dan tempat tinggalnya (Qomar, 2007). Semua aktifitas seperti berkumpul atau bersosial, belajar, mengaji dan bertempat tinggal sehari-harinya dilakukan baik para pendamping (guru) maupun para santri semuanya berpusat disatu tempat yaitu di lingkungan pondok pesantren. Hal tesebut mengakibatkan timbulnya masalah kebersihan yang selalu menjadi permasalahan yang belum dapat terseleseikan hingga saat ini. Ikhwanudin (2013) mengungkapkan bahwa kebanyakan pondok pesantren di Indonesia memiliki masalah yang begitu klasik yaitu tentang kebersihan, kesehatan santri dan masalah penyakit. Hal ini dikarenakan padatnya penghuni yang tinggal di pondok pesantren. Selain itu masalah kesehatan dan penyakit di pesantren sangat jarang mendapat perhatian dengan baik dari warga pesantren maupun masyarakat dan pemerintah. Departemen Kesehatan RI menyampaikan bahwa sebagian besar pondok pesantren masih memiliki masalah dengan kondisi lingkungan dan air bersih. Penelitian Suskarmanto (dalam, Haryono, 2006) menemukan adanya sistem sanitasi lingkungan di pondok pesantren di Jawa Timur belum memenuhi persyaratan sebagai sarana sanitasi yang berwawasan lingkungan dan kesehatan, karena sistem pembuangan tinja tidak ditampung di septic tank melainkan dibuang ke sungai. Hal ini menyebabkan pencemaran terhadap lingkungan sekitar. Haryono (2006) menegaskan bahwa sebagian pesantren memiliki sanitasi yang buruk, kamar mandi dan jamban kotor serta perilaku santri yang tidak sehat. Kondisi di atas tidak jauh berbeda dengan kondisi yang terjadi di pondok pesantren temuan peneliti di daerah Condongcatur dan Kotagede. Peneliti menemukan masalah kebersihan yang terjadi di pondok pesantren salah satunya adalah hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti, terdapat masalah
2
kebersihan pada remaja yang terjadi di pondok pesantren. Dilihat dari adanya kondisi santriwati yang ada di pondok pesantren di Condongcatur dan Kotagede yang dinilai semakin mengkhawatirkan dengan adanya berbagai kasus kebersihan di pondok pesantren. Berdasarkan hasil survei tersebut terdapat kasus perilaku yang timbul dari aktivitas santri yaitu buang sampah sembarangan, saluran air yang penuh dengan tumpukan sisa-sisa makanan, boros penggunaan air dan listrik, kloset yang tersumbat akibat dari pembalut wanita yang tidak dibuang di tempat sampah, serta banyaknya keluhan dari masyarakat sekitar terkait dengan perilaku santri dalam membuang sampah sembarangan (Wawancara 3 pendamping di Pondok Pesantren, 12 September 2014). Fakta sebagian pesantren tumbuh dalam lingkungan yang kumuh, tempat mandi dan WC yang kotor, lingkungan yang lembab, dan sanitasi buruk (Badri, 2007). Hal ini dikarenakan kesederhanaan dan kesahajaan serta kurangnya fasilitas dan sarana di pondok pesantren menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan santri di pondok pesantren. Disamping itu terdapat pula faktor-faktor lain yang mempengaruhi perilaku kesehatan santri di Pondok pesantren, antara lain, kurangnya promosi kesehatan (Ikhwanudin, 2013). Aktivitas sehari-hari yang ditimbulkan akibat dari perilaku kebersihan di lingkungan pondok pesantren juga berdampak terhadap kondisi lingkungan, sehingga dapat mempengaruhi kualitas kesehatan penghuni pondok pesantren itu sendiri (Haryono, 2006). Perilaku tersebut memunculkan gambaran tentang pondok pesantren di masyarakat bahwa pondok pesantren merupakan tempat kumuh, kondisi lingkungannya tidak sehat, dan pola kehidupan yang ditunjukkan
3
oleh santrinya sering kali kotor, lusuh dan sama sekali tidak menunjang pola hidup yang sehat. Kebiasaan tidur santri hingga lupa waktu dan pola hidup kotor karena malas bersih-bersih. Anak pesantren gemar sekali bertukar/pinjammeminjam pakaian, handuk, sarung bahkan bantal, guling dan kasurnya kepada sesamanya, perilaku hidup bersih dan sehat terutama kebersihan perseorangan di pondok pesantren pada umumnya kurang mendapatkan perhatian dari santri (Lestari, 2012). Penyebab dari masalah tersebut adalah pengetahuan tentang hidup bersih dan sehat yang masih minim di kalangan pondok pesantren terutama para santri. Informasi, pegetahuan kesehatan dan asumsi budaya kebersihan dan kesehatan sangat sedikit sekali santri yang mengerti tentang perilaku hidup bersih dan sehat. Hal tersebut karena sumber informasi yang masuk ke dalam pesantren terbatas, sehingga dibutuhkan buku bacaan dan sosialisasi tentang perilaku kesehatan dan kebersihan (Ikhkwanudin, 2013). Penelitian Alam, Ghose, Hassan, Khan, & Shahidur (2012), mengemukakan bahwa pengetahuan tentang kesehatan perorangan berpengaruh terhadap perilaku kebersihan dan kesehatan pada siswa kelas IX di Mymensingh Sadar Upazilla Bangladesh, siswa yang memiliki pengetahuan kesehatan lebih berperilaku bersih ketimbang siswa yang tidak memiliki pengetahuan tentang kesehatan. Santriwan/wati menurut Hanurawan (2004) adalah siswa lembaga pendidikan Islam khas Indonesia yang menempuh pendidikan di lembaga Pondok Pesantren. Rata-rata santri yang tinggal di pondok pesantren berusia 12-19 tahun yaitu berada pada tahap perkembangan remaja. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Masa ini merupakan masa terjadinya perubahan fisik, kompetensi kognitif, emosi dan
4
sosial. Masa ini tidak hanya menjanjikan kesempatan untuk maju menuju kehidupan yang berhasil di masa depan, tetapi juga menawarkan berbagai resiko kesehatan dan sosial (Papilia, Old, Feldman, 2008). Hal ini menjadikan remaja mempunyai kecenderungan untuk berperilaku meniru dari perilaku yang dilihatnya tanpa mencari informasi terlebih dahulu apakah bermanfaat atau tidak, sehingga remaja perlu mendapatkan perhatian khusus agar informasi yang mereka akses dapat bermanfaat untuk pembentukan perilaku hidup sehat (Mahyuni, 2008). Remaja memiliki energi, ide-ide dan antusiasme besar yang merupakan sumber daya penting untuk meningkatkan kesehatan, perkembangan mereka sendiri dan juga berpengaruh terhadap kesehatan keluarga dan masyarakat (Htoon, Myint, & Thwe, 2005). Kebutuhan akan informasi para santri cukup besar dan dibutuhkannya peran pendidik dalam membimbing dan mensosialisasikan informasi-informasi terutama informasi seputar perilaku hidup bersih dan sehat. Peran sebagai pendamping pun sangat dibutuhkan dalam pemberian informasi-informasi kepada santri. Pendamping (Musyrif atau musyrifah) merupakan seorang pendidik secara informal yang tinggal di lingkungan pesantren. Layaknya seorang
pendidik,
pendamping
juga
harus
pandai
dalam
menghadapi
permasalahan yang dihadapi oleh anak didiknya di asrama, karena posisi pendamping adalah sebagai pendidik kedua setelah orang tua di pondok pesantren. Secara umum, pendamping juga disebut ustadz atau ustadzah yaitu guru atau pendidik. (JM, Wawancara dengan pimpinan pondok pesantren, 23 September 2014). Selama ini
pihak pondok pesantren belum memberikan sosialisasi
sehingga ketika ada pelanggaran yang dilakukan pada santri terkait dengan
5
masalah kebersihan adalah dengan cara memberikan hukuman bagi para santri yang melanggar. Namun, upaya yang dilakukan tersebut dirasa kurang efektif karena masih ada santriwati yang melakukan pelanggaran kebersihan. Hasil wawancara yang telah dilakukan, ditemukan bahwa sosialisasi perilaku hidup bersih dan sehat kepada santri belum pernah dilakukan. Pengurus pondok juga mengatakan bahwa para pendamping memiliki pengetahuan yang minim tentang kebersihan dan kesehatan sehingga pendamping mengalami kesulitan dalam menyampaikan informasi mengenai kebersihan dan kesehatan untuk
diberikan
kepada
santri.
Pengurus
memberikan
hukuman
bagi
pelanggaran kebersihan tanpa memberikan informasi tentang pentingnya hidup bersih. Hal ini berdampak pada kurangnya informasi yang dimiliki santri mengenai kebersihan dan kesehatan sehingga perilaku yang muncul di pondok pesantren adalah perilaku negatif terhadap kebersihan dan kesehatan (FZ pengurus pondok, Kotagede, 4 April 2014). Berdasarkan data studi pendahuluan tes pengetahuan lingkungan yang diambil di pondok pesantren di Condongcatur dan Kotagede pada tanggal 4 Oktober 2014 dengan jumlah soal 20 aitem yang dilakukan peneliti, dari 11 pendamping ditemukan bahwa hasil tes pengetahuan tentang kebersihan lingkungan tersebut, pengetahuan yang dimiliki pendamping tentang hidup bersih sehat sangat kurang (dapat dilihat pada tabel 1).
No. 1. 2. 3. 4. 5. jml
Tabel 1. Data Tes Pengetahuan Kesehatan Lingkungan Para Pendamping Pendamping Jawaban yang benar dari 20 soal Kategori 4 orang 5 (rendah) Rendah = 0 – 7 2 orang 7 (rendah) 2 orang 6 (rendah) Sedang = 8 – 13 2 orang 4 (rendah) 1 orang 3 (rendah) Tinggi = 14 – 20 11orang
6
Senada dengan temuan di atas, Kuspriyanto (2002) menemukan bahwa permasalahan kebersihan dan kesehatan di pondok pesantren disebabkan karena minimnya pengetahuan tentang penanaman hidup bersih dan sehat di lingkungan pondok pesantren. Pengetahuan tentang kesehatan yang buruk mengakibatkan perilaku negatif pada kebersihan dan kesehatan perorangan. Hasil penelitian yang dilakukan di pondok pesantren di Kulon Progo ditemukan bahwa hal yang mempengaruhi timbulnya masalah penyakit menular seperti skabies, TBC, penyakit mata, flu dikarenakan kurangnya pengetahuan, rata-rata berasal dari keluarga dengan tingkat sosial ekonomi ke bawah, kepadatan hunian, sanitasi lingkungan, higiene perorangan dan prevalensi penyakit (Wahjoedi, 2008). Pendamping mengungkapkan kekhawatiran mereka tentang masalah perilaku santri terkait kebersihan dan kesehatan. Dampak yang terjadi akibat dari perilaku kebersihan dan kesehatan yang kurang tersebut adalah adanya keluhan dari masyarakat sekitar yang disebabkan oleh perilaku santri, lingkungan pondok yang menjadi kotor dan bau, ketidaknyamanan dalam belajar mengajar serta timbulnya berbagai penyakit seperti pernafasan, diare, alergi kulit dan penyakit lainnya dikarenakan kurangnya pengetahuan para pendamping dan santri terhadap kebersihan lingkungan (FZ pengurus pondok, Kotagede, 4 April 2014). Penelitian Sasmita (2012) menemukan masalah kebersihan dan kesehatan menjadi sebab terjadinya penyakit menular yaitu penyakit skabies di pondok pesantren di Surakarta. Hal ini disebabkan oleh pengetahuan dan kebiasaan personal higiene yang kurang yang meliputi kebiasaan mandi, kebiasaan membersihkan tempat tidur, kebiasaan memakai handuk bersama, mencuci
7
tangan, penyetrikaan pakaian, bergantian pakaian, mencuci handuk. Hal tersebut berdampak signifikan pada terjadinya penyakit menular. Masalah kesehatan merupakan masalah kompleks yang merupakan hasil dari berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun masalah buatan manusia, sosial budaya, perilaku, populasi dan genetika. Derajat kesehatan masyarakat yang disebut sebagai psycho socio somatic health well being (Sunanti, 2007), dipengaruhi oleh 4 (empat) faktor determinan yaitu lingkungan; perilaku; heredity atau keturunan yang dipengaruhi oleh populasi, distribusi penduduk; health care service berupa program kesehatan yang bersifat preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif (Blum, 1972). Untuk menciptakan kehidupan yang bersih dan sehat sangatlah diperlukan di pondok pesantren, program kesehatan yang bersifat preventif dan promotif harus diberikan di pondok pesantren berupa pendidikan dan penyuluhan hidup bersih dan sehat agar para pendamping memiliki pengetahuan tentang perilaku bersih dan sehat dan dapat memberikan informasi tersebut kepada santri sehingga nantinya santri juga akan memiliki pengetahuan tentang perilaku bersih dan sehat dan tercipta lingkungan yang bersih dan sehat. Pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan telah melakukan program sehat untuk masyarakat, kebijakan Indonesia Sehat pada tahun 2010 adalah selain lingkungan sehat dan pelayanan kesehatan yang bermutu, adil dan merata yaitu perilaku hidup sehat. Kepmenkes RI nomor 1193/Menkes/2004, telah menetapkan visi program promosi kesehatan “Perilaku Hidup Bersih dan Sehat”
tahun
2010,
kemudian
keputusan
ini
ditindak
lanjuti
dengan
dikeluarkannya Pedoman Pelaksanaan Promosi Kesehatan di Daerah dengan Keputusan Mentri Kesehatan RI nomor 1114/Menkes/SK/VIII/2005.
8
Upaya untuk mengubah perilaku masyarakat Indonesia agar hidup bersih dan sehat pemerintah merancang program Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Program PHBS adalah suatu upaya untuk memberikan pengalaman belajar atau menciptakan suatu kondisi bagi perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat dengan membuka jalur komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) melalui pendekatan advokasi, bina suasana dan pemberdayaan masyarakat sehingga pada akhirnya masyarakat mampu mengenali dan mengetahui masalah kesehatannya sendiri terutama pada tatanan rumah tangga, agar dapat menetapkan cara-cara hidup bersih dan sehat (Depkes, 2005). Indikator PHBS di tatanan institusi pendidikan antara lain, kebersihan perorangan, penggunaan air bersih, penggunaan jamban, bak penampungan air bebas jentik, kebersihan lingkungan sekolah, kegiatan kader UKS, gaya hidup tidak merokok dan peserta jaminan pelayanan kesehatan masyarakat (Depkes, 2007). PHBS di pondok pesantren adalah upaya membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat masyarakat di pondok pesantren untuk mengenali masalah dan tingkat kesehatan, serta mampu mengatasi, memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya sendiri. Indikator PHBS di pondok pesantren sendiri terdiri dari 18 aspek yaitu (1) kebersihan perorangan (meliputi kebersihan badan, mulut, kuku, rambut, pakaian dan saat menstruasi), (2) penggunaan air bersih, (3) kebersihan tempat wudhu, (4) penggunaan jamban sehat, (5) kebersihan asrama, (6) kepadatan penghuni asrama, (7) kebersihan ruang belajar, (8) kebersihan halaman pondok pesantren, (9) adanya kader Poskestren/santri husada, (10) adanya kader poskestren terlatih, (11) kegiatan kader Poskestren, (12) bak penampungan air bebas jentik, (13) penggunaan garam beryodium, (14) makanan bergizi seimbang, (15) pemanfaatan sarana pelayanan kesehatan, (16)
9
gaya hidup tidak merokok, (17) gaya hidup sadar AIDS, dan (18) peserta JPKM atau asuransi kesehatan lainnya (Dinas Kesehatan Lumajang, 2013). Program PHBS yang dirancangkan oleh pemerintah sejak tahun 1996 telah
melalui
perbaikan
pada
sisi
indikator
maupun
pada
metode
pelaksanaannya. Upaya promosi kesehatan telah dilakukan departemen kesehatan dan dinas-dinas yang ada di bawahnya secara struktural melalui kegiatan kampanye, penyuluhan dan pemberian program-program diberbagai tempat, hanya saja kegiatan tersebut sampai saat ini kondisi yang dirasakan belum membaik pada lingkungan asrama ataupun pondok pesantren. Hal tersebut dapat dilihat dari masih buruknya perilaku sehat santri dan buruknya pengelolaan air limbah, kamar mandi, ventilasi yang cukup dan kebersihan yang dinilai kurang, sehingga masalah kebersihan dan hidup sehat masih belum membaik diberbagai tempat di pondok pesantren. Selain hambatan pribadi, seperti kurangnya pengetahuan, ketidak percayaan terhadap sumber informasi dan nilai-nilai pribadi, terdapat pula lingkungan sosial yang secara signifikan menghambat seseorang berperilaku bersih dan sehat untuk peduli terhadap kebersihan (Lorenzoni & Pidgeon, 2006). Dibutuhkannya pengetahuan tentang kesehatan lingkungan yang dapat diperoleh secara intensif dengan mengikuti pendidikan/penyuluhan/pelatihan hidup bersih, sehat dan peduli lingkungan. Pengetahuan tersebut diperlukan untuk dapat bersikap dan bertindak terhadap suatu hal yang dikehendaki (Eysenck &Keane, 2000). Dalam hal ini pengetahuan diperlukan agar supaya pendamping dapat memiliki pengetahuan sehingga pengetahuan tersebut dapat diberikan kepada santri yang diharapkan nantinya santri dapat merubah perilaku tidak sehat
10
menjadi sehat, perilaku kotor menjadi perilaku bersih dari adanya pengetahuan tentang kebersihan dan kesehatan. Hasil survey yang dilakukan peneliti, ditemukan kurangnya pengetahuan pendamping tentang perilaku hidup bersih dan sehat mengakibatkan minimnya pemberian informasi kepada santri mengenai perilaku hidup bersih dan sehat. Hal tersebut menyebabkan ketidak tahuan para santri yang berakibat pada masalah kebersihan dan kesehatan. Para santri dan juga pendamping mengungkapkan bahwa pemberian informasi seputar kebersihan dan kesehatan lingkungan sangatlah dibutuhkan di pondok pesantren. Untuk itu upaya yang ingin dilakukan oleh peneliti sebagai upaya preventif yaitu berupa pelatihan kebersihan dan kesehatan kepada pendamping/ guru. Tujuannya adalah agar para pendamping memiliki pengetahuan dan pemahaman sebagai bekal pemberian edukasi dan informasi seputar masalah kebersihan dan kesehatan kepada santri. Hal ini diperkuat dengan penelitian terdahulu bahwa program PHBS yang diberikan kepada pendamping dengan metode ceramah di pesantren di provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) memiliki dampak yang signifikan pada perubahan perilaku sehat santri (Haryono, 2006), hal yang sama pada penelitian Ambarsuwardi (2006) yaitu program PHBS di kecamatan Pojong, Gunung Kidul, Yogyakarta, berhubungan dengan pemberian penyuluhan tentang PHBS dapat meningkatkan perilaku bersih dan sehat. Intervensi yang diberikan kepada pendamping agar mereka dapat memberikan informasi dan edukasi kepada santri sehingga intervensi yang diberikan tetap terjaga. Hal ini juga sebagai program promosi kesehatan di pondok pesantren. Promosi kesehatan berperan penting dalam memberikan
11
edukasi kepada santri mengenai hidup sehat, menjaga dirinya agar tetap sehat, meningkatkan kualitas kesehatan, peka dan tanggap terhadap datangnya penyakit, mampu beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan dan perubahanperubahan yang terjadi (Ikhwanudin, 2013). Menurut Susanto, 1998 (dalam Agustinus, 2007), untuk mencapai keadaan masyarakat yang berperilaku hidup sehat tidak dapat dilakukan dalam jangka pendek, namun harus kontinyu dan simultan oleh semua pihak. Lebih lanjut disampaikan, dalam paradigma pembangunan berkelanjutan yaitu sustainable development juga harus dilihat aspek kemampuan mempertahankan atau melestarikan keberhasilan atau bahkan meningkatkannya menjadi lebih baik lagi. Pendamping adalah subjek penentu keberhasilan pembangunan dalam menciptakan santri-santri yang berperilaku hidup bersih dan sehat. Pendamping harus mengembangkan keterampilan secara menyeluruh terhadap permasalahan yang dihadapi remaja di pondok pesantren khususnya masalah kebersihan dan kesehatan. Beck & Klein (2010) mengatakan bahwa sedikitnya kesempatan yang diperoleh guru (pendamping) untuk mendapatkan pelatihan di bidang kesehatan, menyebabkan banyak guru menunjukkan self esteem yang rendah ketika harus memberikan informasi kepada siswanya (santri) terkait masalah kesehatan. Hasil penelitian yang dilakukan Asmendri (2008) di Sumatra Barat, menunjukkan bahwa peran guru PAI sebagai pendidik dan pembimbing mampu berpartisipasi dalam setiap program kebersihan dan kesehatan dan guru kelas memiliki peran yang cukup tinggi dalam pembentukan perilaku kebersihan dan berbagai kegiatan UKS di lingkungan sekolah. Oleh karena itu, guru memiliki peran yang penting dalam memberikan informasi perilaku hidup bersih dan
12
sehat. Sekolah juga merupakan tempat yang efektif untuk menyebarluaskan informasi, membentuk sikap dan mengembangkan keterampilan (Hinduan, Hospers, Mutiara, Riyanti, Sumintardja, Tasya, Pinxten & Pohan, 2011). Adanya kebutuhan untuk mempromosikan sikap dan perilaku bersih dan sehat untuk peduli lingkungan hidup melalui pengadaan penyuluhan, pengisahan cerita visual, dan pemahaman ilmiah sangatlah penting (Cherry, 2011). Tujuan diadakan hal tersebut karena kondisi masyarakat sangat membutuhkan pengetahuan tentang masalah-masalah lingkungan dan kurangnya pemahaman akan kepedulian lingkungan serta kurangnya kepedulian terhadap dampak terhadap kesehatan. Institusi pendidikan dipandang sebagai sebuah tempat yang strategis untuk mempromosikan kesehatan sekolah juga merupakan institusi yang efektif untuk mewujudkan pendidikan kesehatan, dimana peserta didik dapat diajarkan tentang maksud perilaku sehat dan tidak sehat serta konsekuensinya. Selain itu, usia sekolah merupakan masa keemasan untuk menanamkan nilai-nilai kesehatan dan berpotensi sebagai agent of change untuk mempromosikan kesehatan
baik
di
lingkungan
sekolah,
keluarga,
maupun masyarakat.
Pendidikan kesehatan melalui institusi pendidikan sangat efektif untuk merubah perilaku dan kebiasaan sehat umumnya. Pendidikan
kesehatan
memberikan
banyak
manfaat
bagi
siswa
diantaranya siswa mendapatkan pengetahuan dan informasi mengenai perilaku dan gaya hidup bersih dan sehat, selain itu mereka juga mendapatkan akses mengenai berbagai masalah kesehatan. Pada kehidupan sehari-hari apabila mereka mampu mempraktekkannya, tidak hanya mereka memiliki perilaku yang sehat, tetapi juga diharapkan mereka mampu menjadi agen promosi kesehatan
13
di lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat. Metode promosi kesehatan merupakan metode yang lebih baik dari pada metode lainnya dalam pendidikan kesehatan di instansi pendidikan (Deutsch, 2000). Dalam hal ini sekolah memiliki peranan yang sangat penting dalam memberikan edukasi dan informasi kepada para siswa mengenai perilaku sehat (Murray, Low, Hollis, Cross, & Davis, 2007; Schagen, Blenkinsop, Schagen, Scott, Eggers, Warwick, Chase, & Aggleton, 2005; St Leger, 2000; Warwick, Aggleton, Chase, Schagen, Blenkinsop, Schagen, Scott, Eggers, 2005). Pondok pesantren merupakan masyarakat besar yang berkumpul hingga mudah dicapai dalam rangka pelaksanaan berbagai usaha kesehatan. Masyarakat sehat untuk masa mendatang ditentukan terutama oleh pengertian sikap dan kebiasaan hidup sehat yang dimiliki oleh anak generasi sekarang. Disamping itu pondok pesantren dipandang sebagai lembaga yang memang dipersiapkan untuk dapat meningkatkan derajat masyarakat dengan segala sendinya dan pendamping/guru sebagai tenaga penggeraknya. Perencanaan pendidikan kesehatan akan lebih baik apabila disesuaikan dengan usia siswa, tahap perkembangan, latar belakang, norma dan budaya sosial di lingkungannya, perhatian sekolah serta kebutuhan siswa. Dalam menentukan cakupan materi pendidikan kesehatan di suatu sekolah, juga harus mempertimbangkan faktor pendidikan karakter seperti nilai-nilai kepercayaan di masyarakat, sikap dan aspirasi warga sekolah, serta pendapat orang tua dan tokoh masyarakat sekitar (Smith, 2003). Penelitian ini memberikan pelatihan kebersihan dan kesehatan di institusi pendidikan yaitu pondok pesantren kepada pendamping. Pelatihan kebersihan dan kesehatan yaitu salah satu upaya membudayakan perilaku hidup bersih dan
14
sehat bagi santri dan pendamping di institusi pendidikan pondok pesantren untuk mengenali masalah dan tingkat kesehatannya, serta mampu mengatasi, memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya sendiri. Penelitian ini memberikan intervensi berupa pelatihan kebersihan dan kesehatan lingkungan kepada pendamping agar para pendamping dapat memberikan informasi tentang hidup bersih sehat melalui penyampaian yang dapat diterima para santri dengan komunikasi berceramah yang efektif. Penjelasan lebih lengkap dapat dilihat pada gambar di bawah ini: Faktor penyebab: 1. Pengetahuan guru kurang 2. Pengetahuan siswa kurang 3. Tidak ada sosialisasi 4. Tidak ada fasilitas 5. Dinamika sosial di pesantren
Memiliki Pengetahuan dan Keterampilan tentang perilaku hidup bersih dan sehat
Santri berperilaku bersih dan sehat
Dampak yang terjadi - Lingkungan pondok pesantren kotor - Timbulnya berbagai penyakit seperti (scabies, alergi, saluran pernafasan, hepatitis, diare dll) - Adanya komplain dari masyarakat - Ketidaknyamanan lingkungan belajar - Image yang buruk di masyarakat tentang pondok pesantren
Pelatihan Kebersihan dan Kesehatan sebagai sosialisasi untuk hidup bersih sehat di pondok pesantren
Pendamping memiliki pengetahuan dan keterampilan hidup bersih dan sehat di pondok pesantren
Gambar 1 Gambar Alur Penelitian
Keterangan :
: Fokus penelitian
Penelitian ini memberikan keterampilan tentang perilaku hidup bersih dan sehat kepada pendamping. Pendamping mendapatkan pengetahuan tentang perkembangan remaja dan pengetahuan tentang perilaku hidup bersih dan
15
sehat. Pengetahuan perilaku hidup bersih dan sehat yang diberikan kepada pendamping hanya fokus pada 6 aspek PHBS di pondok pesantren yaitu (1) pengertian
kesehatan
lingkungan,
(2)
kebersihan
perorangan
(meliputi
kebersihan badan, mulut, kuku, rambut, pakaian dan saat menstruasi), (3) penggunaan air bersih, (4) penggunaan jamban sehat, (5) kebersihan pondok pesantren, (6) pengelolaan sampah. Alasannya adalah temuan dari hasil study pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti terdapat delapan aspek PHBS di pondok pesantren yang menjadi permasalahan utama di pondok tersebut, yaitu masalah kebersihan diri setiap santri, penggunaan air, kebersihan tempat wudlu yang jarang diperhatikan oleh santri, penggunaan jamban sehat, kebersihan asrama yang sangat kurang, kepadatan santri yang ada di pondok pesantren tiap kamarnya, kebersihan ruang belajar yang sangat kurang dan kebersihan halaman terutama pengelolaan sampah di pondok pesantren yang sering kali terjadi komplain dari masyarakat. Untuk itu peneliti hanya menggunakan aspekaspek tersebut untuk dijadikan fokus penelitian. Keterampilan menyampaikan materi kebersihan dan kesehatan kepada pendamping (guru) berupa keterampilan komunikasi efektif melalui berceramah. Keterampilan
komunikasi
efektif
berdasarkan
pada
kemampuan
dalam
komunikasi verbal dan nonverbal. Keterampilan komunikasi verbal meliputi penjelasan (penjelasan yang jelas, menarik dan persuasif) juga terdapat media pendukung visual. Keterampilan komunikasi nonverbal meliputi cara pendamping mampu mendemonstrasikan dengan ekspresi yang tepat, seperti kontak mata, gerakan tubuh, ekspresi wajah, intonasi, memperlihatkan wajah audiens, responsif dan terbuka kepada audiens (Brown & Manogue, 2001). Keterampilan komunikasi ini diberikan kepada pendamping agar pendamping mampu
16
menyampaikan materi hidup bersih sehat dengan tepat dan dapat diterima dengan baik oleh santri agar santri dapat menerima informasi tanpa merasa terpaksa. Keterampilan yang didapat oleh pendamping pada proses pelatihan berdasarkan pada teori sosial kognitif Bandura, yakni proses pembelajaran dengan mengamati (Observasi) dan pembelajaran dengan bertindak. Proses dalam mengatur pembelajaran melalui observasi menurut Bandura (1986) terdapat empat tahap, yaitu: 1) Attention (perhatian), 2) Representation (gambaran), 3) Production (produksi perilaku), dan 4) Motivation (motivasi). Di dalam tahapan tersebut sebagian besar merupakan proses internal dari subjek belajar dalam melakukan pembelajaran sosial (Hall & Lindzey, 1993; Bandura, 1997 dalam Bastabel, 2002). Elemen inti pembelajaran dengan mengamati adalah pemodelan (Bandura, 1986), pendamping memperoleh pembelajaran (pengetahuan dan keterampilan) dengan mengamati dan mencontoh aktivitasaktivitas selama proses pelatihan. Selain itu, pembelajaran dengan bertindak mengizinkan seseorang untuk mencapai pola-pola perilaku lewat pengalaman langsung
dengan
memikirkan
dan
mengevaluasi
perilaku
tersebut
(Bandura,1986). Pendamping diberikan kesempatan untuk mempraktekkan langsung
materi
yang
telah
disampaikan
agar
mampu
mengevaluasi
pembelajaran yang telah dilakukan. Salah satu konsep inti dari teori sosial kognitif adalah modelling. Dalam kehidupan sehari-hari, modelling banyak sekali dilakukan. Anak-anak belajar tentang perilaku yang bisa diterima dengan mengamati perilaku orangtuanya atau orang disekitarnya. Para remaja akan meniru perilaku seseorang yang dianggap sebagai panutan. Bahkan orang dewasa pun menangkap petunjuk dari
17
orang lain tentang bagaimana cara berpakaian dan bertindak (John & Pervin, 2001). Modeling merupakan hal yang sangat penting di sekolah. Guru mendemonstrasikan berbagai ketrampilan seperti pemecahan masalah pada persoalan matematika, teknik menulis yang efektif, berpikir kritis, menganalisa dan lain-lain. Guru juga memberikan contoh nyata tentang bagaimana untuk berpikir dan memecahkan suatu masalah (Braaksma, 2004 dalam Eggen & Kauchak, 2010). Guru yang efektif juga menggunakan modeling kognitif, yaitu proses menunjukkan sesuatu yang dikombinasikan dengan pemikiran yang mendasari sebuah tindakan (Schunk, 2008). Hasil penelitian terdahulu penelitian yang dilakukan Haryono (2006) yaitu penyampaian pesan kesehatan lingkungan yang dilakukan dalam suasana religius serta figur guru/ustadz yang dipercaya dan dihormati di pesantren memberikan kontribusi pada perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku santri ke arah respon yang positif. Pengetahuan, sikap dan perilaku santri yang diberikan pendidikan kesehatan lingkungan melalui kultum oleh para guru/ustadz lebih baik dari pada santri yang tidak diberi intervensi kultum. Hasil penelitian Suharja (2007) yaitu metode ceramah dengan menggunakan modul memiliki efektifitas lebih tinggi di bandingkan dengan ceramah tanpa menggunakan modul terhadap pengetahuan, persepsi, motivasi, perilaku dan kebersihan gigi dan mulut santri usia 12-14 tahun. Penelitian ini dilakukan di pondok pesantren Sukahideung dan Sukamanah Kecamatan Singaparna Kabupaten Tasikmalaya. Hasil penelitian Mahyuni (2008) pelatihan dengan metode ceramah dan roleplay pada siswa di kabupaten Banjar, Sulawesi Selatan lebih efektif untuk meningkatkan sikap dan perilaku bersih siswa. Hasil penelitian As’ad, Hadju,
18
Nurachmah & Saleh (2011) mengemukakan bahwa pendidikan kesehatan dengan
pendekatan
modelling
yang
dilakukan
perawat
efektif
dalam
meningkatkan pengetahuan, kemampuan praktek, kepercayaan diri ibu dalam pemberian ASI dan menstimulasi bayi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Andrianto, Luthviatin, & Rokhmah (2011) menyatakan bahwa peran guru merupakan salah satu faktor penguat dalam pembentukan perilaku yaitu faktor yang mendorong untuk bertindak dalam mencapai suatu tujuan yang terwujud dalam peran keluarga terutama orang tua, guru dan petugas kesehatan untuk saling bahu membahu, sehingga tercipta kerjasama yang baik antara pihak rumah dan sekolah yang akan mendukung anak dalam memperoleh pengalaman yang hendak dirancang, lingkungan yang bersifat anak sebagai pusat yang akan mendorong proses belajar melalui penjelajah dan penemuan untuk terjadinya suatu perilaku. Selain itu seharusnya guru bisa dijadikan sebagai panutan dalam kehidupan siswa di sekolah. Pendamping di pondok pesantren juga seharusnya bisa dijadikan sebagai panutan dalam kehidupan sehari-hari bagi santri di pondok pesantren. Tujuan pelatihan adalah meningkatkan keterampilan komunikasi berceramah khususnya dalam menyampaikan materi perilaku hidup bersih dan sehat. Efektivitas pelatihan diukur dengan lembar observasi. Hipotesis dalam penelitian ini adalah pelatihan kerbersihan dan kesehatan meningkatkan keterampilan komunikasi berceramah pendamping di pondok pesantren. Keterampilan berceramah pendamping pada kelompok eksperimen meningkat setelah diberikan pelatihan dibandingkan dengan keterampilan berceramah pendamping pada kelompok kontrol.
19