DERADIKALISASI DAN INTEGRASI NILAINILAI PLURALITAS DALAM KURIKULUM PESANTREN SALAFI HARAKI DI INDONESIA Mukhibat
Jurusan Tarbiyah STAIN Ponorogo email:
[email protected] Abstract: The beginning of twenty first century marks the proliferation of salafi-haraki Islamic boarding schools (pesantren) that blatantly reveals their distinctive thoughts, ideology and movement. These pesantrens advance puritan and literal-textualfundamental understandings of Islam that potentially endanger the unity of Indonesia as a plural nation-state. The government must not only review the contents, materials and curriculum taught in radical pesantrens but also pay a close attention to their leaders’ and teachers’ methods and approaches to religious education both in class and beyond. This article offers strategies to develop Islamic school so it will not turn to be radical. This article argues that in order to preserve a very basic natural character of Indonesian pesantren, as a place to seed peace and tolerance, salfi-haraki pesantrens must integrate the values of multiculturalism and pluralism into their curriculum. This can be done by translating, assimilating and transforming work on pluralism. The values of pluralism will decimate the seeds of radicalism and fundamentalism and are transformed into agendas and activities, such as regular meeting, religious gathering and informal discussion as part of indirect teaching. ﻇﻬــﺮ ﻲﻓ أواﺋــﻞ اﻟﻘــﺮن اﻟﻌﺮﺸــﻳﻦ ﻣﻌﻬــﺪ " اﻟﺴــﻠﻲﻔ اﺤﻟــﺮﻲﻛ " ا ى أﻇﻬــﺮ ﺗﻴــﺎر اﻟﻔﻜــﺮة:اﻤﻟﻠﺨــﺺ ﻤﺣﻞ ﻫﺬا اﻤﻟﻌﻬﺪ أﻣﻼ ﻲﻓ ﺗﻨﻘﻴﺔ اﻹﺳﻼم ﻣﻦ اﻟﺸﻮاﺋﺐ اﻋﺘﻤﺎدا ﺒﻟ ﻓﻬﻢ.واﻹﻳﺪﻳﻮﻟﻮﺟﻴﺔ وأﻧﺸﻄﺔ اﺤﻟﺮﻛﺔ
ﻇﻮاﻫﺮ اﺠﺼﻮص وﺤﻳﻤﻞ ﻛﺬﻟﻚ ﻓﻜﺮة اﻷﺻﻮ ﺔ ﺑﻤﺎ ﻓﻴﻬـﺎ ﻣـﻦ ﺗﺮﺑﻴـﺔ ﺒﻟ أﺳـﺎس اﻧﻜـﺎر اﻟﻮاﻗﻌﻴـﺔ دل ﻫﺬا ﺒﻟ وﺟﻮد اﺤﻛﻨﺒﻴـﻪ ﺒﻟ اﺨﻟﻄـﺮ ﺣـﻦﻴ أﻫﻤﻠـﺖ."اﻤﻟﺘﻌﺪدة وﻓﻬﻢ ا ﻳﻦ ﺒﻟ أﺳﺎس " اﻷﺻﻮ ﺔ ﻳﻨـﺒﻲﻐ ﻟﻠﺤﻜﻮﻣـﺔ.اﺤﻟﻜﻮﻣﺔ اﻹﻧﺪوﻧﻴﺴﻴﺔ ﻫﺬه اﻹﻳﺪﻳﻮﻟﻮﺟﻴﺔ اﻷﺻﻮ ﺔ اﺠﺎﻣﻴﺔ ﻲﻓ ﻫﺬه اﻟﺒﺴـﻨﺮﺘﻳﻨﺎت ّ وﻛـﺬﻟﻚ ﻛﻴـﻒ ﻃﺮﻳﻘـﺔ ﺗـﺪرﻳﺲ،إﺨدة اﺠﻈﺮ ﻲﻓ اﻤﻟﻮاد – ﻬﻟﺬه اﻟﺒﺴﻨﺮﺘﻳﻨﺎت – واﻤﻟﻨﻬﺞ ا را ﻬﻟـﺎ ﺣـﺎول.اﻟﺸﻴﻮح واﻤﻟﺪرﺳﻦﻴ ﻃﻼﺑﻬﻢ ﺳﻮاء أﻛﺎن ﻲﻓ اﻟﻔﺼﻮل ا راﺳﻴﺔ أو اﻤﻟﺴﺎﺟﺪ أو اﻛﻴﺌـﺔ اﻤﻟﻌﻬﺪﻳـﺔ
182
Al-Tahrir, Vol. 14, No. 1 Mei 2014: 181-204
.ﻫﺬا اﻤﻟﻘﺎل ﻋﺮض ﺑﻌﺾ اﺤﻟﻠﻮل ﻷن ﻻ ﺗﻜـﻮن ﻣﺜـﻞ ﻫـﺬه اﻟﺒﺴـﻨﺮﺘﻳﻨﺎت ﻣﻨﺸـﺄ ﺣﺮﻛـﺔ اﻷﺻـﻮ ﺔ ّ وﻹﺨدة أﺻﺎﻟﺔ ﻃﺒﻴﻌﺔ اﻟﺒﺴﻨﺮﺘﻳﻨﺎت اﻤﻟﺘﺴﺎﺤﻣﺔ ﺤﺗﺘﺎج إﻰﻟ دﻣﺞ اﻟﻘـﻴﻢ اﺤﻛﻌﺪدﻳـﺔ ﻲﻓ اﻤﻟﻨـﺎﻫﺞ ا راﺳـﻴﺔ اﻟﺮﺘﻤﺟـﺔ واﻻﺳـﺘﻴﻌﺎب: وﻫﺬا ا ﻣﺞ ﻋﻦ ﻃﺮﻳـﻖ اﻷﻗﻠﻤـﺔ اﻤﻟﺸـﺘﻤﻠﺔ ﺒﻟ اﻤﻟﺮاﺣـﻞ.ﻬﻟﺬه اﻟﺒﺴﻨﺮﺘﻳﻨﺎت ّ اﻤﻟﻮاد ا راﺳﻴﺔ وﻃـﺮق اﺤﻛـﺪرﻳﺲ واﺤﻛﻘﻴـﻴﻢ اﻤﻟﻨﺎﺳـﺐ: وﺗﻜﻮن ﻫﺬه اﻷﻗﻠﻤﺔ ﻲﻓ اﺠﻟﻮاﻧﺐ. واﺤﻛﺤﻮل وﻳﻬﺪف ﻫﺬا ا ﻣﺞ إﻰﻟ إزاﻟﺔ ﺑﺬور اﻷﺻﻮ ﺔ واﺤﻛﻄﺮﻓﻴﺔ ﺳـﻮاء ﻲﻓ ﺷـﻞﻜ اﺤﻟﻠﻘـﺔ.ﺑﺎﻷﺣﻮال واﻟﻈﺮوف .واﻤﻟﺤﺎﺮﺿة ﺑﻞ و اﺤﻟﻮارات واﻤﻟﺤﺎدﺛﺎت اﻟﻲﺘ ﺗﺴﻰﻤ ﺑﺎﺤﻛﺪرﻳﺲ ﻏﺮﻴ اﻤﻟﺒﺎﺮﺷ
Abstrak: Awal abad ke 21 muncul pesantren “salafi haraki“ yang lebih menampakkan arus pemikiran, ideologi, dan aktifitas gerakan. Pesantren ini mengusung cita-cita pemurnian Islam secara lebih literal, tekstual, dan fundamental dengan model pendidikan yang anti realitas plural serta memiliki faham keagamaan radikal. Hal ini mengindikasikan adanya tanda bahaya ketika bangsa Indonesia membiarkan ideologi kekerasan terus berkembang di pesantrenpesantren ini. Pemerintah perlu meninjau bukan hanya materi dan kurikulum pesantren ini, akan tetapi juga bagaimana para kyai dan ustad mendidik mereka, baik di kelas maupun di masjid/lingkungan pesantren. Tulisan ini hendak menawarkan solusi agar pesantren bukan sebagai tempat penyemaian radikalisme. Untuk mengembalikan watak asli pesantren yang toleran, salah satunya adalah dengan pengintegrasian nilai-nilai pluralitas ke dalam kurikulum pesantren ”salafi haraki. Pengintegrasian dapat dilakukan dengan cara inkulturasi yang meliputi tahap terjemahan, asimilasi dan transformasi. Inkulturasi dilakukan pada aspek materi, metode dan evaluasi secara kontekstual. Integrasi nilai-nilai pluralitas secara substansial diarahkan untuk menghilangkan benih-benih radikalisme dan fundamentalisme, baik dalam bentuk halaqah, pengajian atau bahkan perbincangan santai yang disebut dengan pembelajaran tidak langsung (indirect teaching). Keywords: pesantren, integrasi, nilai pluralitas, salafi haraki.
Mukhibat, Deradikalisasi dan Integrasi
183
PENDAHULUAN Stigmatisasi pesantren sebagai the breeding ground,1 radikalisme dan terorisme sangatlah bertentangan dengan karakter dasar pesantren dari zaman awal berdirinya yang memiliki ciri-ciri: 1) Tawassut}, berarti tidak memihak atau moderasi, 2) Tawa>zun, menjaga keseimbangan dan harmoni, 3) Tasammuh, toleransi, 4) Tashawwur, musyawarah, 5) Adl, bersikap adil dalam beraksi ataupun bereaksi. Pesantren mempunyai sikap konsisten dalam menjalankan ajaran Islam secara substantif dan inklusif-humanis sesuai kondisi lokalitas-kultural Islam Indonesia yang damai,2 sebagai agama rahmat li al-’a>lamin> dan memiliki visi yang lebih jauh, yaitu menciptakan perdamaian antar sesama manusia dan toleran terhadap berbagai macam perbedaan. Dengan demikian radikalisme bukanlah bagian dari ajaran agama Islam, dan bukanlah sebagai sebuah ajaran yang dikembangkan oleh pesantren. Pandangan masyarakat bahwa dunia pesantren berwatak lemah lembut, tertutup, status quo, dan lambang keterbelakangan seperti di atas memasuki dekade awal abad ke 21 mulai berubah. Saat ini, pesantren lebih menampakkan arus pemikiran, ideologi dan kelompok sosial serta aktifitas-aktifitas gerakan yang sangat masif. Hal ini tidak lepas dari munculnya apa yang disebut dengan ”pesantren salafi-haraki.”3 Pesantren model ini mengusung cita-cita pemurnian ajaran Islam secara lebih literal, tekstual dan normatif. Musa Asy’ari menyebutnya sebagai model pendidikan yang anti realitas plural, karena masih mempertahankan “tradisi” dengan 1
Sempat beredar isu bahwa pesantren adalah tempat berkecambahnya radikalisme. Isu ini bahkan sempat disikapi oleh pemerintah dengan rencana lucu (yang gagal) untuk memeriksa sidik jari para santri pesantren di Indonesia. Belum lagi ditambah dengan kecurigaan dunia Barat – yang dimotori oleh Amerika Serikat pasca Tragedi 11 September – yang secara gencarnya menuduh radikalisme/terorisme, dengan slogan ‘are you with us or with them-terrorist-’, yang menuding lembagalembaga pendidikan tradisional Islam, seperti madrasah dan belakangan juga pesantren tempat perkecambahan radikalisme. 2 Terminologi pesantren mengindikasikan bahwa pesantren secara kultural lahir dari budaya Indonesia, dari sinilah barangkali Nurcholis Madjid berpendapat, secara historis pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman, tetapi juga makna keaslian Indonesia. Baca Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Kritik Nurcholis Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional (Jakarta: Ciputat Press, 2002), 62. 3 Baca, Abd. Muin, dkk. Pendidikan Pesantren dan Potensi Radikalisme (Jakarta: Prasasti, 2007).
184
Al-Tahrir, Vol. 14, No. 1 Mei 2014: 181-204
memahami teks-teks al-Qur’an dan Hadis secara normatif tanpa melihat realitas plural.4 Penangkapan beberapa alumni pesantren di Tanah Air yang terlibat dalam radikalisme dan terorisme seakan memperkuat anggapan masyarakat bahwa beberapa pesantren di Indonesia sebagai the breeding ground radikalisme dan terorisme. Memang umat Islam tidak bisa menutup mata terhadap hal tersebut,5 dan ternyata tindakan yang destruktif tersebut tidak terkait dengan rendahnya tingkat pendidikan seseorang. Kalau begitu apakah ada yang salah dalam pendidikan pesantren di Tanah Air ini? Padahal konsep radikalisme jauh berbeda dengan konsep pesantren. Persoalan tersebut, merupakan contoh kongkrit akibat tidak terintegrasikannya, tidak dipahami dan tidak direalisasikannya nilai-nilai pluralitas dalam kurikulum pesantren. Keadaan ini seakan menunjukkan sebagian masyarakat Indonesia berkepribadian terbelah dan tidak merasa berbuat sesuatu yang salah walaupun sebenarnya berada pada posisi yang keliru.6 Di sisi lain, penanganan radikalisme yang terlalu bertumpu pendekatan legal formal dan bersifat represif yang selama ini dilakukan oleh pemerintah perlu ditinjau ulang, karena logika pendekatan melalui mekanisme hukum berlawanan dengan logika yang dianut oleh para teroris. Dalam 12 tahun terakhir pemerintah sudah menangkap 750 lebih tersangka teroris dan 70 lebih ditembak mati, termasuk para gembongnya. Sanksi pidana fisik tidak membuat pelaku berhenti, tetapi para teroris bertindak jauh melampaui rasa takut terhadap ancaman hukuman tersebut. Mengingat bahwa 4
Musa Asy’ari, Menggagas Revolusi Kebudayaan Tanpa Kekerasan (Yogyakarta: LESFI, 2003), 20. 5 Beberapa tokoh pelaku radikalisme agama tersebut adalah dari kalangan Pondok Pesantren Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki menjadi perhatian masyarakat umum ketika Fatkhurrahman Al-Ghozi, orang Madiun yang pernah nyantri di Pondok Pesantren ini, di Philipina ia tertangkap karena menyimpan 1 ton bahan peledak dan belasan senjata laras panjang. Pondok Pesantren Al Islam Lamongan menjadi perhatian umum lantaran pelaku Bom Bali, Ali Imron, Ali Ghufron, dan Amrozi adalah dari Pondok Pesantren yang berada di Kabupaten Lamongan Jawa Timur ini. Atau Ustadz Jafar Thalib, yang sering pula dikaitkan dengan Radikalisme Agama, tidak lain adalah pengasuh dari Pondok Pesantren Ihyaussunnah. 6 H.A. R, Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia (Bandung: Remaja Rosdakarya, 98), 35.
Mukhibat, Deradikalisasi dan Integrasi
185
kekerasan yang dilakukan saat ini pada umumnya berdasarkan ideologi agama, maka diperlukan pula gambaran etnis berdasarkan aspek kultural religinya.7 Gambaran di atas menunjukkan bahwa persoalan radikalisme dan terorisme tidak mudah diurai apalagi dituntaskan sampai ke akarnya. Meraka terus ada dan bermetomorfosis. Adanya jaringan baru menjadi bukti bahwa radikalisme dan terorisme belum gagal bahkan telah meraih kemenangan. Ditangkapnya AS asal Tasikmalaya pada tanggal 8 April 2014, penangkapan 2 tersangka teroris Abdul Madjid dan Isnaini di Jalan Tanah Merah Sayur di Surabaya, penangkapan Galih Satria ditangkap 13 Maret 2014 di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, dan ditemukannya paket bom di Trenggalek, semua itu menjadi bukti bahwa Indonesia belum bisa dipastikan akan terbebas dari radikalisme dan terorisme. Memang ada yang mengatakan bahwa sekarang ini perang melawan radikalisme dan terorisme sudah memasuki kawasan yang lebih subtantif, yakni tidak semata-mata konflik fisik, melainkan sudah memasuki kawasan konflik gagasan atau adu kekuatan untuk merebut hati dan pikiran. Itulah perang gagasan dan ideologi tentang terorisme dan counter of terorism.8 Pesantren salafi-haraki ditengarahi oleh beberapa kalangan memiliki faham keagamaan yang radikal dan berpotensi ke arah radikalisme. Di samping itu, jaringan intelektual dan kultural mereka juga telah dicap sebagai pesantren yang mengarah kepada potensi radikalisme. Saat ini yang perlu dilakukan adalah bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk mengembalikan watak asli pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional yang bertujuan untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam (tafaqquh fi> aldin> ) dengan menekankan pentingnya moral agama Islam yang lemah lembut, menghargai perbedaan, toleransi sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari.9 Kajian ini dengan menggunakan library 7 Dhyah Madya Ruth, Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Radikalisme (Jakarta: Lazuardi Birru, 2010), 2. 8 Edwar W. Said, The Mind of Terrorism (USA: Booksmaxwell, 2006), 24. 9 Aspek moral, akhlak, dan tasawuf adalah bagian terpenting yang diajarkan dalam pesantren. Selain itu, pada umumnya pesantren-pesantren yang berpengaruh menawarkan ajaran dan praktek tarekat bagi murid-murid yang tidak menetap di pondok atau yang disebut santri kalong, sehingga juah dari dunia politik dan konflik. Biasanya kegiatan yang terakhir ini ditangani oleh guru sufi yang masyhur dan diikuti
186
Al-Tahrir, Vol. 14, No. 1 Mei 2014: 181-204
research mencoba memberikan jawaban dari persoalan-persoalan tersebut dengan melakukan analitis kritis dan logika reflektif dengan menawarkan solusi bagaimana mengembalikan watak asli pesantren yang toleran dan lemah lembut dengan pengintegrasian nilai-nilai pluralitas dalam kurikulum pesantren tersebut. IDEOLOGI RADIKALISME Momentum menarik yang terjadi ketika Orde Baru jatuh dari kekuasaannya adalah banyaknya bermunculan gerakan Islam garis keras, militan, radikal dan bahkan fundamental. Walaupun sebenarnya konsep radikalisme yan sering digunakan secara bergantian dengan fundamentalisme, seringkali menimbulkan kontroversi ketika ingin dipakai sebagai kerangka konseptual yang mencakup fenomena gerakan keagamaan tertentu di Indonesia. Istilah fundamentalisme bukan berasal dari tradisi Islam, melainkan dari berawal dari kelompok Protestan literalis di Amerika dalam sebuah buku The Fundamental: A Testimony of The Truth di awal tahun 1910.10 Buku ini menekankan pemahaman literal atau skriptual terhadap teks-teks agama dan pandangannya yang negatif pada kemajuan (modern). Fudamentalis dan radikalisme menjadi istilah yang umum digunakan untuk merujuk pada gerakan revivalisme keagamaan di luar tradisi protestan. Istilah tersebut telah menjadi slogan politik untuk menyebut dan mendelegitimasi kelompok dan gerakan keagamaan. Meskipun dalam tradisi agama manapun bisa ditemukan dua kutub yang saling bertentangan satu sama lain, yaitu kutub konservatif dan tradisionalis, kutub moderat dan radikal. Artinya bahwa radikalisme dalam agama apapun akan mengambil bentuk perlawanan yang kadang-kadang justru membahayakan eksistensi agama itu sendiri.11 Radikalisme secara bahasa artinya berdiri di posisi ekstrem dan jauh dari posisi tengah-tengah atau melewati posisi batas kewajaran. oleh ratusan atau ribuan yang cukup usia. Baca, Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara; Jejak Intelektual Arsitek Pesantren (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), 1. 10 Abdul Muin M, dkk, Pendidikan Pesantren dan Potensi Radikalisme (Jakarta: Prasasti, 2007), 18. 11 Roxanne L Euben, Enemy in The Mirror: Islamic Fundamentalism an the Limits of Moern Rationalism, A Work of Comarative Political Teori (New Jersey: Pricenton University Press, 1999), 21.
Mukhibat, Deradikalisasi dan Integrasi
187
Secara istilah, radikalisme adalah fanatik kepada suatu pendapat serta menegasikan pendapat orang lain, mengabaikan terhadap kesejarahan Islam, tidak dialogis, suka mengkafirkan kelompok lain yang tidak sepaham, dan tekstual dalam memahami teks agama tanpa mempertimbangkan tujuan esensial syariat (maqas> i} d alshari>`ah). Istilah radikal-fundamentalis, di mana kata radikal ditempatkan di depan kata fundamentalis mengandung arti suatu tindakan yang berhubungan dengan penanganan spontan untuk meningkatkan keadaan sosial; atau dengan kata lain suatu upaya perubahan sosial yang dilakukan secara spontan dan menggunakan berbagai macam cara, termasuk kekerasan, ke arah yang dikehendaki oleh pelaku perubahan. Radikal-fundamentalis dengan demikian suatu tindakan radikal dan fanatik yang siap mati melawan musuh Islam untuk membela kebenaran agama Islam sesuai dengan yang ada dalam keyakinan pelaku. Dengan demikian radikalisme dan fundamentalisme menggambarkan adanya salah satu varian dalam orientasi ideologis gerakan Islam. Radikalisme dan fundamentalisme secara bahasa memiliki pengertian yang sama. Fundamentalisme berasal dari kata fundamental. Dalam bahasa Inggris, fundamental mengandung arti dasar dan penting. Radikalisme yang berasal dari kata radikal (radical) adalah dasar. Dengan pertimbangan adanya kemiripan arti tersebut fundamentalisme dan radikalisme sering disebut secara bersamaan dalam suatu kata majemuk. Penjelasan berbeda diberikan oleh Abdul Wahid12 yang menyatakan bahwa meskipun klaim para radikalis agma itu didasarkan pada al-Quran dan Hadis, namun sebenarnya adalah hasil usaha manusia yang terikat dengan tempat, waktu, dan kemampuan pelaku yang bersangkutan, dan tidak menutup kemungkinan adanya kepentingan seseorang pribadi atau golongan. Jadi gerakan radikalisme Islam tidak lepas dari berbagai kepentingan, dan tidak murni merupakan gerakan keagamaan. Martin E Marty mengurai ciri-ciri fundamentalisme adalah: pertama, mengembangkan sikap perlawanan (oppositionalisme) 12
Abdul Wahid, Pluralisme Agama, Pascamodernisme, dan Pendidikan Agama di Indonesia (Yogyakarta: UNY, 2009), 19.
188
Al-Tahrir, Vol. 14, No. 1 Mei 2014: 181-204
yang bersifat radikal terhadap ancaman yang dipandang akan membahayakan eksistensi agama, baik dalam bentuk modernisme, sekularisme, maupun tata nilai Barat pada umumnya. Kedua, penolakan terhadap hermeneutik, karena nalar dipandang tidak mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks dalam kitab suci. Ketiga, penolakan terhadap pluralisme dan relativisme. Keempat, penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis, perkembangan tersebut telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin literal kitab suci.13 Proses radikalisasi dapat bermula dari sumbu mana pun. Mungkin dapat menyala dari problem ekonomi, politik, atau keputusasaan yang sangat dari pelakunya, yang kemudian mendapatkan semangat dari agamanya. Fundamentalisme, radikalisme dan terorisme adalah tiga faham yang semua tumbuh di Indonesia. Beberapa gerakan keagamaan Islam yang menganut ideologi ini adalah wahabisme dan salafisme. Wahabisme yang berasal dari pelopornya adalah Abdul Wahhab, menyuruh kembali kepada al-Qur`an dan Hadis. Sementara salafisme adalah kelompok Islam yang menganjurkan untuk mengikuti praktek ibadah kelompok salaf (atau generasi terdahulu dimulai dari zaman Nabi Muhammad hingga tiga generasi sesudahnya). Sedangkan radikalisme agama (Islam) dapat didefinisikan sebagai faham yang berkehendak untuk merubah atau memperbaiki nilai dan tatanan yang ada untuk disesuikan dengan tatanan dan nilai agama (Islam).14 Gejala apokaliptisisme ini yang menghinggapi kalangan umat beragama bisa melahirkan radikalisme agama. Di kalangan umat Islam kecenderungan radikalisme agama terjadi pada masyarakat, pengurus masjid/mushalla dan guru, serta kalangna mahasiswa. Hal ini disinyalir oleh Mas’ud Halimi dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam Rakor Penanggulangan Radikalisme bahwa pemahaman keagamaan masyarakat berada pada tingkat “waspada” (66,3%), sementara pengurus masjid dan guru sekolah madrasah merupakan kelompok yang memiliki tingkat “bahaya” (15,4%) dan tidak kalah mengkhawatirkan mahasiswa 13 Martin E Marty, Fundamentalisms Observed (Chicago: The University of Chicago Press, 2008), 21. 14 Sugeng Bayu Wahono, Pesantren, Radikalisme, dan Konspirasi Global (Jakarta: INPEDHAM, 2005), 124.
Mukhibat, Deradikalisasi dan Integrasi
189
merupakan kalangan yang menjadi target sasaran ideologi radikal berada pada tingkat “hati-hati” (20,3%).15 Pasca reformasi yang ditandai dengan terbukanya kran demokratisasi bangsa Indonesia hingga saat ini telah menjadikan lahan subur tumbuhnya kelompok Islam lembaga pendidikan Islam tradisional bahkan lembaga pendidikan sekolah radikal. Belakangan didapati sekolah-sekolah formal juga mulai mengajarkan elemenelemen Islam radikal, misalnya mengajarkan kepada murid untuk tidak menghormat bendera Merah Putih saat upacara bendera.16 Gejala munculnya radikalime tersebut juga terjadi pada pesantren.17 Pesantren tersebut di antaranya: Pesantren Islamic Center Bin Bas Yogyakarta, Pesantren Ihya’ al-Sunah Kampung Jawa Baru Banda Aceh Lhokseumawe, Pesantren Minhajus Sunnah Mungkid Magelang Jawa Tengah, Pesantren Hidayatullah Mataram.18 Pesantren-pesantren tersebut ditengarahi oleh beberapa kalangan memiliki menampakkan gelaja laten radikalisme dan bahkan belakangan pesantren dianggap sebagai the breeding ground, tempat perkecambahan radikalisme. Pondok Pesantren tersebut di atas menganut dan mengajarkan paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Aswaja), yaitu sebuah paham yang bertujuan untuk mewujudkan ajaran Islam sebagaimana “seharusnya” (das sollen) seperti yang dikehendaki oleh pembawanya, Nabi Muhammad Saw. Hanya saja dalam mewujudkan ajaran Islam yang “sebagaimana seharusnya” tersebut, pesantren tersebut hanya mengikuti para salaf al-s}a>lih,} yang disebut juga dengan manhaj salafi dan tanpa menyatakan diri mengikuti madzhab tertentu. Dalam mengusung fahamnya, kelompok ini mengajarkan ajaran yang kerap bertentangan dengan mayoritas (jumhur), bahkan 15
“BNPT: “Hati-hati radikalisme di kalangan Mahasiswa capai angka 20,3%”. dalam (http://diktis.kemenag.go.id/index.php?berita=detil&jd=162). Diakses 25 November 2014. 16 “Dua Sekolah Larang Siswa Hormat Bendera”, dalam www.metrotvnews.com. Berita ini dimuat pada 6 Juni 2011, terkait dua sekolah (SMP Al-Irysad Tawangmangu dan SD Al-Albani Matesih) berbasis agama yang melarang siswa menghormat Bendera Merah Putih di Karanganyar. 17 Baca Jamhari Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), 47. 18 Baca Muin, Pendidikan Pesantren, 27.
190
Al-Tahrir, Vol. 14, No. 1 Mei 2014: 181-204
lebih ekstrim dan brutal dalam hal tawas}su} l, istighat> hah dan mengharamkan ziarah makam Rasulullah.19 Proses pendidikan di pesantren di atas lebih menekankan pada pemahaman dan pengimplementasian ajaran paham Aswaja inilah yang berbeda dengan kelompok Islam lainnya, semisal Muhammadiyah ataupun Nahdlatul Ulama (NU). Pesantren tersebut oleh banyak pengamat dikategorikan sebagai kelompok “salafi haraki”, karena upaya mereka untuk memperjuangkan secara aktif pengembangan manhaj salafi. Meskipun sama-sama berada dalam kategori kelompok “salafi haraki”, namun mereka tidak selalu sama dan sependapat, baik dalam pemilihan rujukan, kriteria ke-salafiyah-an, maupun dalam penentuan tokoh panutan mereka. Klaim-klaim perbedaan yang seperti inilah yang kemudian dapat dikategorikan dalam sikap asa} >biyah (fanatisme) yang sempit. Fanatisme seperti ini dalam beberapa kasus dapat mendorong tumbuhnya Radikalisme Agama di Indonesia, khususnya di kalangan Pondok Pesantren. Secara kuantitatif, jumlah pesantren seperti ini tidak banyak dibandingkan jumlah pesantren yang hampir mencapai 17 ribu pesantren di Indonesia, tetapi belakangan mulai bertambah. Hal ini mengindikasikan alarm bahaya ketika pemerintah terus membiarkan ideologi kekerasan diinjeksikan kepada anak-anak muda di pesantren-pesantren ini. Pemerintah perlu mengecek bukan hanya materi ajar dan kurikulum pesantren ini, melainkan juga penting diteliti bagaimana para kyai dan ustadh mendidik dan mengajar mereka, baik di kelas maupun di masjid dan mushalla. Untuk mengembalikan watak asli pesantren yang toleran dan lemah lembut salah satunya dengan pengintegrasian nilai-nilai pluralitas dalam kurikulum pesantren tersebut. NILAI-NILAI PLURALITAS DAN TANTANGAN PENDIDIKAN PESANTREN Nilai pluralitas adalah nilai moral universal kemanusiaan yang tidak diskriminatif yang memandang orang lain dengan rasa hormat, toleran, mau bekerjasama. Semuanya sudah dipraktekkan Nabi Muhammad Saw. pada masa Madinah. Nabi hidup berdampingan 19
Nur Hidayat Muhammad, Benteng Ahlussunah wal Jamaah (Kediri: Nairul Ilmi, 2013), 21.
Mukhibat, Deradikalisasi dan Integrasi
191
dengan Yahudi, Nasrani, dan Majusi dengan penuh kadamaian sesuai dengan konsep al-Qur`an sebagai teks potensial dan terbuka untuk diinterpretasi.20 Sebagai istilah yang bermakna “majmuk” dalam realitasnya, pluralitas hadir membawa dua sisi secara kebersamaan. Pada satu sisi, pluralitas membawa rahmat dan pada sisi lain pluralitas membawa permasalahan-permasalahan tertentu jika terjadi monopoli kebenaran.21 Para penganut paham pluralisme beragama menganggap bahwa terlepas dari perbedaan-perbedaannya, esensi agamaagama sesungguhnya sama, sebab sumbernya sama yaitu Yang Mutlak (Tuhan). Jika terjadi perbedaan bentuk, maka ia disebabkan oleh perbedaan manifestasi dalam menanggapi Yang Mutlak. Sehingga, walaupun pada aspek eksoterisnya berbeda, namun pada level esoteris, kondisi internal atau batin akan didapati titik temu.22 Dengan paham ini, maka tidak benar (dan tidak dibolehkan) sikap masing-masing agama yang menganggap memiliki kebenaran secara mutlak (truth claim). Pada level keindonesiaan, cendekiawan yang tergolong pluralis mengindikasikan betapa banyaknya konflik agama (baik antar maupun intern umat beragama) disebabkan karena sikap eksklusif para pemeluknya terhadap ajaran agama mereka, bahkan cenderung pada “pemberhalaan” konsep ajaran agama itu sendiri, sehingga lupa pada esensi agama yang sebenarnya, yaitu sikap tunduk dan pasrah pada kebenaran. Mengutip istilah Nurcholis Madjid, sebaik-baik agama di sisi Allah ialah al-h}ani>fiyah al-samh}ah, semangat kebenaran yang lapang dan terbuka.23 Karena itu, dengan perspektif “Teologi Inklusif”, kelompok ini berpendapat bahwa pandangan subjektif seperti, “Hanya agama sayalah yang memberi keselamatan, sementara agama Anda tidak, dan bahkan menyesatkan” akan mengakibatkan sikap menutup diri terhadap kebenaran agama lain, dan berimplikasi serius atas terjadinya konflik atas nama agama dan Tuhan.
20 Arkoun, Muhammad, Nalar Islami dan nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, terj. Rahayu (Jakarta: INIS. 1994), 50. 21 Wahid, Pluralisme Agama, 3. 22 Paul Knitter, One earth Many Religions, Multifaith Dialogue & Global Responsibility (New York: Orbis Books, 1995), 151. 23 Nurcholis Madjid, Teologi Inklusif (Jakarta: Kompas: 2001), 78.
192
Al-Tahrir, Vol. 14, No. 1 Mei 2014: 181-204
Metcalf L. Z.24 menegaskan bahwa nilai adalah suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan, dalam mana seseorang harus bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau sesuatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan. Menurut Fraenkel,25 nilai adalah standar tingkah laku, keindahan keadilan, kebenaran dan efisiensi yang mengikat manusia dan sepatutnya dijalankan serta dipertahankan. Jadi nilai adalah rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan. Karena nilai sebagai rujukan dalam bertindak, maka setiap orang harus memperhatikan lebih mendalam agar hati-hati dan berpikir rasional sebelum mengambil tindakan. Apabila seseorang bertindak tanpa dasar rujukan yang kuat maka dapat dianggap tidak memiliki dan memahami nilai moral universal. Dalam al-Qur`an disebutkan, yang artinya: ”Untuk masingmasing dari kamu (umat manusia) telah kami tetapkan hukum (syari’ah) dan jalan hidup (minhaj). Jika Tuhan menghendaki maka tentulah Ia jadikan kamu sekalian umat yang tunggal (monolistik). Namun Ia jadikan kamu sekalian berkenaan dengan hal-hal yang telah dikarunia-Nya kamu. Maka berlombalah kamu sekalian untuk berbuat kebajikan. Kepada Allah-lah tempat kalian semua kembali; maka Ia akan menjelaskan kepadamu sekalian tentang perkara yang pernah kamu perselisihkan” (QS. al-Maidah: 48). Melihat peran pentingnya nilai-nilai pluralitas sebagai rujukan dalam bertindak dan ternyata memiliki landasan teologis dalam al-Qur`an, maka seharusnya nilai-nilai pluralitas yang mengakui dan menghormati “perbedaan”, sangat penting untuk ditekankan pada peserta didik dalam proses pendidikan apalagi pendidikan keagamaan.26 Dalam konteks inilah, lembaga pendidikan agama termasuk pesantren sebagai media penyadaran umat perlu membangun teologi inklusif dan pluralis, demi keharmonisan, kedamaian, kehidupan di dunia ini. Agama merupakan bagian integral dari pendidikan pada umumnya dan berfungsi untuk membantu perkembangan pengertian yang 24
L.Z. Metcalf, Values Education (New York: NCSS, 1997), 12. J. R. Fraenkel J.R. Helping Students Thing & Value (New Yersey: Prentice Hall.Inc, 1973), 15. 26 John Sealy, Religious Education Philosophical Perspective (London: George Allen & Unwin, 1986), 33. 25
Mukhibat, Deradikalisasi dan Integrasi
193
dibutuhkan bagi orang-orang yang berbeda iman, sekaligus juga untuk memperkuat ortodoksi keimanan bagi mereka.27 Persoalannya bagaimana hal itu bisa dilakukan dalam proses pendidikan di pesantren? Penanaman nilai-nilai pluralitas dapat dilakukan melalui kurikulum, kegiatan sekolah, diskusi, lokakarya, peringatan hari-hari besar nasional, dan kegiatan ekstrakurikuler yang lain. Maka, apabila peserta didik akan dipersiapkan menjadi manusia-manusia yang memahami nilai-nilai pluralitas, maka dalam kurikulum harus memuat tiga hal berikut: Pertama, kesadaran tentang kaharusan untuk mempertahankan kebebasan dalam masyarakat majmuk dan kearifan dalam memanfaatkan kebebasan. Kedua, kemampuan untuk mengetahui kesempatan yang ada dan peluangpeluang yang akan berkembang dalam masyarakat. Ketiga, membuang segenap prasangka terhadap semua sesama warga, anggota dan orang yang beragama lain, berasal dari suku, atau ras lain, dan mempunyai pandangan politik atau kemasyarakatan yang lain. Sebagaimana diketahui bahwa pesantren tidak berwajah tunggal. Sekurangnya ada dua tipologi pesantren jika dilihat dari gerakan dan tafsir keislaman yang dikembangkannya. Pertama, pesantren yang mengajarkan pentingnya merawat harmoni sosial dan toleransi antarumat beragama. Para pengasuh pesantren ini biasanya berpendirian bahwa Indonesia adalah wilayah damai (dar al-salam), karena itu jalan kekerasan dalam memperjuangkan Islam tak seharusnya dipilih. Di berbagai forum dan kesempatan, para kiai ini terlibat dalam dialog dan kerja sama agama-agama di Indonesia. Mereka juga mengadvokasi kaum tertindas terutama kelompok minoritas. Dari sudut politik, pesantren ini tidak punya agenda politik “menyimpang”. Mereka tak hendak mendirikan negara Islam apalagi Khilafah Islamiyah seperti yang kerap diperjuangkan kelompokkelompok Islam lain. Para kyai dan santrinya sepakat bahwa Indonesia dengan Pancasila dan UUD 1945 telah memberi jaminan dan kebebasan bagi umat Islam Indonesia untuk menjalankan ajaran Islam, sehingga tidak diperlukan lagi bentuk formal negara Islam. Bagi mereka, pilihan terhadap Pancasila sebagai dasar negara merupakan pilihan tepat di tengah pluralitas masyarakat Indonesia. 27
Alex R. Rodger, Educational and Faith in Open Society (Britain: The Handel Press, 1982), 61.
194
Al-Tahrir, Vol. 14, No. 1 Mei 2014: 181-204
Tegas dikatakan bahwa negara bangsa dalam bentuk NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) merupakan keputusan final. Pesantren-pesantren dalam jenis pertama ini biasanya sudah berumur tua, bahkan beberapa di antaranya berdiri jauh sebelum Indonesia merdeka. Secara keorganisasian, para kiai pesantren ini dekat bahkan menjadi pengurus organisasi sosial keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU), Nahdlatul Wathan (NW), dan lain-lain. Pesantren-pesantren yang secara ideologis dekat dengan NU telah membuat sebuah asosiasi pesantren bernama RMI (Rabithah Ma`ahid Islamiyah). Saya berpandangan, secara sosio-politik tak ada yang perlu dikhawatirkan dari pesantren jenis pertama ini. Kedua, pesantren menggendong ideologi politik Timur Tengah, seperti Wahabisme, Ikhwanul Muslimin, Talibanisme, dan lain-lain. Tidak sedikit dari pesantren ini yang mengintroduksi jalan-jalan kekerasan dalam menjalankan ajaran Islam. Mereka memandang non-Muslim dewasa ini sebagai kafir harbi yang boleh diperangi. Karena itu, mereka tidak menyukai kerja sama agama-agama. Para kiai pesantren ini banyak menyuarakan jihad (dalam pengertian perang melawan Kristen, Yahudi, dan Amerika) ketimbang ijtihad (dalam arti pengembangan intelektualitas dan keilmuan Islam). Itu sebabnya mereka berpendirian bahwa bom Mega Kuningan bukan bom bunuh diri, melainkan bom syahid. Secara politik, para kiai pesantren ini menolak Pancasila dan demokrasi. Sebagian dari mereka tak mengikuti Pemilu karena dianggap produk Barat dan sekularisme. Mereka berjuang bagi tegaknya sebuah negara yang berdasarkan syari`at Islam, al-Qur’an dan Hadis. Mereka berpandangan bahwa pilihan terhadap NKRI, Pancasila, dan UUD 1945 merupakan pilihan yang keliru ketika jumlah umat Islam di Indonesia adalah (konon) 85 %. Sebagai gantinya, maka perlu diperjuangkan berdirinya sebuah negara Islam. Tantangan kehidupan keagamaan di Indonesia saat ini adalah bahwa eksistensi Indonesia akan sangat ditentukan oleh dua jenis pesantren ini. Coba bayangkan, sekiranya puluhan ribu santri dari pesantren yang menghalalkan jalan kekerasan pulang ke rumahnya masing-masing kemudian sampai di rumah, mereka membangun pesantren dengan ideologi serupa, maka dalam waktu yang tidak terlampau lama Indonesia sebagai negara akan runtuh dan berganti dengan jenis negara yang lain. Saat itu mungkin Indonesia sudah
Mukhibat, Deradikalisasi dan Integrasi
195
terkapling-kapling ke dalam beberapa negara; ada yang berdasar pada agama A, yang lain pada agama B. Sebelum semuanya terlambat, langkah penyelamatan berikut penting dilakukan. Pertama, nilai-nilai pluralitas di atas diintensifkan ke dalam pesantren tipe kedua sehingga para kiai dan santrinya bisa memahami dan mengakui fakta politik Indonesia sebagai negara Pancasila dan bukan negara Islam. Mereka bisa berjuang dalam orbit negara bangsa Indonesia bukan di luar itu. Kedua, perlu dilakukan dialog antara pesantren jenis pertama dengan pesantren jenis kedua. Ini nampaknya yang jarang atau tidak pernah dilakukan. Organisasi keislaman seperti NU, Muhammadiyah, dan MUI bisa menjadi mediator dan fasilitator dari dialog itu. Tukar menukar tafsir keislaman dan pengalaman hidup masing-masing diharapkan bisa membangun kesadaran tentang tidak sempurnanya sebuah tafsir dan betapa banyak kerugian yang mesti ditanggung umat Islam ketika salah satu dari mereka menempuh jalan kekerasan dalam berislam.28 Berbagai konflik sosial yang berbau SARA dan Radikalisme yang berujung pada tindakan yang destruktif di Indonesia menunjukkan bahwa secara kolektif sebenarnya belum atau tidak mau belajar tentang bagaimana hal-hal di atas diajarkan dan dipahami secara benar. Hal ini menunjukkan bahwa agen-agen sosialisasi utama seperti keluarga dan lembaga pendidikan, tampaknya belum sepenuhnya berhasil menanamkan sikap toleransi-inklusif. Di sinilah pentingnya sebuah ihtiar menanamkan telogi pluralisme dengan cara mengintegrasikan nilai-nilai pluralisme dalam aktivitas pembelajaran di pesantren. Harapan pertama dan utamanya adalah agar peserta didik mampu berteologi secara inklusif yang mampu menampilkan wajah agama secara santun dan ramah. Pendidikan tradisional pesantren dapat kembali memerankan fungsinya sebagai sebagai lembaga tafaqquh fi> al-di>n dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari. Dengan menekankan pentingnya moral universal yang lemah lembut, menghargai perbedaan, toleransi sebagai pedoman hidup sehari-hari. 28
Ahmad Sidqi, “Respon Nahdlatul Ulama terhadap Wahabisme dan Implikasinya bagi Deradikalisasi Pendidikan Islam”, dalam Jurnal Pendidikan Islam, Volume II, Nomor 1, Juni 2013, 109.
196
Al-Tahrir, Vol. 14, No. 1 Mei 2014: 181-204
Pesantren akan mampu melakukan reka cipta kearifan lokal baru (institutional development), yaitu ”memperbaharui institusi-institusi lama dan pernah berfungsi baik”. INTEGRASI NILAI-NILAI PLURALITAS DALAM KEILMUAN PESANTREN Strategi Mengintegrasikan Nilai Permasalahan-permasalahan yang dihadapi manusia semakin hari semakin komplek, sehingga tidak sedikit yang keliru dalam mengambil langkah dalam memutuskan pilihan-pilihan hidup. Seringkali apa yang terjadi di dalam ruang belajar tidak ada hubungannya dan mungkin jauh dari kenyataan yang dihadapai peserta didik dalam kehidupan sehari-hari di luar ruang belajar. Keadaan ini semakin membingungkan peserta didik, mereka dipaksa untuk memilih atau memutuskan. Idealnya pilihan berdasarkan nilainilai yang dianutnya. Tetapi kadang-kadang mereka tidak begitu jelas tentang nilainya sendiri. Hal ini terbukti, para pelaku serangkain bom bunuh diri di Tanah Air adalah orang yang belum mampu menentukan pilihan nilai yang menjadi rujukan setiap tindakannya. Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan yang mentransfer nilai dan pengetahuan (transfer of values and knowledge), memiliki social function dan sangat berperan dalam mewujudkan kehidupan yang penuh kedamaian dan harmonis bagi masyarakat pada umumnya. Perannya adalah untuk memberikan pemahaman kepada peserta didik mengenai pentingnya menentukan pilihan nilai yang akan dijadikan pegangan hidupnya, seperti kebebasan, persamaan, toleransi, kesetiakawanan, keadilan, kejujuran, dan kesabaran, baik dalam lingkup lembaga pendidikan, masyarakat, maupun negara. Menurut Fraenkel pengintegrasian suatu nilai dapat dilakukan dengan cara inkulturasi. Inkulturasi merupakan istilah yang populer dalam lingkungan Gereja Katolik, yakni keseluruhan proses pengintegrasian nilai-sikap, pandangan, keyakinan ke dalam proses pendidikan, baik dalam materi, metode, dan evaluasi pendidikannya. Inkulturasi ini mengisyaratkan pendidikan karakter diiplementasikan sebagai learning experience, peserta didik langsung memahami dan mengalami sendiri nilai-nilai pluralitas yang diharapkan, yakni
Mukhibat, Deradikalisasi dan Integrasi
197
kecerdasan plus karakter yang difokuskan pada hard skill dan soft skill.29 Ada tiga hal yang menjadi sasaran pendidikan nilai. Pertama, membantu peserta didik untuk menyadari makna nilai dalam hidup manusia. Kedua, membantu pendalaman dan pengembangan pemahaman serta pengalaman nilai. Ketiga, membantu peserta didik untuk mengambil sikap terhadap aneka nilai dalam perjumpaan dengan sesama agar dapat mengarahkan hidupnya bersama orang lain secara bertanggungjawab. Proses integrasi dalam kurikulum pesantren diharapkan akan menjadi suatu etiket, conducts, virtues, dan terjadi internalisasi sebagai practical values, dan living values pada peserta didik. Belajar membaca di tingkat sekolah dasar merupakan tujuan atau ends. Kemampuan membaca berubah menjadi means ketika peserta didik belajar berbagai ilmu; pada tahap ini menguasai ilmu menjadi ends. Demikianlah terjadinya proses integrasi dalam pendidikan: dengan proses terjemahan akan mencapai pemahaman, untuk selanjutnya terjadi asimilasi untuk menjangkau suatu yang baru yang kemudian terjadi proses transformasi. Integrasi nilai-nilai pluralitas ini dapat dilakukan pada aspekaspek berikut: Materi Materi merupakan bahan pembelajaran yang akan disampaikan oleh seorang pendidik kepada peserta didik di ruang kelas. Materi/kitab yang disiapkan sebelumnya oleh ustadh, hendaknya disampaikan kepada peserta didik untuk ditanggapi. Jika peserta didik telah menelaah dan memiliki sejumlah pengetahuan dan pertanyaan yang akan membuat suasana belajar menjadi hidup. Di sini seorang ustadh harus mampu mengkonstektualisasikan dan mengkomunikasikan materi yang ada dengan masalah-masalah aktual yang relevan dengan budaya masyarakat Indonesia, bukan masyarakat Timur Tengah. Pada pemaparan materi inilah seorang ustadh harus menerjemahkan nilai-nilai pluralitas ke dalam materi. Proses penerjemahan 29
Imam Subchi, Mozaik Pemikiran Islam (Jakarta: Dirjen Diktis Kemenag RI, 2011), 6.
198
Al-Tahrir, Vol. 14, No. 1 Mei 2014: 181-204
ini dilakukan untuk menghindari bahwa materi tidak sekedar menjadi sejumlah pengetahuan yang dikuasai peserta didik, tetapi bisa menjadi sebuah nilai hidup. Nilai-nilai kejujuran, keadilan, kadamain, kebersamaan akan menjadi rujukan dalam kehidupan. Terhadap nilai-nilai ini seorang pendidik bertugas membantu peserta didik untuk meluruskan pemahaman mereka terhadap makna dari nilai-nilai tersebut.30 Pada gilirannya peserta didik mampu menangkap urgensi dan manfaat materi bagi kehidupan ketika terjun ke masyarakat. Kalau ini dapat dilakukan, materi di pesantren tidak akan sekedar menjadi sejumlah pengetahuan yang dikuasai peserta didik. Nilai-nilai yang diterapkan dalam materi pesantren merupakan bagian dari moral universal, artinya nilai-nilai tersebut juga diajarkan dalam pokok bahasan materi di pesantren, dimana nilai--nilai pluralitas akan terintegrasi dalam kurikulum pesantren. Dalam materi pesantren juga harus diberikan pemahaman bahwa kajian tentang Islam dapat dilakukan dari berbagai sudut pandang. Mengingat dalam Islam sendiri saja terdapat beberapa mazhab yang menjadi kiblat umat Islam, di mana masing-masing mazhab dalam memandang dan menjustifikasi suatu permasalahan dapat berbeda. Dari materi ini peserta didik akan mampu menimbang dan memikirkan dan kemudian mampu mengambil kesimpulan terhadap peristiwa hukum dalam Islam dengan tidak kaku. Manfaat yang lebih besar adalah terhindarnya truth claim. Berkaitan dengan integrasi nilai pluralitas dalam pembalejaran melalui materi ini, setidaknya pendidik mempunyai tiga peran penting, yaitu 1) pendidik berkewajiban membantu peserta didik memahami sudut pandang orang lain (bagaimana jika begitu dan rasakan jika kamu begitu), 2) membantu peserta didik mencari solusi bijak yang membawa anak memahami dari dua sudut pandang yang berbeda, 3) membantu peserta didik mempraktikan keterampilan pribadi yang akan membantu mereka menyelesaikan masalah yang dihadapinya.31
30
Thomas Lickona, Education for Charakter, terj. Juma Abdu Wamaungo (Bumi Aksara: 2013), 14. 31 Ibid., 420.
Mukhibat, Deradikalisasi dan Integrasi
199
Metode Pembelajaran Suatu materi yang bagus pun, sebuah pelajaran tetap dapat membingungkan, maka seorang pendidikan memerlukan sebuah metode dan strategi yang dapat menstimulasi peserta didik untuk terlibat dalam materi dan memikirkanya dengan serius. Metode merupakan suatu cara yang digunakan oleh seseorang untuk mencapai tujuan. Metode dapat dipahami sebagai cara seseorang dalam menyampaikan materi untuk mencapai tujuan pembelajaran sesuai dengan yang diharapkan. Metode merupakan aspek yang krusial, sama pentingnya dengan materi itu sendiri. Artinya suatu materi akan menarik dan mudah dipahami bila metode yang digunakan mampu mampu membuat peserta didik senang. Metode sangat penting dalam pendidikan nilai, peran guru sebagai teladan dan pembimbing, membangun masyarakat yang toleran, harmonis, dan bermoral. Pertemuan kelas harus mampu menciptakan nilai-nilai saling menghargai dan tanggung jawab dalam kehidupan kelas.32 Metode belajar di pesantren adalah model halaqah, sorogan, dan bandongan yang bermuatan kewajiban menghafal. Metode semacam ini akan semakin berkualitas apabila dikemas dalam bentuk dialog. Materi yang telah dihafal bisa dibahas secara dialogis melalui mekanisme diskusi. Oleh karena itu seseorang ustadh harus menerapkan metodenya dan perilaku kesehariannya terlebih dahulu. Bila nilai-nilai pluralitas sudah tertanam pada diri seorang ustadh, secara otomatis itu akan tercermin dalam metode pembelajarannya. Dalam kaitan inilah pemodelan atau uswatun hasanah merupakan strategi yang bisa dipraktekkan, karena terbukti efektif dan baik dipraktekkan pada masa dakwah Nabi Muhammad Saw. Nabi memiliki sifat amanah, fathanah, sidiq, dan tablig. Metode yang seperti itu, barangkali akan banyak disukai oleh peserta didik. Cara ustadh menyelesaikan masalah secara adil, dan bijak, menghargai pendapat orang lain, mengkritik secara santun, tidak memaksakan kehendak merupakan perilaku alami yang akan ditiru oleh peserta didik. Metode diskusi ini untuk memahami isi kitab kuning, bukan untuk mempertanyakan kemungkinan benar atau salah, tetapi justru 32
Lickona, Education for Charakter, 244.
200
Al-Tahrir, Vol. 14, No. 1 Mei 2014: 181-204
untuk memahami maksud yang diajarkan dalam kitab kuning itu. Para santri yakin bahwa kyai tidak mungkin akan mengajarkan halhal yang salah, sekaligus mereka yakin bahwa isi kitab kuning yang dipelajari telah mengandung kebenaran yang final. Selain di atas, metode diskusi merupakan cara mengintegrasikan nilai-nilai pluralitas dalam pembelajaran. Metode ini memberikan pada peserta didik kebebasan untuk berbagi pendapat tentang suatu topik pembelajaran. Peserta didik diberi kesempatan yang luas untuk mengemukakan pendapat, argumen ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan secara logis dan etis. Pembejalaran dengan metode diskusi akan tampak suasana kelas yang menghargai perbedaan pendapat. Walaupun tampak peserta didik dilatih untuk berbeda akan tetapi bukan untuk berpecah belah yang menimbulkan konflik. Metode pembelajaran seperti ini berarti pembelajaran yang berorientasi pada peserta didik (student oriented). Proses pendidikan ini telah mampu memberdayakan semua aspek kehidupan, yang berarti integrasi nilai-nilai pluralitas melalui metode pembelajaran dapat terwujud. Evaluasi Pembelajaran Evaluasi atau penilaian kegiatan untuk mengetahui tingkat ketercapaian tujuan. Oleh karenanya, dalam melaksanakan pendidikan nilai dan agama perlu dibekali dengan kemampuan untuk merumuskan tujuan yang efektif. Integrasi nilai-nilai-nilai pluralitas dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: pertama, melalui hasil ujian akhir dan menilai sikap, respon, penghormatan peserta didik terhadap tugas yang diwajibkan padanya; kedua, seorang ustadh harus memperhatikan partisipasi peserta didik dalam pembelajaran dalam mengemukakan pendapatnya; ketiga, pertanyaan, argumen yang dikemukakan oleh peserta didik dapat dijadikan acuan penilaian, apakah ada kesan memaksakan pendapat atau tidak, atau justru tampak peserta didik mampu menghormati pendapat orang lain; keempat, daftar kehadiran dalam kelas, juga sangat penting dijadikan acuan dalam penilaian karena penghargaan peserta didik terhadap forum dapat diketahui. Namun demikian upaya integrasi nilai-nilai pluralitas dalam kurikulum pesantren salafi haraki seperti di atas sebagai bentuk deradikalisasi. Integrasi nilai-nilai pluralitas difahami sebagi upaya
Mukhibat, Deradikalisasi dan Integrasi
201
yang secara subtansial diarahkan untuk menghilangkan anasir-anasir radikalisme dan kekerasan, entah wujudnya dalam bentuk halaqah atau pengajian atau bahkan perbincangan santai atau dengan pembelajaran tidak langsung (indirect teaching).33 Kompetensi yang ingin dicapai dalam suatu kurikulum, menegaskan bahwa kecerdasan yang dimiliki oleh peserta didik haruslah diwarnai dan ditopang oleh spiritual universal yang bersumber dari nilai-nilai agama, tanpa membedakan formalitas agama apa dan siapa. Sikap moral dan spiritual dalam didasarkan pada keyakinan bahwa potensi spiritual manusia merupakan pengendali serangkaian tindakan destruktif yang bisa mengancam dan merugikan orang lain. Sikap moral spiritual dimaksudkan sebagai kemampuan untuk memberi makna terhadap pengetahuan dan keterampilan melalui proses pembelajaran yang mengedepankan eksplorasi, pemecahan masalah, selalu menanyakan “mengapa” temanya begini, melacak darimana datangnya tema, atau prosedur, merupakan pengejawantahan salah satu pendidikan karakter spiritual. Peserta didik atau santri dihadapkan pada masalah terbuka dengan solusi tidak tunggal, dan masalah dengan berbagai cara penyelesaian. PENUTUP Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai pluralitas harus merupakan bagian dari keilmuan pesantren ”salafi haraki”. Integrasi nilai-nilai pluralitas tersebut dapat dilakukan dengan proses inkulturasi yang meliputi tahap terjemahan, asimilasi, dan transformasi. Cara pengintegrasian nilai-nilai pluralitas dapat dilakukan melalui materi dengan membuat silabus sebagai acuan bahan yang memuat materi tentang pluralitas. Cara yang lain adalah melalui metode pembelajaran dengan memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk mengemukakan pendapatnya. Selain itu pengintegrasian juga dilakukan melalui evaluasi dilakukan dengan menilai sikap peserta didik berargumen dalam berdiskusi. Namun demikian upaya integrasi nilai-nilai pluralitas dalam kurikulum pesantren salafi haraki seperti di atas sebagai bentuk 33
Kemendikbud RI, Permendikbud No. 69 Tahun 2003 Tentang Kerangka Dasar Dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (Jakarta: Kemendikbud RI, 2013).
202
Al-Tahrir, Vol. 14, No. 1 Mei 2014: 181-204
deradikalisasi, sebenarnya tidak harus dilihat dalam bentuknya yang bersifat formal dan tidak pula harus diwujudkan dalam proses pembelajaran atau pelatihan tertentu, tetapi dalam konteks Kurikulum lebih dari itu. Intergrasi nilai-nilai pluralitas difahami sebagi upaya yang secara subtansial diarahkan untuk menghilangkan anasir-anasir radikalisme dan kekerasan, entah wujudnya dalam bentuk halaqah atau pengajian atau bahkan perbincangan santai atau disebut pembelajaran tidak langsung (indirect teaching).
DAFTAR RUJUKAN Wahid, Abdul. Pluralisme Agama, Pascamodernisme, dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: UNY, 2011. Arkoun, Muhammad. Nalar Islami dan nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru. Jakarta: INIS, 1994. Asy`ari, Musa. Menggagas Revolusi Kekerasan.Yogyakarta: LESFI, 2002.
Kebudayaan
Tanpa
Euben, Roxanne L. Enemy in The Mirror: Islamic Fundamentalism an the Limits of Moern Rationalism, A Work of Comarative Political Teori. New Jersey: Pricenton University Press, 1999. Fathurrahman. "Kyai Pesantren: Kyai PNS; Wajah Pendidikan Islam Tradisional Bima", dalam Kreatif Jurnal Studi Pendidikan Vol. V, No. 1, Januari 2008. Fraenkel, J.R. Helping Students Thing & Value. New Yersey: Prentice Hall.Inc, 1973. Jahroni, Jamhari Jajang. Gerakan Salafi Radikal di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2004. Kemendikbud. Permendikbud No. 69 Tahun 2003 Tentang Kerangka Dasar Dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah. Jakarta: Kemendikbud RI, 2013. Knitter, Paul. One Earth Many Religions, Multifaith Dialogue & Global Responsibility. New York: Orbis Books, 1995.
Mukhibat, Deradikalisasi dan Integrasi
203
Lickona, Thomas. Education for Charakter, terj. Juma Abdu Wamaungo, Jakarta: Bumi Aksara: 2013. Madjid, Nurcholis. Teologi Inklusif. Jakarta: Kompas, 2001. Marty, Martin E. Fundamentalisms Observed. Chicago: The University of Chicago Press, 1991. Mas`ud, Abdurrahman. Dari Haramain ke Nusantara; Jejak Intelektual Arsitek Pesantren. Jakarta: Prenada Media Group, 2006. Metcalf L.Z. Values Education. New York: NCSS, 1997. Muhammad, Nur Hidayat. Benteng Ahlussunah wal Jamaah. Kediri: Nairul Ilmi, 2013. Muin, Abdul M, dkk. Pendidikan Pesantren dan Potensi Radikalisme. Jakarta: Prasasti, 2007. Nashir, Haedar. “Gerakan Islam Syari'at: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia”: dalam Maarif Arus Pemikiran Islam dan Sosial Vol. 1, No.2, November, 2006. Pratiwi, Ayu. “Radikalisme dan Radikalisme Atas Nama Islam: Sebuah Pertanyaan Tentang Identitas dan Produk Interaksi Sosial Masyarakat” dalam Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Radikalisme. Jakarta: Lazzuardi Birru, 2010. Rodger, Alex R. Educational and Faith in Open Society. Britain: The Handel Press, 1982. Ruth, Dhyah Madya. Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Radikalisme. Jakarta: Lazuardi Birru, 2010. Said, Edwar W. The Mind of Terrorism. USA: Booksmaxwell, 2006. Sealy, John. Religious Education Philosophical Perspective. London: George Allen & Unwin, 1985. Sidqi, Ahmad. “Respon Nahdlatul Ulama terhadap Wahabisme dan Implikasinya bagi Deradikalisasi Pendidikan Islam dalam Jurnal Pendidikan Islam Volume II, Nomor 1, Juni 2013. Subchi, Imam. Mozaik Pemikiran Islam. Jakarta: Dirjen Diktis Kemenag RI, 2011.
204
Al-Tahrir, Vol. 14, No. 1 Mei 2014: 181-204
Tilaar, H.A.R. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998. Wahyono, Sugeng Bayu, dkk. Pesantren, Radikalisme, dan Konspirasi Global Jakarta: INPEDHAM, 2005. Yasmadi. Modernisasi Pesantren, Kritik Nurcholis Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional. Jakarta: Ciputat Press, 2002. Zurqoni & Mukhibat. Menggali Islam Membumikan Pendidikan, Upaya Membuka Wawasan Keislaman & Pemberdayaan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ar Ruzzmedia, 2011. -