Daftar Isi
TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Penyusun: Justice for the Poor Project Desain Cover: Rachman SAGA Foto: Luthfi Ashari Jakarta Juli 2005
Pengantar Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga Lingkup Rumah Tangga Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Hak-hak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kewajiban Pemerintah Kewajiban Masyarakat Pelaporan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Bentuk Perlindungan/Pelayanan Bagi Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pelanggaran Perintah Perlindungan Pemulihan Korban Ketentuan Pidana Sanksi Pidana Pidana Tambahan Hukum Acara Pidana Pembuktian TENTANG PROYEK PENGUATAN HUKUM PEREMPUAN
-
1 3 3 4
-
6 8 10 11
-
12 21 23 24 25 30 31 31
-
32
Pengantar Kejadian kekerasan dan atau pelanggaran terhadap hak-hak perempuan bisa terjadi di setiap wilayah tanpa memandang kelas dan status sosial korbannya. Para perempuan dan masyarakat yang tinggal di wilayah perkotaan, mungkin mudah untuk memperoleh berbagai informasi yang menyangkut hak perempuan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Sebaliknya, belum banyak media dan sumber informasi yang dapat diakses oleh perempuan di wilayah pedesaan. Oleh sebab itu, keberadaan buku saku Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) akan memenuhi kebutuhan akan informasi mengenai pencegahan dan penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga. Untuk memudahkan para pembaca dalam memahami dan mengambil manfaat dari keberadaan UU PKDRT, maka buku saku ini ditata secara khusus. Pada dasarnya target utama pembaca buku saku adalah para korban 1
KDRT yang dalam faktanya kebanyakan adalah perempuan dan anak-anak. Namun secara umum, buku saku ini dapat menjadi sumber informasi bagi perempuan dan masyarakat pada umumnya dalam memahami tindak pidana KDRT. Untuk tujuan inilah, buku saku ini berfokus pada mekanisme penanganan korban KDRT sebagaimana dimandatkan oleh UU PKDRT. Dengan demikian, harapannya pembaca akan segera mengetahui kemana mereka dapat menghubungi pusat layanan dan institusi penegak hukum yang terdekat apabila terjadi tindak pidana KDRT. Buku saku ini merupakan tahapan awal dalam upaya memenuhi kebutuhan informasi hukum dan hak-hak perempuan terutama dalam kerangka implementasi kegiatan pilot “Penguatan Hukum Perempuan” (Women’s Legal Empowerment) yang diselenggarakan oleh PEKKA (Program Penguatan Perempuan Kepala Keluarga) dan Justice for the Poor Project. Oleh karena itu, masukan dan usulan dari para pembaca sangat kami harapkan. Semoga persembahan buku saku ini bermanfaat.
2
Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Ps 1 angka 1).
Lingkup Rumah Tangga Yang termasuk cakupan rumah tangga menurut Pasal 2 UU PKDRT adalah: suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri); orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana disebutkan di atas karena hubungan darah, 3
perkawinan (misalnya mertua, menantu, ipar, dan besan), persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut, dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan (Ps 2 (2)).
Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga KEKERASAN FISIK, yakni perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (Ps 5 jo 6); KEKERASAN PSIKIS, yakni perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/ atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Ps 5 jo 7);
4
KEKERASAN SEKSUAL, yakni setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu (Ps 5 jo 8), yang meliputi: o
pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
o
pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
PENELANTARAN RUMAH TANGGA, yakni perbuatan menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangga, padahal menurut hukum yang berlaku bagi yang bersangkutan atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan,
5
atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (Ps 5 jo 9).
Hak-Hak Korban1 Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Ps 10) perlindungan2 dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat,
lembaga sosial3, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; pendampingan oleh pekerja sosial4 dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan pelayanan bimbingan rohani.
Lembaga atau organisasi sosial yang peduli terhadap masalah kekerasan dalam rumah tangga, misalnya lembaga-lembaga bantuan hukum 3
Orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga. 1
Seseorang yang mempunyai kompetensi profesional dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan formal atau pengalaman praktik di bidang pekerjaan sosial/ kesejahteraan sosial yang diakui secara resmi oleh pemerintah dan melaksanakan tugas profesional pekerjaan sosial. 4
Segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. 2
6
7
Kewajiban Pemerintah Pemerintah (cq. Menteri Pemberdayaan Perempuan) bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga (Ps 11). Oleh karenanya, sebagai pelaksanaan tanggung jawab tersebut, pemerintah (Ps 12): merumuskan KEBIJAKAN PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA; menyelenggarakan KOMUNIKASI, INFORMASI dan EDUKASI tentang kekerasan dalam rumah tangga; menyelenggarakan ADVOKASI dan SOSIALISASI tentang kekerasan dalam rumah tangga; menyelenggarakan PENDIDIKAN dan PELATIHAN SENSITIF JENDER dan ISU KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA serta menetapkan STANDAR dan AKREDITASI pelayanan yang sensitif gender.
8
Selanjutnya menurut Pasal 13, untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugasnya masing-masing dapat melakukan upaya: penyediaan Ruang Pelayanan Khusus (RPK) di kantor kepolisian; penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani; pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban; dan memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban.
9
Dalam penyelenggaraan upaya-upaya tersebut, pemerintah dan pemerintah daerah dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat atau lembaga sosial lainnya (Ps 14).
Pelaporan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Ps 26) Korban berhak melaporkan secara: langsung; atau
Kewajiban Masyarakat (Ps 15) Sesuai batas kemampuannya, setiap orang yang MENDENGAR, MELIHAT, atau MENGETAHUI terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya untuk: mencegah berlangsungnya tindak pidana; memberikan perlindungan kepada korban; memberikan pertolongan darurat; dan membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
10
memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain; kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya kepada kepolisian, baik: di tempat korban berada; maupun di tempat kejadian perkara. Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan (Ps 27).
11
Bentuk Perlindungan/Pelayanan Bagi Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga KEPOLISIAN: Dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara5 pada korban (ps 16 (1)). Dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak pemberian perlindungan sementara, kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan (ps 16 (3)).
Perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Perlindungan sementara ini diberikan paling lama 7 hari sejak korban diterima atau ditangani.
Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapat pelayanan dan pendampingan (ps 18). Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau menerima laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (ps 19). Kepolisian segera menyampaikan kepada korban tentang: o
identitas petugas untuk pengenalan kepada korban;
o
kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan terhadap martabat kemanusiaan; dan
o
kewajiban kepolisian untuk melindungi korban (Ps 20).
5
Dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/ atau pembimbing rohani untuk mendampingi korban.
12
13
TENAGA KESEHATAN6 (Ps 21 (1)):
PEKERJA SOSIAL (Ps 22 (1)):
Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesi;
Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban;
Membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti.
Memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
Pelayanan kesehatan dilakukan di sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat (Ps 21 (2)).
Mengantarkan korban ke rumah aman7 atau tempat tinggal alternatif8; dan Melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial yang dibutuhkan korban.
Tempat tinggal sementara yang digunakan untuk memberikan perlindungan terhadap korban sesuai dengan standar yang ditentukan, misalnya trauma center di Departemen Sosial. 7
Setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan melakukan upaya kesehatan, sebagaimana dimaksud dalam UU 23/ 1992 tentang Kesehatan. 6
14
Tempat tinggal korban yang terpaksa ditempatkan untuk dipisahkan dan/atau dijauhkan dari pelaku. 8
15
Pelayanan pekerja sosial dilakukan di rumah aman milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat (Ps 22 (2)).
RELAWAN PENDAMPING (Ps 23): Relawan Pendamping adalah orang yang mempunyai keahlian untuk melakukan konseling, terapi, dan advokasi guna penguatan dan pemulihan diri korban kekerasan.
Mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga korban merasa aman didampingi oleh pendamping; dan Memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik kepada korban.
PEMBIMBING ROHANI (Ps 24):
Bentuk pelayanannya adalah:
Memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban, dan memberikan penguatan iman dan taqwa kepada korban.
Menginformasikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan seorang atau beberapa orang pendamping;
ADVOKAT (Ps 25):
Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban untuk secara objektif dan lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya;
16
Memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan proses peradilan; Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk
17
secara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; atau Melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya.
perintah perlindungan10 bagi korban dan anggota keluarga lain, kecuali ada alasan yang patut (Ps 28). Atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat mempertimbangkan untuk (Ps 31 (1)): o
menetapkan suatu kondisi khusus, yakni pembatasan gerak pelaku, larangan memasuki tempat tinggal bersama, larangan membuntuti, mengawasi, atau mengintimidasi korban.
o
mengubah atau membatalkan suatu kondisi khusus dari perintah perlindungan.
PENGADILAN: Ketua pengadilan dalam tenggang waktu 7 hari sejak diterimanya permohonan 9 wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi Dalam hal ini permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan. Permohonan ini dapat diajukan secara lisan atau tulisan oleh: korban atau keluarga korban; teman korban; kepolisian; relawan pendamping; atau pembimbing rohani. 9
Pertimbangan pengadilan dimaksud dapat diajukan bersama-sama dengan proses
Bilamana diajukan lisan, Panitera Pengadilan Negeri setempat wajib mencatat permohonan tersebut. Dan bilamana diajukan bukan oleh korban, korban harus memberikan persetujuannya, kecuali dalam keadaan tertentu, misalnya: pingsan, koma, dan sangat terancam jiwanya. 18
Perintah perlindungan dapat diberikan dalam waktu paling lama 1 tahun, dan dapat diperpanjang atas penetapan pengadilan. Permohonan perpanjangan diajukan 7 hari sebelum berakhir masa berlakunya. 10
19
pengajuan perkara kekerasan dalam rumah tangga (Ps 31 (2)). Pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan perintah perlindungan (Ps 33 (1)). Dalam pemberian tambahan perintah perlindungan, pengadilan wajib mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani (Ps 33 (2)). Berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin timbul, pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan kondisi dalam perintah perlindungan, dengan kewajiban mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani (Ps 34).
Pelanggaran Perintah Perlindungan Kepolisian dapat menangkap untuk selanjutnya melakukan penahanan11 tanpa surat perintah terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan di tempat polisi itu bertugas (Ps 35 (1)). Untuk memberikan perlindungan kepada korban, kepolisian dapat menangkap pelaku dengan bukti permulaan yang cukup karena telah melanggar perintah perlindungan (Ps 36 (1)). Penangkapan dapat dilanjutkan dengan penahanan yang disertai surat perintah penahanan dalam waktu 1 x 24 jam (Ps 36 (2)).
Penangkapan dan penahanan wajib diberikan surat perintah penangkapan dan penahanan setelah 1 x 24 jam. 11
Penangguhan penahanan tidak berlaku bagi penahanan atas dugaan pelanggaran perintah perlindungan. 20
21
Korban, kepolisian atau relawan pendamping dapat mengajukan laporan secara tertulis tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap perintah perlindungan (Ps 37 (1)). Bilamana pengadilan mendapatkan laporan tertulis tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap perintah perlindungan ini, pelaku diperintahkan menghadap dalam waktu 3 x 24 jam guna dilakukan pemeriksaan, di tempat pelaku pernah tinggal bersama korban pada waktu pelanggaran diduga terjadi (Ps 37 (2)(3)).
Pemulihan Korban
Apabila pengadilan mengetahui bahwa pelaku telah melanggar perintah perlindungan dan diduga akan melakukan pelanggaran lebih lanjut, maka Pengadilan dapat mewajibkan pelaku untuk membuat pernyataan tertulis yang isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi perintah perlindungan (Ps 38 (1)). Bilamana tetap tidak mengindahkan surat pernyataan tertulis tersebut, pengadilan dapat menahan (dengan surat perintah penahanan) pelaku paling lama 30 hari (Ps 38 (2).
Pekerja Sosial;
22
Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari: Tenaga Kesehatan; Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standar profesi, dan dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban.
Relawan Pendamping; dan/atau Pembimbing Rohani. Pekerja Sosial, Relawan Pendamping, dan/ atau Pembimbing Rohani wajib memberikan pelayanan kepada korban dalam bentuk pemberian konseling untuk menguatkan dan/atau memberikan rasa aman bagi korban.
23
Ketentuan Pidana Tindak pidana KDRT ada yang bersifat aduan dan delik biasa. Tindak pidana berikut ini merupakan DELIK ADUAN, yakni: o
Perbuatan kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari (Ps 51 jo 44 (4));
o
Perbuatan kekerasan psikis yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan seharihari (Ps 52 jo 45 (2)); dan
o
24
Perbuatan kekerasan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya (Ps 53 jo 46).
K
PERHATIAN !!! Bila bersifat delik aduan, tanpa PENGADUAN, TIDAK ADA TINDAK PIDANA !!!
Sedangkan tindak pidana kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan penelantaran rumah tangga di luar ketentuan sebagaimana disebutkan di atas merupakan DELIK BIASA
Sanksi Pidana KEKERASAN FISIK DELIK
Kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga
ANCAMAN SANKSI
¾ penjara paling lama 5 (lima) tahun; atau ¾ denda paling banyak Rp 15 juta
Kekerasan fisik yang mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat
¾ penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun; atau ¾ denda paling banyak Rp 30 juta
25
DELIK
Kekerasan fisik yang mengakibatkan matinya korban
ANCAMAN SANKSI
¾ penjara paling lama 15 (lima belas) tahun; atau ¾ denda paling banyak Rp 45 juta
Kekerasan fisik yang dilakukan suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari
26
¾ penjara paling lama 4 (empat) bulan; atau ¾ denda paling banyak Rp 5 juta
KEKERASAN PSIKIS DELIK Kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga
ANCAMAN SANKSI ¾ penjara paling lama 3 (tiga) tahun; atau ¾ denda paling banyak Rp 9 juta
Kekerasan psikis yang dilakukan suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari
¾ penjara paling lama 4 (empat) bulan; atau ¾ denda paling banyak Rp 3 juta
27
KEKERASAN SEKSUAL DELIK Kekerasan seksual
DELIK
ANCAMAN SANKSI ¾ penjara paling lama 12 tahun; atau ¾ denda paling banyak Rp 36 juta
Memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual
28
¾ penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 15 tahun; atau ¾ denda paling sedikit Rp 12 juta dan paling banyak Rp 300 juta
Mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 minggu terus menerus atau 1 tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi
ANCAMAN SANKSI
¾ penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun; atau ¾ denda paling sedikit 25 juta dan paling banyak 500 juta
29
PENELANTARAN RUMAH TANGGA DELIK Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangga; atau Menelantarkan orang lain yang berada di bawah kendali
ANCAMAN SANKSI ¾ penjara paling lama 3 (tiga) tahun; atau ¾ denda paling banyak Rp 15 juta
Pidana Tambahan Selain ancaman pidana penjara dan/atau denda tersebut di atas, hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa:
PENETAPAN pelaku mengikuti program KONSELING di bawah pengawasan lembaga tertentu12.
Hukum Acara Pidana Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dilaksanakan menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kecuali yang ditentukan lain dalam UU PKDRT.
Pembuktian Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. Alat bukti yang sah lainnya dalam kekerasan seksual yang dilakukan selain dari suami-istri adalah ‘pengakuan terdakwa’. Yang dimaksud dengan “lembaga tertentu” adalah lembaga yang sudah terakreditasi menyediakan konseling layanan bagi pelaku. Misalnya rumah sakit, klinik, kelompok konselor, atau yang mempunyai keahlian memberikan konseling bagi pelaku selama jangka waktu tertentu. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada hakim menjatuhkan pidana percobaan dengan maksud untuk melakukan pembinaan terhadap pelaku dan menjaga keutuhan rumah tangga. 12
PEMBATASAN GERAK pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku; 30
31
TENTANG PROYEK PENGUATAN HUKUM PEREMPUAN Kegiatan penguatan hukum perempuan merupakan upaya untuk penguatan akses perempuan ke keadilan di tingkat lokal. Hal ini sejalan dengan visi misi Justice for The Poor Project dalam melakukan reformasi hukum di tingkat lokal. Penguatan hukum perempuan bertujuan untuk penguatan kesadaran hukum perempuan di tingkat lokal, penguatan kapasitas penegak hukum dalam melakukan pelatihan hukum berperspektif gender dan melakukan pendokumentasian pelanggaran hak-hak perempuan khususnya kekerasan terhadap perempuan. Kegiatan penguatan hukum perempuan ini pada dasarnya juga bertujuan untuk penguatan institusi “Ruang Pelayanan Khusus” (RPK) di Kepolisian, mengingat UU 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga mengatakan bahwa Kepolisian wajib menyediakan RPK di setiap kantor Polisi. Namun demikian, walaupun RPK telah didirikan sejak tahun 1999, tapi sampai kini statusnya belum jelas. Dalam arti, RPK belum menjadi 32
unit tersendiri dan masuk ke dalam struktur organisasi POLRI. Kondisi seperti ini menyebabkan para Polwan yang bertugas tidak memiliki posisi dan benefit yang jelas serta divisi RPK tidak memiliki dana operasional secara khusus. Dengan demikian, keberadaan dan efektivitas RPK sangat tergantung pada personil Polwan yang terlibat di dalamnya dan pada Kapolres atau Kapolda dimana RPK berada. RPK kini ada sampai tingkat kabupaten (Polres) mengingat jumlah Polwan di Indonesia kurang dari 4% dari jumlah anggota polisi secara keseluruhan, dengan demikian tidak akan mencukupi apabila ingin membentuk RPK di setiap kantor polisi di seluruh Indonesia. Dalam kegiatan penguatan hukum perempuan ini, institusi penegak hukumlah yang akan melakukan pelatihan hukum untuk perempuan di desa. Untuk kebutuhan ini, maka dibentuklah suatu forum multistakeholders yang terdiri dari Hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama, Kejaksaan dan Kepolisian (RPK) serta institusi lokal lain yang dianggap dapat memberikan kontribusi dalam kegiatan ini. Keikutsertaan institusi lain diharapkan dapat mendukung kesinambungan kegiatan ini, misalnya keikutsertaan PEMDA akan memberikan dampak perubahan kebijakan baik peraturan maupun alokasi dana.
33
Forum multi-stakeholder penegak hukum akan ditempatkan di RPK setempat dan terdekat dengan kelompok perempuan di tingkat desa agar dengan demikian terjadi proses penguatan RPK. Pihak RPK yang akan mengkoordinasikan kegiatan forum multistakeholder untuk tujuan pelatihan hukum perempuan di tingkat desa dan dialog kebijakan dalam rangka reformasi kebijakan baik di tingkat lokal maupun di tingkat nasional. Adapun kelompok perempuan yang telah menerima pelatihan hukum dan ketrampilan melakukan pendokumentasian hukum akan melakukan pendokumentasian pelanggaran hak perempuan khususnya kekerasan terhadap perempuan di wilayah tempat tinggalnya atau desa. Hasil pendokumentasian akan digunakan sebagai dasar untuk dialog dan reformasi kebijakan yang berhubungan dengan penguatan akses perempuan ke keadilan baik di tingkat lokal maupun di tingkat nasional. Pilot kegiatan penguatan hukum perempuan akan diselenggarakan oleh PEKKA yaitu LSM yang berfokus pada penguatan kelompok perempuan kepala keluarga yang berlokasi di 8 (delapan) propinsi di Indonesia. Untuk tujuan implementasi, maka seorang koordinator nasional dan seorang ahli akan direkrut dan ditempatkan di Sekretariat Nasional PEKKA. Selain itu, di tiga wilayah propinsi pilot akan direkrut seorang konsultan untuk memfasilitasi 34
kegiatan di tingkat lokal. Sedangkan untuk menjembatani kelompok perempuan di desa dan untuk proses pendokumentasian dan pendampingan, maka jaringan paralegal perempuan akan dibentuk di tingkat kecamatan. Adapun target utama kegiatan penguatan hukum perempuan ini adalah kelompok perempuan PEKKA yang berada di desa-desa wilayah PEKKA. Kegiatan pilot akan diselenggarakan selama dua tahun, akan berakhir pada bulan Maret 2006. Justice for the Poor akan mengupayakan agar kegiatan penguatan hukum perempuan ini akan diadopsi berbagai proyek pengembangan masyarakat berbasis komunitas (CDD: Community-Driven Development). LSM, individu bahkan institusi pemerintah dapat mengadopsi model kegiatan penguatan hukum perempuan ini. Tim Justice for The Poor bersedia memberikan bantuan teknis untuk perencanaan dan implementasi kegiatan.
35
KONTAK: Justice for the Poor Project Jl. Cik Ditiro 68A Menteng Jakarta 10310 Tlp. +62.21.310.7158 +62.21.391.1908/09 Fax. +62.21.392.4640 Website : www.justiceforthepoor.or.id Email:
[email protected] |
[email protected] [email protected] |
[email protected] [email protected] |
[email protected] [email protected]
Sekretariat Nasional Perempuan Kepala Keluarga Komp. Duren Sawit Asri Kav. 1 No. 2A Jl. Swadaya Raya Duren Sawit Jakarta 13440 Tlp. +62.21.8660.3787 +62.21.860.9325 Fax. +62.21.8660.3787 Email :
[email protected] 36