Dampak KonsensusWashington Dan Ratifikasi GATS Terhadap Kebijakan Pendidikan Tinggi Di Indonesia Studi Kasus : UndangUndang PendidikanTinggi No. 12 Tahun 2012.
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
oleh:
Muhammad Ikhsan 106083003661
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2013
ABSTRAKSI
Skripsi ini menganalisis dampak Dampak Konsensus Washington Dan Ratifikasi GATS Terhadap Kebijakan Pendidikan Tinggi Di Indonesia Studi Kasus: Undang-Undang PendidikanTinggi No. 20 Tahun 2012. Isu ini sangat menarik untuk diteliti karena kebijakan pendidikan di Indonesia saat mengadopsi kesepakatan GATS, skripsi ini juga banyak membicarakan mengenai perkembangan kebijakan pendidikan di Indonesia dimulai sejak Indonesia merdeka lewat UU No.22 tahun 1961, hingga UU No. 12 tahun 2012. Selanjutnya kebijakan pendidikan Tinggi di Indonesia terpengaruhi ketentuan GATS. Skripsi ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang dilakukan melalui studi kepustakaan yang banyak mengandalkan data–data primer dan sekunder. Skripsi ini memakai teori neoliberalisme yang didefinisikan oleh Balaam dan Veseth, Andrew Heywood, serta Francis dan Wibowo, serta pandangan Washington Konsensus dari John Wiliamson, Josepth Stiglish, Theo F. Toemion dan John Perkin. Dan juga dalam pandangan ekonomi politik internasional menurut Susan Strange, Rowland Maddock serta Michael Veseth. Dampak yang ditimbulkan oleh Washington Konsensus di Indonesia di bidang pendidikan adalah dikeluarkannya PP No. 60 Tahun 1999 dan PP No.61 Tahun 1999 tentang status tentang status pendidikan tinggi negeri (PTN) berubah statusnya dari lembaga yang berada dibawah Depdiknas menjadi sebuah lembaga otonom yang dapat dimiliki oleh pihak swasta. Tahun 2000, dikeluarkan peraturan pemerintah tentang perubahan status beberapa PTN menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Lalu dampak dari pemberlakuan GATS adalah dikeluarkannya UU BHP tahun 2003 (telah dimakzulkan oleh Mahkamah Konstitusi) dan yang saat ini berlaku adalah UU Perguruan Tinggi No.12 tahun 2012.
Kata Kunci : GATS, IMF, Washington Konsensus, UU Perguruan Tinggi no. 12 tahun 2012.
i
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur bagi Allah SWT atas segala rahmat dan nikmat-Nya, sehingga terselesaikanlah skripsi ini untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar sarjana pada jurusan Hubungan Internasional. Tantangan dan hambatan serta rintangan dalam menyelasikan skripsi ini sangatlah berat, dikarenakan rasa malas yang selalu menghatui, namun berkat keinginan untuk segera lulus maka rasa malas itu harus segera dihilangkan dengan memulai mengerjakan lagi skripsi. Disamping rasa malas juga ada beberapa usaha yang sulit untuk ditinggalkan (maklumlah nama juga cari uang) antara lain penerbitan buku yakni MKM (Mega Kreasi Media), parapromo.net (bisnis dibidang perdagangan dan penyedian barang jasa) serta CV. BSM bersama temanteman kampus. Namun akhirnya demi skripsi maka di istirahatkanlah sejenak urusan cari uangnya. Rasa syukur dan terima kasih tak lupa saya ucapkan kepada Ibunda tercinta beserta Ayahanda serta yang selalu dekat Astri Novita Nurmaya, Ketua Jurusan Bapak Kiki Rizky Msi, pembimbing saya Bapak Arisman Msi. Tak lupa pula teman-teman Hubungan Internasional Angkatan 2006 baik kelas A dan B antara lain; M. firmanysah, Maman, KW, Eta, Yeni, Ibnu, Wer, Cukong, Nanda, dan semuanya tanpa bisa disebutkan satu persatu terutama gelombang terakhir.
Muhammad Ikhsan
ii
DAFTAR ISI ABSTRAKSI........................................................................................................... i KATA PENGANTAR ............................................................................................ i DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii DAFTAR SINGKATAN...................................................................................... iiv DAFTAR TABEL .................................................................................................. v DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... vi BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 A.
Pernyataan Masalah………………………….…………………..………..1
B.
Pertanyaan Penelitian…………………………………………..………….7
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………………...……….7 C.1
Tujuan penelitian………………………………………………….8
C.2
Manfaat Penelitian……………………………………….………..8
D.
Tinjauan Pustaka………………………………………………..…………8
E.
Kerangka Teoritis…………………………………………………...……10 E.1
Neoliberalisme……………………………………………...……11
E.2
Washington Konsensus…………………………………………..13
E.3
Ekonomi Politik Internasional……………...................................15
E.4
Ratifikasi…………………………………………………………18
E.5
Pendidikan Nasional………………………………..……………18
E.6
Privatisasi…………………………………………………….…..19
F.
Metode Penelitian………………………………………………………..21
G.
Sistematika Penulisan………………………………………………...….22
iii
BAB II
LATAR
BELAKANG
TERBENTUKNYA
KONSEP
KONSENSUS WASHINGTON…………………………………25 A.
Proses terbentuknya IMF dan World Bank………………..……..25
B.
Pandangan Konsensus Washington menurut John Wiliamson…..28
C.
Peran Indonesia di WTO dan GATS……………………………31
C.1
Ratifikasi
Indonesia
dalam
GATS
di
bidang
pendidikan……………………………….……………………….33
BAB III
KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI INDONESIA SEBELUM DAN SESUDAH RATIFIKASI GATS……………...…………..36
A.
Kebijakan pendidikan tinggi menurut Undang-undang nomor 22 tahun 1961 tentang perguruan tinggi serta UU No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional…………………….……….36
B.
Globalisasi dan Kebijakan Pendidikan Tinggi………………...…40 B1.
Kebijakan Pendidikan Tinggi menurut PP No. 60
Tahun
1999 dan PP No.61 Tahun 1999…………………….…44 C.
Latar belakang pembentukan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan di Indonesia (UU BHP)………………………….…46
iv
C.1 D.
Privatisasi Pendidikan Melalui UU BHP……….………48
Latar belakang pembentukan Undang-Undang Pendidikan Tinggi No. 12 Tahun 2012………………………………………….….52
BAB IV
ANALISIS
DAMPAK
RATIFIKASI
GATS
TERHADAP
KEBIJAKAN PENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA………54 A.
Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.12 Tahun 2012
dalam
kerangka GATS………………………………………………......54 B.
Analisis dampak penerapan Undang-undang Perguruan
Tinggi
no. 12 tahun 2012………………………………………..…..…57
BAB V
KESIMPULAN…………………………………………….…....67
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………71 LAMPIRAN-LAMPIRAN………………………………………………………77
v
DAFTAR SINGKATAN
AS BHMN BUMN COWDOG Depdiknas FDI GATT GATS IFC IDA IPB ITB ITO IBRD Krismon LoI LIPI OECD PP PDB PTN PPM RUU BHP SAP Sisdiknas SPMB Mandiri TNCs TRIPS UI UGM USU UUD 1945 WTO
Amerika Serikat Badan Hukum Milik Negara Badan Usaha Milik Negara common wisdom of the dominant group Departemen Pendidikan Nasional Foreign Direct Investment General Agreement on Tariffs and Trade General Agreement on Tariffs and Services International Finance Corporation International Development Association Institut Pertanian Bogor Institut Teknologi Bandung International Trade Organization International Bank for Reconstruction and Development Krisis Moneter Letter Of Intent Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Organization for Economic Co-operation and Development Peraturan Pemerintah Produk Domestik Bruto Pendidikan Tinggi Negeri Post Program Monitoring Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan Structural Adjustment Programmed Sistem Pendidikan Nasional Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru Mandiri Trans National Corporations Trade Related Intellectual Property Rights Universitas Indonesia Universitas Gajah Mada Universitas Sumatera Utara Undang-Undang Dasar 1945 World Trade Organization
vi
DAFTAR TABEL
1. Tabel 1.1. UU No.22 Tahun 1961 2. Tabel 1.2. UU No.2 Tahun 1989
vii
DAFTAR LAMPIRAN.
1. UU Perguruan Tinggi No. 12 Tahun 2012 2. Sofian
Effendi.
Berkas
Perkara
di
Mahkamah
Konstitusi
No.
103/PUU/X/2012 tentang Pengujian Undang-undang Republik Indonesia No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi terhadap UUD NRI 1945. 3. TANYA-JAWAB SEPUTAR UU DIKTI NOMOR 12 TAHUN 2012 oleh Prof. Ir. Nizam, M.Sc., Ph.D. (Sekretaris DPT Ditjen Dikti)
viii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Pernyataan Masalah Skripsi ini memaparkan dampak Konsensus Washington dan ratifikasi
pemerintah Indonesia terhadap kebijakan GATS atas pendidikan studi kasus : Undang-undang pendidikan Tinggi No.12 tahun 2012. Isu ini sangat menarik untuk diteliti karena kebijakan Konsensus Washington dan kebijakan GATS terhadap pendidikan di Indonesia sangat berpengaruh terhadap ketetapan undangundang pendidikan tinggi.Pengaruh kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia,telah diawali oleh kebijakan Washington yang terhitung sejak tahun 13 November 1998 dengan di tandatanganinya LoI (Letter of Intent) antara Indonesia dan IMF (Letter of Inten Indonesia and IMF, Jakarta:1998). Pada tahun 1998 awal mula perjanijian tersebut, pemerintah diwajibkan mematuhi kesepakatan di bidang ekonomi, politik dan sosial melalui ketetapan Loi.Formulasi Konsensus Washington sangat berpengaruh dalam penetapan kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia khususnya pada penerapan LoI (Letter of Intent) antara Indonesia dan IMF (International Monetary Found) selanjutnya kebijakan pendidikan Tinggi di Indonesia terpengaruhi ketentuan GATS. Penulisan skripsi ini difokuskan kepada dampak yang ditimbulkan atas formulasi Konsensus Washington terhadap kebijakan pendidikan di Indonesia, dalam hal ini formulasi Konsensus Washington masuk melalui sektor sosial ekonomi politik yang kemudian di apresiasi kedalam sektor pendidikan melalui
1
kekuatan utama liberalisasi yakni; IMF, (International Monetary Found)dan World Bank. Selanjutnya WTO (World Trade Organization) melalui kebijakan GATS (General Agreement on Tarrifs and Services) yang kemudian kebijakan tersebut diadopsi oleh pemerintah Indonesia dengan kedalam Undang-Undang Pendidikan Tinggi No. 12 tahun 2012. Konsep kebijakan pendidikan sudah menjadi agenda
IMF atau
International Monetary Found sejak tahun 1989, melalui konsep Konsensus Washington yang dikemukakan oleh ekonom Amerika Serikat atau AS yang bernama John Wiliamson.Indonesia resmi bergabung dengan IMF Indonesia pada tanggal 15 April 1954 dan pada bulan Mei tahun 1965 Indonesia keluar dari IMF. Kemudian Indonesia kembali menjadi anggota IMF pada tanggal 23 Februari 1967 (Syamsul hadi et al. 2004A:51). Pada tahun 1954 ketika Orde Lama Indonesia mendapat bantuan IMF Sebesar AS$17 juta, dengan syarat-syarat yang dimaksud mencakup: restrukturisasi kebijakan perekonomian, devaluasi nilai rupiah, penundaan subsisdi, dan pengetatan anggaran belanja. Bantuan yang diberikan Indonesia tersebut tercantum dalam Contaiment policy AS untuk menangkal penyebaran komunis di Asia Tenggara (Syamsul Hadi et al. 2007B:52). Dengan pinjaman tersebut mulailah masuk investasi asing atau sering disebut FDI (Foreign Direct Invesment). Selanjutnya pada tahun 1980-an, setelah Indonesia banyak menderita kerugian akibat jatuhnya harga minyak dunia (Riwanto 2007:41). melaui International Monetary Funds (IMF) dan Bank Dunia lewat kebijakan SAP (Structural Adjustment Programme) mendesak pemerintah Indonesia untuk 2
melakukan reformasi dalam bentuk deregulasi, liberalisasi ekonomi, dan privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Selanjutnya Indonesia mulai melakukan deregulasi dan liberalisasi sektor ekonomi, antara lain, keuangan, perbankan, dan industri, yang dilaksanakan sejak pertengahan tahun 1980-an hingga awal tahun 1990-an. Menurut Rizal Malarangeng meskipun deregulasi dan liberalisasi ekonomi dipandang cukup berhasil, privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak terjadi. Setelah tahun 1991-1992, deregulasi mulai melambat seiring dengan naiknya kelompok konglomerat dan melebarnya kesenjangan ekonomi antara kaum kaya dan kaum miskin (2002:17-18). Lalu pada krisis ekonomi global atau lebih dikenal krisis moneter (krismon) berawal dari Thailand pada bulan Juli 1997 membawa negara-negara di Asia (Indonesia, Malaysia, Philipina, Korea Selatan) ke dalam
situasi
yang buruk. Kemajuan yang sangat mengesankan selama tiga dasawarsa, dengan pendapatan perkapita yang telah meningkat, kesehatan membaik, kemiskinan telah berkurang, secara amat dramatis hancur dalam sesaat. Awal dasawarsa 90an, negara-negara di Asia telah meliberalisasikan pasar keuangan dan pasar modal mereka, bukan karena mereka memerlukan tambahan dana, tetapi
karena
tekanan internasional, termasuk tekanan dari Departemen
Keuangan Amerika Serikat. Perubahan ini telah merangsang masuknya modal berjangka pendek. Yakni jenis modal yang mencari keuntungan sebesarbesarnya setiap hari, minggu, atau bulan berikutnya (Stiglitz 2002:15). Adapun pada krismon atau krisis moneter 1997 IMF dan World Bank masuk memberikan bantuan dengan syarat 3
SAP
(Structure Adjusment
Programe).SAP tersebut tertuang dalam perjanjian Letter Of Intent antara Indonesia dengan IMF (Syamsul Hadi et al. 2004B:51). Pada letter of intent diatur mengenai sejak tahun 1999 melalui penghematan belanja negara dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah atau PP No. 60 Tahun 1999 dan PP No.61 Tahun 1999 tentang status pendidikan tinggi negeri (PTN) berubah statusnya dari lembaga yang berada dibawah Depdiknas menjadi sebuah lembaga otonom yang dapat dibantu oleh pihak swasta. Tahun 2000, dikeluarkan peraturan pemerintah tentang perubahan status beberapa PTN menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Proses pem-BHMN-an PTN mengakibatkan kampus negeri yang sempat menjadi harapan rakyat Indonesia menjadi semakin sulit terjangkau, karena biayanya yang menjadi semakin mahal (Ruslan. Wajah Buruk Dunia Pendidikan). Berlanjut ke RUU BHP (Rancangan Undang-undang badan hukum pendidikan) yang merupakan amanat UU No.20/2003 yang kemudian menjadi Undang-undang BHPberisi tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Pada Pasal 51 Ayat (1) UU ini menyebutkan bahwa pengelola satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan menengah dilaksanakan dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah. Selanjutnya, Pasal 24 dan Pasal 50 Ayat (6) memerintahkan agar perguruan tinggi memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya. Untuk mewujudkan manajemen berbasis sekolah/ madrasah dan otonomi perguruan tinggi, maka Pasal 53 UU No.20/2003 mengamanatkan pembentukan badan hukum pendidikan. Badan hukum pendidikan berfungsi memberikan
4
pelayanan pendidikan formal kepada peserta pendidikan.Privatisasi pendidikan berawal dari apa yang dilakukan oleh aktor-aktor utamanya, yaitu Trans National Corporations (TNCs), yang dibantu oleh Bank Dunia/IMF (Internasional Monetary Fund), melalui kesepakatan yang dibuat dalam WTO (World Trade Organization) yang menganut paham, bahwa pertumbuhan ekonomi hanya bisa dicapai sebagai hasil normal melalui kompetisi bebas (Nurdin, Pro-Kontra Undang-Undang Bhp Dalam Konteks Mutu Pendidikan). Mekanisme ekonomi benar-benar diserahkan pada pasar bebas tanpa campur tangan pemerintah dan negara. Implikasinya, pemerintah dijauhkan dari campur tangan untuk meregulasi perusahaan-perusahaan swasta. Semua aspek mengalami liberalisasi dan kapitalisasi, termasuk bidang pendidikan. Proses otonomi kampus dan pencabutan subsidi pendidikan dilakukan karena dianggap akan menghambat persaingan bebas dalam bidang pendidikan, serta subsidi yang berlebihan di bidang pendidikan. Upaya Privatisasi atau upaya pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam menyelenggarakan dan membiayai pendidikan, terutama pendidikan dasar sembilan tahun secara gratis dan bermutu, sudah terlihat dalam legalitas pendidikan. Diawali dari kemunculan sejumlah pasal di Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Hal itu terlihat dari berkurangnya kewajiban pemerintah sebagai penanggung jawab utama dalam pendidikan dasar rakyat menjadi kewajiban bersama dengan masyarakat. Hal Ini terlihat pada Pasal 9 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyatakan bahwa masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya
5
dalam penyelenggaraan pendidikan, Pasal 12 Ayat 2 (b) yang memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, terkecuali bagi yang dibebaskan dari kewajibannya sesuai undang-undang yang ada. Pasal 50 ayat 6, perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya. Di tingkat perguruan tinggi, di Indonesia pada tahun 2000 beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) diubah bentuknya menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Beberapa Perguruan Tinggi Negeri pavorit seperti Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gajah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB) kemudian membuka jalur khusus dalam menerima mahasiswanya dengan biaya yang sangat besar (http://edukasi.kompas.com, Lulus SNMPTN, Kok, Bayarnya Mahal Juga?). Penjelasan di atas tentu sangat bertentangan dengan konstitusi UndangUnang Dasar 1945. Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan dengan tegas bahwa Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Kemudian dipertegas lagi dalam ayat (4) yang menyebutkan Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Tetapi apa yang terjadi, Pemerintah justru ingin berbagi tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan. Munculnya Rancangan Undang-
6
Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) menjadi bukti nyata sebagai ujung pelegalan privatisasi edukasi negeri ini. Setelah adanya undang-undang BHP yang kemudian di makzulkan oleh Mahkamah Konstitusi maka, Pada tanggal 13 Juli 2012, DPR-RI mengesahkan UU Nomor 12 Tahun 2012 Pendidikan Tinggi yang menggantikan UU BHP sebagai payung hukum penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia (http://suaramerdeka.com, Pembatalan UU BHP Munculkan Masalah Baru). Dan pada skripsi ini lebih lanjut akan membahas dampak konsensus washington dan ratifikasi GATS terhadap kebijakan pendidikan tinggi di indonesia studi kasus undang-undang pendidikan tinggi no. 20 tahun 2012
B.
Pertanyaan Penelitian Pengaruh dari Globalisasi dan perdagangan bebas, memaksa negara-negara
berkembang dan dunia ketiga masuk dalam skenario Konsensus Washington. Lalu ditambah pula dengan momentum Krisis ekonomi Asia 1997 atas dasar inilah begitu banyak negara Berkembang dan Dunia Ketiga terjebak dalam pengaruh kebijakan Konsensus Washington. Berdasarkan pernyataan masalah diatas maka dirumuskan kedalam pertanyaan penelitian sebagai berikut: Bagaimana dampak Konsensus Washington dan ratifikasi GATS terhadap kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia studi kasus : Undang-Undang Pendidikan Tinggi No. 20 Tahun 2012? 7
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Dalam penelitian atau kajian ilmiah
dilakukan untuk memberikan
gambaran objektif mengenai fenomena persoalan tertentu. Oleh karena itu, penulisan skripsi ini memiliki beberapa tujuan, antara lain:
C.1
Tujuan penelitian : 1.
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
memahami
konsep
Konsensus Washington dan Ratifikasi GATS terhadap kebijakan pendidikan di Indonesia. 2.
Untuk mengkaji dampak teori neoliberalisme dalam
ekonomi politik melalui kerangka IMF dan World Bank beserta turunannya yakni WTO dan GATS. 3.
Untuk kelengkapan dalam memperoleh gelar kesarjanaan
pada jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. C.2
Manfaat Penelitian : 1.
Untuk menambah wawasan mahasiswa terhadap dampak
Konsensus Washington dan Ratifikasi GATS dalam liberalisasi pendidikan di Indonesia. 2.
Secara akademis dapat menambah pemahaman mahasiswa
terhadap kebijakan Konsensus Washington.
8
D.
Tinjauan Pustaka Menurut Viktor Nalle dalam Jurnal Konstitusi Volume 8 Nomor 4 Agustus
2011 dengan judul Mengembalikan Tanggung Jawab Negara Dalam Pendidikan: Kritik Terhadap Liberalisasi Pendidikan Dalam UU Sisdiknas Dan UU BHP. Dalam jurnal tersebut beliau menguraikan tentang tanggung jawab negara terhadap pendidikan, khususnya pendidikan tinggi agar bersesuaian dengan UUD 45. Lebih lanjut dalam jurnal tersebut negara dituntut untuk lebih bertangung jawab terhadap pendidikan. Menurut viktor Nalle pemakzulan UU No.9 tahun 2009 tentang sudah bersesuaian dengan UUD 45 karena menurut beliau ketetapan WTO dan GATS mengharuskan untuk meliberalisasi pendidikan di Indonesia khususnya Pendidikan Tinggi. Penelitian lain tentang tentang Konsensus Washington dan liberalisasi tertuang dalam judul skripsi ―Globalisasi dan Kebijakan Ekonomi Indonesia Pasca Orde Baru : Perspektif Joseph E. Stiglitz‖ penelitian ini dilakukan pada tahun 2011 oleh R. Ferdiansyah mengangkat tentang dominasi IMF dan World Bank dalam memberikan bantuan kepada negara berkembang melalui kerangka Konsensus Washington. Dijelaskan lebih lanjut dalam peneltian tersebut mengangkat perspektif Stiglitz, Stiglitz menjelaskan banyak negara berkembang yang terjebak dengan dominasi kekuatan IMF dan World Bank dalam rangka membrikan bantuan melalui kerangka formulasi Konsensus Washington. Dalam penjelasannya Stiglitz mengunkapkan bahwa formulasi Konsensus Washington mempengaruhi negara debitor IMF dan World bank untuk mengurangi alokasi subsidi di bidang sosial khsusnya pendidikan. Penelitian tersebut tidak 9
menjelaskan secara mendetail mengenai permasalahan liberalisasi pendidikan di dalam
Globalisasi.
Oleh
karena
itu
posisi
penelitian
tersebut
hanya
mengungkapkan tentang formulasi Konsensus Washington terhadap kebijakan ekonomi politik secara umum. Menurut M. Tajudin Nur dalam Jurnal Visi Pendidikan tahun 2012 dengan judul ―Liberalisasi Pendidikan : Sebuah Wacana Kontroversial‖ menjelaskan bahwa liberalisasi pendidikan dalam berawal dari masuknya Indonesia kedalam WTO pada tahun 1994. Dengan masuknya Indonesia, secara langsung indonesia harus mengikuti aturan General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa-jasa lainnya. Lebih lanjut dalam artikel tersebut membahas tentang dampak yang ditimbulkan oleh UU BHP. Dari ketiga penelitian diatas, maka skripsi ini mencoba menyempurnakan penelitian-penelitian Washington
sebelumnya
dengan
memasukkan
unsur
dominan
Konsensus sebagai pijakan awal dari kebijakan pendidikan di
Indonesia yang kemudian dilanjutkan dengan pengaruh WTO dan GATS dalam liberalisasi pendidikan.Selanjutnya pada skiripsi ini memaparkan analisis UndangUndang Perguruan Tinggi tahun 2012.
E.
Kerangka Teoritis Untuk melakukan penelitian diatas maka diperlukan seperangkat teori yang
berhubungan
dengan
judul
skripsi
diatas 10
sebagai
dasar
untuk
memulainya.Berkaitan dengan judul diatas maka diperlukan teori dan pemikiran yang mendasari skripsi ini yakni, Neoliberalisme, Konsensus Washington, Ekonomi Politik Internasional, pendidikan nasional Serta Privatisasi.
E.1
Neoliberalisme Dalam penelitian ini untuk menguraikan pokok permasalahan
penulis, memasukkan kedalam teori ekonomi liberal yang kemudian berkembang
menuju
neoliberal
lalu
dipraktikan
melalui
konsep
Washington konsesus. Menurut Andrew Heywood (Heywood, 2002:49). Neoliberalisme di definisikan secara sederhana ―… an updated version of classical political economy that was developed in the writings of free-market economists…‖ ―…sebuah versi terbaru dariekonomi politikklasikyang dikembangkandalam tulisan-tulisanekonompasar bebas…‖ (terjemahan).
Definisi yang lebih lengkap dari neoliberalisme dapat ditemukan pada pendapat Balaam dan Veseth (2005:507) yang mengartikan Neoliberalisme sebagai
―a viewpoint that favors a return to the economic policies advocated by classical liberals such as Adam Smith and David Ricardo. Neoliberalism emphasizes market deregulation, privatization of government enterprises, minimal government intervention, and open international markets. Unlike classical liberalism, neoliberalism is primarily an agenda of economic policies rather than a political economy perspective‖.
11
“sudut pandang yang menguntungkan kembali ke kebijakan ekonomi yang dianjurkan oleh kaum liberal klasik seperti Adam Smith dan David Ricardo. Neoliberalisme menekankan deregulasi pasar, privatisasi perusahaan pemerintah, intervensi pemerintah yang minimal, dan pasar internasional terbuka. Tidak seperti liberalisme klasik, neoliberalisme mengutamakan agenda kebijakan ekonomi daripada perspektif ekonomi politik "(terjemahan).
Dari
definisi
singkat
diatas
memperjelas
tentang
teori
Neoliberalisme. Selanjutnya ada dua pandangan dasar Neoliberalisme menurut Wibowo dan Francis, yakni penolakan teoritis terhadap negara. Dan menurutnya
pemahaman neoliberalisme, adalah segala campur
tangan negara yang ditolak oleh para ekonom beraliran Neoliberalisme (Wibowo dan Francis 2003:275). Selanjutnya mekanisme pasar pada dasarnya sudah cukup untuk menggerakkan roda ekonomi, atau bahwa invisible hand cukup membuat lancar produksi, distribusi maupun konsumsi. Setiap campur tangan negara hanya akan menimbulkan distorsi. Perencanaan ekonomi sentralistik, proteksionisme, regulasi ekonomi yang berlebihan, dominasi pemerintah dalam berbagai sektor ekonomi, berkembangnya badan usaha milik negara, subsidi terus-menerus, serta strategi industri subsitusi impor, menjadi sasaran kritik komunitas Neoliberal. Sebagai alternatif mereka menganjurkan kepada pemerintah untuk melakukan reformasi dalam bentuk deregulasi, liberalisasi ekonomi, dan privatisasi badan usaha milik negara untuk mengatasi memburuknya situasi ekonomi (Wibowo dan Francis 2003:277).
12
Peranan negara harus keluar dari ekonomi, termasuk keluar dari kegiatan program kesejahteraan karena program ini menimbulkan defisit. Dengan mengurangi program kesejahteraan, kas pemerintah akan diringankan.
Situasi
ini
akan
memungkinkan
pemerintah
untuk
menurunkan pajak pada para pelaku bisnis, yang pada gilirannya, akan mendapatkan gairah baru untuk berproduksi. Peningkatan pemikiran neoliberalisme politik adalah keputusan-keputusan yang menawarkan nilai-nilai, sedangkan secara bersamaan neoliberalisme menganggap hanya satu cara rasional untuk mengukur nilai, yaitu pasar. Semua pemikiran diluar pasar dianggap salah. Kapitalisme neoliberal menganggap wilayah politik adalah tempat dimana pasar berkuasa, ditambah dengan konsep globalisasi dengan perdagangan bebas sebagai cara untuk perluasan pasar melalui WTO (World Trade Organization), akhirnya kerap dianggap sebagai Neoimperialisme (Wibowo dan Francis 278:2003). E.2
Konsensus Washington Washington consensus adalah Konsensus White House (Gerakan
Gedung Putih) adalah penganjur Debirokratikasi, Deregulasi, Privatisasi, dan Stabilisasi , dengan ciri khasnya komitmen kepada demokratik kapitalisme, free market, free enterprises, dan free trade.Semua ini dipaksakan Washington kepada negara-negara yang memanggil IMF masuk ke negaranya (Theo F. Toemion, 2009:19).
13
Konsensus Washington merupakan sebuah istilah yang dicetuskan oleh John Williamson pada 1989, di mana negara sebaiknya mengikuti ekonomi pasar untuk meningkatkan kinerja anggaran agar negara tidak terlalu menghabiskan sumber daya ekonominya bagi pengelolaan kepentingan publik, dan lebih berfokus ke pertumbuhan ekonomi serta peningkatan ekspor. Pada saat itu AS menyepakati pemberian bantuan untuk menangani krisis di Amerika Latin dengan mekanisme yang melibatkan World Bank dan IMF (John Wiliamson ―A Short History of The Washington Consensus”) John
Wiliamson
yang
merupakan
ekonom
Amerika
mendefinisikan Washinton Konsensus sebagai suatu kesepakatan para pejabat ekonomi Amerika Serikat (AS) pada saat presiden Ronald Reagen memimpin tahun 1981-1989 yang merangkum dalam sepuluh ketentuan yang ia sebut sebagai Konsensus Washington, yaitu : (1) Pengetatan Fiskal, (2) Mengurangi aloksi dan pemerintah untuk sektor public seperti kesehatan, pendidikan, dan pembangunan insfrastruktur, untuk dialihkan ke sektor yang lebih profit. (3) Refomasi Perpajakan. (4) Liberalisasi nilai suku Bunga. (5) Penerapan nilai tukar kompetitif (6) Liberalisasi perdagangan. (7) Liberalisasi investasi asing. (8) Privatisasi. (9) Deregulasi. (10) Jaminan kepemilikan Publik. Di antara sepuluh poin tersebut, privatisasi, liberalisasi, dan disiplin fiscal merupakan pilar utama untuk mendukung terlaksananya fungsi pasar dengan baik (Wiliamson 2004:4-10). 14
Sedangkan menurut John Perkin Konsensus Washington diartikan sebagai
proses perumusannya yang melibatkan para politisi kongres,
teknokrat dan birokrat, pemimpin lembaga financial dan agen-agen ekonomi pemerintah AS yang semuanya berada di Washington. Selain itu, ketentuan ini juga dijalankan juga oleh lembaga-lembaga financial seperti IMF, Bank Dunia dan departemen-departemen keuangan AS yang berpusat di Washington. Dari proses perumusan dan keterlibatan actor-aktor didalamnya dapat dilihat bahw peran dan dominasi AS dalam menerapkan paradigm pasar bebas (free market Paradigm) sangat dominan di era global. Didukung oleh kekuatan ekonomi politik sebesar ini, serta operasioperasi rahasia baik yang lunak maupun yang kasar Konsensus Washington pun mengedepankan sebagai paradigm utama dalam kebijakan pembangunan Internasional (John Perkin 2005:26). E.3
Ekonomi Politik Internasional Pengertian Ekonomi Politik Internasional merupakan sebuah
diskursus ilmu sosial yang baik dulu maupun sekarang sudah ada. Kemudian perkembangannya menjadi sebuah studi yang didalamnya terdapat berbagai disiplin ilmu yakni; ilmu politik, sejarah dan filsafat. Namun dimasa sekarang lebih menghadapkan kepada masalah sosial yang menyangkut aspek internasional dan multilasional (Ballam dan veseth 2005 : 4). Namun lebih lanjut Ballam dan veseth berpendapat (2005 : 504);
15
“an original element of the bretton woods system that was not successfully implemented. a weaker institution, the GATT, was eventually created to take the place of the ITO alongside the World bank and the IMF.” “unsur asli dari sistem Bretton Woods yang tidak berhasil dilaksanakan, lembaga lemah,GATT,akhirnya diciptakan untuk menggantikan ITO bersama bank Dunia dan IMF.”(terjemahan).
Namun masih dalam buku International Political Economy oleh David N. Balaam, Michael Veseth. Susan Strange (2005 : 504) mendeskripsikan Ekonomi Politik Internasional (EPI) sebagai berikut; “….a vast, wide open range where anyone interested in the behavior of men and women in society could roam just as freely as the deer and antelope.There were no fences or boundary-post to confine the historians to history, the economist to economics. Political scientist had no exclusive rights to write about politics, nor sociologists to write about social relations.” “…yang luas, berbagai terbuka lebar di mana siapa saja yang tertarik dalam perilaku laki-laki dan perempuan dalam masyarakat hanya bisa berkeliaran bebas seperti rusa dan kijang. Tidak ada pagar atau bataspos untuk membatasi sejarawan sejarah, ekonom untuk ekonomi. Ilmuwan politik tidak memiliki hak eksklusif untuk menulis tentang politik, atau sosiolog untuk menulis tentang hubungan sosial.” (terjemahan). Namun Rowland Maddock berpendapat berbeda yakni; “an international political economy is not a tighly defined and exclusive discipline with a well-established methodology. it is more a set of issues, which need investigating and which tend to be ignored by the more established disciplines, using whatever tools are at hand” “ekonomi politik internasional bukanlah suatu disiplin ketat didefinisikan dan eksklusif dengan metodologi lebih merupakan sekumpulan isu, yang memerlukan cenderung diabaikan oleh disiplin yang lebih menggunakan alat apapun yang yang dihadapi”
16
ilmu yang sangat yang mapan. ini penyelidikan dan mapan, dengan
Studi mengenai EPI merupakan studi yang dapat dibilang masih baru, karena studi ini muncul pada saat krisis oil schock tahun 1970an yang telah memunculkan kesadaran bahwa politik dan ekonomi saling mempengaruhi.Sebelum itu para akademisi ekonomi dan politik seringkali memisahkan keduanya. Para Profesor ekonomi percaya bahwa pasar terisolasi dari isu politik (Gilipin,2001; 77). Ekonomi politik internasional sendiri berusaha untuk mengemukakan bahwa sebenarnya ekonomi mempunyai keterikatan dengan power atau politik.
Negara
dalam
berhubungan
dengan
negara
lain
selalu
berkeinginan untuk memenuhi kepentingannya. Untuk itu guna mencapai hal
tersebut,
negara
dapat
memanipulasi
kekuatan
pasar
untuk
meningkatkan power dan pengaruh (Gilpin, 2001;78). Terbentuknya rezim sebagai alat untuk mengatur pasar turut menciptakan terpenuhinya kebutuhan politik suatu negara. Ketika rezim dapat mempengaruhi distribusi pendapatan maka negara berusaha untuk mempengaruhi desain dan fungsi dari institusi, hal ini untuk memenuhi kebutuhan politik, ekonomi, dan kepentingan lain. Maka studi ekonomi politik internasional mengasumsikan bahwa negara, MNC, dan aktor lainnya menggunakan power yang dimiliki untuk mempengaruhi nature dari rezim internasional. (Gilpin, 2001;78)
Setelah negara menggunakan powernya untuk mempengaruhi rezim internasional seperti WTO dan GATT maka telah terjadi pula
17
kepentingan politik yang berhubungan dengan ekonomi. Menurut Gilpin (2001) dalam bukunya Global Political Economy mengungkapkan bahwa ekonomi politik internasional merupakan dinamika interaksi global antara pengejaran kekuasaan (politik) dan pengejaran kekayaan (ekonomi), yang terdapat hubungan timbal balik diantara keduanya. Pengertian lain mengenai ekonomi politik internasional diungkapkan oleh John Ravenhill yang mendefinsikan ekonomi politik internasional sebagai ―field of enquiry‖, yaitu sebagai suatu subjek permasalahan yang fokus utamanya adalah hubungan (interrelationship) antara kekuasaan publik dan pribadi dalam persoalan pengalokasian sumberdaya yang terbatas atau langka (Ravenhill,2008;21).
E.4
Pendidikan Nasional Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan
potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan ayat (3) menegaskan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional
18
yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undangundang. Untuk itu, seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan salah satu tujuan negara Indonesia. E.5
Privatisasi Dalam buku dalam Indra Bastian definisi Privatisasi diartikan
kedalam beberapa pandangan diantaranya ; menurut Peacock Privatisasi pada umumnya di definisikan sebagai pemindahan industri dari milik pemerintah ke sektor swasta yang berimplikasikan bahwa saham dominan dalam pemilikan aktiva akan berpindah kepemegang saham. Beesley dan Littlechild mengartikan Privatisasi sebagai pembentukan perusahaan. Dan menurut Company act, bahwa penjualan yang berkelanjutan sekurangkurangnya sebesar 50 persen dari saham milik pemerintah ke pemegang saham swasta. Tetapi, yang menggarisbawahi ide ini adalah membuat konsep pengembangan industri dengan cara meningkatkan peranan pada kekuatan pasar. Menurut Clementi terdapat empat batasan dalam kebijakan pemerintahan Thatcer tentang institusi pada perusahaan sektor publik secara keseluruhan, antara lain: a. Memungkinkan pemindahan terhadap kepemilikan swasta b. Membuka aktivitas terhadap kompetisi yang dikenal sebagai liberalisasi
19
c. Menghapus fungsi tertentu yang dilakukan oleh sektor publik secara bersamaan atau melakukan subkontrak kepada sektor swasta sehingga dapat dilakukan dengan biaya yang lebih rendah. d. Membebani masyarakat pada jasa di sektor publik yang disediakan secara percuma. Pirie mendefinisikan privatisasi sebagai ide yang melibatkan pemindahan produksi barang dan jasa dari sektor publik ke sektor swasta. Sebagai pembagi terendah, mengerjakan secara swasta yang telah dikerjakan secara publik. Ini bukan kebijakan, tetapi sebuah pendekatan. Sebuah pendekatan yang mengakui bahwa peraturan dimana pasar mengatur aktivitas ekonomi adalah lebih dari peraturan yang dilakukan oleh manusia dan hukum. Kay dan Thompson mendefinisikan privatisasi adalah terminologi yang digunakan untuk mencakup beberapa perbedaan secara alternatif, yang berarti mencakup perubahan hubungan antara pemerintah dengan sektor swasta. Di antara yang paling penting adalah adanya dinasionalisasi penjualan kepemilikan publik, deregulasi terhadap pengenalan kompetisi ke status monopoli dan kontrak melalui franchise ke perusahaan swasta terhadap produksi barang dan jasa yang dibiayai oleh negara (27-29:2000). F. Metode Penelitian Penelitian kualitatif adalah metode yang banyak mengandalkan data–data primer dan sekunder.Melalui studi kepustakaan diharapkan dapat 20
dipelajari bagaimana dampak Konsensus Washington terhadap liberalisasi Pendidikan Di Indonesia dengan menganalisis Undang-Undang Perguruan Tinggi tahun 2012. Data-data yang digunakan dalam penelitian ini berupa buku-buku, jurnal, hasil penelitian sebelumnya dan media masa. Dalam penelitian ini pendekatan yang dilakukan adalah melalui pendekatan kualitatif.Artinya data yang dikumpulkan bukan berupa angkaangka, melainkan data tersebut berasal dari, lainnya.Sehingga yang menjadi tujuan dari penelitian kualitatif ini adalah ingin menggambarkan realita empirik di balik fenomena secara mendalam, rinci dan tuntas. Oleh karena itu penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini adalah dengan mencocokkan antara realita empirik dengan teori yang berlaku dengan menggunakan metode diskriptif. Menurut Keirl dan Miller dalam Moleong yang dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah ―tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan, manusia, kawasannya sendiri, dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan peristilahannya‖. Metode kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, di mana peneliti adalah sebagai instrument kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara gabungan (Moleong, 2004:131). Dalam penulisan skripsi ini, menggunakan teknik pengumpulan data dan analisa data. Dalam pengumpulan data skripsi menggunakan studi kepustakaan yakni memperoleh data dari berbagai hasil penelitian, seperti
21
buku-buku, jurnal-jurnal, dan artikel online yang bersesuain. Dalam studi kepustakaan, penulis memperoleh data dari Perpustakaan Pusat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia (UI), Perpustakaan Miriam Budiardjo Research Center Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI, Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Perpustakaan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Dalam teknik analisa data, penulis membaca dan mencatat serta mengolah data penelitian, dengan cara menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematis agar lebih mudah dipahami dan disimpulkan. Melalui teknik tersebut, membantu dalam penulisan skiripsi yang berjudul dampak Konsensus Washington ekonomi politik terhadap liberalisasi pendidikan di Indonesia (Undang-Undang Perguruan Tinggi tahun 2012).
E. Sistematika Penulisan Sistem penulisan skripsi ini adalah : BAB I
PENDAHULUAN
A.
Pernyataan Masalah
B.
Pertanyaan Penelitian
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
D.
Tinjauan Pustaka
E.
Kerangka Teoritis
F.
Metode Penelitian
G.
Sistematika Penulisan 22
BAB II
LATAR
BELAKANG
TERBENTUKNYA
KONSEP
KONSENSUS WASHINGTON A.
Proses terbentuknya IMF dan World Bank
B.
Pandangan
Konsensus
Washington
menurut
John
Wiliamson C. BAB III
Indonesia dan WTO KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI INDONESIA SEBELUM DAN SESUDAH RATIFIKASI GATS
A.
Kebijakan pendidikan tinggi menurut Undang-undang nomor 22 tahun 1961 tentang perguruan tinggi. serta UU No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
B.
Konsensus Washington dan Kebijakan Pendidikan Tinggi. B1.
Kebijakan Pendidikan Tinggi menurut PP No. 60 Tahun 1999 dan PP No.61 Tahun 1999.
C.
Latar belakang pembentukan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan di Indonesia (UU BHP). C.1
D.
Privatisasi Pendidikan Melalui UU BHP.
Latar belakang pembentukan Undang-Undang Pendidikan Tinggi No. 12 Tahun 2012.
23
BAB IV ANALISIS DAMPAK KONSENSUS WASHINGTON DAN RATIFIKASI GATSTERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA A.
Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.12 Tahun 2012 dalam kerangka GATS.
B.
Analisis dampak penerapan Undang-undangPerguruan Tinggi no. 12 tahun 2012.
BAB V KESIMPULAN
Daftar Pustaka Lampiran-lampiran
24
BAB II LATAR BELAKANG TERBENTUKNYA KONSEP KONSENSUS WASHINGTON Pada bab ini, dipaparkan mengenai terbentuknya konsep Konsensus Washington. Bab ini terdiri dari Tiga bagian. Bagian pertama menjelaskan tentang proses terbentuknya IMF (International Monetary Fund). Bagian kedua Pandangan
Konsensus
Washington
menurut
Joseph
Stiglitz
dan
John
Wiliamson.Pada Bagian ketiga menjelaskan tentang peranan Indonesia di WTO (World Trading Organization) dan GATS (General Agreement on Trade in Services). A.
Proses Terbentuknya IMF dan World Bank Dalam buku IMF (Apakah Dana Moneter Internasional Itu?IMF 2003:1-8)
dijelaskan mengenai IMF. IMF merupakan merupakan salah satu badan khusus pada Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang didirikan berdasarkan perjanjian internasional pada tahun 1945 untuk membantu perekonomian dunia.Dengan markas besarnya berlokasi di Washington, D.C., IMF saat ini memiliki anggota sebanyak 184 negara. Pada tanggal 22 Juli 1944 melalui konfrensi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diselenggarakan di Bretton Woods, New Hampshire Amerika Serikat sepakat untuk IMF. Pada dekade 1930, kegiatan ekonomi di sejumlah negara industri utama melemah, negara-negara industri tersebut berusaha untuk
mempertahankan
ekonomi
mereka
masing-masing
dengan
cara
meningkatkan hambatan untuk import; tetapi kegiatan ini mempercepat jatuhnya 25
perdagangan dunia, tingkat output, dan kesempatan kerja. Tujuan dibentuknya IMF pada saat itu dilakukan untuk menghindari terulangnya kejadian great depression (depresi besar) pada tahun 1930, maka 45 anggota sepakat untuk menyetujui kerangka ekonomi ini. Negara-negara yang bergabung dengan IMF antara tahun 1945 dan 1971 setuju untuk menjaga nilai tukar mereka (pada dasarnya nilai tukar mata uang mereka dalam nilai dolar A.S., dan, dalam hal ini Amerika Serikat, nilai dolar A.S. dalam nilai emas) ditetapkan pada tingkat yang dapat disesuaikan, tetapi penyesuaian hanya untuk mengoreksi ―ketidakseimbangan fundamental‖ dalam neraca pembayaran dan dengan persetujuan IMF. Ini kemudian disebut sistem nilai tukar Bretton Woods yang berlaku sampai tahun 1971 ketika pemerintah A.S. menangguhkan konvertibilitas dolar A.S. (dan cadangan dolar yang dipegang oleh pemerintah lain) menjadi emas. Sejak itu, anggota IMF sudah bebas memilih setiap bentuk pengaturan nilai tukar yang mereka inginkan (kecuali memancangkan nilai mata uang mereka pada emas): sejumlah negara sekarang mengizinkan mata uang mereka mengambang dengan bebas, sejumlah negara memancangkan mata uang mereka terhadap mata uang lain atau sekelompok mata uang, sejumlah negara lainnya mengadopsi mata uang negara lain sebagai mata uang mereka sendiri, dan sejumlah negara berpartisipasi dalam blok mata uang. Pada waktu yang sama ketika IMF diciptakan, Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (International Bank forReconstruction and Development—IBRD), lebih umum dikenal sebagai Bank Dunia, didirikan untuk
26
mempromosikan pembangunan ekonomi jangka panjang, termasuk melalui pembiayaan proyek infrastruktur, seperti pembangunan jalan dan meningkatkan suplai air. IMF dan Kelompok Bank Dunia—yang termasuk Korporasi Pembiayaan Internasional (International Finance Corporation— IFC) dan Asosiasi Pembangunan Internasional (InternationalDevelopment Association— IDA) saling melengkapi pekerjaan masing-masing.Sementara perhatian IMF terutama pada kinerja ekonomi makro, dan pada kebijakan makro ekonomi dan sekor keuangan, Bank Dunia terutama menangani pembangunan jangka panjang dan isu-isu pengurangan kemiskinan.Kegiatannya termasuk memberikan pinjaman kepada negara-negara berkembang dan negara-negara yang berada dalam transisi, pembiayaan proyek infrastruktur, reformasi sektor ekonomi khusus, dan reformasi struktural yang lebih luas. IMF, sebaliknya, tidak menyediakan pembiayaan untuk sektor atau proyek khusus tetapi sebagai dukungan umum terhadap neraca pembayaran maupun cadangan devisa suatu negara sementara negara tersebut sedang mengambil langkah kebijakan untuk mengatasi kesulitannya. Ketika IMF dan Bank Dunia didirikan, suatu organisasi untuk mempromosikan liberalisasi perdagangan dunia juga dipikirkan, tetapi baru tahun 1995 Organisasai Perdagangan Dunia (World Trade Organization—WTO) dibentuk. Diselang tahun-tahun tersebut, isu-isu perdagangan diselesaikann
melalui Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan
(GeneralAgreement on Tariffs and Trade—GATT).
27
B.
Pandangan Konsensus Washington John Wiliamson Dalam
pidato
doktoralnya
Mochtar
Mas’oed
menjelaskan
awal
perkembangan Konsensus Washington, berawal dari kebijakan ekonomi yang dilakukan Presiden Ronald Reagen bersama-sama dengan Perdana Menteri Inggris Margareth Thatcher mulai menjalankan revolusi neo-liberal di Inggris. Lalu pada saat Ronald Reagan menjadi Presiden AS, gerakan ―revolusioner‖ Perdana Menteri itu ditanggapi dengan gerakan serupa di AS, sehingga muncul julukan Reagan-Thatcherism; yang kemudian juga didukung oleh Kanselir Jerman Helmut Kohl. Dengan dukungan kuat dari ketiga negara yang ber-pengaruh besar ini, neoliberalisme menyebar ke seluruh dunia mela-lui berbagai lembaga internasional, terutama yang bobot pengaruh keanggotannya ditentukan oleh besarnya sumbangan pendanaannya, seperti the International Monetary Fund (IMF) dan the World Bank (Bank Dunia). Dengan kata lain, ―neo-liberalisme‖ telah menjadi COWDOG (common wisdom of the dominant group) (Mohtar Mas’oed 2002:8-9). Washington Consensus dipicu oleh pengalaman negara-negara Amerika Latin pada dekade 1980an. Saat itu mekanisme pasar di wilayah tersebut tidak berfungsi dengan baik akibat kebijakan-kebijakan pemerintah yang kacau. PDB terus merosot selama tiga tahun berturut-turut, defisit anggaran meleset tajam hingga mencapai tingkat 5-10 persen dari PDB2, sementara pengeluaran pemerintah digunakan untuk mesubsidi sektor negara tidak efisien. Diterapkannya kontrol yang ketat terhadap impor serta dorongan yang minim pada ekspor menghadapkan perusahaan pada insentif yang terbatas untuk meningkatkan efisiensi maupun menjaga kualitas produk sesuai estándar internasional. Awalnya, 28
defisit dibiayai melalui pinjaman termasuk pinjaman luar negeri besar-besaran. Dorongan untuk mendaur ulang petrodollars di kalangan perbankan internasional saat itu serta rendahnya tingkat suku bunga riil membuat ―meminjam‖ menjadi aktivitas yang sangat menarik bahkan untuk investasi dengan tingkat kembalian yang rendah. Hanya saja, setelah dekade 1980an, melonjaknya tingkat suku bunga riil di Amerika Serikat membatasi berlajutnya pinjaman, meningkatkan beban pembayaran bunga dan memaksa banyak negara terus menerus mencetak uang untuk membiayai kesenjangan antara tingginya belanja publik yang terus berlangsung (serta diperparah oleh membumbungnya pembayaran bunga pinjaman) dengan basis pajak yang terus mengerut. Hasil akhirnya adalah inflasi yang sangat tinggi dan tidak terkendali. Kondisi ini menyebabkan perilaku ekonomi lebih terarah pada upaya untuk melindungi nilai (value) daripada bagi aktivitas investasi produktif. Mekanisme harga kemudian kehilangan fungsi utamanya untuk menyampaikan informasi. Konsensus
Washington
bermula
ketika
John
Wiliamson
Istilah
"Konsensus Washington" diciptakan pada tahun 1989. Penggunaan perrtama Istilah tersebut terdapat pada
latar belakang
makalah, makalah tersebut
digunakan pada Peterson Institute for International Economics diselenggarakan dalam rangka untuk memeriksa sejauh mana ide-ide lama pembangunan ekonomi yang telah diatur kebijakan ekonomi Amerika Latin sejak tahun 1950 yang yang tersingkir oleh seperangkat gagasan yang telah lama diterima sebagai tepat dalam OECD (Organization for Economic Co-operation and development). Dalam rangkauntuk mencoba dan memastikan bahwa latar belakang makalah untuk 29
konferensi menggunakan seperangka tmasalah, saya membuat daftar sepuluh kebijakan yang saya pikir lebih atau kurangsemua orang di Washington akan setuju guna membantu Latin Amerika, dan diberi label"Konsensus Washington" (John Wiliamson, A Short History of the Washington Consensus 2004:1) John Wiliamson menyebutkan pengistilahan Konsensus Washington awalnya tidak ditulis sebagai kebijakan pembangunan (The Washington Consensus as Policy Prescription for Development 2004:1-2) tetapi sebagai saran untuk kebijakan pembangunan di Amerika latin. Lebih lanjut John Wiliamson menyatakan formulasi Konsensus Washington telah digunakan dalam tiga cara yang berbeda yakni; 1. Konsensus Washington merupakan saran atau formulasi reformasi sepuluh kebijakan untuk memperbaiki kondisi ekonomi di Amerika Latin, namun terjadi persengkongkolan untuk menglobalkan formulasi tersebut. 2. Saran Konsensus Washington oleh AS melalui IMF dan World Bank digunakan sebagai formulasi umum guna membantu perekonomian negara berkembang. 3. Kritikus memandang kebijakan Wiliamson sebagai agen neoliberalisme yang tercantum dalam Konsensus Washington. Dari ketiga cara tersebut John Willimson berpandangan cara-cara IMF-lah yang telah banyak berubah dari tujuan Bretton Woods System sehingga mempermainkan krisis di Asia dengan metode Amerika Latin.
30
C.
Peran Indonesia di WTO dan GATS.
World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia merupakan satu satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Indonesia masuk menjadi anggota WTO ditandai dengan ratifikasi ―Agreement Establising the World TradeOrganization” melalui Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tanggal 2 Nopember 1994.Dan resmi menjadi anggota WTO tahun 1995 ( Dani Setiawan Liberalisasi Pendidikan dan WTO 2004:2). Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negara-negara anggota. Persetujuan tersebut merupakan kontrak antar negara-anggota yang mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangannya. WTO secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995. Persetujuan umum mengenai tarif dan perdagangan telah membuat aturan-aturan untuk sistem ini. Sejak tahun 1947-1994 sistem GATT memuat peraturan-peraturan mengenai perdagangan dunia dan menghasilkan pertumbuhan perdagangan internasional tertinggi. Hampir setengah abad teks legal GATT masih tetap sama sebagaimana pada tahun 1947 dengan beberapa penambahan diantaranya bentuk persetujuan disepakati oleh beberapa negara saja dan upaya-upaya pengurangan tarif. Masalah-masalah perdagangan diselesaikan melalui serangkaian perundingan
31
multilateral yang dikenal dengan nama ―Putaran Perdagangan‖ (Trade Round)‖, sebagai upaya untuk mendorong liberalisasi perdagangan internasional. Sebagai upaya mewujudkan cita-cita perbaikan ekonomi dunia yang hancur akibat perang dunia ke II. Amerika Serikat mempelopori di selenggarakannya konfresi internasional diadakan di Bretton Woods, New Hampsire, AS pada tangga 22 Juli 1947. Konfrensi yang kemudian di kenal dengan konfrensi Bretton woods di hadiri oleh 44 perwakilan negara. pertemuan selama 22 negara tersebut akhirnya melakukan Havana Charter yang berisikan perjanjian Internasional Monetary Fund (IMF), namun karena kongres AS sebagai inisiator International Trade Organization (ITO) gagal mencapai kesepakatan tentang bentuk organisasi dan sistem operasi ITO, maka pembentukan ITO pun dibubarkan dan kemudian sebagai gantinya di bentuk General on Tarif and Trade (GATT) pada 1947. (Hatta, 2006: 53-56). Dalam perkembangannya, GATT telah melakukan beberapa perundingan pertama di lakukan di Geneva, Switzerland (1947), kemudian Annency (France 1948) Torguay, Switzerland (1950), Geneva Switzerland (1956), Dillon round, Geneva (1960-1961), Kenedy round, Geneva (1964-1967), Tokyo round, Geneva (1973-1979) dan terakhir Uruguay Round Marrakesh (1986-1994). Perundingan terakhir inilah yang dianggap salah satu perundingan yang paling menentukan perkembangan GATT di masa yang akan datang. Putaran Uruguay merupakan yang menghasilkan persetujuan untuk membentuk sebuah organisasi perdagangan yang di sebut World Trade Organization (WTO) (Cano, Guiomar Alonso, dkk. (eds), 2005: 38-39).
32
C.1
Ratifikasi Indonesia dalam GATS di bidang pendidikan. GATS (General Agreement on Trade and Service) adalah
kesepakatan multilateral dan berkekuatan hukum yang mengatur tentang perdagangan jasa internasional. Perjanjian ini mengatur 12 sektor jasa termasuk jasa pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Ada empat metode penyediaan pendidikan oleh asing yaitu: (i) cross border supply, (ii) consumption abroad, (iii) commercial presence, (iv) presence of natural person (Antisipasi Rencana Ratifikasi GATS, UGM : 2005) Ratifikasi adalah (ra.ti.fi.ka.si n) pengesahan suatu dokumen negara oleh parlemen, khususnya penegesahan undang-undang, perjanjian antar negara, dan persetujuan hukum internasional (KBBI. 2008-1147). Konsekuensi dari komitmen Indonesia masuk menjadi anggota WTO sejak tahun 1994 (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1994 Tentang
Pengesahan
Agreement
Establishing
The
World
Trade
Organization), telah diikuti dengan kesertaan dalam menandatangani GATS (General Agreement on Trade in Services). Pengaturan mengenai GATS terdapat dalam Annex 1b dalam Piagam WTO, dan merupakan bagian tak terpisahkan dari WTO. Oleh Karena itu, lingkup keberlakuan dari GATS tersebut mencakup negara-negara anggotanya dari seluruh dunia. Khususnya ASEAN, memandang perlu untuk mengambil sikap mengenai kerjasama di bidang jasa, terutama dalam menghadapi 33
perdagangan di bidang jasa yang semakin global, khususnya setelah Perundingan putaran Uruguay berhasil memasukkan perdagangan jasa dalam agenda perundingannya yang bermuara pada disepakatinya GATS (Integrasi Ekonomi ASEAN dibidang Jasa, 2009) Kemudian dalam Uruguay round yang ditandatangani pada tahun 1994 menjadi UndangUndang No.7 Tahun 1994 tanggal 2 Nopember 1994 memberikan waktu kepada Indonesia untuk melaksanakan kebijkan pendidikan dalam aturan GATS yang mengatur liberalisasi perdagangan pada 12 sektor, dimana perjanjian tersebut menetapkan pendidikan sebagai salah satu bentuk pelayanan sektor publik yang harus diprivatisasi. Arah liberalisasi pendidikan sejalan dengan logika ekonomi kapitalisme dengan menjadikan pendidikan sebagai barang komersial (Komoditi). Klasifikasi sektor jasa menurut GATS tersebut ada 12 yaitu : ‖Business services, Communication services, Construction and related engineering services, Distribution services, Education services, Environmental services, Financial services, Health related and social services, Tourism and travel related services, Recreational, cultural and sporting services, Transportational services, and Other services not included elsewhere.‖ Perjanjian tersebut mengatur tata cara perdagangan barang, jasa, dantrade related intellectual property rights (TRIPS) atau hak atas kepemilikan intelektual yang terkait dengan perdagangan. Dalam bidang jasa, yang masuk sebagai obyek pengaturan WTO adalah semua komoditas jasa, tanpa terkecuali bidang pendidikan. Liberalisasi (Kapitalisasi) pendidikan sejatinya merupakan kepentingan kelas pemodal dengan
34
orientasi surplus value. Praktek liberalisasi akan menghilangkan tanggung jawab Negara dengan menyerahkan pendidikan kepasar, karena dunia pendidikan merupakan ladang bisnis yang sangat menjanjikan (Victor Nalle 2011:561-560). Sejak putaran Doha di Qatar tahun 2000, Indonesia sudah berkomitmen dalam GATS dibidang pendidikan hal ini ditandai dengan diundangkannya UU Sisdiknas Tahun 2003 atau UU No.20 Tahun 2003. Namun dengan dimakzulkan UU Sisdiknas tersebut oleh Mahkamah Konstitusi maka saat ini UU tersebut tidak berlaku lagi (Sofian Efendi. GATS: Neo-imprialisme modern dalam Pendidkan 2005:3). Jadi secara tidak langsung segala kesepakatan yang terjadi didalam GATS haruslah dipatuhi dan dijalankan dengan cara meratifikasi perjanjian tersebut menjadi sebuah Undag-Undang, khususnya dalam bahasan skripsi ini adalah Undang-Undang Perguruan Tinggi.
35
BAB III KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI INDONESIA SEBELUM DAN SESUDAH RATIFIKASI GATS
Pada bab ini menjelaskan tentang Kebijakan pendidikan tinggi yang telah dilaksanakan oleh pemerintah dimulai dari Undang-undang nomor 22 tahun 1961 tentang perguruan tinggi hinga Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.12 tahun 2012.
A.
Kebijakan pendidikan tinggi menurut Undang-Undang nomor 22tahun 1961 tentang perguruan tinggi. serta UU No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Kebijakan mengenai pendidikan tinggi di Era Orde Lama telah ada dengan di Undangkannya UU nomor 22 tahun 1961 tentang pendidikan tinggi. Didalam UU tersebut terdapat sepuluh bab untuk lebih jelasnya dapat dilihat didalam tabel 1.1 UU No.22 Tahun 1961 berikut ini; No
Bab
Pasal
Penjelasan
1
BAB I
1-5
2
BAB II
6-8
Ketentuan umum, seperti; Arti perguruan tinggi, Tujuan, Kebebasan Ilmiah dan Mimbar serta kebebasan berorganisasi. Bentuk, tugas dan susunan perguruan tinggi
3
BAB III
9-10
Tingkat dan susunan pelajar, ujian dan gelar
36
4
BAB IV
11-16
Kelengkapan Perguruan Tinggi
5
BAB V
17
Kemahasiswaan dalam Perguruan Tinggi
6
BAB VI
18-21
Definisi Perguruan Tinggi
7
BAB VII
22-30
Perguruan Tinggi Swasta
8
BAB VIII
31-34
Ketentuan Lain
9
BAB IX
36-36
Ketentuan Peralihan
10
BAB X
37
Penutup
Sumber : diolah dari UU No.22 Tahun 1961 Kebijakan mengenai pendidikan tinggi pada masa Orde Lama sangat dipengaruhi oleh pengaruh politik Manipol Usdek. Bahkan dapat dikatakan bahwa pemerintah sadar benar akan posisi pendidikan sebagai mekanisme rekayasa sosial, budaya.ekonomi dan politik karena itu tujuan pendidikan nasional serta upaya pendidikan tak mungkin dilepaskan dari konsep Manipol Usdek. PancasilaManipol/Usdek adalah Moral dan Falsafah Hidup BangsaIndonesia serta merupakan manifesto persatuan Bangsa dan Wilayah Indonesia, demikian pula merupakan perasan kesatuan jiwa sebagai Weltanschaung Bangsa Indonesia dalam penghidupan Nasional sebagai landasan bagi semua pelaksanaan Pendidikan Nasional adalah Pancasila-Manipol/Usdek. Dengan demikian, Pancasila-Manipol/Usdek harus menjiwai semua segi Pendidikan Nasional (Pasal 1, Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1965 Tentang PokokPokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila) Pada pasal 1 UU No. Tahun 1961 dijelaskan mengenai Perguruan Tinggi adalah lembaga ilmiah yang mempunyai tugas menyelenggarakan pendidikan dan 37
pengajaran di atas perguruan tingkat menengah, dan yang memberikan pendidikan dan pengajaran berdasarkan kebudayaan kebangsaan Indonesia dan dengan cara ilmiah. Dari penjelasan mengenai UU No. 22 Tahun 1961 yang merupakan Undang-undang pertama Pendidikan Tinggi di Indonesia masih memerlukan beberapa penyempurnaan sehingga pada pemerintahan orde baru disempurnakan melalui UU No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Penyempurnaan pada UU No. 22 tahun 1961 tertuang dalam UU No.2 tahun 1989 tentang sistim pendidikan nasional yang kali ini mengikuti GBHN (Garis Besar Haluan Negara). Pada UU ini terdapat 20 Bab dan 59 pasal yang merupakan penyempurnaan UU sebelumnya, berikut tabel 1.2 UU No.2 Tahun 1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional; No
Bab
Pasal
Penjelasan
1
BAB I
1
Ketentuan umum, pendidikan nasional
2
BAB II
2-4
Dasar, Fungsi Dan Tujuan
3
BAB III
5-8
Hak Warga Negara Untuk Memperoleh Pendidikan
4
BAB IV
9-11
Satuan, Jalur Dan Jenis Pendidikan
5
BAB V
12-22
Jenjang Pendidikan
6
BAB VI
23-26
Peserta Didik
7
BAB VII
27-32
Tenaga Kependidikan
8
BAB VIII
33-36
Sumber Daya Pendidikan
9
BAB IX
37-39
Kurikulum
38
10
BAB X
40
11
BAB XI
41-42
Bahasa Pengantar
12
BAB XII
43-46
Penilaian
13
BAB XIII
47
Peranserta Masyarakat
14
BAB XIV
48
Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional
15
BAB XV
49-51
Pengelolaan
16
BAB XVI
52-53
Pengawasan
17
BAB XVII
54
18
BAB
55-56
Hari Belajar Dan Libur Sekolah
Ketentuan Lain-Lain Ketentuan Pidana
XVIII 19
BAB XIX
57
Ketentuan Peralihan
20
BAB XX
58-59
Ketentuan Penutup
(Sumber :UU No.2 Tahun 1989) Dari lima puluh bab dan lima puluh sembilan pasal tersebut, undangundang tentang sisdiknas ini mencerminkan tentang kebijakan politik orde baru yang berhaluan Pancasila dan GBHN yang ditetapkan oleh Presiden, hal ini terlihat melalui pasal 2 UU No.2 Tahun 1989 tentang sisdiknas. Menurut peraturan UU No. 2/1989 tentang Sisdiknas yakni Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang; Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
39
Sistem pendidikan nasional adalah satu keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu dengan lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional; Jenis pendidikan adalah pendidikan yang dikelompokkan sesuai dengan sifat dan kekhususan tujuannya; Jenjang pendidikan adalah suatu tahap dalam pendidikan berkelanjutan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan para peserta didik serta keluasan dan kedalaman bahan pengajaran; Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu;Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dalam penyelenggaraan pendidikan; Tenaga pendidik adalah anggota masyarakat yang bertugas membimbing, mengajar dan/atau melatih peserta didik; Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran sertacara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar; Sumber daya pendidikan adalah pendukung dan penunjang pelaksanaan pendidikan yang terwujud sebagai tenaga, dana, sarana dan prasarana yang tersedia atau diadakan dan didayagunakan oleh keluarga, masyarakat, peserta didik dan Pemerintah, baik sendiri-sendiri maupun bersamasama;Warga negara adalah warga negara Republik Indonesia;Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab atas bidang pendidikan nasional (UU No. 2/1989).
B.
Globalisasi dan Kebijakan Pendidikan Tinggi
40
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan mengenai arti kata globalisasi yakni :globalisasi (/glo·ba·li·sa·si/ ) proses masuknya ke ruang lingkup dunia (Kamus Besar bahasa Indonesia 2008:455). Pada dalam buku Stiglitz yang diterjemahkan dan diberi judul Washington Konsensus: Arah Menuju Jurang Kemiskinan yang diterjemahkan oleh Darmawan Triwibowo. Di dalam buku ini, Stiglitz Menjelaskan mengenai kesalahankesalahan penerapan resep Konsensus Washington di negara-negara berkembang, yang justru membawa negara-negara berkembang pada kesengsaraan. Selanjutnya dalam buku Globalization and Its Discontent. Buku tersebut mendapat respon dari seluruh dunia karena mengkritik secara tajam Kebijakan Konsensus Washington beserta lembaga-lembaga donor yang terkait didalamnya. Stiglitz berpandangan bahwa dia meyakini globalisasi yaitu penghapusan hambatan-hambatan terhadap perdagangan bebas dan integrasi ekonomi yang semakin kuat dapat menjadi suatu kekuatan yang kekal dan berpotensi untuk memakmurkan setiap orang di dunia, khususnya orang-orang miskin. Tetapi dia juga percaya bahwa jika memang demikian keadaannya, pengelolaan globalisasi selama ini, termasuk berbagai perjanjian perdagangan internasional yang telah memainkan peranan besar dalam menghapuskan hambatan-hambatan tersebut dan kebijakan-kebijakan yang diterapkan pada negara-negara berkembang dalam proses globalisasi, perlu dipertimbangkan kembali secara radikal (Stiglitz 2003:ix-x). Stiglitz melanjutkan bahwa pentingnya memandang permasalahan secara adil dengan mengesampingkan ideologi serta melihat pada bukti-bukti sebelum membuat keputusan mengenai tindakan apa yang terbaik. Sayangnya, meskipun 41
tidak mengherankan, ketika dia berada di Gedung Putih dan Bank Dunia, dia melihat banyak keputusan dibuat seringkali karena pertimbangan ideologi dan politik. Akibatnya banyak tindakan salah arah yang dilakukan, tindakan yang tidak memecahkan masalah yang ada, tetapi yang sesuai dengan kepentingan atau keyakinan dari orang-orang yang berkuasa. Dengan mengutip Pierre Bourdieu, Stiglitz mengatakan mengenai perlunya para politisi berperilaku layaknya akademisi serta terlibat dalam perdebatan ilmiah yang berdasarkan pada faktafakta dan bukti-bukti yang kuat. Sayangnya, hal sebaliknyalah yang justru amat sering terjadi. Ketika para akademisi terlibat dalam pembuatan kebijakan, rekomendasi-rekomendasinya menjadi bernilai politis dan mulai membengkokkan bukti agar sesuai dengan kehendak mereka yang berkuasa (Stiglitz2003:x). Menurut buku Making Globalization Work melihat persoalan globalisasi secara lebih meluas berikut strategi-strategi praktis yang dapat diacu bagi seluruh pengambil kebijakan di seluruh dunia. Lebih lanjut Stiglitz menuliskan keyakinnya bahwa warga negara yang memilki informasi yang lebih baik mungkin untuk memberikan perhatian terhadap penyalahgunaan perusahaan dan kepentingan keuangan tertentu yang menguasai proses globalisasi, bahwa masyarakat umum di negara industri maju dan negara-negara berkembang memiliki kepentingan yang sama dalam mewujudkan globalisasi keyakinannya akan proses demokrasi (Stiglitz 2009:34-35). Pandangan-pandangan Stiglitz tentulah sangat relevan untuk menganalisa fenomena-fenomena globalisasi yang terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Di Indonesia, awal mula dipraktikkannya ide-ide Konsensus
42
Washington secara radikal adalah ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi di tahun 1998. Pada masa itu Indonesia akhirnya tidak dapat menghindarkan diri untuk tidak meminta bantuan dari IMF dalam menyelesaikan krisis. Akhirnya Indonesia mendapatkan pinjaman berupa dana segar sekaligus paket kebijakan penyembuhan ekonomi dari IMF. Peran IMF ini dirangkum dalam sebuah program yang dikenal dengan namaletter ofintent (LoI). Dan walaupun kontrak dengan IMF sebenarnya telah berakhir pada tahun 2003, namun IMF belum akan benar-benar lepas dari Indonesia karena pemerintah wakru itu memilih opsi Post Program Monitoring (PPM) hingga akhir tahun 2007. Dan ini tentu mengindikasikan bahwa pemerintahan yang berkuasa di Indonesia pasca runtuhnya rezim orde baru tetap akanmemiliki keterkaitan dengan proyek penyebaran ide-ide neoliberalisme. Pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri misalnya, salah satu kebijakan yang paling disorot terkait dengan proyek penyebaran ide ide neoliberalisme adalah masalah privatisasi Indosat.Kebijakan ini aneh karena Indosat pada saat itu tergolong kedalam perusahaaan negara yang sehat. Pada akhir tahun 2002 pemerintah menjual saham pemerintah hingga 41,49% kepada Singapore Telemedia Pte. Ltd (STT). Ini merupakan kali ketiga pemerintah menjual saham indosat, dan ini merupakan penjualan terbesar. Sebelumnya 25% saham pemerintah telah dijual pada tahun 1994, dan 11,32% pada mei 2002. Program privatisasi ini tentu tidak lepas dari peran yang dimainkan oleh IMF. Di dalam LoI pertama yang ditandatangani oktober 1997 dinyatakan bahwa privatisasi disebut sebagai strategi untuk meningkatkan
43
kompetisi pada level domestik, meningkatkan efisiensi, dan memperbaiki supply kepada konsumen. Dalam LoI tersebut juga dicantumkan bahwa pembahasan program privatisasi harus dilakukan dengan kerjasama Bank Dunia. Hal ini berlanjut pada penandatanganan LoI kedua pada tahun 1998, dimana pemerintah ditargetkan melakukan privatisasi terhadap 164 BUMN. Disebutkan pula bahwa pemerintah juga mulai mencari investor strategis yang berminat pada BUMN di bidang telekomunikasi internasional, jasa pelabuhan dan lapangan terbang, serta perkebunan kelapa sawit (Syamsul Hadi et.al 2006B:98-101).
B1.
Kebijakan Pendidikan Tinggi menurut PP No. 60 Tahun 1999 dan PP No.61 Tahun 1999 Pada perkembangan muktahirnya
ide-ide neoliberal tersebut
tertuang pada rekomendasi para arsitek ekonomi yang bermukim di Washington. Para ilmuwan yang terlibat dalam diskursus itu berasal dari lembaga-lembaga donor yaitu IMF (International Monetary Fund), Bank Dunia, dan juga turut serta Departemen Keuangan Amerika Serikat. Belakangan rekomendasi ini lebih dikenal dengan istilah Washington Konsensus. Istilah yang pertama kali dicetuskan oleh John Williamson (1994) ini semula ditujukan untuk memperbaiki kondisi ekonomi Amerika Latin yang sedang diterpa badai krisis ekonomi (Josepth E Stiglistz 2002:11). Selanjutnya setelah penandatanganan LoI pertama maka diberlakukanlah PP No. 60 tahun 1999 dan PP No. 61 tahun 1999 yang akan dijelaskan selanjutnya. 44
Dengan terpuruknya Indonesia melalui krisis moneter atau krismon di tahun 1997 maka Indonesia melakukan pinjaman uang kepada IMF guna memperbaiki perekonomian, oleh sebab itu maka ditandatanganilah LoI (letter of Intent). Sejak ditandatangani LoI yang pertama pada LoI pertama ditandatangani pada 31 Oktober 1997 oleh Menkeu Mar`ie Muhammad dan Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono (Gatra, 2002). Atas kesepakatan tersebut IMF meminta syarat pemulihan ekonomi melalui formulasinya yang lebih cenderung kearang formulasi Konsensus Washington dengan mengurangi subsisdi kesehatan dan pendidikan. Pengurangan subsisdi pendidikan dan kesehatan dipercaya dapat memulihkan ekonomi Indonesia dari krisis Asia (Penelitian Dan Pengembangan Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. 2004:242). Dari kesepakatan LoI tersebut maka pemerintah mengeluarkan PPNo. 60 Tahun 1999, pada PP tersebut menurut bab XII tentang pembiayaan pada pasal 114 - 117 yang pada intinya adalah melepaskan sebagian tanggung jawab pemerintah terhadap Pendidikan Tinggi. Seperti isi pada pasal 114 berikut ini; “(1) Pembiayaan perguruan tinggi dapat diperoleh dari sumber pemerintah, masyarakat dan pihak luar negeri. (2) Penggunaan dana yang berasal dari Pemerintah baik dalam bentuk anggaran rutin maupun anggaran pembangunan serta subsidi diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 45
(3) Dana yang diperoleh dari masyarakat adalah Perolehan dana perguruan tinggi yang berasal dari sumber-sumber sebagai berikut: a. Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP); b. biaya seleksi ujian masuk perguruan tinggi; c. hasil kontrak kerja yang sesuai dengan peran dan fungsi perguruan tinggi; d. hasil penjualan produk yang diperoleh dari penyelenggaraan pendidikan tinggi; e. sumbangan dan hibah dari perorangan, lembaga Pemerintah atau lembaga nonpemerintah; dan f. penerimaan dari masyarakat lainnya. (4) Penerimaan dan penggunaan dana yang diperoleh dari pihak luar negeri diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (5) Usaha untuk meningkatkan penerimaan dana dari masyarakat didasarkan atas pola prinsip tidak mencari keuntungan.”
Selanjutnya pada PP No.61 Tahun 1999 dijelaskan mengenai status Perguruan Tinggi Negeri menjadi badan Hukum Negara, yang berarti dengan diberlakukannya PP tersebut maka negara mengurangi alokasi subsidi di bidang pendidikan. Dengan ditetapkannya PP tersebut maka status UI (Universitas Indonesia) menjadi Badan Hukum Pendidikan yang sebagian dana operasional pendidikan bersumber dari masyarakat, donatur dan sumbangan Luar Negeri. C.
Latar belakang pembentukan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan di Indonesia (UU BHP) Pembentukan UU BHP syarat akan kebijakan liberalisme dan privatisasi,
melalui PP No.60 Tahun1999 tentang pembentukan PTN (Perguruan Tinggi Negeri) dan BLU (Badan Layanan Umum) kemudian dilanjutkan dengan UU 46
No.61 Tahun 1999 mempertegas tentang 7 PTN menjadi BHMN (Purbayanto Kemana (Arah) Perguruan Tinggi BHMN 2011:1) Implementasi PT-BHMN yang sudah berjalan sampai tahun keempat setelah keluarnya PP No. 61 tahun 1999 yang diperkuat dengan PP No. 152 sd 155 tahun 2000 kepada ke empat universitas, yaitu UI, UGM, ITB dan IPB, yang disusul dengan USU dan UPI, dengan segala argumentasinya hingga kini masih menyisakan banyak persoalan yang perlu terus klarifikasi dan pencerahan. Jika memperhatikan PP No. 61 tahun 1999 tersiurat bahwa semua PTN diharapkan menuju ke arah PT-BHMN, tinggal kesiapan masing-masing, sehingga wajar ada sejumlah PTN yang terus sibuk menyiapkan diri, walaupun dewasa ini sudah mulai diproses bahwa setiap institusi pendidikan sebagaimana yang dinyatakan pada pasal 53 UU no. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas bahwa: (1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. (2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik. (3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan (Rochmat Wahab Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT-BHMN) Ditinjau Dari Perspektif Filosofis Dan Sosiologis 2004:4-5) Hal yang melatar belakangi kebijakan privatisasi pendidikan adalah IMF dan World Bank pada momentum krisis moneter tahun 1998, melalui kebijakan LoI
47
(letter of Intent). Loi antara IMF dan Indonesia banyak mengatur dan mengikat pemerintah dalam hal pelaksanaan ekonomi dan sosial yang secara terangterangan serta nyata mengadopsi formulasi Konsensus Washington (Studi Manajemen Utang Luar Negeri Dan Dalam Negeri Pemerintah Dan Assessment Terhadap Optimal Borrowing 2004:225)
C.1
Privatisasi Pendidikan Melalui UU BHP Beberapa tahun pasca krisis moneter 1997 di Indonesia, privatisasi
menjadi sebuah acuan terhadap perbaikan ekonomi di Indonesia. Bagi para pendukung privatisasi, mereka memakai kesuksesan Margareth Teacher pada tahun 1979 yang mendorong perekonomian Inggris melalui kebijakan privatisasi.Sedangkan di kubu yang kontra terhadap pendekatan ini menganggap privatisasi hanyalah derivasi dari skenario besar ekonomi liberal yang kontra produktif bagi pengembangan ekonomi rakyat kecil.Mahalnya biaya jasa publik, seperti kesehatan dan pendidikan menjadi dampak langsung dari adanya konsep privatisasi.Ada sebuah keyakinan dalam perjalanan kebijakan privatisasi yang dalam ruang lingkup ekonomi memang sebenarnya baik, yaitu mendorong pasar kompetitif yang berujung pada efisiensi ekonomi.Tetapi, Apa terjadi di Inggris tidak dapat disamakan dengan kondisi bangsa Indonesia. Ketika itu rakyat di Inggris sudah mencapai tingkat kemapanan yang cukup, sehingga daya beli mereka tinggi. Hal ini tentu saja mengurangi tanggung jawab sosial pemerintah dalam pengelolaan ekonomi (Mohtar Mas’oed 2002:9). 48
Program privatisasi sektor publik menjadi salah satu komponen penting dalam penerapan SAP (StrukturalAdjusment Program), baik di negara berkembang maupun di negara dalam masa transisi ekonomi. Liberalisasi sektor pendidikan di dunia international difasilitasi oleh WTO (World Trade Organization) dalam GATS (General Agreement on trade in Service) Hal ini dikarenakan subsidi yang diberikan kepada sektor publik dianggap sebagai penyebab dari meningkatnya pengeluaran pemerintah yang mengakibatkan defisit anggaran (Saprin 2004:15). Selanjutnya logika perdagangan jasa pendidikan, sebagaimana diutarakan oleh mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Sofian Effendi mengikuti tipologi yang digunakan oleh para ekonom dalam membagi kegiatan usaha dalam masyarakat. Ilmu ekonomi membagi 3 sektor kegiatan usaha dalam masyarakat. Pertama adalah sektor Primer mencakup semua industri ekstraksi hasil pertambangan dan pertanian. Kedua, sektor sekunder mencakup industri untuk mengolah bahan dasar menjadi barang, bangunan, produk manufaktur dan utilities. Dan ketiga, sektor tersier yang mencakup industri-industri untuk mengubah wujud benda fisik (physical services), keadaan manusia (human services) dan benda simbolik (information and communicationservices). Sejalan dengan pandangan ilmu ekonomi tersebut, WTO menetapkan pendidikan sebagai salah satu industri sektor tersier, karena kegiatan pokoknya adalah mentransformasi orang yang tidak berpengetahuan dan orang yang tidak mempunyai keterampilan menjadi orang yang
49
berpengetahuan dan mempunyai keterampilan. Indonesia sendiri mulai mengikatkan diri dalam WTO sejak tahun 1994. Dengan diterbitkanya Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tanggal 2 Nopember 1994 tentang pengesahan
(ratifikasi)
―Agreement
Establising
the
World
TradeOrganization”, maka Indonesia secara resmi telah menjadi anggota WTO dan semua persetujuan yang ada di dalamnya telah sah menjadi bagian dari legislasi nasional. Sebagai anggota WTO, Indonesia tentu saja tidak bisa menghindar dari berbagai perjanjian liberalisasi perdagangan, termasuk perdagangan jasa pendidikan. Keputusan yang dinilai agak terburu-buru.Mengingat kondisi pendidikan nasional saat ini yang masih buruk.Keputusan liberalisasi pendidikan ditetapkan di tengah angka buta huruf dan putus sekolah yang masih tinggi di Indonesia. Dalam kondisi seperti ini, sejalan dengan logika ekonomik ala WTO, pendidikan hanya akan menjadi barang komersial yang jauh dari upaya pemenuhan hak konstitusi rakyat atas pendidikan yang bermutu dan berkualitas oleh negara (Dani setiawan Liberalisasi Pendidikan dan WTO 2004:2). Sebelum pemerintah mengeluarkan UU BHP pemerintah telah mengeluarkan terlebih dahulu Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan TinggiNegeri sebagai Bahan Hukum yang kemudian disusul diterbitnya PeraturanPemerintah Nomor 155 tahun 2000 tentang Penetapan Institut Teknologi Bandung menjadi Bahan Hukum Milik Negara. Pertimbangan pertama yang ditinjau dalam Peraturan
50
Pemerintah Nomor 61 secara singkat adalah adanya globalisasi yangmenimbulkan persaingan yang tajam. Selanjutnya Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (pasal 50 ayat 6) menyebutkan bahwa perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya. Lebih lanjut disebutkan dalam Undang-Undang yang sama (pasal 51 ayat 1-2) bahwa: (a) pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar p elayanan minimal dengan prinsip manajemen adalah
Yang dimaksud dengan otonomi perguruan tinggi
kemandirianperguruan
tinggi
untuk
mengelola
sendiri
lembaganya.berbasis sekolah/madrasah3, dan (b) pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan. Sementara itu, pengelolaan satuan pendidikan non-formal dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan atau masyarakat (UU No. 20 Th. 2003, pasal 52 ayat 1).Berdasarkan berbagai aturan di atas, sesungguhnya tidak ekpslisit dapat dikatakan
bahwa
pendidikan
nasional
sekarang
ini
menganut
liberalisasi.Namun dengan pemberian otonomi dikhawatirkan bahwa pendidikan dapat terserat pada liberalisasi pendidikan. Di sinilah sesungguhnya terjadi pertarungan kepentingan, dalam arti apakah pemerintah akan membendung liberalisasi yang sudah terlanjur masuk bersama masuknya liberalisai dalam bidang politik, ekonomi, serta sosial-
51
budaya ataukah pemerintah mengakomodasi liberalisasi tersebut? Dalam hal ini, pelaku pendidikan dan masyarakat terpolarisasi antara menerima dan menolak liberaliasi pendidikan ini neskipun dengan kadar yang bervariasi (M. Tajuddin Liberalisasi Pendidikan: Sebuah Wacana Kontroversial 2010). Jika melihat fakta, pemerintah memang terlihat mengakomodasi liberalisasi pendidikan, antara lain dengan kasat mata tercermin dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 dan Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007, yang mengkategorikan pendidikan sebagai bidang usaha, seperti yang dipahami dalam bidang ekonomi. Dalam peraturan Presiden ini sangat jelas pula bahwa sektor pendidikan dimungkinkan menjadi lahan investasi modal asing sampai maksimal 49 persen.Banyak kalangan mencemaskan, bahwa jika kemitraan dengan ―pemilik modal‖ dalam negeri tidak berimbang, maka terbuka peluang kepemilikan
mayoritas
beralih
ke
tangan
asing,
dengan
segala
konsekuensinya. Di lain pihak, masyarakat pun banyak pula yang menerima, terutama dari kalangan menengah ke atas (PP. Presiden No.77 tahun 2007).
D.
Latar belakang
pembentukan Undang-Undang Pendidikan Tinggi
No. 12 Tahun 2012 Menelusuri urutan permasalahan Undang-Undang Perguruan Tinggi Tahun 2012 adalah ketika pemerinta Indonesia sepakat untuk masuk ke dalam bagian 52
World Trade Organization (WTO) pada tahun 1994. Sebagai bentuk konsekuensinya, Indonesia harus patuh kepada aturan-aturan pokok yang ditetapkan dalam perjanjian General Agreement on Trade in Service (GATS).Pada perjanjian tersebut terdapat 12 sektor jasa yang dimasukkan dalam komoditas perdagangan jasa internasional, termasuk pendidikan. Inilah awal dibukanya pintu komersialisasi dan liberalisasi pendidikan Nasional dalam wujud liberalisasi pendidikan (Narcis Serra dan Joseph E. Stiglitz 2008:46)
Melalui UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan yang substansinya merupakan UU titipan produk liberal dan telah dimazulkan (Nomor 11-14-21-126-136/Puu-Vii/2009) oleh Mahkamah Konstitusi. Namun pada tanggal 10 Agustus 2012 telah disahkan sebuah produk hukum yang diindikasikan bentuk baru dari UU BHP, yakni UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi sebagai lanjutan dari UU No. 9 Tahun 2009 yang isi tidaklah jauh berbeda dari UU BHP.
53
BAB IV
DAMPAK RATIFIKASI GATS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA
Pada bab ini dipaparkan mengenai Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.12 Tahun 2012 dalam kerangka GATS, serta Analisis dampak penerapan Undang-Undang Perguruan Tinggi No.12 Tahun 2012.
A.
Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.12 Tahun 2012 dalam
kerangka GATS Sejak diundangkannya UU Pendidikan Tinggi No. 12 Tahun 2012 pada tanggal 10 Agustus 2012 maka berlakulah Undang-Undang tersebut. GATS (General Agreement on Trade in Services) merupakan sebuah kesepakatan dalam kerjasama WTO yang meliputi 12 sektor jasa antara lain meliputi jasa sektor bisnis, komunikasi; teknik dan konstruksi; distribusi; pendidikan; lingkungan; keuangan; kesehatan; pariwisata; rekreasi, budaya, olahraga; transportasi; dan jasa lainnya (E. Hartmann dan C. Scherrer 2006:4). Dalam Basic Information on GATS Kewajiban utama GATS adalah akses pasar (Pasal XVI GATS), national treatment (Pasal XVII GATS), dan most-favoured-nation (Pasal II GATS). di dalam WTO, merupakan proses sentral yang mengawali peningkatan privatisasi pendidikan di
Dunia karena mendorong liberalisasi progresif pada jasa
pendidikan dan telah menjadi pijakan signifikan dalam pasar perdagangan jasa
54
pendidikan internasional. Dalam proses negosiasi komitmen spesifik di bawah GATS, jasa dikategorikan di bawah UN Central Product Classification, yang hanya dibuat semata berdasarkan perspektif produsen, sehingga membuat tidak ada pembedaan antara pendidikan dan jasa lainnya, meskipun pendidikan berkaitan erat dengan kepentingan publik. Perdagangan dalam jasa pendidikan terbagi menjadi lima sub-sektor pendidikan yang dikategorikan oleh United Nations Provisional Central Product Classification (CPC), yaitu mencakup pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, pendidikan dewasa (pendidikan di luar sistem pendidikan reguler), dan pendidikan lainnya meliputi semua jasa pendidikan yang tidak terklasifikasi di atas (United Nation 2011).
GATS mendefiniskan empat cara di mana segala jenis jasa dapat diperdagangkan, yaitu berdasarkan konsumsi jasa di luar negeri oleh konsumen yang bepergian ke negara penyedia jasa (sebagai contoh adalah pelajar yang menempuh studi di luar negeri); suplai jasa lintas negara terhadap konsumen di suatu negara tanpa kehadiran penyedia jasa di negara tersebut (sebagai contoh adalah pendidikan jarak jauh); kehadiran penyedia jasa komersial di negara konsumen (sebagai contoh adalah kehadiran universitas asing di negara tersebut); kehadiran sumber daya manusia dari negara penyedia jasa ke negara konsumen (sebagai contoh kehadiran profesor dan peneliti asing yang bekerja di negara tersebut). Sektor pendidikan, terutama pendidikan tinggi, telah menjadi komoditas perdagangan yang menjanjikan keuntungan besar dan dikuasai oleh negara maju pendukung liberalisasi pasar, yaitu Amerika Serikat, Inggris, dan Australia (Current Commitments under the GATS in Educational Services 2002).
55
Permintaan terhadap Pendidikan Tinggi terus menigkat terutama pendidikan lintas negara. Menurut Jane Knight, terdapat beberapa hal yang menjadi pendorong perkembangan pesat perdagangan internasional pada jasa pendidikan, yaitu antara lain kemunculan penyedia jasa pendidikan yang berorientasi profit; perkembangan teknologi yang mendorong kemudahan penyampaian jasa pendidikan, baik skala domestik maupun internasional; sebagai respon terhadap pasar tenaga kerja; peningkatan mobilitas mahasiswa, profesor, dan program internasonal; terbatasnya kapasitas anggaran (atau kemauan politik) pemerintah untuk memenuhi naiknya permintaan domestik akan pendidikan tinggi (The Impact of Trade Liberalization on Higher Education: Policy Implications ,The Observatory on Borderless Higher Education 2002:1).
Dalam hal ini akibat dari ketentuan WTO melalui GATS maka Indonesia harus memprivatisasi Pendidikan Tingginya melalui kerangka GATS. Sifat negosiasi perluasan liberalisasi jasa dalam GATS dilakukan dengan model initial offer dan initial request. Dany Setiawan merangkum, setiap negara bisa mengirimkan initialrequest yaitu daftar sektor-sektor yang diinginkan untuk dibuka di negara lain. Negara diwajibkan meliberalisasi sektor-sektor tertentu yang dipilihnya sendiri atau disebut initial offer. Perundingan untuk perluasan akses pasar jasa ini dilakukan secara bilateral oleh masing-masing negosiator jasa tiap negara di Jenewa, yang apabila disepakati akan berlaku multilateral (Liberalisasi Pendidikan dan WTO 2009:1)
56
B.
Analisis dampak penerapan Undang-Undang Perguruan Tinggi No.12 Tahun 2012
Melihat subtansi dari Pendidikan pada Undang-Undang Perguruan Tinggi tahun 2012 (UU PT tahun 2012) maka dapat dikatakan bahwa EPI sangatlah berperan penting dalam UU PT tahun 2012. Ekonomi politik internasional sendiri secara sederhana dapat diartikan menjadi dua kata yaitu state (negara) dan market (pasar). Ketika terjadi hubungan timbal balik diantara keduanya maka ekonomi dan politik keduanya saling mempengaruhi. Namun pada perkembangannya politik mempengaruhi ekonomi lebih dominan (Gilipin,2001; 77).
Sebagaimana diketahui bahwa studi Hubungan Internasional mulai mengkaji ekonomi-politik internasional sejak tahun 1970, dan ekonomi-poltik internasional itu sendiri membutuhkan integrasi teori-teori dari disiplin ekonomi dan poltik, misalnya masalah-masalah dalam isu perdagangan internasional, moneter,dan pembangunan ekonomi (Gilpin, 1987: 3). Lebih lanjut, Rudy (2003: 50-51) menjelaskan ekonomi-politik adalah hasil interaksi anatara kajian ekonomi dan kajian politik, yang mempertimbangkan serta dipengaruhi unsur ekonomi, unsur politik yang satu sama lain saling berinteraksi. Dan ekonomi politik internasional adalah interaksi mekanisme pasar internasional (termasuk hal interdependensi,
depedensi,
dan
globalisasi)
dengan
sistem
masyarakat
internasional yaitu multi-state system dan pola hubungan antarnegara serta kebijakan masing-masing pemerintah untuk mempengaruhi situasi pasar internasional baik dalam bidang perdagangan maupun dalam bidang moneter.
57
Sebagai contoh adalah ketika kekuasaan membutuhkan ekonomi untuk memperkuat powernya. Terbentuknya rezim internasional adalah salah satu contoh nyata. Di satu sisi rezim internasional dibutuhkan untuk mempertahankan dan menstabilkan ekonomi internasional namun di lain sisi muncul kritik terhadap rezim internasional. Susan Strange mengkritik bahwa teori rezim berada pada passing fad, dan paling buruk merupakan legitimasi Amerika untuk melanjutkan dominasi pada ekonomi dunia (Gilpin, 2001;85)
Syamsul hadi menjelaskan, rezim internasional yang berkembang saat ini adalah yang aspek power yakni Pax Americana. Pax Americana adalah suatu situasi global dimana Amerika muncul sebagai kekuatan yang paling dominan didalam sistem internasional setelah perang dunia II. Dan fungsi kekuatan hegemoni ini adalah menyediakan atau mempromosikan apa-apa yang disebut international public goods, seperti misalnya keamanan, stabilitas dsb. Dalam konteks hegemoni Amerika atau Pax Americana, perdagangan bebas itu pada mulanya dilihat dan dipromosikan oleh Amerika sebagai public goods, sebagai sesuatu yang harus ada dan harus berlaku. Itu terutama dapat dilihat pada masa 25 tahun terakhir ketikaKonsensus Washington atau neoliberal begitu menguasai wacana pembangunan di dunia. Disinilah perdagangan bebas menjadi bagian dari Konsensus Washington, berdampingan dengan paket-paket deregulasi, privatisasi
dan
liberalisasi
yang
dipromosikan
oleh
lembaga-lembaga
seperti IMF, WTO, dan Bank Dunia (Syamsul Hadi. 2011C:11)..
58
Melalui GATS maka diberlakukanlah liberalisasi pendidikan, liberalisasi dimaknai sebagai proses untuk memindahkan larangan-larangan yang dibuat oleh negara dalam rangka membentuk ekonomi dunia yang lebih terintegraasi. Konsepsi ketiga, universalisasi bermakna menyebarnya pelbagai macam obyek dan pengalaman dari masyarakat di seluruh dunia. Westerenisasi merupakan kritik bagi proses peniruan budaya Barat atau bahkan proses memaksakan sistem budaya, sistem politik dan sistem ekonomi negara-negara Barat dalam panggung dunia semangat liberalisasi pada sektor publik ketika Ronald Reagan dan Margareth Thatcher mengumandangkan prinsip kebijakan baru yang disebut neoliberalisme dan prinsip ini harus dilakukan oleh negara-negara di seluruh dunia. Kebijakan neoliberal disini merupakan kebutuhan dari negeri Imperialis dalam memenuhi bahan baku untuk industri mereka, mendapatkan sumber tenaga kerja yang murah dan pangsa pasar yang lebih besar (Mochtar Mas’oed 2002:8). Liberalisasi pendidikan di Indonesia pada sektor publik sudah dimulai ketika pemerintah Orde Baru yang menerapkan Structural Adjusment Program dari IMF dan World Bank. Hal ini ditandai dengan seperangkat regulasi yang meminimalisir peran negara dalam aspek pemotongan subsidi di bidang pendidikan dan ikut sertanya swasta dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia (Syamsul Hadi et al. 2007B:25). Pada kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dimulai dari tahun 2004 hingga sekarang, dalam rangka menyukseskan program liberalisasi pendidikan di Indonesia khususnya di bidang pendidikan tinggi dapat kita lihat melalui PP no 48 tahun 2005 tentang sumber pendanaan pendidikan yang mengikutsertakan masyarakat dalam
59
pendanaan, lalu Perpers no 77 tahun 2007 tentang bidang yang dapat dilaksanakan investasi, dilanjutkan pada pengesahan UU no 9 tahun 2009 tentang BHP (walaupun dibatalkan oleh MK) serta sekarang dilanjutkan dengan keberadaan UU Pendidikan Tinggi No.12 tahun 2012. Dalam UU PT No.12 tahun 2012 yang disusun oleh legislatif dan eksekutif di era Presiden SBY saat ini sangat jelas sekali bahwa keberadaan UU Pendidikan Tinggi No.12 tahun 2012 ini akan menjauhkan tanggung jawab negara dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia. Ekonomi politik internasional didalam GATS berpengaruh kepada UU PT No.12 tahun 2012. GATS merupakan perjanjian terbesar karena meliputi 12 sektor jasa secara komprehensif (meliputi jasa sektor bisnis, komunikasi; teknik dan konstruksi; distribusi; pendidikan; lingkungan; keuangan; kesehatan; pariwisata; rekreasi, budaya, olahraga; transportasi; dan jasa lainnya). Kewajiban utama GATS adalah akses pasar (Pasal XVI GATS), national treatment (Pasal XVII GATS), dan most-favoured-nation (Pasal II GATS) (Globalization, GATS and Trading in Education Service, 2006 : 4) Dari kesepakatan GATS di tahun 2000, maka Indonesia secara berangsurangsur meratifikasi perjanjian tersebut dimulai dari UU Sisdiknas, UU BHP dan UU PT No.12 tahun 2012. Dan berikut adalah bentuk dari kesepakatan GATS pada UU PT No.12 tahun 2012 dimohonkan oleh M. Nurul Fajri, dkk, selaku perwakilan Forum Peduli Pendidikan Universitas Andalas sidang Mahkamah Konstitusi;
60
1. Bahwa Pasal 64 UU Pendidikan Tinggi bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4), Pasal 31 ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945, karena Otonomi Perguruan Tinggi di bidang akademik dan non-akademik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64: (a) membuka peluang
dan
melegitimasi
perguruan
tinggi
untuk
menerapkan
komersialisasi pendidikan tinggi; (b) membuka kesempatan kepada perguruan tinggi untuk mengelola keuangan seperti sebuah sebuah korporasi; (c) penyerahan otonomi non-akademik kepada PT badan hukum merupakan bentuk pelepasan tanggung jawab dan kontrol Negara terhadap pendidikan
tinggi
yang
berkeadilan
dan
diskriminatif,
sehingga
bertentangan dengan UUD NRI 1945 Pasal 31 ayat (1); dan (d) membuka kesempatan kepada perguruan tinggi untuk melakukan abuse of power dalam bidang ketenagaan karena pegawai perguruan tinggi akan tunduk kepada perguruan tinggi sebagaimana ditetapkan dalam UUD NRI 1945 Pasal 28 D ayat (1); dan Pasal a quo melanggar Pasal 28 C ayat (1) karena tidak memberikan kesempatan yang sama kepada setiap warganegara untuk menikmati pendidikan tinggi. 2.
Bahwa Pasal 65 ayat (1) sepanjang frasa “atau dengan membentuk PTN badan hukum” serta ayat (3) dan ayat (4) UU Pendidikan Tinggi bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4), Pasal 31 ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945, karena: (a) otonomi Perguruan Tinggi menjadikan pendidikan tinggi barang publik (publicgood) yang merupakan fungsi dan tanggungjawab Pemerintah. Penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh PTN badan hukum menjadikan pendidikan tinggi barang privat, sehingga bertentangan dengan amanat Pasal 31 ayat (2) UUD NRI 1945; (b) bahwa bentuk PT Badan Hukum Pendidikan sudah dinyatakan Mahkamah bertentangan dengan UUD NRI 1945 dengan Putusan
Perkara
No.
11-14-21-126-136
PUU-VII-2009;
(c) bahwa
pemberian otonomi dapat menimbulkan praktek komersialisiasi yang
61
dilakukan oleh pengelola PTN; (d) bahwa pemberian otonomi kepada perguruan tinggi negeri terutama di bidang keuangan berpotensi memberikan kewenangan kepada institusi perguruan tinggi untuk memungut dan memberlakukan berbagai bentuk biaya pungutan kepada mahasiswa (masyarakat) dan dapat menyulitkan akses masyarakat ekonomi lemah, sehigga bertentangan dengan ketentuan Pasal 28 C ayat (1); dan (e) bahwa pemberian otonomi kepada PTN yang menerapkan Pola Pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU) berarti memberikan kemandirian pengelolaan dibidang keuangan oleh PTN belum tentu menyediakan pendidikan murah bagi masyarakat, sehingga bertentangan dengan Pasal 31 ayat (23) UUD 1945. 3. Bahwa Pasal 86 ayat (1) UU Pendidikan Tinggi bertentangan dengan Alinea IV Pembukaan dan Pasal 31 ayat (1) dan ayat (5) UUD 1945, karena: (a) Fasilitasi dan pemberian insentif kepada dunia usaha, masyarakat, dan perorangan untuk memberikan bantuan kepada Perguruan Tinggi telah melanggar pokok fikiran dalam Alinea IV tentang filosofi pendidikan nasional; (b) mereduksi tanggung jawab negara atas pendidikan dengan memberi kesempatan kepada dunia usaha dan industri untuk terlibat dalam pendanaan pendidikan tinggi: (c) menyebabkan dekonstruksi pada dunia pendidikan tinggi Indonesia, dari pembentukan pendidikan tinggi yang berkualitas menjadi pendidikan tinggi yang menerapkan pradigma dunia usaha yang mengutamakan profit oriented; (d) Pasal a quo akan berakibat pada perubahan kurikulum Perguruan Tinggi yang lebih disesuaikan dengan kebutuhan dunia usaha dan dunia industri. 4. Bahwa Pasal 90 UU Pendidikan Tinggi bertentangan dengan Alinea IV Pembukaan, Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28E ayat (1) UUD NRI 1945 karena: (a) menghambat pemenuhan hak konstitusional warga negara atas pendidikan, khususnya pendidikan tinggi yang dijamin dalam Alinea IV Pembukaan UUD NRI 1945, Pasal 28C ayat (1), dan Pasal 28E ayat (1); (b) merupakan pelanggaran kewajiban konstitusional pemerintah untuk menyediakan pembiayaan untuk pendidikan tinggi; dan (c) pemberian izin
62
kepada perguruan tinggi Negara lain di wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia bertentangan dengan kewajiban Negara melalui Perguruan Tinggi Negeri untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi ( Prof. Dr. Sofian Effen didalam Perkara di Mahkamah Konstitusi No. 103/PUU/-X/2012 tentang Pengujian Undang-undang Republik Indonesia No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi terhadap UUD NRI 1945). Dan disisi lain, penjelasan dari Sekretaris DPT Ditjen Dikti yakni Prof. Ir. Nizam, M.Sc., Ph.D. yang mewakili pemerintah Indonesia menjelaskan beberapa poin penting Undang-Undang Pendidikan No.12 tahun 2012 antara lain; 1. UU dikti tidak bertentangan dengan UUD 1945dan disusun atas perintah konstitusi (UUD 1945 Pasal 31 ayat 3 dan 5) tetapi melengkapi/komplementer dengan UU Sisdiknas. 2. Pemerintah dan masyarakat bersama UU dikti berusaha mengerem laju liberalisasi dan komersialisasi. 3. Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) dibuat untuk mengatasi mahalnya biaya pendidikan tinggi. 4. Perguruan tinggi asing boleh menyelenggarakan pendidikan tinggi selama bersifat nirlaba, sehingga tidak terjadi komersialisasi pendidikan. 5. Boleh selama mengikuti peraturan perundangan dan sejalan dengan kepentingan nasional, sehingga tidak terjadi liberalisasi pendidikan. 6. Boleh selama bekerjasama dengan PT dalam negeri, sehingga tidak membunuh PT dalam negeri. PT Asing juga harus mendapat izin Pemerintah. 7. Pemerintah mengatur daerah di mana PT asing boleh beroperasi, jenis perguruan tinggi, serta program studi yang boleh diselenggarakan. Namun dibalik pandangan dari kesaksian Prof. Sofian Efendi di Mahkamah Konstitusi penulis menilai masih ada beberapa kebijakan positif yang didapat dari UU No.12 tahun 2012 yang dirangkum oleh penulis yakni diantaranya; 1.Menurut pasal 31 “Pendidikan Jarak Jauh” (1) Pendidikan jarak jauh merupakan proses belajar mengajar yang dilakukan secara jarak jauh melaluipenggunaan berbagai media komunikasi.(2) Pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud pada ayat
63
(1) bertujuan:a. memberikan layanan Pendidikan Tinggi kepada kelompok Masyarakat yang tidak dapat mengikutiPendidikan secara tatap muka atau reguler; danb. memperluas akses serta mempermudah layanan PendidikanTinggi dalam Pendidikan danpembelajaran. (3) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalamberbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai denganStandar Nasional Pendidikan Tinggi. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri. 2. Menurut pasal 32 ―Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus” (1) Program Studi dapat dilaksanakan melaluipendidikan khusus bagi Mahasiswa yang memilikitingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran dan/atau Mahasiswa yang memilikipotensi kecerdasan dan bakat istimewa.(2) Selain pendidikan khusus sebagaimana dimaksudpada ayat (1) Program Studi juga dapat dilaksanakan melalui pendidikan layanan khusus dan/ataupembelajaran layanan khusus.(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Program Studi yangmelaksanakan pendidikan khusus sebagaimanadimaksud pada ayat (1) dan pendidikan layanankhusus dan/atau pembelajaran layanan khusussebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalamPeraturan Menteri. 3. Menurut pasal Pasal 50 “Kerja Sama Internasional Pendidikan Tinggi” (1) Kerja sama internasional Pendidikan Tinggi merupakan proses interaksi dalam pengintegrasian dimensi internasional ke dalam kegiatan akademik untuk berperan dalam pergaulan internasional tanpa kehilangan nilai-nilai keindonesiaan.(2) Kerja sama internasional harus didasarkan pada prinsip kesetaraan dan saling menghormati dengan mempromosikan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan nilai kemanusiaan yang memberi manfaat bagi kehidupan manusia.(3) Kerja sama internasional mencakup bidang Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian kepada Masyarakat.(4) Kerja sama internasional dalam pengembangan Pendidikan Tinggi dapat dilakukan, antara lain, melalui: a. hubungan antara lembaga Pendidikan Tinggi di Indonesia dan lembaga Pendidikan Tinggi negara lain dalam kegiatan penyelenggaraan Pendidikan yang bermutu; b. pengembangan pusat kajian Indonesia dan budaya lokal pada Perguruan Tinggi di dalam dan di luarnegeri; dan c. pembentukan komunitas ilmiah yang mandiri. (5) Kebijakan nasional mengenai kerja sama internasional Pendidikan Tinggi ditetapkan dalam Peraturan Menteri.
64
4. Menurut pasal 51-53 ”PENJAMINAN MUTU” (1) Pendidikan Tinggi yang bermutu merupakan Pendidikan Tinggi yang menghasilkan lulusan yang mampu secara aktif mengembangkan potensinya danmenghasilkan Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi yang berguna bagi Masyarakat, bangsa, dan negara. (2) Pemerintah menyelenggarakan sistem penjaminan mutu Pendidikan Tinggi untuk mendapatkanPendidikan bermutu. Pasal 52 (1) Penjaminan mutu Pendidikan Tinggi merupakankegiatan sistemik untuk meningkatkan mutu Pendidikan Tinggi secara berencana dan berkelanjutan. (2) Penjaminan mutu sebagaimana dimaksud padaayat (1) dilakukan melalui penetapan, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian, dan peningkatan estándar Pendidikan Tinggi.(3) Menteri menetapkan sistem penjaminan mutu Pendidikan Tinggi dan Standar Nasional PendidikannTinggi. (4) Sistem penjaminan mutu Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didasarkan pada Pangkalan Data Pendidikan Tinggi.Pasal 53Sistem penjaminan mutu Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) terdiri atas: a. sistem penjaminan mutu internal yang dikembangkanoleh Perguruan Tinggi; dan b. sistem penjaminan mutu eksternal yang dilakukanmelalui akreditasi. 5. Menurut Pasal 57 “Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi” (1) Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi merupakan satuan kerja Pemerintah di wilayah yang berfungsi membantu peningkatan mutu penyelenggaraan Pendidikan Tinggi.(2) Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh Menteri. (3) Menteri menetapkan tugas dan fungsi lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebutuhan. (4) Menteri secara berkala mengevaluasi kinerja lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Dibalik kelebihan dan kekurangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi No. 20 Tahun 2012 dalam skripsi ini mencoba memaparkannya, sebagai refleksi dari pemahaman konsep Neoliberalisme dalam studi Hubungan Internasional yang berada pada diskurusus Ekonomi Politik Internasional yang menjadi dasar pijakan WTO dan GATS. Skripsi ini menilai neoliberalisme dalam kerangka ekonomi
65
politik internacional sudah menjadi dasar dalam peletakan sebuah kebijakan di Indonesia, khususnya pada UU Dikti ini yang tak terlepas dari pengaruh instrumen WTO dan GATS. Skripsi ini memaparkan tentang bagaimana perjalanan konsep neoliberalisme dalam pedidikan yang mulai masuk di era tahun 90-an melalui kerangka IMF dan World Bank serta kini dilanjutkan oleh instrumen WTO dan GATS.
66
BAB V
KESIMPULAN
Dampak Konsensus Washington dan ratifikasi pemerintah Indonesia terhadap kebijakan GATS atas Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.12 tahun 2012, menimbulkan dampak terhadap privatisasi dan liberalisasi pendidikan khususnya pada Pendidikan Tinggi. Pada skripsi ini melihat akar permasalahan liberalisasi pendidikan tinggi diawali dengan IMF dan World Bank, selanjutnya berkembang menuju GATS lalu implementasi GATS melalui UU BHP atau UU No.20 tahun 2003 yang berhasil di makzulkan dan terkini adalah UU Perguruan Tinggi No.12 tahun 2012. Pengaruh Konsensus Washington terhadap pendidikan sebenarnya terjadi pada saat krisis Asia tahun 1996 yang lebih dikenal dengan krisis moneter. Pada saat itu Negara-negara debitur IMF dan World Bank terjebak dalam skenario Konsensus Washington yang termaktub pada butir pelepasan sebagian tanggung jawab Negara terhadap aspek sosial dan pendidikan berupa privatisasi, yang artinya privatisasi pendidikan di Indonesia telah dimulai pada fase ini. Tahun 1999, melalui PP No.60 dan PP No.61. Pada PP No.60 pasal 115 menjelaskan bahwa setiap peguruan tinggi berhak menerima, menyimpan, dan mengelola keuangan secara otonom. Oleh karena itu, sumbangan di luar SPP (sumbangan pendanaan pendidikan), uang registrasi, dan TPP (tungangan pendanaan pendidikan), tidak termasuk dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Inilah yang menjadi dasar pijakan pertama privatisasi pada Pendidikan Tinggi.
67
Selanjutnya penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh Pemerintah melalui bentuk Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), yaitu UGM, UI, ITB, IPB, USU, UPI, UNAIR, berlangsung pada tahun 2000. Konsepsi Konsensus Washington menjadi pilar utama IMF dan World Bank dalam menetapkan kebijakannya, terutama di negara-negara berkembang. Dalam hal ini Indonesia yang merupakan salah satu negara di Asia yang melaksanakan formulasi Konsensus Washington yang masuk melalui Letter Of Inten mau tidak mau suka tidak suka masuk dalam skenario Konsensus Washington. Konsep tersebut masuk melalui liberalisasi pendidikan berupa privatisasi pendidikan dengan mengurangi peran pemerintah dalam urusan pendidikan dalam hal ini khususnya Pendidikan Tinggi, partisipasi masyarakat, bantuan dari pihak swasta serta asing dan otonomi perguruan tinggi. Sejalan dengan hal tersebut rupanya WTO melalui GATS telah menjalankan aksi serupa sebagai bentuk penyempurnaan dari privatisasi pendidikan dan dampak globalisasi. Indonesia masuk anggota WTO pada tahun 1995 dengan diterbitkanya Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tanggal 2 Nopember 1994 tentang pengesahan (ratifikasi) ―Agreement Establising the World TradeOrganization”, maka Indonesia secara resmi telah menjadi anggota WTO dan semua persetujuan yang ada di dalamnya telah sah menjadi bagian dari legislasi nasional. Selanjutnya konsepsi mengenai GATS, penyediaan jasa pendidikan merupakan salah satu dari 12 sektor jasa lainnya yang akan diliberalisasi. Liberalisasi perdagangan sektor jasa pendidikan berdampingan dengan liberalisasi layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa
68
akuntansi, serta jasa-jasa lainnya. Sejak tahun 2000, negosiasi perluasan liberalisasi jasa dalam GATS dilakukan dengan model initial offer dan initial request. Dimana setiap negara bisa mengirimkan initial request yaitu daftar sektor-sektor yang diinginkan untuk dibuka di negara lain. Negara diwajibkan meliberalisasi sektor-sektor tertentu yang dipilihnya sendiri atau disebut initial offer. Perundingan untuk perluasan akses pasar jasa ini dilakukan secara bilateral oleh masing-masing negosiator jasa tiap negara di Jenewa, yang apabila disepakati akan berlaku multilateral. Sejak diberlakukannya GATS pada sektor pendidikan, maka Indonesia sebagai negara anggota WTO harus meratifikasi aturan main dalam sektor pendidikan. Di Indonesia aturan tersebut menjelma kedalam UU No.20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dan UU No.9 tahun 2009 tentang BHP. Kedua UU tersebut terlihat jelas mengenai privatisasi dan liberalisasi pendidikan, yang berisi antara lain; Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (pasal 50 ayat 6) menyebutkan bahwa perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya. Selanjutnya disebutkan dalam Undang-Undang yang sama (pasal 51 ayat 1-2) bahwa: (a) pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah3, dan (b) pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan. Sementara itu,
69
pengelolaan satuan pendidikan non-formal dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan atau masyarakat (UU No. 20 Tahun. 2003, pasal 52 ayat 1). Berdasarkan berbagai aturan di atas, melalui pemaparan pasal-pasal tersebut diatas tidak menyebutkan secara terang-terangan mengenai bentuk-bentuk privatisasi maupun liberalisasi pendidikan. Namun dengan pemberian otonomi dikhawatirkan bahwa pendidikan dapat terserat pada liberalisasi pendidikan. Dan inilah produk dari GATS tentang liberalisasi pendidikan. Setelah dibatalkannya UU No. 20 Tahun 2003 oleh mahkamah konstitusi melalui Putusan Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 pada tanggal 31 Maret 2010 maka pemerintah melakukan perbaikan dengan membuat PP No. 17/2010, tentang: Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan PP. No 14/2010, tentang: Pendidikan Kedinasan. Namun sekali lagi kedua PP tersebut masih berbau Privatisasi dan Liberalisasi. Lalu pada tahun 2012 melalui UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Pemerintah melakukan aspek-aspek liberalisasi pendidikan melalui kerjasama Internasional pendidikan, otonomi Perguruan Tinggi, peran serta mayarakat dalam pendanaan Pendidikan Tinggi, dan pembiyaan Perguruan Tinggi oleh pihak swasta berprinsip nirlaba. Melalui skripsi ini diharapkan dapat memahami mengenai dampak Konsensus Washington dan Ratifikasi Indonesia terhadap kebijakan GATS khususnya terhadap pendidikan di Indonesia yang berawal dari IMF, World Bank, Konsensus Washington, WTO, dan berakhir di GATS.
70
Daftar Pustaka
Ali, Husein Muhammad. Menyingkap Rahasia Besar dibalik Liberalisasi Pendidikan. 2012 [diakses 14 jan 2013]http://edukasi.kompasiana.com/2012/11/11/ menyingkap-rahasiabesar-di-balik-liberalisasi-pendidikan-508235.html Antisipasi Rencana Ratifikasi GATS, UGM http://www.ugm.ac.id/id/post/page?id=102
:
2005
di
akses
Balaam, David N. dan Michael Veseth. Introduction to International Political Economy 3rd edtion. New Jersey: Pearson Education Inc, 2005. Bastian, Indra. Model Pengelolaan Privatisasi. Yogyakarta: BPFE, 2000. Cano, Guiomar Alonso, dkk. (eds.). 2005: kebudayaan Perdagangan dan Globalisasi: 25 Tanya Jawab. Yogyakarta: Kanisius. ”Current Commitments under the GATS in Educational Services”. OECD/US Forum on Trade in Educational Services Washington, DC, U.S.A2002 Dwi, Inggried Wedhaswary. Lulus SNMPTN, Kok, Bayarnya Mahal Juga?.[diakses 15 Juni 2013] http://edukasi.kompas.com Effendi, Sofian.Didalam Perkara di Mahkamah Konstitusi No. 103/PUU/X/2012 tentang Pengujian Undang-undang Republik Indonesia No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi terhadap UUD NRI 1945 Efendi, Sofian. GATS: Neo-imprialisme modern dalam Pendidkan. Yogyakarta : UGM, 2005 Ferdiansyah, R. “Globalisasi dan Kebijakan Ekonomi Indonesia Pasca Orde Baru : Perspektif Joseph E. Stiglitz” 2011 [di unduh 12 juli 2013] http://perpus.umy.ac.id/katalog/detail_skripsi.php?what=skripsi&id=2007 000213&recid=3362 ―General Agreement on Trade in Services‖, diakses dari http://www.wto.org/english/docs_e/legal_e/26-gats_01_e.htm pada 1 0ktober 2011 pukul 20.30 Gilpin, Robert. 2001. ―The New Global Economic Order‖, dalam Global Political Economy: Understanding the International Economic Order, Princeton: Princeton University Press.
71
Gilpin, Robert. 2001. ―The Nature of Political Economy‖, dalam Global Political Economy: Understanding the International Economic Order, Princeton: Princeton University Press. Gilpin, Robert. 2001. ―The Study of International Political Economy‖, dalam Global Political Economy: Understanding the International Economic Order, Princeton: Princeton University . Hadi, Syamsul.et al. Post Washington Consensus dan Politik Privatisasi di Indonesia. Jakarta: Margin Kiri, 2007. Hadi, Syamsul Krisis. Global Rezim Internasional Dan Perdagangan Bebas. 2011. [di unduh 12 juli 2013]http://www.igj.or.id/ Hadi, Syamsul.et al. Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF. Jakarta: Granit, 2004. Hadi, Syamsul et.al. Globalisasi, neoliberalisme, dan pembangunan lokal: studi tentang Kawasan Ekonomi Khusus. Institute for Global Justice. Jakarta:2011 Hatta. Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT-WTO. Bandung: Refika Aditama , 2006. Heywood, Andrew. Politics 2nd edition. New York: Palgrave, 2002. Husein, Ruslan. Wajah Buruk Dunia Pendidikan. 2008 [di unduh 15 juli 2013]http://putrakeadilan.blogspot.com/2008/10/wajah-buruk-duniapendidikan.html Humas UGM, Antisipasi Rencana Ratifikasi GATS, UGM : 2005 (diperoleh dari : http://www.ugm.ac.id/id/post/page?id=102) IMF. Apakah Dana Moneter Internasional Itu?. Washington DC : 2003[diakses 15Juni 2013]http://www.imf.org/external/pubs/ft/exrp/what/IND/whati.pdf Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 4. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta : Gramedia, 2008 Knight, Jane. Trade in Higher Education Services: The Implications of GATS. United Kingdom : International Strategic and service, 2002 Malarangeng, Rizal. Mendobrak Sentralisme: Ekonomi Indonesia 1986-1992, Jakarta: KPG, 2002.
72
Marshall Reinsdorf and Matthew J. Slaughter . International Trade in Services and Intangibles in the Era of Globalization . University of Chicago Press USA : 2009 Mas’oed, Mochtar. Tantangan Internasional Dan Keterbatasan Nasional: Analisis Ekonomi-Politik Tentang Globalisasi Neoliberal,UGM
“Menko Perekonomian: Pemutusan IMF Mendadak Berisiko Besar” Economy Tue, 11 Jun 2002 17:38:00 WIB diakses dari http://cybernews.cbn.net.id/cbprtl/Cybernews/detail.aspx?x=Economy&y= Cybernews%7C0%7C0%7C3%7C3639 Yogyakarta: 2002
Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004. Nalle , Viktor . ―Mengembalikan Tanggung Jawab Negara dalam Pendidikan: Kritik Terhadap Liberalisasi Pendidikan dalam UUSISDIKNAS” Jurnal Konstitusi Volume 8 Nomor 4 Agustus. Jakarta : 2011
Nur, M. Tajudin. “Liberalisasi Pendidikan : Sebuah Wacana Kontroversial” Jurnal Visi Pendidikan tahun. Jakarta : 2012 Nurdin, ―Pro-Kontra Undang-Undang BHP Dalam Konteks Mutu Pendidikan‖.
Jurnal Administrasi Pendidikan Vol. Ix No. 1 April. Bandung :2009 “Letter
of Intent Indonesia and IMF” diperoleh (http://www.imf.org/external/np/loi/1113a98.htm#matrix)
dari
“Letter of Inten Indonesia and IMF” . Jakarta:1998 di akses dari http://www.imf.org/external/np/loi/103197.htm Perkin, John. Confessions of an economic hit man: pengakuan seorang ekonom perusak. Jakarta: Abdi Tandur, 2005.
73
“Peraturan Presiden No.60 Tahun 1999 Tentang Perguruan Tinggi”. Diakses Melalui(http://www.unsrat.ac.id/files/pdf_file/Aturan%20Pemerintah/pp60 -th1999-usr.pdf)
“Peraturan Presiden No.61 Tahun 1999 Tentang Pendidikan Tinggi”. Diakses Melalui (http://www.dikti.go.id/files/atur/PP61-1999.pdf) Purbayanto. Kemana (Arah) Perguruan Tinggi BHMN. Jakarta : 2011 di unduh dari http://purbayanto.com/cetak.php?id=46 Purba, Raimon Jony. “Neoliberalisme Dan Ekonomi Politik Indonesia Studi Kasus: Penerapan Kebijakan Privatisasi Pendidikan Di Indonesia” 2008. 2008 [di unduh 12 juli 2013] http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30632/4/Chapter%20I.pdf Ravenhill, John. ―The Study of Global Political Economy‖, Oxford: Oxford University Press. 2008 Studi Manajemen Utang Luar Negeri Dan Dalam Negeri Pemerintah Dan Assessment Terhadap Optimal Borrowing. 2004.) Studi Manajemen Utang Luar Negeri Dan Dalam Negeri Pemerintah Dan Assessment Terhadap Optimal Borrowing.2004.
Setiawan, Dani. Liberalisasi Pendidikan dan WTO 2003 [diakses 15 Juni 2013] http://oc.its.ac.id/ambilfile.php?idp=126 Saprin, The Policy Roots of Economic Crisis and Poverty, the Report of Structural Adjusment Participatory Review International Network, London: Zed Books, 2004. Serra, Narcis dan Joseph E. Stiglitz. The Washington Consensus Reconsidered Towards a New Global Governance. New York : Oxford university press , 2008. Suara Merdeka. Pembatalan UU BHP Munculkan Masalah Baru.[diakses 15 Juni 2013] http://suaramerdeka.com Stiglitz, Josepth E. Globalization and Its Discontents. London: Penguin Books, 2002. Stiglitz, Joseph E. Making Globalization Work : Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia Yang Lebih Adil (Hc). Jakarta: Mizan, 2009.
74
Stiglitz, Joseph E. Washington Consensus Arah Menuju Jurang kemiskinan, INFID, Jakarta, 2002 Tirtosudarmo, Riwanto. Mencari Indonesia: Demografi Politik Pasca Soeharto. Jakarta: LIPI Press, 2007. Toemion, Theo F. Uang dan malapetaka dunia hancurnya neokapitalisme dan neoliberalisme. Jakarta: Verbum Publishing, 2009. Tajuddin, M. Liberalisasi. Pendidikan: Sebuah Wacana Kontroversial .2010
“Tanya-Jawab Seputar Uu Dikti Nomor 12 Tahun 2012” oleh Prof. Ir. Nizam, M.Sc., Ph.D. (Sekretaris DPT Ditjen Dikti) diakses melalui (http://luk.tsipil.ugm.ac.id/atur/UU122012/tanyajawab.html) T, May Rudy. Hubungan Internasional Kontemporer dan Masalah-Masalah global. Bandung: PT Refika Aditama, 2003. “Undang-Undang No.22 Tahun 1961 Tentang Perguruan Tinggi”. Diakses Melalui (http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_22_1961.htm) ―Undang-Undang No.2 Tahun 1989 Tentang Sisdiknas‖. Diakses Melalui (http://www.hukumonline.com/pusatdata/downloadfile/lt4c3d44a89102b/p arent/17215) “Undang-Undang No.20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas”. Diakses Melalui (http://riau.kemenag.go.id/file/file/produkhukum/fcpt1328331919.pdf) “Undang-Undang No.9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan”. Diakses Melalui (http://datahukum.pnri.go.id/index.php?option=com_phocadownload&vie w=category&download=1036:uu9tahun2009&id=21:tahun2009&Itemid=27) Wibowo dan Francis Wahono (ed), Neoliberalisme, Yogyakarta: Cinderalas Pustaka Cerdas, 2003. Wiliamson, John. “A Short History of The Washington Consensus” Fundación CIDOB for a conference. Barcelona, September 24–25, 2004. Wiliamson, John. The Washington Consensus as Policy Prescription for Development A lecture in the series "Practitioners of Development" delivered at the World Bank on January 13, 2004. The author is indebted to colleagues at the Institute for International Economics
75
Wiliamson, John. The Washington Consensus as Policy Prescription for Development. January 13, 2004. The author is indebted to colleagues at the Institute for International Economics Wahab, Rochmat. Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT-BHMN) Ditinjau Dari Perspektif Filosofis Dan Sosiologis. Jakarta, 2004
76
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PENDIDIKAN TINGGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
: a. bahwa
Undang-Undang
Indonesia
Tahun
Pemerintah
Dasar
1945
Negara
Republik
mengamanatkan
kepada
mengusahakan
dan
untuk
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan
kehidupan
bangsa
serta
memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa
untuk
kemajuan
peradaban
serta
kesejahteraan umat manusia; b. bahwa pendidikan tinggi sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional memiliki peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan ilmu
pengetahuan
dan
teknologi
dengan
memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora serta
pembudayaan
dan
pemberdayaan
bangsa
Indonesia yang berkelanjutan; c.
bahwa untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam menghadapi globalisasi di segala bidang, diperlukan pendidikan tinggi yang mampu mengembangkan ilmu pengetahuan
dan
teknologi
intelektual,
ilmuwan,
berbudaya
dan
berkarakter
dan/atau
kreatif,
tangguh,
serta
menghasilkan
profesional
toleran,
serta
yang
demokratis,
berani
membela
kebenaran untuk kepentingan bangsa; d. bahwa . . .
-2-
d. bahwa
untuk
mewujudkan
keterjangkauan
dan
pemerataan yang berkeadilan dalam memperoleh pendidikan tinggi yang bermutu dan relevan dengan kepentingan
masyarakat
kemandirian,
dan
bagi
kesejahteraan,
kemajuan, diperlukan
penataan pendidikan tinggi secara terencana, terarah, dan berkelanjutan dengan memperhatikan aspek demografis dan geografis; e.
bahwa untuk menjamin penyelenggaraan pendidikan tinggi diperlukan pengaturan sebagai dasar dan kepastian hukum;
f.
bahwa
berdasarkan
pertimbangan
sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan
huruf
e
perlu
membentuk
Undang-Undang
tentang Pendidikan Tinggi; Mengingat
:
Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENDIDIKAN TINGGI.
BAB I . . .
-3BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar
peserta
didik
secara
aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan,
akhlak
mulia,
serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. 2.
Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan diploma,
menengah program
yang
sarjana,
mencakup
program
program
magister,
program doktor, dan program profesi, serta program spesialis,
yang
diselenggarakan
oleh
perguruan
tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia. 3.
Ilmu Pengetahuan adalah rangkaian pengetahuan yang digali, disusun, dan dikembangkan secara sistematis
dengan
menggunakan
pendekatan
tertentu, yang dilandasi oleh metodologi ilmiah untuk
menerangkan
gejala
alam
dan/atau
kemasyarakatan tertentu. 4.
Teknologi
adalah
berbagai
cabang
penerapan Ilmu
dan
pemanfaatan
Pengetahuan
yang
menghasilkan nilai bagi pemenuhan kebutuhan dan kelangsungan
hidup,
serta
peningkatan
mutu
kehidupan manusia. 5.
Humaniora adalah disiplin akademik yang mengkaji nilai intrinsik kemanusiaan.
6. Perguruan . . .
-46.
Perguruan Tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan Pendidikan Tinggi.
7.
Perguruan Tinggi Negeri yang selanjutnya disingkat PTN
adalah
Perguruan
Tinggi
yang
didirikan
dan/atau diselenggarakan oleh Pemerintah. 8.
Perguruan Tinggi Swasta yang selanjutnya disingkat PTS
adalah
Perguruan
Tinggi
yang
didirikan
dan/atau diselenggarakan oleh masyarakat. 9.
Tridharma
Perguruan
Tinggi
yang
selanjutnya
disebut Tridharma adalah kewajiban Perguruan Tinggi
untuk
menyelenggarakan
Pendidikan,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. 10. Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan yang berkaitan dengan pemahaman dan/atau pengujian suatu cabang ilmu pengetahuan dan teknologi. 11. Pengabdian kepada Masyarakat adalah kegiatan sivitas
akademika
Pengetahuan
dan
kesejahteraan
yang
memanfaatkan
Teknologi
masyarakat
untuk dan
Ilmu
memajukan
mencerdaskan
kehidupan bangsa. 12. Pembelajaran adalah proses interaksi mahasiswa dengan dosen dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. 13. Sivitas Akademika adalah masyarakat akademik yang terdiri atas dosen dan mahasiswa. 14. Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan
tugas
mengembangkan,
utama dan
mentransformasikan, menyebarluaskan
Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi melalui Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian kepada Masyarakat.
15. Mahasiswa . . .
-515. Mahasiswa
adalah
peserta
didik
pada
jenjang
warga
negara
Pendidikan Tinggi. 16. Masyarakat
adalah
Indonesia
kelompok
nonpemerintah
yang
mempunyai
perhatian dan peranan dalam bidang Pendidikan Tinggi. 17. Program Studi adalah kesatuan kegiatan Pendidikan dan pembelajaran yang memiliki kurikulum dan metode pembelajaran tertentu dalam satu jenis pendidikan akademik, pendidikan profesi, dan/atau pendidikan vokasi. 18. Standar Nasional Pendidikan Tinggi adalah satuan standar yang meliputi standar nasional pendidikan, ditambah dengan standar penelitian, dan standar pengabdian kepada masyarakat. 19. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud
dalam
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 20. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 21. Kementerian adalah perangkat pemerintah yang membidangi
urusan
pemerintahan
di
bidang
pendidikan. 22. Kementerian lain adalah perangkat pemerintah yang membidangi urusan pemerintahan di luar bidang pendidikan. 23. Lembaga
Pemerintah
selanjutnya
disingkat
pemerintah
pusat
Nonkementerian LPNK
yang
adalah
melaksanakan
yang lembaga tugas
pemerintahan tertentu.
24. Menteri . . .
-624. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.
Pasal 2 Pendidikan
Tinggi
berdasarkan
Pancasila,
Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika. Pasal 3 Pendidikan Tinggi berasaskan: a. kebenaran ilmiah; b. penalaran; c. kejujuran; d. keadilan; e. manfaat; f.
kebajikan;
g. tanggung jawab; h. kebhinnekaan; dan i.
keterjangkauan. Pasal 4
Pendidikan Tinggi berfungsi: a. mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; b. mengembangkan responsif,
Sivitas
kreatif,
Akademika
terampil,
yang
berdaya
inovatif,
saing,
dan
kooperatif melalui pelaksanaan Tridharma; dan c. mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan
memperhatikan
dan
menerapkan
nilai
Humaniora.
Pasal 5 . . .
-7Pasal 5 Pendidikan Tinggi bertujuan: a. berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa; b. dihasilkannya lulusan yang menguasai cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi untuk memenuhi kepentingan nasional dan peningkatan daya saing bangsa; c. dihasilkannya melalui
Ilmu
Penelitian
Pengetahuan yang
dan
Teknologi
memperhatikan
dan
menerapkan nilai Humaniora agar bermanfaat bagi kemajuan bangsa, serta kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia; dan d. terwujudnya Pengabdian kepada Masyarakat berbasis penalaran dan karya Penelitian yang bermanfaat dalam
memajukan
kesejahteraan
umum
dan
mencerdaskan kehidupan bangsa. BAB II PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN TINGGI Bagian Kesatu Prinsip dan Tanggung Jawab Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi Pasal 6 Pendidikan Tinggi diselenggarakan dengan prinsip: a. pencarian kebenaran ilmiah oleh Sivitas Akademika; b. demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa; c. pengembangan . . .
-8c. pengembangan budaya akademik dan pembudayaan kegiatan baca tulis bagi Sivitas Akademika; d. pembudayaan
dan
pemberdayaan
bangsa
yang
berlangsung sepanjang hayat; e. keteladanan, kemauan, dan pengembangan kreativitas Mahasiswa dalam pembelajaran; f. pembelajaran yang berpusat pada Mahasiswa dengan memperhatikan
lingkungan
secara
selaras
dan
seimbang; g. kebebasan dalam memilih Program Studi berdasarkan minat, bakat, dan kemampuan Mahasiswa; h. satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna; i. keberpihakan
pada
kelompok
Masyarakat
kurang
mampu secara ekonomi; dan j. pemberdayaan semua komponen Masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan Pendidikan Tinggi.
Pasal 7 (1) Menteri bertanggung jawab atas penyelenggaraan Pendidikan Tinggi. (2) Tanggung
jawab
Menteri
atas
penyelenggaraan
Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup pengaturan, perencanaan, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi serta pembinaan dan koordinasi. (3) Tugas dan wewenang Menteri atas penyelenggaraan Pendidikan Tinggi meliputi: a. kebijakan
umum
dalam
pengembangan
dan
koordinasi Pendidikan Tinggi sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional untuk mewujudkan tujuan Pendidikan Tinggi;
b. penetapan . . .
-9b. penetapan
kebijakan
penyusunan panjang,
umum
rencana
menengah,
nasional
pengembangan dan
dan jangka
tahunan
Pendidikan
mutu,
relevansi,
Tinggi yang berkelanjutan; c. peningkatan
penjaminan
keterjangkauan, pemerataan yang berkeadilan, dan akses Pendidikan Tinggi secara berkelanjutan; d. pemantapan
dan
peningkatan
kapasitas
pengelolaan akademik dan pengelolaan sumber daya Perguruan Tinggi; e. pemberian dan pencabutan izin yang berkaitan dengan penyelenggaraan Perguruan Tinggi kecuali pendidikan tinggi keagamaan; f. kebijakan
umum
dalam
penghimpunan
dan
pendayagunaan seluruh potensi masyarakat untuk mengembangkan Pendidikan Tinggi; g. pembentukan dewan, majelis,
komisi,
dan/atau
konsorsium yang melibatkan Masyarakat untuk merumuskan kebijakan pengembangan Pendidikan Tinggi; dan h. pelaksanaan
tugas
lain
untuk
menjamin
pengembangan dan pencapaian tujuan Pendidikan Tinggi. (4) Dalam
hal
penyelenggaraan
pendidikan
tinggi
keagamaan, tanggung jawab, tugas, dan wewenang dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab Menteri
atas
penyelenggaraan
Pendidikan
Tinggi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tugas dan wewenang Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua . . .
- 10 Bagian Kedua Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Paragraf 1 Kebebasan Akademik, Kebebasan Mimbar Akademik, dan Otonomi Keilmuan
Pasal 8 (1) Dalam
penyelenggaraan
pengembangan
Ilmu
Pendidikan
Pengetahuan
dan
dan
Teknologi
berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. (2) Pengembangan
Ilmu
Pengetahuan
dan
Teknologi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Sivitas Akademika melalui pembelajaran dan/atau penelitian ilmiah dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama
dan
persatuan
bangsa
untuk
kemajuan
peradaban dan kesejahteraan umat manusia. (3) Pelaksanaan mimbar
kebebasan
akademik,
dan
akademik, otonomi
kebebasan keilmuan
di
Perguruan Tinggi merupakan tanggung jawab pribadi Sivitas
Akademika,
yang
wajib
dilindungi
dan
difasilitasi oleh pimpinan Perguruan Tinggi.
Pasal 9 (1) Kebebasan akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8
ayat
Akademika
(1)
dalam
merupakan
kebebasan
Pendidikan
Tinggi
Sivitas untuk
mendalami dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi secara bertanggung jawab melalui pelaksanaan Tridharma.
(2) Kebebasan . . .
- 11 (2) Kebebasan mimbar akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) merupakan wewenang profesor dan/atau Dosen yang memiliki otoritas dan wibawa ilmiah
untuk
menyatakan
secara
terbuka
dan
bertanggung jawab mengenai sesuatu yang berkenaan dengan rumpun ilmu dan cabang ilmunya. (3) Otonomi keilmuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8
ayat
(1)
merupakan
otonomi
Sivitas
Akademika pada suatu cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau
Teknologi
mengembangkan,
dalam
menemukan,
mengungkapkan,
dan/atau
mempertahankan kebenaran ilmiah menurut kaidah, metode keilmuan, dan budaya akademik. Paragraf 2 Rumpun Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Pasal 10 (1) Rumpun Ilmu Pengetahuan dan Teknologi merupakan kumpulan sejumlah pohon, cabang, dan ranting Ilmu Pengetahuan yang disusun secara sistematis. (2) Rumpun
Ilmu
Pengetahuan
dan
Teknologi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. rumpun ilmu agama; b. rumpun ilmu humaniora; c. rumpun ilmu sosial; d. rumpun ilmu alam; e. rumpun ilmu formal; dan f. rumpun ilmu terapan. (3) Rumpun
Ilmu
sebagaimana
Pengetahuan dimaksud
dan
pada
ditransformasikan,
dikembangkan,
disebarluaskan
Sivitas
oleh
Teknologi ayat
(2)
dan/atau
Akademika
melalui
Tridharma. Paragraf 3 . . .
- 12 Paragraf 3 Sivitas Akademika Pasal 11 (1) Sivitas
Akademika
memiliki
tradisi
merupakan
ilmiah
komunitas
dengan
yang
mengembangkan
budaya akademik. (2) Budaya
akademik
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat (1) merupakan seluruh sistem nilai, gagasan, norma, tindakan, dan karya yang bersumber dari Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sesuai dengan asas Pendidikan Tinggi. (3) Pengembangan
budaya
akademik
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan interaksi sosial
tanpa
membedakan
antargolongan,
jenis
suku,
kelamin,
agama,
kedudukan
ras, sosial,
tingkat kemampuan ekonomi, dan aliran politik. (4) Interaksi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dalam pembelajaran, pencarian kebenaran ilmiah, penguasaan dan/atau pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
serta
pengembangan
Perguruan Tinggi sebagai lembaga ilmiah. (5) Sivitas Akademika berkewajiban memelihara dan mengembangkan
budaya
akademik
dengan
memperlakukan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagai proses dan produk serta sebagai amal dan paradigma moral. Pasal 12 (1) Dosen sebagai anggota Sivitas Akademika memiliki tugas
mentransformasikan
dan/atau
Teknologi
yang
Ilmu
Pengetahuan
dikuasainya
kepada
Mahasiswa dengan mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran
sehingga
Mahasiswa
aktif
mengembangkan potensinya. (2) Dosen . . .
- 13 (2) Dosen sebagai ilmuwan memiliki tugas mengembangkan suatu cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah serta menyebarluaskannya. (3) Dosen secara perseorangan atau berkelompok wajib menulis buku ajar atau buku teks, yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi dan/atau publikasi ilmiah sebagai salah satu sumber belajar dan untuk pengembangan budaya akademik serta pembudayaan kegiatan baca tulis bagi Sivitas Akademika. Pasal 13 (1) Mahasiswa sebagai anggota Sivitas Akademika diposisikan sebagai insan dewasa yang memiliki kesadaran sendiri dalam mengembangkan potensi diri di Perguruan Tinggi untuk menjadi intelektual, ilmuwan, praktisi, dan/atau profesional. (2) Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara aktif mengembangkan potensinya dengan melakukan pembelajaran, pencarian kebenaran ilmiah, dan/atau penguasaan, pengembangan, dan pengamalan suatu cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi untuk menjadi ilmuwan, intelektual, praktisi, dan/atau profesional yang berbudaya. (3) Mahasiswa memiliki kebebasan akademik dengan mengutamakan penalaran dan akhlak mulia serta bertanggung jawab sesuai dengan budaya akademik. (4) Mahasiswa berhak mendapatkan layanan Pendidikan sesuai dengan bakat, minat, potensi, dan kemampuannya. (5) Mahasiswa dapat menyelesaikan program Pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak melebihi ketentuan batas waktu yang ditetapkan oleh Perguruan Tinggi.
(6) Mahasiswa . . .
- 14 (6) Mahasiswa berkewajiban menjaga etika dan menaati norma
Pendidikan
Tinggi
untuk
menjamin
terlaksananya Tridharma dan pengembangan budaya akademik. Pasal 14 (1) Mahasiswa
mengembangkan
bakat,
minat,
dan
kemampuan dirinya melalui kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler
sebagai
bagian
dari
proses
Pendidikan. (2) Kegiatan sebagaimana
kokurikuler
dan
dimaksud
pada
ekstrakurikuler ayat
(1)
dapat
dilaksanakan melalui organisasi kemahasiswaan. (3) Ketentuan lain mengenai kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam statuta Perguruan Tinggi.
Bagian Ketiga Jenis Pendidikan Tinggi
Paragraf 1 Pendidikan Akademik
Pasal 15 (1) Pendidikan akademik merupakan Pendidikan Tinggi program sarjana dan/atau program pascasarjana yang diarahkan pada penguasaan dan pengembangan cabang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. (2) Pembinaan, koordinasi, dan pengawasan pendidikan akademik sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
berada dalam tanggung jawab Kementerian.
Paragraf 2 . . .
- 15 Paragraf 2 Pendidikan Vokasi
Pasal 16 (1) Pendidikan
vokasi
merupakan
Pendidikan
Tinggi
program diploma yang menyiapkan Mahasiswa untuk pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu sampai program sarjana terapan. (2) Pendidikan
vokasi
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat (1) dapat dikembangkan oleh Pemerintah sampai program
magister
terapan
atau
program
doktor
terapan. (3) Pembinaan, koordinasi, dan pengawasan pendidikan vokasi berada dalam tanggung jawab Kementerian.
Paragraf 3 Pendidikan Profesi
Pasal 17 (1) Pendidikan profesi merupakan Pendidikan Tinggi setelah program sarjana yang menyiapkan Mahasiswa dalam
pekerjaan
yang
memerlukan
persyaratan
keahlian khusus. (2) Pendidikan
profesi
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat (1) dapat diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi dan bekerja sama dengan Kementerian, Kementerian lain,
LPNK,
dan/atau
organisasi
profesi
yang
bertanggung jawab atas mutu layanan profesi.
Bagian Keempat . . .
- 16 Bagian Keempat Program Pendidikan Tinggi Paragraf 1 Program Sarjana, Program Magister, dan Program Doktor
Pasal 18 (1) Program sarjana merupakan pendidikan akademik yang
diperuntukkan
menengah
atau
mengamalkan
bagi
sederajat
Ilmu
lulusan
pendidikan
sehingga
Pengetahuan
dan
mampu Teknologi
melalui penalaran ilmiah. (2) Program sarjana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyiapkan Mahasiswa menjadi intelektual dan/atau ilmuwan
yang
berbudaya,
mampu
memasuki
dan/atau menciptakan lapangan kerja, serta mampu mengembangkan diri menjadi profesional. (3) Program
sarjana
wajib
memiliki
Dosen
yang
berkualifikasi akademik minimum lulusan program magister atau sederajat. (4) Lulusan program sarjana berhak menggunakan gelar sarjana. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai program sarjana diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 19 (1) Program magister merupakan pendidikan akademik yang diperuntukkan bagi lulusan program sarjana atau sederajat sehingga mampu mengamalkan dan mengembangkan
Ilmu
Pengetahuan
dan/atau
Teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah.
(2) Program . . .
- 17 (2) Program ayat
magister
(1)
sebagaimana
mengembangkan
intelektual,
ilmuwan
dimaksud
pada
Mahasiswa
menjadi
berbudaya,
mampu
yang
memasuki dan/atau menciptakan lapangan kerja serta mengembangkan diri menjadi profesional. (3) Program
magister
wajib
memiliki
Dosen
yang
berkualifikasi akademik lulusan program doktor atau yang sederajat. (4) Lulusan program magister berhak menggunakan gelar magister. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai program magister diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 20 (1) Program doktor merupakan pendidikan akademik yang diperuntukkan bagi lulusan program magister atau
sederajat
menciptakan, kepada
sehingga dan/atau
mampu
menemukan,
memberikan
pengembangan,
serta
kontribusi
pengamalan
Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah. (2) Program doktor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengembangkan
dan
memantapkan
Mahasiswa
untuk menjadi lebih bijaksana dengan meningkatkan kemampuan
dan
kemandirian
sebagai
filosof
dan/atau intelektual, ilmuwan yang berbudaya dan menghasilkan
dan/atau
mengembangkan
teori
melalui Penelitian yang komprehensif dan akurat untuk memajukan peradaban manusia. (3) Program
doktor
wajib
memiliki
Dosen
yang
berkualifikasi akademik lulusan program doktor atau yang sederajat.
(4) Lulusan . . .
- 18 (4) Lulusan program doktor berhak menggunakan gelar doktor. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai program doktor diatur dalam Peraturan Menteri. Paragraf 2 Program Diploma, Magister Terapan, dan Doktor Terapan Pasal 21 (1) Program diploma merupakan pendidikan vokasi yang diperuntukkan bagi lulusan pendidikan menengah atau sederajat untuk mengembangkan keterampilan dan penalaran dalam penerapan Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi. (2) Program
diploma
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat (1) menyiapkan Mahasiswa menjadi praktisi yang terampil untuk memasuki dunia kerja sesuai dengan bidang keahliannya. (3) Program diploma sebagaimana ayat (2) terdiri atas program:
dimaksud
pada
a. diploma satu; b. diploma dua; c. diploma tiga; dan d. diploma empat atau sarjana terapan. (4) Program
diploma
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat (3) wajib memiliki Dosen yang berkualifikasi akademik minimum lulusan program magister atau sederajat. (5) Pada program diploma satu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan program diploma dua sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat menggunakan akademik
instruktur
minimum
lulusan
yang
berkualifikasi
diploma
tiga
atau
sederajat yang memiliki pengalaman.
(6) Lulusan . . .
- 19 (6) Lulusan program diploma berhak menggunakan gelar ahli atau sarjana terapan. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai program diploma diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 22 (1) Program magister terapan merupakan kelanjutan pendidikan vokasi yang diperuntukkan bagi lulusan program mampu
sarjana
terapan
atau
mengembangkan
sederajat
dan
untuk
mengamalkan
penerapan Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah. (2) Program magister terapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengembangkan Mahasiswa menjadi ahli yang memiliki kapasitas tinggi dalam penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi pada profesinya. (3) Program magister terapan wajib memiliki Dosen yang berkualifikasi akademik lulusan program doktor atau yang sederajat. (4) Lulusan
program
magister
terapan
berhak
menggunakan gelar magister terapan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai program magister terapan diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 23 (1) Program doktor terapan merupakan kelanjutan bagi lulusan program magister terapan atau sederajat untuk mampu menemukan, menciptakan, dan/atau memberikan
kontribusi
bagi
penerapan,
pengembangan, serta pengamalan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
melalui
penalaran dan penelitian
ilmiah.
(2) Program . . .
- 20 (2) Program doktor terapan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
mengembangkan
dan
memantapkan
Mahasiswa untuk menjadi lebih bijaksana dengan meningkatkan kemampuan dan kemandirian sebagai ahli
dan
menghasilkan
serta
mengembangkan
penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui penelitian yang komprehensif dan akurat dalam memajukan peradaban dan kesejahteraan manusia. (3) Program doktor terapan wajib memiliki Dosen yang berkualifikasi akademik lulusan program doktor atau yang sederajat. (4) Lulusan
program
doktor
terapan
berhak
menggunakan gelar doktor terapan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai program doktor terapan diatur dalam Peraturan Menteri.
Paragraf 3 Program Profesi dan Program Spesialis
Pasal 24 (1) Program
profesi
merupakan
pendidikan
keahlian
khusus yang diperuntukkan bagi lulusan program sarjana atau sederajat untuk mengembangkan bakat dan
kemampuan
memperoleh
kecakapan
yang
diperlukan dalam dunia kerja. (2) Program profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi yang bekerja sama dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi. (3) Program profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyiapkan profesional.
(4) Program . . .
- 21 (4) Program
profesi
wajib
memiliki
Dosen
yang
berkualifikasi akademik minimum lulusan program profesi dan/atau lulusan program magister atau yang sederajat dengan pengalaman kerja paling singkat 2 (dua) tahun. (5) Lulusan program profesi berhak menggunakan gelar profesi. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai program profesi diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 25 (1) Program spesialis merupakan pendidikan keahlian lanjutan yang dapat bertingkat dan diperuntukkan bagi
lulusan
program
berpengalaman
sebagai
profesi
yang
profesional
telah untuk
mengembangkan bakat dan kemampuannya menjadi spesialis. (2) Program
spesialis
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat (1) dapat diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi bekerja sama dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi. (3) Program
spesialis
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat (2) meningkatkan kemampuan spesialisasi dalam cabang ilmu tertentu. (4) Program
spesialis
wajib
memiliki
Dosen
yang
berkualifikasi akademik minimum lulusan program spesialis dan/atau lulusan program doktor atau yang sederajat dengan pengalaman kerja paling singkat 2 (dua) tahun. (5) Lulusan program spesialis berhak menggunakan gelar spesialis.
(6) Ketentuan . . .
- 22 (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai program spesialis diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Paragraf 4 Gelar Akademik, Gelar Vokasi, dan Gelar Profesi
Pasal 26 (1) Gelar akademik diberikan oleh Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik. (2) Gelar akademik terdiri atas: a. sarjana; b. magister; dan c. doktor. (3) Gelar vokasi diberikan oleh Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan vokasi. (4) Gelar vokasi terdiri atas: a. ahli pratama; b. ahli muda; c. ahli madya; d. sarjana terapan; e. magister terapan; dan f. doktor terapan. (5) Gelar profesi diberikan oleh Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan profesi. (6) Gelar profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan oleh Perguruan Tinggi bersama dengan Kementerian,
Kementerian
lain,
LPNK
dan/atau
organisasi profesi yang bertanggung jawab terhadap mutu layanan profesi. (7) Gelar profesi terdiri atas: a. profesi; dan b. spesialis.
(8) Ketentuan . . .
- 23 (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai gelar akademik, gelar
vokasi,
atau
gelar
profesi
diatur
dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 27 (1) Selain gelar doktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) huruf c, Perguruan Tinggi yang memiliki program doktor berhak memberikan gelar doktor kehormatan kepada perseorangan yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasajasa yang luar biasa dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
dan/atau
berjasa
dalam
bidang
kemanusiaan. (2) Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
gelar
doktor
kehormatan diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 28 (1) Gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi hanya digunakan oleh lulusan dari Perguruan Tinggi yang dinyatakan berhak memberikan gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi. (2) Gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi hanya dibenarkan dalam bentuk dan inisial atau singkatan yang diterima dari Perguruan Tinggi. (3) Gelar akademik dan gelar vokasi dinyatakan tidak sah dan dicabut oleh Menteri apabila dikeluarkan oleh: a. Perguruan Tinggi dan/atau Program Studi yang tidak terakreditasi; dan/atau b. perseorangan,
organisasi,
atau
penyelenggara
Pendidikan Tinggi yang tanpa hak mengeluarkan gelar akademik dan gelar vokasi. (4) Gelar profesi dinyatakan tidak sah dan dicabut oleh Menteri apabila dikeluarkan oleh:
a. Perguruan . . .
- 24 a. Perguruan Tinggi dan/atau Program Studi yang tidak terakreditasi; dan/atau b. perseorangan, organisasi, atau lembaga lain yang tanpa hak mengeluarkan gelar profesi. (5) Gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi dinyatakan tidak sah dan dicabut oleh Perguruan Tinggi apabila karya ilmiah yang digunakan untuk memperoleh gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi
terbukti
merupakan
hasil
jiplakan
atau
atau
penyelenggara
plagiat. (6) Perseorangan, Pendidikan
organisasi,
Tinggi
yang
tanpa
hak
dilarang
memberikan gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi. (7) Perseorangan yang tanpa hak dilarang menggunakan gelar akademik, gelar vokasi, dan/atau gelar profesi.
Bagian Kelima Kerangka Kualifikasi Nasional
Pasal 29 (1) Kerangka
Kualifikasi
penjenjangan menyetarakan
Nasional
capaian luaran
merupakan
pembelajaran
bidang
pendidikan
yang formal,
nonformal, informal, atau pengalaman kerja dalam rangka pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan diberbagai sektor. (2) Kerangka Kualifikasi Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi acuan pokok dalam penetapan kompetensi lulusan pendidikan akademik, pendidikan vokasi, dan pendidikan profesi. (3) Penetapan
kompetensi
lulusan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri. Bagian Keenam . . .
- 25 Bagian Keenam Pendidikan Tinggi Keagamaan Pasal 30 (1) Pemerintah
atau
Masyarakat
dapat
menyelenggarakan pendidikan tinggi keagamaan. (2) Pendidikan tinggi keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk universitas, institut, sekolah tinggi, akademi dan dapat berbentuk ma’had aly, pasraman, seminari, dan bentuk lain yang sejenis. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendidikan tinggi keagamaan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Ketujuh Pendidikan Jarak Jauh Pasal 31 (1) Pendidikan jarak jauh merupakan proses belajar mengajar yang dilakukan secara jarak jauh melalui penggunaan berbagai media komunikasi. (2) Pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan: a. memberikan layanan Pendidikan Tinggi kepada kelompok Masyarakat yang tidak dapat mengikuti Pendidikan secara tatap muka atau reguler; dan b. memperluas akses serta mempermudah layanan Pendidikan
Tinggi
dalam
Pendidikan
dan
pembelajaran. (3) Pendidikan
jarak
jauh
diselenggarakan
dalam
berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh
sarana
dan
layanan
belajar
serta
sistem
penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
(4) Ketentuan . . .
- 26 (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri. Bagian Kedelapan Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus Pasal 32 (1) Program
Studi
dapat
dilaksanakan
melalui
pendidikan khusus bagi Mahasiswa yang memiliki tingkat
kesulitan
dalam
mengikuti
proses
pembelajaran dan/atau Mahasiswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. (2) Selain pendidikan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Program Studi juga dapat dilaksanakan melalui
pendidikan
layanan
khusus
dan/atau
pembelajaran layanan khusus. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Program Studi yang melaksanakan
pendidikan
khusus
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan pendidikan layanan khusus
dan/atau
pembelajaran
layanan
khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri. Bagian Kesembilan Proses Pendidikan dan Pembelajaran Paragraf 1 Program Studi Pasal 33 (1) Program pendidikan dilaksanakan melalui Program Studi. (2) Program . . .
- 27 (2) Program
Studi
memiliki
kurikulum
dan
metode
pembelajaran sesuai dengan program Pendidikan. (3) Program Studi diselenggarakan atas izin Menteri setelah memenuhi persyaratan minimum akreditasi. (4) Program Studi dikelola oleh suatu satuan unit pengelola yang ditetapkan oleh Perguruan Tinggi. (5) Program Studi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mendapatkan akreditasi pada saat memperoleh izin penyelenggaraan. (6) Program Studi wajib diakreditasi ulang pada saat jangka waktu akreditasinya berakhir. (7) Program
Studi
yang
tidak
diakreditasi
ulang
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dicabut izinnya oleh Menteri. (8) Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
metode
pembelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemberian izin Program Studi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan pencabutan izin Program Studi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 34 (1) Program Studi diselenggarakan di kampus utama Perguruan Tinggi dan/atau dapat diselenggarakan di luar kampus utama dalam suatu provinsi atau di provinsi lain melalui kerja sama dengan Perguruan Tinggi setempat. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Program Studi di kampus utama Perguruan Tinggi dan/atau
di
luar
kampus
utama
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
Paragraf 2 . . .
- 28 Paragraf 2 Kurikulum Pasal 35 (1) Kurikulum pendidikan tinggi merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan ajar pedoman
serta
cara
yang
penyelenggaraan
digunakan sebagai
kegiatan
pembelajaran
untuk mencapai tujuan Pendidikan Tinggi. (2) Kurikulum Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan oleh setiap Perguruan Tinggi
dengan
mengacu
pada
Standar
Nasional
Pendidikan Tinggi untuk setiap Program Studi yang mencakup
pengembangan
kecerdasan
intelektual,
akhlak mulia, dan keterampilan. (3) Kurikulum Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memuat mata kuliah: a. agama; b. Pancasila; c. kewarganegaraan; dan d. bahasa Indonesia. (4) Kurikulum Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1)
dilaksanakan
melalui
kegiatan
kurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler. (5) Mata kuliah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan untuk program sarjana dan program diploma. Pasal 36 Kurikulum pendidikan profesi dirumuskan bersama Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Paragraf 3 . . .
- 29 Paragraf 3 Bahasa Pengantar Pasal 37 (1) Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara wajib menjadi bahasa pengantar di Perguruan Tinggi. (2) Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam program studi bahasa dan sastra daerah. (3) Bahasa
asing
dapat
digunakan
sebagai
bahasa
pengantar di Perguruan Tinggi.
Paragraf 4 Perpindahan dan Penyetaraan
Pasal 38 (1) Perpindahan Mahasiswa dapat dilakukan antar: a. Program Studi pada program Pendidikan yang sama; b. jenis Pendidikan Tinggi; dan/atau c. Perguruan Tinggi. (2) Ketentuan
mengenai
perpindahan
Mahasiswa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 39 (1) Lulusan pendidikan vokasi atau lulusan pendidikan profesi
dapat
melanjutkan
pendidikannya
pada
pendidikan akademik melalui penyetaraan. (2) Lulusan pendidikan akademik dapat melanjutkan pendidikannya
pada
pendidikan
vokasi
atau
pendidikan profesi melalui penyetaraan. (3) Ketentuan . . .
- 30 (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyetaraan lulusan pendidikan vokasi atau lulusan pendidikan profesi sebagaimana
dimaksud
penyetaraan
lulusan
pada
ayat
pendidikan
(1)
dan
akademik
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 40 (1) Lulusan
Perguruan
Tinggi
negara
lain
dapat
mengikuti Pendidikan Tinggi di Indonesia setelah melalui penyetaraan. (2) Ketentuan mengenai penyetaraan lulusan Perguruan Tinggi negara
lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
Paragraf 5 Sumber Belajar, Sarana, dan Prasarana
Pasal 41 (1) Sumber belajar pada lingkungan pendidikan tinggi wajib
disediakan,
difasilitasi,
atau
dimiliki
oleh
Perguruan Tinggi sesuai dengan Program Studi yang dikembangkan. (2) Sumber belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan secara bersama oleh beberapa Perguruan Tinggi. (3) Perguruan Tinggi menyediakan sarana dan prasarana untuk dengan
memenuhi bakat,
keperluan
minat,
pendidikan
potensi,
dan
sesuai
kecerdasan
Mahasiswa.
Paragraf 6 . . .
- 31 Paragraf 6 Ijazah Pasal 42 (1) Ijazah diberikan kepada lulusan pendidikan akademik dan pendidikan vokasi sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu program studi
terakreditasi
yang
diselenggarakan
oleh
Perguruan Tinggi. (2) Ijazah
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
diterbitkan oleh Perguruan Tinggi yang memuat Program Studi dan gelar yang berhak dipakai oleh lulusan Pendidikan Tinggi. (3) Lulusan Pendidikan Tinggi yang menggunakan karya ilmiah untuk memperoleh ijazah dan gelar, yang terbukti
merupakan
hasil
jiplakan
atau
plagiat,
ijazahnya dinyatakan tidak sah dan gelarnya dicabut oleh Perguruan Tinggi. (4) Perseorangan, Pendidikan
organisasi,
Tinggi
yang
atau tanpa
penyelenggara hak
dilarang
memberikan ijazah. Paragraf 7 Sertifikat Profesi dan Sertifikat Kompetensi Pasal 43 (1) Sertifikat profesi merupakan pengakuan untuk melakukan praktik profesi yang diperoleh lulusan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi bekerja sama dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi, dan/atau badan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Sertifikat . . .
- 32 (2) Sertifikat profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Perguruan Tinggi bersama dengan Kementerian,
Kementerian
lain,
LPNK,
dan/atau
organisasi profesi yang bertanggung jawab terhadap mutu layanan profesi, dan/atau badan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Perseorangan, Pendidikan
organisasi,
Tinggi
yang
atau tanpa
penyelenggara hak
dilarang
memberikan sertifikat profesi. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikat profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 44 (1) Sertifikat
kompetensi
merupakan
pengakuan
kompetensi atas prestasi lulusan yang sesuai dengan keahlian dalam cabang ilmunya dan/atau memiliki prestasi di luar program studinya. (2) Serifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Perguruan Tinggi bekerja sama dengan organisasi profesi, lembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi kepada lulusan yang lulus uji kompetensi. (3) Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digunakan sebagai syarat untuk memperoleh pekerjaan tertentu. (4) Perseorangan, Pendidikan
organisasi,
Tinggi
yang
atau tanpa
penyelenggara hak
dilarang
memberikan sertifikat kompetensi. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikat kompetensi diatur dalam Peraturan Menteri.
Bagian Kesepuluh. . .
- 33 Bagian Kesepuluh Penelitian
Pasal 45 (1) Penelitian di Perguruan Tinggi diarahkan untuk mengembangkan Ilmu pengetahuan dan Teknologi, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan daya saing bangsa. (2) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Sivitas Akademika sesuai dengan otonomi keilmuan dan budaya akademik. (3) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan
berdasarkan
jalur
kompetensi
dan
kompetisi.
Pasal 46 (1) Hasil Penelitian bermanfaat untuk: a. pengayaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta pembelajaran; b. peningkatan mutu Perguruan Tinggi dan kemajuan peradaban bangsa; c. peningkatan kemandirian, kemajuan, dan daya saing bangsa; d. pemenuhan
kebutuhan
strategis
pembangunan
nasional; dan e. perubahan
Masyarakat
Indonesia
menjadi
Masyarakat berbasis pengetahuan. (2) Hasil Penelitian wajib disebarluaskan dengan cara diseminarkan, dipublikasikan, dan/atau dipatenkan oleh Perguruan Tinggi, kecuali hasil Penelitian yang bersifat
rahasia,
mengganggu,
dan/atau
membahayakan kepentingan umum.
(3) Hasil . . .
- 34 (3) Hasil Penelitian Sivitas Akademika yang diterbitkan dalam jurnal internasional, memperoleh paten yang dimanfaatkan oleh industri, teknologi tepat guna, dan/atau buku yang digunakan sebagai sumber belajar dapat diberi anugerah yang bermakna oleh Pemerintah.
Bagian Kesebelas Pengabdian Kepada Masyarakat
Pasal 47 (1) Pengabdian kepada Masyarakat merupakan kegiatan Sivitas
Akademika
dalam
mengamalkan
dan
membudayakan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk
memajukan
kesejahteraan
umum
dan
mencerdaskan kehidupan bangsa. (2) Pengabdian
kepada
Masyarakat
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam berbagai bentuk kegiatan sesuai dengan budaya akademik, keahlian,
dan/atau
otonomi
keilmuan
Sivitas
Akademika serta kondisi sosial budaya masyarakat. (3) Hasil
Pengabdian
kepada
Masyarakat
digunakan
sebagai proses pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, untuk
pengayaan
pembelajaran
sumber dan
belajar,
dan/atau
pematangan
Sivitas
Akademika. (4) Pemerintah Pengabdian
memberikan kepada
penghargaan
Masyarakat
yang
atas
hasil
diterbitkan
dalam jurnal internasional, memperoleh paten yang dimanfaatkan oleh dunia usaha dan dunia industri, dan/atau teknologi tepat guna.
Bagian Keduabelas . . .
- 35 Bagian Keduabelas Kerja sama Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Pasal 48 (1) Perguruan Tinggi berperan aktif menggalang kerja sama antar Perguruan Tinggi dan antara Perguruan Tinggi dengan dunia usaha, dunia industri, dan Masyarakat dalam bidang Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. (2) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat mendayagunakan Perguruan Tinggi sebagai pusat Penelitian atau pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. (3) Perguruan Tinggi dapat mendayagunakan fasilitas Penelitian di Kementerian lain dan/atau LPNK. (4) Pemerintah memfasilitasi kerja sama dan kemitraan antar Perguruan Tinggi dan antara Perguruan Tinggi dengan dunia usaha dan dunia industri dalam bidang Penelitian.
Bagian Ketigabelas Pelaksanaan Tridharma
Pasal 49 (1) Ruang
lingkup,
kedalaman,
dan
kombinasi
pelaksanaan Tridharma dilakukan sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan setiap jenis dan program Pendidikan Tinggi. (2) Ketentuan mengenai ruang lingkup, kedalaman, dan kombinasi
pelaksanaan
Tridharma
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. Bagian Keempatbelas . . .
- 36 Bagian Keempatbelas Kerja Sama Internasional Pendidikan Tinggi
Pasal 50 (1) Kerja
sama
internasional
Pendidikan
Tinggi
merupakan proses interaksi dalam pengintegrasian dimensi internasional ke dalam kegiatan akademik untuk berperan dalam pergaulan internasional tanpa kehilangan nilai-nilai keindonesiaan. (2) Kerja sama internasional harus didasarkan pada prinsip kesetaraan dan saling menghormati dengan mempromosikan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan nilai
kemanusiaan
yang
memberi
manfaat
bagi
kehidupan manusia. (3) Kerja
sama
Pendidikan,
internasional Penelitian,
dan
mencakup
bidang
Pengabdian
kepada
Masyarakat. (4) Kerja
sama
internasional
dalam
pengembangan
Pendidikan Tinggi dapat dilakukan, antara lain, melalui: a. hubungan antara lembaga Pendidikan Tinggi di Indonesia dan lembaga Pendidikan Tinggi negara lain dalam kegiatan penyelenggaraan Pendidikan yang bermutu; b. pengembangan pusat kajian Indonesia dan budaya lokal pada Perguruan Tinggi di dalam dan di luar negeri; dan c. pembentukan komunitas ilmiah yang mandiri. (5) Kebijakan
nasional
mengenai
kerja
sama
internasional Pendidikan Tinggi ditetapkan dalam Peraturan Menteri.
BAB III . . .
- 37 BAB III PENJAMINAN MUTU
Bagian Kesatu Sistem Penjaminan Mutu
Pasal 51 (1) Pendidikan
Tinggi
yang
bermutu
merupakan
Pendidikan Tinggi yang menghasilkan lulusan yang mampu secara aktif mengembangkan potensinya dan menghasilkan Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi yang berguna bagi Masyarakat, bangsa, dan negara. (2) Pemerintah menyelenggarakan sistem penjaminan mutu
Pendidikan
Tinggi
untuk
mendapatkan
Pendidikan bermutu.
Pasal 52 (1) Penjaminan kegiatan
mutu
Pendidikan
sistemik
Pendidikan
untuk
Tinggi
Tinggi
merupakan
meningkatkan
secara
berencana
mutu dan
berkelanjutan. (2) Penjaminan
mutu
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat (1) dilakukan melalui penetapan, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian, dan peningkatan standar Pendidikan Tinggi. (3) Menteri
menetapkan
sistem
penjaminan
mutu
Pendidikan Tinggi dan Standar Nasional Pendidikan Tinggi. (4) Sistem
penjaminan
mutu
Pendidikan
Tinggi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didasarkan pada Pangkalan Data Pendidikan Tinggi.
Pasal 53 . . .
- 38 Pasal 53 Sistem penjaminan mutu Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) terdiri atas: a. sistem penjaminan mutu internal yang dikembangkan oleh Perguruan Tinggi; dan b. sistem penjaminan mutu eksternal yang dilakukan melalui akreditasi.
Bagian Kedua Standar Pendidikan Tinggi
Pasal 54 (1) Standar Pendidikan Tinggi terdiri atas: a. Standar
Nasional
Pendidikan
Tinggi
yang
ditetapkan oleh Menteri atas usul suatu badan yang bertugas menyusun dan mengembangkan Standar Nasional Pendidikan Tinggi; dan b. Standar Pendidikan Tinggi yang ditetapkan oleh setiap Perguruan Tinggi dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi. (2) Standar Nasional Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan satuan standar yang meliputi standar nasional pendidikan, ditambah dengan standar penelitian, dan standar pengabdian kepada masyarakat. (3) Standar Nasional Pendidikan Tinggi dikembangkan dengan
memperhatikan
kebebasan
akademik,
kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan untuk mencapai tujuan Pendidikan Tinggi. (4) Standar Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas sejumlah standar dalam bidang akademik dan nonakademik yang melampaui Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
(5) Dalam . . .
- 39 (5) Dalam mengembangkan Standar Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b Perguruan Tinggi memiliki keleluasaan mengatur pemenuhan Standar Nasional Pendidikan Tinggi. (6) Menteri melakukan evaluasi pelaksanaan Standar Pendidikan Tinggi secara berkala. (7) Menteri mengumumkan hasil evaluasi dan penilaian Standar Pendidikan Tinggi kepada Masyarakat. (8) Ketentuan mengenai evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dalam Peraturan Menteri. Bagian Ketiga Akreditasi Pasal 55 (1) Akreditasi merupakan kegiatan penilaian sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan berdasarkan Standar Nasional Pendidikan Tinggi. (2) Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menentukan kelayakan Program Studi dan Perguruan Tinggi atas dasar kriteria yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi. (3) Pemerintah membentuk Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi untuk mengembangkan sistem akreditasi. (4) Akreditasi Perguruan Tinggi dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi. (5) Akreditasi Program akuntabilitas publik akreditasi mandiri.
Studi sebagai dilakukan oleh
bentuk lembaga
(6) Lembaga akreditasi mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan lembaga mandiri bentukan Pemerintah atau lembaga mandiri bentukan Masyarakat yang diakui oleh Pemerintah atas rekomendasi Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi. (7) Lembaga . . .
- 40 (7) Lembaga akreditasi mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dibentuk berdasarkan rumpun ilmu dan/atau cabang
ilmu serta
dapat
berdasarkan
kewilayahan. (8) Ketentuan
lebih
sebagaimana
lanjut
dimaksud
mengenai pada
ayat
akreditasi (1),
Badan
Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dan lembaga akreditasi mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Menteri.
Bagian Keempat Pangkalan Data Pendidikan Tinggi
Pasal 56 (1) Pangkalan
Data
Pendidikan
Tinggi
merupakan
kumpulan data penyelenggaraan Pendidikan Tinggi seluruh Perguruan Tinggi yang terintegrasi secara nasional. (2) Pangkalan
Data
Pendidikan
Tinggi
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai sumber informasi bagi: a. lembaga akreditasi, untuk melakukan akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi; b. Pemerintah, perencanaan,
untuk
melakukan
pengawasan,
pengaturan,
pemantauan,
dan
evaluasi serta pembinaan dan koordinasi Program Studi dan Perguruan Tinggi; dan c. Masyarakat, untuk mengetahui kinerja Program Studi dan Perguruan Tinggi. (3) Pangkalan Data Pendidikan Tinggi dikembangkan dan dikelola oleh Kementerian atau dikelola oleh lembaga yang ditunjuk oleh Kementerian. (4) Penyelenggara . . .
- 41 (4) Penyelenggara Perguruan Tinggi wajib menyampaikan data dan informasi penyelenggaraan Perguruan Tinggi serta memastikan kebenaran dan ketepatannya.
Bagian Kelima Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi
Pasal 57 (1) Lembaga
Layanan
Pendidikan
Tinggi
merupakan
satuan kerja Pemerintah di wilayah yang berfungsi membantu
peningkatan
mutu
penyelenggaraan
Pendidikan Tinggi. (2) Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh Menteri. (3) Menteri
menetapkan
tugas
dan
fungsi
lembaga
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebutuhan. (4) Menteri secara berkala mengevaluasi kinerja lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB IV PERGURUAN TINGGI
Bagian Kesatu Fungsi dan Peran Perguruan Tinggi
Pasal 58 (1) Perguruan Tinggi melaksanakan fungsi dan peran sebagai: a. wadah pembelajaran Mahasiswa dan Masyarakat; b. wadah pendidikan calon pemimpin bangsa;
c. pusat . . .
- 42 c. pusat
pengembangan
Ilmu
Pengetahuan
dan
Teknologi; d. pusat kajian kebajikan dan kekuatan moral untuk mencari dan menemukan kebenaran; dan e. pusat pengembangan peradaban bangsa. (2) Fungsi dan peran Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud
pada
ayat
(1)
dilaksanakan
melalui
kegiatan Tridharma yang ditetapkan dalam statuta Perguruan Tinggi. Bagian Kedua Bentuk Perguruan Tinggi Pasal 59 (1) Bentuk Perguruan Tinggi terdiri atas: a. universitas; b. institut; c. sekolah tinggi; d. politeknik; e. akademi; dan f.
akademi komunitas.
(2) Universitas
merupakan
Perguruan
Tinggi
yang
menyelenggarakan pendidikan akademik dan dapat menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam berbagai rumpun Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi dan jika
memenuhi
syarat,
universitas
dapat
menyelenggarakan pendidikan profesi. (3) Institut
merupakan
Perguruan
Tinggi
yang
menyelenggarakan pendidikan akademik dan dapat menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam sejumlah rumpun
Ilmu
Pengetahuan
dan/atau
Teknologi
tertentu dan jika memenuhi syarat, institut dapat menyelenggarakan pendidikan profesi. (4) Sekolah . . .
- 43 (4) Sekolah Tinggi merupakan Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan dapat menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam satu rumpun
Ilmu
Pengetahuan
dan/atau
Teknologi
tertentu dan jika memenuhi syarat, sekolah tinggi dapat menyelenggarakan pendidikan profesi. (5) Politeknik
merupakan
Perguruan
Tinggi
yang
menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam berbagai rumpun Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi dan jika
memenuhi
syarat,
politeknik
dapat
menyelenggarakan pendidikan profesi. (6) Akademi
merupakan
Perguruan
Tinggi
yang
menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam satu atau beberapa cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi tertentu. (7) Akademi Komunitas merupakan Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan vokasi setingkat diploma satu dan/atau diploma dua dalam satu atau beberapa
cabang
Ilmu
Pengetahuan
dan/atau
Teknologi tertentu yang berbasis keunggulan lokal atau untuk memenuhi kebutuhan khusus. Bagian Ketiga Pendirian Perguruan Tinggi Pasal 60 (1) PTN didirikan oleh Pemerintah. (2) PTS didirikan oleh Masyarakat dengan membentuk badan
penyelenggara
berbadan
hukum
yang
berprinsip nirlaba dan wajib memperoleh izin Menteri. (3) Badan penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berbentuk yayasan, perkumpulan, dan bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Perguruan . . .
- 44 (4) Perguruan Tinggi yang didirikan harus memenuhi standar minimum akreditasi. (5) Perguruan Tinggi wajib memiliki Statuta. (6) Perubahan atau pencabutan izin PTS dilakukan oleh menteri
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian PTN dan PTS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) serta perubahan atau pencabutan izin PTS sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bagian Keempat Organisasi Penyelenggara Perguruan Tinggi
Pasal 61 (1) Organisasi
penyelenggara
merupakan
unit
kerja
Perguruan Tinggi yang secara bersama melaksanakan kegiatan Tridharma dan fungsi manajemen sumber daya. (2) Organisasi
penyelenggara
sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit terdiri atas unsur: a. penyusun kebijakan; b. pelaksana akademik; c. pengawas dan penjaminan mutu; d. penunjang akademik atau sumber belajar; dan e. pelaksana administrasi atau tata usaha. (3) Organisasi penyelenggara Perguruan Tinggi diatur dalam Statuta Perguruan Tinggi.
Bagian Kelima . . .
- 45 Bagian Kelima Pengelolaan Perguruan Tinggi Pasal 62 (1) Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma. (2) Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan dasar
dan
tujuan
serta
kemampuan
Perguruan
Tinggi. (3) Dasar dan tujuan serta kemampuan Perguruan Tinggi untuk melaksanakan otonomi sebagaimana dimaksud pada
ayat
(2)
dievaluasi
secara
mandiri
oleh
Perguruan Tinggi. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai evaluasi dasar dan tujuan serta kemampuan Perguruan Tinggi untuk melaksanakan otonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 63 Otonomi pengelolaan Perguruan
Tinggi dilaksanakan
berdasarkan prinsip: a. akuntabilitas; b. transparansi; c. nirlaba; d. penjaminan mutu; dan e. efektivitas dan efisiensi. Pasal 64 (1) Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 meliputi bidang akademik dan bidang nonakademik. (2) Otonomi . . .
- 46 (2) Otonomi
pengelolaan
sebagaimana
dimaksud
di
bidang
pada
ayat
akademik (1)
meliputi
penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan Tridharma. (3) Otonomi
pengelolaan
sebagaimana
di
dimaksud
bidang
pada
nonakademik
ayat
(1)
meliputi
penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan: a. organisasi; b. keuangan; c. kemahasiswaan; d. ketenagaan; dan f. sarana prasarana.
Pasal 65 (1) Penyelenggaraan sebagaimana
otonomi
dimaksud
Perguruan
dalam
Pasal
Tinggi
64
dapat
diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan
membentuk
PTN
badan
hukum
untuk
menghasilkan Pendidikan Tinggi bermutu. (2) PTN yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
memiliki
pengelolaan
tata
sesuai
kelola
dengan
dan
kewenangan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan. (3) PTN badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki: a. kekayaan awal berupa kekayaan negara yang dipisahkan kecuali tanah; b. tata kelola dan pengambilan keputusan secara mandiri; c. unit . . .
- 47 c. unit yang melaksanakan fungsi akuntabilitas dan transparansi; d. hak mengelola dana secara mandiri, transparan, dan akuntabel; e. wewenang mengangkat dan memberhentikan sendiri Dosen dan tenaga kependidikan; f. wewenang mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi; dan g. wewenang untuk membuka, menyelenggarakan, dan menutup Program Studi. (4) Pemerintah badan
memberikan
hukum
untuk
penugasan
kepada
menyelenggarakan
PTN
fungsi
Pendidikan Tinggi yang terjangkau oleh Masyarakat. (5) Ketentuan mengenai penyelenggaraan otonomi PTN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan. Pasal 66 (1) Statuta PTN ditetapkan dengan Peraturan Menteri. (2) Statuta
PTN
Badan
Hukum
ditetapkan
dengan
Peraturan Pemerintah. (3) Statuta PTS ditetapkan dengan surat keputusan badan penyelenggara. Pasal 67 Penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 pada PTS diatur oleh badan penyelenggara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 68 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dan Pasal 65 diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bagian Keenam . . .
- 48 Bagian Keenam Ketenagaan
Paragraf 1 Pengangkatan dan Penempatan
Pasal 69 (1) Ketenagaan perguruan tinggi terdiri atas: a. Dosen; dan b. tenaga kependidikan. (2) Dosen
dan
tenaga
kependidikan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diangkat dan ditempatkan di Perguruan
Tinggi
oleh
Pemerintah
atau
badan
penyelenggara. (3) Setiap prestasi sesuai
orang
yang
memiliki
keahlian
dan/atau
luar biasa dapat diangkat menjadi Dosen dengan
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan.
Pasal 70 (1) Pengangkatan dan penempatan Dosen dan tenaga kependidikan
oleh
Pemerintah
dilakukan
sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Pengangkatan dan penempatan Dosen dan tenaga kependidikan oleh badan penyelenggara dilakukan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan. (3) Badan penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memberikan gaji pokok serta tunjangan kepada
Dosen
dan
tenaga
kependidikan
sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Menteri . . .
- 49 (4) Menteri dapat menugasi Dosen yang diangkat oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di PTN untuk peningkatan mutu Pendidikan Tinggi. (5) Pemerintah
memberikan
insentif
kepada
Dosen
sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penugasan Dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan pemberian insentif kepada Dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 71 (1) Pemimpin PTN dapat mengangkat Dosen tetap sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan Tinggi atas persetujuan Pemerintah. (2) PTN memberikan gaji pokok dan tunjangan kepada Dosen tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan. (3) Pemerintah
memberikan
tunjangan
jabatan
akademik, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan kehormatan
kepada
Dosen
tetap
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkatan Dosen tetap pada PTN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
Paragraf 2 Jenjang Jabatan Akademik
Pasal 72 (1)
Jenjang jabatan akademik Dosen tetap terdiri atas asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan profesor.
(2) Jenjang . . .
- 50 (2)
Jenjang jabatan akademik Dosen tidak tetap diatur dan ditetapkan oleh penyelenggara Perguruan Tinggi.
(3)
Dosen yang telah memiliki pengalaman kerja 10 (sepuluh) tahun sebagai Dosen tetap dan memiliki publikasi ilmiah serta berpendidikan doktor atau yang sederajat, dan telah memenuhi persyaratan dapat diusulkan ke jenjang jabatan akademik profesor.
(4)
Batas usia pensiun Dosen yang menduduki jabatan akademik profesor ditetapkan 70 (tujuh puluh) tahun dan Pemerintah memberikan tunjangan profesi serta tunjangan kehormatan.
(5)
Menteri dapat mengangkat seseorang dengan kompetensi luar biasa pada jenjang jabatan akademik profesor atas usul Perguruan Tinggi.
(6)
Ketentuan mengenai jenjang jabatan akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemberian tunjangan profesi serta tunjangan kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dan pengangkatan seseorang dengan kompetensi luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Menteri. Bagian Ketujuh Kemahasiswaan Paragraf 1 Penerimaan Mahasiswa Baru Pasal 73
(1) Penerimaan Program
Mahasiswa
Studi
dapat
baru
PTN
dilakukan
untuk melalui
setiap pola
penerimaan Mahasiswa secara nasional dan bentuk lain. (2) Pemerintah . . .
- 51 (2) Pemerintah menanggung biaya calon Mahasiswa yang akan mengikuti pola penerimaan Mahasiswa baru secara nasional. (3) Calon Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah memenuhi persyaratan akademik wajib diterima oleh Perguruan Tinggi. (4) Perguruan Tinggi menjaga keseimbangan antara jumlah maksimum Mahasiswa dalam setiap Program Studi dan kapasitas sarana dan prasarana, Dosen dan tenaga kependidikan, serta layanan dan sumber daya pendidikan lainnya. (5) Penerimaan Mahasiswa baru Perguruan Tinggi merupakan seleksi akademis dan dilarang dikaitkan dengan tujuan komersial. (6) Penerimaan Mahasiswa baru PTS untuk setiap Program Studi diatur oleh PTS masing-masing atau dapat mengikuti pola penerimaan Mahasiswa baru PTN secara nasional. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerimaan Mahasiswa baru PTN secara nasional diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 74 (1) PTN wajib mencari dan menjaring calon Mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi dan calon Mahasiswa dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal untuk diterima paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari seluruh Mahasiswa baru yang diterima dan tersebar pada semua Program Studi. (2) Program Studi yang menerima sebagaimana dimaksud pada memperoleh bantuan biaya Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Masyarakat.
calon Mahasiswa ayat (1) dapat Pendidikan dari Perguruan Tinggi,
Pasal 75 . . .
- 52 Pasal 75 (1) Warga
negara
asing
dapat
diterima
menjadi
Mahasiswa pada Perguruan Tinggi. (2) Penerimaan sebagaimana
Mahasiswa dimaksud
warga pada
negara ayat
(1)
asing harus
memenuhi persyaratan: a. kualifikasi akademik; b. Program Studi; c. jumlah Mahasiswa; dan d. lokasi Perguruan Tinggi. (3) Ketentuan
lebih
penerimaan
lanjut
mengenai
Mahasiswa
warga
persyaratan
negara
asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.
Paragraf 2 Pemenuhan Hak Mahasiswa
Pasal 76 (1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perguruan Tinggi berkewajiban memenuhi hak Mahasiswa yang kurang
mampu
secara
ekonomi
untuk
dapat
menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik. (2) Pemenuhan hak Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberikan: a. beasiswa kepada Mahasiswa berprestasi; b. bantuan atau membebaskan biaya Pendidikan; dan/atau c. pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan.
(3) Perguruan . . .
- 53 (3) Perguruan Tinggi atau penyelenggara Perguruan Tinggi menerima pembayaran yang ikut ditanggung oleh Mahasiswa untuk membiayai studinya sesuai dengan kemampuan Mahasiswa, orang tua Mahasiswa, atau pihak yang membiayainya. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemenuhan hak Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri. Paragraf 3 Organisasi Kemahasiswaan Pasal 77 (1) Mahasiswa
dapat
membentuk
organisasi
kemahasiswaan. (2) Organisasi kemahasiswaan paling sedikit memiliki fungsi untuk: a. mewadahi kegiatan mengembangkan bakat, Mahasiswa;
Mahasiswa minat, dan
dalam potensi
b. mengembangkan kreativitas, kepekaan, daya kritis, keberanian, dan kepemimpinan, serta rasa kebangsaan; c. memenuhi kepentingan Mahasiswa; dan
dan
kesejahteraan
d. mengembangkan tanggung jawab sosial melalui kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat. (3) Organisasi kemahasiswaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan organisasi intra Perguruan Tinggi. (4) Perguruan Tinggi menyediakan sarana dan prasarana serta dana untuk mendukung kegiatan organisasi kemahasiswaan. (5) Ketentuan . . .
- 54 (5) Ketentuan lain mengenai organisasi kemahasiswaan diatur dalam statuta perguruan tinggi. Bagian Kedelapan Akuntabilitas Perguruan Tinggi Pasal 78 (1) Akuntabilitas Perguruan Tinggi merupakan bentuk pertanggungjawaban Perguruan Tinggi kepada Masyarakat yang terdiri atas: a. akuntabilitas akademik; dan b. akuntabilitas nonakademik. (2) Akuntabilitas Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diwujudkan dengan pemenuhan Standar Nasional Pendidikan Tinggi. (3) Akuntabilitas Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sistem pelaporan tahunan. (4) Laporan tahunan akuntabilitas Perguruan Tinggi dipublikasikan kepada Masyarakat. (5) Sistem pelaporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kesembilan Pengembangan Perguruan Tinggi Paragraf 1 Umum Pasal 79 (1) Pemerintah memfasilitasi kerja sama antar Perguruan Tinggi dan antara Perguruan Tinggi dengan dunia usaha, industri, alumni, Pemerintah Daerah, dan/atau pihak lain. (2) Pemerintah . . .
- 55 (2) Pemerintah
mengembangkan
sistem
pengelolaan
sistem
pembinaan
informasi Pendidikan Tinggi. (3) Pemerintah berjenjang
mengembangkan melalui
kerja
sama
antar
Perguruan
Tinggi. (4) Pemerintah mengembangkan sumber pembelajaran terbuka yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh Sivitas Akademika. (5) Pemerintah mengembangkan jejaring antar Perguruan Tinggi dengan memanfaatkan teknologi informasi.
Paragraf 2 Pola Pengembangan Perguruan Tinggi
Pasal 80 (1) Pemerintah mengembangkan secara bertahap pusat unggulan pada Perguruan Tinggi. (2) Pemerintah mengembangkan paling sedikit 1 (satu) PTN
berbentuk
universitas,
institut,
dan/atau
politeknik di setiap provinsi. (3) PTN
sebagaimana
dilaksanakan potensi
dimaksud
berbasis
unggulan
pada
Tridharma
daerah
ayat
sesuai
untuk
(2)
dengan
mendukung
kebutuhan pembangunan nasional.
Pasal 81 (1) Pemerintah
bersama
Pemerintah
Daerah
mengembangkan secara bertahap paling sedikit 1 (satu) akademi komunitas dalam bidang yang sesuai dengan potensi unggulan daerah di kabupaten/kota dan/atau di daerah perbatasan.
(2) Akademi . . .
- 56 (2) Akademi komunitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berbasis kebutuhan daerah untuk mempercepat kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Pasal 82 Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
pengembangan
Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 sampai dengan Pasal 81 diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB V PENDANAAN DAN PEMBIAYAAN
Bagian Kesatu Tanggung Jawab dan Sumber Pendanaan Pendidikan Tinggi
Pasal 83 (1) Pemerintah menyediakan dana Pendidikan Tinggi yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. (2) Pemerintah Daerah dapat memberikan dukungan dana Pendidikan Tinggi yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Pasal 84 (1) Masyarakat dapat berperan serta dalam pendanaan Pendidikan Tinggi. (2) Pendanaan Pendidikan Tinggi yang diperoleh dari Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada Perguruan Tinggi dalam bentuk: a. hibah . . .
- 57 a. hibah; b. wakaf; c. zakat; d. persembahan kasih; e. kolekte; f. dana punia; g. sumbangan individu dan/atau perusahaan; h. dana abadi Pendidikan Tinggi; dan/atau i. bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 85 (1) Perguruan
Tinggi
dapat
berperan
serta
dalam
pendanaan Pendidikan Tinggi melalui kerja sama pelaksanaan Tridharma. (2) Pendanaan Pendidikan Tinggi dapat juga bersumber dari
biaya
Pendidikan
yang
ditanggung
oleh
Mahasiswa sesuai dengan kemampuan Mahasiswa, orang
tua
Mahasiswa,
atau
pihak
lain
yang
membiayainya.
Pasal 86 (1) Pemerintah memfasilitasi dunia usaha dan dunia industri dengan aktif memberikan bantuan dana kepada Perguruan Tinggi. (2) Pemerintah memberikan insentif kepada dunia usaha dan dunia industri atau anggota Masyarakat yang memberikan
bantuan
atau
sumbangan
penyelenggaraan Pendidikan Tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 87 . . .
- 58 Pasal 87 Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan hak pengelolaan kekayaan negara kepada Perguruan Tinggi untuk kepentingan pengembangan Pendidikan Tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Bagian Kedua Pembiayaan dan Pengalokasian
Pasal 88 (1) Pemerintah
menetapkan
standar
satuan
biaya
operasional Pendidikan Tinggi secara periodik dengan mempertimbangkan: a. capaian Standar Nasional Pendidikan Tinggi; b. jenis Program Studi; dan c. indeks kemahalan wilayah. (2) Standar satuan biaya operasional Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar untuk mengalokasikan anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk PTN. (3) Standar
satuan
biaya
operasional
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai dasar oleh PTN untuk menetapkan biaya yang ditanggung oleh Mahasiswa. (4) Biaya yang ditanggung oleh Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus disesuaikan dengan kemampuan
ekonomi
Mahasiswa,
orang
tua
Mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar satuan biaya operasional Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 89 . . .
- 59 Pasal 89 (1) Dana
Pendidikan
Tinggi
yang
bersumber
dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran
Pendapatan
dan
Belanja
Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 dialokasikan untuk: a. PTN, sebagai biaya operasional, Dosen dan tenaga kependidikan, serta investasi dan pengembangan; b. PTS, sebagai bantuan tunjangan profesi dosen, tunjangan kehormatan profesor, serta investasi dan pengembangan; dan c. Mahasiswa,
sebagai
dukungan
biaya
untuk
mengikuti Pendidikan Tinggi. (2) Dana Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk PTN badan hukum diberikan dalam bentuk subsidi dan/atau bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Ketentuan
mengenai
bentuk
dan
mekanisme
pendanaan pada PTN badan hukum diatur dengan Peraturan Pemerintah. (4) Dana
Pendidikan
Anggaran
Tinggi
Pendapatan
yang dan
bersumber Belanja
dari
Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bantuan dana yang disediakan oleh Pemerintah daerah untuk penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di daerah masing-masing sesuai dengan kemampuan daerah. (5) Pemerintah
mengalokasikan
dana
bantuan
operasional PTN dari anggaran fungsi Pendidikan. (6) Pemerintah mengalokasikan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari dana sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk dana Penelitian di PTN dan PTS. (7) Dana Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikelola oleh Kementerian. BAB VI . . .
- 60 -
BAB VI PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN TINGGI OLEH LEMBAGA NEGARA LAIN
Pasal 90 (1) Perguruan
Tinggi
lembaga
menyelenggarakan
negara
Pendidikan
lain
Tinggi
di
dapat wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah terakreditasi dan/atau diakui di negaranya. (3) Pemerintah menetapkan daerah, jenis, dan Program Studi yang dapat diselenggarakan Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib: a. memperoleh izin Pemerintah; b. berprinsip nirlaba; c. bekerja sama dengan Perguruan Tinggi Indonesia atas izin Pemerintah; dan d. mengutamakan Dosen dan tenaga kependidikan warga negara Indonesia. (5) Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud
pada
ayat
(1)
wajib
mendukung
kepentingan nasional. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat
(2)
sampai
dengan
ayat
(5)
diatur
dalam
Peraturan Menteri.
BAB VII . . .
- 61 -
BAB VII PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 91 (1) Masyarakat berperan serta dalam pengembangan Pendidikan Tinggi. (2) Peran serta Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara: a. menentukan kompetensi lulusan melalui organisasi profesi, dunia usaha, dan dunia industri; b. memberikan
beasiswa
dan/atau
bantuan
Pendidikan kepada Mahasiswa; c. mengawasi dan menjaga mutu Pendidikan Tinggi melalui organisasi profesi atau lembaga swadaya masyarakat; d. menyelenggarakan PTS bermutu; e. mengembangkan
karakter,
minat,
dan
bakat
Mahasiswa; f. menyediakan tempat magang dan praktik kepada Mahasiswa; g. memberikan berbagai bantuan melalui tanggung jawab sosial perusahaan; h. mendukung kegiatan Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat; i. berbagi
sumberdaya
untuk
pelaksanaan
Tridharma; dan/atau j. peran
serta
lainnya
sesuai
dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
BAB VIII . . .
- 62 BAB VIII SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 92 (1) Perguruan Tinggi yang melanggar ketentuan Pasal 8 ayat (3), Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (3), Pasal 20 ayat (3), Pasal 21 ayat (4), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (3), Pasal 24 ayat (4), Pasal 25 ayat (4), Pasal 28 ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), atau ayat (7), Pasal 33 ayat (6), Pasal 35 ayat (3), Pasal 37 ayat (1), Pasal 41 ayat (1), Pasal 46 ayat (2), Pasal 60 ayat (5), Pasal 73 ayat (3) atau ayat (5), Pasal 74 ayat (1), Pasal 76 ayat (1), Pasal 78 ayat (2), atau Pasal 90 ayat (5) dikenai sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara bantuan biaya Pendidikan dari Pemerintah; c. penghentian sementara kegiatan penyelenggaraan Pendidikan; d. penghentian pembinaan; dan/atau e. pencabutan izin. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri. BAB IX KETENTUAN PIDANA Pasal 93 Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang melanggar Pasal 28 ayat (6) atau ayat (7), Pasal 42 ayat (4), Pasal 43 ayat (3), Pasal 44 ayat (4), Pasal 60 ayat (2), dan Pasal 90 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). BAB X . . .
- 63 BAB X KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 94 Penyelenggaraan Perguruan Tinggi oleh Kementerian lain dan LPNK diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB XI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 95 Sebelum terbentuknya lembaga akreditasi mandiri, akreditasi program studi dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi. Pasal 96 Lembaga layanan Pendidikan Tinggi harus sudah dibentuk paling lambat 2 (dua) tahun sejak UndangUndang ini diundangkan. Pasal 97 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: a. izin pendirian Perguruan Tinggi dan izin penyelenggaraan Program Studi yang sudah diterbitkan dinyatakan tetap berlaku. b. pengelolaan Perguruan Tinggi harus menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan. c. pengelolaan Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara dan Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara yang telah berubah menjadi Perguruan Tinggi yang diselenggarakan Pemerintah dengan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum ditetapkan sebagai PTN Badan Hukum dan harus menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini paling lambat 2 (dua) tahun. d. pengelolaan . . .
- 64 -
d. pengelolaan
keuangan
Perguruan
Tinggi
Badan
Hukum Milik Negara sebagaimana dimaksud dalam huruf c mengikuti Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan
Umum
sampai
dengan
diterbitkannya
peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini.
BAB XII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 98 (1) Peraturan harus
pelaksanaan
ditetapkan
paling
dari
Undang-Undang
lambat
2
(dua)
ini
tahun
terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. (2) Peraturan Pemerintah tentang bentuk dan mekanisme pendanaan PTN Badan Hukum ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 99 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan Tahun
2003
(Lembaran Nomor
pelaksanaan Negara
78,
Indonesia Pendidikan
tentang
Sistem
Republik
Tambahan Nomor Tinggi
Undang-Undang
Pendidikan
Indonesia
Lembaran
4301)
yang
dinyatakan
Nomor
berkaitan
masih
Nasional
Tahun
Negara tetap
20
2003
Republik dengan berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 100 Undang-Undang
ini
mulai
berlaku
pada
tanggal
diundangkan.
Agar . . .
- 65 -
Agar
setiap
orang
pengundangan penempatannya
mengetahuinya,
Undang-Undang dalam
Lembaran
memerintahkan ini Negara
dengan Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta Pada tanggal 10 Agustus 2012 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 10 Agustus 2012 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 158
Salinan sesuai dengan aslinya KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI Asisten Deputi Perundang-undangan Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
ttd. Wisnu Setiawan
- 66 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PENDIDIKAN TINGGI
I.
UMUM Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki tujuan sebagaimana diamanatkan
dalam
Pembukaan
Undang-Undang
Dasar
Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial...”. Untuk mewujudkan tujuan tersebut Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan agar Pemerintah
mengusahakan
dan
menyelenggarakan
satu
sistem
pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan bangsa yang diatur dalam undang-undang. Selain itu pada Pasal 31 ayat (5) mengamanahkan agar Pemerintah memajukan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Melalui . . .
- 67 Melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, negara telah memberikan kerangka yang jelas kepada Pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan nasional yang sesuai dengan amanat Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia
Tahun
1945.
Meskipun
demikian
masih
memerlukan pengaturan agar Pendidikan Tinggi dapat lebih berfungsi dalam mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan memperhatikan
dan
menerapkan
nilai
Humaniora
untuk
pemberdayaan dan pembudayaan bangsa. Penyelenggaraan
Pendidikan
Tinggi
sebagai
bagian
yang
tak
terpisahkan dari penyelenggaraan pendidikan nasional, tidak dapat dilepaskan dari amanat Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di samping itu, dalam rangka menghadapi perkembangan dunia yang makin mengutamakan basis Ilmu
Pengetahuan,
Pendidikan
Tinggi
diharapkan
mampu
menjalankan peran strategis dalam memajukan peradaban dan kesejahteraan umat manusia. Pada tataran praktis bangsa Indonesia juga tidak terlepas dari persaingan antarbangsa di satu pihak dan kemitraan dengan bangsa lain di pihak lain. Oleh karena itu, untuk meningkatkan daya saing bangsa dan daya mitra bangsa Indonesia dalam era globalisasi, diperlukan Pendidikan Tinggi yang mampu mewujudkan dharma pendidikan, profesional berkarakter
yaitu yang
menghasilkan berbudaya,
tangguh,
serta
intelektual,
kreatif, berani
ilmuwan
toleran, membela
dan/atau
demokratis,
dan
kebenaran
demi
kepentingan bangsa dan umat manusia. Dalam rangka mewujudkan dharma Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, diperlukan Pendidikan Tinggi yang mampu menghasilkan karya Penelitian dalam cabang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang dapat diabdikan bagi kemaslahatan bangsa, negara, dan umat manusia.
Perguruan . . .
- 68 Perguruan Tinggi sebagai lembaga yang menyelenggarakan Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, harus memiliki otonomi dalam mengelola sendiri lembaganya. Hal itu diperlukan agar dalam pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Perguruan Tinggi berlaku kebebasan akademik dan mimbar akademik, serta otonomi
keilmuan.
Dengan
demikian
Perguruan
Tinggi
dapat
mengembangkan budaya akademik bagi Sivitas Akademika yang berfungsi sebagai komunitas ilmiah yang berwibawa dan mampu melakukan interaksi yang mengangkat martabat bangsa Indonesia dalam pergaulan internasional. Perguruan Tinggi
sebagai
garda
terdepan dalam mencerdaskan
kehidupan bangsa, dengan mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk memajukan kesejahteran umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Huruf a Yang dimaksud dengan "asas kebenaran ilmiah" adalah pencarian, pengamatan, penemuan, penyebarluasan dan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang kebenarannya diverifikasi secara ilmiah. Huruf b Yang
dimaksud
dengan
“asas
penalaran”
adalah
pencarian, pengamatan, penemuan, penyebarluasan dan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang mengutamakan kegiatan berpikir. Huruf c . . .
- 69 Huruf c Yang dimaksud dengan “asas kejujuran” adalah pendidikan tinggi yang mengutamakan moral akademik Dosen dan Mahasiswa untuk senantiasa mengemukakan data dan informasi dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagaimana adanya. Huruf d Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah Pendidikan Tinggi menyediakan kesempatan yang sama kepada semua warga negara Indonesia tanpa memandang suku, agama, ras dan antargolongan, serta latar belakang sosial dan ekonomi. Huruf e Yang dimaksud dengan “asas manfaat” adalah Pendidikan Tinggi selalu berorientasi untuk kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia. Huruf f Yang dimaksud dengan "asas kebajikan" adalah Pendidikan Tinggi harus mendatangkan kebaikan, keselamatan dan kesejahteraan dalam kehidupan Sivitas Akademika, Masyarakat, bangsa, dan negara. Huruf g Yang dimaksud dengan "asas tanggung jawab" adalah Sivitas Akademika melaksanakan Tridharma serta mewujudkan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan/atau otonomi keilmuan, dengan menjunjung tinggi nilia-nilai agama dan persatuan bangsa serta peraturan perundang-undangan. Huruf h Yang dimaksud dengan "asas kebhinnekaan" adalah Pendidikan Tinggi diselenggarakan dalam berbagai cabang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan memperhatikan dan menghormati kemajemukan Masyarakat Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Huruf i . . .
- 70 Huruf i Yang dimaksud dengan “asas keterjangkauan” adalah bahwa Pendidikan Tinggi diselenggarakan dengan biaya Pendidikan yang ditanggung oleh Mahasiswa sesuai dengan kemampuan ekonominya, orang tua atau pihak yang membiayainya untuk menjamin warga negara yang memiliki potensi dan kemampuan akademik memperoleh Pendidikan Tinggi tanpa hambatan ekonomi. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Karya penelitian antara lain berupa invensi dan inovasi dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang mampu meningkatkan taraf hidup untuk menjadi bangsa yang maju. Pasal 6 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e . . .
- 71 Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Yang dimaksud dengan “sistem terbuka” adalah penyelenggaraan Pendidikan Tinggi memiliki sifat fleksibilitas dalam hal cara penyampaian, pilihan dan waktu penyelesaian program, lintas satuan, jalur dan jenis Pendidikan (multi entry multi exit system). Yang dimaksud dengan “multimakna” adalah Pendidikan yang diselenggarakan dengan berorientasi pada pembudayaan, pemberdayaan, pembentukan watak dan kepribadian, serta berbagai kecakapan hidup. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “akademik” dalam “kebebasan akademik” dan “kebebasan mimbar akademik” adalah sesuatu yang bersifat ilmiah atau bersifat teori yang dikembangkan dalam Pendidikan Tinggi dan terbebas dari pengaruh politik praktis. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 9 . . .
- 72 Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “Dosen yang memiliki otoritas dan
wibawa ilmiah untuk menyatakan secara terbuka dan bertanggung jawab mengenai sesuatu yang berkenaan dengan rumpun ilmu dan cabang ilmunya” adalah Dosen yang telah memiliki kualifikasi doktor atau setara. Profesor merupakan jabatan akademik tertinggi pada Perguruan Tinggi yang mempunyai wewenang membimbing calon doktor. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Rumpun ilmu agama merupakan rumpun Ilmu Pengetahuan yang mengkaji keyakinan tentang ketuhanan atau ketauhidan serta teks-teks suci agama antara lain ilmu ushuluddin, ilmu syariah, ilmu adab, ilmu dakwah, ilmu tarbiyah, filsafat dan
pemikiran
pendidikan agama agama
Hindu,
ilmu
ilmu
penerangan Hindu,
ilmu
agama
Kristen,
teologi,
Islam,
agama
Budha,
filsafat
agama
Katholik,
ekonomi
filsafat
agama
Budha,
pendidikan agama
agama
Hindu,
pendidikan
Islam,
ilmu
penerangan
Budha,
ilmu
ilmu
pendidikan
misiologi,
konseling
pastoral, dan ilmu pendidikan agama Khong Hu Cu. Huruf b . . .
- 73 Huruf b Rumpun ilmu Humaniora merupakan rumpun Ilmu Pengetahuan yang mengkaji dan mendalami nilai kemanusiaan dan pemikiran manusia, antara lain filsafat, ilmu sejarah, ilmu bahasa, ilmu sastra, ilmu seni panggung, dan ilmu seni rupa. Huruf c Rumpun ilmu sosial merupakan rumpun Ilmu Pengetahuan yang mengkaji dan mendalami hubungan antar manusia dan berbagai fenomena Masyarakat, antara lain sosiologi, psikologi, antropologi, ilmu politik, arkeologi, ilmu wilayah, ilmu budaya, ilmu ekonomi, dan geografi. Huruf d Rumpun ilmu alam merupakan rumpun Ilmu Pengetahuan yang mengkaji dan mendalami alam semesta selain manusia, antara lain ilmu angkasa, ilmu kebumian, biologi, ilmu kimia, dan ilmu fisika. Huruf e Rumpun ilmu formal merupakan rumpun Ilmu Pengetahuan yang mengkaji dan mendalami sistem formal teoritis, antara lain ilmu komputer, logika, matematika, statistika, dan sistema. Huruf f Rumpun ilmu terapan merupakan rumpun Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang mengkaji dan mendalami aplikasi ilmu bagi kehidupan manusia antara lain pertanian, arsitektur dan perencanaan, bisnis, pendidikan, teknik, kehutanan dan lingkungan, keluarga dan konsumen, kesehatan, olahraga, jurnalistik, media massa dan komunikasi, hukum, perpustakaan dan permuseuman, militer, administrasi publik, pekerja sosial, dan transportasi. Ayat (3) . . .
- 74 Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dalam hal pendidikan akademik rumpun ilmu agama, tanggung jawab penyelenggaraan dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama berkoordinasi dengan Menteri. Pasal 16 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pendidikan vokasi” adalah pendidikan yang menyiapkan Mahasiswa menjadi profesional dengan keterampilan/kemampuan kerja tinggi. Kurikulum pendidikan vokasi disiapkan bersama dengan Masyarakat profesi dan organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesinya agar memenuhi syarat kompetensi profesinya. Dengan demikian pendidikan vokasi telah mencakup pendidikan profesinya. Ayat (2) . . .
- 75 Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Kerja sama dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan/atau standar
organisasi kompetensi,
profesi,
antara
penetapan
lain
kualifikasi
penetapan lulusan,
penyusunan kurikulum, penggunaan sumber belajar, dan uji kompetensi. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “berbudaya” adalah sikap dan perilaku
yang
senantiasa
berdasarkan
sistem
nilai,
norma, dan kaidah Ilmu Pengetahuan, yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas.
Pasal 20 . . .
- 76 Pasal 20 Ayat (1) Mahasiswa program magister yang memiliki kemampuan luar biasa dapat melanjutkan ke program doktor setelah sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun mengikuti program magister tanpa harus lulus program magister terlebih dahulu. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “sederajat” adalah kompetensi dengan mengacu pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas.
Ayat (7) . . .
- 77 Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Mahasiswa program magister terapan yang memiliki kemampuan luar biasa dapat melanjutkan ke program doktor terapan setelah paling sedikit (1) satu tahun mengikuti program magister tanpa harus lulus program magister terlebih dahulu. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Program
profesi
kewenangan
merupakan
Kementerian,
tanggung
Kementerian
jawab lain,
dan LPNK,
dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi. Oleh karena itu, Perguruan Tinggi hanya dapat menyelenggarakannya bekerja sama dengan Kementerian,
Kementerian
lain,
LPNK,
dan/atau
organisasi profesi.
Program . . .
- 78 Program profesi dapat menggunakan nama lain yang sederajat seperti program profesi dokter, insinyur, apoteker, notaris, psikolog, guru/pendidik, wartawan sesuai ketentuan Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Program spesialis dapat menggunakan nama lain yang sederajat dan memiliki tingkatan, antara lain program dokter
spesialis
profesional ketentuan
dan subspesialis,
pratama,
madya,
Kementerian,
program insinyur
dan
Kementerian
utama,
sesuai
lain,
LPNK,
dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) . . .
- 79 Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Gelar profesi antara lain digunakan oleh profesi dokter yang disingkat dr., profesi apoteker disingkat apt., dan profesi akuntan disingkat Akt. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 . . .
- 80 Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Izin Program Studi yang berkaitan dengan ilmu agama diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Pencabutan izin Program Studi yang berkaitan dengan ilmu
agama
menyelenggarakan
dilakukan urusan
oleh
menteri
pemerintahan
di
yang bidang
agama. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas.
Pasal 35 . . .
- 81 Pasal 35 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “mata kuliah agama” adalah pendidikan untuk membentuk Mahasiswa menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Huruf b Yang dimaksud dengan “mata kuliah Pancasila” adalah
Pendidikan
untuk
memberikan
pemahaman dan penghayatan kepada Mahasiswa mengenai ideologi bangsa Indonesia. Huruf c Yang
dimaksud
kewarganegaraan”
dengan adalah
mencakup Pancasila,
“mata
kuliah
pendidikan
yang
Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan
Republik
Tunggal
Ika
untuk
menjadi
warga
Indonesia
dan
membentuk
negara
yang
Bhineka
Mahasiswa
memiliki
rasa
kebangsaan dan cinta tanah air. Huruf d Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “kegiatan kurikuler” adalah serangkaian kegiatan yang terstruktur untuk mencapai tujuan Program Studi.
Yang . . .
- 82 Yang dimaksud dengan “kegiatan kokurikuler” adalah kegiatan
yang
terprogram
atas
dilakukan bimbingan
oleh
Mahasiswa
dosen,
sebagai
secara bagian
kurikulum dan dapat diberi bobot setara satu atau dua satuan kredit semester. Yang dimaksud dengan “kegiatan ekstrakurikuler” adalah kegiatan
yang
dilakukan
oleh
Mahasiswa
sebagai
penunjang kurikulum dan dapat diberi bobot setara satu atau dua satuan kredit semester. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Ayat (1) Sumber belajar dapat berbentuk antara lain, alam semesta, lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif, rumah sakit pendidikan, laboratorium, perpustakaan, museum, studio, bengkel, stadion, dan stasiun penyiaran. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) . . .
- 83 Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “sertifikat profesi” antara lain sertifikat pendidik yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi yang
ditetapkan
oleh
Pemerintah
untuk
meneyelenggarakan program pengadaan tenaga pendidik sebagaimana
diatur
dalam
undang-undang
yang
mengatur mengenai guru dan dosen. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 44 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “keahlian dalam cabang ilmunya” adalah kemampuan seseorang yang diakui oleh Masyarakat karena keahlian praktis, seperti potong rambut, desain grafis, montir, dan bentuk keahlian praktis lainnya. Yang dimaksud dengan “prestasi di luar program studinya” adalah keahlian lain yang tidak berkaitan langsung dengan program studinya, seperti Mahasiswa kedokteran yang meraih juara renang, Mahasiswa teknik mesin yang terampil dalam jurnalistik atau fotografi, dan sebagainya. Ayat (2) . . .
- 84 Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas Pasal 45 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang
dimaksud
dengan
“penelitian
dilaksanakan
berdasarkan jalur kompetensi” adalah Penelitian yang diberikan
kepada
Dosen
akademik
lulusan
yang
program
memiliki
doktor
kualifikasi
tanpa
melalui
kompetisi. Yang dimaksud dengan “penelitian berdasarkan jalur kompetisi” adalah Penelitian yang diberikan kepada Dosen dengan cara berkompetisi. Pasal 46 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “wajib disebarluaskan” adalah Penelitian
yang
didanai
oleh
Pemerintah
dan/atau
Pemerintah Daerah.
Yang . . .
- 85 -
Yang dimaksud dengan “hasil Penelitian yang bersifat rahasia, menganggu, dan/atau membahayakan kepentingan umum” adalah Penelitian yang sifat dan hasilnya berkaitan dengan rahasia atau keselamatan negara sehingga tidak dapat atau tidak boleh diketahui, dimiliki, dan dimanfaatkan oleh pihak yang tidak berhak.
Dipublikasikan artinya bahwa hasil Penelitian dimuat dalam jurnal ilmiah yang terakreditasi dan/atau buku yang telah diterbitkan oleh Perguruan Tinggi atau penerbit lainnya dan memiliki International Standard Book Number (ISBN). Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup Jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas.
Pasal 54 . . .
- 86 Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “sesuai dengan kebutuhan” adalah kebutuhan yang didasarkan pada karakteristik atau profil Perguruan Tinggi di wilayah tertentu. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pendirian PTS yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan mendapatkan izin menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama. Yang . . .
- 87 Yang dimaksud dengan “prinsip nirlaba” adalah prinsip kegiatan yang tujuannya tidak untuk mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan harus ditanamkan
kembali
meningkatkan
ke
Perguruan
kapasitas
dan/atau
Tinggi mutu
untuk layanan
Pendidikan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Huruf a Yang dimaksud dengan “prinsip akuntabilitas” adalah kemampuan
dan
komitmen
mempertanggungjawabkan
semua
untuk
kegiatan
yang
dijalankan Perguruan Tinggi kepada semua pemangku kepentingan
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan. Akuntabilitas antara lain dapat diukur
dari
kecukupan
rasio sarana
antara dan
Mahasiswa
prasarana,
dan
Dosen,
penyelenggaraan
pendidikan yang bermutu, dan kompetensi lulusan. Huruf b . . .
- 88 Huruf b Yang dimaksud dengan “prinsip transparansi” adalah keterbukaan dan kemampuan menyajikan informasi yang relevan secara tepat dan akurat kepada pemangku kepentingan
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan. Huruf c Yang dimaksud dengan “prinsip nirlaba” adalah prinsip kegiatan yang tujuannya tidak untuk mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan harus ditanamkan
kembali
meningkatkan
ke
kapasitas
Perguruan dan/atau
Tinggi mutu
untuk layanan
pendidikan. Huruf d Yang
dimaksud
dengan
“prinsip
penjaminan
mutu”
adalah kegiatan sistemik untuk memberikan layanan Pendidikan
Tinggi
yang
memenuhi
atau
melampaui
standar nasional pendidikan tinggi serta peningkatan mutu pelayanan pendidikan secara berkelanjutan. Huruf e Yang dimaksud dengan “efektivitas dan efisiensi” adalah kegiatan sistemik untuk memanfaatkan sumber daya dalam penyelenggaraan Pendidikan Tinggi agar tepat sasaran dan tidak terjadi pemborosan. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) . . .
- 89 Ayat (3) Huruf a PTN
Badan
kekayaan
Hukum berupa
dapat tanah
memanfaatkan dan
hasil
pemanfaatannya menjadi pendapatan PTN Badan Hukum.
Kekayaan berupa tanah tersebut tidak dapat dipindahtangankan
atau
dijaminkan
kepada
pihak lain. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Ayat (4) PTN badan hukum merupakan PTN yang sepenuhnya milik
negara
dan
tidak
dapat
dialihkan
kepada
perseorangan atau swasta. Untuk melaksanakan fungsi Pendidikan Tinggi yang berada dalam lingkup tanggung jawab Kementerian, Pemerintah memberikan kompensasi atau menanggung sebagian biaya yang telah dikeluarkan oleh PTN badan hukum. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 66 . . .
- 90 Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Ayat (1) Huruf a Dosen terdiri atas Dosen tetap dan Dosen tidak tetap. Huruf b Yang dimaksud dengan “tenaga kependidikan” adalah anggota Masyarakat yang mengabdikan diri
dan
diangkat
untuk
menunjang
penyelenggaraan Pendidikan Tinggi antara lain, pustakawan, tenaga administrasi, laboran dan teknisi, serta pranata teknik informasi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “orang yang memiliki keahlian dan/atau prestasi luar biasa” adalah dimaksudkan untuk memenuhi Dosen pada semua program Pendidikan Tinggi terutama pada program diploma satu dan program diploma dua. Ketentuan dimaksud
peraturan adalah
perundang-undangan
undang-undang
yang
yang
mengatur
mengenai guru dan dosen.
Pasal 70 . . .
- 91 Pasal 70 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Perjanjian kerja atau kesepakatan kerja memuat tentang gaji
pokok,
penghasilan
yang
melekat
pada
gaji,
penghasilan lain dan jaminan kesejahteraan sosial serta maslahat tambahan sesuai dengan undang-undang yang mengatur mengenai guru dan dosen. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 71 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “dosen tetap” adalah Dosen yang tidak diangkat oleh Pemerintah (bukan pegawai negeri sipil/bukan aparatur sipil negara). Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas.
Pasal 73 . . .
- 92 Pasal 73 Ayat (1) Pola penerimaan Mahasiswa secara nasional dan bentuk lain hanya berlaku bagi Mahasiswa program sarjana dan program diploma. Yang
dimaksud
dengan
“bentuk
lain”
adalah
pola
penerimaan Mahasiswa baru yang dilakukan secara mandiri oleh Perguruan Tinggi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) . . .
- 93 Ayat (2) Huruf a Yang
dimaksud
dukungan
biaya
dengan
“beasiswa”
Pendidikan
yang
adalah diberikan
kepada Mahasiswa untuk mengikuti dan/atau menyelesaikan Pendidikan Tinggi berdasarkan pertimbangan utama prestasi dan/atau potensi akademik. Huruf b Yang
dimaksud
dengan
“bantuan
biaya
pendidikan” adalah dukungan biaya Pendidikan yang
diberikan
kepada
Mahasiswa
untuk
mengikuti dan/atau menyelesaikan Pendidikan Tinggi
berdasarkan
pertimbangan
utama
keterbatasan kemampuan ekonomi. Huruf c Yang dimaksud dengan “pinjaman dana tanpa bunga” adalah pinjaman yang diterima oleh Mahasiswa dan/atau
tanpa
bunga
menyelesaikan
untuk
mengikuti
Pendidikan
Tinggi
dengan kewajiban membayar kembali setelah lulus dan mendapatkan pendapatan yang cukup. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78 Cukup jelas.
Pasal 79 . . .
- 94 Pasal 79 Cukup jelas. Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 Cukup jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Cukup jelas. Pasal 86 Cukup jelas. Pasal 87 Hak pengelolaan kekayaan negara dapat berbentuk antara lain, hak pengelolaan lahan, laut, pertambangan, perkebunan, hutan, dan museum. Pasal 88 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Standar satuan biaya operasional” adalah biaya penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di luar investasi dan pengembangan. Biaya investasi antara lain biaya pengadaan sarana dan prasarana serta sumber belajar.
Ayat (2) . . .
- 95 Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 89 Ayat (1) Huruf a Anggaran
untuk
PTN
dialokasikan
oleh
Pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau oleh Pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Huruf b Anggaran
untuk
PTS
dialokasikan
oleh
Pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau oleh Pemerintah daerah dalam Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah dalam
bentuk,
antara
lain
hibah,
bantuan
program kegiatan Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian kepada Masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain
bantuan
pendanaan,
PTS
dapat
memperoleh bantuan tenaga Dosen yang diangkat oleh Pemerintah.
Huruf c . . .
- 96 Huruf c Dukungan biaya untuk mengikuti Pendidikan Tinggi bagi Mahasiswa dapat diberikan dalam bentuk beasiswa, bantuan atau membebaskan biaya Pendidikan, dan/atau pinjaman dana tanpa bunga. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “dana bantuan operasional” adalah dana Kementerian di luar Penerimaan Negara Bukan
Pajak
yang
dialokasikan
dalam
Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara untuk membantu biaya operasional layanan Tridharma. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 90 Cukup jelas. Pasal 91 Cukup jelas. Pasal 92 Cukup jelas. Pasal 93 Cukup jelas.
Pasal 94 . . .
- 97 Pasal 94 Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Cukup jelas. Pasal 97 Cukup jelas. Pasal 98 Cukup jelas. Pasal 99 Cukup jelas. Pasal 100 Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5336
Versi: 20 Februari 2013
KETERANGAN SAKSI Prof. Dr. Sofian Effendi dalam Perkara di Mahkamah Konstitusi No. 103/PUU/-X/2012 tentang Pengujian Undang-undang Republik Indonesia No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi terhadap UUD NRI 1945 Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi,
Sehubungan dengan permohonan pengujian Undang Undang Republik Indonesia No 12 tahun 2012, selanjutnya disebut UU Pendidikan Tinggi, terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, selanjutnya disebut UUD NRI 1945, yang dimohonkan oleh M. Nurul Fajri, dkk, selaku perwakilan Forum Peduli Pendidikan Universitas Andalas yang selanjutnya disebut Pemohon, sesuai registrasi di kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Nomor 103/PUU/-X/2012 tanggal 8 Oktober 2012, dengan perbaikan permohonan No. 111/PUU-X/2012 tanggal 3 Desember 2012, perkenankan saya sebagai Saksi Fihak Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut:
A. Pokok Permasalahan Pokok permasalahan yang diajukan oleh Pemohon adalah sebagai berikut:
1. Bahwa Pasal 64 UU Pendidikan Tinggi bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4), Pasal 31 ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945, karena Otonomi Perguruan Tinggi di bidang akademik dan non-
akademik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64: (a) membuka peluang dan melegitimasi perguruan tinggi untuk menerapkan komersialisasi pendidikan tinggi; (b) membuka kesempatan kepada perguruan tinggi untuk
mengelola
keuangan
seperti
sebuah
(c) penyerahan otonomi non-akademik kepada
sebuah
korporasi;
PT badan hukum
merupakan bentuk pelepasan tanggung jawab dan kontrol Negara terhadap pendidikan tinggi yang berkeadilan dan diskriminatif, sehungga bertentangan dengan UUD NRI 1945 Pasal 31 ayat (1); dan (d) membuka kesempatan kepada perguruan tinggi untuk melakukan abuse of power
Comment [A1]: non-akademik
2 dalam bidang ketenagaan karena pegawai perguruan tinggi akan tunduk kepada perguruan tinggi sebagaimana ditetapkan dalam UUD NRI 1945 Pasal 28 D ayat (1); dan Pasal a quo melanggar Pasal 28 C ayat (1) karena tidak memberikan kesempatan yang sama kepada setiap warganegara untuk menikmati pendidikan tinggi. 2. Bahwa Pasal 65 ayat (1) sepanjang frasa “atau dengan membentuk PTN badan hukum” serta ayat (3) dan ayat (4) UU Pendidikan Tinggi bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4), Pasal 31 ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945, karena: (a) otonomi Perguruan Tinggi menjadikan pendidikan tinggi barang publik (public good)
yang
merupakan
fungsi
dan
tanggungjawab
Pemerintah.
Penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh PTN badan hukum menjadikan pendidikan tinggi barang privat, sehingga bertentangan dengan amanat Pasal 31 ayat (2) UUD NRI 1945; (b) bahwa bentuk PT Badan Hukum Pendidikan sudah dinyatakan Mahkamah bertentangan dengan UUD NRI 1945 dengan Putusan Perkara No. 11-14-21-126-136 PUU-VII-2009; (c) bahwa pemberian otonomi dapat menimbulkan praktek komersialisiasi yang dilakukan oleh pengelola PTN; (d) bahwa pemberian otonomi kepada perguruan tinggi negeri terutama di bidang keuangan berpotensi memberikan kewenangan kepada institusi perguruan tinggi untuk memungut dan memberlakukan berbagai bentuk biaya pungutan kepada mahasiswa (masyarakat) dan dapat menyulitkan akses masyarakat ekonomi lemah, sehigga bertentangan dengan ketentuan Pasal 28 C ayat (1); dan (e) bahwa pemberian otonomi kepada PTN yang menerapkan Pola Pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU) berarti memberikan kemandirian pengelolaan dibidang keuangan oleh PTN belum tentu menyediakan pendidikan murah bagi masyarakat, sehingga bertentangan dengan Pasal 31 ayat (23) UUD 1945. 3. Bahwa Pasal 86 ayat (1) UU Pendidikan Tinggi bertentangan dengan Alinea IV Pembukaan dan Pasal 31 ayat (1) dan ayat (5) UUD 1945, karena: (a) Fasilitasi dan pemberian insentif kepada dunia usaha, masyarakat, dan perorangan untuk memberikan bantuan kepada Perguruan Tinggi telah melanggar pokok fikiran dalam Alinea IV tentang filosofi pendidikan nasional; (b) mereduksi tanggung jawab negara atas
3 pendidikan dengan memberi kesempatan kepada dunia usaha dan industri
untuk
terlibat
dalam
pendanaan
pendidikan
tinggi:
(c) menyebabkan dekonstruksi pada dunia pendidikan tinggi Indonesia, dari pembentukan pendidikan tinggi yang berkualitas menjadi pendidikan tinggi yang menerapkan pradigma dunia usaha yang mengutamakan profit oriented; (d) Pasal a quo akan berakibat pada perubahan kurikulum Perguruan Tinggi yang lebih disesuaikan dengan kebutuhan dunia usaha dan dunia industri. 4. Bahwa Pasal 90 UU Pendidikan Tinggi bertentangan dengan Alinea IV Pembukaan, Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28E ayat (1) UUD NRI 1945 karena: (a) menghambat pemenuhan hak konstitusional warga negara atas pendidikan, khususnya pendidikan tinggi yang dijamin dalam Alinea IV Pembukaan UUD NRI 1945, Pasal 28C ayat (1), dan Pasal 28E ayat (1); (b) merupakan pelanggaran kewajiban konstitusional pemerintah untuk menyediakan pembiayaan untuk pendidikan tinggi; dan (c) pemberian izin kepada perguruan tinggi Negara lain di wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia bertentangan dengan kewajiban Negara melalui Perguruan Tinggi Negeri untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi.
B. Keterangan Saksi Sebagai saksi yang ikut terlibat dalam penyusunan rancangan UU Perguruan Tinggi perkenankan saya memberikan keterangan tentang pemikiran dan suasana kebatinan dalam penyusunan pasal-pasal yang dimintakan uji materiil oleh Pemohon sebagai berikut: 1. Penyusunan RUU Pendidikan Tinggi berawal dari penugasan Dirjen Dikti
kepada
Dewan
Pendidikan
Tinggi,
khususnya
Majelis
Pengembangan, Dewan Pendidikan Tinggi. Saksi adalah salah seorang anggota Majelis Pengembangan-DPT. Seingat saya dalam pembahasan tentang RUU Pendidikan Tinggi baik pada Majelis Pengembangan DPT, pada DPT, pada Panja RUU PT yang dibentuk Komisi X DPR, yang seluruhnya berlangsung hampir dua tahun, sejak Oktober 2010 sampai disahkan oleh DPR pada 16 Juli 2012, para penyusun sangat dijiwai oleh semangat ingin melaksanakan cita-cita
4 para pendiri Negara Bangsa dan para penyusun UUD NRI 1945 untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan, termasuk pendidikan tinggi.” 2. Penyusunan UU Pendidikan Tinggi bertujuan untuk menyediakan landasan hukum Kebijakan Umum Pendidikan Tinggi 2012-2014 guna mengatasi masalah-masalah pokok pendidikan nasional Indonesia menjelang ulang tahun ke 100 Negara Republik Indonesia. Seperti diungkapkan oleh Professor Hal Hill dan Dr. Thee Kian Wee dalam laporan mereka “Indonesian Universities: Cathing Up and Opening Up” (Canberra,
Australian
Natonal
University,
2011),
“walau
pun
pendidikan tinggi Indonesia telah menunjukkan kemajuan sangat pesat dalam kurun waktu 6 dekade, dari sekitar 2000 mahasiswa pada 1946 menjadi 4,7 juta pada 2011, dari hanya 2 PT menjadi 3600 PT, namun hanya 5 persen dari seluruh PT nasional yang merupakan PT terbaik Indonesia, dan semuanya PTN. Namun, kemajuan PTN sangat terhambat oleh pengelolaan PT yang komplek, status tidak jelas, dan kurang terkait dan kurang didukung oleh pembiayaan yang sesuai standar global. Tanpa otonomi PTN Indonesia sukar mencapai status sebagai PT kaliber dunia dan bahkan status PT kaliber Asia.” 3. Para penyusun juga sangat menyadari gencarnya gerakan globalisasi pendidikan yang dimotori oleh World Trade Organization (WTO) yang merupakan upaya untuk mendorong komersialisasi dan komoditisasi sektor jasa termasuk 4 bidang layanan pendidikan yang bertujuan memaksimalisasi
keuntungan
dengan
menjadikan
pelayanan
pendidikan tinggi sebagai jasa yang diperdagangkan (tradable services). Dalam menyikapi globalisasi pendidikan tinggi, para penyusun memperhatikan sekali reaksi keras dari para ahli pendidikan dunia antara lain, Derek Bok sebagaimana tertulis dalam buku terbarunya “Universities in the Marketplace: The commercialization of Higher Education” (2012), dan Phillips G. Altbach dalam artikelnya “Higher Education and the WTO: Globalization Runs Amok” (2003). Kedua ahli pendidikan ini melalui buku dan tulisannya selalu mengingatkan pemerintah negara berkembang akibat merugikan globalisasi
bagi
negara-negara
tersebut.
Altbach,
misalnya,
5 mengingatkan bahwa WTO sedang melakukan kodifikasi regulasi untuk mengatur perdagangan pendidikan tinggi, sehingga nantinya perdagangan pendidikan tinggi diatur sama dengan perdagangan pisang serta komoditi lainnya. Kodifikasi tersebut akan sangat membelenggu kebebasan suatu Negara dalam merumuskan tugas dan fungsi perguruan tinggi dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi
serta
menanamkan
nilai-nilai
luhur
bangsa
melalui
pendidikan tinggi. Globalisasi pendidikan sudah melanda Indonesia sejak ditetapkannya UU No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang menetapkan bidang usaha yang tertutup dan terbuka untuk penanaman modal asing (Pasal 13 ayat 1) dan PP 36 tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka untuk Penanaman Modal. Dalam Daftar tersebut dicantumkan Bidang Pendidikan yang Terbuka untuk Penenaman Modal adalah: (1) Pendidikan Nonformal; (2) Pendidikan Anak Usia Dini; (3) Pendidikan Dasar dan Menengah; dan (4) Pendidikan Tinggi. Karena itu bila UU Pendidikan Tinggi tidak mengatur ketentuan tentang perguruan tinggi asing di wilayah NKRI, globalisasi pendidikan tinggi akan menimbulkan kerugian yang lebih besar karena pelaksanaan jasa pendidikan tinggi harus menerapkan regulasi yang ditetapkan WTO. Disamping itu Indonesia tidak akan dapat menghambat dampak merugikan dari “illicit trade” atau perdagangan gelap pendidikan tinggi, karena yang beroperasi di Indonesia kebanyakan adalah PT tanpa akreditisasi. 4. Karena
itu
sebagian
besar
anggota
Majelis
Pengembangan
Pendidikan Tinggi Indonesia lebih menerima pandangan Organisasi Pendidikan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) yang lebih mendorong internasionalisasi pendidikan sebagai gerakan kebudayaan untuk meningkatkan mutu pendidikan negara-negara berkembang melalui kerjasama lembaga pendidikan lintas negara. Jadi semangat UU Pendidikan tinggi adalah anti komersialisasi dan anti komoditisasi pendidikan tinggi, bukan sebaliknya seperti pendapat Pemohon. 5. Pemberian otonomi perguruan tinggi secara selektif tidak mengubah hakekat pendidikan tinggi menjadi private good. Dalam menilai
6 pendidikan apakah public good atau private good penyusun UU Pendidikan Tinggi berpegang pada pandangan para penyusun UUD NRI 1945 sebagaimana tercantum dalam risalah Sidang BPUPKI tanggal 16 Juli 1945 dan Risalah Sidang Panitia Perisapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945 ketika menyusun Ps 31 UUD 1945. Ketua PPKI Ir. Soekarno pada Sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 menyatakan “pelaksanaan tugas pemerintah dalam memenuhi hak warganegara atas pendidikan dilakukan dengan menerapkan “leerplicht” atau wajib belajar.” (Setneg, 1998: 557). Dalam Amandemen Keempat UUD NRI 1945 Penjelasan UUD 1945 yang mengacu pada kesimpulan Rapat PPKI tanggal 18 Agustus dijadikan norma dalam Pasal 31 ayat (2) yang menetapkan “Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.” Berdasarkan ketentuan UUD NRI 1945 Pasal 31 ayat (2) tersebut yang diartikan sebagai barang publik adalah pendidikan wajib 9 tahun atau 12 tahun seperti diterapkan dibeberapa provinsi. Kecuali di Negara yang menerapkan faham welfare state seperti Negara-negara Skandinavia atau Negara sosialis seperti Kuba, di banyak negara pendidikan tinggi dipandang sebagai quasi-public good. Menyadari bahwa penetapan pendidikan sebagai public
good
perlu
dukungan
pajak
tinggi,
yang
tidak
dapat
dilaksanakan di Indonesia, Pemerintah mengundang masyarakat untuk ikut mendirikan sekolah mulai dari tingkat PAUD sampai pendidikan tinggi. Pandangan ini dapat dibaca dalam “Garis-Garis Besar
Pengajaran
dan
Pendidikan”
yang
merupakan
Naskah
Akademik penyusunan Pasal 31 UUD 1945. Pembiayaan pendidikan tinggi tidak sepenuhnya merupakan tanggung jawab pemerintah, tetapi kewajiban bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Bahwa pendidikan tinggi bukan sepenuhnya public good dibuktikan
dengan
dominannya
peranan
masyarakat
dalam
penyelenggaraan pendidikan tinggi. Di Indonesia saat ini terdapat 3.600 Perguruan Tinggi, dan dari jumlah tersebut hanya terdapat 92 PTN, atau sekitar 2,5 persen. Sisanya, 97,5 persen, adalah milik swasta. Dugaan saya pengeluaran Pemerintah dan pemerintah daerah
7 untuk pendidikan tinggi hanya sekitar 25 persen dari pengeluaran nasional. Walau pun demikian anggaran pendidikan tinggi yang disediakan pemerintah sebesar Rp. 39 Trilyun digunakan untuk membiayai 92 PTN dan memberi bantuan dosen, beasiswa, dan subsidi kepada PTS. 6. Pemerintah
melaksanakan
tugas
konstitusional
“mencerdaskan
kehidupan bangsa” antara lain melalui: (a) Meningkatkan mutu dan relevansi
pendidikan
tinggi;
(b)
Memperluas
keterjangkauan
pendidikan tinggi dengan meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi; dan (c) Menyeleraskan komposisi lulusan PT dengan Rencana Jangka Panjang Pembagnunan Nasional (RPJPN) 2004-2025 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 dan Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Pada 2012 APK Indonesia baru mencapai 27 persen, masih tertinggal dari Negara maju Asia Tenggara. APK Malaysia, 38 persen, Muangthai 46 persen, dan Filipina, 60 persen. Pendidikan Tinggi Indonesia yang terlalu menitikberatkan pada program studi akademik (87,5 persen) dan sisanya 12,5 persen menempuh pendidikan vokasi yang sangat diperlukan oleh industri yang sedang didorong pertumbuhannya oleh Pemerintah.
Akibatnya
posisi
teknisi
yang
diperlukan
untuk
pembangunan industri nasional diisi oleh teknisi asing, yang saat ini sudah berjumlah 86.000 orang. Pandangan Pemohon bahwa UU Perguruan Tinggi hanya menghasilkan “janitor, operator, dan manager yang
diperlukan
perkembangan
dunia
kebutuhan
usaha”
jelas
bertentangan
tenaga
kerja
nasional
dengan
sebagaimana
ditunjukkan oleh statistik tenaga kerja nasional. Menurut Badan Pusat Statistik pada 2012 terdapat 110,8 juta pekerja di Indonesia dan dari jumlah tersebut yang bekerja di sektor publik atau Pemerintah kurang lebih 5 persen atau 5,5 juta PNS dan non-PNS. Kebutuhan tenaga kerja sebanyak 3-3,5 juta orang pertahun dalam berbagai disiplin ilmu, teknologi dan kompetensi yang diperlukan industri masa depan jelas merupakan salah satu tugas utama Perguruan Tinggi nasional. Kalau pemerintah hanya menyelenggarakan pendidikan tinggi akademik
8 seperti yang diinginkan Pemohon, maka kebutuhan industri akan tenaga teknisi yang berjumlah sekitar 75-80 persen dari kebutuhan tenaga kerja per tahun akan diisi oleh tenaga kerja asing yang tidak bisa dihambat kedatangannya ke Indonesia sejak Indonesia menjadi anggota World Trade Organization (WTO) dan menandatangani Pakta Perdagangan Bebas di Bogor pada 2007. 7. Untuk menyediakan lulusan PT yang sesuai dengan kebutuhan industri nasional Pemerintah pada 2025 berencana meningkatkan APK dua kali lipat dari APK 1012. Artinya jumlah mahasiswa yang masuk PT akan mencapai 13 juta mahasiswa pada 2025, sehingga menghasilkan kira-kira 3 juta lulusan PT per tahun. Untuk mencapai tujuan ini diperlukan biaya Rp. 223 Trilyun per tahun buat menyediakan tingkat pendidikan tinggi dengan standar mutu nasional. Untuk mencapai pendidikan tinggi dengan mutu setingkat pendidikan tinggi Malaysia dan Muangthai diperlukan anggaran minimal 2 kali jumlah tersebut. Untuk mencapai pendidikan tinggi bermutu setingka Singapura diperlukan biaya 3 kali standar biaya nasional. Untuk mendukung biaya pendidikan tinggi yang besar itu dibanyak Negara Pemerintah memfasilitasi sumbangan pembiayaan dari dunia usaha, terutama untuk penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 8. Kesimpulan Pemohon bahwa Pasal 64, Pasal 65, Pasal 86, dan Pasal 90 UU Pendidikan Tinggi merupakan pelepasan tanggung jawab Negara dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi juga sangat bertentangan dengan kenyataan bahwa pembiayaan yang disediakan pemerintah dalam kurun waktu 11 tahun telah meningkat 30 kali lipat. Antara 2001 sampai 2012 pengeluaran Pemerintah Indonesia untuk pendidikan telah meningkat lebih dari 30 kali lipat, dari Rp. 9,701 Trilyun pada 2001 menjadi Rp. 281 Trilyun pada 2012. Dari jumlah tersebut Rp. 180 Trilyun dialokasi untuk pendidikan dasar dan menengah yang telah diserahkan kewenangannya ke Daerah. Sisanya sebesar Rp. 110 Trilyun dikelola oleh 12 kementerian dan lembaga yang
mempunyai
program
pendidikan
tinggi
dan
pendidikan
kedinasan. Pada 2012 dari anggaran yang dikelola Kempdikbud
9 adalah Rp. 69 T, diantaranya sejumlah Rp 29 Trilyun dialokasikan untuk pendidikan tinggi. Pada APBN 2013 pagu anggaran untuk bidang pendidikan berjumlah Rp. 320 Trilyun. Dari alokasi tersebut Rp. 210 Trilyun ditransfer ke Daerah untuk penyelenggaraan PAUD dan pendidikan
menengah.
Alokasi
anggaran
pendidikan
untuk
Kemendikbud berjumlah Rp. 74,08 Trilyun, termasuk Rp. 39,08 Trilyun untuk Pendidikan Tinggi. Artinya biaya pendidikan yang disediakan oleh Pemerintah per mahasiswa untuk 2,5 juta mahasiswa PTN dan sebagian PTS lebih kurang dari Rp. 15,6 juta per mahasiswa. Jumlah biaya Rp. 15,6 juta per mahasiswa masih belum memenuhi satuan biaya rerata per mahasiswa sebesar Rp. 30 juta per mahasiswa per tahun. Dibandingkan dengan satuan biaya pendidikan tinggi per mahasiswa di Malaysia misalnya, pengeluaran Pemerintah untuk pendidikan
tinggi
per
mahasiswa
baru
mencapai
sepertiga
pengeluaran di Negara jiran. 9. Salah satu cara untuk memperbaiki manajemen keuangan PTN adalah dengan menerapkan best practices managemen keuangan korporasi, bukan dengan menjadikan perguruan tinggi negeri suatu korporat. Asas
keuangan
korporat
seperti
cost
effectiveness,
efisen,
transparansi, dan akuntabel, saat ini dipratekkan di banyak organisasi pemerintahan, bukan hanya PTN otonom. Para penyusun UU Pendidikan Tinggi menganut faham bahwa pelayanan pendidikan harus dilaksanakan secara nirlaba. Karena itu semangat UU Pendidikan Tinggi menentang pembentukan korporasi Perguruan Tinggi yang bertujuan mencari keuntungan dilarang di Indonesia. 10. Pandangan Pemohon bahwa pemberian otonomi Perguruan Tinggi membuka peluang terjadinya “abuse of power” karena adanya dua sistem keuangan dan dua sistem kepegawaian berbeda dari pandangan
para
penyusun
UU
Pendidikan
Tinggi.
Reformasi
kepegawaian pendidik dan tenaga kependidikan perguruan tinggi negeri adalah amanat UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 52 ayat (2), yang berbunyi “dosen diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.” RUU Aparatur Sipil Negara yang sedang dalam dalam proses
10 penyelesaian menetapkan adanya dua jenis kepegawaian negeri yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Negeri dengan Perjanjian Kerja (PNPK) pada insntansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Karena RUU Aparatur Sipil Negara setelah disahkan akan menjadi lex specialis hukum kepegawaian Indonesia, maka semua ketentuan tentang kepegawaian pada instansi Pemerintah harus mengacu pada UU Aparatur Sipil Negara. Jadi pandangan bahwa akan terjadi kerancuan hukum, apalagi abuse of power karena pemberian otonomi Perguruan Tinggi seperti pandangan Pemohon, adalah kesimpulan yang kurang didukung oleh fakta. Penyusunan pasal tentang ketenagaan mengacu pada UU Guru dan Dosen, dan UU No 8 tahun 1976 jo UU No 43 tahun 1999 mau pun pada RUU Aparatur Sipil Negara. 11. Ketika menyusun UU Pendidikan Tinggi para penyusun sangat menyadari adanya Putusan Mahkamah Konstitusi dengan Putusan No. 11-14-21-126-136 PUU-VII-2009. Namun para penyusun menyadari pula bahwa amar keputusan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan karenanya dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, karena UU BHP memaksakan penyeragaman semua lembaga penyelenggara pendidikan formal mulai tingkat PAUD sampai PT yang didirikan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat menjadi Badan Hukum Pendidikan. Penyeragaman badan hukum itu yang bertentangan dengan hak asasi atas kebhinnekaan lembaga pendidikan yang sudah dikenal dan diakui oleh masyarakat Indonesia. Sebaliknya UU Pendidikan Tinggi merupakan pelaksanaan cita-cita penyusun UUD 1945 sebagaimana disampaikan oleh Ir. Soekarno, Prof. Dr. Soepomo, dan Mr. Soemitro Kolopaking, anggota-angota BPUPKI dalam sidang–sidang BPUPKI tanggal 16 Juli 1945, mau pun dalam sidang PPKI pada 17 Agustus 1945. Secara lebih eksplisit disampaikan oleh Prof Dr. Soepomo dan Mr. Soemitro Kolopaking dalam Kongres Pendidikan Nasional Kedua di Surakarta pada 4-6 Agustus 1947.
11 12. Prof. Dr. Soepomo dalam sidang BPUPKI risalah rapat-rapat BPUPKI ketika membahas rancangan UUD 1945 sebagaimana yang dimuat dalam Penjelasan UUD 1945 menyatakan sebagai berikut: “Undangundang dasar negara mana pun tidak dapat dimengerti kalau hanya dibaca teksnya saja. Untuk mengerti sungguh-sungguh maksudnya UUD dari suatu Negara, kita harus mempelajari juga bagaimana terjadinya teks itu, harus diketahui keterangan-keterangan dan juga harus diketahui dalam apa teks itu dibikin.” 13. Untuk memahami pasal-pasal dalam UUD 1945 yang dipakai dalam perkara ini perlu dibaca risalah sidang-sidang BPUPKI tanggal 16 Juli 1945, khususnya naskah akademis penyusunan Ps 31 UUD NRI 1945 yang berjudul “Garis Garis Besar Pendidikan dan Pengajaran,” dan Risalah Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945 (Setneg, 1998: 557), dan Sidang-Sidang PPKI ketika menyusun UUD 1945. Untuk memahami bagaimana suasana kebatinan dari UUD NRI 1945 mungkin perlu digali notulen Sidang Panja Perubahan UUD 1945 dan Sidang Komisi dan Sidang Pleno MPR masa bakti 1998-2004, ketika UUD NRI 1945 disusun. Untuk memahami kerangka pemikiran dan suasana kebatinan yang mendasari penyusunan UU No 12 tahun 2012, notulen rapat Majelis Pengembangan Pendidikan, Dewan Pendidikan Tinggi, risalah rapat Panja RUU PT Komisi X, notulen Rapat Komisi X, dan notulen Rapat Pleno DPR masa bhakti 2010-2014, adalah sumber yang harus dibaca oleh setiap orang yang ingin memahami semangat kebatinan yang mendasari penyusunan UU PT. 14. Menurut pendapat saya argumentasi-argumentasi yang dibangun oleh Para Pemohon untuk membuktikan pelanggaran pasal-pasal dalam UU No 12 tahun 2012 terhadap Ps 28C, 28D, 28I, dan 31 UUD NRI 1945 tidak dilandasi oleh pemahaman yang akurat dan benar tentang pasal-pasal mau pun semangat kebatinan para penyusun UUD 1945 mau pun UUD UUD NRI 1945. Misalnya ketika para Pemohon menyatakan bahwa UU No 12 tahun 2012 Pasal 65 ayat (1) sepanjang frasa “… atau dengan membentuk PTN badan hukum … “serta ayat (3) dan (4) bertentangan dengan ketentuan yang tercantum dalam
12 Alinea IV Pembukaan UUD karena Para Pemohon menganggap dengan menjadi badan hukum, maka serta merta PTN akan berubah menjadi badan hukum usaha yang bertujuan mengkomersialkan layanan pendidikan tinggi. Hukum ketatanegaraan Indonesia yang diacu oleh penyusun UU Pendidikan Tinggi, mengenal adanya beberapa bentuk badan hukum yaitu Negara, provinsi, kabupaten, kota,
dan
badan
dan
lembaga
dibentuk
oleh
penyelenggara
kekuasaan negara dengan undang-undang seperti Bank Indonesia. PTN badan hukum yang ditetapkan dalam UU pendidikan jelas bukan badan hukum usaha sebagaimana dimaksud dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 1653. 15. Dalam penyusunan UU No 12 tahun 2012, khususnya Pasal 64 ayat (1), kami mengikuti pandangan penyusun UUD 1945 sebagaimana disampaikan oleh Ir. Soekarno, Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dalam Sidang Pertama PPKI pada 18 Agustus 1945 bahwa untuk melaksanakan kewajiban konstitutional Pemerintah dalam memenuhi
hak
warganegara
akan
pendidikan,
Pemerintah
melaksanakan leerplicht atau wajib belajar (Setneg, 1998: 557). Sesuai kemampuan keuangan Pemerintah, sejak 2004 Pemerintah menetapkan pendidikan wajib 9 tahun, atau sampai SLTP. Di beberapa daerah misalnya Kalimantan Timur bahkan menetapkan wajib belajar 12 tahun. Pendidikan menengah dan pendidikan tinggi diluar leerplicht 9 tahun statusnya adalah semi public good. 16. Pemenuhan hak konstitusional warganegara akan pendidikan melalui wajib belajar 9 sampai 12 tahun tersebut merupakan pelaksanaan dari Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, khususnya Pasal 26 yang berbunyi sebagai berikut: “Setiap orang berhak mendapat pendidikan. Pendidikan harus gratis, setidak-tidaknya untuk tingkat sekolah rendah dan pendidikan
dasar.
Pendidikan
rendah
harus
diwajibkan.
Pendidikan teknik dan jurusan umum harus terbuka bagi setiap orang, dan pendidikan tinggi harus secara adil dapat diakses oleh semua orang, berdasarkan kepantasan dan kewajaran.”
13 C. Kesimpulan Berdasarkan apa yang saya dengar, saya alami, dan saya ketahui ketika ikut dalam penyusunan UU Pendidikan Tinggi dapat saya rumuskan kesimpulan sebagai berikut: 1. Dalam penyusunan UU Pendidikan Tinggi para penyusun tidak setuju penetapan PTN sebagai badan hukum usaha, tetapi sebagai badan hukum publik yang dibentuk oleh pemegang kekuasaan pemerintahan Negara untuk menjalankan fungsi tertentu pemerintahan atau pelayanan publik. Karena itu pemberian otonomi kepada perguruan tinggi negeri kepada PTN dengan Undang-Undang Pendidikan Tinggi BUKAN merupakan pelepasan
kewajiban
konstitusional
Pemerintah
untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan dalam Alinea IV Pembukaan UUD NRI 1945. Seperti halnya badan hukum publik provinsi, kabupaten dan kota yang diberikan otonomi, PTN yang diberikan otonomi adalah badan hukum publik
yang
dibentuk
menyelenggarakan
layanan
dengan
undang-undang
pendidikan
tinggi.
untuk
Pemberian
otonomi kepada PT tidak melegitimasi komersialisasi pendidikan tinggi, tetapi sebaliknya, MENETAPKAN
perguruan tinggi
sebagai kegiatan NIRLABA, yang melarang komersialisasi pendidikan tinggi. Dengan demikian tidak benar kesimpulan Pemohon bahwa Pasal 65 ayat (1) sepanjang frasa “atau dengan membentuk PTN badan hukum”, serta ayat (3) dan ayat (4) BERTENTANGAN dengan UUD NRI 1945. 2. Pemberian Otonomi kepada PTN merupakan pelaksanaan dari cita-cita founding fathers dan penyusun UUD 1945 sebagaimana diucapkan oleh Prof. Dr. Soepomo dan Prof. Mr. Soenaria Kolopaking dalam Kongres Pendidikan Kedua di Surakarta pada 4-6 Agustus 1945. Prof. Mr. Kolopaking menyampaikan kepada Kongres sebagai berikut: a. Negara
harus
menyelenggarakan
universiteit.
Inisiatitif
partikelir dapat meyelenggarakan Universitteit atau suatu
14 tjabang perguruan tinggi djika dipenuhi sjarat-sjarat jang dtetapkan oleh Negara dengan undang-undang. b. Universiteit negatra dibentuk sebagai badan hukum dengan mempunyai kemerdekaan (otonomi) seluas-luasnya dalam mengabdi pada ilmu pengetahuan. Para penyusun memahami bahwa otonomi Perguruan Tinggi merupakan pelaksanaan Deklarasi UNESCO tentang Kebebasan Akademik
dan
Otonomi
Perguruan
Tinggi
dalam
rangka
Peringatan 40 Tahun Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia di Lima pada 1988. Jadi TIDAK BENAR pandangan Para Pemohon bahwa otonomi perguruan tinggi menghambat pelaksanaan hak warganegara atas pendidikan tinggi. Otonomi perguruan tinggi juga tidak bertujuan mentransformasi pendidikan umumnya dan pendidikan tinggi khususnya menjadi barang privat (private good). Selaku unit pelaksana di bawah Kemendikbud, PTN
adalah
melaksanakan
tetap
milik
kewajiban
Negara
yang
konstitusional
ditugaskan
untuk
pemerintah
untuk
menyelenggarakan pendidikan tinggi. Akses masyarakat ekonomi lemah
terjamin
dengan
mewajibkan
PTN
otonomi
mengalokasikan 20 persen penerimaan mahasiswa per tahun untuk keluarga ekonomi lemah. 3. Pemberian otonomi pendidikan tinggi kepada PTN adalah dalam rangka memenuhi hak atributif perguruan tinggi sebagai lembaga ilmu pengetahuan, seni, dan budaya. Otonomi bidang keuangan dan ketenagaan diberikan agar perguruan tinggi tidak “terpasung” oleh aturan perbendaharaan Negara yang sangat ketat, sehingga menghambat pelaksanaan fungsi tridharma perguruan tinggi. 4. TIDAK BENAR pendapat Para Pemohon bahwa pengaturan perizinan dan persyaratan untuk pendirian Perguruan Tinggi Asing
di
wilayah
NKRI
menghambat
pemenuhan
hak
warganegara akan pendidikan tinggi. UU Penanaman Modal dan PP No 36 tahun 2010 telah menetapkan pendidikan tinggi sebagai bidang usaha yang terbuka untuk penanaman modal.
15 Apabila UU Pendidikan Tinggi tidak mengatur persyaratan dan izin masuknya PT Asing di wilayah Indonesia, diperkirakan akan terjadi “illicit trade of higher education” karena lembaga PT asing yang masuk ke wilayah Indonesia menjadi bebas, dan lembaga PT Asing yang berdiri di Indonesia bukannya Harvard University Cabang Padang atau Oxford Universiy Cabang Bukit Tinggi, tetapi perguruan tinggi tanpa akreditisasi di negaranya sendiri. Menghadapi pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan, PT Indonesia perlu mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan keperluan knowledge industry guna merealisasikan cita-cita bangsa untuk menjadikan Indonesia ekonomi terbesar ketujuh dunia. Sebab kalau tidak, berjuta-juta kesempatan kerja yang diciptakan oleh dunia usaha akan diisi oleh lulusan PT Negara lain yang tidak dapat dilarang masuknya ke Indonesia, terutama untuk mengisi pekerjaan yang keahliannya tidak dihasilkan oleh PT nasional. Jadi, pandangan Pemohon bahwa perubahan kurikulum yang lebih beroritentasi pada lapangan kerja bukan merupakan persekongkolan antara PT dengan pemilik modal, tetapi merupakan misi sakral lembaga pendidikan tinggi yang menentukan nasib bangsa Indonesia di masa depan. Demikian pula TIDAK BENAR pandangan Para Pemohon bahwa UU PT Pasal 90 telah menghambat pemenuhan hak konstitusional warga negara atas pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, yang dijamin dalam Alinea IV Pembukaan UUD NRI 1945, Pasal 28C ayat (1), dan Pasal 28E ayat (1). Para penyusun UU Perndidikan Tinggi berpendapat menjamin hak warganegara untuk mendapat pendidikan tinggi tidak sama dengan menjamin kebebasan warganegara untuk memperoleh pendidikan tinggi yang diperlukan untuk membangun potensi setiap warganegara setinggi-tingginya. Demikianlah keterangan saya sebagai saksi berdasarkan fakta dan kejadian yang saya alami dan saya ketahui sebagai Saksi yang ikut serta dalam
16 penyusunan UU Pendidikan Tinggi. Terima kasih atas perhatian Ketua dan anggota Majleis Hakim terhormat.
Jakarta, 20 Februari 2013 Saksi Pemerintah,
Sofian Effendi
TANYA-JAWAB SEPUTAR UU DIKTI NOMOR 12 TAHUN 2012 oleh Prof. Ir. Nizam, M.Sc., Ph.D. (Sekretaris DPT Ditjen Dikti)
1. Apakah UU Pendidikan Tinggi (UU Dikti) Konstitusional? UU Dikti bersifat konstitusional karena disusun, dan disahkan oleh lembaga dan melalui proses yang sah secara konstitusional.
UU Dikti juga disusun atas dasar perintah konstitusi (UUD 1945 Pasal 31 ayat 3 dan 5) dan melengkapi/komplementer dengan UU Sisdiknas, di mana ada amanat bagi Pemerintah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta humaniora yang diamanatkan sebagai pencerdasan kehidupan bangsa dan membangun peradaban.
UU Dikti juga tidak memuat materi yang melanggar dasar konstitusi (UUD 1945).UU Diktimenjamin hak–hak warga negara yang diatur dalam konstitusi seperti hak berserikat dan berkumpul (Pasal 28 UUD 1945) dan hak-hak lainnya, baik institusional maupun individual. Karena itu, UU Dikti ini bersifat konstitusional.
2. Betulkah UU Pendidikan Tinggi Pro Liberalisasi dan Komersialisasi Pendidikan?
UU Dikti secara jelas mempertegas tanggung jawab Negara dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Saat ini gejala liberalisasi dan komersialisasi pendidikan semakin kuat, antara lain ditandai dengan penyelenggaraan pendidikan untuk mencari keuntungan, pungutan biaya pendidikan yang tidak diatur, kurangnya perlindungan hak-hak akses masyarakat untuk mendapatkan pendidikan tinggi, tidak kuatnya peran negara dalam mengatur sistem pendidikan tinggi dan melindungi publik, keluarnya sektor pendidikan dari daftar negatif investasi, dsb. Menguatnya mekanisme pasar bebas dalam penyelengaraan pendidikan tinggi di tengah kesenjangan sosial ekonomi dan daya beli masyarakat yang rendah akan berdampak pada semakin lebarnya kesenjangan sosial-ekonomi masyarakat. Peran Pemerintah sebagai regulator dan penanggung jawab penyelenggaraan sistem pendidikan haruslah dipertegas melalui Undang-undang. UU Dikti justru disiapkan untuk mengerem laju liberalisasi dan komersialisasi pendidikan tinggi di Indonesia. UU Dikti menegaskan bahwa institusi pendidikan tinggi harus bersifat nirlaba, tidak boleh dilepaskan pada mekanisme pasar bebas, tetapi lebih pada fungsi sosial pengemban amanah konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun peradaban bangsa. Menguatnya anarkisme pasar bebas pendidikan tinggi menjadikan anak-anak orang miskin akan selamanya sulit memasuki gerbang perguruan tinggi. Dapat kita bayangkan seandainya mereka adalah anak-anak emas potensial bagi masa depan Indonesia, maka negara-bangsa ini jelas akan rugi besar di masa mendatang. Dengan tidak adanya payung regulasi yang kuat yang dimiliki oleh Pemerintah maka laju liberalisasi dan komersialisasi yang dilakukan oleh penyelenggara pendidikan tinggi di Indonesia akan sulit untuk dibendung. Karena itu, melalui UU Dikti inilah nantinya liberalisasi dan komersialisasi pendidikan tinggi bisa direm lajunya oleh Pemerintah bersama-sama
1
3.
PT dan masyarakat.Fungsi Pemerintah sebagai penyelenggara sistem pendidikan tinggi dipertegas, regulasi sistem dibangun, dan afirmasi yang dibutuhkan untuk memastikan akses masyarakat pada pendidikan tinggi agar melahirkan generasi emas bagi kemajuan bangsa dapat dilakukan. UU Dikti menekankan prinsip nirlaba dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, mengatur tentang penetapan biaya satuan pendidikan, mengharuskan penerimaan mahasiswa baru tidak boleh dikomersialkan, serta hal-hal lain yang meregulasi sistem pendidikan tinggi agar tidak liberal dan tidak komersial. Apakah UU Pendidikan Tinggi Menghalangi atau Memperkecil Peluang Masyarakat Miskin dan Kelas Menengah ke Bawah untuk Memperoleh Pendidikan Tinggi di Indonesia? UU Pendidikan Tinggi justru memberikan perlindungan dan jaminan bagi kalangan masyarakat miskin dan kelas menengah ke bawah untuk bisa memasuki perguruan tinggi di Indonesia. Dengan tidak adanya payung regulasi yang bagus dalam mengatur penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia, siapa yang bisa menjamin masyarakat kalangan menengah ke bawah mendapatkan akses masuk ke PTN dan PTS yang bagus? Siapakah yang berani bertaruh dan bisa menjamin agar setiap PTN dan PTS selalu memberikan kuota yang memadai agar akses masyarakat miskin kelas menengah ke bawah bisa bersekolah di PTN dan PTS favorit? Adanya UU Pendidikan Tinggi jelas diperlukan untuk menjamin adanya keterjangkauan dan akses masyarakat miskin kelas menengah bawah agar mereka bisa mengembangkan potensinya bagi kemajuan bangsa dan negara kita di masa depan. UU Dikti mengamanahkan adanya afirmasi untuk menjadikan pendidikan tinggi terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat secara berkeadilan, seperti pembebasan biaya seleksi masuk PTN, keharusan PTN mencari dan menjaring calon mahasiswa berpotensi yang kurang mampu secara ekonomi dan dari daerah 3T (terluar, terdepan, tertinggal) sekurangnya 20%, dan biaya pendidikan tinggi yang ditanggung mahasiswa dipungut sesuai dengan kemampuan mahasiswa.
4. Apakah UU Pendidikan Tinggi Sangat Etatis?
UU Dikti menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan perlindungan masyarakat, otonomi perguruan tinggi, dan tanggung jawab Negara. Hal itu barangkali yang memberi kesan UU Dikti bersifat etatis. Hal yang harus dipahami adalah tidak semua Etatisme bersifat negatif. Etatisme yang negatif adalah kalau kekuasaan yang diatur, dimiliki dan dijalankan oleh Negara melalui Pemerintah dilakukan dengan pola otoritarianisme, totalitarianisme dan fasisme. Etatisme diperlukan untuk mencegak ultra liberalisme yang berujung pada “anarkhisme”. Menguatnya komersialisasi dan liberalisasi dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi yang cenderung merugikan masyarakat maka Etatisme sangat diperlukan untuk menjamin dan melindungi kepentingan publik. Tidak benar bahwa UU Dikti sangat etatis, karena otonomi Pendidikan Tinggi tetap dijamin bahkan dilindungi oleh Negara.
2
Menguatnya kebutuhan penyelenggaraan pendidikan tinggi di satu sisi dan di sisi lain kecenderungan meningkatnya biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat yang hendak menempuh pendidikan tinggi, dimana mereka mengeluhkan hal tersebut. Etatisme di sini bukan sebagai bentuk pengekangan ataupun campur tangan secara berlebihan dari negara, namun Etatisme justru dijalankan lebih sebagai bentuk tanggung jawab negara/Pemerintah untuk mengelola pendidikan tinggi sebagaimana amanah konstitusi. Fakta obyektif menunjukkan bahwa kondisi PTN dan PTS akan sulit berkembang tanpa campur tangan Pemerintah. Bahkan banyak PTN dan PTS yang menunjukkan ketergantungan yang tinggi kepada Pemerintah. Di sisi lain, belum ada payung hukum yang kuat dimana Pemerintah dalam memfasilitasi dan mendorong kemajuan PTN dan PTS serta memberikan perlindungan kepada kepentingan publik. Etatisme memastikan tanggung jawab Negara dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi termasuk dalam pendanaan PTN maupun PTS; melindungi masyarakat dari komersialisasi dan liberalisasi pendidikan tinggi; melindungi masyarakat dari penyelenggaraan pendidikan tinggi yang tidak bermutu, jual-beli ijazah dan gelar; memperluas akses hingga ke Kabupaten/Kota dan daerah tertinggal, terdepan, dan terluar; serta melakukan afirmasi jaminan hak akses masyarakat yang berpotensi namun kurang mampu secara ekonomi untuk mendapatkan pendidikan tinggi.
5. Betulkah UU Pendidikan Tinggi tidak memberi otonomi yang seharusnya (otonomi
setengah hati)? UU Dikti mengamanahkan pada Pemerintah untuk memfasilitasi otonomi PT agar bermanfaat bagi masyarakat, Negara, dan ilmu pengetahuan. Bukan otonomi untuk otonomi itu sendiri. Sehingga tidak benar kalau dikatakan otonomi setengah hati, justru Pemerintah memberikan kepercayaan sepenuhnya bagi kampus dalam mengembangkan otonomi akademik. UU Dikti justru mengamanahkan dan menjamin otonomi perguruan tinggi, kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. Kebebasan akademik merupakan prinsip penting dalam pendidikan tinggi, agar ilmu pengetahuan dan teknologi bisa berkembang dengan baik. Namun Otonomi harus disertai dengan akuntabilitas atau otonomi yang bertanggung jawab dan transparan kepada publik. Karena otonomi yang tidak bertanggung jawab (tanpa akuntabilitas) justru dapat disalahgunakan dan bahkan dapat tidak sejalan dengan kepentingan bangsa.UU Dikti mempertegas aspek otonomi akademik dan non-akademik serta akuntabilitasnya. Kedua jenis otonomi tersebut harus dijalankan dengan arif dan bijaksana, transparan, bertanggung-jawab dan memberikan kemanfaatan seluas-luasnya bagi masyarakat. Oleh karena itu, apa yang dikatakan sebagian kalangan bahwa UU Dikti ini cenderung memberikan otonomi setengah hati, adalah tidak tepat. Yang lebih tepat adalah “otonomi yang bertanggung jawab” sesuai dengan kapasitas (status) dari masing-masing PT. Hal ini sesuai dengan amar putusan Mahkamah Konstitusi agar tidak terjadi penyeragaman bentuk perguruan tinggi. Keragaman perguruan tinggi sangat dihargai dalam UU Dikti, termasuk dalam menyelenggarakan otonomi perguruan tinggi. Adanya kemampuan yang berbeda dari masing-masing PT diwadahi melalui pilihan ragam bentuk tata kelola PTN,
3
sementara untuk PTS bentuk tata kelola diserahkan sepenuhnya pada badan penyelenggaranya.
6. Mampukah UU Pendidikan Tinggi mengatasi mahalnya biaya pendidikan?
Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) dibuat untuk mengatasi mahalnya biaya pendidikan tinggi. Memang biaya pendidikan tinggi yang bermutu di manapun di dunia relatif cukup tinggi dibanding pendidikan dasar dan menengah. Oleh karena itu harus ada regulasi dan afirmasi agar hak akses warga negara tidak terhambat karena alasan ekonomi. Banyak pasal di dalam UU Dikti yang mengatur dan memastikan perlindungan hak akses pendidikan tinggi tersebut. Antara lain memastikan tanggung jawab Pemerintah dalam pendanaan pendidikan tinggi; penetapan standar satuan biaya operasional pendidikan oleh Pemerintah;menetapkan biaya yang ditanggung mahasiswa disesuaikan dengan kemampuan ekonomi mahasiswa; pembebasan biaya seleksi masuk PTN; keharusan 20% mahasiswa baru PTN dari mahasiswa berpotensi yang kurang mampu secara ekonomi; larangan komersialisasi penerimaan mahasiswa baru; keharusan bagi PT untuk tidak mencari keuntungan melalui pendidikan (bersifat nirlaba); kewajiban bagi Pemerintah untuk menyediakan biaya operasional PTN; penyediaan beasiswa, bantuan biaya pendidikan, kredit mahasiswa tanpa bunga; pendanaan pendidikan tinggi oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; mendorong partisipasi dunia usaha dan dunia industri untuk membantu perguruan tinggi; dsb.
7. Apakah UU Pendidikan Tinggi diskriminatif terhadap PTS?
PTN didirikan dan diselenggarakan oleh Pemerintah, sementara PTS didirikan dan diselenggarakan oleh masyarakat, sehingga pada dasarnya kedua lembaga tersebut berbeda. Tanggung jawab utama tentunya berada pada pendiri/penyelenggara perguruan tinggi. Meskipun demikian, karena PTS juga mengemban misi pencerdasan kehidupan bangsa, maka UU Dikti mengamanahkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk turut serta membiayai PTS, antara lain dengan pemberian tunjangan jabatan dosen, tunjangan kehormatan profesor, dana penelitian, beasiswa bagi dosen untuk studi lanjut, beasiswa bagi mahasiswa, bahkan bantuan untuk biaya investasi dan pengembangan. Perhatian dan dukungan Negara untuk PTS semacam ini jarang sekali dijumpai di negara lain. Dalam hal otonomi akademik baik PTN maupun PTS memiliki kedudukan yang sama. Dalam hal otonomi tata kelola, PTN diatur oleh Pemerintah selaku pendiri dan penyelenggara, sementara PTS diserahkan sepenuhnya pada masing-masing badan penyelenggaranya.
8. Apakah UU Pendidikan Tinggi hanya pepesan kosong (terlalu banyak memberikan
janji, namun sulit diwujudkan)? UU Dikti disusun untuk mengantisipasi peluang dan tantangan pembangunan bangsa Indonesia di masa kini dan masa depan. Oleh karena itu banyak hal yang hendak dikembangkan untuk memperkuat pendidikan tinggi yang bermutu di Indonesiadan memperluas akses bagi seluruh warga masyarakat. UU Dikti ini bukan pepesan kosong, di dalamnya ada kewajiban Pemerintah untuk menyediakan biaya operasional Perguruan Tinggi Negeri (PTN), mengalokasikan biaya penelitian sebesar 30% BOPTN untuk PTN dan PTS, membebaskan biaya seleksi mahasiswa baru secara Nasional, dan masih banyak lagi hal-hal lain. Dengan keterbatasan anggaran Negara, tentunya tujuan mulia tersebut dicapai secara bertahap disesuaikan dengan kemampuan, namun prioritas dan amanahnya
4
sudah jelas. Dengan demikian UU Dikti merupakan landasan hukum dan fondasi pembangunan yang kuat untuk mewujudkan kemajuan pendidikan tinggi di Indonesia di masa kini dan masa depan. UU Dikti menegaskan peran dan tanggung jawab Pemerintah dalam pendanaan pendidikan tinggi, dalam pengembangan pendidikan tinggi di setiap provinsi, pengembangan akademi komunitas di setiap kabupaten/kota, serta pengembangan perguruan tinggi secara keseluruhan. UU Dikti meletakkan arsitektur pengembangan pendidikan tinggi ke masa depan untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa dan Negara. Untuk mengimplementasikan UU Dikti dibutuhkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri sebagai bentuk perundangan yang lebih rinci dan teknis. Karena merupakan fondasi pengembangan pendidikan tinggi secara komprehensif, maka UU Dikti mengamanahkan beberapa PP dan Permen agar amanah UU ini dapat diimplementasikan secara utuh.
9. Apakah dalam UU Pendidikan Tinggi terlalu banyak yang diatur?
UU Dikti memberikan otonomi pada masing-masing perguruan tinggi sesuai dengan misi dan mandat masing-masing perguruan tinggi. UU Dikti lebih banyak memberikan tugas dan tanggung jawab yang lebih besar kepada Pemerintah untuk memajukan Pendidikan Tinggi. Karena pendidikan tinggi meliputi aspek yang sangat luas dan harus komprehensif, mulai dari peran dan tanggung jawab negara, penyelenggaraan pendidikan tinggi, pendirian perguruan tinggi, hingga pengembangan peradaban bangsa, maka dengan sendirinya lingkup pengaturan dalam UU Dikti cukup luas. UU Dikti hanya mengatur tentang dasardasar dan kerangka umum pengaturan yang menekan aspek keterjangkauan, akses, pemerataan dan relevansi antara perkembangan ilmu dengan dunia kerja/kebutuhan masyarakat, negara dan bangsa. Peratuan operasionalnya ada di dalam PP dan Permen.
10.Apakah UU Pendidikan Tinggi reinkarnasi dari UU BHP?
UU Dikti bersifat luas tentang pendidikan tinggi secara utuh/keseluruhan, sehingga lingkup pengaturannya komprehensif. Perihal badan hukum hanya merupakan bagian kecil dari UU Dikti sebagai bentuk fasilitasi dan pengaturan Negara untuk terselenggaranya otonomi perguruan tinggi negeri. Substansi dan filosofi UU Diktisangat berbeda dengan UU BHP. Pada UU Dikti, subtansi dan filosofi mengatur aspek penyelenggaraan Pendidikan Tinggi sebagai Sub-Sistem Pendidikan Nasional secara utuh/komprehensif. Sedang UU BHP, secara subtantif dan filosofis hanya berfokus pada aspek Badan Hukum Pendidikan dan Tata Kelola PT.Tidak ada kaitan legal-formal antara UU DIKTI dengan UU BHP. Dalam UU BHP tugas dan peran Pemerintah lebih sedikit, sehingga komersialisasi dan liberalisasi pendidikan justru sulit dikontrol oleh Pemerintah, akibatnya masyarakat cenderung dirugikan. Hal ini berbeda dengan UU Dikti. UU Dikti, justru dimaksudkan untuk mengantisipasi peluang komersialisasi dan liberalisasi sebagai penyalahgunaan prinsip otonomi PT, baik PTS maupun PTN.
5
11.Apakah UU Pendidikan Tinggi menyalahi (bertentangan) dengan konstitusi?
Tidak satupun pasal dalam UU DIKTI yang melanggar konstitusi. UU DIKTI justru disusunkan untuk menjalankan amanah Konstitusi (dalam Pembukaan UUD 1945 Pasal 31 ayat 3 dan ayat 5, sertamelengkapi UU Sisdiknas). UU Dikti justru mengatur tanggung jawab Negara dalam memenuhi hak konstitusional masyarakat untuk mendapatkan pendidikan serta menjamin akses ke pendidikan tinggi secara non diskriminatif. UU Dikti justru dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepada publik agar Pemerintah benar-benar mengembangkan sub-sistem pendidikan tinggi yang : 1) menyediakan akses dan keterjangkauan yang luas bagi seluruh lapisan masyarakat serta afirmasi bagi masyarakat kurang mampu secara ekonomi; 2) terjaminnya mutu pendidikan tinggi; 3) tata kelola yang transparan dan bertanggung jawab;
12.Apakah UU Pendidikan Tinggi membuka pintu masuk bagi PT Asing dan akan
membunuh PTS-PTS di Indonesia? Saat ini kita sudah meratifikasi perdagangan bebas, bahkan sektor Pendidikan sudah dikeluarkan dari daftar negatif investasi. Untuk mengatasi agar sektor pendidikan (tinggi) tidak menjadi komoditas yang diperjual belikan bahkan membebaskan PT Asing beroperasi begitu saja di Indonesia diperlukan UU yang dapat meregulasi sistem pendidikan tinggi kita. Oleh karena itu diperlukan suatu lex specialis (dalam hal ini UU Dikti) yang dapat mengatur sub-sektor pendidikan tinggi dan meregulasi perguruan tinggi asing yang akan masuk ke Indonesia. Di beberapa negara (Malaysia, Vietnam, Philippina, Kamboja, dsb.) perguruan tinggi asing diperbolehkan masuk bahkan dalam bentuk lembaga komersial dan pemerintahnya bahkan memberikan insentif. Namun di Indonesia, karena konstitusi kitamengamanahkan bahwa pendidikan (tinggi) tidak boleh menjadi barang dagangan (harus bersifat nirlaba) serta keinginan masyarakat untuk melindungi PTN/PTS di dalam Negeri, maka diperlukan pengaturan yang tegas di dalam UU Dikti tentang kehadiran PT Asing tersebut. Kehadiran PT Asing saat ini diatur melalui Peraturan Menteri sehingga tidak cukup kuat untuk membendung dan meregulasinya. Di dalam UU Dikti kehadiran PT Asing dibatasi dengan sangat ketat, bahkan lebih ketat dari Permen yang ada. Pemerintah menetapkan daerah, jenis dan program studi yang boleh diselenggarakan; PT Asing tersebut haruslah PT yang bermutu dan wajib bersifat nirlaba, wajib memperoleh izin Pemerintah, bekerja sama dengan PT di Indonesia, mengutamakan dosen dan tenaga kependidikan WNI; harus mengajarkan Pancasila, bahasa Indonesia, kewarga negaraan Indonesia; serta harus mendukung kepentingan Nasional. Ketentuanketentuan tersebut memagari sistem pendidikan tinggi kita dari serangan PT Asing yang hanya bertujuan komersial namun tetap memberi kesempatan bagi PT Asing yang sesuai dengan kepentingan Nasional untuk bekerja sama dengan PT di Indonesia menyelenggarakan pendidikan tinggi yang bermutu. Dengan demikian kalaupun ada PT Asing yang hadir di Indonesia (mau untuk tidak komersial/berprinsip nirlaba) diharapkan justru meningkatkan mutu PT yang ada di Indonesia, karena mereka harus bekerja sama dengan PT di Indonesia.
6
13.Apakah adanya UU Pendidikan Tinggi akan menyebabkan inflasi profesor?
UU Dikti memberi amanat pada Perguruan tinggi untuk mengemban mandat yang luas dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat bagi pembangunan bangsa, mengembangkan kebajikan dan kekuatan moral untuk mencari dan menemukan kebenaran ilmiah, dan mengembangkan peradaban bangsa. Profesor sebagai jabatan akademik tertinggi merupakan ujung tombak pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, membangun budaya akademik, mengembangkan kebajikan dan kearifan, menemukan kebenaran ilmiah, dan mentransofmasikannya pada dosen-dosen muda dan mahasiswa. Jabatan akademik profesor memerlukan persyaratan dan kualifikasi akademik dan pengalaman dalam pendidikan, penelitian, maupun pengabdian kepada masyarakat yang ketat. Saat ini jumlah profesor di Indonesia masih sangat sedikit dan banyak yang sudah lanjut usia. Dalam hal kearifan, pengalaman, dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, tentunya pengalaman panjang seorang profesor sangat berharga dan tidak mudah digantikan. Oleh sebab itu UU Dikti mengharuskan Negara tetap mempertahankan profesor hingga usia 70 tahun (saat ini usia tersebut dipandang masih produktif dalam hal akademik dan memberi kearifan dalam pengembangan ilmu pengetahuan). Sebetulnya perubahan tersebut hanya memperkuat praktek saat ini di mana batas usia pensiun seorang profesor adalah 65 tahun tapi dapat diperpanjang hingga 70 tahun. Namun demikian, jaminan usia pensiun 70 tahun bagi profesor harus pula diikuti dengan produktifitas dalam dunia akademik sebagai bentuk akuntabilitas dan tanggung jawab kepada masyarakat. Oleh karena itu UU Dikti juga mengamanahkan agar dosen dan profesor terus melakukan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak melupakan aspek humaniora dan menyebarluaskannya untuk kepentingan bangsa dan Negara melalui publikasi ilmiah maupun mendaya gunakan hasil ciptaan melalui HAKI. Selain dari itu, UU Dikti memperbaiki praktek yang saat ini tidak adil terhadap dosen pada pendidikan tinggi vokasi (Politeknik, Akademi) dengan memberi kesempatan yang sama bagi dosen di pendidikan tinggi vokasi untuk mencapai jabatan akademik profesor bila telah memenuhi syarat.
14.Apakah UU Pendidikan Tinggi justru memperluas dan memperbesar arus
komersialisasi dan privatisasi PTN? Sebaliknya, UU DIKTI justru menekan arus komersialisasi dan privatisasi PTN. Mengapa? Karena UU Dikti justru mengatur/meregulasiberbagai aspek dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh PTN yang dapat mengarah pada komersialisasi pendidikan tinggi. Hal-hal yang diatur secara jelas dalam UU DIKTI, antara lain : 1) penetapan satuan biaya pendidikan oleh Pemerintah; 2) melindungi calon mahasiswa dari komersialisasi penerimaan mahasiswa baru; 3) mengharuskan seleksi mahasiswa baru PTN semata didasarkan pada kemampuan akademik; 4) mengharuskan PTN mencari dan menjaring calon mahasiswa berpotensi akademik tinggi dari kalangan masyarakat yang secara ekonomi kurang mampu, serta dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggl untuk diterima paling sedikit 20% dari seluruh mahasiswa baru; 5) biaya pendidikan tinggi yang ditanggung mahasiswa disesuaikan dengan kemampuan ekonominya; 6) Pemerintah menyediakan beasiswa, bantuan biaya pendidikan, kredit mahasiswa tanpa bunga, biaya
7
operasional pendidikan tinggi negeri, dsb.; serta pengaturan-pengaturan lain seperti keharusan berprinsip nirlaba, dsb. Kesemuanya itu untuk memastikan bahwa ke depan tidak lagi terjadi komersialisasi pendidikan tinggi. Pada PTN yang otonom (PTN badan hukum) tanggung jawab Pemerintah tetap ada dan ditekankan di dalam UU Dikti, sehingga tidak terjadi privatisasi dan komersialisasi PTN meskipun telah menjadi badan hukum. Pendanaan PTN badan hukum tetap menjadi tanggung jawab Pemerintah, dengan bentuk pendanaan yang sesuai dengan peraturan perundangan untuk memastikan pendidikan tinggi bermutu yang terjangkau oleh seluruh masyarakat. Pemberian hak untuk mengelola aset secara luas pada PTN badan hukum dimaksudkan agar PTN tersebut dapat memanfaatkan sumber dayanya secara optimal bagi peningkatan mutu pendidikan dan kemajuan PTN tersebut. Pemanfaatan aset harus sepenuhnya dipergunakan untuk kepentingan pendidikan bukan untuk tujuan komersial/orientasi profit. PTN badan hukum sepenuhnya menjadi milik negara, tidak dapat diperjual belikan maupun dipindah tangankan, dengan demikian tidak akan terjadi privatisasi yang selama ini dikhawatirkan oleh masyarakat.
15.Apakah UU Pendidikan Tinggi melepaskan tanggung jawab Pemerintah?
Sebaliknya, UU Dikti mempertegas tanggung jawab Pemerintah dalam penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di Indonesia. Tanggung jawab Pemerintah yang diamanahkan dalam UU Dikti meliputi penyelenggaraaan Pendidikan Tinggi mencakup perencanaan, pengaturan, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi serte pembinaan dan koordinasi. UU DIKTI memberikan banyak kewajiban kepada Pemerintah, seperti pengembangan sistem penjaminan mutu, pendanaan pendidikan tinggi, pengembangan Perguruan Tinggi, pembinaan Perguruan Tinggi, penyediaan sistem informasi Pangkalan Data Pendidikan Tinggi, dsb.
16.Apakah UU Pendidikan Tinggi Diskriminatif?
UU Pendidikan Tinggi tidak bersifat diskriminatif. Sebaliknya UU Pendidikan Tinggi justru memberikan payung hukum yang komprehensif bagi semua jenis Perguruan Tinggi di Indonesia, baik PTN dan PTS. Dalam hal penyelenggaraaan akademik baik PTN maupun PTS tidak dibedakan. Dalam hal tata kelola PTN diatur oleh Pemerintah sebagai pendiri dan penyelenggaranya, sementara tata kelola PTS diatur oleh badan penyelenggaranya (hal ini tentu tidak bisa dikatakan sebagai diskriminasi, karena sifatnya memang berbeda). Di dalam UU Dikti hak hidup PTS sangat diperhatikan bahkan didukung dengan memberikan berbagai bentuk bantuan dan pembinaan dari Pemerintah (Pemerintah menanggung tunjangan fungsional dosen bagi PTN maupun PTS, tunjangan kehormatan profesor bagi PTN maupun PTS, maupun bantuan pengembangan bagi PTS). Karena PTS didirikan dan diselenggarakan oleh badan hukum penyelenggaranya, hak yayasan dan hak sejarah yayasan sepenuhnya diakui dan dijunjung tinggi dalam UU Dikti. Tata kelola PTS diserahkan sepenuhnya pengaturannya pada yayasan atau badan penyelenggara yang bersifat nirlaba. Hal ini sangat berbeda dengan UU No.9 Tahun 2009
8
tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang telah dibatalkan oleh MK karena mengharuskan setiap satuan pendidikan untuk berbadan hukum (penyeragaman bentuk).
17.Apakah UU Dikti Memberangus Kebebasan Mahasiswa?
Sebaliknya, justru UU Dikti mengharuskan agar pengembangan potensi Mahasiswa harus difasilitasi oleh Kampus. Hak berorganisasi mahasiswa secara tegas dilindungi di dalam UU ini. UU Dikti melindungi kebebasan dengan diakuinya keberadaan organisasi mahasiswa (yang dulu hanya di statuta PT, yang bisa dirubah oleh PT). Melindungi mahasiswa untuk menyelesaikan kuliahnya sesuai dengan waktu yang dipersyaratkan. UU DIKTI menegaskan adanya fasilitas pinjaman kepada mahasiswa selama proses kuliah berlangsung. Bersifat tanpa agunan dan bisa dibayarkan setelah lulus.
18.Betulkah UU Pendidikan Tinggi terlalu memberi kebebasan pada PT?
Tingkat kebebasan berbeda tergantung pada status masing-masing PT. Tingkat kebebasan yang dimiliki oleh masing-masing PT sesuai dengan kapasitan dan tanggung jawab yang harus dijalankan oleh masing-masing PT. Kebebasan yang diberikan kepada masing-masing oleh PT sesungguhnya adalah kebebasan yang bertanggung jawab sehingga tidak ada kebebasan yang mutlak tanpa batasan sebagai status masing-masing PT dan konsekuensi tanggung jawab yang harus dijalankannya sesuai dengan status masing-masing PT.
19.Betulkah UU Pendidikan Tinggi terlalu mengatur keuangan/tarif (sehingga
berlawanan dengan kebutuhan otonomi kampus). UU Dikti hanya mengatur keuangan/tarif yang bersumber dari mahasiswa. Pengaturan ini diperlukan agar biaya pendidikan tetap terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat dan tidak terjadi komersialisasi pendidikan tinggi. Tetapi UU Dikti tidak mengatur keuangan /tarif yang bersumber di luar dari biaya yang dikeluarkan oleh mahasiswa. Dengan kata di luar sumber tersebut UU Dikti memberikan keleluasaan kepada masing-masing PT. Tidak ada jaminan dari semua aspek otonomi kampus itu tidak merugikan masyarakat dan mahasiswa. Bahkan intreprentasi dan implementasi otonomi kampus masih potensial untuk disalahgunakan sehingga bisa memunculkan dampak negatif bagi masyarakat dan mahasiswa (contoh tarif mahal, tidak jaminan kepada mutu pendidikan dan pelayanan mahasiswa), karena itu pengarutan dibutuhkan agar intrepretasi dan implementasi otonomi kampus benar-benar dijalankan secara arif dan bijaksana.
20.Apakah UU Pendidikan Tinggi akan memboroskan uang negara untuk membiayai
PTS-PTS? UU Dikti mempertegas tanggung jawab Pemerintah/Negara dalam pendanaan PTS karena kontribusinya pada penyediaan pendidikan tinggi, meskipun berbeda dengan PTN karena sifatnya yang berbeda. UU Dikti ini memberikan sejumlah keuntungan bagi PTS
9
misalnya dari : 1) membayar tunjangan fungsional dosen, tunjangan kehormatan profesor, 2) bantuan investai dan pengembangan, 3) dana penelitian. UU Dikti sebenarnya mendorong agar PTS lebih bermutu dengan meningkat fasilitas pendidikan yang diberikan kepada mahasiswa. Bantuan Pemerintah kepada PTS menunjukkan bahwa UU Dikti ini tidak diskrimintatif kepada PTS.
21.Betulkah UU Pendidikan Tinggi sarat dengan beragam Peraturan lain seperti PP
dan Permen (birokratisasi pendidikan)? Pemerintah harus melindungi kepentingan masyarakatdan Negara sehingga Pemerintah harus mengatur sistem pendidikan tinggi tanpa mencampuri kebebasan akademik dan otonomi keilmuan yang ada di dalam masing-masing PT. PTN ditanggung Pemerintah karena PT tersebut adalah lembaga pendidikan yang dikelola oleh Pemerfintah. PTN diawasi karena menggunakan dana publik (APBN). Transparansi dan akuntabilitas penting sesuai dengan semangat UU Kebebasan Informasi Publik (KIP). PTS tetap diberi kebasan dalam mengelolaan khususnya dana. Hanya saja, yang ditekankan oleh UU Dikti dimana PTS harus tetap nirlaba, dimana ia tidak memanfaatkan keuntungannya untuk kepentingan pribadi, atau perusahaan atau bahkan modal/saham PTS bisa diperjualbelikan di pasar modal.
22.Apakah dengan adanya UU Pendidikan Tinggi justru tidak memungkinkan
investasi (asing) dalam pendidikan tinggi (berlawanan dengan negara-negara lain, seperti Malaysia, Vietnam, bahkan China yang membuka sektor Dikti untuk Investasi Asing)? Perguruan tinggi asing boleh menyelenggarakan pendidikan tinggi selama bersifat nirlaba, sehingga tidak terjadi komersialisasi pendidikan. Boleh selama mengikuti peraturan perundangan dan sejalan dengan kepentingan nasional, sehingga tidak terjadi liberalisasi pendidikan. Boleh selama bekerjasama dengan PT dalam negeri, sehingga tidak membunuh PT dalam negeri. PT Asing juga harus mendapat izin Pemerintah. Pemerintah mengatur daerah di mana PT asing boleh beroperasi, jenis perguruan tinggi, serta program studi yang boleh diselenggarakan.
Diperoleh dari : Ir. Djoko Luknanto, M.Sc., Ph.D. Peneliti Sumberdaya Air di Laboratorium Hidraulika Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Jln. Grafika 2, Yogyakarta 55281, INDONESIA Tel: +62 (274)-545675, 519788, Fax: +62 (274)-545676, 519788 (melalui http://luk.tsipil.ugm.ac.id/atur/UU12-2012/tanyajawab.html)
10