DENDA MURABAHAH DALAM PANDANGAN SISTEM EKONOMI ISLAM (STUDI KASUS DI BANK SYARIAH MEGA INDONESIA)
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Islam (SEI)
Oleh : Yetty Nur Indah Sari NIM : 104046101633
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH PROGRAM STUDI MUAMALAT ( EKONOMI ISLAM ) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul DENDA MURABAHAH DALAM PANDANGAN SISTEM EKONOMI ISLAM (STUDI KASUS MURABAHAH DI BANK SYARIAH MEGA INDONESIA), telah diujikan dalam Sidang Munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 13 Nopember 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Islam (SEI) pada Program Studi Muamalat (Ekonomi Islam).
Jakarta, 13 Nopember 2008 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 150 210 422 PANITIA UJIAN 1. Ketua
: Dr. Euis Amalia, M. Ag NIP. 150 289 264
(...........................)
2. Sekretaris
: Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag NIP. 150 318 308
(...........................)
3. Pembimbing I : Dr.Fuad Thohari, M. Ag NIP. 150 299 934
(...........................)
4. Pembimbing II : M. Dawud Arif Khan, SE., AK., M,Si., CPA
(...........................)
5. Penguji I
(...........................)
: NIP.
6. Penguji II
:
(...........................) NIP.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, penulis bersyukur berkat rahmat, kehendak serta kebaikan Allah SWT, penulis dapat hadir di dunia ini sebagai mahluk yang senantiasa dituntut untuk berjuang, memimpin, beribadah dan mengelola alam dunia semata-mata demi mengharapkan ridha-Nya. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan selalu kepada manusia pilihanNya, nabi Muhamad SAW yang telah memancarkan cahaya Islam di seluruh penjuru dunia hingga akhir zaman. Skripsi yang berjudul DENDA MURABAHAH DALAM PANDANGAN SISTEM EKONOMI ISLAM, alhamdulillah akhirnya dapat diselesaikan sesuai seperti yang diharapkan penulis. Kebahagian yang tak ternilai ini, bagi penulis pribadi adalah dapat mempersembahkan yang terbaik kepada kedua orang tua, seluruh keluarga, dan pihak-pihak yang telah ikut andil dalam mensukseskan harapan penulis. Untuk ibunda Mas’ah (almarhumah), terima kasih telah melahirkan penulis kedunia ini, sehingga penulis bisa bertemu dengan orang-orang yang luar biasa. Untuk ayahanda M. Nafis (almarhum), terima kasih telah memberikan kasih sayang dan mendidik penulis hingga akhir hayatnya, semoga Allah SWT memberikan tempat yang mulia di sisi-Nya. Sebagai bentuk penghargaan yang tak terlukiskan, izinkanlah penulis menuangkan dalam bentuk ucapan terimakasih sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA. Selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang
telah mencurahkan baktinya kepada seluruh mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum. 2. Ibu Dr. Euis Amalia M. Ag. Selaku Ketua Program Studi Mu’amalat dan Bapak Ah. Azharuddin Latif, M. Ag. Selaku Sekretaris Program Studi Mu’amalat, yang telah membantu penulis secara tidak langsung dalam menyiapkan skripsi ini 3. Bapak Dr. Fuad Thohari, M,Ag. Selaku pembimbing I, yang selalu memberikan nasehat dan masukan dalam penyusunan skripsi ini dan Bapak H.M. Dawud Arif Khan, S.E., Ak., M,Si., CPA. Selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktu di sela-sela kesibukan dalam memberikan masukan dan nasehat dalam penyusunan skripsi ini. 4. Bank Syari’ah Mega Indonesia yang diwakili oleh bapak Tugiantoro, yang banyak membantu dalam memperoleh data dan informasi yang penulis butuhkan dalam menyusun skripsi ini. 5. Pimpinan perpustakaan, baik perpustakaan utama maupun perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum, yang telah memberikan fasilitas dan bantuan untuk mendapatkan referensi yang penulis butuhkan dalam penelitian ini. 6. Seluruh dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama di bangku kuliah. 7. Buat kakak terkasih, Nunung Nuhriah, Yanah, Abih dan Ali serta adik- adik tersayang, Luna, Agil, Kevin, Ocha, Ufi, Tasya yang selalu mewarnai hari-hari penulis dengan canda. Terima kasih telah menjadikan hidup ini terasa amat berarti.
8. Untuk Rahmadonal Erwin dan sahabat-sahabat tempat berbagi, Ibed, Intan, Maya atas do’a dan dukungan yang senantiasa menemani penulis. 9. Untuk kawan-kawan PSB 2004 Idha, Evi, Itsna, Ajeng, Ulul, Seli, Nita, Elon, Fatah, Sesar, Mirza dan seluruh PS 2004 yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu terimakasih dan selamat berjuang.
Jakarta, 13 Nopember 2008
Yetty Nur Indah Sari
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR..........................................................................................
i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ....................................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................................
3
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...........................................................
4
D. Kerangka Konsep ..............................................................................
5
E. Metode Penelitian ..............................................................................
7
F. Teknik Penulisan ...............................................................................
9
G. Sistematika Penulisan .......................................................................
9
BAB II DENDA MURABAHAH A. Denda ................................................................................................ 11 B. Murabahah......................................................................................... 12 1. Landasan Hukum Murabahah....................................................... 16 2. Syarat-Syarat Murabahah............................................................. 18 3. Ketentuan Umum Murabahah ...................................................... 20 4. Jenis-Jenis Murabahah ................................................................. 23 5. Ketentuan Umum Aplikasi Murabahah ........................................ 25 6. Manfaat dan Resiko Murabahah................................................... 27
C. Denda Murabahah.............................................................................. 29
BAB III GAMBARAN UMUM PT BANK SYARIAH MEGA INDONESIA A. ....................................................................................................Sejarah Singkat PT. Bank Syariah Mega Indonesia........................................ 36 B......................................................................................................Struktur Organisasi dan Manajemen PT. Bank Syariah Mega Indonesia ........................................................................................... 38 C......................................................................................................Visi dan Misi, Nilai dan Penghargaan PT. Bank Syariah Mega Indonesia ........................................................................................... 39 D. ....................................................................................................ProdukProduk PT. Bank Syariah Mega Indonesia ........................................ 40 BAB IV ANALISIS PELAKSANAAN DENDA MURABAHAH DI BANK SYARIAH MEGA INDONESIA A. ....................................................................................................Denda Berjalan di Bank Syariah Mega Indonesia.......................................... 46 B......................................................................................................Perhitun gan Denda Murabahah di Bank Syariah Mega Indonesia.................... 50 C......................................................................................................Penyeles aian Denda Murabahah di Bank Syariah Mega Indonesia................... 52
D. ....................................................................................................Pengalok asian Denda Murabahah di Bank Syariah Mega Indonesia ........................................................................................... 64 BAB V PENUTUP A. ....................................................................................................Kesimpu lan ..................................................................................................... 68 B......................................................................................................Saran ..........................................................................................................69 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 71 LAMPIRAN ......................................................................................................... 74
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah Lembaga keuangan pada dasarnya adalah lembaga perantara, berposisi sentral di antara pemilik dana, antara penyimpan dan peminjam, antara pembeli dan penjual, serta antara pengirim uang dan lembaga keuangan. Lembaga keuangan bukanlah sebuah pabrik atau produsen yang menghasilkan uang secara sendiri dan kemudian membagikan atau meminjamkan kepada pihak-pihak yang membutuhkannya. 1
1
Muhammad, Bank Syariah Analisis Kekuatan, Kelemahan Peluang dan Ancaman, Yogyakarta, Ekonisia, h. 99.
Lembaga keuangan syari'ah merupakan lembaga intermediasi keuangan yang hadir untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan suatu bentuk transaksi yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah Islam, namun adakalanya dalam menjalankan transaksi syari’ah, para pihak dihadapkan pada sejumlah resiko yang bisa menyebabkan terjadinya kerugian, resiko tersebut di antaranya bisa disebabkan oleh adanya wanprestasi atau kelalaian nasabah dengan menunda-nunda pembayaran hal ini tentunya sangat kontradiktif dengan syari’ah Islam yang sangat melindungi kepentingan semua pihak yang bertransaksi, baik lembaga keuangan syari’ah maupun nasabah, sehingga tidak boleh ada satu pihak yang di rugikan hak-haknya.2 Dalam hukum Islam seseorang diwajibkan untuk menghormati dan mematuhi setiap perjanjian atau amanah yang dipercayakan kepadanya. Apabila seseorang telah mendapat kredit atau pembiayaan dari bank, maka ia telah mendapat amanah dari orang lain (deposan atau pemilik modal di bank), jika debitur tersebut melakukan cidera janji, maka dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi. Orang
yang melakukan
wanprestasi bisa dikenakan tindakan atau sanksi sesuai dengan kondisi dan alasannya. Pada zaman modern, dalam dunia perbankan nasional muncul fenomena sikap menunda-nunda pembayaran yang dilakukan oleh debitur atau nasabah terhadap bank yang memberi dana pinjaman pembiayaan. Akibatnya
bank mengalami kerugian,
karena dalam melakukan penagihan tidak jarang bank mengeluarkan biaya, mulai dari masalah administrasi, hingga biaya yang besar untuk menyewa pengacara.
2 Ahmad Kamil dan Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah, Jakarta, kencana 2007.Cet. Pertama, h.828.
Fenomena ini memunculkan berbagai permintaan dari pengelola perbankan syari’ah akan pentingnya penanganan ganti rugi dan pengenaan sanksi, ganti rugi atas biaya yang dikeluarkan untuk melakukan penagihan kepada nasabah yang lalai dan nakal (menunda-nunda pembayaran).
Dalam hal ini MUI ikut andil untuk mengeluarkan fatwa bagi nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran, yang mana mereka bisa dikenakan hukuman ta’zir (denda). Berdasarkan pemaparan diatas, penulis perlu melakukan penelitian denda yang diberlakukan bank syari’ah, dengan menganalisa pengenaan denda yang ada di perbankan syari’ah dan pandangan sistem ekonomi Islam terhadap denda yang diberlakukan. Pembatasan dan Perumusan Masalah Agar permasalahan tidak melebar dalam penulisan skripsi ini. Penulis perlu memberikan batasan dan rumusan masalah terhadap objek yang dikaji. Masalah penelitian ini adalah penerapan denda murâbahah di Bank Syari’ah Mega Indonesia dalam pandangan sistem ekonomi Islam. Rumusan masalah penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagaimana pandangan sistem ekonomi Islam terhadap denda Murâbahah dalam suatu transaksi di perbankan syari’ah? 2. Bagaimana kesesuaian teori dan praktek denda murâbahah di perbankan syari’ah?
3. Bagaimana operasional denda murâbahah dan aplikasinya dalam Bank Syari’ah Mega Indonesia?
Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui pandangan sistem ekonomi Islam terhadap denda murâbahah dalam transaksi perbankan syari’ah. b. Untuk mengetahui kesesuaian teori dan praktek denda murâbahah di perbankan syari’ah. c. Untuk mengetahui operasional denda murâbahah dan aplikasinya dalam Bank Syari’ah Mega Indonesia, apakah sesuai dengan aturan syari’ah atau belum. 2. Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi pihak-pihak terkait, di antaranya: a. Manfaat secara teoritis Secara teoritis, penelitian yang penulis lakukan dapat memberikan penambahan ilmu pengetahuan bagi penulis sendiri, dan dalam bidang ilmu pengetahuan dapat pula memecahkan atau mencari solusi dari suatu permasalahan yang ada. b. Manfaat secara praktis
Secara praktis penelitian ini dapat bermanfaat untuk penulis dan masyarakat, khususnya bagi penulis akan lebih memudahkan jika suatu waktu berhadapan dengan persoalan yang menyangkut perbankan syariah, selanjutnya penelitian ini diharapkan dapat menjadi pengalaman bagi penulis sebagai modal untuk bekerja dengan baik di masa mendatang.
Kerangka Konsep Murâbahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin), yang disepakati penjual dan pembeli. Murâbahah dapat dilakukan berdasarkan pesanan atau tanpa pesanan. Dalam Murâbahah berdasarkan pesanan, bank melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari nasabah. Pembayaran Murâbahah dapat dilakukan secara tunai atau cicilan. Selain itu, dalam Murâbahah
juga diperkenankan adanya perbedaan dalam harga untuk cara
pembayaran yang berbeda. Bank dapat memberikan potongan kepada nasabah jika: Mempercepat pembayaran cicilan; atau Melunasi piutang murâbahah sebelum jatuh tempo. Harga yang disepakati dalam murâbahah adalah harga jual sedangkan harga beli harus diberitahukan. Jika bank mendapat potongan dari pemasok maka potongan itu merupakan hak nasabah. Apabila potongan tersebut terjadi setelah akad maka pembagian potongan tersebut dilakukan berdasarkan perjanjian yang dimuat dalam
akad. Apabila nasabah tidak dapat
memenuhi piutang sesuai dengan yang
diperjanjikan, bank berhak mengenakan denda kecuali jika dapat dibuktikan bahwa nasabah tidak mampu melunasi. Denda diterapkan bagi nasabah mampu yang menunda pembayaran, denda tersebut didasarkan pada pendekatan ta’zir yaitu untuk membuat nasabah lebih disiplin terhadap kewajibannya. Besarnya denda sesuai dengan yang diperjanjikan dalam akad dan dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial (qardul hasan). Denda keterlambatan dikenakan bagi nasabah yang "nakal", yang seharusnya dia bisa dan mampu untuk membayar tepat pada waktunya tetapi sengaja menundanunda. Biasanya uang yang seharusnya untuk membayar kewajibannya ke bank, “diputar-putar" dulu, sehingga terjadi kelalaian. Dana hasil dari denda ini tidak diambil dan dipergunakan bank melainkan ditampung dalam suatu pos atau rekening yang disebut "Dana Non Halal atau Dana Sosial", yang setiap bulannya akan dilimpahkan atau diserahkan kepada Lembaga Amil Zakat untuk membantu faqir miskin dan membangun sarana serta prasarana umum. Murâbahah adalah jual beli yang bersifat amanah yang dalam produk perbankan berupa produk pembiayaan, yaitu akad jual beli antara bank selaku penyedia barang dengan nasabah yang memesan untuk dibeli. Bank memperoleh keuntungan dari kesepatakan bersama. Dalam praktek biasanya nasabah telah menunjuk supplier yang diinginkan, sehingga bank akan membelinya secara tunai dan menjualnya secara
tangguh pada nasabah. Pendapat lainnya dari Elias G. Kazarian berpendapat murâbahah adalah jasa pembiayaan dengan mengambil bentuk transaksi jual beli dengan cicilan.3 Penundaan pembayaran dalam murâbahah digambarkan sebagaimana tertera di bawah ini : 1. Nasabah yang memiliki kemampuan, tidak dibenarkan menunda penyelesaian hutangnya. 2. Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja atau jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya maka penyelesaianya dilakukan melalui badan arbitrase syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.4
Metode Penelitian Penelitian merupakan istilah yang berasal dari kata bahasa Inggris, yaitu research; re artinya kembali dan search artinya mencari. Pengertian umum research adalah suatu upaya mencari kembali, Menurut kamus Oxford Advanced learner’s dictionary of current English (1977), istilah research berarti melakukan penyelidikan dalam aturan untuk menemukan fakta-fakta baru, dan memperoleh tambahan informasi. Kamus Webster new world dictionary (1976) arti kata research, penelitian yang berarti
3
Wendra Yunaldi, Potret Perbankan Syariah di Indonesia, Melacak Keabsahan Landasan Yuridis Praktek Perbankan Syariah di Indonesia, Jakarta: Susi Advertising, h.34 - 35. 4
45.
Profil Perusahaan Pelaku Bisnis Syariah. Manajemen Ekonomi Syariah, Jakarta, 2005,
h. 43 -
penyelidikan secara hati-hati, sistematis dan mencari fakta dan prinsip-prinsip suatu penyelidikan yang cermat guna menetapkan suatu keputusan tepat.5 1. Jenis Penelitian Penelitian ini memadukan dua jenis penelitian, yaitu : a. Penelitian Kepustakaan (Library Research) Penelitian kepustakaan ini dilakukan dengan mencari data atau informasi riset melalui membaca jurnal ilmiah, buku-buku referensi dan bahan-bahan publikasi yang tersedia di perpustakaan. b. Penelitian Lapangan (Field Research) Penelitian lapangan ini berupa data, informasi dan peristiwa secara rinci yang dicatat oleh peneliti sesuai dengan tema bahasan yang akan diteliti. 2. Jenis Data Jenis data merupakan data kualitatif yang bersumber dari : a. Data Primer 1) Survey terhadap bank yang terkait. 2) Observasi dengan metode pengumpulan data yang dilakukan untuk mengamati dan mencatat suatu transaksi dan cidera janji yang dilakukan nasabah terhadap bank. b. Data Sekunder 1) Dokumentasi dari arsip atau data yang berhubungan dengan penelitian. 2) Penelitian kepustakaan dari buku, artikel dan karya-karya ilmiah yang berkaitan dengan penelitian.
5
Rosady Ruslan, Metode Penelitian Publik Relations dan Komunikasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, h. 3.
Teknik Penulisan Penulisan skripsi ini mengacu pada buku pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1428/2007.
Sistematika Penulisan Skripsi terdiri dari lima bab yang masing- masing terdiri dari beberapa sub bab yang merupakan penjelasan dari bab-bab tersebut. Adapun sistematika penulisan sebagai berikut: BAB I
Pendahuluan. Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II
Tinjauan teoritis. Membahas tentang denda, murâbahah yang meliputi, definisi murâbahah, landasan hukum murâbahah, syarat-syarat murâbahah, ketentuan umum murâbahah, jenis-jenis murâbahah, aplikasi murâbahah, manfaat dan resiko murâbahah, denda murâbahah.
BAB III
Gambaran Umum. PT Bank Syari’ah Mega Indonesia yang meliputi visi dan misi PT Bank Syari’ah Mega Indonesia, struktur organisasi dan manajemen PT Bank Syari’ah Mega Indonesia, produk-produk PT Bank Syari’ah Mega Indonesia.
BAB IV
Analisa dan Pembahasan.
Denda berjalan di Bank Syari’ah Mega
Indonesia, perhitungan denda murâbahah di Bank Syari’ah Mega Indonesia,
penyelesaian denda murâbahah di Bank Syari’ah Mega Indonesia, pengalokasian denda murâbahah di Bank Syari’ah Mega Indonesia. BAB V
Penutup, Bab ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan dari hasil penelitian mengenai hal-hal yang telah dibahas oleh peneliti.
saran
BAB II LANDASAN TEORI
A.
Denda Denda dalam konteks akad disebut garâmah atau ta’zir. Denda adalah hukuman yang berupa materi atau benda dikenakan dan harus dibayarkan oleh pelanggarnya.6 Menurut Aliminsyah, denda (fine) diartikan sebagai hukuman berupa uang yang harus dibayarkan karena melanggar peraturan atau undang-undang. Adapun denda bunga adalah bunga atau tambahan bunga karena melanggar suatu ketentuan keterlambatan, pelunasan utang pokok atau ketentuan rasio kas.7 Penalti hukuman berupa pesanan biaya hutang pelanggaran suatu perjanjian, misalnya kelambatan pelunasan utang pokok, atau pelanggaran rasio kas. Adapun penalti klause adalah klausal denda atau perjanjian pinjam-meminjam instrumen tabungan mengenai pengenaan denda bila ketentuan kontrak tidak dipenuhi, pembayaran kembali pinjaman tertunda atau penarikan tabungan sebelum jatuh tempo.8
B. Murâbahah
6 Daryanto, Bahasa Kamus Indonesia Lengkap, Surabaya, Penerbit APOLLO, 1997, h.23.
7 Aliminsyah, dan Padji, Kamus Istilah Keuangan dan Perbankan Yrama Widya, h.339. 8 Sujana Ismaya, Kamus Perbankan, dilengkapi dengan daftar nama mata uang dan UU bank Indonesia Tahun. 2004.
Secara bahasa, kata murâbahah berasal dari kata ( ا-- ا- )راyang berarti saling menguntungkan.9 Dalam kamus istilah fiqih dijelaskan bahwa murâbahah adalah bentuk jual beli barang dengan tambahan harga (cost plus), atas harga pembelian yang pertama secara jujur. Dengan murâbahah ini, orang pada hakikatnya ingin mengubah bentuk bisnisnya, dari kegiatan pinjam-meminjam menjadi transaksi jual beli.10 Jumhur ulama sepakat bahwa jual beli murâbahah adalah jika penjual menyebutkan harga pembelian barang kepada pembeli, kemudian
mensyaratkan
atasnya laba yang dalam jumlah tertentu dinar atau dirham.11 Adiwarman A. Karim mengartikan murâbahah adalah suatu penjualan barang seharga barang tersebut ditambah keuntungan yang telah disepakati, misalnya seorang pembeli barang kemudian menjualnya dengan keuntungan tertentu. Berapa besar keuntungan tersebut dapat dinyatakan dengan nominal rupiah atau dalam bentuk persentase dari harga pembeliannya, misalnya 10% atau 20%.12 Menurut Abdullah Saeed, wacana fiqih dalam praktek perbankan, suatu penjualan murâbahah terdiri dari tiga pihak, yaitu: A, B dan C. Pihak pertama (A)
9 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesi, Jakarta, Hida Karya Agung, 1990, h.130.
10 M. Abdul Mujieb, et.al, Kamus Istilah Fiqih, Jakarta, PT. Pustaka Firdaus,1994), Cet. Pertama, h. 225. 11 Ibnu Rusyd, Terjemah Bidayatul Mujtahid, Semarang, As-Syifa,1990, Cet. Pertama, h. 181. 12 Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam, Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press 2001). Cet. Pertama, h. 86.
meminta pihak ke dua (B) untuk membeli beberapa barang untuk (A), pada saat itu (B) tidak memiliki barang-barang yang dimaksud tetapi ia berjanji untuk membelikannya dari pihak ke tiga (C), dalam hal ini B bertindak sebagai perantara, dan kontrak murâbahah terjadi di antara A dan B.13 Murâbahah dalam pengertian Islam sebenarnya adalah sebuah penjualan yang sederhana, hanya saja yang membedakan ciri-cirinya dari macam-macam penjualan yang lain adalah penjualan murâbahah dengan jelas mengatakan kepada pembeli berapa harga dari barang yang ia adakan dan berapa keuntungan yang ia peroleh dalam penambahan harga tersebut. Praktisi perbankan yang selama ini aktif di dunia perbankan syari’ah, Muhamad Syafi’i Antonio menjelaskan bahwa murâbahah adalah jual beli barang pada harga awal dengan tambahan keuntungan (margin) yang telah disepakati. Dalam murâbahah, penjual harus memberitahu harga produk yang ia beli dan menentukan tingkat keuntungan dan tambahannya.14 Jual beli murâbahah, meliputi pembelian barang oleh bank atas nama nasabah kemudian dijual kembali dengan harga dasar ditambah keuntungan, pada prinsipnya murâbahah dalam perbankan Islam didasari pada dua elemen pokok yaitu harga beli serta biaya yang terkait dan kesepakatan atas mark-up (laba). Dengan penetapan ini, bank memperlihatkan harga dan keuntungan (margin)nya kepada nasabah, dalam 13 Abdul Saeed Menyoal, Bank Islam Kritik Atas Interpretasi, Bunga Bank Kaum Neo Revivalis, (Jakarta: Paramadina, 2004), cet. Kedua, h. 118. 14 Muhamad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama Dan Cendikiawan, (Jakarta: Tazkia Institute 1999), h. 121.
transaksi murâbahah, penjual (bank) juga harus memperlihatkan atau menjelaskan dengan jelas barang yang diperjual-belikan dan tidak termasuk barang haram. Melalui akad murâbahah, nasabah memenuhi kebutuhan untuk memperoleh dan memiliki barang yang dibutuhkan tanpa harus menyediakan uang tunai terlebih dahulu. Dengan kata lain, nasabah memperoleh pembiayaan dari bank untuk pengadaan barang yang dibutuhkan. Pembayaran murâbahah dapat dilakukan secara tunai ataupun cicilan. Menurut para fuqaha, murâbahah di definisikan sebagai penjualan barang seharga biaya atau harga pokok (cost) barang tersebut ditambah mark-up atau margin keuntungan yang disepakati. Karakteristik murâbahah adalah bahwa penjual harus memberitahu pembeli mengenai harga pembelian produk dan menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada harga perolehan atau harga pokok tersebut.15 Dalam daftar istilah buku himpunan fatwa DSN dijelaskan bahwa yang di maksud dengan murâbahah (DSN. 2003:311) adalah menjual sesuatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli, dan pembeli membayarnya dengan harga lebih sebagai laba. Sedangkan dalam PSAK 59 tentang akuntansi perbankan syari’ah dijelaskan bahwa murâbahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Dari berbagai pengertian murâbahah yang telah diungkapkan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian murâbahah dapat dilihat dari dua sudut pandang fiqih, murâbahah merupakan akad jual beli atas barang tertentu di mana penjual
15 Wiroso, Jual Beli Murabahah, (Yogyakarta: UII Pers, 2005), h. 13-14.
menyebutkan harga pembelian barang kepada pembeli kemudian penjual mensyaratkan atasnya laba atau keuntungan dalam jumlah tertentu. Adapun dari sudut pandang teknis perbankan, murâbahah merupakan akad penyediaan barang berdasarkan akad jual beli di mana bank memberikan keuntungan investasi nasabah, dan menjual kembali kepada nasabah, ditambah dengan keuntungan yang disepakati.16
1. Landasan Hukum Murâbahah a. Al-Qur’an
!"# *+,. / $%"&'() 7%"# 6) 435 012 +(&3/ A >$%?@ <= 9"# ; 8, 9 : A >$%DEFG) C(5"# K☺MNO >$%3/ 6⌧J H635 PQR0 Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”(QS. An-Nisa:29). Ayat ini menjelaskan secara tegas bagi semua muslim yang beriman kepada Tuhannya untuk selalu memperhatikan makanan yang mereka peroleh agar terhindar dari laknat Allah SWT yaitu jalan yang haram dalam memperoleh makanan tersebut. Selanjutnya Allah SWT memberikan solusi melalui perniagaan atau jual beli yang dipraktekkan atas dasar keridhoan di antara kedua belah pihak atau lebih.
16 Bank Indonesia, Petunjuk Pelaksanaan Pembukaan Kantor BS, ( Jakarta : 1999), h. 33.
6 ! U35 65 A /ST9& W V5 ☺⌧J ^; ; "2([\]& N2X+Y C >$G3/ a&'"b A 6`☺(& c([ a(& ☺G35 &" H1N) % A /ST9& 1d
V`9N c([ a(& e fg; ;☺"! A A /ST9& iN3g/`O ;@ :"> gj f)""! AO CG"!
m l kg<35 Ffg9() 2 "qr) ao "&p"! M :tu! >$s OH?& PQv30 73 ^ Artinya: “Orang-orang yang memakan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila, keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, pedahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari tuhannya, lalu terus berhenti(dari mengmbil riba) maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan ); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya” (QS Al Baqarah:275). b. Hadits
ا اري ر ا رل ا ا " ا!*) وا+" ا! اض )روا#"ل اﻥ% & و ( و ا ن, Artinya: ”Dari Abu Said Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka” (HR. al-Baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban)
Abdullah Saeed mengatakan bahwa Al-Quran tidak pernah secara langsung membicarakan tentang murâbahah, meski di sana terdapat sejumlah acuan tentang jual beli, laba rugi dan perdagangan. Demikian pula tidak ada hadits yang menjadi rujukan langsung kepada murâbahah. Mengingat tidak adanya rujukan baik dalam Al-Quran maupun hadits shahih yang diterima umum, para fuqaha harus membenarkan murâbahah dengan dasar yang lain.17
2. Syarat-Syarat Murâbahah Murâbahahpada dasarnya merupakan sebuah akad jual beli di mana terjadi pertukaran barang dengan barang lain berdasarkan kesepakatan, sebagaimana halnya jual beli, maka murâbahah juga harus memenuhi rukun dan syarat yang umum dalam jual beli yaitu: a. Sighat; b. ‘Aqidain; c. Ma’qud alaih (harga barang dan barang yang di perjual belikan) Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli di atas meliputi: a. Syarat yang terkait dengan ijab qabul Ulama fiqih mengemukaan bahwa syarat ijab qabul sebagai berikut:
17 As-Son’ani, Subulu As-Salam, (Bandung: Dahlan Press), Juz 3, hal. 76.
1) Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal menurut jumhur ulama, dan berakal menurut ulama hanafiah. 2) Qabul sesuai dengan ijabnya. 3) Ijab dan Qabul dilakukan dalam satu majlis.18 b. Syarat orang yang berakad Para ulama fiqih sepakat bahwa orang yang melakukan akad jual beli harus memenuhi syarat baligh dan berakal. Oleh sebab itu, jual beli yang dilakukan oleh anak kecil yang belum berakal dan orang gila, hukumnya tidak sah. Adapun anak kecil yang sudah mumayyiz, menurut ulama Hanafiah, hukumnya sah jika akad yang dilakukan membawa keuntungan bagi anak kecil tersebut, dan tidak sah jika membawa kerugian.19 c. Syarat harga barang (al- Tsaman) dan barang yang diperjual-belikan Para ulama membedakan al-tsaman dengan al-Si’ir. Menurut mereka asTsaman adalah harga pasar yang berlaku di tengah-tengah masyarakat secara aktual, sedangkan al-Si’ir adalah modal barang yang seharusnya diterima para pedagang sebelum dijual kepada konsumen.20 Para ulama fiqih mengemukakan syarat al-Tsaman sebagai berikut: Harga yang di sepakati oleh kedua belah pihak harus jelas jumlah dan jenisnya.
18 Harun Nasrun, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), h. 116. 19 Ibid,. h. 117. 20 Ibid,. h. 118.
Sedangkan syarat barang yang diperjual belikan, boleh diserahkan pada saat akad berlangsung atau pada waktu yang disepakati bersama ketika transaksi berlangsung.21 Adapun syarat-syarat murâbahah menurut Syafi’i Antonio adalah sebagai berikut: 22 a. Penjual memberitahu biaya modal kepada nasabah. b. Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang telah di tetapkan. c. Kontrak harus bebas dari riba. d. Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian. e. Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang. Secara prinsip, jika syarat dalam (A), (B) atau (C) tidak dipenuhi, pembeli memiliki pilihan: 1) Melanjutkan pembelian seperti apa adanya. 2) Kembali kepada penjual dan menyatakan ketidak-setujuan atas barang yang dijual. 3) Membatalkan kontrak.
21 Ibid,. h.118.
22 Muhamad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), cet.1, h.102
3. Ketentuan Umum Murâbahah Jual beli dengan sistem murâbahah merupakan jual beli yang berprinsip kejujuran (transparan) dan kepercayaan (amanah). Kejujuran penjual menjadi hal penting dalam murâbahah, mengingat keadaan pembeli yang tidak memiliki pengetahuan tentang harga beli yang pertama dan biaya-biaya yang dikeluarkan (ditambahkan) penjual ke atas barang. Pembeli diharapkan percaya terhadap segala pemberian yang datang dari penjual dan penjual diharapkan pula dapat menjaga kepercayaan tersebut. Untuk itu, ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi dalam transaksi murâbahah yang meliputi hal- hal berikut: a. Jual beli murâbahah harus dilakukan atas barang yang telah dimiliki atau hak kepemilikan telah berada di tangan penjual. Artinya, bahwa keuntungan dan resiko barang tersebut ada pada penjual sebagai konsekuensi dari kepemilikan yang timbul dari akad yang sah, walaupun ia belum menerimanya, ketentuan ini sesuai dengan kaidah bahwa keuntungan itu terkait dengan resiko ”al-ghurmu bil ghurmi”, pihak yang menanggung risiko dapat mengambil keuntungan. b. Harus ada informasi modal dan biaya-biaya lain yang lazim dikeluarkan dalam jual beli pada suatu komoditi, semuanya harus diketahui oleh pembeli saat transaksi, dan ini merupakan salah satu syarat sah murâbahah. c. Harus ada informasi keuangan baik nominal maupun persentase sehingga jelas diketahui oleh pembeli sebagai salah satu syarat sah murâbahah. d. Dalam sistem murâbahah penjual boleh menetapkan syarat kepada pembeli untuk menjamin kerusakan yang tidak tampak pada barang. Tetapi, lebih baik
syarat tersebut tidak ditetapkan, karena pengawasan barang merupakan kewajiban penjual di samping menjaga kepercayaan sebaik-baiknya.23 Selain hal tersebut, ada beberapa kaidah dan hal-hal yang berhubungan dengan murâbahah, antara lain:24 a. Digunakan untuk barang-barang yang halal. b. Biaya aktual dari barang yang akan diperjual-belikan harus diketahui oleh para pembeli. c. Ada kesepakatan antara kedua belah pihak (penjual dan pembeli) atas harga jual yang termasuk harga pokok penjualan (cost of goods sold) dan margin keuntungan. d. Jika ada perselisihan atas harga pokok penjualan, pembeli mempunyai hak untuk menghentikan dan membatalkan perjanjian. e. Jika barang yang akan dijual dibeli dari pihak ketiga, maka perjanjian jual beli dengan pihak pertama harus sah menurut syari’ah Islam. f. Murâbahah memegang kedudukan kunci nomor dua setelah prinsip bagi hasil dalam bank Islam, ia dapat diterapkan dalam: 1) Pembiayaan pengadaan barang. 2) Pembiayaan pengeluaran untuk letter of credit (L/C). L/C di Bank Mega Syariah pada saat ini yang ada adalah SKBDN (Surat Kredit Berdokumen 23 Euis Amalia, dkk, Prinsip-Prinsip Hukum Islam, (Fiqih) Dalam Transaksi Ekonomi Islam Pada Perbankan Syariah “Summary Report”, UIN dan Direktorat Hukum BI 2003, h. 47.
24 Muhammad, System Dan Prosedur Operasional Bank Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2000) Cet. Pertama, h. 24.
Dalam Negeri). Untuk L/C Impor dan sebagainya sebentar lagi di launching, karena
berdasarkan
Keputusan
Deputi
Gubernur
BI
No.10/12KEP.DpG/2008 tanggal 16 Oktober 2008 tentang: Penunjukan PT. Bank Syariah Mega Indonesia sebagai Bank Devisa - Bank Mega Syariah sudah diijinkan untuk menjalankan kegiatan usaha bank devisa. g. Murâbahah akan sangat berguna bagi seseorang yang membutuhkan barang secara mendesak, bila ia kekurangan dana ia meminjam kepada bank agar pembiayaan pembelian barang tersebut dipenuhi. Harga jual pesanan adalah harga beli pokok plus margin keuntungan yang telah disepakati. Untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan di antara kedua belah pihak, mereka harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama: 1) Bank harus mendatangkan barang yang benar-benar memenuhi pesanan nasabah baik jenis, kualitas, atau sifat-sifat yang lainnya. 2) Apabila barang telah memenuhi ketentuan yang diinginkan nasabah dan ia menolak untuk menebusnya maka bank berhak menuntutnya secara hukum, hal ini merupakan konsensus para yuridis muslim karena pesanan telah dianalogikan dengan dzimmah (hutang) yang harus ditunaikan. 4. Jenis-Jenis Murâbahah Dalam hal ini murâbahah terbagi menjadi : a. Murâbahah tanpa berdasarkan pesanan.
b. Murâbahah berdasarkan pesanan, terbagi menjadi dua sifat:
1) Bersifat mengikat. 2) Bersifat tidak mengikat. Murâbahah yang berdasarkan tanpa pesanan dilakukan langsung oleh penjual dan pembeli tanpa melalui pesanan25. Jadi dalam murâbahah tanpa pesanan ini barang sudah ada di tangan penjual tanpa perlu memesan kepada pihak ketiga. Sedangkan dalam murâbahah berdasarkan pesanan adalah bank membeli barang setelah ada pesanan dari nasabah. Dalam kasus jual beli seseorang ingin membeli barang yang sesuai dengan spesifikasinya, kemudian menjualnya kepada pemesan, contoh: Fulan ingin membeli mobil dengan perlengkapan tertentu yang harus dicari, dibeli, dan dipasang pada mobil pesanannya oleh dealer mobil. Transaksi murâbahah melalui pesanan ini adalah sah dalam fiqih Islam, sesuai apa yang dikatakan oleh Imam Muhamad Ibnul-Hasan Asy-Syaibani, Imam Syafi’i dan Imam Ja’far Ash-shidiqi26, yaitu: Murâbahah berdasarkan pesanan, penjual boleh meminta pembayaran hamisy ghadiyâh, yaitu uang tanda jadi ketika ijab-qabul, hal ini sekedar untuk menunjukkan bukti keseriusan pembeli, bila kemudian penjual telah membeli dan memasang berbagai perlengkapan di mobil pesanannya, hamisy ghadiyâh ini dapat digunakan untuk menutup kerugian dealer mobil. Bila hamisy ghadiyâhnya lebih kecil dibanding jumlah kerusakan yang harus ditanggung oleh 25 Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani, 2001), Cet. Pertama, h. 87.
26 Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisa Fiqih Dan Keuangan
penjual, maka penjual dapat meminta kekurangannya, sebaliknya bila lebih pembeli berhak atas kelebihan tersebut.27 Penawaran untuk melanjutkan atau membatalkan transaksi ini dilakukan karena pada saat transaksi awal, penjual tidak memiliki barang yang akan dijual. Namun di sisi lain, beberapa ulama syari’ah modern menunjukan bahwa konteks jual beli murâbahah jenis ini di mana “belum ada barang” berbeda dengan “menjual tanpa kepemilikan barang”28.
5. Ketentuan Umum Aplikasi Murâbahah Aplikasi murâbahah di perbankan syari’ah relatif sama, baik dari segi akad, proses, mekanisme dan lain-lain. Berikut adalah aplikasi murâbahah di BSMI: a. Jaminan Pada dasarnya, jaminan bukanlah satu rukun atau syarat yang mutlak dipenuhi dalam ba’i al-murâbahah. Demikian juga dalam murâbahah KPP, jaminan dimaksudkan untuk menjaga agar pemesan tidak main-main dengan pesanan. Pembeli (penyedia pembiayaan atau kreditur) dapat meminta pemesan (pemohon atau debitur) suatu jaminan (rahn) untuk dipegang. Dalam teknis
27 Ibid., h. 150. 28 Ibid,. hal. 104.
operasionalnya barang-barang yang dipesan dapat menjadi salah satu jaminan yang dapat diterima untuk pembayaran hutang.29 b. Hutang dalam murâbahah KPP Secara prinsip, penyelesaian hutang pemesan dalam transaksi murâbahah KPP tidak ada kaitanya dengan transaksi lain yang dilakukan pemesan kepada pihak ketiga atas barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian. Ia tetap berkewajiban menyelesaikan hutangnya kepada pembeli, jika pemesan menjual barang tersebut sebelum masa angsuran selesai namun penjualan asset tersebut merugi, pemesan tetap harus menyelesaikan pinjamannya sesuai kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta kerugian yang diperhitungkan. c. Penundaan pembayaran oleh debitur mampu Nasabah
yang
mempunyai
kemampuan
ekonomis
dilarang
menunda
penyelesaian hutangnya dalam murâbahah. Bila seorang pemesan menunda penyelesaian hutang tersebut, pembeli dapat mengambil tindakan sebagai berikut: 1) Mengambil prosedur hukum pidana yang diperlukan terhadap pemesan yang membuat cek kosong atau pemegang jaminan untuk jumlah hutang itu. 2) Mengambil prosedur perdata untuk mendapatkan kembali hutang itu dan mengklaim kerusakan financial yang terjadi akibat penundaan.30
29 Muhamad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Wacana Ulama Dan Cendikiawan 30 Ibid, h. 126.
d. Bangkrut Jika pemesan yang berhutang dianggap pailit dan gagal menyelesaikan hutangnya, kreditur harus menunda tagihan hutang sampai ia sanggup kembali. 6. Manfaat dan Resiko Murâbahah Sesuai dengan sifat bisnis, transaksi murâbahah memiliki beberapa fungsi dan manfaat, demikian juga risiko yang harus diantisipasi. Murâbahah memberi banyak manfaat kepada bank syari’ah, salah satunya adanya keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah, selain itu, sistem murâbahah juga sangat sederhana, hal ini memudahkan penanganan administrasi di bank syari’ah. Selain itu,
bank syari’ah juga dapat menggunakan prinsip murâbahah untuk
pembukaan letter of credit (L/C)31. Dalam hal ini, bank memberikan fasilitas kepada nasabah untuk membuka L/C dan membelikan barang yang diperlukan. Dalam pembelian barang tersebut, nasabah tidak wajib menyediakan dana sehingga seluruh dana dibiayai terlebih dahulu oleh bank, nasabah berjanji akan membeli barang tersebut dengan harga sebesar harga pokok ditambah keuntungan sesuai dengan kesepakatan bersama, di samping itu bank juga dapat memungut fee atau komisi atas penyediaan fasilitas pembukaan L/C tersebut.
Diantara kemungkinan risiko yang harus diantisipasi adalah:
31 Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keungan, (Jakarta: LPFEUI, 1999), edisi ke-2.
a. Default atau kelalaian, yaitu nasabah sengaja tidak membayar angsuran. b. Fluktuasi harga komparatif, ini terjadi bila harga suatu barang di pasar naik setelah bank membelikannya untuk nasabah, sedangkan bank tidak bisa mengubah harga jual beli tersebut. c. Penolakan nasabah, yaitu barang yang dikirim bisa saja ditolak oleh nasabah karena berbagai sebab, misalnya karena rusak dalam perjalanan. Oleh karena itu, bank sebaiknya menggunakan asuransi untuk melindungi barang tersebut. Kemungkinan lain, nasabah merasa bahwa spesifikasi barang tersebut berbeda dengan yang ia pesan. d. Dijual, karena murâbahah bersifat jual beli dengan hutang, maka ketika kontrak ditandatangani, barang menjadi milik nasabah, maka nasabah bebas melakukan apapun terhadap asset yang dimilikinya, termasuk untuk menjualnya. Jika demikian, resiko untuk default menjadi besar.32
C.
Denda Murâbahah Lembaga keuangan syari’ah mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam beberapa tahun terakhir ini, hal ini turut dirasakan oleh semua lapisan masyarakat dengan memanfaatkan produk dan jasa perbankan syari’ah baik dengan cara menabung maupun manfaat pembiayaan dari lembaga keuangan syari’ah untuk kegiatan usaha dan lainnya.
32 Ibid., h. 127-128.
Pembiayaan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat adalah pembiayaan dengan prinsip jual beli yang pembayarannya dapat dilakukan dengan pola angsuran. Menurut data dari bank Indonesia sampai dengan akhir tahun 2004, total pembiayaan yang diberikan oleh lembaga keuangan syari’ah kepada nasabah adalah sebesar Rp 10,9 triliun. Hal ini banyak menimbulkan permasalahan dalam hal pembayaran. Salah satu permasalahan tersebut adalah jika terdapat nasabah mampu membayar, tetapi mereka menunda-nunda pembayaran dengan alasan yang tidak dapat dibenarkan secara syar’i. Oleh karena itu, harus ada aturan dan mekanisme yang jelas untuk mengatasi masalah tersebut sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Yang dimaksud dengan mekanisme ini adalah fatwa, yaitu ketentuan yang harus dipakai oleh lembaga keuangan syari’ah dalam menghadapi nasabah penerima pembiayaan yang menunda-nunda pembayaran kewajibannya, tanpa ada alasan yang dibenarkan oleh syar’i, sanksi yang boleh diberlakukan adalah sanksi berupa ta’zir (pendendaan), untuk mendisiplinkan nasabah dalam menyelesaikan kewajibannya. Fatwa DSN memperbolehkan adanya Ta’widh (ganti rugi), berdasarkan No. 17 tahun 2000, oleh karena itu dasar hukum yang digunakan dalam fatwa ini meliputi dalildalil yang berhubungan dengan ketentuan syari’ah tentang ta’widh secara umum. Adapun dalil yang dikemukakan adalah:
A M5(&3/ !) Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu…”
(Qs. Al-Maidah (5):1) Ayat ini memerintahkan untuk memenuhi akad-akad yang telah dibuat. Ketika para kedua belah pihak dalam transaksi telah membuat kesepakatan (akad) maka konsekuensinya adalah mereka harus memenuhi semua kesepakatan tersebut33. Berdasarkan penjelasan ayat tersebut, dapat diterapkan bahwa ganti rugi boleh dilakukan oleh para pihak yang terlibat dalam transaksi di lembaga keuangan syari’ah dengan beberapa ketentuan. Ta’widh (ganti rugi) hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain. Dalam ganti rugi terdapat beberapa ketentuan: 1. Kerugian yang dapat dikenakan ta’widh adalah kerugian real yang dapat diperhitungkan dengan jelas yaitu kerugian yang terjadi secara real akibat penundaan pembayaran dan kerugian itu merupakan akibat logis dari keterlambatan pembayaran tersebut, seperti biaya-biaya real yang dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yang seharusnya dibayarkan. 2. Besar ganti rugi juga harus sesuai dengan nilai kerugian real, bukan kerugian yang diperkirakan terjadi (potential loss). Hal ini disebabkan karena obyek ganti rugi adalah harta konkrit yang ada dan berharga (diizinkan syari’ah untuk memanfaatkannya). 3. Ganti rugi yang boleh dikenakan pada transaksi (akad) yang menimbulkan hutangpiutang (dain). 33 Ibid, h. 829.
Nasabah
yang
mempunyai
kemampuan
ekonomis
dilarang
menunda
penyelesaian hutangnya dalam murâbahah. Bila seorang pemesan menunda penyelesaian hutang tersebut, pembeli dapat mengambil tindakan sebagai berikut: 1) Mengambil prosedur hukum pidana yang diperlukan terhadap pemesan yang membuat cek kosong atau pemegang jaminan untuk jumlah hutang itu. 2) Mengambil prosedur perdata untuk mendapatkan kembali hutang itu dan mengklaim kerusakan financial yang terjadi akibat penundaan.34 Sanksi yang disebut dalam fatwa ini adalah sanksi yang dikenakan lembaga keuangan syari’ah kepada nasabah yang mampu membayar, tetapi menunda-nunda pembayaran dengan disengaja. Nasabah yang tidak atau belum mampu membayar disebabkan force majeur tidak boleh dikenakan sanksi. Adapun nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dan atau tidak mempunyai kemauan serta itikad baik untuk membayar hutangnya boleh dikenakan sanksi. Sanksi dikenakan pada prinsip ta’zir yang bertujuan agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya. Adapun sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditanda-tangani. Lembaga keuangan syari’ah beroperasi berdasarkan prinsip syari’ah, untuk menghindari praktek riba atau praktek yang menjurus kepada riba, termasuk masalah denda financial yang biasa dilakukan oleh lembaga keuangan konvensional. Para pihak yang melakukan transaksi dalam lembaga keuangan syari’ah terkadang mengalami
34 Muhamad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah: Wacana Ulama Dan Cendikiawan, Jakarta, Tazkia Institute, 1999, h 126.
resiko kerugian akibat wanprestasi atau kelalaian dengan menunda-nunda pembayaran oleh pihak lain yang melanggar perjanjian. Pendapat Ibnu Qudamah dalam al-Mughni (Juz: IV hlm, 342), bahwa penundaan pembayaran kewajiban dapat menimbulkan kerugian (darar) dan karenanya harus dihindari, ia menyatakaan: “Jika orang berhutang (debitur) bermaksud melakukan perjalanan, atau jika pihak berpiutang (kreditur) bermaksud melarang debitur (melakukan perjanjian), perlu kita perhatikan sebagai berikut, apabila jatuh tempo hutang ternyata sebelum masa kedatangannya dari perjalanan, misalnya perjalanan untuk berhaji di mana debitur masih dalam perjalanan haji sedangkan jatuh tempo hutang pada bulan muharram atau dzulhijjah. Maka kreditur boleh melarangnya melakukan perjalanan tersebut, karena ia (kreditur) akan menderita, akibat keterlambatan memperoleh haknya pada saat jatuh tempo, akan tetapi apabila debitur menunjuk penjamin atau menyerahkan jaminan (gadai) yang cukup untuk membayar hutangnya pada saat jatuh tempo, maka ia boleh melakukan perjalanan tersebut, karena dengan demikian kerugian kreditur dapat dihindari. Pendapat beberapa ulama kontemporer tentang daman atau ta’widh antara lain sebagai berikut: 1. Pendapat Wahbah al-Zuhaili, Nazariyah al-Dhaman. Damsyiq: Dar al-Fikr, 1998.“Ta’widh” (ganti rugi) adalah menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau kekeliruan” Ketentuan umum yang berlaku pada ganti rugi dapat berupa:
a. Menutup kerugian dalam bentuk benda, (darar, bahaya), seperti memperbaiki dinding. b. Memperbaiki benda yang dirusak menjadi utuh kembali seperti semula selama dimungkinkan, seperti mengembalikan benda yang dipecahkan menjadi utuh kembali. Apabila hal ini sulit dilakukan, maka wajib menggantinya dengan benda yang sama (sejenis) atau dengan uang. c. Hilangnya keuntungan dan terjadinya kerugian yang belum pasti di masa yang akan datang atau kerugian immaterial, maka menurut ketentuan hukum fiqih hal tersebut tidak dapat diganti (dimintakan ganti rugi). Hal itu karena obyek ganti rugi adalah harta yang ada dan nyata serta berharga (diizinkan syarat untuk dimanfaatkannya). 2. Pendapat ‘Abd al-Hamid Mahmud al-Ba’li. Mafahim Asasiyah fi al-Bunuk alIslamiyah, al-Qahirah: al-Ma’had al-‘Alami Li, al-Fikr al-Islami 1996. “Ganti rugi karena penundaan pembayaran oleh orang yang mampu didasarkan pada kerugian yang terjadi secara real akibat penundaan pembayaran dan kerugian itu merupakan akibat logis dari keterlambatan pembayaran tersebut”. 3. Pendapat ulama yang membolehkan ta’widh sebagaimana dikutip oleh Isham Anas al-Zaftawi, hukum al-Gharamah al-Maliyah fi al-Fiqh al-Islami, al-Qahirah: alMa’had al-Alami li al-Fikr al-Islami, 1997. “Kerugian harus dihilangkan berdasarkan kaidah syari’ah dan kerugian itu tidak akan hilang kecuali jika diganti. Sedangkan penjatuhan sanksi atas debitur mampu yang menunda-nunda pembayaran tidak akan memberikan manfaat bagi kreditur
yang dirugikan, penundaan pembayaran hak sama dengan ghasab karena itu seyogyanya status hukumnya juga sama, yaitu pelaku ghasab bertanggung-jawab atas manfaat benda yang dighasab selama masa ghasab, menurut mayoritas ulama, di samping harus menanggung harga (nilai) barang tersebut jika rusak”. Adapun Ketetapan MUI : 1. Ganti rugi (ta’widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain. 2. Kerugian yang dapat dikenakan ta’widh sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah kerugian real yang dapat diperhitungkan dengan jelas. 3. Kerugian real sebagaimana dimaksud ayat 2 adalah biaya-biaya real yang dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yang seharusnya dibayarkan. 4. Besar ganti rugi (ta’widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian real (real loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut dan bukan kerugian yang diperkirakan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss atau al-furshah al-dâi’ah). 5. Ganti rugi (ta’widh) hanya boleh dikenakan pada transaksi akad yang menimbulkan hutang-piutang (dain), seperti salam, istishna, serta murâbahah dan ijârah. 6. Dalam akad mudârabah dan musyârakah ganti rugi hanya boleh dikenakan oleh shâhibul mal atau salah satu pihak dalam musyârakah, apabila bagian keuntungannya sudah jelas tetapi tidak dibayarkan.
BAB III GAMBARAN UMUM PT BANK SYARIAH MEGA INDONESIA
A. Gambaran Umum Perusahaan 1. Sejarah Berdirinya PT. Bank Syari’ah Mega Indonesia PT. Bank Syari’ah Mega Indonesia bermula dari sebuah bank umum bernama PT. Bank Umum Tugu yang berkedudukan di Jakarta. Pada tahun 2001, para Group (PT. Para Global Investindo dan PT. Para Rekan Investama), kelompok usaha yang juga menaungi PT Bank Mega, Tbk. Trans TV, dan beberapa Perusahaan lainnya, mengakuisisi PT Bank Umum Tugu untuk dikembangkan menjadi bank syari’ah. Sebagai konversi tersebut, pada tanggal 25 Agustus 2004 PT. Bank Umum Tugu resmi beroperasi syari’ah dengan nama PT. Bank Syari’ah Mega Indonesia. Komitmen penuh PT Para Global Investindo sebagai pemilik saham mayoritas untuk menjadikan PT Bank Syariah Mega Indonesia sebagai bank syari’ah terbaik, diwujudkan dengan mengembangkan bank ini melalui pemberian modal yang kuat demi kemajuan perbankan syari’ah dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya. Penambahan modal dari pemegang saham merupakan landasan utama untuk memenuhi tuntutan pasar perbankan yang semakin meningkat dan kompetitif. Dengan upaya tersebut, PT. Bank Syari’ah Mega Indonesia yang memiliki semboyan "untuk kita semua", tumbuh pesat dan terkendali serta menjadi
lembaga keuangan syari’ah ternama yang berhasil memperoleh berbagai penghargaan dan prestasi. Dalam upaya mewujudkan kinerja sesuai dengan nama yang disandangnya, PT Bank Syari’ah Mega Indonesia selalu berpegang pada azas profesionalisme, keterbukaan dan kehati-hatian. Didukung oleh beragam produk dan fasilitas perbankan terkini, PT Bank Syari’ah Mega Indonesia terus berkembang, hingga saat ini memiliki 15 jaringan kerja yang terdiri dari kantor cabang, cabang pembantu dan kantor kas yang tersebar di hampir seluruh kota besar di pulau jawa dan di luar jawa. Guna memudahkan nasabah dalam memenuhi kebutuhannya di bidang keuangan, PT Bank Syari’ah Mega Indonesia juga bekerjasama dengan PT Arthajasa Pembayaran Elektronis sebagai penyelenggara ATM Bersama serta PT Rintis Sejahtera sebagai penyelenggara ATM Prima dan Prima Debit. Ini dilakukan agar nasabah dapat melakukan berbagai transaksi perbankan dengan lebih efisien, praktis, dan nyaman.
2.
Struktur Organisasi PT Bank Syari’ah Mega Indonesia Dewan Komisaris
Mar’ie Muhammad Komisaris Utama
Ari Prabowo
Dudi Hendrakusuma Syahlani
Komisaris
Komisaris
Dewan Direksi
DPS
Mar’ie Muhammad Komisaris Utama
Beny Witjaksono
Ani Murdiati
Haryanto Budi Purnomo
Direktur Utama
Direktur Bisnis
Direktur Compliance
HCM
3. Visi dan Misi PT Bank Syari’ah Mega Indonesia a.
VISI Bank Syari’ah Kebanggaan Bangsa
b.
MISI Memberikan jasa layanan keuangan syari’ah terbaik bagi semua kalangan, melalui kinerja organisasi yang
unggul, untuk meningkatkan nilai tambah bagi stakeholder dalam mewujudkan kesejahteraan bangsa. c.
NILAI - NILAI Visioner
Amanah Profesional Konsisten Enterpreneurship Teamwork berbagi d.
PENGHARGAAN
1) Bank Syariah Terbaik 2007 Versi Majalah Investor. 2) Bank non devisa terefisien 2007 Versi Bisnis Indonesia. 3) The Most Growing Earning Asset Market Share Sharia Bank 2006 Versi Karim Business Consulting. 4) The Most Growing Third Party Fund Market Share Sharia Bank 2006 Versi Karim Business Consulting. 5) Bank Umum Syari’ah terbaik Peringkat 2 tahun 2006 versi karim Business Consulting. 6) Bank Mega Syari’ah meraih predikat "sangat bagus" untuk kinerja tahun 2004 versi Majalah Infobank. 4.
Produk Produk PT. Bank Syari’ah Mega Indonesia a.
Produk Pendanaan 1)
Mega Syari’ah Tama (Leluasa dan Sesuai Syariah) Mega Syariah Tama, leluasa dan sesuai syariah adalah simpanan wadiah yang memungkinkan investasi sesuai syari’ah sekaligus memperoleh kemudahan mengelola dana selayaknya tabungan.
2) Mega Syari’ah Fleksi (Simpanan Fleksibel Sesuai Syariah) Mega Syari’ah Fleksi, simpanan fleksibel sesuai syariah adalah simpanan dengan konsep syariah titipan (wadiah) yang dapat di manfaatkan untuk berinvestasi dalam waktu yang lebih leluasa.
Mega Syariah Fleksi memungkinkan untuk: a) Menempatkan dana sesuai syariah dalam jangka waktu sesuai kebutuhan (sekurang - kurangnya 1 minggu). b) Mendapatkan keleluasaan untuk menarik dana sewaktu-waktu. 3)
Mega Syari’ah Pendidikan (Perencanaan Dana Pendidikan Sesuai Syari’ah
Mega Syari’ah Pendidikan, perencanaan dana pendidikan sesuai syari’ah, untuk merencanakan dan mewujudkan masa depan bagi anak sejak dini, dengan berbagai keunggulan, diantaranya: a) Jumlah angsuran disesuaikan dengan kemampuan.
b) Dilindungi asuransi jiwa yang akan memberikan manfaat untuk: (1) Perlindungan rawat inap (dalam/luar negeri). (2) Perlindungan kecelakaan. (3) Setoran dana lanjutan sampai dengan Rp 500.000.000,c) Gratis Premi Fleksibel & Mudah
a) Angsuran bulanan mulai Rp 100.000,-. b) Usia 17 - 50 tahun. c) Jangka waktu perencanaan 1-18 tahun (usia penabung 65 tahun pada akhir masa investasi) 4) Mega Syari’ah Umrah
Mega Syari’ah Umrah, untuk memudahkan mempersiapkan biaya perjalanan umrah dengan simpanan terencana sesuai syari’ah, Bank Mega Syari’ah. Dengan fasilitas ini persiapan biaya umrah akan lebih pasti karena dapat diangsur setiap bulannya. Fasilitas & Manfaat a) Perjalanan umrah eksklusif untuk nasabah Bank Mega Syari’ah. b) Fasilitas konsultasi ibadah umrah serta konsultasi perencanaan dananya. c) Bebas memilih masa menabung mulai dari 6 bulan, 12 bulan, 24 bulan atau 36 bulan. d) Bebas menentukan jumlah yang akan ditabung setiap bulannya. e) Jadwal umrah yang menarik. f) Akomodasi terbaik selama perjalanan. g) Nisbah yang menarik selama menabung. h) Simpanan dilindungi asuransi selama masa menabung. i) Terlindungi asuransi selama perjalanan umrah, termasuk baggage loss. j) Paket souvenir yang menarik. 5)
Mega Syari’ah Giro (Rekening Koran Wadiah)
Mega
Syari’ah
Giro,
adalah
rekening
koran
memungkinkan mengelola dana sesuai kebutuhan. Mega Syariah Giro memberikan kemudahan berupa:
a) Cek dan bilyet giro sebagai alat transaksi pembayaran.
wadiah
yang
b) Kemudahan menjadikannya jaminan bagi kebutuhan pembiayaan yang diajukan. c) Kemudahan mendapatkan fasilitas bank garansi untuk keperluan usaha.
6)
Mega Syari’ah Depo (Deposito Sesuai Syari’ah)
Mega Syari’ah Depo, simpanan berjangka murabahah yang bukan hanya memberikan nisbah bagi hasil yang relatif tinggi, tetapi juga dapat dijadikan fasilitas jaminan untuk kebutuhan pembiayaan.
b. Produk Pembiayaan 1) Syari’ah Mega Oto (Pembiayaan Kepemilikan Mobil Sesuai Syariah) Mega Syari’ah Oto adalah fasilitas pembiayaan kepemilikan kendaraan dengan konsep secara syari’ah jual beli (murabarah) yang dapat diangsur dengan jumlah yang tetap setiap bulannya, dalam jangka waktu yang disepakati. Mega Syari’ah Oto memberikan kemudahan berupa:
a) Proses persetujuan pembiayaan yang mudah dan relatif cepat b) Angsuran perbulan sesuai kemampuan nilai pembiayaan Rp 25.0000.000 (dua puluh lima juta rupiah) sampai dengan Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah). c) Masa angsuran pelunasan hingga 5 tahun baik mobil baru maupun bekas pakai.
Mobil bekas pakai maksimum 5 tahun dengan syarat:
a) Usia mobil bekas sampai dengan jangka waktu kredit jatuh tempo 8 tahun b) Pada saat pembiayaan diajukan usia mobil tidak lebih dari 5 tahun 2)
Syari’ah Mega Griya (Pembiayaan Kepemilikan Rumah Sesuai Syari’ah) Mega Syari’ah Griya adalah fasilitas pembiayaan pemilikan rumah, apartemen ataupun renovasi dan pembangunan rumah dengan konsep syari’ah jual beli (murâbahah) dengan angsuran tetap selama jangka waktu yang disepakati.
3)
Syari’ah Mega Multi Syari’ah Mega Multi adalah fasilitas pembiyaan untuk keperluan barang konsumtif yang merupakan barang halal dengan konsep syari’ah jual beli (murâbahah) dengan angsuran tetap selama jangka waktu yang disepakati.
4)
Syari’ah Mega Invest Mega Syari’ah Invest adalah fasilitas pembiayaan kepada pengusaha atau perusahaan untuk keperluan pengadaan barang investasi dengan konsep syari’ah jual beli atau bagi hasil dengan kemudahan proses dan persyaratannya.
5)
Syari’ah Mega Capital Mega Syari’ah Capital adalah fasilitas pembiayaan kepada pengusaha atau perusahaan umtuk tujuan modal kerja usaha, dimana pemberian modal biaya tersebut dapat secara penuh atau sharing dana berdasarkan sistem bagi hasil.
6)
Syari’ah Mega Garansi Mega Syariah Garansi adalah fasilitas penjaminan tertulis yang diberikan Bank Mega Syari’ah kepada penerima jaminan untuk keperluan nasabah dalam melaksanakan proyek tertentu.
7)
Syari’ah Mega Emas (Fasilitas Gadai Sesuai Syari’ah) Mega Syari’ah Emas adalah fasilitas pinjaman dana yang sesuai prinsip syari’ah dengan menggandakan barang berharga berupa perhiasan emas, emas batangan dan koin emas, tanpa dikenakan bunga atau margin.
c.
Jasa dan Layanan 1)
Syari’ah Mega Card Mega Syari’ah Card merupakan fasilitas kartu ATM serbaguna bagi nasabah rekening tabungan Bank Mega Syari’ah yang dapat digunakan untuk penarikan tunai pada seluruh AMT berlogo ATM Bersama.
2)
Syari’ah Mega Safe Deposit Box Mega Syari’ah Safe Deposit Box adalah fasilitas penyimpanan barang berharga (safe deposit box) dengan berbagai ukuran dan harga hemat.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Denda Berjalan Di Bank Syari’ah Mega Indonesia
ا ا ت ا ﺏ ا ان ل د Pada dasarnya semua bentuk mu’amalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya35. Pemberian sanksi kepada nasabah penerima pembiayaan yang menunda-nunda pembayaran merupakan salah satu bentuk aktivitas mu’amalah yang tidak ada dalil yang melarangnya, sehingga aktivitas ini boleh dilakukan berdasarkan kaidah fiqih yang berbunyi:
'( " م *) ا# $درء ا Artinya: Menghindarkan mafsadat (kerusakan, bahaya) harus didahulukan daripada membuat atau mendatangkan kemaslahatan.36 Kaidah fiqih lain menyatakan al-Daroru yuzâlu, yaitu, bahaya (beban berat) harus dihilangkan. Kaidah fiqih ini memberikan makna kewaspadaan secara implisit, sehingga kerusakan dapat diminimalisir dengan kehati-hatian. Perbankan syari’ah, khususnya Bank Syar’ah Mega Indonesia (BSMI), menerapkan prinsip-psinsip syari’ah menurut kaidah di atas.
35
Abdul Hakim, Mabaadiu Awwaliyah, Jakarta, Saadiyah Putra, 1927, h.17.
36
Ibid. h. 35.
Dalam menangani nasabah murâbahah yang lalai akan kewajibannya, BSMI memberikan sanksi denda sebagai bentuk mekanisme perbankan untuk mewaspadai kerugian pada pihak perbankan. Apabila penundaan pembayaran tersebut terjadi, dapat menyebabkan penurunan kolektibilitas, sehingga pencadangan penghapusan aktiva produktif akan meningkat. Hal ini dapat mengurangi perhitungan keuntungan bagi lembaga keuangan syari’ah. Oleh karenanya, tepat sekali jika lembaga keuangan syari’ah memberlakukan sanksi bagi nasabah mampu
yang
menunda-nunda
pembayaran, karena dapat memberikan mudârat bagi semua pihak. Seorang nasabah yang memiliki kemampuan, tidak dibenarkan menunda penyelesaian hutangnya. Bila seorang nasabah menunda penyelesaian hutang tersebut, bank dapat mengambil tindakan melalui prosedur hukum untuk mendapatkan kembali hutangnya, atau dengan cara mengklaim kerugian financial yang terjadi akibat penundaan. Rasulullah pernah mengingatkan penghutang yang mampu, tetapi mereka lalai, dalam salah satu haditsnya:
(رى6 ا7 )روا+,ﺏ-" و+/ 01 23 ا4 Yang melalaikan pembayaran hutang (padahal ia mampu), maka dapat dikenakan sanksi dan dicemarkan nama baiknya. (H. R. al-Bukhari)
Ada beberapa ketentuan, mengenai ganti rugi di antaranya:
4. Kerugian yang dapat dikenakan ta’widh adalah kerugian real yang dapat di perhitungkan dengan jelas, yaitu kerugian yang terjadi secara real akibat penundaan pembayaran dan kerugian itu merupakan akibat logis dari keterlambatan pembayaran tersebut, seperti biaya-biaya real yang dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yang seharusnya dibayarkan. 5. Besar ganti rugi harus sesuai dengan nilai kerugian real, bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss). Hal ini karena obyek ganti rugi adalah harta
yang
ada
dan konkret
serta berharga (diizinkan
syari’ah untuk
memanfaatkannya). 6. Ganti rugi boleh dikenakan pada transaksi (akad) yang menimbulkan utang piutang (dain). Dengan adanya fatwa DSN MUI NO. 17 yang membolehkan pengenaan denda bagi nasabah mampu, Bank Syariah Mega Indonesia, memberlakukan pemberian sanksi bagi nasabah lalai dalam pembayaran pembiayaan, yang mana bisa dikenakan ta’zir (denda). Adapun besaran denda ditetapkan dengan nilai nominal tertentu dibagi jumlah hari keterlambatan. Dalam menangani kasus yang berkaitan dengan keterlambatan pembayaran dari nasabah. Bank Syariah Mega Indonesia menetapkan tata cara pembayaran denda, yaitu denda keterlambatan dapat dibayarkan pada akhir masa pembiayaan, sebelum nasabah melunasi pembiayaannya nasabah harus melunasi pembayaran dendanya. Dilihat dari teknik pengumpulan denda murâbahah, bank melakukan penagihan saat jatuh tempo tiba, kemudian denda dapat dibayar melalui debet rekening.
Beberapa faktor yang mendukung pelaksanaan penagihan denda murâbahah, yaitu37: a. Kerjasama yang baik dengan nasabah b. Transparansi perhitungan denda Adapun faktor penghambat penagihan denda murâbahah, yaitu: a. Nasabah mengetahui denda yang mereka bayar akan dialokasikan sebagai dana kebajikan. b. Tidak adanya sanksi jika nasabah tidak membayar. Pembahasan di atas menunjukan bahwa ketentuan mengenai denda di BSMI tidak melanggar prinsip-prinsip dari fatwa DSN MUI NO17. Fatwa DSN menyebutkan bahwa kerugian yang dapat dikenakan ta’widh adalah kerugian real yang dapat diperhitungkan dengan jelas yaitu kerugian yang terjadi secara real akibat penundaan pembayaran dan kerugian itu merupakan akibat logis dari keterlambatan pembayaran tersebut, seperti biaya-biaya real yang dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yang seharusnya dibayarkan.
B. Perhitungan Denda Murâbahah di Bank Syari’ah Mega Indonesia
37
Wawancara Pribadi dengan Bapak Tugiantoro, Jakarta, 18 Agustus, 2008.
Perhitungan denda murâbahah di BSMI, didasarkan pada ketentuan yang ditetapkan oleh manajemen BSMI. Ketentuan itu menyebutkan bahwa kelalaian nasabah dalam pembayaran pembiayaan akan dikenakan denda yang dihitung perhari, Denda tersebut dikenakan apabila nasabah terlambat membayar angsuran selama tiga hari setelah tanggal pembayaran bagi hasil disepakati, ketentuan tersebut tidak berlaku bagi nasabah yang dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh ketidakmampuan nasabah dan alasan tersebut dapat diterima atau disetujui Bank Syariah Mega Indonesia, dengan tenggang waktu paling lama tujuh hari kerja sejak keterlambatan tersebut. Dalam hal ini, nasabah dapat dibebaskan dari denda. Adapun syarat-syarat pengenaan denda adalah: 1. Nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dan tidak mempunyai kemauan serta itikad baik untuk membayar hutangnya, boleh dikenakan sanksi. 2. Nasabah yang tidak atau belum mampu membayar disebabkan force majeur tidak boleh dikenakan sanksi. 3. Sebelum mengenakan denda kepada nasabah pada poin dua, bank harus mendapatkan bukti atau keyakinan bahwa nasabah tersebut tidak mampu, maka denda tidak dapat diberlakukan. 4. Sanksi didasarkan pada prinsip ta’zir, yaitu bertujuan agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya. 5. Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarannya telah ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditanda-tangani. 6. Penetapan denda keterlambatan sebagai berikut:
a. Besarnya denda berbeda-beda untuk setiap nasabah. b. Ketentuan besarnya denda dalam bentuk nominal dan ditetapkan di awal perjanjian sebagai kesepakatan antara bank dan nasabah. c. Perhitungan denda keterlambatan murâbahah : Margin sesuai jangka waktu x Angsuran x 1 hari 360 hari
= ........ / hari
d. Dihitung perhari keterlambatan. e. Besarnya denda dihitung berdasarkan Base Lending Rate (BLR) yang ditetapkan Asset and Liability comitee (ALCO) pada bulan saat nasabah mendapatkan fasilitas pembiayaan. Contoh perhitungan: BLR bulan april
= minimal 24% Pa
BLR perhari
= 24% /360 hari
= 0,067
Plafond pembiayaan = Rp 10,000,000,Maka perhitungan denda perhari: = 0,067% *10,000,000,-*1 hari = Rp 6,700,Sehingga di dalam akad dicantumkan sebagai denda keterlambatan sebesar Rp, 6,700,- perhari. Perhitungan denda murâbahah yang diterapkan BSMI sudah melalui prosedur peraturan perbankan, yang mana ketetapan dana denda di awal kesepakatan ketika mereka (antara dua pihak atau lebih) berserikat.
C. Penyelesaiaan Denda Murâbahah Pembiayaan yang diberikan oleh perbankan syari’ah tidak selamanya berjalan dengan lancar. Jika terjadi kegagalan atau permasalahan dalam pengembalian dana masyarakat ke pihak bank, maka bank harus menyelamatkan dana tersebut, karena dana itu merupakan amanat yang dititipkan masyarakat kepada bank. Kewajiban untuk menjaga titipan dengan penuh amanah sangat ditekankan dalam Al-Quran.
6) >$J9! H635 kg<35 * ? Cy xM⌧"#
{| / zCq☺"%N "b35 3s) ☺%( 6) HH?& G H635 A }~q(&3/ H635 % FiN3/ /% P30 ?u9
/ ☺[F⌧ 6⌧J Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat”. (An-Nisaa: 58) Berdasarkan ayat di atas, bank wajib mengambil tindakan-tindakan tertentu dalam menyelesaikan pembiayaan bermasalah dan tentunya harus tetap berpegang pada prinsip syari’ah. Berikut dijelaskan cara atau upaya yang dilakukan Bank Syariah Mega Indonesia (BSMI) dalam mengatasi atau menyelesaikan pembiayaan murâbahah bermasalah, di antaranya: 1. Melakukan pendekatan kepada nasabah pembiayaan, hal ini dilakukan untuk mengetahui permasalahan yang terjadi pada nasabah pembiayaan. Pendekatan
dilakukan dengan cara mendatangi nasabah pembiayaan yang mengalami penunggakan, kemudian membicarakan atau mendiskusikan masalah yang sedang dihadapi nasabah dan memberikan alternatif jalan keluar dalam menyelesaikan masalah mereka dengan bank. Dengan demikian, bank segera mengetahui apa yang menjadi penyebab pembiayaan bermasalah, sehingga bank bisa memutuskan atau mengambil tindakan yang tepat dalam menyelesaikannya. Namun, dalam prakteknya tidak semua nasabah mau bekerjasama untuk menyelesaikan masalah secara baik-baik. Ada sebagian nasabah yang dengan sengaja menghindar untuk ditemui. 2. Collection, yaitu penagihan secara intensif. dalam hal ini, Bank Syariah Mega Indonesia (BSMI) melakukan dengan dua cara sebagai berikut, pertama: penagihan secara persuasive, yaitu dengan mengirimkan surat peringatan atau teguran kepada nasabah pembiayaan murâbahah yang menunggak atas pembayaran angsurannya. Surat peringatan ini disampaikan secara bertahap di mulai dari surat peringatan pertama, kedua dan ketiga. Kedua: penagihan secara langsung, yakni dengan mendatangi
langsung
nasabah
pembiayaan
murâbahah
yang
mengalami
penunggakan. Dalam hal penagihan secara langsung ada beberapa treatment, di antaranya: a. Simpati, melalui metode yang: 1) Sopan 2) Menyanjung
3) Fokus pada tujuan 4) Menghargai b. Empati, melalui metode yang: 1) Sopan 2) Menyelami keadaan nasabah 3) Bicara seakan untuk kepentingan nasabah 4) Bangkitkan emosi, perasaan, kesadaran, perenungan c. Menekan, melalui metode yang: 1) Langsung (tegas, keras, mempermalukan dan menakuti) 2) Tidak Langsung (melalui pihak lain, seperti: pinjam bendera, saingan, atasan, polisi) 3. Revitalisasi pembiayaan, yang meliputi cara-cara sebagai berikut: a. Rescheduling (penjadwalan ulang) Dalam hal ini Bank Syariah Mega Indonesia (BSMI) memberikan keringanan kepada nasabah pembiayaan murâbahah menyangkut jadwal pembayaran atau jangka waktu, termasuk masa tenggang dan perubahan besarnya angsuran. Misalnya, memperpanjang jangka waktu angsuran pembiayaan dari enam bulan menjadi satu tahun dan memperpanjang jangka waktu angsuran pembiayaan murâbahah dari 36 kali menjadi 48 kali. Dengan
demikian jumlah angsuran pun menjadi lebih kecil seiring dengan penambahan tenggang waktu bagi orang yang berhutang. Allah berfirman:
,uq b 7⌧J 635 A ,u. Akg<35 , 9,"! z+& u>9^ D
"# 6) 7☺g"# zC?J 635 Artinya: “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan, dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”. (Al-Baqarah 2:280) 1) Syarat rescheduling adalah: a) Potensi usaha ada b) Kemampuan nasabah masih ada c) Problem cash flow sementara d) Plafond tetap 2) Perubahan jadwal berupa: a) Jangka waktu b) Jadwal angsuran c) Grace period d) Jumlah angsuran b. Restructuring (penataan ulang)
Restructuring dilakukan dengan cara Bank Syariah Mega Indonesia (BSMI) dan nasabah akan mengkaji ulang usaha yang dilakukan atau
pembiayaan yang telah diberikan untuk mengetahui letak penyebab kerugian yang terjadi. Jika telah ditemukan, langkah selanjutnya ialah mencari penyelesaian yang efektif dengan berbagai alternatif tindakan, seperti Bank Syariah Mega Indonesia (BSMI) memberikan bantuan berupa bimbingan dan masukan-masukan berupa strategi yang baik dalam menjalankan usaha. Apabila pembiayaan dibatalkan berdasarkan keputusan komite pembiayaan, maka pembiayaan di reklasifikasi menjadi piutang kepada nasabah. 1) Syarat-syarat restructuring adalah: a) Potensi usaha ada b) Kemampuan nasabah masih ada c) Problem cash flow sementara d) Plafond bisa berubah
2) Perubahan restructuring berupa: a) Jangka waktu b) Jadwal angsuran c) Jumlah angsuran d) Jumlah Plafon e) Persyaratan f) Jaminan c. Reconditioning (persyaratan ulang)
Persyaratan ulang ialah perubahan sebagian atau seluruh ketentuan pembiayaan, termasuk perubahan jangka waktu dan persyaratan lainnya, sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum saldo pembiayaan. 1) Syarat reconditioning adalah: a) Potensi usaha ada b) Sarana usaha memadai c) Problem cash flow dan manajemen d) Plafond pembiayaan tetap atau berubah 2) Perubahan reconditioning berupa: a) Jangka waktu angsuran b) Harga jual c) Agunan d) Kepemilikan e) Pengurus f) Nama dan status perubahan g) Perubahan nasabah d. Bantuan manajemen Bantuan manajemen diberikan melalui usulan agar nasabah mendapat bantuan manajemen dari pihak lain yang lebih menguasai seluk-beluk usahanya, sehingga diperlukan adanya perubahan manjemen. Bentuk-bentuknya di antaranya:
1) Total pengambilan alih manajemen. 2) Pengambilan alih manajemen keuangan. 3) Pengambilan alih proyek objek yang dibiayai. 4. Eksekusi Pembiayaan Eksekusi pembiayaan yaitu upaya penyelesaian pembiayaan dengan menjual dan menguasai jaminan atau usaha, karena nasabah sudah tidak lagi prospektif. Eksekusi pembiayaan dapat dilakukan melalui tindakan-tindakan berupa: a. Likuidasi usaha Upaya penjualan stock barang dagangan, sarana produksi, bahkan tempat usaha, jaminan, dan lain-lain untuk menutup pembiayaan yang tertunggak.
1) Syarat: a) Penjualan dilakukan untuk pembayaran angsuran atau pelunasan pembiayaan yang tertunggak. b) Tidak ada pembelian kembali barang dagangan. b. Perwasitan melalui BASYARNAS (Badan Arbitrase Syari’ah Nasional) Eksekusi pembiayaan melalui perwasitan di Badan Arbitrase Syari’ah Nasional dapat berupa musyawarah atau persidangan yang disertai hakim atau penengah
dari
BASYARNAS.
Eksekusi
melalui
perwasitan
adalah
pengembalian atau pelunasan atau penjualan jaminan pembiayaan dengan
melalui musyawarah di depan wasit (arbitrase) untuk mendapatkan keputusan, yang akan didaftarkan ke pengadilan negeri untuk eksekusinya. c. Parate eksekusi Eksekusi jaminan melalui gugatan perdata terlebih dahulu (secara sukarela), yakni dengan upaya pengembalian atau pelunasan pembiayaan dengan atau dari penjualan jaminan nasabah secara sukarela. d. Collection agent Proses penagihan pembiayaaan bermasalah melalui pihak ketiga (orang atau lembaga lain)
e. Litigasi Proses pengambilan jaminan secara paksa dengan seluruh hukum yang berlaku dengan melibatkan lembaga resmi negara dibidang hukum (melalui gugatan pengadilan). 1) Syarat dan proses litigasi: a) Penyiapan (surat somasi dan surat nasabah kepada BSMI). b) Checking dokumen c) Dokumen perjanjian dan jaminan hak tanggung jawab (dokumen yuridis lainya). d) Fasilitas pembiayaan telah jatuh tempo, karena proses litigasi hanya dapat dilakukan apabila fasilitas pembiayaan nasabah telah jatuh tempo.
2) Tahapan. a) Mencari Lawyer yang telah dianggap cakap, pengalaman dalam bidang penagihan dan dapat bekerjasama dengan BSMI. b) Membuat UP (Usulan Pembiayaan) ke komite UPP (Usulan Pengajuan Pembiayaan) perihal persetujuan pemakai lawyer dan biaya-biaya yang timbul. c) Meminta rencana kerja dan target date dari lawyer yang telah disetujui komite.
3) Proses litigasi melalui pengadilan terdiri dari: a) Gugatan Perdata b) Pidana c) Real eksekusi jaminan d) Permohonan kepailitan Berdasarkan fenomena tersebut, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa No. 17/DSN–MUI/IX/2000 tentang sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran. Ganti rugi (ta’widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain, yaitu: 7. Kerugian yang dapat dikenakan ta’widh sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah kerugian real yang dapat diperhitungkan dengan jelas.
8. Kerugian real sebagaimana dimaksud ayat 2 adalah biaya-biaya real yang dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yang seharusnya dibayarkan. 9. Besar ganti rugi (ta’widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian real (real loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut, bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss atau al-furshah al-dâi’ah). 10. Ganti rugi (ta’widh) hanya boleh dikenakan pada transaksi akad yang menimbulkan hutang-piutang (dain) seperti salam, istisna serta murâbahah dan ijarah. 11. Dalam akad mudârabah dan musyârakah ganti rugi hanya boleh dikenakan oleh shahibul mâl atau salah satu pihak dalam musyârakah, apabila bagian keuntungannya sudah jelas tetapi tidak dibayarkan. Berdasarkan fatwa tersebut, nasabah yang lalai bisa dikenakan denda atau ta`zir. Namun, besaran ta`zir tidak ditetapkan melainkan dibuat berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, selain itu dana ini juga tidak dijadikan pendapatan bank melainkan sebagai dana sosial. Rasulullah SAW, beliau bersabda:
(رى6 ا7 )روا01 23 ا4 Artinya: "Penangguhan sengaja (dari membayar hutang) berkemampuan adalah satu kezaliman" ( H. R. al-Bukhari )4
4
oleh
orang
yang
Muhamad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, diterbitkan atas kerjasama Tazkia Institute, Cet. Pertama, Ramadhan 1420-des, 1999.
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa ta'zir yang diberlakukan bank Islam ini tidak boleh dimasukkan dalam pendapatan bank Islam, tetapi dibagikan untuk tujuan kebajikan kepada orang miskin. Nasabah
yang
mempunyai
kemampuan
ekonomis
dilarang
menunda
penyelesaian hutangnya dalam murâbahah. Apabila seorang nasabah menunda penyelesaian hutang tersebut, kreditur dapat mengambil tindakan sebagai berikut: Mengambil prosedur hukum untuk mendapatkan kembali hutang itu dan mengklaim kerugian financial yang terjadi akibat penundaan, Rasulullah SAW pernah mengingatkan penghutang yang mampu tetapi mereka lalai, dalam salah satu haditsnya yang artinya: “Yang melalaikan pembayaran hutang (padahal ia mampu) maka dapat dikenakan sanksi dan dicemarkan nama baiknya”.(H.R. al-Bukhari)
Prosedur dan mekanisme penyelesaian sengketa antara bank syari’ah dan nasabahnya telah diatur melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS). Prosedur penyelesaian sengketa melalui lembaga pengaduan nasabah yang berada dalam internal bank yang bersangkutan berdasarkan ketentuan mengenai kebijakan dan prosedur tertulis dalam Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No.7/24/DPNP tertanggal 18 juli 2005, antara lain sebagai berikut: 1. Kewajiban
bank
untuk
menyelesaikan
pengaduan
mencakup
kewajiban
menyelesaikan pengaduan yang diajukan secara lisan atau tertulis oleh nasabah atau perwakilan nasabah, termasuk yang diajukan oleh suatu lembaga, badan hukum, atau bank lain yang menjadi nasabah bank tersebut.
2. Setiap nasabah memiliki hak untuk mengajukan pengaduan 3.
Pengajuan pengaduan dapat dilakukan oleh perwakilan nasabah yang bertindak untuk dan atas nama nasabah berdasarkan surat kuasa khusus dari nasabah.5 Sehingga penyelesaian denda murâbahah, dibayar di akhir masa jangka
waktu pembiayaan, denda boleh dikenakan jika nasabah mampu tetapi tidak mau membayar.
D. Pengalokasian Denda Murâbahah di Bank Syariah Mega Indonesia 1. Mekanisme pengelolaan a. Sumber dana qardul hasan, antara lain: 1) Infaq 2) Shadâqah 3) Denda 4) Sumbangan atau hibah 5) Pendapatan non halal b. Sumber dana dari infaq dan shadaqah dari pihak diluar bank adalah dana yang diterima dari pihak luar atau dari rekening nasabah atas perintah nasabah tersebut. c. Sumber dana kebajikan berupa pendapatan non halal berasal dari penerimaan jasa giro dari bank konvensional atau penerimaan lainnya yang tidak dapat dihindari dalam kegiatan operasional bank.
5
Abdul Ghofur Anshori, Tanya Jawab Perbankan Syariah,(Yogyakarta: UII Press, 2008) h.110.
d. Dana qardul hasan sesuai sifat sosialnya, harus disalurkan sebagai dana bergulir untuk pinjaman sosial. e. Pengelolaan dana al-qard yang bertujuan sebagai cerukan (overdraf) tidak termasuk dalam lingkup pengaturan ini. f. Sebagai penanggung jawab atas pengelolaan dana qardul hasan di Bank Syariah Mega Indonesia adalah Corporate Secretary Division. g. Setiap bentuk penyaluran dana qardul hasan harus diajukan melalui Corporate Secretary Division dengan persetujuan direksi. h. Bank harus melaporkan sumber dan penggunaan dana qardul hasan selama periode tertentu. i.
Laporan dimaksud pada butir 3 di atas harus dapat memperlihatkan nilai bersih dari sumber dana penggunaan dana yang belum digunakan.
2. Pelaporan a. Laporan sumber dan penggunaan dana qardul hasan merupakan laporan yang memberikan informasi agar para pemakai dapat mengevaluasi aktivitas bank dalam mengelola dana tersebut. b. Laporan sumber dan penggunaan dana qardul hasan disajikan untuk periode 1 (satu) tahun buku, dan merupakan bagian dari laporan keuangan publikasi. c. Hal-hal yang harus diungkapkan antara lain: 1) Periode yang dicakup laporan sumber dan penggunaan dana qardul hasan.
2) Rincian saldo qardul hasan pada awal dan akhir periode berdasarkan sumbernya, dan 3) Jumlah dana yang disalurkan serta sumber dana yang diterima selama periode laporan berdasarkan jenisnya. 4) Format laporan terampil
3. Pencatatan Jurnal di bawah ini berkaitan dengan pengelolaan dana qardhul hasan oleh bank, sebagai berikut: a. Penerimaan dana infaq, shadaqoh dari nasabah bank dan ditampung dalam rekening simpanan kebajikan: Debet: kas atau rekening nasabah atau laba bank Kredit: rekening simpanan kebajikan b. Pendapatan non halal Debet: Kas atau giro wadiah BI Kredit: Rekening simpanan kebajikan c. Denda Debet: Kas atau giro wadiah BI Kredit: Rekening simpanan kebajikan d. Penyaluran dana qardul hasan oleh bank (pengelola dana) kepada penerima Debet: Rekening simpanan kebajikan
Kredit: Kas atau giro wadiah BI e. Pengambilan dana qardul hasan dari penerima Debet: kas atau giro wadiah BI Kredit: Rekening simpanan kebajikan Untuk mengalokasikan denda keterlambatan, Bank Syariah Mega Indonesia mempunyai strategi yang diterapkan dalam pengelolaan dana denda. Adapun dana denda akan disalurkan ke lembaga zakat yang sudah bekerjasama dan memiliki reputasi baik. Kasus denda keterlambatan yang dialami oleh BSMI masih sedikit, sehinga dana yang tersimpan belum mencukupi untuk disalurkan. Oleh karena itu, dana tersebut masih disimpan atau ditampung di pos khusus untuk kemudian disalurkan kelembaga zakat. Dari hasil penelitian yang sudah di dapat bahwasanya BSMI mengikuti peraturan DSN MUI NO17 dalam mengoperasikan denda keterlambatan.
BAB V PENUTUP
Pada bab ini berisi intisari yang diambil dari bab-bab sebelumnya dan memberikan saran yang bermanfaat untuk menunjang praktek perbankan syari’ah, khususnya di Bank Syari’ah Mega Indonesia. A.
Kesimpulan 1. Mu’amalah dalam Islam memperhatikan hal-hal setiap pihak yang terlibat dalam hal murâbahah. Salah satu hak, yaitu penjual (bank Syari’ah) menerima angsuran pelunasan murâbahah secara tepat waktu. Apabila terjadi keterlambatan atau kegagalan angsuran dapat dikenakan denda sebagai sarana penegak kedisiplinan nasabah dalam pembayaran kewajiban. Islam sangat memperhatikan hak-hak manusia khususnya dalam praktek jual beli, bila terjadi kelalaian tanpa alasan yang dibenarkan, nasabah bisa dikenakan sanksi pendendaan. Dalam hal ini Islam memandang bahwa, denda tersebut adalah utang yang wajib dibayar. Sehingga denda dengan ketentuan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak sah menurut Syari’ah agama Islam.
2. Denda murâbahah
adalah sah menurut syari’ah berdasarkan fatwa
DSN MUI No. 17 tahun 2000, salah satu dasarnya adalah menjaga kemaslahatan seperti kaidah Ushul Al-Fiqh yang berbunyi:
'( " م *) ا# $درء ا Artinya:
“menghindarkan
hendaknya
diutamakan
suatu dari
kemudaratan
pada
membuat
atau
kerusakan,
kebajikan
atau
kemaslahatan”. 3. Denda dapat dikenakan kepada nasabah-nasabah nakal, yang sanggup dan mampu untuk membayar tepat pada waktunya tetapi sengaja ditunda-tunda. Di BSMI dana denda tidak diambil dan dipergunakan oleh bank melainkan ditampung dalam suatu pos atau rekening yaitu, dana non halal atau dana sosial yang setiap bulannya akan dilimpahkan atau dihibahkan kepada lembaga amil zakat untuk dipergunakan membantu fakir miskin dan membangun sarana serta prasarana umum. Dengan ini BSMI sudah mengikuti prosedur atau peraturan yang ditetapkan oleh DSN MUI No. 17 Tahun 2000.
B.
Saran Untuk praktisi perbankan, hendaknya para praktisi mengadakan pembinaan dan
pemantauan yang berkala terhadap pembiayaan nasabah agar mengurangi terjadinya kelalaian. Metode yang digunakan bisa dengan cara mengadakan silaturahim kepada
nasabah, pembinaan tentang amanah dan kepercayaan, meningkatkan moralitas dan etika berniaga secara Islami. Perlu diketahui juga tidak semua keterlambatan itu bisa dikenakan denda, denda bisa dikenakan hanya untuk nasabah mampu tetapi lalai, sehingga dari pihak BSMI sendiri harus benar- benar mengetahui perekonomian dan kondisi nasabah yang melakukan pembiayaan.
DAFTAR PUSTAKA
Muhamad. Bank Syariah Analisis Kekuatan. Kelemahan. Peluang dan Ancaman, Yogyakarta. Ekonisia, Cet.1 Antonio, Muhamad Syafi’i. Bank syariah suatu pengenalan umum, Jakarta: Tazkia, 2000, Cet. 1 Muhammad. Manajemen Bank Syariah. Yogyakarta: LPP AMP.YKPN, 2002. Yunaldi, Wendra. Potret Perbankan Syariah di Indonesi:, Melacak Keabsahan Landasan Yuridis Praktek Perbankan Syariah di Indonesia, Jakarta, Susi Advertising, cet. 1 H. Haroen Nasrun Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000. Cet. 1 Anshori, Abdul Ghofur. Perbankan Syariah Indonesia, Gadjah Mada Universitiy Press 2007. Ruslan Rosady. Metode Penelitian Publik Relations dan Komunikasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Anshori, Abdul Ghofur. Tanya jawab perbankan syariah, Yogyakarta: UII Press 2008. M, Mujieb Abdul dkk. Kamus istilah Fiqih, Jakarta: PT, Pustaka Firdaus, 1994 Daryanto. Bahasa Kamus Indonesia Lengkap, Surabaya: Penerbit APOLLO, 1997 Cet.1 Aliminsyah dan padji. Kamus Istilah Keuangan Dan Perbankan, Yrama Widya Ismaya, Sujana. Kamus Perbankan. dilengkapi dengan daftar nama mata uang dan UU bank Indonesia, Jakarta 2004. Yunus Mahmud. Kamus Arab Indonesi, Jakarta: Hida Karya Agung, 1990. M. Mujieb Abdul. Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: PT Pustaka Firdaus,1994, Cet - 1
Rusyd Ibnu. Terjemah Bidayatul Mujtahid, Semarang: Asysyifa, 1990, Cet- 1 Menyoal, Abdul Saeed. Bank Islam. Kritik Atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo Revivalis, Jakarta: Paramadina, 2004, Cet- 2 Karim A Adiwarman. Ekonomi Islam, Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press 2001, Cet-1 M.Anwar Syafi’i. Alternatif Terhadap System Bunga Jurnal Ulumul Qur’an II, Jakarta Oktober, 1991
Antonio, Muhamad Syafi’i. Bank Syariah Wacana Ulama Dan Cendikiawan, Jakarta: Tazkia Institute 1999 Maja Karnaen Parwaat dan Antonio Muhamad Syafi’I. “Apa Dan Bagaimana Bank Islam, Yogyakarta: Pana Bhakti Wakaf, 1992. Wiroso. Jual Beli Murabahah, Yogyakarta: UII Pers, 2005 Bank Indonesia Petunjuk Pelaksanaan Pembukaan Kantor Bank Syariah, Jakarta , 1999 As-Son’ani. Subulu As-Salam, Bandung: Dahlan Press, juz 3. Antonio, Muhamad Syafi’i. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Jakarta: Gema Insani Press, 2004, Cet-1 Amalia Euis dkk. Prinsip-Prinsip Hukum Islam (Fiqih) Dalam Transaksi Ekonomi Islam Pada Perbankan Syariah “Summary Report”, UIN dan Direktorat hukum BI 2003 Muhammad. System Dan Prosedur Operasional Bank Islam, Yogyakarta: UII Press, 2000, Cet-1 Karim A Adiwarman. Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani, 2001, Cet-1 Adiwarman A, Karim. Bank Islam Analisa Fiqih Dan Keuangan Siamat Dahlan. Manajemen Lembaga Keungan, Jakarta: LPFEUI, 1999, Edisi-2 Kamil, Ahmad dan Fauzan. Kitab undang-undang hukum perbankan dan ekonomi syariah, Jakarta: Kencana, 2007,Cet.1 Hakim Abdul, Mabaadiy Awwaliyah. Jakarta: Saadiyah Putra, 1927