DESKRIPSI AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR MENURUT AL-QUR’ÂN: (Kajian Terhadap Tafsir Fî Zilâl Al-Qur’ân Karya Sayyid Qutb)
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh:
ABDUL HADI BIN MOHD
NIM: 109034000106
PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H./2010 M.
DESKRIPSI AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR MENURUT AL-QUR’ÂN: (Kajian Terhadap Tafsir Fî Zilâl Al-Qur’ân Karya Sayyid Qutb)
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh:
ABDUL HADI BIN MOHD
NIM: 109034000106
PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H./2010 M.
DESKRIPSI AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR MENURUT AL-QUR’ÂN: (Kajian Terhadap Tafsir Fî Zilâl Al-Qur’ân Karya Sayyid Qutb) SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh:
ABDUL HADI BIN MOHD NIM: 109034000106
Di Bawah Bimbingan:
DR. AHSIN SAKHO M. ASYROFUDDIN, MA.
NIP: 19560221 199603 1 001
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul “DESKRIPSI AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR MENURUT AL-QUR’ÂN, (Kajian terhadap Tafsir Fî Zilâl Al-Qur’ân, Karya Sayyid Qutb)” telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin “UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” pada tanggal 16 Agustus 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program Strata Satu (S1) Pada Jurusan Tafsir Hadis.
Jakarta, 16 Agustus 2010
Sidang Munaqasyah
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil dari jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 24 Mei 2010 ;
ABDUL HADI BIN MOHD NIM : 109034000106
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحيم
Segala puji penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah membimbing
manusia
dengan petunjuk-petunjuk-Nya
sebagaimana
yang
terkandung dalam Al-Qur‟ân dan As-Sunnah, petunjuk menuju ke jalan yang lurus dan jalan yang diridhai-Nya. Demikian juga, penulis bersyukur kepada-Nya yang telah memudahkan pengisian, penulisan dan penyajian skripsi yang sederhana ini hingga dapat diselesaikan. Selawat serta salam kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, para sahabat, keluarga, dan para pengikutnya sampai di hari kiamat, terutama mereka yang memelihara keutuhan, kemurnian, dan otentisitas Al-Qur‟ân dan As-Sunnah baik dengan cara penghapalan, periwayatan, penulisan, pengkodifikasian, pengkajian, pengamalan, dan penerbitan. Dengan rasa syukur ke hadrat Ilahi atas pertolongan dan petunjuk-Nya dalam memberi kesempatan dalam nikmat Iman dan nikmat Islam, dan menjadi salah seorang mahasiswa di Universitas yang terkenal di Jakarta, maka penulis membentangkan skripsi yang berjudul “Diskripsi Amar Ma’ruf Nahi Munkar menurut Al-Qur’ân (Kajian Terhadap Tafsir Fî Zilâl Al-Qur’ân, Karya Sayyid Qutb)” yang penulis susun dalam rangka memenuhi dan melengkapi pensyaratan untuk mencapai gelar sarjana (S1) pada jurusan Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis juga menyedari atas usaha sama dari berbagai pihak, pada kesempatan yang ada kali ini, penulis ingin menyampaikan setinggi-tinggi penghargaan serta ucapan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Fakih, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Dr. Bustamin, M.Si, yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga, fikiran, serta tunjuk ajar kepada penulis, juga selaku ketua Jurusan Tafsir Hadis dan Bapak Rifqi Muhammad Fathi, MA, selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis. 4. Seluruh dosen dan tenaga pengajar pada program studi Tafsir Hadis (TH) atas segala ilmu yang dicurahkan. 5. Seluruh pengelola dan karyawan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Akademik Pusat, dan Rektorat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Pimpinan, staf dan karyawan di Perpustakaan Utama, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat serta Perpustakaan Iman Jama‟ dan sekitar Indonesia yang telah memberi fasilitas kepada penulis. 7. Salam kerinduan kepada seluruh saudara-mara penulis diatas semangat dan dorongan yang diberikan kepada penulis. Terutama ayahanda tercinta Haji Mohd bin Ibrahim dan ibunda tersayang dan tercinta Hajah Siti Minah binti Abdullah, juga saudara-saudari penulis yang dirindui Abang Arif, Abang Pii, Adik Rauf, Adik Fattah, Adik Muin, Adik Syafiq, Adik Nurul dan Adik Luqman. Serta saudari kecil yang kusayangi Farah Ainaa.
8. Dato‟ Tuan Guru Haji Harun Taib selaku pengerusi Ahli Majlis Mesyuarat KUDQI dan seluruh Ahli Majlis Mesyuarat KUDQI. Pihak Kolej Universitas Darul Quran Islamiyyah yang telah memberi kesempatan untuk menuntut ilmu yang bermanfaat dari asatizah dan ustazah, juga dapat mengenal erti persahabatan dari mahasiswa KUDQI, MPMKUDQI dan HESIS. Serta staf-staf dan asatizah dan ustazah di Maa‟had Darul Qur‟an (MDQ) Rusila Marang. 9. Teman-teman seperjuangan dari Malaysia; Saifuddin, Sabri, Ridhzuan, Mu‟az, Zalani, Ukasyah dan juga para muslimat yang berada di Asrama Putri UIN. Jutaan terima kasih atas teguran dan sumbangan yang telah diberikan oleh Ust. Yunus, Ust. Ibrahim Zaki, Ust. Faiz Awang, serta teman-teman seangkatan dengannya. Tidak lupa juga sahabat-sahabat dari APID, KIDU, IPA yang telah bersama kecimpung dalam menegakkan manhâj Allah. 10. Teman-teman seperjuangan dari Indonesia; Tatang Sanjaya, Saiful Subhan, Nida‟u Islam, Badrul, Anuar, Saiful Huda, Dwi Aprinita, Eliz, Harist, Ati Nurliati, dan lain-lain yang tidak disebut. 11. Terakhir, jutaan terima kasih kepada teman-teman yang berada di Malaysia terutama Mat Dwan, To‟ Wan, Wan Zul, Luqman, Zuddin, Ayie, Khair, Mat Sabu, Izzat dan Muslimat yang tidak dapat hadir berjuang bersama, juga kepada semua pihak yang mungkin penulis tidak dapat sebutkan satu persatu, InsyaAllah, semoga amal kebaikan mereka dapat balasan yang layak di sisi Allah SWT..
Semoga Allah SWT menjadikan usaha kecil ini sebagai amal yang berpanjangan dan bermanfaat bagi pembaca.
Jakarta, 24 Mei 2010 ;
ABDUL HADI BIN MOHD
NIM : 109034000106
PEDOMAN TRANSLITERASI a. Padanan Aksara Huruf Huruf Arab Latin ا
Keterangan tidak dilambangkan
ب
B
Be
ت
T
Te
ث
Ts
te dan es
ج
J
Je
ح
H
ha
خ
Kh
ka dan ha
د
D
De
ذ
Dz
de dan zet
ر
R
Er
ز
Z
Zet
س
S
Es
ش
Sy
es dan ye
ص
S
es dengan garis di bawah
ض
D
de dengan garis di bawah
ط
T
te dengan garis di bawah
ظ
Z
zet dengan garis di bawah
ع
„
koma terbalik diatas hadap kanan
غ
Gh
ge dan ha
ؼ
F
Ef
ؽ
Q
Ki
ؾ
K
Ka
ؿ
L
El
ـ
M
Em
ف
N
En
و
W
We
هػ
H
ha dengan garis di bawah
ء
`
Apostrof
ي
Y
Ye
b. Vokal Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
َ
a
Fathah
i u
Kasra Dammah
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
َ
ai
a dan i
au
a dan u
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
ػَػا
â
a dengan topi di atas
î û
i dengan topi di atas u dengan topi di atas
ِ ُ Adapun Vokal Rangkap
و
ي َ
c. Vokal Panjang
ــــِــي ــــُـــو
d. Kata Sandang Kata sandang yang dalam Bahasa Arab dilambangkan dengan huruf ()اؿ, dialih-aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh = الشمسيةal-syamsiyyah, = القمريةal-qamariyyah. e. Tasydîd Dalam alih-aksara, tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda tasydîd itu. Tetapi hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tasydîd itu terletak setelah kata sandang yang diikuti huruf-huruf samsiyyah. f. Ta Marbûtah Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/. begitu juga jika ta marbûtah tersebut diikuti kata sifat (na„t). Namun jika ta marbûtah diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/. g. Huruf Kapital Huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya . Contoh = البخاريal-Bukhâri.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR. PEDOMAN TRANSLITERASI. DAFTAR ISI.
BAB I
PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah …………………….………………. 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……..………………… 6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……..……………………….. 7 D. Metodologi Penelitian ……….……………………………… 8 E. Tinjauan Pustaka ………….………………………..………. 10 F. Sistematika Penulisan …...……………………….…………. 11
BAB II
PENGERTIAN AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR DAN TINGKATAN PELAKSANAANNYA. A. Pengertian Amar Ma‟ruf Nahi Munkar …..………………… 13 B. Hukum Amar Ma‟ruf Nahi Munkar ………………………... 17 C. Syarat-syarat di dalam Menegakkan Amar Ma‟ruf Nahi Munkar ……………………………….... 20 D. Tingkatan-tingkatan Amar Ma‟ruf Nahi Munkar …...……… 26 E. Kaidah-kaidah didalam Amar Ma‟ruf Nahi Munkar ……..… 34 F. Implikasi Meninggalkan Amar Ma‟ruf Nahi Munkar ………......... 43
BAB III
SAYYID QUTB DAN TAFSIRNYA FÎ ZILÂL AL-QUR’ÂN. A. Riwayat Hidup ………………………………………….…… 51 B. Mengenal Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân dan Sejarah Penulisannya ……….………………………………..…….…. 60 C. Metode dan Corak Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân ……..………… 65 D. Karya-karya Sayyid Qutb …………………..…………..…… 70
BAB IV
KAJIAN TAFSIR FÎ ZILÂL AL-QUR’ÂN TERHADAP AYAT-AYAT AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR. A. Ayat, Terjemah dan Keterangan ……………………….………..... 74 B. Makna dan Kosa Kata Penting …………………….…………... 76
C. Asbunnuzul dan Munasabah Ayat ……………………….….. 76 D. Penafsiran Sayyid Qutb terhadap surat Ali-„Imrân, ayat 104 dan 110 ……………………………..…………..… 80 E. Analisa Penulis terhadap Penafsiran Sayyid Qutb tentang Diskripsi Amar Ma‟ruf Nahi Munkar …………………….…. 94
BAB V
PENUTUP. A. Kesimpulan …………………………………..…………….. 98 B. Saran-Saran …………………………..….………………... 100
DAFTAR PUSTAKA …...………………………………………………….. 101
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Islam sebagai al-Dîn Allah1 merupakan manhâj al-hayât atau way of life, acuan dan kerangka tata nilai kehidupan. Oleh karena itu, ketika komunitas muslim berfungsi sebagai sebuah komunitas yang ditegakkan di atas sendi-sendi moral iman, Islam dan takwa serta dapat direalisasikan dan dipahami secara utuh dan padu merupakan sebuah komunitas yang tidak eksklusif karena bertindak sebagai “al-Umma al-Wasatan”2 yaitu sebagai teladan di tengah arus kehidupan yang serba kompleks, penuh dengan dinamika perubahan, tantangan dan pilihanpilihan yang terkadang sangat dilematis. Masuknya berbagai serangan pemikiran, ajaran atau pahaman baru dari arah barat maupun dari gerakan Zionisme baik dalam agama, sosial masyarakat, budaya, ekonomi dan segala yang mencakup aktivitas-aktivitas kehidupan umat Islam seharian yang memberikan impak dan implikasi terhadap nilai-nilai agama, adanya kecenderungan membuat agama menjadi tidak berdaya dan yang lebih buruk lagi ketika Islam tidak lagi dijadikan sebagai pedoman hidup dalam berbagai bidang yang serba kompleks.3 Diantara bentuk serangan tersebut adalah seperti metarialisme, sekularisme, pluralisme, dan berbagai jenis gejala sosial
1
Q.S. Ali Imrân, ayat 85.
2
Q.S. Al-Baqarah, ayat 143.
3
M. Munir dan Tim Lembaga Kajian dan Pengembangan Dakwah Forum Komunikasi Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Metode Dakwah, (Jakarta : Prenada Media, 2003), hal. 3.
yang melanda di kalangan umat Islam sekarang. Antaranya ialah seks bebas dikalangan pemuda-pemudi, tontonan pornografi yang meluas, ketagihan terhadap nakoba, meminum khamar secara bebas dan selainnya yang merusakkan nilainilai masyarakat umat Islam. Hal ini bisa menerpa umat Islam bila agama tidak lagi berfungsi secara efektif dalam kehidupan yang kolektif. Tentu saja keadaan seperti ini dapat berpengaruh apabila pemeluk agama Islam gagal untuk memberi suatu peradaban alternatif yang benar-benar dituntut oleh setiap perubahan sosial yang terjadi. Di samping itu kita bisa melihat pada saat ini, kehidupan umat manusia sedikit banyak, disadari atau tidak telah dipengaruhi oleh gerakan modernisme yang terkadang membawa kepada nilai-nilai baru dan tentunya tidak sejalan bahkan bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Tak heran dalam perkembangannya modernisme memberikan tempat dan penghargaan yang terlalu tinggi terhadap materi. Implikasinya adalah kekuatan iman yang selama ini mereka miliki semakin mengalami degradasi. Puncaknya ialah kenyataan yang melanda sebagian umat Islam sekarang ini semakin terjerat oleh kehampaan spiritual. 4 Melihat fenomena di atas, sudah barang tentu kita khususnya umat Islam dilanda keprihatinan yang dapat merusak moral keimanan sehingga mau tidak mau harus diterapkan solusi terbaik yang dikehendaki oleh Islam yaitu
4
M. Munir dan Tim Lembaga Kajian dan Pengembangan Dakwah Forum Komunikasi Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Metode Dakwah, (Jakarta : Prenada Media, 2003), hal. 4.
melaksanakan dakwah amar ma‟ruf dan nahi munkar secara efektif dan efisien serta berkesinambungan. Amar adalah perintah, ma‟ruf adalah sesuatu yang dapat dimengerti dan diterima oleh masyarakat. Perbuatan ma‟aruf apabila dikerjakan dapat diterima dan dipahami oleh manusia serta dipuji. Sedangkan munkar adalah sesuatu yang dibenci dan tidak dapat diterima oleh masyarakat, apabila dikerjakan ia dicemoh dan dicela oleh masyarakat disekelilingnya. 5 Islam adalah agama dakwah6 artinya agama yang selalu mendorong pemeluknya untuk senantiasa aktif melakukan kegiatan dakwah menyuruh berbuat baik dan mencegah kemungkaran, bahkan maju mundurnya umat Islam sangat bergantung dan berkaitan erat dengan kegiatan dakwah yang dilakukannya, 7 karena itu Al-Qur‟ân dalam menyebut kegiatan dakwah dengan Ahsanu Qaula.8 Dengan kata lain bisa kita simpulkan bahwa dakwah amar ma‟ruf nahi munkar menempati posisi yang tinggi dan mulia dalam kemajuan agama Islam, kita tidak dapat membayangkan apabila kegiatan dakwah ini mengalami kelumpuhan yang disebabkan oleh berbagai faktor di era globalisasi yang serba canggih kini, di mana berbagai informasi masuk begitu cepat dan instan yang tidak dapat
5
Sayyid Qutb, Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân di bawah naungan Al-Qur‟an, Penerjemah: As‟ad Yasin dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2008), cet. ke-6, jil. 1, h. 560. 6
M. Masyhur Amin, Dakwah Islam dan Pesan Moral, (Jakarta : Al-Amin Press, 1997),
7
Didin Hafiduddin, Dakwah Aktual, (Jakarta : Gema Insani Press, 1998), Cet. 3, hal. 76.
8
Q.S. Fussilat, ayat 33.
hal.8.
dibendung lagi. Kita sebagai umat Islam harus dapat memilah dan menyaring informasi tersebut sehingga tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. 9 Karena Islam merupakan suatu kebenaran, maka Islam harus tersebar luas dan penyampaian kebenaran tersebut merupakan tanggung jawab umat Islam secara keseluruhan, sesuai dengan misinya sebagai “Rahmatan lil „Alamîn” harus ditampilkan dengan wajah yang menarik supaya umat lain (umat non-Muslim) beranggapan dan mempunyai pandangan bahwa kehadiran Islam bukan sebagai ancaman bagi eksistensi mereka melainkan pembawa kedamaian dan ketentraman dalam kehidupan mereka sekaligus sebagai pengantar menuju kebahagiaan kehidupan dunia dan akhirat. Implikasi dari penyataan Islam sebagai agama dakwah menuntut umatnya agar selalu menyampaikan dakwah amar ma‟ruf nahi munkar, karena kegiatan ini merupakan aktivitas yang tidak pernah usai selama kehidupan dunia masih berlangsung dan akan terus melekat dalam situasi dan kondisi apa pun bentuk dan coraknya. Kita semua menyadari bahwa dakwah amar ma‟ruf nahi munkar adalah tugas suci yang dibebankan kepada umat Islam di mana saja ia berada. Hal ini termaktub dalam Al-Qur‟ân dan As-Sunnah Rasulullah SAW, kewajiban dakwah menyerukan, dan menyampaikan agama Islam kepada masyarakat.10
9
M. Munir dan Tim Lembaga Kajian dan Pengembangan Dakwah Forum Komunikasi Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Metode Dakwah, (Jakarta : Prenada Media, 2003), hal. 4 & 5. 10
M. Munir dan Tim Lembaga Kajian dan Pengembangan Dakwah Forum Komunikasi Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Metode Dakwah, (Jakarta : Prenada Media, 2003), hal. 4 dan 5.
Dakwah amar ma‟ruf nahi munkar memerlukan pengorbanan yang tidak sedikit hartanya, bahkan nyawa seperti yang telah dicontohkan oleh para nabi-nabi dan rasul-rasul. Dakwah adalah membawa kebenaran yaitu kebenaran yang perlu dipertanggung jawabkan di dunia dan akhirat, agar terciptanya kedamaian dan kebahagiaan. Sementara kerusakan di muka bumi ini dapat dicegah melalui peranan amar ma‟ruf nahi munkar.11 Dakwah amar ma‟ruf nahi munkar, dakwah yang bertujuan untuk memancing dan mengharapkan potensi fitri
manusia agar eksistensi mereka
punya makna di hadapan Tuhan dan sejarah. Sekali lagi perlu ditegaskan disini bahwa tugas dakwah amar ma‟ruf nahi munkar adalah tugas umat Islam secara bersama dan menyeluruh dan bukan hanya tugas sebagian kelompok tertentu umat Islam. Melihat dari latar belakang tersebut, penulis mencoba menguraikan skripsi dengan judul : “DESKRIPSI AMAR MA‟RUF NAHI MUNKAR MENURUT AL-QUR‟ÂN, (KAJIAN TERHADAP TAFSIR FÎ ZILÂL AL-QUR‟ÂN KARYA SAYYID QUTB)” sebagai judul skripsi.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Dari uraian pada latar belakang masalah di atas, untuk mengantisipasi terlalu melebarnya pembahasan dalam penulisan skripsi ini, maka tentunya diperlukan beberapa poin yang dijadikan gagasan dasar atau biasa disebut perumusan masalah penelitian. 11
Hamka, Pandangan Hidup Muslim, (Jakarta : Bulan Bintang, 1992), h. 52.
Sebetulnya ada sekitar kurang lebih sembilan (9) ayat yang dikisahkan didalam Al-Qur‟ân secara eksplisit menyebut tentang amar ma‟ruf nahi munkar pada lima (5) surat yang berlainan yaitu surah Ali-„Imrân pada ayat 104, 110 dan 114, surah Al-A‟râf pada ayat 157, surah Luqman pada ayat 17, surah Al-Hâjj pada ayat 41, surah At-Taubah pada ayat 67, 71 dan 112. Namun dalam penelitian ini, penulis hanya mengambil dua dari sembilan ayat tersebut adalah karena : 1. Hal demikian agar pembahasan skripsi ini terarah dengan baik, maka penulis membatasi permasalahan tersebut hanya pada amar ma‟ruf nahi munkar dalam Al-Qur‟ân, dengan memfokuskan perbahasan pada Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân, surah Ali-„Imrân, ayat 104 dan 110. 2. Pada penelitian penulis, pembahasan yang terkaitan dengan dakwah amar ma‟ruf nahi munkar didalam kitab Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân sudah cukup meluas didalam dua ayat ini seperti betapa urgennya dakwah amar ma‟ruf nahi
munkar
yang
harus
dilaksanakan,
tatacara
yang
harus
diimplementasikan didalam berbagai peringkat baik individu, kelompok, masyarakat maupun jamaah, kepentingan perlu diwujudkan suatu kekuasaan yang dapat menegakkan kepada yang ma‟ruf dan mencegah kemungkaran dan selainnya. Berdasarkan pembahasan tersebut, masalah yang dirumuskan adalah : Bagaimana pandangan Sayyid Qutb dalam penafsirannya terhadap amar ma‟ruf nahi munkar yang harus dilaksanakan dan diimplementasikan. Pemikiran dan penerapan beliau didalam merencanakan dakwah amar ma‟ruf nahi munkar
didalam hubungan individu sesama individu, masyarakat sesama masyarakat maupun didalam jamaah.
C. Tujuan Penelitian Dari penelitian yang penulis lakukan ini, diharapkan akan dapat mencapai beberapa sasaran sebagai tujuan penelitian yaitu : 1.
Untuk memperoleh gambaran yang jelas akan maksud yang tersurat dan yang tersirat mengenai amar ma‟ruf nahi munkar serta mengetahui kaidahkaidah yang harus digunakan didalam ber-amar ma‟ruf nahi munkar.
2.
Untuk memberikan masukan kepada para pembaca kegunaan dan urgennya amar ma‟ruf nahi munkar serta implikasi dan akibatnya apabila meninggalkan perintah syari‟at tersebut.
3.
Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Tinjauan Pustaka Hasil daripada tinjauan dan penelitian, penulis mendapati ada beberapa skripsi yang telah dibahas berkaitan dengan konsep amar ma‟ruf nahi munkar yang dihasilkan oleh mahasiswa dan mahasiswi di Universitas Islam Negeri, Jakarta (UIN) sebelum ini. Akan tetapi, penulis mendapati hasil skripsi yang telah dihasilkan sebelum ini mempunyai tinjauan dan perspektif yang berbeda-beda. Berikut akan diterangkan :
1.
KONSEP AMAR MA‟RUF NAHI MUNKAR “Telaah atas Tafsir sosial Front Pembela Islam (FPI) (Kajian atas Surah Ali-„Imrân ayat 104 dan 110)”. Karya Husny Mubarok Amir (NIM 102034024813) pada tahun 2007. Hasil daripada pembacaan dan penelitian, penulis mendapati rumusan masalah dalam kajian tersebut adalah sebuah pertanyaan besar : “Bagaimana tafsir sosial Front Pembela Islam (FPI) tentang amar ma‟ruf nahi munkar khususnya dalam mengaplikasikan ayat suci Al-Qur‟ân Surah Ali-Imrân ayat 104 dan 110.12
2.
KONSEP AMAR MA‟RUF NAHI MUNKAR DALAM PERSPEKTIF HADIS. Karya Ernawati (NIM 202034001158) pada tahun 2006. Secara sederhana dari penelitian dan pembacaan penulis, maka dapat dibentuk pertanyaan mendasar sebagai berikut : Bagaimana konsep amar ma‟ruf nahi munkar dalam perspektif hadis?13
3.
KONSEP AMAR MA‟RUF NAHI MUNKAR (KAJIAN TAFSIR ALAZHAR ; Q.S. ALI IMRON : 104). Karya Ahmad Zumaro (NIM 1973413647). Ditulis pada tahun 2002M. Hasil daripada pembacaan dan penelitian, penulis mendapati rumusan masalah dalam kajian tersebut adalah bagaimana pandangan Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) didalam penafsirannya tentang konsep amar ma‟ruf nahi munkar sebagai dakwah para rasul. 14
12
Skripsi konsep amar ma‟ruf nahi munkar “Telaah atas Tafsir sosial Front Pembela Islam (FPI) (Kajian atas Surat Ali-Imron ayat 104 dan 110)”, hal. 7. 13 14
Skripsi konsep amar ma‟ruf nahi munkar dalam perspektif hadis, hal. 6.
Skripsi konsep amar ma‟ruf nahi munkar (Kajian Tafsir Al-Azhar ; Q.S. Ali „Imrân : 104), hal. 7.
4.
KONSEP AMAR MA‟RUF NAHI MUNKAR DALAM AL-QUR‟ÂN ; (Studi komparatif antara Tafsir al-Azhar dan al-Mishbah). Karya Nisfu Rinaldi (NIM 104034001217). Ditulis pada tahun 2004. Hasil daripada pembacaan dan penelitian, penulis mendapati rumusan masalah dalam kajian tersebut adalah analisa dan perbandingan antara Tafsir Al-Azhar dan Al-Misbah terhadap penafsiran tentang konsep amar ma‟ruf nahi munkar.15 Pada tinjauan kali ini, perspektif yang penulis ingin bahas berbeda
daripada hasil karya yang telah disebutkan di atas. Yang menjadi menarik bagi penulis mengambil tokoh seperti Sayyid Qutb untuk diperbahaskan karena beliau bukan saja seorang mufassir Al-Qur‟ân kontemporer, bahkan seorang tokoh yang disegani oleh masyarakat pada abad yang ke-20. Beliau juga seorang pemikir dan pioner yang agung dengan hasil karya yang unik dan mempersonakan khususnya pada Fî Zilâl Al-Qur‟ân. Perbedaan yang ingin penulis bahas adalah penulisan serta penafsiran Sayyid Qutb terhadap dakwah amar ma‟ruf nahi munkar dan pemikiran beliau didalam mengaplikasikan serta merencanakan dakwah amar ma‟ruf nahi munkar ke atas individual, masyarakat, kelompok maupun jamaah.
15
Skripsi konsep amar ma‟ruf nahi munkar dalam Al-Qur‟an ; (Studi komparatif antara Tafsir Al-Azhar dan Al-Mishbah), hal. 6.
E. Metodologi Penelitian 1. Sumber data : Dalam mengumpulkan data untuk penulisan skripsi ini penulis menggunakan jenis penelitian kepustakaan ( library research ), yaitu ; dengan mengambil sumber primer yakni buku-buku karya Sayyid Qutb sendiri yaitu Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân dan tentang penulisan penafsiran beliau. Selain daripada itu, penulis juga mengambil sumber sekunder seperti terjemahan Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân dan buku-buku yang berkaitan dengan Sayyid Qutb sebagai dasar untuk mengetahui riwayat hidup, kondisi sosiologi tempat beliau tinggal, pemikiran yang beliau lahirkan dan permasalahan terkait dengan apa yang penulis ingin bahaskan sebagai penunjang skripsi ini. 2. Metode Pembahasan : Adapun metode yang akan digunakan dalam skripsi kali ini bersifat deskriptif analisis, yaitu suatu pendekatan melalui pengumpulan data dan pendapat para ahli ilmuwan yang disajikan bersesuaian dengan datanya, kemudian ditelaah dan dianalisa sehingga dihasilkan sebuah kesimpulan. Selain daripada itu, penulis juga menggunakan metode tafsir maudû‟i didalam penulisan skripsi ini. 3. Teknik Penulisan : Kemudian sebagai pedoman penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku pedoman penulisan Skripsi, Tesis, dan Desertasi, yang diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2008.
F.
Sistematika Penulisan Dalam penulisan skripsi ini penulis membagi pembahasan ke dalam 5
(lima) bab, dimana masing-masing Bab mempunyai penekanan pembahasan mengenai topik-topik tertentu, yaitu : Bab I
: “Pendahuluan” Pada bab ini akan diuraikan mengenai Latar
Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan penelitian, Metodologi Penelitian, Tinjauan Pustaka dan Sistematika Penulisan. Bab II
: “Pengertian amar ma‟ruf nahi munkar dan Tingkatan-tingkatan
Pelaksanaannya”. Pada bab ini penulis akan menguraikan pengertian amar ma‟ruf nahi munkar, tingkatan-tingkatannya, syarat pelaksana amar ma‟ruf nahi munkar serta urgensi amar ma‟ruf nahi munkar, hukum dan implikasi meninggalkan amar ma‟ruf nahi munkar. BAB III
: “Sayyid Qutb dan Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân” sebagai tokoh yang
akan dibahas, Sayyid Qutb dimunculkan pada bab ketiga ini meliputi biografi, latar belakang pendidikan serta kehidupan beliau, aktivitas serta karya-karya beliau. Dan tentang tafsirnya Fî Zilâl Al-Qur‟ân mencakup pada periode-periode penulisannya dan corak metodologinya. BAB IV
: “Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân, kajian surah Ali-„Imrân ayat 104 dan
110” yang akan dibahas bab ini penulis memfokuskan penafsiran Sayyid Qutb, yang meliputi ayat dan terjemah makna kosa kata penting, asbabun nuzul, munâsabah ayat, penafsiran Sayyid Qutb terhadap diskripsi amar ma‟ruf nahi
munkar, serta analisa penafsiran beliau. Ditambah dengan analisa penulis terhadap Fî Zilâl Al-Qur‟ân terhadap amar ma‟ruf nahi munkar. BAB V
: “Penutup” bab ini berisi kesimpulan seluruh uraian disertai
dengan saran-saran.
BAB II A. Pengertian Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Di dalam Al-Qur‟ân, istilah amar ma‟ruf nahi munkar secara utuh artinya tidak dipisahkan antara amar ma‟ruf dan nahi munkar berulang sebanyak sembilan kali di dalam lima surah yang berbeda yaitu di dalam surah Ali-„Imrân pada ayat 104, 110 dan 114, surah Al-A‟râf pada ayat 157, surah At-Taubah pada ayat 67, 71 dan 112, surah Al-Hâjj pada ayat 41, dan surah Luqman pada ayat 17. Amar ma‟ruf menurut etimologis dan terminologis: Sebelum kita melihat makna amar ma‟ruf nahi munkar berdasarkan konteks yang lebih mendalam marilah kita melihat makna amar ma‟ruf secara etimologis, amar berarti suruh, perintah.16 Sedangkan ma’ruf
berarti
kebaikan. 17 Jika pengertian keduanya digabungkan, maka artinya adalah perintah kepada kebaikan atau kebajikan. Sedangkan amar ma‟ruf secara terminologis adalah : Segala perbuatan manusia yang dapat mendekatkan dirinya kepada Tuhan.18
Adalah ma‟ruf mencakup segala sesuatu yang diperintahkan,
demikianlah pemahaman ulama secara umum. Nahi Munkar menurut etimologis dan terminologis : Munkar adalah lawan dari ma‟ruf. Bila dikatakan : “Nakkara Asy-Syai‟a wa Ankarahu” artinya adalah “Tidak menerimanya, serta tidak mengakuinya secara lisan”.19 Manakala makna nahi secara etimologis adalah larangan,
16
Indrawan WS, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Lintas Media Jombang), hal. 31.
17
Indrawan WS, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Lintas Media Jombang), hal. 349.
18
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam. Ensiklopedia Islam, (Jakarta: P.T. Ikhtiar Van Hoeve, 1999), cet. ke-IX, hal. 131. 19
Lihat “Mu‟jam Maqayiis Al-Lughah, juz. V, hal. 476.
pantang.20 Sedangkan munkar adalah bermaksud perbuatan durhaka atau melanggar peraturan.21 Jika pengertian keduanya digabungkan menurut etimologis adalah bermaksud melarang perbuatan durhaka atau perbuatan melanggar peraturan. Sedangkan nahi munkar secara terminologis adalah : Segala sesuatu yang dianggap buruk dan dibenci oleh syari‟ah. 22 Kemungkaran mencakup segala yang bertentangan syari‟ah, meskipun pelakunya tidak berdosa melakukannya seperti, orang gila yang minum khamar (minuman yang memabukkan), orang tersebut dilarang tetapi tidak dicela atasnya. Demikian itulah pengertian munkar, yaitu yang mencakup seluruh apa yang dilarang. Mari kita simak bersama-sama ketetapan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu, di mana beliau mengatakan: Jika kesepakatan seluruh agama dan seluruh wilayah itu berpusat pada perintah dan larangan, maka perintah yang dengannya Allah mengutus Rasul-Nya SAW adalah perintah kepada kebaikan (amar ma‟ruf) dan larangan yang dengannya Dia mengutuskan Rasulullah SAW adalah larangan berbuat kemungkaran (nahi munkar).23 Dalam kesempatan lain, ia berkata: “Pengharaman terhadap segala hal yang buruk termasuk dalam makna An-Nahyu „anil Munkar (mencegah kemungkaran), sebagaimana penghalalan terhadap segala hal yang baik termasuk
20
Indrawan WS, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Lintas Media Jombang), hal. 368.
21
Indrawan WS, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Lintas Media Jombang), hal. 366.
22
Lihat Kitab Al-Lisan, juz V, hal. 233.
23
Saleh bin Abdullah Darwis, Konsep Amar Ma‟ruf Nahi Munkar dan Realisasinya di Dunia Modern, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya), 1996, hal. 5-6.
dalam Al-Amr bil Ma‟ruf (menyeru kepada kebaikan), karena pengharaman terhadap segala hal yang baik merupakan hal yang dilarang oleh Allah SWT.” 24 Amar ma‟ruf nahi munkar merupakan suatu hal yang fitri. Sudah merupakan tabi‟at manusia untuk senang berkumpul dan bersatu. Apabila kita mengetahui bahwa nafsu manusia ini memiliki dua dimensi, memerintah sekaligus melarang. Oleh karena itu, ia harus diarahkan kepada yang hak (kebenaran) agar apa yang diperintahkannya sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh Rasulullah SAW dan apa yang dilarang agama. Syeikh Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullahu- telah mengatakan: “Dan setiap manusia yang hidup di muka bumi ini harus memerintah dan juga melarang. Mereka harus memerintah dan melarang meskipun pada dirinya sendiri, baik itu pada kebaikan maupun pada kemungkaran. 25 Sebagaimana yang difirmankan Allah SWT di dalam Al-Qur‟ân: 53. Dan Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), Karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha penyayang. Perintah, artinya adalah menuntut dikerjakannya sesuatu atau dipenuhinya suatu keinginan. Sedangkan larangan artinya adalah menuntut ditinggalkan suatu perbuatan atau keinginan. Oleh karena itu, setiap orang yang hidup di muka bumi ini memiliki keinginan dan tuntutan dalam dirinya, yang keduanya membutuhkan tindakan darinya dan membutuhkan tindakan dari orang lain jika hal itu 24
Al-Fatâwa, juz. XXVIII, hal. 65. Dan lihat juga kitab Mazîd min Aqwâli Al-„Ulama‟ dalam perbahasan Khashiyatu Asy-Syumūl, hal. 40. 25
Saleh bin Abdullah Darwis, Konsep Amar Ma‟ruf Nahi Munkar dan Realisasinya di Dunia Modern, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya), 1996, hal. 36-37.
dibutuhkan. Karena sesungguhnya manusia itu adalah hidup yang bergerak dengan keinginannya. 26 Dan anak Adam ini tidak akan hidup; melainkan dengan berkumpul antara satu sama lainnya. Jika satu, dua, atau lebih berkumpul, maka akan terjadi di antara mereka perintah dan larangan. Jika perintah dan larangan itu merupakan suatu hal yang lazim dari keberadaan manusia, maka orang yang tidak memerintah (menyeru) kepada kebaikan yang diperintahkan Allah SWT dan Rasul-Nya, serta dilarang berbuat kemungkaran yang telah dilarang Allah dan Rasul-Nya, diperintah berbuat kebaikan yang telah diperintahkan-Nya dan juga Rasul-Nya serta dilarang berbuat kemungkaran yang telah dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Seandainya tidak demikian, maka dia tetap diharuskan memerintah dan juga melarang, diperintah dan dilarang baik itu yang bertentangan maupun yang sesuai dengan kebenaran yang diturunkan Allah SWT secara batil yang tiada pernah diturunkan Allah menurunkannya. Jika dia mengambil hal itu sebagai agama, maka ia sebagai agama baru yang sesat dan menyesatkannya. 27
B. Hukum Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Amar ma‟ruf nahi munkar merupakan suatu amaliah yang telah disepakati kewajibannya oleh para ulama, meskipun mereka berbeda pendapat apakah ia termasuk di dalam fardu „ain atau fardu kifayah.28 Kebanyakan ulama 26
Saleh bin Abdullah Darwis, Konsep Amar Ma‟ruf Nahi Munkar dan Realisasinya di Dunia Modern, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya), 1996, hal. 37. 27 28
Al-Istiqamah, juz. II, hal. 292.
Saleh bin Abdullah Darwis, Konsep Amar Ma‟ruf Nahi Munkar dan Realisasinya di Dunia Modern, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya), 1996, hal. 88.
berpendapat bahwa amar ma‟ruf nahi munkar hukumnya fardu kifayah dan sebagian lainnya berpendapat hukumnya fardu „ain. Perbedaan ini berawal dari penafsiran para ulama terhadap surah Ali-„Imrân, ayat 104. Berikut akan dijelaskan : 29 Arti “Min” ) ( ِ ْن: Para Ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan batasan arti “min” dalam firman Allah : ) ( ِ ْن ُ ْن. Pendapat mereka terbagi dua : Yang Pertama ; Sesungguhnya “min” dalam ayat tersebut bukanlah untuk arti “sebagian” )(التجعُض, tetapi ia untuk menerangkan ) (الج س, (jenis, macam), (keumuman – pen.). Pada ulama yang berpendapat demikian berpegang kepada dua dalil : 1) Sesungguhnya Allah mewajibkan amar ma‟ruf nahi munkar kepada setiap golongan (umat), sebagaimana dalam firman-Nya: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, mencegah dari yang munkar.......”(Ali „Imrân; 110) 2) Sesungguhnya wajib atas setiap orang mukallaf melakukan amar ma‟ruf nahi munkar, baik melalui tangannya, lisan atau hatinya. Kemudian mereka berkata : Bila tegas demikian, maka arti ayat tersebut: “Jadilah kalian suatu umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma‟ruf dan mencegah dari yang mungkar. 29
Sayyid Quthb, Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân di bawah naungan Al-Qur‟an, Penerjemah: As‟ad Yasin dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2008), cet. ke-6, jil. 3, hal. 183.
Mereka memandang, bahwa “min” dalam ayat itu sama seperti “min” ) ( ِ ْن dalam firman Allah SWT; dalam surah Al-Hâjj, ayat 30 : Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta. Kemudian mereka berkata : Sesungguhnya hal itu, meskipun ia diwajibkan atas semuanya, tetapi bila sebagian telah melakukannya, maka lepaslah beban kewajiban dari yang lain. Bandingan adalah firman Allah SWT; dalam surah AtTaubah, ayat 41 dan pada ayat 39 : 30 )٤١( 41. Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat. )٣٩( 39. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih. Perintah dalam ayat-ayat tersebut dan ayat-ayat yang senada adalah umum. Kemudian bila segolongan umat ada yang menjalankan perintah itu, cukuplah, dan lepaslah beban kewajiban dari yang lain. Yang Kedua : Bahwa “min” ) ( ِ ْنdalam ayat itu punya arti “sebagian” )(التجعُض. Para ulama yang punya pendapat demikian dapat dimasukkan ke dalam dua pendapat : 1) Sesungguhnya pengertian “min” adalah, dalam umat terdapat orang-orang yang tidak punya kemampuan berdakwah, melakukan amar ma‟ruf nahi munkar seperti kaum wanita, orang-orang sakit dan orang-orang lemah.
30
Ibnu Taimiyah, Menuju Umat Amar Ma‟ruf Nahi Munkar, terjemahan : Muhammad Jamil Ghazy, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1998), cet. 1, hal. 20-21.
2) Sesungguhnya perintah ) (الت لُفitu khusus kepada ulama (orang-orang yang berilmu, alim). Karena ayat itu mengandung perintah tiga hal : menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma‟ruf, dan mencegah dari yang munkar.31 Selain itu, para ulama sepakat bahwa itu fardu kifayah, yaitu bila sebagian orang telah ada yang menjalankannya, maka lepaslah kewajiban tersebut dari yang lain. Jika perintah memang demikian, maka tafsirannya : “Hendaklah sebagian kamu menjalankan itu.” Ini perintah wajib atas sebagian, bukan atas semuanya. 32
C. Syarat-syarat di dalam Menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Sesungguhnya orang yang melaksanakan amar ma‟ruf nahi munkar berinteraksi dengan sesama manusia. Oleh itu, ia harus mempunyai beberapa kriteria tertentu yang dapat memudahkan bagi diri seseorang untuk meniti jalan tersebut dan memeliharanya dari ketergelinciran. 33– bi-idznillah – Di antara syarat-syarat yang terpenting adalah : 1. Islam. Para fuqaha –rahimahullahu- telah menjadikan Islam sebagai syarat, karena pencegahan terhadap kemungkaran merupakan tugas yang disyari‟atkan. Dan oleh karena itu, orang Kafir tidak dituntut dan diwajibkan mengerjakannya sehingga dia memeluk Islam dan benar-benar berpegang teguh kepada Islam. 31
Ibnu Taimiyah, Menuju Umat Amar Ma‟ruf Nahi Munkar, terjemahan : Muhammad Jamil Ghazy, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1998), cet. 1, hal. 21. 32
Ibnu Taimiyah, Menuju Umat Amar Ma‟ruf Nahi Munkar, terjemahan : Muhammad Jamil Ghazy, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1998), cet. 1, hal. 21-22. 33
Salman Fahd Al-Audah, Amar Ma‟ruf Nahi Munkar, Penerjemah: Rakhmat, Abdul Rosyad Shidiq, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993), cet. 1, hal. 73.
Bahkan para fuqaha mengatakan “Orang Kafir tidak boleh diperbolehkan mengerjakannya. Hal itu dikarenakan pertama, dalam hisbah (pelaksanaan amar ma‟ruf nahi munkar) terdapat semacam otoritas kepimpinan atas orang Muslim. Kedua, karena kejahilannya terhadap hukum-hukum Islam, meskipun dia mengaku mengetahuinya. Orang Kafir diperbolehkan untuk mencegah kemungkaran tanpa harus menyuruh kepada perbuatan yang ma‟ruf, karena di dalamnya terdapat tuntutan mengerjakan perbuatan yang mayoritas bersifat ta‟abbud. Apabila dilihat disisi lain, mereka melihat akan kemaslahâtan, keamanan, dan keselamatan masyarakat yang terletak pada pencegahan terhadap segala macam kemungkaran, mereka boleh mengerjakan hal itu.34 2. Taklif (Baligh dan Berakal). Taklif merupakan syarat bagi seluruh ibadah kecuali zakat, sebagaimana hal itu telah menjadi pendapat jumhurul ulama. Dan maksud dari taklif tersebut adalah baligh (cukup umur) dan „akil (berakal). Oleh karena itu, amar ma‟ruf nahi munkar tidak diwajibkan bagi anak kecil dan juga orang yang tidak waras pikirannya, karena telah diberikan ma‟af bagi mereka. 35 Abu Hamîd –rahimahullahu-, di mana beliau berkata: “Mengenai syarat taklif. Sudut dijadikannya taklif sudah jelas, di mana orang tidak disebut mukallaf (yang sudak berakal dan baligh) tidak diwajibkan mencegah kemungkaran. Yang kita maksudkan dari apa yang telah kita sebutkan diatas adalah bahwasanya taklif 34
Saleh bin Abdullah Darwis, Konsep Amar Ma‟ruf Nahi Munkar dan Realisasinya di Dunia Modern, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya), 1996, hal. 106-107. 35
Saleh bin Abdullah Darwis, Konsep Amar Ma‟ruf Nahi Munkar dan Realisasinya di Dunia Modern, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya), 1996, hal. 107-108.
merupakan syarat wajib. Dan mengenai pelaksanaannya tidak diperbolehkan kecuali bagi mereka yang berakal, sampai pada anak-anak yang baligh dan berakal meskipun belum disebut sebagai mukallaf tetap harus mencegah kemungkaran. Seorang anak diperbolehkan untuk ber-amar ma‟ruf nahi munkar, selama hal itu tidak membahayakan dirinya. Pencegahan terhadap kefasikan sama dengan pencegahan terhadap kekufuran.36 3. Memiliki Ilmu. Di antara syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang dalam melaksanakan amar ma‟ruf nahi munkar adalah; Adanya pengetahuan tentang hukum apa yang dia perintahkan atau dilarangnya, ini disepakati para ulama. Karena sesungguhnya kebaikan itu adalah segala hal yang dianggap baik oleh syari‟at, dan keburukan adalah segala sesuatu yang dianggap buruk oleh syari‟at. 37 Yang menjadikan titik tolak bukanlah otak para muhtasîb, melainkan mubâhât (apa-apa yang dibolehkan) yang diketahui orang dalam melakukan suatu perbuatan dan yang mana ia harus dipenuhi oleh para muhtasîb.38 Ilmu itu sangat nisbi sifatnya, tidak ada orang yang pandai melainkan di atasnya masih ada yang lebih pandai, dan tidak ada orang bodoh melainkan masih ada yang lebih bodoh lagi. 39
36
Itaf As-Sa‟adah Al-Muttaqîn, juz. VII, hal. 14.
37
Saleh bin Abdullah Darwis, Konsep Amar Ma‟ruf Nahi Munkar dan Realisasinya di Dunia Modern, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya), 1996, hal. 109. 38 39
Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sultaniyyah, (Penerbit: Darul Kutub), hal. 300.
Saleh bin Abdullah Darwis, Konsep Amar Ma‟ruf Nahi Munkar dan Realisasinya di Dunia Modern, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya), 1996, hal. 109-110.
An-Nawawî memiliki ungkapan yang baik sekali mengenai dijadikannya ilmu sebagai syarat ber-amar ma‟ruf nahi munkar : “Orang yang mengerti apa-apa yang diperintahkan atau dilarangnya memerintahkan berbuat ma‟ruf atau mencegah perbuatan mungkar, yang demikian itu berbeda dengan perbedaan sesuatu. Apabila hal-hal yang sudah pasti menjadi kewajiban seperti salat, puasa, dan zakat, atau hal-hal yang diharamkan seperti zina, minuman keras dan sebagainya. Secara keseluruhan kaum Muslimin telah mengetahui akan semua itu, tetapi jika sudah melangkah kepada masalah-masalah yang sangat mendasar dan mendalam serta hal-hal yang menyangkut dengan masalah ijtihad, orang-orang awam tidak termasuk di dalamnya, mereka ini tidak wajib menegakkan inkârul munkar, akan tetapi semuanya merupakan tugas para ulama. 40 Pendapat jumhur ulama yang dikemukan oleh An-Nawawî di atas diperkuat dari hadits Rasulullah SAW, yang di dalamnya juga terdapat jawaban atas pendapat sebagian ulama yang hanya memprioritaskan para ulama dalam menjalankan amar ma‟ruf nahi munkar. Hadist tersebut berbunyi:
ثلغىا ع ً ولى آَخ “Sampaikanlah apa-apa dariku meskipun hanya satu ayat.”41 Keumuman nas-nas yang telah diketengahkan tadi tentang pelaksanaan amar ma‟ruf nahi munkar dan apa yang telah kami katakan bahwasanya ilmu bersifat nisbi, dan bahwasanya orang yang bodoh akan memerintahkan sesuai dengan apa yang diketahuinya, demikian halnya dengan pencegahan yang
40 41
An-Nawawî, Syarhu An-Nawawî Sahih Muslîm, juz. II, hal. 23.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhâri, Muslîm, Ahmad dan lain-lainnya dengan lafadz yang tidak jauh berbeda. Dan sebagian ulama mengkategorikan hadits tersebut sebagai hadits mutawatir. Lihat buku Syekh Abdul Muhsin Al-Ubbad.
dilakukannya.
Demikian
itu
yang
dimaksudkan
dengan
syarat
ilmu
(pengetahuan).42 4. Kasih Sayang. Pelaku amar ma‟ruf nahi munkar harus menghiasi dirinya dengan sifat kasih sayang dan sabar, karena sifat emosional terkadang bisa mengakibatkan kegagalan dalam nahi munkar. Bahkan bisa mengakibatkan melipatgandanya kemungkaran dan lingkupnya bertambah luas. Sudah tidak diragukan lagi bahwa mayoritas kemungkaran bila dilihat oleh orang yang ghirahnya tinggi dia akan marah sekalipun masih masih terkendalikan. Oleh karena itu hendaknya berusaha mengendalikan diri
dengan kendali
kasih
sayang
dan
sabar,
dengan
memperhatikan kemashalatan-kemaslahâtan.43 5. ‘Adil. Pelaku nahi munkar hendaknya bersikap „adil, dan tidak dzalim terhadap pelaku kemungkaran, dimana kebaikan-kebaikannya dilupakan dan kejelekannya dibesar-besarkan. Pelaku nahi munkar harus mengakui kebaikan-kebaikannya, dan menyebutkan hal tersebut kepadanya. Dengan menggunakan cara yang „adil tersebut kesempatan untuk diterima lebih besar. Adapun bila pelaku nahi munkar mengabaikan kebaikan-kebaikan
42
Saleh bin Abdullah Darwis, Konsep Amar Ma‟ruf Nahi Munkar dan Realisasinya di Dunia Msodern, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya), 1996, hal. 111. 43
Salman Fahd Al-Audah, Amar Ma‟ruf Nahi Munkar, Penerjemah: Rakhmat, Abdul Rosyad Shidiq, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993), cet. 1, hal. 74-75.
kemungkaran dan melenyapkan semuanya, maka yang demikian ini bisa mengakibatkan dia berpaling dan tidak mau menerima.44 6. Hikmah. Masalah hikmah dalam hal amar ma‟ruf nahi munkar bagi mayoritas manusia tidaklah jelas, baik dari pelaku nahi munkar atau pelaku kemungkaran. Sebagian manusia mengira bahwa hikmah itu adalah meninggalkan amar ma‟ruf dan nahi munkar. Yang benar bahwa hikmah itu adalah menempatkan segala sesuatu pada proporsinya. Di antara hikmah adalah anda menempatkan kelemahlembutan pada proporsinya dan menempatkan kekerasan pada proporsinya. Terkadang seseorang tidak mampu menentukan tempat hikmah di dalam menyelesaikan sebagian permasalahan. Maka ketika itu dia harus meminta nasihat orang lain untuk menyempurnakan kekurangannya dalam hal mengetahui tempat hikmah dan sikap yang tepat. 45 7. Sabar. Sesungguhnya orang yang melakukan amar ma‟ruf dan nahi munkar akan menemui berbagai dugaan, maka tidak perlu gentar, cemas dan putus asa. Yang demikian itu karena jalan amar ma‟ruf nahi munkar itu tidak ditaburi oleh bungabunga, namun penuh dengan onak dan duri. Maka barang siapa tidak menghiasi diri dengan sifat sabar, pantas bila dia menganggap perjalanan terlampau jauh dan melelahkan. Akhirnya meninggalkan tugas rabbani yang mulia tersebut.
44
Salman Fahd Al-Audah, Amar Ma‟ruf Nahi Munkar, Penerjemah: Rakhmat, Abdul Rosyad Shidiq, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993), cet. 1, hal. 75. 45
Salman Fahd Al-Audah, Amar Ma‟ruf Nahi Munkar, Penerjemah: Rakhmat, Abdul Rosyad Shidiq, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993), cet. 1, hal. 76-77.
Sesungguhnya jiwa dan hati manusia itu ada saatnya untuk menerima dan menolak, oleh karena itu termasuk kemaslahâtan memperhatikan mad‟u disaat mau menerima kalimat-kalimat yang baik, bersikap lemah lembut kepadanya, dan mencari siasat untuk sampai kedalam hatinya, dengan siasat apa saja yang tidak tercela. “Allah memberikan petunjuk kepada seseorang lantaran kamu, itu lebih baik bagimu daripada dunia dan seisinya”.46 D. Tingkatan-tingkatan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Rasulullah SAW telah menjelaskan tingkatan-tingkatan amar ma‟ruf nahi munkar dengan sabdanya : صلهً ه َّللاُ َعلَ ْنُ ِه َو َسله َ ََمُى ُل َ ْن َسأَي ِ ْن ُ ْن ُ ْن َ شًا فَ ْنلُُ َغُِّشْن هُ ِثَُ ِذ ِه فَإ ِ ْنن لَ ْن ََ ْنستَ ِط ْنع فَ ِجلِ َسبنِ ِه فَإ ِ ْنن لَ ْن ََ ْنستَ ِط ْنع َ َّللا ِ َسسُى َل ه ) (سواه أثى داود.ااَ َيب ِن ِ َف ِج َم ْنل ِج ِه َو َر ِل َ أَ ْن َعفُ ْن Artinya : “Barang siapa melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tangan, jika tidak mampu dengan lisan, dan apabila tidak mampu juga dengan hati itulah selemah-lemahnya iman” (HR. Abu Daud)47 Dari hadits tersebut, dapat ketahui bahwa ada beberapa kriteria-kriteria bagi mencegah kemungkaran yang wajib dilaksanakan setiap Muslim dengan mengikut kemampuan masing-masing. Pada bab ini, penulis hanya akan membahaskan secara ringkas tingkatan-tingkatan yang harus dilaksanakan untuk mencegah kemungkaran. Tahapan-tahapan ber-amar ma’ruf serta nahi munkar : 1. Mengingkari Kemungkaran dengan Tangan dan Syarat-syaratnya.
46
Salman Fahd Al-Audah, Amar Ma‟ruf Nahi Munkar, Penerjemah: Rakhmat, Abdul Rosyad Shidiq, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993), cet. 1, hal. 77-78. 47
Abu Daud Sulaiman bin Al-Asy‟ats Al-Sijistan, Sunan Abu Daud, (Darul Hadist: Kairo, 1998), Kitab Malahim, juz. IV, hal. 121.
Ini adalah tingkatan paling tinggi, di mana ia menjadi pedang yang tajam dalam mencegah kemungkaran dan menghilangkan bahayanya. Tidak ada yang mampu melakukan tingkatan ini kecuali orang-orang kuat dan berkemauan keras. Dan tingkatan ini dilakukan kepala rumah tangga dalam rumah tangganya dan ulil amri (penguasa) terhadap masyarakatnya. Pada hakikatnya tingkatan ini adalah kewajiban ulil amri dalam kekuasaannya karena tingkatan ini sangat rawan menimbulkan bahaya dan pertumpahan darah, sedangkan bahaya semuanya wajib dihilangkan. Dan tidak boleh mengingkari kemungkaran sekiranya menimbulkan kemungkaran yang lebih besar. Contohnya, menghancurkan alat-alat musik, menumpahkan khamr dan sebagainya. 48 Allah SWT berfirman tentang Nabi Ibrahim AS, 57. Demi Allah, Sesungguhnya Aku akan melakukan tipu daya terhadap berhalaberhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya. 58. Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya. Nabi Ibrahim AS menghancurkan berhala-berhala tersebut dengan tangannya. 49 Akan tetapi, mengubah kemungkaran dengan tangan ini tidak boleh dilakukan oleh setiap orang dan pada setiap kemungkaran karena yang demikian itu dapat menimbulkan berbagai kerusakan dan bahaya yang banyak.
48
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Amar Ma‟ruf nahi Munkar Menurut Ahli Sunnah wal Jama‟ah, (Bogor: Pustaka At-Taqwa, 2009) cet. 2, hal. 181. 49
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Amar Ma‟ruf nahi Munkar Menurut Ahli Sunnah wal Jama‟ah, (Bogor: Pustaka At-Taqwa, 2009) cet. 2, hal. 182.
Pengingkaran dengan tangan ini hanya boleh dilakukan oleh ulil amri (penguasa) atau orang yang mewakilkannya seperti petugas hisbah, misalnya, yang mereka mendapatkan tugas dari ulil amri untuk melaksanakan amar ma‟ruf nahi munkar. Demikian pula seperti seorang suami didalam rumahnya yang mengubah kemungkaran yang dilakukan anak-anaknya, istrinya, dan pembantunya. Mereka mengubah kemungkaran tersebut dengan tangannya dengan cara bijaksana yang sesuai syari‟at. Tingkatan ini disyaratkan dengan adanya kekuasaan, kemampuan, hikmah, pemahaman, dan jauh dari hawa nafsu. Tingkatan ini pun memiliki tahapan-tahapan tertentu sesuai dengan keadaan dan perbuatan. 50
2. Mengingkari Kemungkaran dengan Lisan dan Tahapan-tahapannya. Mengubah kemungkaran dengan lisan sama dengan dakwah di jalan Allah karena kedua-duanya ialah menjelaskan kebenaran, memotivasi orang lain kepadanya, dan memperingatkan mereka dari kebatilan, serta memberikan ancaman dengan ayat-ayat Allah yang berkenaan. Mengubah kemungkaran dengan lisan mempunyai empat tahapan: Tahapan Pertama: Memberikan pengertian dan pelajaran dengan lemah lembut.
50
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Amar Ma‟ruf nahi Munkar Menurut Ahli Sunnah wal Jama‟ah, (Bogor: Pustaka At-Taqwa, 2009) cet. 2, hal. 183-184.
Pelaku amar ma‟ruf nahi munkar harus memperhatikan usahanya memberikan pengertian dan pelajaran terhadap pelaku kemaksiatan dengan penuh kelemah-lembutan dan kasih sayang terhadapnya.51 Diriwayatkan dalam Shahîh Muslîm bahwa sekelompok orang Yahudi datang dan masuk menemui Rasulullah SAW lalu mereka berkata, . السهب ُا َعلَ ْنُ ُ ْن
“Semoga kematian atas kamu.” „Aisyah berkata, “Bahkan, semoga kematian dan laknat menimpa kalian.” Dalam riwayat lain: “Dan Allah melaknat serta memurkai kalian.” Maka Rasulullah SAW bersabda, َ ك ِفٍ ْن اا ْن ِش ُ لِّ ِه َ َّللا َُ ِ تُّب ال ِّش ْنف َ ََب عَب ِا َ خُ ِ هن ه “Wahai „Aisyah! Sesungguhnya Allah mencintai kelemah lembutan dalam setiap urusan.” „Aisyah berkata, “Tidakkah engkau mendengar apa yang mereka katakan?” Beliau menjawab, لَ ْنذ لُ ْنل ُ َو َعلَ ْنُ ُ ْن “Sesungguhnya, aku mengatakan, “Dan (semoga kematian) atas kalian.”52 Di hadits ini Nabi SAW bersikap lemah lembut terhadap mereka padahal mereka orang-orang Yahudi, itu karena beliau sangat mengharapkan mereka mendapatkan hidayah, tunduk kepada kebenaran, dan mau menerima dakwah Islam. Ini adalah cara generasi Salaf dalam amar ma‟ruf nahi munkar, yaitu dengan lemah lembut disertai ilmu, kebijaksanaan, basirah, dan mengamalkan apa yang diserukannya serta meninggalkan apa yang dilarang dari mereka. Dan inilah teladan yang baik.53
51
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Amar Ma‟ruf nahi Munkar Menurut Ahli Sunnah wal Jama‟ah, (Bogor: Pustaka At-Taqwa, 2009) cet. 2, hal. 187. 52 53
Sahih, HR. Muslîm (no. 2165).
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Amar Ma‟ruf nahi Munkar Menurut Ahli Sunnah wal Jama‟ah, (Bogor: Pustaka At-Taqwa, 2009) cet. 2, hal. 189.
Tahapan Kedua: Melarang dengan cara memberikan pelajaran dan nasihat serta menakut-nakutinya dengan adzab Allah Ta’ala. Tahapan kedua ini biasanya ditujukan bagi pelaku kemungkaran yang telah mengetahui hukum syari‟at dari perbuatan mungkarnya tersebut, berbeda dengan tahapan pertama yang biasanya digunakan untuk orang yang tidak mengetahui hukum dari kemungkaran yang dilakukannya. 54 Pelajaran atau nasihat ialah mengingatkan seseorang dengan kebaikan yang dapat melembutkan hatinya disertai dengan menakuti-nakutinya dengan siksa Allah Ta‟ala. Terdapat banyak nas yang memerintahkan para pelaku amar ma‟ruf nahi munkar untuk melakukan tingkatan ini, firman Allah SWT, 13. Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". Firman Allah SWT, ..... 125. Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.....55 Tahapan Ketiga: Tegas dalam memberikan nasihat. Pelaku amar ma‟ruf nahi munkar bersandar pada tahapan ini apabila caracara yang mudah dan lemah lembut tidak lagi bermanfaat bagi orang yang diingkarinya. Tahapan ini pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS bersama kaumnya ketika kaumnya tidak menerima dakwah beliau yang dilakukan dengan 54
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Amar Ma‟ruf nahi Munkar Menurut Ahli Sunnah wal Jama‟ah, (Bogor: Pustaka At-Taqwa, 2009) cet. 2, hal. 189. 55
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Amar Ma‟ruf nahi Munkar Menurut Ahli Sunnah wal Jama‟ah, (Bogor: Pustaka At-Taqwa, 2009) cet. 2, hal. 190.
lemah lembut, maka beliau menerapkan perkataan yang tegas, sebagaimana terdapat dalam firman Allah SWT, 66. Ibrahim berkata: Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikitpun dan tidak (pula) memberi mudharat kepada kamu?" 67. Ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Tidakkah kamu tidak mengerti?56 Melakukan tahapan ini harus terpenuhi dua adab berikut: Pertama: Menggunakan tahapan ini hanya ketika darurat dan cara lemah lembut tidak bermanfaat lagi. Kedua: Tidak berbicara kecuali dengan jujur dan tidak memperlebar pembicaraan yang tidak dibutuhkan, tetapi dicukupkan dengan sekedar keperluan. 57 Tahapan Keempat: Mengancam dan menakut-nakuti. Mengancam dan menakut-nakuti adalah usaha terakhir melarang kemungkaran dengan lisan setelahnya diiringi dengan adanya tindakan dari ancamannya tersebut. Tahapan ini dilakukan apabila melarang dengan perkataan yang keras sudah tidak ada lagi bermanfaat bagi pelaku kemungkaran, sehingga pelaku amar ma‟ruf mengancamnya dan menakuti-nakutinya, misalnya dengan mengatakan, “Jika engkau tidak berhenti, sungguh, saya akan memukulmu, atau aku akan 56
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Amar Ma‟ruf nahi Munkar Menurut Ahli Sunnah wal Jama‟ah, (Bogor: Pustaka At-Taqwa, 2009) cet. 2, hal. 192-193. 57
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Amar Ma‟ruf nahi Munkar Menurut Ahli Sunnah wal Jama‟ah, (Bogor: Pustaka At-Taqwa, 2009) cet. 2, hal. 193-194.
laporkan engkau ke penguasa agar engkau dipenjara sehingga engkau dihukum karena perbuatanmu itu. Demikianlah seterusnya dengan menggunakan berbagai cara untuk mengancam dan menakutinya, tetapi harus dalam bantah yang masuk akal dan sesuai syari‟at sehingga pelaku kemungkaran itu mengetahui kebenaran dan kejujuran dari ancamannya itu.58 3. Mengingkari Kemungkaran dengan Hati. Apabila seorang mukmin tidak mampu mengingkari kemungkaran dengan tangan dan lisannya, maka ia mengingkarinya dengan hati dan membenci segala perbuatan mungkar dengan hatinya, marah kepadanya, dan marah kepada pelakunya. Kewajiban mengingkari kemungkaran dengan hati ini tidak pernah gugur dari diri setiap muslim. Pengingkaran dengan hati adalah “selemah-lemah iman”. Apabila hati tidak mengingkari kemungkaran sama sekali, maka tidak ada sesudah itu seberat dzarrah iman. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata, “Mengingkari kemungkaran terkadang dapat dilakukan dengan hati, terkadang dengan lisan, dan terkadang dengan tangannya. Adapun mengingkari dengan hati maka itu adalah wajib setiap keadaan, karena melakukannya tidak menimbulkan bahaya. Barangsiapa tidak melakukannya, maka ia tidak dikatakan mukmin (yang sempurna imannya), sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi SAW, “Yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.” Beliau juga bersabda, “Dan setelah
58
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Amar Ma‟ruf nahi Munkar Menurut Ahli Sunnah wal Jama‟ah, (Bogor: Pustaka At-Taqwa, 2009) cet. 2, hal. 194.
itu tidak ada lagi iman meski hanya sebesar biji sawi.” Dikatakan kepada Ibnu Mas‟ud: Siapakah mayat yang hidup itu? Ia menjawab, „Orang yang tidak mengetahui perbuatan ma‟ruf dan tidak mengingkari kemungkaran.‟ Orang inilah orang yang terfitnah dan dijelaskan sifatnya dalam hadits Hudzaifah.” 59
E. Kaidah- kaidah didalam Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Kaidah-kaidah didalam amar ma‟ruf nahi munkar terbagi kepada beberapa bagian, antaranya adalah: Kaidah Pertama: Syari’at adalah pokok dalam menetapkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Sesungguhnya yang menjadi timbangan dan tolok ukur dalam menentukan sesuatu dapat dikatakan ma‟ruf atau munkar adalah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW dan apa yang menjadi kesepakatan Salafus Salih, dan bukan apa yang dianggap baik oleh manusia dari perkara-perkara yang menyelisihi syari‟at.60 Imam Asy-Syaukânî rahimahullahu memberikan sifat kepada umat Islam dengan perkataannya, “Sesungguhnya mereka menyuruh kepada (perbuatan) yang ma‟ruf dalam syari‟at ini dan melarang dari apa saja yang mungkar. Dalil yang dijadikan sandaran bahwa sesuatu itu adalah ma‟ruf atau mungkar adalah AlKitab (Al-Qur‟ân) dan As-Sunnah. 61
59
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Amar Ma‟ruf nahi Munkar Menurut Ahli Sunnah wal Jama‟ah, (Bogor: Pustaka At-Taqwa, 2009) cet. 2, hal. 195-197. 60
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Amar Ma‟ruf nahi Munkar Menurut Ahli Sunnah wal Jama‟ah, (Bogor: Pustaka At-Taqwa, 2009) cet. 2, hal. 207. 61
Sya‟ban Muhammad Isma‟il, Irsyâdul Fuhûl, Jil. 1, hal. 247.
Dari penjelasan di atas menjadi jelas bahwa menentukan sesuatu sebagai perkara yang ma‟ruf atau munkar bukanlah menjadi hak pelaku amar ma‟ruf nahi munkar, tetapi semua itu kembali kepada apa yang datang dari Al-Qur‟ân dan AsSunnah menurut pemahaman Salafus Salih baik berupa keyakinan, perkataan, dan perbuatan. 62 Kaidah Kedua: Memiliki Ilmu dan Basirah tentang hakikat Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Syaikhul Islam rahimahulahu berkata, “Perbuatannya (pelaku amar ma‟ruf) tidak dikatakan salih (baik) apabila tidak disadari dengan ilmu dan pemahaman (yang benar), sebagaimana dikatakan „Umar bin Abdul Aziz RA, “Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa kerusakannya lebih besar daripada maslahahnya,” Sebagaimana dikatakan pula oleh Mu‟adz bin Jabal RA,
ilmu maka
“Ilmu adalah imamnya amal dan amal mengikuti ilmu.” Ini sangat jelas sekali, karena niat dan perbuatan tanpa ilmu adalah kebodohan, kesesatan, dan mengikut hawa nafsu, dan inilah perbedaan antara orang-orang Jahiliyyah dan kaum Muslimin. Dengan demikian, wajib mengetahui perbuatan ma‟ruf dan perbuatan mungkar serta mampu membedakan keduanya sebagaimana diharuskan pula mengetahui keadaan orang yang disuruh dan orang yang dilarang. 63 Kaidah Ketiga: Mendahulukan yang Paling Penting sebelum yang Penting.
62
Hamud bin Ahmad Ar-Ruhaili, Al-Qâ‟idah Al-Muhimmah fil Amri bil Ma‟ruf wan Nahyi „anil Munkar fii Dhau-il Kitâbi was Sunnah, cet. 1, hal. 6-7. 63
Ibnu Taimiyah, Al-Amru bil Ma‟ruf wan Nahyu „anil Munkar, (Tahqiq: Abu Abdillah Muhammad bin Sa‟ad bin Ruslan), hal. 54-55.
Sesungguhnya memulai dengan perkara yang paling penting kemudian yang penting merupakan kaidah yang harus ada dalam melaksanakan kewajiban amar ma‟ruf nahi munkar, yaitu hendaklah pelaku amar ma‟ruf nahi munkar memulai dengan memperbaiki usul (pokok-pokok) „aqidah. Maka pertama kali ia menyuruh untuk mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah SWT semata dan melarang dari perbuatan syirik, bid‟ah, dan khurafât, kemudian ia menyuruh untuk mendirikan salat, mengeluarkan zakat, kemudian menyuruh untuk melakukan kewajiban-kewajiban lainnya dan meninggalkan perbuatan-perbuatan haram,
kemudian
menyuruh
untuk
melaksanakan
sunnah-sunnah
dan
meninggalkan perkara-perkara yang dimakruhkan.64 Allah SWT telah berfirman didalam surah An-Nahl, ..... 36. Dan sungguhnya kami Telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu",........ Manhaj para Nabi dalam berdakwah adalah mengajak manusia kepada tauhid pertama kali sebelum yang lainnya. Dan hendaklah ia jadikan kesibukannya itu untuk memperbaiki „aqidah dan membersihkannya dari berbagai macam kotoran syirik , bid‟ah, dan maksiat. Ini tidak berarti mengenyampingkan yang lainnya, tetapi yang dimaksud ialah menjadikan perhatian terhadap „aqidah sebagai prioritas utama dalam berdakwah dan amar ma‟ruf nahi munkar.65
64
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Amar Ma‟ruf nahi Munkar Menurut Ahli Sunnah wal Jama‟ah, (Bogor: Pustaka At-Taqwa, 2009) cet. 2, hal. 211. 65
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Amar Ma‟ruf nahi Munkar Menurut Ahli Sunnah wal Jama‟ah, (Bogor: Pustaka At-Taqwa, 2009) cet. 2, hal. 213-214.
Kaidah Keempat: Memikirkan dan Menimbang antara Maslahât dan Mafsadât. Syari‟at Islam dibangun di atas kaidah memperoleh maslahât (kebaikan) dan
menyempurnakannya
dan
mencegah
mafsadât
(kerusakan)
dan
menghilangkan atau meminimalisirnya. Oleh karena itu, diantara kaidah penting dalam amar ma‟ruf nahi munkar ialah memperkirakan maslahât sehingga disyaratkan dalam amar ma‟ruf nahi munkar agar tidak menimbulkan mafsadât yang lebih besar dari kemungkaran dan sebagainya.66 Apabila berkumpul antara Maslahât dan Mafsadât: Apabila berkumpul antara maslahât dan mafsadât atau berkumpul antara kebaikan dan kejahatan, maka wajib menguatkan yang terkuat darinya. Permasalahan maslahât dan mafsadât sangat penting dalam syari‟at Islam khususnya dalam amar ma‟ruf nahi munkar. Kaedah ini dapat diperinci sebagai berikut: 1. Jika
kemaslahâtan
lebih
besar
daripada
mafsadâtnya
maka
disyari’atkan melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata, “Apabila amar ma‟ruf nahi munkar adalah salah satu kewajiban atau anjuran yang paling besar, maka kemaslahâtannya harus lebih kuat daripada mafsadâtnya. Karena dengan hal inilah para Rasul diutus, kitab-kitab diturunkan, dan Allah tidak menyukai kerusakan. Bahkan, segala apa yang diperintahkan Allah adalah kemaslahâtan dan
66
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Amar Ma‟ruf nahi Munkar Menurut Ahli Sunnah wal Jama‟ah, (Bogor: Pustaka At-Taqwa, 2009) cet. 2, hal. 215.
Allah memuji kebaikan dan orang-orang yang melakukan kebaikan dan mencintai orang-orang yang beriman dan melakukan kebajikan. Dan Allah SWT mengecam kerusakan dan orang-orang yang berbuat kerusakan pada tempatnya.67 2. Jika mafsadât lebih besar daripada maslahâtnya maka diharamkan melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Allah SWT melarang mencaci-maki patung yang disembah orang-orang musyrik. Allah SWT berfirman didalam surah Al-An‟âm, ....... 108. Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan....... Dalam ayat ini, Allah melarang mencaci-maki tuhan-tuhan (patung-patung sesembahan) orang musyrik, karena mafsadâtnya besar, yaitu mereka akan mencaci-maki Allah, padahal mencaci-maki tuhan-tuhan sesembahan orang musyrik ada maslahâtnya, akan tetapi menolak bahaya harus didahulukan daripada menarik manfaat.68 Karena mendapatkannya
menolak
mafsadât
kemaslahâtannya.
lebih Syaikhul
didahulukan Islam
Ibnu
daripada Taimiyyah
rahimahullahu berkata, “Apabila amar ma‟ruf nahi munkar itu mencakup hal yang mendatangkan kemaslahâtan dan menolak kemudharatan, maka harus dilihat penentangnya. Jika menyebabkan hilangnya kemaslahâtan atau (mendatangkan) mafsadât yang lebih besar, maka hal itu tidak boleh bahkan menjadi haram, 67
Ibnu Taimiyah, Al-Amru bil Ma‟ruf wan Nahyu „anil Munkar, (Tahqiq: Abu Abdillah Muhammad bin Sa‟ad bin Ruslan), hal. 39. 68
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Amar Ma‟ruf nahi Munkar Menurut Ahli Sunnah wal Jama‟ah, (Bogor: Pustaka At-Taqwa, 2009) cet. 2, hal. 218-219.
apabila mafsadâtnya lebih besar daripada maslahâtnya. Dan tolok ukur maslahât dan mafsadât ialah syari‟at Islam. Kapan saja seseorang mampu melaksanakan perintah syari‟at maka jangan berpaling darinya. Jika tidak, maka hendaklah dia berijtihad untuk mengetahui yang serupa (sama). Dan sedikit sekali orang yang paham (mengetahui) nas-nas dan penunjukannya terhadap hukum.”69 3. Jika mafsadât dan maslahât tampak seimbang, maka amar ma’ruf nahi munkar tidak disyari’atkan. Karena tujuan pensyari‟atan hukum-hukum adalah untuk menolak mafsadât dan mendapatkan maslahât bagi manusia. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu mengatakan, “Jika perkara ma‟ruf dan munkar sama dominan tidak terpisah, maka amar ma‟ruf nahi munkar tidak diperintahkan dan tidak dilarang. Terkadang amar ma‟ruf-lah yang harus dilakukan, dan terkadang nahi munkar-lah yang harus dilakukan. Atau terkadang kedua-duanya tidak dilaksanakan karena kema‟rufan dan kemungkaran tidak terpisahkan.” 70 4. Jika akan menimbulkan mafsadât yang lebih banyak ketika pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar. Hal ini tidak terlepas dari dua keadaan: Pertama: Mesti terjerumus pada salah satunya (seperti simalakama), maka dilaksanakan yang paling sedikit menimbulkan mafsadât untuk menolak yang lebih besar. Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata, “Demikian pula jika dua
69
Ibnu Taimiyah, Al-Amru bil Ma‟ruf wan Nahyu „anil Munkar, (Tahqiq: Abu Abdillah Muhammad bin Sa‟ad bin Ruslan), hal. 47. 70
Ibnu Taimiyah, Al-Amru bil Ma‟ruf wan Nahyu „anil Munkar, (Tahqiq: Abu Abdillah Muhammad bin Sa‟ad bin Ruslan), hal. 48.
keharaman. Tidak mungkin meninggalkan yang lebih besar, kecuali dengan melakukan yang lebih kecil (mafsadâtnya). Melakukan hal itu pada saat seperti ini tidak dikatakan haram secara hakiki, jika hal itu termasuk meninggalkan kewajiban atau melakukan keharaman secara istilah maka tidak mengapa. Dikatakan demikian juga, seseorang yang meninggalkan kewajiban dan mengerjakan keharaman karena maslahât yang lebih besar, darurat, atau mencegah yang lebih haram daripadanya.71 Kedua: Tidak mesti terjerumus pada salah satunya, maka hukumnya ialah berusaha menghindari keduanya, sesuai dengan kaidah fiqhiyyah: “Kemudharatan itu dihilangkan.”
.ل َش ُس َُضَا ُل اَل ه
.ل َش ُس َُضَا ُل ثِ ِي ْنخلِ ِه اَل ه “Kemudharatan itu tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan yang semisalnya.” ل َش ُس َُ ْنذفَ ُع ثِمَ ْنذ ِس ا ِا ْن َ ب ِن اَل ه “Kemudharatan itu dicegah sedapat mungkin.” Demikianlah pentingnya mengenal standar (tolok ukur) maslahât dan mafsadât berkaitan dengan amar ma‟ruf nahi munkar.72 Kaidah Kelima: Tatsabbut (Mencari Kepastian dan Kebenaran) Dalam Setiap Perkara dan Tidak Tergesa-gesa Mengambil Keputusan. Ini adalah sifat yang mesti dimiliki oleh orang yang melakukan amar ma‟ruf nahi munkar. Allah SWT telah memerintahkan kaum Muslimin agar tabayyun (mencari kejelasan) dan bersikap berhati-hati sebelum melakukan pengingkaran.
71
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Amar Ma‟ruf nahi Munkar Menurut Ahli Sunnah wal Jama‟ah, (Bogor: Pustaka At-Taqwa, 2009) cet. 2, hal. 223. 72
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Amar Ma‟ruf nahi Munkar Menurut Ahli Sunnah wal Jama‟ah, (Bogor: Pustaka At-Taqwa, 2009) cet. 2, hal. 224.
Allah SWT berfirman didalam surah Al-Hujurât, 6. Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. Al-Hâfidz Ibnu Katsîr rahimahullahu mengatakan, “Allah SWT memerintahkan meneliti kebenaran berita yang dibawa oleh orang fasik agar berhati-hati darinya supaya tidak menghukumi dengan perkataan orang itu sehingga ia menjadi orang yang dusta dan salah pada masalah tersebut. Dan Allah SWT melarang dari mengikuti jalan orang-orang yang berbuat kerusakan.” 73 Di antara bentuk tatsabbut ialah Al-„Anâh (sabar dan perlahan-lahan), tidak terburu-buru, dan mencari kepastian dari perkara yang terjadi dan kabar yang datang sehingga menjadi benar-benar jelas dan tampak. Maka, menghukumi sesuatu sebagai kemungkaran dengan tatsabbut (meneliti kebenarannya) dan tidak menghukuminya dengan dugaan semata adalah manhaj yang lurus yang sudah seharusnya diperhatikan oleh pelaku amar ma‟ruf nahi munkar sehingga ia selamat dalam agama dan dirinya serta hubungannya dengan orang lain. Rasulullah SAW bersabda,
.اَلته َنٍِ ِ َ َّللا َوال َع َجلَخُ ِ َ ال ه ْنُطَب ِن “Sikap pelan-pelan itu dari Allah dan ketergesaan berasal dari syaitan.”74
73
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Amar Ma‟ruf nahi Munkar Menurut Ahli Sunnah wal Jama‟ah, (Bogor: Pustaka At-Taqwa, 2009) cet. 2, hal. 226. 74
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Amar Ma‟ruf nahi Munkar Menurut Ahli Sunnah wal Jama‟ah, (Bogor: Pustaka At-Taqwa, 2009) cet. 2, hal. 227.
F.
Implikasi Meninggalkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Sesungguhnya Allah SWT telah banyak memberi isyarat kepada mereka
yang mengabaikan perintah amar ma‟ruf nahi munkar dan banyak implikasi dari dalaman dan luaran yang akan timbul di dalam kehidupan manusia kepada mereka yang meninggalkan perintah amar ma‟ruf nahi munkar. Allah SWT telah menceritakan
di
dalam
Al-Qur‟ân
tentang
umat-umat
terdahulu
yang
meninggalkan perintah tersebut sepertimana di dalam surah Al-Maidah, ayat 7879 :75 78. Telah dila'nati orang-orang Kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. 79. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.76
Demikianlah gambaran yang Allah paparkan didalam Al-Qur‟ân. Dan banyak lagi implikasi-implikasi yang akan muncul apabila seluruh manusia mengabaikan perintah ini. Oleh karena keterbatasan ruang didalam penulisan skripsi ini, penulis hanya akan membahaskan secara ringkas implikasi-implikasi yang akan muncul kepada umat manusia jika sekiranya meninggalkan perintah amar ma‟ruf nahi munkar. 75
Salman Fahd Al-Audah, Amar Ma‟ruf Nahi Munkar, Penerjemah: Rakhmat, Abdul Rosyad Shidiq, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993), cet. 1, hal. 29-30.
1. Banyaknya kekejian. Allah SWT memperingatkan kepada mereka dengan firman-Nya : “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak Mengetahui.” (An-Nuur : 19) Apabila sebagian manusia telah bertaklid kepada para pelaku kemungkaran dalam kemungkarannya, kebatilan mulai muncul, dan persoalan tersebut sedikit demi sedikit sudah dianggap remeh oleh jiwa. Sedang manusia diam dan tidak memperdulikannya dan mereka sibuk dengan persoalan yang lebih daripadanya, sementara kemungkaran terus merajalela sampai banyak muncul kekejian, dan menjadi suatu hal yang wajar dimana jiwa sudah menjadi biasa dan mendidik dengannya. Sebaliknya kema‟rufan kian menjadi lemah dan menjadi sesuatu yang asing. Sesungguhnya merupakan akibat yang fatal bila kemungkaran merajalela dan kema‟rufan menjadi sesuatu yang asing. 77
2. Banyaknya kekejian memberikan isyarat akan datangnya azab Ilahi secara umum. Di dalam sebuah hadits, daripada Jarir yang diriwayatkan oleh Abu Dawud berkata :
77
Salman Fahd Al-Audah, Amar Ma‟ruf Nahi Munkar, Penerjemah: Rakhmat, Abdul Rosyad Shidiq, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993), cet. 1, hal. 30-31.
صلهً ه صٍ ََ ْنم ِذسُونَ َعلًَ أَ ْنن َُ َغُِّشُوا ِ َّللاُ َعلَ ْنُ ِه َو َسله َ ََمُى ُل َ ب ِ ْن َس ُج ٍل ََ ُ ىنُ فٍِ لَىْن ٍا َُ ْنع َي ُل فُِ ِه ْن ثِب ْنل َي َعب َ َّللا ِ َسسُى َل ه صبثَهُ ْن ه ) (سواه أثى داود.ة ِ ْن لَ ْنج ِل أَ ْنن ََ ُيىتُىا ٍ َّللاُ ثِ َع َزا َ ََعلَ ْنُ ِه فَ ََل َُ َغُِّشُوا ِ ه أ Artinya : “Tidaklah seseorang yang berada dalam suatu kaum, dia melakukan kemaksiatan, dan mereka mampu mencegahnya namun tidak melakukannya kecuali Allah menimpakan suatu adzab kepada mereka sebelum mereka meninggal dunia.” (HR. Abu Daud).78 Sesungguhnya adanya orang-orang yang mengadakan perbaikan ditengahtengah umat merupakan katup pengaman bagi mereka dan merupakan sebab keselamatannya dari adzab secara umum. Jika orang-orang yang semacam mereka itu sudah tidak ada, sesungguhnya umat – sekalipun di dalamnya ada orang-orang salih – adzab Allah akan menimpa kepada mereka secara merata baik yang salih atau yang mungkar. Karena golongan orang-orang yang salih diam tidak mau melarang perbuatan-perbuatan yang keji, dan mengabaikan syi‟ar amar ma‟ruf nahi munkar. Oleh karena itulah mereka memperolehi adzab. 79
3. Perselisihan dan pertentangan. Sesungguhnya di antara akibat yang paling fatal yang menimpa masyarakat yang mengabaikan amar ma‟ruf nahi munkar adalah berubahnya masyarakat tersebut kepada kelompok-kelompok dan golongan-golongan yang paling bertentangan karena menuruti hawa nafsu, akhirnya terjadilah perselisihan dan pertentangan.
78
Abu Daud Sulaiman bin Al-Asy‟ats Al-Sijistan, Sunan Abu Daud, (Darul Hadist: Kairo, 1998), Kitab Malahim, pada Bab Al Amr wa An-Nahy. 79
Salman Fahd Al-Audah, Amar Ma‟ruf Nahi Munkar, Penerjemah: Rakhmat, Abdul Rosyad Shidiq, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993), cet. 1, hal. 33.
Pertentangan tersebut menjadikan masyarakat tidak berdaya di hadapan musuh ekstern yang sudah menunggunya. 80 Di antara yang menunjukkan kaitan perpecahan dan pertentangan dengan pengabaian terhadap amar ma‟ruf nahi munkar adalah firman Allah SWT : “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali „Imrân : 104) Kemudian setelah ayat tersebut Allah langsung berfirman : “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka....”81 (QS. Ali „Imrân : 105) Di antara bentuk perpecahan yang terjadi di dalam masyarakat akibat meninggalkan syari‟at ini adalah tersebarnya kemungkaran ditengah-tengah manusia seperti rasa iri, dengki, hasud, permusuhan, pertentangan dan bentuk lain adalah perbedaan pandangan, pendapat, perbuatan, ucapan dimana masyarakat itu sendiri saling menghancurkan satu sama lain, dan menghancurkan dirinya dengan tangannya sendiri. Ini adalah termasuk kemungkaran yang paling besar yang wajib untuk dicegah dan diwaspadai. Dan diamnya orang-orang yang berilmu dan para ulama terhadap hal tersebut merupakan faktor penyebab merajalelanya kemungkaran tersebut serta sulitnya untuk mengatasinya. 4. Berkuasanya musuh.
80
Salman Fahd Al-Audah, Amar Ma‟ruf Nahi Munkar, Penerjemah: Rakhmat, Abdul Rosyad Shidiq, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993), cet. 1, hal. 38. 81
Sayyid Qutb, Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân di bawah naungan Al-Qur‟an, Penerjemah: As‟ad Yasin dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2008), cet. ke-6, jil. 3, hal. 184.
Allah SWT terkadang menguji masyarakat yang mengabaikan amar ma‟ruf nahi munkar dengan menguasakan musuh ekstern kepada mereka, mereka disakiti dan gadis-gadisnya diperkosa, dan terkadang dirampas apa yang mereka miliki, dan hartanya diperlakukan oleh pihak musuh.82 Kaum Muslimin dalam sejarahnya telah diberi contoh tentang hal tersebut, barang kali di antaranya adalah apa yang telah terjadi terhadap kaum Muslimin di Andalus (Spanyol), dimana keperkasaan dan kekuatannya telah berubah – disaat kemungkaran
merajalela
ditengah-tengah
mereka
dan
tidak
ada
yang
mencegahnya akhirnya menjadi kehinaan. Direndahkan dan dihinakan oleh orangorang nasrani, sampai para raja dan pemimpinnya dijual di pasar budak. 5. Tidak terkabulnya do’a. Sedangkan kaum Muslimin yang mengabaikan syiar amar ma‟ruf nahi munkar disaat ditimpa azab, mereka berlindung kepada Allah SWT dan berdo‟a kepada-Nya akan tetapi doanya tersebut tidak termakbul sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW :83 ُوف َولَتَ ْنهَ ُى هن َع ْن ا ْنل ُي ْن َ ِش أَوْن لَُُى ِش َ ه ه َ َّللاُ أَ ْنن ََ ْنج َع ُج َعلَ ْنُ ُ ْن ِعمَبثًب ِ ْنهُ حُ ه تَ ْنذعُىنَه ِ َواله ِزٌ نَ ْنف ِسٍ ِثَُ ِذ ِه لَتَ ْن ُ ش هُن ِثب ْنل َي ْنعش .)ٌَف ََل َُ ْنس َت َجبةُ َل ُ ْن (سواه التش ُز Artinya : “Demi jiwaku berada ditangan-Nya, hendaklah kalian menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran, atau Allah akan menurunkan kepada kalian hukuman atasnya kemudian kalian berdo‟a kepada-Nya dan Dia tidak mengabulkan-Nya bagi kalian.”84
82
Salman Fahd Al-Audah, Amar Ma‟ruf Nahi Munkar, Penerjemah: Rakhmat, Abdul Rosyad Shidiq, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993), cet. 1, hal. 40-41. 83
Salman Fahd Al-Audah, Amar Ma‟ruf Nahi Munkar, Penerjemah: Rakhmat, Abdul Rosyad Shidiq, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993), cet. 1, hal. 41-42. 84
Abu Isa Muhammad bin Isa bin Suroh, Sunan At-Tarmidzi, (Beirut, Dar Al-Fikr, 1994)
Maka jelaslah kepada umat Islam dengan berdalilkan daripada sumber hadits Rasulullah di atas, maka wajib ke atas umat Islam menjalankan amar ma‟ruf nahi munkar mengikut kesesuaian kemampuan masing-masing yang harus dilaksanakan. 6. Krisis Ekonomi. Krisis ekonomi telah melanda masyarakat yang mengabaikan amar ma‟ruf nahi munkar, kemiskinan bertambah, dan mereka merasakan petaka seperti sulitnya mencari rizki. Pada sebagian masyarakat Islam krisis telah mencapai pada suatu tingkat kemiskinan yang memperhatinkan, sampai seseorang bersusah payah mencari sesuap nasi namun tidak mendapatkannya, yang membuat dirinya menjadi butuh terhadap
apa
yang
ada
ditangan orang-orang
nasrani
yang
berupaya
mengkristenkan orang-orang Muslim. Kemudian hal tersebut mengakibatkan seorang Muslim menjadi termakan oleh Kristenisasi – na‟udzubillah – khususnya kesibukan mencari sesuap nasi itu terkadang bisa melalaikan banyak orang dari persoalan dien yang mengakibatkan dia lari dan meremehkannya. Demikianlah kemungkaran, merupakan suatu mata rantai yang saling kait mengait antara yang satu dengan yang lain sampai penderitanya jatuh tersungkur. 7. Tenggelam dalam syahwat. Meninggalkan amar ma‟ruf nahi munkar bisa mengakibatkan terjerumus kedalam syahwat dan tenggelam kedalamnya. Demikianlah keadaannya, menjadikan menusia terpaut dengan dunia, berjiwa lemah dan loyo.
Adapun pemuda yang menuruti syahwatnya dan menyimpang, anda akan melihatnya tenggelam didalam syahwat dan keinginannya, tidak bersungguhsungguh dalam menggapai ilmu dan kurang perhatian, karena dia hanya memikul keinginan hawa nafsunya. Akhirnya merugikan dan menjadi bencana bagi umat. Dan di dalam masyarakat Muslim sudah tidak diragukan lagi bahwa meninggalkan amar ma‟ruf nahi munkar merupakan sebab tenggelamnya putraputra mereka dalam kelezatan hawa nafsu yang menghalangi mereka dari perkaraperkara yang mulia. 85 Ulasan Penulis : Demikian itu, kita harus memperhatikan kenyataan yang terjadi di tengahtengah umat Islam sekarang ini, kelengahan para ulama, penguasa, da‟i-da‟i dan masyarakat mereka terhadap amar ma‟ruf nahi munkar. Meskipun keadaan amar ma‟ruf lebih baik daripada nahi munkar menurut para ulama dan para da‟i khususnya, apalagi di dalam penyeruan kebaikan itu tidak diikuti pelarangan terhadap kemungkaran. Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullahu- berkata; Jika kesepakatan agama dan seluruh kekuasaan itu berada pada perintah dan larangan. Maka perintah dengan diutus Rasul-Nya adalah amar ma‟ruf. Dan larangan dengannya diutus Rasul-nya adalah nahi munkar. Ini merupakan sifat para nabi-nabi alaihi
85
Salman Fahd Al-Audah, Amar Ma‟ruf Nahi Munkar, Penerjemah: Rakhmat, Abdul Rosyad Shidiq, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993), cet. 1, hal. 43-45.
salam dan orang-orang mukmin, 86 sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT: 71. Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma‟ruf, mencegah dari yang munkar, (At-Taubah: 71)
86
Saleh bin Abdullah Darwis, Konsep Amar Ma‟ruf Nahi Munkar dan Realisasinya di Dunia Modern, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya), 1996, hal. 58-59.
BAB III MENGENAL SAYYID QUTB DAN TAFSIR FÎ ZILÂL AL-QUR’ÂN A. Riwayat Hidup Sayyid Qutb Nama lengkapnya adalah Sayyid Qutb Ibrahim Husain Syadzili. Lahir di Mausyah, salah satu wilayah Provinsi Asyuth, di dataran tinggi Mesir. Beliau lahir pada tanggal 9 Oktober 1906.87 Sayyid Qutb tumbuh dalam lingkungan Islami, dan menghabiskan masa kanak-kanaknya dalam asuhan keluarga beriman, lalu tumbuh dewasa di tengah saudara-saudara yang terhormat. Ayahnya adalah seorang mukmin yang bertakwa, yang begitu bersemangat untuk menunaikan kewajiban-kewajiban agama, bergegas untuk menggapai keridhaan Allah serta menjauhi segala yang bisa mendatangkan kemurkaan dan siksa-Nya. Demikian juga ayah Sayyid memilik status sosial yang tinggi di wilayah itu. Para penduduk memandangnya dengan penuh penghargaan dan penghormatan serta menjadikannya sebagai pemimpin untuk memecahkan berbagai persoalan. Ia mempunyai usia yang cukup panjang, sampai akhirnya ia menemui Tuhannya ketika sang putranya Sayyid, sedang melanjutkan studinya di Kairo. Sang ibunya seorang wanita salihah. Ia bersemangat untuk melakukan kebaikan, bersikap lembut terhadap orang-orang miskin dan orang-orang yang membutuhkan serta senantiasa taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan berbagai amal salih. Ia membantu suaminya untuk mendidik anak-anak dengan
87
M, h. 12.
Majalah Al-Muslimûn, edisi ke-11, tanggal 13 Rabi‟ul Awal 1402 H./18 Januari 1982
pendidikan Islami dan menanamkan nilai-nilai agama dan prinsip-prinsipnya didalam hati mereka. Sang bunda juga menanamkan kepada mereka sifat-sifat yang mulia, seperti kejujuran dan keikhlasan, kebersihan dan kesucian, keperkasaan dan kemuliaan. Ibunya dikarunia usia yang panjang sehingga bisa melihat putranya Sayyid ketika menjalani kehidupannya sebagai seorang sastrawan dan pegawai, dan pernah juga hidup bersama di Kairo beberapa lama. Ibunya mangkat ke sisi Penciptanya pada tahun 1940 M.88 Sayyid Qutb hidup ditengah-tengah lima saudara kandung, dan Sayyid adalah anak yang ketiga. Saudara-saudara kandung Sayyid adalah Nafisah, Aminah, Muhammad dan Hamidah. 89 Sayyid menempuh pendidikan dasarnya di desa. Di desanya itu pula ia menamatkan hafalan Al-Qur‟ânnya dalam usia yang masih belia, karena belum melampaui usia sebelas tahun. Al-Qur‟ân (yang dihafalnya
semenjak
kecil)
mempunyai
pengaruh
yang
besar
dalam
mengembangkan kemampuan sastra dan seninya dalam usia yang masih muda. 90 Setelah terjadinya Revolusi Rakyat Mesir pada tahun 1919 melawan pendudukan Inggeris, Sayyid Qutb berangkat dari desanya menuju Kairo untuk melanjutkan studi di sana. Pada tahun 1930, Sayyid masuk sebagai mahasiswa di Institut Darul Ulum (Kuliyat Dar Al-Ulum), setelah sebelumnya menyelesaikan tingkat tsanawiyah (tingkat menengah) dari Tajhiziyah Darul-Ulum, kemudian lulus dari perguruan
88
Sayyid Qutb Asy-Syahid Al-Hayy( Studi tentang desa, keluarga, ayah, ibu, pertumbuhan, dan pendidikan Sayyid) 89
Majalah Al-Mujtama‟, Kuwait , edisi ke-551, tanggal 7 November 1981, hal. 23.
90
Sayyid Qutb Asy-Syahid Al-Hayy, topik tentang saudara-saudara Sayyid, hal. 80-87.
tersebut pada tahun 1933 dengan meraih gelaran Lc. dalam bidang sastra dan diploma dalam bidang tarbiyah. Ketika menjadi mahasiswa di Darul-Ulum, Sayyid sudah mempunyai kegiatan sastra, politik, dan pemikiran yang nyata. Sayyid mengkoordinasi sebuah simposiun kritik sastra, memimpin perang kesustraan, serta memilih sejumlah teman mudanya yang menjadi sastrawan, menerbitkan sajak-sajak maupun esaiesainya di berbagai koran dan majalah, serta menyampaikan ceramah-ceramah kritisnya di mimbar fakultas. 91 Setelah lulus kuliah, Sayyid bekerja di Departmen Pendidikan dengan tugas sebagai tenaga pengajar di sekolah-sekolah milik Departmen Pendidikan selama enam tahun : setahun di Suwaif, setahun lagi di Dimyat, dua tahun di Kairo, dan dua tahun di Madrasah Ibtida‟iyah Halwan, di daerah pinggiran kota Halwan, yang kemudian menjadi tempat tinggal Sayyid bersama-sama saudarasaudaranya. Pada tahun 1948, kementerian mengirim Sayyid ke Amerika Serikat untuk suatu tugas ilmiyah, untuk belajar tentang metode-metode pengajaran dan saranasarana di sana secara lahiriah, dan sebenarnya untuk tujuan ganda, yaitu pertama, melepaskan diri dari Sayyid dan kedua, untuk merusakkan dan menyesatkan Sayyid.92 Akan tetapi dengan Taufiq Allah SWT dan pemeliharaan-Nya, sia-sialah apa yang diinginkan oleh mereka yang membuat rencana makar seperti itu, kerana di sana Sayyid Qutb justru semakin tinggi imannya dan semakin kuat dalam
91 92
Sayyid Qutb Asy-Syahid Al-Hayy, topik tentang saudara-saudara Sayyid, hal. 88-93.
Salah Abdul Fattah Al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân, Penerjemah : Salafuddin Abu Sayyid, (Perpustakaan Nasional RI : KDT), h. 30.
berpegang kepada agamanya. Sayyid justru menelanjangi Amerika dengan segala peradaban dan cara-caranya, membongkar kerusakan dan kebobrokannya, serta menghapus struktur dan masyarakatnya bertolak dari pijakan Islami yang murni sesuai dengan konsepsi Islami yang lurus. Sekembali beliau dari Amerika, beliau mencurahkan seluruh waktunya untuk dakwah Islamiyyah dan harakah serta untuk studi dan mengarang.93 Pada tahun tiga puluhan, perhatian Sayyid adalah dalam bidang sastra dan kritik sastra ; perspektif-perspektif beliau adalah filsafat yang mendalam; sajaksajak beliau bernuansa sentimental emosional; dan esai-esai beliau beraroma kritik yang tajam. Sayyid mempublikasikannya dalam majalah Ar-Risalah dan utamanya Ats-Tsaqafah, juga di berbagai koran dan majalah lainnya yang bernuansa sastra maupun politik.94 Sayyid Qutb adalah murid Abas Al-Aqqad dalam bidang sastra. Sayyid menyatakan sendiri hal ini dengan terus terang. Sayyid masih terus menjadi murid yang murni dan anggota aktif dalam aliran sastra dan pemikiran Al-Aqqad dalam waktu yang cukup lama, sampai akhirnya secara bertahap Sayyid menjauhi paham Al-Aqqad karena sebab-sebab yang bersifat sastra, pemikiran maupun ilmiyah. Sayyid keluar darinya pada pertengahan tahun empat puluh untuk membentuk fahamannya tersendiri dalam bidang sastra, kritik, pemikiran maupun kehidupan. Sebuah paham yang ia sendiri sebagai pionernya yang autentik. Namun Sayyid
93
Sayyid Qutb Asy-Syahid Al-Hayy, topik tentang saudara-saudara Sayyid, hal. 94-98.
94
Sayyid Qutb Asy-Syahid Al-Hayy, topik tentang saudara-saudara Sayyid, hal. 116-117.
tidak ditakdirkan untuk melanjutkan hal itu, karena dia mesti melepaskannya mengingat adanya perubahan perhatiannya Sayyid.95 Pada pertengahan tahun empat puluhan, Sayyid mengkaji Al-Qur‟ân dengan pendekatan sastranya serta meresapi dengan sentuhan keindahannya. Sayyid pun menyebarkan pemikirannya yang unik mengenai ilustrsi artistik dalam Al-Qur‟ân (at-tasywir al-fanni fil Qur‟ân). Selanjutnya Sayyid mengkaji AlQur‟ân dengan pendekatan pemikiran (fikrah), lalu menelurkan pemikirannya mengenai keadilan sosial dalam Islam. Sesudah itu Sayyid beralih dari sastra, kritik, sajak, dan narasi menuju kepada pemikiran Islami dan amal Islami, dakwah (seruan) kepada reformasi (islah), serta memerangi kerusakan dengan pijakan Islam. Akhirnya dengan begitu berani dan tegas, beliau memerangi indikasiindikasi kerusakan politik dan sosial serta melontarkan dakwaan-dakwaan terhadap kelompok-kelompok destruktif. 96 Ketika Sayyid bergabung dengan Jamaah Ikhwanul Muslimin, beliau menjadi anggota aktif (amil) di dalam jamaah ini, dengan ikut serta dalam berbagai kegiatannya secara aktif, menulis berbagai artikel keislaman yang cukup berani di berbagai koran dan majalah, serta menyiapkan berbagai kajian dan studi umum keislaman.97 Sesudah tidak ada lagi bahaya bagi Jamaah, dan Jamaah telah kembali aktif melakukan aktivitasnya secara terbuka serta telah memilih kepimpinan yang
hal. 135.
95
Sayyid Qutb Asy-Syahid Al-Hayy, topik tentang saudara-saudara Sayyid, hal. 99-110.
96
Sayyid Qutb Asy-Syahid Al-Hayy, topik tentang saudara-saudara Sayyid, hal. 113.
97
Sayyid Qutb Asy-Syahid Al-Hayy, Sayyid Quthb dengan jamaah Ikhwanul Muslimin,
baru, maka Sayyid Qutb menjadi salah satu anggota Maktab Irsyad „Am dan juga menjadi ketua seksi penyebaran dakwah. 98 Sayyid Qutb ikut berpartisipasi di dalam memproyeksikan revolusi serta ikut berpartisipasi secara aktif dan berpengaruh pada pendahuluan revolusi. Sayyid mengarahkan Ikhwanul Muslimin – baik dari kalangan sipil maupun militer – agar menjadi pendukung revolusi. 99 Ketika Ikhwan untuk pertama kalinya berlawanan dengan pemerintah Revolusi pada awal tahun 1954, maka Sayyid Qutb merupakan orang Ikhwan yang ditangkap dalam urutan depan. Sesudah terjadinya drama peristiwa AlManshiyah di Iskandaria, yang Ikhwan dituduh berupaya membunuh Abdul Nasir, sehingga menyebabkan ditangkapnya puluhan ribu anggota Ikhwan, maka Sayyid Qutb juga termasuk deretan awal yang ditangkap. Sayyid bersama Ikhwan lainnya di penjara, diterima berbagai jenis siksaan yang buas, yang membuat badan merinding bila mendengarnya. Mahkamah Revolusi menjatuhkan hukuman penjara lima belas tahun, lalu Sayyid dipindah ke Penjara Liman Thurrah untuk dihabiskan masa hukumannya. Namun ketika kesehatan Sayyid mulai memburuk, mereka pun memindahkan Sayyid ke rumah sakit penjara. Di situ Allah SWT menakdirkan Sayyid untuk bisa memperoleh sarana-sarana untuk menulis. Akhirnya Sayyid bisa menulis sejumlah kajian keislaman yang bernuansa pergerakan yang begitu matang dan dikategorikan sebagai pioner pemikiran Islami kontemporer. 98
Salah Abdul Fattah Al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân, Penerjemah : Salafuddin Abu Sayyid, (Perpustakaan Nasional RI : KDT), h. 32. 99
hal. 140.
Sayyid Qutb Asy-Syahid Al-Hayy, Sayyid Quthb dengan jamaah Ikhwanul Muslimin,
Setelah Sayyid menjalani hukuman penjara sepuluh tahun, maka pada tahun 1964, pemimpin Irak, Abdul Salam Arif, berkunjung ke Mesir. Pemimpin Irak ini kemudian berupaya mendesak Abdul Nasir agar membebaskan Sayyid dari dipenjarakan. Sayyid pun kemudian bisa keluar dari penjara. Namun tak lama kemudian Sayyid kembali lagi ke penjara dengan tuduhan yang baru. Hal itu terjadi pada tahun 1965, ketika Abdul Nasir – dari Moskowmengumumkan tersingkapnya konspirasi yang dikoordinasi oleh Ikhwanul Muslimin di bawah komando Sayyid Qutb untuk menjatuhkan kekuasaannya serta merobohkan negeri Mesir. Maka para aparat negera dan kepolisian segera melakukan penangkapan terhadap Ikhwanul Muslimin, serta teman-teman dan kerabat-kerabat mereka. Dan Sayyid Qutb adalah yang pertama ditangkap. 100 Setelah dilakukan penyiksaan sadis terhadap mereka yang barangkali tidak bisa ditanggung, maka Mahkamah Revolusi menjatuhkan hukuman gantung sampai mati terhadap Sayyid Qutb, dan juga terhadap dua tokoh pergerakan Islam di Mesir, yaitu Abdul Fatah Ismail dan Muhammad Yusuf Hawwasy. Pada fajar Senin, 29 Agustus 1966, Sayyid Qutb dan beberapa anggota Ikhwanul Muslimin yang lain dijatuhkan hukuman gantung sampai mati di sebuah tempat yang tidak diketahui oleh sesiapa termasuklah adiknya yaitu Muhammad Qutb.101
100
Salah Abdul Fattah Al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân, Penerjemah : Salafuddin Abu Sayyid, (Perpustakaan Nasional RI : KDT), hal. 33-34. 101
Zainuddin Hashim dan Riduan Mohamad Nor, Tokoh-tokoh Gerakan Islam Abad Moden, hal. 191.
Menurut pendapat Abul Hasan An-Nadawi, kehidupan Sayyid Qutb terbagi menjadi lima tahapan :102 1. Tumbuh dalam tradisi-tradisi Islam di desa dan rumahnya. 2. Beliau berpindah ke Kairo, sehingga terputuslah hubungan antara dirinya dengan pertumbuhannya yang pertama, lalu wawasan keagamaan dan akidah Islamiyahnya menguap. 3. Sayyid mengalami periode kebimbangan mengenai hakikat-hakikat keagamaan sampai batas yang jauh. 4. Sayyid menelaah Al-Qur‟ân kerana dorongan-dorongan yang bersifat sastra. 5. Sayyid memperoleh pengaruh dari Al-Qur‟ân dan dengan Al-Qur‟ân itu ia terus meningkat secara gradual menuju iman. Adapun kehidupan Islami Sayyid Qutb terbagi kepada empat fase103 : 1. Fase keislaman yang bernuansa seni. Fase ini bermula dari pertengahan tahun empat puluhan, kira-kira saat Sayyid mengkaji Al-Qur‟ân dengan maksud merenunginya dari aspek seni serta meresapi keindahannya. 2. Fase keislaman umum. Fase ini dimulai pada seperempat terakhir dari tahum empat puluhan, kurang lebih ketika Sayyid mengkaji Al-Qur‟ân dengan tujuan studi-studi pemikiran yang jeli serta pandangan reformasi
102
Salah Abdul Fattah Al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân, Penerjemah : Salafuddin Abu Sayyid, (Perpustakaan Nasional RI : KDT), hal. 39. 103
Salah Abdul Fattah Al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân, Penerjemah : Salafuddin Abu Sayyid, (Perpustakaan Nasional RI : KDT), hal. 39.
yang mendalam. Di sini Sayyid hendak memahami dasar-dasar reformasi sosial dan prinsip-prinsip solidaritas sosial dalam Islam. 3. Fase amal Islami yang terorganisasi. Yaitu fase ketika Sayyid bergabung di dalam Jemaah Ikhwanul Muslimin, memahami Islam secara menyeluruh: pemikiran dan amalan, akidah dan perilaku serta wawasan dan jihad. Fase ini dimulai sekembalinya Sayyid dari Amerika sampai beliau
bersama sahabat-sahabatnya dimasukkan ke penjara pada
penghujung tahun 1954. 4. Fase jihad dan gerakan. Yaitu fase yang ia tenggelam dalam konflik pemikiran dan praktik nyata dengan kejahilian dan ia lalui di dalamnya dengan praktik jihad yang nyata. Melalui hal ini tersingkaplah metode pergerakan (al-manhâj al-Harakî) bagi agama ini dan realitasnya yang signifikan dan bergerak melawan kejahiliahan, serta tersingkap pula rambu-rambu yang jelas di jalan menuju Allah. Fase ini bermula sejak Sayyid dijebloskan ke dalam penjara pada penghujung tahun 1954, dan terus mendarah daging –ketika ia di penjara- hingga penghujung tahun 50an, lalu menjadi matang dan memberikan buahnya yang matang pada tahun 60-an. 104
104
Salah Abdul Fattah Al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân, Penerjemah : Salafuddin Abu Sayyid, (Perpustakaan Nasional RI : KDT), hal. 40.
B. Mengenal Tafsir Fî Zilâl Al-Qur’ân dan Sejarah Penulisan Tafsirnya. Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân yang dikarang oleh Sayyid Qutb melewati empat tahapan. Masing-masing tahapan yang dibicarakan sebagai berikut105 : Tahapan Pertama : Fî Zilâl Al-Qur’ân dalam Majalah Al-Muslimûn. Pada penghujung tahun 1951, Sa‟id Ramadhan menerbitkan majalah AlMuslimûn, sebuah majalah pemikiran Islam yang terbit bulanan. Pemilik majalah ini memohon kepada Sayyid Qutb agar ikut berpartisipasi dengan menulis artikel bulanan. 106 Disini
terbukalah
keinginan
Sayyid
yang
terpendam
itu
serta
memungkinkan untuk mewujudkan angan-angan yang tersimpan. Mulailah ia menafsirkan Al-Qur‟ân dengan judul yang unik dan sensasional, yaitu Fî Zilâl AlQur‟ân (Di Bawah Naungan Al-Qur‟ân). Episod pertamanya dimuat dalam majalah Al-Muslimûn edisi ketiga yang terbit bulan Februari 1952, dimulai dari tafsir surah Al-Fâtihah, dan diteruskan dengan
surah
Al-Baqarah
dalam
episode-episode
berikutnya.
Sayyid
mempublikasikan tulisannya dalam majalah ini sebanyak tujuh episode dalam tujuh edisi secara berurutan.107 Tafsir beliau ini sampai pada Firman Allah SWT ;
105
Salah Abdul Fattah Al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân, Penerjemah : Salafuddin Abu Sayyid, (Perpustakaan Nasional RI : KDT), hal. 54. 106 107
Fî Zilâl Al-Qur‟ân, cetakan Kedua nonrevisi, hal. 5-7.
Lihat episode-episode ini dalam majalah Al-Muslimun (edisi ketiga, hal. 28-32), (edisi keempat, hal. 19-27), (edisi kelima, hal. 17-26), (edisi keenam, hal. 13-22), (edisi ketujuh, hal. 2530), (edisi kedelapan, hal. 24-34), (edisi kesembilan, hal. 11-15).
103. Sesungguhnya kalau mereka beriman dan bertakwa, (niscaya mereka akan mendapat pahala), dan Sesungguhnya pahala dari sisi Allah adalah lebih baik, kalau mereka Mengetahui.(Al-Baqarah : 103)108 Tahap Kedua : Fî Zilâl Al-Qur’ân Menjelang Ditangkapnya Sayyid Qutb. Sayyid Qutb pada akhir episode ketujuh dalam majalah Al-Muslimûn mengumumkan perberhentian episode ini dalam majalah, karena beliau akan menafsirkan Al-Qur‟ân secara utuh dalam sebuah kitab (tafsir) tersendiri, yang akan beliau luncurkan dalam juz-juz yang bersambung. Dalam pengumumannya tersebut Sayyid mengatakan , “Dengan kajian (episode ketujuh) ini, maka berakhirlah serial dalam majalah Al-Muslimûn. Sebab Fî Zilâl Al-Qur‟ân akan dipublikasikan tersendiri dalam tiga puluh juz secara bersambung, 109 dan masingmasing episodenya akan diluncurkan pada awal setiap dua bulan, di mulai dari bulan September mendatang dengan izin Allah, yang akan diterbitkan oleh Dar Ihya‟ Al-Kutub Al-Arabiyah milik Isa Al-Halabi & Co. Sedangkan majalah AlMuslimûn mengambil tema lain dengan judul Nahwa Mujtama‟ Islami (Menuju Masyarakat Islami).110Juz pertama dari Fî Zilâl Al-Qur‟ân ini terbit pada bulan Oktober 1952.111 Sayyid Qutb memenuhi janjinya kepada para pembaca, sehingga beliau meluncurkan satu juz dari Fî Zilâl Al-Qur‟ân setiap dua bulan. Bahkan terkadang 108
Sayyid Qutb, Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân di bawah naungan Al-Qur‟an, Penerjemah: As‟ad Yasin dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2008), cet. ke-6, jil. 1, hal. 172. 109
Salah Abdul Fattah Al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân, Penerjemah : Salafuddin Abu Sayyid, (Perpustakaan Nasional RI : KDT), hal. 55. 110
Majalah Al-Muslimûn, vol. I, edisi kesembilan, Juli 1952, hal. 15. Selanjutnya AlMuslimûn menerbitkan dua episode pada edisi keempat, Februari 1954, hal. 33-40, dan edisi kelima, Maret 1954, hal. 21-28, berupa tafsir surah Al-Anfal. 111
Majalah Al-Kitab, vol. XI, edisi ke-9, November 1952, hal. 1137. Saya telah melakukan perbandingan antara Zilâl dalam majalah Al-Muslimun dengan Zilâl yang dicetak dalam kitab tersendiri dengan tujuan mengetahui perbedaan-perbedaan antara keduanya. Akhirnya saya dapatkan bahwa Zilâl yang dicetak itu adalah Zilâl yang sebelumnya diterbitkan dalam majalah tersebut. Perbedaan antara keduanya tidak lebih dari penggantian ungkapan atau kalimat.
lebih cepat dari waktu yang ditargetkan. Pada periode antara Oktober 1952 dan Januari 1954, beliau telah meluncurkan enam belas juz dari Fî Zilâl Al-Qur‟ân.112 Pada periode ini sebenarnya Sayyid Qutb tidak mencurahkan sepenuhnya untuk menafsirkan Al-Qur‟ân. Akan tetapi kehidupan beliau diisi dengan pelbagai aktivitas dan gerak, berpikir dan menulis, serta dialog dan ceramah. Tahap Ketiga : Sayyid Qutb Menyempurnakan Fî Zilâl Al-Qur’ân dalam Penjara. Sayyid Qutb berjaya menerbitkan enam belas juz dari Fî Zilâl Al-Qur‟ân sebelum beliau dipenjara. Kemudian beliau dijebloskan ke dalam penjara untuk pertama kalinya, dan tinggal di dalam penjara itu selama tiga bulan, terhitung dari bulan Januari hingga Maret 1954. Ketika didalam penjara itu, beliau menerbitkan dua juz yaitu juz ketujuh belas dan delapan belas. 113 Setelah beliau keluar dari penjara, beliau tidak meluncurkan juz-juz yang baru karena banyaknya kesibukan yang tidak menyiksakan waktu sedikitpun untuk beliau. Di samping itu, beliau belum sempat tinggal agak lama di luar penjara. Sebab tiba-tiba dengan begitu cepat beliau dijebloskan kembali ke dalam penjara bersama puluhan ribu personel Jamaah Ikhwanul Muslimin pada bulan November 1954 setelah “sandiwara” insiden Al-Mansyiyah di Iskandaria. Setelah beliau dihadapkan ke pengadilan, akhirnya beliau dijatuhi hukuman penjara lima
112 113
Sayyid Qutb Asy-Syahid Al-Hayy, hal. 241.
Salah Abdul Fattah Al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân, Penerjemah : Salafuddin Abu Sayyid, (Perpustakaan Nasional RI : KDT), hal. 57.
belas tahun. Beliau kemudian mengkonsentrasikan untuk menyempurnakan tafsirnya dan menulis juz-juz Fî Zilâl Al-Qur‟ân berikutnya.114 Milieu Tempat Sayyid Menulis Fî Zilâl Al-Qur’ân. Di dalam penjara, beliau hidup penuh dengan siksaan dan kesempitan. Akan tetapi Allah SWT memberikannya taufik sehingga beliau mengerti bagaimana mesti mengambil faedah darinya. 115 Sayyid Qutb menjadikan penjaranya sebagai tempat pengasingan yang beliau gunakan untuk menyendiri, bermunajat kepada Tuhannya, mendedikasikan diri kepada Al-Qur‟ân, hidup di bawah naungan Al-Qur‟ân dengan penuh berkah dan ketenteraman, bergerak dengan Al-Qur‟ân secara riil, menyingkap penunjuk-penunjuk jalan menuju Allah dengan cahaya Al-Qur‟ân, serta memperdalam hubungannya dengan Allah melalui Al-Qur‟ân itu.116 Dari milieu yang kita gambarkan itulah Sayyid menyelesaikan penulisan tafsir Al-Qur‟ân dan selesai dari mengarang sebuah Tafsirnya Fî Zilâl Al-Qur‟ân. Dalam Fî Zilâl Al-Qur‟ân, Sayyid menjelaskan suatu masa kehidupannya di bawah naungan Al-Qur‟ân serta perubahan pemahamannya terhadap Al-Qur‟ân dari makna-makna konseptual menuju hakikat-hakikat (kenyataan) yang dapat dirasakan dan dialami, serta interaksi beliau dengan rahmat Allah SWT yang ditunjukkan oleh ayat.117 114
Salah Abdul Fattah Al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân, Penerjemah : Salafuddin Abu Sayyid, (Perpustakaan Nasional RI : KDT), hal. 57-58. 115
Salah Abdul Fattah Al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân, Penerjemah : Salafuddin Abu Sayyid, (Perpustakaan Nasional RI : KDT), hal. 60. 116
Salah Abdul Fattah Al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân, Penerjemah : Salafuddin Abu Sayyid, (Perpustakaan Nasional RI : KDT), hal. 62. 117
Salah Abdul Fattah Al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân, Penerjemah : Salafuddin Abu Sayyid, (Perpustakaan Nasional RI : KDT), hal. 64.
Fî Zilâl Al-Qur’ân Edisi Revisi. Telah disebutkan oleh penulis tafsir beliau ini belum mencukupi sebagai suatu rekaman mengenai berbagai macam pemikiran beliau seputar ayat-ayat AlQur‟ân; penjelasan mengenai keindahan, seni, dan ilustrasi yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur‟ân serta pemaparan mengenai prinsip-prinsip, metode-metode, dan aturan-aturan yang dikandungnya. Beliau
menemukan
perbendaharaan-perbendaharaan
ini
ketika
menafsirkan Al-Qur‟ân dan setelah menyelesaikan babak yang cukup panjang dalam menafsirkannya, yang telah sampai pada juz kedua puluh tujuh. Beliau harus mengulang kembali pandangannya dalam menafsirkan Al-Qur‟ân, harus menyusun berdasarkan persepsinya yang baru, harus bertolak dari pijakan baru di atas petunjuk perhatian-perhatian beliau yang baru, serta harus memasukkan pemahamannya yang baru mengenai Islam, konsepsinya mengenai dakwah, serta metodenya dalam melakukan gerakan Islam. Demikianlah yang terjadi. Sayyid lalu menafsirkan tiga juz terakhir sesuai dengan metodenya pergerakan yang baru. Kemudian beliau menetapkan untuk mengulang pandangannya di dalam menafsirkan juz-juz pertama serta memformat kembali Fî Zilâl Al-Qur‟ân berdasarkan asas metode pergerakannya di dalam memahami Al-Qur‟ân dan bergerak dengannya, serta melakukan revisi terhadapnya. Akhirnya lahirlah edisi baru yang direvisi dari Fî Zilâl Al-Qur‟ân. Ini merupakan edisi kedua yang terbit di Mesir pada masa hidup Sayyid, sebab
edisi pertama terbit pada tahun 1951, dan penyempurnaan edisi pertama ini terbit pada tahun 1953.118
C. Metode dan Corak Tafsir Fî Zilâl Al-Qur’ân. Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân merupakan sebuah tafsir tentang kehidupannya di bawah sinar Al-Qur‟ân dan petunjuk Islam. Pengarangnya hidup di bawah naungan Al-Qur‟ân yang bijaksana sebagaimana dapat difahami dari penamaan terhadap kitabnya dari muqaddimah yang terdapat di dalamnya. Dalam muqaddimah tafsirnya ia menyatakan, “Akhirnya sampailah aku dalam masa hidupku –di bawah naungan AlQur‟ân- kepada keyakinan yang pasti bahwa tidak ada kebaikan dan kedamaian bagi bumi ini, tidak ada kesenangan bagi manusia, tidak ada ketenangan bagi manusia, tidak ada ketinggian, keberkahan, dan kesucian, dan tidak ada keharmonisan antara undang-undang alam dengan fitrah kehidupan melainkan dengan kembali kepada Allah.”119 Ini menggambarkan kepada kita bahwa betapa pengarang meyakini dan berpegang teguh dengan Al-Qur‟ân sebagai pedoman hidup sehingga ia dapat melahirkan dan menginterpretasikan maksud dan pemahaman Al-Qur‟ân dalam bentuknya yang tersendiri sesuai dengan kondisinya ketika itu. Kitab ini telah mengalami cetak ulang beberapa kali hanya dalam beberapa tahun saja, karena mendapat sambutan baik dari orang-orang terpelajar.120 Sebagaimana kebanyakan kitab tafsir, Sayyid Qutb menafsirkan Al-Qur‟ân ayat demi ayat, surah demi surah dari juz pertama hingga juz terakhir yang 118
Salah Abdul Fattah Al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân, Penerjemah : Salafuddin Abu Sayyid, (Perpustakaan Nasional RI : KDT), hal. 66. 119
Sayyid Qutb, Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân di bawah naungan Al-Qur‟an, Penerjemah: As‟ad Yasin dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2008), cet. ke-6, jil. 1, hal. 20. 120
Manna‟ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur‟an, Penerjemah: Mudzakir AS, (Jakarta: Litera AntarNusa bekerjasama dengan Halim Jaya, 2007), cet. ke-10, hal. 514.
dimulai dari Surah Al-Fâtihah hingga An-Nâs. Tafsir yang disusun dengan cara ini disebut dengan tafsir tahlîlî.121 Bila diteliti dengan lebih lanjut lagi, maka dalam rangkaian yang berurutan tersebut ia mengklasifikasikan ayat-ayat tersebut ke dalam beberapa kelompok dengan mengambil sebuah tema yang utama. Hal ini menandakan bahwa metode mawdû‟i atau tematis telah juga digunakan dalam metode penafsirannya. 122 Tentang
corak
penafsirannya,
Al-Khalidi
mengkategorikan
corak
penafsiran Fî Zilâl Al-Qur‟ân dengan corak baru yang diistilahkan Manhâj Harakî
121
Tafsir tahlîlî ialah metode penafsiran ayat-ayat Al-Qur‟an melalui pendeskripsian (menguraikan) makna yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur‟an dengan mengikuti tata-tertib susunan atau urutan-urutan surah-surah dan ayat-ayat Al-Qur‟an yang diikuti oleh sedikit-banyak analisa tentang kandungan ayat itu. Lihat Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Takafur (Kelompok Humaniora), 2007), cet. ke-1, hal. 104. 122
Sebagai contoh dalam menafsirkan Q.S. Ali Imran/4 : 102-107, ia meletakkan beberapa tema sesuai dengan perbahasan ayat tersebut seperti ia mengklasifikasikan Q.S. Ali Imran/4 : 102-107 dengan tema “Iman dan Persaudaraan serta Trik-Trik Kaum Yahudi untuk Merusak Barisan Umat Islam” dan sampai pada ayat 104-107, beliau mengklasifikasikan dengan tema “Dakwah, Amar Ma‟ruf Nahi Munkar, dan Perlunya Kekuasaan untuk Menegakkannya” dan begitulah seterusnya. Lebih lengkap sila lihat Sayyid Qutb, Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân di bawah naungan Al-Qur‟an, Penerjemah: As‟ad Yasin dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2008), cet. ke-6, jil. 3, hal. 179 & 184.
(pendekatan pergerakan)123. Suatu pendekatan yang menitik beratkan penjelasan Al-Qur‟ân dari sisi pergerakan, tarbiyah, dan dakwah. 124 Pemberian istilah baru ini tampaknya timbul dari pemahaman Al-Khalidi tentang Fî Zilâl Al-Qur‟ân yang tidak hanya membahas Al-Qur‟ân dari sisi teoritis tetapi juga aspek praktis yang banyak diserukan Sayyid Qutb di berbagai tempat dalam tafsirnya. Lebih lanjut Al-Khalidi menyatakan bahwa konsep pergerakan Sayyid ini tak lepas dari kenyataan sahabat sebagai generasi yang unik dan istimewa menerima isi Al-Qur‟ân untuk dilaksanakan. Sedangkan generasi Islam selanjutnya menjadi generasi yang rapuh karena menerima Al-Qur‟ân hanya sebatas kajian sepuas hati dan pemikiran. 125 Bertitik tolak dari sini, untuk mengembalikan kaum Muslim saat ini seperti generasi sahabat dulu, jalan satu-satunya adalah mengaplikasikan ajaran AlQur‟ân dalam kehidupan dan hidup di bawah naungannya secara total sebagaimana ketika Al-Qur‟ân diturunkan. 123
Antara penafsirannya yang berbentuk Manhaj haraki adalah seperti dalam menafsirkan Q.S. Al-Taubah/9 : 81 yang bermaksud “Orang-orang yang ditinggalkan (Tidak ikut perang) itu, merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah dan mereka berkata: "Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini". Katakanlah: "Api neraka Jahannam itu lebih sangat panas(nya)" jika mereka mengetahui”. Sayyid menafsirkan bahwa mereka ini adalah contoh mengenai orang yang lemah kemauan dan semangatnya, kebanyakan mereka merasa menderita sekali kalau memikul beban dan ingin lepas dari kesulitan. Mereka lebih mengutamakan bersenang-senang secara secara murahan, daripada berpayah-payahan tetapi mulia. Mereka lebih menguatamakan keselamatan yang rendah nilainya daripada menghadapi bahaya tetapi terhormat. Menurut Sayyid lagi, orang-orang yang menolak berperang itu berjatuhan dengan lemah longlai di belakang barisan-barisan yang sigap dan penuh semangat serta mengerti tanggung jawab dakwah. Barisan ini menempuh jalan yang penuh rintangan dan duri. Karena peserta barisan itu mengerti dengan fitrahnya bahwa berjuang menghadapi riintangan dan duri-duri itu menjadi keharusan bagi manusia. Oleh karena itu, mereka merasakannya sebagai sesuatu yang lezat dan lebih indah dari duduk, tidak turut berperang dan bersantai-santai sebagai orang bodoh yang tidak layak disandang oleh manusia normal. Nuim Hidayat, Sayyid Qutb, hal. 85-86. 124
Salah Abdul Fattah Al-Khalidi, Tafsir Metodologi Pergerakan: Di Bawah Naungan Al-Qur‟an, Penerjemah : Asmuni Solihin, (Jakarta: Yayasan Bunga Karang, 1995), hal. 24. 125
Salah Abdul Fattah Al-Khalidi, Tafsir Metodologi Pergerakan: Di Bawah Naungan Al-Qur‟an, Penerjemah : Asmuni Solihin, (Jakarta: Yayasan Bunga Karang, 1995), hal. 28.
Mengenai sistematika penulisan, Sayyid Qutb menyusun tafsirnya dengan sistematika sebagai berikut : Pertama, pengenalan dan pengantar terhadap surah. Sebelum masuk pada penafsiran surah, Sayyid Qutb memaparkan pengantar dan pengenalan terhadap surah, memberikan ilustrasi kepada pembaca mengenai surah yang akan dibahaskan secara global, menyeluruh dan singkat. Dalam pengantar ini diterangkan status surah (makiyyah atau madaniyyah), korelasi (munasabât) dengan surah sebelumnya, menjelaskan obyek pokok surah, suasana ketika diturunkan, kondisi umum umat Islam saat itu, maksud dan tujuan surah, dan metode penjelasan materinya. Pengenalan dan pengantar ini dapat disebut sebagai sebuah tafsir tematik yang ringkas dan menyeluruh pada suatu surah.126 Kedua, pembagian surah-surah panjang menjadi beberapa sub tema. Setelah memaparkan pengantar dan pengenalan surah, ayat-ayat dalam surah yang akan dibahas dikelompokkan menjadi beberapa bagian secara tematik. Seperti dalam surah Al-Baqarah, Sayyid membaginya menjadi sub tema: pertama, mulai dari ayat 1-29; kedua, ayat 30-39; ketiga, ayat 40-74; dan seterusnya. Ketiga, penafsiran secara ijmali (global) terhadap sub tema. Penafsiran ini menuturkan secara ringkas tentang kandungan yang terdapat dalam sub tema tersebut. Keempat, penafsiran ayat demi ayat secara rinci. Penafsiran secara rinci ini bertujuan mengajak pembaca untuk berinteraksi langsung dengan Al-Qur‟ân dan
126
Salah „Abd Al-Fattah Al-Khalidi, Al-Tafsir Al- mawdû‟i bayn Al-Nazariyyah wa AlTatbiq, (Jordan: Dar Al-Nafa‟is, 1997), hal. 1.
hidup dalam suasana ketika Al-Qur‟ân diturunkan serta mengambil pesan-pesan yang terkandung di dalamnya.127 Dalam menulis tafsir, Sayyid Qutb tidak semata mendasarkannya pada pikiran sendiri tanpa menggunakan referensi. Akan tetapi referensi yang digunakan Sayyid bersifat sekunder. Artinya, referensi tersebut digunakan Sayyid untuk menguatkan penafsirannya atas suatu ayat. Referensi itu mencakupi: materi tafsir,128 materi sîrah,129 materi hadits, 130 sejarah kaum Muslim dan dunia Islam masa kini, 131 dan materi ilmiyah. 132
D. Karya-karya Sayyid Qutb. Sayyid Qutb menulis buku dalam berbagai judul, baik sastra, sosial, pendidikan, politik, filsafat, ataupun agama. Karya-karyanya telah terkenal luas di dunia Arab dan Islam. Jumlah karangannya sendiri telah mencapai lebih dari dua
127
Salah Abdul Fattah Al-Khalidi, Tafsir Metodologi Pergerakan: Di Bawah Naungan Al-Qur‟an, Penerjemah : Asmuni Solihin, (Jakarta: Yayasan Bunga Karang, 1995), hal. 55. 128
Kitab tafsir yang dijadikan referensi di antaranya ialah; Tafsir Al-Tabari, tafsir Ibn Katsîr, Tafsir Al-Baghâwi, Tafsir Al-Qurtubi, dan Tafsir Al-Manâr. Lihat lebih lengkap dalam Salah Abdul Fattah Al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân, Penerjemah : Salafuddin Abu Sayyid, (Perpustakaan Nasional RI : KDT), hal. 178-215. 129
Seperti Sîrah Ibn Hisyâm dan Jawâmi‟ Al-Sîrah. Lihat lebih lengkap dalam Salah Abdul fattah Al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân, Penerjemah : Salafuddin Abu Sayyid, (Perpustakaan Nasional RI : KDT), hal. 214-220. 130
Seperti Al-Kutub Al-Sittah, Muwatta‟ Mâlik, Musnad Ahmad. Lihat lebih lengkap dalam Salah Abdul fattah Al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân, Penerjemah : Salafuddin Abu Sayyid, (Perpustakaan Nasional RI : KDT), hal. 223-224. 131
Di antaranya ialah Târikh Al-Umam wa Al-Mulūk karya Al-Tabari, Al-Bidâyah wa AlNihâyah karangan Ibn Katsîr, dan Hadhârah Al-„Arab karya Gustave Lebonn. Lihat lebih lengkap dalam Salah Abdul fattah Al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân, Penerjemah : Salafuddin Abu Sayyid, (Perpustakaan Nasional RI : KDT), hal. 228-229. 132
Di antaranya ialah Allah Yatajalla Fi „Ashr Al-„Ilm yang disusun oleh ilmuwan Amerika dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Daradasy „Abdul Majid Sarhan. Lihat lebih lengkap dalam Salah Abdul fattah Al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fî Zilâl AlQur‟ân, Penerjemah : Salafuddin Abu Sayyid, (Perpustakaan Nasional RI : KDT), hal. 233.
puluh buku dan Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân dalam tiga puluh juz adalah salah satu karya terbesarnya. Buku-buku tersebut di atas dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Buku-buku bertema sastra, meliputi: Muhimmah Al-Sya‟ir Fi Al-Hayyah (1932), Al-Tasywîr Fanni Fi Al-Qur‟ân (1945)133, Masyâhid Al-Qiyâmah Fi Al-Qur‟ân (1945), Al-Naqd Al-Adabi: Usūluh wa Manâhijuh (t.t.), Naqd Al-Kitâb Al-Mustaqbal Al-Saqâfah Fi Al-Misra Li Al-Duktūr Taha Husayn (1939). 2. Buku-buku bertema cerita, meliputi: Tifl min Al-Qaryah (1945)134, AlAtyaf Al-Arba‟ah (1945)135, Al-Madînah Al-Mansyûrah (1946)136, dan Asywâk (1947). 3. Buku-buku bertema pendidikan dan pengajaran, antara lain: Al-Qasas AlDin kerjasama dengan Abd Al-Hamid Al-Jawdah (t.t.), Al-Jadîd Fi AlLughah Al-„Arabiyyah hasil kerjasama dengan penulis lain (tanpa disebutkan siapa dan tahun berapa), Al-Jadîd Al-Mahfûzat hasil kerjasama dengan orang lain (tanpa disebut dengan siapa dan tahun berapa), Rawdah Al-Tifl hasil kerjasama dengan Aminah Al-Sa‟id dan Yusuf Murad (t.t.).
133
Ini adalah buku pertama Sayyid yang berbicara tentang Islam. Di dalam buku ini ia menuliskan tentang karakteristik-karakteristik umum mengenai keindahan artistik dalam AlQur‟an. Lihat Nuim Hidayat, Sayyid Qutb, hal. 24. 134
Berisi tentang gambaran desanya serta catatan masa kecilnya. Lihat Nuim Hidayat, Sayyid Qutb, hal. 22. 135
Buku ini ditulis bersama-sama saudara-saudaranya: Aminah, Muhammad dan Hamidah. Lihat Nuim Hidayat, Sayyid Qutb, hal. 22. 136
Sebuah kisah khayalan semisal kisah Seribu Satu Malam. Lihat Nuim Hidayat, Sayyid Qutb, hal. 22.
4. Buku-buku bertema agama antara lain: Al-„Adâlah Al-Ijtimâ‟iyyah (1948),137 Ma‟rakah Al-Islâm wa Ra‟samâliyyah (1950), Al-Salâm Al„Alami wa Al-Islâm (1951), Nahwa Mujtama‟ Islâm (1952), Fî Zilâl AlQur‟ân (1953-1964), Khasâis Al-Taswir Al-Islâm wa Muqawwimâtuhu (t.t.)138, Al-Islâm wa Musykilah Al-Hadârah (t.t.), Dirâsah Islâmiyyah (1953)139, Hadzâ Al-Din (t.t.), Al-Mustaqbal li Hadzâ Al-Din (t.t.)140, dan Ma‟âlim Fi Al-Tariq (1965).141 Selain dalam bentuk buku, ia juga banyak menulis artikel dan makalah yang banyak dimuat di majalah atau koran142 dengan berbagai tema, antara lain: 1. Dengan tema sya‟ir, misalnya: Al-Syâti‟u Al-Majhūl, Hilm Al-fajr, Qafilah Al-Raqiq, Nihâyah Al-Matâf, Hilm Al-Qadîm, Intahainâ, Fi Al-Sahra, Min Bawâkir Al-Kifâh dan lain-lain. 2. Dengan tema cerita, misalnya: Min Al-„Amaq ila Iskandariyyah, Tilmîdzah, Adzra, Khâti‟ah, Umm dan lain-lain. 3. Dalam bentuk makalah, semisalnya: Nahnu Al-Syabb, ila Al-Ahzab AlMisriyyah, Madâris li Al-Suhti, Difâ‟an „an Al-Fadhîlah. 143
137
Ini adalah buku pertama Sayyid dalam hal pemikiran Islam. Lihat Nuim Hidayat, Sayyid Qutb, hal. 23. 138
Ini adalah bukunya yang mendalam yang dikhususkan umtuk membicarakan karakteristik akidah dan unsur-unsur dasarnya. Lihat Nuim Hidayat, Sayyid Qutb, hal. 23. 139
Buku ini adalah kumpulan berbagai macam artikel yang dihimpun oleh Muhibbudin Al-Khatib. Lihat Nuim Hidayat, Sayyid Qutb, hal. 23. 140
Buku penyempurnaan dari buku Hadzâ Al-Din. Lihat Nuim Hidayat, Sayyid Qutb, hal.
23. 141
Mahdi Fadlullah, Titik Temu Agama dan Politik: Analisa Pemikiran Sayyid Quthb, (Solo: Ramadhani, 1991), hal. 38-39. Lihat juga dalam Salah Abdul fattah Al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân, Penerjemah : Salafuddin Abu Sayyid, hal. 41-42. 142
Mahdi Fadlullah, Titik Temu Agama dan Politik, hal. 39-40.
Sedangkan studinya yang bersifat keislaman harakah yang matang, yang menyebabkan ia dieksekusi (dihukum penjara) adalah sebagai berikut: Ma‟âlim Fi Al-Tariq, Fi Zilal Al-Sîrah, Muqawwimât Al-Tasawwur Al-Islâmi, Fi Maukib AlÎmân, Nahwa Mujtama‟ Islâmi, Hadzâ Al-Qur‟ân, Awwaliyyât li Hadzâ Al-Din, Taswîbât Fi Al-Fikri Al-Islâmi Al-Mu‟asir.144 Disamping itu, Sayyid Qutb juga menulis sejumlah studi dalam bentuk makalah pada akhirnya ia tarik kembali peredarannya. 145 Dari semua, tampak jelas bahwa karya-karya beliau dapat menimbulkan gelolak besar di dunia Islam khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Dengan begitu walaupun Sayyid Qutb telah lama meninggal, tetapi pengaruh dari karya-karyanya tetap hidup mengiringi kehidupan.
143
Mahdi Fadlullah, Titik Temu Agama dan Politik, hal. 40.
144
Nuim Hidayat, Sayyid Qutb, hal. 23-24.
145
Tulisan dari studinya yang ditarik peredarannya semisal: Dirâsah „an Syawqi Amriqy allati Ra‟aitu, Al-Mazhab Al-Fanniyah Al-Mu‟âşirah dan lain sebagainya. Lihat Salah Abdul fattah Al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân, Penerjemah : Salafuddin Abu Sayyid, (Perpustakaan Nasional RI : KDT), hal. 42-43.
BAB IV Pada bab ini, penulis lebih memfokuskan pada uraian didalam Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân tentang diskripsi amar ma‟ruf nahi munkar yang harus dilaksanakan dan ditegakkan. Berikut adalah : A. Ayat-ayat dan Keterangan : Sebelum penulis mencoba menguraikan dengan lebih panjang, ingin penulis mengutarakan latar belakang dan ciri-ciri sembilan ayat yang berkaitan dengan amar ma‟ruf nahi munkar. Berikut adalah : Bil. 1
Ayat
Surah dan Jilid dan Nuzul halaman Surah AlJil. 9. A‟râf, ayat 157. . Hal. 44 – 45. Makkiyyah. ............
2
Surah Luqmân, ayat 17.
Jil. 17. Hal. 267.
Makkiyyah.
3
Surah AliImrân, ayat 104. Madaniyyah.
Jil. 3. Hal. 184 187.
Keterangan Menceritakan bahwa agama Islam itu sebagai rahmat yang meliputi segala sesuatu dan ketakwaan bagi sesiapa yang mengikut Nabi SAW akan menjadi orangorang yang beruntung. Menceritakan kisah nasihat Luqman kepada anaknya agar mengesakan Allah, mendirikan salat, dan amar ma‟ruf nahi munkar dan selainnya. Menceritakan tentang dakwah, amar ma‟ruf nahi munkar serta urgensi untuk
dilaksanakan dan perlunya kekuasaan untuk menegakkannya.
4
...
5
Surah AliImrân, ayat 110.
Jil. 3. Hal. 188 193.
Madaniyyah.
Surah AliImrân, ayat 114.
Jil. 3. Hal. 197.
Madaniyyah.
6
Surah AlHâjj, ayat 41.
Jil. 15. Hal. 193 195.
Madaniyyah.
7
Surah AtJil. 10. Taubah, ayat 67. Hal. 294 296. Madaniyyah.
Menekankan umat Islam harus memegang kendali kepimpinan agar dapat menyuruh kepada yang ma‟ruf dan mencegah kemungkaran. Umat Islam harus berlomba-lomba pada kebajikan dan diceritakan janji Allah SWT bagi mereka yang melaksanakan apa yang telah disebut sebelum ini.
Ketegasan janji Allah SWT bahwa Dia pasti akan menolong bagi sesiapa yang mempunyai ciriciri dan sifat-sifat didalam ayat ini. Pada ayat ini, banyak dikisahkan didalam tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân ciri-ciri umum kaum Munafik.
........
8
Surah AtJil. 10. Taubah, ayat 71. Hal. 298 -
Pada ayat ini, diceritakan didalam tafsir Fî
300. Madaniyyah.
Zilâl Al-Qur‟ân sifat-sifat yang harus ada pada kaum Mukminin.
.............
9
Surah AtJil. 11. Taubah, ayat 112. Hal. 60 61. Madaniyyah.
......
Dijelaskan didalam Fî Zilâl Al-Qur‟ân, Konsekuensikonsekuensi Bai‟ah kepada Allah SWT dan janji Allah bagi para mujahidin di jalan Allah.
Seterusnya pada penggal ini, penulis akan menguraikan ayat yang ingin difokuskan untuk diperbahas yaitu pada surah Ali-„Imrân, ayat 104 dan 110. B. Makna Kosa Kata Penting : دعب – َذعىا: mengajak أ ش – َ ش: memerintahkan C. Asbabun Nuzul dan Munasabah Ayat : Asbabun Nuzul : Surah Ali-„Imrân, ayat 104 : : َبوََخَ ْنث ِ أَثٍِ ُس ْنف َُبن ِ – وسوٌ أثى داود فً س ه حذَج َع ْن أَثٍِ عَب ِ ٍش ا ْنلهَىْن َصنِ ٍِّ َع ْن ُ َع3981 صلهً ه ة ا ْنفتَ َشلُىا ِ َّللاُ َعلَ ْنُ ِه َو َسله َ لَب َا فُِ َب فَمَب َل أَ َ ِ هن َ ْن لَ ْنجلَ ُ ْن ِ ْن أَ ْنه ِل ا ْنل ِتَب َ َّللا ِ أَنههُ لَب َا فُِ َب فَمَب َل أَ َ ِ هن َسسُى َل ه ُ َعلًَ حِ ْنتَ ْنُ ِ َو َس ْنج ِعُ َ ِ لهخً َو ِ هن هَ ِز ِه ْنال ِيلهخَ َستَ ْنفت َِش بس َو َوا ِح َذحٌ فٍِ ْنال َج ه ِخ ٍ ق َعلًَ حَ ََل ِ ث َو َس ْنج ِعُ َ حِ ْنتَب ِن َو َس ْنجعُىنَ فٍِ ال ه َ َو ِه ٍَ ا ْنل َج َيب َعخُ صَا َد ا ْنث ُ ََ ْن ًَُ َو َع ْنيشٌو فٍِ َح ِذَخَ ْنُ ِه َيب َو ِنههُ َسَُ ْنخ ُش ُد ِ ْن أ ُ ه تٍِ أَ ْنل َىا ٌا تَ َجب َسي ِث ِه ْن تِ ْنل َ ْن اا ْنه َىا ُء َ َيب .)ََتَ َجب َسي ْنال َ ْنلتُ ِل َ ب ِح ِج ِه (سواه أثى داود Artinya : Meriwayatkan Abu Daud di dalam Sunannya dari hadits daripada Abi „Amir Al-Hawzanî daripada Mu‟awiyah bin Abi Sufyan, dia berdiri seraya berkata: “Ketahuilah sesungguhnya Rasulullah SAW di hadapan kami bersabda :
“Sesungguhnya orang-orang terdahulu dari Ahli Kitab berpecah belah menjadi tujuh puluh dua (72) golongan dalam urusan agama mereka. Sedangkan umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga (73) golongan, dan hanya satu yang akan masuk surga yaitu Ahli Sunnah Waljamaah. Pada akhir zaman nanti akan lahir ditengah-tengah umatku beberapa golongan orang-orang yang suka ikut-ikut sebagaimana anjing mengikuti tuannya (HR. Abu Daud).146 Sehubungan dengan sabda Rasulullah SAW di atas, Allah SWT telah menurunkan ayat 104-105, surah Ali-„Imrân, yang memerintahkan untuk mengajak manusia kearah kebaikan dengan amar ma‟ruf nahi munkar serta memerintahkan kepada persatuan dan kesatuan. 147 Asbabun Nuzul : Surah Ali-„Imrân, ayat 110 : . ( ت خُش أ خ) اَِخ: ً* لىله تعبل ورل أن، نضل فٍ اث سعىد وأثً ث عت و عبر ث ججل وسبل ىلً أثٍ حزَفخ:لبل ع ش خ و مبتل ون خُش وأفلل، ن دَ ب خُش يب تذعىنب لُه: بل ث اللُف ووهت ث َهىرا الُهىدَُ لب له 148 . ف نضل َّللا تعبلً هزه اَِخ، Artinya : „Ikrimah dan Muqatil berkata: “Ayat (Kuntum khairu ummatin) turun kepada Ibnu Mas‟ud, Ubay bin Ka‟ab, Muadz bin Jabal dan Salim budaknya Hudzaifah yang telah dimerdekakan. Hal itu (disebabkan) bahwa Malik bin AlDayf dan Wahab bin Yahudza telah berkata kepada mereka: “Sesungguhnya agama kami lebih baik dari pada agama yang kalian dakwahkan kepada kami, dan kami lebih baik dan lebih utama dari pada kalian”, maka kemudian Allah SWT menurunkan ayat ini.” Munâsabatul Ayât : A. Ali-„Imrân, ayat 104. Dalam Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân, Sayyid Qutb menjelaskan bahwa ada munâsabât (korelasi) antara ayat ini (surah Ali-„Imrân, ayat 104) dengan ayat-ayat sebelumnya. Yaitu mengenai dua pilar yang dibicarakan di dalam ayat Ali-„Imrân, 146
Abu Daud Sulaiman bin al-Asy‟ats al-Sijistan, Sunan Abu Daud, (Mesir : Dar AlHadits, 1998), bab Malahim, juz 4, hal. 122. 147
Mujab Muhali, Asbabunnuzul Studi Pendalaman Al-Qur‟an, (Jakarta: Rajawali, 1989), cet. I, hal. 179. 148
Abi Al-Hasan „Ali bin Ahmad Al-Wâhidî, Asbâb Nuzûl Al-Qur‟an, (Beirut: Dâr AlKutub Al-„Imiyyah), hal. 121.
102 yaitu Iman dan ukhuwah (persaudaraan) serta kaitan antara kedua pilar tersebut yang saling harus berpijak di jalan yang benar. Dalam hal ini, Sayyid Qutb menjelaskan bahwa pentingnya hubungan dakwah kepada kebajikan dan perintah kepada hal-hal ma‟ruf serta larangan dan cegahan pada hal-hal yang munkar
adalah
sebagai
konsekwensi
logis
dalam
menegakkan
dan
mengembangkan tugas bagi sebagai Muslim yaitu menegakkan manhâj Allah di muka bumi ini tentunya dengan berpijak di atas dua pilar yang disebutkan tadi, yaitu Iman dan ukhuwah. Lebih lanjut menurut beliau, dakwah kepada kebajikan bisa saja dilakukan oleh semua Muslim, namun untuk memerintahkan kepada hal-hal yang ma‟ruf dan melarang kepada hal-hal yang munkar diperlukan adanya kekuasaan untuk melakukan amar ma‟ruf nahi munkar atau paling tidak, diperlukannya sebuah komunitas yang concern terhadap perintah dan larangan terhadap kebaikan dan kemunkaran. Oleh sebab itu, didalam penafsiran beliau juga menegaskan supaya umat Islam menegakkan kekuasaan untuk memerintah dan melarang. 149 B. Ali-„Imrân, ayat 110. Sayyid Qutb menjelaskan di dalam tafsirnya bahwa ada munâsabât (korelasi) antara ayat ini (surah Ali-„Imrân, ayat 110) dengan ayat-ayat sebelumnya. Sudah disebutkan dibagian yang lalu korelasi (munâsabât) surah Ali„Imrân, ayat 104 yaitu berkaitan dengan iman, ukhuwah, serta dakwah kepada amar ma‟ruf nahi munkar. Pada bagian pertama dalam himpunan ayat ini
149
Sayyid Qutb, Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân di bawah naungan Al-Qur‟an, Penerjemah: As‟ad Yasin dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2008), cet. ke-6, jil. 3, hal. 183-184.
meletakkan kewajiban yang berat di atas kaum Muslimin di muka bumi ini dengan memelihara kehidupan dari kejahatan dan kerusakan dengan mereka harus memiliki kekuatan sehingga memungkinkan mereka memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran. Tambahan lagi, menurut Sayyid Qutb, pengungkapan “ukhrijat” yang terkandung di dalam firman Allah SWT di dalam ayat ini mengandungi hakikat diri dan nilainya, dan umat Islam harus mengerti bahwa mereka itu dilahirkan untuk maju ke garis depan dan memegang kendali kepimpinan karena mereka adalah umat yang terbaik untuk menyuruh kepada yang ma‟ruf dan mencegah kemunkaran. Selanjutnya, didalam ayat ini, Sayyid Qutb juga menerangkan adanya keterkaitan iman dan taqwa didalam ber- amar ma‟ruf nahi munkar.150 D. Penafsiran Sayyid Qutb terhadap Surat Ali-‘Imrân, ayat 104 dan 110 : Pada perspektif ini, penulis akan menguraikan dengan panjang lebar penafsiran Sayyid Qutb terhadap surat Ali-„Imrân, ayat 104. Berikut adalah : Dakwah, Amar Ma’ruf Nahi Munkar, dan perlunya Kekuasaan untuk Menegakkannya. Sebelum penulis menguraikan dengan panjang lebar penafsiran Sayyid Qutb terhadap ayat ini, telah disebutkan sebelum ini bahwa adanya korelasi (munasabât) antara ayat ini dan ayat-ayat sebelumnya. Sayyid Qutb menjelaskan untuk melaksanakan konsep amar ma‟ruf nahi munkar, seharusnya kaum Muslimin mempunyai dua pilar, yaitu: 150
Sayyid Qutb, Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân di bawah naungan Al-Qur‟an, Penerjemah: As‟ad Yasin dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2008), cet. ke-6, jil. 3, hal. 188-191.
1. Pilar Iman dan Taqwa kepada Allah SWT. 2. Pilar Ukhuwah (Persaudaraan) karena Allah SWT.151 Adapun tugas kaum Muslimin yang berpijak diatas dua pilar ini adalah tugas utama yang harus mereka laksanakan untuk menegakkan manhâj Allah di muka bumi, dan untuk memenangkan kebenaran atas kebatilan, yang ma‟ruf atas yang munkar, dan yang baik atas yang buruk. Tugas yang karenanya Allah mengorbitkan kaum Muslimin dengan tangan dan pengawasan-Nya, serta sesuai manhâj-Nya, inilah yang ditetapkan dalam ayat, “Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma‟ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran : 104) Oleh karena itu, haruslah ada segolongan orang atau satu kekuasaan yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma‟ruf , dan mencegah dari yang munkar. Ketetapan bahwa harus ada suatu kekuasaan adalah madlûl „kandungan petunjuk‟ nas Al-Qur‟ân ini sendiri. Ya, disana ada „seruan‟ kepada kebajikan, tetapi ada juga „perintah‟ kepada yang ma‟ruf dan „larangan‟ dari yang munkar. Apabila dakwah (seruan) itu dapat dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kekuasaan, maka „perintah dan larangan‟ itu tidak akan dapat dilakukan kecuali oleh orang yang memiliki kekuasaan. Begitulah pandangan Islam terhadap masalah ini bahwa disana harus ada kekuasaan untuk memerintah dan melarang; melaksanakan seruan kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran; bersatupadu unsur-unsurnya dan saling terikat dengan tali Allah dan tali ukhuwwah fillah; dan berpijak diatas kedua pilar 151
Sayyid Qutb, Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân di bawah naungan Al-Qur‟an, Penerjemah: As‟ad Yasin dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2008), cet. ke-6, jil. 3, hal. 180-181.
yang saling menopang untuk mengimplementasikan manhâj Allah dalam kehidupan manusia. Untuk mengimplementasikan manhâj-Nya membutuhkan “dakwah” kepada kebajikan hingga manusia dapat mengenal manhâj ini, dan memerlukan kekuasaan untuk dapat “memerintah” manusia kepada yang ma‟ruf dan “mencegah” mereka dari yang munkar. Ya, harus ada kekuasaan yang dipatuhi, sedang Allah sendiri berfirman, 152 “Tidaklah Kami mengutus seorang rasul pun melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.” (An-Nisaa‟ : 64) Maka, manhâj Allah di muka bumi bukan semata-mata nasihat, bimbingan, dan keterangan. Memang ini adalah satu aspek, tetapi ada aspek yang lain lagi, yaitu menegakkan kekuasaan untuk memerintah dan melarang; mewujudkan yang ma‟ruf dan menidakkan kemunkaran dari kehidupan manusia; dan memelihara kebiasaan jamaah yang bagus agar jangan disia-siakan oleh orang-orang yang hendak mengikuti hawa nafsu, keinginan, dan kepentingannya. Juga untuk melindungi kebiasaan yang salih ini agar setiap orang tidak berkata menurut pikiran dan pandangannya sendiri, karena menganggap bahwa pikirannya itulah yang baik, ma‟ruf , dan benar. Oleh karena itu, dakwah kepada kebajikan dan mencegah kemunkaran bukanlah tugas yang ringan dan mudah. Sesuai tabiatnya, kita lihat adanya benturan dakwah dengan kesenangan, keinginan, kepentingan, keuntungan, keterpedayaan, dan kesombongan manusia (objek dakwah). Di antara manusia itu ada penguasa yang kejam, pemerintah yang berkuasa, orang yang rendah moralnya, orang yang sembrono dan membenci keseriusan, orang yang mau bebas 152
Sayyid Qutb, Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân di bawah naungan Al-Qur‟an, Penerjemah: As‟ad Yasin dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2008), cet. ke-6, jil. 3, hal. 184.
dan membenci kedisiplinan, orang yang zalim dan membenci keadilan, serta orang yang suka menyeleweng dan membenci yang lurus. Mereka menganggap buruk terhadap kebaikan dan menganggap baik terhadap kemunkaran. Padahal, umat dan manusia pun tidak akan bahagia kecuali kalau kebaikan itu yang dominan. Sedangkan, hal itu tidak akan terjadi kecuali yang ma‟ruf
tetap
dipandang ma‟ruf dan yang munkar dipandang munkar. Semua itu memerlukan kekuasaan bagi kebajikan dan kema‟rufan. Kekuasaan untuk memerintah dan melarang agar perintah dan larangannya dipatuhi. 153 Oleh karena itu, harus ada jamaah yang berpijak di atas pilar iman kepada Allah dan bersaudara karena Allah, agar dapat menunaikan tugas yang sulit dan berat ini dengan kekuatan iman dan takwa serta kekuatan cinta dan kasih sayang antara sesama. Keduanya ini merupakan unsur yang sangat diperlukan untuk memainkan peranan yang ditugaskan Allah ke pundak kaum Muslimin dan dijadikan pelaksanaannya sebagai syarat kebahagiaan. Maka, berfirmanlah Dia mengenai orang-orang yang menunaikan tugas ini, “Merekalah orang-orang yang beruntung.” Sesungguhnya membentuk jamaah merupakan suatu keharusan dalam manhâj Ilahi. Jamaah ini merupakan komunitas bagi manhâj ini agar dapat bernapas dan eksis dalam bentuk riilnya. Merekalah komunitas yang baik, yang saling membantu dan bekerjasama untuk menyeru kebajikan. Yang ma‟ruf dikalangan mereka- adalah kebaikan, keutamaan, kebenaran, dan keadilan.
153
Sayyid Qutb, Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân di bawah naungan Al-Qur‟an, Penerjemah: As‟ad Yasin dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2008), cet. ke-6, jil. 3, hal. 184-185.
Sedangkan, yang munkar adalah kejahatan, kehinaan, kebatilan, dan kezaliman.154 Melakukan kebaikan ditengah-tengah lebih
mudah daripada
melakukan
keburukan. Keutamaan dikalangan mereka lebih sedikit bebannya daripada kehinaan. Kebenaran dikalangan mereka lebih kuat daripada kebatilan dan keadilan lebih bermanfaat daripada kezaliman. Orang yang melakukan kebaikan akan mendapat dukungan dan orang yang melakukan keburukan akan mendapat perlawanan serta penghinaan. Nah, disinilah letak nilai kebersamaan itu. Sesungguhnya ini adalah lingkungan yang didalamnya kebaikan dan kebenaran dapat tumbuh tanpa usaha-usaha yang berat, karena segala sesuatu dan semua orang yang ada disekitarnya pun mendukungnya. Di lingkungan seperti ini keburukan dan kebatilan tidak dapat tumbuh kecuali dengan sangat sulit, sebab apa yang ada disekitarnya menentang dan melawannya. Tasawwur persepsi, pemikiran Islami tentang alam wujud, kehidupan, tata nilai, perbuatan, peristiwa, benda, dan manusia berbeda dengan persepsi jahiliah dengan perbedaan yang mendasar dan substansial. Oleh karena itulah, harus ada sebuah komunitas khusus di mana persersi ini dapat hidup dengan segala tata nilainya yang spesifik. Harus ada komunitas dan lingkungan yang bukan komunitas dan lingkungan jahiliah.155 Inilah komunitas khusus yang hidup dengan tasawwur Islami dan hidup untuknya. Maka, dikalangan mereka hiduplah tasawwur ini. Karakteristiknya dapat bernafas dengan bebas dan merdeka dan dapat tumbuh dengan subur tanpa 154
Sayyid Qutb, Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân di bawah naungan Al-Qur‟an, Penerjemah: As‟ad Yasin dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2008), cet. ke-6, jil. 3, hal. 185. 155
Sayyid Qutb, Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân di bawah naungan Al-Qur‟an, Penerjemah: As‟ad Yasin dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2008), cet. ke-6, jil. 3,, hal. 185-186.
ada hambatan atau serangan dari dalam. Apabila ada hambatan-hambatan maka ia akan diajak kepada kebaikan, disuruh kepada yang ma‟ruf, dan dicegah dari yang munkar. Apabila ada kekuatan zalim yang hendak menghalang-halangi manusia dari jalan Allah maka ada orang-orang yang memeranginya demi membela manhâj Allah bagi kehidupan. Komunitas ini terlukis dalam wujud jamaah kaum Muslimin yang berdiri tegak di atas fondasi iman dan ukhuwah. Iman kepada Allah untuk mempersatukan persepsi mereka terhadap alam semesta, kehidupan, tata nilai, amal perbuatan, peristiwa, benda, dan manusia. Juga agar mereka kembali kepada sebuah timbangan untuk menimbang segala sesuatu yang dihadapinya dalam kehidupan; dan agar berhukum kepada satu-satunya syariat dari sisi Allah, dan mengarahkan
segala
mengimplementasikan
loyalitasnya manhâj
Allah
kepada di
muka
kepimpinan bumi.
Ukhuwah
untuk Fillah
„persaudaraan karena Allah‟, untuk menegakkan eksistensinya atas dasar cinta dan solidaritas. Sehingga, dipendamlah rasa ingin menang sendiri, tapi sebaliknya ditonjolkan rasa saling mengalah dan mementingkan yang lain, dengan penuh kerelaan, kehangatan, kesalingpercayaan dan kegembiraan. 156 Demikianlah kaum Muslimin pertama di Madinah, berdiri tegak di atas dua pilar ini. Pertama, pilar iman kepada Allah yang bersumber dari pengenalannya kepada Allah SWT, terlukisnya sifat-sifat-Nya di dalam hati, takwa kepada-Nya, merasa bersama-Nya, dan diawasi-Nya, dengan penuh kesadaran dan sentivitas dalam batas yang jarang dijumpai pada orang lain. 156
Sayyid Qutb, Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân di bawah naungan Al-Qur‟an, Penerjemah: As‟ad Yasin dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2008), cet. ke-6, jil. 3, hal. 186.
Kedua, didasarkan pada cinta yang melimpah dan mengalir deras; dan kasih sayang yang nyaman dan indah; serta saling setia kawan dengan kesetiaan yang mendalam. Semuanya dapat dicapai oleh jamaah itu. Kalau semua itu tidak terjadi, niscaya semuanya akan dianggap
sebagai mimpi. Adapun kisah
persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Ansar merupakan kisah tentang dunia hakikat, tetapi tabiatnya lebih dekat kepada dunia nyata dengan segala penyantunannya. Ini merupakan kisah yang benar-benar terjadi di bumi, tetapi tabiatnya di alam keabdian dan hati nurani. Di atas pijakan iman dan persaudaraan seperti itulah manhâj Allah dapat ditegakkan di muka bumi sepanjang masa. Karena itu, kembalilah ayat-ayat berikutnya memperingatkan kaum Muslimin agar jangan sampai berpecah-belah dan berselisih. Mereka juga diingatkan terhadap akibat yang menimpa orang-orang yang memikul amanat manhâj Allah sebelumnya, dari kalangan Ahli Kitab, yang berpecah-belah dan berselisih. Ketika itu Allah mencabut bendera kaum Ahli Kitab dan menyerahkannya kepada kaum Muslimin yang hidup bersaudara.157
Penafsiran Sayyid Qutb terhadap surat Ali-‘Imrân, ayat 110 : Pada tinjauan ini, penulis akan menguraikan dengan panjang lebar penafsiran Sayyid Qutb terhadap surat Ali-„Imrân, ayat 110.
157
Sayyid Qutb, Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân di bawah naungan Al-Qur‟an, Penerjemah: As‟ad Yasin dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2008), cet. ke-6, jil. 3, hal. 187.
Khairu Ummah dan Aneka Macam Keadaan Ahli Kitab158 Bagian pertama dalam himpunan ayat ini meletakkan kewajiban yang berat di atas kaum Muslimin di muka bumi, sesuai dengan kemuliaan dan ketinggian kedudukan jamaah ini, dan sesuai dengan posisi istimewanya yang tidak dicapai oleh kelompok manusia yang lain, 159 “Kamu adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma‟ruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” Pengungkapan kalimat dengan menggunakan kata “ukhrijat” dikeluarkan, dilahirkan, diorbitkan, dalam bentuk mabni lighairil-fa‟il (mabni lil-majhul) perlu mendapatkan perhatian. Perkataan ini mengesankan adanya tangan pengatur yang halus, yang mengeluarkan umat ini, dan mendorongnya untuk tampil dari kegelapan kegaiban dan dari balik bentangan tirai yang tidak ada yang mengetahui apa yang ada di baliknya itu kecuali Allah. Ini adalah sebuah kalimat yang menggambarkan adanya gerakan rahasia yang terus bekerja dan yang merambat dengan halus. Suatu gerakan yang mengorbitkan umat ke panggung eksistensi. Umat yang mempunyai peranan, kedudukan, dan perhitungan khusus, 160 “Kamu adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia” Inilah persoalan yang harus dimengerti oleh umat Islam agar mereka mengetahui hakikat diri dan nilainya, dan mengerti bahwa mereka itu dilahirkan untuk maju ke garis depan dan memegang kendali kepemimpinan karena mereka umat yang terbaik. Allah mengkehendaki supaya kepemimpinan di muka bumi 158
Sayyid Qutb, Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân di bawah naungan Al-Qur‟an, Penerjemah: As‟ad Yasin dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2008), cet. ke-6, jil. 3, hal. 188. 159
Sayyid Qutb, Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân di bawah naungan Al-Qur‟an, Penerjemah: As‟ad Yasin dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2008), cet. ke-6, jil. 3, hal. 190. 160
Sayyid Qutb, Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân di bawah naungan Al-Qur‟an, Penerjemah: As‟ad Yasin dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2008), cet. ke-6, jil. 3, hal. 190.
ini untuk kebaikan, bukan untuk keburukan dan kejahatan. Karena itu, kepemimpinan ini tidak boleh jatuh ke tangan umat lain dari kalangan umat dan bangsa jahiliah. Kepemimpinan ini hanya layak diberikan kepada umat yang layak untuknya, karena karunia yang telah diberikan kepadanya, yaitu akidah, pandangan, peraturan, akhlak, pengetahuan, dan ilmu yang benar. Inilah kewajiban mereka sebagai konsekuensi kedudukan dan tujuan keberadaannya, yaitu kewajiban untuk berada di garis depan dan memegang pusat kendali kepemimpinan. Kedudukan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi karena hal ini bukan sekadar pengakuan hingga tidak boleh diserahkan kecuali kepada yang berkompeten. Umat ini, dengan persepsi akidah dan sistem sosialnya, layak mendapatkan kedudukan dan kepemimpinan itu. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan pemakmurannya terhadap bumi, sebagai hak khilafah yang harus ditunaikan, maka mereka layak mendapatkannya. Dari sini, jelaslah bahwa manhâj yang harus ditegakkan oleh umat Islam menuntut banyak hal kepada mereka dan mendorongnya untuk maju dalam semua bidang, kalau mereka mengikuti konsekuensinya, mau melaksanakannya, dan mengerti tuntutan-tuntutan beserta tugas-tugasnya.161 Tuntutan pertama dari posisi ini ialah memelihara kehidupan dari kejahatan dan kerusakan. Untuk itu, mereka harus memiliki kekuatan sehingga memungkinkan mereka memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran, karena mereka adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia. Mereka menempati posisi sebagai “khairu ummah” „sebaik-baik umat‟ 161
Sayyid Qutb, Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân di bawah naungan Al-Qur‟an, Penerjemah: As‟ad Yasin dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2008), cet. ke-6, jil. 3, hal. 190-191.
bukanlah karena berbaik-baikan, pilih kasih, secara kebetulan, dan serampanganMaha Suci Allah dari semua itu. Juga bukan karena pembagian kekhususan dan kehormatan sebagaimana anggapan orang-orang Ahli Kitab yang mengatakan, “Kami adalah putra-putra Allah dan kekasih-Nya.” Tidak, tidak demikian! Posisi ini adalah karena tindakan positifnya untuk memelihara kehidupan manusia dari kemunkaran dan menegakkannya di atas yang ma‟ruf , disertai dengan iman untuk menentukan batas-batas mana yang ma‟ruf dan mana yang munkar itu. “Menyuruh kepada yang ma‟ruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” Ya, menjalankan tugas-tugas umat terbaik, dengan segala beban yang ada dibaliknya, dan dengan menempuh jalannya yang penuh onak duri. Tugasnya dalah menghadapi kejahatan, menganjurkan kepada kebaikan, dan menjaga masyarakat dari unsur-unsur kerusakan. Semua ini merupakan beban yang sangat berat, sekaligus sebagai tugas utama yang harus dilakukan untuk menegakkan masyarakat yang salih dan memeliharanya, dan untuk mewujudkan potret kehidupan yang dicintai oleh Allah. Semua ini harus disertai dengan iman kepada Allah, untuk menjadi timbangan yang benar terhadap tata nilai, dan untuk mengetahui dengan benar mengenai yang ma‟ruf
dan yang munkar. Istilah jamaah sendiri belum
mencukupi, karena kerusakan dan keburukan itu begitu merata sehingga dapat menggoyang dan merusak timbangan. Untuk itu, diperlukan pula patokan, yang baku mengenai kebaikan dan keburukan, keutamaan dan kehinaan, yang ma‟ruf
dan yang munkar, dengan berpijak pada kaidah lain yang bukan istilah buatan manusia pada suatu generasi. 162 Inilah yang diwujudkan oleh iman dengan menegakkan tasawwur yang benar terhadap alam semesta dan hubungannnya dengan Penciptanya, dan juga terhadap manusia beserta tujuan keberadaan dan hakikatnya di alam ini. Dari tasawwur umum yang demikian ini lahirlah kaidah-kaidah akhlak. Karena didorong oleh keinginannya untuk mendapatkan keridhaan Allah dan menghindari kemurkaan-Nya, maka terdoronglah manusia untuk mengimplementasikan kaidah-kaidah itu. Dan, karena kekuasaan Allah yang disadari dalam hati dan kekuasaan syariat-Nya terhadap masyarakat, maka mereka senantiasa memelihara kaidah-kaidah tersebut. Selanjutnya, juga harus ada keimanan agar para juru dakwah atau orangorang yang menyeru kebajikan, menyuruh kepada yang ma‟ruf , dan mencegah kemunkaran, dapat menempuh jalan yang sulit dan memikul tugas yang berat ini. Sementara itu, mereka juga menghadapi thagut kejahatan dengan kebengisan dan kediktatorannya, dan menghadapi thagut syahwat dengan keasyikan dan kekerasannya, serta menghadapi kejatuhan jiwa, keletihan semangat, dan keinginan yang berat. Bekal serta persiapan mereka adalah iman dan sandaran mereka adalah Allah. Semua perbekalan dan persiapan selain iman akan musnah dan tumpuh dan semua sandaran selain Allah akan roboh. 163
162
Sayyid Qutb, Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân di bawah naungan Al-Qur‟an, Penerjemah: As‟ad Yasin dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2008), cet. ke-6, jil. 3, hal. 191. 163
Sayyid Qutb, Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân di bawah naungan Al-Qur‟an, Penerjemah: As‟ad Yasin dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2008), cet. ke-6, jil. 3, hal. 191-192.
Telah disebutkan di muka perintah tugas kepada kaum Muslimin agar ada di antara mereka orang-orang yang melaksanakan dakwah kepada kebajikan, memerintahkan kepada yang ma‟ruf , dan mencegah kemunkaran. Sedangkan di sini, Allah menerangkan bahwa tugas-tugas itu merupakan identitas mereka. Hal ini menunjukkan bahwa jamaah ini tidak memiliki wujud yang sebenarnya kecuali jika memenuhi sifat-sifat atau identitas pokok tersebut, yang dengan identitas itulah mereka dikenal di antara masyarakat manusia. Mungkin saja mereka melaksanakan dakwah kepada kebajikan, memerintahkan kepada yang ma‟ruf , dan mencegah dari yang munkar sehingga mereka berarti telah ada wujudnya dan merekalah sebagai umat Islam. Mungkin juga mereka tidak melaksanakan tugastugasnya sama sekali sehingga mereka dianggap sudah tidak ada wujudnya dan tidak terwujud identitas Islam pada mereka. Dalam Al-Qur‟ân banyak sekali ayat yang menetapkan hakikat ini, dan kita biarkan ia berada pada tempat-tempatnya. Di dalam As-Sunnah juga banyak terdapat perintah dan pengarahan dari Rasulullah SAW mengenai masalah ini. Kita kutip beberapa di antaranya, Dari Abu Sa‟id Al-Khudri RA, dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka hendaklah dengan lisannya. Dan jika tidak mampu, maka hendaklah dengan hatinya. Ini merupakan (amalan) iman yang paling lemah” (Diriwayatkan oleh Imam Muslîm)164 Dari Ibnu Mas‟ud RA, dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda,
164
Sayyid Qutb, Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân di bawah naungan Al-Qur‟an, Penerjemah: As‟ad Yasin dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2008), cet. ke-6, jil. 3,, hal. 192-193.
ِ ( لَ هيب َولَ َع ْن َث ُى ِ ْنس َشااُِ َل فٍِ ا ْنل َي َعب صٍ نَهَ ْنتهُ ْن ُعلَ َيب ُؤهُ ْن فَلَ ْن ََ ْنتَهُىا فَ َجبلَسُىهُ ْن فٍِ َ َجبلِ ِس ِه ْن َو َوا َ لُىهُ ْن َو َشب َسثُىهُ ْن ة ه َْنض َولَ َع َهُ ْن َعلًَ ِل َسب ِن دَا ُو َد َو ِعُ َسً ا ْنث ِ َ شْن ََ َر ِل َ ِث َيب َع َ ىْن ا َو َ بنُىا ََ ْنعتَ ُذون ِ ىة َث ْنع َ َُّللاُ لُل َ ل َش َ َف ٍ ل ِه ْن ِث َجع ِّ َ َواله ِزٌ نَ ْنف ِسٍ ِث َُ ِذ ِه َحتهً تَ ْنطُشُوهُ ْن َعلًَ ا ْنل ك
صلهً ه َّللاُ َعلَ ْنُ ِه َو َسله َ َو َ بنَ ُ ته ِئًب فَمَب َل َ َّللا ِ س َسسُى ُل ه َ َلَب َل فَ َجل أَ ْن )...طشًا
Ketika Bani Israel terjatuh ke dalam kemaksiatan, maka ulama-ulama mereka melarangnya tetapi mereka tidak mau berhenti. Namun, para ulama itu kemudian duduk-duduk, makan-makan, dan minum-minum bersama mereka. Maka, Allah menjadikan hati mereka saling membenci antara sebagian terhadap sebagian yang lain dan dikutuk-Nya mereka melalui lisan Nabi Dawud, Sulaiman, dan Isa putra Maryam. Kemudian Rasulullah SAW duduk dan sebelumnya beliau bersandar, lalu bersabda, „Janganlah (kamu berbuat begitu), demi Allah yang jiwaku ada di dalam genggaman-Nya, kamu harus belokkan dan kembalikan mereka kepada kebenaran,‟ (Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Tarmidzi) Dari Hudzaifah RA, dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ُوف َولَتَ ْنهَ ُى هن َع ْن ا ْنل ُي ْن َ ِش أَوْن لَُُى ِش َ ه ه ُ َ َّللاُ أَ ْنن ََ ْنج َع ْن ُج َعلَ ْنُ ُ ْن ِعمَبثًب ِ ْنهُ ح ه تَذعُىنَه ِ ( َواله ِزٌ نَ ْنف ِسٍ ثَُِ ِذ ِه لَتَ ْن ُ ش هُن ثِب ْنل َي ْنعش ) فَ ََل َُ ْنستَ َجبةُ لَ ُ ْن “Demi Allah yang jiwaku dalam genggaman-Nya. Hendaknya benarbenar kamu perintahkan (manusia) kepada kebaikan dan kamu cegah (mereka) dari berbuat kemungkaran. Atau kalau tidak, maka Allah akan menimpakan azab kepada kamu. Kemudian kamu berdoa kepada-Nya, tetapi Dia sudah tidak mau mengabulkan doamu lagi.” (Diriwayatkan oleh Imam Tarmidzî) Dari Ars bin Umairah Al-Khindi RA, dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Apabila dilakukan suatu dosa di muka bumi, maka orang yang menyaksikannya lantas mengingkarinya adalah bagaikan orang yang tidak menyaksikannya. Dan, orang yang tidak menyaksikannya, tetapi dia rela terhadapnya, maka dia bagaikan orang yang menyaksikannya,”165 Masih banyak lagi hadist lain yang semuanya menunjukkan bahwa dakwah amar ma‟ruf nahi munkar merupakan sifat pokok masyarakat Islam, sekaligus menunjukkan betapa urgennya dakwah tersebut bagi masyarakat ini. Hadist-hadist itu memuat pengarahan dan pendidikan manhâj Islam yang besar.
165
Sayyid Qutb, Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân di bawah naungan Al-Qur‟an, Penerjemah: As‟ad Yasin dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2008), cet. ke-6, jil. 3, hal. 193.
Hadist-hadist itu, disamping nas-nas Al-Qur‟ân, merupakan perbekalan yang kita lupakan nilai dan hakikatnya. 166
E.
Analisa Penulis terhadap Penafsiran Sayyid Qutb tentang Diskripsi Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Daripada analisa penulis dapatkan, penafsiran Sayyid Qutb terhadap
dakwah amar ma‟ruf nahi munkar meliputi sekitar kepentingan dan bahwa urgennya dakwah amar ma‟ruf nahi munkar yang harus dilaksanakan baik individu, masyarakat, maupun didalam sebuah jamaah secara umumnya. Beliau menekankan hal ini agar umat manusia zaman mutakhir ini tidak didatangkan adzab, bencana dan malapetaka jika sekiranya para ulama dan kaum Muslimin umumnya meninggalkan perintah yang disyari‟atkan oleh Allah SWT. Menurut analisa penulis, sebagaimana Sayyid Qutb menjelaskan di dalam tafsirnya Fî Zilâl Al-Qur‟ân, beliau menjelaskan bahwa harus ada kekuasaan untuk memerintah dan melarang; melaksanakan seruan kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran dan berpijak diatas kedua pilar (iman dan ukhuwah) yang di dalam untuk mengimplementasikan manhâj Allah dalam kehidupan manusia. Menurut Sayyid Qutb, untuk mengimplementasikan manhâj-Nya di muka bumi bukanlah semata-mata hanya memberi nasihat, bimbingan, dan keterangan. Memang ini adalah satu aspek, tetapi ada aspek yang lain lagi yang lebih utama yaitu menegakkan kekuasaan untuk memerintah dan melarang; mewujudkan yang ma‟ruf dan menidakkan kemunkaran dari kehidupan manusia; dan 166
Silakan baca pembahasan secara luas mengenai masalah ini di dalam kitab Qabasat minar Rasul karya Muhammad Qutb, pasal “Qabla‟an Tad‟u fâla Ujîba”, terbitan Darusy Syuruq.
memelihara manusia dan sesebuah jamaah agar jangan disia-siakan oleh orangorang yang hendak mengikuti hawa nafsu, keinginan, dan kepentingannya. Berdasarkan analisa penulis, Sayyid Qutb mengatakan membentuk jamaah merupakan suatu keharusan dalam manhâj Ilahi. Jamaah ini merupakan komunitas bagi manhâj ini agar dapat bernapas dan eksis dalam bentuk riilnya yaitu di atas jalan yang lurus serta beriman dan bertaqwa kepada Allah dan Rasul-Nya dengan mengamalkan amar ma‟ruf nahi munkar. Menurutnya lagi, jamaah kaum Muslimin yang harus berdiri tegak di atas fondasi iman dan ukhuwah. Iman kepada Allah untuk mempersatukan persepsi mereka terhadap alam semesta, kehidupan, tata nilai, amal perbuatan, peristiwa, benda, dan manusia. Juga agar mereka kembali kepada sebuah timbangan untuk menimbang segala sesuatu yang dihadapinya dalam kehidupan; dan agar berhukum kepada satu-satunya syariat dari sisi Allah, dan mengarahkan segala loyalitasnya kepada kepimpinan untuk mengimplementasikan manhâj Allah di muka bumi sepanjang masa. Lagi beliau menekankan agar kaum Muslimin menjadi umat yang terbaik di muka bumi ini dengan mengamalkan dakwah amar ma‟ruf nahi munkar sepanjang masa dan zaman karena tanggungjawab perintah ini berada diatas pundak kaum muslimin. Beliau mengatakan kaum Muslimin seluruhnya harus bersatu-padu dan saling tolong-menolong didalam menegakkan perintah syari‟at ini. Beliau mengatakan, kaum Muslimin harus mengerti bahwa mereka itu dilahirkan untuk maju ke garis depan dan memegang kendali kepemimpinan karena mereka umat yang terbaik yang dikeluarkan. Allah mengkehendaki supaya
kepemimpinan di muka bumi ini untuk kebaikan, bukan untuk keburukan dan kejahatan. Karena itu, kepemimpinan ini tidak boleh jatuh ke tangan umat lain dari kalangan umat dan bangsa jahiliah. Kepemimpinan ini hanya layak diberikan kepada umat yang layak untuknya, karena karunia yang telah diberikan kepadanya, yaitu akidah, pandangan, peraturan, akhlak, pengetahuan, dan ilmu yang benar. Tuntutan pertama yang dinyatakan oleh Sayyid Qutb ialah memelihara kehidupan dari kejahatan dan kerusakan. Untuk itu, mereka harus memiliki kekuatan sehingga memungkinkan mereka memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran. Selanjutnya, beliau mengatakan, untuk menjalankan amar ma‟ruf nahi munkar ini, harus mengetahui uslub-uslub dakwah. Karena ia adalah sebagian daripada konsep dakwah yang harus dilaksanakan. Selanjutnya, beliau menekankan, bahwa harus ada keimanan yang jitu pada para juru dakwah atau orang-orang yang menyeru kebajikan, menyuruh kepada yang ma‟ruf , dan mencegah kemunkaran, dapat menempuh jalan yang sulit dan memikul tugas yang berat ini. Bekal serta persiapan mereka adalah iman dan sandaran mereka adalah Allah. Karena semua perbekalan dan persiapan selain iman akan musnah dan tumpuh dan semua sandaran selain Allah akan roboh. Pada penggalan akhir tafsirnya, Sayyid Qutb menegaskan bahwa dakwah amar ma‟ruf nahi munkar merupakan sifat pokok dalam masyarakat Islam, sekaligus menunjukkan betapa urgennya dakwah tersebut bagi masyarakat ini.
Seperti yang kita ketahui sebelum ini, mana-mana kitab tafsir yang bermula dari periode tradisional seperti Tafsir At-Tabarî yang dikarang boleh Imam At-Tabari, Tafsir Al-Kasyaf yang dikarang boleh Zamakhsyarî dan lain-lain tafsirnya sehinggalah pada periode kontemporer seperti Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân yang dikarang oleh Sayyid Qutb, Tafsir Al-Munîr yang dikarang oleh Wahbah Zuhailî dan lain-lain tafsirnya, pasti ada kelebihan dan kekurangannya. Karena setiap kitab-kitab tafsir adalah hasil daripada ijtihad dan kesungguhan para ulama didalam menerangkan dan menjelaskan ayat-ayat Al-Qur‟ân. Di dalam Fî Zilâl AlQur‟ân, menurut penulis, Sayyid Qutb tidak menjelaskan secara detail bagaimana cara yang harus dilaksanakan didalam dakwah amar ma‟ruf nahi munkar ketika dalam keadaan aman dan darurat? Bagaimana tahapan-tahapan dakwah amar ma‟ruf nahi munkar?.. Nah! Disinilah penulis melihat diantara kekurangan didalam penafsiran Sayyid Qutb mengenai diskripsi amar ma‟ruf nahi munkar menurut penulis. Menurut penulis, kepada pembaca yang ingin memahami dengan lebih lanjut dan detail, harus mengkombinasi Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân dan kitab-kitab tafsir lain serta pendapat para ulama tradisional maupun kontemporer terhadap diskripsi amar ma‟ruf nahi munkar.
. وهللا أعلم
BAB V PENUTUP A.
Kesimpulan. Di era globalisasi yang serba canggih dengan kemajuan teknologi yang
tinggi telah mendatangkan baik dan buruknya, kita bisa melihat pada saat ini, kehidupan umat manusia sedikit banyak, disadari atau tidak telah dipengaruhi berbagai gerakan yang terkadang membawa kepada nilai-nilai baru dan tentunya tidak sejalan bahkan bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Dapat penulis simpulkan disini adalah dakwah amar ma‟ruf nahi munkar menjadi dakwah Islam yang terpenting untuk diimplementasikan dan menjadi misi terpenting bagi para rasul, nabi-nabi, Salafus Salih serta para ulama di dalam medan dakwah kepada umat manusia. Telah Sayyid Qutb tegaskan didalam karya monumentalnya didalam Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân bahwa urgennya di atas pundak kaum Muslimin melaksanakan amar ma‟ruf nahi munkar di dalam kehidupan seharian baik diperingkat individu, keluarga, masyarakat maupun didalam jamaah. Dan Allah SWT akan tidak akan menolong bahkan akan melaknat ke atas sesebuah kaum yang meninggalkan perintah syari‟at ini sepertimana yang telah disebutkan di dalam firman Allah SWT didalam surah AlMâidah :78-79. Kesimpulan yang dapat penulis tegaskan disini sebagaimana Sayyid Qutb telah nyatakan didalam Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân, untuk mengimplementasikan manhâj Allah SWT bukanlah semata-mata memberi nasihat, bimbingan, dan menyampaikan keterangan melalui dengan cara uslub dakwah. Memang ini adalah
salah satu aspek, akan tetapi masih ada aspek yang lebih utama yang perlu ditegakkan yaitu menegakkan kekuasaan untuk memerintah dan melarang. Yang dimaksudkan disini adalah rakyat harus memilih dan berpihak kepada penguasa atau kerajaan yang ingin menegakkan Daulah Islamiyyah didalam sesebuah negeri dengan mengamalkan konsep dakwah amar ma‟ruf nahi munkar secara konsisten dan efisien supaya kehidupan di muka bumi kini terpelihara dari kepimpinan bangsa jahiliyah dengan menyuruh kepada kejahatan dan kerusakan. Untuk itu, kaum Muslimin harus memiliki kekuatan sehingga memungkinkan mereka memerintah kepada yang baik dan mencegah kemungkaran. Sayyid Qutb menambah lagi, untuk mengimplementasikan manhâj Allah SWT di zaman mutakhir ini, harus bertitik tolak dari dua pilar yaitu pilar iman dan pilar ukhuwah; mengarah kepada umat Islam agar berloyalitas dengan hukum kepada satu-satunya syari‟at dari sisi Allah; menyuruh kaum Muslimin dapat bersatu teguh didalam tata nilai, bual bicara dan amal perbuatan menurut AlQur‟ân dan As-Sunnah karena semua perbekalan dan persiapan yang tidak disandarkan Al-Qur‟ân dan As-Sunnah akan membawa kepada kemusnahan, kerusakan, dan bermaharaja lelanya berbagai kemungkaran dan kemaksiatan membuatkan umat Islam menjadi lemah dan berkuasanya musuh-musuh Islam di dalam sesebuah negeri.
B.
Saran-saran. 1. Di dalam Al-Qur‟ân Al-Karim dan Sunnah Nabawî banyak menceritakan implikasi-implikasi yang buruk dan adzab yang akan menimpa kepada umat yang meninggalkan perintah syari‟at tersebut. Oleh itu, saran dari penulis agar pembaca dan diri penulis sendiri dapat mengambil iktibar dari kisah-kisah yang lalu. 2. Penulis sengaja mengambil dakwah amar ma‟ruf nahi munkar ini sebagai bahan untuk didiskusikan supaya para pembaca dapat memahami secara jelas dengan terperinci terhadap perintah ini; tentang baik buruknya meninggalkan perintah tersebut, mengetahui secara jelas uslub-uslub untuk menegakkan amar ma‟ruf nahi munkar di dalam sesebuah masyarakat maupun ke atas individu dan sebagainya. 3. Penulis dengan sengaja mengambil pendekatan pemikiran Sayyid Qutb karena beliau adalah seorang tokoh pejuang reformasi yang membawa imej Islam ke arah membentuk manhâj Allah yang harus ditegakkan di muka bumi ini melalui sistem gerakannya, pentarbiyahannya dan dakwahnya. Sarana penulis, kepada peniliti lain yang ingin membahas dengan lebih menarik agar mengkombinasi pendekatan tokoh-tokoh yang lain supaya pembahasannya tampak lebih menarik dan mudah difahami.
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur‟an Al-Karim. Abu „Isa, Muhammad bin „Isa bin Saurah, Sunan At-Tarmidzi, (Beirut, Dar AlFikr, 1994). Abu Al-Hasan, „Ali bin Ahmad Al-Wâhidî, Asbâb Nuzûl Al-Qur‟an, (Beirut: Dâr Al-Kutub Al-„Imiyyah). Abu Daud, Sulaiman bin Al-Asy‟ats Al-Sijistan, Sunan Abu Daud, (Darul Hadist: Kairo, 1998), Kitab Malahim, juz. IV. al-Audah, Salman Fahd, Amar Ma‟ruf Nahi Munkar, Penerjemah: Rakhmat, Abdul Rosyad Shidiq, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993), cet. 1. Amin, M. Masyhur, Dakwah Islam dan Pesan Moral, (Jakarta : Al-Amin Press, 1997). Darwis, Shaleh Abdullah, Konsep Amar Ma‟ruf Nahi Munkar dan Realisasinya di Dunia Modern, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya), 1996. Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: P.T. Ikhtiar Van Hoeve, 1999), cet. ke-IX. Fadlullah, Mahdi, Titik Temu Agama dan Politik: Analisa Pemikiran Sayid Qutb, (Solo: Ramadhani, 1991) Gaffar, M. Abd., Amar Ma‟ruf Nahi Munkar dan Realisasinya di Dunia Modern, (Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1996) Hafiduddin, Didin, Dakwah Aktual, (Jakarta : Gema Insani Press, 1998). Hamka, Pandangan Hidup Muslim, (Jakarta : Bulan Bintang, 1992). Hashim, Zainuddin dan Mohamad Nor, Riduan, Tokoh-tokoh Gerakan Islam Abad Moden (Penerbit Kuala Lumpur, Malaysia, 2006), cet. 1. Hidayat, Nuim, Sayid Qutb, (Penerbit: Darul Kutub). Ibnu Taimiyah, Al-Amru bil Ma‟ruf wan Nahyu „anil Munkar, (Tahqiq: Abu Abdillah Muhammad bin Sa‟ad bin Ruslan), Ibnu Taimiyah, Menghindari Pertentangan Akal dan Wahyu, terjemahan : Munirul Abidin, (Malang : Pustaka Zamzami 2004).
____________, Menuju Umat Amar Ma‟ruf Nahi Munkar, terjemahan : Muhammad Jamil Ghazy, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1998), cet. 1. Indrawan WS, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Lintas Media Jombang) Izzan, Ahmad, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Takafur (Kelompok Humaniora), 2007), cet. ke-1. Jawas, Yazid Abdul Qadir, Amar Ma‟ruf nahi Munkar Menurut Ahli Sunnah wal Jama‟ah, (Bogor: Pustaka At-Taqwa, 2009) cet. 2 al-Jabri, Abdul Muta‟al, (Limadza Ughtila Asy-Syahid Hasan Al-Banna). al-Khalidi, Salah Abdul Fattah, Pengantar Memahami Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân, Penerjemah : Salafuddin Abu Sayyid, (Perpustakaan Nasional RI : KDT). ________________, Al-Tafsir Al- mawdũ‟i bayn Al-Nazariyyah wa Al-Tatbiq, (Jordan: Dar Al-Nafa‟is, 1997). ________________, Tafsir Metodologi Pergerakan: Di Bawah Naungan AlQur‟an, Penerjemah : Asmuni Solihin, (Jakarta: Yayasan Bunga Karang, 1995). Majalah Al-Kitab, vol. XI, edisi ke-9, November 1952. Majalah Al-Mujtama‟, Kuwait , edisi ke-551, tanggal 7 November 1981. Majalah Al-Muslimûn (edisi ketiga, hal. 28-32), (edisi keempat, hal. 19-27), (edisi kelima, hal. 17-26), (edisi keenam, hal. 13-22), (edisi ketujuh, hal. 25-30), (edisi kedelapan, hal. 24-34), (edisi kesembilan, hal. 11-15). al-Mâwardi, Al-Ahkam Al-Sultaniyyah, (Penerbit: Darul Kutub). Mazîd min Aqwâli Al-„Ulama‟ dalam perbahasan Khashiyatu Asy-Syumūl. Muhali, Mujab, Asbabunnuzul Studi Pendalaman Al-Qur‟an, (Jakarta: Rajawali, 1989), cet. I. Munir, M., dan Tim Lembaga Kajian dan Pengembangan Dakwah Forum Komunikasi
Mahasiswa
dan
Alumni
Pascasarjana
UIN
Syarif
Hidayatullah Jakarta, Metode Dakwah, (Jakarta : Prenada Media, 2003) an-Nawâwî, Syarhu An-Nawawî Sahih Muslim, juz. II. al-Qattan, Mannâ‟ Khalîl, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur‟an, Penerjemah: Mudzakir AS, (Jakarta: Litera AntarNusa bekerjasama dengan Halim Jaya, 2007), cet. ke-10.
Qutb Asy-Syahid Al-Hayy, Sayid, (Penerbit: Dar Al-Fikr, Beirut) cet. 1. Qutb, Muhammad, Qabasat minar Rasul, pasal “Qabla‟an Tad‟u fâla Ujîba”, terbitan Darusy Syuruq. Qutb, Sayid, Tafsir Fî Zilâl Al-Qur‟ân di bawah naungan Al-Qur‟an, Penerjemah: As‟ad Yasin dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2008), cet. ke-6. ___________, Fî Zilâl Al-Qur‟ân, cetakan Kedua nonrevisi. ar-Ruhaili, Hamud bin Ahmad, Al-Qâ‟idah Al-Muhimmah fil Amri bil Ma‟ruf wan Nahyi „anil Munkar fii Dhau-il Kitâbi was Sunnah, cet. 1