DETEKSI KEMAMPUAN ARTEMIA DAN KUTU AIR DALAM UPTAKE BAKTERI MENGANDUNG DNA ASING MENGGUNAKAN PCR
MUHAMMAD FUADI
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN BUDIDAYA FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
i
DETEKSI KEMAMPUAN ARTEMIA DAN KUTU AIR DALAM UPTAKE BAKTERI MENGANDUNG DNA ASING MENGGUNAKAN PCR
MUHAMMAD FUADI
Skripsi sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN BUDIDAYA FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
ii
SKRIPSI Judul
: Deteksi kemampuan Artemia dan kutu air dalam
uptake bakteri mengandung DNA asing menggunakan PCR Nama
: Muhammad Fuadi
NRP
: C14051516
Disetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Alimuddin NIP. 19700103 199512 1 001
Dr. Dinar Tri Soelistyowati NIP. 19611016 198403 2 001
Diketahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc. NIP. 19580511 198503 1 002
Tanggal Lulus : ……………… iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul: Deteksi kemampuan Artemia dan kutu air dalam uptake bakteri mengandung DNA asing menggunakan PCR adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, April 2010
MUHAMMAD FUADI C14051516
iv
RINGKASAN MUHAMMAD FUADI. Deteksi kemampuan Artemia dan kutu air dalam uptake bakteri mengandung DNA asing menggunakan PCR. Dibimbing oleh ALIMUDDIN dan DINAR TRI SOELISTYOWATI. Peningkatan daya tahan ikan terhadap infeksi penyakit dapat dilakukan melalui pemberian vaksin DNA. Pemberian vaksin umumnya menggunakan metode injeksi. Namun demikian, metode injeksi memiliki beberapa keterbatasan dan tidak efisien karena memerlukan cukup banyak waktu. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode alternatif yang dapat diaplikasikan secara massal seperti melalui pakan alami. Artemia dan kutu air (Daphnia dan Moina) merupakan jenis pakan alami yang sering digunakan sebagai pakan benih ikan. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan kemampuan Artemia dan kutu air dalam uptake bakteri yang mengandung DNA asing menggunakan PCR. Informasi yang diperoleh berguna dalam aplikasi vaksin DNA melalui pakan alami. Artemia dan kutu air diberi bakteri mengandung DNA asing berupa konstruksi gen pKrt-GFP sebagai model untuk vaksin DNA. Kepadatan bakteri dalam media kultur pakan alami adalah 1,2 x 108 cfu/ml. Setiap 30 menit selama 3 jam, sebanyak 100 ekor Artemia diambil untuk isolasi DNA, sedangkan untuk kutu air 30 ekor diambil setiap 2 jam sekali selama 10 jam. DNA genom Artemia dan kutu air diisolasi menggunakan kit Puregene Minneapolis, USA. Konsentrasi dan tingkat kemurnian DNA hasil isolasi dianalisis menggunakan DNA calculator (GenQuant) dan elektroforesis dengan gel agarosa. Kemampuan Artemia dan kutu air dalam uptake bakteri dianalisis menggunakan metode PCR dengan menghitung jumlah copy DNA asing. PCR dilakukan menggunakan primer GFPF (5’-GGTCGAGCTGGACGG-3’) dan GFP-R (5’-ACGAACTCCAGCAGG-3’). Sebagai kontrol internal loading DNA, PCR juga dilakukan menggunakan primer β-aktin. Produk PCR dielektroforesis dan divisualisasi menggunakan etidium bromida dan disinari ultraviolet. Ketebalan pita DNA diukur menggunakan software UN-SCAN-IT gel 6.0 untuk mengetahui jumlah copy DNA asing yang berhasil di-uptake oleh Artemia dan kutu air. Hasil pengukuran rasio absorbansi DNA pada panjang gelombang λ260 dan 280 λ untuk DNA Artemia adalah 1,778-1,949, sedangkan untuk kutu air 1,7221,925. Hasil ini menunjukkan bahwa kualitas DNA genom hasil isolasi adalah tinggi; bebas dari kontaminan, sehingga layak digunakan dalam proses amplifikasi PCR. Hal ini juga didukung dengan munculnya pita DNA produk PCR menggunakan primer β-aktin sebagai kontrol internal. Pada bobot basah yang sama, jumlah Artemia adalah 15.000 naupli, sedangkan kutu air adalah 5.450 ekor. Dengan menggunakan DNA hasil isolasi dari 100 naupli Artemia dan 30 ekor kutu air, terlihat bahwa pita GFP produk PCR pada Artemia muncul di setiap perlakuan dengan copy DNA tertinggi (2,37 x 1012) saat 1,5 jam setelah perendaman, sedangkan pada kutu air hanya muncul pada 6 jam setelah perlakuan dengan jumlah 0,02 x 1012 copy DNA. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kemampuan Artemia dalam uptake bakteri lebih tinggi daripada kutu air.
v
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. Berkat rahmat dan hidayah-Nya skripsi yang berjudul “Deteksi kemampuan Artemia dan kutu air dalam uptake bakteri mengandung DNA asing menggunakan PCR” berhasil diselesaikan. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan dan dorongan dari semua pihak, maka penulisan skripsi ini tidak akan berjalan lancar. Maka dalam kesempatan ini, dengan penuh cinta, penulis haturkan terima kasih dan penghargaan kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini khususnya kepada yth: 1. Bapak Dr. Alimuddin selaku dosen pembimbing pertama yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan-masukan yang membangun kepada penulis selama melakukan penelitian hingga penyusunan skripsi ini. 2. Ibu Dr. Dinar Soelistyowati selaku pembimbing kedua yang telah membimbing dan memberikan arahan serta masukan-masukan hingga penyusunan skripsi ini. 3. Ibu Sri Nuryati, S.pi, M.Si, selaku Dosen Penguji pada pelaksanaan Ujian Akhir. 4. Bapak Ir. Dadang Shafruddin, M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik atas bimbingan dan arahannya selama ini. 5. Ibunda Hafsah H. Hasan Patundru dan saudara-saudaraku tercinta, atas do’a, kasih sayang, dukungan moril, maupun materil selama ini. Serta Ayahanda Ambotuwo tercinta yang selalu memberikan segalanya, semoga amal-amalnya diterima dan ditempatkan di surga-Nya. 6. Dosen-dosen pengajar di Departemen Budidaya Perairan, atas pengajaran dan pendidikan yang selama ini diberikan kepada penulis.
vi
7. Anna Octavera, S. Pi., yang telah banyak membantu dalam penelitian dan penyusunan serta penulisan skripsi ini. 8. Tim Protein Rekombinan: Ibu Irmawati, Mas Demin, Bang Indra, yang telah memberi masukan membangun dalam penyusunan skripsi ini. 9. Rekan-rekanku, Ade Hermawan, Dewi Nur Majidah, Darmawan Setia Budi, dan Jasmadi yang selalu sabar membantu dan memberikan saran dalam penyusunan skripsi ini. 10. Mba Lina, Ibu Yulintine, Prihatiningtyas T R, Satwika Fajar, Amiria Sofiani G Z, serta rekan-rekan Laboratorium Reproduksi dan Genetika Ikan dan BDP angkatan 42 (2005) Ratna Yunita, Heni Sheila A, Anita Bidaryati, Dedi Anwar S, angkatan 43 (2006), dan angkatan 44 (2007), Virawaty Sylvia S, Ika Rahmawaty, Gia Martha N, atas segala dukungan, persaudaraan, keakraban, keceriaan, dan persahabatan selama ini. 11. Temen-teman satu kosan ”Wisma Aulia” Ado, Fahrul, Widi, Fauzi, Rinto, Mas Hendra, Mas Deri, Wahyu, Zhamil, Febri, dan Vabi. Terima kasih atas kehangatan dan keceriaan yang diberikan. 12. Semua pihak yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi mahasiswa Perikanan dan Ilmu Kelautan dan peneliti dalam memajukan bidang perikanan khususnya, dan masyarakat serta pembaca pada umumnya. Bogor, 7 April 2010
MUHAMMAD FUADI C14051516
vii
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Muhammad Fuadi, dilahirkan di Bima pada tanggal 9 Januari 1987 dan merupakan anak kelima dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Ambotuwo dan Ibu Hafsah H Hasan. Penulis memulai jenjang pendidikan dasar di SD Negeri 10 Bima dan lulus pada tahun 1999. Pendidikan lanjutan menengah ditempuh di SLTP Negeri 1 Rasanae dan lulus pada tahun 2002. Pendidikan menengah atas ditempuh penulis di SMA Negeri 1 Kota Bima dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2005, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan pada tahun 2006, penulis memasuki Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Selama kuliah penulis aktif dalam organisasi keilmiahan Forum for Scientific Student (FORCES IPB) sebagai staf Pengembangan Sumberdaya Manusia (PSDM) tahun 2006-2008, Dewan Perwakilan Mahasiswa FPIK IPB (DPMC) periode 2006/2007 sebagai ketua Komisi Eksternal dan sebagai ketua umum periode 2007/2008, anggota komisi Pemilihan Raya (Pemira) Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM KM IPB) tahun 2007/2008, anggota bidang Informasi dan Komunikasi Forum Keluarga Muslim FPIK (FKM-C) 2006-2008. Penulis juga menjadi asisten mata kuliah Fisiologi Hewan Air, 2008 sebagai anggota dan 2009 sebagai koordinator, asisten mata kuliah Fisologi Reproduksi Ikan 2008, asisten mata kuliah Dasar-Dasar Genetika Ikan 2008 dan 2010. Selain itu, penulis menerima beasiswa dari Yayasan Karya Salemba Empat (KSE) pada tahun 2007-2010. Pada bulan Juli-September 2008, penulis pernah melaksanakan praktek kerja lapang dengan judul “Pembenihan udang vaname Litopenaeus vannamei di PT. Suri Tani Pemuka-Japfa, Bali”. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Budidaya Perairan, FPIK IPB, penulis melakukan penelitian yang berjudul ” Deteksi kemampuan Artemia dan kutu air dalam uptake bakteri mengandung DNA asing menggunakan PCR” dibimbing oleh Bapak Dr. Alimuddin dan Ibu Dr. Ir. Dinar Tri Soelityowati.
viii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xiii I. PENDAHULUAN ............................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................................. 1 1.2 Tujuan .............................................................................................................. 2 II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 3 2.1 Artemia sp. ....................................................................................................... 3 2.2 Kutu Air ........................................................................................................... 5 2.3 Konstruksi DNA Keratin-Green Fluorescent Protein ..................................... 7 2.4 Isolasi DNA Genom ......................................................................................... 8 2.5 Polymerase Chain Reaction ............................................................................. 9 2.6 Analisis Produk PCR (Elektroforesis) ............................................................ 12 III. METODE ...................................................................................................... 15 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ......................................................................... 15 3.2 Metode Penelitian ........................................................................................... 15 3.2.1 Penetasan Artemia dan Kultur Kutu Air ............................................... 15 3.2.2 Kultur Cair Bakteri dan Isolasi Plasmid ............................................... 16 3.2.3 Perhitungan Jumlah Koloni .................................................................. 17 3.2.4 Perendaman Artemia dan Kutu Air dengan Bakteri ............................. 18 3.2.5 Isolasi DNA Genom Artemia dan Kutu Air ......................................... 18 3.2.6 Perancangan dan Penyusunan Primer ................................................... 19 3.2.7 Amplifikasi DNA dengan Polymerase Chain Reaction ....................... 20 3.2.8 Elektroforesis ........................................................................................ 21 3.2.9 Perhitungan Jumlah Copy DNA pada Artemia dan Kutu Air ............... 22 3.3 Analisis Data ................................................................................................... 23
ix
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 24 4.1 Hasil ................................................................................................................ 24 4.1.1 Perhitungan Kepadatan Artemia dan Kutu Air serta Jumlah Koloni Bakteri .................................................................................................. 24 4.1.2 Produk Isolasi DNA Genom Artemia dan Kutu Air ............................. 24 4.1.3 Primer β-aktin Artemia dan Daphnia ................................................... 26 4.1.4 Visualisasi Produk PCR DNA Artemia dan Kutu Air .......................... 28 4.1.5 Jumlah Copy DNA dalam Artemia dan Kutu Air ................................. 30 4.2 Pembahasan ..................................................................................................... 31 V. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 34 5.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 34 5.2 Saran................................................................................................................ 34 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 35 LAMPIRAN ......................................................................................................... 38
x
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Jenis dan jumlah bahan Premix PCR untuk β-aktin Artemia ................ 20 Tabel 2. Jenis dan jumlah bahan premix PCR untuk β-aktin kutu air ................. 20 Tabel 3. Jenis dan jumlah bahan premix PCR untuk GFP .................................. 21 Tabel 4. Jumlah sel bakteri, kepadatan Artemia dan kutu air ............................. 24 Tabel 5. Kuantifikasi DNA genom Artemia hasil isolasi.................................... 25 Tabel 6. Kuantifikasi DNA genom kutu air hasil isolasi .................................... 26
xi
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Morforlogi Artemia sp. ...................................................................... 3 Gambar 2. Beberapa jenis Daphnia sp. dan Moina sp. ....................................... 5 Gambar 3. Sekuen promoter keratin ................................................................... 8 Gambar 4. Tahapan kerja PCR ........................................................................... 12 Gambar 5. Elektroforesis hasil isolasi DNA Artemia ......................................... 25 Gambar 6. Elektroforesis hasil isolasi DNA kutu air. ......................................... 26 Gambar 7. Alignment sekuen parsial β-aktin Artemia fransciscana, Artemia sp., dan Calanus finmarchicus ............................................ 27 Gambar 8. Alignment sekuen parsial β-aktin Daphnia magna dan beberapa sekuen β-aktin Daphnia pulex........................................................... 28 Gambar 9. Visualisasi hasil PCR dengan situs pengenalan GFP dan β-aktin pada Artemia dan pada kutu air........................................................ 29 Gambar 10. Jumlah copy DNA yang mampu di-uptake oleh Artemia ............... 30 Gambar 11. Jumlah copy DNA yang mampu di-uptake oleh kutu air ............... 30
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Pengenceran serial pencawanan kuantitatif ................................... 38 Lampiran 2. Jumlah bakteri yang tumbuh pada media dan contoh perhitungan ..................................................................................... 39 Lampiran 3. Konstruksi DNA keratin-GFP ........................................................ 40 Lampiran 4. Sekuen basa nukleotida dalam pembuatan primer β-aktin Artemia ............................................................................................ 41 Lampiran 5. Sekuen basa nukleotida dalam pembuatan primer β-aktin kutu air ............................................................................................ 43 Lampiran 6. Hasil pengukuran pita DNA dan contoh perhitungan jumlah copy DNA ................................................................................................ 45 Lampiran 7. Alat-alat yang digunakan dalam kegiatan penelitian ..................... 47 Lampiran 8. Tabel penentuan suhu annealing primer ....................................... 50
xiii
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, bioteknologi seperti aplikasi DNA atau protein rekombinan semakin berkembang. Perkembangan ini pun dirasakan pula pada bidang akuakultur seperti dalam peningkatan ketahanan ikan terhadap penyakit menggunakan vaksin DNA atau vaksin protein (Dunham, 2004). Dalam aplikasinya, pengujian kedua komponen ini pada orgnisme akuatik umumnya menggunakan metode injeksi. Namun dalam kenyataannya, pengujian melalui injeksi memiliki beberapa keterbatasan dan tidak efisien karena ikan harus disuntik satu per satu sehingga memerlukan cukup banyak waktu. Oleh karena itu, diperlukan metode alternatif yang dapat diaplikasikan secara massal seperti melalui pakan alami atau pakan buatan. Transfer protein rekombinan ataupun vaksin DNA melalui pakan memiliki keunggulan yaitu dapat digunakan pada berbagai ukuran ikan serta tidak menyebabkan cekaman pada ikan (Ellis, 1998). Dibandingkan dengan pakan buatan, pakan alami memiliki beberapa keunggulan yaitu ukurannya sesuai dengan bukaan mulut larva, bergerak sehingga menarik larva untuk memangsanya, dan memiliki nilai nutrisi yang cukup tinggi (Effendi, 2004). Pakan alami yang digunakan dalam penelitian ini adalah Artemia dan kutu air berupa Daphnia dan Moina. Artemia digunakan dalam penelitian ini mewakili pakan alami untuk komoditas ikan air laut, sedangkan kutu air mewakili pakan alami untuk komoditas air tawar. Kedua jenis pakan alami ini mampu memakan bakteri dalam jumlah tertentu. Umumnya bakteri digunakan sebagai vektor klon suatu vaksin DNA atau protein rekombinan, sehingga pada penelitian ini menggunakan bakteri terkonstruksi keratin-green fluorescent protein (pKrtGFP) yang diberikan kepada Artemia dan kutu air. Untuk mendeteksi kemampuan Artemia dan kutu air dalam uptake bakteri tersebut digunakan metode polymerase chain reaction (PCR), yaitu suatu proses penggandaan DNA yang dilakukan secara in vitro melalui reaksi tertentu yang sistematis. Metode PCR yang dikembangkan pada penelitian ini diharapkan dapat menjadi solusi sebagai sistem deteksi kemampuan Artemia dan kutu air dalam uptake bakteri terkonstruksi pKrtGFP. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan suatu penelitian mengenai
2
deteksi kemampuan Artemia dan kutu air dalam uptake bakteri mengandung DNA asing menggunakan PCR. 1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi kemampuan Artemia dan kutu air dalam memakan (uptake) bakteri yang mengandung DNA asing dengan metode PCR. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk menentukan jumlah copy DNA dalam tubuh Artemia dan kutu air. Informasi yang diperoleh berguna dalam aplikasi vaksin DNA melalui pakan alami.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Artemia sp. Artemia merupakan organisme sejenis udang-udangan berukuran kecil (renik) dikenal dengan nama brine shrimp. Klasifikasi Artemia menurut Barnes (1963), adalah sebagai berikut. Filum
: Arthropoda
Kelas
: Crustacea
Subkelas
: Branchiopoda
Ordo
: Anostraca
Famili
: Artemidae
Genus
: Artemia
Spesies
: Artemia sp.
Gambar 1. Morforlogi Artemia sp. (White and Kazlev, 2008) Artemia merupakan salah satu pakan hidup yang banyak digunakan dalam pemeliharaan ikan dan udang. Artemia memiliki kandungan nutrisi yang tinggi; protein 52,50%, karbohidrat 14,80%, dan lemak 23,40% (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Individu Artemia dewasa mencapai panjang antara 1-2 cm dan berat 10 mg. Telur Artemia beratnya 3,6 mikrogram, diameternya sekitar 300 mikron (Djarijah, 1996). Artemia bersifat pemakan segala atau omnivora. Makanan Artemia berupa plankton, detritus, dan partikel-partikel halus yang dapat masuk
4
ke mulut. Artemia dalam mengambil makanan bersifat penyaring tidak selektif (nonselective filter feeder), sehingga apa saja yang dapat masuk mulut akan menjadi makanannya. Kandungan gizi Artemia sangat dipengaruhi oleh kualitas pakan yang tersedia pada perairan tersebut. Artemia dapat memakan partikel yang berukuran sampai 50 µm (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Makanan disaring dengan apendik tanpa diseleksi, dikumpulkan dan digumpalkan dalam alur tengah ventral hampir sepanjang badan, kemudian dialirkan ke anterior terutama menggunakan bagian dari pangkal kaki (Suwignyo et al., 1998). Pada Artemia dewasa pengambilan makanan dibantu oleh torakopoda, sedangkan pada fase nauplius dibantu oleh sungut atau antena II (Gambar 1). Artemia memiliki keistimewaan yaitu tidak berhenti makan jika persediaan makanan terus ada (Mudjiman, 1989). Media kultur Artemia adalah air laut dengan salinitas sekitar 10-30 ppt atau media buatan berupa air garam (Mudjiman, 1989). Artemia bersifat euryhaline yang dapat bertahan pada salinitas 3-300 ppt. Artemia dapat juga bertahan dalam waktu yang singkat dalam air tawar (Treece, 2000). Sebelum ditetaskan, terkadang siste dicuci dengan merendamnya dalam air tawar. Proses penetasan siste, suhu air media penetasan dipertahankan antara 25-30ºC. Air media diareasi menggunakan aerator atau kompressor. Aerasi ini selain untuk mengaduk agar siste tidak mengumpul (mengendap di dasar wadah) juga untuk menambah kadar oksigen. Siste akan menetas menjadi nauplius setelah 24-36 jam (Mudjiman, 1989). Mulanya cangkang siste seolah-olah terbelah menjadi 2 bagian. Bagian bawah merupakan nauplius berwarna kemerah-merahan dan bagian atasnya adalah cangkang perlindungannya. Untuk memisahkan kedua bagian ini dilakukan dengan menutup bagian atas wadah menggunakan kain hitam dan bagian bawah wadah disinari dengan lampu. Dalam proses pemisahan ini, aerasi dihentikan sementara. Dalam waktu 5-10 menit kemudian nauplius tersebut akan terlepas dari cangkangnya. Individu-individu nauplius tersebut akan mengumpul di bagian dasar wadah, sedangkan cangkangnya akan mengapung di permukaan. Nauplius yang mengumpul di dasar wadah tersebut disedot dengan selang plastik dan ditampung dalam saringan 125 mikron (plankton net). Di dalam
5
saringan penampung tersebut, nauplius dibersihkan dari kotorannya dengan menyemprotkan air bersih sampai kotorannya hilang dan siap dijadikan pakan alami ikan (Djarijah, 1996). 2.2 Kutu Air Spesies yang biasa ditemukan dalam kultur kutu air adalah Daphnia sp. dan Moina sp. yang termasuk ke dalam kelompok udang-udangan renik, phyllum Arthropoda, dan kelas Crustacea. Ciri khas kedua organisme ini adalah bentuk tubuhnya pipih dan beruas-ruas. Dinding tubuh bagian punggung membentuk lipatan yang menutupi anggota tubuh lain pada kedua sisi tubuhnya sehingga tampak seperti cangkang kerang. Pada sisi atas bagian belakang tubuh, ‘cangkang’ tersebut membentuk sebuah kantong yang berguna sebagai tempat penampungan dan perkembangan telur. Menurut Djarijah (1996), ukuran Daphnia sp. sekitar 1000-5000 mikron, sedangkan ukuran Moina sp. sekitar 500-1000 mikron.
Moina restirostris
Daphnia longispina Daphnia pulex
Moina brachiata
Daphnia rosea Moina macrocopa
Gambar 2. Beberapa jenis Daphnia sp. dan Moina sp. Daphnia sp. dan Moina sp. hidup planktonik di air tawar. Kutu air baik Daphnia sp. maupun Moina sp. memiliki banyak jenis diantaranya Daphnia longispina, Daphnia pulex, Daphnia rosea, Moina macrocopa, Moina brachiata, dan Moina restirostris (Gambar 2). Kutu air bergerak aktif dengan alat gerak khusus berupa kaki renang. Dinges (1973), menyebutkan bahwa kutu air bersifat non-selective feeder. Kutu air menyeleksi pakannya berdasarkan ukurannya saja, bukan berdasarkan
6
rasanya. Hewan ini hidup di perairan yang banyak mengandung bahan organik tersuspensi.
Makanan
utamanya
terdiri
dari
tumbuh-tumbuhan
renik
(fitoplankton), sisa-sisa (hancuran) bahan organik (detritus) dan hewan-hewan renik (zooplankton) maupun bakteri. Bakteri memungkinkan untuk dimangsa kutu air apabila menempel pada detritus. Nutrien dalam sel bakteri selalu seimbang karena dalam perkembangannya, bakteri tidak mengalami diferensiasi sel seperti halnya mahluk hidup tingkat tinggi. Tingkat konsumsi kutu air dipengaruhi oleh suhu perairan . Faktor-faktor lain yang mempengaruhi tingkat konsumsi kutu air adalah konsentrasi pakan, intensitas dan kualitas cahaya, serta derajat keasaman (Dinges, 1973 ; Delbare & Dhert, 1996). Menurut Djarijah (1996), kutu air umumnya berkembangbiak secara partenogenesis, meskipun pada kondisi tertentu berkembang secara seksual. Telur yang dihasilkan induk betina ditampung dalam kantong telur yang terletak di punggung. Di dalam kantong ini telur akan menetas tanpa harus dibuahi oleh induk jantan. Proses kultur kutu air diawali dengan penyiapan wadah budidaya yang telah dibersihkan dan berisi air dengan kedalaman minimal 60 cm dan sudah diberi potongan-potongan jerami sebanyak 0.2 gram/liter dan kotoran ayam sebanyak 0.2 gram/liter yang telah dihaluskan terlebih dahulu. Kemudian media ini diaerasi selama 2 minggu. Menurut Djarijah (1996), warna air akan berubah jika ditumbuhi oleh fitoplankton yang merupakan pakan utama kutu air. Kualitas air meliputi oksigen terlarut yang harus cukup tinggi, kadar amonia rendah, pH antara 7-8 dan mengandung mineral atau kesadahan tinggi. Kemudian air dalam wadah ini di saring dan dipindahkan ke wadah lain dalam keadaan tetap diaerasi. Selanjutnya bibit kutu air dimasukkan ke dalam wadah yang berisi air tersebut. Wadah harus ditempatkan di ruang terbuka yang mendapat sinar matahari yang cukup dan sangat dibutuhkan untuk proses fotosintesis fitoplankton. Dalam penangkaran kutu air, air media diberikan pupuk susulan berupa sari pupuk kandang berupa sari pupuk kandang ynag dibuat dari pelumatan 0,2 kg pupuk kandang dalam 1 liter air. Pemupukan susulan ini sekaligus sebagai upaya penambahan volume air media. Dalam wadah penangkaran ini dapat pula ditambahkan pakan alami fitoplankton dari hasil produksi massal yang telah
7
dilakukan sebelumnya. Penambahan fitoplankton tidak boleh berlebihan karena akan mengakibatkan tingginya kadar amonia dan rendahnya oksigen terlarut yang selanjutnya akan meningkatkan persentase kematian dari kutu air. 2.3 Konstruksi DNA Keratin-Green Fluorescent Protein (Krt-GFP) Gen GFP (Green Fluorescent Protein) adalah gen berpendar hijau yang diisolasi dari Aequorea victoria (Felts et al., 2001). Gen ini mengontrol protein yang dapat berpendar dan divisualisasikan ekspresinya menggunakan bantuan sinar UV atau mikroskop fluoresen (Chalfie, 1994 dalam Iyengar et al., 1996). Gen ini dapat dijadikan gen target dalam pembuatan ikan berpendar yang berwarna-warni (Gong et al., 2002). Dalam konstruksi ini, ekspresi GFP dikendalikan oleh promoter keratin. Keratin merupakan suatu promoter yang diisolasi dari ikan flounder Jepang Paralichthys olivaceus (Hirono et al., 2003). Pada awalnya promoter ini digunakan pada teknologi transgenesis yang terkait dengan sistem imun, karena efektivitasnya yang tinggi pada jaringan kulit (Gong et al., 2002). Promoter ini tidak hanya aktif pada jaringan kulit dan epitel, melainkan juga pada sel yang sedang berkembang dan sel saraf tertentu (Giordano et al., 1990). Yazawa et al. (2005) menjelaskan bahwa promoter keratin yang telah diujikan pada ikan zebra mampu bersifat aktif dimana-mana atau tidak spesifik pada jaringan tertentu (ubiquitous) dan dapat aktif kapan saja diperlukan (house keeping). Sekuen promoter keratin yang telah dilaporkan oleh Yazawa et al. (2005) memiliki panjang 1288 base pairs (Gambar 3). Ekson pertama ditunjukkan oleh huruf kapital, coding region dan asam amino ditunjukkan oleh huruf dalam kotak. Bagian awal transkripsi ditunjukkan oleh tanda bintang (*) dan bagian predictive transcriptional factor binding ditunjukkan dengan garis bawah. Konstruksi DNA keratin-GFP (Lampiran 3) disebut juga DNA vektor. DNA vektor merupakan molekul DNA yang secara khusus dirancang untuk membawa molekul DNA asing yang akan dimasukkan ke dalam jasad target. DNA vektor yang sekarang umum digunakan dalam kloning DNA merupakan vektor buatan yang struktur dasarnya berasal dari komponen genetik alami (Yuwono, 2008).
8
gctcggtacccggggatcctctagagtcgacctgcagctgtggccactcatgtgggagcagagtgactcatgatgtgctg actgagacacatgcgagcccacaacaccttgatactcaaatatcaacctctacccaacatgcacccacgactgcacataa caggcacctcaagatcaaagattaactcaacactcaatttgttctttaaaatatatatatatatatattttaaagaacaa attgatatatatatatatatatatatatatatatatatatatatctttttgaatttctctttttttttatcgatggcaca agttgttatgcagcagaaattcctgcgaaaacagaaatcgtcttcatgggaaaagtacagaaacattgagatataggcgt tgttgctaatgcaatgtattgaattcactagtgatttgatgccagtggaggtgttgcatcaacaaccgtgtaaagtgatg AP-1 atgaagcaggtagtttctgagaaattggccagaaacaacaatactgtaatactgcaaagaatcaaatctaaagacttcaa aacctcagtaattgccaccaaagcactgagctctttgtctgcctcatttattgatccacttagataagggaaattctatt atgatgaaagtggaaccatatcacgactttaagcatagaataacagaagtgtctggcctggtcccaatgatgagtgttgt actcaggtgaaatacaaaaaaatgtgcatgacaacttctcccataaattgagagataatatcgacaatccacactgagca tatgtgctatgctctgtaggttattctctgatctatttttattgcagttgtatgatgtaagttcctaaaaaaacagaact ttaaaaaccctccccaagtaaatttgtcttttagtgaataatttctgtaggattttcaggcatgcgttaacttaataata aataataaataataaataatttgccatcattggtcttatcaaccaccacagctgtttacccagcaccacaccgtttgagc oct-1 tggaaataactccaaaaaagaatgattagttaaccactcattacctgtttggtagagctaaatgtggacattttggaaat tccccaagtcaatgtaacaagacagtttgtcaagatgtaagtgggaggtttgactttggtagtaggcggagacaaggtta agtgactaagaagttaccctgcataaatacaaggtccacagccaagggcacacagcagagacaacagcaggagccaccag tcaaaacaaagaggaaagccaacaacactgatcttcaaggggcttttcatttcgttttggctgactgagcacttgttccc
tgcaaggctctttttgtttgttttctcACATTTTTTCAGCGATCCAAAGTAACTCTCATCATGAGATCTGGCGCTTTAGC *
M
R
S
G
A
L
A
Gambar 3. Sekuen promoter keratin (Yazawa et al., 2005) Struktur dasar suatu vektor dapat berupa plasmid alami yang berasal dari suatu bakteri atau berupa DNA virus tertentu. Pada penelitian ini, struktur dasar yang digunakan berupa plasmid yang telah ditransformasi ke dalam sel bakteri strain DH5α. Transformasi merupakan proses memasukkan molekul DNA dari luar ke dalam sel inang (bakteri). Beberapa strain lain dari E. coli yang sering digunakan sebagai sel inang dalam menyusun konstruksi atau kloning DNA yaitu strain JM105, JM109, HB101, LB21, NM522, dan C600 (Yuwono, 2008). 2.4 Isolasi DNA Genom Isolasi DNA dilakukan untuk mendapatkan DNA genom terpisah dari komponen-komponen lain yang berada di dalam jaringan. Terdapat dua tahap yang dilakukan dalam ekstraksi DNA. Tahap pertama adalah menghancurkan sel dan mengisolasi DNA (asam nukleat). Penghancuran sel dilakukan dengan
9
menambahkan larutan deterjen pekat seperti sodium dodecyl sulphate (SDS). Deterjen ini bertindak sebagai penghancur inti sel sehingga DNA akan terlepas dan meningkatkan viskositas larutan, sehingga molekul DNA terlihat lebih nyata. Menurut Karp (1984) dan Brown (1995), deterjen juga bertindak sebagai penghambat aktivitas semua enzim nuklease yang ada selama proses isolasi. Tahap kedua adalah pemisahan DNA dari bahan-bahan kontaminan seperti RNA dan protein. Untuk menghilangkan kontaminasi RNA digunakan enzim ribonuklease (RNase), sedangkan untuk menghilangkan kontaminasi dari protein digunakan enzim proteolitik (Proteinase K) pada larutan DNA (Saunders & Parkes, 1999). Dalam proses isolasi, proses sentrifugasi sangat berperan penting dimana sentrifugasi akan menyebabkan cairan DNA terletak di lapisan atas larutan. Prinsip sentrifugasi didasarkan atas fenomena bahwa partikel yang tersuspensi di dalam suatu wadah akan mengendap ke dasar wadah karena pengaruh gravitasi (Yuwono, 2005). DNA yang sudah terpisah dari kontaminasi RNA dan protein dipindahkan dari microtube. Dengan proses sentrifugasi juga asam nukleat diendapkan dari larutan supernatan dengan penambahan etanol dingin. Setelah proses sentrifugasi, pelet DNA yang terbentuk dilarutkan kembali dengan buffer yang mengandung Ethylenediaminetetraacetic (EDTA) (Saunders & Parkes, 1999) atau Steril Destillation Water (SDW). Penghitungan jumlah DNA hasil ekstraksi dilakukan dengan melihat hubungan DNA dengan absorbansi optikalnya pada panjang gelombang 260 nm dimana 1 mg DNA mempunyai daya absorbansi sebesar 20 unit (Saunders & Parkes, 1999). Brown (1995) menyebutkan bahwa rasio absorbansi 260 nm/280 nm yang kurang dari 1,8 menunjukkan bahwa DNA hasil isolasi terkontaminasi oleh protein atau fenol. 2.6 Polymerase Chain Reaction Polymerase Chain Reaction (PCR) atau reaksi berantai polimerase merupakan suatu metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial sekuen nukleotida tertentu secara in vitro dalam waktu yang relatif singkat (Dunham, 2004).
Dengan menggunakan metode PCR, dapat diperoleh
10
pelipatgandaan suatu fragmen DNA dalam waktu yang relatif singkat. Bagian spesifik molekul DNA yang dapat dihasilkan paling sedikit satu juta copy dan produk PCR dapat dideteksi dalam gel agarosa menggunakan etidium bromida. Daerah yang diamplifikasi biasanya mencapai panjang antara 150-3000 pasang basa (bp). Proses PCR memerlukan (1) DNA cetakan, yaitu fragmen DNA yang akan dilipatgandakan, (2) oligonukleotida primer, yaitu suatu sekuen oligonukleotida pendek (18-30 basa nukleotida) yang digunakan untuk mengawali sintesis DNA, (3) deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP), terdiri atas dATP, dCTP, dGTP, dTTP, (4) enzim DNA polimerase, yaitu enzim yang melakukan katalisis reaksi sintesis DNA. Komponen lain yang juga penting adalah senyawa buffer. Optimalisasi suatu amplifikasi dipengaruhi oleh tiga kondisi penting yaitu DNA cetakan, suhu annealing bagi primer, dan suhu dan waktu yang cukup untuk ekstensi. Suhu annealing dan konsentrasi garam akan mempengaruhi kestabilan DNA duplex. Komponen-komponen yang mendukung reaksi amplifikasi selain keempat komponen di atas adalah volume reaksi, waktu siklus dan suhu (Rasmussen, 1992). Proses thermocycling dalam proses amplifikasi adalah DNA templet didenaturasi, primer menempel pada daerah komplemennya dan enzim polimerase mengkatalis penambahan nukleotida pada
masing-masing primer,
kemudian membuat copy baru dari daerah targetnya (Dale & Schantz, 2002). Sebagaimana yang disebutkan di atas, salah satu komponen PCR adalah primer. Primer merupakan hal yang penting untuk mencapai sensitivitas dan spesivitasnya yang lebih tinggi. Disain primer sangat mempengaruhi keberhasilan amplifikasi. Primer yang memiliki fleksibilitas saat seleksi primer, adalah primer terbaik yang dapat mengoptimalisasi dan memaksimalkan hasil dan spesivisitas produk amplifikasi. Agar primer dapat bekerja secara optimal, maka primer yang didisain sebaiknya memiliki panjang 18-30 basa nukleotida dengan kandungan GC sekitar 30-70%. Pembentukan primer dimer terjadi apabila ujung basa 3’ merupakan komplemen (Rasmussen, 1992). Primer akan mengikat pada untai DNA yang berlawanan, dengan ujung titik 3’ pada ujung 5’. Penambahan enzim polimerase pada primer, dan proses polimerisasi bolak-balik dari belakang ke
11
depan, membentuk suatu jumlah pertambahan DNA secara eksponensial dari molekul untai ganda DNA (Griffith et al., 2005). Proses PCR memerlukan sejumlah siklus untuk mengamplifikasi suatu sekuen DNA spesifik. Setiap siklus terdiri atas tiga tahap, yaitu denaturasi, annealing (hibridisasi), dan ekstensi (polimerasi). Denaturasi dilakukan pada suhu 90-96°C, sehingga terjadi pemisahan utas ganda DNA menjadi dua utas tunggal DNA yang menjadi cetakan (template) tempat penempelan primer dan tempat kerja DNA polimerase. Selanjutnya, suhu diturunkan untuk penempelan primer oligonukleotida pada sekuen yang komplementer pada molekul DNA cetakan. Tahap ini disebut annealing. Suhu diturunkan sampai mencapai ~55°C atau sesuai melting temperature (Tm) dari primer oligonukleotida (Glick & Pasternak, 2003). Selama tahap ini, primer berpasangan dengan sekuen komplementernya di dalam DNA cetakan. Primer oligonukleotida melekat pada masing-masing utas tunggal DNA dengan arah yang berlawanan; satu primer melekat pada ujung utas DNA sense, sedangkan primer yang lain melekat pada ujung utas DNA antisense. Tahap selanjutnya adalah tahap ekstensi yang dilakukan pada suhu 72°C. Suhu ini merupakan suhu optimum untuk kerja enzim Taq DNA polimerase. Pada tahap ini enzim Taq DNA polimerase mengkatalis reaksi penambahan mononukleotida pada primer yang sesuai dengan utas DNA komplemen yang berada di sebelahnya. Hasil amplifikasi DNA yang dihasilkan tergantung dari berapa siklus yang pakai. Contohnya jika siklusnya 20, maka amplifikasi PCR yang dihasilkan adalah 220 (Erlich, 1989). Tahapan kerja PCR secara singkat diilustrasikan pada Gambar 4. Pada penelitian ini primer β-aktin Artemia dan kutu air dirancang berdasarkan database pada Bank Gen (Lampiran 4 dan Lampiran 5). Komponen primer pada pereaksi PCR sangat menentukan keberhasilan suatu reaksi amplifikasi, yang pada dasarnya merupakan DNA atau RNA untai tunggal pendek yang berfungsi sebagai titik inisiasi proses amplifikasi DNA target. Menurut
Erlich
(1989),
bahwa
primer
dapat
didisain
dengan
mempertimbangkan beberapa faktor yaitu: a. Distribusi basa acak dan kandungan GC yang mirip dengan fragmenfragmen yang akan diamplifikasi. Primer dengan sekuen polipurin,
12
polipirimidin, atau sekuen lain yang unusual seperti palindrome, harus dihindari. b. Sekuen dengan struktur kedua (secondary structure) dalam bentuk loop, khususnya pada ujung 3’ primer juga dihindari. c. Sekuen primer tidak saling komplemen. 3’ 5’
5’ 3’ 1 5’ 3’ 5’
3’
3’
5’
3’
P
5’ 3’
5’ 3’
5’
5’ 3’ 5’ 3’ 3’ 5’ 5’ 3’ 3’ 5’ 5’ 3’
5’ 3’ 5’ 3’
3’
+
5’
2
5’
5’
3
3’ 5’
4
5’
3’ 5’
3’
3’
P
5’
3’
5’ 3’
5’
3’ 3’
5’ 3’ 5’ 3’ 5’
5’ 3’ 5’ 3’
3’ 5’ 5’ 3’ 3’ 5’ 5’ 3’
5’ 3’
3’ 5’
3’ 5’ 3’ 5’ 3’ 5’ 5’ 3’ 3’ 5’ 5’ 3’
3’ 5’ 3’ 5’
Gambar 4. Tahapan kerja PCR; 1. Tahap denaturasi; 2. Tahap annealing; 3. Tahap ekstensi (P: Polimerase); 4. Perkembangan pada siklus selanjutnya (Erlich, 1989) 2.6 Elektroforesis Metode yang umumnya digunakan dalam analisis produk reaksi PCR adalah elektroforesis. Elektroforesis adalah suatu metode pemisahan molekul selular berdasrkan atas ukurannya, dengan menggunakan medan listrik yang
13
dialirkan pada suatu medium (gel agarosa) yang mengandung sampel yang akan dipisahkan. Teknik ini digunakan dengan memanfaatkan muatan listrik yang ada pada makromolekul, misalnya pada DNA yang bermuatan negatif (Yuwono, 2005). Molekul asam nukleat yang bermuatan negatif tersebut, akan bergerak ke arah kutub positif (anoda). Elektroforesis gel agarosa dapat digunakan untuk menganalisis komposisi dan kualitas dari sampel asam nukleat. Secara khusus, hal ini sangat membantu untuk menentukan ukuran fragmen DNA hasil restriksi (restriction digest) atau produk reaksi PCR. Untuk tujuan ini diperlukan kalibrasi terhadap gel menggunakan penanda (marker) standar yang mengandung fragmen dari ukuran DNA yang diketahui (Dale & Schantz, 2002). Dalam prosesnya, elektroforesis membutuhkan pewarna yaitu etidium bromida. Pewarna ini umumnya digunakan baik untuk mendeteksi maupun mengkuantifikasi asam nukleat. Etidium bromida memiliki struktur cincin datar yang mampu menumpuk (stack) di antara basa-basa dalam asam nukleat; hal ini dikenal dengan istilah intercalation. Selanjutnya, pewarna dapat dideteksi melalui pendarannya, pada daerah spektrum merah-oranye, ketika dipaparkan dengan sinar UV. Hal ini merupakan metode yang paling luas digunakan untuk pewarnaan gel elektroforesis, dan juga dapat digunakan untuk menduga jumlah DNA (atau RNA) dalam sampel. Hal ini dilakukan dengan membandingkan intensitas dari pendaran sampel yang telah diketahui konsentrasinya dan dimuatkan pada gel yang sama (Dale & Schantz, 2002). Menurut Muladno (2002) kecepatan migrasi DNA ditentukan oleh beberapa faktor, misalnya ukuran molekul DNA dimana molekul DNA yang berukuran besar lebih lambat daripada migrasi molekul berukuran kecil. Konsentrasi gel agarosa yang rendah memudahkan percepatan migrasi molekul DNA dibandingkan dengan konsentrasi DNA yang berkonsentrasi tinggi (molekul DNA yang sama). Kecepatan migrasi yang tinggi terjadi pada rangkaian molekul DNA yang memiliki ukuran yang sama. Voltase rendah mengakibatkan kecepatan migrasi DNA sebanding dengan tingginya voltase yang digunakan, tetapi apabila voltase dinaikkan, maka mobilitas molekul DNA meningkat secara tajam. Adanya etidium bromida di dalam gel mengakibatkan pengurangan tingkat kecepatan
14
migrasi molekul DNA linear sebesar 15%. Komposisi larutan buffer juga mempengaruhi migrasi DNA, dimana apabila tidak ada kekuatan ion di dalam larutan, maka aliran listrik akan sangat minimal dan migrasi DNA sangat lambat, sedangkan larutan buffer berkekuatan ion tinggi akan meningkatkan panas sehingga aliran listrik menjadi sangat maksimal.
15
III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2009 hingga Februari 2010. Tempat penelitian adalah di Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan Institut Pertanian Bogor. 3.2 Metode Penelitian 3.2.1 Penetasan Artemia dan Kultur Kutu Air Artemia yang digunakan dalam penelitian ini bermerk Supreme Plus yang diproduksi oleh Golden Mark®, USA, dengan derajat penetasan (hatching rate) sekitar 80-90%. Siste Artemia ditetaskan pada wadah khusus berupa botol air mineral terbalik dengan dinding berwarna gelap serta dilengkapi dengan sistem aerasi (Lampiran 7N). Siste Artemia ditimbang sebanyak 10 gram kemudian dicuci dengan air tawar sebanyak 2 kali. Siste tersebut kemudian didekapsulasi dengan cara merendamnya menggunakan larutan hipoklorit 5 ppm selama 30 menit. Setelah siste terlihat berwarna jingga, siste kemudian dicuci dengan air tawar sebanyak dua kali dan ditetaskan pada media dengan salinitas 29 ppt selama 18-24 jam pada 28-30ºC. Artemia yang telah menetas dipisahkan dengan menggunakan penyaring dengan ukuran 150 mesh dan dicuci dengan air tawar untuk menghilangkan sisa media. Setelah itu, Artemia ditimbang dan dimasukkan ke dalam wadah perlakuan. Inokulan kutu air dikultur dalam media khusus. Media berupa air tawar yang telah ditambahkan suspensi pupuk kandang. Media tersebut ditampung dalam wadah berdimensi 3x2x0,6 m3 dan dibiarkan selama 3 hari sampai warna berubah coklat pekat. Wadah penampung tersebut didesain sedemikian rupa sehingga kontaminasi dari luar media, seperti air hujan, dapat dihindarkan. Setelah 3 hari persiapan media, inokulan ditebar dan dibiarkan tumbuh selama 4 hari. Pada saat yang sama, dilakukan kembali pemupukan media menggunakan pupuk kandang. Kutu air tersebut terlihat tumbuh optimal pada hari ketujuh setelah penebaran. Kutu air dipanen menggunakan penyaring berukuran 1500 mikron
16
kemudian dicuci dengan air tawar sebanyak dua kali. Kutu air yang telah diperoleh, ditimbang bobot basahnya kemudian dimasukkan ke dalam wadah perlakuan. 3.2.2 Kultur Cair Bakteri dan Isolasi Plasmid Bakteri yang digunakan dalam penelitian ini merupakan bakteri Escherichia coli strain DH5α. Bakteri tersebut telah dikonstruksi dan disisipi plasmid dengan gen penanda green flourescent protein (GFP) yang dikendalikan oleh promoter keratin. Promoter keratin diisolasi dari ikan flouder Jepang, Paralichthys olivaceus (Yazawa et al., 2005). Bakteri tersebut dikultur dalam media cair 2xYT sebanyak 60 ml serta ditambahkan antibotik kanamycin dengan perbandingan 1:1000 atau sebanyak 60 µL. Inokulan bakteri diambil menggunakan jarum ose dari stok dan dipindahkan pada media cair tersebut. Selanjutnya, media tersebut diinkubasi dalam shaker (Lampiran 7K) dengan kecepatan 240 rpm selama 18 jam pada suhu 37ºC. Sebanyak 15 ml media yang telah ditumbuhi oleh bakteri tersebut digunakan untuk perlakuan, sedangkan 3 ml digunakan untuk isolasi plasmid. Bakteri
yang
digunakan
untuk
perlakuan
terlebih
dahulu
dilemahkan
menggunakan formalin (modifikasi dari Lin, 2007). Untuk perlakuan, bakteri dari 15ml kultur diendapkan dalam microtube bervolume 1,5 ml dengan cara disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 30 menit pada 4ºC. Endapan bakteri selanjutnya diresuspensi dengan menggunakan phosphate buffer saline (PBS) sebanyak 1 ml kemudian disentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm. Proses resuspensi dengan PBS tersebut dilakukan sebanyak 2 kali. Langkah selanjutnya, bakteri diresuspensi menggunakan formalin 3,7% dan disentrifugasi kembali dengan kondisi yang sama, kemudian diinkubasi pada 4ºC selama 16 jam. Setelah diinkubasi, bakteri kembali diresuspensi dengan PBS dan disimpan dalam 4ºC sebelum digunakan. Isolasi plasmid bertujuan untuk membuat kontrol positif pada proses amplifikasi polymerase chain reaction (PCR). Isolasi plasmid dilakukan dengan menggunakan kit Plasmid Isolation Plasmid MicroSpin® (GE Healthcare, UK) sesuai dengan prosedur dalam manualnya. Sebanyak 3 ml media yang telah
17
ditumbuhi oleh bakteri diendapkan dengan cara disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 30 detik pada suhu 4ºC. Pelet bakteri diresuspensi menggunakan 175 µL lysis buffer I, kemudian ditambahkan 175 µL lysis buffer II dan 350 µL lysis buffer III, serta diaduk pelan. Langkah ini dilakukan untuk menghancurkan sel bakteri. Langkah selanjutnya adalah pengumpulan plasmid. Suspensi disentrifugasi pada kecepatan 12.000, 4ºC selama 5 menit. Supernatan hasil sentrifugasi dipindahkan ke plasmid mini column yang terpasang pada collection tube. Sentrifugasi dilakukan kembali pada kecepatan 12.000 rpm selama 30 detik, dan larutan hasil penyaringan dibuang. Langkah ketiga adalah pencucian pertama; sebanyak 400µL lysis buffer III ditambahkan pada plasmid mini column dan disentrifugasi pada 12.000 rpm selama 30 detik. Larutan hasil penyaringan pun dibuang. Langkah keempat adalah dilakukan pencucian kedua dan pengeringan. Langkah ini dilakukan dengan cara menambahkan 400 µL wash buffer dan disentrifugasi pada 12.000 rpm selama 1 menit serta larutan hasil penyaringan dibuang. Langkah terakhir adalah pelarutan plasmid dengan cara plasmid mini column dipindahkan ke tube baru dan ditambahkan 30 µL SDW. Hasil isolasi plasmid dibiarkan pada suhu ruang selama 30 detik dan konsentrasi DNA diukur menggunakan GeneQuant. Plasmid DNA disimpan pada -20ºC hingga akan digunakan. 3.2.3 Perhitungan Jumlah Koloni Bakteri Jumlah sel bakteri hasil kultur pada media 2xYT sebanyak 60 ml dihitung menggunakan metode pengenceran serial pencawanan kuantitatif. Langkah pertama yaitu 100 µL dari kultur bakteri diambil dan dimasukkan ke dalam microtube yang telah diisi 900 µL PBS (pengenceran 10x). Pengenceran dilakukan sampai 1:108. Langkah selanjutnya adalah sebanyak 10 µL media hasil pengenceran disebar dalam cawan petri bermedia padat (media 2xYT ditambah kanamycin). Penyebaran dilakukan secara merata pada media tersebut. Penyebaran hanya dilakukan untuk pengenceran 105, 106, 107, dan 108 sebanyak 2 ulangan (Lampiran 1). Media sebar tersebut diinkubasi pada suhu 37 ºC selama 18 jam dan dihitung jumlah koloni yang tumbuh. Perhitungan jumlah koloni mengikuti persamaan berikut ini.
18
Persamaan perhitungan jumlah koloni bakteri:
Keterangan: C
: Jumlah sel bakteri per ml biakan bakteri (cfu/ml)
A
: Rerata jumlah koloni bakteri pada media kultur dalam cawan petri
FP
: Faktor pengenceran (1x10-5, 1x10-6, 1x10-7, dan 1x10-8)
3.2.4 Perendaman Artemia dan Kutu Air dengan Bakteri Bakteri mengandung DNA keratin-GFP yang telah disiapkan pada proses sebelumnya, diresuspensi dengan PBS sebanyak 5 ml. Hasil resuspensi ini kemudian dicampurkan ke dalam wadah yang telah berisi akuades steril sebanyak 145 ml. Artemia dan kutu air yang telah ditimbang dengan bobot yang sama (202 mg), dimasukkan ke dalam media tersebut. Setiap 30 menit sekali selama 3 jam, 100 ekor Artemia diambil untuk isolasi DNA (modifikasi dari Lin, 2007). Hal yang sama dilakukan untuk kutu air, setiap 2 jam sekali selama 10 jam, 30 ekor kutu air (setara dengan 100 ekor Artemia) diambil untuk isolasi DNA. 3.2.5 Isolasi DNA Genom Artemia dan Kutu Air DNA diekstraksi menggunakan kit (Puregene, Minneapolis, USA) dengan cara seperti yang dijelaskan dalam manualnya. Sebanyak 100 ekor Artemia hasil perlakuan dimasukkan ke dalam microtube bervolume 1,5 mL dan ditambahkan 200 µL Cell Lysis Solution dan 1,5 µL proteinase K (20 mg/ml) menggunakan micropipette (Lampiran 7A), larutan dihomogenasi menggunakan vorteks (Lampiran 7D), dan lisis dilakukan pada Dry Thermo Unit (Lampiran 7B) dengan suhu inkubasi 55ºC dan dibiarkan semalaman (overnight, 12-16 jam). Setelah melewati proses inkubasi, langkah selanjutnya adalah perusakan RNA. Sampel diangkat dari inkubator dan dibiarkan pada suhu ruang selama 10 menit. Setelah itu, ditambahkan 1,5 µL RNase (4 mg/mL) ke dalam larutan dan diaduk dengan membolak-balik microtube secara perlahan sebanyak 25 kali. Inkubasi dilakukan pada suhu 37ºC selama 60 menit dan setelah itu disimpan dalam es (on ice)
19
selama 5 menit. Tahap berikutnya adalah pengendapan protein dengan penambahan 100 µL Protein Precipitation Solution, lalu disentrifugasi (Lampiran 7C) dengan kecepatan 12.000 rpm selama 15 menit. Langkah keempat adalah pengendapan DNA. Supernatan hasil sentrifugasi dimasukkan ke dalam microtube bervolume 1,5 ml yang sebelumnya telah diisi dengan 300 µL isopropanol. Selanjutnya diaduk dengan hati-hati sebanyak 50x dan disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit pada suhu 4ºC. Supernatan dari sampel dibuang dan ditambahkan etanol 70% (dingin) pada pelet genom serta disentrifugasi kembali dengan kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit. Langkah terakhir, etanol dibuang dan dikering udarakan. DNA dilarutkan dengan SDW sebanyak 30 µL dan disimpan dalam freezer (-20ºC) untuk digunakan pada proses selanjutnya (PCR dan elektroforesis). DNA hasil isolasi dilihat kualitas dan kuantitasnya dengan menggunakan spektrofotometer GeneQuant® (Lampiran 7E) dan dielektroforesis pada gel agarosa 0,7%. Absorbansi diukur pada panjang gelombang 260 nm. Sebelum amplifikasi PCR, konsentrasi DNA cetakan disamakan menjadi 32 ng/µl. 3.2.6 Perancangan dan Penyusunan Primer Primer β-aktin dirancang sebagai primer kontrol internal loading DNA yang dapat mengidentifikasi DNA Artemia dan kutu air. Primer β-aktin Artemia yang dirancang dengan menyejajarkan (alignment) sekuen β-aktin Artemia franciscana (Bank Gen no.: AM.850110.1), sekuen β-aktin Artemia sp. (Bank Gen no.: X52605.1), dan sekuen β-aktin Calanus finmarchicus (Bank Gen no.: U21222.1). Selanjutnya β-aktin kutu air didisain dengan menyejajarkan sekuen βaktin Daphnia magna (Bank Gen no.: AJ292554.1) dan sekuen β-aktin Daphnia pulex (Bank Gen no.: AJ245730.1; AJ245731.1; AJ245732.1; AJ245733.1). Penyejajaran
sekuen-sekuen
tersebut
dilakukan
menggunakan
program
GENETYX versi 7.0, dengan tujuan untuk memperoleh area potensial primer forward dan reverse β-aktin Artemia dan kutu air.
20
3.2.7 Amplifikasi DNA dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) Amplifikasi DNA hasil isolasi dilakukan dengan menggunakan mesin Polymerase Chain Reaction (PCR) (Lampiran 7F). Tahap PCR diawali dengan pembuatan premix, yaitu campuran bahan pereaksi yang akan digunakan dalam proses PCR. Jenis dan jumlah bahan yang digunakan untuk pembuatan premix dapat dilihat pada Tabel 1, 2, dan 3. Dalam penelitian ini proses PCR menggunakan tiga primer yang berbeda yaitu primer β-aktin Artemia dan β-aktin kutu air yang didisain dalam penelitian ini, serta primer green flourescent protein (GFP) yang dirancang oleh Yazawa et al. (2005). Primer β-aktin digunakan sebagai kontrol internal, sedangkan primer GFP digunakan untuk menentukan jumlah copy DNA yang berada dalam tubuh Artemia dan kutu air. Tabel 1. Jenis dan jumlah bahan premix PCR untuk β-aktin Artemia Bahan Primer β-aktin Artemia: Forward (BAr-F) (5’-GCCATGTATGTTGCCATCCARG-3’) Reverse (BAr-R) (5’-TCAGCAGTGTGGTGGTRAARGA-3’) dNTP 10x Buffer Ex Taq Ex Taq (Takara Bio®, Shiga, Japan) Ion Exchange Water (IEW)
Jumlah (µL) 1,00 x (jumlah sampel + 1 R) 1,00 x (jumlah sampel + 1 R) 1,00 x (jumlah sampel + 1 R) 1,00 x (jumlah sampel + 1 R) 0,05 x (jumlah sampel + 1 R) 5,00 x (jumlah sampel + 1 R)
Keterangan: R : Kontrol bahan (hanya mengandung reagen PCR)
Tabel 2. Jenis dan jumlah bahan premix PCR untuk β-aktin kutu air Bahan Primer β-aktin kutu air: Forward (BDa-F) (5’-GACATCAAGGAGAARYTBTGCTAY- 3’) Reverse (BDa-R) (5’-GTACAGATCCTTACGGATGTCGAC-3’) dNTP 10x Buffer Ex Taq Ex Taq (Takara Bio®, Shiga, Japan) Ion Exchange Water (IEW) Keterangan: R : Kontrol bahan (hanya mengandung reagen PCR)
Jumlah (µL) 1,00 x (jumlah sampel + 1 R) 1,00 x (jumlah sampel + 1 R) 1,00 x (jumlah sampel + 1 R) 1,00 x (jumlah sampel + 1 R) 0,05 x (jumlah sampel + 1 R) 5,00 x (jumlah sampel + 1 R)
21
Tabel 3. Jenis dan jumlah bahan premix PCR untuk GFP Bahan Primer GFP: Forward GFP-F (5’ GGTCGAGCTGGACGG 3’) Reverse GFP-R (5’ ACGAACTCCAGCAGG 3’) dNTP 10x Buffer Ex Taq Ex Taq (Takara Bio®, Shiga, Japan) Ion Exchange Water (IEW)
Jumlah (µL) 1,00 x (jumlah sampel + 1 R + 1 P + 1 N) 1,00 x (jumlah sampel + 1 R + 1 P + 1 N) 1,00 x (jumlah sampel + 1 R + 1 P + 1 N) 1,00 x (jumlah sampel + 1 R + 1 P + 1 N) 0,05 x (jumlah sampel + 1 R + 1 P + 1 N) 5,00 x (jumlah sampel + 1 R + 1 P + 1 N)
Keterangan: R : Kontrol bahan (hanya mengandung reagen PCR) P : Kontrol positif (plasmid krt-GFP) N : Kontrol negatif (DNA Artemia tanpa diberi bakteri krt-GFP)
Volume total reaksi PCR adalah 10 µL yang terdiri dari 9 µL premix yang telah dibagikan ke masing-masing microtube bervolume 0,2 mL dan 1 µL DNA genomik hasil pengenceran 30x. Amplifikasi PCR dilakukan dengan program yang berbeda antara β-aktin Artemia, β-aktin Daphnia, dan GFP. Amplifikasi PCR dengan primer β-aktin Artemia menggunakan program: pre-denaturasi pada suhu 94ºC selama 3 menit; 35 siklus pada suhu 94ºC selama 30 detik (denaturasi), 61ºC selama 30 detik (annealing), dan 72ºC selama 30 detik (extension); serta final extension pada suhu 72ºC selama 3 menit. Sama halnya dengan β-aktin Artemia, β-aktin kutu air diamplifikasi dengan menggunakan program PCR yang sama. Hanya saja, suhu annealing pada proses amplifikasi β-aktin kutu air adalah 62ºC. Sementara itu, program untuk PCR dengan primer GFP yaitu: predenaturasi pada suhu 94ºC selama 3 menit; 28 siklus untuk Artemia dan 35 siklus untuk kutu air pada suhu 94ºC selama 30 detik (denaturasi), 62ºC selama 30 detik (annealing), dan 72ºC selama 1 menit (extension); serta final extension pada suhu 72ºC selama 3 menit.
Analisis hasil amplifikasi PCR dilakukan dengan
elektroforesis menggunakan gel agarosa 1%. 3.2.8 Elektroforesis Gel agarosa 1% dibuat dengan melarutkan serbuk gel agarosa sebanyak 0,30 gram dalam 30 ml larutan tris borik EDTA (TBE) yang mengandung etidium bromida (0,01 g/mL). Larutan tersebut dipanaskan dalam microwave (Lampiran 7G) sampai terlihat bening, kemudian didiamkan hingga hangat. Langkah
22
selanjutnya adalah larutan dituang ke dalam cetakan yang telah terpasang sisir pembuat sumur (Lampiran 7H) dan dibiarkan sampai mengeras. Setelah mengeras, sisir dilepas dan padatan gel dimasukkan ke dalam bak elektroforesis yang berisi buffer elektroforesis (TBE) yang juga mengandung etidium bromida (Lampiran 7I). Sebanyak 3 µL sampel DNA hasil PCR dicampurkan dengan 1 µL loading buffer bromophenol blue, lalu dimasukkan ke dalam sumur yang terdapat dalam gel dengan menggunakan micropipette. Setelah itu, 4 µL marker DNA (1 kb DNA ladder) dimasukkan ke dalam sumur yang berada di dekat sumur sampel. Bak elektroforesis ditutup dan listrik dialirkan dengan tegangan 200 Volt dan kuat arus 70 mA. Fragmen DNA akan bergerak dari kutub negatif ke kutub positif. Setelah bromophenol blue bermigrasi sampai 3/4 bagian dari lebar gel, aliran listrik dihentikan dan gel diangkat dan dilepaskan dari cetakannya. Gel tersebut diletakkan di atas ultraviolet illuminator untuk visualisasi DNA. Pengambilan gambar menggunakan kamera digital Canon® PowerShot A640 yang terpasang pada kotak ultraviolet illuminator. Kamera tersebut terhubung ke komputer dan pemotretan dilakukan secara otomatis menggunakan bantuan software (image capture). 3.2.9 Perhitungan Jumlah Copy DNA pada Artemia dan Kutu Air Keberadaan pita DNA produk PCR pada gel agarosa dengan ukuran sesuai dengan prediksi (240 bp untuk β-aktin dan 600 bp untuk GFP) menunjukkan kemampuan Artemia dan kutu air dalam memakan bakteri yang mengandung konstruksi gen keratin-GFP. Perbedaan ketebalan pita-pita DNA tersebut yang diukur menggunakan software UN-SCAN-IT gel 6.0 menunjukkan perbedaan kemampuan Artemia dan kutu air dalam memakan (uptake) bakteri mengandung konstruksi gen kertain-GFP (Lampiran 6). Nilai yang menggambarkan ketebalan pita DNA kemudian dikonversi menggunakan persamaan berikut ini untuk mengetahui jumlah copy DNA yang termakan oleh Artemia dan kutu air (Lampiran 6).
23
Persamaan perhitungan jumlah DNA yang dimakan oleh Artemia dan kutu air
CP = {((B/A) X Konsentrasi Acuan *)/ 9,35 x 10-12`**} Keterangan: CP : Jumlah copy DNA yang termakan oleh Artemia dan kutu air (copy/µg) A : Hasil digitasi (running elektroforesis 3 μL) pada plasmid mix DNA B : Hasil digitasi (running elektroforesis 3 μL) pada perlakuan * : Konsentrasi acuan adalah plasmid mix DNA sebesar 10 µg/µl ** : Konversi base pairs (1 bp = 1,1 x 10-15 µg) Ukuran total plasmid sirkuler DNA untuk Keratin-GFP (8,5 kbp) 3.3 Analisis Data Parameter yang diamati adalah visualisasi hasil PCR dengan menggunakan primer GFP dan jumlah DNA yang dimakan oleh Artemia dan kutu air. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif menggunakan tabel, grafik, dan gambar.
24
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Perhitungan Kepadatan Artemia dan Kutu Air serta Jumlah Koloni Bakteri Sebanyak 1,2 x 108 sel bakteri hasil kultur yang membawa konstruksi gen keratin-GFP ditambahkan ke dalam media perendaman Artemia dengan kepadatan 15.000 ekor (202,17±0,12 mg berat basah) atau sekitar 100 ekor/ml (Tabel 4). Karena ukuran naupli Artemia dan kutu air berbeda, maka jumlah individu kutu air yang dimasukkan ke dalam media perendaman disesuaikan berdasarkan persamaan berat basah. Dengan berat basah yang sama, dalam 202,57±0,10 mg kutu air terdapat sebanyak 5.450 ekor. Hasil ini menunjukkan bahwa dengan berat yang sama, perbandingan jumlah individu antara Artemia dan kutu air adalah sekitar 1:3. Tabel 4. Jumlah sel bakteri, kepadatan Artemia dan kutu air No
Perlakuan
1
Artemia
2
Kutu Air
Bobot Basah (mg) 202,17 ± 0,12a a
202,57 ± 0,10
Jumlah Artemia (ekor) 15.000 5.450
Jumlah Sel Bakteri (cfu/ml) 1,2 x 108
Keterangan: huruf yang sama di belakang nilai bobot basah Artemia dan kutu air menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05).
4.1.2 Produk Isolasi DNA Genom Artemia dan Kutu Air Isolasi DNA genom dari Artemia dan kutu air telah berhasil dilakukan dengan kualitas (kemurnian) dan kuantitas berdasarkan spektrofotometer ditunjukkan pada Tabel 5. Analisis kualitas berdasarkan elektroforesis pada gel agarosa 0,7% ditunjukkan pada Gambar 5. DNA hasil isolasi genom Artemia dengan rasio berkisar antara 1,778-1,949 menunjukan bahwa DNA pada masingmasing perlakuan adalah bersih atau bebas kontaminan. Hal ini seperti dikatakan oleh Muladno (2002), bahwa DNA dikatakan murni apabila nilai rasio (λ260/λ280) berkisar antara 1,8-2,0.
Dengan demikian, DNA hasil isolasi tersebut layak
digunakan untuk proses amplifikasi PCR. Konsentrasi DNA hasil isolasi berkisar antara 92-176 ng/µL.
25
Tabel 5. Konsentrasi dan kemurnian DNA genom hasil isolasi dari Artemia Perlakuan A1 A2 A3 A4 A5 A6 NA
[DNA] (ng/µl) 96 160 172 176 124 132 92
Rasio (λ260/λ280) 1,794 1,896 1,811 1,778 1,949 1,833 1,806
Kemurnian (%) 99 100 100 98 100 100 100
M A1 A2 A3 A4 A5 A6 NA
10 kb 8 kb 5 kb 3 kb 2 kb 1,2 kb
Gambar 5. Elektroforesis hasil isolasi DNA Artemia. A1: perlakuan perendaman Artemia selama 30 menit, A2: selama 1 jam, A3: selama 1,5 jam, A4: selama 2 jam, A5: selama 2,5 jam, dan A6: selama 3 jam. NA: DNA Artemia tanpa perlakuan perendaman. M: Marker DNA 1 kb ladder. Angka di sebelah kiri gambar menunjukkan ukuran fragmen DNA marker.
Seperti halnya Artemia, isolasi DNA genom dari kutu air pun telah berhasil dilakukan dengan kualitas (kemurnian) dan kuantitas berdasarkan spektrofotometer ditunjukkan pada Tabel 6, dan pengecekan kualitas berdasarkan elektroforesis pada gel agarosa 0,7% ditunjukkan pada Gambar 6. Rasio (1,7221,925) dan kemurnian (95-100%) yang baik pun ditunjukan pada DNA genom hasil isolasi dari kutu air (Tabel 6). Kualitas DNA tersebut layak digunakan untuk proses amplifikasi PCR. Konsentrasi DNA hasil isolasi berkisar antara 156-668 ng/µL, lebih tinggi dibandingkan dengan DNA genom dari Artemia.
26
Tabel 6. Konsentrasi dan kemurnian DNA genom hasil isolasi dari kutu air Perlakuan D1 D2 D3 D4 D5 ND
[DNA] (ng/µl) 260 200 252 668 420 156
Rasio (λ260/λ280) 1,925 1,881 1,722 1,813 1,869 1,778
Kemurnian (%) 100 100 95 100 100 98
M D1 D2 D3 D4 D5 ND
10 kb 8 kb 6 kb 5 kb
Gambar 6. Elektroforesis hasil isolasi DNA kutu air. D1: perlakuan perendaman kutu air selama 2 jam, D2: selama 4 jam, D3: selama 6 jam, D4: selama 8 jam, dan D5: selama 10 jam. NA: DNA kutu air tanpa perlakuan perendaman. M: Marker DNA 1 kb ladder. Angka di sebelah kiri gambar menunjukkan ukuran fragmen DNA marker. 4.1.3 Perancangan Primer β-Aktin Artemia dan Kutu Air Primer β-aktin Artemia dan kutu air dirancang sebagai kontrol internal loading DNA dalam amplifikasi PCR. Baik primer β-aktin Artemia maupun kutu air dirancang dengan memilih lokasi potensial primer hasil penyejajaran basa nukloetida yang memiliki tingkat homologi paling tinggi (Gambar 7). Panjang sekuen berkisar 22-24 basa nukleotida. Sekuen basa nukleotida untuk primer βaktin Artemia adalah BAr-F (5’-GCCATGTATGTTGCCATCCARG-3’) dan BAr-R (5’-TCAGCAGTGTGGTGGTRAARGA-3’), sedangkan sekuen primer βaktin kutu air adalah BDa-F (5’-GACATCAAGGAGAARYTBTGCTAY-3’) dan BDa-R (5’-GTACAGATCCTTACGGATGTCGAC-3’). Primer forward dan reverse untuk Artemia, dan forward untuk kutu air merupakan primer mix, dengan R=A+G; Y=C+T; dan B=C+G+T.
27
BAr‐F
Artemia franciscana.txt Artemia sp.txt Calanus.txt
361 ACTCAGATTATGTTTGAGACCTTCAACAGCCCAGCCATGTATGTTGCCATCCAAGCCGTA AC CAGAT ATGTT GA AC TTCAACA CC GCCATGTATGTTGCCATCCA GC GT 420 360 ACTCAGATCATGTTCGAAACATTCAACACCCCTGCCATGTATGTTGCCATCCAAGCCGTG AC CAGAT ATGTT GA AC TTCAACA CC GCCATGTATGTTGCCATCCA GC GT 419 124 ACCCAGATCATGTTCGAGACCTTCAACATGCCCGCCATGTATGTTGCCATCCAGGCTGTC AC CAGAT ATGTT GA AC TTCAACA CC GCCATGTATGTTGCCATCCA GC GT 183
Artemia franciscana.txt Artemia sp.txt Calanus.txt
421 CTTTCACTCTACGCTTCCGGTCGTACAACTGGTATTGTCCTCGACTCTGGTGATGGTGTT CT TC CTCTA GC TC GG G AC ACTGGTAT GT T GA TC GG GATGGTGT 480 420 CTTTCCCTCTACGCATCTGGTAGAACTACTGGTATCGTTCTTGATTCAGGCGATGGTGTC CT TC CTCTA GC TC GG G AC ACTGGTAT GT T GA TC GG GATGGTGT 479 184 CTCTCCCTCTATGCTTCCGGCCGTACCACTGGTATCGTCATGGACTCTGGAGATGGTGTC CT TC CTCTA GC TC GG G AC ACTGGTAT GT T GA TC GG GATGGTGT 243
Artemia franciscana.txt Artemia sp.txt Calanus.txt
481 TCTCACACCGTTCCCATCTATGAAGGTTATGCCCTTCCTCATGCCATTCTCCGTCTTGAC TC CA GT CCC TCTA GAAGG TA GC CTTCC CA GC ATT T G T GA 540 480 TCACATACCGTACCCATCTACGAAGGCTACGCTCTTCCACACGCAATTTTGAGATTGGAT TC CA GT CCC TCTA GAAGG TA GC CTTCC CA GC ATT T G T GA 539 244 TCCCACGGTGTCCCCGTCTATGAAGGTTATGCCCTTCCCCATGCCATTGTCCGTCTTGAT TC CA GT CCC TCTA GAAGG TA GC CTTCC CA GC ATT T G T GA 303
Artemia franciscana.txt Artemia sp.txt Calanus.txt
541 CTTGCTGGCCGTGACTTGACTGATTATTTGATGAAAATCTTGACTGAACGAGGTTACTCT CTTGCTGG CG GA T AC A TA TGATGAA ATC T AC GA CG GG TA TC 600 540 CTTGCTGGTCGAGATTTAACCGATTATTTGATGAAAATCCTAACCGAGCGAGGATATTCC CTTGCTGG CG GA T AC A TA TGATGAA ATC T AC GA CG GG TA TC 599 304 CTTGCTGGACGTGAGCTCACCAACTACCTGATGAAGATCCTCACTGAGCGTGGCTACTCT CTTGCTGG CG GA T AC A TA TGATGAA ATC T AC GA CG GG TA TC 363
Artemia franciscana.txt Artemia sp.txt Calanus.txt
601 TTCACCACCACTGCTGAGCGTGAAATTGTCCGTGACATAAAGGAAAAACTTTGCTATGTC TT ACCACCACTGCTGA G GA ATTGT CGTGA AT AA GA AA CTTTG TATG 660 600 TTTACCACCACTGCTGAAAGAGAAATTGTTCGTGATATCAAAGAAAAACTTTGTTATGTC TT ACCACCACTGCTGA G GA ATTGT CGTGA AT AA GA AA CTTTG TATG 659 364 TTCACCACCACTGCTGAGCGCGAGATTGTCCGTGACATCAAGGAGAAGCTTTGCTATGAA TT ACCACCACTGCTGA G GA ATTGT CGTGA AT AA GA AA CTTTG TATG 423 BAr‐R
Gambar 7. Alignment sekuen parsial β-aktin Artemia fransciscana (no. Aksesi Bank Gen: AM850110.1), β-aktin Artemia sp. (no. Aksesi Bank Gen: X52605.1), dan β-aktin Calanus finmarchicus (no. Aksesi Bank Gen: U21222.1). Posisi primer forward BAr-F (5’-GCCATGTATGTTGCCATCCARG-3’) dan primer reverse BAr-R (5’-TCAGCAGTGTGGTGGTRAARG-A-3’) ditunjukan dengan tanda panah.
28 BDa‐F Daphnia Daphnia Daphnia Daphnia Daphnia
magna pulex pulex pulex pulex
601 340 601 601 601
TT TTCACCACCACCGCTGAGCGTGAAATCGTCCGTGACATCAAGGAGAAATTGTGCTATGTC ACCACCAC GC GAGCGTGAAATCGT CG GACATCAAGGAGAA T TGCTA GTC TTCACCACCACTGCCGAGCGTGAAATCGTTCGTGACATCAAGGAGAAACTTTGCTATGTC TT ACCACCAC GC GAGCGTGAAATCGT CG GACATCAAGGAGAA T TGCTA GTC TTAACCACCACCGCCGAGCGTGAAATCGTTCGTGACATCAAGGAGAAATTGTGCTACGTC TT ACCACCAC GC GAGCGTGAAATCGT CG GACATCAAGGAGAA T TGCTA GTC TTCACCACCACCGCTGAGCGTGAAATCGTCCGTGACATCAAGGAGAAATTGTGCTATGTC TT ACCACCAC GC GAGCGTGAAATCGT CG GACATCAAGGAGAA T TGCTA GTC TTCACCACCACCGCCGAGCGTGAAATCGTTCGCGACATCAAGGAGAAGCTCTGCTATGTC TT ACCACCAC GC GAGCGTGAAATCGT CG GACATCAAGGAGAA T TGCTA GTC
660 399 660 660 660
Daphnia Daphnia Daphnia Daphnia Daphnia
magna pulex pulex pulex pulex
661 400 661 661 661
GCCCTTGACTTTGAACAGGAAATGGCCACTGCTGCTGCCTCCACCTCTTTGGAGAAATCC GC T GACTT GAACA GA ATG CCAC GC G CCTCCAC TC TGGA AA TC GCTTTGGACTTCGAACAAGAGATGGCCACTGCTGCCTCCTCCACTTCATTGGAGAAGTCT GC T GACTT GAACA GA ATG CCAC GC G CCTCCAC TC TGGA AA TC GCCCTAGACTTCGAACAGGAAATGGCCACCGCCGATGCCTCCACCTCCTTGGAGAAATCC GC T GACTT GAACA GA ATG CCAC GC G CCTCCAC TC TGGA AA TC GCCCTGGACTTTGAACAGGAAATGGCCACTGCTGCTGCCTCCACCTCTTTGGAGAAATCC GC T GACTT GAACA GA ATG CCAC GC G CCTCCAC TC TGGA AA TC GCCCTCGACTTTGAACAGGAGATGCCCACCGCCGCCTCCTCCACCTCCCTGGAAAAGTCG GC T GACTT GAACA GA ATG CCAC GC G CCTCCAC TC TGGA AA TC
720 459 720 720 720
Daphnia Daphnia Daphnia Daphnia Daphnia
magna pulex pulex pulex pulex
721 460 721 721 721
TATGAATTGCCCGATGGTCAGGTCATCACCATTGGCAACGAGCGATTCCGCTGCCCCGAG TA GA T CCCGA GG CAGGTCATCACCAT GG AA GA CG TT CG TGCCC GA TACGAACTCCCCGACGGTCAGGTCATCACCATTGGCAATGAGCGATTCCGTTGCCCAGAG TA GA T CCCGA GG CAGGTCATCACCAT GG AA GA CG TT CG TGCCC GA TACGAATTGCCCGATGGCCAGGTCATCACCATCGGTAACGAACGTTTCCGTTGCCCCGAA TA GA T CCCGA GG CAGGTCATCACCAT GG AA GA CG TT CG TGCCC GA TATGAATTGCCCGATGGTCAGGTCATCACCATTGGCAACGAGCGATTTCGCTGCCCCGAG TA GA T CCCGA GG CAGGTCATCACCAT GG AA GA CG TT CG TGCCC GA TACGAGCTTCCCGACGGTCAGGTCATCACCATCGGCAATGAGCGATTCCGTTGCCCCGAG TA GA T CCCGA GG CAGGTCATCACCAT GG AA GA CG TT CG TGCCC GA
780 519 780 780 780
Daphnia Daphnia Daphnia Daphnia Daphnia
magna pulex pulex pulex pulex
781 520 781 781 781
GCCCTCTTCCAGCCCTCATTCTTGGGTATGGAATCTTGCGGTATCCACGAGACCGTCTAC GC CTCTTCCA CC TTCTTGGGTATGGA TCTTGCGG T CA GAGAC CTAC GCCCTCTTCCAGCCTTCATTCTTGGGTATGGAGTCTTGCGGTCTGCATGAGACTACCTAC GC CTCTTCCA CC TTCTTGGGTATGGA TCTTGCGG T CA GAGAC CTAC GCCCTCTTCCAACCCTCATTCTTGGGTATGGAATCTTGCGGCATACACGAGACGGTCTAC GC CTCTTCCA CC TTCTTGGGTATGGA TCTTGCGG T CA GAGAC CTAC GCCCTCTTCCAGCCCTCATTCTTGGGTATGGAATCTTGCGGTATCCACGAGACCGTCTAC GC CTCTTCCA CC TTCTTGGGTATGGA TCTTGCGG T CA GAGAC CTAC GCTCTCTTCCAGCCCAGCTTCTTGGGTATGGAGTCTTGCGGCATCCACGAGACCACCTAC GC CTCTTCCA CC TTCTTGGGTATGGA TCTTGCGG T CA GAGAC CTAC
840 579 840 840 840
Daphnia Daphnia Daphnia Daphnia Daphnia
magna pulex pulex pulex pulex
841 580 841 841 841
AAACTCGATCATGAAGTGCGACGTCGACATCCGTAAGGATCTGTACGCCAACACTGTCTTG CTCGATCATGAAGTG GA GTCGACATCCGTAAGGATCTGTACGC A TGTC T AAACTCGATCATGAAGTGCGATGTCGACATCCGTAAGGATCTGTACGCCAACACTGTCCTT CTCGATCATGAAGTG GA GTCGACATCCGTAAGGATCTGTACGC A TGTC T AGCTCGATCATGAAGTGTGACGTCGACATCCGTAAGGATCTGTACGCCAACAATGTCCTC A CTCGATCATGAAGTG GA GTCGACATCCGTAAGGATCTGTACGC A TGTC T AAACTCGATCATGAAGTGCGACGTCGACATCCGTAAGGATCTGTACGC---AACTGTCTTG CTCGATCATGAAGTG GA GTCGACATCCGTAAGGATCTGTACGC A TGTC T AACTCGATCATGAAGTGCGACGTCGACATCCGTAAGGATCTGTACGCCAACACTGTCCTG A CTCGATCATGAAGTG GA GTCGACATCCGTAAGGATCTGTACGC A TGTC T
900 639 900 897 900
BDa‐R
Gambar 8. Alignment sekuen parsial β-aktin Daphnia magna (no. Aksesi Bank Gen: AJ292554.1) dan beberapan sekuen β-aktin Daphnia pulex (no. Aksesi Bank Gen: AJ245730.1; AJ245731.1; AJ245732.1; AJ245733.1. Posisi primer forward BDa-F (5’-GACATCAAGGAGAARYTBTGCTAY-3’) dan primer reverse BDa-R (5’GTACAGATCCTTACGGATGTCGAC-3’) ditunjukan dengan tanda panah. 4.1.4 Visualisasi Produk PCR DNA Artemia dan Kutu Air Produk PCR yang dihasilkan dengan menggunakan primer GFP berukuran 600 bp (Gambar 9). Secara umum pada Artemia, produk ini terlihat di setiap perlakuan. Sementara pada kutu air, produk PCR hanya terlihat pada 6 jam setelah pemberian bakteri. Produk PCR menggunakan primer β-aktin diperoleh pada semua perlakuan Artemia dan kutu air. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat DNA genom
sebagai cetakan dalam proses amplifikasi PCR.
29
M A1 A2 A3 A4 A5 A6 P NA R 0,7 kb 0,5 kb
(i) GFP pada perlakuan Artemia
0,5 kb 0,2 kb 0,1 kb
M A1 A2 A3 A4 A5 A6 NA R (ii) β-aktin pada perlakuan Artemia
M D1 D2 D3 D4 D5 P ND R 0,8 kb 0,5 kb 0,4 kb
(iii) GFP pada perlakuan kutu air
M D1 D2 D3 D4 D5 R ND 0,4 kb 0,3 kb 0,2 kb
(iv) β-aktin pada perlakuan kutu air Gambar 9. Visualisasi hasil PCR dengan target gen GFP pada Artemia (i) dan pada kutu air (iii) serta dengan target β-aktin pada Artemia (ii) dan pada kutu air (iv). M = Marker DNA; A1 = Perlakuan perendaman Artemia 30 menit; A2 = Perlakuan perendaman Artemia 1 jam; A3 = Perlakuan perendaman Artemia 1,5 jam; A4 = Perlakuan perendaman Artemia 2 jam; A5 = Perlakuan perendaman Artemia 2,5 jam; A6 = Perlakuan perendaman Artemia 3 jam; NA = Artemia tanpa perlakuan perendaman; D1 = Perlakuan perendaman kutu air 2 jam; D2 = Perlakuan perendaman kutu air 4 jam; D3 = Perlakuan perendaman kutu air 6 jam; D4 = Perlakuan perendaman kutu air 8 jam; D5 = Perlakuan perendaman kutu air 10 jam; P= Kontrol positif (plasmid pKrt-GFP); R= Hanya mengandung reagen PCR, dan ND= Kutu air tanpa perlakuan perendaman.
30
4.1.5 Jumlah Copy DNA Asing dalam Artemia dan Kutu Air Seperti ditunjukkan pada Gambar 10 bahwa jumlah copy DNA asing yang terdapat dalam Artemia yaitu berkisar antara 1,43 x 1013 s.d. 2,37 x 1012, sedangkan dalam pada kutu air hanya dapat terdeteksi pada jam ke-6 setelah perendaman yaitu berjumlah 0,02x1012 (Gambar 11). Detil perhitungan jumlah copy DNA asing dalam Artemia dan kutu air ditampilkan pada Lampiran 6.
Gambar 10. Jumlah copy DNA asing yang terdapat dalam Artemia.
Gambar 11. Jumlah copy DNA asing dalam kutu air.
31
4.2. Pembahasan Aplikasi protein rekombinan seperti rekombinan growth hormone (rGH) dan DNA rekombinan seperti halnya DNA vaksin, membutuhkan metode pemberian yang tepat.
Dalam penelitian ini digunakan pakan alami sebagai
vektor penyampaian DNA asing dalam bentuk konstruksi gen keratin-GFP sebagai model bagi vaksin DNA. Metode ini juga telah dibuktikan oleh Lin et al. (2005) bahwa Artemia mampu mengkonsumsi bakteri E. coli yang membawa konstruksi pET24a-GFP. Lebih lanjut Lin et al. (2005) melaporkan bahwa terdapat 105 bakteri yang terkandung dalam 1 ekor Artemia dan sekitar 80-90% mengandung antigen setelah 2 jam diberikan bakteri terkonstruksi pET24a-NNV VP. Penelitian ini mengacu kepada penelitian Lin et al. (2005). Pada penelitian ini digunakan 15.000 ekor naupli Artemia diberi bakteri sebanyak 15 x 108 cfu/ml yang membawa konstruksi gen pKrt-GFP (keratin-GFP). Selain itu, pada penelitian ini juga digunakan kutu air (Daphnia dan Moina) yang mewakili pakan alami untuk komoditas ikan air tawar. Jumlah kutu air dalam penelitian ini adalah sebanyak 5.450 ekor dengan cara menyamakan bobot basah dari 15.000 ekor Artemia yaitu 202,17 ± 12 mg, sehingga dapat dikatakan bahwa bobot Artemia berbanding kutu air adalah 1:3. Hasil isolasi DNA genom dari Artemia dan kutu air termasuk bersih atau kontaminasi dari protein atau fenol sangat rendah, karena rasio λ260/λ280 adalah mendekati 1,800 (Muladno, 2002) dan kemurniannya lebih dari 95%. Selanjutnya, dengan menggunakan DNA genom hasil isolasi tersebut, produk PCR menggunakan primer β-aktin juga berhasil diperoleh dengan ukuran fragmen DNA sesuai dengan yang diprediksi yaitu sekitar 240 bp pada Artemia. Namun demikian pada kutu air terdapat tiga pita DNA yaitu sekitar 240 bp, 300 bp, dan antara 300-400 bp. Jumlah pita DNA lebih dari 1 ini diduga disebabkan karena primer didisain dari penyejajaran sekuen β-aktin dari Daphnia magna dan Daphnia pulex, sementara DNA yang digunakan berasal dari kutu air yang merupakan campuran antara Daphnia dan Moina. Diduga bahwa primer β-aktin yang digunakan mempunyai situs annealing berbeda antara Daphnia dan Moina. Semua perlakuan waktu perendaman pada Artemia mengandung bakteri yang membawa DNA asing, sedangkan pada kutu air hanya terdapat pada
32
perlakuan 6 jam (Gambar 9i dan Gambar 9iii). Selain itu, waktu yang diperlukan oleh Artemia untuk memakan bakteri dalam jumlah tinggi lebih cepat dibandingkan dengan kutu air. Perbedaan ini diduga berhubungan dengan perilaku makan dari kedua spesies tersebut. Artemia bersifat non selective filter feeder sehingga mampu memakan apapun yang terdapat disekitarnya yang berukuran <50 mikron (Isnansetyo & Kurniastuty, 1995), sedangkan kutu air bersifat selective filter feeder artinya ukuran suspensi bahan organik yang dilalui dan masuk ke dalam tubuhnya adalah sama dengan ukuran mulutnya atau organ penyaringnya (Djarijah, 1996). Dengan demikian, dari segi jumlah bakteri atau dengan kata lain jumlah copy DNA asing yang dapat dimakan, maka Artemia lebih potensial digunakan sebagai pembawa DNA vaksin dibandingkan dengan kutu air. Jumlah copy DNA asing yang terdapat dalam Artemia mencapai nilai tertinggi pada perendaman 1,5 jam (2,37x1012 copy DNA dalam 100 ekor Artemia). Jumlah copy DNA ini sebanding dengan 22,19 µg DNA (Lampiran 6). Zheng et al. (2006), melaporkan dosis yang digunakan pada uji ekspresi vaksin DNA terhadap ikan Japanese flounder Paralichthys olivaceus adalah 15µg. Begitu pula dengan penelitian Zahro (2010), mengatakan bahwa dosis vaksin DNA terbaik yang digunakan pada uji tantang terhadap sintasan ikan mas yang diinfeksi koi herpes virus (KHV) adalah 12,5 µg (dengan jumlah copy DNA yaitu 13 x 1012). Jika dikaitkan dengan hasil penelitian Zahro (2010) tersebut, dapat dikatakan jumlah copy DNA pada 100 ekor Artemia belum cukup dibanding dengan injeksi vaksin KHV sebesar 12,5 µg per ekor ikan mas dengan bobot ratarata 15-20 gram. Hasil yang sebanding diperoleh jika 1 ekor ikan mas dengan umur dan ukuran yang sama, memakan 500 ekor Artemia atau sekitar 5 kali lipat dari jumlah copy DNA yang ada. Namun, dalam penelitian ini penyampaian konstrusksi DNA pKrt-GFP cukup efektif mengingat pakan alami dapat diberikan pada larva yang berumur lebih dari 2 minggu. Hal ini sesuai dengan Kordi (2004), menyatakan bahwa vaksin DNA kurang efektif diberikan pada ikan yang digunakan kurang dari 2 minggu dan berat badannya kurang dari 1 gram. Hal ini karena organ tubuh yang merespon kekebalan belum sempurna memproduksi
33
antibodi. Organ tubuh ikan yang berfungsi merespon kekebalan, akan tercapai sempurna setelah 2 minggu. Kordi (2004), juga menganjurkan melakukan vaksinasi pada umur tersebut dan kemudian dapat diulangi pada saat ikan berumur 2 bulan. Lin et al. (2005) melakukan pemberian vaksin VNN VP pada larva ikan kerapu melalui Artemia. Artemia yang telah disisipkan vaksin VNN VP diberikan pada larva kerapu yang berumur 18 hari. Pemberian Artemia tersebut dilakukan selama 17 hari sampai terbentuk sistem imun. Sehingga penelitian menggunakan konstruksi pKrt-GFP ini dengan perendaman 1,5 jam bisa dikatakan cukup sebanding untuk menginduksi sistem imun ikan mas. Selanjutnya, Artemia diduga berhenti sementara untuk makan setelah 1,5 jam. Sebagian dari bakteri dilisis dan plasmid DNA dirusak oleh enzim restriksi endogenus sehingga jumlah copy DNA menurun menjadi 1,67 x 1012 copy pada perlakuan 2 jam perendaman. Dugaan tersebut diperkuat dengan munculnya pola yang sama apabila perendaman dilanjutkan, meskipun rentang waktunya lebih singkat dibandingkan dengan perlakuan 30 menit - 1,5 jam. Jumlah copy DNA meningkat kembali pada perlakuan 2,5 jam (2,27 x 1012 copy DNA) dan menurun pada perlakuan 3 jam (2,16 x 1012 copy DNA). Dalam hubungannya dengan vaksinasi melalui Artemia, lama waktu perendaman dan tingkat pemberian pakan yang efektif dalam arti memberikan induksi imunitas terbaik masih perlu diteliti. Pada kutu air, keberhasilan dalam uptake bakteri yang mengandung DNA dengan konstruksi pKrt-GFP muncul pada 2 jam ketiga atau pada 6 jam setelah perendaman yaitu sebanyak 0,02 x 1012 copy DNA dengan konsentrasi 0,15 µl. Hal ini karena kutu air memiliki proses pencernaan internal yang mampu melisiskan sel bakteri (Hadas, 1983) dan diduga memotong DNA pKrt-GFP.
34
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Artemia memiliki kemampuan uptake bakteri lebih tinggi dibandingkan dengan kutu air. Jumlah copy DNA asing tertinggi dalam tubuh Artemia diperoleh pada perendaman selama 1,5 jam yaitu 2,37 x 1012 copy DNA sedangkan pada kutu air muncul pada 2 jam ketiga dengan jumlah copy DNA 0,02 x 1012. 5.2 Saran Daya tahan ikan uji terhadap infeksi patogen setelah diberi makan Artemia yang mengandung vaksin DNA hasil perendaman selama 1,5 jam perlu diteliti. Selain itu, penggunaan Artemia berukuran lebih besar dan frekuensi pemberian Artemia ke ikan perlu diteliti untuk mengetahui metode efektif menginduksi imunitas ikan uji.
35
DAFTAR PUSTAKA Barnes RD. 1963. Invertebrate zoology. W. B. Saunders Company, Philadelphia, PA. Brown TA. 1995. Gene cloning and introduction. London: Chapman and Hall. Dale JW, Schantz MV. 2002. From genes to genomes: Concepts and application of DNA technology. Jhon Willey & Sons Ltd, England Delbare D and Dhert. 1996. Cladocerans, nematodes and trochophora, larvae. Manual on the production and use of live food for aquaculture laboratory of aquaculture and Artemia. Reference Center University of Ghent, Belgium. P.283-295. In p. Lavens and p. Sorgeloos (ed.). Dinges RRS. 1973. Ecology of Daphnia in stabilization ponds. Texas States Department of Health, Division of Wastewater Technology and Surveylance, USA. 453p. Djarijah AS. 1996. Pakan Ikan Alami. Yogyakarta: Kanisius. Dunham RA. 2004. Aquaculture and Fisheries Biotechnology: Genetic Approaches. CABI Publishing. Cambridge, MA, USA. Effendi I. 2004. Pengantar Akuakultur. Jakarta: Penebar Swadaya. Ellis AE. 1988. Fish Vaccination. San Diego: Academic press. Erlich HA. 1989. PCR technology principles and application for DNA amplification. New York: M Stockton Press. Felts K, Rogers B, Chen K, Ji H, Sorge J and Vaillancourt P. 2001. Recombinant Rennila reniformis GFP displays low toxicity. Stratagene 13:85-87. Hadas O, Yehuda K, Uriel B, and Benzion C. 1983. Ability of Daphnia cell-free extract to damage Escherichia coli cells. Applied and Environmental Microbiology vol.45. No. 4 :1242-1246. Iyengar A, Muller F and Maclean N. 1996. Regulation and expression of transgenes fish – A review. Transgenic Research 5: 147-166. Kordi MGH. 2004. Patologi Ikan Teleostei. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Lin CC, Jhon HYL, Ming SC, and Huey LY. 2007. An oral nervous necrosis virus vaccine that induced protective immunity in larvae of grouper Epinephelus coioides. Aquaculture 268: 265-273.
36
Giordano S, Hall C, Quitshke W, Glasgow E, and Schechter N. 1990. Keratin 8 of simple ephitelia is expressed in glia of the goldfish nervous system. Differentiation 44: 163-172 Gong Z, Ju B, Wang X, Sudha PM, and Yan T. 2002. Green fluorescent protein expression in germ line transmitted transgenic zebrafish under a stratified ephitelial promoter from keratin8. Developmental Dynamics 223: 204-215 Glick BR and Pasternak JJ. 2003. Molecular Biotechnology: Principles and application of recombinant DNA. Third ed. ASM Press. Washington DC. Griffith AFJ, Gelbert WM, Miller JH, and Lewontin RC. 2005. Modern gebetic analysis. New York: WH freeman & company. Hirono I, Aoki T, Shimizu N, and Takashima F. 2003. Immunorelated-genes of the Japanese Flounder Paralichthys olivaceus. Aquatic genomics in Hirono I, Aoki T, Shimizu, and Takashima F (eds.) pp: 286-300. Isnansetyo A dan Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton; Pakan Alami untuk Pembenihan Organisme Laut. Yogyakarta: Kanisius. Karp G. 1984. Cell Biology, Second ed. Mc Graw Hill, Inc. USA. Mudjiman A. 1989. Makanan Ikan. Jakarta: Penebar Swadaya. Muladno. 2002. Seputar Teknologi Rekayasa Genetika. Bogor: Pustaka Wirausaha Muda dan USESE Foundation. Onodera K. 2007. Selection for 3-End Triplets for Polymerase Chain Reaction Primers. in Yuryev A. (editor). 2007. Methods in Molecular Biology: PCR Primer Design. Humana Press, Totowa, NJ. 402: 415 p. Quitschke WW, Lin Z-Y, DePoti-Zilli L and Paterson BM. 1989. The β-actin promoter. Journal of Biology and Chemistry 264: 9539-9546. Rasmussen R and Reed G. 1992. Optimizing Rapid Cycle DNA amplification reactions. www.idahotechnology.com/pdfs/RapidCycler/ [28 Maret 2010] Saunders, Ginny C, Parkers, and Helen C. 1999. Analytical molecular biology: Quality and validation. Laboratory of the Government Chemis. Teddinton. UK. Suwignyo SB. Widigdo, Y. Wardiatno, dan M. Krisanti. 1998. Avertebrata Air jilid 2. Hal 143-183. Jakarta: Penebar Swadaya.
37
Treece GD. 2000. Artemia production for marine larval fish culture. Southern Regional Aquaculture Center Publication No.702. Volckaert FA, Hellemans BA, Galbusera P, and Ollevier F. 1994. Replication, expression and fate of foreign DNA during embryonic and larval development of the African catfish Clarias gariepinus. Molecular Marine Biology and Biotechnology 3: 57-69 Walker JM and Rapley R. 2002. Molecular Biology and Bio technology Fourth Edition. The Royal Society of Chemistry. 555 p. Wallace RB, Shaffer J, Murphy RF, Bonner J, Hirose T, and Itakura K. 1979. Hybridization of synthetic oligodeoxynucleotides to fX174 DNA: the effect of single base pair mismatch. Nucleic Acids Res. 6: 3543–3557. White T and Kazlev MA. 2008. Palaeos: The history of life on earth. http://www.palaeos.com/invertebrates/crustacea/crustacea.html. [30 Maret 2010]. Yazawa R, Hirono I, and Aoki T. 2005. Characterization of promoter activities of four different Japanese Flounder promoters in transgenic Zebrafish. Marine Biotechnology 7: 625-633 Yuwono T. 2005. Biologi Molekular. Jakarta: Erlangga. Yuwono T. 2006. Teori dan Aplikasi Polymerase Chain Reaction. Yogyakarta: Andi. Yuwono T. 2008. Bioteknologi Pertanian. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Zahro ASG. 2010. Efektivitas Pemberian Vaksin DNA Terhadap Kelangsungan Hidup Ikan Mas (Cyprinus carpio). Skripsi. Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Zheng RZ, Xiu QS, Hong ZL, and Jin XZ. 2006. Study on distribution and expression of a DNA vaccine against lymphocystis disease virus in Japanese flounder. Aquaculture 261: 1128-1134.
38
Lampiran 1. Pengenceran serial pencawanan kuantitatif (bakteri terkonstruksi pKrt-GFP)
1 : 101
0,1 ml biakan
0,9 ml PBS
60 ml biakan 0,1 ml
0,1 ml 0,1 ml
0,1 ml
0,1 ml
0,1 ml
0,1 ml
1 : 108 1 : 102
1 : 103
1 : 104
0,01 ml
1 : 105
0,01 ml
1 : 106
1 : 107
0,01 ml
0,01 ml
Ulangan 1
Ulangan 2
Persamaan perhitungan jumlah sel bakteri mengandung keratin GFP:
Keterangan: C
: Jumlah sel bakteri per ml biakan bakteri (cfu/ml)
A
: Rerata jumlah koloni bakteri pada media kultur dalam cawan petri
FP
: Faktor pengenceran (1x10-5, 1x10-6, 1x10-7, dan 1x10-8)
PBS 0,9 ml
39
Lampiran 2. Jumlah sel bakteri yang tumbuh pada media dan contoh perhitungan No 1 2 3 4
Pengenceran (FP) 1 x 10-5 1 x 10-6 1 x 10-7 1 x 10-8
Media I
Media II
98 4 0 0
92 20 0 0
Rata-Rata (A) 95 12 0 0
Jumlah Sel (cfu/ml) 0,95 x 108 1,2 x 108 0 0
Contoh Perhitungan: Pengenceran 1 x 10-5:
Pengenceran 1 x 10-6:
C = (A/FP) x 10
C = (A/FP) x 10
C = (95/ 1x10-5) x 10
C = (12/ 1x10-6 x) 10
C = 95 x 105 x 10
C = 12 x 106 x 10
C = 95 x 106
C = 12 x 107
C = 0,95 x 108 cfu/ml
C = 1,2 x 108 cfu/ml
40
Lampiran 3. Konstruksi DNA keratin-GFP
NotI AgeI
keratin
GFP
SV40
keratin
Lysozyme
keratin-GFP / keratin-Lysozyme Konstruksi DNA Keratin-GFP (Yazawa et al., 2005)
SV40
41
Lampiran 4. Sekuen basa nukleotida dalam pembuatan primer β-actin Artemia 1. Sekuen Artemia franciscana mRNA for beta-actin (act gene), isolated from Great salt lake, Utah (GenBank: AM850110.1) 1 61 121 181 241 301 361 421 481 541 601 661 721 781 841 901 961 1021 1081 1141 1201 1261 1321 1381 1441
ctaatacgac gtccaaaagt taaaaaggat ggtatgtgca gttggccgac ggtgatgaag attatcacaa cgtgttgcac aaccgtgaga gccatccaag tctggtgatg attctccgtc gaacgaggtt aaactttgct tctctagaaa ttccgctgtc cacgagactg gccaacacgg aaggaaataa cgtaaatact atgtggatct ttttaaattt ataaattggc atcatatctt aaaaaaaaaa
tcactatagg cggcacagtg taatcatgtg aggccggctt ctcgtcatca cacagagcaa actgggatga cagaagaaca agatgactca ccgtactttc gtgtttctca ttgaccttgc actctttcac atgtcgccct aatcatatga ccgaagccct tctacaactc ttctttctgg ctgccctagc cagtttggat caaaacagga cttcactcct cacatttgag gttttgtttt aaaaaa
gcaagcagtg caaaccagga tgacgatgat tgccggagat gggtgtcatg aagaggtatc catggaaaag cccaatattg gattatgttt actctacgct caccgttccc tggccgtgac caccactgct tgacttcgaa attaccggac cttccagcca aattatgaag tggtaccacc tccatcaaca cggtggttcc atatgatgaa tctatattga caccatgttg aaatatgaga
gtatcaacgc gtccatagtt gtagcggctt gatgccccac gtcggtatgg ctcactttga atctggcatc ctcactgaag gagaccttca tccggtcgta atctatgaag ttgactgatt gagcgtgaaa caggaaatgg ggtcaagtta tcattcctgg tgtgatgtcg atgtacccag atcaagatta attttggctt tctggaccag tgtgatattt cctatttata aataaaatgc
agagtacgcg tacttcaagg tggttgtgga gtgctgtctt gtcaaaaaga aatatcctat acacatttta ccccccttaa acagcccagc caactggtat gttatgccct atttgatgaa ttgtccgtga caactgcagc ttacaatcgg gcatggaatc acattcgtaa gtattgctga agatcattgc ctctgtccac gaattgttca ttgctggagt catagggctc ttgatgcaaa
gggaagatta gtcaaatatt caatggctcc tccctcaata tagctacgtc tgaacatggt caatgaactc cccaaaagct catgtatgtt tgtcctcgac tcctcatgcc aatcttgact cataaaggaa tgcttctact taacgagcgt ctgcggtatc agacttgtat taggatgcaa cccacctgag cttccaacag ccgcaaatgc cctcagaaaa ctgtatctag aaaaaaaaaa
2. Sekuen Artemia mRNA for actin (clone pArAct403) (GenBank: X52605.1) 1 61 121 181 241 301 361 421 481 541 601 661 721 781 841 901 961 1021 1081 1141 1201 1261
aaataaaaat gcaaagctgg gtcctagaca aagctcaatc ccaactggga ccccagaaga aaaaaatgac aagccgtgct atggtgtctc gattggatct gatattcctt gttatgtcgc aaaagagcta gcccagaagc ctacctacaa ccgttttgtc tcactgccct actctgtatg tttctaaaca ctgcttatgt gaaagatgat agtcattgaa
gtgtgacgac atttgcagga ccagggtgtc taagagaggt cgatatggag gcacccagtt tcagatcatg ttccctctac acataccgta tgctggtcga taccaccact tttggacttt tgagctgcct ccttttccag tagtattatg tggtggtacc tgcaccatcc gatcggtgga ggaatacgac ccaagagtga taacggccat cgattaataa
gaagttgccg gatgatgccc atggtgggta atcctcaccc aagatctggc ttactcacag ttcgaaacat gcatctggta cccatctacg gatttaaccg gctgaaagag gagcaggaga gatggtcagg ccatccttcc aaatgcgatg accatgtacc accatgaaaa tctatcctag gaatctggac acatgccacc catcatttat atttcttaat
cattggtcgt ctcgtgccgt tgggtcagaa tcaaataccc atcatacctt aagcacccct tcaacacccc gaactactgg aaggctacgc attatttgat aaattgttcg tggcaactgc taatcactat tcggtatgga tcgacatcag ctggcattgc tcaaaatcat cttccctctc catccattgt aaatgtgatc gtttaaccaa acaaaaaaaa
tgacaatggc tttcccctcc agacagttat cattgaacat ctacaatgaa taacccaaaa tgccatgtat tatcgttctt tcttccacac gaaaatccta tgatatcaaa ggccagctca tggcaatgag atcttgcggc aaaggacctt cgacagaatg tgccccgcct aacattccaa tcacagaaaa tttgttaaag attaaacccg aaaaa
tctggcatgt attgtcggcc gttggagatg ggtatcgtca cttcgcgttg gccaacagag gttgccatcc gattcaggcg gcaattttga accgagcgag gaaaaacttt acgtctcttg cgattcagat attcatgaaa tacgccaaca cagaaggaaa gagcgtaaat cagatgtgga tgcttttaat aaattgagtt ttttttgcta
42
3. Sekuen Calanus finmarchicus actin mRNA, partial cds (GenBank: U21222.1) 1 61 121 181 241 301 361 421 481 541 601 661 721 781
tgggacgata gaggaactgc atgacccaga gtcctctccc gtctcccacg gatcttgctg tctttcacca gaagcccttg tcttatgagc gaggctctct tacaactcca atgtccggag gctcttgctc gtctggatcg
tggaaaaaat ccgtcctcct tcatgttcga tctatgcttc gtgtccccgt gacgtgagct ccactgctga acttcgagca ttcccgacgg tccagccttc tcatgaagtg gtaccaccat catccaccat gaggatccat
ttggcatcac cactgaggct gaccttcaac cggccgtacc ctatgaaggt caccaactac gcgcgagatt ggagatgtcc tcaggtcatc cttccttgga cgatgttgac gtaccccggt caagatcaag ccttgcctct
accttctaca cccctcaacc atgcccgcca actggtatcg tatgcccttc ctgatgaaga gtccgtgaca actgccgccg accattggta atggaagcct atccgtaagg attgctgacc atcattgctc ctctccacct
atgaactccg ccaaggctaa tgtatgttgc tcatggactc cccatgccat tcctcactga tcaaggagaa cctccacctc atgagcgttt gtggcatcca atctctatgc gtatgcagaa ccccagagag tccaacagat
tgttgcccct tcgtgagaag catccaggct tggagatggt tgtccgtctt gcgtggctac gctttgctat ccttgagaag ccgttgccca tgagaccacc caacactgtc ggagatcact gaaatactct gtgga
43
Lampiran 5. Sekuen basa nukleotida dalam pembuatan primer β-actin Daphnia 1. Sekuen Daphnia magna mRNA for actin (GenBank: AJ292554.1) 1 61 121 181 241 301 361 421 481 541 601 661 721 781 841 901 961 1021 1081 1141 1201 1261 1321 1381 1441 1501 1561 1621 1681 1741
aagcgtggta acagagcaaa tgtgtgacga gattcgccgg accagggtgt ccaaacgtgg atgacatgga aacaccccat cccagatcat tctccctcta cccacactgt tggctggtcg tcaccaccac cccttgactt atgaattgcc ccctcttcca actcgatcat ccggaggcac ttgccccatc ggatcggtgg aggaatacga gctttccgat tattcttctc tctcttgacg cttgcaagaa ctaaaaacac attccttaat attttgaaaa gtgacatgat aaaaaaaaaa
acaacccaga cgtacctgtt tgatgttgcg agatgacgcc catggtgggt tattttgact aaagatctgg cctcttgact gttcgagacc tgcctccggt ccccatttat cgacttgact cgctgagcgt tgaacaggaa cgatggtcag gccctcattc gaagtgcgac caccatgtac caccatcaag ctccatcttg cgagtccggc gggggcgaga ttcttcgtct ttttcacttc atattgattg ccgcccaccc accaaactat aagctgttga tcaaaaatac
gtacgcgggg tttttccagt gctttggttg ccccgtgccg atgggacaga ctgaaatacc caccacacct gaggcccccc ttcaactgcc cgtaccactg gaaggttacg gactacttga gaaatcgtcc atggccactg gtcatcacca ttgggtatgg gtcgacatcc cccggtattg atcaagatca gcctctctgt cctggcattg ctcgttttcg tttcttccat ccagttctta atgatgggtt tatttttcac cttcacgcca cgtctgtgcc atattctcat
acaccagacc tcactcgccc tggacaacgg tcttcccctc aagactcgta caattgagca tctacaacga ttaaccccaa cggccatgta gtatcgtcct ccctgcccca tgaagatctt gtgacatcaa ctgctgcctc ttggcaacga aatcttgcgg gtaaggatct ctgatcgtat ttgctccccc ccaccttcca tccaccgcaa actcctatcg tttcctgtct tttatttact tttcttctct ttcgaagtca tactgtttct ttaattgaat ttcaaattca
gtccccagtc ccagacttaa atccggtatg cattgtcggc cgtcggtgac cggcatcatc gttgcgcgtg ggctaatcgt cgttgccatc cgactccggt cgccatcctc gactgaacgc ggagaaattg cacctctttg gcgattccgc tatccacgag gtacgccaac gcaaaaggaa tgagcgcaaa acagatgtgg gtgcttctaa tcccaattct tttctttact cattgtctct ttgcctagtt attaattggc ctgttaaacc acatgcaaac aaaaaaaaaa
ggttagctca ttcatcaaca tgcaaggctg cgtcctcgcc gaggcccaat accaactggg gctcccgagg gagaagatga caggccgtcc gatggtgtct cgtctggatt ggttacagct tgctatgtcg gagaaatcct tgccccgagg accgtctaca actgtcttgt atcaccgccc tactccgtct atctccaagc atcatctggc tttcaatttt ctttttcgtc gtcgacactt ttgaacacag cgttctcttg cttttcattt ggacttggaa aaaaaaaaaa
2. Sekuen Daphnia pulex partial mRNA for actin, isoform 1 (GenBank:AJ245730.1) 1 61 121 181 241 301 361 421 481 541 601 661 721
catcacacct gaagctcctc ttcaacaccc cgtaccactg gaaggttacg gattacttga gaaatcgttc atggccactg gtcatcacca ttgggtatgg gtcgacatcc cccggcattg atcaagatca
tctacaacga ttaatcccaa cggccatgta gtatcgtgtt ctctgcccca tgaagatttt gtgacatcaa ctgcctcctc ttggcaatga agtcttgcgg gtaaggatct ctgatcgtat ttgctcc
gttgcgtgtc ggccaatcgc cgtcgccatt ggactctggt tgccatcctt gactgaacgc ggagaaactt cacttcattg gcgattccgt tctgcatgag gtacgccaac gcaaaaggag
gcccctgagg gagaagatga caggccgtac gatggtgttt cgtttggact ggttactcct tgctatgtcg gagaagtctt tgcccagagg actacctaca actgtccttt atcactgctc
aacaccccgt ctcagatcat tttccctgta cccacactgt tggctggacg tcaccaccac ctttggactt acgaactccc ccctcttcca actcgatcat ccggtggcac ttgctccatc
cctcttgacc gttcgagacc cgcttctggt tccaatttac tgacttgacc tgccgagcgt cgaacaagag cgacggtcag gccttcattc gaagtgcgat caccatgtac taccatgaag
44
3. Sekuen Daphnia pulex partial mRNA for actin, isoform 2 (GenBank: AJ245731.1) 1 61 121 181 241 301 361 421 481 541 601 661 721 781 841 901 961
ccctaatcaa ggtatgtkcw gtyggccgcc ggtkacgaag atcatcacca cgtgthgccc aaccgtgaaa gccatccagg tctggtgatg atcctccgtc gagcgcggtt aaattgtgct tccttggaga ttccgttgcc cacgagacgg gccaacaatg aaggaaatca
tcaacatgtk aggytggatt cgctccacca cccagtccaa actggkacga cttatgagca aggtgaccca ctgtgctctc gtgtctctca tggacttggc acagcttaac acgtcgccct aatcctacga ccgaagccct tctacagctc tcctctccgg ctgccctcgc
tkacgatkat ckccggakat gggtgtcatg ackttgtatt catggagawk ccccattctc gatcatgttc cctgtacgct caccgttccc cggccgtgac caccaccgcc agacttcgaa attgcccgat cttccaaccc gatcatgaag tggcaccacc cccatccacc
gttgccgctt gacgcccctc gtgggtatkg ttyactttta atctggcatc ctgaytgaag gagaccttca tccggtcgta atctatgaag ttgactgact gagcgtgaaa caggaaatgg ggccaggtca tcattcttgg tgtgacgtcg atgtaccccg atcaagatca
tggttgtkga gtkccgtctt gtcawahaka watacccgat acaccttcta ctcccctcaa actgcccggc ccaccggtat gttacgctct acttgatgaa tcgttcgtga ccaccgccga tcaccatcgg gtatggaatc acatccgtaa gtattgctga agatcattgc
caacggatcc cccatctwty ctcgtacgtc tgatcacggw caacgagttt ccccaaggct catgtacgtc cgttttggac gccccacgcc gatcttgact catcaaggag tgcctccacc taacgaacgt ttgcggcata ggatctgtac tcgtatgcaa tcc
4. Sekuen Daphnia pulex partial mRNA for actin, isoform 3 (GenBank: AJ245732.1) 1 61 121 181 241 301 361 421 481 541 601 661 721 781 841 901 961 1021
gtccccagtc ccagacttaa atccggtatg cattgtcggc cgtcggtgac cggcatcatc gttgcgcgtg ggctaatcgt cgttgccatc cgactccggt cgccatcctc gactgaacgc ggagaaattg cacctctttg gcgatttcgc tatccacgag gtacgcaact aaaggaaatc
ggttagctca ttcatcaaca tgcaaggctg cgtcctcgcc gaggcccaat accaactggg gctcccgagg gagaagatga caggccgtcc gatggtgtct cgtctggatt ggttacagct tgctatgtcg gagaaatcct tgccccgagg accgtctaca gtcttgtccg accgccttgg
acagagcaaa tgtgtgacga gattcgccgg accagggtgt ccaaacgtgg atgacatgga aacaccccat cccagatcat tctccctcta cccacactgt tggctggtcg tcaccaccac ccctggactt atgaattgcc ccctcttcca actcgatcat gaggcaccac ccccatcacc
cgtacctgtt tgatgttgcg agatgacgcc catggtgggt tattttgact aaagatctgg cctcttgact gttcgagacc tgcctccggt ccccatttat cgacttgact cgctgagcgt tgaacaggaa cgatggtcag gccctcattc gaagtgcgac catgtacccc atcagatcta
tttttccagt gctttggttg ccccgtgccg atgggacaga ctgaaatacc caccacacct gaggcccccc ttcaactgcc cgtaccactg gaaggttacg gactacttga gaaatcgtcc atggccactg gtcatcacca ttgggtatgg gtcgacatcc ggtattgctg ratca
tcactcgccc tggacaacgg tcttcccctc aagactcgta caattgagca tctacaacga ttaaccccaa cggccatgta gtatcgtcct ccctgcccca tgaagatctt gtgacatcaa ctgctgcctc ttggcaacga aatcttgcgg gtaaggatct atcgtatgca
5. Sekuen Daphnia pulex partial mRNA for actin, isoform 4 (GenBank: AJ245733.1) 1 61 121 181 241 301 361 421 481 541 601 661 721 781 841 901 961 1021 1081
ccggcaggaa cgtttcgctc cgttggttgt ctcgcgccgt tgggtcagaa tcaagtaccc accacacctt aagctcccct tcaacacacc gtaccaccgg aaggttacgc attacttgat aaatcgttcg tgcccaccgc tcatcaccat tgggtatgga tcgacatccg caggcattgc tcaagatcat
tagttcgata gtctaaagaa tgacaacgaa cttcccatcc ggactcgtac gatcgagcac ctacaatgag caaccccaag cgccatgtac tatcgtgctg ccttcctcac gaagattctg cgacatcaag cgcctcctcc cggcaatgag gtcttgcggc taaggatctg tgaccgcatg tgctcc
ccaagggatc aactacccta tccggtatgt attgtcggcc gtcggtgacg ggcatcgtca ttgcgtgtcg gctaaccgtg gttgccatcc gattccggtg gctatcctgc actgaacgcg gagaagctct acctccctgg cgattccgtt atccacgaga tacgccaaca cagaaggaaa
ccccctgtcg aaacaaaaat gcaaggctgg gcccccgtta aggctcaatc ccaactggga ccccagagga agaagatgac aagccgtgct atggtgtctc gtctggatct gttactcgtt gctatgtcgc aaaagtcgta gccccgaggc ccacctacaa ctgtcctgtc tcaccgcctt
aatcctttgt gtgcgacgat attcgccgga ccagggcatc caaacgtggt tgacatggaa acaccccgtc ccagatcatg ctccctgtac tcacaccgtc cgctggccgt caccaccacc cctcgacttt cgagcttccc tctcttccag ctcgatcatg tggtggcacc ggctccatcc
tttactttta gaagtagcag gatgacgccc atggtcggta atcttgaccg aagatctggc ctcctcactg ttcgagactt gcttccggtc cccatttacg gatctgaccg gccgagcgtg gaacaggaga gacggtcagg cccagcttct aagtgcgacg accatgtacc accatgaaga
45
Lampiran 6. Hasil pengukuran pita DNA dan contoh perhitungan jumlah copy DNA 1. Contoh digitasi dan hasil pada bind GFP Perlakuan
Standar
M1
A
M2
M1
Standar
B
M2
10
1
10-1 µg/µl
10-2
10-3
Keterangan: Standar A B M1 M2
: Acuan pengukuran ketebalan pita pada proses digitasi : Hasil digitasi (running elektroforesis 3 μL) pada plasmid mix DNA : Hasil digitasi (running elektroforesis 3 μL) pada perlakuan : Marker DNA 5 kbp, standar 10,6 ng, running elektroforesis 4 μL : Marker DNA 3 kbp, standar 5,04 ng, running elektroforesis 4 μL
Maka, standar marker DNA berbanding sampel (running elektroforesis): M1
= Jumlah marker yang digunakan X standar M1 Jumlah sampel DNA yang digunakan
M1
= (4 x 10,6) / 3
M1
= 14,133 µg
M1
≈ 14,13 µg
dan, M2
= Jumlah marker yang digunakan X standar M2 Jumlah sampel DNA yang digunakan
M2
= (4 x 5,04) / 3
M2
= 20,16 / 3 µg
M2
= 6,72 μg
46
2. Perhitungan jumlah copy DNA Keterangan: Î 1 bp Î bp pKrt-GFP maka, Î 8500 bp GFP
: 1,1 x 10-15 µg : 8,5 kbp = 8500 bp
: 8500 x 1,1 x 10-15 µg : 9,35x 10-12 Sehingga, persamaaan dalam perhitungan jumlah copy DNA:
Copy DNA = {((B/A) X Konsentrasi Acuan *)/ 9,35 x 10-12} Keterangan: Konsentrasi acuan adalah plasmid mix DNA sebesar 10 µg/µl
Contoh perhitungan: Hasil digitasi 10 µg/µl (A) Hasil digitasi A1 (B)
= 286,73 µg = 383,38 µg
Maka, jumlah copy DNA : Copy DNA = (383,38/286,73) X 10) / 9,35 x 10-12 = 13,37/9,35 x 1012 ≈ 1,43 x 1012 Jumlah copy DNA yang mampu diuptake oleh Artemia dan kutu air: Konsentrasi Hasil No Hasil Digitasi Konversi Digitasi (μg) (μg) Sampel Konsentrasi Kontrol Kontrol Perlakuan Sampel (µg/ml) (Plasmid mix Perlakuan DNA) (µg/ml) 10 286,737 A1 383,38 13,4 1 281,207 A2 509,82 17,8 0,1 234,296 A3 636,23 22,2 0,01 149,563 A4 448,20 15,6 0,001 19,646 A5 596,10 21,2 A6 578,75 20,2 NA 0 0 D1 0 0 D2 0 0 D3 4,39 0,15 D4 0 0 D5 0 0 ND 0 0 P 844,87 29,5
Jumlah Copy DNA (1x1012) 1,43 1,90 2,37 1,67 2,27 2,16 0,00 0,00 0,00 0,02 0,00 0,00 0,00 3,15
47
Lampiran 7. Alat-alat yang digunakan dalam kegiatan penelitian
A. Micropipette dan microtip
C. Sentrifuse
E. GeneQuant
B. Dry thermounit
D. Vortex
F. Mesin thermocycler (PCR)
48
G. Microwave
I. Bak dan power supply elektroforesis
K. Shaker
H. Cetakan & sisir pembuat sumur
J. Gel documentation
L. Timbangan digital
49
M. Inkubator
N. Alat khusus penetasan Artemia
O. Laminar air flow
50
Lampiran 8. Tabel penentuan suhu annealing primer
Panjang Oligonukleotida Primer (bp)
% GC 0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
65
70
75
80
85
90
95
100
13
22
24
26
28
31
33
35
37
39
41
43
45
47
49
51
53
55
57
59
61
63
14
25
27
29
31
33
35
37
39
41
44
46
48
50
52
54
56
58
60
62
64
66
15
27
30
32
34
36
38
40
42
44
46
48
50
52
54
56
58
60
62
64
66
68
16
30
32
34
36
38
40
42
44
46
48
50
52
54
56
58
60
62
64
66
69
71
17
31
33
35
38
40
42
44
46
48
50
52
54
56
58
60
62
64
66
68
70
72
18
33
35
37
39
41
43
45
47
49
51
54
56
58
60
62
64
66
68
70
72
74
19
34
37
39
41
43
45
47
49
51
53
55
57
59
61
63
65
67
69
71
73
75
20
36
38
40
42
44
46
48
50
52
54
56
58
60
62
65
67
69
71
73
75
77
21
37
39
41
43
45
47
49
51
53
55
57
60
62
64
66
68
70
72
74
76
78
22
38
40
42
44
46
48
50
52
54
57
59
61
63
65
67
69
71
73
75
77
79
23
39
41
43
45
47
49
51
53
55
58
60
62
64
66
68
70
72
74
76
78
80
24
40
42
44
46
48
50
52
54
56
58
60
63
65
67
69
71
73
75
77
79
81
25
41
43
45
47
49
51
53
55
57
59
61
63
65
67
70
72
74
76
78
80
82
26
42
44
46
48
50
52
54
56
58
60
62
64
66
68
70
72
74
76
78
81
83
27
42
44
46
45
50
53
55
57
59
61
63
65
67
69
71
73
75
77
79
81
83
28
43
45
47
49
51
53
55
57
59
61
63
66
68
70
72
74
76
78
80
82
84
29
44
46
48
50
52
54
56
58
60
62
64
66
68
70
72
74
76
78
80
83
85
30
44
46
48
50
52
54
56
58
61
63
65
67
69
71
73
75
77
79
81
83
85
31
45
47
49
51
53
55
57
59
61
63
65
67
69
71
73
75
77
80
82
84
86
32
45
47
49
51
53
55
57
60
62
64
66
68
70
72
74
76
78
80
82
84
86
33
46
48
50
52
54
56
58
60
62
64
66
68
70
72
74
76
78
81
83
85
87
34
46
48
50
52
54
56
58
60
63
65
67
69
71
73
75
77
79
81
83
85
87
35
47
49
51
53
55
57
59
61
63
65
67
69
71
73
75
77
79
81
83
85
88
36
47
49
51
53
55
57
59
61
63
65
67
69
72
74
76
78
80
82
84
86
88
37
47
49
51
53
55
58
60
62
64
66
68
70
72
74
76
78
80
82
84
86
88
38
48
50
52
54
56
58
60
62
64
66
68
70
72
74
76
78
80
83
85
87
89
39
48
50
52
54
56
58
60
62
64
66
68
71
73
75
77
79
81
83
85
87
89
40
48
50
52
54
57
59
61
63
65
67
69
71
73
75
77
79
81
83
85
87
89