DAMPAK STRATEGI TERHADAP PROFITABILITAS Studi pada perusahaan manufaktur Indonesia yang terdaftar di BEI
1
ABSTRAK Universitas Paramadina Program Studi Manajemen Bubun Bunyamin/209000013
Pengaruh Strategi terhadap Profitabilitas (Studi pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Indonesia) 28 + VII, 12,1 Penelitian ini bertujuan untuk menguji dampak strategi terhadap profitabilitas. Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pure strategy Porter (1980) dan hybrid stratgey (1992) Miller. Sampel pada penelitian ini adalah 103 perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI dari tahun 2009 sampai tahun 2010. Secara deskriptif, diperoleh gambaran tentang strategi perusahaan manufaktur di Indonesia. Berdasarkan kategori kelompok strategi yang dipakai, hybrid strategy adalah strategi yang paling banyak digunakan oleh perusahaan manufaktur di Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa : 1) hybrid strategy memiliki tingkat profitabilitas lebih tinggi daripada pure strategy; 2) hybrid strategy dengan mengombinasikan tiga dimensi generik memiliki tingkat profitabiitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan hybrid strategy yang tidak mengombinasikan tiga dimensi generik tersebut; 3) hybrid strategy dengan menggunakan dimensi cost memiliki tingkat profitabilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan hybrid strategy yang tidak menggunakan dimensi cost; 4) stuck in the middle memiliki tingkat profitabilitas yang lebih rendah dibandingkan dengan hybrid strategy tetapi masih lebh tinggi dibandingkan dengan no strategy alternative. Kata kunci : strategi, pure strategy, hybrid strategy, profitabilitas. Daftar Pustaka : 37, 1980 – 2010
The study aims to examine the strategy effect on profitability. This study used the pure strategy of porter (1980) and the hybrid strategy of Miller (1992). The samples of this study using 103 manufacturing company listed on Indonesian Stock Index (IDX) from 2009 to 2010. The result shows that Indonesia manufacturing company in this study mostly use the hybride strategy. This research finding that: 1) the hybrid strategy firm have the higher profitability compared to the pure strategy firm; 2) the hybrid strategy that combined the three dimension of the generic strategies has a higher level of profitability compared to the hybrid strategy do not combine those generic strategies; 3) hybrid strategy that using a low cost dimension lead to higher levels of profitability than hybrid strategy that do not; 4) stuck in the middle strategy lead to a lower 2
level of profitability compared with the hybrid strategy, but still higher than no strategy alternatives. Keywords : Strategy, pure strategy, the hybrid strategy, profitability. 1.
PENDAHULUAN Dalam keadaan menghadapi gejolak ekonomi dan ketidakstabilan perdagangan global
dalam satu dekade terakhir, sektor manufaktur Indonesia mungkin berada pada titik tolak kebangkitan setelah satu dekade yang sulit pasca krisis keuangan Asia. Pada tahun 2010, kegiatan manufaktur di Indonesia mulai bangkit karena adanya pemulihan ekonomi global dan sentimen investor yang lebih baik terhadap prospek yang ditawarkan oleh pasar domestik. Perkembangan positif ini pasti menggembirakan dan perlu dipertahankan. Akan tetapi, untuk mengembalikan sektor manufaktur Indonesia ke dalam peta manufaktur global, dibutuhkan kemajuan berkelanjutan yang terutama bergantung pada teratasinya tantangan-tantangan fundamental yang menghambat daya saing perekonomian Indonesia. Pemerintah pusat dan daerah memainkan peranan penting dalam mengembangkan kerangka kebijakan dan iklim usaha yang kondusif bagi sektor manufaktur guna mencapai potensinya secara penuh sebagai mesin pendorong inovasi, kewirausahaan, penciptaan lapangan kerja dan kemajuan ekonomi di Indonesia. Perdebatan kebijakan seputar revitalisasi sektor manufaktur adalah tepat waktu karena berbagai alasan. Pertumbuhan di Indonesia digerakkan oleh lonjakan perdagangan komoditas global dalam beberapa tahun belakangan ini. Ekspor komoditas dan sumber daya primer telah meningkat secara signifikan dan menarik investasi dalam jumlah besar. Tetapi meskipun sektor jasa mempunyai kinerja yang kuat, sektor manufaktur Indonesia belum berhasil mendapatkan kembali dinamismenya yang semula (http://www-wds.worldbank.org, 2012). Kekhawatiran yang sering disampaikan olehpemerintah adalah bahwa selama masalah-masalah fundamental yang melemahkan daya saing di sektor manufaktur tidak diatasi, Indonesia dapat terlalu bergantung pada sektor primer yang terbatas kapasitasnya untuk memberikan kontribusi kepada pembangunan ekonomi di masa mendatang. Kinerja sektor manufaktur yang lemah juga dapat menambah dorongan untuk memberlakukan berbagai kebijakan intervensionis yang belum tentu dapat
menyelesaikan
persoalan-persoalan
inti
(http://www-wds.worldbank.org,2012).
Pembahasan mengenai manufaktur di Indonesia saat ini masih sangat relevan, hal ini dibuktikan dengan perhatian Pemerintah Indonesia yang tertuang dalam Master plan Percepatan dan 3 1
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), yang mencakup pengembangan industri manufaktur di seluruh koridor ekonomi utama Indonesia sebagai salah satu fokus utama (http://www-wds.worldbank.org) . Kemunculan kebijakan MP3EI ini terkesan terlambat, namun hal ini bisa menjadi angin segar bagi peningkatan perekonomian Indonesia dengan harapan daya saing perindustrian di Indonesia bisa meningkat juga. Dengan pertumbuhan ekonomi diatas 6% per tahun dan GDP per kapita melebihi 3000 Dollar Amerika, Indonesia menjadi negara yang diperhitungkan di perekonomian global (.http://www-wds.worldbank.org, 2011). Indonesia juga dianggap mampu bertahan pada The Second Great Depression pada tahun 2008 dan menjadi salah satu negara yang tidak terkena dampak yang signifikan. Memperkuat daya saing perusahaan-perusahaan di Indonesia menjadi hal yang penting dilakukan oleh pemerintah dalam hal peningkatan perekonomian negara, tidak terkecuali daya saing industri manufaktur. Selama ini, belum pernah ada studi secara mendalam mengenai bagaimana gambaran daya saing perusahaan manufaktur di Indonesia, serta strategi apa saja yang digunakan perusahaan manufaktur Indonesia untuk menghadapi persaingan global.
Peningkatan daya saing yang melibatkan perusahaan dalam sebuah industri akan selalu simultan dengan peningkatan keunggulan bersaing (competitive advantages). Persaingan yang sehat serta berkelanjutan akan membuat industri lokal mengalami pertumbuhan dan sejalan dengan itu akan meningkatkan profit perusahaan dalam industri tersebut. Pada industri manufaktur misalnya, untuk menjaga persaingan, perusahan-perusahaan di industri ini harus melakukan beberapa strategi untuk menghadapi para pesaing, strategi yang mungkin diterapkan adalah strategi efisiensi biaya dan diferensiasi (Porter: dalam Dess, Lumpkin dan Eisner 2007). Sejak Porter menerbitkan studi yang mengusulkan tiga jenis strategi mutully exclusive yang berbeda dari strategi persaingan generik, berbagai studi telah memicu perdebatan yang berkisar pada tiga aspek utama, yaitu (a) apakah startegi perusahaan apapun bisa diwakili oleh satu dari tiga jenis strategi generik yang dikemukakan oleh Porter yaitu, deferensiasi, cost leadership, dan fokus (Miller and Dess, 1993), (b) kompatibilitas atau ketidak cocokan antar strategi (Hill 1988) dan (c) kesempatan menggabungkan strategi untuk tujuan memperbaiki kinerja dan lebih baik beradaptasi dengan tuntutan yang ditimbulkan oleh lingkungan (Miller,1992). 4
Teori-teori yang terbaru, khususnya dalam kerangka pendangan berbasis sumber daya perusahaan telah menguatkan dugaan bahwa strategi berperan besar terhadap peningkatan profitabilitas. Semakin baik kualitas perusahaan yang berhubungan dengan organisasional dan kapabilitas manajerial menjadi faktor yang menunjukan keberlangsungan keunggulan kompetitif perusahaan dan profitabilitas. Semakin ketatnya persaingan industri manufaktur ditandai dengan banyaknya produk impor dan produk ilegal yang dengan mudahnya masuk ke pasar Indonesia sehingga menjadi hambatan bagi perusahaan manufaktur di Indonesia untuk menguasai pasar. Daya saing produk manufaktur semakin melemah. Di dalam negeri, produk manufaktur seperti elektronika rumah tangga kalah bersaing dengan produk impor, apalagi diperburuk dengan banyaknya produk ilegal. Di pasar internasional, produk tekstil dan produk kayu yang masih menjadi primadona ekspor kalah bersaing dengan produk dari Cina dan negara ASEAN lainnya. ( www.fiskal.depkeu.go.id ). Untuk itu perusahaan Indonesia harus memeiliki rangkaian strategi yang tepat untuk mnghadapi serbuan barang impor tersebut. Berdasarkan pada latar belakang tersebut peneliti akan mencoba menguraikan bagaimana gambaran strategi yang digunakan oleh perusahaan manufaktur di Indonesia dalam upaya membendung serbuan barang murah dari Cina dan negara-negara lain. Melihat pada uraian literatur Porter (1980) mengemukakan bahwa perusahaan akan mampu meningkatkan kinerjanya diatas perusahaan lain adalah dengan menerapkan strategi generik (pure). Di sisi lain Miller (1992) berpendapat bahwa untuk Negara degan iklim persaingan industri yang multi kompetitif, perusahaan akan meningkat profitabilitasnya dengan mengadopsi strategi kombinasi (hybrid). Di sisi yang berlawanan dengan kedua strategi diatas ada beberapa perusahaan yang lebih meilih untuk berdiri di antara kedua strategi tersebut, perusahaanperusahaan tersebut lebih memilih strategi stuck in the middle . Berdasarkan pada fakta bahwa Indonesia merupakan negara dengan iklim persaingan industri yang tidak hanya membentuk persaingan dari dalam, juga persaingan dari luar, sehingga strategi yang mungkin paling cocok adalah strategi hibrida. Selanjutnya, strategi hibrida dapat dinyatakan bahwa kesuksesan perusahaan merupakan bagian dari dua faktor yang saling berkaitan. Pertama, strategi ini merupakan kombinasi dari beberapa dimensi stategi generik. Pada dasarnya, jika strategi hibrida lebih unggul dibandingkan dengan strategi generik Porter, kemudian semakin kompleks gambaran strategi perusahaan, 5
semakin kuat pertahanan terhadap posisi perusahaan, sehingga profitabilitas perusahaan akan semakin tinggi. Kombinasi dari tiga strategi generik (low cost, marketing, dan teknologi) akan lebih baik dibandingkan dengan mengombinasikan dari dua strategi (low cost dan diferensiasi), tetapi kombinasi dari dua strategi (low cost dan diferensiasi) akan lebih baik daripada hanya menggunakan satu dimensi saja (low cost atau marketing atau teknologi). Faktor kedua hubungannya dengan posisi penggunaan dimensi low cost dalam konteks persaingan industri di Indonesia, strategi ini dapat diterapkan perusahaan dalam proses produksi, yang sebelum era globaisasi menjadi perhatian utama para perusahaan untuk meningkatkan keunggulan kompetitif dari pesaing. Bila hal ini benar. seharusnya strategi hibrida dengan menekan biaya rendah menjadi komponen utama dalam kombinasi strategi hibrida. Perusahaan yang menempatkan dirinya di tengah-tengah (rata-rata), menekankan pada semua dimensi strategi generik kemudian disebut strategi stuck in the middle (Miller dan Dess, 1993). Stuck in the middle umumnya memiliki daya saing yang rendah daripada strategi hibrida. Profitabilitas dari strategi ini diharapkan mampu menempati posisi pertengahan. Meskipun profitabilitasnya di bawah strategi hibrida karena penggunaan biaya secara rata-rata dari ketiga dimensi generik namun masih memiliki profitabilitas yang lebih tinggi dari “no strategy alternative” (Zaralis, Lioukas, Spanos ; 2004). Strategi stuck in the middle bisa jadi strategi alternatif bagi perusahaan di Indonesia untuk bersaing jika perusahan tidak mampu mengoptimalkan strategi diferensiasi karena kesulitan dalam membiayai peralatan yang canggih. Beberapa studi mengenai dampak strategi terhadap profitabilitas telah dilakukan di beberapa negara di Eropa, dan hasilnya bahwa strategi dan industri berperan penting dalam peningkatan profitabilitas, seperti studi yang dilakukan di Yunani dan Spanyol yang menggunakan data dari perusahaan-perusahaan manufaktur di negara-negara tersebut. Pada penelitian yang akan dilakukan ini bertujuan untuk melihat perbandingan profitabilitas pada kelompok strategi pada perusahaan manufaktur di Indonesia, dengan menggunakan data perusahaan manufaktur di tahun 2009-2010 yang tercatat di BEI. 2.
PERMASALAHAN a. Bagaimana gambaran strategi perusahaan manufaktur di Indonesia menurut kelompok strategi yang dikemukakan oleh Porter (1980 ) & Miller (1992) ? b. Bagaimaan perbandingan profitabilitas pada masing-masing kelompok strategi? 6
3.
TUJUAN PENELITIAN Sesuai dengan rumusan masalah diatas, tujuan dari penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui bagaimana gambaran strategi perusahaan manufaktur di Indonesia menurut kelompok strategi yang dikemukakan oleh Porter (1980) & Miller (1992) b. Untuk mengetahui bagaimana perbandingan profitabilitas pada masing-masing kelompok strategi tersebut.
4.
METODOLOGI Metode penelitian adalah cara ilmiah untuk mengumpulkan data atau informasi dengan
tujuan dan kegunaan tertentu, tujuannya adalah untuk memecahkan permasalahan penelitian. Arikunto (2007) mengemukakan bahwa objek penelitian adalah suatu yang menjadi inti dari problematika penelitian. Menurut Sugionao (2002) objek penelitian adalah sesuatu yang menjadi pemusatan pada penelitian atau dengan kata lain sesuatu yang menjadi sasaran penelitian. Objek penelitian yang di angkat dalam penelitian ini adalah dampak strategi terhadap profitabilitas. a. Sampel penelitian Sampel penelitian menurut Arikunto (2007) merupakan sesuatu yang sangat penting kedudukannya dalam penelitian, sampel penelitian harus ditata sebelum peneliti siap untuk mengumpulkan data. Sampel penelitian dapat berupa benda, hal atau orang. Sampel penelitian pada umumnya merupakan manusia atau apa saja yang menjadi urusan manusia. Maka sampel dari penelitian ini adalah perusahaan manufaktur yang tercatat di BEI yang memiliki data keuangan lengkap tahun 2009 - 2010. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Menurut Sarwono (2006) data sekunder merupakan data yang sudah tersedia sehingga tinggal mengupulkan dan mengolahnya. Data sekunder dalam penelitian ini berupa laporan keuangan perusahaan manufaktur yang tercatat di BEI dan memiliki data keuangan lengkap tahun 2009 dan tahun 2010. Laporan keuangan perusahaan diperoleh dari ICMD (Indonesian Capital Market Directory) 2010.
7
b. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah menggunakan judgment sampling. Metode ini merupakan salah satu jenis purposive sampling. Menurut Mudrajat (2003:119), judgment sampling merupakan metode penentuan sampel dimana peneliti memilih sampel berdasarkan penilaian terhadap karakteristik anggota sampel yang disesuaikan dengan maksud penelitian. Adapun kriteria-kriteria dipilihnya anggota populasi menjadi sampel dalam penelitian ini adalah perusahaan-perusahaan yang masuk dalam kelompok industri manufaktur yang tercatat di Bursa Efek Indonesia, dan memiliki data keuangan lengkap pada tahun 2009-2010. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan studi pustaka,dan dokumentasi. Metode dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan kepada subjek penelitian (Arikunto, 2006:133). Metode ini dilakukan dengan mencatat atau mengumpulkan data-data yang tercantum pada Indonesian Capital Market Directory yang berupa data laporan keuangan perusahaan-perusahaan yang tergabung di dalam perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2009-2010. Peneliti menggunakan sampel 103 data perusahaan yang tercatat di BEI. Berdasarkan kasifikasi JESICA (Jakarta Stock Industrial Clasification, terdapat142 perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur yang tercatat di BEI dari tahun 2009 – 2010. Dari 142 perusahaan tersebut terdapat 39 perusahaan yang tidak memiliki laporan keuangan lengkap dari tahun 2009 – 2010. Dengan demikian, perusahaan yang digunakan untuk sampel penelitian ini sejumlah 103 perusahaan. Tabel 1 menggambarkan proses pengambilan sampel. Tabel 1 Proses pengambilan Sampel Penelitian Keterangan
Jumlah
Perusahaan terdaftar di BEI menurut JESICA
142
Perusahaan dengan laporan keuangan tidak lenkap tahun 2009-2010
39
Sampel akhir yang dianalisis
103 Sumber : Data BEI (diolah peneliti)
c. Dimensi Operasional Variabel terikat merupakan variabel yang menjadi perhatian utama peneliti (Uma Sekaran, 2006). Sarwono (2006) variabel terikat (dependent variable) adalah variable yang memberikan 8
reaksi/respon jika dihubungkan dengan variable bebas. Dengan kata lain variabel terikat adalah variabel yang nilainya dipengaruhi oleh variabel bebas. Variabel terikat (devendent variable) dalam penelitian ini adalah profitabilitas. Profitabilitas adalah rasio yang mengukur seberapa besar kemampuan manajemen untuk memperoleh laba. Profitabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah Net Profit Margin (NPM). (net profit margin) dihitung dengan laba bersih setelah pajak per penjualan bersih Variable bebas merupaka variable yang mempengaruhi variable terikat, baik secara positif ataupun negative (Uma Sekaran, 2006). Variable bebas dalam penelitian ini adalah strategi. Strategi yang digunakan adalah strategi generic Porter (1980) serta strategi hibrida Miller (1992). Penelitian ini menguji tiga dimensi strategi generik yaitu, low cost, marketing, dan technology based differentiation. Low cost menggunakan ukuran Economic Value added dengan persamaan ; ….........................……… rumus (1) Semakin tinggi nilai economic value added maka perusahaan secara signifikan berhasil dalam melakukan efiiensi biaya (low cost). Marketing differentiation menggunakan ukuran advertising intensity dengan persamaan: ………………………………....……….……...…rumus (2) Technology intensity diformulasikan sebagai berikut : ……………………..…..…….….....rumus (3) Untuk strategi kombinasi hibrida diambil dari penelitian Spanos, Zaralis dan Lioukas (2007) yang dapat dilihat pada table 1, dengan pengembangan model seperti dibawah : …………….………….……………………….………………………rumus (4) Artinya ada 27 kombinasi strategi hibrida yang dihasilkan dari kombinasi dimensi strategi generik, Dimana n = tiga unsur dimensi (low cost, marketing differentiation, dan technology differentiation) dan P = possible value (low, medium, high).
9
Tabel 2. Pengembangan Tipe StrategiPorter dan Miller Dimensi Strategy Generik No Kombinasi *EVA tech. adv. Intensity imtensity pure strategy alternative 1 HIGH LOW LOW 2 LOW 3 LOW 4 HIGH 5-6 HIGH
HIGH
LOW
LOW HIGH hybrid strategy alternative HIGH HIGH AVERAGE or HIGH LOW AVERAGE or LOW
HIGH
HIGH
HIGH
11-13 HIGH
AVERAGE or LOW
AVERAGE or LOW
AVERAGE 14-16 or LOW
HIGH
AVERAGE or LOW
AVERAGE 17-19 or LOW
AVERAGE or LOW
HIGH
7-8 HIGH AVERAGE 9-10 or LOW
20 AVERAGE AVERAGE AVERAGE unclear or anattractive strategy
21 22 23 24 25 26 27
AVERAGE LOW LOW AVERAGE AVERAGE LOW LOW
AVERAGE AVERAGE AVERAGE LOW LOW LOW LOW
LOW AVERAGE LOW AVERAGE LOW AVERAGE LOW
strategy type
variable
pure low cost pure marketing diferentiation pure technology differenstiation
COST
3-dimension hybrid
COST+ADV+TECH
advetising and low cost low cost and technology differentiation advertising and technology differentiation low cost plus average low emphasis on the other advetising plus average or emphasis on the other technology differentistion plus average or low emphasis on the other average emphasis on all dimension
COST+ADV
low or average emphasis on all dimension
ADV TECH
COST+TECH
ADV+TECH
COST+OTHER
ADV+OTHER
TECH+OTHER STUCK
no strategy (refernce group)
*HIGH EVA signifies a low cost position, LOW value added signifies to opposite Sumber : Spanos, Lioukas, Zaralis, 2007 10
Pada tabel 2. dapat dilihat terdapat 12 nomor kombinasi strategi yang bisa diuji berdasar kinerjanya. Secara spesifik penelitian ini menguji pengaruh dari tiga Pure strategy ( COST, ADV, dan TECH) dan tujuh hybrid strategy ( COST+ADC+TECH, COST+ADV, COST+TECH, ADV+TECH, COST+OTHER, ADV+OTHER, DAN TECH+OTHER), kemudian menguji keberadaan stuck in the middle strategy sebagai strategi khusus hibrida yang menggunakan posisi rata-rata dari ketiga dimensi generik, dan terakhir no strategy alternative yang dikarakteristikan sebagai kombinasi strategi yang tidak jelas. d. Alat Analisis Data Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan statistik deskriptif dan Anova. Statistik deskriptif adalah bagian dari statistika yang membahas cara pengumpulan dan penyajian data, sehingga mudah untuk dipahami dan memberikan informasi yang berguna (Susetyo, 2010: 4). Statistik deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan suatu data yang dilihat dari mean, median, deviasi standar, nilai minimum, dan nilai maksimum. Pengujian ini dilakukan untuk mempermudah dalam memahami variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian. Penelitian ini menggunakan uji Anova. Uji Anova digunakan untuk pengujian lebih dari dua kelompok sampel untuk mengetahui apakah ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata hitung beberapa kelompok data (Santoso, 2009).
Asumsi yang digunakan dalam pengujian
Anova adalah varians dari populasi-populasi tersebut adalah sama dan sampel tidak berhubungan satu dengan yang lain. Karena jumlah sampel dalam penelitian ini sudah lebih besar dari 30, maka asumsi normalitas dianggap telah terpenuhi. Untuk menguji apakah data pada masing-masing kelompok sampel mempunyai varians yang sama, maka langkah-langkah yang harus dilakukan adalah dengan melakukan uji Levene. Uji Levene’s dipakai untuk membandingkan varians pada tiap kelompok sampel atau menguji apakah masing-masing kelompok sampel mempunyai varians yang sama (Santoso, 2009). uji Levene’s menguji setiap variabel secara spesifik. Jika menghasilkan nilai signifikansi di atas 0.05 maka dapat dikatakan kesamaan nilai varians variabel dependen ditinjau dari variabel independennya. Dengan demikian memenuhi syarat untuk melakukan uji anova. 11
Uji Anova digunakan untuk menganalisis pengaruh dari berapa variabel strategi seperti pure strategy Porter dan hybrid strategy Miller. Anova digunakan untuk menguji apakah ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata hitung beberapa kelompok sampel (Santoso; 2009). Anova mensyaratkan data-data penelitian untuk dikelompokan berdasarkan kriteria tertentu. Penggunaan varians sesuai dengan prinsip dasar perbedaan kelompok sampel. Kelompok sampel yang berbeda dilihat dari variabilitasnya. Ukuran yang baik untuk melihat variabilitas adalah varians atau standar deviasi. 5.
PEMBAHASAN a. Gambaran Umum Strategi Perusahaan Manufaktur di Indonesia berdasarkan kelompok strategi Porter dan Miller Untuk mengklasifikasikan perusahaan berdasarkan Strategi Porter dan Miller , digunakan
variabel cost, advertising, dan technology. Pada variabel cost menggunakan indikator EVA. Bila EVA tinggi, maka perusahaan itu tergolong efisien, dengan demikian bisa diklasifikasikan pada perusahaan yang low cost. Berdasar variabel cost, perusahaan dibagi menjadi tiga kategori, yakni perusahaan dengan low cost, hight cost, dan medium cost . Pada variabel technology indikator yang digunakan adalah technology intensity, yaitu seberapa besar penambahan teknologi pada perusahaan dibanding total penjualannya. Variabel tech dibagi menjadi tiga kriteria yaitu perusahaan hight tech, low tech dan medium tech. Jika nilai technology intensity tinggi maka perusahaan tersebut dikategorikan sebagai pengguna strategi hightech. Variabel Advertising mengunakan indikator advertising intensity yaitu seberapa besar biaya marketing yang dikeluarkan perusahaan dibandingkan total penjualannya. Pada variabel ini, juga dibagi menjadi tiga kategori yaitu perusahaan dengan hight advertising, low advertising dan medium advertising. Jika nilai Adv tinggi maka perusahaan dinyatakan menggunakan strategi Adv yang tinggi. Selanjutnya, berdasarkan ketiga variabel (Cost, Advertising dan Technology) perusahaan dikelompokkan kedalam empat jenis strategi, yakni pure strategy, hybrid strategy, stuck dan no strategy alternative. Penjelasan lebih detail tentang empat jenis strategi, dapat dilihat pada tabel 2 halaman 10. Gambaran strategi yang digunakan oleh perusahaan manufaktur di Indonesia berdasarkan pada kelompok strategi yang dikemukakan oleh Porter (1980) dan Miller (1992). disajikan dalam tabel 3. Berdasarkan penelitian pada 103 perusahaan yang diteliti, diketahui bahwa jenis hybrid strategy merupakan strategi yang dikemukakan paling banyak digunakan oleh perusahaan. 12
Terdapat 44 perusahaan yang menerapkan hybrid strategy. Strategi ini dicirikan oleh kombinasi dari tiga strategi generik (Cost + Adv + Tech) yang tinggi ataupun kombinasi dua dari tiga strategi generik tersebut. Hasil ini dapat dipahami bahwa di era persaingan global dengan iklim perekonomian di negara berkembang seperti Indonesia, hybrid strategy ini sangat baik untuk di terapkan. Miller (1992) menyatakan bahwa hybrid strategy merupakan strategi yang paling cocok di terapkan di negara dengan kondisi hyperkompetisi sehingga perusahaan tersebut mampu bersaing dan menghasilkan profit yang tinggi. Dess, Lumpkin dan Eisner (2007) menyatakan bahwa perusahaan dengan kinerja tertinggi adalah peusahaan yang mampu mengombinasikan kedua strategi generik tersebut. Tabel 3: Gambaran Strategi Perusahaan Berdasarkan Strategi Porter dan Miller Jenis Strategi
Jumlah Perusahaan
Pure Strategy
33
Hybrid Startegy
44
Stuck
21
No Strategy Alternative
5 Sumber : Data diolah oleh Peneliti
Strategi terbesar kedua yang banyak diterapkan oleh perusahaan adalah pure strategy , ditemukan sejumlah 33 perusahaan yang menerapkan strategi ini. Perusahaan yang menerapkan pure strategy adalah perusahaan dengan menggunakan salah satu dari tiga strategi generik, misalnya low cost, dalam persaingan global strategi ini tidak hanya membuat perusahaan mampu bertahan terhadap persaingan harga yang terjadi tetapi juga dapat menjadi pemimpin pasar (market leader) dalam menentukan harga dan memastikan tingkat keuntungan pasar yang tinggi (di atas rata-rata) dan stabil melalui cara-cara yang agresif dalam efisiensi dan keefektifan biaya, sehingga akan meningkatkan profirtabilitas. Begitu pula dengan strategi advertising, pengeluaran biaya marketing oleh perusahaan mampu mengkatrol penjualan. Diferensiasi dianggap oleh perusahaan ini mampu memberikan nilai unik bagi produk maupun jasa yang mereka tawarkan, sehingga mampu meningkatkan nilai jual produk atau jasa mereka. Di sisi lain differensiasi membuat produk atau jasa yang di tawarkan menjadi tidak mudah diduplikasi oleh perusahaan lain. Hasil yang cukup mengejutkan adalah terdapat 21 perusahaan yang menerapkan strategi stuck in the midle. Perusahaan yang tergolong stuck in the midle adalah perusahaan dengan 13
menggunakan ke tiga strategi generik secara rata-rata. Hasil ini cukup mengherankan, karena walaupun perusahaan yang melakukan efisiensi secara rata-rata dan mengeluarkan biaya iklan serta biaya penambahan technology rata-rata juga, namun hingga saat ini masih tetap bisa bertahan di pasar modal. Dari hasil penggolongan tersebut juga ditemukan 5 perusahaan yang memilih untuk tidak menggunakan ke tiga jenis strategi diatas atau disebut perusahaan dengan no strategy alternatif. Alasan dari perusahaan kategori ini adalah mereka merasa cukup mampu bersaing meski tanpa menggunakan tiga strategi generik ini. Setelah melihat gambaran umum mengenai pure strategy dan hybrid strategy pada tabel 3, penelitian ini juga memberikan gambaran lebih detail tentang pure strategy dan hybrid strategy. Tabel 4 menyajikan breakdown dari 12 jenis variabel strategi dari semua unsur pure strategy dan kombinasi hybrid strategy. Pada tabel 4 dapat lilihat bahwa pada pure strategy Porter, variabel COST menjadi variabel yang paling banyak digunakan oleh perusahaan manufaktur di Indonesia yaitu sebanyak 15 perusahaan dibandingan dengan ke dua jenis variabel strategi lainnya yaitu ADV dan TECH yang masing-masing digunakan sebanyak 13 dan 15 perusahaan. Hal ini menunjukan bahwa 15 perusahaan tersebut memilih untuk melakukan efisiensi biaya dalam upaya meningkatkan profitabilitas dibandingkan harus mengeluarkan biaya untuk iklan dan menambah investasi pada teknologi. Tabel 4: Gambaran Strategi persuahaan berdasarkan 3 Dimensi Pure Strategy dan Kombinasi Hybrid Strategy Jenis Strategi Jumlah Perusahaan Nama Perusahaan (Variabel) Pure Strategy Alternatif BTON, JKSW, JPRS, ETWA, INCI, APLI, CPIN, ARGO, KARW, MYRX, SIMM, KBLI, VOKS, AISA, Cost 15 AQUA SMGR, LMSH, BRPT, EKAD, SIMA, TRST, SULI, Adv 13 SPMA, INDS, ADMG, ESTI, DOID, DPNS Tech 5 RMBA, INAF, KAEF, SCPI, PYFA Hybrid Strategy Combinations Cost + Adv + JPFA, MLBI, KIAS, MYOR, GGRM, KLBF, SQBI, Tech 11 TSPC, MRAT, TCID, UNVR INTP, ARNA, TOTO, BUDI, AKPI, BRNA, DYNA, INKP, TKIM, BRAM, PRAS, CEK, DAVO, MAIN, Adv + Cost 15 CTBN Cost + Tech 5 DLTA, INDF, HSMP, DVLA, MERK Adv + Tech 9 IKAI, MLIA, POLY, BATA, ADES, SKLT, STTP, 14
Cost + Others Adv + Others Tech + Others
1 1 2
Stuck
21
ULTJ, SMSM IGAR GJTL RICI, BIMA SMCB, LION, TBMS, UNIC, FPNI, SAIP, AUTO, GDYR, LPIN, INDR, MYTX, PAFI, RDTX, KBLM, PSDN, KDSI, KICI, CNTX, ERTX, ALMI, INAI
Unclear on unacttractive combinations No Strategy 5 ASII, NIPS, SCCO, LMPI, SQMI Alternatif Sumber : 3 Elemen Pure Strategy Porter (1980) dan Kombinas Hybrid Strategy Miller (1992) (Diolah Peneliti) Untuk strategi hibrida yang dikemukakan oleh Miller, kombinasi ADV + COST paling banyak digunakan oleh perusahaan, yaitu sebanyak 15 perusahaan menggunakan kombinasi tersebut. Sementara kombinasi dari ke-3 unsur Pure strategy COST + ADV + TECH digunakan oleh 11 perusahaan. Hal ini menunjukan bahwa kombinasi dari ADV + COST dianggap oleh perusahaan akan mampu meningkatkan profitabilitasnya. Setelah menggolongkan perusahaan menjadi 12 jenis strategy tersebut, selanjutnya peneliti ingin menguji hipotesis tentang perbandingan profitabilitas pada masing-masing strategi.
b. Perbandingan profitabilitas pada masing-masing kelompok strategi yang dikemukakan oleh Porter (1980) dan Miller (1992). Hybrid Strategy merupakan strategi yang dipakai oleh mayoritas perusahaan manufaktur di Indonesia. Apakah penggunaan hybrid strategy tersebut mampu meningkatkan profitabilitas? Untuk mendapatkan jawabannya peneliti akan mencoba menganalisis jenis stratgei mana yang benar-benar memberikan peningkatan profitabilitas. Untuk menjawab pertanyaan kedua, peneliti menggunakan analisis vaians (Anova). Anova digunakan karena penelitian ini menguji apakah ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata hitung beberapa kelompok sampel.
Asumsi yang digunakan dalam Anova adalah terdapat
homogenitas dalam varian antar kelompok. Oleh karena itu, sebelum melakukan uji Anova, peneliti melakukan uji Levene’s. Uji Levene’s digunakan untuk membandingkan varians pada tiap variabel atau dengan kata lain menguji apakah setiap sampel mempunyai varians yang 15
sama
(Santoso,
2009). Uji Levene’s menguji setiap variabel secara spesifik. Jika nilai
signifikansi di atas 0.05 maka dapat dikatakan kesamaan nilai varians variabel dependen ditinjau dari variabel independennya. Dengan demikian memenuhi syarat untuk melakukan uji anova. Tabel 5 menunjukan hasil deskripsi statistik mengenai perbandingan antar kelompk strategi yang digunakan oleh perusahaan. Tabel 5 : Statistik deskriptif perbandingan profitabilitas antara kelompok strategi No Jenis Strategy N Mean Std. Deviation
1
2
Pure Strategy
33
-2.6039
0.27152
Hybrid Strategy
44
-2.2761
0.16884
Stuck
21
-2.8819
0.27649
No Strategy Alternatif
5
-3.1100
0.91528
COST + ADV + TECH
11
-2.318
0.726
Tidak Mengombinasikan 3 dimensi generik
33
-2.596
2.164
Variabel dengan dimensi Cost
32
1.157
0.569
Variabel tidak menggunakan dimensi Cost
12
-2.250
1.274
Stuck
21
-1.755
1.583
No strategy alternative
5
-3.113
2.048
Hybrid Strategy
44
.0559
0.229
3
4
Y=Profitabilitas Sumber : Output SPSS ( diolah Peneliti) Tabel 5 diatas merupakan tabel deskripsi statistik untuk membandingkan beberapa kelompok strategi yang digunakan oleh perusahaan. Ada empat kategori yang diuji berdasarkan nomor uji deskriptif. Pertama sejumlah 33 perusahaan yang menggunakan pure strategy 16
menghasilkan rata-rata profitabilitas -2.6039 dengan standar deviasi 0,2715, sedangkan 44 perusahaan yang menggunakan hybrid strategy yang menghasilkan rata-rata profitabilitas sebesar -2.2761 dengan strandar deviasi 0,16884. Kemudian sejumlah 21 perusahaan menggunakan stuck in the midle menghasilkan rata-rata profitabilitas -2.8819 dengan standar deviasi 0,27649 dan terakhir 5 perusahaan dengan no strategy alternative menghasilkan rata-rata profitabilitas -3,1100 dengan standar deviasi 0,91528. Kedua, terdapat 11 perusahaan yang mengombinasikan ke-tiga unsur generik (Cost + Adv + Tech) menghasilkan rata-rata profitabilitas -2,318 dengan standar deviasi 0.726, sedangkan 33 perusahaan yang yang tidak menggunakan kombinasi ke-tiga unsur generik menghasilkan ratarata profitabilitas sebesar -2,596 dengan standar deviasi 2,164. Ketiga, sejumlah 32 perusahaan yang menggunakan dimensi COST menghasilkan ratarata profitabilitas 1,157 dengan standar deviasi 0.569, sedangkan 12 perusahaan yang yang tidak menggunakan dimensi COST menghasilkan rata-rata profitabilitas sebesar -2,250 dengan standar deviasi 1,274. Sehingga perusahaan yang menggunakan variabel Cost memiliki rata-rata profitabilitas lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang tidak menggunakan variabel Cost. Keempat, sejumlah 21 perusahaan yang menggunakan strategy Stuck menghasilkan ratarata profitabilitas -1,755 dengan standar deviasi 1,583, sedangkan 5 perusahaan yang tidak menggunakan strategi (no strategy alternative) menghasilkan rata-rata profitabilitas sebesar 3,113 dengan standar deviasi 2,048 dan 44 perusahaan yang menggunakan Hybrid strategy menghasilkan profitabiitas 0,559 dengan standar deviasi 0.2294. Selanjutnya, setelah mendeskripsikan keempat kelompok variabel tersebut, peneliti menguraikan hasil uji anova pada masing-masing hipotesis. Uji Anova bertujuan untuk menguji apakah terjadi perbedaan prfitabilitas secara signifikan antara kelompok variabel pada masingmasing hipotesis. Tabel 6 menguraikan hasil uji Anova seperti terlihat di bawah.
17
Tabel 6: Uji Anova untuk melihat perbandingan setiap kelompok strategi No
Hipotesis
F
Sig.
1
H1
1,329
0,002
2
H2a
0,172
0,001
3
H2b
152,546
0,000
4
H2c
37,572
0,000
Sumber : output SPSS (diolah peneliti) Berdasarkan pada tabel 6 diatas masing-masing hasil uji Anova menghasilkan nilai F yang berbeda-beda dengan nilai probabilitas di bawah angka 0,05 (p<0,05). Hal ini menunjukan bahwa pada masing-masing hipotesis terjadi perbedaan tingkat profitabilitas pada masing-masing kelompok strategi yang digunakan oleh perusahaan. Dengan melihat hasil tabel deskriptif dan uji Anova dimana dapat dilihat bahwa pure strategy berbeda secara signifikan dengan hybrid strategy dan bahwa pure strategy memiliki ratarata profitabilitas yang lebih rendah dibandingkan dengan hybrid strategy. Hal ini sesuai dengan teori Miller (1992) bahwa hybrid strategy merupakan strategi yang paling cocok diterapkan di negara dengan kondisi hiper kompetisi sehingga perusahaan tersebut mampu bersaing dan menghasilkan profit yang tinggi. Bukti tersebut juga sesuai dengan temuan penelitian sebelumnya bahwa hybrid strategy memiliki peranan yang kuat terhadap peningkatan kinerja perusahaan (Eva M. Petrus – Ortega: 2007). Dess, Lumpkin dan Eisner (2007) juga berpendapat perusahaan dengan kinerja tertinggi adalah perusahaan yang mampu mengombinasikan strategi generik tersebut. Selain itu Dess, Lumpkin dan Eisner (2007) beranggapan bahwa di era perdagangan bebas ini perusahaan bisa menikmati keuntungan dalam mengombinasikan startegi hibrida, yaitu strategi yang mampu membuat perusahaan lain sulit menduplikasi produk yang dihasilkan dari kombinasi hibrida ini. Kedua,
berdasarkan
Cost+Adv+Tech
memiliki
pada
deskripsi
rata-rata
rata-rata
profitabilitas
profitabilitas
-2,318
dan
bahwa
variabel
kombinasi yang
tidak 18
mengombinasikan ketiga dimensi generik tersebut menghasilkan rata-rata profiitabilitas -2,596. Meski keduanya menghasilkan rata-rata profitabilitas yang negatif tetapi kombinasi Cost+Adv+Tech masih menghasilkan profitabilitas yang lebih baik. Dalam beberapa kasus kondisi ini mungkin saja dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti diberlakukannya ACFTA. Diberlakukannya perdagangan bebas ini membuat beberapa perusahaan di Indonesia sulit bersaing dengan perusahaan asal Cina yang menjual produk dengan harga di bawah standar. Ekonom Universitas Atmajaya, A Prasetyantoko (dalam http://www.kemenperin.go.id/, 2010), mengungkapkan bahwa lemahnya daya saing Indonesia dalam menghadapi perjanjian perdagangan bebas ACFTA, bakal memperbesar risiko menuju deindustrialisasi. Hal ini diperparah dengan tidak adanya desain industri yang komprehensif dan upaya maksimal untuk menekan produksi. Beliau menambahkan, daya saing negara kita masih rendah, sementara biaya produksi belum bisa diturunkan. Hal ini yang mungkin menyebabkan profitabilitas perusahaan yang menjadi sampel penelitian ini secara rata-rata masih negatif. Namun demikian, hipotesis 2a terbukti, bahwa perusahaan yang menerapkan kombinasi Cost+Adv+Tech masih menghasilkan profitabilitas yang lebih baik dibanding yang tidak mengkombinasikan ke tiga unsur dimensi generik tersebut. Ketiga, berdasarkan pada hasil deskripsi statistik untuk perbandingan kelompok strategi yang menggunakan dimensi low cost dengan yang tidak menggunakan dimensi low cost, dihasilkan bahwa rata-rata profitabilitas perusahaan yang menggunakan dimensi Cost lebih tinggi yaitu 1,157 dibandingkan dengan perusahaaan yang tidak menggunakan dimensi Cost yaitu sebesar -2,250. Hal ini membuktikan bahwa strategi dengan menggunakan variabel Cost akan mampu menghasilkan profitabilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang tidak menggunakan strategi dengan variabel Cost. Porter (1980) menyatakan bahwa perusahaan dengan menerapkan strategi low cost secara kotinyu akan mampu meningkatkan kemampuan produksi barang dengan biaya rendah dibandingkan dengan kompetitor, karena mampu meningkatkan skala produksi hingga bisa beroperasi lebih efisien. Strategi ini menurut Porter mampu menghasilakn return di atas rata-rata. Spanos, Zaralis dan Lioukas dalam penelitiannya yang berjudul “strategy and industry effect on profitability” menghasilkan bahwa hybrid strategy dengan menggunakan dimensi low cost memilki tingkat profitabilitas yang lebih tinggi dibandingkan hybrid strategy yang tidak menggunakan dimensi low cost. Dess, Lumpkin dan Eisner (2007 :164) juga mengemukakan bahwa keuntungan low cost dalam menghadapi 19
persaingan satu lawan satu memungkinkan perusahaan meningkatkan tingkat pengembalian, karena selain bisa menekan biaya produksi strategi ini juga bisa memproteksi perusahaan melawan kekuatan pembeli yang dapat menekan harga hingga mencapai tingkat harga produksi. Terakhir, perusahaan manufaktur di Indonesia yang tidak memiliki strategi memang memiliki profitabilitas yang sangat rendah dibandingkan dengan jenis strategi lainnya. Hasil ini mendukung dua penelitian sebelumnya, yang pertama, Spanos, Zaralis dan Lioukas (2004) menilai bahwa no strategi alternative dianggap sebagai strategi yang tidak menarik karena tingkat profitabilitasnya yang sangat rendah dibandingkan dengan strategi stuck in the midle, dan kedua adalah Dess, Lumpkin dan Eisner (2007) yang mengemukakan bahwa strategi hibrida memang sangat unggul jika dibandingkan dengan strategi stuck in the midle dan no stratey alternative. 6. KESIMPULAN a.
Kesimpulan
Berdasarkan pada pembahasan yang diuraikan pada bab sebelumnya, maka kesimpulan dari penelitian ini adalah:
1. Gambaran strategy berdasarkan pembagian strategi yang dikemukakan oleh Porter (1980) dan Miller (1992) a. Hybrid strategy paling banyak digunakan oleh perusahaan manufaktur di Indonesia yaitu sebanyak 44 perusahaan, disusul oleh Pure strategy sebanyak 33 perusahaan dan stuck sebanyak 21 perusahaan. Sementara terdapat 5 perusahaan yang tidak memiliki strategi (no strategy alternative). b. Bila dilihat lebih detail pada perusahaan yang menggunakan pure strategy, dimensi cost paling banyak digunakan oleh perusahaan yaitu sejumlah 15 perusahaan dari total 33 perusahaan. Sementara pada hybrid strategy, variabel Adv + Cost paling banyak digunakan yaitu sebanyak 15 perusahaan dari total 44 perusahaan. 2. Perbandingan profitabilitas pada masing-masing kelompok strategi dapat disimpulakn sebagai berikut:
20
a. Pure strategy memiliki tingkat profitabilitas yang lebih rendah dibandingkan dengan hybrid strategy. b. Hybrid strategy dengan menggunakan kombinasi dari ke tiga dimensi generik memiliki tingkat profitabilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan hybrid strategy yang tidak mengombinasikan ke tiga dimensi generik. c. Hybrid strategy dengan dimensi Cost memiliki tingkat profitabilitas yang tinggi dibandingkan dengan hybrid strategy yang tidak menggunakan dimensi Cost. d. Stuck in the midle memiliki tingkat profitabilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan no strategy alternatif
tetapi masih lebih rendah dibandingkan hybrid
strategy. b. Saran Penelitian ini memberikan peluang bagi peneliti-peneliti selanjutnya untuk mengambangkan pengetahuan lebih lanjut dengan menggali beberapa aspek yang belum dibahas dalam penelitian ini. Saran-saran untuk penelitian selanjutnya adalah : 1. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebatas meneliti tentang strategi perusahaan yang merupakan faktor internal perusahaan dalam meningkatkan profit. Berdasarkan penelitian sebelumnya ada beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi profitabilitas perusahaan seperti, industry barrier, industry consentration, dan industry growth, pada penelitian selanjutnya diharapkan faktor-faktor ekternal diatas bisa dijadikan variabel penelitian. 2. Objek penelitian pada penelitian ini merupakan perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI dan merupakan perusahaan besar. Sementara pada studi literatur juga ditemukan penelitian dengan subyek penelitian perusahaan-perusahaan UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah). Usaha kecil menengah inilah yang sebenarnya mengalami dampak signifikan dari globalisasi, dan pada beberapa negara juga ditemukan lebih mampu bertahan pada kondisi krisis, oleh karena itu penelitian dengan subyek UMKM juga menarik untuk dilakukan penelitian. 3. Penelitian ini adalah sebatas penelitian yang ekplanatif, yang menyimpulkan bahwa strategi berperan dalam menghasilkan profitabilitas. Pada penelitian selanjutnya diharapkan bisa dilakukan studi observatif yang mendalam untuk mengetahui faktorfaktor apa saja yang mepengaruhi perusahaan dalam mengambil kebijakan strategi. 21
4. Penelitian ini mengkaji pengaruh beberapa variabel pure strategy Porter dan hybrid strategy Miller. Hasil penelitian ini bisa dijadikan referensi bagi perusahaan manufaktur dalam memilih strategi perusahaan. 5. Penelitian ini menguji pengaruh strategi terhadap profitabilitas pada perusahaan manufaktur, dan membuktikan bahwa strategi memiliki berperan dalam meningkatkan profitabilitas. Untuk penelitian selanjutnya apakah jenis strategi Porter dan Miller ini juga berperan terhadap profitabilitas pada indutri lain di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto. 2007. Manajemen penelitian. Jakarta: PT Bineka Cipta Buzzel RD.1990. Commentary on ‘Unobservable effects and business performance’.Marketing science 9: 86-87 Buzzel RD, Gale BT, Sultan RGM.1975.Market share, a key to profitability. Harvard Business Review 53 (1). 97-107 Barney, J. 1991. Firm resources and sustained competitive advantages. Journal of Management , 99-120. David, F. R. 2011. strategic management . New Jersey: Pearson Education, inc. David JS, Hwang H, Pei BK, Reneau JH. 2002. The performance effects of congruence between product competitive strategies and purchasing management design. Management Science 48(7): 866-885 Dess G, D. P. 1984. Porter's (1980) generic strategies as determinants of strategic group membership and organizational performance . Academy of Management Journal 27. Dess, L. E. 2007. strategic management. New York: McGraw-Hill/Irwin. Hall. 1980. Survival strategies in a Hostile environment. Haarvard Business Review 58 (5) : 687707. Hambrick, D. 1983. High Profit Strategies in mature capital goods industries : a contingency approach. Academy of Management Journal 26. Helms MM, Dibell C, Wright P. 1997. Competitives Strategies and business performance : evidence from the adhesives and sealant industry. Management Decision 35(9): 689-703 22
Hills C. 1988. Differensiation versus low cost or differensiation and low cost: a coningency framework. Academy of Management Journal 25: 265-298 Hill C, HansenG. 1991.A longitudinal study of the cause and consequences of change in diversification in the U.S pharmaceutical industry, 1977-1986. Strategic Management Journal 12(3): 187-199 Huston dan Brigham. 2010. Dasar-dasar manajemen keuangan. Jakarta: Salemba Empat Miller. the generic strategy trap. journal of business strategy. January-Februari 37-41 Miller A, Dess GG.1993. Assesing Porter's (1980) models in term of its generalizability, accuracy, and simplicity. Journal of Management Studies 30: 553-584 Miller D, Friesen PH. 1986. Porter's (1980) generic strategies and performance: an empirical examination with American data. Part II : Perfoemance implications. Organizaion studies 7: 255-261 Munawir.2004.Analisa laporan keuangan: Edisi keempat. Yogyakarta: Liberty Murray A. 1988. A contingency view of Porter's generic strategies. Academy of Management Review 13: 390-400. Porter. 1980. Competitive Strategy: Techniques for Analyzing Industri and Competitors. New York: Free Press. Porter M. 1985. Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior Performance. Free Press: New York. Porter M. 1990. The Competitive Advantage of Nations. Free Press: New York. Porter M. 1991. Towards a dynamic theory of strategy. Strategic Management Journal, Winter Special Issue 12: 95-117 Rumelt R. 1991. How much does industry matter? Strategic Management Journal 12(3): 167185. Sapienza HJ, Smith KG, Gannon MJ. 1988. Using subjective evaluations of organizational performance in small business research. American Journal of Small Business, Winter: 45-53. Sakaran, U.2006. Metode penelitian bisnis.Jakarta : Salemba Empat Santoso. 2009. Panduan lengkap mengasai statistik dengan SPSS 17. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Santoso .2010. Statistik multivariat, konsep aplikasi dengan SPSS. Jakarta: PT Elex Media Komputindo 23
Sarwono, J. 2006. Analisis Data Penelitian menggunakan SPSS. Bandung: ANDI. Sarwono, J. 2006.Metode penelitian kualitatif dan kuantitatif. Yogyakarta:Graha Ilmu Spanos, Zaralis dan Lioukas. 2004. Strategy and Industry effects on profitability : evidence from Greece. John Wiley & Sons. Sugiono. 2002. Metode penelitian administrasi. Bandung: CV Alfabeta Weiss LW. 1974. The concentration-profits relationship and anti-trust. In Industrial Concentration: The New Learning, Goldschmid HJ, Mann HM, Weston JF (eds). Little, Brown: Boston, MA; 184-233.
24