CONCENTRATION ESTIMATE ALGORITHM MODEL KLOROFIL-A BASED ON SATELLITE IMAGE DATA LANDSAT TM FOR LOCATION MAPPING FISHING GRAUND AT MADURA 1)
1)
Firman Farid Muhsoni , Mahfud Efendy , Haryo Triajie 1)
1)
Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura Abstract
The problems faced in using of fishery resources are the difficulties in determining of the right fishing ground. Aim of this research is to analize the use of remote sensing for determining of the fishing ground, the result of catch production (CpUE) with some construct parameters of fishing ground for a model stability, to study some factors give dominant effect through the fishery growth and production. Method to make the map of surface temperature dispersion and chlorophyll of extract of landsat remote sensing ETM+ and ASTER. The interpretation of chlorophyll-a uses Motoaki and Kashino algorithm (1998). The fishing ground is gained by doing modeling by scoring and weighting, the accuracy test with RMSE method. The status of fishery usage is gained with holistic approach method (Production/Surplus model). The analysis of surface temperature of 0 0 landsat remote sensing produces temperature 26,24 C - 24,1 C. In ASTER remote sensing the 0 0 research produces some temperatures are 25,2-30,1 C (in band 10), 27-31,8 C (in band 11), 27,80 0 32,7 C (in band 12), 25-29,5 C (in band 13), and 21,8-26,4 0C (in band 14). The results of chlorophyll dispersion of Landsat remote sensing ETM+ are 0,23 mg/m3-4,7 mg/m3 (using algorithm-1), 0,15 mg/m3-3,15 mg/m3 (using algorithm-2). In ASTER remote sensing gains 0,07 – 1,09 mg/l (using algorithm-1), 0,06 -0,78 mg/l (using algorithm-2). The result of surface temperature by ASTER remote sensing is more accurate. Accuracy test of chlorophyll-a shows that Landset remote sensing is more accurate. Pelagic fishery CPUE 0.5126 ton/trip, experiences over fishing. The demersal fishery CPUE 0.1557 ton/trip tends to experience an over fishing. The fisherman density is around 9 people in 1 km2 in Madura strait. The boat density is 2 boats in 1 km2 in 0-12 mill. The productivity of sea reaches 12.73 ton/km2/year. The revenue per km2 is around Rp 125.5 million per year and each fisherman gains around Rp 14.1 million per person per year. Keywords: remote sensing, fishing ground, fisherman density, boat density, madura trait. 1. Pendahuluan Penginderaan jauh dan SIG merupakan salah satu upaya untuk memperoleh informasi tentang potensi wilayah pesisir dan lautan, dengan metode pendekatan tertentu akan dapat memetakan zona potensi penangkapan ikan dalam bentuk informasi spasial. Oleh karena itu, diperlukan penelitian tentang penentuan daerah fishing ground dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh yang mempunyai tingkat akurasi dan presisi yang tinggi dalam penentuan sebaran produktivitas primer perairan sebagai tempat fish schooling. Permasalahan yang dihadapi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan laut adalah sulitnya menentukan daerah penangkapan yang tepat. Selama ini nelayan masih menggunakan cara konvensional dengan mengandalkan pancaindra semata, cara coba-coba atau berdasarkan atas kebiasaan menangkap di daerah tersebut. 2. Studi Pustaka Berdasarkan penelitian yang pernah dicapai Syah (2004) diperoleh hubungan yang sangat erat antara klorofil-a in situ dengan data klorofil-a dari spektroradiometer. Penentuan kanal spektroradiometer dalam mendeteksi sebaran klorofil-a perlu dilakukan secara tepat dengan memperhatikan absorbsi klorofil-a yang ada diperairan. Penelitian Risdianto (1995) mengenai hubungan antara Konsentrasi Klorofil-a berdasarkan Data Landsaat TM untuk Pemetaan Horisontal Produksi Primer di Perairan Selatan Jawa-Barat menunjukkan adanya hubungan yang erat antara keduanya. Penelitian tersebut menggunakan kanal biru (450 – 520 nm) dan kanal merah (630 – 690 nm) dari citra Landsat TM, karena panjang gelombang radiasi elektromagnetik yang dapat diindera oleh kedua kanal tersebut memiliki
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 17 Desember 2009
A - 61
hubungan erat terbaik dengan [Chl-a] yang akan diamati (Rolf, 2004). Lillesand dan Kiefer (1990) dan Rachman (2003) menjelaskan bahwa penyerapan klorofil-a berpusat pada panjang gelombang 450 nm dan panjang gelombang 650 nm. Kusuma (2004) mendapatkan hasil bahwa citra Landsat ETM+ dapat digunakan untuk penentuan zona penangkapan ikan. Penentuan zona penangkapan ikan didapatkan dengan mencari hubungan antara suhu permukaan laut dengan klorofil hasil ekstraksi dari citra satelit Landsat ETM+. Sedangkan Wattimury (1998) mencari varibilitas dan hubungan spasial temporal suhu permukaan laut, indeks klorofil, thermal front, area umbalan dan CpUE dengan menggunakan citra NOAA-14/AVHRR dan mendapatkan hasil adanya korelasi antara faktor tersebut dengan lokasi penangkapan ikan. Paena (2002) mencari daerah penangkapan ikan pelagis di perairan Selat Makasar dengan menggunakan citra NOAA-AVHRR dan Citra Landsat TM 3. Tujuan Penelitian a. Menganalisis penggunaan citra satelit lain untuk penentuan daerah penangkapan ikan b. Pengujian variabel produksi hasil tangkap (CpUE) dengan parameter penyusun daerah penangkapan ikan untuk pemantapan model c. Menelaah berbagai faktor yang memberikan dampak dominan terhadap pertumbuhan dan produsi perikanan 4. Metode Penelitian 4.1 Alur Penelitian Citra Satelit ASTER
Citra Satelit Landsat ETM+
Perbandingan AnalisisKlorofil ,SPL
Peta Sebaran Klorofil
Data Sekunder
Data lapang
salinitas, kecerahan, pH perairan, suhu, klorofil-a
Peta Sebara n SPL
Peta Sebara n salinita s
Data produksi tangkap &CpUE
Peta Kecerahan
Peta Sebara n pH
Peta kelimpahan potensi
CpUE dan Status Pemanfaatan perikanan
PETA POTENSI LOKASI DAERAH PENANGKAPAN IKAN Uji Lapang Produksi
Lokasi daerah penangkapan ikan
Publikasi
Gambar 1. Alur Penelitian Ekstraksi Suhu Permukaan Laut dari Citra Landsat Menggunakan saluran termal (Band 6B) pada citra Landsat ETM. Langkah pertama yaitu menentukan nilai radiansi spektral yang diperoleh berdasarkan formulasi sebagai berikut :
L( ) Lmin( )
( Lmax( ) Lmin( ) ) Qcal max
Qcal
L() = radiansi spektral yang diterima oleh sensor untuk piksel yang dianalisis -2 -1 -2 Lmin() = radiansi spektral minimum (mWcm sr m ) -2 -1 -2 Lmax( = radiansi spektral maksimum (mWcm sr m )
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 17 Desember 2009
A - 62
Qcalmax = nilai piksel maksimum (dalam hal ini 255) Qcal = nilai piksel yang dianalisis Nilai 255 dari Qcalmax didapat karena sensor bekerja dalam 8 bit Selanjutnya nilai temperatur radian setiap piksel dihitung berdasarkan nilai radiansi spektral dengan menggunakan persamaan berikut:
TR
K2 K ln 1 1 L
TR= temperatur radian (dalam °K) untuk piksel yang dianalisis -2 -1 -2 K1 = konstanta kalibrasi (mWcm sr m ) K2 = konstanta kalibrasi (Kelvin) L = radiansi spektral untuk piksel yang dianalisis Data di atas kemudian diperoleh temperatur kinetik, yang sesuai dengan nilai temperatur objek di bumi dengan pengukuran konvensional, dengan mengikuti formulasi sebagai berikut: 1/4 Tk=Tr/ TK = Temperatur kinetik objek di bumi, =Nilai emisivitas permukaan air laut yang dalam hal ini bernilai 0,98. Data di atas temperatur kinetik di konversikan dalam celcius (°C) dengan persamaan. TK(°C) = TK(°K)-273 Ekstraksi Suhu Permukaan Laut dari Citra ASTER Mengkonversi dari nilai digital (DN) ke radiance (radiansi spektral) pada citra ASTER,
Radiance L nilai DN 1 x Unit Koefisien Konversi Selanjutnya mentransformasikan nilai pancaran spektral ke dalam bentuk nilai temperatur radian (T rad) pada citra ASTER, dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Dash et al, 2002; Li et al, 2004; Schmugge et al, 2002 dalam Lu, 2005). C2 Trad C1 ln 1 5 C L Trad Lλ λC C1 C2
= Temperatur radian/temperatur kecerahan pada sensor (°Kelvin) -2 -1 -1 = Radiansi spektral (W m sr μm ) = Panjang gelombang dari radiasi terpancarkan (10,6 µm) -16 -2 -1 -1 = Konstanta radiasi pertama (3,74151 x 10 W m sr μm ) = Konstanta radiasi kedua (0,0143879 m.Kelvin)
Pada citra termal ASTER, nilai variasi temperatur permukaan/kinetik di permukaan bumi dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Artis et al, 1982 dalam Lu et. al, 2005).
TKin
Trad T 1 x rad ln
Keterangan : Tkin = Temperatur kinetik λ = Panjang gelombang dari radiasi terpancarkan (10,6 µm) ε = Emisivitas -2 ρ = h x c/σ (1,438 x 10 m . Kelvin) -23 -1 -34 dimana, σ = Konstanta Boltzman (1,38 x 10 J.K ), h = Konstanta Planck‟s (6,626 x 10 J.s), c = 8 -1 Kecepatan. cahaya (2,998 x 10 m.s )
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 17 Desember 2009
A - 63
Untuk mengubah satuan nilai temperatur digunakan persamaan sebagai berikut :
Temperatur C Temperatur K 273 Ekstraksi Klorofil. Interpretasi klorofil-a pada citra satelit Landsat ETM+ dan ASTER dilakukan pada band 1, band 2 dan band 3. Interpretasi klorofil-a menggunakan algoritma dari Motoaki Kashino, et. al (1998), dengn persamaan seperti dibawah ini:
L L5 algoritma 1 : Chl 0.2818 4 L 3
L algoritma 2 : Chl 3.094 3 L4
3.497
4.854
Uji Akurasi Hasil Ekstraksi Citra. Setelah model diperoleh diadakan pengujian produksi dengan daerah penangkapan ikan. Uji analisis menggunakan RMSE. RMSE mencerminkan perbedaan antara nilai data lapang dengan nilai hasil ekstraksi citra satelit.
RMSE
z
zj
2
i
n
Zi = cek poin koordinat ketinggian pada dataset Zj = cek poin koordinat ketinggian pada pengukuran lapang n = total cek poin Pemodelan Penentuan Daerah Penangkapan Ikan Pemodelan penentuan daerah penangkapan ikana dilakukan dengan tahapan : Tabel 1. Klasifikasi untuk Model Pembobotan Kesesuaian Daerah Penangkapan Ikan
Parameter
Sesuai (S2)
Tidak Sesuai (S3)
Kriteria
Skor
Kriteria
Skor
10
25<S227
9
S325 S3>29
8
S1>4
5
0,7<S24
4
S30,7
3
Skor
27<S129
Klorofil
4
Kriteria
Suhu permukaan Laut
5
bobot
Sangat sesuai (S1)
a. Penentuan daerah potensi, penentuan daerah potensi ini didasarkan pada skor total tertinggi sampai total skor terendah dimana juga dibagi menjadi 3 kelas.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 17 Desember 2009
A - 64
Tabel 2. Pembagian Kriteria berdasarkan skor Kriteria Tidak Sesuai
Sesuai
Sangat sesuai
<59
59-64
>64
Skor
Analisis Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Equilibrium model Menurut model ini, bahwa hasil tangkap mempunyai hubungan linier negatif, yaitu : CpUE = a –b f 2 Upaya penangkapan optimum (fopt) = a / 2b, Maksimum Sustainable Yield (YMSY)= a / 4b Non-equilibrium state model Untuk mengestimasi stok beberapa tahun kedepan dapat menggunakan persamaan regresi multi linier, maka dapat diketahui persamaan (Wiadnya D.G.R. et al, 1993) : 2 (Ut+1 – Ut) = r * Ut – (r/ (k*q)) * Ut – q*Ut*Et Ce= (r*k) / 4 (penangkapan optimum) Ee = r/ (2*q) (Effort optimum) Ue= (q*k) / 2 (CpUE optimum) Pe = k / 2 (stok biomas pada kondisi keseimbangan) 5. Hasil dan Pembahasan Peta Sebaran Kualitas Perairan
Gambar 2. Peta Sebaran Salinitas di perairan Selat Madura (sumber: hasil analisis data lapang)
Peta sebaran salinitas perairan di Selat Madura dapat dilihat pada gambar 2. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada perairan Selat Madura salinitas terendah sebesar 27 ppm dan salinitas tertinggi sebesar 46 ppm. Salinitas tinggi terdapat pada daerah sekitar pulau Madura. Sedangkan salinitas rendah ada pada sekitar pantai Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 17 Desember 2009
A - 65
Gambar 3. Peta Sebaran pH di perairan Selat Madura (sumber: hasil analisis data lapang)
Sebaran pH pada gambar 3 menunjukkan bahwa pH pada perairan Selat Madura hanya berkisar antara 8 dan 9. Kecerahan pada perairan selat Madura hanya berkisar antara 0-2 m. Kecerahan terendah ada pada wilayah perairan selat antara Surabaya dan Bangkalan. Hal ini bisa disebabkan karena daerah ini merupakan area transportasi penyebrangan antar pulau. Sehingga pada perairan ini perairan lebih cenderung keruh (gámbar 4).
Gambar 4. Peta Sebaran Kecerahan di perairan Selat Madura (sumber: hasil analisis data lapang) Ekstraksi Suhu Permukaan Air laut dari Citra Landsat ETM+ Saluran 6B. Hasil analisis suhu permukaan laut dari citra Landsat tanggal 23 Agustus 2002 mendapatkan suhu 0 0 optimum pada 26,24 C. Sedangkan suhu minimal rata-rata pada 24,1 C sedangkan suhu tertinggi 0 rata-rata pada 27,3 C (gambar 5)
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 17 Desember 2009
A - 66
. Gambar 5.Peta Sebaran Suhu permukaan di perairan Selat Madura tanggal 23 Agustus 2002 hasil ekstraksi citra satelit Ladsat (sumber: hasil analisis citra)
Ekstraksi Suhu Permukaan Air Laut dari Citra ASTER 0
Pada ASTER band 10 mendapatkan hasil interpretasi suhu antara 25,2-30,1 C, dengan rata-rata 0 0 suhu pada 27,6 C dan mayoritas suhu pada 26,6 C dengan pixel sebanyak 16.210. Pada Band 0 0 11 mendapatkana suhu berkisar antara 27-31,8 C, dengan rata-rata suhu 29,4 C dan mayoritas 0 suhu pada 29,2 C dengan pixel sebanyak 15.248. Band 12 mendapatkan suhu berkisar antara 0 0 0 27,8-32,7 C, dengan rata-rata suhu 30,3 C dan mayoritas suhu pada 30,1 C dengan pixel 0 sebanyak 14570. Band 13 mendapatkan suhu berkisar antara 25-29,5 C, dengan rata-rata suhu 0 0 27,2 C dan mayoritas suhu pada 27,3 C dengan jumlah pixel sebanyak 14451. Band 14 0 mendapatkan suhu berkisar antara 21,8-26,4 0C, dengan rata-rata suhu 24,1 C dan mayoritas 0 suhu pada 24 C dengan jumlah pixel sebanyak 13053. Peta hasil interpretasi suhu permukaan dapat dilihat pada gambar 6.
Gambar 6.
Peta hasil analisis citra ASTER Suhu Permukaan Laut pada Band 10, Band 11, Band 12, Band 13 dan Band 14.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 17 Desember 2009
A - 67
Ektrasi Klorofil-a dari Citra Satelit Ekstraksi Klorofil-a dari Citra Landsat ETM+ Hasil ini menunjukkan rata-rata kandungan klorofil-a untuk ektraksi menggunakan algoritma-1 sebesar 0,47 mg/m3. Sedangkan nilai minimum klorofil pada 0,23 mg/m3 dan maksimum pada 4,7 mg/m3. Sedangkan ekstraksi menggunakan algoritma-2 menunjukkan rata-rata sebaran klorofil-a adalah 0,29 mg/m3, nilai mínimum 0,15 mg/m3 dan nilai maksimum mencapai 3,15 mg/m3.
(a)
(b) Gambar 7. Peta Sebaran Klorofil-a di perairan Selat Madura tanggal 23 Agustus 2002 hasil ekstraksi citra satelit Ladsat (a) menggunakan algoritma 1 dan (b) menggunakan algoritma 2 (sumber: hasil analisis citra)
Tabel 3. Statistik hasil analisis klorofil-a pada citra Landsat ETM+ dengan menggunakan algoritma 1 dan 2 (dengan satuan mg/m3) Algoritma 1 (mg/m3)
Algoritma 2 (mg/m3)
Minimum
0.23
0.15
Maximum
4.7
3.15
Standard Deviation
0.25
0.29
Mean
0.47
0.44
Sumber: hasil pengolahan
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 17 Desember 2009
A - 68
Ekstraksi Klorifil-a pada Citra ASTER Hasil interpretasi mendapatkan untuk citra ASTER dengan menggunakan algoritma 1 mendapatkan nilai klorofil-a berkisar antara 0,07 – 1,09 mg/l dengan rata-rata sebesar 0.06 mg/l. Sedangkan dengan menggunakan algoritma 2 berkisar antara 0,06 -0,78 mg/l dengan rata-rata 0,17 mg/l. Tabel 4. Statistik hasil analisis klorofil-a pada citra ASTER dengan menggunakan algoritma 1 dan 2 (dengan satuan mg/m3)
ASTER (1) algoritma 1
ASTER (2) algoritma 2
Minimum
0.07
0.06
Maximum
1.09
0.78
Standard Deviation
0.06
0.07
Mean
0.18
0.17
Sumber: hasil pengolahan Citra hasil analisis klorofil-a dapat dilihat pada Gambar 8
Gambar 8.Peta hasil analisis citra ASTER Klorofil menggunakan algoritma 1 (atas) dan menggunakan algoritma 2 (bawah) yang berbeda.
Uji Akurasi Parameter Penentu Model Daerah Penangkapan Ikan Uji Akurasi Suhu Permukaan Air Hasil uji mendapatkan bahwa untuk suhu permukaan laut citra ASTER lebih akurat dibandingkan dengan citra Landsat ETM+ (RMS 5,62). Sedangkan untuk citra ASTER mendapatkan nilai 5,01 untuk band 10, dan 3,53 untuk band 11, dan 2,86 untuk band 12, dan 5,46 untuk band 13 dan 14. Untuk citra ASTER perbandingan antara band menunjukkan bahwa band 12 mempunyai nilai RMS Error terkecil. Ini menunjukkan bahwa band 12 pada citra ASTER menghasilkan ekstraksi Suhu permukaan laut paling baik.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 17 Desember 2009
A - 69
Uji Akurasi Klorofil-a Hasil uji akurasi dengan menghitung RMS Error mendapatkan hasil baik pada citra ASTER dan Landsat ETM+ algoritma 2 Nilai RMS Error untuk algoritma-2 pada citra ASTER sebesar 1,4679, sedangkan untuk citra Landsat sebesar 1,0329. Nilai RMS Error untuk algoritma-1 pada citra ASTER sebesar 1,4925, sedangkan untuk citra Landsat sebesar 1,0631. Citra Landsat lebih akurat dibandingkan dengan citra ASTER. Hal ini bisa disebabkan karena pada citra Landsat mempunyai band biru dengan panjang gelombang 0,45-0,52 µm yang sangat sesui depergunakan dalam interpretasi di daerah peraira. Pemodelan untuk Pendugaan Daerah Penangkapan Ikan (Fishing Ground) Tabel 5. Luas Fishing Ground hasil pemodelan dari citra satelit Landsat ETM+.
No
Kelas
Luas (Ha)
%
1
Sangat Sesuai
1821.03
16.44
2
Sesuai
5276.12
47.62
3
Tidak Sesuai
3982.27
35.94
11079.42
100.00
Peta ini dianalisis dari citra satelit Landsat tanggal 23 Agustus 2002. Hasil dari pemodelan tersebut mendapatkan 16,44% (1.821,03 Ha) wilayah perairan Selat Madura sangat sesuai untuk daerah penangkapan. Daerah yang sangat sesuai hanya terdapat di wilayah pesisir Kabupaten Pasuruan dan Sidoarjo. Daerah penangkapan ikan yang sesuai mencapai 47,62% (5.276,12 Ha). Daerah yang sesuai terdapat di wilayah Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep, serta Kabupaten Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan dan sebagian Probolinggo. Sedangkan untuk daerah yang tidak sesuai nampak mencapai 35,94% (3.982,27 Ha). Daerah yang tidak sesuai ada di wilayah bagian tengah perairan Selat Maduradan pesisir Probolinggo dan Situbondo. Tabel 6. Luas Fishing Ground hasil pemodelan dari citra satelit ASTER.
No
Kelas 1
Sangat Sesuai
2 3
Luas (Ha)
%
0.06
0.02
Sesuai
152.89
52.59
Tidak Sesuai
137.76
47.39
Total
290.71
100.00
Cakupan area yang dipergunakan dalam penelitian ini untuk wilayah selat Madura mencapai 290,71 ha. Hasil pemodelan mendapatkan luas fishing ground yang sangat sesuai hanya mencapai 0,02% (0,06 Ha). Luas fishing Ground yang sesuai mencapai 52,59% (152,89 Ha). Daerah yang sesuai untuk daerah penangkapan terdapat di wilayah Kabupaten Gresik dan Surabaya serta Bangkalan, serta ada sebagian di wilayah tengat Pasuruan. Sedangkan daerah yang tidak sesuai mencapai 47,39% (137,71 Ha). Daerah yang tidak sesuai initerdapat didaerah Surabaya, Sidoarjo dan Pasuruan.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 17 Desember 2009
A - 70
Gambar 9. Peta Daerah Penangkapan Ikan di perairan Selat Madura tanggal 23 Agustus 2002 hasil ekstraksi citra satelit Ladsat ETM+(sumber: hasil analisis citra)
Gambar 10. Peta Daerah Penangkapan Ikan di perairan Selat Madura tanggal 2 Juli 2006 hasil ekstraksi citra satelit ASTER (sumber: hasil analisis citra)
Status Pemanfaatan Perikanan Pelagis di Wilayah Perairan Selat Madura Sehingga dapat disimpulkan jumlah effort optimal (Eopt) bagi perikanan pelagis di perairan Selat Madura setara 167667.00 trip per tahun. Sedangkan total hasil tangkapan pada kondisi keseimbangan (Cmsy) dicapai pada 85951.73 ton per tahun, maka CPUE untuk perikanan pelagis 0.5126 ton/trip (table 7) Tabel 7. Status Pemanfaatan Area Sealt Madura Ikan Pelagis/Permukaan
Model
E opt (trip)
C opt (ton)
U opt (ton/trip)
Schaefer
167667.00
85951.73
0.5126
Fox
85951.73
101420.16
0.9673
Sumber : hasil analisis Indikasi over fishing perikanan pelagis di perairan Selat Madura terjadi ada tahun 2005 dan 2006. kemudian terjadi penurunan hasil tangkap pada tahun terakhir . Perikanan Demersal pada Wilayah Perairan Selat Madura Model Scaefer menunjukkan model yang sesuai karena membentuk grafik parabolik. Sehingga dapat disimpulkan jumlah effort optimal (Eopt) bagi perikanan demersal di perairan Selat Madura setara 176858.86 trip per tahun. Sedangkan total hasil tangkapan pada kondisi keseimbangan (Cmsy) dicapai pada 27543.41 ton per tahun, maka CPUE untuk perikanan demersal 0.1557 ton/trip (tabel 8)
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 17 Desember 2009
A - 71
Tabel 8. Status Pemanfaatan Area Selat Madura Ikan Demersal
Model
E opt (trip)
C opt (ton)
U opt (ton/trip)
Schaefer
176858.86
27543.41
0.1557
Fox
27543.41
29045.80
0.2202
Sumber : hasil analisis Potensi dan Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan laut di Perairan Selat Madura. Tabel 9. Potensi, Produksi dan Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan
No
Pelagis 1
Luas (km2)
2
Densitas (ton/km2)
3
Demersal
92926.00
92926.00
0.97
0.32
Potensi (ton/tahun)
85951.73
27543.41
4
Produksi (ton)
90463.87
30005.39
5
Tingkat Pemanfaatan (%)
105.25
108.94
Kepadatan Nelayan Berdasarkan Luas Wilayah 12 mil Tabel 10. Kepadatan nelayan berdasarkan luas wilayah Selat madura
NO
KEPADATAN NELAYAN
Selat Madura
1
Jumlah RTP (orang)
19702
2
Jumlah RTBP (orang)
59303
3
Ratio RTBP/RTP
4
Jumlah nelayan (orang)
79004.9
5
Kepadatan RTP 2 (or/km )
2.23
6
Kepadatan RTBP 2 (or/km )
6.70
7
Kepadatan 2 nelayan (or/km )
8.92
8
Luas perairan Selat madura(km2)
3.01
8852.87
Keterangan: RTP = Rumah Tangga Perikanan RTBP = Rumah Tangga Buruh Perikanan Sumber : Peta dasar BAKOSURTANAL, statistik perikanan JATIM (2007)
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 17 Desember 2009
A - 72
Kepadatan Armada Perikanan Berdasarkan Luas Wilayah 12 mil Tabel 11. Kepadatan armada penangkapan ikan berdasarkan luas wilayah perairan di Jawa Timur
No
Selat Madura
1
Perahu tanpa motor (unit)
3309.7
2
Motor tempel (unit)
13701.2
3
Kapal motor (unit)
4
Total armada (unit)
5
Kepadatan armada:
2096.4 19107.3
Armada 4 mil 2 (unit/km )
4.6
Armada 4 – 12 mil 2 (unit/km )
4.6
Armada 12 mil 2 (unit/km )
2.3
Luas 0-4 mil (km2)
4178.5
Luas 4-12 mil (km2)
4194.4
Luas 0-12 mil (km2)
8372.9
Luas Selat Madura (km2)
8854.2
Poduktifitas (Hasil tangkapan) Tabel 12. Produktifitas hasil tangkapan ikan berdasarkan luas wilayah perairan di Jawa Timur
NO
PRODUKTIFITAS
Selat Madura
1
Total produksi (ton)
112705.22
2
Produksi per area (ton/ha/th)
12.73
3
Produksi nelayan (ton/or/th)
1.43
Penerimaan Nelayan Tabel 13. Produktifitas perairan dan nelayan berdasarkan nilai penerimaan pada tiga wilayah perairan di Jawa Timur
NO
PENERIMAAN NELAYAN
Selat Madura
1
Total penerimaan (x Rp. 1 juta)
1111253.2
2
Luas perairan (km2)
8854.2
3
Jumlah nelayan (orang)
4
Produktifitas (xRp1juta/km2)
5
Produktifitas (xRp 1 juta/nelayan)
79004.9 125.5 14.1
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 17 Desember 2009
A - 73
Kesimpulan 0
0
1. Hasil analisis suhu permukaan laut dari citra Landsat mendapatkan suhu 26,24 C - 24,1 C. 0 Pada citra ASTER mendapatkan pada band 10 antara 25,2-30,1 C, Band 11 antara 27-31,8 0 0 0 C, Band 12 antara 27,8-32,7 C, Band 13 antara 25-29,5 C, Band 14 antara 21,8-26,4 0C. Hasil ekstraksi sebaran klorofil dari citra satelit Landsat ETM+ menggunakan algoritma-1 0,23 mg/m3-4,7 mg/m3, algoritma-2 0,15 mg/m3-3,15 mg/m3. Pada citra ASTER menggunakan algoritma 1 mendapatkan 0,07 – 1,09 mg/l, algoritma 2 0,06 -0,78 mg/l. Hasil uji mendapatkan bahwa untuk suhu permukaan laut citra ASTER band 12 lebih akurat dibandingkan dengan citra Landsat ETM+. Uji akurasi klorofil-a menunjukkan citra Landsat lebih akurat dibandingkan dengan citra ASTER. 2. Perikanan pelagis CPUE 0.5126 ton/trip, terjadi indikasi over fishing. Perikanan demersal CPUE 0.1557 ton/trip cenderung mengalami over fishing. 3. Potensi dan tingkat pemanfaatan menunjukkan bahwa untuk kelompok sumberdaya ikan pelagis 2 dan demersal telah terjadi kelebihan tangkap. Kepadatan nelayan dalam 1 km di perairan Selat Madura rata-rata terdapat 9 orang nelayan yang mengeksploitasi perairan yang sama. Ratio antara jumlah RTBP terhadap RTP mencapai 3. Kepadatan armada pada area 0-12 mil 2 menunjukkan bahwa dalam area satu km diakses oleh lebih dari 2 nelayan. Produktifitas 2 perairan laut mencapai 12,73 ton/km2/tahun. Penerimaan hasil tangkapan per area km mencapai Rp.125,5 juta per tahun dan setiap nelayan menerima rata-rata Rp. 14,1 juta per orang per tahun. 1.1. Saran Agar peta yang dihasilkan dapat optimal perlu dicarai peta perubahan daerah penangkapan ikan tiap bulan dalam satu musim, untuk mendapatkan peta ini perlu dilakukan ekstraksi citra satelit tiap bulan selama satu musim. Sehingga akan didapatkan peta perubahan suhu permukaan laut dan sebaran klorofil-a tiap bulan selama satu musim. Daftar Pustaka [1] Kusuma, D.W. 2004. Pemanfaatan Citra Landsat ETM+ untuk Penentuan Zone Penangkapan Ikan. Program Studi penginderaan jauh Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Jogjakarta. [2] Lillesand, T. M., and F. W. Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Alih Bahasa : Duhari dkk. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 725 halaman [3] Lu, Dengsheng; Qiaho Weng. 2005. Spectral Mixture Analysis of ASTER Images forExamining The RelationshipBetween Urban Thermal Features and Biophysical Descriptor in Indianapolis, Indiana, USA. Http://www..sciencedirect.com. Diakses tanggal 13 April 2008 pukul 15.00 WIB. [4] Motoaki Kishino, Takashi Ishimaru, Ken Furuya, Tomohiko Oishi, Kiyoshi Kawasaki. 1998. In-Water Algorithms for ADEOS/OCTS. Journal of Oceanography, Vol. 54, pp. 431 to 436. 1998. [5] Panea, M. 2002. PemanfaatanTeknik Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis untuk Menentukan Daerah Penangkapan Ikan Pelagis Kecil di Perairan SelatMakassar. Program Studi penginderaan jauh Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Jogjakarta. [6] Rachman, G. 2003. Ekstraksi Informasi temperatur Kinetik Tanaman Padi Berdasarkan Citra Satelit Landsat ETM+ Saluran 6 (thermal). Fakultas Geografi, UGM, Yogyakarta. [7] Risdianto, R. K. 1995. Algoritma Pendugaan Konsentrasi Klorofil-a Berdasarkan Data Landsaat TM untuk Pemetaan Horisontal Produksi Primer di Perairan Selatan Jawa-Barat. Fakultas Perikanan. IPB. Bogor. 106 halaman [8] Rolf A. 2004. Principles of Remote Sensing and Geographic Information System. ITC. Enschede. The netherlands. [9] Syah, F. A. 2004. Model Hubungan Antara Karakter Spektral (Reflektansi) Klorofil-A dan Konsentrasinya diperairan Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu. Jurusan Ilmu Kelautan. FPIK. IPB. Bogor. 75 halaman. [10] Wattimury, S.V. 1998. Penentuan Zona Konsentrasi Ikan Cakalang dan mandidihang di Perairan Ambon dan Sekitarnya menggunakan Data NOAA/AVHRR dan Sistem Informasi Geografis, Program Studi Penginderaan jauh, Program Pasca Sarjana
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 17 Desember 2009
A - 74