Coklat Stroberi: Satu Roman Indonesia dalam Tiga Rasa1 Ben Murtagh Abstrak: Artikel ini memfokuskan pada film Indonesia tahun 2007 berjudul Coklat Stroberi serta novel adaptasi dan video pop yang menyertainya. Novelnya, ditulis oleh Christian Simamora, dibuat berdasarkan skenario filmnya. Lagu ‘Di sini Untukmu’ ditulis khusus untuk film ini, di mana band Ungu membuat penampilan cameo, sementara video popnya menampilkan banyak adegan dari film tersebut. Meskipun dalam tahun- tahun terakhir, beberapa film Indonesia menampilkan karakter gay, film ini penting karena menampilkan hubungan gay* pada pusat komedi romantis, yang jelas ditujukan pada penonton muda (17-25 tahun). Coklat Stroberi tidak dapat disangkal berusaha menunjukkan hubungan sesama jenis dalam dalam pandangan progresif. Namun, representasi dari karakter dan akhir film menggarisbawahi sikap ambivalen terhadap homoseksualitas yang umum dijumpai dalam film-film Indonesia. Artikel ini memusatkan perhatian pada ketidakpadanan yang tampak dalam imajinasi filmis mengenai karakter gay dan realita kehidupan gay sebagaimana terjadi di Indonesia saat ini. Kata kunci: homoseksualitas, sinema Indonesia, sastra Indonesia, Indonesia. Pendahuluan Sejak periode sekitar jatuhnya Orde Baru dan revitalisasi in1 Untuk diskusi awal singkat dari film ini, lihat Murtagh (2008). * Keterangan penerjemah: Dalam artikel aslinya, penulis dengan merujuk pada pendekatan Boellstorff (2005), secara konsisten membedakan konsep gay, lesbian dan waria sebagai subjek lokal Indonesia (yang dalam artikel aslinya ditulis dengan huruf miring, sedangkan dalam artikel ini tidak) sebagai berbeda dengan gay dan lesbian sebagai subjek global atau Barat (yang dalam versi aslinya tidak dimiringkan hurufnya, sebaliknya dalam artikel ini dimiringkan).
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
45
Ben Murtagh dustri film Indonesia, beberapa film telah menampilkan karakter gay. Kuldesak (sutradara Nan Triveni Achnas, Mira Lesmana, Rizal Mantovani dan Riri Riza, 1999), yang dipandang sebagai film yang menandai penghidupan kembali sinema Indonesia (van Heeren 2002), menampilkan alur cerita gay (Clark 2004), dan Arisan! (Nia Dinata, 2003), menampilkan alur cerita khusus mengenai kisah roman antara dua laki-laki dari kalangan elit Jakarta. Semenjak itu, jumlah film yang menampilkan karakter gay kemudian berkembang. Naiknya unsur seksualitas non-normatif dalam sinema Indonesia ini bisa dipahami sebagai respon terhadap kemunculan posisi subjek gay dan lesbian di Indonesia, suatu proses yang telah mulai sejak tahun 1970-an (Boellstorff 2005). Ketertarikan media massa terhadap seksualitas alternatif telah terdokumentasikan semenjak tahun 1980, namun baru setelah pertengahan 1990-an, dan “dengan peningkatan substansial setelah 2002”-lah suara gay dan lesbian makin diperdengarkan di media massa umum (Boellstorff 2005, 75). Mungkin desakan untuk memasukkan karakter gay dalam layar lebar menandakan keprihatinan para sutradara untuk melibatkan keragaman pusat-pusat urban Indonesia. Pengamat yang sinis mungkin akan menyatakan bahwa kontroversi akan menarik penonton yang lebih banyak. Apapun intensi dari sutradara, produser dan penulis skenario, pemeriksaan akan penggambaran karakter sesama jenis dalam film Indonesia kerap menunjukkan ambivalensi yang mendasar terhadap homoseksualitas. Ambivalensi-ambivalensi inilah yang ingin saya selidiki dalam artikel ini dengan melihat film Indonesia yang dirilis di tahun 2007, Coklat Stroberi (Ardy Octaviand). Seperti banyak film baru lainnya yang ditujukan pada khalayak yang lebih muda, pemasaran Coklat Stroberi termasuk peluncuran novel adaptasi oleh Christian Simamora, dilakukan bersama dengan rilis sebuah video pop oleh band Ungu. Videonya adalah campuran gambar dari band, yang juga muncul dalam peran cameo dalam film, dan adegan penting di dalamnya. Penting untuk dicatat bahwa ketiga produk tersebut muncul ke pasar secara hampir bersamaan, dan ditujukan pada target audience yang sama. Memang, di samping penjualan tiap produk, tujuan komersial dari masingmasing produk adalah untuk memperkuat penjualan dan perhatian dari dua produk lainnya, meskipun jelas kesuksesan komersil dari versi sinematiknya adalah yang terpenting. Beragam impresi yang dibentuk dari menonton dan membaca teks dari film ke novel dan 46
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
Coklat Stroberi: Satu Roman Indonesia dalam Tiga Rasa video pop adalah fokus dari artikel ini, yang memusatkan perhatian pada bagaimana alur cerita gay-nya berubah. Coklat Stroberi dapat diklasifikasikan sebagai genre film komedi romantis atau film remaja.2 Film ini jelas dirancang untuk menarik kelompok usia 17-25, demografi penonton film utama di Indonesia, dan menggunakan beberapa tema dan teknik pemasaran yang menjamin kesuksesan komersil: aktor laki-laki dan perempuan yang muda dan menarik (Nino Fernandez, Marrio Merdhithia, Marsha Timothy dan Nadia Saphira); satu komedi romantis yang memfokuskan pada mahasiswa; soundtrack dari beberapa band terpopuler Indonesia; dan penampilan cameo dari beberapa bintang (Fauzi Baadila, Luna Maya, Julia Perez and Vino G. Bastian) dan band Ungu. Rilis film tersebut pada tanggal 24 Juni 2007 juga disertai dengan peluncuran novel film tersebut, serta video pop lagu Ungu, ‘Di Sini Untukmu’, yang dibuat khusus untuk film ini.3 Apa yang membedakan film ini dari banyak film-film komedi romantis dan film remaja lainnya dalam beberapa tahun terakhir, dan yang membuatnya layak didiskusikan lebih lanjut, adalah alur cerita gay-nya yang menonjol. Ini bukan berarti menyatakan bahwa seksualitas non-heteronormatif tidak pernah tampil dalam sinema mainstream Indonesia sebelum kemunculan Coklat Stroberi, sebagaimana yang akan saya diskusikan lebih lanjut di bawah.4 Tapi, film ini mempunyai tempat khusus, bukan hanya karena hubungan gay adalah fokus utamanya, tapi juga karena film ini adalah komedi romantis mengenai anak-anak muda yang baru saja melewati masa remaja mereka. Maka, Coklat Stroberi menandai teritori baru, melampaui alur cerita gay dan ciuman gay yang pendek dan sensional dalam film Nia Dinata, Arisan!, yang ditujukan pada penonton muda sinema mainstream.5 2 Mengenai kemunculan film remaja selama periode Orde Baru, lihat Sen (1986; 1991) dan Hanan (2008, 54–69). 3 Film ini kemudian dirilis untuk penjualan pertama dalam format VCD dan kemudian DVD. Versi DVD berisi teks Inggris dan tambahan ekstra, termasuk video pop oleh Ungu dan 25 menit uraian mengenai pembuatan film. 4 Komentar saya di sini mengacu pada film yang telah dirilis untuk umum. Jadi film-film independen dan film pendek, terutama yang ditampilkan di festival film dan di kampus-kampus universitas, tidak membentuk bagian dari kontekstualisasi ini. 5 Dari pengamatan saya ketika menonton empat kali pemutaran film tersebut di Indonesia, penonton cenderung berusia remaja akhir dan awal dua puluhan, dan meskipun ada percampuran jenis kelamin, mayoritas utama adalah pasangan muda atau berkelompok kecil menghadiri pertunjukan malam. Menurut sutra-
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
47
Ben Murtagh Mengingat bahwa filmnya adalah sumber asli cerita, poinpoin penting sehubungan dengan representasi atas identitas gay akan dipertimbangkan lebih dulu, sebelum kemudan membahas novel dan video popnya. Namun sebelumnya, ada gunanya kita mempertimbangkan secara singkat isu-isu relevan yang berhubungan dengan gender dan seksualitas di Indonesia untuk mengkontekstualisasikan diskusi selanjutnya. Perlu juga dicatat sekarang bahwa pemahaman saya mengenai film ini dan penerimaannya didibentuk melalui tampilan publik film ini di Surabaya dan Bandung pada bulan Juni 2007, dan FGD (focus group discussion) bersama kelompok-kelompok gay, lesbian dan waria Indonesia di Surabaya di bulan Desember 2008.6 daranya, angka penonton untuk film itu lebih dari 500.000 (Octaviand, wawancara pribadi, 8 Juli 2008), yang sedikit di atas rata-rata untuk sebuah film Indonesia, meskipun tidak ada artinya jika dibandingkan dengan dua hits besar tahun 2008, Ayat -Ayat Cinta (sutradara Hanung Brahmanto) dan Laskar Pelangi (sutradara Riri Reza), yang konon menarik penonton lebih dari empat juta 6 Pada bulan November dan Desember 2008, saya menyelenggarakan sejumlah FGD tentang beberapa film Indonesia yang tema gay, lesbian atau waria. Para peserta dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan identitas mereka: gay, lesbian, dan waria. Semua peserta memiliki hubungan dengan GAYa NUSANTARA, sebuah LSM di Surabaya yang bertujuan untuk merepresentasikan komunitas lesbian, gay, biseksual, transgender dan queer (LGBTQ) melalui kerja-kerjanya di bidang pendidikan, kesadaran masyarakat, advokasi, dan kesehatan, di mana tempat diskusi diadakan; beberapa bekerja sebagai penyuluh kesehatan atau sukarelawan, yang lain datang ke LSM untuk mendapatkan masukan dalam hal kesehatan seksual, dan satu hanya menghadiri kegiatan bulu tangkis mingguan yang diselenggarakan oleh LSM tersebut. Meskipun tidak semua peserta ‘terbuka’ atau ‘keluar’ dalam semua aspek kehidupan mereka, kenyataan bahwa mereka terhubung dengan LSM menunjukkan setidaknya tingkat keterbukaan tertentu. Hanya sedikit peserta yang secara teratur menonton film Indonesia; jika menonton pun, mereka biasanya menonton film di VCD di rumah dengan teman daripada di bioskop. Tak satu pun dari peserta memiliki pengetahuan mengenai sejarah representasi gay/lesbian/waria di sinema Indonesia. Kebanyakan akrab dengan ideide gender dan seksualitas sebagai akibat dari keterlibatan mereka dengan LSM. Sementara, sebagian dari kelompok lesbian berpendidikan universitas, mayoritas kelompok gay hanya menyelesaikan pendidikan SMA. Kelompok waria memiliki tingkat terendah pendidikan formal. Setiap kelompok bertemu setiap minggu, dan setelah menonton film yang dipilih bersama-sama, diskusi sekitar 90 menit akan berlangsung. Saya memfasilitasi diskusi, yang dilakukan di Indonesia. Sementara sebagian besar peserta datang untuk setiap pertunjukan, ada beberapa orang dalam setiap kelompok yang hanya datang untuk satu atau dua pertunjukan. Tujuh pria menghadiri ‘kelompok gay’ yang menonton Coklat Stroberi pada 2 Desember 2008; usia mereka berkisar antara awal dua puluhan dan tiga puluhan akhir. Dua
48
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
Coklat Stroberi: Satu Roman Indonesia dalam Tiga Rasa
Gender dan Seksualitas di Indonesia Istilah Indonesia ‘gay’ di sini digunakan untuk menunjuk pada laki-laki yang tertarik secara erotis pada gender yang sama dengan mereka, dan yang mengidentifikasikan diri mereka sendiri sebagai gay. Ini cukup berbeda dengan identitas gender waria, tranvestit laki-laki ke perempuan, yang umumnya mendefinisikan diri mereka sebagai laki-laki dengan jiwa perempuan dan berpenampilan sebagai perempuan, dan yang dalam ketertarikan mereka pada laki-laki, mengekspresikan hasrat terhadap gender lain (Boellstorff 2007, 78–113). Jelas, bahwa istilah ‘gay’ dalam bahasa Indonesia adalah saduran dari kata Inggris, tapi sebagaimana diargumentasikan oleh Tom Boellstorff, tidak benar untuk memahami dua kata tersebut sebagai dapat dipertukarkan secara langsung (Boellstorff 2005, 8). Meskipun identitas gay Barat tidak dapat dipandang rendah pengaruhnya dalam pembentukan identitas gay Indonesia, namun penting juga untuk menyadari pengaruh lokal dalam merekonstitusi identitas impor. Begitu pula, istilah Indonesia ‘normal’ yang digunakan gay Indonesia untuk merujuk pada pemahaman dominan seksualitas modern (Boellstorff 2005, 8), seharusnya dilihat sebagai berbeda dari istilah Inggris normal; sama pula, istilah Indonesia ‘lesbian’ harus dilihat sebagai berbeda dari istilah Inggris lesbian. Kunci di sini adalah kelas dan, sebagaimana akan didiskusikan lebih lanjut di bawah, untuk memahami bagaimana subjektivitas gay dipengaruhi latar belakang sosio-ekonomi masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Argumen bahwa globalisasi melemahkan pertalian antarbatas kelas dalam masyarakat tertentu sebagaimana ia juga memperkuat pertalian (paling tidak di antara kaum elit) sudah banyak dibahas. Tulisan Denis Altman mengenai globalisasi dan seksualitas (Altman 1997, 417–436; Altman 2001a; Altman 2001b, 19–41), terutama dalam diskusinya mengenai kemungkinan global gay, memaparkan fakta bahwa apa yang tampaknya universal akan ‘dimediasi melalui tiap kebudayaan dan ekonomi politik dari setiap masyarakat’ (Altman 2001b, 31). Tapi kita juga harus menyadari di sini bahwa dalam masyarakat tertentu—khasusnya Indonesia— laki-laki gay dari latar belakang sosio-ekonomi yang berbeda akan dari peserta gay telah kuliah di universitas, sementara tiga dari mereka mengidentifikasi diri berasal dari latar belakang kelas menengah.
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
49
Ben Murtagh mencari identitas gay Barat dengan cara yang berbeda. Di Indonesia, pengamatan anekdotal terhadap lekas akan menggarisbawahi fakta bahwa ada batas-batas kelas yang signifikan dalam komunitaskomunitas gay, sebagaimana ada dalam masyarakat Indonesia yang lebih luas. Tidak semua laki-laki gay di Inonesia sama, dan faktor pembedanya terutama adalah kelas. Mayoritas representasi filmis dan literer mengenai posisi subjek gay umumnya ditempatkan dalam setting kelompok kelas atas, yang kemudian memperkuat sterotipe bahwa gay Indonesia berasal dari kaum elit. Namun, ‘dalam realitanya, laki-laki gay dapat berasal dari berbagai tingakatan sosioekonomi dan karena kebanyakan orang-orang Asia Tenggara tidak kaya, tidak mengherankan bahwa sangat sedikit orang gay di Asia Tenggara kaya (Boellstorff 2007, 198). Kesenjangan yang tampak antara stereotipe media dan realitas ini penting jika kita mengingat bahwa banyak gay dan lesbian Indonesia pertama mengenal posisi subjek mereka melalui media massa. Ketika kita melihat representasi sinematik, apa yang terlihat tampaknya adalah repetisi stereotipe elit gay—yang lebih jauh lagi bahwa elit (kurang lebih) sama dengan Barat. Berguna juga bagi kita untuk mempertimbangkan bahwa banyak orang Indonesia dari kelas sosio-ekonomi atas untuk lebih familiar dengan film-film Barat dan serial televisi daripada orang-orang Indonesia pada umumnya7. Ini meningkatkan kemungkinan bahwa untuk kebanyakan orang Indonesia normal dari kelas sosio-ekonomi yang lebih tinggi, termasuk mereka dalam industri film, pemahaman mereka mengenai dunia lesbian/gay akan kerap diinformasikan oleh baik penggambaran Barat maupun lokal. Jika subjek posisi waria memiliki sejarah panjang dari abad kesembilanbelas, subjek posisi gay tampaknya baru mulai dikenal di Indonesia di tahun 1970an hingga 1980-an (Boellstorff 2005, 60). Reportase mengenai isu gay dan lesbian mulai muncul secara sporadis di media cetak Indonesia semenjak tahun 1980-an (Boellstorff 2005, 59–66). Keberadaan di media massa ini mulai meningkat secara signifikan dari akhir tahun 1990-an dan memasuki milenium baru. Perkembangan ini juga terefleksikan dalam film maupun sastra. Meskipun apa yang mungkin dapat dimengerti sebagai identi7 Perlu lebih banyak penelitian mengenai ini, tapi observasi sekilas memperlihatkan bahwa banyak orang Indonesia kaya lebih suka menonton film-film Barat dibandingkan film Indonesia, baik di bioskop maupun melalui di DVD.
50
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
Coklat Stroberi: Satu Roman Indonesia dalam Tiga Rasa tas gay dan lesbian modern telah disebutkan dan diselidiki dalam sastra semenjak paling tidak tahun 1970-an (K. F. 2006, 55–61), visibilitas ini tampak jelas dalam penerbitan empat novel dengan tema gay dalam tahun 2004 sendiri (Murtagh 2007, 281–299). Dalam kasus representasi sinematik mengenai seksualitas non-normatif, meskipun era Orde Baru tidak dapat diremehkan8, periode semenjak 1998 menyaksikan peningkatan signifikan atas ketertarikan terhadap seksualitas non-heternormatif dan khususnya terhadap posisi-posisi subjek gay dan lesbian. Kajian terpusat pada majalah, televisi, dan mungkin juga radio tak diragukan juga akan mengggarisbawahi trend yang mirip. Chris Berry mencatat dalam kasus sinema Asia Timur bahwa apa yang kita lihat dalam sinema mainstream sering kali bukan realita kehidupan laki-laki gay, tapi lebih mengenai bagaimana lakilaki gay dipersepsikan (Berry 1997, 14–17). Observasi ini juga dapat diaplikasikan pada sinema dan sastra Indonesia. Mengingat bahwa Boelstorff memperlihatkan dalam referensinya di Asia Tenggara bahwa ‘tampaknya media cetak, televisi, dan film mempunyai peran penting dalam pembentukan posisi-posisi subjek gay dan lesbian’ (Boellstorff 2007, 213), maka dapat dimengerti bahwa orang-orang gay dan lesbian Indonesia sering memahami subjektifitas mereka (paling tidak sebagian) melalui media, sebuah medium representasi yang kerap tidak sesuai dengan realita sehari-hari. Penting untuk dinyatakan bahwa Coklat Stroberi bukanlah film yang secara khusus ditujukan pada penonton gay. Begitu pula bukunya, yang mendapatkan peningkatan penjualannya dari penjualan filmnya. Jadi, bisa jadi alur cerita gay ini dimasukkan sebagai eksotika. Sebagaimana diskusi di bawah ini akan menggarisbawahi, Upi, produser dan penulis skenarionya, melihat Coklat Stroberi sebagai film yang melibatkan seksualitas remaja dan posisi mereka dalam masyarakat Indonesia yang lebih luas. Upi jelas bertujuan untuk memproduksi film yang inklusif, meskipun dapat dibantah bahwa pendekatannya, yang untuk beberapa kritik memberi kesan pengetahuan superfisial mengenai kehidupan gay di Indonesia, membawanya ke dalam perangkap penggambaran perspektif heteroseksual mengenai gay Indonesia. Begitu pula bukti yang tampak dari forum-forum dan situssitus blog yang menunjukkan bahwa novelnya cukup populer di antara 8 Hal ini selain dari termasuknya karakter minor waria yang cukup umum dalam komedi.
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
51
Ben Murtagh komunitas-komunitas gay. Jadi, meskipun tidak ada kesan bahwa novel ini ditulis untuk ataupun secara khusus ditujukan pada pembaca gay, bisa jadi pengetahuan mengenai isi film tersebut membawa banyak laki-laki gay untuk membeli bukunya (meskipun jelas tidak ada cara untuk memverifikasinya). Salah satu tantangan utama dalam memahami penggambaran karakter-karakter gay utama dalam Coklat Stroberi adalah menyadari bahwa subjektifitas gay Barat dan Indonesia, meskipun memiliki banyak kesamaan, adalah berbeda. Terutama telah dinyatakan oleh Boellstorff bahwa sikap terhadap pernikahan heteroseksual dan ‘membuka diri (coming out)’ mempunya perbedaan yang cukup signifikan. Boellstorff mendemonstrasikan bagaimana priviles pernikahan sebagai aspek penting dalam masyarakat mendorong banyak laki-laki Indonesia yang mengidentifikasi diri mereka sebagai gay tetap menginginkan pernikahan heteroseksual dan mempunyai anak, dan banyak laki-laki yang menikah tidak melihat ini sebagai suatu keganjilan dengan status mereka sebagai gay (Boellstorff 2005, 109–111). Dia juga menunjukkan bahwa daripada menggunakan wacana pangakuan pembukaan diri sebagaimana diperjuangkan di Barat modern, gay Indonesia cenderung melihat diri mereka sebagai terbuka di beberapa ruang—sebagai contoh, tempat ngeber dan rumah teman—dan tertutup di ruang-ruang lainnya, seperti tempat kerja dan rumah (Boellstorff 2005, 170–175). Poin-poin ini khususnya relevan dalam analisis kita mengenai teks yang akan kita bahas. Pertama, karena hubungan gay yang diidealisasikan berdasarkan model heteronormatif modern ini diaspirasikan dan tampaknya tercapai dalam filmnya, dan jelas tercapai dalam novelnya. Kedua, karena dalam satu adegan kunci di baik versi film maupun novel, salah satu karakternya ‘membuka diri’ ke orang tuanya (meskipun istilah ini tidak digunakan dalam filmnya). Jadi, ada perbedaan yang tampak dalam representasi posisi subjek gay dalam Coklat Stroberi dan penemuan Boellstorff. Kesenjangan ini bisa jadi merupakan hasil kesalahpahaman tim produksi film. Bisa jadi Coklat Stroberi mempresentasikan fantasi mengenai apa itu menjadi gay di Indonesia, kemungkinan berdasarkan pengalaman dengan representasi kebudayaan Barat mengenai hubungan gay modern, daripada refleksi mengenai kebudayaan gay di metropolis Indonesia sendiri. Namun, sudah hampir satu dasawarsa semenjak Boellstorff melakukan penelitian lapangannya, dan merupakan kesalah untuk membuat asumsi bahwa subjektifitas-subjektifitas gay 52
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
Coklat Stroberi: Satu Roman Indonesia dalam Tiga Rasa di Indonesia statis dan tidak berubah—betapapun, 40 tahun yang lalu subjektifitas ini sangat sedikit ada di Indonesia. Semenjak 1998, ada semacam pergeseran dalam penggambaran sinematik laki-laki gay di Indonesia. Selama periode Orde Baru, kita melihat Istana Kecantikan (Wahyu Sihombing, 1988) di mana seorang laki-laki gay dipaksa menikah karena tekanan keluarga dan keinginannya untuk memiliki anak (Murtagh 2006, 211– 230). Dalam serial Catatan si Boy (1987–92), karakter Emon yang sangat ngondhek, dan secara umum dikenal di pers saat itu sebagai banci9, atau bahkan gay, tampaknya disangkal seksualitas queernya dalam film melaui ketertarikannya yang tidak meyakinkan terhadap perempuan, meskipun tampaknya ini juga jarang dianggap serius oleh baik Emon sendiri maupun teman-temannya10. Dalam film-film seperti Jakarta Jakarta (sutradara Ami Prijono, 1977) dan Terang Bulan di Tengah Hari (sutradara Chaerul Umam, 1988), kita melihat karakter-karakter—seorang germo dan seorang agen— yang jelas camp dan pasti akan dikenali penonton sebagai gay atau banci, meskipun posisi subjek tersebut tidak diutarakan dalam film tersebut. Karakter-karakter ini berperan hanya untuk menambah warna dan bumbu dan, pastinya dalam film Chaerul Umam, kesan kemerosotan moral. Sebaliknya, dalam film-film sejak 1998, ada beberapa representasi hubungan laki-laki gay yang saling mencintai dengan potensi bertahan lama, meskipun problem pernikahan sering muncul sebagai rintangan yang harus dilewati. Maka, dalam Arisan! pasangan kekasih gay Nino dan Sakti akhirnya berpacaran setelah Sakti, seorang anak tunggal, melewati kewajibannya untuk menikah. Dalam Pesan dari Surga (sutradara Ayu Asmara, 2006), sebuah film mengenai lima teman dan anggota band rock, seorangg pemain band laki-lakinya, Kuta, berhubungan dengan laki-laki yang sudah menikah dan meminta kekasihnya meninggalkan istrinya agar mereka dapat hidup bersama secara permanen. Dalam Janji 9 Banci adalah istilah yang umum digunakan untuk merujuk kepada maleto-female transgender, meskipun mereka sendiri umumnya lebih menyukai istilah waria. Banci juga sering digunakan, umumnya dalam pengertian yang merendahkan, untuk merujuk pada laki-laki banci, banyak dari mereka mungkin mengidentifikasi sebagai gay atau bahkan normal, bukan sebagai waria. 10 Serial Catatan Si Boy, disutradarai oleh Nasry Cheppy, berlangsung selama lima film dalam kurun 1987 dan 1991, dan ada juga dua film plesetan yang memanfaatkan popularitas Emon, Bayar tapi Nyicil (sutradara Arizal, 1988) dan Catatan si Emon (sutradara Nasry Cheppy, 1991). Lihat juga Rizal (2008).
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
53
Ben Murtagh Joni (sutradara Joko Anwar, 2005), dalam satu adegan di awal yang memperkenalkan tema film untuk melakukan apa saja demi memenangkan hati perempuan yang dicintainya, karakter yang diperankan oleh Winky Wirawan menyatakan seluruh cintanya kepada karakter Tora Sudiro, dan kita dapat mengira bahwa hubungan in dimaksudkan sebagai permanen. Kemudian, dalam film thriller semi-noir seperti Kala (sutradara Joko Anwar, 2007),11 di mana karakter utama polisi Eros secara sambil lalu ditunjukkan sebagai gay dan memiliki pasangan laki-laki, sutaradara/penulis skenario¬nya dengan cerdas dan proaktif menantang asumsi heteronormatif penonton yang menganggap semua karakter adalah straight kecuali secara eksplisit ditampakkan sebaliknya. Konsep pembukaan diri mengenai homoseksualitas pribadi telah muncul pada beberapa film baru selain Coklat Stroberi, paling tidak membuka diri kepada teman-teman heteroseksual, dan terkadang juga membuka diri pada anggota keluarga. Menariknya, Boellstorff menemukan bahwa, berbeda dengan Barat, konsep membuka diri pada dunia gay ‘tidak lantas berarti perlu atau tak terhindari untuk membuka diri dalam semua aspek kehidupan (seperti keluarga dan tempat kerja)’ (Boellstorff 2007, 199). Menarik untuk dicatatat detil contoh-contoh filmis mengenai hal ini. Topik ini adalah kunci untuk film Arisan! Di mana karakter Nino sudah membuka diri sejak awal narasi, sementara Sakti melalui proses pembukaan diri yang tidak disengaja, tapi diterima, yang diikuti dengan pernyataan mengenai seksualitasnya kepada teman-temannya. Dalam Pesan dari Surga, seksualitas gay Kuta diketahui dan diterima tanpa masalah oleh teman-temannya. Sehubungan dengan hal-hal di atas, perlu direnungkan apakah ini merepresentasikan semacam pergeseran dalam masyarakat Indonesia secara umum, atau apakah representasi filmis mengenai pembukaan diri ini muncul karena alasan lain: familiaritas para pembuat film dengan situasi di Barat adalah salah satu kemungkinan utama. Menariknya, ‘terbuka dalam komunitas’, skenario yang paling memungkinkan dalam realita, tidak pernah digambarkan dalam film-film ini. Karakterkarakter gay tidak ditunjukkan berinteraksi dalam komunitas gay yang
11 Sementara judul bahasa Inggris untuk film ini di website resminya adalah Dead Time, film ini juga telah diputar secara internasional dengan judul The Secret.
54
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
Coklat Stroberi: Satu Roman Indonesia dalam Tiga Rasa lebih besar.12 Ini menarik, karena meskipun banyak gay Indonesia terbuka dengan laki-laki gay lainnya dan mungkin kerap mengunjungi tempat-tempat gay, jumlah yang terbuka pada keluarganya tampak masih sangat terbatas. Penemuan ini cukup terbuktikan melalui fakta bahwa dalam focus group dengan laki-laki gay untuk mendiskusikan Coklat Stroberi, hanya satu dari tujuh partisipan membuka diri mengenai seksualitas mereka pada keluarganya, meskipun semuanya ‘terbuka’ dalam komunitas LGBT. Ketika didesak mengenai hal ini, mereka semua setuju keluarga akan menjadi kelompok terakhir untuk diberitahu, dan kebanyakan mereka tidak ingin atau menganggap tidak perlu keluarganya mengetaui seksualitas mereka. Secara kebetulan, satu diskusi dengan kelompok lesbian menemukan sikap yang agak berbeda; meskipun mereka beranggapan bahwa keluarga biasanya akan menjadi terakhir yang diberitahu, mayoritas kelompok lesbian telah membuka diri sedikitnya ke beberapa anggota keluarganya. Bisa jadi bahwa ada perubahan-perubahan, terutama di ibukota Indonesia, dan penting untuk mencatat bawa lokasi penelitian Boellstorff tidak termasuk Jakarta. Saya juga melakukan focus group discussion di luar ibukota. Bagaimanapun juga, meskipun mungkin ada lebih banyak orang Indonesia yang ‘terbuka’ di Jakarta, ini tidak tercermin dalam pengalaman saya di kota ini, tidak pula dalam sejumlah kecil orangorang Indonesia yang secara publik terbuka di media massa. Melihat tampaknya ada kesenjangan antara representasi filmis mengenai pembukaan diri, penemuan Boellstorf dari akhir 1990-an dan diskusi saya sendiri mengenai laki-laki gay di thaun 2008, artikel ini akan secara khusus memperhatikan penggambaran proses pembukaan diri baik dalam film dan novelnya. Film Coklat Stroberi Film ini menceritakan dua mahasiswi, Key dan Citra, yang tinggal bersama di satu rumah di kawasan mewah Jakarta. Karena kesusahan membayar biaya sewa, pemiliknya memaksa menambahkan dua penghuni laki-laki lainnya, Nesta dan Aldi. Key dan Citra, meskipun cantik, untuk alasan yang tak terjelaskan, sangat tidak beruntung dalam cinta dan mereka takut akan menjadi perawan tua. Mereka langsung jatuh cinta pada teman kos mereka. Tanpa diketahui mereka, kedua lelaki muda tersebut 12 Ini berlawanan dengan film 1998, Istana Kecantikan, yang dibuka dengan karakter utama dan temannya di klub malam gay (Murtagh 2006).
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
55
Ben Murtagh sebenarnya adalah sepasang kekasih, meskipun berbagai sinyal visual memastikan penonton mengerti rahasia tersebut. Jika Nesta mempunyai penampilan yang sangat maskulin dan straight-acting, Aldi feminin dan pemurung. Nesta menjelaskan pada Aldi—dan kepada penonton—teori mengenai Coklat Stroberi.13 Pada dasarnya, stroberi sama dengan feminin dan gay, maka supaya tidak ketahuan, penting untuk berakting coklat—yaitu, berakting maskulin dan straight. Begitu pula cara-cara innocent untuk menunjukkan bahwa seseorang straight, seperti melakukan weight training, bermain PlayStation selama berjamjam, dan tidak memasak. Nesta memutuskan akan menjadi samaran yang baik untuk menggoda dan akhirnya berpacaran dengan Key. Aldi menjadi makin cemburu melihat kekasihnya selama dua tahun ini memberi perhatian terlalu banyak pada Key. Kemudian, Citra mulai menggoda Aldi, meskipun Aldi sama sekali tidak menggubris usaha-usahanya. Aldi memutuskan dia tidak mau berbohong lebih lama lagi, dan ketika orang tuanya datang untuk makan malam, dia membuka dirinya kepada mereka. Ayahnya terkena serangan asma, karena begitu shock dan jijik, dan ibunya bersama ayahnya meninggalkan Aldi, mendesak Aldi untuk kembali menjadi dirinya yang dulu. Klimaks meningkat ketika Citra dan Key datang saat kedua laki-laki tersebut berciuman. Tapi bukannya mengaku bahwa hubungannya dengan Citra adalah samaran, Nesta menyatakan bahwa dia sungguh mencintai Key. Nesta telah berubah menjadi coklat sejati (atau straight). Key awalnya menolak Nesta karena telah berbohong dengannya, tapi kembali padanya setelah mengelilingi malam Jakarta untuk menghentikannya sebelum Nesta meninggalkannya selamanya. Jadi, kita seperti memilik kesimpulan: Nesta berubah menjadi straight karena pesona Key yang cantik; Citra tetap sendirian karena ketidakpercayaannya pada lelaki; Aldi juga akan hidup sendirian sebagai seorang homoseksual yang menyedihkan tapi membuka diri. Namun, dalam adegan akhir, sebagaimana diharapkan dalam komedi romantis, setiap orang mendapatkan pasangan: Citra mendapatkan perhatian rocker keren di konser pop, dan kemudian Aldi muncul bergandengan tangan 13 Meskipun ada kesamaan nyata dengan judul film gay Cuba Fresa y Chocolate (Strawberry dan Coklat, sutradara Tomás Gutiérrez Alea, 1994), yang mengacu pada pengamatan bahwa hanya laki-laki gay makan es krim strawberry—lakilaki straight akan memilih coklat—tim produksi baru menyadari keberadaan film nominasi Oscar tersebut ketika mereka ikut dalam diskusi di Queer Film Festival 2007 (wawancara pribadi dengan Octaviand, 2008).
56
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
Coklat Stroberi: Satu Roman Indonesia dalam Tiga Rasa dengan bos Citra, Dani. Kebetulan, Dani yang berpenampilan punk dimainkan oleh Fauzie Baadila, salah satu aktor muda Indonesia yang paling laku, seseorang yang umumnya diasosiasikan dengan peran-peran yang jauh lebih macho. Semuanya berakhir dengan baik. Pada empat kesempatan di mana saya menonton film ini di bioskop di Bandung dan Surabaya, semua orang tampak meninggalkan bioskop dengan ceria. Banyak gay Indonesia yang saya ajak bicara berkata sangat menyukai film ini. Namun bagaimanapun juga, aspek-aspek kunci dari plot ini mengesalkan sejumlah kritikus Web Indonesia dan aktivis gay (Siregar 2007; Adjie 2007). Penonton film di Q! Film Festival Jakarta14 di bulan Agustus 2007 juga dilaporkan sedikit gusar (Adjie 2007). Respon banyak penonton muda dan mungkin laki-laki gay yang kurang terpolitisasi pasti adalah kenikmatan melihat penggambaran kehidupan muda mereka direpresentasikan di layar perak untuk pertama kalinya. Bahkan untuk yang telah melihat Arisan!, Coklat Stroberi tetap dianggap sebagai film pertama dengan penggambaran kehidupan laki-laki usia mereka, daripada karakter-karakter yang lebih dewasa di Arisan!.15 Tapi untuk penonton yang lebih terpolitisasi, dan saya juga, saya menyarankan pada yang lebih familiar dengan representasi gay di film Barat, film ini sangat problematis sebagai hasil dari ketidakbenaran politisnya yang tampak. Ketidakbenaran politis tentu saja tidak selalu merupakan suatu masalah. Tapi penulis skenarionya sendiri telah menyatakan bahwa film ini mempunya tujuan didaktis.16 Situs KapanLagi me14 Q! Film Festival telah diselenggerakan setiap tahun di Jakarta sejak 2002. Saat ini diakui sebagai festival film queer terbesar di Asia (lihat Maimunah 2008). 15 Berdasarkan pembicaraan informal dengan beberapa laki-laki gay muda di bulan Juni-Juli 2007 dan FGD dengan kelompok waria, gay, dan lesbian di Surabaya pada November dan Desember 2008. Dalam pengalaman saya, kebanyakan gay muda Indonesia, bahkan yang cukup tertarik pada film, tidak pernah melihat, dan bahkan banyak yang tidak pernah mendengar Istana Kecantikan (1998) atau Kuldesak (1998). 16 Upi (sebelumnya dikenal sebagai Upi Avianto), penulis skenario, juga memproduksi film tersebut. Sebelum memproduksi Coklat Stroberi, ia telah mengarahkan dua film. 30 Hari Mencari Cinta (2004) adalah cerita dari tiga wanita muda putus asa mencoba untuk menemukan cinta setelah mereka dituduh lesbian karena mereka tampaknya tidak pernah berkencan. Kebetulan, salah satu pria muda yang awalnya tampaknya sebagai target yang baik ternyata gay. Dalam film keduanya, Realita, Cinta dan Rock ‘n’ Roll (2006), selain ada pembacaan kemungkinan homoerotik antara dua karakter utama pria, kita juga disuguhi cerita bahwa salah satu dari dua tokoh sentral akhirnya berdamai dengan kenyataan bahwa ayahnya
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
57
Ben Murtagh laporkan Upi menyatakan bahwa ‘filmnya diinspirasi oleh Brokeback Mountain, yang juga menceritakan kehidupan dua laki-laki gay’. Lebih jauh dikatakan bahwa Upi mengekspresikan harapan bahwa film ini dapat berguna sebagai sumber edukasi untuk anak-anak muda dan orang tuanya, dan membantu orang tua untuk lebih terbuka pada anaknya dan menanyakan anak-anaknya ‘apakah kamu coklat, stroberi, atau coklat-stroberi?’ (KapanLagi 2007). Sekalipun demikian, pembandingan dengan Brokeback Mountain sangat tidak tepat. Jika dalam film Amerika itu dua koboi itu tetap setia pada cinta mereka pada satu sama lain meskipun di bawah tekanan keluarga dan masyarakat yang memaksa mereka berdua pada pernikahan yang tidak mereka kehendaki dan menutupi keberadaan dirinya, dalam film Indonesia ini, perempuan cantik pertama yang datang untuk menggoda Nesta membuatnya menyadari bahwai hasrat homoseksualnya hanyalah sekedar fase homoseksual, dan sebenarnya dia adalah sepenuhnya laki-laki heteroseksual berdarah panas, satu peran yang dengan cepat dia adaptassi. Maka karakter Nesta mungkin paling baik dijelaskan sebagai lakilaki muda labil yang, meskipun intim dengan teman terbaiknya semenjak masa sekolahnya, kemudian memahami preferensinya sebagai heteroseksual begitu dia mempunyai kesempatan untuk mengeksplorasi perasaanya secara lebih intim dengan perempuan. Jelas, dan mengingat tujuan edukasi film ini untuk baik orang tua maupun anak-anak muda, untuk banyak aktivis gay, representasi homoseksualitas sebagai sesuatu yang dapat ‘disembuhkan’ oleh perempuan yang tepat adalah mengecewakan, khususnya terutama karena ini bukanlah salah satu dari banyak representasi mengenai seksualitas gay anak muda di Indonesia. Walau mereka menghargai pembuat filmnya karena telah menantang batas dan keberanian dalam membuat film ini, dapat dimengerti bahwa ada yang tidak puas dengan plot twist yang kurang membuat terobosan. Perbandingan representasi visual pasangan heteroseksual dengan pasangan homoseksual dalam film ini mencerahkan. Kita sering melihat Nesta dalam adegan yang panjang dan melekat dengan Key, di mana dia kerap berada dalam posisi sugestif dan menaklukkan secara seksual. Begitu juga, dia ditampakkan perhatian dan protektif, dengan intim meniup debu dari mata Key, sebagai contoh. Dalam satu adegan mencuci mobil yang erotis, Nesta membasahi dirinya dan Key yang telah lama hilang adalah seorang transseksual.
58
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
Coklat Stroberi: Satu Roman Indonesia dalam Tiga Rasa dengan air dari pipa, dengan wajah sumringah dan orgasmik. Selain itu, Nesta dalam beberapa momen ditampakkan tanpa baju dengan batang tubuh mengkilap, meskipun ini biasanya ketika dia bertemu dengan Key—sebagai contoh, saat dia pergi ke kamar mandi di malam hari. Tapi, dengan kekasihnya Aldi, dia berpakaian lebih tertutup, termasuk ketika mereka berdua di atas ranjang bersama. Hanya dalam satu adegan Aldi ditampakkan setengah telanjang dengan Nesta, dan ini ketika Nesta mengkonfrontasi Aldi tentang mengapa dia memamerkan tubuhnya ke perempuan-perempuan itu. Ketika mereka akan berpelukan untuk berbaikan, mereka diinterupsi oleh kedatangan mendadak ibu kos dan adegan tersebut berubah menjadi satu komedi dengan Aldi sebagai bulanan. Ini tipikal pendekatan film ini pada umumnya. Jika adegan intim heteroseksual diberi kesempatan untuk dibangun dan diperhatikan kamera, segala bentuk kedekatan atau intimasi antara dua laki-laki itu biasanya diinterupsi untuk efek komedi atau dramatis. Selain satu adegan di mana mereka berdua tidur bersama, satu-satunya saat lain kamera menyorot lebih lama kedua laki-laki itu adalah saat Nesta bergabung dengan Aldi yang duduk di tangga dan Nesta membicarakan kesulitan-kesulitan yang dialminya saat menyadari bahwa dia jatuh cinta pada Key. Kamera melakukan panning out ke long-distance shot adegan Nesta duduk dengan tangannya melingkari bahu Aldi. Namun, menurut narasi filmhya, ini bukan lagi sepasang gay, tapi lebih dua teman laki-laki yang mengikrarkan kesetiaan mereka pada satu sama lain sebagai teman, tidak lebih. Kerisihan erotisme dan seksualitas (prudery) dalam penggambaran visual pasangan laki-laki ini tidak hanya ditemukan dalam film Coklat Stroberi, dan tentu saja pembuat film dibatasi oleh sensor dan penonton mereka. Dalam Arisan!, meskipun ciuman gay-nya banyak dibicarakan, kita tidak pernah melihat pasangan itu di ranjang atau tak berbaju. Paling jauh kita melihat kesan intimasi seksual adalah ketika keduanya berdiri bersama dari balik sofa—dengan berbusana lengkap, tentunya. Ini berlawanan dengan berbagai depiksi erotis heteroseksual yang sugestif dan dalam waktu yang lama. Memang, kedua film ini memiliki penggambaran yang berlawanan dengan Nico dan kekasihnya Toni di Istana Kecantikan di saat mereka kepergok istri Nico. Meskipun tidak berciuman, keduanya sedang bermesraan di atas ranjang, dan jelas tidak mengenakan baju. Meskipun ketakutan terhadap sensor dan mungkin juga reaksi penonton dapat menjelaskan standar ganda dalam representasi interaksi gay dan straight, ambivalensi juga tampak di sini. Tim di belakang Coklat Stroberi, meskipun tulus Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
59
Ben Murtagh ingin mengafirmasi isu cinta homoseksual di kalangan anak-anak muda di Indonesia, bagaimanapun juga menunjukkan tendensi untuk menggunakan prospek intimasi gay sebagai alat untuk mencapai efek dramatis yang lebih jauh, sementara adegan romantis konvensional dianggap sepenuhnya pantas untuk pasangan straight. Bagian kunci dari film ini menggambarkan ayah Aldi merespon pembukaan diri anaknya dengan mengalami serangan epilepsi. Meskipun untuk beberapa selera adegan ini mungkin tampak terlalu dramatis, dalam beberapa tontonan umum yang didatangi penulis, juga dalam kelompok diskusi terarah dengan partisipan gay, lesbian dan waria, respon para penonton Indonesia, yang umumnya sangat berisik di adegan lainnya, berubah menjadi keheningan yang tegang. Akibat dramatis Aldi mengenai hubungannya dengan kedua orang tuanya ditekankan ketika dia bertanya pada ibunya apakah ibunya dapat menerima apa yang baru saja dia ucapkan. Ibunya tidak bilang bahwa dia tidak bisa menerima, tapi lebih memintanya untuk mengubah pikirannya dan menarik kembali pernyataan dramatisnya mengenai seksualitasnya dan kembali ke normal seperti biasa—normal di sini adalah kata yang digunakan orang-orang Indonesia untuk heteroseksualitas. Kemudia dia mengikuti suaminya keluar dari rumah, dan seiring dengan berjalannya mobil itu menjauh, wajah ayahnya yang kesakitan dan berair mata melihat keluar dari mobil, dan Aldi tertinggal berdiri sendiri di depan pintu dengan air mata membasahi wajahnya. Kita tidak melihat orang tua Aldi di adegan lainnya dalam film ini, dan kita dapat menyimpulkan bahwa dia harus berjuang tanpa mereka. Pesan mengenai pembukaan diri dalam film ini agak membingungkan. Di satu sisi, Aldi ditampakkan sebagai seseorang yang terlihat jauh lebih percaya diri setelah pembukaan dirinya, pada akhirnya dapat berpacaran dengan pasangan yang lebih pantas dan cocok. Di sisi lain, reaksi ayah Aldi, seperti mengancam kesehatannya, tampak memberi pesan kuat bahwa membuka diri sangatlah tidak disarankan, khususnya karena akhirnya tidak adanya perdamaian keluarga dalam film ini. Dalam hal ini, implikasi dari film ini tampak mirip dengan pandangan Nesta bahwa membuka diri tidaklah pantas dan hanya akan menyebabkan petaka. Ketika Aldi menjelaskan pada Nesta alasan-alasan kejujurannya pada orang tuanya, bahwa dia tidak mau berpura-pura lagi dan dia lelah soal hubungan mereka yang ditutup-tutupi, Nesta bertanya kepada Aldi apakah dia berpikir mereka dapat jalan-jalan ke mall, ke kampus, sambil gandengan tangan. Mengatai Aldi bahwa dia benar-benar gila, dia 60
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
Coklat Stroberi: Satu Roman Indonesia dalam Tiga Rasa bertanya, ‘Lu pikir kita hidup di mana?’ Implisit dalam pertanyaan itu, ‘di mana kau kira kita berada?’ adalah pandangan Nesta bahwa terbuka sebagai gay di Indonesia—dan bukannya lokasi lainnya— adalah mustahil. Di sini, tidak seperti bagian lain dalam filmnya, terlihat satu persepsi khusus mengenai perjuangan yang dihadapi laki-laki gay di Indonesia. Di mata Nesta, pernyataan publik mengenai homoseksualitas di Indonesia adalah mustahil17, secara tidak langsung menyatakan bahwa hal itu hanya bisa menjadi sesuatu yang sementara dan rahasia, yang tak bisa dihindari akan dilanjutkan oleh hubungan heteroseksual yang dapat diterima umum dan secara sosial wajib. Ide ini begitu dominan dalam penjelasan Nesta atas putusnya hubungannya dengan Aldi sehingga mudah bagi kita untuk bersimpati dengan tuduhan Aldi bahwa Nesta berpacaran dengan Key karena dia merasa hanya hubungan heteroseksual yang mempunyai masa depan. Menariknya, jelas dari focus group discussion mengenai film ini dengan kelompok gay, mereka memahami pesannya sebagai peringatan bahayanya membuka diri kepada orang tua masing-masing, satu ketakutan yang mereka semua rasakan. Jadi, jika dilihat dari perspektif Barat abad ke-21, satu film yang berharap dapat melibatkan isu seksualitas secara positif mungkin akan dicemooh karena penggambarannya atas pembukaan diri Aldi, bagi teman-teman bicara gay Indonesia saya, adegan ini, yang dilihat sebagai klimaks dramatis film tersebut, umumnya dihargai untuk apa yang mereka anggap sebagai penggambaran jujur dan realistis mengenai apa yang akan terjadi jika seorang laki-laki muda membuka diri pada orang tuanya. Saat saya menyatakan bahwa beberapa laki-laki muda mungkin akan keder membuka diri pada orang tua mereka setelah melihat film ini, tapi justru ini dilihat oleh para responden sebagai hal yang positif. Menurut mereka, membuka diri pada orang tua tidak saja tidak perlu, tapi juga tidak bijak. Novel Coklat Stroberi Sebagian besar novel adaptasi dari Coklat Stroberi sangat mirip dengan filmnya, banyak dialognya sepadan kata per kata. Sebagaimana dijelaskan di sampul buku, novel Christian 17 Menarik bahwa peserta FGD film ini sering menyatakan Thailand sebagai sebuah sebagaimana yang ada dalam pikiran Nesta, yaitu bahwa Thailand adalah surga bagi komunitas gay (Murtagh 2010).
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
61
Ben Murtagh Simamora18 ini berdasarkan skenario Upi, dan dalam pengantar novelnya, Upi menyatakan bahwa buku ini akan membantu pembaca untuk mengetahui ceritanya sebelum rilis filmnya, dengan tujuan mendorong pembaca untuk pergi menonton filmnya (Upi, dalam Simamora 2007a, iii). Walaupun beberapa adegan pendek ditambahakan atau dihilangkan, perbedaan utama antara film dan novelnya terletak pada pemasukan pikiran dan motivasi pribadi dan detil latar belakang tambahan. Meskipun secara umum tidak banyak, detil tambahan ini mempunyai pengaruh yang cukup kuat dalam pemahaman kita mengenai hubungan Nesta dan Aldi, dan mengenai hubungan Aldi dengan Dani. Bagian ini akan memfokuskan pada satu penghilangan dan tiga tambahan dalam novelnya. Penghilangan yang mencolok adalah adegan di mana ketika kedua laki-laki muda itu pertama tiba di rumah. Di dalam film, Aldi tidak mampu membawa tasnya sendiri dan meminta Nesta membaantunya. Adegan ini jelas berfungsi untuk memberi petunjuk visual awal pada penonton mengenai kekhasan hubungan antara mereka. Ini dicapai dengan menggunakan stereotipe yang gamblang. Aldi ngondhek dan sangat memperhatikan mode baju. Tidak saja dia terlalu kecil untuk membawa tas-tasnya sendiri, Nesta bercanda bahwa dia seperti ibunya, membawa barang yang terlalu banyak. Tapi, Aldi tidak malu dengan fakta bahwa dia mempunyai begitu banyak baju dan bahkan bercanda bahwa Nesta nanti akan memakainya juga. Di sini Aldi ditunjukkan sebagai manja, ide yang terus dilanjutkan sepanjang film, terutama melalui ekspresi wajahnya. Kontras dengan Nesta tampak jelas. Nesta berbadan fit dan kuat dan tidak begitu memusingkan mode pakaian. Maka, dengan menggunakan stereotipe yang penonton familiar, adegan ini digunakan untuk menunjukkan pada penonton kekhasan hubungan antara dua laki-laki tersebut. Adalah instruktif bahwa adegan ini dihilangkan dalam novel, yang umumnya berusaha menghindari sterotipe simplistis film, dengan menggunakan detil latar belakang untuk menambah kedalaman karakter dua laki-laki itu. Sebaliknya, 18 Christian Simamora, lahir 9 Juni 1983, telah menerbitkan beberapa novel ‘teenlit’, termasuk Jangan Bilang Siapa-siapa (2005), Elex Media Komputindo, Jakarta; Boylicious (2006), GagasMedia, Jakarta; Kissing Me Softly (pseudonim Ino Crystal, 2006), GagasMedia, Jakarta; Coklat Stroberi (2007a), GagasMedia, Jakarta; Macarin Anjing (2007b), GagasMedia, Jakarta; dan duet menulis bersama Windy Ariestanty, Shit Happens (2007), GagasMedia, Jakarta. Judul terakhir ini juga memiliki tema gay. Semua novel yang didaftar ini ditulis dalam bahasa Indonesia.
62
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
Coklat Stroberi: Satu Roman Indonesia dalam Tiga Rasa kita mendapatkan deskripsi Aldi menata barang-barang mereka di kamar baru mereka dan membayangkan mereka berdua tinggal dalam kamar barunya bersama (Simamora 2007a, 47–48). Satu tambahan penting muncul di akhir novel ketika Aldi dan Nesta sudah putus. Aldi menonton video hari kelulusan sekolah mereka dan kita membaca dalam novel bagaimana hubungan antara keduanya terbangun (Simamora 2007a, 144–146). Pada awalnya teman dekat, mereka mabuk di rumah orang tua Nesta (orang tuanya sedang pergi liburan), dan berciuman dalam dan lama. Setelah itu, Aldi tidak ingat apa yang terjadi. Tapi, ada sesuatu lain yang terjadi, dan mereka dengan imajinasi yang cukup dapat membayangkannya. Di sisi lain, untuk remaja-remaja yang ingin memfokuskan hanya pada kenikmatan ciuman yang lama dan bukan sesuatu yang lebih kontroversial, teks ini memperbolehkannya. Jika dalam film hubungan ini tidak pernah ditunjukkan secara lebih seksual daripada sekedar sedikit adegan ciuman yang terinterupsi, dalam novelnya kita tidak meragukan lagi bahwa hubungan seksual mereka selama dua tahun terakhir. Dari novel ini, jelas bahwa aspek seksual hubungan mereka dimulai oleh Nesta. Jadi penulis tampaknya mengkontradiksi ide dalam representasi film Nesta sebagai sekedar labil secara seksual. Detil tambahan ini membuat pembaca tidak terlalu meyakini penjelasan Nesta ke Aldi bahwa selama mereka berhubungan, dia menyimpan keragu-raguan. Tambahan kedua yang patut dicatat muncul di akhir novel (Simamora 2007a, 173–175). Dengan diketahuinya bahwa Aldi sekarang berpasangan dengan Dani, kita diberi latar belakang ekstra yang penting mengenai hubungan mereka, yang dalam filmnya ditinggalkan dalam imajinasi kita. Pertama, kita diberi tahu bahwa beberapa bulan telah lewat dan keduanya perlahan-lahan saling mengenal satu sama lain. Ini tampak berlawanan dengan filmnya, yang memberi kesan bahwa waktu tidak lama berlalu. Kedua, ditampakkan bahwa kekasih baru Aldi, Dani, telah membuka diri pada orang tuanya di tahun terakhir kuliahnya, dan prosesnya pun sama sulitnya, di mana orang tuanya merespon dengan cara yang mirip dengan orang tua Aldi. Namun, setelah dia berhasil memulai bisnis sendiri yang sukses, mereka kemudian menerima putranya apa adanya. Dukungan Dani kepada Aldi, atas saran Citra, membawa mereka pada hubungan mereka sekarang. Dia sangat mendukung Aldi, mengingatkannya untuk sabar terhadap orang tuanya, dan teks buku ini menjelaskan bahwa tidak ada gangguan jangka panjang terhadap keluarganya sebagai konsekuensi usaha Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
63
Ben Murtagh anak-anaknya. Dalam dua kasus tersebut, tampak pentingnya usaha mereka untuk membangun kembali hubungan mereka dengan orang tua mereka. Sebagai contoh, kita diberitahu bahwa Dani menemani Aldi dalam beberapa kesempatan ia ke Bandung untuk mengunjungi orang tua Aldi. Sementara dalam film, perselisihan antara orang tua dan anak ini tidak terselesaikan, novelnya menceritakan dengan cukup panjang untuk menunjukkan bahwa, meskipun prosesnya sulit, hubungan keluarga Aldi tidak sepenuhnya rusak karena kejujurannya. Membuka diri tidak menjadi sesuatu yang menyebabkan perselisihan keluarga yang abadi, tapi, meskipun tetap merupakan proses yang sulit, digambarkan sebagai sesuatu yang berdampak baik bagi kedua laki-laki muda tersebut. Satu keistimewaan yang sedikit aneh dari novelnya, yang tidak ada dalam filmnya, berasal dari pencantuman lirik dari lagulagu George Michael dan Will Young (Simamora 2007a, vii, 151, 175)—keduanya penyanyi pop Inggris yang terkenal: George Michael membuka diri setelah insiden terkenal di Los Angeles; dan Will Young memilih untuk membuka diri setelah memenangkan ajang bakat TV Inggris Pop Idol di tahun 2002. Paling janggal dari semuanya adalah akhir novel di mana semua karakter berada di konser Ungu mendengarkan band pop Indonesia, sementara katakata akhir dari teksnya mengambil lirik lagu berbahasa Inggris George Michael, ‘An Easier Affair’. Kata-katanya dapat dengan jelas dibaca sebagai kebebasan yang dirasakan George Michael dengan membuka diri, dan memang, lagu tersebut tampaknya dipersembahkan kepada penggemar perempuannya yang tidak menyadari bahwa dia gay. Maka, di balik ketidakcocokan Ungu/George Michael, pilihan Simamora untuk George Michael memiliki resonansi yang sepenuhnya cocok untuk makna novel. Tentunya, banyak laki-laki muda gay Indonesia cukup familiar dengan fakta bahwa kedua ikon pop tersebut gay, dan pencantuman lirik tersebut akan menambah arti bagi mereka (khususnya jika mereka mengerti bahasa Inggris)19. Seberapa benar ini berlaku untuk penonton muda Indonesia sulit diukur. Simamora juga menambahkan beberapa potongan budaya pop Inggris dan Amerika dalam novelnya. Ini termasuk detail bahwa film gay Amerika Adam dan Steve (sutradara Craig Chester, 19 Berdasarkan pertanyaan acak pada laki-laki gay di Jakarta dan Surabaya di akhir 2008, Will Young jauh kurang dikenal daripada George Michael
64
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
Coklat Stroberi: Satu Roman Indonesia dalam Tiga Rasa 2005) adalah film favorit Aldi. Dalam menjelaskan pretensi menjadi coklat (straight), contoh yang diberikan adalah dua orang Barat Darren Hayes20 dan Dave Koz21, keduanya membuka diri setelah gosip umum. Informasi lengkap latar belakang mengenai keduanya ini dicantumkan sebagai catatan kaki dalam novel (Simamora 2007a, 74). Setelah pembukaan dirinya, Aldi merenungkan fakta bahwa orang tuanya tidak akan pernah mendukungnya menghadiri ‘gay pride parade (parade kebanggan gay)’ (Simamora 2007a, 137)–yang cukup tidak sesuai, mengingat tidak pernah ada gay pride parade di Indonesia. Begitu pula ketia penulis menjelaskan pemahaman Citra dan Key mengenai hubungan Aldi dan Nesta dalam kaitannya dengan hubungan dua karakter utama dalam film Brokeback Mountain, yang cukup terkenal di Indonesia dan tampaknya, sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya, adalah inspirasi Upi dalam menulis screenplay-nya. Menariknya, ketika Key melihat ciuman antara Aldi dan Nesta, dan dijelaskan seperti melihat Heath Ledger dan Jake Gyllenhaal berciuman dalam Brokeback Mountain, suara narasi novelnya merefleksikan bahwa dalam film itu hanyalah aktor yang mengikuti script, tidak nyata sebagaimana terjadi antara Aldi dan Nesta (Simamora 2007a, 138). Hasil dari tambahan-tambahan ini adalah membuat novelnya mejadi jauh ‘lebih gay’ dibandingkan filmnya. Penting mengingat bahwa ini adalah skenario yang ditulis oleh seorang perempuan heteroseksual, dan diadaptasi oleh penulis laki-laki yang tampaknya cukup tertarik untuk merepresentasikan karakter laki-laki gay dalam tulisannya, sebagaimana terbukti dari novel yang ia co-author di tahun 2007, Shit Happens, yang menampilkan karakter gay Sebastian. Meskipun dibatasi dalam tulisannya dengan fakta bahwa dia hanya mengadaptasi skenario film Upi, Simamora bagaimanapun juga membawa pengetahuan mengenai budaya gay yang cukup mengubah rasa novelnya. Penulis tidak harus melakukan ini. Dia dapat lebih mengikuti skenario asal, atau dia dapat memilih untuk lebih mengembangkan cerita Key dan Citra. Meskipun begitu, penting dicatat bahwa dalam menjelaskan alur cerita gay tersebut, Christian Simamora menggunakan berbagai contoh dari Barat. Jelas ada perangkulan pengetahuan mengenai budaya 20 Penyanyi Australia yang awalnya menjadi terkenal sebagai bagian dari Savage Garden yang sekarang sudah bubar. 21 Seorang pemain saxofon Amerika.
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
65
Ben Murtagh gay di Barat untuk menjelaskan karakter-karakter homoseksual Indonesia. Satu pertanyaan yang muncul adalah mengapa tidak ada keterlibatan ikon dan tradisi nonheteronormatif dari budaya(budaya) Indonesia, yang jelas-jelas ada. Paradoks ini tidak terbatas pada Coklat Stroberi. Sebagaimana saya catat di kesempatan lain, aktor-aktor yang memainkan karakter gay Indonesia menyatakan bahwa mereka meneliti peran mereka dengan menonotn acara televisi seperti serial Amerika Queer as Folk (Murtagh 2006, 214). Selain dua kunjungan ke nightclub gay kelas atas di Jakarta, Heaven, dengan dua aktor laki-laki utama, penelitian Ardy Octaviand mengenai karakter gay termasuk menonton acara televisi dan film Barat, sekali lagi termasuk Queer as Folk (Octaviand, wawancara pribadi, 8 Juli 2008). Video Pop Akhirnya, kita bisa melihat video pop yang disutradarai oleh produser dan penulis skenario filmnya, Upi. Video pop telah menjadi bagian penting dari strategi pemasaran film-film Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, dan sebagaimana dijelaskan oleh Ardy Octaviand, Ungu dipilih karena mereka adalah salah satu band paling populer saat itu (Octaviand, wawancara pribadi, 8 Juli 2008). Band ini menulis lagunya, meskipun temanya diusulkan oleh sutradara film. Biaya produksi lagu ditanggung oleh band, tapi biaya produksi video popnya berasal dari budget film (Octaviand, wawancara pribadi, 8 Juli 2008). Pemunculan penyanyi dan band dalam film-film Indonesia memiliki sejarah yang cukup lama terabentuk. Sebagai contoh, Hetty Koes Endang mundul sebagai penyanyi dalam Akulah Vivian (sutradara M. Endraatmadja, 1977) dan Elvy Sukaesih menyanyi dalam beberapa film dari tahun 1970-an hingga 1980-an. Musik dalam seri Catatan si Boy tak diragukan merupakan faktor penting dalam meningkatkan daya tariknya pada audiens anak muda yang dituju. Dalam sinema pasca-1998, beberapa film memasukkan adegan band yang sedang bermain, dan soundtrack mereka telah menjadi hit di punggung film, satu trend—dan teknik pemasaran—yang dimulai dengan kesuksesan Ada Apa dengan Cinta? (sutradara Roedy Soedjarwo, 2001), film remaja sukses pertama dalam periode kebangkitan sinema Indonesia22. 22 Band Pas memainkan peran cameo dalam film, dan lagu dengan judul Ada apa dengan Cinta? Ditulis oleh Melly Goleslaw dan Anto Hoed dan dinyanyikan
66
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
Coklat Stroberi: Satu Roman Indonesia dalam Tiga Rasa Videonya adalah campuran antara adegan sebuah grup band yang menyanyikan lagu di tengah lorong kota yang senyap dengan adegan-adegan dari film. Dalam satu adegan, penyanyi utama berlari sepanjang jalan gelap kota, seperti Key lari melalui jalanjalan Jakarta untuk bersama dengan Nesta yang dicintainya. Ketika menonton videonya, patut dicatat bahwa kebanyakan nuansa dari film ini dihilangkan dan disangkal. Tentunya, produsernya tidak mau membocorkan kesenangan menonton filmnya langsung, jadi mereka tidak mau memasukkan semua adegan yang memungkinkan. Tapi meskipun mereka tidak mempunyai masalah sedikitpun dalam menunjukkan berbagai tahap hubungan Nesta-Key, hubungan antara kedua laki-laki tersebut, yang telah dibangun dari awal film, umunya dihindari dalam video. Selain pertukaran pandang, satu pelukan dan adegan Aldi dan Nesta bercakap-cakap di pinggir jalan, alur cerita gay dihilangkan dari video ini. Ini berlawanan dengan alur cerita straight yang digambarkan dari awal hingga akhir, dari pertemuan Nesta yang bertelanjang dada dengan Key di kamar mandi sampai ke adegan akhir video pop di mana Key akhirnya berhasil menemui Nesta ketika dia hampir saja hendak pergi jauh, mengira dirinya telah ditolak selamanya. Perlu diingat juga bahwa dalam filmnya sendiri, lagu ini digunakan sebagai latar belakang ketika adegan Nesta berharap Key tidak menolak dia selamanya, dan Key berlari kembali kepadanya. Jadi dalam satu hal, ini menjadi lagu mengenai sifat abadi hubungan pasangan straight. Namun, lagu ini juga muncul (dalam versi yang jauh lebih pendek) di tahap yang lebih awal dalam film, di mana Aldi ditunjukkan tidur sendirian di sofa dan Nesta masuk, melihatnya, dan masuk ke kamar tidur. Jadi, lagu ini dalam film dikaitkan kepada hubungan antara dua laki-laki dan harapan Aldi bahwa Nesta akan kembali padanya. Sebagai pendengar, kita dapat memberi banyak makna yang berlapis ke lirik lagunya, yang secara umum adalah variasi tema ‘masih disini menantimu/berharap cinta kita ‘kan bersatu.’ Sangat penting, bahwa interpretasi queer pun sama mungkinnya dengan interpretasi straight—ini bisa jadi mengenai Aldi yang gay yang masih tetap menunggu Nesta, begitu pula Nesta yang straight menunggu Key. Namun, penggambaran dalam video popnya menghapus ambiguitas itu dengan mengedepankan alur cerita straight di atas gay, dan menjagokan heteronormativitas. Sementara dalam film Aldi oleh Melly Goleslaw dan Erick.
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
67
Ben Murtagh juga menemukan kekasih gay baru—Dani—dalam video Aldi yang sedih hanya menjadi peran pendukung minor yang nasibnya tidak dipedulikan; dan Dani sepenuhnya menghilang. Kesimpulan Ketika film ini beralih menjadi novel dan video pop, kita melihat dua hasil yang berlawanan untuk alur cerita gay-nya. Dalam genre novel adaptasi Indonesia, sebenarnya tidak banyak ruang bagi penulis untuk bermanuver. Meskipun begitu, Christian Simamora berhasil memperkuat alur cerita gay-nya, bukan melalui perubahan pada plot, tapi lebih dengan menambahkan informasi latar belakang, terutama mengenai Aldi dan Dani. Simamora juga mencantumkan beberapa penanda insidental yang, setidaknya untuk pembaca yang mengerti, sangat menambah ‘citarasa gay’ novelnya. Di saat yang sama, penulis berhasil mereduksi efek dari beberapa sikap ambivalen terhadap homoseksualitas yang tampak jelas dalam filmnya. Ini hanya mungkin dilakukan dalam tingkatan terbatas karena keterbatasan genre-nya, misalnya, tidak ada kemungkinan Nesta pada akhirnya tidak berpasangan dengan Key. Meskipun begitu, dalam novelnya kita mungkin tidak begitu yakin bahwa Nesta dengan perubahan sepenuh hati Nesta beralih ke heteroseksualitas. Begitu pula, Simamora mereduksi dampak dari representasi stereotiep para karakter, dan khususnya Aldi. Efek gangguan dramatis/komedis adegan intim antara kedua laki-laki muda ini juga direduksi dalam novel, menghasilkan impresi bahwa potensi romantis dan seksual hubungan hetero dan homoseksual adalah sama. Berlawanan jauh dengan perubahan yang terjadi dalam novel, dalam video popnya alur cerita gay-nya secara efektif dihapuskan; dan mengingat bahwa video mungkin adalah satu dari tiga genre yang akan berulang kali ditonton (dengan sering diputar di berbagai saluran TV Indonesia), pengaruhnya tidak dapat dianggap enteng. Bagi yang hanya melihat videonya atau menontonnya sebelum melihat film atau membaca novelnya, kesan yang didapat (mengenai videonya, dan karenanya juga lagunya/bukunya/filmnya) adalah benar-benar narasi straight mengenai seorang laki-laki yang menunggu kekasih perempuannya kembali padanya. Terlebih lagi, kekuatan kesan video popnya berfungsi untuk melemahkan makna potensial queer lirik lagu itu. Kita tidak boleh meremehkan kemampuan dan kesiapan gay dan lesbian Indonesia untuk membuat bacaan queer—beberapa dari informan lesbian saya bahkan 68
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
Coklat Stroberi: Satu Roman Indonesia dalam Tiga Rasa membaca karakter Citra sebagai lesbian. Namun, kurang memungkinkan bahwa orang-orang Indonesia normal akan sama bernuansanya dalam mengenali potensi non-heteronormatif. Sebagian besar gay Indonesia bukanlah gay global, tetapi cukup banyak jumlah karakter film gay Indonesia yang gay global. Kasus Coklat Stroberi menyoroti ketidaksesuaian antara representasi realitas dan media massa mengenai subjektifitas gay di Indonesia. Bukan saja laki-laki gay umumnya ditampilkan berasal dari kelas sosial ekonomi tinggi, tetapi tampaknya ada juga proses representasi global queering yang tidak sinkron dengan realita bagaimana gay Indonesia menjalani kehidupan mereka. Mengingat peringatan Berry bahwa dalam kasus sinema Asia Timur, apa yang ditunjukkan oleh film mainstream kepada kita sering kali bukanlah realitas kehidupan laki-laki gay, melainkan bagaimana pria gay dipersepsikan (Berry 1997, 14), menarik bahwa dalam kasus beberapa film Indonesia baru-baru ini, dan khususnya kasus Coklat Stroberi, persepsi ini tampaknya didasarkan pada model non-lokal. Daripada menarik pada sumber lokal sebagai inspirasi untuk jalan plot dan pemahaman tentang posisi subjek gay, tampaknya para pembuat film dan penulis menarik (terutama) sumber-sumber Barat untuk menginformasikan pemahaman mereka mengenai subjektivitas gay. Dalam kasus Coklat Stroberi, kita melihat ini dengan jelas dalam alur cerita pembukaan diri, di mana Aldi membuka diri kepada orang tuanya bahkan sebelum membuka diri kepada teman-temannya. Pentingnya budaya gay di luar Indonesia bahkan lebih jelas dalam novel ketika Aldi bersedih karena orang tuanya tidak akan mendukungnya menghadiri gay pride parade pertamanya. Aldi sendiri lebih lanjut terbukti diinformasikan oleh budaya gay Barat melalui tontonan film gay Amerikanya dan kesukaannya pada penyanyi George Michael. Tidak ada yang salah dengan itu: banyak laki-laki gay Indonesia mendengarkan musik Barat dan menonton film-film Barat. Tapi apa yang hilang dari film dan novel adalah perasaan bahwa Aldi melihat dirinya sebagai bagian dari komunitas gay Indonesia. Ia tidak ditampilkan memiliki teman-teman gay lain, atau mendatangi tempat-tempat berkumpulnya komunitas gay. Sedangkan menjadi terbuka di Indonesia umumnya pertama-tama di tempat berkumpulnya komunitas gay dan teman-teman gay, sedang situasi di Coklat Stroberi adalah sebaliknya. Bahkan dalam novel, tidak ada usaha untuk menunjukkan Aldi masuk ke dalam komunitas gay yang lebih luas. Meskipun Aldi tampak memiliki Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
69
Ben Murtagh keyakinan yang sangat kuat, ia seperti menonton dunia gay dari jauh daripada benar-benar menjadi bagiannya, dan dunia gay yang ditontonnya adalah dunia internasional atau global, bukan dunia yang lokal atau Indonesia. Ucapan Terima Kasih Terima kasih kepada Ardy Octaviand untuk diskusi pembuatan filmnya. Saya juga menghargai respon yang sangat berguna dari para pengulas anonim untuk Southeast Asia Research. Terima kasih juga kepada sejumlah informan gay, waria dan lesbian Indonesia yang namanya tidak perlu dipublikasikan—mereka tahu siapa mereka. Masukan mereka menjadi fundamental dalam pemahaman saya tentang berbagai kemungkinan pembacaan film ini. Saya sangat berterima kasih kepada semua orang di Gaya Nusantara karena begitu akomodatif ketika saya mengadakan FGD di sana pada November 2008. Perjalanan saya ke Indonesia pada akhir 2008 sebagian didanai oleh Research Committee on South East Asian Studies of ASEASUK. BEN MURTAGH: Pengajar Indonesia di Departemen Asia Tenggara di SOAS, Thornhaugh Street, London WC1H0XG, UK. E-mail:
[email protected] RUJUKAN Adjie. 2007. “Ardy Octaviand Mengaku Kurang Riset Untuk Coklat Stroberi.” http://ruangfilm.com/?q=hal/2007/08/31/ardy_octaviand_mengaku_kurang_riset_untuk_coklat_stroberi. Diakses 3 Desember 2008. Altman, Dennis. 1997. “Global Gaze/Global Gays.” GLQ. Vol 3. hal. 417–436. _______. 2001a. Global Sex. Chicago: University of Chicago Press. _______. 2001b. “Rupture or Continuity? The Internationalization of Gay Identities.” Dalam Postcolonial Queer: Theoretical Intersections. J. Hawley, ed. Hal. 19–41. Albany, NY: State University of New York Press. Berry, Chris. 1997. “Globalisation and Localisation: Queer Films from Asia.” Dalam The Bent Lens: A World Guide to Gay and Les70
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
Coklat Stroberi: Satu Roman Indonesia dalam Tiga Rasa bianan Film. C. Jackson dan P. Tapp, eds. Australian. Catalogue Company. Victoria: St. KildaHal. 14–17. Boellstorff, Tom. 2005. The Gay Archipelago: Sexuality and Nation in Indonesia. Princeton: Princeton University Press. __________. 2007. A Coincidence of Desires: Anthropology, Queer Studies, Indonesia. Durham: Duke University Press. Clark, Marshall. 2004. “Men, Masculinities and Symbolic Violence in Recent Indonesian Cinema.” Dalam Journal of Southeast Asian Studies. Vol 35. No 1. Hal. 113–131. Contactmusic.com. 2006. “George Michael – Michael: “I had to write about my ordeal.”http://www.contactmusic.com/new/xmlfeed.nsf/mndwebpages/michael%20i%20had%20to%20 write%20about%20my%20ordeal_26_05_2006. Diakses 20 Desember 2008. Crystal, Ino. 2006. Kissing Me Softly. Jakarta: Gagasmedia. Hanan, David. 2008. “Changing Social Formations in Indonesian and Thai Teen Movies.” Dalam Popular Culture in Indonesia: Fluid Identities in Post-Authoritarian Politics. A. Heryanto, ed. Hal. 54-69. Abingdon: Routledge. Heeren, Katinka van. 2002. “Revolution of Hope: Independent Films are Young, Free and Radical.” Inside Indonesia. Vol 70. http://www.insideindonesia.org/content/view/391/29/ Diakses 29 December 2008. Irwan, Rizal. 2008. “Emon: Don’t Ask, Don’t Tell.” The Jakarta Post. 24 October. KapanLagi. 2007. “Coklat Stroberi Targetkan Satu Juta Penonton.” http://www.kapanlagi.com/h/0000175957.html. Diakses 3 Desember 2008). K. F. 2006. “Mode atau Penyakit? Citra Homoseksualitas dalam Sastra Indonesia.”Dalam Gay di Masyarakat. N. Agustinus, S. Sigit, dan Yogi, eds. Hal. 55-61. Surabaya: Gaya Nusantara. Murtagh, Ben. 2006. “Istana Kecantikan: the First Indonesian Gay Movie.” South East Asia Research. Vol 14. No 2. Hal. 211–230. Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
71
Ben Murtagh _______. 2007. “Beautiful Men in Jakarta and Bangkok: the Pressure to Conform in a Recent Indonesian Novel.” South East Asia Research. Vol 15. No 2. Hal. 281–299. _______. 2008. “Chocolate Strawberry: an Indonesian Movie Breaks New Ground on the Subject of Teenage Sexuality.” Inside Indonesia. Vol 93. http://insideindonesia.org/content/view/1139/47/ Diakses 30 November 2008. _______. 2010. “Bangkok’s Beautiful Men: Images of Thai Liberality in an Indonesian Gay Novel.” Dalam Queer Bangkok: 21st Century Media, Markets, and Rights (akan terbit). P. Jackson, ed. Hong Kong: Hong Kong University Press. Octaviand, Ardy. 2008. Wawancara dengan direktur. 8 Juli 2008. Sen, Krishna. 1986. “Filem Remaja: the Construction of Parent Power.” Asian Studies Association of Australia Review. Vol 10. No 2. Hal. 35–42. _______. 1991. “Si Boy Looked at Johnny, Indonesian Screen at the Turn of the Decade.” Continuum. Vol 4. Hal. 136–151. Simamora, Christian. 2005. Jangan Bilang Siapa-siapa. Jakarta: Elex Media Komputindo. _______. 2006. Boylicious. Jakarta: GagasMedia. _______. 2007a. Coklat Stroberi. Jakarta: GagasMedia. _______. 2007b. Macarin Anjing. Jakarta: GagasMedia. Simamora, Christian dan Windy Ariestanty. 2007. Shit Happens. Jakarta: Gagasmedia. Siregar, Ferry. 2007. “Coklat Stroberi.” http://sinema-indonesia.com/ neo/2007/06/21/coklat-stroberi-2007/ Diakses 3 Desember 2008. Upi. 2007. “Kata Pengantar.” Dalam Coklat Stroberi. C. Simamora, ed. Hal. iii–iv. Jakarta: GagasMedia.
72
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011