DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: MENYUSURI JEJAK KOTA SATUI DALAM LINTASAN SEJARAH
Tim Peneliti PSP Sejarah FKIP Unlam
DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: MENYUSURI JEJAK KOTA SATUI DALAM LINTASAN SEJARAH
Tim Peneliti PSP Sejarah FKIP Unlam : 1. DR. Herry Porda N.P., M.Pd 2. Drs. M. Zaenal Arifin Anis, M. Hum 3. Mansyur, S.Pd, M.Hum 4. Heri Susanto, S.Pd, M.Pd DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: MENYUSURI JEJAK KOTA SATUI DALAM LINTASAN SEJARAH
Cover Design Lay Out Jumlah Hlm. Ukuran ISBN Tahun Cover
: Syamsudinor, S.Pd : Mansyur, S,Pd, M.Hum & Syamsudinor, S.Pd : 136 hlm : 14 x 20cm : : 2013 : Peta “Kaart Van Het Eiland Borneo/Samengesteld Onder Leiding Van Dr. A.W. Nieuwenhuis”, dibuat dan dipublikasikan di Leiden oleh E. J. Brill, Tahun 1902.
Hak cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
~ iv ~
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya, sehingga Tim Peneliti bisa menyelesaikan penyusunan dan penulisan bukuini. Shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, Nabi dan Rasul yang telah membawa ajaran Islam sebagai rahmatan lil alamin dan menjadi teladan bagi ummatnya. Tim Peneliti menyadari bahwa selesainya penulisan bukuini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini Tim Peneliti mengucapkan terima kasih dan apresiasi yang tidak terhingga kepada semua pihak yang sudah memberikan kontribusinya, sebagai berikut: 1. Bapak Camat Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, Eryanto Rais, S.H, M.M, yang telah memberikan kepercayaan sekaligus “pendelegasian” kepada Tim Peneliti untuk meneliti dan mengumpulkan fakta serta sumbersumber sejarah tentang Hari Jadi Kecamatan Satui. 2. Bapak H. Abidin, H.H., Tokoh Masyarakat Satui, atas segala petuah dan nasehatnya, kemudian bantuan informasinya ~v~
tentang Sejarah Satui sekaligus memberikan masukan dan pertimbangan kepada Tim Peneliti dalam penentuan Hari Jadi Satui dan penyusunan bukuHari Jadi Satui. 3. Bapak Bambang Sucipto, Ketua Tim Pencari Fakta Terbentuknya Kecamatan Satui yang telah memberikan bantuan moril dan materiil kepada Tim Peneliti dalam proses
penelitian
sampai
penulisan
bukuHari
Jadi
Kecamatan Satui. 4. Bapak Kapolsek Satui, AKP Ibnu Yulianto, atas bantuannya dan masukannya dalam penulisan bukuHari Jadi Satui. 5. Bapak Danramil 100417 Satui, Kapten Inf. Aries Purwanto Handoyo atas masukan dan sarannya dalam penulisan bukuHari Jadi Satui. 6. Bapak H. Ismail (H. Aloy) yang telah memberikan banyak bantuan informasi mengenai sejarah Kecamatan Satui. 7. Pembina Tim Pencari Fakta Terbentuknya Kecamatan Satui, Bapak M. Fajar Syahrani, Bapak H. Tajuddin Noor, Bapak Drs. H. Sulaiman, Bapak H.M. Saleh, atas segala bantuan dan sumbangsarannya dalam proses penulisan bukuHari Jadi Satui.
~ vi ~
8. Sekretaris Tim Pencari Fakta Terbentuknya Kecamatan Satui, Bapak Hery Kurbiansyah, S.Sos, Bendahara Ibu Hj. Ernawaty serta anggota Tim Pencari Fakta Terbentuknya Kecamatan Satui,Bapak H.M. Fahmi, Bapak H.Ramli, Bapak M. Rafi’ie, Bapak H. Salmanudin, Bapak H. Husni Thamrin, Bapak Fathurrahman serta seluruh Kepala Desa di Kecamatan Satui atas segala bantuan dan informasinya dalam proses penulisan BukuHari Jadi Satui. 9. Semua narasumber, dari Pemerintah Kabupaten Tanah Bumbu serta masyarakat Satui pada umumnya, atas informasi dan datadata yang telah diberikan pada Tim Peneliti yang sangat bermanfaat untuk penulisan bukuini. 10. Bapak Drs. H. A. Sofyan, M.A, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan
Universitas
Lambung
Mangkurat
Banjarmasin, atas segala bantuannya hingga bukuini dapat terselesaikan. 11. Bapak Dr. Herry Porda, N.P., M.Pd, Ketua Jurusan PIPS FKIP Unlam, atas kontribusi dan bantuannya dalam penelitian dan penulisan buku ini.
~ vii ~
12. Bapak Drs. M Zaenal Arifin Anis, M.Hum, Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah, FKIP Unlam, atas ijin akses ke Perpustakaan Prodi FKIP Unlam. 13. Terima kasih juga disampaikan kepada Arsip Nasional RI Jakarta, Perpustakaan Nasional RI Jakarta, Perpustakaan dan
Arsip
Daerah
(Perpusda)
Kalimantan
Selatan,
Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah, FKIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Koninklijk Instituut voor Taal, Land-en Volkenkunde(KITLV) Jakarta dan
Leiden,
Tropen
Museum
serta
Perpustakaan
Universitas Leiden yang koleksi arsipnya didownload oleh Tim Peneliti. Dalam penulisan buku ini, tim penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangannya terutama dalam hal isi atau esensinya. Tak ada gading yang tak retak, semoga kehadiran dan keberadaan buku ini, memiliki nilai manfaat sesuai dengan apa yang diharapkan. Wassalam. Banjarmasin, Juni 2013
Tim Penulis ~ viii ~
PENGANTAR DARI CAMAT SATUI
Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, akhirnya proses penyusunan buku berjudul “Dari Distrik ke Kota Kecamatan: Menyusuri Jejak Satui Dalam Lintasan Sejarah”, dapat diselesaikan dengan baik. Penyusunan buku ini telah dilakukan melalui studi dan penelitian arsip yang cukup melelahkan sehingga bisa tersusun dalam buku monumental. Sebelum dilakukannya penelitian dan penulisan buku ini oleh Tim Peneliti, masyarakat Satui pada khususnya belum tahu kapan peringatan Hari Jadi daerahnya. Karena itulah dari pihak Pemerintah Kecamatan Satui, didukung kelompok pemuda, Muspika, dan tokoh masyarakat di Satui berinisiatif untuk “mencari” Hari Jadi Satui. Inisiatif ini ditindaklanjuti dengan penelitian. Tidak ada aspek politis yang melandasi penulisan buku ini, tapi lebih sematamata adanya “panggilan hati putra daerah” Satui untuk menulis sejarah daerah ini. Sejarah suatu masyarakat pada hakekatnya merupakan catatan kolektif atas berbagai jawaban yang diberikan oleh
~ ix ~
setiap generasi terhadap permasalahan yang mereka hadapi. Generasi sekarang hanya akan melihat sejarah sebagai suatu catatan peristiwa. Dinamika ini akan hilang jika sejarah hanya dilihat dari kondisi makro atau nasional saja. Karena dinamika yang khas itulah maka sejarah lokal perlu diberikan tempat tersendiri. Buku yang sedang kita baca sekarang ini kita harapkan mampu mengisi celahcelah yang kosong dalam buku sejarah dewasa ini. Buku ini akan bercerita tentang bagaimana “kehadiran” Satui dalam lintasan sejarah di Kalimantan Selatan sekaligus memberikan rekomendasi Hari Jadi Satui. Buku ini diharapkan dapat mewariskan semangat melalui sebuah buku sejarah yang baik bagi generasi mendatang maka generasi itu akan dikenang bukan saja sebagai generasi pembuat sejarah tetapi juga dikenal sebagai generasi yang mewariskan pengetahuan tentang sejarah sekaligus semangat sejarah kepada para pewarisnya. Kepada semua kelompok pemuda, Muspika, dan tokoh masyarakat di Satui serta semua fihakfihak yang telah memberi bantuan serta partisipasinya bagi penerbitan buku ini, sekali lagi kami ucapkan terima kasih. Semoga Allah S.W.T.
~x~
dapat membalasnya. Semoga kita sebagai generasi penerus bangsa senantiasa mendapat petunjuk, bimbingan dan kekuatan dalam mempersembahkan karya terbaik kepada bangsa dan negara yang kita cintai ini.
Sungai Danau, Juni 2013
Eryanto Rais, S.H, M.M
~ xi ~
~ xii ~
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .........................................................................
v
PENGANTAR DARI CAMAT SATUI ........................................... ix DAFTAR ISI ......................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR ............................................................................ xvii BAB I
PENDAHULUAN ...............................................................
1
A. Pentingnya Ilmu Sejarah dan Studi Perkotaan. .................................................................
1
B. Dasar Penentuan “Hari Jadi Kota” Tidak Sebarangan! ..............................................................
4
C. Sejarah Satui : Berangkat dari Masalah sampai ke Tujuan ....................................................
8
BAB II RUJUKAN DAN TEORITEORI SEJARAH PERKOTAAN ..................................................................... 11 A. “Pembanding” Penulisan Sejarah Satui .......... 11 B. Asumsi Teori Sejarah Kota .................................. 14 1. Munculnya Kota & Perkembangannya ..... 14 2. Perkembangan Kotakota di Indonesia .... 19
~ xiii ~
3. Penentuan Hari Jadi Kota di Indonesia .... 35 4. Kota Kecamatan ................................................. 43 BAB III METODE YANG DITERAPKAN DALAM PENELITIAN ...................................................................... 51 A. Heuristik atau Pengumpulan “Serpihan” Sumber......................................................................... 53 B. Kritik, Tidak Asal “Ambil Data” ......................... 59 C. Sumber Sejarah Itu Ditafsirkan, Itulah GunanyaInterpretasi .............................................. 64 D. Historiografi, “Terminal Terakhir” Penulisan Sejarah .................................................... 65 BAB IV “JEJAKJEJAK” SATUI DALAM LINTASAN SEJARAH DI KALIMANTAN SELATAN .................. 69 A. Satui Tertulis Dalam Sumber Sejarah Sejak Abad ke17 ................................................................. 69 B. “Menelusuri Jejak Sejarah” dan Alternatif Hari Jadi Kota Satui................................................. 83 1. Moment Satui diusulkan menjadi Tanah Erfact (tanah Sewaan) ................................... 83 2. Tahun 1915, Inskripsi Makam Tertua ~ xiv ~
di Wilayah Satui................................................ 92 3. Terbitnya Staatsblad van Nederlandisch Indie voor Het- Jaar 1849 .............................. 98 4. Terbitnya Staatsblad van Nederlandisch Indie voor Het-Jaar 1898 ............................... 99 5. Tanggal Kelahiran “Putra Daerah” & Pahlawan Nasional Idham Chalid ............. 102 6. Penetapan Satui Menjadi Distrik Tanggal 1 Mei 1877 .......................................................... 106 7. Kiai Mohamad Jasin Memimpin Satui, 21 April 1877 .................................................... 112 8. Tahun Penulisan Hikayat Banjar, Tarikh1663 M .................................................. 116 BAB V KESIMPULAN HARI JADI KOTA SATUI .................. 123 A.
Tanggal 27 Agustus: Kelahiran Pahlawan Nasional Idham Chalid .......................................... 123
B.
Dasar Penentuan Tarikh Hikayat Banjar Tahun 1663 Sebagai “HariJadi” Satui.............. 125
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 129
~ xv ~
~ xvi ~
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Kota Tradisional Banjarmasin Pada Abad ke19 .................................................................
22
Gambar 2 Kota Batavia pada Abad ke18 ..........................
29
Gambar 3 Sudut Kota Banjarmasin Tahun 1950an ......
32
Gambar 4 Keraton Yogyakarta Tempo Dulu .....................
40
Gambar 5 Koleksi Arsip Kolonial, Arsip Nasional RI ....
56
Gambar 6 Penulisan Sejarah oleh Wartawan Rosihan Anwar .........................................................
66
Gambar 7 Beberapa versi Buku Hikayat Banjar ..............
73
Gambar 8 Borneo Kaart .............................................................
79
Gambar 9 Kaart Van Het Eiland Borneo .............................
80
Gambar 10 Kaart van Nederlandsh Indie .............................
81
Gambar 11 Overzichtkaart Van Het Eiland Borneo ..........
82
Gambar 12 “PutraDaerah” Satui, Idham Chalid.................. 103 Gambar 13 Koran De Locomotief, 1877 Memuat Penetapan Satui Menjadi Distrik, ..................... 108 Gambar 14 Koran De Locomotief, 1877Memuat Pemberian Gelar “Kiai” Kepada Mohamad Jasin, ....................................................... 113
~ xvii ~
~ xviii ~
BAB I PENDAHULUAN
A. Pentingnya Ilmu Sejarah dan Studi Perkotaan Sejarah merupakan cabang ilmu pengetahuan yang mengkaji secara sistematis keseluruhan perkembangan proses perubahan dan dinamika kehidupan masyarakat dengan segala aspek kehidupannya yang terjadi di masa lampau.1 Bidang kajian sejarah cukup luas, satu diantaranya adalah tema sejarah kota. Sejarah perkotaan atau urban history pada dasarnya merupakan bidang studi internasional yang ingin mencoba menjawab beberapa pertanyaan dasar mengenai nature of our societies, dengan menggunakan pendekatannya yang cenderung multidisiplin.2 Sejarah perkotaan mempunyai hubungan erat dengan sejarah lokal ataulocal history, dan studi tersebut difokuskan pada masalah lokal, atau beberapa aspek dari kehidupan di komunitas lokal yang berhubungan dengan aktivitas manusia maupun lingkungan. 1Ludwig
Von Mises, Theory and History An Interpretation of Social and Economic Evolution (Alabama: von Mises Institute, 2007), hlm. 257 & 323. 2Dieter
Schott, “Urban Environmental History: What Lessons are There to be Learnt?”, dalam Boreal Environment Research, 2004, hlm. 521. ~1~
Konteks sejarah suatu wilayah perkotaan memiliki banyak aspek. Satu diantaranya adalah sejarah yang berhubungan dengan penentuan Hari Jadi daerah. Penentuan hari jadi suatu daerah berkaitan dengan sejarah daerah itu sendiri. Sejarah daerah merupakan gambar rangkaian kejadiankejadian yang melibatkan para pemimpin dan masyarakat warga daerah tersebut. Dengan kata lain bila mempelajari sejarah suatu daerah berarti mempelajari sejarah masyarakat daerah itu. Dalam hal ini sejalan dengan bidang garapan sejarah, yang membatasi diri terhadap pembahasan dinamika manusia secara perorangan dan masyarakat. Dinamika masyarakat dari satu masa ke masa berikutnya merupakan sejumlah kejadian yang begitu banyak, sebanyak “pasir” yang pernah ditemui.3 Sejarah
akan
memilih
kejadiankejadian
yang
merupakan hasil karya manusia sesuai dengan konsep yang telah ditentukan sasarannya. Sasaran itu merupakan kejadian yang menarik pada masa lalu untuk untuk kepentingan masa kini dan masa yang akan datang. Kejadian yang merupakan
3Taufik
Abdullah, “Wisata Budaya: Sekitar Penentuan Hari Jadi Unit Adminitratif”, makalah disampaikan dalam Seminar Sejarah Kaji Ulang Hari Jadi Majalengka di Majalengka tanggal 30 Agustus 2005, yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung, hlm.12. ~2~
fakta sejarah itu merupakan rangkaian hubungan yang saling berkaitan. Rangkaian fakta itu disusun sedemikian rupa dengan penafsiran yang berpedoman pada pendapat dan timbangan yang kritis, sambil melahirkan tanggapan sejarah dalam jiwanya, sehingga faktafakta yang semula terpisah dan terpecahpecah, disusunlah suatu gambaran yang bulat dan merupakan faktafakta yang saling berhubungan sehingga mudah dipahami.4 Meskipun telah bermula sejak tahun 1950an, tetapi kecenderungan kotakota untuk mencari “hari jadi mereka” barulah menjadi gejala umum pada masa pemerintahan Orde Baru. Jika telah ditetapkan oleh DPRD dan Walikota maka hari jadi itupun dirayakan dengan berbagai cara. Melihat gejala ini sangat menarik untuk untuk mengetahui bagaimana kotakota
tersebut
“mendapatkan
hari
jadi
mereka”.
Bukankah umumnya kota hanya tumbuh saja tanpa diketahui kapan dan prosesnya.
4Louis
Gottschalk, Mengerti Sejarah, terjemahan Nugroho Notosusanto (Jakarta: UI Press, 1975), hlm. 32. ~3~
B. Dasar Penentuan “Hari Jadi Kota” Tidak Sembarangan! Menentukan Hari Jadi Kota tentunya tidak asal atau tidak sembarangan. Menurut pendapat sejarawan Taufik Abdullah, Pembahasan tentang kapan temporal munculnya kota dapat dilacak dari beberapa kasus yang menjadi landasan penentuan Hari Jadi kotakota di Indonesia. Pertama, Hari Jadi biasanya dikaitkan dengan nilai sejarah dan makna simbolik, sesuatu yang berdasarkan subjektivisme kolektif, tetapi dengan gaya kotakota itu mendapatkan Hari Jadi mereka pun berbedabeda. Paling sederhana ialah kalau Hari Jadi itu terkait dengan pendirian keraton, benteng, atau apa saja yang memang bisa dianggap sebagai awal dari peranan sebuah
settlement
menjadi
"kota"
dalam
pengertian
sosiologis, yaitu sebagai pusat jaringan dari berbagai aktivitas sosial bagi wilayah sekitarnya.5 Hal ini mungkin saja terjadi karena yang dianggap sebagai Hari Jadiitu masih berada dalam ingatan kolektif masyarakat setempat ataupun terekam dalam cacatan. Jika mengikuti istilah Bernard Lewis, kasus ini bisa disebut sebagai remembered history. Makna simbolik dari “tanggal” ini terletak pada fakta pemahaman tentang dinamika kota itu 5Taufik
Abdullah, loc.cit. ~4~
berdiri, sebab yang dipentingkan adalah sifat historicity atau kesejarahannya. Misalnya, Hari Jadi Kota Yogyakarta dengan mudah bisa dikaitkan saja dengan didirikannya keraton oleh Mangkubumi
setelah
Perjanjian
Giyanti
tahun
1755
ditandatangi. Dengan Hari Jadi,bukan saja kelahiran sebuah kesultanan/keraton, kepahlawanan Mangkubumi melawan intervensi Veerenigne oost Indische Compagnie (VOC) bisa juga diperingati.6 Kasus kedua malah sangat bertentangan dengan kasus yang pertama. Makna simboliknyalah yang lebih lebih dipentingkan, tetapi sialnya peristiwa yang sesuai bisa saja tidak ada, maka dengan begini Hari Jadi pun didapatkan berdasarkan penggabungan tahun terjadinya peristiwa tertentu (seperti didirikannya benteng). Sementara tanggal dan bulan berdasarkan hari lahir pemimpin yang dikagumi. Jadi tanggal hanyalah alat untuk merayakan suatu simbol yang bermakna. Kasus ini boleh disebut sebagai invented atau prefabricated history. Kepastian sejarah hanyalah sekadar penentuan waktu saja sebab yang penting adalah nilai yang ingin dilekatkan pada Hari Jadi itu.
6
Ibid. ~5~
Kasus ketiga paling sering terjadi dengan kotakota di Jawa dan sebagian Sumatera (khususnya Palembang) yang mempunyai peninggalan prasasti yang mempunyai angka tahun. Hari jadi kota diambil saja berdasarkan penanggalan dari prasasti yang ditemukan itu. Karena itu , maka terdapat kotakota yang mengklaim diri telah berumur ratusan tahun. Jika
kaitan
antara
kota
dan
prasasti
itu
bisa
dipertanggungjawabkan, meskipun sering agak meragukan juga, hal ini bisa disebut sebagai recovered history.7 Paling menarik ialah kasus keempat. Sebuah peristiwa yang membanggakan yang terjadi di daerah atau sekitar daerah perkotaan diambil sebagai Hari Jadi Kota. Misalnya Kota Jakarta. Kemenangan Fatahillah melawan Portugis dan menukar
nama
Kalapa
menjadi
Jayakartaatau
kota
kemenangan, dijadikan sebagai Hari Jadi Kota. Bahwa tanggal pasti penggantian nama Kalapa menjadi Jayakarta itu masih bisa
diperdebatkan,
almarhum
Husein
Djajadiningrat
umpamanya menyangsikan ketetapan tanggal yang diusulkan Prof. Dr. Sukanto, yang telah terlanjur disetujui DPRD Jakarta, tidak menjadi halangan karena peristiwanya cocok dengan hasrat simbolik Jakarta sebagai kota kemenangan. Beberapa 7
Ibid. ~6~
kota di Sumatra, juga memakai pendekatan ini. Sebuah peristiwa membanggakan dipakai sebagai Hari Jadi Kota. Taufik Abdullah menyebutnya sebagai sejarah berdasarkan persetujuan.8 Berdasarkan pertimbangan
pendapat
penentuan
tersebut,
Hari
Jadi
bisa
menjadi
Kecamatan
Satui,
Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Dalam pemilihan fakta itulah kita akan mencari suatu tonggak sejarah di Kecamatan Satui yang akan dijadikan sebagai Hari Jadi. Mencari satu fakta sejarah tersebut tentunya harus meneliti “serpihan” faktafakta sejarah di Kecamatan Satui yang saling berangkaian sehingga memiliki makna, cukup berkesan dan memiliki daya aspiratif yang prospektifkonstruktif serta sejalan dengan dasardasar kehidupan masyarakat Satui pada khususnya dan Bangsa Indonesia pada umumnya. Sejarah selalu berazaskan kausalitas dan kondisionalitas, maka pemilihan fakta sejarah akan merupakan penulisan kembali dalam penafsiran, sejalan dengan pemikiran generasi yang mempelajarinya. Fakta itu sendiri tak akan berubah, tetapi penafsiran akan diwarnai oleh dasar dasar pemikiran 8
Ibid. ~7~
generasi tersebut. “Mereka”akan bertanya tentang masa lalu. Mendekati masa lalu hanya mungkin dengan bertolak dari masa kini, masa kini adalah ujung masa lalu. Bertolak dari ujung akan sampai ke pangkal. Sebab itu sejarah tidak akan selesaiselesai,
sejalan
dengan
“patah
tumbuh
hilang
berganti”nya satu generasi ke generasi, dengan memahami masa lalu, sejarah dapat membekali penentuan masa yang akan datang. Dalam
penentuan
fakta
sejarah
tentunya
harus
mengikatkan diri kepada keobyektifan pemikiran, dalam arti memilih fakta sejarah dengan penafsiran yang didasari atas pengabdian terhadap pembangunan generasi mendatang baik mental spiritual ataupun fisik materiil. Menyelusuri tonggak sejarah yang bernilai aspiratif, prospektif-konstruktif bagi penentuan Hari Jadi Kecamatan Satui, akan memberi cerminan dinamika masyarakat Satui sebagai pengisi sejarah itu sendiri. Ini berarti tonggak yang dapat di manfaatkan pada masa kini untuk menentukan politik masa mendatang.
C. Sejarah Satui: Berangkat dari Masalah Sampai keTujuan Dari narasi yang dipaparkan di atas, maka dapat diidentifikasi beberapa fokus yang akan dikupas dalam buku ~8~
ini. Fokus masalah itu meliputi perkembangan Wilayah Satui abad ke19 dan abad ke20 dan penentuan Hari Jadi Satui.Berdasarkan narasi tentang fokus masalah tersebut, maka ada dua permasalahan yang muncul dalam upaya mengungkap tentang Hari Jadi Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu. Permasalahan itu meliputi bagaimana perkembangan wilayah Satui abad ke19 dan abad ke20, kemudian bagaimana faktafakta sejarah yang mendukung penentuan Hari Jadi Kecamatan Satui. Adapuntujuan
utama
penulisan
buku
Kecamatan
Satui.
mengungkapkan
Sejarah
mengungkapkan
faktafakta
sejarah
yang
ini
untuk
Kemudian mendukung
penentuan Hari Jadi Kecamatan Satui, serta mengungkap lintasan perkembangan Kota Satui abad ke19 dan abad ke 20. Penulisan buku ini juga diharapkan dapat menunjang penulisan sejarah lokal di wilayah Satui khususnya dan Kabupaten Tanah Bumbu pada umumnya. Dalam arti yang luas adalah pengembangan dari penulisan sejarah kota yang juga bermanfaat untuk penulisan sejarah lokal. Penulisan buku ini juga bermanfaat praktis yakni sebagai masukan bagi pemerintah Kabupaten Tanah Bumbu tentang “pendidikan kebijakan”, agar transformasi dan rekayasa ~9~
sosial berjalan sesuai dengan apa yang masyarakat kenal dengan baik.Manfaat lainnya, bagi pengembangan Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Unlam, hasil penelitian ini dapat digunakan sebegai rujukan untuk pengembangan sejarah lokal dengan tema sejarah kota. Hasil ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam pengembangan penelitian perkembangan kota, khususnya perkembangan ekologi dan dinamika perkotaan.
~ 10 ~
BAB II RUJUKAN DAN TEORI-TEORI SEJARAH PERKOTAAN
A. “Pembanding” Penulisan Sejarah Satui Sumber tertulis tentang wilayah Satui memang cukup minim. Terlebih tentang Hari Jadi dan dinamika sejarah wilayah Satui. Informasi tentang Satui hanya terdapat di beberapa catatancatatan awal para peneliti pada masa Pemerintahan Hindia Belanda. 9 Kepustakaan yang erat dengan topik penelitian ini diperoleh dari sebuah buku tentang kotakota di Jawa, yang berisikan sekumpulan artikel persembahan kepada Prof. Djoko Suryo, Guru Besar IlmuSejarah
pada
Jurusan
9Catatan
Sejarah
Fakultas
Ilmu
awal tentang wilayah Satui terdapat dalam artikel H. van Lokhorst, “Schets Eener Geneeskundige Plaatsbeschrijving de Afdeeling Tanah Laut (Zuid en Oosterafdeeling van Borneo)”, terbitan tahun 1863. Lokhorst menuliskan Distrik Satui, Distrik Pleihari dan Distrik Maluka merupakan wilayah Afdeeling Tanah Laut. Distrik Satui berada di wilayah utara Afdeeling tanah laut dan banyak mengandung berlian. Kemudian dari laporan eksplorasi von Dewall dan van Gaffron, yang ditulis Theodore Posewitz, dalam “Borneo: Its Geology and Mineral Resources” tahun 1892 menyebutkan Satui adalah wilayah perbukitan bagian dari rantai pegunungan di tenggara Kalimantan dengan ketinggian 4.200 kaki dari permukaan laut.
~ 11 ~
Budaya,Universitas Gadjah Mada sebagai “kado ulang tahun”nya yang ke70 pada 30 Desember 2009 lalu.10 Dari kumpulan artikel tersebut, terdapat tiga artikel, masing karya dari Susanto yang membahas tentang Jati Diri Koto Solo: Problem Sebuah Kota di Jawa. Susanto dalam karyanya menggunakan buku, koran, arsip, naskah dan wawancara. Hematnya, kelahiran dan perkembangan kota Solo mengalami keunikan. Keunikan menjadi “tidak unik”, ketika
pada
modernisasi
tahun yang
1980an
kota
mengutamakan
Solo
mengalami
pembangunan
fisik
memunculkan hedonisme yang menggeser nilainilai hidup yang awalnya sebagai penanda keunikan kota itu seperti kotakota lainnya.11 Kemudian
tulisan
Prima
Nurrahmi
Mulyasari,
Runtuhnya Sebuah Kejayaan:Kota Banyumas 1900-1937. Artikel ini menggunakan sumber arsip yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan, buku, artikel, skripsi dan tesis. Hematnya, berbanding terbalik dengan kotakota di Jawa lainnya, justru kota Banyumas pada awal abad ke20 tidak
10Prima
Nurrahmi Mulyasari dkk, Kota-Kota di Jawa; Identitas, Gaya Hidup, dan Permasalahan Sosial (Yogyakarta: Ombak, 2010). 11Ibid,
hlm. 3548. ~ 12 ~
berkembang. Ketiadaan sarana transportasi sebagai faktor utama dalam pendukung mobilitas ekonomi tidak dinikmati oleh masyarakat.12 Berikutnya, tulisan Sarjana Sigit Wahyudi, Urbanisasi dan Migrasi di Kersidenan Surabaya Akhir abad XIX dan Awal Abadke-20. Sumber yang digunakan dalam artikel lebih banyak menggunakan buku. Hematnya, perkembangan kota di Surabaya sejak abad 19 dan awal abad 20 diiringi oleh perkembangan infrastruktur dan meluasnya investasi membuat pertumbuhan ekonomi perkotaan. Pertumbuhan ekonomi Surabaya menggiurkan, sehingga terjadi urbanisasi khususnya orangorang Madura ke Kota Surabaya.13 Dari artikel di atas tentang sejarah perkotaan, tampaknya isu yang dilontarkan oleh para penulis sangat dipengaruhi oleh Kuntowijoyo dalam bukunya tentang metodologi sejarah, khususnya pada Bab 4 yang membahas tentang sejarah kota. Hemat Kuntowijoyo, mendiskusikan tentang sejarah kota permasalahan antara lain, (1) perkembangan ekologi, (2) transformasi sosial ekonomis, (3) sistem sosial, (4) problem sosial, dan (5) mobilitas sosial. 12Ibid,
hlm. 1934.
13Ibid,
hlm. 189109. ~ 13 ~
B. Asumsi Teori Sejarah Kota 1. Munculnya Kota dan Perkembangannya Munculnya kota selalu dikaitkan dengan peradaban. Maka lirikan tertuju pada peradaban Asia Barat Daya di daerahdaerah yang membentang dari Lembah Sungai Nil hingga Sungai Tigris dan Eufrat. Katakan saja dengan munculnya Kota Mesopotania (di daerah Irak bagian selatan) sekitar abad 3500 Sebelum Masehi. Kota dirancang untuk difungsikan sebagai benteng sekaligus sebagai pusat perdagangan hasil pertanian. Mesopotania sebagai kota tidak muncul begitu saja, melainkansecara bertahap. Tahapan perkembangan dapat disamakan dengan teori evolusi. Dalam teori evolusi, perkembangan kota selalu dikaitkan dengan desa. Kaum mewakili sedangkan
evolusioner masyarakat kota
beranggapan, yang
mewakili
bersahaja
bahwa
desa
(tradisional),
masyarakat
modern.
Pandangan di atas bila dikaitkan dengan Bahasa Sansekerta tampaknya menjadi kesatuan yang terpadu. Dalam Bahasa Sansekerta, kota dilawankan dengan desa, yang berarti daerah pedalaman, daerah, mukim, tempat, daerah momongan atau daerah yang diperintah. Desa ~ 14 ~
apabila diartikan secara lentur, merupakan sebuah kata yang menerangkan tentang permukiman di pedalaman, dunia kaum tani, penyewa tanah dan kaum jelata. Dikotomi antara kota dan desa juga mengisyaratkan adanya dua bentuk masyarakat, yaitu masyarakat tradisional dan modern, seperti yang disebut oleh Tonnies, yaitu gemainschaft dan gesellschaft, kemudian Durkheim mengistilahkannya dengan solidaritas mekanis dan solidaritas organis, serta Redfield yakni masyakat folk dan urban. Perkembangan suatu wilayah menjadi kota, menurut paradigma evolusionis ditandai oleh istilah yang berbeda antar tahapan. Seperti pandangan E.EBergel: 14 a. Village
(desa),sebutan
untuk
setiap
tempat
permukiman para petani. Ciri utama satu desa dengan desa lainnya tidak saling mendominasi. b. Town (kota kecil), suatu pemukiman perkotaan yang mendominasi lingkungan desa. Karekteristik town; (a) mendominasi desa; (b) memiliki derajathomogenitas yang menyerupai desa sekitar;
14Purnawan
Basundoro, “Penduduk dan Hubungan Antaretnis di Kota Surabaya Pada Masa Kolonial”, Jurnal Paramita, vol. 22, No.1, 2012. hlm.20. ~ 15 ~
c. City (kota besar), cirinya antara lain; (a) perbedan city dan town sangat gradual, yaitu perbedaan jumlah tingkatan; (b) bersifat lebih kompleks; (c) mempunyai tingkat diferensiasi yang tinggi; (d) cerminan lengkap dari konsentrasi manusia dalam suatu ruang. d. Metropolis (kota hidup) dulu jenis kota ini ditandai secara kuantitatif yaitu jumlah penduduknya lebih 1.000.000 jiwa, akan tetapi banyak kota yang memiliki penduduk lebih dari 1.000.000 namun tidak memiliki kualitas urban. Pada saat ini, katagori metropolis ditandai arti internasional atau supranasional. Pandangan kaum evolusioner di atas memperlihatkan perkembangan dari sebuah desa menjadi sebuah kota. Lebih lanjut kaum evolusioner menerangkan setelah menjadi kota ia pun berkembang lagi, seperti yang ditawarkan oleh Lewis Mumford. 15 Rumusan tentang perkembangan kota, sebagai berikut: a. Eopolis, kota merupakan satu pusat dari daerahdaerah pertanian,mempunyai adat istiadat bercorak kedesaan;
15S.Menno
dan Mustawin Alwi, Antropologi Perkotaan (Jakarta: Rajawali
Pers,1992), hlm. 27. ~ 16 ~
b. Polis, kota sebagai pusat kehidupan beragama dan pemerintahan; c. Metropolis, kota yang bercirikan wilayah yang kurang luas dan penduduknya beragam etnis dan ras. Secara fisik jenis kota metropolis memamerkan kemegahan, tetapi sebaliknya secara sosial mempertontonkan dua kutub berbeda antara kelompok kaya dan miskin; d. Megapolis,
jenis
kota
ini
dari
pada
dasarnya
merupakan perluasan dari metropolis. Dalam konteks ini, fenomena sosio-patologi sangat tinggi, birokrasi kuat menopang munculnya kekayaan dan kekuasaan, tetapi kemiskinan merajalela membuat masyarakat mengalami depresi, sehingga mendorong terjadinya pemberontakan massa. e. Tiranopolis, jenis kota ini ditandai dengan tingkat perkembangan sehingga terjadinya merosotnya moral penduduk, maraknya kejahatan dan kemaksiatan,dan munculnya kekuatan kaum proletariat yang sewaktu waktu
dapat
menyulutkan pemberontakan
melanda kota;
~ 17 ~
yang
f. Nekropolis, jenis kota ini ditandai dengan kehancuran kotakota yang berkeping dan peradaban mengalami keruntuhan. Pandangan dari tahapan kota seperti yang ditawarkan oleh kaum evolusioner kadangkadang secara realitas tidak terbukti, katakan saja, tidak semua desa menjadi kota. Begitu juga tahapan kota dari Mumford, banyak kota sebelum mencapai tahapan megapolis sudah menjadi kota mati. Menarik pandangan dari Horton dan Hunt, setelah mereka mempelajari munculnya kotakota peradaban besar dalam sejarah yaitu di Lembah Sungai Nil, Tigris dan Euphrat. Ia berpendapat, munculnya kota harus mempunyai tiga persyaratan, yaitu, surplus pangan, penyedian air dan transportasi. Daerahdaerah subur akan
menghasilkan
surplus
panen
dan
tentunya
berdampak pada surplus pangan. Air diperlukan sebagai kebutuhan pokok penduduk, sedangkan sungai yang lebar dan tenang memungkinkan terselenggaranya transportasi air untuk mobilitas penduduk dan ekonomi.16
16Lihat
B. Horton & Chester L. Hunt, Sosiologi (Jakarta: Erlangga, 1999),
hlm. 137.
~ 18 ~
Senada
dengan
Horton,
Gideon
Sjoberg,
mengemukakan syarat agar suatu wilayah berkembang menjadi kota, yaitu (1) ekologi yang mendukung mudahnya sarana air dan terpenuhinya kebutuhn pangan; (2)
teknologi
terutama
yang
mendukung
sektor
pertanian, sehingga mencapainya surplus pangan; dan (3) adanya dukungan organisasi sosial yang ajeg. Jhonson menambahkan, berkembangnya desa menjadi kota, antara lain wilayah itu menjadi pusat keagamaan, daerah pusat pemerintahan dan pusat perdagangan ataupun industri. Faktor lain lagi berkembang sebuah kota, khususnya di Indonesia yang tidak bisa ditampik adalah kolonial.17 2. Perkembangan Kota di Indonesia a. KotaKota Tradisional Mencermati perkembangan kotakota menurut pendapat Djoko Suryo18 dapat dibedakan atas tiga fase perkembangan,
yaitu
periode
awal/kuna/lama,
17 Giddeon
Sjoberg,ThePreindusrialCityPastandPresent (Tronto Collier Mcmillan, 1965), hlm. 27; Basundoro, op.cit., hlm. 24. Djoko Suryo, “Transformasi Masyarakat Indonesia” dalam Historiography Indonesia Modern (Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Jurusan Sejarah FIB UGM, 2009), hlm. 102. 18
~ 19 ~
kolonial dan modern. Tipe kotanya dapat dibedakan antara tipe kota pedalaman atau kota agraris dan kota pantai atau kota perdagangan. Karekteristik kotakota itu dapat dicermati melaluipersfektif evolusioner. Dalam konteks ini
perkembangan
kotakota
di
Indonesia dapat dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu (1) kota tradisional (kotakota pra kolonial), (2) kota kolonial dan (3) kota pascakolonial. Munculnya kota tradisional, hemat Sjoberg bertautan erat dengan hadirnya golongan literati (pujangga, sastrawan dan kaum agama). Pandangan ini mengisyaratkan, bahwa ciri sebuah kota secara esensi munculnya pembagian kerja. Selanjutnya Sjoberg membagi masyarakat menjadi tiga tipe, yaitu (1) the folk atau preliterate society; (2) the feudal
(pre-industrial civilized
atau
literate
preindustrial society) dan (3) the industrial urban society. Hematnya dua masyarakat tipe terakhir ini bertalian dengan perkembangan sebuah kota. Berdasarkan pada pandangan di atas, bahwa kota kota di Indonesia muncul diawali dengan muncul Kerajaan Sriwijaya dengan basis agama Budha di ~ 20 ~
Palembang. Jenis kota ini dikategorikan kota maritim dengan basis ekonomi perdagangan. Seiring dengan itu muncul kota pedalaman yaitu Kerajaan Majapahit dengan HinduBudha dengan basis perekonomian agraris yang kuat. Pada abad ke16 dan ke17, pasca keruntuhan Sriwijaya dan Majapahit muncul kotakota pesisir denganbasis agama Islamnya, seperti Demak, Aceh, Makassar, Banten, termasuk Banjarmasin. Beriringan dengan ramai jalur perdagangan dengan Cina, India dan lain sebagainyakotakota pelabuhan bertemu dengan merkantalisme Barat, yaitu Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda.
~ 21 ~
Gambar 1. Kota Tradisional Banjarmasin Banjarmasin Pada Abad ke ke-19
Sumber: Lukisan “Bestand: Rivier bij Bandjermasin”, Karya Schwaner pada tahun 1852, koleksi commons.wiki-media.org. commons.wiki
Patut diketengahkan dalam tulisan ini, bahwa pada tahun 14001700, 1700, peranpara santri pedagang, pedagang santri, ulama, wali dan mubaligh berperan penting dalam syiar agama dan kebudayaan Islam. Umumnya nya mereka tinggal di kotakota kota kota pelabuhan dan mampu
menciptakan
tradisi di
~ 22 ~
kota kotakota
lama
Indonesia. Kelak kotakota selalu ditandai dengan kehadiran pasar, masjid dan pemerintahan. Hal ini dapat dikatakan, bahwa kota bukan saja sebagai pusat politik dan kebudayaan bagi masyarakatnya, tetaapi juga berfungsi sebagai pusatpusat magis kerajaan itu sendiri,
atau
oleh
Gertz
disebut
sebagai
doctrineoftheexemplary.19 Struktur pemerintah yang berkembang baik masa Hindu/Budha dan Islam, yaitu struktur pemerintah patrimonial. Struktur pemerintah model ini, anggota birokrasinya atau kaum elitenya merupakan kerabat kepala negara. Para kepala negara sesuai dengan jiwa zaman pada masa itu membangun simbolsimbol berujud mitos, bahwa ia sebagaiperpanjangan para dewa (devaraja). Konsep deva-raja secara hakiki pada masa era Islam tidak berubah, cuma istilah yang berubah, yaitu para kepala negara selalu memakai gelar khalifah. Raja atau Sultan sebagai pemegang jabatan tertinggi dalam hierarki kerajaan, mempunyai kekuasaan yang sangat
19Clifford
Geertz, Negara, The Theatre State in Nineteenth Century Bali (New Jersey: Princeton University Press, 1980), hlm.16. ~ 23 ~
besar. Hal ini terlihat dengan terdapatnya atribut atribut kerajaan atau kingship, seperti bendabenda pusaka, gelar, ataupun geneologi yang berfungsi sebagai legitimasi Sultan sebagai penguasaa. Dalam konteks
ini,
pemegang
memegaangjabatan
yang
jabatan
yang
dualistis,
yaitu
tertinggi sebagai
pemimpin duniawi dan rokhani (manunggal). Konsep pemegang kekuasaan dunia dan rokhani berpengaruh besar terhadap kotakota tradisional. Pada periode 14001700, kotakota di Nusantara berfungsi sebagai wadah dalam dinamika kebudayaan. Kotakota
itu
menjadi
tempat
pengalihan
dan
penerimaan unsur budaya dari luar, sekaligus menjadi pusat dialog budaya luar dan lokal yang menghasilkan sintesa budaya bagi pengayaan kebudayan lokal dalam arti sempit dan kebudayaan nasional dalam arti luas. Unsurunsur budaya hasil dari dialog budaya, menjadi pondasi lokal yang kelak menjadi akar budaya Indonesia baru. Dalam sisi lain kota sudah berperan sebagai pusat dinamika kebudayaan telah berlangsung dalam waktu panjang, diawali pada masamasa awal pertumbuhan kotakota di Indonesia. ~ 24 ~
b. Kota Kolonial Mendiskusikan
siapa,
kapan
dan
dimana,
pemerintah kolonial membangun kotakotanya di Nusantara, tampaknya harus melacak sejarah. Dalam catatan sejarah, orangorang Eropa yaitu Portugis dan Belanda mendarat di kotakota tradisional yang sudah maju dan terletak di pantai. Dalam artian, bahwa mereka mendarat di kotakota tradisional yang sudah ada kekuasaan formal, yaitu kerajaankerajaan pesisir. Dalam
konteks
ini,
kota
yang
dibangun
oleh
pemerintah kolonial adalah Batavia, yaitu pada tahun 1619. Sebelum membangun Batavia, Belanda telah membuat
sebuah
rancangan
yang
disebut
plandeBatavia.20 Ciriciri kota yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda pada awal abad ke17, mengikuti gaya bangunan di Eropa yang memiliki empat musin dengan mengimitasi ke kawasan tropis. Kotakota di tepi pantaidibuat dengan bangunan pola berkotak dengan jalan dan kanal sebagai batas antar blok. Katakan saja bangunanbangunan adalah pospos perdagangan, 20Basundoro,
op.cit., hlm.91. ~ 25 ~
benteng militer, dan kota yang dilindundungi oleh benteng. Tipologi ini menurut P.J.M Nas merupakan refleksi perasaan paranoid orang Eropa, karena diserang oleh penduduk lokal. Kota Surabaya dan Makassar merupakan contohnya. Kotakota masa yang dibangun pada masa kolonial di Indonesia mengalami perkembangan yang berarti pada awal abad ke19 pada masa Pemerintah Kolonial Belandadi bawah Daendels (18081811). Daendels melancarkan
apa
yang
disebut
reorganisasi
administrasi pemerintahan dalam bentuk prefektur. Kebajikan kemudian diteruskan pada masa Raffles (18111816) dengan membentuk sistem residen dan kabupaten. Fakta sejarah ini dapat ditafsirkan sebagai sebuah tanda kelahiran kotakota administrasi baru di tanah jajahan. Menurut tulisan Paulina Dublin Milone, 21 pada tahun 1854 wilayah teritorial Belanda terbagi atas wilayah administratif non-otonom yang disebut, gewest (wilayah administrasi yang dikepalai oleh Gubernur atau Residen), afdeling (bagian wilayah) dikepalai oleh 21Djoko
Suryo, op.cit., hlm.109. ~ 26 ~
Asisten Residen; kabupaten dikepalai oleh bupati; onderafdeeling dikepalai oleh controleur; district dikepalai oleh Asisten Wedana atau Camat; desa/wijk dikepalai oleh lurah atau wijksmester untuk penduduk. Penduduk kota dibuat sesuai dengan stratifikasi etnis. Pembagian
pemisahan
ini
diatur
oleh regering
reglement 1894. Masyarakatpada masa ini terbagi atas 3 golongan, yaitu, (1) Golongan Eropa, (2) Golongan Orang Asing Timur dan (3) Golongan Pribumi. Jenjang
golongan
sekaligus
terwujud
dalam
pembagian tata ruang kota, yang sengaja memisahkan antar kelompok etnis. Hal ini terlihat, bahwa di kota kota terbangun kawasan khusus untuk orang Eropa, Pecinan
untuk
orang
Tionghoa,
Perkampungan
Arabuntuk orang Arab dan terakhir kawasan Kampung Melayu,
khusus
untuk
pemukiman
pribumi.
Pemukiman untuk pribumi pun dibagi lagi dalam kawasan tertentu, misalnya Kampung Bugis, Kampung Jawa, Kampung Ambon, Kampung Melayu, Kampung Banjar dan sebagainya Kawasan etnis ini sengaja dibangun berdasarkan etnis agar pemerintah kolonial dengan mudah mengontrolnya. ~ 27 ~
Pada tahun 1855, pemerintah kolonial Belanda membentuk lembaga Direktorat Pekerjaan Umum yang mandiri bernama Burgelijke Openbare Warken yang melatih para arsitek sipil dan mengerjakan beragam pekerjaan sipil di perkotaan.22 Misalnya membangun pasar, rumah sakit, sekolahan, sarana olah raga, makam, tempattempat hiburan dan lain sebagainya. Puncak perencanaan kota terjadi pada tahun 1903 ketika Pemerintah kolonial mengeluarkan Undang Undang. Berdasarkan UndangUndang muncul kotakota otonom
untuk
menyelenggarakan
pemerintahan
secara mandiri tidak tergantung pada pemerintah pusat. Kotakota otonom itu diberi status gemeente dan berkembang menjadi statusstadsgemeente. Kotakota gemeente itu antara lainnya adalah Batavia, Meester Cornelis (sekarang menjadi Jatinegara di Jakarta), Bogor, Surabaya, Blitar, Pekalongan, Magelang, Kediri, Bandung, Malang dan lain sebagainya.
22Nash
dalam Basundoro, op.cit., hlm.21. ~ 28 ~
Gambar 2.. Kota Batavia pada Abad ke ke-18
Sumber :Kaart van het oude Batavia, Batavia, Koleksi Tropen Museum, Netherland.
Hemat Djoko Suryo, kotakota kota kota kolonial kelak menjadi
pusat
modernisasi,
pusat
birokrasi
pemerintah, segreragasi penduduk dan spesialisasi mulai berkembang, munculnya budaya indies atau mezzo-culture culture yang kelak ak mendasari terbentuknya kota Indonesia baru, ahirnya golongan elite Indonesia baru
~ 29 ~
dan kelak
memunculan
kesadaran
sejarah
dan
kesadaran kebangsaan.23 c. Kota Indonesia Baru Proklamasi 17 Agustus 1945, merupakan penanda berakhirnya
masa
kolonialis
Belanda
di
bumi
Indonesia. Katakan saja perubahan kebudayaan Indises ke kebudayaan Indonesia. Masa itu juga dapat dikatakan telah terjadinya perubahan sosial dari masyarakat yang terjajah menjadi masyarakat yang merdeka. Beriringan dengan perubahan sosial itu telah terjadi pula perubahan beragam dimensi kehidupan, baik politik, pendidikan, administrasi pendidikan, ilmu pengetahuan,
teknologi,
sosial
dan
kebudayaan.
Katakan saja telah terjadi perubahan kebudayaan Indises ke kebudayaan Indonesia. Pasca kemerdekaan, kotakota di Indonesia dapat dikenali dari “tandatanda” menurut statusnya dalam struktur tatanegara dan administrasi pemerintahan. Kotakota
kecil
umumnya
merupakanibukota
kabupaten dan kecamatan. Di atas ibukota kabupaten adalah kotamadya (kotapraja) sejajar dengan daerah 23Djoko
Suryo, op.cit., hlm. 110. ~ 30 ~
otonom
tingkat
II.
Kotamadya
dengan
predikatnyaberstatus otonom, ia berhak mengatur dan menata sesuai dengan sumbersumber yang dimiliki. Sebagian kotamadya ada yang menjadi ibukota provinsi, ada juga yang tidak. Misalnya kota Bogor, Parepare, Banjarbaru dan lain sebagainya. Di atas kotamadya dan merupakanjenjang kota yang lebih tinggi adalah kota metropolitan (Jakarta) yang menyandang predikat sebagai daerah otonom tingkat I (provinsi) sekaligusberkedudukan sebagai ibukota Republik Indonesia. Status kotametropolitan tidak hanya diperuntukan untuk kota Jakarta sebagai Ibukota
Republik
Indonesia.
Sesuai
dengan
perkembangannya kotakota besar seperti Semarang, Surabaya, Bandung, Medan dan Makassar mempunyai potensi menjadi kotametropolitan. Selain itu, ada juga kotakota yang mempunyai predikat daerah istimewa, karena keunikan dalam proses sejarah. Misalnya Daerah Istimewa Jakarta, Yogyakarta dan Aceh. Pergeseran era yang dimulai pasca kemerdekaan sampai era reformasi (1950 sampai kekinian) juga diikuti dengan perkembangan kotakota. Misalnya, dari ~ 31 ~
kotaIndies menjadi kota Indonesia baru, sekaligus menjadi pusat transformasi budaya perkotaan di Indonesia yang menjadi pusat kebudayaan Indonesia baru pada era kekinian.24 Gambar 3. Sudut Kota Banjarmasin Tahun 1950 1950-an
Sumber: Koleksi Arsip Nasional Museum Lambung Mangkurat.
Pergeseran ini memunculkan kecenderungan baru dalam simbolisme perkotaan. Fakta Faktafakta tentang keberadaan maraknya kegiatan industri pertunjukan, 24
Ibid, hlm. 111. ~ 32 ~
penerbitan buku, majalah, suratkabar, super mall, mall, perumahan elite, mobilmobilbaru yang menghiasi jalanjalan di kota, media audio visualfilm,ragam musik, radio dan telivisi, sastra, media massa, bioskop, yang
kesemuanya
itu
merupakan
simbolsimbol
perkotaan buah dari proses ekspansi pasar. Pada abad 21 dampak dari perkembangan kota kota
baru
yang
tidak
dapat
dipisahkan
dari
perkembangan kota induk dan kotakota sekitar berdampak terbentuknya sistem metropolitan, yaitu satu kelompok kota yang terdiridari kota induk dan satelitnya. 25 Hal ini mengisyaratkan adanya saling ketergantungan antara kota induk dengan kotakota baru di sekitarnya. Misalnya kotametropolitan Jakarta dengan
kotakota
satelitnya,
yaitu
Tanggerang,
Serpong, Bekasi dan Depok. Fenomena ini menarasikan kotakota itu sangat tergantung kepada Jakarta sebagai kota induk, karena ia merupakan pusat kegiatan sosial dan ekonomi yang sudah ajeg. Hal ini juga membuat Jakarta selalu diminati oleh para migrant untuk
25Irwan
Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Oppset, 2007), hlm.28. ~ 33 ~
mengadu nasib, sehinggaterjadi proses urbanisasi besarbesaran ke kota itu. Menarik
juga
dicermati
pendapat
Irwan
Abdullah, 26 bahwa pengembangan permukiman di kotakota baru oleh para pengembangnya hanya untuk para professional muda kota, karena kelompok ini yang mampu membelinya. Hal ini mengisyaratkan, bahwa
penduduk
kotakota
baru
terdiri
dari
komunitas professional dan kelompok yang menguasai kapital ekonomi tinggi, tidak diperuntukan untuk para migrant dari desa. Fenomena ini, mengisyaratkan, bahwa kaum profesionalis tidak menyukai tinggal di pusatpusat industri, ia memilih pemukiman yang hijau dan tenang. Fenomena era reformasi menarik juga dicermati dengan munculnya kebijakan tentang perubahan predikatkota. Perubahan ditandai dengan muncul kebijaksanaan tentang pemakaran wilayah. Katakan saja, kota administratif menjadi kotamadya, Banten yang dulunya sebuah kota di provinsi Jawa Barat berubah statusnya menjadi ibukota Provinsi Banten. 26Ibid,
hlm. 32. ~ 34 ~
Paling menarik lagi adalah desa yang berubah menjadi ibukota kecamatan, katakan saja Desa Sungai Danau yang menjadi Kota Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu. 3. Penentuan Hari Jadi Kota-Kota di Indonesia Menurut Taufik Abdullah, adanya kebebasan dalam menentukan Hari Jadi. Semua bisa diatur asal saja disetujui semua pihak, tetapi harus disadari bahwa kota memang
mempunyai
kebebasan
relatif
untuk
menentukan Hari Jadinya. Walaupun kehadiran kota sebagai kesatuan administratif ditentukan oleh keputusan politik, tetapi kota lebih daripada sekadar kesatuan administratif. Disamping sebuah wilayah tempat tinggal dengan segala infrastrukturnya, kota adalah pula pusat dari berbagai jaringan/networks mulai pemerintahan, pasar,
pendidikan,
sekitarnya. menentukan
Jadi
dan tanpa
statusnya
sebagainya,
bagi
wilayah
keputusan
politik
untuk
sebagai
kota
atau
kotapraja/gemeente, kota itu telah “kota” juga dari sudut perannya.27
27Taufik
Abdullah,op.cit., hlm. 2 ; lihat juga Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 2005), hlm. 37. ~ 35 ~
Kebebasan relatif yang dipunyai kota/kotapraja untuk menentukan Hari Jadi ini tidak dipunyai oleh propinsi. Sebab besar atau kecil, otonom atau tidak, propinsi
tak
administratif
lebih yang
daripada kehadiran
kesatuan dan
wilayah
batasbatasnya
ditentukan oleh keputusan politik pemerintah pusat. Kota bisa tumbuh dengan sendirinya, dengan atau tanpa hak administratif “kekotaan” yang diberikan oleh pusat pemerintahan, sedangkan eksistensi propinsi sepenuhnya ditentukan oleh keputusan politik dan administrasi pemerintahan modern. Jadi boleh dikatakan secara teoretis penentuan Hari Jadi propinsi mempunyai kebebasan yang terbatas. Kebebasan hanya mungkin dalam memilih tanggal yang ditentukan oleh rezim yang mana, kolonial atau pemerintah nasional.28 Propinsi tidak bisa mempunyai klaim sejarah apa apa dari masa sebelum kekuasaan kolonial. Propinsi adalah pembagian wilayah yang modern, bermula ketika kekuasaan kolonial telah bercokol dan sistem birokrasi modern telah diperkenalkan. Propinsi murni merupakan kesatuan administratif yang ditentukan kebijaksanaan 28
Ibid. ~ 36 ~
pusat pemerintahan. Bahwa dalam menentukan batas batas itu pemerintah pusat memperhitungkan faktor faktor sejarah, kebudayaan, dan sebagainya adalah suatu kebijaksanaan belaka. Propinsi bagaimanapun juga adalah sebuah unit administratif yang kehadirannya dan batasbatasnya ditentukan sistem kekuasaan negara.29 Jika demikian halnya sudah bisa dipastikan bahwa “umur propinsi” masih sangat muda. Umurnya tak mungkin, bahkan sangat tak masuk akal, sampai ratusan tahun. Juga sangat tak mungkin kalau tanggal dan tahun berdirinya sebuah dinasti atau kerajaan dipakai sebagai Hari Jadi. Mana mungkin Hari Jadi dari sebuah kesatuan politik kekuasaan tradisional, dengan klaim tradisional pula dipakai sebagai Hari Jadi dari daerah yang merupakan bagian dari negarabangsa modern. Jika hal ini terjadi maka bukan saja berhadapan dengan anakronisme sistem pemikiran tetapi memperkenalkan klaim tradisional primordial dalam konteks negara modern yang nasional. Akibatnya bisa diperkirakan, yaitu
29
Ibid. ~ 37 ~
disintegrasi pemikiran dalam konteks integrasi nasional, tak terelakkan.30 Akan tetapi, bagaimana kalau dihilangkan kata "propinsi"? Kalau demikian halnya tak lagi berhadapan dengan sejarah yang menyangkut manusia, tetapi sejarah geologis. Maka tanggalnya tidak akan pernah diketahui, meskipun umurnya telah bisa diperkirakan sekian ribu tahun yang lalu. Sayangnya pula umur itu bersifat proses yang panjang. Bukankah “garis pantai” sampai sekarang masih berubah? Kalau argumen ini dilanjutkan maka Hari Jadi propinsi hanya mungkin berdasarkan pada tanggal penetapan daerah tertentu itu sebagai propinsi oleh pemerintah pusat atau kalau sekadar kebebasan ingin dipakai, tanggal ketika Gubernur pertama dilantik oleh pemerintah pusat. Memang selalu ada discrepancy waktu antara keputusan pemerintah pusat dengan realitas di lapangan. (Sekarang malah bisa dilihat adanya perbedaan waktu antara keputusan DPR, penandangan UndangUndang
30Ibid,
lihat juga Dada Meuraxa, Sejarah Hari Jadinya Kota Medan, 1 Juli 1590 (Medan: Sasterawan, 1975), hlm. 4. ~ 38 ~
oleh Presiden, dan pelantikan Gubernur pertama dari propinsi baru). Jika dibandingbanding bahkan kabupaten pun bisa mempunyai kebebasan simbolik yang lebih besar dari propinsi dalam penentuan Hari Jadi ini. Kemungkinan pertama, hari jadi bisa saja diambil berdasarkan
keputusan
pemerintah
pusat.
Tetapi
kemungkinan kedua lebih beragam dan tentu saja masalahnya lebih pelik. Di Jawa banyak kabupaten yang telah ada sejak kekuasaan pusat berada di tangan penguasa yang berada di keraton.31 Dalam konteks sistem politik tradisional Jawa yang bersifat multikeraton, kabupaten bukan saja bawahan dari keratonpusat, tetapi secara potensial adalah juga pesaingnya. Bukankah sejarah masa pra kolonial Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Timur bisa juga dilihat sebagai kisah perpindahan pusatpusat kekuasaan? Tetapi dengan berpindah kontinuitas legitimasi dijaga juga. Seperti kisah Kadiri Singahasari, Majapahit, Demak, Pajang dan akhirnya Mataram, yang kemudian pecah dua, sampai akhirnya pecahan Surakarta mempunyai pecahan Lihat Samsul Muarief, Peduli Generasi Suku Using, (Banyuwangi: Satubuku, 2001), hlm. 27; Sri Adi Oetomo, Menelusuri dan Mencari Hari Jadi Kota Banyuwangi (Pasuruan: Garoeda Buana Indah, 1993), hlm. 7. 31
~ 39 ~
baru
Mangkunegaran
dan dan
Yogyakarta
mempunyai
pecahan Pakulaman. Gambar 4. Keraton Yogyakarta Tempo Dulu
Sumber : koleksi http://www.pojokejogja.com.
Maka bisa dibayangkan bekas kadipaten/kabupaten, yang merupakan bawahan/taklukan keraton, tetapi sekaligus calon pengganti keratonpusat, keraton pusat, yang kini telah merupakan
kabupaten
dari
sebuah
provinsi,
bisa
mempunyai klaim kelahiran pada awal didirikan keraton keraton kecil ecil kabupaten itu. Atau lebih mungkin ketika wilayah itu ~ 40 ~
diberi Raja/Sultan kepada bangsawan yang dipercayainya sebagai tanah lungguh. Jika Bupati dan DPRD mau tanggal kejadian ini bisa dipakai. Hal ini tentu dimungkinkan juga oleh fakta bahwa Bupatibupati pada masa awal pemerintahan kolonial biasanya adalah keturunan bupati dari masa kerajaan tradisional.32 Di Sulawesi Selatan (sebelum pemekaran) sebagian besar kabupaten mempunyai batas yang sama dengan wilayah kerajaan tradisional, yang dibiarkan “terus hidup” pada masa kolonial. Sebagai catatan dapat dikatakan juga bahwa pedalaman Sulawesi Selatan barulah pada awal abad 20 “dimasuki” Hindia Belanda. Beberapa kabupaten di Sumatra Timur dan Riau daratan, kerajaankerajaan lama juga adalah unit kabupaten dalam konstelasi negara kolonial dan kemudian nasional.33 Kemungkinan
lainnya,
kalau
pemerintah/DPRD
kabupaten memilih tanggal atau perkiraan tanggal terjadinya peristiwa yang membanggakan yang dianggap sebagai simbol yang sesuai bagi eksistensi kabupaten.
32Ibid. 33Taufik
Abdullah,op.cit., hlm. 2 ; Amiruddin Maula & Muh. Iqbal Latief, Posisi Makassar Dalam Bisnis Global (Makassar: Yayasan Lentera 21, 2000), hlm.10. ~ 41 ~
Biasanya yang terjadi ialah kabupaten tidak akan mengambil, umpamanya, kisah kepahlawanan waktu revolusi, meskipun membanggakan, juga pasti bukan tanggal kelahiran seorang pahlawan dan sebagainya, jika kejadian itu masih berada dalam ingatan kolektif. Para tokoh Kabupaten biasanya cenderung untuk memilih bukan peristiwa atau kejadian yang teringat dan tercatat tetapi yang masih hidup dalam tradisi lisan, ingatan yang turun temurun tentang sesuatu yang terjadi “kirakira abad sekian”. Semakin tua kejadian itu diperkirakan terjadinya maka semakin mungkin akan dipilih, seakanakan ketuaan adalah ukuran dari kebesaran. Tentu saja hal ini boleh saja, tetapi masalahnya kepastian sejarahnya akan selalu diperdebatkan. Benarkah hal itu betulbetul terjadi dan kalau begitu kapan terjadinya. Jika kredibilitas kejadian dan tanggal dimasalahkan nilai Hari Jadi itu hanya akan dianggap keperluan seremoni saja.34 Setiap ikatan sosial, apakah yang diikat oleh ideologi, kepentingan, keluarga atau apa saja dan tentu saja daerah tentu memerlukan mitos, yang telah menggabungkan 34
Ibid. ~ 42 ~
sejarah dengan praduga dan hasrat kultural. Masalah baru muncul kalau mitos itu disahkan sebagai “sumber sejarah” yang secara teoretis dan metodologi harus bisa dipertanggungjawabkan
kehadirannya.
Kalau
telah
begini keabsahan “sejarah” itu akan selalu diuji. Jika saja dianggap gagal dalam ujian, nilainya sebagai sejarah, bahkan sebagai mitos pun jadi merosot. Dan masyarakat pun akan kehilangan sebuah mitos yang selama ini telah berfungsi sebagai “alat pengikat” dan “alat pengingat” akan nilainilai luhur yang dipancarkannya.35 4. Kota Kecamatan Penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan diatur dalam Undangundang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undangundang ini mengatur pokokpokok proses penyelenggaraan pemerintahan di daerah, di dalamnya menguraikan pula mengenai konsep kecamatan. Untuk pengaturan lebih teknis mengenai organisasi perangkat daerah, maka telah dibuat peraturan teknisnya. Misalnya dengan dikeluarkanya Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Tahun 35
Ibid. ~ 43 ~
2003 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4262) dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 158 Tahun 2004 tentang Pedoman Organisasi Kecamatan. Secara konseptual pengertian kecamatan telah diuraikan dalam undangundang No. 32 tahun 2004 pada pasal 126, ayat (1) dan (2) tertulis: (1) Kecamatan dibentuk di wilayah Kabupaten/Kota dengan perda berpedoman pada Peraturan Pemerintah. (2) Kecamatan dipimpin oleh Camat yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang Bupati atau Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah. 36 Proses terbentuknya kecamatan itu sendiri memerlukan proses yang cukup panjang. Berawal dari usulan masyarakat, pembetukan kecamatan baru melalui tahap pembahasan oleh pihak eksekutif dan legislatif, kajian akademik, dan untuk selanjutnya menghasilkan Peraturan
Daerah
(Perda)
mengenai
pembentukan
kecamatan lalu mendapat registrasi dari Kementerian Dalam Negeri. Dinamika masyarakat yang menonjol pada masa kekinian sangat ditandai oleh arus urbanisasi yang besar. 36Lembaran
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Pasal 126. ~ 44 ~
Sudah barang tentu proses urbanisasi itu diiringi oleh persoalan sosial yang menyertainya dan berdampak pada pembangunan nasional. Memahami persoalan sosial tidak hanya
dilihat
dari
fenomena
relasi
sosial
dalam
masyarakat tetapi juga harus mengikuti tentang sejarah perkembangan kota, baik ekologi, fungsi dan unsurunsur sosial di dalamnya. Nama kota begitu akrab, persoalannya adalah apa defenisi kota. Mendiskusikan tentang defenisi kota, maka harus menjenguk bahasa sansekerta. Sebab, konsep negara (nagara, nagari, negri) dalam bahasa sansekerta bermuasal dari kota. Dalam Bahasa Indonesia, negara juga berarti istana, ibukota, negara, wilayah kekuasaan, dan lagi kota. Geertz menafsirkan konsep kota dalam bahasa sansekerta merujuk kepada peradaban klasik. Pandangan
dan
kutipan
Geertz
diperkuat
oleh
Wiryomartono (1995) ketika ia menyamakan konsep kota yang berada di Jawa. Hematnya, di Jawa konsep awal tentang kota tercermin dalam negara dan konsep kuta atau kitha. Kuta secara harafiah dapat diartikan daerah permukiman yang dilindungi oleh dinding berbentuk persegi. Dinding ini ~ 45 ~
juga merupakan batas yang kuat.Dalam bahasa lain, kota dalam peradaban merupakan pancaran dari tradisi besar, dan identik dengan pusat sistem wewenang politik yang tinggi dan tentunya peradaban dalam bertatakrama. Konsep kutagara sebagaimana lain dari kuta atau kota kemudian berkembang menjadi sebutan resmi dari sebuah wilayah yang bercirikan kota yang sejajar dengan istilah city.37 Pusat politik berdomisili di kota. Wewenang politik bersinggungan dengan kekuasaan. Pancaran kekuasaan akan tampak ketika ada kelompok elite sebagai kelompok minoritas dengan wewenang yang dimilikinya berkuasa terhadap kelompok mayoritas. Relasi kekuasaan elite dan non-eliteakan tampak nyata dipancarkan di kota sebagai pusat pemerintahan. Tentunya kota sebagai pusat pemerintahan akan ditandai oleh beragam permukiman dan beragam kelompok. Pandangan sebenarnya bukan sesuatu yang baru, katakan saja pendapat kota, menurut Marx Weber. Hemat Weber, satu elemen yang muncul dari berbagai batasan
37 Purnawan
Basundoro, PengantarSejarahKota, (Yogyakarta; Ombak,
2012), hlm.28. ~ 46 ~
mengenai kota, adalah adanya kumpulan tempat tinggal yang terpisah namun dalam satu permukiman yang tertutup. Di dalam ruang yang tertutup inilah, tercampur aspek kekuasaan bersenjata/ militeristik sebuah kota (karena sejatinya kota adalah juga benteng) dan aspek pasar di mana berbagai komoditas dipertukarkan dan transformasi/interaksi antarkultur dipertemukan.38 Weber juga menambahkan, bahwa hanya kotakota di Eropa Barat yang memenuhi kriteria untuk disebut kota, karena memiliki pertahanan kota, pasar, mahkamah pengadilan, struktur politik lokal dan otonomi yang besar. Mengacu pada pandangan Weber maka kota berfungsi juga sebagai pusat pelayanan. Kota sebagai pusat pelayanan tampaknya juga selaras dengan pandangan Sirjamaki.
39
Hematnya kota merupakan pusatpusat
komersil dan industri, sekumpulan penduduk dengan tingkat
pemerintahan
sendiri
yang
diatur
oleh
pemerintah kota. Kota juga merupakan pusatpusat untuk belajar serta tempat kemajuan peradaban. Lebih lanjut 38 Sartono
Kartodirdjo (editor), MasyarakatKuno&Kelompokkelompok Sosial (Jakarta: Bulu Obor, 1977), hlm.89. 39Basundoro,
op.cit., hlm. 16); Nash, P.J.M, Kota di Dunia Ketiga (Jakarta:
Aksara, 1984), hlm. 27. ~ 47 ~
Sirjamaki
menjelaskan,
dilihat
dari
sejarah,
kota
merupakan tempat kelahiran peradaban dunia dan tempat penggodokan peradaban yang lebih tinggi.40 Defenisi kota yang patut diangkat kepermukaan adalah pandangan dari Wirth. Ia merumuskan kota sebagai permukiman yang relatif besar, padat dan permanen, dihuni oleh orangorang yang heterogen dalam posisi sosialnya. Pandangan ini juga menarasikan, bahwa
komonitas
penghuni
mempunyai
sifat
kehetorogenan sosial membuat relasi sosial sangat longgar.
Pandangan
Wirth
tampaknya
merupakan
pemahaman tentang kota yang diajukan Mumford. 41 Hematnya, kota merupakan suatu tempat pertemuan yang berorientasi keluar. Dari banyak pendapat tentang kota, menarik disimak pendapat P.J. M Nas yang dilontarkannya pada 1986. Nas memberikan 5 aspek besar yang tersurat dalam sebuah kota, yaitu; (1) suatu lingkungan material buatan manusia, (2) suatu pusat produksi, (3) suatu komunitas
40Ibid. 41Ibid,
hlm.28. Nash, op.cit., hlm. 29. ~ 48 ~
sosial, (4) suatu komunitas budaya dan (5) suatu masyarakat yang terkontrol.42 Narasi di atas mewartakan tentang beragamnya pandangan para ahli tentang kota. Dari keberagaman itu, mengisyaratkan, bahwa para para pakar tersebut belum meneropongnya
dari
aspek
keruangaan
(spasial).
Realitasnya, bahwa kotatentunya berlainan karakternya dengan
desa
(rural)
yang
memang
tidak
bisa
dibandingkan satu dengan lain. Aspek ruang kota tidak hanya mengedepankan lokasi bagi terjadinya perubahan sosial. Dalam teropongan sejarah, aspek ruang kota dilihat dari pertanyaan bagaimana ruang kota diproduksi dan direproduksi dari masa ke masa karena bagaimana pun struktur dan pola ruang kota tidaklah akan terlepas dari sejarah pembentukannya. Apabila pentingnya hubungan antara dinamika masyarakat dan dinamika ruang kota sudah dapat menjadi dasar penting dalam melihat perkembangan struktur dan pola ruang kota, pertanyaan yang pantas diajukan pada saat ini adalah akan dibawa ke mana pola perkembangan kota di masa mendatang? 42Basundoro,
op.cit., hlm. 18. ~ 49 ~
~ 50 ~
BAB III METODE YANG DITERAPKAN DALAM PENELITIAN
Dalam penelitian dan penulisan tentang Hari jadi Kota Satui ini, tim penulis menggunakan Metode Sejarah. Metode sejarah yakni metode untuk mengkaji dan menganalisa secara kritis rekaman dari peninggalan masa lampau.43 Metode sejarah juga didefenisikan sebagai suatu perangkat aturanaturan atau prinsipprinsip yang secara sistematis dipergunakan untuk mencari atau menggunakan sumbersumber sejarah, kemudian menilai sumbersumber itu secara kritis dan menyajikan hasil hasil dari penelitian itu umumnya dalam bentuk tertulis dari hasilhasil yang telah dicapai. Menurut Louis Gottschalk, metode sejarah dapat merekonstruksi sebanyakbanyaknya peristiwa masa lampau manusia.44 Dalam mendeskripsikan sebuah tulisan yang bersifat ilmiah tentunya harus didukung oleh metode dan teknik mendapatkan data yang akurat. Karena itulah, Tim Penulis melakukan Louis Gottchalk, Mengerti Sejarah,terj. Nugroho Notosusanto (Jakarta: UI Press, 1985), hlm. 27; Muhammad Gade Ismail,“Museum Sebagai Sumber Sejarah Dalam Kaitan Dengan Metode Sejarah”, dalam Bulletin Rumoh Aceh, Informasi dan Komunikasi Museum, No.03/1999, Museum Negeri Provinsi Daerah Istimewa Aceh 1999, hlm. 3. 43
44
ibid, hlm. 32. ~ 51 ~
pengumpulan sumber yang didasarkan pada seleksi dan akurasi akan melahirkan suatu tulisan yang ilmiah serta dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Penggunaan metode sejarah dalam penyusunan penulisan penelitian inisecara tidak langsung sesuai dengan tujuan dari hasil akhir penulisan adalah ingin mendeskripsikan peristiwa yang terjadi di masa lampau. Metode sejarah yang telah dipaparkan di atas, yang bertumpu pada beberapa tahapan yang disusun secara sistematis yang harus dilalui oleh penulis sejarah yang tidak boleh ke luar dari kaedah ilmu sejarah diharapkan dapat menghasilkan penulisan yang bernilai ilmiah. Langkah awal
yang
dilakukan
adalah
menentukan
judul,
topik,
mengumpulkan sebanyak mungkin sumbersumber sejarah yang diperlukan dan berkaitan dengan penelitian. Metode penelitian sejarah kritis terdiri dari empat tahapan pokok yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi fakta dan historiografi, yang akan dijabarkan sebagai berikut.45
45Nugroho
Notosusanto, Hakekat Sejarah dan Metode Sejarah (Jakarta: Mega Book Store, 1984), hlm. 2223. ~ 52 ~
A. Heuristik atau Pengumpulan “Serpihan” Sumber
Tahap pertama adalah heuristik, berasal dari bahasa Yunani
hueriskein
artinya
memperoleh.
46
Heuristik
merupakan suatu proses untuk mencari dan mengumpulkan sumbersumber sejarah, baik sumber primer maupun sumber
sekunder.
Sumbersumber
yang
dicari
dan
dikumpulkan ialah sumbersumber yang relevan dengan tema yang diteliti. Heuristik juga dikategorikan sebagai ilmu pengumpulan bahanbahan historis atau usaha memilih obyek dan mengumpulkan informasi mengenainya.47 Dalam tahap heuristik, Tim Penulis melakukan kegiatan menghimpun data dari jejakjejak kehidupan masa lampau 48Kemudian
Tim Penulis juga mencari untuk menemukan
sumbersumber sejarah, atau pengumpulan bahanbahan historis atau usaha memilih suatu obyek dan mengumpulkan informasi mengenai objek tersebut.49 Adapun sumber data
46 G.J.
Renier, Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah, terj. Muin Umar (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 113. 47
Louis Gottchalk, 1985, op.cit, hal. 19.
48G.J.
Renier, loc.cit.
49Helius
Syamsuddin, Metodologi Sejarah (Jakarta: Proyek Pendidikan Tenaga Akademik, 1996), hlm 14. ~ 53 ~
yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari sumber primer dan sumber sekunder. Sumber
primer
merupakan
sumber
data
yang
didapatkan secara langsung dari narasumber tentang objek yang diteliti. Dalam hal ini, Tim Penulis menggunakan sumbersumber sejarah lisan, dengan metode wawancara. Wawancara dilakukan dengan narasumber “tetua”, tokoh dan masyarakat umum di Desa Sungai Danau dan desadesa sekitarnya tentang sejarah Kota Satui. Tim penulis juga melakukan observasi ke Makammakam Tua, Pemukiman Lama serta sungai di wilayah Satui. Kemudian terdapat sumber primer tertulis yang dikumpulkan melalui metode kepustakaan. Dalam tahap heuristik ini, Tim Penulis mengumpulkan beberapa naskah lokal seperti Hikayat Banjar dan Hikayat Lembu Mangkurat yang
menuliskan
tentang
keberadaan
wilayah
Satui. 50 Hikayat Banjar dan Hikayat Lambung Mangkurat 50Salah
satu sumber sejarah adalah hikayat atau cerita, sekalipun harus di pisahkan lebih dahulu mana yang fakta dan mana yang khayal. Penyaringan isi hikayat untuk menjadi sumber sejarah adalah tugas dari sejarah. Para pengarang hikayat kebiasaannya selalu membubuhi hikayat itu dengan ramuanramuan khayal agar menarik para pembacanya, sehingga sejarawan harus jeli menentukan fakta sejarah dari suatu hikayat. Hikayat, berasal dari India dan Arab, berisikan cerita kehidupan para dewi, peri, pangeran, putri kerajaan, serta rajaraja yang memiliki kekuatan gaib. Kesaktian dan kekuatan luar biasa yang dimiliki seseorang, yang diceritakan dalam hikayat kadang tidak masuk akal. Sebagai ~ 54 ~
termasuk bentuk karya sastra Prosa Lama.51Kemudian Tim peneliti juga mengumpulkan beberapa dokumen dan arsip arsip masa Hindia Belanda, kemudian sumber tertulis lain berupa buku, majalah, artikel yang berhubungan dengan objek penelitian. Misalnya arsiparsip dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) berupa arsip Algemene Secretarie (AS), Binnenlandsch Bestur (BB), Memorie van Overgave (MvO), Koloniaal Verslag (KV), Regerings Almanak (RA), Staatsblad van Nederlandsch Indie (Stb), arsip ANRI bundel Borneo Zuid en Oosterafdeeling (BZO), arsip Surat-Surat Perjanjian
Antara
Kesultanan
Banjarmasin
Dengan
Pemerintahan VOC, Bataafshe Republik, Inggris dan Hindia Belanda 1635–1860, arsip Kontrak Perjanjian, Laporan Politik danDagregister (Catatan Harian). Kendala dalam penelitian ini, terutama dalam proses pencarian data di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) referensi perbandingan lihat ChamamahSoeratno, Hikayat Iskandar Zulkarnain: Analisis Resepsi (Jakarta: Balai Pustaka, 1991); kemudian tulisan Teuku, Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad (Jakarta: Libra, 1996); J.J. Ras, Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography (The Hague: Martijnus Nijhof, 1968). 51Prosa
adalah suatu jenis tulisan yang dibedakan dengan puisi karena variasi ritme (rhythm) yang dimilikinya lebih besar, serta bahasanya yang lebih sesuai dengan arti leksikalnya. Kata prosa berasal dari bahasa Latin "prosa", artinya "terus terang". Jenis tulisan prosa biasanya digunakan mendeskripsikan suatu fakta atau ide. ~ 55 ~
Jakarta, adalah pencarian arsip ”asli” seperti Staatsblad van Nederlandisch Indie Voor Het Jaar 1898, 1898, memang terdapat di katalog ANRI tetapi setelah ditelusuri sesuai nomor arsipnya, sumber sejarah tersebut tersebut tidak ada. Bahkan menurut keterangan petugas ANRI yang membidangi koleksi arsip Hindia Belanda, arsip tersebut dinyatakan hilang. Gambar 5. Koleksi Arsip Arsip Kolonial, Arsip Nasional RI (ANRI)
Sumber : Koleksi Pribadi, 2013.
~ 56 ~
Untuk mengatasi kendala arsip “hilang”, tim peneliti lalu mencari arsip dalam kurun waktu yang hampir sama sebagai pembanding atau komparasi dengan “arsip asli” yang dinyatakan hilang tersebut. Kendala lain yakni sumber sumber berbahasa Belanda tersebut berbahasa Belanda dengan aksen abad ke 19 sehingga tim peneliti harus bekerja keras untuk menerjemahkan arsip tersebut sesuai dengan “jiwa zaman”nya. Alhamdulillah, semua kendala ini bisa diatasi berkat bantuan semua pihak dan kerjasama Tim Penulis. Sementara sumber sekunderTim Penulis dapatkan dari studi kepustakaan berupa bukubuku yang relevan dengan objek penelitian ini yakni membahas tentang perkembangan kota Satui. Dalam hal ini, tim penulis menggunakan buku buku yang berfungsi sebagai acuan yang kemudian dikembangkan dalam tulisan. Studi kepustakaan ini sangat penting untuk mendukung datadata yang diperoleh di lapangan.
Sumber
sekunder
diperoleh
melalui
riset
kepustakaan meliputi bukubuku karangan ilmiah yang ditulis oleh para ahli yang relevan dengan masalah yang diteliti.
~ 57 ~
Hal ini berdasarkan pada pertimbangan bahwa melalui penelusuran dan penelaahan kepustakaan tersebut, dapat dipelajari bagaimana mengungkapkan buah pikiran secara sistematis dan kritis.52 Data juga diperoleh dari internet dan majalah atau jurnal yang terkait dengan permasalahan permasalahan yang dikaji. Sumber sekunder digunakan untuk membantu dalam melengkapi data yang tidak diperoleh dari sumber primer. Perkembangan historiografis pada beberapa tahun terakhir dan perubahan politik yang terjadi di negaranegara berkembang
telah
membawa
“angin
segar”
bagi
perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya sejarah. Perkembangan ilmu sejarah menuju ke arah yang lebih baik seiring
dengan
munculnya
pendekatan
baru
dalam
memahami peristiwa sejarah. Definisi sejarah yang diperluas telah membuka kesempatan untuk menulis tematema baru dalam kajian sejarah masa kini. Kajian sejarah juga telah memperluas penggunaan sumber untuk menulis sejarah. Sebelumnya, sumber sejarah hanya didominasi oleh sumber
Irawati Singarimbun, “Pemanfaatan Perpustakaan”, dalam Masri Singarimbun dan Sofyan Effendy, Metode Penelitian Survai (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 45. 52
~ 58 ~
dokumen yang mengakar pada pendapat no document no history seperti yang dikemukakan oleh von Ranke. Pendapat Ranke tersebut pada perkembangan mutakhir tidak
dapat
dipertahankan.
Menguatnya
pendekatan
struktural, hermeunetik, posmodernisme dan subalten history telah memperluas penggunaan sumber sejarah. Saat ini sejarah yang ditulis, bisa menggunakan sumber lisan (wawancarainterview), sumber tradisional seperti hikayat, tambo, babad, dan mithos, meskipun harus mencermati sumber itu secara ketat dan selektif. Artinya tidak semua unsur karya itu menjadi sumber sejarah yang valid. Kritik sumber, verifikasi, interpretasi dan analasis yang ketat untuk menemukan fakta dalam sumber tradisional menjadi syarat utama. Hal itu terjadi karena banyak unsur yang menyertai
rekonstruksi
dari
lahirnya
naskahnaskah
tradisional.
B. Kritik, Tidak Asal “Ambil Data”
Kritik sumber adalah penilaian atau pengujian terhadap sumbersumber yang telah dikumpulkan. Dalam tahap ini penulis melakukan dua jenis kritik, yaitu kritik ekstern dan kritik intern. Kritik intern yang dilakukan menyangkut ~ 59 ~
penilaian
isi
sumber
tersebut
untuk
mendapatkan
kredibilitas sumber. 53 Misalnya sumber tertulis tentang perkembangan Kota Satui pada umumnya, apakah memang ditulis oleh penulis kompeten dan mengetahui tentang Kota Satui. Kemudian membandingkannya dengan buku lain sehingga bisa didapatkan bahan tulisan yang benarbenar sesuai dan mendukung objek yang diteliti. Dalam tahap kritik ini, kritik intern diaplikasikan ketika tim penulis mendapatkan sumber, tim penulis harus dapat melihat dan menyelidiki isi dari sumber yang diperolehnya itu. Dalam hal ini sumbersumber yang telah terkumpul dikaji, apakah pernyataan yang dibuat dalam sumber itu, merupakan fakta historis yang meliputi isi, bahasa, situasi dan lain sebagainya. Kritik ekstern adalah penyelidikan terhadap sumber yang diperoleh dengan meneliti keadaan luar dari sumber sumber yang digunakan, apakah sumber yang digunakan itu otentik atau tidak. Kritik intern penting untuk menentukan apakah sumber yang digunakan kredibel, dapat dipercaya 53Lihat
Nugroho Notosusanto, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer, Suatu Pengalaman(Jakarta: Yayasan Idayu, 1978), hlm. 38.Penafsiran atau interpretasi (interpret), merupakan hal utama dalam mengeksplanasi sejarah. Dorongan ini menuntut analisis apapun orientasinya dan proposisinya yaitu deskriptif, naratif dan analisis semuanya akan bermuara pada sintesis. ~ 60 ~
atau tidak. Kritik ini dilakukan terhadap informasi yang diperoleh dari para informan, yang kemudian dibandingkan dengan data dari berbagai sumber tertulis yang relevan dan telah diseleksi, begitu pula sebaliknya dilakukan kritik dengan membandingkan data dari sumber tertulis dengan keterangan yang diperoleh dari informan. Kritik juga dilakukan terhadap berbagai arsip atau dokumen yang telah diperoleh, antara lain seperti peta, fotofoto dan sebagainya. Sementara menyangkut
itu,
kritik
keaslian
ekstern
(otentisitas)
yang
dilakukan
sumber
dengan
memeriksa pembuat sumber, yaitu apakah sumber dibuat oleh orang yang berwenang atau terlibat langsung atau sebagai saksi langsung peristiwa. Contoh kritik sumber, misalnya keberadaan Hikayat Banjar sebagai sumber penulisan Sejarah dan Penentuan Hari jadi Satui memang memiliki konsekuensi historiografis, yakni
menjadi
kebanyakan
sebuah
analisis
naskahnaskah
hermeunetik.
pribumi
yang
Seperti
dihasilkan
intelektual tradisional khususnya karya yang dihasilkan di dalam istana cenderung bersifat istana-sentris. Penulisan sejarah tradisional atau historiografi tradisional, seperti babad, silsilah, tambo, dan hikayat termasuk Hikayat Banjar, ~ 61 ~
tidaklah bersifat kritis ilmiah dan “tidak lulus” sebagai karya sejarah dalam pengertian modern, karena isinya banyak menceritakan halhal yang tidak logis.54 Walaupun demikian, penulisan sejarah (historiografi), yang pada mulanya lebih merupakan ekspresi kultural dari usaha untuk merekam masa lampau yang berkenaan dengan masyarakat yang menghasilkannya. Dalam konteks ini, makna dan fungsi sejarah lebih berarti daripada peristiwa peristiwa yang diungkapkan dari “kelampauan” tersebut. Dengan demikian, yang menjadi tujuan utamanya bukanlah kebenaran historis, tetapi pedoman dan penegakan nilai yang perlu didapatkan. Oleh karena itu, dalam hal ini hikayat “diposisikan” sebagai ekspresi kultural, isinya erat dengan unsurunsur sastra sebagai karya imajinatif, mitologi, dan
54Lihat
Wajidi, Hikayat Lambung Mangkurat Dalam Perspektif Sejarah Modern, dalam website http://bubuhanbanjar.wordpress.com/2009/03/19/ hikayatlambungmangkuratdalamperspektifsejarahmodern/ Maret 19, 2009; Lihat juga Soenarto Timoer, Hikayat Panji Sebagai Sumber Penelitian Sejarah: Sebuah Studi Analisis Cerita Rakyat (Yayasan Ilmu Pengetahuan & Kebudayaan Panunggalan Lembaga Javanologi, 1984), hlm 2.; Herman C. Kemp, Oral Traditions of Southeast Asia and Oceania: A Bibliography, Volume 18 dari “Seri Tradisi Lisan Nusantara” (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), hlm. 118.
~ 62 ~
pandangan hidup yang dihasilkan dengan unsurunsur faktual dari peristiwa masa lalu.55 Sebagai tradisi lisan, suatu gambaran realitas tidaklah identik dengan realitas atau peristiwa itu sendiri, tetapi sumber hikayat memperlihatkan bagaimana peristiwa itu dimengerti oleh masyarakatnya, sehingga “yang dimengerti” itulah yang dianggap sebagai realitas baru atau yang sebenarnya. Alam pikiran religio magis, pergeseran masa dan pertukaran waktu, dapat menimbulkan metamorfosa (perubahan bentuk) peristiwa. Begitu pula sebuah norma dapat mengalami personifikasi, norma atau ide bisa menjadi tokoh historis yang sebenarnya tidak ada.56 Hikayat termasuk mitos yang berhubungan dengan peristiwa sejarah dikenal sebagai sastra sejarah. Sastra sejarah adalah bayangan sejarah, karena realibilitas data sejarahnya diragukan, maka penggunaannya harus melalui kritik sejarah. Untuk memahami dan menggunakan hikayat sebagai sumbersumber dalam merekonstruksi sejarah, 55 Ibid,
Hikayat dan sejenisnya pada mulanya juga dihasilkan oleh pujangga istana yang mendapat tugas khusus untuk menyusun kronik dan daftar silsilah. Para pujangga menentukan rajanya dalam pusat sejarahnya, dipujanya sebagai dewa sehingga dapat menambah kesaktian raja di mata rakyatnya. 56Ibid
~ 63 ~
maka dalam tahap kritik hikayat harus terlebih dahulu “dibersihkan”
dari
unsurunsur
tidak
logis
dan
membandingkannya dengan sumbersumber lain. Dalam memahaminya dengan konsep berpikir sejarah historical mindedness, yakni bagaimana pikiran, jiwa dan hati kita masuk ke dalam “kelampauan”nya, dan hal itu dapat diperoleh
dengan
jalan
memiliki
kesadaran
dan
pengetahuan mendalam tentang latar belakang kultural masyarakat yang menghasilkannya.57
C. Sumber Sejarah Ditafsirkan, Itulah Gunanya Interpretasi.
Setelah melakukan kritik terhadap berbagai sumber maka tim peneliti menghimpun informasiinformasi suatu periode sejarah yang diteliti. Tahap ini dinamakan tahap interpretasi, yaitu menafsirkan dan menyusun faktafakta sehingga menjadi keseluruhan yang masuk akal dan relevan dengan masalah yang diteliti.58Disini fakta disintesiskan dalam bentuk katakata dan kalimat, sehingga dapat dibaca dan dimengerti. Dalam hal ini, Tim Penulis melakukan penafsiran terhadap faktafakta yang yang telah diperoleh 57
Ibid
58
Ibid, hlm. 46. ~ 64 ~
melalui kritik sumber, yaitu dengan cara mencari dan menyusun hubungan antar faktafakta yang sama dan sejenis, kemudian disusun secara kronologis dan dalam hubungan sebab akibat.
D. Historiografi, “Terminal Terakhir” Penulisan Sejarah
Yaitu suatu proses tahapanpenelitian sejarah yang berkenaan dengan penulisan sejarah secara deskriptif analitis berdasarkan sistematika dan kronologis, menurut Veyne dan Tosh menulis sejarah merupakan suatu kegiatan intelektual dan ini merupakan suatu cara utama untuk memahami sejarah,59Historiografi merupakan suatu proses tahapan
penelitian
sejarah
yang
berkenaan
dengan
penulisan sejarah secara deskriptif analitis berdasarkan sistematika dan kronologi60 Dalam tahap ini, Tim Penulis melakukan “kegiatan” menyajikan, mengisahkan atau menuliskan hasil penelitian menjadi tulisan atau karya sejarah. Tentunya, kemampuan imajinasi
59Helius
dan
seni
menulis
sangat
diperlukan
dan
Syamsuddin, 1996, loc. cit, Gottchalk, 1985, op. cit. hal 32.
60R.
Moh. Ali, Penentuan Arti Sedjarah dan Pengaruhnja dalam Metodologi Sedjarah Indonesia (Djakarta: Bhratara, 1966), hlm. 10. ~ 65 ~
menentukan hasil akhir penelitian. Oleh karena itu Tim Penulis berusaha menggunakan bahasa baku, baku, baik dan b benar sehingga mudah dimengerti dan tidak menimbulkan kesalahan penafsiran. Dalam tahap ini merupakan bagian proses penulisan kembali peristiwa sejarah. Fakta yang sudah disintesiskan dan dianalisis dipaparkan dalam tulisan dengan bahasa yang baik, sehingga dipahami pembaca. Gambar 6. Penulis Sejarah, Sejarah Wartawan Rosihan Anwar
Sumber: koleksi http://johnnery.wordpress.com/2010/07/09/grand http://johnnery.wordpress.com/2010/07/09/grandoldmen/.
~ 66 ~
Dalam kerangka historiografi, metode yang digunakan oleh Tim Penulis dalam penulisan ini adalah deskriptif dengan penalaran induktif, yaitu menggambarkan secara rinci data yang telah dikumpulkan untuk selanjutnya di generalisasikan
atau
di
sintesiskan,
sehingga
dapat
menjelaskan gejalagejala yang tampak pada obyek yang diteliti. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir kekeliruan yang dapat saja terjadi pada saat penulisan. Hal ini juga ditujukan untuk membahas secara rinci obyek yang akan ditulis sehingga tidak menimbulkan beberapa penafsiran yang dapat mempengaruhi interpretasi. Suatu tulisan sejarah tentu saja tidak akan sulit untuk dicerna atau dipahami apabilapenulisnya memahami tata cara atau aturan yang baku dalam historiografi. Demikianlah pentingnya historiografi sehingga setiap sejarawan dituntut sebelum memasuki tahap historiografi maka harus benar benar
memahami
tahaptahap
aplikasinya.
~ 67 ~
sebelumnya
maupun
~ 68 ~
BAB IV “JEJAK-JEJAK” SATUI DALAM LINTASAN SEJARAH DI KALIMANTAN SELATAN
A. SatuiTertulis Dalam Sumber Sejarah Sejak Abad ke-17 Nama Satui terdapat dalam beberapa sumber, baik dalam naskah lokal maupun sumber kolonial.Naskah lokal pertama dan paling tertua yang memuat nama Satui yaitu Hikayat Banjar yang ditulis (bertarikh) tahun 1663 M. Dalam Hikayat Banjar tertulis bahwa pada saat terjadinya pertikaian
antara
Pangeran
Tumenggung
dengan
keponakannya sendiri, Pangeran Samudra, maka Patih Masih mengirim utusan ke wilayah lain untuk mengabarkan bahwa Pangeran Samudra menjadi raja di Banjarmasih. Satu diantara daerah tujuan utusan tersebut adalah Satui.61Dalam kutipan yang lebih lengkapnya sebagai berikut: “Maka Patih Masih menyuruh orang memberitahu ke Kintap, ke Satui, ke Sawarangan, ke Hasam-Hasam, ke Laut Pulau, ke Pamukan, ke Pasir, ke Kutai, ke Barau, ke Karasikan, dan memberitahu ke Biadu, ke Sabangau, ke Mandawai, ke Sampit, ke Pambuang, ke Kota Waringin, Johannes Jacobus Ras, 1990, Hikayat Banjar diterjemahkan oleh Siti Hawa Salleh (Selangor: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037, Mukim Perindustrian PKNS Ampang/Hulu KelangSelangor Darul Ehsan, Malaysia), hlm. 312. 61
~ 69 ~
ke Sukadana, ke Lawai, ke Sambas: Pangeran Samudra menjadi raja di Banjarmasih.”62 (“Patih Masih mengirim utusan untuk menyampaikan pemberitahuan ke daerah Kintap, Satui, Sawarangan (swarangan), HasamHasam (AsamAsam), Laut Pulau (Pulau Laut), Pamukan, Pasir, Kutai, Barau (Berau), Karasikan, kemudian ke wilayah lain seperti wilayah Biadu, Sabangau (Sebangau), Mandawai (Mendawai/Mandomai?), Sampit, Pambuang (Kuala Pembuang), Kota Waringin (Kotawaringin), Sukadana, Lawai, Sambas, isi pemberitahuan tersebut, bahwa Pangeran Samudra menjadi raja Banjarmasih (Banjarmasin),”). Interpretasi dari hikayat tersebut bahwa orang Satui, orang Laut Pulau (Pulau Laut), orang Pamukan (Dayak Samihin) dan orang Paser maupun orangorang Dayak Bukit yang tinggal di pegunungan Meratus adalah penduduk asli di wilayah
Kalimantan
bagian
tenggara.
Selain
kutipan
sebelumnya, terdapat pernyataan lain dalam Hikayat Banjar yang menuliskan tentang keberadaan orang Satui. Adapun kutipannya sebagai berikut: “…..Maka orang yang takluk tatkala Maharaja Suryanata sampai kepada zaman Maharaja Sukarama itu, seperti Negeri Sambas dan Negeri Batang Lawai dan Negeri Sukadana dan Negeri Kota Waringin dan 62
Ibid. ~ 70 ~
Pembuang dan Sampit, Mandawai dan Sabangau dan Barau dan Pasir dan Pamukan dan orang Laut Pulau dan Satuidan Hasam-Hasam dan Kintap dan Sawarangan dan orang Tambangan Laut dan Takisung dan Tabuniau, sekaliannya itu sudah sama datang serta senjatanya serta persembahnya. Sama suka hatinya merajakan Pangeran Samudra itu. …….”63 (“…..Wilayahwilayah taklukan sejak masa pemerintahan Maharaja Suryanata sampai masa pemerintahan Maharaja Sukarama itu, seperti negeri Sambas, negeri Batang Lawai, negeri Sukadana, negeri Kota Waringin (Kotawaringin), Pembuang (Kuala Pembuang), Sampit, Mandawai (Mendawai atau Mandomai?), Sabangau (sebangau), Barau (Berau), Pasir, Pamukan, orang Laut Pulau (Pulau Laut), orangSatui, orang Hasam Hasam (AsamAsam),orang Kintap,orang Sawarangan (Swarangan), orang Tambangan Laut, Takisung, Tabuniau (Tabanio), utusanutusan dari wilayah tersebut berdatangan dengan membawa senjata dan sekaligus upeti untuk Kerajaan Banjarmasih. Utusan tersebut juga bersuka ria merayakan pengangkatan Pangeran Samudera menjadi raja…….”) Sumber tertulis lain yang mencatat tentang wilayah dan namaSatui yaitu Hikayat Lembu Mangkurat(Lambung Mangkurat)
yang
ditulis
“sezaman”
dengan
Hikayat
Ibid, hlm. 323. Dalam indeks teks Hikayat Banjar berbahasa Melayu, namaSatui terdapat di baris 3013 dan 4150. Mengenai orang Satui terdapat pada baris 3326. 63
~ 71 ~
Banjaryakni tahun 1663.64 Dalam kurun waktu tersebut Satui adalah wilayah “desa”. Secara lebih lengkap kutipan tersebut adalah: “Ketika Kiai Martapura pergi ke Makassar, maka Karaeng Patingaloang yang memerintah di sana, memohon kepada Marhum Panembahan supaya diperkenankan meminjam dan berdagang di Pasir. Raja memperkenankan permohonan itu dan selain daripada itu menyerahkan pula desa-desa Satui, Asem-Asem, Kintap, Sawarangan,.…”65 (“Ketika Kiai Martapura diutus ke Makassar, maka Karaeng Patingaloang yang memerintah di sana (Kerajaan GowaTallo, Sulawesi Selatan), memohon secara lisan kepada Raja Marhum Panembahan supaya diperkenankan meminjam dan berdagang di wilayah Pasir. Raja kemudian memperkenankan permohonan itu dan menyerahkan pula wilayahwilayah lain (untuk ditempati oleh orang BugisMakassar sebagai wilayah perdagangan) seperti desadesa Satui, Asem Asem/AsamAsam, Kintap, Sawarangan/Swarangan…”)
Gusti Mayur, Hikayat Lembu Mangkurat, (Banjarmasin: CV Rapi, 1974), hlm. 4243. Informasi tentang Satui tersebut khususnya di bab. 3, tentang masa pemerintahan Marhum Panembahan.; lihat juga Kiai Amir Hasan Bondan, Suluh Sedjarah Kalimantan, (Banjarmasin: MAI Pertjetakan Fadjar, 1953), hlm. 8. 64
65
Ibid. ~ 72 ~
Gambar 7. Beberapa versi Buku Hikayat Banjar
Sumber : Koleksi Pribadi, 2013.
Selain sumber Hikayat Banjar dan Hikayat Lembu Mangkurat, tidak terdapat sumber naskah lokal lain yang menulis tentang keberadaan wilayah Satui. Sementara menurut keterangan sumber lisan dari tokoh masyarakat Satui, H. Abidin, H. H., Satui berasal dari Satua/ Satwa karena dahulunya daerahSatui merupakan padang tempat berburu binatang.
Demikian
halnya
~ 73 ~
diungkapkan
tetua
dan
pemukamasyarakat Satui, H. Ismail (H. Aloy) Satui berasal dari kata Satu, atau dalam ejaan lama Satoe berarti satu.66 Berbeda dengan sumber lokal tertulis yang terbilang langka, nama wilayah Satui malah lebih banyak tercatat dalam sumber kolonial. Sumber pertama adalah lampiran peta arsip Arsip Surat-Surat Perjanjian Antara Kesultanan Banjarmasin Dengan Pemerintahan VOC, Bataafshe Republik, Inggris dan Hindia Belanda 1635 – 1860. Dalam peta wilayah KeradjaanBandjarmasin
tahun
18261860
tersebut,
67
wilayah Gebergte Satoi, termasuk dalam wilayah kerajaan Banjarmasin sebelum diserahkan kepada Pemerintahan Hindia Belanda tahun 1860. Beberapa sumber lainnya adalah ensiklopedi tentang wilayah Hindia Belanda yang disusun oleh Pieter Johannes Veth dalam Aardrijkskundig en statistisch woordenboek van Nederlandsch Indie, menyebut wilayah distrik Satui dengan
Wawancara H. Abidin , H.H. di Kantor Kecamatan Satui, Sungai Danau, Juni 2013.; Wawancara H. Ismail (H. Aloy) di Kantor Kecamatan Satui, Sungai Danau, Februari 2013. 66
ANRI, “Alteratie en ampliate Op Het Contract Met Den Sulthan Van Bandjarmasin, Van 1 Januarij 181713 September 1823”, Arsip Surat-Surat Perjanjian Antara Kesultanan Banjarmasin Dengan Pemerintahan VOC, Bataafshe Republik, Inggris dan Hindia Belanda 1635–1860 (Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1965), hlm. lampiran. Peta tersebut berskala 1 : 250.000. 67
~ 74 ~
Satoi.68Sementara dalam tulisan J.J. De Hollander, Andleiding bij de Beoefening der Land en Volkenkunde van Nederlansch Oost Indie (1898),69wilayah Satui tertulis dengan namaG. (Gebergte) Satoei. Selanjutnya tulisan H. van Lokhorst, dalam artikelnya Schets Eener Geneeskundige Plaatsbeschrijving de Afdeeling Tanah Laut (Zuid en Oosterafdeeling van Borneo), yang diterbitkantahun 1863 wilayah Satui tertulis dengan namaSatoei. Demikian halnya dituliskan oleh Theodore Posewitz, dalam bukunya Borneo: its Geology and Mineral Resources,
70
wilayah
Satui
tertulis
dengan
namaSatoei.Kemudian dalam laporan J.J. Hollander, Borneo’s Zuider en Ooster Afdeeling, tentang nama gunung dan sungai di wilayah Afdeeling Tanah Bumbu tahun 1866, wilayah
68Pieter
Johannes Veth, Aardrijkskundig en statistisch woordenboek van Nederlandsch Indie (Amsterdam: Van Kampen, 1869), hlm. 257. 69J.
J. De Hollander, dalam Andleiding Bij De Beoefening Der Land- En Volkenkunde Van Nederlansch Oost Indie (1898), Tweede Deel, door R. van Eck, Koninkhjks Militairs Academie,1898, hlm. 118119. 70Theodore
Posewitz, Borneo:Geologi and Mineral Resources (London: Edward Stanford, 1892), hlm. 68.
~ 75 ~
Satui disebut dengan namaGebergte Satoei, merupakan wilayah dalam landschap(bentang alam) Kusan.71 Selanjutnya sumber lainnya yang menuliskan tentang wilayah Satui terdapat dalam peta Borneo, Koleksi David Rumsey Historical Map tahun 1827.,72 Satui tertulis dengan nama G. (Gebergte) Satoi. Selanjutnyadalam Kaart Van Het Eiland Borneo/Samengesteld Onder Leiding van Dr. A.W. Nieuwenhuis, yangdibuat dan dipublikasikan di Leiden oleh E. J. Brill, Tahun 1902, 73 (Peta Versi Kedua), Satui ditulis G. (Gebergte) Satoi. Kesimpulannya, mengenai sumber nama Kecamatan Satui yang dipakai sekarang, memiliki dua versi. Versi pertama dari Sumber lokal dan kolonial yang mengalami “metamorfosa” atau perubahan. Dari namaSatui kemudian menjadi Satoei, Satoi dan terakhir kembali menjadi nama Satui. Versi yang kedua berasal dari Satua/Satwa dan J.J. Hollander, Borneo’s Zuider en Ooster Afdeeling (Handleiding Bij De Beoefening Der Land en Volkenkunde Van Nederlansch Oost Indie, Koninklijke Militaire Akademie, 1864), hlm.2829. 71
72Pelukis
peta aslinya adalah Philippe Vandermaelen, tahun 1827. Peta dipublikasikan oleh Ph. Vandermaelen Bruxelles, Tipe Peta: Peta Atlas, Peta asli berukuran 47 cm x 57 cm dengan skala 1 : 1.641.836, berdasarkan pada Garis Meridian Paris. 73Peta
asli berskala 1:2.000.000., berukuran 75 cm x 65 cm. ~ 76 ~
Satuyang kemudian mengalami perubahan nama menjadi menjadi Satui.Satui resmi menjadi Kecamatan pada tahun 1950. Pada zaman kolonial Hindia Belanda, Satui berstatus Distrik Satui bagian dari Onderafdeeling Tanah Laut menurut Staatblaad tahun 1898 no. 178. Distrik Satui berbatasan di Timur dengan Lansekap Sabamban dan di sebelah Barat dengan Distrik Pleihari. Dalam tahun 1902, Satui masih merupakan bagian dari onderafdeeling Tanah Laut.Tahun 1950 Satui digabung ke Kabupaten Kotabaru.74 Pada tanggal 4 April 1950 Dewan Kalimantan Tenggara dibubarkan dan dimasukkan ke dalam wilayah Republik Indonesia (Yogyakarta) lewat Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat Nomor 137 dan nomor 138, kemudian pada tanggal 29 Juni 1950 dikeluarkan surat keputusan Menteri
Dalam
pembentukan
Negeri
wilayahwilayah
KabupatenKabupaten, propinsi Kalimantan. dulu
diubah
Republik
Indonesia Pemerintah
DaerahDaerah
Swapraja
tentang yaitu dalam
Maka daerah Kalimantan Tenggara
menjadi
Kabupaten
Kotabaru
dengan
ibukotanya adalah Kotabaru, sedang yang diangkat sebagai
74 Idwar
Saleh, Sejarah Daerah Tematis Zaman Kebangkitan Nasional (1900-1942) di Kalimantan Selatan, (Jakarta: Depdikbud, 1986), hlm. 22. ~ 77 ~
kepala Daerah adalah M. Yamani. Sesudah itu keluar Peraturan Pemerintah tanggal 30 Juni 1950 sebagai pengganti Undangundang No. 2 tahun 1950 tentang Pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara dan Dewan Pemerintahnya untuk seluruh daerah Republik Indonesia. Yang kemudian diikuti dengan surat Keputusan Gubernur Kalimantan tanggal 14 Agustus 1950 No. 186/OPB/92/14 di dalam Bab II pasal 4 menyatakan bahwa BadanBadan Pemerintah Kabupaten terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pemerintah Daerah.75 Wilayah Kabupaten Kotabaru menurut undangundang darurat Nomor 3 tahun 1953 tentang pembentukan (Resmi) Daerah Otonomi Kabupaten/Daerah Istimewa Tingkat Kabupaten dan Kota Besar dalam lingkungan Daerah propinsi Kalimantan menyatakan bahwa wilayah Kabupaten Kotabaru meliputi Kawedanankawedanan Pulau Laut, Tanah Bumbu Selatan, Tanah Bumbu Utara dan Pasir. Kemudian dengan UndangUndang Darurat No. 3 Tahun 1953 sebagai undangundang dan menyatakan bahwa wilayah Kabupaten Kotabaru dikurangi Kawedanan Pasir.76 75Ibid. 76Ibid.
~ 78 ~
Gambar 8. Borneo Kaart
Sumber: “Borneo Borneo Kaart, Koleksi David Rumsey Historical Map tahun 1827”, Pelukis peta aslinya adalah Philippe Vandermaelen, tahun 1827. Peta dipublikasikan oleh Ph. Vandermaelen Bruxelles, Tipe Peta: Peta Atlas, Peta asli berukuran 47 cm x 57 cm dengan skala 1: 1.641.836, berdasarkan pada Garis Meridian Paris. Koleksi ANRI.
~ 79 ~
Gambar 9. 9. Kaart Van Het Eiland Borneo
Sumber: “Kaart Van Het Eiland Borneo/Samengesteld Onder Leiding Van Dr. A.W. Nieuwenhuis”, dibuat dan dipublikasikan di Leiden oleh E. J. Brill, Tahun 1902, Koleksi ANRI.
Dalam peta yang sama berjudul Kaart Van Het Eiland Borneo/Samengesteld
Onder
Leiding
Van
Dr.
A.W.
Nieuwenhuis,, yang dibuat dan dipublikasikan di Leiden oleh E. J. Brill, Tahun 190277 (Peta Versi Pertama) wilayah Satui tertulis dengan nama G. (Gebergte) Satoewi.. Kemudian dalam 77Peta
asli berskala 1:2.000.000., peta asli berukuran 75 x 65 cm. ~ 80 ~
dua peta berikutnya erikutnya yakni Kaart van Nederlandsh Indie Indie, diterbitkan di Amsterdam oleh J.H. de Bussy, Tahun 1893.78 Kemudian dalam peta Overzichtkaart Van Het Eiland Borneo Topograpische Inrichting Batavia, 1909 (Bijgewert Tot 1914),79 wilayah Satui ditulis G. (Gebergte)) Satoei. Gambar 10. 10. Kaart van Nederlandsh Indie
Sumber: “Kaart van Nederlandsh Indie, diterbitkan di amsterdam oleh J.H.De Bussy”, Tahun 1893. Peta asli dilukis oleh H. Ph. Th. Witkamp dengan skala 1: 5.000.000.Koleksi 5.000.000. ANRI. 78
Peta asli dilukis oleh H. Ph. Th. Witkamp dengan skala 1: 5.000.000.
79
Skala peta 1: 2.000.000. ~ 81 ~
Gambar 11. Overzichtkaart Van Het Eiland Borneo
Sumber: “Overzichtkaart Van Het Eiland Borneo Topograpische Inrichting Batavia, 1909 (Bijgewert Tot 1914)”, Skala peta 1: 2.000.000. Koleksi ANRI.
Berdasarkan sumber lokal dan kolonial tersebut dapat diinformasikan bahwa nama Satui yang sekarang menjadi wilayah Kecamatan Satui dengan ibukota Sungai Danau, Kabupaten Tanah Bumbu berasal dari nama wilayah Gunung/pegunungan atau Gebergte Satui atau dalam ejaan lain berdasarkan sumber tertulis tertulis naskah lokal, sumber lisan
~ 82 ~
(lokal) dansumber tertulis masa kolonial yaitu Satoei, Satoi, Satoe, Satu dan Satoewi.
B. “Menelusuri Jejak Sejarah” dan Alternatif Hari Jadi Satui 1. MomentSatui
Diusulkan
Menjadi
Tanah
Erfacht
(Tanah Sewaan) Alternatif pertama yang bisa dijadikan Hari Jadi Satui adalah tanggal pengusulan wilayah Satui sebagai tanah erfacht (tanah sewaan), tahun 1891 dan tahun 1892. Adapun lengkapnya tanggal pengusulan tersebut sebagai berikut: a. Tanggal 11 Januari 1889, wilayah Satui Maluka, Pelaihari dan Tabanio diajukan sebagai tanah erfacht (tanah sewaan), oleh pemodal (investor) Hindia Belanda yang bernama B.J.F.M. van der Linden. b. Tanggal 3 Juni 1890, wilayah Satui, diajukan sebagai tanah erfacht (tanah sewaan) untuk kedua kalinya oleh pemodal (investor) Hindia Belanda bernama B.J.W.E. Broers.80
Handelingen der StatenGeneral. Bijlagen 18921893, Overzicht Betreffende de in Erfpacht Aangevraagde Gronden op Java en Madura en in de Buitenbezittingen, die Gedurende 1891 aan de Aanvragers Geweigerd Werden., dalam Koloniaal Verslag van 1892, (Nederland Oost Indie, Bijlage L.), hlm.7. 80
~ 83 ~
Data dirangkum
tentang dalam
pengajuan
sewa
Laporan
Kolonial
tanah
tersebut
tahun
1892,
khususnya dalam Bijlage L, tentang “Gambaran Penerapan Sewa Tanah di Wilayah Jawa dan Madura dan Wilayah Luar serta Lamaran Sewa Tanah yang Ditolak Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1891”. Dalam laporan tersebut juga dijelaskan bahwa wilayah Satui adalah daerah District (setingkat Kecamatan) yang
berada
di
wilayah
Regentchappen
(Setingkat
kabupaten) Martapura. Luas wilayah Satui pada tahun 1891 tersebut berdasarkan pengukuran dari Comissie van Onderzoek
(Komisi
Investigasi)
Pemerintah
Hindia
Belanda adalah 10.000 bouwe. 81 Pada Surat Keputusan Hindia Belanda Tanggal 29 Agustus 1891 dan 21 Desember 1891, pengajuan tanah erfacht atau sewaan ini Ukuran tanah berdasarkan bahu atau bau (dari bouw, kata bahasa Belanda, berarti "garapan") dalam agraria adalah satuan luas lahan yang dipakai di beberapa tempat di Indonesia, terutama di Jawa. Ukuran bahu agak bervariasi, namun kebanyakan adalah 0,70 hingga 0,74 hektare (70007400 meter persegi) dan ada pula yang menyamakannya dengan 0,8 ha. Seperempat bahu disebut satu iring dan seperdelapannya adalah satu sidu. Dalam ukuran yang disepakati secara nasional, satu bahu adalah 500 ubin (Satu ubin/ru/tumbak setara dengan 14,0625 meter persegi). Satuan bahu banyak digunakan untuk areal pertanian (sawah atau ladang) dan telah dipakai sejak zaman HindiaBelanda. Menurut Cultuurstelsel, 1 bouw adalah 7096,5 meter persegi. Lihat S. Padmo, Politik Agraria Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah di DIY: Sebuah Refleksi Historis. Artikel pada situs Jurusan Sejarah, FIB UGM, 2007; A.G. Pringgodigdo, Ensiklopedi Umum, (Yogyakarta: Kanisius, 2007). 81
~ 84 ~
akhirnya ditolak oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan alasan pengajuan tanah sewaan ini terlalu beresiko (rentan) dan belum tepat, dan karena masih terdapat wilayah wilayah luas (banyak hamparan besar tanah) yang belum jelas pemiliknya/tak bertuan. Alasan penolakan sewa tanah ini sama “kasusnya” dengan penolakan hak sewa tanah di Distrik Lampung (Lampongsche Districten) dan Palembang, pada tahun yang sama. Walaupun pengusulan ini ditolak, akan tetapi dari bukti tertulis tersebut menunjukkan bahwa wilayah Satui sejak tahun 1889, menjadi salah satu wilayah penting dengan bahan tambangnya dan mengandung banyak sumber daya alam lainnya. Seperti dituliskan H. van Lokhorst, dalam artikelnya Schets Eener Geneeskundige Plaatsbeschrijving de Afdeeling Tanah Laut (Zuid en Oosterafdeeling van Borneo), pada tahun 1863. Lokhorst menuliskan bahwa pada tahun 1863, Distrik Satui, Distrik Pleihari dan Distrik Maluka merupakan wilayah Afdeeling Tanah Laut. Distrik Satui berada di wilayah
utara
Afdeeling
Tanah
Laut
dan
banyak
mengandung berlian. Kemudian dari laporan hasil eksplorasi von Dewall dan van Gaffron, yang dirangkum ~ 85 ~
Theodore Posewitz dalam tulisannya tahun 1892,Borneo: Its Geology and Mineral Resources.Dalam tulisan tersebut “menyinggung” tentang wilayah Satui,yang merupakan perbukitan, bagian dari rantai pegunungan di bagian tengga Kalimantan dengan ketinggian 4.200 kaki dari permukaan laut.82Satui juga adalah nama sungai dan desa (dorp) di wilayah Afdeeling Kalimantan bagian tenggara, termasuk landschap Tanah Lautdi perbatasan bagian utara.83 Sebagai perbandingan, pada dua dekade terakhir abad ke19 dan awal abad ke20, tanahtanah di wilayah Karesidenan Kalimantan Bagian Selatan dan Timur, khususnya Afdeeling Tanah Bumbu dan daerah sekitarnya dibagi atas dua yakni hak atas tanah bagi modal partikelir di daerah pemerintahan tidak langsung yang dinamakan concessie dan untuk daerah pemerintahan langsung disebut erfpacht. Erpacht juga adalah istilah hak sewa secara turun temurun untuk tidak lebih dari 75 tahun, untuk perkebunan dan pertanian yang luas maupun 82
H. van Lokhorst, loc.cit.; Theodore Posewitz, loc.cit.
Lihat Pieter Johannes Veth, Aardrijkskundig en statistisch woordenboek van Nederlandsch Indie (Amsterdam: Van Kampen, 1869), hlm. 257. 83
~ 86 ~
kecil.84Karena itulah di wilayah Tanah Bumbu terdapat pemilikan tanah yang bersifat dualistis, yaitu wilayah wilayah yang status tanahnya dikuasai hukum Eropa dan hukum adat (kesultanan). Perbandingan lain sebagai bahan informasi, pada abad 18 sampai awal abad 20, pola pemilikan tanah di wilayah
Pagatan,
Batulicin,
Cantung,
Bangkalaan,
Sampanahan, Manunggal dan Cengal dikuasai oleh Adolf Mieremet, De Hedendaagsche Inheemsche Rechtspraak in Nederlandsch Indië en Haar Regeling (De Haan, 1919), hlm.16; lihat juga Dutch East Indies. Dienst van den Mijnbouw Netherlands, Departement van Kolonien, Jaarboek van het mijnwezen in Nederlandsch-Indië, Bagian 1,Volume 50 (Amsterdam: J.G. Stemler, 1922), hlm.45. Mieremet tidak menjelaskan hukum adat yang dimaksud. Menurut penulis, sistem hukum adat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu hukum adat mengenai tata negara. Kemudian hukum adat mengenai warga (hukum pertalian sanak, hukum tanah, hukum perhutangan. Kemudian hukum adat menganai delik (hukum pidana). Kemungkinan yang dimaksud hukum adat oleh Mieremet adalah hukum hukum tak tertulis yang bersifat pidana dan pemberian sanksi bagi pelaku kejahatan akan diadili atau diberikan sanksi oleh pemerintah Hindia Belanda. Sementara itu, mengenai masalah perselisihan perdata antara masyarakat pribumi yang beragama Islam di wilayah Karesidenan Borneo bagian Selatan dan Timur akan diselesaikan oleh kepala adat menurut hukum agama atau hukum adat. Bagi golongan hukum Indonesia asli dan timur asing berlaku hukum adat mereka. Lihat arsip ANRI, Reglement op de Godsdienstige Rechtspraak Voor Een Gedeelte van de Residentie Zuider- en Oosterafdeling van Borneo (Ordonantie. van 21 Dec. 1937.) S. 37638, bundel Borneo Zuid Oosterafdeling (BZO), No.265, hlm.1. Mengenai masalah investasi di Hindia Belanda, Clifford Gerrtz berpendapat bahwa setelah terbitnya Undang Undang Tanah Agraria pada tahun 1870, pemerintah Hindia Belanda telah mengikuti arus imperialism modern dengan membuka diri terhadap masuknya modal swasta. Lihat Clifford Geertz, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia (Jakarta: Bhatara Karya aksara, 1983), hlm 8788; Tim Penulis, Sejarah Banjar (Banjarmasin: Pemprov Kalsel, 2003), hlm. 241. 84
~ 87 ~
penguasa atau raja raja lokal. Dalam hal ini, menurut Lenggono, dalam hukum tanah berdasar sistem feodal, di mana segala isi negeri (terutama tanah) adalah milik mutlak penguasa. Tanah dikuasai raja dan rakyat yang mengerjakan dengan kewajiban menyerahkan hasilnya, akibatnya rakyat menjadi alat untuk kekuasaan dan kehormatan sang raja.85 Dalam sistem pemilikan tanah feodal di Kalimantan bagian tenggara, pihak raja atau Arung/Pangeran/Aji, mempunyai
hak
monopoli
atas
seluruh
wilayah
kekuasaannya. Dalam hal ini termasuk monopoli atas semua gua sarang burung (wallet), penggalian emas dan intan, serta pengambilan hasilhasil hutan. Walaupun demikian rajaraja di wilayah Tanah Bumbu saat itu tidak menganggap diri mereka memiliki kekuasaan atas tanah secara absolut, mengingat luasnya wilayah kerajaan dan minimnya jumlah penduduk. Dengan demikian tanah bukan menjadi sesuatu yang sangat berharga dan berarti sebagai unsur pembobot bagi sebuah kekuasaan.86 85P.
Setia Lenggono, Ponggawa dan Patronase Pertambakan di Delta Mahakam, Teori Pembentukan Ekonomi Lokal, (Disertasi Pada Program Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, 2011), hlm.97. 86Ibid.
~ 88 ~
Pada tahun 1800 hingga tahun 1900an, umumnya sistem kepemilikan tanah di wilayah kedaulatan Kerajaan Pagatan dan kerajaan kerajaan kecil lainnya di Tanah Bumbu, hanya dilakukan dengan satu cara. Cara tersebut adalah para pendatang (migran) tersebut meminta izin pada penguasa kerajaan (Arung/Sultan) melalui Pua adu dimana tanah tersebut berada, untuk mendapatkan hak membuka tanah, dengan jalan pewarisan dan memindah tangankan menurut hukum adat.87 Pada dasarnya setiap penduduk yang berdiam di wilayah kerajaan ini berhak untuk memiliki tanah perorangan. Tanah yang akan dimiliki tersebut syaratnya haruslah “tanah bebas”, artinya belum dimiliki oleh orang lain atau telah berpindah tangan karena dijual atau diberikan. Tanah kerajaan yang diberikan sebagai tanah hak milik perorangan, adalah tanah kosong atau telah
87Lihat
Jacob Mallinckrodt, Het Adatrecht van Borneo, volume. 2 (M. Dubbeldeman, 1928), hlm. 190191. Walaupun secara politis, pemerintah Hindia Belanda telah menandatangani kontrak dengan kesultanan Pagatan (Landschap Tanah Pagattan/Koessan) seperti Besluit 19 Junij 1838 no.8, Besluit 21 Junij 1839 no.10, Besluit 6 Maart 1841 no.8, Besluit 3 November 1841 no.14 dan Besluit 16 Mei 1842 no.10, tetapi belum mencampuri urusan tentang pemilikan dan hak atas tanah. ANRI, Ikhtisar Keadaan Politik Hindia Belanda Tahun 1839-1848 (Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1973), hlm. 180185. ~ 89 ~
ditinggalkan oleh penggarapnya sampai berpuluhpuluh tahun hingga sudah menjadi hutan rimba kembali.88 Perbandingan lainnya adalah pola kepemilikan tanah bagi Suku Bugis yang tidak berpengaruh pada tanahtanah yang dimiliki suku asli yakni suku bangsa Dayak. Alasannya, karena orang orang Bugis hanya menguasai tanahtanah di wilayah pesisir dan sekitar muara seperti Sungai Pagatan dan Batulicin, sedangkan orang Dayak umumnya tidak mau berbaur dengan pendatang dan menempati
daerahdaerah
hulu
sungai
(Sungai
Kusan).Selanjutnya, pola pemilikan tanah orang Bugis, berbeda dengan masyarakat Dayak. Pola pemilikan tanah pada suku bangsa Dayak disebuthak bubuhan. Tanah tanah di sekitar pemukiman mereka adalah tanah bubuhan atau persekutuan yang tidak hanya dikuasai tetapi juga diatur penggunaannya. Penguasaan atas tanah diperoleh setelah seseorang pertama kali membuka hutan untuk pahumaan (ladang).89
88
Lenggono, op.cit., hlm.97.
Lebih lengkapnya lihat Charles Hose & William Mc Dougall, Pagan Tribes Of Borneo, Volume I (Kessinger Publishing, 2004), hlm.520. Lihat juga Bernard Sellato, Nomads of the Borneo Rainforest: The Economics, Politics and Ideology of Settling Down (USA: University of Hawaii Press, 1994), hlm. 817. 89
~ 90 ~
Perangkat hukum yang mengatur tentang pertanahan (agraria) di wilayah Hindia Belanda pada tahun 1870 sampai 1900, sebenarnya sudah diatur dengan Agrarische Wet yang diterbitkan pada tahun 1870. Meskipun demikian peraturan ini belum diberlakukan di luar Jawa dan
Madura.
Hal
tersebut
menyebabkan
sejumlah
perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah Tanah Bumbu pada kurun waktu tersebut, harus meminta izin atau konsesi dari penguasa lokal (Arung/Aji/Pangeran), jika ingin menggarap tanah atau hutan di wilayahnya.90 Konsekuensi dari penghapusan Kerajaan Pagatan tersebut menurut Mieremet, hukum adat di wilayah Pagatan dan Kusan dinyatakan tidak berlaku lagi. Selanjutnya kebijakan penghapusan hukum adat di Pagatan ini, menjadi dasar pijakan Pemerintahan Kolonial Belanda pada awal tahun 1913an untuk memantapkan hegemoni penguasaan dan pengaturan pertanahan di wilayah jajahan. Hal tersebut dilakukan pemerintah kolonial untuk menjamin kelancaran investasi modal 90 Dualisme
tanah ini terlihat dari munculnya permintaan konsesi pertambangan dan pembukaan pertambangan batubara di Pagatan. Lihat ANRI, Arsip "Pegatan en Koesan Suppletoir Contract" dalam Overe enkomsten met Inlandsche vorsten in den Oost- Indischen Archipel (I66.7), bundel Borneo Zuid Oosterafdeling (BZO), No. 122, hlm. 3. ~ 91 ~
modal partikelir, khususnya di bidang perdagangan dan perekonomian. Tentunya hal ini berdampak pada status pemilikan tanah di wilayah Tanah Bumbu, khususnya sebelum dan pasca tahun 1912. 2. Tahun 1915, Inskripsi Makam Tertua di Satui Alternatif kedua yang bisa dijadikan Hari Jadi Kota Satui adalah “pertanggalan” makam tertua di wilayah Satui yakni tahun 1915 Masehi atau 1329 Hijriyah. Sayangnya, tidak terdapat tanggal pada nisan tersebut sehingga perlu dicarikan alternatif tanggal yang sesuai dan bisa melengkapi tahun tersebut. Adapun nama nama pada nisan dengan inskripsi Huruf Lontara Bugis Makassar yang ada di wilayah Satui adalah : 1) Nisan bertuliskan inskripsi emsn airaim (Mesana Iraima = Nisannya Raima) yang berada dalam satu makam dengan nisan yang bertuliskan inskripsiauw ln (Uwa Lana). 2) Nisan kedua yang bertuliskan inskripsi rnn (Ranana). 3) Nisan ketiga yang bertuliskan inskripsilposi (Laposi). Berdasarkan analisa nama (toponim) pemakaian gelar auw ln (Uwa Lana) hampir sama dengan
~ 92 ~
penyebutan gelar “Uwa” bagi tokohtokoh Tolotang.91 Jadi, kemungkinan besar nama Uwa Lana yang ada di wilayah Satui
adalah
orang
Bugis
yang
bermigrasi
(pelarian/eksodus) dari Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan dan daerah sekitarnya, karena di Sidrap mereka dianggap sebagai komunitas kelas paling bawah, sekelas hamba sahaya. Sementara nama kedua lposi (Laposi), jika dianalisa nama lposi, nama depan “La” pada depan namanya tersebut menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah Bangsawan (lakilaki) Bugis. Contoh namaLa yang dipakai orang Bugis yang hampir sezaman adalah Pambakala (Kepala Kampoeng) La Suke pada tahun 19201955 di
Komunitas Tolotang menggunakan bahasa Bugis seharihari dengan dialek SidenrengRappang. Tradisi mereka adalah tradisi yang berasal dari latar belakang Bugis Wajo. Dalam perkembangan berikutnya situasi berubah. Mereka dipinggirkan dan memperoleh perlakuan tak mengenakkan setelah rajaraja Islam Wajo berkuasa. Penghinaan dan penyingkiran ini mereka terima karena budaya dan keyakinan mereka dianggap menyimpang, sesat, dan seterusnya. Komunitas Tolotang dikenal memiliki tradisi dan keyakinan yang banyak berbeda dengan ajaran agama resmi, khususnya Islam yang dianut mayoritas masyarakat Bugis. Mereka disingkirkan, sehingga bermigrasi ke daerah Sidenreng Rappang (Sidrap), dan daerah sekitarnya, sisanya ada yang menetap di Wajo. Di Sidrap mereka dianggap sebagai komunitas kelas paling bawah, sekelas hamba sahaya. Karena itulah, penyebutan “Uwa” diperuntukkan bagi tokohtokoh Tolotang. Lihat http://www.desantara.or.id /032008/411/pelanggaranham hinduisasi tolotang/, diakses 20 Mei 2013. 91
~ 93 ~
wilayah Pagatan. La Suke adalah Kepala KampoengPedjala dan putra dari La Upe.92 Munculnya orang orang Bugis di wilayah Satui memang sangat dimungkinkan karena arus migrasi Bugis ke luar Sulawesi Selatan yang terjadi pada abad ke17 hingga abad ke20 menjadi salah satu fenomena diaspora yang menonjol dalam sejarah Indonesia. Orang Bugis memandang
konteks
diasporadalam
kerangka
hubungannya dengan migrasi atau msoep (massompe’). Massompe’ sejalan dengan filosofi orang Bugis yang berbunyi ekgisi moro soer lopiea kositu tomlbu eseGer (kegisi monro sore’ lopie’, kositu tomallabu se’ngereng) yang
artinya:
“di
manaperahu
terdampar,
disana
kehidupan ditegakkan”.93 Orang Bugis mulai bermigrasi secara intensif pada awal abad ke17 bukan sematamata karena faktor Tim Penulis, Upacara Adat Mappanre Tasi’ di Pagatan Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, (Banjarmasin: Disbudpar Pemprov Kalimantan Selatan, 2008), hlm.10. Setelah La Suke meninggal digantikan oleh Pambakala La Saing pada tahun 19551970. 92
93Mansyur,
Diaspora Suku Bugis di Wilayah Tanah Bumbu, Karesidenan Borneo Bagian Selatan dan Timur Tahun 1842-1942, Tesis pada Program Studi Magister Ilmu Sejarah, Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro Semarang 2012, hlm.15. Lihat juga Andi Ima Kesuma, Migrasi dan Orang Bugis: Penelusuran Kehadiran Opu Daeng Rilakka Pada Abad XVIII di Johor (Yogyakarta: Ombak, 2004), hlm 67. ~ 94 ~
ekonomi, tetapi juga karena faktor nonekonomi, antara lain tidak adanya ketenteraman jiwa, karena peperangan, kehilangan kemerdekaan, dan juga karena filosofi yang dipegang, khususnya orang Bugis dari Wajo yang tertuang dalam
ungkapan
mredk to wjoea aedmi npopuw
(Maradeka to-Wajo’e ade’mi napopuwang:Rakyat Wajo itu merdeka hanya hukumlah yang menjadi tuan). Dengan bahasa lain, jika dalam penyelenggaraan pemerintahan hukum tidak bisa ditegakkan, maka orang Bugis dan Makassar akan bermigrasi atau berpindah ke daerah lain. Memang sejak abad ke18 hingga abad ke20 salah satu lokasi yang menjadi tujuan migrasi Suku Bugis adalah wilayah Tanah Bumbu di Kalimantan bagian tenggara
dan
sekitarnya
karena
lokasinya
sangat
strategis, terutama memiliki banyak lahan yang bisa digarap menjadi area pertanian dan perkebunan kelapa, serta memiliki potensi perikanan yang melimpah. Secara bertahap,
akhirnya
para
migran
Bugis
berhasil
membangun daerah pesisir tenggara Kalimantan yang berpusat di wilayah Pagatan. Pengaruh Bugis juga
~ 95 ~
terdapat di beberapa distrik yakni Batulicin, Cantung, Bangkalaan, Sampanahan, Manunggal dan Cengal.94 Menurut Linneton, munculnya pengaruh Bugis ke wilayah pesisir di beberapa wilayah di Nusantara karena adanya daya tarik tersendiri. Hal utama yang paling signifikan yang mempengaruhi migrasi Bugis ke daerah daerah lain dalam empat dekade pertama abad kedua puluh adalah boom tanaman pertanian dan perkebunan primer khususnya padi dan karet dan kopra. Sebagian besar imigran Bugis ke Kalimantan dan Malaya terlibat dalam penanaman karet dan kelapa untuk kopra serta tidak lagi menanam tanamantanaman untuk produksi pertanian subsistensi seperti di wilayah Sulawesi Selatan. Hingga tahun 1930, lebih dari sepuluh persen dari etnis Bugis berdomisili di luar Sulawesi Selatan.95 Dalam sumber kolonial, hasil sensus penduduk yang dirangkum dalamNederlandsch-Indie Uitkomsten der in de
J.J.Hollander, Borneo’s Zuider en Ooster Afdeling, (Handleiding Bij De Beoefening Der Land en Volkenkunde Van Nederlansch Oost Indie, Koninklijke Militaire Akademie,1864), hlm.143. 94
95Lihat
juga Jacqueline Linneton, “Passompe’ Ugi’: Bugis Migrants and Wanderers”, dalam Archipel, volume.10, 1973, hlm..181. ~ 96 ~
Maand November 1920,96menggambarkan bahwa migrasi keluar dan persebaran etnik Bugis ke Kalimantan adalah 50.189 jiwa atau sekitar 41,26 persen dari total migrasi suku Bugis ke seluruh daerah kepulauan di Nusantara seperti pulau Jawa, Sumatera, Bali dan Nusa Tenggara serta wilayah Maluku dan Irian Jaya. Jumlah migrasi suku bangsa Bugis ini lebih besar dibandingkan dengan jumlah migrasi suku Makassar yang hanya mencapai 595 jiwa atau 6,13 persen. Bila dibandingkan dengan migrasi ke daerah lainnya, jumlah migrasi suku bangsa Bugis ke Kalimantan ini menempati urutan kedua, di bawah jumlah migrasi Suku bangsa Bugis ke wilayah Sulawesi Utara dan Tengah yang mencapai 53.710 jiwa atau 44,15 persen dari jumlah total migrasi suku bangsa Bugis ke seluruh wilayah Nusantara. Data tersebut juga memperlihatkan bahwa hanya suku Bugis dan Makassar yang melakukan migrasi ke wilayah Kalimantan, sedangkan suku bangsa Mandar dan Toraja,
tidak terdata melakukan migrasi ke
Kalimantan.
NederlandschIndie Uitkomsten der in de Maand November 1920, Gehouden, Volkstelling, Deel I (Drukkerijen Ruygrok & Co., 1922). hlm. 130259. 96
~ 97 ~
Diperkirakan di wilayah Satui berasal dari “embrio” Kampung Bugis yang pada umumnya sama dengan KampungKampung Bugis di Sulawesi Selatan umumnya. Biasanya dipimpin oleh Matoa yang berarti orang yang dituakan (dalam bahasa Bugis). Asal mula munculnya kampung nelayan ini karena masyarakat Bugis dalam kegiatan perekonomiannya adalah nelayan dan melaut serta
bertani.
Masyarakat
Bugis
mahir
membuat
konstruksi perahu layar dengan model dan tipe yang menarik. Para migran Bugis membentuk permukiman kampung nelayan untuk memudahkan aksesibilitas terhadap kegiatan seharihari.97 3. Terbitnya Staatsblad van Nederlandisch Indie Voor Het Jaar 1849 Menurut Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849,98 wilayah Satui termasuk wilayah distrik dalam Andi Nuralang, “Pesta Adat Mappanretasi: Obyek Wisata Laut di Kotabaru, Kalimantan Selatan”, (tulisan tidak diterbitkan koleksi Balai Arkeologi Banjarmasin, 2007). 97
Lembaran Negara dikenal dengan istilah Staatsblad, dimana dirumuskan ketentuan UndangUndang hukum perdata yang dapat dibaca oleh umum. Sementara afdeeling adalah sebuah wilayah administratif pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Administratornya dipegang oleh seorang asisten residen. Afdeeling merupakan bagian dari Karesidenan. Suatu afdeeling dapat terdiri dari beberapa onderafdeeling (setingkat kabupaten pada masa 98
~ 98 ~
onderafdeeling
Tanah
Afdeeling(Afdeeling berdasarkan
Laut,
Borneo
Borneo Selatan
Zuid dan
Ooster Timur)
Besluit van den Minister van Staat,
Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie Nomor 40, yang ditetapkan pada tanggal 27 Agustus 1849. Tanggal ini bisa dijadikan alternatif Hari Jadi Kota Satui, karena pada tanggal ini adalah penetapan pertama dan tertua wilayah Satui secara administratif menjadi wilayah distrik. Wilayah Borneo Zuid Ooster Afdeeling (Afdeeling Borneo Selatan dan Timur) beribukota di Banjarmasin.99 4. Terbitnya Staatsblad van Nederlandisch Indie Voor Het Jaar 1898 Sejak tahun 1898, terjadi perubahan pembagian wilayah lokal administratif, seperti yang terdapat dalam sekarang). Onderafdeeling adalah suatu wilayah administratif yang diperintah oleh seorang controleur/kontrolir (wedana bangsa Belanda). Sebuah onderafdeeling terdiri atas beberapa landschap (setingkat kecamatan). Dalam perkembangannya tahun 1863 daerah Tanah Laut menjadi Afdeeling TanahLaut. Pembagian wilayah Borneo ini berdasarkan “Besluit van den Minister van Staat, GouverneurGeneraal van NederlandschIndie”, pada tanggal 27 Agustus 1849 No. 8, lihat Staatsblad van Nederlandisch Indie Voor Het Jaar 1849 (Batavia: Ter Lands Drukkerij, 1849), hlm.12. Sebagai arsip pembanding adalah “De Minister van Staat, Gouverneur Generaal van Nederlandsc Indie”, dalam L.J.A. Tollens, Verzameling van Wetten, Besluiten, Bepalingen, Kennisgaven, enz, Over de Jaren 1808-1856, Tweede Deel (Batavia: Lange & Co, 1856), hlm.160. Lihat juga “Het Eiland Borneo en Zijne Bewoners”, dalam J.B.J. van Dooren, Bijragen tot de Kennis van Verschillende Overzeesche Landen, Volken, enz, Eesrste Deel (Amsterdam: J.D. Sybrandi, 1860), hlm. 241. 99
~ 99 ~
Staatblad no. 178 tahun 1898 pada wilayah Residentie Borneo’sZuid en Oosterafdeeling (Karesidenan Borneo bagian Selatan dan Timur)100Menurut Staatblaad tahun 1898 no. 178 Tanah Laut menjadi salah satu onderafdeeling di dalam Afdeeling Martapoera yaitu Onderafdeeling Tanah Laoet terdiri dari Distrik Pleihari, Distrik Maluka, Distrik Satui. Berdasarkan staatblad atau lembaran negara tersebut, Satui berstatus Distrik Satui bagian dari Onderafdeeling Tanah Laut. Menurut Staatblaad tahun 1898 no. 178. tersebut, Distrik Satui berbatasan di Timur dengan Landskap Sabamban dan di sebelah Barat dengan Distrik Pleihari. Khusus Afdeeling Martapura dipimpin oleh Asisten Residen E.A. Klerks. Untuk Onderafdeeling Tanah Laut, Controleur-nyaadalah J.W.J.Wellan. Jabatan Letnan Cina yang juga bertempat di Pelaihari dipegang oleh Gho Hiap Seng sejak tahun 1871. Distrik Pelaihari dipinpin oleh Kiai Mohamad Jusuf dan Distrik Maluka oleh Kiai
100 M.
Suriansyah Ideham, et.al. (ed), Sejarah Banjar (Banjarmasin: Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, 2003), hlm. 233. Lihat juga R.A.Leirissa et.al. (ed), Sejarah Sosial Daerah Kalimantan Selatan (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jarahnitra, 1983/1984), hlm. 96. ~ 100 ~
Ahmad.101 Secara umum, menurut Staatsblad (Lembaran Negara) Tahun 1898 Nomor 178, pembagian wilayah administratif di Karesidenan Borneo bagian Selatan dan Timur sebagai berikut: 1) Afdeeling
Banjarmasin
en Ommelanden
(daerah
sekitarnya) 2) Afdeeling Martapura 3) Afdeeling Kandangan 4) Afdeeling Amuntai 5) Afdeeling Doesoenlanden (Tanahtanah Dusun) 6) Afdeeling Dayaklanden (Tanahtanah dayak) 7) Afdeeling Sampit 8) Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, Pulau Kalimantan dikenal dengan sebutan Borneo. Di akhir abad ke19 dan permulaan abad ke20 Kalimantan Selatan, yang juga meliputi daerah Kalimantan Tengah, saat itu dimasukkan bersamasama dengan Kalimantan Timur dalam satu daerah administratif, dan dikenal dengan sebutan Residentie Zuider en Ooster Afdeeling Van M. Idwar Saleh, Sejarah Daerah Tematis Zaman Kebangkitan Nasional (1900-1942) di Kalimantan Selatan, (Banjarmasin: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat, 1977/1978), hlm. 15. 101
~ 101 ~
Borneo dengan Banjarmasin sebagai pusat pemerintahan daerah. Dengan demikian Zuider en Ooster Afdeeling van Borneo adalah nama untuk menyebutkan daerah selatan dan timur Kalimantan, yaitu Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah, yang dipimpin oleh seorang Residen sampai tahun 1938. Secara
hierarkis
pemerintahan
Keresidenan
Borneo bagian Selatan dan Timur langsung berada di bawah pemerintahan pusat yang berkedudukan di bawah Batavia/Bogor. Hubungan Banjarmasin dengan Batavia adalah sebagai pemerintahan daerah dengan pemerintahan pusat yang meliputi segi politik, militer, ekonomi,
keuangan,
pendidikan,
kepolisian
dan
sebagainya. Pemerintah pusat di Batavia menjalankan politik sentralisasi dalam bidang pemerintahan atas daerahdaerah luar Jawa yang dikuasainya. 5. Tanggal Kelahiran “Putra Daerah Satui” &Pahlawan Nasional Idham Chalid Tokoh Idham Chalid adalah seorang “putra daerah” yang lahir di Satui, 27 Agustus 1921. Idham adalah Pahlawan
Nasional
Indonesia
~ 102 ~
dari
Kalimantan
Selatan,salah salah satu politikus dan menteri Indonesia yang berpengaruh pada masa tahun 19501970 1970 an an. Gambar 12. “Putra Daerah” Satui, Idham Chalid
Sumber : Koleksi www.madarulmaarif.sch.id
Selain sebagai politikus Idham Chalid aktif dalam kegiatan keagamaan dan beliau pernah menjabat Ketua Tanfidziyah Nahdlatul Ulama tahun 1956 19561984.Sejak berkiprah dari remaja, karier Idham di PBNU menanjak. Ketika tika NU masih bergabung dengan Masyumi (1950), ia ~ 103 ~
menjadi ketua umum Partai Bulan Bintang Kalimantan Selatan. Sementara itu, ia juga menjadi anggota DPR RIS (19491950). Dua tahun kemudian, Idham terpilih menjadi ketua Lembaga Pendidikan Ma'arif NU (1952 1956). Kemudian, dipilih menjadi orang nomor satu NU pada 1956. Idham merupakan orang terlama menjabat ketua umum PBNU.102 Di bidang eksekutif,Idham Chalid beberapa kali jadi menteri, baik saat masa Orde Lama maupun Orde Baru. Ketika Bung Karno jatuh pada 1966, Idham Chalid menjadi anggota presidium Kabinet Ampera I dan Kabinet Ampera II dan setelah itu ia diangkat menjadi ketua
MPR/DPR
pada
periode
19711977.
Jauh
sebelumnya, pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo II, Idham Chalid juga menjabat sebagai wakil PM. Dalam pemerintahan, beliau pernah juga mengemban tugas Ketua DPA.Idham Chalid diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia, bersama dengan enam tokoh lain, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 113/TK/Tahun
Lihat Ahmad Muhajir, Idham Chalid, Guru Politik Orang NU, (Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara, 2007), hlm. 2737.; bandingkan dengan Arief Mudatsir Mandan (ed), Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid, Tanggung Jawab Politik NU Dalam Sejarah, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2008), hlm. vvi. 102
~ 104 ~
2011 tanggal 7 November 2011. Idham Chalid meninggal di Jakarta, 11 Juli 2010 pada usia 88 tahun.103 Alternatif
dasar
penentuan
Hari
Jadi
Satui
berdasarkan Hari kelahiran tokoh Idham Chalid, 27 Agustus 1921, bisa dijadikan berdasarkan pendapat sejarawan nasional Taufik Abdullah. Menurut Taufik Abdullah, dalam penentuan Hari Jadi Daerah, terdapat alternatif yakni makna simboliknyalah yang lebih lebih dipentingkan, tetapi “sialnya” peristiwa yang sesuai bisa saja tidak ada, maka Hari Jadi pun didapatkan berdasarkan penggabungan tahun terjadinya peristiwa tertentu (seperti didirikannya benteng). 104 Penentuan tanggal dan bulan Hari Jadi Daerah bisa juga berdasarkan hari lahir pemimpin yang dikagumi. Jadi tanggal hanyalah alat untuk merayakan suatu simbol yang bermakna. Kasus ini boleh disebut sebagai invented atau prefabricated history. Kepastian sejarah hanyalah
103
Ibid.
104Taufik
Abdullah, “Wisata Budaya: Sekitar Penentuan Hari Jadi Unit Adminitratif:, makalah disampaikan dalam Seminar Sejarah Kaji Ulang Hari Jadi Majalengka di Majalengka tanggal 30 Agustus 2005, yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung, hlm.12. ~ 105 ~
sekadar penentuan waktu saja sebab yang penting adalah nilai yang ingin dilekatkan pada Hari Jadi itu. 105 6. Penetapan Satui Menjadi Distrik Tanggal 1 Mei 1877. Alternatif lain yang bisa dijadikan menjadi Hari Jadi Kota Satui adalah tanggal penetapan Satui menjadi Distrik, di bawah Afdeeling Martapoera tanggal 1 Mei 1877. Penetapan tanggal ini berdasarkan Peraturan Tentang Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda, pada masa jabatan Komisaris Pemerintah Komisaris T. N. Nieuwenhutjzen pada 11 Juni 1860 yang diterbitkan dengan Proklamasi (pernyataan). Berdasarkan Surat Keputusan Pasal 20, 29, 31 dan 83 tentang Peraturan Tentang Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda, diwakili Komisaris Pemerintah Komisaris T.
N.
Nieuwenhutjzen,
dimana
wilayah
otonom
Bandjarmasin (Kerajaan Banjar) dinyatakan berakhir (dihapuskan) dan wilayah wilayah yang ada dinyatakan berada di bawah pemerintahan langsung Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Dalam Proklamasi tersebut telah
105
Ibid. ~ 106 ~
disetujui beberapa ketentuan yang diterapkan dalam beberapa pasal.106 Adapun pasal tersebut adalah: Pada pasal 1, dijelaskan bahwa Karesidenan Borneo bagian
Selatan
dan
Timur
(Borneo
Zuider
en
Oosterafdeeling) dibagi atas enam wilayah Afdeeling: a) Bandjermasin en Ommelanden, b) Amoentai, c) Martapoera, d) Doeson dan Dajaklauden, e) Sampit dan, f) Koetei dan Pantai Timur Kalimantan. 107
106Penetapan
tersebut diberitakan oleh Koran/Surat kabar De Locomotief, Nieuws, Handels, en Advertentieblad, Verschijnt Dagelijks, Behalve Zon En Feestdagen, Mail Nummer Zaterdag 10 Mei, XXVIe Jaargang, Ao 1877 No. 35., hlm. 2. Koran De Locomotief adalah koran pertama yang terbit di Semarang pada zaman Hindia Belanda, berdiri pada tahun 1845. De Locomotief pernah dipimpin oleh Pieter Brooshooft, seorang aktivis politik etis. Awalnya harian ini bernama Semarangsch Nieuws en Advertentieblad. Pada tahun 1863, Koran ini berganti nama menjadi De Locomotief, bersamaan dengan berjalannya kereta api pertama di Semarang. Koran ini sempat ditutup, dan kemudian pada tahun 1947 harian De Locomotief berdiri kembali. Pada tahun 1956, harian tersebut ditutup dan gedung diambil alih oleh Bank Bumi Daya setelah direnovasi. 107
Ibid. ~ 107 ~
Gambar 13. Koran De Locomotief, 1877 Yang Memuat Penetapan Satui Menjadi Distrik, 1 Mei 1877
Sumber: Koran/Surat kabar De Locomotief,, Nieuws, Handels, en Advertentieblad, Verschijnt Dagelijks, Behalve Zon En Feestdagen, Mail Nummer Zaterdag 10 Mei, XXVIe Jaargang, Ao 1877 No. 35
~ 108 ~
Selanjutnya
pada
pasal
2,
dijelaskan
bahwa
pemimpin dari empat wilayah pertama yang disebutkan pada pasal 1 (Bandjermasin en Ommelanden, Amoentai, Martapoera, dan Doeson dan Dajaklauden) dan Afdeeling terakhir (Koetei dan Pantai Timur Kalimantan), adalah pejabat dengan pangkat Asisten Residen,sedangkan di Afdeeling Sampit diangkat seorang Inspektur dengan pangkat/status sebagai Pegawai Negeri yang diangkat oleh pemerintah, semua wilayah ini bawahan Residen Borneo Bagian Selatan dan Timur.108 Berikutnya pada pasal. 3, dijelaskan Afdeeling Banjarmasin terdiri atas daerah daerah yang sudah terdaftar, serta daerah sekitarnya. Pembagian wilayah Afdeeling Martapoera, terdiri atas Distrik Martapoera, Marga Sari, Benoea Ampat, Riam Kiwa, Riam Kanan, Tabanio, Pleihari, Maloeka dan Satoei.109 Kemudian pembagian wilayah Afdeeling Amoentai terdiri atas Distrik Amoentai, Batang Alai, Laboean Amas, Balangan, Amandit, Negara, Tabalong dan Kloewa. Afdeeling Doeson en Dajaklanden dari Distrik Bakoempai, 108
Ibid.
109
Ibid. ~ 109 ~
Boven Doeson, Beneden Doeson (termasuk Onderdistrict Siang Murung), Oost Doeson (termasuk wilayah District Siong, Patai, Pakoe, Dagoe, dan Karau), Mengkatib, Dayak Besar (yang menghubungkan Afdeeling Kahayan Bawah, Tengah dan Atas, dan Dayak Kecil (menghubungkan Onderdistrik Kapuas Bawah, Tengah dan Atas). Selanjutnya, dalam pembagian wilayah tersebut juga dijelaskan bahwa Afdeeling Sampit (menghubungkan Onderdistrik Tjampaga, Mantaja dan Kwajan), Mendawe (yang menghubungankan Onderdistrik Katingan dan Samba)
dan
Pemboeang
(Termasuk
Onderdistrik
Semboeloe dan Soerajau), diurus oleh penguasa setempat dariKota Waringin termasuk landschap Koemai dan landschap Djelei. 110 Wilayah Koetei dan Pantai Timur Kalimantan diurus oleh penguasa setempat dari Boeloengen, (termasuk wilayah Tidongsche dan pulaupulau Tarrakan, dan Noenoekan, Sabittik dengan pulaupulau kecil lainnya), Goenoeng Tabur (yang menghubungkan antara pulau RaboeRaboe, Pulu Pandjang, Manimbora, Darawan, Semamakh, SinggaLaki, Maratoea, Bakoengan, Poelaoe 110
Ibid. ~ 110 ~
Kokokh, Tengeman, Beelakh, Noesa Kokokh, Belingisan, Tengalas, Poeloa Samoet, Oemagi, Pendan, Pendananan Balambangan), Sambalioeng (termasuk wilayah Samsit, Kakaban, Bilang Bilangan, Kamoengan Basar, Kamoengan Ketjil, Balikh Koekoep, Manimbora dan Mataka), Koetei (yang menghubungkan pulau Miang, BirahBirahan dan Sitabakh), Pasir, Pegatan dan Koesan, serta landskap yang dipimpin oleh pemimpin asli (dari daerah sendiri), seperti Tjingal, Manoengoel, Bangkallan, Sampanahan, Tjantoeng, Batoe Litjin, Sebambang, Poelaoe Laoaet, termasuk pulau Saboekoe, semua daerah ini dalam satu landschap yang disebut Tanah Boemboe. 111 Pada pasal 4, dijelaskan Afdeeling Martapoera, Amoentai dan Doesoen dan Dajaklanden dijadikan wilayah
Onderafdeeling,
yang
dikepalai
inspektur
binnenlandschur (inspektur yang diangkat oleh Negara), bawahan Asisten Residen seperti Afdeeling Martapura dan tigaOnderafdeeling lainnya yakni Benoea Ampat dan Margasari, Riam Kiwa dan Riam Kanan dan Tanah Laoet; Afdeeling Amoentai yang dibagi tiga Onderafdeeling yaitu Batang Alai, Laboean Amas dan Balangar; Amandit dan 111
Ibid. ~ 111 ~
Negara, dan Tabalong dan Kloewa; Afdeeling Doeson dan Dayaklanden, dibagi menjadi 3 Onderafdeeling Doeson dan Dayaklanden. Terakhir pada pasal 5, peraturan ini berlaku pada 1 Mei 1877. 112 7. Pemberian
Gelar
“Kiai”
Kepada
Mohamad
Jasin,Pemimpin Satui, 21 April 1877 Alternatif lain yang bisa dijadikan menjadi Hari Jadi Kota Satui adalah tanggal Penetapan dan Penunjukan Mohamad
Jasin
sebagai
Kiai
(setingkat
kepala
desa/distrik) yang membawahi wilayah Satui, 21 April 1877. Pemberian gelar tersebut diposkan dengan layanan telegraph. Ditetapkan 21 April 1877, dan dinyatakan berlaku efektif sejak tanggal tersebut, dirilis G.E.van derGeugtendari DinasNegara Komisi Kelas Ketiga, untuk itu ditunjuk petugas untuk Komisi Kelas Ketiga, yakniM.A.Mayes, dibantu Pengawas/Kurator William III, dan Sekretaris Pemerintah, J. H. Pannekock. 113
112
Ibid.
113Penetapan
tersebut diberitakan oleh Koran/Surat kabar De Locomotief, Nieuws, Handels, en Advertentieblad, Verschijnt Dagelijks, Behalve Zon En Feestdagen, Mail Nummer Zaterdag 10 Mei, XXVIe Jaargang, Ao 1877 No. 116., artikelhlm. 2. ~ 112 ~
Gambar 14. Koran De Locomotief, Locomotief 1877 Yang Memuat Pemberian Gelar “Kiai” Kepada Mohamad Jasin, Pemimpin Satui, 21 April 1877
Sumber: Koran/Surat kabar De Locomotief, Nieuws, Handels, en Advertentieblad, Verschijnt Dagelijks, Behalve Zon En Feestdagen, Mail Nummer Zaterdag 10 Mei, XXVIe Jaargang, Ao 1877 No. 116., artikel hlm. 2. ~ 113 ~
Untuk pemerintah (pegawai) pribumi, diberikan titel/gelar Radhen untuk Mas Toemenggoeng Soeria Kasoema dan Ronggo untuk pegawai pribumi di wilayah Afdeeling Bandjermassin en Ommelanden (Karesidenan Borneo Bagian Selatan dan Timur), diberikan hadiah gelar atas jasanya kepada negara, dengan lisensi untuk diri mereka sendiri. Selanjutnyanama beliau ditulis dengan nama
RadhenToemenggoengSoeriaKasoema.
pemberian
gelar
Radhen
untuk
Selain Mas
ToemenggoengSoriaKasoema, juga diberikan ke semua gelar Ronggo untuk Kiai (setingkat kepala desa/distrik) yang membawahi wilayah di Afdeeling Banjarmasin dan sekitarnya (Bandjermasin en Ommelanden), wilayah lainnya yakni Afdeeling Martapura, Afdeeling Amuntai dan Afdeeling Doeson en Dajaklanden. 114 Adapun daftar pemimpin wilayah yang menerima gelar tersebut sebagai berikut:
114
Ibid. ~ 114 ~
No Afdeeling/ Distrik 1 Afdeeling Martapoera Distrik Martapoera Distrik Benoea Ampat Distrik Margasari Distrik Riam Kiwa Distrik Riam Kanan Distrik Pleihari Distrik Satoei Distrik Maloeka
Tabanio
Pemimpin Wilayah Kiai Soeta Merta Kiai Mohamad Tajib Pangeran Koesoemo Giri Klabauw Abdul Djalil Mohamad Saleh Kiai Mohamad Jasin Aman Bin Hadji Brahim (Sebelumnya Kepala Distrik Tabanio Doewahit Bin Pembekel Doelasan (Sebelumnya Demang Koeli Untuk Banjarmasin)
2. Afdeeling Amoentai Distrik Amoentai Batang Alai Laboean dari Amas Amandit Negara Kloewa Balangan Tabalang 3. Afdeeling Doeson en ~ 115 ~
Radhen Ngabehi Warga Kasoema Kiai Demang Joeda Negara Toemenggoeng Joeda Karta Negara Kiai Draboe Kiai Haji Sahaboedin Toemenggoeng Tjakra Negara Kiai Demang Soeta Negara Kiai Tjakra Widana
Dajaklanden Bakompai Oost Doeson, Beneden Doesoen, Mengkatib Dayak Kecil Dayak Besar
Kiai Haji Abdul Madjid Radhen Soeta Negara Demang Tabat Demang Patih Anoem Radhen Johannes Karsa Negara Demang Anoem Djaja Karsa
Sumber: Koran/Surat kabarDe Locomotief, Nieuws, Handels, en Advertentieblad, Verschijnt Dagelijks, Behalve Zon En Feestdagen, Mail NummerZaterdag 10 Mei, XXVIe Jaargang, Ao 1877 No. 116, hlm. 2.
8. Tahun Penulisan Hikayat Banjar, Tarikh 1663 M Alternatif terakhir sebagai dasar penentuan “Hari Jadi” Satui adalah tahun 1663 M.Dalam teks ini, sedikitnya terdapat tiga kutipan yang “menuliskan” tentang keberadaan daerah Satui. Bagian akhir teks sumber lokal Hikayat Banjar yang bertarikh 1663 Masehi. Teks ini sepanjang 4,787 baris dan120 halaman.Hikayat Banjar adalah sebuah manuskrip tua yang telah dikenal di Daerah Kalimantan Selatan sejak zaman Kerajaan Banjar. Manuskrip tersebut terbagi dalam beberapa bagian dan “mendapatkan nama” yang berbeda, seperti Hikayat Lambung Mangkurat, Tutur Candi, Hikayat Raja-Raja
~ 116 ~
Banjar dan Kota Waringin, Ceritera Lambung Mangkurat dan
Turunan
Raja-Raja
Banjar
dan
Kota
Waringin. 115 Tulisan mengenai daerah Satui, terdapat dalam Resensi II, seperti kutipan berikut:116 baris 3362 : …….dan Pambuang dan Sampit, Mandawai dan Sabangau dan Biaju Basar dan orang Biaju Kacil dan orang nagri Karasikan dan Kutai dan Barau dan Pasir dan Pamukan dan orang Laut-Pulau dan Satui dan Hasam-Hasam dan Kintap dan Sawarangan dan orang Tambangan Laut dan orang Takisung dan Tabuniau, sakaliannya itu sudah sama datang sarta sinjatanya sarta parsambahnya. .... baris 3013 : ....... Sagala orang itu kira-kira anam ribu orang nagri, dan orang yang bardagang itu sama bartulung ada orang saribu. Maka Patih Masih manyuruh orang mambari tahu ka Kintap, ka Satui, ka Sawarangan, ka Hasam-Hasam, ka Laut-Pulau, ka Pamukan, ka Pasir, ka Kutai, ka Barau, ka Karasikan; dan mambari tahu ka Biaju, ka Sabangau, ka Mandawai, ka Sampit, ka .....117 115J.J.
Ras, Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography, (The Hague: Nijhoff (Koninklijk Insitituut voor Taal, Land en Volkenkunde, 1968), Bibliotheca Indonesica no.1. 116Terjemahan
kutipan tersebut dalam Bahasa Indonesia terdapat pada halaman 45, 46 dan 47 pada Laporan Penelitian ini; 117Dalam
pembahasan sebelumnya dalam Laporan Penelitian ini, pada halaman 4647, isi kutipan di atas dimasukkan ke dalam kutipan Hikayat Lambung ~ 117 ~
baris 4150 : .... anak-cucuku handak aniaya lawan nagri Banjar mudah-mudahan dibinasakan Allah itu." Maka dipinjamkan oleh Marhum Panambahan. Itulah mulanya Pasir -- sarta dibari desa namanya Satui dan HasamHasam dan Kintap dan Sawarangan itu, Banacala, Balang Pasir dan Kutai dan Barau sarta Karasikan itu -maka tiada mahanjurkan hupati ka Martapura itu ..... Sebagai
informasi,
dalam
Hikayat Banjar
ini
disebutkan Keraton I sebagai Negara Dipa, Keraton II sebagai
Negara
Daha,
dan
Keraton
III
sebagai
Bandarmasih, serta Keraton IV sebagai Kayu Tangi. Hikayat Banjar dibagi dua bagian, bagian pertama disebut Resensi I yang kebanyakan berisi perisitiwaperistiwa yang
menjurus
pada
puncak
peristiwa,
yaitu
pemberontakan Keraton III dan bermulanya era Islam. Sedangkan bagian kedua yang disebut dengan Resensi II lebih banyak menceritakan mengenai Keraton I dan II, menceritakan
tentang
masa
lampau
yang
legendaris.118Edisi teks bersama penjelasan lanjut dari Mangkurat (tulisan versi Gusti Mayor). Perbedaan ini terjadi karena terdapat perbedaan versi tulisan. Beberapa Sejarawan Banjar, misalnya M. Idwar Saleh menggolongkan Hikayat Lambung Mangkurat sebagai bagian dari Hikayat Banjar. 118Hikayat
Banjar versi I maupun versi II, antara lain dapat dilihat dalam buku Hikayat Lembu Mangkurat susunan Gusti Mayur (1979) berdasarkan Disertasi A.A. Cense, serta buku Tutur Canditerjemahan M. Idwar Saleh (1986). ~ 118 ~
segi konteks sejarah budaya dan kesusteraan diterbitkan ahli filologi Belanda J. J. Ras tahun 1968.119 Pemilihan Hikayat Banjarsebagai dasar penentuan tahun Hari Jadi Satui dengan alasan Hikayat Banjar adalah sumber lokal. Sumber lokal sangat penting dalam “menentukan” identitas daerah dan penulisan sejarah lokal dan bersifat “lokalsentris”. Sejarah lokal adalah sejarah dengan lingkup atau batasan tertentu menurut geografi. Bisa sejarah provinsi, kabupaten atau sejarah desa yang memiliki keunikan dan memberi kearifan kepada masyarakat.120 Namun, jika Sejarah lokal diartikan sematamata sebagai sejarah daerah tertentu, maka sejarah semacam itu sudah lama berkembang di Indonesia. Bahkan sejarah yang kita miliki sekarang bermula dari tradisi sejarah Sebagai perbandingan lihat juga J. Hageman, Aantaekeningen it Rijk Bandjermasin, yang dimuat dalam TGB 9, 1861. 119 Ibid; lihat juga Tedi Permadi, Cara Kerja Suntingan Teks yang Disajikan J.J. Rass dalam Mengedisi Naskah Hikayat Banjar, tulisan lepas, koleksi Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, Universitas Pendidikan Indonesia, tanpa tahun, hlm. 2030. 120 Singgih
Tri Sulistiyono, Penulisan Sejarah Lokal Di Era Otonomi Daerah: Metode, Masalah, dan Strategi, Makalah pada “Seminar Nasional Peningkatan Kompetensi Penelitian untuk Pengajaran Sejarah di Era Sertifikasi dan Otonomi Daerah” , Semarang, Jawa Tengah, 20 Maret 2009, hlm. 25. ~ 119 ~
Lokal seperti itu. Hal ini bisa dihubungkan dengan berbagai sejarah daerah dengan namanama tradisional seperti babad, tambo, riwayat, hikayat, dan sebagainya yang dengan caracara yang khas (magis mistis) menguraikan asal usul suatu daerah tertentu. Informasi tambahan, mengenai penulis Hikayat Banjar itu sendiri tidak diketahui secara pasti siapa penulisnya. Namun diyakini Hikayat Banjar ditulis oleh banyak orang. Hikayat Banjar juga digunakan oleh pihak kerajaan untuk meleginitasi kekuasan. Karena itulah terdapat bermacammacam cerita yang agak berlainan versinya. Naskah asli Hikayat Banjar ditulis dengan tulisan tangan dalam Bahasa Melayu serta menggunakan huruf Arab gundul. 121 Dalam abad ke19 perhatian para sarjana Eropa terhadap Hikayat Banjar ini cukup tinggi. Pada tahun 1825 Thomas S. Raffles, telah meminta pada Sultan Pontianak sebuah
copy
darihikayat
tersebut.
Sultan
Pontianak
mendapatkan copy tersebut dari Kotawaringin, yang 121Teks
Hikayat Banjar telah ditulis dan disalin beberapa kali. Daripada beberapa bagian yang dikekalkan; versi "Resensi II" diambil dari versi lebih lama yang berasal dari tradisi lisan (yang merupakan naskah bercorak dunia pewayangan yang sering dinamakan Tutur Candi), sementara versi lain di Leiden University Library MS. Or. 1701, mewakili versi lebih tua. ~ 120 ~
mungkin berasal dari milik kerajaaan sendiri. Dari tahun 1845 copy dari Hikayat Banjar tersebut telah menjadi milik British Museum, Inggris. Pada Tahun 1857, J. Hageman menulis sebuah artikel berjudul; Bijdrage tot de Geschiesdenis van Borneo.” Dalam tulisannya, memaparkan beberapa isi dan kutipan tentang Hikayat Banjar. Kemudian artikel kedua, tulisan A. van der ven tahun 1860, berjudul Aantaekeningen Pmtrent it Rijk Bandjermasin, yang dimuat dalam TGB 9. Selain memberikan informasi mengenai keadaan kerajaan semasa pemerintahan Sultan Adam, ia juga memuat cerita yang berasal dari Resensi II. Berikutnya, tahun 1861 J. Hageman kembali menulis artikel
berjudulCoschiedkundige-Aanteekeningen
Outrent
Zuidelijk Borneo.Dalam tulisantersebut, dimasukkannya pula silsilah RajaRaja Banjar, lengkap dengan angka tahunnya yang didapatkan dari sumber lokal.122 Selanjutnya, pada tahun 1877, terbit pula artikel E.S.A de Cleq berjudulDe Vroegste Geschiedenis van Bandjermasin, dalam TBG 24, dengan isinya yang diambil dari Resensi I. 122A.A
Cense, De Kroniek van Bandjermasin (Sanpoort, 1928); E.S.A de Cleq, De Vroegste Geschiedenis van Bandjermasin, dalam TBG 24; J.J. Mayer, Bijdragen tot de Kennis der Geschiedenis van hot voormaling Bandjermaische Rijk,Residentie Zuid en Ooterafdeeling van Borneo, dalam Indische Gids 213, jaargang., kolom I, tahun 1899. ~ 121 ~
Barulah 22 tahun kemudian terbit karangan J.J. Mayer, yaitu; Bij dragen tot de Kennis der Geschiedenis van hot voormaling Bandjermaische Rijk, thans Residentie Zuid en Ooterafdeeling van Borneo, dalam Indische Gids 213, tahun 1899.Bahan bahan tulisannya diambil dari manuskrip miliknya sendiri yang berisikan unsurunsur dari Resensi I dan II, sejumlah bahasa lisan yang didapatnya dari daerah Tabalong dan Kelua, ditambah dengan sebuah silsilah RajaRaja yang agak terperinci.123 Namun yang terpenting dari semua itu, adalah Dissertasi A.A Cense tahun 1928 yang berjudulDe Kroniek van Bandjermasin,diterbitkan Sanpoort, 1928.Baru sekitar tahun 19301931 ada penulis yang menulisnya dengan bahasa Melayu Modern, yaitu Anang Acil, bergelar Kesumo Negoro, yang menulis buku Lambung Mangkurat atau Sejarah Banjar. Kemudian juga dikenal nama seperti Gusti Mayur, SH. Yang menulis Hikayat Lembu Mangkuratdan diterbitkan Pendidikan Umum.124
123
Ibid.
124
Ibid. ~ 122 ~
BAB V KESIMPULAN HARI JADI SATUI
Berdasarkan pembahasan dan bukti bukti sejarah yang telah dipaparkan pada babsebelumnya, maka Tim Penulis merekomendasikan Hari Jadi Kota Satui, adalah tanggal 27 Agustus tahun 1663.Tanggal 27 Agustus tahun 1663ini disetujui oleh Tim Pencari Fakta Terbentuknya Kecamatan Satui, berdasarkan rapat tim pada tanggal 22 Oktober 2013 sehingga tanggal 27 Agustus tahun 1663secara resmi menjadi Hari Jadi Satui. Alasan tanggal 27 Agustus diambil dariHari Kelahiran Putra Daerah dan Pahlawan Nasional, Idham Chalid di Satui. Kemudian tahun 1663 diambil dari sumber lokal Hikayat Banjar (HB) yang menulis tentang keberadaan wilayah Satui dan “orang” Satui. Hikayat ini bertarikh (berangka tahun) 1663 Masehi.
A. Tanggal 27 Agustus : Hari Kelahiran Idham Chalid Tokoh Idham Chalid adalah seorang “putra daerah” yang lahir di Satui, 27 Agustus 1921. Idham adalah Pahlawan Nasional Indonesia dari Kalimantan Selatan, salah satu politikus dan menteri Indonesia yang berpengaruh pada ~ 123 ~
masa tahun 19501970 an. Selain sebagai politikus ia aktif dalam kegiatan keagamaan dan beliau pernah menjabat Ketua Tanfidziyah Nahdlatul Ulama pada tahun 19561984. Ketika NU masih bergabung dengan Masyumi (1950), Idham
menjadi
ketua
umum
Partai
Bulan
Bintang
Kalimantan Selatan. Idham Chalid menjadi anggota DPR RIS (19491950). Dua tahun kemudian, Idham terpilih menjadi ketua Lembaga Pendidikan Ma'arif NU (19521956). Kemudian, Idham dipilih menjadi orang nomor satu NU pada 1956. Bahkan, Idham merupakan orang terlama yang menjadi ketua umum PBNU. Dalam bidang eksekutif, Idham beberapa kali jadi menteri, baik saat masa Orde Lama maupun Orde Baru. Ketika Bung Karno jatuh pada 1966, Idham menjadi anggota presidium Kabinet Ampera I dan Kabinet Ampera II dan etelah itu ia diangkat menjadi ketua MPR/DPR pada periode 19711977. Jauh sebelumnya, pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo II, Idham juga menjabat sebagai wakil PM. Dalam posisi pemerintahan, beliau pernah juga mengemban tugas sebagai Ketua DPA.Idham Chalid diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia, bersama dengan enam tokoh lain, berdasarkan Keppres Nomor 113/TK/Tahun 2011 ~ 124 ~
tanggal 7 November 2011. Idham Chalid meninggal di Jakarta, 11 Juli 2010 pada usia 88 tahun.
B. Tahun 1663 : Tarikh Penulisan Hikayat Banjar Rekomendasi berikutnya untuk dasar penentuan “Hari Jadi” Satui adalah angkatahun 1663 M.Dalam teks ini, sedikitnya terdapat tiga kutipan yang “menuliskan” tentang keberadaan daerah Satui. Bagian akhir teks sumber lokal Hikayat Banjar yang bertarikh dari 1663 Masehi. Teks ini sepanjang 4,787 baris atau 120 halaman.Hikayat Banjar adalah sebuah manuskrip tua yang telah dikenal di Daerah Kalimantan Selatan sejak zaman Kerajaan Banjar. Manuskrip tersebut terbagi dalam beberapa bagian dan “mendapatkan nama” yang berbeda, seperti Hikayat Lambung Mangkurat, Tutur Candi, Hikayat Raja-Raja Banjar dan Kota Waringin, Ceritera Lambung Mangkurat dan Turunan Raja-Raja Banjar dan Kota Waringin. Tulisan mengenai daerah Satui, terdapat dalam Resensi II. Sebagai
informasi,
dalam
Hikayat
Banjar
ini
disebutkan Keraton I sebagai Negara Dipa, Keraton II sebagai Negara Daha, dan Keraton III sebagai Bandarmasih, serta Keraton IV sebagai Kayu Tangi. Hikayat Banjar dibagi ~ 125 ~
menjadi dua bagian, bagian pertama disebut Resensi I yang kebanyakan berisi perisitiwaperistiwa yang menjurus pada puncak peristiwa, yaitu pemberontakan Keraton III dan bermulanya era Islam. Sedangkan bagian kedua yang disebut dengan Resensi II lebih banyak menceritan mengenai Keraton I dan II, menceritakan tentang masa lampau yang legendaris. Edisi teks bersama penjelasan lanjut dari segi konteks sejarah budaya dan kesusteraan diterbitkan ahli filologi Belanda J. J. Ras tahun 1968. Pemilihan Hikayat Banjarsebagai dasar penentuan tahun Hari Jadi Satui dengan alasan Hikayat Banjar adalah sumber lokal. Sumber lokal sangat penting dalam “menentukan” identitas daerah dan penulisan sejarah lokal dan bersifat “lokalsentris”. Sejarah lokal adalah sejarah dengan lingkup atau batasan tertentu menurut geografi. Bisa sejarah provinsi, kabupaten atau sejarah desa yang memiliki
keunikan
dan
memberi
kearifan
kepada
masyarakat. Sejarah lokal sebagai salah satu cabang dari studi sejarah sangat menarik untuk diperbincangkan terutama menyangkut batasan pengertian dan metodologi maupun dalam hak aspek pengajaran sejarah lokal di sekolah ~ 126 ~
sekolah. Istilah sejarah lokal di indonesia kerap digunakan pula sebagai sejarah daerah, sedangkan di Eropa disamping dikenal istilah local history juga community history, atau neighborhood history, maupun nearby history. Sebelumnya sejarah lokal kurang mendapat perhatian dari berbagai fihak,
mungkin
ini
berhubungan
dengan
semangat
persatuankesatuan Indonesia yang diperjuangkan sejak lama (kemerdekaan sebagai bangsadan negara Indonesia). ”Kebangkitan” kembali dari sejarah lokal ini harus disikapi dengan arif sebagai salah satu bidang kajian sejarah biasa, bukan untuk menonjolkan dinamikakelokalan semata.
~ 127 ~
~ 128 ~
DAFTAR PUSTAKA
A. Sumber Buku/Majalah/Buletin/Jurnal/Tulisan Lepas Abdullah, Taufik, “Wisata Budaya: Sekitar Penentuan Hari Jadi Unit Adminitratif:, makalah disampaikan dalam Seminar Sejarah Kaji Ulang Hari Jadi Majalengka di Majalengka, 30 Agustus 2005, diselenggarakan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung. Abdullah, Irwan, 2007, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Oppset). Ali, R. Moh., 1966, Penentuan Arti Sedjarah dan Pengaruhnja dalam Metodologi Sedjarah Indonesia, (Djakarta: Bhratara, 1966). Basundoro, Purnawan, 2012, Pengantar Sejarah Kota, (Yogyakarta; Ombak. , “Penduduk dan Hubungan Antaretnis di Kota Surabaya Pada Masa Kolonial”, Jurnal Paramita, vol. 22, No.1. Bondan, Kiai Amir Hasan, 1953, Suluh Sedjarah Kalimantan, (Banjarmasin: MAI Pertjetakan Fadjar). Geertz, Clifford, 1983, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia, (Jakarta: Bhatara Karya Aksara).
~ 129 ~
Gottschalk, Louis, 1975, Mengerti Sejarah, terjemahan Nugroho Notosusanto (Jakarta: UI Press). Hollander, J. J. De, 1898, Handleiding bij de Beoefening der land-en Volkenkunde Van Nederlansch Oost Indie, Tweede Deel, door R. van Eck, Koninkhjks Militairs Academie. 1864, Borneo’s Zuider en Ooster Afdeeling (Handleiding Bij De Beoefening Der Land en Volkenkunde Van Nederlansch Oost Indie, Koninklijke Militaire Akademie). Horton, B.& Chester L. Hunt, 1999, Sosiologi, (Jakarta: Erlangga). Hose, Charles & William McDougall, 2004, Pagan Tribes Of Borneo, Volume I (Kessinger Publishing). Ideham, M. Suriansyah, dkk. (ed), 2003, Sejarah Banjar, (Banjarmasin: Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan). Ismail, Muhammad Gade 1999, “Museum Sebagai Sumber Sejarah Dalam Kaitan Dengan Metode Sejarah”, dalam Bulletin Rumoh Aceh, Informasi dan Komunikasi Museum, No.03/1999, Museum Negeri Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Kartodirdjo, Sartono (editor), 1977, Masyarakat Kuno & Kelompok-kelompok Sosial (Jakarta: Bulu Obor).
~ 130 ~
Kuntowijoyo, 2005, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Bentang). Kesuma, Andi Ima, 2004, Migrasi dan Orang Bugis: Penelusuran Kehadiran Opu Daeng Rilakka Pada Abad XVIII di Johor, (Yogyakarta: Ombak). Linneton, Jacqueline, 1973, “Passompe’ Ugi’: Bugis Migrants and Wanderers”, dalam Archipel, volume.10. Leirissa, R.A. dkk. (ed), 1983/1984, Sejarah Sosial Daerah Kalimantan Selatan (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jarahnitra). Maula, Amiruddin & Muh. Iqbal Latief, 2000, Posisi Makassar Dalam Bisnis Global, (Makassar: Yayasan Lentera 21). Mallinckrodt, Jacob, 1928, Het Adatrecht van Borneo, volume. 2 (Batavia: M. Dubbeldeman). Mandan, Arief Mudatsir (ed), 2008, Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid, Tanggung Jawab Politik NU Dalam Sejarah, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu). Mansyur, Diaspora Suku Bugis di Wilayah Tanah Bumbu, Karesidenan Borneo Bagian Selatan dan Timur Tahun 1842-1942, Tesis pada Program Studi Magister Ilmu Sejarah, Universitas Diponegoro Semarang, 2012. Mayur,Gusti, 1974, Hikayat Lembu Mangkurat, (Banjarmasin: CV Rapi).
~ 131 ~
Mises,
Ludwig von, 2007, Theory And History An Interpretation of Social and Economic Evolution (Alabama: von Mises Institute).
Mieremet, Adolf, 1919, De Hedendaagsche Inheemsche Rechtspraak in Nederlandsch Indië en Haar Regeling, (Batavia: De Haan). Muhajir, Ahmad, 2007, Idham Chalid, Guru Politik Orang NU, (Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara). Mulyasari, Prima Nurrahmi dkk, 2010, Kota-Kota Di Jawa; Identitas, Gaya Hidup, dan Permasalahan Sosial, (Yogyakarta: Ombak). Menno, S. & Mustawin Alwi, 1992, Antropologi Perkotaan, (Jakarta: Rajawali Pers) Muarief,
Samsul, 2001, Peduli (Banyuwangi: Satubuku).
Generasi
Suku
Using,
Meuraxa, Dada, 1975, Sejarah Hari Jadinya Kota Medan, 1 Juli 1590, (Medan: Sasterawan). Nash, P.J.M, 1984, Kota di Dunia Ketiga, (Jakarta: Aksara). Nuralang, Andi, 2007, “Pesta Adat Mappanretasi: Obyek Wisata Laut di Kotabaru, Kalimantan Selatan”, (tulisan tidak diterbitkan koleksi Balai Arkeologi Banjarmasin).
~ 132 ~
Notosusanto, Nugroho, 1984, Hakekat Sejarah dan Metode Sejarah (Jakarta: Mega Book Store). , 1978, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer (Suatu Pengalaman, (Jakarta:Yayasan Idayu). Oetomo, Sri Adi, 1993, Menelusuri dan Mencari Hari Jadi Kota Banyuwangi (Pasuruan: Garoeda Buana Indah). Posewitz,Theodore, 1892, Borneo: Geologi and Mineral Resources, (London: Edward Stanford). Pringgodigdo, A.G., 2007, Ensiklopedi Umum, (Yogyakarta: Kanisius). Ras, Johannes Jacobus, 1990, Hikayat Banjar diterjemahkan oleh Siti Hawa Salleh (Malaysia: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037, Mukim Perindustrian PKNS Ampang/Hulu KelangSelangor Darul Ehsan). Renier, G.J., 1997, History Its Purpose and Method, terj. Muin Umar (Yogyakarta: Pustaka Pelajar). Saleh, M. Idwar, 1977/1978, Sejarah Daerah Tematis Zaman Kebangkitan Nasional (1900-1942) di Kalimantan Selatan, (Banjarmasin: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat). Singarimbun, Masri & Sofyan Effendy, 1982, Metode Penelitian Survai, (Jakarta: LP3ES).
~ 133 ~
Syamsuddin, Helius, 1996, Metodologi Sejarah, (Jakarta: Proyek Pendidikan Tenaga Akademik). Suryo, Djoko, 2009, TransformasiMasyarakat Indonesia dalam Historography Indonesia Modern (Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Jurusan Sejarah FIB UGM). Sellato, Bernard, 1995, Nomads of the Borneo Rainforest: The Economics, Politics and Ideology of Settling Down (USA: University of Hawaii Press). Schott, Dieter, 2004, “Urban Environmental History: What Lessons Are There to be Learnt?”, dalam Boreal Environment Research, 2004. Sjoberg, Giddeon, 1965, The Preindusrial City Past and Present, (Tronto CollierMcmillan). Tim Penulis, 2003, Sejarah Banjar, (Banjarmasin: Pemprov Kalsel). Tim Penulis, 2008, Upacara Adat Mappanre Tasi’ di Pagatan Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, (Banjarmasin: Disbudpar Pemprov Kalsel) Veth, Pieter Johannes, 1869, Aardrijkskundig en statistisch woordenboek van Nederlandsch Indie (Amsterdam: Van Kampen).
~ 134 ~
B. Sumber Arsip dan Koran ANRI, “Besluit van den Minister van Staat, Gouverneur Generaal van NederlandschIndie”, 27 Agustus 1849 No. 8, dalam Staatsblad van Nederlandisch Indie Voor Het Jaar 1849 (Batavia: Ter Lands Drukkerij, 1849). ANRI, “De Minister van Staat, Gouverneur Generaal van Nederlandsc Indie”, dalam L.J.A. Tollens, Verzameling van Wetten, Besluiten, Bepalingen, Kennisgaven, enz, Over de Jaren 18081856, Tweede Deel (Batavia: Lange & Co, 1856). ANRI,“Het Eiland Borneo en Zijne Bewoners”, dalam J.B.J. van Dooren, Bijragen tot de Kennis van Verschillende Overzeesche Landen, Volken, enz, Eesrste Deel (Amsterdam: J.D.Sybrandi, 1860). ANRI, “Handelingen der StatenGeneral. Bijlagen 18921893, Overzicht Betreffende de in Erfpacht Aangevraagde Gronden op Java en Madura en in de Buitenbezittingen, die Gedurende 1891 aan de Aanvragers Geweigerd Werden.”, dalam Koloniaal Verslag van 1892, (Nederland Oost Indie, Bijlage L.). ANRI, “Alteratie en ampliate Op Het Contract Met Den Sulthan Van Bandjarmasin, Van 1 Januarij 181713 September 1823”, Arsip SuratSurat Perjanjian Antara Kesultanan Banjarmasin Dengan Pemerintahan VOC, Bataafshe Republik, Inggris dan Hindia Belanda 1635–1860 (Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1965).
~ 135 ~
ANRI, Reglement op de Godsdienstige Rechtspraak Voor Een Gedeelte van de Residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo (Ordonantie. van 21 Dec. 1937.) S. 37 638, bundel Borneo Zuid Oosterafdeling (BZO), No.265. ANRI, Dutch East Indies. Dienst van den Mijnbouw Netherlands, Departement van Kolonien, Jaarboek van het mijnwezen in NederlandschIndië, Bagian 1,Volume 50 (Amsterdam: J.G. Stemler, 1922). ANRI, “Ikhtisar Keadaan Politik Hindia Belanda Tahun 1839 1848”, (Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1973). ANRI, Arsip "Pegatan en Koesan Suppletoir Contract" dalam Overe enkomsten met Inlandsche vorsten in den Oost Indischen Archipel (I66.7), bundel Borneo Zuid Oosterafdeling (BZO), No. 122. ANRI, NederlandschIndie Uitkomsten der in de Maand November 1920, Gehouden, Volkstelling, Dee1 I (Drukkerijen Ruygrok & Co., 1922). ANRI Koran/ Surat kabarDe Locomotief, Nieuws, Handels, en Advertentieblad, Verschijnt Dagelijks, Behalve Zon En Feestdagen, Mail Nummer Zaterdag 10 Mei, XXVIe Jaargang, Ao 1877 No. 116. ANRI, Koran/Surat kabarDe Locomotief, Nieuws, Handels, en Advertentieblad, Verschijnt Dagelijks, Behalve Zon En Feestdagen, Mail Nummer Zaterdag 10 Mei, XXVIe Jaargang, Ao 1877 No. 35. ~ 136 ~
PERPUSNAS, “Lembaran UndangUndang No. 32 Tahun 2004”, Pasal 126.
C. Sumber Website S. Padmo, “Politik Agraria Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah di DIY: Sebuah Refleksi Historis”, Artikel pada situs Jurusan Sejarah, FIB UGM, 2007. Anonim, “Pelanggaran HAM Hinduisasi Tolotang”, dalam http://www. desantara.or.id /032008/411/pelanggaranhamhinduisasi tolotang/, diakses 20 Mei 2013.
D. Sumber Peta ANRI, “Borneo Kaart, Koleksi David Rumsey Historical Map tahun 1827”, Pelukis peta aslinya adalah Philippe Vandermaelen, tahun 1827. Peta dipublikasikan oleh Ph. Vandermaelen Bruxelles, Tipe Peta: Peta Atlas, Peta asli berukuran 47 cm x 57 cm dengan skala 1: 1.641.836, berdasarkan pada Garis Meridian Paris. ANRI, “Kaart Van Het Eiland Borneo/Samengesteld Onder Leiding Van Dr. A.W. Nieuwenhuis”, dibuat dan dipublikasikan di Leiden oleh E. J. Brill, Tahun 1902, Peta asli berskala 1:2.000.000., berukuran 75 cm x 65 cm. (Peta Versi Kedua). ANRI, “Kaart Van Het Eiland Borneo/Samengesteld Onder Leiding Van Dr. A.W. Nieuwenhuis”, dibuat dan dipublikasikan di Leiden oleh E. J. Brill, Tahun 1902, ~ 137 ~
ANRI,
Peta asli berskala 1:2.000.000., peta asli berukuran 75 x 65 cm. (Peta Versi Pertama). “Kaart van Nederlandsh Indie, diterbitkan di amsterdam oleh J.H.De Bussy”, Tahun 1893. Peta asli dilukis oleh H. Ph. Th. Witkamp dengan skala 1: 5.000.000.
ANRI, “Overzichtkaart Van Het Eiland Borneo Topograpische Inrichting Batavia, 1909 (Bijgewert Tot 1914)”, Skala peta 1: 2.000.000.
~ 138 ~