ISSN: 1693-0995
DAFTAR ISI BULETIN POS DAN TELEKOMUNIKASI Volume 10 Nomor 1 Maret 2012
Daftar Isi ................................................................................................................................................................ i
Editorial ...............................................................................................................................................................iii
Penerimaan Layanan Mobile Broadband Wireless Access di Kota Yogyakarta ........................................... 1 – 12 (Inasari Widiyastuti)
Evaluasi Pemanfaatan Wireless Internet Protocol Access System di Kota Malang .................................... 13 – 22 (Ahmad Budi Setiawan)
Analisis Perbandingan Kualitas Pengalaman dengan Standar Kualitas Layanan bagi Pelanggan Seluler .. 23 – 50 (Iman Sanjaya)
Pemanfaatan Teknologi Informasi dalam Pengembangan Bisnis Pos......................................................... 51 – 60 (Azwar Aziz)
Implikasi Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 terhadap Penyelenggara Pos ....................................... 51 – 60 (Sri Wahyuningsih)
Evaluasi Implementasi Permenkominfo Nomor 33 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Amatir Radio .. 61 – 80 (Tatiek Mariyati)
Editorial Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 Nomor 1 Maret 2012
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan karunia-Nya penerbitan Buletin Pos dan Telekomunikasi Tahun 2012 volume ke-10 (sepuluh) nomor 1 (satu) ini dapat terlaksana dengan baik. Buletin Pos dan Telekomunikasi pada awalnya diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Pos dan Telekomunikasi, namun dikarenakan adanya perubahan struktur pada Kementerian Komunikasi dan Informatika, Buletin Pos dan Telekomunikasi kepengurusannya diserahkan kepada Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika, Buletin Pos dan Telekomunikasi ini bertujuan untuk memasyarakatkan hasil penelitian/kajian/telaahan yang dilaksanakan tenaga fungsional peneliti, akademisi, serta pemerhati pos dan telekomunikasi. Dimulai dengan terbitan volume yang ke-10 (sepuluh) ini, Buletin Pos dan Telekomunikasi memiliki perubahan baik dari ukuran kertas yang mengikuti standar baku UNESCO (A4), sampul depan, tata letak yang mengikuti standar baku IEEE serta pemberian lisensi CreativeCommon untuk masing-masing tulisan. Dengan disetujuinya lisensi CreativeCommon dari masing-masing penulis, diharapkan Buletin Pos dan Telekomunikasi dapat memasyarakatkan penelitian dengan semangat saling berbagi pengetahuan. Dengan terakreditasinya Buletin ini oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia sejak tahun 2010, diharapkan tulisan yang dimuat akan mempunyai nilai lebih dalam penilaian jabatan fungsional peneliti daripada tulisan yang dimuat pada jurnal ilmiah yang belum terakreditasi. Dengan adanya akreditasi ini, diharapkan menarik minat para peneliti baik dari kalangan akademisi mapun lembaga penelitian untuk mengirimkan tulisannya kepada Buletin Pos dan Telekomunikasi. Redaksi juga terbuka menerima kritik, saran dan masukan dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas Buletin ini.
iii
ISSN
KUMPULAN ABSTRAK / COLLECTION OF ABSTRACT
BULETIN POS DAN TELEKOMUNIKASI bulletin of post and telecommunication
ISSN. 1693-0991
Vol.10 No. 1 Maret 2012
Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak dengan menggunakan lisensi Creative Common Attribution-NonCommercial-ShareAlike. Key words derived from the article. This abstract sheet may be reproduced by using a Creative Commons license AttributionNonCommercial-ShareAlike.
Penerimaan Layanan Mobile Broadband Wireless Access di Kota Yogyakarta services acceptance of mobile broadband wireless access in yogyakarta Inasari Widiyastuti
Abstract— Mobile broadband wireless access services (M-BWA) offers high-speed broadband internet access in large capacity and robust quality to support user online activities. The acceptance of M-BWA services indicates user behavior intention through services. Study of technology acceptance model used to determine user perception through M-BWA’s behavior intention based on perception of usefulness, perception of avaibility, perception of quality, and perception of enjoyment. The result shows that M-BWA’s behavior intention is significantly affected by the attitude. While the attitude of service use were positively correlated to the perception of usefulness and perception of enjoyment. There was no significant difference perception between male and female. Keywords— Mobile broadband wireless access (M-BWA), behavior intention, attitude, convergence, technology acceptance model Abstrak— Layanan mobile broadband wireless access (M-BWA) menawarkan broadband internet access berkecepatan tinggi, berkapasitas besar, dan kualitas handal untuk mendukung aktivitas online penggunanya. Penerimaan terhadap layanan mobile broadband menunjukkan minat perilaku pengguna terhadap layanan. Kajian model penerimaan teknologi digunakan untuk mengetahui persepsi pengguna terhadap minat penggunaan layanan M-BWA berdasarkan pada persepi kegunaan, persepsi ketersediaan layanan, persepsi kualitas layanan, dan persepsi kenikmatan hiburan yang dirasakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa minat penggunaan layanan M-BWA dipengaruhi secara signikan oleh sikap penggunaan layanan. Sedangkan sikap penggunaan layanan
sendiri berkorelasi positif terhadap persepsi kegunaan dan persepsi kenikmatan layanan yang dirasakan. Tidak ada perbedaan signifikan terhadap persepsi penerimaan layanan antara pengguna laki-laki dan wanita. Kata Kunci— mobile broadband wireless access (M-BWA), minat penggunaan layanan, sikap penggunaan layanan, konvergensi, model penerimaan teknologi
Evaluasi Pemanfaatan Wireless Internet Protocol Access System di Kota Malang evaluation on utilization of wireless internet protocol access system in malang city Ahmad Budi Setiawan
Abstract— WIPAS (Wireless Internet Protocol Accsess System) is one of the lates broadband technology. The technology was developed based on the model of point-to-multipoint wireless access system at a fixed or Fixed Wireless Access (FWA) which uses 26-GHz frequency band. With the magnitude of the frequency band used, WIPAS technology can accommodate the very large capacity of networks access traffic. In this study will be reviewed and evaluated the effectiveness of the use of WIPAS technology through the use of WIPAS technology case for community empowerment in Malang city. This study also described the utilize of WIPAS technology to see the benefits of using these technologies. This research was conducted with qualitative methods by evaluating the infrastructure has been implemented to see the effective the use of WIPAS. The results of this study is an evaluative study on the utilize of WIPAS in the Malang city, and recommendations for further implementation Keywords— WIPAS, Network Access, intranet Abstrak— WIPAS (Wireless Internet Protocol Accsess System) adalah salah satu teknologi pita lebar (broadband) yang terbaru. Teknologi tersebut dikembangkan berdasarkan model point-to-
multipoint access system pada jaringan nirkabel tetap atau Fixed Wireless Access (FWA) dengan memanfaatkan pita frekuensi 26GHz. Dengan besarnya pita frekuensi yang digunakan, teknologi WIPAS dapat menampung kapasitas akses untuk lalu lintas jaringan yang sangat besar. Dalam penelitian ini akan dikaji dan dievaluasi efektifitas penggunaan teknologi WIPAS melalui kasus pemanfaatan teknologi WIPAS untuk pemberdayaan komunitas di kota Malang. Dalam penelitian ini juga akan dideskripsikan pemanfaatan teknologi WIPAS untuk melihat manfaat penggunaan teknologi tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif dengan melakukan evaluasi terhadap infrastruktur yang telah dibangun untuk melihat efektifitas pemanfaatan WIPAS . Hasil penelitian ini adalah sebuah kajian evaluatif tentang pemanfaatan WIPAS di kota Malang dan rekomendasi untuk implementasi lebih lanjut. Kata Kunci — WIPAS, Akses Jaringan, Intranet
Analisis Perbandingan Kualitas Pengalaman dengan Standar Kualitas Layanan bagi Pelanggan Seluler the comparative analysis of quality of experience and quality of service for mobile consumer Iman Sanjaya
Abstract— The highly competitive cellular industry drives operators to keep their quality to survive in the competition. One of the implemented strategies by the operators is to achieve and comply with the service quality standards set by the regulator. However, the quality of service is appropriate for the operator because of its technical metrics, while mobile users need more appropriate measures. Users perceive the offered quality based on their experience, well known as quality of experience. This study attempts to compare the quality of services provided by operators with the perceived quality of experience. Quantitative descriptive analysis showed a difference between the two measures, there are still many users feel the received quality of services are still lower than they expected. Keywords— quality of experience, quality of service, mobile consumer
Pemanfaatan Teknologi Informasi dalam Pengembangan Bisnis Pos information technology utilization in business post development Azwar Aziz
Abstrak—Industri telekomunikasi seluler yang sangat kompetitif mendorong operator untuk terus menjaga kualitasnya agar dapat bertahan dalam persaingan. S alah satu strategi yang diterapkan oleh operator adalah mematuhi dan mencapai standar kualitas layanan yang telah ditetapkan oleh regulator. Namun demikian, standar kualitas layanan tersebut lebih sesuai diperuntukkan bagi operator tersebut karena sifatnya yang cenderung teknis, sementara bagi pengguna seluler ukuran ukuran tersebut dirasa kurang tepat. Pengguna menilai kualitas yang disampaikan oleh operator berdasarkan persepsi yang mereka terima, atau lebih dikenal sebagai kualitas pengalaman. Penelitian ini mencoba untuk membandingkan antara kualitas layanan yang diberikan operator dengan kualitas pengalaman yang diterima pengguna berdasarkan persepsinya. Analisis
deskriptif kuantitatif menunjukkan adanya perbedaan antara kedua ukuran tersebut, dimana secara umum pengguna merasakan masih banyak kualitas layanan yang diterima lebih rendah dari yang diharapkan. Kata Kunci —kualitas pengalaman, kualitas layanan, pelanggan seluler Abstract— Information technology has the power to develop industries and transform how business is run. A variety of leading companies have taken advantage of information technology in conducting a rethinking of business strategy. According to Law Number 11 Year 2008 on Information and Electronic Transactions that use information technology plays an important role in trade and national economic growth for the public welfare. Then the definition of information technology is a technique for collecting, preparing, storing, processing, announcing, analyze, and disseminate information. In this study uses a qualitative approach to research methodology and supported by quantitative data and analysis techniques are deskritif. The results of this study indicate that the postal business carried out by PT. Pos Indonesia and courier service companies, those companies have made use of information technology in the development of the postal business, such as PT. Pos Indonesia has been using online services to send money to a matter of minutes and trace and tracking services. Furthermore courier service company has mengembangankan online by using the S MS service to check the mail trip. The main obstacl e in the utilization of information technology is a huge cost to make an online network and device procurement. From users of postal services, postal services people already use information technology-based. Keywords— Information Technology, Business Post. Abstrak— Teknologi informasi memiliki kekuatan untuk mengembangkan industri dan mentransformasikan bagaimana bisnis dijalankan. Berbagai perusahan terkemuka telah memanfaatkan teknologi informasi dalam melakukan pemikiran ulang strategi bisnis. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bahwa pemanfaatan teknologi informasi berperan penting dalam perdagangan dan pertumbuhan perekonomian nasional untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Kemudian pengertian teknologi informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan menyebarkan informasi. Dalam kajian ini menggunakan metodologi penelitian dengan pendekatan kualitatif dan didukung data kuantitati f serta teknik analisis adalah deskritif. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa bisnis pos dilaksanakan oleh PT. Pos Indonesia dan perusahaan jasa titipan, perusahan tersebut telah memanfaatkan teknologi informasi dalam pengembangan bisnis pos, seperti PT. Pos Indonesia telah menggunakan layanan online kiriman uang yang sampai dengan hitungan menit dan layanan trace dan tracking. S elanjutnya perusahaan jasa titipan telah mengembangankan layanan online dengan menggunakan S MS untuk mengecek perjalanan surat. Kendala utama dalam pemanfaatan teknologi informasi adalah biaya yang sangat besar membuat jaringan online dan pengadaaan perangkat. Dari sisi pengguna layanan pos, masyarakat sudah menggunakan layanan pos yang berbasis teknologi informasi. Kata Kunci — Pemanfaatan Teknologi Informasi, Bisnis Pos
Implikasi Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 Terhadap Penyelenggara Pos implications of law number 38 year 2009 for postal operator
Evaluasi Implementasi Permenkominfo Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Amatir Radio implementation evaluation of ministerial decree no. 33 year 2009 regarding amateur radio deployment
Sri Wahyuningsih
T atiek Mariyati
Abstract— Postal industry as a means of communication and information into a new era with the enactment of Law No.38 of 2009 concerning Post. The new provisions include selectin organizers will do the post to hold the Universal Postal S ervice, Interconnection arrangements and criminal sanctions. This study discusses the need to examine the implications of this law against the organizers of the post: 1).Heading the organizers who will follow the selection of the Universal Postal S ervices should have an integrated network, 2).Postal operator means a legal entity shall take the form of Limited Liability Company, cooperatives, state owned enterprises, 3). Operator of Post should be open about the ownership of the network and 4). Application of penal provision for the postal operator not permitted.
Abstract— The development of information communications and technology has penetrated to every aspect of life who touches the public. Enactment the Regulation from Ministry of Information Communications Technology Number 33 - 2009 about the Amateur Radio is in an effort to regulate a variety of issues related to Amateur Radio. With the evaluative method we hope to find the impact of the development of a region have an significant amateur radio activity in developing economi es. Those implementation of amateur radio frequencies assigned according to the government and expected not to interfere with the operational frequency of the other users, then set the various statutes including the licensing and use of frequencies that are expected to curb the activities of radio frequency users including Amateur Radio operations. Although that the nature of the organization is more to the amateur radio hobby, but the value of social effects is very good. . The results showed that needed the weak understanding of the amateur radio community so that the necessary dissemination and implementation of appropriate Permenkominfo Number 33 of 2009.
Keywords— Implication, organizer of Post Abstrak— Industri pos sebagai sarana komunikasi dan informasi memasuki era baru dengan diberlakukannya Undang-undang No.38 tahun 2009 tentang Pos. Ketentuan baru antara lain akan dilakukannya seleksi penyelenggara pos untuk menyelenggarakan Layanan Pos Universal, pengaturan interkoneksi serta sangsi pidana. Kajian ini membahas perlunya mencermati implikasi undang-undang ini terhadap penyelenggara pos. Melalui kajian literatur dan data sekunder didapatkan kejelasan implikasinya Undang-undang No.38 tahun 2009 tentang Pos terhadap penyelenggara pos: 1). Penyelenggara Pos yang akan mengikuti seleksi penyelenggara Layanan Pos Universal harus memiliki jaringan terintegrasi,2).Penyelenggara pos berbadan hukum artinya harus berbentuk Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, BUMN (Perum dan Persero),3).Penyelenggara Pos harus terbuka tentang kepemilikan jaringan dan 4).Pemberlakuan ketentuan pidana bagi penyelenggara pos tak berijin. Kata Kunci — Implikasi. Penyelenggara Pos
Keywords— ministerial decree no. 39 year 2009, amateur radio, implementation evaluation Abstrak— Perkembangan teknologi informasi telah merambah ke berbagai aspek kehidupan yang menyentuh ke berbagai lapisan masyarakat. Diberlakukannya Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 33 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Amatir Radio adalah dalam upaya mengatur berbagai hal yang berkaitan dengan Amatir Radio. Dengan menggunakan metode evaluatif diharapkan dapat menemukan dampak perkembangan suatu wilayah dengan aktivitas amatir radio yang signifikan dalam mengembangkan perekonomian. Oleh karena penyelenggaraan amatir radio tersebut menggunakan frekuensi sesuai yang ditetapkan pemerintah dan diharapkan tidak mengganggu operasional pengguna frekuensi yang lain, maka diatur berbagai ketetapan termasuk perijinan dan penggunaan frekuensi yang diharapkan dapat menertibkan seluruh kegiatan pengguna frekuensi radio termasuk di dalamnya operasional Amatir Radio. Meskipun sifat penyelenggaraan amatir radio ini lebih kepada hobby, tetapi nilai sosial yang ditimbulkan sangat baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih lemahnya pemahaman komunitas masyarakat amatir radio sehingga diperlukan sosialisasi dan implementasi sesuai Permenkominfo Nomor 33 Tahun 2009. Kata Kunci — permenkominfo no.33 tahun 2009, amatir radio, evaliasi implementasi
Penerimaan Layanan ...
Penerimaan Layanan Mobile Broadband Wireless Access di Kota Yogyakarta services acceptance of mobile broadband wireless access in yogyakarta Inasari Widiyastuti Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika (BPPKI) Yogyakarta Jl. Imogiri Barat Km. 5, Sewon, Bantul, Yogyakarta
[email protected] Naskah diterima: 12 Desember 2011; Naskah disetujui: 16 Maret 2012 Abstract— Mobile broadband wireless access services (M-BWA) offers high-speed broadband internet access in large capacity and robust quality to support user online activities. The acceptance of M-BWA services indicates user behavior intention through services. Study of technology acceptance model used to determine user perception through M-BWA’s behavior intention based on perception of usefulness, perception of avaibility, perception of quality, and perception of enjoyment. The result shows that M-BWA’s behavior intention is significantly affected by the attitude. While the attitude of service use were positively correlated to the perception of usefulness and perception of enjoyment. There was no significant difference perception between male and female. Keywords— Mobile broadband wireless access (M-BWA), behavior intention, attitude, convergence, technology acceptance model Abstrak— Layanan mobile broadband wireless access (M-BWA) menawarkan broadband internet access berkecepatan tinggi, berkapasitas besar, dan kualitas handal untuk mendukung aktivitas online penggunanya. Penerimaan terhadap layanan mobile broadband menunjukkan minat perilaku pengguna terhadap layanan. Kajian model penerimaan teknologi digunakan untuk mengetahui persepsi pengguna terhadap minat penggunaan layanan M-BWA berdasarkan pada persepi kegunaan, persepsi ketersediaan layanan, persepsi kualitas layanan, dan persepsi kenikmatan hiburan yang dirasakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa minat penggunaan layanan M-BWA dipengaruhi secara signikan oleh sikap penggunaan layanan. Sedangkan sikap penggunaan layanan sendiri berkorelasi positif terhadap persepsi kegunaan dan persepsi kenikmatan layanan yang dirasakan. Tidak ada perbedaan signifikan terhadap persepsi penerimaan layanan antara pengguna laki-laki dan wanita. Kata Kunci— mobile broadband wireless access (M-BWA), minat penggunaan layanan, sikap penggunaan layanan, konvergensi, model penerimaan teknologi
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
I. PENDAHULUAN Informasi dan komunikasi tidak semata menjadi kebutuhan, tetapi telah menjadi tuntutan keterhubungan satu sama lain (get connected). Perangkat teknologi informasi berkembang pesat dengan menampilkan fitur layanan yang lebih kompleks dan lengkap. Transmisi data saat ini tidak sekadar teks dan suara, tetapi telah mampu menyediakan layanan transmisi multimedia melalui berbagai perangkat (any devices) baik telepon seluler, komputer jinjing, maupun PC tablet. Dukungan ketersediaan layanan transmisi multimedia ini mampu dihadirkan melalui perkembangan jaringan telekomunikasi, informasi, dan penyiaran yang konvergen. Internet merupakan salah satu layanan yang diakses banyak pengguna melalui berbagai perangkat baik secara fixed maupun mobile. Akses internet secara mobile terhitung lebih tinggi karena semua perangkat yang tersedia di pasaran menyediakan fitur ini. Berdasarkan data International Telecommunication Union, ITU (2010), pengguna internet di Indonesia mencapai 9,1 pengguna per 100 penduduk atau sekitar 21, 6 juta pengguna (berdasarkan data BPS 2010, jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 sebanyak 237.556.363 jiwa). Kemudian, pengguna jasa mobile seluler di tahun 2010 mencapai 220 juta atau 91,7 pengguna per 100 penduduk. Tingginya penetrasi layanan seluler didukung oleh perkembangan infrastruktur komunikasi yang memberikan kualitas layanan transmisi data lebih baik. Saat ini, Indonesia telah mengembangkan dan memasarkan layanan Broadband Wireless Access (M-BWA) yang memberikan kecepatan transmisi data lebih tinggi dan kapasitas data lebih besar. Beberapa negara telah berhasil mengembangkan layanan M-BWA salah satunya adalah Korea Selatan yang mampu mengembangkan Wireless Broadband (WiBro) untuk mendukung konektivitas anywhere, anytime, anyplace atau ubiquitous services. World Bank menyebutkan bahwa akses broadband memberikan kontribusi
1
Penerimaan Layanan ...
1,38% terhadap GDP (Gross Development Product, pendapatan Negara), lebih tinggi daripada kontribusi internet, mobile phone, dan fixed telephone. Namun, penetrasi broadband di Indonesia masih kalah dibanding negara-negara kunci di Asia Tenggara. Penetrasi broadband di Indonesia baru mencapai 1,5%, sedangkan Filipina telah mencapai 5%, Vietnam 8%, dan Thailand 9,4%. Berdasarkan urutan dunia, Indonesia menempati posisi ke-58 (ITU Reports 2000-2010). Teknologi mobile M-BWA yang berkembang di Indonesia saat ini antara lain 3G, WiFi, WIMAX (dalam pengembangan di beberapa kota), dan menuju generasi keempat (4G). Layanan M-BWA menawarkan broadband internet access berkecepatan tinggi dan berkapasitas besar. Transmisi data berupa teks, suara, video, maupun gabungan ketiganya dapat dihantarkan secara real time maupun streaming. Saat ini, telah banyak penyelenggara jasa seluler yang menyediakan layanan broadband, terutama mobile broadband diantaranya Indosat, Telkomsel, Excelcomindo Pratama, Natrindo, dan Hutchinson. Berdasarkan rilis Indosat (Jakarta Globe, 2011), pada pertengahan 2011 ini, pengguna broadband di Indonesia mencapai 14,12 juta pelanggan (peningkatan 2 kali dari tahun 2010 yaitu 7,36 juta pelanggan) dan diprediksikan mencapai 46,1 juta di tahun 2013. Trend peningkatan penetrasi broadband menunjukkan adopsi pengguna di Indonesia sangat baik. Diperkirakan, penerimaan layanan broadband akan semakin positif dengan adanya peningkatan infrastruktur layanan maupun konten. Penerimaan terhadap layanan mobile broadband menunjukkan minat perilaku pengguna terhadap layanan yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti persepsi kegunaan (perceived usefulness,PU), ketersediaan layanan (perceived of avaibility, PA), kualitas layanan (perceived of quality, PQ), dan kenikmatan atau hiburan yang dirasakan (perceived of enjoyment,PE). Motivasi ini dapat mempengaruhi secara positif terhadap sikap penggunaan dan minat perilaku penggunaan layanan. Lingkungan sosial (social influences) dan tingkat tarif layanan yang ditawarkan (price level) turut mempengaruhi proses adopsi layanan mobile broadband dimana individu mudah terpengaruhi oleh trend pasar telekomunikasi. Namun, persepsi mana yang mempengaruhi paling positif terhadap penggunaan layanan mobile broadband belum diketahui secara pasti. Pengetahuan ini menjadi penting artinya untuk memprediksikan perilaku pasar dalam mengadopsi layanan broadband dan peran regulator dalam mengontrol atmosfer pasar. Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor apa yang mempengaruhi secara positif sikap dan minat penggunaan (behavior intention) layanan broadband. Selain itu, untuk mengetahui korelasi antar variable persepsi kegunaan (perceived of usefulness, PU), persepsi ketersediaan layanan (perceived of avaibility, PA), persepsi kualitas layanan (perceived of quality, PQ), dan persepsi kenikmatan layanan (perceived of enjoyment, PE) terhadap sikap penggunaan layanan M-BWA. II. LANDASAN TEORI DAN KERANGKA KONSEPTUAL Penelitian tentang perilaku pengguna dalam menggunakan dan mengadopsi sistem informasi telah banyak dilakukan. Beberapa model penelitian telah dikembangkan untuk mengetahui faktor penggerak proses adopsi terkait perilaku dan motivasi pengguna. Model yang umum digunakan
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
diantaranya Theory of Rational Action (TRA), Technology Acceptance Model (TAM), Theory of Planned Behavior (TPB), Model of PC Utilization (MPCU), Innovation and Diffusion Theory (IDT), Unified Theory of Acceptance and Use of Technology (UTAUT). Namun, model penerimaan yang berkembang cenderung melihat perilaku dalam penggunaan sistem informasi dalam sebuah organisasi atau bersifat berkelompok, sedangkan M-BWA menggunakan perangkat pribadi yang bersifat personal, tidak memiliki keterikatan terhadap organisasi atau kelompok tertentu. Maka model yang ada perlu dimodifikasi sehingga sesuai dengan kebutuhan teknologi komunikasi. Persepsi manfaat dan persepsi kemudahaan menggunakan sistem informasi menjadi motivasi intrinsik dan ekstrinsik yang banyak dikembangkan dalam melihat perilaku pengguna untuk menentukan strategi proses bisnisnya. Persepsi ini belum mencukupi untuk mengetahui layanan dasar teknologi komunikasi seperti keamanan, kepercayaan, kualitas, dan layanan. Maka, beberapa penelitian mengembangkan model penerimaan yang telah ada dengan memasukkan unsur-unsur yang ada dalam teknologi informasi dan komunikasi. Carlsson., et.al (2006) mengkaji bahwa motivasi penggunaan perangkat mobile didorong oleh faktor ekspektansi kinerja dan ekspektansi usaha. Pengguna mempercayai bahwa penggunaan perangkat mobile akan membantu dalam pekerjaan serta mudah dalam penggunaannya. Lebih lanjut, Shin (2007) mengembangkan model TAM dalam mengukur penerimaan mobile internet dalam lingkungan wireless broadband (WiBro) sebagai implikasi konvergensi teknologi. Shin (2007) merumuskan persepsi pengguna dalam empat rumusan besar yaitu persepsi kemanfaatan (perceived of usefulness), persepsi kualitas layanan (perceived of quality), persepsi ketersediaan layanan (perceived of availability), dan persepsi kenikmatan layanan (perceived of enjoyment). Penelitian tersebut menunjukkan minat penggunaan layanan wireless broadband dipengaruhi secara signifikan oleh sikap penggunaan layanan dan lingkungan sekitarnya. Namun minat penggunaan layanan tidak dipengaruhi oleh persepsi kegunaan layanan dan persepsi kenikmatan penggunaan layanan meski persepsi tersebut berkorelasi positif terhadap sikap penggunaan. Dalam penelitian yang dilakukan Ong., et.al (2008) terhadap penerimaan layanan 3G, minat penggunaan layanan dipengaruhi secara signifikan oleh persepsi kompatibilitas layanan, manfaat, gambar, kenikmatan, triability, dan result demand starbility. Hasil penelitian Ong., et.al (2008) menunjukkan bahwa minat penggunaan layanan tidak berkorelasi terhadap persepsi harga layanan dan persepsi kemudahan penggunaan layanan. Penelitian Teng., et.al (2009) juga pada penerimaan layanan 3G memperlihatkan minat penggunaan layanan berkorelasi terhadap utilitas teknologi, layanan baru, handset, persepsi risiko, harga, dan ketidakbutuhan terhadap layanan. Pengembangan model TAM dalam layanan komunikasi senada juga dilakukan oleh Qiantori., et.al (2010) untuk mengetahui penerimaan layanan mobile TV berbasis 3G di Indonesia. Qiantori., et.al memasukan variabel yang sama dengan Shin (2007) tetapi berbeda dalam penggunaan variabel moderasi. Menurut Qiantori., et.al (2010), minat penggunaan mobile TV berbasis 3G dipengaruhi oleh sikap penggunaan layanan, lingkungan sosial, dan harga layanan.
2
Penerimaan Layanan ...
Sikap penggunaan layanan dipengaruhi secara positif oleh persepsi kegunaan, ketersediaan layanan, kenikmatan, dan kualitas layanan. Sedangkan Suki., et.al (2011) menggunakan variabel persepsi kegunaan, kemudahan penggunaan, dan harga untuk mengukur sikap penggunaan dan minat penggunaan terhadap layanan 3G di Malaysia. Menurut Suki., et.al (2011) persepsi kegunaan dan persepsi kemudahan penggunaan berkorelasi positif terhadap sikap dan minat penggunaan. Sedangkan persepsi harga tidak berpengaruh terhadap minat penggunaan layanan. Penelitian di atas secara umum menggunakan variabel persepsi kegunaan, ketersediaan layanan, kenikmatan, kualitas layanan, dan harga untuk mengukur sikap dan minat penggunaan layanan. Namun penelitian di atas belum mengidentifikasi perbedaan persepsi penerimaan antara pengguna laki-laki dan pengguna perempuan. A. Technology Acceptance Model (TAM) The Model penerimaan teknologi (TAM) merupakan suatu model penerimaan sistem teknologi informasi yang akan digunakan oleh pengguna (Jogiyanto, 2007). Model TAM dikembangkan oleh Davis et.al (1989) berdasarkan model Theory Reasoned Action (TRA). TAM menggambarkan perilaku dalam menggunakan teknologi informasi berdasarkan dua konstruk utama yaitu persepsi kegunaan (perceived usefulness, PU) dan persepsi kemudahan penggunaan (perceived ease of use, PEU). PU menunjukan derajat keyakinan pengguna bahwa teknologi/sistem yang digunakan bermanfaat baginya. PEU didefinisikan sebagai derajat keyakinan pengguna bahwa teknologi atau sistem yang digunakan tidak menyita banyak energi atau mudah digunakan. Kedua konstruk tersebut mempengaruhi secara positif minat perilaku (behavior intention) dalam menggunakan teknologi informasi. Pengguna akan terdorong minatnya jika ia memiliki persepsi positif, teknologi tersebut memberikan manfaat dan mudah digunakan. Konstruk terhadap PU dan PEU dibangun berdasarkan aspek psikologis yang melibatkan keyakinan sendiri dalam bertindak (self-efficiacy), paradigma biaya manfaat (cost benefit paradigm), adopsi dan inovasi, serta faktor kepentingan (perceived importance) (Jogiyanto, 2007).
Gambar 1 Model TAM Davis et.al (1989)
Model TAM diadaptasi dari kunci utama terkait motivasi yaitu motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik. Venkantesh et.al (1999) dalam Shin (2010) memaparkan motivasi ekstrinsik sebagai persepsi untuk mencapai performansi dari aktivitas yang dilakukan. Brief et.al (1979) menyebut motivasi ekstrinsik didorong (driven) akan harapan imbalan manfaat dari interaksi antara sistem dan pengguna. Seperti lebih banyak tugas yang diselesaikan dalam waktu singkat, bisa beraktivitas dimana saja dan kapan saja. Sedangkan Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
motivasi intrinsik menunjukan manfaat yang dihasilkan (derived) dari interaksi dengan sistem yang bersifat hiburan (enjoyment). Pada dasarnya, model TAM ditujukan bagi interaksi antara manusia dengan sistem informasi dalam sebuah organisasi yang tidak mengedepankan personalisasi atas interaksi tersebut. Maka, banyak peneliti mengelaborasi model TAM untuk mengetahui perilaku interaksi manusia dengan teknologi informasi yang cenderung bersifat lebih personal. Elaborasi model tetap mengacu pada dua konstruk utama, PE dan PEU, dengan menemukan lebih banyak variabel eksternal yang mempengaruhi minat perilaku pengguna. B. Behavior Intention Behavior Intention (BI) atau minat perilaku dirumuskan oleh Ajzen (1975) berdasarkan Theory of Reasoned Action, TRA (Jogiyanto, 2007). Menurut Ajzen (2006), perilaku (behavior) menunjukkan respon seseorang pada situasi yang dihadapi. Perilaku ini dikontrol oleh minat (intention) seseorang sebagai indikasi kesiapannya dalam berperilaku berdasarkan sikap berperilaku, norma subjektif, dan kontrol perilaku yang dirasakan. Faktor tersebut berkorelasi positif terhadap apa yang diyakini selama ini. Ketika seseorang dihadapkan pada sesuatu yang baru, akan terlihat perilaku dalam mengambil keputusan berdasarkan motivasi yang dirasakan. Perilaku dalam bertindak dapat berupa kontrol terhadap kemauan sendiri (volitional behavior) dimana invidu menginginkan untuk menolak atau menerima. Dan perilaku yang diwajibkan (mandatory bahavior) yaitu individu dituntut untuk menerima dan melakukan aktivitas tersebut. Dari tipe perilaku ini kemudian terjadi pengembangan untuk memasukkan varibel pengaruh sosial (social influences) seseorang dalam berperilaku. C. Teknologi Mobile Broadband Wireless Access (M-BWA) Teknologi M-BWA adalah teknologi yang mempu menghantarkan akses internet berkecepatan tinggi dalam kondisi bergerak (mobile) di mana pun dan kapan pun melalui media nirkabel. Saat ini, penetrasi internet tidak hanya tinggi, tapi juga membutuhkan kecepatan data yang tinggi dan jangkauan layanan yang luas untuk memenuhi aplikasi layanan yang semakin beragam. Transfer data tidak hanya sebatas teks, tapi telah berkembang pada suara, video, dan gabungan ketiganya (konvergensi) serta dihantarkan secara streaming ataupun real time. Teknologi yang berkembang sebelumnya, tidak mampu menyediakan kapasitas layanan yang mengakomodasi kebutuhan tersebut. Jaringan broadband access, memberikan jangkauan kapasitas bandwidth lebih luas sehingga bisa melewatkan data berkapasitas besar secara cepat. Beberapa definisi broadband access diantaranya sebagai berikut. Akses nirkabel berkapasitas transmisi lebih tinggi dari primary rate ISDN yaitu pada 1,5 – 2 MBps (rekomendasi ITU-R F. 1399). Kecepatan transmisi data pada 200 Kbps (0,2 MBps) secara satu arah, downlink/uplink (definisi FCC). Dan kecepatan transmisi data pada 256 Kbps setidaknya satu arah, UL atau DL (definisi OECD). Standar teknologi yang mendukung M-BWA antara lain 3G baik berbasis Universal Mobile Telecommunication Systems (UMTS), High Speed Downlink Packet Access (HSDPA),
3
Penerimaan Layanan ...
Long Term Evolution (LTE), Code Division Multiple Access (CDMA), Wide CDMA, Wide Fidelity (WiFi) standar 802.11 a,b,g,n, dan Worlwide Interoperability for Microwave Access (WIMAX) standar 802.16. Penyelenggara M-BWA di Indonesia di dominasi oleh layanan 3G yang diselenggarakan 7 operator seluler dengan basis teknologi beragam. Penetrasi yang belum baik menyebabkan layanan M-BWA baru bisa di akses di beberapa kota besar di Indonesia. III. METODE PENELITIAN A. Model Penelitian Model penelitian menggunakan elaborasi model TAM yang disesuaikan dengan fokus penelitian terhadap penerimaan teknologi M-BWA. Model penelitian TAM berfokus pada variabel eksternal perceived usefulness dan perceived ease of use dalam mengkonfirmasi sikap dan minat penggunaan sistem sesungguhnya. Berdasarkan penelitian Shin (2007) dan Qiantori, et.al (2010), modifikasi variabel eksternal TAM dapat dikembangkan pada perceived quality dan perceived avaibility. Modifikasi model TAM juga melibatkan variabel moderasi gender. Hal ini bertujuan untuk mengetahui gender mana yang memiliki minat lebih tinggi. Pengetahuan ini akan berguna bagi penyedia jasa layanan MBWA dalam menentukan segmen pasar tertarget yang diinginkan. Minat perilaku penggunaan (behavior intention) sendiri dipengaruhi oleh sikap penggunaan (attitude), pengaruh lingkungan sosial (social influence) dan tingkat harga yang ditawarkan (price level). Dengan demikian, variabel independen terdiri dari : perceived usefulness (PU), perceived of quality (PQ), perceived of avaibility (PA), perceived of enjoyment (PE), social influence (SI), dan price level (PL). Variabel moderasi terdiri dari gender, sedangkan variabel dependen meliputi attitude (AT) dan behavior intention (BI). Elaborasi model TAM untuk melihat minat perilaku penggunaan layanan M-BWA terlihat pada gambar 2.
1) Attitude (AT) Sikap penggunaan (attitude) dirumuskan sebagai tingkat evaluasi sikap seseorang dalam bentuk penerimaan atau penolakan terhadap sistem yang digunakannya (Davis, 1993). Sikap penggunaan merupakan respon afektif yang mempengaruhi kecenderungan minat perilaku (behavior intention). Respon ini muncul karena adanya keyakinan individu (self beliefs) dan respon kognitif atas keterlibatan pengguna terhadap sistem. Respon kognitif ini merupakan motivasi baik intrinsik maupun ekstrinsik yang mendorong pengguna untuk menerima atau menolak menggunakan layanan M-BWA berdasarkan persepsi yang dirasakan. [H1] : sikap penggunanaan layanan mobile M-BWA berkorelasi positif terhadap minat perilaku penggunaan. 2) Perceived of Usefulness (PU) Konsep dasar TAM mengacu pada dua konstruk utama yang saling berkait yaitu persepsi kegunaan (perceived usefulness) dan persepsi kemudahaan penggunaan (perceived ease of use). Banyak kajian menyebutkan bahwa PU memiliki pengaruh yang kuat dalam penerimaan teknologi (Shin, 2007). Definisi klasik Davis (1989), PU menunjukkan sejauh mana seseorang percaya bahwa menggunakan sistem tertentu akan meningkatkan kinerjanya (Shin, 2007). PU dinilai sebagai derajat keyakinan sistem yang digunakan memberi manfaat atau meningkatkan performansi kinerja. [H2] : persepsi kegunaan layanan mobile M-BWA berkorelasi positif terhadap minat perilaku penggunaan [H3] : persepsi kegunaan layanan M-BWA berkorelasi positif terhadap sikap penggunaan layanan 3) Perceived of Avaibility (PA) Persepsi ketersediaan layanan (PA) menunjukkan keyakinan pengguna dimana layanan dapat diakses dimana
Gender
H2
Perceived Usefulness
H3
H4 Perceived Avaibility
H5
H1
Attitude H6
H10 H8
Perceived Quality
Intention
Social Influence
H7
H11 Price Level
Perceived Enjoyment H9 Gambar 2 Konstruksi Model Penerimaan Layanan Mobile M-BWA
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
4
Penerimaan Layanan ...
pun dan kapan pun dia membutuhkan (Shin, 2007; Qiantori, 2010). Ketersediaan layanan menjadi hal yang penting dalam M-BWA dan telah dibahas dalam beberapa penelitian terkait penerimaan teknologi komunikasi. Teknologi M-BWA sangat memungkinkan terjadinya mobilitas pengguna sehingga pengguna akan berpikir bahwa layanan dapat diakses dimana pun dan kapan pun (ubiquitous services). Dengan demikian persepsi ketersediaan layanan dapat menjadi motivasi pengguna terhadap M-BWA. Beberapa indikator yang mempengaruhi PA diantaranya kemudahan akses dimana pun, kemudahan akses kapan pun, dan kenyamanan. [H4] : persepsi ketersediaan layanan mobile M-BWA berkorelasi positif terhadap persepsi kegunaan layanan [H5] : persepsi ketersediaan layanan mobile M-BWA berkorelasi positif terhadap sikap penggunaan layanan 4) Perceived of Quality (PQ) Kualitas informasi dan layanan menjadi bagian determinan yang menunjukkan sistem atau teknologi tersebut memberi nilai kegunaan dan mudah digunakan (Qiantori, 2010). PQ didefinisikan sebagai keyakinan atas kepuasan yang dirasakan pengguna terhadap konten maupun layanan yang diberikan. Kualitas yang dimaksud diantaranya pelayanan customer service, kualitas video baik, komunikasi suara waktu nyata (real time voice), minim terjadi delay, jitter, maupun paket data hilang. Maka dimensi terkait PQ diantaranya kecepatan akses, kualitas konten, dan kehandalan (robustness). [H6] : persepsi kualitas layanan mobile M-BWA berkorelasi positif terhadap sikap penggunaan layanan [H7] : persepsi kualitas layanan mobile M-BWA berkorelasi positif terhadap persepsi kenikmatan layanan 5) Perceived of Enjoyment(PE) Dalam penelitiannya, Teng et.al., (2009) mengungkapkan layanan 3G mendukung motivasi hedonic penggunanya baik melalui layanan itu sendiri maupun model handset yang menawarkan fitur tersebut. Model handset yang berkembang saat ini tidak sebatas memberikan layanan suara tetapi juga membenamkan aplikasi yang memuaskan motivasi hedonis seperti music player, kamera, dan video recorder. PE menunjukkan keyakinan atas kenikmatan atau nilai hiburan yang dirasakan dari penggunaan layanan M-BWA. [H8] : persepsi kenikmatan yang dirasakan dari layanan mobile M-BWA berkorelasi positif terhadap sikap penggunaan layanan [H9] : persepsi kenikmatan yang dirasakan dari layanan mobile M-BWA berkorelasi positif terhadap minat perilaku penggunaan 6) Social Influence (SI) Normatif subjek menjadi salah satu pengontrol minat perilaku individu. Nysveen et al. (2005) dalam Shin (2007) mendefinisikan pengaruh lingkungan sebagai persepsi seseorang bahwa kebanyakan orang penting baginya berpikir dia seharusnya atau tidak seharusnya berperilaku seperti dalam pertanyaan yang diajukan. Tipe berperilaku pun dipengaruhi oleh keinginan sendiri (violational behavior) dan tuntutan yang dibebankan pada invidu (mandatory behavior).
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
Dengan demikian lingkungan sosial dapat mempengaruhi minat perilaku seseorang. [H10] : lingkunan sosial berkorelasi positif terhadap sikap penggunaan layanan mobile M-BWA 7) Price Level (PL) Tingkat tarif menunjukkan keyakinan pengguna bahwa penggunaan layanan membutuhkan biaya yang besar (Qiantori, 2010). Minat perilaku juga didorong oleh nilai biaya manfaat (cost benefit advantage) yang dikeluarkan ketika menggunakan layanan teknologi informasi (Jogiyanto, 2007). Setidaknya, pengguna mengeluarkan biaya dua kali untuk mengakses layanan M-BWA yaitu biaya pembelian perangkat dan biaya layanan yang digunakan. Persepsi terhadap biaya yang ditanggung menjadi inhibitor dalam mengadopsi sistem/teknologi informasi (Teng et.al, 2009; Kuo et.al, 2009). [H11] : tingkat tarif layanan berkorelasi negatif terhadap sikap penggunaan layanan mobile M-BWA 8) Pengaruh gender terhadap minat penggunaan layanan mobile M-BWA Perbedaan gender acapkali memberikan perbedaan persepsi penerimaan terhadap sistem atau teknologi baru sehingga perlu dirumuskan. [H12] : persepsi penerimaan pria dan wanita berbeda dalam penggunaan layanan mobile M-BWA B. Teknik Pengumpulan dan Sumber Data Metode sampling yang digunakan adalah purposive sampling dengan kriteria yang telah ditentukan yaitu responden biasa mengakses internet melalui perangkat seluler atau biasa mengakses internet secara mobile serta berusia antara 15 – 45 tahun dengan pertimbangan pada usia tersebut responden dianggap melek teknologi dan cenderung mengikuti perkembangan teknologi. Pengumpulan data dilakukan dengan metode survey melalui kuesioner dengan lokasi penyebaran di publik area dimana terdapat koneksi 3G atau wifi. Dalam penelitian ini lokasi pengambilan sampling adalah Jogjatronik di Jl. Brigjen Katamso, Yogyakarta dan Ambarukmo Plaza di Jl. Solo, Yogyakarta. Kedua publik area ini menyediakan layanan gratis Wifi bagi pengunjungnya serta terkoneksi jaringan 3G. Sumber data penelitian ini adalah pengguna internet melalui perangkat penerima nirkabel baik handphone, komputer jinjing termasuk di dalamnya modem, dan PC tablet. C. Metode Analisis Data Penelitian ini menggunakan Skala Likert. Skala Likert dapat mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang suatu kejadian (Jogiyanto, 2007). Skala Likert dikembangkan oleh Rensis Likert sebagai salah satu teknik untuk mengkur sikap berperilaku seseorang secara sederhana dalam pernyataan persetujuan (agree) dan tidak setuju (disagree). Ukuran pernyataan dirancang dalam skala pilihan jawaban antara 5 – 9 pernyataan jawabannya. Analisis data menggunakan Structural Equation Modelling (SEM) yang bertujuan untuk mengkonfirmasi model teoritis berdasarkan data penelitian yang ada (Yudanto, 2009).
5
Penerimaan Layanan ...
IV. PROFIL RESPONDEN Responden adalah pengunjung Jogjatronik Mall yang terletak di Jalan Brigjen Katamso, Yogyakarta dan pengunjung Ambarukmo Plaza di Jalan Raya Solo, Yogyakarta dengan jumlah responden 170 orang. Distribusi responden terlihat padaTabel 1. TABEL 1 DESKRIPSI RESPONDEN
Variabel
Kategori
Frequency
Jenis kelamin
laki laki
67
perempuan
103
Usia
15-20 tahun
46
20-25 tahun
85
25-30 tahun
17
30-35 tahun
12
di atas 35 tahun
10
SMP
2
SMA/sederajat
39
D1/D2/D3
24
D4/S1
105
Jenjang Pendidikan
N
Percentage 39.41% 60.59% 27.06% 50.00% 10.00% 7.06% 5.88% 1.18% 22.94% 14.12% 61.76%
170
Dari hasil survei terhadap perangkat mobile yang biasa digunakan untuk internet diketahui bahwa sebanyak 57,28% responden menggunakan handphone, 37,38% menggunakan laptop, dan sebagian kecil menggunakan tablet (5,34%). Besarnya penggunaan mobile internet melalui handphone dilatarbelakangi kemudahan akses, biaya akses murah, sebagai perangkat multi komunikasi, dan personalisasi perangkat. TABEL 2. OPERATOR SELULER YANG DIGUNAKAN RESPONDEN
Penyelenggara Opetrator Seluler
Frequency
Indosat
94
Xl
63
Telkomsel
59
Three
20
Smartfren
13
Flexi
9
Axis
8
Esia
6
Total
272
Percentage
Cumulative Percentage
34.56%
34.56%
23.16%
57.72%
21.69%
79.41%
7.35%
86.76%
4.78%
91.54%
3.31%
94.85%
2.94%
97.79%
2.21%
100.00%
100.00%
Sedangkan penggunaan laptop belum terlalu dominan karena pengguna masih membutuhkan perangkat pendukung lain sehingga mengeluarkan biaya dalam pengadaan. Dari metode pembayaran, sebanyak 87,65% responden menggunakan sistem pra bayar yaitu pengguna membayar terlebih dahulu untuk layanan yang akan digunakan. Hanya 12,35%
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
responden menggunakan sistem pasca bayar atau pembayaran dilakukan di akhir setelah penggunaan layanan. Jenis penyelenggara layanan seluler yang digunakan bervariasi namun tetap didominasi oleh pemain lama yaitu Indosat (34,56%), XL (23,16%), dan Telkomsel (21,69%). Biaya yang dikeluarkan oleh responden dalam mengakses mobile internet bervariasi dan terdistribusi secara merata pada rentang di bawah Rp. 50.000 hingga di atas Rp. 200.000. Sebanyak 41,76% responden mengeluarkan anggaran Rp. 50.001-100.000 untuk mengakses mobile internet dan 31,18% responden mengeluarkan anggaran kurang dari Rp. 50.000. Jika dikorelasikan dengan handphone sebagai perangkat akses mobile internet, biaya yang dikeluarkan untuk akses relatif kecil karena bercampur dengan biaya akses komunikasi lainnya seperti telepon dan pesan singkat (SMS). Selain itu sebagian besar operator seluler sudah menyediakan paket akses mobile internet secara harian, mingguan, hingga bulanan dengan tarif yang kompetitif. Berbeda jika akses mobile internet melalui laptop, biaya yang dikeluarkan pasti untuk mobile internet dan umumnya cukup besar hingga di atas Rp. 100.000. Dari hasil survei, sebanyak 19,41% responden mengeluarkan biaya Rp. 100.001-150.000 dan 5,88% responden mengeluarkan biaya Rp. 150.001- 200.000. Layanan M-BWA relatif baru diperkenalkan oleh operator seluler di Indonesia. Umumnya, untuk mengaktivasi layanan M-BWA pengguna harus melakukan registrasi khusus agar layanan M-BWA dapat dinikmati. Akan tetapi, hal ini cenderung tidak dipahami oleh pengguna, setidaknya itu yang terlihat dalam survei. Sebanyak 77,06% responden mengaku pernah menggunakan layanan M-BWA dan hanya 22,94% yang belum pernah menggunakan layanan M-BWA. Akan tetapi, ketika ditelusuri responden cenderung belum mengetahui bentuk layanan M-BWA. Jika pun sudah mengetahui dan perangkat yang dimiliki mendukung layanan M-BWA, responden cenderung belum memanfaatkannya. Hal ini terlihat dari survei terhadap aktivitas yang dilakukan ketika menggunakan layanan M-BWA seperti terlihat pada tabel 3. Sebagian besar aktivitas layanan BWA adalah TABEL 3. AKTIVITAS MENGGUNAKAN LAYANAN M-BWA
Frequency
Percentage
Mengakses jejaring sosial
Cumulative Percentage
102
16.48%
16.48%
Mengakses informasi
93
15.02%
31.50%
Downloading/uploading Komunikasi via messenger
85
13.73%
45.23%
75
12.12%
57.35%
Komunikasi via email
71
11.47%
68.82%
Mengakses video
48
7.75%
76.58%
Blogging
33
5.33%
81.91%
Game online
29
4.68%
86.59%
Aktivitas bisnis Mengakses radio streaming
26
4.20%
90.79%
21
3.39%
94.18%
Lainnya
20
3.23%
97.42%
Menonton TV
16
2.58%
100.00%
6
Penerimaan Layanan ...
aktivitas komunikasi data teks yang hanya membutuhkan kecepatan akses rendah seperti mengakses jejaring sosial (16,48%), mengakses informasi/membuka website (15,02%), messenger (12,12%), email (11,47%), dan blogging (5,33%). Hanya sebagian kecil responden yang menggunakan layanan BWA untuk aktivitas yang membutuhkan akses cepat dan kualitas yang baik seperti downloading/uploading (13,73%), mengakses video/termasuk streaming (7,75%), game online (4,68%), radio streaming (3,39%), dan menonton TV (2,58%). V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Validitas dan Reliabilitas Pengamatan terhadap perilaku akan sulit diukur kecuali melalui alat ukur atau instrumen yang memiliki nilai ketepatan tinggi. Namun, untuk membuat instrumen dengan nilai ketepatan uji ukur tinggi tidaklah mudah. Beberapa kriteria yang dirumuskan dalam konstruk indikator dan variabel memiliki ketepatan ukur yang berbeda sehingga perlu dilakukan uji validitas dan reliabilitas untuk memperoleh hasil yang signifikan. Instrumen yang baik memiliki tingkat validitas dan reliabilitas yang cukup sehingga menghasilkan informasi akurat dan berlaku sebaliknya.
tidak direkomendasikan. Nilai Cronbach Alpha diatas 0,9 menunjukkan terjadinya redudansi dimana indikator yang serupa muncul berkali-kali sehingga tidak layak digunakan sebagai alat ukur (Parera., et.al, 2011). Nunnally (1978) dan Spector (1992) merekomendasikan agar mencapai reliablitas yang dapat diterima. Indikator penerimaan layanan M-BWA menunjukkan skala reliabilitas di atas 0,8 seperti terlihat pada tabel 4. Namun dari uji normalitas, distribusi data cenderung tidak normal dimana terjadi keruncingan (kurtosis) di sisi kanan seperti yang diperlihatkan oleh indikator PU1 (3,062), PU2 (4,937), PU3 (6,653), PA3 (2,859), PE1 (3,008), dan AT1 (4,115). Angka pembanding normalitas data adalah nilai z pada tingkat kepercayaan 99% atau tingkat signifikan 1% sehingga data dikatakan normal jika nilai skewness dan kurtosis ada diantara -2,58 dan 2,58. Meski demikian indikator dalam alat ukur reliable dan dapat digunakan. Sedangkan hasil pengukuran seluruh variabel terlihat pada tabel 5. Nilai Cronbach Alpha setiap variabel berada di atas nilai yang direkomendasikan yaitu TABEL 5 DESCRIPTIVE FACTOR LOADING, CRONBACH ALPHA
TABEL 4 DESCRIPTIVE FACTOR LOADING, CRONBACH ALPHA
Variabel PU1 PU2 PU3 PA1 PA2 PA3 PQ1 PQ2 PQ3 PE1 PE2 AT1 AT2 SI1 SI2 SI3 PL1 PL2 BI1 BI2 BI3
Efficiency productivity Efectivity Usefulness Anytime (ubiquitous) Anywhere (ubiquitous) Comfort Robustness High speed access High quality video Enjoyment Happiness Motivation Advantages Tariff fee Devices fee Environment suggestion Environment motivation Prestige Intention Will use Recommenda tion
Factor Loading 0.477 0.49 0.535 0.771 0.677 0.32 0.479 0.641 0.565 0.73 0.763 0.541 0.588 0.408 0.701 0.313 0.984 0.479 0.59 0.363 0.446
Skewn ess
Kurto sis
-1.236
3.062
Cronb ach Alpha .888
-1.534 -1.769 -.544
4.937 6.653 .394
.889 .884 .885
-.549
.104
.890
-1.142 -.481 -.429
2.859 .081 -.129
.884 .887 .891
-.255
-.254
.891
-.701 -1.229 -.983 -.590 -.731 -.351 .030
1.204 3.008 4.115 1.437 2.066 .398 .258
.883 .882 .885 .884 .884 .883 .887
.103
.044
.896
.263 -.791 -.125 -.245
-.436 2.525 -.316 .413
.898 .883 .886 .883
Validitas menunjukkan instrumen yang digunakan telah sesuai untuk mengukur variabel yang akan diukur (Nisfiannoor, 2009). Uji reliabilitas dilakukan untuk mengukur konsistensi indikator sebagai alat ukur. Model pengukuran yang umum digunakan adalah Cronbach Alpha (
Skewness
Kurtosis
Cronbach Alpha
Perceived of Usefulness Perceived of Avaibility Perceived of Quality Perceived of Enjoyment Attitude
-1.546
6.335
.781
-.476
.678
.779
-.518
.370
.807
-1.046
2.556
.766
-.737
4.044
.773
Social Influence Price Level
-.580
2.070
.754
.307
-.056
.834
Behavior Intenttion
-.164
.656
.755
Variabel PU1PU3 PA1PA3 PQ1PQ3 PE1PE2 AT1AT2 SI1SI3 PL1PL2 BI1BI3
B. Hasil Uji Structural Equation Modelling Pengukuran model SEM membutuhkan identifikasi model untuk mengetahui apakah informasi yang tersedia telah cukup untuk mengidentifikasi solusi dari persamaan model (Singgih, 2011). Model SEM merekomendasikan pengujian model fit untuk memastikan bahwa model yang digunakan layak sebagai alat ukur. Indikator untuk menilai model fit hingga saat ini belum terpecahkan. Beberapa peneliti merekomendasikan nilai model fit yang berbeda. Bagian awal dan penting untuk diidentifikasi adalah degree of freedom (df) atau derajat kebebasan. Df menunjukkan jumlah sampel telah mencukupi untuk jumlah parameter yang akan diestimasi. Nilai df yang positif dan semakin besar menunjukkan model dapat diestimasi. Pada model ini, nilai df=180 dengan Chi-Square 501,398. Dengan demikian model telah memenuhi syarat untuk estimasi (minimum was achieved). Hasil pengukuran model fit terlihat pada tabel 6.
dengan rentang pengukuran 0-1. Meski demikian
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
7
Penerimaan Layanan ... TABEL 6 UJI STRUKTURAL EQUATION MODEL
Item Pengukuran
Nilai Hasil Uji
CMIN
501.98
CMIN/D
2.789
NFI
0.726
RFI
0.648
IFI
0.805
CFI
0.799
PNFI
0.565
PCFI RMSEA
0.622 0.103
AIC
645.938
ECVI
3.822
Nilai yang direkomendasikan
> 0,9 > 0,9
>0.9
Hasil Uji Struktural Model
Mediocre (cukup) Mediocre (cukup)
0-1
Mediocre (cukup) Memenuhi
0–1
Memenuhi
<0,05 (model fit) 0,08 – 1 (mediocre)
Mediocre (cukup) Memenuhi Memenuhi
Bentler (1992) dalam Ghazali dan Fuad (2008) menyatakan suatu model dikatakan fit jika Incremental Fit Indices yang meliputi Normed Fit Index (NFI), Incremental Fit Index (IFI), Relative Fit Index (RFI), dan Comparative Fit Index lebih besar dari 0,9. Namun nilai yang tidak jauh dari 0,9 menunjukkan model masih dianggap wajar atau moderated/mediocre karena model dianggap fit jika Incremental Fit Indices antara 0-1. Pengukuran model menunjukkan nilai NFI (0,726), RFI (0,648), IFI (0,805), dan CFI (0,799) atau tidak terlalu jauh dari nilai fit yang dianjurkan sehingga model dinilai mediocre. Parsimony ratio dari NFI (PNFI) dan Parsimony ratio dari CFI (PCFI) adalah 0,565 dan 0,622. Dari indikator PNFI dan PCFI terlihat model fit karena berada pada range 0 -1. Selanjutnya, Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) model adalah 0,103. Browne dan Cudeck (1993) dalam Ghazali dan Fuad (2008) menyebutkan RMSEA mengukur penyimpangan nilai paramater pada suatu model dengan matriks kovarian populasinya. Nilai RMSEA di bawah 0,05 mengindikasikan model fit dan nilai RMSEA antara 0,08 mengindikasikan model memiliki perkiraan kesalahan yang reasonable (Byrne, 1998, dalam Ghazali dan Fuad (2008)). Mac Callum et al. (1996) dalam Ghazali dan Fuad (2008) menyatakan RMSEA antara 0,08 – 0,1 memiliki fit yang cukup atau mediocre. Berdasarkan hal tersebut, dengan RMSEA (0,103) model ini dapat dikatakan cukup untuk menguji indikator. Akaike’s Information Criterien (AIC) digunakan untuk menilai parsimony dimana AIC tidak sensitif terhadap komplesitas model namun sensitif terhadap jumlah sampel (Bandalos, 1993, dalam Ghazali dan Fuad (2008)). Nilai AIC yang direkomendasikan lebih kecil dari nilai AIC saturated model atau independence model. Dalam model ini, nilai AIC adalah 645,938 lebih kecil dari AIC independence model (1871.325) tetapi sedikit lebih besar dari AIC saturated model (504). Expected Cross Validation Index (ECVI) mengukur penyimpangan antara fitted model covariance matrix pada sampel yang dianalisis dan kovarians matriks yang diperoleh
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
pada sampel lain dengan ukuran sampel sama besar (Byrne, 1998, dalam Ghazali dan Fuad (2008)). Model dengan ECVI rendah berpotensial untuk direplikasi. Nilai ECVI yang lebih kecil dari ECVI saturated model atau ECVI independence model menunjukkan model fit. ECVI pada model adalah 3,822 lebih kecil dari independence model (11.073) tetapi sedikt lebih besar dari saturated model (2,98). Dari beberapa indikator pengukuran model fit, terlihat bahwa model fit untuk digunakan. Penyimpangan pada nilai yang direkomendasikan disebabkan oleh jumlah sampel yang mencukupi untuk metode estimasi Maximum Likelihood (minimal 100) namun belum mencukupi untuk jumlah sampel minimal per parameter per sampel. C. Analisis Hubungan Antar Konstruk 1) Hubungan Indikator dengan Konstruk Hubungan indikator dengan konstruk dapat dilihat dengan melakukan uji convergent validity untuk melihat factor loading indikator terhadap konstruknya. Beberapa literatur menyebutkan factor loading di atas 0,7 menunjukkan indikator merupakan bagian dari konstruk atau memiliki keeratan hubungan. Namun literatur lain menyebutkan factor loading di atas 0,5 sudah mencukupi (Singgih, 2011). Dari hasil uji convergent validity, hampir semua indikator memiliki factor loading di atas 0,7 sehingga memiliki hubungan erat dengan konstruknya. TABEL 7. HUBUNGAN INDIKATOR TERHADAP KONSTRUK
Hubungan Indikator
Estimate
Hubungan Antar Konstruk
PU1
<---
PU
0.69
erat
PU2
<---
PU
0.7
erat
PU3
<---
PU
0.731
erat
PA1
<---
PA
0.878
erat
PA2
<---
PA
0.823
erat
PA3
<---
PA
0.565
erat
PQ1
<---
PQ
0.692
erat
PQ2
<---
PQ
0.801
erat
PQ3
<---
PQ
0.752
erat
PE1
<---
PE
0.855
erat
PE2
<---
PE
0.874
erat
AT1
<---
AT
0.735
erat
AT2
<---
AT
0.767
erat
PL1
<---
PL
0.992
erat
PL2
<---
PL
0.692
erat
SI1
<---
SI
0.639
erat
SI2
<---
SI
0.837
erat
SI3
<---
SI
0.559
erat
BI1
<---
BI
0.768
erat
BI2
<---
BI
0.602
erat
BI3
<---
BI
0.668
erat
8
Penerimaan Layanan ...
H2: 0.11
Perceived Usefulness H3: 0.48
H4: 0.54 Perceived Avaibility
H5: 0.13
Attitude
H6: 0.48
Perceived Quality
Intention
H10: 0.27
H8: 0.37
H7: 0.47
H1: 0.43
Social Influence
H11: 0.33 Price Level
Perceived Enjoyment
H9: 0.26 Gambar 2. Analisis jalur model
Indikator produktivitas (PU1), efektivitas (PU2), dan kegunaan (PU3) memiliki hubungan yang sama erat terhadap persepsi penggunaan layanan M-BWA (PU). Kemudian indikator ketersediaan layanan kapan pun (PA1) dan layanan tersedia dimana pun (PA2) memiliki hubungan yang sama erat terhadap persepsi ketersediaan layanan M-BWA (PA) namun sedikit kurang erat terhadap indikator kenyamanan penggunaan (PA3). Indikator kehandalan layanan (PQ1), kecepatan akses layanan (PQ2), dan kualitas video yang tinggi (PQ3) menunjukkan hubungan yang erat terhadap persepsi kualitas layanan (PQ). Layanan M-BWA menjanjikan kualitas yang lebih baik dari teknologi akses sebelumnya (2G) terhadap kehandalan kualitas layanan yang tak terputus, kecepatan akses data yang tinggi, dan terlebih pada kualitas layanan video streaming yang tinggi. Pengguna berpersepsi indikator ini mempengaruhi secara signifikan terhadap kualitas layanan M-BWA (PQ). Selanjutnya, persepsi kenikmatan layanan (PE) memperlihatkan hubungan positif dengan indikator enjoyment (PE1) dan happiness (PE2). TABEL 8. HUBUNGAN EFEK DETERMINAN VARIABEL TERHADAP MINAT PENGGUNAAN LAYANAN M-BWA
Hubungan Antar Konstruk
Hubungan Variabel
Estimate
PU
<---
PA
0.417
tidak erat
PE
<---
PQ
0.562
erat
AT
<---
PU
0.521
erat
AT
<---
PE
0.526
erat
AT
<---
PA
0.115
tidak erat
AT
<---
PQ
0.012
tidak erat
BI
<---
AT
0.734
erat
BI
<---
SI
0.328
tidak erat
BI
<---
PL
0.124
tidak erat
BI
<---
PU
0.132
tidak erat
BI
<---
PE
0.337
tidak erat
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
2) Hubungan Efek Determinan Terhadap Minat Penggunaan M-BWA (Behavior Intention) Hubungan tiap indikator terhadap konstruknya memiliki hubungan yang positif atau memiliki relasi yang mempengaruhi konstruk tersebut. Akan tetapi hubungan positif ini tidak serta merta berlaku sama terhadap minat penggunaan layanan M-BWA (behavior intention, BI). Dari hasil pengolahan data, terlihat bahwa persepsi ketersediaan layanan (PA) tidak berkorelasi positif dengan persepsi kegunaan (PU). Nilai korelasinya hanya 0,417. Artinya, responden berpersepsi layanan M-BWA dapat digunakan tanpa harus tersedia layanan minimal yang dibutuhkan. Hal ini bertolak belakang dengan spesifikasi layanan M-BWA dimana layanan informasi yang dibutuhkan pengguna dapat diakses di mana saja dan kapan saja dalam rangka meningkatkan produktivitas dan efektivitas kegiatannya. Kondisi ini dapat disebabkan pengguna belum merasakan perbedaan signifikan yang akan dialami ketika menggunakan layanan non-M-BWA dan layanan M-BWA. Ada beberapa hal yang memunculkan persepsi ini, (1) pengguna belum memahami perbedaan antar layanan, (2) ketersediaan layanan oleh penyelenggara layanan M-BWA masih sangat terbatas, dan (3) penyelenggara layanan MBWA belum mengedukasi pengguna tentang layanan MBWA. Namun, penelitian menunjukkan bahwa persepsi kualitas layanan (PQ) berkorelasi positif terhadap kenikmatan layanan yang dirasakan (PE) dengan nilai korelasi 0,562. Artinya, responden berpersepsi kualitas (PQ) layanan M-BWA yang bagus, baik dari sisi kehandalan, kecepatan akses, maupun kualitas video akan mempengaruhi secara signifikan terhadap kenikmatan penggunaan layanan (PE). Layanan M-BWA menjanjikan kehandalan, kecepatan akses, dan kualitas yang lebih baik sehingga pengguna dapat menikmati layanan live streaming lebih nyaman dan menumbuhkan rasa kegembiraan. Hal ini di satu sisi sejalan dengan Shin (2007) dan Qiantori., et.al (2010). Berdasarkan teori TAM, Shin (2007) mengungkapkan, persepsi kegunaan (PU) dan persepsi kenikmatan (PE) tidak dapat langsung menggambarkan minat penggunaan layanan sehingga diperlukan variabel mediasi yaitu persepsi kualitas (PQ) dan persepsi ketersediaan layanan
9
Penerimaan Layanan ...
TABEL 9. OUTPUT ANALISIS MULTIPLE GROUP
Model
DF
CMIN
P
Measurement intercepts Structural weights Structural covariances Structural residuals Measurement residuals
21
22.623
0.364
NFI Delta -1 0.011
30
32.718
0.335
0.015
34
37.629
0.307
0.018
38
44.791
0.208
0.021
59
81.172
0.029
0.038
IFI Del ta-2 0.01 3 0.01 9 0.02 1 0.02 6 0.04 6
RFI rho-1 0.012 0.017 0.019 0.019 0.023
(PA). Pengguna berpikir, layanan akan berguna baginya (usefull) jika layanan tersedia dimana pun dan kapan pun atau ubiqutous availability. Dengan demikian ada hubungan antara persepsi kegunaan layanan dan persepsi ketersediaan layanan. Kemudian, pengguna berpikir, layanan akan dapat dinikmati (enjoyment) jika kualitas layanan mendukung (quality) sehingga ada hubungan antara persepsi kenikmatan layanan dengan persepsi kualitas. Sikap penggunaan layanan M-BWA (attitude) tidak seluruhnya berkorelasi positif terhadap variabel yang membangunnya. Persepsi sikap penggunaan layanan berkorelasi positif terhadap penggunaan layanan (0,521) dan kenikmatan penggunaan layanan (0,526) namun tidak berkorelasi terhadap ketersediaan layanan (0,115) dan kualitas layanan (0,012). Hal ini menunjukkan bahwa responden tidak menjadikan ketersediaan dan kualitas layanan yang lebih baik sebagai sikap untuk menggunakan layanan M-BWA meski lebih baik dari teknologi sebelumnya. Hasil ini sejalan dengan Shin (2007) dimana sikap penggunaan dipengaruhi secara positif oleh persepsi kegunaan layanan dan persepsi kenikmatan layanan. Namun tidak sejalan dengan Qiantori (2010) yang mengungkapkan sikap penggunaan layanan berkorelasi positif terhadap persepsi kenikmatan, kualitas, ketersediaan layanan, dan kegunaan meski tingkat korelasinya berbeda. Persepsi kenikmatan memiliki korelasi paling erat sedangkan persepsi kegunaan memiliki korelasi paling rendah. Minat penggunaan layanan M-BWA (BI) berkorelasi positif terhadap sikap penggunaan layanan (AT) dengan nilai korelasi 0,734. Artinya minat penggunaan layanan dipengaruhi oleh sikap penggunaan layanan. Karena sikap dipengaruhi oleh beberapa variabel independen perlu dilihat pula hubungannya terhadap minat penggunaan layanan. Hasil ini sejalan dengan Shin (2007), Qiantori., et.al (2010), dan Suki., et. al (2011). Sedangkan pengaruh lingkungan (SI) memiliki nilai korelasi 0,328 terhadap minat penggunaan (BI) yang berarti korelasinya tidak erat. Lingkungan sosial tidak menjadi alasan bagi responden untuk menggunakan layanan M-BWA meski ada orang di sekitarnya menggunakan dan merekomendasikan. Hasil ini tidak sejalan dengan Shin (2007) dan Qiantori (2011) yang melihat adanya hubungan korelasi antara minat penggunaan layanan dengan pengaruh sosial. Persepsi tingkat harga juga tidak berkorelasi positif, ditunjukkan dengan nilai korelasi hanya 0,124. Hasil ini didukung oleh Shin (2007), Ong., et.al (2008), dan Qiantori., et.al (2010). Harga akses layanan dan harga perangkat tidak
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
mempengaruhi responden dalam menggunakan layanan BWA. Kondisi ini sejalan dengan kecenderungan masyarakat Indonesia yang cukup TLI unik terhadap produk telekomunikasi baik perangkat maupun layanan. Pasar Indonesia cenderung melahap rho2 semua produk dan layanan yang dilemparkan ke pasar tanpa mempertimbangkan harga, kualitas, maupun 0.016 ketersediaan layanan. Selanjutnya, minat penggunaan layanan tidak 0.022 berkorelasi positif terhadap persepsi kegunaan dan persepsi kenikmatan layanan dimana nilainya masing0.024 masing 0,132 dan 0,337. Shin (2007), Ong., et.al 0.025 (2008), dan Qiantori., et.al (2010) menunjukkan hasil serupa. Namun berbeda dengan yang dihasilkan Sim., 0.029 et.al (2011) yang menyatakan terdapat korelasi antara minat penggunaan dan persepsi kegunaan layanan. Sedangkan Suki., et.al (2011) mengungkapkan minat penggunaan layanan berkorelasi dengan persepsi kegunaan namun tidak berkorelasi dengan persepsi kenikmatan layanan. Hasil yang sama juga terlihat pada analisis jalur seperti Gambar 2. 3) Analisis Multiple Group Analisis multiple group dilakukan untuk melihat pengaruh jenis kelamin terhadap penerimaan layanan M-BWA. Model penerimaan mencoba mengukur minat penggunaan layanan M-BWA antara laki-laki dan perempan. Dari hasil pengolahan data, tidak terdapat perbedaan signifikan antara laki-laki dan perempuan dalam menggunakan layanan M-BWA seperti terlihat pada table 10. Probabilitas pada kelima model pengukuran menunjukkan nilai di atas 0,05 (p>0,05) yang berarti tidak ada perbedaan antara model pengguna laki-laki dan perempuan. Meski demikian, laki-laki cenderung memperhatikan aspek kualitas dan ketersediaan layanan M-BWA sebagai sikap penggunaan layanan M-BWA dibandingkan perempuan. Seperti terlihat pada tabel 10. TABEL 10. ANALISIS MULTIPLE GROUP, PENGARH JENIS KELAMIN TERHADAP PENGGUNAAN LAYANAN M-BWA
laki-laki Estimate
perempuan Estimate
PU
<---
PA
0.356
0.641
PE
<---
PQ
0.472
0.478
AT
<---
PU
0.610
0.370
AT
<---
PE
0.435
0.399
AT
<---
PA
-0.046
0.213
AT
<---
PQ
-.0.076
0.082
BI
<---
AT
0.201
0.539
BI
<---
SI
0.120
0.342
BI
<---
PL
-0.003
0.134
BI
<---
PE
0.492
0.057
BI
<---
PU
0.527
0.115
4) Penerimaan Terhadapa Layanan M-BWA Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui factor yang mempengaruhi secara positif terhadap sikap dan minat 10
Penerimaan Layanan ...
penggunaan layanan M-BWA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa minat penggunaan layanan M-BWA didorong oleh sikap pengguna terkait persepsi positifnya terhadap kegunaan layanan dan kenikmatan layanan yang dirasakan. Dilihat dari kondisi perilaku konsumen Indonesia saat ini, sebagian besar pengamat menilai konsumen lebih tertarik pada sisi hiburan yang akan mereka rasakan dari layanan komunikasi. Hal ini terlihat dari tingkat pertumbuhan positif terhadap permintaan layanan yang menyuguhkan hiburan seperti social networking dan game online. Bahkan beberapa operator seluler menyediakan layanan paket social networking yang dibanjiri peminat. Kondisi ini sebenarnya dikhawatirkan banyak pihak dimana konsumen tidak mendapatkan manfaat selain hiburan. Dengan demikian harapan bahwa penetrasi broadband access akan meningkatkan GDP hanya tinggal awing-awang. Namun dari hasil penelitian terlihat bahwa, persepsi kenikmatan yang mengindikasi layanan sebagai hiburan, memiliki persepsi yang sama terhadap kegunaan layanan tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengguna telah memahami layanan dengan akses berkecepatan tinggi, berkapasitas besar, dan handal ini bisa mendatangkan kegunaan yang lebih dari sekedar hiburan. Pengguna memahami bahwa layanan M-BWA akan meningkatkan performansi kinerjanya. Permasalahan yang selanjutnya terjadi adalah apakah pemangku kebijakan bisa menghadirkan layanan berbasis M-BWA yang dapat meningkatkan kinerja penggunanya. Penetrasi broadband akan memberikan keuntung secara ekonomi (economic benefits) dan sosial (social benefits) jika dikembangkan pada peningkatan layanan public melalui kesehatan, pendidikan, pertanian, maupun layanan pemerintahan (Kim et al., 2010). Maka persepsi penerimaan yang positif ini perlu diapresiasi dengan tindakan pengembangan layanan M-BWA yang meningkatkan kinerja dan produktivitas sehingga mampu mendorong pertumbuhan GDP. Selanjutnya, persepsi kenikmatan terhadap layanan berkorelasi erat terhadap persepsi kualitas layanan. Kualitas layanan menjadi isu utama untuk menghadirkan kenikmatan dalam penggunaan layanan dimana pengguna mengharapkan koneksi yang cepat, minim delay, serta tahan terhadap gangguan (interferensi). Pengguna menyadari bahwa kualitas layanan adalah hal pokok agar layanan dapat digunakan. Isu harga layanan meski menjadi perhatian bukanlah hal yang utama. Kondisi ini perlu disadari oleh penyelenggara layanan untuk memperhatikan aspek kualitas lebih dalam lagi. Meski kebijakan terhadap standar kualitas layanan (Quality of Services) telah ada untuk teknologi sebelumnya, penyelenggara seluler belum menjadikannya sebagai perhatian utama. Pemangku kebijakan sendiri belum secara aktif memperhatikan aspek kualitas layanan. Pada akhirnya, pengguna yang dikecewakan atas buruknya kualitas layanan. Maka regulator perlu menyiapkan diri untuk memastikan kualitas layanan M-BWA benar-benar handal hingga di tangan pengguna melalui perangkat kebijakan strategisnya. VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Minat penggunaan layanan (behavior intention) M-BWA dipengaruhi secara signifikan oleh sikap penggunaan (attitude) layanan M-BWA. Sedangkan pengaruh sosial
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
(social influences) dan tingkat harga layanan (price level) tidak berkorelasi positif. Pengaruh lingkungan tidak menjadi motivasi pengguna dalam menggunakan layanan M-BWA. Hal ini menunjukkan pengguna tidak menjadikan layanan MBWA sebagai bagian dari prestige namun lebih cenderung pada gaya hidup yang mengedepankan fungsi dari layanan MBWA. Tingkat harga layanan maupun perangkat pun tidak menjadi motivasi penggunaan layanan mobile yang perlu disikapi dengan bijak oleh penyelenggara dan regulator untuk tidak semena-mena dalam memberikan tarif layanan. Sikap penggunaan (attitude) layanan M-BWA dipengaruhi secara positif oleh persepsi kegunaan layanan (perceived of usefulness) dan persepsi kenikmatan layanan (perceived of enjoyment). Pengguna berpersepsi layanan M-BWA akan berguna bagi aktivitasnya meski kenikmatan layanan yang diberikan tidak dapat dinafikkan.Persepsi kenikmatan layanan berkorelasi terhadap persepsi kualitas layanan (perceived of quality) dimana pengguna akan dapat menikmati layanan jika kualitas yang diberikan baik kehandalan, kecepatan, maupun kualitas video baik. Pengguna mempersepsikan layanan MBWA akan memberi kenikmatan yang lebih dibanding teknologi sebelumnya sehingga perlu dukungan kualitas layanan yang handal, berkecepatan tinggi dengan kualitas video yang baik. Meski demikian, pengguna masih menempatkan hedonic outcomes sebagai faktor utama pendorong adopsi layanan M-BWA. Tidak ada perbedaan signifikan antara pengguna laki-laki dan perempuan dalam penggunaan layanan M-BWA meski pengguna laki-laki cenderung memperhatikan aspek ketersediaan layanan, kualitas layanan, dan harga layanan. B. Rekomendasi Penerimaan layanan BWA berkaitan erat dengan adopsi layanan. Berdasarkan rekomendasi World Bank tentang pengaruh penetrasi broadband terhadap penerimaan GDP suatu negara, penting bagi pihak regulator dan penyelenggara untuk meningkatkan penetrasi dan penggunaan layanan mobile broadband di masyarakat. Agar proses adopsi berjalan lebih cepat dan tepat maka perlu diperhatikan beberapa aspek yang berpengaruh terhadap minat penggunaan layanan MBWA. Aspek yang perlu diperhatikan tersebut yaitu persepsi kegunaan layananan, persepsi kenikmatan layanan, dan persepsi kualitas layanan. 1. Regulator dan penyelenggara layanan perlu menekankan penggunaan layanan mobile M-BWA pada aspek persepsi kenikmatan layanan yang berkaitan dengan tren gaya hidup seperti radio/TV streaming dan video conference kapan pun dimana pun (ubiquitous) 2. Persepsi kenikmatan layanan signifikan terhadap minat penggunaan layanan sehingga penyelenggara layanan perlu memperhatikan kualitas layanan yang diberikan pada pengguna 3. Karena kualitas layanan menjadi faktor pendorong kenikmatan layanan, maka regulator perlu mengatur regulasi tentang syarat minimal atau standar quality of service (QoS) layanan M-BWA. Saat ini regulator baru memiliki standar kualitas layanan untuk SLJJ, Jarlok, JarSLI, dan JarBer. Penelitian ini menggunakan metode statistic yang rentan terhadap kelemahan. Studi lanjutan terhadap penelitian terkait perlu dilakukan dan dikembangkan baik dari aspek penarikan
11
Penerimaan Layanan ...
sampel, metode, maupun perumusan konstruk variable terkait sehingga diperoleh hasil kajian yang komprehensif. Oleh karena penelitian ini menarik sampel di Kota Yogyakarta, hasil yang sama belum tentu akan tercapai di kota lainnya. Model TAM tidak berada pada domain demografis sehingga hasilnya mungkin akan berbeda. DAFTAR PUSTAKA Carlsson, C., Carlsson, J., Hyvonen, Puhakainen, J., & Walden, P. (2006). Adoption of Mobile Devices/Services - Searching for Answer with the UTAUT. Proceedings of 39th Hawaii International Conferences on System Sciences. Davis, F. D. (1993). User Acceptance of Information Technology: system characteristics, user perceptions, and behavioral impacts. International Journal Man-Machine (Studies) Vol. 3 , 475-478. Ghazali, I., & Fuad. (2008). Structural Equation Modeling: Teori, Konsep, dan Aplikasi dengan Program Lisrel 8.80. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Jogiyanto. (2007). Sistem Informasi Keperilakuan. Yogyakarta: Andi Offset. Kim, Y., Kelly, T., & Raja, S. (2010). Building Broadband, Strategies and Policies for the Developing World. Washington, D.C: World Bank. Kuo, Y.-F., & Yen, S.-N. (2009). Towards an understanding of the behavioral intention to use 3G mobile value-added services. Journal of Computers in Human Behavior Vol. 25 , 103-110. Nisfiannoor. (2009). Pendekatan Statistika Modern untuk Ilmu Sosial. Jakarta: Salemba. Ong, J., Poong, Y.-S., & Ng, T. H. (2008). 3G Services Adoption Among University Students: Diffusion of Innovation Theory. Communications of the IBIMA Volume 3.
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
Parera, R., Heneghan, C., & Badenoch, D. (2011). Statistic Toolkit Volume 9 of EBMT-EBM Toolkit Series. Jhon Wiley&Sons. Qiantori, A., Sutiono, A. B., Suwa, H., & Ohta, T. (2010). 3G Mobile TV Acceptance in Indonesia. Proceedings of 6th International Conference on Wireless and Mobile Communications. Santoso, S. (2011). Structural Equation Modelling, Konsep dan Aplikasi dengan Amos 18. Jakarta: PT. Gramedia. Shin, D.-H. (2007). User acceptance of mobile internet: Implication for Convergence technologies. Journal of Interacting with Computers. Vol 19 , 472-483. Sim, J. J., Tan, G. W., Ooi, K. B., & Lee, V. H. (2011). Exploring the Individual Characteristics on the Adoption of Broadband: An Empirical Analysis. International Journal of Network and Mobile Technologies. Vol 2 Issue 1 . Suki, N. M. (2011). Subscibers’ intention towards using 3G mobile services. Journal of Economics and Behavioral Studies. Vol. 2, No. 2 , 67-75. Suki, N. M., & Suki, N. M. (2011). Exploring The Relationship Between Perceived Usefulness, Perceived Ease of Use, Perceived Enjoyment, Attitude and Subscribers’ Intention Towards Using 3G Mobile Services. Journal of Information Technology Management. Vol. XXII No. 1 . Teng, W., Lu, H.-P., & Yu, H. (2009). Exploring the mass adoption of thirdgeneration (3G) mobile phones. Telecommunication Policy Vol. 33 , 628-641. Teng, W., Lu, H.-P., & Yu, H. (2009). Exploring the mass adoption of thirdgeneration (3G) mobile phones in Taiwan. Journal of Telecommunication Policy. Vol. 33 , 628-641. Yudanto, A. A., & Assauri, S. (2009). Analisis penerimaan pelanggan terhadap mobile marketing 3G beserta dampaknya bagi PT. Indosat tbk. Jakarta: Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.
12
Evaluasi Pemanfaatan ...
Evaluasi Pemanfaatan Wireless Internet Protocol Access System di Kota Malang evaluation on utilization of wireless internet protocol access system in malang city Ahmad Budi Setiawan Puslitbang APTIKA dan IKP, Badan Litbang SDM Kominfo Medan Merdeka Barat No.9, Jakarta, 10110
[email protected] Naskah diterima: 8 Februari 2012; Naskah disetujui: 7 Maret 2012 Abstract— WIPAS (Wireless Internet Protocol Accsess System) is one of the lates broadband technology. The technology was developed based on the model of point-to-multipoint wireless access system at a fixed or Fixed Wireless Access (FWA) which uses 26-GHz frequency band. With the magnitude of the frequency band used, WIPAS technology can accommodate the very large capacity of networks access traffic. In this study will be reviewed and evaluated the effectiveness of the use of WIPAS technology through the use of WIPAS technology case for community empowerment in Malang city. This study also described the utilize of WIPAS technology to see the benefits of using these technologies. This research was conducted with qualitative methods by evaluating the infrastructure has been implemented to see the effective the use of WIPAS. The results of this study is an evaluative study on the utilize of WIPAS in the Malang city, and recommendations for further implementation Keywords— WIPAS, Network Access, intranet Abstrak— WIPAS (Wireless Internet Protocol Accsess System) adalah salah satu teknologi pita lebar (broadband) yang terbaru. Teknologi tersebut dikembangkan berdasarkan model point-tomultipoint access system pada jaringan nirkabel tetap atau Fixed Wireless Access (FWA) dengan memanfaatkan pita frekuensi 26GHz. Dengan besarnya pita frekuensi yang digunakan, teknologi WIPAS dapat menampung kapasitas akses untuk lalu lintas jaringan yang sangat besar. Dalam penelitian ini akan dikaji dan dievaluasi efektifitas penggunaan teknologi WIPAS melalui kasus pemanfaatan teknologi WIPAS untuk pemberdayaan komunitas di kota Malang. Dalam penelitian ini juga akan dideskripsikan pemanfaatan teknologi WIPAS untuk melihat manfaat penggunaan teknologi tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif dengan melakukan evaluasi terhadap infrastruktur yang telah dibangun untuk melihat efektifitas pemanfaatan WIPAS. Hasil penelitian ini adalah sebuah kajian evaluatif tentang pemanfaatan WIPAS di kota Malang dan rekomendasi untuk implementasi lebih lanjut. Kata Kunci— WIPAS, Akses Jaringan, Intranet
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Implementasi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) menjadi perhatian yang serius untuk terus dikembangkan secara professional, dan proporsional guna mendukung Pembangunan Daerah di segala bidang, yang merupakan sub sistem dari rangkaian pelaksanaan pembangunan Nasional, yang dilakukan oleh masyarakat bersama Pemerintah secara berencana, bertahap dan berkesinambungan sesuai dengan kondisi, potensi dan aspirasi masyarakat yang timbul dan berkembang di daerah. Sebagai konsekuensi memasuki adanya arus globalalisasi yang begitu pesat, merupakan peluang sekaligus tantangan bagi pemerintah daerah yang memiliki keaneka ragaman, baik sosial budaya, sumber daya maupun kemampuannya yang berbeda, untuk mengembangkan potensi yang dimiliki guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Kedudukan Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah sebagai pusat kegiatan pemerintahan dan pembangunan, maka arus informasi yang cepat dalam berbagai kegiatan sangatlah diperlukan. Untuk mendukung hal tersebut perlu diciptakan sinergi yang lebih bersifat partisipatif dan dinamis dengan memanfaatkan peranan TIK dalam mendukung pembangunan di daerah. Salah satu bentuk pemanfaatan atau implementasi bidang TIK yang dapat menunjang permbangunan dan perkembangan di daerah adalah pengembangan infrastruktur TIK yang memadai. Sehingga diperlukan berbagai upaya dengan disesuaikan dengan kondisi atau keadaan di daerah. Salah satu upaya tersebut adalah melalui pembangunan infrastruktur jaringan dengan menggunankan media Wireless Internet Protocol Acces System (WIPAS) yang merupakan salah satu program Kementerian Komunikasi dan Informatika RI dan mendapat dukungan dari Ministry of
13
Evaluasi Pemanfaatan ...
Internal Affairs and Communication (MIC) Japan, melalui hibah dari Asia Pacific Telecommunity (APT). Selain infrastruktur jaringan, juga dibangun akses poin (ICT Access Point) dan Telecenter yang ditempatkan di Kantor Pengolahan Data Elektronik, Universitas Brawijaya, SMAN1, SMAN 3, SMAN 4, SMAN 9 dan SMPN 1 dan Telecencer Pusat Koperasi Wanita Jawa Timur (Puskowanjati). Pada intinya proyek ini membangun jaringan intranet yang menghubungkan antara masing-masing lokasi (sekolah) yang dijadikan ICT Access Point dan telecenter dengan disertakan dua aplikasi yaitu untuk video audio conference dan video archive ( Infrastructure for Packet Based e-Learning Services Provided Via Satellite,2009). Dan sebagai media penghubung antar lokasi tersebut menggunakan media nirkabel (wireless) dengan frekuensi 26 GHz dengan teknologi WIPAS. Dengan adanya jaringan intranet tersebut, dapat dimanfaatkan sebagai sarana pembelajaran berbasis TIK oleh komunitas masyarakat Kota Malang. Sedangkan untuk sekolah-sekolah dapat memanfaatkan jaringan tersebut untuk saling bertukar informasi dan memberikan materi pembelajaran interaktif kepada siswa di masing masing sekolah tersebut. Disamping itu, Pemerintah Kota Malang mengharapkan kelanjutan pembangunan infrastruktur jaringan intranet dengan menggunakan teknologi WIPAS selanjutnya dapat memenuhi ketersediaan database sekaligus sebagai sarana komunikasi interaktif antara 3 (tiga) komponen utama dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yakni: pemerintah, masyarakat dan sektor swasta (bisnis) dalam rangka perwujudan tata kelola pemerintah yang baik (Good Governance) sesuai tuntutan reformasi. B. Pemasalahan Penelitian Pemilihan teknologi WIPAS untuk membangun infrastruktur jaringan Pemerintah Kota Malang merupakan inisiatif dari pemberi hibah. Hal ini desebabkan oleh kemampuan WIPAS jauh lebih tinggi dari wireless. Dengan menggunakan WIPAS, kekuatan akan bertambah dari 15 GHz menjadi di atas 26 GHz. Kecepatan akses tersebut sangat membantu dalam akses data yang lebih cepat. Meskipun demikian, pemananfaatan teknologi WIPAS dalam membangun infrastruktur jaringan intranet untuk komunitas di lingkungan Pemerintah Kota Malang memiliki beberapa kendala yang kemudian menjadi pokok permasalahan dalam penelitian evaluatif ini. Permasalahan tersebut adalah tidak adanya regulasi dalam pemanfaatan pita frekuensi 26 GHz keatas yang dikeluarkan oleh Pemerintah melalaui Direktorat Jenderal Sumber Daya Pos dan Informatika d/h Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi (Postel) selaku regulator dalam hal standarisasi dan pengaturan/penataan penggunaan frekuensi di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh karena tingginya pita frekuensi tersebut sehingga timbulnya permasalahan teknis dalam pemanfaatan perangkat WIPAS yang menggunakan pita frekuensi 26 GHz keatas. Penggunaan pita frekuensi yang tinggi tersebut hanya diperbolehkan melalui perizinan telekomunikasi khusus dan hanya berlaku untuk seentara. Dengan demikian, Direktorat Jenderal Postel pada saat itu memberikan izin sementara untuk pemanfaatan teknologi WIPAS yang belum ada regulasinya di Indonesia dengan alasan untuk pemanfaatan dibidang riset. Setelah satu tahun penggunaan teknologi WIPAS terjadilah pro dan kontra dalam pemanfaatan teknologi WIPAS tersebut. Oleh karena itu adanya pro dan Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
kontra tersebut menjadi permasalahan dalam penelitian evaluatif ini guna menguji efektifitas dan manfaat pemanfaatan teknologi WIPAS. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk megevaluasi pemanfaatan teknologi WIPAS dalam membangun infrastruktur jaringan intranet untuk pemberdayaan komunitas di Kota Malang. Dalam hal ini, komunitas yang dimaksud adalah komunitas pelajar dan mahasiswa yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk mengakses situs-situs pembelajaran secara virtual (e-learning). Penelitian evaluasi diharapkan dapat menguji efektifitas pemanfaatan teknologi WIPAS. Dalam penelitian ini juga akan dideskripsikan pemanfaatan teknologi WIPAS untuk melihat manfaat penggunaan teknologi tersebut. Sementara itu, manfaat peneltian evaluatif ini adalah tersedianya rekomendasi dan solusi permasalahan pemanfaatan teknologi WIPAS untuk pemberdayaan komunitas pelajar di kota Malang. D. Kerangka Teori 1) Teknologi Pita Lebar (Broadband) Teknologi broadband secara umum didefinisikan sebagai jaringan atau layanan Internet yang memiliki kecepatan transfer yang tinggi karena memiliki jalur data yang besar. Telekomunikasi pita lebar merupakan salah satu arus telekomunikasi dunia saat ini. Setiap negara berusaha untuk membangun infrastruktur pita lebar dengan harapan infrastruktur ini akan meningkatkan efisiensi negara dan juga membuka jalan munculnya industri baru. Sementara teknologi Broadband Wireless Access (BWA), yang hingga sekarang masih dalam tahap pengembangan ini, adalah sebuah layanan akses data nirkabel dengan kecepatan tinggi. Teknologi ini memungkinkan kita mendapatkan akses internet yang cepat kapanpun dan dimanapun kita berada. Ada beberapa standar teknologi yang sedang diperjuangkan untuk menjadi standard global layanan BWA diantaranya: WCDMA, WiMAX, Mobile-fi , Wi-Fi, CDMA1xEVDO, HSDPA, dll. 2) Teknologi WIPAS Teknologi WIPAS (Wireless Internet Protocol Access System) dikembangkan oleh Nippon Telegraph and Telephone Corporation (NTT). Teknologi ini dikembangkan berdasarkan model point-to-multipoint access system pada jaringan nirkabel tetap atau Fixed Wireless Access (FWA) dengan memanfaatkan pita frekuensi 26-GHz. Pada mulanya, pengembangan teknologi WIPAS diperuntukkan untuk segmen rumah dan kantor kecil-rumah kantor (SOHO) (Yukihide, Tomotaka, Yasuhiro, Hideyuki, & Mitsuhiro, 2004). WIPAS menyediakan layanan akses broadband dengan teknologi nirkabel yang setara dengan serat optik. WIPAS memberikan kinerja terbaik untuk tipe layanan IP dengan tingkat transmisi 80 Mbit/s. Teknologi WIPAS juga kompatibel dengan teknologi jaringan serat optik FTTH (Fiber To The Home) dalam hal kecepatan biaya, transmisi dan antarmuka pengguna (Hitoshi, Akira, Yasunari, & Yoshihiko, 2010). Pengembangan WIPAS diharapkan dapat menjadi solusi bagi sistem komunikasi yang memiliki Band width besar.
14
Evaluasi Pemanfaatan ...
Keunggulan Teknologi WIPAS, antara lain: WIPAS merupakan teknologi pita lebar (broadband) baru dan dapat menampung kapasitas akses untuk traffic jaringan yang sangat besar. 2. WIPAS memungkinkan desain jaringan datar (flat) dan fleksibel 3. Perangkat WIPAS bersifat "Light-Weight", maksudnya; harga, berat dan ukuran perangkat WIPAS dapat dibandingkan dengan produk lain dengan daya transmisi yang sama 4. WIPAS memiliki hasil operasional yang sebenarnya (siap untuk digunakan dalam periode proyek) 5. WIPAS tidak memiliki Interferensi dengan gelombang frekuensi Radio lain karena WIPAS menggunakan pita frekuensi 26 GHz yang jarang digunakan untuk frekuensi komunikasi karena frekuensi tersebut sangat tinggi untuk telekomunikasi. Model perangkat WIPAS yang telah dikembangkan adalah AP (Access Point), yang mempunyai antarmuka ke jaringan serat optik yang dipergunakan sebagai sebagai core network, terdiri dari : RF unit (AP-RFU) termasuk didalamnya antena dan RF module, dan Interface Unit (AP-IFU) dan WT (Wireless Terminal), yang terdiri dari RF module, antena dan WT adapter (Djunaedi, Hendratno, & Affandi, 2009). Dalam penggunaan frekuensi 26 GHz tentunya sangat rentan terhadap pengaruh redaman hujan.
1.
3) Point to Multipoint Wireless Access Sistem Point-to-Multipoint atau Local Multipoint Distribution Service (LMDS) yang diimlementasikan pada jaringan akses nirkabel pita lebar atau Broadband Wireless Access (BWA), secara sejarah sama dengan sistem cellular atau narrow band wireless local loop. Sistem ini menyediakan wireless cell yang mencakup suatu area geografik yang spesifik (dengan radius sampai 4 mil) untuk mendeliver pelayanan telekomunikasi kepada pelanggan dalam area cell tersebut. Bandwidth koneksi ini dari 64kb/s sampai 155 Mb/s. Arsitektur Point-to-Multipoint juga menampakkan beberapa karakteristik unik yang membedakan dari jaringan public carrier yang lain. Untuk menyediakan konsistensi dan kecocokan dengan jaringan kabel, arsitekturnya didesain untuk mendukung Asyncrounus Transfer Mode (ATM) (Ryutaro, 2006). Saat ini, ATM menawarkan protokol terdefinisi dan quality of services metrics paling bagus (Rappaport, 2002). Struktur ATM cell juga membolehkan transmisi dua arah berbagai macam media seperti suara, data dan video, dengan adaptive layering menjamin integritas medium. Arsitektur Poin-to-Multipoint dapat menggabungkan isi multimedia dan mengirimnya dari single cell hub melalui satu atau lebih carrier ke banyak pelanggan dalam cell yang telah ditentukan. Masing-masing pelanggan mengirim balik transmisi yang unik ke hub, menyelesaikan access loop. Untuk menyempurnakan koneksi ini, Time Division Multiplex digunakan untuk jalur outbound atau downstream dimana paket informasi didalam wireless ATM frame. Virtual Path Identifiers (VPI) dan Virtual Channel Identifiers (VCI) dengan ATM protocol memberi alamat pada masing-masing packet dengan point tujuan mereka. Inbound path atau upstream channel di beri fasilitas melalui Frequency Division Multiple Access (FDMA) atau Time Division Multiple Access (TDMA), tergantung pada karakteristik dari sirkit yang diminta. Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
Biasanya, FDMA digunakan untuk sirkuit yang membutuhkan kecepatan diatas T1/E1, dan dimana dedicated channel selalu on-line untuk proses komunikasi. TDMA pada umumnya digunakan untuk kecepatan lebih rendah dari T1/E1, dimana kanal dibagi-bagi lebih dari satu pemakai. Di dalam skenario ini, trafik di dalam kanal dapat dialokasikan pada pemakai berbasis Constant Bit Rate (CBR) atau Variable Bit Rate (VBR), tergantung pada kebutuhan pemakai. TDMA juga sangat berguna dimana alokasi spektrum kecil dan tidak mendatangkan untuk menyediakan pelanggan dengan individual upstream channels. Banyak sistem operator yang mempunyai pelayanan campuran dan target marget yang memerlukan dua kasus tersebut. Maka pilihan metode akses TDMA dan atau FDMA ke dalam satu sistem menjadi penting bagi pendesain sistem dan sistem operator. E. Metodologi Penelitian Penelitian evaluatif ini dilakukan dengan melakukan observasi pada lokasi implementasi pemanfaatan teknologi WIPAS dan mengamati kinerja perangkat yang terinstalasi baik dari aspek perangkat keras maupun perangkat lunak yang terinstalasi serta mengevaluasi permasalahan yang muncul setelah implementasi dilaksanakan. 1) Teknik Pengumpulan Data Data yang dioservasi dalam penelitian ini adalah perangkat keras WIPAS, Perangkat Lunak (Videoconference dan Video Archive) dan fungsi keseluruhan sistem. 2) Teknik Analisis Data Berdasarkan hasil observasi, data yang dianalisa berupa analisa implementasi perangkat keras dan perangkat lunak, analisa 1. Untuk mellihat efektifitas pemanfaatan WIPAS maka dilakukan penelitian yang ditujukan menguji dan mengevaluasi pemanfaatan teknologi WIPAS yang telah diimplementasikan untuk pemberdayaan komunitas pelajar di kota Malang. Penelitian dilakukan dengan cara: a. Mengumpulkan data melalui observasi perangkat keras dan perangkat lunak. b. Menganalisa implementasi perangkat keras dan perangkat lunak, c. Menganalisa redaman hujan melalui hasil studi literatur dan hasil riset yang telah dilakukan oleh perguruan tinggi setempat. 2. menganalisa fungsi keseluruhan sistem berdasarkan hasil Final Test (FT). Langkah FT tersebut antara lain; a. Test penerimaan sinyal (signal reception test), b. Test antar titik ke titik (node to next node test), c. Test aplikasi (application test). 3. Menganalisa Implementasi Jaringan Intranet Bagi Pemerintah Daerah Untuk memperkaya hasil analisa, dalam penelitian ini juga dilakukan studi literatur. II. GAMBARAN UMUM A. Pembangunan Infrastruktur Jaringan Intranet di Kota Malang Pada tahun 2007 Pemerintah Kota Malang, Jawa Timur pernah mendapatkan bantuan dari Asia Pacific Telecommunity Japan (APT-J3), yang melibatkan tiga stakeholders, di antaranya Kementerian Kominfo, Nippon Telagraph & Telephone (NTT) Advance Technology Coorporation, dan 15
Evaluasi Pemanfaatan ...
sebuah kontraktor yakni, Telecommunication Technology Commite (TTC) dari Jepang. Bantuan insfrastruktur jaringan computer melalui pembangunan teknologi internet berbasis WIPAS dengan menambah kapasitas jaringan internet yang ada di lingkungan Pemkot Malang. Tujuan dari proyek penelitian ini adalah untuk mendesain dan mengimplementasikan jaringan intranet berkecepatan tinggi menggugunanakan media nirkabel (wireless) dengan teknologi WIPAS (Wireless Internet Protocol Access System) frekuensi 26 GHz yang dipergunakan untuk model pembelajaran jarak jauh (video conference) dan komunitas pembelajaran berbasis TIK atau e-learning. Pilihan NTT Advance Technology Corporation (ATC) jatuh ke Malang karena Malang dinilai serius menekuni egoverment. Kerjasama ini merupakan kelanjutan kerjasama antara Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang dengan Keio University, NTT ATC dan Pemkot Malang yang dimulai sejak setahun sebelumnya. Saat itu baru WIPAS yang dipasang baru 7 titik. Namun saat ini, NTT ATC sudah memasang tujuh titik WIPAS, yakni di SMPN 1, SMAN 3, SMAN 4, SMAN 9, Puskowanjati, Unibraw dan KPDE Pemkot Malang (APTICT Dev. Program, 2007). Pemasangan akan ditingkatkan menjadi 19 titik. Dari jumlah itu 14 titik akan dipasang di sekolah dan lima di kantor kecamatan, antara lain di sekolah model, MIN, SMKN 4, SMK Grafika. Menurut Kepala Kantor Pusat Data dan Elektronik Pemerintah Kota Malang, Dra. Tri Widyani P. M.Si; “Jaringan WIPAS akan menghubungkan jaringan sekolah di Malang dengan Jepang dan negara-negara yang tergabung dalam Asia Pasific Telecommunication (APT). Pemasangan WIPAS di sekolah memudahkan dalam mengakses modul pembelajaran dari Jepang sebagai bahan pengkayaan materi pembelajaran". Adapun manfaat yang akan diperoleh dari pembangunan jaringan WIPAS adalah (APTICT Dev. Program, 2007):
1.
Terbangunnya jaringan intranet berkecepatan tinggi dengan menggunakan Wireless Internet Protocol Access System (WIPAS) 2. Menambah pengetahuan khususnya pada bidang TIK, mengenai pengembangan jaringan komputer dengan media wireless. 3. Menambah pengetahuan dalam bidang teknologi pembelajaran berbasis TIK 4. Mengurangi kesenjangan digital Secara umum sistem yang terbangun adalah jaringan intranet nirkabel berkecepatan tinggi menggunakan teknologi WIPAS yang menghubungkan sekolah SMPN 1, SMAN 1, SMAN 3, SMAN 4, SMAN 9, Universitas Brawijaya, dan Kantor Pengolahan Data Elektronik (KPDE) yang disebut ICT Access Point, dan Telecenter Pusat Koperasi Wanita Jawa Timur (PUSKOWANJATI). Pembangunan infrastruktur jaringan intranet di Kota Malang memiliki landasan hukum sebagai berikut: 1. Peraturan Pemerintah Nomor: 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah; 2. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor: 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah; 3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor: 50 Tahun 2000 tentang Tim Koordinasi Telematika Indonesia; 4. Instruksi Presiden Republik Indonesia No: 3 Tahun 2004 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-Government; 5. Keputusan Menteri Komunikasi dan Informasi Nomor: 69A/KEP/M.KOMINFO/10/2004 tentang Panduan Teknis Pembangunan dan Pengelolaan Infrastruktur dan Manajemen Sistem Informasi Pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten/ Kota; 6. Peraturan Daerah Kota Malang Nomor: 6 Tahun 2004 tentang Pembentukan, Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi dan Struktur Organisasi Badan dan Kantor Sebagai Lembaga Teknis Pemerintah Kota Malang;
Gambar 1 Skema instalasi jaringan intranet nirkabel WIPAS Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
16
Evaluasi Pemanfaatan ...
7.
Keputusan Walikota Malang Nomor: 356 Tahun 2004 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Kantor Pengolahan Data Elektronik. Pemanfaatan teknologi WIPAS dalam jaringan intranet ini dilakukan beberapa langkah sebagai berikut; sebagai langkah pertama yang dilakukan adalah analisis kebutuhan sistem disesuaikan dengan keadaan di lapangan. Langkah kedua adalah perancangan yang dilanjutkan dengan implementasi, pengujian, penyempurnaan, dan penerapan desain sistem. Untuk melengkapi infrastruktur yang ada, maka dalamnya disertakan aplikasi untuk Video Converence dan aplikasi Video Archive untuk pembelajaran. B. Arsitektur Jaringan WIPAS Dengan memempertimbangkan kondisi di lapangan sesuai letak masing-masing titik yang akan dibangun, maka dibuat desain untuk konfigurasi jaringan WIPAS, seperti pada Gambar 1. C. Perangkat Keras (Hardware) Dari konfigurasi jaringan dan hasil survai di lapangan, peralatan/ perangkat keras yang dipasang di masing-masing titik/lokasi adalah sebagai berikut : TABEL 1. PERANGKAT WIPAS YANG DIINSTALASIKAN PADA TIAP LOKASI LOKASI
KPDE
Universitas Brawijaya
SMP 1
SMA 1 SMA 4 SMA 3
SMA 9
Puskowanjati
PERANGKAT
WT antenna/ WIPAS Equipment PC Router Kabel, dll WT Antenna/ WIPAS Equipment Spare WT Antenna Admin tool of WIPAS (software) PC Router (1) Laptop (1) Kabel, dll WT Antenna/ WIPAS Equipment PC Router PC WebCam Kabel, dll PC WebCam Kabel, dll PC WebCam Kabel, dll WT Antenna/ WIPAS Equipment Tower 32 m PC Router PC WebCam Kabel, dll WT antenna/ WIPAS Equipment Switch PC Router PC WebCam Kabel, dll Tower 32 m
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
JUMLAH
1 set 1 unit
LOKASI
PERANGKAT
JUMLAH
WT Antenna/ WIPAS Equipment Switch PC router Laptop Video Camcorder Tripod
2 set 1 unit 1 unit 1 unit 1 unit 1 unit
TABEL 2. SPESIFIKASI TEKNIS WIPAS
Frequency Band Communication Protocol Symbol Speed Modulation Scheme Maximum Forward Rate of Ethernet Frame Transmission Power
Minimum Receiving Power Interface Antenne Transmission Range Security
26 GHz TDM/TDD 20M Symbol / Sec 16QAM/QPSK QPSK : 40 Mbps (16 Mbps) 16 QAM : 80 Mbps (32 Mbps) QPSK : 14 dBm (ATPC : -9 to +11dBm) 16 QAM : 80 Mbps (ATPC : -6 to +14dBm) QPSK : -77 dBm 16 QAM : -69 dBm 100 Base-T or 10 Base-TX 18cm Flat Anenna (31.5 dBi) 3-4 km (Line of Sight) Algoritma Enkripsi triple-DES terimplementasi pada hardware
2 set 4 set 1 unit 1 unit 1 unit
2 set 1 unit 1 unit 1 unit 1 unit 1 unit
Gambar 2. Perangkat WIPAS (Sumber
: NTT East, 2007)
Dari spesifikasi teknis pada Tabel 2, maka konfigurasi untuk WIPAS adalah seperti pada Gambar 3
1 unit 1 unit 1 set 1 set 1 unit 1 unit 1 unit 3 set 1 unit 1 unit 1 unit 1 unit 1 set
Gambar 3. Konfigurasi Jaringan WIPAS
Dengan jarak masing-masing lokasi antara 1.3 km sampai dengan 3,4 km, maka untuk mendapatkan hasil yang optimal dilakukan langkah sebagai berikut : Untuk jarak di bawah 3 km menggunakan modulasi 16 QAM. 17
Evaluasi Pemanfaatan ...
Untuk jarak di atas 3 km, menggunakan modulasi QPSK Berdasarkan desain di atas, jaringan baru dikembangkan di Malang didasarkan pada teknologi WIPAS dan menggunakan lingkungan seperti SOI Asia untuk video dan sistem audio. Jaringan ini direncanakan untuk komunikasi dan berbagi pengetahuan serta informasi antara masyarakat (komunitas) sekitar Puskowanjati, KPDE, SMP 1, SMA1, SMA 3 dan SMA 4. Adapun komunitas yang dimaksud adalah komunitas pembelajaran dengan model elearning. SOI ASIA adalah Proyek pembelajaran jarak jauh dengan memanfaatkan internet (e-learning) berbasis satelit untuk menyediakan lingkungan internet dengan cara lebih murah, mudah digunakan, dan lebih layak untuk universitas yang berlokasi di daerah di mana lingkungan Internet tidak cukup berkembang. Proyek ini Melaui SOI Asia dilakukan penelitian dan pengembangan teknologi yang diperlukan oleh sumber daya manusia IT untuk pembangunan di Asia saat ini. Melalui infrastruktur jaringan nirkabel merupakan salah satu alternatif untuk pengembangan model pembelajaran elearning. Pengembangan Jaringan dilakukan di Sekolah Menengah Atas di Kota Malang dengan memanfaatkan Jaringan WIPAS sebagai backhaul. Pengukuran kinerja jaringan dipergunakan adalah untuk synchronous learning. Setiap lokasi dilengkapi dengan router berbasis PC dan sistem operasi FreeBSD. Sistem WIPAS digunakan untuk menghubungkan masing-masing lokasi. Jaringan WIPAS menggunakan skema pengalamatan IPv4 dan IPv6. Skema IPv4 digunakan untuk operasi internal sementara skema IPv6 digunakan untuk menghubungkan jaringan dengan jaringan intranet SOI Asia melalui Universitas Brawijaya.
D. Implementasi Perangkat Lunak (Software) Untuk menjamin keberlanjutan dan keinambungan jaringan intranet yang diimplemantasikan,maka digunakan perangkat lunak Open Source karena karena bebas biaya dan memudahkan untuk mendapatkan informasi / dokumentasi dalam fase operasional. Selain itu juga digunakan perangkat lunak operation-proofed, seperti Video Conference (VIC) perangkat lunak untuk video dan Robust Audio Tool (RAT) untuk memanfaatkan video-audio pembelajaran dari SOI
Gambar 4. Konfigurasi Jaringan SOI Asia (sumber: SOI Asia)
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
Gambar 5. Konfigurasi jaringan untuk e-learning
Asia. Semua bahan lainnya dan arsip disimpan di komputer server dan dapat diakses dengan menggunakan web browser. E. VIC ( Video Conference) VIC merupakan perangkat lunak yang digunakan untuk videoconference, dapat dipergunakan secara point to point atau secara multiparty dengan melibatkan banyak peserta. Untuk penggunaan point to point, mekanisme yang digunakan adalah unicast. Untuk bisa malakukan conference dengan point to point ini, kita harus mengetahui alamat dari komputer yang akan digunakan untuk melakukan conference. Sedangkan untuk conference dengan melibatkan banyak peserta, digunakan mekanisme multicast. Dengan mekanisme ini semua peserta conference harus mengetahui alamat multicast yang akan digunakan untuk conference bersama. Perangakat lunak VIC ini telah didesain untuk keperluan unicast maupun multicast dan pada versi ini(2.8) juga telah mendukung penggunaan IPv6. 1) RAT ( Robust Audio Tool) RAT merupakan perangkat lunak yang digunakan untuk menangani audio, ketika melakukan video conference. RAT merupakan pasangan VIC. Perangakat lunak ini juga telah didesain untuk keperluan unicast maupun multicast dan pada versi ini juga telah mendukung penggunaan IPv6. 2) Video Archive Pada jaringan ini terdapat satu server yang digunakan untuk menyimpan file-file video untuk pembelajaran. Saat ini yang telah tersimpan adalah untuk pembelajaran biologi. III. ANALISIS DAN PEMBAHASAN Kebutuhan jaringan nirkabel saat ini semakin meningkat, mengingat jaringan nirkabel ini lebih fleksibel, mudah pengoperasiannya, dan lebih murah harganya. Dengan meningkatnya permintaan jaringan akses nirkabel untuk layanan multimedia broadband dengan kecepatan dan kinerja tinggi seperti mobile internet, video conference telah mendorong pada penggunaan spektrum frekuensi radio yang lebih tinggi yaitu pada frekuensi 20 - 40 GHz. Saat ini yang telah banyak beredar di pasaran untuk perangkat nirkabel adalah perangkat yang bekerja dengan 18
Evaluasi Pemanfaatan ...
frekuensi 2.4 GHz, atau yang berstandar IEEE 802.11 b/g atau WiFi(Wireless Fidelity). Untuk memenuhi kebutuhan layanan multimedia broadband, diperlukan perpaduan antara perangkat yang digunakan untuk jaringan distribusi menggunakan WiFi dan backhaul yang dapat menyediakan bandwidth yang lebih besar. Pada jaringan ini backhaul WIPAS mengggunakan perangkat yang bekerja pada frekuensi 26 GHz, WIPAS. Dari hasil perencanaan dan pemodelan, yang dipergunakan untuk memenuhi layanan multimedia pembelajaran, synchronous elearning, diperlukan kecepatan aliran data (throughput) minimal, yaitu pada sinyal penerimaan minimal (received signal minimal) -76 dBm. Dari hasil implementasi sistem, ada tiga hal yang perlu diuraikan dan dievaluasi adalah; perangkat keras WIPAS, Perangkat Lunak (Videoconference dan Video Archive) dan fungsi keseluruhan sistem.
Gambar 6. Grafik Pengaruh Redaman Hujan Terhadap Akses Jaringan
A. Analisis Redaman Hujan Mengingat untuk frekuensi tinggi (diatas 10 GHz) faktor redaman hujan cukup besar pengaruhnya dan di Kota Malang,
curah hujan juga cukup tinggi, maka perlu dilakukan anallis pengaruh redaman terhadap performa WIPAS (Habibuddin & Gamantyo, 2010). Dari hasil evaluasi didapatkan pengaruh redaman hujan pada perangkat yang bekerja pada frekuensi 26 GHz (frekuensi kerja WIPAS), ditunjukkan seperti pada Gambar 6. Kinerja WIPAS diukur berdasarkan hasil pengukuran curah hujan yang dikonfersikan menjadi redaman hujan dan juga hasil pengukuran received level, throughput dan delay pada sistem. Jaringan WIPAS sering loss contact saat curah hujan di atas 63 mm/jam atau redaman hujan mencapai 20 dB (Habibuddin & Gamantyo, Analisis Pengaruh Redaman Hujan Pada Sistem Komunikasi Pita Lebar WIPAS, 2010). Link yang sejajar dengan arah kedatangan hujan akan memiliki nilai redaman yang kecil. Link yang tegak lurus terhadap arah Kedatangan hujan memiliki nilai redaman yang lebih besar. Korelasi nilai redaman antara dua link sebesar 0.4 termasuk kolerasi yang agak rendah, setiap terjadi penurunan received level dari satu link maka pada umumnya (terkadang tidak) diikuti dengan turunnya received level dari link lainnya. Berdasarkan spesifikasi perangkat WIPAS dan faktor rugirugi transmisi yang disebabkan oleh redaman, maka perangkat ini dapat memberikan hasil yang optimum pada jarak 3 km – 3,5 km dengan menggunakan modulasi QPSK dan jarak 2 km – 2,5 km menggunakan modulasi 16 QAM, seperti di tunjukkan pada Gambar 7. Untuk parameter kinerja WIPAS yang lainnya adalah throughput dan delay, semakin kecil nilai received level pada WIPAS maka nilai throughput juga semakin kecil. Nilai throughput tercatat paling kecil 157,25 Kbs dengan nilai received level -76 dBm. Disarankan menggunakan teknik mitigasi untuk mengurangi pengaruh redaman hujan seperti teknik diversity, teknik menaikkan daya pancar saat terjadi hujan secara automatis, pemasangan relay dan sebagainya.
Gambar 7. Grafik Perbandingan Performa WIPAS(Sumber : NTT East, 2007)
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
19
Evaluasi Pemanfaatan ...
Gambar 8. Aplikasi Perangkat Lunak
B. Analisa Perangkat Lunak Perangkat lunak VIC dan RAT digunakan untuk keperluan konferensi dengan melibatkan banyak peserta yang terkoneksi melalui internet secara real time menggunakan metode multicast dan menggunakan sistem pengalamatan menggunakan IPv6. Sedangkan untuk video archive dapat diakses dengan menggunakan webbrowser, seperti ditunjukkan pada Gambar 8. C. Analisis Fungsi Sistem Aplikasi dan konten adalah fitur lain yang penting dari jaringan baru karena sosialisasi sistem dengan komunitas setempat untuk mempromosikan pemanfaatan di masa depan, terutama setelah periode proyek dengan memastikan keberlanjutan proyek. Interkoneksi dengan SOI Asia dan INHERENT merupakan salah satu fitur utama dari jaringan baru karena memungkinkan pemanfaatan lebih lanjut dan kesinambungan jaringan baru di masa depan.
Secara umum fungsi jaringan intranet pita lebar (brodband) dan berkecepatan tinggi yang telah dibangun ini dapat berfungsi sebagaimana yang telah direncanakan. Sebagai keseluruhan sistem, diagram sistem yang dikembangkan seperti pada Gambar 9. PC-Router dikonfigurasi untuk merutekan Unicast dan Multicast pada Internet Protocol Version 4 (IPv4) dan Internet Protokol Version 6 (IPv6). Dengan demikian, jaringan ini adalah memberikan fungsi yang sangat fleksibel, seperti spesifikasi aplikasi SOI dan aplikasi ordinal pada saat yang sama. Konfigurasi tersebut juga memungkinkan multicast pada jaringan ini dapat mengurangi kepadatan lalu lintas (traffic) jaringan secara signifikan, terutama ketika banyak pengguna yang menggunakan aplikasi real-time seperti video teleconference. Teknologi ini sangat berguna tentang fakta bahwa jaringan itu sendiri memiliki keterbatasan. Server pengarsipan telah di-set-up dengan Zope dan Plone yang menggunakan system Operasi Linux. Hal ini untuk menangani permintaan HTTP termasuk video streaming dari SOI Asia
Legend Symbol IPv4 Unicast Transaction Logical Connection IPv6MultiCasTransmission
Archive Server
PC RAT VIC
WMP
PC
Plone
IE
IE
RAT VIC
WMP
Apache Zope Windows XP
PC-Router Linux
IPv6
IPv4
PHP Linux
IPv4 IPv6
IPv6
IPv4
PC-Router
PC-Router
Linux
Linux
IPv4 IPv6
IPv6 IPv4
Windows XP
IPv4
IPv6
WIPAS
Gambar 9. Diagram Sistem Konfigurasi Jaringan WIPAS
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
20
Evaluasi Pemanfaatan ...
PC di lokasi proyek. Default web browser dan video player digunakan untuk menerima konten pembelajaran yang disebarkan dari Universitas Brawijaya selaku pengelola. Dengan Plone, siap digunakan untuk membangun situs Portal, dan juga mudah untuk mempertahankan dengan mudah cadangan dan memulihkan. Sistem Operasi Linux dan Plone adalah Perangkat Lunak Open Source dan banyak dimanfaatkan melalui Internet sehingga mudah untuk menemukan dokumentasi jika masyarakat lokal Malang ingin memperluas server sendiri. Server juga di set-up dengan lebih dari 100 arsip video yang dapat dimanfaatkan di dalam kelas aktual Malang.
WITH TCP -----------------------------------------------------------#iperf -c 192.168.200.1 -----------------------------------------------------------Client connecting to 192.168.200.1, TCP port 5001 TCP window size: 32.5 KByte (default) -----------------------------------------------------------[ 3] local 192.168.200.2 port 49236 connected with 192.168.200.1 port 5001 [ 3] 0.0-10.0 sec 36.0 MBytes 30.2 Mbits/sec WITH UDP -----------------------------------------------------------#iperf -s -u -i 1 -----------------------------------------------------------Server listening on UDP port 5001 Receiving 1470 byte datagrams UDP buffer size: 41.1 KByte (default) -----------------------------------------------------------[ 3] local 192.168.200.1 port 5001 connected with 192.168.200.2 port 57117 [ 3] 0.0- 1.0 sec 128 KBytes 1.05 Mbits/sec 0.095 ms 0/ 89 (0%) [ 3] 1.0- 2.0 sec 128 KBytes 1.05 Mbits/sec 0.114 ms 0/ 89 (0%) [ 3] 2.0- 3.0 sec 128 KBytes 1.05 Mbits/sec 0.094 ms 0/ 89 (0%) [ 3] 3.0- 4.0 sec 128 KBytes 1.05 Mbits/sec 0.088 ms 0/ 89 (0%) [ 3] 4.0- 5.0 sec 128 KBytes 1.05 Mbits/sec 0.087 ms 0/ 89 (0%) [ 3] 5.0- 6.0 sec 129 KBytes 1.06 Mbits/sec 0.071 ms 0/ 90 (0%) [ 3] 6.0- 7.0 sec 128 KBytes 1.05 Mbits/sec 0.101 ms 0/ 89 (0%) [ 3] 7.0- 8.0 sec 128 KBytes 1.05 Mbits/sec 0.160 ms 0/ 89 (0%) [ 3] 8.0- 9.0 sec 128 KBytes 1.05 Mbits/sec 0.086 ms 0/ 89 (0%) [ 3] 9.0-10.0 sec 128 KBytes 1.05 Mbits/sec 0.075 ms 0/ 89 (0%) [ 3] 0.0-10.0 sec 1.25 MBytes 1.05 Mbits/sec 0.079 ms 0/ 893 (0%)
D. Hasil Final Test (FT) Untuk memastikan kinerja jaringan WIPAS yang digunakan pada proyek pembangunan infrastruktur jaringan untuk pemberdayaan komunitas, maka dilaksanakan Uji Akhir atau Final Test (FT). Adapun prosedur yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Tes penerimaan sinyal (signal reception test); menguji dengan mengumpulkan tingkat penerimaan gelombang radio 26GHz di setiap lokasi 2.
Tes dari satu titik ke titik lainnya (node to next node test); tes ini bertujuan untuk menguji penerimaan sinyal dari satu titik ke titik yang lain. Tes dilakukan dengan mengumpulkan data throughput dari transmisi data pada tiap titik lokasi.
Gambar 10. Contoh hasil tes penerimaan sinyal WITH TCP -----------------------------------------------------------# iperf -s -----------------------------------------------------------Server listening on TCP port 5001 TCP window size: 64.0 KByte (default) -----------------------------------------------------------[ 4] local 192.168.200.1 port 5001 connected with 192.168.200.2 port 49236 [ 4] 0.0-10.0 sec 36.0 MBytes 30.2 Mbits/sec WITH UDP -----------------------------------------------------------# iperf -c 192.168.200.1 -u -----------------------------------------------------------Client connecting to 192.168.200.1, UDP port 5001 Sending 1470 byte datagrams UDP buffer size: 9.00 KByte (default) -----------------------------------------------------------[ 3] local 192.168.200.2 port 57117 connected with 192.168.200.1 port 5001 [ 3] 0.0-10.0 sec 1.25 MBytes 1.05 Mbits/sec [ 3] Sent 893 datagrams [ 3] Server Report: [ 3] 0.0-10.0 sec 1.25 MBytes 1.05 Mbits/sec 0.078 ms 0/ 893 (0%)
Gambar 11. Hasil Test titik ke titik dari Unibraw ke SMA 9 Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
Gambar 12. Hasil Test titik ke titik dari SMA 9 ke Unibraw
Tes aplikasi (application test); tes untuk menguji kelayakan aplikasi Sebagai hasil dari keseluruhan test, throughput dari jaringan adalah sekitar 30 Mbps. Contoh hasil tes penerimaan sinyal dan contoh hasil tes penerimaan sinya dari satu titik ke titik yang lain ditunjukkan pada Gambar 10, Gambar 11 dan Gambar 12. Sistem WIPAS yang beroperasi pada pita frekuensi 26 GHz memiliki kelemahan, yaitu sangat rentan terhadap cuaca. Apabila turun hujan maka performansi sistem akan sangat terganggu, bahkan tidak dapat beroperasi sama sekali. Sistem WIPAS hanya bersifat komunikasi jarak pendek (short range communication) dan tidak sesuai untuk meng-cover area yang luas. Dengan demikian sistem WIPAS cocok diaplikasikan pada wilayah urban/perkotaan khususnya di pusat-pusat komunitas. 3.
E. Analisis Implementasi Jaringan Intranet Bagi Pemerintah Daerah Dari sudut pandang pemerintah daerah, pembangaunan infrastruktur jaringan intranet dengan teknologi WIPAS dapat dikembangkan untuk memberdayakan komunitas. Disamping itu infrastruktur jaringan intranet dapat dimanfaatkan sebagai bagian dari implementasi tata kelola pemerintah secara elektronis (e-government) daerah. Implementasi egovernment yang ditunjang dengan infrastruktur yang memadai dapat dipromosikan untuk meningkatkan pelayanan bagi masyarakat setempat di daerah Malang. Sejalan dengan perkembangan e-government, pemerintah lokal dapat menambahkan situs lain dalam jaringan WIPAS untuk mempromosikan pemanfaatan TIK lebih lanjut, termasuk aplikasi elektronis untuk sistem pemerintah daerah. Dengan dukungan infrastruktur yang telah diimplementasikan, perluasan konektivitas Internet di manapun akan memiliki dampak yang signifikan terhadap daerah Malang. Hal ini bermanfaat untuk mengurangi kesenjangan digital dan beralih ke model pelayanan 21
Evaluasi Pemanfaatan ...
pemerintah yang lebih modern. Promosi pemanfaatan TIK dapat menjadi kebijakan prioritas bagi pemerintah setempat. Dengan demikian, kota Malang dapat fokus dalam mengembangkan e-government sebagai penyelenggaraan pemerintah yang baik. Kendala dalam hal pemanfaatan teknologi WIPAS dalam pemberdayaan komunitas di Kota Malang adalah belum adanya regulasi penggunaan frekuensi 26 GHz keatas yang dikeluarkan oleh pemerintah. Regulasi penggunaan frekuensi yang berlaku di Indonesia dikeluarkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika tepatnya dibawah naungan Direktorat Jenderal Sumber Daya Perangkat Pos dan Informatika (dahulu Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi). Regulasi penggunaan frekuensi tertinggi di Indonesia adalah untuk penggunaan frekuensi 24 GHz. Pemerintah Kota Malang harus meminta perizinan Telekomunikasi Khusus untuk dapat menggunakan teknologi WIPAS yang menggunakan frekuensi 26 GHz. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarakan hasil studi evaluasi implementasi teknologi WIPAS dalam pembangunan infrastruktur jaringan intranet di kota Malang, dapat disimpulkan : 1. Pengembangan infrastruktur jaringan dengan teknologi WIPAS untuk pemberdayaan komunitas di kota Malang sangat efektif karena perangkat tersebut mempunyai lebar jalur yang memadai untuk melewatkan data yang besar sehingga memungkinkan melakukan videoconference untuk pembelajaran jarak jauh. 2. Teknologi WIPAS merupakan salah teknologi akses jaringan nirkabel pita lebar (broadband wireless access) menggunakan merupakan pita frekuensi 26 GHz. Penggunaan pita frekuensi tersebut sangat tinggi untuk diimplementasikan di Indonesia dan belum ada regulasi yang mengatur penggunaan frekuensi tersebut. Disamping itu, WIPAS memiliki kendala dengan cuaca terutama curah hujan. 3. Dari hasil analisis performa WIPAS, perangkat tersebut masih dapat beroperasi secara optimal pada jarak 3,4 km dengan menggunkan modulasi QPSK, sedangkan untuk jarak dibawah 3 km menggunakan modulasi 16 QAM.
2. 3. 4.
Malang, karena secara teknis penggunaannya sangat menguntungkan bagi kelancaran proses manajemen pemerintahan sehingga dapat berdampak terhadap peningkatan kualitas pelayanan publik. Teknologi WIPAS dapat direkomendasikan untuk mempromosikan aplikasi elektronis pemerintahan yang membutuhkan kecepatan akses yang tinggi. Perlunya regulasi untuk mengatur penggunaan frekuensi 26 GHz yang diperuntukkan bagi instansi pemerintah terutama di daerah. Perlu adanya kerjasama lanjutan untuk mengadakan evaluasi dan monitoring terhadap peralatan WIPAS dengan pihak NTT East agar bila terjadi gangguan, dapat segera terselesaikan. DAFTAR PUSTAKA
APTICT Dev. Program. (2007). Final Reort APT ICT Development Programme. Jakarta: APTICT Dev. Program. Djunaedi, S., Hendratno, G., & Affandi, A. (2009). Pengembangan Jaringan Akses Nirkabel Pita Lebar Berbasis WiFi Pada Backhaul WIPAS Untuk eLearning. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh November. Galadja. (2009). Infrastructure for Packet Based e-Learning Services Provided Via Satellite. Vol. 9 No.1. Habibuddin, & Gamantyo, H. (2010). Analisis Pengaruh Redaman Hujan Pada Sistem Komunikasi Pita Lebar WIPAS. Surabaya, Indonesia: Master Thesis of Electrical Engineering, ITS. Habibuddin, & Gamantyo, H. (2010). Prediksi Redaman Hujan Pada Sistem Komunikasi Pita Lebar (WIPAS) Di Malang Dengan Metode SST. Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana X-ITS . Hitoshi, H., Akira, M., Yasunari, T., & Yoshihiko, S. (2010). Advance Wireless IP Access System Compatible With FTTH. NTT Technical Review Journal, Vol. 8 No. 11 . Rappaport, T. (2002). Wireless Communications Principles and Practice. USA: Prentice Hall, Inc. Ryutaro, O. (2006). Experience of Low-cost 26 GHz Fixed Wireless Access System in Japan – WIPAS. Telektronik., Vol.2 . Yukihide, M., Tomotaka, Y., Yasuhiro, H., Hideyuki, M., & Mitsuhiro, B. (2004). Improvement to WIPAS for Application Area Expansion. NTT Technical Review., Vol. 2 No. 9 .
B. Saran Adapun saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penggunaan WIPAS hendaknya dapat dipasang di semua titik lokasi pada Dinas/Instansi di Pemerintah Kota
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
22
Analisis Perbandingan ...
Analisis Perbandingan Kualitas Pengalaman dengan Standar Kualitas Layanan bagi Pelanggan Seluler the comparative analysis of quality of experience and quality of service for mobile consumer Iman Sanjaya Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika, Jl.Merdeka Barat No.9 Jakarta 10110
[email protected] Naskah diterima: 20 Februari 2012; Naskah disetujui: 19 Maret 2012 Abstract— The highly competitive cellular industry drives operators to keep their quality to survive in the competition. One of the implemented strategies by the operators is to achieve and comply with the service quality standards set by the regulator. However, the quality of service is appropriate for the operator because of its technical metrics, while mobile users need more appropriate measures. Users perceive the offered quality based on their experience, well known as quality of experience. This study attempts to compare the quality of services provided by operators with the perceived quality of experience. Quantitative descriptive analysis showed a difference between the two measures, there are still many users feel the received quality of services are still lower than they expected. Keywords— quality of experience, quality of service, mobile consumer Abstrak—Industri telekomunikasi seluler yang sangat kompetitif mendorong operator untuk terus menjaga kualitasnya agar dapat bertahan dalam persaingan. Salah satu strategi yang diterapkan oleh operator adalah mematuhi dan mencapai standar kualitas layanan yang telah ditetapkan oleh regulator. Namun demikian, standar kualitas layanan tersebut lebih sesuai diperuntukkan bagi operator tersebut karena sifatnya yang cenderung teknis, sementara bagi pengguna seluler ukuranukuran tersebut dirasa kurang tepat. Pengguna menilai kualitas yang disampaikan oleh operator berdasarkan persepsi yang mereka terima, atau lebih dikenal sebagai kualitas pengalaman. Penelitian ini mencoba untuk membandingkan antara kualitas layanan yang diberikan operator dengan kualitas pengalaman yang diterima pengguna berdasarkan persepsinya. Analisis deskriptif kuantitatif menunjukkan adanya perbedaan antara kedua ukuran tersebut, dimana secara umum pengguna merasakan masih banyak kualitas layanan yang diterima lebih rendah dari yang diharapkan. Kata Kunci—kualitas pengalaman, kualitas layanan, pelanggan seluler
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
I. PENDAHULUAN Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang demikian pesat telah mendorong inovasi dan perkembangan berbagai jenis layanan telekomunikasi, sehingga telekomunikasi sekarang ini tidak lagi dilaksanakan sebagai utilitas publik melainkan sebagai jasa komersial yang diperdagangkan. Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah telah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada swasta dan masyarakat untuk ikut berperan serta dalam penyelenggaraan telekomunikasi. Pemberian kesempatan kepada swasta ditindaklanjuti dengan adanya deregulasi di bidang telekomunikasi yang mengubah struktur industri telekomunikasi dari monopoli ke kompetisi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Dalam pelaksanaan kompetisi penyelenggaraan telekomunikasi, para penyelenggara telekomunikasi dituntut untuk terus meningkatkan kinerja pelayanan (servicing performance) agar dapat bertahan. Untuk bertahan dalam kompetisi tersebut, strategi mempertahankan pelanggan menjadi hal utama, sehingga kepuasan pelanggan menjadi salah satu hal prioritas Di sisi lain, pelanggan selaku konsumen akhir membutuhkan jaminan kualitas yang memuaskan atas layanan telekomunikasi yang mereka gunakan. Oleh karena itu diperlukan suatu standar kualitas pelayanan di bidang telekomunikasi guna melindungi kepentingan konsumen. Dalam rangka memenuhi kepentingan konsumen akan layanan telekomunikasi, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika pada tahun 2008 telah menetapkan 5 (lima) peraturan menteri yang mengatur mengenai standar kualitas layanan. Kelima peraturan tersebut adalah Permenkominfo No.10/Per/M.Kominfo/04/2008 tentang Standar Kualitas Pelayanan Jasa Teleponi Dasar pada Jaringan Tetap Sambungan Langsung Jarak Jauh, Permenkominfo No. 11/Per/M.Kominfo/04/2008 tentang
23
Analisis Perbandingan ...
Standar Kualitas Pelayanan Jasa Teleponi Dasar pada Jaringan Tetap Lokal, Permenkominfo No. 12/Per/M.Kominfo/04/2008 tentang Standar Kualitas Pelayanan Jasa Teleponi Dasar pada Jaringan Bergerak Seluler, Permenkominfo No. 13/Per/M.Kominfo/04/2008 tentang Standar Kualitas Pelayanan Jasa Teleponi Dasar pada Jaringan Tetap Mobilitas Terbatas, dan Permenkominfo No. 14/Per/M.Kominfo/04/2008 tentang Standar Kualitas Pelayanan Jasa Teleponi Dasar Jaringan Tetap Sambungan Internasional. Pada tahun 2011, diterbitkan lagi satu peraturan terkait dengan standar kualitas layanan, yaitu Permenkominfo No.14/Per/M.Kominfo/04/2011 tentang Standar Kualitas Pelayanan Jasa Internet Teleponi untuk Keperluan Publik. TABEL 1 STANDAR KINERJA PELAYANAN
No. 1.
2.
3.
4.
5.
Kinerja Pelayanan Standar Kinerja Tagihan
Standar Pemenuhan Permohonan Aktivasi
Standar Penanganan Keluhan Umum Pelanggan Standar Tingkat Laporan Gangguan Layanan Standar Service Level Call Center Layanan Pelanggan
Parameter Prosentase keluhan atas akurasi tagihan dalam satu bulan Prosentase penyelesaian keluhan atas akurasi tagihan yang diselesaikan dalam 15 hari kerja Prosentase penyelesaian keluhan atas akurasi charging prabayar yang diselesaikan dalam 15 hari kerja Prosentase pemenuhan permohonan aktivasi pasca bayar dalam waktu 5 hari kerja Prosentase pemenuhan permohonan aktivasi pra bayar dalam waktu 24 jam Prosentase penanganan keluhan umum pelanggan yang ditanggapi dalam periode 12 bulan Jumlah laporan gangguan layanan untuk setiap 1000 pelanggan Prosentase jawaban operator call center terhadap panggilan pelanggan dalam 30 detik
Tolok Ukur ≤ 5%
≥ 90%
≥ 90%
≥ 90%
TABEL 2. STANDAR KINERJA JARINGAN
≥ 98% No. 1. ≥ 85%
2. ≥ 50%
≥ 75%
Semua peraturan tersebut memuat sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi oleh para penyelenggara telekomunikasi berdasarkan rincian komitmen yang tertuang di dalam izin penyelenggaraan telekomunikasi yang dimilikinya. Konsekuensinya, para penyelenggara (operator) harus menyampaikan laporan pencapaian standar kualitas pelayanan yang disampaikan paling lambat 6 (enam) minggu setelah tanggal 31 Desember (sebagai batas akhir periode laporan)
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
kepada Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dilengkapi dengan pernyataan kebenaran dan keakuratan laporan. Selanjutnya BRTI dapat menilai laporan penyelenggara untuk memverifikasi akurasi laporan pencapaian standar kualitas layanan tersebut. Lebih lanjut dinyatakan bahwa BRTI harus mempublikasikan pencapaian standar kualitas pelayanan penyelenggara dan memberikan penghargaan dalam bentuk sertifikat kepada penyelenggara yang memenuhi standar kualitas pelayanan. Di sisi lain penyelenggara telekomunikasi berkewajiban untuk mempublikasikan pencapaian standar kualitas pelayanan dalam situs resmi masing-masing dan harus diperbaharui setiap 3 (tiga) bulan, disamping itu berkewajiban pula memberikan kompensasi terhadap kerugian yang dialami oleh pelanggan akibat kelalaian penyelenggara jasa dalam memenuhi standar kualitas pelayanan. Khusus untuk standar pelayanan telepon seluler sebagaimana termuat dalam Permenkominfo No.12/Per/M.Kominfo/04/2008 tentang Standar Kualitas Pelayanan Jasa Teleponi Dasar pada Jaringan Bergerak Seluler, terdapat beberapa parameter serta tolok ukur standar kualitas layanan jasa teleponi dasar pada jaringan bergerak seluler yang harus dipenuhi oleh operator seluler dengan tujuan agar hak-hak konsumen tetap terpenuhi. Parameter dan tolok ukur tersebut dibedakan atas standar kinerja pelayanan dan standar kinerja jaringan, sebagaimana diuraikan pada Tabel 1dan Tabel 2. Pencapaian standar kualitas pelayanan penyelenggarara telekomunikasi setidaknya dapat dilihat dari 2 sudut pandang yaitu dari sudut pandang penyelenggara telekomunikasi terkait dengan layanan yang disediakan bagi pelanggan dan dari sudut pandang masyarakat sebagai pengguna layanan. Penilaian dari sudut pandang pelanggan (masyarakat) dapat dilakukan dengan mengukur tingkat kualitas pengalaman pelanggan atas layanan yang diterimanya.
Kinerja Jaringan Standar Endpoint Service Availability Standar Kinerja Layanan Pesan Singkat
Parameter Prosentase jumlah panggilan yang tidak mengalami dropped call dan blocked call Prosentase dropped call Prosentase jumlah pesan singkat yang berhasil dikirim dengan interval waktu antara pengiriman dan penerimaannya tidak lebih dari 3 menit
Tolok Ukur ≥ 90% ≤ 5%
≥ 75%
Ketika Pemerintah menurunkan tarif dasar interkoneksi pada awal tahun 2008 lalu, secara langsung juga mempengaruhi turunnya besaran tarif pungut (ritel) ke pelanggan. Hal ini tentunya memberikan dampak positif bagi pelanggan yaitu tarif yang lebih murah, namun di sisi lain mengakibatkan terjadinya lonjakan trafik telekomunikasi yang cukup tinggi, dimana kebanyakan kapasitas jaringan yang dimiliki operator belum siap, sehingga beberapa pelanggan mengalami kesulitan untuk melakukan hubungan
24
Analisis Perbandingan ...
komunikasi atau mengalami hubungan terputus (dropped call) pada saat berkomunikasi. Berbagai keluhan dari pelanggan pun akhirnya masuk ke Badan Regulator Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dan bagian layanan pelanggan operator telepon. Keluhan yang diterima antara lain seperti percakapan telepon yang terputus mendadak, kesulitan menghubungi atau menerima telepon yang masuk, kesulitan mengisi ulang pulsa, kesulitan cek tagihan pasca bayar, sering terjadi drop kalau menggunakan telepon dalam kondisi bergerak (mobile), SMS terkirim ganda, kelambatan aktivasi pascabayar, telepon putus pada menit-menit tertentu, dan sebagainya. Dengan latar belakang pemikiran dan fakta-fakta tersebut diharapkan penelitian ini menghasilkan analisis dan interpretasi terhadap data dan informasi yang relevan dengan penyempurnaan kebijakan yang berkaitan dengan penetapan standar kualitas pelayanan telekomunikasi. Secara rinci fakta, data dan informasi berkaitan dengan jawaban atas pertanyaan : ”Bagaimana perbandingan antara kualitas pengalaman yang dirasakan pengguna seluler dengan standar kualitas layanan yang diberikan penyelenggara seluler?” Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur kualitas pengalaman atas layanan telekomunikasi seluler yang dirasakan pengguna dan kemudian membandingkannya dengan standar kualitas layanan yang diberikan oleh operator seluler. Dengan tersedianya data-data obyektif tentang kualitas pengalaman pengguna terhadap kualitas layanan telekomunikasi maka studi ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa rekomendasi dalam peningkatan kualitas layanan telekomunikasi, terutama kualitas layanan jaringan bergerak seluler. II. LANDASAN TEORI A. Konsep Kualitas Layanan Kualitas dapat didefinisikan dan dinyatakan dalam bentuk parameter yang mengindikasikan manfaat kepada pengguna. Parameter-parameter tersebut bisa dinyatakan secara kuantitatif maupun kualitatif. International Standard Organization (ISO) memberikan definisi kualitas sebagai “Degree to which a set of inherent characteristics fulfils requirements” atau derajat dari seperangkat karakteristik untuk memenuhi permintaan. . Kualitas Layanan atau Quality of Service (QoS) adalah totalitas karakteristik dari sebuah layanan yang mendukung kemampuan layanan tersebut dalam memenuhi keinginan dan kebutuhan pengguna layanan. Beberapa faktor yang berhubungan dengan manajemen QoS pada layanan telekomunikasi adalah : Memenuhi kebutuhan pasar akan kualitas Optimalisasi sumber daya jaringan dari penyedia jasa Menjadikan kualitas sebagai pembeda di pasar.
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
QoS dapat dibagi ke dalam 4 sudut pandang seperti yang diilustrasikan pada Gambar 1 berikut.
Gambar 1. Empat Sudut Pandang Kualitas Layanan
B. Konsep Kualitas Pengalaman Kualitas pengalaman atau Quality of Experience (QoE) adalah ukuran seberapa baik sebuah sistem atau aplikasi memenuhi ekspektasi pelanggan. Bisa jadi suatu layanan dengan QoS yang bisa diterima (accepted QoS) memiliki QoE yang tidak dapat diterima (poor QoE). Rekomendasi dan riset yang dilakukan oleh badan standar dunia saat ini terfokus pada mencari hubungan antara QoE dengan QoS, sehingga untuk sebuah parameter QoE bisa diketahui bagaimana parameter QoS yang relevan atau sebaliknya, jika diketahui sekumpulan parameter QoS maka dapat diprediksi bagaimana QoE-nya. QoE dibuat berdasarkan apa yang dirasakan pengguna atau perspektif dari pengguna langsung yang dirasakan terhadap layanan yang diakses atau yang diterima. Sedangkan QoS atau kualitas layanan lebih banyak dari kacamata penyedia jasanya, jadi bisa saja penyedia jasa mengklaim bahwa standar-standar performance telah tercapai, namun tetap saja pelanggannya tidak puas. Gap yang muncul disebabkan oleh banyak faktor, tidak hanya faktor teknis, tetapi juga pasar, kompetitor dan lingkungan. Secara tradisional, selama ini penyelenggara layanan lebih berfokus pada bagaimana mengelola QoS dan bukan QoE. Jika konsisten dengan pendekatan yang menempatkan konsumen sebagai pusat, maka seharusnya dalam SLA dan juga sistem standar digunakan parameter yang lebih berorientasi pada konsumen, dalam hal ini adalah QoE. Di dalam rekomendasi ITU, terkait dengan konsep QoE, maka yang dikembangkan adalah bagaimana relasi antara QoE dan QoS. Contohnya adalah rekomendasi ITU-T G.1070 yang memuat model perencanaan kualitas untuk aplikasi video-telephony.
25
Analisis Perbandingan ...
Gambar 2. Dimensi Kualitas
Yang perlu dilakukan perusahaan adalah memaksimalkan QoE. Dengan demikian, tentu perlu dilakukan pengukuran ke pelanggan dengan menggunakan metode subyektif untuk mengetahui bagaimana QoE menurut pelanggan secara periodik dan memanfaatkan hasil-hasil pengukuran tersebut untuk melakukan perbaikan kualitas layanan. Di dalam rekomendasi ITU, terkait dengan konsep QoE, maka yang dikembangkan adalah bagaimana relasi antara QoE dan QoS. Contohnya adalah rekomendasi ITU-T G.1070 yang memuat model perencanaan kualitas untuk aplikasi video-telephony. Contoh pengukuran opini konsumen telah dilakukan oleh TRAI, Regulator India. TRAI mengukur dan mempublikasikan hasil pengukuran tersebut. Dalam pengukuran ini, yang diukur adalah persentase jumlah pelanggan yang puas dengan: Service provisioning Performansi tagihan (prabayar dan pasca bayar) Unit Pelayanan konsumen Performansi jaringan Pemeliharaan Layanan tambahan (suplementer)
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
Terkait dengan kondisi Indonesia, maka direkomendasikan perlunya dilakukan pengukuran quality of experience secara subyektif dengan melakukan survey di seluruh Indonesia. Parameter yang perlu diukur tingkat kepuasannya adalah sebagai berikut: Kinerja tagihan (prabayar dan pasca bayar) Pemenuhan permohonan pasang baru Penanganan keluhan pelanggan Pemulihan layanan Unit pelayanan konsumen Performansi jaringan QoE tidak hanya memperhitungkan komponen krusial seperti kinerja teknologi dalam konteks QoS, tetapi juga terkait dengan apa yang pengguna bisa lakukan dengan teknologi, apa yang diharapkan dari teknologi, sejauh mana teknologi tersebut memenuhi harapan pengguna, dan dalam konteks apa mereka digunakan atau akan digunakan (Sabina Barakovic, 2010). Gambar 2 memperlihatkan 5 dimensi dari kualitas pengalaman yaitu kinerja teknologi (technology performance), kegunaan (usability), penilaian subyektif (subjective evaluation), harapan (expectations) dan konteks (context).
26
Analisis Perbandingan ... TABEL 3. PROFIL RESPONDEN
Variabel Jenis kelamin
Usia
Jenjang Pendidikan
Pekerjaan
Kategori
Percentage
Laki-laki
2395
Perempuan
1879
Tidak Menjawab
126
<17 tahun
458
17-25 tahun
1974
26-40 tahun
1437
41-55 tahun
440
> 55 tahun
47
Tidak Menjawab
44
SD
50
SMP/sederajat
371
SMU/sederajat
2452
Diploma
725
S1/S2/S3
747
Tidak Menjawab
55
Pelajar /Mahasiswa PNS/TNI/Polri
1715
39.0%
685
15.6%
1117
25.4%
512
11.6%
371
8.4%
Wiraswasta Karyawan Swasta/BUMN Lainnya Total Sampel
Frequency
54.4% 42.7% 2.9% 10.4% 44.9% 32.7% 10.0% 1.1% 1.0% 1.1% 8.4% 55.7% 16.5% 17.0% 1.3%
4400
III. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Penelitian kuantitatif digunakan untuk mengukur secara obyektif persepsi pengguna terhadap kualitas layanan yang diterima. Sesuai dengan paham positivism yang ada pada pendekatan kuantitatif, kebenaran mengenai tingkat pengalaman yang dirasakan ada di luar sana dan terlepas dari dunia subyektif peneliti. Penelitian dilaksanakan menggunakan teknik penelitian survei. Populasi untuk penelitian terdiri dari masyarakat pengguna layanan telekomunikasi seluler. Sedangkan sampel yang diambil adalah sebanyak 400 responden per wilayah survei. Unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah individu. Dengan keterbatasan sumber daya yang tersedia, maka ukuran sampel di dalam penelitian ini merujuk kepada ITU Handbook of Quality of Service and Network Perfomance (2004) yang menyebutkan bahwa untuk penelitian survey kepuasan pengguna digunakan jumlah sampel minimal 100 responden. Lokasi pelaksanaan survei dilakukan di 11 (sebelas) lokasi yaitu Sumatera Utara, Lampung, Jawa Barat, Jakarta, Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Maluku, dan Papua. Lokasi tersebut dipilih secara purposive mengingat provinsi-provinsi tersebut dapat mewakili pulau-pulau besar di Indonesia dan diperkirakan pulau tersebut memiliki jumlah pelanggan yang besar.
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
Pengumpulan data primer dilakukan pada pertengahan tahun 2009 melalui penyebaran daftar pertanyaan (kuesioner) kepada responden di wilayah survei, sedangkan data sekunder diperoleh melalui literatur dan studi pustaka. Dalam penelitian ini digunakan metode statistika deskriptif yang digunakan untuk menggambarkan dan menginterpretasikan objek sesuai dengan apa adanya. IV. HASIL PENGUMPULAN DATA Responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini dipilih secara purposive sehingga data yang dihasilkan tidak dapat digeneralisasikan untuk mewakili seluruh pengguna seluler di Indonesia. Jumlah responden sebanyak 4400 orang dengan distribusi responden terlihat padaTabel 3. Dari profil responden tersebut terlihat jumlah responden laki-laki dan perempuan cukup berimbang. Jika dilihat dari usianya, 42,7% responden tergolong pada usia produktif yaitu berusia 26 – 55 tahun. Dari latar belakang pendidikan, mayoritas responden memiliki pendidikan terakhir setingkat SMU/sederajat yaitu sebanyak 55,7%, sedangkan tingkat diploma dan sarjana/master/doktor masing-masing mencapai 17%. Hal ini cukup menjamin bahwa responden yang menjadi sasaran survei dapat memahami dengan baik substansi pertanyaan dari kuesioner. Dilihat dari pekerjaan responden, mayoritas responden merupakan pelajar/mahasiswa mencapai 39%. Responden dari PNS/TNI/Polri mencapai 16%, karyawan swasta/BUMN sebanyak 12%, wiraswasta 25% dan lainnya 8%. Berdasarkan kartu seluler yang digunakan, mayoritas responden merupakan pelanggan seluler dari 3 operator utama, yaitu Telkomsel (53,8%), Indosat (25%), dan XL (12,4%). Total ketiganya sudah mencapai 91,2%. Untuk operator lainnya tergolong kecil, masing-masing kurang dari 3%. TABEL 4. OPERATOR SELULER YANG DIGUNAKAN RESPONDEN
Penyelenggara Operator Seluler Telkomsel (Halo,Simpati,As) Indosat (Matrix,Mentari,IM3) XL (Xplor,Bebas,Jempol) Mobile-8 (Fren) * Natrindo Telepon Seluler (Axis) HCPT (Three) Smart Telecom (Smart) * Sampoerna Telekomunikasi Indonesia (Ceria) Tidak Menjawab Total
Frequency
Percentage
Cumulative Percentage
2365
53.8%
53.8%
1101
25.0%
78.8%
546
12.4%
91.2%
68
1.5%
92.7%
99
2.3%
95.0%
127
2.9%
97.9%
26
0.6%
98.5%
23
0.5%
99.0%
45
1.0%
100.0%
272
100.00%
*)sebelum terjadinya merger Mobile-8 dan Smart Telecom
27
Analisis Perbandingan ...
V. ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Analisis Kinerja Pelayanan 1) Standar Kinerja Tagihan Terkait dengan pengukuran kualitas pengalaman pengguna terhadap standar kinerja tagihan, terdapat 3 parameter yang dilihat, yaitu prosentase keluhan atas akurasi tagihan dalam satu bulan, prosentase penyelesaian keluhan atas akurasi tagihan yang diselesaikan dalam 15 hari kerja, dan prosentase penyelesaian keluhan atas akurasi charging prabayar yang diselesaikan dalam 15 hari kerja. Hasil survey yang menunjukkan penilaian responden terhadap akurasi tagihan yang diterima apakah sudah sesuai dengan pemakaian dapat dilihat dalam Gambar 3:
Gambar 4. Kualitas Pengalaman terhadap Respon Operator atas Penyelesaian Keluhan Akurasi Tagihan
Gambar 3. Kualitas Pengalaman terhadap Akurasi Tagihan
Pada Gambar 3 tersebut dapat diketahui penilaian responden terhadap akurasi tagihan yang diterima apakah sesuai dengan pemakaian, dimana responden yang menyatakan bagus 65%, sangat bagus 19%, tidak bagus 10%, sangat tidak bagus 2%, dan tidak menjawab 4%. Dengan mengasumsikan penilaian tidak bagus dan sangat tidak bagus sebagai adanya ketidakakuratan dalam tagihan yang diterima, maka 12% responden menilai tidak akurat. Jika dibandingkan dengan standar yang ditetapkan, yaitu ≤ 5%, maka tentunya hal ini perlu mendapat perhatian dari operator karena masih tingginya pengalaman yang dirasakan pengguna. Hal ini mungkin disebabkan kurang transparannya operator dalam mensosialisasikan skema tarif yang dikenakan kepada pengguna. Tarif pungut yang dikenakan ke pengguna, khususnya lagi tarif yang bersifat promosi, hendaknya jelas dan transparan tanpa ada embel-embel berlakunya syarat dan ketentuan tertentu. Gambar 4 menunjukkan hasil penilaian responden mengenai respon operator terhadap keluhan tagihan (pasca bayar). Di dalam kuesioner, responden diminta untuk memberikan penilaian Bagus jika penyelesaian terhadap keluhan tersebut selesai tepat 15 hari, dan jika kurang dari 15 hari dapat memberikan penilaian Sangat Bagus.
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
Pada Gambar 4 tersebut dapat diketahui penilaian responden mengenai tanggapan respon operator terhadap keluhan atas akurasi tagihan (pasca bayar), dimana responden yang menyatakan bagus 62%, sangat bagus 11%, tidak bagus 14%, sangat tidak bagus 3%, dan tidak menjawab 10%. Dilihat dari tingkat prosentase tersebut di atas maka penilaian responden terhadap tanggapan/respon operator terhadap keluhan tagihan (pasca bayar) sebesar 73%, masih di bawah standar yang ditetapkan yaitu 90%, sehingga operator masih perlu meningkatkan lagi pelayanannya dengan waktu yang lebih cepat terhadap keluhan atas akurasi tagihan, sehingga harapan dan kepuasan pengguna dapat terwujud. Gambar 5 menunjukkan hasil penilaian responden mengenai respon operator terhadap penyelesaian keluhan atas akurasi charging pra bayar. Di dalam kuesioner, responden diminta untuk memberikan penilaian Bagus jika penyelesaian terhadap keluhan tersebut selesai tepat 15 hari, dan jika kurang dari 15 hari dapat memberikan penilaian Sangat Bagus.
Gambar 5. Kualitas Pengalaman terhadap Respon Operator Terhadap Penyelesaian Keluhan atas Charging Pra Bayar
Pada Gambar 5 tersebut dapat diketahui penilaian responden mengenai tanggapan/respon operator terhadap penyelesaian keluhan atas charging pra bayar, responden yang menyatakan bagus 58%, sangat bagus 16%, tidak bagus 15%, sangat tidak bagus 3%, dan tidak menjawab 8%. Dilihat dari 28
Analisis Perbandingan ...
tingkat prosentase tersebut di atas maka penilaian responden terhadap tanggapan/respon operator terhadap keluhan charging pra bayar sebesar 74%, masih di bawah standar yang ditetapkan yaitu 90%, sehingga operator masih perlu meningkatkan lagi pelayanannya dengan waktu yang lebih cepat terhadap keluhan atas charging pra bayar, sehingga harapan dan kepuasan pengguna dapat terwujud. 2) Standar Pemenuhan Permohonan Aktivasi Paramater yang digunakan untuk mengukur standar pemenuhan permohonan aktivasi dibedakan antara skema pra bayar dan pasca bayar. Parameternya terdiri atas prosentase pemenuhan permohonan aktivasi pasca bayar dalam waktu 5 hari kerja dan prosentase pemenuhan permohonan aktivasi pra bayar dalam waktu 24 jam. Responden diminta memberikan penilaian terhadap kecepatan proses aktivasi pasca bayar, jika prosesnya tepat 5 hari diberi penilaian Bagus, dan jika kurang dari 5 hari diberikan penilaian Sangat Bagus. Untuk parameter ini hasil survey dibedakan untuk setiap operator seluler (kecuali untuk Natrindo Telepon Seluler datanya belum tersedia). TABEL 5. PERBANDINGAN PENILAIAN PEMENUHAN PERMOHONAN AKTIVASI
Penyelenggara/Operator Seluler
Hasil Audit BRTI
Kualitas Pengalaman Pengguna
Telkomsel
93.09%
86.4%
Indosat
100.00%
78.6%
XL
100.00%
87.1%
Mobile-8
100.00%
65.6%
Smart Telecom
100.00%
76.0%
HCPT
96.03%
75.0%
Sampoerna Telekomunikasi
100.00%
60.8%
Gambar 6. Perbandingan Penilaian Pemenuhan Permohonan Aktivasi
Untuk paramater kedua, yaitu prosentase pemenuhan permohonan aktivasi pra bayar dalam waktu 24 jam diukur dengan cara yang sama. Di dalam kuesioner, responden diminta untuk memberikan penilaian Bagus jika aktivasi dilakukan dalam waktu 24 jam, dan jika kurang dari 24 jam dapat memberikan penilaian Sangat Bagus. Terkait dengan hasil survei ini, peneliti kembali membandingkan dengan data BRTI kuartal IV 2008 dan kuartal I 2009 terkait pemenuhan kualitas layanan masingmasing operator. Dari Gambar 7 terlihat perbandingan keduanya. Hasil audit BRTI (grafik berwarna biru) menunjukkan semua operator telah berada di atas threshold yang telah ditetapkan Permenkominfo No.12/Per/M.Kominfo/04/2008 tentang Standar Kualitas Pelayanan Jasa Teleponi Dasar Pada Jaringan Bergerak Seluler yaitu 90%. Sedangkan dari hasil survei menunjukkan bahwa berdasarkan persepsi pengguna, hanya XL yang berada diatas threshold yaitu 91,8%.
Terkait dengan hasil survei ini, peneliti mencoba membandingkan dengan data BRTI kuartal IV 2008 dan kuartal I 2009 terkait pemenuhan kualitas layanan masingmasing operator. Dari Gambar 6 terlihat perbandingan keduanya. Hasil audit BRTI (grafik berwarna biru) menunjukkan semua operator telah berada di atas threshold yang telah ditetapkan Permenkominfo No.12/Per/M.Kominfo/04/2008 yaitu 90%. Sedangkan dari hasil survei persepsi masyarakat, semua operator berada di bawah threshold 90%. Dalam konteks ini, hasil audit BRTI merupakan standar kualitas layanan (QoS) yang diukur secara teknis, sedangkan persepsi pengguna merupakan kualitas pengalaman (QoE) yang dirasakan pengguna.
Gambar 7. Perbandingan Penilaian Pemenuhan Permohonan Aktivasi Pra Bayar
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
29
Analisis Perbandingan ... TABEL 6. PERBANDINGAN PENILAIAN PEMENUHAN PERMOHONAN AKTIVASI PRA BAYAR
Penyelenggara/Operator Seluler
Hasil Audit BRTI
Kualitas Pengalaman Pengguna
Telkomsel
99.9%
89.5%
Indosat
100.0%
89.7%
XL
99.79%
91.8%
Mobile-8
99.9%
75.4%
Smart Telecom
99.24%
88.4%
Axis
99.9%
83.5%
HCPT
100%
81.7%
Sampoerna Telekomunikasi
100%
65.2%
3) Standar Penanganan Keluhan Umum Pelanggan dan Standar Tingkat Laporan Gangguan Layanan Standar penanganan keluhan umum pelanggan dan standar kinerja tingkat laporan gangguan layanan di dalam Permenkominfo No.12/Per/M.Kominfo/04/2008 memiliki parameter berturut-turut yaitu prosentase penanganan keluhan umum pelanggan yang ditanggapi dalam periode 12 bulan ≥ 85% dan jumlah laporan gangguan layanan untuk setiap 1000 pelanggan ≥ 50%. Dalam penelitian ini tidak dilakukan pengukuran kualitas pengalaman pengguna terhadap kedua parameter tersebut karena dalam konteks ini yang mengetahui hanya operator seluler. 4) Standar Service Level Call Center Layanan Pelanggan Standar service level call center layanan pelanggan diukur dengan parameter prosentase jawaban operator call center terhadap panggilan pelanggan dalam 30 detik ≥ 75%. Penilaian responden terhadap kecepatan petugas Call Center dalam menjawab panggilan adalah Bagus jika operator menjawab panggilan dalam 30 detik, atau Sangat Bagus jika kurang dari 30 detik. Terkait dengan hasil survei ini, peneliti membandingkan data BRTI pada kuartal IV 2008 dan kuartal I 2009 yang terkait dengan pemenuhan kualitas layanan dari masingmasing operator. Gambar 8 menunjukkan perbandingan keduanya. Hasil audit BRTI (grafik berwarna biru) menunjukkan bahwa semua operator telah berada di atas threshold yang telah ditetapkan Permenkominfo yaitu 75%. Sedangkan dari hasil survei persepsi masyarakat, hanya 2 operator yang berada di atas threshold 75% yaitu Smart dan HCPT.
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
Gambar 8. Perbandingan Penilaian Standar Service Level Call Center Layanan Pelanggan TABEL 7. PERBANDINGAN PENILAIAN STANDAR SERVICE LEVEL CALL CENTER LAYANAN PELANGGAN
Penyelenggara/Operator Seluler
Hasil Audit BRTI
Kualitas Pengalaman Pengguna
Telkomsel
75.2%
74.7%
Indosat
79.37%
73.0%
XL
76.095%
74.2%
Mobile-8
88.21%
64.2%
Smart Telecom
80.71%
80.7%
Axis
81%
72.2%
HCPT
76%
75.4%
Sampoerna Telekomunikasi
78%
60.9%
B. Analisis Kinerja Jaringan 1) Standar Endpoint Service Availability Dalam Permenkominfo No.12/Per/M.Kominfo/04/2008, standar endpoint service availability diukur melalui dua parameter, yaitu prosentase jumlah panggilan yang tidak mengalami dropped call dan blocked call ≥ 90% serta prosentase dropped call ≤ 5%. Tentunya sangat sulit untuk melakukan pengukuran kualitas pengalaman pengguna untuk kedua parameter tersebut. Di dalam penelitian ini kedua parameter tersebut dibedakan atas jenis panggilan yaitu sesama operator (on-net) dan antar operator seluler (off-net). Selain itu juga dinilai kualitas pengalaman pengguna terhadap kualitas suara panggilan. Penilaian responden terhadap keberhasilan panggilan ke sesama operator seluler (on-net) dapat dilihat dalam Gambar 9.
30
Analisis Perbandingan ...
panggilan ke operator seluler lainnya lebih rendah dari ekspektasi masyarakat yang berkaca pada standar kualitas layanan yang ditetapkan yaitu ≥ 90%. Hal ini dapat dilihat sebagai bentuk adanya kinerja jaringan yang menurun ketika terjadi interkoneksi antar operator. Idealnya tidak ada perbedaan kualitas pada panggilan on-net dengan ketika terjadi interkoneksi (off-net). Kualitas layanan suatu jalur jaringan bergantung pada semua jaringan yang dilewati jalur tersebut. Sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 11, suatujalur komunikasi antara pengguna X dan pengguna Z yang melalui jaringan Y. Terdapat dua titik interkoneksi pada jalur tersebut, yaitu titik interkoneksi antara X dan Y, serta titik interkoneksi antara Y dan Z.
Gambar 9. Kualitas Pengalaman terhadap keberhasilan panggilan ke sesama operator seluler (on-net)
Gambar 9 memperlihatkan bahwa penilaian responden terhadap keberhasilan panggilan ke sesama operator seluler, responden yang menyatakan bagus 65%, sangat bagus 25%, tidak bagus 7%, sangat tidak bagus 2%, dan tidak menjawab 1%. Dilihat dari tingkat prosentase tersebut di atas maka penilaian responden terhadap keberhasilan panggilan ke sesama operator cukup memenuhi harapan masyarakat, hal ini dapat dilihat dari tingkat prosentase yang cukup tinggi yang menjawab bagus dan sangat bagus mencapai 90%. Hal ini menunjukkan kualitas pengalaman yang dirasakan pengguna sudah memenuhi standar kualitas layanan yang ditetapkan, yaitu ≥ 90%. Penilaian responden terhadap keberhasilan panggilan ke operator seluler lainnya (off-net) ditunjukkan dalam Gambar 10.
Gambar 11. Ilustrasi Pengukuran pada Jalur Komunikasi Off-Net
Pengukuran trafik pada jalur komunikasi tersebut dapatdilakukan melalui 2 cara, yaitu pengukuran network-bynetwork dan pengukuran end-to-end. Pada pengukuran network-by-network setiap jaringan diisolasi secara individual, sehingga hasil pengukuran tidak merepresentasikan pengalaman pengguna, melainkan kendali masing-masing operator. Sebaliknya pada pengukuran end-to-end, pengukuran dilakukan secara langsung pada titik awal jalur komunikasi dan titik akhir jalur komunikasi. Pengukuran end-to-end lebih merepresentasikan pengalaman pengguna. Penilaian responden terhadap kualitas suara panggilan, ditunjukkan dalam Gambar 12.
Gambar 10. Kualitas Pengalaman terhadap keberhasilan panggilan ke operator seluler lainnya (off-net)
Dari Gambar 10 tersebut dapat diketahui penilaian responden terhadap keberhasilan panggilan ke operator seluler lainnya, responden yang menyatakan bagus 64%, sangat bagus 20%, tidak bagus 13%, sangat tidak bagus 2%, dan tidak menjawab 1%. Dilihat dari tingkat prosentase tersebut di atas maka penilaian responden terhadap keberhasilan
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
Gambar 12. Kualitas Pengalaman terhadap kualitas suara panggilan
31
Analisis Perbandingan ...
Pada Gambar 12 tersebut dapat dilihat penilaian responden terhadap kualitas suara panggilan, responden yang menyatakan bagus 61%, sangat bagus 21%, tidak bagus 12%, sangat tidak bagus 3%, dan tidak menjawab 3%. Untuk menginterpretasikan hasil tersebut perlu disandingkan dengan acuan dari ITU–T Rec.E.802. ITU-T Rec. G 109 yang dituangkan dalam ITU-T Rec.E.802, mendefinisikan lima kategori kualitas transmisi suara dari mulut ke kuping untuk 3.1 Khz handset telepon melalui jaringan dalam kaitannya dengan kepuasan pelanggan. Kategori ini terkait kuat dengan nilai R dari E-model, yang merupakan model penilaian transmisi untuk mendapatkan efek gabungan dari variasi dari beberapa parameter transmisi yang mempengaruhi kualitas pembicaraan dari handset telepon 3.1 Khz (lihat Tabel 8). Gambar 13. Perbandingan Penilaian Standar Kinerja Layanan Pesan Singkat
TABEL 8. KATEGORI KUALITAS TRANSMISI SUARA PEMBICARA 3,1 KHZ
Batasan Nilai R
Kategori Kualitas Transmisi Suara
Kepuasan Pengguna
90 ≤ R < 100
Terbaik
Sangat Puas
80 ≤ R < 90
Tinggi
Puas
70 ≤ R < 80 60 ≤ R < 70 50 ≤ R < 60
Sedang Rendah Buruk
Beberapa Pengguna Tidak Puas Banyak pengguna Tidak Puas Hampir semua pengguna tidak puas
Dilihat dari tingkat prosentase tersebut diatas maka penilaian responden terhadap kualitas suara panggilan sudah sesuai dengan harapan masyarakat, hal ini dapat dilihat dari tingkat prosentase yang cukup tinggi yang menjawab bagus dan sangat bagus mencapai 82%. Dari Tabel 8 di atas dapat diasumsikan bahwa kategori kualitas suara sudah tinggi dengan nilai R ≥ 80. 2) Standar Kinerja Layanan Pesan Singkat Parameter dari standar kinerja layanan pesan singkat diukur melalui prosentase jumlah pesan singkat yang berhasil dikirim dengan interval waktu antara pengiriman dan penerimaannya tidak lebih dari 3 menit. Responden diminta memberikan penilaian terhadap kecepatan pengiriman SMS, jika prosesnya tepat 3 menit diberi penilaian Bagus, dan jika kurang dari 3 menit diberikan penilaian Sangat Bagus. Untuk parameter ini hasil survey dibedakan untuk setiap operator seluler. Hasil survei kemudian dibandingkan dengan dengan data BRTI kuartal IV 2008 dan kuartal I 2009 terkait pemenuhan kualitas layanan masing-masing operator. Dari Gambar 13 di bawah terlihat perbandingan keduanya. Hasil audit BRTI (grafik berwarna biru) menunjukkan semua operator telah berada di atas threshold yang telah ditetapkan Permenkominfo yaitu 75%. Sedangkan dari hasil survei persepsi masyarakat, terdapat 3 operator yang berada di bawah threshold yang telah ditetapkan 75%, yaitu Mobile-8, Axis, dan STI.
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
TABEL 9. PERBANDINGAN PENILAIAN STANDAR KINERJA LAYANAN PESAN SINGKAT
Penyelenggara/Operator Seluler
Hasil Audit BRTI
Kualitas Pengalaman Pengguna
Telkomsel
100%
88.6%
Indosat
97%
89.75
XL
100%
88.1%
Mobile-8
99.83%
71.7%
Smart Telecom
99.13%
88.4%
Axis
100%
71.7%
HCPT
80%
82.7%
Sampoerna Telekomunikasi Indonesia
92%
56.5%
VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Penelitian ini mencoba membandingkan standar kualitas layanan yang telah ditetapkan pemerintah dengan kualitas pengalaman yang dirasakan oleh pengguna atas layanan yang mereka terima/rasakan. Kualitas pengalaman yang dibandingkan bersumber dari Permenkominfo No. 12/Per/M.Kominfo/04/2008 tentang Standar Kualitas Pelayanan Jasa Teleponi Dasar pada Jaringan Bergerak Seluler, dengan membandingkan 5 dari 7 standar yang ada, yaitu standar kinerja tagihan, standar pemenuhan permohonan aktivasi, standar service level call center layanan pelanggan, standar endpoint service availability, dan standar kinerja layanan pesan singkat. Kualitas pengalaman dinilai berdasarkan persepsi pengguna, kemudian hasilnya disandingkan dengan standar yang telah ditetapkan atau dengan hasil audit BRTI. Hasil survey kualitas pengalaman menunjukkan bahwa secara umum masih banyak kualitas layanan yang masih di bawah harapan pengguna, yang ditunjukkan oleh kualitas pengalaman yang lebih rendah. Penilaian kualitas pengalaman dalam penelitian ini hanya menggunakan dimensi penilaian subyektif (subjective evaluation) dari pengguna.
32
Analisis Perbandingan ...
B. Rekomendasi Metode survey dalam penelitian ini memiliki kelemahan dalam hal : 1. Survey tidak dapat menangkap persepsi pengguna secara real time karena survey dilakukan setelah mereka menggunakan layanan, bukan pada saat menggunakan layanan. 2. Pengguna yang menjadi responden terkendala oleh memori yang terbatas, sehingga hanya mampu mengingat segelintir kualitas yang mereka alami atau rasakan. 3. Setiap responden memiliki perbedaan interpretasi atas skala persepsi yang diberikan. Terkait dengan kelemahan tersebut, peneliti merekomendasikan untuk menggunakan metrik dalam mengukur Quality of Experience dengan model-model yang lazim digunakan seperti Mean Opinion Score (MOS), Perceptual Evaluation of Speech Quality (PESQ), Perceptual Evaluation of Audio Quality (PEAQ), Call Clarity Index (CCI), dan sebagainya untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
DAFTAR PUSTAKA Antony Odan, e. a. (2003). Telecommunications Quality of Service Management. London: The Insititution of Engineering and Technology. Balitbang SDM Kominfo. (2011). Standar Kualitas Layanan pada Era Konvergensi. Jakarta: Balitbang SDM Kominfo. Departemen Komunikasi dan Informatika. (2008). Permenkominfo No. 12/Per/M.Kominfo/04/2008 tentang Standar Kualitas Pelayanan Jasa Teleponi Dasar pada Jaringan Bergerak Seluler. Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informatika. Fernando Kuipers, e. a. (n.d.). Techniques for Measuring Quality of Experience. International Telecommunication Union. (2004). Handbook Quality of Service and Network Performance. International Telecommunication Union. International Telecommunication Union. (2006). ICT Quality of Service Regulation : Practices and Proposal. Geneva: Telecommunication Development Bureau. Sabina Barakovic, e. a. (2010). QoE Dimensions and QoE Measurement of NGN Services. Belgrade: 18th Telecommunications forum TELFOR.
33
Analisis Perbandingan ...
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
34
Pemanfaatan Teknologi ...
Pemanfaatan Teknologi Informasi dalam Pengembangan Bisnis Pos information technology utilization in business post development Azwar Aziz Puslitbang Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Jl. Medan Merdeka Barat No.9 Jakarta 10110 Telp./Fax. (021) 34833640
[email protected] Naskah diterima: 27 Februari 2011; Naskah disetujui: 19 Maret 2012 Abstract— Information technology has the power to develop industries and transform how business is run. A variety of leading companies have taken advantage of information technology in conducting a rethinking of business strategy. According to Law Number 11 Year 2008 on Information and Electronic Transactions that use information technology plays an important role in trade and national economic growth for the public welfare. Then the definition of information technology is a technique for collecting, preparing, storing, processing, announcing, analyze, and disseminate information. In this study uses a qualitative approach to research methodology and supported by quantitative data and analysis techniques are deskritif. The results of this study indicate that the postal business carried out by PT. Pos Indonesia and courier service companies, those companies have made use of information technology in the development of the postal business, such as PT. Pos Indonesia has been using online services to send money to a matter of minutes and trace and tracking services. Furthermore courier service company has mengembangankan online by using the SMS service to check the mail trip. The main obstacle in the utilization of information technology is a huge cost to make an online network and device procurement. From users of postal services, postal services people already use information technology-based. Keywords— Information Technology, Business Post. Abstrak— Teknologi informasi memiliki kekuatan untuk mengembangkan industri dan mentransformasikan bagaimana bisnis dijalankan. Berbagai perusahaan terkemuka telah memanfaatkan teknologi informasi dalam melakukan pemikiran ulang strategi bisnis. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bahwa pemanfaatan teknologi informasi berperan penting dalam perdagangan dan pertumbuhan perekonomian nasional untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Kemudian pengertian teknologi informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan menyebarkan informasi. Dalam kajian ini menggunakan metodologi penelitian dengan pendekatan
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
kualitatif dan didukung data kuantitatif serta teknik analisis adalah deskritif. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa bisnis pos dilaksanakan oleh PT. Pos Indonesia dan perusahaan jasa titipan, perusahan tersebut telah memanfaatkan teknologi informasi dalam pengembangan bisnis pos, seperti PT. Pos Indonesia telah menggunakan layanan online kiriman uang yang sampai dengan hitungan menit dan layanan trace dan tracking. Selanjutnya perusahaan jasa titipan telah mengembangankan layanan online dengan menggunakan SMS untuk mengecek perjalanan surat. Kendala utama dalam pemanfaatan teknologi informasi adalah biaya yang sangat besar membuat jaringan online dan pengadaaan perangkat. Dari sisi pengguna layanan pos, masyarakat sudah menggunakan layanan pos yang berbasis teknologi informasi. Kata Kunci—Teknologi Informasi, Bisnis Pos
I. LATAR BELAKANG Perkembangan bisnis saat ini tidak terlepas dari peran penting teknologi informasi. Dengan berkembangnya teknologi informasi, kekuatan informasi dan teknologi informasi dijadikan sebagai alat / tools dalam memenangkan persaingan/ kompetisi bisnis. Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) mencakup dua aspek, yaitu teknologi informasi dan teknologi komunikasi. Teknologi informasi, meliputi segala hal berkaitan dengan proses, penggunaan sebagai alat bantu, manipulasi, dan pengelolaan informasi. Teknologi komunikasi merupakan segala hal yang berkaitan dengan penggunaan alat bantu untuk memproses dan mentransfer data dari perangkat yang satu ke lainnya. Karena itu, teknologi informasi dan teknologi komunikasi adalah suatu padanan yang tidak terpisahkan yang mengandung pengertian luas tentang segala kegiatan yang terkait dengan pemprosesan, manipulasi, pengelolaan, dan transfer/ pemindahan informasi antar media. Teknologi informasi memiliki kekuatan untuk mengembangkan industri dan mentransformasikan bagaimana
35
Pemanfaatan Teknologi ...
bisnis dijalankan. Perusahaan terkemuka telah menggunakan kekuatan tersebut dalam melakukan pemikiran ulang strategi bisnis, proses, dan praktek manajemen. Disamping itu, kekuatan tersebut digunakan pula untuk melakukan penataan perusahaan dan budaya kerja, dengan menata ulang infrastruktur dan portofolio produk, serta yang paling penting adalah mendapatkan hasil usaha yang luas dan berkesinambungan. Pemerintah selalu mendukung dan mendorong setiap orang dan perusahaan untuk memanfaatkan teknologi informasi dengan ditetapkannya produk hukum merupa UndangUndang RI. No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik dengan mempertimbangkan bahwa pemanfaatan teknologi informasi berperan penting dalam perdagangan dan pertumbuhan perekonomian nasional untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Kemudian menurut Undang-Undang tersebut, teknologi informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi. Selanjutnya pemanfaatan teknologi informasi dalam pengembangan bisnis merupakan suatu kegiatan dalam bentuk transaksi elektronik, yang didukung dengan dokumen elektronik, menurut Undang-Undang tersebut yaitu setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Menurut Oxford English Dictionary dalam Aji Supriyanto mendefinisikan Teknologi Informasi adalah hardware dan software, dan bisa termasuk didalamnya jaringan dan telekomunikasi yang biasanya dalam konteks bisnis. Sering nama teknologi informasi merupakan bagian dari kegiatan usaha yang memanfaatkan perangkat elektronik komputer. Jadi pada intinya istilah teknologi informasi merupakan teknologi yang memanfaatkan komputer sebagai perangkat utama untuk mengolah data menjadi informasi yang bermanfaat (Aji Supriyanto, 2005 : 6). Istilah teknologi informasi memang lebih merujuk pada teknologi yang digunakan dalam menyampaikan maupun mengolah informasi, namun pada dasarnya masih merupakan bagian dari sebuah sistem informasi itu sendiri. Teknologi informasi lebih mudah dipahami secara umum sebagai pengolahan informasi yang berbasis pada teknologi komputer yang saat ini teknologinya terus berkembang sehubungan perkembangan teknologi lain yang dapat dikoneksikan dengan komputer itu sendiri. Fungsi teknologi informasi di dalam suatu perusahaan secara dominan adalah sebagai cost center. Hal tersebut merupakan suatu yang wajar bila kita perhatikan dari perkembangan teknologi informasi suatu perusahaan adalah untuk menggantikan proses manual menjadi otomatisasi dengan tujuan efisiensi dan efektivitas. Sedangkan kegunaan teknologi informasi di perusahaan adalah untuk menekan biaya produksi sehingga berdampak pada penurunan biaya total yang harus dikeluarkan yang secara langsung akan meningkatkan laba bagi perusahaan. Penggunaan teknologi
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
baik langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi terhadap strategi penentuan harga suatu produk atau jasa (Hastha Dewa Putranta, 2004 : 11). Demikian halnya yang terjadi di bisnis pos. Peran teknologi informasi sangat dominan dalam menjalankan bisnis dan menjaga kelangsungan bisnis pos. Untuk itu teknologi informasi mempunyai peran dalam strategi bisnis perusahaan. PT. Pos Indonesia menargetkan pada seluruh kantor pelayanan pos, termasuk kantor pos cabang yang tersebar di berbagai daerah, bisa terhubung secara online. PT. Pos Indonesia memiliki kantor pelayanan pos sebanyak 3.500 kantor, sekitar 3.200 kantor pos sudah terhubung secara online. Layanan dan produk pos di PT. Pos Indonesia yang telah memanfaatkan teknologi informasi antara lain : 1. Surat Elektronik (Ratron) adalah salah satu layanan berupa layanan pengiriman berita dengan spesifikasi hybrid karena dapat diakses pengguna jasa baik melalui Internet berbasis Web (sedang dalam proses pembangunan) dan SMS melalui nomor 8161 (saat ini hanya untuk Telkomsel, Flexi dan Indosat) yang kemudian dapat di terima oleh tujuan dalam bentuk Surat maupun Kartu. 2. SMS Pesta adalah layanan SMS dengan saling berbagi pengetahuan dan pengalaman, memberi inspirasi, menyebar semangat, dan menggagas kreativitas setiap jumat pagi. 3. Lacak via SMS adalah melacak kiriman pos baik dalam negeri maupun luar negeri melalui SMS 8161. 4. DuitPos Multiguna adalah produk pos berwujud kartu yang dapat dimanfaatkan untuk menyimpan uang, mengirim uang, dan mengisi ulang pulsa elektronik melalui SMS. 5. PlasaPOS.com merupakan portal internet resmi belanja lewat pos dan berbagai informasi mengenai layanan dan produk pos yang dikelola oleh PT. Pos Indonesia. Salah satu perusahaan jasa titipan (perjastip) yaitu PT. Tiki Jalur Nugraha Ekakurir atau JNE telah melakukan kegiatan operasional secara real online connection dengan memanfaatkan teknologi informasi melalui lebih dari 60 lokasi strategis menghubungkan setiap ibukota propinsi. Pada saat ini pelanggan JNE sudah dapat melihat status pengiriman setiap waktu melalui website : www.jne.co.id, demikian pula halnya dengan informasi tentang tariff pengiriman dari dan ke seluruh wilayah serta berbagai layanan JNE. Layanan unggulan dari JNE adalah produk YES (Yakin Esok Sampai) telah juga memanfaatkan teknologi informasi dengan mencantumkan nomor handphone atau e-mail pelanggan, akan mendapatkan status pengiriman secara otomatis di handphone atau e-mail pengguna ( http://www.jne.co.id). Oleh karena itu perlu dilakukan kajian yang diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas tentang pemanfataan teknologi informasi dalam pengembangan bisnis pos. II. PERMASALAHAN Dengan adanya perubahan lingkungan dalam negeri, regional, kompetisi pos global, maka visi PT. Pos Indonesia adalah penyedia jasa pos yang berbasis informasi dan bernilai tinggi bagi masyarakat diseluruh nusantara serta dapat berkompetisi dalam industri pos global. Objek yang dipertukarkan melalui media/jasa layanan pos berupa informasi tidak hanya berwujud fisik, tetapi cenderung berwujud virtual yang didalamnya waktu dan ruang merupakan komoditi yang bernilai tinggi bagi konsumen.
36
Pemanfaatan Teknologi ...
Oleh karena itu, dalam era bisnis pos yang berbasis informasi, pemanfaatan teknologi menjadi salah satu faktor kunci yang menentukan dalam mewujudkan visi perusahaan pemberian jasa berbasis informasi memungkinkan perusahaan dapat mengembangkan data pos sebagai bentuk layanan yang dapat memberikan nilai tambah bagi pelanggan serta menjadi sumber pendapatan baru bagi perusahaan. Dengan memperhatikan latar belakang tersebut diharapkan kajian ini dapat menghasilkan analisis dan masukan dalam evaluasi pemanfataan teknologi informasi dalam pengembangan bisnis pos. Secara rinci permasalahan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pemanfaatan teknologi informasi dalam pengembangan bisnis pos di Indonesia? 2. Kendala apa saja yang dihadapi dalam pemanfaatan teknologi informasi untuk pengembangan bisnis pos? 3. Bagaimanakah manfaat yang diperoleh masyarakat dengan adanya penggunaan teknologi informasi dalam pengembangan bisnis pos di Indonesia?
informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi (UndangUndang RI Tentang ITE, 2008 : 2). Teknologi informasi merupakan kesatuan dari perangkat keras, perangkat lunak, brainware (SDM), mekanisme, procedure, peraturan, teknik pengolahan, teknologi dan komponen lainnya yang berhubungan dengan proses pengolahan data sampai dengan penyebaran informasi. Secara sederhana, teknologi informasi dapat didefinisikan sebagai suatu teknologi yang berfungsi untuk menghasilkan, menyimpan, mengolah, dan menyebarkan informasi tersebut dengan berbagai bentuk media dan format (image, suara, text, motion pictures, dsb). Jadi definisi tersebut diatas menunjukkan bahwa teknologi informasi baik secara implisit maupun eksplisit tidak sekedar berupa teknologi komputer, tetapi juga mencakup teknologi telekomunikasi atau dengan kata lain teknologi informasi adalah gabungan antara teknologi komputer dan teknologi telekomunikasi.
a. Strategi Sistem Informasi dan Teknologi Informasi Sistem informasi dan teknologi informasi merupakan saling keterkaitan antara satu dengan yang lainnya, karena sistem informasi merupakan suatu permintaan atau kebutuhan bagi perusahaan. Sedangkan teknologi informasi merupakan suatu penyediaan dari kebutuhan perusahaan. Kedua aspek tersebut haruslah saling terhubungan dengan menentukan bahwa teknologi informasi merupakan sebagai salah satu hal terpenting untuk membangun suatu aplikasi yang dapat IV. LANDASAN TEORI beradaptasi dengan cepat sesuai dengan perubahan dinamis A. Pengertian perusahaan. Disisi lain sistem informasi dan teknologi Teknologi informasi mengandung dua kata teknologi dan informasi memiliki komponen strategis dan taktis. Komponen informasi, yang masing-masing artinya berbeda satu dengan strategis adalah permasalahan jangka panjang yang perlu yang lain Saat ini teknologi informasi telah menjadi satu diketahui oleh manajemen puncak, sedangkan permasalahan makna. Walaupun demikian arti teknologi adalah suatu alat yang berkaitan dengan komponen taktis adalah permasalahan yang mampu untuk mempermudah atau memperlancar suatu operasional jangka pendek yang biasanya dibutuhkan oleh pekerjaan. Alat dalam suatu teknologi dapat berupa perangkat, manajemen menengah dan spesialis. Komponen strategis baik perangkat keras maupun perangkat lunak. Perangkat meliputi pembuatan visi ke depan, tujuan dan kebijakan yang keras dapat berupa mesin, alat, komputer dan lain sebagainya. memungkinkan organisasi mencapai tujuan, sedangkan Sedangkan perangkat lunak dapat berupa software maupun masalah komponen taktis berhubungan dengan penerapan prosedur-prosedur atau aturan-aturan yang ada. Teknologi peraturan dan pembuatan aplikasinya. Komponen strategi yang digunakan dalam teknologi informasi adalah teknologi bisnis berhubungan dengan pengelolaan dan pengoptimalkan komputer, teknologi telekomunikasi dan teknologi yang keuntungan dimana aplikasi baru akan dibangun sedangkan mampu memberikan nilai tambah untuk suatu organisasi komponen taktis berhubungan dengan pengelolaan persediaan, (Hastha Dewa Putranta, 2004 : 24). Sedangkan informasi pengoptimalan biaya pengembangan dan operasional. adalah data yang telah diolah menjadi bentuk yang berarti Komponen strategis dan komponen taktis harus dikelola bagi penerimanya dan bermanfaat dalam mengambil secara bersamaan, apabila dikelola sebagian, maka tidak akan keputusan saat ini atau mendatang (Aji Supriyanto, 2005 : diperoelh keuntungan bisnis. 243). Selanjutnya definisi teknologi informasi adalah Secara garis besar strategi sistem informasi dan teknologi seperangkat alat yang membantu anda bekerja dengan informasi sebagai berikut : informasi dan melakukan tugas-tugas yang berhubungan 1. Strategi Sistem Informasi menentukan kebutuhan dengan pemrosesan informasi (Haag dan Keen, 1996) dan informasi dan sistem untuk bisnis dan komponen teknologi informasi adalah tidak hanya terbatas pada fungsionalnya. Strategi sistem informasi menggambarkan teknologi komputer (perangkat keras dan perangkat lunak) sistem informasi apa yang dibutuhkan oleh bisnis untuk yang digunakan untuk memproses dan menyimpan informasi, memperkirakan waktu yang akan datang berdasarkan melainkan juga mencakup teknologi komunikasi untuk suatu analisis bisnis, lingkungan bisnis dan strategi bisnis. menyirimkan informasi (Martin, 1999) serta Teknologi Tujuannya adalah untuk menentukan kebutuhan terhadap informasi adalah teknologi yang menggabungkan komputasi aplikasi sistem informasi maupun teknologi informasi (komputer) dengan jalur komunikasi berkecepatan tinggi yang yang berkaitan erat dengan perencanaan bisnis dan membawa data, suara dan video (Williams dan Sawyer, 2003) masalahnya. Kebutuhan akan berubah sesuai dengan dalam (Abdul Kadir dan Terra, 2003 : 2). Kemudian teknologi waktu dan permintaan harus diperbaharui terus menerus,
III. TUJUAN DAN MANFAAT Tujuan kajian ini adalah untuk mendapatkan gambaran yang lebih rinci mengenai pemanfaatan teknologi informasi dalam mengembangkan bisnis pos di Indonesia. Manfaat penelitian ini diharapkan menghasilkan rekomendasi dalam pemanfaatan teknologi informasi untuk mengembangkan bisnis pos di Indonesia.
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
37
Pemanfaatan Teknologi ...
2.
ditinjau dan diprioritaskan berdasarkan kepentingan bisnis. Strategi Teknologi Informasi menentukan bagaimanan kebutuhan berdasarkan prioritas dalam strategi sistem informasi dan teknologi informasi yang mengembangkan dan mengoperasikan aplikasi saat ini dan yang akan datang. Hal ini meliputi ketetapan bagaimana aplikasi akan dihasilkan dan bagaimana sumber daya teknologi dan spesialisasi akan diperoleh, digunakan, diatur dan dikelola untuk mendukung tercapainya kebutuhan bisnis (Hastha Dewa Putranta, 2004 : 9).
b. Teori Uses and Gratifications Teori ini umumnya digunakan untuk penelitian di bidang komunikasi, khususnya pada komunikasi massa yang melibatkan surat kabar/koran, majalah, radio, televisi analog dsb. Saat ini lingkungan media sedang berubah dengan cepat, akibat pengaruh teknologi informasi muncul bentuk perubahan yang terjadi pada lingkungan media, terdapat istilah multimedia atau internet dengan fitur email, newsgroups and mailing list dan world wide web, sehingga komunikasi semakin luas cakupannya dan beragam. Kendati hasilnya bermacam-macam, teori uses and gratifications dapat memberikan kontribusi penting terhadap pemahaman seiring dengan semakin jauhnya bergeser ke zaman digital dan para pengguna media dihadapkan dengan lebih banyak pilihan (Werner J. Severin & James W. Tankard Jr.,2008 : 364). Asumsi yang melandasi teori manfaat dan gratifikasi, ialah : 1). Penggunaan media diarahkan untuk mencapai tujuan. Kita menggunakan media massa untuk memuaskan kebutuhankebutuhan tertentu yang berkembang dalam lingkungan sosial kita. 2). Khalayak memilih jenis-jenis media dan isi media untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Dengan demikian, khalayak memegang inisiatif dalam proses komunikasi massa dan kita dapat “menaklukkan” media terhadap kebutuhankebutuhan kita lebih mudah daripada yang dapat dilakukan media menguasai kita. 3). Terdapat sumber-sumber pemuasan kebutuhan selain media dan media massa harus bersaing dengannya. Sumber-sumber itu misalnya, keluarga, temanteman, komunikasi antar-personal, aktivitas-aktivitas santai, tidur dan nonton. 4). Khalayak sadar akan kebutuhankebutuhannya itu dan dapat menyatakan kebutuhankebutuhannya itu bila ditanya. Juga mereka sadar akan alasanalasan menggunakan media. (Tan, 1981 : 298). V. METODOLOGI PENELITIAN A. Sumber Data Penelitian ini dengan memgunakan sumber data sekunder dari literatur-literatur yang terkait dengan teknologi informasi dan perposan. Kemudian sumber data primer dilakukan dengan 2 cara : 1. Wawancara kepada pimpinan PT. Pos Indonesia dan Perusahaan Jasa Titipan, yang diwakili oleh PT, Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) dengan pendekatan kualitatif dan 2. Memberikan kuesioner kepada masyarakat/pengguna layanan pos dengan pendekatan kuantitatif di 4 kota : Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Batam. Menurut Bogdan dan Taylon dalam Moleong (2005 : 4) menjelaskan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati,
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
diarahkan secara utuh (holistik).dan selanjutnya penelitian ini didukung juga dengan penelitian kuantitatif dengan maksud untuk mengetahui persepsi responden. B. Populasi dan Sampel Populasi untuk penelitian terdiri dari PT. Pos Indonesia, Perusahaan Jasa Titipan (Perjastip) dan masyarakat di 4 (empat) wilayah di Indonesia dengan unit analisis perorangan. Sampel untuk PT. Pos Indonesia dan Perjastip (PT.) ditujukan salah satu pimpinan sebagai informan, dan perorangan dipilih secara purposive sampling. Purposive sampling yakni pemilihan sampel berdasarkan pada karakteristik tertentu yang dianggap mempunyai sangkut pautnya dengan karakteristik populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Rosady Ruslan, 2007 : 157). Penentuan sampel sebanyak 60 responden untuk masyarakat di setiap daerah, sehingga jumlah sampel yang dikumpulkan sebanyak 4 wilayah x 60 responden = 240 responden. Pertimbangan pemilihan sampel ini untuk mengetahui penggunaan layanan pos yang berbasiskan teknologi informasi pada masyarakat. Dengan margin of error sebesar 5%, sehingga tingkat kepercayaan yang dapat dipergunakan dalam perhitungan jumlah sampel adalah 95% dari sampel masyarakat. C. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data studi ini terdiri dari data primer dan data sekunder, yaitu : 1. Pengumpulan data sekunder berupa peraturan perundangundangan yang berhubungan dengan teknologi informasi. Dalam mengumpulkan data sekunder dilakukan metode studi kepustakaan, berupa perundang-undangan tentang teknologi informasi dan perposan serta data-data dari internet. Selanjutnya didukung dengan teori teknologi informasi. 2. Pengumpulan data primer yaitu melakukan penelitian lapangan dengan maksud untuk mendapatkan data dan informasi dari keadaan sebenarnya atau langsung dari obyek yang diteliti sehingga data dan informasi diyakini kebenarannya. Data primer dilakukan dengan menggunakan wawancara kepada informan dan pengamatan, serta didukung dengan data yang didapat dari memberikan beberapa pertanyaan tertutup tertulis kepada responden. D. Teknik Analisis Data Kajian ini menggunakan teknik analisis data deskritif kualitatitf dan kuantitatif. VI. GAMBARAN UMUM A. Regulasi Regulasi yang menjadi dasar dalam kajian ini mencakup 2 bidang, yaitu bidang teknologi informasi dan bidang pos, antara lain : 1) Regulasi bidang Teknologi Informasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi elektronik yang merupakan dasar hukum tentang pemanfaatan teknologi informasi yang dinyatakan dalam asas dan tujuan melalui pasal 3 berbunyi pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian,
38
Pemanfaatan Teknologi ...
iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi. “Asas kepastian hukum”, berarti landasan hukum bagi pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik serta segala sesuatu yang mendukung penyelenggaraannya yang mendapatkan pengakuan hukum di dalam dan di luar pengadilan; “asas manfaat”, berarti asas bagi pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik diupayakan untuk mendukung proses berinformasi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, “asas kehati-hatian”, berarti landasan bagi pihak yang bersangkutan harus memperhatikan segenap aspek yang berpotensi mendatangkan kerugian, baik bagi dirinya maupun bagi pihak lain dalam pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik, “asas iktikad baik”, berarti asas yang digunakan para pihak dalam melakukan transaksi elektronik tidak bertujuan untuk secara sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakibatkan kerugian bagi pihak lain tanpa sepengetahuan pihak lain tersebut, dan “asas kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi”, berarti asas pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik tidak terfocus pada penggunaan teknologi tertentu sehingga dapat mengikuti perkembangan pada masa yang akan datang. Sedangkan pasal 4 berbunyi pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk : a. mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia; b. Mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat; c. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik; d. Membuka kesempatan seluasluasnya kepada setiap orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab, dan e. Memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara teknologi informasi.
B. Keselarasan Teknologi Informasi dan Bisnis Kebersamaan dalam kepimpinan dan akuntabilitas menjadi penggerak penyelarasan teknologi informasi dengan bisnis.Dengan terciptanya keselarasan teknologi informasi dan bisnis, berbagai perusahaan akan mendapatkan manfaat dari teknologi informasi. Untuk melakukan implementasi penyelarasan teknologi informasi dengan bisnis secara efektif, dibutuhkan integrasi antara 3 (tiga) komponen organisasi, adalah sebagai berikut : 1.Tim Strategi teknologi Informasi, adalah tim yang terdiri dari para ahli teknologi informasi yang kompeten. Pada umumnya, memiliki latar belakang konsultan, bisnis dan teknologi informasi. Bekerja di lingkungan teknologi informasi, ahli strategi teknologi informasi adalah pemimpin bisnis di mana focus utamanya pada hasil bisnis. Tim strategi berfungsi sebagai fasilitator teknologi informasi dalam bisnis; 2. Tim yang memproses penyelarasan unit bisnis, adalah dimiliki dan difasilitasi oleh tim strategi teknologi informasi, dimana tim bermitra dengan para pimpinan setiap unit bisnis; dan 3. Steering committe teknologi informasi, adalah tim mempunyai peran yang strategis dalam kepemimpinan dan tata kelola teknologi informasi. Tim bisa menjadi forum ideal bagi para pemimpin teknologi informasi untuk membantu mencapai tujuan utama dalam penerapan ataupun manajemen teknologi informasi.
C. Kebutuhan Teknologi Informasi dari aspek Ekonomi Persaingan globalisasi mendorong perusahaan pos mencari cara untuk mengurangi biaya, pengingkatan produktivitas, dan memperbaiki pelayanan kepada konsumen melalui perubahan dalam setiap proses bisnis yang dilakukan. Era digitalisasi mengakibatkan perusahaan dihadapkan pada lingkungan jaringan gobal untuk melakukan transformasi menjadi electronic business (e-business) dengan memperkenalkan sistem berbasis web dan aplikasi electronic commerce (ecommerce) pada semua kegiatan operasional perusahaan. Dalam e-commerce, semua transaksi bisnis dilakukan berbasis a. Regulasi Bidang Pos elektronik melalui internet dan jaringan komputer. Jaringan Dasar hukum bagi penyelenggaraan perposan, baik PT. Pos komputer ini membantu perusahaan untuk bertahan dan Indonesia sebagai BUMN maupun perusahaan jasa titipan memenangkan persaingan serta mencapai tujuan perusahaan, (Perjastip) sebagai BUMS mengacuh pada Undang-Undang yaitu memperbaiki produktivitas, menurunkan biaya produksi, RI Nomor 38 Tahun 2009 Tentang Pos. Dengan pertimbangan memperbaiki pengambilan keputusan, meningkatkan bahwa pos merupakan sarana komunikasi dan informasi yang hubungan dengan konsumen dan mengembangkan aplikasi mempunyai peran penting dan strategis dalam mendukung baru. pelaksanaan pembangunan, mendukung persatuan dan Perencanaan bisnis dalam era digitalisasi ekonomi sangat kesatuan, mencerdaskan kehidupan bangsa, mendukung dinamis dan komplek, sehingga dalam pengambilan kegiatan ekonomi, serta meningkatkan hubungan antar bangsa. keputusan bisnis diperlukan perubahan stimulasi model. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan Kondisi ini memerlukan perbaikan efisiensi operasional teknologi pengertian surat saat ini beraneka ragam, selain untuk meningkatkan daya saing dan kinerja bisnis secara surat tradisional (fisik) juga surat elekronik, faksimile, surat menyeluruh. Tekanan bisnis tidak hanya dari sisi permintaan hibrida. konsumen yang tidak dapat diantisipasi dan kemajuan pesat Penyelenggara pos dapat melakukan layanan komunikasi teknologi informasi, tetapi juga disebabkan oleh peningkatan tertulis dan/atau surat elektronik yang merupakan kegiatan kompetisi produk/jasa lokal dan asing, pengenalan pengumpulan, pemprosesan, pengangkutan, dan penyampaian produk/jasa pesaing yang mengakibatkan makin pendeknya informasi berupa surat, warkat pos, kartu pos, barang cetakan, siklus hidup prouk/jasa (Browne dalam ellitan, 2007 : 142). dokumen dan/atau sekogram. Surat elektronik (electronic mail) ialah layanan surat yang proses penympaiannya kepada D. Peranan Teknologi Informasi penyelenggara pos melalui elektronik atau berupa soft copy Peranan teknologi informasi pada masa sekarang tidak untuk disampaikan secara fisik kepada individu atau badan hanya dipergunakan bagi organisasi atau perusahaan, dengan alamat tertentu. melainkan juga untuk kebutuhan perseorangan. Bagi organisasi atau perusahaan, pemanfaatan teknologi informasi dapat memberikan keunggulan kompetitif, sedangkan bagi
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
39
Pemanfaatan Teknologi ...
Gambar 1. Arsitektur SOPP (Sumber: PT. Pos Indonesia)
perseorangan, teknologi informasi dapat mendukung mencapaian keunggulan pribadi. Teknologi informasi dapat dikatakan telah diimplementasikan di segala bidang dan ke berbagai lapisan masyarakat. Dengan kemampuan teknologi informasi, seseorang dapat memperoleh informasi melalui internet dengan menggunakan handphone, saat ini seseorang terbiasa menggunakan surat elektronis atau e-mail. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, peran teknologi informasi semakin luas diberbagai bidang kegiatan, antara lain : 1. Bidang Perbankan, teknologi informasi memberikan manfaat didunia perbankan, misalnya adanya sistem online dalam sistem pengiriman uang, hadirnya mesin-mesin ATM (Automatic Teller Machine) dsb., 2. Bidang Pendidikan, murid dan mahasiswa dapat mempelajari materi tertentu secara mandiri dengan menggunakan komputer yang dilengkapi program berbasis multimedia, 3. Bidang Kesehatan, teknologi informasi juga diterapkan pada peralatan-peralatan medis, misalnya pada CT scan (Computer Tomography) adalah peralatan yang mampu memotret bagian dalam dari seseorang tanpa dilakukan pembedahan, 4. Bidang Kepolisian, pemanfaatan teknologi informasi untuk membuat SIM (surat izin mengemudi), 5. Bidang Perdagangan Elektronis, lebih dikenal dengan e-commerce, yaitu model perdagangan melalui internet dan 6. Perancangan Produk, membuat rancangan kapal dengan sofware CAD-CAM bernama foran dan membuat rancangan rumah dengan sofware 3D home architect ( Abdul Kadir & Terra, 2003 : 22). VII.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Penyelenggara Bisnis Pos 1) PT. Pos Indonesia
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
Komitmen pimpinan PT. Pos Indonesia dalam pemanfaatan teknologi informasi semakin genjar untuk memberikan percepatan dan ketepatan dalam pelayanan yang diberikan kepada konsumen. Oleh karena itu PT. Pos Indonesia melakukan restrukturisasi organisasi dan manajemen, salah satunya menempatkan bidang teknologi informasi sebagai unit kerja yang penting dalam kegiatan operasional perusahaan. Salah satu unit kerja pada Struktur organisasi PT. Pos Indonesia adalah Direktorat Bisnis komunikasi yang dipimpin oleh seorang Direktur yang bertanggung jawab dalam pemanfaatan teknologi informasi dalam pengembangan bisnis pos. Jaringan Teknologi Informasi PT. Pos Indonesia adalah sebagai berikut : a. Jaringan Arsitektur SOPP System online payment point (SOPP) merupakan cara tercepat, mudah dan praktis dalam melakukan setoran tabungan, pembayaran tagihan rekening telepon seluler, asuransi, kredit penerimaan pajak dan isi ulang pulsa seluler pada kantor pos di seluruh Indonesia yang telah memiliki jaringan SOPP. Pengguna SOPP tidak dikenakan biaya apapun dalam melakukan kegiatan ini. Dengan pemanfaatan teknologi ICT telah mengubah lalu lintas uang dalam dan luar negeri dalam hitungan detik. ICT pula yang telah membuat publik dapat membeli tiket kereta api dan tiket pesawat di kantor pos-kantor pos terdekat. Modernisasi ini semakin membuka luas bagi Pos Indonesia untuk beraliansi & bersinergi dengan perusahaan-perusahaan & institusi lain dibidang pemanfaatan jaringan Pos bagi kepentingan pelayanan publik serta pengembangan bisnis. BUMN lain yang telah menggandeng Pos Indonesia yakni BRI, Bank Mandiri, Jamsostek, PLN, PT Kereta Api,
40
Pemanfaatan Teknologi ...
Gambar 2. Jaringan Remittance Service & GIROPOS (Sumber: PT. Pos Indonesia)
Perusahaan Percetakan Negara, dan BUMN lainnya. Oleh karea itu untuk mengetahui jaringan SOPP dapat dilihat pada Gambar 1. b. Jaringan Remittance Service & GIROPOS Weselpos Instan (remittance) dan giropos merupakan solusi untuk pengiriman uang secara cepat dan aman karena penerima dilengkapi dengan PIN dan dapat diambil diseluruh
Kantor Pos serta hanya dalam hitungan detik baik untuk keperluan bisnis maupun non bisnis dengan tarif Rp. 22.000,-/transaksi dengan maksimal uang Rp. 25 juta (termasuk Ppn 10%) dengan jangkauan layanan terbatas untuk kantor pos dalam jaringan (200 kantor pos) di seluruh Indonesia. Jaringan remittance service dan giropos dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 3.Jaringan Integrated Point of services (IPOS) (Sumber: PT. Pos Indonesia) Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
41
Pemanfaatan Teknologi ...
c. Jaringan Integrated Point Of Services (IPOS) Pos Indonesia mengembangkan sistem hibrida yang disebut i-POS (Integrated Point of Service) akan mempermudah pelacakan status dokumen yang terkirim maupun tidak. Melalui sistem ini bisa diperoleh data selama 12 bulan terakhir dan secara efisien dapat melaporkan aktivitas pengiriman berkala yang disesuaikan dengan kebutuhan operasional melalui perbaikan tingkat layanan maksimal 3 hari untuk wilayah Jabodetabek, 5 hari untuk wilayah Jawa dan 7 hari untuk luar Jawa. Jaringan IPOS dapat dilihat pada Gambar 3. d. Pemanfaatan Teknologi Informasi Perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat, telah membuat pimpinan dan segenap karyawan PT. Pos Indonesia bertekad kuat untuk mengembangkan bisnis intinya dengan memanfaatkan teknologi informasi. Hal ini dapat dilihat PT. Pos Indonesia memiliki 7 (tujuh) website, yaitu : 1. http://www.posindonesia.co.id, suatu media informasi secara kesuluruhan tentang PT. Pos Indonesia, 2. http://www.plasapos.com, suatu media informasi layanan e-business, 3. http://www.express.posindonesia.co.id, website unit bisnis express 4. http://www.ems.posindonesia.co.id, website tentang EMS milik unit pos internasional 5. http://www.admail.posindonesia.co.id, website unit bisnis admail pos 6. http://www.logisticspos.co.id, website unit bisnis total logistik 7. http://www.properti.posindonesia.co.id, media informasi tentang properti milik PT. Pos Indonesia Website tersebut diatas, dapat dilihat produk-produk jasa pos yang dikembangkan melalui teknologi informasi, antara lain : 1. DuitPOS Multiguna adalah produk pos berwujud kartu yang dapat dimanfaatkan untuk menyimpan uang, mengirim uang, dan mengisi ulang pulsa elektronik melalui SMS. Layanan DuitPOS Multiguna menggabungkan pemanfaatan teknologi informasi guna menjawab dinamisnya kebutuhan masyarakat. DuitPOS Multiguna dibangun dengan memanfaatkan teknologi seluler berbasis SMS. Hal ini sekaligus sebagai solusi keterbatasan yang dihadapi masyarakat, seperti tidak adanya akses perbankan karena keterbatasan geografis dan financial. Namun di sisi lain pengguna telepon gengggam tumbuh dengan pesatnya. Dengan memanfaatkan teknologi seluler. Saat ini terdiri dari 2 fitur utama, yaitu untuk pengiriman uang dan isi ulang pulsa elektronik. Di samping itu dapat juga digunakan untuk menyimpan uang dengan memanfaatkan fitur SMS dari telepon selulernya pelanggan, yaitu: 1. Daftar rekening: untuk memperoleh password dan nomor rekening, 2. Isi rekening: untuk mengisi rekening. Setelah itu, Anda dapat menggunakan DuitPOS Multiguna untuk: 1. Transfer duit: untuk mengirim uang kepada orang lain, 2. Ambil duit: dengan cara menguangkan ke diri sendiri (transfer untuk diri sendiri), 3. Isi pulsa: mengisi pulsa multi operator untuk diri sendiri atau orang lain, 4. Cek saldo: untuk melihat jumlah saldo
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
uang yang tersedia dan 5. Ganti password: untuk mengganti password pelanggan sesuai keinginan. Nilai nominal DuitPOS Multiguna tersedia dalam 2 nominal : 1. Pecahan nilai Rp 100.000,- dengan harga jual Rp.105.000,-. 2. Pecahan nilai Rp 50.000,dengan harga jual Rp.55.000,-. Harga jual sudah termasuk biaya proses serta pajak.
Gambar 4. DuitPos Multiguna (Sumber: PT. Pos Indonesia)
2.
3.
Admailpos adalah unit bisnis di bawah organisasi bisnis PT Pos Indonesia yang didedikasikan untuk fokus menangani pelanggan korporat. Admailpos hadir dengan konsep layanan yang terintegrasi (Integrated Services), mulai dari pencetakan dokumen, insersi brosur/pengamplopan dan pengantaran dokumen kepada sialamat serta pelaporan status hasil antaran secara elektronik. Konsep layanan yang teritegrasi ini akan memudahkan pelanggan dalam menata bisnis, sehingga dapat membantu pelanggan untuk lebih fokus pada Core Bisnis masing-masing, sedangkan mailing dokumen termasuk penyediaan bahan baku (kertas dan amplop) akan kami tangani secara baik melalui konsep "One Stop Services". Kemampuan untuk memberikan layanan yang teritengrasi ini didukung oleh kekuatan infrastuktur produksi terkini dan jaringan pelayanan yang tersebar secara Nasional. Dikhususkan untuk melayani kebutuhan mailing dengan volume besar (Large Mail Operation) (http://www.posindonesia.co.id/home/index.php). Surat Elektronik (Ratron) adalah salah satu layanan berupa layanan pengiriman berita dengan spesifikasi hybrid karena dapat diakses pengguna jasa baik melalui Internet berbasis Web (sedang dalam proses pembangunan) dan Short Message Service (SMS) melalui nomor 8161 (saat ini hanya untuk Telkomsel, Flexi dan Indosat) yang kemudian dapat di terima oleh tujuan dalam bentuk Surat maupun Kartu. Ratron memiliki desain baku yang dapat digunakan untuk menyampaikan ucapan hari besar keagamaan dan harihari istimewa lainnya seperti; Selamat Lebaran Idul Fitri, Selamat Natal, Selamat Tahun Baru, Selamat Imlek, Selamat Valentine, Galungan dan ucapan. Selamat Sukses, Selamat Ultah dan Selamat Berbahagia yang dirancang sesuai selera dan kebutuhan pengguna. Sehingga dengan cara mengetikan beberapa perintah melalui telepon seluler dan mengirimkan SMS maupun mengakses web Ratron, pengguna jasa sudah dapat mengirimkan surat/kartu ucapan kepada sanak keluarga, handai taulan, sahabat dan rekannya di seluruh Indonesia. 42
Pemanfaatan Teknologi ...
Cara pengirimannya sangat mudah, cukup mengetikan pesan dengan kode sebagai berikut : Jenis ucapan, nama pengirim, alamat pengirim, nama penerima dan alamat penerima.
5. Gambar 5. Ratron Lebaran (Sumber: PT. Pos Indonesia)
4.
SMS-PESTA adalah penyebaran SMS teralamat, berupa pengiriman SMS dari pengirim tertentu kepada komunitas penerima atau alamat nomor handphone tertentu. SMS PESTA sangat efektif dalam penyampaian ucapan, pesan, informasi, penawaran, maupun kampanye karena personalisasinya (pengirim dikenal) serta instan (cepat dan kapan saja). Efisien karena pengiriman SMS kepada ribuan bahkan jutaan penerima secara bulk (gelondongan), dilakukan hanya dengan beberapa langkah (melalui sistem aplikasi). Contoh penggunaan SMS PESTA adalah Seorang direktur di suatu perusahaan ingin mengirim pesan kepada 1.000 orang karyawannya untuk selalu bekerja dengan jujur, disiplin dan sebagainya, atau ingin menginformasikan kepada seluruh karyawannya mengenai kerjasama bisnis yang dilakukan oleh
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
perusahan dengan mitra kerjanya. Contoh lainnya seorang calon bupati atau calon gubernur melakukan kampanye kepada masyarakat calon pemilihnya dengan cara mengirimkan pesan kampanyenya kepada para pendukungnya. Jumlah SMS yang dapat dikirim Bebas. Tidak ada batasan jumlah minimal penerima. Tetapi mohon untuk diingat bahwa karena SMS PESTA adalah pengiriman SMS secara bulk (gelondongan), maka semakin banyak jumlah SMS yang dikirim maka harganya akan semakin murah. Cara pemrosesan SMS PESTA adalah SMS PESTA dikirim dengan menggunakan sistem khusus yang sediakan. SMS PESTA dengan personalisasi pengirim diprogram khusus dengan seleksi ketat oleh operator seluler. Artinya pembuatan nama contoh Kawilpos XI atau Bupati Biak dilakukan selektif mungkin agar informasi pengirim benar-benar valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Mengingat pesan yang disampaikan bersifat penting, maka kebenarannya juga harus terjamin. Nomor handphone penerima SMS sebelumnya juga harus sudah terdaftar di sistem dengan teralamat, sehingga tujuan SMS efektif atau mencapai sasaran dan efisien atau menggunakan aplikasi dan dilakukan dalam sekali proses kirim. Tarif SMS PESTA berkisar antara Rp 500 hingga Rp 800 per SMS. Tarif tersebut sudah termasuk biaya registrasi Sender ID, preformating data, reporting status kiriman, dan PPN 10%. Tarif ini tergolong murah karena sudah termasuk registrasi Sender ID. SMS PESTA merupakan layanan Pos yang merupakan representasi layanan komunikasi yang pernah ada, yaitu surat PESTA. Seiring dengan perkembangan dan kemajuan Teknologi Informasi, maka SMS PESTA merupakan ”revitalisasi” surat konvensional. Dengan memiliki short number 8161, PT Pos Indonesia melalui Probis E-Business yang bertindak sebagai Content Provider dapat menjalankan layanan surat atau komunikasi dengan Jasnita (Jasa NiIai Tambah) atau Value Added Service (VAS) berbasis Teknologi Informasi. Lacak Kiriman Pos dan Kodepos Via SMS, merupakan suatu layanan dari PT. Pos Indonesia dengan menggunakan kemajuan teknologi informasi untuk memberikan kepuasan kepada pengguna jasa pos. Layanan ini untuk melacak kiriman pos yang digunakan masyarakat, untuk mengetahui kodepos alamat tinggal, ingin mengetahui alamat kantorpos dengan menggunakan layanan SMS-Pos 8161. Lacak kiriman pos berupa kilat khusus, pos express dan paketpos caranya ketik ipos<spasi>nomor resi kirim ke 8161, contoh ipos ml3104114561d, maka akan dijawab oleh SMS-pos adalah nonor kiriman ml3104114561d, arnis ginting, lacak kiriman pos luar negeri berupa EMS, registered letter dan paketpos luar negeri, caranya ketik status<spasi>nomor resi kirim ke 8161, contoh status em000787004ro dijawab SMS-Pos : number : ee122220859 idstatus : final delivery position : ireland date : 28 jan 2008, lacak kiriman weselpos dalam negeri, ketik statusrs<spasi>nomor resi kirim ke 8161,
43
Pemanfaatan Teknologi ...
contoh : statusrs 3210000-01/08/000566 dijawab SMS-Pos : no.resi 3210000-01/08/000566 diuangkan oleh sdr sah roni/00 di jakarta barat 11610 tgl. 18 feb 2008 09:20:24, ket.id ktp no.100112175 dan lacak kodepos dalam negeri, ketik kodepos<spasi>kec/kel<spasi>nama kecamatan/nama kelurah-an kirim ke 8161, contoh : kodepos kec pancoranmas, dijawab SMS-Pos : depok 16431, 16432, 16433 dst. serta lacak info alamat kantor pos ketik ktrpos<spasi>namakota/ nopend kirim ke 8161, contoh : ktrpos solo, dijawab SMS-Pos : kantor pos solo 57100 jl. jend. sudirman no.8 telp. 0271-647214. Lacak layanan pos saat ini baru dapat menggunakan operator Telkomsel dan flexi dengan tarif Rp.550,/sms.
tahun terhadap produk pos/jasa pos dan yang membuka website JNE sekitar 70.000 pengunjung per bulan. B. Tanggapan Pengguna Layanan Pos Pengumpulan data primer untuk masyarakat pengguna layanan pos telah dilaksanakan di 4 (empat) lokasi daerah yaitu Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Batam dengan maksud pemanfaatan teknologi informasi pada penyelenggara perposan seperti di PT. Pos Indonesia dan Perjastip memberikan pengaruh manfaat pada masyarakat pengguna layanan pos atau tidak bermanfaat. Data primer yang terkumpul adalah sebagai berikut: 1) Identitas Masyarakat Pengguna a. Jenis Kelamin Hasil survey mengatakan jenis kelamin pengguna layanan pos sebagian besar berjenis kelamin laki-laki sebesar 60% dan jenis kelamin perempuan sebesar 40%, lebih jelas dapat dilihat pada tabel 1, di bawah ini : TABEL. 1. JENIS KELAMIN
Uraian Jml % Bandung Jml % Yogyakarta Jml % Batam Jml % Total Jml % Jakarta
Gambar 5. Lacak Kiriman WeselPos Dalam Negeri (Sumber: PT. Pos Indonesia)
Laki 32 53 43 72 32 53 38 63 145 60
Perempuan 28 47 17 28 28 47 22 37 95 40
Total 60 100 60 100 60 100 60 100 240 100
Sumber : Diolah dari data survey
b. Usia 2) PT. Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) Hasil pengumpulan data terhadap usia pengguna layanan JNE adalah salah satu perusahaan jasa titipan yang pos adalah sebagian besar berusia antara 21-30 tahun sebesar didirikan pada tahun 1990. Sejak berdirinya telah menerapkan 37%, sedangkan sebagaian kecil usia diatas 61 tahun sebesar teknologi informasi dengan finacial system dalam bentuk 3%, secara rinci dapat dilihat pada tabel 2. Di bawah ini: sofware dan office TABEL. 2. USIA application. Artinya JNE Jakarta Bandung Yogyakarta Batam Total sangat komitmen No. Uraian Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % penerapan teknologi informasi dalam 1. Di bawah 20 tahun 15 25 6 10 10 17 3 5 34 14 meningkatkan kualitas 2. 21 - 30 tahun 25 42 9 15 40 67 16 27 90 37 layanan kepada 3. 31 - 40 tahun 10 16 15 25 8 13 27 45 60 25 pelanggan/customer dan 4. 41 50 tahun 7 12 18 30 2 3 6 10 33 14 meningkatkan produktifitas dalam bentuk kecepatan 5. 51 – 60 tahun 3 5 12 20 2 3 17 7 dan ketepatan. 6. Di atas 61 tahun 6 10 6 3 Semakin meningkatnya Total 60 100 60 100 60 100 60 100 240 100 perkembangan teknologi informasi, JNE telah Sumber: Diolah dari data survey mampu menggunakan teknologi informasi, antara lain : telco : pabx system, telepon, c. Pendidikan Hasil survey mengatakan pendidikan pengguna layanan fax, handphone,Voip gateway dan gatekeeper (voip server), email server (ms. exchange server), corporate JNE web., pos sebagian besar pendidikan SMU sebesar 43% dan internet dan intranet, WAN (vpn & po), LAN layer 3 backbone, sebagian kecil berpendidikan SD sebesar 5%, lebih jelas dapat wireless LAN (WIFI), Proxy & firewall, VPN gateway (VPN dilihat pada tabel 3. Instan Telkom & Cisco Client) dll. Penggunaan teknologi informasi dalam layanan pos tersebut, telah memberikan pertumbuhan sekitar 20% per
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
44
Pemanfaatan Teknologi ...
TABEL. 3. PENDIDIKAN
No.
Uraian
Jakarta Jml
Bandung
%
Jml
%
Yogyakarta Jml
%
Batam Jml
Total
%
Jml
%
1.
Tidak sekolah
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2.
Setingkat SD
3
5
2
3
-
-
7
12
12
5
3.
Setingkat SLTP
11
18
13
22
-
-
15
25
39
16
4.
Setingkat SMU
36
60
24
40
25
41
19
32
104
43
5.
Setingkat D3
4
7
6
10
16
27
8
13
34
14
6.
Setingkat S1
5
8
13
22
12
20
2
3
32
13
7.
Setingkat S2
1
2
2
3
7
12
9
15
19
8
Total
60
100
60
100
60
100
60
100
240
100
Sumber: Diolah dari data survey
nilai 30%, sedangkan sebagian kecil pekerjaannya adalah karyawan BUMN sebesar 10%, lebih jelas dapat dilihat pada table 4.
d. Pekerjaan Hasil pengumpulan data mengatakan pengguna layanan pos pekerjaannya sebagian besar karyawan swasta dengan
TABEL.4. PEKERJAAN
No.
Uraian
Jakarta Jml
Bandung
%
Jml
Yogyakarta
%
Jml
Batam
%
Jml
Total
%
Jml
%
1.
Karyawan Swasta
27
45
6
10
22
37
18
30
73
30
2.
Polri/ TNI/ PNS
3
5
43
72
5
8
2
3
53
22
3.
Wiraswasta
4
7
4
7
9
15
24
40
41
17
4.
Karyawan BUMN
1
2
-
-
6
10
16
27
23
10
5.
Lain-lain (Pelajar)
25
41
7
11
18
30
-
-
50
21
Total
60
100
60
100
60
100
60
100
240
100
Sumber: Diolah dari data survey
Rp.2.200.000 dengan nilai 22%, sedangkan sebagian kecil berpenghasilan antara Rp1.701.000–Rp.2.200.000 sebesar 10%, lebih jelas dapat dilihat pada tabel 5. di bawah ini :
e. Penghasilan Hasil survey mengatakan masyarakat yang menggunakan layanan pos sebagian besar berpenghasilan diatas
TABEL. 5. PENGHASILAN
No.
Uraian
Jakarta Jml
%
Bandung Jml
%
Yogyakarta Jml
%
Batam Jml
%
Total Jml
%
1.
Di bawah Rp 200 ribu
10
17
6
10
12
20
4
7
32
13
2.
Rp 201 ribu s.d Rp 700 ribu
9
15
10
17
15
25
10
17
44
18
3.
Rp 701 ribu s.d. Rp 1.200 ribu
12
20
3
5
11
18
17
28
43
18
4.
Rp.1.201 ribu s.d. Rp. 1.701 ribu
15
25
11
18
6
10
12
20
44
18
5.
Rp. 1.701 ribu s.d. Rp.2.200 ribu
8
13
10
17
4
7
2
3
24
10
6.
Di atas Rp.2.200 ribu
6
10
20
33
12
20
15
25
53
22
Total
60
100
60
100
60
100
60
100
240
100
Sumber: Diolah dari data survey
2) Persepsi Pengguna a. Penggunaan layanan pos Hasil pengumpulan data sebagian besar mengatakan tidak sering penggunaan layanan pos dengan nilai 47%, sedangkan
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
sebagian kecil mengatakan sangat sering menggunakan layanan pos sebesar 5%, secara rinci dapat dilihat pada tabel 6. Di bawah ini :
45
Pemanfaatan Teknologi ... TABEL. 6. PENGGUNAAN LAYANAN POS
No.
Jakarta
Uraian
Jml
Bandung
%
Jml
Yogyakarta
%
Jml
Batam
%
Jml
Total
%
Jml
%
1.
Sangat sering
4
7
-
-
4
7
3
5
11
5
2.
Sering
9
15
12
20
10
17
12
20
43
18
3.
Cukup sering
11
18
11
18
7
12
8
13
37
15
4.
Tidak sering Sangat tidak sering Total
27
45
33
55
28
46
25
42
113
47
9
15
4
7
11
18
12
20
36
15
60
100
60
100
60
100
60
100
240
100
5.
Sumber: Diolah dari data survey
b. Layanan pos di perusahaan yang digunakan Hasil pengumpulan data mengatakan layanan pos di perusahaan yang digunakan sebagian besar di PT. Pos
Indonesia dengan nilai 64%, sedangkan sebagian kecil menggunakan perusahaan lain-lain seperti DHL sebesar 1%, secara rinci dapat dilihat pada tabel 7. Di bawah ini :
TABEL. 7. LAYANAN POS DI PERUSAHAAN YANG DIGUNAKAN
No.
Jakarta
Uraian
Jml
Bandung
%
Jml
Yogyakarta
%
Jml
Batam
%
Jml
Total
%
Jml
%
1.
PT. Pos Indonesia
38
63
50
83
36
60
31
51
155
64
2.
PT.C.V. TIKI
16
27
8
14
10
17
13
22
47
20
3.
PT. JNE (Tiki Jalur Nugraha Ekakurir)
3
5
2
3
14
23
16
27
35
15
4.
Lain-lain (DHL)
3
5
-
-
-
-
-
-
3
1
Total
60
100
60
100
60
100
60
100
240
100
Sumber: Diolah dari data survey
c. Layanan pos yang digunakan Layanan pos yang digunakan sebagian besar adalah pos express sebesar 40%, sedangkan sebagian kecil menggunakan
layanan SMS Pesta/Pos sebesar 7%, secara rinci dapat dilihat pada tabel 8. Di bawah ini :
TABEL. 8. LAYANAN POS YANG DIGUNAKAN
No.
Jakarta
Uraian
Jml
Bandung
%
Jml
%
Yogyakarta Jml
%
Batam Jml
%
Total Jml
%
1.
WeselPos
18
30
21
35
8
13
28
47
75
31
2.
SMS Pesta/Pos
-
-
2
3
-
-
14
23
16
7
3.
Pos Express
30
50
22
37
37
62
6
10
95
40
4.
Surat Elektronik (Ratron)
5
8
6
10
7
12
12
20
30
12
5.
Lain-lain (shar-e)
7
12
9
15
8
13
-
-
24
10
Total
60
100
60
100
60
100
60
100
240
100
Sumber: Diolah dari data survey
d. Motif memilih layanan pos Hasil pengumpulan data terhadap motif memilih layanan pos sebagian besar mengatakan kiriman cepat sampai tujuan
sebesar 31%, sedangkan sebagian kecil mengatakan lain-lain seperti layanan pos terjamin dengan nilai 8%, secara rinci dapat dilihat pada tabel 9. Di bawah ini :
TABEL. 9. MOTIF MEMILIH LAYANAN POS
No.
Uraian
Jakarta Jml
%
Bandung Jml
%
Yogyakarta Jml
%
Batam Jml
%
Total Jml
%
1.
Tarif murah
17
28
20
33
18
30
7
12
62
26
2.
Kantor pos banyak
10
17
14
24
13
22
19
31
56
23
3.
Layanannya bagus
5
8
6
10
8
13
9
15
28
12
4.
Kiriman cepat sampai tujuan
26
43
20
33
7
12
21
35
74
31
5.
Lain-lain (terjamin)
2
3
-
-
14
23
4
7
20
8
Total
60
100
60
100
60
100
60
100
240
100
Sumber: Diolah dari data survey
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
46
Pemanfaatan Teknologi ...
mengatakan adalah mengetahui sebesar 29%, sedangkan sebagian kecil mengatakan adalah sangat tidak mengetahui sebesar 8%, secara rinci dapat dilihat pada tabel 10.
e.
Mengetahui layanan pos sudah manfaatkan teknologi informasi Hasil pengumpulan data untuk mengetahui layanan pos sudah manfaatkan teknologi informasi sebagian besar
TABEL. 10. MENGETAHUI LAYANAN POS SUDAH MANFAATKAN TEKNOLOGI INFORMASI
Jakarta
Bandung
Yogyakarta
Batam
%
Jml
%
Jml
%
Jml
%
Jml
%
15
2
3
9
15
4
7
24
10
15
25
30
50
15
25
9
15
69
29
17
28
22
37
13
22
10
17
62
26
Tidak mengetahui
16
27
6
10
18
30
26
43
66
27
Sangat tidak mengetahui
3
5
-
-
5
8
11
18
19
8
Total
60
100
60
100
60
100
60
100
240
100
No.
Uraian
Jml
1.
Sangat mengetahui
9
2.
Mengetahui
3.
Cukup mengetahui
4. 5.
Total
Sumber: Diolah dari data survey
bermanfaat sebesar 35% sedangkan sebagian kecil mengatakan sangat tidak bermanfaat sebesar 6%, secara rinci dapat dilihat pada tabel 11.
f.
Manfaat layanan pos yang menggunakan Teknologi informasi Sebagian besar responden mengatakan manfaat layanan pos yang menggunakan teknologi informasi adalah cukup
TABEL 11. MANFAAT LAYANAN POS YANGM MENGGUNAKAN TEKNOLOGI INFORMASI
No.
Jakarta
Uraian
Jml
Bandung
%
Jml
%
Yogyakarta Jml
%
Batam Jml
Total
%
Jml
%
1.
Sangat bermanfaat
14
23
10
17
10
17
5
8
39
16
2.
Bermanfaat
14
23
36
60
19
31
6
10
75
31
3.
Cukup bermanfaat
28
47
14
23
18
30
23
38
83
35
4.
Tidak bermanfaat
3
5
-
-
13
22
13
22
29
12
5.
Sangat tidak bermanfaat
1
2
-
-
-
-
13
22
14
6
Total
60
100
60
100
60
100
60
100
240
100
Sumber: Diolah dari data survey
adalah murah banyak 52%, sedangkan sebagian kecil mengatakan sangat mahal dan sangat murah, masing-masing sebesar 7%, lebih jelas dapat dilihat pada tabel 12. di bawah ini :
g.
Tarif layanan pos setelah menggunakan teknologi informasi Hasil pengumpulan data tentang tarif layanan pos setelah menggunakan teknologi informasi mengatakan sebagian besar
TABEL. 12. TARIF LAYANAN POS SETELAH MENGGUNAKAN TEKNOLOGI INFORMASI
No.
Uraian
Jakarta Jml
%
Bandung Jml
%
Yogyakarta Jml
%
Batam Jml
%
Total Jml
%
1.
Sangat mahal
4
7
-
-
-
-
13
22
17
7
2.
Mahal
5
8
10
17
6
10
8
13
29
12
3.
Cukup mahal
14
23
13
21
20
33
6
10
53
22
4.
Murah
34
57
33
55
33
55
24
40
124
52
5.
Sangat murah
3
5
4
7
1
2
9
15
17
7
Total
60
100
60
100
60
100
60
100
240
100
Sumber: Diolah dari data survey
h.
Kecepatan layanan pos setelah menggunakan teknologi informasi Masyarakat pengguna layanan pos sebagian besar mengatakan kecepatan layanan pos setelah menggunakan
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
teknologi informasi adalah cepat sebesar 43%, sedangkan sebagian kecil mengatakan sangat lambat sebesar 4%, secara rinci dapat dilihat pada tabel 13. Di bawah ini :
47
Pemanfaatan Teknologi ... TABEL 13. KECEPATAN LAYANAN POS SETELAH MENGGUNAKAN TEKNOLOGI INFORMASI
No.
Uraian
Jakarta Jml
Bandung
%
Jml
Yogyakarta
%
Jml
Batam
%
Jml
Total
%
Jml
%
1.
Sangat cepat
7
12
9
15
9
15
7
12
32
13
2.
Cepat
27
45
32
53
24
40
20
33
103
43
3.
Cukup cepat
23
38
18
30
20
33
7
12
68
28
4.
Lambat
3
5
1
2
7
12
17
28
28
12
5.
Sangat lambat
-
-
-
-
-
-
9
15
9
4
Total
60
100
60
100
60
100
60
100
240
100
Sumber: Diolah dari data survey
i.
Membuka Website Pos Penggunaan jasa layanan pos sebagian besar mengatakan membuka website pos adalah tidak pernah
sebesar 54%, sedangkan sebagian kecil mengatakan sangat sering sebesar 4%, lebih jelas dapat dilihat pada tabel 14. di bawah ini :
TABEL. 14. MEMBUKA WEBSITE POS
No.
Uraian
Jakarta Jml
%
Bandung Jml
%
Yogyakarta Jml
Batam
%
Jml
Total
%
Jml
%
1.
Sangat sering
4
7
-
-
-
-
5
8
9
4
2.
Sering
4
7
10
17
8
13
15
25
37
15
3.
Cukup sering
6
10
14
24
12
20
10
17
42
17
4.
Tidak pernah
41
68
34
56
30
50
24
40
129
54
5.
Sangat tidak pernah
5
8
2
3
10
17
6
10
23
10
Total
60
100
60
100
60
100
60
100
240
100
Sumber: Diolah dari data survey
j.
Informasi yang diperoleh dari website pos Penggunaan jasa layanan pos sebagian besar mengatakan informasi yang diperoleh dari website pos adalah
lain-lain (tidak tahu) sebesar 54%, sedangkan sebagian kecil mengatakan e-business sebesar 3%, secara rinci dapat dilihat pada tabel 15.
TABEL 15. INFORMASI YANG DIPEROLEH DARI WEBSITE POS
No.
Jakarta
Uraian
Jml
Bandung
%
Jml
Yogyakarta
%
Jml
Batam
%
Jml
Total
%
Jml
%
1.
Layanan pos
10
17
16
27
7
12
12
20
45
19
2.
Informasi kiriman pos
9
15
5
8
8
13
8
13
30
13
3.
Berita pos
7
12
9
15
3
5
8
13
27
11
4.
e-business
2
3
-
-
2
3
4
7
8
3
5.
Lain-lain (tidak tahu)
32
53
30
50
40
67
28
47
130
54
Total
60
100
60
100
60
100
60
100
240
100
Sumber: Diolah dari data survey
k.
Penggunaan handphone untuk keperluan layanan pos Penggunaan jasa layanan pos sebagian besar mengatakan penggunaan handphone untuk keperluan layanan pos adalah
tidak pernah sebesar 57%, sedangkan sebagian kecil mengatakan sangat sering sebesar 7%, secara rinci dapat dilihat pada tabel 16.
TABEL 16. PENGGUNAAN HANDPHONE UNTUK KEPERLUAN LAYANAN POS
Jakarta No.
Bandung
Yogyakarta
Batam
Total
Uraian Jml
%
Jml
%
Jml
%
Jml
%
Jml
%
1.
Sangat sering
6
10
2
3
3
5
7
12
18
7
2.
Sering
3
5
7
12
5
8
9
15
24
10
3.
Cukup sering
7
12
5
8
4
7
11
18
27
11
4.
Tidak pernah
40
66
43
72
32
53
21
35
136
57
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
48
Pemanfaatan Teknologi ...
Jakarta No.
Jml 5.
Bandung
Yogyakarta
Batam
Total
Uraian %
Jml
%
Jml
%
Jml
%
Jml
%
Sangat tidak pernah
4
7
3
5
16
27
12
20
35
15
Total
60
100
60
100
60
100
60
100
240
100
Sumber: Diolah dari data survey
l. 1. 2. 3.
Hal-hal yang penting dari masukan masyarakat pengguna, antara lain : Masyarakat sangat berminat terhadap layanan pos, untuk itu perlu ditingkatkan layanan pos yang lebih baik Kebutuhan teknologi informasi dalam layanan pos mutlak dibutuhkan masyarakat, karena memberikan kecepatan dalam kiriman, namun biayanya cukup mahal. Sosialisasi harus lebih gencar dilaksanakan terhadap produk pos terbaru.
C. Pemanfaatan Teknologi Informasi dalam Pengembangan Bisnis Pos Seluruh penyelenggara perposan seperti PT. Pos Indonesia dan perusahaan jasa titipan dalam pemanfaat teknologi informasi bekerjasama atau bermitra dengan penyelenggara telekomunikasi. Khususnya penyelenggara telekomunikasi yang memiliki jaringan yang luas seperti PT. Telkomsel, PT. Indosat dan PT. Excelcomindo Pratama dengan maksud jaringan yang luas tersebut dapat terhubungkan secara online pada kantor-kantor pos dan membuat jaringan dalam bentuk perangkat server dan selanjutnya secara internal kedalam kantor pos dengan jaringan tersendiri dan juga menyediakan perangkat komputer yang cukup banyak. Teknologi informasi ini dapat dimanfaatkan untuk layanan pos, antara lain : 1. Teknologi yang digunakan membantu untuk pengembangan inovasi produk seperti kiriman remittance (kiriman uang) yang dapat dicapai dalam hitungan menit. 2. Kiriman mail (surat) dikembangkan dalam bentuk Hybrid Mail sehingga tidak perlu adanya proses delivery dari point to point. Sedangkan PT. JNE dalam pemanfaatan teknologi informasi untuk pengembangan bisnis pos bermitra dengan PT. Telkom dan IT consultant sekaligus alih dan tranfer teknologi. Selanjutnya JNE mengelola dan mengembangkan sendiri teknologi yang digunakan. Pemanfaatan teknologi informasi tersebut, memudahkan dalam pelayanan jasa pos, antara lain : 1. Layanan automatic POD report dalam bentuk SMS dan e-mail, dengan secara atomatis memberikan informasi dan konfirmasi mengenai status pengiriman milik customer tanpa diminta oleh customer dengan memberikan nomor handphone atau e-mail; 2. Layanan online trace & tracking serta daftar tarif melalui internet; 3. Intergrasi data dan system dalam proses bisnis dengan real time online. D. Kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan teknologi informasi untuk pengembangan bisnis pos 1) Kebutuhan Biaya yang meningkat Perkembangan teknologi informasi membuat perusahaan harus selalu dapat mengikuti pergerakan teknologi informasi tersebut dan ikut memanfaatkannya dalam rangka
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
mengefisiensi prosedur layanan pos. Oleh karena itu pula menyebabkan peningkatan biaya yang cukup signifikan dalam memelihara hardware yang digunakan dan pengadaan perangkat untuk kebutuhan perluasan jaringan online kantor pos di seluruh Indonesia. 2) Pengurangan SDM Pemanfaatan teknologi informasi di PT. Pos Indonesia telah mempersingkat atau memperpendek tahapan proses dari penerimaan sampai ke tujuan, sehingga berkurang penggunaan sumber daya manusia. Kemudian disisi lain perlu pelatihan secara berkesinambungan sumber daya manusia dalam menggunakan perangkat-perangkat teknologi informasi. 3) Infrastruktur yang luas PT. Pos Indonesia memiliki kantor pos yang sangat luas 3500 kantor pos diseluruh Indonesia dalam bentuk kantor pusat, kantor pos cabang (KPC) dan kantor pos pemeriksa (KPRK). Kantor-kantor pos yang luas tersebut perlu dihubungkan jaringan online satu dengan yang lainnya, sehingga mempermudah dan mempercepat proses pengiriman sampai ke tujuan dengan waktu yang singkat dan cepat. 4) Produk pos yang kurang diminati Perkembangan teknologi informasi, bermunculan penggunaan internet dalam bentuk e-mail secara luas dan ditempat-tempat tertentu penggunaannya bahkan gratis dengan munculnya hot-spot dan biaya penggunaan semakin murah. Begitu juga dengan penggunaan telepon seluler, seseorang dengan mudah dan cepat dapat berkomunikasi dan mendapatkan informasi serta meluasnya penggunaan sms. Kondisi ini mempersulit penyelenggara perposan mengembangkan produknya, khususnya di layanan surat. E. Pemanfaatan yang diperoleh masyarakat dengan adanya penggunaan teknologi informasi dalam pengembangan bisnis pos Sebelum mengetahui pemanfaatan masyarakat terhadap layanan pos yang berbasis teknologi informasi, perlu diketahui seberapa sering masyarakat menggunakan layanan pos, dari hasil survey diperoleh data bahwa masyarakat pada umumnya mengatakan tidak sering penggunakan layanan pos sebesar 47%, sedangkan yang mengatakan sangat sering sebesar 5%, sering sebesar 15% dan cukup sering sebesar 15%. Ini artinya bahwa layanan pos mulai ditinggalkan masyarakat, mengingat ada jasa telekomunikasi yang memberikan kecepatan dalam mendapatkan informasi dan memberikan informasi dan sangat efisen serta efektif baik dari sisi penggunaan waktu maupun dari sisi biaya yang dikeluarkan. Oleh karena itu yang menjadi motif masyarakat memilih layanan pos, sesuai dengan hasil pengumpulan data, pada umumnya masyarakat mengatakan adalah kiriman cepat sampai tujuan sebesar 31%. Penggunaan teknologi informasi dalam layanan pos, pendapat masyarakat bervariasi dengan besaran persentase
49
Pemanfaatan Teknologi ...
yang tidak jauh berbeda misalnya yang mengatakan mengetahui sebesar 29%, dan tidak mengetahui sebesar 27%. Selanjutnya masyarakat pengguna layanan pos mengatakan bermanfaat sebesar 35%, sedangkan sebagaian kecil mengatakan tidak bermanfaat sebesar 6%. Walaupun hasil penelitian masing sangat kecil masyarakat mengunakan layanan pos, tetapi masyarakat merasa ada manfaatnya. Contoh manfaat yang diperoleh masyarakat adalah : 1. Pengiriman uang lebih cepat sampai tujuan, satu hari dapat diterima yang bersangkutan dengan cara mengambil uang di kantor pos di kecamatan, mengingat jaringan online layanan pos telah sampai ke kecamatan di sebagian besar wilayah di Indonesia. Begitu juga dengan kiriman surat pos dapat satu sampai dengan menggunakan pos express, 2. Akses internet dalam layanan pos, baik ingin mendapatkan informasi jasa pos maupun penggunaan e-business. 3. Penggunaan jaringan telekomunikasi seperti handphone untuk pengiriman SMS Pesta/Pos, misalnya pada hari-hari besar dengan mengirim mengucapkan selamat hari raya berupa kartu lebaran dan hari besar keagamaan lainnya. Menurut hasil survey pemanfaatan layanan pos sudah dirasakan masyarakat, walaupun persentasenya masih kecil sekali seperti penggunaan layanan pos dalam bentuk SMS Pesta/Pos sebesar 7%, surat elektronik 12%, weselpos sebesar 31%, pos express 40%, akses internet : sangat sering sebesar 4%, sering 15%, cukup sering 17%, ebusiness sebesar 3% dan penggunaan handphone untuk layanan pos : sangat sering sebesar 7%, sering 10%, cukup sering 11%. Kemudian selanjutnya menurut PT. Pos Indonesia, masyarakat sangat berminat penggunaan layanan pos yang berbasis teknologi informasi seperti produk SOPP (sentral online payment point) atau pembayaran-pembayaran uang antara lain telepon, listrik, pajak, asuransi dan kredit dan Remittance (kiriman uang) dengan alasan memberikan nilai tambah dan kemudahan dalam bertransaksi. Sedangkan untuk PT. JNE, diminati masyarakat adalah informasi perusahaan, produk/jasa dan tarif dapat diakses secara cepat melalui website, layanan online trace & tracking melalui website/internet dapat mempercepat customer mengetahui status pengiriman, dan pengataran barang dari hasil transaksi belanja online (e-commerce) serta dapat memperoleh picup service melalui internet. VIII.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1. Pemanfaatan teknologi informasi oleh penyelenggara perposan dengan berkerjasama dengan mitra kerja penyelenggara telekomunikasi seluler dengan memanfaatkan jaringan yang luas sampai ke daerahdaerah. Tentunya pihak pos juga menyediakan perangkat dan jaringan di internal perusahaannya masing-masing, sehingga dapat terhubung secara online. 2. Kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan teknologi informasi dalam bisnis pos oleh penyelenggara perposan antara lain pengadaan perangkat teknologi informasi dan membuat jarinan diinternal perusahaan cukup signifikan biaya yang diperlukan, berkurang penggunaan SDM, mengingat tahapan proses layanan pos semakin singkat
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
3.
dan cepat, jaringan pos yang luas dan produk pos yang mulai kurang diminati. Masyarakat pengguna layanan pos sangat kurang memanfaatkan layanan PT. Pos Indonesia pos yang berbasis teknologi informasi, terfokus pada produk SOPP dan kiriman uang, bahkan pada umumnya tidak mengetahui layanan pos berbasis teknologi informasi. Sedangkan PT. JNE, produk yang diminati masyarakat adalah tarif dapat diakses secara cepat melalui website, layanan online trace & tracking melalui website/internet dan pengataran barang dari hasil transaksi (e-commerce) serta dapat memperoleh picup service melalui internet.
B. Saran/Rekomendasi 1. Perlu kreatifitas bagi penyelenggara perposan, didalam penemuan inovási-inovasi produk dan layanan yang memberikan kepuasan masyarakat pengguna dan sekaligus memberikan keuntungan perusahaan yang berkelanjutan. 2. Pemerintah perlu memberikan stimulus penyediaan dana dalam pengembangan infrastruktur teknologi informasi, termasuk memberikan insentif bagi industri TIK yang menerapkan kandungan lokal di perangkat TIK. 3. Manfaat yang diperoleh masyarakat perlu dilakukan sosialisasi atau promosi yang meluas terhadap produk atau layanan pos yang menggunakan teknologi informasi dan keuntungan-keuntungan yang didapat oleh masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Ellitan, Lena & Lina Anatan. 2007. Strategi Bersaing Dalam Service Driven Economy, Yogyakarta, Andi Offset. Kadir, Abdul dan Triwahyuni, Terra Ch. 2003. Pengenalan Teknologi Informasi, Yogyakarta, Andi Offset. Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosda Karya. Putranta, Hastha Dewa. 2004. Pengantar Sistem Dan Teknologi Informasi, Yogyakarta, AMUS. Ruslan, Rosady. 2008. Metode Penelitian, Public Relations dan Komunikasi, Jakarta, RajaGrafindo Persada. Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 Tentang Pos Republik Indonesia. 2008. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Supriyanto, Aji. 2005. Pengantar Teknologi Informasi, Jakarta, Salemba Infotek. Severin, werner J and James W. Tankard Jr. 2008. Teori Komunikasi, Sejarah, Medode dan Terapan di dalam Media Massa, Edisi Kelima, Jakarta, Kencana. Tan, Alexis, S. 1981. Mass Comunication Theories and Research, Columbus, Ohio, Grid Publishing, Inc. Internet. 2012. Admail. http://www.posindonesia.co.id. Diakses 6-1-2012 Internet. 2012. PlazaPos Cara Belanja Aman dan Nyaman Melalui Online. http://www.plasapos.com. Diakses 2-2-2012 Internet. 2012. Jasa Kurir Dalam Negeri & Intra Kota. Yakin Esok Sampai. http://www.jne.co.id. Diakses 3-1-2012.
50
Implikasi Undang-Undang ...
Implikasi Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 Terhadap Penyelenggara Pos implications of law number 38 year 2009 for postal operator Sri Wahyuningsih Puslitbang Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Jl.Medan Merdeka Barat No.9 Jakarta 10110 Telp./Fax 021-34833640
[email protected] Naskah diterima: 7 Februari 2012; Naskah disetujui: 19 Maret 2012
Abstract— Postal industry as a means of communication and information into a new era with the enactment of Law No.38 of 2009 concerning Post. The new provisions include selectin organizers will do the post to hold the Universal Postal Service, Interconnection arrangements and criminal sanctions. This study discusses the need to examine the implications of this law against the organizers of the post: 1).Heading the organizers who will follow the selection of the Universal Postal Services should have an integrated network, 2).Postal operator means a legal entity shall take the form of Limited Liability Company, cooperatives, state owned enterprises, 3). Operator of Post should be open about the ownership of the network and 4). Application of penal provision for the postal operator not permitted. Keywords— Implication, organizer of Post Abstrak— Industri pos sebagai sarana komunikasi dan informasi memasuki era baru dengan diberlakukannya Undang-undang No.38 tahun 2009 tentang Pos. Ketentuan baru antara lain akan dilakukannya seleksi penyelenggara pos untuk menyelenggarakan Layanan Pos Universal, pengaturan interkoneksi serta sangsi pidana. Kajian ini membahas perlunya mencermati implikasi undang-undang ini terhadap penyelenggara pos. Melalui kajian literatur dan data sekunder didapatkan kejelasan implikasinya Undang-undang No.38 tahun 2009 tentang Pos terhadap penyelenggara pos: 1). Penyelenggara Pos yang akan mengikuti seleksi penyelenggara Layanan Pos Universal harus memiliki jaringan terintegrasi,2).Penyelenggara pos berbadan hukum artinya harus berbentuk Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, BUMN (Perum dan Persero),3).Penyelenggara Pos harus terbuka tentang kepemilikan jaringan dan 4).Pemberlakuan ketentuan pidana bagi penyelenggara pos tak berijin. Kata Kunci— Implikasi. Penyelenggara Pos
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
I. PENDAHULUAN Industri Pos merupakan bagian pendukung sarana komunikasi dan informasi, berperan penting dalam pembangunan dan pengembangan wilayah, sebagai sarana komunikasi serta mendukung distribusi nasional. Selama kurun waktu duapuluh lima tahun, penyelenggaraan pos diatur melalui Undang-undang No.6 tahun 1984 kemudian disempurnakan menjadi Undang-undang No 38 tahun 2009 yang berlaku efektif diundangkan pada tanggal 14 Oktober 2009. Undang-undang ini mengakomodir kepentingan industri pos BUMN maupun Swasta, yang sebelumnya mempunyai batasan operasional bagi penyelenggara Pos tersebut. Beberapa perbedaan yang sangat mendasar antara UU No.6 tahun 1984 dengan UU No.38 tahun 2009 diantaranya sebagai berikut : Tabel 1. Aspek - aspek pengaturan tersebut merupakan awal perlakuan sama, ketentuan yang diberlakukan sama yang akan memasuki era industri pos yang kompetitif. Salah satu pertimbangan penyempurnaan Undang-undang tersebut karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan masyarakat dan kemajuan teknologi di bidang pos. Beberapa ketentuan yang sangat mendasar adalah hilangnya monopoli PT.Pos Indonesia untuk menyelenggarakan Layanan Pos Universal, Pos tidak sekedar lalu lintas kiriman tapi meliputi layanan komunikasi tertulis dan/atau surat elektronik, layanan paket, layanan logistik, layanan transaksi keuangan, dan layanan keagenan pos untuk kepentingan umum, dan dapat dilakukan oleh semua penyelenggara pos yaitu PT Pos Indonesia (BUMN) dan Penyelenggara Pos Swasta/Perjastip. Pengertian Penyelenggara pos sudah berkembang , dalam Undang-undang no.38 tahun 2009 tentang Pos, Penyelenggara Pos adalah badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, terdiri atas Badan Usaha Milik
51
Implikasi Undang-Undang ...
Negara/BUMN, Badan Usaha Milik daerah, Badan Usaha Milik Swasta dan Koperasi, namun saat ini yang sudah terdata baru badan usaha milik negara yaitu PT.Pos Indonesia dan badan usaha milik swasta antara lain PT.KGP, PT.Tiki JNE, PT.TIKI sedang badan usaha milik daerah dan koperasi belum terdata. Badan usaha berbadan hukum artinyaperusahaan yang
berbadan hukum yang diatur leh KUH Perdata misalnya Perseran Terbatas (PT), Koperasi, BUMN (Perum dan Persero) sedangkan CV atau Firma diatur dengan KUH Dagang (http://www.scribd.com/doc/17887534/Badan-Hukum-DanKedudukan-Badan-Hukum,30 Oktober 2011).
TABEL 1. PERBEDAAN UU NO.6 TAHUN 1984 TENTANG POS DAN UU NO.38 TENTANG POS.
Aspek-aspek
UU.N0.6 tahun 1984 tentang Pos
UU.N0.38 tahun 2009 tentang Pos
Kondisi saat ini
Penyelenggaraan
Penyelenggara pos adalah negara dan menugaskan. Kepada badan usaha milik negara yaitu PT.Pos Indonesia, adalah satu-satunya badan yang bertugas menerima, membawa dan/atau menyampaikan surat, warkatpos, serta kartupos dengan memungut biaya.
Penyelenggaran Pos oleh badan usaha yang berbadan hukum Indonesia. Terdiri dari badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah,badan usaha milik swasta dan koperasi
Ruang lingkup bisnis
Pos adalah pelayanan lalu lintas suratpos, uang, barang, dan pelayanan jasa lainnya yang ditetapkan oleh Menteri, yang diselenggarakan oleh badan yang ditugasi menyelenggarakan pos dan giro. Lalu lintas surat pos, uang, barang dan pelayanan jasa lainnya
Pos adalah layanan komunikasi tertulis dan/atau surat elektronik, layanan paket, layanan logistik, layanan transaksi keuangan, dan layanan keagenan pos untuk kepentingan umum.
Tidak ada lagi penugasan/monopli PT.Pos Indonesia.Layanan tersebut adalah Layanan Pos Universal. Selanjutnya Pemerintah akan melakukan seleksi terhadap penyelenggara pos untuk melaksanakan Layanan Pos Universal, lima tahun setelah diundangkan. Lingkup bisnis tidak hanya pada lalu lintas kiriman, tapi mengakomodasi perkembangan jasa kiriman
Layanan Pos Universal, Layanan Transaksi keuangan, logistik dan keagenan.
Kategori layanan lebih rinci, masing-masing mempunyai ketentuan berbeda
Tidak diatur
Diatur dalam ketentuan interkoneksi
Diatur dalam pasal 22 dan menjelaskan kedudukan PPNS secara tegas.
Diatur dalam Bab tersendiri, dan memberikan kewenangan melakukan penyidikan oleh PPNS dibawah koordinasi dan pengawasan pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kerjasama antar penyelenggara pos dilindungi undang-undang PPNS belum dimanfaatkan secara maksimal.
Kategori layanan
Pola kerjasama antar penyelenggara Penyidikan
Sumber: Undang-undang No.6 tahun 1984 dan UU No.38 tahun 2009 tentang Pos. Analisis kebijakan dilakukan dengan pendekatan normatif, ditekankan pada rekomendasi serangkaian tindakan yang akan datang yang dapat menyelesaikan masalah-masalah publik, sehingga pertanyaanya adalah, apakah yang harus dilakukan penyelenggara pos untuk implementasi UU tersebut. Oleh karena itu perlu diteliti apa implikasi undang-undang no.38 terhadap penyelenggara pos. II. PERMASALAHAN Dengan diberlakukannya Undang-undang No.38 tahun 2009 tentang Pos, maka pengertian atau definisi pos sekarang tidak lagi pelayanan lalulintas surat dan barang namun sudah meliputi layanan komunikasi surat tertulis dan/atau surat elektronik, paket, logistik, transaksi keuangan. PT.Pos Indonesia yang semula merupakan penyelenggara yang mempunyai misi sosial dan profit, sekarang harus bersikap hati-hati dalam pemilahan fungsi tersebut. karena Layanan Universal Pos yang semula ditugaskan kepada PT.Pos Indonesia, akan diberikan kepada semua penyelenggara pos melalui seleksi. Jadi industri pos sekarang mengatur layanan komersial dan non komersial (LPU) secara jelas. Posisi penyelenggara pos sama, dalam pola berbisnis dan
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
kesempatan sebagai penyelenggara LPU, sedangkan karakteristik penyelenggara pos BUMN dan BUMS sangat berbeda. Dalam pelaksanaan LPU dimungkinkan untuk melakukan interkoneksi antar penyelenggara, yang akan diatur oleh Pemerintah, namun kepemilikan jaringan serta kebijaksanaan untuk melakukan interkoneksi tentunya merupakan kewenangan masing-masing penyelenggara. Hal ini perlu dicermati, sehingga misi LPU dapat mendukung pencapaian target pencapaian pada tahun 2014 yaitu Jangkauan Layanan Pos Universal mencapai 100% di wilayah PSO.(PP No.5 tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional/RPJM Tahun 2010-1014). Secara keseluruhan, tidak ada lagi pembedaan pengaturan antara BUMN dan BUMS, dalam segala aspek, Pemberlakuan undang-undang mengarahkan industri jasa pos pada situasi persaingan sempurna, Permasalahannya adalah, “Bagaimana Implikasi Undang-undang terhadap Penyelenggara Pos ” III. TUJUAN DAN MANFAAT Tujuan penelitian ini untuk mencermati implikasi dari penerapan UU No.38 tahun 2009 tentang Pos terhadap
52
Implikasi Undang-Undang ...
penyelenggara pos, sedangkan manfaatnya akan dapat dicermati ketentuan yang harus dipenuhi oleh pemerintah maupun penyelengggara pos dalam rangka implementasi Undang-undang no.38 tahun 2009 tentang Pos.
1.
2. 3. 4. 5. 6.
7.
8.
IV. PENGERTIAN-PENGERTIAN/ DEFINISI YANG TERKAIT DENGAN JUDUL Pos adalah layanan komunikasi tertulis dan/atau surat elektronik, layanan paket, layanan logistik, layanan transaksi keuangan, dan layanan keagenan pos untuk kepentingan umum. Penyelenggara Pos adalah suatu badan usaha yang menyelenggarakan pos. Penyelenggaraan Pos adalah keseluruhan kegiatan pengelolaan dan penatausahaan layanan pos. Jaringan Pos adalah rangkaian titik layanan yang terintegrasi baik fisik maupun nonfisik dalam cakupan wilayah layanan tertentu dalam penyelenggaraan pos. Interkoneksi adalah keterhubungan jaringan pos antarpenyelenggara pos. Layanan Pos Universal adalah layanan pos jenis tertentu yang wajib dijamin oleh pemerintah untuk menjangkau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memungkinkan masyarakat mengirim dan/atau menerima kiriman dari satu tempat ke tempat lain di dunia. Kode Pos adalah sederetan angka atau huruf atau gabungan angka dan huruf yang dituliskan di belakang nama kota untuk memudahkan penyortiran, penyampaian kiriman, dan keperluan lain. Kiriman adalah satuan komunikasi tertulis, surat elektronik, paket, logistik, atau uang yang dikirim melalui penyelenggara pos.
V. TINJAUAN LITERATUR Penelitian – penelitian yang yang berkaitan dengan kebijakan bidang pos dengan berbagai pendekatan, perspektif dan teknik banyak dilakukan. Walaupun penelitian ada yang dilakukan pada era UU No.6 tahun 1984 namun masih ada relevansinya dengan era sekarang, dengan diberlakukannya UU No. 38 tahun 2009 tentang Pos, salah satunya tentang Kebijakan Subsidi dan PSO di bidang Infrastruktur yang dilaksanakan Priatna (2005) yang dilakukan dengan FGD menghasikan kesimpulan bahwa pelaksanaan kebijakan subsidi dan PSO di infrastruktur masih belum sepenuhnya sesuai dengan yang diharapkan. Kajian ini tidak secara eksplisit menyebut PSO Pos, namun pada dasarnya PSO mempunyai sumber, sasaran dan misi Pemerintah untuk meningkatkan pelayanan kepada publik. PSO yang kemudian disebut dengan Layanan Pos Universal yang semula merupakan penugasan kepada BUMN, akan dibuka seleksi kepada seluruh penyelenggara, artinya siapapun yang memenangkan mendapatkan dana atau subsidi melaksanakan LPU harus tetap mempunyai komitmen meningkatkan pelayanan kepada publik terutama didaerah pelosok sehingga tidak ada kesenjangan dan informasi dan komunikasi. Mengacu kepada Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025, salah satu misi untuk mencapai visi 2025 adalah, Peningkatan nilai tambah dan perluasan rantai nilai proses produksi serta distribusi dari pengelolaan aset dan akses (potensi) SDA,
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
geografis wilayah, dan SDM melalui penciptaan kegiatan ekonomi yang terintegrasi dan sinergis di dalam maupun antar kawasan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Peran jasa pos sebagai sarana distribusi mempunyai peran penting. Jaringan jasa pos yang terintegrasi sampai ke tingkat desa merupakan bentuk riil tentang kesiapan mendukung pencapaian misi tersebut, sehingga diperlukan kesiapan penyelenggara pos untuk menghadapi perkembangan dan pertumbuhan perekonomi Indonesia. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia (2008) mengeluarkan Cetak Biru Penataan Pengembangan Sektor Logistik Indonesia antara menyebutkan bahwa pada tahun 2025, sektor Logistik Indonesia, yang secara domestik terintegrasi antar pulau dansecara internasional terkoneksi dengan ekonomi utama dunia, dengan efisien dan efektif, akan meningkatkan daya saing nasional untuk sukses dalam era persaingan rantai suplai dunia, tertuang dalam visinya, yaitu Visi 2025: Terintegrasi Secara Lokal, terhubung Secara Global. VI. KERANGKA KONSEPTUAL Industri pos merupakan bagian dari jasa komunikasi dan jasa kiriman dalam penyelenggaraannya sangat dipengaruhi oleh jaringan fisik maupun virtual. Pengertian jasa menurut Rangkuti (2006:26), adalah merupakan pemberian suatu kinerja atau tindakan tak kasat mata dari satu pihak kepada pihak lain. Definisi jasa lainya menurut Kotler (1996) yang ditulis kembali oleh Rambat Lupiyoadi dan A.Hamdani (2006) adalah sebagai berkut; “Setiap tindakan atau kegiatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain, pada dasarnya tidak berujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun”. Dari definisi-definisi tersebut, dapat diartikan bahwa jasa akan dirasakan manfaatnya oleh penerima jasa. Apabila dikaitkan dengan pos, manfaat akan dirasakan oleh pengirim maupun penerima, dengan mengukur dari standar waktu pengiriman yang dijanjikan oleh penyelenggara pos, yaitu PT.Pos Indonesia maupun Perusahaan Jasa Titipan. Ada tiga ketentuan mendasar yang sebelumnya tidak diatur dalam UU No.6 tahun 1984 tentang Pos dan sekarang diatur dalam UU No.38 tahun 2009 tentang Pos, yaitu dilepaskannya penugasan terhadap BUMN untuk layanan universal, jenis layanan sama dalam penyelenggaraan jasa pos dan interkoneksi. Semua itu mengarahkan industri pos di Indonesia memasuki pasar persaingan sempurna, yang digambarkan dalam skema sebagaimana pada Gambar 1. Memasuki era persaingan sempurna, pengembangan penyelenggaraan Pos dapat melakukan diversifikasi dan inovasi layanan melakukan interkoneksi untuk pengembangan jaringan dan melaksanakan Layanan Universal. Definisi Layanan pos universal dalam UU no.38 tahun 2009 tentang pos, adalah layanan pos jenis tertentu yang wajib dijamin oleh pemerintah untuk menjangkau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memungkinkan masyarakat mengirim dan/atau menerima kiriman dari satu tempat ke tempat lain di dunia. memuat ketentuan maksimal dalam Layanan Pos Universal, dengan taif ditentukan peemerintah, mencakup:
53
Implikasi Undang-Undang ...
Gambar 1. Skema Persaingan Usaha Pos
1.
surat, kartupos, barang cetakan, dan bungkusan kecil (surat berisi barang) sampai dengan 2 kilogram; 2. sekogram sampai dengan 7 kilogram; 3. barang cetakan yang dikirim dalam kantong khusus yang ditujukan untuk penerima dengan alamat yang sama dengan berat sampai dengan 30 kilogram (M-bag) 4. paket pos dengan berat sampai dengan 20 kilogram. Sedangkan untuk layanan surat, paket, layanan logistik dan keuangan yang bersifat komersil, masing-masing penyelenggara mempunyai kebijakan dalam tarif komersial, diatur oleh masing-masing penyelenggara. Interkoneksi dapat diartikan kerja sama dalam menyelenggarakan jasa layanan pos, untuk meningkatkan pangsa pasar, menambah jaringan, meningkatkan kualitas dan kuantitas layanan dengan tujuan meningkatkan profitabilitas perusahaan. Keberhasilan interkoneksi antar penyelenggara pos adalah apabila interkoneksi saling menguntungkan, sesuai dengan kebutuhan untuk menghasilkan kinerja optimal bagi masing-masing penyelenggara dan tidak merugikan kepentingan masyarakat pengguna jasa layanan pos. Kinerja optimal akan didapatkan pada pola interkoneksi yang efektif dan efisien, sehingga diperlukan penelitian untuk mendapatkan model interkoneksi yang efektif. Dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Manajemen (2011), efektif berarti bahwa tujuan dapat dicapai sesuai dengan perencanaan, sementara efisien berarti bahwa tugas yang ada dilaksanakan secara benar, terorganisir, dan sesuai dengan jadwal. Pada dasarnya Pemrosesan Kiriman Pos antara penyelenggara pos sama, secara umum pemrosesan kirimanpos terdiri dari 4 tahapan utama yaitu : (PT.Pos Indonesia, 2004) 1. Pengumpulan (Collecting – C) Pengeposan atau Pengumpulan adalah proses mengumpulkan surat-surat atau kiriman dari titik-titik pengumpulan atau tempat pengeposan. Proses ini bertujuan agar kiriman dari berbagai tempat titik
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
pengumpulan di proses di suatu tempat sebelum dikirim ke kantor tujuan atau diantar kepada penerima. 2. Pemrosesan (Processing – P) Pemrosesan kiriman adalah beberapa aktivita yang dilakukan terhadap kiriman agar kiriman siap dikirim ke kantor tujuan atau diantar kepada penerima. 3. Transportasi (Transporting – T) Transportasi adalah aktivitas pemindahan kirimanpos dari suatu kantor ke kantor lain. Transportasi ini menggunakan semua jenis moda yaitu darat, laut dan udara, sesuai dengan tingkat layanan, waktu tempuh (travel time) dan biaya. Sebelum mengirimkan kirimanpos ke kantor tujuan harus dilakukan persiapan yaitu mengelompokan kirimanpos berdasarkan moda, jenis alat angkut, rute angkutan dan titik singgah angkut. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya salah kirim atau salah salur kirimanpos dan juga memudahkan dalam kegiatan memuat kiriman ke dalam alat angkut. 4. Pengantaran (Delivery – D) Pengantaran barang kiriman sampai ke penerima. Berdasarkan konsep-konsep tersebut dapat diketahui bahwa untuk menggambarkan Implikasi Undang-undang No.38 tahun 2009 tentang Pos terhadap penyelenggara pos dapat dicermati dari pos Layanan Pos Universal yang bersifat spesifik dan Pengembangan Jasa Pos akibat dibukanya pasar bebas, diketahui dari gambaran kesiapan penyelenggara pos menyelenggarakan Layanan Pos Universal dan Layanan Pos Komersil dengan memungkinkan kerjasama antar penyelenggara atau interkoneksi. VII.
PROFIL PENYELENGGARA POS
A. PT.Pos Indonesia (Persero) PT.Pos Indonesia sebagai badan usaha milik negara, selain berorientasi profit juga mengemban misi sosial, namun dengan perkembangan industri pos dan pemberlakuan UU
54
Implikasi Undang-Undang ...
Gambar 2. Jaringan PT. Pos IndonesiaSumber: GNP Sugiarta Yasa (2010)
No.38 tahun 2009 tentang Pos, penugasan menyelenggarakan Layanan Pos Universal yang pada tahun-tahun sebelumnya sarat dengan misi sosial, akan diperlakukan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang baru, yaitu tidak menugaskan langsung ke PT.Pos Indonesia, namun akan dilakukan seleksi kepada semua penyelenggara pos yang memenuhi persyaratan.Jaringan kantor pos terdiri jaringan virtual maupun fisik , yang tersebar seluruh Indonesia. Jaringan PT.Pos Indonesia yang tersebar di sebelas Divisi Regional PT.Pos Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut: Dalam grafik tergambar jumlah jaringan di masing-masing Divisi Regional, yang meliputi jaringan sampai ke pedesaan, sedangkan perkembangan jumlah jaringan sampai tahun 2010 pada Tabel 2 sebagai berikut: TABEL 2. PERKEMBANGAN JUMLAH KANTOR POS MENURUT JENISNYA TAHUN 2005-2010
No 1 2 3 4
Jenis Kartu Pos Kantor Pos
2005
2006
2007
2008
2009
2010
207
207
207
207
207
208
Kantor Pos (Kabupaten) Kantor Pos (Dalam Kota) Kantor Pos (Luar Kota) Jumlah
88
88
88
88
195
196
760
755
754
751
761
762
2433
2425
2422
2427
2369
2377
3488
3475
3471
3473
3532
3543
Sumber: Statistik Bidang Pos, semester II tahun 2010 Dari jenis kantor pos tersebut yang mendapatkan subsidi dari pemerintah adalah Kantor Pos cabang Luar Kota yang kemudian disebut KPCLPU, yang secara operasional merugi, karena minimnya transaksi sedangkan keberadaan KPCLK diperlukan untuk membantu akses komunikasi antar desa dan membantu dalam misi sosial. Dalam operasionalnya, PT.Pos Indonesia memiliki pos pelayanan bergerak, terdiri dari Pos Keliling Kota, Pos Keliling Desa, Pos Sarling (Pos Pasar Keliling). Tujuan disediakannya pos bergerak untuk memperluas jangkauan pelayanan pos dan mendekatkan layanan ke masyarakat yang membutuhkan. Dengan pola jaringan yang sudah terintegrasi sampai ke pelosok ditambah dengan pos bergerak, memungkinkan PT.Pos Indonesia dengan mudah mengantarkan kiriman sampai ke daerah pedesaan bahkan yang sulit dijangkau
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
transportasi umum. Contohnya untuk KPCLK keberadaanya banyak di daerah terpencil sampai ke wilayah transmigrasi. B. Penyelenggaraan Jasa Titipan / Kiriman Penyelenggaraan Jasa Titipan adalah perusahaan penyelenggara pos swasta, yang ketentuannya diatur melalui Undang-undang No.38 tahun 2009 tentang Pos, pada Pasal 4, ayat 1, yaitu Penyelenggaraan Pos dilakukan oleh badan usaha yang berbadan hukum Indonesia. Dan pada Pasal 10 bahwa (1) Badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib mendapat izin Penyelenggaraan Pos dari Menteri. Badan usaha yang berbadan hukum Indonesia artinya yang diatur dengan KUH Perdata, antara lain Perseroan Terbatas, artinya Penyelenggara Jasa Titipan minimal berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Mengacu data Asperindo, penyelenggara jasa titipan dibagi tiga yaitu Kompartemen Internasional, Kompartemen Domestik dan City Courier. TABEL 3. JUMLAH PENYELENGGARA JASA TITIPAN MENURUT PULAU TAHUN 2005-2010
No
Provinsi
Jumlah 2008
2009
2010
1
Sumatera
67
75
81
2
Jawa
479
508
535
3
Bali, NTB, NTT
35
39
41
4
Kalimantan
51
55
55
5
Sulawesi
17
17
17
6
Maluku, Papua
6
6
6
655
700
735
Jumlah
Sumber: Statistik Bidang Pos, semester II tahun 2010 Penyelenggara Jasa Titipan sifatnya heterogen, masingmasing penyelenggara mempunyai jaringan, jenis layanan yang berbeda dan kebijakan masing-masing. Beberapa Perusahaan sudahh mempunyai kantor cabang, namun masing sampai ke tingkat Propinsi atau Kabupaten/Kota yang potensial. Dalam perkembangannya, terutama untuk Ibu Kota Propinsi sudah banyak penyelenggara jasa titipan yang mempunyai Kantor Pusat di Ibu kota Propinsi selain Jakarta. Artinya, interkoneksi dapat saja dilakukan antar penyelenggara jasa titipan. 55
Implikasi Undang-Undang ...
Jumlah yang tercatat diatas tidak berdasarkan ijin yang dikeluarkan Pemerintah c.q. Ditjen PPI, tidak termasuk kepemilikan Kantor Cabang dan Agen dari masing-masing penyelenggara pos swasta/Perjastip. VIII. METODOLOGI Pendekatan dengan kualitatif, karena merupakan Studi Penjajakan, untuk mengetahui gambaran yang jelas mengenai implikasi Undang-undang No.38 tahun 2009 tentang Pos, dengan mengembangkan konsep jasa pos dengan lebih jelas kemudian menentukan prioritas.. Melalui penjajakan para peneliti mengembangkan konsep-konsep dengan lebih jelas,menentukan prioritas (Donald R Cooper dan C William Emory,1996: 126). Pertimbangan lainnya karena bidang yang akan diteliti masih baru sehingga peneliti perlu mengadakan penjajakan lebih dulu untuk mengetahui sedikit mengenai permasalahan yang dihadapi. Cara-cara penjajakan teknik kualitatif dengan analisa data sekunder, antara lain dengan penelitian kepustakaan. Data yang berasal dari sumbersumber sekunder dapat membantu untuk memutuskan apa yang harus dilakukan, dan dalam banyak hal dapat dilakukan suatu pencarian data sekunder dari rumah atau kantor dengan memakai komputer dan jasa on line, internet. Penelitian berdasar atas sumber-sumber data sekunder memberikan latar belakang masalah yang jelas. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan melakukan kajian dokumen yang berkaitan dengan jasa pos, triangulasi data sedangkan teknik analisis data menggunakan konsep Miles dan Huberman
Gambar 3. Konsep Miles Sumber: Matthew B Miles dan AM Hubermen(2007),”Analisis Data Kualitatif”.
IX. ANALISIS DAN PEMBAHASAN Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos terdiri dari duabelas bab meliputi 53 pasal mengandung banyak ketentuan yang dapat dikategorikan baru dalam industri pos di Indonesia, dan sangat berpengaruh kepada penyelenggara pos, antara lain tentang akan diberlakukannya seleksi penyelenggara LPU, pengembangan Kode Pos dan ketentuan menyangkut pidana. Campur tangan Pemerintah untuk mengembangkan pos tercantum pada pasal 36 yang antara lain menyatakan, Pemerintah wajib melakukan upaya peningkatan dan pengembangan Penyelenggaraan Pos, melalui kebijakan Menteri yang berkaitan dengan pengaturan, pengendalian dan fasilitasi, dilakukan secara menyeluruh dan terpadu dengan memperhatikan pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat. Pengembangan fitur dan jenis layanan, merupakan strategi kebijakan masing-masing penyelenggara, namun ada yang perlu didukung bersama oleh seluruh penyelenggara baik PT.Pos Indonesia maupun Perjastip, antara lain masalah jaringan dan kode pos. Hasil
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
dari data yang dijajagi melalui dokumen, hasil penelitian dan internet, dapat dicermati Implikasi dari Undang-undang No.38 tahun 2009 tentang Pos, terhadap Penyelenggara Pos yang berkaitan dengan 1) Jaringan Pos dan Interkoneksi, 2). Penyelenggara Layanan Pos Universal, 3). Kode Pos, 4). ketentuan tentang Penyidikan dan Ketentuan Pidana. A. Implikasi Undang-undang UU 38 tahun 2009 terhadap Jaringan Pos dan Interkoneksi 1) Pengembangan jasa pos dan pemanfaatan jaringan Undang-undang No.38 tahun 2009 sudah menambah jenis layanan yaitu layanan logistik. Dalam penjelasanya, yang dimaksud Layanan logistik berupa kegiatan perencanaan, penanganan, dan pengendalian terhadap pengiriman dan penyimpanan barang, termasuk informasi, jasa pengurusan, dan administrasi terkait yang dilaksanakan oleh Penyelenggara Pos. Layanan Logistik merupakan layanan baru yang diatur dalam undang-undang pos, sehingga penyelenggara pos dapat melakukan kegiatan yang terkait dengan layanan logistik. Peluang untuk menyelenggarakan layanan logistik pos terbuka dan tidak lagi menyalahi ketentuan, karena Undang-undang menyatakan core bisnis pos tidak hanya surat dan paket. Penyelenggara Pos akan lebih bebas melakukan inovasi layanan logistik, sejalan dengan pencanangan MP3EI tahun 2025 dan muatan Cetak Biru Penataan Pengembangan Sektor Logistik Indonesia yaitu Visi 2025: Terintegrasi Secara Lokal, terhubung Secara Global. Menghadapi tantangan ini, penyelenggara pos perlu meningkatkan layanan dengan menyertakan teknologi dan meningkatkan kemampuan atau kualitas sumber dayanya. Ada satu hal yang harus diperhatikan, bahwa kebutuhan sumber daya manusia di bidang logistik sangat dominan, ada aspek yang tidak dapat digantikan oleh teknologi misalnya kurir dan jaringan fisik, antara lain transportasi darat, laut maupun udara. Masing-masing penyelenggara pos mempunyai strategi untuk mengembangkan. Misalnya PT.Pos Indonesia yang memiliki jaringan di seluruh wilayah Indonesia, sudah terintegrasi memungkinkan menjadi tulang punggung jaringan pos. Pemikiran ini sangat mungkin, terutama apabila dipertimbangkan untuk keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.Jaringan terluar PT.Pos Indonesia sudah seharusnya ditingkatkan dan dikembangkan yang akan menjadi salah satu bukti kepemilikan wilayah. Demikian juga dengan KPCLK yang sudah terbangun di setiap propinsi, dapat dimanfaatkan untuk distribusi kekayaan individual maupun pemerintah setempat, yang secara significant akan meningkatkan perkonomian desa, wilayah setempat saling terintegrasi antar wilayah. Undang-undang menyebutkan, bahwa pemerintah mempunyai kewenangan seperti diatur pada pasal 36, antara lain menyatakan pada ayat (1) Peningkatan dan pengembangan Penyelenggaraan Pos dilakukan untuk mengoptimalkan pelayanan pos.kemudian pada ayat (2)Pemerintah wajib melakukan upaya peningkatan dan pengembangan Penyelenggaraan Pos. Selanjutnya di ayat (3) Dalam rangka peningkatan dan pengembangan Penyelenggaraan Pos sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan penetapan kebijakan, pengaturan, pengendalian, dan fasilitasi. Peran pemerintah sangat jelas, sebagai fasilitator meningkatkan peran kantor pos yang sudah 56
Implikasi Undang-Undang ...
dibangun. Amat disayangkan apabila tidak difasilitasi, karena rata-rata berada di wilayah non komersial, namun keberadaanya dapat menjadi penghubung dan saat ini masih mampu beroperasi dengan adanya dana dari Layanan Pos Universal. Jaringan dari penyelenggara pos swasta (Perjastip), ratarata masih di tingkat Ibu Kota Propinsi atau Wilayah/Kota potensial. Namun peluang pengembangan jaringan sebagai cabang sampai ke pedesaan sebenarnya terbuka, karena dalam undang-undang tidak ada beda ijin untuk BUMN maupun Perjastip. Peluang untuk membuka Kantor Cabang Jasa Titipan diatur dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No.23/PER/M.KOMINFO/04/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Urusan Pemerintah Sub Bidang Pos dan Telekomunikasi, pada pasal 9 huruf a dan b, bahwa pemberian ijin kantor cabang dan penertiban penyelenggaraan jasa titipan untuk kantor cabang merupakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi. Sedang pada pasal 10 pada huruf b,c dan d menyatakan pemberian rekomendasi untuk pendirian kantor cabang jasa titipan, pemberian izin jasa titipan untuk kantor agen dan penertiban jasa titipan untuk kantor agen merupakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Permasalahannya, perjastip tentu masih memperhitungkan untung rugi pembukaan jaringan. Bedanya dengan PT.Pos Indonesia, jaringan yang tersedia dibangun Pemerintah, namun dengan konsekwensi mendukung misi sosial Pemerintah. 2) Interkoneksi Interkoneksi dalam undang-undang diartikan keterhubungan jaringan pos antar penyelenggara pos, merupakan salah satu peluang kerjasama antar penyelenggara pos untuk menyelenggarakan Layanan Pos Universal. Bagi perusahaan yang menyatakan memiliki jaringan yang dapat kerjasama, perlu dipertimbangkan sebagai kerjasama yang saling menguntungkan. Terutama bagi penyelenggara swasta yang akan mengambil peluang mengikuti seleksi sebagai penyelenggara Layanan Pos Universal, perlu mempertimbangkan kepemilikan jaringan, karena pertimbangan utama penugasan Layanan Pos Universal kepada PT.Pos Indonesia adalah karena kepemilikan jaringan yang terintegrasi. Keadaan ini sangat berbeda dengan perjastip, yang sifatnya heterogen, masing-masing mempunyai wilayah dan jangkauan layanan yang berbeda, dan antar penyelenggara tidak saling terintegrasi. Hasil penelitian Model Interkoneksi Penyelenggara Pos, yang dilakukan oleh Sri Wahyuningsih, Agus Setiawan (2010), Penyelenggara jasa titipan dapat menggunakan jaringan PT.Pos Indoneesia melalui interkoneksi dengan dimulai dari transporting dan delivery. Pertimbangan utama adalah kepemilikan jaringan fisik PT.Pos Indonesia dan transportasi darat yang menunjang. Interkoneksi tentunya tidak harus diawali dari kantor pusat masing-masing penyelenggara, namun dapat diawali pada rute terdekat dari Kantor Cabang penyelenggara jasa titipan.
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
Gambar 4. Model Interkoneksi (Sumber: Sri Wahyuningsih, Agus Setiawan,2010)
Collecting akan dilakukan oleh masing-masing penyelenggara jasa titipan, kemudian akan dilakukan pengiriman sampai ke tingkat kantor cabang, baru dilakukan interkoneksi dengan penyelenggara pos BUMN pada jaringan yang akan dituju dimana perjastip tidak memiliki jaringan. Saat ini belum ada data yang menunjukan penyelenggara pos dari BUMD dan Koperasi, namun pada skema ini, perjastip, BUMD dan Koperasi dapat melakukan collecting yang kemudian melakukan interkoneksi dengan BUMN yang sudah memiliki jaringan terintegrasi sampai kepedesaan. Model interkoneksi ini dapat terlaksana melalui kesepakatan diantara yang berkepentingan. Apabila digambarkan dalam flowchart dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 5. Flowchart Model Interkoneksi (Sumber: Sri Wahyuningsih, Agus Setiawan,2010)
Jadi intekoneksi dapat dilakukan, dengan pertimbangan tetap saling mendukung dan menguntungkan untuk memberikan layanan terbaik bagi masyarakat. Hal ini akan memungkinkan sekali untuk pelaksanaan Layanan Pos Universal dan ketentuan interkoneksi merupakan kebijakan masing-masing penyelenggara. Pada pasal 14 yang mengatur ketentuan interkoneksi, Penyelenggara Pos dapat melakukan interkoneksi dengan Penyelenggara Pos lain untuk menjamin layanan pos di daerah, setiap penyelenggara pos wajib menyediakan interkoneksi terhadap Penyelenggara Pos lainya untuk Layanan Pos Universal, dilakukan transparan dan saling menguntungkan dan Pemerintah akan mengeluarkan peraturan pemerintah. Seyogyanya peraturan pemerintah ini sudah dapat diterbitkan tahun 2012, karena akan banyak yang
57
Implikasi Undang-Undang ...
harus dipelajari oleh para penyelenggara pos, terutama perjastip yang berminat dalam LPU. B. Implikasi UU No.38 tahun 2009 tentang Pos berkaitan dengan Penyelenggara Layanan Pos Universal Layanan Pos Universal yang merupakan public service obligation (PSO) adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh negara akibat disparitas/perbedaan harga pokok penjualan BUMN/swasta dengan harga atas produk/jasa tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah agar pelayanan produk/jasa tetap terjamin dan terjangkau oleh sebagian besar masyarakat/ publik.(Adisaputra, Koswara,2005). Pada Pasal 3 UU No 38 tahun 2009 tentang Pos dinyatakan bahwa Pos diselenggarakan dengan tujuan untuk: a).meningkatkan dan memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta meningkatkan hubungan antarbangsa dan antarnegara; b)membuka peluang usaha, memperlancar perekonomian nasional, dan mendukung kegiatan pemerintahan; c).menjamin kualitas layanan komunikasi tertulis dan surat elektronik, layanan paket, layanan logistik, layanan transaksi keuangan, dan layanan keagenan pos; dan d). menjamin terselenggaranya layanan pos yang menjangkau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 4 menyebutkan yang dimaksud dengan penyelenggara pos adalah badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik swasta dan koperasi yang berbadan hukum Indonesia, artinya perusahaan yang berbadan hukum adalah yang diatur dengan KUH Perdata,antara lain Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, BUMN (Perum dan Perser), sedangkan CV,Firma adalah merupakan perusahaan yang diatur dalam KUH Dagang. (http://www.scribd.com/doc/17887534/Badan-Hukum-DanKedudukan-Badan-Hukum, 30 Oktober 2011). Dengan demikian perusahaan yang menyelenggarakan jasa pos adalah harus berbentuk Perseroan Terbatas. Layanan Pos Universal merupakan kewajiban penyampaian kiriman sampai ke pelosok dan daerah terpencil, dengan tarif dasar yang ditentukan Pemerintah. Layanan ini tidak termasuk layanan komersil, sehingga Pemerintah memberikan subsidi untuk menutup kerugian akibat pengiriman ke daerah terpencil non komersil. Sesuai ketentuan undang-undang, Layanan Pos Universal akan ditugaskan kepada penyelenggara pos melalui seleksi pada tahun 2014. Namun keharusan menyampaikan sampai ke pelosok, merupakan permasalahan yang sangat mendasar bagi perjastip, yang selama ini hanya memiliki jaringan di perkotaan serta wilayah potensial dan tarif yang dikenakan adalah tarif komersial. Peluang untuk dapat menyelenggarakan layanan pos universal dengan melakukan interkoneksi antar penyelenggara pos, baik antar perjastip sendiri atau dengan jaringan PT.Pos Indonesia. Pasal 15 ayat 1 menyatakan Pemerintah wajib menjamin terselenggaranya Layanan Pos Universal di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan pada pasal 50 menyatakan Untuk menjamin kesinambungan Layanan Pos Universal tetap dilakukan oleh badan usaha milik negara yang telah ditugaskan oleh Pemerintah saat ini sampai jangka waktu paling lama 5 tahun.Dengan demikian penugasan kepada PT.Pos Indonesia akan berakhir tahun 2014, selanjutnya Layanan Pos Universal akan ditugaskan kepada penyelenggara pos yang memenuhi syarat melalui seleksi.
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
Apabila merujuk ke ketentuan Layanan Pos Universal (LPU), penyelenggaranya harus mampu menyampaikan kiriman sampai ke pelosok tanah air, maka yang mampu menyelenggarakan LPU saat ini adalah PT.Pos Indonesia. Hal ini ditunjang pengalaman menyelenggarakan LPU dari tahun 2003 didukung jaringan PT.Pos Indonesia sudah mencapai pelosok tanah air, pedesaan dan wilayah terpencil. Penyelenggara pos swasta mempunyai kesempatan untuk menyelenggarakan Layanan Pos Universal dengan adanya ketentuan diperbolehkannya interkoneksi antar penyelenggara pos, dengan tetap saling menguntungkan. C. Implikasi UU No.38 tahun 2009 tentang Pos berkaitan dengan Kode Pos Dari hasil Evaluasi Pemanfaatan Kode Pos yang dilakukan oleh Sri Wahyuningsih dan Joko Suryanto (2011), dalam kesimpulannya antara lain pengembangan wilayah yang tidak diikuti pengembangan nomor kode pos. Memperhatikan ketentuan Undang-undang no.38 tahun 2009 tentang Pos, Kode Pos tidak hanya diperlakukan untuk jasa layanan pos PT.Pos Indonesia dengan demikian Nomor Kode Pos akan dapat menjadi kode teritorial (berkenaan dengan wilayah) Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Merujuk pada definisi Kode Pos dalam UU No.38 tahun 2009 tentang Pos, Kode Pos adalah sederetan angka dan huruf yang dituliskan di belakang nama kota untuk memudahkan penyortiran, penyampaian kiriman dan keperluan lain. Kemudian pasal 25 ayat (2) menyatakan penyelenggara dan pengguna layanan pos harus mencantumkan Kode Pos untuk mengidentifikasi alamat atau wilayah. Pada penjelasannya, antara lain dinyatakan bahwa kode pos dapat digunakan oleh pihak lain sesuai kepentingan, bersifat dinamis dan dikembangkan sesuai kebutuhan. Apabila akan terlaksana pola interkoneksi antar penyelenggara pos, penggunaan Kode Pos sangat diperlukan, karena akan mempermudah dan mempercepat pencarian alamat oleh penyelenggara pos lainnya, terutama PT.Pos Indonesia, yang sudah menggunakan sistem berdasarkan kode pos karena pola penulisan Kode pos yang menunjukan rangkaian alamat, digitnya mempunyai arti Propinsi, Kabupaten, Kecamatan sampai Kelurahan yang dapat berlaku untuk umum dan mudah dipahami oleh individu, organisasi maupun pada lingkup pemerintahan. Hal ini sangat penting disosialisasikan dan diimplementasikan karena apabila memperhatikan ketentuan tentang Kode Pos, jelas bahwa Kode Pos bukan hanya milik atau hanya digunakan transaksi di Kantor Pos, namun sudah mempunyai fungsi lebih. Sudah seharusnya Pemerintah memfasilitasi pengembangkan Kode Pos secepatnya. Kebijakan keharusan setiap penyelenggara mencantuman kode pos pada setiap penulisan alamat, dapat diartikan sudah waktunya kodepos menjadi kesatuan alamat rumah maupun instanasi. Penulisan kodepos pada wilayah, akan melekat pada Wilayah NKRI, sehingga saat menunjuk wilayah terluar yang tertera kodepos sudah langsung diketahui wilayah tersebut merupakan bagian dari wilayah NKRI. Untuk mewujudkan kesepahaman ini, pengembangan kode pos perlu dilakukan kesepakatan antar Kementerian terkait antara lain Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri, BPS, Kementerian Hukum dan HAM dan lainnya yang mungkin akan terkait dengan pemberlakuan kode pos.
58
Implikasi Undang-Undang ... TABEL 4. COMPETITIVE PROFILE MATRIX (CPM), BERDASARKAN JENIS LAYANAN SESUAI CAKUPAN LPU.
BUMN Critical Success Faktors
Bobot
Rating Ketersediaan Akses Layanan
0.25
Keteraturan Layanan
0.14
Kecepatan dan Keandalan
0.18 0.21
BUMS Domestik
PT.Pos Indonesia Skor
Internasional Rating Skor
Rating
Skor
Perusahaan Daerah Rating Skor
4
1
1
0.25
2
0.5
1
0.25
4
0.56
1
0.14
4
0.56
2
0.28
4
0.72
4
0.72
4
0.72
4
0.72
4
0.84
4
0.84
4
0.84
4
0.84
0.04
4
0.16
4
0.16
4
0.16
4
0.16
Kepuasan Pelanggan
0.07
3
Tarif Layanan
0.11
4
Total
1
Keamanan dan Kerahasiaan Penanganan Keluhan Pelanggan
0.21 0.44 3.93
4 1
0.28 0.11 2.5
4 1
0.28 0.11 3.17
3 1
0.21 0.11 2.57
*Bobot pada CPM LPU berdasarkan kepentingan aspek pada LPU, Rating ditentukan berdasarkan kondisi perusahaan dikaitkan dengan ketentuan LPU, masing-masing memiliki nilai rating: 1 = sangat lemah 2 = tidak begitu lemah 3 = cukup kuat 4 = sangat kuat
D. Implikasi UU No.38 tahun 2009 tentang Pos berkaitan dengan ketentuan tentang Penyidikan dan Ketentuan Pidana. Jaringan pos dapat sebagai pendukung distribusi nasional apabila pemerintah dapat mengimplementasikan ketentuan UU No.38 tahun 2009 tentang Pos pasal 10 ayat (1) yang menyatakan Badan usaha wajib mendapat izin Penyelenggaraan Pos dari Menteri, yang pada ayat (2) dinyatakan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian izin diatur dalam Peraturan Pemerintah.Kemudian pada pasal 42 diatur sangsi bahwa setiap Penyelenggara Pos yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Apabila ketentuan ini diberlakukan, dapat tertata dan terdata penyelenggara pos swasta sehingga persaingan dapat dikendalikan. Pemerintah mempunyai kuwajiban pengendalian, melalui PPNS yang diatur pada pasal 37 bahwa Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ps diberi wewenang khusus sebagai penyidik tidak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini, yang dalam pelaksanaannya dibawak kordinasi dan pengawasan Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Indikasi banyaknya penyelenggara jasa kiriman tidak berijin termasuk pengiriman paket melalui travel bukan penyelenggara jasa pos, sangat mengganggu terutama dalam harga. Apabila ketentuan ini dapat dijalankan, akan dapat terdata jumlah penyelenggara pos yang sebenarnya dan legal, sehingga secara makro akan berpengaruh terhadap kepastian hukum bagi penyelenggara pos, tenaga kerja yang terlindungi dan harga atau tarif yang kompetitif. E. Kesiapan Penyelenggara Pos untuk implementasi Undang-undang No.38 Tahun 2009 tentang Pos. Dari hasil pembahasan implikasi undang-undang terhadap penyelenggara pos, secara umum penyelenggara pos dari PT.Pos Indonesia (BUMN) maupun Perjastip (BUMS) siap
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
untuk melakukan diversifikasi produk dan inovasi dalam layanan dengan disertai peningkatan teknologi pendukungnya. Namun ada masalah yang secara bersamaan akan dihadapi oleh para penyelenggara pos, yaituakan dilakukannya seleksi antar penyelenggara pos untuk menyelenggarakan Layanan Pos Universal. Berdasarkan hasil penelitian di empat kota Jakarta, Medan, Banjarmasin dan Surabaya, Sriwahyuningsih dan Agus Setiawan (2011), tentang kesiapan penyelenggara pos untuk mengikuti seleksi sebagai penyelenggara LPU, didapatkan hasil analisis sebagai berikut : 1. Penilaian terhadap pemenuhan aspek-aspek standar LPU dari PT Pos Indonesia (BUMN) mendapat total skor 3,93 artinya PT.Pos Indonesia sudah siap mengikuti seleksi, namun masih harus memperhatikan aspek kepuasan pelangan. Kekuatan pada Jaringan PT.Pos Indonesia, sedangkan kelemahannya pada kepuasan pelanggan. 2. Penilaian terhadap pemenuhan aspek-aspek standar LPU dari Penyelenggara Jasa Titipan Internasional mendapat total skor 2,5 artinya ada aspek standar LPU yang belum terpenuhi antara lain Ketersediaan akses Layanan, Keteraturan Layanan, dan Tarif Layanan merupakan tarif komersil tidak memenuhi standar LPU sehingga nilai rating sangat lemah. Akses Layanan perusahaan Internasional dalam arti jaringan masih terbatas kota besar, kota potensial dan lingkungan bisnis dan Layanan sejenis LPU tidak melayani. 3. Penilaian terhadap pemenuhan aspek-aspek standar LPU dari Penyelenggara Jasa Titipan Domestik mendapat total skor 3,17 artinya masih ada aspek yang kurang siap, antara lain aspek Ketersediaan Akses Layanan dan Tarif. Perusahaan Jasa Titipan merupakan perusahaan berorientasi profit, sehingga keberadaan jaringan rata-rata baru sampai di Tingkat Kabupaten. Keteraturan layanan mempunyai kekuatan, karena sudah melayani surat dan paket yang masuk dalam kategori LPU dengan tarif komersil dan mempunyai pangsa besar. 4. Penilaian terhadap pemenuhan aspek-aspek standar LPU dari Penyelenggara Jasa Titipan yang mempunyai kantor
59
Implikasi Undang-Undang ...
pusat di daerah skor 2,92. Artinya masih banyak aspekaspek standar LPU yang belum terpenuhi, antara lain 5. Ketersediaan akses Layanan, Keteraturan Layanan, Kepuasan Pelanggan dan Tarif, Kepemilikan jaringan Critical Success Faktors berdasarkan Standar untuk penyelenggara LPU dalam RPP tentang Pelaksanaan Undangundang No.38 tahun 2009 tentang Pos, yaitu Standar Pelayanan Pos Universal. Pemberian bobot merupakan hasil diskusi intensif dengan informan dari Direktorat Pos disertai didasarkan asumsi-asumsi dalam pelaksanaan LPU. X. KESIMPULAN A. Kesimpulan Hasil dari kajian Implikasi Undang-undang No.38 tahun 2009 terhadap penyelenggara pos dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Penyelenggara Pos yang akan mengikuti seleksi penyelenggara Layanan Pos Universal harus memiliki jaringan terintegrasi dan pemenuhan standar sebagai penyelenggara LPU; 2. Penyelenggaraan Layanan Universal tetap harus memperhatikan kesiapan dan kemampuan penyelenggara pos menyampaikan kiriman sampai ke desa dan wilayah terpencil. 3. Penyelenggara pos berbentuk badan hukum artinya penyelenggara pos berbentuk Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, BUMN (Perum dan Perseroan). 4. Penyelenggara Pos harus terbuka tentang kepemilikan jaringan; 5. Penyelenggara Pos dapat melakukan Interkoneksi dengan model sesuai kesepakatan antar penyelenggara Pos. 6. Pemberlakuan ketentuan pidana bagi penyelenggara pos tak berijin. 7. Kode Pos perlu dikembangkan karena sudah tidak sesuai lagi dengan pengembangan wilayah serta demografi. B. Saran 1. Pemerintah a. Perlu segera dilakukan pendataan kepemilikan jaringan yang memenuhi persyaratan dan standar jaringan penyelenggara pos; b. Perlu segera diterbitkan ketentuan berkaitan Interkoneksi; c. Perlu pendataan dan pemetaan penyelenggara pos swasta yang berkantor pusat di Jakarta maupun di Kota selain Jakarta serta pendataan jaringan setiap penyelenggara pos. d. Pengembangan Kode Pos dengan memperhatikan pengembangan wilayah, pemekaran dan demografi, sehingga diperlukan koordinasi dengan Kementerian terkait, antara lain Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri, BPS, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Kominfo sebagai Regulator bidang Pos serta Instansi/Lembaga yang terkait. e. Implementasi pemanfaatan PPNS 2. Penyelenggara Pos a. Penyelenggara Pos menginformasikan kepemilikan jaringan secara terbuka.
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
b. Penyelenggara pos wajib memenuhi standar sebagai penyelenggara LPU, sehingga harus mencermati ketentuan yang akan diberlakukan dalam seleksi penyelenggara LPU. c. Peningkatan potensi infrastruktur karena terbuka peluang bidang logistik. d. Pengembangan SDM sektor Logistik. e. Penyelenggara pos perlu memulai mewajibkan dan membiasakan penggunaan Kode Pos, untuk mempermudah proses distribusi. DAFTAR PUSTAKA Adisaputra,Koswara(2005), Public Service Obligation (PSO), http://www.anggaran.depkeu.go.id/web-content-list.asp?ContentId=193, 18Januari 2012 Ditjen Postel Depkominfo,2010. Data Statistik Semester II, Tahun 2010 Donald R. Cooper dan C.William Emory,1998. Metode Penelitian Bisnis” Jilid 1 dan 2, Erlangga, Jakarta GNP Sugiarta Yasa,2010. Interkoneksi Penyelenggaraan Pos di Indonesia, PT Pos Indonesia (Persero), disampaikan pada seminar Kajian Mandiri Puslitbang Postel, 30 Agustus 2010. Jakarta. (1,7 http://www.scribd.com/doc/17887534/Badan-Hukum-Dan-KedudukanBadan-Hukum,30 Oktober 2011 http://www.scribd.com/doc/17887534/Badan-Hukum-Dan-KedudukanBadan-Hukum, tanggal Januari 2011 http://id.wikipedia.org/wiki/Manajemen (2011) , Januari 2011 Kotler,Philip,1994. Manajemen Pemasaran, Analisis, Perencanaan, Implementasi dan Pengendalian,Prentice-Hall., Ed.Indonesia,Jakarta Keegan,Warren,1996. Manajemen Pemasaran Global, Prenhallindo, Jakarta Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI, 2008,Cetak Biru Penataan Pengembangan Sektor Logistik Indonesia. http://www.scribd.com/doc/24329859/20090519Cetak-Biru-LogistikIndonesia Januari 2012 PT.Pos Indonesia,2004.Bahan On the Job Training, bidang Pos, Litbang Perhubungan,Jakarta PP No.5 tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional/RPJM Tahun 2010-1014) Priatna, 2005,Kebijakan Subsidi dan PSO di Bidang Infrastruktur, Bappenas, Jakarta https://bappenas.go.id/main/doc/pdf/prakarsa_strategis/Ringkasan%2520Kaji an%2520Prakarsa%2520Strategis%2520Percepatan%2520Pembangunan. Rangkuti,Fredy,2006, Teknik Mengukur Kepuasan Pelanggan”,Gramedia, Jakarta.
dan
Strategi
Meningkatkan
Rambat Lupiyoadi dan Hamdani,2008. Manajemen Pemasaran Jasa, Salemba Empat, Jakarta Sugiyono,2004.Metode Penelitian Bisnis,Bandung,Alfabeta. Sri Wahyuningsih, Agus Setiawan, 2010, Penelitian Model Interkoneksi Penyelenggara Pos,Puslitbang SDPPI, Jakarta. Sri Wahyuningsih, Joko Suryanto, 2011, Evaluasi Pemanfaatan Kode Pos, Puslitbang SDPPI, Jakarta Sri Wahyuningsih, Agus Setiawan, 2011, PenelitianKesiapan Penyelenggara Pos untuk Menyelenggarakan Layanan Pos Universal sebagai Implementasi UU No.38 Tahun 2009 tentang Pos.
60
Evaluasi Implementasi ...
Evaluasi Implementasi Permenkominfo Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Amatir Radio implementation evaluation of ministerial decree no. 33 year 2009 regarding amateur radio deployment Tatiek Mariyati Puslitbang Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Jalan Merdeka Barat 9 Jakarta 10110 telp/Fax 021-34833640
[email protected] Naskah diterima: 9 Februari 2012; Naskah disetujui: 28 Maret 2012 Abstract— The development of information communications and technology has penetrated to every aspect of life who touches the public. Enactment the Regulation from Ministry of Information Communications Technology Number 33 - 2009 about the Amateur Radio is in an effort to regulate a variety of issues related to Amateur Radio. With the evaluative method we hope to find the impact of the development of a region have an significant amateur radio activity in developing economies. Those implementation of amateur radio frequencies assigned according to the government and expected not to interfere with the operational frequency of the other users, then set the various statutes including the licensing and use of frequencies that are expected to curb the activities of radio frequency users including Amateur Radio operations. Although that the nature of the organization is more to the amateur radio hobby, but the value of social effects is very good. . The results showed that needed the weak understanding of the amateur radio community so that the necessary dissemination and implementation of appropriate Permenkominfo Number 33 of 2009. Keywords— ministerial decree no. 39 year 2009, amateur radio, implementation evaluation Abstrak— Perkembangan teknologi informasi telah merambah ke berbagai aspek kehidupan yang menyentuh ke berbagai lapisan masyarakat. Diberlakukannya Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 33 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Amatir Radio adalah dalam upaya mengatur berbagai hal yang berkaitan dengan Amatir Radio. Dengan menggunakan metode evaluatif diharapkan dapat menemukan dampak perkembangan suatu wilayah dengan aktivitas amatir radio yang signifikan dalam mengembangkan perekonomian. Oleh karena penyelenggaraan amatir radio tersebut menggunakan frekuensi sesuai yang ditetapkan pemerintah dan diharapkan tidak mengganggu operasional pengguna frekuensi yang lain, maka diatur berbagai ketetapan termasuk perijinan dan penggunaan frekuensi yang diharapkan dapat menertibkan seluruh kegiatan pengguna frekuensi radio termasuk di dalamnya operasional Amatir Radio. Meskipun sifat penyelenggaraan amatir radio ini lebih kepada hobby, tetapi
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
nilai sosial yang ditimbulkan sangat baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih lemahnya pemahaman komunitas masyarakat amatir radio sehingga diperlukan sosialisasi dan implementasi sesuai Permenkominfo Nomor 33 Tahun 2009. Kata Kunci— permenkominfo no.33 tahun 2009, amatir radio, evaliasi implementasi
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (information and communication technology/ICT) dewasa ini membuat arus globalisasi semakin deras mengalir merambah ke seluruh penjuru dunia. Perkembangan teknologi juga telah menghapus batas-batas ruang antar negara, bahkan menghapus batas jarak dan waktu. David Harvey menyatakan bahwa kecenderungan ini dapat disebut sebagai pemampatan ruang-waktu yang dapat mendorong percepatan perubahan dunia kehidupan [David Harvey:1990]. Reformasi telekomunikasi dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi telah berkembang pesat. Arus globalisasi yang begitu pesat dampaknya mampu menyentuh langsung kepada individu-individu di pelosok pedesaan. Keberadaan amatir radio juga menyentuh kepada peran masyarakat di perdesaan yang menginginkan dapat disampaikannya informasi yang disalurkan melalui hobby dalam hal ini dengan membangun amatir radio. Sangat disayangkan masih banyak yang melakukan penyiaran amatir radio tanpa melakukan proses perijinan dan perangkat yang tidak layak yang berakibat menimbulkan gangguan bagi pengguna frekuensi yang lainnya, lebih lagi apabila yang mendapat gangguan adalah pengguna frekuensi yang berijin dan perangkat yang memenuhi standar. Membahas amatir radio, tentu tidak terlepas dari International Amateur Radio Union (IARU) yang merupakan
61
Evaluasi Implementasi ...
Organisasi Amatir Radio Dunia, karena kegiatan Amatir Radio adalah berskala Internasional. Ketentuan yang mengatur kegiatan Amatir Radio ini diatur pula dalam Radio Regulation yang dikeluarkan oleh International Telecommunication Union (ITU). Amatir Radio adalah setiap orang yang mempunyai hobi dalam bidang teknik elektronika radio dan komunikasi serta secara sukarela bersedia mengabdi kepada bangsa dan masyarakat. Para amatir radio sedunia sadar bahwa kegiatan ini harus dilakukan secara tertib dan benar menurut kaidah hidup manusia dan peraturan yang berlaku secara internasional dan nasional oleh karena itu dalam melakukan kegiatannya mereka mempunyai dan berlandaskan Kode Etik Amatir Radio. Sejarah Organisasi Radio Amatir Republik Indonesia adalah tonggak sejarah tumbuh dan berkembangnya ORARI. Kegiatan radio amatir merupakan kegiatan orang-orang yang mempunyai hobi dalam bidang teknik transmisi radio dan elektronika, kegiatan ini sudah ada sejak tehnik transmisi radio ditemukan dan karena kegiatan ini menggunakan peralatan dan juga media spektrum gelombang elektro magnetik yang menyangkut kepentingan kehidupan manusia dalam alam semesta ini, maka kegiatan ini disahkan, diatur dan diawasi secara global baik oleh Badan2 Telekomunikasi International ITU & IARU maupun oleh badan telekomunikasi nasional disetiap negara. Demikian juga di Indonesia kegiatan Amatir Radio sudah ada sejak awal abad ke 20. Semasa perang kemerdekaan RI para amatir radio di Indonesia juga aktif berjuang dengan peralatan dan keahliannya. Amatir Radio Indonesia telah banyak membaktikan diri kepada bangsa, baik sebagai media perjuangan mempersiapkan dan merebut serta mengisi kemerdekaan, maupun memberikan konstribusi pemikiran dan gagasan baik yang bersifat teknik maupun regulasi serta melakukan operasi penanggulangan bencana serta dukungan komunikasi bukan dalam keadaan bencana. Mereka bergabung di dalam wadah Persatoean Amateur Repoeblik Indonesia (PARI). Kegiatan amatir radio dihentikan waktu pendudukan Jepang pada awal Perang Dunia Kedua. Sebagian kegiatan amatir radio masih tetap meneruskan kegiatannya sebagai radio gelap untuk kepentingan revolusi kemerdekaan. Proklamasi kemerdekaan Indonesia juga dipancarkan ke seluruh dunia dengan menggunakan pemancar radio revolusioner yang dibuat sendiri oleh Gunawan, YBOBD. Untuk kepentingan keamanan di dalam negeri, sejak 1950 sampai 1967 Pemerintah melarang semua kegiatan komunikasi radio yang dilakukan oleh badan-badan atau perorangan non pemerintah, yang dilandasi dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1964 yang menegaskan dikenakannya hukuman sangat berat bagi mereka yang memiliki pesawat pemancar radio tanpa ijin yang sah. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, telah diatur dimana dalam Peraturan Pemerintah tersebut dinyatakan : 1. Pemberian Izin Amatir Radio (IAR) dan Izin Penguasaan Perangkat Radio Amatir (IPPRA), termasuk untuk warga Negara asing, Izin Komunikasi Radio Antar Penduduk (IKRAP) dan Izin Penguasaan Perangkat Komunikasi Radio Antar Penduduk (IPPKRAP).
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
2.
Pelaksanaan penyelenggaraan ujian amatir radio yang sebelumnya merupakan urusan Pemerintah Daerah Provinsi dialihkan menjadi urusan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika. Jadi sejak disahkannya PP Nomor 38 Tahun 2007 tersebut, maka seluruh proses perizinan kembali dilaksanakan oleh Ditjen Pos dan Telekomunikasi yang dalam pelaksanaannya dilakukan secara bertahap. Selanjutnya melalui pembahasan antara Ditjen Pos dan Telekomunikasi bersama ORARI dan RAPI tentang perubahan Kepmenhub Nomor 49 tahun 2002 tentang Amatir Radio, maka pada bulan Agustus dikeluarkanlah Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 33 /PER/M.KOMINFO/08/2009 tentang Penyelenggaraan Amatir Radio sebagai pengganti Kepmenhub tersebut. Amatir Radio sebagai potensi masyarakat yang menggunakan spektrum frekuensi radio yang telah dialokasikan secara khusus oleh International Telecommunication Union (ITU), dalam penyelenggaraannya perlu diatur oleh pemerintah; Peraturan Menteri Kominfo Nomor 33 tahun 2009 mengatur agar Penyelenggaraan Amatir Radio patuh dan tunduk pada ketetapan yang diberikan ITU. Tetapi yang terjadi di lapangan diantaranya adalah : 1. masih terdapat Amatir Radio illegal yaitu yang tidak memperpanjang Izin Amatir Radio (IAR) dan Amatir Radio yang sudah beroperasi tetapi tidak berijin. 2. Perangkat Amatir Radio yang rusak, spurious, mengakibatkan terjadi harmonis yang efeknya mengakibatkan terjadinya interferensi. Perkembangan Amatir Radio cukup signifikan terkait dengan hobby seseorang, tetapi dalam perkembangan Amatir Radio terkait dengan keterbatasan frekuensi radio yang terbatas. Oleh karena itu semuanya diatur dalam peraturan yang tertuang dalam Peraturan Menkominfo Nomor 33 Tahun 2009. Pada perkembangannya, ternyata ditemukenali adanya berbagai masalah diantaranya pelanggaran-pelanggaran administrasi dan pelanggaran teknis yang mengakibatkan adanya ketidak tertiban, interferensi dan gangguan lainnya. Oleh karena itu di dalam penataan kegiatan yang berkaitan dengan Penyelenggaraan Amatir Radio perlu dilakukan evaluasi untuk menemukenali kondisi di lapangan, penerapan kebijakan, pemahaman pengguna amatir radio, dan kendala yang utamanya ditujukan untuk mengarah kepada tertib pengguna pada penggunaan frekuensi maupun penggunaan perangkatnya, sehingga dapat dilakukan strategi atau kebijakan dalam peningkatan penyelenggaraan amatir radio. Oleh karena itu dipandang penting melakukan evaluasi implementasi Permenkominfo Nomor 33 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Amatir Radio. Keterbatasan referensi diantaranya disebabkan belum pernah dilakukan penelitian sejenis sebelumnya, sementara dari pemaparan proposal yang dihadiri juga oleh team dari Ditjen SDPPI yang menyatakan perlu dilakukan penelitian ini untuk menjaring permasalahan dan penentuan kebijakan ke depan dalam layanan Penyelenggaraan Amatir Radio.
62
Evaluasi Implementasi ...
B. Permasalahan Dengan uraian tersebut, maka rumusan permasalahan Implementasi Permenkominfo Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Amatir Radio adalah : 1. Bagaimana perkembangan penyelenggaraan amatir radio sesudah adanya Permenkominfo Nomor 33 tahun 2009 ? 2. Sejauhmana implementasi Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika nomor 33 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Amatir Radio, khususnya dalam rangka tertib pengguna terkait dengan penggunaan frekuensi dan penggunaan perangkat?. C. Tujuan dan Manfaat Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran perkembangan amatir radio setelah diberlakukannya peraturan menteri komunikasi dan informatika nomor 33 tahun 2009 dan menemukenali permasalahan yang berkaitan dengan penyelenggaraan amatir radio. Manfaat penelitian ini adalah untuk meningkatkan pemahaman dan ketertiban penyelenggaraan amatir radio dalam penggunaan frekuensi dan perangkat yang sesuai dengan peraturan yang ada. D. Ruang Lingkup Ruang Lingkup Evaluasi Implementasi Permenkominfo Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Amatir Radio ini adalah: Peraturan Menteri Kominfo Nomor 33 Tahun 2009. II. KERANGKA TEORI
Evaluasi Implementasi Permenkominfo Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Amatir Radio ini perlu di dukung dengan Kerangka Teori yang mendukung analisis data hasil survey. Gambaran umum kegiatan Amatir Radio akan berkaitan erat dengan penggunaan perangkat Pemancar Radio. Kerangka teori didasarkan pada Kebijakan Publik dan Pemancar Radio itu sendiri. A. Analisis Kebijakan Keberhasilan dalam memecahkan suatu masalah memerlukan penemuan solusi yang tepat terhadap suatu masalah yang tepat. Masalah kebijakan merupakan kondisi obyektif yang keberadaannya dapat diciptakan secara sederhana dengan menentukan fakta-fakta tentang apa yang ada dalam suatu kasus. Dalam memberikan suatu pandangan mengenai sifat masalah-masalah kebijakan dan garis besar komponen-komponen utama dari proses perumusan masalah dalam analisis kebijakan. Setelah membandingkan dan mempertentangkan tipe-tipe model kebijakan yang berbeda. Arti penting perumusan masalah dalam analisis kebijakan ini juga memperlihatkan bahwa perumusan masalah melekat di dalam proses. Analisis kebijakan sebagai suatu metodologi pemecahan masalah. Para analis berhasil memecahkan masalah-masalah publik. (contoh Bernard Barber, Effective Social Science : eight Cases in Economics, Political Science, and Sociology (New York : Russell Sage Foundation, 1987 dalam buku Pengantar Analisis Kebijakan Publik –William N. Dunn, 1998) citra pemecahan masalah masalah dari analisis kebijakan dapat menyesatkan. Citra pemecahan masalah secara salah menggambarkan bahwa para analis dapat berhasil mengidentifikasi, mengevaluasi, dan membuat rekomendasi pemecahan masalah tanpa perlu menghabiskan waktu dan usaha yang berharga untuk merumuskan masalah itu. Dalam kenyataannya, analisis kebijakan adalah proses berjenjang yang dinamis dimana metode metode perumusan masalah mendahului metode-metode pemecahan masalah. Gambar dibawah menunjukkan bahwa metode metode perumusan masalah mendahului dan mengambil prioritas terhadap metode-metode pemecahan masalah dalam analisis kebijakan. Metode metode pada satu tingkat tidak cukup dan tidak efektif pada tingkat berikutnya, karena pertanyaan pertanyaannya berbeda pada kedua tingkat tersebut. Jadi suatu hal penting untuk mengenali perbedaan di antara proses yang berhubungan dengan masalah diuraikan dalam Gambar 1. 1) Pengenalan Masalah vs. Perumusan Masalah Proses analisis kebijakan tidak berawal dengan masalah yang terartikulasi dengan jelas, tetapi suatu perasaan khawatir yang kacau dan tanda tanda awal ini bukan masalah tetapi situasi masalah yang dikenal oleh para analis kebijakan, pembuat kebijakan, dan pelaku kebijakan. Masalah kebijakan adalah produk pemikiran yang dibuat pada suatu lingkungan, diabstraksikan oleh para analis, sehingga mengalami situasi masalah.
Gambar 1. Prioritas Perumusan Masalah dalam Analisis Kebijakan ( Sumber : Pengantar Analisis Kebijakan Publik, William N Dunn)
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
2) Perumusan Masalah vs Pemecahan Masalah Analisis kebijakan merupakan proses yang berlapis-lapis yang mencakup metode perumusan masalah pada urutan yang lebih tinggi dan metode pemecahan masalah pada urutan yang lebih rendah. Metode yang lebih tinggi dan pertanyaan63
Evaluasi Implementasi ...
pertanyaan yang layak adalah apa yang disebut rancangan kebijakan atau rancangan ilmu. Metode pemahaman masalah dalam urutan yang lebih tinggi adalah metametode, yaitu metode “mengenai” dan “ada sebelum” metode pemecahan masalah yang berada pada urutan yang lebih rendah. Dalam menganalisis menggunakan metode dalam urutan yang lebih rendah untuk memecahkan masalah yang rumit, dapat beresiko melakukan kesalahan : memecahkan masalah yang salah (Howard Raiffa, Decision Analysis-1968 dalam buku Pengantar Analisis Kebijakan Publik –William N. Dunn, 1998). 3) Pemecahan Kembali Masalah vs. Pementahan Solusi Masalah dan Pementahan Masalah. Istilah aslinya : Problem Resolving, Problem Unsolving dan Problem Dissolving. Ketiganya menunjuk pada proses koreksi kesalahan (Russell L Ackoff-Beyond Problem Solving-1974 dalam buku Pengantar Analisis Kebijakan Publik –William N. Dunn, 1998). Pemecahan kembali masalah mencakup analisis ulang terhadap masalah masalah yang dipahami secara benar untuk mengurangi kesalahan yang bersifat kalibrasial. Pementahan solusi masalah ini berupa pembuangan solusi dikarenakan kesalahan dalam perumusan masalah (membuang solusi dikarenakan kesalahan dalam masalah secara tepat). Pementahan masalah adalah pembuangan masalah yang dirumuskan secara tidak tepat dan kembali kepada perumusan masalah sebelum terjadi suatu usaha untuk memecahkan masalah yang tidak tepat itu. Dalam tahap perumusan masalah, tidak mungkin kasus yang ada dapat diselesaikan masalahnya secara menyeluruh. Bila masalah substantif telah didefinisikan, maka masalah formal yang lebih rinci dan spesifik dapat dirumuskan. Proses perpindahan dari masalah substantif ke masalah formal dilakukan melalui spesifikasi masalah, meliputi pengembangan representasi (model) matematis formal dari masalah substantif. Kesulitan mungkin terjadi, karena hubungan antara masalah substantif yang rumit dan representasi formal dari masalah itu mungkin lemah. Dalam masalah-masalah yang sulit didefinisikan, tugas utama bukan untuk mendapatkan solusi yang tepat/ benar tetapi untuk mendefinisikan sifat dari masalah itu sendiri. Jadi gambaran tahap perumusan masalah dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Gambaran Tahap Perumusan Masalah
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa perumusan masalah mengambil prioritas di atas pemecahan masalah dalam
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
analisis kebijakan. Perumusan masalah dapat dipandang sebagai suatu proses dengan empat fase yang saling tergantung, yaitu pencarian masalah (problem research), pendefinisian masalah (problem definition), spesifikasi masalah (problem spesification), dan pengenalan masalah (problem sensing). Prasyarat perumusan masalah adalah pengakuan atau “dirasakannya keberadaan” suatu situasi masalah. Untuk pindah dari situasi masalah seorang analis terlibat dalam pencarian masalah. Tujuan jangka pendeknya bukan penemuan suatu masalah tunggal melainkan penemuan beberapa representasi masalah dari berbagai pelaku kebijakan. Analis dalam menghadapi jaringan besar yang kacau dari formulasi-formulasi masalah yang saling bersaing dinamis, terbentuk oleh situasi soaial, terdistribusi pada seluruh proses pembuatan kebijakan, akibatnya dihadapkan pada metaproblem. (Yehezkel Dror, Design for Policy Sciences, NY:Elsevier, 1971). Perpindahan dari metamasalah ke masalah substantif harus diusahakan untuk mendefinisikan suatu masalah dalam istilah yang paling mendasar dan umum, yang memiliki nilai kepentingan substansi. Jika masalah substantif telah didefinisikan, maka masalah formal yang lebih rinci dan spesifik dapat dirumuskan. Proses perpindahan ini dilakukan melalui spesifikasi masalah yang secara tipikal meliputi pengembangan representatif (model) matematis formal dari masalah substantif. Ada kemungkinan terjadi kesulitan karena hubungan antara masalah substantif yang rumit dan representasi formal dari masalah itu mungkin menjadi lemah/ renggang. (Ralph E. Starusch, A Critical Look at Quantitative Methodology, Policy Analysis, 2-1976) B. Amatir Radio 1) Pemancar Radio Pemancar Radio adalah suatu peralatan yang mempunyai nilai khusus dan nilai strategis. Yang dimaksud dengan peralatan yang bernilai khusus adalah : suatu peralatan yang mampu menimbulkan bencana baik bagi penggunannya maupun lingkungan, negara bahkan dunia. Bencana tersebut dapat ditimbukan akibat kondisi teknis maupun yang diakibatkan dari pengoperasian dari peralatan tersebut. Dengan demikian Pemancar radio dapat disetarakan dengan Senjata, Obat Bius, Pesawat Terbang dan lain-lain. Yang dimaksud dengan peralatan yang bernilai Strategis adalah : suatu peralatan yang sangat dibutuhkan dalam menunjang kehidupan manusia, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan pembangunan bangsa dan mengamankan kehidupan masyarakat, bangsa, negara bahkan dunia. Agar Pemancar Radio dapat digunakan secara berhasil guna, dan dampak dari nilai khusus dapat dihindari, maka penggunaan pemancar radio harus diatur secara terpadu di seluruh dunia, dan aturan penggunaan dalam bentuk ketentuan teknis dan operasional tersebut mutlak harus dipatuhi secara utuh dan konsekuen. Ketentuan bagi penggunaan pemancar radio di dunia adalah Radio Regulation dari International Telecomunication Union (ITU) yang merupakan badan dunia khusus menangani semua permaasalahan telekomunikasi dunia. Radio Regulation mengatur tentang Pembagian Services, yaitu pembagian masing-masing kegiatan yang membutuhkan sarana komunikasi. Dilanjutkan dengan pembagian 64
Evaluasi Implementasi ...
Servicesnya, yaitu menata Frekuensi kerja dari masing masing kegiatan agar tidak saling mengganggu antara satu dengan lainnya. Setelah di atur pembagian Services dan Frekuensinya maka di atur pula tanda pengenal (Callsign) agar setiap pancaran dari suatu stasiun dapat mudah dikenali. Dalam Radio Regulation diatur pula tentang berbagai ketentuan lainnya tentang telekomunikasi, dengan maksud agar komunikasi dapat digunakan dan dimanfaatkan secara maksimal tanpa menimbulkan gangguan dan saling mengganggu serta menimbulkan bencana dan keselamatan /keamanan dunia. 2) Ketentuan yang mengikat bagi Amatir Radio di Indonesia Seorang Amatir Radio dalam melakukan kegiatan tunduk dan patuh kepada semua peraturan dan ketentuan yang berlaku, sebagaimana ikrar yang tertuang dalam butir kedua dari Kode Etik. Amatir Radio yaitu “Amatir Radio adalah setia” , karena mendapat izin dari Pemerintah karena Organisasinya, yang bersangkutan akan setia dan patuh kepada negara dan organisasinya. Ketentuan yang mengikat bagi kegiatan Amatir Radio di Indonesia adalah: 1. Radio Regulation yang mengatur tentang Telekomunikasi Dunia. Radio Regulation adalah ketentuan yang telah disepakati oleh seluruh anggota ITU yang diambil dalam International Telecomunication Convention. a. Peraturan dan Perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Semua Peraturan dan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Pemerintah yang berkaitan dengan Telekomunikasi adalah mengacu pada Radio Regulation. Bagi Amatir Radio Indonesia semua ketentuan yang berkaitan dengan Telekomunikasi dan berbagai aspek yang berkaitan dengan kegiatan Amatir Radio adalah mengikat, ketentuan yang dimaksud adalah antara lain: b. Undang-Undang nomor 11 tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi ITU Nairobi 1982. c. Undang undang nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. d. Peraturan Pemerintah nomor 52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi. e. Peraturan Pemerintah nomor 53 tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum frekuensi. 2. Peraturan Menteri Kominfo Nomor 33 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Amatir Radio. a. Ketentuan dan Peraturan yang ditetapkan oleh International Amateur Radio Union (IARU). Ketentuan dan Peraturan yang ditetapkan oleh International Amateur Radio merupakan kesepakatan oleh seluruh anggota IARU yang diambil dalam IARU Conference antara lain: b. Band Plan c. Protokol komunikasi digital
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
d. Penggunaan Satellite e. Kegiatan Kontes, QSL-ing, Award Ketentuan dan berbagai Kebijakan yang ditetapkan Organisasi.
3.
3) Larangan bagi kegiatan Amatir Radio Larangan bagi kegiatan Amatir Radio antara lain: Amatir Radio dilarang di gunakan untuk keperluan : 1. Komersial a. Politik b. Dinas Instansi Pemerintah dan Bukan Pemerintah c. Sambungan Jaringan Telekomunikasi Umum d. Rumah Tangga dan Pihak Ketiga 2. Amatir Radio dilarang berkomunikasi dengan: a. Stasiun dari Negara yang memusuhi Indonesia b. Stasiun yang tidak syah dan stasiun lainnya c. Menggunakan bahasa Sandi dan Bahasa yang tidak sopan d. Menggunakan peralatan pengubah audio 3. Amatir Radio dilarang : a. Memancarkan Siaran Berita, Musik dll b. Memancarkan Berita darurat dan palsu dan menyesatkan c. Mengudara dari Kapal Laut dan Pesawat Udara. 4) Tanda Pengenal (Callsign) Dalam Radio Regulation dinyatakan bahwa : Setiap stasiun Radio yang memancarkan Transmisinya harus memiliki tanda pengenal, dan tanda pengenal tersebut tidak boleh menyerupai tanda-tanda marabahaya (SOS TTT DDD dll) dan tanda-tanda khusus yang menyerupai kode Q (QAA QUZ). Callsign yang digunakan oleh Amatir Radio terdiri dari kombinasi Angka dan Huruf yang terbentuk dalam satu kesatuan yang menunjukkan Prefix dan Suffix. Contoh YB1PR Prefix YB1 menunjukkan Negara dan Daerah asal Stasiun. Suffix PR menunjukkan stasiun yang bersangkutan. Dengan demikian Penulisan dan Pengucapan Callsign harus secara utuh dan benar serta dapat dimengerti secara internasional 5) Penulisan Callsign Contoh penulisan callsign yang benar adalah YB1PR dan bukan YB 1 PR karena bila menggunakan spasi diantara callsign maka callsign tersebut tidak lagi merupakan satu kesatuan, dan ini akan sulit dimengerti bila diketuk dengan kode morse. TABEL 1. RADIOTELEPHONY ALPHABET
Huruf A
Alphabet Alfa
Pengucapan AL FAH
B
Bravo
BRAH VOH
C
Charlie
CHAR LEE
D
Delta
DELL TAH
E
Echo
ECK OH
F
Foxtrot
FOKS TROT
65
Evaluasi Implementasi ...
Huruf G
Alphabet Golf
Pengucapan GOLF
H
Hotel
HOH TEL
I
India
IN DEE AH
J
Juliet
JEW LEE ETT
K
Kilo
KEY LOH
L
Lima
LEE MAH
M
Mike
MIKE
N
November
NO VEM BER
O
Oscar
OSS CAH
P
Papa
PAH PAH
Q
Quebec
KEH BECK
R
Romeo
ROW ME OH
S
Sierra
SEE AIR RAH
T
Tango
TANG GO
U
Uniform
YOU NEE FORM
V
Victor
VIK TAH
W
Whiskey
WISS KEY
X
X-Ray
ECKS RAY
Y
Yankee
YANGKEY
Z
Zulu
ZOO LOO
Sumber : ORARI-cw tabel 6) Penggunaan Code Q (QYU) Untuk Berkomunikasi Di Dunia Amatir Radio Kode Q dipergunakan dalam komunikasi CW dan merupakan singkatan dari suatu kebutuhan komunikasi antar stasiun radio amatir. Kode Q ini dapat dipergunakan secara luas dalam sistem komunikasi dengan CW, baik oleh Militer, Perusahaan, Pemerintahan dan stasiun-stasiun radio lainnya. Kode Q hanya terdiri dari 3 (tiga) huruf yang diawali dengan huruf Q dan merupakan suatu: Informasi, Penjelasan, Situasi, Kondisi, Tindakan dan lain-lain. Kode Q ini merupakan PERNYATAAN dari satu pihak/stasiun, dan di lain pihak merupakan Jawaban/Pernyataan yang diinginkan. Kode Q ini diawali dengan QAA sampai dengan QZZ dan dipergunakan untuk berbagai macam keperluan, seperti: Keadaan Cuaca, Perjalanan, Penerbangan, Pelayaran, Kegiatan-kegiatan SAR dan lain-lain. Sedangkan untuk komunikasi dipergunakan mulai QRA sampai dengan QUZ. III. METODOLOGI Metodologi Evaluasi Implementasi Permenkominfo Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Amatir Radio : 1. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif. 2. Lokasi penelitian : meliputi kota-kota: Jakarta, Makassar, Denpasar, Mataram. Adapun alasan pemilihan lokasi untuk penentuan kota – kota tersebut adalah : 1. Jakarta
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
Tingginya jumlah penyelenggara Amatir Radio dengan kasus yang cukup kompleks menyangkut frekuensi maupun perangkatnya. Meskipun Jakarta bukan merupakan propinsi yang menggunakan frekuensi paling banyak, namun semua jenis sub service frekuensi digunakan di Jakarta. Hal ini terkait dengan penggunaanya untuk beragam kegiatan yang menunjang posisi Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan pusat kegiatan ekonomi/bisnis dengan dinamika sosial penduduk yang tinggi. 2. Makassar Dalam pelaksanaan monitoring rutin pada tahun 2010 dengan metode observasi di stasiun tetap monitoring maupun dengan observasi di stasiun monitoring bergerak telah menemukenali 186 frekuensi illegal, mencatat masih banyaknya stasiun penyelenggara Amatir Radio yang perlu memperbaiki parameternya yang mengalami pergeseran dan melanggar ketentuan; 3. Denpasar Sebagai kota wisata yang memiliki frekuensi tinggi penerbangan dan dengan adanya potensi gangguan komunikasi radio untuk penerbangan ground to air (Aeronautical Navigation) yang disebabkan adanya pancaran frekuensi radio yang tidak sesuai peruntukannya atau tidak memenuhi persyaratan teknis, termasuk pancaran dari stasiun radio yang bekerja pada pita frekuensi siaran, sehingga perlu diadakan kegiatan pengawasan dan pengendalian dalam rangka pengamanan terhadap komunikasi radio pada pita frekuensi peruntukan penerbangan. 4. Mataram Meskipun secara operasional dan pengembangan wisata masih didominasi Pulau Bali, tapi perkembangan amatir radio cukup bagus. Keberadaan amatir radio di Mataram memberi kontribusi terhadap pengembangan sektor pendidikan yang benar-benar bermanfaat, berguna dan bermakna bagi masyarakat dan daerah Lombok. Keberadaan amatir radio diniatkan untuk ikut serta membangun dan mengembangkan wilayah pulau Lombok dan khususnya NTB. Amatir radio di Mataram juga berkeinginan memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi, dengan mengembangkan jurnalisme radio yang profesional. Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi dalam implementasi Permenkominfo nomor 33 tahun 2009 khususnya terkait dengan penggunaan frekuensi dan perangkat, disamping mewakili perkembangan amatir radio di wilayah timur Indonesia. Teknik Pengumpulan data dilakukan dengan interview/wawancara kepada : 1. Balai/Loka Monitor 2. Penyelenggara Amatir Radio 3. Asosiasi Amatir Radio Teknis analisis dengan menggunakan analisis deskriptif. Analisis deskriptif kualitatif akan menggunakan model analisis data yang dikenalkan oleh William N. Dunn (1998) dengan menggunakan Analisis Kebijakan Publik (Public Policy Analysis).
66
Evaluasi Implementasi ...
IV. LANDASAN TEORI A. Analisis Kebijakan Di dalam analisis kebijakan dengan pendekatan kualitatif dan sesuai dengan materi yang akan dianalisis, maka akan digunakan analisis kebijakan publik, ditinjau dari aspek kebijakan khususnya peraturan yang telah dituangkan dalam Permenkominfo Nomor 33 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Amatir Radio. Analisis Kebijakan adalah awal dari upaya memperbaiki proses pembuatan kebijakan. Sebelum informasi yang relevan dengan kebijakan dapat digunakan oleh pengguna yang dituju, informasi itu harus dirakit ke dalam dokumen yang relevan dengan kebijakan dan dikomunikasikan dalam berbagai bentuk presentasi Kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu di masyarakat yang dalam penyusunannya melalui berbagai tahapan. Tahap-tahap pembuatan kebijakan publik menurut William Dunn (William Dunn. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, 1998, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal: 24), tahapannya adalah: Penyusunan Agenda, Formulasi Kebijakan, Adopsi/legitimasi Kebijakan, dan Penilaian/Evaluasi Kebijakan. B. Tahap Penyusunan Agenda Tahap Penyusunan Agenda, adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Di dalam proses ini memiliki ruang untuk memaknai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain. Dalam agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Issue kebijakan (policy issues) sering juga disebut sebagai masalah kebijakan (policy problem). Policy issues biasanya muncul karena terjadi silang pendapat atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. William Dunn (1998) menyatakan bahwa isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu, sehingga tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan. Sedangkan kriteria isu yang bisa dijadikan agenda kebijakan publik (Kimber, 1974; Salesbury 1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan Gunn, 1986) diantaranya: 1. telah mencapai titik kritis tertentu yang jika diabaikan, akan menjadi ancaman yang serius; 2. telah mencapai tingkat partikularitas tertentu yang berdampak dramatis; 3. menyangkut emosi tertentu dari sudut kepentingan orang banyak dan mendapat dukungan media massa; 4. menjangkau dampak yang amat luas; 5. mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam masyarakat; 6. menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan, tetapi mudah dirasakan kehadirannya).
Penyusunan agenda kebijakan Permenkominfo nomor 33 Tahun 2009 telah dilakukan dengan berdasarkan tingkat urgensi dan esensi kebijakan, juga keterlibatan stakeholder. C. Formulasi kebijakan Didalam rangkuman masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah kemudian didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah dapat berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. D. Adopsi/ Legitimasi Kebijakan Legitimasi kebijakan dimaksudkan untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan (Kebijakan Publik: teori dan Proses. Jakarta: PT Buku Kita. Halaman 33). Tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, dimana warga negara akan mengikuti arahan pemerintah dengan tingkat kepercayaan akan pemerintah yang sah. Legitimasi dapat dikelola melalui manipulasi simbol-simbol tertentu yang melalui proses ini orang belajar untuk mendukung pemerintah. E. Penilaian/ Evaluasi Kebijakan Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak. (Budi Winarno, 2008. Jakarta:PT Buku Kita. halaman 225). Evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional yaitu bahwa evaluasi kebijakan tidak dilakukan hanya pada tahap akhir saja, tetapi dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalah-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan. Dalam penelitian ini, evaluasi yang dilakukan adalah evaluasi implementasi sebagaimana telah ditetapkan dalam judul penelitian yaitu : “Evaluasi Implementasi Permenkominfo Nomor 33 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Amatir Radio”. F. Proses Analisis Kebijakan Pengkomunikasian pengetahuan yang relevan dengan kebijakan meliputi tahap
Gambar 3. Tahap Proses Pembuatan Kebijakan
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
67
Evaluasi Implementasi ...
1.
Regulasi, yaitu analisis kebijakan yang didasarkan pada regulasi; 2. Permasalahan sebagai materi yang dianalisis; 3. komunikasi interaktif sebagai Forum Group Discussion; dan selanjutnya 4. melakukan analisis Kebijakan Publik Di dalam pengembangan amatir radio dan untuk meningkatkan prospek pemanfaatan perkembangan teknologi informasi /pengetahuan diperlukan komunikasi interaktif antara pelaku kebijakan pada beberapa tahap proses pembuatan kebijakan, digambarkan sebagai berikut: Analisis Kebijakan dalam mendukung perkembangan Amatir Radio 1. IARU merupakan organisasi amatir radio dunia dengan skala internasional, termasuk dalam Radio Regulation yang dikeluarkan ITU. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 33 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Amatir Radio, merupakan peraturan yang mengatur penyelenggaraan amatir radio dalam segala aspeknya. Pada perkembangannya diharapkan akan terwujud tertib pengguna terkait dengan penggunaan frekuensi dan penggunaan perangkat. 2. Ditjen SDPPI dalam Bab VIII Permenkominfo Nomor 33 Tahun 2009 bahwa pelaksanaan pengawasan dilaksanakan oleh UPT. Pada pasal 50 ayat (3)dalam melaksanakan pengawasan, UPT dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait. 3. Oleh karena itu, hasil wawancara penelitian dapat dijadikan masukan dalam evaluasi ORARI, khususnya menghadapi kendala dan tantangan serta untuk tetap pada fungsional ORARI, 4. Dalam mendukung kemajuan ORARI dan keberhasilan regulator dalam mengatur penggunaan frekuensi dan perangkat, maka diperlukan komunikasi interaktif antara semua pemangku kepentingan, sehingga dapat dirangkum dalam suatu hasil analisis yang dapat dijadikan sebagai masukan/rekomendasi untuk penyempurnaan dalam kebijakan yang sinergi baik bagi pemerintah, pelaku operasional amatir radio dan fihak terkait lainnya. 5. Hal demikian dapat dilakukan terus menerus dengan menjadikan proses analisis kebijakan ini sebagai umpan balik terhadap setiap perkembangan teknologi informasi maupun perubahan lainnya. G. Permenkominfo Nomor 33 Tahun 2009 Dengan pertimbangan bahwa Amatir Radio sebagai potensi masyarakat yang menggunakan spektrum frekuensi radio yang telah dialokasikan secara khusus oleh International Telecommunication Union (ITU) dan dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota maka dikeluarkanlah P ermenkominfo Nomor 33 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Amatir Radio. Isi dari Permenkominfo meliputi : Bab I Bab II Bab III
Ketentuan Umum (memuat Pasal 1) Penyelenggaraan Amatir Radio (memuat Pasal 2 s.d. 4) Perizinan (memuat Pasal 5 s.d. 21)
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
Bab IV
Pedoman Ujian Negara Amatir Radio (memuat Pasal 22 dan 33) Bab V Persyaratan Teknik (memuat Pasal 34 s.d. 40) Bab VI Penggunaan Stasiun Radio Amatir (memuat Pasal 41 s.d. 46) Bab VII Organisasi Amatir Radio (memuat Pasal 47 s.d. 49) Bab VIII Pembinaan dan Pengawasan (memuat Pasal 50 s.d. 53) Bab IX Sanksi (memuat Pasal 54) Bab X Ketentuan Peralihan (memuat Pasal 55 dan 56) Bab XI Ketentuan Penutup (memuat Pasal 57 dan 58). H. Penyelenggaraan Amatir Radio Sejarah perkembangan amatir radio dimulai tahun 1873, ketertarikan James Clerk Maxwell, seorang ahli fisika Skotlandia, pada teori elektromagnetik Faraday mengawali terciptanya radio. Heinrich Hertz (Jerman) menemukan gelombang Hertz di tahun 1888. Terinsipirasi oleh penemuan Hertz, Guglielmo Marconi melakukan berbagai percobaan untuk mengirimkan gelombang radio. Puncaknya, Marconi berhasil mengirim sinyal radio melewati Lautan Atlantik pada Desember 1901. Permintaan radio pun meningkat tajam termasuk oleh kapal-kapal untuk komunikasi berkaitan dengan keselamatan. Berkembangnya pengguna radio pada waktu yang terus berjalan, terbentuklah suatu komunitas penggemar amatir radio , termasuk adanya Organisasi Radio Amatir Indonesia ORARI yang saat ini telah berjalan 42 tahun dan hingga saat ini telah mempunyai 32 perwakilan pada tingkat ORARI Daerah serta 367 ORARI lokal di seluruh pelosok Indonesia. Organisasi Amatir Radio Indonesia merupakan bagian dari International Amateur Radio Union (IARU) yang juga patuh terhadap peraturan International Telecommunication Union (ITU) dengan berbagai kegiatan Amatir Radio Nasional dan Internasionalnya. Marconi menemukan cara transmisi nirkabel untuk pertama kalinya. Sejak itu orang melakukan eksperimen ilmiah dan membentuk organisasi sendiri pada tahun 1900an. Contohnya adalah The London Wireless Club 1913 secara resmi mengeluarkan lisensi transmisi radio amatir untuk pertama kali. Awalnya digunakan gelombang panjang untuk berkomunikasi jarak jauh, tetapi setelah itu hanya diijinkan menggunakan gelombang pendek (dibawah 200 meter). Setelah dikembangkan, kemampuan membuat suatu alat yang dapat memanfaatkan gelombang pendek untuk berkomunikasi dengan jarak ratusan bahkan ribuan mil. Para pengembang dianggap sebagai amatir-amatir bonafit dan membentuk The Radio Society of Great Britain di United Kingdom atau di USA disebut sebagai The American Radio League. Organisasi-organisasi tersebut berafiliasi dengan membentuk organisasi internasional yaitu The International Amateur Radio Union-IARU. Radio amatir terus berkembang di berbagai penjuru dunia, dengan bertukar informasi satu sama lain melalui percakapan udara. Mengalami kemajuan teknologi komunikasi modern dengan diluncurkannya berbagai satelit amatir radio oleh negara maju. Partisipasi amatir radio tidak hanya terbatas pada pengembangan teknologi radio transceiver tetapi juga mempelopori pengembangan radio astronomi. Berkembang pula amatir radio di Indonesia yang menggunakan spektrum frekuensi radio yang telah
68
Evaluasi Implementasi ...
dialokasikan secara khusus oleh International Tellecommunication Union (ITU), sehingga dalam penyelenggaraan amatir radio perlu diatur oleh pemerintah. Terkait pula dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, maka ditetapkanlah Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 33/PER/M.KOMINFO/08/2009 tentang Penyelenggaraan Amatir Radio. Organisasi Amatir Radio Indonesia – ORARI, merupakan satu-satunya wadah bagi amatir radio di Indonesia. Organisasi ini resmi berdiri pada 9 Juli 1968 atas dasar Peraturan Pemerintah RI No. 21 tahun 1967. ORARI telah memiliki anggota dari ORARI Daerah dan ORARI Lokal yang tersebar diseluruh pelosok Indonesia. ORARI adalah bagian dari International Amateur Radio Union (IARU) yang merupakan Organisasi Amatir Radio Dunia, karena kegiatan Amatir Radio adalah berskala Internasional. Sedangkan ketentuan yang mengatur kegiatan Amatir Radio diatur dalam Radio Regulation yang di keluarkan oleh International Telecommunication Union (ITU). Para amatir radio sadar bahwa kegiatan amatir radio harus dilakukan secara tertib dan benar menurut kaidah hidup manusia dan peraturan yang berlaku secara internasional dan nasional. Oleh karena itu dalam melakukan kegiatannya anggota ORARI mempunyai dan berlandaskan Kode Etik Amatir Radio.
Gambar 5 Proses Perizinan Amatir Radio
Dengan ditetapkannya Permenkominfo Nomor 33/PER/M.KOMINFO/08/2009 tentang Penyelenggaraan Amatir Radio, banyak hal yang perlu dievaluasi berkaitan dengan penyelenggaraan amatir radio, dalam hal perizinan, Pedoman Ujian Negara Amatir Radio, Persyaratan teknik, penggunaan Stasiun Radio Amatir, Organisasi Amatir Radio, Pembinaan dan Pengawasan serta Sanksi atas pelanggaran yang dilakukan Amatir Radio. I. Perizinan
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
Penyelenggaraan amatir radio dilaksanakan berdasarkan Izin Amatir Radio (IAR) yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal, dalam hal ini Dirjen Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika - SDPPI. Proses permohonan IAR digambarkan berikut : 1) Pedoman Ujian Negara Amatir Radio Permenkominfo Nomor 33 Tahun 2009 pada Pasal 22 dinyatakan bahwa Ujian Negara Amatir Radio diselenggarakan oleh Direktur jenderal yang pelaksanaannya dilakukan oleh UPT dibantu oleh organisasi tingkat daerah. Penyelenggaraannya dilaksanakan dengan membentuk Panitia Ujian Negara Amatir Radio. Panitia ini bertanggung jawab kepada Dirjen SDPPI. Sertifikat Kecakapan Amatir Radio diberikan bagi peserta ujian yang memenuhi persyaratan dan lulus ujian negara amatir radio. Tingkatan SKAR tersebut meliputi : tingkattingkat Pemula, Siaga, Penggalang dan Penegak. Bagi peserta kenaikan pangkat selain memenuhi persyaratan yang ditentukan juga wajib melampirkan copy IAR dan copy KTP yang masih berlaku. Pengajuan ujian kenaikan tingkat yang lebih tinggi diproses melalui Organisasi.Materiujian masing-masing tingkat tidak sama. 2) Persyaratan Teknik Permenkominfo Nomor 33 Tahun 2009 pada Pasal 34 dinyatakan bahwa Pemilik IAR wajib menjamin pancaran yang dilakukan melalui perangkat pemancarnya tidak melebihi batas-batas pita frekuensi radio untuk Dinas Amatir. Daya pancar adalah daya efektif yang dicatukan ke antena., berdasar pasal 37 dinyatakan bahwa : Pita frekuensi radio 29.3 – 29.7MHz, 145 – 146MHz, 435 -438Mhzdan 1260-1270 MHz khusus dipergunakan untuk kegiatan amatir radiodengan mempergunakan sarana satelit amatir radio; Pita frekuensi radio tersebut tidak dibenarkan untuk dipergunakan oleh komunikasi radio antar amatir lain, kecuali yang melalui Satelit Amatir. Sedangkan penggunaan pita frekuensi radio 435.0 --438.0 MHz dan 1260 – 1270 MHz oleh Amatir Radio melalui Satelit Amatirtidak boleh mengganggu dinas komunikasi radio lain yang berstatus primer pada pita tersebut. Pada Pasal 38 dinyatakan bahwa toleransi frekuensi radio adalah pergeseran maksimum yang diperbolehkan bagi frekuensi radio tengah dari pita frekuensi radio yang didudukioleh suatu emisi terhadap frekuensi radio yang seharusnya diduduki oleh emisi tersebut. 3) Penggunaan Stasiun Radio Amatir Pada pasal 41 dinyatakan antara lain bahwa stasiun Radio Amatir digunakan untuk : Latih diri dalam kegiatan Amatir Radio; Saling komunikasi antar stasiun radio amatir; Penyelidikan dan pengembangan teknik radio; Penyampaian berita pada saat terjadi marabahaya, bencana alam dan penyelamatan jiwa manusia serta harta benda. Komunikasi untuk IAR Tingkat Pemula hanya diizinkan untuk hubungan dalam negeri;
69
Evaluasi Implementasi ...
Komunikasi untuk IAR Tingkat Siaga, Penggalang dan Penegak diizinkan untuk hubungan dalam dan luar negeri.
dari materi yang diajukan dapat disampaikan dalam bentuk uraian berikut :
4) Organisasi Amatir Radio ORARI adalah organisasi yang menjadi wadah bagi Amatir Radio di Indonesia yang diakui oleh Pemerintah dan sebagai anggota IARU, ditetapkan dalam AD/ART yang disahkan dalam Musyawarah Nasional. Setiap satu tahun Organisasi melaporkan penambahan dan/atau perubahan jumlah anggotanya kepada Direktur Jenderal.
A. Wawancara dengan Balai/Loka Monitor Frekuensi Radio 1. Pelaksanaan sosialisasi Permenkominfo nomor 33 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Amatir Radio pada Balai /Loka Monitor : a. Sosialisasi dilakukan pada saat pembekalan pembinaan sebelum dilaksanakannya UNAR setiap tahunnya, minimal setahun sekali; b. Balai Monitor Frekuensi Radio DKI Jakarta secara resmi tidak lagi menyelenggarakan acara sosialisasi, sosialisasi tidak lagi menjadi tugas fungsi balmon, tetapi sosialisasi menjadi tugas fungsi DG-SDPPI. 2. Hasil pembinaan dan pengawasan tentang Penyelenggaraan Amatir Radio, menyangkut Perijinan, Frekuensi, dan lain-lain. a. Hasil pembinaan pengawasan tentang Penggunaan Frekuensi Amatir Radio dapat dilihat dari tingginya animo masyarakat dalam mengikuti UNAR (Ujian Nasional Amatir Radio) b. Balmon DKI Jakarta bekerjasama dengan ORARI Daerah Jakarta (ODJ ), dalam forum rapat persiapan penertiban penggunaan spectrum frekuensi radio khususnya Pita amatir VHF dan UHF, untuk bersinergi dalam kerangka pembinaan; c. Output rapat dimaksud berupa data Target Operasi /TO terdiri dari: i. Anggota amatir yang dalam penggunaan frekuensi radio menyalahi peruntukannya; ii. Pengguna frekuensi pita amatir oleh personil/institusi diluar ORARI; 3. Langkah langkah koordinasi dengan instansi terkait Penyelenggaraan Amatir Radio a. Penertiban dilakukan dengan melakukan koordinasi dengan pihak Kepolisian, PPNS Balmon dan Pengadilan; b. Pada masa peralihan, dari Dishub ke DG-SDPPI, data base ORARI sudah diserahkan kepada ORARI c. Sudah/tengah berjalan koordinasi dengan Badan SAR Nasional; BNPB; PMI. 4. Harapan Balai Monitor Spektrum Frekuensi Radio dalam Penyelenggaraan Amatir Radio a. Database Pengguna Frekuensi Amatir secara On-Line dapat diakses oleh Balmon; b. Balmon secara kontinyu akan berusaha mengoptimalkan peran Amatir Radio sesuai dengan proporsi dan etika keamatiran yang ada pada organisasi tersebut. Sehingga organisasi ini juga berperan aktif menuju tertib penggunaan spectrum frekuensi radio nasional. c. Lebih jauh, mengharapkan Amatir Radio Indonesia mampu membawa nama bangsa dalam kancah internasional. 5. Pemahaman anggota Amatir Radio terhadap Permenkominfo nomor 33 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Amatir Radio :
5) Pembinaan dan Pengawasan Pasal 50 Permenkominfo Nomor 33 Tahun 2009 ini menyatakan bahwa Direktur Jenderal melaksanakan pembinaan dan pengawasan, namun pelaksanaan pengawasan tersebut dilaksanakan oleh UPT. UPT dalam melaksanakan pengawasan tersebut dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait. Pada pasal 51 dinyatakan pengawasan dimaksud adalah “Pengawasan Administrasi” dan “Pengawasan Teknis”. Cara melakukan pengawasan adalah dengan : 1. Memeriksa ketentuan teknis instalasi stasiun Radio Amatir; 2. Menguji pancaran pada beberapa frekuensi radio tertentu; 3. Memeriksa IAR asli. Pasal 52 : 1. Organisasi membantu UPT dalam mengawasi penggunaan frekuensi radio amatir; 2. setiap amatir radio harus memberitahukan kepada Amatir Radio lainnya yang menimbulkan gangguan terhadap stasiun komunikasi radio lain; 3. Dalam hal seorang Amatir Radio mengetahui atau diberitahu bahwa pancaran radionya menimbulkan gangguan terhadap stasiun komunikasi radio lain atau terhadap peralatan elektronik masyarakat, maka yang bersangkutan wajib untuk segera menghentikan kegiatan pancaran radionya serta berupaya menghilangkan gangguan tersebut secepat mungkin. Pasal 53 disebutkan bahwa dalam hal pemilik IAR melakukan pelanggaran dan tidak mentaati ketentuan dalam Peraturan Menteri ini. Organisasi dapat melaporkan dan mengusulkan kepada Direktur Jenderal untuk dilakukan tindakan pencabutan izin. V. HASIL PENGUMPULAN DATA Pengumpulan data yang didasarkan pada kuesioner telah dibagi dalam 3 kelompok : 1. Balai/Loka Monitor Frekuensi Radio; 2. Ketua /Sekretariat ORARI 3. Anggota ORARI. Pengumpulan Data Balai/Loka Monitor Frekuensi Radio, meliputi beberapa pertanyaan yang disampaikan kepada Balmon Makassar, Balmon Denpasar, Balai Loka Mataram dan Balmon Jakarta. Berbagai jawaban yang kemudian menjadi suatu masukan atas permasalahan yang ada dan kemudian diolah dan ditabulasikan. Dari pengenalan masalah yang sifatnya umum, kemudian dalam proses pencarian masalah yang dalam prosesnya dapat mendefinisikan masalah yang selanjutnya dengan didefinisikannya dalam metamasalah disaring lagi menjadi spesifikasi masalah. Hasil wawancara
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
70
Evaluasi Implementasi ...
a.
6.
7.
Pemahaman baik, terbukti kurang dari 10% dari kelulusan Ujian Amatir Radio yang tidak Lulus b. Permen ini dirasa perlu ada yang dirubah : i. Penghapusan tingkat Pemula (YH), mengingat tingkat Siaga tidak lagi perlu ujian Kode Morse (CW ) ii. Tingkat Siaga yang masa laku ijinnya hanya 3 tahun, perlu kiranya dikaji untuk diubah menjadi 5 tahun Saran saran masukan dari Balai/Loka Monitor a. SDM –Ujian Negara Amatir Radio Penyelenggaraan UNAR secara terpusat sudah berjalan selama ini. Masih perlu diadakan evaluasi bersama secara comprehensif, sehingga dapat teratasi kendala-kendala yang menghambat. Diharapkan lokasi pelosok nusantara agar juga memiliki kesempatan UNAR yang memadai, hal ini bisa dilaksanakan dengan mengoptimalkan peran UPT Balmon bekerjasama dengan Orda masing-2. b. Perangkat dan Persyaratan Teknik i. Perangkat yang digunakan oleh Amatir terdiri dari 2 jenis; yakni Fabrikan dan Rakitan. ii. Perangkat yang fabrikan hendaknya dipersyaratkan juga yang telah tersertifikasikan DGSDPPI. iii. Perangkat rakitan hasil eksperimen, hendaknya diadakan evaluasi teknis terhadap spesifikasi tekniknya , minimal oleh UPT Balmon. Keduanya bertujuan agar tidak terjadi/ mengeliminasi kemungkinan Interferensi terhadap dinas lain dalam penggunaan spectrum frekuensi radio. iv. Kompatibilitas dengan perangkat teknologi lain, Multimedia berbasis internet menjadi keniscayaan, maka tidak mungkin untuk dilarang. c. Perizinan i. Proses perijinan yang masih memakan waktu lama, semestinya tidak perlu terjadi, jika mengoptimalkan ketersediaan sarana multimedia yang lebih cepat dan berbasis paperless. ii. Waktu proses Ijin Amatir Radio-IAR terlalu lama menjadikan ketidakpedulian untuk memperpanjang IAR. iii. Diharapkan proses IAR yang cepat. Organisasi a. Berharap, organisasi bersinergi dengan UPT Balmon dalam upaya menuju tertib penggunaan spectrum frekuensi radio. b. Agar peran-peran bermanfaat bagi masyarakat, baik dalam kondisi darurat maupun kondisi normal; sedang ada / ataupun tidak terjadi bencana lebih diberikan ruang gerak. c. Bekerja sesuai kode etik amatirisme yang telah ditetapkan.
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
B. Hasil wawancara dengan Ketua /Sekretariat ORARI 1. Pelaksanaan tugas pokok dan fungsi asosiasi (ORARI) di daerah : a. Berjalan dengan baik berdasarkan aturan yang berlaku (AD &RT) serta Permen Kominfo terkait; b. Tugas pokok mewadahi, pembinaan anggota dalam melaksanakan hobbynya dan untuk daerah adalah membantu serta turut berperan dalam kegiatan-kegiatan daerah sesuai dengan fungsi ORARI (dukungan komunikasi) 2. Pembinaan yang dilakukan kepada para anggota Amatir Radio? a. Teknik amatir dan tata cara yang baik dan benar sesuai ketentuan yang mengatur; b. Pelatihan, kegiatan latih diri, sosial kemasyarakatan, dukungan komunikasi pemerintah bencana alam dan kegiatan lomba dan keterampilan, bekerjasama Balai Monitor Kelas II Makassar dan Pengurus ORARI lokal; c. Pembinaan yang telah dilaksanakan kepada Anggota adalah memberikan bahan / materi yang berhubungan dengan regulasi dan pengetahuan tentang amatir radio serta kegiatannya kepada ORARI Lokal dan ORARI Lokal meneruskan kepada anggotanya masing masing. 3. Intensifikasi implementasi Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 33 Tahun 2009 : a. Sosialisasi door to door dan pada setiap pertemuan dengan rapat2 pengurus dan anggota, melalui acara net ramadhan, dan even2 amatir radio baik yang dilakukan oleh ORARIDA dan ORARI LOKAL di wilayah; b. Pembinaan yang telah dilaksanakan kepada Anggota adalah memberikan bahan / materi yang berhubungan dengan regulasi dan pengetahuan tentang amatir radio serta kegiatannya kepada ORARI Lokal dan selanjutnya ORARI Lokal meneruskan kepada anggotanya masing masing. c. Regulasi dari Pemerintah sampai dengan Peraturan Menkominfo Nomor 33 tahun 2009 adalah penyempurnaan dari Peraturan terdahulu dan dalam mengimplemantasikannya kami berupaya untuk selalu mempelajari, mentaati serta secara intensif mensosialisasikan Permen tersebut kepada anggota untuk dipatuhi. d. Regulasi dari Pemerintah sampai dengan Permen Menkominfo Nomor 33 tahun 2009 adalah penyempurnaan dari Peraturan terdahulu dan dalam mengimplemantasikannya kami berupaya untuk selalu mempelajari, mentaati serta secara intensif mensosialisasikan Permen tersebut kepada anggota untuk dipatuhi. 4. Hasil pemantauan Saudara tentang implementasi Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 33 Tahun 2009 pada anggota Amatir Radio. a. Nilai positip nya sangat meningkatkan peran serta organisasi dari lokal sampai pusat
71
Evaluasi Implementasi ...
b.
5.
6.
7.
8.
Semua sudah mengakomodir keinginan organisasi untuk lebih meningkatkan pengetahuan dan kegiatan organisasi dan anggota amatir radio. Pelaksanaan tugas pokok dan fungsi asosiasi (ORARI) di daerah . a. Berjalan dengan baik sebagaimana yang di harapkan. b. Kerjasama yang sudah dilakukan selama ini adalah dengan saling memberikan informasi dan evaluasi terhadap semua kegiatan yang dilaksanakan baik tingkat daerah maupun lokal untuk pencapaian hasil yang lebih baik. c. Support yang diberikan Loka Frekuensi Radio sangat membantu organisasi dalam melaksanakan hampir seluruh kegiatan yang dilaksanakan. Permasalahan ORARI di wilayah survey umumnya sependapat bahwa : a. Lambatnya pengurusan ijin yang diajukan ke pusat yang tidak sesuai dengan isi peraturan yang berlaku minimal 14 hari pengurusan ijin sudah selesai, tapi mengambang alias belum selesai tepat waktu. b. Mengakibatkan masyarakat enggan/malas mengurus perijinan c. Sementara kendala yang ada dapat diatasi dengan baik. Pada umumnya tidak ada kendala berarti karena dari awalnya setiap kegiatan amatir radio selalu merujuk kepada semua regulasi yang berlaku. Peran ORARI DAERAH dalam membuat Izin Amatir Radio. a. Memberikan pembekalan pembekalan sebelum diadakannya UNAR b. Peningkatan pengetahuan melalui lomba dan diskusi2 yang di prakarsai dari Makassar Digital Mode (MDC) club station amatir radio ORARIDA Sulsel yang di motivasi langsung oleh Kepala Balmon Kelas II Makassar (Ir. H. A. Bakhtiar Arsyad – YB8BHV) dan tenaga2 profesional Amatir Radio lainnya dari Elektro Teknik UNHAS dan Politeknik Makassar serta Perguruan tinggi lainnya yang ada di Bandung, Jakarta, Jogya dan Banda Aceh Penyelenggaraan Amatir Radio berkaitan dengan Frekuensi Radionya a. Frekuensi radio tidak disiplin digunakan sesuai dengan ketentuan yang mengaturnya b. Menyampaikan langsung melalui pertemuan2 anggota dan pengurus diskusi lewat kegiatan di acara net masing2 lokal maupun net daerah; c. Setelah dikeluarkannya Permenkominfo Nomor 33 Tahun 2009 kami belum bisa mensosialisasikan secara langsung kepada anggota karena keterbatasan keterbatasan yang ada, selain dari kesibukan pengurus ORDA dan wilayah yang begitu luas. Untuk diketahui ORDA NTB terdiri dari 7 lokal dan terbagi dalam 2 pulau, 4 lokal di pulau Lombok dan 3 lokal di pulau Sumbawa. Solusi yang lakukan
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
9.
10.
11.
12.
13.
adalah meminta ORLOK masing masing untuk secara langsung melakukan sosialisasi permen tsb dengan materi yang telah diberikan Kasus atas anggota amatir radio berkaitan dengan Izin Amatir Radio. a. Yang jelas sampai saat ini kasus yang ada hanya satu yaitu pengurusan IAR ke pusat yang tidak tepat waktu atau terlalu lama; b. Biaya pembinaan tidak dialokasikan lagi dari APBD dan sampai saat ini belum mempunyai sekretariat tetap yang permanent (infrastruktur dan penunjang) dan masih sangat terbatas; c. Permasalahan yang paling utama adalah masih banyak anggota yang kurang memiliki inisiatif dan berperan serta terhadap organisasi yang akhirnya membuat pengurus harus selalu meluangkan waktu ekstra untuk mensikapi hal tersebut dan akhirnya tugas utama dari masing masing pengurus (profesi) terganggu Kasus atas anggota amatir radio berkaitan dengan Frekuensi Amatir Radio. a. Frekuensi tidak sesuai dengan alokasi peruntukannya antara 2 meteran dengan radio pancar ulang yang saling tumpang tindih b. Setelah ORARI dibawah Kemkominfo tidak ada masalah yang berarti untuk membuat IAR c. Berjalan sebagaimana yang diharapkan Keluhan para anggota Amatir Radio berkaitan dengan Perizinan. a. Terlalu lama pengurusan IAR sampai berbulanbulan sampai ke tangan yang berhak b. Masih di temukenali adanya penyalahgunaan beberapa perusahaan menggunakan untuk bisnis c. Setelah ORARI dibawah Kemkominfo tidak ada masalah yang berarti untuk membuat IAR. Keluhan para anggota Amatir Radio berkaitan dengan frekuensi radio. a. Letak geografis dan jalur proses yang terlalu panjang sangat dirasakan membutuhkan waktu yang terlalu lama dan sistem nya sangat tidak efektif dibanding pengurusan SIM dan KTP; b. Tidak ada keluhan, selama ini penggunaan frekuensi lancar. Pemahaman para anggota Amatir Radio terhadap Permenkominfo Nomor 33 Tahun 2009. a. Baik tapi penerapan di lapangan masih perlu pembenahan-pembenahan b. Masih sering termonitor nelayan2 yang mendapatkan rekomendasi dan perizinan dari Syahbandar setempat menggunakan alokasi band amatir radio. c. Dengan adanya RAPI yang diberikan alokasi band frekuensi 2 meter band, sering terjadi ketidak tertiban beberapa anggota yang secara tidak benar dan seenaknya menggunakan frekuensi yang tidak semestinya digunakan oleh anggota ORARI, begitupun sebaliknya. Diusulkan agar RAPI dikembalikan ke alokasi frekuensi yang di berikan oleh ITU yaitu di 11 meter band (27 MHz) agar tidak terjadi
72
Evaluasi Implementasi ...
14.
15.
16.
17.
18.
kesimpang siuran penggunaan frekuensi khususnya 2 meter band. Implementasi Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 33 Tahun 2009 pada anggota Amatir Radio a. Dilaksanakan monitoring secara ketat terhadap penggunaan frekuensi b. Perlu sanksi diterapkan agar peraturan menteri nomor 33 tahun 2009 bisa lebih efektif pelaksanaannya; c. Sementara keluhan anggota tingginya tarif perizinan dan perpanjangan yang di pungut oleh pengurus. d. Pada dasarnya hanya tentang waktu dikeluarkannya IAR yang seharusnya maksimal 14 hari kerja tetapi pada kenyataanya lebih dari itu. Tapi setelah mendapatkan info dari ORPUS dan Dirjen SDPPI tentang keterlambatan tsb terjadi kami sudah sampiakan kepada anggota dan dimaklumi Keluhan para anggota organisasi Amatir Radio berkaitan dengan frekuensi radio : a. Proses yang terlalu panjang dan birokrasi b. Tidak ada selain dari adanya penggunaan frekuensi RAPI di 144 MHz dan membuat carut marut para pengguna yang dengan seenaknya menggunakan frekuensi tanpa peduli dengan alokasi band frekuensi yang harus digunakan sesuai dengan regulasi yang ada. Pemahaman para anggota organisasi Amatir Radio terhadap Permenkominfo Nomor 33 Tahun 2009 : a. Sudah menyebar dan di ketahui hampir seluruh anggota yang aktif b. Keterbatasan setiap anggota dalam memahami segala peraturan yang berlaku tetap ada dan itu disiasati dengan sering mengadakan sosialisasi di tiap local dan sekecil apapun bentuknya itu semua sangat berarti untuk bagimana memberikan pengetahuan dan pemahaman ttg peraturan peraturan yang ada dan mengikat para amatir radio untuk melakukan hobbynya Saran berkaitan dengan implementasi Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 33 Tahun 2009 pada Organisasi Amatir Radio : a. Diusulkan dapat dialokasikan anggaran pembinaan dan pembangunan infra struktuktur penunjang kegiatan (sekretariat ) b. Proses perizinan dan perpanjangan lebih diefektifkan dengan melimpahkan kewenangan pusat ke daerah masing2 ( UPT setempat) c. Pelaksanaaan UNAR di laksanakan baik di daerah maupun lokal yang bersedia untuk menyelenggarakan UNAR Dengan dikeluarkannya Permenkominfo nomor 33 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Amatir Radio ini, ORARI menyatakan : a. Penyelenggaraan biasa, kondisi lebih menenangkan anggota amatir radio b. Pemerintah Daerah belum menyerahkan kewenangan sesuai Permenkominfo 33-2009,
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
c.
tetapi masih dalam persiapan penyerahan kewenangannya (dijanjikan). Sepenuhnya penyelenggaraan Amatir Radio mengacu pada Permenkominfo nomor 33 Tahun 2009. Setelah Permenkominfo 33 Tahun 2009 suasana .lebih tenang karena tidak dibebani biaya dan lain lain dari Pemda.
C. Anggota ORARI 1. Jumlah perangkat Amatir Radio yang digunakan pada Amatir Radio ini jawabannya bervariasi : Bebas, 2 Buah unit perangkat radio amatir beserta peralatan pendukungnya, HF Rig, ICOM IC-735, VHF/UHF HT, YAESU FT-60R, 1 Unit Rig VHF, 1 Unit Rig VHF dan 1 Unit HF Unit terdiri dari I unit HT VHF dan 1 unit HF Transciever. 2. Callsign Amatir Radio yang ditetapkan Direktur Jenderal Postel (sekarang Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika) : Secara umum hafal susunan prefix, susunan suffix dan call area 3. Selaku Anggota Amatir Radio, Izin Amatir Radio Saudara masih berlaku atau kadaluwarsa, antara lain jawaban umumnya : Ada yang IAR masih berlaku. Yang kadaluwarsa (IAR sudah tidak berlaku 2 tahun) 4. Jika sudah tidak berlaku: Alasan tidak melakukan proses Izin Amatir Radio/ perpanjangan Izin Amatir Radio adalah : a. Sama saja memiliki ijin atau tidak memiliki ijin tidak ada larangan yang mengatur untuk itu b. Untuk sementara ini masih berada dalam perjalanan dinas di luar kota, sehingga tidak bisa melakukan proses perpanjangan c. Pada awalnya sudah tidak berkeinginan lagi untuk aktif dalam kegiatan Amatir Radio d. d. Karena tidak pernah melihat masa laku IAR dan KTA 5. Bagi yang IAR-nya sudah tidak berlaku memberi jawaban segera melakukan proses Izin Amatir Radio : a. Saya pastikan iya, akan memproses IAR; b. Iya, menyadari ingin segera melakukan proses IAR; c. Saat ini dalam proses pengurusan perpanjangan IAR dan sesuai dengan informasi dari pengurus ORARI Daerah berkas sudah dikirim ke Pusat d. Permohonan IAR sedang dalam proses 6. Pejabat yang berwenang menerbitkan Izin Amatir Radio difahami dengan jawaban : Dirjen Pos dan Telekomunikasi Pemerintah dalam hal ini Dirjen SDPPI Kemkominfo Ditjen SDPPI Kemkominfo 7. Tingkatan kecakapan IAR termasuk dalam tingkatan : a. Penggalang b. Penegak c. Siaga 8. Masa berlaku IAR bervariasi juga, antara lain : a. 12-12-2012 ,
73
Evaluasi Implementasi ...
9.
10.
11.
12.
13.
14.
b. 30 – 09 – 2010 c. 23-06-2014 d. Dst Pemahaman persyaratan yang diperlukan untuk mengurus Izin Amatir Radio (syaratnya sesuai dengan PERMEN 33/2009): a. Photocopy IAR b. Photocopy KTP c. Pas photo 2x3 lima lembar d. Ongkos perpanjangan Rp. 350,000.e. Foto Copy KTP, SKAR, Pas Photo, IAR sebelumnya (Pembaharuan) Lama waktu (hari kerja) IAR dapat diterbitkan sejak berkas permohonan diterima dengan lengkap masih ada yang tidak tahu : a. Sesuai ketentuan 14 hari tapi kenyataannya berbulan-bulan b. Tidak tahu c. 14 hari kerja Yang berwenang menerbitkan IAR dijawab : a. Tidak tahu b. Pemerintah RI, dalam hal ini Dirjen Postel. Dirjen Postel rasanya sudah cocok dalam fungsi dan tugas pemerintah untuk menerbitkan IAR. c. Pemerintah dalam hal ini Dirjen SDPPI Kemkominfo d. Dirjen SDPPI Kemkominfo Nama asosiasi organisasi yang mengelola amatir radio umumnya diketahui oleh anggota : a. ORARI b. ORARI Daerah Bali, yang terdiri dari beberapa Lokalitas di semua kabupaten. Mendapatkan sosialisasi tentang Permenkominfo Nomor 33 tahun 2009, jawabannya : a. Ya, Sering. Diberi bahan buku untuk dipelajari sendiri. b. Belum pernah secara langsung akan tetapi saya mendapat penjelasan dari pengurus ORLOK dan anggota yang lain c. Belum pernah secara langsung akan tetapi saya mendapat penjelasan dari pengurus ORLOK dan anggota yang lain d. Belum pernah secara langsung akan tetapi mendapat referensi dari organisasi dan Loka Mon Mataram e. Pernah dan saya juga mendapat panduan dari Oganisasi Teknik sosialisasi yang diterima dilakukan dengan cara : a. Melalui dialog dalam rapat-rapat b. Mendengar kabarnya dari mailing list. Namun diakui untuk mencari sebuah copy Permen tersebut cukup sulit. Saya rasa seyogyanyalah Dirjen Postel menjadi champion dalam penyebar luasan dokumen ini (misalnya melalui website). c. Sharing pada saat berkunjung ke rumah teman d. Pertemuan dengan pengurus dan beberapa anggota yang lain
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
15. Isi sosialisasi tingkat pemahaman dengan teknik sosialisasi yang diberikan : a. Isi sosialisasi itu hanyalah kabar dari mulut ke mulut. Pemahaman terhadap Kepmen 33/2009 tersebut harus saya lakukan sendiri dengan membacanya secara seksama. b. Permenkominfo nomor 33 tahun 2009 tidak jauh berbeda dengan peraturan sebelumnya saya agak mudah memahami sebagian besar dari isi peraturan tsb. c. Karena permenkominfo nomor 33 tahun 2009 tidak jauh berbeda dengan peraturan sebelumnya saya agak mudah memahami sebagian besar dari isi peraturan tsb d. Isi dari sosialisasi adalah pembahasan mengenai peraturan yang mengikat untuk semua kegiatan amatir radio dan karena dibawakan dengan suasana yang rileks, dapat mudah memahaminya. 16. Kendala yang dihadapi peserta dalam mengikuti ujian Negara Amatir Radio : a. Tidak ada, dikerjakan sesuai kemampuan, namun sebelumnya belajar terus. b. Karena latarbelakang teknik, isi ujian cukup bisa diikuti. Namun rasanya materi tersulit adalah P4, pemahaman Pancasila. 17. Materi ujian Negara Amatir Radio yang dianggap paling sulit : a. Morse b. P4, Pancasila. Karena kurangnya materi pelajaran khusus untuk para amatir radio di bidang ini. c. Kode Morse Internasional dan teknik radio d. Teknik Radio e. Tidak ada f. Bahasa Inggris 18. Yang dipersiapkan menjelang ujian Amatir Radio adalah : a. Mempelajari buku pedoman b. Mencoba mereview beberapa contoh soal ujian-ujian amatir radio. Terus terang saja, rasanya pihak Dirjen bisa memberikan materi pelajaran lebih baik melalui websitenya. Dengan demikian baik proses pelatihan, maupun pengujian amatir radio bisa menjadi lebih effektif. Yang tentunya akan menghasilkan operator-operator radio yang lebih memahami dan mematuhi peraturan. c. Belajar dari panduan panduan yang ada d. Belajar baik secara teori maupun praktik khususnya Kode Morse Internasional. 19. Daya pancar Radio Amatir yang dimiliki dan masalah dengan masyarakat sekitar, jawaban bervariasi sesuai ketentuan perijinannya, yaitu : a. 60 Watt, tidak berpengaruh b. 100 Watt maksimum di HF c. 5 Watt maksimum di VHF/UHF d. Tidak ada masalah dengan masyarakat dari sisi interferensi dari stasion saya (karena 90% mode operasi adalah kode morse).
74
Evaluasi Implementasi ...
e.
Namun sangat dirasakan, interferensi dari alat-alat listrik di lingkungan sangat dirasakan mengganggu terhadap stasion Radio Amatir. Diinginkan (mudah-mudahan bisa diperhatikan oleh Direktur Jendral) agar sertifikasi dan pengujian alat-alat listrik untuk masyarakat bisa ditegakan agar semua alat-alat listrik tidak menjadi sumber interferensi (seperti yang sudah dilakukan oleh FCC di Amerika Serikat). Diharapkan di Direktorat Jendral SDPPI sudah ada kerangka kerjanya yang tertuang di pemberian ijin/sertifikat nomor TELKOM. Hanya enforcementnya yang masih dirasakan kurang. f. Untuk RIG VHF 50 Watt g. Untuk daya VHF 50 Watt dan HF 75 Watt h. Untuk VHF daya yang digunakan 5 watt dan HF 50 Watt 20. Batas pancaran maksimum sesuai tingkat kecakapan juga bervariasi sesuai tingkat kecakapan : a. 60 watt b. 1000watt c. Pada pita frekuensi radio di bawah 30 MHz, Maksimal 100 Watt d. Pada pita frekuensi radio di atas 30 MHz, Maksimal 75 Watt e. Pada pita frekuensi radio di bawah 30 MHz, Maksimal 500 Watt f. Pada pita frekuensi radio di atas 30 MHz, Maksimal 200 Watt 21. System dan prosedur yang dilakukan Amatir Radio ini berkaitan dengan penggunaan pita frekuensi mendapatkan jawaban : a. Amburadul pelaksanaannya b. Aktivitas komunikasi dalam frekuensi harus dilakukan sesuai dengan peraturan Permen 33/2009. Moda komunikasi harus sesuai dengan prosedur (konvensi) internasional yang tertuang dalam IARU bandplan. c. Selama ini tidak ada masalah berkenaan dengan operating prosedur di frekuensi Amatir Radio dan penggunaan frekuensi itu sendiri 22. Dasar yang digunakan dalam penentuan batas pancaran frekuensi radio pada Amatir Radio adalah : a. Aturan yang ada b. Menggunakan Bandplan Amatir Radio yang telah dirangkum dari Permen 33/2009 yang telah dicoba disebar-luaskan melalui website ORDA Bali (http://oraribali.org/bandplan-hf.pdf). c. Pemahaman batas pita frekuensi ini adalah salah satu aspek tersulit dalam pengoperasian stasion dalam sehari-hari. Hal ini disebabkan oleh ketidak tahuan banyak operator lain yang menyebabkan interferensi antara beberapa stasion radio. d. Dalam pengoperasian moda kode morse, sangat penting pemisahan moda operasi karena kode morse sangat sensitif dengan
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
23.
24.
25.
26.
penerimaan sinyal radio, dan sinyal radio suara (SSB) akan sangat mengganggu penerimaan stasion jarak jauh (DX). e. Permen 33 tahun 2009 yang mengatur penyelenggaraan Amatir radio Fungsi stasiun Radio Amatir adalah : a. Untuk komunikasi dan kegiatan sosial b. Untuk kesenangan pribadi, pelatihan diri dalam teknik radio, bertemu teman-teman yang memiliki minat yang sama. c. Tempat untuk melatih diri dalam kegiatan Amatir radio dan berkomunikasi dengan Anggota yang lain juga sebagai ajang eksperimen teknik radio d. Tempat untuk melatih diri dalam kegiatan Amatir radio dan berkomunikasi dengan Anggota yang lain juga sebagai ajang eksperimen teknik radio e. Tempat untuk melatih diri dalam kegiatan Amatir radio dan berkomunikasi dengan Anggota yang lain juga sebagai ajang eksperimen teknik radio f. Sebagai latih diri di bidang kegiatan kegiatan yang ada, sebagai sarana komunikasi sesama stasiun amatir radio yang lain, juga untuk penyampaian berita saat terjadi bencana alam. Amatir radio menyampaikan informasi tentang keamanan Negara dan keselamatan jiwa manusia dan harta benda, bencana alam, marabahaya , gawat darurat dan atau wabah penyakit ditinjau dari tingkat kepentingannya dijawab : a. Sangat penting b. Mungkin penting hanya di daerah-daerah yang berada di pelosok. Namun secara umum kesadaran sosial rekan-rekan amatir radio untuk pelayanan masyarakat biasanya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan anggota masyarakat lain. c. Penting sekali sesuai dengan peraturan yang ada dan juga kode etik amatir radio Larangan yang harus dipatuhi oleh anggota Amatir radio adalah : a. Teori banyak yang tidak boleh tapi kenyataannya tidak apa-apa b. Secara detail ada di Permen 33/2009. Secara ringkas: Dilarang untuk kegiatan usaha (bisnis), dilarang menyiarkan lagu-lagu atau hal-hal yang meresahkan (obscenity, SARA, dll), dilarang untuk beroperasi diluar pita frekuensi yang ditentukan. c. Berkomunikasi dengan stasiun yang tidak mempunya izin, memancarkan siaran berita, lagu-lagu, radio, televisi, memancarkan berita yang melanggar kesusilaan. Bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi melalui Amatir Radio adalah : a. Bahasa daerah, indonesia, inggris b. Bahasa Indonesia atau Inggris c. Bahasa Indonesia dan bahasa Inggris
75
Evaluasi Implementasi ...
27. Organisasi amatir radio yang diakui pemerintah sebagai anggota International Amateur Radio Union (IARU) adalah a. Semua tahu : ORARI 28. Pemahaman tentang kode etik Amatir Radio : a. Menerapkan dalam perilaku sehari-hari b. Untuk kode etik, secara ringkasnya bisa dilihat di penjelasan 26 diatas. Untuk detailnya sudah ada dokumen formal untuk pegangan kode etik amatir radio, yang biasanya berlaku secara universal di seluruh dunia: AMATIR RADIO ADALAH PERWIRA Secara sadar ia tidak akan menggunakan udara untuk kesenangan pribadi, sedemikian rupa sehingga mengurangi kesenangan orang lain AMATIR RADIO ADALAH SETIA Ia mendapat izin dari Pemerintah karena Organisasinya, ia akan setia dan patuh kepada Negara dan Organisasinya AMATIR RADIO ADALAH PROGRESIF Amatir Radio selalu nyesuaikan stasiun radionya setingkat dengan ilmu pengetahuan, Ia akan membuatnya dengan baik dan efisien, ia akan mempergunakan dan melayaninya dengan cara yang bersih dan teratur AMATIR RADIO BERJIWA SEIMBANG Jika diminta ia akan mengirim berita dengan perlahan dan sabar, kepada yang belum berpengalaman ia kan memberi nasehat, pertimbangan dan bantuan secara ramah tamah, inilah ciri-¬ciri khas Amatir Radio AMATIR RADIO ADALAH RAMAH TAMAH Radio merupakan hobbynya, ia tidak akan memperkenankan hobbynya mempengaruhi kewajibannya terhadap rumah tangga, pekerjaan, sekolah atau mesyarakat sekitarnya AMATIR RADIO ADALAH PATRIOT Ia selalu siap sedia dengan pengetahuan dan stasiun radionya untuk mengabdi kepada Negara dan Masyarakat Kode Etik adalah hal hal yang mengatur tentang Amatir radio didalam melaksanakan fungsinya agar tidak terjadi ketimpangan dan kesalahan yang akan membuat rugi diri sendiri serta memberikan pemahaman betapa pentingnya untuk membantu khususnya pemerintah dan masyarakat. 29. Saran yang disampaikan untuk kelancaran Penyelenggaraan Amatir Radio ini baik dari segi perizinan maupun penetapan frekuensi radio : a. Penetapan frekuensi sudah baik, tinggal pengurusan izinnya saja jangan terlalu lama b. Lebih ditegakkannya ketertiban pita frekuensi (terutama kegiatan illegal di 6.999 kHz, 7.000 kHz, 7.001 kHz yang sangat
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
c.
d. e.
f.
mengganggu kegiatan CW ORARI dan pandangan buruk dari komunitas internasional). Penegakan hukum mungkin tidak perlu diberikan sangsi berat, namun diberikan denda yang jumlahnya terjangkau oleh masyarakat. Sehingga benar-benar menjadi proses pembelajaran oleh masyarakat. Denda yang berlebihan akan menjadi simbol saja (tebang pilih). Ujian amatir agar prosesnya dipermudah agar masyarakat merasa tidak keberatan untuk memiliki ijin. Proses ujian agar mendorong pengertian terhadap aturan dasar pengoperasian radio. Saat ini rasanya proses ujian tidak transparan (berapa nilai kelulusan, kenapa semua peserta lulus, kenapa semua peserta tidak pernah menerima materi belajar?) . Saran: ujian dipermudah, namun dibuat lebih transparan, dibuatkan materi yang jelas.
VI. ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Analisis Kebijakan Di dalam analisis kebijakan dengan pendekatan kualitatif dan sesuai dengan materi yang akan dianalisis, maka akan digunakan analisis kebijakan publik, ditinjau dari aspek kebijakan khususnya peraturan yang telah dituangkan dalam Permenkominfo Nomor 33 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Amatir Radio. Kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu di masyarakat yang dalam penyusunannya melalui berbagai tahapan. Tahap-tahap pembuatan kebijakan publik menurut William Dunn (William Dunn. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, 1998, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal: 24), tahapannya adalah: Penyusunan Agenda, Formulasi Kebijakan, Adopsi/legitimasi Kebijakan, dan Penilaian/Evaluasi Kebijakan. B. Tahap Penyusunan Agenda Tahap Penyusunan Agenda, adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Di dalam proses ini memiliki ruang untuk memaknai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain. Dalam agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Issue kebijakan (policy issues) sering juga disebut sebagai masalah kebijakan (policy problem). Policy issues biasanya muncul karena terjadi silang pendapat atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. William Dunn (1998) menyatakan bahwa isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu, sehingga tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan. 76
Evaluasi Implementasi ...
Sedangkan kriteria isu yang bisa dijadikan agenda kebijakan publik (Kimber, 1974; Salesbury 1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan Gunn, 1986) diantaranya: 1. telah mencapai titik kritis tertentu yang jika diabaikan, akan menjadi ancaman yang serius; 2. telah mencapai tingkat partikularitas tertentu yang berdampak dramatis; 3. menyangkut emosi tertentu dari sudut kepentingan orang banyak dan mendapat dukungan media massa; 4. menjangkau dampak yang amat luas ; 5. mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam masyarakat; 6. menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan, tetapi mudah dirasakan kehadirannya). Penyusunan agenda kebijakan Permenkominfo nomor 33 Tahun 2009 telah dilakukan dengan berdasarkan tingkat urgensi dan esensi kebijakan, juga keterlibatan stakeholder. C. Formulasi kebijakan Didalam rangkuman masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah kemudian didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah dapat berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. D. Adopsi/ Legitimasi Kebijakan Legitimasi kebijakan dimaksudkan untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan (Kebijakan Publik: teori dan Proses. Jakarta: PT Buku Kita. Halaman 33). Tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, dimana warga negara akan mengikuti arahan pemerintah dengan tingkat kepercayaan akan pemerintah yang sah. Legitimasi dapat dikelola melalui manipulasi simbol-simbol tertentu yang melalui proses ini orang belajar untuk mendukung pemerintah. E. Penilaian/ Evaluasi Kebijakan Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak. (Budi Winarno, 2008. Jakarta:PT buku Kita. halaman 225). Evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional yaitu bahwa evaluasi kebijakan tidak dilakukan hanya pada tahap akhir saja, tetapi dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalah-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan. Dalam penelitian ini, evaluasi yang dilakukan adalah evaluasi implementasi sebagaimana telah ditetapkan dalam judul penelitian yaitu : “Evaluasi Implementasi Permenkominfo Nomor 33 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Amatir Radio”. F. Analisis Penyelenggaraan Amatir Radio Evaluasi Implementasi Permenkominfo Nomor 33 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Amatir Radio, evaluasi terhadap peran Balai Monitor Spektrum Frekuensi Radio:
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
1.
Balai Monitor secara resmi sudah tidak menyelenggarakan sosialisasi, karena sosialisasi sudah menjadi tugas fungsi DGSDPPI 2. Pembinaan dan pengawasan dilakukan oleh Balmon : a. Pembinaan dan pengawasan penggunaan frekuensi : Balmon berkoordinasi dengan ORARIDA untuk persiapan melakukan penertiban penggunaan spektrum frekuensi radio, agar ORARIDA juga berperan aktif menuju tertib penggunaan spektrum frekuensi radio nasional; b. Penemukenalan masalah Target Operasi yaitu anggota amatir yang dalam penggunaan frekuensi radio menyalahi peruntukannya; c. Penemukenalan pengguna frekuensi pita amatir yangoleh personil/institusi di luar ORARI. i. Koordinasi dalam penertiban dilakukan dengan koordinasi bersama pihak Kepolisian, PPNS Balmon dan Pengadilan. ii. Balmon belum mendapat akses data base Pengguna Frekuensi Amatir secara online; iii. Penyelenggaraan UNAR terpusat menghadapi kendala bagi peserta UNAR yang dipelosok mengalami hambatan untuk mengikuti UNAR. iv. Diharapkan perangkat fabrikan dan rakitan sudah tersertifikasi DGSDPPI, untuk mengeliminasi kemungkinan interferensiterhadap dinas lain pengguna spektrum frekuensi radio; v. Perizinan, prosesnya diusahakan agar tidak memakan waktu lama, perlu optimalisasi sarana multimedia; vi. UPT Balmon berharap ada peran aktif radio amatir melalui inovasi dan kreativitas kerja utamanya dalam menghadapi kondisi darurat atau bencana. Dari berbagai masalah yang diuraikan tersebut, dalam mengevaluasi peran Balmon dalam Penyelenggaraan Amatir Radio ini dapat difokuskan pada : 1. Tertib pengguna frekuensi; 2. Tertib penggunaan perangkat; 3. Percepatan Proses Perizinan; 4. Efektivitas pembinaan dan pengawasan. G. Evaluasi Implementasi Permenkominfo Nomor 33 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Amatir Radio, evaluasi terhadap peran ORARI dan Anggota ORARI 1. Bab VII ORARI, pasal 47, 48 dan 49 bahwa ORARI adalah organisasi resmiyang diakui pemerintah, dengan AD/ART yang disahkan dalam Musyawarah Nasional, pengurusnya tidak boleh merangkap sebagai pengurus organisasi lain yang menangani komunikasi khusus perorangan;
77
Evaluasi Implementasi ...
2.
Menyatakan ORARI Penyelenggaraan organisasi didasarkan pada AD/ART serta Permenkominfo Nomor 33 tahun 2009; 3. Menetapkan dan menjalankan kode etik Amatir Radio; 4. Menyampaikan laporan setiap tahun kepada Dirjen SDPPI tentang perubahan jumlah anggotanya; 5. ORARI wajib memberikan pembinaan, pelatihan dan pengawasan bagi anggotanya; 6. Memberikan laporan kegiatan tahunan kepada Dirjen; 7. Setiap Amatir Radio wajib menjadi anggota ORARI. 8. Pembinaan yang dilakukan adalah teknik amatir, latih diri, sosial kemasyarakatan, menyampaikan bahan regulasidan pengetahuan tentang amatir radio kepada ORARI LOKAL yang kemudian menyebarkannya kepada anggotanya masing-masing. 9. Dengan diberlakukannya Permenkominfo Nomor 33 tahun 2009 maka dirasakan ketenangan karena yang selama ini masih dibebani dengan membayar ke Pemda.sudah tidak ada lagi. 10. Secara intensif melakukan sosialisasi Permenkominfo tersebut kepada anggota. Namun ada juga yang belum bisa melakukan sosialisasi secara langsung karena keterbatasan /kesibukan pengurus ORDA yang wilayahnya begitu luas. 11. Permasalahan lambatnya proses perizinan yang minimal 14 hari tetapi waktu selesai tidak jelas, mengakibatkan anggota malas /enggan mengurus perizinannya. Pengurusan IAR ke pusat terlalu lama tidak tepat waktu, Sampai kepada yang berhak bisa berbulan bulan. Sangat disayangkan masih ada yang memanfaatkannya, menggunakan jasa IAR untuk bisnis. Keluhan anggota adalah tingginya tarif perizinan dan perpanjangan yang dipungut oleh pengurus. 12. Masih banyak pelanggaran disiplin karena frekuensi yang digunakan tidak sesuai dengan ketentuan yang mengaturnya. Frekuensi tidak sesuai dengan alokasi peruntukannya antara 2 meteran (yang diberikan kepada RAPI) dengan radio pancar ulang yang saling tumpang tindih.Disarankan RAPI dikembalikan ke alokasi frekuensi yang diberikan ITU yaitu di 11 meter band (27MHz). 13. UNAR diharapkan dapat dilaksanakan di daerah maupun lokal, Materi UNAR dirasa sangat memberatkan, karena hanya belajar dari mereview contoh soal, perlu diberi pelajaran melalui webnya DGSDPPI agar bisa belajar lebih efektif. 14. Masih ada yang menggunakan bahasa daerah untuk berkomunikasi. Dari berbagai masalah yang diuraikan tersebut, dalam mengevaluasi peran ORARI dalam Penyelenggaraan Amatir Radio ini dapat difokuskan pada : 1. Tertib pengaturan frekuensi; 2. Tertib penggunaan perangkat; 3. Percepatan Proses mendapatkan IAR; 4. Masih perlu sosialisasi Permenkominfo Nomor 33 Tahun 2009 VII.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Radio amatir adalah komunikasi dua arah melalui radio dengan status amatir yang telah diakui. Kegiatan Amatir Radio adalah kegiatan melatih diri dengan saling komunikasi dan penyelidikan teknik radio yang diselenggarakan oleh para amatir radio. Para amatir radio merupakan orang yang memiliki hobi dan bakat dibidang teknik elektronika radio dan komunikasi tanpa maksud komersial. Para amatir radio menggunakan radio amatirisme sebagai wadah dengan tujuan pribadi tanpa mencari keuntungan keuangan serta mendapat izin untuk mengoperasikan pesawat amatir radio. Organisasi Amatir Radio Indonesia-ORARI, adalah satu-satunya wadah bagi amatir radio di Indonesia. Organisasi ini resmi berdiri pada 9 Juli 1968 atas dasar Peraturan Pemerintah RI No. 21 tahun 1967. Mengacu kepada Permenkominfo Nomor 33 Tahun 2009 pada pasal-pasal yang terkait pada Bab VIII Pembinaan dan Pengawasan, Pasal 50, 51, 52 dan 53, UPT Balai Monitor telah melaksanakan pengawasan dengan memeriksa ketentuan teknis instalasi stasiun radio amatir, melakukan uji pancaran pada beberapa frekuensi radio dan dalam memeriksa IAR asli. Peran Balmon cukup efektif baik dalam pembinaan dan pengawasan, utamanya dalam penertiban pengguna frekuensi; Penyelenggaraan amatir radio sebelum adanya Permenkominfo Nomor 33 tahun 2009 ada beban biaya ORARI ke Pemda. Setelahnya ORARI merasalega tidak ada beban lagi dari Pemda, melakukan koordinasi dengan UPT Balmon sudah menjadi lebih sinergi. Penggunaan frekuensi dan penggunaan perangkat masih terjadi ketidakpuasan anggota ORARI karena ada band 2 meteran yang mengganggu. Penggunaan perangkat juga masih jadi masalah karena kondisi perangkat yang belum disertifikasi. Proses perizinan belum menunjukkan kinerja yang professional, karena hambatan dan kendala sehingga tidak tepat waktu yang artinya layanan IAR belum sesuai dengan ketentuan namun dalam hal ini bukan disebabkan oleh layanan di dalam operasional Ditjen SDPPI. Kendala perizinan (IAR) dirasakan sangat lama waktunya oleh anggota amatir radio. Masih ada anggota ORARI yang tidak tahu persyaratan dan prosedur mengajukan permohonan IAR, bahkan tidak tahu siapa yang mengeluarkan IAR.
B. Saran 1. Diperlukan Standar Operasi dan Prosedur dalam pengurusan perizinan agar anggota ORARI juga sadar dan proaktif untuk melakukan permohonan IARnya; 2. Masih diperlukan sosialisasi tentang penyelenggaraan amatir radio dan pemahaman hal-hal yang berkaitan dengan perizinan dan penggunaan frekuensi; 3. Masih diperlukan peran Balmon dalam mengoptimalkan peran amatir radio sesuai proporsi dan etika keamatirannya. Dalam penyelenggaraan UNAR yang terpusat sangat memberatkan bagi peserta UNAR yang tinggalnya jauh di pelosok, sehingga diperlukan pengelompokan ujian secara regional wilayah, agar UPT Balmon dapat mengoptimalkan kinerjanya; 4. Terkait dengan tugas monitoring keberadaan perangkat dan persyaratan teknis, perlu disertifikasi DGSDPPI;
78
Evaluasi Implementasi ...
5.
6.
Perlu koordinasi yang optimal antara UPT Balmon dan ORARI untuk mendapat data anggotanya terutama pada wilayah ORDA-ORLOK untuk menginventarisasi anggotanya termasuk dalam pengurusan perizinan; Lamanya waktu mengeluarkan IAR perlu diberikan penjelasan proses perizinannya, termasuk proaktifnya pengurus ORARI di wilayah, agar layanan dapat diproses secepatnya melalui layanan yang terprogram.
DAFTAR PUSTAKA Budi Winarno (2008). Kebijakan Publik : Teori dan Proses. Jakarta : PT buku Kita Dunn, William,N. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, 1998, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Nasution, MA, Prof. Dr.S, Metode Research (Penelitian Ilmiah), PT Bumi Aksara, 2007 Nuryanto,Hemat Dwi , (Author) Reinventing Penyiaran Dengan @Radio, Majalah Telematika, Edisi 5, April 2011, 26 April 2011 Filed under: Focus on Revenue, e-Broadcasting Rahardjo, Mudji Prof. Dr.H.,M.S, Analisis Data Penelitian Kualitatif (Sebuah Pengalaman Empirik) Permenkominfo Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Amatir Radio
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
79
Evaluasi Implementasi ...
Buletin Pos dan Telekomunikasi Volume 10 No.1
80
INDEKS Volume 10 Nomor 1 Maret 2012
Interkoneksi __________________________ 57,58
A
International Standard Organization (ISO) _____25
Amatir Radio 61, 65, 66, 68
K
B Kode Pos _________________________ 53, 56, 58 Kualitas Layanan _____24, 25, 26, 27, 29, 30, 31, 32
Bisnis Pos ________________________ 36, 40, 49
Kualitas Pengalaman __24, 25, 26, 28, 29, 30, 31, 32
Behavior intention ____________________ 2, 3, 9
L
C
Layanan Universal _______________________53
Call Center _______________________ 24, 30, 32 Call Clarity Index (CCI)___________________ 33
M
E
Mean Opinion Score (MOS)_________________33 Mobile Broadband Wireless Access (M-BWA)___ 3 End-to-end _____________________________ 31
N
I Network -by-network_______________________31 Implikasi _________________________ 56, 58, 59 Internet___________________________ 14, 15, 18
O
Izin A matir Radio (IA R) __________________ 62 Izin Ko munikasi Radio Antar Penduduk (IKRAP) 62
On-net ______________________________ 30,31
Izin Penguasaan Perangkat Komunikasi Radio Antar
Organisasi Amat ir Rad io Indonesia (ORA RI) __ 62,
Penduduk (IPPKRAP) ____________________ 62
67Off-net ____________________________ 30, 31
Izin Penguasaan Perangkat Radio A mat ir (IPPRA) 62
T
P Parameter ____________________________30, 32
Teknologi Informasi____________________ 36-43
Penyelenggara Pos _____________________56, 59
The International A mateur Rad io Un ion(IA RU) 65, 68,
Perceptual Evaluation of Audio Quality (PEAQ) 33
70
Persepsi ____________________ 27, 29, 30, 32, 33
Threshold_________________________ 29, 30, 32 Technology Acceptance Model _____________2, 3
S
W Standar Endpoint Service Availability ______24, 30 WIPAS _______________________ 13, 14, 15, 16
PEDOMAN PENULISAN BULETIN POS DAN TELEKOMUNIKASI I. PEDOMAN UMUM PENULISAN KARYA ILMIAH BULETIN POS DAN TELEKOMUNIKASI Tulisan Karya Ilmiah yang akan dimuat dalam Buletin Pos dan Telekomunikasi, harus memenuhi standar minimal layaknya penulisan karya ilmiah, perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut: A. Ruang Lingkup Karya Ilmiah/Naskah Karya ilmiah/naskah yang dapat dimuat dalam Buletin Pos dan Telekomunikasi berupa hasil penelitian, studi, analisis data sekunder, pemikiran, review teori/konseptual/metodologi, resensi buku baru dan informasi lain yang berkaitan dengan Pos dan Telekomunikasi. B. Aktual Aktualitas suatu tulisan merupakan prioritas utama. Prioritas dapat dikaitkan de ngan momentum aktual / isu-isu terkini yang tengah terjadi dan berkembang di masyarakat. Oleh karena itu, dihindari menulis sesuatu yang sudah usang atau kurang mendapatkan perhatian dari masyarakat/publik. C. Bahasa yang Lugas Dalam menulis, agar menghindarkan penggunaan bahasa yang kurang dimengerti, karena akan membuat penyampaian gagasan menjadi kurang mengena. Pilihan kata-kata dan kalimat perlu diperhatikan dengan seksama. Jangan menulis kata-kata yang bermakna ganda, karena akan membuat bingung para p embaca, pemakaian bahasa yang tidak tepat, dapat berakibat ide/ pemikiran gagal ditransformasikan kepada para pembaca. D. Tulisan Mengandung Hal yang Baru dan Inovatif Kebaharuan dalam tulisan dapat dilihat dari sudut pandang tertentu yang belum pernah ditulis pihak lain, maupun berupa pengembangan suatu metode/teori/konsep, dan harus diupayakan agar data yang digunakan akurat dan up to date. Oleh karena itu perlu memperhatikan isu-isu aktual yang sedang terjadi di masyarakat. E. Ide/Pemikiran Orisinil Ide/opini/ merupakan hasil karya yang orisinil/asli. Hal ini untuk menghindari tuduhan penjiplakan (plagiator). F. Pedoman Umum Pedoman umum penulisan yang berlaku pada Buletin Pos dan Telekomunikasi adalah sebagai berikut : 1. Penulis harus menyatakan bahwa karya ilmiah/naskah yang dikirim belum pernah dimuat/dipublikasikan di media lain. 2. Penulis menyetujui karya ilmiah/naskah yang diterbitkan tunduk pada lisensi Creaive Common AttributionNonCommercial-ShareAlike 3.0. 3. Khusus naskah penelitian yang disponsori oleh pihak tertentu harus ada pernyataan yang berisi informasi sponsor yang mendanai dan ucapan terima kasih kepada sponsor tersebut. 4. Naskah diketik dengan memperhatikan aturan tentang penggunaan tanda baca dan ejaan yang dimuat dalam pedoman umum ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan. 5. Naskah dikirim ke alamat Redaksi dalam bentuk soft copy. 6. Pengiriman naskah disertai dengan nama, jabatan, unit kerja, alamat, nomor telepon, fax atau E-mail . Pemuatan atau penolakan naskah akan diberitahukan melalui email, naskah yang tidak dimuat akan dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis. Kepada penulis yang tulisannya dimuat di Buletin Pos dan Telekomunikasi akan diberikan 1 eksemplar Buletin sebagai tanda bukti pemuatan. 7. Setiap karya Ilmiah/naskah yang diterima akan melalui proses blind review oleh dewan editor dan mitra bestari. Kriteria-kriteria yang dipertimbangkan dalan review antara lain: a. Memenuhi standar/persyaratan baku publikasi Buletin; b. Metodologi penelitian yang digunakan; c. Manfaat hasil riset terhadap pengembangan teknologi maupun kebijakan di bidang Pos dan Informatika. II. PEDOMAN TEKNIS PENULISAN KARYA ILMIAH BULET IN POS DAN TELEKOMUNIKASI A. Kerangka tulisan: Tulisan hasil riset tersusun menurut urutan sebagai berikut: 1) Judul Judul diketik dengan huruf kapital tebal (bold) pada halaman pertama maksimum 15 (lima belas) kata. Judul harus mencerminkan isi tulisan. Judul ditulis dwi-bahasa baik Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris.
2) Nama dan alamat penulis Nama penulis diketik lengkap di bawah judul beserta alamat lengkap. Bila alamat lebih dari satu diberi tanda nomor superscript dan diikuti alamat penulis sekarang. Jika penulis lebih dari satu orang, kata penghubung, digunakan kata “dan”. 3) Jenjang Jabatan Peneliti (optional) Jabatan penulis ditulis dibawah judul makalah misalnya: Peneliti Madya Bidang Pos dan Telekomunikasi 4) Abstrak Abstrak ditulis sebanyak 100-150 kata dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Abstrak diketik dengan huruf miring (italic) untuk bahasa Inggris berjarak 1 spasi. 5) Kata kunci Kata kunci ditulis dwi-bahawa 3-5 kata baik Bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. 6) Pendahuluan Meliputi Latar Belakang, Perumusan Masalah, dan Tujuan Penelitian; 7) Kerangka teoritis dan pengembangan hipotesis Memaparkan telaah/kajian literatur mencakup kajian teori dan hasil penelitian terdahulu yang relevan, untuk mengembangkan hipotesis atau proposisi penelitian dan model penelitian (jika dipandang perlu); 8) Metodologi penelitian Berisi rancangan/model, pengukuran dan definisi operasional variabel, sampel dan data, tempat dan waktu, teknik pengumpulan data, dan teknik/metode analisis data; 9) Hasil dan pembahasan Berisi tentang analisis penelitian dan temuan-temuan terbaru yang ditemukan dalam penelitian. 10) Kesimpulan Berisi ringkasan hasil penelitian. 11) Saran/Rekomendasi Berisi usulan penulis terkait temuan penelitian. 12) Ucapan terima kasih (optional) 13) Daftar Pustaka /rujukan dengan format APA-Style Daftar pustaka yang dimuat harus disitasi pada tulisan dengan merujuk pada format APA-Style. Lebih lanjut penjelasan tentang APA-Style dapat dilihat melalui http://owl.english.purdue.edu/owl/resource/560/01/ III. KET ENT UAN LAINNYA A. Penyerahan Naskah Softcopy naskah KTI dapat diserahkan kepada Sekretariat Buletin Pos dan Telekomunikasi dengan alamat sebagai berikut: Puslitbang Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Gedung A Lantai 5 Jl. Medan Merdeka Barat No.9, Telp./Fax. 021-34833640 atau melalui e-mail :
[email protected] B. Kepemilikan Naskah dan Masa Keberlakuan Naskah Naskah yang diterima menjadi milik redaksi. Naskah secara otomatis akan dikembalikan jika tidak dimuat dalam waktu 6 (enam) bulan semenjak diterbitkan. Naskah yang diterbitkan akan diberitahu secara resmi melalui email. C. Lisensi Naskah yang diterbitkan Naskah yang diterbitkan dalam Buletin Pos dan Telekomunikasi tunduk di bawah lisensi Creaive Common AttributionNonCommercial-ShareAlike 3.0. Naskah dapat dibagikan dengan menyalin, menyebarkan dan meneruskan karya yang ada atau melakukan perubahan seperti alih bahasa untuk mengadaptasi karya. Keterangan lebih lanjut mengenai lisensi ini merujuk pada http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/3.0/.