CRITICAL REGIONALISM TERHADAP FENOMENA RUMAH BERFASAD TEMBOK DI JAKARTA Angga Aditianto Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia
[email protected] Abstrak Rumah tinggal merupakan salah satu produk arsitektur yang saat ini telah banyak digeluti oleh para praktisi. Belakangan, muncul rumah-rumah tinggal yang dianggap memiliki desain minimal serta kembali menjelma sederhana dalam hal bentuk, material, dan kualitasnya. Fasad sebagai representasi arsitektur juga merupakan bagian dari karakter rumah tinggal. Skripsi ini merupakan studi sekaligus berperan sebagai kritik arsitektur untuk mengungkap fenomena rancangan fasad rumah tinggal yang didominasi oleh dinding. Tujuannya adalah untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi pemikiran dan menggali kesadaran arsitek hingga menghasilkan desain tersebut. Terdapat 2 (dua) rumah yang dijadikan sebagai bahan atau studi kasus. Kemudian ditinjau dengan teori critical regionalism yang mengacu pada konteks perancangan. Pendekatannya dilakukan dengan interpretasi deskriptif berdasarkan kajian literatur, observasi lapangan, dan dialog dengan praktisi. Kata kunci: fasad, rumah tinggal, critical regionalism, kesadaran arsitek, modernitas
Critical Regionalism on Phenomenon of Wall as House’s Facade in Jakarta Abstract House is one of architectural products which became common for those who practiced in architecture. Nowadays, houses appear with minimal design and embodied in simple way. That simplification applicated in form, material, and spatial quality. Facade as representation and emphasized architecturally, actually is the part of house’s character. This paper is a kind of study, as well as criticism in architecture, to reveal the phenomenon of the house’s facade design that dominated by the wall. The purpose of this study is to understand the background of architect’s way of thinking, notions and considerations. It also to looking in self-consiousness design process that resulting on the design. There are 2 (two) houses chosen as the case study. Then it will be analysed based on some points in critical regionalism theory which refer to site’s context. The approaches conducted by qualitative interpretative descriptive based on study of theoy, literature review, field observation, and interview with the architect. Keywords: facade, house, critical regionalism, self-consciousness, modernity
Pendahuluan
Critical Regionalism..., Angga Aditianto, FT UI, 2013
kemajuan arsitektur di Indonesia kian pesat khususnya terjadi di kota-kota besar. Rumah tinggal adalah salah satu produk arsitektur yang saat ini sudah banyak digeluti oleh para praktisi. Rumah tinggal di kota besar di Indonesia kian beragam. Begitu pula dengan hasil rancangan arsitek-arsiteknya dalam pencarian karakter klien yang juga dapat diasumsikan sebagai calon penghuni rumah tersebut sekaligus membangun rancangan yang memiliki keterikatan dengan konteksnya atau tidak sama sekali.. Seolah rancangan rumah menjadi citra, ekspresi, dan ego yang dituangkan secara personal baik oleh arsitek maupun penghuninya. Cerminan karakter tersebut salah satunya dapat dilihat dari fasadnya. Fasad atau permukaan bangunan merupakan kulit terluar. Ibarat selimut yang melindungi tubuh di saat tertidur dan seperti baju yang dikenakan ketika bepergian. Fasad berhubungan langsung dengan lingkungan tetangga, iklim kawasan setempat, serta menjadi penanda yang dapat dikenali dalam komunikasi visual non-verbal. Oleh karena itu, sempat disinggung pula oleh Colin Rowe bahwa fasad menunjukkan metafor untuk tujuan tertentu. Ada sesuatu yang ingin diutarakan, disampaikan dan dipahami oleh pengguna dan orang-orang yang merasakannya. Tulisan ini mencoba mengungkap ada apa dibalik fenomena tersebut. Sebagai sebuah rancangan ruang bertinggal sudah pasti bersifat personal. Penelusurannya ditinjau dari sejauh mana kesadaran arsitek mewujudkan rancangan berangkat dari dialog antara arsitek dan kliennya.
Tinjauan Teoritis Definisi Fasad Fasad berarti The front or face of a building, emphasized architecturally1. Ada pula pengertian lain yaitu External face or elevation of a building, especially the principal front1. Secara sederhana, fasad dapat diartikan sebagai wajah salah satu atau lebih dari sisi sebuah bangunan. Wajah tersebut yang menjadi semacam satu identitas, baik itu berasal dari pemiliknya maupun sentuhan arsitek yang merancangnya. Kemudian wajah yang dimaksud memunculkan tekanan secara tampilan arsitektural. Colin Rowe telah menyebutkan batasan jelas perbedaan antara ide terkandung dalam fasad dan elevasi. Elevasi, menurut Rowe, lebih 1
Honour, J. F., & Pevsner, N. (1981). The Penguin Dictionary of Architecture. Great Britain: Richard Clay (The Chaucer Press) Ltd. 1 StevenCurl, J. (2006). A Dictionary of Architecture and Landscape Architecture (2 ed.) . Oxford: Oxford University Press.
Critical Regionalism..., Angga Aditianto, FT UI, 2013
menunjuk kepada gambar teknis yang diproyeksikan kepada tampilan luar bangunan. Seperti halnya denah dan potongan, merekam informasi faktual. Sebuah fasad, menurut Rowe, memiliki perbedaan terhadap elevasi karena mengandung karakter. Karakter dimaksud terwujud dalam sesuatu yang symbolic dan iconic, seperti sekular atau religius, public atau private. (Terragni, 2003:33) Sedangkan, celah bukaan atau ketertutupan (enclosure) pada permukaan bangunan tidak sama dengan fasad. “... the facade as bearer of signifactory attributes.” (Leatherbarrow, D., & Mostafavi, M., 2002: 9). Perbedaannya yakni fasad mengungkap sejumlah tanda dalam elemen arsitektur dan enclosure merupakan salah satu komponen dan bagian dari fasad. Begitu pula dinding sebagai eksekusi guna menciptakan enclosure tersebut. Kesatuan dari keseluruhan permukaan sebuah bangunan itu akhirnya menghadirkan ekspresinya. Tampilan fasad sebuah bangunan boleh jadi menentukan sebuah karakter dan kualitas sebuah bangunan dari luarnya. Ada pula perihal bahwa karakter dapat diterjemahkan dari ekspresi permukaan kulit bangunan. Karakter dapat terbaca dengan mata telanjang kemudian dirasakan. Dengan demikian, Vesely menyebutnya dengan istilah experience of appearances (Forty, 2000: 121). Berarti terdapat satu pengalaman ruang namun cukup dialami sebatas penglihatan. Fasad mengandung nilai-nilai yang mampu dipahami secara jasmaniah serta menjadi abstraksi atau secara ringkas mampu menyampaikan maksud bangunan baik dari fungsi maupun aspek konseptualnya. Sebagaimana disampaikan oleh Boffrand dan Blondel yang memanfaatkan konsep pictorial physiognomy atau memahami dan merasakan gambar dan spatial secara terperinci, secara spesifik (Forty, 2000: 122). Ide yang hadir harus tertangkap, sejalan, dan bersinergi antara fungsi dan raut muka. Karakter bangunan memang mengacu pada gagasan yang spesifik. Apabila dirinci terdapat 3 (tiga) poin utama pengertian karakter di abad 18 sejauh ini. Pertama, the expression of the building’s particular purpose. Kedua, the evocation of spesific moods. Dan yang ketiga, the sense of character as expression of locality, of place (Forty, 2000:125). Evocation of spesific moods atau bila diterjemahkan membangkitkan suasana yang spesifik. Hendaknya, arsitek menggagas apa yang dibutuhkan klien saat itu sehingga tercapai
Critical Regionalism..., Angga Aditianto, FT UI, 2013
kualitas desain yang tepat dan solutif bagi kedua belah pihak. Mungkinkah Fasad yang hanya terdiri atas sekedar tembok merupakan kualitas yang tepat? Selanjutnya the sense of character as expression of locality, of place. Tak dapat dihindari karakter sudah sewajarnya mengakar, tidak lari dari lokalitasnya, apalagi melakukan lompatan yang amat jauh. Terutama dalam kawasan perumahan, yang memiliki kehidupan sosial, tentu ada kesamaan karakter. Kontinuitas karakter juga dapat terbaca walaupun dari segi waktu pembangunan dilakukan di era yang berbeda-beda. Bukan berarti harus serupa apalagi seragam dalam penanganan fasadnya, tetapi apa yang terjadi ketika ekspresinya justru tidak menampakkan apa-apa selain tembok? Arsitektur Modern “Evidence shows that throughout the world modern architectural and planning ideas have failed wherever architect disregards the social and aesthetic values of the user” (Brolin, 1976: 8). Adanya keinginan dari para arsitek dunia untuk melakukan pembaruan dalam bentuk modernisme. Arus tersebut dimulai sejak revolusi industri serta mengandalkan kemajuan teknologi sebagai ujung tombaknya. Kebanyakan arsitek melanjutkan apa yang sudah menjadi idealisme mereka terhadap “beauty” dan pandangannya terhadap fakta-fakta sosial. Baik dijunjung sebagai pedoman ataupun diabaikan sama sekali. Paul Zucker dalam Planning in Three Dimensions menjabarkan observasinya terhadap arsitektur modern dan dua fase penting yang terjadi di dalamnya. Fase pertama disebut dengan “emancipation from the circle of eclectic imitation” (Leatherbarrow, D., & Mostafavi, M., 2002). Arsitektur modern tak bisa dihindari lagi menjadi tren pada masa itu. Para arsitek berlomba memanfaatkan temuan-temuan material baru ke dalam wujud yang berbeda dari era sebelumnya. Sedangkan fase kedua menyingkap kemungkinan akan “functional expression”. Jargon tersebut menekankan pada kebutuhan yang utama dari penggunanya. Olahan desainnya cenderung menghasilkan program yang efisien, baik dari segi spasial hingga utilitasnya. Simplifikasi pada Arsitektur Modern Lantas penyederhanaan atau simplifikasi melekat pada image arsitektur. “Modern architecture look the way it did simply because arhitect obeyed certain demands: honesty” (Brolin, 1976: 14) Muncul semacam tren menghadirkan “kejujuran” pada material, struktur,
Critical Regionalism..., Angga Aditianto, FT UI, 2013
dan fungsi bangunan yang tercermin pada bentuk dan warnanya. Fenomena ini yang menjadi cikal bakal penerapan arsitektur yang minimal. Masyarakat pada umumnya menjadi salah kaprah menjuluki desain minimal ini menjadi sebuah gaya baru, padahal sebenarnya tidak sepenuhnya kategori ini tertuju ke situ.
Gambar 1. Diagam Proses Desain, berangkat dari sejarah dan analisis hingga tercipta fasad (Sumber: Ilustrasi Pribadi)
Critical Regionalism..., Angga Aditianto, FT UI, 2013
Simplifikasi atau penyederhanaan, tersirat dalam kegiatan produksi material secara massal. Buah pikiran tersebut berbanding terbalik dengan kompleksitas dan aturan komposisi arsitektur di era sebelumnya. Simplifikasi justru menjadi proses mereduksi sebanyakbanyaknya elemen arsitektur karena penggunaan daya produksi mesin. Pengurangan tersebut dilakukan hingga batas asumsi cukup memenuhi tujuan di awal perancangan. Simplifikasi juga mungkin saja terjadi akibat pengaruh material. Produksi masif yang digencarkan menjadi semacam ‘aturan’ atau pendekatan desain yang dilakukan. Selain praktis, cara ini juga bernilai ekonomis. Dengan logika produksi industri dan fabrikasi yang bersifat general serta dukungan distribusi semakin mudah, inilah yang menjadikan gerakan arsitektur modern bersifat universal. Whiteness pada Arsitektur Modern Ketika budaya yang bersifat tradisional berkembang, maka kesadaran desain pada saat itu mengikutinya, tradisonal pula. Sedangkan masuknya era industrialisasi pada produksi material dan desain pun turut menghadirkan “the culture industry”, istilah seperti yang dikutip oleh Mark Wigley (1995) dari Theodor Adorno. Nuansa baru dan segar tersebut menjadi sasaran sekaligus aliran yang sangat menarik.
Tambahnya lagi, fashion, ornamen, dan
permukaan bangunan mengindikasikan munculnya pemahaman baru terhadap kesterilan desain dan rasionalitas sebagai reaksi atas percepatan produksi teknologi. Beliau mengibaratkan warna putih bukan sebatas pemahaman yang dijelaskan oleh Le Corbusier. Ada semacam upaya menyebarkan paham bahwa warna putih dijadikan semacam outfit baru yang cocok dengan generasi baru, memperkokoh tubuh bangunan, dan menjadi “default setting” dalam arsitektur avant-garde. Sejumlah sejarawan menilai kesamaan yang muncul dalam arsitektur di awal abad ke-20 dalam pernyataan sebagai berikut: “Despite the flatness and unornamented character of these Enlightment facades, never did their architect relinquish the task of having their composition “speak” or perform social roles. It was precisely this expressive or rethorical function and responsibility that the facades of the early twentieth century put into question” (Leatherbarrow, D., & Mostafavi, M., 2002:12). Keberadaan fasad yang datar tidak beralasan cukup kuat. Pencitraannya justru terkesan mengabaikan situasi dan kondisi yang terjadi di lingkungannya. Critical Regionalism
Critical Regionalism..., Angga Aditianto, FT UI, 2013
Kenneth Frampton (1987)
menjabarkan reaksinya menentang modernisme melalui Ten
Points on an Architecture of Regionalism: A Provisional Polemic. Beberapa di antaranya logis dan memang tepat untuk dijadikan acuan menengahi dampak dari universal civilization (peradaban yang universal) atau kemudian kita kenal sebagai globalisasi. Critical regionalism adalah jargon utama yang menjanjikan untuk menghadirkan arsitektur yang spesifik serta menyingkirkan pemikiran modernitas yang acap kali terasa janggal. Dibutuhkan kesadaran tinggi oleh masing-masing arsitek untuk menciptakannya. Warisan kultur dan budaya di setiap kawasan bisa jadi salah satu pedomannya. Bukan berarti harus kembali pada arsitektur vernakular atau tradisonal, tetapi mempelajari bagaimana arsitektur lokal bekerja dan merangkainya dalam definisi serta terapan yang sesuai dengan masanya. “By definition, critical regionalism is recuperative, self-conscious, critical endeavor, and nothing can be further fromthe vernacular in the initial sense of the term” (Frampton, 1981:378). Memahami kontekstual setempat dapat mempelajari dari segi teknis seperti iklim, lalu apa yang mencerminkan lokalitas, interaksi dengan kondisi sosial setempat, hingga mitos atau kisah budaya setempat. Poin-poin tersebut dipercaya Frampton sebagai “sekolah informal” dengan wawasan yang tidak berbatas. Kemudian topografi dan sistem keterbangunan (tektonik) suatu kawasan juga menegaskan pembentukan place hingga terjadi form. Langkahlangkah tersebut sesungguhnya merupakan upaya menciptakan arsitektur yang tidak sekedar scenography. Scenography berasal dari bahasa latin scena atau pemandangan, adegan, suasana, atau dengan kata lain merepresentasikan keindahan alam. Ada pun arsitektur yang dituju ialah bersifat architectonic, bukan hanya terkait aspek teknis bangunan tetapi juga berinteraksi dengan alam. ‘It should display the way in which the artifice interacts with nature, not only in terms of gravity, but also in terms of its durability with regard to the agencies of climate and time’ (Frampton, 1981:383). Mungkin keduanya hampir terlihat serupa, tetapi yang jelas membedakan adalah tujuan pembangunannya didasari atas keinginan untuk bertahan, yang satu diambil dari esensi arsitektur Renaissance dan yang satunya dari rumah tinggal tradisional suku aborigin misalnya. Kemudian dalam scenography muncul gagasan mereduksi elemen-elemen arsitektural untuk menciptakan sebuah persepsi akan bentuk. Dari sini pula kecenderungan arsitek lebih kepada menampilkan keindahan dalam bentuk arsitektural. Metode Penilitian
Critical Regionalism..., Angga Aditianto, FT UI, 2013
Pendekatan
penulisan jurnal ini dapat dikatakan masuk dalam jajaran kategori kritik
arsitektur. Diawali dengan mempelajari studi literatur terkait pembahasan dan bagaimana menulis kritik arsitektur yang seimbang dan tepat sasaran. Sistemnya dengan langkah-langkah mencari background atau latar belakang pembahasan ditarik dari garis sejarah. Kemudian teori-teori dan metode perancangan yang aplikatif berkembang di seputar dunia praktik arsitektur pada zamannya. Sesudahnya menjabarkan hasil obsevasi studi kasus dari bahanbahan berbasis latar belakang dan teori sebelumnya. Observasi dilakukan dengan mengadakan dialog wawancara dengan arsitek yang bersangkutan dan dokumentasi studi lapangan. Izin observasi dilakukan langsung kepada arsitek dan penghuni rumah yang bersangkutan. Dengan demikian diharapkan dapat menghadirkan kritik arsitektur yang bermanfaat. Terdapat 2 (dua) penjabaran rumah tinggal yang diangkat ke dalam studi kasus. Pemilihannya ditentukan atas pertimbangan kecocokan dengan tema atau topik. Fasad rumah dengan dominasi dinding, reduksi atas ornamen, dan pada sejumlah titik bukaan. Dinding yang menjadi kulit bangunan juga menjadi pertimbangan terkait dengan pemilihan material dan warnanya. Rumah-rumah tersebut antara lain Muted House karya Aboday dan Kiri’s House karya Atelier Riri. Pembahasan
Gambar 2. Muted House pada tahun 2009 (Sumber: http://www.archdaily.com/32509/muted-house-aboday-architects/1250622838-115 )
Critical Regionalism..., Angga Aditianto, FT UI, 2013
Gambar 3. Kiri’s House pada tahun 2009 (sumber: www.archdaily.com/85037/kiris-house-atelier-riri/33-kiris-house-19-06-2010/ )
Muted House atau bila diterjemahkan menjadi “Rumah Bisu” merupakan salah satu karya rumah tinggal dirancang oleh sekelompok arsitek yang biasa disapa dengan Aboday. Mereka terdiri atas Johansen Yap, Ary Indra, dan Rafael David. Rumah tinggal ini terletak di Jalan Empu Sendok, Kebyoran Baru, Jakarta Selatan. Sedangkan Kiri’s House terletak di Jalan Perkici XII, Sektor 5 Bintaro Tangerang. Rumah ini masuk dalam lingkungan yang terjaga rapat dan ditarik agak menjauh dari keramaian. Klien, penghuni, sekaligus arsitek rumah ini adalah orang yang sama. Adalah Novriansyah Yakub atau akrab dipanggil Riri, orang yang juga mendirikan biro arsitekturnya bernama Atelier Riri. Kantor tempat beliau bekerja ternyata juga masih berada di jalan yang sama. Lingkungan rumah di Bintaro berarti berada di konteks lingkungan perumahan suburban. Berada dalam lingkungan perumahan ini tidak bising, tidak ada yang berlalu-lalang, bahkan tergolong sepi. Di sekitarnya masih banyak rumah yang sudah lama terbangun dan cenderung masuk dalam tipikal rumah kelas menengah. Kiri’s House sendiri selesai dibangun pada 2009, waktu yang hampir berdekatan dengan Muted House.
Perbandingan Studi Kasus
Critical Regionalism..., Angga Aditianto, FT UI, 2013
Gambar 4. Elevasi depan Muted House (Sumber : Ilustrasi Pribadi)
Gambar 5. Elevasi depan Kiri’s House (Sumber: http://www.archdaily.com/85037/kiris-house-atelier-riri/elevations-94/)
Permasalahan kedua rumah hampir sama. Keduanya berdiri di atas tapak yang menghadap ke arah Barat Daya. Orientasi matahari bergerak dari belakang tapak di pagi hari dan sinarnya jatuh pada fasad depan rumahnya di siang, sore, hingga matahari terbenam. Muted House memiliki luas perbandingan dinding sebagai tampak 80,1 m2 (99%) dan bukaan kaca seluas 0,8 m2 (1%) dari total luas tampak 80,9 m2. Sedangkan pada Kiri’s House luas dinding sebagai tampak 24,67 m2 (87,2%) dan bukaan jendela seluas 3,62 m2 (12,8%) dari total luas tampak 28,29 m2. Fasad sebagai representasi wajah dan karakter sebuah bangunan dirancang dengan inisiasi berbeda-beda oleh setiap arsitek. Ary Indra menerangkan bahwa, “Fasad bisa terjadi karena peraturan, program ruangnya, atau karena otoritas arsiteknya. Kalau Muted House begitu
Critical Regionalism..., Angga Aditianto, FT UI, 2013
karena ingin memutus hubungan dengan tetangga. Terjadi dengan sendirinya dan jawaban akan suatu isu” (Indra, 2013). Mengenai isu kontekstual atau pada poin critical regionalism, Aboday memang dengan sengaja memutus rantai dengan sekitarnya. Tetap berangkat dari pertimbangan permasalahan yang ada pada tapak, tetapi pemecahan dan respon desainnya berbeda. Selain untuk menciptakan kenyamanan, perancangan pada rumah tinggal biasanya diikuti dengan ego dan keinginan mencapai tingkat aktualisasi diri. Orientasi terhadap pencahayaan alami salah satunya. Dengan rumah menghadap Barat Daya, justru sinar matahari sengaja jatuh pada dindingnya dimanfaatkan dalam konsep bak kanvas putih.
Gambar 6. Explode elevasi dan sebagian ruang dalam Muted House (Sumber: Ilustrasi Pribadi)
Pada Kiri’s House, perancangan rumah juga menyesuaikan dengan kondisi tapak. Orientasi ke arah Barat Daya sama-sama ditutup dengan dinding hampir menutup seluruhnya. Kondisi lahan yang tidak luas ditanggapi dengan strategi ruang dalam yang efisien. Kiri’s House tidak memakan bagian depan rumah seperti tetangga-tetangganya. Halaman depan tanpa pagar justru menyediakan ruang terbuka untuk berkumpul. Warna putih memberi kesan yang luas baik di luar maupun dalam, walaupun sebenarnya tidak sepenuhnya dapat dipastikan demikian. “Fasad itu muka yang mewakili rumah dan pemiliknya nanti seperti apa. Saya sebagai arsitek, merepresentasikannya dalam desain. Bisa berupa sesuatu terhadap lingkungan, tetapi bisa juga karena diterima, diinginkan, atau dibutuhkan oleh pemiliknya. Harus memperhatikan surrounding area-nya seperti apa” (Yakub, 2013). Sebagai penghuni
Critical Regionalism..., Angga Aditianto, FT UI, 2013
sekaligus arsitek penting untuk merepresentasikan karakter pada rancangan, salah satunya dalam wujud fasad, karena dari aspek itu masyarakat dapat menilai seperti apa keluaran yang dihasilkan. Di saat bersamaan, ada citra yang harus dipertanggungjawabkan. Riri memutuskan untuk merancang fasad sederhana, lugas, dan fungsional. Tujuannya supaya membentuk opini, penilaian, dan spekulasi masyarakat terhadap desain Atelier Riri. ”Akhirnya saya jadi bisa bebas mengeluarkan desain apa saja. Kalau polos juga maknanya banyak. Berbeda kalau mendesain yang sangat berkarakter, banyak ornamen dan pemilihan elemen arsitektur yang melekat, nanti juga akan jadi bias. Berlebihan juga akan membingungkan identitas bangunannya seperti apa” (Yakub, 2013).
Gambar 7. Explode elevasi dan sebagian ruang dalam Kiri’s House (Sumber: Ilustrasi pribadi)
Serupa dengan Muted House, eksterior Kiri’s House diselesaikan dengan rapi oleh tukangtukangnya. Craftmanship telah diarahkan kepada prinsip-prinsip clean and neat yang berkembang di masa arsitektur modern. Mark Wigley (1995) menyinggung bahwa whiteness pada fasad rumah di era arsitektur modern menciptakan kesan sebuah rumah mengenakan baju yang gagah. Pada kasus Muted House kegagahan tersebut pada awalnya sangat kuat menonjol karena memang berbeda dari lingkungannya. Kini kesan gagah kian melunak seiring dengan tumbuh lebatnya pohon cemara di depannya. Dominasi fasad tembok berwarna putih tidak lagi terlihat karena rumah semakin menyatu dengan lingkungan alamnya. Secara visual, kita tidak dapat menentukan apakah ada jendela atau tidak di balik pohon. Justru
Critical Regionalism..., Angga Aditianto, FT UI, 2013
rumah di sebelahnya yang masih jarang tertutup pohon memberi kesan tertutup. Kegagahan dari whiteness juga dapat meluntur seiring kualitas fisik kulit bangunan yang juga tidak dapat bertahan seutuhnya. Pergerakan dimensi waktu berbicara banyak di sini. Ditemui pula pada proyek-proyek lain pada kedua arsitek yang juga banyak menggunakan warna putih sebagai penyelesaiannya akhirnya. Rumah di sekitar Muted House memang berwarna putih sehingga masih ada keselarasan di antaranya. Sedangkan, tidak ditemui kesamaan situasi pada Kiri’s House. Ide mengangkat warna netral justru tampak menonjol di antara warna-warna rumah di sekitarnya, yang banyak mengangkat elemen kayu dan sebagainya. Sejalan dengan Wigley, secara tidak sadar kedua arsitek ini telah menempatkan putih sebagai “default setting” pada karya-karyanya.
Gambar 8. Perbandingan form studi kasus (Sumber: Ilustrasi Pribadi)
Pada proses perancangan rumah, keduanya berorientasi pada keterhubungan ruang dalam. Namun bukan berarti eksterior menjadi dikesampingkan dan kemudian terlupakan. Bagi Boffrand dan J.F.Blondel, bentukan arsitektur semestinya memiliki keterkaitan dan spesifik pada fungsinya. Konsep “muted” pada rumah pertama memang sangat kuat terasa dan bisa dikatakan tujuan awalnya tercapai. Hanya jejak form yang masih tertinggal dalam wujud siluet rumah namun tidak berinteraksi dengan sekitarnya. Berbeda dengan Kiri’s House yang memang mengejar keluaran desain rumah murah. Segala sesuatunya jadi serba minimal baik interior hingga eksteriornya. Penggunaan atap datar dan form kotak sepenuhnya dan halaman didominasi oleh perkerasan berakibat tidak meninggalkan citra rumah seperti yang banyak diketahui khalayak banyak. Tidak pula Ia melirik situasi form di sekitarnya. Oleh karena itu, banyak orang awalnya menanggapi bahwa bangunan ini bukan rumah tinggal.
Critical Regionalism..., Angga Aditianto, FT UI, 2013
Studi Kasus terhadap konteksnya Peran jendela dan penempatannya pada dinding juga bercerita dari fasadnya. Konsep bukaan acak pada Muted House berukuran kecil, banyak, dan acak. Mereka unik dan menjadi aksen karena menggabungkan fungsi bukaan terhadap cahaya dan menjadikannya sekaligus sebagai elemen fasad tetapi dirasa tidak cukup merepresentasikan konsep lokalitas setempat. Tidak adanya teritis menyebabkan jatuhnya air hujan sempat menggenang di sela-sela bukaan dan menyisakan jejak kotornya di sepanjang dinding atas. Atau jangan-jangan dampak demikian sudah diprediksi oleh arsiteknya dan dibiarkan begitu saja sebagai bagian dari ekspresi bangunan? Masih menyoal curah hujan di Ibukota Jakarta yang cukup tinggi, di Kiri’s House hal serupa juga terjadi. Teritis hanya berada di atas pintu, tidak melindungi jendela-jendela di kedua lantai. Penggunaan jendela di sini pun sangat sederhana penyelesaiannya. Bisa ditebak jika terjadi hujan, maka rintik airnya langsung menampar kaca-kaca. Siang hingga sore matahari dari arah Barat langsung masuk ke dalam kamar tidur, meskipun coba diredam dengan penggunaan kerai. Sebagai konsekuensi, ada efek kurang nyaman yang dirasakan dari dalam rumah dikarenakan hal tersebut. Selain mengabaikan expression of locality, aplikasi desain yang sedikit mengangkat adaptasi dari arsitektur setempat bisa jadi kurang bertahan lama, walaupun hal ini belum dapat dipastikan. Bukaan dan penempatannya di dinding menghadap ke luar pada umumnya juga memiliki fungsi sebagai akses pertukaran dan sirkulasi udara. Hembusan angin dari halaman rumah dapat masuk ke dalam. Artinya, ruangan di dalam memiliki keterhubungan dengan ruang luar dari segi penghawaan. Sistem penghawaan pasif ini juga menciptakan kadar kenyamanan dalam ruang. Bukaan kecil acak pada Muted House ternyata tidak berfungsi sebagai ventilasi. Udara luar hanya masuk melalui pintu-pintu dan jendela-jendela yang terletak di samping dan belakang rumah bila sedang dibuka. Bukaan pada Kiri’s House hanya terdiri atas komposisi pintu dan jendela yang sering ditemui dalam keadaan tertutup. Serupa dengan Muted House, rumah ini memliki kecenderungan untuk lebih terbuka pada area samping dan belakang rumah. Maka kedua rumah ini tidak memanfaatkan fasad sebagai medium penghawaan pasif dalam ruang.
Critical Regionalism..., Angga Aditianto, FT UI, 2013
Permasalahan lain pada tapak seperti kebisingan juga turut menjadi alasan perancangan fasad pada Muted House. Ketebalan dinding menutup sepenuhnya lebar tapak mengakibatkan peredaman suara yang sangat signifikan di dalam rumah. Kesuksesan tujuan fasad seperti itu juga dapat dimaknai bahwa ketenangan di dalam rumah acuh tak acuh terhadap pergerakan kondisi di luar rumah. Kiri’s House tidak punya alasan yang demikian. Lokasinya yang berada di dalam kompleks perumahan sesungguhnya tidak mengalami problem dengan gangguan suara dari luar. Experience of Appearances Berikutnya isu kecepatan ketika berkendara pada era arsitektur modern yang kemudian melahirkan gagasan menyederhanakan. Memang betul bahwa kini kendaraan bermotor selalu berlalu lalang di jalan. Akan tetapi pada kasus ini terjadi di lingkungan perumahan. Lebar jalan berkisar 5 (lima) hingga 6 (enam) meter, dilalui oleh kendaraan mobil 2 (dua) arah, terkadang ditemui kendaraanparkir di pinggir jalan. Menghadapi
penjabaran di atas,
kecepatan mobil yang sedang melaju dan memasuki kawasan perumahan pasti menurunkan kecepatannya dan memperhatikan sekitarnya dengan awas. Simplifikasi pada human scale detail memang mempermudah mata manusia untuk mengenali bentuk. Akan tetapi melakukan reduksi desain seperti itu bukan menjadi alasan kuat mendukung isu kecepatan. Proses mengalami fasad terangkum dalam experience of appearances. Fasad sebagai representasi dari suatu karakter akan memberi efek bagi yang melihatnya. Jika pada isu kecepatan, rumah dilihat dan dialami oleh orang yang berkendara, lalu bagaimana dengan orang yang melihat dan mengalami sedang tidak berkendara? Fasad rumah keduanya punya ciri khas dan karakter yang sangat kuat. “Hanya tembok saja” adalah frase yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi fasadnya. Desain arsitektural apa pun akan menimbulkan efek pada lingkungan sosialnya. Dampak bagi yang melihatnya beragam serta terbagi atas jangka pendek dan panjang. Contoh dampak jangka pendek pada visual spectators antara lain, ada yang merasa bahwa ini bukan rumah, rumah ini tidak berinteraksi dengan lingkungan, atau bahkan tak memberi respon apa pun. Kualitas tampilan seperti itu bisa menjadi faktor keengganan tetangga untuk mengenal penghuninya secara lebih dekat, karena sudah membentengi diri sejak awal. Sedangkan dampak jangka panjang, fasad rumah tinggal seperti merepresentasikan kehidupan sosial masyarakat berkota, fasad ini berefek pada kualitas individual dalam suatu lingkungan. Unsur dan karakter yang berbeda juga menimbulkan
Critical Regionalism..., Angga Aditianto, FT UI, 2013
kesan hunian eksklusif. Asumsi lainnya, di waktu mendatang akan terjadi
kemerosotan
community value dan renggangnya penghuni terhadap social structure setempat.
Kesimpulan Dalam konteks kawasan, Muted House sebagai rumah yang berada di Kebayoran Baru pada awalnya tampak sangat berbeda dan menonjol begitu pula pada Kiri’s House. Harus diakui bahwa universal civilization sangat terasa juga di kota-kota besar seperti Jakarta. Perancangan tidak lebih menitikberatkan pada cerita di masa lalu, tetapi lebih kepada bayangan yang akan terjadi di masa depan, dengan kata lain orientasi kekinian. Ini berarti bahwa kesadaran akan tektonis dan keterbangunan untuk sebuah bangunan sangat kuat. Apabila ditinjau dengan teori critical regionalism, desain fasad kedua rumah mengedepankan aspek scenography-nya. Kedua arsitek berangkat dari isu kawasan tetapi eksekusi desain fasadnya cenderung melakukan perlawanan dan berfokus pada kenyamanan ruang dalam. Kedua studi kasus tampaknya sepakat pada beberapa poin critical regionalism tetapi tidak sepenuhnya. Seperti contohnya pada kesadaran akan orientasi arah mata angin Barat Daya sehingga berfasad tembok, tetapi luput pada eksekusi bukaan jendelanya, yang jauh mengandalkan isu clean and neat. Seperti mengangkat isu sosial yang terjadi di masa itu, tetapi belum memperhatikan genius loci konteks secara keseluruhan. Bentukan wajah rumah menjadi sangat minimal, tetapi ada nilai estetis yang tampak disengaja pada saat bersamaan. Memang diakui Frampton, untuk menjunjung critical regionalisme dibutuhkan kesadaran diri yang tinggi dari masing-masing perancang. Tetapi itu bukan sesuatu yang harus dipaksakan. Beradaptasi dengan teknologi juga bukan sesuatu yang keliru. Kesadaran akan pentingnya memperhatikan konteks kawasan contohnya, dapat dimulai dari menggagas isu penggunaan material yang tidak asal mendatangkan dari luar, melainkan memperhatikan kondisi alam setempat. Critical Regionalism dibangun sebagai jembatan antara arsitektur lokal dan masa depan. Dengan demikian, dominasi dinding sebagai fasad pada kedua studi kasus tidak sepenuhnya memenuhi poin-poin critical regionalism, terutama pada eksekusinya. Karakter tertutup pada kedua rumah terlihat sengaja menyembunyikan privasi yang dapat dinilai secara berlebihan. Interaksi spasial yang hadir juga memutus hubungan antara ruang luar dan dalam. Sementara identitas baru, berbeda, dan dianggap kekinian berusaha menunjukkan dirinya
Critical Regionalism..., Angga Aditianto, FT UI, 2013
melalui penampilan. Efek yang dihasilkan juga perlu dipertimbangkan baik dalam jangka pendek maupun kurun waktu yang lama. Selain functional expression yang kuat mempengaruhi fasad, ada kesamaan lain, yakni Whiteness yang kerap melekat sebagai warna permukaan bangunan. Meskipun putih dianggap sebagai warna netral, bagi Wigley (1995) tidak. Dianalogikan sebagai fashion, putih dinilai sebagai pakaian yang dikenakan bangunan di era arsitektur modern. Fashion dapat berganti sewaktu-waktu, sedangkan arsitektur semestinya timeless. Saya menduga bahwa, pengalaman berarsitektur membuat whiteness dan gagasan menyederhanakan dijadikan sebagai “default setting” dan fashion secara tidak sadar dan berulang diterapkan pada karya-karya lain kedua arsitek. Fasad bangunan juga bermanfaat sebagai media first impression dari sebuah desain. Hal tersebut memicu kecenderungan untuk memilih desain atas dasar kesadaran masing-masing arsitek. Kesadaran tersebut menjelma dalam bentuk ego dan pencitraan. Tujuannya beragam dan belum diketahui oleh Saya secara pasti karena bersifat kualitatif dan relatif. Kembali saya meminjam istilah Josef Prijotomo (2012), ada sikap dan mindset anti-kuno, anti-tradisi, dan anti-ndeso, yang perlahan tapi pasti menggeser kesadaran nilai-nilai kontekstual atau critical regionalism. Jika ditempatkan pada kondisi saat ini, sikap anti-tertinggal atau anti-terbelakang mungkin lebih sesuai terhadap kecepatan revolusi informasi. Bukan menjadi perkara benar atau salah, tepat atau keliru, melainkan adanya semacam permainan aksi-reaksi di sini. Aksi dipelopori oleh desain sang arsitek dan klien atau bermula dari gagasan (ideas). Sedangkan reaksi ditimbulkan setelah desain (design) terbangun dan ditangkap experience of appearances-nya baik oleh klien dan lingkungannya. Pertentangan akan selalu hadir, tak ada yang bisa disalahkan, mengingat tak ada aturan dan hukum baku bagaimana semestinya menganut style arsitektur tertentu. Dampak atau efek yang ditimbulkan dari fasad rumah bermuka tembok juga beragam. Reaksi itu merupakan konsekuensi yang mesti dipertanggungjawabkan kembali oleh arsitek dan klien. Dampak yang mungkin terjadi dalam jangka panjang antara lain fasad menonjolkan kualitas individual seperti halnya kehidupan berkota,
kemerosotan community value dan renggangnya penghuni terhadap
social structure setempat.
Critical Regionalism..., Angga Aditianto, FT UI, 2013
Saran Peristiwa aksi-reaksi pada rancangan fasad semestinya ditanggapi oleh perancang dengan bijak. Dampak yang dihasilkan pada suatu desain tidak sedikit dan tidak boleh dianggap sepele. Salah satu caranya adalah dengan mengandalkan kepekaan terhadap aspek apa pun dalam konteks. Perancang semestinya mempelajari dengan baik apa yang terjadi di masa lalu dan apa yang akan terjadi di masa mendatang pada suatu kawasan. Ada pun membangun interaksi dengan masyarakat dan lingkungan menjadi sarana agar arsitektur dapat diterima semua pihak tanpa terjadi kesenjangan. Ketektonikan dari rancangan lokal juga penting sebagai bahan pembelajaran. Mendesain fasad rumah agaknya tidak perlu terlalu ekstrim dalam usaha mencapai simplifikasi. Dampak negatifnya cenderung lebih banyak. Selain secara tektonik belum tentu cocok dengan konteks tropis di Indonesia, fasad rumah bermuka tembok memiliki citra yang kurang ramah terhadap kondisi sosialnya. Kecuali, jika memang secara sadar menginginkan kualitas semacam itu dan berusaha memutus rantai terhadap kondisi sosial. Dalam proses pengerjaannya, masih banyak kekurangan dalam jurnal ini. Oleh sebab itu, masih banyak yang perlu ditekuni untuk mendapatkan jawaban yang lebih akurat. Pendalaman yang perlu dilakukan antara lain, mencari tahu dan membuktikan hubungan perkembangan rumah berfasad tembok terhadap arsitektur modern serta memastikan perkembangan sejarah arsitektur di Indonesia. Upaya lain seperti penambahan jumlah studi kasus juga patut dipertimbangkan. Pemilihan studi kasus dapat diukur dari segi usia dan generasi perancang yang berbeda, sehingga dapat menjabarkan kerangka berpikir arsitek pada zamannya. Mengangkat studi kasus dari kawasan lain di Jakarta, dan hubungannya dengan neighborhood setempat. Di samping itu, disarankan untuk mencari asal-usul gagasan rumah berfasad tembok seperti melihat pada beberapa negara lain, yang juga dilanda fenomena serupa. Setelah itu, diharapkan muncul gagasan lain yang bertindak sebagai penengah antara arsitektur modern, critical regionalism, serta bagaimana semestinya merancang fasad.
Daftar Referensi (2009, 8 21). Dipetik 3 15, 2013, dari http://www.archdaily.com/: http://www.archdaily.com/32509/muted-‐house-‐aboday-‐architects/ (2010, 10 29). Dipetik 3 15, 2013, dari http://www.archdaily.com/: http://www.archdaily.com/85037/kiris-‐house-‐atelier-‐riri/
Critical Regionalism..., Angga Aditianto, FT UI, 2013
Architects, A. (2011). Dipetik 3 18, 2013, dari www.aboday.com: http://www.aboday.com/ Armand, A., Hutama, D., & Hartanto, R. (2013). Studio Talk: Home. Jakarta: Gramedia. Bragdon, C. (1928). The New Image: New York. Brolin, B. C. (1976). The Failure of Modern Architecture. Van Nostrand Reinhold Company. Forty, A. (2000). Words and Building. London: Thames & Hudson Ltd. Frampton, K. (1987). Ten Points on an Architecture of Regionalism: A Provisional Polemic. New Regionalism , 20-‐27. Frampton, K. (1983). Towards a Critical Regionalism:Six Points for Architecture Resistance. The Anti-‐ Aesthetics: Essays on Postmodern Culture , 16-‐30. Hastarika, G. (2012, 1 9). Dipetik 5 22, 2013, dari http://gitahastarika.wordpress.com: http://gitahastarika.wordpress.com/2012/01/09/kehangatan-‐dalam-‐keheningan/ Heynen, H. (2001). Architecture and Modernity. London: MIT Press. Indonesia, P. D. (2007 ). Tegang Bentang. Jakarta: Gramedia. Indra, A. (2013, 4 24). Proses desain dan Fasad Muted House beserta karya Aboday lainnya. (A. Aditianto, Pewawancara) Kusno, A. (2012). Zaman Baru dan Generasi Modernis: Sebuah catatan Arsitektur. Yogyakarta: Penerbit Ombak (Anggota IKAPI). Leatherbarrow, D., & Mostafavi, M. (2002). Surface Architecture. London: MIT Press. Riri, A. (2011). Dipetik 3 21, 2013, dari www.atelierriri.com: http://www.atelierriri.com/ Salira, P. (2010). Arsitektur yang membodohkan. Bandung: CSS Publishing. Terragni, G. (2003). Transformation Decomposition Critiques Peter Eisenman. New York: The Monacelli Press Inc. Wigley, M. (1995). White Walls Designer Dresses: The Fashioning of Architecture. Cambridge, Mass: MIT Press. Yakub, N. (2013, 5 6). Proses desain dan Fasad Muted House beserta karya Atelier Riri lainnya . (A. Aditianto, Pewawancara)
Critical Regionalism..., Angga Aditianto, FT UI, 2013