DETERMINAN INVESTASI SWASTA DAN ASOSIASINYA DENGAN PENGELUARAN PEMERINTAH (STUDI DI INDONESIA)
PROPOSAL DISERTASI
Oleh: RETNO FITRIANTI 117020106111007
PROGRAM DOKTOR ILMU EKONOMI PASCASARJANA FAKULTAS EKONOMI & BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2013
ii
Proposal Penelitian
Judul
: Determinan Investasi Swasta dan Asosiasinya dengan Pengeluaran Pemerintah (Studi di Indonesia)
Nama Mahasiswa
: Retno Fitrianti
Nim
: 117020106111007
Program Studi
: Program Doktor Ilmu Ekonomi
Komisi Promotor: Promotor
: Prof. Munawar Ismail, S.E., DEA, Ph.D.
Ko-Promotor
: Dr. Ghozali Maskie, S.E., M.S.
Ko-Promotor M.A.,Ph.D.
: Devanto Shasta Pratomo, S.E., M.Si,
Komisi Penguji: Penguji 1
: Prof. Candra Fajri A, S.E., M.Sc., Ph.D.
Penguji 2
: Dr. Moh. Khusaini, S.E., M.S., M.A.
Penguji 3
: Setyo Tri Wahyudi, S.E., M.Ec., Ph.D.
iii
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL
i
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.1.
Latar Belakang
1
1.1.1. Fenomena Investasi Di Indonesia
7
1.1.2. Keragaman Hasil Dampak Pengeluaran Pemerintah Terhadap Investasi Swasta
BAB II
11
1.1.3. Keragaman Variabel Determinan Investasi Swasta
14
1.2.
Permasalahan Penelitian
17
1.3.
Tujuan Penelitian
19
1.4.
Manfaat Penelitian
20
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
22
2.1.
Tinjauan Teoritik
22
2.1.1. Defenisi Investasi
22
2.1.1.1. Pengertian dan Konsep Investasi
22
2.1.1.2. Apakah Investasi Penting
24
2.1.2. Teori –Teori Investasi
25
2.1.2.1. Teori Keynes
25
2.1.2.2. Teori Akselerator
26
2.1.2.3. Teori Jorgenson
27
2.1.2.4. Teori Q-Tobin
29
2.1.3. Teori Pengeluaran Pemerintah 2.1.3.1. Tinjauan Pengeluaran Pemerintah
31 31
iv
2.1.3.2. Teori Makro Pengeluaran Pemerintah 2.1.4. Dampak Pengeluaran Pemerintah Terhadap Investasi Swasta
34
2.1.4.2. Teori Keynes Crowding In
36
2.1.4.3. Teori Richardian Equivalence Hypothesis (REH)
39
2.2. Tinjauan Empirik 2.2.1. Studi Empirik Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Investasi Swasta 2.2.2. Studi Empirik Determinan Investasi Swasta
BAB IV
34
2.1.4.1. Efek Crowding Out
2.1.5. Determinan Investasi Swasta
BAB III
33
41 42
42 51
KERANGKA KONSEPTUAL PEMIKIRAN
59
3.1. Kerangka Pikir
59
3.2. Hipotesis Penelitian
65
3.3. Definisi Konsep Operasional
66
METODE PENELITIAN
68
4.1. Pendekatan Penelitian
68
4.2. Jenis dan Sumber Data
69
4.3. Analisis Data
70
DAFTAR PUSTAKA
80
v
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.1
Investasi Swasta dan Pengeluaran Pemerintah Indonesia Periode 2002-2011 (Milyar Rupiah)
5
Gambar 1.2
Grafik Perkembangan Investasi Di Indonesia
9
Gambar 1.3
Perkembangan Investasi di ASIA Periode 1990-2010 Persentasi PDB
Gambar 1.4
Peringkat Kemudahan Melakukan Bisnis di ASIA Periode 2011-2012
10
10
Gambar 2.1
Imbalance Through SOC-DPA dan DPA-SOC
38
Gambar 3.1
Kerangka Pikir
55
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar belakang
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk menilai keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara atau wilayah. Konsumsi, investasi dan ekspor neto merupakan faktor penggerak dalam pertumbuhan dari sisi permintaan. Secara teoritis, bahwa pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh
konsumsi
tidak
akan
menjadi
pertumbuhan
yang
berkelanjutan.
Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan merupakan pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh investasi. Pertumbuhan yang ditopang oleh investasi dianggap dapat meningkatkan produktivitas yang pada gilirannya dapat membantu penyerapan tenaga kerja (Kuncoro, 2004). Dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi diharapkan mampu memberikan kontribusi yang besar dalam menunjang pembangunan ekonomi. Investasi merupakan salah satu pilar utama yang fundamental dalam pembangunan ekonomi. Investasi swasta memainkan peranan penting dalam proses pertumbuhan dalam mengembangkan perekonomian (Jongwanich dan Kohpaibon, 2008). Melalui Investasi swasta, arus modal yang digunakan untuk perbaikan usaha dan membangun usaha yang baru dapat meningkatkan kesempatan kerja, mendukung proses produksi, transfer teknologi, akses pasar internasional melalui produk-produk ekspor, serta pengendalian mutu. Kegiatan produksi itulah yang akan memberi manfaat bagi perekonomian secara keseluruhan bagi negara. Begitu pentingnya investasi bagi suatu negara maka
2
berdasar hal tersebut sehingga setiap negara berusaha untuk menjaga persediaan investasinya jangan sampai mengalami kekurangan. Dalam rangka mendorong laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkesinambungan dibutuhkan investasi, dana untuk membiayai investasi tersebut paling baik berasal dari tabungan domestik (Nurcholis, 2006). Namun, berhubung keterbatasan sumberdaya finansial, maka pemerintah terlebih dahulu melakukan investasi publik terutama dalam bentuk penyediaan Social Overhead Capital (SOC) berupa jalan, jembatan, pelabuhan, kelistrikan, telekomunikasi, pengairan, pendidikan dan sebagainya untuk mendorong investasi swasta dalam bentuk Direct Produktive Activities (DPA) atau kegiatan produktif yang langsung menghasilkan barang-barang yang dibutuhkan masyarakat. Kebijakan seperti ini oleh Hirschman disebut Imbalance Through SOC-DPA (Yotopoulus dan Nugent, 1985 ; Jhingan, 1990). Perlu juga dipahami bahwa investasi swasta merupakan komponen penting atas permintaan agregat kedua terbesar setelah konsumsi, namun relatif sulit diperhitungkan karena bersifat volatile atau lebih tidak stabil dibandingkan konsumsi swasta (Samuelson, 2002). Selain itu, investasi swasta juga meningkatkan modal, kapasitas produksi perekonomian. Salah satu alasan negara-negara dengan pertumbuhan tinggi adalah karena mereka mencurahkan bagian substansial output mereka ke dalam Investasi (Dornbusch, 2008). Pemerintah telah menempuh berbagai cara untuk meningkatkan peran investasi dalam pertumbuhan ekonomi. Salah satunya melalui intervensi pemerintah. Intervensi pemerintah diperlukan untuk mengatasi kompleksitas dari intensititas permasalahan yang muncul dalam masyarakat. Untuk mengatasi itu, pemerintah mempunyai dua perangkat kebijakan perekonomian makro yakni kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Intervensi pemerintah dalam bidang ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dapat dilakukan secara
3
langsung maupun secara tidak langsung, tergantung pada konteks dan kebutuhannya. Salah satu bentuk intervensi pemerintah secara langsung adalah dengan intervensi anggaran (budget interventions) melalui kebijakan fiskal (fiscal policy) yang ditempuh melalui berbagai paraturan maupun regulasi pemerintah. Kebijakan Fiskal ekspansif dinilai dapat peningkatan permintaan agregat yang menurut Keynes sangat dibutuhkan untuk meningkatkan investasi. Kebijakan fiskal ekspansif ditandai dengan peningkatan pengeluaran pemerintah sebagai salah satu instrumen kebijakan fiskal. Namun, sebagai konsekuensinya maka peningkatan pengeluaran pemerintah tersebut seringkali diiringi dengan peningkatan defisit anggaran pemerintah. Salah satu topik yang menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ahli ekonomi baik secara teoritis maupun empiris adalah hubungan antara pengeluaran pemerintah dengan kinerja perekonomian khususnya kegiatan ekonomi sektor swasta. Secara teoritis ada dua pandangan yang berbeda mengenai dampak pengeluaran pemerintah terhadap investasi swasta. Ekonomom
Klasik
berpendapat
bahwa
peningkatan
pengeluaran
pemerintah menyebabkan meningkatnya suku bunga dan mendorong investasi swasta menurun (Crowding out). Crowding Out terjadi ketika kebijakan fiskal ekspansioner menyebabkan suku bunga meningkat, sehingga mengurangi pengeluaran swasta, terutama investasi (Dornbusch, Fischer, dan Startz, 2008 : 259). Dengan demikian Klasik berpendapat bahwa aktivitas sektor publik (pemerintah) bersaing dengan sektor swasta terhadap sumberdaya yang langka dan mendorong harga tinggi. Hal ini terjadi terutama pada kasus dimana aktivitas sektor publik dibiayai melalui pinjaman yang mengarah pada peningkatan suku bunga pasar dan peningkatan biaya modal terhadap sektor swasta. Hasilnya adalah crowding-out investasi swasta melalui investasi sektor publik. Secara
4
umum percaya bahwa investasi sektor swasta mampu mempercepat kegiatan ekonomi karena swasta fokus terhadap efisiensi dan maksimisasi profit, selain itu peningkatan pengeluaran pemerintah atas biaya atau biaya sektor swasta berdampak negatif pada investasi swasta (Hussain, Mohammad, Akram, dan Lal, 2009). Disisi
lain
ekonom
Keynesian
berpendapat
bahwa
peningkatan
pengeluaran pemerintah menyebabkan infrastruktur, kesehatan, pendidikan lebih baik sebagai hasil merangsang investasi swasta, karena pengeluaran ini dapat mengurangi biaya produksi perusahaan dan konsekuensinya (crowding-in) terhadap investasi swasta. Jadi menurut keynesian, investasi swasta menjadi saluran
penting
bagi
efektivitas
kebijakan
fiskal
dalam
peningkatan
pembangunan ekonomi (Ahmad&Miller, 1999 ; Ahmad&Qayyum, 2008 ; Mohammad&Husain, 2009). Berikut
data
perkembangan
investasi
swasta
dan
pengeluaran
pemerintah di Indonesia selama duapuluh dua tahun terakhir. Data tersebut menunjukkan bahwa selama duapuluh dua tahun terakhir perkembangan investasi swasta di Indonesia cenderung masih mengalami peningkatan. Ini mencerminkan bahwa pertumbuhan investasi di Indonesia perlahan-lahan telah menunjukkan ke arah yang lebih baik. Secara empiris peran aktif pemerintah dalam perekonomian di Indonesia masih cukup besar. Hal ini ditandai dengan pengeluaran pemerintah yang cenderung mengalami peningkatan secara berkesinambungan pada periode tersebut. Namun trend peningkatan pengeluaran pemerintah tersebut ternyata tidak sejalan dengan investasi swasta di Indonesia. Pada grafik tersebut nampak bahwa pada awal tahun 1990 pengeluaran pemerintah mengalami peningkatan, namun investasi swasta justru mengalami penurunan. Hal ini mengindikasikan adanya hubungan Crowding Out terhadap
5
investasi swasta. Selanjutnya pada tahun 1993 – 1997, pengeluaran pemerintah terus mengalami peningkatan dan diikuti oleh peningkatan Investasi Swasta secara perlahan. Ini menunjukkan mulai membentuk pola hubungan Crowding In terhadap investasi swasta. Pada tahun 1998 pengeluaran pemerintah terus meningkat akan tetapi terjadi penurunan yang tajam pada Investasi swasta yakni sebesar 42,72 persen dari tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan bahwa ketika itu pasca krisis ekonomi yang dibarengi dengan runtuhnya pemerintahan rezim orde baru yang membawa perubahan besar pada Indonesia. Namun pada tahun 1999 pengeluaran pemerintah menurun sebesar 74,18 persen dari tahun sebelumnya, akan tetapi pada tahun 2000 pengeluaran pemerintah kembali meningkat ekstrim pasca krisis sebesar 396,77 persen dalam rangka perbaikan dan pemulihan ekonomi di Indonesia, ini terjadi hingga tahun 2011. Sebaliknya investasi swasta mengalami penurunan pada tahun 1998 lalu meningkat pada tahun 1999 dan cenderung konstan hingga tahun 2003. Tahun 2004 pengeluaran pemerintah meningkat dan diikuti oleh peningkatan investasi swasta yang menunjukkan hubungan Crowding In hingga tahun 2011. Hal ini dapat dilihat pada grafik berikut: Gambar 1.1 Investasi Swasta dan Pengeluaran Pemerintah Indonesia Periode 1990-2011 (Milyar Rupiah) 2010 2008 2006 2004 2002 2000 1998 1996 1994 1992 1990
I G
-
200,000
400,000
600,000
800,000 1,000,000 1,200,000 1,400,000
6
Sumber: BPS, World Bank, SEKI Bank Indonesia, 2012
Dari gambar 1.1 tersebut di atas bahwa sebenarnya hubungan antara pengeluaran pemerintah dan investasi swasta di Indonesia masih ambigu. Selama periode tersebut ternyata pengeluaran pemerintah yang terus meningkat ternyata belum diikuti oleh meningkatnya investasi swasta sehingga hubungan antara pengeluaran pemerintah dan investasi swasta apakah sejalan atau bertentangan. Karena secara teoritis kedua hal tersebut masih dalam perdebatan hingga saat ini. Secara khusus dalam rentang waktu tertentu pola hubungan tersebut di Indonesia belum jelas, oleh karena itu melakukan penelitian ini. Selanjutnya dalam rangka mendorong pembangunan di negara-negara berkembang, salah satu tujuan kebijakan fiskal adalah meningkatkan investasi swasta dan pemerintah dalam perekonomian. Hal ini sejalan dengan pendapat Narayan (2004) bahwa pengeluaran pemerintah sebagai investasi publik penting sebagai motor penggerak bagi investasi swasta yang pada gilirannya mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun terkadang upaya pemerintah dalam rangka mendorong investasi melalui kebijakan fiskal dapat meningkatkan investasi swasta, akan tetapi disisi lain kebijakan fiskal itu justru tidak bersifat kondusif. Sebagai contoh, misalnya menaikkan pajak, hal itu akan mendorong penerimaan pemerintah meningkat namun disisi lain ternyata sangat tidak mendorong investasi swasta dengan pajak yang tinggi karena menambah biaya produksi. Demikian pula secara deskriptif bahwa kebijakan fiskal ekspansif yang dilakukan melalui instrumen peningkatan pengeluaran pemerintah belum dapat menjamin adanya peningkatan investasi secara signifikan. Hal ini dapat saja terjadi bilamana peningkatan pengeluaran pemerintah yang masih didominasi atas pengeluaran yang bersifat konsumtif. Sehingga, Asumsi Keynes bahwa pengeluaran pemerintah yang dapat berpengaruh secara positif terhadap
7
investasi swasta mungkin saja tidak terbukti. Begitu pula dengan defisit anggaran terhadap investasi. Meskipun pengeluaran pemerintah dapat mempengaruhi investasi swasta, namun secara teoritis dan empiris masih terdapat variabel lain yang dapat mempengaruhi investasi swasta itu sendiri. Pengeluaran investasi umumnya berfluktuasi karena tergantung pada sejumlah faktor dan responsif terhadap PDB dan siklus bisnis (Dornbusch, 2008). Selain itu mengingat bahwa di negara berkembang perilaku investasi swasta perlu mengakomodasi sejumlah variabel selain yang selama ini dikenal secara teoritis yakni variabel pengeluaran pemerintah, nilai tukar, beban hutang luar negeri dan faktor non ekonomi mencakup stabilitas dalam negeri, kepercayaan investor dan kepastian hukum (Greene, 1991). Berdasarkan hal tersebut maka penting untuk mengekplorasi determinan investasi swasta guna merumuskan kebijakan stabilitas dalam usaha meminimalkan pengaruh buruk fluktuasi investasi dalam perekonomian.
1.1.1. Fenomena Investasi di Indonesia Indonesia menjadi primadona investasi di kawasan Asia Tenggara. Di mata para investor, Indonesia dengan segala kekurangannya yang ada masih tetap dinilai paling menarik untuk investasi dibandingkan dengan sembilan negara anggota ASEAN lainnya. Hasil survei daya saing ASEAN yang dilakukan Lee Kuan Yew School of Public Policy dan National University of Singapore selama 2011-2012 menyebutkan bahwa Indonesia paling diminati investor dibanding beberapa negara ASEAN lainnya. (Kompas, November 2012). Nilai investasi menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal mulai triwulan I-2012 sampai triwulan III-2012 berturut-turut Rp 71,2 triliun, Rp 76,9 triliun, dan Rp 81,8 triliun. Secara akumulatif, realisasi investasi mencapai Rp
8
229,9 triliun atau 81,09 persen dari target. Survei daya saing ASEAN atas sponsor ABAC dilakukan September 2011-Maret 2012. Sebanyak 405 responden dari beragam pelaku usaha di 10 negara ASEAN terlibat. Profil usahanya meliputi sektor jasa (45 persen), manufaktur (35 persen), dan lain-lain (18 persen) seperti pertanian serta pertambangan. Skala usahanya mulai usaha kecil (40 persen), usaha menengah (24 persen), sampai usaha besar (36 persen). Dari kelompok usaha skala besar, 16 persen di antaranya perusahaan multinasional level Asia dan 14 persen multinasional level global. Dari skala daya tarik investasi 0-10, Indonesia mendapatkan nilai 6,89 atau tertinggi dibandingkan dengan sembilan negara ASEAN lainnya. Setelah Indonesia, menyusul Vietnam, Singapura, Thailand, dan Malaysia. ( Doing Business Report, World Bank, 2011) Namun ada sejumlah faktor yang sangat berpengaruh pada baik buruknya iklim berinvestasi di Indonesia. Faktor-faktor tersebut tidak hanya menyangkut stabilitas politik dan sosial, tetapi juga stabilitas ekonomi, kondisi infrastruktur dasar (listrik, telekomunikasi dan prasarana jalan dan pelabuhan), berfungsinya sektor pembiayaan dan pasar tenaga kerja (termasuk isu-isu perburuhan), regulasi dan perpajakan, birokrasi (dalam waktu dan biaya yang diciptakan), masalah good governance termasuk korupsi, konsistensi dan kepastian dalam kebijakan pemerintah yang langsung maupun tidak langsung mempengaruhi keuntungan neto atas biaya resiko jangka panjang dari kegiatan investasi, dan hak milik mulai dari tanah sampai kontrak. Seperti telah diketahui bersama bahwa peningkatan investasi menjadi pendorong utama bagi pertumbuhan Indonesia yang kuat saat ini, yang selanjutnya menjadi penting untuk mempertahankan pertumbuhan yang akan
9
datang. Berikut data perkembangan investasi Indonesia beberapa tahun terakhir. Nampak bahwa terjadi fluktuasi terutama pada saat krisis.
Gambar 1.2. Grafik Perkembangan Investasi di Indonesia
Sumber: CEIC Data Company Ltd dan IMF staff calculation, 2012
Indonesia telah mengalami peningkatan investasi yang cukup besar dalam beberapa tahun terakhir. Data diatas menunjukkan bahwa investasi menurun pada akhir tahun 1990 an dan mulai membaik belum lama ini. Investasi agregat mencapai 30 persen dari PDB sebelum krisis tahun 2008. Namun demikian, investasi publik yang rendah mencerminkan peningkatan yang tajam pada investasi swasta (Zhou, 2012). Selanjutnya fenomena investasi di Indonesia dibandingkan dengan beberapa negara ASIA lainnya sangat rendah. Penurunan yang tajam nampak pada akhir tahun 1990 an terutama setelah krisis pada tahun 1998 yang membuat Indonesia mengalami penurunan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat dilihat pada gambar berikut:
10
Gambar 1.3. Perkembangan Investasi di ASIA (1990-2010) persentasi PDB
Sumber: IMF, WEO database dan staff calculations, 2011
Kontras dengan daya tarik Investasi Indonesia, yang menjadi salah satu penghambat investasi di Indonesia dibandingkan dengan negara lain adalah daya saing bisnis di Indonesia yang menurut data Doing Business, Indonesia berada pada peringkat 30 pada tahun 2011 dan peringkat 31 pada tahun 2012 dibandingkan dengan negara lain di ASIA. Gambar 1.4. Peringkat Kemudahan Melakukan Bisnis di ASIA periode 2011-2012
Sumber : Doing Business, World Bank, 2012
11
Data di atas menunjukkan bahwa kemudahan melakukan bisnis di Indonesia relatif buruk dan ketidakfleksibelan kerja yang tinggi justru menjadi penghambat investasi. Reformasi iklim usaha dapat membantu peningkatan investasi Asing Langsung dan domestik serta meningkatkan pertumbuhan PDB potensial. Survei menunjukkan bahwa proses yang lebih efisien bagi penciptaan bisnis, fleksibilitas tenaga kerja dan kerangka hukum serta peraturan yang lebih baik bagi pengusaha dan kebangkrutan akanmengurangi persepsi atas resiko dalam berinvestasi. Hal tersebut penting untuk dikaji kembali dalam rangka meningkatkan daya saing Indonesia terutama Investasi. Sehingga menjadi daya tarik positif bagi investor untuk berinvestasi di Indonesia. Menjadi suatu dilema ketika daya tarik sumber daya alam yang melimpah dan potensi pasar yang besar untuk berinvestasi di Indonesia sementara di sisi lain berbagai polemik non ekonomi justru menjadi penghambat Investasi swasta di Indonesia. 1.1.2. Keragaman mengenai dampak pengeluaran pemerintah terhadap Investasi Swasta Dampak pengeluaran pemerintah terhadap investasi swasta telah menimbulkan isu penting dalam perdebatan kebijakan fiskal, meskipun sejumlah studi telah dilakukan dan memberi kontribusi terhadap isu tersebut namun tetap masih menimbulkan kontroversi (Wang, 2005). Studi empiris yang telah dilakukan pada beberapa negara mengenai hubungan pengeluaran pemerintah terhadap investasi swasta memberikan hasil yang tidak konsisten dan berbeda. Apakah pengeluaran pemerintah sebagai pelengkap atau bahkan substitusi terhadap investasi swasta (Erden dan Holcombe, 2005 ; Hatano, 2010).
12
Bukti empiris yang ditemukan oleh sejumlah peneliti pada satu negara sample Pradhan, Ratha dan Sarma (1990); Gannely (2000); Voss (2002); Narayan (2004); Kustepeli (2005); Basar dan Temurlenk (2007); Ang (2009) bahwa pengeluaran pemerintah berupa investasi pemerintah memberikan efek Crowding Out terhadap investasi swasta. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Gannely (2000) lebih lanjut menemukan adanya efek Crowding Out secara langsung investasi pemerintah terhadap investasi swasta yang memberikan efek positif terhadap output dalam jangka pendek pada perekonomian tertutup. Penelitian dengan menggunakan data panel secara khusus yang dilakukan di negara-negara berkembang dan negara-negara maju. Giannaros, Kolluri dan Panik (1999); Ahmad dan Miller (2000); Atukeren (2005); Furceri dan Sausa (2011) menemukan pengeluaran pemerintah memberikan efek crowding out terhadap investasi swasta terutama di negara-negara berkembang. Dampak Pengeluaran pemerintah yang diklasifikasikan atas pengeluaran pembangunan dan pengeluaran non pembangunan terhadap investasi swasta Ahmad dan Qayyum (2008); Andreoni dan Payre (2011) menemukan bahwa pengeluaran non pembangunan menimbulkan efek Crowding Out terhadap investasi swasta dalam jangka panjang. Kontras dengan hipotesis Klasik (crowding out), dampak pengeluaran pemerintah terhadap investasi swasta bersifat crowding in yang mendukung hipotesis Keynes. Sejumlah studi empiris yang menemukan efek crowding in atas pengeluaran pemerintah terhadap investasi swasta. Bahmani dan Oskooee (1999); Hyder (2001); Ang (2009); Hasan, Othman dan Zaini (2011) menemukan bahwa investasi publik memberikan efek crowding in terhadap investasi swasta secara signifikan dalam jangka panjang. Hipotesis Keynes ditemukan pula pada sample sejumlah negara-negara berkembang yang disajikan dalam analisis panel. Erden dan Helcome (2005);
13
Afonso dan Alegre (2008), Afonso dan Aubyn (2008); Cavallo dan Daude (2011) menemukan bukti empiris bahwa investasi publik memberi efek crowding out terhadap investasi swasta. Secara khusus di Jepang, Alani (2006) dengan menggunakan analisis dekriptif menemukan adanya hubungan positif antara investasi
publik
terhadap
investasi
swasta.
Sementara
Hatano
(2010)
menemukan bukti empiris di Jepang bahwa hubungan antara investasi swasta dan publik dalam keseimbangan jangka panjang memberikan efek crowding in dengan mempertimbangkan stok ekuilibrium jangka panjang. Dampak lebih lanjut atas pengeluaran pemerintah terhadap investasi swasta secara spesifik diukur melalui kategori atau komponen pengeluaran secara parsial memberi efek yang berbeda. Mengikuti saran Aschuer (1989) pada Wang (2005) bahwa penelitian tersebut tidak hanya terbatas dilakukan secara agregat atas pengeluaran pemerintah, namun terpenting menguji dampaknya terhadap jenis pengeluaran pemerintah terhadap investasi swasta. Ahmad dan Miller (2000); Mohammad dan Husain (2009); Laopadis (2001); Wang (2005). Pengeluaran pemerintah atas pendidikan, kesehatan, transportasi, infrastruktur memberikan efek crowding in terhadap investasi swasta dalam jangka panjang. Pengeluaran militer, pembiayaan hutang, pelayanan umum dan perumahan crowding out terhadap investasi swasta dalam jangka panjang. Penelitian tersebut memberikan bukti yang mendukung hipotesis bahwa
pengeluaran
pemerintah
mendorong
investasi
swasta
bilamana
difokuskan untuk pengeluaran produktif. Raju dan Mukhrjee (2010) memiliki temuan yang berbeda dari penelitian sebelumnya, hasil penelitiannya mengenai dampak pengeluaran pemerintah dan investasi swasta tidak mendukung adanya efek crowding out maupun efek crowding in dalam hipotesisnya, melainkan mendukung hipotesis Richardian Equivalence pada hutang publik.
14
Secara
khusus
penelitian
yang
dilakukan
di
Indonesia
dengan
menggunakan model AIDS yakni Kuncoro (2000) dan Hidayat (2005) bahwa ekspansi pengeluaran pemerintah menyebabkan terjadinya crowding out terhadap investasi swasta dan crowding in terhadap konsumsi swasta. Paradigma Richardian Equivalen tidak terbukti di Indonesia. Di Indonesia Kebijakan fiskal ekspansif mampu menggairahkan sektor swasta dalam jangka pendek. Bukti empiris yang telah diuraikan di atas memberikan implikasi atas pengeluaran pemerintah terhadap investasi swasta masih menunjukkan hasil yang kontroversial secara teoritis maupun empiris. Hasilnya memberikan efek Crowding out (substitusi), Crowding in (Komplementer) dan mendukung hipotesis Richardian Equivalence (Netral). Baik diteliti pada satu negara maupun sejumlah negara yang disajikan dalam
suatu panel, yang diamati atas pengeluaran
pemerintah secara agregat maupun yang diteliti pada komponen pengeluaran pemerintah (Erden dan Helcome, 2005). Hasil tersebut telah menjadi kontroversi yang kuat dalam teori ekonomi dan kebijakan, baik implikasinya di Indonesia maupun di negara lain. Secara khusus di Indonesia, berdasarkan studi empiris dan data perkembangan pengeluaran pemerintah dan investasi swasta yang telah diuraikan di atas menunjukkan bahwa hubungan tersebut masih ambigu. Hal ini terutama ketika meneliti efeknya lebih jauh terhadap klasifikasi pengeluaran pemerintah. Studi mengenai topik tersebut disinyalir belum banyak diteliti dan secara umum masih bersifat global, maka menarik untuk diteliti lebih lanjut.
1.1.3. Keragaman Variabel Determinan Investasi Swasta Investasi merupakan isu utama dalam teori ekonomi makro karena memainkan peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara. Hal ini
15
menjadi penting terutama dalam rangka meningkatkan kapasitas produksi ekonomi dan kemajuan teknologi melalui penggunaan teknik baru. Bagi pemerintah tujuan utama investasi yang dilakukan terutama menggerakkan kegiatan dalam perekonomian, sementara bagi pelaku ekonomi swasta
adalah
untuk
memaksimalkan
profit.
Sebagai
upaya
untuk
memaksimalkan profit tersebut, investasi swasta dipengaruhi oleh sejumlah faktor penentu investasi. Secara teoritis faktor penentu investasi yakni; penerimaan, biaya termasuk tingkat bunga dan ekspektasi mengenai kondisi perekonomian dimasa yang akan datang (Samuelson dan Nordhauss, 2002: 469). Selain faktor penentu investasi tersebut, terdapat sejumlah faktor lain turut mempengaruhi investasi swasta antara lain seperti ketidakstabilan ekonomi makro itu sendiri dapat menjadi hambatan utama dalam investasi swasta, investasi pemerintah sebagai komplementer atas investasi swasta terutama dalam penyediaan SOC, pertumbuhan kredit bagi sektor swasta dan keamanan (Assante, 2000). Sejumlah peneliti sepakat bahwa variabel non pemerintah seperti tingkat bunga, Produk Domestik Bruto (PDB), kredit sektor swasta dan stabilitas politik dianggap sebagai determinan investasi yang sangat penting (Samuelson dan Northaus, 2002, Dornbush,et all, 2008; Ang, 2009; Mondaria, Wu dan Zhang, 2010; Misati dan Nyomogo, 2011; Morrissey dan Udomkerdmongkol, 2012) Secara teoritis suku bunga berhubungan negatif terhadap investasi swasta. Suku bunga yang tinggi akan meningkatkan real cost of capital yang pada gilirannya akan menghambat investasi swasta (Nurdeen, 2009). Namun hal yang berbeda diungkapkan secara teoritik oleh McKinnon (1973) dan Shaw (1973) dalam Khan dan Khan (2007) menyatakan bahwa kemungkinan ada hubungan positif antara investasi dengan tingkat suku bunga rill, karena peningkatan suku bunga rill akan meningkatkan tabungan sebagai hasilnya
16
volume kredit dalam negeri akan meningkatdan menghasilkan ekuilibrium investasi yang lebih tinggi. Hipotesis tersebut dikenal dengan McKinnon dan Shaw hipotesis yang berdasar pada asumsi bahwa kuantitas sumberdaya keuangan merupakan kendala utama investasi jika dibandingkan dengan kuantitas sumberdaya pembiayaan. Hal ini sejalan dengan temuan Ang (2009) bahwa suku bunga berhubungan positif terhadap investasi swasta. Variabel ketidakpastian makroekonomi yang mewakili variabel inflasi berhubungan negatif terhadap investasi swasta (Ahmad dan Qayyum, 2008; Ang, 2009; Acosta dan Loza, 2005) dalam jangka pendek dan jangka panjang. Ouattara, (2004) menemukan bukti bahwa Investasi Swasta secara positif dipengaruhi oleh PDB rill dan bantuan asing, sementara kredit ke sektor swasta dan perdagangan berdampak negatif. Variabel yang berbeda sebagai determinant Investasi Swasta di Argentina diungkapkan oleh Acosta dan Loza (2005) mengungkapkan bahwa variabel ekonomi makro yang berpotensi dapat mempengaruhi keputusan investasi pada suatu negara. Keputusan investasi jangka pendek ditentukan oleh gejolak revenues (nilai tukar, liberalisasi perdagangan) dan permintaan agregat. Bukti empiris yang ditemukan Nurdeen (2009) pada kasus Nigeria atas determinan investasi swasta, bahwa pertumbuhan pendapatan rill, nilai tukar, keterbukaan ekonomi dan tabungan yang lebih tinggi memiliki efek positif terhadap investasi swasta. Di sisi lain, kredit yang tinggi justru menghambat investasi. Berbeda dengan Nurdin (2009), yang menemukan variabel kredit menghambat investasi, Jongwanic dan Kohipaibon (2008) menemukan kredit justru mempengaruhi investasi swasta dalam jangka pendek. Sementara dalam jangka panjang dipengaruhi oleh peluang bisnis (business opportunity) dan biaya investasi. Variabel yang berbeda untuk menentukan investasi swasta oleh Khan
17
dan Khan (2007), bahwa faktor tradisional dan faktor non tradisional mempengaruhi investasi swasta secara positif dalam jangka pendek dan jangka panjang. Stasavage
(2002)
mengemukakan
bahwa
determinan
investasi
dipengaruhi oleh faktor kelembagaan melalui variabel chek and balances yang dapat memberi manfaat terhadap investasi. Variabel ini masih kurang di aplikasikan pada penelitian lain sehingga menarik untuk mengembangkan lebih lanjut variabel political institution sebagai salah satu variabel non ekonomi yang dianggap dapat mempengaruhi investasi. Keragaman variabel dalam mempengaruhi investasi swasta telah diungkapkan diatas terutama variabel makroekonomi. Namun sejumlah peneliti telah mengembangkan variabel non ekonomi yang secara empiris telah menunjukkan pengaruh terhadap investasi swasta di berbagai negara seperti korupsi, kualitas pemerintahan maupun kelembagaan. Penelitian ini mencoba mengeksplorasi variabel political institution yang secara spesifik belum dilakukan di Indonesia.
1.2.
Permasalahan Penelitian Penelitian ini difokuskan pada determinan investasi swasta. Seperti
diketahui bahwa selain investasi publik, investasi swasta juga sangat diperlukan untuk kemajuan ekonomi, sebab secara umum percaya bahwa investasi swasta mampu mempercepat kegiatan ekonomi karena mereka fokus terhadap efisiensi dan maksimisasi profit. Secara teoritis bahwa pengeluaran investasi swasta yang secara umum berfluktuatif karena ditentukan oleh sejumlah faktor dan siklus bisnis (Dornbush, Fichser dan Richard, 2008: 339), maka berdasarkan hal tersebut masih sangat penting untuk mengeksplorasi determinan investasi swasta. Selain itu mengingat
18
bahwa determinan investasi swasta secara teoritis dan empiris berbeda di setiap negara, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Fokus kedua penelitian ini adalah meneliti dampak pengeluaran pemerintah terhadap investasi swasta di Indonesia. Mengingat bahwa ada kecenderungan pengeluaran pemerintah yang meningkat juga dibarengi dengan peningkatan investasi swasta di Indonesia. Berkenaan dengan hal tersebut, menimbulkan pertanyaan penting yang mendasar yakni; apakah pengeluaran pemerintah dan Investasi swasta bersifat crowding out, crowding in atau bahkan netral satu sama lain? Kebijakan fiskal ekspansif yang selalu diterapkan pemerintah pada awalnya bertujuan untuk turut mendorong peningkatan investasi di Indonesia. Akan tetapi, pengeluaran pemerintah yang selalu meningkat tersebut tidak diikuti dengan semakin intensifnya investasi swasta di Indonesia. Dampak pengeluaran pemerintah terhadap investasi swasta memberikan efek yang berbeda, satu sisi mendukung hipotesis Klasik, disisi lain mendukung hipotesis Keynes, atau bahkan tidak mendukung keduanya. Hasil ini memberikan efek yang tidak konsisten apakah sebagai pelengkap atau substitusi terutama di negara
berkembang
(Erden
dan
Halcombe,
2005:
Helcombe,
2006).
Berdasarkan perbedaan pandangan tersebut secara teoritis dan empiris maka sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut hubungan pengeluaran pemerintah dengan investasi swasta di Indonesia. Alasan utama diangkatnya tema ini
sebagai objek penelitian karena
Pertama, Pentingnya investasi dalam suatu negara karena menyangkut prospek pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan serta perbaikan produktivitas kerja, sehingga tanpa adanya investasi berarti tidak adanya ekspansi usaha dan mengarah pada stabilitas perekonomian di Indonesia. Oleh Karena itu perlu dikaji
19
lebih lanjut mengenai determinan Investasi swasta di Indonesia dalam jangka pendek dan panjang, yang dipengaruhi oleh variabel ekonomi. Kedua, belum ditemukan efek yang jelas antara pengeluaran pemerintah dan investasi swasta di Indonesia apakah crowding in atau crowding out. Ketiga,, penelitian mengenai dampak pengeluaran pemerintah yang dikalifikasikan berdasarkan fungsi pengeluarannya terhadap investasi swata di Indonesia masih relatif terbatas dan disinyalir belum banyak yang mengeksplorasi masalah tersebut. Menurut Aschouver (1989) dalam Wang (2005) bahwa penelitian empiris tidak hanya memeriksa efek belanja pemerintah secara agregat namun terpenting meneliti efek dari berbagai jenis pengeluaran pemerintah terhadap investasi swasta secara parsial. Secara umum penelitian serupa di Indonesia melihat secara global atas pengeluaran pemerintah, sementara dalam penelitian ini mengkaji secara spesifik pengeluaran pemerintah menurut fungsi pengeluarannya sehingga diharapan nantinya dapat diperoleh hasil yang lebih spesifik atas efek yang ditimbulkan terhadap investasi swasta, tentu saja ini menarik untuk dikaji lebih lanjut. Keempat, penelitian ini menggunakan variabel political institution (Stasavage, 2002) yang disinyalir masih belum banyak mengeksplor variabel tersebut. Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya karena penelitian sebelumnya secara umum meneliti determinan investasi swasta pada suatu negara atau wilayah saja tanpa melihat lebih jauh efek yang ditimbulkan oleh pengeluaran pemerintah terhadap investasi swasta. Demikian pula melihat secara terpisah dampak pengeluaran pemerintah secara parsial menimbulkan efek crowding out atau crowding in terhadap investasi swasta. Sementara pada penelitian ini mencoba melihat determinan investasi swasta yang meliputi PDB, suku bunga, pengeluaran pemerintah, inflasi dan tenaga kerja. Selain itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek yang ditimbulkan oleh
20
pengeluaran pemerintah secara parsial berdasarkan fungsi pengeluarannya terhadap investasi swasta di Indonesia. Berdasarkan pertimbangan dan pemikiran seperti yang diungkapkan di atas, maka permasalahan penelitian dapat disusun sebagai berikut: 1.2.1. Apakah PDB, Suku Bunga, Pengeluaran Pemerintah, Inflasi, Upah dan Political Institution berpengaruh terhadap investasi swasta di Indonesia dalam jangka panjang maupun jangka pendek? 1.2.2. Apakah pengeluaran pemerintah bersifat crowding out atau crowding in terhadap Investasi Swasta di Indonesia?
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, tujuan
penelitian disusun sebagai berikut: 1.3.1. Untuk mengetahui apakah PDB, Suku Bunga, Pengeluaran Pemerintah, Inflasi, upah dan political institution berpengaruh terhadap keseimbangan investasi swasta di indonesia dalam jangka panjang dan jangka pendek. 1.3.2. Untuk mengetahui apakah pengeluaran pemerintah bersifat Crowding Out atau Crowding In terhadap investasi swasta di Indonesia. 1.3.3. Untuk mengetahui dampak lebih lanjut investasi terhadap kesempatan kerja di Indonesia
1.4.
Manfaat Penelitian Hasil studi empiris yang dilakukan oleh penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat pada: 1.4.1. Manfaat Teoritis a. Secara teoritis penelitian ini mengembangkan variabel determinan investasi
swasta.
Dari
segi
variabel
bebas
peneliti
mencoba
21
mengembangkan variabel pengeluaran pemerintah yang secara agregat telah dilakukan oleh sejumlah penelitian sebelumnya Ahmad dan Qayyum (2008), Ang (2009), Akkina dan Celebi (2002), Ouarta (2004), Furceri dan Sousa (2011). Peneliti mengembangkan variabel pengeluaran pemerintah secara parsial mengikuti model Laopadis (2001) dan Wang (2005), dengan meneliti secara parsial untuk membuktikan hipotesis Crowding Out atau Crowding In terhadap investasi swastan dengan menggunakan komponen pengeluaran pemerintah berdasarkan fungsi. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah Ilmu Ekonomi secara khusus dalam pengembangan teori Investasi dan memperkaya studi empiris determinan investasi swasta berdasarkan studi empiris di Indonesia. c. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi terutama bagi peneliti lain yang ingin mendalami dan melanjutkan studi mengenai determinan investasi swasta.
1.4.2. Manfaat Praktis a.
Memberikan masukan kepada pemerintah dan mendorong pemerintah dalam menggunakan anggaran belanja secara efektif yang sesuai dengan skala prioritas dari rencana program pembangunan nasional yang mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi swasta di Indonesia. Selain itu informasi hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu para penentu kebijakan untuk melakukan upaya maksimal dalam meningkatkan daya tarik dan peluang investasi di Indonesia.
22
b.
Dengan mengetahui bahwa hubungan pengeluaran pemerintah dengan investasi swasta, jika ternyata ditemukan bahwa investasi swasta merupakan komplementer dengan pengeluaran pemerintah (crowding in) maka hal ini akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi maupun kesempatan kerja.
23
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. Tinjauan Teoritik 2.1.1. Defenisi Investasi 2.1.1.1. Pengertian dan Konsep Investasi Investasi merupakan konsep aliran (flow concept) sebab besarannya dihitung selama satu interval periode waktu tertentu. Investasi termasuk di dalamnya berupa investasi barang modal (capital goods) dan bangunan (construction) adalah pengeluaran untuk pembelian pabrik, mesin, peralatan produksi dan bangunan atau gedung baru. Seperti diketahui bahwa daya tahan barang modal dan bangunan umumnya lebih dari satu tahun, maka seringkali investasi disebut sebagai investasi dalam bentuk harga tetap (fixed investment). Di Indonesia, istilah fixed investment setara dengan pembentukan modal tetap domestik bruto (PMTDB) merupakan komponen yang menentukan pengeluaran agregat. Tabungan
dari sektor rumah tangga melalui lembaga
keuangan akan mengalir ke sektor perusahaan/ swasta. Kegiatan ekonomi ditentukan oleh besarnya pengelauran agregat yang terdiri dari empat jenis pengeluaran yakni, pengeluaran konsumsi rumah tangga, investasi oleh perusahaan, pengeluran pemerintah dan net ekspor. Dalam ekonomi makro, investasi mempunyai arti yang lebih sempit secara tekhnis berarti; investasi adalah arus pengeluaran yang menambah stok modal fisik (Dornbusch, Fisher dan startz, 2008). Investasi merupakan arus (flows), sedangkan capital merupakan stock. Capital stock meliputi fixed assets yang bukan hanya sehubungan dengan kapasitas produktif, misalnya pabrikpabrik, mesin-mesin, peralatan, persediaan, tetapi juga mencakup konsumsi
24
untuk masa yang akan datang, misalnya residential fixed assets. Batasan penting tentang karakteristik fixed assets, yakni pencerminan konsumsi yang ditunda: seseorang melakukan investasi pada fixed assets karena mengharapkan barangbarang dan jasa-jasa di masa yang akan datang. Hampir semua ahli ekonomi menekankan arti pentingnya pembentukan modal sebagai penentu utama pertumbuhan ekonomi. Pembentukan modal itu sendiri sebagaimana bahwa masyarakat tidak menggunakan seluruh aktivitas produktifnya saat ini untuk kebutuhan dan keinginan berkonsumsi melainkan menggunakan sebagian bagi pembentukan barang modal .Secara umum investasi dapat dibagi dalam tiga jenis pengeluaran investasi (Dornbusch, Fisher dan startz, 2008: 348; Mankiew, 2007:476) 1) Business fixed investment, yakni investasi dalam barang-barang modal fisik (fixed capital) seperti pabrik, mesin-mesin dan peralatan produksi lainnya yang mendukung proses produksi. 2) Residential investment, yakni investasi dalam perumahan terdiri dari bangunan keluarga tunggal dan kediaman banyak keluarga. Teori investasi perumahan dimulai dengan memperhatikan permintaan untuk stok rumah yang ada. Permintaan stok rumah tergantung pada pengembalian rill netto yang diperoleh dari memiliki rumah 3) Investasi Inventory yang terdiri atas bahan baku, barang dalam proses produksi dan barang jadi yang disimpan perusahaan sebagai antisipasi penjualan produk. Ketiga jenis komponen investasi tersebut termasuk investasi bruto yang meliputi
investasi
untuk
menambah
kemampuan
produksi
dalam
perekonomian dan mengganti barang modal yang telah disedresiasikan. Jika
25
investasi
bruto
tersebut
dikurangi
dengan
depresiasi
maka
akan
menghasilkan investasi neto.
2.1.1.2. Apakah Investasi Penting Belanja investasi memainkan peranan penting tidak hanya pada pertumbuhan jangka panjang namun juga pada siklus bisnis jangka jangka pendek karena investasi merupakan unsur GDP yang paling sering berubah (Mankiw, 2007: 476). Aggregate fixed investment merupakan komponen penting aggregate demand dan sangat menentukan dalam pendapatan nasional dan GDP. Selain
itu,
investasi
memiliki
pengaruh
yang
penting
terhadap
kesempatan kerja dalam perekonomian. Investasi yang dilakukan pada suatu waktu tertentu akan mempengaruhi kegiatan ekonomi di masa yang datang karena
pembentukan
sumberdaya
capital
yang
akan
digunakan
untuk
menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa yang merupakan pembentukan potensi produktif. Dengan demikian investasi menjadi determinan utama pertumbuhan ekonomi. Apabila investasi dan pertumbuhan kapasitas produktif meningkat, maka pertumbuhan ekonomi dan produktivitas akan meningkat pula yang pada gilirannya akan meningkat produktivitas tenaga kerja, upah dan tingkat hidup masyarakat. Sebagai salah satu komponen aggregate demand yang mudah berubah, pengaruh investasi juga besar terhadap siklus dunia usaha (business cycle) yang secara keseluruhan mempengaruhi perekonomian secara makro. Pemerintah dan lembaga-lembaga pemerintah dalam berbagai aras perlu memahami tentang prinsip-prinsip investasi tersebut. Pengeluaran untuk
26
infrastruktur publik dalam bentuk gedung-gedung, mesin-mesin dan peralatan untuk rumah sakit, sekolah-sekolah, jalan kereta api, jalan raya, kelistrikan, fasilitas komunikasi, fasilitas kebersihan, bendungan dan lain-lain merupakan fixed investment yang pengaruhnya cukup besar dalam perekonomian. 2.1.2. Teori Investasi 2.1.2.1. Teori Keynes Teori Keynes mengenai investasi bertumpu pada "marginal efficiency of capital". Marginal efficiency of capital (MEC) merupakan determinan kunci sekaligus ukuran tentang tingkat keuntungan yang diharapkan (expected profitability) dari suatu investasi. Secara singkat MEC adalah suatu tingkat diskonto yang menyamakan the present value penerimaan investasi di masa yang akan datang dengan current supply price (current replacement cost) investasi tersebut. Dengan demikian MEC mirip dengan teori Fisher tentang internal rate of return. Di samping itu, Keynes sependapat dengan Fisher tentang peranan suku bunga dalam mempengaruhi investasi. Selanjutnya menurut Keynes bahwa investasi akan berlangsung hingga MEC sama dengan tingkat bunga yang ada. Perbedaannya dengan Fisher, walaupun sulit dikuantifikasi, Keynes mengakomodasikan ekspektasi dan ketidak-pastian (Nopirin, 2000; Dornbusch, Fisher dan startz, 2008 ; Mankiew, 2007) . Menurut Keynes bahwa MEC tidak hanya dipengaruhi oleh penilaian obyektif, tetapi juga oleh pengaruh-pengaruh subyektif sepertl perilaku konvensional dan psikologi massa (crowd psychology). Hal ini disebabkan oleh ketidakpastian yang membatasi kemampuan para investor untuk menghitung MEC secara obyektif. Dengan keterbatasan kalkulasi rasional dan animal spirits berupa kekuatan optimisme spontan, jumlah investasi dapat lebih besar sesuai
27
yang diinginkan masyarakat dibandingkan jika para investor mendasari keputusan mereka pada kalkulasi rasional. Selanjutnya Keynes menekankan pentingnya investasi swasta, tetapi sejumlah kendala yang dihadapi oleh pengambil keputusan di sektor swasta memerlukan intervensi pemerintah. Keynes juga menganjurkan kebijakan pengeluaran pemerintah sebagai alat untuk mendorong tingkat investasi. Investasi pemerintah dapat dilaksanakan untuk meningkatkan capital stock ke tingkat yang dikehendaki sehingga meningkatkan efek multiplier. Setiap bentuk investasi pemerintah akan berpengaruh secara positif dan menghambat terjadinya kontraksi dalam kegiatan perekonomian. Oleh karena itu investasi pemerintah
seyogyanya
diarahkan
kepada
tujuan-tujuan
produktif
yang
mendukung kegiatan sektor swasta (Natural Resource Character, 2010). 2.1.2.2. Teori Akselerator Model Akselaerator dapat menjelaskan investasi inventori dengan membandingkan investasi inventori dengan perubahan output. Hubungan antara tingkat pertumbuhan output dan tingkat investasi neto. (Branson, 1989). Model akselerator menyatakan bahwa pengeluaran investasi proporsional dengan perubahan output dan tidak berpengaruh atas biaya modal (Dornbusch, Fisher dan startz, 2008 : 359). Teori akselerator (accelerator theory) dalam bentuknya yang sederhana menggambarkan investasi sebagai proses penyesuaian capital stock. Desired capital stock ditentukan oleh expected demand terhadap produksi suatu perusahaan sehingga investasi netto yang merupakan perubahan capital stock, merupakan fungsi pertumbuhan output (Branson, 1989). Dalam bentuknya yang sederhana tersebut, spesifikasi model akselerator berfokus pada pertumbuhan
28
output pada suatu periode tertentu yang merupakan determinan keputusan investasi dengan mengabaikan peranan lags dalam keputusan investasi dan pembentukan ekpektasi . Ada dua langkah yang berbeda dalam pengembangan model flexible accelerator. Langkah pertama melibatkan penentuan tingkat capital stock yang diinginkan. Langkah kedua menunjukkan bagaimana pergerakan investasi aktual yang terkait dengan keseimbangan capital stock. (Bronson, 1989) Dalam model akselerator yang luwes (flexible accelerator models), kelemahan
tersebut
ditutupi
dengan
memasukkan
struktur
lags
yang
menggambarkan investasi sebagai fungsi distributed lag pertumbuhan output dalam beberapa periode. Fungsi distributed lags tersebut merangkum (tanpa memisahkan) berbagai sumber lags, misalnya lags yang mencerminkan keterlambatan dalam pengambilan keputusan, perencanaan, pemesanan, penyerahan dan pemasangan proyek-proyek investasi baru, dan pembentukan ekspektasi. Teori akselerator secara umum dapat dihubungankan dengan pendekatan Keynesian karena penekanan yang diberikan pada variabel kuantitas ketimbang harga. Walaupun model akselerator ini mengandung banyak masalah teoritis, tetapi secara empiris hasilnya dipandang baik (Mankiew, 2003). 2.1.2.3. Teori Jorgenson Teori Jorgenson merupakan dasar teori investasi neo-klasik modern. Jorgenson mengembangkan model investasi sebagai suatu proses penyesuaian capital stock. Menurut Jorgenson bahwa investor yang rasional dan profitmaximizer akan memperhitungkan present value imbalan keputusan investasinya
29
dan akan menyamakan marginal benefit dengan marginal cost dari investasi yang direncanakan. (Jorgenson, 1967) Marginal benefit investasi merupakan marginal productivity of capital yang diturunkan dari fungsi produksi Cobb-Douglas. Marginal cost dirangkum dalam "user cost of capital' yang merupakan biaya-biaya yang timbul dari penggunaan capital, termasuk biaya bunga, depresiasi, dan keuntungan atau kerugian yang timbul akibat perubahan harga barang-barang capital. Jorgenson berasumsi bahwa investasi yang dilakukan oleh perusahaan yang bersaing secara sempurna berlangsung “seketika” tanpa biaya penyesuaian perbedaan antara capital stock yang optimal di masa sekarang dengan di masa lalu. Pembentukan ekspektasi tentang masa depan juga tidak diperlukan karena para investor dapat melakukan respons secara cepat tanpa biaya terhadap perubahan-perubahan yang terjadi (Jorgenson, 1967). Model makro investasi Jorgenson dibangun dari fondasi mikro yang menggambarkan
perilaku
perusahaan
profit-maximizing
firm
yang
mengakomodasikan sejumlah asumsi tentang ekspektasi yang bersifat statis, penyesuaian capital stock yang bersifat seketika, dan tidak adanya biaya-biaya penyesuaian. Sejumlah asumsi restriktif melandasi teori ini, antara lain ekspektasi yang statis, penyesuaian capital stock yang instan, tidak terdapat biaya penyesuaian, dan keputusan investasi yang bersifat reversible. Teori investasi Jorgenson mendapat banyak keritikan terutama fondasi mikro yang digunakan untuk membangun model sehingga perilku agregat dipandang hanya merupakan pembesaran (scaled-up) perilaku perusahaan yang memaksimisasi laba dalam pasar bersaing. Hal ini terkait dengan pendekatan neo-klasik yang berasumsi bahwa perbedaan antara mikroekonomi dengan
30
makroekonomi hanya merupakan masalah agregasi. Ketergantungannya pada hipotesis tentang perusahaan yang dianggap yang
menyesatkan
“mewakili’,
merupakan
hal
karena keseluruhan bukan merupakan penjumlahan
bagian-bagiannya. Terdapat perbedaan antara makroekonomi dan mikroekonomi khususnya bila perilku makroekonomi dipengaruhi oleh saling-ketergantungan, perilaku kawanan (herd-behavior), dan feedback effects (Jorgenson, 1967; Baddeley, 2003). 2.1.2.4. Teori Q Tobin Business fix investment
ditentukan oleh produk marjinal modal dan
jumlah penyusustan atau depresiasi. Hal ini memberi indikasi bahwa salah satu determinan investasi yang penting adalah tingkat bunga. Penurunan tingkat bunga rill akan mengurangi biaya modal, begitu pula sebaliknya. Perusahaan akan melakukan investasi sampai pada titik dimana biaya perolehan kapital (harga kapital ditambah biaya penyesuaian) sama dengan nilai dari kapital tersebut. (Romer, 2006 : 395). Secara teoritis, rasio q mencerminkan bagaimana tambahan satu rupiah kapital akan meningkatkan nilai sekarang dari keuntungan perusahan. Perusahaan akan meningkatkan persediaan kapitalnya apabila nilai q > 1 dan akan mengurangi investasi bila q < 1. Interpretasi ekonomi dari nilai q adalah setiap kenaikan satu unit persediaan kapital perusahaan akan meningkatkan nilai sekarang dari keuntungan perusahaan sebesar q. Dengan demikian q adalah nilai pasar dari suatu unit kapital. Rasio nilai pasar kapital terhadap biaya penyesuaian kapital dikenal sebagai Q Tobin (Tobin, 1969 dalam Romer, 2006). Dengan kata lain q-Tobin merupakan perbandingan nilai pasar perusahaan terhadap inventasi bersihnya.
31
Apabila terjadi peningkatan harga saham
perusahaan maka nilai pasar
perusahaan akan meningkat dan selanjutnya rasio q-Tobin akan meningkat yang memungkinkan perusahaan melakukan investasi tetap (Fix Investment). Keunggulan q-Tobin sebagai ukuran dari intensif untuk investasi adalah mengimplikasikan profitabilitas modal masa depan yang diharapkan serta profitabilitas sekarang. Teori Investasi q-Tobin menekankan bahwa keputusan investasi bergantung tidak hanya pada kebijakan ekonomi saat ini melainkan juga pada kebijakan yang diharapkan berlaku di masa depan (Mankiew, 2003). Implikasi Model q Perubahan pada output, suku bunga, dan kebijakan pajak memberikan implikasi pada model q. Peningkatan output yang permanen mendorong terjadinya kenaikan investasi temporer, sementara peningkatan temporer dari output meskipun meningkatkan investasi namun dengan respon yang lebih rendah dibandingkan dengan kenaikan output permanen (Romer, 2006). Penurunan permanen suku bunga jangka pendek menghasilkan booming investasi sesaat, sedangkan kenaikan suku bunga jangka pendek yang diharapkan dimasa datang akan mengurangi investasi. Pengaruh pemotongan pajak atas investasi akan meningkatkan investasi dan menurunkan keuntungan industri sehingga nilai q akan turun, dan tidak intensif bagi perusahaan untuk melakukan investasi dengan nilai q < 1. Ketidakpastian keuntungan dimasa datang tidak memiliki dampak langsung terhadap investasi, selama nilai kapital melebihi biaya perolehannya. Biaya penyesuaian yang tidak simetris menyebabkan perubahan investasi yang tidak sama saat terjadi peningkatan maupun penurunan investasi. Ketidakpastian resiko (discount factor) yang berkorelasi negatif dengan resiko agregat akan
32
meningkatkan investsi, sebaliknya ketidakpastian resiko yang berkorelasi positif dengan resiko agregat akan mengurangi nilai kapital sehingga menurunkan nilai investasi (Romer, 2006 : 413). 2.1.3. Teori Pengeluaran Pemerintah Pengeluaran pemerintah merupakan instrumen yang digunakan dalam menentukan kontribusi peran sektor pemerintah dan sektor swasta. Selain itu, pengeluaran pemerintah dapat digunakan sebagai penentu pokok jumlah pengeluaran agregat serta penentu pertumbuhan Produk Nasional Bruto rill dalam jangka pendek. Pengeluaran pemerintah mencerminkan kebijakan pemerintah. Apabila pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan untuk membeli barang dan jasa maka pengeluaran pemerintah mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk melaksanakan kebijakan tersebut (Mangkoesubroto,1996 : 169). Teori mengenai pengeluaran pemerintah dapat digolongkan menjadi dua bagian yakni teori pengeluaran pemerintah secara makro dan teori pengeluaran pemerintah secara mikro.
2.1.3.1. Tinjauan Pengeluaran Pemerintah Pengeluaran pemerintah dalam hal ini pengeluaran investasi pemerintah memiliki kedudukan yang strategis dalam meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi nasional. Sering pula dikatakan bahwa pengeluaran investasi pemerintah dapat memainkan peran sebagai salah satu penggerak utama (prime mover) dalam perekonomian, sehingga ketika perekonomian sedang mengalami kelesuan akibat adanya resesi ekonomi yang memerosotkan kemampuan masyarakat dalam melakukan kegiatan perekonomian, pemerintah melalui instrumen kebijakan yang dimiliki dapat tampil menyelamatkan keadaan dengan
33
memperbesar pengeluaran pemerintah melalui anggaran belanja defisit, dan sebaliknya. Dalam setiap sistem perekonomian, baik kapitalis atau sistem perekonomian sosialis, pemerintah senantiasa mempunyai peranan yang penting. Peranan pemerintah sangat besar dalam sistem perekonomian sosialis dan sangat terbatas dalam sistem kapitalis. Adam Smith mengemukakan teori bahwa pemerintah hanya mempunyai tiga fungsi : 1. Fungsi pemerintah untuk memelihara keamanan dalam negeri dan pertahanan. 2. Fungsi pemerintah untuk menyelenggarakan peradilan. 3. Fungsi pemerintah untuk menyediakan barang-barang yang tidak disediakan oleh pihak swasta, seperti halnya dengan jalan, bendungan dan lain sebagainya. Dalam penelitian Gwartney, Lawson dan Holcombe (1998), menyebutkan bahwa pemerintah mempunyai fungsi sebagai core function. Fungsi ini dapat membuat peningkatan dalam efisiensi perekonomian dan seterusnya dapat meningkatkan pertumbuhan. Ada dua kategori dalam fungsi ini yang kebanyakan digunakan dalam berbagai penelitian, yaitu ; fungsi sebagai pelindung (protective function) dan fungsi sebagai penyedia barangbarang publik (provision of a limitedm set of collective goods). Protective function termasuk di dalamnya penegakan peraturan dan hukum dan hak-hak individu yang dapat melindumgi masyarakat dari kehilangan hak-haknya. Fungsi yang kedua yaitu provision of a limited set of collective goods, adalah menyediakan barang-barang atau jasa seperti pertahanan, jalan, pendidikan dan layanan masyarakat lainnya serta barang-barang yang tidak disediakan atau disediakan dalam jumlah yang sedikit sekali oleh sektor swasta. Dengan tersedianya barang-barang seperti disebutkan diatas dan perlindungan hak kepemilikan dapat meningkatkan pertumbuhan PDB (Burda dan Wyplosz, 2001). Pengeluaran pemerintah secara garis besar terdiri dari pengeluaran rutin
34
dan pengeluaran pembangunan. Pengeluaran konsumsi pemerintah tercakup dalam pengeluaran rutin dan pengeluaran investasi pemerintah tercakup dalam pengeluaran pembangunan.
2.1.3.2. Teori Makro Pengeluaran Pemerintah Model Pembangunan ini dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave (Mangkoesoebroto,1996:170)
yang
menghubungkan
perkembangan
pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yang dibedakan antara tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan, transportasi dan sebagainya. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peran investasi swasta sudah semakin membesar. Peran pemerintah tetap besar pada tahap menengah karena perans swasta yang semakin besar banyak menimbulkan kegagalan pasar (market failure) dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak dan kualitas yang lebih baik. Selain itu, pada tahap ini perkembangan ekonomi menyebabkan terjadinya hubungan antarsektor yang semakin rumit. Musrgave berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan, investasi swasta dalam persentase terhadap GNP semakin besar dan persentase pemerintah terhadap GNP akan semakin kecil (Mangkoesoebroto 1996:170). Sementara menurut Wagner bahwa dalam suatu perekonomian, bilamana pendapatan per kapita meningkat, secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan ikut meningkat. Menurut Wagner, terdapat lima hal yang
35
menyebabkan pengeluaran pemerintah selalu meningkat, yakni: (i) tuntutan peningkatan perlindungan keamanan dan pertahanan, (ii) kenaikan tingkat pendapatan masyarakat, (iii) Urbanisassi yang mengiringi pertumbuhan ekonomi, (iv) perkembangan demokrasi, (v) ketidakefisienan birokrasi yang mengiringi perkembangan pemerintah. 2.1.4. Dampak Pengeluaran Pemerintah Terhadap Investasi Swasta Pada bagian ini akan diulas mengenai teori dampak pengeluaran pemerintah terhadap investasi swasta dari sudut pandang yang berbeda. Mengingat bahwa pertumbuhan defisit fiskal dan hasil peningkatan hutang pemerintah telah menarik perhatian bagi pembuat kebijakan dan analisis pasar keuangan. Namun, dampak faktor-faktor pada variabel ekonomi masih kontroversial bagi kalangan ekonom terutama dalam hal efek anggaran defisit pemerintah terhadap perekonomian terutama investasi. Ada pandangan yang berbeda dan masih eksis pada dampak peningkatan pengeluaran pemerintah terhadap investasi swasta (Kustepeli, 2005). 2.1.4.1. Efek Crowding Out Teori ini dipelopori oleh kaum Klasik muncul kembali tahun 1970-an dalam
diskursus
perdebatan
tentang
pengaruh
pengaruh
pengeluaran
pemerintah yang dibiayai dengan anggaran defisit. Menurut teori ini bahwa campurtangan pemerintah dalam perekonomian menyebabkan menurunnya (crowds-out) kegiatan sektor swasta (Bailey, 2003). Dikenal dua jenis crowdingout, yakni a) real resource (direct) crowding-out, dan b) financial (indirect) crowding-out.
Real
crowding-out
terjadi
jika
pengeluaran
pemerintah
menyebabkan pengalihan sumberdaya dari sektor swasta ke sektor pemerintah. Berhubung sektor
swasta dipandang
lebih efisien dibandingkan sektor
36
pemerintah, maka pengeluaran pemerintah untuk kegiatan produksi barangbarang dan jasa-jasa akan menurunkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Financial crowding-out terjadi perpajakan,
dan
pinjaman
jika
pengeluaran
pemerintah,
pemerintah menyebabkan turunnya gairah untuk
bekerja (disincentive-to-work) atau untuk investasi (disincentive-to-invest). Disincentive-to-work terjadi jika sektor swasta memandang peningkatan beban pajak akibat peningkatan pengeluaran pemerintah lebih besar daripada manfaat yang diterima sehingga menurunkan dorongan untuk bekerja. Disincentive-to-invest terjadi apabila pengeluaran pemerintah dibiayai dengan pinjaman (obligasi) menyebabkan kenaikan tingkat bunga sehingga menurunkan minat sektor swasta untuk melakukan investasi (Alani, 2006). Crowding out terjadi ketika kebijakan fiskal ekspansioner menyebabkan suku bunga naik, akibatnya mengurangi pengeluaran sektor swasta terutama investasi (Dornbusch, Fischer dan Startz, 2008:259). Pada setiap kasus semakin besar tingkat crowding out, semakin tinggi kenaikan suku bunga ketika pengeluaran pemerintah meningkat. Dampak crowding out terjadi apabila pengeluaran pemerintah bertindak sebagai substitusi untuk pengeluaran swasta. Dampak ini bersumber dari menurunnya investasi dan apresiasi nilai mata uang, sebagai akibat dari naiknya tingkat bunga karena adanya stimulus fiskal. Besaran turunnya dampak pengganda tergantung pada hal-hal berikut (Abimanyu 2005): 1.
Sensitivitas investasi terhadap tingkat bunga, naiknya sensitivitas investasi terhadap tingkat bunga akan menurunkan koefisien pengganda. Namun demikian, apabila investasi merupakan fungsi positif dari pendapatan, maka angka pengganda tidak terlalu berpengaruh.
37
2.
Hubungan antara permintaan uang dengan tingkat bunga dan pendapatan. Semakin besar pengaruh tingkat bunga terhadap permintaan uang, akan semakin menekan besarnya dampak pengganda, sebaliknya dengan kenaikan pendapatan.
3.
Tingkat keterbukaan ekonomi dan sistem nilai tukar yang digunakan. Keterbukaan ekonomi menimbulkan peluang substitusi permintaan, dari domestik menjadi impor, sehingga memperkecil dampak kebijakan fiskal yang diharapkan. Terkait dengan sistem nilai tukar, sistem nilai tukar fleksibel yang digunakan dapat meningkatkan crowding out, sehingga menurunkan efektivitas stimulus fiskal.
4.
Fleksibelitas
harga
berpengaruh
secara
negatif
terhadap
besarnya
pengganda. 5.
Rational expectation, apabila kebijakan stimulus fiskal ditempuh secara permanen, maka hal tersebut akan menimbulkan harapan akan naiknya tingkat bunga dan menguatnya nilai tukar. Sehingga stimulus fiskal menjadi kurang efektif, karena mempunyai crowding out yang cukup besar.
6.
Pandangan Ricardian equivalen, kebijakan fiskal tidak memengaruhi pendapatan permanen dan pola konsumsi masyarakat. Hal ini disebabkan adanya
pola
pikir
masyarakat
yang
berpendapat
bahwa
kenaikan
pendapatan dari stimulus fiskal pasti akan diikuti dengan kenaikan pajak dimasa yang akan datang.
2.1.4. 2. Teori Keynes Crowding In Teori ini dikemukakan oleh kelompok Keynesian dengan argumen bahwa peningkatan
pengeluaran
pemerintah
mendorong
(crowds-in)
kegiatan
perekonomian terutama investasi swasta karena pemerintah membantu
38
pengembangan sektor swasta melalui penyediaan infrastruktur fisik dan non-fisik. Peningkatan pengeluaran dengan anggaran defisit meningkatkan produksi dalam negeri. Para investor swasta lebih optimis tentang perekonomian di masa depan sehingga mereka meningkatkan investasinya (Alani, 2006). Teori yang lain yang dapat dikaitkan dengan hal tersebut adalah teori Hirschman tentang pembangunan yang tidak seimbang (unbalanced growth). Untuk mendorong pembangunan di negara-negara berkembang, salah satu tujuan kebijakan fiskal adalah adalah meningkatkan investasi swasta dan pemerintah
dalam
perekonomian.
Berhubung
keterbatasan
sumberdaya
finansial, maka pemerintah terlebih dahulu melakukan investasi terutama dalam penyediaan social overhead capital (SOC) berupa jalanan, jembatan, pelabuhan, kelistrikan, telekomunikasi, pengairan, pendidikan, dan lain-lain untuk mendorong investasi swasta dalam bentuk direct productive activities (DPA) atau kegiatan produktif
yang
langsung
menghasilkan
barang-barang
yang
dibutuhkan
masyarakat. Kebijakan seperti ini oleh Hirschman disebut imbalance through SOC-DPA (Yotopoulus & Nugent, 1985, Jhingan, 1990). Sebaliknya, pemerintah dapat juga terlebih dahulu membiarkan investasi swasta berkembang sendiri dengan hanya memberikan insentif perpajakan dan subsidi. Pembangunan SOC oleh pemerintah dilakukan setelah munculnya berbagai tekanan termasuk
politik dari sektor swasta. Kebijakan seperti ini
disebut imbalance through DPA-SOC, Tetapi kebijakan yang terakhir sulit untuk dilaksanakan di negara-negara berkembang karena lemahnya kekuatan sektor swasta. Kebijakan imbalance through SOC-DPA dan DPA-SOC dapat dilihat pada Gambar 2.1.
39
Gambar 2.1. Imbalance through SOC-DPA SOC dan DPA-SOC
Gambar 2.1. menunjukkan bahwa investasi pemerintah dalam SOC pada sumbu datar, sedangkan edangkan investasi swasta melalui DPA pada sumbu tegak. Kurva a, b, dan c adalah isoquants yang menunjukkan berbagai jumlah SOC dan DPA yang menghasilkan output yang sama pada suatu waktu tertentu Asumsinya, yaitu pertama, investasi SOC dan DPA tidak dapat dikembangkan bersamaan, kedua, capital yang digunakan bekerja dengan kapasitas penuh. Jika pengeluaran pemerintah pada investasi SOC terlebih dahulu, maka perekonomian akan mengkuti garis-garis garis garis terputus M'BB"C. Sebaliknya jika DPA terlebih dahulu, maka perekonomian perekonomian akan mengikuti garis AB'BC'C. Hirschman mengemukakan juga peranan 'forward linkage' dan 'backward linkage' yang ditimbulkan, baik oleh investasi pemerintah maupun investasi swasta dalam mendorong kegiatan perekonomian. (Yotopoulus ( Yotopoulus & Nugent, 1985 1985)
40
2.1.4.3. Teori Ricardian Equivalence Hypothesis (REH) Pendekatan ini dikemukakan oleh Barro yang berpendapat bahwa kenaikan defisit anggaran, menyebabkan peningkatan pengeluaran pemerintah harus di bayar saat ini atau nanti melalui total penerimaan nilai sekarang yang ditentukan oleh total pengeluaran nilai sekarang (Kustipeli, 2005) Prinsip umumnya adalah bahwa hutang pemerintah ekuivalen dengan pajak masa depan dan jika konsumen cukup melihat ke depan, pajak masa depan akan ekuivalen dengan pajak saat ini. Jadi, mendanai pengeluaran pemerintah dengan utang adalah ekuivalen dengan mendanainya dengan pajak (Mankiew, 2007: 431). Dengan demikian pemotongan pajak saat ini harus diimbangi dengan peningkatan pajak masa depan, menyisahkan suku bunga sehingga investasi swasta tidak berubah. Implikasi atas pengeluaran pemerintah terhadap Investasi swasta dapat memberikan efek Crowding Out, Crowding In dan Ricardian Equivalence. Muncul pertanyaan mendasar bahwa apakah investasi pemerintah atau sektor publik dan swasta merupakan substitusi atau komplementer telah menjadi dasar untuk kontroversi yang kuat dalam teori ekonomi dan kebijakan. Pendukung pasar bebas berpendapat bahwa intervensi pemerintah dalam perekonomian harus diminimalkan. Menurut pandangan ini aktivitas sektor publik bersaing dengan sektor swasta untuk sumberdaya yang langka dan mendorong harga meningkat. Hal ini terjadi terutama jika investasi sektor publik yang dibiayai dari pinjaman, maka akan menyebabkan peningkatan suku bunga pasar sehingga dengan demikian dapat meningkatkan biaya modal bagi sektor swasta. Oleh karena itu , beberapa proyek sektor swasta menjadi tidak menguntungkan atau tidak layak. Hasil akhirnya adalah crowding out investasi swasta dengan investasi sektor
41
publik, karena secara umum menerima bahwa investasi sektor swasta memberikan kontribusi lebih terhadap pertumbuhan ekonomi, peningkatan ukuran sektor publik dengan mengorbankan sektor swasta juga menghambat pertumbuhan ekonomi (Alani, 2006). Disisi lain, berpendapat bahwa investasi publik mungkin bermanfaat bagi pengembangan sektor swasta. Sektor pemerintah, misalnya mampu untuk berinvestasi pada proyek-proyek infrastruktur yang melibatkan sunk cost besar dan membutuhkan waktu yang lama untuk bisa memperoleh manfaat atau keuntungan. Sektor swasta dapat mengambil manfaat dari spillovers seperti proyek sektor publik selama dan setelah selesainya proyek. Suatu infrastruktur yang lebih baik dapat dikembangkan seperti jalan raya dan kereta api, dapat mengurangi biaya transportasi sehingga dapat memberikan fasilitas lingkungan usaha yang lebih baik. Selain itu, investasi publik pada pelayanan fasilitas pendidikan dan kesehatan membantu peningkatan dan kualitas modal manusia dalam suatu perekonomian. Selain itu, sebagai alat manajemen permintaan agregat, investasi pemerintah dapat digunakan sebagai ukuran kebijakan counter-cyclical ekonomi untuk memperlancar siklus bisnis dan merevitalisasi kegiatan sektor swasta setidaknya dalam jangka pendek. Argumentasi crowding out yang dijelaskan diatas di dasarkan pada asumsi bahwa perekonomian beroperasi pada titik batas kemungkinan produksi dan telah berkembang dengan baik dan efisiensi fungsi pasar keuangan. Kondisi ini tidak selalu terpenuhi terutama pada negara-negara berkembang. Dengan demikian, investasi sektor publik belum tentu bersaing dengan sektor swasta untuk sumber daya langka dan terbatas. Sejumlah investasi sektor swasta mungkin juga tidak akan dibiayai jika pasar keuangan yang terbatas.
42
Dalam situasi seperti itu, investasi sektor publik mungkin memainkan peran katalis dalam menyediakan infrastruktur ekonomi yang sangat dibutuhkan dan jika tidak maka sulit untuk melakukan investasi. Akibatnya, sektor swasta dan ekonomi pada umumnya dapat mengambil manfaat dari investasi sektor publik tersebut. 2. 1. 5. Determinan Investasi Swasta Secara teoritis determinan investasi swasta ditentukan oleh sejumlah faktor yang di duga kuat pengaruhnya terhadap investasi. Sejumlah faktor yang diasumsikan secara teoritis dapat mempengaruhi investasi antara lain; suku bunga, penyusutan, kebijaksanaan perpajakan, ekpektasi penjualan dan penerimaan serta kebijakan ekonomi (Nopirin, 2000). Selain itu iklim investasi yang diduga mampu menggerakkan sektor rill dan meningkiatkan investasi (Kuncoro, 2009). Determinan investasi swasta yang meliputi variabel ekonomi dan variabel non ekonomi yang diakomodasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Suku Bunga. Berdasarkan teori investasi salah satu komponen biaya modal yang utama adalah suku bunga, sehingga semakin tinggi suku bunga maka investasi akan semakin berkurang hal ini sesuai dengan teori klasik dan Keynes. (Nurdeen, 2009). Suku bunga yang tinggi akan meningkatkan real cost of capital yang pada gilirannya akan menghambat investasi swasta.
2.
Produk Domestik Bruto (PDB). Prinsip Teori Akselerasi menyatakan bahwa besarnya investasi proporsional terhadap perubahan output (PDB). Teori neoklasik menunjukkan bahwa bahwa investasi swasta berhubungan positif terhadap pertumbuhan PDB rill (Ouattara, 2004)
3.
Inflasi. Salah satu faktor uncertainity secara teoritis mempengaruhi investasi adalah inflasi (Rodrik, 1991 ; Jongwanich & Kohpaibon, 2008). Keynes
43
mengakomodasikan variabel ketidak-pastian sebagai faktor determinan investasi. Demikian pula Teori portofolio menyatakan bahwa salah satu faktor penentu investasi adalah tingkat inflasi (Setyari, 2008). Semakin tinggi inflasi maka orang akan cenderung menukarkan kekayaan jenis uang (surat berharga) dengan kekayaan jenis barang fisik seperti rumah. Inflasi juga dapat menyebabkan kenaikan investasi (produksi), karena kenaikan harga akan mendahului upah sehingga revenue bagi pengusaha akan meningkat, dengan asumsi pada tingkat inflasi yang moderat. 4.
Upah. Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang dapat mendukung proses produksi. Secara teoritis peningkatan tenaga kerja menyebabkan harga (upah) tenaga kerja menjadi murah sehingga biaya produksi relatif menjadi rendah (Almeida, 2007). Hal ini akan menyebabkan investor tertarik untuk melakukan investasi.
Secara umum dinegara
berkembang, faktor produksi tenaga kerja umumnya berlimpah (abudance) sehingga menarik bagi investor. Selain itu, tenaga kerja merupakan faktor endowment atas determinan investasi (Blonigen, 2011).
2. 2. Tinjauan Empirik Pada bagian ini peneliti akan mereview beberapa hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan dampak pengeluaran pemerintah terhadap investasi swasta. Demikian pula efek yang ditumbulkan atas pengeruh tersebut. Pada bagian kedua akan direview beberapa hasil penelitian secara empiris mengenai determinan investasi swasta. Pada bagian ini melihat sejumlah variabel yang mempengaruhi investasi swasta di negara lain.
44
2.2.1. Studi Empiris Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Investasi Swasta Sejumlah penelitian mengenai pengeluaran pemerintah telah dilakukan di berbagai negara termasuk di Indonesia. Penelitian tersebut mengkaji kebijakan fiskal dalam konteks pengeluaran pemerintah maupun dalam konteks budget deficit. Namun pada pembahasan berikut lebih ditekankan pada konteks hubungan pengeluaran pemerintah terhadap investasi swasta. Secara umum, sejumlah literatur yang mengkaji hubungan tersebut memberikan hasil yang berbeda di setiap negara secara inconsistency, yakni Crowding Out, Crowding In bahkan mendukung Richardian Equivalence. Studi empiris atas kepekaan sektor swasta terhadap kebijakan fiskal ekspansif (Hidayat, 2005) menemukan bahwa kebijakan ekspansif yang di implementasikan di Indonesia sejak awal pelita I tahun 1969 hingga akhir Pelita VI tahun 1998 memberikan efek yang berbeda terhadap investasi swasta dan pengeluaran konsumsi masyarakat. Kebijakan fiskal merupakan substitusi terhadap investasi swasta dan komplemeter terhadap konsumsi swasta. Namun secara keseluruhan kebijakan fiskal ekspansif mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, khususnya melalui jalur konsumsi.
Hal yang serupa diungkapkan
Kuncoro (2001) menemukan bahwa kebijakan ekspansioner pada pengeluaran pembangunan tidak menyebabkan crowding out di pasar barang domestik. Desakan pengeluaran pembangunan dari pemerintah hanya terjadi secara parsial pada komponen pengeluaran investasi swasta (paradigma klasik berlaku). Crowding out tidak terjadi atas pengeluran konsumsi masyarakat (paradigma Keynes
berlaku).
meningkatakan
Secara
pengeluaran
Hadiwibowo (2010)
totalitas, sektor
kebijakan swasta.
ekspansi Berbeda
anggaran dengan
akan
temuan
hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan dan
pengeluaran pemerintah saat ini mempengaruhi investasi dan pertumbuhan
45
ekonomi negatif. Sebaliknya, pengeluaran pembangunan memiliki efek positif terhadap investasi dan pertumbuhan ekonomi. Penelitian yang dilakukan oleh Laopodis (2001) mengenai dampak pengeluaran publik (militer dan non-militer) gterhadap investasi swasta dengan menggunakan analisis kointegrasi dan koreksi kesalahan. Bukti empiris dari empat negara Eropa menunjukkan bahwa pengeluaran publik bagi ketiga negara (Yunani, Irlandia dan Portugis) telah memberikan positif terhadap investasi swasta, namun pengeluaran militer tidak mempengaruhi investasi swasta. Intinya bahwa
di
negara-negara
dengan
tingkat
pembangunan
yang
rendah,
pengeluaran publik non militer memiliki dampak positif yang kuat terhadap investasi swasta sementara pada negara dengan perekonomian yang lebih maju (Spanyol) belanja publik yang tinggi secara umum dapat menggantikan investasi swasta. Penelitian serupa dilakukan oleh Wang (2005) mengenai dampak pengeluaran pemerintah terhadap investasi swasta di Kanada. Dengan menggunakan metode analisa kointegrasi dan ECM menemukan bahwa pengeluaran pemerintah atas pendidikan dan kesehatan berdampak positif terhadap investasi swasta, sementara pengeluaran modal dan infrastruktur justru berpengaruh negatif terhadap investasi swasta. Erden dan Holcombe (2005), melakukan penelitian mengenai dampak investasi publik terhadap investasi swasta dalam mengembangkan ekonomi. Berangkat dari literatur mengenai dampak investasi publik di negara berkembang yang memberikan hasil yang tidak konsisten apakah sebagai pelengkap atau substitusi terhadap investasi swasta. Dengan menggunakan data panel dari sembilan belas negara berkembang dan dua belas negara industri dari tahun 1980 hingga 1997, menemukan bahwa investasi publik melengkapi investasi swasta pada negara berkembang. Setiap kenaikan sepuluh persen investasi
46
publik akan diikuti dengan peningkatan dua persen investasi swasta. Hasil penelitian
ini
juga
menemukan
bahwa
investasi
swasta
dibatasi
oleh
ketersediaan kredit bank di negara berkembang. Dengan menggunakan model empiris yang sama pada panel negara maju, menunjukkan temuan yang berbeda. Investasi publik di negara maju crowd-out (substitusi) terhadap investasi swasta di negara maju. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa dalam beberapa cara penting, investasi swasta di negara maju di dipengaruhi oleh faktor yang berbeda dari investasi swasta di negara berkembang. Model dalam penelitian yang dilakukan Erden menggunakan Panel dinamis yang menggunakan Fix effect dan 2SLS Non Linier Least Square dengan metode GARCH. Dalam penelitian tersebut ditemukan hasil yang berbeda dari setiap panel negara berkembang dan negara industri dengan penentu faktor investasi swasta yang berbeda bagi kedua kelompok negara tersebut. Penelitian yang dilakukan Kustepeli (2005) bertujuan untuk mengetahui efektifitas kebijakan fiskal pemerintah dalam konteks hipotesis crowding out di Turki. Membangun dua model dengan variabel dependen yang sama namun salah satu variabel independennya berbeda. Secara keseluruhan model tersebut adalah investasi sebagai fungsi dari GDP, suku bunga, dan kebijakan fiskal. Pada model pertama variabel fiskal yang dimasukkan adalah pengeluaran pemerintah dan model yang kedua adalah defisit fiskal. Model pertama mencerminkan pemikiran Keynes sementara model kedua merupakan aliran Neoklasik. Menggunakan uji kointegrasi Johansen dan Analisis VAR untuk memverifikasi antara pandangan Keynes dan Neoklasik di Turki. Hasilnya menunjukkan perbedaan dalam konteks crowding out maupun crowding in dalam investasi swasta. Peningkatan pengeluaran pemerintah memberikan efek crowding in terhadap investasi swasta, sedangkan defisit pemerintah ditemukan memberikan efek crowding out terhadap investasi swasta di Turki. Selain itu,
47
pada penelitian ini variabel antara, suku bunga berpengaruh negatif sementara pendapatan nasional berpengaruh positif terhadap investasi swasta. Alani (2006), meneliti efektivitas kebijakan fiskal dalam konteks hipotesis crowding out atau crowding in di Jepang selama periode 1998 – 2006. Dengan menggunakan analis deskriptif melihat hubungan antara hutang pemerintah dan pasar obligasi pemerintah dan investasi sektor swasta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya hubungan positif antara investasi sektor publik terhadap investasi swasta. Berangkat dari pemikiran bahwa defisist anggaran pemerintah itu menjadi bentuk penting kebijakan fiskal yang memberi efek pada variabel makroekonomi terutama ketika hal tersebut diabiayai oleh obligasi pemerintah sehingga jelas melalui rasio keterantungan obligasi yang besar. Anggaran defisit pemerintah yang dibiayai oleh obligasi, dampak crowding out dapat dihindari dengan sejumlah argumentasi: (i) suku
bunga tidak sensitif
terhadap anggaran, (ii) hubungan antara investasi sektor swasta dan investasi sektor publik yang saling melekapi, (iii) pengeluaran pemerintah yang produktif, (iv) tingkat pengembangan pasar keuangan dan tingkat integrasi dalam pasar keuangan
internasional
yang
sangat
tinggi,
sehingga
pemerintah
dan
perusahaan swasta dapat melakukan pinjaman keuangan dari pasar keuangan domestik
dan internasional. Maka untuk alasan tersebut, pasar obligasi
pemerintah crowding in investasi swasta dalam perekonomian Jepang selama periode pengamatan. Afonso dan Aubyn (2008), melakukan penelitian dampak makroekonomi dari investasi publik dan investasi swasta. Penelitian ini menggunakan data panel dari empet belas negara Uni Eropa ditambah Kanada, Jepang dan Amerika Serikat yang dianalisis dengan menggunakan metode VAR. Kemudian dari fungsi respon impuls dapat dinilai sejauh mana dampak crowding in atau crowding out dari kedua komponen investasi. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar
48
adanya efek positif dari investasi publik dan investasi swasta pada output. Di sisi lain, efek crowding in investasi publik terhadap investasi swasta bervariasi antar negara, sementara efek crowding in investasi swasta terhadap investasi publik dapat digeneralisir. Cavallo dan Daude (2008) menganalisis dampak investasi publik terhadap invesatsi swasta pada negara berkembang. Penelitian ini menggunakan data panel sebanyak seratus enam belas negara-negara berkembang selama periode 1980 – 2006. Dengan menggunakan metode panel dinamis, penelitian ini menemukan adanya efek crowding out kuat dan kokoh yang nampaknya sebagai norma bukan pengecualian baik antar daerah maupun dari waktu ke waktu. Hal lain ditemukan bahwa efek ini dikurangi (atau bahkan hilang) pada negaranegara dengan institusi yang lebih baik dan lebih terbuka bagi perdagangan internasilan dan arus keuangan. Hasil tersebut konsisten terhadap hipotesis bahwa infrastruktur publik mungkin melengkapi investasi swasta dalam fungsi produksi agregat. Sebagimana investasi publik idealnya harus difokuskan pada peningkatan produktivitas dan daya saing. Ada distorsi terkait dengan proses investasi publik yang mungkin membuat crowding out atas investasi swasta dalam membangun stok modal publik . Distorsi ini, pada gilirannya, lebih banyak terjadi di negara-negara dengan lembaga yang buruk atau kurangnya perdagangan dan keterbukaan keuangan. Penelitian Hussain, Adnan dan Sulaiman (2009), meneliti efektivitas pengeluaran pemerintah crowding in atau crowding out yang dilakukan di Pakistan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan jangka panjang antara investasi swasta dan pengeluaran pemerintah (kebijakan fiskal). Dengan menggunakan data time series tahunan perekonomian Pakistan selama periode 1975 – 2008 dengan metode analisis teknik kointegrasi dan Error Correction Model (ECM). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengeluaran
49
non pembangunan seperti pengeluaran pertahanan, pelunasan hutang dan lainlain menyebabkan crowding out investasi swasta dan pengeluaran non pembangunan terhadap investasi swasta berkorelasi negatif terutama dalam jangka
panjang.
Peningkatan
cepat
pengeluaran
pemerintah
saat
ini
menyebabkan peningkatan lebih lanjut dalam defisit fiskal dan beban pajak masa masyarakat di masa akan datang. Jika defisit fiskal dipenuhi oleh pembiayaan defisit (meminjam dari bank sentral) dapat meningkatkan jumlah uang beredar dalam negeri bersama dengan itu meningkatkan volatilitas nilai tukar yang merugikan karena mempengaruhi kepercayaan investor asing. Jadi pemerintah harus merasionalisasikan pengeluaran non pembangunan guna mendorong investasi swasta. Di sisi lain, pemerintah harus meningkatkan pengeluaran pembangunan seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan lain–lain yang meminimalkan biaya produksi dan berdampak positif pada investasi swasta dan meningkatkan skala ekonomi serta produktivitas. Hasil studi ini menunjukkan bahwa pengeluaran non pembangunan seperti pelayanan(pembiayaan) hutang dan pertahanan mendukung crowding out seperti hipotesis ekonom klasik, sedangkan pengeluaran pembangunan seperti infrastruktur (telekomunikasi, transportasi, bendungan, pasar lebih baik, jalan dan jaringan kereta api jalan), kesehatan, pendidikan dan program kesejahteraan sosial memberikan efek crowding in dalam hipotesis ekonom Keynesian. Hatano (2010) meneliti efek investasi publik terhadap investasi swasta berdasarkan data empiris di Jepang. Dengan asumsi bahwa modal publik yang terakumulasi seiring dengan akumulasi modal swasta dalam jangka panjang dari perspektif sejarah sangat wajar bahwa ada hubungan positif antara investasi swasta dan investasi publik. Peneltian ini mempertimbangkan kemungkinan menganalisis hubungan jangka panjang antara investasi swasta dan publik pada fase stok dibanding fase flow. Karena hubungan jangka panjang antara investasi
50
swasta dan publik tidak berada pada hubungan flow tetapi dalam fase stok. Oleh karena itu, dalam rangka untuk menguji hubungan antara investasi swasta dan publik, terdapat kebutuhan untuk mempertimbangkan stok ekuilibrium jangka panjang. Hasil empiris menunjukkan bahwa ada hubungan kointegrasi antara modal swasta dan modal publik. Dengan demikian, hubungan antara investasi swasta dan publik harus diwakili oleh mekanisme koreksi kesalahan yang dirancang untuk mencapai keseimbangan stok jangka panjang. Hasil estimasi dengan menggunakan ECM, menegaskan bahwa adanya efek crowding-in investasi publik pada investasi swasta. Hassan, Othman, dan Zaini (2011), melakukan penelitian Investasi swasta dan publik di Malysia, suatu analisis panel time series. Adanya hipotesis investasi publik yang menjelaskan bahwa hubungan positif yang eksis antara investasi swasta dan investasi publik. Penelitian ini membahas validitas hipotesis tersebut dengan menggunakan analisis panel time series pada empat sektor ekonomi Malaysia yakni pertanian; industri dan perdagangan; transportasi dan komunikasi; dan konstruksi. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah panel kointegrasi untuk membuktikan adanya hubungan investasi swasta domestik dan investasi publik dengan menggunakan data panel untuk periode 1976 – 2006 . Dua variabel berinteraksi yakni (investasi publik dan produk domestik bruto) dan ( investasi dan kebijakan privatisasi) yang dimasukkan sebagai variabel independen untuk memperhitungkan pengaruh dari produk domestik bruto dan kebijakan privatisasi memberikan efek atas investasi publik dan investasi swasta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa investasi publik berpengaruh positif crowding in terhadap investasi swasta di semua tiga sektor kecuali
sektor
pertanian,
menunjukkan
bahwa
pengeluaran
pemerintah
mendorong investasi swasta lebih jika fokusnya diberikan untuk pengeluaran yang produktif.
51
Berbeda dari hasil penelitian sebelumnya di atas yang menemukan hubungan pengeluaran pemerintah terhadap investasi swasta yang meghasilkan efek crowding out yang mendukung hipotesis klasik ataupun memberikan efek crowding in menguji
yang mendukung hipotesis keynes. Raju dan Mukherjee (2010)
hubungan
jangka
panjang
antara
defisit
fiskal,
crowding
out
pembentukan modal swasta dan ekspor bersih untuk ekonomi India selama periode 1980-1981 sampai 2008-1009. Dengan menerapkan tes unit root dan kointegrasi teknik yang memungkinkan untuk endogen struktural ditentukan, analisis dilakukan secara terpisah dengan defisit fiskal bruto pemerintah pusat, dan defisit gabungan dari pemerintah pusat dan negara. Hasil tidak menunjukkan adanya hubungan jangka panjang antara variabel-variabel, meskipun terjadi krisis neraca pembayaran dari 1990-1991 dan defisit 1997-1998 dan seterusnya. Temuan penelitian tidak mendukung crowd out maupun crowding in dalam hipotesis antara pengeluaran pemerintah dan investasi swasta. Sebaliknya, hasil merujuk pada Teori Kesetaraan Ricardian (Richardian Equivalence Theorem) pada hutang publik, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak peduli apakah pemerintah membiayai pengeluaran dengan utang atau kenaikan pajak, efeknya terhadap total tingkat permintaan ekonomi akan menjadi yang sama. Penyesuaian fiskal dilakukan sebagai kombinasi dari pendapatan menambah langkah serta penyesuaian pengeluaran yang tepat telah membantu untuk mencapai pertumbuhan berkelanjutan ekonomi yang tinggi dengan stabilitas makroekonomi. Sementara jumlah sebenarnya untuk mendisiplinkan defisit fiskal masih bisa diperdebatkan, jalan ke depan untuk India adalah pengakuan bahwa aturan tanggung jawab fiskal yang penting untuk mempertahankan pertumbuhan output makro. Selanjutnya, target defisit fiskal secara mandiri tidak akan cukup jika tidak didukung oleh target pendapatan atau defisit prime.
52
2.2.2. Studi Empiris Determinan Investasi Swasta Sejumlah penelitian yang melihat daterminan investasi swasta dengan menggunakan variabel ekonomi secara berbeda yang diterapkan baik di negara berkembang maupun di negara maju. Secara teoritis bahwa determinan investasi antara lain penerimaan, tingkat bunga, pengeluaran pemerintah, produk domestik bruto, ketidakstabilan makroekonomi, stabilitas politik dan kredit sektor swasta (Samuelson dan Northaus, 2002; Dornbusch, Fischer, dan Startz, 2008 ; Assante, 2000; Ouatra, 2004; Acosta dan Loza, 2005, Ang, 2009; Mondaria, Wu dan Zhang, 2010; Misati dan Nyomogo, 2011; Andreoni dan Payre, 2011; Onaran, 2010; Morrissey dan Udomkerdmongkol, 2012). Menurut Greenee dan Villamueva (1991), Everhart (2001), Agenor (2002), Kok dan Ersoy (2009) bahwa untuk menjelaskan fluktuasi investasi swasta di negara-negara berkembang, perlu diperhitungkan pengaruh sejumlah variabel di samping variabel-variabel yang selama ini dikenal secara teoritis. Hal tersebut dipandang penting berhubung perbedaan kondisi ekonomi antara negaranegara-negara maju dan negara-negara berkembang. Faktor-faktor yang perlu diakomodasi sebagai determinan investasi di negara-negara berkembang: 1) Real Per Capita Growth Rate. Terdapat kesepahaman umum di kalangan ekonom bahwa tingkat pertumbuhan suatu negara mempengaruhi secara positif investasi swasta. Pertumbuhan yang tinggi akan meningkatkan kegiatan investasi swasta jika hubungan antara output riel dengan desired capital stock relatif tetap. 2) Suku Bunga riel. Terjadi perbedaan pandangan mengenai pengaruh suku bunga riel terhadap investasi swasta. Suku bunga yang tinggi akan
53
meningkatkan real cost of capital yang pada gilirannya akan menghambat investasi swasta. Tapi pada sisi lain, financial market di negara-negara berkembang sangat lemah dan akses kepada pembiayaan luar negeri untuk proyek-proyek swasta sangat rendah. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa investasi swasta sangat ditentukan oleh tabungan dalam negeri yang secara teoritis bereaksi positif terhadap suku bunga yang tinggi. Dengan demikian, investasi swasta dapat berhubungan positif terhadap suku bunga di negaranegara berkembang. 3) Tingkat Pendapatan Per Capita. Pendapatan perkapita berhubungan positif terhadap kegiatan investasi swasta karena income yang tinggi di suatu negara lebih diarahkan pada tabungan. 4) Investasi Pemerintah. Seperti halnya suku bunga, pengaruh tingkat investasi pemerintah (rasio pengeluaran investasi pemerintah terhadap GDP) terhadap investasi swasta juga tidak pasti. Investasi pemerintah dapat bersifat komplementer dan mendukung investasi swasta. Hal ini terjadi jika investasi pemerintah terutama melibatkan pengeluaran untuk infrastruktur dasar seperti sekolah-sekolah, sistem transportasi, listrik, pengairan, dan fasilitas lainnya. Proyek-proyek seperti ini cenderung meningkatkan rate of return dan mendorong peningkatan investasi swasta. Sebaliknya, investasi pemerintah dapat melemahkan kegiatan investasi swasta sampai batas tertentu karena investasi pemerintah tersebut menjadi substitusi proyek-proyek swasta. Hal ini
terjadi
apabila
investasi
melibatkan
proyek-proyek
perusahaan-
perusahaan pemerintah yang produknya bersaing dengan produk sektor swasta. Tingkat investasi pemerintah yang tinggi dapat pula "crowds-out” kegiatan investasi swasta apabila pengeluaran pemerintah yang besar untuk proyek-proyek capital menyebabkan naiknya suku bunga, penjatahan kredit secara ketat, atau beban pajak yang tinggi pada saat sekarang atau di masa
54
yang akan datang. Dengan demikian positif atau negatifnya pengaruh kegiatan investasi pemerintah pada tingkat investasi swasta merupakan hal yang bersifat empiris (Ahmed dan Miller, 1999). 5) Tingkat Inflasi Dalam Negeri. Tingkat inflasi yang tinggi berpengaruh secara negatif terhadap kegiatan investasi swasta karena meningkatkan
resiko
proyek-proyek jangka panjang, menurunkan maturity rata-rata pjnjaman komersial, menimbulkan distorsi informasi yang disinyalkan oleh harga dalam perkonomian. Di samping itu, tingkat inflasi yang tinggi sering dipandang sebagai instabilitas ekonomi makro dan ketidakmampuan pemerintah mengendalikannya berpengaruh secara negatif terhadap investasi swasta. 6) Exchange Rate (Kurs). Exchange rate berpengaruh pada keputusan investasi swasta berhubung mesin-mesin dan peralatan yang diperlukan dalam kegiatan investasi kebanyakan harus diimpor dari negara lain dengan menggunakan valuta asing. Di samping itu, meningkatnya nilai tukar mata uang asing terhadap mata uang dalam negeri meningkatkan resiko pengembalian utang-utang komersial dari luar negeri yang pada gilirannya mempengaruhi secara negatif kegiatan investasi swasta. 7) Beban Hutang Luar Negeri. Diukur dengan debt-service ratio (DSR) dan rasio utang luar negeri terhadapat GDP, utang luar negeri dapat besar pengaruhnya secara negatif pada tingkat investasi swasta di suatu negara. DSR yang tinggi berarti berarti semakin terbatasnya sumberdaya yang tersedia untuk penggunaan dalam negeri, termasuk investasi swasta dan pengaruhnya negatif terhadap kegiatan ekonomi dalam negeri. Selain itu, rasio utang luar negeri yang tinggi menunjukkan bahwa suatu negara memiliki utang besar yang tertunda dan hal ini menurunkan investasi swasta karena porsi tertentu future
return on investment harus digunakan untuk
55
membayar kembali kewajiban utang sehingga menyulitkan berkembangnya investasi swasta 8) Faktor-faktor non-ekonomi. Selain variabel-variabel ekonomi di atas, sejumlah variabel lainnya seperti kestabilan politik, kepercayaan investor, keamanan, korupsi dan kepastian hukum, memegang peranan yang penting dalam
mempengaruhi
ekspektasi
pelaku
ekonomi
swasta
tentang
investasinya di masa yang akan datang. Tetapi diakui bahwa hal ini sukar untuk dikuantifikasi terutama di negara-negara berkembang. Assante (2000), meneliti determinan perilaku investasi swasta di Ghana periode 1970 – 1992. Dengan asumsi bahwa ketidakstabilan makroekonomi telah menjadi hambatan utama bagi investasi swasta. Penelitian ini menggunakan analisis time series dan cross section. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan yang membahas beberapa komponen ketidakstabilan ekonomi makro mungkin tidak cukup untuk menghidupkan kembali investasi swasta. Variabel pertumbuhan kredit sektor rill swasta memiliki efek positif dan secara statistik signifikan pada investasi swasta. Investasi swasta dan investasi publik yang ditemukan untuk saling melengkapi dan dengan demikian ada kebutuhan bagi pemerintah untuk terus mengembangkan basis infrasturktural ekonomi untuk meningkatkan sektor swasta. Hasil ekonometrik menunjukkan bahwa variabel non ekonomi seperti kudeta militer mungkin telah menciptakan iklim yang tidak kondusif terhadap investasi swasta. Penelitian yang dilakukan oleh Ouattara (2004) di Senegal, meneliti model determinan jangka panjang investasi swasta selama periode 1970 – 2000. Pertama menguji variabel untuk unit root menggunakan dua, relatif, pengujian baru dengan nama Dickey-Fuller GLS de-trending tes yang diusulkan oleh Eliot, et al (1996) dan tes Ng-perron oleh Ng dan Perron (2001). Persamaan jangka
56
panjang investasi swasta diturunkan menggunakan teknik Ko-inegrasi Johansen (Johansen,1988; Johansen dan Juselius, 1990) dan uji pendekatan terbaru yang diajukan oleh Pesaran et al.(2001). Pada kasus ini, hasilnya mengindikasikan bahwa investasi publik, pendapatan rill dan arus bantuan asing berdampak positif terhadap investasi swasta, sementara dampak kredit terhadap sektor swasta dan perdagangan adalah negatif. Penelitian ini juga menemukan bukti bahwa investasi swasta, investasi publik, PDB riil, kredit ke sektor swasta, bantuan, dan perdagangan secara terikat bersama-sama dalam jangka panjang. Bukti juga menunjukkan bahwa investasi swasta secara positif dipengaruhi oleh investasi publik, GDP riil dan bantuan luar negeri, sementara kredit kepada sektor swasta dan perdagangan berdampak negatif. Selain itu, uji stabilitas menunjukkan bahwa parameter diperkirakan mengalami kestabilan struktural. Acosta dan Loza (2005) meneliti determinan jangka pendek dan panjang investasi swasta di Argentina. Studi ini memberikan analisis empiris dari faktor ekonomi makro yang berpotensi dapat mempengaruhi keputusan investasi di Argentina dalam perspektif, jangka pendek menengah dan panjang. Literarur teoritis dan empris direview untuk mengidentifikasi fungsi investasi swasta selama tiga dekade terakhir (1970-2000). Dengan menggunakan model analisis ECM dan kointegrasi serta menguji akar unit, hasilnya menunjukkan perubahan struktural dalam tren investasi selama dekade terakhir, mulai akhir rezim militer (1976-1983). Terlepas dari pergantian dari semester pertama dekade terakhir, negara ini belum mampu memulihkan kembali arus penggabungan ibukota era substitusi impor (1950-1977). Selain itu, eksplorasi determinan investasi swasta selama tiga dekade terakhir mencerminkan bahwa ritme akumulasi modal dari sektor swasta tampaknya telah ditentukan terutama, dalam jangka pendek, oleh faktor-faktor transitori, baik oleh hasil (nilai tukar, inflasi , liberalisasi
57
perdagangan), serta oleh gejolak pada tingkat permintaan agregat. Mengontrol variabel lain, analisis menunjukkan bukti efek pergeseran ("crowding out") berasal dari keputusan investasi pemerintah, dengan bersaing untuk sumber daya yang bisa saja dimanfaatkan oleh sektor swasta. Selain itu, Diantara faktofaktor yang nampaknya telah menentukan jalur pertumbuhan ekonomi jangka panjang, tingkat utang luar negeri dan pembatasan yang biasanya beroperasi di pasar kredit domestik yang ditemukan menjadi relevan. Buruknya operasi sistem kredit finansial nampaknya menjadi kendala penting bagi pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain penelitian ini menyajikan bukti penggabungan modal merupakan bagian dari sektor swasta yang sangat erat kaitannya pada perspektif keberlanjutan jangka panjang negara. Posisi hutang luar negeri merupakan variabel yang berdampak pada ekspektasi investor, karena hal ini biasanya menentukan keberlanjutan melalui waktu dari kebijakan ekonomi yang pemerintah harus ambil. Ahmad dan Qayyum (2008) meneliti dampak pengeluaran pemerintah dan ketidakpastian ekonomi makro terhadap investasi swasta tetap pada sektor jasa di Pakistan selama periode 1972 – 2005. Dengan menggunakan metode kointegrasi dan ECM untuk menyelidiki sifat time series data dan mengestimasi model jangka panjang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah non-pembangunan sebagian besar muncul sebagai pengganti untuk investasi swasta dan mempengaruhi investasi swasta dalam sektor jasa secara negatif dalam jangka panjang. Temuan lain yang utama adalah bahwa ketidakpastian ekonomi makro mempengaruhi investasi swasta secara negatif. Analisis juga membuktikan bahwa ada hubungan negatif antara investasi swasta di sektor jasa dan suku bunga. Analisis menunjukkan bahwa stabilitas ekonomi makro tingkat tinggi dan tingkat inflasi yang rendah diprediksi memiliki respon
58
yang kuat dari investasi swasta untuk insentif ekonomi. Ketidakstabilan ekonomi makro yang menghambat investasi swasta saat ini meskipun insentif besar dan bertanggung jawab atas buruknya kinerja dari sektor swasta. Jadi, harmoni keseluruhan dan stabilitas di negara itu sangat penting untuk promosi investasi swasta. Selain itu, langkah-langkah proaktif juga diperlukan untuk menjamin stabilitas makroekonomi. Peningkatan belanja publik non-pembangunan dapat meningkatkan defisit anggaran dan pajak berjangka. Selain itu, defisit fiskal menyebabkan depresiasi mata uang lokal sehingga mempengaruhi kepercayaan investor asing. Jadi pengeluaran publik non-pembangunan harus dihemat untuk mendorong investasi swasta. Terdapat kebutuhan yang mendapat perhatian khusus harus dibayar untuk meningkatkan belanja pembangunan publik untuk meminimalkan
biaya
produksi
sektor
swasta,
sehingga
meningkatkan
profitabilitas investor dan memungkinkan mereka untuk menerimai keuntungan dari skala ekonomi. Sehingga, pengeluaran pembangunan harus ditingkatkan untuk mendorong investasi swasta. Penelitian yang dillakukan oleh Afrizal (2009) mengenai Analisis Investasi di Indonesia suatu pendekatan Model dinamik, dengan menggunakan variabel pendapatan nasional, suku bunga internasional Libor dan angkatan kerja selama enam belas tahun pengamatan menemukan bahwa secara parsial pendapatan nasional rill berpengaruh nyata dan negatif terhadao investasi di Indonesia. Sementara suku bunga internasional berpengaruh nyata terhadap investasi di Indonesia, namun kondisi tersebut tidak sesuai dengan teori maupun hipotesis. Selanjutnya pertumbuhan angkatan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat investasi di Indonesia. Busse & Hefeker ( 2007), mengeksplorasi hubungan anatara resiko politik dan kelembagaan terhadap investasi swasta, menemukan bahwa stabilitas
59
pemerintahan, political institution berhubungan positif dan signifikant terhadap investasi swsata. Hal ini sejalan dengan temuan Jansen (2006), bahwa institusi politik
demokrasi
yang
positif
dapat
mempengaruhi
investasi
swasta
berhubungan positif terhadap investasi swasta. Hal serupa diungkapkan oleh Nurdeen (2009) di Turki dan Blonigen (2011) pada negara OECD.
60
BAB III KERANGKA KONSEPTUAL PENELITIAN
3.1.
Kerangka Pikir Untuk
mendapatkan
gambaran
mengenai
penelitian
yang
akan
dilaksanakan, maka penulis merasa perlu menyajikan kerangka pikir penelitian. Kerangka pikir menjadi penting karena pada bagian ini, menjelaskan alur pikir yang dibangun berdasarkan literatur teoritis dan literatur empiris hingga mencapai tujuan akhir yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Kebijakan fiskal ekspansif ditandai dengan peningkatan pengeluaran pemerintah sebagai salah satu instrumen kebijakan fiskal. Namun, sebagai konsekuensinya maka peningkatan pengeluaran pemerintah tersebut seringkali diiringi dengan peningkatan defisit anggaran pemerintah. Secara deskriptif bahwa kebijakan fiskal ekspansif yang dilakukan melalui instrumen peningkatan pengeluaran pemerintah belum dapat menjamin adanya peningkatan investasi secara signifikan. Hal ini dapat saja terjadi bilamana peningkatan pengeluaran pemerintah yang masih didominasi atas pengeluaran yang bersifat konsumtif. Ada dua pandangan yang berbeda mengenai dampak pengeluaran pemerintah terhadap investasi swasta. Ekonom Klasik berpendapat bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah menyebabkan meningkatnya suku bunga dan mendorong investasi swasta menurun (crowding-out). Crowding-Out terjadi ketika kebijakan fiskal ekspansioner menyebabkan suku bunga naik, sehingga mengurangi pengeluaran swasta, terutama investasi (Dornbusch, Fischer, dan Startz, 2008:259). Dengan kata lain bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah sebagai pengganti pengeluaran sektor swasta dapat menurunkan atau menggeser investasi swasta (Zayanderoody, 2009).
61
Secara
umum
percaya
bahwa
investasi
sektor
swasta
mampu
mempercepat kegiatan ekonomi karena swasta fokus terhadap efisiensi dan maksimisasi profit, selain itu peningkatan pengeluaran pemerintah atas biaya atau biaya sektor swasta berdampak negatif pada investasi swasta (Hussain, Mohammad, Akram, dan Lal, 2009) Disisi
lain
ekonom
Keynesian
berpendapat
bahwa
peningkatan
pengeluaran pemerintah menyebabkan infrastruktur, kesehatan, pendidikan lebih baik sebagai hasil merangsang investasi swasta, karena pengeluaran ini dapat mengurangi biaya produksi perusahaan dan konsekuensinya (crowding-in) terhadap investasi swasta. Jadi menurut keynesian, investasi swasta menjadi saluran
penting
bagi
efektivitas
kebijakan
fiskal
dalam
peningkatan
pembangunan ekonomi (Ahmad&Miller, 2000 ; Ahmad&Qayyum, 2008 ; Mohammad&Husain, 2009). Investasi
swasta
memainkan
peran
penting
dalam
pertumbuhan sebagai upaya menghasilkan proses dalam mengembangkan perekonomian (Jongwanich dan Kohpaiboon, 2008). Peran swasta dalam proses pembangunan sangat strategis, hal ini tercermin dalam struktur PDB yang lebih dominan dibanding peran pemerintah. Melalui tambahan investasi yang ditanamkan di berbagai sektor yang menyebabkan ekonomi semakin tumbuh dan berkembang dengan indikatornya, meningkatkan penyerapan tenaga kerja, pendapatan yang merupakan indikasi adanya peningkatan kesejahteraan. Tidak ada yang membantah, bahwa meningkatnya investasi swasta akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi melalui perluasan produksi dan permintaan yang berdampak tidak hanya pada bidang ekonomi
saja,
kemasyarakatan.
akan
tetapi
telah
meluas
pada
bidang-bidang
sosial
62
Investasi merupakan pengeluaran agregat kedua setelah konsumsi yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Investasi secara umum dibedakan atas investasi publik dan investasi swasta. Pembiayaan investasi publik berupa infrastruktur dibiayai dari pengeluran pemerintah. Sementara pembiayaan investasi swasta dilakukan oleh sektor swasta dengan melihat determinan investasi yang mempengaruhinya. Bagi pemerintah tujuan utama investasi yang dilakukan terutama menggerakkan kegiatan dalam perekonomian, sementara bagi pelaku ekonomi swasta
adalah
untuk
memaksimalkan
profit.
Sebagai
upaya
untuk
memaksimalkan profit tersebut, investasi swasta dipengaruhi oleh sejumlah faktor penentu investasi, antara lain berupa variabel ekonomi dan variabel non ekonomi. Pengeluaran pemerintah yang digunakan dalam penelitian ini secara spesifik menggunakan pengeluaran pemerintah berdasarkan fungsinya untuk memperoleh hasil empiris yang relevan. Suatu implikasi penting hipotesis crowding out dan crowding in yakni dengan mengamati pengeluaran pemerintah berdasarkan kategori yang berbeda sehingga dapat menghasilkan dampak yang berbeda terhadap investasi swasta (Wang, 2005). Klasifikasi pengeluaran pemerintah menurut fungsinya mengikuti klasifikasi pengeluaran pemerintah yang dilakukan oleh Wang (2005) dan Laopadis (2001). Variabel sebagai indikator determinan investasi swasta yang dimaksud dalam penelitian ini adalah variabel PDB yang mewakili output, suku bunga sebagai
implikasi
atas
cost
of
capital,
infalsi
mewakili
ketidakpastian
makroekonomi, dan upah sebagai salah satu indikator user cost. Investasi berhubungan proporsional terhadap output. Model akselerator menyatakan bahwa pengeluaran investasi proporsional dengan perubahan
63
output dan tidak berpengaruh terhadap biaya modal, I = (Y – Y-1) (Dornbusch et all 2008:359). Output diukur melalui kenaikan produk domestik Bruto (PDB). (Asante, 2000 ; Celebi dan Akkina, 2002 ; Loza dan Acosta, 2005; Ang, 2009; ). Secara empiris bahwa PDB berkorelasi positif dan signifikan terhadap investasi swasta (Sakr dan El-Erian, 1993; Ouattara, 2004; Ang, 2009; Nurdeen, 2009; Morrissey dan Udomlerdmongkol, 2012). Berdasarkan tinjauan teoritis bahwa suku bunga merupakan fungsi dari investasi, maka ketika suku bunga tinggi akan berdampak terhadap biaya modal dan akan menurunkan rate of return (Dornbusch et all 2008:339). Dalam teori Keynes, keuntungan yang diharapkan menurut konsep MEC berhubungan dengan suku bunga. Sejumlah studi empiris juga memasukkan variabel suku bunga sebagai salah satu variabel penentu investasi swasta yang berhubungan negatif terhadap investasi swasta(Assante, 2000; Celebi dan Akkina, 2002.; Qayyum dan Ahmad, 2008; Nurdeen, 2009). Penemuan berbeda bahwa suku bunga berhubungan positif terhadap investasi swasta (Ang, 2009). Hal ini mendukung Hipotesis McKinnon dan Shawn (1973) dalam Khan (2007). Peranan penting ketidakpastian dalam keputusan investasi telah disoroti dalam karya-karya Keynes sejak awal bahwa investasi swasta mengacu pada volatilitas semenjak pengembalian investasi selalu tidak pasti (Ang, 2009). Inflasi digunakan sebagai proksi ketidakpastian ekonomi yang rasional (Acosta dan Loza, 2005) sehingga inflasi mewakili salah satu variabel ketidakpastian dalam makroekonomi (Dornbusch, 2008). Selain itu, Teori portofolio menyatakan bahwa salah satu faktor penentu investasi adalah tingkat inflasi. Semakin tinggi inflasi (expected inflation) maka orang akan cenderung menukarkan kekayaan jenis uang (surat berharga) dengan kekayaan jenis barang fisik, seperti rumah. Inflasi dapat menyebabkan kenaikan investasi (produksi) karena dalam keadaan inflasi
64
biasanya kenaikan harga akan mendahului kenaikan upah sehingga keuntungan pengusaha meningkat. Kondisi ini tetap dalam catatan bahwa inflasi yang terjadi merupakan inflasi yang masih dalam tingkat toleransi (creeping inflation < 10%/tahun) (Setyari, 2008). Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang dapat mendukung
proses
produksi.
Secara teoritis
peningkatan tenaga kerja
menyebabkan harga (upah) tenaga kerja menjadi murah sehingga biaya produksi relatif menjadi rendah (Almeida, 2007). Hal ini akan menyebabkan investor tertarik untuk melakukan investasi. Secara umum dinegara berkembang, faktor produksi dengan upah tenaga kerja yang murah dapat menjadi daya tarik bagi investor. Berdasarkan tinjauan teoritis dan studi empiris yang telah diuraikan sebelumnya maka determinan investasi swasta yang terdiri dari variabel PDB, suku bunga, pengeluaran pemerintah (pengeluaran pelayanan umum, ekonomi, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan dan pendidikan) inflasi, upah dan political institution terhadap investasi swasta di Indonesia dapat diuraikan dalam skema alur pikir berikut:
65
3. 1. Kerangka Pikir Penelitian
Investasi
Swasta
Publik
Pengeluaran Pemerintah
-
Determinan Investasi Swasta
Pelayanan Umum Ekonomi Perumahan & fas.Umum Pendidikan kesehatan
-
Faktor Ekonomi PDB Suku Bunga Inflasi Upah
Hipotesis Klasik / Crowding Out (-) Hipotesis Keynes / Crowding In (+)
Investasi Swasta
Kesempatan Kerja
Keterangan: Area yang diteliti
Faktor Non Ekonomi Political Institution
66
3. 2. Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pikir dan penjelasan yang telah di uraikan diatas, maka hipotesis yang di ajukan dalam penelitian ini berdasarkan literatur teoritis dan literatur empiris dari pengeluaran pemerintah, investasi swasta dan determinan investasi swasta sebagai berikut: 3. 2. 1. Diduga bahwa PDB berpengaruh secara positif terhadap investasi swasta. Hal ini sejalan dengan Model akselerator menyatakan bahwa pengeluaran investasi proporsional dengan perubahan output dan tidak berpengaruh atas biaya modal (Dornbusch, Fisher dan startz, 2008 : 359). Pernyataan tersebut didukung oleh Misati & Nyomongo (2011), Ang (2009), Azzimonti (2009), Khan & Khan (2007),Acosta & Loza (2005). Diduga bahwa suku bunga berpengaruh secara negatif terhadap investasi swasta. Menurut Teori Neoklasik suku bunga merupakan cost of capital (Jorgenson, 1967), Hal ini didukung pula oleh Keynes dan QTobin (Romer, 2006). Secara empiris telah ditemukan Fujita (2011), Nurdeen (2009), Almeida (2007), Ayson (2005), Oskooee (1999). Diduga bahwa pengeluaran pemerintah masih ambigu terhadap investasi swasta. Berdasarkan hipotesis Klasik Crowding Out jika negatif dan Crowding in hipotesis Keynes jika positif. Di duga bahwa inflasi berpengaruh negatif terhadap investasi swasta. Menurut Keynes (Ahmad & Qayyum, 2008) inflasi merupakan salah satu veriabel ketidakpastian makroekonomi selain kurs.
67
Diduga bahwa upah tenaga kerja berhubungan positif terhadap investasi swasta. Premis dasar model investasi neoklasik bahwa perusahaan meminimalkan biaya produksi termasuk upah (Jorgenson, 1967). Diduga bahwa Political Institution berhubungan positif terhadap investasi swasta, ini didukung oleh hasil penelitian Blonigen (2011), Nurdeen (2009). 2. 2. 2.
Diduga bahwa Pengeluaran pemerintah berdasarkan fungsi yakni
pelayanan umum berhubungan positif terhadap investasi swasta karena merupakan investasi publik secara teoritis Crowding In (Wang, 2005), ekonomi berhubungan negatif terhadap investasi swasta secara teoritis Crowding Out (Ahmad & Miler, 2000) karena termasuk di dalamnya pembiayaan bunga dan hutang, perumahan dan fasilitas umum berhubungan negatif mendukung hipotesis Kalsik Crowding Out karena umumnya dibiayai dari pinjaman (Laopadis, 2001), kesehatan dan pendidikan berhubungan positif terhadap investasi swasta, mendukung hipitesis Keynes Crowding In (Husain, Adnan & Sulaiman, 2009) di Indonesia selama periode pengamatan.
3. 3. Definisi Konsep Operasional a.
Produk Domestik Bruto Adalah nilai akhir produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektor-sektor ekonomi dalam suatu wilayah/ negara dalam jangka waktu tertentu
b.
Pengeluaran Pemerintah merupakan pengeluaran pemerintah berupa belanja modal dan belanja barang yang tujuannya sebagai investasi pemerintah. Secara parsial Pengeluaran pemerintah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengeluaran pemerintah berdasarkan fungsinya
68
yang meliputi: pengeluaran pelayanan umum, pengeluaran ekonomi, pengeluaran perumahan dan fasilitas umum, pengeluaran kesehatan dan pengeluaran pendidikan. c.
Investasi Swasta atau investasi merupakan pembentukan modal tetap bruto yakni pembelian barang yang nantinya akan digunakan untuk memproduksi lebih banyak barang dan jasa. Investasi adalah jumlah dari pembelian peralatan modal, persediaan, dan bangunan atau struktur. Investasi pada bangunan mencakup pengeluaran untuk mendapatkan tempat tinggal baru.
c.
Suku Bunga yang digunakan dalam penelitian ini merupakan suku bunga rill (suku bunga nominal dikurangi inflasi)
d.
Upah merupakan harga atau biaya atas tenaga kerja, yang digunakan dalam penelitian ini adalah upah minimum propinsi di Indonesia
e.
Inflasi, merupakan tingkat perubahan harga yang dihitung berdasarkan indeks harga konsumen yang dipublikasikan oleh BPS.
f.
Political Institution, suatu kelembagaan politik yang membuat kebijakan perekonomian dan sistem sosial termasuk didalamnya rezim, demokrasi, kualitas pemerintahan, akuntabilitas.
g.
Kesempatan Kerja, merupakan permintaan terhadap tenaga kerja
69
BAB IV METODE PENELITIAN
Pada bab ini akan dideskripsikan metode penelitian yang akan digunakan dalam
penelitian
ini
yang
terdiri
atas:
pendekatan
penelitian,
metode
pengumpulan data, defenisi dan pengukuran variabel dan analisis data. Dalam penelitian ini, penulis mengembangkan indikator pengeluaran pemerintah dan determinan investasi swasta dengan metode penelitian yang relevan untuk menganalisis hubungan pengeluaran pemerintah dalam hal ini investasi publik terhadap investasi swasta dan hubungan variabel ekonomi dan non ekonomi sebagai determinan investasi swasta yang berpengaruh terhadap investasi swasta di Indonesia. 4. 1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan paradigma positivistik. Dengan pendekatan positif dan metode penelitian kuantitatif menuntut adanya rancangan penelitian yang menspesifikasi objek secara eksplisit dieliminasikan objek-objek lain yang tidak diteliti (Moehadjir, 1989:11). Dalam pendekatan penelitian positive Secara teknis mencari makna yang diaplikasikan dalam bentuk mencari signifikasi. Langkahnya analisis akan dihentikan manakala teruji kebermaknaan dalam rangkaian uji signifikansi dengan teknik pembuktian yang didasarkan pada frekuensi atau ragam kejadian. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan prediksi terhadap pola hubungan kausalitas yang berangkat dari pernyataan dasar sebagai asumsi. Asumsi yang digunakan secara logis dan konsisten berasal dari teori atau model. Pernyataan ini dapat disampaikan dalam bentuk bahasa, grafik maupun dalam persamaan matematis. Pendekatan positivistik yang digunakan dalam penelitian ini menganalisis hubungan korelasi independensi, keeksistensi dan kausaliti, demikian pula
70
mampu memprediksi mengenai hal-hal yang dapat terjadi berkenaan dengan keterkaitan antara investasi publik terhadap investasi swasta dan determinan atas investasi swasta. Pendekatan yang digunakan tersebut bertujuan untuk menjawab permasalahan penelitian melalui pengujian hipotesis. Dalam pengujian hipotesis peneliti berlandaskan pada tiga metodologi yaitu; 1. Apriori, merupakan pengetahuan yang berdasarkan pada kesimpulan dari hal yang telah ditentukan (mengacu pada defenisi atau dari ide-ide yang sudah diterima secara umum) dalam konteks deduktif, pasti, benar secara universal dan intuitif. 2. Aposteriori,
merupakan pengetahuan
yang
diperoleh
berdasarkan
pengalaman, setelah ada observasi atau eksperimen (bukti empiris). 3.
Reduksionis,
merupakan
merupakan
perangkat
metodologi
yang
membawa data dan persoalan dalam bentuk yang sesuai dengan analisis data atau pemecahan permasalahan penelitian.
Artinya dilakukan
penyederhanaan yang awalnya rumit dalam satu bentuk metodologi yang secara prinsip dapat diterapkan pada semua gejala mengenai efek investasi publik terhadap investadi swasta dan determinan investasi swasta.
4. 2. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder tersebut bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, Bank Indonesia (BI), Badan Kebijakan Fiskal Kementrian Keuangan RI, World Bank, institusi lain dan situs internet yang relevan. Data yang dikumpulkan meliputi Produk Domestik Bruto (PDB), Investasi Swasta (Pembentukan Modal Tetap Bruto), Pengeluaran Pemerintah berupa Pelayanan Umum, Ekonomi,
71
Perumahan dan fasilitas umum, Kesehatan, Pendidikan, Suku bunga, Tenaga Kerja, upah, inflasi dan political institution. Data yang dikumpulkan mulai periode 1981 – 2011. Data tersebut diharapkan dapat menjelaskan determinan investasi swasta dan asosiasinya terhadap pengeluaran pemerintah di Indonesia. 4. 3. Analisis Data Model ekonometrik memiliki dasar pada teori investasi kalsik, teori Keynes dan teori Akselerasi. Ketiga teori tersebut, investasi ditentukan oleh tingkat bunga, pendapatan dan output. Seperti dikemukakan Ouattara (2004), teori investasi neoklasik menyatakan bahwa investasi swasta berhubungan positif dengan pertumbuhan PDB rill. Lebih lanjut dikatakan bahwa ketika pendapatan meningkat maka tabungan domestik juga meningkat yang pada gilirannya meningkatkan investasi. Namun, Aysan et al (2005) menyatakan bahwa model neoklasik tidak memperhitungkan sejumlah kendala khusus yang tidak dihadapi oleh negara berkembang. Variabel lain yang telah dikutip dalam literatur
untuk
mempengaruhi
investasi
swasta
termasuk
pengeluaran
pemerintah, Tingkat Bunga Riil, Inflasi (mewakili variabel ketidakpastian), dan Upah, dan political institution yang menggunakan model estimasi Kointegrasi dan ECM (Misati dan Nyamongo, 2011 ; Nurdeen, 2009 ; Acosta dan Loza, 2009 ; Ahmed dan Miller, 2000; Oskooee, 1999). Berkaitan dengan hal tersebut maka dalam penelitian ini untuk menguji hipotesis sebagai jawaban atas permasalahan penelitian. Dalam penelitian ini dilakukan dua analisis yakni analisis keseimbangan jangka panjang dengan menggunakan persamaan kointegrasi (cointegration test) dan analisis jangka pendek dengan metode regresi linier ECM (Error Correction Model). Sebelum melakukan analisis terlebih dahulu dilakukan uji kestasioneran data dengan menggunakan Unit root test menggunakan metode uji ADF (Augmented Dickey
72
Fuller) dan PP (Phillips and Peron). Hal ini berarti bahwa data yang digunakan harus bersifat stasioner, dengan kata lain data tersebut memiliki varians yang tidak terlalu besar dan mempunyai kecenderungan untuk mendekati nilai ratarata (Widarjono, 2007). Hipotesis yang dikemukakan adalah jika H0 : = 0 berarti data tidak dan stasioner jika H1 : 0 berarti data stasioner. Teknik pengujiannya dengan dengan membuat regresi antara ΔY1 dan Yt-1 sehingga akan diperoleh koefisien regresinya yakni . Dengan demikian maka untuk Indonesia, persamaan Investasi Swasta adalah sebagai berikut: Y = f (X1, X2, X3, X4, X5, X6)
(1)
Sehingga menghasilkan persamaan 2 berikut: Yt = 0 + 1 X1t + 2X2t + 3X3t + 4X4t + 5X5t + 6X6t + t Keterangan: 0
= intersep
1 , 2i , 3 , 4 , 5
= Koefisien regresi
Yt
= Nilai Investasi Swasta pada periode t
Xit
= Produk Domestik Bruto pada periode t
X2t
= Suku Bunga Rill Periode t
X3t
= Pengeluaran Pemerintah Periode T X31t
: Pengeluaran pemerintah untuk pelayanan umum periode t
(2)
73
X32t
: Pengeluaran pemerintah untuk ekonomi periode t
X33t
: Pengeluaran pemerintah untuk perumahan dan fasilitas umum periode t
X34t
: Pengeluaran pemerintah untuk kesehatan periode t
X35t
: Pengeluaran pemerintah untuk pendidikan periode t
X4t
= Inflasi periode t
X5t
= Nilai Upah pada periode t
X6t
= Political Institution
t
= error term Dari regresi terhadap persamaan diatas diperoleh nilai residunya yang
selanjutnya diuji dengan menggunakan metode Augmented Dickey Fuller (ADF) untuk melihat apakah nilai residual tersebut stasioner atau tidak. Persamaan ADF tersebut adalah: (3)
Nilai residu dikatakan stasioner bilamana nilai ADF lebih kecil atau lebih besar dari nilai kritis mutlak Mc Kinnon pada =1%, 5%, atau 10% maka dapat dikatakan regresi tersebut adalah regresi yang terkointegrasi. Selanjutnya secara khusus dilakukan uji Granger memeriksa hubungan antara satu atau lebih dari satu variabel lain dengan lag nya (Laopadis, 2001). Dengan demikian maka diperoleh persamaan:
74
∆ ln(ܻ௧) = ܽ + ܾଵ∆ ln(ܻ௧ିଵ) + ܾଶ∆ln (ܺ௧ିଵ)
(4)
Dimana Y merupakan investasi swasta, X merupakan variabel determinan investasi yang di uji. a, b1 , b2, merupakan parameter yeng diestimasi dengan menggunakan metode OLS. Ln merupakan transformasi natural logaritma yang diaplikasikan pada differens (Δ) variabel. Berikutnya prosedur PP (Philips-Perron) mendiagnosa ada tidak unit root pada
masing-masing
seris.
Secara
statistik
estimasi
dijabarkan
dalam
persamaan berikut: ் ଶ
ln(ܺ௧) = ߜ + ߜଵ ቀݐ− ቁ+ ߜଶ ln(ܺ௧ିଵ) + ݑ௧ =ݐ1,2, … ܶ
(5)
Dimana T/2 mewakili trend waktu dan T merupakan ukuran sampel. Dalam ekonometrika variabel yang saling terkointegrasi dikatakan dalam kondisi keseimbangan jangka panjang (Widarjono, 2007). Sehingga interpretasi model tersebut untuk menganalisis Investasi jangka panjang. Untuk mengetahui spesifikasi model dengan ECM merupakan model yang valid, dapat terlihat pada hasil uji stasistik terhadap koefisien residual dari regresi pertama, yang selanjutnya disebut Error Correction Term (ECT). Model ECM yang digunakan pada penelitian ini sebagai berikut:
ܻ = ݂(ܺଵ, ܺଶ, ܺଷ, ܺସ, ܺହ)
ܽ = ܥଵ(ܻ௧ − ܻ௧∗ )ଶ + ܽଶ[(ܻ௧ − ܻ௧ିଵ) − ݂௧(ܼ௧ − ܼ௧ିଵ)]ଶ
(6) (7)
ܼ௧ = ݂(ܺଵ௧, ܺଶ௧, ܺଷ௧ܺସ௧, ܺହ௧)
(8)
2ܽଵ(ܻ௧ − ܻ௧∗ ) + 2ܾଶ[(ܻ௧ − ܻ௧ିଵ) − ݂௧(ܼ௧ − ܼ௧ିଵ)] = 0
(9)
Minimumkan → ܥ
ణ = ణ
0
ܽଵ(ܻ௧ − ܻ௧∗ ) + ܾଶ[(ܻ௧ − ܻ௧ିଵ) − ݂௧(ܼ௧ − ܼ௧ିଵ)] = 0
(10)
75
Dengan Substitusi diperoleh:
ܽଵܻ௧ + ܽଶܻ௧ = ܽଵܻ௧∗ + ܽଶܻ௧ିଵ + ܽଷ݂௧(ܼ௧ − ܼ௧ିଵ)
(11)
(ܽଵ + ܽଶ)ܻ௧ = ܽଵ(ߙ + ߙଵܺଵ௧ + ߙଶܺଶ௧ + ߙଷܺଷ௧ + ߙସܺସ௧ + ߙହܺହ௧) + ܽଶܻ௧ିଵ + ܽଶ݂௧ܼ௧ + ܽଶ݂௧ܼ௧ିଵ
(12)
= ܽଵߙ + ܽଵߙଵܺଵ௧ + ܽଵߙଶܺଶ௧ + ܽଵߙଷܺଷ௧ + ܽଵߙସܺସ௧ + ܽଵߙହܺହ௧ +
ߙଵܽଶ݂ଵܺଵ௧ + ߙଶܽଶ݂ଶܺଶ௧ + ߙଷܽଶ݂ଷܺଷ௧ + ߙସܽଶ݂ସܺସ௧ + ߙହܽଶ݂ହܺ௧ + ߙଵܽଶ݂ଵܺ௧ିଵ + ߙଶܽଶ݂ଶܺଶ௧ିଵ + ߙଷܽଶ݂ଷܺ௧ିଵ + ߙଷܽଶ݂ଷܺଷ௧ିଵ + ߙସܽଶ݂ସܺସ௧ିଵ + ߙହܽଶ݂ହܺହ௧ିଵ + ܽଶܻ௧ିଵ
(13)
Maka:
ܻ௧ =
ܽଵߙ ܽଵߙଵ ܽଶߙଶ ܽଵߙଷ ܽଵߙସ + ൨ܺଵ௧ + ൨ܺଶ௧ + ൨ܺଷ௧ + ൨+ ܽଵ + ܽଵ ܽଵ + ܽଶ ܽଵ + ܽଶ ܽଵ + ܽଶ ܽଵ + ܽଶ
ܽଵߙହ ܽଶߙଵ݂ଵ ܽଶߙଶ݂ଶ ܽଶߙଷ݂ଷ ൨ܺହ௧ + ൨ܺଵ௧ିଵ + ൨ܺଶ௧ିଵ + ൨ܺ + ܽଵ + ܽଶ ܽଵ + ܽଶ ܽଵ + ܽଶ ܽଵ + ܽଶ ଷ௧ିଵ ܽଶߙସ݂ସ ܽଶߙହ݂ହ ܽଶ ൨ܺସ௧ିଵ + ൨+ ܻ ܽଵ + ܽଶ ܽଵ + ܽଶ ܽଵܽଶ ௧ିଵ
(14)
Sehingga diperoleh:
ܻ௧ = (1 − ܽ)ߙ + [(1 − ܽ) + ݂ܽଵ]ߙଵܺଵ௧ + [(1 − ܽ) + ݂ܽଶ]ߙଶܺଶ௧ + [(1 − ܽ) + ݂ܽଷ]ߙଷܺଷ௧ + [(1 − ܽ) + ݂ܽସ]ߙସܺସ௧ + [(1 − ܽ) + ݂ܽହ]ߙହܺହ௧ +
ܽߙଵ݂ଵܺଵ௧ିଵ + ܽߙଶ݂ଶܺଶ௧ିଵ + ܽߙଷܺଷ௧ିଵ + ܽߙହܺହ௧ିଵ + ܻܽ௧ିଵ
(15)
ܻ௧ = ݃ߙ + ݃ଵߙଵܺଵ௧ + ݃ଷߙଷܺଷ௧ + ݃ସߙସܺସ௧ + ݃ହߙହܺହ௧ + ݃ܺଵ௧ିଵ + ݃ܺଶ௧ିଵ + ଼݃ܺଷ௧ିଵ + ݃ଽܺସ௧ିଵ + ݃ଵܺହ௧ିଵ + ݃ଵଵܻ௧ିଵ
(16)
76
a = a2 / (a1 + a2)
g5 = [(1 – a) + af5] 5
a1 = a2 (1 – a) / a
g6 = a1f1
g0 = (1 – a) / 0
g7 = a2f2
g1 = [(1 – a) + af1]1
g8 = a3f3
g2 = [(1 – a) + af2]2
g9 = a4f4
g3 = [(1 – a) + af3]3
g10 = a5f5
g4 = [(1 – a) + af4]4
g11 = a
Reparameterize :
∆ܻ௧ = ߜߙ + ߜଵߙଵ∆ܺଵ௧ + ߜଶߙଶ∆ܺଶ௧ + ߜଷߙଷ∆ܺଷ௧ + ߜସߙସ∆ܺସ௧ + ߜହߙହ∆ܺହ௧ +
ߜܺଵ௧ିଵ + ߜܺଶ௧ିଶ + ߜ଼ܺଷ௧ିଷ + ߜଽܺସ௧ିସ + ߜଵܺହ௧ିହ − ߜଵଵ(ܻ௧ିଵ − ߣଵܺଵ௧ିଵ − ߣଶܺଶ௧ିଵ − ߣଷܺଷ௧ିଵ − ߣସܺସ௧ିଵ − ߣହܺହ௧ିଵ
(17)
Dimana: 0 = g0
6 = g6
1 = (g1 + g6) / (1 – g4)
1 = g1
7 = g7
1 = (g2 + g7) / (1 – g4)
2 = g2
8 = g8
1 = (g3 + g8) / (1 – g4)
3 = g3
9 = g9
1 = (g4 + g9) / (1 – g4)
4 = g4
10 = g10
1 = (g5 + g10) / (1 – g4)
5 = g5
11 = (1 – g11)
77
∆ܻ௧ = ߛߙ + ߛଵߙଶ∆ܺଵ௧ + ߛଶߙଶ∆ܺଶ௧ + ߛଷߙଷ∆ܺଷ௧ + ߛସߙସ∆ܺସ௧ + ߛହߙହ∆ܺହ௧ + ߛܺଵ௧ିଵ + ߛܺଶ௧ିଵ + ߛ଼ܺଷ௧ିଵ + ߛଽܺସ௧ିଵ + ߛଵܺହ௧ିଵ + ߛଵଵ(ܺଵ௧ିଵ + ܺଶ௧ିଵ + ܺଷ௧ିଵ + ܺସ௧ିଵ + ܺହ௧ିଵ + ܻ௧ିଵ)
0 = 0
6 = 5 (1 - 1)
1 = 1
7 = 6 (1 - 2)
2 = 2
8 = 7 (1 - 3)
3 = 3
9 = 8 (1 - 4)
4 = 4
10 = 9 (1 - 5)
5 = 5
11 = - 10
(18)
Maka akan menghasilkan persamaan:
∆ܻ௧ = ߚ + ߚଵ∆ܺଵ௧ + ߚଶ∆ܺଶ௧ + ߚଷ∆ܺଷ௧ + ߚସ∆ܺସ௧ + ߚହ∆ܺହ௧ + ߚ∆ܺଵ௧ିଵ +
ߚ∆ܺଶ௧ିଵ + ߚ଼∆ܺଷ௧ିଵ + ߚଽ∆ܺସ௧ିଵ + ߚଵ∆ܺହ௧ିଵ + ߚଵଵܥܧ௧ିଵ + ߝ (19)
Selanjutnya untuk memperoleh elastisitas maka persamaan diatas diubah menjadi persamaan berikut:
∆݈ܻ݊௧ = ߚ + ߚଵ∆݈݊ܺଵ௧ + ߚଶ∆ܺଶ௧ + ߚଷ∆݈݊ܺଷ௧ + ߚସ∆ܺସ௧ + ߚହ∆݈݊ܺହ௧ +
ߚ∆݈݊ܺଵ௧ିଵ + ߚ∆ܺଶ௧ିଵ + ߚ଼∆݈݊ܺଷ௧ିଵ + ߚଽ∆ܺସ௧ିଵ + ߚଵ∆݈݊ܺହ௧ିଵ + ߚଵଵܥܧ௧ିଵ + ߝ
Selanjutnya untuk mengoreksi keseimbangan jangka pendek menuju
pada keseimbangan jangka panjang disebut Error Corection Model (ECM). Metode ini adalah suatu regresi tunggal menghubungkan diferensi pertama pada variabel terikat (ΔY) dan diferensi pertama untuk semua variabel bebas dalam
78
model. Sehingga model analisis ECM secara lengkap dirumuskan sebagai berikut:
∆݈ܻ݊௧ = ߚ + ߚଵ∆݈݊ܺଵ௧ + ߚଶ∆ܺଶ௧ + ߚଷ∆݈݊ܺଷ௧ + ߚସ∆ܺସ௧ + ߚହ∆݈݊ܺହ௧ +
ߚ∆݈݊ܺଵ௧ିଵ + ߚ∆ܺଶ௧ିଵ + ߚ଼∆݈݊ܺଷ௧ିଵ + ߚଽ∆ܺସ௧ିଵ + ߚଵ∆݈݊ܺହ௧ିଵ + ߚଵଵܥܧ௧ିଵ + ߝ
Selanjutnya
Pengeluaran
pemerintah
diklasifikasikan
(20)
berdasarkan
fungsinya yakni terdiri dari pengeluaran pelayanan umum, pengeluaran ekonomi, pengeluaran perumahan dan fasilitas umum, pengeluaran kesehatan dan pengeluaran pendidikan. Klasifikasi pengeluaran pemerintah dalam penelitian ini mengacu pada klasifikasi yang dilakukan oleh Wang (2005) dan Laopadis (2001). Namun, dari sebelas klasifikasi pengeluaran pemerintah berdasarkan fungsinya diambil lima kategori yang disinyalir dapat memberi dampak secara langsung terhadap Investasi swasta di Indonesia. Pengeluaran pemerintah diklasifikasikan berdasarkan fungsi untuk melihat dampak pengeluaran pemerintah secara spesifik Crowding out ataupun crowding in terhadap investasi swasta melalui komponen pengeluaran pemerintah secara spesifik mengacu pada model Laopodis (2001) dan Wang (2005) sebagai berikut: Maka berdasarkan persamaan 15 diatas dengan cara yang sama untuk melihat spesifikasi pengeluaran pemerintah secara parsial berdasarkan fungsi pengeluarannya menghasilkan persamaan berikut:
∆݈ܻ݊௧ = ߚ + ߚଵ∆݈݊ܺଵ௧ + ߚଶ∆ܺଶ௧ + ߚଷ∆݈݊ܺଷଵ௧ + ߚସ∆ܺସ௧ + ߚହ∆݈݊ܺହ௧ +
ߚ∆݈݊ܺଵ௧ିଵ + ߚ∆ܺଶ௧ିଵ + ߚ଼∆݈݊ܺଷଵ௧ିଵ + ߚଽ∆ܺସ௧ିଵ + ߚଵ∆݈݊ܺହ௧ିଵ + ߚଵଵܥܧ௧ିଵ + ߝ
(20a)
79
∆݈ܻ݊௧ = ߚ + ߚଵ∆݈݊ܺଵ௧ + ߚଶ∆ܺଶ௧ + ߚଷ∆݈݊ܺଷଶ௧ + ߚସ∆ܺସ௧ + ߚହ∆݈݊ܺହ௧ +
ߚ∆݈݊ܺଵ௧ିଵ + ߚ∆ܺଶ௧ିଵ + ߚ଼∆݈݊ܺଷଶ௧ିଵ + ߚଽ∆ܺସ௧ିଵ + ߚଵ∆݈݊ܺହ௧ିଵ + ߚଵଵܥܧ௧ିଵ + ߝ
(20b)
∆݈ܻ݊௧ = ߚ + ߚଵ∆݈݊ܺଵ௧ + ߚଶ∆ܺଶ௧ + ߚଷ∆݈݊ܺଷଷ௧ + ߚସ∆ܺସ௧ + ߚହ∆݈݊ܺହ௧ +
ߚ∆݈݊ܺଵ௧ିଵ + ߚ∆ܺଶ௧ିଵ + ߚ଼∆݈݊ܺଷଷ௧ିଵ + ߚଽ∆ܺସ௧ିଵ + ߚଵ∆݈݊ܺହ௧ିଵ + ߚଵଵܥܧ௧ିଵ + ߝ
(20c)
∆݈ܻ݊௧ = ߚ + ߚଵ∆݈݊ܺଵ௧ + ߚଶ∆ܺଶ௧ + ߚଷ∆݈݊ܺଷସ௧ + ߚସ∆ܺସ௧ + ߚହ∆݈݊ܺହ௧ +
ߚ∆݈݊ܺଵ௧ିଵ + ߚ∆ܺଶ௧ିଵ + ߚ଼∆݈݊ܺଷସ௧ିଵ + ߚଽ∆ܺସ௧ିଵ + ߚଵ∆݈݊ܺହ௧ିଵ + ߚଵଵܥܧ௧ିଵ + ߝ
(20d)
∆݈ܻ݊௧ = ߚ + ߚଵ∆݈݊ܺଵ௧ + ߚଶ∆ܺଶ௧ + ߚଷ∆݈݊ܺଷହ௧ + ߚସ∆ܺସ௧ + ߚହ∆݈݊ܺହ௧ +
ߚ∆݈݊ܺଵ௧ିଵ + ߚ∆ܺଶ௧ିଵ + ߚ଼∆݈݊ܺଷହ௧ିଵ + ߚଽ∆ܺସ௧ିଵ + ߚଵ∆݈݊ܺହ௧ିଵ + ߚଵଵܥܧ௧ିଵ + ߝ
(20e)
Keterangan: Yt
: Nilai Investasi Swasta pada periode t
X1t
: Produk Domestik Bruto periode t
X2t
: Tingkat Bunga periode t
X3t
: Pengeluaran pemerintah periode t
X31t
: Pengeluaran pemerintah untuk pelayanan umum periode t
X32t
: Pengeluaran pemerintah untuk ekonomi periode t
X33t
: Pengeluaran pemerintah untuk perumahan dan fasilitas umum periode t
80
X34t
: Pengeluaran pemerintah untuk kesehatan periode t
X35t
: Pengeluaran pemerintah untuk pendidikan periode t Secara spesifik variabel pengeluaran pemerintah yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pengeluaran pemerintah berdasarkan fungsi, yakni: Pelayanan Umum (Gpu), Ekonomi (Ge), Perumahan dan fasilitas umum (Gpf), Kesehatan (Gs), dan Pendidikan (Gpdk), mengikuti Wang (2005) dan Laopadis (2001). Secara umum pengeluaran pemerintah berdasarkan fungsinya di kelompokkan atas 11 fungsi yakni; pelayanan umum, pertahanan, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, parawisata dan budaya, agama, pendidikan dan perlindungan sosial. Namun yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengeluaran pemerintah yang berfungsi secara ekonomis dan disinyalir sebagai investasi bagi pemerintah Berdasarkan model yang dikemukakan model Laopodis (2001) dan Wang (2005), menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah memiliki efek Crowding Out terhadap Investasi Swasta ketika nilai koefisian variabel pengeluaran pemerintah menunjukkan negatif dan signifikan. Pengeluaran pemerintah memiliki efek Crowding In terhadap Investasi Swasta bilamana nilai koefisien variabel pengeluaran pemerintah menunjukkan positif dan signifikan terhadap Investasi swasta.
81
DAFTAR PUSTAKA
Abimanyu A. 2005. Kebijakan Fiskal dan Efektivitas Stimulus Fiskal di Indonesia. Jurnal Ekonomi Indonesia 1:1-35. Acosta, P. & Loza, A., 2005. Short and Long Run Determinants of Private in Argentina. Journal of Applied Economic, VIII, pp.389–406. Afrizal. 2008. Analisis Investasi Indonesia Suatu Pendekatan Model Dinamik 1992.1 – 2007.4 . Jurnal Aplikasi Manajemen. Volume 7 Nomor 1. Februari 2009.pp 211-219. Afonso, Antonio., Alegere, Juan Gonzalez. 2008. Economic Growthand Budgetary Components A Panel Assessment For The EU., Working Paper Series No.848/Januari 2008. European Central Bank. Afonso, Antonio., Aubyn, M.S., 2008. Macroeconomic Rates of Return of Public and Private Investment Crowding-In and Crowding-Out Effects. Social Science Research. Afonso, Antonio., Sausa, Richardo.M., 2009. The Macroeconomic Effects of Fiscal Policy in Portugal: a Bayesian SVAR Analysis. Working Paper Series NIPE WP 3/2009 Ahmad, I. & Qayyum, A., 2008. Effect of Government Spending and MacroEconomic Uncertainty on Private Investment in Services Sector: Evidence from Pakistan. European Journal of Economics, Finance and Administrative Sciences, 11(11), p.13. Ahmed, H. & Miller, S.M., 2000. Crowding-Out and Crowding-In Effects of the Components of Government Expenditure. Contemporary Economic Policy, 18 (1), pp. 124 -133. Akkina, krishna rao & Celebi, mehmet ali, 2002. The Determinants of Private Fixed Investment and the Relationship between Public and Private Capital Accumulation in Turkey. The Pakistan Development Review, 3(Autumn), pp.243–253. Alani, E.M.A.A., 2006. Crowding-Out and Crowding-In Effects of Government Bonds Market on Private Sector (Japanese Case Study ). Discussion Paper, No. 74. IDE-JETRO Almeida, R., 2007. The Labor Market Effects of Foreign Owned Firms. Journal of International Economics, 72(1), pp.75–96. Andreoni, J. & Payne, A.A., 2011. Is crowding out due entirely to fundraising? Evidence from a panel of charities. Journal of Public Economics, Volume 95 Number (5-6), pp.334–343.
82
Ang, J.B., 2009a. Determinants of Private Investment in Malaysia: What Causes the Postcrisis Slumps? Contemporary Economic Policy, 28(3), pp.378–391. Ang, J.B., 2009b. Private Investment and Financial Sector Policies in India and Malaysia. Journal of World Development, Volume 37 Number7, pp.1261– 1273. Asante, Y., 2000. Determinants of Private Investment Behaviour. , African Economic Research Consortium, Nairobi March. Asiedu, E. & Freeman, J., 2009. The Effect of Corruption on Investment Growth: Evidence from Firms in Latin America, Sub-Saharan Africa, and Transition Countries. Review of Development Economics, Volume13, Issue 2, pp.200–214. Atukeren, Erdal., 2005. Interaction Between Public and Private Investment: Evidence from Developing Countries. KYKLOS, Volume 58, Number.3, pp. 307 – 330. Baddeley, Michelle.C. 2003. Investment: theories and Analysis, Palgrave., Mac Millan, grest Britain. Bahmani-Oskooee, M., 1999. Do Federal Budget Deficits Crowd Out or Crowd In Private Investment? Policy Modeling, Volume 21 (5), pp.633–640. Bailey, Sthepen J., 2002, Public Sector Economics: Theory, Policy and Practice., 2nd edition., Palgrave. Branson, William H., 1989, Macroeconomic Theory and Policy., 3rd Edition, Happer & Row, Publisher Busse, M., & Hefeker, C. ,2007. Political Risk, Institutions and Foreign Direct Investment. European Journal of Political Economy, 23(2), 397–415. Cavallo, E. & Daude, C., 2011. Public investment in developing countries: A blessing or a curse? Journal of Comparative Economics, 39(1), pp.65–81. Chen, T. & Ku, Y., 2005. The Effects of Overseas Investment. On Domestic Employment. eds. International Trade in East Asia, NBER-East Asia Seminar on Economics. National Bureau of Economic Research: University of Chicago Press. Cogan, J.F. et al., 2010. New Keynesian versus old Keynesian government spending multipliers. Journal of Economic Dynamics and Control, 34(3), pp.281–295. Commission on Growth and Development., 2008., The Growth Report: Strategies for Sustained Growth and Inclusive Development The International Bank for Reconstruction and Development., The World Bank, Washington DC
83
Dornbusch, Rudiger., Fischer Stainley., & Startz, Richard., 2008, Makroekonomi, ed.10., McGrow-Hill Erden, L. & Holcombe, R.G., 2005. The Effects of Public Investment on Private Investment in Developing Economies. Public Finance, 33(5). Erenburg, S.J. & Wohar, M.E., 1995. Public and Private Investment: Are There Causal Linkages? Journal of Macroeconomics, 17(1), pp.1–30. Everhart, S.S. & Sumlinski, M.A., 2001. Private Investment in developing Countries. Discussion Paper Number 44, The World Bank and International Financial Corporation , p.1- 66. Furceri, D. & Sousa, R.M., 2011. The Impact of Government Spending on the Private Sector: Crowding-out versus Crowding-in Effects. Kyklos, 64(4), pp.516–533.. Ganelly, G., 2000. Useful Government Spending , Direct Crowding-Out and Fiscal Policy Interdependence. Policy, pp.1–38. Giannaros, D., Kolluri, B. & Panik, M., 1999. The Effects Of Government Spending On Capital Investment: International Economic Journal, 13(1), pp.45–55. Greene, Joshua & Villanueva, Delano., 1991., Private Investment in Developing Countries: An Empirical Analysis., IMF Staff Papers., Volume 38. Nomor 1. Pp: 33 – 58. Hadiwibowo, Yuniarto. 2010., Fiscal Policy, Investment and Long-Run Economic Growth: Evidence From Indonesia., Asian Sosial Science., Volume 6. Nomor 9. pp. 1 – 9. Hasan, Sallahuddin., Othman, Zalila., Zaini, Mohammad. 2011. Private and Public Investment in Malaysia : A Panel Time-Series Analysis. International Journal of Economics and Financial Issue, 1(4), pp.199-210. Hatano, T., 2010. Crowding-in Effect of Public Investment on Private Investment . Public Policy, 6(1), pp.30–42. Hidayat, Agus S. 2005. Analisis Kepekaan Sektor Swasta terhadap Kebijakan Fiskal Ekspansif, Widayariset, Vol.8 No.1 pp.365-381 Holcombe, R.G., 2006. The Linkage Between Public and Private Investment: A Co-integration Analysis of A Panel of Developing Countries. Eastern Economic Journal, 32(3), pp.479–492. Hussain, Adnan, Mohammad D. Sulaiman, L.I., 2009. Effectiveness of Government Expenditure Crowding-In or Crowding-Out: Empirical Evidence in Case of Pakistan. Economics, Finance and Administrative Sciences, 16(16), pp1-7.
84
Hyder, Kalim, 2001., Crowding-Out Hypothesis in a Vector Error Correction Framework: A Case Study of Pakistan., The Pakistan Development Review, Volume 40., Number 4 Part II. Pp 633 – 650. Jhingan, M L., 1990., The Economics of Development & Planning, 2nd ., Revised Edition., Konark Publisher PVT Ltd. Jongwanich, J. & Kohpaiboon, A., 2008. Private Investment: Trends and Determinants in Thailand. World Development, 36(10), pp.1709–1724. Jorgenson, Dale W. 1967. The Theory Investment Behaviour. Electronic Book. from the National Bureau of Economic Research. Kok, R. & Ersoy, B.A., 2009. Analyses of FDI determinants in developing countries. International Journal of Social Economics, 36(1/2), pp.105–123. Kuncoro, Haryo. 2000. Ekspansi Pengeluaran Pemerintah dan Responsivitas Sektor Swasta. Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol.5. No.1 pp. 53-63 Kuncoro, Mudrajad., 2009., Ekonomika Indonesia: Dinamika Lingkungan Bisnis di Tengah Krisis Global., Cet.1., UPP SIM YKPN Yogyakarta Kustepeli, Y., 2005. Effectiveness of Fiscal Spending: Crowding out and / or crowding in? YÖNET M VE EKONOM, 12(1), pp.185–192. Laopodis, Nikiforos T. 2001. Effects of Government Spending on Private Investment. Applied Economics. Vol. 33 pp 1563-1577. Misati, R.N. & Nyamongo, E.M., 2011. Financial development and private investment in Sub-Saharan Africa. Journal of Economics and Business, 63(2), pp.139–151. Mondria, Jordi,. Wu, Thomas., Zhang, Yi. 2010. The Determinants of International Investment and Attention Allocations: Using Internet Search Query Data. Journal of International Economivs, 82(1)., pp. 85-95. Morrissey, O. & Udomkerdmongkol, M., 2012. Governance, Private Investment and Foreign Direct Investment in Developing Countries. World Development, 40(3), pp.437–445. Narayan, P.K., 2004. Do public investments crowd out private investments? Fresh evidence from Fiji. Journal of Policy Modeling, 26(6), pp.747–753. Nopirin. 2000., Ekonomi Moneter. Buku II. Edisi ke 1. Cetakan ke Sepuluh BPFE Yogyakarta. Nurcholis., 2006. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Investasi Regional (Studi Kasus Di Indonesia Tahun 2000-2004. Tesis Magister Perencanaan dan kebijakan Publik, Fakultas Ekonomi Univertsitas Indonesia.
85
Nurudeen, A., 2009. Modeling the Long-Run Determinants of Private Investment in Nigeria. Journal of Financial Economics, VII(3 & 4), pp.48–63. Ouattara, B., 2004. Modelling the Long Run Determinants of Private Investment in Senegal. CREDIT Research Paper, No.05/04, Centre for Research in Economic Development and International Trade, University of Nottingham. Raju, S. & Mukherjee, J., 2010. Fiscal Deficit , Crowding Out and the Sustainability of Economic Growth The Case of the Indian Economy, ifri Centre for Asian Studies. Romer, D., 2006, Advance Macroecono0mics., 3rd Edition., McGrow-Hill Companies Rodrik, D., 1991. Policy uncertainty and private investment in developing countries. Journal of Development Economics, 36(2), pp.229–242. Samuelson, Paul A., Nordhaus, William D., 2002. Economics., 17th Edition., McGrow-Hill Companies Samuelson, P.A., 1954. Aspects of Public Expenditure Theories , The Review of Economics and Statistics 40(4), pp.332–338. Setyari, Ni P W., Purwanti, Putu AP., Meydianawanthi, Luh G., Widanta, Anak AB. 2008., Determinan Investasi di Indonesia., Buletin Studi Ekonomi. Volume 13. Nomor 2. Halalam. 159-171. Shieh, J., Chen, J. & Lai, C., 2006. Government spending, capital accumulation and the optimal policy rule: The role of public service capital. Economic Modelling, 23(6), pp.875–889. Statistik Indonesia., 2012, Statistical Yearbook of Indonesia., Badan Pusat Statistik Indonesia Stasavage, David., 2002, Private Investment and political Institutions, Economics and Politics, 14(1), pp 41-63. Todaro, Michael P., Smith, Stephen C., 2006., Economic Development., 9th ed., Person Addison-Wesley. Toole, C.M.O. & Tarp, F., 2012. Corruption and the Efficiency of Capital Investment in Developing Countries, Working Paper No . 2012 / 27. Viren, M. et al., 2007. Do government expenditures increase private sector productivity? International Journal of Social Economics, 34(5), pp.345–360. Wang, Baotai. 2005. Effects of Government Expenditure on Private Investment: Canadian Empirical Evidence. Empirical Economics. Vol. 30. Pp. 493-504. Widarjono, Agus., 2007. Ekonometrika Teori dan Aplikasi untuk Ekonomi dan Bisnis, Edisi kedua, Ekonesia Fakultas Ekonomi UII Yogyakarta
86
Yotopoulus, Pan A., Jeffrey B Nugent., 1985, Economics of Development : Empirical Investigation., Harper & Row Publisher, New York. Zayanderoody, M., 2009. The Effect of Government Expenditures on the Private Sectors Perception of Crowding-out. Business Review Cambridge, 13(2), pp.230–236. Zedillo, Ernesto., Diogo,Luisa., Al-Hamed, Abdlaitf., Ibrahim, Mo., Zhang, Shengman. 2010. The Natural Resources Charter. www.naturalresourcecharter.org. Zong, Yong Sarah., 2012., What Determines Investment in Indonesia., IMF Country Report, Indonesia: Selected Issues. 12 (178), pp. 10 – 21.