
21. Peneliti
Informan
rumahan yang jarang ngeluyur jadi peka sekali sama suasana rumah tapi sekarang amat terasa sekali kalau jauh dari orang tua itu sangat menyiksa dampaknya hingga membuat moodku berantakan, apa-apa jadi malas, tidak ada yang menyemangati terus aku juga jadi gampang menangis. Saat rasa homesick itu mulai datang dan tak terbendung, aku jadi tidak nafsu makan sampai kadang jatuh sakit karena beratnya rasa rinduku dengan rumah kampung halaman terlebih keluargaku, mudah emosi, bad mood menguasai pikiranku. :Pernahkah ada masalah dengan teman-teman baru anda yang merupakan masyarakat pribumi Yogyakarta? :Dari awal kedatanganku di Jogja sama sekali ya tidak ada masalah dengan teman-teman baru disini yang asli Jogja yang penting akunya juga sopan tidak membuat masalah, jaga sikap, jaga perkataan dan menghargai yang lain harus selalu ingatlah kalau di sini itu aku cuma tamu bukan tanah kelahirannya jadi jagan macam-macam di tempat orang. Menurutku baik-baik saja aku anggap welcome-welcome saja kok, sopan, ramah, bersahabat, sederhana, suaranya lembut, paling ya cuma pernah susah membedakan ya masalahnya Jogja kan etnis Jawa terus Jawa kan luas walau sama-sama etnis Jawa tapi ternyata ciri karakternya beda nah kalau Jogja cenderung lebih tenang pemalu sederhana penampilannya, sopan bicaranya dibanding etnis Jawa lainnya tapi itu penilaianku sih. Sekarang aku bisa bedakan kalau dulu belum bisa ya jadi kadang suka menyamaratakan mereka asal dia berbahasa Jawa terus aku anggap dia orang Jogja gitu ternyata salah. Terus kebetulan dapat pacar orang asli Jogja juga dia suka mengajarkan aku tatacara orang Jawa secara umum seperti berbahasa Jawa dan sopan santun Jawa juga. :Jika anda mengalami kendala di daerah rantauan mengenai sosialisasi terhadap masyarakat pribumi Yogyakarta lalu bagaimana anda mengatasinya? :Dulu itu kendalanya karena beda budaya jadi beda juga bahasa daerahnya, sering tiba-tiba ada yang mengajak bicara pakai bahasa Jawa entah sama ibu-ibu penjual makanan, atau bapak-bapak penjaja jajanan, tukang
Comment [CS161]: Gjl & Rea
22. Peneliti
Informan
23. Peneliti Informan
parkir, tukang foto copy, teman, karyawan fakultas dan dosen yang orang Jawa juga terus aku bilang maaf saya bukan orang Jawa tidak paham bahasa Jawa gitu saja sih. Ya untuk awal dulu memang mengganggu tapi lama-lama paham kok wajarlah dibuat santai saja. :Dengan teman kampus anda yang merupakan masyarakat pribumi Yogyakarta apakah mereka membantu anda untuk bersama-sama menghadapi persoalan penyesuaian diri pada saat awal kedatangan anda di tempat rantauan (Yogyakarta) ? :Ya ada, waktu awal dulu sampai di buatkan kamus kecilkecilan bahasa umum saja yang biasa dipakai. Yang membuatkanku kamus itu teman kakak kelas panitia ospek jurusan IPS yang tadi aku ceritakan sama dia aku diajari bahasa Jawa sedikit-sedikit yang mudah-mudah saja sih jadi kalau ada yang mengajak aku bicara bahasa Jawa akunya bisa tahu artinya dikit-dikitlah tidak cuma bengong seperti orang bodoh. Kalau sama teman kelas malah ada jarak. :Ceritakan bagaimana hubungan anda dengan temanteman baru di Yogyakarta? Apakah ada kendala? :Teman baru yang dikenal disini gitu maksudnya? Iya kan diawal wawancara tadi aku sudah bilang langsung dapat teman yang cocok terus akrab sampai akhirnya dia lulus dan jadi lost contact karena dia kan sekarang sudah nikah banyak urusannya jadi hubungan dengan teman baru di Jogja yang berjalan dengan baik tinggal dengan temanteman kos yang orang Jawa itu tadi. Sama teman kos itu akrab kok mereka baik sama aku, nongkrong kemana-mana ya sama mereka, sampai les bahasa Jawa juga ya sama mereka aku awalnya ada niat dari sendiri tanya sama mereka duluan karena gemas kan keseringan diajak bicara bahasa Jawa jadi kupikir aku harus bisa lah biar tidak ada miss lagi pula penasaran kan pingin bisa juga biar paham untungnya mereka baik ya mau gitu ajari padahal akunya juga kan orangnya susah suka lupa-lupa terus tanya lagi kalau lupa ya tanya lagi sampai lama-lama hapal dikit diluar kepala Nah kalau dengan teman baru seperti teman sekelas itu entah yang orang asli Jogja atau sama yang
Comment [CS162]: Ekstrnl
24. Peneliti
Informan
25. Peneliti
statusnya perantauan juga ya lain cerita paling ya teman biasa tidak sampai akrab dekat gitu cuma kami tetep bisa sapa-sapaan tidak yang musuhan. Kalau kendala waktu awal dulu memang ada masalahnya yang namanya memulai sesuatu dari awal apalagi asing kan memang butuh proses, butuh pengenalan, butuh pendekatan, jadi dulu masih yang jaim-jaiman, tapi lama-lama ya ngemix juga kok bisa saling baur tergantung gimana kita, kalau kitanya baik sama orang ya bakal dapat balasan baik juga kok, gitu saja. :Apakah anda mengalami berbagai permasalahan ketidaknyamanan dengan lingkungan rantauan anda? Apakah kini anda dapat menyesuaikan diri dengan di tempat rantauan tersebut? :Ketidaknyamanan itu karena semua-semuanya sangat berbedakan sama yang biasanya, nah menghadapi yang tidak biasanya itu pasti ada rasa kaget, ada perasaan tidak bisa langsung terima kenyataan yang sedang dihadapi, setiap hari mendengar bahasa yang beda, melihat orangorang yang asing, tempatnya asing, rasa masakan yang asing, menghadapi suasana yang asing nah disitu ketidak nyamanannya. Paling parah kita jauh sama orang tua, keluarga, teman-teman dekat yang biasa isi keseharianku di sana kan, suka berkhayal aku bakal lebih bahagia kalau orang-orang terdekatku semuanya ada disini hahaha ngimpi aku. Sekarang sudah reda ya, sudah bisa atasi rindu yang selalu meluap-luap seperti jaman awal merantau dulu, karena proses waktu kebutuhan akhirnya sekarang sudah banyak temannya, sudah tidak tegang kaku-kakuan seperti dulu. Sudah mulai pintar bahasa Jawa berkat teman-teman kampus yang orang Jogja mereka mau mengajarkan aku sampai bisa ya walau tidak semua tapi biar didengar akrab ya sama mereka kan bakal makin seru itu. :Bagaimana sikap dan pandangan anda tentang berbagai masalah kemampuan beradaptasi dalam berusaha mengurangi pengaruh culture shock pada diri anda selama ini?
Comment [CS163]: Hsl Adpts
Informan
:Sikap dan pandangan duh gimana ya, susah sih masalahnya aku anak terakhir yang selalu nempel diketiak orang tua dan kakak-kakakku jadi jauh dikit langsung down susah langsung move on yang mandiri, tegar, dewasa hadapi perbedaan lingkungan atau jarak dengan kampung halaman yang jauh dimata gitu-gitu. Paling ya serahin semua sama Tuhan, jangan lupa mengadu dengan Tuhan minta di tegarkan, minta waktu yang akan memberimu proses, jangan angkuh dengan orang baru disekitar kita, tapi kita juga harus bisa menilai, pintar-pintar membaca karakter orang lain untu berjaga-jaga tidak semua orang asing yang kita temui itu baik walau kita sudah berusaha baik dengan dia, kalau rindu orang tuamu segeralah menelpon mereka menangispun tak masalah itu dapat melegakan hati, lama kelamaan ketidak nyamanan kita pasti kan berkurang. Ada waktu dimana kita untuk mellow sok melancholic tapi tidak baik jika terlalu terhayut berlebihan, harus ada batasan dan selalu berpikir positif saja kita harus maju kedepan dan Puji Tuhan sekarang aku sudah stabil fokus untuk segeralah menyelesaikan studyku
Comment [CS164]: Hsl Adpts
HASIL WAWANCARA CULTURE SHOCK (GEGAR BUDAYA) PADA MAHASISWA PERANTAUAN DI YOGYAKARTA Informan 8 Tanggal wawancara
: 19 November 2015
Waktu
: 11.00 WIB
Lokasi wawancara
: Halaman Parkir Fakultas Ilmu Sosial UNY
A. Identitas Informan
B.
Nama
: ERN
Jenis kelamin
: Perempuan
Umur
: 20 tahun
Agama
: Kristen
Asal daerah
: Malinau, Kalimantan Utara
Suku/ etnis
: Dayak
Jenis bahasa daerah
: Dayak Lundayeh
Universitas
: Universitas Negeri Yogyakarta
Mahasiswa semester
:7
Hasil wawancara dengan mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa yang sedang berkuliah semester lanjut di Perguruan Tinggi Yogyakarta. 1. Peneliti :Berasal dari daerah mana, suku atau etnik, bahasa daerah dan sejak kapan anda merantau ke Yogyakarta? Informan : Asal daerah Malinau, Kalimantan Utara. Suku/ etnisnya Dayak. Jenis bahasa daerahnya Dayak Lundayeh. Akhir 31 Agustus 2012 sepertinya ya aku agak lupa tepatnya. 2. Peneliti :Mengapa anda memilih untuk merantau ke Yogyakarta? Apa alasan dan motivasi anda memilih menjadi seorang mahasiswa perantauan? Apakah anda sebelumnya pernah memiliki pengalaman merantau kedaerah/ propinsi lain? Informan :Sebenarnya tidak ada rencana untuk menjadi seorang perantau ya jadi gini waktu SMA aku juga sudah pikirkan untuk tidak berkuliah karena mengingat dana, kuliah itu butuh dana yang tidak sedikit jadi dulu setelah lulus SMA aku sempat berhenti istirahat tapi untung aku dengar berita kalau pemerintah daerahku Kalimantan Utara gelar
Comment [CS165]: Asl Comment [CS166]: Sk Etnk Comment [CS167]: Bhs Daerh
3. Peneliti
kerjasama dengan UNY itu harus melalui seleksi test jadi ayah sangat senang dan antusias menyuruh aku ikut test itu. Itupun Puji Tuhan aku sangat beruntung aku bisa lulus test seleksi dari banyak sekali peserta yang ikut padahal aku tidak ada persiapan sama sekali untuk menghadapi test itu. Kenapa Jogja juga diluar rencana ya karena itu tadi aku ikut program kerjasama daerah kebetulan tahun itu kerjasamanya dengan UNY yaitu Jogja jadi baiklah yang penting aku bisa kuliah tanpa memberatkan orang tua masalah dana kan? Sekalian mencoba kota Jogja yang mempunyai slogan Istimewa, waktu itu dengar-dengar kata orang kalau disini tempatnya kondusif pas cocok sekali untuk pelajar konsen belajar. Lagipula Jogja juga sudah sejak lama dikenal oleh masyarakat luas sebagai Kota pelajar berarti tidak diragukan lagi ya kualitas pendidikannya disini. Butuh persiapan mental untuk kuliah disini. Tidak ada, semua ini tanpa rencana ya. Aku tidak ada pikiran mau kuliah jauh-jauh dari rumah seperti ini apalagi sampai keluar dari pulau Kalimantan. Benar-benar kejutan besar, tapi kau harus bersyukur pada Tuhan karena di beri kesempatan besar lolos test seleksi diterima dalam program kerjasama daerah seperti ini. Yang memberi motivasi dan membesarkan hati itu ayah ya ayah selalu bilang selain merantau demi pendidikan berkualitas aku bisa sembari belajar hidup mandiri, bisa lebih berkembang, bertambah pula wawasanku tentang dunia luar. Ayah juga bilang agar aku menguatkan mental karena kualitas pendidikan di pulau Jawa dinilai lebih baik dibanding kualitas pendidikan di luar pulau Jawa, jadi aku akan terpacu agar lebih giat lagi dalam berkuliah mengejar prestasi agar sama setidaknya sejajarlah dengan teman yang dari Jawa. Jadi kupikir positif saja ya selain demi kuliah cari pengalaman di dunia luar yang jauh dari keluarga gini aku juga dapat manfaat baik lain yang berguna untuk diriku sebagai bekal. Belum pernah ada pengalaman merantau ini benar-benar first, amat sangat perdana bagi aku. : Siapakah yang mendorong anda untuk melakukan
Comment [CS168]: Alsn
Comment [CS169]: Intrnl
Informan
4. Peneliti
Informan
5. Peneliti
Informan
merantau? Lalu apakah anda sudah memperkirakan bagaimana tempat yang akan anda rantau tersebut? :Keinginan sendiri ya coba-coba keberuntungan ikut daftar test seleksi program daerah Kalimantan yang bekerja sama dengan UNY dengan harapan besar dan amat sangat didukung orang tua, mereka sangat berharap agar aku bisa menjadi seorang yang sukses, tidak lupa tetap beribadah disini. Apa ya waktu itu perasaanku campur aduk antara senang lulus test seleksi dengan astaga aku harus merantau jauh dari kampung halaman paling aku hanya memperkirakan kalau Jogja itu penuh dengan etnis Jawa, budaya, bahasa, adat, semua-semuanya serba Jawa gitu. :Sebelum anda merantau apakah anda sudah pernah datang mengunjungi Yogyakarta atau memiliki bayangan bagaimana lingkungan baru anda? Lalu bagaimanakah perasaan anda saat sudah berada di tempat perantauan? Merasa kagetkah? :Belum, aku memang sama sekali belum pernah ke Yogyakarta waktu itu tahunya dari cerita saudara saja sama lihat di Tv kalau Yogyakarta itu kota besar yang terkenal dengan banyak julukan ada julukan kota budaya, kota wisata, kota pelajar, kota ramai akan pendatang dengan tujuan mereka masing-masing yang membawa mereka kesini dan benar pas sudah disini berbaur dengan orang-orangnya di Yogyakarta iya disini ternyata banyak sekali mahasiswa perantau dari berbagai daerah kagetnya itu waktu lihat perbedaan karakteristik masing-masing daerah dari mereka. Perasaanku benar-benar campur aduk antara senang karena beruntung aku bisa lulus test seleksi dengan perasaan mau tidak mau ya harus terima kenyataan aku harus merantau jauh dari kampung halaman begini, repot. :Jalur penerimaan mahasiswa apa yang anda tempuh untuk akhirnya anda bisa masuk dan di terima di Perguruan Tinggi Jogja? :Jalur kerja sama daerah Kalimantan Utara Kabupaten Malinau dengan UNY angkatan 2012, disini juga ada ikatan kerjasama mahasiswa Malinau. Teman-teman beri info tentang program kerja sama daerah Kabupaten
6. Peneliti Informan
7. Peneliti
Informan
Malinau, kakak juga sangat mendorong agar aku ikuti. Tapi dari diri sendiri aku tidak mau sebenarnya, jadi ikut tes ujian program kerja sama itu terpaksa, tidak ada persiapan belajar yang sungguh-sungguh, karena memang dari awal tidak ada niat untuk merantau terlalu jauh sampai harus ke Jawa yang jelas jauh dari Kalimantan belum lagi harus jauh dari kakak dari orang tua teman juga sama sekali tidak ada keluarga tapi Puji Tuhan kasih rejeki aku malah lolos. :Dimana dan dengan siapa anda tinggal di tempat perantauan kota Yogyakarta ini? Berikan alasannya? :Waktu awal kedatangan itu kos tapi karena ada keterlambatan turun dana akhirnya aku pindah saja sudah ke asrama biar aman. Di Jogja aku sendirian tidak ada sanak saudara disini tidak ada yang bisa kumintai tolong, jadi apa boleh buat benar-benar hidup merantau sebatang kara di Jogja, tak mengapalah karena suatu saat nanti semua itu akan teratasi. :Bahasa apa yang biasa di pakai dalam keluarga? Lalu bahasa apa yang anda gunakan untuk berkomunikasi dengan orang-orang baru di Yogyakarta? :Kalau dirumah bahasa yang di pakai bahasa dayak lundayeh, kalau dengan teman di kampung yang dayaknya sama sepertiku ya dayak lundayeh juga masalahnya dayak itu ada banyak ya beda-beda. Kalau bahasa disini aku pakai bahasa umum yang jelas-jelas semua orang Indonesia tahu ya bahasa persatuan bahasa Indonesia, tidak mungkin kan jika aku tetap berbahasa dayak disini karena tidak akan ada seorangpun yang tahu arti perkataanku. Iya jadi disini 24jam penuh harus berbahasa Indonesia terus itupun masih saja di ejek yang lain yang asli tanah Jawa katanya aneh dan terbalik entah apa yang terbalik. Jadi saat disini bahasa dayak lundayeh aku gunakan saat-saat tertentu saja ya kalau aku sedang berkomunikasi dengan orang tua, saudara atau teman saja barulah bahasa daerahku yang kugunakan sembari mengingat masa-masa masih di sana bahasa sehari-hari yang selalu dipakai dikampung dulu kan pastinya rindu berat.
Comment [CS170]: Intrnl
Comment [CS171]: Bhs Daerh
Comment [CS172]: Ekstrnl
8. Peneliti
Informan
9. Peneliti Informan
10. Peneliti
Informan
:Bagaimana pergaulan anda dengan teman-teman baru di lingkungan kampus anda, pada saat anda memasuki semester awal perkuliahan? :Saat pertama perkuliahanku aku tidak segera mempunyai banyak teman mungkin karena masalah latarbelakang yang berbeda jadi butuh waktu untuk terbiasa menerima perbedaan yang ada di sekitar, lagipula aku tipe orang yang tidak banyak bicara, bukan cuek kalau ada yang menyapa, mengajak bicara atau berkenalan baik-baik aku pasti akan merespon dengan baik pula, dulu aku memang menjaga jarak ya karena kurang percaya diri. Jadi di kampus dari semester 1 aku lebih nyaman berinteraksi sama yang sedaerah saja ya komunikasinya lebih gampang, kalau sama yang Jawa malas karena sering tidak nyambung hah apa hah apa terus kan bosan kalau terusterusan tidak nyambung seperti itu. :Bagaimana pergaulan anda dengan teman-teman baru di lingkungan tempat tinggal (kos) anda? :Dari jaman masih pertama di Jogja, pertama kalinya aku merasakan yang namanya hidup kos itu hubunganku dengan tetangga kamar kos itu malah bisa dibilang lebih intensif, lebih dekat ya mungkin karena kebetulan dapat para tetangga kamar yang baik jadi interaksi diantara penghuni kos lebih terbuka tidak hanya sekedar basa-basi, sapa-sapa saja, mereka yang duluan mengajakku untuk ngobrol, berkenalan, bercanda-canda padahal ada yang asli Jawa juga tapi mereka paham bahasa Indonesiaku tidak menganggapku aneh seperti teman di kelas, mereka baik-baik ya sama aku jadi aku juga kasih respon baik pula. Meski sekarang aku tinggal di asrama tapi aku sering singgah ke kos ya menemui mereka masih sering nongkrong bareng juga, seru-seru saja. :Apakah anda menemukan kendala mengenai penyesuaian belajar yang anda temukan selama berada di lingkungan baru (kota rantauan Yogyakarta)? :Itu jelas sangat-sangat kaget, kan memang ya beda pendidikannya antara Jawa sama Kalimantan. Contohnya begini ya kita kan sering ada makalah lalu presentasi di depan kelas begitu kalau lihat teman lain yang dari Jawa
Comment [CS173]: Ekstrnl
11. Peneliti
Informan
mereka itu mudah sekali ya menjawab pertanyaan yang diajukan dan lancar ya menjelaskan hasil makalahnya nah kita ini yang dari Kalimantan kalau di depan kelas untuk presentasi masih banyak tersendat apalah itu tidak lancar seperti teman yang lain yang dari tanah Jawa. Jadi kita akui memang yang tanah Jawa atau Jogja itu lebih pintar, lebih berani dalam presentasi mereka cakap berkata dari pada kami ini karena itu kami mudah minder. Jadi jurus utamanya ya setiap akan menerima materi aku selalu berusaha membaca ulang yang akan di jelaskan oleh dosen berusaha memahami lebih dulu tapi kalau masalah lisan sampai sekarang aku masih belum bisa percaya diri kalau sudah di depan kelas itu minder lupa yang mau di sampaikan tadi apa. Sampai ada teman yang mengucilkan aku karena aku tidak pandai bicara saat presentasi, adalah teman dari Jawa tapi bukan dari Jogja kalau teman yang Jogja malah ramah. :Apakah terdapat kesenjangan kebudayaan yang anda rasakan selama berada di lingkungan baru (kota rantauan Yogyakarta)? :Kesenjangannya terjadi pada bahasa ya disini yang asli tanah Jawa apa yang etnis Jawa maksudku mereka gencar sekali berbahasa Jawa bahkan denganku yang jela-jelas bukan orang Jawa mereka mengajakku berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa jadi aku hanya bisa mematung dan pasang wajah bodoh karena tidak tahu maksud pembicaraan mereka. Sekali aku bicara mereka malah tertawa karena bahasaku yang kata mereka aneh. Jadi ngobrol di kelas itu teman-teman yang etnis Jawa 99% berbahasa Jawa yang selalu mereka gunakan, paling kalau pas presentasi saja barulah mereka berbahasa Indonesia. Bahkan ada sedikit konflik itu malah sama dosen sekitar semester dua kalau tidak salah ya setiap beliau menjelaskan materi sering sekali berbahasa Jawa akhirnya aku coba beranikan diri untuk menegur karena dalam kelas itu isinya tidak hanya etnis Jawa saja tapi ada kami beberapa orang mahasiswa yang dari etnis berbeda aku yang dari Kalimantan, atau yang lainlah luar pulau Jawa
Comment [CS174]: Ekstrnl
12. Peneliti
Informan
13. Peneliti
Informan
pun kan ya ada di dalam kelas itu beruntung beliau mau mendengar kedepannya ada perubahan. :Bagaimana cara anda memahami adat istiadat budaya orang-orang pribumi Yogyakarta saat bulan-bulan pertama tinggal di Yogyakarta? Apakah anda merasakan adanya perbedaan yang mencolok dengan daerah asal anda? :Dulu waktu pertama-pertama disini aku banyak mengamati bagaimana keadaan lingkungan, bagaimana memahami ekspresi wajah maupun bahasa teman di Yogyakarta karena antara ekspresi wajah dengan perkataan bisa saja salah dan menimbulkan salah pengertian. Dulu juga agak susah ya karena harus menyesuaikan nada bicara kan kalau di Kalimantan kami bisa dibilang nadanya lebih kasar kalau dibandingkan dengan Jogja yang bicaranya terlalu lembut sampaisampai kalau sedang mengobrol dengan teman yang asli Jogja sering sekali aku seperti tuli saking tidak terbiasanya mendengar lawan bicara yang bicaranya pelan seperti mereka. Menyesuaikannya perlahan karena yang namanya kebiasaan itu tidak bisa diubah dalam waktu sekejap. Yang pasti karena disini aku adalah tamu jadi aku yang harus mengikuti aturan Yogyakarta., menyesuaikan diri dalam kondisi yang berbeda dengan segala kebiasaan dari daerah asal. :Saat berada dibulan-bulan pertama perantauan apakah anda sering membandingkan lingkungan baru di Yogyakarta tempat rantauan dengan daerah asal dari tempat anda sendiri? :Yang beda kebudayaan yaa. Kalau disini karena terasa sekali majemuknya jadi terasa sekali perbedaan karakteristiknya. Kalau di Kalimantan kan budayanya mayoritas sama semua jadi interaksinya setiap hari hanya dengan orang-orang yang sama, para pendatang dari Jawa di Kalimantan saja mereka biasanya mengumpul tersendiri disuatu kampung, kalau disini semua berbaur jadi satu dengan tujuan yang sama yaitu sama-sama kuliah. Kalau budaya asli tuan rumah memang terasa sekali, disini kan yaa memang benar-benar Jawa jadi yang pribumi fasih menggunakan bahasa Jawa dengan variasi yang berbeda-
Comment [CS175]: Gjl & Rea
Comment [CS176]: Gjl & Rea
beda pula, seperti bahasa Jawa yang biasa dipakai sama teman-teman saat bicara ke temen itu beda lagi sama yang dipakai teman-teman kalau sedang bicara dengan orangorang yang lebih tua ternyata ada lagi tingkatannya juga bahasa Jawa itu tergantung dengan siapa lawan bicaranya, terus orang Jawa pribumi Yogyakarta itu orangnya juga lebih kalem-kalem, sopan, nada bicaranya lembut dari pada Jawa yang lainnya dan orang-orangnya lebih bersahabat.Jogja merupakan tempat dengan kebudayaan Jawa yang sangat kental namun juga masih didominasi dengan kebudayaan mahasiswa perantau dari berbagai daerah yang datang merantau di Jogja dengan tujuan berkuliah disini sehingga kemajemukan karakter diantara para mahasiswa sangat terasa. Tidak hanya aku mahasiswa perantau yang ada dikelasku, bahkan dari sabang sampai merauke semua hampir ada di universitasku. Hal inilah yang membuatku ragu bagaimana untuk memulai perkenalan dengan mereka, untuk awal aku hanya bisa bersikap tenang, berusaha untuk sopan, menekan cara dan nada bicaraku untuk memberikan penilaian baik terhadap diri diantara orang-orang yang ada disekitarku sembari memperhatikan dan mempelajari bagaimana karakter teman-teman baru satu kelas perkuliahanku. Yogyakarta itu kota besar dengan fasilitas sarana-prasarana kota yang bervariasi macamnya dan memadai terus tempatnya ramai. Toko buku, perpustakan, tempat ibadah semuanya komplit tersedia kalau mau kemana-mana letak-letaknya tidak jauh-jauh gampang dijangkau disediakan fasilitas transportasi kota yang sangat memadai ada bus kota transJogja yang jelas memudahkan orang-orang yang tidak memiliki kendaraan pribadi, atau ada sewa motor, ada taxi 24 jam nonstop juga ada taxi motor. Pokoknya di Yogyakarta memang kota yang lebih maju, ide-idenya kreatif. Jaringan internet/warnet dimana-mana. Banyak tempat-tempat bersejarah juga disini jadi bisa lihat langsung seperti Istana kepresidenan RI yang sempat berada Yogyakarta, monumen Jogja kembali dan monumen serangan 11 maret Benteng Vredeburg juga. Lalu keraton Yogyakarta juga sering
Comment [CS177]: Hsl Adpts
14. Peneliti
Informan
15. Peneliti Informan
16. Peneliti
Informan
melangsungkan kegiatan tradisi yang rutin diselenggarakan setiap tahunnya yang bisa disaksikan oleh orang-orang umum seperti misalnya karnafal, :Sesampainya di tempat rantauan apakah anda dapat segera mengkondisikan diri anda dengan lingkungan baru anda? Apakah anda merasa nyaman dengan lingkungan rantauan anda? :Paling yaa intonasi atau nada bicara yaa. Kalau aku yang terbiasa di Kalimantan nadanya tinggi setelah disini karena banyak teguran juga dari teman-teman jadi harus sedikit menurunkan nada bicara agar terdengar lebih lembut tidak terkesan kasar dan menimbulkan salah paham jika bicara dengan teman-teman disini. Penyesuaian diri itu butuh proses namun juga harus dijalani, yang pasti aku sadar sebagai tamu maka aku harus menyesuaikan diri dan menghargai aturan Jogja sebagai tuan rumah, sebisa mungkin di buat santai saja dibuat nyaman biar betah. Karena kan disini memang tujuannya untuk kuliah jadi ya bersusah-susah dahulu selama kuliah yang penting tujuan utama tercapai dengan baik, lulus tepat waktu sesuai harapan ayah. :Bagaimana kondisi kesehatan anda pada bulan-bulan awal di tempat rantauan? :Yogyakarta itu panas kering ya anginnya jadi awal dulu sering sekali ganti kulit setiap pergantian musim, kulit jadi kasar bersisik disini jadinya harus rajin-rajin pakai pelembab kulit agar tidak perih karena kasar kulitnya. Tapi lama kelamaan juga sudah mulai berkurang dan nyaris berhenti, tidak sering ganti kulit seekstrim dulu. Kalau yang lain ya masalah masakan sempat diare gara-gara tidak cocok sama rasa masakan disini. :Mengenai pola makan, menu dan rasa masakan khas Yogyakarta apakah anda menemukan kendala di tempat rantauan? :Parah dulu malah sempat diare ya gara-gara rasa masakan yang berbeda lidah dan perut ternyata tidak bisa menerima. Menu masakan benar-benar butuh proses untuk menyesuaikan karena disini khasnya manis buruknya lagi disini warung-warung makan rasanya sama saja semuanya
Comment [CS178]: Ekstrnl
Comment [CS179]: Ekstrnl
Comment [CS180]: Gjl & Rea
17. Peneliti
Informan
18. Peneliti
dominan manis sepertinya mereka memasak tanpa cabai namun membubuhkan gula ke setiap masakannya yaa meski tidak semua warung seperti itu, untuk tempat-tempat makan tertentu dengan standar harga diatas warung-warung makan biasa menyediakan menu masakan dan rasa yang tidak biasa, hanya saja niatku merantau ke Jogja bukan untuk hidup boros alhasil untuk awal di Jogja dulu sempat repot pilih-pilih makanan sampai akhirnya kalau makan larinya ke warung makan Padang karena hampir sama rasa khasnya seperti Kalimantan pedas asin, sampai sempat ya beli mie satu kardus dengan rice cooker jadi makan mie dengan nasi saja di dominasi dengan makan roti kan kalau roti rasanya dimana-mana sama saja lalu minumnya susu, kadang suka menahan makan karena malas terus lama-lama menguruslah badanku disebabkan pola makan tidak sehat dan sering terlambat makan. Lalu sekarang puji Tuhan sudah bisa walaupun menyesuaikannya sendiri butuh waktu lama. :Mengenai pola tidur anda pada bulan-bulan awal di Yogyakarta, apakah anda menemukan kendala di tempat perantauan? :Karena kuliah itu tugasnya kadang sangat keterlaluan sekali banyaknya dan tingkat kesusahannya melebihi waktu masih di SMA sedangkan aku juga harus tetap belajar mempelajari materinya yang susah, jadi yaa mau tidak mau harus pintar-pintar membagi waktu antara belajar dengan menyicil mengerjakan tugas dan mengharuskan untuk mengulur jam tidur dan alhasil terbiasa tidur larut sampai sekarang. Padahal waktu di SMA dulu aku tidak sampai tidur larut-larut begini ya mungkin karena materinya yang lebih mendalam lalu ilmunya lebih tinggi lagi membuatku harus aktif tidak bisa bermalas-malasan mesti banyak mengulang membaca materi juga kan agar tidak terlalu tertinggal sama yang dari tanah Jawa lainnya. :Bagaimana komunikasi anda di tempat perantauan dengan keluarga anda di kampung halaman? Tiap berapa bulan anda pulang kekampung halaman? Apakah anda sering merasa home sick atau mudah rindu kampung halaman?
Comment [CS181]: Ekstrnl
Comment [CS182]: Gjl & Rea
Informan
19. Peneliti
:Sama orang tua dari awal merantau sampai sekarang tetap lancar komunikasinya saling tanya dan memberi kabar, mereka pun tidak pernah absen selalu menyanyakan tentang bagaimana jalannya kuliahku disini, mereka selalu menunggu kabar baik tentang kemajuan IPK dan Puji Tuhan mereka selalu puas atas prestasi yang sudah aku usahakan karena mereka tahu batas kemampuanku, mereka hanya berharap aku bisa membanggakan mereka dengan segera wisuda sesuai target. Dari awal dulu hanya menunggu setiap libur semester genap yang paling lumayan lama liburnya biar qualitytime sama keluarga juga semakin terasa, tidak pemborosan biaya perjalanan pergi pulang kampung halaman yang tidak sedikit, perjalanannya juga jauh malas dijalannya, aku pulangnya paling pas itu saja sih sampai sekarang. Kalau homesick itu amat pasti, bukannya manja atau bagaimana tapi jarak Jogja-Kalimantan itu jauh dan itu nyata, terasa sekali saat tiba di Jogja kalau disini tempat asing, bukan tanah kelahiranku semuanya berbeda, disini aku sendiri tak ada siapapun yang kukenal, tak ada keluarga disisi, tak ada sahabat satupun untuk berbagi, wah rasanya sebatang kara itu amazing kesepiannya. Belum lagi lihat kamar kos yang tidak senyaman rumah, bahasa disini berbeda, karena di tanah Jawa jadi aku harus berbahasa Indonesia terus setiap hari 24 jam full jika berkomunikasi dengan orang lain yang jelas berbeda budaya gini tapi lama-lama juga capek ya rindu bahasa daerah yang lebih mudah di ucapkan bukan bahasa Indonesia tidak mudah di ucapkan tapi berbahasa Indonesia saja mereka masih bilang tidak mereka mengerti kan kesal juga rasanya, rasa makanannya juga aku tidak suka, disini aku harus memulai semua dari awal pokoknya semuanya benar-benar paket komplit special pengalaman merantau yang wow keren, dulu waktu awal sering sekali terbesit keinginan untuk sudahlah pulang saja itu sampai satu bulan lebih lho jadi badan aku disini tapi pikiranku disana terus tapi aku ingat ambisi ayahku karena ayahku yang sangat bersemangat aku ikut dan lulus test program kerjasama daerah ini. :Adakah pengalaman sosial budaya di Yogyakarta yang
Comment [CS183]: Gjl & Rea
Informan
20. Peneliti Informan
membuat anda stress pada bulan-bulan awal di Yogyakarta? :Yang paling buat aku stress itu rasa masakannya, sampai jadi tertekan sendiri. Konsumsi mie yang tidak baik untuk pencernaan, roti cemilan yang tidak mengenyangkan, nasi Padang yang sangat berminyak, berlemak dan tinggi kolesterol, semua itu selalu kupikir aku takut gemuk yang tidak sehat karena pola makan akhirnya selama 2 semester membuatku menderita kehilangan selera makan, malas, bosan. Sehingga timbul penyakit perut yang kudapat disini ya itu maag. Puji Tuhan sekarang sudah bisa walaupun menyesuaikannya sendiri butuh waktu lama dan tidak mudah untukku :Pernahkah ada masalah dengan teman-teman baru anda yang merupakan masyarakat pribumi Yogyakarta? :Masalah dengan teman-teman baru itu.. aku sempet merasakan masa bingung mau bagaimana memulai perkenalan dengan orang baru, takut salah, males ribet jadi waktu awal dulu aku masih belum punya teman baru atau malah cuma sebatas tahu siapa namanya saja kalau sampai benar-benar mengenal dan banyak mengobrol itu belum, apalagi tanggapannya teman-teman yang di kampus itu memandang aku ini unik atau malah aneh mereka komentar kalau cara bicaraku terbaliklah, suaraku keraslah, nadanya kasarlah, mereka juga terlalu sering berbahasa etnis Jawa mereka juga kan, jadi itu membuat aku jadi ckckck.. wah kalau begini kan aku mau bagaimana lho wajarlah kalau malas jadinya mau membaur itu. Nah anehnya itu tidak sama dengan yang di lingkungan kos, kalau di kos walau kami berbeda-beda latar budaya tapi kami lebih seru bisa membaur kalau yang di kelas jaga jarak malahan mungkin orang akan berpikir jika aku ini merupakan orang yang kurang terbuka karena terkesan pendiam padahal sebenarnya aku tidak seperti itu aku hanya menunggu orang lain yang mengawali dulu ke aku barulah aku menanggapi. Jogja itu kan memang tinggi tingkat karakternya apalagi bagi mahasiswa sepertiku yang selalu berkutat dengan perbedaan budaya namun berada ditengah-tengah mereka tanpa disadari membuatku
Comment [CS184]: Gjl & Rea
Comment [CS185]: Intrnl
21. Peneliti
Informan
22. Peneliti
mengamati bagaimana-bagaimana orang-orang yang ada disekitarku sehingga lama-kelamaan aku sedikit banyak mulai belajar memahami karakter masing-masing orang disekitar, ya siapa tahu suatu saat nanti ketika aku sudah berani membaur dengan mereka aku bisa memperkirakan harus bagaimana menentukan sikap bergaul. :Jika anda mengalami kendala di daerah rantauan mengenai sosialisasi terhadap masyarakat pribumi Yogyakarta lalu bagaimana anda mengatasinya? :Kalau yang di kelas sejak awal aku mau semua baik-baik saja, semua harus kuawali dengan berhati-hati dalam bersikap dalam berkata ya walau itu dalam arti menurutku sih kan entah orang laian bagaimana menilai.. dan akhirnya itu membuahkan hasil walaupun waktu awal dulu aku memang pendiam, jarang komunikasi dengan orang sekitar, apa-apa aku urus sendiri, tidak bergantung dengan teman tapi kini aku mulai punya banyak teman ya walau hanya sekedar teman bukan yang akrab seperti itu, kalau yang intens ya tetap apa-apa diskusi sama yang sama-sama Kalimantan sama mereka memang ku akui lebih nyaman tapi setidaknya kalau sama yang etnik lain apa lagi sama yang etnik Jawa aku bisa membawa diri dan sebisa mungkin tidak ada masalah. Yang buat aku sangat jadi pelajaran itu ya.. Yogyakarta kan sangat beragam dari penjuru nusantara sabang sampai merauke nyaris semuanya ada disini. Terkadang mereka yang pendatang itu tidak bisa menyaring atau sadar diri kalau disini itu bukan daerahnya. Ada banyak teman perantauan yang buat aku heran dengan karakternya yang keras, seenaknya, mau menangnya sendiri, tidak peka lingkungan sekitar.. yaa mungkin karena dia dari daerah yang memang keras sehingga membentuknya dengan karakter yang seperti itu cuma yaa kan dia harusnya mawas diri kalau apa yang dia lakukan itu banyak menyinggung teman-teman disekitarnya yang berinteraksi dengannya itu sudah jadi contoh ya agar aku tidak berlaku sama seperti dia. Karena aku saja yang sama-sama hanya perantau yang notabene pendatang merasa terganggu apa lagi yang lainnya? :Dengan teman kampus anda yang merupakan masyarakat
Comment [CS186]: Hsl Adpts
Informan
23. Peneliti Informan
24. Peneliti
pribumi Yogyakarta apakah mereka membantu anda untuk bersama-sama menghadapi persoalan penyesuaian diri pada saat awal kedatangan anda di tempat rantauan (Yogyakarta) ? :Iya lumayanlah sedikit banyak mereka membantu, kan kesal ya kalau keseringan di ajak bicara pakai bahasa Jawa dan aku tidak tahu artinya. Pertamanya iseng hanya dari memperhatikan, lalu belajar menirukan kata perkata yang mudah ditirukan saja ya, gara-gara awalnya hanya iseng berbicara berbahasa Jawa akhirnya sekarang jadi bisa berbahasa Jawa walaupun hanya bisa-bisaan saja yang gampang-gampang saja. Lama-lama karena semakin penasaran akhirnya kuberanikan diri tanya langsung sama teman-teman tapi sengaja aku minta bantuan sama yang lokal asli Jogja, kan kalau sama yang asli Jogja mereka lebih ramah tidak main-main apa maksudku itu mereka benar-benar baiklah mau mengajarkan sedikit-sedikit kepada aku, nada bicara juga di tuntun jadi lebih lembut, lebih ramah, tahu tatakrama dari pada awal datang di Jogja. Semua itu aku dapat karena merantau. :Ceritakan bagaimana hubungan anda dengan temanteman baru di Yogyakarta? Apakah ada kendala? :Sekarang sama teman kos jadi lebih seru sering nongkrong bareng atau jalan kemana bareng walau kami berbeda latar belakang, universitas dan jurusan tapi mereka menghormatiku kami saling menghargai. Dengan yang di kampus setidaknya tidak terlalu ada jarak, kalau dulu kan nampak sekali jarak yang tercipta antara kami sekarang jadi samar ya walau masih ada jarak tapi sudah di minimalisir begitu. Kendala yang mainstream Puji Tuhan tidak ada, yang penting kita tidak terlalu ambil pusing saja sih sebenarnya kuncinya itu cuma satu di bawa enjoy-happy. Iya dulu sempat galau pinginnya balik kampung terus sekarang sudah slow seperti air mengalir. :Apakah anda mengalami berbagai permasalahan ketidaknyamanan dengan lingkungan rantauan anda? Apakah kini anda dapat menyesuaikan diri dengan di tempat rantauan tersebut?
Comment [CS187]: Hsl Adpts
Comment [CS188]: Hsl Adpts
Informan
25. Peneliti
Informan
:Berbagai permasalahan ketidaknyamanan dengan lingkungan rantauan itu kalau pas awal dulu jelas ada complicated banget malah seperti tempatnya asing, orangorangnya asing, karakternya beda, bahasanya beda, cara bicaranya beda, masakannya beda, iklimnya beda, cara pergaulannya beda dulu sempat galau pinginnya balik kampung terus sekarang sudah slow seperti air mengalir. :Bagaimana sikap dan pandangan anda tentang berbagai masalah kemampuan beradaptasi dalam berusaha mengurangi pengaruh culture shock pada diri anda selama ini? :Apa ya paling menurutku yang penting kita tidak terlalu ambil pusing saja sih sebenarnya kuncinya itu cuma satu di bawa enjoy-happy, slow seperti air mengalir. Santai saja tidak usah terlalu pesimis, menyerah dengan kenyataan, larut dalam kesepian karena jarak yang terlalu jauh dengan kampung halaman. Apa lagi ya yang penting banyak-banyak curhat saja sama orang tua dan Tuhan Yesus, rutin ibadah ke gereja jika sedang parah galaugalaunya banyak pikiran itu sangat-sangat bisa membantu agar kita bisa lebih lega.
Comment [CS189]: Gjl &Rea
Lampiran 7
Tabel Koding 1. Asal daerah, suku, bahasa daerah mahasiswa perantauan dan alasan menjadi mahasiswa perantauan asal luar Jawa di Yogyakarta Kode Asl
Keterangan Asal daerah
Sk etnk
Suku/ Etnik
Bhs daerh Alsn
Bahasa daerah Alasan Merantau
Penjelasan Dari mana asal daerah mahasiswa perantau di Yogyakarta Suku/ etnik sebagai latar belakang dari mahasiswa perantau di Yogyakarta Bahasa daerah sebagai latar belakang dari mahasiswa perantau di Yogyakarta Alasan menjadi mahasiswa perantauan di Yogyakarta
2. Penyebab dan bentuk culture shock berupa gejala hingga reaksi yang terjadi pada mahasiswa perantauan asal luar Jawa di Yogyakarta Kode Intrnl
Keterangan Internal
Ekstrnl
Eksternal
Gjl & Rea
Gejala dan Reaksi
Penjelasan Penyebab internal yang melatarbelakangi terjadinya culture shock pada mahasiswa perantauan asal luar Jawa di Yogyakarta Penyebab eksternal yang melatarbelakangi terjadinya culture shock pada mahasiswa perantauan asal luar Jawa di Yogyakarta Gejala hingga reaksi yang terjadi pada mahasiswa perantauan asal luar Jawa di Yogyakarta
3. Dampak dari culture shock pada mahasiswa perantauan asal luar Jawa di Yogyakarta Kode Hsl adpt
Keterangan Hasil adaptasi
Penjelasan Hasil adaptasi sebagai dampak dari culture shock pada mahasiswa perantauan asal luar Jawa di Yogyakarta
Jumlah Mahasiswa Tahun Akademik 2015 NO. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
PROVINSI DKI JAWA BARAT JAWA TENGAH DIY JAWA TIMUR NAD SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT RIAU JAMBI SUMATERA SELATAN LAMPUNG KALIMANTAN BARAT KALIMANTAN TENGAH KALIMANTAN SELATAN KALIMANTAN TIMURKALIMANTAN UTARA SULAWESI UTARA SULAWESI TENGAH SULAWESI SELATAN SULAWESI TENGGARA SULAWESI BARAT MALUKU BALI NTB NTT PAPUA BENGKULU BANTEN MALUKU UTARA BANGKABELITUNG GORONTALO PAPUA BARAT KEPULUAN RIAU LUAR NEGERI JUMLAH KUMULATIF
JUMLAH 9.141 14.886 82.331 99.610 9.415 2.889 17.832 3.882 14.221 4.114 7.993 7.116 5.821 3.882 3.225
PERSENTASE (%) 2,5 4,1 22,4 27,1 2,6 0,8 4,9 1,1 3,9 1,1 2,2 1,9 1,6 1,1 0,9
8.221 2.110 2.577 7.322 2.241 6.541 1.447 2.792 4.472 13.822 7.889 3.221 1.221 1.227 2.551 1.261 4.221 3.354 4.882 394.117
2,2 0,6 0,6 2,0 0,6 1,7 0,4 0,8 1,2 3,8 2,1 0,9 0,3 0,3 0,7 0,3 1,1 0,8 1,3 100,0