Deradikalisasi Sebagai Suatu Program Rehabilitasi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme Untuk Mencapai Tujuan Pemidanaan Justice Yosie Anastasia Simanjuntak dan Gandjar Laksmana Bonaprapta Bondan Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Indonesia, Depok, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Berulang kali tindak pidana terorisme terjadi di Tanah Air. Selain kerugian materil yang dialami korban-korban bahkan negara, nyawa yang direnggut, bahkan nama baik Indonesia sebagai negara yang damai juga dipertaruhkan. Sehingga Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya tindak pidana terorisme ini. Akan tetapi, penghukuman atau pemidanaan saja tidak cukup untuk mencegah terjadinya kembali tindak pidana serupa, mereka yang dihukum malah dianggap sebagai contoh yang melahirkan kembali teroris-teroris baru karena ideologi mereka yang masih berakar. Hal ini menjadikan perlu bagi pelaku tindak pidana terorisme untuk diberikan suatu rehabilitasi baginya untuk mencabut ideologi mereka tersebut, dan menanamkan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran pada mereka, melalui program deradikalisasi. Kata Kunci: Tindak pidana terorisme, Rehabilitasi, Deradikalisasi.
Deradicalization as A Rehabilitation for Perpetrators of Terrorism to Achieve the Purpose of Punishment Abstract Many times terrorism occurred in Indonesia. Besides material loss has perceived by the victim and the country, death, even the good name of Indonesia as a peaceful country is also be staked. So that the government takes many ways to prevent and overcome the terrorisms. However, punishment itself is not enough to prevent the recurrence of similar offenses, those convicted even considered as an example that regenerates new terrorists because of the ideology is still rooted in their mind. This makes necessary for the perpetrators of terrorisme to be given a rehabilitation to revoke their ideology, and instill the values of goodness and truth on them, through the deradicalization programme. Keywords: Terrorism, Rehabilitation, Deradicalization
Pendahuluan Pemidanaan adalah suatu proses atau cara untuk menjatuhkan hukuman/sanksi terhadap orang yang telah melakukan tindak kejahatan (rechtsdelict) maupun pelanggaran (wetsdelict). Beberapa teori yang dikenal mengenai tujuan pemidanaan dalam hukum pidana, antara lain: teori absolut (teori pembalasan), teori relatif (teori prevensi) dan teori gabungan.1 Yang mana dalam teori-teori tersebut terdapat tiga pokok pemikiran mengenai tujuan yang ingin dicapai dari suatu pemidanaan, yaituuntuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri; untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatan-kejahatan, dan untuk membuat 1
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Alumni,1985), hal.53.
1 Deradikalisasi sebagai…, Simanjuntak, Justice Yosie Anastasia , FH UI, 2014
penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi. 2 Salah satu tindak pidana di Indonesia yang mendapat perhatian adalah tindak pidana terorisme. Berulang kali Indonesia menjadi target serangan teroris, dan beberapa anggapan memandang Indonesia sebagai sarang teroris. Dari Global Terorism Index yang di perbarui pada Desember 2012, diketahui bahwa Indonesia merupakan negara urutan terbesar ke-29 di dunia yang terkena dampak dari terorisme.3 Berbagai upaya dilakukan Pemerintah untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya tindak pidana terorisme ini. Namun, penghukuman atau pemidanaan saja tidak cukup untuk mencegah terjadinya kembali tindak pidana serupa, mereka yang dihukum malah dianggap sebagai contoh atau kisah sukses yang melahirkan kembali teroris-teroris baru karena ideologi mereka. Hal ini menjadikan perlu bagi pelaku tindak pidana terorisme untuk diberikan suatu rehabilitasi baginya untuk mencabut ideologi mereka tersebut, dan menanamkan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran pada mereka. Berdasarkan hal yang telah disebutkan di atas, maka peneliti menjadi tertarik untuk membahas deradikalisasi sebagai salah satu program rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana terorisme.
Tinjauan Teoritis Mengenai tujuan yang ingin dicapai dalam suatu pemidanaan, pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dari pemidanaan.4 Tiga teori pokok yang dimaksud adalah sebagai berikut: a. Teori absolut atau vergeldings theorieen Pada intinya aliran ini mengajarkan dasar daripada pemidanaan harus dicari pada kejahatan itu sendiri untuk menunjukkan kejahatan itu sebagai dasar hubungan yang dianggap sebagai pembalasan, imbalan (velgelding) terhadap orang yang melakukan perbuatan jahat. Oleh karena kejahatan itu menimbulkan penderitaan bagi si korban.5 2
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1984), hal. 23 http://www.visionofhumanity.org/wp-content/uploads/2012/12/2012-Global-TerrorismIndexReport1.pdf (diakses pada 10 April 2013, Pukul 20.00 WIB) 4 P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,2012), hal 11 5 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, (Bandung: Balai Lektur Mahasiswa), hal. 56. 3
2 Deradikalisasi sebagai…, Simanjuntak, Justice Yosie Anastasia , FH UI, 2014
b. Teori relatif atau teori tujuan (doel theorien), atau teori utilitarian Teori ini lahir sebagai reaksi atau kritik terhadap teori absolut. Dalam teori ini, pemidanaan bertujuan untuk memulihkan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan, dan tujuan untuk mencegah orang lain tidak melakukan kejahatan. Yang dianggap sebagai dasar hukum dari pemidanaan dalam teori ini bukanlah pembalasan (velgelding), akan tetapi tujuan (doel) dari pidana itu. Jadi aliran ini menyandarkan hukuman pada maksud dan tujuan pemidanaan itu, artinya teori ini mencari manfaat daripada pemidanaan (nut van de straf).6 Teori ini dapat dibagi lagi menjadi dua macam teori, yaitu: 1. Teori pencegahan umum (algemene preventive theorien), dimana yang ingin dicapai dari suatu tujuan pemidanaan yaitu semata-mata dengan membuat jera setiap orang agar tidak melakukan kejahatan.tujuan tersebut ditujukan pada khalayak ramai atau kepada semua orang agar tidak melakukan pelanggaran terhadap ketertiban masyarakat. 2. Teori pencegahan khusus (bijzondere preventie theorien), dimana yang ingin dicapai dari tujuan pidana yaitu membuat jera, memperbaiki, dan membuat penjahat itu sendiri menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan lagi. c. Teori gabungan (vereningingstheorien) Teori ini sebagai reaksi dari teori sebelumnnya yang kurang dapat memuaskan menjawab mengenai hakikat dari tujuan pemidanaan. Menurut ajaran teori ini dasar hukum dari pemidanaan adalah terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau siksaan, akan tetapi di samping itu diakuinya pula sebagai dasar pemidanaan itu adalah tujuan daripada hukum.7 Hingga saat ini, belum ada pertemuan pendapat akan tujuan yang ingin dicapai dari suatu pidana. Namun, dalam praktiknya di tanah air, dapat diketahui bahwa teori dari pidana dan pemidanaan tidak banyak berkembang dan masih sangat dipengaruhi oleh teori para pemikir dari beberapa abad yang lampau. Bahkan hingga saat ini di Indonesia, secara khusus, masih menggunakan peraturan perundang-undangan yang lama sehingga terpaku pada sistem yang lama tersebut dengan segala kekurangannya, meskipun telah ada ilmu-ilmu pengetahuan baru yang terkait dengan hukum pidana, seperti misalnya ilmu kriminologi, yang telah mendorong 6 7
Ibid Ibid
3 Deradikalisasi sebagai…, Simanjuntak, Justice Yosie Anastasia , FH UI, 2014
pembaruan dalam sistem pemidanaan, seharusnya ada perkembangan pesat dari hukum pidana khususnya di Indonesia.
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian monodisipliner, dimana pemilihan metode penelitian didasarkan pada satu disiplin ilmu saja8, yaitu ilmu hukum, dimana pokok permasalahan yang akan dijawab adalah permasalahan dari segi hukum saja, sehingga penelitian ini tidak digolongkan dalam penelitian inter-disipliner. Selain itu penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif atau penelitian kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau data sekunder, namun peneliti dalam penulisan penelitian ini juga melakukan wawancara untuk mendukung penulisan penelitian ini. Sumber sekunder (secondary sources), meupakan bahan-bahan yang memberikan informasi atau hal-hal yang berkaitan dengan isi sumber primer serta implementasinya.9 Data sekunder digunakan berasal dari data/bahan kepustakaan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier seperti berikut: a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. Bahan yang digunakan yaitu peraturan perundang-undangan berupa Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Pengaturan Hukum Pidana; dan peraturan terkait lainnya. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang menjelaskan bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang akan digunakan oleh peneliti diantaranya adalah berupa buku-buku, jurnal-jurnal,
artikel-artikel yang bertemakan terorisme, tindak pidana
terorisme, deradikalisasi, dan buku-buku hukum pidana lainnya. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberi keterangan bahan hukum primer dan sekunder. Yang digunakan oleh peneliti yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris dan Kamus Hukum, yang dipergunakan untuk mencari makna istilah-istilah yang ditemukan oleh peneliti dalam penelitian. 8
Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, ed.1, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 5. 9 Ibid. hal. 30.
4 Deradikalisasi sebagai…, Simanjuntak, Justice Yosie Anastasia , FH UI, 2014
Data primer diperoleh melalui wawancara dengan narasumber terpilih yaitu Irfan Idris (Direktur Derdikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme); Tony Soemarno (salah satu korban dari peristiwa bom di J.W. Marriot Jakarta tahun 2003 dan Sekertaris Jenderal Yayasan Asosiasi Korban Bom Indonesia (ASKOBI)); Dindin Sudirman (Mantan Sekretaris Direktorat Jenderal Pemasyarakatan); Bambang Pranowo (Akademisi dari UIN Jakarta); Harun Sulianto (Kepala Lembaga Pemasyarakatan Palembang) Metode analisis data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah, analisis data secara kualitatif, yakni usaha-usaha untuk memahami makna di balik tindakan atau kenyataan atau temuan-temuan yang ada di masyarakat secara nyata,10 dalam hal ini khususnya mengenai deradikalisasi terhadap pelaku tindak pidana terorisme.
Kajian Pustaka Terhadap Terorisme Dan Deradikalisasi Kata “teroris” (pelaku) dan terorisme (aksi) berasal dari kata Latin ‘terrere’ yang kurang lebih berarti membuat gemetar atau menggetarkan, dan kata teror juga bisa menimbulkan kengerian.11 Dan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), teror yaitu usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan; dan terorisme yaitu penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik). Ezzat A. Fattah, Profesor dan ahli kriminologi asal Kanada, mengatakan bahwa12 Terorisme berasal dari kata teror, yang berasal dari bahasa latin yaitu “terrere” yang berarti rasa takut. Awalnya kata “teror” digunakan untuk menggambarkan cara untuk memerintah, dan kata ‘terorisme” digunakan untuk menggambarkan penggunaan sistematik teror dari pemerintah sebagai alat koersi untuk menekan kepatuhan terhadap pemerintah. Terorisme adalah salah satu fenomena global, yang mendapat perhatian dunia. Namun belum ada definisi pasti dari terorisme ini sendiri. Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi definisi
10
119
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hal.118-
11
Abdul Wahid, S.H., M.A et.al. Kejahatan Terorisme – Perspektif Agama, HAM dan Hukum.(Bandung : PT Refika Aditama, 2004) , hal.22 12 Ronny Rahman Nitibagaskara, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006). hal.
5 Deradikalisasi sebagai…, Simanjuntak, Justice Yosie Anastasia , FH UI, 2014
terhadap terorisme yaitu: “Penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik); praktik tindakan teror”13 Kemudian Wilkinson, menyatakan lima karakteristik yang berbeda dari terorisme itu sendiri14: 1. Terorisme itu direncanakan dan didesain untuk menciptakan suasana ketakuatan yang ekstrim; 2. Terorisme itu ditujukan pada target yang lebih luas dari korban langsung; 3. Terorisme itu sifatnya melibatkan serangan acak atau target simbolis termasuk masyarakat sipil; 4. Terorisme disadari oleh masyarakat, dimana mereka terjadi secara ekstra-normal, secara harafiah bahwa mereka melanggar norma-norma, lalu menyebarkan protes dan pendapat yang berbeda; dan 5. Terorisme digunakan terutama, walau tidak secara eksklusif, untuk mempengaruhi perilaku politik pemerintah, masyarakat atau kelompok sosial tertentu.) Golose berpendapat bahwa terorisme adalah setiap tindakan yang melawan hukum dengan cara menebarkan rasa terror secara meluas kepada masyarakat, dengan ancaman dan cara kekerasan, baik yang terorganisir maupun tidak, serta menimbulkan akibat berupa penderitaan fisik dan/atau psikologis dalam waktu berkepanjangan sehingga dikategorikan sebagai tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary crime) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity).15 Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Terorisme jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang, terdapat pengertian dari tindak pidana terorisme, yaitu: Pasal 616: Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau 13
http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php (pencarian kata: terorisme), diakses pada 27 Juni 2013, pukul 19.30 WIB 14 Paul Wilkinson, International Terrorism: New Risk to World Order – Dilemmas A World Politics International Issues A Changing World, ed. N. J Rengger (New York: Claredon Press-Oxford, 1992,) p.228 15 Petrus Golose, Deradikalisasi Terorisme: Humanis, Soul Approach dan Menyentuh Akar Rumput, (Jakarta: YPKIK, 2009), hal.6 16 Indonesia, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Terorisme, Pasal 6
6 Deradikalisasi sebagai…, Simanjuntak, Justice Yosie Anastasia , FH UI, 2014
menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 7 17: Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat missal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup. Kemudian The National Advisory Committee on Criminal Justice Standards and Goals (Komisi Kejahatan Nasional Amerika) yang membagi jenis-jenis terorisme menjadi enam tipe, yaitu18: a. Kekacauan sipil adalah bentuk kekerasan atas protes yang dilakukan oleh sekelompok individu, biasanya bertentangan dengan kebijakan politik atau tindakan. Mereka dimaksudkan untuk mengirim pesan ke sebuah kelompok politik bahwa "rakyat" tidak bahagia dan permintaan mengalami perubahan. Protes ini awalnya tidak bermaksud untuk melakukan kekerasan, tetapi terkadang mereka mengakibatkan kerusuhan besar, di mana benda-benda pribadi hancur dan warga sipil bahkan terluka atau terbunuh. b. Terorisme politik digunakan oleh salah satu faksi politik untuk mengintimidasi yang lain. Meskipun para pemimpin pemerintahan adalah orang-orang yang dimaksudkan untuk menerima pesan utama, warga-lah yang menjadi target atas serangan kekerasan. c. Terorisme non-politik adalah suatu aksi teroris yang dilakukan oleh kelompok untuk tujuan lain, paling sering yang bersifat religius. Tujuan yang diinginkan adalah sesuatu tidak termasuk untuk tujuan politik, tetapi taktik digunakan adalah sama. 17
Ibid. Pasal 7 http://www.crimemuseum.org/library/terrorism/typesOfTerrorism.html, diakses pada 4 Juli 2013, Pukul 14.27 WIB 18
7 Deradikalisasi sebagai…, Simanjuntak, Justice Yosie Anastasia , FH UI, 2014
d. Kuasi terorisme adalah tindakan kekerasan yang memanfaatkan metode yang sama yang digunakan teroris lain, tetapi tidak memiliki faktor-faktor motivasi yang sama. Kasus seperti ini biasanya melibatkan seorang penjahat bersenjata yang
mencoba
untuk
melarikan
diri
dari penegak
hukum
dengan
memanfaatkan warga sipil sebagai sandera untuk membantu mereka melarikan diri. Para pelanggar hukum bertindak dengan cara yang mirip dengan teroris, tetapi tindak terorisme bukanlah tujuan utamanya. e. Tindakan terorisme politik yang terbatas umumnya satu kali saja plot untuk membuat pernyataan politik atau ideologis. Tujuannya bukan untuk menggulingkan pemerintah, tapi untuk memprotes kebijakan atau tindakan pemerintah. f. Terorisme Negara didefinisikan sebagai tindakan kekerasan apapun yang diprakarsai oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu. Umumnya tujuan ini melibatkan konflik dengan negara lain. Latar belakang atau motif yang mendasari aksi teror di Indonesia tidak hanya berdasar atas agama, namun dapat bersumber dari beberapa hal lain sebagai berikut19 : 1. Ekstrimisme ideologi keagamaan. Motivasi terorisme ini didasarkan pada sikap radikalisme agama yaitu membangun komunitas ekslusif sebagai modal dan identitas kelompok sementara dunia sekitarnya yang dianggap sebagai dekaden, sebuah dunia iblis yang harus dimusnahkan. Sehingga berperang melawan kafir adalah kewajiban, sedangkan kematian dianggap jalan menuju surgawi. 2. Nasionalisme kesukuan yang mengarah pada separatisme. Aksi teror ini bertujuan untuk memperoleh kemerdekaan politik. Sasaran utama mereka umumnya adalah kantor-kantor pemerintah. 3. Kelompok kepentingan tertentu yang ingin menimbulkan kekacauan, cenderung melakukan aksi teror demi kepentingan tertentu baik di bidang politik, ekonomi dan sosial dengan tujuan melindungi kepentingan seperti untuk menutupi proses hukum atas kejahatan atau pelanggaran yang telah dilakukan di masa lalu atau sebagai bargaining untuk mendapatkan posisi tertentu di bidang politik, ekonomi dan sosial.
19
Arsyad Mbai, Terorisme dan Penanggulangannya, hal. 4, sebagaimana dikutip dalam http://www.lazuardibirru.org/wp-content/uploads/else/pdf/strategi-pemberantas-terorisme.pdf (diakses pada 18 Desember 2013, Pukul 17.24 WIB)
8 Deradikalisasi sebagai…, Simanjuntak, Justice Yosie Anastasia , FH UI, 2014
Di Indonesia, perbuatan teror yang dilakukan para teroris dapat dimasukkan ke dalam teror yang bersumber dari ekstrimisme keagamaan, dan nasionalisme kesukuan yang mengarah pada separatisme. Seperti misalnya OPM di Papua dan GAM di Aceh dapat dipandang sebagai perbuatan terror yang berdasarkan nasionalisme kesukuan yang akan mengarah ke separatisme. Kebijakan Kriminal dalam Menyelesaikan Masalah Tindak Pidana Terorisme Kebijakan kriminal merupakan usaha yang rasional dari masyarakat untuk mencegah kejahatan dan mengadakan reaksi terhadap kejahatan. Usaha yang rasional itu merupakan konsekuensi logis, sebagai masalah yang termasuk masalah kebijakan, maka penggunaan hukum pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan. Kebijakan kriminal atau penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare).20 Tiga arti mengenai kebijakan kriminal menurut Sudarto, yaitu21: a. Dalam arti sempit adalah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana; b. Dalam arti luas adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi; c. Dalam arti paling luas (yang diambil dari Jorgen Jepsen) adalah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. Kebijakan kriminal yang integralistik ini terdiri dari Kebijakan Penal dan Kebijakan Nonpenal, yang akan dijelaskan sebagai berikut: 1. Kebijakan Penal Kebijakan Penal memuat konsep ataupun cara perbuatan melawan hukum dan apa yang merupakan sanksinya. Kebijakan penal ini termasuk di dalamnya kebijakan formulatif (legislatif), misalnya melalui perumusan hukum pidana; kebijakan aplikatif yaitu penerapan hukum pidana; dan kebijakan eksekutif yaitu pelaksanaan pidana oleh aparat penegak hukum. 2. Kebijakan Non-Penal 20
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2002, hal.2 21
Barda Nawawi Arief, 2008, Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana, Jakarta, hal. 1.
9 Deradikalisasi sebagai…, Simanjuntak, Justice Yosie Anastasia , FH UI, 2014
Kebijakan non-penal merupakan upaya menjadikan masyarakat sebagai lingkungan sosial dan lingkungan hidup yang sehat (material/immaterial) dari faktor-faktor kriminogen, yang mana dalam kebijakan ini masyarakat dijadikan faktor penangkal kejahatan (anti-kriminogen) melalui penghapusan kondisi sosial yang dapat menurunkan harkat dan martabat kemanusiaan seperti kemiskinan, ketidak-adilan, kebuta-hurufan, diskriminasi, dan sebagainya. Kebijakan ini dilakukan dengan menangani faktor kondusif, yang dapat menimbulkan kejahatan (kausatif dan mendasar), dengan cara pendidikan economic prevention, pendekatan moral, peningkatan social welfare, dan sebagainya. Penanggulangan tindak pidana terorisme atau radikalisme tidak cukup hanya sekadar melalui kriminalisasi yang bersifat kebijakan penal (pemidanaan), namun perlu dicari upaya lain yang bersifat non-penal (non-pidana) sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Pemikiran ini bertolak dari adanya pro dan kontra terhadap kriminologi radikalisme mengenai offenderoriented yang memandang dari sisi pelindungan terhadap hak asasi manusia dari si pelaku dan victim-oriented yang memandang dari sisi perlindungan terhadap korban. Victim-oriented ini bersifat massal dan random, yang melakukan perlindungan terhadap ancaman akan hak untuk hidup, bebas dari rasa takut, kebebasan demokrasi, integritas territorial, keamanan nasional, stabilitas pemerintahan yang sah, pembangunan, ketertiban umum, dan harmoni terhadap perdamaian internasional. Tujuan dari kebijakan pemidanaan (kebijakan penal) yaitu menetapkan suatu pidana tidak terlepas dari tujuan politik kriminal. Dalam arti keseluruhannya yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Oleh karena itu untuk menjawab dan mengetahui tujuan serta fungsi pemidanaan, maka tidak terlepas dari teori-teori tentang pemidanaan yang ada.22 Teori pemidanaan atau penghukuman yang dimaksud secara singkat, antara lain teori absolut atau vergeldings theorieen (vergelden = imbalan) yang mengajarkan bahwa hukuman atau pemidanaan merupakan imbalan terhadap orang yang melakukan perbuatan jahat, karena kejahatan itu menimbulkan penderitaan bagi si korban; Teori relative atau doel theorieen (doel = maksud, tujuan) yang memandang bahwa dasar hukum dari pemidanaan adalah bukan velgelding, akan tetapi tujuan (doel) dari pidana itu, dalam arti teori ini mencari manfaat daripada pemidanaan (nut van de straf); dan Teori gabungan (Vereningings theorieen) yang dimana ajarannya adalah dasar dari pemidanaan terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu 22
Muladi. 1985. hal. 149
10 Deradikalisasi sebagai…, Simanjuntak, Justice Yosie Anastasia , FH UI, 2014
pembalasan atau siksaan, namun di samping itu diakuinya pula sebagai dasar pemidanaan itu adalah tujuan dari hukum. Terorisme sendiri merupakan kejahatan yang berdasarkan ideologi, yang mana dalam penanganannya dibutuhkan treatment yang tepat dengan melihat akar masalahnya untuk menemukan solusinya. Tony Soemarno23 memberikan pendapat bahwa tindak pidana terorisme di Indonesia tidak tertangani dengan baik. Beliau menyatakan pula bahwa tidak ada masterplan untuk problem solving yang mana saat ini tindakan yang dilakukan hanya semacam fire fighting, dalam arti tindakan dilakukan bila telah ada aksi terorisme. Beliau juga menambahkan bahwa terlihan unsur preventifnya masih kurang dilakukan. Sebenarnya harus dibuat beberapa program untuk menekan radikalisme. Karena yang salah bukan-lah orangnya, namun paham atau ideologinya itu yangs seharusnya dilawan. Implementasi memerangi aksi terorisme dilakukan melalui upaya-upaya persuasif, preventif, preemtif, resosialisasi dan rehabilitasi serta pengembangan infra struktur pendukung. Ke depan, diperlukan resosialisasi, reintegrasi dan sekaligus keteladanan bahwa pertama, langkah-langkah yang dilakukan pemerintah adalah tidak diskriminatif, kedua, perang melawan terorisme adalah kebutuhan mendesak untuk melindungi WNI sesuai tujuan nasional yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 dan ketiga, kerja sama dengan pihak asing dalam memberantas terorisme adalah keharusan agar tidak timbul korban yang tidak berdosa. Perang melawan terorisme perlu dilakukan secara terkoordinasi lintas instansi, lintas nasional dan secara simultan bersifat represif, preventif, preemtif maupun rehabilitasi.24 Upaya- upaya tersebut adalah: 1. Upaya Preventif Bonger mengatakan:25 “Dilihat dari efisiensi dan efektifitas upaya pencegahan lebih baik daripada upaya yang bersifat represif. Dalam dunia kedokteran kriminal telah disepakati suatu pemikiran bahwa mencegah kejahatan adalah lebih baik daripada mencoba mendidik penjahat menjadi baik kembali, lebih baik disini juga berarti lebih mudah, lebih murah dan lebih mencapai tujuannya.” Mengingat keterbatasan dari kebijakan penal, menjadikan perlu adanya penanggulangan kejahatan yang tidak hanya bersifat penal seperti misalnya usaha 23
Wawancara dengan Tony Soemarno (salah satu korban Bom J.W. Marriot I) pada 31 Juli 2013 di Oakwood Kuningan 24 Tri Poetrantro, Konsepsi Pencegahan Dan Penanggulangan Terorisme Di Indonesia Dalam Rangka Menjaga Keutuhan NKRI, Buletin Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertahanan RI 2011.. 25 W.A.Bonger, 1995, Pengantar tentang Kriminologi Pembangunan, Ghalia Indonesia, hlm. 167.
11 Deradikalisasi sebagai…, Simanjuntak, Justice Yosie Anastasia , FH UI, 2014
preventif dengan menggunakan kebijakan non-penal. Kebijakan non-penal ini merupakan suatu pencegahan
kejahatan, yang dilakukan sebelum kejahatan itu
terjadi, sehingga upaya ini lebih dikenal dengan upaya yang bersifat mencegah atau preventif. Upaya semacam ini seharusnya harus lebih diutamakan daripada upaya yang bersifat represif.
2. Upaya Preemtif Upaya preemtif istilah preemtif ini disebut juga sebagai “pembinaan masyarakat” atau “preventif tidak langsung”, yaitu pembinaan yang bertujuan agar masyarakat menjadi law abiding citizens.26 3. Upaya Represif Upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan suatu usaha untuk pengamanan masyarakat (social defence) agar masyarakat dapat terhindar dari kejahatan atau setidak-tidaknya mengendalikan kejahatan yang terjadi agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Untuk menanggulangi masalah kemanusiaan dan masalah kemasyarakatan tersebut digunakan sarana penal yaitu menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana.27 Langkah represif yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka melakukan penanggulangan terhadap tindak pidana terorisme di antaranya pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, serta pembentukan satuan khusus sebagai langkah pemberantasan tindak pidana terorisme; Penyergapan tempat persembunyian pelaku terorisme; Penjatuhan sanksi pidana yang tegas terhadap pelaku tindak pidana terorisme yang telah terbukti bersalah. Langkah represif lain yang dapat dilakukan pemerintah antara lain membubarkan organisasi-organisasi yang bersifat radikal, membatasi pembentukan dan mengawasi dengan ketat organisasi-organisasi masyarakat yang ada untuk mencegah adanya kegiatan-kegiatan radikal terselubung.
4. Upaya Rehabilitasi
26 27
Paul Ricardo, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 6 No.III Desember 2010, hal.237 Ibid.
12 Deradikalisasi sebagai…, Simanjuntak, Justice Yosie Anastasia , FH UI, 2014
Mengenai rehabilitasi sebagai cara penghukuman, Bacigal menyatakan bahwa masyarakat akan mencari cara untuk mencegah seseorang penjahat melakukan kejahatan lainnya dengan meminta pelaku menjalani pelatihan, konsultasi kejiwaan, atau sesuatu yang berkaitan dengan pembelajaran terhadap tingkah laku moral di masyarakat sebagai sebuah aturan hukum tingkah laku yang telah lama hidup.
28
Sehingga untuk melakukan pencegahan terjadi kembalinya tindak pidana terorisme dapat dilakukan dengan upaya rehabilitasi. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Terorisme jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang memuat ketentuan mengenai ancaman pidana penjara, dan pidana mati. Seluruh pelaku tindak pidana terorisme yang telah diadili mendapat ‘ganjaran’ berupa pidana penjara bahkan pidana mati. Dari beratnya hukuman tersebut, terlihat bahwa upaya represif telah diupayakan Pemerintah Indonesia. Namun penjatuhan pidana pada pelaku-pelaku tindak pidana terorisme tidak menghentikan aksi-aksi teror di Indonesia. Penjatuhan hukuman saja tidak akan efektif untuk memberantas tindak pidana terorisme. Jika ada anggapan bahwa dengan bersikap represif lantas membuat penanganan tindak pidana terorisme menjadi lebih efektif, maka anggapan itu perlu dipikirkan kembali. Pada kasus penanganan terorisme di Indonesia, tindakan hukum yang represif justru berpotensi makin menguatnya paham radikal pada gerakan terorisme. Sebenarnya untuk mencapai tujuan pemidanaan dalam memberantas tindak pidana terorisme, harus pula memberantas pemikiran radikal para pelaku dengan melupakan upaya rehabilitasi. Dalam hal di Indonesia pada umumnya kasus-kasus terorisme didasari oleh ideologi radikal agama (ekstrimisme keagamaan) atau ideologi radikal kesukuan (nasionalisme kesukuan), upaya rehabilitasi digunakan untuk memberantas pemikiran atau ideologi radikal, bukan berarti memberantas suatu umat beragama atau suatu kelompuk suku tertentu. Hanya saja mereka perlu mendapat bimbingan untuk lebih mengerti mengenai ajaran agama mereka, mengerti untuk hidup bertoleransi di negara yang penuh keragaman seperti Indonesia dengan dalam program deradikalisasi.
28
Ricardo, Op.Cit, hal.391
13 Deradikalisasi sebagai…, Simanjuntak, Justice Yosie Anastasia , FH UI, 2014
BNPT dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010, yang mana cikal bakal terbentuknya lembaga ini adalah Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme. BNPT dibentuk dan diberikan tugas untuk menyusun kebijakan strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme. Untuk melaksanakan tugas penanggulangan terorisme tersebut, BNPT antara lain melakukan fungsi-fungsi koordinasi dalam pencegahan dan pelaksanaan kegiatan melawan propaganda ideologi radikal, pelaksanaan deradikalisasi, perlindungan terhadap objek-objek yang potensial menjadi target serangan teroris, pelaksanaan penindakan, pembinaan kemampuan, dan kesiapan nasional, serta melakukan kerjasama internasional di bidang penanggulangan terorisme. Namun ternyata ada pendapat dari Dindin Sudirman, yang adalah Mantan Sekretaris Direktorat Jenderal Pemasyarakatn, mengenai deradikalisasi yang dilaksanakan di LP. beliau menyatakan “Jadi deradikalisasi di LP itu hanya sebatas bagaimana mereka di penjara itu tidak mengganggu.”29Sehingga dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa deradikalisasi terhadap narapidana-narapidana terorisme ini belum sepenuhnya berjalan di dalam LP. Beliau dalam wawancara mengharapkan bahwa pelaksanaan deradikalisasi di dalam Lembaga Pemasyarakat dilaksanakan oleh Lembaga Pemasyarakatan itu sendiri dan dibantu BNPT, sehingga lembaga-lembaga tersebut bekerja sesuai fungsinya, dan yang terutama proses deradikalisasi ini dapat berjalan dengan baik sehingga tujuan pemidanaan yang diharapkan dapat tercapai . Golose menggambarkan sebuah siklus yang dikenal dengan Vendetta Cycle, yang mana para teroris yang menjalankan proses pemidanaan dan mendapat hukuman mati, akan dipandang sebagai syuhada atau kisah sukses yang membanggakan bagi gerakan mereka yang menjadi inspirasi untuk para calon teroris lainnya, sehingga siklus terorisme tidak akan berhenti yang menjadi dendam yang berkelanjutan.30 Sehingga dipandang, bahwa penghukuman saja tidak cukup untuk membuat narapidana terorisme tersebut jera. Selama narapidana tindak pidana terorisme manjalani masa hukuman dan/atau menunggu eksekusi hukuman di lembaga pemasyarakatan, program deradikalisasi dijalankan oleh BNPT. Namun ternyata ada pula pelaksanaan program ini yang dilaksanakan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang bekerjasama dengan LSM Common Ground. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Harun Sulianto.31
29
Wawancara dengan Dindin Sudirman, pada 20 September 2013. Golose, Op.Cit., hal.57. 31 Wawancara dengan Harun Sulianto, Pada 9 Januari 2014, melalui komunikasi via telepon. 30
14 Deradikalisasi sebagai…, Simanjuntak, Justice Yosie Anastasia , FH UI, 2014
Program deradikalisasi terhadap narapidana terorisme ini telah berjalan di beberapa lembaga pemasyarakatan di Indonesia, sebagaimana disebutkan Irfan Idris32, “…Ada banyak LP, diantaranya LP Cipinang, Salemba, Porong Surabaya, Palembang, Medan, Poso, …”. Dalam program deradikalisasi, para narapidana pelaku tindak pidana terorisme juga mendapat materi tentang wawasan berkebangsaan, tentang psikologi, dan tentang agama, sebagai modal untuk mengubah ideologi mereka menjadi lebih baik. Dalam PP Nomor 99 Tahun 2012, ternyata dalam Pasal 34A dan Pasal 38A dinyatakan bahwa untuk narapidana tindak pidana yang digolongkan sebagai high risk atau berisiko tinggi seperti narapidana tindak pidana narkotika dan terorisme misalnya, mereka wajib mengikuti program deradikalisasi yang diadakan Lembaga Pemasyarakatan dan/atau BNPT, karena mengikuti program deradikalisasi merupakan salah satu syarat untuk memperoleh asimilasi dan remisi. Sehingga apabila mereka menolak untuk mengikuti program deradikalisasi ini, mereka tidak mempunyai hak atas asimilasi dan remisi. Lalu, di lapangan ternyata terdapat pembedaan atau pengelompokan narapidana tindak pidana terorisme berdasarkan level ideologi atau “jabatan” mereka selama di kelompok radikal masing-masing. Hal ini sejalan dengan pendapat Bjorgo, Wright dan Barker yang menyatakan bahwa keterikatan seseorang dengan kelompoknya dan kemampuannya dalam aktifitas grup mempengaruhi akankah seseorang tersebut meninggalkan kelompoknya. 33, Kemudian ada pendapat Tony Soemarno34, salah seorang korban dari tragedi Bom Marriot I, bahwa : “Saya lihat selama ini pemerintah memperhatikan pelaku, sebaiknya keluarganya harus diperhatikan, karena ditangkapnya pelaku ini kan juga mempengaruhi income keluarganya.” Sehingga dapat dilihat pentingnya program deradikalisasi terorisme ini dilakukan pula sebagai upaya pencegahan atau preventif, untuk menghentikan potensi berkembangnya gerakan terorisme. Upaya ini dapat berjalan dengan penyampaian informasi yang tepat kepada masyarakat, penguatan masyarakat, sehingga masyarakat dapat berpartisipasi dalam pencegahan terorisme. Dan memang BNPT sebagai badan yang melaksanakan program deradikalisasi ini telah menjadikan keluarga narapidana terorisme, dan lingkungannya sebagai objek dari pelaksanaan program ini, sebagaiana dikatakan Irfan Idris35:
32
Wawancara dengan Irfan Idris, Pada 1 Juli 2013, di BNPT Angel Rabasa, et al., Deradicalizing Islamist Extrimist, (California: RAND National Security Research Division, 2010), p .24 34 Wawancara dengan Tony Soemarno, Pada 31 Juli 2013, di Oakwood Kuningan, Jakarta 35 Wawancara dengan Irfan Idris, pada 1 Juli 2013 di BNPT 33
15 Deradikalisasi sebagai…, Simanjuntak, Justice Yosie Anastasia , FH UI, 2014
“Narapidana teroris, keluarga, mantan dan jaringannya, termasuk pengikutnya. Maka dari itu kita kerja sama dengan berbagai badan-badan intelijen negara, karena tanpa mengetahui itu ke mana kita? kita ke lapangan, kita terjun, kita masuk ke kantong-kantongnya,kita
duduk
bersama
berdiskusi.
Ya
inilah
namanya
deradikalisasi. Bagaimana mengembangkannya begitu.” Sejalan dengan pernyataan Irfan Idris tersebut, Harun Sulianto36 mengatakan: “Namun selain di LP, Densus 88 dan BNPT juga menjalankan deradikalisasi di luar LP, seperti misalnya ke keluarga narapidana. Tetapi mungkin hanya enam bulan sekali atau tiga bulan sekali di sini.”, dan kemudian terkait dengan upaya reintegrasi dalam program ini, Beliau menambahkan: “untuk reintegrasi ya itu tadi dari keluarganya dipersiapkan juga, dari masyarakat sekitarnya juga dipersiapkan untuk lebih memahami masalah ini dan tidak memberi stigma terhadap mantan narapidana ini.” Sehingga, dari pernyataan-pernyataan tersebut di atas, dapat dilihat bahwa upaya deradikalisasi terorisme ini juga merupakan upaya persuasif kepada masyarakat, sehingga masyarakat tidak tersesat dalam pemahaman yang salah, hingga sampai berpartisipasi dalam kelompok teroris.
Kesimpulan Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini, yaitu: 1. Konsep Pemidanaan terhadap pelaku-pelaku tindak pidana terorisme dalam mencapai tujuan pemidanaan masih sebatas memenuhi kebijakan penal dengan melakukan upaya represif. Pemerintah Indonesia masih berupaya untuk mengembangkan kebijakan nonpenal berupa upaya rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana terorisme, dan juga upaya preemtif dan preventif. Upaya rehabilitasi terkait tindak pidana terorisme ini salah satunya melalui program deradikalisasi, yang bertujuan untuk melepaskan ideologi radikal dari diri si pelaku. Program deradikalisasi di Indonesia dijalankan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang bekerja sama dengan Lembaga Pemasyarakatan dengan melakukan rehabilitasi (mengembalikan ke keadaan semula), reintegrasi dengan lingkungan atau masyarakat, dan re-edukasi (mendidik atau membina kembali pelaku tindak pidana terorisme terutama mengenai keagamaan dan moral Pancasila. Namun 36
Wawancara dengan Harun Sulianto pada 9 Januari 2014 melalui komunikasi via telepon
16 Deradikalisasi sebagai…, Simanjuntak, Justice Yosie Anastasia , FH UI, 2014
selain BNPT, ada pula keterlibatan pihak-pihak lain yang terkait seperti Densus 88, Direktorat jenderal pemasyarakatan yang bekerja sama dengan LSM Common Ground. 2. Penerapan program deradikalisasi, khususnya di dalam lembaga pemasyarakatan, saat ini belum berjalan secara efektif dikarenakan ketiadaan pengaturan atau standar operasi yang baku dan terbatasnya anggaran serta sarana dan prasarana Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia. 3. Program deradikalisasi sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai dari pemidanaan pelaku tindak pidana terorisme dalam hukum pidana di Indonesia. Hal ini mengingat bahwa kejahatan terorisme merupakan kejahatan ideologi, sehingga yang perlu diubah sebetulnya adalah ideologi radikal pelakunya, agar tujuan pemidananaan untuk menjerakan dan mencegah terjadinya lagi tindak pidana serupa benar-benear dapat dicapai, mengingat bahwa penjatuhan pidana penjara atau pidana mati saja tidak dapat benar-benar memberantas dan mencegah terjadi kembalinya tindak pidana terorisme ini. Pelaksanaan deradikalisasi ini harus dilakukan dengan beberapa pendekatan yaitu pendekatan yang humanis dengan memperhatikan Hak Asasi Manusia, dan menciptakan keadilan, kesejahteraan dan kesetaraan bagi seluruh masyarakat; dengan pendekatan jiwa melalui komunikasi yang baik dan mendidik bukan dengan menggunkaan kekerasan dan intimidasi; dan menyentuh akar rumput dengan mengarahkan program ini kepada pelaku tindak pidana terorisme dan masyarakat. Proses deradikalisasi yang berjalan baik di dalam Lembaga Pemasyarakatan selama narapidana-narapidana terorisme menjalani hukuman akan mempengaruhi tercapainya tujuan pemidanaan terhadap narapidana-narapidana tersebut
Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis mempunyai beberapa saran terkait, antara lain : 1. Dibentuknya peraturan atau standar operasi yang baku mengenai program deradikalisasi kepada narapidana terorisme dan kepada masyarakat untuk menciptakan standar yang baku mengenai pelaksanaan program ini agar tujuan dari deradikalisasi ini dapat betul-betul tercapai; 2. Pemberdayaan Lembaga Pemasyarakatan yang menampung narapidana-narapidana terorisme untuk menjalankan program deradikalisasi terhadap narapidana17 Deradikalisasi sebagai…, Simanjuntak, Justice Yosie Anastasia , FH UI, 2014
narapidana terorisme selama para narapidana tersebut menjalani masa hukuman di dalam Lembaga Pemasyarakatan, dan dibantu oleh BNPT; 3. Pelaksanaan program deradikalisasi yang berkelanjutan sejak narapidana menjalani masa hukuman di Lembaga Pemasyarakatan hingga mereka keluar dari Lembaga Pemasyarakatan; 4. Pelaksanaan program deradikalisasi ke daerah-daerah yang terekspos paham radikal; 5. Perlunya kerja sama dengan pemuka-pemuka agama atau ulama-ulama agama dari luar negeri yang memiliki ilmu agama yang baik sehingga dapat menjadi pembimbing keagamaan yang mumpuni untuk melakukan re-edukasi terhadap pelaku-pelaku tindak pidana terorisme dan juga masyarakat yang telah terekspos ideologi radikal sebagai pencegahan atau penanggulangan agar tindak pidana terorisme tidak semakin berkembang; 6. Sebagaimana Religious Rehabilitation Group (RRG) yang dilaksanakan di Singapura, ada baiknya para pemuka agama yang diikut-sertakan dalam program deradikalisasi ini sebelumnya diikutkan dalam pelatihan atau sertifikasi, agar pemuka-pemuka agama tersebut siap untuk menghadapi narapidana-narapidana terorisme yang masih melekat pada diri mereka ideologi radikal;
Daftar Referensi Arief, Barda Nawawi. (2002). Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Arief, Barda Nawawi. (2008). Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyususnan Konsep KUHP Baru. Jakarta: Kencana. Bonger, W.A. (1995). Pengantar tentang Kriminologi Pembangunan. Jakarta: Ghalia Indonesia. Golose, Petrus. (2009). Deradikalisasi Terorisme: Humanis, Soul Approach dan Menyentuh Akar Rumput. Jakarta: YPKIK.. Indonesia. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Terorisme. Kartanegara, Satochid. Hukum Pidana Bagian Satu. Bandung: Balai Lektur Mahasiswa. Lamintang, P.A.F. (1984). Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru. Lamintang, P.A.F.. (2012). Hukum Penitensier Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 18 Deradikalisasi sebagai…, Simanjuntak, Justice Yosie Anastasia , FH UI, 2014
Mamudji, Sri, et al. (2005) Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, ed.1. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Marzuki, Peter Mahmud. (2006). Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Muladi. (1985). Lembaga Pidana Bersyarat. Bandung: Alumni. Nitibagaskara, Ronny Rahman. (2006). Tegakkan Hukum Gunakan Hukum. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Poetranto, Tri. (2011). “Konsepsi Pencegahan Dan Penanggulangan Terorisme Di Indonesia Dalam
Rangka
Menjaga
Keutuhan
NKRI”.
Buletin
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan Kementerian Pertahanan RI. Rabasa, Angel, et al., (2010). .Deradicalizing Islamist Extrimist. California: RAND National Security Research Division. Wahid, Abdul, S.H., M.A et.al. (2004). Kejahatan Terorisme – Perspektif Agama, HAM dan Hukum. Bandung : PT Refika Aditama. Wilkinson, Paul. (1992). International Terrorism: New Risk to World Order – Dilemmas A World Politics International Issues A Changing World. New York: Claredon PressOxford. Sumber internet: http://www.visionofhumanity.org/wp-content/uploads/2012/12/2012-Global-TerrorismIndexReport1.pdf (diakses pada 10 April 2013, Pukul 20.00 WIB) http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php (pencarian kata: terorisme), diakses pada 27 Juni 2013, pukul 19.30 WIB http://www.crimemuseum.org/library/terrorism/typesOfTerrorism.html, diakses pada 4 Juli 2013, Pukul 14.27 WIB Arsyad Mbai, Terorisme dan Penanggulangannya, hal. 4, sebagaimana dikutip dalam http://www.lazuardibirru.org/wp-content/uploads/else/pdf/strategi-pemberantasterorisme.pdf (diakses pada 18 Desember 2013, Pukul 17.24 WIB)
19 Deradikalisasi sebagai…, Simanjuntak, Justice Yosie Anastasia , FH UI, 2014