DAKWAH DALAM KOMUNIKASI
1. Apa definisi dakwah yang komprehensif dan aktual menurut Anda? Definisi dakwah menurut saya adalah: berusaha mengajak manusia untuk sama-sama membangun dunia ini dengan penuh kedamaian (salam), keadilan, cinta, kasih, etika dan akhlak yang luhur, demi mencapai masyarakat berkeadaban yang hormat menghormati satu sama lain, mengedepankan musyawarah (deliberasi), di atas sunnatullah melalui empat tingkatan (level): 1. Menyampaikan (tabligh) pesan Islam dengan bahasa yang mudah dicerna, sebagaimana firman Allah (QS 36:17): “Tiadalah bagi kita kecuali menyampaikan dakwah dengan jelas” (Wa maa ‘alayna illa al-balagh al-mubin). Namun, soal pemahaman mengenai apa yang disampaikan terpulang kepada penerima. Islam kan soal hidayah! Dalam ayat lain (QS 88:21): Fadzakkir innama anta mudzakkir, lasta ‘alayhim bi musaitir (Beri ingatlah, karena engkau hanyalah sebagai pemberi ingat, engkau takkan mampu menentukan); ayat lain (QS 87:9): Fadzakkir innafa’at al-dzikra, saya al-dzakkaru man yakhsya (beri ingatlah, hanya yang sadar akan manfaat akan peringatan itu yang ingat, dan orang yang takut saja yang sadar). 2. Perubahan (taghyir), yakni pelaku dakwah berusaha untuk mengubah suatu kondisi seseorang atau masyarakat ke kondisi yang lebih baik. Namun, soal perubahan itu juga tergantung pada penerima dakwah, karena ini soal pilihan seseorang, yakni berkaitan dengan diri atau jiwa (nafs), sebagaimana firman Allah (QS 9: Allah tidak akan mengubah nasib satu kaum kecuali bila kaum itu mengubah apa yang ada pada diri/jiwa mereka (Innallaha la yughayyiru maa biqawmin hatta yughayyiru maa bianfusihim); 3. Peningkatan dan kemajuan (progress) seseorang atau umat, atau lebih tepat lagi soal pembangunan kemanusiaan (human development), kualitas hidup yang cerdas, tercerahkan, dan teremansipasi. Hal ini berkaitan dengan amar ma’ruf nahy munkar, sebagaimana firman Allah swt: Kuntum khaira ummat ukhrijat linnas ta’muruna bi al-ma’ruf wa tanhawna ‘an al-munkar (Kalian adalah umat terbaik yang tampil di depan manusia dengan memerintahkan yang baik dan melarang yang buruk). Atau di ayat lain: waltakun minkum ummatun yad’una ila al-khairi wa ya’muruna bi al-ma’ruf wa yanhawna ‘an al-munkar (Hendaklah kalian menjadi umat yang mengajak kepada kebaikan, memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang mungkar). 4. Etika dan tatasusila. Hal ini berkaitan dengan akhlaq. Pelaku dakwah dan siapa saja tidak boleh melakukan hasutan, cemoohan, ghibah, sebagaimana firman Allah: la tajassasu wala tahassasu, ayuhibbu ahadukum an ya’kula lahma akhihi mayitan, fakarihtumuhu (Janganlah kamu mencaci maki dan menghasut orang lain; maukah kamu memakan bangkai saudaramu yang sudah meninggal? Tentu saja kamu jijik). Jadi jangan membuat gosip. Dengan demikian, melihat keempat tingkat ini, dakwah tidak selalu dikatakan sukses hanya apabila berhasil mengubah orang. Untuk tahapan pertama ya cukup dengan menyampaikan. Soal diterima tidaknya sebuah pesan dakwah bukan urusan da’i. Tapi seorang da’i hendaklah berusaha membuat penyampaiannya terang, jelas, dan mudah dicerna. Ibarat computer, ini baru pentium satu. Pentium empat apabila dakwah itu sudah sampai pada tingkat kemampuan untuk menciptakan umat yang etis, kreatif, inovatif, beradab (civilized), dan berakhlak mulia dalam sebuah komunitas, negara, bangsa, atau masyarakat dunia yang madani (civil society).
2. Tiap agama mempunyai “syiar dakwah,” dengan istilah yang berbeda, apa keistimewaan dakwah Islam? Betul. Dalam Kristen umpamanya ada missionary atau zending. Bahkan dalam bahasa Inggris ada istilah propagation (propaganda), proselytization (bujukrayu agar mengubah agama orang lain), dan bahkan ada menyebutnya sebagai conversion (penggatian agama). Nah, keistimewaan Islam itu ada pada makna dakwah itu sendiri, yaitu mengajak. Sekalipun ada dalam al-Qur’an yang menyebutkan ajakan (dakwah) syaithan ke neraka, tetapi dakwah dalam konteks ilmu komunikasi Islam adalah dakwah kepada Allah swt, yaitu kepada kebenaran, keadilan, akhlak mulia, menghargai manusia, dengan cinta dan kasih, melalui musyawarah, tidak memaksakan kehendak, termasuk tidak memaksakan agar agama Islam diterima oleh penerima dakwah (mad’u). Firman Allah jelas sekali: La ikraha fi al-din (Tidak ada paksaan dalam agama). Tugas da’i adalah menyampaikan, namun soal penerimaan, pemahaman, perubahan, pengembangan/pembangunan/peningkatan kualitas hidup dan akhlak, semuanya terpulang pada individu masing-masing (nafs). Dakwah Islam tentunya menginginkan agar syiar Islam itu diterima orang, tetapi ciri khas dakwah Islam adalah tidak bisa dilakukan dengan paksaan (coercion), tetapi penuh dengan kedamaian (peace), stabilitas (stability), keamanan (safety), keselamatan (security), dan kenyamanan (cofort), sebagaimana makna Islam itu sendiri.
3. Dalam Islam, objek dakwah dibedakan antara ummat ad-dakwah dan ummat al-ijabah, bisa jelaskan? Ummat ad-dakwah bermakna objek dakwah yang belum mengenal Islam, bahkan mungkin belum mengenal kalau ada agama yang bernama Islam. Ya, katakanlah seperti sebagian penduduk di Papua, atau di hutan belantara Kalimantan. Bahkan di Amerika Utara sendiri, saya masih ingat sewaktu masih kuliah di S3 ilmu komunikasi di sana, saya heran ternyata ada mahasiswa yang tidak tahu tentang agama Islam. Dia hanya tahu agama Buddha, Hindu, dan tentunya Kristen dan Yahudi, padahal dia adalah mahasiswa program doktor (PhD) ilmu komunikasi. Ini terjadi sebelum peristiwa 9/11. Dia tahu bahwa ada agama Arab, tetapi konotasinya buruk dan jelak sekali, dengan label bengis, kejam, kotor, merendahkan perempuan, kawin mawin, poligami, tunduk tanpa kritis. Jadi, baginya ini bukanlah agama, karena masak sebuah agama mengajarkan keburukan, pembunuhan, dan menakut-nakuti orang lain dengan ancaman-ancaman (teroris). Jadi dia tidak tahu tentang Islam. Lalu saya ceriterakan apa Islam itu: sejarahnya, nabinya, kitabnya, rukun imannya dan rukun agamanya, dll. Nah, umat seperti inilah yang disebut dengan ummat al-dakwah. Artinya tugas da’ilah menyampaikan ajaran Islam kepada mereka. Sedangkan ummat al-ijabah artinya umat yang sudah menerima Islam, atau paling tidak sudah mengenal Islam. Namun pemahamannya memerlukan peningkatan. Ini pun bertahap dan bertingkat-tingkat. Karena ada tingkat keimanannya sudah mendalam, dibuktikan dengan pengamalan rukun Islam, dan percaya pada rukun iman, namun masih juga terbatas pengetahuan agamanya, mereka hanya tahu soal garis-garis besarnya saja, seperti halal dan
haram. Ada juga yang sudah mendalam ilmunya, karena mungkin dia adalah alumni pondok pesantren, bahkan sudah belajar di lembaga atau perguruan Islam di Indonesia, atau sampai ke negeri Arab, atau minimal autodidak. Inilah yang bisa berfungsi sebagai da’i atau mubaligh. Namun mereka juga masih memerlukan diskusi dan sharing dengan santri/sarjana lain, karena ilmu itu kan berlebih dan berkurang antara satu orang dengan orang lain. Kemudian ada juga yang melaksanakan salah satu sisi dari ajaran Islam, seperti tasawuf/mistik atau filsafatnya saja, atau bahkan aliran tertentu, yang kadang-kadang berbeda dari mainstream, sehingga mereka disebut sebagai kurang mengamalkan ajaran Islam. Mereka juga masih tetap dalam ketegori ummat al-ijabah. Namun, tentu saja dalam mendakwahi mereka, seorang da’i tetap dengan cara persuasi, hikmah, analogi, dan argumentasi yang terbaik.
4. Lalu, bagaimana menerapkannya dalam konteks ke-Indonesiaan? Untuk konteks Indonesia, seorang da’i harus melihat objek dakwah itu sendiri. Apakah mereka masuk kategori belum mengenal Islam sama sekali, atau sudah tahu tapi masih perlu penjelasan. Kalau masuk kategori ini, maka seorang da’i harus dengan cara penyampaian ajaran Islam yang elementer saja. Ya itu tadi, dakwahnya seharusnya melalui Pentium satu. Jangan langsung Pentium 4, dst. Mulailah dengan soal: siapa Pencipta alam ini? Siapa Pengatur alam ini? Kasih logika: apakah alam ini tercipta dengan sendirinya atau ada yang menciptakan? Kenapa koq demikian teratur ya, dan ada hukum-hukum alamnya masing-masing? Jadi dengan prtanyaanpertanyaan dulu baru jawaban-jawabannya. Kalau di daerah yang belum ada pendidikan formal, ya mulailah dengan contoh dan analogi keteraturan air yang mengalir, tanaman yang tumbuh, api yang menyala, gunung dan hutan nan lebat dan indah, dst. Untuk masyarakat yang sudah beragama, kita tidak boleh mencoba memengaruhinya dengan bujukrayu agar masuk ke agama Islam, kecuali bila mereka bertanya tentang ajaran Islam, maka seorang da’i mendapat kesempatan untuk menjelaskan ajaran Islam dengan penuh hikmah dan pengetahuan dengan arif dan bijaksana. Bila mereka meminta nasihat (mau’izah), maka berikanlah yang baik, yang rasional, dan masuk akal. Bila mereka mendebat, maka debatlah dengan cara yang terbaik, dengan argumentasi logis, penuh data dan informasi yang lengkap. Apabila berhadapan dengan kaum awam (abangan), maka mulailah menanyakan apa yang diketahuinya tentang Islam. Bisa dengan rukun iman dulu, kalau sudah mantap, barulah rukun Islam. Kalau mereka bisa membaca, tawarilah buku bacaan yang sederhana dulu. Jangan mulai dengan yang berat-berat. Bila berhadapan dengan pengikut aliran mistik, tanyakan apa yang mereka ketahui tentang tasawuf dalam Islam. Dengarkan dulu! Kalau perlu lakukan pendekatan partisipatori dengan mengikuti aliran tarikat itu. Kalau berjumpa dengan aliran sempalan, maka lakukanlah dengan cara mujadalah (argumentasi) yang terbaik, dengan buku-buku rujukan yang standar. Tunjukkan kelemahan buku-buku pegangan mereka dengan santun, dengan kata-kata yang tidak menyakiti hati. Kalau berjumpa dengan aliran keras maka, jelaskanlah makna jihad dari versi yang berbeda, sejarah Nabi SAW yang tidak pernah berperang kecuali bila diperangi lebih dahulu, atau karena dilarang melakukan ibadah, dan dipaksa keluar dari negerinya, dan dakwahnya dihalang-halangi. Untuk konteks Indonesia, semua syarat perang ini tidak ada yang masuk kategori. Orang
Indonesia masih bebas beribadah, bahkan difasilitasi dengan rumah ibadah, lembaga zakat, infaq dan shadaqah, sekolah agama, dan manajemen haji, dll. Tidak ada yang dipaksa keluar dari negera Indonesia, semuanya diberikan KTP dan kartu keluarga dan kebutuhan sebagai warga Negara. Setiap muslim tidak dilarang malakukan dakwah internal atau eksternal, sepanjang tidak memengaruhi secara sengaja dengan bujukrayu orang yang sudah memeluk suatu agama tertentu. 5. Menurut Anda, apa saja problematika dakwah masa kini dan faktornya? Problematika dakwah masa kini adalah kurangnya perspektif lokalitas dan globalitas. Media komunikasi belum dioptimalkan. Dai terlalu terfokus pada dakwah nasional yang sentralistik, sehingga aspek lokal dan globalnya missing. Dakwah seharusnya bisa mengembangkan prinsip etnikalitas. Indonesia terdiri atas suku bangsa yang beragam, kita lebih dari 400 bahasa yang berbeda, dan lebih dari 800 logat dan dialek yang berbeda. Unsur kedaerahan tidak boleh kita lupakan dan napikan. Orang Kristen di bawah SIL di Indonesia telah melihat celah ini dalam dakwahnya. Mereka telah melatih 600 misionari untuk menerjemahkan Injil ke dalam bahasa daerah. Seharusnya orang Islam juga melakukan hal yang sama: menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahsa daerah, tidak bisa serba bahasa Indonesia. Bahasa lokal telah membentuk watak lokalitas Indonesia ratusan bahkan ribuan tahun, sedangkan bahasa Indonesia baru delapan winduan. Berikutnya, dakwah kita kurang flavor globalnya. Bahkan ada kecenderungan sebagian pesan dakwah Islam anti globalisasi. Padahal, Islam sebetulnya adalah agama global. Islam adalah untuk rahmatan lil alamin (wa ma arsalnaka illa rahmatan li al-alamin). Bukanlah dikatakan baik apabila menghadapkan wajah ke timur atau ke barat, tetapi kebaikan adalah percaya kepada Allah dan hari akhir (Laysa al-birra, man tuwallu wujuhakum qibala al-masyriq wa al-maghrib. Walakinna al-birra man amana bi Allah wa al-yawm al-akhir). Jadi perspektif Islam adalah lebih dari pada sekedar timur dan barat tetapi ke seluruh alam ini, langit dan bumi, bahkan sampai akhirat. Dengan demikian dakwah Islam sepeeti ini lebih luas dan lebih kontekstual. Jadi alangkah salahnya bila dakwah itu diarahkan kepada anti Barat. Seharusnya Barat itu ditaklukkan. Dakwah kita bukan hanya internal, tetapi eksternal juga. Kita harus mampu berkompetisi dengan mereka dalam kebaikan, seperti penemuan sains dan teknologi, sehingga merekalah yang membeli produk kita. Ini yang dilakukan oleh Jepang. Barat yang kemudian membeli produk Jepang yang ilmu membuatnya sebelumnya dipelajari dari Barat. Sebagian da’i menekankan aspek kebencian kepada agama lain, sehingga ayat: Lan tardha ‘anka al-yahudu wala al-nasara hatta tattabi’a ,millatahum, yang biasanya diartikan: tidak akan rela orang Yahudi dan Kristen hingga engkau umat Islam mengikuti agama mareka. Saya melihat, bahwa ayat ini sebetulnya kata kuncinya adalah di millah, yang bisa berarti gaya hidup (lifestyle). Artinya, Tuhan memang benar bahwa ke dua golongan ini tidak rela hingga umat Islam mengikuti lifestyle mereka, tapi maksudnya, menurut saya, adalah: bahwa umat Islam ditantang oleh Tuhan agar mereka juga tidak akan rela hingga ke dua golongan ini mengikuti lifestyle umat Islam. Dengan demikian, aspek kompetisinyalah yang ditekankan di sini, bukan aspek
kebenciannya. Bila kebenciannya yang diutamakan, maka akibatnya, sebagian umat Islam alergi dengan barat, padahal mereka sangat senang dengan hasil teknologinya: kendaraannya, peralatan rumah tangganya, fasilitas hidupnya, yang semuanya berkaitan dengan gaya hidupnya, termasuk bahasanya. Mereka tidak tergugah untuk menciptakan sains dan teknologi dan media komunikasi baru yang layak pasar, yang pada gilirannya Baratlah yang tertarik membelinya. Alih-alih, umat Islam harus puas menjadi konsumen yang patuh dan tunduk dan terkesima dengan produk Barat. Jadi ada standard ganda juga. Inilah problematika dakwah kita.
6. Al-Maududi menyebutkan seorang da’i harus berilmu, sejauh manakah urgensi ilmu dalam berdakwah. Benar kata al-Maududi itu. Ilmu itu penting untuk dapat memberikan informasi kepada orang lain (mad’u). Memang hadits Nabi saw mengatakan, balighu ‘anni walaw ayah (sampaikanlah daripada ajaran Islam sekalipun hanya satu ayat. Maksudnya, tentunya, bukan hanya tahu satu ayat saja terus menerus. Tetapi maksudnya adalah, kalau berdakwah hendaklah dilakukan secara bertahap. Ya hari ini satu dulu, besok baru dua, lusa tiga, dst. Lebih jauh lagi, seorang da’i perlu ilmu pokok dan ilmu bantu. Ilmu pokok adalah materi dakwah, seperti kandungan alQur’an dan al-Hadits, dengan mempelajari maknanya, dan memperkayanya dengan pendapat para ahli baik Timur maupun Barat. Bukan sekedar tilawah belaka, tanpa tahu maknanya. Ilmu bantu adalah ilmu alat seperti ilmu sosial, humaniora, ilmu pendidikan, hukum, filsafat, ilmu komunikasi, psikologi, sosial politik, kedokteran, fisika, matematika, kimia, logika, biologi, astronomi, geologi, dst. Dengan demikian seorang da’i tidak mengenal dengan apa yang disebut dengan dikotomi ilmu pengetahuan. Integrasi ilmu-ilmu spiritualitas dengan ilmu-ilmu materialitas sangat diperlukan di dunia yang makin kompleks dan digital ini. Seorang da’i perlu belajar teknologi komunikasi, sehinga tidak gatek (gagap teknlogi). Mereka cekatan dalam melakukan dakwah di dunia maya. Mereka harus menguasai ilmu informatika, teknik computer, dan desain grafis. Mereka tahu dunia periklanan, perfilman, penyiaran, strategi komunikasi, komunkasi antar budaya, komunikasi internasional, public relation (humas), dan pendekatan public speaking (khitabah) yang kontekstual. 7. Tanpa kematangan ilmu, apa akibatnya bagi dakwah itu sendiri? Akibatnya adalah adanya ketidakmatangan dalam suguhan dakwah itu sendiri. Bahkan bisa melahirkan arus balik atau boomerang effect. Orang yang didakwahi malah lari terpingkalpingkal, mereka alergi dengan Islam dan Muslim. Apalagi bila dilakukan dengan kebencian, kekerasan, kebengisan, pembunuhan dengan cara masif, seperti bom bunuh diri. Orang akan semakin tidak simpati. Orang akan menghindar jauh. Padahal Al-Qur’an sudah mengajarkan bahwa: “Apabila kamu melakukan dakwa dengan cara kekerasan, maka niscaya objek dakwah akan lari terbirit-birit” (walaw kunta fazzan ghaliza al-qalbi, lan faddlu min hawlika). Selain itu, tanpa kematangan ilmu, hasil dakwah juga kurang lengkap. Apabila dakwahnya tetap di Pentium satu, maka jangan harapkan akan memahami Pentium empat, dst. Di beberapa
daerah di Indonesia, ada temuan mengapa ada kelompok umat yang pemahaman dan pengamalan keislamannya hanya parsial saja, tidak lengkap, tidak total. Ternyata ditengarai penyebabnya karena da’inya pergi sebelum memasuki tingkatan berikutnya, akibatnya pengikutnya hanya tahu soal ketuhanan saja, tanpa aspek fiqih. Aliran Tolotang dan Ammatoa, mungkin salah satu contoh yang sering diangkat oleh peneliti antropologi di Sul-Sel. Di banyak daerah juga ditemukan hal serupa. Ada di Jawa, ada di Kamboja dan Vietnam. Orang Muslim Champa menyebutnya dengan Islam jaht (zahid), yang hanya shalat sekali seminggu, di hari Juma’at saja, itupun hanya golongan tertentu saja yang shalat dengan bacaan dan tatacara yang salah. 8. Beragam aliran dalam Islam, masing-masing mempunyai perspektif dan metode dakwah sesuai ideologinya, positif atau negatifkah menurut Anda? Bila kita berbicara soal kebaragaman atau pluralitas, tentu bisa dikatakan positif. Karena hal ini akan menambah khazanah kekayaan perspektif dan metode dakwah Islam. Mereka akan melahirkan kompetisi sehat dalam berdakwah. Fastabiqu al-khairat (berlomba-lombalah dalam kebaikan!). Namun tergantung dari alirannya. Kalau alirannya masih dalam mainstream Islam, maka hasilnya akan positif. Akan terjadi sinergi yang kuat satu sama lain. Contohnya di negeri kita antara Nahdlatul ulama dengan uhammadiyah, dan al-Irsyad, al-Wasliyah, dst. Namun, kalau alirannya keluar dari mainstream (arus utama) Islam, tentu akan dipertanyakan oleh yang mainstream, dan melahirkan perdebatan, yang tak jarang sengit dan panas tanpa akhir, bahkan melahirkan percekcokan dan perkelahian fisik dan kerusuhan serta konflik yang berkepanjangan. Kalau Negara kemudian tidak tegas menengahi masalah ini, maka akan melahirkan korban yang banyak.
9. Lantas perlukah semacam standardisasi dakwah berdasarkan pokok-pokok ajaran Islam? Ya, tentu sangat diperlukan. Dan inilah yang dilakukan oleh Kementerian Agama RI selama ini. Sekolah-sekolah dan perguruan serta lembaga agama juga saya kira pada umunya telah melakukan pendidikan agama dan dakwah yang sifatnya standar mainstream. Sehingga bila ada yang keluar dari mainstream ini, masyarakat sendiri yang segera mengenalinya. Namun, karena pendekatan dari setiap aliran rasional bagi orang tertentu, maka tentu ada saja yang simpatik dan tertarik. Awalnya mungkin reaktif, tetapi lama kelamaan kalau intensif, apalagi dengan pendekatan kekeluargaan, bujukrayu, materi, fasilitas, akhirnya seseorang akan tertarik. Ya di sinilah perlunya kreativitas baru dalam berdakwah, kemasan dakwah harus selalu diperbaharui, sehingga bisa melakukan pencerahan terhadap golongan atau aliran baru yang tidak mainstream. Peran media komunikasi perlu digalakkan. Diskusi dan mujadalah dengan argumentasi rasional didahukukan.
10. Dakwah di Indonesia belum tersistematis dan terorganisir. Dakwah masih dilakukukan secara sporadis menurut Anda? Kalau kita lihat di lembaga-lembaga keislaman, seperti di pondok pesantren, sekolah-sekolah dan perguruan Islam, dan majelis taklim, sebenarnya sudah terorganisir. Namun, bila kita tinjau dari segi teknologi informasi dan komunikasi dan telekomunikasi, umat Islam masih ketinggalan. Dunia maya masih belum banyak tersentuh secara proporsional. Sebagian masih belum akrab dengan dunia ini. Masih sibuk dengan dunia konvensional dan tradisional. Kiranya pendekatan Harold Lasswell yang mengatakan: who says what which channel to whom and with what effect yang berarti: siapa mengatakan apa melalui apa, dan kepada siapa serta bagaimana pengaruhnya, belum begitu dijabarkan secara sistematis, dan masih sporadis. Who says artinya siapa yang berdakwah, maksudnya da’inya seperti apa? Bagaimana latar belakangnya? Apakah dia seorang ahli agama, atau hanya semacam da’i fenomenal belaka, sehingga tidak solid, dan centang perenang. What artinya apa materi dakwahnya? Apakah semata-mata soal fiqih atau rukun Islam dan iman saja, atau sudah mencoba ranah pengembangan kemanusiaan sehingga sudah menyentuh soal sains dan teknologi. Ilmu-ilmu bantu tadi perlu dimanfaatkan. To whom artinya siapa audiensnya? Seorang da’i harus tahu siapa objek (mad’u) dakwahnya. Seperti yang sudah dijelaskan tadi, objek dakwah itu bertingkat-tingkat. Jadi perlu pengembangan pendidikan luar sekolah yang akrab dengan teknologi, dan pendidikan non-formal yang berdasarkan kurikulum kontekstual dan strategi mengajar yang berdasarkan teknologi dan komptensi. Di sinilah pentingnya pembinaan majelis taklim dan pengajian agar mempunyai kurikulum. Mungkin satu saat da’i dan majelis taklim juga perlu asesor dan sertfikasi. Which channel, atinya salurannya apa, medianya apa? Dalam hal ini, E-learning perlu dikembangkan. Selain itu dakwah melaui media massa tetap harus diteruskan dan dikembangkan. Republika, ayo teruskan model selama ini! Media elektronik dan media baru haruslah menjadi barang jinak dan bukan barang asing di rumah-rumah da’i dan mad’u. Sering saya katakan, bahwa media baru perkembangannya baru saja 20 tahun terakhir ini, tetapi bagaimana dengan 20 tahun berikutnya dan 20 tahun berikutnya lagi dst? Manusia akan menyaksikan perkembangan yang luar biasa dalam hal channel atau saluran/media komunikasi manusia. Sekarang ini sudah ada media yang bisa menulusuri ke mana seseorang itu pernah berada selama 20 tahun terakhir ini, (phone tracking where you have been). Ke depan orang dapat mengetahui apa yang kita makan di rumah kita, apa yang ada dalam laci dan tempat tidur kita. Oleh karena itu, da’i haruslah segera menaklukkan media untuk dakwah. 11. Lantas sejauhmanakah urgensi peta dakwah yang konon perumusannya tak kunjung selesai? Peta dakwah itu memang penting. Kita dapat mengetahui kluster-kluster masyarakat yang bertingkat-tingkat itu. Data tentang kategori satu, dua, tiga, dan empat di atas perlu dimapping (dipetakan), sehingga strategi dakwah lebih jitu, cepat, dan mengenai sasaran. Perumusannya tak kunjung selesai karena kita tidak mengusai teknologi informasi dan komonikasi. 12. Bagaimana prospek dakwah ke depan di tengah arus liberalisasi dan radikalisasi agama?
Prosepeknya bisa positif dan negatif. Positif apabila nanti bisa melahirkan filsafat ilmu Islam yang semakin mendalam melebihi Barat, asalkan berdasarkan atas kajian al-Qur’an dan alSunnah, seperti yang telah dilakukan oleh filosof Muslim awal seperti al-Kindi, Ibnu Sina, Ibn Thufail, Ibn Bajjah, Al-Razi, Ibn Khaldun, al-Ghazali, Ibn Rusyd, dll. Mereka berawal dari kebebasan berfikir untuk menemukan kebenaran. Mereka tidak alergi Barat, bahkan mereka mempelajari ilmu Barat (Yunani) dan Timur (Persia/India). Namun, bisa saja negatif bila tidak tuntas, apalagi bila Negara tidak turut campur menengahi dan memfasilitasi kebebasan berpikir ini. Filosof Muslim di atas mungkin tidak lahir seandainya tidak ada intervensi Negara oleh khalifah Harun al-Rasyid dan terutama al-Makmun, yang mendirikan Bayt al-Hikmah, semacam perpustakaan dan lembaga riset dengan sarana laboratorium yang baik yang didukung oleh dana yang kuat. Bila tidak, maka bisa saja tidak tuntas dan melahirkan percekcokan, perkelahian, dan permusuhan yang berkepanjangan. Begitu juga soal radikalisasi agama. Bisa saja negatif dan positif. Positif apabila bisa melahirkan teologi yang mencerahkan manusia. Ya semacam teologi pembebasan di Amerika Latin. Dalam sejarah Islam, lahirnya teologi yang beragam, yang sekaligus melahirkan kematangan dalam ilmu teologi karena didahului oleh aliran politik radikal seperti Khawarij. Kemudian mereka berbincang soal dosa besar dan kecil, soal surga dan neraka, soal ketuhanan dan ciptaan, dst. Akhirnya lahirlah Murjiah, Asy’ariayah, Maturidiyah, Mu’tazilah, Sunni dan Syiah. Khawarij dan Murjiah kemudian kurang berkembang, kendati unsur-unsurnya bisa saja muncul, ya barangkali ada hikmah di balik itu: untuk melahirkan penyegaran-penyegaran teologis dalam Islam, sehingga semakin melahirkan pencerahan. Negatifnya adalah, seperti liberalisasi tadi, apabila negara tidak mengawasi dan memfasilitasi diskusi yang mendahukukan hati dan otak yang dingin dan sejuk, akibatnya bisa “salah asuhan.” Radikalisasi muncul karena banyak faktor: kurang referensi bacaan, kurang fasilitas riset dan pengembangan (R & D), kurang kontrol. Konsekwensinya, bacaan hanya satu versi saja, dialog ilmu pengetahuan mandeg karena hanya monolog internal pada satu guru dan satu lembaga, dan satu referensi bacaan saja. Makna yang diajarkan hanya satu. Pemaknaan agama yang kontekstual kurang berkembang.
Andi Faisal Bakti adalah Guru Besar dalam Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah Jakarta, dan Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi, Unversitas Pancasila, Jakarta; Direktur Pusat Pengkajian Media dan Komunikasi (P2KM), Direktur Center for Cross-cultural Communicaltion and Human Relations in Actions (C3 Huria), Jakarta.