Bab 5
Kesimpulan
Persidangan Rios Montt merupakan pars pro toto dari dinamika perlawanan terhadap impunitas di Guatemala. Kasus ini memilliki potensi yang besar untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat Guatemala terhadap proses hukum mengingat kapasitasnya sebagai high profile case. Kepercayaan masyarakat terhadap hukum sangat berbanding lurus dengan kemajuan demokrasi dari suatu negara mengingat hukum merupakan pilar kunci dari suatu negara demokrasi (Pateman, 1970). Sebaliknya, apabila realitas penegakan hukum sangat fleksibel dan dapat dimainkan secara politis, maka demokrasi belum menjadi the only game in town seperti yang diungkapkan oleh Linz dan Stepan (Linz & Stepan, 1996) dan dengan demikian akan menghambat proses konsolidasi demokrasi. Oleh sebab itu, penulis merasa bahwa kasus Rios Montt memiliki relevansi untuk mengubah perspektif pesimisme masyarakat terhadap perlawanan terhadap impunitas di Guatemala yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Munculnya dorongan civil society dalam upaya penegakan keadilan melalui jalur hukum patut diapresiasi sebagai kemajuan dalam usaha demokratisasi. Para keluarga korban perang yang didominasi oleh suku Maya Ixil dibantu dengan NGO lokal berani menempuh jalur hukum dan melaporkan Rios Montt atas tuduhan kejahatan perang ke meja pengadilan. Gerakan ini disambut oleh munculnya tokoh reforman penegak hukum yang menjabat sebagai Jaksa Agung bernama Claudia Paz y Paz yang terus konsisten melakukan penyelidikan terhadap kasus ini. Akhirnya, proses peradilan terhadap Rios Montt dapat dilakukan dan dinamika persidangan begitu menyita perhatian banyak pihak, baik secara emosional maupun perdebatan hukum mengingat di dalam persidangan terdapat kisah-kisah mengerikan yang terjadi
43
semasa kepemimpinan Montt. Tidak berhenti pada saksi mata, proses persidangan juga melengkapi kesaksian-kesaksian korban dengan saksi ahli dari berbagai macam bidang yang tentunya memperkuat dugaan keterlibatan Montt di dalamnya. Vonis hukum 80 tahun penjara diputuskan oleh pengadilan domestik Guatemala kepada Rios Montt karena terbukti melakukan kejahatan kemanusiaan atas suku Maya Ixil di Quiche pada masa kepemimpinannya. Montt menolak putusan tersebut dan mengajukan banding ke Mahkamah Konstitusi karena merasa bahwa dirinya telah mendapatkan amnesti sehingga dirinya tidak bisa diadili. Tekanan terhadap Mahkamah Konstitusi muncul secara bersamaan dari berbagai elemen konservatif pendukung Rios Montt yang terdiri dari kalangan elit militer, politik, dan bisnis. Pernyataan Presiden Molina yang menolak putusan vonis terhadap Montt semakin menggambarkan bahwa perlawanan terhadap impunitas masih disertai oleh resistensi dari elit pemegang kekuasaan. Hal ini diperparah dengan situasi keamanan ibukota yang tidak stabil dimana pada masa tersebut banyak wartawan yang mendapat ancaman dan juga menghilang secara misterius (Front Line Defenders, 2013). Secara mengejutkan,
Mahkamah
Konstitusi
mengabulkan
permohonan
Montt
dan
memutuskan untuk membatalkan putusan tersebut dan mengulang kembali proses persidangan. Putusan Mahkamah Konstitusi ini semakin menambahkan daftar panjang perilaku impunitas yang menjadi penghambat demokrasi dan dengan demikian Guatemala kembali mengalami kemunduran dalam upaya penegakan HAM. Resistensi elit militer dan politik terhadap peradilan Montt merupakan gestur-gestur politik yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi (Gunther, Puhle, & Diamandouros, 1995). Menurut Huntington, resistensi ini disebabkan oleh adanya karakteristik transisi demokrasi Guatemala yang berasal dari “kerelaan” militer yang memberikan kekuasaan politik kepada pemerintahan sipil. Penyerahan kekuasaan ini mensyaratkan bahwa militer tidak boleh dihakimi dalam konteks HAM sebagai imbal balik transisi demokrasi yang telah diinisiasi militer (Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, 2001). Hal inilah yang menjelaskan begitu banyak peristiwa anomali yang melingkupi proses persidangan Montt dalam upaya strategis melemahkan institusi peradilan seperti tidak ada keterangan yang lugas tentang pengadilan lanjutan dari kasus Rios Montt, dipercepatnya masa jabatan Claudia Paz y Paz sebagai Jaksa Agung, dan banyaknya ancaman terhadap kelompok penegak HAM dan wartawan.
44
Realitas hubungan sipil-militer di Guatemala memiliki peranan penting dalam menjelaskan keterlibatan militer di dalam politik. Sejarah Guatemala menunjukkan bahwa partisipasi militer di dalam politik disebabkan oleh lemahnya institusi politik yang tidak mampu memberi pengaruh di dalam tatanan masyarakat yang bersifat oligarkis dan feodal akibat penjajahan Spanyol. Oleh karena itu, militer masuk untuk mengisi vakumnya otoritas politik yang kemudian memunculkan karakteristik
masyarakat
praetorian
sebagaimana
disebut
oleh
Huntington
(Huntington, Political Order in Changing Societies, 1968). Apabila kita mengaitkan adanya dinamika hubungan sipil-militer ini terlihat jelas bahwa kendatipun secara profesional militer telah melakukan beberapa langkah reformasi baik secara institusi maupun menurunnya keterlibatan militer dalam politik, hal ini tidak berlaku dalam konteks penegakan HAM di tubuh militer itu sendiri. Proses peradilan terhadap mantan presiden Rios Montt yang mendapatkan tentangan keras dari kelompok militer, pebisnis, politisi, dan juga pemerintah yang tercermin dalam ungkapan Presiden Molina semakin memperkuat argumen Huntington bahwa Objective Civilian Control akan mendapatkan hambatan dari konteks kekuatan militer di masa lampau (Huntington, The Soldier and the State: The Theory and Politic of Civil-Military Relation, 1957). Sejarah militerisme Guatemala dengan karakteristik praetorianisme juga menjadi penyebab adanya tradisi militerisme yang kuat di dalam pemerintahan Guatemala. Hal ini tentunya berperan dalam menjaga esprit de corp militer dalam konteks permasalahan konvensional seperti penegakan HAM di dalam tubuh militer itu. Dinamika reformasi hubungan sipil-militer tidak menyentuh segi penegakan HAM dalam institusi militer yang terwakili dalam sikap-sikap defensif terhadap tuduhan atas keterlibatan genosida oleh Rios Montt. Bentuk-bentuk intervensi militer juga tampak dalam masa transisi demokrasi dimana militer mendikte output dari Konstitusi 1985 (Rosada, 2004). Hal ini tentunya berpengaruh terhadap proses konsolidasi demokrasi yang tidak akan berlangsung secara maksimal akibat adanya pencideraan konstitusional dalam menegakkan Peace Accord 1996. Kasus Rios Montt yang telah menambah daftar panjang praktik impunitas di Guatemala telah memberikan dampak bagi kepercayaan masyarakat terhadap proses hukum. Menurut penelitian Azpuru, hanya sekitar 40% – 45% masyarakat Guatemala
45
yang mempercayai hukum sebagai langkah menegakkan keadilan (Azpuru, 2008). Rendahnya partisipasi dalam sistem demokrasi yang direpresentasikan oleh ketidapercayaan masyarakat Guatemala terhadap penegakan hukum merupakan sinyal buruk dalam usaha mengembangkan demokrasi yang berlandaskan konstitusionalisme karena adanya situasi yang saling mengisolasi di antara aktor pendukung demokrasi Guatemala (Pateman, 1970). Hal ini membawa dampak yang signifikan dalam proses konsolidasi demokrasi mengingat demokrasi memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak warga negaranya (Diamond, 1997), termasuk di dalamnya adalah hak-hak berpolitik. Impunitas merupakan manifestasi dari kealpaan pemerintah dalam menerapkan prinsip demokrasi tersebut. Apabila dikaitkan dengan ulasan Rustow, pemerintahan sipil Guatemala tidak memiliki regime performance yang baik dalam menegakkan demokrasi mengingat kinerjanya yang kurang mampu melakukan proses internalisasi kepercayaan terhadap rezim demokratis (Rustow, 1993). Dengan demikian transisi demokrasi di Guatemala menunjukkan demokrasi yang bersifat formal prosedural dan menisbikan adanya implementasi demokrasi substansial. Kasus Rios Montt memberikan pelajaran penting bagi akademisi Hubungan Internasional untuk kembali merefleksikan pentingnya mewujudkan nilai-nilai demokrasi yang substantif. Dalam hal ini penulis menekankan pentingnya konstitusionalisme di dalam kehidupan demokrasi. Usaha mencapai demokrasi harus juga diikuti oleh perjuangan menciptakan konstitusi yang demokratis karena konstitusi menjamin unsur-unsur demokrasi seperti pemenuhan hak-hak mendasar manusia. Guatemala mengalami perjuangan yang besar dalam mewujudkannya akibat mengakarnya tradisi militerisme dalam kehidupan politik. Selain menciptakan konstitusi demokratis, hal yang jauh lebih penting adalah penegakan konstitusi tersebut. Hal inilah yang seringkali hilang dari perhatian kita semua. Proses transisi demokrasi merupakan fase yang sangat krusial dalam menentukan arah kebijakan konsolidasi demokrasi. Guatemala memberikan contoh yang sangat nyata bahwa karakteristik keterpaksaan di dalam transisi demokrasi membuat proses konsolidasi demokrasi berjalan semu. Oleh karena itu studi tentang karakteristik transisi demokrasi dapat memberikan pemahaman baru bagi studi demokrasi. Di sisi lain, penulis juga hendak bercerita tentang perjuangan mengungkap keadilan. Kendatipun tradisi impunitas telah menjadi borok dalam kehidupan
46
masyarakat Guatemala, masih ada pihak-pihak yang meyakini bahwa keadilan harus diperjuangkan secara beradab melalui konstitusi. Nuansa pesimisme akibat begitu banyaknya praktik impunitas tidak menyurutkan kelompok-kelompok NGO dan sekelompok masyarakat untuk menuntut Rios Montt. Situasi represif akan selalu menemukan oposisi binernya yaitu situasi perlawanan. Kegagalan dalam menghukum Rios Montt bukanlah akhir dari usaha memperjuangkan keadilan. Setidaknya begitu banyak saksi yang telah menyuarakan kebenaran di dalam proses persidangan meskipun tidak diikuti hasil persidangan yang baik. Adanya usaha perlawanan ini semakin mempertegas adanya sebuah dinamika dialektis yang membangun bagi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Kasus Rios Montt memberikan contoh yang nyata pula bagi Indonesia terkait penyelesaian kasus-kasus kejahatan kemanusiaan berat yang juga menimpa Indonesia. Seperti kita ketahui bersama bahwa di Indonesia banyak terjadi kasus-kasus pelanggaran HAM berat seperti yang terjadi pasca 1965. Guatemala memberikan contoh bagi Indonesia, terutama kaitannya dengan upaya rekonsiliasi, agar berani dalam menceritakan sejarah yang hilang tersebut. Penulis berkesimpulangbahwa satu ketidakadilan akan menimbulkan ketidakadilan lainnya. Oleh karena itu, sistem demokrasi harus terus menerus berani dalam menegakkan hak-hak mendasar manusia untuk mencapai demokratisasi yang baik.
47