DESAIN MODEL PENGERING SPOUTED BED DUA DIMENSI UNTUK PENGERINGAN GABAH
YUSNITA ONI NAPITU
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Desain Model Pengering Spouted Bed Dua Dimensi untuk Pengeringan Gabah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, April 2016 Yusnita Oni Napitu NIM F151140146
RINGKASAN YUSNITA ONI NAPITU. Desain Model Pengering Spouted Bed Dua Dimensi untuk Pengeringan Gabah. Dibimbing oleh LEOPOLD OSCAR NELWAN dan DYAH WULANDANI Spouted bed awalnya dirancang untuk mengatasi proses bubbling dan slugging yang umum terjadi pada pengering fluidized bed. Pengering ini dapat bekerja secara efektif untuk bahan yang sensitif terhadap suhu tinggi karena peningkatan suhu bahan terbatas walaupun suhu inlet udara tinggi dengan pencampuran dan waktu relative singkat di daerah spout. Tujuan penelitian ini adalah untuk merancang desain model pengering spouted bed dua dimensi, menguji kinerja ruang pengering dan simulasi kondisi pengeringan. Desain pengering spouted bed dua dimensi pada penelitian ini terdiri dari bagian persegi panjang dengan tinggi 0.5 m, lebar 0.15 m dan panjang 0.2 m. Bagian bawah ruang pengering berbentuk sisi miring dengan kemiringan 60o yang dihubungkan dengan saluran inlet udara dengan dimensi 0.02 m x 0.15 m. Suhu udara selama pengeringan adalah 80 oC dan kadar air awal 29, 26.4 dan 23% basis basah (bb). Kapasitas pengering adalah 3 kg/jam dengan laju pengeringan bervariasi yaitu 4.35 – 12 %bk/jam. Massa bahan yang tinggal di dalam ruang pengering adalah 0.1 kg. Model matematika yang digunakan untuk menduga profil suhu udara, suhu gabah, kelembaban mutlak udara dan kadar air adalah model Nellist et al. (1987). Pendugaan kadar air keluaran tipe kontinyu menggunakan model yang dikembangkan oleh Zahed dan Epstein (1992). Data pengujian menunjukkan bahwa suhu udara di daerah spout akan menurun secara signifikan terhadap posisi aksial ruang pengering tetapi pada daerah downcomer suhu udara bernilai fluktuatif. Nilai MAPE suhu udara daerah spout bernilai kurang dari 4.45% dan pada daerah downcomer kurang dari 8.51%. Dari nilai MAPE tersebut dapat disimpulkan bahwa model Nellist et al. (1987) dapat digunakan untuk menduga parameter selama proses pengeringan. Suhu gabah dan kelembaban mutlak udara pada daerah spout menunjukkan bahwa nilai akan naik secara bertahap sementara untuk daerah downcomer nilai menurun secara bertahap terhadap posisi aksial. Hasil simulasi kadar air daerah spout dan daerah downcomer mengalami penurunan nilai terhadap waktu. Penurunan kadar air daerah spout lebih besar dibandingkan daerah downcomer karena pada daerah spout laju aliran udara lebih besar. Nilai MAPE pendugaan kadar air keluaran dengan model Zahed dan Epstein (1992) adalah 7%. Rendemen beras kepala bernilai 39 - 46.5%, rendemen penggilingan bernilai 65 – 67%. Konsumsi energi panas selama proses pengeringan adalah 5.14 – 9.48 MJ/kg air yang diuapkan dan nilai konsumsi energi total adalah 8 – 16 MJ/kg air yang diuapkan.
Kata kunci : Model matematika, Pengeringan gabah, Pengering spouted bed dua dimensi.
SUMMARY YUSNITA ONI NAPITU. Design Model of Two-Dimensional Spouted Bed Dryer for Paddy Drying. Supervised by LEOPOLD OSCAR NELWAN and DYAH WULANDANI. Spouted bed is originally developed as an alternative method of bubbling and slugging process in fluidized bed dryer. Spouted bed allows more efficient for drying heat sensitive materials since the rise in material temperature is limited by through mixing and short dwelling time in the spout. The objectives of this study were to design model of two-dimensional spouted bed dryer (2DSB), to test the performance of 2DSB and to predict air temperature, grain temperature, absolute humidity and moisture content during the drying process. Design of 2DSB in this study consisted of vertical rectangular chamber 0.5 m in height, 0.15 m width and 0.2 m length. The two-sided slanted base inclined at 60o to the side wall was connected to rectangular (0.02 m x 0.15 m) air entry slot. Drying air temperature at 80 oC and different paddy initial moisture contents (at 29.07 %wb, 26.4 %wb and 23 %wb) were used. Drying capacity of the dryer was 3 kg/hr and drying rates were found to vary between 4.35 – 12 %db/hr. The holding capacity of the dryer was at 0.1 kg. A mathematical model developed by Nellist et al. (1987) was adopted to predict air temperature, grain temperature, absolute humidity and moisture content during the drying process. A mathematical model by Zahed and Epstein (1992) was adopted to predict moisture content for continuous drying. The data showed that air temperature profiles in spout region dropped significantly with the axial positions while downcomer regions resulted fluctuated value. MAPE value of air temperature in spout region was less than 4.5% and within downcomer was less than 8.51%. From the MAPE value, it can be concluded that Nellist model was accepted to be adopted in this simulation. Grain temperature and absolute humidity in the spout region increased gradually while they decreased in the downcomer region in axial position. The moisture content decreased both in spouted and downcomer regions. Moisture reduction in spout region was higher than in downcomer regions because of the higher air flow rate in spout region. The MAPE value of moisture predictions with Zahed and Epstein (1992) mathematical model was less than 7%. Head rice yield (HRY) was in range of 39 – 46.5% and milling rice yield was in range 65 – 67%. Heat energy consumption in this study was in range of 5.14 – 9.48 MJ/kg of water evaporated, and total energy consumption was in range of 8 – 16 MJ/kg of water evaporated.
Keywords: Mathematical model, Paddy drying, Two dimensional spouted bed dryer
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
DESAIN MODEL PENGERING SPOUTED BED DUA DIMENSI UNTUK PENGERINGAN GABAH
YUSNITA ONI NAPITU
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknik Mesin Pertanian dan Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji luar komisi pada Ujian Tesis : Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema umum yang dipilih dalam penelitian ini adalah pengeringan dengan judul Desain Model Pengering Spouted Bed Dua Dimensi untuk Pengeringan Gabah. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Leopold Oscar Nelwan, STP, MSi dan Ibu Dr Ir Dyah Wulandani, MSi selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis, dan Bapak Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr selaku dosen penguji pada sidang tesis yang telah banyak memberikan saran dan masukan kepada penulis. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada ayah (Donni Napitu), ibu (Rosita Pardede), adik (Roy Napitu, Leni Napitu dan Lena Napitu) serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayang yang telah diberikan. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Abdullah Taufiq Kharisma atas motivasi dan bantuan yang diberikan selama penelitian ini. Terimakasih juga saya ucapkan kepada Bapak Harto selaku teknisi Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Pertanian, Mas Firman, Nurbaiti, Kak Robert, Kak Ubay, Kak Sapar serta teman – teman TMP yang telah menjadi rekan seperjuangan penulis selama menempuh studi. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2016
Yusnita Oni Napitu
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
DAFTAR SIMBOL
xiv
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian
1 1 3
2 TINJAUAN PUSTAKA Gabah Beras Pengering Spouted bed
3 3 6 6
3 METODE Waktu dan Tempat Pelaksanaan Bahan dan Alat Tahapan Penelitian Perumusan kriteria rancangan
9 9 9 10 10
Perancangan
10
Analisis teknik alat
11
Gambar teknik
12
Pembuatan alat
13
Model matematika pengeringan spouted bed
13
Model matematika pengering tipe kontinyu
15
Prosedur Pengujian Pengujian alat
17 19
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Desain pengering spouted bed dua dimensi Profil suhu dalam ruang pengering Validasi Model Matematika Pengering Spouted Bed Hasil Simulasi Sebaran Suhu Udara
23 23 25 27 27
Hasil Simulasi Sebaran Suhu Gabah
30
Hasil Simulasi Kelembaban Mutlak Udara
31
Hasil Simulasi Penurunan Kadar Air Gabah
32
Hasil Simulasi Pendugaan Kadar Air Gabah Pengering Tipe Kontinyu 33
Tekanan Penurunan Kadar Air Mutu Gabah Hasil Pengeringan dan Konsumsi Energi
34 35 37
5 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran
40 40 41
6 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
42 47 54
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Mutu fisik gabah galur padi berkadar besi tinggi 5 Data karakteristik gabah 5 Karakteristik dan dimensi beberapa komoditas gabah 5 Persyaratan mutu beras giling menurut SNI RSNI 01-6128-2008 6 Parameter yang digunakan selama proses pengeringan 28 Kondisi yang digunakan saat simulasi 28 Nilai MAPE data hasil simulasi dan eksperimen suhu udara 29 Nilai MAPE model pendugaan kadar air gabah tipe kontinyu 33 Penurunan kadar air dan lama pengeringan selama proses pengeringan 35 Perbandingan rendemen pengering spouted bed dan suhu udara lingkungan 37 Rendemen gabah dan konsumsi energi selama proses pengeringan 39 Hubungan kadar air awal gabah dengan kualitas beras 40 Kalibrasi termokopel terhadap termometer standar 48 Kalibrasi sensor LM35DZ terhadap termometer standar 48
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Struktur Gabah Diagram skematik spouted bed tipe konvensional silinder Beberapa tipe pengering spouted bed (Passos et al. 2011) Skema ruang pengering dua dimensi Skema rancangan alat Diagram alir tahapan penelitian Skema penentuan jarak nomal jika Ws = Wi Skema penentuan jarak normal jika Ws > Wi Skema aliran bahan dan udara pada satu lapisan Tahapan simulasi pada daerah spout Diagram alir proses penggilingan dan pemutuan gabah Titik pengukuran suhu dan tekanan Suhu udara pada daerah spout selama proses pengeringan Sebaran suhu udara di daerah downcomer kanan Sebaran suhu udara di daerah downcomer kiri Validasi suhu udara di daerah spout pada proses pengeringan Validasi suhu udara daerah downcomer pada proses pengeringan Suhu gabah pada daerah spout Suhu gabah pada daerah downcomer Kelembaban mutlak udara daerah spout Simulasi kelembaban udara mutlak daerah downcomer Hasil simulasi penurunan kadar air Grafik penurunan tekanan pada daerah spout dan downcomer
4 7 8 23 24 11 12 12 15 17 19 20 26 27 27 29 30 30 31 31 32 33 34
24 Grafik penurunan kadar air gabah yang keluar dari ruang pengering 36 25 Laju pengeringan bahan selama proses pengeringan 36
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6
Kalibrasi termokopel dan sensor suhu LM35DZ Skema sistem pengumpanan Skema screw feeder Skema siklon Skema alat pengering Skema ruang pengering
48 49 50 51 52 53
DAFTAR SIMBOL Ar Cpa Cpg Cpl Cpv dp dz E(θ) G g Ga Ga,d Ga,s Gp,d Gp,s Gp h H HD He HE Hr Hmax Ho hS Hv I(θ) k KAo KAt
Bilangan Archimedes Panas spesifik udara saat tekanan konstan (kJ/kgK) Panas spesifik bahan saat tekanan konstan (kJ/kgK) Panas spesifik air (kJ/kgK) Panas spesifik bahan uap air (kJ/kgK) Diameter bahan (m) Ketebalan (m) Fungsi distribusi bahan keluar Laju aliran massa (kg/m2s) Gravitasi (m/s2) Laju aliran massa udara (kg/m2s) Laju aliran udara daerah downcomer (kg/m2s) Laju aliran udara daerah spout (kg/m2s) Laju aliran bahan daerah downcomer (kg/m2s) Laju aliran bahan daerah spout (kg/m2s) Laju aliran massa bahan (kg/m2s) Ketinggian air (mm) Kelembaban mutlak udara (kg kadar air/ kg udara kering) Tinggi draft plates (m) Jarak antara draft plates dan plat distributor (m) Ketinggian jarak pisah (m) Tinggi total ruang pengering (m) Tinggi tumpukan maksimum bahan di dalam ruang pengering (m) Tinggi tumpukan awal bahan (m) Koefisien pindah panas volumetrik (kJ/sm3K) Panas laten penguapan air (kJ/s) Distribusi waktu selama proses pengeringan Koefisien pengering (1/s) Kadar air awal bahan (% basis basah) Kadar air bahan saat t (% basis basah)
KAt+Δt La Lr Lg M MAPE
Kadar air bahan saat t+Δt (% basis basah) Panas laten penguapan air pada suhu 0oC (kJ/kgK) Lebar total ruang pengering (m) Panas laten penguapan air di dalam biji (kJ/kg) Nilai kadar air tertentu (desimal basis kering) Nilai tengah kesalahan persentasi absolute
M
Kadar air rata-rata bahan pada proses batch (g/g)
mA
mB
Laju aliran massa udara kering (g/menit) Massa hold up bahan di dalam ruang pengering (g)
mB
Laju aliran massa bahan kering (g/menit)
m in
Laju aliran massa bahan masuk ruang pengering (kg/s)
Me Kadar air kesetimbangan (desimal basis kering) Mf Kadar air akhir sampel (%bk) Mi Kadar air awal sampel (%bk) Mo Kadar air awal (g/g) m1 Berat bahan dan cawan sebelum dimasukkan ke dalam oven (g) m2 Berat bahan dan cawan setelah di oven (g) mo Berat cawan tanpa bahan (g) muap Jumlah air yang diuapkan ΔP Penurunan tekanan (Pa) PEi Persentasi error Ppl Tekanan statis daerah plenum (Pa) Pr Panjang total ruang pengering (m) Ps Tekanan statis (Pa) Q massa air yang ditambahkan (kg) Qv,min Total energi panas pada pengering tipe kontinyu (kW) Qheater Daya heater yang dibutuhkan (kW) Ql Total konsumsi energi listrik (kW) Qmotor listrik Energi motor listrik (kW) Qblower Energi blower (kW) t Waktu (s) Waktu tinggal bahan di dalam ruang pengering (menit) t tp Ketebalan dari draft plates (m) Ta Suhu udara (oC) Tg Suhu gabah (oC) Tg,a Suhu ruangan di dalam ruang pengering (oC) Tg,in Suhu udara yang masuk ke dalam ruang pengering (oC) Tgo Suhu awal gabah (oC) vi Nilai sebenarnya 𝑣̂𝑖 Nilai simulasi Vmf Kecepatan minimum superficial fluida (m/s) VT Kecepatan terminal partikel (m/s) Y Kelembaban udara outlet (g uap air/g udara kering) Yi Kelembaban udara inlet (g uap air/g udara kering)
WD Wi Wg Wo Ws ws Wt Xin Xout
Jarak antara kedua draft plates (m) Saluran inlet udara berbentuk persegi panjang dengan dimensi panjang (m) Laju aliran massa udara (kg/s) Jarak normal dari saluran inlet udara (m) Laju pengumpanan bahan (kg/s) Jarak draft tube (m) Massa awal sampel (kg) Kadar air masuk (desimal basis kering) Kadar air keluar (desimal basis kering)
z
Ketebalan lapisan (m)
Huruf Yunani δ ρ Δ θ ϕ ρf f ρs θs θ0 θE
perubahan densitas (kg/m3) selisih waktu tidak berdimensi ( t / t ) kebundaran bahan densitas udara (kg/m3) viskositas fluida densitas bahan, kg/m3 kemiringan sudut ruang pengering, o besar sudut antara draft plates dengan sisi miring bawah ruang pengering di titik D, o besar sudut antara draft plates dengan sisi miring bawah ruang pengering di titik A, o
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pemerintah mempunyai prioritas yang diarahkan kepada sektor pertanian terutama beras (gabah) dalam orientasi pertumbuhan ekonomi untuk penduduknya. Penanganan panen dan pasca panen mempunyai peran yang strategis dalam upaya penyediaan bahan pertanian karena dapat menekan kehilangan hasil sekaligus memperbaiki kualitas produksi. Susut (kehilangan) dalam kegiatan pasca panen berdasarkan data Badan Litbang Pertanian (2011) adalah pada proses pemanenan (9.41%), perontokan (4.42%), penggilingan (2.24%), pengeringan (1.78%), penyimpanan (0.67%) dan pengangkutan (0.23%). Menurut Anugrah dan Husnah (2015), susut pasca panen yang dimaksud adalah gabah yang lenyap tanpa sepengetahuan dan seizin petani. Gabah yang hilang adalah pengurangan atau penurunan berat gabah akibat tercecer yang tidak dapat diambil kembali oleh petani baik kuantitas maupun kualitas selama proses penanganan pasca panen. Kehilangan kuantitatif ditujukan kepada jumlah bobot sedangkan kehilangan kualitatif ditujukan kepada penurunan mutu (kualitas). Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kehilangan hasil padi antara lain : varietas padi, umur panen padi, alat panen, sistem panen, perilaku pemanen dan perontok padi. Pengeringan merupakan salah satu kegiatan yang penting dalam upaya mempertahankan kualitas gabah dan beras. Pengeringan dapat memperlambat pertumbuhan jamur dan bakteri sehingga bahan tidak mengalami kerusakan dan penyusutan selama masa simpannya. Pengeringan dapat dilakukan dengan metode konvensional dan mekanis. Penjemuran merupakan cara pengeringan konvensional yang cukup murah akan tetapi ada faktor yang menjadi kendala penjemuran yang mencakup: kebutuhan lahan yang luas, kontaminasi bahan asing, tidak praktis pada daerah yang sering berubah cuacanya dan pada musim hujan praktis sulit dilakukan dan berakibat pada nilai susut dan kualitas padi yang dihasilkan. Untuk mengatasi kehilangan pada pengeringan konvensional dapat digunakan pengering mekanis. Penerapan teknologi mekanis dalam pengeringan gabah akan dapat mempertahankan mutu gabah sebelum digiling. Pengering mekanis memiliki resiko kehilangan hasil lebih rendah (2.3%) daripada penjemuran (2.98%) (Hosokawa 1995). Salah satu tipe pengeringan mekanis yang dapat digunakan adalah pengering tumpukan fluidisasi (fluidized bed dryer/ FBD). Prinsip kerja FBD adalah dengan menyalurkan udara panas dari bagian bawah ruang pengering pada tumpukan bahan. Beberapa jenis FBD telah banyak dipelajari, dikembangkan dan dioperasikan pada proses industri. Sutherland dan Ghaly (1990) melakukan penelitian dengan FBD untuk pengeringan padi. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa rendemen beras kepala yang dihasilkan adalah 58 - 61% ketika dikeringkan dari kadar air 28.2 - 20.5%. Namun, ketika dikeringkan sampai kadar air akhir 19%, rendemen beras kepala yang dihasilkan adalah 15-24%. Kekurangan pengering tipe FBD adalah besarnya penurunan tekanan di ketinggian tumpukan bahan selama proses pengeringan yaitu sekitar 96 - 100% dari tekanan yang dibutuhkan, dan 30 - 50% pada saluran inlet ke dalam ruang pengering yang menyebabkan kebutuhan energi lebih besar (Sutkar et al. 2013).
2 Salah satu jenis FBD adalah pengering spouted bed. Pengering spouted bed tidak seperti tumpukan fluidisasi dimana partikel bergerak secara acak. Gerakan partikel di dalam spouted bed bersirkulasi ulang secara teratur sehingga pengering dengan tipe batch maupun kontinyu dapat diterapkan (Mujumdar 2006). Pengering tipe spouted bed juga dapat diaplikasikan ke partikel tipe D menurut klasifikasi karakteristik fluidisasi oleh Geldart. Keuntungan pengering tipe spouted bed ini adalah kinerja dari panas yang digunakan dapat ditingkatkan sampai suhu tinggi tanpa menyebabkan adanya penurunan kualitas yang signifikan pada produk. Hal ini disebabkan karena partikel yang berada pada wilayah spout merupakan fraksi dari total waktu pengeringan. Selama waktu pengeringan, kadar air permukaan bahan akan menguap dan gradien antar partikel di dalam bahan yang terbentuk semakin tinggi. Tingginya sirkulasi partikel dan laju transfer massa dan panas pada spouted bed tidak akan lebih dari 50-80 oC walaupun suhu udara masuk pengering 160 oC (Chandra dan Sodha 1986). Selain itu, penurunan tekanan sebagai fungsi tinggi tumpukan lebih kecil dari 75%. Kekurangan sistem pengeringan gabah spouted bed konvensional adalah tingginya penurunan tekanan. Namun, hal ini dapat diatasi dengan penambahan unit draft tubes di bagian tengah ruang pengering sehingga ruang pengering terdiri dari daerah anulus dan spout. Penambahan unit ini menyebabkan sirkulasi bahan di dalam ruang pengering menjadi lebih stabil dan penurunan tekanan menjadi lebih kecil (Viswanathan et al. 1986). Wetchama et al. (2001) melakukan pengeringan gabah dengan spouted bed dua dimensi dilengkapi dengan draft plates dan diperoleh bahwa kandungan beras kepala meningkat ketika gabah memiliki kadar air awal 45.56% bk (basis kering) dan dikeringkan dengan temperatur lebih dari 130 oC. Namun pada kadar air rendah yaitu 37.8% bk, beras kepala menurun ketika suhu inlet meningkat. Hanya penelitian Nguyen et al. (2001) melaporkan bahwa pada pengering spouted bed tipe segitiga dapat menurunkan kadar air gabah sekitar 18% bk dengan hasil beras kepala yang memuaskan walaupun suhu inlet udara sampai 160 oC. Penurunan tekanan maksimum pada awal spouting adalah 20003600 Pa dan penurunan tekanan berada pada batas antara 1400 - 2300 Pa. Untuk mensimulasi pengeringan spouted bed, model pengeringan di dalam tumpukan mencakup persamaan kesetimbangan massa, kesetimbangan energi dan kinetika pengeringan. Model pengeringan tipe batch untuk gabah dikembangkan oleh Zurith dan Singh (1982) menggunakan model semi teori dari desorpsi panaspenguapan sebagai fungsi dari suhu dan kadar air. Untuk memprediksi kadar air, Zurith dan Singh (1982) mengasumsikan dengan konstanta difusi konstan selama proses pengeringan (Madhiyanon et al. 2007). Madhiyanon et al. (2007) mengembangkan persamaan yang terdiri dari persamaan kesetimbangan massa, kesetimbangan energi, pindah panas dan difusi pengeringan yang diselesaikan dengan metode numerik. Aliran bahan di ruang pengering diasumsikan bergerak dengan prinsip plug flow walaupun kondisi sebenarnya perilaku bahan berbeda dengan prinsip plug flow. Nellist et al. (1987) juga mengembangkan model yang dapat digunakan untuk pengeringan dengan tipe aliran co-flow dan counter-flow. Di dalam pengering spouted bed dua dimensi, aliran bahan diasumsikan bergerak dengan tipe co-flow untuk daerah spout dan counter-flow untuk daerah downcomer. Model ini diadopsi untuk menduga parameter pengeringan seperti suhu udara, suhu gabah, kelembaban mutlak udara dan kadar air selama proses pengeringan.
3 Proses pengeringan merupakan kegiatan pascapanen yang tidak hanya mengonsumsi sejumlah energi tetapi juga akan mempengaruhi kualitas bahan yang dihasilkan terutama gabah. Oleh karena itu, proses pengeringan untuk kapasitas yang besar hal ini menjadi sangat penting. Untuk merancang pengering tipe batch maupun kontinyu, parameter dalam proses pengeringan sebaiknya diprediksi dengan simulasi. Simulasi merupakan metode paling murah dan hemat waktu untuk mengontrol dinamika dari proses pengeringan sehingga dapat mengoptimalkan kinerja pengering dari segi konsumsi energi dan kualitas produk yang dihasilkan. Hasil simulasi berupa suhu udara dan kelembaban mutlak udara dapat digunakan menduga kebutuhan energi minimum yang dibutuhkan dalam proses pengeringan dengan lebih tepat, juga dapat ditambahkan suatu proses seperti unit resirkulasi udara dan peningkatan kapasitas pengeringan jika suhu udara dan kelembaban mutlak udara masih bernilai tinggi. Kualitas produk dapat diduga dari hasil simulasi peningkatan suhu gabah dan kemudian dibandingkan dengan hasil literatur. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini antara lain : 1. Merancang model pengering skala laboratorium dan menguji kinerja pengering spouted bed dua dimensi 2. Menduga sebaran suhu udara, suhu gabah, kelembaban mutlak udara dan kadar air di pengering spouted bed dua dimensi dengan model Nellist et al. (1987) 3. Menduga kadar air rata-rata bahan yang keluar dari ruang pengering dengan model Zahed dan Epstein (1992)
2 TINJAUAN PUSTAKA Gabah Gabah merupakan biji padi yang memiliki klasifikasi tertentu yang membedakannya di pasaran sesuai dengan permintaan konsumen. Klasifikasi ini ditentukan oleh beberapa faktor antara lain jenis gabah, kualitas gabah, dan kadar air gabah. Klasifikasi gabah diperlukan untuk mengetahui mutu gabah dari proses pengeringan dan juga proses penyimpanan. Buah padi atau gabah yang dikupas akan menghasilkan beras pecah kulit (brown rice). Gabah terdiri dari dua penyusun utama yaitu 72-82% bagian yang dapat dimakan atau kariopsis (beras pecah kulit) dan 18-28% kulit gabah atau sekam. Menurut Juliano (1980), beras pecah kulit yang telah dihilangkan kulit atau sekam terdiri dari perikarp (1-2%), aleuron dan testa (4-6%), lembaga (2-3%) dan endosperm (89-94%). Struktur dari gabah dapat dilihat pada Gambar 1.
4
Gambar 1 Struktur Gabah Berdasarkan tingkat kekeringannya, gabah dapat diklasifikasikan menjadi 3 jenis antara lain: 1. Gabah kering panen (GKP), adalah gabah yang mengandung kadar air lebih dari 18% bb tetap sampai 25% basis basah (bb). 2. Gabah kering simpan (GKS), adalah gabah yang memiliki kandungan kadar air antara 14% bb sampai 18% bb. 3. Gabah kering giling (GKG), adalah gabah yang memiliki kandungan kadar air maksimal 14% bb. Tingkat kemurnian gabah merupakan persentase berat gabah bernas terhadap berat keseluruhan campuran gabah. Makin banyak benda asing atau gabah hampa atau rusak di dalam campuran gabah maka tingkat kemurnian gabah makin menurun. Kemurnian gabah dipengaruhi oleh adanya butir yang tidak beras seperti butir hampa, muda, berkapur, benda asing atau kotoran yang tidak tergolong gabah, seperti debu, butir-butir tanah, batu-batu, kerikil, potongan kayu, potongan logam, tangkai padi, biji-biji lain, bangkai serangga hama, serat karung, dan sebagainya. Termasuk pula dalam kategori kotoran adalah butir-butir gabah yang telah terkelupas (beras pecah kulit) dan gabah patah. Kualitas gabah akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas beras yang dihasilkan. Kualitas gabah yang baik akan berpengaruh pada tingginya rendemen giling. Rendemen giling adalah persentase berat beras sosoh terhadap berat gabah yang digiling. Dalam proses perancangan suatu alat sangat penting untuk mengetahui dan menganalisis karakteristik perilaku bahan yang akan diuji. Selain proses perancangan, manfaat lain untuk mengetahui karakteristik bahan yang diuji adalah pengembangan produk baru dan pengkajian/evaluasi performansi atau efisiensi sebuah proses atau kontrol. Pada pengolahan padi khususnya pengeringan, karakteristik yang berperan penting dalam proses perancangan adalah: 1. Karakteristik fisik bahan terdiri dari bentuk, ukuran (panjang, tinggi, lebar, diameter), luas permukaan dan berat jenis. 2. Karakteristik mekanik bahan terdiri dari kekerasan impact, gesekan, kompresi. 3. Karakteristik air dalam bahan 4. Karakteristik panas bahan terdiri dari panas jenis, konduktifitas, entalpi, panas laten, difusivitas panas. Selain keempat karakteristik diatas, gabah juga memiliki sifat glass transition. Cnossen dan Siebenmorgen (2000) telah melakukan penelitian mengenai suhu glass
5 transition selama proses pengeringan gabah. Tg merupakan suhu dimana karakteristik bahan berubah dari keadaan glassy ke kondisi rubbery. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa gabah yang dikeringkan pada suhu 60oC bisa terjadi tanpa mengurangi jumlah beras kepala jika gabah di tempering terlebih dulu sebelum di dinginkan. Pada Tabel 1 dibawah ini disajikan persyaratan khusus kadar air gabah untuk pengadaan pangan dalam negeri berdasarkan standar mutu gabah SNI No.02241987/SPI-TAN/01/01/1993. Tabel 2 menyajikan data karakteristik dari gabah (Jayas dan Cenkowski 2006). Tabel 3 menyajikan data karakteristik dan dimensi gabah (Hasbullah dan Dewi 2009). Tabel 1 Mutu fisik gabah galur padi berkadar besi tinggi
Galur/ Varietas
Kadar air (%)
Densitas (g/l)
Bobot 1000 butir (g)
BP146D BP138E IR65600 IR66750 IR71218 IR68144 Ciherang
12.8 11.6 11.7 11.2 10.8 11.4 11.5
502 481 480 456.5 474 492 480
22.9 25.9 22.6 22.7 26.4 17.7 22.5
Butir hampa + kotoran (%) 1.1 1.26 0.5 0.38 0.24 1.86 2.66
Butir hijau + kapur (%) 1.54 1.48 4.02 8.6 8.74 8.14 6.76
Rendemen BPK (%)
Rendemen beras giling (%)
77.84 78.44 81 78.04 77.75 76.04 74.38
64.26 6385 67.09 61.41 63.85 63.74 64.46
Tabel 2 Data karakteristik gabah Sifat Bulk density Kadar air Porositas Densitas Kapasitas panas (gabah) Kapasitas panas (beras putih) Kapasitas panas (beras) Difusivitas panas
Nilai 579 12.4 46.5 1120 1109 1197 1637 1.64.10-06
Satuan kg/m3 % basis basah % kg/m3 J/kgK J/kgK J/kgK m2/s
Tabel 3 Karakteristik dan dimensi beberapa komoditas gabah Varietas Ciherang Hibrida Cibogo
Panjang (mm)
Lebar (mm)
Rasio panjang/lebar
10 9.97 11.1
2.73 2.82 2.97
3.66 3.54 3.74
6 Beras Beras merupakan sumber utama kalori bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Pangsa beras pada konsumsi kalori total adalah 54.3%, atau dengan kata lain setengah dari intake kalori masyarakat Indonesia bersumber dari beras (Harianto 2001). Secara umum, mutu beras dapat dikategorikan ke dalam 4 kelompok, yaitu (i) mutu giling, (ii) mutu rasa dan mutu tanak, (iii) mutu gizi, dan (iv) standar spesifik untuk penampakan dan kemurnian biji (misalnya besar dan bentuk beras, kebeningan (transluency), dan beras chalky. Sedangkan dalam program pemuliaan padi, komponen mutu beras dapat dikelompokkan atas (i) rendemen giling, (ii) penampakan, bentuk, dan ukuran biji, dan (iii) sifat-sifat tanak dan rasa nasi (Damardjati dan Purwani 1991). Mutu beras giling dikatakan baik apabila hasil dari proses penggilingan diperoleh beras kepala yang banyak dengan beras patah minimal. Mutu giling ini juga ditentukan dengan banyaknya beras putih atau rendemen yang dihasilkan. Mutu giling ini sangat erat kaitannya dengan nilai ekonomis dari beras. Salah satu kendala utama bagi produksi beras adalah banyaknya beras yang pecah sewaktu digiling. Hal ini dapat menyebabkan menurunnya mutu beras (Allidawati dan Kustianto 1989). Spesifikasi persyaratan mutu beras giling telah diatur dalam RSNI 01-6128-2008. Mutu beras giling menurut SNI ini dibedakan menjadi beras mutu I, mutu II, mutu III, mutu IV, dan mutu V. Persyaratan mutu beras giling menurut SNI ini dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Persyaratan mutu beras giling menurut SNI RSNI 01-6128-2008 No 1 2 3 4 5 6
Komponen Mutu
7 8 9
Derajat sosoh (min) Kadar air (max) Beras kepala (min) Butir patah total (max) Butir menir (max) Butir merah (max) Butir kuning/rusak (max) Butir mengapur (max) Benda asing (max)
10
Butir gabah (max)
Mutu
Satuan (%) (%) (%) (%) (%) (%)
I 100 14 95 5 0 0
II 100 14 89 10 1 1
III 95 14 78 20 2 2
IV 95 14 73 25 2 3
V 95 14 60 35 5 3
(%) (%) (%)
0 0 0
1 1 0.02
2 2 0.02
3 3 0.1
5 5 0
Butir/100 gr
0
1
1
2
3
Pengering Spouted bed Tipe awal spouted bed dikembangkan pada tahun 1954 di NRC (National Research Council) Kanada oleh Gisler dan Mathur. Tipe ini dikembangkan sebagai metode alternatif pengeringan gandum yang saat itu terjadi slugging yang buruk pada pengering fluidized bed. Slugging pada spouted bed dapat diatasi dengan membagi daerah di dalam ruang pengering menjadi beberapa bagian yaitu anulus,
7 spout dan fountain (Gambar 2). Saluran inlet udara berada pada bagian bawah pada posisi tengah ruang pengering. Cara kerja pengering tipe ini adalah bahan yang telah dimasukkan dari bagian atas kemudian ditiupkan udara yang cukup kuat yang berasal dari saluran inlet bagian bawah ruang pengering. Hal ini akan menyebabkan bahan akan terbang dan pada ketinggian tertentu akan jatuh kembali ke daerah anulus. Bahan yang jatuh ke daerah anulus akan terus bergerak ke daerah spout dan kemudian tertiup oleh udara inlet kembali ke atas. Siklus ini akan terjadi terus menerus jika udara terus ditiupkan dari bagian bawah. Sifat hidrodinamika ini kemudian menarik para ahli kala itu karena dianggap unik dan dinamakan spouted bed. Bagian pusat ruang pengering dinamakan spout, daerah sekitar spout dinamakan anulus dan bahan yang terdapat di atas permukaan tumpukan bahan pada daerah spout dan kembali turun ke daerah anulus dinamakan fountain (Gambar 2). Untuk menghilangkan dead spaces pada bagian bawah ruang pengering, biasanya digunakan dasar berbentuk kerucut (untuk tipe konvensional) atau bidang miring (biasa digunakan untuk tipe dua dimensi). Pengering tipe spouted bed dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu tipe konvensional silinder (Gambar 3a), conical-cylindrical (Gambar 3b), dua dimensi (Gambar 3c) dan segitiga (Gambar 3d). Alat pengering konvensional yang banyak terdapat di pasaran adalah yang berbentuk silinder (Gambar 3a). Keuntungan pengering spouted bed tipe silinder adalah mudah dalam penanganan untuk partikel berukuran besar, biaya investasi murah, suhu udara inlet dapat menggunakan suhu tinggi tanpa mengakibatkan kerusakan yang besar terhadap produk dan aliran udara sepenuhnya tergantung terhadap semburan dari inlet. Kekurangan pengering tipe ini adalah terbatas pada kedalaman tumpukan, diameter kolom yang digunakan (tanpa draft tubes) dan scale-up alat.
Fountain
Anulus Spout Bagian dasar Saluran inlet udara Gambar 2 Diagram skematik spouted bed tipe konvensional silinder
8
Gambar 3 Beberapa tipe pengering spouted bed (Passos et al. 2011) Mujumdar pada tahun 1984 memodifikasi tipe konvensional pengering spout dengan pengering tipe dua dimensi (2DSB). Diagram skematik pengering tipe dua dimensi dapat dilihat pada Gambar 3c. Kalwar et al. (1991) telah mempelajari pengeringan biji-bijian dengan tipe pengering 2DSB menggunakan plat untuk bahan kacang hijau, gandum, jagung dan jagung pipilan. Metode pengeringan adalah pengeringan lapisan tipis dengan menggunakan persamaan Page yang menunjukkan hasil yang baik dengan dua konstanta parameter dari persamaan yang berkolerasi dengan ukuran ruang pengering dan parameter operasi. Sirkulasi partikel di dalam ruang pengering tergantung kepada posisi masuknya udara ke ruang pengering, lebar dari spout dan sudut kemiringan bagian bawah ruang pengering. Sirkulasi bahan dalam ruang pengering meningkat apabila parameter tersebut juga meningkat. Hal ini selalu diilustrasikan dengan laju pengeringan yang dipengaruhi langsung oleh laju sirkulasi bahan. Tulasidas et al. (1993) menyimpulkan bahwa dengan menurunkan ketinggian dari ruang pengering maka nilai rasio kelembaban (MR) dan koefisien difusi akan meningkat. Madhiyanon et al. (2000) melakukan pengeringan padi dengan pengering spouted bed 2DSB tipe kontinyu. Studi mengenai pengeringan gabah ini dilakukan prototipe terlebih dulu sebelum digunakan pada skala industri dengan kapasitas 3000 kg/jam. Pengering dilengkapi dengan ruang pengering yang dibuat dari kaca sehingga pola aliran gerakan dari gabah selama proses pengeringan dapat dilihat. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa pada kondisi pengumpanan 3140 kg/jam dan waktu tinggal selama 4 menit, gabah yang memiliki kadar air awal 31.9% turun menjadi 28.5% dengan laju pengeringan 83 kg air/jam dan konsumsi energi sebesar 7.1 MJ/kg air yang diuapkan untuk panas dan 0.50 MJ/kg air yang diuapkan untuk listrik. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa sirkulasi dari partikel di dalam ruang pengering (COP) tergantung kepada tinggi masuknya udara dari bagian bawah, lebar spouted, dan kemiringan dari bagian bawah ruang pengering. Semakin tinggi nilai tiga parameter diatas maka nilai COP juga akan semakin besar. Untuk pengeringan dengan spouted bed, konstanta pengeringan dapat menggunakan hasil penelitian Jittanit et al. (2010). Pada penelitian tersebut, bahan yang digunakan adalah jagung, beras dan gandum. Suhu pengeringan yang digunakan adalah 40-80 oC. Dari hasil penelitian tersebut, nilai korelasi yang paling tinggi adalah model dua bagian dengan nilai rata rata korelasi adalah 98%.
9
3 METODE Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni 2015 sampai dengan Januari 2016. Tempat pelaksanaan penelitian ini adalah Laboratorium Lapang Siswadhi Soepardjo Leuwikopo dan Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Pertanian. Bahan dan Alat Rincian alat dan bahan yang digunakan pada penelitian adalah sebagai berikut : 1. Pembuatan ruang pengering Alat : Bor tangan, las listrik, pemotong akrilik, lem akrilik, gerinda tangan. Bahan : Akrilik, besi plat 2. Pembuatan siklon Alat : Las listrik, elektroda, gerinda, gergaji Bahan : Besi plat lembaran dengan tebal 0.5 mm. 3. Saluran inlet dan outlet udara Alat : Gergaji, lem, klem Bahan : Pipa PVC dengan diameter 1.5 inch. 4. Unit pemanas (heater) Alat : Gergaji besi, las listrik Bahan : Heater 1 kW, besi dengan diameter 2.5 inch. 5. Pengujian alat Alat : a. Perangkat komputer merk Acer One 10 untuk proses pengolahan data b. Hybrid recorder merk Chino-10 untuk menampilkan suhu pengukuran termokopel c. Arduino Mega 2560 untuk menampilkan suhu pengukuran dari sensor suhu LM35DZ d. Termokopel tipe T dan sensor suhu LM35DZ merupakan sensor untuk pengukuran suhu e. Anemometer merk Kanomax untuk melakukan pengukuran kecepatan udara f. Termometer bola basah dan bola kering untuk mengukur suhu lingkungan g. Timbangan digital untuk mengukur massa gabah h. Oven pengering sebagai media pengukuran kadar air gabah i. Motor listrik untuk sumber tenaga yang memutar screw pada proses pengumpanan j. Motor driver untuk mengatur kecepatan screw feeder pada sistem pengumpanan bahan k. Penggiling gabah merk Satake untuk menggiling gabah menjadi beras coklat l. Penyosoh beras merk Satake untuk menyosoh beras coklat menjadi beras putih
10 m. Grader beras merk Satake untuk mensortasi beras berdasarkan ukuran beras yaitu beras kepala, beras patah dan menir. Bahan : Gabah dengan kadar air awal 23 % bb, 26.5 % bb dan 29 % bb. Tahapan Penelitian Tahapan penelitian disajikan pada Gambar 4 meliputi 7 tahapan yaitu : 1. Perumusan kriteria rancangan merupakan penentuan prinsip kerja alat yang akan digunakan. 2. Perancangan terdiri dari perancangan fungsional dan struktural alat. Rancangan fungsional untuk menentukan fungsi dari komponen utama alat pengering dan rancangan struktural untuk menentukan bentuk dan tata letak dari komponen utama. 3. Analisis teknik alat merupakan cara untuk penentuan dimensi dari setiap komponen yang akan dirancang. 4. Gambar teknik alat digunakan untuk mempermudah dalam proses pabrikasi. Dalam gambar teknik memperhatikan dimensi alat secara lengkap. 5. Pembuatan alat (pabrikasi) yaitu pembuatan model fisik dari hasil penentuan kriteria perancangan, analisis teknik dan gambar teknik. 6. Model matematika pengeringan yang akan digunakan untuk simulasi proses pengeringan. 7. Uji kinerja alat untuk mengetahui efisiensi alat secara keseluruhan. 8. Pengolahan data bertujuan untuk menganalisis data hasil pengujian kinerja alat. Perumusan kriteria rancangan Perumusan kriteria perancangan merupakan perancangan prinsip kerja alat yang akan dirancang dengan penentuan kriteria dasar alat. Bahan yang berada di dalam hoper akan masuk ke dalam ruang pengering. Bahan akan bersirkulasi di dalam ruang pengering karena aliran udara panas yang ditiupkan dari bawah ruang pengering oleh blower. Selama waktu tertentu, kadar air bahan akan menurun karena udara panas yang ditiupkan dan akan keluar dari saluran outlet ruang pengering. Perancangan Alat yang digunakan merupaka skala kecil (model) untuk skala laboratorium. Perancangan alat dibagi menjadi dua yaitu rancangan fungsional dan rancangan struktural. Rancangan fungsional merupakan kegiatan yang memastikan alat berfungsi dengan baik, sementara rancangan struktural merupakan pemaparan detail dimensi setiap komponen yang terdapat pada alat. Komponen utama desain pengering spouted bed pada penelitian ini terdiri dari ruang pengering, hoper dan sistem pengumpanan, siklon, blower dan pemanas udara. Rancangan fungsional dan struktural akan dijelaskan lebih lanjut pada Bab hasil dan pembahasan.
11 Mulai Data dan informasi penunjang
Perumusan kriteria perancangan Perancangan fungsional dan struktural alat Analisis/perhitungan gambar teknik dan gambar kerja
Gambar teknik Pembuatan alat Uji fungsional dan uji pendahuluan
Modifikasi
Berhasil?
Uji kinerja fungsional dan struktural alat
Pengolahan data
Selesai Gambar 4 Diagram alir tahapan penelitian Analisis teknik alat Analisis teknik pada penelitian ini merupakan metode yang akan digunakan dalam penentuan dimensi dari setiap komponen yang akan dirancang, model matematika yang digunakan untuk simulasi dan kebutuhan energi pengeringan yang akan dibahas selanjutnya. Passos et al. (1993) menggunakan beberapa rasio yang dapat digunakan sebagai dasar penentuan dimensi ruang pengering yaitu : 55 < Pr/dpϕ < 141 (1) 4 < Wi/dpϕ < 11 (2) 0.4 < Ho/Pr < 1.8 (3) 0.5 < Lr/Wi < 1.0 (4) (Pr/Wi)min = VT/Vmf (5)
12 Hmax/Pr = f(A2D, Pr/Wi, Wi/dpϕ ) (6) Dengan : A2D = Re*mfReT(dp/Wi)/Ar (7) Re*mf = Remf/ϕ = ρfVmfdp/µf (8) ReT = ρfVTg(ϕ)dp/µf, (9) Ar = ρf(ρs-ρf)gdp3/ µf2 (10) 2 Lr/Wi < 650 (dpϕ/Wi) (11) Penentuan jarak normal (Wo) draft plates (Gambar 5 dan Gambar 6) dapat menggunakan persaman yang dikembangkan oleh Kalwar et al. (1991) yaitu : a. Jika θs = θ0 karena θE + θs = 90o dan θE + θ0 = 90o ketika Ws = Wi Maka, Cos θ0 = Cos θs = (DE/AD) atau DE = AD Cos θs sehingga Wo = HE Cos θs (12)
Gambar 5 Skema penentuan jarak nomal jika Ws = Wi b. Jika Ws > Wi maka θs=θ0 karena θE = θs Maka: AB = [{(Ws-Wi)/2}+tp dan BC = AB Tan θs CD = BD.BC atau CD =HE-[{(Ws-Wi)/2+tp] Tan θs DE = CD Cos θs atau Wo = CD Cos θs Sehingga : Wo = (HE-[{(Ws-Wi)/2)+tp]Tan θs) Cos θs (13)
Gambar 6 Skema penentuan jarak normal jika Ws > Wi Gambar teknik Gambar teknik diperlukan agar dapat memudahkan dalam proses pabrikasi. Dalam gambar teknik harus memperhatikan dimensi dari mesin dan skala. Gambar teknik dilakukan dengan bantuan software Solid work 2011.
13 Pembuatan alat Pembuatan alat dilakukan setelah proses perancangan alat dan gambar teknik selesai dilakukan. Proses pabrikasi dilakukan di bengkel Siswadhi Soepardjo Leuwikopo. Model matematika pengeringan spouted bed Model matematika yang digunakan pada penelitian ini dibagi menjadi dua bagian yaitu model pendugaan parameter pengeringan seperti suhu udara, suhu gabah, kelembaban udara dan kadar air di dalam ruang pengering selama proses pengeringan dan model matematika pendugaan kadar air rata-rata bahan yang keluar dari ruang pengering per satuan waktu. Model matematika yang digunakan untuk pendugaan parameter pengeringan adalah model matematika yang telah dikembangkan oleh Nellist et al. (1987), sementara model matematika pendugaan kadar air rata-rata yang keluar dari ruang pengering menggunakan model yang dikembangkan oleh Zahed dan Epstein (1992). Tahap awal untuk mengembangkan persamaan adalah dengan menurunkan persamaan untuk mendeskripsikan perpindahan panas dan massa pada lapisan tipis pada waktu yang relatif kecil. Tumpukan bahan dibagi menjadi lapisan yang tipis dengan ketebalan (dz) dengan nilai kadar air tertentu (M) bergerak pada sumbu z dengan laju aliran udara (G) dan suhu udara (Ta) dan kelembaban mutlak udara (H) (Gambar 7). Dengan asumsi bahwa kehilangan panas hanya terjadi pada arah aliran, maka persamaan diferensial perubahan suhu udara selama waktu tertentu (t) dapat ditulis dengan persamaan :
T T Ta a dt a dz t z
(14)
Namun, dalam waktu yang relatif singkat maka perubahan suhu udara dan kelembaban akan lebih berpengaruh terhadap ketebalan tumpukan dibandingkan terhadap waktu. Sehingga perubahan suhu dapat ditulis dengan komponen terpisah
Ta H dz dan dz . z z
yaitu dengan notasi masing masing
Perubahan suhu gabah dan kadar air bahan akan berpengaruh lebih besar jika dihubungkan terhadap waktu dibandingkan dengan ketebalan, sehingga perubahan
Tg M dt dan dt . Hubungan t t
suhu dapat ditulis dengan notasi masing masing
antara suhu udara, suhu gabah, kelembaban udara dan kadar air akan dinyatakan dalam empat persamaan yaitu : 1. Kesetimbangan kadar air Perubahan massa air pada bahan sama dengan massa air di udara sehingga persamaan dapat ditulis :
M H dz dt Gdt dz t z dz M H dz G t z
(15) (16)
14 Pemecahan persamaan (16) dapat ditulis dalam notasi numerik yaitu : H
z M G t
(17)
2. Persamaan pindah panas Pindah panas merupakan penjumlahan dari perubahan panas bahan dan entalpi penguapan kelembaban dikurangi dengan entalpi kelembaban sebelum penguapan. Secara matematis dapat ditulis dengan persamaan : hS z Ta 1 Ta Tg 1 Tg t z.Tg C pg C pl M 2 2 (18) z M L g C pwTa C pl Tg
2Ta Tg Ta Tg
2 Tg C pg C pl .M hS t
2 M Lg C pwTa C pl Tg hS t
(19)
Persamaan (19) dapat disederhanakan menjadi : A 2Ta Tg
B C pg C pl M
Y Lg C pwTa C plTg
Sehingga persamaan (18) dapat ditulis menjadi : 2 B 2 M Ta A Tg 1 Y hS t hS t
(20)
3. Persamaan kesetimbangan panas Persamaan kesetimbangan panas diturunkan untuk memperoleh suhu gabah selama proses pengeringan. Persamaan dapat ditulis menjadi : 2Y zF hS GE Tg 2 B z B C pl M 1 t hS GE A
M t
Dimana :
F C
(21)
E C pa C pw H z / G M / t
T La C plTg
pv a
4. Laju pengeringan Persamaan diferensial kadar air yang hilang M sebagai fungsi dari tiga faktor yaitu Ta, Tg dan H. Persamaan laju penurunan kadar air dapat dituliskan sebagai : k M M e t (22) M 1 1 kt 2 Dalam penggunaan model, terdapat empat asumsi yang digunakan yaitu : 1. Pada daerah spout, bahan dan udara diasumsikan bergerak dengan prinsip aliran co-flow (Gambar 7a) yaitu posisi inlet udara dan bahan berasal dari posisi yang sama. Sementara untuk daerah downcomer, bahan dan udara bergerak dengan prinsip aliran counter-flow (Gambar 7b) yaitu posisi inlet udara dan bahan tidak berada pada posisi yang sama. 2. Bahan dan diasumsikan bersirkulasi dengan satu aliran saja untuk masing masing daerah spout dan downcomer.
15 3. Koefisien pindah panas antara dinding draft plates dengan daerah spout dan downcomer diabaikan. 4. Kadar air awal sebagai kondisi awal untuk daerah spout dan daerah downcomer adalah kadar air awal gabah
(a) (b) Gambar 7 Skema aliran bahan dan udara pada satu lapisan Tahapan dalam proses simulasi terdiri dari dua bagian yaitu daerah spout dan daerah downcomer. Tahapan simulasi pada daerah spout disajikan pada Gambar 8. Simulasi daerah downcomer dilakukan dengan dua tahapan yaitu : 1. Asumsi untuk tahap awal yaitu posisi inlet bahan dan udara berada pada posisi yang sama (posisi 0 adalah inlet udara) dan proses simulasi dilakukan seperti pada tahapan simulasi daerah spout. Jika kondisi sampai lapisan outlet udara (lapisan n) diketahui, maka simulasi dilanjutkan ke tahap 2. 2. Kondisi lapisan n (outlet udara) diganti dengan kondisi lapisan (n-1). Proses ini akan diulang kembali sampai posisi inlet udara dihitung seperti simulasi daerah spout. Model matematika pengering tipe kontinyu Pendugaan kadar air rata-rata bahan yang keluar dari ruang pengering merupakan pendugaan kadar air rata-rata pengering tipe kontinyu. Model yang digunakan adalah model yang telah dikembangkan oleh Zahed dan Epstein (1992). Kesetimbangan massa yang terjadi pada tumpukan untuk pengumpanan secara kontinyu dengan kadar air awal yang sama (Mo),laju aliran massa bahan kering ̿ ) dapat ditulis dengan persamaan : (𝑚̇𝐵 ) dan komposisi kadar air produk (𝑀
m A Y Yi mB M o M (23) Dalam hal ini 𝑚̇𝐴 adalah laju aliran massa udara kering (g/menit), Y adalah kelembaban udara outlet (g uap air/g udara kering), Yi adalah kelembaban udara inlet (g uap air/g udara kering), 𝑚̇𝐵 adalah laju aliran massa bahan kering (g/menit), ̿ adalah volume rata-rata Mo adalah kadar air gabah yang diumpankan (g/g), dan 𝑀 kadar air (g/g). Jika aliran bahan di dalam ruang pengering diasumsikan berpindah dengan ̅ ) pada proses batch selama prinsip plug flow, maka nilai kadar air rata-rata bahan (𝑀 waktu tinggal (𝑡̅ = 𝑚𝐵 /𝑚̇𝐵 ) akan bernilai sama dengan kadar air rata-rata bahan ̅ ) pada proses kontinyu. Namun, jika bahan tidak diasumsikan bergerak secara (𝑀 plug flow maka nilai komposisi akhir produk dapat dihitung dengan persamaan :
16
M M E d
(24)
o
Dimana : t . Dalam hal ini t adalah waktu (menit) dan 𝑡̅ adalah waktu t tinggal rata-rata bahan yaitu 𝑚𝐵 /𝑚̇𝐵 , mB adalah massa hold up bahan kering (g), ̅ adalah volume rata-rata kadar air 𝑚̇𝐵 adalah laju aliran massa bahan (g/menit), 𝑀 ̿ masing masing gabah (g/g), E(θ) adalah fungsi distribusi bahan keluar dan 𝑀 adalah volume rata-rata kadar air (g/g). Fungsi distribusi keluaran bahan (E(θ)) memiliki relasi terhadap distribusi waktu selama proses pengeringan (I(θ)) yang dapat ditulis dengan persamaan : (25) E dI / d Jika diasumsikan bahwa pencampuran bahan di dalam spouted bed terjadi secara sempurna, maka persamaan (25) dapat ditulis menjadi : (26) E I exp Jika diasumsikan pencampuran bahan terjadi secara baik namun tidak sempurna di dalam spouted bed, maka distribusi waktu selama proses pengeringan (I(θ)) dapat ditulis menjadi : (27) I exp 0.1 / 0.92 Sehingga persamaan (25) dapat ditulis menjadi : (28) E 1 / 0.92 exp 0.1 / 0.92 Persamaan (26) atau (28) dapat digunakan sebagai nilai E(θ)) dalam persamaan (24) dimana sisi sebelah kanan persamaan dapat diintergralkan secara numerik. Ketika persamaan (28) digunakan, maka konstanta waktu penundaan 0.1 akan dielimnasi untuk nilai θ yang lebih kecil dari 0.1 sehingga persamaan (24) dapat dituliskan dengan persamaan : 0.1 M 1 / 0.92 M exp / 0.92d M exp 0.10 / 0.92 (29) 0.1 0
17
Gambar 8 Tahapan simulasi pada daerah spout Prosedur Pengujian Prosedur pengujian pengeringan gabah di dalam spouted bed tipe dua dimensi adalah : 1 Gabah baru panen dibersihkan terlebih dulu dari butir kosong, kotoran dan benda asing yang terdapat pada tumpukan gabah. 2 Setelah gabah selesai dibersihkan dari benda asing, gabah dimasukkan ke dalam plastik polyethylene dengan sealer disimpan di cold storage dengan suhu 5 oC agar kadar air bahan tetap terjaga (Pradhan et al. 2008). Untuk mengetahui kadar air awal gabah diambil lima sampel yang kemudian diukur kadar airnya dengan metode oven dengan standar ASAE (Persamaan 31). 3 Setelah kadar air awal gabah diketahui, maka dilakukan proses rewetting untuk mencapai kadar air awal yang dibutuhkan untuk masing masing perlakuan. Proses rewetting merupakan proses peningkatan kadar air dengan cara menambahkan jumlah air tertentu agar kadar air yang diinginkan tercapai. Gabah dan air dimasukkan ke dalam plastik dengan sealer dan kemudian didiamkan di suhu udara 4-6 oC selama ± 1 minggu
18
4
5
6
7
8
9
atau sampai air di dalam plastik sudah habis. Selama proses rewetting, gabah diaduk setiap hari agar kadar air gabah merata (Pradhan et al. 2008). Persamaan yang digunakan untuk peningkatan kadar air adalah (Coskun et al. 2005) : Wt M f M i Q (30) 100 M f Setelah proses rewetting, ukur kembali kadar air gabah apakah sudah mencapai kadar air yang diinginkan. Jika kadar air gabah sudah naik, gabah ditaruh di dalam hoper yang kemudian diumpankan secara kontinyu ke ruang pengering dengan bantuan screw feeder. Selama proses pengeringan, akan terdapat sejumlah gabah yang akan keluar dari saluran outlet ruang pengering. Gabah yang keluar dari ruang pengering akan ditampung di wadah. Selama 10 menit, gabah yang keluar akan ditampung dan setelah 10 menit massa gabah yang keluar ruang pengering ditimbang massa dan diukur kadar airnya. Kadar air yang keluar ruang pengering diuji dengan metode oven dengan mengambil sampel dari massa gabah selama 10 menit. Sisa gabah yang lain kemudian akan didiamkan di dalam ruangan sampai kadar air yang aman untuk digiling yaitu 14% bb. Gabah yang mencapai kadar air 14% bb kemudian digiling untuk diuji mutunya. Prosedur penggilingan dapat dilihat pada diagram alir Gambar 9 (Dewi 2009). Gabah yang telah digiling akan berubah menjadi beras. Beras kemudian disortasi menjadi beberapa bagian yaitu beras kepala, beras patah, menir, beras hijau, beras kapur, beras kuning dan benda asing yang tercampur di dalam gabah berdasarkan SNI pada tahun 2008. Proses sortasi beras kepala, beras patah dan menir menggunakan grader merk Satake, sementara untuk penentuan beras hijau, kapur dan kuning adalah dengan pengamatan visual. Persamaan untuk menghitung rendemen beras kepala dan rendemen penggilingan dapat menggunakan persamaan 47 – 48. Untuk mengetahui rasio beras kepala, beras patah, menir, beras kuning, beras hijau, butir kapur dan benda asing dapat menggunakan persamaan 43 – 46. Untuk membandingkan rendemen beras kepala, beras patah, menir, beras kuning, beras kapur, beras hijau dan benda asing maka gabah dengan kadar air awal yang sama dikeringkan dengan udara lingkungan yang tidak langsung terpapar matahari tetapi berada di dalam ruangan. Ketebalan bahan harus tipis yaitu satu lapisan saja (ketebalan sekitar 2 mm) dan setiap hari dilakukan pengadukan agar kadar air merata. Gabah pada metode ini juga dikeringkan sampai kadar air 14 %bb dan proses penggilingan dan pemutuan sama seperti Tahap 7 dan 8.
19
Gambar 9 Diagram alir proses penggilingan dan pemutuan gabah (Dewi 2009) Pengujian alat Pengujian bertujuan untuk mengetahui kinerja alat pengering yang sudah dirancang. Dalam pengujian alat, parameter harus ditentukan untuk mencari nilai efisiensi dari alat secara aktual dan kemudian akan dibandingkan secara teoritis. Parameter yang diukur untuk mengetahui kinerja dari alat pengering ini antara lain : 1. Suhu Suhu yang diukur adalah suhu bola basah lingkungan dan ruang plenum, suhu bola kering lingkungan dan ruang plenum, suhu udara di dalam ruang pengering pada posisi 8 cm, 12 cm, 18 cm dan 30 cm dari bawah (saluran inlet udara). Titik pengukuran suhu dapat dilihat pada Gambar 10. 2. Kapasitas dan lama pengeringan bahan Kapasitas pengeringan yaitu total massa bahan yang dikeringkan dalam satuan waktu. Pada penelitian ini, kapasitas pengeringan dihitung dari massa bahan kering yang keluar dari ruang pengering dalam waktu 10 menit. Lama pengeringan bahan yaitu waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan bahan hingga kadar air yang keluar konstan dari data kadar air sebelumnya. 3. Kadar air bahan Kadar air bahan yang diukur meliputi kadar air awal bahan dan kadar air bahan selama proses pengeringan dan kadar air akhir bahan. Data kadar air diambil setiap 10 menit. Metode pengukuran kadar air menggunakan metode oven. Gabah yang akan diukur kadar airnya dimasukkan ke dalam cawan dan ditimbang. Sebelumnya dilakukan penimbangan pada cawan. Kemudian masukkan cawan dan gabah tersebut ke dalam oven pada suhu 105 oC hingga berat konstan. Sebelum dilakukan penimbangan berat kering, gabah dimasukkan terlebih dulu ke
20 dalam desikator agar suhu bahan mencapai suhu kamar. Berikut persamaan dalam penentuan kadar air dengan metode oven : m m2 (31) KAo 1 100% (Heldman dan Singh 1981) m1 mo 4. Kecepatan udara Kecepatan udara diukur dengan anemometer. Kecepatan udara diukur pada saluran inlet udara sebelum heater dan saluran outlet ruang pengering menuju siklon. 5. Tekanan udara Tekanan di dalam ruang pengering diukur dengan manometer air tipe U. Data tekanan di dalam ruang pengering diperlukan dalam proses peracangan kebutuhan energi berupa laju aliran udara yang dibutuhkan. Pengukuran tekanan dilakukan untuk mengetahui tekanan pada setiap posisi di dalam ruang pengering. Tekanan gabah diukur pada ketinggian 5 cm, 8 cm, 16 cm dan 22 cm pada daerah spout. Di daerah downcomer tekanan diukur pada ketinggian 8 cm dan 22 cm. Titik pengukuran tekanan dapat dilihat pada Gambar 10. Persamaan yang digunakan untuk tekanan statis adalah : PS (mmH 2 O) h (32)
PS ( Pa) Ps (mmH 2 O) 9.8 (33) Penurunan tekanan dihitung dengan mengurangkan nilai tekanan stastis di plenum dengan tekanan pada masing-masing posisi yang telah diukur sebelumnya. Secara matematis dapat dituliskan menjadi : P Ppl PS (34)
Gambar 10 Titik pengukuran suhu dan tekanan 6. MAPE (Mean absolute percentage error) Suatu model mempunyai kinerja sangat bagus jika nilai MAPE berada di bawah 10% dan mempunyai kinerja bagus jika MAPE berada diantara 10% dan 20%. Ukuran relatif untuk menyatakan ketepatan model yang menyangkut persentasi sebagai berikut (Makridakis et al. 1999) :
21 a. Kesalahan persentase (percentage error (%)) : v vi (100) (35) PEi i vi b. Nilai tengah kesalahan persentasi absolute (Mean absolute percentage error (%)) : n PE i (36) MAPE n i 1 7. Laju pengeringan bahan Data-data yang dibutuhkan untuk menentukan laju pengeringan adalah lama pengeringan, kelembaban udara, kecepatan udara pengering dan kadar air bahan. Persamaan yang digunakan adalah : dW KAt KAt t (37) dt t 8. Kebutuhan energi selama proses pengeringan Kebutuhan energi selama proses pengeringan dapat dihitung dengan persamaan yaitu (Kudra et al. 2009) : a. Total minimum energi panas yang dibutuhkan pada pengering tipe kontinyu dapat dihitung dengan persamaan : (38) Qv , min Ws X in X out H v b. Pada pengeringan tipe kontinyu, daya heater yang dibutuhkan selama proses pengeringan adalah : (39) Qheater Wg c pg Tg ,in Tg , a c. Energi listrik ( Ql ) yang digunakan untuk heater, blower dan motor listrik dapat dihitung dengan persamaan : Ql Qheater Qmotorlistrik Qblower (40) d. Konsumsi energi panas untuk menguapkan 1 kg uap air dari produk dapat dihitung dengan persamaan : Q Qpanas heater (41) muap e. Konsumsi energi listrik untuk menguapkan 1 kg uap air dari produk dapat dihitung dengan persamaan : Q Qlistrik listrik (42) muap 9. Mutu produk Pada pengujian mutu produk, gabah yang telah dikeringkan dengan spouted bed akan dikeringkan pada suhu lingkungan selama ± 1 minggu agar kadar air gabah turun hingga mencapai 14% bb sehingga aman untuk digiling. Kondisi lingkungan yang dimaksud adalah pengeringan di dalam ruangan yang tidak terpapar matahari langsung. Prosedur penggilingan dan pemutuan dilakukan dengan metode SNI 6128:2008 dan mengikuti diagram alir pada Gambar 9. Mutu produk yang dikeringkan ditentukan berdasarkan parameter antara lain kandungan beras kepala, kandungan beras putih, kandungan beras patah, kandungan menir, kandungan butir kapur, kandungan beras
22 merah, kandungan beras kuning/rusak, kandungan benda asing. Sementara untuk rendemen beras dapat dibedakan menjadi rendemen beras kepala (HRY) dan rendemen beras giling (MRY) sesuai dengan SNI tahun 2008. a. Kandungan beras kepala Beras kepala yaitu butir-butir beras yang utuh dan beras patah yang panjangnya sama atau lebih dari 0.75 bagian beras utuh (BSN 2008). Beras giling merupakan beras putih hasil penyosohan. Kandungan beras kepala dapat dihitung dengan persamaan : 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑠 𝑘𝑒𝑝𝑎𝑙𝑎 𝐾𝑎𝑛𝑑𝑢𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑠 𝑘𝑒𝑝𝑎𝑙𝑎 = 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑠 𝑔𝑖𝑙𝑖𝑛𝑔 × 100% (43) b. Kandungan beras patah Yang dimaksud butir beras patah yaitu butir butir beras patah yang berukuran lebih kecil dari 0.75 dan minimum 0.2 bagian dari beras utuh (BSN 2008). Kandungan beras patah dapat dihitung dengan persamaan : 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑠 𝑝𝑎𝑡𝑎ℎ 𝐾𝑎𝑛𝑑𝑢𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑠 𝑝𝑎𝑡𝑎ℎ = 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑠 𝑔𝑖𝑙𝑖𝑛𝑔 × 100% (44) c. Kandungan menir Menir merupakan hasil dari proses pemberasan seperti halnya beras patah, tetapi menir berukuran lebih kecil dibandingkan beras patah. Yang dimaksud menir adalah beras patah yang ukurannya lebih kecil dari 0.25 (BSN 2008) bagian beras utuh. Kandungan menir dapat dinyatakan dengan persamaan : 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑟 𝐾𝑎𝑛𝑑𝑢𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑟 = 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑠 𝑔𝑖𝑙𝑖𝑛𝑔 × 100% (45) d. Kandungan butir kapur, butir hijau dan butir kuning/rusak Butir kapur yaitu butir beras kepala, butir beras patah, atau menir yang warnanya putih dan lunak seperti kapur yang disebabkan oleh proses fisiologis. Termasuk dalam butir kapur adalah butir beras muda berwarna kehijau-hijauan yang mengapur karena dipanen sebelum masak sempurna. Butir hijau merupakan butir beras kepala, butir beras patah atau menir yang berwarna hijau. Butir kuning/ rusak merupakan beras kepala, beras patah dan menir yang berwarna kuning. Kandungan jenis butir dapat dihitung dengan persamaan : 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑚𝑎𝑠𝑖𝑛𝑔 𝑚𝑎𝑠𝑖𝑛𝑔 𝑏𝑢𝑡𝑖𝑟 𝐾𝑎𝑛𝑑𝑢𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑏𝑢𝑡𝑖𝑟 = × 100% (46) 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑠 𝑔𝑖𝑙𝑖𝑛𝑔 e. Rendemen beras kepala (HRY) Rendemen beras kepala (HRY) adalah kandungan massa beras kepala dibagi dengan massa gabah awal. Nilai HRY dapat dihitung dengan persamaan : 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑠 𝑘𝑒𝑝𝑎𝑙𝑎 𝐻𝑅𝑌 = 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑔𝑎𝑏𝑎ℎ 𝑎𝑤𝑎𝑙 × 100% (47) f. Rendemen beras giling (MRY) Rendemen beras giling (MRY) merupakan kandungan massa beras putih dibagi dengan massa awal gabah sebelum penggilingan. Nilai MRY dapat dihitung dengan persamaan : 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑠 𝑝𝑢𝑡𝑖ℎ 𝑀𝑅𝑌 = 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑔𝑎𝑏𝑎ℎ 𝑎𝑤𝑎𝑙 × 100% (48)
23
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Desain pengering spouted bed dua dimensi Komponen utama desain pengering spouted bed dua pada penelitian ini terdiri dari ruang pengering, hoper dan sistem pengumpanan, siklon, blower dan pemanas udara (heater). Skema rancangan alat dapat dilihat pada Gambar 12. Adapun dimensi dan fungsi komponen utama sistem pengering akan dijelaskan pada pemaparan berikut ini : 1. Ruang pengering Ruang pengering yang digunakan pada penelitian ini adalah spouted bed dua dimensi yang dilengkapi dengan draft plates disajikan pada Gambar 11. Draft plates diharapkan dapat meningkatkan stabilitas udara yang disemburkan (spouted) dan sirkulasi bahan di dalam ruang pengering. Di bagian dasar ruang pengering juga ditambahkan plat distributor agar bahan tidak jatuh dan masuk ke daerah plenum. Ruang pengering dibagi menjadi dua daerah yaitu daerah spout (1) dan daerah downcomer (2). Daerah spout merupakan daerah yang berada diantara draft plates (4) sedangkan daerah downcomer merupakan daerah di samping draft plates. Ruang pengering juga dilengkapi dengan reflektor (3) yang berfungsi mengembalikan bahan akan kembali ke daerah downcomer. Ruang pengering terbuat dari akrilik dengan dimensi tinggi total ruang pengering (Hr) 0.5 m, lebar (Lr) 0.15 m dan panjang (Pr) 0.2 m. Draft plates juga terbuat dari akrilik dengan tinggi (HD) 0.2 m. Jarak antara draft plates dan plat distributor dinamakan daerah spout (He) adalah 0.05 m. Jarak antara kedua draft plates (WD) adalah 0.03 m. Reflektor (3) berada pada ketinggian 0.36 m dari plat distributor. Sisi dasar ruang pengering berbentuk sisi miring dengan kemiringan 60oC sesuai rekomendasi dari Kalwar dan Raghavan (1993). Saluran inlet udara berbentuk persegi panjang dengan dimensi panjang (Wi) 0.02 m.
1. 2. 3. 4. 5.
Keterangan : 1. Daerah spout 2. Daerah downcomer 3. Reflektor 4. Draft plates 5. Plat distributor
Gambar 11 Skema ruang pengering dua dimensi
24
Gambar 12 Skema rancangan alat Keterangan : 1. Blower 2. Heater 5. Plenum 6. Siklon
3. Hoper 4. Ruang pengering 7. Saluran pencampuran udara 8. Screw feeder
2. Hoper dan sistem pengumpanan bahan Hoper berfungsi sebagai wadah penampungan bahan sebelum masuk ke dalam ruang pengering. Pada bagian bawah hoper, terdapat screw feeder yang membantu penyaluran gabah masuk ke dalam ruang pengering secara kontinyu. Hoper terbuat dari bahan akrilik dengan dimensi panjang 0.16 m, angle of repose 60o, lebar 0.07 m, dan tinggi 0.2 m. Pengumpanan bahan secara kontinyu diatur dengan screw feeeder. Screw feeder terbuat dari besi dengan dimensi panjang total 0.18 m, jarak pitch 0.015 m. Kecepatan screw feeder diatur oleh motor driver sehingga massa keluaran gabah 3 kg/jam. Screw feeder digerakkan oleh motor listrik. Skema sistem pengumpanan disajikan pada Lampiran 2, screw feeder disajikan pada Lampiran 3. 3. Siklon Siklon berfungsi sebagai pemisah gas-padatan dengan prinsip gaya sentrifugal sehingga udara yang keluar dari siklon sudah bersih dari kotoran bahan dan dapat disirkulasikan kembali ke saluran inlet udara di blower. Siklon terbuat dari besi plat dengan dimensi tinggi 0.6 m, diameter saluran inlet 0.038 m. Skema siklon disajikan pada Lampiran 4. 4. Blower Blower berfungsi sebagai sumber udara bertekanan yang akan disalurkan ke dalam ruang pengering. Tipe blower yang digunakan
25 adalah ring blower tipe RB-100Adengan tenaga 0.4 kW, frekuensi 50/80, 200-230 V/ 346-395 V, putaran motor 2800/3500 rpm dan debit maksimum 1.3/1.5 m3/ menit. 5. Pemanas udara (heater) Pemanas udara berfungsi meningkatkan suhu udara bertekanan yang berasal dari blower hingga mencapai suhu pengering udara yang diinginkan. Pemanas udara dilengkapi dengan termostat untuk menjaga suhu udara tetap konstan pada suhu yang diinginkan. Heater yang digunakan memiliki daya 1 kW. Jenis heater yang digunakan adalah heater belimbing (jenis heater koil tetapi dililitkan ke keramik berbentuk belimbing). Termostat yang digunakan memiliki rentang suhu dari 50 oC – 100 oC. Profil suhu dalam ruang pengering Gambar 13 menampilkan sebaran suhu pada daerah spout selama proses pengujian. Debit udara selama proses pengujian bernilai konstan yaitu 0.014 m3/s, suhu inlet sebesar 80 oC dan laju aliran inlet bahan 3 kg/jam. Proses pengujian dibagi menjadi tiga perlakuan yaitu perbedaan kadar air awal yaitu 41 % bk untuk perlakuan pertama, 36 %bk untuk perlakuan kedua dan 30 %bk untuk perlakuan ketiga. Dari grafik dapat dilihat bahwa suhu udara menurun secara signifikan terhadap ketinggian aksial ruang pengering. Penurunan suhu yang paling besar terjadi pada ketinggian 0 m – 0.08 m dari bawah yaitu daerah sirkulasi bahan dari downcomer ke daerah spout. Menurut Freitas dan Freire (1997), laju sirkulasi udara dan bahan pada bagian ini dapat bernilai 10 kali lebih cepat dibandingkan laju bahan yang masuk ruang pengering. Laju sirkulasi yang cepat akan meningkatkan laju udara sehingga laju penguapan kadar air bahan akan meningkat dan penurunan suhu pada daerah tersebut akan lebih besar dibandingkan wilayah yang lain. Penurunan suhu pada ketinggian selanjutnya tidak terlalu signifikan karena suhu udara yang semakin rendah sehingga perbedaan suhu gabah dengan udara pengering tidak terlalu tinggi. Perbedaan suhu gabah dan udara yang relatif rendah akan mengurangi laju pindah panas konvektif dari udara ke bahan. Penurunan suhu pada 20 menit pertama berhubungan dengan kondensasi kelembaban pada permukaan bahan yang dingin dan evaporasi kadar air bebas dari gabah.
(a) Percobaan 1
(b) Percobaan 2
26
(c) Percobaan 3 Gambar 13 Suhu udara pada daerah spout selama proses pengeringan Gambar 14 dan Gambar 15 disajikan suhu udara eksperimen pada daerah downcomer. Dari grafik dapat dilihat bahwa sebaran suhu daerah downcomer tidak memiliki bentuk yang sama seperti daerah spout yang mengalami penurunan suhu yang signifikan terhadap ketinggian aksial ruang pengering. Sebaran suhu udara di daerah downcomer bernilai fluktuatif. Suhu udara pada ketinggian 0 m – 0.08 m memiliki suhu yang paling tinggi karena posisi ini masih dekat dengan inlet udara. Selanjutnya pada ketinggian 0.08 m – 0.12 m suhu udara mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh penumpukan bahan ketika proses pengujian. Penumpukan gabah mengakibatkan udara akan terperangkap di dalam tumpukan gabah sehingga proses pindah panas antara bahan dan udara terjadi lebih cepat dan suhu udara akan menurun dari ketinggian 0 – 0.08 m. Setelah posisi 0.08 m – 0.12 m, suhu udara akan naik kembali. Hal ini dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu pada ketinggian 0.12 m – 0.18 m tidak terdapat tumpukan gabah dan juga suhu udara dari daerah spout akan tersebar dan memasuki daerah downcomer. Suhu udara akan menurun kembali pada posisi 0,18 m – 0.3 m karena pada daerah ini udara telah mengandung uap air yang diperoleh dari pengeringan gabah. Selain itu, suhu pada ketinggian 0 m – 0.08 m berbeda nilai untuk daerah downcomer kiri dan kanan. Hal ini dapat terjadi karena massa bahan yang masuk ke daerah kiri atau kanan downcomer akan bergerak secara acak. Jika bahan lebih banyak masuk ke daerah downcomer kiri, maka udara akan bergerak ke daerah downcomer kanan sehingga suhu udara pada downcomer kanan akan lebih tinggi dibandingkan downcomer kiri.
(a) Percobaan 1
(b) Percobaan 2
27
(c) Percobaan 3 Gambar 14 Sebaran suhu udara di daerah downcomer kanan
(a) Percobaan 1
(b) Percobaan 2
(c) Percobaan 3 Gambar 15 Sebaran suhu udara di daerah downcomer kiri Validasi Model Matematika Pengering Spouted Bed Hasil Simulasi Sebaran Suhu Udara Model yang digunakan selama proses pengeringan untuk menduga sebaran suhu udara, kelembaban absolut udara, suhu gabah dan kadar air gabah adalah model yang dikembangkan oleh Nellist et al. (1987). Kondisi yang digunakan selama proses simulasi disajikan pada Tabel 5.
28 Tabel 5 Parameter yang digunakan selama proses pengeringan Variabel Cpa Cpv Cpg Cpl ρ k La Lg Me h
Nilai 1005 1883 1300 4187 552 + 282 M 139.3 exp (-4426/(Ta+273.2)) 2500000 Lt (1+23 exp (-40)) [ln(1-RH)/(c1Tabs)1/c2]/10 c1 = -3.146x10-6 ; c2 = 2.464 7.144 x 104 (Ga(Ta+273.2)/P)0.601
Satuan J/kgK J/kgK J/kgK J/kgK kg/m3 1/s J/kg J/kg
Sumber O'Collaghan et al. (1971) O'Collaghan et al. (1971) O'Collaghan et al. (1971) O'Collaghan et al. (1971) Laithong (1987)
kg/kg
Laithong (1987)
W/m3K
O'Collaghan et al. (1971) O'Collaghan et al. (1971) Gallaghan (1951)
Boyce (1965)
Simulasi dilakukan pada dua bagian yaitu bagian spout dan bagian downcomer. Bagian spout diasumsikan sebagai pengering tipe co-flow dan daerah downcomer sebagai pengering tipe counter-flow. Kondisi yang digunakan untuk simulasi daerah spout dan downcomer disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Kondisi yang digunakan saat simulasi Variabel Ggs (kg/sm2) Gas (kg/sm2) Ggd (kg/sm2) Gad (kg/sm2) Mo (%bk) Ta (oC) Tgo (oC) 𝑚̇ in (kg/jam) H (kg kadar air/kg udara kering)
Percobaan 1 0.0758 5.99 0.0744 2 41 80 26 3 0.022
Percobaan 2 0.0758 5.99 0.0744 2 36 80 29 3 0.022
Percobaan 3 0.0758 5.99 0.0744 2 30 80 32 3 0.022
Pada Gambar 16 disajikan validasi sebaran suhu udara hasil simulasi dan eksperimen daerah spout. Dari grafik dapat dilihat bahwa data hasil simulasi belum mempresentasikan data eksperimen dengan baik. Namun, pada Tabel 7 disajikan bahwa nilai MAPE sebaran suhu udara daerah spout bernilai kurang dari 10% sehingga dapat disimpulkan model ini dapat digunakan untuk menduga sebaran suhu udara di daerah spout. Adapun Nilai MAPE pada daerah spout pada masing masing percobaan adalah 2.84 % untuk percobaan pertama, 2.62 % untuk percobaan kedua dan 4.45 % untuk percobaan ketiga. Data hasil validasi antara simulasi dan eksperimen daerah downcomer kiri dan kanan disajikan pada Gambar 17 (a), (b) dan (c). Dari grafik dapat dilihat bahwa dari grafik hasil simulasi belum mempresentasikan data eksperimen dengan baik. Namun, pada Tabel 7 disajikan bahwa nilai MAPE sebaran suhu udara daerah
29 downcomer kiri dan kanan bernilai kurang dari 10% sehingga dapat disimpulkan model ini dapat digunakan untuk menduga sebaran suhu udara di daerah downcomer.
(a) Percobaan 1
(b) Percobaan 2
(c) Percobaan 3 Gambar 16 Validasi suhu udara di daerah spout pada proses pengeringan Tabel 7 Nilai MAPE data hasil simulasi dan eksperimen suhu udara Nilai MAPE (%) Percobaan I II III
Spout 2.84 2.62 4.45
Downcomer kanan 2.71 7.06 8.51
Downcomer kiri 5.42 7.26 7.49
30
(a) Percobaan 1
(b) Percobaan 2
(c) Percobaan 3 Gambar 17 Validasi suhu udara daerah downcomer pada proses pengeringan Hasil Simulasi Sebaran Suhu Gabah Pada penelitian ini, suhu gabah tidak diukur selama proses pengeringan. Namun, suhu gabah dapat diprediksi dengan simulasi secara numerik dengan persamaan yang dikembangkan oleh Nellist et al. (1987). Suhu gabah dibagi menjadi dua daerah yaitu pada daerah spout dan downcomer. Suhu gabah pada daerah spout disajikan pada Gambar 18. Dari grafik dapat dilihat bahwa suhu gabah akan naik secara perlahan dan kemudian suhu konstan. Kenaikan suhu gabah disebabkan oleh besarnya nilai pindah panas akibat perbedaan suhu yang besar antara udara dan gabah. Suhu gabah keluaran dari daerah spout, dijadikan kondisi inlet bagi daerah downcomer.
Gambar 18 Suhu gabah pada daerah spout
31 Suhu gabah daerah downcomer disajikan pada Gambar 19. Dari grafik dapat dilihat bahwa suhu gabah mengalami penurunan ketika menjauhi saluran inlet ruang pengering. Hal ini sejalan dengan penurunan suhu udara yang semakin menurun terhadap ketinggian aksial ruang pengering. Pada posisi 0.4 – 0.5 m merupakan posisi dimana gabah masuk sehingga pada posisi tersebut suhu gabah masih rendah. Namun pada posisi selanjutnya yaitu dari posisi 0 – 0.4 m suhu gabah dan suhu udara secara perlahan akan mengalami kondisi kesetimbangan dan selanjutnya akan bernilai konstan seperti pola pada daerah spout.
Gambar 19 Suhu gabah pada daerah downcomer Hasil Simulasi Kelembaban Mutlak Udara Pada penelitian ini, kelembaban mutlak udara tidak diukur selama proses pengeringan. Namun, kelembaban mutlak dapat diprediksi dengan simulasi secara numerik dengan persamaan yang dikembangkan oleh Nellist et al. (1987). Pada Gambar 20 disajikan perubahan kelembaban mutlak udara pada setiap pengujian di daerah spout. Kelembaban mutlak adalah total massa uap air yang terdapat dalam volume udara tertentu. Perubahan kelembaban mutlak dipengaruhi oleh perubahan suhu udara atau perubahan tekanan selama proses pengeringan. Dari grafik dapat dilihat bahwa nilai kelembaban mutlak akan semakin tinggi terhadap ketinggian aksial ruang pengering dimana inlet udara sebagai titik awal. Hal ini disebabkan oleh suhu udara yang semakin rendah dan kandungan jumlah air di dalam udara semakin tinggi karena laju pengeringan bahan yang terjadi selama proses pengeringan.
Gambar 20 Kelembaban mutlak udara daerah spout Pada Gambar 21 disajikan perubahan kelembaban mutlak udara pada setiap percobaan di daerah downcomer. Kelembaban mutlak udara pada daerah
32 downcomer akan menurun terhadap inlet udara. Hal ini disebabkan semakin mendekati inlet udara, maka kelembaban udara akan semakin rendah. Dari ketiga percobaan dapat dilihat bahwa kelembaban yang paling besar terdapat pada percobaan pertama dan selanjutnya percobaan kedua dan terakhir adalah percobaan ketiga. Hal ini dipengaruhi oleh nilai kadar air awal gabah yang masuk ke dalam ruang pengering. Dari ketiga percobaan tersebut, nilai kadar air terbesar terdapat pada percobaan pertama yaitu 41 %bk. Semakin tinggi kadar air awal yang masuk ke dalam ruang pengering, maka suhu yang keluar dari ruang pengering akan semakin rendah dan kelembaban mutlak udara semakin tinggi.
Gambar 21 Simulasi kelembaban udara mutlak daerah downcomer Hasil Simulasi Penurunan Kadar Air Gabah Gambar 22 menyajikan hasil simulasi kadar air selama proses pengeringan. Dari grafik dapat dilihat bahwa penurunan kadar air untuk daerah spout lebih cepat dibanding daerah downcomer. Hal ini terjadi karena laju aliran massa udara daerah downcomer lebih rendah dibandingkan di daerah spout sehingga energi yang tersedia untuk proses pengeringan bahan lebih kecil dibandingkan pada daerah spout. Penurunan kadar air di daerah downcomer diakibatkan oleh panas yang terakumulasi di dalam gabah yang dijadikan sebagai sumber panas internal untuk menguapkan air pada permukaan gabah, kemudian air permukaan akan diangkut oleh udara pengering yang berada di wilayah downcomer sehingga gabah akan lebih dingin ketika bersirkulasi pada daerah downcomer. Sementara itu, penurunan kadar air lebih cepat di daerah spout karena suhu udara pada ketinggian 0 – 0.08 m pada daerah spout lebih tinggi dibandingkan daerah downcomer sehingga transfer massa konvektif pada permukaan gabah lebih cepat sehinggga penurunan kadar air gabah lebih besar. Validasi kadar air tidak dilakukan karena model yang digunakan dalam simulasi menggunakan hubungan antara kadar air terhadap waktu yang biasa digunakan untuk pengeringan batch. Pada pengering tipe kontinyu, model pendugaan kadar air hanya diuji pada satu waktu saja karena kadar air yang keluar dari ruang pengering umumnya bernilai sama. Model yang digunakan adalah model Zahed dan Epstein (1992) dan akan dibahas pada sub-bab selanjutnya.
33
(a) Percobaan 1
(b) Percobaan 2
(c) Percobaan 3 Gambar 22 Hasil simulasi penurunan kadar air Hasil Simulasi Pendugaan Kadar Air Gabah Pengering Tipe Kontinyu Data hasil pendugaan kadar air yang keluar dari pengering spouted bed tipe kontinyu disajikan pada Tabel 8. Nilai hasil simulasi percobaan pertama tidak mendekati nilai yang sebenarnya namun pada percobaan kedua dan ketiga nilai pendugaan kadar air hampir senilai dengan eksperimen. Nilai pendugaan pada percobaan pertama tidak sama dengan nilai aktual dapat disebabkan oleh penentuan parameter waktu tinggal gabah selama proses pengeringan. Pada penelitian ini, penentuan waktu tinggal bahan di dalam ruang pengering dengan membagi laju pengumpanan dengan massa bahan awal di dalam ruang pengering. Sementara penentuan waktu tinggal bahan dapat menggunakan beberapa persamaan seperti persamaan Levenspiel (Madhiyanon et al. 2007) Tabel 8 Nilai MAPE model pendugaan kadar air gabah tipe kontinyu Percobaan I II III
Simulasi (% bk) 26.5 24.5 22
Eksperimen (%bk) 23 24.8 21.3 Jumlah MAPE
Error
PE (%)
APE (%)
-3.5 0.3 -0.7 -3.9
-15 1 -3 -17.3
15 1 3 19.7 7
34
Tekanan Pada Gambar 23 disajikan penurunan tekanan pada daerah spout dan downcomer pada tiga percobaan. Dari grafik dapat dilihat bahwa penurunan tekanan yang paling besar terjadi dari posisi plenum ke ketinggian 0.22 m untuk daerah spout mapun downcomer kanan dan kiri. Hal ini dipengaruhi oleh perubahan kecepatan udara pada masing masing daerah. Berdasarkan hasil penelitian He et al. (1994) disajikan bahwa pada daerah spout, konsentrasi partikel rendah, sehingga kecepatan udara dan bahan akan menurun terhadap ketinggian aksial ruang pengering. Pada daerah downcomer, partikel akan bergerak ke bawah sehingga konsentrasi partikel akan banyak di daerah downcomer dan kecepatan udara dan partikel akan bernilai negatif. Selain itu, Mukhlenov-Gorhstein (1965) berpendapat bahwa sudut kemiringan ruang pengering berpengaruh terhadap besarnya penurunan tekanan yang terjadi selama proses pengeringan pada daerah downcomer. Penurunan tekanan akan meningkat dengan meningkatnya sudut kemiringan ruang pengering untuk tinggi tumpukan bahan yang statis.
(a) Percobaan 1
(b) Percobaan 2
(c) Percobaan 3 Gambar 23 Grafik penurunan tekanan pada daerah spout dan downcomer
35 Penurunan Kadar Air Setiap produk pertanian komponen penyusun utama adalah padatan dan cairan. Air adalah komponen yang paling utama dan paling banyak dalam penyusunan bahan, sehingga diperlukan pengeringan untuk mengambat bakteri, menambah masa simpan dan meningkatkan mutu produk. Dalam hal ini, penentuan kadar air sangat penting dalam suatu proses pengeringan karena tujuan dari pengeringan itu sendiri adalah mengurangi kadar air. Pada pengeringan kali ini, parameter yang digunakan adalah kadar air awal bahan yaitu 29 % bb, 26 %bb dan 23% bb. Tabel 9 menyajikan data kadar air awal, kadar air akhir dan lama pengeringan selama proses pengujian. Gambar 24 menyajikan grafik penurunan kadar air selama proses pengeringan. Tabel 9 Penurunan kadar air dan lama pengeringan selama proses pengeringan Deskripsi
1
Laju pengumpanan (kg/jam)
Percobaan ke2 3
3
3
3
Hold up (kg) Rataan suhu udara masuk (oC)
0.1 80
0.1 80
0.1 80
Rataan RH udara masuk (%)
14.4
14.62
15.12
2
2
2
60
57
59
56.1
54.6
52.1
3.3
1.83
3.66
0.014
0.014
0.014
29 18.7
26.5 19.3
23 17
Residence time (min) o
Rataan suhu udara keluar ( C) RH udara keluar (%) Lama pengeringan (jam) 3
Debit aliran udara masuk (m /s) Kadar air rata-rata - Sebelum pengeringan (%bb) - Setelah pengeringan (%bb)
(a) Percobaan 1
(b) Percobaan 2
36
(c) Percobaan 3 Gambar 24 Grafik penurunan kadar air gabah yang keluar dari ruang pengering Dari Gambar 24 dapat dilihat bahwa penurunan kadar air terhadap waktu berbentuk eksponensial. Dengan kondisi awal kondisi kadar air awal yang berbeda sehingga waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan bahan juga membutuhkan waktu yang berbeda. Dari ketiga kurva tersebut terlihat penurunan air sangat cepat dan penurunan air lambat. Pada awal proses pengeringan terjadi penurunan kadar air cepat karena massa air bahan yang terdapat dalam permukaan sangat besar dinamakan air bebas. Sedangkan ketika pengeringan dimulai, udara pengering memiliki suhu tinggi akan kontak dengan seluruh permukaan bahan ditambah dengan kecepatan udara yang dialirkan pada panas. Pengaruh perbedaan tekanan udara pengering dan tekanan uap air di dalam bahan menyebabkan terjadi perpindahna uap air dari bahan ke udara, dan tekanan uap air pada permukaan bahan menurun. Perpindahan massa air dari bahan ke udara akan terus berlanjut sampai bahan mengalami penurunan kadar air yang konstan atau tekanan pada bahan dan udara seimbang sehingga tidak ada perpindahan air. Pada Gambar 25 ditampilkan laju pengeringan untuk tiga percobaan. Laju pengeringan menunjukkan banyaknya air yang diuapkan persatuan waktu. Dari grafik dapat dilihat bahwa laju pengeringan paling cepat terjadi pada pengujian pertama dengan kadar air awal 41% bk. Dengan kadar air awal yang tinggi, laju pengeringan akan cepat karena kandungan air di dalam gabah merupakan kadar air bebas. Setelah kadar air bebas menguap, laju pengeringan akan menurun karena saat kadar air bahan mendekati kadar air keseimbangan, penguapan air bahan semakin sedikit dan laju pengeringan semakin melambat.
Gambar 25 Laju pengeringan bahan selama proses pengeringan
37 Mutu Gabah Hasil Pengeringan dan Konsumsi Energi Hasil pengeringan sering terjadi kerusakan pada bahan akibat terlalu panas atau fisiologis dari bahan yang jelek. Dengan demikian untuk hasil pengeringan yang baik, maka diperlukan perlakuan pemutuan gabah hasil pengeringan. Hal ini bertujuan untuk mengevaluasi pada saat pengupasan dan pengeringan apakah terjadi kerusakan atau tidak. Kriteria dari pemutuan gabah adalah rendemen beras kepala (HRY), rendemen beras giling (MRY), kandungan beras kepala, kandungan beras patah, kandungan menir, kandungan beras kuning dan kandungan beras berkapur. Analisis pengaruh kadar air gabah terhadap beras giling dilakukan untuk mengetahui kadar air gabah yang optimum untuk menghasilkan beras dengan rendemen yang tinggi dan kandungan beras kepala yang tinggi. Pada Tabel 10 disajikan rendemen gabah hasil penggilingan (HRY dan MRY) dengan pengering spouted bed dan pengering udara lingkungan. Dari data disajikan bahwa kualitas pengeringan gabah lingkungan memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan pengering spouted bed. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kadar air yang relatif masih kecil (23 – 29%bb) jika ingin dikeringkan di pengering suhu tinggi seperti spouted bed. Umumnya pengering suhu tinggi akan lebih baik digunakan jika kadar air awal gabah sekitar 30 – 40 %bb. Selain itu dapat juga disebabkan oleh kelembaban yang tidak terdistribusi dengan baik di dalam gabah selama proses tempering di daerah downcomer sehingga terjadi kejenuhan air di dalam dan permukaan gabah ketika melalui daerah spout (Madhiyanon et al. (2007)). Penumpukan yang terjadi selama proses pengeringan juga menyebabkan gabah akan menerima suhu tinggi dalam waktu yang relatif lama. Tumpukan akan menyebabkan gabah menerima udara panas dalam waku yang cukup lama sehingga perbedaan suhu udara dan gabah bernilai cukup besar. Hal ini menyebabkan di dalam biji gabah terjadi proses fissuring yang berimbas pada proses penggilingan dan mutu gabah yang dihasilkan. Tabel 10 Perbandingan rendemen pengering spouted bed dan suhu udara lingkungan Deskripsi Kadar air awal (%bb) Kadar air akhir sebelum penggilingan (%bb) Pengering HRY (%) spouted bed MRY (%) Pengering HRY (%) suhu udara lingkungan MRY (%)
Percobaan ke1 2 3 29.07 26.4 23 14
14
14
39.2
46.6
44.8
55.4
60.4
59
47
52
50
55.4
60.4
59
Dari hasil penelitian Madhiyanon et al. (2000) dilakukan pengeringan gabah di spouted bed dua dimensi tipe kontinyu diperoleh bahwa nilai HRY yang diperoleh berada pada nilai 33 – 65 % dengan nilai kadar air awal berkisar 15 –
38 24 % bb dan kadar air akhir berada pada rentang 10 – 21 %bb dengan suhu pengeringan 146 oC. Nilai HRY paling besar ketika gabah dikeringkan dari kadar air 24 % sampai kadar air 21.6 % dengan nilai HRY 64.8 %. Pengeringan gabah dengan suhu inlet 80 oC dilakukan oleh Tirawanichakul et al. (2007) pada pengering tipe fluidized bed. Dari hasil penelitian ini diperoleh bahwa nilai HRY juga dipengaruhi oleh proses rewetting dan varietas gabah yang digunakan. Nilai HRY setelah proses rewetting akan lebih rendah jika tidak dilakukan proses rewetting. Kadar air awal gabah 32.5 %bk sebelum dilakukan proses rewetting akan memiliki nilai HRY 50.3%, tetapi setelah proses rewetting akan turun menjadi 44%. Selain faktor kadar air awal, pengaruh varietas juga berpengaruh terhadap nilai HRY. Varietas yang dimaksud adalah kandungan amilosa gabah. Kandungan amilosa di dalam gabah akan berperan dalam meningkatkan gaya intra-granular selama proses gelatinisasi; rendahnya kandungan amilosa, maka gaya yang terjadi akan semakin kecil sehingga biji kurang resisten terhadap gaya abrasive selama proses penggilingan. Varietas Pathumthani 1 yang memiliki kadar amilosa yang sedikit, tidak terlalu berpengaruh terhadap perlakuan suhu pengeringan dan nilai HRY yang dihasilkan. Nilai HRY yang dihasilkan adalah 53 – 55 % untuk kadar air awal 25 – 28.8 % bk, dan untuk kadar air awal 32.5% bk, nilai HRY adalah 52 – 54%. Untuk varietas Suphanburi I, nilai HRY tidak menunjukkan pola yang sama dengan varietas 1 walaupun kadar air awal bahan adalah 32.5 % bk. Dari penelitian ini juga diperoleh bahwa nilai HRY dengan kadar air awal 32.5 %bk akan lebih rendah daripada kadar air awal gabah yang lebih rendah. Sutherland dan Ghaly (1990) juga mempelajari pengeringan gabah dengan pengering tipe fluidized bed. Kadar air gabah turun dari 22-26% sampai 16-19%bb dengan tumpukan 2.5 cm dan suhu pengeringan adalah 40-90 oC. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa penurunan kadar air dari 22% ke 17 %bb nilai HRY akan berada pada rentang 58 - 61 %, namun ketika kadar air diturunkan hingga 16 %bb maka nilai HRY akan turun sampai ke nilai 15-24%. Dari data yang ditampilkan pada Tabel 11, nilai HRY dan MRY terendah berada pada percobaan pertama dengan nilai 39.2 % dan 65.6 % lalu percobaan ketiga dengan nilai 44.8 % dan 66.38 % untuk masing masing nilai HRY dan MRY. Nilai HRY dan MRY paling tinggi terdapat pada percobaan pertama dengan nilai 46.6 % dan 67.9 %. Nilai yang diperoleh pada penelitian ini merupakan nilai tengah dari nilai HRY pada umumnya yaitu dari 33 - 65%, sementara untuk nilai MRY termasuk batas bawah yang umumnya nilai MRY berada pada 68 % - 72 % (Siebenmorgen et al. 2005). Dari hasil yang diperoleh bahwa nilai HRY dan MRY masih dalam range yang sama dengan pengeringan gabah dengan suhu tinggi. Selisih antara nilai MRY dan HRY disebut rendemen biji rusak. Pada percobaan pertama, rendemen biji rusak merupakan nilai yang paling besar diantara perlakuan yang lain. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : gabah yang belum matang, gabah yang bersifat chalky dan fissured dan kadar air awal yang terlalu tinggi. Kondisi gabah seperti itu akan menyebabkan sifat gabah akan lemah dan rusak ketika digiling karena gaya yang besar diberikan kepada biji untuk menghilangkan sekam (Siebenmorgen et al. 2005). Faktor lain yang berpengaruh terhadap nilai HRY dan MRY adalah kadar air akhir gabah setelah proses pengeringan. Pada penelitian ini merupakan tipe pengering tipe kontinyu dimana umumnya kadar air akhir gabah yang keluar dari ruang pengering harus berkisar
39 antara nilai 19 – 20 % bb. Dari hasil pengujian, yang memenuhi syarat kadar air akhir gabah hanya pada percobaan kedua yaitu dengan kadar air 19.3% sehingga nilai HRY dan MRY yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan percobaan pertama dan ketiga. Tabel 11 juga menampilkan konsumsi energi selama proses pengeringan. Dari Tabel 11 dapat dilihat bahwa konsumsi yang paling besar adalah percobaan ketiga karena menurunkan kadar air dari 30 ke 21 % bk sudah memasuki laju pengeringan menurun. Konsumsi energi termal yang berada pada nilai 5.14 - 9.48 MJ/ kg air yang diuapkan merupakan nilai yang relatif tinggi. Berdasarkan hasil penelitian Madhiyanon et al. (2000) dimana konsumsi energi panas juga masih bernilai tinggi yaitu berada pada rentang 5.94 – 8.66 MJ/kg air. Hal ini disebabkan oleh dua faktor yaitu kadar air yang berada pada rentang 20-30 %bk merupakan kadar air yang cukup sulit untuk menghilangkan kadar airnya. Kedua adalah sirkulasi gabah pada daerah draft plates tidak lancar sehingga laju pengeringan menjadi jelek di daerah spout. Namun, nilai tersebut dapat bernilai lebih rendah dari perhitungan karena selama proses pengujian menggunakan termostat dengan kontrol on-off, namun ketika suhu melebihi suhu 80 oC termostat akan mati dan tidak diperhitungkan di dalam perhitungan. Tabel 11 Rendemen gabah dan konsumsi energi selama proses pengeringan Deskripsi Laju pengumpanan (kg/jam) Hold up (kg) Rataan suhu udara masuk (oC) Residence time (min) Rataan suhu udara keluar (oC) Lama pengeringan (jam) Debit aliran udara masuk (m3/s) Kadar air rata-rata - Sebelum pengeringan (%bb) - Setelah pengeringan (%bb) Rendemen beras kepala (HRY) Rendemen penggilingan (MRY) Laju pengeringan (%bk /jam) Konsumsi energi (MJ/kg air yang diuapkan) - Panas - Total
1 3
Percobaan ke2 3
3 3
0.1 80 2 60
0.1 80 2 57
0.1 80 2 59
3.3 0.014
1.83 0.014
3.66 0.014
29.07 18.7 39.2
26.4 19.3 46.6
23 17.3 44.8
65.6
67.9
66.38
8.29
12
4.35
5.14 8.95
7.43 12.95
9.48 16.51
Pengaruh kadar air awal gabah terhadap mutu beras disajikan pada Tabel 12. Dari data dapat dilihat bahwa semakin tinggi kadar air awal gabah maka kualitas gabah akan menurun. Hal ini disebabkan oleh laju respirasi gabah yang cepat
40 sehingga menimbulkan kerusakan pada butir gabah. Respirasi yang cepat selama penyimpanan dapat disebabkan oleh kegiatan cendawan yang umumnya terinfestasi dalam lapisan pembungkus biji (Damardjati 1991) sehingga kualitas gabah menurun. Dari data yang disajikan pada Tabel 12 mendapatkan pola yang sama dengan penelitian Madhiyanon et al. (2007) yaitu sulitnya memperoleh produk dengan kualitas tinggi dan kadar air yang aman untuk penyimpanan jika hanya menggunakan pengering spouted bed dua dimensi satu aliran saja. Sehingga disarankan jika kadar air bahan yang masuk tinggi diperlukan pengering multi-stage dengan proses tempering terlebih dulu. Tabel 12 Hubungan kadar air awal gabah dengan kualitas beras Kadar air awal gabah (%bk) 41 36 30
Beras kepala (%) 59.84 72.65 67.34
Beras patah (%) 25.01 17.90 21.54
Menir (%) 15.08 8.41 10.27
Beras kapur (%) 0.42 0.53 0.69
Beras kuning (%) 0.18 0.51 0.16
Beras hijau (%) 0 0 0
Benda asing (%)
5 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dimensi ruang pengering yang di desain pada penelitian ini adalah tinggi total ruang pengering yaitu 0.5 m, lebar 0.15 m dan panjang 0.2 m. Sisi bawah ruang pengering berupa sisi miring dengan sudut 60o yang terhubung dengan saluran inlet udara yang berdimensi 0.02 m x 0.15 m. Kadar air awal gabah 23 – 29 %bb dikeringkan sampai kadar air akhir 17 – 19 %bb menghasilkan rendemen beras kepala bernilai 39 - 46.5% serta rendemen penggilingan bernilai 65 – 67 %bb. Konsumsi energi panas selama proses pengeringan adalah 5.14 – 9.48 MJ/kg air yang diuapkan dan nilai konsumsi energi total adalah 8 - 16 MJ/kg air yang diuapkan. Model matematika yang dikembangkan oleh Nellist et al. (1987) digunakan untuk memprediksi sebaran suhu udara, suhu gabah dan kadar air selama proses pengeringan. Nilai MAPE suhu udara daerah spout bernilai kurang dari 4.45% dan pada daerah downcomer kurang dari 8.51%. Dari nilai MAPE tersebut dapat disimpulkan bahwa model Nellist et al. (1987) dapat digunakan untuk menduga parameter selama proses pengeringan. Nilai MAPE pendugaan kadar air keluaran dengan model Zahed dan Epstein (1992) adalah 7%.
0 0 0
41 Saran Beberapa saran yang diharapkan dapat meningkatkan kinerja pengering ini antara lain : 1. Pengukuran daya dilakukan dengan unit power analyzer agar perhitungan konsumsi energi lebih presisi. 2. Perlu dikembangkan model matematika yang menduga kadar air yang keluar dari daerah downcomer dan masuk ke daerah spout sehingga model yang dihasilkan lebih valid. 3. Penambahan parameter pindah panas yang terjadi dari dinding draft plates ke daerah ruang pengering. 4. Penambahan studi mengenai kinetika pengeringan yang terjadi di dalam ruang pengering dengan perlakuan perubahan ketinggian antara inlet udara dengan draft plates. 5. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pengembangan pengering spouted bed yang lebih baik dari segi desain, kapasitas, kebutuhan energi dan model matematika yang digunakan.
42
6 DAFTAR PUSTAKA Allidawati, Kustianto B. 1989. Metode uji mutu beras dalam program pemuliaan padi. Di dalam: Ismunadji M, M Syam dan Yuswadi. Padi Buku 2. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor (ID). 363-375. Anugrah, Nurdiah H. 2015. Menghitung kehilangan padi. BPTP Sulawesi Selatan (No. 9 Tahun 2014) [Internet]. (12 November 2014, [diunduh 15 April 2016]). Tersedia pada : http://sulsel.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php?option=com_content&vie w=article&id=1034:menghitung-kehilangan-pasca-panen-padi&catid=181:buletin-nomor-9-tahun-2014&Itemid=399 Barnett GR. 1967. The need for artificial drying of paddy in the human tropics. Proceeding of Seminar on Principle and Practise of Artificial Drying of Paddy. University of Malaya. Kuala Lumpur. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1993. Standar mutu gabah. SNI 02241987/SPI-TAN/01/01/1993. Jakarta (ID). [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2008. Beras. SNI 6128. Jakarta (ID). [Balitbang] Balai Besar Penelitian Pasca Panen Pertanian. 2011. Jakarta (ID). Bizmark N, Mostoufi N, Gharebagh RS, Ehsani H. 2010. Sequential modelling of fluidized bed paddy dryer. Journal of Food Engineering. 101:303-308. Boyce DS. 1965. Grain moisture and temperature changes with position and time during through drying. Journal of Agricultural Engineering Research. 10:333-341 Chandra R, Sodha MS. 1986. Drying characteristics of coarse agricultural grains. Energy conservation management. 27(3):289-291. Chung LL, Mujumdar AS. 2006. Fluidized bed dryer. Handbook of Industrial Drying chapter 8. Third Edition. National University of Singapore. Cnossen AG, Siebenmorgen TJ. 2000. The glass transition temperature concept in rice drying and tempering: Effect on Milling Quality. ASAE. 43:1661-1167. Coşkun MB, I Yalçin, C Özarslan. 2005. Physical properties of sweet corn seed (Zea mays saccharata Sturt.). Journal of Food Engineering. 74 (4): 523–528. Damardjati DS, Purwani EY. 1991. Mutu beras. Di dalam : Padi-Buku 3. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor(ID). Dewi AR. 2009. Kajian konfigurasi mesin penggilingan untuk meningkatkan rendemen dan menekan susut penggilingan pada beberapa varietas padi. Institut Pertanian Bogor (IPB). Freitas LAP, Freire JT. 1997. Experimental study on dynamics of a draft tube spouted bed with continuous solids feeding. Brazilian Journal Chemical Engineering. 4(3):29-280. Gallaghan GL. 1951. A method of determining the latent heat of agricultural crops. Journal Agricultural Engineering. 32(1):34-38. Gisler M, Epstein N. 1987. Spouted beds. Academic Press. New York(USA). Handerson SM, Perry RL. 1976. Agricultural process engineering 3th Edition. The AVI Publishing Company Inc. Westport Connecticut (USA)
43 Harianto. 2001. Pendapatan, harga, dan konsumsi beras. Di dalam: Suryana, A. dan S. Mardianto. Bunga rampai ekonomi beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM-FEUI) Hasbullah R, Dewi AR. 2009. Kajian pengaruh konfigurasi mesin penggilingan terhadap rendemen dan susut giling beberapa varietas padi. JTEP. IISN 02163365. 23(2) He YL, J Lim, JR Grace, JX Zhu dan SZ Qin. 1994. Measurements of voidage profiles in spouted beds. Canadian Journal Chemical Engineering. 72:229234. Heldman DR, Singh PR. 1981. Food process engineering. 2nd sd. The AVI Publ CompInc. Westport CT(USA) Hosokawa A. 1995. Rice postharvest technology. The Food Agency Ministry of Agriculture. Forestry and Fisheries. Japan Yoshihito Makao, ACE Corporation, Tokyo. p 566 Jayas DS, Cenkowski S. 2006. Grain property values and their measurement. Handbook of Industrial Drying. chapter 24. Third Edition. National University of Singapore. Jittanit W, George S, Robert D. 2010. Seed drying in fluidized and spouted bed dryers. Drying technology: an international journal.28(10):1213-1219. Juliano. 1980. Kandungan mineral padi varietas unggul dan kaitannya dengan Kesehatan. Jurnal Iptek Tanaman Pangan 1:88-90. Kalwar MI, Kudra TG, Raghavan GSV, Mujumdar AS. 1991. Drying grain in drafted two dimensional spouted bed. Journal Food Process Engineering 13:321-332. Kalwar MI, Raghavan GSV. 1993. Circulation of particles in two dimensional spouted beds with draft plates. Journal Powder Technology. 77:233-242. Kudra T, Platon R, Navarri P. 2009. Excel-based tool to analyze the energy performance convective dryers. Drying Technology:An International Journal. 27(12):1302-1308. Laforteza. 1951. Rice production manual. University of Philippiines College of Agriculture. Laithong C. 1987. Study of thermo-physical properties of rough rice. MSc. Tesis. King Mongkut’s Institute of Technology Thonburi. Thailand. Law Chung L, Mujumdar AS. 2006. Fluidized bed Dryer. Handbook of Industrial Drying. Madhiyanon T, Somchart S, Warunee T. 2000. Continuous drying of paddy in two dimensional spouted bed. Kasetsart journal. 34:308-314. Madhiyanon T, Somchart S, Warunee T. 2007. A mathematical model for continuous drying of grans in a spouted bed dryer. Drying Technology : An International Journal. 587-614. Makridakis S, Wheelwright SC, McGee VE. 1999. Metode dan aplikasi peramalan. Erlangga. Jakarta Mujumdar AS, Devahastin S. 2003. Application for fluidized bed drying. Handbook of Fluidization and Fluid Systems. New York(USA). Mujumdar AS. 2006. Handbook of Industrial Drying Third Edition. CRC Press Mukhlenov-Gorhstein, AE Gorshtein. 1965. Investigation of a spouted bed. Khim Prom. 41(6):443-446.
44 Nellist ME, Whitfield RD, Marchant JA. 1987. Computer simulation and control of grain drying in JA Clark, K Gregson dan RA Saffell. Computer applications in agricultural environments. (UK) p127-142. Nguyen LH, Driscoll RH, Srzednicki GS. 2001. Drying of high moisture content paddy in a pilot scale triangular spouted bed dryer. Drying technology. 19:375-387. O’Callaghan JR, Menzies DJ, Bailey PH. 1971. Digital simulation of agricultural drier performance. Journal of Agricultural Engineering Research. 16:223244. Pallai E, Szentmarjay T, Mujumdar AS. Spouted bed Drying. Handbook of Industrial Drying chapter 14. Third Edition. National University of Singapore. Passos ML, Mujumdar AS, Ragahavan VSG. 1993. Predictions of the maximum spoutable bed height in two dimensional spouted beds. Powder technology journal. 74:97-105. Passos ML, Esly Ferreira da Costa JR, Mujumdar AS. 2011. Drying of particulate solids, in Norman Epstein dan John R Grace. Spouted and spout-fluid beds. UK. p 187-205. Pradhan RC, Naik SN, Bhatnagar N, Swain SK. 2008. Moisture-dependent physical properties of Karanja (Pongamia pinnata) kernel. Industrial Crops and Products. 28(2):155-161. SC Len . 1967. Principle of Rice Drying. Proceeding of seminar on principle and practice of artificial drying of paddy. University of Malaya. Kuala Lumpur. Soemardi. 1987. Beberapa masalah dalam prosesing padi/beras yang dialami di Indonesia dewasa ini dan cara Penanggulangannya. Seminar Penerapan Teknologi Madya Pada Institut Pertanian. FATEMETA IPB. Bogor (ID). Sopanronnarit S, Prachayawarakarn S. 1994. Optimum strategy for fluidized bed paddy drying. Drying Technology . Soponronnarit S, Prachayawarakorn S, Sripawatakul O. 1996. Development of cross-flow fluidized bed paddy dryer. Drying Technology. 14(10):2397-2410. Soponronnarit S, S Wetchakama, T Swasdisevi and N Poomsa-ad. 1999. Managing moist paddy by drying, tempering and ambient air ventilation. Drying Technology. 17:335-344. Sripawatakul O. 1994. Study of drying paddy by cross-flow fluidization technique. Tesis. Faculty of Engineering King Mongkut's Institute of Technology Thonburi. Bangkok. Thailand. Srzednicki GS, Driscoll RH. 1993. High moisture grain drying with spouted bed dryer. Proceedings of the 14th ASEAN Techical Seminar on Grain Post Harvest Technology. Sutherland JW, Ghaly TF. 1990. Rapid-fluid bed drying of paddy rice in the humid tropics. Presented at 13thASEAN Seminar on Grain Postharvest Technology. Brunai Darussalam. Sutkar VS, Niels GD, JAM Kuipers. 2013. Spout fluidized beds : Recent Advances in Experimental and Numerical Studies. Chemical Engineering Science. 124136. Tirawanichakul S, Prachayawarakorn S, Varanyanond W, Tungtrakul P, Somchart S. 2007. Effect of fluidized bed drying temperature on various quality attributes of paddy. Drying Technology : an international journal. 22:7, 17311754
45 Tulasidas TN, T Kudra, Raghavan GSV. 1993. Effect of bed height on simulaneous heat and mass transfer in a two-dimensional spouted bed dryer. Int.Comm. Heat Mass Transfer. 20:70-88. Vijaya GS, Raghavan, Venkatesh S. 2006. Grain drying. Handbook of Industrial Drying chapter 23. Third Edition. National University of Singapore Viswanathan K, Lyall MS, Raychaudhuri BC. 1986. Agricultural grains spouted bed drying. Canadian Chemical Engineering. 64:223-232. Wetchama S, Somchart S, Tahnit S, Somkiat P, Jinda P, Suchart S. 2001. Drying of high moisture paddy by two-dimensional spouted bed technique. Kasetsart Journal National Science. 35:93-103 Wiset L, G Srzednicki, R Driscoll, C Nimmuntavin, P Siwapornrak. 2001. Effects of high temperature drying on rice quality. Agricultural Engineering International: the CIGR Journal of Scientific Research and Development. Manuscript FP 01 003 Yamashita R. 1972. Current status and problems of rice processing procedure from harvesting through milling in south east asia- a case study on Malaysia. The Association of Japanese Agricultural Scientific Societies. Zahed AH, Epstein N. 1992. Batch and continuous spouted bed drying of cereal grains : the thermal equilibrium model. The Canadian Journal of Chemical Engineering. 70(5):945-953. Zurith CA, Singh RP. 1982. In simulation of rough rice drying in a spouted bed in Drying’82 Mujumdar AS Edition. McGraw-Hill. Hemisphere. New York
46
47
LAMPIRAN
48 Lampiran 1 Kalibrasi termokopel dan sensor suhu LM35DZ Kalibrasi termokopel dan sensor suhu dilakukan melalui perbandingan termokopel dan sesnsor suhu LM35DZ yang digunakan dengan termometer standar menggunakan instrumen oil bath. Termokopel yang idel harus sesuai dengan perubahan suhu pada termometer standar. Rentang suhu yang digunakan untuk validasi termokopel dan sensor suhu adalah dari suhu 50 oC – 85 oC. Berdasarkan pengujian 6 termokopel dan 10 buah sensor suhu LM35DZ terhadap termometer standar diperoleh persamaan regresi dan koefisien determinasi seperti terlihat pada Tabel 13 dan Tabel 14. Tabel 13 Kalibrasi termokopel terhadap termometer standar No Termokopel 1 Termokopel 2 Termokopel 3 Termokopel 4 Termokopel 5 Termokopel 6
Persamaan
R²
y = 0.9933x + 0.5 y = 0.9952x + 0.5214 y = 0.995x + 0.4 y = 1.0024x – 0.8357 y = 0.9976x – 0.2893 y = x + 0.125
0.995 0.995 0.9996 0.9996 0.9996 0.9996
Tabel 14 Kalibrasi sensor LM35DZ terhadap termometer standar No Sensor 1 Sensor 2 Sensor 3 Sensor 4 Sensor 5 Sensor 6 Sensor 7 Sensor 8 Sensor 9 Sensor 10
Persamaan y = 1.04x – 3.6 y = 1.04x – 3.8 y = 1.02x – 1.9 y = x – 0.4 y = 1.04x – 2.6 y = 1.04x – 3.2 y = 1.04x – 4.8 y = 1.06x – 5.1 y = 1.04x – 3.6 y = 1.04x – 4.2
R² 0.9971 0.9985 0.9958 0.9952 0.9971 0.9985 0.9912 0.9989 0.9971 0.9985
Nilai koefisien determinasi termokopel dan sensor suhu mendekati nilai 1 sehingga dapat disimpulkan bahwa temokopel dan sensor suhu LM35DZ yang digunakan untuk pengukuran suhu masih baik.
49 Lampiran 2 Skema sistem pengumpanan bahan
50 Lampiran 3 Skema screw feeder
51 Lampiran 4 Skema siklon
52
Lampiran 5 Skema alat pengering
53 Lampiran 6 Skema ruang pengering spouted bed dua dimensi
54
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 23 Mei 1992 di kota Bandung, Jawa Barat sebagai anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Donni Napitu dan Rosita Pardede. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Teknik Mesin dan Biosistem dan lulus pada tahun 2014. Penulis melanjutkan pendidikan magister melalui program sinergi S1-S2 di Program Studi Teknik Mesin Pertanian dan Pangan, Sekolah Pascasarjana IPB. Beasiswa yang diterima penulis selama menempuh pendidikan pascasarjana adalah beasiswa freshgraduate dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Karya ilmiah dengan judul “Simulasi Pengeringan Gabah Pada Pengering Spouted Bed Dua Dimensi” telah disajikan dalam Seminar Pascasarjana IPB pada bulan April 2016. Selain itu, karya ilmiah dengan judul yang sama akan diterbitkan pada Jurnal Keteknikan Pertanian Volume 4. No. 2 Oktober 2016.