877
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2016
DETEKSI DINI VIBRIOSIS PADA AIR DAN SEDIMEN TAMBAK Ince Ayu Khairana Kadriah dan Nurhidayah Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Deteksi dini vibriosis secara molekuler dapat memberikan informasi yang lebih akurat adanya ancaman serangan Vibrio patogen sebelum jumlahnya mencapai quorum. Deteksi dini Vibriosis pada air dan sedimen tambak mengalami hambatan pada proses ekstraksi genom bakteri. Proses ekstraksi genom bakteri Vibrio patogen dari air dan sedimen memerlukan metode spesifik yang dapat mengekstrak genom dalam jumlah sedikit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan metode deteksi dini secara molekuler untuk mendeteksi Vibrio patogen pada air dan sedimen tambak. Tahapan penelitian diawali dengan menginfeksikan biakan bakteri V. harveyi patogen ke dalam media air dan sedimen tambak yang telah disterilkan. Konsentrasi bakteri di dalam media uji diatur pada kepadatan 102, 103, 104, 105, 106, dan 107 CFU/mL. Setiap perlakuan diulang tiga kali. Sampling dilakukan pada hari ke-2, 6, dan 9 setelah infeksi. Metode ekstraksi yang digunakan adalah metode Kit Mo Bio yang dilanjutkan dengan amplifikasi DNA dengan metode PCR menggunakan primer spesifik IAVh. Dari hasil elektroforesis diketahui bahwa genom Vibrio patogen hasil ekstraksi dari sampel air tambak hanya terlihat pada kepadatan bakteri > 10 5 CFU/mL sedangkan genom Vibrio patogen tidak terdeteksi dari sampel sedimen pada semua perlakuan. Tingkat kesulitan ekstraksi DNA dari sampel sedimen semakin meningkat seiring dengan semakin tingginya konsentrasi bakteri. Namun pada elektroforesis hasil PCR terlihat adanya pita DNA pada hampir semua sampel yang diuji baik dari air maupun sedimen. Hasil ini menunjukkan kemampuan primer IAVh mendeteksi Vibrio patogen pada sampel air dan sedimen tambak dengan kepadatan bakteri berbeda. KATA KUNCI:
air tambak, deteksi dini, sedimen tambak, vibriosis
PENDAHULUAN Sejalan dengan program peningkatan produksi perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menetapkan target produksi perikanan sebesar 22,54 juta ton pada tahun 2014, di mana sebanyak 16,89 juta ton berasal dari perikanan budidaya. KKP menetapkan 10 komoditas unggulan budidaya, salah satunya adalah udang. Komoditas ini diproyeksikan mengalami peningkatan produksi tiap tahun sebesar 13% untuk udang windu dan 16% udang vaname. Produksi udang pada tahun 2014 ditargetkan sebesar 699 ton udang windu dan 511 ribu ton udang vaname (Renstra Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2009-2014). Kendala yang dihadapi oleh banyak pembudidaya ikan dan udang adalah adanya serangan penyakit yang menyebabkan kematian. Bakteri Vibrio menyerang larva udang yaitu pada saat udang dalam keadaan stres dan lemah, oleh karena itu, sering dikatakan bahwa bakteri Vibrio termasuk patogen oportunistik. Dengan adanya kemunculan berbagai jenis penyakit di perairan yang disebabkan oleh bakteri Vibrio sp. telah berdampak terhadap penurunan hasil produksi budidaya perikanan sehingga menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup tinggi (Austin & Zhang, 2006). Adanya metode deteksi dini yang dapat dengan cepat mendeteksi adanya kontaminasi Vibrio berpendar patogenik akan sangat membantu dalam penanganan dan pencegahan awal yang tepat waktu untuk mengurangi kematian udang (Cunningham, 2002). Seperti diketahui bahwa kemampuan bakteri dalam menginfeksi inangnya juga dipengaruhi oleh kepadatan bakteri dalam media budidaya. Sehingga jika keberadaan bakteri dapat dideteksi sebelum jumlahnya mencapai quorum, usaha pencegahan dapat dilakukan dengan menghambat pertumbuhan bakteri agar sifatnya tidak berubah dari saprofit menjadi patogen. Upaya untuk identifikasi cepat secara molekular salah satunya dengan mengisolasi gen virulen yang dimiliki oleh bakteri vibrio berpendar dan menggunakannya sebagai penanda molekular. Sampai
Deteksi dini vibriosis pada air dan sedimen tambak (Ince Ayu Khairana Kadriah)
878
tahun 2012 sudah berhasil diperoleh desain primer spesifik untuk deteksi Vibrio patogen udang dengan basis gen haemolysin (Kadriah, 2013). Gen hemolisin adalah gen yang bertanggung jawab pada penghancuran membran sel darah atau proses hemolisis (Conejero & Hedreyda, 2004). Primer haemolysin ini (IAVh) digunakan untuk deteksi cepat menggunakan metode PCR dengan program PCR yang sudah dioptimasi untuk mendapatkan hasil deteksi yang sensitif dan spesifik. Aplikasi primer IAVh telah dicobakan untuk mendeteksi Vibrio patogen dari sampel organ udang dewasa dan benur di lapangan (Kadriah, 2014). Namun deteksi dari sampel air dan sedimen belum banyak dilakukan. Keberhasilan proses deteksi dini secara molekuler sangat ditentukan oleh keberhasilan proses ekstraksi genom. Pengujian metode ekstraksi genom untuk deteksi dini Vibriosis telah dilakukan untuk sampel organ dan benur udang (Kadriah, 2015b). Deteksi dini Vibriosis pada air dan sedimen tambak mengalami hambatan pada proses ekstraksi genom bakteri. Proses ekstraksi genom bakteri Vibrio patogen dari air dan sedimen memerlukan metode spesifik yang dapat mengekstrak genom dalam jumlah sedikit. Pada sedimen tambak terdapat banya komponen yang dapat mengganggu proses ekstraksi. Deteksi dini pada media air dan sedimen tambak akan memberikan informasi yang akurat mengenai adanya kontaminasi Vibrio patogen di dalam media budidaya sebelum jumlahnya membahayakan hewan budidaya. Penelitian ini bertujuan untuk megetahui kemampuan metode deteksi dini secara molekuler untuk mendeteksi Vibrio patogen pada air dan sedimen tambak. METODOLOGI Pembuatan Media Air Laut Wadah penelitian yang digunakan adalah erlenmeyer volume 250 mL yang diisi air laut salinitas 15 ppt sebanyak 100 mL. Media air disterilkan menggunakan autoclave. Infeksi Buatan Menggunakan V. harveyi Biakan bakteri V. harveyi terlebih dahulu dikultur pada media Nutrient Broth selama 24 jam. Setelah 24 jam infeksi buatan dilakukan dengan memasukkan 1 mL biakan bakteri ke dalam media air sampel sehingga diperoleh kepadatan akhir bakteri di dalam media adalah 10 2, 103, 104, 105, 106, dan 107 CFU/mL. Masing-masing konsentrasi diulang tiga kali. Ekstraksi Genom dari Sampel Air Sampling dilakukan pada hari ke-2, 6, dan 9 menggunakan Kit Mo Bio Power Water. Proses diawali dengan menyaring 100 mL sampel air menggunakan pompa vacuum. Selanjutnya dilanjutkan dengan proses ekstraksi menggunakan reagen-reagen dengan langkah-langkah sebagai berikut: · Kertas filter (whatmann 0,45 µm) dimasukan ke dalam tabung power water · Sebanyak 1 mL larutan PW1 ditambahkan ke dalam tabung power water (catatan: Larutan PW1 harus dihangatkan sebelum digunakan). Larutan PW1 harus digunakan selagi hangat untuk melarutkan endapan di dalam sampel. Untuk sampel yang sulit lisis (jamur dan alga) penambahan waktu penanaman dapat digunakan. · Tabung divortex dengan kecepatan maksimal selama satu menit · Selanjutnya disentrifuse dengan kecepatan d” 4.000xg selama satu menit pada suhu ruang dengan kecepatan sentrifuse tergantung kemampuan alat sentrifuse yang dimiliki · Supernatan dipindahkan ke dalam tabung 2 mL yang baru menggunakan pipet 1 mL (catatan: pipet dimasukkan sampai ke dasar tabung dan pemipetan dilakukan lebih dari satu kali untuk memastikan semua supernatan telah diambil). Apapun yang terambil dari tabung tidak akan memengaruhi tahap selanjutnya. Perkiraan supernatan yang diambil adalah sekitar 600-650 mL tergantung membran filter yang digunakan · Tabung disentrifuse pada kecepatan 1.300xg selama satu menit · Supernatan dipindahkan ke dalam 2 mL tabung koleksi yang telah disediakan, hindari peletnya. · Sebanyak 200 mL larutan PW2 ditambahkan ke dalam tabung dan vortex sebentar supaya tercampur, kemudian diinkubasi pada suhu 4°C selama lima menit
879 · · ·
·
· · · · · · ·
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2016
Tabung disentrifuse pada kecepatan 1.300xg selama satu menit Supernatan dipindahkan ke dalam 2 tabung koleksi yang telah disediakan (hati-hati jangan sampai pelet terambil) Larutan PW3 ditambahkan sebanyak 650 mL dan divortex sebentar supaya tercampur (catatan: dilakukan pengecekan larutan PW3 dan vortex, jika terdapat endapan di dalamnya dihangatkan, lebih baik larutan PW3 digunakan selagi hangat) Sebanyak 650 mL supernatan dimasukan ke dalam “spin filter” dan disentrifuse pada kecepatan 13.000xg selama satu menit kemudian larutan yang tersaring dibuang. Dilakukan pengulangan hingga semua suprnatan telah dimasukkan ke dalam kotak “spin filter” (catatan: supernatan dimasukkan dua kali ke spin filter untuk setiap sampel) Setiap tabung spin filter diletakkan ke dalam tabung koleksi 2 mL Larutan PW4 dikocok untuk menghomogenkan dan kemudian disentrifuse dengan kecepatan 13.000xg selama satu menit Larutan yang tersaring dibuang dan disentrifuse lagi pada kecepatan 13.000xg selama satu menit untuk menghilangkan sisa pencucian Tabung spin filter ditempatkan ke dalam 2 mL tabung koleksi Selanjutnya ditambahkan sebanyak 100 mL larutan PW6 ke tengah membran filter putih Tabung disentrifuse pada kecepatan 13.000xg selama satu menit Kemudian “spin filter” dibuang. DNA telah siap untuk proses selanjutnya Ekstraksi Genom dari Sampel Sedimen
Sedimen tambak sebelum digunakan dikeringkan terlebih dahulu untuk membuang bahan-bahan beracun di dalam sedimen. Wadah penelitian yang akan digunakan adalah erlenmeyer 250 mL yang diisi sedimen tambak sebanyak 30 g dan ditambahkan air laut salinitas 15 ppt sebanyak 20 mL. Media sedimen tambak yang telah bercampur dengan air laut disterilkan dengan autoclave pada suhu 121°C pada tekanan 1 atm selama 15 menit. Infeksi buatan dengan Vibrio patogen dilakukan dengan memasukkan 1 mL larutan biakan bakteri ke dalam media sedimen. Sebeumnya, biakan bakteri ditumbuhkan pada media kaldu nutrien (NB) selama 24 jam kemudian dimasukkan ke dalam sedimen dengan konsentrasi yang diatur pada kepadatan 10 2, 103, 104, 105, 106, dan 107 CFU/mL. Sampling dilakukan pada hari ke-2, 6, dan 9 setelah infeksi. Proses ekstraksi genom bakteri patogen dari sedimen tambak dilakukan menggunakan Kit Power Soil Mo Bio dengan langkah-langkah sebagai berikut: · Sampel sedimen ditimbang sebanyak 0,25 gr kemudian dimasukkan ke dalam tabung power bead yang telah disediakan. · Vortex untuk mencampurnya. · Larutan C1 diperiksa jika terdapat presipitasi di dalam larutan C1, panaskan larutan pada suhu 60ºC hingga terlarut. · Larutan C1 ditambahkan sebanyak 60 ml dan dibolak-balikkan beberapa kali atau divortex untuk mencampur. · Tabung power bead diletakkan secara horizontal pada vortex yang datar menggunakan perekat. · Pastikan tabung power bead berputar bebas tanpa hambatan di sentrifuse, sentrifuse pada kecepatan 10.000 xg selama 30 detik pada suhu ruang, jangan gunakan sentrifuse diatas 10.000 xg karna tabung akan rusak. · Larutan supernatan dipindahkan ke tabung 2 mL yang baru (yang sudah disediakan) · Larutan C2 ditambahkan sebanyak 250 mL dan divortex selama 5 detik lalu diinkubasi pada suhu 4º C selama 5 menit. · Tabung disentrifuse pada suhu ruang dengan kecepatan 10.000 xg selama 1 menit. · Supernatan sebanyak 600 mL dipindahkan ke dalam tabung baru (hati-hati jangan sampai pellet terambil)
Deteksi dini vibriosis pada air dan sedimen tambak (Ince Ayu Khairana Kadriah) · · · · ·
· · · · · · ·
880
Larutan C3 ditambahkan sebanyak 200 ml dan divortex, inkubasi pada suhu 4º C selama 5 menit. Tabung disentrifuse pada kecepatan 10.000 xg selama 1 menit. Supernatan sebanyak 750 ml dipindahkan ke dalam tabung 2 mL yang baru. Larutan C4 dikocok, kemudian sebanyak 1200 mL ditambahkan ke dalam supernatan dan divortex selama 5 detik. Larutan sampel tanah dimasukkan sebanyak ± 675 mL ke dalam “spin filter” dan disentrifuse dengan kecepatan 10.000xg selama 1 menit pada suhu ruang, setelah itu cairan dibuang dan dimasukkan kembali sebanyak ± 675 larutan sampel ke dalam spin filter yang sama, sentifuse dengan kecepatan 10.000 xg selama 1 menit, buang cairanya dan masukkan sisa larutan sampel ke dalam spin filter, sentrifuse kembali dengan kecepatan 10.000 xg (perlu 3x sentrifuse untuk setiap sampel). Larutan C5 ditambahkan sebanyak 500 mL setelah itu disentrifuse pada suhu ruang dengan kecepatan 10.000 xg selama 30 detik. Buang cairan yang tersaring dan disentrifuse Spin filter disentrifuse kembali dengan kecepatan 10.000 xg selama 1 menit pada suhu ruang. Spin filter dipindahkan dengan hati-hati ke dalam tabung 2 mL yang baru. Jangan sampai ada setetes larutan C5 yang mengkontaminasi ke dalam spin filter. Larutan C6 ditambahkan sebanyak 100 mL pada tengah-tengah membran filter. Sentrifuse 10.000 xg selama 30 detik pada suhu ruang. Buang spin fiter
Setelah ekstraksi genom selesai, selanjutnya dilakukan amplifikasi DNA menggunakan metode PCR. Proses amplifikasi DNA diawali dengan membuat larutan Master Mix. Larutan master mix untuk setiap sampel dibuat dengan mencampur 10x buffer Dream Taq (mengandung 20 mM MgCl2) sebanyak 2,5 µL; dNTP Mix sebanyak 2,5 µL; dan DreamTaq DNA Polymerase sebanyak 0,125 µL; primer spesifik IAVh (Kadriah, 2012) forward dan reverse masing-masing sebanyak 0,5 µL; serta ddH 2O sampai volume total 24 µL. Setelah larutan dihomogenkan dimasukkan templat DNA sebanyak 1 µL. Program PCR untuk primer haemolysin diatur sebanyak 25 siklus pada suhu denaturasi 94°C selama satu menit, annealing 63°C selama satu menit, dan elongasi 68°C selama 30 detik, serta tahap ekstra elongasi 72°C selama 10 menit. Proses PCR ini dilakukan dua kali (re-PCR) untuk meningkatkan sensitifitas hasil deteksi (Kadriah, 2013). HASIL DAN BAHASAN Ekstraksi Genom dari Sampel Air Hasil ekstraksi genom DNA dari air menggunakan Kit Power Water Mo Bio Laboratories. DNA diekstrak dari sampel air konsentrasi 102-107 pada hari ke-2 pasca infeksi. Hasil ekstraksi dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Hasil ekstraksi genom DNA dari sampel air hari ke-2 setelah diinfeksi dengan Vibrio patogen dengan konsentrasi konsentrasi 10 2-107 (A = 102, B = 103, C = 104, D = 105, E = 106, dan F = 107 CFU/mL)
881
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2016
Berdasarkan Gambar 1 terlihat hasil ekstraksi genom DNA untuk perlakuan A-D tidak terlihat adanya pita DNA dari hasil elektroforesis. Hal ini bisa disebabkan rendahnya konsentrasi DNA yang berhasil dieksrak dari sampel air. Sedangkan dari perlakuan E dan F dapat dilihat adanya pita DNA hasil elektroforesis. Konsentrasi bakteri pada media air sampel sangat memengaruhi keberhasilan proses ekstraksi genom DNA. Pada sampling pertama (hari ke-2 setelah infeksi) genom hanya dapat dideteksi pada perlakuan E (106 CFU/mL) dan F (107 CFU/mL).
Gambar 2. Hasil ekstraksi genom DNA dari sampel air hari ke-6 setelah diinfeksi dengan Vibrio patogen dengan konsentrasi konsentrasi 10 2-107 (A = 102, B = 103, C = 104, D = 105, E = 106, dan F = 107 CFU/mL) Hasil ekstraksi genom DNA dari sampel air yang diinfeksi dengan Vibrio patogen konsentrasi 10210 pada sampling hari ke-6 setelah infeksi dapat dilihat pada Gambar 4. Pada Gambar 4 dapat dilihat adanya pita DNA pada hasil visualisasi dengan gel elektroforesis untuk perlakuan D, E, dan F. Ketebalan pita DNA terlihat bertingkat sesuai dengan peningkatan konsentrasi bakteri di dalam media air uji, hasil pada sampling kedua ini berbeda dengan hasil sampling pertama. Pada sampling pertama tidak terlihat adanya pita DNA pada perlakuan D (10 5 CFU/mL), namun pada sampling kedua dapat dilihat adanya pita DNA, hal ini diduga karena konsentrasi bakteri di dalam media air meningkat seiring dengan lamanya waktu inkubasi. Kit ekstraksi produksi MO BIO Laboratories juga telah digunakan pada penelitian yang dilakukan oleh Wailing et al. (2010), sehingga hasilnya sudah dapat divalidasi dengan baik. 7
Gambar 3. Hasil ekstraksi genom DNA dari sampel air hari ke-9 setelah diinfeksi dengan Vibrio patogen dengan konsentrasi 102-107 (A = 102, B = 103, C = 104, D = 105, E = 106, dan F = 107 CFU/mL) Hasil ekstraksi genom DNA dari sampel air konsentrasi 10 2-107 hari ke-9 pasca infeksi dapat dilihat pada Gambar 3. Pada Gambar 3 pita DNA yang terlihat jelas hanya pada perlakuan E dan F. Hasil ini sama dengan hasil pada sampling pertama. Konsentrasi bakteri yang berhasil diekstrak pada perlakuan A-D sangat rendah sehingga pita DNA tidak dapat terlihat pada hasil visualisasi dengan gel elektroforesis.
Deteksi dini vibriosis pada air dan sedimen tambak (Ince Ayu Khairana Kadriah)
882
Dari hasil PCR pada Gambar 4. diketahui bahwa sampling hari ke-2 setelah infeksi, genom yang dapat teramplifikasi adalah genom dari perlakuan 10 2, 105, 106, dan 107 CFU/mL. Sedangkan hasil PCR dari sampling hari ke-6 pasca infeksi menunjukkan pada perlakuan 10 2-104 CFU/mL tidak terlihat adanya pita DNA. Pita DNA hanya terlihat pada perlakuan 10 5-107 CFU/mL. Hasil PCR yang diperoleh dari hari ke-9 pasca infeksi menunjukkan adanya pita DNA pada semua perlakuan (10 2-107 CFU/mL). Peningkatan konsentrasi DNA pada sampel dari hari ke-2 sampai hari ke-9 pasca infeksi dapat terlihat jelas pada hasil PCR ini. Hasil PCR pada hari ke-2 pasca infeksi menunjukkan adanya pita DNA pada perlakuan A (102 CFU/mL), namun pada perlakuan B dan C tidak terdapat pita DNA. Sedangkan hasil PCR sampling hari ke-6 pita DNA hanya nampak pada perlakuan D, E, dan F. Hasil ini menunjukkan terjadinya penurunan konsentrasi bakteri dari hari ke-2 sampai hari ke-6 pada perlakuan A. Gambar 5 menguatkan dugaan tersebut di mana terlihat pada kurva pertumbuhan bakteri perlakuan A, B, dan C terjadi penurunan konsentrasi bakteri dari hari ke-2 sampai hari ke-6 pengamatan pasca infeksi. Walaupun hasil ekstraksi genom pada hari ke-9 pasca infeksi menunjukkan tidak adanya pita DNA pada perlakuan 102-105 CFU/mL, namun pada hasil PCR terlihat pita DNA pada semua perlakuan di hari ke-9 setelah infeksi. Hasil ini menunjukkan ternyata genom bakteri Vibrio patogen tetap berhasil diekstrak walaupun kemungkinan konsentrasinya sangat rendah sehingga tidak dapat tervisualisasi pada gel elektroforesis. Pertumbuhan bakteri pada media air uji hari ke-2, 6, dan 9 pasca infeksi, dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 4. Hasil PCR menggunakan genom DNA hasil uji ekstraksi genom dari sampel air (A : hasil PCR hari ke-2 pasca infeksi; B : hasil PCR hari ke-6 pasca infeksi; C : hasil PCR hari ke-9 pasca infeksi) Deteksi bakteri patogen pada tambak udang dengan menggunakan metode PCR juga telah dilakukan oleh Gopal et al. (2005) di daerah pantai Barat dan Timur India. Pada penelitiannya, Gopal menggunakan primer spesifik tox-R, tdh (thermostable direct haemolysin) dan trh (TDH-related haemolysin). Demikian pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Cox & Gomez-Chiarri (2012) yang melakukan deteksi V. parahaemolyticus pada tambak di pesisir Rhode Island menggunakan metode PCR dengan primer spesifik tdh, tlh, dan trh. Kualitas perairan tambak akan sangat menentukan kemampuan hidup mikroorganisme seperti bakteri. Bakteri dengan toleransi salinitas tinggi seperti V. parahaemolyticus, V. harveyi, dan V. alginolyticus dapat hidup dengan optimal di dalam air tambak
883
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2016
Gambar 5. Kurva pertumbuhan bakteri Vibrio patogen yang diinfeksikan ke dalam media air uji (perlakuan A-F berdasarkan perbedaan konsentrasi awal bakteri yang diinfeksikan (10 2-107 CFU/mL)) (Noriega-Orozco et al., 2007). Jumlah bakteri di sedimen sangat berhubungan dengan ukuran butir sedimen, mungkin karena partikel tanah yang terkikis dan limbah organik saling terakumulasi di tengah kolam (Burford et al., 1998). Ekstraksi Genom dari Sampel Sedimen Tambak Hasil ekstraksi genom DNA dari sampel sedimen konsentrasi 10 2-107 sampling hari ke-2 dan ke-6 menggunakan Kit Mo Bio Laboratories, power soil DNA isolation dapat dilihat pada Gambar 6. Berdasarkan Gambar 6 dapat terlihat hasil ekstraksi genom DNA pada sampling pertama dan kedua untuk perlakuan
Gambar 6. Hasil ekstraksi genom DNA dari sampel air hari ke-2 dan ke-6 setelah diinfeksi dengan Vibrio patogen dengan konsentrasi konsentrasi 10 2-107 (A = 102, B = 103, C = 104, D = 105, E = 106, dan F = 107 CFU/mL)
Gambar 7. Hasil ekstraksi genom DNA dari sampel air hari ke-9 setelah diinfeksi dengan Vibrio patogen dengan konsentrasi 102-107 (A = 102, B = 103, C = 104, D = 105, E = 106, dan F = 107 CFU/mL)
Deteksi dini vibriosis pada air dan sedimen tambak (Ince Ayu Khairana Kadriah)
884
A-F tidak terlihat adanya pita DNA. Hal ini bisa disebabkan oleh rendahnya konsentrasi DNA yang berhasil dieksrak dari sampel sedimen sehingga memungkinkan tidak terlihatnya pita DNA pada hasil elektroforesis. Konsentrasi bakteri pada sampel media sedimen tambak sangat memengaruhi keberhasilan proses ekstraksi genom DNA. Hasil ekstraksi genom DNA sampel sedimen tambak konsentrasi 10²-10w hari ke-9 pasca infeksi dengan menggunakan KIT MO BIO laboratories, powers soil DNA isolation dapat di lihat pada Gambar 7. Berdasarkan Gambar 7, hasil ekstraksi genom pada perlakuan 10²-10w tidak terlihat adanya pita DNA dari hasil elektroforesis. Hasil ini sama dengan hasil pada hari ke-2 dan hari ke-6 pasca infeksi. Diduga cukup banyak komponen-komponen penggangu proses ekstraksi genom yang terdapat pada sedimen, sehingga proses ekstraksi menjadi kurang berhasil. Kurang optimalnya proses ekstraksi menyebabkan rendahnya konsentrasi genom DNA yang berhasil diekstrak dari sampel. Secara umum, prinsip pengisolasian DNA total genom terbagi tiga tahap. yaitu proses pemecahan atau lisis sel, pemisahan protein dari DNA, dan selanjutnya pemisahan debris sel dari DNA. Setelah itu, baru kemudian DNA dipurifikasi dari reagen dan zat lainnya (Kadriah, 2012).
Gambar 8. Hasil PCR menggunakan genom yang diekstrak dari sampel sedimen (A : hari ke-2 (A1-F1), B : hari ke-6 (A2-F2), dan C : hari ke-9 (A3-F3) setelah infeksi) Berdasarkan Gambar 8 dapat terlihat adanya pita DNA dari hasil PCR yang divisualisasi dengan gel elektroforesis untuk perlakuan A-F. ketebalan pita DNA terlihat bertingkat sesuai dengan peningkatan konsentrasi bakteri di dalam media sedimen tambak uji. Terlihat adanya pita DNA pada panjang basa 151 bp. Hal ini sesuai dengan gen target haemolysin (gen virulen Vibrio). Hasil PCR ini menunjukkan bahwa proses ekstraksi genom dari sampel sedimen sebenarnya telah berhasil dilakukan. Walaupun pada gambar hasil ekstraksi genom tidak terlihat adanya pita DNA dari visualisasi dengan gel elektroforesis. Pada hasil PCR dari sampling hari ke-2, 6, dan 9 pasca infeksi, pita DNA, terlihat jelas pada perlakuan A1–C1 (10²-104), sedangkan pada perlakuan D 1–F1 (105-107), pita DNA terlihat samar-samar. Hal ini diduga karena konsentrasi DNA yang terekstrak dari sampel D 1–F1 tidak sebanyak konsentrasi DNA yang terekstrak dari sampel (A1–C1) hasil ini menjelaskan bahwa tingkat kesulitan ekstraksi DNA dari sampel sedimen semakin meningkat seiring dengan semakin tingginya konsentrasi bakteri. Menurut Triana (2010), yang menyatakan bahwa kemurniaan DNA dan keutuhannya sangat berpengaruh terhadap terhadap keberhasilan PCR, karena apabila DNA tidak murni akan mengganggu penempelan primer pada situsnya. Kurva pertumbuhan bakteri yang diinfeksikan pada sampel tanah dapat dilihat pada Gambar 9. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa bakteri Vibrio ini dapat menjadi penyebab penyakit yang utama namun sering kali juga bertindak sebagai agen oportunistik pada infeksi sekunder. Berdasarkan beberapa literatur rujukan telah dilaporkan kemampuan bakteri Vibrio sebagai penyebab
885
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2016
Gambar 9. Kurva pertumbuhan bakteri Vibrio patogen yang diinfeksikan ke dalam media sedimen uji; perlakuan A-F berdasarkan perbedaan konsentrasi awal bakteri yang diinfeksikan (10 2107 CFU/mL) penyakit yang utama dan pertama (Saulnier et al., 2000a; Vandenberghe et al., 2003), serta dapat pula sebagai patogen oppotunis (Saulnier et al., 2000b) memanfaatkan kesempatan melemahnya sistem pertahanan tubuh udang setelah serangan patogen lainnya. Udang tidak mampu lagi mengeliminir keberadaan bakteri dalam tubuhnya sehingga berakibat kematian. Salah satu gen yang terlibat dalam proses patogen bakteri Vibrio adalah gen haemolysin. Haemolysin adalah gen yang terlibat dalam proses penghancuran membran sel darah (haemolisis) dan telah dilaporkan dimiliki oleh beberapa spesies bakteri Vibrio (Conejoro & Hedreyedah, 2004). Hewan laut yang telah terinfeksi Vibrio khususnya udang akan mengalami kondisi tubuh lemah, berenang lambat, nafsu makan hilang, badan mempunyai bercak merah-merah (red discoloration) pada pleopod, dan abdominal, serta pada malam hari terlihat menyala. Udang yang terkena vibriosis akan menunjukkan gejala nekrosis. Bagian mulut udang yang kehitaman adalah kolonisasi bakteri pada esophagus dan mulut. KESIMPULAN Genom Vibrio patogen hasil ekstraksi dari sampel air tambak hanya terlihat pada kepadatan bakteri > 105 CFU/mL. Genom Vibrio patogen tidak terdeteksi dari sampel sedimen pada semua perlakuan. Tingkat kesulitan ekstraksi DNA dari sampel sedimen semakin meningkat seiring dengan semakin tingginya konsentrasi bakteri. Namun uji PCR menunjukkan bahwa Vibrio patogen dapat dideteksi dari sampel air dan sedimen tambak walaupun genomnya tidak tampak pada hasil elektroforesis. Hasil ini menunjukkan kemampuan primer IAVh mendeteksi Vibrio patogen pada sampel air dan sedimen tambak dengan kepadatan bakteri berbeda. DAFTAR ACUAN Austin, B., & Zhang, X.H. (2006). Vibrio harveyi: a significant pathogen of marine vertebrates and invertebrates. Lett. Appl. Microbiol., 43, 119–124. Burford, M.A., Peterson, E.L., Baiano, J.C.F., & Preston, N.P. (1998). Bacteria in shrimp pond sediments: their role in mineralizing nutrients and some suggested strategies. Aquaculture Research, 29(11), 843-849. Conejero, M.J.U., & Hedreyda, C.T. (2004). PCR detection of hemolysin (vhh) gene in Vibrio harveyi. J. Gen. Appl. Microbiol., 50, 137–142.
Deteksi dini vibriosis pada air dan sedimen tambak (Ince Ayu Khairana Kadriah)
886
Cox, A.M., & Gomez-Chiarri, M. (2012). Vibrio parahaemolyticus in Rhode Island coastal ponds and the estuarine environment of Narragansett Bay. Applied and Environmental Microbiology, 78(8), 29962999. Cunningham, C.O. (2002). Molecular diagnosis of fish and shellfish diseases: present status and potential use in disease control. Aquaculture, 206, 19-55. Gopal, S., Otta, S.K., Kumar, S., Karunasagar, I., Nishibuchi, M., & Karunasagar, I. (2005). The occurrence of Vibrio species in tropical shrimp culture environments; implications for food safety. Elsevier, Intl. Journal of Food Microbiology, 102, 151-159. Kadriah, I.A.K. (2012). Pengembangan metode deteksi cepat Vibrio berpendar patogenik pada udang penaeid. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor, 119 hlm. Kadriah, I.A.K., Susianingsih, E., Sukenda, Yuhana, M., & Harris, E. (2013). Desain primer spesifik untuk deteksi dini penyakit vibriosis pada udang penaeid. J. Ris. Akuakultur, 8(1), 131-143. Kadriah, I.A.K., & Atmomarsono, M. (2014). Aplikasi kit deteksi vibriosis pada beberapa daerah pertambakan udang di Sulawesi Selatan, Lampung dan Situbondo. Prosiding Seminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan. Universitas Gajah Mada. Jogjakarta. Kadriah, I.A.K., & Kurniawan, K. (2015). Pengujian beberapa metode ekstraksi genom untuk sampel benur udang. Prosiding Seminar Nasional Tahunan XII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan. Universitas Gajah Mada. Jogjakarta. Noriega-Orozco, L., Acedo-Felix, E., Higuera-Ciapara, I., Jiménez-Flores, R., & Cano, R. (2007). Pathogenic and non pathogenic Vibrio species in aquaculture shrimp ponds. Rev. Latinoam. Microbiol., 49(3-4), 60-67. Saulnier, D., Avarre, J.C., Le Moullac, G., Ansquer, D., Levy, P., & Vonau, V. (2000a). Rapid and sensitive PCR detection of Vibrio penaeicida, the putative etiological agent of Syndrome 93 in New Caledonia. Dis. Aquat. Org., 40, 109–115. Saulnier, D., Haffner, P., Goarant, C., Levy, P., & Ansquer, D. (2000b). Experimental infection models for shrimp Vibriosis Studies: a review. Aquaculture, 191, 133–144. Vandenberghe, J., Thompson, F.L., Gomez-Gil, B., & Swings, J. (2003). Phenotypic diversity among Vibrio isolates from marine aquaculture systems. Aquaculture, 219, 9–20. Wailing, E., Vourey, E., Ansquer, D., Beliaeff, B., & Gourant, C. (2010). Vibrio Nigripulchritudo monitoring and strain dynamics in shrimp pond sediments. Journal of Applied Microbiology, 108(6), 2003 2011.