FORUM TARBIYAH JURNAL PENDIDIKAN ISLAM STAIN PEKALONGAN
ISSN 1829-5525 Vol. 7, Nomor 2, Desember 2009 Halaman 131-242
Daftar Isi Kesadaran dan Self-Directed Learning sebagai Model Pembelajaran Alternatif dalam Era Neoliberalisme ...................... 131-142 Dwi Istiyani Pendidikan Berkualitas (Upaya Menuju Perwujudan Civil Society) ................................. 143-156 Muhandis Azzuhri Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan Islam ........................ 157-166 Sopiah Fitrah Akliyah dalam Pendidikan Islam ....................................... 167-180 Ahmad Fadlali Mengakhiri Dikotomi Ilmu dalam Dunia Pendidikan .................... 181-194 M. Hasan Bisyri Upaya Mendidik Anak Melalui Permainan Edukatif .................... 195-208 Abdul Khobir Ujian Nasional: Invalid, Inreliabel, Inkonstitusional dan Bertentangan dengan HAM ........................................................ 209-228 Ahmad Ta’rifin Partisipasi Politik Komunitas Samin Bidang Pendidikan ............... 229-242 Moh. Rosyid
FORUM TARBIYAH JURNAL PENDIDIKAN ISLAM STAIN PEKALONGAN
Penanggungjawab Drs. H. Sudaryo El Kamali Pengarah Zaenal Mustakim Pimpinan Redaksi Abdul Khobir Sekretaris Redaksi Umum B. Karyanto Anggota Redaksi H. Imam Suraji Aris Nur Khamidi M. Sugeng Sholehuddin Sopiah Ahmad Ta‘rifin Moh. Yasin Abidin Moh. Slamet Untung A. Zaeni Redaksi Ahli Jayadi (IAIN Sunan Gunung Djati Bandung) H. Maksum (STAIN Cirebon) H. Dede Rosyada (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) Sekretariat Sumiyati Edy Zubaedi
Kesadaran dan Self-Directed Learning sebagai Model Pembelajaran ...
131
KESADARAN DAN SELF -DIRECTED LEARNING SEBAGAI MODEL PEMBELAJARAN ALTERNATIF DALAM ERA NEOLIBERALISME Dwi Istiyani*
Abstract: Learning should be ideally done with full awareness of the learner themselves, since through self-awareness on the next stage in the learning process will familiarize learners to be able to study independently, or with which it has would foster soul awareness in order to be independent in learner’s study or life. Consciousness and self-directed learning (SDL) is an essential part of learning solutions. Both these concepts can become an alternative model in dealing with education issues in the context of neoliberalizm. Education is part of the victims of neoliberalizm, due to the policy of privatization and reduced budgets for education. Hence as one of the steps that is representative enough in learning is by providing principles of awareness and stimulating independent learning on learner. Kata kunci: Kesadaran, self-directed learning dan neoliberalisme
Pendahuluan Modernisasi yang ditandai dengan kemajuan di berbagai aspek kehidupan, di satu sisi melahirkan kemajuan sains, teknologi dan industri atau disebut dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang dapat mengantarkan umat manusia ke puncak peradabannya. Kecanggihan sains dan teknologi modern telah memungkinkan manusia untuk membangun sebuah peradaban yang canggih, penuh warna dan dinamika serta membuat tradisi kehidupan
∗ Dosen Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Pekalongan
132
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
manusia dalam berbagai bidang menjadi sangat efektif dan efisien (Sirozi, 2004: 129). Pendidikan merupakan proses menuju perubahan yang terjadi pada semua orang. Perubahan tersebut terjadi secara maksimal atau tidak tergantung kondisi yang ada di sekitarnya. setiap manusia mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan pengetahuannya atau sesuai dengan konteks kehidupan yang akan dipilihnya. Karena ilmu sesuai dengan konteksnya (contextual). Oleh karena itu ukuran kemampuan setiap orang juga disesuaikan dengan konteksnya. Mungkin konteks yang berkembang antara di Indonesia dengan di Negara lain berbeda, karena memang konteksnya berbeda. Artinya pengetahuan yang dikembangkan di setiap Negara juga tidak sama. Hal ini karena pada dasarnya belajar dibangun oleh masing-masing individu dengan kesadaran penuh (learner), kelompok, bangsa, Negara, sehingga warna yang dikembangkan tidak lepas dari sejarah masyarakat tersebut. Misalkan masyarakat tradisional konteksnya akan berbeda dengan masyarakat modern, karena adanya perbedaan kultur dan cara mengembangkan teori. Oleh karena itu, belajar saat ini tidak hanya mengumpulkan pengetahuan (transfer of knowledge). Karena sebenarnya belajar adalah transmisi diri secara kualitatif. Konsep Consciousness dan Self Directed Learning Consciousness merupakan alternatif untuk memaksimalkan pembelajaran pada peserta didik, karena kesadaran merupakan modal penting bagi peserta didik dalam memperoleh pengetahuan dan pendidikan. Kesadaran dimulai dengan pengetahuan dasar atau beberapa jenis kemampuan yang belum sempurna untuk mengetahui atau menyadari apa yang terjadi. Kesadaran merupakan energi pokok yang luar biasa yang terdapat pada pikiran yang berpengalaman secara sadar. Energi di sini maksudnya adalah kemampuan untuk melakukan sesuatu dan kemampuan menciptakan sesuatu yang terjadi (Benjamin Wallace & Leslie E. Fisher,1987: 7). Hal yang paling penting dalam kegiatan pembelajaran adalah yang dilakukan dengan kemauan dan kesadaran dari dalam diri sendiri sehingga mahasiswapun akan lebih mempunyai semangat yang luar biasa dalam belajar. Konsep kesadaran yang mencoba diambil oleh peneliti dalam tema ini dengan meminjam konsep kesadaran (Consciousness) yang dikemukakan oleh
Kesadaran dan Self-Directed Learning sebagai Model Pembelajaran ...
133
William James yang menemukan sekolah fungsionalisme. Dia melihat kesadaran sebagai alat yang membolehkan individu untuk memilih jalan tindakannya sendiri. Menurutnya kesadaran sebagai fungsi pengetahuan. Pengetahuan atau kemampuan untuk mengetahui merupakan pikiran pribadi, oleh karena itu apa yang individu ketahui atau pikirkan berbeda dari apa yang setiap orang lain ketahui atau pikirkan. James mempercayai bahwa kesadaran adalah perubahan selamanya. Ini berarti setiap keadaan sadar adalah sebuah fungsi segala psikophisikal secara total dan pikiran secara kumulatif bukan berulang. Selengkapnya dalam hal ini ada keyakinan bahwa obyek bisa berulang tetapi perasaan atau pemikiran tidak bisa berulang (Wallace & Fisher, 1987: 3). Sedangkan konsep kesadaran lain yang dikutip dari pendapatnya Buncomes bahwa: Consciousness is an entirely private, first person phenomenon which occurs as part of what we call mind. consciousness refers to the ability to be self-aware and make meaning of our experiences. consciousness can also be thought of as a sense of identity, especially the complex attitude, beliefs, and sensitives held by an individual.
Menurutnya kesadaran adalah sesuatu yang sepenuhnya pribadi, fenomena pertama seseorang yang terjadi sebagai bagian dari apa yang kita sebut sebagai pikiran. Kesadaran mengacu pada kemampuan untuk menjadi sadar pada diri sendiri dan menciptakan arti pada pengalaman kita. Kesadaran juga bisa dianggap sebagai sense of identity, khususnya pada sikap yang kompleks, keyakinan dan sensitifitas yang dipegang oleh masing-masing individu (Merriam, 2001: 77). Dengan kesadaran yang dimiliki oleh mahasiswa dalam belajar maka mereka bisa melaksanakan self-directing learning sebagai model yang dikenalkan oleh Knowles pada konsep andragoginya. Pembelajaran sejati adalah yang mampu merubah cara berpikir seseorang tentang dunia, dan mampu mengembangkan masing-masing individu. Apabila dikaitan dengan isu-isu globalisasi maka persoalan kesadaran (consciousness) dan self-directing learning adalah persoalan penting yang bisa menyokong tumbuhnya kreativitas pada peserta didik dalam belajar. Hal ini merupakan akan menjadi cara yang konsisten pada saat ini, asalkan disesuaikan dengan konteks teknologi dan budaya yang ada. Upaya mengembangkan peserta didik sebagai learner tidak hanya dalam konteks
134
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
yang berbeda dan apa yang dibutuhkan mereka tetapi juga potensi sumber dayanya dan strategi yang ada (Dunne,1999: 108). Konsep Knowles tentang model self-directing learning adalah sebagai model design instruksional dengan partisipasi learner dalam pengambilan keputusan. Dia melihat self-directing learning sebagai bentuk proses dimana learner mengambil inisiatif dengan atau tanpa bantuan orang lain dalam menentukan kebutuhan, memilih strategi pembelajaran, dan mengevaluasi kemajuannya. Dengan kata lain karya Knowles tentang self directed learning diinterpretasikan sama dengan Independent Learning, sepadan dengan pengajaran dengan modul atau computer-managed instruction (Cranton, 1996:53). Self-directed learning bisa membantu mahasiswa menegaskan mereka sebagai learner sebagai sosok yang berbeda dari anak-anak dalam belajar. Menurutnya dengan model tersebut seseorang akan semakin bertambah dewasa secara langsung pada dirinya. Teori self-directing learning menurut Though adalah pembelajaran yang diperluas yang terjadi sebagai bagian dari kehidupan orang dewasa setiap hari, dan secara sistematis tidak bergantung pada seorang instruktur atau ruang kelas (Merriam, 2001: 8). Bagaimanapun peserta didik dewasa proses pembelajarannyapun akan berbeda dengan anak-anak sekolah dasar dan menengah, ada beberapa asumsi yang menggarisbawahi konsep pembelajaran pada manusia dewasa (andragogy) yang digambarkan sebagai siswa dewasa yang mempunyai konsep diri yang mandiri dan bisa secara langsung belajar sendiri dan dengan penuh kesadaran, telah mengakumulasi pengalaman-pengalaman kehidupannya yang menjadi sumber terpenting dalam pembelajarannya, memiliki kebutuhan belajar yang berkaitan dengan perubahan peran sosial, dan pada manusia dewasa lebih termotivasi untuk belajar secara internal daripada eksternal. Dari beberapa asumsi tersebut maka memang diperlukan cara yang lebih mendewasakan mahasiswa dalam mengembangkan potensi yang dimiliki mereka (Merriam, 2001: 5). Fenomena Arus Neoliberalisme di Indonesia Di Indonesia, walaupun sebenarnya pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal telah dimulai sejak pertengahan 1980-an, antara lain melalui paket kebijakan deregulasi dan debirokratisasi, pelaksanaannya secara massif menemukan momentumnya setelah Indonesia dilanda krisis moneter pada
Kesadaran dan Self-Directed Learning sebagai Model Pembelajaran ...
135
pertengahan 1997. Menyusul kemerosotan nilai rupiah, Pemerintah Indonesia kemudian secara resmi mengundang IMF untuk memulihkan perekonomian Indonesia. Sebagai syarat untuk mencairkan dana talangan yang disediakan IMF, pemerintah Indonesia wajib melaksanakan paket kebijakan Konsensus Washington melalui penanda-tanganan Letter Of Intent (LOI), yang salah satu butir kesepakatannya adalah penghapusan subsidi untuk bahan bakar minyak, yang sekaligus memberi peluang masuknya perusahaan multinasional seperti Shell. Begitu juga dengan kebijakan privatisasi beberapa BUMN, diantaranya Indosat, Telkom, BNI, PT. Tambang Timah dan Aneka Tambang (Wikipedia). Kebijakan-kebijakan yang berasal dari arus neoliberalisme juga akhirnya merambah pada bidang pendidikan, karena bagaimanapun juga pendidikan tidak bisa lepas dari persoalan politik dan ekonomi pada sebuah negara. a.
Privatisasi Pendidikan Nalar neoliberalisme ini pun pada akhirnya mencengkeram dunia pendidikan, karena pendidikan adalah ranah yang sangat strategis dalam membentuk tatanan sosial melalui transformasi intelektual dan sosial, terutama kampus yang diakui sebagai centre of exellence. Beberapa praktik neoliberalisme dalam pendidikan atau yang dapat disebut sebagai neoliberalisme pendidikan antara lain adalah, pertama, berupaya untuk melepas tanggung jawab pemerintah dalam mendanai pendidikan. Pendidikan publik yang mestinya menjadi hak dari tiap warga negara untuk mendapatkannya dilepaskan dari tanggung jawab negara, dan kemudian ia menjadi santapan empuk bagi kalangan pemodal untuk menjadikannya sebagai bagian dari bisnis mereka. Dalam pelepasan tanggung jawab tersebut, pemerintah menyerahkannya sebagai tanggung jawab masyarakat bersama. Kedua, menyamakan dunia pendidikan dengan dunia industri. Dalam hal ini, sekolah, kampus dan semua institusi pendidikan dianggap bagaikan sebuah pabrik, di mana ilmu pengetahuan dijual, siapa yang dapat membayar lebih banyak maka ia yang akan mendapatkan ilmu pengetahuan lebih banyak. Sekolah dan kampus dikelola dalam nalar perusahaan (korporasi, menjadi korporatisasi) dengan banyak pertimbangan ekonomis, seperti efektivitas, efesiensi, produktivitas, dan lainnya. Nalar ini juga menjadikan institusi pendidikan adalah sarana untuk mengeruk dan memupuk untung materi, jadi tujuan utamanya bukanlah proses pemanusiaan, pemerdekaan, pengembangan ilmu pengetahuan, namun sekadar dapat berjalan sebagaimana rutinitas industri
136
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
yang menerima in put, kemudian mengolahnya, dan mengeluarkan produk yang memiliki nilai tambah dan produktivitas lebih (Michael W. Apple). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah atau yang kerap disebut sebagai KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) dalam tingkat substansi dan pelaksanaan masih membawa persoalan yang serius. Pertama bahwa komitemen perubahan pada satuan kurikumum sama sekali masih belum menyentuh pada komitmen dan keseriusan negara untuk menjamin proses pembangunan pendidikan secara lebih adil. Atmosfir yang dirasakan masih pada pola kebijakan fragmentatif dan pragmatis. Kedua, perubahan kurikulum menjadi terlihat sebagai keniscayaan yang tidak mampu dihindari oleh negara untuk keluar dari keterjebakan intervensi pasar dalam pengelolaan pendidikan. Ketiga, pada tingkat implementatif tidak juga disertai dengan upaya secara komprehensif menyertakan dukungan-dukungan pada kebijakan-kebijakan sektor lain yang terkait. Kebijakan kurikulum bukanlah entitas netral yang hanya menjadi kepedulian sektor pendidikan. Kurikulum adalah prototipe wajah generasi pendidikan yang harus disusun dalam kerangka yang luas menyertakan seluas-luasnya keterlibatan masyarakat. Problem pendidikan daerah menjadi cukup signifikan mengingat perubahanperubahan dalam tingkatan global memaksa daerah sekaligus telah menjadi ruang sekaligus aktor dalam percaturan politik ekonomi internasional (Joomla Generated: 14 May, 2009) b.
Problem Sekolah mahal Pada level perguruan tinggi (yang dimaksud di sini tentu perguruan tinggi negeri, karena tidak disebutkan BHPM dalam klausul-klausulnya, tapi BHPP, BHPPD) terdapat dalam pasal 41 ayat (5) bahwa, “Pemerintah bersamasama dengan BHPP menanggung seluruh biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan pada BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan”, biaya operasional terdapat dalam ayat (6) bahwa, “Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung paling sedikit 1/2 (seperdua) biaya operasional, pada BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan”. Kalau dicermati lebih jauh, pada ayat (5) dan (6) terdapat kata-kata “bersama-sama”, dengan demikian misalnya mengambil
Fitrah Akliyah dalam Pendidikan Islam
137
kasus Universitas Indonesia (UI), pada ayat (5) “pemerintah bersama-sama dengan UI menanggung seluruh biaya investasi, beasiswa, ..”, ayat (6) menjadi, “pemerintah bersama-sama dengan UI menanggung paling sedikit ½ biaya operasional…”. Sudah begitu, pada pasal 41 ayat (10) dinyatakan bahwa, “Dana pendidikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya pada badan hukum pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Hibah tentu tidaklah wajib, hibah sifatnya sumbangan, charity, donasi (Michael W. Apple) Banyak faktor yang bisa mempengaruhi cara peserta didik melakukan pendekatan pada pengalaman belajarnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristik peserta didik dewasa sebagai learner dan jangkauan dari kepribadian dan cognitive style pada individu. Perbedaannya terletak pada usia, pengalaman, motivasi dan persepsi diri masing-masing. Karena bekal kedewasaan yang telah dimiliki oleh peserta didik dewasa merupakan produk kehidupan masa lalunya yang bisa digunakan dalam proses melakukan perubahan secara permanen pada potensi mereka berkaitan dengan performance sebagai hasil interaksi mereka di masa lalu dengan lingkungannya (Lovell, 2000:1986). Maka sebenarnya setiap manusia dewasa memiliki peluang yang sama untuk melakukan pengembangan diri, karena orang dewasa sudah dianggap mampu dan memiliki kesadaran untuk melakukan pembenahan diri. Dan setiap orang dewasa mengetahui sampai sejauhmana kemampuan yang dimiliki oleh mereka, sehingga upaya untuk melakukan pembenahan diripun bisa dilakukan secara langsung. Dalam menghadapi perkembangan jaman yang sangat pesat sekarang ini setiap orang sebagai bagian dari pelaku jaman harus benar-benar mampu menyesuaikan dan bersikap fleksibel serta open-minded. Hal ini agar nantinya mereka tidak kaku dalam berbaur dengan era yang cepat sekali mengalami perubahan, terutama perubahan teknologi. Oleh karena itu setiap orang dituntut agar mampu melakukan koreksi diri dan membenahi diri sehingga nantinya menjadi sosok outcomes yang benar-benar siap pakai dan tidak canggung dengan setiap terjadinya perubahan. Maka mereka harus belajar dengan tujuan tidak lain adalah aktualisasi diri dengan menggunakan talenta, kapasitas, dan potensi yang dimilikinya. Untuk membentuk kesadaran belajar dan meningkatkan potensi yang dimiliki oleh mereka maka diperlukan upaya mengukur kemampuan diri masing-masing sampai sejauhmana ilmu pengetahuan yang telah diperoleh mereka atau dengan melihat mereka
138
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
mengevaluasi diri mereka sendiri sudah seberapa maksimal kemampuan mereka dalam menyesuaikan dengan kondisi yang menuntut mereka. Oleh karenanya setiap orang harus betul-betul mampu membenahi diri dengan kesadaran dirinya, artinya menyadari apa yang mesti dibenahi pada diri mereka dan secara langsung mereka yang melakukan pembelajaran untuk merubah dirinya. Mereka benar-benar merubah cara pandang dan pola berpikir mereka sehingga bisa membentuk kemandirian belajar mereka dalam rangka menghadapi era globalisasi yang penuh dengan tuntutan. Oleh karena itu dalam makalah ini mencoba menawarkan solusi menghadapi konteks jaman yang sangat dinamis dengan alternatif kesadaran diri dan self directed learning. Sehingga bisa menjadi bahan untuk mengapresiasi sejauhmana kesadaran diri dan self-directing learning mempunyai pengaruh positif pada kreativitas orang. Alternatif pembelajaran dengan Model Kesadaran diri dan self-directed learning dalam menghadapi arus neoliberalisme Salah satu implikasi neoliberalisme dalam pendidikan adalah dijadikannya ideologi kompetisi sebagai basis pendidikan. Hampir semua sekolah, taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, didasarkan ideologi kompetisi. Sistem pemeringkatan adalah salah satu wujud kompetisi. Mulai pendidikan dasar hingga tinggi, siswa diorientasikan berkompetisi. Kompetisi bisa memberi manfaat, baik individual maupun sosial, tetapi dengan kondisi-kondisi tertentu. Orang yang sudah kuat dan mapan dalam ekonomi, pendidikan, dan modal tidak fair jika berkompetisi dengan mereka yang lemah. Ini bukan kompetisi yang sehat, tetapi bisa menjadi eksploitasi dan kontraproduktif. Sesuai dengan paradigma berpikir neoliberal, dalam kompetisi harus ada pemenang dan pecundang. Ketika ideologi kompetisi dijadikan basis pendidikan, output pendidikan hanya akan menghasilkan pemenang dan pecundang. Kita tidak sadar, ideologi kompetisi yang diciptakan neoliberal didesain untuk kepentingan pemenang. Karena yang mendesain, menyebarkan, dan mendesakkan kepada publik adalah pemenang, yaitu mereka yang kuat secara ekonomi, politik, pendidikan, dan modal (M Agus Nuryatno). Di satu sisi pengaruh arus neoliberalisme sendiri Ilmu pengetahuan melalui teknologi informasi dan komunikasi terkini dapat diakses dengan cepat oleh siswa, dosen, peneliti di negara-negara berkembang seperti Indonesia via televisi dan internet. Neoliberalisme juga melahirkan kebebasan politik yang
Kesadaran dan Self-Directed Learning sebagai Model Pembelajaran ...
139
lebih besar bagi semua warga dunia, dalam hal ini juga Indonesia, sehingga tatanan ekonomi memberikan kebebasan ekonomi serta terbentuk masyarakat demokratis yang menghargai dan melindungi kebebasan individu. Setiap individu bebas mengembangkan kemampuannya sesuai dengan potensi dan keinginannya sendiri. Pendidikan pada umumnya selalu dikaitkan dengan gejala-gejala perbuatan mendidik, atau yang dikenal dengan paedagogie, yaitu pergaulan dengan anak-anak. Konsep pendidikan yang selalu digunakan adalah dengan pedagogik,(Purwanto,2000:3) padahal ilmu tersebut hanya membimbing terbatas pada anak-anak saja, untuk mengarahkan mahasiswa sebagai kategori manusia dewasa dibutuhkan ilmu khusus atau konsep pendidikan bagi mereka yaitu dengan andragogi (adult learning). Diketahui ada beberapa partisipasi orang dewasa dalam pembelajaran formal karena terlihat sebagian besar yang melakukannya adalah mereka. Pembelajaran bagi orang dewasa dalam konteks formal bisa yang mengambil setting kelas yang di dalam kegiatan tersebut mengandung unsur pendidikan bagi orang dewasa. Ada pendidik yang dengan cara yang bertanggung jawab untuk melangsungkan kemajuan bagi learner dan menggunakan silabus resmi atau program yang harus dilaksanakan oleh learner. Konteks tersebut biasanya digunakan di seluruh universitas, politeknik, institut dan perguruan tinggi pendidikan lainnya (Lovell, 1986: 19). Teori tentang pembelajaran bagi orang dewasa banyak dikemukakan oleh beberapa ilmuwan. Ada pemahaman yang artistik yang mencoba mencari untuk menemukan pengetahuan baru melalui intuisi dan analisis pengalaman yang berkenaan dengan bagaimana orang dewasa belajar (how adult learn). Pemahaman ini dipublikasikan oleh Eduard C. Lindeman dengan konsep The meaning of Adult Education pada tahun 1926. Menurutnya pendekatan yang digunakan bagi pendidikan orang dewasa akan melalui rute situasi bukan subyek. Pada pendidikan konvesional siswa diperlukan untuk melakukan penyesuaian pada dirinya, tujuannya untuk membentuk kurikulum. Sedangkan pada pendidikan orang dewasa dibangun karena kebutuhan dan minat mereka. setiap orang dewasa menemukan dirinya dalam situasi yang spesial dengan menghargai karyanya, kehidupan keluarganya, kehidupan komunitasnya. Situasi-situasi tersebutlah yang digunakan untuk adjustment. Pendidikan orang dewasa dimulai dari poin-poin tersebut. Pokok permasalahan dibawa ke dalam situasi yang kemudian dijadikan sebagai pekerjaan yang dibutuhkan
140
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
mereka teks dan pendidik memainkan peran baru dan kedua dalam konteks pendidikan. Artinya guru dan teks harus memberikan jalan untuk kepentingan learner yang utama (Knowles,1986: 28-29). Oleh karena itu cara yang dianggap tepat bagi orang dewasa dalam belajar adalah dengan model selfdirected learning. Dengan model tersebut orang dewasa bisa menentukan keinginannya dalam mengarahkan potensi yang dimilikinya. Karena setiap individu dewasa memiliki minat atau keinginan yang satu sama lain berbeda. Apabila model pembelajaran tersebut dikembangkan maka setiap individu mungkin bisa mengembangkan kreativitasnya masing-masing. Menurut Nana Syaodih Sukmadinata kreativitas sebagai bentuk dari hasil self-directed learning merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang untuk menemukan dan menciptakan sesuatu hal baru, cara-cara baru, model baru yang berguna bagi dirinya dan bagi masyarakat. Hal itu bukan harus sesuatu yang murni baru tetapi bisa kombinasi baru, hubungan baru, konstruk baru yang memiliki kualitas yang berbeda dengan keadaan sebelumnya. Jadi hal baru adalah sesuatu yang inovatif. Oleh karena itu kreativitas banyak berhubungan dengan intellegensi. Maka seorang yang kreatif pada umumnya memiliki intellegensi yang cukup tinggi dan seorang yang tingkat intelligensinya rendah maka kreativitasnya juga relaif kurang. Tetapi kreativitas juga berkaitan dengan kepribadian. Seorang yang kreatif adalah yang memiliki jiwa mandiri, bertanggung jawab, bekerja keras, motivasi tinggi, optimis, memiliki rasa ingin tahu yang besar, percaya diri (Sukmadinata, 2003: 104). Manusia dewasa juga berhak memilih jalan hidupnya sendiri dan berhak belajar dengan kemauan dirinya, dan bisa lebih inovasi lagi dalam berkarya sehingga akan lebih kreatif. Menurut Noeng Muhadjir dengan kreativitasnya setiap orang terbukti akan mampu mengakselerasi kemampuannya sedemikian rupa sehingga meningkatkan martabatnya sebagai manusia. Mahasiswa pasti punya idealisme, mempunyai cita-cita bagi masyarakat masa depan. Agar cita-cita bisa tercapai setiap orang harus membuat kreativitas dengan belajar sendiri dengan menciptakan situasi dan kondisi (Noeng Muhadjir, 2000: 94). Arus neoliberalisme yang terjadi saat ini dalam bentuk globalisasi berpengaruh terhadap perubahan sosial, salah satunya pada sektor pendidikan. Oleh karena itu dibutuhkan bentuk pembelajaran yang inovatif untuk mempersiapkan semua individu dewasa untuk melakukan perubahan. Perubahan pada status, posisi, dan identitas baru yang diperoleh dari pengalaman belajar mereka, kemudian menjadi biografi bagi mereka (total
Kesadaran dan Self-Directed Learning sebagai Model Pembelajaran ...
141
life experience)(Jarvis, 2007:37). Sehingga akan memberi makna dalam kehidupan mereka. kebermaknaan tersebut hanya bisa terbentuk dengan kemampuan individu dalam melakukan sesuatu yang bermanfaat yang berkaitan dengan pengetahuan. Oleh karena itu, melalui self-directed learning kemungkinan akan bisa menciptakan pengetahuan sebagai budaya pada setiap individu. Kesadaran yang muncul dari setiap individu juga bisa membentuk independent learning pada mereka sehingga bisa mengatasi sifat ketergantungan pada sebuah bentuk pembelajaran yang tidak membentuk kemandiriannya, bahkan dengan kesadarannya mereka akan lebih maksimal dalam melakukan self-directed learning. Sehingga untuk melakukan perubahan menuju kehidupan yang lebih baik lagi lebih mudah terbentuk. Simpulan 1. Dalam arus neoliberalisme pendidikan dihadapkan pada ideologi kompetensi di satu sisi, akses ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat di sisi lain. Hal ini di satu sisi menguntungkan, tetapi dipihak lain juga menimbulkan adanya kesenjangan dalam bidang sosial, ekonomi, dan pendidikan yang semakin lebar. 2. Agar pembelajaran pada peserta didik dapat berjalan dengan maksimal, maka sangat diperlukan kesadaran (consciousness) dan self directing learning sebagai salah satu alternatif pembelajaran. Daftar Pustaka Dunne, Elisabeth. 1999. The Learning Society International Perspective on Core skills in Higher Education. London: Kogan Page. Cranton, Patricia. 1996. Professional Development as Transformative Learning. San Fransisco: Jossey-Bass. Jarvis, Peter. 2007. Globalization Lifelong learning and the learning Society. London & New York: Routledge. Kerlinger, Fred N. 2006. Foundation of Behavioral Research, penerj: Bandung R. Simatupang. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Knowles, Malcolm. 1986.The Adult Learner A Neglected Species. Houston Texas: Gulf Publishing Company. Lovell, R.Bernard. 2000. Adult Learning, London & Sydney: Croom Helm.
142
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
Merriam, Sharan B. 2001. The New Update on Adult Learning Theory. San Fransisco: Jossey-Bass. Muhadjir, Noeng. 2000. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial Teori Pendidikan Pelaku Sosial Kreatif. Yogyakarta: Rake Sarasin. Purwanto, Ngalim. 2000. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Rosdakarya. Sukmadinata, Nana Syaodih. 2003. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: Rosdakarya. Wallace, Benjamin & E. Fisher, Leslie E. 1987. Consciousness and Behaviour. Boston, London, Sydney, Toronto : Allyn & Bacon. Artikel: Apple, Michael W. Globalisasi dan Neoliberalisme Pendidikan dalam http:/ /ulyssesonline.com Muhammad Sirozi. 2004. Agenda Strategis Pendidikan Islam. Yogyakarta: AK Group. http://www.jurnalbenangmerah.com. Powered by Joomla! Generated: 14 May 2009. M Agus Nuryatno Pendidikan dan Ideologi Kompetisi dalam http://uinsuka.info/humas
Pendidikan Berkualitas (Upaya Menuju Perwujudan Civil Society)
143
PENDIDIKAN BERKUALITAS (Upaya Menuju Perwujudan Civil Society) Muhandis Azzuhri*
Abstract: A qualified education can provide a right view about the process of changing views of society by setting up human resources that are righteous in God the Almighty, possesing virtuous noble character, having good personality, productive, physically and mentally healthy, independent, advanced, powerful, smart, knowledgeable, creative, skilled, disciplined, professional, responsible, socially minded, and be oriented to the future. In achieving this goal, education must be tailored to the needs of civil society that is humane, universal, democratic, in accordance with local and national cultures, capable of balancing between IMTAQ and IPTEQ as well as nondichotomous accordingly be accomodative and applicative to all. Kata kunci: pendidikan berkualitas, civil society, sumber daya manusia
Pendahuluan Tugas pendidikan nasional bukan sekadar menghayati dan mengembangkan unsur-unsur kebudayaan lokal dan nasional, tetapi ikut membangun kebudayaan nasional tersebut. Pendidikan yang didasarkan pada kebudayaan menuntut pranata-pranata sosial untuk pendidikan seperti keluarga, sekolah, haruslah merupakan pusat-pusat penggalian dan pengembangan kebudayaan lokal dan nasional. Namun, yang terjadi dalam pendidikan kita tidak lagi berfungsi sebagai pusat pengembangan kebudayaan, yang ada hanyalah
∗ Dosen Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Pekalongan
144
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
diprioritaskan pada aspek intelektual, sedangkan aspek-aspek kebudayaan lainnya kurang terintegralistik. Pendidikan bertujuan membentuk kepribadian seimbang di kalangan peserta didik melalui latihan rohani (spiritual), intelektual, emosional, dan jasmani dengan menunjukkan peserta didik itu kepada berbagai pengalaman pada aspek-aspek pertumbuhan dan perkembangan. Dengan demikian, kurikulum harus berdasarkan pada klasifikasi ilmu pengetahuan yakni ilmuilmu wahyu (Alquran) dan ilmu-ilmu yang diperoleh melalui akal dari ayatayat kauniyah (alam jagat raya berserta seluruh isinya) (Nurdin, 2009: th.). Sebab pendidikan adalah proses penyesuian diri secara timbal balik antara manusia dengan alam, dengan sesama manusia atau juga pengembangan dan penyempurnaan secara teratur dari semua potensi moral, intelektual, dan jasmaniah manusia oleh dan untuk kepentingan pribadi dirinya dan masyarakat yang ditujukan untuk kepentingan tersebut dalam hubungannya dengan Allah Yang Maha Pencipta sebagai tujuan akhir. Ahmad D. Marimba mengatakan dalam (Adzanwahiddie, 2009: th) bahwa, “Pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh si pendidik terhadap si terdidik dalam hal perkembangan jasmani dan rohani menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Pendidikan tidak hanya untuk kepentingan individu atau pribadi, tetapi juga untuk kepentingan masyarakat. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan yang tercantum dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 29 Tahun 1990. Selain pendidikan dipusatkan untuk membina kepribadian manusia, pendidikan juga diperuntukkan guna pembinaan masyarakat (Adzanwahiddie, 2009: th). Akar Historis Civil Society Konsep civil society memiliki banyak versi dan interpretasi, kendatipun secara idelogis dapat digolongkan ke dalam dua versi ideologis, yakni versi kapitalisme dan sosialisme. Gellner telah menelusuri akar gagasan civil society ini ke masa lampau dalam sejarah peradaban Barat (Eropa dan Amerika), antara lain yang didapatkannya adalah bahwa konsep ini pertama kali dipopulerkan oleh pemikir terkenal Skotlandia, Adam Ferguson (1723-1816), dalam karya klasiknya An Essay on History of Civil Society (1767). Konsep civil society lebih
Pendidikan Berkualitas (Upaya Menuju Perwujudan Civil Society)
145
lanjut dikembangkan oleh kalangan pemikir berikutnya seperti Rousseau, Hegel, Marx dan Tocqueville. Studi Gellner berlanjut sampai pada kajian terhadap upaya menghidupkan kembali konsep civil society di Eropa Timur dan Barat di zaman kontemporer. John Locke, menurut Fahmi Huwaidi (1996) merupakan orang pertama kali yang membicarakan pemerintahan sipil (civillian government), sebagai cikal bakal konsep civil society. Konsep ini ditulisnya dalam buku yang berjudul Civillian Government pada tahun 1690 M. Buku tersebut mempunyai misi menghidupkan peran masyarakat dalam menghadapi kekuasaan-kekuasaan mutlak para raja dan hak-hak istimewa para bangsawan. Dalam misi pembentukan pemerintahan sipil itu, Locke membangun pemikiran otoritas rakyat untuk merealisasiakan kebebasan dari kekuasaan elit yang memonopoli kekuasaan dan kekayaan. Menurutnya, semua dapat terwujud melalui demokrasi parlementer yang berfungsi sebagai wakil rakyat dan pengganti otoritas raja. Sedangkan Rousseau yang terkenal dengan bukunya The Social Contract (1762 M), berbicara tentang otoritas rakyat, dan perjanjian politik yang harus dilaksanakan antara individu rakyat dengan penguasa. Dalam hal ini dia satu tujuan dengan Locke, yaitu mengajak individu rakyat untuk ikut menentukan masa depannya sendiri, serta menghancurkan monopoli yang dilakukan oleh kaum elite yang berkuasa demi kepentingannya sendiri. Karl Marx (1818-1883 M) dan pendahulunya Hegel, sebagai pencetus ide sosialisme, juga mempunyai konsep pemberdayaan rakyat ini. Marx dan Hegel berpendapat bahwa negara adalah bagian dari suprastruktur, yang mencerminkan pembagian masyarakat ke dalam kelas-kelas dan dominasi struktur politik oleh kelas dominan. Negara tidak mewujudkan kehendak universal tapi kepentingan kelas borjuis. Secara lebih lengkap Marx telah memberikan teori tradisional tentang dua kelompok masyarakat di dalam negara yang dikenal dengan base-superstructure. Teori kelas sebagai salah satu pendekatan dalam Marxisme tradisional menempatkan perjuangan kelas sebagai hal sentral, faktor esensial, dan menentukan dalam perubahan sosial. Pendekatan ini cenderung melihat masyarakat kapitalis dari perspektif ekonomi. Masyarakat kapitalis dibagi menjadi dua kelas utama, yaitu proletar dan borjuis. Dari perspektif ini, masyarakat terdiri dari dua unsur esensial yaitu dasar (base) dan superstruktur. Adanya dua kelas ini mau tidak mau akan membawa kepada konflik yang tidak dapat dihindarkan ketika keduanya berusaha mendominasi yang lainnya.
146
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
Selain Marx, Antonio Gramsci salah satu tokoh Neo-Marxisme telah mengembangkan teori ini menjadi lebih luas. Base-superstructure dalam teori Marx dikembangkan tidak hanya dalam bidang ekonomi. Tetapi bisa juga dalam bidang pendidikan, politik, dan sebagainya Dalam bidang politik, negara menjadi superstructure yang sering memaksakan kehendak kepada rakyat (base). Adanya pembagian kelas ini, menurut Gramsci menuntut untuk terciptanya kemandirian masyarakat (civil society), agar negara lebih terbatasi dalam melebarkan kekuasaannya. Sementara itu, Bell (1989), Keane (1989), dan Cohen & Arato (1992), menyatakan bahwa civil society setidaknya memiliki tiga ciri utama; Pertama, kemandirian yang tinggi dari individu-individu dan kelompok-kelompok masyarakat, ketika berhadapan dengan negara. Kedua, adanya ruang publik bebas sebagai wahana bagi keterlibatan politik secara aktif dari warga negara melalui wacana dan praksis yang berkait dengan kepentingan publik. Dan, ketiga, adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar ia tidak intervensionis. Kembali kepada Gellner, menurutnya, civil society dalam arti luas di samping merupakan sekelompok institusi/lembaga dan asosiasi yang cukup kuat mencegah tirani politik baik oleh negara maupun komunal/komunitas, juga cirinya yang menonjol adalah adanya kebebasan individu di dalamnya, di mana sebagai sebuah asosiasi dan institusi, ia dapat dimasuki serta ditinggalkan oleh individu dengan bebas. Lebih lanjut Gellner menyatakan bahwa civil society tidak hanya menolak dominasi negara atas dirinya, tetapi juga karena sebagai institusi yang bersifat non-state. Maka dalam penampilan kelembagaannya ia tidak mendominasi individu-individu dalam dirinya. Di sinilah posisi individu sebagai aktor sosial yang bebas yang diistilahkan Gellner sebagai manusia moduler (tidak dipengaruhi kultur), yang menurutnya tidak merupakan prasyarat bagi perwujudan civil society. Jadi civil society tidak hanya menerapkan sifat otonominya terhadap negara, namun dalam konteks internalnya dari sejak hubungan antar anggotanya, ia juga merupakan institusi yang menghargai keniscayaan perlunya menghargai otonomi individual. Sejalan dengan itu, Culla menyatakan bahwa variabel utama civil society adalah otonomi (kemandirian), publik dan civic, sesuatu yang meniscayakan demokrasi bagi masyarakat seperti kebebasan dan keterbukaan untuk berserikat, berkumpul mengeluarkan pendapat serta kesempatan sama dalam mempertahankan kepentingan di depan umum (Fikri, 2009: th).
Pendidikan Berkualitas (Upaya Menuju Perwujudan Civil Society)
147
Dari berbagai versi tentang konsep civil society tersebut, Asrori S. Karni dalam Ahmad Baso (1999) menyimpulkan ada 5 (lima) teori civil society yang ada di Barat : Pertama, teori Hobbes dan Locke, yang menempatkan civil society sebagai penyelesai dan peredam konflik dalam masyarakat. Jadi, civil society disamakan dengan negara. Kedua, teori Adam Ferguson, yang melihat civil society sebagai gagasan alternatif untuk memelihara tanggung jawab dan kohesi sosial serta menghindari ancaman negatif individualisme, berupa benturan ambisi dan kepentingan pribadi. Civil society dipahami sebagai entitas yang sarat dengan visi etis berupa rasa solider dan kasih sayang antar sesama. Ketiga, teori Thomas Paine, yang menempatkan civil society sebagai antitesis negara. Negara harus dibatasi sampai sekecil-kecilnya, karena keberadaannya hanyalah keniscayaan buruk belaka (necessary evil). Keempat, teori Hegel dan Marx, yang tidak menaruh harapan berarti terhadap entitas civil society. Konseptualisasi mereka tentang civil society bukan untuk memberdayakannya atau menobatkannya, tetapi lebih untuk mengabaikan dan bahkan melenyapkannya. Kelima, teori Tocquiville, yang menempatkan civil society sebagai entitas untuk mengimbangi (balancing force) kekuatan negara, meng-counter hegemoni negara dan menahan intervensi berlebihan negara (Fikri, 2009: th). Istilah civil society di Indonesia pertama kali muncul dari kalangan sarjana Australia, tepatnya Monash University, melalui sebuah konfrensi yang diselenggarakan dengan tema “State and Civil society in Contemporary Indonesia”, 25-27 Nopember 1988. Pelaksanaan konfrensi tersebut melibatkan sarjana Indonesia, Arif Budiman, yang saat itu diundang sebagai George Hick Visiting Fellow pada Centre of Southeast Asian Studies, Monash University. Konfrensi itu pula yang kemudian melahirkan sebuah buku yang disunting oleh Arif Budiman dengan judul State and Civil society in Indonesia (Prasetyo dan Munhanif, 2002: 78-79). Sejak itulah istilah civil society berkembang di Indonesia. Lebih dari itu, dalam perkembangannya kemudian, dunia intelektual Indonesia terlibat secara intensif dalam upaya perumusan tentang civil society. Hal ini dapat terlihat dengan berkembangnya satu terjemahan yang kemudian digunakan secara luas untuk istilah civil society, yakni “masyarakat madani”.
148
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
Istilah yang awalnya diperkenalkan oleh mantan Deputi Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, yang kemudian dipopulerkan oleh Nurcholis Majid (Prasetyo dan Munhanif, 2002: 81). Civil society merupakan masyarakat yang memiliki derajat budaya tertentu, kuncinya masyarakat tidak hanya diwarnai oleh pemerintah atau penguasa, tetapi oleh berbagai kekuatan masyarakat yang ada di dalam masyarakat tersebut. Dalam civil society masyarakat mengambil bagian sepenuhnya dalam mewarnai masyarakat pada umumnya. Masyarakat tidak hanya ditentukan oleh penguasa, tetapi organisasi masyarakat termasuk partai seharusnya memiliki peran penting untuk mewarnai masyarakat. Semakin banyak organisasi masyarakat semakin baik, akan tetapi organisasi masyarakat itu harus mampu mengangkat dirinya menjadi bagian yang penting dalam struktur masyarakat umumnya (Djohar, 2003: 168-169). Konstruk Sistematik Civil Society Perubahan masyarakat harus dipahami secara sistemik dengan mengkaji secara tajam perubahan aspek-aspek struktural, kultural, dan proses-proses sosialnya. Perubahan struktural paling terasa adalah perubahan yang terjadi atas tatanan kekuasaan, misalnya perubahan dari pola masyarakat kolonial menjadi neokolonial, dari feodal ke neofeodal, dari otoriter menuju masyarakat demokratis. Perubahan kultural adalah perubahan keyakinan kolektif masyarakat mengenai segala sesuatu yang dipandang baik dan benar beserta produk-produk budaya yang menyertainya. Perubahan kultural membutuhkan waktu lebih lama bila dibandingkan perubahan struktural. Perubahan sosial dapat terjadi semata-mata karena kondisi struktural dan kultural dan dapat pula terjadi karena pengaruh yang datang dari faktor-faktor eksternal. Menurut Kontowijoyo ada tiga tahapan perubahan masyarakat. Pertama, tahap masyarakat ganda, yakni terpaksa ada pemilahan antara masyarakat madani (civil society) dengan masyarakat politik (political society) atau antara masyarakat dengan negara. Karena adanya pemilahan ini, maka dapat terjadi negara tidak memberikan layanan dan perlindungan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Kedua, tahap masyarakat tunggal, yaitu ketika masyarakat madani (civil society) sudah berhasil dibangun. Ketiga, tahap masyarakat etis (ethical society) yang merupakan tahap akhir dari perkembangan tersebut (Kuntowijoyo, 1997: 22). Pendapat Kuntowijoyo ini dipengaruhi oleh teori Gramsci yang memang dengan sengaja dipakai sebagai
Pendidikan Berkualitas (Upaya Menuju Perwujudan Civil Society)
149
titik masuk teori politik Islam ke teori politik modern. Menurut teori ini, negara adalah struktur, sedangkan masyarakat adalah suprastruktur. Kalau masyarakat terbentuk karena kesadaran, negara terbentuk karena kepentingan. Dalam kaitannya dengan perubahan dari satu tahap ke tahap berikutnya, Kuntowijoyo dalam (Jalal dan Supriadi, 2001: 43) mengemukakan tiga strategi. Pertama, strategi struktural untuk mengubah tahap keterpilahan negara dan masyarakat menuju ke suatu tahap menyatunya masyarakat dan negara. “Masyarakat politik” tidak dengan sendirinya menjadi satu dengan “civil society”, tanpa terjadinya perubahan struktural dalam bentuk, misalnya, pembentukan Majelis Permusyawaratan yang lebih representatif, pemilahan kedudukan eksekutif dari yudikatif untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih. Kedua, strategi kultural lebih menekankan terjadinya perubahan perilaku individual dan cara berpikir. Hal ini berbeda dengan perubahan struktural yang lebih menekankan perubahan perilaku kolektif dan struktur politik. Ketiga, strategi mobilitas sosial bersifat lebih alami, sesuai dengan perkembangan intelektualitas dan hati nurani manusia dan masyarakatnya; dan hal ini sangat cocok untuk menciptakan masyarakat etis. Paradigma Pendidikan Civil Society Frietz R Tambunan dalam (Susilo, 2007: 224-225) menjelaskan bahwa kata pendidikan berasal dari kata Latin educare yang secara harfiah berarti “menarik ke luar dari” sehingga pendidikan adalah sebuah aksi membawa peserta didik keluar dari kondisi tidak merdeka, tidak dewasa, dan tergantung, ke suatu situasi merdeka, dewasa, dapat menentukan diri sendiri, dan bertanggung jawab. Pendidikan yang demokratis tidak bertujuan menciptakan manusia siap kerja, tetapi membentuk manusia matang dan berwatak yang siap belajar terus, siap menciptakan lapangan kerja (job creator), dan siap mengadakan transformasi sosial karena sudah lebih dahulu mengalami transformasi diri lewat pendidikan. Maka pendidikan adalah sebuah proses pedagogis di mana seorang peserta didik dibebaskan dari ketidakmatangan dan kebodohan menjadi seorang manusia matang, intelek, dan kultural. Hakikat pendidikan yang demokratis adalah pemerdekaan. Tujuan pendidikan dalam suatu negara yang demokratis adalah membebaskan anak
150
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
bangsa dari kebodohan, kemiskinan dan berbagai “perbudakan” lainnya. Bagi negara, pendidikan adalah salah satu tugas yang terpenting, karena pendidikan merupakan kebutuhan pokok manusia yang istimewa. Pendidikan merupakan hak pribadi manusia yang berakar dalam aneka kebutuhan pokok manusia sebab manusia tidak bisa mengembangkan hidupnya tanpa pendidikan minimum dan bermutu. Tanpa pendidikan, manusia akan tetap kerdil, tergilas kekuatan dan kekuasaan alam, terpenjara pesona magis-misteri, dan seperti kata Asimov, tingkat kesadarannya hanya sebatas ide curiousity (instink) binatang dan takkan berubah menjadi creative curiousity, ciri orang terdidik. Dengan demikian, hak pendidikan bukan saja sekedar kebutuhan pokok fisik, tetapi juga kebutuhan pokok yang khas manusiawi yang akhirnya didasarkan atas martabat manusia yang tidak bisa ditawar (Susilo, 2007: 225-226). Agar mewujudkan pendidikan yang civil society perlu ada paradigma baru pendidikan yang akan membawa angin perubahan mendasar dalam dunia pendidikan, sebagaimana ditawarkan oleh Waras Kamdi dalam (Susilo, 2007: 227-229), yaitu: Pertama, perubahan visi kurikulum, dari visi kurikulum efisiensi sosial ke kurikulum yang fleksibel dan egaliter, atau dari kurikulum yang berwatak industrial-kapitalistik ke demokratis. Kurikulum efisiensi sosial yang berakar pada tradisi pendidikan kita dikembangkan atas dasar kebutuhan spesifik masyarakat (ekonomik-industrial). Kedua, perubahan pada ranah pembelajaran. Praktik pembelajaran yang kini didominasi teori belajar asosiasi dan behavioristik akan digeser teori belajar kognitif dan konstruktivistik. Pembelajaran akan berfokus pada pengembangan kemampuan intelektual yang berlangsung secara sosial dan kultural, mendorong siswa membangun pemahaman dan pengetahuannya sendiri dalam konteks sosial, dan belajar dimulai dari pengetahuan awal dan perspektif budaya. Tugas belajar didesain menantang dan menarik untuk mencapai derajat berpikir tingkat tinggi, dalam hal ini proses dipandang sama penting dengan hasil belajar, dan berpikir cerdas dikonsepsikan mencakup “metakognisi” atau kemampuan memonitor belajar dan berpikir sendiri. Pembelajaran bukan hanya mengandung informasi tetapi juga proses membangun watak dan identitas personal. Ketiga, perubahan strategi dan fungsi penilaian. Pengukuran yang eksak dan berstandar presisi dengan teknik tes (objektif) terstandar dan isomorfis serta perannya sebagai alat untuk “menghakimi” siswa mengakar kuat pada
Pendidikan Berkualitas (Upaya Menuju Perwujudan Civil Society)
151
tradisi pendidikan kita kini. Penilaian terintegrasi dengan pembelajaran untuk mendukung proses belajar, dan siswa aktif mengevaluasi belajarnya sendiri. Pemberdayaan Kualitas Pendidikan Berbasis Civil Society Membangun civil society melalui pendidikan termasuk pemberdayaan kualitas pendidikan yang dibedakan menjadi (1) pemberdayaan manusianya yaitu siswa, dan (2) pemberdayaan proses pendidikannya, meliputi peningkatan peranan guru dan pembelajarannya. Pemberdayaan siswa pada dasarnya dapat dilakukan dengan cara mengoptimalisasikan penampilan siswa sesuai dengan karakteristik perilaku anak pada usianya dan aktivitas pembelajarannya dengan menghindarkan mereka dari kebiasaan tergantung dan kebiasaan disuap, akan tetapi lebih diarahkan kepada kebiasaan mandiri, berinisiatif, produktif, berencana, tuntas, kreatif, sabar, jujur, terbuka atau transparan, dengan transaksi horizontal secara proporsional. Kebiasaan-kebiasaan ini menjadi faktor pendukung dalam tatanan civil society (Djohar MS, 2003: 179). Adapun mutu atau kualitas itu sendiri adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang diharapkan atau yang tersirat karena mutu pendidikan yang diinginkan tidak akan terjadi begitu saja. Mutu yang diinginkan tersebut harus direncanakan. Mutu perlu menjadi bagian penting dalam strategi sebuah institusi dan untuk meraihnya wajib menggunakan pendekatan yang sistematis dengan menggunakan proses perencanaan yang matang. Perencanaan strategi merupakan salah satu bagian dalam upaya peningkatan mutu (Rohiat, 2008: 52). Menurut Sallis dalam (Nurkolis, 2003: 67) kualitas memiliki dua konsep yang berbeda antara konsep absolut dan relatif. Dalam konsep absolut sesuatu barang disebut berkualitas bila memenuhi standar tertinggi dan sempurna. Artinya, barang tersebut sudah tidak ada yang melebihi. Dalam konsep ini kualitas mirip dengan suatu kebaikan, kecantikan, kepercayaan yang ideal tanpa ada kompromi. Kualitas dalam makna absolut adalah yang terbaik, tercantik, terpercaya. Bila dipraktikan dalam dunia pendidikan konsep kualitas absolut ini bersifat elitis karena hanya sedikit lembaga pendidikan yang akan mampu menawarkan kualitas tinggi kepada peserta didik dan hanya sedikit siswa yang akan mampu membayarnya.
152
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
Sallis menegaskan, “Quality does not just happen, it must be planned for. Quality need to be approach systematically using a rigorous strategic planning process. Strategic planning is one of the major planks to Total Quality Management. Without clear long-term direction the institution cannot plan fo quality improve” (Sallis, 1993: 107). Pemberdayaan Kualitas Pendidikan berbasis civil society dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1.
Merubah Sistem Pembelajaran Sistem pembelajaran sekarang ini lebih berorientasi pada hubungan vertikal, menggunakan sistem penyampaian (delivery system), sehingga siswa lebih tersosialisasi kepada transaksi vertikal daripada horizontal. Proses pembelajaran horizontal terjadi apabila kedudukan guru, siswa sama-sama belajar, dan sama-sama menjadi sumber informasi, yang bersama-sama menghadapi persoalan belajarnya. Proses pembelajaran dalam civil society harus menghindari terjadinya mekanisme (1) preskriptif (mekanisme pemberian perintah) dan (2) transfer pengetahuan, tetapi digeser ke arah dialogik dan transformational, yang menurut Paulo Freire sebagai perwujudan dari pendidikan yang membebaskan, sehingga siswa akan merasakan manfaatnya belajar (Djohar, 2003: 180-181) Pendidikan di Indonesia lebih sering terjebak dan berhenti pada filsafat atau paradigma bahkan kurikulumnya tetapi tidak mempersoalkan praksis pendidikannya, yakni bagaimana sebenarnya pelaksanaan pembelajaran itu terjadi. Di negara kita, yang menganut “delivery system” dalam pembelajaran, mementingkan transfer pengetahuan dan membuat pendidikan terbelenggu. Akibatnya, guru yang baik diukur dari mutu kemampuan ceramah untuk menyampaikan pengetahuan itu. Pembelengguan juga terjadi akibat proses pembelajaran hanya diorientasikan pada ranking dan nilai UAN dan inilah yang tertulis dalam terbitan UNESCO dinamakan dengan “Teaching to the Test” yang hanya menghasilkan budaya hafalan (Anonim, tt: th). Model pembelajaran seperti ini tidak akan mampu menyiapkan generasi bangsa untuk menghayati dan melaksanakan tatanan hidup dalam civil society. Seharusnya kreativitas yang menjadi dasar kemampuan anggota civil society, agar masyarakat mampu melaksanakan partisipasi integratif (Djohar, 2003: 181).
Pendidikan Berkualitas (Upaya Menuju Perwujudan Civil Society)
153
2.
Mengembalikan Citra Sekolah dan Pendidikan Dalam pendidikan modern memang benar telah terjadi pergeseran konsep pendidikan dari pendidikan di rumah ke arah pendidikan di sekolah dengan memperankan kurikulum dan guru yang profesional. Akan tetapi peran itu sekarang menjadi rancu, karena adanya pembelengguan (1) sentralisasi, (2) uniformitas, dan (3) memburu standar nilai UAN. Akibatnya kurikulum diturunkan dari atas, dan guru menjadi alat penguasa sekedar melaksanakan tugas sesuai dengan juklak dan juknis untuk keperluan penguasa tadi, dan bukan untuk keperluan siswa. Akibatnya siswa, diperlakukan untuk kepentingan kurikulum dan bukan kurikulum untuk kepentingan siswa. Akhirnya anak kehilangan hak-haknya. Nasib peserta didik lebih parah lagi akibat korban rangking dan nilai UAN. Sekolah akhirnya bergeser makna, tidak lagi menjadi tempat belajar, akan tetapi sebagai “panggung pentas” untuk memperoleh “juara”. Akibat dari perubahan konsep pendidikan ini, peserta didik tidak memperoleh apaapa kecuali pengetahuan hafalan yang semu, dan apabila hafalannya hilang, maka akhirnya mereka tidak tahu apa-apa. Orang yang tidak tahu apa-apa dan tidak memiliki budaya individu belajar jangan diharapkan dapat mendukung terwujudnya civil society. 3.
Memperdayakan Civil Society Meskipun adanya tatanan civil society atau masyarakat madani selalu diharapkan, akan tetapi dalam prosesnya kita tidak akan terhindar dari tarikan tatanan masyarakat yang lebih global, atau tarikan sentrifugal yang lain. Tatanan kehidupan global akan mewarnai budaya pendidikan kita yang (1) lebih teknologik, (2) mendorong kualitas kepuasan kita yang juga lebih ke kepuasan teknologi, dan (3) tidak dapat dihindari lebih kompleksnya konflik masyarakat. Pendidikan damai mengharapkan pemberdayaan masyarakat agar mampu menghadapi dan menyelesaikan konflik dengan cara kreatif, dan menghindarkan diri dari cara kekerasan. Membiasakan siswa melalui belajar individual dalam kelompok dapat memberdayakan mereka terbiasa hidup dalam konflik dan terlatih untuk memecahkan konflik itu sendiri secara mandiri (Djohar, 2003: 182-184).
154
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
Simpulan Pendidikan sebagai bagian integral dalam proses pembangunan bangsa hendaknya dibangun atas paradigma pendidikan yang memiliki empat pilar, diantaranya: Pertama, pendidikan untuk semua warga masyarakat. Cita-cita era reformasi sekarang ini tidak lain adalah membangun suatu civil society Indonesia. Oleh karena itu, paradigma baru pendidikan nasional diarahkan kepada terbentuknya civil society Indonesia tersebut. Pendidikan bisa dirasakan seluruh lapisan masyarakat. Sehingga pendidikan berperan dalam membangun civil society dan tumbuh atas kesadaran dan kebutuhan masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi kelangsungan hidupnya. Pendidikan harus berlangsung dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk semua masyarakat. Pendidikan oleh masyarakat artinya masyarakat bukan merupakan objek pendidikan dari negara atau sekelompok penguasa, tetapi partisipatif aktif dari masyarakat, di mana masyarakat mempunyai peranan di dalam setiap langkah program pendidikannya. Pendidikan bersama-sama masyarakat artinya masyarakat diikutsertakan di dalam program-program pemerintah yang telah mendapatkan persetujuan masyarakat karena lahir dari kebutuhan nyata dari masyarakat itu sendiri. Kedua, pendidikan demokratis. Pendidikan yang dapat mengembangkan civil society adalah proses pendidikan yang mampu mengembangkan seluruh potensi peserta didik. Pendidikan demokratis merupakan model pendidikan yang mengembangkan prinsip-prinsip demokratis yakni pendidikan yang menghargai perbedaan pendapat (the right to be different), kebebasan untuk mengaktualisasikan diri, kebebasan intelektual, kesempatan untuk bersaing di dalam perwujudan diri-sendiri (self realization), pendidikan yang membangun moral, pendidikan yang semakin mendekatkan diri kepada Sang Penciptanya. Ketiga, pendidikan yang bertumpu pada kebudayaan lokal. Bangsa Indonesia saat ini terancam disintegrasi bangsa. Hal ini sebagai akibat dari sistem pendidikan yang bersifat sentralistik yang telah lama diterapkan. Pendidikan sentralistik kurang mengakomodasi adanya kebudayaan kebhinekaan bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai pulau, kebiasaan, adat istiadat, agama, dan kebudayaan merupakan khazanah dalam mengembangkan sistem pendidikan. Unsur-unsur budaya
Pendidikan Berkualitas (Upaya Menuju Perwujudan Civil Society)
155
lokal yang tersebar di bumi Indonesia ini dikaji dan dikembangkan sehingga dapat memberikan sumbangsih bagi terwujudnya kebudayaan nasional. Keempat, pendidikan yang seimbang antara imtaq dan iptek. Pendidikan harus dikonsepsikan sebagai aktualisasi sifat-sifat Allah pada manusia dan disusun sebagai suatu proses sepanjang hayat dan harus meliputi pengalamanpengalaman yang berguna dari berbagai sumber baik itu pengetahuan, keterampilan atau sikap, di dalam dan di luar sekolah yang akan menjadikan peserta didik dapat memikul tugas dan tanggung jawabnya kepada Allah, dirinya sendiri, sesama manusia dan lingkungannya. Maka untuk mewujudkan pendidikan civil society ini perlu dilakukan tekad dari stakeholder pendidikan itu sendiri yang terdiri dari unsur struktural meliputi Ditjen Dikti, Badan Akreditasi Nasional, Dewan Pendidikan Tinggi, Guru/Dosen, Pengelola Pendidikan, dan Masyarakat serta unsur kultural meliputi kurikulum pendidikan, Strategi Pengajaran, budaya lokal yang selaras dengan asas kebersamaan, berkesinambungan dan memanusiakan manusia dalam proses pengajaran, tidak memakai sistem top down tetapi memakai sistem buttom up. Dengan demikian, sistem pendidikan civil society akan memiliki pengetahuan umum dan iman yang mantap melalui strategi mobilitas sosial yang dapat menghasilkan perubahan menuju civil society secara lebih sadar dan tepat guna.
Daftar Pustaka Adzanwahiddie. 2009. Hubungan Manusia dan Pendidikan, dalam http:// www.azizmuslim.eg.vg/exist/index.php/lsm/kegiatan-mereka/174referensi-makalah.html?showall=1, diakses pada tanggal 11 Mei 2009. Anonim. tt. Education in Asia and The Pasific, Bangkok: UNESCO. Fikri, Abu. 2009. Konsep civil society dalam Perspektif Islam: Sebuah Tinjauan Ideologis dalam http://www.angelfire.com/md/alihsas/madania.html, diakses pada tanggal 11 Mei 2009. Jalal, Fasli dan Dedi Supriadi. 2001. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah, Yogyakarta: Mitra Gama Widya. Kuntowijoyo. 1997. Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan.
156
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
MS, Djohar. 2003. Pendidikan Strategik: Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan, Yogyakarta: LESFI. Nurdin, Diding. 2009. Reformasi Pendidikan Menuju Masyarakat Madani, dalam http://www.ahmadheryawan.com/opini-media/pendidikan/ 367-reformasi-pendidikan-menuju-masyarakat-madani.html, diakses pada tanggal 11 Mei 2009. Nurkolis. 2003. Manajemen Berbasis Sekolah: Teori, Model dan Aplikasi. Jakarta: Grasindo. Prasetyo, Hendro, dan Ali Munhanif. 2002. Islam dan Civil society: Pandangan Muslim Indonesia, Jakarta: Gramedia. Rohiat. 2008. Manajemen Sekolah: Teori Dasar dan Praktik, Bandung: Refika Aditama. Sallis, Edward. 1993. Total Quality Management in Education, Philadelphia: Diddles Ltd, Guilford, and King’s Lynn. Susilo, M. Joko. 2007, Pembodohan Siswa Tersistematis, Yogyakarta: Pinus Book Publisher.
Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan Islam
157
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM PENDIDIKAN ISLAM Sopiah*
Abstract: The paradigm of multiculturalism becomes an the idea that is contextual enough with contemporary society today. The fundamental principles of equality, fairness, openness, recognition of difference are the principle of human values that are needed in the crush of global culture. Therefore, as a cultural movement, multiculturalism is an integral part in various cultural systems in society, for the case in education is through multicultural education. Multicultural education can be implemented in Indonesia in the form of formal, informal and non formal education by integrating multicultural values in curriculum materials, through strategies, approaches and methods of learning, learning interaction as well as the early internalization of multicultural values to students. Thus education (Islam) in Indonesia will produce nation cadres that are more tolerant, inclusive and rahmatan lil alamin. Kata kunci: Multikulturalisme, Pendidikan, Pendidikan Islam
Pendahuluan Wacana pendidikan multikultural akhir-akhir ini cukup menggema di Indonesia. Indonesia dengan kondisi etnis, adat-budaya, agama yang berbeda tapi dibingkai dengan semboyan negara “ Bhinneka Tunggal Ika “ memang sangat berkaitan dengan paradigma multikulturalisme, dimana multikulturalisme bisa diwujudkan secara strategis melalui pendidikan multikultural baik melalui pendidikan formal, informal maupun nonformal.
∗ Dosen Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Pekalongan
158
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
Indonesia dengan keragaman etnis, adat budaya dan agama yang berbeda ditambah lagi dengan pengalaman politik kekuasaan yang sentralitas, pengawalan yang ketat terhadap isu-isu perbedaan dan keragaman yang ada pada masyarakat bangsa-negara Indonesia, cukup tertanam dalam benak masyarakat kita, maka sesungguhnya masyarakat Indonesia sudah terbiasa hidup dalam kondisi multi kondisi, multi agama dan multi kultural. Meskipun demikian seakan-akan masyarakat Indonesia kehilangan kesadaran dan kemampuan yang baik dalam melakukan problem solving yang berkaitan dengan isu multi agama, multi etnis dan multi kultural tersebut. Tentu saja wacana multi kultural dalam pendidikan bukan sesuatu yang sangat asing, meskipun ‘tidak semua” lapisan melakukan pendidikan yang multikultural ini dengan “penuh kesadaran’, mungkin hanya secara kebetulan, mungkin melakukan dengan ala kadarnya karena memang tuntutan “kebiasaan dan kondisi” yang di hadapi sehari hari pada kehidupan mereka, atau bahkan mungkin melakukan pendidikan tidak dengan pendidikan yang multikultural (baca meskipun sangat tidak mungkin melakukan pendidikan dengan monokultural bukan?, apalagi kalau pendidikan tersebut pendidikan di perguruan tinggi). Multikulturalisme Multikultural dapat diartikan sebagai keragaman budaya,meskipun ada tiga istilah lain yang biasanya digunakan untuk menggambarkan masyarakat yang mempunyai keberagaman, baik agama, ras, bahasa dan budaya yang berbeda, yaitu pluralitas (plurality), keragaman (diversity) dan multikultural (multicultural). Pada dasarnya ketiga istilah tersebut mengacu pada satu hal yang sama, yaitu “ketidaktunggalan”, namun secara konseptual memiliki perbedaan diantara ketiga istilah tersebut. Pluralitas merepresentasikan adanya kemajemukan, lebih dari itu multikultural memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaan itu mereka tetap sama diruang publik (Scott Lash dan Mike Featherstone, 2002: 2-6). Konsep multikulturalisme tidak dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri mayarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Multikulturalisme merupakan sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan (Parsudi Suparlan, 2002: 1).
Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan Islam
159
Wacana tentang multikulturalisme pertama muncul di Amerika dan negara-negara Eropa Barat pada tahun 1960-an, oleh gerakan yang menuntut diperhatikannya hak-hak sipil. Gerakan ini bertujuan mengurangi praktik diskriminasi di tempat-tempat publik, di rumah, di tempat-tempat kerja dan di lembaga-lembaga pendidikan, yang dilakukan kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas. Pada waktu itu disana hanya dikenal satu kebudayaan, yaitu kebudayaan mayoritas kulit putih yang beragama Kristen, golongan yang ada di masyarakat dikelompokkan sebagai kelompok minoritas yang memiliki hak-hak yang terbatas (Parsudi Suparlan, 2002:2-3). Multikultural dalam Pendidikan Gerakan hak-hak sipil pada tahun 1960-an berimplikasi pada dunia pendidikan, maka muncullah tuntutan untuk melakukan reformasi kurikulum pendidikan yang pada waktu itu masih sarat dengan diskriminasi. Pada awal tahun 1970-an muncullah sejumlah kursus dan program pendidikan yang menekankan pada aspek-aspek yang berhubungan dengan etnis dan keragaman budaya (James A Bank, 1989: 4-5). Sebagai sebuah paradigma multikulturalisme menjadi gagasan yang cukup kontekstual dengan masyarakat kontemporer saat ini. Prinsip mendasar tentang kesetaraan, keadilan, keterbukaan, pengakuan terhadap perbedaan adalah prinsip nilai yang sangat dibutuhkan manusia di tengah himpitan budaya global. Oleh karena itu sebagai sebuah gerakan budaya, multikulturalisme merupakan bagian integral dalam berbagai sistem budaya dalam masyarakat, salah satunya dalam pendidikan, yaitu melalui pendidikan multikultural. Pendidikan dalam wawasan multikultural dalam rumusan James A. Bank adalah konsep, ide atau falsafah sebagai suatu rangkaian kepercayaan dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok mapun negara (James A. Bank, 2001: 28). Menurut Sonia Nieto (2002: 29) Pendidikan multikultural merupakan proses pendidikan yang komprehensif dan mendasar bagi semua peserta didik. Jenis pendidikan ini menentang segala bentuk rasisme dan segala bentuk diskriminasi di sekolah dan masyarakat dengan menerima dan mengafirmasi pluralitas yang tereflekasikan di antara peserta didik, komunitas mereka dan guru-guru. Menurut Sonia pendidikan multikultur harus melekat dalam
160
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
kurikulum dan strategi pengajaran, termasuk dalam setiap interaksi yang dilakukan di antara para guru, murid dan keluarga serta keseluruhan suasana belajar mengajar. Jenis pendidikan ini merupakan paedagogi kritis, reflektif dan menjadi basis aksi perubahan dalam masyarakat, maka pendidikan multikultural mengembangkan prinsip-prinsip demokrasi dalam berkeadilan sosial. Sementara itu Bikhu Parekh (2000:230) mendefinisikan pendidikan multikultur sebagai “an education in freedom, both in the sense of freedom from ethnocentric prejudices and beases, and freedom to explore and learn from other cultures and perspectives”. Dari uraian di atas ada hal penting dalam diskursus multikultural dalam pendidikan yaitu identitas, keterbukaan, diversitas budaya dan transformasi sosial. Identitas sebagai salah satu elemen dalam pendidikan mengandaikan bahwa peserta didik dan guru merupakan satu individu atau kelompok yang merepresentasikan satu kultur tertentu dalam masyarakat. Identitas pada dasarnya inhern dalam sikap pribadi atau kelompok masyarakat, dengan identitas nereka berinteraksi, saling mempengaruhi satu sama lain, termasuk interaksi antar budaya yang berbeda. Dalam pendidikan multikultur identitas diasah melalui interaksi budaya internal maupun eksternal. Dengan demikian identitas dan budaya lokal merupakan muatan yang harus ada dalam (kurikulum) pendidikan multikultural. Pendidikan Multikultural Konsep pendidikan multikultural lebih dahulu dikenal dan berkembang di negara maju. seperti Amerika serikat misalnya. Didorong oleh tuntutan warga Amerika latin dan Afrika, warga pribumi dan kelompok marginal yang menuntut persamaan hak dan kesempatan dalam mengenyam pendidikan, di samping itu didorong oleh usaha komunitas profesional sebagai solusi bagi masalah pertentangan antar ras, maka dimulailah satu pendidikan yang khas, yang lebih dikenal sebagai pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural yang dilakukan di Amerika lebih sebagai upaya melenyapkan diskriminasi ras antara kulit putih dan kulit hitam, demi integritas nasional yang mereka inginkan. Pendidikan multikultural secara sederhana dimaksudkan sebagai satu pendidikan tentang keragaman budaya, pendidikan dengan budaya yang beragam. Menurut Muhaemin el-Ma’hady (2004: 2) pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan untuk atau tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan duinia secara keseluruhan.
Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan Islam
161
Sementara itu Bikhu Parekh mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai “an education in freedom, both in the sense of fredom from ethnocentric frejudices and biases, and freedom to explore and laern from other cultures and perspective” (2000:230). Maka ada hal yang harus dperhatikan dalam mengkaji multikultural dalam pendidikan adalah identitas, keterbukaan, diversitas budaya dan transformasi sosial James Bank menjelaskan bahwa ada lima dimensi dalam pendidikan multikultural (1993:3-24), yaitu, pertama, adanya integrasi pendidikan dalam kurikulum (content integration) yang didalamnya melibatkan keragaman dalam satu kultur pendidikan yang tujuan utamanya adalah menghapus prasangka. Kedua, konstruksi ilmu pengetahuan (knowledge construction) yang diwujudkan dengan mengetahui dan memahami secara komprehensif keragaman yang ada. Ketiga, pengurangan prasangka (prejudice reduction) yang lahir dari interaksi antar keragaman dalam kultur pendidikan. Keempat, pedogogik kesetaraan manusia (equity pedagogy) yang memberi ruang dan kesempatan yang sama kepada setiap elemen yang beragam. Kelima, pemberdayaan kebudayaan sekolah (empowering school culture), yaitu bahwa sekolah adalah elemen pengentas sosial dari struktur masyarakat yang timpang ke struktur masyarakat yang berkeadilan. Ide tentang konsep pendidikan multikultural menjadi komitmen global sebagaimana direkomendasikan UNESCO pada bulan Oktober 1994 di Jenewa. Ada sekurangnya empat pesan dalam rekomendasi tersebut (A Effendi Sanusi, 2008: 2), yaitu: 1. Pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerjasama dengan yang lain. 2. Pendidikan hendaknya meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaian-penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan solidaritas antara pribadi dan masyarakat. 3. Pendidikan hendaknya meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai tanpa kekerasan. 4. Pendidikan hendaknya meningkatkan pengembangan kedamaian dalam pikiran peserta didik, sehingga mereka mampu membangaun kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan memelihara secara lebih kokoh.
162
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
H.A.R.Tilaar menyatakan bahwa model pendidikan yang dibutuhkan di Indonesia harus memperhatikan enam hal (2002:185-190), yaitu:pertama, pendidikan multikultural haruslah berdimensi “right to culture” dan identitas lokal. Kedua, kebudayaan Indonesia yang menjadi, artinya kebudayaan Indonesia merupakan weltanshaung yang terus berprosers dan merupakan bagian integral dari proses kebudayaan mikro, maka perlu mengoptimalkan budaya lokal yang beriringan dengan apresiasi terhadap budaya nasional. Ketiga, pendidikan multikultural normatif, yaitu model pendidikan yang memperkuat identitas nasional yang terus menjadi tanpa harus menghilangkan identitas budaya lokal yang ada. Keempat pendidikan multikultural merupakan suatu rekonstruksi sosial, artinya pendidikan multikultural tidak boleh terjebak pada xenophobia, fanatisme dan fundamentalisme, baik etnik, suku maupun agama. Kelima, pendidikan multikultural merupakan pedagogik pemberdayaan (pedagogy of empowerment) dan pedagogik kesetraan (pedogogy of equity). Pedagogik pemberdayaan berarti seseorang diajak mengenal budayanya sendiri dan selanjutnya digunakan untuk mengembangkan budaya Indonesia di dalam bingkai negara-bangsa Indonesia. Dalam upaya ini diperlukan suatu pedagogik kesetaraan antar individu, suku, agama dan beragam perbedaan yang ada. Keenam, pendidikan multikultural bertujuan mewujudkan visi Indonesia masa depan serta etika bangsa. Pendidikan ini perlu dilakukan untuk mengembangkan prinsip-prinsip etis (moral) masyarakat Indonesia yang dipahami oleh keseluruhan komponen sosial-budaya yang plural. Implementasi dalam Pendidikan Islam Di Indonesia implementasi paradigma pendidikan multikultural setidaknya menjadi salah satu perhatian, karena secara implisit dalam UU No. 20/ tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, menjunjung tinggi hak azasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa; pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem yang terbuka dan multimakna.(UU No.20/ tahun 2003 pasal 4:1 dan 2). Pendidikan multikultural di Indonesia dapat diimplementasikan, baik pada jalur pendidikan formal, informal maupun nonformal. Pada pendidikan formal tingkat pendidikan dasar, pendidikan menengah dan tinggi wacana pendidikan multikultural dapat diimplementasikan dengan cara memasukan muatan
Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan Islam
163
wawasan multikultural pada materi kurikulum terkait seperti agama, pendidikan kewargaan/civic education, sosiologi atau materi lain yang relevan. Disamping itu dapat diimplementasikan melalui pendekatan, metode dan model pembelajaran seperti diskusi, tugas kelompok, dan Contextual Teaching and Learning. Pada pendidikan non formal muatan pendidikan multikultural dapat diimplementasikan dengan menanamkan nilai-nilai multikultural pada pendidikan yang dilakukan oleh keluarga dan atau lingkungan secara mandiri. Wawasan multikultural dapat diberikan kepada anak dari hal yang sederhana seperti menyadari perbedaan jenis kelamin dan gender, pengetahuan tentang bermcam adat istiadat, toleransi antara sesama anggota keluarga dan teman sepermainan dan lain-lain. Sementara pada pendidikan nonformal wawasan pendidikan multikultural dapat diimplementasikan oleh lembaga pelatihan, kegiatan belajar masyarakat, kelompok belajar dan majlis taklim melalui pelatihan-pelatihan, pengkajianpengkajian dan pengajian-pengajian yang berwawasan multikultural, tidak fanatik buta pada satu faham/pengetahuan, tidak memupuk nilai-nilai primordialisme dan mono etnik. Sebaliknya pendidikan dilaksanakan dengan menekankan keterbukaan, kebersamaan, toleransi, bahkan sejak dini. Dalam Islam pendidikan berfungsi untuk membimbing dan mengarahkan manusia agar mampu mengemban amanah dari Allah, yaitu menjalankan tugas hidup di muka bumi sebagai abdullah, yang harus tunduk dan taat terhadap segala aturan dan kehendak Allah, mengabdi hanya kepada Allah maupun sebagai khalifah Allah, baik menyangkut pelaksanaan tugas ke khalifahan terhadap diri sendiri, rumah tangga, masyarakat dan tugas kekhalifahan terhadap alam (Muhaemin, 2004: 24). Menurut Muhaemin di antara tugas kekhalifahan dalam masyarakat adalah mewujudkan persatuan dan kesatuan umat, tolong menolong dalam kebaikan, menegakkan keadilan dalam masyarakat, bertanggungjawab terhadap amar makruf nahi munkar dan berlaku baik terhadap golongan masyarakat yang lemah dan lain-lain. Sementara yang berkaitan dengan tugas kekhalifahan yang berkaitan dengan alam di antaranya membudayakan alam, mengalamkan budaya dan mengislamkan kultur. Pendidikan Islam merupakan usaha yang dilakukan dalam menggali dan mengembangkan potensi peserta didik yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia atau mewujudkan peserta didik menjadi Insan Kamil. Tidak mudah mencapai Insan kamil, perlu persiapan dan pembelajaran hidup yang
164
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
maksimal, dimana orang yang sudah masuk katagori Insan Kamil, secara manusiawi sudah sempurna, relatif sudah tidak ada problem ketuhanana dan kemanusiaan. Sudah optimal secara hablum min Allaah wa hablun min an- nas, atau manusia yang sudah bisa mengoptimalkan dan menggunakan Multiple Intelegence-nya secara seimbang dalam segala aspek kehidupan. Karena pendidikan Islam di Indonesia merupakan bagian dari pendidikan nasional, maka sesungguhnya pendidikan Islam di Indonesia-pun bisa mengimplementasikan wawasan pendidikan multikultural. Pada dasarnya Islam sudah “beragam”sejak kelahirannya, setidaknya menurut catatan sejarah. Pendidikan Islam-pun beragam, maka orang Islam tidak akan dianggap mengingkari sejarah bila mengimplementasikan pendidikan yang multikultural. Pada kenyataannya untuk mengajarkan Islam saja, seorang guru atau dosen sudah biasa mengimplementasikan wawasan multikultural. Dalam pembelajaran fiqih misalnya satu peribadatan bisa dilaksanakan secara beragam menurut keyakinan dan pemahaman (fiqh) yang berbeda intern umat Islam, bagaimana kita membelajarkan peserta didik secara monokultur? Toleransi beragamapun bahkan sudah terlebih dahulu diajarkan oleh Allah melalui ayat Al-Quran (surat al-Kaafirun, diantaranya) dan diajarkan nabi melalui Sunnahnya (kebersamaan antara kaum Muhajirin dan Anshor, diantara sampelnya); manusia diciptkan Allah laki-laki dan perempuan dengan berbeda bangsa dan suku, supaya manusia saling mengenal ( bagian dari ayat al-Quran surat An-Nisa, misalnya). Yang sangat menarik adalah pendidikan Islam informal seperti majlis taklim,barangkali agak ideal kalau paradigama multikultural diimplementasikan mealui jenis pendidikan Islam semacam ini. Menurut hemat penulis pada majlis taklim-pun wawasan dan paradigma pendidikan multikultural dapat disampaikan, mungkin dimulai dari masalah yang sangat sederhana dan keseharian, seperti masalah toleransi beragama baik internal agama Islam maupun antar umat beragama. Kesan sementara pengajian dan pengkajian melalui majlis taklim, relatif kurang “multi” dan fanatik madzhab, ini tidak berarti sama sekali sulit, hanya perlu dibiasakan (pembiasaan bagi guru/ustadz maupun murid/santrinya) untuk mengaji dan mengkaji fiqih berbagai madzhab, mengaji dan mengkaji aqidah dari berbagai aliran, membaca alqur’an dengan qiroah sab’ah, mengaji dan mengakaji ilmu Islam dengan berbagai cara dari berbagai sudut pandang, semuanya dimaksudkan untuk melaksanakan pendidikan dan pengajaran dengan memasukan nilai-nilai multikultural pada setiap materi bahasan maupun pendekatan pembelajaran.
Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan Islam
165
Dengan demikian tidak akan ada keraguan bagi kita para pendidik Islam untuk mengimplementasikan wawasan multikultural dalam pendidikan yang kita lakukan. Dengan pendidikan multikultural Islam akan semakin inklusif tidak eksklusif, membumi tidak melangit, kontekstual tidak tekstual, dan betulbetul merupakan bagian dari perwujudan Islam sebagai rahmatan lil a’lamin. Simpulan Bangsa dan masyarakat Indonesia merupakan warga dan bangsa yang multi etnis, multi ras, multi adat dan multi agama, namun demikian merupakan satu kesatuan yang berjuang menegakkan NKRI, bertahan dalam integritas bangsa dan warga Indonesia, menjunjung persatuan bangsa. Karena pengalaman yang mencekam, pengawalan dan otoritas yang khas dan ketat, sistem kekuasaan yang sentralitas, bangsa ini seakan kehilangan kemampuan untuk melakukan “the best of problem solving” terkait masalah multi etnis, multi agama dan budaya. Masyarakat Indonesia kehilangan kecerdasan dan kebijakannya tatkala dihadapkan pada masalah “ keberagaman” , sehingga jalan perdamaian kadang tidak dijadikan solusi. Pendidikan multikultural merupakan wacana yang relatif baru di Indonesia, terlebih bagi pendidikan Islam di Indonesia, tapi sesungguhnya nilai-nilai pendidikan multikultural sudah menjadi wawasan dan kebiasaan bagi masyarakat Indonesia. Akar filosofis pendidikan multikultural di Indonesia tercover dalam semboyan negara “Bhinneka Tunggal Ika”, implisit dalam Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahkan telah diajarkan terlebih dahulu dalam ajaran Alloh melalui Al-Quran dan ajaran Nabi melalui Sunnahnya. Dengan demikian pendidikan multikultural dapat dijadikan alternatif solusi untuk menjadi terapi bagi ketidakkompakan bangsa Indonesia menghadapi masalah bangsa ini secara bersama-sama, sehungga derap langkah kita semakin mantap menuju aktualisasi jati diri bangsa yang lebih merdeka cerdas dan bijak. Pendidikan multikultural dapat diimplementasikan pada pendidikan di Indonesia, baik jalur pendidikan formal, informal maupun non formal. Pendidikan multikultural dapat diimplementasikan melalui integrasi materi kurikulum, yang relevan, pendekatan, metode dan model pembelajaran yang mengedepankan paradigma keterbukaan, kebersamaan, toleransi dan saling menghormati berbagai perbedaan dan keragaman yang ada sebagai satu sunnatullah yang mesti berjalan.
166
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
Daftar Pustaka A. Bank, James (ed). 1989. Multicultural Education: Issues and Perspectives. London: Allyn and Bacon Press. A. Bank, James dan Cherry A. Mc Gee (ed). 2001. Handbook of research on Multicultural Education. San Francisco: Jossey Bass. el-Ma’hady, Muhaemin. 2004. “Multikulturalisme dan Pendidikan multikultural”. http//pendidikan network. Lash, Scott dan Mike Featherstone (ed). 2002. Recognition and Difference: Politics, Identity, Multiculture. London: Sage Publication. Muhaemin et. all. 2004. Paradigma Pendidikan Islam- Upaya mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Parekh, Bikhu. 2000. Rethingking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory. Cambridge: Harvard University Press. Redaksi Sinar Grafika. 2003. Undang-Undang SISDIKNAS 2003. Jakarta: Sinar Grafika. Sanusi, A.Effendi. 2008. “Pendidikan multikultural dan Implikasinya”. http:/ /blog. unila.ac.id.effendisanusi. Suparlan, Parsudi. 2002. “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural”, Makalah Tilaar, H.A.R. 2002. Multikulturalisme: Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo.
Fitrah Akliyah dalam Pendidikan Islam
167
FITRAH AKLIYAH DALAM PENDIDIKAN ISLAM Ahmad Fadlali*
Abstact: Human is being trusted by Allah to be khalifah fi al-ardh by dispositions prearranged to him/her. Among them is fitrah akliyah (thought substance) which differs human from any other Allah’s creatures. In the context of Islamic Education, fitrah akliyah will be consequential if it is utilized and produces three entities. The first is a moslem personality, an integration of human’s spirit, common sense and desire systems that generate behaviors based on Ilahiyah values revealed in the Holy Qoran. The second is to construct contemplation creativeness by admitting children’s potent of creativity, respecting their questions and idea, tackling them to face proactive problems in order to be able to build creativity and imagination. The third is to ponder based on rules that cover the entire mind’s eye of human being’s consideration concerning nature, human and the relationship of human to other creatures. Kata kunci: fitrah, akliyah dan pendidikan Islam
Pendahuluan Pendidikan merupakan proses humanisasi yang dipengaruhi kondisi dan situasi, serta berfungsi dalam bingkai kultur dengan konstruksinya yang kompleks. Pendidikan menghubungkan manusia dengan suatu masyarakat yang memiliki karakteristik kultural. Untuk itu pendidikan memberi manusia dengan sifat-sifat kemanusiaan yang membedakannya dari makhluk hidup
∗ Dosen Jurusan Tarbiyah STAISA Jakarta.
168
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
lainnya. Sifat-sifat kemanusiaan ini terfokus pada potensi atau fitrah yang dimiliki manusia dan tidak dimiliki makhluk lainnya yaitu berupa “akal budi”. Sangat logis kalau manusia disebut sebagai “thinking animal” atau menurut Naquib al-Attas disebut dengan hewan rasional (rational animal, hayawan natiq) (al-Attas, 1984: 90). Dalam pandangan Islam, “akal budi” merupakan potensi / fitrah manusia yang paling urgen diantara potensi dasar lainnya. Banyak isyarat-isyarat alQur’an tentang keharusan manusia menggunakan potensi akalnya yang dalam term pendidikan Islam disebut dengan fitrah akliyah. Fitrah akliyah merupakan potensi dasar manusia yang harus dikembangkan. Berpikir sebagai bentuk penggunaan akal dalam al-Qur’an diungkapkan dalam berbagai kata. Seperti; ya’qilu (memakai akal), nazhara (melihat secara abstrak; 30 ayat), tafakkara (berpikir; 19 ayat), tadzakara (memperhatikan atau mempelajari; 40 ayat), ulu al-bab (orang yang berpikir), ulu al-ilm (orang yang berilmu), ulu alabshar (orang yang berpandangan) dan ulu al-nuha (orang yang bijaksana). Kesemuanya digunakan untuk memahami ayat-ayat kauniyah. Pengertian Fitrah Akliyah Barangkali sebelum mengkaji tentang pengertian fitrah akliyah (Mubarok, 2003: 24), ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu pengertian akliyah atau akal. Secara etimologi akal (Majdid, 1994: 95) memiliki banyak arti diantaranya al-imsak (menahan), al-ribath (ikatan), al-hajr (menahan), alnahy (melarang) dan mana’u (mencegah) (Mujib, 1999: 64). Sementara dalam Kamus Besar bahasa Indonesia, akal diartikan sebagai daya pikir (untuk mengerti), pikiran dan ingatan (Depdikbud, 1989: 14). Akal juga diartikan sebagai kemampuan memecahkan masalah (problem solving capacity) (alIsfahani, tt.,: 354). Dari pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya akal adalah sebuah aktivitas yang dipusatkan dibagian kepala manusia untuk berpikir, menahan dan mencegah segala bentuk hawa nafsu yang ada pada manusia serta adanya kemampuan untuk memecahkan masalah. Artinya akal hanya terdapat pada manusia dan yang membedakannya dengan makhlukmakhluk ciptaan Allah lainnya. Secara istilah pengertian akal diartikan cukup beragam oleh para ilmuwan. Menurut Muhammad Abduh yang dikutip oleh Harun Nasution, Akal adalah
Fitrah Akliyah dalam Pendidikan Islam
169
suatu daya yang hanya dimiliki manusia, dan oleh karena itu dialah yang membedakan manusia dari makhluk lain. Akal adalah tonggak kehidupan manusia dan dasar kelanjutan wujudnya (Nasution, 1987: 44). Sementara itu Imam Al-Ghazali (1980: 65) mengartikan akal dengan empat pengertian, yaitu: 1. Sebutan yang membedakan antara manusia dengan hewan. 2. Ilmu yang didapat dari pengalaman, sehingga dapat dikatakan “siapa yang banyak pengalaman, maka dialah yang berakal”. 3. Ilmu yang lahir disaat anak mencapai usia akil balig, sehingga mampu membedakan perbuatan yang baik dan yang buruk. 4. Kekuatan yang dapat menghentikan naluri untuk menerawang jauh keangkasa, mengekang dan menundukan syahwat yang selalu menginginkan kenikmatan walaupun sesaat. Dari definisi tersebut di atas, maka jelas sekali bahwa akal dapat mengerti, memahami, berpikir dan memecahkan masalah (problem solving) sehingga menjadikan pembeda antara manusia dengan makhluk ciptaan lainnya untuk dapat mencapai derajat yang mulia disisi-Nya. Namun akal juga ketika tidak dibarengi dengan kontrol syar’i dapat menyebabkan manusia menjadi makhluk yang hina disisi Allah. Sesungguhnya masalah akal kaitanya dengan otak yang berakal atau qalb, dikalangan ilmuan muslim masih menjadi polemik yang menarik. Polemik ini berangkat dari penafsiran Q.S. Al-Hajj; 46. Sebagian ulama beranggapan bahwa kalbulah yang berakal, sedang sebagian yang lain menyebutnya otak yang berakal. Dari kedua pendapat di atas, menurut penulis pengertian yang lebih mengena adalah pandangan yang kedua yakni otak yang berakal bukan kalbu. Hal ini juga sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Ibnu Miskawih bahwa jiwa berakal itu berkedudukan di otak manusia, jiwa syahwat berkedudukan dihati dan jiwa ghadab berkedudukan di jantung (Maskawih, 1995: 44). Qalb merupakan bagian dalam nafs yang bekerja memahami, mengelolah, menampung realitas sekelilingnya dan memutuskan sesuatu. Sesuai dengan potensinya qalb merupakan kekuatan yang sangat dinamis tetapi ia temperamental, fluktuatif, emosional dan pasang surut. Menurut Dr. Achmad Mubarok, untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi, qalb bekerja dengan jaringan akal. Akal memiliki kapasitas untuk berpikir, memecahkan masalah, dan membedakan mana yang baik dari yang buruk (Mubarok, 2003: 152). Akal merupakan bagian dari fitrah nafsani manusia yang memilki dua makna, yaitu akal jasmani dan akal rohani. Akal jasmani adalah salah satu organ tubuh
170
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
yang terletak dikepala. Sementara itu akal ruhani adalah cahaya nurani dan daya nafsani yang dipersiapkan dan mampu memperoleh pengetahuan (alma’rifat) dan kognisi (al-mudrikat). Setelah kita memahami pengertian akal secara umum, lalu bagaimana pengertian akal kaitannya dengan potensi atau disebut dengan fitrah akliyah. Sesungguhnya pengertian fitrah akliyah juga banyak dibicarakan oleh ilmuwanilmuwan muslim dengan berbagai macam sudut pandang dan latar belakang keilmuwan yang berbeda. Menurut Muhaimin dan Abdul Mujib, fitrah akliyah adalah “potensi bawaan yang mempunyai daya untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan dapat membedakan antara yang baik dengan yang buruk, yang benar dan yang salah”. Lebih lanjut beliau mengatakan fitrah akliyah atau fitrah intelek adalah fitrah yang selalu berhubungan dengan akal. Akal merupakan jalinan antara rasa dan rasio, yang mampu menerima segala sesuatu yang dapat ditangkap oleh indra dan sesuatu diluar pengalaman empiris. Dalam akal terdapat rasa yang dapat menimbulkan percaya (Muhaimin dan Abdul Mujib, 1993: 41). Harun Nasution, sebagaimana dikutip pendapatnya dalam “Tema-Tema Pokok Al-Qur’an” mengatakan bahwa, “potensi akliyah adalah suatu daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia” (LBIQ, 1994: 220). Hampir semakna dengan definisi tersebut, H.M. Arifin mengatakan bahwa fitrah akliyah adalah kemampuan berpikir manusia dimana rasio atau intelegensia (kecerdasan) menjadi pusat perkembangannya dan merupakan kriterium (pembeda) yang esensial antara manusia dan makhluk-makhluk lainnya (Arifin, 1993: 158). Dari definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya fitrah akliyah adalah sebuah potensi akal yang terdapat dalam diri seseorang untuk dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, sehingga memperjelas perbedaan antara manusia dengan makhluk lainya. Akal juga mempunyai daya kognisi yang mampu menangkap hal-hal yang masuk akal, sehingga menghasilkan tingkatan pengetahuan yang rasional. Pengembangan Fitrah Akliyah Akal sebagai potensi bawaan, jika difungsikan secara optimal akan mampu mengakses ilmu pengetahuan serta dapat membedakan antara yang baik dan buruk, disamping adanya kesadaran akan hak dan keawajiban
Fitrah Akliyah dalam Pendidikan Islam
171
manusia untuk dilaksanakan dan dipatuhi seoptimal mungkin. Akal juga merupakan jalinan antara rasa dan rasio sehingga ia mampu menerima segala sesuatu baik yang bersifat indrawi maupun sesuatu diluar pengalaman empiris. Karena masih merupakan potensi bawaan, maka upaya untuk “mengembangkan” potensi dasar tersebut adalah suatu keharusan. Tanpa adanya upaya untuk membina, mendidik, mengarahkan dan mengembangkan potensi dasar tersebut, maka cita-cita menuju terciptanya insan kamil yang mampu untuk mengemban amanah sebagai khalifah fi al-ardh akan jauh dari kenyataan. Dalam persepektif psikologi Islam, konsep fitrah Akliyah merupakan bagian dari fitrah nafsani manusia setelah al-qalb dan al-nafs. Masing-masing mempunya daya yang berbeda. Daya al-qalb berhubungan dengan rasa atau emosi, daya al-‘aql berhubungan dengan cipta atau kognisi dan al-nafs berhubungan dengan karsa atau konasi. Natur akliyah adalah natur insaniyah yang berdaya kognitif, seperti; penghayatan, pengamatan, tanggapan, asosiasi, reproduksi, ingatan, fantasi, berpikir dan lain-lain. Berpikir yang dilakukan orang paling tidak ada tiga tujuan, yaitu; untuk memahami realita dalam rangka mengambil keputusan (making decision), memecahkan persoalan (problem solving) dan menghasilkan sesuatu yang baru (creativity). Ketika fitrah akliyah benar-benar dikembangkan, dalam pendekatan Pendidikan Islam sedikitnya akan membentuk tiga hal, yaitu: 1.
Kepribadian Muslim Personality (Suryabrata, 1990: 1) atau kepribadian (muslim) yaitu integrasi sistem kalbu, akal dan nafsu manusia yang menimbulkan tingkah laku berdasarkan nilai-nilai Ilahiyah baik yang terkandung dalam al-Qur’an maupun hadits Rasulullah SAW. Kalbu sebagai aspek supra kesadaran manusia yang berfungsi sebagai daya emosi. Akal sebagai aspek kesadaran manusia yang berfungsi sebagai daya kognisi atau daya cipta. Sementara nafsu sebagai aspek pra atau bawah kesadaran manusia yang berfungsi sebagai daya konasi. Ketiganya berintegrasi menjadi satu sehingga menimbulkan tingkah laku. Pembentukan kepribadian muslim pada dasarnya adalah mengarahkan perubahan sikap kearah sikap-sikap yang dikehendaki oleh Islam. Upaya ini dilakukan dengan penanaman nilai-nilai keislaman, dan materi akhlak merupakan bagian dari hal-hal yang harus dipelajari dan dilaksanakan hingga terbentuk kecenderungan sikap yang menjadi ciri kepribadian muslim.
172
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
Kepribadian muslim adalah kepribadian yang percaya dengan sepenuh hati terhadap adanya Allah, malaikat, kitabullah, rasulullah, hari akhir dan baik buruknya takdir. Kepercayaan itu diimplementasikan kedalam bentuk perbuatan konkrit sesuai dengan tuntutan nilai-nilai Ilahiyah, serta menjalankan rukun Islam sesuai dengan ketentuan syar’i. Menurut Abdul Mujib, ada beberapa karakter ideal kepribadian muslim yaitu karakter kepribadian syahadatain, keperibadian mushalli, kepribadian muzakki, kepribadian sha’im dan kepribadian haji (Mujib, 1999: 196-199). Sementara itu DR. Moh.Abdullah Ad Darraz mengatakan bahwa, pembentukan kepribadian muslim sebagai individu dan sebagai umat tidak bisa dielakan. Dalam pembentukan kepribadian muslim sebagai individu, pembentukan diarahkan pada pengembangan dan peningkatan faktor bawaan (fitrah) dan faktor lingkungan (ajar), berpedoman pada nilai-nilai Islam (Jalaluddin, 1994: 100). Peningkatan faktor bawaan berupa pembiasaan berpikir, bersikap dan bertingkah laku menurut norma-norma Islam. Dengan kata lain pembentukan pandangan hidup yang mantap berdasarkan nilai-nilai Islam. Adapun peningkatan faktor ajar berupa penciptaan lingkungan yang Islami untuk mempengaruhi individu. Meskipun tiap-tiap individu memilki tipe-tipe kepribadian yang berbeda, dalam pembentukan kepribadian muslim sebagai ummah perbedaan itu disatukan. Pemberian nilai-nilai keislaman pada setiap individu, memungkinkan setiap individu memiliki pandangan hidup yang sama (seaqidah) dalam suatu komunitas muslim. Kesatuan pandangan hidup harus diperkuat dengan membina hubungan yang baik dan serasi antara sesama, yaitu dengan memberikan nilai-nilai Islam yang membina hubungan tersebut, yang berkaitan denga keluarga, masyarakat dan bangsa sesuai dengan konteks zaman dan tempat. Inilah yang disebut pembentukan kepribadian muslim sebagai ummah. Pembentukan kepribadian muslim yang berhasil ditandai oleh adanya keharmonisan antara dua kecenderungan yang saling berlawanan, yaitu kecenderungan sosialistik dan kecenderungan individualistik. Keduanya tumbuh secara baik, tidak terlantarkan salah satunya. Dengan kata lain, adanya keseimbangan antara peran individu dengan lingkungan sekitarnya yang dijiwai oleh nilai-nilai Islam. Selain memuat ciri-ciri tersebut, pembentukan dikatakan berhasil kalau semua aspek-aspek dan tenaga-tenaga kepribadian pada diri seseorang bekerja seimbang sesuai dengan kebutuhannya. Kepribadian umat semacam ini digambarkan dalam al-Qur’an sebagai umat yang adil dan pilihan (Q.S.Al-Baqarah: 143).
Fitrah Akliyah dalam Pendidikan Islam
173
Ahmad D. Marimba mengatakan bahwa “proses pembentukan keribadian muslim terbagi menjadi tiga tahap yaitu; pembentukan Pembiasaan, Pembentukan pengertian, sikap dan minat serta pembentukan kerohaniaan yang luhur.” (Marimba, 1988: 76). Bila dihubungkan dengan tingkat perkembangan anak, maka tahap ini dilakukan pada masa vital, kanak-kanak dan separoh masa sekolah. Tenaga kepribadian yang lebih banyak berperan dalam pembentukan tahap ini adalah tenaga kejasmanian. Tujuan pembentukan pada masa ini adalah terutama membentuk aspek kejasmanian dari kepribadian atau memberi kecakapan berbuat dan mengucapkan sesuatu. Caranya adalah dengan mengontrol dan mempergunakan tenaga-tenaga kejasmanian dan dengan bantuan kejiwaan, si terdidik dibiasakan dalam amalan-amalan yang dikerjakan dan yang diucapakan sesuai dengan ketentuan al-Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu, seorang muslim dituntut juga berkepribadian Qur’ani disamping berkepribadian rabbani, malaki dan rasuli. Kepribadian Qur’ani adalah kepribadian yang mampu mentransinternalisasikan (mengambil dan mengamalkan) nilai-nilai al-Qur’an dalam tingkah lakunya yang nyata. Sementara kepribadian rabbani adalah kepribadian yang mampu mentransinternalisasikan sifat-sifat dan asma-asma Allah SWT kedalam tingkah laku nyata sebatas pada kemampuan manusiawinya (Mujib, 1999: 194-195). Proses pembentukan karakter rabbani ini menurut Dr. Komarudin Hidayat melalui tiga tahap yaitu ta’alluq, takhalluq dan tahaqquq. Ta’alluq adalah berusaha mengingat dan meningkatkan kesadaran hati dan pikiran kita kepada Allah. Dimanapun seorang mukmin berada, dia tidak boleh lepas dari berpikir dan berdzikir untuk Tuhannya (Q.S. 3:191). Sementara itu, takhalluq yaitu secara sadar meniru sifat-sifat Tuhan sehingga seorang mukmin memilki sifat-sifat mulia sebagaimana sifat-Nya. Adapun tahaqquq yaitu suatu kemampuan untuk mengaktualisasikan kesadaran dan kapasitas dirinya sebagai seorang mukmin yang dirinya sudah “didominasi” sifat-sifat Tuhan sehingga tercermin dalam prilakunya yang serba suci dan mulia (Hidayat, 1994: 191-192). Melalui tahapan ta’alluq, takhalluq dan tahaqquq maka seorang mukmin akan mencapai derajat khalifah Allah dengan kapasitasnya yang perkasa sekaligus penuh kasih dan damai. Jenis kepribadian Rabani, Qur’ani, malaki, dan rasuli dalam psikologi Islam termasuk katagori kepribadian muthma’inah yang termaktub dalam rukun
174
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
iman dan Islam. Disamping itu masih ada dua jenis kepribadian lagi yaitu keperibadian Amarah dan keperibadian Lawwamah. Keperibadian amarah adalah keperibadian dibawah sadar manusia, sehinga tidak lagi memilki identitas manusia, sebab sifat-sifat humanitasnya telah hilang. Kepribadian model ini rela menurunkan derajat asli manusia. Manusia yang berkepribadian amarah tidak saja dapat merusak dirinya sendiri, tapi juga merusak orang lain. Hal ini karena yang menguasai dirinya adalah daya syahwat dan ghadzab yang selalu sombong, keras kepala, angkuh, tamak, kikir dan sebagainya. Adapun kepribadian lawwamah menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam bukunya, “al-ruh” yang dikutip oleh Ahmad Mujib, bahwa kepribadian ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 1. Kepribadian Lawwamat malumat, yaitu kepribadian lawwamah yang bodoh dan zalim. 2. Kepribadian lawwamat ghayr malumat, yaitu kepribadian yang mencela atas perbuatannya yang buruk dan berusaha untuk memperbaikinya (Mujib, 1999: 167). Dari ketiga kepribadian di atas, pengembangan fitrah akliyah manusia diharapkan mengarah kepada kepribadian mutma’inah. Sebab jenis kepribadian tersebutlah yang sesuai dengan tuntunan Islam dan telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam amalan sehari-hari. Untuk sampai kepada kepribadian mutma’inah, diperlukan motif dan motivasi yang konkrit dari diri individu. Ketika seseorang sampai kepada jenis kepribadian tersebut, maka akan mendapatkan derajat yang mulia tidak saja dihadapan manusia, namun yang paling penting adalah dihadapan sang khaliq (Mustaqim dan Abdul Wahib, 1991: 72 dan Soemanto, 1990: 191). 2.
Kreativitas Berpikir Dalam kamus “Oxford Learner’s Dictionary”, term kreativitas dari creative berarti having power. Sedang create berarti couse something to exist (Cowie, 1989: 88). Menurut Hasan Langgulung, kreativitas adalah keanggupan mencipta atau daya cipta (Langgulung, 19991: 45). Kreativitas juga diartikan sebagai kemampuan untuk menciptakan atau menghasilkan sesuatu yang baru. Hasil karya atau ide-ide baru itu sebelumnya tidak dikenal oleh pembuatnnya maupun orang lain (Nashori dan Rachmy Diana Mucharam, 2002: 33). Pengertian kreativitas sebagaimana dikemukakan oleh William Blake yang dikutip Hasan Langgulung adalah some source of spiritual en-
Fitrah Akliyah dalam Pendidikan Islam
175
ergy in whose exercise we experience in some way the activiy of God (beberapa sumber kekuatan spiritual yang dimilki melalui latihan dan pengalaman merupakan salah satu sifat kreativitas yang dimiliki Tuhan) (Langgulung, 1989: 244). Hal ini sejalan dengan pendidikan Islam yang mengartikan kreativitas sebagai salah satu sifat Tuhan “al-Khaliq” yang dapat dikembangkan pada diri manusia (Q.S. Al-An’am: 101). Barangkali kreativitas manusia bisa dianalogikan pada ayat tersebut (Q.S.Al-An’am: 101), yaitu dalam hal penciptaan yang terus menerus dalam arti merubah suatu bentuk kebentuk lain (Langgulung, 1992: 265). Perubahan tersebut tidak terikat pada cara pikir ataupun cara pemecahan lama dan biasa, tetapi ia selalu berupaya menemukan alternatif baru untuk suatu pemecahan masalah yang lebih efektif dan efesien. Dari definisi tersebut di atas dapat diketahui bahwa kreativitas adalah merupakan daya manusia yang berupa kesanggupan mencipta (daya cipta), yang dalam pandangan Islam adalah merupakan wujud dari pengembangan sifat khaliq Allah pada manusia. Demikian juga dari pengertian di atas dapat dianalisa mengenai ciri dari berpikir kreatif, yakni kemampuan dari kegiatan mental untuk memecahkan persoalan baru, mengemukakan metode baru atau gagasan baru dan pandangan baru bagi suatu persoalan atau gagasan lama. Dengan demikian berarti kreativitas ini meliputi cara berpikir kreatif dalam setiap bidang; imajinasi, rasa ingin tahu, keinginan mengadakan eksperimen dan eksplorasi serta kemampuan untuk menemukan ide dan jawaban baru terhadap pertanyaan. Kemampuan-kemampuan tersebut berhubungan dengan tingkat kecerdasan yang dimilikinya (Shaleh dan Muhbib Abdul Wahab, 2005: 189-190). H.M. Taufik dengan mengutip pendapatnya Noeng Muhadjir mengemukakan bahwa, kreativitas dapat muncul dari otak rasional (IQ) maupun dari emosi (EQ). Kreativitas yang muncul dari dimensi emosional sesuai dengan pandangan otak kanan yang berkarakter logis, matematis, sekuensial atau akademis. Sedang otak kiri yang cenderung emosional, artistik, ritmis, inovatif dan imajinatif, juga disebut sebagai aktivitas kreatif, menjadi sangat berkenan dari asal muasal munculnya kreativitas (Langgulung, 1992: 191). Cara bekerja otak kanan menurut Bobbi Deporter dan Mike Hernacki yaitu bersifat acak, tidak teratur, intuitif dan holistik. Sedangkan otak kiri memiliki cara kerja yang logis, sekuensial, rasional dan linier (DePorter dan Mike Hernacki, 2002: 38). Sehingga jelas sekali IQ dan EQ sangat berperan dalam
176
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
kaitanya dengan proses kreativitas seseorang. Namun demikian proses kreativitas sendiri masih harus dikontrol dengan SQ, hal ini dimaksudkan agar kreativitas yang dimilki seseorang menjadi terkendali dan tidak menyimpang dengan nilai-nilai ketuhanan. Salah satu cara untuk memperoleh ide kreatif adalah dengan memberikan stimulus-stimulus yang menjadikan akal manusia berpikir penuh atau melakukan usaha konkrit berpikir kreatif. Ada empat unsur berpikir kreatif yaitu; unsur kelancaran, fleksibilitas, kelenturan, orsinalitas dan elaborasi (Nashory dan Rachmy Diana Mucharom, 2002: 111). Keempat unsur tersebut akan menumbuhkan kesadaran akan setrategi menghadapi masalah secara kreatif. Menurut Coleman dan Hammen, secara umum ada beberapa ciri atau faktor yang menandai orang-orang kreatif, yaitu: 1. Kemampuan kognitif; termasuk disini kecerdasan diatas rata-rata, kemampuan melahirkan gagasan-gagasan baru, gagasan-gagasan yang berlainan dan fleksibilitas kognitif. 2. Sikap yang terbuka; Orang kreatif mempersiapkan diri menerima stimuli internal dan eksternal, memiliki pikiran yang beragam dan luas. 3. Sikap yang bebas, otonom dan percaya pada diri sendiri. Orang kreatif tidak senang “digiring”, ingin menampilkan dirinya semampu dan semaunya, ia tidak terlalu terikat pada konvensi-konvensi sosial (Shaleh dan Muhbib Abdul wahab, 2005: 245-246). Ciri-ciri tersebut akan lahir apabila ditunjang dengan pendidikan yang baik dan terarah serta tidak adanya tekanan. Kegiatan pendidikan yang otoriter disekolah-sekolah formal juga tidak akan menumbuhkembangkan kreativitas anak, justru akan sama dengan kasus di atas yaitu mematikan kreativitas. Pendidikan yang dapat menunjang kreativitas adalah pendidikan yang terbuka terhadap realitas anak yang memerlukan kemerdekaan, kebebasan dan kegembiraan dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Siswa diberikan kebebasan mengemukakan pikiran, pendapat dan keluhannya dalam rangka melatih serta menemukan jati dirinya. Dengan model dan sistem pendidikan terbuka akan didapat beberapa hal. Pertama, bahwa secara alamiah sangat banyak bahan-bahan yang tersedia dilingkungan yang dapat diprogramkan untuk merangsang dan mengembangkan kreativitas anak, berupa benda-benda maupun tumbuhtumbuhan. Kedua, secara teknologis dewasa ini banyak barang-barang mainan
Fitrah Akliyah dalam Pendidikan Islam
177
yang tersedia, yang dirancang untuk pendidikan. Ketiga, karena kemampuan kreatif mencakup hampir seluruh dimensi kepribadian termasuk perasaan atau emosi bahkan juga spiritualitas, dimana emosi juga berperan besar dalam mendorong kesuksesan orang. Pengajaran atau pelatihan kecerdasan emosional dapat diprogramkan untuk mendukung pengembangan kreativitas (Shaleh dan Muhbib Abdul Wahab: 189-190). Oleh karenanya untuk terealisasinya model pendidikan terbuka ini, perlu didesain sedemikian rupa sebuah aktivitas pendidikan yang menyenangkan, demokratis, serta mengarahkan peserta didik untuk berani menyampaikan ide-ide dan pendapat dalam sebuah kegiatan belajar mengajar dengan bebas tanpa tekanan. Kebebasan tanpa tekanan dari pihak manapun merupakan prasyarat bagi tumbuh dan berkembangnya kreativitas. Pada zaman Yunani Kuno pun, orang belajar dan menuntut ilmu dalam waktu dan suasana yang betul-betul bebas tanpa tekanan sehingga belajar dinamakan bersekolah. Belajar tanpa tekanan dan pemaksaan kehendak dalam al-Qur’an juga pernah dipraktikkan oleh nabi Ibrahim dan nabi Isma’il seputar mimpi sang ayah. Nabi Ibrahim tidak memaksakan kehendaknya untuk melakukan mimpi benar itu melainkan dengan berdialog terlebih dahulu secara bebas (Q.S. as-Saffat; 102). 3.
Berpikir Berlandaskan Syariat Dalam pengembangan fitrah akliyah kaitanya dengan pendidikan Islam, syariat adalah merupakan landasan bagi kegiatan berpikir yang meliputi segala imajinasi pemikiran manusia tentang alam semesta, kehidupan dan manusia yang didalamnya tercakup sikap Islam terhadap manusia, alam semesta serta hubungan manusia dengan makhluk Allah yang lain. Melalui syariat manusia dapat mendapatkan gambaran yang logis dan sempurna tentang hubungan dirinya dengan alam semesta sehingga ia dapat mengetahui asal-usul, tempat kembali, nilai, fungsi serta tujuan hidupnya. Syariat juga membentuk kekhasan akal manusia sehingga ia memiliki jangkauan pemikiran yang lebih panjang dari pada perasaannya. Ketika dalam diri manusia perasaan lebih menguasai dibanding akal yang berlandaskan syariat Islam, maka perilakunya menjadi tidak terarah dan bisa jadi “menabrak” nilai-nilai atau kaidah yang terkandung dalam masyarakat, negara maupun agama. Untuk itu maka dalam pengembangannya peserta didik dilatih dan didorong untuk menerapkan syariat yang sesuai dengan kaidah
178
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
dan sistemnya, sehingga ia mampu menjadikan dirinya sebagai teladan baik dalam ketelitian, keteraturan dan kejujuran dalam hidupnya, ketinggian akhlaknya dan mendidik anak untuk berpikir sadar atas segala perkataan yang dilakukannya, diucapkan dan dikehendakinya. Dengan demikian maka peserta didik dalam hidupnya akan jelas tujuan dan manfaat dalam setiap tindakannya. Disamping itu, dengan pengembangan berpikir yang berlandaskan syariat, maka syariat akan menjadi kontrol perilaku anak didik, sehingga dalam menghadapi setiap masalah peserta didik akan menjadikan syariat sebagai acuan utamanya. Demikian juga dengan pengembangan ini diharapkan peserta didik dalam hidupnya dikendalikan oleh pengetahuan yang dimilikinya sehingga ia tidak menjadi haus kekuasaan, melainkan ia tetap dapat menggunakan dan memanfaatkan pengetahuan untuk mengelola bumi dengan sebaik-baiknya dan hanya untuk kemaslahatan manusia. Atau dengan kata lain, peserta didik mempunyai kemampuan dalam berpikir dan berdzikir secara seimbang sehingga akhirnya akan tercapai tujuan Allah dalam menciptakan manusia di muka bumi, yakni sebagai khalifah fil ardh. Dari uraian di atas, jelas sekali bahwa dalam perspektif pendidikan Islam, kajian konsep fitrah manusia tidak sama dengan teori Tabularasa yang dikemukakan oleh John Lock, teori nativisme-nya Arthur Scopenhauer atau teori konvergensi yang dikemukan oleh William Stern. John Lock memandang manusia yang baru dilahirkan sebagai kertas putih, artinya proses pendidikan seseorang tergantung pada siapa yang mendidiknya. Sementara nativisme berpandangan bahwa anak dilahirkan kedunia sudah membawa pembawaan dan pembawaan itulah yang menentukan perkembangan dan hasil pendidikan. Karenanya dalam aliran ini dikenal dengan “pesimisme paedagogis” karena sangat pesimis terhadap upaya dan hasil pendidikan. Adapun teori konvergensi yang konon disebut-sebut mirip dengan teori pendidikan Islam menggabungkan kedua teori tersebut dengan menyatakan bahwa ada faktor bawaan semenjak lahir dan perlunya proses pendidikan. Namun pada realitasnya pengembangan fitrah akliyah pada diri manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya faktor endogen dan eksogen. Faktor endogen adalah faktor yang berada dalam individu seperti faktor fisiologis dan psikologis. Adapun faktor eksogen adalah faktor yang ada diluar individu, seperti; lingkungan sosial, nonsosial dan pendekatan belajar. Sehingga untuk lebih terarah pengembangan fitrah akliyah tersebut diperlukan kerjasama yang harmonis antara lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
Fitrah Akliyah dalam Pendidikan Islam
179
Simpulan 1. Dengan fitrah akliyah manusia memiliki kemampuan untuk memperoleh ilmu pengetahuan, manusia pun bisa membedakan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah. 2. Pengembangan fitrah akliyah diharapkan dapat mengarahkan manusia kepada terbentuknya kepribadian mutmainah, kepribadian yang sesuai dengan tuntunan Islam yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, untuk itu diperlukan kerja sama yang harmonis dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. 3. Dalam perspektif pendidikan Islam, kajian tentang fitrah akliyah tidak identik dengan teori tabularasa dari John Lock, namun pada realitasnya pengembangan fitrah akliyah pada diri manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor dari dalam maupun dari luar. Daftar Pustaka al-Attas, Sayed Naquib.1984. Aims and Objectives of Islamic Education. Bandung: Mizan. al-Ghazali, Imam.1980. Ihya ‘Ulum al-Din. Beirut: Dar al-fikr. Al-Isfahani, t.t. Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr. Arifin, H.M. 1993. Filsafat Pendidikan Islam, Cet. Ke-3. Jakarta: Bumi Aksara. Biro Bina Mental Spiritual DKI Jakarta.1993/1994. Tema-Tema Pokok AlQur’an, Bag. Ke-1. Jakarta: Proyek Peningkatan LBIQ DKI Jakarta. Bobbi DePorter dan Mike Hernacki.2002. Quantum Learning; Unleashing The Genius In You, Terj.: Alwiyah Abdurrahman, Cet. Ke-XIV. Bandung: Kaifa. Cowie, A.P. 1989. Oxford Learner’s Dictionary. Oxford: University Press. Depdikbud.1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. Ke-II. Jakarta; Balai Pustaka. Fadlali, Ahmad.2006. Konsep Fitrah Akliyah dan Pengembangannya dalam Perspektif Psikologi Pendidikan Islam. Tesis: UMY. Hasan Langgulung.1989. Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisis Psikologi dan Pendidikan, Cet.ke-2. Jakarta: Pustaka al-Husna. Hidayat, Komarudin.1994. “Manusia dan Proses Penyempurnaan Diri”, dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Cet. Ke-I. Jakarta: Paramadina.
180
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
Jalaluddin.1994. Filsafat Pendidikan Islam; Konsep dan Perkembangan Pemikirannya. Jakarta: Rajawali Pers. Langgulung, Hasan. 1992. Asas-Asas Pendidikan Islam, Cet. Ke-II. Jakarta: Pustaka al-Husna. Langgulung, Hasan.1991. Kreativitas dan Pendidikan Islam; Analisis Psikologi dan Falsafah. Jakarta: Pustaka al-Husna. Madjid, Nurcholis, (Ed.). 1994. Khazanah Intelektual Islam, Cet. Ke-III. Jakarta: Bulan Bintang. Marimba, Ahmad D. 1988. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: AlMa’arif. Maskawih, Ibnu.1995. Tahdzib al-Akhlaq. terj. Helmi Hidayat, Cet. KeIII. Bandung: Mizan. Mubarok, Achmad. 2003. Sunatullah dalam Jiwa Manusia; Sebuah Pendekatan Psikologi Islam, Cet. I. Jakarta: The International Institute of Islamic Thought Indonesia. Muhaimin dan Abdul Mujib.1993. Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Oprasionalisasinya, Cet. Ke-1. Bandung: Trigenda Karya. Mujib, Abdul.1999. Fitrah dan Kepribadian Islam; Sebuah Pendekatan Psikologis. Jakarta: Darul Falah. Mustaqim & Abdul Wahib.1991. Psikologi Pendidikan, Cet. Ke-1. Jakarta: Rineke Cipta. Nashori, Fuad dan Rachmy Diana Mucharam.2002. Mengembangkan Kreativitas dalam Perspektif Psikologi Islam, Cet. Ke-I. Jogjakarta: Menara Kudus. Nasution, Harun.1987. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Cet. Ke-I. Jakarta: UI Press. Shaleh, Abdul Rahman dan Muhbib Abdul Wahab.2005. Psikologi Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam, Cet. Ke-II. Jakarta: Prenda Media. Shihab, M. Quraish.1998. Lentera Hati; Kisah dan Hikmah Kehidupan, Cet. XII. Bandung: Mizan. Suryabrata, Sumadi.1990. Psikologi Kepribadian, Jakarta: Rajawali. Taufik, H.M., “Hasan Langgulung; Pengembangan Kreativitas dalam Pendidikan”, dalam A. Khudori Soleh (Ed.).
Mengakhiri Dikotomi Ilmu dalam Dunia Pendidikan
181
MENGAKHIRI DIKOTOMI ILMU DALAM DUNIA PENDIDIKAN M. Hasan Bisyri*
Abstract: The separation of religion and general science has been proven to bear negative things for the future of people since by general knowledge only (both natural sciences and social sciences) has weaknesses. Similarly, religious knowledge only proves to be the same. Therefore, both must be congregated, not just give the label of Islam on these sciences, but make religion as the underlying value of every science. Kata kunci: dikhotomi, integrasi, ilmu.
Pendahuluan Pemisahan ilmu dalam dunia pendidikan, menjadi ilmu umum dan ilmu agama, telah mengantar dunia pendidikan di Indonesia menjadi suatu pendidikan yang mandul dan menghasilkan ilmuwan-ilmuwan yang tidak bertanggungjawab terhadap kehidupan kemasyarakatan dan lingkungan. Demikian pula pendidikan agama yang terlalu memisah dari dunia ilmu-ilmu sosial dan humaniora, telah melahirkan ahli-ahli agama yang tidak peka terhadap kehidupan sosial, dan gagap tehadap perkembangan dunia modern. Agama seakan terlepas dari realitas sosial. Apalagi studi Islam yang ada selama ini cenderung menampakkan tumpang tindih yang tidak menguntungkan baik bagi pengajar maupun yang diajar (Azyumardi Azra, 1999: 201-216). Pola pikir yang serba bipolar-dikotomis ini menjadikan manusia terasing dari dirinya sendiri, terasing dari keluarga dan masyarakat sekelilingnya, terasing dari
∗ Dosen Jurusan Syariah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Pekalongan
182
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
lingkungan alam dan ragam hayati yang menopang kehidupannya, serta terasing dari denyut nadi lingkungan sosil-budaya sekitarnya. Yang akhirnya terjadi proses dehumanisasi secara massif baik pada tataran kehidupan keilmuan maupun keagamaan (Amin Abdullah, 2003: 4). Anthroposentrisme kebudayaan yang terbukti merusak secara ekologis, yang diintensifkan oleh munculnya “humanisme sekuler” telah menjadi semakin kuat lagi dengan munculnya ideologi “kematian Tuhan” (death of god ideology) (John F Haught, 2005: 328). Hal ini menunutut perombakan terhadap kurikulum dan silabi yang selama ini digunakan di lembaga pendidikan Islam. Kurikulum yang baru ini harus disesuaikan dengan kondisi yang ada dengan suatu pendekatan yang integaratif. Kondisi di atas disebabkan adanya keyakinan dalam masyarakat bahwa agama dan ilmu adalah dua entitas yang tidak bisa dipertemukan. Keduanya mempunyai wilayah sendiri, yang terpisah antara satu dan lainnya, baik dari objek formal maupun material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan maupun status teori masing-masing bahkan sampai ke institusi penyelenggaranya. Ilmu tidak mempedulikan agama dan agama tidak mempedulikan ilmu (Amin Abdullah, 2003: 3). Kaum skeptic mengklaim agama jelas-jelas tidak dapat membuktikan kebenaran ajaran-ajarannya dengan tegas, padahal sains bisa melakukan hal tersebut. Agama bersikap diam-diam dan tidak mau memberikan petunjuk bukti kongkrit tentang keberadaan Tuhan. Di pihak lain sains mau menguji semua hipotesis dan semua teorinya berdasarkan “pengalaman”. Agama tidak bisa melakukan hal tersebut dengan cara yang bisa memuaskan pihak yang netral (Haught, 2004: 2). Lebih jauh mereka sering mengatakan bahwa agama dilandaskan pada asumsi-asumsi apriori atau keyakinan. Sedangkan sains, tidak mau menerima begitu saja segala sesuatu sebagai benar. Selain itu agama terlalu bersandar pada imajinasi liar, sedangkan sains bertumpu pada fakta yang dapat diamati. Agama terlalu emosional dan penuh gairah, dan subjektif, sedangkan sains berusaha untuk tidak memihak, tidak terlalu bergairah, dan objektif (Haught,: 2004: 5). Dalam dunia pendidikan pemisahan antara ilmu dan agama ini berakibat pada rendahnya mutu pendidikan dan kemunduran dunia Islam pada umumnya (Amin Abdullah, 2003: 5). Umat Islam akan terus menglami dehumanisasi apabila sains, dan terutama penghampiran rasional terhadap problem-problem kemanusiaan, dipandang terpisah dari kebudayaan Islam (Pervez Hoodbhoy, 1997: 7). Ilmu-ilmu sekuler yang dikembangkan di Perguruan
Mengakhiri Dikotomi Ilmu dalam Dunia Pendidikan
183
Tinggi Umum dan ilmu-ilmu agama yang dikembangkan di Perguruan Tinggi Agama secara terpisah, yang sekarang ini berjalan, sedang terjangkit krisis relevansi (tidak dapat memecahkan banyak persoalan), mengalami kemandekan dan kebuntuan (tertutup untuk pencarian alternatif-alternatif yang lebih mensejahterakan manusia) dan penuh bias-bias kepentingan. Untuk itulah diperlukan penyatuan epistemologi keilmuan sebagai sarana untuk mengantisipasi perkembangan-perkembangan yang serba kompleks dan tidak terduga pada millennium ketiga serta tanggung-jawab kemanusiaan bersama secara global dalam mengelola sumber daya alam yang serba terbatas dan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas (Amin Abdullah, 2003: 6). Dualisme dikotomi pendidikan yang masih banyak dikembangkan dalam masyarakat Islam, dengan memisahkan antara pendidikan umum dan pendidikan agama, pada hakekatnya tidak senafas dengan hakekat ilmu pengetahuan dalam Islam (Samsul Anwar, 2003: 34). Sayyid Hosein Nasr, sebagaimana dikutip oleh Azyumardi Azra, menyatakan bahwa studi Islam tidak hanya mencakup “ilmu-ilmu keagamaan” saja, namun juga termasuk ilmu-ilmu kealaman, seperti astronomi, kimia, fisika, geografi dan kosmologi (Azyumardi Azra, 1999: 28-29). Ilmu yang demikian pernah dikembangkan pada periode Islam klasik dan tengah yang telah terbukti melahirkan masa ke-emasan (Golden Age). Ketika itu muncul pemikir muslim yang berparadigma non-dikotomik dalam memandang kehidupan, misalnya Ibn Haitsam (ahli optik), Ibnu Sina (ahli ilmu Kedokteran), Ibn Rusyd (ahli filsafat), Ibnu Khaldun (ahli ilmu sejarah dan sosiologi), al-Jabar (ahli ilmu hitung) (Akh. Minhaji, 2003: xiv). Kelemahan Ilmu-ilmu Sosial Sekuler Beberapa kelemahan ilmu sosial Barat (sekuler) adalah sebagai berikut: 1. Menurut ilmu budaya dan sosiologi pengetahuan, realitas itu tidak dilihat secara langsung oleh orang, tetapi melalui tabir (kata, konsep, simbol, budaya dan persetujuan masyarakat). Orang melihat realitas tidak seperti anjing melihat tulang. Orang kejawen melihat raja melalui simbol-simbol: mitos Nyi Lara Kidul, upacara labuhan, tatacara sembah dsb. 2. Ilmu-ilmu sekuler tidak semuanya obyektif. Misalnya mereka yang mempelajari Marxisme, akan melihat agama dengan konsepsi bahwa “agama adalah candu”, sementara itu penganut Freud akan mengatakan bahwa “agama adalah ilusi.” (Kuntowijoyo, 2005: 1- 4).
184
3.
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
Tanpa mengakui adanya faktor manusia konstruksi pengalaman manusia menjadi ilmu tidak lengkap. Ilmu ekonomi hanya akan mengenal “hukum besi” permintaan-penawaran. Dan orang akan tidak tahu pentingnya bagi bisnis: iklan di media massa, dan baliho di Jalan.
Menurut Kuntowijoyo (2005: 52), ilmu-ilmu sekuler sekarang ini sedang terjangkit krisis (yaitu tidak dapat memacahkan banyak persoalan), mengalami kemandekan (tertutup untuk alternatif-alternatif), dan penuh bias (filosofis, keagamaan, peradaban, etnis, ekonomis, politis dan jender). Kelemahan-kelemahan ilmu sekuler Barat dapat dilihat dari alur pertumbuhannya. Filasafat antroposentrisme differensiasi ilmu sekuler Tempat pijakan ilmu-ilmu sekuler adalah modernisme dalam filsafat. Filsafat rasionalisme yang muncul pada abad ke-15/16 menolak teosentrisme abad Tengah. Rasio (pikiran) manusia diagungkan dan wahyu Tuhan dinistakan. Karena itu yang menjadi sumber kebenaran adalah pikiran, bukan wahyu Tuhan. Tuhan masih diakui keberadaannya tetapi diakui sebagai Tuhan yang lumpuh, tidak berkuasa, tidak membuat hukum-hukum. Dalam rasionalisme manusia menempati kedudukan yang tinggi. Manusia menjadi pusat kebenaran, etika, kebijaksanaan, dan pengetahuan. Manusia adalah pencipta, pelaksana, dan konsumen produk-produk manusia sendiri. Ketika menusia menganggap bahwa dirinya adalah pusat segalanya, maka terjadilah diferensiaasi (pemisahan). Etika, kebijaksanaan, dan pengetahuan tidak lagi berdasar wahyu Tuhan. Karena itu kegiatan ekonomi, politik, hukum dan ilmu harus dipisahkan dari agama. Kebenaran ilmu terletak pada ilmu itu sendiri (tidak di luarnya: Kitab Suci), yaitu korespondensi (kecocokan ilmu dengan objek) dan koherensi (keterpaduan) di dalam ilmu, antara bagianbagian keilmuan dengan seluruh bangunan ilmu. Ilmu harus obyektif, tidak ada campur tangan etika, moral, dan kepentingan lain (Kuntowijoyo, 2005: 53-54). Ilmu sekuler yang menganggap dirinya objektif, bebas nilai, bebas dari kepentingan lainnya, ternyata penuh muatan kepentingan. Kepentingan itu diantaranya adalah hegemoni kebudayaan (misalnya orientalisme), kepentingan ekonomi (misalnya sejarah ekspansi negara-negara kuat), dan kepentingan perang (misalnya ilmu-ilmu nuklir) (Kuntowijoyo, 2005: 57). Demikian juga
Mengakhiri Dikotomi Ilmu dalam Dunia Pendidikan
185
dengan netralitas ilmu sosial empiris-analitis, patut diragukan. Ilmu sosial empiris-analitis selalu menghasilkan ilmu-ilmu yang nomologis, menerangkan saja tanpa mengandung nilai moral mengenai tujuan (Kuntowijoyo, 2005: 99). Root (1993) mengusulkan untuk mengganti tujuan di atas dengan perfeksionisme, yang communitarian, ilmu sosial yang memperhatikan nilainilai pada sebuah objek penelitian, komunitas. Dan yang paling tepat bagi ilmu yang communitarian, menurut Root adalah ilmu-ilmu sosial jenis participatory research, bukan ilmu-ilmu sosial empiris-analitis dan juga bukan ilmu sosial terapan (Kuntowijoyo, 2005: 101). Jelaslah di sini diperlukan suatu ilmu yang memperhatikan nilai (perfeksionis, berpihak). Sains tidaklah netral, tetapi memihak pada kegunaan membantu manusia menyelesaikan kesulitan yang dihadapinya. Paham ini sesuai dengan ajaran semua agama dan sesuai pula dengan niat ilmuwan tatkala menciptakan teori sains (Ahmaad Tafsir, 2006: 48-49). Maka sebuah ilmu yang mengandung nilai-nilai Islam dan berpihak pada kerakyatan adalah sah sebagai ilmu. Cita-cita modernisme adalah adanya differentiation (pemisahan) dan autonomization (pemandirian). Bila hal ini dikaitkan dengan agama maka akan didapatkan bahwa ekonomi lepas dari agama, politik lepas dari agama, seni lepas dari agama, ilmu lepas dari agama dan seterusnya. Inilah yang yang disebut sekulerisasi objektif. Dalam kondisi ini agama menjadi dependent variable semata-mata. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa modernisme menghendaki sekulerisasi, yaitu proses melepasnya dominasi agama atas masyarakat dan budaya. Terdapat dua macam sekulerisasi, yaitu sekulerisasi objektif dan sekulerisasi subyektif. Sekulerisasi subyektif terjadi bila tingkat sosiokultural (sekulerisasi objektif) itu masuk ke dalam, ke tingkat kesadaran berupa sekulerisasi subyektif (Peter L. Berger, 1969: 127). Sekulerisasi subyektif ini pada gilirannya akan menimbulkan skulerisme dalam ideologi kemasyarakatan dan ateisme ilmiah dalam ilmu yang secara agresif mempropagandakan masyarakat sekuler (Kuntowijoyo, 2005: 59). Berdasarkan uraian di atas jelaslah letak kelemahan ilmu-ilmu Barat sekuler. Kelemahan Ilmu-ilmu Alam Sekuler Pemisahan ilmu dan agama, pada awalnya berasal dari tradisi Barat (Amin Abdullah, 2003: 3). Sains yang berkembang di Barat, dalam pandangan
186
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
sebagian besar orang adalah netral, ternyata bersifat sekuler dan hedonistic. Ia tidak netral. Hal ini disebabkan sains Barat tidak lagi bersandar pada “rasionalitas murni”, akan tetapi bersandar pada “rasionalitas Barat” yang dikungkung oleh budaya atau nilai-nilai Barat. Ilmu Pengetahuan sosial dan paradigma modernitas adalah hasil proses sejarah yang dipengaruhi oleh budaya, agama, nilai dan struktur sosial. Ilmu sosial dan humaniora modern sangat dipengaruhi oleh struktur ekonomi kapitalis dan kepentingankepentingan yang terkait dengan dana. Ilmu alampun tidak terpisah dari nilai dan kepentingan yang terkait dengan asumsi-asumsi budaya dan agama (Risakotta, 2003: 4). Sebagaimana dinyatakan Richard Tarnas bahwa Sains Barat sekuler pada dasarnya menjalani alur yang keliru. Empat postulat dasar Sains Barat Sekuler dibuktikan tidak benar. Sains Barat yang bersifat antitetikal pada akhirnya menuju ke arah kerusakan yang menyeluruh. Lebih jauh Tarnas menyatakan bahwa Sains Barat Sekuler memilki cacat besar pada ilmu murninya, bukan saja pada terapannya (Herman Soewardi, 1999: 24-25). Richard Tarnas, dalam The Passion of the Western Mind (1993) pada salah satu bab yang berjudul “The Crisis of Modern Science” menuliskan: Kerusakan-kerusakan di seluruh dunia merupakan akibat dari Sains Barat Sekuler. Akibat-akibat ini bukan saja disebabkan oleh ilmu terapan, akan tetapi oleh ilmu murninya sendiri. Pernyataan Tarnas di atas apabila dakaitkan dengan Kuhn, tampak bahwa apa yang disampaikan oleh Tarnas merupakan sebuah anomali dan krisis yang sedang di derita oleh Sains Barat Sekuler. Maka pada penghujung abad ke 20 ini sains Barat Sekuler tengah mengalami krisis (Soewardi, 1999: 27). Kelemahan Sains Barat Sekuler (yang sekarang disebut Sains modern, sebagaimana dikutip oleh Herman Soewardi (1999: 28-29) terdapat pada: 1. Empat postulat dasarnya terbukti tidak benar, dan ini menjurus ke arah kerusakan-kerusakan yang menyeluruh. Keempat postulat dasar ini adalah: ruang (space), materi (matter), observasi, dan kausalitas. Ruang yang selama ini dipahami terdiri atas tiga dimensi harus menjadi empat dimenasi, maka menjadi ruang-waktu. Ternyata ruangpun bertopografi, dan dalam topografi ini jalannya cahaya adalah lengkung, bukan linier. Koordinat Cartesian-Newtonian perlu ditambah waktu. Kedua: Materi. Materi ternyata tidak solid seperti dikatakan oleh Demokritus, melainkan di dalamnya terdapat kehampaan seperti pada atom. Ketiga: Observasi. Observasi kini diragukan kemantapannya, dan mulai disadari bahwa di
Mengakhiri Dikotomi Ilmu dalam Dunia Pendidikan
2.
187
depan mata setiap orang ada lensa, yang ditentukan oleh tata nilai yang dianut, pengalaman, aspirasi, harapan, trauma dan sebagainya. Maka setiap orang memiliki cognitive syndrome-nya sendiri. Keempat Kausalitas yang kini berlaku ternyata terlalu simplisistis, sebagai akibat dari observasi yang terbatas kemampuannya (“terpola”). Adanya kesalahan pada empat postulat dasar tersebut, terutama observasi dan kausalitas, berakibat pada timbulnya kerusakan yang menyeluruh, baik pada alam maupun masyarakat. Kerusakan pada alam merupakan kerusakan ekologi seperti kontaminasi air, udara, tanah, efek buruk berganda pada kehidupan tumbuhan dan hewan, kepunahan spesies tumbuhan dan hewan, pengrusakan hutan di seluruh bumi, erosi tanah, pengrusakan air tanah, akumulasi limbah-limbah yang toksik, efek rumah kaca yang meningkat, berlubangnya lapisan ozon pada atmosfir, kerusakan seluruh ekosistem dari planet. Semua ini muncul sebagai masalah yang semakin tinggi kompleksitasnya dan semakin hari semakin runyam. Di sinilah nampak bahwa Sains Barat Sekuler tidak memiliki kemampuan untuk memperbaiki diri sendiri, meskipun dapat dibenarkan bahwa kebenaran saintifik Barat Sekuler menjadi semakin profesional. Namun di sisi lain Sains Barat Sekuler menunjukan ke arah yang antiterikal, karena akibat praktisnya tidak lagi dapat selalu dinilai positif (Soewardi, 1999: 28). Kesalahan epistemologis. Sains Barat sekuler memiliki kelemahan pada dasar-dasar epistemologisnya, seperti: bangkitnya skeptisisme Hume oleh Kuhn. Bila kita menelaah uraian Kuhn, tampaklah bahwa paradigma baru yang dianut itu bukan yang “terbenar” menurut Standar Popper. Dengan kata lain semua teori itu mengandung kesalahan. Pandangan tentang jagad raya. Kant yang menyatakan bahwa yang tampak pada kita itu bukan jagat raya yang sebenarnya, akan tetapi jagat raya sebagaimana dipertanyakan oleh orang (observer) a. Order Newtonian telah runtuh, namun yang meruntuhkan order ini (seperti Einstein dan Heisenberg) “....is no order at all”. Kini terbuka bagi siapa pun untuk melukiskan sistem dari jagat raya ini. b. Hal ini semua akan berakibat pada runtuhnya kepercayaan kepada Sains Barat Sekuler. Orang Barat mulai sadar bahwa
188
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
mereka telah menyingkirkan agama dalam kehidupan mereka dan beralih pada sains yang memiliki kepastian itu. Akan tetapi sekarang ternyata bahwa sains itu juga dirundung oleh prinsip ketidakpastian, sebagai akibat dari tidak lamanya kemampuan observasi manusia. Maka realisme Aristoteles kini tidak dapat bertahan lagi. Tarnas mengatakan bahwa Sains Barat Sekuler perlu direevaluasi sepenuh hati, tapi bagaimana? Ke mana Sains Barat Sekuler akan melangkah selanjutnya? Berdasar uraian di atas dapat dilihat bahwa kealpaan Sains Barat Sekuler terdapat pada ketidakmampuannya untuk menghadapi kausalitas yang bersifat sequential (sebab akibat yang terjadi pada waktu yang akan datang). Sains Barat hanya mampu menghadapi kausalitas yang bersifat co-extensive (sebab dan akibat yang terjadi pada waktu yang sama). Sebagai contoh adalah limbah CFC (Cloro-Fluoro-Carbon) dan pada tokisis Al dan Fe di bidang pertanian yang merusak tanah dan menurunkan produksi. Limbah CFC berakibat pada bolong-bolongnya lapisan ozon. Hal ini baru diketahui setelah terjadi akumulasi limbah itu di udara. Sementara itu toksisitas Al dan Fe diketahui setelah duapuluh tahun digunakan pupuk urea dan TSP dengan “overdosis” (Soewardi, 1999: 31). Menuju Penyatuan Ilmu dalam Pendidikan Islam Memperhatikan beberapa uraian di atas, patut diungkapkan di sini pernyataan Roger Graudy dalam bukunya Mencari Agama pada Abad XX: Wasiat Filsafat Roger Graudy, Jakarta: Bulan Bintang, 1986. “Teknologi, ilmu dan manajemen memang membawa kemajuan, tetapi gagal membawa kebahagiaan. Kekerasan adalah akibat kemajuan teknologi perang, kekuasaan pasar adalah buah dari penguasaan ilmu, kesenjangan adalah hasil ketimpangan manajemen. Semuanya tanpa iman. Transendental dalam arti spiritual akan membantu kemanusiaan menyelesaikan masalah-masalah modern (Kuntowijoyo, 2005: 38). Setelah memperhatikan kebobrokan sains Barat sekuler yang dirundung cacat besar, maka perlu segera dirimuskan sains alternatif. Banyak tawaran dalam hal ini diantaranya: sains tauhidullah. Sains tauhidullah ini merupakan alternatif yang berdiri sendiri, berbeda dengan alur pikir yang ditempuh oleh sains Barat. Alur pikir sains tauhidullah dilakukan dengan observasi yang
Mengakhiri Dikotomi Ilmu dalam Dunia Pendidikan
189
dipandu oleh Tuhan sendiri (Soewardi, 1999:37). Formulasi ilmu kontemporer bukan hanya mensintesakan “sains keagamaan” dengan “sains sekuler”, “fisik” dengan “metafisik”, tetapi harus menempatkan inspirasi dan intuisi pada inti pengetahuan. Ilmu harus merupakan hasil akhir dari proses dan kerja intelektual dan inspirasional (Ziauddin Sardar, 2000:x). George Sarton menulis: Adalah tidak mungkin mempunyai pemahaman yang “benar” tentang ilmu-ilmu dalam Islam tanpa pemahaman yang mendalam tentang ajaran al-Qur’an. Hal demikian menjadi fenomena fundamental dan universal sepanjang abad pertengahan. Teologi menjadi inti agama sekaligus ilmu pengetahuan. Karena itu ilmu dan agama merupakan dua hal myang tidak terpisah, dan kita tidak bisa berharap memahami yang satu secara baik tanpa memahami bagian lainnya. Yang menarik, bahasa al-Qur’an pada waktu itu telah menjadi sarana penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan (Akh. Minhaji, 2003:xiv). Landasan teori sains tauhidullah adalah bahwa setiap observasi harus dipandu dengan kalam Allah (mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau berbaring). Untuk itu diperlukan kemampuan yang baik dalam membuat premis-premis al-Qur’an. Menurut Soewardi perlu kerjasama yang erat antara pakar-pakar syari’ah dan pakar-pakar non syari’ah, kerjasama yang intensif dan saling asah, asih dan asuh (Soewardi, 1999: 37). Upaya lain dalam rangka perjumpaan sains dan agama adalah mengembangkan ilmu agama dengan bantuan ilmu pengetahuan modern. Karena ilmu agama adalah salah satu jenis ilmu manusia yang dapat berubah, berinteraksi, menyusut, dan mengembang. Termasuk di dalamnya untuk menafsirkan teks-teks agama, kita membutuhkan beragam jenis ilmu yang lain, agar pemahaman kita terhadap ayat suci tidak stagnan (Abdul Karim Soroush, 2002: 18-19). Di sinilah tampak pentingnya mendialogkan wilayah sains dan teknologi serta wilayah kajian humaniora dan ilmu-ilmu sosial dalam studi–studi keagamaan (Amin Abdullah, 2003: 23-25). Gerakan rapprochment ini dapat juga disebut sebagai gerakan penyatuan atau reintegrasi epistemologi keilmuan. Upaya ini sangat diperlukan untuk mengantisipasi perkembangan-perkembangan yang serba kompleks dan tidak terduga pada milenium ke tiga serta tanggungjawab kemanusiaan bersama secara global dalam mengelola sumber daya alam yang serba terbatas (Amin Abdullah, 2004: 6). Pendekatan di atas bisa juga disebut dengan pendekatan multidisiplin dan interdisiplin (Musa Asy’arie, 2005: 37).
190
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
Usaha untuk mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu ini antara lain dapat dilakukan dengan: menyatukan lokasi pendidikan dan program kerjasama penelitian yang banyak melibatkan ahli dari berbagai disiplin ilmu dan juga program kuliah lintas disiplin (Musa Asy’arie, 2005: 38). Namun demikian hal yang lebih mendasar dari sekedar menggabungkan lokasi pendidikan adalah perlunya dibangun suatu ilmu yang mengombinasikan antara prinsip-prinsip ajaran metafisika dan moral islam dengan ilmu modern yang berorientasi pada pengalaman empiris (Samsul Anwar, 2003: 50). Kuntowijoyo (2003: 67-69) juga mengusulkan perlunya integrasi ilmu dan agama, yang ia sebut sebagai ilmu-ilmu integralistik, yang merupakan paradigma Islam. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan penelitian secara sistematis. Penelitian ini dapat berupa: (1) grand theory (merumuskan pendapat-pendapat al-Qur’an, misalnya mengenai gejala-gejala sejarah), (2) studi teori (tokoh-tokoh Islam mengenai salah satu cabang humaniora, seperti al-Ghazali tentang musik, Iqbal tantang puisi.(3)Studi lapangan, berupa generalisasi, seperti “Tari Islam Tradisional” di Asia Tenggara, studi komparatif, dan studi kasus. Dalam upaya penyatuan ini Kuntowijoyo (2005: 24) mengusulkan apa yang disebut dengan pengilmuan Islam, bukan islamisasi pengetahuan. Dengan pemahaman mengenai adanya struktur transendental al-Qur’an, yaitu gambaran kita mengenai sebuah bengunan ide yang sempurna mengenai kehidupan, suatu ide murni yang bersifat metahistoris, Al-Qur’an sesungguhnya menyediakan kemungkinan yang sangat besar untuk dijadikan sebagai cara berpikir. Premispremis normatif al-Qur’an dapat dirumuskan menjadi teori-teori yang empiris dan rasional. Dari ide-ide normatif ini, perumusan ilmu-ilmu dibentuk sampai kepada tingkat empiris, dan sering dipakai sebagai basis untuk kebijakankebijakan aktual.(Kuntowijoyo, 2005: 25). Ayat-ayat Al-Quran sesungguhnya merupakan pernyataan-pernyataan normatif yang harus dianalisis uantuk diterjemahkan pada level yang objektif, bukan subjektif. Ini berarti al-Qur’an harus dirumuskan dalam bentuk konstrukkonstruk teoritis. Sebagaimana kegiatan analisis data akan menghasilkan konstruk, maka demikian pula analisis terhadap pernyataan-pernyataan alQur’an akan meghasilkan konstruk-konstruk teoretis al-Qur’an. Elaborasi terhadap konstruk-konstruk teoritis al-Qur’an inilah yang pada akhirnya merupakan kegiatan Qur’anic theory building, yaitu perumusan teori al-Qur’an. Dari sinilah akan muncul paradigma al-Qur’an (Kuntowijoyo, 2005: 16-17).
Mengakhiri Dikotomi Ilmu dalam Dunia Pendidikan
191
Alur pertumbuhan ilmu-ilmu Integralistik ala Kuntowijoyo dapat digambarkan sebagai berikut: Agama teoantroposentrisme dediferensiasi ilmu integralistik Agama. Al-Quran merupakan wahyu Tuhan, yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, diri sendiri, dan lingkungan (fisik, sosial , budaya). Kitab yang diturunkan merupakan petunjuk etika,kebijaksanaan, dan dapat menjadi Grand Theory. Teoantroposentrisme. Agama memang mengklaim sebagai sumber kebenaran, etika, hukum kebijaksanaan dan sedikit pengetahuan, namun bukan satu-satunya. Ada sumber pengetahuan yang lain yang berasal dari manusia. Dediferensiasi. Jika modernisme menghendaki diferensiasi (pemisahan agama dan sektor-sektor kehidupan lainnya), maka dediferensiasi ialah penyatuan agama dengan sektor-sektor kehidupan lain, termasuk agama dan ilmu. Agama menyediakan tolok ukur kebenaran ilmu (benar, salah), bagaimana ilmu diproduksi (baik, buruk), dan tujuan-tujuan ilmu (manfaat, merugikan). Ilmu yang lahir dari induk agama harus menjadi ilmu yang objektif. Artinya suatu ilmu tidak dirasakan oleh pemeluk agama lain, non agama, dan anti agama sebagai norma, tetapi sebagai gejala keilmuan yang objektif semata. Meyakini latar belakang agama menjadi sumber ilmu atau tidak, tidak menjadi masalah, ilmu yang berlatar belakang agama adalah ilmu yang objektif, bukan agama yang normatif (Amin Abdullah menyebutnya dari “spiritualitas” menuju “moralitas”). Ini bukan berarti kita membutuhkan sekulerisasi, tetapi objektifikasi agar ilmu sosial profetik mempunyai makna universal. Pandangan ini oleh Kuntowijoyo (2005: 112) disebut dengan methodological objectivism. Pandangan ini diharapkan dapat menghindarkan seseorang dari split personality, terutama untuk penelitian jangka panjang bila sebuah participant observation diperlukan. Ilmu Integralistik adalah ilmu yang menyatukan (bukan sekedar menggabungkan) wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia. Ilmu ini tidak akan mengucilkan Tuhan (sekulerisme) atau mengucilkan manusia (other wordly asceticisme) (Kuntowijoyo, 2005: 54-58). Keinginan untuk integrasi ilmu ini telah umum di dunia Islam, baik Sunni maupun Syi’ah (Amin Abdullah, 2002). Berdasarkan beberapa uraian di atas, upaya penyatuan ilmu dalam dunia pendidikan dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya adalah
192
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
menyelenggarakan pendidikan yang integral antara pendidikan umum dan agama dalam satu institusi. Dalam pendidikan integral ini masing-masing fakultas tidak berdiri sendiri tetapi ilmu-ilmu keagamaan menjadi dasar dalam seluruh matakuliah yang ada. Nilai-nilai moral keagamaan menjadi landasan bagi pembelajaran seluruh keilmuan yang ada. Cara lain dapat dilakukan dengan memanfaatkan teori-teori sosial dan alam modern dalam studi-studi keagamaan. Studi keagamaan tidak melulu hanya menggunakan ilmu klasik yang selama ini ada (fiqih, nahwu, tafsir, akhlak, sharaf), tetapi juga menggunakan bantuan ilmu-ilmu lain, seperti sosiologi dan antropologi. Dengan demikian mahasiswa fakultas syari’ah atau tarbiyah dan lainnya harus diperkenalkan dengan teori-teori sosial atau alam modern, sesuai dengan kebutuhannya. Al-Qur’an secara umum harus diperkenalkan kepada seluruh mahasiswa. Norma-norma dasar dan universal yang ada dalam al-Qur’an harus menjadi matakuliah dasar yang wajib diambil oleh seluruh mahasiswa. Dengan demikian pembelajaran tafsir ahkam atau tafsir tarbawi di Jurusan Tarbiyah dan Jurusan Syari’ah harus mendapatkan materi tafsir yang lebih mencerminkan nilai-nilai universal yang ada dalam al-Qur’an. Al-Qur’an dan tafsirnya secara umum harus menjadi basis dalam pembelajaran. Dengan demikian mahasiswa tidak mengkaji materi kuliah dengan kaca mata kuda: hukum, pendidikan, atau dakwah secara terpisah dengan norma-norma universal. Simpulan Prospek ilmu yang integratif di masa datang rupanya didukung oleh maraknya peradaban posmodernisme. Posmodernism menolak pemisahan antara agama dengan ekonomi, politik dan ilmu, karena salah satu ciri posmodernisme adalah dedifferentiation (Lasch, 1990: 11-15). Ilmu sosial profetik, dengan demikian, juga mempunyai peluang sebagai paradigma baru. Dengan demikian lembaga Pendidikan Islam, yang selama ini masih menganut dikotomi ilmu, harus merubah kurikulum perkualiahannya, jika tidak maka ia akan tertinggal dengan dunia keilmuan pada umumnya, dan tetap menghasilkan sarjana-sarjana yang tidak bisa menyikapi perubahan sosial secara bijaksana.
Mengakhiri Dikotomi Ilmu dalam Dunia Pendidikan
193
Daftar Pustaka Abdullah, Amin, dkk. 2003. Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum: Upaya mempertemukan Epistemologi Islam. Yogyakarta: SUKA Press. ___________. 2003. “Arah Baru Kajian Islam di Indonesia (Integrasi Keilmuan kajian Islam, Humaniora Kontemporer dan Ilmu-ilmu Sosial)” makalah disampaikan dalam Diskusi Panel Integrasi Ilmu dan Agama di Perguruan Tinggi, Kerjasama antara IAIN Sunan Kalijaga dengan Masyarakat Yogyakarta untuk ilmu dan Agama (MYIA). 20 Desember. Anwar, Samsul. 2005. “Ke Arah Epistemologi Integratif Mencari Arah Penegmbangan Keilmuan dalam Rangka Pemekaran IAIN” dalam M. Amin Abdullah, dkk. Menyatukan Kembali Ilmu-ilmu Agama dan Ilmu Umum. Yogyakarta: SUKA Press. Asy’arie, Musa. 2005. “Epistemologi dalam Perspektif Pemikiran Islam” dalam Amin Abdullah dkk. Menyatukan Kembali Ilmu-ilmu Agama dan Ilmu Umum. Yogyakarta: SUKA Press. Azra, Azyumardi. 1999. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos. Berger, Peter. 1969. Langit-langit Suci. Capra, Frithjof dkk. 1999. Menyatu dengan Semesta(Menyingkap Batas Antara Sains dan Spiritualitas). Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru. Haught, John F. 2005. Perjumpaan Sains dan Agama: Dari Dialog ke Konflik. Jakarta: Mizan. Kuntowijoyo. 2005. Islam Sebagai Ilmu: epistemologi, Metodologi, dan Etika. Jakarta: Teraju. __________. 2005. “Epistemologi dan Paradigma Ilmu-ilmu Humaniora dalam Perspektif Pemikiran Islam” dalam M. Amin Abdullah dkk. Menyatukan Kembali Ilmu-ilmu Agama dan Ilmu Umum. Yogyakarta: SUKA Press. Lasch, Scott. 1990. Sociology of Postmodernism. New York: Routledge. Minhaji, Akh. 2003. “Transformasi IAIN Menuju UIN” dalam M. Amin Abdullah dkk. Menyatukan Kembali Ilmu-ilmu Aagama dan Umum. Yogyakarta:Sunan Kalijaga Press.
194
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
Risakotta, Bernard Adeney. 2003. “Mendialogkan Ilmu Sosial dan Humaniora Dengan Ilmu Agama: Tantangan Pengembangan Kajian Islam” dalam Hermenia. Vol. 2 No.1 Januari-Juni. Rolston, Holmes III. 1987. Science and Religion A Critical Survey. New York: Random House Inc. Soetomo, Greg. 1995. Sains dan Problem Ketuhanan. Yogyakarta: Kanisius. Soewardi, Herman. 1999. “Islamisasi Sains: Apa Signifikansinya?” dalam Mimbar Studi: Jurnal ilmu Agama Islam. No. 1 Tahun XXVIII, September-Desember. Tafsir, Ahmad. 2006. Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pengetahuan. Bandung: Remaja RosdaKarya.
Upaya Mendidik Anak Melalui Permainan Edukatif
195
UPAYA MENDIDIK ANAK MELALUI PERMAINAN EDUKATIF Abdul Khobir*
Abstract: Game is one form of social activity that is very dominant in the early days of children. Therefore, children spend more time outside the house to play with his friends than be involved with other activities. Therefore, games for children is a form of fun activity undertaken solely for the activity itself, not because they want to get a result from such activities. This is due to children that the process of doing something is more interesting than the results that will be received. For every child, especially young children, playing means learning. Indeed the world of children is playing, since by playing, children will learn many things about everyday life. With games, we as parents can incorporate elements of education therein. Kata kunci: belajar, anak, permainan edukatif
Pendahuluan Permainan merupakan kesibukan yang dipilih sendiri tanpa ada unsur paksaan, tanpa didesak oleh rasa tanggung jawab. Permainan tidak memiliki tujuan tertentu. Tujuan permainan terletak pada permainan itu sendiri dan dicapai pada waktu bermain. Bermain tidak sama dengan bekerja. Bekerja mempunyai tujuan yang lebih lanjut, tujuannya tercapai setelah pekerjaan itu selesai. Anak-anak suka bermain karena di dalam diri mereka terdapat dorongan batin dan dorongan mengembangkan diri.
∗ Dosen Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Pekalongan
196
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
Bermain merupakan sebuah “pekerjaan” yang sangat menyita waktu dan seringkali dilakukan oleh anak-anak. Oleh sebab itu tidak dapat dipungkiri bahwa “dunia anak adalah dunia hiburan (permainan)”. Bermain (play) merupakan istilah yang digunakan secara bebas sehingga makna esensinya menjadi hilang. Artinya dalam setiap kegiatan bermain dilakukan untuk kesenangan tanpa memperhatikan hasil akhirnya. Bermain dilakukan secara sukarela dan tidak ada paksaan atau tekanan dari luar atau kewajiban. Itulah sebabnya mengapa bermain dikatakan sebagai kegiatan inklusif dan inheren, yaitu muncul atas dasar motivasi dari dalam diri dan tidak perlu diajarkan lagi. Permasalahannya, sejak bayi apalagi anak-anak permainan merupakan kebutuhan yang asasi (Yudho Bawono, 2007: 12). Anak dan permainan merupakan dua pengertian yang hampir tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Berpikir mengenai anak selalu menimbulkan asosiasi mengenai bermain. Timbul pertanyaan apakah bermain betul-betul merupakan kesibukan khusus anak (F.J. Monks, dkk., 1989: 115). Menurut MJ. Langeveld (1979: 25) permainan adalah merupakan kesibukan yang paling hakikat dengan suatu dunia anak yang hidup aman. Permainan adalah suatu perbuatan yang mengandung keasyikan dan dilakukan atas kehendak sendiri, bebas tanpa paksaan dengan bertujuan untuk memperoleh kesenangan pada waktu mengadakan kegiatan tersebut. Permainan cukup penting bagi perkembangan jiwa anak. Oleh karena itu perlu kiranya bagi anak-anak untuk diberi kesempatan dan sarana di dalam kegiatan permainannya (Abu Ahmadi, 1991: 69-70). Permainan juga merupakan salah satu bentuk aktivitas sosial yang dominan pada masa awal anak-anak. Sebab, anak-anak menghabiskan lebih banyak waktunya di luar rumah untuk bermain dengan teman-temannya dibanding terlibat dengan aktivitas lainnya. Karena itu, permainan bagi anakanak adalah suatu bentuk aktivitas yang menyenangkan yang dilakukan semata-mata untuk aktivitas itu sendiri, bukan karena ingin memperoleh suatu hasil dari aktivitas tersebut. Hal ini disebabkan karena bagi anak-anak proses melakukan sesuatu lebih menarik daripada hasil yang akan didapatkannya (Desmita, 2005: 141). Pada setiap anak, terutama anak kecil, bermain itu adalah belajar. Memang dunia anak adalah bermain, dengan bermain, anak akan belajar
Upaya Mendidik Anak Melalui Permainan Edukatif
197
berbagai hal tentang kehidupan sehari-hari. Dengan permainan, kita sebagai orang tua bisa memasukkan unsur-unsur pendidikan didalamnya. Urgensi Bermain Bagi Anak Dengan bermain banyak aspek kecerdasan yang terasah dari anak. Hanya sayangnya, orang tua kadang tidak suka jika anaknya terlalu banyak bermain. Mereka menganggap bermain tidak banyak manfaatnya, bahkan kadangkadang orang tua complain dengan pihak sekolah ketika mereka mengetahui bahwa di sekolah anak-anak hanya bermain, yang seharusnya diajarkan tentang membaca, menulis dan berhitung. Padahal sesungguhnya masa pra sekolah adalah masa bermain, maka tepat jika pembelajaran di TK dilakukan dengan bermain sambil belajar dan belajar seraya bermain (Arri Handayani, 2009: 07). Bermain itu penting bagi anak, karena bermain merupakan bagian sangat penting dari proses tumbuh kembang anak. Melalui kegiatan bermain, anak akan belajar berbagai hal tentang kehidupan sehari-hari. Anak akan mendapatkan pengalaman yang berkaitan dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial budaya, lingkungan sosial ekonomi, maupun lingkungan fisik atau alam, yang sangat berguna untuk meningkatkan kemampuan berbahasa, berpikir, bersikap, bergaul, berkarya dan sebagainya. Dalam permainan anak mencurahkan perhatian, perasaan dan pikiran pada proses bermain serta sifat dan bentuk alat permainannya. Dengan demikian anak-anak akan belajar mengenali dan menjajaki lingkungannya. Adapun manfaat bermain bagi anak adalah sebagai berikut: a. Bermain yang melibatkan fisik seperti berlari, meloncat dan menendang bermanfaat untuk menmguatkan dan menterampilkan anggota badan anak. b. Bermain yang melibatkan indra atau pikiran seperti menggunakan alatalat bermain yang mengeluarkan perasaan seperti menggambar dan bermain musik atau mendengarkan aba-aba memberikan peluang pada anak untuk belajar tentang pengertian baru, sifat-sifat dan bentuk barang tertentu. c. Bermain balok-balok mainan, membentuk lilin atau tanah liat, menggambar dan sebagainya, dapat mendorong kreativitas anak. d. Bermain dapat membantu mengembangkan kepribadian seperti bertanggung jawab, bekerjasama, mematuhi peraturan dan sebagainya.
198
e.
f.
g.
1. 2.
3. 4.
5.
6.
7.
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
Bermain dapat membantu anak mengenal dirinya, baik yang berkaitan dengan kelemahan dan kekurangannya, maupun kelebihannya, misalnya dengan bermain seorang anak akan mengetahui dirinya ternyata lebih mampu berlari dengan cepat dibanding dengan teman-temannya atau lebih mampu menggambar lebih baik. Bermain dapat digunakan sebagai penyalur keinginan dan kebutuhan anak yang tidak terpenuhi, misalnya keinginan untuk berlaku seperti orang tuanya dengan bermain peran orang tua, bermain sebagai sopir mobilmobilan dan sebagainya. Bermain bersama anggota keluarga dapat mengakrabkan hubungan antara anak dengan anggota keluarga lain (BP-4, 1994: 09). Selain itu, bermain juga dapat bermanfaat bagi anak, yaitu: Bermain secara aktif dapat mengembangkan otot-otot dan melatih seluruh bagian tubuh menjadi kuat. Gerakan dalam bermain seperti berlari, melompat, melempar, menangkap, mendorong, melatih kemampuan motorik kasar dan koordinasi visual motorik, keseimbangan, ketepatan, kelenturan, kemapuan mengontrol gerakan dan bertindak spontan. Kelebihan energi anak dapat tersalurkan sehingga mengurangi kemungkinan munculnya perilaku agresif yang bersifat merusak dan merugikan. Kebutuhan dan keinginan yang tidak dapat dipenuhi dengan cara lain seringkali dapat dipenuhi dengan bermain. Anak yang tidak mampu mencapai peran pemimpin dalam kehidupan nyata mungkin dapat memperoleh pemenuhan keinginan itu dengan menjadi pemimpin saat bermain peran. Melalui eksperimen dalam bermain, anak-anak menemukan bahwa merancang suatu hal baru dan berbeda dapat menimbulkan kepuasan. Selanjutnya mereka dapat mengalihkan minat kreatif ke situasi di luar dunia bermain. Bermain dapat digunakan sebagai media pengenalan dan pengembangan diri. Anak dapat mengetahui sejauhmana kemapuannya dibandingkan dengan teman bermain lain, hal ini memungkinkan mereka mengembangkan konsep diri dengan lebih pasti dan nyata. Melalui bermain anak belajar berkomunikasi, bagaimana membentuk hubungan sosial dan menghadapi serta memecahkan masalah yang timbul dalam hubungan tersebut (Latifah Wibowo, 2008: 11-12).
Upaya Mendidik Anak Melalui Permainan Edukatif
199
Dengan demikian bermain bukanlah hal sia-sia karena selama bermain sebenarnya anak juga melakukan proses belajar. Sehingga perlu kita sadari dunia anak adalah dunia bermain dan anak berkembang dengan cara bermain. Oleh karena itu sudah seharusnya kita tidak merampas waktu bermain dari kehidupan mereka. Secara garis besar, permainan memiliki urgensi yang bersifat kognitif, sosial dan emosional. Urgensi kognitif, permainan dapat membantu perkembangan kognitif anak. Melalui permainan, anak menjelajahi lingkungannya, mempelajari objekobjek di sekitarnya, dan belajar memecahkan masalah yang dihadapinya. Menurut Piaget (1962) struktur-struktur kognitif anak perlu dilatih, dan permainan merupakan setting yang sempurna bagi pelatihan kognitif anak. Melalui permainan memungkinkan anak mengembangkan kompetensikompetensi dan keterampilan-keterampilan yang diperlukannya dengan cara yang menyenangkan. Urgensi sosial, permainan dapat meningkatkan dan mengembangkan perkembangan sosial anak. Khususnya dalam permainan fantasi dengan memerankan suatu peran , anak belajar memahami orang lain dan peranperan yang akan ia mainkan di kemudian hari setelah tumbuh menjadi orang dewasa. Urgensi emosional, permainan memungkinkan anak untuk memecahkan sebagian dari masalah emosional, belajar menagatasi kegelisahan dan konflik batin. Permainan memungkinkan anak melepaskan energi fisik yang berlebihan dan membebaskan perasaan-perasaan yang terpendam. Karena tekanantekanan batin terlepaskan di dalam permainan, anak dapat mengatasi masalahmasalah kehidupan. Demikianlah berbagai manfaat bermain bagi anak, dan pada prinsipnya bermain adalah untuk melatih pancaindra dan anggota badan lainnya sebagai persiapan untuk hidup anak di masa yang akan datang (Rahmat Suyud, 1983: 83). Sementara itu ditinjau dari prosesnya metode bermain memiliki berbagai urgensi antara lain: 1. Sebagai alat/cara untuk mencapai tujuan pembelajaran anak usia dini. 2. Sebagai gambaran aktivitas yang harus ditempuh oleh siswa dan guru dalam kegiatan pembelajaran.
200
3. 4.
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
Sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan alat penelitian pembelajaran. Sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan bimbingan dalam kegitan pembelajaran anak usia dini (Udin S. Winarti Putra, 1997: 44).
Dengan demikian jelaslah, bahwa metode bermain merupakan salah satu hal yang penting dalam mencapai tujuan pembelajaran anak. Oleh sebab itu, pendidik hendaknya membimbing jalannya permainan itu agar jangan sampai menghambat perkembangan anak dalam segi kognitif, afektif dan psikomotorik dan anak juga diberi tempat dan kesempatan yang seluas-luasnya untuk bermain. Bentuk-bentuk Permainan Edukatif Bagi Anak Perlu diketahui bahwa kegiatan bermain tidak selalu membutuhkan “mainan”. Namun demikian, tidak semua mainan yang dimainkan oleh anakanak pada saat ini memiliki unsur pendidikan atau edukasi, dimana permainan itu dirancang secara khusus untuk kepentingan pendidikan. Bila kita mengamati anak-anak yang sedang bermain, maka kegiatan bermain dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu: 1.
Bermain banyak gerak (aktif) Bermain banyak gerak memiliki ciri banyak gerak, seperti; lari, lompat, menendang, dan lain-lain. Cara ini bermanfaat bagi anak dalam hal melatih keterampilan macam-macam hal. Kebanyakan anak laki-laki menyukai permainan jenis ini. Dengan bermain aktif seolah-olah anak menyalurkan tenaganya yang berlebihan. Termasuk dalam bermain aktif contohnya adalah engklek, lompat karet, main bola dan lain-lain. 2.
Bermain dengan sedikit gerak (pasif) Bermain dengan sedikit gerak memiliki ciri tidak banyak menggunakan tenaga yang berlebihan, suasana bermain lebih tenang dan santai. Misalnya bermain bekel, papan bongkar pasang, kartu kategori, melihat-lihat buku gambar, membaca, mendengarkan musik dan lain-lain. Pada umumnya anak perempuan lebih menyukai permainan jenis ini. Seringkali permainan diiringi dengan berpura-pura atau khayal, misalnya masak-masakan, main tamu-tamuan dan lain-lain.
Upaya Mendidik Anak Melalui Permainan Edukatif
201
Suka tidaknya seorang anak laki-laki atau anak perempuan terhadap jenis bermain pasif atau aktif tergantung pada watak dan kepribadian anak, dan tidak pada jenis kelaminya. Untuk anak laki-laki dan anak perempuan kedua jenis permainan ini sangat baik atau sama-sama baik untuk perkembangan mereka, asal selalu diusahakan agar anak selalu mendapatkan kesempatan untuk menjajaki lingkungannya dan kedua jenis permainan dilakukan secara seimbang. Anak yang suka bermain aktif sebaiknya diarahkan juga agar sebagian waktunya digunakan untuk bermain pasif, misalnya untuk membaca buku, mendengarkan musik atau jenis permainan lainnya yang bersifat tenang. Sebaliknya, bila anak suka bermain pasif saja, sebaiknya didorong untuk bermain aktif, sehingga perkembangan otot-otot tubuh dan perkembangan sosial atau bergaul dengan teman-temannya ikut berkembang (BP-4, 1994: 10). Selain itu jenis alat permainan edukatif dapat dideskripsikan sebagai berikut: 1. Alat Permainan Tradisional Dalam permainan edukatif ini anak disuguhi bahan mentah yang harus ia upayakan sendiri agar menjadi sesuatu yang berbentuk. Mislannya balok bangunan, papan pasak dan sebaginya. Berbagai jenis yang lain adalah merupakan “Team Work” yang pengerjaannya secara kelompok, sehingga melatih anak bersosialisasi secara langsung dengan lingkungan, seperti permainan kelereng (asah sosial). Sedang alat permaian tradisional yang dapat mengasah kecerdasan otak anak, antara lain: catur, halma atau dakon. Alat permainan edukatif tradisional ini cenderung memiliki banyak manfaat, selain sederhana dalam desain, serba guna, aman, tahan lama dan merangsang atau menstimulasi otak anak, permainan edukatif dengan menggunakan alat tradisional ini lebih murah dan tidak menjadikan anak anti sosial, karena pada umumnya permainan dengan alat-alat ini melibatkan dua anak atau lebih (kelompok dalam kegiatan) (Johan Freman dan Utami Munandar, 1996: 253254).
202
2.
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
Alat Permainan eloktronik atau modern Berbagai model alat permainan ini seperti; video game, computer, nitendo, maupun tamiya merupakan alat permainan edukatif yang sangat menarik. Anakanak usia dini sudah banyak yang dapat mengoperasikannya hanya dengan memencet tombol-tombol game, maupun remot kontrol yang melengkapi alat permainan ini. Dr. Endang Warzili Ghazali kepala UPF Psikiater RSUD Doktor Soetomo menyatakan:”selama ini pola permainan modern cenderung seperti kebanyakan pola pendidikan formal anak yang mengharuskan mereka duduk terkurung dalam kamar berjam-jam, sehingga pola permainan itu membahayakan mental anak. Selain membuat anak terbiasa dengan menghargai egonya sendiri, anak-anak terdorong untuk menjadi anti sosial (Irawati Istadi, 2003: 129). Selanjutnya, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Midred Parten terhadap aktivitas permainan anak-anak prasekolah (usia 2-5 tahun) dari segi perilaku sosial, ditemukan 6 kategori permainan anak-anak, yaitu: 1. Permainan Unoccupied. Anak memperhatikan dan melihat segala sesuatu yang menarik perhatiannya dan melakukan gerakan-gerakan bebas dalam bentuk tingkah laku yang tidak terkontrol. 2. Permainan Solitary. Anak dalam sebuah kelompok asyik bermain sendirisendiri dengan bermacam-macam alat permainan, sehingga tidak terjadi kontak antara satu sama lain dan tidak peduli terhadap apa pun yang sedang terjadi. 3. Permaian Onlooker. Anak melihat dan memperhatikan anak-anak lain bermain. Anak ikut berbicara dengan anak-anak lain dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, tetapi ia tidak ikut terlibat dalam aktivitas permainan tersebut. 4. Permainan Parallel. Anak-anak bermain dengan alat-alat permainan yang sama, tetapi tidak terjadi kontak antara satu dengan yang lain atau tukar menukar alat permainan. 5. Permainan Assosiative. Anak bermain bersama-sama saling pinjam alat permainan, tetapi permaianan itu tidak mengarah pada satu tujuan, tidak ada pembagian peranan dan pembagian alat-alat permainan. 6. Permainan Cooperative. Anak-anak bermain dalam kelompok yang terorganisir, dengan kegiatan-kegiatan konstruktif dan membuat sesuatu yang nyata, di mana setiap anak mempunyai peranan sendiri-sendiri.
Upaya Mendidik Anak Melalui Permainan Edukatif
203
Kelompok ini dipimpin dan diarahkan oleh satu atau dua orang anak sebagai pimpinan kelompok (Desmita, 2005: 142-143). Syarat-syarat dalam Memilih Alat Permainan Edukatif Pada dasarnya bentuk dan jenis permainan yang edukatif tidaklah terbatas, namun demikian perlu diperhatikan bahwa dalam memilih permainan edukatif orang tua perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: 1. Usia dan minat anak. Agar bermain benar-benar berfungsi sebagai bagian yang sangat penting bagi tumbuh kembang anak, jadi tidak justru menghambat tumbuh kembang mereka. 2. Keamanan dari permainan tersebut (tidak tajam, tidak ada bagian-bagian yang dapat melukai anak dan tidak mengandung zat yang berbahaya). 3. Pentingnya keterlibatan orang tua atau anggota keluarga dalam proses bermain, agar dapat melindungi mereka dari hal-hal yang dapat merugikan tumbuh kembang mereka atau dari hal-hal yang mematikan kreativitas atau minat anak terhadap lingkungan. 4. Tidak selalu permainan yang mahal lebih edukatif dari permainan yang sederhana (BP-4, 1994: 21). 5. Mudah dibongkar pasang. Alat permainan yang mudah dibongkar pasang, dapat diperbaiki sendiri, lebih ideal daripada mobil-mobilan yang dapat bergerak sendiri. Alat-alat permainan yang dijual di toko-toko (built-in) lebih banyak menjadi bahan tontonan daripada berfungsi sebagai alat permainan. Anak-anak tidak tertarik oleh bagus dan sempurnanya alatalat permainan yang diproduksi di pabrik tersebut. 6. Dapat mengembangkan daya fantasi. Alat permainan yang sifatnya mudah dibentuk dan diubah-ubah sangat sesuai untuk mengembangkan daya fantasi, yang memberikan kepada anak kesempatan untuk mencoba dan melatih daya-daya fantasinya. Sesuai dengan ajaran pendidikan modern, alat-alat yang dapat menunjang perkembangan fantasi itu misalnya bak pasir, tanah liat, kertas dan gunting. Jumlah alat-alat itu masih dapat ditambah lagi dengan kapur berwarna, papan tulis dan sebagainya (Zulkifli, 2002: 43). Permainan sebagai media bagi pembelajaran bagi anak memiliki persyaratan penting yaitu perlindungan, stimulasi, dan eksplorasi (Anna Craft, 2003: 78-79).
204
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
1.
Perlindungan/Pemeliharaan Bagi perkembangan dalam tahun-tahun pertama, baik bagi manusia maupun hewan, maka perlindungan dan stimulasi merupakan syarat mutlak. Hal ini juga berlaku pada tingkah laku bermain. Biasanya yang memberikan perlindungan dan stimulasi itu hingga tingkah laku anak dapat berkembang(F.J. Monks, dkk., 2002: 137). Hubungan antara ibu dan anaknya mempengaruhi dan menciptakan pola bermain bagi anak. Menurut Sutton Smith (1949) menyatakan bahwa interaksi ibu dan anak merupakan sumber fundamental permainan dengan aspek-aspek motivasional, kognitif dan afektif. Permainan mempunyai hubungan spesifik dengan aspek-aspek tersebut karena permainan baru timbul bila tercipta suasana komunikasi yang aman dan apabila terjadi ketegangan dan kelonggaran karena tindakan-tindakan yang bertentangan. 2.
Stimulasi (rangsangan) Pentingnya stimulasi pada anak sebagai optimalisasi pertumbuhan dan perkembangan anak(Fasli Jalal, 2003: 9). 3.
Eksplorasi (jelajah) Eksplorasi atau penjelajah dalam bermain merupakan syarat penting dalam permainan . Biasanya tingkah laku bermain dimulai dengan penyelidikan terhadap suatu benda atau person. Dalam eksplorasi ini anak ingin jawaban terhadap pertanyaan:”Apakah benda ini atau apakah orang itu?”. Bila tingkah laku menyelidiki hal ini telah menghasilkan pengertian-pengertian tertentu, berubahlah tingkah laku anak dan pertanyaan yang timbul sekarang adalah:”Apakah yang dapat saya perbuat dengan benda atau orang itu?”(F.J. Monks, dkk., 2002: 138-139). Curiosity atau hasrat ingin tahu anak yang besar perlu dirangsang dan dikembangkan agar anak terdorong untuk mengerti apa yang dilihat, diraba, dirasa, dicium dan didengar (M. Akilla Malla, 2003: 34). Implementasi Permainan Edukatif dalam Pendidikan Permainan edukatif memiliki peran yang signifikan dalam mengembangkan kemampuan yang dimiliki anak. Berbagai kemampuan yang bisa dikembangkan melalui permainan edukatif adalah kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik.
Upaya Mendidik Anak Melalui Permainan Edukatif
205
Kegiatan bermain sesungguhnya dapat dimanfaatkan oleh para orang tua untuk membimbing anak mereka dalam mencapai tugas-tugas perkembangan pada masa kanak-kanak awal. Hal ini dikarenakan penggunaan alat permaian edukatif dalam aktivitas bermain memiliki dampak yang sangat positif bagi anak. Setiap alat permainan edukatif dapat difungsikan secara multiguna. Sekalipun masing-masing alat memiliki kehususan dalam mengembangkan aspek perkembangan tertentu pada anak, tidak jarang satu alat dapat meningkatkan lebih dari satu aspek perkembangan. Apabila kita memperhatikan anak-anak yang sedang bermain dan memainkan permainan edukatif seperti aneka puzzle, papan-papan pasak, biji-biji untuk meronce, maupun menara gelang, “tanpa sadar” anak tersebut sebenarnya telah mengembangkan salah satu aspek perkembangan, yaitu kemampuan kognitif. Hal ini karena anak-anak tersebut menggunakan pikiran untuk melakukan tugas-tugas perkembangan yang harus dicapai pada masa kanak-kanak awal. Tidak ada salahnya apabila sekarang kita mulai memberikan alat permainan edukatif pada anak-anak kita saat mereka sedang bermain, mengingat banyak sekali manfaat yang bisa dipetik dari alat permainan edukatif tersebut (Yudho Buwono, 2007: 14). Ketika anak sedang beramain, sesungguhnya mereka sedang belajar. Ketika anak sedang bermain, anak akan menyerap segala yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Disinilah pentingnya orang tua dan guru memilih dan menentukan jenis permainan yang cocok dengan perkembangan anak. Pemilihan dan penentuan jenis permainan ini sama persis dengan pemilihan materi pelajaran oleh guru yang sesuai dengan perkembangan peserta didik. Pemilihan jenis permainan yang sesuai dengan perkembangan anak ini perlu dilakukan agar pesan edukatif dalam setiap permainan dapat ditangkap anak dengan mudah dan menyenangkan. Jika antara jenis permainan tidak sesuai dengan perkembangan anak, maka yang terjadi adalah bermain hanya untuk mainan itu sendiri, bahkan akan berdampak buruk bagi pembentukan karakter dan kecerdasannya. Sebaliknya, pemilihan permaian yang selaras dengan perkembangan anak akan mengembangkan aspek kecerdasan tertentu, sehingga kesannya bermain untuk belajar dan bukan bermain untuk mainan itu sendiri.
206
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
Tekanan belajar sambil bermain adalah lebih menekankan belajar daripada permainan. Bermain hanya sarana, bukan sebagai tujuan. Permainannya bisa dalam bentuk apa saja, boleh menggunakan alat atau tidak. Hal yang terpenting adalah belajar untuk menguasai hal-hal yang baru, bukan belajar bermain mainan baru (Suyadi, 2009: 21). Dengan pola belajar sambil bermain dan pola bermain sebagaimana belajar anak merasa enjoy. Alasannya, tanpa sengaja, anak bermain sambil belajar dalam permainan dan bermain dalam belajar. Antara belajar dan bermain samasama menyenangkan sekaligus menantang. Kondisi belajar yang menyenangkan sekaligus menatang inilah yang mempunyai potensi besar membentuk karakter anak menjadi seorang pembelajar sejati. Hasil belajar anak meningkat tajam karena semakin banyak permainan yang dilakukannya semakin menambah tingkat kecerdasannya. Lebih dari itu, kelak di masa dewasa, bahkan hingga di masa tua, ia akan mempunyai hobi yang sangat mengagumkan, yakni belajar. Ia menikmati belajar sama dengan menikamti permainan. Semunya dirasakan sangat menyenangkan dan menantang, tetapi mencerdaskan. Perasaan ini yang mendorong anak untuk belajar setiap saat, tanpa disuruh dan diawasi, bahkan tanpa penghargaan sekalipun (Suyadi, 2009: 31-32). Permainan edukatif hendaknya dijadikan sebagai kegiatan pertama dan utama dalam aspek kehidupan anak. Sebab, hanya dengan bermainlah anakanak dapat hidup bahagia dan menjadi cerdas karenanya. Hingga saat ini, hampir semua sekolah-sekolah TK telah menyadari akan arti pentingnya bermain bagi anak-anak. Namun bagi orang tua, sepertinya bermain masih dipandang sebelah mata. Oleh karena itu, jika lembaga PAUD berharap peserta didiknya tumbuh dengan cerdas, maka salah satu caranya adalah menguatkan keluarga (orang tua), terutama arti pentingnya bermain bagi anak-anak mereka. Sebab secara tidak langsung, rumah adalah “sekolah” pertama dan utama bagi anak-anak. Artinya, waktu belajar melalui bermain jauh lebih banyak di rumah daripada di TK atau PAUD. Oleh karena itu, jika anak-anak di TK atau PAUD diajarkan berbagai bentuk permainan, maka di rumahlah anak-anak mempraktikkan ulang dan mengembangkan permainan yang diperoleh di TK tersebut. Dengan demikian efektivitas bermain di rumah akan menjadi penopang terbesar bagi efektivitas PAUD atau TK di sekolah. Jadi, berhasil atau tidaknya PAUD dalam mencerdaskan peserta didiknya, tergantung pada efektivitas
Upaya Mendidik Anak Melalui Permainan Edukatif
207
rumah sebagai “sekolah bermain” pertama dan utama. Efektivitas rumah sebagai sekolah bermain sangat ditentukan oleh hubungan yang harmonis antara orang tua. Inilah sebabnya, mengapa anak-anak korban broken home sangat sulit dididik. Sebab, mereka setiap saat selalu melihat dan mendengar peristiwa terburuk dalam hidupnya, yakni pertengkaran dan pertikaian kedua orang tuanya. Jika rumah adalah sekolah pertama dan utama bagi anak telah dirusak orang tuanya dengan pertengkaran, maka rusaklah sekolah pertama dan utama tersebut. Jika sekolahnya telah rusak, maka anak pun bisa dipastikan akan ikut rusak, bahkan hancur. Sehingga sekolah pertama dan utama tersebut tidak efektif. Sebab, anak yang rusak sulit diajak bermain, bersosialisasi, bernyanyi dan lain sebagainya. Inilah sebabnya, mengapa kunci efektivitas PAUD tergantung pada efektivitas rumah sebagai sekolah pertama bagi anak (Suyadi, 2009: 233-235). Oleh karena itu, orang tua sebagai guru pertama dan utama tidak mempunyai pilihan lain kecuali menjalankan tugasnya sebagai pendidik atas anak-anaknya. Dengan demikian keharmonisan rumah tangga memberikan kontribusi yang sangat besar bagi keberhasilan pendidikan di keluarga tersebut. . Simpulan Dunia anak adalah dunia bermain, anak-anak dirinya disibukkan dengan bermain, dengan bermain itulah anak belajar dan dengan bermain itu pula anak belajar berbagai hal tentang kehidupan sehari-hari. Dengan permainan, kita sebagai orang tua bisa memasukkan unsur-unsur pendidikan didalamnya. Permainan edukatif bagi anak pada garis besarnya dapat digolongkan menjadi dua, yaitu permainan aktif dan bermain pasif. Dalam hal ini orang tua memilki peran yang signifikan dalam memilihkan jenis permainan yang edukatif dan tidak membahayakan anak-anak mereka ketika bermain.
Daftar Pustaka Ahmadi, Abu. 1991. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Rineka Cipta. Bawono, Yudho. 2007. Memilih Mainan Buat Si Kecil. Majalah Psikologi Plus Vol. II No. 11 Juli 2007. Semarang: PT Niko Sakti. BP-4 Pusat Jakarta. 1994. Majalah Bulanan Nasehat Perkawinan dan Keluarga, Nomor 260/Tahun XXII, Jakarta: BP-4 Pusat Jakarta.
208
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
Craft, Anna. 2003. Membangun Kreativitas Anak. Penterjemah M. Chairul Anam. Jakarta: Inisiasi Press. Freman, John dan Utami Munandar. 1996. Cerdas dan Cemerlang. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Handayani, Arri. 2009. Anak Cerdas Lewat Bermain. Majalah Psikologi Plus Volume III No. 10 April 2009. Semarang: PT Niko Sakti. Istadi, Irawati. 2003. Mendidik Dengan Cinta, Jakarta: Pustaka. Jalal, Fasli. 2003. Stimulasi Otak Untuk Mengoptimalkan Kecerdasan Anak. Jakarta: Proyek Pengembangan Anak Dini Usia. Langeveld, M.J. 1979. Ilmu Jiwa Perkembangan, Bandung: Jemmars. Malla, M. Akilla. 2003. Fungsi Strategi Sarana Pembelajaran Dalam Pembelajaran Anak Dini Usia. Jakarta: Proyek Pengembangan Anak Usia Dini Pusat. Monks, F.J. dkk. 1989. Psikologi Perkembangan Pengantar dalam Berbagai Bagiannya, Yogyakarta: Gajdah Mada University Press. Monks, F.J. dkk. 2002. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Gadjah Mada University. Suyadi. 2009. Permaianan Edukatif yang Mencerdaskan. Yogyakarta: Power Books (Ihdina). Suyud, Rahmat. 1983. Pokok-pokok Ilmu Jiwa Perkembangan, Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Wibowo, Latifah. 2008. Dunia Anak Dunia Bermain. Majalah Psikologi Plus Volume II No. 12 Juni 2008. Semarang: PT Niko Sakti. Winarta Putra, Udin S. 1997. Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: Depdikbud. Zulkifli. 2002. Psikologi Perkembangan, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ujian Nasional: Invalid, Inreliabel, Inkonstitusional ...
209
UJIAN NASIONAL: INVALID, INRELIABEL, INKONSTITUSIONAL DAN BERTENTANGAN DENGAN HAM Ahmad Ta’rifin*
Abstract: Since the academic year of 2003/2004, the goverment held the UN at the elementary and secondary education institutions. Although the UN should be carried out within the framework of the index measuring the quality of schools, in fact enable the UN has been misconstrued as a tool for determining the graduation of students. In fact, Law No.20 of 2003 on National Education System Article 58 paragraph 1 states that the assessment results of learners’ learning is done by educators only. That is, the UN has been unconstitutional. Likewise, the UN does not meet standards of validity and reliability assessment of student learning outcomes as long as six years of its implementation is not able to measure the quality of national education. In addition, the implementation of the UN in the field that gave rise to discrimination against a particular subject, and discrimination student learning outcomes, as well as a variety of fraud that have made the UN is considered contrary to human rights. Kata kunci: ujian nasional, validitas, reliabilitas, inkonstitusional, HAM.
Pendahuluan Umur Ujian Nasional tidak panjang, hanya 6 tahun! Itu pun kalau tahun depan (2010), pemerintah tidak memaksakan pemberlakuan UN di sekolah. Pemberlakuan UN sebagai cara untuk menentukan kelulusan siswa SLTP dan SLTA memang telah dikalahkan oleh putusan Fatwa MA yang
∗ Dosen Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Pekalongan
210
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
mengabulkan judicial review seorang wali murid sebuah SLTA di Depok Jawa Barat, agar UN dihentikan pelaksanaannya karena bertentangan dengan HAM. Berdasar pengamatan penulis, pada kenyataannya, setelah UN diselenggarakan lebih dari enam kali sejak tahun akademik 2003/2004, itu pun dengan standar nilai kelulusan yang sangat minim (tahun 2006:4.00; 2007:4.25; 2008:4.50) dan masih diterapkannya sistem konversi (baca: katrol) nilai, penulis mulai ragu terhadap i’tikad baik pemerintah untuk menjadikan UN sebagai standar kelulusan siswa dan alat ukur keberhasilan pendidikan nasional. Pertama, alat pengukur dikatakan valid apabila bisa mengukur sesuai dengan ukurannya, seperti kilogram (kg.) untuk mengukur berat; meter untuk mengukur jarak, dan lain-lain. Demikian halnya UN akan bisa dinilai sebagai alat ukur jika secara keseluruhan mampu mengatasi persoalan mutu pendidikan. Hal ini bisa diindikasikan dengan adanya perubahan mutu siswa/lulusan, antara sebelum dan sesudah pelaksanaan UN. Jika tidak, maka UN tidak dapat dijadikan standar. Tetapi jika ada perubahan positif, maka UN bisa dijadikan standar mutu pendidikan. Kedua, alat ukur dikatakan reliabel manakala bisa dipercaya sebagai alat ukur. Standar meter sebagai alat ukur jarak, sama di belahan dunia manapun. Demikian juga kilogram, bisa dipercaya sebagai standar berat internasional. Maka, jika hasil UN berjalan secara konsisten, ditandai dengan adanya peningkatan mutu pendidikan secara konsisten dan berlaku (berjalan) lama, maka UN bisa dijadikan sebagai alat pengukur standar mutu pendidikan nasional. Pertanyaannya, apakah UN yang telah berjalan 6 tahun ini telah menunjukkan dirinya sebagai alat ukur pendidikan nasional yang valid dan reliabel? Mungkinkah hanya dengan tiga bidang studi —tahun 2009 empat bidang studi— (Bahasa Indonesia, Matematika, IPA dan Bahasa Inggris untuk tingkat SLTP), UN bisa dijadikan representasi bagi puluhan bidang studi lainnya dan alat pengukur mutu pendidikan? Agaknya kebanyakan kita sepakat untuk menjawab tidak. Apalagi, jika dikaitkan dengan persoalan kompetensi, yang saat ini diyakini sebagai orientasi mutu pendidikan nasional. Tentu, di sini kita menemukan sebuah paradoks. Satu sisi, pemerintah mensentralisasi pelaksanaan UN dengan 3 atau 4 bidang
Ujian Nasional: Invalid, Inreliabel, Inkonstitusional ...
211
studi saja, sementara dari sisi lain, kompetensi siswa sesuai keahlian masingmasing diabaikan. Bagaimana dengan siswa yang hebat dalam pelajaran agama sementara lemah dalam Bahasa Inggris misalnya. Atau bagaimana nasib siswa yang kuat dalam bidang matematika tetapi lemah dalam pelajaran Bahasa Indonesia? Memahami Evaluasi, Pengukuran, Tes dan Penilaian (Assessment) Banyak orang mencampuradukkan antara istilah evaluasi, pengukuran (measurement), tes, dan penilaian (assessment), padahal keempatnya memiliki pengertian yang berbeda. Evaluasi adalah kegiatan identifikasi untuk melihat apakah suatu program yang telah direncanakan telah tercapai atau belum, berharga atau tidak, dan dapat pula untuk melihat tingkat efisiensi pelaksanaannya. Evaluasi berhubungan dengan keputusan nilai (value judgement). Pengukuran (measurement) adalah proses pemberian angka atau usaha memperoleh deskripsi numerik dari suatu tingkatan di mana seorang peserta didik telah mencapai karakteristik tertentu. Penilaian (assesment) adalah penerapan berbagai cara dan penggunaan beragam alat penilaian untuk memperoleh informasi tentang sejauh mana hasil belajar peserta didik atau ketercapaian kompetensi (rangkaian kemampuan) peserta didik. Penilaian menjawab pertanyaan tentang sebaik apa hasil atau prestasi belajar seorang peserta didik (http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/05/01/). Hasil penilaian dapat berupa nilai kualitatif (pernyataan naratif dalam katakata) dan nilai kuantitatif (berupa angka). Pengukuran berhubungan dengan proses pencarian atau penentuan nilai kuantitatif tersebut. Tes adalah cara penilaian yang dirancang dan dilaksanakan kepada peserta didik pada waktu dan tempat tertentu serta dalam kondisi yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang jelas. Tetapi keempat istilah di atas mempunyai keterkaitan antara satu dengan yang lainnya http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/05/01/). 1.
Tujuan Penilaian Penilaian memiliki tujuan yang sangat penting dalam pembelajaran, di antaranya untuk grading, seleksi, mengetahui tingkat penguasaan kompetensi, bimbingan, diagnosis, dan prediksi. a. Sebagai grading, penilaian ditujukan untuk menentukan atau membedakan kedudukan hasil kerja peserta didik dibandingkan dengan
212
b.
c.
d.
e.
2.
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
peserta didik lain. Penilaian ini akan menunjukkan kedudukan peserta didik dalam urutan dibandingkan dengan anak yang lain. Karena itu, fungsi penilaian untuk grading ini cenderung membandingkan anak dengan anak yang lain sehingga lebih mengacu kepada penilaian acuan norma (norm-referenced assessment). Sebagai alat seleksi, penilaian ditujukan untuk memisahkan antara peserta didik yang masuk dalam kategori tertentu dan yang tidak. Peserta didik yang boleh masuk sekolah tertentu atau yang tidak boleh. Dalam hal ini, fungsi penilaian untuk menentukan seseorang dapat masuk atau tidak di sekolah tertentu. Untuk menggambarkan sejauh mana seorang peserta didik telah menguasai kompetensi. Sebagai bimbingan, penilaian bertujuan untuk mengevaluasi hasil belajar peserta didik dalam rangka membantu peserta didik memahami dirinya, membuat keputusan tentang langkah berikutnya, baik untuk pemilihan program, pengembangan kepribadian maupun untuk penjurusan. Sebagai alat diagnosis, penilaian bertujuan menunjukkan kesulitan belajar yang dialami peserta didik dan kemungkinan prestasi yang bisa dikembangkan. Ini akan membantu guru menentukan apakah seseorang perlu remidiasi atau pengayaan. Sebagai alat prediksi, penilaian bertujuan untuk mendapatkan informasi yang dapat memprediksi bagaimana kinerja peserta didik pada jenjang pendidikan berikutnya atau dalam pekerjaan yang sesuai. Contoh dari penilaian ini adalah tes bakat skolastik atau tes potensi akademik.
Ruang Lingkup Penilaian Hasil Belajar Hasil belajar peserta didik dapat diklasifikasi ke dalam tiga ranah (domain), yaitu: (1) domain kognitif (pengetahuan atau yang mencakup kecerdasan bahasa dan kecerdasan logika-matematika), (2) domain afektif (sikap dan nilai atau yang mencakup kecerdasan antarpribadi dan kecerdasan intrapribadi, dengan kata lain kecerdasan emosional), dan (3) domain psikomotor (keterampilan atau yang mencakup kecerdasan kinestetik, kecerdasan visual-spasial, dan kecerdasan musikal). Ketiga domain yang mencakup berbagai kecerdasan majemuk (multiple intelligences), kini menjadi orientasi daripada kompetensi mutu pendidikan. Artinya, ketiga domain/ranah tersebut hendaknya menjadi orientasi
Ujian Nasional: Invalid, Inreliabel, Inkonstitusional ...
213
hasil belajar secara komprehensif, tidak parsial, sebagaimana terjadi dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN) selama ini. Mengukur Validitas dan Reliabilitas Ujian Nasional (UN) Dengan memahami evaluasi, pengukuran, tes dan penilaian (assessment) sebagaimana tersebut di atas, maka Ujian Nasional (UN) dikategorikan sebagai means daripada ends. Means didefinisikan sebagai alat dan prosedur, solusi, serta strategi yang ditempuh untuk mencapai ends yang diinginkan, sementara ends adalah hasil yang didapatkan setelah menyelesaikan aplikasi strategi atau teknik tertentu. Sebab itulah, yang seharusnya menjadi penting untuk dipertanyakan adalah bukan bagaimana pihak-pihak yang terkait dapat mengimplementasikan Ujian Nasional (UN) dengan baik, melainkan apakah Ujian Nasional (UN) tersebut sudah menjadi alat yang tepat dalam mencapai tujuan penentuan kelulusan pada pendidikan tingkat dasar maupun menengah (http://re-searchengines.com/). Kegagalan dalam menentukan apa-apa yang harus dicapai sebelum menentukan bagaimana cara untuk mencapainya dipastikan akan menyianyiakan hal-hal yang sangat berharga, seperti waktu, sumber daya, dan juga akan berakibat fatal bagi peserta didik. Oleh karena itu, perlu dilakukan assesment kebutuhan mengenai penentuan kelulusan pada pendidikan tingkat dasar maupun menengah terlebih dahulu, sebelum mengakhiri dengan kesimpulan bahwa Ujian Nasional (UN) adalah alat yang tepat atau tidak tepat dalam mencapai tujuan penentuan kelulusan pada pendidikan tingkat dasar maupun menengah tersebut (http://re-searchengines.com/). Bila diamati secara mendalam, tujuan penentuan lulus-tidaknya peserta didik dari suatu lembaga pendidikan adalah untuk mengetahui, sejauhmana peserta didik yang bersangkutan telah menguasai kompetensi tertentu yang diharapkan melalui kegiatan pembelajaran di sekolah. Dalam menentukan apakah peserta didik yang bersangkutan telah menguasai kompetensi tertentu melalui kegiatan pembelajaran pada lembaga pendidikan tersebut dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, hanya oleh pendidik tentunya. Sebab pihak yang paling mengetahui perkembangan peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar pada lembaga pendidikan hanyalah pendidik. Hal ini sejalan dengan apa yang termaktub dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 58 ayat 1 bahwa: Evaluasi hasil belajar
214
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Dengan melakukan pengamatan harian terhadap perkembangan kompetensi peserta didik secara berkesinambungan, maka pendidik akan mendapatkan hasil assesment yang lebih valid. Secara normatif proses evaluasi belajar siswa seharusnya telah dimulai sejak awal tahun belajar, sehingga hasil evaluasi lebih bersifat komprehensif (http://www.republika.co.id.Republika.02/05/2006).. Hasil assesment tersebut tentunya akan menunjukkan sejauh mana kemampuan pendidik dalam membantu peserta didik untuk menguasai sejumlah kompetensi tertentu yang dipelajarinya melalui kegiatan belajar mengajar. Utomo Dananjaya berpendapat bahwa idealnya, assesment hasil belajar peserta didik memiliki 2 fungsi: Pertama memperbaiki proses kegiatan belajar-mengajar. Dalam hal ini proses evaluasi memungkinkan guru dan birokrasi pendidikan mendapatkan umpan balik dari peserta didik atas proses pendidikan yang telah dilaksanakan. Sehingga, guru sebagai tenaga pendidik memiliki referensi yang akurat atas perkembangan kemampuan peserta didik dalam proses belajar. Dengan demikian, guru dapat merumuskan pola-pola belajar dan kurikulum yang tepat dalam meningkatkan kemampuan si peserta didik ((http://mainview. org/ artikel_lengkap.php). Fungsi kedua adalah mengetahui kemajuan belajar siswa. Dengan proses evaluasi, guru dan birokrat pendidikan dapat mengetahui kemajuan belajar siswa dari sisi individual. Guru dan birokrat pendidikan kelak dapat memberikan suatu penghargaan bagi siswa yang mengalami kemajuan positif sehingga ia merasa bangga atas kemampuannya. Sebaliknya, guru memberikan perhatian lebih bagi mereka yang mengalami kemunduran dalam proses belajar. Sehingga si peserta didik mendapat bimbingan untuk meningkatkan kemampuan belajarnya (http://mainview. org/artikel_lengkap.php). Hasil assesment terhadap hasil belajar peserta didik dapat juga digunakan sebagai pertimbangan apakah peserta didik tersebut telah menguasai sejumlah kompetensi tertentu pada level tertentu, sehingga peserta didik yang bersangkutan dapat melanjutkan pada level pendidikan yang lebih tinggi dari level sebelumnya. Sehingga bila hasil assesment peserta didik masih belum memenuhi kompetensi yang diharapkan, maka pendidik yang bersangkutan harus berusaha memperbaiki kemampuannya dalam mendampingi peserta didik hingga peserta didik tersebut berhasil mencapai kompetensi tertentu yang diharapkan.
Ujian Nasional: Invalid, Inreliabel, Inkonstitusional ...
215
Di Finlandia yang memiliki sistem pendidikan terbaik sedunia, assesment terhadap hasil belajar peserta didik digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan kinerja lembaga pendidikan dalam mendampingi peserta didiknya (Budi Suwarna, Kompas: 12/11/2007). Bahkan target pencapaian kompetensi peserta didik tidak dilakukan oleh pemerintah dengan pemberlakuan standar tertentu seperti di Indonesia, melainkan ditentukan oleh peserta didik sendiri sehingga tugas pendidik hanyalah mendampingi peserta didik dalam mencapai kompetensi yang diinginkannya. Hal tersebut yang ternyata menjadi pemacu peserta didik dalam belajar sehingga tidak mengherankan bila prestasi peserta didik asal Finlandia adalah yang terbaik di dunia berdasarkan beragam survey internasional. 1.
Ujian Nasional: Inkonstitusional Diketahui bahwa UN yang selama ini diberlakukan oleh pemerintah didefinisikan sebagai kegiatan yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik sebagai pengakuan prestasi belajar dan atau penyelesaian dari suatu satuan pendidikan (PP No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 1 ayat 20). Ironisnya, hasil dari UN yang hanya dilakukan selama beberapa hari (3 atau 4 hari) ini difungsikan sebagai alat untuk menentukan kelulusan peserta didik dalam menguasai kompetensi tertentu yang dipersyaratkan oleh pemerintah berdasarkan kegiatan belajar mengajar yang diikuti oleh peserta didik selama bertahun-tahun. Pengadaan UN sebagai alat assesment hasil belajar peserta didik oleh pemerintah adalah pelanggaran terhadap UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 58 ayat 1 yang menyatakan bahwa assesment hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik saja. Sangatlah tidak logis bila pemerintah yang tidak terlibat langsung dengan peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar pada lembaga pendidikan, secara tiba-tiba dengan semena-mena melakukan assesment terhadap hasil belajar peserta didik. Selain pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh pemerintah tersebut, tentu saja soal-soal ujian yang dibuat oleh pemerintah, dalam hal ini melalui BSNP, tidak sinergis dengan kegiatan belajar mengajar yang telah diikuti oleh peserta didik. Sebab, apa yang telah dipelajari oleh peserta didik yang ada di sekolah satu dengan sekolah lainnya jelas-jelas berbeda, karena sekolah telah menerapkan KTSP. Secara prinsip, UN yang sentralistis bertentangan dengan KTSP yang desentralistis. Dan lagi, pemberlakuan UN sebagai alat assesment
216
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
hasil belajar peserta didik telah menginjak-injak hak pendidik dan otoritas sekolah dalam implementasi KTSP. Pemberlakuan keduanya secara bersamaan adalah bentuk inkonsistensi kebijakan pendidikan yang digulirkan oleh pemerintah (http://re-searchengines.com/). Penyelenggaraan UN mulai dari prasyarat keikutsertaan peserta didik dalam UN hingga kriteria kelulusan peserta didik dari UN ternyata diserahkan pemerintah pada lembaga yang seolah-olah independen dan tidak termasuk dalam elemen pemerintah yang dikenal dengan nama BSNP (PP No.19 Tahun 2005 tentang SNP, pasal 67, 69, dan 71). Walaupun dalam kenyataannya di lapangan lembaga ini tidak benar-benar independen, sebab dari proses pembentukannya saja sudah terlihat tidak independen. BSNP dibentuk oleh pemerintah dan bertanggungjawab pada Mendiknas, jadi tidak ada bedanya memang, antara pemerintah dengan BSNP, karena keduanya berada pada pihak yang sama (sama-sama pihak yang merupakan representasi dari pemerintah). Payung hukum otoritas penyelenggaraan UN pada BSNP dalam PP No.19 Tahun 2005 tentang SNP menjadi batal hukum dengan sendirinya sebab secara hierarkis bertentangan dengan UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 58 ayat 1 yang memuat bahwa assesment hasil belajar peserta didik hanya dapat dilakukan oleh pendidik (http://re-searchengines.com/). Kewenangan pemerintah dalam melakukan assesment terhadap hasil belajar peserta didik dipertanyakan payung hukumnya, sebab kewenangan tersebut memang tidak diberikan pada pemerintah sebagaimana tercantum dalam UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Apalagi penyelenggaraan UN oleh pemerintah sebagai alat untuk melakukan assesment hasil belajar peserta didik dan alat ukur kelulusan, jelas-jelas tidak berdasar hukum dan inkonstitusional (Tilaar, 2004). Hal yang seharusnya menjadi kewenangan pemerintah adalah assesment terhadap kinerja lembaga pendidikan, sebagaimana dinyatakan dalam PP No.19 Tahun 2005 tentang SNP Pasal 78 (Tilaar: 2004). 2.
Ujian Nasional: Pelanggaran Terhadap HAM Pemberlakuan UN sebagai alat kelulusan peserta didik sangat bertentangan dengan HAM yang mengakui hak warganegara untuk tidak mendapatkan diskriminasi dalam bidang pendidikan. Sebagaimana pendapat Utomo Danandjaja, penetapan standar kelulusan memiliki ideologi diskriminatif sebab telah mengkotak-kotakkan ‘kelas’ yang terpisah antara siswa yang
Ujian Nasional: Invalid, Inreliabel, Inkonstitusional ...
217
cerdas dan yang kurang cerdas (http://www.vhrmedia.com/). Sebab, hasil UN tersebut digunakan peserta didik untuk mendaftar pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Peserta didik yang hasil UN-nya tinggi akan dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah favorit yang dianggap lebih berkualitas dan sebaliknya, peserta didik yang hasil UN-nya kurang tinggi akan ‘dibuang’ ke sekolah-sekolah pinggiran yang berkualitas rendah. Padahal setiap peserta didik berhak untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas (UU No.20 Tahun 2003 pasal 4 ayat 1), malahan peserta didik yang dianggap ‘kurang’ memiliki hak untuk didampingi secara lebih intensif oleh pendidik dan bukannya ‘dihukum’ untuk memasuki sekolah yang kualitasnya malah ‘kurang’ sehingga peserta didik makin terpuruk. Belum lagi, pengadaan Ujian Paket C yang dijadikan sebagai sarana ujian remidial oleh pemerintah malah semakin membuat kesenjangan yang lebar antara peserta didik yang dianggap pandai versi UN dan versi Ujian Paket C sehingga akan semakin menambah beban psikologis peserta didik (http://www.hukumonline.com/). Sebab akan terjadi dikotomi antara ijazah pendidikan formal dengan ijazah pendidikan Paket C yang tidak selalu diterima oleh PT maupun dunia kerja karena masih dipandang sebelah mata. Diskriminasi yang timbul akibat pemberlakuan UN ini sangat bertentangan dengan UU No.20 Tahun 2003 Pasal 4 ayat 1 yang menyatakan bahwa prinsip penyelenggaraan pendidikan adalah meniadakan diskriminasi. Dan diskriminasi terhadap peserta didik yang terjadi dalam sistem penyelenggaraan pendidikan di Indonesia dan berpotensi membunuh rasa percaya diri peserta didik ini tidak terjadi di Finlandia. Sekolah-sekolah di Finlandia tidak membuat sistem rangking, apalagi membuat label tidak naik kelas atau tidak lulus sekolah pada peserta didiknya (Budi Suwarna, Kompas: 12/11/2007). Peserta didik yang mereka bahasakan sebagai ‘peserta didik yang agak lambat belajar dibandingkan dengan peserta didik lainnya’ malah diberikan pendampingan intensif oleh sekolah tentunya dengan pendidik yang memiliki kualitas didik lebih, sangat bertolak belakang dengan apa yang terjadi di Indonesia. Diskriminasi yang terjadi tidak hanya pada peserta didik namun juga terjadi pada mata pelajaran. Ada kesenjangan prioritas antara mata pelajaran yang diujikan dalam UN dengan yang tidak diujikan dalam UN, sebab tidak semua mata pelajaran yang dipelajari oleh peserta didik pada lembaga pendidikan diujikan dalam UN. Jumlah mata pelajaran yang diujikan dalam UN juga berubah-ubah setiap tahunnya. Pada UN tahun 2008 lalu, mata
218
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
pelajaran yang diujikan dalam UN SMA berjumlah 6 mata pelajaran, sementara UN SMK tetap 3 mata pelajaran, untuk UN SMP bertambah 1 mata pelajaran menjadi 4 mata pelajaran, dan UN SD tetap 3 mata pelajaran (http:// www.kaltengpos.com 25/10/07). Perubahan jumlah mata pelajaran yang diujikan dalam UN adalah tindakan yang diambil BSNP terkait banyaknya masukan mengenai diskriminasi antara mata pelajaran yang diujikan dan tidak dujikan dalam UN. Namun, tindakan BSNP tersebut tetap saja tidak dapat meniadakan diskriminasi yang terjadi akan prioritas mata pelajaran yang dipelajari oleh peserta didik. Para pendidik di sekolah peserta didik tentunya juga akan lebih mempersiapkan peserta didiknya dalam menghadapi sejumlah mata pelajaran tertentu saja yang akan diujikan dalam UN (http://www.korantempo.com/news/2005/2/ 3/) Seto Mulyadi menilai bahwa pelaksanaan UN justru bisa membuat peserta didik tidak belajar selama belum mendekati waktu UN dan cenderung hanya memprioritaskan belajar pada saat menjelang UN (http://www.liputan6.com/ news/). Secara tidak langsung, melalui kebijakan UN, pemerintah telah menentukan bahwa sejumlah mata pelajaran tertentu lebih penting dari sejumlah mata pelajaran lainnya, tanpa alasan yang jelas. Imbasnya, peserta didik, pendidik, orang tua, maupun masyarakat secara luas akan membangun paradigma yang sama dengan pemerintah. Sebagai contoh, dengan tidak diujikannya mata pelajaran Agama maupun Pendidikan Kewarganegaraan, maka mata pelajaran tersebut dianggap tidak penting dibandingkan dengan mata pelajaran Matematika maupun Bahasa Inggris yang diujikan dalam UN, sehingga pendidik maupun peserta didik tidak akan mempelajari mata pelajaran Agama maupun Pendidikan Kewarganegaraan dengan sungguh-sungguh. Walaupun secara logis diketahui bahwa mempelajari kedua mata pelajaran tersebut memiliki dampak yang cukup signifikan pada kecerdasan afektif peserta didik. Menurut Doni Koesoema, model soal pilihan ganda yang digunakan dalam UN juga menimbulkan dampak psikologis yang akan mematikan unsur kreativitas dan inisiatif peserta didik. Sebab peserta didik diharuskan memilih opsi-opsi jawaban yang sudah tersedia pada lembar jawabannya, tanpa diijinkan untuk mengembangkan daya kreasinya. Model soal pilihan ganda dengan jawaban pasti ini juga akhirnya menimbulkan budaya instan pada proses pembelajaran peserta didik, sehingga pendidik pun menyelenggarakan
Ujian Nasional: Invalid, Inreliabel, Inkonstitusional ...
219
pembelajaran dengan model drilling yang menuntut peserta didik untuk sekedar menghapal jawaban-jawaban yang sudah pasti. Para peserta didik dari berbagai jenjang pendidikan tampak meningkatkan intensitas belajarnya bila waktu UN semakin dekat. Hal tersebut juga didukung dengan sekolah mereka yang semakin banyak memberikan jam pelajaran tambahan hanya untuk drilling soal-soal UN. Bahkan tidak sedikit sekolah-sekolah yang bekerjasama dengan lembaga bimbingan belajar untuk mengadakan try out soal-soal UN (Doni Koesoema, Kompas: 08/06/2006). Inilah yang dibanggakan pemerintah bahwa motivasi belajar siswa menjadi meningkat dengan diselenggarakannya UN. Padahal, apa yang dibanggakan pemerintah sebagai meningkatnya motivasi belajar siswa karena UN sebenarnya sebuah ironi akademis yang memosisikan guru dan siswa sebagai robot. Peningkatan intensitas kegiatan belajar mengajar tersebut terjadi karena adanya stimulus dari luar, yang dalam lingkup pedagogi, pandangan behavioris paling kuno ini telah lama ditinggalkan karena sangat tidak manusiawi (Doni Koesoema, Kompas: 08/06/2006). Bahkan, menurut Seto Mulyadi, belajarnya peserta didik untuk menghadapi UN yang semata karena takut dihukum ini merupakan bentuk lain kekerasan terhadap anak (http:// www.liputan6.com/news/). Hukuman yang dimaksud tentunya adalah diskriminasi peserta didik dengan stempel ‘lulus dan pandai’ bagi peserta didik yang nilai UN-nya tinggi dan sebaliknya. Selain hanya mengukur tingkat kekuatan hapalan para peserta didik secara kognitif, UN mengabaikan kecerdasan afektif dan psikomotorik yang dimiliki oleh peserta didik dengan tidak melakukan assesment secara komprehensif terhadapnya. Model UN tersebut jelas-jelas tidak sejalan dengan konsep kompetensi lulusan yang mencakup unsur afektif dan psikomotorik, selain unsur kognitif (PP No.19 Tahun 2005 tentang SNP Pasal 25 ayat 4). Padahal menurut Benjamin S. Bloom, fungsi dari masing-masing aspek kecerdasan tersebut saling terkait satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan (Moh. Yamin, http://jawabali.com/pendidikan/22/04/2008). Bila seorang peserta didik cerdas secara kognitif atau intelektual, belum tentu ia memiliki kecerdasan perilaku secara afektif. Sehingga model UN yang hanya mengukur tingkat kekuatan hafalan para peserta didik secara kognitif ini, tidak dapat secara sewenang-wenang memberikan kategori ‘siswa pandai’ terhadap peserta didik yang memiliki hasil UN tinggi dan sebaliknya.
220
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
Kualitas soal UN juga menjadi pertanyaan yang tidak kalah penting. Sebab UN yang hanya berlangsung selama beberapa jam tersebut hanya memberikan gambaran sesaat terhadap kemampuan peserta didik pada taraf kognitif, yang tentunya sangat amat bergantung pada kualitas soal yang diujikan dalam UN. Walaupun Depdiknas menyatakan bahwa dasar penyusunan soalsoal UN adalah standar kompetensi lulusan (SKL) dan materinya merupakan irisan dari kurikulum 1994, 2004, dan KTSP (Moh. Yamin, http:// jawabali.com/pendidikan/22/04/2008), namun hal tersebut tidak menjamin kualitas soal. Bahkan publik mempertanyakan mengapa BSNP tidak pernah mengumumkan hasil uji reliabilitas dan validitas soal-soal UN yang diujikan (Agus Suwignyo, Kompas: 20/06/2008). Belum lagi implementasi KTSP yang menyebabkan adanya perbedaan kurikulum antara sekolah satu dengan sekolah lainnya, tentu akan sangat menyulitkan para pembuat soal dalam membuat soal UN yang sesuai dengan apa yang dipelajari oleh masing-masing peserta didik. Ditemukannya banyak kasus peserta didik yang dinyatakan tidak lulus UN padahal telah diterima di PT sangatlah mengejutkan. Secara logika, bagaimana mungkin seseorang telah dinyatakan siap belajar di PT sementara dinyatakan belum siap meninggalkan jenjang pendidikan menengah? (Agus Suwignyo, Kompas: 20/06/2008). Hal ini mengindikasikan adanya ‘ketidaksambungan kualitas’ antara soal UN SMA dengan ujian masuk PT yang berarti bahwa tidak ada kesinambungan antar jenjang pendidikan. Jikalau demikian, terlihat jelas bahwa baik tidaknya nilai UN peserta didik yang digunakan sebagai penentu kelulusan peserta didik pada jenjang pendidikan menengah tidak ada relevansinya dengan partisipasi peserta didik pada jenjang pendidikan tinggi. Sehingga nilai UN tersebut akhirnya menjadi sia-sia belaka. Kaji Ulang Ujian Nasional (UN) Dikaji dari berbagai segi, UN tidak layak menjadi penentu kelulusan peserta didik, bahkan tidak ada relevansinya dengan peningkatan mutu pendidikan. Anehnya, UN tetap diselenggarakan oleh pemerintah, meskipun penyelenggaraan UN dihujani oleh protes dari berbagai kalangan masyarakat. Bila dipahami secara mendalam, sebenarnya penyelenggaraan UN ini adalah cara pengukuran instan pemerintah untuk mendapatkan pengakuan bahwa mutu pendidikan di negeri ini meningkat seiring dengan dinaikkannya standar nilai minimal untuk kelulusan.
Ujian Nasional: Invalid, Inreliabel, Inkonstitusional ...
221
Secara empiris terbukti, bahwa tidak ada relevansi antara penyelenggaraan UN dengan peningkatan mutu pendidikan, namun alibi pemerintah yang tidak berdasar ini terus diwacanakan pada publik sebab UN diyakini sebagai cara termudah untuk mendapatkan kebanggaan akan peningkatan mutu pendidikan, sekalipun hasil UN tersebut telah mereka manipulasi dengan berbagai modus operandi kecurangan dalam penyelenggaraan UN. Kebanggaan fiktif pemerintah akan keberhasilan mereka dalam meningkatkan mutu pendidikan yang telah mereka rekayasa melalui hasil UN ini ternyata juga bukan satu-satunya keuntungan. Kebijakan UN adalah bentuk hegemoni pemerintah terhadap kalangan grassroot (baca: sekolah, guru, dan peserta didik). Kurikulum yang tidak diaplikasikan secara konsisten serta masuknya UN di tengah otonomi pendidikan merupakan dikte yang terkadang lebih tragis dari kebijakan penjajah mengontrol pendidikan. Menurut Prellezo, cara neokolonisasi ini bekerja begitu halus dan licik dalam mempengaruhi cara berpikir dan bertindak. Dan penyelenggaraan UN yang dari berbagai segi telah mematikan kreativitas dan inisiatif peserta didik serta meneror mereka secara psikologis, adalah cara teraman bagi pemerintah untuk melanggengkan hegemoninya terhadap rakyat yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Lembaga pendidikan formal tidak lagi berfungsi sebagai lembaga yang dapat membangun kesadaran manusia secara ‘utuh’ melainkan —sebagaimana pendapat Paulo Freire— malah menjadi lembaga untuk menanamkan ideologi pemerintah yang sedang berkuasa agar mereka tetap dapat melanggengkan kekuasaannya tanpa suatu hambatan yang berarti sehingga proses membangun kesadaran manusia dalam lembaga pendidikan dapat berlangsung sekehendak mereka. Secara fungsional, UN juga tidak pernah berperan sebagai alat pemetaan mutu pendidikan di Indonesia, sebagaimana dalih lain pemerintah di balik penyelenggaraan UN. Sebabnya, UN selama ini hanya difungsikan sebagai vonis kelulusan peserta didik dan tidak ada follow up untuk pemerataan mutu pendidikan secara substantif atas hasil UN yang notabene fiktif. Secara konseptual, empiris, maupun konstitusional, ternyata UN tidak menjawab assesment kebutuhan penentuan kelulusan peserta didik, malah memiliki beragam implikasi negatif bagi berbagai pihak, sehingga keberadaannya harus dihapuskan. Polemik permasalahan UN tidak akan selesai hanya dengan sekedar mengganti model assesment hasil belajar peserta
222
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
didik dengan yang lebih valid sebagaimana telah dibahas di atas, namun lebih dari itu. Permasalahan kebijakan pendidikan sangatlah kompleks, melibatkan berbagai unsur kepentingan dan aspek politik yang tentunya juga harus diperhatikan. Namun segala permasalahan tersebut akan teratasi bila seluruh elemen pemerintah dan masyarakat mau memurnikan niat mereka dalam mendampingi generasi penerus negeri ini mengenyam pendidikan yang pada akhirnya bertujuan untuk mengangkat negeri ini dari keterpurukan yang sudah berlarut-larut. Analisis: Mengelola Evaluasi Pendidikan Evaluasi harus mampu menjawab semua informasi tentang tingkat pencapaian tujuan yang telah ditentukan. Pendidikan yang diarahkan untuk melahirkan tenaga cerdas yang mampu bekerja dan tenaga kerja yang cerdas tidak dapat diukur hanya dengan tes belaka (Soedijarto, 1993: 17). Untuk itu, evaluasi harus mampu menjawab kecerdasan peserta didik sekaligus kemampuannya dalam bekerja. Sistem evaluasi yang lebih banyak berbentuk tes obyektif akan membuat peserta didik mengejar kemampuan kognitif dan bahkan dapat dicapai dengan cara menghafal saja. Artinya anak yang lulus ujian dalam bentuk tes obyektif belum berarti bahwa anak tersebut cerdas apalagi terampil bekerja, karena cukup dengan menghafal walaupun tidak mengerti maka dia dapat mengerjakan tes (Soedijarto, 1993: 27-29). Sebagai konsekuensinya, harus dikembangkan sistem evaluasi yang dapat menjawab semua kemampuan yang dipelajari dan diperoleh selama mengikuti pendidikan. Selain itu pendidikan harus mampu membedakan antara anak yang mengikuti pendidikan dengan anak yang tidak mengikuti pendidikan. Dengan kata lain, evaluasi tidak bisa dilakukan hanya pada saat tertentu, tetapi harus dilakukan secara komperehensif atau menyeluruh dengan beragam bentuk dan dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan (Soedijarto, 1993: 27-29). Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa UN banyak bertentangan bahkan dengan tujuannya sendiri, sehingga sulit dipertahankan. Seandainya Pemerintah tetap memilih untuk mempertahankan UN maka selama itu perdebatan dan “ketidakadilan¨ akan terjadi terus di dunia pendidikan karena memperlakukan tes yang sama kepada semua anak Indonesia yang kondisinya diakui (baca: secara riil) berbeda-beda.
Ujian Nasional: Invalid, Inreliabel, Inkonstitusional ...
223
Selain itu, salah satu prinsip pendidikan adalah berpusat pada anak (student oriented), artinya pendidikan harus mampu mengembangkan potensi yang dimiliki anak. Seorang anak yang berpotensi untuk menjadi seorang seniman tidak bisa dipaksakan untuk menguasai matematika kalau dia sendiri tidak menyukainya dan berpikir tidak relevan dengan seni yang digelutinya. Memperlakukan semua anak dengan memberikan UN, berarti menganggap semua anak berpotensi sama untuk menguasai mata pelajaran yang diujikan. Padahal, kenyataannya berbeda! Evaluasi sepenuhnya diserahkan kepada sekolah. Sistem penerimaan siswa pada jenjang berikutnya dilakukan dengan cara diberikan tes masuk oleh sekolah masing-masing. Dengan cara demikian, maka setiap sekolah akan menetapkan standar sendiri melalui tes masuk yang dipakai. Sekolah yang berkualitas akan memiliki tes masuk yang relevan, dan sekolah yang kurang bermutu akan ditinggalkan masyarakat. Selain itu sekolah yang menghasilkan lulusan yang tidak bisa menerobos ke sekolah berikutnya juga akan ditinggalkan masyarakat. Dengan demikian akan terjadi persaingan sehat antar sekolah dalam menghasilkan lulusan yang terbaik dalam arti dapat melanjutkan ke sekolah berikutnya. Sistem penerimaan dengan mengacu pada UN akan berakibat pada manipulasi data, bahkan membuka peluang terjadinya kecurangan. Sebagaimana dimaklumi, pada umumnya, sekolah berlomba-lomba untuk meluluskan siswa-siswanya dengan cara memberikan nilai kelulusan yang tinggi. Tetapi dengan adanya tes masuk pada sekolah berikutnya (kecuali masuk SLTP harus berlanjut karena masih dalam cakupan wajib belajar), maka sekolah akan berlomba untuk membuat siswanya lulus, di samping juga diterima di jenjang sekolah yang lebih tinggi. Sistem evaluasi yang diserahkan sepenuhnya ke sekolah bukan berarti tidak diperlukan pedoman atau petunjuk teknis. Pedoman untuk melakukan evaluasi tetap diperlukan dalam memberikan guidance bagi guru agar dalam melakukan evaluasi tetap mengacu kepada kaedah-kaedah evaluasi yang berlaku secara umum. Jika UN tetap dipertahankan maka tujuan dan pelaksanaannya harus dimodifikasi. Sebagai contoh bahwa UN bukan bertujuan untuk menentukan kelulusan siswa tetapi dipakai sebagai alat pengendalian mutu pendidikan. Artinya, UN tidak perlu dikaitkan dengan kelulusan siswa, tetapi untuk
224
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
mengetahui perkembangan pendidikan pada umumnya. Dengan tujuan ini maka standar nilai UN haruslah minimal 6 sebagaimana pada umumnya dan hanya berpengaruh pada kredibilitas sekolah. Kemudian, sistem pelaporan hasil belajar dalam bentuk raport perlu direformasi dengan bentuk lain yang lebih komperehensif. Sebagai contoh, apa arti seorang anak memperoleh nilai 8 pada mata pelajaran Bahasa Indonesia di raportnya? Apakah itu berarti anak tersebut menguasai pidato dengan baik, dapat menulis puisi, dan mampu berdebat? Informasi nilai yang ada di raport dengan format seperti umumnya saat ini, tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sehingga nilai raport perlu dimodifikasi supaya dapat memberikan informasi yang selengkap-lengkapnya tentang kemampuan yang telah dimiliki anak. Sebagai contoh, bahwa untuk laporan hasil belajar Bahasa Indonesia perlu mencakup kemampuan tentang membaca, berbicara, mengemukakan pendapat, kemampuan menulis, membuat karangan, berpidato, sikap menghargai orang lain, dan sebagainya. Hal yang sama dikembangkan untuk mata pelajaran yang lain. Model penilaian dengan menggunakan portofolio mungkin lebih baik daripada sistem raport yang digunakan saat ini. Penilaian dengan portofolio memiliki tujuan, untuk memantau kemajuan anak didik dari hari kehari dan untuk mendorong peserta didik untuk merefleksi pembelajaran mereka sendiri serta memberikan informasi kepada orang tua tentang perkembangan anak didik secara lengkap dan dukungan data dan dokumen yang akurat. Oleh karena itu bukti-bukti hasil karya atau pekerjaan peserta didik yang dikumpulkan itu harus relevan dengan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang harus dimiliki peserta didik sesuai tuntutan program kegiatan belajar TK/RA, SD/MI, SLTP/MTS dan SLTA/MA. Dengan portofolio, guru dapat memantau perkembangan pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill) dan sikap (attitudes) para peserta didik. Portofolio digunakan sebagai lampiran dalam memberikan hasil belajar peserta didik. Dengan kata lain, portofolio tidak berdiri sendiri tetapi merupakan dokumen pendukung laporan kepada orang tua. Dengan portofolio maka informasi yang diterima orang tua dalam menerima laporan hasil belajar anak lebih lengkap karena disertai dengan dokuman perkembangan hasil belajar. Jadi, penilaian portofolio tidak sekedar penilaian hasil akhir pembelajaran, tetapi juga penilaian terhadap proses belajar yang melibatkan
Ujian Nasional: Invalid, Inreliabel, Inkonstitusional ...
225
berbagai aspek kemampuannya, seperti kemampuan berpikir kritis, memperhatikan nilai estetika, etika serta praktika yang melibatkan psikomotor peserta didik. Simpulan Dari pemaparan di atas disimpulkan bahwa evaluasi, pengukuran, tes dan penilaian (assessment) mempunyai pengertian yang berbeda tetapi di antara keempat istilah tersebut mempunyai keterkaitan antara satu dengan yang lainnya, bahkan kebanyakan orang menyederhanakan keempat istilah tersebut menjadi istilah penilaian saja. Tujuan penilaian adalah sebagai grading, alat seleksi, bimbingan, alat diagnosis, dan alat prediksi. Hasil belajar peserta didik dapat diklasifikasi ke dalam tiga ranah (domain), yakni: domain kognitif, afektif, dan psikomotor. UN yang diberlakukan oleh pemerintah sejatinya merupakan kegiatan yang dilakukan sebagai alat ukur pencapaian kompetensi peserta didik sebagai pengakuan prestasi belajar dan atau penyelesaian dari suatu satuan pendidikan (PP No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 1 ayat 20), yang pada kelanjutannya menjadi alat penentu kualitas lembaga pendidikan (sekolah), bukan kelulusan siswa. Tetapi, penyelenggaraan UN yang bersifat sentralistik, menekankan pada segi kognitif dan mengabaikan segi afektif dan psikomotorik, dan sebagai penentu kelulusan siswa bertentangan dengan UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 58 ayat 1 yang menyatakan bahwa assesment hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik saja. Demikian pula, diskriminasi yang terjadi pada peserta didik dan mata pelajaran yang diujikan serta berbagai aski kecurangan dalam pelaksanaan UN secara terorganisir dan lain sebagainya jelas merupakan pelanggaran terhadap hak azasi manusia (HAM). Tentu saja, pelaksanaan Ujian Nasional yang dilaksanakan beberapa hari tidak dapat meningkatkan kualitas pendidikan, apalagi dijadikan standar nasional pendidikan Indonesia. Sungguh naif bila dunia pendidikan kita mengedepankan UN dan menafikan proses pembelajaran. Padahal dalam pandangan sebagian masyarakat, entitas pendidikan justru ter-cover dalam proses pembelajaran yang dilakukan. Adalah rumit mengukur perubahan karakter, pengetahuan, pemahaman dan kualitas siswa “hanya dengan” UN yang kognitif sentris. Perubahan perilaku dan penguasaan kompetensi tidak mungkin diperoleh dengan jalan instan: 3 hari saja!
226
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
Kesungguhan pemerintah yang “memaksakan” UN meski telah muncul fatwa MA yang telah mengabulkan judicial review UN agar tidak diberlakukan kembali, memunculkan kesan bahwa untuk bisa lulus, sejatinya seorang siswa tidak perlu masuk kelas dan tidak perlu berproses dalam belajar mengajar yang mengedepankan aspek kognitif, afektif fan psikomotorik dalam kegiatannya. Cukup ikut bimbingan belajar, latihan try out soal ujian tahuntahun sebelumnya, ikut UN, dan lulus! Padahal, pendidikan dalam “sistem UN” direduksi menjadi pengajaran. Pengajaran direduksi lagi menjadi “latihan mengerjakan soal/bimbel”. Nilainilai pendidikan yang mensyaratkan tercapainya aspek koginitif, afektif dan psikomotorik menjadi tidak berdaya dan membudaya di kelas. Jika sudah demikian, buat apa Ujian Nasional? Lebih baik kita menyerahkan penyelenggaraan ujian kepada masing-masing sekolah, karena tidak dipungkiri, sekolah dan guru lah yang mengetahui secara persis kemampuan para siswanya. Bila kita mau mengembalikan ujian kepada sekolah, maka proses pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah jangan lagi diabaikan. Fungsi guru sebagai “pengajar” ditingkatkan lagi menjadi “pendidik”. Sekolah tidak lagi menjadi “lembaga bimbingan belajar (bimbel)” tetapi lebih dari itu menjadi tempat untuk memupuk benih para pembelajar yang berpikiran maju, manusiawi dan bermutu. Sungguh kita bisa belajar dari kearifan pesantren yang melaksanakan evaluasi pendidikan secara mandiri dan bersifat individual, di mana kualitas santri diukur dari aspek pengamalan ibadah (psikomotorik), akhlak (afektif) dan penguasaan keilmuan bidang studi (baca: kitab kuning) (kognitif) yang dipelajari santri. Bukankah orang-orang besar seperti Nurcholis Madjid, Gus Dur, Hasyim Muzadi, Hidayat Nur Wahid dan lain-lain adalah produk pesantren?. Bukankah pola pembelajaran pesantren telah ditiru oleh lembagalembaga pendidikan umum melalui model fullday school? Bukankah model pendidikan pesantren tetap eksis di tengah arus modernisasi? Artinya, untuk melahirkan siswa yang bermutu tidak bisa dilakukan dengan cara-cara instan seperti Ujian Nasional (UN), tetapi harus melalui cara integral, kontinu dan berkesinambungan sepanjang proses pembelajaran berjalan.
Ujian Nasional: Invalid, Inreliabel, Inkonstitusional ...
227
Daftar Pustaka http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/05/01/penilaian-hasil-belajar/ http://mainview. org/artikel_lengkap.php?id=11&artikel=mainview. http://re-searchengines.com/art05-75.html, Tinjau Ulang Ujian Nasional. http://www.kaltengpos.com 25/10/07 http://www.korantempo.com/news/2005/2/3/nasional/ 7.html http://www.liputan6.com/news/?c_id=3&id=124804. http://www.liputan6.com/news/?c_id=3&id=124804. http://www.republika.co.id/online_detail.asp?id=246271&kat_id=23. Republika. 02/05/2006. http://www.vhrmedia.com/vhr-news/berita,Pengamat-Pendidikan-UjianNasional-Langgar-HAM-1655.html. Koesoema, A Doni. 2006. Penilaian Pendidikan. Kompas. 08/06/2006. PP No.19 Tahun 2005 tentang SNP pasal 25 ayat 4. Soedijarto. 1993. Menuju Pendidikan Nasional Yang Relevan dan Bermutu.Jakarta: Balai Pustaka. Suwarna, Budi. 2007. Belajar dari Sistem Pendidikan Finlandia. Kompas. 12/11/2007. Suwignyo, Agus. 2008. Ujian Nasional 2008: Kembali ke Tengah. Kompas. 20/06/2008. UU No.20 Tahun 2003 pasal 4 http://www.hukumonline.com/ detail.asp?id=15461&cl=Berita. Yamin, Moh. 2008.bUN-UASBN, Makhluk Menakutkan. http:// jawabali.com/pendidikan/un-uasbn-makhluk-menakutkan/ 22/04/2008.
228
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
Partisipasi Politik Komunitas Samin Bidang Pendidikan
PARTISIPASI POLITIK KOMUNITAS SAMIN BIDANG PENDIDIKAN Moh. Rosyid*
Abstract: In the implementation of education, the government is faced with social reality; communities that respond to formal education - that is active, refuse, and active but not required to receive religious education ‘Pancasila’. This community named Samin Kudus Community, since this society has a local religion that is religion of Adam. It is handed down by the ancestors through oral tradition, without the scriptures and teachings of the transformation process by customary leaders. Each of those three responses have arguments. Actively on formal education due to the principle, whether educated or not educated in formal education, is not a guarantee of the child being good or not good. While refusing formal education because if one conducts formal education, it stimulate the child to be able to read and write, hence the ability will direct the child to be working outside of agriculture. It impacts that the child will work beyond parents’ monitoring and being feared that they will release kinship ties, communication with the general public and aroused a culture that shunned by Samin, for example, the marriage with a person other than followers of Samin. Whilst the latest, actively in formal education but would not be required to receive religious education under the pretext of religion has its own opinion, that they posses their own religion, namely Adam. Kata kunci: respon pendidikan, samin kudus.
∗ Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Kudus
229
230
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
Pendahuluan Setiap aktivitas yang memenuhi hajat hidup orang banyak, negara andil secara optimal, di antaranya di bidang pendidikan. Sebagaimana amanat UUD 1945 alinia ketiga “untuk membentuk suatu pemerintahan negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa”. Diperkokoh dalam perubahan keempat UUD 1945 Bab XIII pasal 31 (1) setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, (2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya (Sekjen MPR RI, 2007: 77).Hal tersebut dikarenakan, pendidikan sebagai proses yang banyak menentukan corak dan kualitas kehidupan individu dan masyarakat dalam membangun negara bermodalkan kualitas sumber daya manusia. Tidak mengherankan apabila semua pihak memandang pendidikan sebagai wilayah strategis bagi kehidupan manusia, sehingga perlu dirancang agar berkualitas. Semua itu dilakukan dalam rangka membangun sistem pendidikan yang memiliki karakteristik, kualitas, arah, dan out put yang jelas. Konsekuensinya negara menerapkan kontrol terhadap program pendidikan (Sirozi, 2005: 59). Dalam mengontrol proses pendidikan, pemerintah dihadapkan sebuah realitas sosial yakni komunitas yang merespon kebijakan negara dalam penyelenggaraan pendidikan formal berupa tiga respon yakni aktif, menolak, dan aktif tetapi tidak mau diwajibkan menerima pendidikan agama ‘Pancasila’. Realitas ini berjalan sepanjang sejarah keberadaan masyarakat Samin hidup di Kota Kudus, Jawa Tengah bahkan tidak menimbulkan konflik sosial, konflik agama, ataupun konflik vertikal atau horisontal. Penelitian ini ‘memotret’ realitas yang tertutupi oleh dinamika kehidupan yang mengarah pada sesuatu yang global, prestisius, dan kemegahan, sehingga sesuatu yang beraroma lokal dan kedaerahan dipandang tidak penting oleh publik. Siapa Masyarakat Samin? Munculnya gerakan Samin, analisis Rosyid (2008), menurut antropolog Amrih Widodo, muncul pada tahun 1890-an, merupakan fenomena sosial yang tertua di seluruh Asia Tenggara, sebagai gerakan petani-protonasionalisme yang semakin mekar akibat makin ditancapkannya cengkeraman kekuasaan
Partisipasi Politik Komunitas Samin Bidang Pendidikan
231
pemerintah kolonial pada akhir abad ke-19 (Harian Kompas, 1 Agustus 2008, hlm.56). Gerakan Samin pada esensinya gerakan perlawanan petani terhadap kebijakan yang menindas rakyat kecil, sehingga keberadaannya pun menyimpan hipotesa: pertama, menurut Soerjanto (1998: 51) awalnya gerakan akibat merosotnya kewibawaan penguasa pribumi di era penjajahan Belanda, gerakan Samin tersebut berbentuk ritualisme, mistisisme, dan isolasi diri, Kedua, bentuk pertentangan terhadap penjajah Belanda dengan menolak membayar pajak karena pajak untuk penjajah bukan untuk bangsa pribumi dan gerakannya disebut “sirep” yakni gerakan tanpa bersenjata karena tidak ingin terjadi pertumpahan nyawa, tidak ingin terjadi perseteruan fisik, dan dengan cara sabar (Kardi, 1996: 1), Ketiga, bentuk perlawanan terhadap penjajah tahun 1840 dengan cara ekspresif membuat pasukan (gerombolan), merampok warga pribumi kaya karena mengikuti penjajah, menamakan dirinya “Tiyang Sami Amin”, harta rampasan tersebut dibagi-bagikan kepada warga pribumi yang miskin, Keempat, gerakan mempersiapkan diri dengan cara pertempuran fisik mengumpulkan pemuda dengan ilmu kanuragan, ilmu kekebalan, dan olahbudi untuk mengusir penjajah (Kardi, 1996: 2), Kelima, oleh Belanda semula dianggap sebagai ajaran kebatinan embrio dimunculkannya agama baru (Faturrahman, 1998:18), keenam, faktor tergesernya status sosial kalangan pribumi akibat penerapan pajak dan penyerahan hasil pertanian pada penjajah Belanda sehingga muncul reaksi emosional untuk mengadakan perlawanan (Faturrahman, 1998:20), dan ketujuh, melawan pemerintahan Belanda karena mematok tanah untuk perluasan hutan jati tahun 1870, berdampak terkuranginya kepemilikan tanah warga Samin (http://www.geocities.com,page 2 pf 3). Siapa Masyarakat Samin Kudus? Munculnya masyarakat Samin di wilayah Kabupaten Kudus, menurut Rosyid (2008) karena beberapa faktor pertama, secara geografis berdekatan dengan wilayah Kabupaten Pati yang menjadi basis berkembangnya Samin misalnya Dukuh Bombong, Ngawen, Galiran, dan Sukolilo hingga sekarang ini, kedua, karena faktor geografis Desa ’Samin’ berada di daerah terpencil. Hal ini sesuai dengan “teori gelombang dalam bejana” bahwa semakin jauh dari titik gelombang maka getaran gelombang itu semakin tipis dan mengecil, sehingga imbas pembangunan “sedikit” terbatas dibandingkan dengan wilayah yang dekat dengan pemerintahan. Hal ini sederap dengan dua bentuk sindrom
232
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
pedesaan (rural syndrome) yakni (a) sindrom kemiskinan karena produktivitas rendah, adanya pengangguran, banyaknya penduduk yang tuna-tanah, kurang gizi, dan banyaknya buta huruf (b) sindrom inertia berupa passivisme, fatalisme, serba patuh, dan ketergantungan (interdependence). Sindrom tersebut diakibatkan terbatasnya pemanfaatan sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA), adanya feodalisme, sikap dan sistem kepercayaan yang masih berakar pada magi (Kartodirjo,1994:74). Meskipun desa memiliki dua potensi yakni (a) unsur sumber daya sosial budaya berupa tingginya kepercayaan pada pimpinan, fanatisme ideologi, dan kokohnya memegang lembaga desa dan (b) sumber daya manusiawi di pedesaan berupa tenaga (energy) yang all round (siap pakai), loyal pada pimpinan, berorganisasi dengan kokoh, tersusunnya lembaga desa yang valid, tersedianya keterampilan alami (latin), dan tersedianya teknologi (yang belum dikelola) (Kartodirjo, 1994:163). Sumber daya tersebut tidak dimanfaatkan secara maksimal karena kepemimpinan di desa jauh dari nuansa berpikir prospektif ke depan karena dominasi lingkungan pedesaan yang tergantung pada keramahan pertanian. Ketiga, pembangunan bidang keagamaan (agama ’pancasila’) yang kurang maksimal di kampung ‘Samin’, jika dibandingkan wilayah Kabupaten Kudus yang memiliki beberapa lembaga keagamaan tersohor dan terdapat beberapa tokoh kharismatik yang membidangi ilmu agama (Rosyid, 2008). Benang merah penghubung dan penyebar ajaran Samin di Kudus tidak terlepas kiprah Sosar (warga Desa Kutuk), Radiwongso (warga Dukuh Kaliyoso), dan Proyongaden (warga Desa Larekrejo). Penyebaran ajaran Samin di Kudus terdapat beberapa versi pertama, berasal dari Desa Klopodhuwur Kabupaten Blora, Jawa Tengah, tahun 1890, ketika Sosar, Radiwongso, dan Bapak Proyongaden bertemu dengan Bpk. Suronggono dan Bapak Surondiko atau Surosentiko atau Suratmoko atau Raden Kohar atau Raden Aryo, cucu Raden Mas Adipati Brotodiningrat (Faturrohman, 2003:17). Meskipun sumber berita tidak dapat menyajikan tahun kedatangan dan penyebarannya. Karena sepeninggal Suparto tidak meninggalkan kitab, benda sejarah, dan lainnya yang dapat dijadikan data. Kedua, ajaran Samin berasal dari Desa Randublatung, Blora, Jawa Tengah yang dimotori oleh Surokidin bertemu dengan warga Kutuk (Sosar), Radiwongso (Dukuh Kaliyoso), dan Proyongaden (Desa Larekrejo) sehingga terjadi komunikasi dan memunculkan Samin di Kudus, Ketiga, menurut analisis Soerjanto (2003:19) ajaran Samin datang di Desa Kutuk melalui Ki Samin Surowijoyo
Partisipasi Politik Komunitas Samin Bidang Pendidikan
233
dari Randublatung, Blora, Jawa Tengah, membawa kitab “Serat Jamus Kalimasada” berbahasa Jawa kuno berbentuk sekar macapat dan prosa (gancaran). Meskipun sumber ini tidak melengkapi data siapakah personil yang membawa kitab tersebut, dan keempat, ekspansi yang dilakukan oleh R.Kohar untuk membangun pusat perlawanan terhadap Belanda (Winarno, 2003: 57), dan kelima, ajaran Samin di Kudus tahun 1916 oleh pengikut Samin Surosentiko (Suripan, 1996:16) diawali kegagalan ekspansi di daerah Tuban (Faturrahman, 2003:19). Hingga tahun 2008, ajaran Samin di Desa Kutuk diteruskan Bpk. Sukari, Dukuh Kaliyoso sebagai sesepuh Bapak Wargono yang meneruskan ketokohan Bpk. Sumar, dan Desa Larekrejo sebagai sesepuhnya Bapak Santoso yang meneruskan ketokohan Bpk.Sakam yang wafat tahun 2006 (Rosyid, 2008). Selanjutnya perlu membahas tipologi Samin Kudus, prinsip ajaran Samin Kudus, prinsip hidup Samin Kudus, dan peristilahan kesaminan. Tipologi Samin Kudus Karakter aktivitas yang dilakukan seseorang berkaitan dengan Samin dipilah tiga tipologi, pertama, Samin Sangkak; masyarakat Samin jika berinteraksi memberikan jawaban menggunakan kirotoboso. Misalnya: teko ngendi, dijawab: teko mburi (dari mana?, dijawab: dari belakang). Lungo ngendi, dijawab: lungo ngarep (dari mana?, dijawab: ke depan). Kedua, Samin Ampeng-ampeng; yakni mengaku Samin, perilakunya tidak sebagaimana ajaran Samin atau jika berbicara seperti Samin (sangkak) perilakunya tidak seperti Samin sejati, dan ketiga, Samin Sejati; Samin yang berpegang pada prinsip Samin sebenarnya. Dalam konteks masa lalu, karakter Samin sangkak sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah Belanda. Keberadaan warga Samin dalam berinteraksi dengan warga non-Samin menggunakan satu atau ketiga karakter aktivitas tersebut yang dilatarbelakangi oleh pola pandangnya terhadap kemajuan era dan pola pikirnya (Rosyid, 2008). Untuk mengidentifikasi karakter tersebut, perlu waktu interaktif intensif dengannya. Prinsip Ajaran Samin Kudus Prinsip ajaran Samin Kudus berbentuk pantangan dasar meliputi: tidak boleh mendidik dalam pendidikan formal, tidak boleh bercelana panjang,
234
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
tidak boleh berpeci, tidak diperbolehkan berdagang, dan tidak diperbolehkan beristri lebih dari satu. Pertama, tidak diperbolehkan mendidik anak melalui pendidikan formal (sekolah), anak hanya dibekali pendidikan informal (pendidikan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya sendiri dalam rumah tangganya) bermaterikan prinsip ajaran, dan prinsip hidup. Tidak aktif pada pendidikan formal, menurut analisis penulis, dengan tujuan (a) jika melaksanakan pendidikan formal, maka merangsang anak untuk membaca dan menulis, kedua kemampuan itu mengarahkan anak memenuhi syarat formal menjadi pekerja di luar pertanian, imbasnya anak akan bekerja di luar pantauan orangtua dan timbul suatu harapan untuk melepaskan ikatan kekeluargaan, dan (b) jika melaksanakan pendidikan formal berdampak komunikasi dengan masyarakat umum dengan luas, maka anak akan mudah terangsang dengan budaya yang selama ini dijauhi oleh Samin, misalnya, nikah dengan orang selain pengikut Samin (Rosyid, 2008). Kedua, tidak boleh bercelana panjang dan tidak boleh berpeci, hal tersebut sebagai simbolisasi perlawanan terhadap Belanda yang bercelana panjang dan tidak diperbolehkannya berpeci karena telah memiliki asesori khas berupa udeng yang dikenakan pada acara pirukunan. Ketiga, tidak diperbolehkan berdagang, hal tersebut sebagai langkah antisipasi bahwa profesi dagang berpeluang tertradisi dengan berbohong, sebuah aktivitas yang dijauhi dalam prinsip Samin, dan keempat, tidak diperbolehkan beristri lebih dari satu. Anggapan umum bahwa munculnya konflik berkeluarga di antaranya karena beristri lebih dari satu, hal tersebut diantisipasi dengan cara dijadikan doktrin pantangan. Prinsip Hidup Samin Kudus Samin sebagai keyakinan hidup, prinsip dasar ajaran (perintah), dan prinsip dasar pantangan (larangan) bagi pemeluknya, mempunyai enam prinsip dasar dalam beretika berupa pantangan untuk tidak: Drengki; membuat fitnah, Srei; serakah, Panasten;mudah tersinggung atau membenci sesama, Dawen; mendakwa tanpa bukti, Kemeren; iri hati/syirik, keinginan untuk memiliki barang yang dimiliki orang lain, Nyiyo Marang Sepodo;berbuat nista terhadap sesama penghuni alam, dan Bejok reyot iku dulure, waton menungso tur gelem di ndaku sedulur (menyia-nyiakan orang lain tidak boleh, cacat seperti apapun, asal manusia adalah saudara jika mau dijadikan saudara). Sedangkan lima pantangan dasar dalam berinteraksi meliputi: Bedok; menuduh, Colong;
Partisipasi Politik Komunitas Samin Bidang Pendidikan
235
mencuri, Pethil; mengambil barang (barang yang masih menyatu dengan alam atau masih melekat dengan sumber kehidupannya) misalnya: sayur-mayur ketika masih di ladang, Jumput; mengambil barang (barang yang telah menjadi komoditas di pasar) misalnya: beras, hewan piaraan, dan kebutuhan hidup lainnya, dan Nemu Wae Ora Keno; menemukan menjadi pantangan. Adapun ajaran dasar dalam berprinsip diri meliputi pertama, Kudu Weruh the-e dhewe; harus memahami barang yang dimilikinya dan tidak memanfaatkan milik orang lain. Maksudnya, pantangan bagi Samin untuk memanfaatkan hak milik orang lain, baik sengaja atau tidak sengaja dalam menggunakannya. Kedua, Lugu; yakni bila mengadakan perjanjian, transaksi, ataupun kesediaan dengan pihak lain; jika sanggup mengatakan: ya, jika tidak sanggup atau ragu mengatakan: tidak. Hal ini menggambarkan bahwa Samin tidak mengenal istilah kira-kira (perkiraan kesanggupan). Kecuali jika pada saat menepati janji menghadapi kendala yang tidak diduga, seperti: sakit. Ketiga, Mligi; taat pada aturan yang ada berupa prinsip beretika dan prinsip berinteraksi. Doktrin yang dipegang oleh Samin melalui indoktrinasi prinsip dasar mligi, sehingga ajaran dan prinsip pantangan dasarnya senantiasa dipegang erat sebagai bukti keseriusan dan ketaatan memegangi ajarannya. Di antara aturan yang tidak boleh dilanggar adalah judi karena dianggap sebagai faktor pemicu menurunnya semangat kerja dan hubungan seks bebas karena bukan haknya, dan keempat, Rukun dengan istri, anak, orang tuanya, tetangga, dan dengan siapa saja. Ajaran ini menumbuhkan rasa solidaritas yang tinggi oleh kelompok Samin terhadap siapa saja yang dijumpai (Rosyid, 2008). Peristilahan Kesaminan Terdapat versi istilah Samin, pertama, sebagai kata yang memiliki pengertian/bermakna: “sama” yakni bersama-sama membela negara melawan penjajah Belanda , kedua, nama yang diilhami dari nama tokoh yakni Samin Surosentiko atau Raden Surowidjojo (nama ketika tua), Raden Surontiko atau Raden Suratmoko (nama kecil), putra Bupati Tulungagung. Samin bermakna: “sami-sami amin” mempunyai arti: jika semua setuju maka dianggap sah, sebuah gerakan melawan penjajah, sebagai bentuk dukungan dari rakyat (Kardi, 1996:2), ketiga, Samin bermakna : Sami Wonge (sama orangnya) maksudnya, kita bersaudara diilhami dari prinsip hidupnya, keempat, nama Suku di Jawa Tengah, antara lain: Samin, Jawa, Karimun, dan Kangean (Sigar, 1998:1), kelima, Samin atau Saminisme adalah anggapan orang Jawa pesisir
236
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
yang hidup di daerah pinggiran (Endraswara,1999:17), dan keenam, dalam versi dongeng rakyat, kata Samin muncul sebelum Samin Surontiko ada ketika masyarakat di lembah Sungai Bengawan Solo dari Suku Kalang yakni bekas para Brahmana, pendeta, dan sarjana Majapahit di akhir pemerintahan Brawijaya V yang menyingkir dari Majapahit (Soerjanto,2004:78), meskipun versi keenam tersebut bertolak belakang bahwa keberadaan Samin di Bengawan Solo merupakan usaha R.Surowidjojo memperluas daerah perlawanan terhadap Belanda sejak tahun 1840 (Winarno, 2003:56). Pantangan Dasar Ajaran Samin Kudus Terdapat lima pantangan dasar ajaran Samin meliputi: tidak boleh mendidik dengan pendidikan formal, tidak boleh bercelana panjang, tidak boleh berpeci, tidak diperbolehkan berdagang, dan tidak diperbolehkan beristri lebih dari satu. Pertama, tidak diperbolehkan mendidik anak melalui pendidikan formal (sekolah), anak hanya dibekali pendidikan informal (pendidikan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya sendiri dalam rumah tangganya) bermaterikan prinsip dasar beretika. Tidak aktif pada pendidikan formal, menurut analisis penulis, dengan tujuan (a) jika melaksanakan pendidikan formal, merangsang anak membaca dan menulis, kedua kemampuan itu mengarahkan dan merangsang anak untuk memenuhi syarat formal menjadi pekerja di luar pertanian, imbasnya anak bekerja di luar pantauan orang tua dan timbul harapan melepaskan ikatan kekeluargaan. Hal ini pernah dialami oleh Bpk. Awin (warga Samin Larekrejo) menjadi pekerja industri di Kota Tangerang, Jawa Barat, dan mendapatkan pasangan hidup, akan tetapi mereka bercerai, dan (b) jika melaksanakan pendidikan formal berdampak komunikasi dengan masyarakat umum dengan luas, anak akan mudah terangsang budaya yang dijauhi oleh Samin, misalnya, nikah dengan orang selain pengikut Samin. Kedua, tidak diperbolehkan bercelana panjang untuk membedakan asesori yang dipakai masyarakat non-Samin. Warga Samin mengenakan udeng (ikat kepala), suwal/tokong (celana pendek tepat di bawah lutut), bhebhet (sarung), pakaian berupa baju atau kaos sebagaimana masyarakat umumnya, dan warna pakaian kebesarannya adalah hitam ketika memenuhi acara pirukunan. Ketiga, tidak diperbolehkan berpeci karena pengikut Samin mempunyai identitas pakaian yang melekat pada kepala berupa udeng (iket kepala) yang dipakai ketika acara resmi maupun menghadiri undangan tetangga yang bukan pengikut Samin. Jika masyarakat Samin berada di sawah mereka
Partisipasi Politik Komunitas Samin Bidang Pendidikan
237
mengenakan penutup kepala berupa caping atau topi pet lazimnya masyarakat petani Kudus non-Samin. Keempat, tidak diperbolehkan berdagang. Hal ini mengandung pesan bahwa seseorang yang berdagang akan meraih untung/ hasil dengan cara menaikkan harga beli dibanding harga jual, laba yang diperoleh dalam proses penjualan tersebut versi Samin dianggap merugikan pihak lain. Dan apabila terpaksa melakukan transaksi penjualan, maka harga harus lebih rendah dibanding ketika belanja semula. Kelima, tidak diperbolehkan beristri lebih dari satu, menurutnya membuka kesempatan terjadi konflik keluarga. Kelima pantangan dasar itu mengalami pergeseran, seperti: pendidikan formal, sedangkan pantangan berdagang mengalami bergeseran seperti yang dilakukan diri Bpk.Maskat dan Bpk Santoso, tokoh (botoh) Samin Larekrejo, sebagai pedagang hasil pertanian. Pergeseran tersebut analisis penulis karena: tidak adanya sanksi (hukuman), masyarakat Samin telah merespon dinamika budaya dari lingkungannya yang non-Samin, dan meskipun terjadi pergeseran, mereka berprinsip yang penting perilakunya baik terhadap sesama manusia (lingkungannya Samin atau non-Samin). Untuk mempererat ikatan emosional di antara warga Samin, mereka mengadakan pertemuan mingguan setiap Jumat malam Sabtu (jika tidak ada acara lain) di rumah warga Samin, khususnya trah Bpk. Wargono di Kaliyoso dengan pertimbangan bahwa hari Sabtu adalah dari kata “set” bermakna : nyingset, kokoh dan “tu” bermakna: sak tutuke, semampu-ala kadar. Sedangkan trah keluarga Bpk. Sumar, dilaksanakan setiap minggu pahing dengan pertimbangan, pahing (hitungan hari penanggalan Jawa) tersebut hari kelahiran istri Bpk.Sumar yang telah meninggal dunia. Organisasi tersebut memiliki struktur kepengurusan, sebagaimana organisasi trah keluarga mbah Sumar dengan nama doso putro mulyo, sebagai sesepuhnya: mbah Sumar, penasehatnya: Santoso, ketua: Sudarno, Sekretaris: Gumani, Bendahara: Siswanto, Humas: Karsono dan Agus Gunawan. Sedangkan perkumpulan warga Samin Desa Larekrejo pembentukan tahun 2007 dengan susunan kepengurusan, Penasehat: Tarwi, Ketua: Santoso, Wakil Ketua: Wardoyo, bidang penyembelih hewan milik warga Samin: Prantoso, bidang pemulasaraan jenazah warga Samin: Prayogo dan Sudiyono (Rosyid, 2008). Prinsip Dasar Harapan Hidup SAMIN Kudus Prinsip dasar harapan hidup yang dipegangi masyarakat Samin terdapat tiga fondasi pokok meliputi seger waras (sehat sentosa), rukun, dan becikapek sak rinane sak wengine.
238
a.
b.
c.
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
Seger waras (sehat sentosa); Prinsip dasar hidup ini sangat tinggi nilainya dalam takaran kesejahteraan hidup manusia, karena tanpa adanya aspek sehat sentosa hidup ini tidak sempurna dan tidak akan mencapai sejahtera. Karena sehat sentosa adalah kebutuhan pokok yang tidak dapat ditawar dengan materi lain. Hal ini peneliti saksikan ketika bertandang ke rumah Samin selalu menjadi bahan pertanyaan pertama darinya adalah kondisi kesehatan peneliti beserta keluarga peneliti. Kedatangan peneliti (diharapkan) untuk menengok kesehatan keluarga Samin dan akhirnya saling mendoakan agar selalu sehat sentosa. Rukun; Rukun merupakan aktivitas kedua yang dijadikan prinsip hidup Samin setelah menggapai sehat sentosa, karena rukun pun merupakan kebutuhan asasi yang sangat penting untuk menggapai kebahagiaan individu dan masyarakat bahkan skala internasional. Hal ini pun yang dijadikan argumen Samin untuk berkumpul dalam satu lingkungan rumah tangga. Becik – apek sak rinane sak wengine (baik, di saat siang dan malam hari); Hal ini menandakan bahwa kebajikan senantiasa diharapkan Samin setiap saat dan setiap tempat sebagai wujud harapan ideal. Baik dalam hal perilaku, perekonomian, dan kesehatan, serta lainnya.
Prinsip dasar Samin dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar sangat ramah, sopan sebagaimana etika masyarakat desa pada umumnya dan jika terjadi konflik, maka tindakan yang dilakukan berupa tindakan semeleh atau tindakan dengan cara tidak melakukan perlawanan baik fisik, psikis maupun aktivitas lainnya, namun hanya dengan “membiarkan” bila di benci, dicuri, dan ditipu. Mereka pun memiliki dalih bahwa dengan membiarkan sebagai ekspresi diam dengan harapan secara alami yang berbuat negatif dan anarkis akan kembali baik seperti semula bahkan ketika Samin dicuri barangnya dan ketahuan/ketangkap pelakunya akan diberi tambahan barang (materi) bila Samin memiliki barang lainnya (pengakuan warga masyarakat Desa Kutuk bukan pengikut Samin). Keberadaan Samin tidak seluruhnya terjangkit akronim KUPER (kurang pergaulan) hal ini terbukti tokoh Samin Kaliyoso (Bapak Wargono) pernah diundang ke Istana Merdeka (di saat Bondan Gunawan) menjadi staf Presiden Abdurrahman Wahid, bahkan di rumah Pak Wargono tersebut terpampang foto Bondan Gunawan dan foto bersama antara warga Samin
Partisipasi Politik Komunitas Samin Bidang Pendidikan
239
dengan peneliti berkewarganegaraan Belanda yang terpampang di dinding rumahnya, begitu pula foto Ki Samin Surosentiko. Begitu pula kedatangan Bpk. Santoso (tokoh Samin Larekrejo) di Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam forum temu tani nasional dan sarasehan petani dalam rangka Dies Natalis IPB ke-32 pada tanggal 4 s.d 7 September 1995 di Bogor. Hal tersebut dibuktikan dengan piagam yang dimiliki Bpk. Santoso. Cerita tersebut disampaikan warga Samin pada peneliti tidaklah bertendensi pamer dan ingin mendapatkan pujian, tetapi karena pertanyaan peneliti kepada warga Samin untuk mengetahui sejauhmana hubungan mereka dengan dunia luar, karena peneliti melihat foto tersebut yang tertempel di dinding rumah Pak Wargono. Menempelkan/menggantungkan foto di rumah dalam aktivitas tertentu juga dilakukan oleh masyarakat Jawa yang non-Samin (Rosyid, 2008). Masyarakat Samin dan Partisipasi Politik Untuk mengetahui partisipasi politik masyarakat Samin khususnya di bidang pendidikan, perlu dipahami definisi partisipasi dan tipologi partisipasi politik, sosialisasi politik dan agennya, dan kontrol negara terhadap pendidikan. 1.
Definisi dan Tipologi Partisipasi Politik Partisipasi politik menurut Ramlan (1992) merupakan bentuk keikutsertaan warga negara dalam menentukan keputusan yang menyangkut atau memengaruhi kehidupan (Eko,2008:206). Keikutsertaan masyarakat Samin dalam pendidikan formal sebagai bentuk partisipasi politik. Sedangkan tipologi partisipasi politik menurut Ramlan (1992) terpilah menjadi dua hal, aktif, yakni mengajukan usul mengenai kebijakan umum, mengajukan kritik dan perbaikan untuk meluruskan kebijakan, sedangkan partisipasi pasif adalah menaati dan melaksanakan keputusan pemerintah (Eko, 2008:92). Masyarakat Samin Kudus berposisi sebagai partisipasi politik pasif, sebagian menaati dan sebagian lainnya melaksanakan keputusan negara di bidang pendidikan formal. 2.
Sosialisasi Politik dan Agen Muncul pertanyaan, mengapa pendidikan dikaitsertakan dengan konsep sosialisasi politik? Untuk menjawabnya, dapat dipahami definisi sosialisasi politik yakni proses transformasi politik dalam hal pengetahuan, sikap, dan
240
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
nilai politik antaranggota masyarakat (Eko, 2008:173). Bagaimana dengan sosialisasi politik pendidikan?, menurut Sirozi sosialisasi politik melalui pendidikan dapat memengaruhi stabilitas dan transformasi sistem politik dari beberapa transformasi politik yang besar dengan memerhatikan pemimpin dan memertahankan ideologi dan agenda politiknya dengan mengontrol sistem pendidikan (2005:48). Adapun agen (media) untuk mensosialisasikan politik menurut Eko Handoyo (2008) meliputi keluarga, sekolah, kelompok pertemanan, pekerjaan, media massa, dan kontak politik. Dalam konteks naskah ini, difokuskan lembaga pendidikan sebagai agen sosialisasi politik. 3.
Kontrol Negara terhadap Pendidikan Berpijak dari realitas bahwa pendidikan sebagai media sosialisasi kebijakan negara dalam rangka pembangunan, maka pendidikan dalam kinerjanya dikontrol oleh negara kapasitasnya sebagai sumber pendanaan, berimbas pada sumber penentu kebijakan, dan evaluator kinerja pendidikan. Kedudukan negara pun sebagai obyek dan atau subjek pendidikan. Kondisi tersebut menimbulkan bentuk kontrol negara terhadap pendidikan, menurut Roger Dale (1989) cara yang dilakukan negara dengan pengaturan sistem pendidikan secara sah (legal), sistem pendidikan dijalankan menekankan ketaatan pada aturan dan obyektivitas, penerapan wajib belajar, dan reproduksi politik dan ekonomi yang berlangsung di lembaga pendidikan dalam konteks politik (Sirozi, 2005:63-64). Bentuk kontrol pemerintah di bidang pendidikan nasional dapat berupa pengawasan rutin-berkala, penilaian akreditasi, dan visitasi yang dilakukan oleh atasan terhadap bawahan. 4.
Respon Masyarakat Samin terhadap Pendidikan Formal Respon masyarakat Samin terhadap pendidikan formal terpetakan, Pertama, masyarakat Samin Kudus tidak aktif dalam pendidikan formal (hingga tahun 2008 akhir) berada di Desa Kutuk terdiri lima Kepala Keluarga (KK) dan warga Dukuh Kaliyoso Desa Karangrowo dari trah keluarga Bpk.Wargono (Rosyid, 2008). Hal tersebut dengan pertimbangan, satu, praktek pendidikan telah dilaksanakan pemeluk Samin di rumahnya(mondokan) sendiri, bermaterikan prinsip ajaran dan prinsip hidup.
Partisipasi Politik Komunitas Samin Bidang Pendidikan
241
Dua, pemeluk Samin telah mampu “membaca” yakni membaca tingkah laku diri masing-masing yang diwujudkan dengan melaksanakan prinsip dasar hidup, prinsip dasar bermasyarakat, dan prinsip dasar berinteraksi terhadap sesama dengan baik. Tiga, bila peserta dididik dengan pendidikan formal akan timbul kekhawatiran memenuhi persyaratan menjadi pekerja yang tidak hanya tersedia di lingkungan sekitar bahkan kemungkinan akan meninggalkan kampung halamannya dan berpisah dengan keluarga, hal ini secara otomatis mengurangi jumlah pengikut Samin di desa tersebut. Empat, pada prinsipnya proses pendidikan adalah bertujuan meningkatkan etika peserta didik, hal itu pun telah dilakukan oleh pemeluk Samin. Lima, pelaksanaan pendidikan dilaksanakan oleh aparat pemerintah yang terimplementasi melalui “manusia”, Samin pun mendidik anaknya melalui manusia (bapak-ibunya sendiri). Enam, bahwa pendidikan formal pada prinsipnya memiliki target yang ingin digapai, misalnya menjadi pegawai, karyawan, buruh pabrik, dan sebagainya, padahal Samin tidak berobsesi, cukup menjadi petani, bertahan di desa kelahirannya. Tujuh, untuk membedakan identitas masyarakat Jawa (tidak sekolah) dengan penjajah Belanda (terdidik) pada masa lalu yang diwariskan hingga sekarang, dan Delapan, adanya kekhawatiran tercampurnya pengaruh ajaran Samin dengan ajaran non-Samin karena proses pendidikan. Bagi keluarga Bpk. Wargono (warga Samin Dukuh Kaliyoso) tidak aktif dalam pendidikan formal, meskipun sebelumnya aktif dalam pendidikan formal karena munculnya kesadaran berawal ketika kedatangan Antok Kukusima (dua puluh tahun dari tahun 2007), seorang wartawan berkebangsaan Jepang. Kedatangannya memberikan warning (pepenget) yang berisi peringatan bahwa masyarakat Samin Kudus telah meninggalkan ajaran nenek moyang/ leluhur Samin. Anto berujar: keno pangkling wajah, tetapi ojo pangkling suarane (boleh melupakan postur, akan tetapi jangan melupakan ajaran leluhur). Sehingga masyarakat Samin Kudus menebalkan prinsip hidup (ninggal-gowo), tetap berpegang pada norma semula tidak sekolah formal karena menganggap dirinya teledor dari ajaran Samin. Kepercayaan penuh diri Bpk. Wargono dengan datangnya orang asing tersebut dengan dalih pertama, kayuyung dene kejujuran (senang dengan kejujuran), kedua, sabdo nimbangi tanduk (kebenaran antara harapan dengan diingatkan), ketiga, nuruto sejarah mbah, ora keno diowah-owah (ingat pesan masa lalu nenek moyang, prinsip tidak dapat diubah-ubah), keempat, kabeh ngawulo ono ing awake dewe-dewe (semua prinsip tergantung pada diri),dan kelima, iku
242
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
nggon-nggonaku, sopo kroso yo rumongso, kono ngerti ngono, aku kok ora, aku podo karo diilengno, rumongso awakku dewe (itu prinsipku, siapa yang merasa, dia tahu, mengapa aku tidak tahu, aku sadar diingatkan, itu perasaanku sendiri. Kedua, masyarakat Samin Kudus aktif mengikuti pendidikan formal dengan tujuan agar dapat berinteraksi dengan lingkungannya (yang Samin dan non-Samin), memenuhi harapan anak untuk bersekolah, agar anak tidak iri hati (kemeren) dengan sesamanya yang non-Samin dalam berpendidikan, dan keyakinannya bahwa yang terdidik atau tidak terdidik keduanya berpeluang menjadi orang yang baik dan berpeluang pula melakukan perbuatan tidak baik. Sedangkan penolakan materi pendidikan agama ‘Pancasila’, wali siswa mendatangi guru agama di sekolahan (dalam bentuk perwakilan utusan) dengan mengungkapkan jati diri dan agamanya (Adam) agar anak didiknya tidak diwajibkan mempraktikkan ajaran di luar agama lokalnya (agama Adam). Ketiga, bagi putra-putri Samin Kudus, ketika orang tuanya (Samin) menolak pendidikan agama ’Pancasila’ untuknya, yang timbul baginya adalah mengeluh dalam hati, tidak leluasa memanfaatkan aktivitas yang dilaksanakan peergroupnya, akan tetapi tetap taat prinsip orangtuanya karena memiliki prinsip sendiri (sampun biasa, mpun ndek biyen mulo, dipoyoi kersane, mpun gadah kepahaman piyambak). Keempat, respon pemerintah (penyelenggara lembaga pendidikan formal) ketika materi pendidikan agama ’Pancasila’ ditolak masyarakat Samin Kudus adalah menyadari dengan pertimbangan masalah keyakinan merupakan masalah ’diri’ yang tidak perlu dicampuradukkan dengan birokrasi dan diperkuat dengan perilaku mereka tidak menimbulkan konflik sosial bahkan dapat dijadikan tauladan bijak bagi warga masyarakat yang non-Samin. Jika dipaksakan, program wajib belajar bagi warga Samin tidak tergapai. Kelima, respon tokoh agama dan pemerintahan desa terhadap masyarakat Samin Kudus tidak mau diwajibkan menerima materi pendidikan agama ’Pancasila’ adalah pasif karena adanya keyakinan bahwa permasalahan beragama menjadi urusan pribadi dan mereka lebih sibuk mengurus diri dan keluarganya dalam mencukupi kehidupan sehari-hari, didukung keaktifan warga Samin Kudus dalam ikut mensukseskan program pemerintahan desa, misalnya: kerja bakti, iuran pembangunan masjid, madrasah, dan aktivitas sosial lainnya. Bahkan bagi aparat desa berprinsip bahwa sebatas warga Samin
Partisipasi Politik Komunitas Samin Bidang Pendidikan
243
tidak membahayakan, tidak merugikan, tidak mengganggu ketertiban dan kemaslahatan umum, dan taat membayar pajak dan iuran lainnya tidak akan ditindak tegas (Rosyid, 2008). Simpulan Masyarakat Samin di Kudus Jawa Tengah, dalam merespon kebijakan pemerintah RI di bidang pendidikan formal terpetakan tiga respon, menolak, aktif dan menerima pemberian mata ajar pendidikan ‘Pancasila’, dan aktif, akan tetapi, tidak mau diwajibkan menerima mata ajar agama ‘Pancasila’ karena telah memiliki agama sendiri yakni agama Adam. Pendidik dan pengelola pendidikan formal yang melayani pendidikan warga Samin Kudus, memahami dan memberikan toleransi. Pemerintah desa dan tokoh agama pun, menyadarinya karena masyarakat Samin Kudus dapat dijadikan tauladan hidup berpegang dengan prinsip hidupnya. Hal tersebut perlunya dirumuskan pendidikan khusus bagi pemeluk agama lokal, tidak hanya pendidikan khusus bagi peserta didik yang mengidap kelainan fisik, psikis, fisik dan psikis semata. Daftar Pustaka Faturrohman, Deden. 2003. Hubungan Pemerintahan dengan Komunitas Samin dalam Agama Tradisional Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger. LKiS: Yogyakarta. Handoyo, Eko. 2008. Sosiologi Politik. Unnes Press: Semarang. Kardi, Hardjo. 1996. Riwayat Perjuangan Ki Samin Surosentiko. tanpa penerbit. Kartodirdjo, Sartono. 1994. Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah.UGM Press: Yogyakarta. Koentjaraningrat. 1990. Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Gramedia: Jakarta. Rosyid, Moh. 2009. Pendidikan Agama vis a vis Pemeluk Agama Minoritas. Unnes Semarang Press: Semarang. ________ . 2008. Samin Kudus: Bersahaja di Tengah Asketisme Lokal: Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
244
FORUM TARBIYAH Vol. 7, No. 2, Desember 2009
Sadi Hutomo, Suripan. 1996. Tradisi dari Blora. Citra Almamater: Semarang. Sastroatmodjo, Soerjanto. 2003. Masyarakat Samin Siapakah Mereka?Nuansa: Yogyakarta. Sigar, Edi. 1998. Provinsi Jawa Tengah. Pustaka Delapratasa: Jakarta. Sirozi. 2005. Politik Pendidikan. Rajawali Press: Jakarta. Winarno, Sugeng. 2003. SAMIN :Ajaran Kebenaran yang Nyeleneh dalam Agama Tradisional Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger.LkiS: Yogyakarta.