Tema puisi esai bukan saja beragam, melainkan juga memberikan dimensi-dimensi baru pada puisi Indonesia modern, kalau tidak membawa tema yang baru sama sekali. Puisi esai telah menyajikan tema-tema yang sejauh ini jarang bahkan tak pernah kita temukan dalam puisi Indonesia. Ini menggembirakan. Yang lebih penting lagi, karena tema puisi esai selalu merupakan masalah sosial, maka puisi esai mengekspresikan tanggung jawab moral dan komitmen sosial puisi Indonesia mutakhir. Dalam puisi esai tema selalu berkaitan dengan fenomena faktual di luar puisi. Puisi esai dalam buku ini mengemukakan kisah berbeda-beda, berikut korban utamanya masing-masing. [] Jamal D. Rahman, penyair, pemimpin redaksi Horison dan Jurnal Sajak
Dari Singkawang ke Sampit
Agus R. Sarjono, Ketua Juri Lomba Menulis Puisi Esai
Kumpulan Puisi Esai
Yang segera terasa dari Lomba Menulis Puisi Esai adalah beragamnya tema. Aku lirisnya pun beragam: anggota punk, penari erotis, pramugara, anak koruptor yang galau, koruptor yang bahagia, pengagum presiden yang kecewa, orang Kubu, masyarakat terasing, tokoh sejarah nasional dan lokal, sosok pemberitaan, pencuri coklat, pembunuh keji, santri korban pelecehan, pelaku mistik, orang kota yang ingin bunuh diri, etnis minoritas merangkap pelaku transgender, warga Tionghoa Singkawang yang “dijual” ke Taiwan, buruh tani, TKW, pemain band, politisi, perusuh, dll. Hal ini menunjukkan bahwa puisi esai telah membuka katup tematik berbagai urusan Indonesia yang selama ini tidak pernah mengemuka dan jarang –jika bukan “tabu”— disuarakan dalam puisi konvensional. Kebhinekaan Indonesia yang selama ini tidak begitu terlihat, tiba-tiba muncul dengan penuh warna.[]
Pengantar
Jamal D. Rahman
Dari Singkawang ke Sampit Kumpulan Puisi Esai Arief Setiawan Arif Fitra Kurniawan Catur Adi Wicaksono Hanna Fransisca Jenar Aribowo
Ilustrasi
Isa Perkasa
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT Kumpulan Puisi Esai Hanna Fransisca Arief Setiawan Arif Fitra Kurniawan Jenar Aribowo Catur Adi Wicaksono
KUMPULAN PUISI ESAI
1
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT Kumpulan Puisi Esai © Jurnal Sajak Hak cipta dilindungi undang-undang. All right reserved. Editor dan Pengantar Jamal D. Rahman Ilustrasi Isa Perkasa Disain Sampul & Reka Letak Andi Espe Cetakan ke-1, Januari 2013 164 hlm. 13 x 18,5 cm
ISBN 978-602-17438-4-3
Diterbitkan pertama kali oleh PT JURNAL SAJAK INDONESIA Jl. Bhineka Permai Blok T No. 6 Mekarsari, Depok, Indonesia Telp/Faks. 021-8721244 Email:
[email protected]
2
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Daftar Isi
Pengantar Masalah Tema, Intrinsikalitas, dan Catatan Kaki Jamal D. Rahman
5
Singkawang Petang Hanna Fransisca
45
Ngati Arief Setiawan
65
Bukan Lagi Rahasia Kita, Raisa Arif Fitra Kurniawan
91
Suara-suara Ingatan Jenar Aribowo
117
Jejak Cinta Madun di Kota Sampit Catur Adi Wicaksono
139
Biodata Penyair
163
KUMPULAN PUISI ESAI
3
4
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Masalah Tema, Intrinsikalitas, dan Catatan Kaki Jamal D. Rahman
P
uisi esai merupakan salah satu fenomena penting dalam sastra Indonesia hari ini hingga beberapa tahun ke depan, sebagiannya karena adanya sambutan penuh antusias dari berbagai kalangan. Sejak digemakan Denny JA di paro pertama tahun 2012, gagasan puisi esai mendapat tanggapan dan sambutan relatif luas, baik di ranah karya kreatif maupun di ranah kritik dan pemikiran sastra. Di ranah karya kreatif, gagasan puisi esai mendorong beberapa orang, baik penyair maupun intelektual, untuk menulis puisi esai. Yang sudah terbit di antaranya adalah Kutunggu Kamu di Cisadane (2012) karya Ahmad Gaus dan Manusia Gerobak (2013) karya Elza Peldi Taher. Lebih dari itu, di ranah karya kreatif ini, antusiasme publik sastra terhadap gagasan puisi esai terlihat terutama dari banyaknya peserta Lomba Menulis Puisi Esai yang diselenggarakan oleh Jurnal Sajak antara Juli-Oktober 2012. Lomba tersebut diikuti oleh 428 peserta dari berbagai daerah Indonesia, dengan
KUMPULAN PUISI ESAI
5
panjang puisi masing-masing minimil 10 ribu karakter. Sebagian dari mereka adalah nama-nama yang sudah cukup dikenal dalam khazanah sastra Indonesia; sebagian lainnya merupakan nama-nama relatif baru. Dan, tak sedikit peserta dari profesi non-sastra, misalnya aktivis, akademisi, dan peneliti sosial. Yang bukan penyair tak ambil bagian, diktum Chairil Anwar itu, tak berlaku di sini. Banyaknya peserta lomba itu agak mengejutkan, mengingat puisi esai merupakan bentuk yang tidak lazim dalam tradisi umum puisi kita hari ini. Bentuknya yang panjang (dan bersifat naratif) merupakan tantangan tersendiri bagi para penyair yang kebanyakan lebih terbiasa menulis puisi pendek. Di samping itu, catatan kaki —yang mutlak dalam puisi esai— menuntut ketekunan, ketelitian dan riset serius terhadap suatu subjek, bahkan jika perlu penelitian lapangan. Tapi di sisi lain, mungkin justru karena itu puisi esai membuka peluang bagi banyak kalangan dari berbagai latar belakang dan profesi untuk juga menulis puisi esai, dan mengikuti lomba tersebut. Di atas semuanya, mutu pemenangnya pun cukup menjanjikan bahwa puisi esai punya harapan lebih baik di masa depan. Di ranah pemikiran dan kritik sastra, sambutan antusias terlihat dari cukup maraknya diskusi tentang 6
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
puisi esai, khususnya tentang puisi esai karya Denny JA sendiri, Atas Nama Cinta (2012), baik dilihat dari capaian estetik atau percobaan puitiknya maupun dari aspek tematik dan relevansi aktualnya bagi Indonesia hari ini dan masa depan. Hingga akhir tahun 2012 saja, setidaknya sudah ada 34 esai yang mendiskusikan puisi esai, ditulis oleh tokoh-tokoh lintas generasi dan lintas profesi di berbagai media massa terkemuka lokal dan nasional, di samping di forum-forum diskusi dan dunia maya. Di antara tokoh-tokoh —penyair, ilmuwan, kritikus, intelektual— yang ambil bagian dalam diskusi itu adalah Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Ignas Kleden, Leon Agusta, Agus R. Sarjono, Maman S. Mahayana, Arie MP Tamba, Anwar Putra Bayu, Firman Venayaksa, Indrian Koto, Alex R Nainggolan, Damhuri Muhammad, Zuhairi Misrawi, Novriantoni Kahar, Sulaiman Djaya, saya sendiri, dan banyak lagi.1 Pandangan mereka tentu beraneka rupa: ada suara kritis; ada pula suara apresiatif. Selanjutnya, ambil bagian pula D. Zawawi Imron yang menulis pengantar untuk buku puisi esai Elza Peldi
1
Tulisan mereka, yang sebagiannya semula dimuat di berbagai media cetak baik nasional maupun lokal, dapat diakses dalam http://puisi-esai.com/ category/puisi-esai-denny-ja/. Tulisan-tulisan terpenting kemudian dibukukan, disunting oleh Acep Zamzam Noor (2013).
KUMPULAN PUISI ESAI
7
Taher, Manusia Gerobak (2013). Juga Acep Zamzam Noor menulis pengantar untuk buku puisi esai kategori pemenang hiburan Lomba Menulis Puisi Esai (2013), sementara Sunu Wasono dan Nenden Lilis A menulis pengantar untuk buku puisi esai kategori puisi esai menarik dari lomba itu juga. Bisa dipastikan akan ada lagi penulis-penulis lain yang bakal melibatkan diri dalam diskusi yang asyik dan menantang ini. Sampai batas tertentu, sambutan relatif luas terhadap gagasan puisi esai tak pelak lagi menunjukkan antusiasme publik sastra dalam menyambut gagasan “baru” di bidang puisi, sekaligus menjanjikan harapan-harapan baru khususnya dalam bidang kritik dan pemikiran sastra kita. Dikatakan dengan cara lain, gagasan puisi esai telah menggerakkan apresiasi, kritik dan pemikiran sastra Indonesia dewasa ini. Sekali lagi, puisi esai digagas oleh Denny JA. Dia sendiri telah menulis 5 puisi esai bertemakan diskriminasi sosial, dibukukan dengan judul Atas Nama Cinta (2012). Denny JA telah merumuskan kriteria puisi esai, yakni (Denny JA, 2012: 11): Pertama, ia mengeksplor sisi batin, psikologi dan sisi human interest pelaku. Kedua, ia dituangkan dalam larik dan bahasa yang diikhtiarkan puitik dan mudah dipahami. Ketiga, ia tak hanya memotret pengalaman batin individu tapi juga konteks fakta sosialnya. Kehadiran catatan kaki dalam karangan menjadi sentral.
8
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Keempat, ia diupayakan tak hanya menyentuh hati pembaca/pemirsa, tapi juga dicoba menyajikan data dan fakta sosial.
Saya tidak akan mendiskusikan lagi konsep puisi esai di sini, kecuali sehubungan dengan 5 puisi esai dalam buku ini.2 Sebagai pemenang hiburan Lomba Menulis Puisi Esai, kelima puisi esai tersebut tentulah memenuhi kriteria teknis puisi esai itu sendiri. Dengan membaca kelima puisi esai tersebut, sudah tentu kita bisa mendiskusikan beberapa segi menarik dan menantang tentang puisi esai secara umum —dengan segala kelemahan dan kekuatannya. Namun di sini saya hanya akan membatasi pembicaraan pada 3 segi yang menurut saya sangat penting —bahkan paling penting— dari kelima puisi esai dalam buku ini. Tiga segi dimaksud adalah tema, intrinsikalitas puisi, dan catatan kaki. Kesan dan kesimpulan-kesimpulan saya secara induktif bisa ditarik ke tataran puisi esai secara general, paling
2
Saya telah mendiskusikan puisi esai dalam dua tulisan berbeda. Dalam tulisan pertama (2012a), saya melihat gagasan puisi esai dari sudut Denny JA sebagai ilmuwan sosial, dan arti pentingnya bagi puisi kita hari ini. Dalam tulisan kedua (2012b), yang merupakan pengantar untuk buku puisi esai Kutunggu Kamu di Cisadane karya Ahmad Gaus, saya mendiskusikan problem teoritis fiksionalisasi fakta dalam puisi esai, atau lebih umum problem teoritis hubungan fakta dan fiksi sebagaimana mengemuka dalam puisi esai, khususnya karya Ahmad Gaus.
KUMPULAN PUISI ESAI
9
tidak sampai batas tertentu. Dalam batas yang lain berlaku sebaliknya: kesan dan kesimpulan saya tentang puisi esai secara deduktif akan ditarik ke puisi esai dalam buku ini. Di samping itu, kesan dan kesimpulan saya bisa pula berlaku hanya untuk (penulis) puisi esai tertentu. Tema: Perempuan sebagai Korban Apresiasi terhadap puisi esai pertama-tama harus diberikan pada temanya. Meskipun tema merupakan unsur intrinsik puisi (yang untuk kelima puisi esai dalam buku ini akan dibicarakan di bawah), pada hemat saya ia perlu mendapat tempat tersendiri karena kedudukan pentingnya dalam puisi esai, di samping hubungan ekstrinsiknya dengan dunia faktual di luar puisi. Dengan itu saya tidak bermaksud mengatakan bahwa dalam puisi esai isi lebih penting tinimbang bentuk, atau tema lebih utama dibanding estetika. Tidak. Tapi bagaimanapun tema tentu saja turut menentukan menarik-tidaknya atau berhasil-tidaknya karya sastra serta arti penting dan sumbangannya pada khazanah pemikiran dan gerakan kebudayaan pada umumnya. Bahwa puisi esai telah menyuguhkan tema yang cukup beragam —kalau tak akan dikatakan berlimpah— dan secara umum mengemukakan simpati bahkan empati pada korban-korban 10
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
sosial, pada hemat saya hal itu telah memberikan nilai penting tersendiri. Bagaimanapun puisi esai telah memperkaya tema puisi Indonesia dengan tema-tema yang sejauh ini nyaris tak terbayangkan dalam puisi kita. Pada saat yang sama, ia memenuhi panggilan dan tanggung jawab moral puisi pada masalah sosial, manusia, dan kemanusiaan kita secara umum. Dengan demikian, sekali puisi esai mendayung dua-tiga pulau terlampaui: memperkaya tema, memenuhi tanggung jawab moral, menegaskan komitmen sosial, dan seterusnya. Khususnya dalam hal tema, puisi esai adalah Christopher Columbus: setiap saat mencari pulau baru, dan begitu menemukan sebuah pulau ia akan berangkat berlayar lagi untuk menemukan pulau baru yang lain —dan sudah cukup banyak pulau baru ditemukan. Puisi esai telah menjelajahi beberapa geografi tema baru, dengan masalah sosial-budayanya yang kompleks, yang diam-diam penuh benturan atau secara terbuka mengandung konflik. Di tengah itu semua tentu banyak individu menjadi korban dalam pertembungan lunak atau perseteruan keras dalam kehidupan sosial yang tenang atau penuh goncangan. Sebagian dari pulau baru tema itu sudah sering dan santer kita dengar dari berbagai sumber informasi, atau samar-samar kita dengar, atau jarang bahkan tak pernah kita dengar sebelumnya. KUMPULAN PUISI ESAI
11
Yang pasti, banyak tema puisi esai yang selama ini jarang kita dengar dalam puisi kita. Kalau pun bukan hal yang sama sekali baru, puisi esai setidaknya memberikan dimensi-dimensi baru terhadap aspek tematik puisi Indonesia. Tema yang jarang atau bahkan tak pernah kita dengar —apalagi dalam puisi— adalah mitos yang hidup di kalangan orang-orang Tionghoa Singkawang, Kalimantan Barat, yaitu bahwa Taiwan adalah negeri para dewa. Karenanya, gadis yang beruntung menikah dengan pria Taiwan dipercaya akan dilimpahi rejeki dan kemakmuran atas restu para dewa. Maka orangtua pun ingin dan memaksa anak-anak gadisnya berjodoh dengan pria Taiwan, meski tanpa kemauan dan kesediaan gadis itu sendiri. Salah satu konvensi perkawinan itu adalah bahwa si pria Taiwan harus membayar uang susu atau mahar dalam jumlah tertentu kepada orangtua sang dara. Dari uang susu itu, orangtua membeli parabola dan perabotan keluarga yang cukup mewah sebagai simbol kemakmuran dan kesuksesan sosial, ekonomi, dan budaya. Puisi esai Hanna Fransisca, “Singkawang Petang”, melukiskan derita tiga dara Tionghoa bersaudara yang dipaksa orangtuanya kawin dengan pria Taiwan. Su Yin, anak tertua, tidak mau mengikuti kehendak orangtuanya. Dia memilih kabur ke Jakarta. Li Na, adiknya, dinikahkan 12
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
dengan pria Taiwan dan ikut sang suami ke sana, namun kemudian tak ada kabar beritanya lagi. Susan, si bungsu, juga dikawinkan dengan pria Taiwan dan ikut sang suami pula ke sana, namun akhirnya bunuh diri. Sementara itu, tema pelacuran sudah lama kita dengar dalam puisi, antara lain puisi Rendra (“Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta”) dan F Rahardi (“Sumpah WTS”). Tapi puisi dua penyair itu adalah suara dari abad lalu, yang dari diksi dan masalah yang dikemukakannya jelas mewakili bahasa dan masalah zaman tersebut. Dan, bahasa menggambarkan persepsi sosial zaman itu sendiri: mereka menyebut perempuan penjaja seks sebagai pelacur dan wanita tuna susila — yang secara sosial dan normatif jelas mengandung arti dan konotasi negatif. Puisi esai mengemukakan sekaligus mencatat terjadinya pergeseran bahasa, dan dengan demikian pergeseran persepsi sosial tentang perempuan penjaja seks berikut masalah barunya yang muncul. Dalam puisi esai “Bukan Lagi Rahasia Kita, Raisa”, Arif Fitra Kurniawan tidak terang-terangan menggunakan diksi pelacur atau wanita tuna susila sebagaimana Rendra dan F Rahardi. Diksi pelacur dan wanita panggilan (yang berkonotasi negatif dan merendahkan itu) memang digunakan, namun dalam sudut-pandang tokoh Raisa, pekerja seks komersial. Dengan demikian, diksi tersebut KUMPULAN PUISI ESAI
13
digunakan lebih sebagai ironi. Dalam catatan kaki puisi esai itu, Arif menggunakan diksi pekerja seks komersial (PSK), yang berkonotasi netral dan kian luas digunakan dalam komunikasi sosial sejak sekitar sepuluh tahun terakhir. Yang tak kalah penting, atau bahkan lebih penting lagi, puisi esai Arif mengemukakan masalah baru dan mengerikan yang dihadapi perempuan penjaja seks, yaitu terjangkitnya virus HIV/AIDS. Raisa, tokoh dalam puisi esai tersebut, adalah penjaja seks yang akhirnya meninggal karena terserang virus mematikan itu. Secara keseluruhan, puisi esai Arif memberikan simpati pada Raisa sebagai korban sosial, ekonomi, dan budaya. Masalah tenaga kerja wanita (TKW) juga santer kita dengar dari berbagai sumber informasi, dan sayup-sayup dalam puisi. Dalam puisi esai kita dengar hal itu dari puisi Denny JA (“Minah Minah Dipancung”). Masalah TKW yang sering kita dengar adalah penyiksaan terutama oleh majikan dan hukum pancung terhadap TKW di Arab Saudi, seperti juga dalam puisi Denny. Berbeda dengan itu, puisi esai “Ngati” karya Arief Setiawan mencatat derita TKW di Hongkong. Ngati, perempuan yang karena tekanan ekonomi rela meninggalkan anak semata wayang dan suaminya demi menjadi TKW di Hongkong, mengalami tekanan mental 14
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
akibat dipecat secara sepihak oleh majikannya, dan tentu tekanan psikologis pula, apalagi berpisah jauh dengan anak dan suaminya. Karena depresi berat, Ngati akhirnya mengalami gangguan mental, dan dirawat di rumah sakit jiwa. Itulah sisi lain derita TKW kita, yang jarang atau bahkan tak pernah kita dengar. Dengan demikian, puisi esai Arief Setiawan adalah suara sedih yang lain atas derita TKW kita yang lain —yang kalaupun tidak menghadapi ancaman nyawa seperti sering terjadi di Arab Saudi— menghadapi ancaman gangguan mental yang amat serius. Sudah tentu puisi esai itu bersimpati pada tokoh Ngati itu. Sementara itu, kerusuhan etnis Dayak dan Madura di Sampit pada tahun 2001 —yang menelan banyak korban secara mengerikan— merupakan berita besar yang sudah sering kita dengar dari berbagai sumber. Namun sejauh ini, sejauh saya tahu, tak ada puisi yang mengangkat tema tersebut. Kalau pun ada, dibanding besarnya peristiwa itu sendiri, secara kuantitatif kiranya tidak berarti. Kita nyaris tak pernah mendengar peristiwa besar itu dalam puisi kita. Adalah puisi esai “Jejak Cinta Madun di Kota Sampit” karya Catur Adi Wicaksono yang mencatat kerusuhan tersebut, puisi mana melukiskan kerusuhan dan terutama korban konflik antarsuku itu. Tokoh puisi esainya adalah KUMPULAN PUISI ESAI
15
Madun, pemuda Madura yang merantau ke Sampit hingga akhirnya jatuh cinta pada Serumpai, gadis Dayak di sana. Mereka pun menjalin cinta-kasih dengan mesra. Ketika terjadi kerusuhan, di mana orang Dayak mengusir orang Madura dari Sampit, Serumpai membantu menyelamatkan Madun. Pemuda itu terpaksa meninggalkan Serumpai, pulang ke kampung halamannya. Dari Madura, Madun berkirim surat kepada Serumpai, mengemukakan rindu dan cintanya yang tetap menyalanyala. Tapi surat itu tak berbalas, entah kenapa. Maka, Madun pun berangkat lagi ke Sampit untuk menemui kekasihnya, namun sia-sia. Cinta mereka kandas. Di sini, konflik etnis telah menelan korban jalinan cinta-kasih Madun dan Serumpai, yang tak ada sangkut-pautnya dengan konflik etnis itu sendiri. Sudah sering pula kita dengar soal derasnya arus urbanisasi ke ibukota Jakarta, yang antara lain didorong oleh relatif rendahnya sumber daya ekonomi desa (daerah) di satu sisi dan terpusatnya sumber daya ekonomi di ibukota di sisi lain. Tapi toh ibukota tak selalu menjamin kemakmuran orang yang terhimpit ekonomi di desa atau daerah. Puisi esai “Suara-Suara Ingatan” karya Jenar Aribowo mengisahkan tokoh Suti yang mencoba mengadu nasib di Jakarta, tapi akhirnya kandas. Meski terkesan artifisial dan klise, kisahnya 16
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
sendiri menyedihkan. Ayah Suti adalah korban pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat krisis ekonomi yang melanda Indonesia di tahun 1998, dan akhirnya menjadi penarik becak. Karena tekanan ekonomi yang berat, sang ayah meminta Suti berhenti sekolah. Tak lama kemudian orangtua Suti meninggal dunia. Untuk menyambung hidup, Suti terpaksa bekerja di Jakarta, namun tak lama kemudian dia berhenti bekerja karena tak tahan dengan intimidasi majikannya. Selanjutnya dia pulang ke desa dan bekerja sebagai penjaga kios. Sang pemilik kios kemudian menjadikan Suti sebagai anak angkatnya. Jadi, siapakah yang dapat menolong rakyat yang terhimpit kemiskinan, dan gagal pula mencari penghidupan di ibukota? Jawaban puisi esai “SuaraSuara Ingatan” jelas: bukan negara, bukan pula Jakarta, melainkan sesama rakyat di daerah. Negara hanyalah sesuatu yang absen dalam menyelamatkan warganya sendiri dari tsunami kemiskinan. Maka rakyat hanya mungkin diselamatkan oleh sesama rakyat. Jakarta distereotifikasi sebagai ibukota yang kejam pula, sehingga ibukota negara pun tak bisa membantu. Terutama karena berbentuk cerita, puisi esai selalu mengemukakan masalah sosial. Sudah tentu masalah sosial dalam puisi esai memiliki kaitan referensial dengan dunia objektif dan ekstrinsik di luar puisi esai itu sendiri. KUMPULAN PUISI ESAI
17
Dalam arti itu, apa yang dikemukakan puisi esai menggambarkan masalah-masalah sosial kita, sekaligus menggambarkan pandangan, sikap, dan gagasan para penyairnya khususnya tentang masalah yang mereka bicarakan. Pertama-tama dapatlah dikatakan bahwa, paling tidak di mata penyair, setiap masalah dalam puisi esai merupakan masalah sosial yang penting, yang menuntut kepedulian dan keberpihakan dunia puisi kita. Maka tak pelak lagi puisi esai di satu sisi merekam berbagai fenomena sosial kita. Di sisi lain, ia menyuarakan kepedulian dan keberpihakan puisi terhadap beberapa masalah sosial kita yang krusial, dengan korban-korban kemanusiaannya yang serius, yang sebagiannya berkaitan dengan politik dan sebagiannya lagi berkaitan dengan budaya. Dari pembicaraan tentang tema di atas, yang segera tampak dari kelima puisi esai dalam buku ini bukan hanya keragaman dan kebaruan temanya, melainkan juga masalah-masalah sosial yang dikemukakannya berikut manusia-manusia yang menjadi korban masalah sosial itu sendiri. Setiap masalah sosial rupanya selalu meminta korban manusia dan kemanusiaan. Yang menarik adalah bahwa korban-korban masalah sosial itu hampir semuanya perempuan. Raisa, Ngati, Su Yin, Li Na, Susan, dan Suti adalah kaum perempuan yang 18
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
semuanya jadi korban persoalan hidup yang mereka hadapi, persoalan mana merupakan masalah sosial. Hanya Madun lelaki yang jadi korban. Tapi kita bisa bayangkan, kekasihnya Serumpai adalah juga perempuan yang menderita setelah cintanya dengan Madun kandas akibat kerusuhan etnis. Dengan demikian, dari buku puisi esai ini satu hal jelas: korban pertama dan utama setiap masalah sosial adalah kaum perempuan. Intrinsikalitas Puisi Esai Dari sudut estetika, tingkat keberhasilan puisi esai bagaimanapun haruslah dilihat dari struktur intrinsik puisi esai itu sendiri. Tema yang menarik sejatinya didukung oleh intrinsikalitas puisi, atau sebaliknya struktur intrinsik puisi yang baik akan memperkuat tema dan gagasan yang diusungnya. Ada banyak peralatan puisi yang mungkin dimanfaatkan penyair untuk mencapai tingkat estetika tertentu, baik dengan setia pada konvensi atau justru mendobraknya. Sudah tentu penyair punya alasan dan pertimbangan tertentu kenapa atau untuk apa dia setia pada konvensi, dan kenapa atau untuk apa pula dia melanggarnya. Karena alat utama puisi adalah bahasa, maka pertanyaan kita adalah sejauhmana puisi esai mengeksplorasi bahasa untuk mencapai keindahan dalam mengemukakan sebuah KUMPULAN PUISI ESAI
19
gagasan, yang dengannya secara maksimal atau kurang maksimal puisi esai mungkin memanfaatkan berbagai unsur intrinsik puisi yang tersedia, misalnya metafor, metrum, dan rima. Selain bahasa, satu hal yang juga penting dalam puisi esai pada hemat saya adalah struktur ceritanya. Sebab, semua puisi esai sejauh ini merupakan puisi naratif. Dengan demikian, cerita sesungguhnya merupakan unsur intrinsik puisi esai, bahkan merupakan salah satu unsurnya yang sangat penting. Dan itulah juga yang membedakan puisi esai dengan puisi pada umumnya. Sudah tentu cerita mengandung unsur-unsur intrinsiknya sendiri, di antaranya adalah tokoh, latar, cerita, konflik, klimaks, bahasa, narator, tema, logika, dll. Dalam banyak hal unsur-unsur intrinsik cerita berbeda dengan unsur-unsur intrinsik puisi. Nah, kalau cerita mengandung anasir intrinsiknya sendiri, dan puisi mengandung anasir intrinsiknya sendiri pula, maka sesungguhnya ada intrinsikalitas cerita dalam intrinsikalitas puisi esai, dimana hubungan antara keduanya tentu saja begitu kompleks. Maka itu, intrinsikalitas puisi esai sebenarnya lebih kompleks dibanding intrinsikalitas puisi pada umumnya. Namun karena berbagai keterbatasn, kita tidak akan mendiskusikan masalah ini terlalu jauh di sini. Cukuplah nanti disinggung serba sekilas sejauhmana 20
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
struktur cerita cukup meyakinkan dalam buku puisi esai ini. Pada hemat saya, puisi esai Hanna Fransisca sangat berhasil dari sudut estetika bahasa. Puisi esai tersebut sudah menjanjikan sejak dari judulnya: judul puisi itu —”Singkawang Petang”— bukan saja indah secara rima, melainkan juga membangkitkan suasana dan asosiasi yang nanti sejalan dengan seluruh nada dan isi puisi. Yaitu suasana petang di Singkawang. Suasana tersebut menimbulkan asosisi yang sepintas tampak nyaman namun sesungguhnya di balik petang itu ada gelap yang bisa berpuncak pada gelap-gulita. Suasana muram membayang sepanjang cerita, memperkuat nada dan isi puisi —yang memang terasa sedih, bahkan pedih. Di samping itu, puisi esai tersebut memanfatkan peralatan puisi lainnya secara cukup maksimal, seperti rima dan metrum yang terasa berteratap, larik-larik panjang dan pendek yang efektif dan berirama, dan sebagainya. Hal lain yang menarik perhatian saya adalah cara Hanna menggunakan metrum di beberapa bagian puisinya. Contohnya:
KUMPULAN PUISI ESAI
21
... Di rembang petang minggu kedua. Lelaki pengunyah pinang datang bertandang. Aduhai dentang Singkawang. Seribu kuil membakar dupa, seribu sumpah dibakar neraka: bukankah ia terlalu tua? Mata keriput berlipat birahi, dari umur berbau kubur. Menarilah wahai samsara. Dosa dan dukana, terhempas dara di ceruk padas. Genderang Dewa menabuh perang. Di ladang-ladang, hamparan jagung batang kerontang. Tanah retak jalanan simpang. Perawanku. Perawanku. Ada kelamin menggantung di kaki renta. Aduhai dara Singkawang, tataplah muka jadikan suka. Abang menunggu di negeri surga ....
Metrum yang digunakan Hanna sama dengan pola metrum syair (atau pantun) atau memang mengikutinya. Hal itu akan lebih terasa jika larik-larik yang berpola metrum syair disusun sesuai susunan larik syair (atau pantun), misalnya jadi begini: Di rembang petang minggu kedua Lelaki pengunyah pinang datang bertandang Aduhai dentang Singkawang Seribu kuil membakar dupa seribu sumpah dibakar neraka: bukankah ia terlalu tua? ...
22
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
hamparan jagung batang kerontang Tanah retak jalanan simpang Perawanku. Perawanku Ada kelamin menggantung di kaki renta Aduhai dara Singkawang, tataplah muka jadikan suka Abang menunggu di negeri surga.
Contoh bagian lain yang sangat dekat dengan pola syair, bahkan dengan rima dan metrum yang sangat teratur (maaf, Hanna, di sini saya susun dengan pola syair tradisional): ... Berlari girang kupu-kupu riang Burung di dahan menanti pulang Alangkah lapang langit Singkawang Ribuan amoi berkulit terang Siap dipinang menuju seberang ....
Dari contoh kutipan di atas kita lihat, dalam hal metrum, puisi esai Hanna jelas sama dengan pola metrum syair (atau memang mengikutinya) namun dilesapkan sedemikian rupa sebagai puisi bebas, sehingga penggunaan pola metrum syair itu terasa “modern”. Sebagaimana penggunaan rima, penggunaan metrum disebar di beberapa bagian puisi secara tidak teratur, dengan susunan larik yang tidak teratur pula. Ya, Hanna
KUMPULAN PUISI ESAI
23
memang tidak mengambil dan tidak pula setia sepenuhnya pada bentuk syair (atau pantun), namun juga tidak meninggalkan sepenuhnya bentuk puisi tradisional Melayu itu. Tentu saja hal itu menunjukkan adanya kesinambungan bentuk puisi tradisional dalam puisi Indonesia modern, sekaligus menunjukkan adanya usaha menyesuaikan bentuk puisi tradisional dengan konvensi puisi Indonesia modern itu sendiri. Yang kurang meyakinkan dari puisi esai Hanna adalah struktur ceritanya, terutama caranya menyelesaikan cerita. Sebagai cerita, terasa kisah tiga dara Tionghoa Singkawang itu belum selesai, tidak tuntas, atau diselesaikan dengan cara yang “mudah” dan begitu “mendadak”, khususnya akhir cerita Su Yin dan Li Na. Su Yin tiba-tiba kabur ke Jakarta. (Ah, alangkah beraninya seorang dara Singkawang berusia lima belas tahun tiba-tiba merantau ke Jakarta). Sementara Li Na, setelah ikut suaminya ke Taiwan tak ada kabar beritanya lagi. (Tak ada kabar beritanya lagi? Ya, itu hanya cara menyudahi riwayat Li Na). Dari cara menyudahi kisah tiga dara Tionghoa ini, hanya cara mengakhiri kisah Susan yang cukup meyakinkan. Setelah ikut suaminya ke Taiwan, Susan dikisahkan sebagai bukan siapa-siapa, disiksa oleh suaminya, bahkan dijual sebagai pelacur. Maka, kalau Susan akhirnya bunuh diri, kita tahu sebabnya —dan itu masuk akal. 24
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Karena puisi esai sejauh ini selalu mengisahkan sebuah cerita, dalam menulis puisi esai seseorang mungkin cenderung membayangkan menulis cerita pendek (cerpen) sebagai genre prosa (fiksi), disadarinya atau tidak. Jika puisi esai adalah cerita, maka dalam hal cerita tak ada beda antara puisi esai dan cerpen. Tidak mengherankan kalau kalimat dalam banyak puisi esai panjang-panjang, dan hubungan antarkalimat bersifat koheren sehingga membentuk satu bait yang mengemukakan sebuah gagasan, sebagaimana paragraf dalam cerpen. Di samping itu, kalimat-kalimatnya cenderung denotatif dan “terang-benderang”. Memang, jika sebuah cerita pendek disusun berlarik-larik sebagaimana lazimnya puisi dan dilengkapi dengan catatan kaki sebagaimana dituntut dalam puisi esai, maka cerpen tersebut dengan sendirinya akan jadi puisi esai. Dengan demikian, yang membedakan puisi esai dari cerpen pada akhirnya adalah struktur fisiknya, di samping catatan kaki tentu saja.3 Tapi bagaimanapun puisi esai pertama-tama adalah puisi. 3
Selain bisa dibandingkan dengan cerpen (prosa), puisi esai dapat pula dibandingkan dengan monolog (drama). Sebagaimana cerpen, monolog juga mengandung cerita. Karenanya, puisi esai dapat pula berbentuk monolog. Contoh puisi esai berbentuk monolog adalah karya Wendoko, “Telepon”, yang juga terpilih sebagai pemenang hiburan, dimuat dalam buku puisi esai Dari Rangin ke Telepon, dibicarakan oleh Acep Zamzam Noor.
KUMPULAN PUISI ESAI
25
Kecenderungan itu terlihat dalam puisi esai Arif Fitra Kurniawan, “Bukan Lagi Rahasia Kita, Raisa”. Dengan kalimat-kalimat yang bersih dan terang, juga dengan sintaksis yang rapi, larik-larik puisi itu terasa sebagai prosa yang puitis, dan karenanya ia lebih terasa sebagai prosa dibanding puisi. Berikut ini saya kutip dua bait (maaf, Arif, di sini saya susun tidak lagi sebagai bait puisi tapi sebagai paragraf prosa, dengan mempertahankan penggunaan huruf kecil yang tentu disengaja sebagai pelanggaran atas konvensi, yang memang lazim dilakukan penyair, namun tidak lazim dilakukan oleh pengarang cerpen): … namamu waktu itu raisa. memang bukan nama sesungguhnya, katamu, sekedar ingin menyamarkan kesedihan, seperti yang selama ini senantiasa media massa lakukan. seseorang merasa perlu diinisialkan, bukan karena ingin mengungkapkan berdasarkan kebohongan tapi memang seringkali ada yang mesti sedikit ditutupi dari kenyataan. … percakapan-percakapan kita terus mendengung, merambat berkilo-kilometer menempuh waktu dan ingatan. menghantam pikiran, sampai aku sadar, aku masih sendirian di pojok taman. rupanya engkau benarbenar tidak datang. aku curiga kota ini sengaja menyembunyikanmu, raisa. aku jadi merasa kecil, terlampau kecil untuk mengeluarkan jeritan. suaraku membentur
26
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
udara dan kembali lagi tanpa ada yang menimpali. kenapa tuhan menciptakan cara mencintai seperih ini. ….
Dengan mengubah struktur visualnya, maka puisi esai Arif Fitra Kurniawan di atas akan menjadi cerpen. Ini memang merupakan satu hal yang menarik secara teoritis: di manakah batas puisi esai dan cerpen? Apakah keduanya akhirnya hanya dibatasi oleh struktur visual, yaitu berlarik-larik dan berbait-bait pada puisi esai dan tidak pada cerpen? Kiranya puisi esai tersebut menunjukkan adanya ketegangan antara puisi esai di satu sisi dan cerpen di sisi lain —hal ini mengingatkan kita pada Putu Wijaya yang kadangkala membaurkan cerpen dan esai dalam cerpennya. Tapi kita tidak akan mendiskusikan persoalan teoritis ini di sini, sebab bagaimanapun puisi esai pertama-tama adalah puisi, yang tentu saja lebih menuntutnya bercorak puitis tinimbang prosais. Dalam pada itu, puisi esai Arief Setiawan, “Ngati”, dibuka dengan bait yang cukup menjanjikan, dengan rima akhir yang teratur (aaaa) dan metrum yang relatif teratur pula: Dari arah pantura ia. Menentang segala yang dianggap biasa bagi perempuan seusianya perempuan muda yang tak mau menyerah pada senja pada arah di mana cahaya seakan menyerah tak kuasa …. KUMPULAN PUISI ESAI
27
Selain rima dan metrumnya, yang menarik dari bait pertama itu adalah personifikasi yang digunakannya. Di situ, senja, arah, dan cahaya dipersonifikasi sedemikian rupa, yang dengannya bait tersebut mengemukakan suatu gagasan dengan metafor atau perbandingan. Perempuan muda dibandingkan dengan cahaya; hidup yang berat —yang dihadapi perempuan muda— dibandingkan dengan senja dan arah. Dikatakan bahwa perempuan muda itu tidak mau menyerah pada senja, tidak juga pada arah, sebagaimana cahaya menyerah pada senja dan arah itu sendiri. Jadi, perempuan muda itu bukanlah cahaya yang mudah menyerah pada senja dan arah setiap hari. Personifikasi dan metafor tersebut membangkitkan dimensi-dimensi emotif tentang sosok perempuan muda dan situasi batin serta masalah hidupnya, juga mengaktifkan asosiasi dan imajinasi pembaca dalam membayangkan segi-segi yang musykil tentang perempuan muda itu. Hal serupa terasa dari bait yang melukiskan perasaan Ngati —perempuan muda itu— saat mendengar kematian ayahnya di kampung sementara dia bekerja sebagai TKW di Hongkong: ... Seratnya yang putih gugur ditiup angin dari surga Wanginya yang sengit menggetarkan curah dari lubuk sukma
28
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Bersama tangis yang luruh Bunga kamboja jatuh di atas kuburan Hanya degup jantung yang terdengar di ruangan Meninju sesal yang tinggal kenangan Ngati tak mampu menatap wajah sang ayah lagi Lekang ditimbun jarak puluhan ribu mil yang membentang ....
Sayangnya, penggunaan metafor tidak dimanfaatkan secara maksimal dalam puisi esai ini. Nyaris tidak ditemukan lagi metafor, yang sebenarnya bisa efektif misalnya untuk menggambarkan suasana batin sang tokoh yang sulit digambarkan secara denotatif. Jadinya bahasa puisi esai tersebut secara umum terasa terlalu “langsung”, tidak merangsang dimensi-dimensi emotif, tidak pula menghidupkan asosiasi. Tapi bagaimanapun, Arief berusaha menjaga rima akhir pada banyak larik puisi esainya, yang meskipun sama sekali tidak teratur tetap membuat puisi tersebut agak merdu didengar. Hal serupa terlihat juga pada puisi Catur Adi Wicaksono “Jejak Cinta Madun di Kota Sampit”. Lariknya yang pendek-pendek memang efektif secara sintaksis, namun tidak cukup efektif dalam menghidupkan suasana, membangun ketegangan, menggambarkan kerusuhan dan konflik perasaan Madun dan Serumpai. Efektivitas bahasa puisi bagaimanapun tidak hanya KUMPULAN PUISI ESAI
29
diukur dari sintaksisnya atau kata-katanya yang sangat hemat, melainkan juga dan terutama dari fungsinya dalam menghidupkan asosiasi dan imajinasi. Dalam puisi, kata-kata memang tak perlu banyak, larik tak harus panjang, tapi justru di situ efektivitas bahasa puisi sangat diuji: sejauhmana dengan sesedikit mungkin kata-kata puisi mampu mengemukakan sebanyak mungkin hal. Dan tepat di situlah tantangan puisi esai Catur Adi Wicaksono. Dalam mengisahkan cerita, puisi esai Catur Adi menggu-nakan dua sudut pandang, yaitu sudut pandang pen-cerita dan sudut pandang aku (Madun). Sudut pandang pencerita (diaan) digunakan untuk mengisahkan selu-ruh cerita, yang sayangnya dalam beberapa hal meng-abaikan logika cerita. Misalnya, bagaimana Madun bisa kembali ke Sampit dengan mudah dan aman, tanpa kesulitan apa pun, tanpa rasa takut pula? Tetapi, adalah menarik bahwa sudut pandang aku digunakan untuk melukiskan perasaan aku (Madun) itu sendiri, misalnya saat aku harus angkat kaki dari Sampit dan terpaksa berpisah dengan kekasihnya, Serumpai. Hasilnya cukup menarik:
30
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
… Aku harus berkorban Sekalipun arah mata angin berlawan Aku akan tetap berjalan Bukankah cinta sejati harus diperjuangkan? Ya, seperti kapal ini Ia berjuang melawan arus air untuk sampai ke tujuan ….
Sebagaimana beberapa puisi esai yang telah dibahas, bahasa puisi esai Jenar Aribowo (“Suara-Suara Ingatan”) juga terlalu denotatif. Bahasanya sederhana, sama sederhananya dengan struktur ceritanya. Nyaris tak ada konotasi atau asosiasi berarti yang dibangun oleh bahasa yang seharusnya dimanfaatkan untuk memperkuat cerita dan keseluruhan isi puisi. Sebagai puisi, bahasanya terasa terlalu prosais: polisemi dan ambiguitas makna bahasa tidak dimaksimalkan. Terutama dalam prosa non-fiksi, bahasa memang harus menekan serendah mungkin polisemi dan ambiguitas makna bahasa, agar presisi pemahaman pembaca bisa dijamin. Sebaliknya dalam puisi, bahasa justru harus mengaktifkan polisemi dan ambiguitas, antara lain lewat konotasi dan asosiasi, justru agar pemahaman dan pernafsiran ganda dimungkinkan, atau nuansa dan dimensi perasaan jadi berlapis-lapis tanpa batas. Contoh bahasa puisi seperti itu bagaimanapun dapat kita kutip dari puisi esai Jenar Aribowo juga, yang KUMPULAN PUISI ESAI
31
menunjukkan keterampilan teknisnya dalam mengolah bahasa namun sayangnya tidak dia manfaatkan secara optimal dalam seluruh puisi esainya. Satu bagian puisi esainya melukiskan perasaan Suti ketika mendengar ayah atau ibunya menyatakan bahwa jadi miskin itu menyedihkan. Pernyataan tersebut terngiang-ngiang di telinga Suti. Arief melukiskannya dengan cara yang cukup menarik: … “betapa menyedihkan menjadi miskin, Nduk.” suara itu menggema jelas dari tabung lampu pompa yang gosong dari tembok-tembok usang kamarnya kalender robek kaca jendela yang bolong bahkan dari lumut-lumut subur di bibir sumur maka dengan berat hati ia dekatkan diri ke setiap gema ini mendengarnya khidmat dengan dua bola mata yang basah dan bersinar buncah —seperti pucuk kembang turi di pukul setengah enam pagi ….
Catatan Kaki: Fungsi Praktis dan Kognitif Puisi esai harus dilengkapi dengan catatan kaki, berisi keterangan dan informasi tentang fakta, data, dan sejenisnya yang merupakan konteks atau acuan faktual 32
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
fiksi yang disampaikan dalam tubuh puisi esai, sebisa mungkin lengkap dengan sumber rujukannya. Adalah wajar kalau muncul pertanyaan kenapa puisi esai harus dilengkapi dengan catatan kaki, hal yang tidak begitu lazim dalam puisi di mana pun. Meskipun bukan tidak ada contohnya dalam puisi Indonesia modern, pertanyaan tentang keharusan adanya catatan kaki itu kadang bernada skeptis. Suara skeptis tentang catatan kaki dalam puisi esai cukup santer saya dengar dalam beberapa diskusi, misalnya di Madura dan Bandung. Atas pertanyaan tersebut kita bisa mengajukan pertanyaan balik: mewakili kepentingan siapakah pertanyaan itu, kepentingan penyair ataukah pembaca? Mengandaikan pertanyaan itu mewakili kepentingan pembaca yang skeptis, saya menjawab dengan gampang: abaikan catatan kaki jika ia tak berguna apalagi mengganggu. Bagi saya pribadi, catatan kaki puisi esai cukup bermanfaat, dalam beberapa kasus bahkan sangat bermanfaat. Pada hemat saya, catatan kaki dalam puisi esai penting juga diperhatikan, karena puisi dan catatan kakinya merupakan dwitunggal: keduanya memang berbeda, tapi sesungguhnya tak bisa benar-benar dipisahkan. Menurut Denny JA, puisi esai adalah eksperimen menjembatani fiksi (yang disajikan dalam puisi) dengan fakta (yang disampaikan dalam catatan kaki, lengkap dengan KUMPULAN PUISI ESAI
33
sumbernya). Itulah sebabnya, catatan kaki merupakan keharusan dalam puisi esai. Sapardi Djoko Damono (2012) dan Leon Agusta (2012) telah mendiskusikan masalah catatan kaki dalam puisi esai Denny JA. Sudah tentu bukan tak ada contoh puisi yang dilengkapi catatan kaki dalam puisi Indonesia. Tapi menurut Sapardi, dalam puisi esai Denny muncul tarik-menarik antara fiksi (cerita) dan fakta (berita). Puisi esainya merupakan kisah yang berkaitan dengan berbagai isu sosial dan budaya, namun ia tidak ingin pembaca sekadar menikmati kisahnya, melainkan juga “lebih paham isu sosial”. Kata Sapardi kemudian, “Itulah hakikat catatan kaki yang disertakan-nya.” Dengan kata lain, menurut Sapardi, hakikat catatan kaki dalam puisi esai Denny adalah untuk mendorong pembaca tidak saja menikmati fiksi yang diciptakannya, melainkan juga memahami isu sosial yang langsung atau tidak dirujuknya. Sementara itu, Leon Agusta (2012) menilai, catatan kaki berperan sedemikian rupa untuk menciptakan “paru-paru” bagi kisah-kisah yang disajikan. Lebih jauh dia mengatakan, “Catatan kaki menjadikan puisi esai hidup dan bernafas, bukan hanya sebatas lingkungan masyarakat sastra saja, tetapi menerobos ke tengah masyarakat luas. Catatan kaki menyajikan bukan hanya keasyikan menikmati dan berpikir, tetapi juga banyak kejutan.”
34
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Tidak seperti catatan kaki dalam karya ilmiah, yang menyebutkan sumber rujukan dan hanya sedikit sekali memberikan keterangan tambahan, hampir semua catatan kaki dalam puisi esai memberikan informasi penting berkaitan dengan tema puisi esai itu sendiri. Informasi tersebut merupakan konteks faktual, data dan fakta, acuan budaya atau konseptual, informasi sejarah yang relevan, dan lain-lain, termasuk sumber. Informasi yang diberikannya pun relatif kaya dan dalam, menunjukkan hasil kerja riset atau penelitian lapangan yang cukup serius. Dalam arti itu, catatan kaki merupakan rekaman sejarah. Sudah tentu ia memberikan pengetahuan dan wawasan tersendiri terutama bagi pembaca awam. Bagi saya pribadi, catatan kaki dalam puisi esai bermanfaat, dalam beberapa kasus bahkan sangat bermanfaat. Ia mempermudah dan membantu saya untuk memahami puisi esai dengan baik. Khususnya menyangkut puisi esai yang mengangkat tema yang tak begitu saya kenal apalagi sama sekali baru, catatan kaki bahkan memberikan pengetahuan dan wawasan baru, yang tentu saja memberikan suatu konteks pada puisi esai. Lebih dari itu, terutama berkaitan dengan tematema yang tidak saya kenal dengan baik, catatan kaki tak bisa diabaikan sama sekali untuk memahami puisi KUMPULAN PUISI ESAI
35
esai itu sendiri dengan lebih baik. Sekiranya saya merasa cukup tahu tentang konteks faktual sebuah puisi esai, atau saya merasa tak perlu tahu konteks faktualnya, toh saya bisa mengabaikan informasi yang diberikan catatan kakinya. Membaca catatan kaki akhirnya merupakan kenikmatan tersendiri. Dalam beberapa kasus, bahkan saya lebih menikmati catatan kaki dibanding puisinya, tentu kalau puisi itu sendiri buruk. Dalam konteks itu, catatan kaki kadang-kadang berfungsi sebagai sekoci: ia menjadi penyelamat ketika terjadi sesuatu yang gawat pada kapal pesiar. Kalau puisi tak bisa memberikan kenikmatan estetis; setidaknya masih ada harapan catatan kakinya bisa memberikan kenikmatan kognitif. Memang, sebagaimana puisi esai sejauh ini belum benar-benar mencapai apa yang kita idealkan, catatan kaki juga seringkali mengecewakan, antara lain ketika informasi yang diberikannya tidak memadai, kurang relevan, berlebihan, atau sumber rujukan yang digunakannya bukan sumber kelas satu, yakni bukan sumber primer —dan sejauh ini banyak puisi esai yang tidak menggunakan sumber-sumber primer. Bagaimanapun, puisi esai yang bagus tentu saja bagus dalam keseluruhannya, baik puisi maupun catatan kakinya. Dengan demikian, puisi esai yang berhasil niscaya akan 36
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
memberikan kepuasan estetis sekaligus kepuasan kognitif. Dengan catatan kaki, puisi esai tidak membiarkan pembaca meraba-raba sendiri dalam mencari konteks faktual yang diacunya. Pada saat yang sama, puisi esai tidak mengabaikan fakta yang merupakan sumber inspirasi atau konteks historisnya. Tentu saja pembaca akan menikmati dan memahami sebuah puisi esai sesuai dengan inferensinya, yang mungkin sama mungkin juga berbeda dengan informasi yang diberikan catatan kaki puisi esai itu sendiri. Jika inferensi pembaca berbeda dengan informasi yang diberikan catatan kaki sebuah puisi esai, maka itu berarti puisi esai memberikan inferensi lain yang pastilah memberikan kepada sang pembaca kemungkinan lain untuk menikmati dan memahami puisi esai itu sendiri. Dirumuskan dengan cara lain, informasi yang diberikan catatan kaki akan jadi inferensi pembaca yang dengannya ia bisa memahami puisi esai dengan lebih baik. Konsekuensi dari itu semua adalah bahwa puisi esai mengandaikan kecanggihan literer sekaligus kecanggihan kognitif. Yang pertama adalah disiplin kepenyairan (kesusastraan); yang kedua adalah disiplin keilmuan — secara formal dan dalam sistem yang ketat disiplin keilmuan dilembagakan terutama oleh dunia akademis. KUMPULAN PUISI ESAI
37
Kecanggihan literer menyangkut penggunaan peranti sastra (puisi dan prosa fiksi) secara efektif dan maksimal, yang diaktualkan dalam puisi; kecanggihan kognitif menyangkut pengetahuan seluas dan sedalam mungkin tentang hal-hal faktual, historis, dan informatif yang relevan dengan tema puisi esai, yang secara terukur diaktualkan dalam catatan kaki. Kalau puisi esai adalah sebuah eksperimen menjembatani fakta dan fiksi, sebagaimana dikatakan Denny JA, maka puisi esai mengandaikan juga satu hal: semakin canggih disiplin kesusastraan sebuah puisi esai dan semakin canggih disiplin kognitif catatan kakinya, maka semakin canggih pula fakta dan fiksi terjembatani. Akhirul Kalam Sebisa mungkin saya telah mendiskusikan 5 puisi esai dalam buku ini, dengan menekankan 3 aspek yang pada hemat saya merupakan hal sangat penting dari gagasan dan fenomena puisi esai. Karenanya, langsung atau tidak, pembahasan berkaitan juga dengan puisi esai secara umum. Pertama, tema puisi esai bukan saja beragam, melainkan juga memberikan dimensi-dimensi baru pada puisi Indonesia modern, kalau tidak membawa tema yang baru sama sekali. Puisi esai telah menyajikan tema38
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
tema yang sejauh ini jarang bahkan tak pernah kita temukan dalam puisi Indonesia. Tentu saja hal itu menggembirakan. Yang lebih penting lagi, karena tema puisi esai selalu merupakan masalah sosial, maka puisi esai mengekspresikan tanggung jawab moral dan komitmen sosial puisi Indonesia mutakhir. Meskipun merupakan unsur intrinsik puisi, dalam puisi esai tema selalu berkaitan dengan fenomena faktual di luar puisi. Puisi esai dalam buku ini mengemukakan kisah berbedabeda, berikut korban utamanya masing-masing, yang semuanya mengacu pada isu-isu sosial. Walaupun masalah sosial yang diangkat setiap puisi esai berbedabeda, namun korban utama dan pertama dari semuanya sama: perempuan —dengan hanya satu pengecualian. Kedua, untuk melihat keberhasilan puisi esai dari sudut estetika, tentu saja pertama-tama kita harus melihat unsur-unsur intrinsiknya. Yakni sejauhmana berbagai peranti puisi digunakan secara maksimal. Akan tetapi, intrinsikalitas puisi esai lebih kompleks dibanding intrinsikalitas puisi pada umumnya. Di samping mengandung unsur-unsur intrinsik puisi, puisi esai mengandung unsur-unsur intrinsik cerita (prosa). Karena puisi esai menyajikan cerita (fiksi), maka tentu saja ia mengandaikan koherensi unsur-unsur intrinsik cerita. Dengan demikian, dalam intrinsikalitas puisi esai KUMPULAN PUISI ESAI
39
terkandung pula intrinsikalitas cerita, yang perlu dilihat secara bersama-sama dalam mengkaji puisi esai. Dalam konteks itu, ada puisi esai yang meyakinkan dilihat dari unsur-unsur intrinsik puisi, namun kurang meyakinkan dilihat dari intrinsikalitas cerita. Ada pula puisi esai yang meyakinkan dalam hal koherensi cerita, namun kurang meyakinkan sebagai puisi. Puisi esai yang lain kurang meyakinkan baik dilihat dari intrinsikalitas puisi maupun intrinsikalitas cerita. Ketiga, karena catatan kaki merupakan keharusan dalam puisi esai, bahkan merupakan unsurnya yang sentral, maka catatan kaki merupakan unsur penting pula dalam puisi esai. Catatan kaki punya fungsi praktis, antara lain memberikan informasi sebagai konteks faktual cerita atau gagasan yang dikemukakan puisi esai. Catatan kaki bahkan bisa memberikan informasi baru dan aktual, yang akan menjadi inferensi pembaca dalam memahami puisi. Kalau puisi memberikan kepuasan estetis, catatan kaki memberikan kepuasan kognitif. Sebagaimana puisi menuntut digunakannya peranti puitik secara maksimal, catatan kaki menuntut digunakannya disiplin keilmuan secara maksimal pula, antara lain studi atau riset sedalam dan seluas mungkin tentang suatu subjek atas dasar sumber-sumber primer. Dengan demikian, puisi esai yang berhasil akan 40
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
memberikan kenikmatan estetis dan kognitif sekaligus. Apa yang dicapai puisi esai sejauh ini barangkali belum benar-benar memuaskan. Tapi bagaimanapun, gagasan puisi esai —yang belum lagi setahun diluncurkan— telah mencapai perkembangan berarti, tidak saja dalam bidang karya kreatif, melainkan juga dalam bidang kritik dan pemikiran sastra Indonesia. Dan itu menerbitkan harapan-harapan baru, harapan mana merupakan sebuah horison: harapan kita selalu bergerak maju begitu harapan sebelumnya telah dicapai. []
KUMPULAN PUISI ESAI
41
DAFTAR PUSTAKA
Acep Zamzam Noor (editor). 2013. Puisi Esai: Kemungkinan Baru Puisi Indonesia. Jakarta: Jurnal Sajak. Denny JA. 2012. “Atas Nama Cinta: Isu Diskriminasi dalam Puisi Esai”, Pengantar buku puisi esai Denny JA, Atas Nama Cinta. Jakarta: Renebook. Jamal D. Rahman. 2012a. “Percobaan Seorang Ilmuwan Sosial” dalam Horison, Juli 2012. Jamal D. Rahman. 2012b. “Fiksionalisasi Fakta: Masalah Teoritis Puisi Esai”, Pengantar buku puisi esai Ahmad Gaus, Kutunggu Kamu di Cisadane. Jakarta: Komodo Books. Dimuat juga dalam Jurnal Sajak, No. 4, 2012.
Leon Agusta. 2012. “Catatan Sekilas Tentang Puisi Esai Denny JA” dalam Horison, November 2012. Sapardi Djoko Damono. 2012. “Memahami Puisi Esai Denny JA” dalam Denny JA, Atas Nama Cinta. Jakarta: Renebook.
42
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Singkawang Petang Puisi Esai Hanna Fransisca
KUMPULAN PUISI ESAI
43
44
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Singkawang Petang
1 Di rumah deru, kotamu berdentang sepanjang petang. Deretan toko dan jalan simpang. Kuil naga mengaumkan dupa, menuju sunyi bagi pertapa. Sungai mengalir ke pusat semesta, o dewiku Kwan Im,1 Singkawang menggema dari dua susumu, hingga ketemu batu api di pusar dara. “Adik, naik kapal ke laut Taiwan, kupegang rambutmu di bahu Abang. Bulan di geladak lebih indah dan terang dibanding langit Singkawang.”
1
Dewi Kwan Im adalah Dewi yang tidak mengenal putus asa, penuh Welas Asih, atau dikenal juga sebagai Bodhisatva Avalokitesvara dalam ajaran budhis.
KUMPULAN PUISI ESAI
45
(Bukan cinta mendayung perahu, Abang. Bukan. Tapi terang kota dan gaun sutra, yang kaujanjikan di Tanah Seberang. Akan kulumat bintang gemintang, seribu surga seratus permata, lantaran dara Singkawang pergi bersama Abang, semata hanya untuk berperang). “Lihat, lihat, buih ombak mencipta jarak.” Lelaki sayang naik perahu. Di atap layar melihat peta. “Kemarilah Adik, berhimpit Abang di atas sini. Angin berdesau dari utara, biarkan rambutmu seliar naga.” “Alangkah galak panas geladak Dupa di gunung jadilah permata, dupa di pantai jadikan surga. Bukalah rokmu, bukalah dadamu. Di Tanah Seberang segala Dewa akan kausayang.”2
2
Mitos yang dipercaya oleh orang-orang Singkawang, bahwa Negeri Seberang (Taiwan) adalah negeri para Dewa, dimana gadis-gadis yang beruntung bisa menikah dengan pria Taiwan akan dilimpahi rezeki yang makmur, serta keselamatan atas restu para Dewa.
46
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Sebab dentang Singkawang sepanjang petang, alis seribu dara tegak membara. Dari rahim kulit Tionghoa, kemarau gundul pepohon abu. Di lorong pecinan kota dan desa, Apak dan Amak menghunus batu melempar dupa, di gerbang vihara mereka tersedu: “Cukup kami saja pemikul samsara abadi, dari leluhur sudra di kubur bisu —tanpa arak tanpa warisan harta.3 Maka wahai Dewa Penjaja Asmara, Dewa Bumi Pemberi Rezeki, Thian Agung Pemelihara Surga Neraka, jadikan anak dara kami cahaya wajah pualam, kulit terang purnama malam, payudara selembut semangka dalam. Ajarkan mereka asmara pemikat sukma, sisipkan azimat lezat dari vagina seliat naga. Biarkan mereka pergi dibeli lelaki, agar kami dilimpahi rezeki.”4 3
4
Kuburan yang makmur, ditandai oleh kemegahan serta banyaknya persembahan. Hal itu juga menandakan tingginya derajat leluhur yang dikubur, dan menentukan enak atau tidaknya mereka di alam kubur. Leluhur yang nyaman hidup di alam kubur dipercaya dapat memberikan berkah kemurahan rezeki bagia nak-anaknya. Ada banyak orangtua di Singkawang yang mengharapkan agar gadis-gadisnya bisa dipinang oleh lelaki Taiwan. Mereka percaya bahwa nasibnya akan terangkat jika salah satu anak mereka bisa dipinang dan dibawa ke Taiwan. Untuk itu, mereka bersembahyang di kuil secara khusus untuk meminta agar Dewa memberi restu.
KUMPULAN PUISI ESAI
47
(Bukan cinta mendayung perahu, Abang, bukan, tapi terang kota dan gaun sutra, yang kaujanjikan di Tanah Seberang. Akan kulumat bintang gemintang, seribu surga seratus permata, lantaran dara Singkawang pergi bersama Abang, semata hanya untuk berperang).
2 Di rumah deru, kotamu berdentang sepanjang petang. Deretan toko dan jalan simpang. Kuil naga mengaumkan dupa, menuju sunyi bagi pertapa. Sungai mengalir ke pusat semesta, o dewiku Kwan Im, Singkawang menggema dari dua susumu, hingga ketemu batu api di pusar dara. Akulah Amoi Petang serigala garang. Kupanggul sabda dari bukit gundul tempat leluhur terkubur, moyang abadi penyimpan pesan perempuan setia, “Moi cucuku, dua susumu kelak: satu buat lelaki, satu buat anak lelaki. Tempatmu duduk di depan Dewa Tungku, 48
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
bersama abu. Menunggu umur menyatu, hingga tiba lelaki berharta membelimu dengan perkasa. Ia akan memukulmu, ia akan menidurimu. Jangan kaubilang tak suka, sebab perempuan Tionghoa tak harus punya rasa.”5 Di Singkawang gadisku matang. Kelokan sungai menjelma kerling, ombak dan pasir menyeru rindu. Angin di bukit sepenuh asmara. Lelaki remaja perempuan dara, di lorong madu tempat bertemu. Dentang kelontang lonceng berdentang, gedebur tambur dupa vihara, ombak di teluk biarkan laju: kupungut satu, kutabur mata seribu. Peluklah Koko Rebahlah Amoi
5
Nasihat dari leluhur, yang mengharuskan perempuan selalu tunduk dan patuh di bawah kekuasaan lelaki. Anak perempuan sama sekali tidak punya suara dalam keluarga.
KUMPULAN PUISI ESAI
49
Tapi rinduku dibelah tungku. Amak memaku jantung di bahu: “Kaumakan cinta remaja kencur, Moi? Biar kau mati. Biar Apakmu mati. Biar Amakmu mati. Apa dibilang tetangga bertandang? Apa dibilang kerabat mendekat? Biar hidupmu hancur biar susumu lebur!” Tapi rinduku dibelah tungku. Apak menyatu di dalam paku. Tulang belikat digerus pekat, kepala hitam pertanda kiamat. Ia bergelut kotoran babi dalam sehari, seminggu dua makan terasi: ditumbuk garam, vetsin dan nasi. Tak ada ladang tempat menukar tulang. Tak ada pasar tempat mengadu lapar. Di bahu palu memaku: menatap kotoran got di lubang kubang. Ia bilang: “Kita orang miskin. Minggu depan Mak Comblang kuundang datang.6 Usia lima belas sangat disuka. Bukankah kau tak mau jadi perawan tua?”
6
Mak Comblang adalah istilah untuk menyebut agen perjodohan. Agenagen ini biasanya berkeliaran untuk mencari gadis-gadis remaja, dan menjodohkannya dengan pria-pria Taiwan yang datang ke Singkawang.
50
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Tapi rinduku dibelah tungku. Di rembang petang minggu kedua. Lelaki pengunyah pinang datang bertandang.7 Aduhai dentang Singkawang. Seribu kuil membakar dupa, seribu sumpah dibakar neraka: bukankah ia terlalu tua? Mata keriput berlipat birahi, dari umur berbau kubur. Menarilah wahai samsara. Dosa dan dukana, terhempas dara di ceruk padas. Genderang Dewa menabuh perang. Di ladang-ladang, hamparan jagung batang kerontang. Tanah retak jalanan simpang. Perawanku. Perawanku. Ada kelamin menggantung di kaki renta. Aduhai dara Singkawang, tataplah muka jadikan suka. Abang menunggu di negeri surga. “Ikutlah ke Negeri Seberang dengan Si Abang, Moi putriku sayang, lima belas juta rupiah uang susu akan dibayar Si Abang, lunas di tangan tanpa potongan utang.”8 7
8
Rata-rata lelaki Taiwan memiliki kebiasaan mengunyah pinang, lebih-lebih para pria tua. Maka istilah “pengunyah pinang” sangat dikenali di Singkawang, yang bisa juga diartikan sebagai pencari jodoh. Uang susu adalah mahar yang diberikan lelaki Taiwan kepada kedua orangtua gadis. Harga mahar yang sepenuhnya menjadi hak milik orangtua gadis, ditentukan berdasarkan tawar-menawar. Biasanya berkisar antara 5 hingga 15 juta rupiah, tergantung pada “kualitas” gadis yang ditawarkan, serta kedudukan pria yang menawar.
KUMPULAN PUISI ESAI
51
“Terimalah tangan gagah Si Abang, Moi putriku sayang. Bukankah kau senang jika tetangga datang bertandang, dan bertanya parabola siapa, atap seng pengganti rumbia milik siapa, piring dan gelas kaca punya siapa, serta daging babi cincang dihidang di meja siapa.9 Peluklah Koko Rebahlah Amoi Akulah Amoi Petang serigala garang. Kupanggul sabda dari bukit gundul tempat leluhur terkubur, moyang abadi penyimpan pesan perempuan setia, “Moi cucuku, dua susumu kelak: satu buat lelaki, satu buat anak lelaki. Tempatmu duduk di depan Dewa Tungku, bersama abu. Menunggu umur menyatu, hingga tiba lelaki berharta
9
Parabola, atap seng, piring dan gelas kaca, adalah identitas kebanggaan yang menandakan bahwa mereka kaya, atau setidaknya harus dianggap kaya. Benda-benda itu memiliki gengsi yang tinggi di mata masyarakat. Biasantya, orangtua yang telah berhasil menjodohkan anaknya dengan lelaki Taiwan, dan telah menerima uang susu atau mahar, mereka akan segera memasang antena parabola sebagai tanda bahwa mereka sukses.
52
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
membelimu dengan perkasa. Ia akan memukulmu, ia akan menidurimu. Jangan kaubilang tak suka, sebab perempuan Tionghoa tak harus punya rasa.” .... Aku lari nuju Jakarta
2 Li Na Adikku, Susan Adikku: Pucuk awan tak punya kaki. Matahari tetap pergi meski tak ingin pergi. Bulan bundar langit purnama. Cahaya senja di bandar kuala. Semua tetap pergi. Kenapa kau tak berani pergi mencari diri sendiri?
KUMPULAN PUISI ESAI
53
Li Na. Li Na. “Sejak Cece pergi, Mbak Coblang sering berkunjung ke rumah kami,” katamu dalam surat sembunyi. Usia tiga belas. Di liang pintu, mengintip Susan yang penuh kembang. Di gorden jendela, engkau: menatap luas dunia. Alangkah mesra pucuk angsana, dua burung jantan betina, membawa mesra entah ke mana. Di jalan sering mencuri mata, ketemu Mei Lan: bibir ranum, pipi halus aroma cemburu (ia yang dipinang minggu lalu). Di warung kopi bertanya Su Yin: “Engkau cantik! Seperti Mei Lan. Aku mau, seperti Mei Lan.“ “Aku Amoi. Engkau Amoi. Kulitku gading. Kulitmu gading. Namaku Su Yin. Namamu Li Na. Aku juga telah dipanjar lima juta jumlahnya, bulan depan usia dua belas, menikah nanti di Negeri Seberang. Tidakkah kaulihat, atap rumahku kini tumbuh parabola?“
54
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Li Na. Li Na. Usia tiga belas. Berlari girang kupu-kupu riang. Burung di dahan menanti pulang. Alangkah lapang langit Singkawang. Ribuan amoi berkulit terang, siap dipinang menuju seberang. Mak Comblang. Mak Comblang. Garam di laut telah lama surut. Ubi dan talas tak cukup tuntas. Lapar menggema di tebing runtuh. Tapi Dewa menurunkan dada, pada gadis belia seranum semangka. Alangkah lapang langit Singkawang ribuan Amoi berkulit terang, siap dipinang menuju seberang. Li Na. Li Na. Pangeran berkuda, lihat ke lembah. Ada putri berumah perak, berbaju sutra bertahta mutiara. Dipuja seribu Dewa, dilumur madu pria perkasa. Aku ingin anggur dan apel, katamu. Aku ingin kamar bunga dan kupu-kupu, katamu.
KUMPULAN PUISI ESAI
55
Aku ingin menjadi Dewi, dilumur harta punya segala! Terbanglah harum rambutmu ke langit ungu. Betismu panjang, lehermu jenjang. Ada lesung siput di pipi, ada binar bintang di mata, ada cahaya dari doa yang dipanjatkan ibu di muka vihara: “Jadikan anak dara kami cahaya wajah pualam, kulit terang purnama malam, payudara selembut semangka dalam. Ajarkan mereka asmara pemikat sukma, sisipkan azimat lezat dari vagina seliat naga. Biarkan mereka pergi dibeli lelaki, agar kami dilimpahi rezeki.”
3 Susan: Di rumah deru, kotamu berdentang sepanjang petang. Deretan toko dan jalan simpang. Kuil naga mengaumkan dupa, menuju sunyi bagi pertapa. Sungai mengalir ke pusat semesta, o dewiku Kwan Im, Singkawang menggema dari dua susumu, hingga ketemu batu api di pusar dara. 56
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Engkau naiki sayap burung api, yang terjun dari lantai sepi dan aku ditinggal di sini, menatap matahari sendiri ... “Mak Comblang sering berkunjung ke rumah kami, semenjak Cece pergi,” katamu juga dalam surat sembunyi. Tajam belati. Ketika engkau juga pergi. Tapi bukan seperti matahari. Susan. Susan. Ada gagak di malam kubur. Apak dan Amak menyilet nadi, mengutuk guntur: “Anak durhaka, jika kau meniru kakakmu. Lebur susumu. Hancur kelaminmu.10 Empat belas tahun usiamu, Moi. Matilah Amak. Matilah Apak. Matilah.” Ai, Dewiku Kwan Im. 10
Kutukan kemarahan yang biasanya paling menakutkan bagi gadis-gadis Singkawang. Kutukan ini akan terlontar jika batas kemarahan sudah tidak bisa ditolelir.
KUMPULAN PUISI ESAI
57
Si Tua Renta memikul mimpi birahi. Ke Taiwan kapal kami menuju. Menjadi suami-istri. Seperti gagak di malam kubur. Demi Apak demi Amak. Bau udara mulutnya, ai, mengapung tinja, ludahnya memaki, memanjat susu. Di rumah seberang: ia papa, tanpa cahaya. Ai, Dewi Kwan Im: Suamiku. Suamiku. Aku telah menjadi pelacur bagi utang dan judi berlipat umur. Di Negeri Seberang, ia bukan siapa siapa. Di negeri seberang, ia lelaki penuh dengki dan sakit hati Di Negeri Seberang, ia paku tubuhku, pada lampu malam biru, dan menjual kelaminku, pada buruh zina di pekuburan hina 58
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Susan. Susan. Engkau naiki sayap burung api, yang terjun dari lantai sepi dan aku ditinggal di sini, menatap matahari sebelum engkau pamit bunuh diri
4 Lina: Adalah terang Singkawang. Kuda terbang membawamu pada tembang kasmaran. “Ajaklah Adik ke Negeri Taiwan, Abang, bahkan langit di geladak, lebih indah dari hanya langit Singkawang.” Pada dua burung jantan dan betina. Pada pucuk angsana dua. Dari negeri jauh,suaramu menjauh. Kapal perahu,
KUMPULAN PUISI ESAI
59
sunyi udara, angin debu panas cuaca, tak lagi kini jadi pertanda. Ke mana benang mencari layang. Jejakmu lenyap dalam ingatan. Hujan kemarau. Debu dan lumpur menyudut di pintu dapur. Adakah jamkai dan kaki babi akan datang di malam imlek di meja Amak?11 Adakah arak di hari Chengbeng akan dikirim di kamar Apak?12 Pada burung dan angsana, sayap kupu di dahan-dahan. Padahal engkau melangkah tenang, saat dipinang bunga dan baju pengantin. Padahal engkau melambai riang, saat lelakimu mencium wangi dermaga. Senyum remaja gadis belia, meruntuhkan mega-mega. Tiga belas usiamu, dara Singkawang.
11
Jamkai (ayam kampung jantan yang dikebiri) dan kaki babi adalah persembahan wajib (dalam tradisi lama) dari menantu laki-laki pada mertuanya pada hari perayaan seperti Imlek, Pecun, Moon Cake.
12
Chengbeng adalah hari sekar. Hari dimana anak-anak menunjukkan rasa baktinya pada orangtua yang telah tiada dengan memberikan perlimpahan jasa berupa persembahan berupa berbagai hidangan di atas kuburan orangtua mereka.
60
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Vihara Cikung. Kuil Bumi Raya. Simpang empat lorong kota. Teluk dan pasir. Sungai dan bukit. Lembah hutan semak belukar. Ladang kering. Jejakmu tak ada Di mana-mana. 5 Di rumah deru, kotamu berdentang sepanjang petang. Deretan toko dan jalan simpang. Kuil naga mengaumkan dupa, menuju sunyi bagi pertapa. Sungai mengalir ke pusat semesta, o dewiku Kwan Im, Singkawang menggema dari dua susumu, hingga ketemu batu api di pusar dara.
Singkawang, September 2012
KUMPULAN PUISI ESAI
61
62
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Ngati Puisi Esai Arief Setiawan
KUMPULAN PUISI ESAI
63
64
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Ngati
1 Dari arah pantura ia. Menentang segala yang dianggap biasa bagi perempuan seusianya1 perempuan muda yang tak mau menyerah pada senja pada arah di mana cahaya seakan menyerah tak kuasa Ngati namanya. Nama yang tak biasa di telinga kaum ibu kota. Betapapun namanya kan selalu indah di mata kedua orangtua
1
Jalur pantura dengan praktek prostitusi terbuka sudah lama ada. Wanita panggilan juga bisa didapatkan dengan mudah di jalur pantura. Cukup telepon dan negosiasi harga. Setelah ada kesepatan, maka PSK akan datang di mana pun Anda berada. Sumber: http://berita.liputan6.com/read/266308/ Prostitusi.Rumahan.ala.Pantura. Sepasang kakak-beradik, sebut saja Lala dan Lili, adalah PSK yang sejak remaja menjalankan profesinya. Awalnya, sang kakak, Lala, yang terjerumus ke kehidupan malam dengan menjadi pelayan tamu cafe. Perlahan tapi pasti, Lala, menjelma menjadi PSK dengan alasan penghasilan yang lebih besar dibandingkan penghasilan seorang pelayan.
KUMPULAN PUISI ESAI
65
Ya, akan selalu tetap indah! Seindah riwayat para dewa pada alur Valmiki dalam kisah epik sepanjang manusia pernah ada Kenapa tak kauganti saja namamu? sebut saja Dewi, Sinta atau Veti? Dekat dengan nama aslimu! Kata orang nama itu doa, kadang bisa membawa keberuntungan – walau sebagian lainnya menganggap tiada bermakna2 biar saja, namaku tetap Ngati… Ngati… Ngati! Tegasnya pada sang bibi. Tempat di mana sang dara bernaung merengkuh hirup di Jakarta. Mendayung, mengarungi tantangan dengan sebilah mimpi yang digenggamnya kuat-kuat
2
"What’s in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet” —William Shakespeare.
66
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
2 Waktu itu tahun 1996. Impiannya untuk mengecap tanah ibu kota digenapi setelah ia lulus SMEA. Dengan nilai di atas rata-rata, ia pun meluncur naik pit3 ke toko kertas di desa sebelah. surat lamaran dan riwayat hidup digarapnya dengan tulisan tangan.4 Dikayuhnya pit jengki, meluncur ke arah sebuah tugu harapan. Di sana! Jarak bermil-mil jauhnya umpama selangkah yang sudah lumrah Ia terjang angin yang sengit bersama segala iming-iming dibungkamnya mulut manis sang paman —anak buah kepala desa— yang berniat memasukkan Ngati ke PJTKI garapannya5 Na’udzubillah. Ttidak, Bunda, saya tak sudi jadi perempuan seperti itu! 3 4
5
Bahasa Jawa, artinya: sepeda. Waktu itu masih banyak perusahaan yang meminta pelamar menulis lamarannya dengan tulisan tangan. Calo TKI dalam http://www.pikiran-rakyat.com/node/159705. Gerakan PJTKI dalam merekrut calon TKI di desa-desa tergolong masif. Mereka memiliki struktur perekrut hingga menjangkau pelosok perdesaan. Para sponsor nakal itu membujuk warga agar bersedia menjadi TKI dengan dijanjikan gaji besar.
KUMPULAN PUISI ESAI
67
3 Pergi setelah azan subuh ia. Dibantu sang ayah dengan napas terengah Batuk yang telah menahun, tak kunjung dapat sirna. Sedang berobat ke dokter, umpama kata ganti — ‘uang yang terbuang percuma.’ Baik-baik kau di sana bersama Bi Par! Ingat pesan orangtua dan guru ngajimu, Nduk! wejangan sang ayah di terminal kecil itu melarung semua harap yang terajut. Bersama embun yang resah pada bus yang sudah paruh baya Baik, Ayah. Betapapun, kau tahu keputusanku sudah selangkah lebih maju dibanding perempuan mana pun seusiaku di desa itu. Gumamnya yang tak pernah sempat didengar sang ayah. Terbenam oleh haru yang memaksanya untuk diam membatu. Namun anehnya sang ayah seakan mengiyakan suara gaib itu…
68
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Assalamualaikum…! Menjadi kata yang syahdu, penutup hubungan raga bagi keduanya Bersama angin kering dan debu yang hinggap di daun siwalan6 Pergi ia dari sebuah titik kecil di daerah pantura pulau jawa Perpisahan yang tak sedikitpun mereka kenal ujungnya Selaksa mimpi yang menghijab seluruh panca indra
4 Bibir merah cabai. Rambut hitam yang tergerai Bedak putih di pipinya kini terurai Serupa genangan anak sungai yang berderai Ia menari dalam tawa orang-orang berkulit kuning langsat Di depan rumah makan dekat Victoria Park
6
Tumbuhan yang banyak terdapat di daerah pantura, dikenal dengan pohon lontar. Dijadikan inspirasi juga bagi perajin batik sebagai motif yang unik.
KUMPULAN PUISI ESAI
69
Yang ada di matanya hanya kenangan: Sebuah asa semasa duduk di bangku sekolah dasar sd inpres dulu Tentang bebek peliharaannya yang berjumlah puluhan Tentang jahil sang kakak-kakak pada adik yang masih ingusan dekat tambak juragan ikan Menarilah bersamaku… Ayo berdendang, hoi! Matahari jangan malu-malu kau takut nyalamu sirna diguyur hujan? Ayo sini menari bersamaku! Teng…tang…tong… teng… tong… teng…tong…teng…. Wet… takowet… kowet… kowet Wet… takowet… kowet… kowet…. Hahahaha…hahaha… bodoh kalian semua! Isone mung ndeloke ae7 yang ada di matanya hanya kenangan Tentang lelaki yang pernah memanjat degan Tentang permainan jarit dan pasar-pasaran di depan halaman bersama Sri, Noh, dan Situm ketika mereka masih ingusan Aku enggak mau pulang!
7
Bahasa Jawa, artinya: bisanya hanya melihat saja!
70
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
5 Sore itu setelah delapan tahun tinggal di Jakarta Ia pamit pada sang bibi untuk menengok kedua orangtuanya di pantura. Setelah mengetahui habis kontrak kerja, Ia pun berniat untuk tak lagi menginjakkan kakinya di tanah ibu kota Beginilah orang kota, sama sekali tak berperasaan Sistem outsourcing! Habis manis sepah dibuang!8 Buruh selalu kalah. Tak ubahnya sapi perah Bedanya kepalaku tak dipenggal Pekiknya dalam hati menghunjam pada kosong Pada dinding kamar yang bergeming
8
Outsourcing di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No 13 Tahun 2003). Berdasarkan hasil penelitian PPM (2008) terhadap 44 perusahaan dari berbagai industri), terdapat lebih dari 50% perusahaan di Indonesia menggunakan tenaga outsourcing, yaitu sebesar 73%. Sedangkan sebanyak 27%-nya tidak menggunakan tenaga outsourcing dalam operasional di perusahaannya. Hal ini menunjukkan perkembangan outsourcing di Indonesia begitu pesat. Perkembangan outsourcing ini didorong dengan adanya Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003. Dalam Undang-Undang tersebut tersebut, kebutuhan tenaga kerja untuk menjalankan produksi disuplai oleh perusahaan penyalur tenaga kerja (outsourcing).
KUMPULAN PUISI ESAI
71
Hanya potret kusam dirinya bersama Sri, Noh, dan Situm ketika mereka masih ingusan tersenyum mengenakan daster ia rambut dikepang dua beberapa gigi susu yang sudah tanggal Wis ben ae nduk, mangan ora mangan sing penting kumpul 9 Kata sang ayah sambil menahan batuk yang menusuk dadanya yang kian bungkuk. Disambut ia oleh belaian tangan ibunda (hari ini ulang tahunnya yang keduapuluh tujuh!)
Di satu sisi tenaga kerja (buruh) harus tunduk dengan perusahaan penyalur, di sisi lain harus tunduk juga pada perusahaan tempat ia bekerja. Kesepakatan mengenai upah ditentukan perusahaan penyalur dan buruh tidak bisa menuntut pada perusahaan tempat ia bekerja. Sementara itu, di perusahaan tempat ia bekerja, harus mengikuti ketentuan jam kerja, target produksi, peraturan bekerja, dan lain-lain. Setelah mematuhi proses itu, baru ia bisa mendapat upah dari perusahaan penyalur. Hubungan sebabakibat antara bekerja dan mendapatkan hasil yang dialami buruh tidak lagi mempunyai hubungan secara langsung. Bila tanpa lembaga penyalur, buruh memperoleh upah dari perusahaan tempat ia bekerja sebagai majikan, kini harus menunggu perusahaan tempat ia bekerja membayar management fee kepada perusahaan penyalur sebagai majikan kedua, baru ia memperoleh kucuran upah. Tentang sejarah outsourcing, baca: http:// breath4justice.wordpress. com /2012/01/09/sejarah-outsourcing/. 9
Bahasa Jawa, sekaligus prinsip hidup sebagian orang-orang Jawa. Artinya: makan enggak makan yang penting berkumpul dengan keluarga.
72
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Su-bungsu! Meripatmu ya meripatku Ala’mu ya ala’ku, bungahmu ya bungahku Su-bungsu! Yen kaya apa ya tetep anakku…10 Untaian kata-katanya meruap menghangatkan seisi ruang di dada Ketulusannya adalah tenaga yang lama ia damba Seakan jeda di tengah lenguh daging amis yang kian terpuruk Sedang pandangan matanya adalah sukma yang membalut akar kiara Meranggas sepanjang bantaran sungai Prawan, Pantura.
6 Hingga akhirnya, tibalah hari bahagia itu Pardi, si pemuda pemanjat degan Meminangnya dengan Al-Qur’an Senyum segurat, alamat bagi pasangan Yang sedang menggapai ihwal suci dua insan
10
Bahasa Jawa. Artinya: anakku yang bungsu, matamu adalah mataku, keburukanmu adalah keburukanku, kebanggaanmu adalah kebanggaanku jua, walau bagaimanapun kau adalah anakku, si bungsu!
KUMPULAN PUISI ESAI
73
Satu bagai dewi, satunya lagi bak baginda Sri Sultan Di atas singgasana keduanya rekah Melarung lara memagut tresna Menjadi dwitunggal yang segera menyusuri ceruk dunia Tiada yang mampu menghadang getar ini Kita akan berhasil, punya banyak anak Sampai kakek-nenek nanti, Kang Mas! Tiada kata selain terima kasih kuucapkan kepadamu, Dik! Mari kita serahkan semuanya Pada pemilik semesta ini Yang Mahakuasa! Sejurus anggukan sang dewi Sejurus pula kecupan di keningnya yang kemuning Kening yang selalu dirapalkan doa-doa Kening yang dulu dibelai ibunda Kini menjadi hak sang pemanjat perkasa Sekaligus lekuk tubuh yang diberi rida oleh-Nya.
74
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
7 Pagi itu bulan Juli Matahari memanjat reranting awan dengan trengginasnya Sepenggalah sudah pada pukul tujuh pagi Serupa merayakan ruap getih sang jabang bayi Yang genap bersama ari-ari Pardi pun segera turun dari pohon petai11 Rimbun digelantungi untaian biji-biji legit Siap menekur pada kepul sepiring putih nasi Ikan teri, dan sambal terasi…. Siapa yang sanggup menahan cucur liur saat ini? Alhamdulillah! Anakku laki-laki, Dik! Ucap Pardi sambil mencium sang istri Seketika dilafazkannya azan di telinga kanan, kemudian ikamah pada telinga kiri sang bayi!
11
Bersama ayah mertua (ayah Ngati) yang juga kuli tambak, Pardi adalah seorang petani dengan sebidang kecil lahan dan empang. Di lahannya mereka menanam petai, cabai dan umbi-umbian.
KUMPULAN PUISI ESAI
75
Tiada harap yang lebih indah bagi orangtua pada anaknya yang baru berusia hitungan menit kecuali menyaksikannya menangis itu dia, anak kita normal, Dik! Katanya sambil digenangi secawan derai bahagia.
8 Betapapun. kebahagiaan tak bisa ditawar dengan seuntai petai Atau setumpuk cabai yang dipanen dari pipir rumah Betapapun, kebahagiaan tak bisa dibeli dengan dapur yang tak mampu diasapi Terlebih sang bayi tak lagi mencecap manisnya asi Kita harus hijrah, Kang Mas! Katanya lirih sambil mengais Firaz —anaknya yang terpejam Seketika bulir-bulir hangat luruh hampir jatuh menghunjam pada pipinya yang mungil Pipi yang masih haus belaian ibunda Belum mengenal alpa, kecuali simpul surga!
76
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Pendar lampu cempor di luar jendela yang temayun seakan keraguan yang memancar di hati sang suamiistri Beratnya masa ini tak pernah terimpikan sebelumnya Pardi pun murka Mana janjimu, Gusti! Katanya setiap manusia yang menjauhi perbuatan keji akan diberi rahmat ilahi Katanya setiap pasangan setelah sah bersuami-istri akan diberi masing-masing kelebihan rezeki12 Aah! Mana janjimu, Gusti? Astagfirulloh! Kang Mas, jangan gegabah! Ucap Ngati sambil mendekap tubuh suaminya Sementara Firaz menangis Ketiganya pun menangis…
12
QS 6, Al-An’am: ayat 151. Artinya: Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu-bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi.
KUMPULAN PUISI ESAI
77
Kang Mas jangan lupa, janji Gusti Alloh itu pasti adanya! bisa terpenuhi tapi ada syaratnya: kita harus berdoa sambil berusaha! Tak pernah Gusti Alloh mengubah nasib suatu kaum kecuali mereka berubah….13 9 Berbekal uang yang dikumpulkan Jerih sang suami yang beralih sebagai perajin gigi palsu Ngati pergi ke imigrasi – setelah resmi bergabung pada sebuah PJTKI resmi Berbekal keterampilan empat minggu di penampungan Ia pun terbang, jauh melintasi garis-garis pantai mengendarai angin Hongkong tujuannya! Ia seakan burung elang yang baru mengepakkan sayapnya di atas birunya laut Dan hamparan hijau pegunungan yang membentang, menjadi saksi atas raganya yang melesat, tinggi bagai awan yang menderap 13
QS 13, Ar-Ra’d: ayat 11. Artinya: Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
78
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Ahoi! Indah nian lukisan alam ini, katanya. Terima kasih, ya Gusti! Terima kasih. Bunda janji akan segera kembali, Firaz! Bunda janji bawa oleh-oleh dan uang yang banyak! Subhannalloh! Indah sekali ciptaanmu-Mu ini, Gusti! Hamba tunduk pada-Mu. Hamba pasrah di tangan-Mu Lindungi hamba, Gusti! Lindungi anak dan suami hamba di kampung! Sesungguhnya tiada daya dan upaya yang mampu hamba perbuat kecuali idengan izin dari-Mu! Ngati terpejam Diam-diam sesuatu yang hangat merembes dari sela-sela matanya Ia pun tiba di Hongkong International Airport Bersama doa-doa dan harapan yang telah lama terperam Tak akan kusia-siakan waktu dan raga yang jauh dari orang-orang terkasih ini Aku akan segera kembali! Gumamnya dalam hati.
KUMPULAN PUISI ESAI
79
10 Hey! Jangan bengong! Teriak seorang lelaki paruh baya berwajah tiongkok yang fasih berbahasa Indonesia Di sampingnya seorang perempuan berambut pendek membawa tas gendong. Weng dan Lia namanya Adakah ia majikanku? Pikirnya Ya Gusti, lindungi hamba dari makhluk mengerikan ini! Lindungi hamba, Gusti! Cepat masuk! Kita langsung ke tempat majikanmu, bentaknya lagi Ngati pun diam tertunduk manut Setengah jam sudah pikirannya terbang ke langit Melintasi laut dan kabut Menelisik ke jendela di bibir rumahnya di Pantura: Firaz sedang tidur siang Pardi sedang khusuk mengikir beberapa valplast dan akriklik, bakal gigi palsu
80
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
11 Lima belas menit kemudian Mobil yang membawanya Masuk ke kawasan rukan di Pennington Street Setelah melewati Canal Road yang mahsyur “the venice of east,” kata para pelancong Tapi aku bukanlah pelancong! Aku hanya seorang istri sekaligus ibu yang rela dibentang ruang dan waktu. Demi meraih apa yang disebut orang-orang sebagai kebahagiaan Salahkah aku?
12 Sang majikan ternyata dua orang lansia yang ditinggal anaknya sibuk kerja Tugas Ngati adalah merawat mereka berdua Menyiapkan air mandi menyuapi mereka bubur dan puding kacang hijau hingga mengajaknya plesir ke taman dekat kota Semuanya dipercayakan padanya seorang diri…
KUMPULAN PUISI ESAI
81
Mujurnya nasib Ngati, selaksa doa-doanya dipenuhi: Majikan yang baik, gaji setimpal Tak ayal membuatnya semakin berbakti.
13 Ini Agustus kedua Ia jauh dari Pardi, Firaz juga kedua orangtua… Semuanya sudah rapi Bubur sudah matang, puding tinggal didinginkan Ia bersiap dengan mantel plastik untuk mengajak kedua lansia itu mandi Dari kamar, sayup terdengar dering telpon genggam Tertera nama Kang Mas Pardi di layar “Assalamualaikum! Iya, Kang Mas….” “Penting, Dik! Kamu harus segera pulang. Ayahmu masuk rumah sakit….”
82
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Seratnya yang putih gugur ditiup angin dari surga Wanginya yang sengit menggetarkan curah dari lubuk sukma Bersama tangis yang luruh Bunga kamboja jatuh di atas kuburan Hanya degup jantung yang terdengar di ruangan Meninju sesal yang tinggal kenangan Ngati tak mampu menatap wajah sang ayah lagi Lekang ditimbun jarak puluhan ribu mil yang membentang Innalillahi wa’innalillahi roji’un…. Hanya ruang kosong yang ada ditentangnya Jam, hari, minggu, segala yang berhubungan dengan waktu musnah dilumat risik sembilu Butuh dua puluh delapan hari untuk pulih ia Sementara pekerjaan terus mengganduli Ia ingin pulang Memeluk Firaz, kang mas serta ibunda…
KUMPULAN PUISI ESAI
83
14 Pagi itu Lia datang bersama Weng Dibawanya surat teguran yang lahir dari aduan pihak majikan Disebutkan bahwa sang majikan mau memberhentikannya secara sepihak Tak puas dengan hasil kerjanya selama beberapa minggu belakangan Ngati merunduk. Raganya ambruk Hati yang sudah remuk Tak mengizinkan sepatah kata pun berunjuk! Ya Gusti, inikah jawaban atas doa-doaku sujudku tahajudku? Tak puaskah Engkau merenggut ayahku? Tak puaskah Engkau membentang jarak antara aku, anak dan suamiku? Tak puaskah Engkau menaruhku pada matra kemelaratan yang kekal ini? Tak puaskah Engkau, Gusti… Ambil, ambil saja aku! Biar, biar genap angkaraMu! Ambil hamba, Gusti… Ambil hamba…. 84
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
15 Sedari sore distrik Causeway Bay diguyur hujan14 Lia menjenguknya seorang diri Disuapinya Ngati beberapa helai biskuit dan secangkir teh hangat tawar Demi membasuh jiwanya yang kian hambar Ini, Sayang, supaya kamu segera pulih! katanya lembut Seketika, teringat belaian sang ibu, ia Segala yang ada di kampung Bangkit memenuhi wajahnya yang murung Segalanya, ya segalanya!
14
Para TKI/TKW sangat meminati Hong Kong sebagai tempat tujuan kerja. Memang, daerah ini memiliki perbedaan yang jauh dari daerah-daerah di negara jiran lainnya. Selain memiliki kebebasan yang luar biasa, Hong Kong juga menjunjung tinggi hak asasi manusia serta ketegasan dalam penindakan hukum yang berdasarkan laporan langsung dari para korban pelanggaran hukum. Namun sangatlah disayangkan Hong Kong sejak menjadi daerah tujuan bagi para TKW untuk bekerja, tidaklah sedikit sebagian para TKW melakukan berbagai kegiatan yang tidak baik di luar tujuannya untuk mencari nafkah secara halal. Banyak TKW melakukan tindakan yang justru menghilangkan budaya sosial kepribadiannya yang santun dan bermoral. Ini terbukti dari berbagai keterangan langsung oleh para mantan TKW Hong Kong yang sudah tidak bekerja lagi di Hong Kong. Bukti ini juga terlansir nyata dari berbagai media di Hong Kong. “Hongkong, Surganya Para TKW/TKI” dalam http://luarnegeri.kompasiana. com/2011/06/03/kebebasan-hong-kong-surganya-para-tkitkw/.
KUMPULAN PUISI ESAI
85
16 Hari ini kamu sudah mulai bisa kerja, katanya lagi “Namun ada yang sudah lama ingin kukatakan padamu, Ngati!” “Katakan saja!” jawabnya “Aku ingin selalu menjagamu!” Bukankah sebagai teman begitu, bagus? Balasnya dingin “Tapi… Aku benar-benar mencintaimu, adakah kau tahu?”
17 Ngati bangkit. Matanya nyalang Seketika raganya melesat Seperti dihisap gumul awan berarak-arakan. Ia pun lenyap! Bibir merah cabai. Rambut hitam yang tergerai Bedak putih di pipinya kini terurai Serupa genangan anak sungai yang berderai Ia menari dalam tawa orang-orang berkulit kuning langsat Di depan rumah makan dekat Victoria Park. 86
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
18 Menarilah bersamaku… Ayo berdendang, hoi! Matahari jangan malu-malu kau takut nyalamu sirna diguyur hujan? Ayo sini menari bersamaku! Teng… tang… tong… teng… tong… teng… tong… teng…. Wet… takowet… kowet… takowet… kowet… kowet…. Hahahaha… hahaha… bodoh kalian semua! Isone mung ndeloke ae yang ada di matanya hanya kenangan sebuah kenang-kemenangan semasa ia duduk di bangku sekolah dasar sd inpres dulu. Tentang lelaki yang pernah memanjat degan untuknya.Tentang permainan jarit dan pasar-pasaran bersama Sri, Noh, dan Situm ketika mereka masih ingusan Aku enggak mau pulang! Aku enggak mau pulang!
KUMPULAN PUISI ESAI
87
Yang ada di matanya hanya kenangan semasa ia duduk di bangku sekolah dasar inpres dulu. Tentang bebek peliharaannya yang berjumlah puluhan. Tentang tambak ikan yang menjanjikan warganya kehidupan Tentang Firaz Tentang ibunda Tentang kakang mas Tentang harap yang meruap dan tinggal jadi angan! Pekiknya melengking, meregang raga yang tinggal tulang. Digenggamnya gelang Shen Zen bermata hijau15 Pilinan butir-butir kesedihan (RSJ Cimahi, sebelah barat kota Bandung) Pulang bareng kami ya, Dik!
Bogor, Bandung, 11 Juli–18 Agustus 2012
15
Gelang kesehatan terbuat dari magnet yang banyak dijumpai di Hong Kong.
88
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Bukan Lagi Rahasia Kita, Raisa Puisi Esai Arif Fitra Kurniawan
KUMPULAN PUISI ESAI
89
90
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Bukan Lagi Rahasia Kita, Raisa
1 kata orang-orang, masa lalu selalu memiliki banyak alasan untuk datang memeluk kita yang bimbang mengambil serta meletakkan ingatan bahwa tidak ada yang benar- benar menjadi kesedihan dan tidak ada yang akan benar-benar menjadi kebahagian sebelum telunjuk kita sendiri yang menentukan waktu jakarta sudah menunjukkan pukul 3 pagi di taman kota yang lembab dan gelap sebab lampu-lampunya banyak yang raib dicuri, di kota yang semakin sempit sebab ditumbuhi subur prostitusi1 ini aku masih menabahkan diri untuk tidak dihancurkan dingin dan sepi.
1
Prostitution is not an idea. It’s the mouth, the vagina, the rectum, penetrated usually by a penis, sometimes hands, sometimes objects, by one man and then another, and then another and then another and then another. That what it is. (Prostitusi bukanlah sebuah gagasan. Prostitusi adalah mulut, vagina dan anus yang dipenetrasi, biasanya oleh penis, tapi kadang tangan, kadang aneka benda; oleh seorang lelaki dan kemudian lelaki lain dan lelaki
KUMPULAN PUISI ESAI
91
lain dan lelaki lain. Itulah prostitusi) — Andrea Dworkrin, Prostitution and Male Supremacy, vol 1, 1993. Dalam KBBI, prostitusi, pelacuran diartikan perihal menjual diri sebagai pelacur, pertukaran hubungan seksual sebagai suatu transaksi perdagangan. Sedangkan pelacur adalah perempuan yang menjual diri atau wanita tuna susila atau sundal. Dari definisi tersebut disimpulkan bahwa perempuannya yang bermasalah. Secara implisit, pelacurnyalah yang berkehendak menjual diri. Faktor-faktor adanya jaringan trafiking, mucikari, preman, yang melakukan penipuan, pemaksan, penganiayaan tidaklah tampak. Bisnis pelayanan seks perempuan di Jakarta abad 21 ini telah berkembang sedemikian pesat dibanding sebelum era reformasi 1998. Khususnya bisnis seks kelas menengah ke atas. Uang yang berputar di bisnis ini mencapai milyaran rupiah. Bisnis yang ada sekarang dikemas dalam bentuk yang variatif (salon-salon, panti pijat, pusat kebugaran, diskotik, night club, dll.). Informasi lebih lanjut bisa ditelusuri dalam buku Moamar Emka, Jakarta Undercover dan buku tiga serinya, Sex and The City (2003), Night Carnaval (2003), Forbiden City (2007). Banyak yang berkata bahwa prostitusi adalah pekerjaan paling tua di dunia. Lokalisasi secara resmi di Jakarta pertama kali diadakan tahun 1970an, yaitu di Kramat Tunggak yang terletak dekat pelabuhan Tanjung Priok. Kramat Tunggak ditetapkan sebagai lokalisasi prostitusi dengan SK Gubernur Ali Sadikin, yaitu SK Gubernur KDKI No. Ca.7/1/54/1972; SK Walikota Jakarta Utara No.64/SK PTS/JU/1972, dan SK Walikota Jakarta Utara No.104/SK PTS/SD.Sos Ju/1973. Sebelum Kramat Tunggak dijadikan lokalisasi, pada tahun 1969 tercatat ada 1.668 pelacur dan 348 orang germo di Jakarta. Pada saat Kramat Tunggak diresmikan sebagai lokalisasi, tercatat ada 300 pelacur dan 76 orang germo. Bentuk-bentuk prostitusi di Jakarta pada masa Hindia Belanda, terutama sejak 1928 setelah praktik pergundikan dilarang secara tegas, secara garis besar terbagi dua, yaitu prostitusi yang terselubung dan yang terang-terangan (lokasinya jelas). Bentuk prostitusi terselubung banyak terdapat di jalanjalan dekat rumah-rumah orang Belanda di sekitar kota. Adapun prostitusi yang terang-terangan adalah prostitusi di mana tempatnya telah tetap dan pemerintah mengetahui keberadaannya, seperti di sekitar Jakarta Kota, Stasiun Senen, dan juga di stasiun Jatinegara. Selain itu, sejumlah warung makan, kedai-kedai kecil, dan tempat hiburan malam lainnya yang terdapat di kota dan sekitar pelabuhan Tanjung Priok ternyata juga berfungsi sebagai
92
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
cuma ada sesekali sayup melintas suara kendaraan dan aku yang tak henti membayangkan, engkau berjingkat tergesa membawa lambaianmu dari seberang jalan. engkau yang kemudian akan duduk sambil membenahi dandanan. beberapa kali pertemuan kita senantiasa akan seperti ini; bergantian kau ataupun aku akan diam lama seperti sebuah celengan. membiarkan yang lain menjadi orang paling tidak bisa menghentikan diri : boros menghambur-hamburkan cerita suram.
tempat prostitusi, sebab di tempat-tempat tersebut dijumpai banyak gadis cantik yang menjadi pelayan sekaligus berprofesi sebagai pelacur. Pada dekade 1930-an, bentuk prostitusi semakin beragam dengan semakin beraninya para pelacur orang Jepang, Rusia, Cina, Indo, dan juga pelacur orang Indonesia beroperasi secara terang-terangan. Praktik-praktik prostitusi sudah ada sejak masa awal penjajahan Belanda, dikarenakan jumlah perempuan Eropa dan Cina di Batavia lebih sedikit dibandingkan jumlah prianya saat itu. Bahkan, sejak masa J.P. Coen pun telah berkembang praktik-praktik prostitusi walaupun secara tegas ia tidak setuju dengan praktik-praktik semacam itu. J.P. Coen sendiri bahkan pernah menghukum putri angkatnya, Sarah, yang ketahuan “bermesraan” dengan perwira VOC di kediamannya. Sang perwira itu dihukum pancung, sedangkan Sarah didera dengan badan setengah telanjang. (Artikel Lamijo, mahasiswa Sejarah Universitas Gajah Mada, “Prostitusi di Jakarta dalam Tiga Kekuasaan, 1930–1959: Sejarah dan Perkembangannya”).
KUMPULAN PUISI ESAI
93
2 aku ingat senyumanmu yang pernah mencuat dari keremangan sebuah tempat hiburan. dan aku, datang seperti lelaki kebanyakan datang untuk melepaskan diri dari hiruk-pikuk kota yang memberikan runyam pekerjaan. menenggak alkohol, mencari cara menjatuhkan diri di dada dan selangkangan milik perempuan. aku berharap itu semua bisa menyelamatkan pikiran. aku tidak ingin mati dalam kesendirian.2 —di hiruk-pikuk seperti ini, seseorang berkemungkinan besar mati dalam ketakutan—
2
Ketergantungan seks adalah sebuah obsesi dan preokupasi terhadap seks, dimana segalanya didefinisikan secara seksual atau dengan aspek seksualitasnya dan semua persepsi dan hubungan diseksualkan. Ketergantungan seksual adalah progresif dan fatal, destruktif bagi diri orang tersebut, orang lain dalam ikatan atau hubungan orang tersebut. Orang yang memiliki ketergantungan seksual menjadi semakin progresif dalam berbohong, memikirkan kepentingan pribadi, terisolasi, penuh rasa takut, bingung, mati rasa, dualistik, ingin mengontrol, perfeksionis, menolak mengakui adanya masalah, kehilangan kewarasan, dan disfungsional…. Anne Wilson Schaef, Escape from Intimacy: Untagling The “Love” Addictions, Sex, Romance and Relationship, 1989: 11.
94
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
namamu waktu itu raisa. memang bukan nama sesungguhnya, katamu sekedar ingin menyamarkan kesedihan, seperti yang selama ini senantiasa media massa lakukan. seseorang merasa perlu diinisialkan, bukan karena ingin mengungkapkan berdasarkan kebohongan tapi memang seringkali ada yang mesti sedikit ditutupi dari kenyataan bunyi musik semakin keras dan berantakan, seperti maskaramu. seperti birahiku. kau kosong malam ini?, aku bertanya. aku tatap mata engkau yang redup seolah tak bisa menolak apa pun yang ditawarkan oleh garis hidup. dan benar saja, engkau memang tak punya alasan untuk menggeleng. berapa? tanya engkau, memastikan aku bukan lelaki miskin. memastikan aku membawa cukup uang untuk membayar apa yang nantinya tubuhmu berikan.
KUMPULAN PUISI ESAI
95
sebegini tarifku semalam,engkau menggerakkan tiga jari.3 aku paham. aku mengecup pipi engkau. senyum dari bibirmu kecut dan merangsang.
3 dan berangkatlah kita ke sebuah hotel, tapi aku lebih suka menyebutnya penginapan. penginapan yang akan didatangi beberapa polisi sebulan 2 kali untuk mengambil jatah uang jimpitan. aparat keamanan memang seringkali begitu, selain bertugas mengamankan, mereka juga kerap mengaminkan hal-hal yang menguntungkan.
3
Data dari komunikasi maya para lelaki pengguna jasa seks bayaran di Jakarta tahun 2007 mengungkapkan paling murah adalah untuk pemakaian perempuan lokal sebesar Rp 350.00 per jam. Biaya ini masih harus ditambah dengan tips, minum, dan makan. Totalnya paling tidak Rp 600.000 harus dikeluarkan. Bandingkan dengan upah buruh minimum di Jakarta yang pada tahun 2008 hanya Rp 970.00 per bulan. Betapa tidak berhatinya mengeluarkan hampir sebesar upah minimum sebulan hanya dalam waktu 1 malam. Industri seks di Indonesia pada tahun 1998 diperkirakan menghasilkan 1,2 hingga 3,3 milyar Dollar AS per tahun, atau mencapai 0,8 hingga 2,4 persen dari GDP kita- Indonesia. (Agnote, 1998.) Bandingkan dengan data penghasilan dari trafiking perempuan untuk prostitusi di seluruh dunia yang diperkirakan mencapapai 12 milyar Dollar AS per tahun (Malarek, 2009 X111) Persentase penghasilan bisnis seks di Indonesia cukup signifikan jika dibandingkan dengan penghasilan dunia.
96
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
tapi seaman-amannya penginapan di kota ini, aku tetap masih percaya tak ada yang bisa memberi rasa aman selain pelukan, raisa. penginapan-penginapan itu cuma punya petugas yang diharuskan terus tersenyum ketika menunjukkan kamar nomer berapa yang akan kita gunakan sambil tak lupa meminjam sebentar kartu identitas sementara kita bekerja keras menahan napas. inilah jakarta, jantung negara kita, raisa. yang terus berjanji akan mensejahterakan penduduknya dari himpitan ekonomi.4 kota yang siang malam berdenyut, dan selalu muncul di tayangan televisi. yang selalu teguh kepada pendirian, : akan tumbuh ribuan jika yang satu dipatahkan.
4
Pengemis, gelandangan, prostitusi dapat hidup dan bertahan selama kehidupan kota yang tidak pernah berhenti terus berputar. Keberadaan orang-orang yang berpenghasilan lebih, keramaian pasar dan pesatnya perputaran uang di kota menjadikan mereka enggan untuk meninggalkan kehidupan jalanan beserta kebudayaan kemiskinan mereka. Perlu sebuah upaya memutus generasi prostitusi, gelandangan dan pengemis agar budaya kemiskinan itu tidak diwariskan kepada anak cucu kita (Reza Hudiyanto, Yang Tersisa di Tengah Kemajuan-dalam buku Kota-Kota di Jawa, 2010).
KUMPULAN PUISI ESAI
97
salon-salon, tempat spa, tempat pijat, diskotik akan menjamur, menjadi penyakit yang tak bisa disembuhkan. inilah jakarta, ibu kota yang lebih sadis dari ibu tiri, rimba buas bagi para penghuni, kitalah, raisa, binatang penurutnya, yang tunduk dan patuh pada pepatah: yang kuat bertenaga adalah raja, yang menua dan lemah akan jatuh dan kalah, itu undang-undang yang akan selalu kita kenang, sebelum aku atau engkau nantinya terbuang.
4 di lapang ranjang, setelah kita membasahi diri dengan air dari kamar mandi, kita berbaring dan membiarkan hawa panas dari tubuh kita yang telanjang mencoba melawan suhu pendingin ruangan. aku memeluk engkau yang tak pernah memiliki harapan pada apapun. gerakan tubuhmu yang ular berbisa seperti hendak berkata: hunjamkan, hunjamkan terus. aku sudah tak tahu dengan apa dan bagaimana rasa sakit dibuat.
98
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
tubuhmu memang sudah puluhan kali dijajah oleh para penjamah, raisa. aku tahu, engkau cuma menunggu waktu dimana aku akan menggelepar, tertidur seperti bunyi telepon genggam yang sengaja engkau beep- kan. senyap. sehabis di ranjang dan percintaan tenaga aku habis engkau hisap. pagi-pagi sebelum petugas hotel datang mengantarkan kopi, engkau sudah bangun. aku menatap rambut engkau, kening engkau, leher engkau, serakan bra dan celana dalam berenda engkau. engkau menatap aku. mengerling. tersenyum kecut. dan menangis. aku mendekat. memeluk. dan kita saling menatap dengan bibir terkatup. matamu yang cekung itu basah. ada kelelahan luar biasa di sana. apa aku menyakitimu? aneh. kali ini engkau menggeleng. hal yang aku kira mustahil. tidak, aku cuma tiba-tiba bertanya, dengan cara apa ya nantinya Tuhan bisa memaafkan kita, aku terutama.
KUMPULAN PUISI ESAI
99
aku terhenyak, engkau seperti sedang memutuskan siapa lebih kotor dari siapa. menangis dan berceritalah, raisa, sebab cerita engkau lebih bisa aku terima daripada cerita mulut para pejabat di penjuru kota ini yang begitu tebal mengulum banyak janji. berceritalah seperti tubuhmu yang jujur dan telanjang. berceritalah meski sambil menangis, raisa. aku akan lebih bisa mendengarnya.
5 dulu, aku beranggapan kemolekan tubuh dan wajah itu berumur panjang, tak akan ada kerut, tak ada lemak menggelambir yang merusak dan menjadi musuh bagi perut. tak akan ada kantung mata, tak akan ada payudara yang turun terjuntai ke mana-mana. aku masih enam belas tahun,5 aku masih sekolah menengah aku bunga mekar —semekar-mekarnya, dan kota adalah taman mewah dengan banyak lampu sorot, toko pakaian, mall dan plaza, kafe, diskotik, tempat karaoke, peralatan elektronik yang terus memicu hasrat untuk tampil menjadi si cantik. 100
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
5
Pada tahun 1995 tercatat ada 72.000 orang yang dilacurkan di berbagai lokalisasi, 30% di antaranya adalah anak-anak; dan pada tahun 1998 meningkat menjadi 150.000 orang (Farid, 1998). Sebuah survei pada tahun 1992 menunjukkan bahwa 1 dari sepuluh orang yang dilacurkan berusia di bawah usia 17 tahun (Agnote, Kyodo News, 18 Agustus 1998). Data lain tentang perempuan yang dilacurkan adalah pada tahun 2003, di Indonesia terdapat 190.000-270.000 perempuan yang dilacurkan yang melayani 7-10 juta pria hidung belang (www.satudunia.oneworld.net). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa diperkirakan jumlah perempuan yang dilacurkan terus meningkat. “Saya seringkali dihadapkan pada pekerja seks komersial (PSK) berusia 12-16 tahun, bahkan di usia segitu sudah ada yang sudah positif mengidap HIV dan menjadi mucikari bagi teman-temannya,” ungkap psikolog Riza Wahyuni, S.Psi., M.Si., dalam acara Seminar dan Berbagi Pengalaman Dampak Perdagangan Manusia Ditinjau dari Aspek Medis, Psikologis dan Sosial bertemakan “Save Our Children from Violence” di Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Senin, 14-5-2012. Menurut Riza, banyak di antara korban perdagangan manusia, terutama PSK, tidak tahu-menahu bahwa mereka adalah korban. Hanya karena imingiming sejumlah uang, mereka bersedia diminta menemani para lelaki hidung belang dan akhirnya mengidap sejumlah penyakit infeksi menular seksual seperti sifilis dan HIV AIDS. (Sumber: /http/www.detikhealth-perdaganganmanusia-indonesia-lewat-prostitusi-terbesar-ke-2-dunia.htm). Pada bulan November 2008, polisi membebaskan 3 perempuan yang disekap selama 2 minggu tanpa diberi makan oleh bos sebuah spa di Jakarta karena menolak memberikan jasa seks. Dalam penggerebekan polisi, ditemukan juga perempuan muda yang secara hukum masih anak-anak, di bawah 16 tahun (Kompas.com, 19 November 2008). Pada Januari 2008 polisi membebaskan 16 perempuan muda yang menjadi korban penipuan, diperdagangkan, dan dipaksa menjadi budak seks. Mereka dijebak dengan dijanjikan bekerja di kafe sebagai pengantar minuman. Namun sesampai di Jakarta dipakasa bekerja di panti pijat dan memberi tambahan layanan seksual (Detiknews.com, 15 Januari 2008).
KUMPULAN PUISI ESAI
101
dari situ awalnya, aku masuk ke dalam perkara-perkara yang tak pernah sedikit pun aku perkirakan. kota mengajari aku bagaimana bersenang-senang. tapi ternyata aku ditipunya tanpa pernah merasa ditipu, dan memang, penyesalan diciptakan tidak untuk dipikirkan saat kita sedang melakukan sebuah perbuatan. awalnya aku cuma ikut-ikutan, mengikuti bagaimana teman-temanku berdandan, membeli lipstik, membeli bedak, mengganti telepon genggam. kemudian kami mencoba yang lebih menantang: merokok, mencoba mencicipi minuman yang katanya bisa membuat kepala dan dada kami deg-degan. kami jauh masuk ke dalam kebebasan. cita-cita dan norma agama sudah mati di kepala kami oleh obat-obatan terlarang. kemudian kami ketagihan. mau tak mau mesti berjuang keras menemukan cara bagaimana memenuhi kebutuhan.
102
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
6 satu-satunya jalan adalah merelakan tubuh kepada para lelaki yang membutuhkan pelukan, para lelaki yang merasa tak betah melihat istri sendiri di rumah,6 para lelaki lajang yang terus digerus rasa penasaran. para lelaki yang tak pernah ragu menghambur-hamburkan uang. dari situ telingaku mulai belajar menerima disebut perempuan panggilan. ya, sebab memang beginilah, aku, atau sebagian yang lain selalu di panggil-panggil di pinggir jalan, di hotel, di tempat kebugaran atau di sebuah rumah bordil.
6
Dalam ilmu psikoanalisa Freud, ada konsep yang disebut Madonna and the Whore Complex (Kompleks Madonna dan Pelacur), yaitu sebuah kondisi di mana si istri diasosiasikan sebagai ibunya atau tokoh Madonna sehingga si istri tidak lagi memiliki daya tarik seks baginya (lelaki). Bagi lelaki yang mengidap kompleks Madonna-pelacur ini, cinta dan seks tidak dapat dicampur. Cinta adalah untuk si istri yang diasosiasikan sebagai ibu atau tokoh Madonna, sedangkan seks untuk si pelacur yang tidak dapat dicintainya. (Sumber: www.en.wikipedia.org)
KUMPULAN PUISI ESAI
103
melepas baju, melepas celana di hadapan lelaki dengan perasaan menggigil. kadang kami dijejer dalam ruangan berkaca, kami dikenali dengan nomer di dada. kami sering disebut para perempuan haus peminum sperma.7 aku merasa seperti ikan duyung di akuarium. sepanjang jam berdiri mengenakan senyum, mendekatlah. pilihlah aku, pilihlah aku. barangkali rayuanku sama dengan doa para calon bupati, yang berharap menang di dalam pemilihan di suatu hari.
7
Para lelaki adalah “mata rantai yang hilang… dari rangkaian prostitusi dan trafiking manusia untuk seks (the missing link in the chain of prostitution and human trafficking). Tanpa adanya kaum lelaki yang bersedia mengeluarkan uang untuk kenikmatan sesaat yang mengorbankan kaum perempuan maka tak akan ada permintaan (demand), dan tanpa permintaan tak akan ada penawaran (supply) perempuan sebagai pelayan seks. Kontinuitas kebiasaan kaum lelaki yang mengunjungi tempat-tempat hiburan seks perempuan adalah penyebab maraknya bisnis pelyanan seks perempuan di kota-kota besar di Indonesia, terutama di Jakarta. (Victor Malarek, The John’s, Sex for Sale and Then The Men Who Buy It, 2009).
104
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
7 lama-lama kami menjelma virus bagi kota yang siang malam enggan tertidur ini. kami menjadi musuh para ibu rumah tangga, kami menjadi bisik-bisik bagi para tetangga kami hidup dikutuk menanggung prasangka.8 apa sebenarnya yang aku cari di kegelapan ini? pertanyan aku untuk kami.
8
Sejak awal 2000-an, banyak buku-buku yang ditulis oleh penulis profesional atau wartawan lelaki yang menyoroti bisnis seks di Asia. Para penulis lelaki itu memiliki kesamaan posisi, pemikiran bahwa memang mayoritas yang ada dalam bisnis seks berlatar belakang kemiskinan. Artinya, mereka secara implisit mengakui adanya aspek keterpakasaaan para perempuan itu, akan tetapi, menurut para penulis ini, perempuan tersebut diuntungkan dengan adanya uang dari layanan seks yamg dijualnya. (Lim, 2004; Emka, 2007; Sparrow, 2008). Kritik pertama terhadap cara berfikir seperti ini adalah bahwa dengan adanya keuntungan yang didapat para perempuan yang melakukan layanan seks dengan imbalan uang tersebut, maka bisnis seks itu seolah sah-sah saja. Inilah cara berpikir liberal kapitalis yang tidak melihat konteks historis para perempuan tersebut. Konteks pertama yaitu, mayoritas para perempuan ini adalah korban dari kemiskinan struktural. Konteks kedua, para lelaki yang menggunakan pembenaran bahwa si perempuannya diuntungkan tidak melihat adanya kemungkinan para perempuan tersebut sebagai korban perdagangan seks yang mengalami kekerasan fisik, psikologi dan jeratan hutang. Kritik kedua adalah, para penulis tersebut tidak melihat efek negatif dari dunia bisnis seks yang dijalani para perempuan tersebut. Efek negatifnya
KUMPULAN PUISI ESAI
105
8 akhirnya aku diusir dari rumah, setelah tahu bertahun-tahun bersekolah anak kandung mereka ternyata cuma bisa menjadi bau busuk dan sampah. dan sampah memang sudah semestinya dibuang bukan, aku pandang pintu rumah sebelum pergi, maafkan aku, ayah. aku dan tubuhku terlampau rusak parah. maafkan aku, ibu. aku melenceng jauh dari doa dan cita-citamu.
adalah penyakit infeksi kelamin menular, atau Sexually Transmitted Infections (STI), penyakit HIV atau AIDS, ketergantungan alkohol, narkotika dan obat-obatan berbahaya (narkoba). Kritik ketiga adalah “keuntungan” yang didapat para perempuan yang dilacurkan tersebut berumur pendek. Para perempuan itu hanya laku sampai umur tertentu. Berdasarkan pengamatan, hanya sampai maksimum umur 30 tahun. Kemungkinan yang terjadi pada perempuan yang tidak laku adalah jika beruntung mereka mungkin sudah diperistri oleh seorang lelaki kaya sebelum dianggap terlalu tua dalam lingkungan itu sehingga tidak bisa dipakai lagi. Mungkin mereka meningkat menjadi mamasan alias mucikari perempuan. Jika tidak beruntung mereka turun kelas ke bisnis pelacuran yang lebih murahan yang masih menerima perempuan di atas 30 tahun. Keempat, yang paling diuntungkan dalam bisnis seks ini adalah pemilik hiburan mesum, mucikari, preman, dan oknum aparat negara yang memberi perlindungan. (Sumber: Nori Andriyani, Jakarta Uncovered: Membongkar Kemaksiatan, Membangun Kesadaran Baru, 2010).
106
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
langit di luar bening seperti akuarium. aku ingin melayang dan berenang-renang di sana, di tempat yang aku pikir tak ada hal menyakitkan. tapi, tapi bagaimanapun yang salah akan selalu mendapat hukuman. kepada langit segala hal aku pasrahkan. aku terus terseok menyusur jalanan. detik detik berjalan, jam jam berjalan hari-hari datang dan pergi bergantian setahun, tiga tahun, lima tahun,.. tapi aku tetap tidak percaya kepada masadepan, seperti ketidakpercayaan para pelacur kepada alat kontrasepsi, yang dinas kesehatan dengung-dengungkan tiap bulan sekali untuk memperkecil kasus aborsi.9 mencegah banyaknya bayi yang dibuang di sungai atau di pinggir jalan seperti yang mereka lakukan akibat pasangan lelaki tak mau mengenakan karet pengaman.
9
Menteri Kesehatan (Menkes) RI, Nafsiah Mboi, pada hari Senin, 25-62012, melakukan rapat dengan Komisi IX DPR RI. Dalam rapat tersebut Menkes juga mengklarifikasi kebijakan kampanye kondom-nya, dan mengatakan bahwa hanya terjadi kesalahan penyampaian informasi kepada masyarakat. Kebijakan kampanye kondom itu hanya ditujukan kepada
KUMPULAN PUISI ESAI
107
9 apalagi yang engkau minta untuk aku ceritakan? kamar penginapan jadi terasa lebih dingin. aku memelukmu sekali dan sekali lagi. kemudian kita tertidur sembari memimpikan anak-anak akan terlahir dari rencana kita. anak-anak yang barangkali akan menjadi saksi bahwa perasaan berdosa lebih bisa menghukum kita dibanding aparat negara yang tak mampu adil dan tak yakin dalam menghakimi seorang tersangka,
golongan pelaku seks berisiko, seperti yang banyak terjadi di tempat-tempat prostitusi, baik yang terselubung maupun tidak, dimana pekerja seks wanita yang masih di bawah umur tidak bisa dibilang sedikit jumlahnya. Menurut Nafsiah, di tempat-tempat pelacuran, 34 persen pekerja seksnya merupakan perempuan berusia 15 sampai 24 tahun. Sedangkan untuk laki-laki yang membeli seks itu sekitar 45 persen berusia dibawah 25 tahun. (Sumber: www.skalanew. com-menkes-paparkan-situasi-dunia-pelacuran-indonesia.html). Kasus aborsi dilakukan karena faktor sosial dan ekonomi yang saling mempengaruhi. Faktor sosial yang paling berpengaruh adalah faktor profesi perempuan sebagai pelacur atau hubungan seks tanpa melalui hubungan resmi. Perempuan pelacur dan yang hamil di luar nikah umumnya tidak menginginkan adanya kelahiran bayinya. Maka aborsi merupakan jalan terbaik. Sementara, alasan ekonomi kasus aborsi dapat saja terjadi pada keluarga yang tidak menginginkan anaknya lahir karena ekonomi keluarga yang miskin. (Terrence H. Hull, Pelacuran di Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya, 1997).
108
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
di dalam mimpi aku melihat diriku sedang bertanya padamu, dengan apa cinta bisa dipenjara. dan dari kita ternyata tidak ada yang mampu menjawabnya
10 percakapan-percakapan kita terus mendengung, merambat berkilo-kilometer menempuh waktu dan ingatan. menghantam pikiran, sampai aku sadar, aku masih sendirian di pojok taman. rupanya engkau benar-benar tidak datang. aku curiga kota ini sengaja menyembunyikanmu, raisa. aku jadi merasa kecil, terlampau kecil untuk mengeluarkan jeritan. suaraku membentur udara dan kembali lagi tanpa ada yang menimpali. : kenapa tuhan menciptakan cara mencintai seperih ini
11 aku datangi lagi tempat-tempat hiburan malam, aku datangi rumah bordil, tempat karaoke, panti pijat, salon kecantikan KUMPULAN PUISI ESAI
109
aku telusuri mall-mall. aku selalu berharap wajah engkau aku temukan mengenakan senyum sekecut apapun. atau barangkali engkau memang butuh menghilang agar bisa aku rindukan. aku tanyakan engkau kepada orang-orang di pinggir jalan, di lintasan rel kereta api, di tempat mangkal perempuan yang tiap malam didatangi banyak lelaki. di perkampungan kumuh, di antara rumah yang gentengnya miring dan dindingnya tak pernah rapat menghalau angin. barangkali seseorang pernah bertemu dengan engkau. aku tak perduli engkau kutemukan dalam dandanan wajah sesedih sengilu apapun. aku mencari engkau sampai ke kantor polisi, lembaga rehabilitasi, barangkali sebuah razia berhasil menangkap, menyeret engkau untuk dihadapkan pada undang-undang tentang pelanggaraan kesusilaan. 110
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
aku mencari engkau diantara kemungkinan-kemungkinan yang sebelumnya tak pernah aku bayangkan. bertahun-tahun aku tetap yakin dan bertahan, aku engkau akan di pertemukan.
12 sampai suatu ketika, dimana aku disudutkan rasa putus asa. datang suara yang mengaku teman engkau lewat telepon genggam membisikkan sebuah berita. seketika aku tak bisa dengan baik mengatur napas, begitu tahu, ternyata engkau lama tak berdaya habis dikuras oleh HIV yang buas dan ganas.10
10
Berdasarkan data dari Yayasan AIDS Indonesia, kasus HIV positif di DKI Jakarta hingga saat ini telah mencapai 3.870 kasus dengan korban tewas mencapai 565 orang. Diperkirakan dalam beberapa tahun mendatang jumlahnya akan meningkat hingga 2 kali lipat. Fakta ini diakui oleh sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Kota (KPAK) Jakarta Utara, Drs. Atma Sanjaya, M.Si. Ia juga mengakui, jumlah kasus HIV positif di Jakarta Utara dan Jakarta Timur relatif paling tinggi di seluruh wilayah DKI Jakarta. “Daerah ini daerah pelabuhan, banyak laki-laki datang tidak bersama istrinya. Tempat prostitusi bermunculan seperti Kalijodo di Penjaringan
KUMPULAN PUISI ESAI
111
di sebuah ruangan tempat engkau di rawat. engkau berbaring dibalut pakaian serba putih bersih. kepalamu nyaris tanpa rambut, tulang tangan engkau terlihat, bibir engkau kering seperti habis terbakar. apa kabar, bisik engkau di telingaku yang hampir-hampir tak terdengar. tak bisa kubendung kesedihan yang bertahun-tahun tertampung dalam diriku. aku rengkuh tubuh engkau yang ringkih.
dan Rawabebek di Cilincing,” ungkap Atma usai membuka seminar Pencegahan dan Pengobatan Penyakit AIDS di Aula Puskesmas Penjaringan, Rabu, 15-12-2010. Menurut Atma, kedua kecamatan tersebut yakni Penjaringan dan Cilincing merupakan daerah dengan kasus HIV positif terbanyak di Jakarta Utara. Selain banyak Wanita Pekerja Seks (WPS), di wilayah tersebut juga banyak ditemukan WPS-TL (WPS Tidak Langsung) yang membuat pengendalian HIV makin sulit dilakukan. “WPS itu yang di lokalisasi sepertri Kalijodo dan Rawabebek, mereka memang menyediakan diri untuk dipakai. Kalau WPS-TL itu yang di salon-salon, spa, dan sebagainya. Mereka jual jasa yang lain, tapi kalau dibayar untuk melakukan lebih mau juga,” tambah Atma yang pernah menjabat wakil walikota Jakarta Utara. Penularan HIV yang terjadi di tempat-tempat pelacuran memang menjadi perhatian KPAK Jakarta Utara, sebab korbannya tidak hanya pengguna jasa WPS melainkan juga anak-istrinya. Istri yang setia bisa tertular jika suaminya suka jajan, lalu menularkannya lagi ke anaknya saat hamil dan menyusui. (Sumber: /http/www.detikhealth-penjaringan-cilincing-rawanhiv-karena-narkoba-prostitusi.htm).
112
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
jangan menangis. jangan menangis, katamu berusaha meyakinkan bahwa keadaan akan baik-baik saja. tapi aku tetap menangis. pelukanku semakin erat, seperti hendak memasukkan tubuhmu ke tubuhku. engkau berbisik lagi, bagaimana nanti ya, cara Tuhan memaafkan kita engkau tersenyum, setelah itu senyap. senyap sekali. mata engkau tertutup. bibir engkau terkatup.
13 aku masih di sini, di samping nama engkau yang ditulis di nisan, sehabis orang-orang pulang mendoakan sembari menabur kembang. : aku tidak bisa berdoa banyak, Tuhan. semoga Engkau terus menjadi yang maha pengasih lagi maha penyayang. amiin.
Juli-Agustus 2012 KUMPULAN PUISI ESAI
113
114
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Suara-Suara Ingatan Puisi Esai Jenar Ariwibowo
KUMPULAN PUISI ESAI
115
116
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Suara-Suara Ingatan
1 di pagar rumah itu kini bahkan tak tumbuh lagi pare dan kucai kembang sepatu soka bougenvil kantil dan juga alpinia1 yang tiap pagi dulu tekun ia sirami telah juga meranggas dan menghumus ke entah mana rumah itu seperti bukan lagi tempat pulang baginya ruang tamu yang biasanya bising oleh tawa bapak dan ibunya kini menjadi pendiam dan renta ia cuma sesekali akan menjerit ketika angin membikin daun jendela berderit
1
Lengkuas atau laos (alpinia galanga): jenis tumbuhan umbi-umbian yang bisa hidup di daerah dataran tinggi maupun dataran rendah. Umumnya masyarakat memanfaatkannya sebagai campuran bumbu masak dan pengobatan tradisional.
KUMPULAN PUISI ESAI
117
di rumah itu suti akhirnya kembali datang bukan lagi untuk pulang melainkan sekedar untuk menjenguk kenangan yang jika dilupakan begitu sayang
2 ia kini duduk di kursi kayu tua memandang pilu senyap meja makan yang di atasnya dulu kerap dipenuhi wangi ikan-ikan asin dan nangka tak ada—meski—seekorpun lalat yang mau bertandang menemani debu-debu yang membikin segalanya dekil dan ingatan-ingatan kecil di kepalanya acap kali menjelma suara-suara pelan bapak dan ibu di sepi itu yang tanpa disadari membikin airmatanya labuh ke dagu
118
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
3 “betapa menyedihkan menjadi miskin, Nduk.”2 suara itu menggema jelas dari tabung lampu pompa yang gosong dari tembok-tembok usang kamarnya kalender robek kaca jendela yang bolong juga bahkan dari lumut-lumut subur di bibir sumur maka dengan berat hati ia dekatkan diri ke setiap gema ini mendengarnya khidmat dengan dua bola mata yang basah dan bersinar buncah —seperti pucuk kembang turi di pukul setengah enam pagi Suti baca kembali satu demi satu cerita-cerita lama yang pernah mukim di sana itu hingga kemudian ia sadari bahwa kemiskinanlah yang ternyata sempat menjadikan dia sebagai perempuan paling sepi di dunia ini
2
Singkatan dari en·duk/genduk, Jawa, panggilan (kata sapaan) untuk anak perempuan.
KUMPULAN PUISI ESAI
119
di atas meja ia kemudian bertopang dagu memutar ulang lengkap kenangan yang begitu enggan untuk disemayamkan
4 sembilan belas sembilan delapan hiphiphura di layar kaca berubah menjadi huruhara kerusuhan terjadi di mana-mana3 orang-orang saling jarah-menjarah berkata-kata kotor menjungkirbalikkan mobil bahkan ada juga yang membunuh dan memperkosa didalangi entah oleh siapa
3
Kerusuhan terjadi di Indonesia pada 13 Mei-5 Mei 1998, khususnya di ibu kota Jakarta, juga di beberapa daerah lain. Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998. Pada kerusuhan ini banyak toko-toko dan perusahaan-perusahaan dihancurkan oleh amuk massa —terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa. Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Bandung, dan Surakarta. Terdapat ratusan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa dan mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut. Sebagian bahkan diperkosa beramai-ramai, dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh. Dalam kerusuhan tersebut, banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia. (http://id.wikipedia.org/wiki/Kerusuhan _Mei_1998).
120
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
api menyala merah darah menggenang setinggi kecambah ada yang menangis ada yang menjerit ada yang juga tertawa ada desing peluru juga asap dan lemparan batu-batu di chanel lain juga diputar berita mahasiswa-mahasiswa berbondong-bondong lari ke gedung DPR/MPR4 sebagian memblokir jalan sebagian lagi bermain ludruk di bundaran HI presiden dilengserkan, kaum kecil banyak yang gembira5 pemerintahan berubah, tapi ternyata kondisi Negara malah bubrah dampaknya bapak Suti kena PHK masa depan mereka pun otomatis berduka
4
18 Mei 1998, gelombang pertama mahasiswa dari FKSMJ dan Forum Kota memasuki halaman dan menginap di Gedung DPR/MPR untuk menuntut Presiden Soeharto agar turun dari jabatannya. (http:// id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_%281998-sekarang%29).
5
21 Mei 1998, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya pada pukul 9.00 WIB. Soeharto kemudian mengucapkan terima kasih dan mohon maaf kepada seluruh rakyat dan meninggalkan halaman Istana Merdeka didampingi ajudannya, Kolonel (Kav) Issantoso dan Kolonel (Pol) Sutanto. (http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_%281998-sekarang%29).
KUMPULAN PUISI ESAI
121
tiga bulan bapak Suti masih bisa menghidupi keluarga tapi tidak di bulan berikutnya ketika sisa gaji dan uang pesangon habis hingga akhirnya Suti pun dipaksa putus sekolah, sebab kata bapaknya mencari kerja sehabis itu amatlah susah perempuan tak perlu sekolah tinggi-tinggi, nduk toh kelak kau tetap hanya akan bertemu dengan dapur dan kasur saja sejenak, dibiarkannya ruang keluarga mengheningkan cipta canda tawa di rumah mereka pun terpaksa ditidurkan Bapak, apa memang perlu harus demikian?
5 Bapak Suti tinggi dan tidak terlalu tampan konon katanya dia adalah seorang sarjana tapi tetap saja di negara ini ijazahnya tidak berguna Ia lantas terpaksa mengayuh becak karena tak dapat-dapat kerja
122
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
demi tetap ada yang terhidang di atas meja makan, tentu saja kendati di ruang makan, daging sapi dan ayam kini harus diganti kerupuk dan ikan asin dan durian harus diganti dengan jambu dan nangka lebih baik hidup begini sederhana, sayang daripada kita harus mengemis beras kepada tetangga Bapak Suti merupakan seorang pekerja keras dan baik hati tak akan pulang ke rumah jika kota belum menyisakan hanya lampu-lampu redup dan sepi tak pernah ia menceritakan sakit dan lelahnya kepada Suti atau juga istrinya hingga pada suatu petang ia meninggal dunia saat mengantar pulang penumpang penyakit jantung membunuhnya tanpa terlebih dulu mengetuk pintu ia diantar empat orang ke rumahnya sebagai jasad yang sudah tidak lagi bernyawa maka bermuramdurjalah kemudian Suti oleh sebab tiada lagi sosok lelaki yang setiap pulang kerja dulu acap membawakan untuknya sekantung penuh gulali KUMPULAN PUISI ESAI
123
sepuluh hari ibu Suti juga mengurung diri di kamar lantaran berat duka yang dia emban ia habiskan waktu dengan bersidekap tangan sembari menatap kosong setiap sudut bilik seperti perempuan hilang ingatan kenapa setiap yang kau datangkan harus kembali kau buat pergi, tuhan?
6 pelan-pelan Suti dan ibunya akhirnya bangkit berdiri membanting tulang sebagai pencuci pakaian tetangga-tetangganya lima puluh ribu rupiah seminggu pun rela mereka jalani asal kompor di dapur bisa tetap menyala asal air tetap bisa dijerang nasi tetap bisa ditanak rumah masih bisa diterangi dan canda tawa di dalam kamar masih bisa dihimpun meskipun kali itu oleh hanya mereka berdua saja
124
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
7 kadang ibu Suti merasa bersalah membiarkan anaknya menikmati masa kanak-kanaknya yang tidak panjang apalagi Suti kerap bercerita padanya kalau dia kepingin lagi bisa seperti dulu; membaca kisah Kartini dan Jenderal Sudirman di depan kelas saat pelajaran sejarah; menambah dan mengalikan angka bersama-sama di jam matematika membikin satu-dua puisi di jam bahasa; memberi hormat kepada bendera bangsa yang meniang saat upacara tapi apa boleh buat sekolah mahal buku-buku mahal ijazah mahal apa-apa mahal! meski sebenarnya negara berkewajiban membikin dia pintar6 sayang, itu semua hanya sekedar koar-koar
6
Bila merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945, disebutkan dalam pasal 31 ayat 1 bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, dan pada ayat 2 disebutkan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti
KUMPULAN PUISI ESAI
125
kau tak perlu lagi berharap banyak buat menjadi pintar, perempuan kecilku di negri kita orang miskin dilarang menuntut ilmu kamu cukup duduk diam di rumah saja menunggu kedua tanganmu menjadi kekar dan dua buah dadamu tumbuh membesar katakanlah, kau cukup menunggu dirimu dewasa agar bisa jadi babu di luar negri seperti tetangga kampong kita, atau mungkin mengabdi kepada orang dari tanah air kita sendiri —yang lebih keparat kalau soal memberi gaji pemerintah mana mau tahu dengan melodrama hidup kita yang picisan ini yang di setiap kota di negeri ini punya seribu satu cerita yang sama
pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Dan dalam UU No. 20/2003 pasal 5, setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus, warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus, warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus serta setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat. (http:// timpakul.web.id/pendidikan.html); referensi lain: (http://id.wikisource.org/ wiki/Undang-Undang_Dasar_Negara_Republik_Indonesia_Tahun_1945/ Perubahan_IV).
126
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
atau mungkin dua ribu bahkan mungkin juga sepuluh ribu tapi semoga saja kelak kita diberi oleh tuhan kesempatan untuk menjadi kaya raya, sayang
8 suatu hari yang basah di musim hujan tiga tahun setelah bapak Suti pergi jalan-jalan di kampung dipenuhi kubangan katak-katak beranak-pinak di mana-mana— di pojok parit di rimbun semanggi di balik bengkel tambal ban— membikin suara gaduh di ketika waktu hilang matahari dan di antara riuh rendah suara-suara itu Suti kembali diajak tuhan bermain-main dengan rasa duka dunia di hadapannya mendadak terasa lengang begitu ia tahu bahwa ibunya juga turut berpulang seperti bapaknya tuhan, apa lagi ini?
KUMPULAN PUISI ESAI
127
9 kata orang-orang ibu Suti mati karena menderita penyakit kangker otak barangkali oleh sebab kebiasaan anehnya sendiri yang ketimbang dengan sampo, ia lebih suka mengeramasi rambutnya dengan bubuk deterjen sisa mencuci habis mau bagaimana lagi, uang untuk membeli sampo bagi dia lebih berguna kalau dibelikan garam atau gula saja betapa menyedihkan menjadi miskin, Suti kau bisa mati lebih cepat apabila tak kuat maka besok kalau sudah besar nanti kau menikahlah dengan orang yang kaya raya supaya tak lahir lagi orang-orang bernasib seperti kamu berikutnya
10 takdir kembali menuntun Suti kepada halaman kosong yang membuat ia harus benar-benar lebih pintar menulis cerita sambil menahan segala sedu-sedan yang ada;
128
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
harus pandai melangkah dan mengubahbenahi hikayat hidupnya yang sejauh ini demikian gasal itu; harus sedia belajar berdansa gembira di bawah rinai gerimis; memecah cadas dengan kuku-kuku; dan teguh di antara hiruk-pikuk caci-maki hingga tubuh dan hatinya mati rasa— tak lagi merasa kuyup dan sering merinding seperti biasa karena ia sudah tak lagi punya siapa-siapa
11 suatu hari seseorang mengajak Suti hijrah ke kota untuk bekerja sebagai pelayan di sebuah rumah makan dan ia pun langsung menerimanya dengan tangan terbuka supaya bisa makan dan melanjutkan hidup mau tidak mau harus bersedia asal jangan jadi pelacur kelas kencur saja
KUMPULAN PUISI ESAI
129
lalu ditinggalkannyalah sendirian kemudian kediamannya dibiarkannya tanaman-tanaman di beranda depan membelukar sebelum akhirnya mati sendiri-sendiri ditenggelamkan air pasang yang kerap datang setinggi mata kaki
12 Suti bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran di Jakarta dengan gaji dua ratus lima puluh ribu sebulan dan jaminan makan tidur gratis di sana tapi ia terpaksa harus bersedia bergumul dengan daging dan minyak babi di dapur kendati dalam kepercayaannya hal itu merupakan dosa besar yang bisa membikin imannya mumur habis bagaimana lagi tidak mungkin ‘kan setiap hari tuhan akan mengirimiku lauk-pauk dan serantang nasi seandainya aku tidak begini?
130
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
13 Suti hanya betah satu setengah tahun saja kerja di Jakarta dan terpaksa pulang kampung karena tidak tahan diintimidasi Ia kembali lagi kepada kediamannya yang kini kotor dan lapuk seperti nisan kayu kedua orangtuanya yang hampir tidak pernah ia kunjungi —bahkan meski setengah tahun sekali rumah itu kini reot tidak mampu Suti memugarnya dengan sisa uang yang ia kumpulkan selama bekerja di kota maka ia pun kembali pergi meninggalkannya dan mencari kediaman lain yang bisa menampungnya ia pun bertanya tentang lowongan kerja kepada setiap pemilik kios baju di pasar-pasar sambil terus berharap ada yang mau berbaik hati mempekerjakannya dan membiarkan ia tidur di kiosnya setiap malam
KUMPULAN PUISI ESAI
131
lantas bertemulah Suti dengan pemilik toko baju bernama Pini— perempuan empat puluh lima tahun yang keramahtamahannya serupa dengan mendiang ibunya betapa beruntungnya Suti bertemu Pini lantaran Pini berniat menjadikan Suti anak angkatnya setelah lima bulan ia bekerja padanya Suti bahkan kembali disekolahkan diberi kesempatan untuk belajar apa saja yang ia mau ia kini punya pundak Pini untuk memuarakan airmatanya punya tempat merapat ketika tubuhnya dilanda gigil— punya ibu kedua yang didatangkan tuhan sebagai keajaiban untuknya tuhan selalu menghitung langkah kakiku selama ini tuhan tidak pernah tidur tuhan tidak pernah tidur Bapak, Ibu, kalian juga tentu tahu itu tuhan tidak pernah tidur
132
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
14 nasib baik itu telah menumpulkan mata Suti yang selama ini runcing membikin dia kembali menghafal lagu Indonesia Raya yang liriknya pernah sempat ia lupa juga kini ia lebih sering menengadahkan kepala untuk melangitkan doa-doa sesekali ia juga menyempatkan diri berkunjung ke kediaman lamanya sekedar untuk sejenak kembali menjadi perempuan kecil yang cengeng— menyibukkan diri mengemasi sisa masa lalu di kediaman itu yang selama ini terus membuat dia tak ingin lebih cepat mati aku ingin bisa berdiri tegak dengan kedua kakiku sendiri, Ibu. menjadi perempuan besar yang tidak melulu berurusan dengan dapur dan kasur untuk bisa membalas budi kepada setiap yang pernah menyapihku. terlebih kepada engkau yang kini telah menjadi entah tanah atau abu. akan kutanam apa saja bunga yang engkau suka di atas tanah tempatmu berdiang, agar putik dan kelopaknya yang gugur senantiasa mengirimimu doa-doa. demikian di atas makam Bapak juga KUMPULAN PUISI ESAI
133
15 dunia benar-benar terus berputar seperti kata mereka-mereka dan cerita-cerita benar-benar terus berganti seperti halaman-halaman koran yang beritanya tak melulu sama setiap ganti pagi setiap orang punya cerita yang berbeda punya masa lalu yang berbeda dan masa depan yang berbeda tapi cuma ada satu saja di antara sepuluh ribu orang tak ber-ibu yang bisa bernasib seperti Suti oleh sebab itulah kadang ia dengan sendirinya meneteskan airmata ketika menemui ia-ia yang lain —di marka jalan di pasar-pasar di terminal-terminal juga di pinggir gedung-gedung besar —yang tidak pernah menemukan jalan untuk pulang dan tidak bisa menggambar sendiri dengan baik peta hidupnya
134
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
jika tak ada yang benar-benar dengan tulus mengulurkan tangan padamu maka selamanya engkau tetap akan jadi seperti itu sebab negeri ini adalah negeri yang tidak pernah mau tahu negeri yang tidak pernah bangun negeri yang sengaja ditidurkan, sayang
Semarang, Agustus 2012
KUMPULAN PUISI ESAI
135
136
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Jejak Cinta Madun di Kota Sampit Puisi Esai Catur Adi Wicaksono
KUMPULAN PUISI ESAI
137
138
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Jejak Cinta Madun di Kota Sampit
1 Dialah Madun Pemuda tampan nan santun Lahir di Pulau Garam Kental adat, kental agama Sejak kecil di pondok Membaca Qur’an Mendengarkan dakwah Pagi sekolah, sore mengaji Begitulah sehari-hari 2 Di dalam kapal ia duduk termenung Hiruk-pikuk penumpang tak membuatnya gentar Namun akhirnya ia pun mengalah Pada nenek tua yang ingin duduk sejenak
KUMPULAN PUISI ESAI
139
Madun berjalan turun Di dek kapal ia berdiri Memandang hamparan laut Mendengar deru air Angin semilir merayap lembut Menerbangkan ingatannya Membawanya pada masa lalu Tujuh tahun silam Penuh kelam
3 November 1998 Sejak kerusuhan itu Jatuhnya Soeharto Perekonomian terpuruk Tak terkecuali keluarga Madun Beruntung ia sudah tamat Madrasah Diikutinya program pemerintah Untuk bekerja di pulau seberang Yang mereka sebut Borneo Pak, Bu, aku ingin merantau Doakan anakmu ini Agar sukses di tanah orang 140
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Tekad Madun sudah bulat Ia ingin adik-adiknya sekolah Bapak Ibunya juga bisa punya sawah Ia berangkat bersama puluhan orang lainnya Satu tujuan Meraih impian
4 Di Tanah Dayak Tepatnya di Kota Sampit, Kalimantan Tengah Di sanalah Madun mencari nafkah Madun bertemu Pak Jaka Beliau atasannya Yang mengajarkan dan memberinya pengalaman Tentang jual beli pertanahan Dun, tinggallah bersama Bapak Kau masih terlalu awam mengenal masyarakat sini Sanak saudara pun tak ada Ia manut saja Lagipula Pak Jaka ada benarnya Meskipun beliau bukan penduduk asli Setidaknya Pak Jaka dan keluarganya sudah bertahun-tahun menetap di sana KUMPULAN PUISI ESAI
141
Hari demi hari Madun giat bekerja Ditimbunnya rupiah demi rupiah Berharap lebaran pulang ke Madura Ya Allah, terima kasih atas rizki-Mu ini Aku bisa menyekolahkan adikku Meringankan beban bapak-ibuku Dan Engkau juga membimbingku pada keluarga Pak Jaka yang baik hati Di mushalla kecil, Madun berdoa Sedikit warga muslim tak mengecilkan niatnya Di hadapan Sang Khalik Bersujud penuh khusyuk Waktu terus berlari Di langit Sampit, ia bertemu bidadari Serumpai namanya Subhanallah... Parasnya elok Hatinya teduh Tutur katanya lembut
142
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
5 Saat maghrib Usai melantunkan doa Disapanya Madun Assalamualaikum... Benar saja Sering ia ke mushalla Baginya, Madun adalah orang asing Keduanya pun asyik bercengkrama Saling tanya, saling pandang Penuh rasa, penuh makna Tak luput dari mata tajam malaikat Melepas busur panahnya Pada kedua hati Madun dan Serumpai Rasanya aku tak percaya Jauh dari tanah kelahiranku Aku berjumpa dengannya Dan memang aku jatuh cinta Ya Allah, jika memang dia jodohku, ridhoi kami
KUMPULAN PUISI ESAI
143
Siang berganti malam Bulan menghilang, mentari pun datang Madun dan Serumpai Dua sejoli menjalin cinta Di pematang sawah mereka bercanda Di setiap tempat mereka singgah Alam Sampit menjadi saksinya Umpai, begitu Madun memanggil kekasihnya Dan Serumpai memanggil A’dun
6 Berkali-kali Madun menghela nafas panjang Kedua matanya tampak basah Peristiwa itu Segala yang terjadi Menjadi serpihan yang tertinggal Aku harus berkorban Sekalipun arah mata angin berlawan Aku akan tetap berjalan Bukankah cinta sejati harus diperjuangkan? Ya, seperti kapal ini Ia berjuang melawan arus air untuk sampai ke tujuan
144
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Madun... Madun... Sedari dulu tekadnya seperti karang Tak peduli aral melintang Berharap kapal sampai ke tujuan Menemukan jejak langkah yang ia tinggalkan Di Bumi Dayak, ia kembali
7 Hari-hari Madun bersama Serumpai Bak dunia milik berdua Hatinya berbunga-bunga Di Sampit, Madun makin cinta, juga seisinya Lengkap sudah hidup Madun Banyak suku Madura yang hijrah Mendengar kesuksesan teman-temannya Kota Sampit semakin berhimpit Serasa di tanah kelahirannya Madun bisa mandiri Membangun rumah seadanya Kanan-kiri orang Madura Menyebar hingga ke daerah-daerah Mereka punya ladang dan hasil alam lainnya KUMPULAN PUISI ESAI
145
Tapi... Siapa yang menyangka? Bahwa ini awal dari sebuah malapetaka
8 Februari, 2001 Dilihatnya kepulan asap hitam Jauh terlihat beratus meter Serumpai berlari Rasa penasaran mengalahkan segalanya Di tengah jalan ia dihadang Balik, Nak! Ada kerusuhan! Pulanglah!, perintah warga Hati Serumpai tak karuan Mendengar kabar Dayak dan Madura bertikai Saling bakar Adu senjata Entah siapa yang memulai Kerusuhan pun semakin menjadi
146
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Madura? A’dun! Ya, A’dun orang Madura! Ya Allah... Diambilnya kerudung merah dan kuning Ia berlari menuju hutan Didapatnya beberapa helai daun sawang Nafasnya menderu-deru Langkahnya semakin cepat Hanya satu, rumah Madun yang ia tuju A’dun! A’dun! Lari A’dun! Dayak marah! Ikat ini di kepala, selipkan daun sawang dan berdoalah Lari sejauh mungkin! Lari? Kerudung merah kuning? Daun sawang? Serumpai? Madun tak mengerti Apa arti semua ini?
KUMPULAN PUISI ESAI
147
Bum! Bum! Dentuman seperti suara bom Asap hitam semakin jelas Bapak-bapak keluar rumah Membawa celurit dan berjaga akan bahaya Lari dan berdoalah! Ya, ia ingat kata-kata Serumpai Seperti mendapat tongkat estafet Madun berlari dengan penuh tanya Ke mana aku harus berlari? Hutan? Hutan! Astagfirullahaladzim.... Astagfirullahaladzim... Ya Allah, lindungilah hamba Dua orang paruh baya bertelanjang dada Tangan kiri menenteng kepala, tangan kanan membawa senjata Penuh darah Sorot mata seperti singa yang bertemu mangsa Ampun, Pak! Ampun... Saya tak tahu apa-apa 148
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Mereka pun berlalu Meninggalkan Madun menuju arah pertempuran Rasanya tak mungkin ia berlari ke hutan Berkali-kali Madun menyebut nama Allah Berharap tak bertemu manusia menyerupai Dajjal Pak Jaka! Benar! Pak Jaka orang Jawa! Ditempuhnya jalan menuju rumah Pak Jaka Setidaknya Madun merasa aman di sana Di depan rumah Pak Jaka Dilihatnya tiang dengan kain warna merah kuning Dua helai daun menyilang di pintu bertuliskan “Uluh Itah Jawa” Mirip! Ya Allah, Madun! Bapak mencemaskanmu Untunglah kau kemari Dayak dan Madura rusuh Mereka berkata Madura tak tahu adat Seenaknya memakai lahan, merusak hutan sembarangan
KUMPULAN PUISI ESAI
149
Tapi... Kata Madura beberapa warganya dianiaya Ditebas kepalanya Ngeri! Pak Jaka bercerita panjang lebar Madun mulai paham Kain merah kuning, daun sawang Benda kepercayaan, tolak bala Dianggap keramat oleh suku Dayak Pantas saja! Aku selamat dari maut Ya Allah...
9 Di tempat lain, di rumah Serumpai Ia tak henti-hentinya berdoa Bismillahirohmanirohim Ya Allah, Ya Tuhanku, lindungilah A’dun Jauhkan dari segala marabahaya Semoga pertikaian ini cepat berlalu Tak ada lagi pertumpahan darah Yang kami ingin hidup rukun dan damai
150
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
10 Suara sirine mendekati telinga Dari balik jendela, Madun sungguh tak percaya Dilihatnya gerombolan pemuda Menggenggam celurit penuh amarah Di mana bumi dipijak, di situ langit Madura dijunjung! pekik mereka
11 Tiga hari, tiga malam Situasi semakin mencekam Listrik sering padam Sampit seperti kota mati Tak ada pedagang Bahan makanan makin berkurang Kabut memenuhi seluruh kota Ketakutan melanda Khawatir kerusuhan menyebar ke ibukota Jerit tangis mewarnai peristiwa Darah tumpah di mana-mana Ibu-ibu tak tahu ke mana suaminya Entah masih hidup atau sudah jadi jenazah KUMPULAN PUISI ESAI
151
Dayak masuk rumah-rumah Madura Madura pun siap dengan celuritnya Owowowo.... Owowowowo... Owowowo.... Owowowowo... Mereka menepuk-nepuk mulutnya dengan telapak tangan Tanda kedatangan Dayak pedalaman sudah masuk ke kota Konon cerita, mereka kebal senjata Satu di antaranya bisa terbang dan sebagainya Panglima Burung Panglima Kumbang Begitu orang menyebutnya Suku Madura menguasai Sampit Dan Sampit dikuasai kembali oleh Dayak Begitu seterusnya Celurit dan mandau beradu Aparat keamanan tak kuasa menahan Peluru pun tak mungkin ditembakkan Salah-salah malah mencoreng nama
152
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Begitu banyak massa Membabi-buta, menebas kepala Celurit pun serasa tumpul Bagi mereka yang berilmu kebal Ini tanah kami, Tanah Dayak! Ini adat kami, Adat Dayak! Seru warga Dayak lantang Slup! Sebuah tombak melesat ke punggung pemuda Madura Bass! Bass! Sekali tebas, kepala terlepas Korban berjatuhan Tumpukan kepala terlihat di jalanan Dulu manusia, sekarang seperti manekin berlumuran darah Besar-kecil Tua-muda Beraneka rupa Warga yang lain diungsikan Mereka yang Madura dipulangkan
KUMPULAN PUISI ESAI
153
12 Hari ketiga situasi mereda Suku Madura pulang ke tanah asalnya Berbondong-bondong meninggalkan hartanya Madun ikut serta Hanya ini jalan satu-satunya Tak ada lagi pertikaian kedua Hatinya bergejolak Sedih, takut, trauma jadi satu Ia ingin berpamitan dengan Serumpai Tapi itu tak mungkin Bisa-bisa kepalanya dipenggal bapaknya Maafkan aku, Serumpai
13 Bapak-ibu Madun gelisah Melihat berita di media Etnosentris yang salah kaprah Hukum negara tak dapat bicara Hukum adat di atas segalanya Konflik pun akhirnya pecah Ratusan nyawa terbunuh sia-sia 154
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Pertiwi menangis Pertiwi berduka Melihat Madura dan Dayak jauh dari kata Bhineka Tunggal Ika
14 Kapal mulai menepi Berlabuh di pelabuhan Sampit Madun sampai pada tujuannya Dipandanginya setiap sudut kota Beberapa tampak berubah Sebuah kayu ulin raksasa dengan ornamen indah menjulang tinggi ke angkasa Tugu Perdamaian Dayak dan Madura Dibangun di atas tanah kota Madun tahu betul Tidak mudah melupakan kenangan masa lalu Trauma itu masih melekat Sejak tragedi berdarah tiga tahun lalu Ia meninggalkan sepenggal kisah manis di tengahtengah bahaya Bersama Serumpai, bidadari yang dicintainya Terakhir Madun berkirim surat Dua tahun setelah peristiwa KUMPULAN PUISI ESAI
155
15 Sampang, 20 Februari 2003 Assalamu’alaikum Warohmatullahi wa barokatuh Umpai, bagaimana keadaanmu? Aku harap kamu sehat wal’afiat Aku pun juga begitu Alhamdulillah baik-baik saja Tepat 3 tahun Sejak aku meninggalkan kota Sampit Segala kenangan terukir jelas dalam ingatanku Kenangan indah bersamamu Takkan terkikis oleh sang waktu Yang lalu biarlah berlalu Tak ada dendam dalam diriku Tanah Dayak juga menjadi bagian hidupku Kerudung dan daun sawang pemberianmu telah menyelamatkanku Entah bagaimana aku membalas perbuatanmu Allah pasti melihat kebaikanmu
156
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Umpai, maafkan aku Aku pergi tanpa memberitahumu Bukan maksud hati ingin sengaja Tragedilah yang membatasi kita Namun cintaku akan selalu ada Untukmu, untuk Sampit tercinta Umpai, tahukah kamu? Sejak aku melihatmu Matamu memancarkan ketulusan Senyummu mendamaikan hati Seribu kata tak dapat kulukiskan Hanya doa yang sering kupanjatkan Kelak kita mengikat janji pernikahan Kutunggu surat balasan darimu Wassalamualaikum Warohmatullahi wa barokatuh Kekasihmu, Madun
16 Berbulan-bulan hingga berganti tahun Surat Madun tak kunjung mendapat balasan Itulah mengapa ia kembali Mencari Serumpai, kekasih hati KUMPULAN PUISI ESAI
157
Diingatnya setiap lekuk jalan Persis seperti ia datang pertama kali Merantau, mencari rejeki Di sanalah ia menemukan cinta Jejak cinta Madun di Kota Sampit Meski sulit, ia tetap berjalan Beribu tanya menggelayuti pikiran Akankah aku bertemu Serumpai? Menyatukan kembali cinta yang sempat terpisah Atau mungkin hanya sia-sia? Oh Tuhan, hanya Engkau yang sanggup memberikan jawaban....
158
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Catatan* 1
Konflik Sampit merupakan pecahnya kerusuhan antar etnis pada tahun 2001 di Indonesia. Terjadi pada bulan Februari dan berlangsung sepanjang tahun itu. Pertikaian terjadi antara suku Dayak asli dan warga imigran Madura. Peristiwa tersebut menelan ratusan korban jiwa dan kerusakan rumah-rumah warga. (http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik_Sampit).
2
Penyebab konflik belum diketahui secara pasti. Namun berbagai spekulasi/ pendapat menyatakan bahwa: a. Pertikaian itu bermula dari pembunuhan yang dilakukan oleh sejumlah orang Madura terhadap seorang ibu warga Dayak yang sedang hamil tua. Para pembunuh bertindak sadis. Mereka menyayat perut korban, mengeluarkan bayi dari kandungan dan membakarnya. Kisah lain, perseteruan terjadi setelah sekelompok warga Dayak menyerang keluarga Matayo, pendatang Madura di wilayah kecamatan Baamang. Pengeroyokan itu menewaskan empat orang dan melukai seorang lainnya. Mengetahui ini, warga Madura emosi dan membakar belasan rumah milik warga Dayak di sekitar lokasi (penuturan kepala Pusat Penerangan Markas Besar Polri dalam jumpa pers di Mabes Polri Jakarta kepada Liputan 6 SCTV). b. Orang Dayak adalah masyarakat tradisional dan mempunyai sifat pemalu terhadap warga pendatang. Itulah mengapa warga Dayak sering mengintip dari balik pintu rumah mereka bila melihat warga pendatang. Dayak sangat menghargai dan menjunjung tinggi adat. Mereka memiliki sistem kekerabatan dan persatuan yang kuat antarsuku Dayak. Sebagian besar warganya tidak banyak yang mengenyam pendidikan. Mereka terkadang merasa terbodohi dan sering mengalah. Dari kasus pelarangan menambang intan di atas “tanah adat” mereka sendiri karena dituduh tidak memiliki izin penambangan sampai kampung mereka harus berkali-kali pindah karena mengalah dari para penebang kayu
* Penulis puisi esai ini tidak mencantumkan angka pada tubuh puisi. Karenanya, catatan atas puisi esai tersebut dicantumkan sebagai Catatan setelah puisi esai itu sendiri. KUMPULAN PUISI ESAI
159
yang terus mendesak, mereka makin ke dalam hutan. Sayangnya, kondisi ini diperburuk lagi oleh ketidakadilan hukum yang seakan tidak mampu menjerat pelanggar hukum yang menempatkan masyarakat Dayak menjadi korban kasus tersebut. Selain itu, masyarakat Dayak tidak pernah menentang warganya yang ingin masuk ke agama yang dibawa oleh warga pendatang. Mereka sangat ringan tangan dan peduli terhadap sesama. Tidak pernah membawa tombak, mandau, sumpit atau panah ke dalam kota Sampit untuk “petentang-petenteng”. Sedangkan etnis Madura yang punya latar belakang budaya “kekerasan” ternyata menurut masyarakat Dayak dianggap tidak mampu untuk beradaptasi (mengingat mereka sebagai pendatang). Sering terjadi kasus pelanggaran “tanah larangan” orang Dayak oleh penebang kayu yang kebetulan didominasi oleh orang Madura. 3
Sebenarnya kasus-kasus pertikaian antaretnis Dayak dan Madura sudah berlangsung lama sebelum pecahnya kerusuhan Sampit pada Februari 2001. Kasus-kasus tersebut terjadi pada 1972, 1982, 1983, 1996, 1997, dan 1999 (sumber: Buku Merah: Konflik Etnik Sampit, Kronologi Kesepakatan Aspirasi Masyarakat, Analisis, Saran, Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak dan Daerah Kalimantan Tengah (LMMDDKT). Dendam kedua etnis terus berlanjut. Puncaknya terjadi pada tanggal 1820 Februari 2001. Di Kota Sampit, ibukota Kotawaringin Timur. Tanggal 18 Februari 2001 pukul 01.00 WIB terjadi peristiwa pertikaian antaretnis yang diawali dengan perkelahian antara suku Madura dan sekelompok suku Dayak di Jalan Padat Karya. Lima orang tewas dari pihak Madura. Pukul 08.00 WIB terjadi pembakaran rumah warga Dayak oleh orang Madura. Tiga orang Dayak tewas. Pukul 10.00 WIB sebanyak 38 orang tersangka dari kelompok suku Dayak atas kejadian tersebut diamankan di Mapolda dan disita 62 senjata tajam. Kerusuhan berlanjut pada malam harinya dan ditemukan 4 mayat dari suku Dayak di Jalan Karya Baru, Sampit. Tanggal 19 Februari 2001 pertikaian masih berlanjut. Kota Sampit sepenuhnya dikuasai oleh suku Madura yang menggunakan senjata tajam dan bom molotov. Tanggal 20 Februari 2001 kerusuhan makin memanas. Terjadi perkelahian
160
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
terbuka antara suku Dayak dan suku Madura. Suku Dayak Pedalaman berhasil masuk ke kota, membantu warganya. Perang pun pecah. Ribuan warga yang ketakutan segera diungsikan, baik yang non Madura maupun sebagian Madura yang tidak terlibat pertikaian. 5
Jumlah korban meninggal dari kedua belah pihak sampai Rabu (28-22001) menjadi 315 orang. Sementara korban luka-luka sebanyak 14 orang. Menurut data Polres Kotawaringin Timur (Kotim), jumlah rumah yang dibakar 583 buah dan dirusak 200 rumah. Sementara 8 mobil dan 48 sepeda motor dirusak.
6
Jumlah pengungsi sampai tanggal 24 Februari 2001 yang diangkut KRI Teluk Sampit sebanyak 2.100 orang. Pada Minggu (25-2-2001), 3600 pengungsi diberangkatkan dengan KRI Teluk Ende, sementara 5.882 dengan KM Tilong Kabila. Pada Selasa (27-2) pengungsi yang diangkut KM Binaiya sebanyak 3.000 orang. Dengan begitu total pengungsi yang telah diungsikan ke Pulau Jawa sebanyak 14.552 orang. Sementara itu, Pemda Kotim telah mengerahkan mobil-mobil operasional, berupa truk-truk berplat merah untuk melakukan penjemputan dan pencarian terhadap warga Madura yang masih bersembunyi di hutan sekitaran Sampit. (Sumber: http://tempo.co/2001/ 03/01/24446/ ).
7
Selama tragedi, ada beberapa keunikan menurut saksi sejarah kerusuhan etnis tersebut. (Sumber: http://kompasiana.com/post/catatan/2012/02/ 18/11-tahun-lalu-menjadi-saksi-tragedi-sampit-18-februari-2001/ ): a. Menurut cerita, suku Dayak dapat mencium bau badan suku Madura sehingga tidak salah sasaran dalam penyerangan. b. Warga non Madura yang tidak mengungsi diminta untuk memasangkan tali/ kain berwarna merah dan kuning di tiang-tiang rumahnya dan ditambah daun sawang, tanda rumah bukan dari suku Madura. c. Di rumah-rumah lain pun banyak tulisan uluh itah Dayak (artinya: saya orang Dayak). Ada juga uluh itah Jawa (artinya: saya orang Jawa). Hal ini dilakukan agar tidak terjadi salah sasaran pembakaran rumah. d. Orangtua diminta untuk mengoleskan kapur sirih ke dahi dan ketika malam memberikan gula merah kepada anak-anak mereka agar diemut si anak. e. Anehnya api yang membakar rumah orang Madura tidak mengenai rumah orang Dayak.
KUMPULAN PUISI ESAI
161
f. Menurut cerita warga, mandau (senjata suku Dayak) bisa terbang dan memangsa orang Madura yang melakukan perlawanan. g. Suku Dayak memiliki ilmu yang kebal akan senjata tajam dan mempunyai tradisi turun-temurun yang disebut ngayau, yakni menebas atau memenggal kepala manusia (dari pihak musuh). Tradisi ini bertujuan untuk menunjukkan keberanian, melindungi warga suku, memperluas wilayah dan salah satu cara untuk bertahan hidup.
162
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Biodata Penyair
Hanna Fransisca (Zhu Yong Xia), lahir di Singkawang, Kalimantan Barat, 30 Mei 1979. Menulis puisi, cerpen, dan drama. Buku puisinya, Konde Penyair Han dan Benih Kayu Dewa Dapur. Buku cerpennya, Sulaiman Pergi ke Tanjung Cina. Karya dramanya, Kawan Tidur. Arief Setiawan, penulis dan pecinta bahasa. Pengelola http://arsetega.wordpress.com/. Tinggal di Bogor, Jawa Barat. Arif Fitra Kurniawan, menulis puisi, cerpen, dan dongeng anak. Puisinya pernah dimuat di media cetak dan cyber, di antaranya Suara Merdeka, Jawa Pos, Buletin Sastra Pawon, Jurnal Tanggomo, Buletin Hysteria, Kompas.com, Fordisastra.com. Dimuat juga dalam antologi puisi Sepuluh Kelok di Mouseland, Tuah Tara No Ate, Narasi Tembuni, Rendezvous, dan Kutukan dari Rantau. Menghadiri forum Temu Sasta Indonesia (TSI) 4 di Ternate (2011) dan Ubud Writers and Readers Festival (2012). Bergiat di Komunitas Sastra Lacikata, Semarang. KUMPULAN PUISI ESAI
163
Jenar Aribowo, lahir di Semarang, 11 Desember 1985. Mulai menyukai dunia tulis-menulis sejak pertengahan tahun 2010. Karya-karyanya dimuat dalam blog pribadinya Rumah Awan dan Kompasiana. Juga di dalam berbagai buku antologi, di antaranya Munajat Sesayat Doa (Leutika Prio, Jogja), Karena Aku Tak Lahir Dari Batu (Sastrawelang Publisher, Bali), Monolog Angsa (Tuas Media, Kalsel), dll. Catur Adi Wicaksono, tinggal di Gubeng Klingsingan, Surabaya.
164
DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Tema puisi esai bukan saja beragam, melainkan juga memberikan dimensi-dimensi baru pada puisi Indonesia modern, kalau tidak membawa tema yang baru sama sekali. Puisi esai telah menyajikan tema-tema yang sejauh ini jarang bahkan tak pernah kita temukan dalam puisi Indonesia. Ini menggembirakan. Yang lebih penting lagi, karena tema puisi esai selalu merupakan masalah sosial, maka puisi esai mengekspresikan tanggung jawab moral dan komitmen sosial puisi Indonesia mutakhir. Dalam puisi esai tema selalu berkaitan dengan fenomena faktual di luar puisi. Puisi esai dalam buku ini mengemukakan kisah berbeda-beda, berikut korban utamanya masing-masing. [] Jamal D. Rahman, penyair, pemimpin redaksi Horison dan Jurnal Sajak
Dari Singkawang ke Sampit
Agus R. Sarjono, Ketua Juri Lomba Menulis Puisi Esai
Kumpulan Puisi Esai
Yang segera terasa dari Lomba Menulis Puisi Esai adalah beragamnya tema. Aku lirisnya pun beragam: anggota punk, penari erotis, pramugara, anak koruptor yang galau, koruptor yang bahagia, pengagum presiden yang kecewa, orang Kubu, masyarakat terasing, tokoh sejarah nasional dan lokal, sosok pemberitaan, pencuri coklat, pembunuh keji, santri korban pelecehan, pelaku mistik, orang kota yang ingin bunuh diri, etnis minoritas merangkap pelaku transgender, warga Tionghoa Singkawang yang “dijual” ke Taiwan, buruh tani, TKW, pemain band, politisi, perusuh, dll. Hal ini menunjukkan bahwa puisi esai telah membuka katup tematik berbagai urusan Indonesia yang selama ini tidak pernah mengemuka dan jarang –jika bukan “tabu”— disuarakan dalam puisi konvensional. Kebhinekaan Indonesia yang selama ini tidak begitu terlihat, tiba-tiba muncul dengan penuh warna.[]
Pengantar
Jamal D. Rahman
Dari Singkawang ke Sampit Kumpulan Puisi Esai Arief Setiawan Arif Fitra Kurniawan Catur Adi Wicaksono Hanna Fransisca Jenar Aribowo
Ilustrasi
Isa Perkasa