DESKRIPTIF PENELITIAN DASAR HERBAL MEDICINE DESCRIPTIVE BASIC STUDY OF HERBAL MEDICINES Mae Sri Hartati Wahyuningsih Bagian Farmasi Kedokteran, Fakultas KedokteranUniversitas Gadjah Mada Yogyakarta E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Obat herbal telah digunakan oleh 80% penduduk negara berkembang, dan pada tahun 2000 diperkirakan penjualan obat herbal di dunia mencapai US $ 60 milyar. Sejak Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendukung gerakan back to nature, di Indonesia terjadi peningkatan industri obat tradisional bahkan menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM-RI) sampai tahun 2002 terdapat 1012 industri obat tradisional yang memiliki izin usaha industri yang terdiri dari 105 industri berskala besar dan 907 industri berskala kecil. Dengan melihat kelimpahan bahan baku obat herbal di Indonesia dan tuntutan masyarakat akan produk yang aman, manjur dan berkualitas maka perlu pembuktian-pembuktian yang nyata melalui penelitian sinergis antara berbagai disiplin ilmu dan unsur masyarakat. Penelitian dasar tersebut meliputi latar belakang yang berisi pemilihan bahan dan tujuan penelitian. Metodologi penelitian baik dari standarisasi ekstrak menggunakan senyawa aktif sampai pengujian potensi secara in-vitro, in-vivo harus dijelaskan sehingga produk akhir bisa dipatenkan dan mendapatkan legitimasi dari pemerintah sebagai legal drug Dari latar belakang dan metodologi disimpulkan bahwa bahan alam/herbal berpotensi tinggi dapat kembangkan lebih lanjut, sedangkan potensi lemah perlu dikembangkan melalui jalur pencarian aktivitas yang lain. Bahan alam/herbal akan menjadi sumber obat baru diperlukan penelitian/proses yang sangat panjang dan perlu kerjasama antar disiplin ilmu. Kata kunci: Herbal medicine, potensial herbal, standarisasi, obat formal.
ABSTRACT Herbal medicines have been utilized by approximately 80 % of people in the developing countries. The market data showed that herbal medicines sold almost US $ 60 millions in the year of 2000, and in Indonesia itself, the number of herbal medicines industries increased significantly. According to Indonesian Foods and Drugs Administration (BPOM-RI) there were 1012 herbal medicines industries (907 home, and 105 Pharmaceutical industries) in the year of 2002. The support of WHO on “ Back to Nature” slogan possibly takes part in the herbal medicines uses. Considering the demand of safety and qualified herbal products, further study of the herbal medicines is required. The descriptive basic study of herbal medicines is meant to include herbals selection, the aims of the study, appropriate metodology selection for instant product standardization that is based on in-vitro, invivo activities of the active compounds. These steps are very important to put the herbal medicines as a drug for formal medication. Herbal material showing promising result should be taken seriously for further study such as isolating principal active compounds using bioassay guided isolation, identifying the active compounds and determining the mode of action. Herbal material showing lower activity in the system applied should be taken differently as these herbal possibly displays different pharmacological activity pathway.
Key words : Herbal medicines , potential materials, standardization, formal medication
PENDAHULUAN Indonesia memiliki lebih kurang 30.000 spesies tumbuhan dan 940 spesies di antaranya termasuk tumbuhan berkhasiat obat sehingga merupakan potensi pasar obat herbal (Herbal medicine). Obat herbal telah diterima secara luas di negara berkembang dan negara maju (Anonim, 2001). Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa 80% penduduk negara berkembang telah menggunakan obat herbal dan pada tahun 2000 diperkirakan penjualan obat herbal di dunia mencapai US $ 60 milyar. WHO juga merekomendasikan penggunaan obat herbal dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit terutama untuk penyakit kronis, degeneratif dan kanker (Jacqueline, 2004). Hal ini menunjukkan dukungan WHO untuk back to nature yang dalam standardisasi bahan obat maka zak aktif diekstraksi lalu dibuat sediaan atau bahkan dimurnikan sampai diperoleh zat murni.
Di Indonesia dari tahun ketahun terjadi peningkatan industri obat tradisional bahkan menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan sampai tahun 2002 terdapat 1012 industri obat tradisional yang memiliki izin usaha industri yang terdiri dari 105 industri berskala besar dan 907 industri berskala kecil (Anonim, 2000; Anonim, 2001). Maraknya industri obat tradisional yang ada di Indonesia dan tuntutan akan produk yang berkualitas oleh masyarakat, sehingga kerjasama dengan institusi akademik untuk membuktikan khasiat dan standardisasi produk perlu dilakukan melalui penelitian. Makalah ini akan mencoba membahas prosedur singkat tahap-tahap dalam pengembangan obat herbal yang meliputi latar belakang, metodologi, dan kesimpulan (Gambar 1.)
LATAR BELAKANG PENELITIAN Pemilihan bahan material Tujuan penelitian METODOLOGI PENELITIAN Isolasi senyawa aktif Identifikasi senyawa aktif Penentuan potensi senyawa aktif Penentuan kadar (%) senyawa aktif (standarisasi) Uji potensi produk (in-vio) Legitimasi dan formalitas produk KESIMPULAN DAN SARAN
PUSTAKA
Gambar 1. Tahap-tahap dalam pengembangan obat herbal
LATAR BELAKANG PENELITIAN Sumber bahan alam sebagai bahan baku obat herbal dapat diperoleh dari tanaman, hewan, mikroorganisme, dan kehidupan laut. Bahan alam yang paling banyak diteliti adalah tanaman karena secara historis telah dimanfaatkan oleh masyarakat secara klinis sebagai obat tradisional. Pemilihan bahan alam untuk penelitian dapat berasal dari bahan yang mempunyai aktivitas secara tradisional dan telah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menanggulangi penyakit (etnofarmakologi). Pemilihan bahan ini lazim dilakukan karena tanpa harus melalui skrining aktivitas terlebih dahulu, sehingga penelitian langsung bisa diarahkan pada aktivitas tertentu. Sistem penelitian ini kebanyakan hanya suatu pembuktian secara ilmiah mengenai aktivitas seperti yang telah dilakukan oleh masyarakat. Bahan penelitian yang dipilih berdasarkan skrining aktivitas farmakologi tertentu, maka pembuktian selanjutnya mengikuti prosedur yang ada pada literatur. Hal ini akan berbeda dengan penanganan bahan penelitian hasil skrining aktivitas farmakologi secara keseluruhan (hipokratik skrining). Skrining bahan ini dimulai pada sampel yang belum diketahui khasiatnya maka skrining aktivitas farmakologi perlu dilakukan untuk memastikan khasiat bahan (Anonim, 2004; Wahyuono, 2005). Cara pemilihan bahan ini memerlukan biaya yang cukup mahal dan waktunya panjang dibandingkan dengan cara etnofarmakologi dan uji aktivitas farmakologi tertentu. Setelah bahan ditentukan dengan cermat dan matang, maka tujuan penelitian segera ditentukan untuk mengetahui arah tujuan penelitian yang jelas baik dari aspek tujuan umum maupun tujuan khususnya. METODOLOGI PENELITIAN Isolasi senyawa aktif Isolasi senyawa yang digunakan sebagai penanda zat aktif (marker) dalam standarisasi bahan alam dapat dilakukan melalui pendekatan Fitokimia dan isolasi yang dipandu uji aktivitas (bioassay guided isolation). Hasil isolasi senyawa tersebut dapat dikembangkan menjadi obat ideal dilihat dari
sisi efektivitas, efisiensi dan terjangkaunya oleh masyarakat. Isolasi melalui pendekatan fitokimia dilakukan dengan cara mengisolasi senyawa yang terkandung dalam suatu bahan kemudian hasil diuji aktivitasnya menggunakan metode tertentu. Pengambilan senyawa dilakukan dengan prioritas senyawa utama (major compound) dilanjutkan dengan senyawa-senyawa lainnya. Pendekatan fitokimia terdapat beberapa kendala antara lain waktu pengerjaan lama dan biaya mahal. Isolasi melalui pendekatan bioassay guided isolation dilakukan dengan cara mengisolasi bahan dengan pemantauan uji aktivitas pada setiap tahap pengerjaannya baik dari step ekstraksi, partisi, fraksinasi maupun isolasinya. Sistem pendekatan ini cukup menguntungkan karena waktunya cepat dan biaya lebih murah, serta langsung diketahui senyawa mana yang bertanggung jawab terhadap aktivitas tersebut (Wahyuono, 2005). Identifikasi senyawa aktif Identifikasi dilakukan untuk menentukan struktur kimia senyawa hasil isolasi dari bahan alam. Struktur kimiawi senyawa digunakan untuk mengetahui sifat fisis & khemis senyawa, mengetahui perkiraan aktivitas, mengetahui mekanisme aktivitas, dan digunakan sebagai senyawa identitas dalam standarisasi bahan alam. Identifikasi dapat dilakukan dengan penetapan titik lebur, kristalografi, derivatisasi dan ciri spektrum ultra violet (UV), infra red (IR), massa (MS) dan nuklir magnetik resonansi (NMR). Senyawa hasil isolasi yang telah dikenal identitasnya, identifikasinya dapat dilakukan melalui perbandingan antara kromatogram dan spektrum senyawa yang diteliti dengan kromatogram dan spektrum pembanding senyawa yang telah ada dalam pustaka/literatur, sedangkan untuk senyawa baru, struktur senyawa dapat ditentukan berdasarkan penafsiran secara spektroskopi yaitu menggunakan spektra (UV, IR, MS dan NMR). Spektra UV digunakan untuk melihat keberadaan ikatan rangkap terkonjugasi serta pengaruh dari pelarut, sedangkan spektra IR digunakan untuk melihat keberadaan gugus
fungsional dalam suatu senyawa dan perkiraan jenis senyawa. Spektra MS digunakan untuk melihat informasi berat molekul (BM), informasi elemen (unsur) penyusun senyawa secara kualitatif. Spektra 13C-NMR digunakan untuk menentukan jumlah dan jenis atom carbon (C) penyusun senyawa, sedangkan 1HNMR digunakan untuk menentukan struktur absolut senyawa dengan melihat informasi tentang jumlah dan jenis hidrogen (H) penyusun senyawa, konfigurasi & stereokimiawi (Silverstein et al.,1981; Friebolin, 2005). Penentuan potensi senyawa aktif Penentuan potensi senyawa aktif dilakukan dengan membandingkan antara bahan yang diteliti dengan pembanding obat yang telah beredar dan digunakan secara klinis. Uji praklinik merupakan persyaratan uji calon obat sehingga diperoleh informasi tentang efikasi (efek farmakologi), profil farmakokinetik dan toksisitas calon obat. Dengan menggunakan hewan uji dapat diketahui apakah obat menimbulkan efek toksik pada dosis pengobatan. Pengujian toksisitas merupakan cara potensial untuk mengevaluasi efek toksik bahan yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis, kerusakan genetik (genotoksisitas, mutagenisitas), pertumbuhan tumor (onkogenisitas atau karsinogenesitas), serta kejadian cacat waktu lahir (teratogenisitas). Selain toksisitas, uji pada hewan dapat mempelajari sifat farmakokinetik obat meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi obat. Semua hasil pengamatan pada hewan menentukan apakah calon obat dapat diteruskan dengan uji pada manusia (Anonim, 2000; Anonim, 2004). Untuk mengurangi jumlah penggunaan hewan percobaan, maka dikembangkan pula berbagai uji in-vitro untuk menentukan khasiat obat misalnya uji aktivitas enzim, uji antikanker menggunakan cell line, uji antimikroba pada perbenihan mikroba, dan uji antiinflamasi (Anonim, 2004). Penelusuran mekanisme kerja calon obat juga perlu dilakukan untuk memprediksi jalur mekanisme kerjanya.
Penentuan kadar (%) senyawa aktif Obat bahan alam yang terstandarisir dalam arti memenuhi standar baik secara kimia, biologi maupun farmasi termasuk jaminan kualitas produk. Standarisasi berdasarkan atas kandungan senyawa aktif adalah standarisasi yang bersifat spesifik bagi bahan yang diteliti, dan berbeda dengan standarisasi non-spesifik yang mendasarkan atas hasil pengukuran sifat fisis seperti kadar air, kadar larut asam, etanol dan lain lain. Standarisasi berdasarkan kadar senyawa aktif berhubungan langsung dengan derajat aktivitas biologi dan merupakan salah satu parameter yang akan diperhitungkan dalam uji stabilitas dan uji klinis. Penentuan standarisasi senyawa aktif calon obat dilakukan pada masing-masing tahapan isolasi baik dari bahan dasar, hasil ekstraksi dan hasil fraksinasi yang mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan dan ditetapkan terlebih dahulu (Sticher, 1996; Grimminger, 1996). Produk obat bahan alam berasal dari tumbuhan kualitasnya sangat dipengaruhi oleh bahan baku yang mengandung bahan berkhasiat. Banyak faktor yang berpengaruh terhadap kualitas bahan baku baik terletak pada proses panen maupun pasca panen. Proses-proses yang berhubungan dengan penyiapan produksi seperti budidaya, pasca panen dan proses pengolahan sangat berpengaruh terhadap keajegan bahan berkhasiat. Oleh karena itu standarisasi perlu dilakukan untuk mencapai produk obat bahan alam yang memenuhi syarat aman, berkhasiat dan bermutu. Setelah bahan baku, ekstrak dan hasil fraksinasi distandarisir maka uji in-vitro dan in-vivo ekstrak atau hasil fraksinasi terstandar juga perlu dilakukan seperti pada penentuan potensi senyawa aktif di atas. Untuk mencapai standar komersial tinggi dan nilai ilmiah yang optimal perlu dilakukan uji manfaat dan uji klinis dari ekstrak atau hasil fraksinasi terstandar sehingga diperoleh produk fitofarmaka yang berkualitas (Anonim, 2004). Uji Potensi Produk (In-vivo) Uji potensi in-vivo dengan hewan coba meliputi uji toksikologi untuk menilai keamanan dan uji farmakodinamik untuk
membuktikan khasiat produk. Uji toksisitas akut merupakan pengujian sampel dengan dosis tunggal yang dapat memperlihatkan efek toksik, sedangkan toksisitas subkronis menggunakan minimal 3 tingkatan dosis yang berbeda yang diberikan selama 1-3 bulan. Penggunaan secara kronis seperti pengobatan hipertensi harus disertai data karsinogenik, mutagenik dan teratogenik. Uji farmakodinamik menggunakan metode tertentu untuk membuktikan secara ilmiah khasiat atau efek dari obat bahan alam tersebut. Pedoman ini akan memberikan petunjuk secara garis besar prinsip-prinsip yang harus dipenuhi apabila akan melakukan uji efek farmakologi obat bahan alam (Anonim, 2004). Contoh obat-obat berasal dari bahan alam Saat ini obat-obat antikanker merupakan idola untuk subyek penelitian karena obat ideal antikanker sampai sekarang belum ada yang memuaskan hasilnya. Banyak obat kanker yang diperoleh/diisolasi dari tanaman, ada yang sudah digunakan secara klinis maupun belum digunakan karena pertimbangan efektivitas dan keamanan pasien. Vinkristin dan vinblastin sebagai obat kanker diperoleh dari isolasi daun tapak doro (Catharanthus roseus), Podophyllotoxin diisolasi dari Podophyllum peltatum, Taksol yang diperoleh dari pohon Taxus baccata (Patrick, 2005). Khasiat sebagai chemopreventive dari senyawa bahan alam sudah terbukti secara in vitro dengan model hewan, namun kepastian penggunaan pada manusia masih belum meyakinkan karena keterbatasan dalam penelitian. Beberapa contoh senyawa chemopreventive misalnya kapsaisin (Lombok, Capsicum sp.), Gingerol (Jahe, Zingiber officinale), kurcumin (Kunyit, Curcuma sp.), dan Epigallocatechin gallate, EGCG (teh hijau). Senyawa-senyawa tersebut mampu menghambat promotion dan progression pada tumor sehingga transformasi ke bentuk malignant terhambat (Suppressing agents) (Patrick, 2005).
Legitimasi dan formalitas Keputusan untuk mengakui keberadaan obat baru secara formal dilakukan oleh badan pengatur nasional, di Indonesia oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM-RI), sedangkan di Amerika Serikat oleh FDA (Food and Drug Administration). Untuk dapat dinilai oleh badan tersebut, industri pengusul harus menyertakan data dokumen uji praklinik dan klinik yang sesuai dengan indikasi yang diajukan, efikasi dan keamanan harus sudah ditentukan dari bentuk produk yang memenuhi persyaratan produk melalui kontrol kualitas (Anonim, 2004; Blumenthal, 1996). Setelah produk dapat dibuktikan berkhasiat atau bermanfaat hampir sama dengan obat yang sudah ada dan menunjukkan keamanan bagi pemakai maka produk tersebut diizinkan untuk diproduksi oleh industri sebagai legal drug dan dipasarkan dengan nama dagang tertentu. Proses transfer teknologi dapat difasilitasi dengan memberikan peluang kepada produsen untuk menjalin kerjasama penelitian misalnya dengan fasilitas perolehan HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual). KESIMPULAN DAN SARAN 1. Bahan alam/herbal akan menjadi sumber obat baru diperlukan penelitian yang panjang dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu. 2. Bahan alam/herbal dapat digunakan dengan potensi tinggi dan rendah. Bahan dengan potensi tinggi dikembangkan lebih lanjut, sedang bahan dengan potensi rendah perlu dikembangkan melalui jalur pencarian aktivitas yang lain. 3. Perlu kerjasama dengan bidang ilmu-ilmu lain seperti botani, kimia medisinal, dan ilmu kedokteran. PUSTAKA Anonim, 2000, Research Guidelines for Evaluating the Safety and Efficacy of Herbal Medicine, WHO, Geneva. Anonim, 2001, A Brief History of Western Herbal Medicine,
http://www.molbio.princeton.edu/courses/ mb427/2001/projects/10/history.htm Anonim, 2004, Penyusunan Pedoman Penelitian Obat Bahan Alam, Pusat Riset Obat dan Makanan, Badan POM, Jakarta. Blumenthal, M., 1996, A New Regulatory for Herbs as Traditional medicines: A review of the American Botanical Council’s Traditional Medicine Research Project, USP open conference on botanicals for medicinal and dietary uses: standards and information issues, pp 4-6, The United States Pharmacopeial Convention, Inc, Maryland. Friebolin, H., 2005, Basic One-and TwoDimensional NMR Spectroscopy, Fourth, Completely Revised and Updated Edition, Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KgaA, Weinheim, Germany. Grimminger, W., 1996, Quality Requirements for Herbal Drugs That Contain Minimally Processed Plant Material, USP open conference on botanicals for medicinal and dietary uses: standards and information issues, p 7-13, The United States Pharmacopeial Convention, Inc, Maryland. Jacqueline, Y., 2004, http://www.bbc.co.uk/health/healthy_livin g/complementary_medicine/therapies_her bal.shtml#history_and_theory Patrick, G., 2005, Medicinal Chemistry, instant notes, BIOS Scientific Publishers Ltd, Kent, UK Silverstein, R. M., Bassler, G. C., and Morrill, T. C., 1981, Spectrometric Identification of Organic Compounds, John Wiley & Sons, New York Sticher, O., 1996, Challenges in the Standardization and Quality Control of Natural Products, USP open conference on botanicals for medicinal and dietary uses: standards and information issues, p.91-95, The United States Pharmacopeial Convention, Inc, Maryland. Wahyuono, S., 2005, Dari Obat Tradisional ke Obat Modern, Simposium dan Seminar Pengembangan Obat Tradisional Indonesia, Fakultas Farmasi-UGM, Yogyakarta