DAYA PEMBATAS ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM HUKUM PERJANJIAN Abdul Rokhim1 (Dipublikasikan dalam Jurnal “Negara dan Keadilan”, Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Islam Malang, ISSN: 2302-7010, Vol. 5 Nomor 9/Agustus 2016, h. 77-91)
Abstract The principle of freedom of contract is a reflection of an open system in our contract law. The principle contained in Article 1338 paragraph (1) of the Civil Code (BW) means that everyone is free to make contracts with others, any content and any form. The existence of the principle of freedom of contract as part of human rights for every person to make contracts with another person according to their wills itself is universal. This principle is not only known in Civil Code, but also recognized and acknowledged in civilized countries everywhere, including in Islamic law. However, the enactment of this principle is not absolute. Article 1337 BW limits the entry into force of this principle when contracts are made contrary to law, morals, or public order. In fact, in certain circumstances the judge is authorized to limit the freedom of the parties to determine the content of the contract if there is abuse of state (misbruik van omstandigheden). Keywords: the power of limit; the principle of freedom of contract 1. Pendahuluan Sebagian besar norma hukum perjanjian berasal dari dan berdasarkan asasasas umum hukum perjanjian. Asas-asas umum hukum perjanjian itu antara lain adalah asas kebebasan berkontrak, asas konsensual, dan asas kekuatan mengikatnya perjanjian. Secara umum asas-asas hukum merupakan dasar pikiran dan dasar ideologis dari aturan-aturan hukum. Beberapa dari asas-asas hukum itu banyak yang sudah kabur, artinya sangat sukar untuk diusut dan diteliti sejarah timbul dan berkembangnya asas-asas hukum tersebut. Kendatipun demikian, yang jelas suatu asas hukum merupakan dasar dari suatu aturan hukum, bahkan dapat menjadi dasar dari suatu sistem perundang-undangan. Suatu asas hukum biasanya lahir dari penilaian moral secara umum, tetapi juga dapat timbul berdasarkan alasan oportunitas yang diciptakan oleh pembuat undang-undang.2 Suatu asas hukum sering diterima di luar perundang-undangan, tetapi adakalanya suatu asas hukum juga dimasukkan atau dirumuskan di dalam salah satu pasal dari peraturan perundang-undangan. Asas kebebasan berkontrak ini dalam sistem hukum perdata kita merupakan refleksi dari sistem terbuka (open system) dari hukum kontrak tersebut yang diatur dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum 1
Dr. H. Abdul Rokhim, SH, MH adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang R.A. Sri Koesoemo Dhewi, Hukum Privat dalam Gerak, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 1987, h. 6. Lihat juga, Asser-Rutten II, Algemene Leer der Overeenkomsten, 6-e druk, Zwolle, 1982, h. 30 2
Perdata yang tidak lain merupakan terjemahan dari Burgerlijk Wetboek (BW). Dasar hukum dari asas ini adalah Pasal 1338 ayat (1) BW, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Menurut Mariam Darus Badrulzaman,3 kata "semua" dalam pasal 1338 ayat (1) BW mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya disebut maupun yang tidak disebut oleh undang-undang. Asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid) berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan "apa" dan dengan "siapa" perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang dibuat sesuai dengan syarat-syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 BW mempunyai kekuatan mengikat. Istilah “semua” pada pasal tersebut terkandung asas kebebasan berkontrak (freedom of contract; partij autonomie; contract der vrijheid beginsel), memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat kontrak (perjanjian) apapun isinya dan apapun bentuknya. Isi perjanjian dapat meliputi obyek apa saja yang disepakati oleh kedua belah pihak. Begitu pula mengenai bentuk perjanjian, para pihak bebas menentukan bentuk perjanjian, baik secara lisan maupun dalam bentuk akta (tertulis) baik akta di bawah tangan maupun dalam bentuk akta notariil. Sepanjang isi dan bentuk perjanjian yang mereka sepakati tidak ditentukan lain menurut undangundang dengan akibat batal atau tidak sahnya suatu perjanjian. Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut:4 1. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian; 2. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian; 3. Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuatnya; 4. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian; 5. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian; 6. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullend, optional). Lebih lanjut Sutan Remy Sjahdeini,5 mengemukakan dari mempelajari hukum perjanjian di negara-negara lain dapat disimpulkan bahwa asas kebebasan berkontrak sifatnya universal, artinya berlaku juga pada hukum perjanjian di negaranegara lain, serta mempunyai ruang lingkup yang sama seperti juga ruang lingkup asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian Indonesia. Asas kebebasan berkontrak juga diakui dalam Hukum Islam, yang lazim disebut dengan istilah kebebasan berakad (mabda Hurriyyah at Ta’aqud).6 Istilah “akad“ dalam hukum Islam memiliki makna yang sama dengan kontrak (perjanjian). Paralel dan identik dengan asas kebebasan berkontrak, asas kebebasan berakad merupakan prinsip hukum (Islam) yang menyatakan bahwa setiap orang dapat 3
Mariam Darus Badrulzaman, dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, Cet. I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, h. 84 4 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Hukum yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Cet. I, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, h. 47 5 Ibid. 6 http://nurmaliaandriani95.blogspot.co.id/2013/06/asas-kebebasan-berkontrak.html. Akses pada 20-8-2016
membuat akad jenis apapun tanpa terikat pada nama-nama yang telah ditentukan dalam undang-undang syariah dan memasukkan klausul (syarat-syarat) apa saja ke dalam akad yang dibuatnya itu sesuai dengan kepentingannya sejauh tidak berakibat makan harta bersama dengan jalan batil (tidak sah). Nas-nas al Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW sebagai sumber utama hukum Islam serta kaidah-kaidah hukum Islam di luar kedua sumber utama itu menunjukkan bahwa hukum Islam menganut asas kebebasan berakad. Asas kebebasan berakad merupakan konkretisasi labih jauh dari spesifikasi yang lebih tegas lagi terhadap asas ibahah (kebolehan) dalam bermuamalah atau bertransaksi. Hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam al Qur’an (QS. 5:1):7
ِ َّ ِ ِ ِ يمةُ ْاْلَنْ َع ِاِ ََِّّ َما يُْ لَ ََلَْي ُك ْم ََْي ََ ُُِلِي ْ َّين آَ َمنُوا أ َْوفُوا بِالْعُ ُقود أُحل َ ت لَ ُك ْم ََب َ يَا أَيُّ َها الذ يد َّ الصْي ِد َوأَنُْْ ْم ُح ٌَُِ ِ َّن َّ ُ َُِاَّللَ ََْي ُك ُم َما ي
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad (janji-janji). Hewan ternak dihalakan bagimu, kecuali yang akan disebutkan kepadamu, dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah). Sesungguhnya Allah menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia kehendaki”. Ayat ini memerintahkan kepada kaum beriman untuk memenuhi akad-akad yang mereka buat. Menurut kaidah ushul fikih (metodologi penemuan hukum Islam), kata: aufu dalam ayat ini menunjukkan perintah yang sifatnya wajib. Artinya, memenuhi akad itu hukumnya wajib. Dalam ayat ini “akad” disebutkan dalam bentuk jamak yang diberi kata sandang “al” (al-aqadàal-uqud). Menurut kaidah usul fikih, jamak yang diberi kata sandang “al” menunjukkan makna “umum”. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa orang dapat membuat akad apa saja baik yang bernama maupun yang tidak bernama dan akad-akad itu wajib dipenuhi. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Hakim dari sahabat Abu Hurairah, Rasul bersabda: “orang-orang muslim itu senantiasa setia kepada syaratsyarat (janji-janji) mereka”. Hadis ini menunjukkan bahwa syarat-syarat atau janjijanji apa saja dapat dibuat dan wajib dipenuhi. Terhadap hadis ini, al-Kasani (w. 587/1190) menyatakan bahwa wajibnya memenuhi setiap perjanjian selain yang dikecualikan oleh suatu dalil, karena hadis ini menuntut setiap orang untuk setia kepada janjinya, dan kesetiaan kepada janji itu adalah dengan memenuhi janji tersebut.8 Di samping itu, ada kaidah hukum Islam yang berbunyi: “pada asasnya akad itu adalah kesepakatan para pihak dan akibat hukumnya adalah adanya apa yang mereka tetapkan atas diri mereka melalui janji”. Kaidah ini menunjukkan adanya kebebasan berakad berdasarkan kata sepakat para pihak dan akibat hukumnya adalah para pihak wajib memenuhi apa yang mereka sepakati. Namun, kebebasan membuat akad dalam hukum Islam juga ada batasnya. Kebebasan berakad menurut hukum Islam harus sejalan dengan prinsip keadilan (al ‘adl), artinya kebebasan berakad tidak boleh menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lain. Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya Disertai Tanda-tanda Tajwid dengan Tafsir Singkat: Al Qur’an Bayan, CV Bayan Qur’an, Jakarta, 2009, h. 106 8 http://nurmaliaandriani95.blogspot.co.id/2013/06/asas-kebebasan-berkontrak.html. Akses pada 20-8-2016 7
2. Sejarah Perkembangan Asas Kebebasan Berkontrak Untuk lebih memahami makna asas kebebasan berkontrak, perlu juga diketahui keberadaan dan sejarah perkembangan asas tersebut sejalan dengan perkembangan hukum perdata Barat. Dalam perspektif sejarah hukum, asas kebebasan berkontrak dapat dilihat keberadaan dan perkembangannya mulai dari zaman Romawi, abad Pertengahan (abad V Masehi), zaman Revolusi Perancis (XVIII), dan abad XX Masehi. a. Pada Zaman Romawi Sejarah telah mengajarkan kepada kita bahwa salah satu peninggalan kultur yang sangat berharga yang diwariskan oleh kebudayaan klasik adalah hukum Romawi. Dalam perkembangannya selama kurang lebih 1000 tahun, yaitu pada pertengahan abad ke-6 Masehi, hukum Romawi telah dituangkan di dalam Corpus Iuris Civilis.9 Kodifikasi hukum Romawi pada saat itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Karena itu tidaklah mengherankan jika hukum Romawi pada saat itu berkembang dengan pesat dan menyebar hingga meliputi sebagian besar wilayah Eropa. Gejala ini dinamakan penerimaan hukum Romawi. Pada awal perkembangannya macam perjanjian yang paling banyak terjadi dalam hukum Romawi adalah perjanjian yang bersifat konsensual, yaitu perjanjian dianggap lahir sejak adanya konsensus atau kata sepakat. Tetapi pada periode selanjutnya perkembangan semacam ini sempat berhambat. Ini disebabkan oleh adanya pengaruh hukum Germaan yang pada saat itu masih berada pada peradaban yang lebih rendah jika dibandingkan dengan hukum Romawi. Hukum Germaan pada saat itu hanya mengenal bentuk perikatan riil dan perikatan formil. Sedang mengenai perjanjian konsensual pada waktu itu sama sekali belum dikenal dalam hukum Germaan.10 Hal ini berarti bahwa hukum Romawi pada saat itu sudah meletakkan dasardasar yang kuat tentang lahirnya atau diterimanya asas konsensual dan asas kebebasan berkontrak. Karena kedua asas hukum perjanjian tersebut memang saling terkait dan timbulnya pun secara berdampingan satu sama lain. Hal ini logis, sebab tidaklah mungkin ada suatu konsensus yang dapat melahirkan suatu perjanjian, kalau kebebasan untuk mengadakan perjanjian itu sendiri tidak ada atau tidak diakui. b. Abad Pertengahan (Abad V Masehi) Pada abad ini, di bawah pengaruh hukum Kanonik asas-asas hukum perjanjian mengalami perkembangan yang sangat pesat. Memang pada mulanya hukum Kanonik hanya mengakui adanya suatu perjanjian, kalau perjanjian itu dikuatkan dengan sumpah. Tetapi lambat laun, karena pengaruh ahli-ahli agama tentang moral maka berkembanglah suatu asas bahwa perjanjian tetap akan mengikat meskipun tidak diperkuat dengan sumpah.11 Pada saat itu kebebasan berkontrak sangat didukung oleh hukum Kanonik. Sekitar abad XIII Masehi asas “mudus concensus obligat” (setiap janji mengikat) diterima sebagai aturan hukum dalam hukum Kanonik.12 Penerimaan asas ini dapat 9 A. Pitlo, Suatu Pengantar Azas-azas Hukum Perdata, Terjemahan Djasadin Saragih, Alumni, Bandung, 1973, h. 73 10 R.A. Sri Koesoema Dhewi, op. cit., h. 8-9 11 Ibid. 12 Ibid.
mengakibatkan diterimanya asas kebebasan berkontrak secara luas. Karena dengan diterimanya asas bahwa setiap janji itu mengikat, maka akibatnya setiap janji apapun isinya harus dipenuhi oleh para pihak. Pandangan inilah kemudian yang mengilhami dianutnya asas kebebasan berkontrak yang hampir tidak ada batasnya. c. Abad XVIII-XIX Masehi Perkembangan asas kebebasan berkontrak telah mencapai puncaknya setelah berhasilnya Revolusi Perancis dengan jargon yang sangat terkenal “liberte, egalite et fraternite” (kebebasan, persamaan dan persaudaraan). Karena itulah pembentuk undang-undang pun tidak dapat menghindarikan diri dari pengaruh liberalisme tersebut.13 Akibatnya setelah revolusi berhasil, di dalam bidang hukum, khususnya hukum perjanjian telah diterima asas kebebasan berkontrak secara luas. Bahkan demikian luasnya sehingga campur tangan pemerintah dipandang sebagai sesuatu yang menghambat perkembangan ekonomi yang menguasai kehidupan masyarakat. Atas dasar itulah J.J. Rousseau (1712 -1778) menginginkan adanya suatu masyarakat yang sungguh-sungguh menjamin kebebasan asli tiap manusia.14 Sebenarnya paham kebebasan seperti itu sudah lebih dahulu lahir di Inggris. Di Inggris paham tersebut dipelopori oleh John Locke (1632 -1704). John locke berkeinginan untuk mewujudkan hak-hak dan kebebasan bagi setiap individu dalam lapangan hidup mereka. Selanjutnya, menurut Locke: “. . . kekuasan politik juga tidak berhak untuk campur tangan dalam kehidupan masyarakat kecuali kalau terdapat bahaya sungguh-sungguh, bahwa suatu konsentrasi kekuatan ekonomis yang terlalu besar akan menghindarkan berjalannya kehidupan bebas individu-individu”.15 Akibat dari situasi yang demikian itu maka pada masa itu kekuatan-kekuatan sosial-ekonomis berjalan menurut dinamikannya sendiri dan negara atau pemerintah sama sekali tidak dapat mengendalikannya. Menurut paham liberal, setiap induvidu harus dibiarkan bebas menurut kehendaknya sendiri, “laissez faire, laissez aller” (biarlah berbuat, biarlah berjalan).16 Menurut penganut paham liberal, syarat pertama untuk mencapai ketertiban sosial terletak pada kebebasan individu, yaitu kebebasan bagi setiap orang untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri dan mengurus hubungan-hubungan hukum mereka menurut kehendak sendiri. Masalahnya, bagaimana jika terjadi konflik antara individu yang masing-masing tentu mempunyai kepentingan-kepentingan sendiri? Dalam menghadapi situasi yang demikian itu, menurut J.J. Rousseau, kita harus mengatasi dengan jalan menyeimbangkan kehendak bebas mereka masing-masing dengan pembatasan-pembatasan yang dituntut oleh masyarakat melalui suatu undang-undang. Pembatasan yang dibebankan oleh undang-undang kepada individuindividu itu ada karena kemauan dari individu-individu itu sendiri. Karena hanya dengan kemauan atau kehendak individu-individu itulah negara mempunyai kekuasaan untuk menciptakan hukum. Pandangan Rousseau ini lazim disebut dengan ajaran “kontrak sosial”.17
13
R.M. Suryodiningrat, Azas-azas Hukum Perikatan, Cet. II, Tarsito, Bandung, 1985, h. 12 Theo Huibers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Cet. III, Kanisius, Yogyakarta, 1986, h. 88 15 Ibid., h. 112 16 Ibid. Bdk. A. Pitlo, op. cit., h. 86 17 R.A. Sri Koesoemo Dhewi, op.. cit., h. 14 14
Ajaran yang dipropagandakan oleh Rousseau ini sangat berhasil, yang kemudian mempunyai pengaruh besar terhadap teori-teori hukum. Ajaran ini akhirnya diperluas kembali oleh van Kant yang terkenal dengan dogma “otonomi kehendak”. Tetapi ajaran ini memperoleh reaksi keras, baik di bidang hukum ketatanegaraan maupu hukum privat. Reaksi itu terutama berasal dari penganut aliran etis dan sosial yang juga mulai bangkit pada saat itu. Salah seorang tokoh aliran etis dan sosial adalah Leon Duguit (1839 -1928). Menurut Duguit, kaidah-kaidah hukum disusun bila nilai-nilai ekonomi dan moral yang hidup dalam suatu masyarakat dipandang sebagai hakiki bagi masyasarakat yang bersangkutan.18 Dalam hubungannya antara hukum dengan etika atau moral, beliau mengatakan: “Bidang yuridis dan etis tidak hanya berbeda, akan tetapi saling berhubungan juga, sebab hukum harus dibuat menurut prinsip-prinsip yang diambil dari etika. Kalau suatu aturan hukum ditentukan melawan prinsip-prinsip etis, aturan ini harus disebut jahat”.19 Ini berarti bahwa suatu aturan hukum, termasuk asas-asas hukum tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai moral atau etika yang hidup dalam masyarakat. Dengan kata lain, suatu aturan hukum atau asas-asas hukum itu harus lahir dari dan sesuai dengan tatanan moral yang telah diterima oleh masyarakat. Demikianlah salah satu reaksi terhadap pandangan yang terlalu mengagungagungkan kebebasan berkontrak. Karena itu pada perode berikutnya, asas kebebasan berkontrak lambat laut mengalami pergeseran atau perubahan sesuai dengan perkembangan zaman. d. Abad XX Masehi Pergeseran tentang penerimaan asas kebebasan berkontrak telah mencapai dasarnya, terutama dalam tahun-tahun menjelang dan setelah Perang Dunia II. Keadaan pada saat itu memang mengharuskan adanya pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak tersebut akibat adanya persaingan bebas dari kaum kapitalisme yang cenderung mematikan posisi dari pihak ekonomi lemah. Sementara negara hanya bersifat pasif saja, seolah-olah tidak mempunyai kekuasaan untuk mengatur persaingan bebas itu. Karena itulah maka kebebasan berkontrak perlu dan mutlak harus dibatasi demi kepentingan umum yang lebih besar. Ini bukan berarti asas kebebasan berkontrak menjadi hapus, asas itu tetap diakui sebagai salah satu asas dalam hukum perjanjian. Dengan semakin banyaknya pembatasan-pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak yang lambat laun bertambah banyak, terutama yang dibatasi oleh aturan-aturan hukum yang bersifat memaksa maka tepatlah apa yang dikatakan oleh Pitlo: “. . . di dalam periode di mana kita hidup dewasa ini dapat kita konstateer dari hukum perdata ke arah hukum publik dan semakin bertambah banyaknya aturanaturan undang-undang sifatnya memaksa. Aturan hukum publik memang senantiasa bersifat memaksa. Karena itu dengan sosialisasi hukum, ketentuan-ketentuan hukum memaksa setiap tahun bertambah banyak. Misalnya dalam hukum kontrak (cetak miring dari penulis) pada mulanya hampir tidak ada aturan yang sifatnya memaksa.
18 19
Theo Huijbers, op. cit., h. 210 Ibid., h. 233
Kemudian dibuat aturan-aturan yang modern, yang dimaksudkan untuk melindungi yang lemah . . . terhadap yang lebih kuat . . . ”.20 Demikianlah secara singkat sejarah perkembangan asas kebebasan berkontrak menurut hukum perdata Barat (BW). Masalahnya, bagaimana kedudukan asas tersebut di dalam hukum perjanjian kita dewasa ini yang ternyata juga masih mengacu pada BW. 3. Asas Kebebasan Berkontrak Berdasarkan Pasal 1338 BW Seperti kita ketahui bahwa sebagian besar peraturan mengenai hukum perjanjian yang hingga kini masih berlaku di negara kita adalah peraturan-peraturan hukum perjanjian yang diatur dalam Buku III BW (Indonesia). BW Indonesia ini sebenarnya merupakan suatu kodifikasi hukum perdata Eropa yang diberlakukan di Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda. Kodifikasi ini diumumkan pada tanggal 30 April 1847 dengan Staatsblad No. 32 dan dinyatakan mulai berlaku di Indonesia pada tanggal 1 Mei 1848.21 BW Indonesia ini berlaku berdasarkan asas konkordasi dengan mengambil contoh BW Nederland. Sementara, BW Nederland itu sendiri sebenarnya sebagian besar isinya menjiplak Code Nepoleon dan sebagian kecil isinya berasal dari Hukum Belanda Kuno. Oleh karena BW Nederland dan tentunya termasuk BW Indonesia itu sebagian besar materinya merupakan jiplakan dari Code Nepoleon (dalam hal ini Code Civil Perancis), maka sudah barang tentu jiwa dari sistem BW kita juga diilhami oleh semangat liberalisme yang pada saat itu sangat didambahkan oleh rakyat Perancis. Mengingat atas dasar semangat liberalisme itulah maka asas kebebasan berkontak telah mencapai puncaknya dalam hukum perjanjian. Masalahnya sekarang, apakah asas kebebasan berkontrak tersebut diterima satu diakui sebagai salah satu asas dalam hukum perjanjian kita? Jika ya, apa dasarnya? Terhadap pertanyaan yang pertama dapat dijawab asas kebebasan berkontrak tetap diterima dan diakui dalam sistem hukum perjanjian kita. Asas ini dengan sendirinya diterima dan diakui dalam hukum perjanjian kita, karena asas tersebut secara implisit terkandung dalam Buku Ketiga BW tentang Perikatan, yang hingga sekarang masih tetap berlaku. Sedang pertanyaan kedua, dapat dijawab bahwa asas tersebut secara tersirat ada pada rumusan pasal 1338 ayat (1) BW. Perlu ditekankan lagi bahwa asas-asas hukum tidak selalu dirumuskan secara tegas didalam pasal-pasal peraturan perundangan. Demikian pula asas kebebasan berkontak. Menurut Subekti, asas kebebasan berkontak yang dipakai dalam hukum perjanjian kita lazimnya dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat (1) BW: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Selanjutnya, Subekti mengatakan: “Dengan menekankan pada perkataan semua (cetak miring dari penulis), maka pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (atau tentang apa saja) dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang . . .”.22 20
A. Pitlo, op. cit., h. 19 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet. V, Balai Pustaka, Jakarta, 1983, h. 195 22 Ibid. 21
Sebenarnya yang terkandung dalam pasal 1338 ayat (1) BW ini bukan hanya mengenai asas kebebasan berkontrak, tetapi tersimpul juga mengenai asas kekuatan mengikatnya janji. Dalam hubungan antara asas kebebasan berkontrak bagi para pihak dengan pihak ketiga, Subekti mengatakan : “juga pada saatnya setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian-perjanjian atau melakukan perbuatan-perbuatan hukum apa saja yang dikehendakinya dan orang lain tak dapat mencampuri ataupun menghalang-halangi perbuatan-perbuatannya itu”.23 Ini berarti pihak lain yang bukan para pihak, termasuk juga pemerintah, tidak dibenarkan mencampuri atau menghalang-menghalagi kebebasan para pihak untuk membuat perjanjian, kecuali kalau ada dasar hukum yang membenarkannya. Inilah yang lazim disebut dengan pembatasan dari asas kebebasan berkontrak. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa berlakunya asas kebebasan berkontrak seperti yang tercantum di dalam pasal 1330 ayat (1) BW itu tidaklah dengan sendirinya. Artinya pihak-pihak tidak dengan sendirinya bebas mengadakan perjanjian apa saja yang mereka kehendaki hanya melulu mendasarkan diri pada ketentuan tersebut, tetapi mereka harus juga mengaitkannya dengan ketentuan-ketentuan lain yang sangat erat hubungannya dan tidak boleh dipisahkan. Ketentuan-ketentuan itu antara lain adalah pasal 1338 ayat (2) dan (3) BW, juga pasal-pasal 1320 sub 4 dan 1335 jo. 1337 BW. Pasal-pasal inilah yang menjadi landasan utama pembatasan asas kebebasan berkontrak dalam hukum penjanjian. 3. Kaitan antara Asas Kebebasan Berkontrak dengan Itikad Baik Menurut pasal 1338 ayat (3) BW, tiap-tiap persetujuan (baca: perjanjian) harus dilaksanakan dengan “itikad baik”. Lebih lanjut pasal 1339 BW menentukan bahwa “persetujuan-persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”. Pertanyaannya adalah apa yang disebut “itikad baik” dan apa kaitan asas kebebasan berkontrak dengan itikad baik? Istilah “itikad baik” atau yang dalam bahasa Belanda disebut “goede trouw” mengandung beberapa makna yang berbeda. Dalam hubungannya dengan pasal 1977 BW, itikad baik berarti “ketidaktahuannya tentang cacat dalam perolehan haknya dapat dimaafkan”. Artinya, orang yang memperoleh barang (khususnya barang bergerak tidak atas nama atau tidak terdaftar) dengan cara membeli di tempat dan dengan harga yang wajar, maka secara hukum ia akan dilindungi meskipun barang yang dibeli itu ternyata merupakan barang hasil curian. Pembeli dalam hal ini dipandang beritikad baik, sepanjang ia benar-benar tidak tahu atau sepatutnya menduga bahwa barang yang dibeli itu merupakan barang diperoleh secara ilegal. Sebaliknya, jika ia mengetahui atau sepatutnya harus menduga bahwa yang dibeli itu hasil curian (misalnya membeli barang di “pasar gelap”), maka secara hukum ia dipandang beritikad buruk (kwader trouw) dengan akibat hukum ia dapat ditutntut melakukan tindak pidana penadahan. Selanjutnya, “itikad baik” yang dimaksudkan dalam pasal 1338 ayat (3) BW itu berarti “bahwa para pihak wajib saling berbuat layak dan patut”.24 Berdasarkan 23 24
Ibid., h. 33 J.H. Nieuwenhuis, op. cit., h. 43
pengertian ini, dalam kaitannya dengan suatu perjanjian “itikat baik” dapat berarti bahwa pihak-pihak dalam suatu perjanjian wajib memperhatikan syarat-syarat tentang kepatutan (redelijkheid) dan kepantasan (billijkheid).25 Patut berarti sesuai dengan pertimbangan moral atau nilai-nilai etis yang ada dalam pergaulan masyarakat. Sedang pantas atau layak berarti sesuai dengan pertimbangan akal sehat. Persoalannya, apakah “itikat baik” juga dapat membatasi kewajiban-kewajiban debitur dan dengan demikian hak-hak kreditur? Telah demikian jelas bahwa sekarang ini “itikad baik”, di samping dapat melengkapi juga dapat membatasi hak-hak dan kewajiban-kewajiban kontraktual. Penilaian semacam ini sudah diakui oleh Hoge Raad sejak tahun 1967. Lalu, apakah pandangan Hoge Raad itu tidak berarti membatasi kekuatan mengikatnya janji? Bagaimana jika terjadi pertentangan antara kekuatan mengikatnya janji di satu pihak dengan tuntutan-tuntutan akan “itikad baik” di lain pihak, dan mana yang dimenangkan? Dalam menghadapi konflik yang demikian itu, hakim paling tidak harus memperhatikan dua hal. Pertama, melalui suatu penafsiran hakim harus mengetahui apa yang sebenarnya menjadi maksud para pihak dengan menutup perjanjian itu. Kedua, apakah yang menjadi maksud dari perjanjian itu (causa) tidak bertentangan dengan kepatutan dan kepantasan? Jika ternyata terbukti bahwa maksud atau isi dari perjanjian itu (causa) tidak sesuai dengan syarat kedua ini, maka yang harus diutamakan adalah tuntutan akan itikad baik. Hal ini bukan berarti bahwa setiap perjanjian yang bertentangan dengan “itikad baik”, lalu dengan sendirinya perjanjian itu batal (nietig) atau dapat dibatalkan (vernietigbaar). Perjanjian yang demikian itu dalam hal-hal tertentu tetap sah dan mengikat para pihak, hanya pelaksanaannya saja yang masih perlu dimodifikasi atau disesuaikan dengan prinsip itikad baik yang harus diindahkan oleh para pihak. Tetapi jika memang benar-benar perjanjian yang demikian itu bertentangan dengan ketentuan undang-undang yang sifatnya memaksa, kesusilaan atau ketertiban umum, maka tentu saja perjanjian tersebut bisa berakibat batal demi hukum (nietig van rechtswege). Artinya, perjanjian itu sejak semula dianggap tidak pernah ada (null and void), dan oleh karena itu tidak mengikat kedua belah pihak. Kiranya perlu pula diketahui sebagai suatu perbandingan bahwa menurut pengadilan di Perancis penerapan asas “itikat baik” tidak dapat mengubah isi perjanjian. Peranan “itikad baik” di Perancis hanya diakui para periode pelaksanaan suatu perjanjian saja. Hal ini ternyata sesuai dengan rumusan pasal 1338 ayat (3) BW, “persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Hal ini logis, karena ketentuan tersebut memang berasal dari Code Civil Perancis. Akan tetapi, pendirian semacam ini sejak tahun 1945 telah berubah, sehingga saat ini “itikad baik” bukan hanya berperan pada tahap pelaksanaan perjanjian saja, melainkan juga pada tahap hubungan pra-kontraktual maupun tahap penutupan perjanjian.26 Ini berarti bahwa ketentuan mengenai itikad baik seperti yang dirumuskan pada pasal 1338 ayat (3) BW, tidak sempurna dan dianggap sudah ketinggalan zaman. Apalagi jika dilihat pada praktek peradilan di Nederland. Menurut yusprudensi di Nederland,
25 R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Perikatan, Cet. II, Bina Ilmu, Surabaya, 1984, h. 191 26 Djasadin Saragih, “Praktek-praktek Rentenir: Penyalahgunaan Kebebasan Berkontrak”, Majalah, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, No. 2 Tahun I, Juli-September 1980, h. 23
dalam putusannya tertanggal 15 November 1957, (N.J. 1958-67), Hoge Raad menetapkan bahwa:27 “. . . dengan diadakannya pembicaraan-pembicaraan oleh pihak-pihak tentang mengadakannya suatu persetujuan, maka mereka bersepakat di dalam suatu pembicaraan yang khusus mengenai hubungan-hubungan hukum yang dikuasai dengan itikad baik mengakibatkan, bahwa kelakuan-kelakuan mereka akan ditentukan oleh kepentingan-kepentingan dari pihak-pihak yang dianggapnya adil . . . .” Ini berarti bahwa hakim dalam menangani suatu perkara menyangkut benar atau tidaknya pelaksanaan “itikad baik” dari suatu perjanjian, maka terlebih dahulu ia harus mengetahui keadaan-keadaan atau fakta-fakta yang menjadi latar belakang sebelum perjanjian itu ditutup. Juga harus diperhatikan mengenai kedudukan ekonomi para pihak. Apakah perjanjian itu ditutup atas dasar kehendak bebas dari kedua belah pihak, ataukah hanya karena tekanan keadaan yang sangat “terpaksa” dari salah satu pihak? Apakah perjanjian itu sudah sesuai dengan kepatutan dan kepantasan yang harus diindahkan oleh para pihak atau tidak? Dalam hal yang terakhir ini, peranan nilai-nilai kesusilaan dan moral, termasuk moral agama, bagi para pihak juga dapat dipakai untuk mengukur keadaan-keadaan tersebut. Dengan berpijak pada hal-hal tersebut di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa pasal 1338 ayat (3) BW itu bertujuan untuk memberikan kekuasaan kepada hakim untuk mengawasi dan bahkan mengintervensi atas suatu perjanjian yang diajukan ke pengadilan, agar perjanjian tersebut tidak melanggar kepatutan dan keadilan. Ini berarti bahwa hakim berkuasa untuk menyimpang dari isi perjanjian menurut hurufnya yang telah dibuat atas dasar kebebasan berkontrak, manakala pelaksanaan menurut hurufnya itu dinilai bertentangan dengan “itikat baik”.28 Dengan demikian, penerapan itikad baik itu ternyata dapat membatasi atau menyimpangi isi dari suatu perjanjian yang disepakati oleh para pihak berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Di samping itu nilai-nilai kepatutan dan kepantasan dalam itikad baik juga dapat melengkapi atau bahkan menyempurnakan isi dari suatu perjanjian. 4. Pembatasan Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak adalah salah satu asas atau prinsip dasar dalam hukum perjanjian yang memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk mengadakan suatu kontrak (perjanjian) yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.29 Ini berarti bahwa pada asasnya para pihak dalam suatu perjanjian diperbolehkan mengatur sendiri kepentingankepentingan mereka dan menurut kehendak mereka sendiri. Meskipun demikian, tidaklah berarti bahwa dengan adanya asas kebebasan berkontrak para pihak bebas membuat perjanjian apapun isi dan bentuknya tanpa batas. Asas kebebasan berkontrak yang dianut dalam hukum perjanjian kita tidak tak terbatas, melainkan ada daya atau kekuatan yang membatasinya. Pembatasan itu dapat berupa ketentuan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
27
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, op. cit., h. 190 Subekti, op. cit., h. 12 29 Subekti, Hukum Perikatan, Intermasa, Jakarta, 1984, h. 13 28
Untuk mencegah penggunaan kebebasan kontrak yang menjurus kepada hubungan-hubungan hukum dengan isi yang tidak diperbolehkan, maka undangundang memberikan pembatasan. Pembatasan itu antara lain ketentuan yang terdapat pada pasal 1320 butir 4 BW, yang menentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah harus dengan “causa” yang diperbolehkan (halal). Atas dasar itu maka undang-undang menggariskan bahwa apa yang ingin dicapai oleh para pihak dalam suatu perjanjian (causa) adalah terlarang apabila bertentangan dengan undangundang, kesusilaan, atau ketertiban umum (pasal 1337 BW). Ini berarti asas kebebasan berkontrak yang dianut dalam hukum perjanjian kita bukanlah tanpa batas, melainkan ada batasnya baik mengenai isi maupun bentuknya. Jika berhadapan dengan hukum memaksa (dwingen recht) maka kebebasan itu tidak ada, dan para pihak tidak boleh atau dilarang mengatur hubungan-hubungan hukum mereka menyimpang dari aturan-aturan hukum yang memaksa tersebut.30 Kebebasan yang tanpa batas dalam suatu perjanjian memungkinkan terjadinya pemaksaan dan eksploitasi oleh satu pihak terhadap pihak lainnya, sehingga berakibat pada terjadinya ketidakadilan. Oleh karena itu, Agus Yudha Hernoko berpendapat bahwa asas kebebasan berkontrak yang diderivasikan dari penafsiran pasal 1338 BW harus dibingkai oleh pasal-pasal lain dalam satu kerangka sistem hukum kontrak yang bulat dan utuh. Pasal-pasal tersebut antara lain:31 1. Pasal 1320 BW, mengenai syarat sahnya perjanjian (kontrak). 2. Pasal 1335 BW, yang melarang dibuatnya kontrak tanpa causa, atau dibuat berdasarkan suatu kausa yang palsu atau terlarang, dengan konskuensi tidaklah mempunyai kekuatan. 3. Pasal 1337 BW, yang menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. 4. Pasal 1338 (3) BW, yang menetapkan bahwa kontrak harus dilaksanakan dengan itikad baik. 5. Pasal 1339 BW, menunjuk terikatnya perjanjian kepada sifat, kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Kebiasaan yang dimaksud dalam pasal 1339 BW bukanlah kebiasaan setempat, akan tetapi ketentuan-ketentuan yang dalam kalangan tertentu selalu diperhatikan. 6. Pasal 1347 BW mengatur mengenai hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya disetujui untuk secara diam-diam dimasukan ke dalam kontrak (bestandig gebruiklijk beding). Dengan mengaitkan satu sama lain pasal-pasal dalam BW mengenai ketentuan-ketentuan dalam melakukan perjanjian, maka kebebasan berkontrak tidak hanya dijamin dalam hukum perjanjian, namun pada saat bersamaan kebebasan tersebut harus dibingkai oleh rambu-rambu hukum lainnya. Hal ini berarti kebebasan para pihak dalam membuat kontrak perlu memerhatikan hal-hal sebagai berikut:32 a. Memenuhi syarat-syarat sahnya kontrak; b. Untuk mencapai tujuan para pihak, kontrak harus mempunyai kausa; c. Tidak mengandung kausa palsu atau dilarang undang-undang; 30 J.H. Nieuwenhuis, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Terjemahan Djasadin Saragih, t.p., Surabaya, 1985, h. 83 31 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Cet. IV, Prenada Media, Jakarta, 2014, h. 117-118 32 Ibid.
d. Tidak bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan, kesusilaan dan ketertiban umum; e. Harus dilaksanakan dengan itikad baik. Kebebasan berkontrak memang harus dibatasi bekerjanya agar kontrak yang dibuat berlandaskan asas itu tidak sampai merupakan perjanjian yang berat sebelah atau timpang. Bila kita mempelajari pasal-pasal BW, ternyata asas kebebasan berkontrak itu bukan berarti bebas mutlak dalam membuat perjanjian. Ada beberapa pembatasan yang diberikan oleh pasal-pasal BW terhadap asas ini yang membuat asas ini merupakan asas yang tidak tak terbatas, antara lain Pasal 1320 ayat (1); ayat (2); dan ayat (4), serta Pasal 1332, 1337 dan 1338 ayat (3) BW. Ketentuan Pasal 1320 ayat (1) BW memberikan petunjuk bahwa hukum perjanjian dikuasai oleh "asas konsensualisme". Ketentuan Pasal 1320 ayat (1) tersebut juga mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi kontrak dibatasi oleh adanya kata sepakat pihak lainnya. Dengan kata, lain asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh asas konsensualisme. Dari Pasal 1320 ayat (2) BW dapat pula disimpulkan bahwa kebebasan orang untuk membuat kontrak dibatasi oleh kecakapannya untuk membuat kontrak. Bagi seseorang yang menurut ketentuan undang-undang tidak cakap untuk membuat kontrak, sama sekali tidak mempunyai kebebasan untuk membuat kontrak. Pasal 1320 ayat (4) jo 1337 BW menentukan bahwa para pihak tidak bebas untuk membuat kontrak yang menyangkut causa yang dilarang oleh undang-undang atau bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Kontrak yang dibuat untuk causa yang dilarang oleh undang-undang atau bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan ketertiban umum adalah tidak sah. Pasal 1332 memberikan arti mengenai kebebasan pihak untuk membuat kontrak sepanjang yang menyangkut objek kontrak. Menurut Pasal 1332 tersebut adalah tidak bebas untuk memperjanjikan setiap barang apa pun. Menurut pasal tersebut hanya barang-barang yang mempunyai nilai eknomis saja yang dapat dijadikan objek perjanjian atau objek kontrak. Pasal 1338 ayat (3) BW menentukan tentang berlakunya "asas itikad baik" dalam melaksanakan kontrak. Berlakunya asas itikad baik ini bukan saja mempunyai daya kerja pada waktu kontrak dilaksanakan, melainkan juga sudah mulai bekerja pada waktu kontrak itu dibuat. Artinya, bahwa kontrak yang dibuat dengan berlandaskan itikad buruk, misalnya atas dasar penipuan, maka perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian, asas itikad baik mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak membuat perjanjian tidak dapat diwujudkan sekehendaknya, tetapi dibatasi oleh itikad baiknya. Sekalipun asas kebebasan berkontrak yang diakui oleh BW pada hakikatnya banyak dibatasi oleh BW itu sendiri, tetapi daya kerjanya masih sangat longgar. Kelonggaran ini telah menimbulkan ketimpangan-ketimpangan dan ketidakadilan bila para pihak yang membuat kontrak tidak sama kuat kedudukannya atau mempunyai posisi tawar (bargaining position) yang tidak sama.33 Karena itu, dalam posisi yang tidak seimbang pihak yang secara ekonomis kedudukannya sangat kuat atau dominan tidak boleh mengambil kesempatan ketika membuat perjanjian dengan pihak yang secara ekonomis posisinya lebih lemah. Apabila hal itu terjadi maka
33
Sutan Remy Sjahdeini, op. cit., h. 4
perjanjian yang dibuat atas dasar penyalahgunaan keadaan secara hukum dapat dibatalkan di pengadilan. Dengan demikian asas kebebasan berkontrak yang terdapat dalam pasal 1338 BW tidak bersifat absolut, dalam keadaan tertentu hakim berwenang melalui tafsiran hukum untuk meneliti dan menilai serta menyatakan bahwa kedudukan para pihak dalam suatu perjanjian berada dalam keadaan yang tidak seimbang sedemikian rupa sehingga salah satu pihak dianggap tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya. Kebebasan berkontrak secara mutlak karena para pihak kedudukannya seimbang sepenuhnya dalam tataran praktis jarang terjadi, biasanya selalu ada pihak yang lebih lemah dari pihak yang lain. Karena itu, moral mengajarkan janganlah mencari kesempatan dalam kesempitan. Dalam ilmu hukum, moral tersebut disebut misbruik van omstandigheden (penyalahgunaan kesempatan atau penyalahgunaan keadaan). Penyalahgunaan kesempatan dapat digunakan dalam kategori cacat dalam menentukan kehendaknya untuk memberikan persetujuan. Hal ini merupakan alasan untuk menyatakan batal atau membatalkan suatu perjanjian yang tidak diatur dalam undang-undang, melainkan merupakan suatu konstruksi yang dapat dikembangkan melalui yurisprudensi. Penyalahgunaan keadaan merupakan atau dianggap sebagai faktor yang membatasi atau mengganggu kehendak bebas (free will) dari para pihak untuk menentukan maksud dan isi perjanjian. Salah satu keadaan yang dapat dan sering disalahgunakan ialah adanya kekuasaan ekonomi (economish overwicht) pada salah satu pihak, yang mengganggu keseimbangan antara kedua belah pihak sehingga adanya kehendak bebas untuk memberikan persetujuan yang merupakan salah satu syarat bagi sahnya suatu persetujuan menjadi tidak ada. Yang penting ialah menciptakan beberapa titik taut yang merupakan dasar bagi hakim untuk menilai secara adil apakah suatu keadaan dapat ditafsirkan sebagai kekuasaan ekonomi yang disalahgunakan sehingga mengganggu keseimbangan antara pihak dan membatasi kebebasan kehendak pihak yang bersangkutan untuk memberikan persetujuan. Disini terletak wewenang hakim untuk menggunakan interpretasi sebagai sarana hukum untuk melumpuhkan perjanjian yang tidak seimbang. Banyak faktor yang dapat memberikan indikasi adanya penyalahgunaan kekuasaan ekonomi untuk dipertimbangkan oleh hakim. Kalau ternyata ada syaratsyarat yang diperjanjikan yang sebenarnya tidak masuk akal atau yang tidak patut atau bertentangan dengan perikemanusiaan (onredelijke contractsvoorwaarden atau unfair contract terms), maka hakim wajib memeriksa dan meneliti in concreto faktor-faktor apa yang bersifat tidak masuk akal, tidak patut, atau tidak berperikemanusiaan tersebut. Begitu pula kalau ternyata pihak debitur berada dalam keadaan tertekan (dwang positie), maka hakim wajib meneliti apakah in concreto terjadi penyalahgunaan ekonomis. Selanjutnya, juga kalau terdapat keadaan dimana debitur tidak ada pilihan lain kecuali mengadakan perjanjian dengan syarat-syarat yang memberatkan. Terakhir, dapat disebut keadaan dimana nilai dan hasil perjanjian tersebut sangat tidak seimbang kalau dibandingkan dengan prestasi timbal balik dari para pihak, dalam hal ini hakim wajib meneliti apakah in concreto terjadi penyalahgunaan kekuasaan ekonomis. Dengan demikian jelaslah bahwa dengan adanya asas kebebasan berkontrak tidak berarti para pihak bebas sebebas-bebasnya dalam menentukan isi perjanjiannya. Kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian kita dibatasi oleh undang-undang,
kesusilaan, dan ketertiban umum, serta tidak dibuat atas dasar penyalahgunaan keadaan berdasarkan penilaian dan kewenangan hakim. 5. Kesimpulan Asas kebebasan berkontrak dalam hukum perdata kita merupakan refleksi dari sistem terbuka (open system) dari hukum perjanjian sebagaimana diatur dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang tidak lain merupakan terjemahan dari Burgerlijk Wetboek (BW). Asas yang terkandung dalam Pasal 1338 ayat (1) BW ini pada intinya bermakna bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian dengan orang lain, apapun isinya dan apapun bentuknya. Keberadaan asas kebebasan berkontrak sebagai bagian dari hak asasi setiap orang untuk membuat perjanjian menurut kehendak dan pilihan para pihak itu sifatnya universal. Tidak hanya dikenal dan diakui dalam sistem hukum perdata Barat, tetapi juga dikenal dan diakui dalam sistem hukum perdata di negara beradab manapun, termasuk dalam sistem hukum Islam. Meskipun pada prinsipnya para pihak dalam perjanjian memiliki kebebasan membuat perjanjian dan perjanjian yang mereka buat mengikat seperti undangundang. Namun, undang-undang itu sendiri (pasal 1337 BW) membatasi daya berlakunya asas tersebut manakala perjanjian yang mereka buat bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum. Dengan demikian asas kebebasan berkontrak yang terdapat dalam pasal 1338 BW tidak bersifat absolut. Dalam keadaan tertentu, bahkan hakim berwenang menilai dan menyatakan bahwa suatu perjanjian yang dibuat para pihak dalam keadaan yang tidak seimbang sedemikian rupa sehingga salah satu pihak dianggap tidak memiliki kebebasan untuk menyatakan kehendaknya dapat dibatalkan, meskipun hal itu dibuat berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Seseorang yang dalam keadaan terpaksa pada hakikatnya tidak lagi memiliki kebebasan untuk membuat kontrak sesuai dengan kehendak bebasnya (free will).
DAFTAR PUSTAKA
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian. Cet. IV, Prenada Media, Jakarta, 2014 Asser-Rutten II, Algemene Leer der Overeenkomsten, 6-e druk, Zwolle, 1982 Departemen Agama R.I., Al Qur’an dan Terjemahnya Disertai Tanda-tanda Tajwid dengan Tafsir Singkat: Al Qur’an Bayan, CV Bayan Qur’an, Jakarta, 2009 Djasadin Saragih, “Praktek-praktek Rentenir: Penyalahgunaan Kebebasan Berkontrak”, Majalah Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, No. 2 Tahun I, Juli-September 1980 Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet. V, Balai Pustaka, Jakarta, 1983 Mariam Darus Badrulzaman, dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, Cet. I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001 Nieuwenhuis, J.H., Pokok-pokok Hukum Perikatan, Terjemahan Djasadin Saragih, t.p., Surabaya, 1985 Pitlo, A., Suatu Pengantar Azas-azas Hukum Perdata, Terjemahan Djasadin Saragih, Alumni, Bandung, 1973 Soetojo Prawirohamidjojo, R., dan Marthalena Pohan, Hukum Perikatan, Cet. II, Bina Ilmu, Surabaya, 1984 Sri Koesoemo Dhewi, R.A., Hukum Privat dalam Gerak, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 1987 Subekti, Hukum Perikatan, Intermasa, Jakarta, 1984 Suryodiningrat, R.M., Azas-azas Hukum Perikatan, Cet. II, Tarsito, Bandung, 1985 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Hukum yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Cet. I, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993 Theo Huibers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Cet. III, Kanisius, Yogyakarta, 1986 http://nurmaliaandriani95.blogspot.co.id/2013/06/asas-kebebasan-berkontrak.html